AGROFORESTRY SORGHUM (Sorghum spp.) PADA HTI Acacia crassicarpa SEBAGAI SUMBER PAKAN LEBAH Apis cerana DI PROPINSI RIAU UNTUK MENDUKUNG BUDIDAYA LEBAH MADU Avry Pribadi dan Purnomo Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Industrial Plantation Forest (IPF) in Riau province generally used Acacia crassicarpa on peatland typed. Corporate Social and Responsbility (CSR) is the provision of land and support of the IPF activities by intercropping with honey bees (silvopastura). Problems. However, the abundance of potential nectar A. crassicarpa is not comparable to availability of pollen source. Pollen is used as a protein source for adult bees and brood. Objectives. (1) evaluated the potency of 12 and 50 month A. crassicarpa nectar and (2) evaluated the effect of sorghum that planted in A. crassicarpa to the development of A. cerana. Results. (1) volume secretion of A. crassicarpa nectar amounted to 42774 cc/day/hectare for ages 12 months and 73766 cc /day/hectare for ages 50 months, (2) A. cerana placed on sorghum intercropped to the PFI of A. crassicarpa showed the CP value by 58% and significantly different to to the PFI of A. crassicarpa without sorghum intercropped (31.90%), (3) the honey productivity showed that the highest results in the treatment of the sorghum intercropped (453.3 cc or average of enhancment was 77.37% per observation) while on treatment without intercropped of sorghum showed lower honey production (183.33 cc or enhancment 41.25% per observation), and (4) Sorghum planted on the IPF of A. crassicarpa showed the number of strokes had increased by 0.86 strokes / 30 days or by 15.75% per 30 days) and without sorghum intercropped increased only by 0.29 strokes per 30 days or 6.29% per 30 days . Keywords: Apis cerana, Agroforestry, Acacia crassicarpa, sorghum
I.
PENDAHULUAN
Sedikitnya terdapat 3 jenis tanaman yang dijadikan bahan baku bagi industri pulp dan kertas, yaitu Acacia mangium dan Eucalyptus sp. di lahan mineral serta Acacia crassicarpa (A. crassicarpa) di lahan gambut (Mindawati, 2010). Beberapa alasan pemilihan A. crassicarpa di lahan gambut adalah species tersebut memiliki riap yang tinggi dan perawatan yang mudah sedangkan berdasarkan dari factor lain A. crassicarpa memiliki rendemen yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah, dan kekuatan yang dihasilkan tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007). PT Arara Abadi (Sinar Mas) sebagai salah satu perusahaan HTI terbesar di propinsi Riau dengan dengan luasan areal konsesi sebesar hampir 300.000 ha dengan realisasi hampir 200.000 ha (Dishut Riau, 2006) memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar areal konsesi. Salah satu bentuknya adalah dengan penyediaan lahan dan dukungan perusahaan atas kegiatan tumpang sari baik dengan penanaman tanaman pangan (agroforestry) ataupun silvopastura. Salah satu bentuk kegiatan silvopastura yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di hutan tanaman A. crassicarpa adalah kegiatan peternakan lebah madu. Vegetasi hutan tanaman A. crassicarpa sebagai areal peternakan lebah madu diduga dapat dijadikan sumber pakan lebah madu yang melimpah dan bersifat berkelanjutan serta tidak mengenal musim paceklik (Purnomo, 2010). Hal ini menjadikannya berbeda dengan tehnik beternak lebah madu di pulau Jawa yang menggunakan sistem gembala mengikuti musim bunga sebagai penyedia nectar sehingga dibutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi dan modal yang kuat. Akan tetapi melimpahnya potensi nectar tidak diimbangi dengan ketersedian pollen. Pollen merupakan sumber makanan yang berfungsi sebagai sumber protein bagi kehidupan lebah. Salah satu alternatif pemecahan permasalahan kurangnya sumber pollen di areal HTI A. crassicarpa tersebut adalah dengan melakukan penanaman tanaman sela jenis serealia , yaitu sorgum (Sorghum spp.). Alasan penanaman sorgum adalah diharapkan ketersedian sumber pollen 36
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
akan tercukupi ketika tanaman sorgum tersebut mulai berbunga. Adapun tujuan dari studi ini adalah (1) melakukan identifikasi sumber pakan lebah pada areal hutan tanaman A. crassicarpa (2) mengevaluasi pengaruh dari tehnik penanaman sorghum secara agroforestry pada areal hutan tanaman A. crassicarpa terhadap produktivitas koloni lebah madu jenis Apis cerana (A. cerana). II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2010 s.d Desember 2011 (2 tahun). Penelitian identifikasi sumber pakan lebah pada areal hutan tanaman A. crassicarpa ini dilakukan di areal hutan tanaman A. crassicarpa umur 12 dan 50 bulan pada distrik Rasau Kuning milik PT Arara Abadi (Sinar Mas) yang terletak di kab. Siak, Provinsi Riau. B. Pengamatan potensi pakan lebah pada tegakan A. crassicarpa Pengamatan potensi nektar ekstraflora dilakukan dengan cara mengukur volume sekresi nektar dengan menggunakan mikropipet. Sepuluh tegakan dipilih secara acak dan setiap tegakan dilakukan pemilihan daun berdasarkan strata tajuk (atas, tengah, dan bawah) dan setiap tajuk diambil sampel sebanyak 8 helai mengikuti 4 arah mata angin (utara, selatan, timur, dan barat) sehingga diperoleh 24 helai daun untuk setiap tegakannya. Pengamatan dilakukan setiap jam mulai dari pukul 0630 s.d1830. C.Pengamatan produktivitas koloni lebah A. cerana pada areal yang hutan tanaman A. crassicarpa Pengamatan dilakukan terhadap aktivitas harian lebah yang masuk ke dalam stup yang telah dipasang di bawah tegakan A. crassicarpa yang diintroduksi sorgum dan yang tidak diintroduksi sorgum. Pengamatan dilakukan dengan melakukan pengukuran luas sisiran anakan terhadap sarang jumlah sisiran dan madu. Tingkat kesehatan lebah madu yang berupa persentase protein badan lebah madu (crude protein/CP) juga diamati. Pengamatan hanya dibatasi pada variabel perkembangan koloni lebah. D. Pengolahan dan analisa data Data berupa volume sekresi nektar yang diperoleh kemudian dilakukan penghitungan dengan melakukan kalkulasi jumlah sekresinya untuk setiap tegakan kemudian untuk setiap hektarnya. Analisa data dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi antara potensi nektar pada A.crassicarpa umur 12 bulan dan 50 bulan dan kualitas koloni lebah A. cerana (CP, perkembangan sisiran, dan produksi madu) yang diberi perlakuan tanaman sela sorgum dan yang tidak diberi tanaman sela sorgum. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi sekresi nectar ekstrafloral tegakan A. crassicarpa Potensi volume sekresi nektar ekstrafloral A. crassicarpa pada setiap sampel daun menunjukkan nilai yang sama pada seluruh umur tegakan yang diamati (12 dan 50 bulan, yaitu 0,035 cc/hari (Tabel 1). Kedua jumlah tersebut jika dilakukan penghitungan terhadap volume sekresi nektar pada setiap tegakan akan menghasilkan nilai berupa volume sekresi yang berbeda, yaitu 25,69 cc/hari untuk umur 12 bulan dan 44,31 cc/hari untuk umur 50 bulan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan rataan daun muda per tegakannya untuk kelompok umur tertentu yaitu 734 helai daun/tanaman untuk umur 12 bulan dan 1266 helai daun/tanaman untuk umur 50 bulan. Angka ini jika dilakukan perhitungan terhadap seluruh tegakan A. crassicarpa per hectare, maka potensi akan menghasilkan volume sekresi nectar adalah sebesar 42.774 cc/hari/hektar untuk umur 12 bulan dan 73.766 cc/hari/hektar untuk umur 50 bulan.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
37
Tabel 1. Volume rata-rata harian sekresi nectar ekstrafloral tanaman Acacia crassicarpa umur 12 dan 50 bulan sekresi nectar per daun per pohon per hektar
umur tanaman 12 bulan (cc/hari) 0,035 25,69 42.774,00
50 bulan (cc/hari) 0,035 44,31 73.766,00
Berdasarkan pengamatan harian terhadap sekresi nektar ekstrafloral pada A. crassicarpa diperoleh bahwa sekresi nektar tertinggi pada tegakan umur 12 bulan terjadi pada pukul 06.30 s.d 07. 30 yaitu sebesar 0,012 cc/ daun. Nilai ini akan terus menurun sampai pukul 17. 30 dengan volume sekresi hanya mencapai 0,001 cc/ daun dan volume sekresi akan kembali meningkat pada pukul 17.30 dengan volume sekresi mencapai 0,002 cc/ daun (Grafik 1). Sedangkan pada pengamatan harian terhadap sekresi nektar ekstrafloral pada tegakan A. crassicarpa umur 50 bulan diperoleh kecenderungan yang sama dengan pola sekresi nektar pada umur 12 bulan, yaitu tertinggi pada pukul 06.30 s.d 07.30 dengan volume sekresi 0,010 cc/daun dan terus menurun sampai cenderung tidak berubah pada pukul 10.30 s.d 17.30 dengan volume sekresi hanya mencapai 0,001 cc/daun dan volume sekresi akan kembali meningkat pada pukul 17.30 s.d 18.30 dengan volume sekresi mencapai 0.003 cc.
Grafik 1. Kuantitas sekresi nektar ekstrafloral harian tanaman A. crassicarpa pada 2 kelas umur yang berbeda Pola sekresi yang serupa ini diduga disebabkan factor lingkungan, salah satunya adalah temperatur, kelembaban, dan angin. Kapil (1960) menyatakan bahwa kombinasi antara temperatur dan kelembaban lingkungan akan berpengaruh terhadap tingkat kejenuhan air di udara. Temperatur udara harian menunjukkan pola yang selalu meningkat sampai siang hari dan kembali menurun sampai pada pengamatan sore hari, akan tetapi kecenderungan yang berkebalikan terjadi pada kelembaban udara. Pada siang hari, temperatur yang tinggi dan kelembaban yang rendah diduga akan mempengaruhi tingkat kadar air dari nektar yang disekresi sehingga nektar akan cenderung cepat mengalami kering sebelum sempat untuk dibawa oleh lebah madu. Faktor angin juga diduga menambah tingkat kecepatan nektar untuk menjadi lebih cepat kering. B.
Introduksi tanaman Sorghum spp. pada areal HTI dan produktivitas koloni lebah A. cerana. Tingkat kesehatan koloni lebah dapat dilihat dari persentase protein kasar (crude protein/CP) dari tubuh lebah pekerja A. cerana yang dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi. Nektar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat sedangkan pollen untuk memenuhi kebutuhan akan protein. Hasil analisa menunjukkan bahwa pada lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal 38
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
plantation yang ditumpangsarikan dengan sorgum menunjukkan nilai CP sebesar 58% dan berbeda nyata dengan lebah A. cerana yang tidak ditumpangsarikan dengan sorgum (31.90%) (Tabel 3). Selain itu pada lebah A. cerana yang diintroduksi dengan sorgum menunjukkan kecenderungan peningkatan kandungan CP rata-rata sebesar 1,013 %, sedangkan pada A. cerana yang tidak diintroduksi sorgum menunjukkan kecenderungan penurunan CP sebesar rata-rata 0,034 % pada setiap pengamatan (30 hari). Tabel 3. Kandungan Crude Protein (CP) tubuh lebah A. cerana pada 2 lokasi pengamatan. Pengamatan ke 1 2 3 4 Rataan
Kandungan (CP) Lebah A. cerana Introduksi Sorghum spp. 56,76 57,00 58,44 59,80 58,00*
Tidak diintroduksi Sorghum spp. 31,60 33,20 31,30 31,50 31,90
Keterangan: Tanda * di belakang angka menunjukkan nilai yang berbeda nyata (untuk setiap barisnya) pada taraf α= 0.05%
Salah satu penanda bagi lebah yang sehat menurut Kleinschmidt (1982) yaitu tubuh lebah mengandung CP antara 40% s.d 67 %. Untuk mendapatkan CP tubuh lebah dengan kisaran di atas 40% koloni lebah harus mengkonsumsi pollen dangan kualitas minimal mengandung protein 18 %. Pollen yang berasal dari tanaman sorgum dari hasil analisa proksimat mengandung protein sebesar 18,68%. Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh informasi bahwa penanaman sorgum akan meningkatkan CP tubuh lebah A. cerana yang kemudian akan berdampak pada tingkat kesehatan lebah dan anakannya (brood). Menurut Mourizio (1975) pollen merupakan sumber protein yang diperlukan bagi pertumbuhan anak-anak lebah dan perkembangan lebah-lebah dewasa. Selain protein pollen juga mengandung lemak, vitamin dan mineral yang merupakan nutrisi penting bagi lebah. Menurut Dietz (1975), anakan lebah (brood) membutuhkan sebanyak 120 s.d 150 mg pollen untuk mencapai fase dewasanya. Protein yang terkandung dalam pollen berfungsi sebagai materi untuk pembentukan kelenjar hypopherengeal yang terletak pada bagian caput dari lebah yang berfungsi sebagai pembentuk royal jelly. Pengaruh dari penanaman sorgum pada areal hutan tanaman A. crassicarpa juga dapat dilihat pada perkembangan jumlah sisiran sarang A. cerana (Tabel 4). Perlakuan penanaman sorgum pada areal hutan tanaman A. crassicarpa menunjukkan jumlah sisiran sarang pada koloni lebah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,86 sisiran/ 30 hari atau sebesar 15,75% per 30 hari, sedangkan yang tidak diintroduksi dengan sorgum hanya terjadi penambahan 0,29 sisiran/ 30 hari atau 6.29% per 30 hari). Tabel 4. Perkembangan jumlah sisiran sarang koloni A. cerana di areal hutan tanaman A. crassicarpa Perlakuan
Rata-rata Jumlah Sisiran Sarang per koloni/30 hari I II III IV
V
VI
Introduksi Sorghum spp.
4,10
4,25
4,90
6,10
7,70
8,40
4,15
4,40
4,60
5,30
5,30
5,60
Tidak diintroduksi Sorghum spp.
Keterangan: Luas 1 sisiran adalah 540 cm
2
Pada parameter produksi madu menunjukkan bahwa rata-rata tertinggi produksi madu terdapat pada perlakuan dengan introduksi sorgum adalah sebesar 453,3 cc/ 30 hari atau meningkat rata-rata sebanyak 77,37% per 30 hari sedangkan pada perlakuan tanpa introduksi sorgum produksi madu lebih rendah, yaitu sebesar 183,33 cc atau hanya meningkat 41,25% per 30 hari (Tabel 5). Pada Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
39
jenis lebah A. cerana, kekurangan sumber pakan terutama pollen akan berdampak buruk yaitu tidak hanya sampai pada penurunan populasi, akan tetapi dapat sampai pada hijrahnya koloni meninggalkan sarang (absconding) (Woyke, 1976). Bahkan menurut Wongsiri dan Tangkanasing (1987), persentase hijrahnya A. cerana akibat tidak tersedianya sumber pollen dapat mencapai 50%. Tabel 5. Produksi madu A. cerana di areal hutan tanaman A. crassicarpa Perlakuan Introduksi Sorghum spp. Tidak diintroduksi Sorghum spp.
Produksi Madu (cc)/ koloni/ 30 hari I II III
IV
310
660
1.140
1.670
360
710
780
910
Rendahnya jumlah sisiran sarang dan produksi madu pada lokasi yang tidak diintroduksi oleh sorgum menunjukkan bahwa kebutuhan anggota koloni lebah akan gizi khususnya protein yang bersumber dari pollen tidak tercukupi. Menurut Cale and Ruthenbuhler (1975), perkembangan populasi lebah dipengaruhi oleh beberapa factor salah satunya adalah kemampuan ratu lebah untuk terus bertelur. Kemampuan untuk bertelur ini sangat dipengaruhi oleh makanan (royal jelly) yang diberikan oleh lebah pekerja kepada ratunya untuk memproduksi royal jelly karena membutuhkan pollen dalam jumlah yang cukup. Oleh sebab itu, rendahnya ketersediaan pollen pada lokasi yang tidak diintroduksi sorgum berdampak pada rendahnya kualitas dan kuantitas lebah pekerja yang dihasilkan oleh ratu lebah sehingga produktivitasnya cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan koloni lebah yang diintroduksi oleh sorgum. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Potensi volume sekresi nektar tegakan A. crassicarpa adalah sebesar 42.774 cc/hari/hectare untuk umur 12 bulan dan 73.766 cc/hari/hectare untuk umur 50 bulan. 2. Lebah A. cerana yang ditempatkan pada areal hutan tanaman A. crassicarpa yang ditumpangsarikan dengan sorgum menunjukkan nilai CP tubuh lebah tinggi (58%) dibandingkan yang tidak ditumpangsarikan dengan sorgum (31,90%) 3. Introduksi penanaman sorgum pada areal hutan tanaman A. crassicarpa meningkatkan jumlah sisiran sarang koloni lebah A. cerana rata-rata sebesar 0,86 sisiran/ 30 hari atau sebesar 15,75% per 30 hari dan untuk areal hutan tanaman A. crassicarpa yang tidak diintroduksi dengan sorgum hanya mengalami peningkatan sebesar 0,29 sisiran per 30 hari atau 6,29% per 30 hari. 4. Produksi madu pada perlakuan introduksi sorgum adalah 453,3 cc/ 30 hari atau meningkat rata-rata sebanyak 77,37% per 30 hari, sedangkan pada perlakuan tanpa introduksi sorgum menunjukkan produksi madu lebih rendah, yaitu 183,33 cc per 30 hari atau hanya meningkat 41,25% per 30 hari). B. Saran Berbeda dengan usaha beternak lebah madu di Jawa yang nomaden/gembala, usaha beternak lebah madu di hutan tanaman A. crassicarpa dapat berlangsung secara menetap karena tegakan A. crassicarpa menyediakan nektar dengan potensinya yang sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Pengembangan usaha budidaya lebah madu pada skala yang lebih besar pada areal hutan tanaman A. crassicarpa sangat dimungkinkan untuk dilakukan, mengingat potensi nektar ekstrafloral yang disekresikan oleh tanaman A. crassicarpa yang sangat melimpah. Namun demikian kebutuhan gizi bagi koloni lebah khususnya kebutuhan akan pollen juga perlu diperhatikan yang diantara 40
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
alternatifnya adalah dengan cara mengintroduksikan tanaman sorgum di areal hutan tanaman A. crassicarpa dengan system agroforestry dan telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas koloni lebah madu yaitu meningkatkan CP tubuh lebah menjadi rata-rata 1,013%/ 30 hari, meningkatkan rata-rata jumlah sisiran sarang sebesar 15,75%/30 hari, dan meningkatkan rata-rata produksi madu sebesar 77,37%/ 30 hari. DAFTAR PUSTAKA Cale, G.H and Ruthenbuhler, W.C. 1975. Genetics and Breeding of the Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois; Carr, J.A. 2011. Asian Honeybee; Possible environment impacts. Department of Sustainability, Environment, Water, Populations and Communities, Public Affairs., Canberra Dietz, A. 1975. Nutrition of the Adult Honey Bee. Dadant and Sons Hamilton, Illonois Dinas
Kehutanan Riau, 2006. Data Statistik www.dephut.go.id/files/statistik_dishutriau06_0.pdf
Kehutanan
Propinsi
Riau.
Kapil, R.P. 1960. Observations of Temperature and Humidity to Apis indica. Journal of Apic Ital (27); pg 79-83 Mindawati, N. 2010. Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pulp. Badan Litbang Kehutanan, Bogor Mourizio, A. 1975. Bienenbotanik. Dadant and Sons Hamilton, Illonois Pasaribu, R.A dan A.P.Tampubolon. 2007. Status Teknologi Pemanfaatan Serat Kayu untuk Bahan Baku Pulp. Workshop Sosialisasi Program dan Kegiatan BPHPS Guna Mendukung Kebutuhan Riset Hutan Tanaman Kayu Pulp dan Jejaring Kerja. (Tidak dipublikasikan). Purnomo. 2010. Potensi Nektar Pada Hutan Tanaman Jenis Acacia crassicarpa untuk Mendukung Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok (tidak dipublikasikan) Verma (1970). Verma, L.R. 1970. A Comparative Study of Temperature Regulation in Apis mellifera L and Apis cerana F. Am Bee Journal (110); pg 390-391 Woyke, J. 1976. Brood Rearing Eficiency and Absconding in Indian Honeybees. Journal Apic Res (15); pg 133-143 Wongsiri, S and Tangkanasing. 1987. Apis cerana F. Beekeeping in Thailand: unit Chulalongkom University, Bangkok
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
41
BIODIVERSITAS KOMPONEN AGROFOREST MEDANG BAMBANG LANANG (Michelia champaca) DI HUTAN RAKYAT PADA KAWASAN LEMATANG ULU SUMATERA SELATAN Endah Kusuma Wardhani1), Dona Octavia2), dan Yuliah3)
1)
2)
3)
Dinas Kehutanan Kab. Lahat, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Private forests in the form of agroforest in Lematang Ulu, plays an importan role as a buffer zone for stabilizing lower land ecosystems that maintaining overall ecosystem. This study aims to determine species diversity and similarity of agroforest component-based ‘medang bambang lanang’ (Michelia champaca) to support agroforestry management. Research was conducted in agroforest, located at Lematang Ulu region includes Muara Payang (Lahat Regency), Dempo Selatan (Pagar Alam City), and Tebing Tinggi (Empat Lawang Regency). Nine locations were selected by Purposive Sampling Method and vegetation data was collected using a Nested Sampling Method with four replications. The parameters measured are Important Value Index, Shannon-Wienner Diversity Index (H ') and Similarity Index (SI). The study indicated that there were 15 species of woody plants and 4 species of agriculture and 5 herbs grown in the area. The woody plants dominated by MBL (Michelia champaca), gamal (Gliricida sepium (Jacq.) Kunth ex Walp), teak (Tectona grandis L.f), durian (Durio zibetinus Murr) and coffea (Coffea sp). The species diversity of tree levels ranging from 0,248 to 0,467. This may imply that the value of species diversity encountered was low. In general, the value of the similarity of the three locations observed was almost similar (> 70%). The high value of the similarity of species that make up a community shows the high uniformity of the vegetation composition of the two compared communities. Keywords: Michelia Champaca, vegetation composition, Diversity and Similarity Index
I. PENDAHULUAN Hutan rakyat memegang peranan penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Selain berimplikasi pada peningkatan pendapatan rakyat, sebagai pemasok kebutuhan kayu domestik dan perbaikan kualitas lingkungan setempat, hutan ini secara ekologis juga memiliki peranan dalam mengurangi emisi dan dampak perubahan iklim karena hutan rakyat juga memiliki potensi cadangan karbon yang cukup besar, sehingga dapat berperan dalam mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Total taksiran potensi karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa mencapai 40,7 juta ton dengan luas 2,6 juta hektar (Rochmayanto, 2012). Penutupan vegetasi hutan rakyat berupa agroforest di Lematang Ulu memiliki peranan penting sebagai daerah penyangga ekosistem untuk wilayah di bawahnya yang menjaga ekosistem secara keseluruhan. Namun keberadaan hutan rakyat di wilayah tersebut belum ditopang dengan informasi yang cukup seperti keragaman vegetasi dan komposisi jenis. Atas dasar pemikiran tersebut, telah dilakukan kajian pada komposisi tegakan dalam pengelolaan agroforest berbasis Medang Bambang Lanang (MBL) di kawasan Lematang Ulu, khususnya di Kabupaten Lahat dan eks Lahat untuk mendapatkan informasi keanekaragaman dan kemiripan jenis komponen agroforest di wilayah kajian. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis dan kemiripan jenis komponen agroforest berbasis medang bambang lanang (MBL) (Michelia champaca) di wilayah Lematang Ulu untuk mendukung pengelolaan agroforestri. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di agroforest Kawasan Lematang Ulu meliputi Kecamatan Muara Payang 42
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
(Kabupaten Lahat), Kecamatan Dempo Selatan (Kota Pagar Alam), dan Kecamatan Tebing Tinggi (Kabupaten Empat Lawang). Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. B.
Bahan dan Alat Bahan penelitian yaitu tanaman yang ada di lahan hutan rakyat yang dikelola melalui sistem hutan rakyat dengan tanaman pokok medang bambang lanang (MBL). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat pembuatan petak ukur (PU) yaitu tali tambang, kompas, pita meter, blangko pengamatan (tally sheet), alat tulis menulis dan kamera digital. C.
Metode dan Analisis Data Sembilan lokasi dipilih berdasarkan purposive sampling method untuk mengetahui jumlah dan komposisi vegetasi. Pada masing-masing sampel hutan rakyat tersebut dilakukan pengambilan data vegetasi menggunakan metode Garis Berpetak (Nested Sampling) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran luas petak 2x2 m² (untuk tingkat semai), 5x5 m² (untuk tingkat pancang), 10x10 m² (untuk tingkat tiang) dan 20x20 m² (untuk tingkat pohon) dengan ulangan sebanyak empat kali sehingga diperoleh 36 plot berukuran masing-masing 0,04 ha. Jarak antar petak ukur adalah 20 m. Parameter untuk mengetahui komposisi vegetasi hutan rakyat adalah dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (Important Value Index) yang menggambarkan peran jenis yang meliputi kerapatan, penyebaran jenis (frekuensi) dan penguasaan jenis (dominansi). Perhitungan dilakukan dengan mengacu pada rumus yang dikemukakan oleh Kusmana (1997) sebagai berikut: Kerapatan jenis = jumlah individu / luas petak Kerapatan Relatif (KR) (%) = kerapatan suatu jenis x100% kerapatan seluruh jenis Frekuensi = Jumlah Plot ditemukan suatu jenis/Jumlah total plot Frekuensi Relatif (FR) (%) = Frekuensi Suatu Jenis x 100 % Frekuensi total Jenis Dominansi = Luas bidang dasar dalam petak/luas petak Dominansi Relatif (DR) (%) = Dominansi Suatu Jenis x 100 % Dominansi Seluruh Jenis Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR Nilai keanekaragaman jenis diperoleh dengan menggunakan rumus Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’) dan untuk mengetahui berapa besar kemiripan jenis komponen penyusun yang ada di ketiga wilayah kajian dihitung dengan menggunakan Indeks Similiritas (IS). Rumus Indeks Diversitas Shannon (H’) dan Indeks Similiritas (IS) adalah sebagai berikut: a. Indeks Keragaman Jenis dari Shannon-Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut: ni ni H’ = ∑ log N N H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner Ni = jumlah individu spesies N = jumlah total individu b. Indeks Similaritas (IS), menurut Mueller dan Ellenberg (1974): C = IS = W
2w A +B
x 100 %
: jumlah nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
43
Spesies berpasangan yang ditemukan pada dua komunitas A : total nilai penting dari komunitas A B : total nilai penting dari komunitas B IS bernilai 0 – 100, dimana nilai 100 apabila kedua komunitas tersebut sama dan bernilai 0, apabila komunitas tersebut berbeda secara sempurna. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi jenis penyusun vegetasi agroforest di Lokasi Lematang Ulu Jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi agroforest MBL di Lematang Ulu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi agroforest MBL di Lematang Ulu. Plot
Lokasi
Jumlah Individu
Jumlah Jenis
A1
Muara Payang 1
2,092
6
A2
Muara Payang 2
1,508
6
A3
Muara Payang 3
2,423
7
B1
Dempo Selatan 1
2.052
9
B2
Dempo Selatan 2
1.863
9
B3
Dempo Selatan 3
1.671
10
C1
Tebing Tinggi 1
2.069
7
C2
Tebing Tinggi 2
1.563
7
C3
Tebing Tinggi 3
2.210
8
Berdasarkan hasil pada Tabel 1, 2, 3 dan 4, di Kec. Muara Payang hanya ditemukan 7 jenis vegetasi, di Kec. Dempo Selatan ditemukan 11 jenis vegetasi dan di Kec. Tebing Tinggi juga ditemukan 11 jenis vegetasi. Jika dilihat dari jumlah jenisnya, keanekaragaman di lokasi ini tergolong lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis komponen agroforestry di Kec. Cangkringan pada zona bawah sebanyak 47 jenis (Irfa’I, 2009), hal ini dikarenakan jenis yang ditanam sesuai yang diinginkan dan diusahakan oleh petani, seperti jenis MBL, gamal, durian, lamtoro, kopi, kakao dan cabe. Tabel 2. Rekapitulasi INP vegetasi penyusun agroforest MBL per tingkat pertumbuhan di Kec. Muara Payang No jenis 1 MBL 2 Gamal 3 Durian 4 Lamtoro 5 Kopi 6 Kakao 7 Nangka Jumlah
Nama Ilmiah Michelia champaca Gliricidia sepium Durio zibethinus Leucaena leucocephala Coffea sp Theobroma cacao Arthocarpus heterophyllus
Pohon 206,2 39,99 38,71 15,12 0 0 0 300
(Sumber : Hasil olah data primer 2010)
44
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
INP (%) di Tingkat Pertumbuhan Tiang Pancang Semai 84,2 0 0 167,03 0 0 0 16,40 61,67 48,7 0 29,54 0 246,82 80,49 0 36,78 11,78 0 0 16,50 300 300 200
Tabel 3. Rekapitulasi INP vegetasi penyusun agroforest MBL per tingkat pertumbuhan di Kec. Dempo Selatan. No jenis 1 MBL 2 Gamal 3 Durian 4 Jati 5 Petai 6 Kopi 7 Melinjo 8 Mahoni 9 Kapuk randu 10 Jengkol 11 Cengkeh Jumlah
Nama Ilmiah Michelia champaca Gliricidia sepium Durio zibethinus Tectona grandis Parkia speciosa Coffea sp Gnetum gnemon Swietenia macrophyla Ceiba petandra Archidendron jiringa Eugenia aromatica
INP (%) di Tingkat Pertumbuhan Pohon Tiang Pancang Semai 225,05 82,64 0 0 0 36,22 0 0 10,28 0 39,2 43,81 16,65 130,29 0 0 0 0 0 37,12 0 0 232,83 106,76 0 0 20,91 0 0 0 7,07 5,34 28,6 19,13 0 0 19,42 0 0 6,94 0 31,72 0 0 300 300 300 200
(Sumber : Hasil olah data primer 2010)
Tabel 4. Rekapitulasi INP vegetasi penyusun agroforest MBL per tingkat pertumbuhan di Kec. Tebing Tinggi No jenis 1 MBL 2 Gamal 3 Durian 4 Jati 5 Kopi 6 Petai 7 Kakao 8 Nangka 9 Jengkol 10 Mahoni 11 karet Jumlah
Nama Ilmiah Michelia champaca Gliricidia sepium Durio zibethinus Tectona grandis Coffea sp Parkia speciosa Theobroma cacao Arhocarpus heterophyllus Archidendron jiringa Swietenia macrophyla Hevea brasiliensis
INP (%) di Tingkat Pertumbuhan Pohon Tiang Pancang 218,87 102,51 59,14 0 74,85 0 42,77 37,57 0 0 130,26 0 0 0 63,03 21,24 26,22 31,63 0 0 44,16 17,13 13,26 30,25 0 14,15 0 0 31,42 25,22 0 0 46,57 300 300 300
Semai 0 0 66,36 0 52,38 25,06 24,47 31,71 0 0 0 200
(Sumber : Hasil olah data primer 2010)
Pada Tabel 2, 3 dan 4 terlihat bahwa di ketiga lokasi dijumpai bahwa pohon MBL adalah komponen agroforestri terbesar yang mendominasi kawasan tersebut dengan INP tertinggi di atas 200%. Masyarakat beralasan bahwa kayu MBL memiliki prospek yang cukup bagus baik dari segi kualitas batang maupun harga jual kayu tersebut. Heyne (1987) menjelaskan bahwa kualitas batang kayu MBL cukup baik, kayunya agak keras dan penggunaannya terdapat pada bangunan rumah. Oleh sebab itu mereka membudidayakan jenis ini. B. Indeks Diversitas dan Similaritas Indeks keragaman jenis Shahnon – Wienner di lokasi kajian disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Rekapitulasi Indeks Shannon vegetasi penyusun agroforest MBL di Lematang Ulu No 1 2 3
Lokasi Muara Payang Muara Payang Muara Payang
Pohon 0,364 0,318 0,383
Tingkat Pertumbuhan Tiang Pancang 0,354 0,237 0,455 0,335 0,400 0,191
Semai 0,377 0,451 0,589
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
45
No
Lokasi
4 5 6 7 8 9
Pohon 0,248 0,467 0,327 0,275 0,375 0,275
Dempo Selatan Dempo Selatan Dempo Selatan Tebing Tinggi Tebing Tinggi Tebing Tinggi
Tingkat Pertumbuhan Tiang Pancang 0,405 0,541 0,621 0,159 0,569 0,328 0,354 0,407 0,579 0,531 0,720 0,351
Semai 0,480 0,395 0,488 0,438 0,411 0,669
(Sumber : Hasil olah data primer 2010)
Tabel 5 menunjukkan bahwa keragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan berkisar antara 0,159 sampai dengan 0,669. Keragaman jenis pada tingkat pohon berkisar antara 0,248 sampai dengan 0,467. Hal ini dapat diartikan bahwa nilai keragaman jenis yang ditemui termasuk kategori rendah. Setiarno (1998) menyatakan bahwa suatu daerah yang didominasi jenis-jenis tertentu maka daerah tersebut memiliki keragaman jenis yang rendah dan di dalam komunitas terjadi interaksi antar jenis yang rendah. Marina (2005) menyatakan bahwa nilai indeks keragaman jenis (H’) yang kecil diduga karena faktor lingkungan semak yang padat, atau ditemuinya beberapa pohon tua yang roboh sehingga dapat mengganggu keragaman jenis, terutama pada lokasi hutan alam. Tabel 6. Indeks Similaritas vegetasi penyusun agroforest MBL pada tingkat pertumbuhan pohon di Lematang Ulu. A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 * * * * * * * * *
A2 86,51 * * * * * * * *
A3 76,49 83,10 * * * * * * *
B1 67,43 74,18 65,60 * * * * * *
B2 61,21 61,21 61,21 77,55 * * * * *
B3 77,48 83,65 75,65 73,60 77,55 * * * *
C1 78,02 84,75 83,14 67,12 61,24 77,18 * * *
C2 75,98 82,32 74,15 73,77 61,21 82,15 75,68 * *
C3 67,43 74,18 65,60 80,26 61,21 73,60 67,12 91,44 *
(Sumber : Hasil olah data primer 2010) Keterangan: A = Muara Payang, B= Dempo Selatan C= Tebing Tinggi
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai kemiripan (similarity) jenis-jenis penyusun pada tingkat pohon untuk semua lokasi yang diamati bervariasi antara 61,21 % sampai dengan 91,44 %. Makin besar nilai kemiripan jenis-jenis yang menyusun suatu komunitas, menunjukkan bahwa makin tinggi keseragaman dan komposisi vegetasi dari dua komunitas yang dibandingkan, demikian pula sebaliknya.
