SEJARAH KELUARGA EMI PANGESTI DAN PERANANNYA TERHADAP EKSISTENSI BATIK KARANG TUBAN (1981-2010) M MA’ARIF RAKHMATULLAH Prodi Pendidikan Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang Email:
[email protected] Abstrak: penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengetahui perkembangan batik di Indonesia dan peranan keluarga Emi dalam mengembangkan perubahan motif Batik Karang (19812010). Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah meliputi heuristik, kritik sumber meliputi kritik ekstern dan kritik Intern. Interpretasi dan Historiografi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa ragam hias motif batik di Indonesia berkembang sejak masa Kerajaan Hindu-Budha. Batik memperoleh kedudukan tinggi abad XVIII saat penguasa keraton Yogyakarta dan Kasunanan Solo melegitimasi motif batik yang hanya boleh digunakan kalangan bangsawan. Keluarga Emi melestarikan Batik dengan cara tetap mempertahankan pembuatan batik tulis dan melakukan inovasi motif Batik Karang. Kata Kunci: Sejarah, Batik Karang, Tuban Pendahuluan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizaticon (UNESCO) telah menetapkan batik sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity, pada tanggal 30 September 2009. Batik dalam hal ini telah dikukuhkan sebagai warisan kebudayaan dunia asli Indonesia. Batik yang dimaksud disini yakni batik tulis dan batik cap, karena dilihat dari proses pembuatan batik yang masih tradisional yaitu buatan tangan (hand made). Serta dilihat juga dari nilai filosofis dan simbolik yang ada pada motif-motif batik. Munculnya batik pada awalnya didasari oleh rasa seni atau estetika dari kehidupan manusia dan juga kebutuhan akan sandang yang dalam hal ini adalah pakaian. Rasa seni dari manusia kemudian diaplikasikan dalam goresan tangan berupa batik dan memiliki nilai filosofis yang tinggi dari setiap motifnya.
Hampir setiap daerah di Nusantara memiliki batik dengan ciri khas masing-masing, begitu juga dengan Kabupaten Tuban. Pada zaman Kerajaan Singhasari (abad 13 M), Majapahit (abad 14-15 M) dan Demak (16 M), Tuban menjadi kota pelabuhan yang penting bagi kerajaan-kerajaan terebut. Dikarenakan menjadi bandar dagang, maka Tuban tidak terlepas dari keberadaan batik (Mistaram, 2008:35). Keberadaanya sebagai bandar dagang memungkinkan terjadinya pertukaran komoditas salah satunya yaitu batik. Selain itu letak Lasem yang juga tidak terlalu jauh dengan Tuban, bisa jadi faktor pendukung keberadaan Batik di Tuban. Mengingat Lasem menjadi salah satu wilayah yang juga terkenal dengan pembatikannya. Faktor pendukung selanjutnya yaitu wilayah daratan Tuban yang kurang subur sehingga cocok untuk ditanami kapas. Dalam perkembangannya itulah muncul dengan pesat usaha batik di Tuban yang berbahan baku kain tenun yang dioleh dari kapas. Meskipun sekarang, keberadaan kain tenun semakin digantikan oleh bahan baku mori yang banyak dijual di pasaran. Pekerjaan memproduksi batik telah menjadi bagian sehari-hari dari ribuan perajin yang tersebar di beberapa wilayah kecamatan seperti Kerek, Montong, Merakurak, Tuban, Semanding dan Palang. Hal ini jelas menunjukan bahwa Tuban memiliki potensi dari komoditas batik yang perlu dikembangkan. Setiap usaha produksi batik tentunya memiliki seorang tokoh perintis awal yang kemudian juga mengajarkan kemampuannya kepada orang lain terutama orang-orang terdekat yang masih keluarga dari perajin batik. Usaha tersebut kemudian berjalan dari generasi ke generasi sehingga memunculkan trah perajin batik, misalnya seperti usaha Batik Danar Hadi di Solo yang dikelola oleh H. Santoesa Doellah. Dari latar belakang kehidupan beliau memang lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga perajin batik. Bahkan istrinya juga berasal dari keluarga perajin batik (www.TokohSurakarta.com diakses 10 Oktober 2012). Batik Karang merupakan salah satu varian batik yang ada di Kabupaten Tuban selain Batik Gedog dan Batik Palang. Dinamakan Batik Karang karena batik tersebut diusahakan di Kelurahan Karang Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban. Usaha batik yang menarik dan memiliki nilai historis tinggi untuk ditulis adalah milik keluarga Emi Pangesti.
Faktor pendorong penulis untuk mengkaji sejarah keluarga pada artikel ini yaitu bahwa masih sedikit penulisan mengenai sejarah keluarga di Indonesia, termasuk dalam bentuk skripsi atau artikel ilmiah di Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Minat penulis dalam mengkaji sejarah keluarga juga didorong oleh adanya materi sejarah keluarga ketika mengajar di kelas 1 pada saat mengikuti program PPL di MAN 3 Malang. Penulis pada skripsi ini mengkaji sejarah keluarga Emi Pangesti yang memiliki peranan dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi Batik Karang Tuban. Penulis berusaha memunculkan tokoh dari keluarga Emi Pangesti yang memiliki usaha kecil menengah dalam bentuk produksi batik. Faktor pendorong penulis untuk mengkaji keluarga Emi Pangesti dibanding keluarga lainnnya yaitu adanya proses pewarisan ketrampilan membuat batik yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. Dalam proses pewarisan ini terdapat hal yang unik yaitu Emi Pangesti dalam membuat batik mendapat bimbingan dari ibunya sendiri yaitu Samiyatun. Sedangkan Samiyatun mendapatkan ketrampilan membuat batik dari ibu mertuanya yaitu Siyem. Siyem merupakan ibu Tjokro, sedangkan Tjokro adalah suami samiyatun. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketrampilan Emi Pangesti dalam membuat batik, apabila dilihat dalam silsilahnya berasal dari nenek (Siyem) yang dalam hal ini merupakan garis keturunan bapak (Tjokro). Faktor selanjutnya yaitu usaha batik tulis di Karang yang sudah cukup terstruktur bentuknya adalah miliki Emi Pangesti. Usaha Emi Pangesti dalam memproduksi batik juga telah merambah pasaran nasional maupun internasional dengan dibuktikannya dalam berbagai ajang pameran batik. Dia juga membimbing menantunya yaitu Gatot untuk membuka cabang batik tulis Emi di Karang. Sehingga dapat terlihat peranan keluarga Emi dalam perkembangan Batik Karang. Sebagai pertimbangan dalam menentukan topik, penulis menggunakan dua penelitian terdahulu. Pertama, Agustina (2004) skripsi Universitas Negeri Malang dengan judul “Perkembangan Industri Batik Tulis Gedog “Kestriyan” Desa Margorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban (1997-2002)”. Tulisan ini memfokuskan pada kajian sejarah perekonomian, khususnya perkembangan Batik
