Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
SEBUAH CATATAN SINGKAT TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN Oleh E. Rial N, SH
Abstraksi Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu sistem. Oleh karena didalamnya terdapat beberapa peristiwa yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundangan-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus senantiasa berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. A.
Pengertian Peraturan Perundang-undangan Perubahan sistem hukum dan perundang-undangan yang terjadi di Indonesia (diantaranya ditandai dengan perubahan atas UUD 1945) menyebabkan perlunya para pembentuk peraturan perundang-undangan menyikapi berbagai perubahan tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini. Hal tersebut harus dilakukan agar tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaan berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan produk hukum yang dibentuk sebelum Perubahan UUD 1945, terhadap ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 setelah perubahan. Sebagai suatu usaha untuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang diharapkan tersebut tentunya diperlukan berbagai sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang. 1 Pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu sarana untuk mencapai harapan, agar dikemudian hari pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan dapat berjalan lebih tertib dan lebih baik, serta dapat merumuskan setiap peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan materi muatannya, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan selanjutnya. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundangundangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Pengertian Legal Drafting secara umum adalah perancangan penyusunan peraturan perundang-undangan atau dalam pengertian yang lain yaitu hukum yang meliputi keseluruhan peraturan negara atau peraturan perundang-undangan dari tingkat tertinggi sampai terendah. 2 Sedangkan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Peraturan Perundang-Undangan adalah
1 2
Maria Farida Indrati, S., Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia , artikel Arita Saparinda, Bahan Ajar Penyusunan Perundang-undangan
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Pembentukan peraturan perundang-undangan (staatliche rechtssetzung) adalah ikhtiar/upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan, sedangkan tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu kepada idea atau tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. 3 Menurut teori perundang-undangan, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi 2 (dua) masalah pokok, yaitu Pertama aspek materiil/substansial, aspek ini berkenaan tentang pengolahan isi dari peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidahkaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkrit dalam bentuk aturan-aturan hukum. Selain itu juga di dalam aspek ini berkenaan dengan masalah pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua aspek formal/prosedural, di mana dalam aspek ini berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan (upaya tentang pemahaman terhadap metode, proses dan tekhnik perundang-undangan) yang berlangsung dalam suatu negara tertentu. 4 Baik aspek materiil maupun aspek formal ini saling berhubungan secara timbal balik dan dinamis, di mana aspek materiil memuat jenis-jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan dapat diwujudkan atau dikonkridkan, memiliki legitimasi dan daya berlaku efektif dalam realitas kehidupan masyarakat. Sebaliknya, sebuah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal dari metode, proses dan tekhnik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum yang positif agar mempunyai makna serta mendapat respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil. 5 Menurut pendapat Maria Farida Indrati Soeprapto, pengertian perundang-undangan mempunyai 2 pengertian yang berbeda yaitu : 6 1. perundangan-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturanperaturan negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah; 2. perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; Sedangkan menurut S.J. Fockema Andreade, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, gezetsgebung) bermakna 7 : 1. Dalam arti luas “Keseluruhan peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang (Pusat dan/atau Daerah) yang mengikat dan berlaku secara umum dalam wilayah atau daerah suatu negara tertentu (UU dalam arti materiel)”. 2. Dalam arti sempit “Peraturan tertulis yang dibuat bersama oleh Pemerintah (Presiden) dan Parlemen (DPR) (UU dalam arti formiel)”. Istilah undang-undang dapat digunakan dalam arti, pertama, materiil, bahwa semua bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan mempunyai kekuatan mengikat secara umum. Kedua, Formal, bahwa dengan menunjuk salah 3
hlm 2
Laboratorium Hukum FH UNPAR, Ketrampilan Perancangan Hukum, PT Citra Aditya Bakti Bandung, 1997,
4
Laboratorium Hukum FH UNPAR., Op. Cit., hlm. 2 Ibid., hlm. 3 Mahendra Putra Kurnia,dkk, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, Kreasi Total Media, Cetakan pertama Juni 2007., hlm. 6-7 7 N. Satria Abdi, S.H., M.H., Legal Drafting, makalah dan atau bahan ajar 5 6
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
satu bentuk peraturan perundang-undangan, yang dibentuk oleh badan pembentuk peraturan perundang-undangan menurut tata cara, bentuk, dan pengundangan yang telah ditentukan Secara umum pengertian perundang-undangan adalah sebagai proses penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan secara tertulis, yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berlaku dan mengikat secara umum. Sehingga unsur-unsur peraturan perundangundangan meliputi : 1. Peraturan tertulis; 2. Dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang; 3. Mengikat secara umum. B.