46
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 1. Dendrogram Nilai Indeks Similaritas vegetasi penyusun agroforest MBL pada tingkat pohon di Lematang Ulu Untuk melihat gambaran nilai kemiripan vegetasi penyusun pada masing-masing lokasi yang diamati, dikelompokkan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) menggunakan analisis cluster, hasilnya disajikan dalam Gambar 1 yang menunjukkan bahwa lokasi C2 dan C3 memiliki nilai kemiripan sebesar 91,4 %. Artinya bahwa hampir semua penyusun vegetasi pada lokasi tersebut sama antara lain MBL, nangka dan jengkol. Pada lokasi A2 dan A3 memiliki nilai kemiripan sebesar 86,53 % dengan komposisi vegetasi penyusunnya adalah MBL dan durian. Secara umum lokasi A1, A2, A3 dan C1 memiliki nilai kemiripan sebesar 81,05 % dengan komposisi vegetasi penyusunnya MBL dan durian. Untuk lokasi A1, A2, dan A3 masuk ke dalam satu grup yang sama, hal ini wajar terjadi dikarenakan masih dalam satu lokasi yaitu Kec. Muara Payang, artinya agroforest yang berada di lokasi tersebut di atas masih dalam satu pengelolaan/manajemen. Secara umum nilai kemiripan dari 3 lokasi yang diamati hampir seragam (> 70%). Hal ini membuktikan bahwa agroforest yang dikaji, komposisi penyusun vegetasinya hampir sama, dengan tingkat pohon jenis dominan adalah MBL. IV. KESIMPULAN 1. Komposisi jenis vegetasi di 3 wilayah kajian adalah 15 jenis vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis herba liar. Jenis yang dominan pada tingkat pertumbuhan pohon adalah MBL dengan INP sebesar 206,2 % (Muara Payang), 225,05 % (Dempo Selatan) dan 218,87% (Tebing Tinggi). Jenis dominan lainnya adalah Gamal (Gliricida sepium) dan kopi (Coffea robusta. Jenis tanaman semusim didominasi oleh ubi kayu (Manihot utilisima), serta tanaman herba didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium palescens). 2. Keragaman vegetasi penyusun hutan rakyat berbasis medang bambang lanang di kawasan Lematang Ulu pada 3 wilayah kajian tergolong rendah dengan Indeks Diversitas Shannon (H’) berkisar 0,159 sampai dengan 0,669 untuk semua tingkat pertumbuhan dan Indeks similaritas berkisar di atas 70% pada tingkat pertumbuhan pohon yang membuktikan bahwa MBL merupakan jenis yang diunggulkan dan layak untuk dikembangkan. DAFTAR PUSTAKA Heyne, K. 1978. Tumbuhan Tanaman Berguna Indonesia Volume I – IV. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
47
Irfa’I. 2009. Kajian Karakteristik Sistem Agroforestri di Kawasan Hulu Sub DAS Opak. Tesis Pascasarjana Univiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta.(Tidak dipublikasikan) Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian. Bogor Ludwig, J.A and Reynolds, J.F. 1988. Statistical Ecology, A Prime on Method and Computing. John Willey and sons. New York. Marina, E. 2005. Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi dalam Rangka Pengembangan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung di Bagian Hutan Kalibodri KPH Kendal. Tesis Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan) Mueller, D. dan H. Ellenberg, 1974. Aim and Method of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York-Chichester-Brisbane-Toronto. Rochmayanto, Y. 2012. Pembangunan Hutan Rakyat Berperan dalam Mitigasi Perubahan Iklim. Diunduh dari http://www.redd-indonesia.org Setiarno, 1998. Studi Keragaman Vegetasi Hutan Rawa Gambut di HPH PT. Arjuna Wiwaha di Kalimantan Tengah. Tesis Pascasarjana. UNMUL. Samarinda.
48
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
EVALUASI KOMPONEN PENYUSUN SISTEM AGROFORESTRI DI DESA SUNGAI ALANG, KECAMATAN KARANG INTAN, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN Mahrus Aryadi, Arfa Agustina, dan Eva Prihatiningtyas Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Agroforestry were developed in line with the society’s local wisdom, so that the structure and the established component were various. Agroforestry classifications based on many aspects depend on perspective and its necessity. One aspect which agroforestry classification based on was the complexity of agroforestry than monoculture in agriculture and/or in forestry. This classification was a first step to help agroforest implementation analysis in order to optimize its functions and benefits. Hence, global climate change was occurred because of the energy imbalance between earth and atmosphere, it might impact to biodiversity. This observation were aimed to evaluate compounding components and complexity of agroforest practice in mixed garden at Desa Sungai Alang; also determined the Basalt Area Width. This observation conducted some observation plots in one area; then, noted species which grown or live there as agroforest components, their functions, ages, basal area width and crown width of trees. There were found 9 species of woody components, 4 species of perennial components; and 1 species of animal which was goat. The largest basalt area was 2 Cempedak (Artocarpus integer) valued 4237,71 cm , which amounts 22 stands from all observation plot. According to the components that built up system, we concluded that an agrosilvopastoral was applied in this mixed garden. Keywords: agroforestry, diversity
I. PENDAHULUAN Ketika hutan alam tak ada lagi yang dapat dieksploitasi karena kayunya telah habis karena eksploitasi legal maupun ilegal, dan hutan tanaman yang diharapkan mampu mendukung ketersediaan bahan baku kayu belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kini Indonesia harus mampu melihat hutan tropisnya dengan paradigma yang berbeda. Hutan tidak lagi identik dengan kayu, apalagi hutan tropis yang sifatnya rentan. Hutan dapat memberikan jasa dalam bentuk yang lain, seperti fungsi hidrologi, fungsi ekologi, fungsi sosial dan budaya serta saat ini diketahui bahwa hutan berperan besar dalam upaya melindungi atmosfer bumi. Manfaat hutan ini terkadang diabaikan karena dianggap tidak dapat memberikan nilai ekonomis secara langsung. Salah satu alternatif pengelolaan lahan yang masih bisa mempertahankan fungsi hutan adalah agroforestri. Agroforestri merupakan suatu bentuk penggunaan lahan yang terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Sistem agroforestri meliputi bentuk-bentuk asli praktek agroforestri, sedangkan teknologi agroforestri menghasilkan bentuk agroforestri yang telah diperbaiki (ICRAF, 2002). Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem agroforestri adalah (Nair, 1993): pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan tempat (struktur), kepentingan dan peran komponen (fungsi), tujuan produksi atau hasil sistem (output), karakter sosial ekonominya, dan basis ekologinya. Ditinjau dari komponennya agroforestri dapat diklasifikasikan yaitu: 1. Agrosilvikultur, yaitu sistem agroforestri yang mengkobinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen pertanian (tanaman non kayu). 2. Silvopastura, yaitu sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (binatang ternak). Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
49
3. Agrosilvopastura, yaitu sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit managemen yang sama. 4. Silvofishey, yaitu bentuk agroforestri yang merupakan campuran kegiatan tanaman kehutanan dengan usaha perikanan. 5. Farm forestry, yaitu bentuk agroforestri yang merupakan campuran kegiatan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian dimana hutan bukan tanaman utama. Beberapa bentuk agroforestri yang yang telah dikenal di Indonesia menurut Dirjen RLPS (1986) adalah sebagai berikut : 1. Tumpangsari (taungya system) yaitu bercocok tanam dengan tanaman semusim selama jangka waktu tertentu diabtara tanaman semusim selama jangka waktu tertentu di antara tanaman pokok (tanaman hutan) sebagai upaya pemanfaatan hutan. 2. Wana ternak (silvopasture) yaitu model agroforestri yang merupakan campuran kegiatan dan peternakan. 3. Wana mina (silvofishery) yaitu model agroforestri yang merupakan campuran kegiatan kehutanan dan di daerah pantai dengan usaha perikanan. Terdapat interaksi yang erat dalam mekanisme kehidupan bersama vegetasi hutan, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis. Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Hal yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kualitatif dan kuantitatif apa saja yang diperlukan, penyajian data dan interpretasi data, agar dapat mengemukakan komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi komponen penyusun dalam kebun campuran, mengetahui kompleksitas bentuk agroforestri yang dilaksanakan, dan menghitung luas bidang dasar (LBD) tanaman berkayu dalam kebun campuran di Desa Sungai Alang. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 bulan, berlokasi di areal kebun campuran rakyat Desa Sungai Alang, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Kebun campuran ini mulai dikelola secara tradisional sejak tahun 1961. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang diperlukan antara lain: areal kebun campuran rakyat, meteran panjang (ukuran 50 m), meteran pendek (phi-band), tali berukuran panjang 100 m dan 20 m atau 20 m dan 5 m, tongkat kayu sepanjang 2,5 m dan 1,3 m, alat pengukur tinggi pohon, parang dan blangko pengamatan. C. Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membuat Sub-plot dengan ukuran 10 m x 10 m = 100 m2 untuk pengamatan/ pengukuran pohon dengan diameter > 30 cm 2. Mencatat nama dan koordinat (X, Y) setiap pohon dan mengukur diameter setinggi dada (1,3 m dari permukaan tanah) semua pohon yang masuk dalam sub-sub plot sebelah kiri dan kanan, dengan diameter 5 cm – 30 cm, juga dilakukan pengukuran lebar tajuk dan tinggi pohon
50
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
3. Mencatat nama jenis dan fungsi tanaman pertanian/semusim yang ditemui serta komponen ternak yang ada pada lahan agroforestri 4. Mencatat hasil pengukuran ke dalam blangko yang disediakan 5. Penyusunan petak ukur di lokasi penelitian disajikan dalam Gambar 1. D. Analisis Data Hasil pencatatan komponen penyusun dan jenis tanaman digunanakan untuk menentukan klasifikasi agroforestri berdasarkan komponen penyusunnya dengan ketentuan sebagaimana pada Tabel 1. Penentuan kompleksitas sistem agroforestri dilakukan sesuai ketentuan pada Tabel 2. Tabel 1. Klasifikasi agroforestri berdasarkan komponen penyusunnya No 1
Klasifikasi Agrisilvikultur
2
Silvopastura
3
Agrosilvopastura
Komponen Penyusun Komponen tanaman berkayu (kehutanan) dan komponen tanaman (semusim); Komponen tanaman berkayu (kehutanan) dan komponen berkayu (MPTS) Komponen tanaman berkayu (kehutanan) dan komponen peternakan ternak) Komponen tanaman berkayu (kehutanan); komponen pertanian (tanaman dan komponen peternakan (binatang ternak)
pertanian tanaman (binatang semusim)
Sumber: Sardjono et al. (2003)
Tabel 2. Kompleksitas dalam sistem agroforestri beserta ciri-cirinya No 1
Kompleksitas Sederhana
2
Kompleks
Ciri-ciri Pepohonan ditanam bersama dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim; Campuran dari beberapa jenis pepohonan dengan fungsi/tujuan yang berbeda Kenampakan fisiknya mirip dengan ekosistem hutan alam, melibatkan banyak jenis pepohonan, ekosistem menyerupai hutan, terdapat pula tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak.
Sumber: Hairiah et al. (2003), Arifin, et al. (2009)
PU 2
PU 4
PU 6
PU 7 jalan
PU 1
PU 3
PU 5
PU 8
PU 10
PU 11
PU 12
PU 9
Gambar 1. Denah penentuan petak ukur pada lokasi penelitian Tutupan lahan dihitung dengan pendekatan Luas Bidang Dasar (LBD) untuk tiap jenis tanaman yang diukur, lalu dijumlahkan untuk mengetahui LBD total dengan rumus: LBD = ¼ π d2 Keterangan: LBD = luas bidang dasar; π = 3,14; d = diameter
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
51
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan komponen penyusun dalam areal pengamatan untuk tiap petak ukur disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Pengamatan jenis, manfaat dan fungsi ekologis tanaman dalam petak ukur No PU 1 1 2 3 PU 2 1 2 3 4 5 6 PU 3 1 2 3 4 PU 4 1 2 PU 5 1 2 3 4 5 6 7 1 PU 6 1 2 3 PU 7 1 2 3 4 PU 8 PU 9 PU 10 PU 11 PU 12 1 2 3 4
52
Komponen Manfaat Fungsi Ekologis Pohon Karet Getah Konservasi tanah dan air Langsat Buah Konservasi tanah dan air Cempedak buah Konservasi tanah dan air Pohon Cempedak Buah Konservasi tanah dan air Petai Buah Penyubur tanah Ramania Buah Konservasi tanah dan air Durian Buah Konservasi tanah dan air Langsat Buah Konservasi tanah dan air Kopi Biji Pengisi Pohon Cempedak Buah Konservasi tanah dan air Petai Buah Penyubur tanah Durian Buah Konservasi tanah dan air Jambu-jambuan Buah Konservasi tanah dan air Pohon Durian Buah Konservasi tanah dan air Cempedak Buah Konservasi tanah dan air Pohon Cempedak Buah Konservasi tanah dan air Sungkai Kayu Konservasi tanah dan air Karet Getah Konservasi tanah dan air Rambutan Buah Konservasi tanah dan air Rambai Buah Konservasi tanah dan air Petai Buah Penyubur tanah Kopi Biji Pengisi Tanaman bawah/semusim Singkong Umbi Penggembur tanah Pohon Cempedak Buah Konservasi tanah dan air Karet Getah Konservasi tanah dan air Kopi Biji Pengisi Pohon Karet Getah Konservasi tanah dan air Langsat Buah Konservasi tanah dan air Cempedak Buah Konservasi tanah dan air Petai Buah Penyubur tanah Rumput dan alang-alang Makanan Ternak Rumput dan alang-alang Makanan Ternak Pondok kerja dan tempat pengumpulan hasil kebun Ternak / kambing Penyubur tanah Tanaman semusim Nanas Buah Pengisi Pisang Buah Pengisi Singkong Umbi Penggembur Tanah Talas Umbi Pengisi
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Umur dipanen 7 tahun 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 5 tahun, lalu tiap 3 bulan 8 tahun, lalu tiap 3 bulan 10 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 5 tahun, lalu tiap 3 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 5 tahun, lalu tiap 3 bulan 10 tahun, lalu tiap 6 bulan 3 tahun, lalu tiap 3 bulan 10 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 15 – 25 tahun 7 tahun 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 5 tahun, lalu tiap 3 bulan 5 tahun, lalu tiap 3 bulan 3 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 7 tahun 5 tahun, lalu tiap 3 bulan 7 tahun 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 8 tahun, lalu tiap 6 bulan 5 tahun, lalu tiap 3 bulan
3 bulan 6 bulan 3 bulan 3 bulan
Hasil pengukuran diameter batang setinggi dada dipakai untuk menghitung luas bidang dasar tiap jenis tanaman berkayu yang ditemui, disajikan dalam Tabel 4. Penghitungan LBD dilakukan pada petak ukur 1 sampai 7 saja, karena hanya pada petak-petak tersebut terdapat komponen berkayu yang tidak ditemui pada petak ukur 8, 9, 10, 11 dan 12. Tabel 4. Hasil perhitungan luas bidang dasar (LBD) dan banyaknya jumlah individu jenis tanaman berkayu pada lokasi pengamatan pada tiap petak ukur Petak ukur (PU)
Jenis Tanaman berkayu
PU 1
Karet (Hevea brasiliensis) Cempedak Langsat Cempedak Petai Ramania Kopi Durian Cempedak jambu-jambuan Petai Durian Cempedak Durian Karet (Hevea brasiliensis) Cempedak Sungkai Kopi Rambai Petai Karet (Hevea brasiliensis) Cempedak Kopi Karet (Hevea brasiliensis) Cempedak Langsat Petai
PU 2
PU 3
PU 4 PU 5
PU 6
PU 7
Luas Bidang Dasar 2 (cm ) 1546,36 716,14 9,61 836,35 1472,46 168,24 15,54 3,86 1039,25 24,36 928,66 53,82 336,38 1605,41 1298,56 575,23 644,90 20,70 1,99 0,31 49,68 152,86 9,87 726,93 581,46 4,90 198,45
Jumlah individu 7 3 1 2 1 1 1 1 3 2 1 1 1 1 4 1 1 2 1 1 4 7 2 8 5 1 1
Pada petak ukur (PU) 1, LBD terbesar adalah pada jenis karet, yaitu sebesar 1546,36 cm2 dengan individu sebanyak 7. Total LBD pada PU 1 adalah 2272,13 cm2, dan ditemui sebanyak 11 individu. Pada petak ukur (PU) 2, LBD terbesar adalah pada jenis petai, yaitu sebesar 1472,46 cm2 dengan individu sebanyak 1. Total LBD pada PU 2 adalah 2500,35 cm2, dan ditemui sebanyak 7 individu. Pada petak ukur (PU) 3, LBD terbesar adalah pada jenis cempedak, yaitu sebesar 1039,25 cm2 dengan individu sebanyak 3. Total LBD pada PU 3 adalah 2046,09 cm2, dan ditemui sebanyak 7 individu. Pada petak ukur (PU) 4, LBD terbesar adalah pada jenis durian, yaitu sebesar 1605,41cm 2 dengan individu sebanyak 1. Total LBD pada PU 4 adalah 1941,79 cm2, dan ditemui sebanyak 2 individu. Pada petak ukur (PU) 5, LBD terbesar adalah pada jenis karet, yaitu sebesar 1298,56 cm2 dengan individu sebanyak 4. Total LBD pada PU 5 adalah 2541,72 cm2, dan ditemui sebanyak 10 individu. Pada petak ukur (PU) 6, LBD terbesar adalah pada jenis cempedak, yaitu sebesar 152,86 cm2 dengan individu sebanyak 7. Total LBD pada PU 6 adalah 212,42 cm2, dan ditemui sebanyak 13 individu. Pada petak ukur (PU) 7, LBD terbesar adalah pada jenis karet, yaitu sebesar 726,93 cm 2 dengan individu sebanyak 8. Total LBD pada PU 7 adalah 1511,76 cm2, dan ditemui sebanyak 15 individu. Rekapitulasi LBD berdasarkan jenis tanaman berkayu yang ditemui di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 5. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
53
Tabel 5. Rekapitulasi LBD berdasarkan jenis tanaman berkayu yang ditemui No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2
Jenis tanaman berkayu CEMPEDAK KARET PETAI DURIAN SUNGKAI RAMANIA KOPI LANGSAT RAMBAI JUMLAH
Luas Bidang Dasar (cm ) 4237,71 3621,54 2599,90 1663,10 644,90 168,24 46,11 18,39 1,99 13001,88
Jumlah Individu 22 23 4 3 1 1 5 3 1 63
Tabel 5 menunjukkan bahwa LBD terbesar adalah pada jenis Cempedak, yaitu sebesar 4237,71 cm2, dengan jumlah individu sebanyak 22. Jumlah individu terbanyak adalah untuk jenis karet sebanyak 23, dengan LBD seluas 3621,54 cm2. Sedangkan LBD terkecil adalah untuk jenis tanaman rambai yaitu 1,99 cm2 dari 1 individu pohon rambai. Jumlah keseluruhan LBD di lokasi penelitian adalah sebesar 13001,88 cm2 atau sebesar 1,3 m2 dari keseluruhan luasan penelitian 1200 m2. IV. KESIMPULAN Hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat 9 jenis pohon sebagai komponen berkayu, 4 jenis sebagai komponen tanaman semusim dan 1 jenis ternak, yaitu kambing sebagai komponen ternak. Luas Bidang Dasar terbesar yaitu untuk pohon jenis cempedak yaitu 4237,71 cm2, ditemui sebanyak 22 individu dari keseluruhan plot pengamatan. Berdasarkan komponen penyusunnya, bentuk agroforestri tersebut termasuk agrosilvopastura, berdasarkan kompleksitas komponen penyusun termasuk agroforestri sederhana. DAFTAR PUSTAKA Dirjen RLPS. 1986. Mengenal Usaha Tani Konservasi, Direktoral Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Hairiah K, Sardjono MA dan Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. ICRAF. 2002. Agroforestry for Livehood. Bogor Nair,P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers in Cooperation With International Center for Research in Agroforestry. ICRAF. Nederland. Soerianegara dan Indrawan A. 1982. Ekologi Hutan Tropika. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
54
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
HAMA KUMBANG SASTRA SP PADA AGROFORESTRY MANGLID Endah Suhaendah Balai Penelitian Teknologi Agroforestry E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Manglid (Manglieta glauca Bl) is one of fast growing tree species widely developed in private forests. The development of manglid species in the private forests is nowadays challenged by the pest attacts. The purpose of this study was to determine the type of pest, and intensity of pest attacks on manglid agroforestry. The experiment was conducted in April to September 2012 at Tanjungkerta Village, Pagerageung District, Tasikmalaya Regency. The study was conducted on manglid agroforestry in monoculture and mixed pattern. Observations were made with a plot size of 20 mx 20 m with 10% of sampling intensity. The results showed that pest attacked manglid species was the beetle, Sastra sp. The percentage of Sastra sp attack reached 100%. However, the intensity of Sastra sp attacks still low at 12.5% and 22.2% on mixed and monoculture pattern. Keywords: beetle, manglid, pests
I. PENDAHULUAN Manglid merupakan salah satu jenis andalan petani hutan rakyat karena tergolong jenis cepat tumbuh. Menurut Rimpala (2001) di Jawa Barat, manglid dijadikan komoditas unggulan pada program social forestry dan dikembangkan dengan pola agroforestry. Sebagai komoditas unggulan, manglid dapat ditemukan tersebar mulai dari lahan kosong, hutan rakyat, pekarangan, pinggir sungai, kebun campur, pinggir jalan ataupun fasilitas lainnya (Rohandi et. al., 2010). Kayu jenis ini sangat disukai karena selain kayunya mengkilat, strukturnya padat dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III dan keawetannya kelas II. Adapun keuntungan dari kayu tersebut ringan sehingga mudah dikerjakan dan karena kekuatan dan keawetannya, kayu tersebut sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah dan barang-barang (Djam’an, 2006). Menurut Rohandi et. al. (2010) kualitas tegakan manglid bervariasi di setiap lokasi di Priangan Timur. Pada lokasi dengan kurang pemeliharaan dan adanya serangan hama menyebabkan kondisi tegakan kurang optimal. Keberadaan hama tidak saja menyebabkan penurunan produksi namun juga dapat menyebabkan penurunan kualitas produk akhir yang dihasilkan (Yunasfi, 2007). Ada empat faktor utama yang memungkinkan hama dapat berkembang dengan baik, yaitu adanya tanaman inang (tanaman hutan) yang rentan dalam jumlah cukup, adanya hama yang ganas, kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan hama tersebut, dan manusia yang ikut mendukung timbul atau tidaknya suatu hama. Oleh karena itu, pencegahan awal terjadinya atau perkembangan suatu kerusakan merupakan hal yang utama dan dilakukan melalui perencanaan silvikultur dan pengelolaan yang baik. Apabila dapat diwujudkan maka prosedur itu akan lebih efektif daripada pengendalian langsung setelah kerusakan terjadi (Anggraeni, 2012). Salah satu pencegahan kerusakan hama dengan teknik silvikultur adalah pola tanam campuran, dengan jenis tanaman yang beranekaragam, kelimpahan makanan bagi hama menjadi berkurang sehingga diharapkan populasi hama berada di bawah ambang ekonomi. Pada penelitian ini, kajian dilakukan terhadap jenis hama, luas serangan dan intensitas serangan hama manglid pada pola agroforestry. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis hama, persentase serangan dan intensitas serangan hama manglid pada pola agroforestry.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
55
II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan April sampai September 2012 di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasi berada pada 07o111,87o - 07o108,66o dan E 108o206,67o - 108o196,03o dengan ketinggian 550 m dpl. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alkohol 70%, ethyl acetat dan tegakan manglid. Alat yang digunakan antara lain: pinset, kuas, botol koleksi, jaring serangga, kantong plastik dan alatalat tulis. C. Prosedur Penelitian dan Pengumpulan Data Penelitian dilakukan pada agroforestry manglid pola monokultur dan agroforestry manglid pola campuran. Pengamatan dilakukan pada setiap lokasi dengan ukuran plot 20 m x 20 m dengan intensitas sampling 10%. Parameter yang diamati antara lain jenis hama, persentase serangan dan intensitas serangan. Persentase serangan hama dihitung dengan menggunakan rumus: P = Tanaman yang terserang x 100% Jumlah seluruh tanaman Intensitas serangan hama dihitung dengan rumus:
Dimana: I = Intensitas serangan, n = jumlah tanaman yang diamati dari setiap kategori serangan yang sama, v = nilai skala dari setiap kategori serangan, Z= nilai skala dari kategori serangan yang tertinggi, N = jumlah tanaman yang diamati
Tabel 1. Klasifikasi derajat kerusakan menurut kriteria Unterstenhofer (1963) Tingkat kerusakan Sehat Ringan (kurang sehat)Agak berat
-
Berat
-
Sangat berat
-
Kriteria kerusakan pada tanaman Tidak ada serangan. Daun rusak kurang dari 5% Sebagian kecil daun terserang. Daun rusak antara 5,1% 25% Sebagian besar terdapat lubang. Daun rusak antara 25,1% - 50% Daun banyak sekali terdapat lubang. Daun rusak antara 50,1% - 75%. Daun hampir gundul Daun rusak antara 75,1% - 100%
Nilai skala kerusakan 0 1 2 3 4
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Hama Berdasarkan hasil identifikasi LIPI, hama yang menyerang manglid termasuk ke dalam jenis kumbang dengan klasifikasi sebagai berikut: Ordo : Coleoptera Famili : Chrysomelidae Sub famili : Galerucinae Genus : Sastra Spesies : Sastra sp Hama ini merupakan hama pemakan daun. Hama berukuran ± 2 cm, berwarna hijau kekuningan. Ciri khas dari hama ini adalah meninggalkan bekas gigitan berupa lubang-lubang di daun seperti jala (Gambar 1). 56
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 1. Sastra sp B. Persentase dan Intensitas Serangan Persentase serangan kumbang Sastra sp, mencapai 100%. Namun demikian, intensitas serangan kumbang termasuk rendah yaitu 12,5% pada manglid campuran dan 22,2% pada manglid monokultur, dengan tingkat kerusakan termasuk sehat sampai ringan (Gambar 2). 11,1% sehat 88,9%
50%
50%
sehat ringan
ringan
A B Gambar 2. Tingkat kerusakan pada manglid monokultur (A) dan manglid campuran (B) Berdasarkan Gambar 2, tanaman dengan kategori rusak ringan pada agroforesry manglid monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan agroforestry manglid campuran dan tanaman dengan kategori sehat lebih tinggi pada pola agroforestry manglid campuran dibandingkan monokultur. Hal ini disebabkan adanya diversifikasi jenis tanaman pada pola campuran sehingga ketersedian makanan bagi kumbang Sastra sp pada pola campuran lebih tinggi dibandingkan pola monokultur. Miguel et. al. (2007) menyatakan bahwa pengendalian hama dapat dilakukan dengan diversifikasi tanaman. Kenaekaragaman hayati yang telah diperbaiki melalui diversifikasi, menciptakan ‘dasar’ di mana proses-proses ekologis utama, seperti pengendalian hama dapat berfungsi secara efektif. Keanekaragaman hayati juga penting untuk pertahanan tanaman: semakin beragam tumbuhan, dan organisme-organisme tanah dalam suatu sistem pengelolaan lahan, semakin beragam pula komunitas organisme menguntungkan yang bisa melawan hama. Organisme menguntungkan yang bisa melawan hama, di lokasi penelitian ditemukan musuh alami hama yaitu predator kumbang. Jenis predator yang ditemukan antara lain: Belalang sembah (Hierodula sp) dan laba-laba. Predator, merupakan salah satu komponen penyusun keanekaragaman hayati dalam suatu ekosistem dan berperan sebagai musuh alami hama. Setiap jenis hama secara alami dikendalikan oleh musuh alaminya. Mengingat pentingnya peran musuh alami tersebut, maka diperlukan upaya konservasi musuh alami. Konservasi musuh alami berkaitan erat dengan cara pengelolaan lahan. Modifikasi faktor lingkungan yang bisa mengiotimalkan efektivitas kontrol dari musuh alami dapat dilakukan antara lain dengan menghindari merusak sarang musuh alami, menanam tanaman yang dapat menjadi alternatif tempat bersembunyi musuh alami, menganekaragaman tanaman budidaya dan penggunaan tanaman penutup untuk menambah daya tahan hidup musuh alami. Apabila musuh alami mampu berperan sebagai pemangsa secara optimal sejak awal, maka populasi hama dapat berada pada tingkatan equilibrium position atau fluktuasi populasi hama dan musuh alami menjadi seimbang sehingga tidak akan terjadi ledakan hama (Aminatun, 2009). Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
57
Berdasarkan hasil inventarisasi, hama kumbang Sastra sp termasuk ke dalam golongan hama minor atau hama yang relatif kurang penting karena kerusakan yang diakibatkan oleh hama tersebut masih dapat ditoleransikan baik oleh tanaman maupun petani (Untung, 2006). Hal yang perlu diperhatikan untuk hama ini adalah monitoring perkembangan hama, karena cara pengelolaan ekosistem tertentu dapat memungkinkan hama minor berubah status menjadi hama utama. Menurut Sumardi dan Widyastuti (2007) pengendalian serangga hama pada dasarnya adalah suatu tindakan untuk mengatur populasi serangga agar tidak menimbulkan kerusakan yang secara ekonomis berarti. Anggraeni (2012) juga menyatakan bahwa tujuan dari pengendalian hama adalah untuk mencegah terjadinya kerugian ekonomis serta menaikkan nilai produksi dari tanaman yang diusahakan. Hama ditekan atau dikurangi dan ditiadakan sampai di bawah ambang ekonomis. Usaha pengendalian dilakukan apabila biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan hama. Berdasarkan paparan tersebut, hama kumbang Sastra sp yang terdapat dilokasi penelitian tidak diperlukan upaya pengendalian, karena populasi hama masih di bawah ambang ekonomi. IV. KESIMPULAN Hama yang menyerang manglid termasuk ke dalam jenis kumbang dengan jenis Sastra sp. Persentase serangan kumbang Sastra sp, mencapai 100%. Namun demikian, intensitas serangan kumbang termasuk rendah yaitu 12,5% pada manglid campuran dan 22,2% pada manglid monokultur, dengan kategori kerusakan termasuk sehat sampai ringan. DAFTAR PUSTAKA Aminatun, T. 2009. Teknik Konservasi Musuh Alami untuk Pengendalian Hayati. WUNY Edisi Mei 2009. Anggraeni, I. 2012. Penyakit Karat Tumor pada Sengon dan Hama Cabuk Lilin pada Pinus. Puslitbang peningkatan Produktivitas Hutan Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Djam’an. 2006. Mengenal Manglid Baros (Manglieta glauca Bl) “Manfaatnya dan Permasalahan”. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi VI Tahun 2006. Miguel, A. A., L. Ponti dan C. I. Nicholls. 2007. Mengendalikan Hama dengan Diversifikasi Tanaman. SALAM 18 Maret 2007. Rimpala. 2001. Penyebaran Pohon Manglieta glauca Bl (Manglieta glauca Bl) di Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Laporan Ekspedisi Manglieta glauca Bl. www. rimpala.com. Diakses pada 30 Desember 2009. Rohandi, A., D. Swestiani, Gunawan, Y. Nurjaman, B. Rahmawan dan I. Setiawan. 2010. Identifikasi Sebaran Populasi dan Potensi Lahan Jenis Manglid untuk Mendukung Pengembangan Sumber Benih dan Hutan Rakyat di Wilayah Priangan Timur. Sumardi dan S.M. widyastuti. 2007. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Unterstenhofer. 1963. The basic principles of crop protection field trials. Pelanzenschutz Nachricheten-Bayer. Leverkusen. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu edisi revisi (2006). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yunasfi. 2007. Permasalahan Hama, Penyakit dan Gulma Dalam Pembangunan Hutan Tanman Industri dan Usaha Pengendaliannya. Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. 58
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
JENIS-JENIS RUMPUT PENUTUP TANAH DI KEBUN RAYA PURWODADI Solikin UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Grasses are the lowest plants stratum that useful for food livestock, ground cover to reduce soil erotion caused by water run off. Research to inventory species of the ground cover grasses conducted in Purwodadi Botanic Garden in February 2012 by line plotting on the open, litle open and rather shaded location which was made systematically, each was 50 plots, lenght 1 m/segment and 0,5 m between the segments. Results was found seven species of the ground cover grasses that grew among the trees namely Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus, Oplismenus burmannii, Oplismenus compositus, Panicum brevifolium, Paspalum conjugatum and Polytrias amaura. The dominant grasses was Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus and Polytrias amaura. Keywords: grass, ground cover, use
I.
PENDAHULUAN
Konservasi tanah sangat penting untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui pengendalian erosi. Hal ini dapat dilakukan secara vegetatif, mekanik dan kimia (Arsyad, 1989). Metode vegetatif dilakukan dengan cara menanam berbagai jenis tanaman seperti rerumputan dan tanaman lainnya dengan pola dan cara tertentu (Dariah, 2005) seperti yang telah diterapkan pada sistem agroforestri. Rumput adalah jenis tumbuhan yang banyak dijumpai tumbuh di lahan terbuka, agak terbuka, agak teduh atau teduh dan dapat secara efektif menutup permukaan tanah yang terbuka di antara tegakan, sela-sela tanaman, maupun bebatuan sehingga sangat penting untuk mengurangi erosi tanah. Arsyad (1971) menyatakan bahwa padang rumput yang tebal dapat meniadakan pengaruh hujan dan topografi karena akar-akar serabutnya dapat mengikat partikelpartikel dan bahan-bahan organik yang dihasilkan berfungsi sebagai pemantap agregat sehingga tanah menjadi stabil secara mekanik dan kimia. Vegetasi termasuk jenis rumput-rumputan yang ditanam searah kontur dalam bentuk strip dapat secara efektif menurunkan laju aliran permukaan dan kehilangan tanah akibat erosi (Lal , 1994, dalam Mudiana, 2000) Perlakuan strip rumput secara permanen selama tiga tahun atau lebih pada petak bertanaman mampu menekan erosi sampai nol (Abujamin dan Kurnia, 1980) Solikin et al.(2011) melaporkan bahwa padang rumput di kawasan Cagar Alam Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur yang memiliki topografi bergelombang, berbukit dan berjurang yang didominasi oleh pohon Eucalyptus urophylla, memiliki peranan penting dalam konservasi tanah dan air. Jenis-jenis rumput yang tumbuh di sini juga telah dimanfaatkan penduduk di sekitarnya sebagai salah satu sumber pakan ternak. Kemampuan rumput untuk menutup tanah ditentukan oleh jenis dan lingkungan seperti kesuburan tanah, cahaya, air dan kompetisi antar tumbuhan. Hal ini juga akan menentukan komposisi jenis dan dominansinya pada suatu komunitas. Pada tempat terbuka yang mendapat cahaya penuh biasanya banyak ditemukan jenis-jenis rerumputan berdaun sempit, agak kaku/tebal, dengan arah helai daun membentuk sudut yang sempit. Adaptasi dan toleransi jenis-jenis tumbuhan adalah bersifat genetik hasil proses evolusi (Smith, 2000) sehingga tidak semua jenis mampu tumbuh pada berbagai tingkat naungan. Kebun Raya Purwodadi memiliki beragam rumput baik pada lahan terbuka, seperti lawn maupun pada tempat-tempat teduh di bawah atau di sela-sela pohon. Solikin (2009) melaporkan bahwa terdapat sekitar 21 jenis rumput yang tumbuh di kebun ini. Walaupun demikian, hanya Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
59
beberapa jenis yang efektif sebagai penutup tanah. Keberadaan rumput di Kebun Raya Purwodadi adalah penting untuk mengurangi erosi, terutama pada lahan miring dan merupakan bagian komponen dari landskap kebun. Penelitian yang bertujuan untuk menginventarisasi jenisjenis rumput penutup tanah yang tumbuh di antara pepohonan yang tumbuh di Kebun Raya Purwodadi II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kebun Raya Purwodadi pada bulan Februari 2012 dengan mengamati jenis-jenis rumput yang tumbuh diantara tegakan pohon. Untuk menentukan komposisi jenis rumput dan jenis tumbuhan lainnya maka lokasi dibagi menjadi: a)terbuka ( penetrasi cahaya 51- 100%), b)Agak terbuka ( penetrasi cahaya 26-50%) dan c)Agak teduh ( penetrasi cahaya 5-25%). Analisis vegetasi pada masing-masing lokasi dilakukan di petak XIII K (agak terbuka), XIII H (agak teduh) dan petak II A (terbuka) dengan membuat sampel petak yang sengaja dibuat secara sitematis pada masing-masing lokasi dengan menggunakan metode garis sepanjang 1 m sebanyak 50 segmen garis; jarak antar segmen garis 0,5 m. Inventarisasi jenis tumbuhan dilakukan sepanjang garis yang dilalui dengan mencatat jenis, jumlah dan panjang area penutupannya. Kemudian dihitung kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif, Indeks Nilai Penting (Anonim, 1997; Indriyanto, 2006): Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan jenis X 100 % Kerapatan seluruh jenis Kerapatan mutlak (KM) = Jumlah individu suatu jenis panjang segmen garis Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi jenis X 100 % Frekuensi seluruh jenis Frekuensi mutlak (FM) = Jumlah segmen garis berisi suatu jenis Jumlah seluruh segmen garis Dominasi Relatif (DR) = Dominasi jenis X 100 % Dominasi seluruh jenis Dominasi mutlak(DM) = jumlah panjang penutupan jenis Panjang segmen garis Indeks Nilai Penting (INP)= K R + F R + DR Indeks Keragaman jenis tumbuhan Shannon-Weaver dihitung dengan rumus (Retnaningdyah et al., 1999): t H’ = - Σ (n.N-1) ln (n.N-1) 1 H’= indeks keragaman t= jumlah jenis ni : total jumlah individu spesies i N :Total jumlah individu dalam komunitas Jika indeks keragaman : 0 = rendah 1-3= sedang >3 = tinggi
Indeks kesamaan antar komunitas dihitung menggunakan rumus(Odum, 1998): Is = 2C A+B Is= indeks kesamaan C= jumlah spesies yang sama yang terdapat pada kedua komunitas A= Jumlah spesies di dalam komunitas A B= Jumlah spesies di dalam komunitas B
60
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis rumput penutup tanah Pada petak percobaan ditemukan 7 jenis dan 6 marga rumput penutup tanah yang penting di Kebun Raya Purwodadi yang berfungsi untuk mengurangi erosi dan berpotensi sebagai pakan ternak yaitu Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus, Oplismenus burmannii, Oplismenus compositus, Panicum brevifolium, Paspalum conjugatum dan Polytrias amaura (Tabel 1. Tabel 2 dan Tabel 3). Penyebarannya beragam tergantung pada kondisi tingkat naungan akibat adanya pepohonan di sekitarnya. Pada lokasi terbuka, tempat cahaya dapat mencapai 100% didominasi oleh Polytrias amaura dan Chrysopogon aciculatus masing-masing dengan nilai INP 71,28 dan 70,53. Kedua jenis rumput ini dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan jenis herba lainnya, karena memiliki pertumbuhan yang cepat, perbanyakannya secara vegetatif atau generatif, tahan pangkas, tahan hama dan penyakit dan toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah. Tabel1. Komposisi dan Struktur Jenis Tumbuhan pada Habitat Rumput dan herba lain di Lokasi Terbuka No
Poaceae
2
Jenis Chrysopogon aciculatus (Retz.) Trib Axonopus compressus (Swartz.)Beauv
DR
KR
INP
16,85
27,33
26,36
70,53
0,35
Poaceae
8,79
6,21
6,06
21,06
0,17
3
Centella asiatica (L.) Urb.