Gedog dalam organisasi bernama Kesatriyan yang diketuai oleh Rukayah. Penulis mengambil temporal 1998-2002 terdapat dua peristiwa penting yang mempengaruhi tingkat penjualan Batik Gedog. Dua peristiwa penting yakni krisis moneter tahun 1998 dan peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Kedua peristiwa tersebut kemudian berdampak pada penurunan permintaan kain batik gedog. Penurunan permintaan tersebut dikarenkan harga batik yang cenderung mengalami kenaikan pada saat krisis moneter dan peristiwa Bom Bali 1 mengakibatkan sepi wisatawan yang menjadi konsumen pembeli batik. Hasil penulisan diatas, belum mengkaji mengenai bagaimana peran utama dari tokoh yang menjadi ketua perajin batik dari organisasi Kesatriyan tersebut dalam kaitanya mengembangkan dan mempertahankan keberadaan Batik Gedog. Selain itu juga belum ada pembahasan lebih mendalam mengenai silsilah dari tokoh yang menjadi perintis dari organisasi Kesatriyan. Kedua,Sumarni (2003) skripsi Universitas Negeri Surabaya dengan judul “Bentuk Ragam Hias dan Proses Pewarnaan Batik Tulis Karang di Tuban”. Dalam kesimpulan penulisan skripsi ini sudah terdapat upaya dari pihak perajin yang dimana dalam hal ini adalah Emi untuk meningkatkan mutu produksinya dengan cara menciptakan motif-motif baru yang lebih menarik. Selain hal itu, ia juga melakukan pembinaan-pembinaan dan selalu memperhatikan nasib karyawannya. Akan tetapi penulisan skripsi ini belum menjelaskan mengenai latar belakang kehidupan tokoh yakni Emi dalam kaitanya dengan penciptaan motif-motif baru. Termasuk juga belum menjelaskan peranan tokoh sebelum Emi dalam penciptaan motif-motif Batik Karang. Pertimbangan inilah yang melatarbelakangi pilihan penulis untuk mencoba mengupas mengenai Sejarah Keluarga Emi Pangesti dan Peranannya Terhadap Eksistensi Batik Karang Tuban (1981-2010). Pemilihan temporal 1981 dilatarbelakangi bahwa pada tahun tersebut Emi mendirikan usaha Batik Karang setelah mendapat pelatihan memproduksi batik dari Dinas Perekonomian dan Pariwisata, serta mulai memberikan inovasi pada Batik Karang dari yang semula berupa batik motif klasik kemudian perlahan mendapat sentuhan batik bermotif kontemporer. Sebelum tahun 1981 sebagaimana diusahakan oleh para generasi pendahulu Emi, batik yang dihasilkan
adalah batik dengan motif klasik yang terdiri dari warna-warna lembut seperti soga, hitam dan putih. Sedangkan 2010 menjadi batasan karena pada tahun tersebut berdiri galeri Batik Karang sebagai tempat produksi serta penjualan produksi batik Emi. Selain itu pada tahun tersebut Emi juga memberikan pelatihan membuat batik kepada lima puluh guru SMP yang tergabung dalam MGMP Seni Budaya SMP Negeri Se Kabupaten Tuban. Dari sini bisa terlihat peran aktif Emi untuk melestarikan keberadaan Batik Karang Tuban. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui perkembangan batik di Indonesia dan mengetahui peran keluarga Emi dalam mengembangkan perubahan motif Batik Karang Tuban dalam rentang waktu 1981 sampai 2010. METODE Penelitian ini merupakan kajian dari Sejarah Keluarga sehingga penulis menggunakan metode sejarah. Tahapan-tahapan metode sejarah yaitu meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Heuristik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan pencarian dan pengumpulan data serta sumber yang terkait dengan penelitian (Syamsuddin, 2008:86). Dalam proses heuristik penulis menggunakan metode sejarah lisan (Oral History) yang membantu dalam pengumpulan sumber tidak tertulis dari para pelaku sejarah (Kuntowijoyo, 2003:29-30). Penggunaan metode tersebut juga didukung dari segi temporal mengenai tema penelitian masih dimungkinkan guna pengumpulan sumber melalui proses wawancara terhadap pelaku sejarah. Sejarah lisan diperlukan sebagai salah satu upaya pelengkap dari keterangan yang tertulis dalam sebuah dokumen atau bahkan bisa menjadi pengganti dari dokumen, mengingat tidak banyak dokumen yang menulis tentang sejarah keluarga kecuali bagi keluarga golongan atas. Sejarah lisan tumbuh dan berakar dari kehidupan sehari-hari manusia, sehingga dimungkinkan muncul adanya para tokoh atau pahlawan baru tidak hanya dari kalangan pemimpin tetapi juga dari rakyat biasa yang sebelumnya tidak dikenal (Thompson, 2012:24). Bahwa dalam penulisan ini akan dimunculkan sejarah keluarga Emi yang memiliki peran untuk menjaga eksistensi
Batik Karang Tuban. Selanjutnya kedua sumber tersebut nantinya dibedakan menjadi sumber lisan dan sumber tertulis. Sumber lisan berupa hasil wawancara dengan beberapa narasumber yaitu Emi Pangesti, Rusmaji, Pujiyono, Samiyati dan Subarji, sedangkan sumber tertulis berupa buku dan artikel. Setelah melakukan heuristik, penulis melakukan tahapan selanjutnya yaitu kritik sumber. Kritik Sumber terbagi dalam dua bagian yaitu ekstern dan intern. Dalam kritik ekstern, penulis mengidentifikasi buku Rona Menawan Batik Tuban. Di sini penulis akan mengidentifikasi apakah buku tersebut memang ditulis oleh seorang yang kompeten dibidang batik dan penulisan buku tersebut merupakan sebuah karya dari hasil penelitian ilmiah, sehingga hasil tulisannya dapat dijadikan rujukan penulis. Sedangkan kritik intern, menekankan pada aspek isi (substansi) dari sumber dan kesaksian (testimoni). Penulis mengidentifikasi isi buku Rona Menawan Batik Tuban terutama dalam pembahasan Batik Karang. Penulis mencari siapa penyusun serta tujuan penulisan buku tersebut, mengingat buku tersebut penulis dapatkan di Dinas Perindustrian, sehingga timbul kekhawatiran buku tersebut dibuat untuk kepentingan pemerintah dan menghilangkan faktafakta yang sebenaranya. Maka keterangan Batik Karang dalam buku tersebut penulis bandingkan dengan keterangan dari Emi sebagai tokoh Batik Karang. Pada tahapan selanjutnya penulis memasuki tahap interpretasi yaitu melakukan penafsiran atas makna yang dari fakta-fakta yang diperoleh setelah dilakukan kritik sumber. Penulis membandingkan Informasi mengenai Batik Karang yang diperoleh dari Buku Rona Menawan Batik Tuban dengan keterangan dari Emi sebagai tokoh Batik Karang, kemudian penulis menyimpulkan makna dari kedua keterangan tersebut. Setelah melalui ketiga tahapan sebelumnnya, selanjutnya tahap akhir yakni historiografi atau penulisan sejarah. Penulisan sejarah harus bersifat diakronis yakni memanjang berdasarkan waktu. Penulisan artikel ini berisi mengenai perkembangan awal batik di Indonesia mulai masa Hindu-Budha, Islam, pengaruh Cina, penjajahan Belanda, pendudukan Jepang sampai masa kemerdekaan Indonesia. Kemudian masuk ke perkembangan awal munculnya keluarga Emi sebagai perintis Industri Batik Karang sebelum tahun 1965, dan perkembangannya
