Sejarah, Agama dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Oleh: Alpha Savitri
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Kata Pengantar Syukurlah, akhirnya ebook berjudul Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo ini selesai. Sesungguhnya ini merupakan catatan sederhana, yang berisi panduan awal bila sobat ingin memperdalam sejarah, agama, dan tradisi Suku Tengger. Saya menulisnya sambil “menjahit sana-sini” dari beberapa sumber, baik buku, blog, website, maupun brosur biro perjalanan. Kenapa saya ingin menulis catatan sederhana ini? Karena menurut saya, Bromo dan Suku Tengger sangat terkenal. Siswa-siswi baik tingkat dasar maupun menengah juga sering mencari bahan bacaan tentang Suku Tengger. Biro perjalanan wisata pun rajin mempromosikan daerah ini. Ketika kita berselancar di internet, banyak sekali tulisan dan foto tentang Suku Tengger, adat dan agama. Namun catatan-catatan tentang sejarah, agama, dan tradisi Suku Tengger lebih banyak berserakan dan untuk menjadikannya sebagai gambar besar di pikiran, kita masih harus menjahitnya satu per satu. Alangkah baiknya bila saya bisa menambah referensi tentang Tengger di internet, Saya ingin menyatukan mosaik-mosaik tentang suku Tengger tersebut sehingga sobat yang memerlukan “gambar besar” tentang suku Tengger bisa difasilitasi. Saya tahu jahitan-jahitan saya ini belum rapi benar dan masih banyak kekurangannya. Saya ingin terus merevisi dan mengupdate catatan sederhana saya ini bila ada info-info terbaru yang menurut saya penting untuk diketahui. Bila sobat memiliki pandangan tentang bagaimana catatan sederhana ini perlu diperbaiki, atau sobat memiliki bahan-bahan yang bisa memperkayanya, mohon di-sharing-kan. Terima kasih atas kesediaannya mendownload, membaca dan mungkin sharing tentang materi ini. Awal Februari 2010 Alpha Savitri
2
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Daftar Isi Kata Pengantar
2
Sejarah, Agama dan Tradisi Suku Tengger
4
I.
Nenek Moyang: Rara Anteng dan Jaka Seger
5
II.
Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo
7
III.
Kisah Baju Antrakusuma
8
IV.
Dukun: Pimpinan Agama dan Adat Suku Tengger
8
V.
Macam-macam Upacara Adat Suku Tengger V.1. Upacara Kasada V.2. Upacara Karo V.3. Upacara Unan-Unan V.4. Upacara Kapat V.5. Upacara Kawulu V. 6. Upacara kasanga V.7. Upacara Mayu Desa
9 9 10 11 12 12 13 13
VI. Konsep tentang Manusia VI.1. Hamil, Lahir, Pernikahan VI.2. Kematian
14 14 15
VII. Lain-lain
16
VIII Penutup
17
Daftar Pustaka
18
3
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Sejarah, Agama dan Tradisi Suku Tengger Suku Tengger yang beragama Hindu hidup di wilayah Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Pada tahun 1985 jumlah mereka sekitar 40 ribu. Ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis, Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan adat dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering budi luhur. Artinya tanda bahwa warganya memiliki budi luhur. Makna lainnya adalah: daerah pegunungan. Tengger memang berada pada lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada pula pengaitan tengger dengan mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Selain itu, di wilayah ini terdapat pula cerita tentang Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo. Kisah lainnya menyangkut Ajisaka aksara Jawa, juga kisah Klambi Antrakusuma. Sejarah Tengger dari sisi ilmiah erat kaitannya dengan Prasasti Tengger bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat Prasasti Penanjakan bertahun 1324 Saka (1402 Masehi). Disebutkan sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Karena itulah kawasan Tengger merupakan tanah perdikan istimewa yang dibebaskan dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit. Masyarakat Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan tradisional. Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali. Nancy J. Smith, seorang peneliti menyatakan, mantra-mantra yang dipakai dalam upacara mirip juga dengan mantra Budha sehingga masyarakat luas juga menyatakan bahwa suku Tengger beragama Budha. Namun menurut Nancy, Budha di sini bukan dalam pengertian agama, melainkan istilah yang lazim dipakai masyarakat Jawa untuk menyebut agama sebelum Islam. Memang, pada zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha. Pada abad ke14 setelah masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum menganut Islam.
