WAWASAN BUDAYA NUSANTARA “SUKU TENGGER” Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara Dosen Pengampu Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn
Disusun oleh : HARI SETIAWAN
NIM. 14148121
MENTARI RATNASARI
NIM. 14148102
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan Makalah tentang kebudayaan tradisional pada suku-suku di indonesia khususnya Suku Tengger yang terletak di kaki Gunung Bromo. Masyarakat Tengger merupakan potret hidup masyarakat yang memiliki semangat hidup yang kuat dan juga memiliki kepatuhan dan kesetiaan pada adat dan tradisi yang luar biasa. Hampir semua adat, upacara, norma dan nilai yang mereka anut sejak lama masih tetap hidup dan dipertahankan. Pola kebudayaan yang menjadi dasar interaktif sosial inilah yang menjadi modal sosial sebagai penentu dan dasar kehidupan masyarakat yang teratur pada masyarakat Tengger. Akhir kata, terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kami. Amin.
Surakarta, 19 September 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Geografis dan Kependudukan ........................................................... 2 C. Persebaran dan Perkembangan Etnis Tengger ................................... 4
II. WUJUD BUDAYA A. Budaya Ide/Konsep ........................................................................... 7 B. Budaya Tindakan/Aktivitas ............................................................... 11 C. Budaya Artefak .................................................................................. 20
III. PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 26 B. Saran .................................................................................................. 26 DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Begitu banyak suku-suku yang dimiliki oleh bangsa kita Indonesia dengan beragam budaya yang terjaga turun temurun. Tak terkecuali suku Tengger, suku dengan keberagaman budaya yang unik dan tetap memegang teguh adat serta pola kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Menurut Supriyono (dalam Abdullah Masmuh, 2003:107) Konsep hidup masyarakat adat Tengger adalah mengikuti ajaran tentang sikap hidup dengan Sesanti panca setya, yaitu setya budaya (taat, tekun, mandiri), setya wacana (setia pada upacara/perkataan), setya semaya (setia/menepati janji) setya laksana (patuh dan taat), dan setya mitra (setia kawan). Ajaran ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat adat Tengger. Tampak pada kehidupan sehari-hari sifat-sifat taat, tekun, kerja keras, toleransi dan gotong royong serta tanggung jawab baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan bersama. Budaya warisan turun temurun dari nenek moyang terus di pegang teguh dan dilestarikan oleh masyarakat Tengger. Tempat tinggal yang lumayan jauh dan terpencil dari suasana hiruk pikuk kota, memberikan keuntungan
sendiri
bagi
masyarakat
Tengger
untuk
tetap
teguh
mempertahankan tradisi nenek moyang mereka dari berbagai ancaman seperti halnya pengaruh modernitas dari wilayah luar. Namun hal ini juga membatasi arus informasi maupun pengetahuan yang masuk dari luar masyarakat Tengger. Menurut Abdullah Masmuh (2003:143) masyarakat ini tingkat perkembangan
pengetahuannya
masih
sangat
terbelakang.
Penyebab
keterbelakangan ini antara lain :
1
a. Tempat tinggal mereka kebanyakan di daerah yang terpencil, menyebar di bukit-bukit yang jaraknya saling berjauhan. b. Tidak lancarnya komunikasi dan transportasi, sehingga segala informasi khususnya yang bersifat pembaruan dan inovasi sulit dijangkau c. Sikap masyarakat yang masih tertutup, khususnya terhadap segala bentuk pembaruan Namun terlepas dari itu semua, seperti halnya pergantian waktu di era saat ini, masyarakat adat Tengger secara perlahan sudah mulai terbuka terhadap perubahan dan sedikit demi sedikit mulai mendapat informasi maupun pengetahuan dari luar wilayah suku Tengger. Dan mereka tetap dengan mempertahankan tradisi dan warisan budaya dari nenek moyangnya. Hal ini diartikan bahwa tradisi yang selama ini ada tidak tergerus oleh arus perubahan zaman, baik secara fisik maupun budaya. Demikian juga arus pembangunan yang semakit meningkat dan terus terjadi tidak dengan serta merta
meluluhlantahkan
kekhasan
budaya
yang
ada,
tetapi
justru
memperkaya.
B. Geografis dan Kependudukan Negara kepulauan indonesia, yakni negara dengan ragam budaya dan tradisi yang masih terjaga dengan baik. Menurut Colin Barlow (2002:12) Indonesia terdiri atas 17.508 pulau yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa sepanjang lebih dari 5.000 km. Kira-kira 300 suku mendiami pulau-pulau ini dan berbicara dengan sekitar 583 bahasa dan dialek yang berbeda. Suku Tengger hanyalah sebagian kecil dari ratusan suku yang ada di indonesia. Penduduknya bertempat tinggal di sekitar daerah kabupaten Pasuruan, kabupaten Probolinggo, dan kabupaten Malang. Suku yang paling dekat dengan suku Tengger adalah suku Jawa akan tetapi ada perbedaan dari keduanya, terutama pada bentuk kebudayaannya. Pendapat lain dikemukakan 2
oleh Vico SJ (2008) Luas daerah Tengger terbentang dari arah Utara ke Selatan sekitar 40 km dan dari arah Timur ke Barat sekitar 30 km dan berada pada ketinggian antara 1000 - 3676 m di atas permukaan laut. Secara administratif pegunungan Tengger terletak di daerah pertemuan empat kabupaten di provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang. Antara Kaldera Tengger adalah lautan pasir terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggan 3676 m.