tahun 1965 sampai 1981. Selanjtunya faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi Batik Karang rentang tahun 1981-2010 dan bentuk perubahannya. Kemudian bentuk pewarisan usaha Batik Karang Emi ke anggota keluarganya Untuk menganalisis terjadinya sebuah peristiwa sejarah diperlukan juga penggunaan ilmu bantu yang dalam penulisan artikel ini yaitu antropologi. Ilmu Antropologi dalam mengkaji sebuah keluarga berarti mencoba melihat pola kehidupan yang ada di dalamnya. Lewis (1988:5-6) menggunakan empat pendekatan dalam melakukan penelitiannya terhadap kisah lima keluarga di Meksiko yaitu pertama mencoba menerapkan konsep masyarakat ke dalam sebuah keluarga. Lewis menyajikan data tentang sebuah keluarga yang didalamnya menyangkut materi dan hubungan sebuah keluarga, kehidupan ekonomi, interaksi sosial dan agama. Pendekatan kedua yaitu melihat keluarga melalui informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan setiap anggota keluarga tersebut. Pendekatan ketiga yaitu memahami peristiwa atau kejadian tertentu yang memberikan pengaruh besar terhadap keluarga dan melihat tanggapan dari keluarga terkait peristiwa tersebut. Pendekatan keempat melakukan penelitian suatu keluarga sebagai seluruh pengamatan terperinci yang dimulai dari adanya peristiwa khas dan memberikan pengaruh besar dari kehidupan keluarga tersebut.
HASIL Perkembangan Batik Indonesia Penemuan motif batik di Indonesia yang paling awal pada masa HinduBudha dibuktikan dengan adanya motif hias ceplok yang diukirkan pada batu di dinding Candi Badut. Candi Badut sendiri dibangun pada abad VII M, sehingga dengan penemuan ini diperkirakan masyarakat pada waktu itu telah mengenal batik. Selanjutnya pada masa Kerajaan Singhasari abad XIII M ditemukan juga motif ragam hias ceplok kawung terdapat pada kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam patung Ken Dedes. Di masa kerajaan Majapahit abad XIIIXIV M, motif batik terdapat pada pakaian yang dikenakan pada patung Kertarajasa Jayawardhana. Dimana motif yang digunakan masih dalam bentuk ceplok yaitu ceplok padma berupa bunga dan daun teratai (Mistaram, 2008:1114). Ragam hias batik juga berkembang pada masa penyebaran agama Islam di
Jawa pada abad XVI-XVII M. Hal itu dibuktikan dengan adanya ragam hias sulur-suluran yang berada di Masjid Mantingan Jepara dan Makam Sendang Duwur Lamongan. Hubungan perdagangan dengan bangsa Cina telah menimbulkan akulturasi budaya yang dalam ini terdapat pada motif batik pesisiran. Pengaruh budaya tersebut terdapat pada motif Lok Can. Susuhunan Paku Buwana III pada tahun 1769 mengeluarkan larangan menggunakan batik tertentu, seperti yang disampaikan Soedjoko dalam Hidajat (2004:288-289) yang artinya yaitu: adapun barang berupa kain panjang (jarit) yang termasuk larangan saya (raja): Batik Sawat, dan batik parang rusak, batik cumangkiri yang calacep, modang, bangun tulak, lenga-teleng, daragam, dan tumpal. Adapun batik Cumangkirang yang acalecep berupa lunglungan (sulur) atau kekembangan (bunga-bungaan), yang saya perbolehkan dipakai Patih, dan abdidalem, Wedana. Dari keterangan di atas salah satu motif yang dilarang penggunaannya oleh Susuhunan Paku Buwana III yaitu motif sawat.
Gambar 1 Motif Sawat (http://motifbatikindonesia.blogdetik.com diakses 24 November 2012)
Selanjutnya pada tahun 1785, Raja Yogyakarta Sultan Hamengkubuwuna I mencanangkan pola parang rusak bagi keperluan pribadinya (Kitley:1987).
Gambar 2 Motif Parang rusak (http://lowlymonita.blogspot.com diakses 27 November 2012)
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Eliza Van Zulyen merupakan seorang tokoh Belanda yang mengembangkan batik di Pekalongan antara tahun 1890-1940. Motifnya berupa bunga, burung, dan kupu-kupu Sedangkan warnawarna yang digemari yaitu warna muda yang dikombinasi dengan gelap dan terang (Tirta:1985). Setelah Jepang berhasil mengusir Belanda, maka dimulailah pendudukan militer Jepang atas Indonesia dan tercipta Batik Jawa Hokokai yang memiliki konsep pagi-sore yaitu satu kain yang menampilkan dua warna (atau dua motif), gelap dan terang (Purba dkk, 2005:48). Pada tahun 1950 atas gagasan Presiden Soekarno kepada Go Tik Swan, sang maestro batik kemudian membuat batik Indonesia yang merupakan perpaduan antara batik gaya klasik (kraton) dengan batik gaya pesisiran (Rustopo, 2008:81). Di masa pemerintahan selanjutnya batik semakin mendapat kedudukannnya, sampai puncaknya pada tanggal 2 Oktober 2009 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono menetapkannya sebagai hari batik nasional. Perkembangan Batik Jawa Timur Beberapa kabupaten di Jawa Timur terkenal dengan daerah pembatikannya seperti Sidoarjo, Banyuwangi dan Ponorogo. Sidoarjo terkenal dengan batik Jetis yang diperkirakan telah ada sejak tahun 1675 (Qamariyah, 2011:95). Banyuwangi terkenal dengan Batik Gajah Oling. Motif ini sudah ada sejak tahun 1936, ketika itu dipakai Lurah Kepatihan Joyo Wiroto untuk mementaskan Gandrung (Ratnawati, 2011:42). Perkembangan batik di Ponorogo tidak terlepas dari persebaran agama Islam yang dibawa oleh Kiai Hasan Besari yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Tegalsari. Kiai Hasan Besari merupakan menantu dari Keraton Solo. Ketika beliau membawa sang putri untuk pindah ke Tegalsari maka dibawa juga seni batik oleh para keluarga keraton (Wulandari, 2011:16). Perkembangan Batik Tuban Secara umum Batik Tuban terbagi menjadi tiga macam yaitu pertama, Batik Gedog, nama gedog berasal dari bunyi dhog-dhog-dhog yang dihasilkan oleh alat yang digunakan ketika memintal kapas untuk dijadikan kain. Proses