4
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Kaum Tengger dikenal taat beribadah dan menjalankan adat istiadat dengan baik. Tak heran banyak cerita lama, mitos, dan legenda dari daerah ini. Ilmuwan Asing pun juga menelusuri sejarah Masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger menghayati sesanti “Titi Luri” ((“Titi Luri”, berarti mengikuti jejak para leluhur atau meneruskan Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat nenek moyang secara turun temurun). Jadi Setiap upacara dilakukan tanpa perubahan, persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Tidak terbatas laki-laki, namun wanitapun juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua berkain sarung.
I. Nenek Moyang Kaum Tengger: Rara Anteng dan Jaka Seger Sebagaimana disebut di atas, Tengger biasa dikaitkan juga dengan mitos masyarakat tentang suami istri yang merupakan cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Sehingga bila nama keduanya diringkas menjadi: Tengger. Alkisah, pada zaman dahulu, ada seorang putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri Kerajaan Majapahit. Namanya Rara Anteng. Karena situasi kerajaan memburuk, Rara Anteng mencari tempat hidup yang lebih aman. Ia dan para punggawanya pergi ke Pegunungan Tengger. Di Sendratari Rara Anteng – Joko Seger Desa Krajan, ia singgah satu windu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Rara Anteng kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Bromo. Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini, Joko Seger mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan.
5
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Joko Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya ke kediamannya. Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuat serong dengan Joko Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu. Lamaran diterima. Resi Dadap Putih mengesahkan perkawinan mereka. Sewindu sudah perkawinan itu namun tak juga mereka dikaruniai anak. Mereka bertapa 6 tahun dan setiap tahun berganti arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan Joko Seger. Ada pawisik mereka akan dikaruniai anak, namun anak terakhir harus Sendratari Rara Anteng – Joko Seger dikorbankan di kawah Gunung Bromo. Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma. Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu mereka. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudarasaudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti hasil bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga tempat-tempat lain. Maka setiap tanggal 14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden Kusuma beragam hasil ladang ke kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada. Dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger – Rara Anteng. Berikut ini nama-nama 25 anak Joko Seger – Rara Anteng. Mereka dihubungkan dengan tempat-tempat yang dianggap keramat di Bromo dan sekitarnya. 1. 2. 3. 4.
Tumenggung Klewung (Gunung Ringgit) Sinta Wiji (Gunung Kidangan) Ki Baru Klinting (Lemah Kuning) Ki Rawit (Gunung Sumber Semani)
6
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Jinting Jinah (Gunung Jinahan) Ical (Gunung Pranten) Prabu Siwah (Gunung Lingga) Cokro Pranoto Aminoto (Gunung Gendera) Tunggul Wulung (Cemoro Lawang) Tumenggung Klinter (Gunung Penanjakan) Raden Bagus Waris (Watu Balang) Ki Dukun (Watu Wungkuk) Ki Pranoto (Poten) Ni Perniti (Gunung Bajangan) Petung Supit (Tunggukan) Raden Mas Sigit (Gunung Batok) Puspa Ki Gentong (Widodaren) Kaki Teku Niti Teku (Guyangan) Ki Dadung Awuk (Banyu Pakis) Ki Demeling (Pusung Lingker) Ki Sindu Jaya (Wonongkoro) Raden Sapujagad (Pundak Lemdu) Ki Jenggot (Rujag) Demang Diningrat (Gunung Semeru) Raden Kusuma (Gunung Bromo)
II. Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo Di wilayah pegunungan di Tengger, kita mengenal adanya Gunung Batok, Lautan Pasir, dan Kawah Gunung Bromo yang terkenal. Ternyata mereka punya asal-usul dan sejarah dalam bentuk legenda. Dan legenda tersebut nggak jauh-jauh dari tokoh Rara Anteng. Sebelum Rara Anteng dinikahi Joko Seger, terdapat Kyai Bima, penjahat sakti yang naksir. Rara Anteng tidak bisa menolak begitu saja lamaran itu. Ia menerimanya dengan syarat, Kyai Bima membuatkan lautan di atas gunung dan selesai dalam waktu semalam. Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah untuk membuat lautan dengan menggunakan tempurung (batok) yang bekasnya sampai sekarang menjadi Gunung Bathok, dan lautan pasir (segara wedhi) terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo. Untuk mengairi lautan pasir tersebut, dibuatnya sumur raksasa, yang bekasnya sekarang menjadi kawah Gunung Bromo. Rara Anteng cemas melihat kesaktian dan kenekatan Kyai Bima. Ia segera mencari akal untuk menggagalkan minat Kyai Bima atas dirinya. Ia pun
7
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
menumbuk jagung keras-keras seolah fajar telah menyingsing, padahal masih malam. Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bangun dan berkokok. Begitu pula burung. Kyai Bima terkejut. Dikira fajar telah menyingsing. Pekerjaannya belum selesai. Kyai Bima lantas meninggalkan Bukit Penanjakan. Ia meninggalkan tanda-tanda: 1.Segara Wedhi, yakni hamparan pasir di bawah Gunung Bromo 2.Gunung Batok, yakni sebuah bukit yang terletak di selatan Gunung Bromo, berbentuk seperti tempurung yang ditengkurapkan. 3.Gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger, yaitu: Gunung Pundaklembu, Gunung Ringgit, Gunung Lingga. Gunung Gendera, dan lain-lain.
III. Kisah Baju Antrakusuma Tersebutlah dua orang bernama Mbah Tunggak dan Mbah Tampa. Mereka bertapa di Gua Purwana, sebelah timur pedukuhan Baledono. Saat tengah malam mereka melihat benda di angkasa. Benda itu mereka ikuti. Akhirnya benda itu turun di Tunggul Wulung, kurang lebih 1 km dari Tosari ke arah Ngadiwono. Benda itu berhasil dipegang, namun lepas dan terbang kembali. Saat itu benda yang ternyata Baju Antrakusuma tersebut berkata: aku gelem dienggo, ning rumaten sing apik (aku mau dipakai, tapi pelihara dengan baik). Kini benda itu tak ada lagi. Konon dijual Dukun Tosari bernama Pak Kamar. Saat meninggal jasad Pak Kamar hancur membusuk dalam waktu singkat. Istilah Antrakusuma dipakai di Kabupaten Pasuruan: Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono. Sedangkan istilah Antakusuma dipakai di Kabupaten Probolinggo, seperti Ngadas, Ngadisari, dan Sukapura.
IV. Dukun: Pimpinan Agama dan Adat Kepala kelompok-kelompok masyarakat disebut Dukun. Dukun sebagai pimpinan Agama sekaligus sebagai Kepala Adat, bertugas dan bertanggung jawab memimpin upacaraupacara adat. Dalam menunaikan tugasnya, Dukun dibantu oleh beberapa orang petugas yaitu: Wong Sepuh, bertugas sebagai pembantu dalam menyiapkan sesaji upacaraupacara kematian. Legen, bertugas membantu
Penobatan Tamu Kehormatan
8
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
mempersiapkan peralatan dan sesaji pada upacara perkawinan. Dukun Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur remaja. Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam Agama Islam. Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedikit kulit ujung penis. Dukun Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan. Memperhatikan betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka ditetapkan setiap desa dikepalai seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga dengan persyaratan tertentu, yaitu : (1). Laki-laki sudah menikah, (2). Keturunan Dukun / titisan darah, (3). Dapat menguasai semua mantera / adat istiadat. Ujian calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan bertepatan dengan Yadnya Kasada.