Gambar 1. Peta lokasi Gunung Bromo Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1063/Hindu-mahayana-agamasuku-Tengger
Lokasi geografis suku Tengger yang demikian akan sangat berperan besar dalam membentuk kebudayaan pada masyarakat suku Tengger. Sementara itu setiap lingkungan di suatu tempat yang berbeda merupakan salah satu faktor juga yang akan mempengaruhi baik terhadap pola hidup maupun kepercayaan dari masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Kondisi lingkungan suku Tengger yang berada di kaki gunung mempengaruhi kepercayaan penduduknya terhadap makna sebuah gunung. Bagi suku Tengger, Gunung Brahma atau yang biasa disebut dengan Bromo dipercaya
3
sebagai gunung yang suci. Penduduk suku Tengger sangat menghormati Gunung Bromo, mereka mempercayai bahwa nenek moyang mereka berada di dalam Gunung Bromo tersebut. Sehingga banyak dari upacara yang mereka lakukan adalah bagian dari pemujaan nenek moyang yang dilakukan di kaki Gunung Bromo.
C. Persebaran dan Perkembangan Etnis Tengger Suku Tengger, satu dari banyaknya suku-suku di indonesia dengan kekayaan dan keberagaman budaya yang harus dilestarikan. Suku Tengger merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi norma, aturan serta sopan santun antar individu dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Menurut Taufik Abdullah (2002:78) Pengungsi majapahit dan masyarakat di pegunungan itu menjadi leluhur orang Tengger (Wong Tengger) masa kini. Meski orang Jawa kini telah beralih agama, ada sekitar 50.000 orang Tengger yang menempati 28 daerah pemukiman merupakan satu-satunya masyarakat Jawa yang memelihara tradisi kepercayaan bukan islam yang diturunkan langsung dari agama jiwa masa majapahit.
Gambar 2. Beberapa Penduduk Asli Suku Tengger Sumber: http://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-Tengger/
4
Menurut Abdullah Masmuh (2003:145) Ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis, Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan adat dan kepercayaan, arti tengger adalah “tengering budi luhur”. Artinya tanda bahwa warganya memiliki budi luhur. Menurut legenda, asal usul Suku Tengger erat kaitannya dengan cerita mengenai Roro Anteng dan Joko Seger. Nama Tengger sendiri diambil dari nama keduanya yakni Teng dari akhiran nama Roro Anteng dan Ger dari akhiran nama Joko Seger. Masyarakat Suku Tengger mempercayai bahwa mereka adalah keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Dalam legenda tersebut diceritakan bahwa sepasang Suami Istri yakni Roro Anteng dan Joko Seger yang sudah sewindu usia pernikahan mereka namun tak juga dikaruniai anak. Mereka bertapa selama 6 tahun dan setiap tahunnya berganti arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian menyusup ke dalam jiwa Roro Anteng dan Joko Seger. Ada pawisik (bisikan) mereka akan dikaruniai anak, namun anak terakhir harus dikorbankan di kawah Gunung Bromo. Akhirnya pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama Raden Kusuma. Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan
anak
bungsu
mereka.
Raden
Kusuma
kemudian
disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai juga di Ngadas. Raden Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara Raden Kusuma yang mengatakan supaya saudara-saudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kasada, minta upeti hasil bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara Raden Kusuma menjadi penjaga tempat-tempat lain.
5
Selain itu menurut sejarah Tengger dari sisi ilmiah erat kaitannya dengan Prasasti Tengger bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat Prasasti Penanjakan bertahun 1324 Saka (1402 Masehi). Disebutkan sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Karena itulah kawasan Tengger merupakan tanah istimewa yang dibebaskan dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit. (Abdullah Masmuh, 2003:148)
Gambar 3. Penduduk Asli Suku Tengger Masa Sekarang Sumber: http://scontent-lax3-l.xx.fbcdn.net/hphotos-xtp1/v/t1.0-9/11836
Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam memegang teguh nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang. Bahkan, sampai saat ini masih bisa dibuktikan. Berkembangnya industri pariwisata khususnya Puncak Gunung Bromo yang banyak mendatangkan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, termasuk diantaranya industri penginapan dari yang kecil sampai yang bertaraf internasional tidak mempengaruhi masyarakat dalam melaksanakan nilai-nilai sosial budaya yang ada.
6
BAB II WUJUD BUDAYA
A. Budaya Ide/Konsep 1. Mitos Terjadinya Kawah Bromo Budaya, kesenian dan tradisi memang tidak ada habisnya, karena semua itu sudah berada di sekeliling kita tanpa kita sadari. Bila kita mengamati tradisi masyarakat, ritual-ritual yang dilakukan pada dasarnya adalah keinginan mereka agar alam tidak murka terhadap mereka. Menurut Armada Riyanto (dalam Abdullah Masmuh, 2003:156) Mitos adalah ekspresi yang sangat hidup mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya dan keseluruhan lingkup hidupnya.
