TUGAS WAWASAN BUDAYA NIAS
Di Susun Oleh: Fanny Setiawati 14148149 Putri Raudya Sofyana 14148140
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2015
KEPULAUAN NIAS
Nias (ano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
SUKU NIAS
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
MITOLOGI YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT NIAS
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
PENELITIAN ARKEOLOG TENTANG PERSEBARAN DAN DNA MASYARAKAT NIAS
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam. Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular
Biology,
Erasmus
MC-University
Medical
Center
Rotterdam,
memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10 tahun ini Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias. ”Dari semua populasi yang kami teliti, kromosom-Y dan mitokondria-DNA
orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina,” katanya. Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX. Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu. Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu. ”Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat lain, khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck (kemacetan) populasi dalam sejarah masa lalu Nias,” katanya. Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga. Jejak terputus Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisono mengatakan, teori tentang asal usul masyarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000). Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan bentuk gerabah. ”Masalahnya, apakah migrasi itu bersifat searah dari Taiwan ke Nusantara, termasuk ke Nias, atau sebaliknya juga terjadi?” katanya. Sony mempertanyakan bagaimana migrasi Austronesia dari Taiwan ke Nias itu terjadi. Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Lembaga Eijkman yang juga menjadi pembicara, mengatakan, migrasi Austronesia ke Nusantara masih menjadi teka-teki. ”Logikanya, dari Filipina mereka ke Kalimantan dan Sulawesi. Tetapi, sampai saat ini data genetika dari Kalimantan dan Sulawesi masih minim. Masih ada missing link,” katanya. Di Kalimantan, menurut Hera, yang diteliti genetikanya baru etnis Banjar. Hasilnya menunjukkan, mereka masyarakat Melayu. Di Sulawesi yang diteliti baru
Sulawesi Selatan. ”Masih banyak studi yang harus dilakukan,” katanya.
RUMAH ADAT NIAS
Omo Sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu. Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap goncangan gempa bumi.
KEBUDAYAAN NIAS
Fahombo (Lompat Batu)
Fataele/Foluaya(Tari Perang)
Maena (Tari berkoelompok)
Tari Moyo (Tari Elang)
Tari Mogaele
Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
Omo Hada (Rumah Adat)
Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah
menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda
Nias) Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa.
Dengan
kata
lain Ya’ahowu
menampilkan
sikap-sikap:
perhatian,
tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama. PAKAIAN ADAT SUKU NIAS
Pakaian adat suku Nias dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan. Pakaian adat tersebut biasanya berwarna emas atau kuning yang dipadukan dengan warna lain seperti hitam, merah, dan putih. Adapun filosofi dari warna itu sendiri antara lain: *Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran. *Warna merah yang dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo/ ni’ogöna) sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit. *Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan. *Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian.Pakaian, perhiasan dan senjata di Nias sangat beraneka ragam serta diberi warna dan hiasan (ukiran) yang bermacam-macam pula. Dalam upacara adat atau upacara kebesaran, pakaian dan perhiasan yang berwarna keemasan atau kekuning-kuningan sangat digemari selain kombinasi beberapa warna lain seperti hitam, merah dan putih. Warna kuning yang dipadukan dengan corak persegi empat (Ni’obakola) dan pola bunga kapas (Ni’obowo gafasi) sering dipakai oleh para bangsawan untuk menggambarkan kejayaan kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan kebesaran. Warna merah yang
dipadukan dengan corak segi-tiga (Ni’ohulayo/ ni’ogöna) sering dikenakan oleh prajurit untuk menggambarkan darah, keberanian dan kapabilitas para prajurit. Warna hitam yang sering dikenakan oleh rakyat tani menggambarkan situasi kesedihan, ketabahan dan kewaspadaan. Warna putih yang sering dikenakan oleh para pemuka agama kuno (Ere) menggambarkan kesucian, kemurnian dan kedamaian. Untuk melengkapi keagungan dan kemegahan penampilan dalam suatu upacara kebesaran (Owasa/ fa’ulu), seorang pria dewasa harus menyelipkan senjata di pinggangnya. Tolögu dan Gari si so rago merupakan senjata yang sangat disukai oleh kalangan bangsawan, panglima dan para prajurit. Pada senjata atau hiasan sering sekali diberi kepala monster (Lasara) atau ukiran-ukiran binatang buas yang angker yang menggambarkan keperkasaan, keberingasan, dan kekuatan kekuasan seseorang.
BAHASA NIAS
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya,
adalah
bahasa
yang
dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang
masih bertahan
hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan salah satu bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).
PENULISAN Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan :
Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda
pemisah (') contoh kata : Ga'a
Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal.
KOSA KATA
Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Ya'ahowu = Diberkatilah engkau,
bisa juga digunakan sebagai ucapan
empat.
Lö Nasa = Belum
Ebua = Besar
ide-ide =kecil
Fofo = Burung
Li Niha = Bahasa Nias
Lala = Cara, Jalan
Tanö Niha = Pulau Nias
Idanö = Air
Tundraha = Sampan/Perahu
Hadia Duria? = Apa Kabar?
salam
Ya'o = Aku, Saya Ahono = Tenang, Diam Ya`ugö = Anda, Kamu manu = ayam silatao = ayam jantan sihene = ayam betina (masih blm
bertelor/beranak)
fa'elo = induk ayam
sigelo=
induk
binatang.kaki
Hauga Bözi? = Jam Berapa?