V. Macam-macam Upacara Adat Suku Tengger V.1. Upacara Kasada Upacara ini sangat terkenal di kalangan wisatawan. Bromo seolah identik dengan Kasada. Padahal masih banyak upacara penting lain untuk Suku Tengger. Kesada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Upacara ini dilakukan pada tanggal 14 dan 15 bulan Purnama pada bulan keduabelas. Inilah yang disebut Kasada. Pelaksanaannya di Lautan Pasir, sisi Utara kaki Gunung Batok, dan upacara pengorbanannya di tepi kawah Puncak Bromo. Upacara ini sering disebut sebagai upacara Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran. Menurut Prof. Dr, Simanhadi Widyaprakosa, akademisi yang meneliti tengger, dalam bukunya Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo , sesajen Pulang Mengambil "Air Suci" dari Gowa persembahan disebut gunung Widodaren Ongkek terdiri dari 30 macam buah-buahan dan kue. Ongkek inilah yang akan dibuang di kawah
9
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Gunung Bromo. Bahan pembuatan ongkek diambil dari desa yang selama setahun tidak memiliki warga yang meninggal. Upacara Kasada juga dipakai untuk mewisuda calon dukun baru. Disebut Diksa Widhi. Di samping itu ada pula upacara penyucian umat yang disebut palukatan. V.2. Upacara Karo Upacara ini bertujuan untuk kembali ke Satyayoga, yakni kesucian. Upacara Karo juga merupakan upacara besar. Paling besar setelah Kasada. Masyarakat Tengger mempercayai, pada Hari Raya Karo inilah Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) menciptakan “Karo”, yakni dua manusia berjenis lelaki dan perempuan sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. Upacara Karo dilaksanakan 12 hari. Masyarakat Tengger mengenakan pakaian baru, perabot baru. Makanan dan minuman melimpah pada hari raya mereka. Antarkeluarga saling mengunjungi. Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka. Upacara Karo di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai refleksi sifat dan sikap kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga. Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama masehi), ada seorang pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan pelajaran susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah: Dora dan Sembada. Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-tempat suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini sangat indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan bawaan berharga sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Ternyata yang harus menjaga barang adalah Dora. Sebelum berangkat Ajisaka menitipkan Keris Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan pada siapa pun kecuali ia. Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak. Di Medang tempat mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor bergiliran padanya. Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu akan dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar
10
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
berita itu dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk menjadi korban. Sampai di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat pemuda tampan dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum dijadikan korban, Saka meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan rakyat. Permintaan itu dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu tidak ada habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya sampai ke sebuah mulut tebing. Jatuhlah ia. Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji Saka. Rakyat hidup bahagia. Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah Sembada untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau Majesti, Sembada dan Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat kedatangannya untuk mengambil keris dan barang-barang. Dora menolak memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak memberikan keris itu kepada siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang disusul perkelahian. Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama kuat, sama jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati, Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas tusukan Pusaka Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk memperingati pengabdian dua muridnya. Bunyinya: Hanacaraka: Ada utusan Datasawala: Saling bertengkar Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti) Magabathanga: Mereka menjadi bangkai. V.3. Upacara Unan-Unan Upacara ini setiap lima tahun sekali. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.
11