Gambar 4. Kawah Gunung Bromo Sumber: http://bromotour.co.id/wp-content/uploads/2014/05/kawah-gunung-bromo
Abdullah Masmuh (2003:145) mengemukakan bahwa cerita yang dipercayai oleh masyarakat suku Tengger, terjadinya kawah Bromo disebabkan oleh kemarahan para dewa terhadap para pandai besi. Para pandai besi menolak
permintaan dan perintah para dewa untuk
menenangkan bumi Tengger yang selalu berguncang. Para dewa merasa 7
permohonannya disepelekan oleh para pandai besi, maka oleh para dewa semua pandai besi ditimbun dengan tanah. Secara tiba-tiba bumi Tengger tidak lagi berguncang, tetapi di kawah Bromo terjadi semburan api dan mengeluarkan asap secara terus-menerus, bahkan sampai sekarang ini masih dapat dilihat secara langsung.
2. Kepercayaan Secara umum setiap suku di indonesia mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri tentang agama atau kepercayaan yang di anut. Hal ini merupakan dasar yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, karna sebagaimana umumnya yang kita tahu bahwa kepercayaan terhadap arwah leluhur dari zaman dahulu sudah melekat dalam jati diri dan secara turun temurun diwariskan ke generasi berikutnya sebagai suatu tradisi dari nenek moyang yang harus tetap dijaga.
Gambar 5. Kepercayaan Hindu Mahayana Sumber:http://kebudayaanindonesia.net/media/images/uploads/culture/HINDUMAHAYANA
Begitu pula dengan suku Tengger, Simanhadi (dalam Abdullah Masmuh, 2003:107) Secara historis masyarakat suku Tengger di awal perkembangannya memiliki agama atau kepercayaan dinamisme dan 8
animisme. Sebelum tahun 1973, masih belum jelas agama apa yang dianut oleh masyarakat Tengger, kecuali mereka secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat seperti Hari Raya Kasada, Hari Raya Karo, EntasEntas, dan Unang-Unang, yang bersifat tradisional. Mereka juga belum melaksanakan ibadah dan agama sebagaimana ditentukan oleh agama besar lainnya. Sementara itu Supriyono (dalam Abdullah Masmuh, 2003:107) Agama yang pertama dianut adalah kepercayaan terhadap ruh halus (animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda yang mempunyai kekuatan gaib (dinamisme). Tempat-tempat yang mempunyai nilai religi bagi masyarakat itu sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Pada tahun 1973, para pini sepuh (golongan tua) suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, dengan di pimpin Bapak Utjil (Sartali), mengadakan musyawarah di Balai Desa Ngadisari Kecamatan sukapura Kabupaten Probolinggo. Tujuannya adalah untuk mempersatukan masyarakat Tengger, dari rapat tersebut berhasil menetapkan salam khusus bagi masyarakat Tengger yang berbunyi : Houng Ulum Basuki Langgeng, yang artinya “Tuhan tetap memberikan keselamatan atau kemakmuran yang kekal abadi kepada kita”. Salam ini biasanya digunakan pada awal dan akhir pertemuan resmi serta upacara-upacara tradisional. Agama Hindu Dharma Bali mulai berpengaruh di kawasan Tengger. Supriyanto (dalam Abdullah Masmuh, 2003:108) Hal ini dapat dilihat dari pergantian salam agama Hindu Tengger sebagaimana tersebut di atas dengan salam yang baru yang berbunyi Om Swatyastu yang bermakna “Semoga anda dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”. Selain itu, Simanhadi (dalam Abdullah Masmuh, 2003:108) upacara yang dilakukan menunjukkan adanya salah satu agama Hindu. Upacara tersebut dikenal dengan upacara Galungan dan beberapa mantra yang biasa dibaca pada setiap upacara adat. Saat ini telah diajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berupa Panca Sradha, yaitu :
9
a. Percaya kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Pencipta Alam b. Percaya adanya Atma (n), yaitu ruh leluhur atau ruhnya sendiri c. Percaya adanya Karmapala yaitu hukum sebab akibat. Percaya adanya karmapala merupakan inti ajaran agama Hindu dan agama Budha. Artinya, bahwa semua perbuatan manusia itu pasti terikat pada hukum sebab akibat yang akan dialami oleh manusia baik sekarang maupun pada hidup yang akan datang d. Percaya kepada Punarbawa atau Reinkarnasi. Kepercayaan ini berasal dari agama Hindu dan agama Budha, bahwa manusia terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengan Dharma hidup sebelumnya e. Percaya kepada Moksa atau Sirno, yaitu bahwa jika manusia telah mencapai moksa, tidak akan terikat kembali pada Punarbawa, mereka akan berada pada tempat kedamaian abadi.