pembuatan Batik Gedog cukup lama karena bahan bakunya berusaha dipenuhi sendiri mulai penanaman kapas, kemudian dipanen, ditenun dan dibatik sendiri oleh perajinnya. Tetapi, dalam perkembangnnya para perajin Batik Gedog juga menggunakan bahan baku kain mori atau katun dari pabrik. Motif-motif dari Batik Gedog antara lain Panji Lori, Kembang Waluh, dan lainnya (Paguyuban, 2006:7) Kedua, Batik Palang yang sesuai namanya diusahakan di Desa Gesikharjo Kecamatan Palang. Wilayahnya yang berada di pesisir pantai mengakibatkan adanya pengaruh cina berupa motif burung hong dan binatang air dengan latar gringsing sisik serta motif dudo brengos. Batik Palang masih mempertahankan ciri motif batik klasik dengan harga yang cukup mahal (Paguyuban, 2006:77). Ketiga, Batik Karang diusahakan di Kelurahan Karang Kecamatan Semanding. Batik yang dihasilkan cukup halus dan adanya motif perpaduan klasik dengan kontemporer, seperti motif lung-lungan. Keluarga Emi Pangesti dan Industri Batik Karang Sebelum 1965 Penulis memperoleh keterangan lisan dari Emi yang menyebutkan bahwa Batik Karang mulai tumbuh sekitar tahun 1820 yang dirintis oleh Warisah. Batik yang dihasilkan merupakan batik motif klasik atau jawa seperti halnya batik gaya kraton Yogyakarta dan Solo. Emi mengatakan: “Tokoh perintis dari generasi pertama itu bernama mbah Warisah, yang merupakan udeng-udeng saya. Keahlian membatiknya, diwariskan dari generasi ke generasi. Hingga akhirnya sampai ke saya yang merupakan generasi ke lima”. (Wawancara dengan Emi Pangesti hari Minggu tanggal 04 Desember 2011)
Pada masa Warisah tentu belum terdapat kemudahan untuk membeli kain, malam dam pewarna seperti layaknya sekarang. Emi mengatakan: “bahan baku menggunakan kapas yang ditenun sendiri, sedangkan malamnya menggunakan tolo (sarang) tawon yang direbus, dan pewarnaannya menggunakan bahanbahan alami seperti akar pace dan soga yang menghasilkan warna coklat”. (Wawancara dengan Emi Pangesti hari Minggu tanggal 04 Desember 2011)
Untuk memperkuat keterangan lisan yang disampaikan Emi, penulis menggunakan sumber tertulis yang terdekat dengan tahun 1820, yakni keterangan dari buku History of Java yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles pada periode kepemimpinannya 1811-1816. Disebutkan oleh Raffles (2008:106) terdapat beberapa macam batik seperti batik warna putih, hitam dan merah. Kain
sebelum dibatik terlebih dahulu dikanji agar tidak mblobor. Proses batik dengan cara menggunakan lilin panas yang cair, kemudian untuk menggambarkan motif batik digunakanlah canting. Dalam pandangan penulis keterangan dari Raffles tadi bisa menjadi penguat dari keterangan dari Emi karena apabila dilihat dari periode yang disebutkan keduanya tidak terlalu jauh. Di dalam sebuah keluarga tentu terdapat silsilah mengenai garis keturunan. Disini penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai silsilah dari keluarga Emi Pangesti. Silsilah tersebut tampak dalam gambar 3 berikut ini. SILSILAH KELUARGA EMI PANGESTI Kopral
Sarmidin
Warimo
Sarkam Tjokro
Warisah
Sakimah
Sarmidin
Siyem Suminah
Sanuri
Karjan
Mulyati Siswoyo Subandrio Purnomo
Laksminto
Agus Gatot Wijayanto
Saminah
Munasir
Samilah
Samiyatun Samiyati
Subarji
Karjiban
Sri Prameswari
Emi Pangesti
Lenny Sugiarti Leddy Sugiarto Citra Dony Pamungkas
Gambar 3. Silsilah Keluarga Emi Pangesti (Diolah dari data lapang wawancara dengan Emi Pangesti (13 Desember 2012), Samiyati (16 Desember 2012) dan Subarji ((16 Desember 2012)
Dari keterangan dalam silsilah yang ada di gambar 3. bahwa Warisah merupakan generasi pertama dari Tjokro yang merupakan bapak Emi. Tjokro merupakan penduduk asli Karang sedangkan Samiyatun ibu dari Emi berasal dari desa Tegalagung. Kemampuan Emi dalam membuat batik diperoleh dari Ibunya yaitu Samiyatun. Sedangkan Samiyatun memperoleh kemampuannya tersebut dari Siyem yang merupakan ibu dari Tjokro, sekaligus mertuanya sendiri. Jadi bisa disimpulkan bahwa ketrampilan keluarga Emi dalam membuat batik merupakan pengaruh dari garis keturunan keluarga Karang yang berasal dari neneknya yaitu Siyem. Sebagian besar perajin sudah tidak mengetahui siapa tokoh utama dan kapan terjadi perintisan awal Batik Karang. Akan tetapi, seorang perintis juga bisa menjadi tokoh legendaris (Soeroto:1983). Hal ini juga terjadi pada Batik Karang, bahwa dari Emi sendiri sebagai tokoh generasi kelima sulit untuk memastikan tahun berapa para generasi sebelumnya tersebut lahir dan bagaimana usahanya dalam mempertahankan Batik Karang. Akan tetapi menurut sifatnya bahwa batik yang dihasilkan merupakan batik klasik dengan pakem tertentu, sehingga menurut analisa penulis motif batik pada generasi kedua, ketiga dan keempat kecenderungan adalah sama motifnya seperti tekuk dengkul, kedele kecer, kawung, uker dan udan liris. Emi pernah mengikuti pelatihan yang difasilitasi oleh Dinas Perindustrian pada 1977 dan 1978. Isi pelatihan memberikan berupa pengetahun baru tentang pengolahan warna dan diberi gambaran tentang motif-motif kontemporer. Selain pemberian pelatihan, juga diberikan bantuan modal dan peralatan. Berawal dari pelatihan tersebut pada 10 Februari 1981, Emi mendirikan usaha batik tepatnya di Jalan Mojopahit Desa Karang no 67. Produksinya menghasilkan kain batik motif kontemporer, taplak meja, selendang dan juga kaos. Emi tetap berupaya mempertahankan keberadaan ciri batik klasik, dia mengatakan: “Saya membuat motif baru yang diberi sentuhan inovasi dari motif batik klasik, misalnya motif lung-lungan tahun 1979, yang lebih penting lagi adalah tidak menghilangkan ciri khas batik Tuban yaitu isen-isen bentuk sirip”. (Wawancara dengan Emi Pangesti hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2012)
Gambar 4. Lung-Lungan Motif Klasik (Dokumentasi Penulis)
Gambar 5. Lung-Lungan Motif Kontemporer (Dokumentasi Penulis)
Gambar 4 merupakan batik klasik lung-lungan yang memiliki latar dasar gringsing sisik. Gringsing sisik ditampilkan dalam bentuk isen-isen cecekan yang berbentuk titik-titik layaknya sisik ikan. Seperti ciri khas batik klasik lainnya tampak dominasi warna soga atau cokelat. Ragam hiasnya berupa daun yang saling menyambung satu sama lainnya. Sedangkan gambar 5 merupakan batik kontemporer lung-lungan yang memiliki latar dasar warna biru yang mencolok. Ragam hiasanya tetap berupa daun yang seakan-akan membentuk sebuah bunga. Inovasi yang terjadi dari batik klasik ke motif batik kontemporer, terlihat pada batik lung-lungan motif kontemporer (Gambar 5) yaitu penggunaan warna cerah yakni biru, sedangkan pada motif klasik (Gambar 4) menggunakan warna soga. Dari segi motif, pada lung-lungan motif kontemporer (Gambar 5) tidak terdapat isen-isen yang rumit berupa gringsing sisik layaknya pada motif klasik (Gambar 4) dan hanya daun saja yang masih dipertahankan. Penghilangan latar dasar gringsing sisik dalam lung-lungan motif kontemporer dilakukan karena terlalu rumit membuatnya dan itu diperlukan perajin batik yang telaten terutama nenek-nenek yang sudah tua. Sedangkan keberadaan mereka di Karang sudah sulit dicari karena banyak yang telah meninggal. Disisi lain generasi muda Karang tidak terlalu berminat untuk menekuni batik.