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Unan-unan berasal dari istilah tuna alias rugi. Unan-unan berarti melengkapi kerugian dengan upacara. Apa sih yang dianggap rugi? Ini berhubungan dengan perhitungan hari orang-orang Tengger. Ada hari-hari yang harus digabungkan sehingga dianggap rugi. Indosiar.com melansir, Unan-unan juga dipakai sebagai sarana mengusir makhluk halus sekaligus untuk menyelamatkan desa dari malapetaka. Unan - Unan menyempurnakan kekurangan atau perbuatan yang telah merugikan kehidupan. Ritual Unan - Unan diawali dengan mengarak sesaji berupa kepala kerbau dari Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo menuju sanggar pemujaan ditempat pendiri desa (punden). Seluruh tokoh agama, tokoh desa dan warga suku Tengger berpakaian adat ikut serta dalam arak - arakan dengan diiringi gamelan Jawa dan tarian Reog. Doa - doa dan mantra dibacakan sepanjang perjalanan menuju sanggar pemujaan. Cara ini dilakukan agar seluruh makhluk halus tidak mengganggu sepanjang ritual berlangsung. Setibanya disanggar pemujaan dukun dan para tokoh adat mengambil tempat untuk melakukan sembahyangan dan memantrai air suci. Air suci itulah yang kemudian ditabur kepada seluruh peserta upacara adat, sebagai simbol pengusiran kesilauan hidup. Ritual Unan - Unan ternyata juga bertujuan menyempurnakan para arwah yang belum sempurna untuk kembali ke alam asalnya. Ritual Unan - Unan biasanya dilaksanakan serentak di lima desa disekitar lereng Bromo, yaitu Desa Ngadisari, Jetak, Wonokriti, Wonokerso dan Sukapura. V.4. Upacara Kapat Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin. V.5. Upacara Kawulu Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
12
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
V. 6. Upacara Kasanga Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger. V.7. Upacara Mayu Desa Upacara Mayu Desa yang dilakukan suku Tengger di Desa Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, intinya ada dua, yakni Mayu Banyu dan Mayu Desa. Sebagaimana dilansir beritabaru.com, Upacara tradisi Mayu Banyu dilakukan untuk melestarikan sumber air sebagai sumber kehidupan warga suku Tengger di Gunung Bromo. Sedangkan upacara tradisi Mayu Desa dilakukan agar warga masyarakat serta desa yang ditinggalinya aman dari sengkala (bencana). Upacara tradisi Mayu Banyu dan Mayu Desa dilakukan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaannya selalu dilakukan bertepatan dengan penutupan Hari Raya Karo, yakni Hari Raya bagi suku Tengger di Gunung Bromo. Upacara tradisi Mayu Desa masih tetap lestari di Desa Wonokitri, karena warga tetap setia melaksanakannya, meski biayanya cukup besar bagi sebagian besar petani di sana. Untuk menyelenggarakan upacara tradisi Mayu Desa di Wonokitri, setiap kepala keluarga dikenai biaya Rp211.000, sedangkan jumlah KK di Desa Wonokitri sebanyak 674 keluarga. Prosesi upacara tradisi Mayu Desa dimulai dari Balai Desa Wonokitri. Seluruh warga yang dipimpin para Dukun Pandita melakukan kirab keliling desa dengan membawa berbagai sesaji di dalam banten, serta ancak. Sejaji itu kemudian dibawa ke pura setempat untuk dibacakan mantera-mantera. Kurban biasanya seekor kerbau dan dua ekor kambing. Kepala kerbaunya ditanam di tengah simpang empat jalan desa. Sedangkan dua kepala kambing dibuang ke jurang di perbatasan desa. Berbagai sesaji yang telah dibacakan mantera di pura, juga dimakan para umat yang mengikuti upacara traisi tersebut dan sebagian dibuang ke dasar jurang di batas desa yang dianggap keramat. Yang menarik selain sesaji, dalam setiap prosesi upacara juga disajikan tarian tradisional tandak, serta minuman bir. Upacara tradisi Mayu Desa selain diawali dengan sembahyang di pura, juga dilakukan upacara di tempat-tempat yang dianggap keramat bagi warga suku
13
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Tengger di Desa Wonokitri, yakni di penampungan air yang dianggap sebagai instalasi vital bagi warga suku Tengger, serta di jurang yang dianggap keramat.
VI. Konsep tentang Manusia Bagi kaum Tengger, konsep tentang manusia erat kaitannya dengan siklus kehidupan: kehamilan dan kelahiran, perkawinan serta kematian. Momenmomen itu selalu dirayakan dengan upacara adat. VI.1. Hamil, Lahir, Pernikahan Pada saat ibu hamil 7 bulan dirayakan dengan Upacara Sesayut. Kelahiran disambut dengan upacara untuk memberitahukan tanah tempat kelahiran. Cuplak Puser (lepas pusar), dirayakan dengan upacara Kekerik dan pada usia 4 tahun ditandai dengan upacara Tugel Kuncung (pemotongan rambut) bagi anak perempuan dan Tugel Gombok bagi anak laki-laki. Perkawinan kembali dirayakan dengan upacara Walagara. Perkawinan merupakan sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut dua orang yang memadu cinta saja tetapi perkawinan juga melibatkan dua keluarga dan masyarakat secara umum. Menurut kepercayaan Masyarakat Tengger, peristiwa perkawinan juga diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Sebelum upacara perkawinan dimulai, didahului dengan acara nelasih atau ziarah kubur dan memberikan tetamping atau sesaji. Perkawinan Masyarakat Tengger umumnya masih berlaku antara kalangan mereka sendiri (endogami). Bila calon mempelai wanita Tengger akan menikah dengan pria non Tengger, maka