3. Aturan Adat Sebuah pedoman yang pada umumnya dijadikan sebagai pengikat di dalam masyarakat agar hidupnya damai dan tenteram dalam menjalani berbagai macam kegiatan sehari-hari. Nilai budaya masyarakat adat Tengger terwujud dalam aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomi oleh masyarakatnya dan hal ini didukung pula dengan pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan dalam kehidupan sehari-hari. Bambang Soemanto (dalam Abdullah Masmuh, 2003:91) Berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung. Sebagaimana Abdullah Masmuh (2003:91) juga mengemukakan bahwa kedekatan tersebut dipercaya akan membawa ketenangan dan ketentraman serta kebahagiaan dalam kehidupan kini dan esok. Perilaku dan tindakan anggota masyarakat adat Tengger ini selalu diusahakan tidak melanggar
10
adat istiadat dan aturan-aturan yang ada. Adapun aturan-aturan yang harus ditaati adalah : a. Tidak menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan dimakan) b. Tidak mencuri c. Tidak melakukan perbuatan jahat d. Tidak berdusta e. Tidak minum minuman yang memabukkan Selain itu ada pula aturan yang harus diutamakan, yaitu berpikiran yang benar, mengucap yang benar, berbuat yang benar, ingatan yang benar, dan mempunyai kepercayaan yang benar. Masyarakat Tengger mempunyai begitu banyak kebudayaan yang diwarisan oleh nenek moyangnya. Dalam masyarakat Tengger dikenal juga istilah Wasiat, Abdullah Masmuh (2003:92) Wasiat ini harus dikerjakan dan selalu diamanatkan kepada generasi-generasi berikutnya, antara lain mempunyai budi yang baik, mencegah makanan mewah, bisa mengurangi tidur, sabar, wajib menerima dan melaksanakan ketentuan Yang Maha Agung, mempunyai rasa syukur pada Yang Maha Agung, mempunyai rasa kasih sayang kepada orang miskin, memberi pertolongan kepada orang yang susah, tidak mempunyai rasa benar sendiri, pandai sendiri, kaya sendiri, dan harus mengakui bahwa semua itu milik Tuhan.
B. Budaya Tindakan/Aktivitas 1. Bahasa Masyarakat Tengger merupakan salah satu komunitas masyarakat di kepulauan Jawa yang masih setia terhadap adat istiadat warisan nenek moyang. Kemampuan untuk mempertahankan tradisi tersebut menjadikan masyarakat Tengger dianggap sebagai bagian dari masyarakat di nusantara.
11
Menurut K. Rahardjo (2012) Bahasa yang digunakan masyarakat Tengger adalah bahasa Jawa dengan dialek Tengger. Ciri bahasa jawa dialek Tengger ini adalah ucapan berbunyi “a” pada akhir suku kata, bukannya diucapkan “o” seperti pada kebanyakan bahasa Jawa dialek Jawa Tengah atau Jawa Timur. Sepintas mirip dialek Banyumas namun cengkokan (intonasi) kalimatnya datar. Hal unik lainnya adalah mengucapkan kata yang
berarti
“...kan”
(bahasa
indonesia)
seperti
pada
kata
“mengumpulkan”, yang dalam bahasa jawa disebut “nglumpukna” atau “nglumpukke”, dalam dialek Tengger diucapkan “nglumpuken”. Begitu juga dengan “nglebokna” atau “nglebokke” (artinya: memasukkan), diucapkan “ngleboken”. Bahasa pada masyarakat Tengger juga mendidik sekaligus mengajarkan kepada penggunanya untuk berperilaku sopan santun. Dalam hal ini K. Rahardjo (2012) juga mengemukakan bahwa dalam penggunaanya bahasa masyarakat Tengger ini juga mengenal dua tingkatan bahasa, yakni bahasa Ngoko dan Kromo. Ngoko digunakan ketika mereka berbicara dengan orang-orang yang usianya hampir sama atau orang tua terhadap anaknya, sedangkan untuk bahasa Kromo digunakan oleh anak atau orang muda kepada orang tua atau orang yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama. Contoh: Aku (Laki-laki) = Reang, Aku (Wanita) = Isun, Kamu (untuk seusia) = Sira, Kamu (untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/ayah = Pak, Ibu = Mak, Kakek = Wek, Kakak = Kang, Mbak = Yuk. 2. Perkawinan Perkawinan merupakan sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut dua orang yang memadu cinta saja tetapi perkawinan juga melibatkan dua keluarga dan masyarakat secara umum. Menurut kepercayaan Masyarakat Tengger,
12
peristiwa perkawinan juga diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Sebelum upacara perkawinan dimulai, didahului dengan acara nelasih atau ziarah kubur dan memberikan tetamping atau sesaji. Menurut Alpha Savitri (2012) Umumnya pemuda Tengger mencari jodoh atau istri sendiri. Hari perkawinan tidak lepas dari perhitungan weton (hari kelahiran) calon mempelai seperti dalam adat perkawinan Jawa. Jumlah neptu kelahiran mempelai bila dibagi tiga tidak boleh habis dan yang terbaik bila sisa dua. Tahap selanjutnya apabila kedua orang tua telah setuju, maka calon mempelai laki-laki sendiri yang datang melamar, diantar orang tuanya. Dalam lamaran tidak ada barang “peningset” seperti pada masyarakat Jawa, sebab menurut anggapan mereka, peningset itu merupakan barang pinjaman atau hutang. Biasanya sebelum hari perkawinan, pihak keluarga mempelai laki-laki datang lagi ke rumah calon besan dengan membawa beras dan bahan-bahan mentah lainnya.