Apiaceae
0,73
0,20
0,27
1,20
0,02
4
Fimbristilis fusca CB.Clarke
Cyperaceae
1,47
0,36
0,54
2,36
0,03
5
Aneilema sp
Commelinaceae
12,82
8,08
5,39
26,30
0,16
6
Cyperus brevifolius (Rottb.)Hassk,
Cyperaceae
11,36
8,70
19,59
39,64
0,32
7
Desmodium triflorum (L.) DC
Papilionaceae
14,65
14,15
9,43
38,24
0,22
8
Elephantopus scaber L.
Asteraceae
10,99
6,53
4,45
21,96
0,14
9
Emilia sonchifolia (L.)DC ex Weight
Asteraceae
0,73
0,20
0,27
1,20
0,02
10
Lindernia sp. L.
Scropulariaceae
3,30
1,00
1,35
5,64
0,06
11
Oldenlandia corymbosa L.
Rubiaceae
0,37
0,10
0,10
0,57
0,01
12
Polytrias amaura (Buese) O.K.
Poaceae
17,95
27,15
26,18
71,28
0,35
1
suku
FR
H’
1,84
Tabel 2. Komposisi dan Struktur Jenis Tumbuhan pada Habitat Rumput dan herba lain di Lokasi AgakTerbuka No
Suku
KR
FR
Asteraceae
0,76
0,76
0,13
1,64
0,03
2
Ageratum conyzoides L. Axonopus compressus (Swartz.)Beauv.
Poaceae
37,88
37,88
61,22
136,98
0,36
3
Bacopa sp
Schropulariaceae
3,79
3,79
0,48
8,06
0,10
4
Borreria laevis (Lamk.) Griseb.
Rubiaceae
5,30
5,30
0,83
11,44
0,12
5
Cyathula prostata (L.) Bl.
Amaranthaceae
1,52
1,52
0,42
3,45
0,05
6
Cyperus brevifolius (Rottb.)Hassk,
Cyperaceae
2,27
2,27
0,42
4,96
0,07
7
Desmodium triflorum (L.)DC.
Papilionaceae
0,38
0,76
0,21
1,34
0,02
8
Elephantopus scaber L.
Asteraceae
35,61
35,61
34,38
105,59
0,37
9
Lindernia crustacea (L.) F.V.M. Oplismenus burmanni (Retz.)Beauv.
Schropulariaceae
2,27
2,27
0,31
4,86
0,07
Poaceae
5,30
5,30
0,96
11,57
0,13
1
10
Jenis
DR
INP
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
H’
61
No
Jenis
Suku
KR
FR
DR
INP
H’
11
Peperomia pellucida (L.)H.B.K.
Piperaceae
0,76
0,76
0,13
1,64
0,03
12
Piptadenia peregrina Benth.
Mimosaceae
0,76
0,76
0,10
1,62
0,03
13
Typhoniun trilobatum (L.)Scott.
Araceae
3,03
3,03
0,42
6,48
0,08 1,45
Tabel 3. Komposisi dan Struktur Jenis Tumbuhan pada Habitat Rumput dan herba lain di Lokasi Agak Teduh No
suku
1
Jenis Axonopus (Swartz.)Beauv.
28,07
49,15
40,54
117,76
0,37
2
Commelina diffusa Burm.f.
Commelinaceae
1,17
0,756
1,56
3,49
0,05
3
Cyathula prostrata (L.) Bl.
Amaranthaceae
4,68
3,025
2,45
10,16
0,11
Cyperus brevifolius (Rottb.)Hassk,
Cyperaceae
4,68
3,025
0,56
8,26
0,10
Desmodium triflorum (L.)DC.
Papilionaceae
0,58
0,378
0,22
1,19
0,02
Elephantopus scaber L.
Asteraceae
26,32
21,36
37,06
84,74
0,36
Borreria laevis (Lamk.) Griseb
Rubiaceae
0,58
0,378
1,29
2,26
0,04
Laportea sp. Oplismenus (Retz.)Beauv.
Urticaceae
2,92
1,89
0,22
5,04
0,07
4 5 6 7 8 1
compressus
burmanni
FR(%)
KR
DR
INP
H’
Poaceae
Poaceae 9,36
6,049
9,33
24,73
0,21
Panicum brevifolium L.
Poaceae
2,34
1,512
0,20
4,05
0,06
11
Paspalum conjugatum Berg.
Poaceae
5,26
3,403
1,85
10,52
0,12
12
Peperomia pellucida (L.)H.B.K.
Piperaceae
0,58
0,378
0,29
1,25
0,02
13
Sydnedrella nodiflora (L.) Gaertn.
Asteraceae
1,17
0,756
1,49
3,42
0,05
14
Syzygium cumini (L.) Skeels
Myrtaceae
4,68
3,025
0,33
8,04
0,10
Typhoniun trilobatum (L.)Scott.
Araceae
4,09
2,647
1,29
8,03
0,10
Piptadenia peregina Benth.
Mimosaceae
0,58
0,378
0,18
1,14
0,02
Samanea saman(Jacq.) Meer
Mimosaceae
1,17
0,756
0,60
2,53
0,04
Gymnostachium sp.
Acanthaceae
1,17
0,756
0,29
2,22
0,04
Ruellia tuberosa L.
Acanthaceae
0,58
0,378
0,22
1,19
0,02
10
15 16 17 18 19
1,89
Polytrias amaura (suket lamuran) berumur tahunan, tumbuh merayap, pertumbuhannya cepat,batang rebah, membentuk lempengan ,bercabang-cabang, tahan pemangkasan, pada bukubuku keluar akar, tinggi 10 – 30 cm, batang beruas, silindris, tengah berongga. Daun lanset, panjang 1-5 – 7 cm, lebar 0,2 – 0,7 cm. tepi kasar, hijau. Perbungaan majemuk, bulir, di ujung batang, panjang 2- 10 cm, anak bulir berbulu coklat, panjang 0,2 – 0,5 cm. Penyebarannya meliputi India, Myanmar, kawasan Malesia dan Cina (Gilliland, 1979) mulai dataran rendah hingga 1600 m dpl, tahan kering, toleran terhadap tanah yang kurang subur (Backer dan vanden Brink, 1968). Pada daerah beriklim kering rumput ini sering mendominasi kawasan dan berpotensi sebagai pakan ternak dan padang penggembalaan di daerah kering. Heyne (1987) melaporkan bahwa nilai gizinya sedang dan dahulu disukai peternak di Jawa Timur dan Jawa Tengah Chrysopogon aciculatus (domdoman, rumput jarum) berumur tahunan yang pertumbuhannya cepat, menyukai tempat terbuka mulai dataran rendah hingga1650 m dpl (Heyne, 1987). Tumbuhnya merayap dengan stolon dan membentuk lempengan yang tebal dan kuat, tinggi 20-60 cm. Helai daun memanjang atau pita 5-12 cm x 0,5-0,8 cm, tersusun rapat di sepanjang stolon sehingga membentuk hamparan yang menutup tanah. Perbungaan majemuk, terminal, malai, tegak. Bulir yang masak berwarna kecoklatan, runcing dan mudah menempel pada 62
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
kain. Rumput ini sering digunakan sebagai penutup tanah di pekarangan, lapangan olahraga atau jalan dan makanan ternak kuda atau lembu Pada lokasi agak terbuka dan agak teduh yang memiliki kerapatan pohon lebih tinggi daripada lokasi terbuka didominasi oleh Axonopus compressus (rumput karpet, paitan), masingmasing dengan nilai INP 136,98 dan 117,76. Rumput ini berumur tahunan, tumbuhnya merayap pada permukaan tanah, membentuk bahan jerami. Batang pipih, bercabang, beruas, pada buku-bukunya keluar akar, tinggi 10- 40 cm. Helai daun berbentuk lanset atau pita, panjang 4 - 30 cm, lebar 0,5 – 1,5 cm, hijau, permukaan bergelombang, kasar, berbulu. Perbungaan majemuk bulir, di ujung batang, umumnya tiap tangkai, panjang 3-12 cm. Rumput ini dapat tumbuh pada ketinggian 1-1400 m dpl (Backer dan van den Brink, 1968) yang berpotensi sebagai tanaman hias, penutup tanah dan sering dimanfaatkan untuk pakan ternak. Pertumbuhannya cepat, terutama pada musim hujan sehingga setiap 10-14 hari dilakukan pembabatan. Penyebarannya meliputi Karibia, Malesia, Amerika Tropik, dan daerah tropik lainnya (Gilliland, 1979). Heyne (1987) melaporkan bahwa rumput ini berpotensi sebagai pakan ternak dan mengandung nutrisi yang cukup tinggi Jenis rumput lain yang sering ditemukan di pada lokasi agak terbuka atau agak teduh adalah Oplismenus burmannii, Oplismenus compositus, Panicum brevifolium, Paspalum conjugatum. Oplismenus compositus, O. Burmannii dan Panicum brevifolium sering ditemukan diantara pepohonan pada lokasi yang teduh yang tumbuh pada pada permukaan tanah yang berserasah, akarnya tidak dalam, 5 cm. Tumbuhan ini memiliki peranan yang penting sebagai penutup tanah pada loaksi teduh, tempat Axonopus tidak banyak ditemukan. Oplismenus burmannii (bedesan) berumur tahunan, tumbuh merayap pada permukaan tanah, batang berbuku; helai daun lonjong, asimetris, 1- 4x0,6 x 1,8 cm. Perbungaan terminal, panjang 10-30 cm. Berwarna putih kehijauan, rapat, panjang tandan 1-2 cm. Heyne (1987) melaporkan bahwa rumput ini dapat ditemukan di Jawa, Madura, Sulawesi, Timor dan Ternate pada dataran rendah hingga 700 m dpl. Menurut Gilliland (1979) rumput ini sangat baik untuk pakan ternak karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Rumput ini juga berkhasiat obat untuk melancarkan keluarnya susu dan diminum untuk wanita hamil (Heyne, 1987) Oplismenus compositus (bedesan, lamisan) berumur tahunan, tumbuhnya merayap pada permukaan tanah, tinggi 10-40 cm. Batang bulat, berongga, bercabang, pada buku-buku sering tumbuh akar, panjang buku 1,5-6 cm, coklat muda. Helai daun memanjang atau lanset, tidak simetris, panjang 1,5 – 11 cm, lebar 0,6- 2,5 cm, hijau, permukaan berbulu halus, ujung runcing, pelepah 1-3 cm. Perbungaan majemuk, tandan, di ujung batang, panjang 4- 40 cm, terdiri atas 2- 6 tandan, 4-24 bunga setiap tandan, tidak bertumpuk, hijau, panjang 0,3-0,6 cm, benagsari 3. Rumput ini dapat tumbuh pada ketingian 1- 2200 m dpl pada tanah lembab (Backer dan Vanden Brink, 1968; Steenis, 2000). Rumput ini sering digunakan sebagai pakan ternak karena nilai nutrisinya cukup tinggi dan disukai herbivora (Heyne, 1987). Panicum brevifolium berumur tahunan tumbuh merayap, stolon berbuku dan sering muncul akar , tinggi 20-50 cm. daunnya memanjang, atau lanset, 2-7 cm x 0,5-1,0 cm. perbungaan malai , terminal, panjang 6-21 cm. Penyebarannya Malesia, Afrika, Srilangka, India mulai dataran rendah hingga 1000 m dpl (Gilliland, 1987). Rumput ini disukai ternak dan mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi (Heyne, 1987) Paspalum conjugatum (Rumput kerbau) berumur tahunan, tumbuh merayap dengan stolon; batang berbuku dan sering muncul akar pada bukunya. Panjang ruas 2- 10 cm, tinggi mencapai 40 cm. Helai daun pita 5-21 x 0,8-1,5 cm. Perbungaan terminal, 2 bulir muncul pada ujung tangkai, ibu tangkai 5-17 cm bunga. Rumput ini menyebar di seluruh daerah tropik mulai dataran rendah hingga 1600 m dpl. Sangat baik untuk pakan ternak. B.
Komposisi tumbuhan herba penutup tanah Komposisi dan penyebaran jenis-jenis rumput secara alami adalah beragam pada setiap zona tingkat naungan (Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3). Keberagaman ini disebabkan karena Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
63
adaptasi dan lingkungan yang sesuai untuk masing-masing jenis berbeda. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada zona terbuka yang mendapat cahaya penuh didominasi oleh Polytrias amaura dan Chrysopogon aciculatus. Steenis (2002) juga melaporkan bahwa rumput ini mendominasi area terbuka di lahan kering dan Solikin (1999) menemukan jenis rumput ini mendominasi lahan pertanaman di antara tanaman jambu biji (Psidium guajava) di Sukolilo Bangkalan baik yang ditanam secara monokultur maupun tumpang gilir. Pada lokasi agak teduh yang didominasi oleh Axonopus Compressus paling banyak memiliki komposisi jenis paling tinggi yaitu sekitar 19 jenis, sedangkan pada lokasi terbuka yang didominasi oleh Polytrias amaura dan Chysopogon aciculatus sebanyak 12 jenis. Hal ini dapat dilihat dari indeks kesamaan antara kedua komunitas yang rendah yaitu 0,32; sedangkan antara lokasi agak teduh dan agak terbuka indeks kesamaannya paling tingi, yaitu 0,56 (Tabel 4). Hal ni menunjukkan tingkat kemiripan jenisnya pada kedua komunitas tinggi. Hal lain yang dapat mempengaruhi keragaman dan komposisi jenis adalah gangguan dari luar. Pada lokasi terbuka dan agak terbuka lebih banyak mengalami gangguan pembabatan dan pemadatan tanah oleh mesin pemotong rumput yang dapat menyebabkan jumlah jenis tumbuhan tumbuh lebih sedikit, sedangkan pada tempat agak teduh yang banyak ditumbuhi pohon disekitarnya gangguan terhadap pemadatan tanah lebih kecil, banyaknya perakaran yang menghalangi jalannya mesin dan memiliki kelembaban serta kesuburan tanah yang lebih tinggi akibat adanya serasah yang dihasilkan pohon-pohon di sekitarnya sehingga jenis tumbuhan yang ditemukan lebih banyak. Keragaman jenis tumbuhan pada masing-masing komunitas tergolong sedang, karena nilai keragamannya berkisar antara 1-3. Walaupun demikian keragaman pada lokasi agak teduh lebih tinggi daripada lokasi terbuka atau agak terbuka dengan nilai H’ sebesar 1,89 (Tabel 3). Tabel 4. Indeks Kesamaan Pada Tiga Komunitas Habitat Rumput di Kebun Raya Purwodadi Agakteduh
Agak terbuka
Terbuka
Agak teduh
-
0,56
0,32
Agak terbuka
0,56
-
0,4
Terbuka
0,32
0,4
-
C. Persebaran jenis pada tingkat naungan Perbedaan daya adaptasi atau toleransi jenis-jenis rumput terhadap tingkat naungan menyebabkan adanya perbedaan persebaran masing-masing jenis terhadap iklim mikro tersebut. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan dan nilai INP masing-masing jenis rumput pada setiap zona. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa terdapat 1 jenis rumput yang memiliki adaptasi luas terhadap tingkat naungan, yaitu Axonopus compressus karena dapat dijumpai pada setiap zona. Walaupun demikian, habitat tumbuh paling sesuai untuk tumbuhan ini adalah zona agak terbuka atau agak teduh (Tabel 2 dan Tabel 3) karena dapat mendominasi lokasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa rumput ini sesuai untuk digunakan sebagai tanaman penutup tanah pada lokasi agak terbuka taua agak teduh. Tabel 5. Keberadaan Jenis-jenis Rumput Pada Zona Tingkat Naungan No
Jenis
1
Axonopus compressus (Swartz.) Beauv.
2 3 4 5 6 7
Chrysopogon aciculatus (Retz.)Trin. Oplismenus burmanni (Rezt.) Beauv. Oplismenus compositus (L.) Beauv. Panicum brevifolium L. Paspalum conjugatum Berg. Polytrias amaura (Buese) OK 64
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Terbuka
Lokasi Agak terbuka
Agak teduh
IV. KESIMPULAN Di Kebun Raya Purwodadi terdapat tujuh jenis rumput penting yang menjadi penutup tanah di antara jenis pepohonan yaitu Axonopus compressus, Chrysopogon aciculatus, Oplismenus burmannii, Oplismenus compositus Panicum brevifolium, Paspalum conjugatum dan Polytrias amaura. Rumput ini berpotensi sebagai makanan ternak dan untuk mengurangi erosi akibat aliran permukaan. Jenis rumput penutup tanah yang dominan pada lokasi agak terbuka atau agak teduh adalah Axonopus compressus, sedangkan pada lokasi terbuka adalah Chrysopogon aciculatus dan Polytrias amaura. DAFTAR PUSTAKA Abujamin, S. & U. Kurnia. 1980. Pengaruh Pola Tanam dan Strip Rumput Permanen terhadap Erosi pada Tanah latosol Darmaga dalam Laporan Proyek Penelitian Tanah Tahun anggaran 1979/1980. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Anonim, 1997. Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Pakuan. Bogor. Arsyad, S. 1971. Pengawetan Tanah dan Air. IPB. Bogor Arsyad,S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor Backer, C.A. dan R.C. B. Van den Brink. Jr. 1968, Flora of Java Vol.III. NV Walters-Noordhoof N.V. Groningen. Netherlands Dariah, A. 2005. Konservasi Tanah pada Lahan Usaha Tani Berbasis tanaman Perkebunan. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Badan Litbang Pertanian. Bogor. Gilliland, HB. 1971. A Revised Flora of Malaya: Graasses of Malaya. Auspies The Botanic Gardens Singapore. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Terjemahan Badan Litbang Kehutanan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta. Retnaningdyah, C.,E. Arisoesilaningsih, B. Yanuwiadi, U. Marwati, S. Samino, 1999. Penuntun Praktikum Ekologi. Jurusan Biologi – Fakultas MIPA. Universitas Brawijaya. Malang Smith, H. 2000. Plant arcitecture and Light Signals. In Marshall and Roberts, JA (edts)Leaf Development and canopy Growth. Sheffield Academic Press. England: 118-144. Solikin. 1999. Komposisi Gulma pada Budidaya Jambu Biji di Desa Sukolilo Timur Bangkalan Madura. Prosiding Seminar nasional XVI Tumbuhan Obat Indonesia. Badan PenerbitUniversitas Diponegoro. Semarang. P 10-14. _____.,2009. Kajian Jenis-jenis Rumput Herba Pada Berbagai Naungan di Kebun Raya Purwodadi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Lingkungan VI. Jurusan Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Surabaya. Oktober 2009. 10-17. ISBN: 978-60295595. _____., A.Masrum, Suhadinoto&Japar. 2011. Laporan Eksplorasi Flora di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis dan Taman Wisata Alam Camplong Nusa Tenggara Timur.UPT BKT Kebun Raya Purwodadi-LIPI Steenis, van CGGJ. 2003. Flora untuk Sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Kohnke,H. &A.R. Bertrand. 1959. Soil Conservation. McGraw Hill Book Co. Inc. New York.(dalam) Mudiana, P. 2000. Pengaruh Strip Rumput terhadap Aliran Permukaan, Erosi dan Produktivitas Lahan serta Kemungkinann pangadopsiannya di Desa Tangkil Kecamatan Caringin. Bogor. Skripsi. IPB Dariah, A. 2005. Konservasi Tanah pada Lahan Usaha Tani Berbasis tanaman Perkebunan. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Badan Litbang Pertanian. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
65
KAJIAN PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT DALAM SISTEM AGROFORESTRI Tati Suharti, Yulianti Bramasto, dan Naning Yuniarti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Many of species of plants can be used as raw material of medicine. Medicinal plants plays an important role in the healthcare of people. Movement back to nature has led to increased usage medicinal plants. People have made extensive use of medicinal plants. As a result, an imbalance between needs and availability of raw materials resulting in declining drug preparation material resources. As a consequence, it is necessary to protect, conserv and cultivate of medicinal plants. There are a number forest tree that can be used as a medicinal plant as Alstonia scholaris, Ficus benyamina, Swietenia mahagoni, Litsea firma, Melia azedarach, Azadirachta indica, Aglaia odorata, Syzygium polyanthum, Annona squamosa, Hibiscus tiliaceus, Shorea leprosula, Dyera costulata, Peronema canescens, Shorea stenoptera, Vitex pubescen, Calamus sp., Albizia procera, Lansium domesticum, Arenga pinnata, Cassia alata, Melaleuca leucadendron, Abrus precatorius and Litsea cubeba. In The Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP), shade-tolerant plants such as zingiberaceae (Zingiber officinale, Curcuma alba, Curcuma domestica, Zingiber amaricans, Curcuma aeruginosa, Curcuma xanthorrhiza) can be intercropped. Therefore, established forest plantations can be intercropped with medicinal plants similar to food crops. In agroforestry, there are two types of intercropping systems can be distinguished involving medicinal plants: medicinal plants as upperstory trees and medicinal plants as intercrops between other tree. Keywords: Medicinal plants, intercropping, agroforestry
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara tropis yang merupakan pusat berbagai jenis tumbuhan. Bahkan, Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua paling lengkap di dunia setelah Brazil. Dari sekian banyak tumbuhan tersebut, banyak diantaranya berpotensi sebagai tanaman obat. Gerakan kembali ke alam (back to nature) telah mendorong peningkatan pemakaian bahan baku dari alam sebagai obat. Misalnya, obat herbal yang saat ini sangat disukai masyarakat, baik sebagai obat alternatif maupun untuk pemeliharaan kesehatan. Munculnya kesadaran akan berbahayanya bahan-bahan kimiawi yang terkandung dalam obat-obatan sintetis merupakan salah satu faktor peningkatan penggunaan tanaman obat. Disamping itu kenyataan menunjukkan adanya beberapa penyakit yang tidak mampu diatasi dengan obat kimia. Sejalan dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap penggunaan obat tradisional, maka kebutuhan bahan baku obat dari tumbuhan terus meningkat. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan tersedianya bahan baku obat mengakibatkan menurunnya persediaan sumber bahan tersebut. Sebagai konsekuensinya, maka perlu perlindungan, pelestarian dan budidaya tanaman obat. Kawasan hutan tanaman mempunyai potensi besar untuk tempat membudidayakan dan mengembangkan berbagai jenis tanaman obat. Tanaman obat yang beranekaragam jenis, habitus, ekologi dan khasiatnya menpunyai peluang besar dan memberikan kontribusi yang tidak ternilai bagi pembangunan dan pengembangan hutan tanaman di Indonesia. Berbagai keuntungan yang dihasilkan dengan berperannya tanaman obat dalam hutan tanaman adalah : pendapatan, konservasi berbagai sumber daya, pendidikan non formal, keberlanjutan usaha dan penyerapan tenaga kerja (Sugiharti et al., 2002). 66
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
II. PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT DALAM SISTEM AGROFORESTRI Berbagai jenis tanaman obat dapat ditemukan pada hutan alam, hutan tanaman, kebun bahkan di pekarangan rumah. Jenis-jenis tanaman yang dapat dijadikan obat sangat melimpah antara lain : gulma, tanaman hias, tanaman budidaya maupun tanaman yang ada di hutan alam. Usaha yang dapat dilakukan untuk melestarikan tanaman obat adalah pembuatan demplot tanaman seperti demplot tanaman obat pada Taman Nasional Bukit Barisan (Gambar 1) sedangkan pengembangan untuk keperluan bahan baku obat adalah budidaya, pengolahan tanaman obat dan usaha pedesaan tanaman obat.