Motif batik lung-lungan klasik diperkirakan sudah ada sejak tahun 1950. Sedangkan lung-lungan motif kontemporer dibuat tahun 1979. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa pada rentang tahun 1978-1981 telah menjadi awal terjadinya inovasi dari batik klasik ke batik kontemporer setelah adanya pelatihan batik dari Dinas Perindustrian di tahun-tahun tersebut. Penjualan Batik Karang sudah mencapai berbagai wilayah baik di dalam maupun di luar negeri, tetapi Karang sendiri bukanlah sebuah sentra indutri batik yang besar seperti halnya Kampung Batik Laweyan di Solo dan indutri Kerajinan Perak di Kota Gede Yogyakarta, dimana penduduknya sebagian besar bekerja sebagai perajin batik maupun perak. Sebelum memberikan analisis mengenai keberadaan Batik Karang yang belum bisa menjadi sebuah industri besar, penulis akan memberi gambaran singkat mengenai sentra-sentra industri yang telah disebutkan tadi. 1) Kampung Batik Laweyan Kampung Batik Laweyan yang terletak di Solo, secara historis mulai terbentuk sejak zaman Pakubuwono II. Nama Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang, karena pada mulanya wilayah ini merupakan tempat pembuatan kain tenun, sehingga raja memilih Laweyan yang dijadikan sebagai penghasil kain batik, karena dipandang penduduk Laweyan hampir semuanya pandai menenun, rajin dan tekun dalam bekerja (Kusumawardhani, 2006:52). Bisa dikatakan perkembangan batik di Laweyan sudah tertata bentuk dan strukturnya paling tidak semenjak dapat perhatian dari pihak Pakubuwono II. Tentunya seorang raja tidak akan sembarang memilih daerah untuk membuat batik yang akan dipergunakan oleh bangsawan keraton. Pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat Laweyan sebagian besar adalah berkaitan dengan batik, baik sebagai perajin biasa atau menjadi pengusaha batik. Dilihat dari segi mayoritas pekerjaan, dapat diketahui bahwa masyarakatnya memiliki mental dan jiwa kewirausahaan yang tinggi. Sehingga muncul pemikiran untuk mengembangkan batik menjadi sebuah komoditas yang menguntungkan secara bisnis. Bagi masyarakat Laweyan menjadi perajin batik adalah pekerjaan tetap bukan sebagai sambilan, sehingga dapat menghasilkan volume produksi
yang besar. Di sisi lain bidang pertanian justru menempati posisi kecil di Laweyan, karena tidak banyak orang bekerja sebagai petani. Faktor pendukung lainnya yaitu di wilayah Laweyan menyimpan bangunan rumah-rumah serta makam-makam kuno, sehingga layak untuk dijadikan kawasan heritage. Para wisatawan datang untuk berkunjung melihat bangunan-bangunan tua dan sembari itu melihat proses produksi batik. Hal tersebut tentu akan menarik minat mereka untuk membeli batik. Sedangkan Solo sendiri merupakan kota pendidikan, budaya serta tujuan wisata dari seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia dan ini merupakan pasar dari produksi kain Batik Laweyan.