Dasar- Dasar Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Ada beberapa dasar-dasar pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan, agar menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi : 1. Dasar Yuridis; 2. Dasar Sosiologis; 3. Dasar Filosofis; 1. Dasar yuridis Dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, karena akan menunjukkan : a. keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, karena apabila tidak, maka peraturan yang dibuat tersebut batal demi hukum; b. keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan dengan materi yang diatur, jika tidak maka peraturan itu dapat dibatalkan; c. keharusan mengikuti tata cara yang ditetapkan, jika tidak maka batal demi hukum; d. keharusan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. 2. Dasar sosiologis Dasar sosiologis mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat dan merupakan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain bahwa diharapkan peraturan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar, bahkan dengan spontan, bukan sebaliknya, penerimaan masyarakat atas suatu peraturan lebih disebabkan oleh paksaan penguasa. 8 3. Dasar filosofis Dasar filosofis pada dalam setiap peraturan perundang-undangan bahwa setiap bangsa dan negara khususnya masyarakat suatu bangsa tentunya mempunyai rechtside (cita hukum), yaitu sesuatu yang diharapkan dari sebuah peraturan perundang-undangan, misalnya terjaminnya rasa keadilan, ketertiban, kesejahteraan, keamanan dan sebagainya. C. Hierarki Peraturan perundang-undangan Sejak 1966 sampai sekarang telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada 1996, dengan Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah: 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti: a. Peraturan Menteri 8
Zairin Harahap, Penyusunan Peraturan Perundang-undangan., Bahan Ajar
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
b. Instruksi Menteri, dll Pada 1999, sebuah Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang. Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan saat ini, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana undang-undang ini menggantikan atau koreksi terhadap pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam TAP MPR No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menyebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan menurut undangundang tersebut adalah sebagai sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat DPRD Provinsi dengan Gubernur b. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/ Kota bersama Bupati/ Walikota c. Peraturan Desa/ Peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung beberapa prinsip berikut 9 : 1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya. 2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkat lebih tinggi. 3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. 5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundangundangan yang lebih umum. Konsekuensi penting dari prinsip-prinsip di atas adalah harus diadakannya mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak disimpangkan atau dilanggar. Mekanismenya yaitu ada sistem pengujian secara yudisial atas setiap peraturan perundang9
Bewa Ragawino, Sistem Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia, Penelitian ini dilakukan di Kota Bandung yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman yang membawahi Sub Dinas Dekorasi Kota dan Reklame khususnya Seksi Reklame, tahun 2005., hlm. 16
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
undangan, kebijakan, maupun tindakan pemerintah lainnya terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi yaitu UUD. Tanpa konsekuensi tersebut, tat urutan tidak akan berarti. Hal ini dapat menyebabkan peraturan perundangundangan yang tingkatnya lebih rendah dapat tetap berlaku walaupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. 10 D. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pembahasan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sangat berkaitan erat dengan ilmu perundang-undangan, sebagai ilmu yang bersifat normatif, yang dalam hal ini berhubungan dengan pembentukan norma-norma dalam peraturan perundangundangan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. 11 Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) menurut I.C Van Der Vlies, dibagi menjadi asas formal dan asas material. Asas-asas formal meliputi : 1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); 2. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); 3. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); 4. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); 5. asas konsensus (het beginsel van consensus) Sedangkan asas-asas material meliputi : 1. asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek); 2. asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); 3. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel); 4. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); 5. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu (het beginsel van de individuele rechtsbedeling); Untuk asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut menurut A. Hamid S. Attamimi 12 adalah sebagai berikut : 1. Cita hukum Indonesia; 2. Asas negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi; 3. Asas-asas lainnya. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga : 1. Asas tujuan yang jelas; 2. Asas perlunya pengaturan; 3. Asas organ / lembaga dan materi muatan yang tepat; 4. Asas dapat dilaksanakan; 5. Asas dapat dikenali; 6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum; 7. Asas kepastian hukum; 8. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu. Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka menurut A. Hamid S. Attamimi, maka pembagian mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi 13 : 1. Asas-asas formal, yaitu : 10
Bewa Ragawino, Op.Cit., hlm. 17 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, 2007., hlm. 252 12 Maria Farida Indrati S, ibid., hlm. 254-255 13 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hlm. 256 11
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