Gambar 1. Demplot Tanaman Obat di Taman Nasional Bukit Barisan Jenis-jenis tanaman obat yang terdapat di demplot yaitu jenis-jenis yang terdapat di dalam dan sekitar kawasan, langka, bernilai ekonomis dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Fungsi demplot tanaman obat ini antara lain untuk melestarikan beberapa jenis tanaman obat secara in-situ, mengumpulkan dan seleksi bibit tanaman obat, sebagai sarana bagi penelitian program pengembangan plasma nutfah dalam hal ini tanaman obat, sebagai sumber benih bagi kegiatan budidaya (Sugiharti et al., 2002). Bibit yang ditanam ada demplot sebagian besar dikumpulkan dari kawasan, ada juga yang berasal dari hasil budidaya masyarakat setempat.. Kebutuhan bibit untuk demplot ini berasal dari stek misalnya kunyit, kunir putih, jahe, temu ireng, temulawak, lempuyang sedangkan hanya satu jenis yang berasal dari perbanyakan biji yaitu burahol, selain itu beberapa menggunakan sistem puteran. Sistem puteran dilakukan untuk jenis tanaman obat yang dikumpulkan dari kawasan antara lain kedawung, pulai, pasak bumi, kenanga, sembung, kemuning dan mengkudu. Jenis-jenis tanaman obat yang terdapat pada demplot tanaman obat di Taman Nasional Bukit Barisan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis Tanaman Obat yang Terdapat di Demplot Tanaman Obat Taman Nasional Bukit Barisan No 1 2 3
Nama Daerah Burahol Cabe Jawa Jahe
Nama Ilmiah Stelechocarpus burahol Piper refrofractum Zingiber officinale
Kedawung
Parkia roxburghii
5 6 7 8 9 10 11 12
Kanyere Kemuning Kenanga Kumis Kucing Kunir putih Kunyit Lempuyang Mahkota Dewa
Bridelia monoica Murraya paniculata Cananga odorata Orthosiphon spicatus Curcuma alba Curcuma domestica Zingiber amaricans Phaleria macrocarpa
13
Mengkudu
Morinda citrifolia
4
Kegunaan Pewangi air seni, pewangi keringat Kejang perut, muntah, perut kembung Anti-radang, menghangatkan badan, sakit kepala, pegal, sakit otot Kembung, diare, perut melilit, batuk Penambah nafsu makan Batu ginjal, kandung kemih, bisul, luka Kurang nafsu makan, lemah jantung, Kandung kemih, encok, masuk angin Kanker, maag, nyeri lambung Anti radang, anti bakteri, anti oksidan Demam, rematik, sakit perut Kanker, tumor, antidisentri, eksim, hepatotoksik, dan antibodi Pencahar, peluruh urin, obat cacing
Sumber Heyne (1987) Utami (2008) Maryani dan Kristiana (2004) Suharmiati dan Handayani ( 2005) Roosita et al. (2007) Hariana (2008) Hariana (2008) Hariana (2008) Hariana (2008) Hembing (2005) Hariana (2008) Dalimartha (2003) Suharmiati dan
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
67
No
Nama Daerah
Nama Ilmiah
14 15
Pasak bumi Pulai
Eurycoma longifolia Alstonia scholaris
16
Sembung
Blumea balsamifera
17
Serai
Andropogon citratus
18
Suren
Toona sureni
19
Temu Hitam
Curcuma aeruginosa
20
Temulawak
Curcuma xanthorrhiza
Kegunaan meningkatkan kekuatan tulang, membersihkan darah, batuk Afrodisiak, demam, Demam, malaria, limpa, diabetes membesar, batuk berdahak, diar,
Sumber Handayani (2005)
Diare, sakit perut, kolera, masuk angin, jantung, malaria, demam, bronchitis penurun panas, pereda kejang, nyeri lambung, diare, pegal linu, batuk Mules, demam, kencing manis, gondok Penyakit kulit, perut mulas, sariawan, batuk, sesak napas Kolesterol, pencahar, penambah ASI,
Dalimartha (1999)
Supriadi (1998) Dalimartha (1999)
Kurniawati (2010) Sangat et al. (2002) dalam Darwiati (2009) Dalimartha (2003) Hariana (2008)
Pada sistem agroforestri, pola tanam tumpang sari tanaman obat yang dapat dilakukan terdapat dua macam yaitu tanaman obat berupa pohon seperti mahoni ditanam dengan tanaman jagung, singkong dan padi (Ekasari, 2003) dan tanaman obat sebagai tanaman sela seperti jahe, kunyit, temulawak, kencur dan laos ditanam pada hutan jati (Subagyono et al., 2003). Tanaman obat berupa perdu seperti lempuyang, temu ireng, serai wangi, kunir putih, kunyit, mengkudu, dan temulawak dapat tumbuh optimal walaupun ditanam secara tumpang sari dengan tanaman hutan yang juga berfungsi sebagai tanaman obat seperti pulai dan suren. Dengan demikian beberapa tanaman mempunyai potensi untuk dibudidayakan secara tumpang sari dengan tanaman hutan mengingat tanaman tersebut secara alami dapat tumbuh di bawah naungan pohon di hutan alam (Gambar 2). M a h k o t a d e w a Mahkota Dewa Lempuyang Temu Serai wangi Kunir putih Pasak bumi ireng M Burahol Mengkudu a Kelandri h k P a s a k b u m I Pasak o t a Kedawung KumIs kucIng Temulawak d e w a
Temulawak
Cabe jawa
Kunyit
Mengkudu Kelandri
Mengkudu Kelandri
bumi
Mengkudu
Lempuyang
Sembung
Pulai
Kemuning
Pulai
Jahe Kemuning Suren Pulai Kelandri
Suren
Kemuning
Suren Pulai
T e m u l a w ak Pulai
Kenanga
Pulai Mahkota Dewa Jahe
Gambar 2. Denah Demplot Tanaman Obat Taman Nasional Bukit Barisan Beberapa tanaman hutan selain dimanfaatkan sebagai penghasil kayu, serat, pangan, energi, biodiesel, minyak atsiri, resin, getah juga bermanfaat sebagai obat (Tabel 2). 68
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tabel 2. Jenis-jenis tanaman hutan yang berfungsi sebagai tanaman obat Jenis Beringin Mahoni
Nama Ilmiah Ficus benyamina Swietenia mahagoni
Kegunaan Demam, filek, radang amandel Kolesterol, pendarahan, lebam
Medang Mindi kecil Mimba Pacar cina Salam Srikaya Waru Meranti tembaga Jelutung
Litsea firma Melia azedarach Azadirachta indica Aglaia odorata Syzygium polyanthum Annona squamosa Hibiscus tiliaceus Shorea leprosula
Sakit pinggang Cacingan, kudis, hipertensi Malaria, kudis Perut kembung, batuk, diare Kolesterol, diabetes, hipertensi Borok, bisul, cacingan, diare Batuk, sesak, nafas, demam Malaria
Sumber Utami (2008) Agus (2009) dalam Astri el al. (2011) Hidayat dan Hardiansyah (2012) Dalimartha (2003) Setiawati et al. (2008) Setiawati et al. (2008) Hariana (2006) Dalimartha (2003) Dalimartha (2003) Hidayat dan Hardiansyah (2012)
Dyera costulata
Obat kulit, digigit ular
Hidayat dan Hardiansyah (2012)
Sungkai Laban
Peronema canescens Vitex pubescen
Sakit gigi Obat luka
Hidayat dan Hardiansyah (2012) Hidayat dan Hardiansyah (2012)
Tengkawang Rotan Ki hiang Duku Aren Ketepeng Saga
Shorea stenoptera Calamus sp. Albizzia procera Lansium domesticum Arenga pinnata Cassia alata Abrus precatorius
Sakit gigi Kudis, luka bakar Kudis Malaria Hipertensi Gatal-gatal Epilepsi, batuk, sariawan
Ki lemo
Lisea cubeba
Kejang otot
Kayu putih
Melaleuca leucadendron
Flu
Hidayat dan Hardiansyah (2012) Hidayat dan Hardiansyah (2012) Hamzari (2008) Jalius dan Muswita (2013) Jalius dan Muswita (2013) Jalius dan Muswita (2013) Mosgi et al. (2005) dalam Juniarti et al. (2009) Mardisiwojo dan radjakmangun (1968) dalam Muchtaridi et al. (2005) Hamzari (2008)
Program pengembangan tanaman obat dalam sistem agroforestri yang dapat dilakukan antara lain : 1. Pelestarian tanaman obat. Perlu diintroduksi jenis-jenis tanaman obat terutama jenis-jenis yang sangat langka atau jenis-jenis yang terancam punah akibat eksploitasi besar-besaran. 2. Budidaya tanaman obat. Untuk menjamin stabilitas dan kepastian hasil tanaman, budidaya tanaman yang baik merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan. Untuk itu setiap tahapan sebaiknya harus diperhatikan dengan baik yaitu terdiri dari : Penyiapan lahan. Pengolahan tanah sangat penting untuk mendapatkan kualitas tanaman obat yang baik. Ukuran lubang tanam disesuaikan dengan jenis tanaman obat yang akan ditanam. Rata-rata ukuran lubang tanam yang sering dipakai untuk tanaman obat yaitu 30 cm x 30 cm x 30 cm. Setiap lubang tanam diberi pupuk kandang. Dosis pupuk kandang yang digunakan biasanya 1 – 2 kg/lubang tanaman. Pemberian pupuk kandang ini sekitar 1-2 minggu sebelum penanaman. Beberapa jenis tanaman obat yang peka terhadap genangan air, ditanam di bedengan. Rata-rata ukuran lebar bedengan yang digunakan yaitu 1-1,5 m dan tinggi 25-30 cm sedangkan panjang disesuaikan dengan panjang lahan. Jarak antar bedengan sekitar 25-30 cm. Untuk tanah asam perlu ditambah kapur misalnya dolomit dengan dosis 2 ton/ha (Syukur, 2005). Pembibitan. Pemilihan bibit menentukan hasil yang optimal. Ciri-ciri bibit yang baik antara lain tidak terserang hama dan penyakit, kokoh dan tidak terlalu tua (Syukur, 2005). Penanaman. Musim tanam tanaman obat biasanya dilakukan pada awal musim hujan. Di sekitar tanaman sebaiknya diberi mulsa berupa jerami, daun kering atau serasah (Syukur, 2005). Pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang, pupuk hijau atau kompos. Penggunaan pupuk kandang kotoran sapi atau kerbau akan Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
69
menghasilkan daun yang berwarna hijau. Pemupukan dilakukan setiap 2-3 bulan sekali atau disesuaikan dengan kondisi kesuburan tanah yang terlihat saat itu. Bila tanaman di bawah pohon yang berasal dari famili Leguminoceae tanaman tidak perlu dipupuk lagi karena tanahnya subur (Syukur, 2005). Pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, penyiraman, penyiangan. Penyulaman. Penyulaman biasanya dilakukan setelah tanaman berumur 3-5 minggu setelah tanam atau dapat juga dilakukan sesuai dengan kondisi tanaman. Bila proses penyulaman terlambat maka akan berpengaruh pada hasil panen (Syukur, 2005). Penyiraman. Penyiraman sebaiknya dilakukan 1-2 kali sehari tergantung kondisi iklim. Sementara itu di dataran tinggi dan kelembaban udara tinggi, tanaman obat cukup disiram sehari sekali bila tidak ada hujan (Syukur, 2005). Penyiangan. Kegiatan penyiangan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian pupuk kandang susulan, yaitu setelah tanaman berumur 1-1,5 bulan di lapangan. (Syukur, 2005). 3. Pengendalian hama dan penyakit. Pemakaian pestisida kimia sangat tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan residu dalam jaringan tanaman, dan dapat mempengaruhi kadar zat aktif. Oleh sebab itu, sebaiknya pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan pestisida nabati. Beberapa tanaman yang dapat mengendalikan hama dan penyakit antara lain mimba, mindi, suren, sirsak, dan cengkeh. Bagian tanaman seperti daun dipotong kecilkecil kemudian direndam air. Setelah tercampur rata, ramuan dibiarkan selama satu malam. Keesokan harinya ramuan tersebut disaring dan dilarutkan dalam air hangat. Sebagai bahan perekat ditambahkan detergen 1 gr/10 lt. 4. Usaha pedesaan jenis tanaman obat (pembuatan simplisia). Usaha pedesaan tanaman obat dapat meningkatkan pendapatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, menyediakan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Untuk mengoptimalkan usaha ini perlu adanya bantuan dari berbagai sumber atau mitra usaha. Bantuan tersebut antara lain pendampingan teknologi oleh penyuluh, pengadaan modal usaha (kredit), dan koperasi untuk pengadaan sarana produksi dan penampungan hasil. III. KESIMPULAN Diharapkan dengan adanya pengembangan tanaman obat dalam sistem agroforestri, dapat menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan dan pengadaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Astri, D., S. A. Ichsan dan S. Aldela. 2011. Pemanfaatan Limbah Kulit Kayu Mahoni sebagai Antivirus Human Papilloma Virus pada pengobatan Kanker Serviks.Program Kreativitas Mahasiswa. IPB. Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan obat Indonesia. Jilid 2. Agriwidya. Jakarta. Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan obat Indonesia. Jilid 3. Agriwidya. Jakarta. Darwiati, W. 2009. Uji Efikasi Ekstrak Tanaman Suren (Toona sinensis Merr) sebagai Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Daun (Eurema spp. dan Spodoptera litura F.). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Ekasari,
70
I. 2003. Jenis-jenis Pohon Wanatani yang Memiliki Nilai Komersial. http://www.agriculturesnetwork.org/magazines/indonesia/4-wanatani-masadepanku/jenis-jenis-pohon-di-lahan-wanatani-yang-memiliki/at_download/article_pdf. Diunduh tanggal 25 April 2013. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Hamzari. 2008. Identifikasi Tanaman Obat-obatan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Sekitar Hutan Tabo-Tabo. Jurnal Hutan dan Masyarakat, Vol. III, No. 2. Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 3. Penebar Swadaya. Jakarta. Hembing. 2005. Atasi Kanker dengan Tanaman Obat. Puspa Swara. Jakarta. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 2. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Dephut. Vol. 1 – 1V. Hidayat, D. dan G. Hardiansyah. 2012. Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Kawasan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Camp Tontang Kabupaten Sintang. Vokasi. Vol.8 No. 2. Hal.61-68. Fakultas kehutanan. Universitas Tanjungpura. Pontianak. Jalius dan Muswita. 2013. Eksplorasi Pengetahuan Lokal tentang Tumbuhan Obat di Suku Batin, Jambi. Biospecies, Vol. 6 No. 1. Juniarti, D. Osmeli dan Yuhernita. 2009. Kandungan Senyawa Kimia, Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan Antioksidan (1,1-diphenyl-2-pikrilhydrazyl) dari Ekstrak Daun Saga (Abrus precatorius L.). Makara, Sains, Vol. 13 No. 1: 50-54. Kurniawati, N dan Tim Redaksi Qanita. 2010. Sehat dan Cantik Alami Berkat Khasiat Bumbu Dapur. Mizan Pustaka. Bandung. Maryani, H. dan L. Kristiana. 2004. Tanaman Obat untuk Influenza. Agromedia Pustaka. Jakarta. Muchtaridi, A. Apriyantono, A. Subarnas dan S. Budijanto. 2005. Analisis Senyawa aktif dari Minyak Atsiri Kulit Batang Ki Lemo (Litsea cubeba) yang Menekan Aktivitas Lokomotor Mencit. Majalah Farmasi Indonesia 16 (1). Roosita, k., C. M. Kusharto, M. Sekiyama, Y. Fachrurozi dan R. Ohtsuka. 2008. Medicinal Plants Used by The Villagers of a Sundanese Community in West Java, Indonesia. Journal of Ethnopharmacology 115 (72-81). Setiawati, W., R. Murtiningsih, N. Gunaeni dan T. Rubiati. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. Subagyono, K., S. Marwanto dan U. Kurnia. 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Seri Monograf No. 1, Sumberdaya Tanah Indonesia. Departemen Pertanian. Sugiharti, T. dkk. 2002. Pembuatan Demplot Tanaman Obat di SSWK Sukaraja. Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lampung. Suharmiati dan L. Handayani. 2005. Ramuan Tradisional untuk Keadaan Darurat di Rumah. Agromedia Pustaka. Jakarta. Supriadi. 1998. Tumbuhan Obat, Khasiat dan Penggunaannya. Pustaka Indonesia. Jakarta. Syukur, C. 2005. Pembibitan Tanaman Obat. Penebar Swadaya. Jakarta. Utami, P. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat : 431 Jenis Tanaman Penggempur Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
71
KAJIAN POLA TANAM TERHADAP SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT DI HUTAN RAKYAT SUMATERA BAGIAN SELATAN ASMALIYAH Balai Penelitian Kehutanan Palembang E-mail:
[email protected]
ABSTRACT One of the problems often encountered in development of plantations forest including community forest are susceptible to pests and diseases, because it tends to monoculture planting pattern. One solution to reduce the damage of pests and diseases is to plant several plant species in agroforestry or mixed pattern, because the planting pattern is thought to have a relatively high resistance to pests and diseases. The research was conducted at the community forest is an area of natural distribution and cultivation area bambang lanang (Michelia Champaca) and tembesu (Fragaea fragrans) located in the province of South Sumatra, Lampung and Jambi provinces, with different planting patterns in 2010 to 2011. Observations and data collection conducted a census on all plants contained in the observation plots. Number of plots 3-5 observations per location or about 10% of the areal extents. Observation parameters such as the percentage of attacks and intensity of attacks. The data were analyzed descriptively. The results showed that: 1) Plants in governance in agroforestry and mixed tend to be more resistant to pests and diseases than plants that managed monoculture, 2) Percentage and intensity of attacks lower in agroforestry and mixed pattern than monoculture, 3) Percentage of disease did not differ between planting pattern, but the intensity of attacks on the pattern of agroforestry and mixed lower than monoculture and 4) The more species of plants in an area of agroforestry, pest and disease tends to be lower. Keywords: Pests and diseases, planting pattern, community forest
I. PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman adalah rentan terhadap serangan hama dan penyakit, karena keanekaragam jenis tanaman yang ditanam rendah bahkan cenderung monokultur. Menurut Oka (1995) dan Nair (1993) salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbul dan berkembangnya serangan hama dan penyakit adalah dengan menanam berbagai jenis tanaman dalam suatu areal dengan pola campuran atau agroforestry. Pola tanam ini diduga mempunyai daya tahan yang cukup tinggi terhadap serangan hama dan penyakit. Hasil pengamatan sebelumnya pada beberapa areal hutan rakyat yang telah mengembangkan bambang lanang dan tembesu menunjukkan bahwa penanaman bambang lanang dan tembesu dilakukan dengan pola tanam yang cukup bervariasi, mulai dari monukultur, campuran dan agroforestri. Secara umum terlihat adanya perbedaan perkembangan serangan hama dan penyakit antara areal yang dikelola secara monokultur dengan agroforestri atau campuran. Jenis hama dan penyakit potensial yang ditemukan pada areal hutan rakyat bambang lanang adalah ulat daun Graphium agamemnon, kumbang Aulexis sp., ulat daun dan kepik (Asmaliyah, et al, 2011), penyakit bercak daun Cercospora sp., penyakit karat Cephaleuros sp., penyakit pembuluh hitam Fusarium sp. dan penyakit embun jelaga (Asmaliyah, et al, 2012). Pada tanaman tembesu adalah ulat daun dari famili Gelechidae dan ordo Lepidoptera, dan penggerekpucuk dari ordo Trichoptera (Asmaliyah, et al., 2011), penyakit bercak daun Diplodia mutila, Pastalotiopsis sp. dan Curvularia sp. (Asmaliyah, et al, 2010). Didasari hal tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai pola tanam tersebut terhadap perkembangan serangan hama dan penyakit pada tanaman bambang lanang dan tembesu di areal hutan rakyat yang terdapat di wilayah Sumatera Bagian Selatan. 72
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
II. METODE A.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan rakyat tanaman bambang lanang dan tembesu yang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi. Penelitian dilakukan mulai tahun 2010 sampai 2012. B.
Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan bambang lanang (Michelia champaca) tegakan tembesu pada berbagai tingkat umur dan pola tanam, alkohol, aluminium foil, kertas koran, kertas label kertas, tally sheet, dan lain-lain. Sedangkan alat yang digunakan adalah hand counter, kotak plastik, spidol permanen, tali plastik, kamera, alat-alat tulis, dan lain-lain. C.
Metode Penelitian Kegiatan ini dilakukan dengan cara membuat petak-petak berukuran 20 x 30 m, sebanyak 35 petak pada setiap lokasi pengamatan. Banyaknya petak yang dibuat pada setiap lokasi pengamatan tergantung dari luasan areal lokasi tersebut. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan secara sensus dengan parameter pengamatan persentase serangan (P) dan intensitas serangan (I). Analisa data dilakukan secara deskriptif. Persentase serangan hama (P) diperoleh dengan menggunakan rumus: Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur P=
Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur
X 100 %
Penentuan intensitas serangan (I) dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan rumus: Jumlah daun yang terserang dalam satu pohon I=
Jumlah seluruh daun dalam satu pohon
X 100 %
III. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan 1. Tanaman Bambang Lanang (Michelia champaca) 1.1. Kabupaten Lahat Hasil pengamatan di kabupaten lahat menunjukkan bahwa persentase serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit pada bambang lanang yang ditanam dengan pola agroforestri cenderung lebih rendah dibandingkan dengan monokultur. Semakin banyak keragaman jenis tanaman pada pola agroforestri, serangan hama dan penyakit cenderung semakin rendah (Gambar 1 dan 2).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
73
80
Aulexis sp.
70 60
Ulat daun
50
G. agamemnon
40 30 20 10 0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
PS
Agro 2-3
IS
PS
Agro 4-5
IS
Agro>6
Pola tanam
Gambar 1. Persentase dan intensitas serangan hama pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten Lahat 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Cercospora sp. Embun jelaga Curvularia sp. Fusarium sp.
PS
IS
Monokultur
PS
IS
Agro 2-3
PS
IS
PS
Agro 4-5
IS
Agro>6
Pola tanam
Gambar 2. Persentase dan intensitas serangan penyakit pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten Lahat 1.2. Kotamadya Pagaralam Hasil pengamatan di kotamadya Pagaralam menunjukkan bahwa persentase dan intensitas serangan hama dan penyakit pada bambang lanang yang ditanam dengan pola agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan pola monokultur (Gambar 3 dan 4). 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Aulexis sp. Ulat daun Kepik
PS
IS
Monokultur
PS
IS
PS
Agro 2-3
IS
PS
Agro 4-5
IS
Agro>6
Pola tanam
Gambar 3. Persentase dan intensitas serangan hama pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kotamadya Pagaralam 60
Cercospora sp. Cephaleuros sp. Embun jelaga
50 40 30 20 10 0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
Agro 2-3
PS
IS
PS
Agro 4-5
IS
Agro>6
Pola tanam
Gambar 4. Persentase dan intensitas serangan penyakit pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kotamadya Pagaralam 74
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
1.3. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) Hasil pengamatan di kabupaten OKUS menunjukkan bahwa persentase dan intensitas serangan hama lebih rendah pada pola agroforestri dan campuran dibandingkan pada pola monokultur (Gambar 5). Sebaliknya persentase serangan penyakit cenderung tidak berbeda antara pola tanam agroforestri, campuran dan monokultur, tetapi intensitas serangannya lebih rendah pada pola aroforestri dan campuran dibandingkan pola monokultur (Gambar 6). 100
Aulexis sp.
80
Ulat daun
60 40 20 0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
PS
Agro 2-3
IS
PS
Agro 4-5
IS
PS
Agro>6
IS
Campuran
Pola tanam
Gambar 5. Persentase dan intensitas serangan hama pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten OKUS 100
Cercospora sp.
80
Cephaleuros sp.
60 40 20 0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
PS
Agro 2-3
IS
PS
Agro 4-5
IS
PS
Agro>6
IS
Campuran
Pola tanam
Gambar 6. Persentase dan intensitas serangan penyakit pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten OKUS 1.4. Kabupaten Muara Enim Hasil pengamatan di kabupaten Muara Enim menunjukkan bahwa persentase dan intensitas serangan hama pada pola agroforestri cenderung lebih rendah dibandingkan pola monokultur (Gambar 7). Persentase serangan penyakit cenderung tidak berbeda antara pola agroforestri dengan monokultur, tetapi intensitas serangannya cenderung lebih rendah pada pola agroforestri (Gambar 8). Aulexis sp.
100
Ulat daun
80 60 40 20 0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
Agro 2-3
PS
IS
Agro 4-5
PS
IS
Agro>6
Pola tanam
Gambar 7. Persentase dan intensita serangan hama pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten Muara Enim
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
75
100
Cercospora sp. Cephaleuros sp.
80 60 40 20 0
PS
IS
PS
Monokultur
IS
PS
Agro 2-3
IS
PS
Agro 4-5
IS
Agro > 6
Pola tanam
Gambar 8. Persentase dan intensitas serangan penyakit pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten Muara Enim 1.5. Kabupaten Empat Lawang Hasil pengamatan di kabupaten Empat Lawang menunjukkan bahwa persentase dan intensitas serangan hama pada pola agroforestri dan campuran cenderung lebih rendah dibandingkan pola monokultur, bahkan pada pola campuran tidak ditemukan adanya serangan kumbang Aulexis sp.. Sebaliknya persentase dan intensitas serangan penyakit, khususnya penyakit Cercospora sp. tidak berbeda antara pola agroforestri dengan pola monokultur (Gambar 10). Aulexis sp.
100
Ulat daun
80
Kepik
60 40 20 0
PS
IS
PS
Monokultur
IS
PS
Agro 2-3
IS
Campuran
Pola tanam
Gambar 9. Persentase dan intensitas serangan hama pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten Empat Lawang Cercospora sp.
100
Embun jelaga
80
Fusarium sp.
60 40 20 0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
PS
Agro 2-3
IS
Campuran
Pola tanam
Gambar 10. Persentase dan intensitas serangan penyakit pada bambang lanang dengan berbagai pola tanam di kabupaten Empat Lawang 2. Tanaman tembesu (Fragaea fragrans) 2.1. Serangan Ulat daun Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan ulat daun ini ditemukan pada tegakan tembesu di lapangan baik yang ditanam dengan pola monokultur maupun pola agroforestri, tetapi tidak ditemukan pada tegakan yang dikelola secara campuran. Persentase serangan dan intensitas serangan ulat daun pada tegakan yang ditanam dengan pola agroforesri lebih rendah dibandingkan pada pola monokultur (Gambar 11).
76
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Ogan Ilir OKI Banyuasin Musi Banyuasin OKUT PS
IS
PS
IS
Monokultur Agro 2-3
PS
IS
PS
Agro 4-5
IS
PS
Sarolangun
IS
Agro > 6 Campuran
Pola Tanam
Gambar 11. Persentase serangan dan intensitas serangan ulat daun pada tanaman tembesu dengan berbagai pola tanam di hutan rakyat Sumbagsel 2.2. Serangan Penggerek Pucuk Hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan ulat penggerek pucuk hanya ditemukan pada beberapa lokasi tanaman tembesu baik yang dikelola secara monokultur maupun secara agroforestri, tetapi tidak ditemukan pada pola tanam campuran. Namun persentase serangannya pada pola agroforestri jauh lebih rendah dibandingkan pada pola monokultur (Gambar 12). 20
Ogan Ilir 15
Banyuasin OKUT
10 5 0 PS
IS
PS
Monokul tur
IS
Agro 2-3
PS
IS
Agro 4-5
PS
IS
Agro > 6
PS
IS
Campuran
Pol a Tanam
Gambar 12. Persentase dan intensitas serangan penggerek pucuk pada tanaman tembesu pada berbagai pola tanam di hutan rakyat Sumbagsel 2.3. Penyakit bercak daun Diplodia mutila Hasil pengamatan terhadap serangan penyakit bercak daun D. mutila, menunjukkan bahwa persentase serangan penyakit ini cenderung tidak berbeda antara pola tanam, tetapi intensitas serangannya lebih rendah pada pola agroforesri dan campuran dibandingkan pola monokultur (Gambar 13). 100
Ogan Ilir
80
OKI
60
Banyuasin Musi Banyuasin
40
Muara Enim
20
OKUT
0
PS
IS
Monokultur
PS
IS
Agro 2-3
PS
IS
Agro 4-5
PS
IS
Agro > 6
PS
IS
Lampung Utara Sarolangun
Campuran
Pola Tanam
Gambar 13. Persentase dan intensitas serangan D. mutila pada tanaman tembesu pada berbagai pola tanam di hutan rakyat Sumbagsel 2.4. Penyakit bercak daun Curvularia sp. Hasil pengamatan terhadap penyakit bercak daun Curvularia sp. menunjukkan bahwa serangan penyakit ini hanya ditemukan di kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ulu Timur Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
77
(OKUT). Persentase serangan dan intensitas serangannya lebih rendah pada pola agroforestri dibandingkan pada pola monokultur (Gambar 14). 50
Banyuasin
40
OKUT
30 20 10 0 PS
IS
PS
Monokul tur
IS
PS
Agro 2-3
IS
PS
Agro 4-5
IS
PS
Agro > 6
IS
Campuran
Pol a Tanam
Gambar 14.
Persentase dan intensitas serangan Curvularia sp. pada tanaman tembesu pada berbagai pola tanam di hutan rakyat Sumbagsel 2.5. Penyakit bercak daun Pestalotiopsis sp. Hasil pengamatan terhadap penyakit bercak daun Pestalotiopsis sp., menunjukkan bahwa serangan penyakit ini hanya ditemukan di kabupaten OKUT dan Lampung Utara pada pola agroforestri (Gambar 15). 25
OKUT
20
Lampung Utara 15 10 5 0 PS
IS
Monokul tur
PS
IS
Agro 2-3
PS
IS
Agro 4-5
PS
IS
Agro > 6
PS
IS
Campuran
Pol a Tanam
Gambar 15. Persentase dan intensitas serangan Pestalotiopsis sp. pada tanaman tembesu dengan berbagai pola tanam di hutan rakyat Sumbagsel B. Pembahasan Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa serangan hama dan penyakit pada tanaman yang dikelola secara agroforestri dan campuran lebih rendah dibandingkan secara monokultur. Hal ini mengindikasikan bahwa areal tanaman yang terdiri dari banyak jenis tanaman lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit, karena hama dan penyakit lebih sulit untuk menemukan inangnya, sehingga menghambat laju imigrasi dan kolonisasi, mutu tanaman inang menjadi lebih baik, populasi hama dan penyakit berkurang dan populasi musuh-musuh alam meningkat (Oka, 1995). Namun kondisi ini tidak akan tercapai apabila tanaman bambang lanang atau tembesu ditanam secara berkelompok dalam suatu areal agroforestri, karena diduga lingkungan dengan pola tanam seperti ini sama dengan pola monokultur. Rendahnya besaran persentase serangan dan intensitas serangannya pada pola campuran yang terdiri dari 2-4 jenis tanaman kehutanan dan pola agroforestri (tanaman perkebunan, perkebunan, buah dan semusim), mengindikasikan bahwa tanaman pencampur tersebut sesuai dengan tempat tumbuhnya dan kompatibel dengan tanaman pokok (bambang lanang dan tembesu). Tanaman kehutanan yang dicampur dengan bambang lanang adalah kayu afrika, mindi dan damar mata kucing, sedangkan pada tembesu adalah mahoni, ketapang, jati dan filicium. Mindawati (2012), menyatakan bahwa pola tanam agroforestri memiliki kelebihan diantaranya, daya tahan terhadap hama dan penyakit lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel, namun kekurangannya apabila pemilihan jenis tanaman tidak sesuai salah satunya adalah serangan hama dan penyakit banyak sehingga sulit dalam pengendaliannya.
78
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
IV. KESIMPULAN 1. Tanaman yang dikelola secara agroforestri lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dibandingkan secara monokultur. 2. Persentase dan intensitas serangan hama lebih rendah pada pola agroforestri dan campuran dibandingkan pola monokultur. 3. Persentase serangan penyakit cenderung tidak berbeda antara pola tanam agroforestri, campuran dan monokultur, namun intensitas serangannya pada pola agroforestri dan campuran lebih rendah dibandingkan pola monokultur. 4. Semakin banyak jenis tanaman dalam suatu areal agroforestri serangan hama dan penyakit cenderung semakin rendah. DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah, A. Imanullah dan A.H. Lukman. 2011. Pengamatan serangga hama pada tanaman bambang lanang (Michelia champaca) di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran”. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Asmaliyah, N. Andriani dan A. Sofyan. 2011. Serangan hama pada pertanaman tembesu (Fragaea fragrans) dan peta sebarannya di Sumatera Selatan. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman 2010. Bogor. Desember 2011. Asmaliyah, A. Imanullah dan N. Andriani. 2012. Teknik pengendalian hama dan penyakit pada tanaman bambang lanang (Michelia champaca). LHP 2012. Tidak dipublikasikan. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Tidak dipublikasikan Mindawati, N. 2012. Tinjauan tentang pola tanam hutan rakyat. http:dishut.jabarprov.go.id. Tanggal akses 21 Mei 2012. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Nairobi, Kluwer Academic Publ. Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya Di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Sudjud, S. 2009. Pengaruh pola tanam terhadap hail dan intensitas kerusakan hama dan penyakit pada tanaman kakao (Theobroma cacao Linn.). Jurnal Sains dan Teknologi, Vol.9 No.1, April 2009.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
79
KAJIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI AGROFORESTRI HERBAL PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI PEGUNUNGAN MENOREH KABUPATEN KULON PROGO D.I. YOGYAKARTA Nanang Herdiana1, Singgih Utomo2, Budiadi2 dan Prapto Yudono3
1
2
3
Balai Penelitian Kehutanan Palembang, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Herbal agroforestry is interesting land management system and has been developed by people in Kulonprogo. The practice of herbal agroforestry is more concentrated along the Menoreh Mountain with various altitudes, stand structure of privately owned forest. The research was carried out in privately owned forest at Mountains Menoreh purposively selected based on three stratum of herbal agroforestry place, ie: lowlands (< 300 masl), middle lands (300 - 600 masl) and uplands (> 600 masl). At each observation site, observation plots of 0.04 ha each were established and repeated 4 times eeach dominant herbal species (4 species), resulting 48 observation plots in total. Nested sampling was used in the measurement of vegetation. The measurement of herbal plants in the observation plots was done by conducting census (counting the types and their range). To determine the structure and composition of privately owned forest stands, an analysis of vegetation data was done. Parameters calculated include: Important Value Index (IVI), Diversity Index and Similarity Index.Research results showed that there are 16 species in lowlands dominated by teak and mahogany, 21 species on midlle lands dominanted by mahogany and falcata and 22 species on uplands dominanted by falcata and mahogany. The dominant herbal species are turmeric (lowlands), ginger (middle lands) and cardamom (uplands). The diversity at all levels of growth based on altitudes and the species of herbal plants falls into low - medium Keywords: Herbal agroforestry, structure and composition, privately owned forest.
I.
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan yang muncul akibat peningkatan jumlah penduduk adalah kebutuhan lahan untuk pemenuhan pangan. Kondisi tersebut memaksa masyarakat memanfaatkan daerah marjinal bertopografi curam di daerah hulu yang rawan erosi, longsor dan penurunan kualitas lingkungan lainnya. Agroforesri merupakan sistem pengelolaan lahan yang ditawarkan guna mengatasi permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan lahan yang tidak tepat dan sekaligus mengatasi masalah pangan (Hairiah et al., 2003). Agroforestri herbal merupakan sistem pengelolaan lahan yang cukup menarik dan telah lama dikembangkan oleh masyarakat di Kulon Progo. Tanaman herbal yang dikembangkan merupakan jenis–jenis tanaman yang tahan naungan (shade tolerant) atau butuh naungan (shade demanding species). Jenis tanaman herbal yang umum dikembangkan masyarakat secara luas antara lain: jahe, kunyit, temulawak dan kapulaga. Berdasarkan luasan pertanaman, potensi produksi dan ekonominya, maka keempat jenis tanaman herbal tersebut dikatagorikan sebagai herbal unggulan (Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2010). Saat ini, praktek agroforestri herbal lebih terkonsentrasi di sepanjang Pegunungan Menoreh dengan ketinggian tempat yang cukup bervariasi. Kondisi tersebut akan berimplikasi terhadap perbedaan komposisi jenis, struktur, distribusi dan populasi vegetasi serta kondisi fisik lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur dan komposisi ekosistem hutan rakyat pada berbagai ketinggian tempat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo.
80
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
II.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada tegakan hutan rakyat di sepanjang Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo Propinsi D.I. Yogyakarta dengan bentuk pemanfaatan lahan berupa pekarangan dan tegalan. B.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: perlengkapan pengukuran vegetasi dan kondisi biofisik lingkungan, alat tulis, tally sheet, GPS, kamera serta komputer dan perlengkapannya. Bahan yang menjadi objek penelitian adalah tanaman pola agroforestri herbal yang dikelola secara individual oleh petani pemilik. C.
Metoda Pengumpulan Data Lokasi yang dijadikan sebagai objek pengamatan dan pengukuran dipilih secara purposive berdasarkan kriteria keberadaan pola agroforestri herbal yang diusahakan oleh masyarakat pada 3 stratum tempat, yaitu: daerah dataran rendah (< 300 mdpl), daerah ketinggian sedang (300 - 600 mdpl) dan dataran tinggi (> 600 mdpl). Pada masing-masing lokasi dibangun plot pengamatan seluas 0,04 ha yang diulang sebanyak 4 kali untuk masing-masing jenis tanaman herbal dominan (4 jenis), sehingga secara keseluruhan dibangun 48 plot pengamatan. Pengukuran vegetasi menggunakan Metode Garis Berpetak (nested sampling) yang mengacu pada Indriyanto (2006). Pengukuran tanaman herbal dalam plot pengamatan dilakukan dengan cara sensus (dihitung jenis dan luasannya). D.
Analisis Data Untuk mengetahui struktur dan komposiai tegakan hutan rakyat dilakukan analisis terhadap data vegetasi. Parameter yang dihitung meliputi: Indeks Nilai Penting (INP). Perhitungan INP dilakukan dengan mengacu pada rumus yang dikemukakan oleh Kusmana (1997). Indeks Keragaman Jenis. Menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988). Indeks Kesamaan. Menggunakan Indeks Similaritas (SI) menurut Mueller dan Ellenberg (1974). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Praktek agroforestri herbal yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Kulon Progo lebih terkonsentrasi di sepanjang Pegunungan Menoreh dengan ketinggian tempat yang cukup bervariasi. Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi penyusun hutan rakyat dan jenis tanaman herbal pada masing-masing ketinggian tempat selengkapnya disajikan pada Tabel 1 dan 2. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa jenis vegetasi penyusun hutan rakyat sebagai tempat tumbuh tanaman herbal terdiri atas 16 jenis di dataran rendah, 21 jenis di dataran sedang dan 22 jenis di dataran tinggi. Pada daerah dataran rendah didominasi oleh mahoni dengan INP sebesar 37,838 % dan 129,481 % (tingkat semai dan tiang) dan jati dengan INP sebesar 83,872 % dan 91,276 % (tingkat tiang dan pohon). Pada daerah dataran sedang, jenis vegetasi dominan adalah kopi dengan INP sebesar 59,406 % (tingkat semai), mahoni dengan INP sebesar 122,920 %, 66,559 % dan 52,642 % (tingkat pancang, tiang dan pohon). Pada daerah dataran tinggi, jenis vegetasi dominan adalah sengon dengan INP sebesar 42,373 %, 84,172 %, 64,167 % dan 64,167 % (tingkat semai, pancang, tiang dan pohon) dan mahoni dengan INP sebesar 58,154 % (tingkat tiang) Jenis tanaman herbal yang tumbuh dominan pada masing-masing lokasi adalah kunyit di dataran rendah (INP sebesar 93,581 %), jahe di dataran sedang (INP sebesar 129,750 %) dan kapulaga di dataran tinggi (INP sebesar 167,505 %). Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
81
Tabel 1. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting vegetasi penyusun hutan rakyatpada ketiga ketinggian tempat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo No
Jenis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Akasia Alpukat Asam Jawa Cengkeh Dadap Duku Durian Gamal Ganitri Jati Jeruk Kakao Kelapa Kelor Kemiri Kayu Afrika Kopi Lamtoro Mahoni Mangga Melinjo Mindi Nangka Petai
82
Dataran Rendah (< 300 mdpl) Pohon
Tiang
16,878
47,234
18,922
47,674
Pancang 29,719
4,283
Semai
Dataran Sedang (300 - 600 mdpl)
Dataran Tinggi (> 600 mdpl)
Pohon
Tiang
Pohon
1,814 8,953 31,090
6,147 6,289 64,377
4,754
4,950
3,831
3,831
1,695
6,356
16,237
22,772
19,504 7,952
19,504 7,952
22,034
17,073
1,210
2,262
Pancang
Semai
Tiang
Pancang
Semai
24,324
32,432
1,019
7,174 2,090 91,276
83,872
55,625
32,432
38,219
1,749 77,524
42,152
1,778 38,434 27,110 1,842 1,398
43,481
15,254 17,822
24,329 2,462
1,875
11,684
2,631 9,228 129,481
32,432
17,886 53,429
7,914
10,539
22,811
2,703
6,480 11,822
8,620 3,649
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
37,838
2,381 52,642 4,631 4,205
10,742 66,559 2,505 10,916
15,177 12,946
4,367 4,703
12,965 27,011 11,577 31,312
31,312
6,017
6,017
20,006 8,327 122,920
59,406 17,822
34,057
34,057
3,407
0,990
31,152 6,971 25,572 8,394
31,152 6,971 25,572 8,394
5,784
1,980
28,530
40,678
4,852 7,854
28,814
58,154
8,475
4,471 2,663 18,022 7,333
Tabel 1. No
Jenis
25. Rambutan 26. Randu 27. Saga Merah 28. Sengon 29. Sengon Jawa 30. Sonokeling 31. Sukun 32. Sungkai 33. Waru Jumlah Jenis
(Lanjutan) Dataran Rendah (< 300 mdpl) Pohon
Tiang
Pancang
Semai
Dataran Sedang (300 - 600 mdpl)
Dataran Tinggi (> 600 mdpl)
Pohon
Pohon
Tiang
2,703
1,919
2,387
24,324 5,405
14,052 22,532 30,295 3,875
6,537 29,124 6,209 2,973
Pancang
Semai
1,961 11,413
16,223
2,969
3,982 10
2,011 13
24,841 5,615
38,614 3,373
10
4,069 19
4,394 21
15
Semai 13,484
22,772 27,723 4,950 16,832
5,405 1,749 13
Pancang
1,953
2,710 17,457 38,140
Tiang
1,980 12
9,090 18,443 64,167 4,992
9,090 18,443 64,167 4,992
5,763
5,763
22,784 16
22,784 20
38,983 42,373
1,695 12
53,104 1,374 1,528 5,429 17,203 9
Sumber: Hasil olah data primer, 2011
Tabel 2. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting jenis tanaman herbal di hutan rakyat pada ketiga ketinggian tempat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo No
Jenis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bangle Jahe Kapulaga Kencur Kunyit Laos Lempuyang Temu Kunci Temulawak Temu Mangga Temu Putih
INP (%) Dataran Rendah (< 300 mdpl) 4,175 60,806 28,933 93,581 7,417 2,604 6,436 71,193 23,365 1,490
Dataran Sedang (300 - 600 mdpl) 1,113 129,750 101,341 0,906 49,423 0,444 0,611 2,226 12,652 1,534
Sumber: Hasil olah data primer, 2011
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
83
Dataran Tinggi (> 600 mdpl) 1,477 77,819 167,505 32,394 0,492 1,149 16,555 1,226 1,381
Jenis mahoni termasuk jenis yang cukup dominan di semua lokasi (mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi). Sementara jenis jati hanya dominan di daerah dataran rendah dan semakin menurun dengan semakin naiknya ketinggian tempat, karena walaupun sebaran tempat tumbuh jati cukup luas, tetapi ketinggian tempat tumbuh optimal jati hanya 0 – 700 mdpl (Sumarna, 2001). Berdasarkan pengamatan di lapangan, jati yang ditanam di dataran tinggi (misalnya di Samigaluh) memiliki pertumbuhan yang lambat. Dominasi tanaman sengon di daerah dataran tinggi terkait dengan lebih rendahnya tingkat serangan karat puru dibandingkan dengaan daerah di bawahnya, nilai ekonomi kayu sengon yang cukup tinggi dan jenis ini juga termasuk fast growing species. Secara umum, jumlah jenis tanaman kayu semakin berkurang pada setiap tingkat pertumbuhan (Tabel 1), terutama mulai dari tingkat tiang sampai dengan semai. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyederhanaan jenis di masa yang akan datang, sehingga dapat mengarah pada hutan rakyat monokultur atau campuran sederhana dengan dominasi hanya beberapa jenis komersil saja. Tanaman kunyit dan temulawak cukup mendominasi pada daerah dataran rendah (Tabel 2). Secara teknis, budidaya kunyit cukup sederhana dan penggunaannya cukup luas, selain untuk bahan baku herbal juga untuk bumbu masak. Tingginya dominasi temulawak di daerah dataran rendah tidak hanya disebabkan oleh faktor ekologis, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya tingkat ekploitasi/pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat akibat rendahnya harga jual rimpangnya. Jahe merupakan tanaman herbal yang paling luas sebarannya, tetapi dominan di daerah datar sedang, karena ketinggian optimum untuk pertumbuhannya adalah 300 - 900 mdpl (Januwati, 1991). Kapulaga menjadi jenis dominan terutama di daerah dataran tinggi, kondisi tersebut terkait dengan persayaratan tumbuhnya yang menghendaki ketinggian 200 – 1.000 mdpl dan introduksi awal kapulaga di Kulon Progo dilakukan di daerah dataran tinggi sebagai upaya konservasi tanah dan air. Keragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan berdasarkan ketinggian tempat dan jenis tanaman herbal (Tabel 3), termasuk rendah – sedang, dengan nilai Indeks Diversitas ShannonWienner (H’) masing-masing berkisar antara 0,712 - 1,108 dan 0,0571 – 1,202. Rendahnya nilai keragaman tersebut disebabkan oleh komposisi hutan rakyat yang disusun oleh sedikit jenis dan didominasi oleh beberapa jenis komersil saja, misalnya sengon, mahoni atau jati. Tabel 3. Rekapitulasi indeks keragaman (Indeks Shannon–Wienner) vegetasi penyusun hutan rakyat pada berbagai tingkat pertumbuhan, ketinggian tempat dan jenis tanaman herbal Parameter
Tingkat Pertumbuhan Pohon Tiang
Ketinggian Tempat Rendah 0,837 Sedang 1,084 Tinggi 0,968 Jenis Tanaman Herbal Jahe 0,976 Kunyit 1,011 Temulawak 1,202 Kapulaga 1,034
0,884 1,021 0,985 0,967 1,052 1,005 1,039
Pancang
Semai
0,774 0,883 0,783
0,774 0,835 0,712
0,844 0,842 0,791 0,826
0,571 0,804 0,847 0,805
Sumber: Hasil olah data primer, 2011
Tabel 4. Indeks Similaritas vegetasi penyusun hutan rakyat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo berdasarkan ketinggian tempat Ketinggian Tempat Rendah Rendah * Sedang * Tinggi * Sumber: Hasil olah data primer, 2011
84
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Sedang 63,780 * *
Tinggi 49,673 57,264 *
Tabel 5. Indeks Similaritas vegetasi penyusun hutan rakyat di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo berdasarkan jenis tanaman herbal Jenis Herbal Jahe Kunyit Temulawak Kapulaga
Jahe * * * *
Kunyit 73,995 * * *
Temulawak 65,279 76,069 * *
Kapulaga 53,237 61,130 66,834 *
Sumber: Hasil olah data primer, 2011
Nilai kemiripan vegetasi penyusun hutan rakyat antar ketinggian tempat bervariasi antara 49,673 – 63,780 % (Tabel 4). Komunitas hutan rakyat pada daerah dataran rendah lebih mirip dengan komunitas hutan rakyat yang ada di dataran sedang (63,780 %) dan lebih berbeda dengan komunitas hutan rakyat pada daerah dataran tinggi (49,673 %). Berdasarkan jenis tanaman herbal (Tabel 5), komunitas hutan rakyat dengan jenis tanaman herbalnya kunyit memiliki kesamaan yang cukup tinggi dengan komunitas hutan rakyat dengan tanaman herbalnya jahe, temulawak dan kapulaga. Berdasarkan pengukuran dan pengamatan di lokasi penelitian, jenis kunyit sering ditemukan berasosiasi dengan ketiga jenis herbal lainnya. IV. KESIMPULAN 1.