2) Industri Kerajinan Perak Kota Gede Industri kerajinan perak Kota Gede memiliki sisi historis yang tinggi. Menurut Sukiman dalam (Wibowo dan Hutagalung: 2001) Munculnya kerajinan perak Kota Gede bersamaan dengan ditetapakannya Kotagede sebagai ibukota Kerajaan Mataram Islam pada abad ke XVI. Dengan latar belakang tersebut kerajinan perak berkembang pesat di bawah perlindungan dan pengawaan dari pihak keraton. Pada masa kolonial, Kotagede merupakan pusat industri dan perdagangan yang terkemuka sehingga muncul pengusaha jawa yang kaya raya. Sama dengan Laweyan, di Kotagede sektor pertanian berada pada posisi marginal dibanding sektor industri (Hariyono, 2011:15). Yogyakarta terkenal sebagai kota pendidikan dengan banyaknya lembaga pendidikan yang ada didalamnya. Dengan adanya penelitian ataupun kajian-kajian ilmiah yang dilakukan oleh civitas akademika terhadap kerajinan perak Kotagede semakin mempopulerkan dan mendorong untuk dilakukan penelitian-penelitian selanjutnya. Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian dan riset yang dilakukan adalah semakin memperbaiki kekurangan-kekurangan yang masih ada di Kerajinan Perak Kotagede. Kemudian mencari solusinya dengan tujuan agar kerajinan tersebut semakin berkembang pesat. Banyaknya tokoh-tokoh pemerhati budaya dan seniman dari daerah Yogyakarta juga menjadi keuntungan tersendiri bagi kerajinan perak Kotagede. Tokoh-tokoh seperti itulah yang dapat menjadi salah satu faktor menunjang
keberadaan industri. Mereka memiliki ide-ide yang cemerlang untuk mengembangkan kerajinan tersebut menjadi industri yang besar. Bahkan dengan ditetapkannya Kotagede sebagai cagar budaya maka perhatian pemerintah terhadap kerajinan perak semakin besar. Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki tingkat kunjungan wisata salah satu yang tertinggi di Indonesia. Keberadan wisatawan yang tiada henti datang dan masuk Yogyakarta merupakan pasar dari produk kerajinan perak tersebut. Melalui kegiatan pameran atau even-even tahunan juga semakin mengenalkan kerajinan perak Kotagede kepada masyarakat luas. Dengan masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi beserta dukungan modal ketrampilan dan kekayaan yang besar menjadikan Kotagede semakin tumbuh menjadi sebuah sentra industri kerajinan perak. Penulis akan mencoba menganalisis perbedaan usaha Batik Karang dengan beberapa kawasan sentra indutri yang telah disebutkan dalam penjelasan di atas. Ketika berbicara mengenai suatu sentra yang menghasilkan barang-barang tertentu maka penulis akan mencoba untuk melihatnya sebagai sebuah komunitas. Syarat terbentuknya komunitas salah satunya adalah memiliki pekerjaan yang sama dan menghasilkan produk yang sama diantara individu-individu tersebut. Penduduk karang sebenarnya sudah memiliki aspek tersebut karena terdapat puluhan orang yang sama-sama menggeluti pekerjaan untuk memproduksi batik. Akan tetapi masih terdapat hambatan-hambatan yang mengganjal Karang menjadi sentra industri batik. Penulis menemukan beberapa aspek yang menjadi hambatan Batik Karang belum bisa membentuk sebuah kawasan sentra industri atau kampung batik. Pertama, unit usaha baik tulis di Karang cukup sedikit untuk disebut sebagai kampung batik. Di wilayah Karang usaha batik tulis yang cukup besar adalah milik Emi dan menantunya Gatot. Kedua pemilik usaha tersebut yang kemudian membawahi puluhan tenaga kerja atau buruh untuk memproduksi batik. Dengan unit usaha yang sedikit tentu volume produksi kain batik yang dihasilkanpun juga sedikit. Padahal untuk membuat kampung batik diperlukan cukup banyak unit usaha, di mana didalamnya nanti pengunjung dapat melihat bagaimana proses produksi batik, pengunjung dapat mencoba membuat batik, hingga dapat membeli
langsung produksi tersebut. Hal ini diperjelas oleh keterangan Rusmaji, dia mengatakan: “Indikator untuk sebuah kampung batik yaitu Pertama, harus memiliki jumlah unit usaha yang cukup. Kedua, tata lingkungan atau tata letak harus dekat dengan Kota. Dibentuknya kampung batik bertujuan untuk menata secara rapi tempat unit usaha, tempat penjualan untuk sehingga menarik wisataan. Kalau dijadikan kampung batik, layout mereka dalam pembuatan batik bisa terta rapi , mulai dari pembuatan dan penjualan, pengunjung bisa melihat langsung dan didukung oleh lingungan yang bersih”. (Wawancara dengan Rusmaji hari Kamis 29 November 2012) Faktor kedua yaitu persepsi masyarakat tentang Batik Karang bukanlah komoditas perdagangan yang praktis dan secara ekonomi menguntungkan bagi kehidupan mereka. Masih sedikitnya unit usaha batik yang ada juga dipengaruhi pandangan masyarakat Karang bahwa menjadi perajin batik bukanlah sumber penghasilan utama melainkan hanya pekerjaan sambilan, meskipun terdapat juga yang menggantungkan hidupnya dari bekerja sebagai buruh batik tetapi jumlahnya minoritas dari keseluruhan masyarakat. Petani masih menjadi pekerjaan utama sehari-hari masyarakat Karang sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa tingkat untuk berwirausaha dalam bidang kerajinan masih rendah. Tumbuhnya suatu usaha kerajinan merupakan bentuk alternatif ketika usaha pertanian di masyarakat tersebut tidak terlalu berkembang dan itu terbukti di tempat-tempat sentra usaha kerajinan seperti Laweyan dan Kotagede, bidang pertanian merupakan kelompok minoritas di masyarakat. Sedangkan di Karang sendiri justru pertanian merupakan kelompok mayoritas. Masyarakat Karang pada umumnya memandang produksi batik membutuhkan waktu yang lama dan ketelatenan serta kesabaran dalam membuatnya. Jiwa kewirausahaan yang tidak terlalu tinggi serta proses panjang yang harus dilalui mengakibatkan para generasi muda Karang tidak berminat terjun ke dalam usaha batik. Faktor ketiga yaitu, untuk membentuk sebuah sentra industri diperlukan keunikan barang yang akan diproduksi itu sendiri yang dalam hal ini adalah batik. Batik Karang perlu membuat indentitas atau ciri khusus yang bisa membedakannya dengan Batik Gedog tanpa menghilangkan unsur Batik Tuban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pujiono, dia mengatakan: “Batik Karang harus memiliki ciri khas seperti warna ekstream atau motif yang ekstream sehingga bisa mandiri dan lepas dari bayang-bayang Batik Gedog. Hal ini karena motif