Gambar 6. Tradisi Perkawinan Suku Tengger Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/media/images/upload/culture/SISTEM%20KEKERABAT AN%20SUKU%20TENGGER1.jpg
Tradisi perkawinan pada suku Tengger tersebut sudah merupakan tradisi secara turun temurun yang lengkap pula dengan ketentuanketentuan dalam pelaksanaannya.
Menurut Alpha Savitri (2012) 13
Pelaksanaan perkawinan bertempat di rumah keluarga mempelai wanita, umumnya pada pagi hari. Mempelai laki-laki duduk di sebelah kanan dukun, sedangkan wali mempelai perempuan duduk di sebelah kirinya. Di depan mereka tersedia seperangkat sesaji terdiri dari 5 piring jenang merah-putih, 1 piring arang-arang kambang, 7 piring nasi dan telur, satu sisir pisang ayu (pisang raja), 7 buah nasi golong dan telur, uang secukupnya. Sambil membaca mantra, tangan kiri dukun memegang tangan kanan wali, tangan kanannya memegang tangan kanan mempelai laki-laki. Baik mempelai laki-laki maupun wali disuruh menirukan ucapan dukun. Alpha Savitri (2012) juga mengemukaan bahwa Ada kalanya perkawinan terpaksa dibatalkan karena sesuatu sebab, misalnya : a.
Karena hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah (neneknya nenek)
b.
Dadung kepuntir. Contoh, A, B dan C masing-masing mempunyai anak laki-laki dan juga anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah. Tetapi kalau anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak laki-laki B kawin dengan anak perempuan C dan anak laki-laki C kawin dengan anak perempuan A, maka perkawinan semacam ini tidak diperbolehkan
c.
Papagan Wali. Contohnya, A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan anak laki-laki B kawin mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan demikian disebut papagan wali dan tidak diijinkan
d.
Kesandung watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan ada keluarga dekat yang meninggal dunia, maka perkawinan harus dibatalkan.
14
3. Upacara Kasada Hari Raya Kasada ialah hari raya khusus masyarakat Tengger, dan tidak berlaku bagi agama Hindu pada umumnya. Menurut Abdullah Masmuh (2003:107) Kasada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Upacara ini dilakukan pada tanggal 14 dan 15 bulan Purnama pada bulan ke-12 (Kasada).
Gambar 7. Upacara Kasada Sumber: http://blog.easytravelsby.com/wp-content/uploads/2013/12/upacara-kasada
Terdapat tiga tempat penting dalam prosesi perayaan Kasada yakni rumah dukun adat, Pura Poten Luhur dan kawah Gunung Bromo. Menurut Ayu Sutarto (2012) Upacara Kasada ini dilaksanakan mulai dari tengah malam hingga dini hari, untuk melaksanakan perayaan ini, dilakukan persiapan sejak pukul 24.00 WIB yang dimulai dengan bergerak dari depan rumah dukun adat dan sampai di Pura Luhur Poten sekitar pukul 04.00 WIB. Sebelum upacara dilaksanakan dukun pandita terlebih dahulu melakukan semeninga, yaitu persiapan untuk upacara yang bertujuan memberitahukan para Dewa bahwa ritual siap dilaksanakan. Ketika sudah sampai di Pura Luhur Poten, semeninga kembali dilaksanakan. Ritual
15
Kasada dilaksanakan dengan menempuh perjalanan dari Pura Luhur Poten menuju kawah Gunung Bromo. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam upacara Kasada, Menurut Abdullah Masmuh (2003:107) Tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam upacara Kasada adalah sebagai berikut : a. Pengambilan air tirta atau air suci di Gunung Widodareng. Tirta diambil untuk melakukan ritual nglukat umat atau penyucian jiwa masyarakat Tengger b. Pembukaan Hari Raya Kasada, dilanjutkan dengan pertunjukan Sendratari Rara Anteng dan Jaka Seger yang merupakan acara inti c. Upacara ritual Kasada di Poten (laut pasir), dilakukan pada tanggal 15 bulan purnama pada bulan ke-12 (Kasada), menurut perhitungan masyarakat Tengger. Seperti upacara pada umumnya yaitu adanya Sesaji. Dalam perlengkapan sesaji yang digunakan dalam perayaan Kasada terdapat dua unsur penting yaitu kepala bungkah dan kepala gantung. Sedangkan bagi beberapa orang yang memiliki permohonan khusus disyaratkan untuk membawa ayam atau kambing sebagai persembahan. Menurut Ayu Sutarto (2012) Ritual Kasada dimaknai berbeda-beda oleh setiap kalangan. Pemaknaan
ritual
Kasada
juga
tergantung
dari
sudut
pandang
pemaknaannya. Dalam konteks religi komunitas makna dari ritual Kasada sangat erat kaitannya dengan kepercayaan Gunung Bromo. Diyakini bahwa Gunung Bromo merupakan pusat dunia. Hal ini terungkap pada zaman dahulu pembangunan rumah maupun sanggar menghadap ke arah Gunung Bromo. Ritual Kasada juga dimaknai sebagai identitas komunitas Tengger sebagai anak keturunan Majapahit. Orang-orang
Tengger
merasa
bangga
dirinya
merupakan
komunitas penerus tradisi nenek moyang. Pada masa sekarang yang mengikuti upacara Kasada tidak hanya suku Tengger yang beragama 16
Hindu saja namun juga warga Tengger yang beragama Islam maupun Kristen yang sudah keluar daerah datang dan berkumpul kembali.