pelaksanaanya harus mengikuti adat Tengger dan menikah dengan acara agama Hindu. Kalau laki-laki Tengger menikah dengan gadis di luar masyarakat Tengger (non Tengger), misalnya menikah dengan gadis Islam, maka perkawinan boleh menurut agama Islam atau sebaliknya. Meskipun ia telah menikah secara non Tengger, tetapi masih diakui sebagai “sedulur” (keluarga) dan tetap dianggap sebagai warga Tengger. Umumnya pemuda Tengger mencari jodoh atau istri sendiri. Hari perkawinan tidak lepas dari perhitungan weton (hari kelahiran) calon mempelai seperti dalam adapt perkawinan Jawa. Jumlah neptu kelahiran mempelai bila dibagi tiga tidak boleh habis dan yang terbaik bila sisa dua. Tahap selanjutnya apabila kedua orang tua telah setuju, maka calon mempelai laki-laki sendiri yang datang melamar, diantar orang tuanya. Dalam lamaran tidak ada barang “peningset” seperti pada masyarakat Jawa, sebab menurut anggapan mereka, peningset itu merupakan barang pinjaman atau hutang. Biasanya sebelum hari perkawinan, pihak keluarga mempelai laki-laki datang lagi ke rumah calon besan dengan
14
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
membawa beras dan bahan-bahan mentah lainnya. Pelaksanaan perkawinan bertempat di rumah keluarga mempelai wanita, umumnya pada pagi hari. Mempelai laki-laki duduk di sebelah kanan dukun, sedangkan wali mempelai perempuan duduk di sebelah kirinya. Di depan mereka tersedia seperangkat sesaji terdiri dari 5 piring jenang merah-putih, 1 piring arang-arang kambang, 7 piring nasi dan telur, satu sisir pisang ayu (pisang raja), 7 buah nasi golong dan telur, uang secukupnya. Sambil membaca mantra, tangan kiri dukun memegang tangan kanan wali, tangan kanannya memegang tangan kanan mempelai laki-laki. Baik mempelai laki-laki maupun wali disuruh menirukan ucapan dukun. Ada kalanya perkawinan terpaksa dibatalkan karena sesuatu sebab, misalnya: Karena hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah (neneknya nenek). Dadung kepuntir. Contoh, A, B dan C masing-masing mempunyai anak lakilaki dan juga anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah. Tetapi kalau anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak lakilaki B kawin dengan anak perempuan C dan anak laki-laki C kawin dengan anak perempuan A, maka perkawinan semacam ini tidak diperbolehkan. Papakan Wali. Contohnya, A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan anak laki-laki B kawin mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan demikian disebut papagan wali dan tidak diijinkan. Kesandung watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan ada keluarga dekat yang meninggal dunia, maka perkawinan harus dibatalkan. VI.2. Kematian: Upacara Entas-entas Masyarakat Hindu di Tengger tidak mengenal pembakaran mayat seperti di Bali, tetapi melakukan pembakaran boneka berpakaian yang dilambangkan manusia yang meninggal ditempat pembakaran setelah mayat dimakamkan. Sesudah dimandikan dengan air yang dimantrai oleh dukun, mayat orang meninggal lalu dikafani kain putih tiga lapis, kemudian diusung dengan ancak terbuat dari bambu, dikubur membujur ke timur dan terlentang. Upacara Entas-entas
15
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Selanjutnya diadakan upacara “misahi”, yaitu perpisahan antara orang yang meninggal dengan keluarganya, dipimpin seorang dukun. Selanjutnya setelah 44 hari atau lebih diadakan Upacara “Entas-Entas”. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon ampun kepada Sang Maha Agung agar arwah almarhum yang masih “Nglambrang” (melayang-layang tak menentu) segera dapat masuk surga. Pada upacara entas-entas ini dibuat boneka yang terbuat dari dedaunan, bunga kenikir dan janur kuning yang menggambarkan jasad almarhum. Boneka tersebut disebut petra. Petra diberi pakaian dari pakaian asli almarhum yang dientas. Banyaknya petra yang dientas juga menurut jumlah orang yang meninggal. Dukun membacakan mantra pendahuluan selama lebih dari satu jam sambil membunyikan genta kecil. Di depan dukun ada beberapa anak kecil tidak memakai baju, dikerudungi kain putih. Jenis kelamin dan jumlah anak-anak menurut jenis kelamin dan jumlah yang dientas. Selama dukun membaca mantra, kira-kira baru separuhnya, ibu dukun dibantu beberapa lainnya menanak nasi dengan api dari buah jarak. Selanjutnya dukun membakar sedikit ujung rambut anak-anak tadi, lalu menjarumi kain putih yang dijadikan kerudung. Dukun hanya menirukan gerakan orang menjarum, tetapi tanpa benang. Setelah selesai, dukun menaruh beras dikepala anak-anak tadi, kemudian mengambil itik dan ayam putih mulus, dipatuk-patukan pada beras dikepala anak-anak tadi. Legen memecah buah kelapa dengan parang didepan pintu rumah. Acara terakhir dibacakan mantra penutup oleh dukun, kemudian petra-petra tersebut dibawa ke tempat danyang (tempat peleburan) untuk dibakar. Rupanya pembakaran petra dimaksudkan sebagai pengganti upacara ngaben.