yang ada di Batik Karang tidak terlalu jauh beda dengan Batik Gedog. Dengan adanya ciri khusus Batik Karang bisa dikenal oleh masyarakat luas”. (Wawancara dengan Pujiyono hari Minggu tanggal 18 November 2012)
Dengan memiliki ciri khusus Batik Karang memiliki jati diri tersendiri dan masyarakat luas bisa mudah mengetahui bahwa batik yang akan dibeli merupakan Batik Karang. Sehingga semakin mengenalkan Batik Karang dan meningkatkan penjualan. Faktor yang keempat menyangkut peran pemerintah. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan Batik Karang melalui rangkaian pelatihan, bantuan modal dan informasi pameran. Bisa jadi hal ini dalam praktiknya sudah dilakukan tetapi masih kurang optimal. Kurang optimal ini bisa disebabkan hubungan antara perajin dengan pemerintah kurang dekat sehingga kurang adanya saling bertukar informasi antara keduanya. Seharusnya ada upaya yang lebih intens lagi dari pemerintah untuk melihat sejauhmana perkembangan unit usaha Batik Karang dan memberikan solusi yang baik apabila unit usaha mengalami permasalahan seperti kurangnya pangsa pasar dan pengurusan hak cipta motif Batik Karang. Beberapa contoh Batik Karang motif kontemporer yaitu motif ikan terbang, pantai, rambatan perkutut dan kembang jati. Emi pernah mengikuti pameran seni dan budaya di luar negeri diantaranya yaitu Osaka (Jepang) pada tahun 1990, tahun 1991 di Den Haag (Belanda), tahun 1992 di Singapura dan 1993 di Amsterdam (Belanda), seperti yang tertera dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Pameran Batik Emi di Luar Negeri ( Diolah dari data lapang wawancara dengan Emi Pangesti hari Sabtu 3 Maret 2012)
No 1 2 3 4
Tahun 1990 1991 1992 1994
Tempat Pameran Osaka (Jepang) Den Haag (Belanda) Singapura Amsterdam (Belanda)
Selain di luar negeri, dia juga sering mengikuti pameran dalam tingkat lokal, pada tahun 2006 di Gedung Budaya Loka Tuban dan berhasil menyabet juara dua. Satu tahun kemudian, tahun 2007 Emi juga mengikuti kegiatan
POKDARWIS bertempat di kawasan terminal lama jalan teuku umar Tuban. Pada kegiatan ini dia berhasil mendapat juara satu dalam bidang lomba Cinderamata dengan menggunakan motif batik. Selanjutnya, Emi juga pernah mengikuti kegiatan bazar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam rangka hari jadi Provinsi Jawa Timut ke 65 yang diselenggarakan pada tanggal 12-14 Oktober 2010 dengan lokasi di Jalan Yos Sudarso Tuban. Emi juga memberi pelatihan membuat batik dalam kegiatan MGMP Seni Budaya SMP Negeri Kabupaten Tuban tahun 2010. Mengenai kegiatan tersebut, penulis menggali informasi dari Pujiyono, ketua MGMP Seni Budaya SMP Negeri di Kabupaten Tuban, dia mengatakan: “Seluruh Guru Seni Budaya SMP Kabupaten Tuban mengikuti kegiatan pelatihan batik di rumah Emi guna meningkatkan kompetensi guru. Kegiatan berlangsung selama tiga hari dan diikuti oleh sekitar lima puluh peserta. Pelatihan tersebut langsung di bawah bimbingan Ibu Emi”. (Wawancara dengan Pujiyono hari Minggu tanggal 18 November 2012)
BAHASAN Dalam menciptakan sebuah motif, perajin batik tentunya membutuhkan sumber inspirasi. Wilayah Karang yang berdekatan dengan laut dan memiliki hasil utama berupa ikan, kemudian menjadi sumber inspirasi bagi perajin batik untuk menciptakan motif ikan terbang. Penciptaan motif kembang jati juga terinspirasi dari hutan pohon jati yang luas di Tuban. Dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut bahwa lingkungan alam sekitar dari kehidupan perajin bisa menjadi sumber inspirasi dalam menciptakan motif batik. Setiap motif batik memiliki makna tersendiri bagi perajin, hal tersebut sebagai bentuk ungkapan jiwa seni yang berbeda setiap orangnya. Sebaliknya batik juga merupakan gambaran atau ekspresi masyarakat Tuban terhadap lingkungan sekitarnya baik lingkungan alam, sosial dan budaya sehari-hari seperti motif kapal kerem merupakan ekspresi jiwa seni atas sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Perkembangan zaman mempengaruhi kehidupan sosial perajin yang semakin kompleks sehingga mendorong untuk menciptakan motif baru yang lebih beragam dengan warna-warna cerah, sebagai bentuk inovasi dari motif klasik yang terikat oleh pakem tertentu dengan warna-warna gelap.
Perkembangan batik di Indonesia telah ada sejak masa Kerajaan HinduBudha dengan adanya penemuan ragam hias ceplok di dinding Candi Badut (abad VII M) dan ragam hias kawung dipatung Ken Dedes (abad XIII). Selanjutnya di masa Kerajaan Islam, ditemukan ragam hias berupa sulur-suluran yang terdapat di ornamen Masjid Mantingan Jepara dan Makam Sendang Duwur Lamongan. Hubungan perdagangan dengan bangsa Cina juga berpengaruh terhadap ragam hiasa Batik di Indonesia seperti Motif Lok Can yang menggambarkan burung Hong (Phoenix). Pada abad XVIII Raja Yogyakarta dan Susuhunan Solo mengeluarkan kebijakan mengenai motif larangan pada kain batik. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi keluarnya keputusan tersebut. Pertama, raja sebagai penguasa berusaha untuk melakukan proteksi komoditi kain batik yang dalam praktiknya fokus pada brand batik kraton. Kedua, motif larangan merupakan upaya untuk meningkatkan wibawa raja atapun penguasa dihadapan rakyatnya setelah adanya kolonialisme bangsa asing. Ketiga, adanya motif batik larangan merupakan sebuah kontrol penguasa terhadap rakyatnya. Pada masa kolonial, berkembang model Batik Belanda yang memiliki motif kupu-kupu dan bunga dengan tokohnya Eliza Van Zuylen. Pada era pendudukan Jepang, jenis batik yang berkembang adalah Batik Jawa Hokokai dengan konsep pagi-sore. Batik Indonesia mendapat kedudukan tertinggi setelah Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono menetapkan tanggal 2 Oktober 2009 sebagai hari batik nasional berdasar keputusan UNESCO. Penilaian itu dilihat dari proses pembuatan dan motif-motif batik yang mencerminkan falsafah kehidupan, serta batik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Peran keluarga Emi Pangesti dalam melanjutkan dan mengembangkan Batik Karang telah dirintis oleh Warisah pada tahun 1820. Batik yang dihasilkan masa Warisah sering disebut sebagai batik klasik atau batik jawa yang bentuknya berupa jarik, sarung dan selendang. Motif-motif dari batik klasik diantaranya Tekuk Dengkul, Kedele Kecer, Ukel, Kawung dan Udan Liris. Motif-motif tersebut sangat dipenuhi oleh nilai-nilai simbolik dan makna harapan bagi pemakainya.