4. Upacara Karo Upacara Karo adalah upacara yang dilakukan oleh masyarakat suku Tengger untuk memuliakan tradisi leluhur. Selain sebagai tradisi upacara ini juga merupakan wujud syukur masyarakat suku Tengger terhadap para leluhur. Abdullah Masmuh (2003:116) mengemukakan bahwa Upacara Hari Raya Karo bertujuan agar manusia kembali ke Satyayoga, yakni kesucian. Upacara Karo juga merupakan upacara besar. Paling besar setelah Kasada. Masyarakat Tengger mempercayai, pada Hari Raya Karo inilah Sang Hyang Widhiwasa (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan “Karo”, yakni dua manusia berjenis lelaki dan perempuan sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. Upacara Karo dilaksanakan selama 12 hari. Masyarakat Tengger mengenakan pakaian baru, perabot baru. Makanan dan minuman melimpah pada hari raya mereka.
Gambar 8. Upacara Karo Sumber: http://beritadaerah.co.id/wp-content/uploads/2013/10/UPACARA-KARO
17
Hari Raya Karo mempunyai makna, asal mula adanya manusia, menurunkan keturunannya sampai kembalinya ruh ke hadapan Hyang Widhiwasa. Menurut Sudiro (dalam Abdullah Masmuh, 2003:116) Sedangkan tujuan akhirnya adalah untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, yaitu manusia sempurna yang tidak mengalami penjelmaan kembali. Pada hari raya ini dilaksanakan sesajen atau islamatani bersama, selain dilaksanakan bersama, juga dilaksanakan di rumah masing-masing. Hari raya ini juga digunakan untuk saling berkunjung antar warga masyarakat. Hari pertama dimulai dengan kunjungan warga masyarakat desa kepada kepala desa sebagai sesepuh desa. Hari-hari berikutnya Kepala Desa berkunjung ke seluruh warga masyarakat dari rumah ke rumah, termasuk warga yang beragama islam. Dalam upacara ini juga dikenal istilah Sesajen sebagai sarana maupun media dalam upacara Karo. Menurut Abdullah Masmuh (2003:116-117) Sesajen pada upacara Hari Raya Karo banten yang dinamakan kayapon agung, terdiri dari tiga nyiur berisi sembilan buah tumpeng kecil beserta lauk pauk, seperti sate isi perut hewan, sayur kara, juadah ketan putih dan hitam, conthong berisi apem, pisang, seikat pisang gubahan, daun sirih, kapur, dan sepotong pinang atau jambe ayu. Perangkat upacara yang lain adalah sedekah prashkayopan yeng terdiri dari setumpuk daun sirih (surunh agung) dan takir berisi pinang dan bunga ditambah srembu, sebuah pincuk kecil berisi umbi, talas, kacang yang direbus serta diberi kelapa parut, dan di atas prashkayopan diletakkan beberapa helai kain.
5. Entas-entas Masyarakat Hindu Tengger tidak mengenal pembakaran mayat seperti di Bali, tetapi melakukan pembakaran boneka berpakaian yang dilambangkan manusia yang meninggal ditempat pembakaran setelah
18
mayat dimakamkan. Menurut Abdullah Masmuh (2003:119) Sesudah dimandikan dengan air yang dimantrai oleh dukun, mayat orang meninggal lalu dikafani kain putih tiga lapis, kemudian diusung dengan ancak terbuat dari bambu, dikubur membujur ke timur dan terlentang. Selanjutnya diadakan upacara “misahi”, yaitu perpisahan antara orang yang
meninggal
dengan
keluarganya,
dipimpin
seorang
dukun.
Selanjutnya setelah 44 hari atau lebih diadakan Upacara “Entas-Entas”.
Gambar 9. Upacara Entas-Entas Sumber: http://www.javanologi.info/main/galeri/entas-entas.jpg
Setiap upacara tentunya memiliki maksud dan tujuannya masingmasing seperti halnya Entas-Entas. Menurut Alpha Savitri (2012) Upacara Entas-entas dimaksudkan untuk memohon ampun kepada Sang Maha Agung agar arwah almarhum yang masih “Nglambrang” (melayanglayang tak menentu) segera dapat masuk surga. Pada upacara entas-entas ini dibuat boneka yang disebut Petra. Petra diberi pakaian dari pakaian asli almarhum yang dientas. Banyaknya petra yang dientas juga menurut jumlah orang yang meninggal. Menurut Abdullah Masmuh (2003:119) Adapun peralatan yang digunakan dalam upacara Entas-Entas ini antara lain : 19
a. Baju Antrakusuma yaitu, sehelai kain tanpa jahitan yang diperoleh sebagai warisan dari nenek moyang. Biasanya baju ini disimpan dalam Klonthongan atau sebuah tandu yang disimpan di atas loteng sanggar Agung. Selain itu dipakai juga ikat kepala dan selempang b. Prasen, yang berasal dari kata rasi yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkok yang bergambar bintang dari zodiak yang dimiliki para dukun yang berangka tahun saka, 1249, 1251, 1253, 1261, dan pada dua Prasen lainnya terdapat tanda tahun saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribuana Tungga Dewi di kerajaan majapahit. Hal ini membuktikan dan memperkuat anggapan bahwa penduduk Tengger berasal dari kerajaan Majapahit. c. Tali Sampet terbuat dari kain batik atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh Apandita Tengger d. Genta, Keropak dan Perapen sebagai pelengkap upacara.