2.
3.
Jenis vegetasi penyusun hutan rakyat sebagai tempat tumbh tanaman herbal di Pegunungan Menoreh terdiri atas: 16 jenis pada dataran rendah dengan jenis dominan jati dan mahoni, 21 jenis pada dataran sedang dengan jenis dominan mahoni dan sengon dan 22 jenis pada dataran tinggi dengan jenis dominan sengon dan mahoni. Jenis tanaman herbal dominan adalah kunyit (dataran rendah), jahe (dataran sedang) dan kapulaga (dataran tinggi). Keragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan berdasarkan ketinggian tempat dan jenis tanaman herbal, termasuk rendah – sedang, dengan nilai Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’) masing-masing berkisar antara 0,712 - 1,108 dan 0,0571 – 1,202. Nilai kemiripan vegetasi penyusun hutan rakyat antar ketinggian tempat bervariasi antara 49,673 – 63,780 %. DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Kulon Progo. 2010. Profil Daerah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2010. Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo. Wates. Hairiah, K., M. A. Sardjono dan M. S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. Bogor. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara Jakarta. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Januwati, M. 1991. Faktor-faktor Ekologi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman Jahe. Edisi Khusus Littro (7). 1. Bogor: 11 - 16. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology, A Prime on Method and Computing. John Willey and sons. New York. Michon, G. dan H. de Foresta. 1997. The Agroforest Alternative to Imperata Grasslands: When small holder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry System. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRAD-CP and The Ford Foundation. Mueller, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aim and Method of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York – Chichester – Brisbane - Toronto. Sitompul, S. M. 2001. Radiasi dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajar. Sumarna, Y. 2001. Budidaya Jati. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
85
KEANEKARAGAMAN JENIS POHON PANJAT DAN MANFAATNYA DI AGROFORESTRI ROTAN DI KABUPATEN KATINGAN Johanna Maria Rotinsulu1, Didik Suprayogo2, Bambang Guritno2, Kurniatun Hairiah2 1
2
Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya E-mail:
[email protected]
ABSTRACT In its growth rattan need trees for climbing and leaning with diverse types and density. Therefore, rattan can be grown in agroforestry systems. This research aims to evaluate diversity level of rattan climbing tree and its benefits in agroforestry systems. This study was conducted from October to December 2011 in Kalamei and Liting village Katingan distrrict, each at two locations: rubber agroforestry and secondary forest, with six plots and 18 sub-plots observations. This research uses observation and survey method, equipped with diameter and height measurements, and identification the type and form of tree canopy. Statistical test results show that there is a significant difference in mean dominance (p <0.05 ) between rubber agroforestry (29.2 ± 13.6) and secondary forest (22.5 ± 5.2). In agroforestry systems there are six rattan types where two dominant species in secondary forests also found in rubber agroforestry. The six rattan type are Sega, Bulu, Semambu, Irit, Manau dan Rokong. Diversity level suggests that highest species diversity index (H’) is at secondary forest (H’> 3) with average 58 species number from 200 individuals tree that dominated by: Sagagulang (0.34), Jirak (0.22), Terentang (0.30), Meranti (0.22) and Belantik (0.31). In rubber agroforestry the diversity index is moderate (H’= 2 - <3), there are 41 types from 153 individual trees that dominated by: Laban (0.28), Meranti (0.25), Karet(0.74), Kaja (0.23) and Gahung (0.25). There are ten types tree climbing potential for rattan as well as other benefits in Katingan agroforestry: Macaranga sp, Shorea spp, Havea brasiliensis, Blumeodendron kurxii, Xanthophylum sp, Dillenia excels (Jack), Vitex pubescens, Campnosperma auriculatun and Maillotus sumatranus Miq. Keywords: diversity, climbing tree, rattan, agroforestry, secondary forest
I. PENDAHULUAN Rotan tumbuh baik bila ada pohon lain disekitarnya sebagai temapt bersandar dan memanjat untuk memperoleh sinar matahari, bila tanaman rotan tumbuh menjalar di atas tanah akan menghasilkan rotan berkualitas rendah. Rotan yang tumbuh di hutan sekunder atau hutan yang terganggu, pertumbuhannnya akan lebih maksimal dibandingkan di hutan primer (Dransfield, 1996). Sistem agroforestri rotan di hutan sekunder maupun agroforestri karet yang ada di Katingan tidak mengenal pola tanam dengan jarak yang teratur seperti halnya di kebun karet. Dalam penelitiannya Arifin (2003) menyebutkan agroforestri rotan di hutan sekunder termasuk kebun rotan permanen, karena lahan yang digunakan untuk pembudidayaan rotan secara terus menerus. Pada lahan tersebut banyak dijumpai jenis pohon dari suku dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae. Sedangkan rotan pada agroforest karet termasuk kebun rotan temporer karena digunakan masyarakat untuk pembudidayaan rotan hanya untuk sementara waktu dan didominansi tanaman karet. Burnette dan Morikawa (2006) melaporkan, di Semenanjung Malaysia penanaman rotan di lahan agroforestri ditumpangsarikan dengan tanaman karet tua yang sudah tidak produktif. Di Kalimantan Tengah jenis pohon yang banyak digunakan sebagai pohon panjat rotan dan dimanfaatkan dalam berbagai jasa lingkungan dan nutrisi (Obat dan buah) adalah alaban (Vitex pubescens), bungur (Lagerstroemia speciosa), Bayur (Ptersoperma javanicum) dan rambai (Sonneratia caseolaris) (Arifin, 2011; Rawing, 2009). Rotan yang terdapat di Katingan berjumlah 12 jenis yaitu, Taman/sega, Irit, Manau, Buyung, Ketuwu/Semambu, Lepu/dahanan, Tunggal, Bulu/lacak merah, Lilin, Ahas, Rukong dan Jerenang. Hampir setiap jenis pohon dapat dijadikan sebagai pohon panjat rotan, namun secara tepat belum banyak diketahui jenis yang bernilai ekologi dan ekonomi tinggi bagi pertumbuhan rotan. 86
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat keanekaragaman pohon panjat rotan dan manfaatnya dalam sistem agroforestri, sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk memperbaiki strategi manajemen agroforestri rotan di Katingan. II.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober – Desember 2011 di Desa Tumbang (Tb) Kalamei dan Tb.Liting kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan, Propinsi Kalimantan Tengah. Pengamatan dilakukan menggunakan metode observasi dan survey lapangan dengan teknik penarikan contoh plot pengamatan secara purposive dan penempatan sub plot secara sistematik. Pengamatan vegetasi dibedakan menjadi 3 yaitu: (a) pohon (diameter >20cm), (b) tiang (pohon muda berdiameter 10cm – 20 cm) dan (c) pancang (permudaan dengan tinggi >1.5 m sampai diameter <10cm). Di lahan agroforestri karet dan hutan sekunder masing-masing dibuat 6 (enam) plot berukuran 40m x 40m, maka secara keseluruhan luasnya 0,96 ha (40m x 240 m). Di dalam plot dibuat jalur dengan lebar 20m panjang 240 m, dengan subplot ditata secara sistematik. Pengukuran pohon dilakukan pada sub-plot 20m x 20m (diukur diameter, tinggi dan dicatat jenisnya). Pengukuran tiang dilakukan pada sub plot 10m x 10m (diukur tinggi, diameter dan dicatat nama jenisnya), dan pengukukuran pancang pada sub-plot 5m x 5m (dihitung jumlah dan jenisnya). Dengan demikian jumlah keseluruhan 36 subplot untuk semua strata vegeatasi di agroforestri karet AFK) dan hutan sekunder (HS), skema pengambilan contoh pada plot pengamatan seperti pada Gambar 1.
40m
20m
20m
20m
10m 5m 5m
10 m
20m
240m
20m
22
Stadium Pertumbuhan: - Pohon (DBH>20 cm): plot 20m x20m - Tiang (DBH 10cm – 20cm) : plot 10m x10m - Pancang (t >1.5m; DBH < 10cm): plot 5mx5m
Plot vegetasi
Garis tengah jalur survey
Gambar 1. Skema plot pengamatan di lokasi penelitian Pengukuran diameter pohon (DBH) menggunakan Phi band atau diameter tape/calyper, tinggi total dihitung menggunakan sunto hysometer. Seluruh morphospecies yang dapat dikenali dicatat nama jenisnya baik nama lokal ataupun nama ilmiah, sedangkan jenis yang tidak dapat dikenal di lapangan dilakukan pengkoleksian specimen voucher untuk keperluan identifikasi. Untuk mengetahui perbedaan kedua lokasi penelitian, dilakukan analisis statistik uji beda independen sample t’test (SPSS 15) terhadap dominansi dan keanekaragamannya. Jenis dominan mempunyai nilai penting dalam tipe vegetasi yang bersangkutan dan dapat diperoleh dengan analisis indeks nilai penting (INP, %), yaitu penjumlahan kerapatan relatif, dominansi relatif dan frekuensi relatif dari masing-masing jenis yang terdapat dalam petak contoh penelitian menggunakan rumus (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Indeks keanekaragaman jenis (H’) merupakan tingkat
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
87
keanekaragaman jenis vegetasi dalam suatu areal yang dihitung berdasarkan Shannon (Ludwig dan Reynolds, 1988), menggunakan rumus sebagai berikut : n H’ = ∑ pi ln pi, i=n dimana : pi = ni/N; ni = INP suatu jenis; n = INP seluruh jenis; ln = log natural (e = bilangan alam = 2,714). Jika nilai H’< 2 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika nilai H’= 2 sampai3 berarti keanekaragaman jenis sedang, dan jika nilai H’ >3 berarti keanekaragaman jenis tinggi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Keanekaragaman Jenis Hasil uji statistik terhadap dominansi dan tingkat keanekaragaman dua lokasi penelitian terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) rerata dominansi antara agroforestri karet (29.2 ± 13.3) dengan hutan sekunder (22.5± 5.2). Lokasi penelitian memiliki karakteristik tempat berbeda (sosial dan biofisik), di desa Tb.Kalamei (hulu) memiliki jenis tanah ultisol dan desa Tb.Liting (hilir) mempunyai jenis tanah alluvial. Jumlah individu dan jenis tumbuhan/pohon; individu dan jenis rotan yang terdapat di Hutan Sekunder lebih banyak dari pada yang di Agroforestri karet (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah individu dan jenis tumbuhan dan rotan di desa kalamei dan liting. No 1.
2.
3.
4
Keterangan Individu tumbuhan (btg) - AF.Karet - Htn Sekunder Jenis tumbuhan (jenis) - AF.Karet - Htn Sekunder Individu rotan (btg/rumpun) - AF.Karet - Htn Sekunder Jenis rotan - AF.Karet - Htn Sekunder
Tb Kalamei
Tb Liting
Rata-rata
169 213
135 183
152 198
62 75
52 66
57 70.5
36 53
41 67
38.5 60
8 11
4 8
6 9.5
Sumber : diolah dari data primer (2012)
Dari Tabel 1, diatas diketahui rata-rata jumlah vegetasi yang dijumpai di Aroforestri karet 152 individu (57 jenis dari 24 famili). Sedang di hutan sekunder vegetasi yang ditemukan 198 individu (70.5 jenis dari 31 famili). Jenis rotan yang dijumpai di desa kalamei terdapat 11 jenis, dan di desa liting terdapat 8 jenis. Sedang di Kabupaten Katingan secara keseluruhan jenis rotan terinventarisir berjumlah 13 jenis (Rawing, 2009; Anonim, 2006). Ada empat jenis rotan yang mendominansi hutan sekunder yaitu: Calamus caesius BL, C.manan, C.trachycoleus Becc dan Daemonorops crinitus BL. Di agroforestri karet didominansi empat jenis: Calamus.caesius BL, C. scipionum Louer, C.trachycoleus Becc dan Daemonorops sabut Beccari. Berdasarkan stadium pertumbuhan (pohon, tiang dan pancang) jumlah individu/spesies yang terdapat di hutan sekunder lebih banyak daripada di agroforestri karet, secara terperinci tersaji pada Gambar 2.
88
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Jumlah Individu/plot
100 80 60 40
Agroforest Karet
20
Hutan Sekunder
0 pohon
tiang
pancang
Gambar 2. Jumlah individu tumbuhan berdasarkan stadium pertumbuhan pada agroforestri rotan. Penyebaran tumbuhan/pohon pada plot pengamatan berdasarkan speies komulatif pada stadium pertumbuhan (pohon, tiang dan pancang) dapat dilihat pada grafik (Gambar 3).
20 15 10
AFK
5
HS
0 0
2
4
6
Spesies Komulatif
Spesies Komulatif
Tiang
Pohon
25
25 20 15
AFK
10
HS
5 0 0
8
4
6
8
Plot Pengamatan
Plot Pengamatan
Spesies Komulatif
2
Pancang
30 20
AFK 10
HS
0
0
2
4 6 Plot Pengamatan
8
Gambar 3. Penyebaran jenis tumbuhan pada plot pengamatan di Agroforestri karet (AFK) dan Hutan sekunder (HS). Jenis pohon yang mendominasi di AFK dan HS pada setiap stadium pertumbuhan ditemukan ada empat jenis yaitu: gahung, meranti, halaban dan belantik. Sedang yang hanya dominansi di AFK yaitu: kamusulan, kayu buring, kaja dan dominansi hanya di HS: tawe, tahantang, sagagulang, geronggang dan tumih. Jenis pohon yang hanya dijumpai di desa Tb. Kalamei dari 13 jenis yang mendominansi yaitu: Jirak dan Tawe, sedang di desa Tb.Liting terdapat 10 jenis yang dominan untuk semua stadium pertumbuhan, dan empat jenis pohon yang tidak dijumpai di desa tb kalamei yaitu: tumih, geronggang, belantik dan kaja. Kehadiran keempat jenis pohon ini di desa tb liting, karena sesuai dengan habitat tempat tumbuhnya dan termasuk jenis tanaman rawa gambut. Ada lima jenis pohon yang mendominasi pada agroforestri karet dan di hutan sekunder untuk setiap stadium pertumbuhan disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
89
Tabel 2. Dominansi jenis vegetasi di agroforestri karet dan hutan sekunder. No
Nn Nama Lokal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Gahung Halaban Jirak Jambu Ky Buring Karet Kemasulan Meranti Mahabulan Rambutan Sagagulang Tawe Tahantang
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Belantik Geronggang Halaban Karet Kaja Kamasulan Meranti Sagagulang Tahantang Tumih
Indeks Nilai Penting (%) Nama Ilmiah Agroforestri Karet Hutan Sekunder Pohon Tiang Pancang Pohon Tiang Pancang Tumbang Kalamei Macaranga sp 25 20 30 27 20 Vitex pubescens 35 18 -Xanthophylum sp 30 22 Eugenia spp 28 -17 Diospyros sp. 22 -Havea brasiliensis 74 51 41 -Pternandra sp 27 23 -Shorea spp 25 31 22 23 Ptesoperma javanicum 16 16 20 Nephelium maingayi 15 -17 Blumeodendron kurxii -34 Anthocephalus cadamba 17 22 Camnosperma auriculatum 30 Tumbang Liting Mallotus sumatranus Miq 20 19 27 31 17 Cratoxylon arborescens 19 29 23 Vitex pubescens 28 20 15 19 16 Havea brasiliensi 56 43 39 -Dillenia excels (Jack) 23 19 -Pternandra sp 19 22 17 -Shorea spp 24 16 21 18 Blumeodendron kurxii -26 Camnosperma auriculatum 20 22 Combretacarpus sp -20 29
Sumber : diolah dari data primer (2012).
Dengan melihat dominansi jenis, baik dari stadium pohon, tiang maupun pancang pada lokasi penelitian ini sebagian besar dapat berperan sebagai tempat panjat rotan. Menurut Sutisna (1981) bahwa suatu jenis tumbuhan dapat berperan apabila INP untuk tingkat tiang dan pohon>15 % dan pancang >10%. Hasil penelitian di desa Mantar Kabupaten Kutai Barat menunjukkan bahwa di kebun rotan ditemukan 22 – 63 jenis tumbuhan yang terdiri dari tumbuhan berkayu, palm, liana dan perdu (SHK kaltim, 2002). Penelitian lainnya di tiga kebun rotan sebagai plot penelitian dengan luas yang berbeda diperoleh 802 jenis tumbuhan terdiri dari 367 marga dan 119 suku, dari hasil penelitiannya ini Matius (2004) menyatakan bahwa kebun rotan banyak terdapat berbagai jenis pohon dengan struktur tajuk atau kanopi yang bertingkat. Indeks keanekaragaman jenis pada agroforestri karet dan hutan sekunder untuk tingkat pohon, tiang dan pancang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rerata Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di agroforestri karet dan hutan sekunder Kabupaten Katingan. Indeks keanekaragaman jenis (H’) Lokasi penelitian Pohon Tiang Pancang Agroforestri karet 2.63 2.11 2.03 Hutan Sekunder 3.24 3.12 2.48 Di Hutan sekunder indeks keanekaragaman untuk tingkat pohon dan tiang termasuk tinggi (H’=>3), sedangkan tingkat pancang sedang, pada agroforestri karet semua tingkat pertumbuhan tergolong sedang (H’=>2- <3). Semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis, maka semakin meningkat keanekaragamannya dalam tegakan tersebut. Kecenderungan keanekaragaman dalam komunitas lebih tua menjadi lebih tinggi dibandingkan komunitas baru terbentuk (Odum, 1998). Agroforestri 90
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
rotan (hutan sekunder) yang merupakan kebun rotan, di Kalamei dan desa Liting selain digunakan untuk pembudidayaan rotan, pemanfaatan lahan untuk berladang masih dilakukan seperti penanaman padi (Oryza sativa), dua kali setahun dan diselingi palawija seperti jagung (Zea mays L), keladi, sayur-sayuran seperti kacang panjang (Vigna unguiculata), ketimun jepang, terung, labu siam dan kacang tanah. B. Jenis Potensial Sebagai Pohon Panjat Jenis potensial yang dimaksud adalah dalam hal pemanfaatan oleh masyarakat setempat dan dapat digunakan sebagai tempat panjat/sandar rotan, karena jenis pohon termasuk dalam kategori pohon yang kokoh dan kuat. Berdasarkan analisis sifat fisik kayu, yaitu berat jenis, kelas kuat dan kelas awet dapat diketahui kekokohan dan kekuatan pohon. Menurut Kasmujo (2001) berat jenis kayu ada hubungannya dengan kekuatan batang pohon dan keawetan kayu. Percabangan pohon berhubungan dengan bentuk tajuk dan struktur tajuk. Jenis pohon potensial sebagai pohon panjat berdasarkan berat jenis, klas kuat, klas awet dan analisis bentuk tajuk pohon yang diperoleh, sebagaimana tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis pohon yang mendominansi dan berpotensi sebagai pohon panjat pada agroforestri rotan di Katingan. NO
Jenis
Nama Ilmiah
1. Belantik
Mallotus Miq
2. Gahung
Macaranga sp
0.44
3. Halaban
Vitex pubescens
0.88
4.. Jirak
Xanthophylum sp
0.43
5. Kaja
sumatranus
BJ
Dillenia excels (Jack)
0.52
0.75
6. Karet H.brasiliensis 7. Mahabulan Ptesoperma javanicum
0.54
8. Meranti
0.55
9. Sagagulang 10. Tahantang
Shorea spp Blumeodendron kurxii Camnosperma auriculatum
0.53
0.43 0.40
Kelas Kelas Kuat Awet
Bentuk/ Struktur Manfaat Tajuk Melebar dan Bahan pangan III IV Sedang Melebar, tidak lebat,Batang: ritual adat, obat, IV,V II,IV sedang kulit: cat Kerucut, Kulit btg: obat tipus,malaria; II – I I Menyebar Tajuk melebar, Kayu pertukangV I, III Struktur sedang an, ky lapis Kerucut, Getah : I III-V Struktur sedang sakit mata II III Kerucut Getah Tajuk melebar Obat, pewarna IV II-III Ringan Kayu: banguna Mirip kubah, Kayu pertukang an, damar III,IV II,IV Struktur sedang Silindris Bagian batang: V I - III Ritual adat Kerucut, sedang Kayu pertukangIV III,IV Menyebar An
Sumber: diolah dari data primer (2012).
Dari Tabel 4, dapat diketahui 10 jenis pohon yang mendominansi di agroforestri karet dan hutan sekunder di desa pengamatan. Berat Jenis (BJ) rata-rata jenis pohon ini ialah: sedang – berat (BJ kayu : 0.36 – 0.55 dan > 0.56), yang berarti termasuk jenis kayu yang cukup kuat dan asumsinya memiliki batang pohon yang kokoh sebagai pohon panjat rotan. Selain itu memiliki bentuk tajuk yang sesuai dengan persyaratan tumbuh rotan yang membutuhkan cahaya matahari, sehingga bentuk tajuk pohon potensial yang diperoleh rata-rata berstruktur yang sedang. Menurut Mahendra (2009) berbagai bentuk tajuk pohon dengan kerapatan tajuk pohon ringan sampai sedang dapat memberikan masukan cahaya matahari berkisar antara 25 % - 75% dan sangat sesuai dijadikan tanaman tumpang sari. Selain sebagai pohon panjat rotan, jenis pohon tersebut sekaligus memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat, dimana pada bagian tertentu pohon dapat digunakan baik untuk: bahan bangunan, obat-obatan, bahan pangan maupun bahan untuk ritual adat tradisional suku dayak. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
91
IV. KESIMPULAN Jenis rotan di agroforestri rotan Katingan didominansi: Calamus .caesius BL, C.scipionum Louer, C.trachycoleus Becc, C.manan, Daemonorops.crinitus BL dan D.sabut Beccar. Keanekaragaman jenis pohon lebih tinggi di hutan sekunder dibandingkan dengan agroforestri karet di semua tingkat pertumbuhan. Sepuluh jenis pohon panjat rotan yang berpotensi dan memiliki manfaat untuk dikembangkan dalam strategi manajemen agroforestri rotan di Katingan yaitu: Macaranga sp, Shorea spp, Havea brasiliensis, Blumeodendron kurxii, Xanthophylum sp, Ptersoperma javanicum Dillenia excels (Jack), Vitex pubescens, Campnosperma auriculatun dan Mallotus sumatranus Miq. DAFTAR PUSTAKA Arifin,Y.F., 2003. Traditional Rattan Gardens As An Agroforestry Model In Indonesia. Rural Poverty Reduction through Research for Development. Deutscher Tropentag, Oktober 5-7, Berlin. (Proceeding) Arifin.Y.F., 2011. Rotan : Budidaya dan pengelolaannya. Universitas Lambung Mangkurat Press. Banjarmasin. Burnet,R and Morikawa, B., 2006. Rattan seed germination and storage study in Northern Thailand.Uplands Holistic Develop[ment Project (UHDP). Thailand. Revised Sept 21, 2006. Dransfield.J dan N.Manokaran., 1996. Rotan. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara 6. Gajah Mada University Press bekerja sama dengan Prosea Inonesia. Bogor. Indriyanto., 2005. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Hal. 56-61, 111-113. Kasmujo., 2001. Identifikasi kayu dan sifat-sifat kayu. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Jogyakarta Ludwig, J.A. and J.F. Reynold., 1988. Statistical Ecology. Aprumer on Methods and Computing. John Wiley and Sons. New York. Mahendra.F., 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta. Odum, E.P., 1998. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Rawing, D., 2009. Potensi produksi dan pengembangan rotan serta permasalahannya di Kabupaten Katingan. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan HHBK pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat di Graha Sabda Pramana. AUniversitas Gajah Mada. Yogyakarta. Sutisna, U., T. Kalima dan Purnadjaya. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia. PROSEA. Bogor.pp:93-95. Soerianegara, I dan A. Indrawan., 1982. Ekologi hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sutisna, U., 1981. Komposisi jenis hutan bekas tebangan di Batulicin, Kalimantan Selatan. Deskripsi dan Alisisis. Laporan Balai Penelitian Hutan. Bogor.
92
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
KEMAMPUAN PERAKARAN STEK PUCUK BEBERAPA JENIS TANAMAN HUTAN Danu dan Kurniawati P Putri Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Research activities include (1) the rooting test, (2) analysis of auxin and nutrient content of cuttings material. Cuttings materials were obtained from the shoots of seedlings and the mature trees of rasamala (Altingia excelsa Noronhae), meranti merah (Shorea selanica Blume), kepuh (Sterculia foetida L.), weru (Albizia prosera (Roxb) Benth), sentang (Melia excelsa L.), nyamplung (Callophylum inophyllum L.) and sungkai (Peronema canescen Jack.). Rooting test conducted in KOFFCO System .A mixed of rice husk and coconut dust (1:2, v / v), and given a growth regulator IBA 1500 ppm and water were used as media. The shoot cuttings which were categorised easily rooted were cuttings of nyamplung (83.33%; from seedlings), (98.89% from mature tree) and cuttings of sungkai (77.78% from mature tree). However, shoot cuttings of Weru were difficult to obtained Keywords: vegetative propagation, shoot cuttings, rooting
I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Pembangunan hutan tanaman memerlukan benih dan bibit yang mencukupi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun beberapa jenis pohon yang prospektif untuk dikembangkan di hutan tanaman memiliki permasalahan dalam pengadaan benihnya, dikarenakan musim buah yang tidak teratur, benih memiliki karakter rekalsitran (benih tidak mampu disimpan lama), dan ketidakmampuan pohon untuk berbunga dan berbuah. Pembiakan secara vegetatif merupakan salah satu teknik pengadaan bibit yang prospektif untuk diterapkan karena dapat menghasilkan bibit yang homogen pada waktu yang diinginkan dengan mutu genetik yang serupa dengan induknya. Teknik perbanyakan vegetatif dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan keluarga (family forest) atau hutan klonal (clonal forest), yang memiliki produktivitas tinggi (Yasman dan Smits, 1988; Kartiko, 1998). Di Brazil, teknologi ini mampu menghasilkan hutan klonal E. urophylla yang memiliki kualitas tinggi sehingga tegakan yang semula memiliki riap 36 m3/ha/th dapat ditingkatkan menjadi 64 m3/ha/th (Zobel, 1983). Pertumbuhan stek dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan (Hartmann et al., 1997). Faktor genetik terutama meliputi kandungan cadangan makanan dalam jaringan stek, ketersediaan air, umur tanaman (pohon induk), hormon endogen dalam jaringan stek, dan jenis tanaman. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyetekan, antara lain: media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas cahaya dan teknik penyetekan. Hormon tumbuh untuk meningkatkan pertumbuhan akar stek dapat menggunakan hormon tumbuh auksin buatan seperti: IBA (indole butyric acid), IAA (indole acetic acid), NAA (naphthalene acetic acid) dan IPA (indole propionic acid) (Heddy, 1987; Hartmann et al., 1997). Media tumbuh untuk stek yang banyak digunakan adalah tanah, pasir, gambut, vermikulit, dan serbuk sabut kelapa (Rochiman & Harjadi, 1973; Yasman & Smith, 1988; Hartmann et al., 1997; Sakai & Subiakto, 2007). Intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stek bervariasi antara 10.000 – 20.000 lux (Yasman & Smith, 1988; Sakai & Subiakto, 2007). Suhu optimum untuk pertumbuhan akar pada stek berkisar antara 21oC - 30oC (Hartmann et al., 1997; Yasman & Smith, 1988). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kemudahan perbanyakan secara vegetatif stek untuk jenis-jenis tanaman hutan berdasarkan kemampuan perakaran steknya. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
93
II. METODE PENELITIAN
A. Bahan dan Lokasi Penelitian Bahan penelitian menggunakan stek pucuk dari anakan dan pohon dewasa jenis rasamala (Altingia excelsa Noronhae), meranti merah (Shorea selanica Blume), kepuh (Sterculia foetida L.), weru (Albizia prosera (Roxb) Benth), sentang (Melia excelsa L.) dan nyamplung (Callophylum inophyllum L.) serta tunas dari pohon sungkai (Peronema canescen Jack.). Lokasi Penelitian di Laboratorium Silvikultur Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (PPPH dan KA), Gunungbatu, Bogor.
B. Prosedur Bahan stek batang dan pucuk dipotong sepanjang 10-15 cm atau dua ruas daun. Selanjutnya stek direndam dalam air dan larutan zat pengatur tumbuh IBA 1500 ppm selama 10 menit. Stek yang telah direndam tersebut ditanam dalam pot-tray yang berisi media campuran serbuk sabut kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 2:1 (v/v). Selanjutnya Pot-ray ditutup dengan sungkup plastik dan diletakkan pada rumah kaca yang dilengkapi dengan sistem pengkabutan (KOFFCO System). Setelah 3 bulan pertumbuhan stek diamati meliputi: persentase stek berakar, jumlah akar, panjang akar, panjang tunas, biomassa akar dan biomassa tunas. Analisis kandungan kimia bahan stek dilakukan di Laboratorium Balitro Departemen Pertanian. Analisis kandungan auksin menggunakan metode pengujian TLC scanner, karbohidrat menggunakan metode pengujian titrimetri, C-organik menggunakan metode pengujian spektrophotometri, dan nitrogen menggunakan metode pengujian Kjeldahl. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu faktor konsentrasi IBA (B1 = 0 ppm ; B2 = 1500 ppm). Setiap perlakuan yang diuji diulang sebanyak tiga kali dan masing-masing ulangan terdiri dari 15 stek. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam. Kemudian apabila terdapat perbedaan nyata antar perlakuan, maka pengujian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. 1.
Hasil Perakaran stek Hasil penelitian menunjukkan bahwa perakaran stek dari 7 jenis tanaman yang diujikan (rasamala, sentang, nyamplung, Shorea selanica, kepuh dan sungkai) cukup bervariasi (Tabel 1). Variasi juga terjadi diantara bahan stek pucuk tanaman mudan dan tunas pohon dewasa pada setiap jenis tanaman yang sama. Tabel 1. Perakaran stek rasamala, sentang, nyamplung, Shorea selanica, kepuh dan sungkai (kecuali weru tidak mampu tumbuh) Jenis
Parameter
Rasamala (Altingia Noronhae)
Persentase hidup (%) Jumlah akar (buah) Panjang akar (cm) Panjang tunas (cm) Biomassa akar (gram) Biomassa tunas (gram) Persentase hidup (%) Jumlah akar (buah) Panjang akar (cm) Panjang tunas (cm) Biomassa akar (gram)
excelsa
Sentang (Melia excelsa L.)
94
Asal bahan stek pucuk Tanaman muda 84,45 4±1 8.42 ± 2.62 2.53 ± 1.15 0.0570 ± 0.0340 0.1124 ± 0.0767 85,55 6±3 14.75 ± 6.55 6.67 ± 2.47 0,0848 ± 0,0484
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Pohon Dewasa 37,79 15,56 2 14,5 13 0,0412
Jenis Nyamplung (Callophylum inophyllum L.)
Meranti merah (Shorea selanica Blume)
Kepuh (Sterculia foetida L.)
Sungkai (Peronema canescen Jack.)
Parameter Biomassa tunas (gram) Persentase hidup (%) Jumlah akar (buah) Panjang akar (cm) Panjang tunas (cm) Biomassa akar (gram) Biomassa tunas (gram) Persentase hidup (%) Jumlah akar (buah) Panjang akar (cm) Panjang tunas (cm) Biomassa akar (gram) Biomassa tunas (gram) Persentase hidup (%) Jumlah akar (buah) Panjang akar (cm) Panjang tunas (cm) Biomassa akar (gram) Biomassa tunas (gram) Persentase hidup (%) Jumlah akar (buah) Panjang akar (cm) Panjang tunas (cm) Biomassa akar (gram) Biomassa tunas (gram)
Asal bahan stek pucuk Tanaman muda 0,1481 ± 0,0634 83,33 3±1 14.37 ± 3.87 2.35 ± 1.65 0,1114 ± 0,0476 0,1984 ± 0,1215 84,60 4±1 7.37 ± 4.33 3.72 ± 0,98 0,0621 ± 0,0523 0,1394 ± 0,0485 45,56 2±1 11.5074 ± 5.4485 3.8185 ± 2.8132 0,0595 ± 0,0305 0,0595 ± 0,0305 -
Pohon Dewasa 0,3978 98,89 2 9,08 4,5 0,2407 0,2542 26,67 77,78 13,7 9,15 11,18 0,0541 0,2905
2.
Kandungan auksin dan nutrisi bahan stek Pertumbuhan tunas dan akar stek secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh komposisi nutrisi bahan stek, lingkungan dan interaksinya. Kandungan nutrisi bahan stek bervariasi untuk setiap tanaman induk maupun umur yang berbeda (Gambar 1 dan 2).