Pada awalnya mereka membuat batik bukanlah dari bagian untuk mencukupi kebutuhan ekonominya tetapi sebagai bentuk pemenuhan rasa seni dari diri manusia (Soeroto:1983). Pada awalnya bagi Warisah membuat batik bukanlah pekerjaan utama melainkan hanya dilakukan ketika selesai panen hasil pertanian dan untuk digunakan sendiri atau sebagai hadiah untuk keluarga yang sedang mempunyai hajatan. Emi Pangesti merupakan tokoh yang mengembangkan motif kontemporer Batik Karang. Faktor yang berperan dalam mendukung perkembangan motif kontemporer yaitu pertama, proses produksi. Proses pembuatan batik motif kontemporer tidak serumit batik klasik, dimana waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu potong kain adalah tujuh sampai sepuluh hari. Hal ini lebih cepat dibanding batik kasik yang mencapai satu bulan untuk menyelesaikan satu potong kain. Kedua, kemudahan untuk mendapatkan zat pewarna kimia dengan beragam warna yang cerah. zat pewarna kimia membuat kain terlihat berwarna mencolok dan prosesnya lebh praktis dibanding menggunaakan pewarna alam. Ketiga, harga batik kontemporer lebih terjangkau dikalangan masyarakat umum dibanding batik klasik yang cukup mahal. Maka, dimulailah produksi batik kontemporer dan mengurangi produksi batik klasik. Akan tetapi, sebagai upaya untuk menjaga dan mempertahankan motif klasik, Ibu Emi melakukan inovasi pada motif, seperti motif klasik lung-lungan (gambar 4) dimodifikasi munculnya lung-lungan dalam motif kontemporer (gambar 5). Modifikasi terletak pada motifnya yang dibuat lebih sederhana dan warna yang lebih cerah daripada motif klasik. Sedangkan mengenai penciptaan batik motif kontemporer, hal terpenting yang harus selalu diingat lainnya yaitu mempertahankan ciri khas batik Tuban yaitu adanya bentuk isen-isen sirip. Ketrampilan membuat batik yang dimiliki oleh Emi kemudian dimiliki juga oleh Leddy Sugiarto yang merupakan putra keduanya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk proses pewarisan tradisi keluarga. Emi juga menjadi pembina sekaligus pembimbing dari Agus Gatot Wiyanto yang merupakan suami dari Lenny Sugiarti (putri pertama Emi). Pada tahun 2003 Gatot mulai merintis usaha batik, yang juga berada di Karang. Menurut Soeroto (1983) pewarisan keahlian membuat batik dapat dimulai dengan keikutsertaan anggota keluarga
untuk membantu kegiatan perintis tersebut. Apabila telah memiliki ketrampilan yang memadai dengan dilihat dari halus atau tidaknya kain yang telah dibatik, selanjutnya ia akan memulai usaha sendiri sekiranya memiliki modal usaha. Proses ini akan terus berjalan dengan demikian tumbulah kegiatan di antara banyak keluarga, sehingga akan terjadi suatu cluster kegiatan kerajinan. Pertumbuhan tersebut merupakan bagian dari pola yang berlaku di lingkungan usaha kerajinan yang tumbuh dan menjadi besar. Emi sebagai tokoh Batik Karang melakukan beberapa upaya untuk mengenalkan Batik Karang ke masyarakat luas melalui serangkaian pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu dia juga memberikan pelatihan membuat batik kepada msayarakat. Dari berbagai kegiatan inilah sering dimunculkan motif-motif baru sehingga menarik minat konsumen untuk membeli Batik Karang. Termasuk juga mendengarkan saran-saran dari konsumen mengenai motif yang dinginkan. KESIMPULAN DAN SARAN Perkembangan ragam hias motif batik dimulai sejak masa Hindu-Budha dan semakin berkembang sesuai dengan konteks waktunya. Adanya motif batik larangan pada masa kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta merupakan bentuk legitimasi kaum bangsawan terhadap rakyat biasa sehingga menimbulkan adannya tingkatan sosial dalam masyarakat. Peran keluarga Emi dalam melanjutkan dan mengembangkan eksistensi Batik Karang dilakukan dengan cara membuat inovasi motif batik dari klasik menuju kontemporer, mempertahankan Batik Karang sebagai batik tulis tradisional, mengikuti pameran baik di dalam maupun di luar negeri serta memberikan pelatihan kepada masyarakat. Penulisan sejarah keluarga dalam sebuah usaha kecil dan menengah bisa menjadi bahan kajian oleh penulis selanjutnya, tentu dengan menggunakan tema dan wilayah yang berbeda sehingga akan mucul keunikan tersendiri yang membedakannya dengan industri Batik Karang.
Daftar Rujukan Agustina, S.K. 2004. Perkembangan Industri Batik Tulis Gedog “Kestriyan” Desa Margorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban (1997-2002). Skripsi tidak diterbitkan. FS: UM. Hapsari, S.Y. 2008. Historical Antique Indonesian Batik Designs, Motifs & Patterns for Great Fashion,(Online), (http://lowlymonita.blogspot.com/2009/05/batik-oh-batik.html) diakses 27 November 2012. Hariyono, A. 2011. Sejarah (Sosial) Ekonomi Teori Metodologi Penelitian dan Narasi Kehidupan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Hidayat, R. 2004. Kajian Strukturalisme Simbolik Mitos Jawa Pada Batik Berunsur Alam. Bahasa dan Seni, 32 (2): 286-304. Jauhari, N. 2012. Motif batik Indonesia, (Online), (http://motifbatikindonesia.blogdetik.com/files/2012/02/batiksawat1.jpg) diakses 24 November 2012. Khitley, P. 1987. Batik dan Kebudayaan Popular. Prisma, 16 (V) : 54-70. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kusumawardani, F.2006. Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional Di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000. Skripsi tidak diterbitkan. FIS:UNNES, (Online), (http://koleksi.pustakaskripsi.com/dl.php?f=1535.pdf) diakses 27 November 2012. Lewis, O.1959. Kisah Lima Keluarga:Telaah-Telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Terjemahan Rochmulyati H. 1988. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mistaram. 2008. Fungsi dan Makna Simbolik Ragam Hias Batik Pesisiran. Malang: UM. Paguyuban Pecinta batik Indonesia Sekar Jagad. 2006. Rona Batik Tuban, Mantap, Menawan. Yogyakarta: Paguyuban Pecinta batik Indonesia Sekar Jagad. Purba dkk, A. 2005. TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia). Jakarta: Rineka Cipta. Qamariyah, D. 2011. Sejarah Industri Batik Jetis Sidoarjo (2008-2012). Skripsi tidak diterbitkan. FIS: UM. Raffles, T.S. Tanpa tahun. The History Of Java. Terjemahan Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah. 2008. Yogyakarta: Narasi. Ratnawati, I. 2011. Batik Gajah Oling Banyuwangi. Pustaka Kaiswaran & FS : UM. Rustopo. 2008. Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjoanagara. Yogyakarta: Ombak & Yayasan Nabil. Soeroto. 1983. Sejarah Kerajinan di Indonesia. Prisma, 8 (XII): 20-30. Sumarni. 2003. Bentuk Ragam Hias dan Proses Pewarnaan Batik Tulis Karang di Tuban. Skripsi tidak diterbitkan FBS:UNESA. Syamsuddin, H. 2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Thomphson, P. 1978. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Terjemahan Windu W Yusuf. 2012. Yogyakarta: Ombak. Tirta, I. 1985. Simbolisme Dalam Corak dan Warna Batik. Femina.28 (XIII): 123. Tokohsurakarta. 2008. H Santoso Doellah Menancapkan Icon Batik, (Online), (http://tokohsurakarta.wordpress.com/2008/08/25/h-sanoso-doellahmenancapkan-icon/) diakses 10 Oktober 2012. Wibowo, D & Hutagalung, M. H. 2001. Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan Kotagede (Kajian Pendahuluan Pemberdayaan Situs Kotagede Sebagai Aset Pariwisata). Jurnal Ilmu Pariwisata, (Online) 6 (1): 51-57, (http//www. isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/61015157.pdf) diakses 16 November 2012. Wulandari, A. 2011. Batik Nusantara.Yogyakarta: Andi.