C. Budaya Artefak 1. Rumah Adat Secara umum rumah digunakan untuk tempat berlindung dari segala bahaya serta sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan. Tidak jauh berbeda dengan rumah adat tradisional, akan tetapi pembuatan rumah ini juga memiliki fungsi dan tujuannya masing-masing sesuai dengan ukurannya. Menurut K. Rahardjo (2012) masyarakat suku Tengger masih tinggal di rumah yang terbilang bangunan asli. Rumah tersebut berdiri dengan tidak ada tingkat, berdiri lurus sejajar dengan tanah. Di pekarangan rumah tidak ada tumbuhan pohon yang tinggi. Rumah orang Tengger lebarnya 4 hingga 8 meter, panjangnya 15 hingga 20 meter. Terbuat dari papan atau batang kayu dengan atap genting berbangun terjal hanya memiliki satu atau dua jendela. Bagian-bagian rumah Suku Tengger
20
sedikit agak berbeda dengan rumah-rumah Jawa lain. Di dalam rumah terdapat suatu tempat bernama Sanggar, Sanggar ialah tempat sesaji dan tempat penyimpanan pusaka. Sanggar juga berfungsi untuk tempat sembah yang pada upacara kematian. Tata Rumah Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air. Rumah-rumah letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan dihubungkan dengan jalan sempit atau agak lebar antara satu desa dengan desa lain.
Gambar 10. Rumah Adat Suku Tengger Sumber: http://kampoengbromo.com/wp-content/uploads/2014/08/Rumah-Adat.jpg
Menurut Alpha Savitri (2012) Halaman rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen datang.
2. Pakaian Adat Pakaian adat suku Tengger berbeda dengan yang lain. Pakaian adat ini sepintas mirip pakaian adat bali, yakni mirip pakaian khas jawa timur
21
berwarna putih, kerah model kerah China, berlilit sarung diatas celana dan bertutup kepala (udeng). Ditambah selendang berwarna kuning bersilang didepan dada.
Gambar 11. Pakaian Adat Suku Tengger Sumber: http://blog.djarumbeasiswaplus.org/aswinyoga/files/2013/09/wpid
Selain itu adapula keunikan dari pakaian sehari-hari Masyarakat Tengger yaitu cara mereka bersarung (memakai sarung) yang berfungsi sebagai pengusir hawa dingin yang memang akrab dengan keseharian mereka. Tidak kurang dari tujuh cara bersarung yang mereka kenal. Masing-masing cara ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri. (K. Rahardjo, 2012)
3. Pura Luhur Poten Bromo Awalnya pura ini merupakan kediaman dari Ida Sang Hyang Widhi Washa. Sekarang, pura ini di jadikan sebagai tempat beribadah umat Hindu Suku Tengger. Pura Luhur Poten menjadi tempat pemujaan Dewa Brohmo. Komang Agus Ruspawan (dalam Alpha Savitri, 2012) menuliskan bahwa : Pura Luhur Poten berdiri pada tahun 2000, di dalam pura terdapat tiga wilayah yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda dan pada 22
tiap bagian wilayah terdapat candi Bentar yang menjadi pintu masuk dari setiap wilayah, wilayah di dalam pura diantaranya : a. Mandala Utama, yaitu tempat dilakukannya pemujaan dan Sembahyang b. Mandala Madya, yaitu tempat persiapan dan pengiring upacara persembahyangan. c. Mandala Nista (depan), yaitu tempat peralihan dari luar kedalam pura.
Gambar 12. Pura Luhur Poten di Padang Pasir Gunung Bromo Sumber: https://wongalus.files.wordpress.com/2013/11/pura-luhur-potenbromo-2.jpg
Layaknya pura-pura lain, Pura Luhur Poten dibangun mengarah ke arah barat dengan tempat pemujaan (Mandala Utama) menghadap ke arah timur mengikuti arah datangnya matahari.
4. Ongkek Sesaji merupakan salah satu hal yang penting sebagai salah satu media dalam upacara adat. Oleh karena itu ada pula Ongkek, yaitu tempat sesaji. Menurut Nindya Helvy Pramita (2013:57) Ongkek adalah bambu 23
yang dibuat membentuk suatu pikulan. Di Desa Ngadas, sesajen diletakkan pada ongkek yang dibuat dari bambu dan diatur sedemikian rupa sehingga membentuk suatu pikulan. Menurut masyarakat, pada jaman dahulu ongkek dibuat dari kayu sedangkan pada jaman sekarang ongkek dapat dibuat dari bambu. Ongkek inilah yang merupakan sesaji pokok, dan pembuatan ongkek ini biasanya dikerjakan oleh orang tua (wong sepuh).