Gambar 1. Kandungan auksin dan karbohidrat dari bahan stek yang diujikan (Hasil analisa Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
95
Gambar 2. Kandungan nitrogen dan rasio C:N dari bahan stek yang diujikan (Hasil analisa Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor). B. Pembahasan 1. Nyamplung Bahan tanaman nyamplung dewasa memiliki kemudahan yang sama dengan anakan dalam menghasilkan perakaran stek (Tabel 1). Hasil penelitian Danu et al. (2011) stek dari anakan nyamplung menghasilkan persentase hidup 89,17% yang relatif sama dengan bahan stek dari pohon dewasa (71,39 %). Oleh karena itu, stek nyamplung termasuk salah satu jenis tanaman kategori mudah berakar. Penambahan IBA 1500 ppm tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan akar. Demikian juga hasil penelitian Danu et al. (2011) menunjukkan bahwa pemberian Rootone-F dan IBA hingga 1000 ppm belum mampu meningkatkan perakaran stek nyamplung. Kandungan karbohidrat stek nyamplung dari anakan cenderung lebih tinggi (21,75 %) dibandingkan dengan stek dari pohon dewasa (14,11 %). Kandungan auksin, nitrogen dan rasio C:N dari kedua bahan stek relatif sama. Dengan demikian, komposisi kandungan auksin, karbohidrat serta rasio C:N dalam bahan stek nyamplung sudah mencukupi untuk dapat memunculkan akar. Kandungan karbohidrat yang tinggi dengan rasio C:N yang tinggi dapat meningkatakan perakaran stek, tetapi jika rasio C:N rendah maka inisiasi akar juga akan terhambat karena unsur N berkorelasi negatif dengan pengakaran stek (Huckett, 1988;Haissig 1989; Hartman et al, 1997). Oleh karena itu untuk mendukung perkembangan sistem perakaran stek nyamplung dibutuhkan tunas tanaman induk yang memiliki rasio C:N yang tinggi. 2. Rasamala Bahan stek pucuk rasamala yang berasal dari anakan lebih mudah berakar dibandingkan dengan bahan stek pucuk dari pohon dewasa (Tabel 1). Jenis ini termasuk kategori sedang. Penambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500 ppm hanya berpengaruh terhadap panjang tunas yaitu 3,29 cm, sedangkan stek yang direndam air sebesar 1,77 cm. Kandungan auksin bahan stek rasamala dari anakan dan tunas pohon dewasa cenderung sama yaitu 0,023 % dan 0,024 %. Kandungan karbohidrat dan nitrogen anakan rasamala (17 %; 1,69 %) cenderung lebih tinggi dibandingkan pada tunas pohon (13,10 %;1,33 %. rasio C:N pada anakan (34,64) lebih rendah dibandingkan dengan tunas dewasa (41,32). Tingginya persentase hidup stek rasamala asal anakan diduga disebabkan kandungan karbohidrat yang tinggi. Putri dan Pramono (2011) melaporkan bahwa stek pucuk tanaman rasamala umur 6 tahun mengandung nitrogen sebesar 1,22 % dengan rasio C/N 22,39 mampu menghasilkan persentase stek berakar sebesar 64,26 %. 3. Sentang Bahan stek sentang yang berasal dari anakan lebih mudah berakar dibandingkan dengan bahan stek pucuk dari pohon dewasa (Tabel 1). Jenis ini termasuk kategori sedang. Penambahan IBA hingga 1500 ppm pada stek pucuk anakan sentang tidak berpengaruh nyata terhadap perakaran stek (Pramono et al., 2000; Choummaravong, 1998), walaupun kadungan auksin bahan stek rendah (0,0112% dan 0,0222%). Penambahan IBA 1500 ppm menghasilkan jumlah akar 96
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
sebanyak sebesar 6,4 buah, stek yang direndam air menghasilkan 5,7 buah. Penggunaan hormon Rootone-F hingga dosis 400 mg menghasilkan persentase stek hidup 53,8%, jumlah 1,3 dan panjang akar 2,8 cm (Pramono et al., 2000). Tingginya persentase stek hidup sentang disebabkan karena kandungan karbohidrat yang tinggi. Kandungan karbohidrat dan nitrogen pada stek sentang asal anakan (19,59 %; 2,44 %) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stek asal pohon dewasa yaitu sebesar 16,92 % dan 1,55 %, sehingga menghasilkan rasio C:N sebesar 23,40 dan 31,88. 4. Meranti Bahan stek meranti yang berasal dari anakan lebih mudah berakar dibandingkan dengan bahan stek pucuk dari pohon dewasa (Tabel 1). Jenis ini termasuk kategori sedang. Bahan stek Shorea selanica asal anakan mengandung auksin lebih tinggi ( 0,0437%) dibandingkan asal pohon dewasa (0,0140 %). Kandungan karbohidrat, nitrogen dan rasio C:N dari kedua bahan stek S. selanica relatif sama yaitu masing-masing sebesar 13,45 %; 1,85 %; 31,39 pada bahan stek asal anakan dan sebesar 14,97 %; 1,84 %; 34,14 pada bahan stek asal pohon dewasa. Tingginya kandungan auksin tersebut diduga mempengaruhi keberhasilan persentase stek hidup S. selanica dari tunas pohon dewasa. Penambahan IBA 1500 ppm belum efektif terhadap pertumbuhan stek S. selanica. Bahkan stek yang hanya direndam air dapat menghasilkan jumlah akar 4 dan biomassa akar 0,6577 gram, sama dengan stek yang diberi tambahan IBA yaitu jumlah akar 4 buah dan biomassa akar 0,5812 gram. 5. Kepuh Bahan stek kepuh yang berasal dari anakan lebih mudah berakar dibandingkan dengan bahan stek pucuk dari pohon dewasa (Tabel 1). Jenis ini termasuk kategori sedang. Bahan stek kepuh asal anakan mengandung auksin (0,0134 %) dan rasio C:N (22,20) yang lebih rendah dibandingkan dengan asal pohon dewasa yaitu auksin 0,0202 % dan rasio C:N 58,49. Kandungan karbohidrat (17,91 %) dan nitrogen (2,34 %) pada stek kepuh asal anakan lebih tinggi dibandingkan dengan pada stek asal pohon dewasa yaitu karbohidrat 15,32 % dan nitrogen 0,73 %. Ketidakmampuan stek kepuh asal pohon dewasa disebabkan kandungan karbohidratnya rendah walaupun rasio C:N nya tinggi. 6. Weru Stek tanaman weru termasuk kategori sulit berakar. Hasil penelitian Putri dan Sianturi (2011) menunjukkan bahwa stek weru yang berasal dari pohon dewasa hanya mampu memunculkan tunas sebanyak 63,7 %, tetapi belum terlihat adanya akar. Kandungan auksin (0,031 %) dan nitrogen (3,07 % ) pada stek weru asal anakan relatif tinggi serta rasio C:N relatif rendah (17,72) dibandingkan dengan auksin (0,011 %), nitrogen (22,09 %) dan rasio C:N (38,94) stek pohon dewasa . Kandungan nitrogen yang tinggi inilah diduga menjadi faktor penyebab sulitnya stek weru menghasilkan akar, walaupun kandungan auksinnya tinggi. Kandungan nitrogen yang tinggi akan menurunkan rasio C:N dan menghambat pertumbuhan akar stek, karena unsur N berkorelasi negatif dengan pengakaran stek (Huckett, 1988; Haissig, 1989; Hartman et al., 1997). 7. Sungkai Kemudahan sungkai untuk berakar juga diduga berhubungan dengan tingginya rasio C:N yaitu sebesar 88,27 yang merupakan nilai tertinggi dari semua jenis tanaman yang diujikan. Demikian pula dengan kandungan karbohidrat dan auksin yang cenderung tinggi yaitu 21,96 % (karbohidrat) dan 0,0273 % (auksin). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Stek tanaman muda cenderung lebih mudah memunculkan akar dibanding dengan stek dari pohon dewasa. Persentase hidup stek dari anakan berkisar 45,56 % - 85,55 %; sedangkan persentase hidup stek dari pohon dewasa adalah 0 – 98,89 %.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
97
2. Pemberian IBA 1500 ppm mampu meningkatkan perakaran stek tanaman rasamala, sentang, S. selanica, dan kepuh. Namun tidak berpengaruh terhadap perakaran stek nyamplung. 3. Kandungan karbohidrat yang tinggi menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan stek jenis rasamala, sentang, nyamplung, kepuh dan sungkai. Kandungan auksin yang tinggi mempengaruhi keberhasilan perbanyakan stek jenis S. Selanica. B.
Saran Teknik perbanyakan vegetatif stek dapat digunakan untuk memperbanyak jenis tanaman hutan rakyat. Tanaman nyamplung dan sungkai dapat diperbanyak dengan bahan stek asal tanaman muda dan dewasa. Tanaman rasamala, sentang, Shorea selanica dan kepuh hanya dapat diperbanyak menggunakan bahan stek tanaman muda. Jenis dengan kategori sulit untuk berakar seperti weru belum bisa menggunakan stek. DAFTAR PUSTAKA Choummaravong, S. 1998. Vegetative propagation of Sentang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs.) by rooting of cuttings. M.Sc. thesis. Universiti Putra Malaysia, Serdang, Selangor. p. 157. Danu, A. Subiakto, dan A.Z. Abidin. 2011. Pengaruh umur pohon induk terhadap perakaran stek nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 8 (1) : 41 – 49. Bogor. Hartmann, H.T., D.E. Kester and F.T. Davies, R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation: Principles and Practices. Edisi VI. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. Heddy. 1987. Ekofisiologi Pertamanan. Suatu Tindakan Aspek Fisik Lingkungan Pertanaman. Sinar Baru. Bandung. 138 p. Huckett, W.P. 1988. Donor plant maturation and adventitious root formation. Di dalam: Davis D, Haissig BE, Sankhla N, editor. Adventitious Root Formation in Cuttings. T. Dioscorides Press, Oregon. Haissig, B.E. 1989. Carbohydrate relations during propagation of cuttings from sexually pinus banksiana trees. Tree physiol 5: 319 – 328.
mature
Kartiko, H.D.P. 1998. Pembangunan Kebun Pangkas Untuk Hutan Tanaman Industri. Makalah Penunjang Ekspose Hasil Penelitian Litbang Teknologi Perbenihan dan Pemuliaan Pohon di Yogyakarta. Putri, K.P. dan A.A. Pramono. 2011. Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Induk Rasamala (Altingia excelsa noronha) Sebagai Sumber Bahan Stek Melalui Penambahan Unsur Hara Nitrogen. Prosiding Seminar Nasional Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan kelestarian Hutan. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. 223 - 227 p. Putri, K.P. dan R.U.D. Sianturi. 2011. Pengaruh Bahan Stek dan Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Persentase Stek Bertunas Jenis Weru (Albizia procera Benth) dan Pilang (Acacia leucophloa). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian : ”Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Rakyat di Propinsi Jawa Tengah. 115 -119 p. Rochiman, K dan S. Harjadi. 1973. Pembiakan vegetatif. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sakai C. dan A. Subiakto. 2007. Manajemen Persemaian KOFFCO System. Kerjasama Badan Litbang Komatsu-Jica. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 31p. Yasman dan Smith, 1988. Metode pembuatan stek Dipterocarpaceae. Asosiasi Panel Kayu Indonesia. 38p. Zobel, B. 1983. Vegetatif Propagation in Eucalyptus. 19th Meeting of The Canadian Tree Improvement Association, August 22-26,1983. Toronto, Ontario. 98
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
KONSERVASI TUMBUHAN BERNILAI EKONOMI TINGGI MELALUI PENGEMBANGAN MODEL AGROFORESTRI Albert Husein Wawo, Ning Wikan Utami, dan Fauzia Syarif Puslit Biologi, LIPI E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Sandalwood (Santalum album) and agarwood (Aquilaria sp) are indigenous plants to Indonesia. Both plants that possess high economic value, but now the existence of those plants have became as rare plant. Two models of agroforestry have been developed to conserve sandalwood in Belu district, East Nusa Tenggara Province and agarwood in Malinau district, East Kalimantan Province. Name of both models are ABC model ( Agroforestry model base on Sandalwoods) and MAG (Agroforestry model base on agarwood). The function of sandalwood in ABC model as hedges plants. The sandalwood seedling were planted together with its secondary host plants like acacia (Acacia vilosa), soursop (Annona muricata) and guava (Psidium guajava). During 4 years after planting showed that number of sandalwood seedling that still alive in ABC Model were more 70 % of total planted seedling. All sandalwood seedlings had well growth in ABC model. The great number of alive seedlings of santalum were determined by participation of local people. Local people as farmers always maintained alley crops (maize, carrot, bean, onion and vegetable crops) and sandalwood seedling in ABC model. Developing of MAG in Malinau district was adapted to land topography and traditional agroforestry, The topography of Dayak ‘s garden in Malinau divided into 3 parts (plot) are Irang, Fuar-Fuar and Abak. Irang is the upper land were used for planting wood and fruit trees as durian and chempedak. Agarwoods and some local durians were planted together at Irang part. About 1000 seedlings of agarwood have been planted in MAG in Malinau District. Rate of height growth of agarwood seedlings are faster than seedlings of local durians like lai, duyan, madui, picang and tungen. Keywords : Agroforestry, ABC, MAG, sandalwood and agarwood
I. PENDAHULUAN Cendana dan gaharu adalah 2 jenis tumbuhan berperawakan pohon, termasuk produk kehutanan non kayu atau hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Produk dari kedua jenis tumbuhan ini berupa minyak atsiri yang sangat dibutuhkan dalam industri minyak wangi, farmasi, kosmetik dan aroma terapi. Cendana (Santalum album L.) adalah tumbuhan asli Indonesia yang persebaran alaminya terpusat di kawasan propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) (Wawo & Abdulhadi, 2006). Cendana dikenal sebagai tumbuhan bernilai ekonomi tinggi sehingga Pemerintah Daerah Propinsi NTT menjadikannya sebagai komoditi andalan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah NTT (BanoEt, 2001). Faktor-faktor yang memicu kelangkaan cendana yaitu eksploitasi yang berlebihan, kebakaran rutin, belum dilakukan pembudidayaan dan belum dilakukan sosialisasi Perda No. 2 / Tahun 1999 tentang kepemilikan cendana (Wawo & Abdulhadi, 2006). Harga batang cendana yang mahal mendorong terjadinya over eksploitasi yang menyebabkan cendana termasuk tanaman langka (Tantra, 1989). Lebih lanjut di kawasan hutan Kabupaten Malinau terdapat 3 jenis gaharu yang merupakan tanaman asli Kalimantan (Wawo; dkk. 2012). Ketiga jenis gaharu tersebut adalah tengon (Aquilaria beccariana), kefoyo (A. malaccensis) dan lelah (Aquilaria. sp). Gaharu di Malinau terancam langka karena cara-cara pemanenan yang keliru dan terjadi alih fungsi lahan hutan. Menurut Yuliansyah & Kholik (2006) & Jutta; dkk. (2010), ketiga jenis gaharu di Kalimantan Timur yaitu Aquilaria malaccensis, A.microcarpa dan A.beccariana. telah terancam langka dan dimasukan dalam daftar
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
99
Apendix II CITES, dan IUCN Red List of Threated Plants. Secara morfologi jenis gaharu lelah (Aquilaria.sp) berbeda dengan A. microcarpa. Salah satu cara pelestarian jenis – jenis tumbuhan yang terancam langka tersebut dengan melibatkan masyarakat lokal adalah pengembangan model agroforestri (Wawo & Abdulhadi, 2006). Agroforestri merupakan model pengelolaan lahan dan tumbuhan agar sumber daya hutan dapat dikembangkan dan dilestarikan (de Foresta & Michon, 2000). Agroforestri dipilih karena memiliki fungsi ekologi, ekonomi dan sosial sehingga setiap daerah memiliki model agroforestri yang spesifik tergantung pada jenis tanah, iklim dan tumbuhan khas di daerah tersebut (de Foresta; dkk. 2000; Wawo & Abdulhadi, 2006). Bagi kabupaten Malinau, Model Agroforestri Gaharu (MAG) merupakan pilihan tepat karena gaharu adalah tumbuhan spesifik kabupaten ini yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan terancam langka, sedangkan bagi Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) model agroforestri yang spesifik adalah Model Agroforestri Berbasis Cendana (Model ABC) (Wawo & Abdulhadi, 2006) karena cendana adalah tanaman asli yang bernilai ekonomi dan langka. Tulisan ini memberikan informasi kegiatan pengembangan model agroforestri berbasis cendana di kabupaten Belu, NTT dan model agroforestri gaharu di kabupaten Malinau, Kalimantan Timur yang berdampak positif terhadap konservasi kedua jenis tumbuhan langka tersebut. Naskah ini juga sebagai informasi bagi pelaku konservasi agar membangun partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi ex-situ. II. METODOLOGI A. Model Agroforestri Berbasis Cendana (Model ABC) Cendana yang ditanam dalam model ABC ini merupakan komponen utama sehingga jumlahnya lebih banyak dari jenis-jenis pohon lainnya. Pembudidayaan cendana meliputi pula penanaman jenis-jenis inang sekundernya. Di kabupaten Belu, NTT telah dikembangkan model ABC pada 2 lokasi yaitu di desa Dirun, Lamaknen pada ketinggian tempat 1000 m dpl dengan luasan 3.0 ha dan di desa Teun, Raimanuk pada ketinggian tempat 500 – 600 m dpl dengan luasan 2,5 ha. Oleh karena topografi lahan agroforestri memiliki kemiringan lebih dari 10 % maka model ABC yang dikembangkan adalah pola Budidaya Tanaman Lorong (alley cropping system) (Wawo, 2006).
v
v
v v v
x
x
v v
v v v
x
x
v v v x v v v
v
v v v
v
v
v
v v v
x v v v
x
x
v v
v v v
x
x
v
v
v x
v
v
v
v v v
x
x
v v
v v v
x
x
v
v
v v
v
x
x
v v v
v v
v
v
v v v
x
x
v v
v v v
x
x
v
v
v v
v
x
x
v v v
v v
v
v
v v v
x
x
v v
v v v
x
x
v
v
v
v v
v
v v
v
x
x
x
x
v v v
v
v v v
v
v v v
v
v
v
v
v v v
v
v v v
x
x
x
v
v
v
v
v
v v v
v
v
x
x
x
x
v
v
v
v
v
v v
v
v v
v
v v v
x
x
x
x
v
v
v v v
v
v v v
v
v
Simbol •X•
Keterangan Simbol Cendana dengan Inang sekundernya
O
Mangga Kemiri
∆ νννν
Asam & Jenis-Jenis Kayu Tanaman Semusim
Gambar 1. Peta kabupaten Belu, NTT dan Sketsa Model ABC Dalam model agroforestri berbasis cendana terdapat 3 kelompok tanaman yaitu Alley Crops yaitu tanaman sela yang terdiri dari tanaman semusim, Hedges plants (pertanaman pagar) terdiri dari tanaman cendana bersama inang sekundernya yaitu akasia (Acacia vilosa), jambu batu (Psidium guajava) dan sirsak (Annona muricata). Pada barisan pertanaman pagar yang lain ditanami tanaman perdagangan seperti kemiri (Aleurites moluccanum) dan mangga (Mangifera indica). Pertanaman Tepi (border trees) terdiri dari tanaman yang berbatang besar dan berakar dalam seperti asam (Tamarindus indica) dan beberapa jenis kayu lokal (Wawo & Abdulhadi, 2006) yang ditanam tidak jauh dari tepi lahan.
100
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
B. Model Agroforestri Gaharu (MAG) Model Agroforestri Gaharu (MAG) dibangun dalam lahan hibah dari PEMDA Malinau kepada LIPI Bogor seluas lebih kurang 5,0 ha di lokasi Kampung Baru, Sembuak Warod, Malinau Utara. Lahan ini akan digunakan sebagai Etalase Model Agroforestri Gaharu (MAG) dalam kaitan untuk konservasi gaharu (Wawo; dkk. 2012). DENAH ETALASE MODEL AGROFORESTRI GAHARU DI SEMBUAK WAROD, MALINAU UTARA, KALIMANTAN TIMUR
U
ak mbu . Su Jln od War Jln. Raya Mentarang-Malinau
KET. : : DURIAN : GAHARU : TEGALAN : PARIT
: PISANG : SAWAH : BUKIT : PONDOK KERJA
Gambar. 2. Peta kabupaten Malinau Kalimantan Timur dan sketsa lahan Hibah Pemda untuk LIPI Dalam model agroforestri tradisional suku Dayak yang berdomisili di Malinau terdapat 3 lokasi (plot) lahan yaitu lahan berbukit dinamai lokasi Irang, lahan datar hingga landai disebut lokasi Fuar-Fuar dan lahan tergenang dinamai lokasi Abak. Pada lahan hibah dari Pemda Malinau terdapat 3 bentuk topografi yaitu: lahan yang berbukit seluas 60 %, lahan datar hingga landai seluas 35% dan lahan tergenang air seluas 5%. Dalam pengembangan MAG ini peneliti mempertahankan model agroforestri tradisional yang ada di masyarakat dan memperbaiki tata letak komponen penyusun model agroforestri tersebut (Wawo; dkk. 2012). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Model Agroforestri Berbasis Cendana (model ABC) Pada lahan seluas 3,0 ha di desa Dirun, Lamaknen telah dikembangkan model agroforestri berbasis cendana (model ABC) dengan menggunakan pola Budidaya Tanaman Lorong.. Lahan model ABC dibagi-bagi pengelolaannya kepada 30 orang petani sebagai pemelihara cendana dengan luas rata-rata 0,075 – 0,2 ha. Hingga tahun 2006 masih terdapat 593 bibit cendana yang hidup atau kurang lebih 79.06 % dari total bibit yang ditanam. Inang cendana seperti akasia, sirsak dan jambu batu ditanam dengan jarak 1.0 m dari cendana. Pertumbuhan tinggi semai cendana dalam lahan model ABC di desa Dirun sebagai berikut. Tabel 1. Pertumbuhan Cendana Dalam Model ABC di Desa Dirun, Belu Umur setelah tanam (tahun)
Tinggi (cm)
0 (saat tanam) 1 (2003) 2 (2004) 3 (2005) 4 (2006)
11. 80 87.78 156.87 229.58 254,84
Laju Pertumbuhan Tinggi semai (cm) 75,98 69,09 72,71 25,26
Diameter Pangkal Batang (cm)
Diameter Setinggi Dada (cm)
0.31 0.72 2.22 2.44 3.51
1.30 1.86
Dalam lahan agroforestri tersebut selain cendana dan inangnya sebagai pertanaman pagar (hedges trees) ditanami pula tanaman semusim seperti jagung (Zea mays), kacang gude (Cajanus cajan), bawang merah (Allium cepa) dan wortel (Dacus carota) yang berfungsi sebagai tanaman sela (alley crops). Hasil tanaman semusim ini dipanen petani untuk kebutuhan keluarganya. Pada tepi lahan model ABC ini ditanami asam dan beberapa jenis pohon kayu.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
101
Gambar 3. Pengukuran cendana dalam Model ABC di Desa Dirun, Belu Pengembangan model ABC di desa Teun, Raimanuk seluas 2,5 ha. Setiap petani mengolah lahan seluas 800 m² – 2000 m² dengan menanam cendana sebanyak 20 – 45 anakan. Hingga tahun 2006 jumlah bibit cendana yang hidup sebanyak 437 semai atau 72.83 % dari jumlah semai cendana yang ditanam. Tabel 2. Pertumbuhan Tanaman Dalam Model ABC di Desa Teun, Belu Umur setelah tanam (bulan) 1 12 24
Tinggi Cendana (cm) 15.61 94.93 166,66
Tinggi Mangga (cm) 111.60 137.83 150,25
Tinggi Asam (cm) 23.60 35.72 50,15
Tinggi Jambu batu (cm) 20.23 25.65 42,23
Tinggi Sirsak (cm) 17.83 28.83 41.21
. Tanaman jambu batu, sirsak dan akasia ditanami dekat cendana dengan jarak 1,0 m yang berfungsi sebagai inang sekundernya. Selain cendana dan inangnya ditanami juga berbagai pohon seperti mangga dan asam. Pada musim hujan dalam lahan model ABC tersebut masyarakat menanam jagung, kacang gude, ubikayu dan sayuran sebagai alley crops.
Gambar 4. Pengukuran tinggi cendana dan mangga dalam Model ABC di Desa Teun, Belu. Dari Tabel 1 dan 2 diketahui bahwa dalam plot model ABC tersebut diperoleh persentase semai cendana yang hidup relatif tinggi dengan pertumbuhan semai yang bagus. Ndoen dalam Hamzah, (1976) menjelaskan bahwa penambahan tinggi semai cendana dalam umur setahun berkisar antara 50 – 150 cm. Dalam penelitian ini laju pertumbuhan tinggi semai cendana dari tahun pertama menuju tahun ke dua dan ketiga berkisar antara 60 – 75 cm per tahun. Memasuki tahun keempat laju pertumbuhan tinggi semai cenderung menurun yaitu sebesar 25,26 cm per tahun. Hal ini karena pertumbuhan cendana mengarah kepada pertumbuhan batang yang semakin membesar. Persentase semai cendana yang hidup relatif tinggi yaitu 79,06 % dan 72,83% dengan pertumbuhan yang optimal dalam plot model ABC karena semai cendana dipelihara secara baik oleh petani sebagai bukti partisipasinya dalam kegiatan konservasi cendana. Dalam lahan Model ABC di desa Dirun melibatkan 30 orang petani sedangkan di desa Teun sebanyak 16 orang petani. Rao (1992) melaporkan bahwa kesuksesan aktivitas agroforestri di Indonesia meliputi partisipasi masyarakat lokal. Model ABC yang dikembang hanyalah sebuah pola pengelolaan lahan pertanian dan tumbuhan yang lebih intensif melalui penataan ruang, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dan pergiliran tanaman (Wawo, 2006).
102
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
B.Model Agroforestri Gaharu 1. Plot Irang Plot irang terletak pada lokasi yang berbukit berfungsi sebagai tempat tumbuh pohon buahbuahan dan jenis-jenis pohon kayu yang berasal dari hutan. Lahan perbukitan ini dipilih menjadi plot konservasi dalam model agroforestri gaharu (MAG) karena aman dari genangan air. Tiga jenis gaharu, dan 6 jenis durian yaitu durian biasa (Durio zibethinus) lai (Durio kutejensis), madui (D. dulcis), duyan (D.graveolens), picang ( D.oxleyanus) dan tungen (D.exelsus) ditanam pada lokasi Irang. Penanaman dilakukan berlawanan dengan garis kontur bukit supaya melindungi lahan dari gangguan erosi dengan pengaturan jarak tanam sehingga semua tanaman yang ada dalam plot konservasi ini dapat tumbuh optimal.
Gambar 5. Pengukuran tinggi tanaman gaharu dan durian lokal dalam plot Irang Jarak tanam antar baris pada durian adalah 8,0 m dan jarak dalam baris adalah 8,0 m. Jarak tanam antar baris pada gaharu adalah 6,0 m dan dalam baris adalah 4,0 m. Lahan antara baris durian dan gaharu ditanami nanas (Ananas comossus). Jarak tanam nanas adalah 1,0 x 1,0 m. Sebanyak lebih kurang 1000 bibit gaharu yang ditanam dalam MAG ini terdiri dari gaharu tengon (Aquilaria beccariana), gaharu kefoyo (A. malaccensis) dan lelah (Aquilaria sp). Laju pertumbuhan tinggi Gaharu dan durian lokal yang ditanam dalam lahan MAG sangat bervariasi tergantung pada jenisnya (Gambar 4.). Gaharu dan durian biasa (D. zibethinus) memiliki laju pertumbuhan tertinggi selama 8 bulan setelah tanam mencapai 38,95 dan 28,80 cm. Pola laju pertumbuhan tinggi semai pada gaharu dan durian biasa dimulai dengan pertumbuhan yang mendatar pada umur 2 -3 bulan kemudian pada umur 4-5 bulan terjadi peningkatan laju pertumbuhan tinggi bibit hingga umur 6 bulan. Pada bulan ke 7 dan ke 8 terjadi penurunan laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan tinggi bibit pada lai (Durio kutejensis), madui (D. dulcis), duyan (D. graveolens), picang ( D. oxleyanus) dan tungen (D. exelsus) termasuk lamban. Laju pertumbuhan terendah pada duyan (4,95 cm), madui (8,23 cm), tungen ( 7,15 cm). Pertumbuhan Gaharu dan Durian di MAG 120.00
Tinggi
100.00
Gaharu
80.00
Lai
60.00
Durian
40.00
Madui
20.00
Picang Duyan
0.00 0
1
2
4
6
8
Tungen
Bulan
Gambar 6. Grafik laju pertumbuhan tinggi semai gaharu dan durian lokal Dari Gambar 6 diketahui bahwa pada beberapa jenis durian langka (lai, madui, picang, duyan dan tungen) pada umur 1 bulan hingga 5 bulan setelah tanam, pertumbuhan tinggi semai hampir mendatar tetapi memasuki bulan ke 6 hingga ke 8 agak menaik. Perbedaan pola pertumbuhan antara gaharu dan beberapa jenis durian langka tersebut selain dipengaruhi oleh faktor genetika tanaman itu sendiri juga dipengaruhi faktor lingkungan seperti unsur hara, iklim. Ketersediaan substrat sangat mendukung pertumbuhan tanaman (Sitompul & Guritno, 1995). Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
103
2. Plot Fuar-fuar Plot Fuar-fuar diartikan sebagai lokasi tumpang sari dari berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura dan perdagangan. Orang Dayak menggunakan lahan datar hingga landai ini untuk penanaman ubikayu, pisang, jagung, talas, jeruk, rambutan dan tanaman yang dapat dijual seperti durian, kakao dan kopi. Dalam MAG, plot Fuar-fuar dikelola dengan cara penataan ruang dan pergiliran tanaman sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan kompetisi yang berat. Sanchez (1995) menjelaskan bahwa faktor biofisik menjadi dasar pengelolaan lahan agroforestri agar interaksi antara cahaya, air, dan hara dengan pepohonan dan tanaman setahun memberikan keuntungan bagi pemilik lahannya. Pengelolaan pola tumpang sari dimulai dari pembuatan guludan, pemiihan jenis tanaman dan pengaturan jarak tanam. Lebar masing-masing guludan 1,0 m dan arak antar guludan sekitar 20 m. Di atas guludan ditanami durian lai (D. kutejensis) dan durian biasa (D. zibethinus) dengan jarak 8,0 m. Durian ditanam sebagai tanaman penyekat / pertanaman pagar. Lahan dalam barisan tanaman durian ditanami pisang (Musa sp), lamtoro ( Leucaena glauca) dan turi (Sesbania grandiflora). Kultivar pisang yang ditanam adalah pisang tanduk, pisang kepok dan pisang ambon. Lamtoro dan turi berfungsi sebagai pakan ternak, dan daunnya yang gugur menambah bahan organik tanah (Palm, 1995).
Gambar 7. Penanaman pisang dan ubikayu dalam plot Fuar-fuar Lahan antara guludan tersebut ditanami ubikayu. Ubikayu dipilih karena umbinya menjadi makanan bagi suku Dayak. Kultivar-kultivar ubikayu yang ditanam adalah toluh (berumur 3-4 bulan), silou, betudol, bucia, mentega, mensalong, urang dan semidong ( 6-7 bulan) dan nbum ( 9-12 bulan). Produksi Beberapa Kultivar Ubi Kayu
Tinggi Beberapa Kultivar Ubi Kayu Tinggi (cm) 160.0 140.0
A : Toluh B : Bucih C : Menggan D : Mansalong E : Silow F : Urang G : Setudol H : Semidong I : Mentega
120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 A
Produksi (gr)
Tinggi
B
C
D E F Kultivar
G
H
I
Produksi
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
A : Toluh B : Bucih C : Menggan D : Mansalong E : Silow F : Urang G : Setudol H : Semidong I : Mentega A
B
C
D
E
F
G
H
I
Kultivar
Gambar 8. Histogram tinggi batang ubi kayu dan produksi umbinya Pada gambar histogram di atas diketahui varietas toluh memiliki batang yang rendah sekitar 93,00 cm dan batang tertinggi pada varietas urang 137,0 cm dan setudol 136,40 cm. Produksi berat basah umbi tertinggi pada kultivar semidong yaitu 1850 gram per pohon, setudol seberat 1670 gram dan toluh seberat 1630 gram. Perbedaan tinggi tanaman dan produksi kemungkinan berkaitan dan genetika tanaman dari masing-masing kultivar. Kultivar toluh perlu dikembangkan secara baik karena umurnya pendek dan produksinya cukup tinggi. 3. Plot Abak Plot Abak adalah plot yang tergenang air merupakan tempat penampungan air hujan yang mengalir dari lokasi perbukitan atau dari sumber air yang lain. Masyarakat Dayak menggunakan lahan Abak ini untuk menanam padi dan juga untuk kolam ikan.
104
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 9. Tanaman padi dalam plot Abak Produksi kultivar padi lokal yang ditanam pada plot Abak ini rata-rata 1,2 ton gabah kering per ha. Produksi padi yang rendah ini dipengaruhi oleh keasaman tanah, tidak menggunakan pupuk dan belum dilakukan teknik pengolahan lahan secara baik. Oleh karena itu perlu perbaikan teknik budidaya dan pemilihan varietas yang sesuai (Wawo; dkk. 2012). IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Konservasi tumbuhan yang bernilai ekonomi tinggi seperti cendana dan gaharu sebaiknya dilakukan dalam model agroforestri. 2. Cendana dan gaharu yang hidup dalam lahan model agroforestri lebih banyak ditentukan oleh keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku konservasi sedangkan model agroforestri berperan dalam penataan ruang, pemilihan jenis dan pergiliran tanaman. 3. Pada umur antara 1 – 3 tahun, laju pertumbuhan tinggi semai cendana antara 60 – 75 cm per tahun, sedangkan pada umur 3 – 4 tahun laju pertumbuhan tinggi semai cendana mengalami penurunan menjadi 25,26 cm per tahun. 4. Laju pertumbuhan tinggi bibit gaharu dan durian biasa yang telah ditanam dalam MAG memiliki pertumbuhan lebih aktif dibandingkan dengan beberapa jenis durian langka seperti lai,duyan, madui, picang dan tungen. DAFTAR PUSTAKA BanoEt, H. H, 2001. Peranan Cendana Dalam Perekonomian NTT. Dulu Dan Kini Dalam; Cendana (Santalum album L.) Sumber Daya Daerah Otonomi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi. Edisi Khusus. Vol. 5. No. 5. Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Bogor. Hal. 469 – 474. de Foresta, H., Kusworo, A., Michon, G & Djatmiko W. A, 2000. Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Center for Research in Agroforestry. Bogor, Indonesia. 249 hal. de Foresta, H & Michon, G, 2000. Agroforestri Indonesia: Beda Sistem Beda Pendekatan. Dalam:Agroforest Khas Indonesia. ICRAF. Bogor, Hal 1 – 18. Hamzah, Z, 1976. Sifat Silvika Dan Silvikultur Cendana (Santalum album L.) Di Pulau Timor. Laporan. No. 227. Lembaga Penelitian Hutan, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jutta, M., Chua L. S. L & Chong Y.S, 2010. The Grim Reaping of Gaharu. A tale of greed, gold and gored trees. In Conservation Malaysia. Issue No. 11. A Bulletin Supporting Plant and Animal Conservation in Malaysia.. ISBN.1823-7975. Palm, C. A, 1995. Contribution of Agroforestry Trees to Nutrient Requirement of Intercropped Plants. In; Agroforestry Science, Policy and Practice. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht /Boston/ London. p 105 – 124. Rao, Y. S, 1992. Programs of Participatory Forestry Development in Asia. In; Sosial Science Applications in Asian Agroforestry (Editors: William, R., Burch, J. R., Kathy Parker, J). Winrock International, USA. p 21-33 Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
105
Sanchez, P. A, 1995. Science in Agroforestry. In; Agroforestry, Science, Policy and Practice. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht /Boston/ London. p 5- 55. Sitompul, M & Guritno, B, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 412 hal. Tantra, I. G. M, 1983. Erosi Plasma Nutfah Nabati Dan Masalah Pelestariannya. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Vol.2, No. 1. Bogor. Hal. 1 – 5. Wawo,
A. H., Subowo, Y. B., Ngatiman., Haba, J., & Budiarjo, 2012. Upaya Konservasi dan Pengembangan Ekonomi Hijau Pada Gaharu dan Durian Lokal Melalui Model Agroforestri di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Dalam; Bunga Rampai Ketahanan Wilayah Demi Terwujudnya Percepatan Pembangunan Ekonomi Yang Berwawasan Lingkungan. LIPI Press. Hal. 195 – 211.