sanagö = pencuri
Koda= foto
hele = kali, sungai kecil
gambara = Gambar
bawa = bulan
Bongi = Malam
baẃa = wajah, muka
TanÕ Owi = Sore
Siwa ẃawa = Sembilan bulan
Ama = Bapak
beleẃa = parang
Ina = Ibu
toho =tombak
Omo = Rumah
mako = cangkir
Asu = Anjing
mba'a = bak
baru = baju
garawa = baskom
manga = makan
alitö = api
Zarewa = Celana
idanö = air
Omasi'ö = disayangi
Akho = Arang
omasido = aku suka
Fandu = Lampu
Laluo = Siang
Langu = Racun
Ono = Anak
Tuo Nifarö = Tuak Suling
Ono Alawe = Anak Perempuan
Fili = Pilih
Ono matua = Anak Laki-laki
Tako = Peluk
Hezo möi'ö? = Mau kemana?
uma = Cium
Manörö-nörö = Jalan-jalan
Ma'igi = Tertawa
Me'e = Menangis
Betu'a ebua = Usus besar
mabu = Mabuk
Bo = Paru-paru
Baso = baca
Tödö = Jantung
sura = tulis/surat
Aẃökhu = Empedu
mesokho = luka
Oẃökhi = Perih
Baẃa ndruhö = pintu
Aukhu = Panas
Sandrela = Jendela
Okafu = Dingin
Farate = ranjang tempat tidur
Faha = Paha
Högö = Kepala
Bisi = Betis
Talinga = Telinga
Mbu/bu = Rambut
Hörö = Mata
Lela = Lidah
Ikhu = Hidung
Ifö = Gigi
Bo'ö = Pipi
Boha = Gigi geraham
Beẃe = Bibir
Alisi = Bahu
Baẃa = Mulut
Hulu = Punggung
Bagi = Leher
Tola = Boleh, sanggup, bisa.
Tötö`a = Dada
Töla = Tulang
Talu = Perut
Töla hulu = Tulang punggung
Fusö = Pusar
Töla nosu = Tulang rusuk
Betu'a = Usus
Löẃi-löẃi = Pinggang
Lalu'a = Telapak
Lima = Lima
Ono hörö = Bola mata
önö = Enam
Ono horö = Anak di luar nikah
Fitu = Tujuh
Sara = Satu
Walu = Delapan
Dua = Dua
Siwa = Sembilan
Tölu = Tiga
Fulu = Sepuluh
öfa = Empat
Kesenian Tradisional Suku Nias
Suku Nias, mendiami pulau Nias, Sumatera Utara. Terdiri dari dataran-dataran rendah dan pegunungan-pegunungan kapur yang bervariasi tingginya. Mereka menyebutnya sebagai Tano Niha (tano= tanah, niha=orang/manusia). Sarana hubungan yang memadai antar daerah sebagian besar dilakukan melalui laut. Daerah-daerah yang mengandung peninggalan dari masa berkembangnya tradisi megalitik biasanya harus ditempuh dengan berjalan kaki cukup jauh, bahkan kadang-kadang harus melalui tanjakan terjal atau lembah yang dalam. Sejak masa megalitik, suku ini telah mengenal dan mengembangkan kesenian, merupakan sebuah kebutuhan, sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dicapai dengan kemampuan tertentu dan mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya. Dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan dapat meningkatkan kesenangan dalam segala tahap kehidupan. Pada masayarakat Nias, kesenian sebagai bagian dari budaya masyarakat, mencakup seni musik, seni rupa dan seni tari. Fungsinya berkaitan dengan aktivitas dalam siklus kehidupan pada sistem religi, adat-istiadat maupun hiburan.
Ragam Alat-Alat Musik Suku Nias
Ragam alat-alat musik suku nias tersebut antara lain: 1. Gondra adalah alat musik yang terbuat dari kayu, kulit kambing dan rotan (termasuk pada kelompok membranofon). Dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh oleh dua. Gondra biasanya di gantung di langit-langit rumah atau di gantung di teras/samping rumah.
2. Aramba adalah alat musik yang terbuat dari tembaga, kuningan, suasa dan nikel dimainkan oleh satu orang. Alat musik ini berperan sebagai pembawa pola irama. Aramba yang sering dipergunakan oleh masyarakat Nias dalam pelaksanaan upacara perkawinan sebanyak satu buah yang disebut aramba fatao yang ukuran garis tengahnya 40 sampai 50 cm, sedangkan aramba yang dipakai oleh ngaoto mbalugu (keturunan bangsawan) adalah aramba fatao dan aramba hongo yang ukuran garis tengahnya 60 sampai 90 cm.
3. Doli-doli adalah alat musik yang terbuat dari susunan beberapa wilahan kayu yang terdiri dari beberapa nada, dimainkan dengan cara memukul dengan menggunakan alat pemukul.
4. Fondrahi adalah alat musik pukul (membranofon), terbuat dari batang aren ukuran 70 X 18 cm, dibuat berongga dan salah satu sisinya ditutup dengan kulit kambing dengan alat pengikat terbuat dari rotan. Dimainkan dengan memukul bagian sisi kulit dengan telapak tangan atau dengan kayu pemukul.
5. Lagia adalah alat musik gesek (kordofon), terbuat dari batang aren. Ukuran panjang 50 cm, diameter 20 cm, tiangnya terbuat dari kayu magai yang dapat dilengkungkan. Alat penggesek terbuat dari rotan atau bambu. Senarnya terbuat dari akar salak. Dimainkan secara individual, juga untuk mengiringi nyanyian.
6. Rici-rici adalah alat musik perkusi sejenis maracas (idiofon). Terbuat dari kayu yang dibuat berongga dan pada rongga tersebut diisi jenis kacang-kacangan, dimainkan dengan cara menggoyangkan alat musik tersebut.