Gambar 13. Masyarakat Tengger membawa Ongkek menuju Kawah Gunung Bromo. Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1159/upacara-adat-Kasada
Menurut Alpha Savitri (2012) Ongkek merupakan tempat sesaji yang berisi hasil bumi, ternak peliharaan, dan ayam. Ongkek digunakan dalam upacara Kasada. Ongkek nantinya akan dilemparkan ke kawah Gunung Bromo yang bertujuan untuk menghormati Raden Kusuma (anak dari Joko Seger dan Roro Anteng) yang rela mengorbankan dirinya sebagai tumbal agar tidak terjadi bencana yang hebat di wilayah Suku Tengger. Sesajen persembahan yang disebut Ongkek terdiri dari 30 macam buah- buahan dan kue. Bahan pembuatan ongkek diambil dari desa yang selama setahun tidak memiliki warga yang meninggal. Upacara Kasada juga dipakai untuk mewisuda calon dukun baru.
24
5. Boneka Petra/Petri Wujud budaya memang berbeda-beda di setiap suku yang ada, entah itu pada masanya digunakan sebagi media pemujaan, pondasi ataupun pegangan hidup masyarakat setempat. Tak terkecuali boneka Petra atau Petri yang dimiliki oleh suku Tengger. Menurut Alpha Savitri (2012) Boneka Petra atau Petri adalah boneka yang terbuat dari dedaunan, bunga kenikir, kain dan janur kuning. Boneka ini digunakan dalam seluruh ritual upacara perkawinan. Petra diletakkan dalam posisi duduk. Selain digunakan dalam upacara perkawinan, Petra juga digunakan di upacara Entas-entas (kematian).
Gambar 14. Boneka Petra/Petri Sumber: http://www.indonesiadiscovery.net/images/free/real/Petra.jpg
Petra dalam upacara Entas-entas berfungsi sebagai tempat arwah. Selanjutnya, dalam keseluruhan rangkaian upacara Entas-entas, boneka petra akan di bakar di Pendayangan, yakni tempat bersemayamnya rohroh leluhur atau nenek moyang.
25
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Tengger mempunyai modal sosial, seperti nilai-nilai adat, aturan-aturan yang dipakai setiap individu sebagai pedoman untuk membentuk perilakunya seharihari.
Kondisi
geografis
Masyarakat
Tengger
juga
mempengaruhi
kepercayaannya terhadap keberadaan Gunung Bromo, dimana masyarakat Suku Tengger menganggap suci Gunung Bromo yang di percaya menjadi tempat tinggal roh leluhur yang di hormati. Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam memegang teguh nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang dan mereka masih mempercayai adanya roh leluhur di sekitar mereka yang mempengaruhi hidup mereka. Keberadaan roh leluhur tersebut perlu di akui dan di hormati.
B. Saran Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari masyarakat Tengger, salah satunya yakni bahwa sikap budaya masyarakat Tengger yang tidak terlalu tergantung kepada kekuatan dari luar sukunya, baik itu kekuatan yang berdimensi ekonomi, politik, ataupun budaya. Oleh karena itu, perubahan masyarakat untuk menuju masyarakat industri tidak perlu dipaksakan karena ketidaksiapan justru akan menumbuhkan ketergantungan dan membunuh kemandirian. Tradisi rukun, memahami perbedaan, tak tergantung kepada kekuatan dari luar, mencintai adat-istiadat warisan leluhur, dan mencintai tanah pertanian yang memberi kehidupan adalah mutiara peradaban yang patut dipertahankan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Abdullah Masmuh dkk, Agama Tradisional, Yogyakarta: Lkis Yoyakarta, 2003 Colin Barlow, Joep Bijlmer dkk, Manusia dan Lingkungan, Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2002 Taufik Abdullah, Kusnaka Adimihardja dkk, Agama dan Upacara, Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2002 Abdul Jabbar, Makna Teologis Upacara Karo Masyarakat Suku Tengger, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010 Linda Sari, Gunung Bromo Dan Keunikan Masyarakat Tengger Sebagai Objek Wisata Di Jawa Timur, Medan: Universitas Sumatra Utara, 2009 Jurnal : Nindya Helvy Pramita dkk, Etnobotani Upacara Kasada Masyarakat Tengger, Di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Vol. 1, No. 2, 2013 Makalah : Alpha Savitri, Sejarah, Agama dan Tradisi Suku Tengger Gunung Bromo, 2012 Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Tengger, 2012 Vico SJ, Masyarakat Suku Tengger dan Upacara Kasada, 2012 K. Rahardjo, Kebudayaan Suku Tengger, 2012
27
Internet : Hindu Mahayana diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1063/hindu-mahayana-ag pada tanggal 24 September 2015 Jam 07:10 Masyarakat Suku Tengger diakses dari http//kelanajagad.blogspot.co.id/2008/11/masyarakat-suku-tengger pada tanggal 24 September 2015 Jam 07:15 Kebudayaan Suku Tengger diakses dari http://redendonk.blogspot.co.id/2012/20/kebudayaan-suku-tengger pada tanggal 24 September 2015 Jam 07:18 Kearifan Lokal Masyarakat Tengger diakses dari http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakattengger pada tanggal 18 september 215 Jam 22:03 Upacara Adat Kasada diakses dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1159/upacara-adat-Kasada pada tanggal 18 September 2015 Jam 22:04
28