Wawo, A. H & Abdulhadi, R, 2006. Agroforestri Berbasis Cendana. Sebuah Paradigma Konservasi Flora Berpotensi Di Lahan Kering, NTT. LIPI Press. Jakarta. 72 hal. Wawo, A. H, 2006. Penerapan Model Agroforestri Berbasis Cendana Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Dalam; Pengembangan Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur Melalui Penerapan Teknologi. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna, LIPI, Subang. Hal. 75 – 86. Yuliansyah & Kholik, A, 2006. Ragam Hasil Hutan Bukan Kayu Dari Hutan Dipterokarpa. Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 55 hal.
106
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PENERAPAN TEKNIK PEMUPUKAN DALAM MENUNJANG PERTUMBUHAN TANAMAN SUKUN DI LOMBOK BARAT Ryke Nandini dan MM. Budi Utomo Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Sukun (Breadfruit) as a potential tree is massively developed as backup food. Development of Breadfruit in forest land needs intensive maintenances and one of them is environmental manipulation by fertilization. This research was aimed to determine fertilization technique to get best growth of breadfruit. Simple random sampling was used as an experimental design for this study . Treatments were adding SP-36 fertilizer on 3 dosages; 200 grams (P1), 250 grams (P2) and 300 grams (P3). Two years old of breadfruit plants used in this research. Result showed that P1 treatment perform better than other treatments. Keywords : breadfruit, environmental manipulation, fertilization, SP-36
I. PENDAHULUAN Sukun merupakan tanaman potensial yang dapat menjadi substitusi beras sebagai bahan pangan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2008 produksi sukun di Indonesia terus meningkat. Jumlah produksi sedikit menurun dari tahun 2008-2010 dan naik kembali hingga tahun 2012. Menurut Dirjen Holtikultura (Anonim, dalam www.majalahpangan.com, 2010), produksi sukun di Indonesia pada tahun 2000-2007 terus meningkat dari 35.435 ton menjadi 92.014 ton dengan luas panen 13.359 ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Jambi. Rata-rata produksi buah sukun dapat mencapai 50150 buah/tanaman, namun produktivitas tanaman tergantung daerah dan iklimnya. Paling sedikit setiap tanaman dapat menghasilkan 25 buah dengan rata-rata 200-300 buah per musim dan untuk setiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sukun sebanyak 16-32 ton. Sampai saat ini kebutuhan konsumsi buah sukun belum dapat terdata dengan baik. Namun dengan asumsi satu buah sukun dapat digunakan sebagai pengganti beras bagi 3-4 orang, maka produksi di Jawa Barat pada tahun 2000 yang sekitar 1.446.100 kg atau kurang lebih sebanyak 964.067 buah dapat dikonsumsi oleh 3.792 jiwa dan ini setara dengan konsumsi beras 5.688 ton (Anonim, dalam www.majalahpangan.com, 2010). Dengan demikian hal ini akan sangat membantu pencukupan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Pengembangan sukun telah banyak dilakukan di berbagai tempat, salah satunya adalah kawasan hutan. Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan secara tidak langsung menjadikan hutan yang berfungsi sebagai penyangga sistem pertanian pangan (life supporting system), dan secara langsung menjadikan hutan sebagai penyedia pangan (forest for food production). Dukungan Kementerian Kehutanan melalui kebijakan pengembangan hutan cadangan pangan menyebabkan sukun menjadi salah satu jenis alternatif untuk ditanam pada areal hutan guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat 30 tahun mendatang. Pengembangan sukun di kawasan hutan memerlukan input pemeliharaan yang intensif, di mana salah satunya melalui teknik silvikultur intensif (silin) yang di dalamnya meliputi penggunaan bibit yang berkualitas, manipulasi lingkungan dan pengendalian hama penyakit. Hal ini dilakukan karena sebagian kawasan hutan merupakan lahan kritis, sedangkan tanaman sukun biasa tumbuh pada lahan-lahan yang subur. Pemupukan merupakan salah satu bagian dari kegiatan manipulasi lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah sekaligus meningkatkan Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
107
produktivitas buah sukun. Adapun pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk organik maupun non organik (kimia). Pada lahan kritis, penggunaan kombinasi pupuk organik dan pupuk kimia merupakan langkah optimal untuk memperbaiki kualitas lahan. Pada tahun 2010, pengembangan sukun telah diujicobakan di kawasan hutan Lombok Barat dengan menggunakan input pupuk organik berupa bokhasi. Namun hasilnya tidak memuaskan, dimana pertumbuhannya relatif kurang optimal yaitu dengan rata-rata pertambahan tinggi 11,3 cm serta diameter 11,5 mm pada akhir 2011 (BPTHHBK, 2011). Tanaman sukun menghasilkan buah pada umur 3-6 tahun (Ragone, 2009). Dengan pertambahan tinggi dan diameter yang telah dicapai, maka dikhawatirkan tanaman sukun tidak akan mampu menghasilkan buah dengan cepat. Dari hasil analisis tanah di lokasi penelitian diperoleh bahwa tanah di lokasi penelitian mempunyai kandungan phosphor (P) yang berkisar dari sangat rendah hingga rendah. Menurut (Rosmarkam dan Yuwono, 2007) phospor dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life) sehingga di lokasi penelitian diperlukan penambahan pupuk yang mengandung unsur P seperti TSP atau SP-36 untuk menstimulasi pertumbuhan. Tanaman yang diberikan perlakuan terlebih dahulu diberi input pupuk kandang 5 kg/tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui teknik pemupukan yang dapat menghasilkan pertumbuhan tanaman sukun yang terbaik di lokasi ujicoba penanaman sukun di Lombok Barat. II. METODE A. Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat, tepatnya pada hutan produksi yang termasuk dalam RTK 13 Marejebonga. Lokasi penelitian termasuk lahan kritis yang didominasi oleh alang-alang. Vegetasi yang banyak tumbuh di lokasi penelitian adalah jambu mente, nangka, jati dan sonokeling. Berdasarkan peta tanah tinjau skala 1:250.000, jenis tanah di daerah penelitian adalah kompleks mediteran coklat dan litosol. Kemiringan lereng di lokasi penelitian berkisar 30-60% dengan topografi berbukit. B. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk SP-36, pupuk kandang, serta tanaman sukun berumur 2 tahun. Alat yang digunakan adalah blangko pengamatan, plastik sampel tanah, parang, cangkul serta kaliper dan pita meter. C. Rancangan penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak sederhana dengan tiga perlakuan, yaitu pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 200 gr (P1), 250 gr (P2) dan 300 gr (P3) yang diterapkan pada 90 tanaman sukun yang berumur 2 tahun. Tanaman sukun yang digunakan adalah tanaman sukun dari bibit unggul yang dihasilkan melalui pemuliaan dan diberi input pupuk organik sebanyak 5 kg/ tanaman. Penelitian dilaksanakan selama 1 tahun, yaitu selama tahun 2012 dengan dua kali pengamatan, yaitu pada akhir musim hujan (bulan Mei) dan awal musim hujan (Desember). Adapun parameter yang diamati adalah tinggi dan diameter tanaman sukun, suhu dan kelembaban tanah, serta sifat tanah sebelum dan sesudah pemupukan. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan tanaman Hasil pengukuran pada umur delapan bulan setelah perlakuan pada akhir 2012 diketahui bahwa sukun yang hidup berdasarkan perlakuan adalah P1 = 50%, P2 = 45,2% dan P3 = 51,6%. Hal ini dapat dikatakan bahwa rata-rata persen hidup sukun hanya sekitar 50% saja. Berdasarkan data, diperoleh bahwa pada saat pengamatan, suhu udara di lokasi penelitian mencapai rata-rata 31°C, 108
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
sedangkan kelembaban udara 62,8%. Menurut Ragone (2009), kondisi ini termasuk dalam persyaratan sukun untuk tumbuh secara optimal. Rendahnya persentase hidup sukun kemungkinan disebabkan oleh kondisi curah hujan di lokasi penelitian yang sangat kecil, yaitu bahwa curah hujan selama tahun 2012 adalah 336,5 mm, jumlah hari hujan 60 dengan hujan maksimum 20,6 mm. Jumlah curah hujan tertinggi ada pada bulan maret yaitu sebesar 107,6 mm. Menurut Ragone (2009), curah hujan yang optimal untuk pertumbuhan sukun adalah 1.500-3.000 mm dengan jumlah periode kering 3-6 bulan. Apabila dilihat dari data BMKG rata-rata curah hujan tahun 2010-2011 adalah 1619 mm, yang berarti masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sukun untuk tumbuh optimal sehingga curah hujan di lokasi penelitian pada tahun 2012 sangat tidak cocok untuk pertumbuhan sukun. Pemupukan diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sukun. Dari jumlah tanaman yang tersisa dilakukan pengamatan pertumbuhan, yaitu dengan cara mengukur tinggi dan diameternya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman sukun yang diberikan perlakuan P1 menghasilkan rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik dibandingkan perlakuan yang lain, yaitu 16,31 cm dan 2,03 mm. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter sukun tahun 2012 Diameter (mm)
Tinggi (cm)
Perlakuan P1
Mei
Desember
Pertambahan
Mei
Desember
Pertambahan
20,76
22,78
2,03
103,06
119,38
16,31
P2
16,81
17,62
0,81
84,93
89,50
4,57
P3
22,06
23,69
1,83
115,75
120,75
6,07
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertambahan diameter dan tinggi tanaman sukun terbesar justru ada pada perlakuan P1 yaitu dengan penambahan pupuk SP-36 sebanyak 200 gr, sedangkan yang paling kecil adalah pada perlakuan P2 yaitu dengan penambahan pupuk SP-36 sebanyak 250 gr. Hal ini dapat dikatakan bahwa penambahan pupuk SP-36 dengan dosis 200 gr merupakan yang paling baik dibanding penambahan dosis yang lain. B.
Pengaruh pemupukan terhadap sifat tanah Salah satu tujuan dari pemupukan adalah untuk meningkatkan kelembaban tanah. Selain pada pertumbuhan tanaman sukun, pengaruh dosis pemupukan juga terlihat pada hasil pengukuran suhu dan kelembaban tanah serta perubahan sifat-sifat tanah sebelum dan sesudah pemupukan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban tanah pada masing-masing perlakuan, ternyata perlakuan P2 justru menyebabkan suhu dan kelembaban tanah lebih besar dibandingkan yang lain. Hal ini berbanding terbalik dengan pertambahan tinggi dan diameternya. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban tanah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban tanah pada akhir 2012. Perlakuan
Suhu tanah (°C)
Kelembaban tanah (%)
P1
30,9
82,7
P2
31,5
93,6
P3
24,0
72,1
Suhu dan kelembaban tanah mempunyai peranan terhadap perkecambahan dan pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2005). Jika dilihat dari hasil pengukuran pertumbuhan, maka pada P2 yang mempunyai suhu dan kelembaban tanah paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain mempunyai pertambahan tinggi dan diameter yang terkecil dibandingkan pada perlakuan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suhu dan kelembaban tanah yang tinggi berbanding Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
109
terbalik dengan pertumbuhan tanaman, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Hasil analisis terhadap kondisi tanah menunjukkan bahwa penambahan pupuk SP-36 tidak banyak berpengaruh pada perubahan sifat fisik dan kimia tanah. Hal ini terlihat pada harkat yang sama pada tiap parameter, meskipun dari segi nilai berbeda. Dari hasil analisis tanah sebelum dan sesudah pemupukan, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa hampir semua nilai parameter pada perlakuan P3 lebih tinggi dibanding P1 dan P2 kecuali KTK sesudah pemupukan. Nilai KTK pada semua perlakuan menurun sesudah pemupukan. Tingginya nilai parameter pada perlakuan ini disebabkan penambahan pupuk dengan dosis yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Penambahan pupuk SP-36 sedikit berpengaruh pada nilai parameter N-total, dimana pada perlakuan P1 tidak berubah sedangkan pada perlakuan P2 dan P3 menjadi turun. Penambahan nilai yang paling drastis pada semua perlakuan adalah pada parameter K20. Peningkatan harkat ada pada parameter P205, dimana pada P1, P2 dan P3 semuanya naik satu tingkat. Hal ini wajar karena pupuk yang ditambahkan mengandung unsur P. Selain P205, tekstur tanah juga mengalami perubahan harkat, yaitu dari agak kasar menjadi kasar. Hal ini kemungkinan disebabkan lokasi pengambilan sampel yang berada pada lereng bawah sehingga pada saat pengambilan tanah kedua (sesudah pemupukan), lokasi tersebut menjadi tempat penampung kikisan material yang terbawa saat hujan. Meskipun berubah, menurut Ragone (2009) tekstur tanah di lokasi penelitian masih cocok untuk pertumbuhan tanaman sukun. Sifat tanah sebelum dan sesudah pemupukan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat tanah sebelum dan sesudah pemupukan Parameter C organik (%) N total (%) K20 (mg/100g) P205
(ppm)
KTK (cmol/kg)
Tekstur
Pengukuran
P1
Sebelum
0,49
SR
0,42
SR
0,61
SR
Sesudah
0,50
SR
0,65
SR
0,94
SR
Sebelum
0,09
R
0,08
SR
0,10
R
Sesudah
0,09
R
0,13
SR
0,13
SR
Sebelum
84,7
ST
72,65
ST
111,95
ST
Sesudah
433,79
ST
563,33
ST
567,53
ST
Sebelum
16,20
R
26,74
S
36,79
S
Sesudah
97,17
ST
112,41
ST
132,13
ST
Sebelum
46
ST
35,4
T
48,4
ST
Sesudah Sebelum
35,4 lempung berpasir pasir berlempung
T AK
33,4 lempung berpasir pasir berlempung
T AK
22,6 lempung berpasir pasir berlempung
S AK
Sesudah
P2
K
P3
K
K
Ket : P1= dosis 200 gr, P2= dosis 250 gr, P3 = dosis 300 gr , SR= sangat rendah, S= sedang, R= rendah, T= tinggi, ST= sangat tinggi, AK= agak kasar
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Perlakuan penambahan pupuk SP-36 dengan dosis 200 gr (P1) memberikan pertambahan tinggi dan diameter tanaman sukun yang terbesar dibandingkan dengan penambahan pupuk 250 gr (P2) dan 300 gr (P3) yaitu sebesar 16,31 cm dan 2,03 mm. 2. Penambahan SP-36 tidak banyak berpengaruh terhadap sifat tanah
110
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 12 April 2010. Prospek Sukun (Arthocarpus comunis) sebagai Pangan Sumber Karbohidrat dalam Mendukung Diversifikasi Konsumsi Pangan. Website :// http://www. majalahpangan.com. Diakses 2 Februari 2012. BPS. 2013. Produksi Buah-buahan di Indonesia, 1995-2002. Website: http://www.bps.go.id. Diakses 6 Oktober 2013. BPTHHBK. 2011. Penerapan Silin Pada Jenis Sukun (Arthocarpus altilis Fosberg) untuk Rehabilitasi Lahan. Laporan Penelitian. Mataram. Tidak dipublikasikan. Ragone, D. 2009. Farm and Forestry Production and Marketing Profile for Breadfruit (Artocarpus altilis). Permanent Agriculture Resources (PAR). Holualoa, Hawai. Website:http://www.agroforestry.net. Diakses 7 Januari 2011. Rosmarkam, A. dan N.A. Yuwono. 2012. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Konsep dan Kenyataan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
111
PENGARUH ASAL RIMPANG DAN PAKET PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KUNYIT DI BAWAH TEGAKAN PINUS Gunawan Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis E-mail:
[email protected] ABSTRACT In modern life, medical expenses are becoming increasingly expensive and not affordable by the society, especially for the middle class down. This should cause people to start looking for an alternative treatment that can be an affordable cost. One alternative that is relatively affordable treatment is to use natural ingredients as traditional medicine. Agroforestry patterns of carpentry combinated with crop plants is one of efforts to increase land productivity and boost medicine crop production medicinal to meet the needs for both domestic as well as export. This study aims to obtain data and information turmeric plant growth under pine trees aged 11 years. The method used is to use a completely randomized design with 10 treatments and consists of 4 blocks. The results showed that fertilization treatment did not provide a significant influence on the percentage of high growth and the growth of turmeric plants in agroforestry Demonstration Plot with pine (P. merkusii) until the age of 1 month. Seedling types of behavior provide a significant influence on the growth of turmeric plants where the original seed types indukan better growth when compared to the original seeds sapling. In percentage parameters grow the seeds not give significant influence. The average percentage of turmeric crop grown from seed as big as the original sapling of 86.6% and 80%. Meanwhile, the growth of turmeric plants height from the original seed showed size of 13.51 cm and 9.37 cm sapling size. Keywords : Agroforestry, turmeric, pine (P. merkusii), medicinal plants.
I. PENDAHULUAN Meningkatnya biaya pengobatan secara modern serta mahalnya obat sekarang ini mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan pengobatan/obat herbal. Salah satu alternatif pengobatan yang sudah memasyarakat adalah jamu. Jamu merupakan pengembangan obat bahan khas alami di Indonesia dimana komponen utamanya adalah tanaman obat. Semakin hari permintaan akan jamu semakin meningkat. Indonesia mempunyai ketergantungan yang besar terhadap obat dan bahan baku obat konvensional impor yang nilainya mencapai US$ 160 juta pertahun, sehingga perlu dicarikan subsitusinya dengan industri dalam negeri. Tanaman obat sangat berpotensi untuk dikembangkan karena adanya tren back to nature mengakibatkan melonjaknya permintaan akan obat tradisional. Perkembangan penggunaan tanaman obat dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada era tahun 70an pengunaan tanaman obat didorong oleh para pengguna obat tradisonal, mulai tahun 90an sampai sekarang penggunaan obat didorong oleh kombinasi pegguna tradisional, scientific researche dan komunikasi media (Januwati, 2010). Nilai perdagangan tanaman obat (herbal) pada tahun 2000 mencapai US$ 40 miliar. Pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 60 miliar, dan tahun 2050 diperkirakan menjadi US$ 5 triliun dengan peningkatan 15% pertahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern yang hanya 3% pertahun (Anonim, 2007). Potensi jenis tanaman obat diindonesia sangatlah banyak hampir mencapai 30.000an, dan yang sudah berhasil diidentifikasi khasiatnya ada 940 jenis, dari jumlah tersebut 250 jenis sudah dimanfaatkan untuk bahan baku industri obat. Dari 250 jenis tanaman dapat dikelompokkan berdasarkan pada jenis simplisianya : 1) Rimpang/rhizoma, 2) Herba/herba, 3) Daun/folium, 4) Buah/fructus, 5) Bunga/flos, 6) Batang/stem, 7) Biji/semen dan 8) Akar/radix. Jenis tanaman obat yang sudah banyak dimanfaatkan dan dibudidayakan secara nasional salah satunya jenis tanaman obat yang jenis simplisianya merupakan rimpang/rhizoma. Tanaman 112
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
obat yang tergolong dalam simplisia rimpang antara lain : Jahe, Kunyit, Kencur, Kapolaga, dan Temulawak. Sementara itu, tanaman obat jenis rimpang-rimpangan yang sudah banyak dibudidayakan dan diteliti khasiat serta kandungan bahan obatnya dalah jenis kunyit dan jahe. Disamping sudah dibudidayakan secara luas serta teknik budidayanya di kuasai tanaman kunyit dan jahe mempunyai pasar yang sangat potensial baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Pengembangan tanaman obat di sektor kehutanan dapat dilakukan melalui pola agroforestry. Agroforestry merupakan salah satu bentuk pengelolaan lahan dengan mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman semusim. Pola agroforestry ada berbagai model salah satunya adalah wanafarma. Wanafarma merupakan pola agroforestry dengan mengkombinasikan tanaman kayu dengan tanaman obat-obatan. Penelitian ini mempunyai fokus dan target kegiatan pada penerapan pola agroforestry pada kawasan hutan dengan kombinasi jenis kayu pertukangan dengan tanaman obat-obatan. II.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Surakarta tepatnya di RPH Gunung Bromo (Gambar 1) dengan luas 1 Ha. Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2012.
Lokasi Demplot
Gambar 1. Lokasi Kegiatan Penelitian
B.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman keras yang berupa tegakan pinus yang dengan tahun tanam 2001 dan tanaman obat dalam hal ini adalah tanaman kunyit unggulan lokal yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor. Sedangkan untuk perlakuan pupuk digunakan pupuk kandang sapi dan pupuk anorganik (SP36 dan KCl), tambang, tali rapia, plastik, bambu dan lain-lain. Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah alat untuk kegiatan penanganan benih kunyit, alat untuk penanaman tanaman tanaman obat; timbangan, alat ukur, untuk pengamatan tinggi tanaman, alat tulis dan lain-lain.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
113
C.
Rancangan Percobaan Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap berblok faktorial dengan 10 perlakuan, 4 ulangan dan menggunakan luasan 250 m2 tiap plotnya dengan jarak tanam 50 x 50 cm. Perlakuan yang diberikan pada saat penanaman selengkapnya ada pada Tabel 1. Tabel 1.
Perlakuan yang diberikan dalam kegiatan penelitian penerapan pola agrogforestry dengan kombinasi jenis kayu pertukangan dan obat-obatan
No.
Kode
1
P1RA
Perlakuan Dosis pupuk 0 dengan dengan bahan anak rimpang
2.
P2RA
Dosis pupuk 1 dengan dengan bahan anak rimpang
3.
P3RA
Dosis pupuk 2 dengan dengan bahan anak rimpang
4.
P4RA
Dosis pupuk 3 dengan dengan bahan anak rimpang
5.
P5RA
Dosis pupuk 4 dengan dengan bahan anak rimpang
6.
P1RI
Dosis pupuk 0 dengan dengan bahan induk rimpang
7.
P2RI
Dosis pupuk 1 dengan dengan bahan induk rimpang
8.
P3RI
Dosis pupuk 2 dengan dengan bahan induk rimpang
9.
P4RI
Dosis pupuk 3 dengan dengan bahan induk rimpang
10.
P5RI
Dosis pupuk 4 dengan dengan bahan induk rimpang
Dosis yang diberikan pada masing-masing perlakuan pemupukan dapat dilihat pada Tabel 2 serta desain penanaman di lapangan pada Gambar 2. Tabel 2.
Dosis pupuk yang digunakan dalam perlakuan pemupukan tanaman kunyit pada demplot agroforestry
No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5.
P1 P2 P3 P4 P5
Pupuk Kandang (ton/ha) 20 15 10 5 0
SP36 (kg/ha)
Kcl (kg/ha)
0 50 100 150 200
0 50 100 150 200
Gambar 2. Desain penanaman di lokasi penelitian
114
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
D.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varians dengan taraf uji 0,05 dan 0,01. Apabila hasil analisis varians menunjukkan adanya variasi berbeda nyata maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan analisis Duncan. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Evaluasi pertumbuhan dilakukan tiap bulan setelah tanaman kunyit tumbuh. Parameter yang digunakan adalah jumlah anakan dan pertumbuhan tinggi dari tanaman kunyit. Tanaman kunyit yang ditanam pada bulan Maret ternyata hanya mendapatkan hujan selama 3 kali sehingga tanaman belum bisa tumbuh karena kerterbatasan air. Tanaman mampu tumbuh pada musim hujan berikutnya yaitu pada bulan November sehinggga pengamatan yang dilakukan baru satu kali yaitu pada bulan pertama setelah tanaman tumbuh. Hasil pengamatan dan analisis varian untuk parameter persentase tumbuh dan tinggi tanaman selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh benih dan pupuk terhadap pertumbuhan dan jumlah anakan kunyit. No
Parameter
Kuadrat Tengah Prosentase tumbuh (%)
Tinggi (cm)
1.
Benih
444,48 ns
171,56 **
2.
Pupuk
370,37 ns
6,79 ns
3.
Interaksi benih dan pupuk
1123,34 *
12,25 *
Keterangan :
** * ns
: Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 99% : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% : Tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa bagian/asal benih kunyit yang digunakan berpengaruh sangat nyata terhadap parameter pertumbuhan tinggi, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup tanaman. Sementara itu, perlakuan pemupukan belum memberikan pengaruh nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi tanaman, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut memberikan pengaruh nyata baik pada persentase tumbuh ataupun tinggi tanaman di lapangan.
Gambar 3. Pengaruh faktor tunggal asal benih/rimpang dan pemupukan terhadap persentase tumbuh dan pertumbuhan tinggi tanaman kunyit Kombinasi antara perlakuan asal benih dengan pemupukan berpengaruh nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi tanaman. Pemupukan berpengaruh nyata terhadap persentase Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
115
tumbuh dan tinggi tanaman jika dikombinasikan dengan asal benih/rimpang. Sementara itu asal benih/rimpang memiliki pengaruh kuat terutama terhadap parameter tinggi tanaman dengan atau tanpa dikombinasikan dengan pemupukan. Dengan demikian, tegakan dijadikan faktor tunggal yang mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman kunyit pada umur satu bulan setelah tumbuh. Benih asal indukan memperlihatkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik dibandingkan dengan anakan. Hal tersebut diduga disebabkan karena benih asal indukan lebih banyak dibandingkan asal anakan sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman kunyit pada tahap awal. Rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman kunyit yang berasal dari benih indukan sebesar 13,51 cm, sedangkan benih asal anakan sebesar 9,37 cm. Rostiana et al. (1993) pertumbuhan awal pada rimpang utama (indukan) dan cabang(anakan) akan lebih baik dari rimpang utama dibandingkan dengan rimpang cabang, namun tidak akan berbeda nyata pada hasil akhir baik pada jumlah rimpang maupun berat rimpang pada tanaman kencur. Sementara itu, perlakukan pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap kedua parameter karena pada tahap awal sumber hara yang digunakan masih mampu disuplai dari cadangan makanan yang terdapat pada benih/rimpang sehingga peran pupuk masih kurang diperlukan. Selain itu, dengan lamanya jangka waktu pemupukan akibat lambatnya musim hujan dan tertundanya pertumbuhan tanaman kunyit (sekitar 8 bulan) dapat menyebabkan terjadinya pencucian (leaching) ataupun penguapan unsur hara dari pupuk yang diberikan terutama pupuk buatan sebelum dapat diserap tanaman. Tabel 4. Pertumbuhan tinggi dan jumlah anakan pada masing-masing perlakuan pemupukan. No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
P1RA P2RA P3RA P4RA P5RA P1RI P2RI P3RI P4RI P5RI
Tinggi (cm) 10.41 cd 8.58 d 8.50 d 9.38 cd 9.98 cd 12.56 bc 16.06 a 11.94 c 15.28 ab 11.71 cd
Parameter Prosen tumbuh (%) 83.34 ab 88.89 ab 100.00 a 72.23 cd 88.89 ab 72.26 cd 61.11 c 72.26 bc 100.00 a 94.45 a
Keterangan : P1) Pupuk kandang 20ton/ha; P2) Pupuk kandang 15ton/ha, SP36 50kg/ha, Kcl 50 kg/ha; P3) Pupuk kandang 10 ton/ha SP36 100 kg/ha, Kcl 100 kg/ha; P4) Pupuk kandang 5 ton/ha, SP36 150 kg/ha, Kcl 150 kg/ha; P5) SP36 200 kg/ha Kcl 200 kg/ha
Tidak berpengaruhnya perlakuan pemberian pupuk yang diberikan terhadap pertumbuhan tanaman kunyit juga dapat disebabkan oleh keadaan pH yang rendah sampai sangat rendah pada lokasi penelitian. Kondisi tersebut dapat menghambat penyerapan unsur hara oleh tanaman karena terikat ion Alumunium (Al3+) ataupun besi (Fe3+). Di sisi lain Pospor akan tersedia bagi tanaman pada pH antara 6,0 hingga 7,0. Jika larutan tanah terlalu masam, tanaman tidak dapat memanfaatkan N, P, K dan zat hara lain yang mereka butuhkan. Pada tanah masam, tanaman mempunyai kemungkinan yang besar untuk teracuni logam berat yang pada akhirnya dapat mati karena keracunan tersebut. Jika tanah terlalu masam oleh karena penggunaan pestisida, herbbisida, dan fungisida tidak akan terabsorbsi dan justru akan meracuni air tanah serta air-air pada aliran permukaan. Dalam kurun waktu tersebut akan terjadi penguapan pupuk kimia maupun organik, disamping itu adanya tanaman pokok berupa tanaman pinus juga menyerap pupuk yang disiapkan untuk pertumbuhan kunyit. Adanya gulma berupa rumput dan semak belukar akan memanfaatkan pupuk yang sudah disediakan untuk kunyit.
116
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 4. Kondisi tanaman kunyit pada saat pengukuran pertama umur dua bulan setelah tumbuh Perlakuan pemberian pupuk juga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap prosentase tumbuh atau tunas yang muncul. Persentase tumbuh yang paling banyak adalah pada perlakuan P4RI dan P3RA dimana prosen tumbuhnya mencapai 100%. Pada perlakuan P4RI jenis dan dosis pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang 5 ton/ha, SP36 150 kg/ha, dan KCl 150 kg/ha dengan menggunakan bahan berupa indukan (rimpang utama). Perlakuan pada P3RA menggunakan jenis pupuk kandang sebanyak 10 ton/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha dengan bahan tanaman berupa anakan (rimpang cabang). Kematian tanaman kunyit lebih banyak disebabkan oleh terjadinya pembusukan sewaktu tersimpan dalam tanah. Pembusukan lebih bayk terjadi pada benih asal anakan daripada indukan yang disebabkan diduga karena sewaktu ditanam tingkat kadar air masih tinggi dengan kulit benih yang lebih mudah rusak dibanding indukan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai persentase tumbuh tanaman benih asal anakan yang lebih kecil (80%) daripada indukan (86,6%). Berdasarkan hasil analisis tanah kandungan N termasuk dalam kriteria rendah, P sangat rendah dan K juga rendah. Dalam Rosita et al 2007 dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman temu-temuan diperlukan input pupuk yang mengandung unsur N, P dan K yang cukup. Menurut Bailey 2002 pupuk buatan atau kimia dalam hal ini yang digunakan adalah (SP36 dan KCl merupakan pupuk yang haranya cepat tersedia untuk tanaman sementara untuk pupuk alam (pupuk kandang kotoran sapi) merupakan pupuk yang lambat tersedianya dan juga kandungan haranya bervariasi sehingga sulit untuk menentukan jumlah kebutuhan hara tanaman. Hal inilah yang diduga penyebab dari lambatnya pertumbuhan tanaman kunyit pada perlakuan yang menggunakan pupuk kandang. Oleh sebab itu, untuk mendukung pertumbuhan tanaman, kegiatan pemupukan sangat diperlukan. Mengingat tingkat keasaman yang yang cukup tinggi (pH rendah) pada lokasi penanaman, maka untuk meningkatkan efektifitas pemupukan diperlukan peningkatan pH tanah seperti penambahan batuan gamping (CaCO3) dan dolomit CaMg (CO3)2, pemupukan dengan Fosfat alam: (Ca3(PO4)2, Apatit, pemupukan dengan pupuk super Fosfat (TSP Ca (H2PO4)2, abu dapur, tepung tulang dan lain-lain. IV.
KESIMPULAN
1. Perlakuan pemupukan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi pertumbuhan tanaman kunyit pada demplot agroforestry dengan pinus (P. merkusii) sampai umur 1 bulan . 2. Perlakuan jenis bibit memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kunyit dimana jenis bibit asal indukan lebih bagus pertumbuhannya dibandingan dengan jenis benih asal anakan. 3. Interaksi perlakuan bibit dan pemupukan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan maupun persentase hidup. Pertumbuhan paling tinggi adalah perlakuan P2RI dimana perlakuan Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
117
pemupukan menggunakan pupuk kandang sebanyak 15 ton/ha, SP36 50 kg/ha, Kcl 50 kg/ha. Prosentase tumbuh yang paling banyak adalah pada perlakuan P4RI dan P3RA dimana prosen tumbuhnya mencapai 100%. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Anonim.
2000. 5 Sitem Agroforestry tawaran untuk pemecahan www.worldagroforestry.org/.../BK0028-04-4.pdf <18 Januari 2012>
masalah
Bermawie N. 2002. Uji Aadaptibilitas Klon-klon Harapan Jahe Pada Berbagai Kondisi Agroekologi. Laporan Penyelesaian DIP Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2002. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor Biro Pusat Statistik. 1998. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. De Foresta H and Michon G. 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: de Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara and R.H.M.J Lemmens. 1999. Medicinal and poisonous plants 1. PROSEA 12 (1) : 210-219. FAO. 2007. Major colourants and dyestuffs. Mainly produced inhorticultural systems. http://www.fao.org/docrep/V8879E/v8879e09.htm. <18 Januari 2012> Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar Swadaya. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Cetakan I, Jakarta. Januwati. M dan Taryono. 2010. Bahan Presentasi “Tanaman Obat dan Aromatik Pengembangan untuk Agroindustri” Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. NAS (National Academy of Science). 1983. Fuel wood crops. Schrub and tree species for energy production, Vol 2. National Academy Press. Washington DC. Rosita SMD dan Hera Nurhayati, 2007. Respon Tiga Nomor Harapan Kunyit (Curcuma domestica Val.) Terhadap Pemupukan. Bul. Littro. Vol. XVIII No. 2, 2007, 127 – 138. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Suharti. 2007. Konservasi Sumberdaya Huta Melalui Pengembangan Usahatani Wanafarma. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Bogor. Yusron. M., 2010. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 32 No. 6. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
118
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PENGARUH MANAJEMEN POLA PENANAMAN TERHADAP PRODUKTIFITAS TEGAKAN BERDASARKAN SIMULASI MODEL SExI-FS Degi Harja, Endri Martini, dan Betha Lusiana World Agroforestry Center – Southeast Asia Regional Program E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Evaluating the impact of management decisions on productivity multi-species uneven-aged forest stands is a challenge. A Spatially-Explicit Individual Forest Simulator (SExI-FS) was developed as a tool for predicting the growth of a stand and here included the productivity model of some species including Durio zibethinus (durian yields) and Hevea braziliensis (latex yields). The productivity model is using both ecological knowledge and biophysics information, considering the light and space competition. Some scenarios of rubber-based agroforestry systems was tested, from simple system (regular interplanting) to complex agroforestry system (randomize spacing). The result shows fruit yield is higher in regular plantation and lower in the spatially random planting design, while latex yield shows the opposite pattern. Both yields are intermediate in the random clustered scenario. Wood volume on the other hand is not affected by spacing and the stand density scenarios. Keywords: modeling, fruit yield, latex, spacing
I. PENDAHULUAN Manajemen lahan berbasis agroforestri merupakan solusi pemanfaatan lahan yang mengedepankan keseimbangan antara produktifitas dan keanekaramagaman hayati melalui intensifikasi dan pengayaan tegakan. Namun tidak dapat dipungkiri jika dalam jangka pendek produktifitas untuk masing-masing komoditas dalam sistem agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan sistem monokultur. Tetapi, untuk skala waktu jangka panjang dan produtifitas keseluruhan plot, sistem agroforestri belum tentu menghasilkan produktifitas yang lebih rendah. Keberlanjutan produksi sistem merupakan hal lain yang bisa didapatkan dari sistem agroforestri karena multi produk yang dihasilkan dapat bertahan dari ketidak seimbangan harga dari salah satu komoditas pertanian atau perkebunannya. Dari berbagai kelebihan dan kekurang sistem agroforestri tersebut, maka dibutuhkan teknologi manajemen yang dapat mengkombinasikan berbagai komoditas dalam satu tegakan tapi tidak mengorbankan produktifitas dari masing-masing komoditas tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah manajemen sistem agroforest yang seperti apakah yang dapat menghasilkan produkfitas yang terbaik. Untuk menguji berbagai skenario manajemen tegakan dalam sistem agroforest tersebut, maka dibutuhkan pemodelan yang dapat melakukan pendugaan produktifitas dari satu sistem manajemen tegakan. Dalam studi ini, digunakan model pertumbuhan pohon SExI-FS (Spatially Explicite Individual-based Forest Simulator). SExI-FS adalah model yang mensimulasikan interaksi antara pohon-pohon. Model ini dikembangkan menggunakan pemograman dengan pendekatan berorientasi objek (Harja dan Vincent, 2008). Pada perangkat lunak terdapat visualisasi 3D dan antarmuka pengguna grafis interaktif yang memungkinkan pengguna untuk mengeksplorasi sepenuhnya berbagai skenario manajemen. Desain berbasis objek pada pemodelan ini memungkinkan pengguna untuk melakukan pendekatan pengelolaan pada masing-masing individu spesies, dimana pengguna dapat mensimulasikan penanaman, interplanting dan penebangan selektif. Pemodelan SExI-FS dapat mensimulasikan kompetisi pertumbuhan berdasarkan persaingan untuk mendapatkan ruang dan cahaya. Agar model dapat digunakan dalam studi ini, kami Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
119
menambahkan modul produktifitas yang bisa menduga berbagai komoditas yang bisa dihasilkan masing-masing spesies/individu tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan berikut: 1. Bagaimana menyusun model produktifitas species berdasarkan komoditasnya (buah, getah dan lainnya) terhadap ukuran individu pohon? 2. Apakah skenario managamen tegakan terbaik pada system agroforestri baik berdasarkan jarak tanam maupun kombinasi individu speciesnya dan apakah pengaruhnya pada produktifitas komoditas dari spesies tersebut? II. METODE PENELITIAN A. Penyusunan Modul Produktifitas Dalam Model Sexl-FS Untuk menyusun modul produktifitas dalam model SExI-FS, diperlukan informasi mengenai hubungan antara hasil pohon (baik berupa buah maupun kayu) dengan ukuran individu pohon. Dalam studi ini kami menggunakan komoditas Durian (Durio zibethinus) di Jambi, Sumaterauntuk mengkalibrasi model. Berikut adalah tahapan yang kami lakukan untuk mendapatkan informasi ini: 1. Melakukan survey di tingkat petani untuk mendapatkan informasi dari petani mengenai produksi dari setiap pohon yang dimilikinya. 2. Pada setiap pohon tersebut dilakukan pengukuran berupa: diameter batang pohon, kondisi naungan oleh pohon di sekitarnya (Crown Posisi Indeks: CP) dan kondisi tajuknya (Crown Form Indeks: CF). Penjelasan CP dan CF dapat dilihat pada gambar 1. 3. Menyusun model statistik antara ukuran individu pohon dan hasil produksi buah menggunakan Metode Generalized Linear Model.dengan menggunakan perangkat lunak statistika SYSTAT (SYSTAT 2007).