VII. Lain-lain: Orang Tengger Mereka berbahasa Jawa Tengger, agak berbeda dengan bahasa Jawa umumnya di Jawa Timur. Mereka mengenal semedi, puasa ngebleng (tidak makan tidak minum sama sekali), puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih saja), yang biasa dilakukan oleh orang Jawa pada masa lalu. Dasar perhitungan yang digunakan untuk tanggal, bulan dan nama hari, nama bulan bersifat khas dan berlaku khusus bagi masyarakat Hindu di Tengger. Meskipun sebulan berjumlah 30 hari seperti pada umumnya, Masyarakat Tengger hanya mengenal tanggal 1 sampai tanggal 15. Selanjutnya untuk tanggal 16 sampai tanggal 30 disebut panglong 1 sampai
16
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
panglong 15. Jadi perhitungan tanggal didasarkan pada munculnya bulan Sabit hingga Bulan Penuh (Purnama). Tatkala bulan berjalan susut (berkurang) yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan 30 disebut panglong. Urutan nama hari ia-lah : 1. Soma (Senin), 2. Anggara (Selasa), 3. Budha (Rabu), 4. Wrespati (Kamis), 5. Sukra (Jum’at), 6. Tumpek (Sabtu), 7. Radite (Minggu). Perhitungan tahun yang dipergunakan adalah Tahun Caka (Saka), 1 Tahun 354 hari terbagi atas 12 Bulan dengan nama-nama bulan sebagai berikut : 1. Bulan Kasa, 2. Bulan Karo, 3. Bulan Katiga, 4. Bulan Kapat, 5. Bulan Kalima, 6. Bulan Kanem, 7. Bulan Kapitu, 8. Bulan Kawolu, 9. Bulan Kasanga, 10. Bulan Kasepuluh, 11. Bulan Desta, 12. Bulan Kasada. VIII. Penutup Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada semua pihak yang ikut berkontribusi, baik tulisan maupun foto pada e-book ini.
17
Sejarah, Agama, dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo Alpha Savitri
[email protected]
Daftar Pustaka Sumber Foto-foto: Cover Sampul: - Foto Warga Tengger: www.probolinggokab.go.id - Foto Upacara Agama dan adapt: www bpkp.go.id Foto halaman dalam: www.problolinggokab.go.id Sumber Penulisan: Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa, Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo, Kanisius, 1994 www.probolinggokab.go.id www.blog-sejarah.blogspot.com www.beritabaru.com www.indosiar.com Bila ingin lebih detail mempelajari tentang masyarakat Tengger dan Gunung Bromo, buku hasil penelitian di bawah ini bisa jadi pertimbangan memperkaya pemahaman: 1. Nancy J. Smith dan Robert W. Hefner, Masyarakat Tengger dalam Sejarah Nasional Indonesia, National Science Foundation, USA 2. Robert W. Hefner, Hindu Javanese, Tengger Tradition and Islam, Princeton University Press, 1985
18