a. Asas tujuan yang jelas; b. Asas perlunya pengaturan; c. Asas organ/lembaga yang tepat; d. Asas materi muatan yang tepat e. Asas dapat dilaksanakan; f. Asas dapat dikenali; 2. Asas-asas material, yaitu : a. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara; b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara; c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi Sedangkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di dalam Pasal 5, menyebutkan bahwa : “Dalam membentuk Peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi : a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; g. Keterbukaan. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Selain itu juga, peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang, dengan wajib memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Hal lainnya juga harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Peraturan perundangundangan dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berangsa dan bernegara. Peraturan perundang-undangan juga harus memenuhi persyaratan tekhnis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya yang jelas dan mudah dimengerti, sehinggga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Dalam proses pembentukannya mulai perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang14 undangan. E. Norma atau Kaidah Hukum Pembuatan Peraturan Perudang-undangan Pengertian norma adalah suatu pedoman/patokan/aturan yang harus dipatuhi oleh seseorang atau masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan lingkungannya. Pengertian lainnya bahwa norma adalah ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya sesamanya ataupun dengan lingkungannya. 15 Dalam perkembangannya, norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. 16 14
Ni’matul Huda, Teknik dan Strategi Pembuatan Naskah Akademik, makalah disampaikan dalam acara a Training of Trainer Tekhnik Penyusunan Perundang-undangan (Legal Drafting) yang diselenggarakan Pusdiklat Laboratorium FH UII, 19 Oktober 2009 15 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Perkembangannya, Penerbit Kanisius 1998, hlm. 6 16 Ibid., hlm. 6
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
1. Struktur Norma / Kaidah Hukum Aturan hukum merupakan sebuah konkritisasi norma atau kaidah hukum yang dinyatakan dalam bentuk rumusan pasal-pasal yang menyebabkan norma/kaidah hukum tersebut dapat dipahami dan diterapkan langsung untuk mengatur perilaku tertentu. 17 Aturan hukum mempunyai struktur dasar yang terdiri atas unsur-unsur : a. subyek norma/kaidah hukum, menunjuk pada subyek hukum yang termasuk ke dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan; b. obyek norma/kaidah hukum, menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut; c. operator norma/kaidah hukum, menunjuk pada cara bagaimana obyek kaidah diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu hak atau membedakan kewajiban tertentu; d. kondisi norma/kaidah hukum, menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ke-4 unsur tersebut bersifat konstitutif yang saling terkait satu sama lain dan secara bersamaan akan menentukan isi dan wilayah penerapan berlakunya aturan hukum tertentu. Pada prakteknya, keempat unsur tersebut tidak harus tersusun berurutan, tapi empat unsur tersebut harus ada dan dapat diidentifikasi dalam setiap rumusan pasal. 18 2. Sifat Norma / Kaidah Hukum Sebuah aturan hukum yang dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan memiliki sifat-sifat tertentu yang digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu : a. Norma hukum umum-abstrak, suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak (belum konkret). b. Norma hukum umum-konkret, Suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu (konkret) c. Norma hukum individual-abstrak, Suatu norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak (belum konkret) d. Norma individual-konkret. Suatu norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkret Keempat sifat ini digunakan secara kombinasi dalam sebuah peraturan perundangundangan bergantung kepada isi/substansi dan wilayah penerapan berlakunya aturan hukum tersebut. Kombinasi sifat aturan hukum ini sebagian akan ditentukan oleh jenis peraturan yang terdapat pada hierarki peraturan perundang-undangan, di mana semakin tinggi derajat suatu peraturan perundang-undangan, maka makin abstrak dan umum sifatnya begitu juga sebaliknya. 19 3. Jenis Norma / Kaidah Hukum Ada beberapa jenis kaidah hukum, yaitu antara lain : 1) Kaidah perilaku Jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus berperilaku. Kaidah ini menjalankan fungsinya sebagai kaidah yang mengatur perilaku orang-orang di dalam masyarakat.Kaidah ini merupakan sifat dan hakikat kaidah hukum, yang di dalam realitasnya kaidah ini diwujudkan dalam berbagai bentuk.
17
Laboratorium Hukum FH UNPAR., Op. Cit., hlm. 4 Ibid., hlm. 4 19 Ibid., hlm. 5-6 18
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
2)
3)
4)
5)
Kaidah perilaku dapat digolongkan sebagai berikut 20 : a. Kaidah perintah Kaidah perintah ini adalah kaidah yang merupakan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Biasanya dengan bantuan kata “wajib” atau “harus” atau “terikat untuk” atau “berkewajiban untuk” b. Kaidah larangan Kaidah larangan adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu. Biasanya menggunakan kata-kata “dilarang” atau “tidak boleh” atau “tidak dapat” c. Kaidah dispensasi Kaidah ini merupakan kaidah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diwajibkan/diharuskan; dispensasi biasanya berkenaan dengan penolakan atau pengecualian terhadap suatu perintah yang dirumuskan dengan kata-kata “ dibebaskan dari kewajiban, atau dikecualikan dari kewajiban atau tidak berkewajiban” d. Kaidah izin Kaidah ini merupakan kaidah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu secara umum dilarang atau tidak boleh dilakukan. Biasanya memakai kata-kata “boleh” atau “berhak untuk” atau “mempunyai hak untuk” atau “dapat” atau “berwenang untuk” Kaidah kewenangan Kaidah ini merupakan kaidah yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk menciptakan dan memberlakukan kaidah perilaku tertentu. Fungsi kaidah ini untuk menetapkan siapa yang berwenang mengatur perilaku orang, menetukan prosedur bagaimana kaidah perilaku ditetapkan dan bagaimana suatu kaidah harus diterapkan jika dalam suatu kejadian terdapat ketidakjelasan. Kaidah sanksi Pada hakikatnya kaidah yang memuat reaksi yuridis atau akibat-akibat hukum tertentu jika terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap kaidah tertentu. Umumnya kaidah ini memuat kaidah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kaidah ini ada 3 macam, pertama sanksi administratif, berhubungan dengan tindakan dan kebijaksanaan pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk bestuurdwang, dwang, dwangsom, pencabutan izin, penghentian subsidi, kedua sanksi pidana, ketiga sanksi perdata Kaidah kualifikasi Merupakan kaidah yang menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang untuk dapat melakukan perbuatan hukum tertentu atau sebaliknya dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Kaidah ini juga dapat digunakan menentukan suatu jenis peristiwa atau keadaan tertentu dikaitkan dengan akibat hukum tertentu. Kaidah peralihan Kaidah ini merupakan suatu jenis kaidah hukum yang dibuat sebagai sarana untuk mempertemukan aturan hukum tertentu sebagai akibat kehadiran peraturan perundang-undangan dengan keadaan sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kaidah ini berfungsi menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan hukum atau kekosongan peraturan perundang-undangan, menjamin kepastian dan memberi jaminan perlindungan hukum kepada subyek hukum tertentu.
F. Naskah Akademik Berbagai istilah mengenai naskah akademik peraturan perundang-undangan ini bermunculan, seperti istilah naskah rancangan undang-undang, naskah ilmiah rancangan 20
Ibid., hlm. 7-8
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
undang-undang, rancangan ilmiah peraturan perundang-undangan, naskah akademis rancangan undang-undang, academic draft penyusunan peraturan perundang-undangan. 21 Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa : ”Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undangundang.” Di dalam Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan : ”Pemrakarsa dalam menyusun rancangan undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang” Pasal 5 ayat 2 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 menyebutkan : ”Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.” Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang menyebutkan istilah Naskah Akademik disebut dengan Rancangan Akademik. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan : ”Menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan undang-undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai rancangan undangundang yang akan disusun.” Namun dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara eksplisit tidak mengatur mengenai Naskah Akademik sebelum penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Namun, di dalam Undang-Undang tersebut disebutkan mengenai keterlibatan pihak lain di luar lembaga legislatif dan eksekutif dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini disebut dengan partisipasi masyarakat. Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan : ”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah.” Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam penyusunan sebuah peraturan perundangundangan bisa diinterpretasikan sebagai bentuk keterlibatan masyarakat yang wujud nyatanya berupa penyusunan Naskah Akademik. Dengan tidak ”diaturnya” naskah akademik secara eksplisit di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, maka ketentuan Keppres Nomor 188 Tahun 1998 Pasal 3 ayat (1) masih berlaku. Hal itu dikarenakan, dalam Pasal 57 huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Akibat Naskah Akademik tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, maka ketentuan yang mengatur Naskah Akademik di dalam Keppres Nomor 188 Tahun 1998 tetap berlaku. 22 Naskah Akademik paling sedikit memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang diatur. Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundangundangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundangundangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat, 21 22
Wahid, “Penyusunan Naskah Akademik”, makalah, www.legalitas.org Aan Eko Widiarto, “Metode dan Teknik Penyusunan Naskah Akademik ”, makalah, www.legalitas.org.
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
misalnya etika, adat, agama dan lain-lain. Dasar yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuridis dari segi materiil 23 . Dasar yuridis dari segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil yaitu dasar hukum yang mengatur permasalahan (obyek) yang akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundangundangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Dasar politis, menurut Sony Lubis, sebagaimana dikutip oleh Aan Eko Widiarto dalam makalahnya ”Penyusunan Naskah Akademik”, mengatakan bahwa dasar politik merupakan kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan. Diharapkan dengan adanya dasar politis ini maka produk hukum yang diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Secara dasar sosiologis, naskah akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat, merupakan cerminan peraturan perundangundangan yang tidak memiliki akar sosial yang kuat. Untuk itu dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan tidak boleh dilakukan secara pragmatis dengan langsung menuju pada penyusunan pasal demi pasal tanpa kajian atau penelitian yang mendalam. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk tanpa pengkajian teoritis dan sosiologis yang mendalam akan cenderung mewakili kepentingankepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga ketika diterapkan di dalam masyarakat yang terjadi adalah penolakan-penolakan. Masyarakat merasa tidak memiliki atas suatu peraturan perundang-undangan sebagai akibat pembentukannya tidak partisipatif dengan mengikutsertakan dan meminta pendapat masyarakat.
23
Ibid., hlm. 2
Sebuah Catatan Singkat Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Warta Hukum edisi VII September – Oktober 2009 Artikel