Crown Form Index (CF)
Crown Position Index (CP)
Gambar 1. Kriteria Crown Position Index (CP) dan Crown Form Index (CF) dari Alder and Synnot (1992) di Vincent (2002).
B. Simulasi Produksi Karet dan Durian Pada Berbagai Skenario Manajemen Pola Penanaman 120
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Kami membandingkan empat skenario penanaman yang digambarkan pada Gambar 4: Karet monokultur (kontrol), penanaman karet dengan sisipan durian, campuran secara acak antara karet dan durian, dan segregasi karet dan durian (kemudian disebut sebagai "kluster" skenario). Simulasi ukuran plot adalah 48x48 m dan semua memiliki kepadatan yang sama pohon (kecuali monokultur yang total kepadatannya lebih rendah karena tanpa pohon durian), 128 pohon karet dan 64 pohon durian. Jenis karet adalah klonal GT1. Produksi getah lateks didasarkan pada model yang disusun berdasarkan data dari Thao et. al. (2006), yaitu: Lateks = 5,8143 + 48,136 * DBH (r = 0,90) Skenario Monokultur
Sisipan
Acak
Kluster
Karet
Durian
Gambar 2. Skenario desain penanaman Karet dan Durian. III. HASIL A. Hubungan Antara Produksi Pohon Durian dengan Ukuran Pohon Produksi buah sangat berhubungan dengan besar kecilnya pohon yang bersangkutan (diameter batang: D) dan keragaman hasil produksi juga dipengaruhi oleh kondisi pohon tersebut, baik itu terhadap naungan tetangganya (CP) maupun kondisi tajuk pohon itu sendiri (CF). Maka model persamaan produksi pertumbuhan diasumsikan sebagai berikut: Produksi = a*D + b*D*CP + c*D*CP Hasil dari General Linear Model (GLM) pada fungsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Salafsky (1995) telah menyelidiki faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi produksi durian di Kalimantan melalui metode partisipatif. Kami membandigkna model yang dihasilkan Salafsky dengan hasil model kami. Tabel 1. Hasil Generalized Linear Model Produksi Durian dengan kondisi individu pohon. Faktor D CP *D CF*D
Koofisien Std Error Std Coef Tolerance t P(2Tail) 6.107 0.713 1.329 0.022 8.563 0.000 -1.087 0.146 -1.053 0.026 -7.432 0.000 0.699 0.155 0.552 0.035 4.521 0.000
Catatan: Jumlah data= 525, R2 = 0.72, Standard error = 139.73
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
121
Gambar 3. Plot produksi durian hasil observasi (lingkaran) dibandingkan dengan hasil prediksi model (segitiga, r = 0.723) Y = 6.107*D – 1.087*D*CP + 0.699*D*CF, garis putus-putus adalah model linear tanpa faktor CP dan CF (r=0.692) Y = 3.824*D dan garis titik-titik adalah model linear (r = 0.353, y = 8.4*D – 78.3) yang dipublikasikan oleh Salafsky (1995). Dari hasil GLM diatas dapat dilihat bahwa faktor ekologi cukup berpengaruh pada hasil produksi buah durian dan menjelaskan variasi lebih baik dari model linear sederhana. B. Simulasi Agroforestri Karet dan Durian Pada Berbagai Skenario Pola Tanam Gambar 4 menunjukkan hasil rata-rata diameter (dbh) karet dan pohon durian setelah disimulasikan selama 15 tahun pertumbuhan. Seperti yang diperkirakan, ukuran pohon akan lebih beragam ketika pohon ditanam secara tidak teratur (pola tanam acak atau pola tanam kluster). Karet
Durian
0.30
0.3
0.25 DBH
0.2 0.20 0.1 0.15
0.10
a
b
c
d
e
0.0
a
c
d
e
Gambar 4. Ukuran rata-rata diameter pohon setelah simulasi selama 15 tahun pada berbagai skenario: kluster (a), monokultur (b), acak (c), acak satu species (d), sisipan(e).
122
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Lateks (kg/ha/tahun)
Gambar 5 menunjukkan hasil lateks per tahun untuk skenario yang berbeda. Rata-rata jumlah latek selama 15 tahun pada skenario acak dan sisipan lebih kecil 35% dibandingkan karet pada skenario monokultur. 3000 2000
Skenario Monokultur Sisipan Acak Kluster
1000 0 2
4
6 8 10 Umur (tahun)
12
14
16
Gambar 5. Lateks hasil per tahun pada beberapa skenario manajemen kebun yang berbeda Perbedaan hasil buah durian berdasarkan pola tanam yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 6. Penanaman durian menghasilkan buah lebih banyak pada penanaman sisipan yang teratur, walaupun terjadi hal sebaliknya dengan produksi lateks. Dan terlihat perbedaan yang nyata antara system kluster dan acak.
Produksi Durian (buah)
200
150
100
50 a
b
c
d
Gambar 6. Hasil panen durian rata-rata per individu pohon pada tahun ke-15 pada berbagai scenario: kluster (a), acak (b), acak satu species (c), sisipan(d). IV. PEMBAHASAN Model produksi buah dengan memperhatikan faktor ekologi memperlihatkan hasil prediksi yang lebih nyata, terutama pada kondisi agroforesti dimana umur dan ukuran tanaman yang lebih beragam. Namun pada kondisi teratur diperlihatkan Durio zibethinus mengasilkan rata-rata buah yang sedikit lebih tinggi. Trade-off yang harus diperhatikan adalah biaya manajemen yang lebih tinggi pada sistem yang lebih teratur. Tanaman beukuran sama akan berbagi sumber daya yang terbaik jika berbagi dengan ruang hidup yang sama (Huxley 1999). Namun pada system campuran dan posisi yang acak maka ruang hidup juga terbagi secara acak, di sini kemampuan adaptasi individual spesies pada ruang yang tidak teratur sangat diharapkan. Spesies yang lebih dapat beradaptasi pada ruang yang tidak teratur akan lebih baik dalam memanfaatkan sumber daya ekologinya. Karet dan durian dalam hal ini tidak Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
123
menunjukkan kompetisi yang berbeda signifikan. Jadi kemungkinan besar tidak akan terjadi spesies dominan atau didominasi pada skenario antara karet dan durian di sini. V. KESIMPULAN Hasil percobaan simulasi pada studi ini menunjukkan bahwa di luar komposisi spesies dan managemen pola penanaman akan memepengaruhi baik itu produktifitas individu pohon maupun produktifitas keseluruhan tegakan secara umum. Sebagai catatan, ketahanan hidup species tidak diperhatikan disini, termasuk hama dan penyakit yang mungkin berpengaruh pada produktifitas. Kepadatan tegakan dapat disimpulkan lebih berpengaruh secara nyata dibandingkan dengan pola penanaman. Namun hal ini kemudian akan sangat berhubungan dengan manajemen paska panennya, dimana petani mungkin akan lebih nyaman dengan pola yang lebih teratur. Sistem kluster atau pengelompokan merupakan alternatif lain untuk mempermudah manajamen pemamenan. Sistem kluster ini banyak diaplikasikan di daerah Kalimantan dan disebut juga sebagai Tembawang. Perencanaan manajement kebun kemudian akan diserahkan kepada petani untuk memilih mana yang terbaik dengan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing scenario manajemen kebun. DAFTAR PUSTAKA Dury, S., L. Vilcosqui, et al. 1996. "Durian trees (Durio zibethinus Murr) in Javanese home gardens: Their importance in informal financial systems." Agroforestry Systems 33(3): 215-230. Harja D, Vincént G. 2008. Spatially Explicit Individual-based Forest Simulator - User Guide and Software. World Agroforestry Centre (ICRAF) and Institut de Recherche pour le Développement (IRD). Harja, D., Vincent, G., Purnomosidhi, P., Rahayu, S., Joshi, L. 2005. Impact of rubber tree planting pattern on Imperata cylindrica dynamics - Exploring weed control through shading using SExI-FS, a forest stand simulator. Proceedings: International Workshop on Smallholder Agroforestry Options on Degraded Soils, Batu, East Java, Indonesia. August 2005. Huxley, P. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwell Science. Joshi, L., Van Noordwijk, M., Sinclair, F. L. 2001. Bringing local knowledge into perspective – a case of sustainable technology development in jungle rubber agroforests in Jambi. Draft manuscript for “Participatory technology development and local knowledge for sustainable land use in Southeast Asia” workshop, 6-7 June 2001 in Chiangmai, Thailand Lawrence , D. C. 1996. "Trade-offs between rubber production and maintenance of diversity: the structure of rubber gardens in West Kalimantan, Indonesia." Agroforestry Systems 34: 83 100 . Salafsky, N. 1995. Ecological Factors Affecting Durian Production In The Forest Gardens Of West Kalimantan, Indonesia. A GIS-Based cross-sectional analysis of a locally developed agroforestry systems. Agroforestry Systems 32: 63-79. Sinclair, F L and Joshi, L. 2000. Taking local knowledge about trees seriously. Book chapter in 'Forestry, forest users and research: new ways of learning' (Ed. Anna Lawrence). ETFRN Publication Series 1. Thao, P.D., Thanh, D. K., Kieng, N. N., Son, M. v. 2006. Establishment Of Yield Prediction Model For Gt 1 And Pb 235. Preprints: International Natural Rubber Conference. SYSTAT. 2007. SYSTAT for Windows, Version 12.02. SYSTAT Software Inc. Richmond, California. Van Noordwijk, M., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., Verbist, B. 2004. Role of Agroforestry in Maintenance of Hydrological Functions in Water Catchment Areas. Proceedings: Hydrological Impact of Forest, Agroforestry and Upland Cropping as a Basis for Rewarding Environmental Service Providers in Indonesia. 124
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL ROTAN JERNANG PADA POLA AGROSILVIKULTUR DENGAN KARET Agung Wahyu Nugroho Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The addition of P fertilizer is one of the efforts to increase the availability of P in the soil and the growth of plant. This study aimed to evaluate the influence of P fertilizer dosage on the early growth of Daemonorops spp. at the agroforestry system with rubber. This research was carried out at KHDTK Kemampo, Banyuasin District, South Sumatra Province from November 2011 to November 2012. Planting rattan done under rubber stand aged 10 years by line system. Planting distance used 5 m x 3 m adjustable rubber spacing. Single factor Randomized Complete Block Design was used and each treatment was replicated three times. Single factor was three dosages of TSP fertilizer: 0 g, 40 g, and 80 g per tree. Variable of survival and early growth (number of leaf sheath, length of leaf sheath) were measured. Primary data were analyzed using descriptive and statistical analysis. The GLM procedure of SAS was used for statistical analysis. The result showed that the survival of Daemonorops spp. at the agroforestry with rubber range from 94.7% to 97.3%. TSP fertilization dosage of 80 g per tree influenced better on the early growth of the length and number of leaf sheath than control. Key words: P fertilizer, Daemonorops spp., rubber, growth
I.
PENDAHULUAN
Rotan jernang merupakan tanaman lokal Jambi yang telah memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang tinggi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (Arifin, 2008; Wijaya, 2010). Jernang adalah resin yang menempel dan menutupi bagian luar buah rotan jernang. Kondisi saat ini menunjukkan potensi jernang di alam semakin menurun dan terancam langka. Usaha budidaya pola agroforestry rotan jernang dan karet merupakan salah satu cara menjamin kelestarian produk ini, selain layak untuk diusahakan secara finansial (Ardi dkk., 2011). Informasi pemupukan yang bijak (judicious fertilizer) adalah teknik budidaya yang harus dikuasai untuk memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Lahan kering di Sumatera umumnya didominasi oleh tanah Ultisols dan Oxisols dengan kadar Al, Fe, dan Mn tinggi, sedangkan kadar bahan organik dan P rendah. Pemupukan fosfat merupakan salah satu cara mengelola tanah Ultisol, karena disamping kadar P rendah, juga terdapat unsur-unsur yang dapat meretensi fosfat yang ditambahkan. Kekurangan P pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan P dari bahan induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan P sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena diserap oleh unsur lain seperti Al dan Fe (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Pemupukan P sebesar 20 – 40 kg per hektar pada tanah masam dapat meningkatkan produktivitas tanah yang dicerminkan oleh peningkatan tinggi tanaman dan hasil jagung (Kasno dkk., 2006). Pemupukan P, pemberian bahan organik dan dolomit direkomendasikan untuk meningkatkan kesuburan tanah pada areal KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Design Engineering Wanariset Kemampo). Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh dosis pemupukan P terhadap pertumbuhan awal rotan jernang pola agroforestry dengan karet.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
125
II.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu Lokasi plot uji pemupukan berada di Kelompok Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Kelurahan Kayu Ara Kuning, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Waktu penelitian dimulai dari bulan November 2011 – November 2012. B.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah: bibit rotan umur 9 bulan, pupuk TSP, pupuk kandang, dan EM-4. Sedangkan alat-alat yang dipakai meliputi: cangkul, sabit, sprayer, karung, ajir, meteran. C.
Cara Kerja Pembuatan plot uji pemupukan dimulai dari kegiatan survey lokasi, pengeplotan, penebasan secara jalur, pengajiran, pembuatan lubang tanam (ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm), pemberian pupuk kandang sebanyak 2 kg per lubang, penyemprotan EM-4, pengadukan media, penanaman, dan penyrumbungan. Penanaman bibit dilakukan pada awal musim penghujan (bulan November 2011) dengan cara centre hole method yaitu cara penanaman dimana bibit diletakkan di tengahtengah lubang tanam. Plot uji penanaman rotan dibangun dengan pola agroforestry dengan tegakan karet umur 10 tahun. Penanaman rotan dilakukan di bawah tegakan karet dengan sistem jalur disesuikan dengan jalur tanam tegakan karet yakni dengan jarak tanam 5 m x 3 m (Gambar 1).
D.
Rancangan Penelitian Penelitian merupakan percobaan satu faktor dalam rancangan acak lengkap berblok (RCBD). Perlakuan yang diterapkan adalah dosis pemupukan P yakni kontrol (0 g), 14 g, dan 28 g per pohon yang diulang dalam 3 blok. Variabel yang diamati adalah daya hidup dan pertumbuhan awal (jumlah pelepah, panjang pelepah) rotan jernang sampai umur 1 tahun (Gambar 2).
Awal penanaman
1 tahun setelah penanaman Gambar 2. Pertumbuhan rotan jernang pada awal dan 1 tahun setelah penanaman di KHDTK Kemampo (Foto: Agung, 2011 dan 2012) 126
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Model sidik ragam yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002): Yij = µ + τi + βj +Єij dimana: Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ = Rataan umum τi = pengaruh perlakuan ke-i βj = pengaruh kelompok ke-j Єij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
E.
Analisis Data Analisis deskriptif dan statistik digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh. Analisis statistik menggunakan prosedur GLM dengan SAS. Untuk mengetahui perlakuan-perlakuan yang saling berpengaruh satu dengan yang lainnya pada suatu parameter tertentu dilakukan Uji Lanjut Jarak Berganda . III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Hidup Daya hidup (survival) merupakan indikasi kemampuan tumbuh dan adaptasi tanaman terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuh. Daya hidup diukur dengan persen hidup yaitu perbandingan antara jumlah tanaman yang hidup dengan total tanaman yang ditanam. Data menunjukkan, sampai umur 1 tahun, persen hidup rotan jernang untuk masing-masing perlakuan cukup tinggi sebesar 94,7 – 97,3% (Gambar 4).
Rerata persen hidup (%)
A.
98.0 97.5 97.0 96.5 96.0 95.5 95.0 94.5 94.0 93.5 93.0
97.3
97.3
94.7
kontrol
40 g TSP/tree
80 g TSP/tree
Gambar 4. Rerata persen hidup rotan sampai umur 1 tahun Kematian tanaman, lebih banyak disebabkan karena faktor kekeringan dan kerusakan fisik (tertimpa pohon penaung). Tahun 2012, wilayah Palembang mengalami musim kemarau yang panjang dengan temperatur rata-rata 26 – 27,50 C dan temperatur maksimal 32 – 350 C (www.republika.co.id). Pengaruh musim kemarau terhadap kematian tanaman dapat dikurangi dengan aplikasi pemberian larutan hidrogel ke dalam lubang tanam dekat area perakaran. Hidrogel berfungsi sebagai media penampung air yang mampu menyerap air sampai 100 kali berat tubuhnya. Dengan penyerapan air tersebut, hidrogel menyimpan cadangan air di dalam tubuhnya. Jika dibutuhkan oleh lingkungan sekitarnya, hidrogel bisa melepas perlahan-lahan cadangan airnya untuk dipakai oleh lingkungan sekitarnya tersebut. Jika lingkungan sekitar hidrogel cukup kering, maka hidrogel akan cepat melepas airnya dan bentuknya akan menyusut dengan cepat. Jika kemudian dilakukan pemberian suplai air kembali, maka hidrogel kembali akan menyerap air dan bentuknya akan mengembang kembali seperti semula. Selain aplikasi hidrogel, tanaman inang (tegakan karet) mampu untuk mengurangi temperatur udara yang cukup tinggi. Tegakan karet dapat berfungsi sebagai penaung dengan Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
127
intensitas naungan berkisar 70 – 80% sehingga dampak temperatur yang tinggi di atas tegakan tidak ekstrim berpengaruh terhadap temperatur di bawah tegakan. B.
Pertumbuhan Gambar 5 dan 6 menunjukkan aplikasi pupuk TSP mempunyai kecenderungan yang lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan jumlah pelepah dan panjang pelepah dibandingkan dengan tanpa aplikasi pupuk. Pertumbuhan jumlah pelepah dan panjang pelepah tertinggi dicapai tanaman dengan aplikasi pemupukan 80 g TSP per pohon, diikuti tanaman dengan aplikasi 40 g TSP per pohon dan tanaman tanpa dipupuk. 4.2 80 g TSP
Jumlah pelepah
4 3.8
40 g TSP
3.6
tanpa TSP
3.4 3.2 3 2.8 1
5
9
12
Umur (bulan) Gambar 5. Grafik pertumbuhan jumlah pelepah per umur (bulan)
Panjang pelepah (cm)
75 80 g TSP 40 g TSP tanpa TSP
70 65 60 55 50 45 40 35 30 1
5
9
12
Umur (bulan) Gambar 6. Grafik pertumbuhan panjang pelepah (cm) per umur Tabel 1. Sidik ragam pengaruh dosis pemupukan terhadap pertumbuhan jumlah pelepah Sumber variasi Dosis Blok Galat Total
Jumlah kuadrat 0,41 0,63 0,36 1,39
db 2 2 4 8
Kuadrat tengah 0,20 0,31 0,09
F hit. 2,26 3,48
Sig. 0,22 0,13
Tabel 2. Sidik ragam pengaruh dosis pemupukan terhadap pertumbuhan panjang pelepah Sumber variasi Dosis Blok Galat Total
Jumlah kuadrat 88,97 1.217,46 22,97 1.329,41
db 2 2 4 8
Kuadrat tengah 44,73 608,73 5,74
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf uji 5%
128
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
F hit. 7,75* 105,99*
Sig. 0,04 0,00
Tabel 3 dan 4 memperlihatkan, dosis pemupukan berpengaruh nyata terhadap panjang pelepah daun tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah pelepah daun. Namun secara deskriptif, terlihat bahwa rata-rata jumlah pelepah daun meningkat seiring dengan meningkatnya dosis pupuk TSP yang diberikan dan perlakuan tanpa pemberian pupuk menunjukkan rata-rata jumlah pelepah daun yang paling rendah (Gambar 7). 3,93
Rerata jumlah pelepah
4.0 3,71
a
a
3.5
3,41
a
3.0 kontrol
40 g TSP/tree 80 g TSP/tree
Gambar 7. Rerata jumlah pelepah daun umur 1 tahun Untuk mengetahui dosis pupuk TSP yang memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang pelepah, dilakukan uji lanjut DMRT. Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT diketahui, pemberian pupuk TSP sebanyak 80 g per pohon menghasilkan pertumbuhan panjang pelepah terbaik sebesar 69,49 cm, tetapi tidak berbeda dengan penambahan pupuk TSP sebanyak 40 g per pohon sebesar 65,75 cm. Tanaman yang tanpa dipupuk TSP (kontrol) menghasilkan pertumbuhan panjang pelepah terendah sebesar 61,79 cm (Gambar 8).
Rerata panjang pelepah (cm)
100 90 80
b
ab
a
70 60 50 40 30 20 10 0 kontrol
40 g TSP/tree 80 g TSP/tree
Gambar 8. Rerata panjang pelepah rotan jernang umur 1 tahun Bila dilihat dari data rerata panjang pelepah dibandingkan dengan data rerata jumlah pelepah, ternyata tanaman yang lebih panjang pelepahnya mempunyai jumlah pelepah daun yang lebih banyak. Selain itu, seiring peningkatan dosis pemupukan TSP, pertumbuhan jumlah pelepah dan panjang pelepah juga semakin meningkat. Fosfat tanah terdapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H2PO4- atau HPO42-, tergantung dari kemasaman larutan (pH). Bentuk-bentuk P yang terjadi di dalam tanah selain dipengaruhi oleh sifat tanah yang dipupuk juga dipengaruhi oleh sumber pupuk yang diberikan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
129
Adanya respon yang nyata dari perlakuan pemupukan TSP terhadap pertumbuhan panjang pelepah daun disebabkan karena pemupukan TSP dosis 80 g dan 40 g mampu meningkatkan kadar P tanah dan mampu mendorong pertumbuhan akar tanaman. Pupuk TSP diikat oleh tanah dengan cukup kuat, relatif kurang tercuci, mudah larut dalam air, dan cepat tersedia bagi tanaman. Fosfor mempunyai peranan penting dalam menyimpan dan memindahkan energi yang dihasilkan dari proses fotosintesis dan metabolisme karbohidrat. Kekurangan P akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dengan sistem perakaran yang terbatas dan batang yang kecil (Mclaren dan Cameron, 1996). Selain faktor diatas adanya interaksi berbagai faktor internal pertumbuhan (kendali genetik) dan unsur-unsur iklim, tanah dan biologis juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jumlah dan panjang pelepah. Pada musim hujan dengan kelembaban tanah yang cukup tinggi, respon tanaman untuk menyerap P lebih baik daripada musim kemarau. Peningkatan pertumbuhan jumlah pelepah dan panjang pelepah tertinggi dicapai pada umur 1 – 5 bst (musim hujan), kemudian menurun pada umur 5 – 9 bst (musim kemarau) dan sedikit meningkat pada umur 9 - 12 bst. Hal ini disebabkan pada musim kemarau, tanaman cenderung lebih konsentrasi untuk mempertahankan diri dibandingkan dengan memacu pertumbuhan. Salah satu bentuk pertahanan diri adalah dengan meluruhkan pelepah-pelepah daun yang tua. Tetapi ketika lingkungan sekitar perakaran cocok untuk pertumbuhan, misalnya ada input dari luar berupa pemberian hidrogel (umur 9 bst), tanaman akan memacu kembali pertumbuhan vegetatifnya dengan munculnya pelepah-pelepah daun muda (Gambar 9).
Gambar 9. Pelepah daun muda IV.
KESIMPULAN
1. Aplikasi pemupukan TSP sebesar 80 g per pohon pada awal penanaman memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang pelepah rotan umur 1 tahun sebesar 69,49 cm, tetapi tidak berbeda dengan penambahan pupuk TSP sebanyak 40 g per pohon yang menghasilkan panjang pelepah sebesar 65,75 cm 2. Jumlah pelepah daun terbanyak yang dihasilkan dicapai dengan pemupukan TSP sebanyak 80g, dan terendah adalah perlakuan tanpa pemberian pupuk. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Joni Muara, Rista Novalina Sihombing, Pak Zaenuddin, Pak Budiono, Pak Aswandi, Matjuni (BPK Palembang) atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian; Pak Haji Lukman (Lamban Sigatal) dan Pak Lukman (Sungai Manau) atas transfer ilmunya; dan Bambang Dwi Atmoko (BPTKPDAS) atas pembuatan posternya.
130
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
DAFTAR PUSTAKA Ardi, H. Kartodihardjo, D. Darusman, dan B. Nugroho, 2011. Prospek usaha agroforestry karet dan jernang di kabupaten Sarolangun-Jambi. Sorot, Vol. 6 No. 1. Pekanbaru. Arifin, W., 2008. Jernang: tanaman konservasi bernilai ekonomis tinggi. weinarifin.wordpress.com diakses tanggal 18 Juni 2011. Kasno, A., D. Setyorini, dan E. Tuberkih, 2006. Pengaruh pemupukan fosfat terhadap produktivitas tanah inceptisol dan ultisols. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia. Vol. 8 No.2: hal. 91-98. Mattjik, A. Dan I.M. Sumertajaya, 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB press. Bogor. Mclaren, R.G. dan K.C. Cameron, 1996. Soil science. Sustainable production and environmental protection. New edition. Oxford University Press. Hal. 102, 209. Prasetyo, B.H. dan D.A. Suriadikarta, 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal litbang pertanian, 25 (2). Bogor. Wijaya, A., 2010. Ini dia getah termahal. Hal: 126-127. Trubus 492-November 2010 www.republika.co.id, 2012. Musim kemarau panjang, Palembang mulai diguyur hujan. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
131
PENGARUH SUBSTITUSI MEDIA TERHADAP INFEKSI MIKORIZA PADA PERAKARAN SEMAI TUSAM (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) Ari Darmawan1, M. Mandira Budi Utomo2 , dan Levina Augusta G.P.3 Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan Kadipaten, 2Balai Penelitian Teknologi HHBK, 3 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry E-mail:
[email protected]
1
ABSTRACT One of general problems in nursery is seedling death due to chlorosis symptom. This research was aimed to examine the effect of a-biotic factor (nutrient) and/or biotic factor (Trichoderma reesei and mycorrhizae former fungus) over pine seedling roots signed by mycorrhizae infection percentage and which treatments that generate the best result are. This research consist of 2 prior projects divided by plot, those were prevention plot and mycorrhizae plot. The research design used was randomize completely block design. Prevention plot is a plot with main intention for preventing pine seedling from chlorosis symptom. The treatments consist of : P0T0(control); P1T0 (slow release fertilizer (SRF) dosage 0.5 gram each plant), P0T1 (Trichoderma reesei pellet dosage 10 grains each plant ); P1T1 (slow release fertilizer and T. reesei). Added treatment used in mycorrhizae plot was adding Russula sp. mycorrhizae. The treatments consist of : P0M0T0: control; P0M0T1 : added T. reesei; P0M1T0: added mycorrhizae; P0M1T1: added mycorrhizae dan T. reesei pellet; P1M0T0: added SRF; P1M0T1: added SRF and T. reesei pellet; P1M1T0: added SRF dan mycorrhizae; P1M1T1 : added SRF, mycorrhizae dan T. reesei pellet. The result showed that biotic and abiotic factor gave positive effect to pine seedling health. In prevention plot, P1T1 treatment generated the highest mychoriza infection and significantly different compared to other treatments. Meanwhile, in mycorrhizae plot, P0M1T1 generated the highest mycorrhizae infection percentage. Keywords : pine seedling, slow release ferilizer, Trichoderma reesei, mycorrhizae
I. PENDAHULUAN Peningkatan kebutuhan akan kayu, baik sebagai kayu industri maupun kayu pertukangan sudah tidak mampu dipenuhi oleh hutan alam dan terjadi pengalihan pemenuhan kayu melalui hutan tanaman industri (HTI). Jenis tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) merupakan salah satu yang dianjurkan dalam HTI. Keberhasilan hutan tanaman tusam dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu metode/sistem pembuatan tanaman, persiapan lahan, kualitas bibit, waktu tanam, teknik tanam dan pemeliharaan tanaman muda. Pada prinsipnya peningkatan kualitas faktor tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan persen hidup dan kualitas tanaman. Persemaian yang merupakan tempat awal pengadaan bibit, diharapkan mampu menjamin kualitas dan ketersediaan bibit tusam. Tusam merupakan pohon jenis asli Indonesia. Jenis ini adalah satu-satunya anggota genus pinus yang persebarannya meluas sampai ke selatan garis khatulistiwa. Kayu tusam memiliki berat jenis 0,88-0,96 sehingga digunakan untuk konstruksi ringan, mebel, pulp, korek api dan sumpit. Kayunya mengandung resin yang dapat disadap getahnya. Satu pohon dapat menghasilkan 30-60 kg getah, 20-40 kg resin murni, dan 7-14 kg terpentin per tahun (Hidayat dan Hansen, 2001). Pupuk lambat tersedia adalah pupuk anorganik yang terbuat dari molekul yang lebih besar dan dibutuhkan untuk menurunkan aktivitas mikroorganisme merugikan atau seperti pupuk pada umumnya, misalnya urea yang dilapisi bertujuan untuk mengurangi daya larut (Bennett, 1996). Davidson dan Mecklenburg (1981) menyatakan bahwa pupuk lambat tersedia adalah pupuk terbaik 132
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
untuk digunakan pada semai yang ditumbuhkan pada kontiner. Pada tanaman tertentu, pupuk ini dapat menyediakan kebutuhan nutrisi yang cukup hanya dengan satu kali aplikasi selama waktu pertumbuhan sampai siap tanam. Trichoderma reesei mempunyai konidia berwarna hijau pucat berbentuk elips dan berukuran 3,5 – 4,5 x 2,3 – 3 µm, dapat bertahan hidup pada suhu rendah (suhu optimal 25 – 30 ºC), pH asam dan kelembaban yang tinggi. Koloni T. reesei tumbuh secara cepat dan mencapai 5,5-7 cm dalam waktu 3-4 hari (Harman dan Kubicek, 1998). T. reesei juga memiliki daya tumbuh dan augmentasi (memperbanyak diri) yang tinggi, menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi dinding sel jamur lain (Mukerji dan Garg, 1966). Selain dapat digunakan sebagai organisme pengurai dan agen pengendali hayati, strain Trichoderma juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman atau sebagai agen pemacu pertumbuhan tanaman (Lindsay dan Baker, 1967; Widyastuti dkk., 2002). Inokulasi Trichoderma pada beberapa tanaman perkebunan dan pertanian juga menghasilkan efek meningkatkan pertumbuhan dengan mempertinggi perkecambahan biji, mempercepat pembungaan, menambah tinggi tanaman, dan meningkatkan berat basahnya (Chang dkk., 1986) Mikoriza pada hakikatnya adalah asosiasi yang terbentuk oleh akar dan jamur secara simbiotik (Mikola, 1982; Hadi, 1994). Kedua simbion saling mendapatkan manfaat. Umumnya tumbuhan yang memiliki akar yang bersangkutan dapat dibantu dalam penyerapan air dan hara dari dalam tanah, sedangkan jamur memperoleh bahan-bahan organik dari tumbuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor abiotik (unsur hara) dan/atau faktor biotik (Trichoderma reesei serta jamur pembentuk mikoriza) terhadap perakaran semai tusam yang ditandai dengan persentase infeksi mikoriza dan perlakuan yang memberikan hasil yang terbaik. II. METODE PENELITIAN A. Bahan-bahan Penelitian a. Pelet T. reesei koleksi Laboratorium Perlindungan dan Kesehatan Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada yang dibuat pada tahun 2007 dengan viabilitas optimal selama penyimpanan maksimal 15 bulan. b. Pupuk lambat tersedia dengan kandungan unsur NPK = 18-9-10 dengan waktu pelepasan unsur hara selama 6 bulan. c. Tablet mikoriza yang berisi jamur Russula sp. koleksi Balitbang Tanaman Tropis Departemen Kehutanan Bogor. d. Media semai yaitu : top soil, yang diperoleh dari tanah di bawah tegakan tusam tua dengan kedalaman maksimum 5 cm + kompos produksi KTH (Kelompok Tani Hutan) BKPH Paninggaran. e. Semai tusam dari Persemaian Paninggaran yang berasal dari Kebun Benih Semai atau SSO (Seedling Seed Orchard) Jember. B. Alat-alat Penelitian a. Polybag dengan ukuran 5 x 15 cm, sebagai tempat media tumbuh semai. b. Penggaris, untuk mengukur tinggi semai. c. Kaliper, untuk mengukur diameter semai. d. Kamera, untuk merekam perkembangan semai. e. Kain background, sebagai latar belakang dalam pemotretan semai. Penghitungan persentase infeksi mikoriza dengan cara pengamatan terhadap akar semai setiap bulan. Penghitungan infeksi mikoriza dilakukan dengan metode gridline intersect yang dikemukakan oleh Brundret dkk., (1996). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : i. Akar semai dipisahkan dari bagian tanaman yang lain. ii. Akar dibersihkan dari kotoran tanah yang melekat. iii. Akar dicuci dengan air.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
133
iv. v.
Pengamatan akar menggunakan mikroskop berdasarkan jumlah percabangan atau dikotom yang ada. Menghitung persentase infeksi mikoriza dengan rumus :
Infeksi mikoriza =
Jumlah _ dikotom 100 % Jumlah _ ujung _ akar
Data hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of Variance) pada taraf uji 5% dan hasil analisis yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji jarak ganda Duncan atau Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat ketelitian 5% (Gomez dan Gomez, 1984). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase infeksi mikoriza pada plot penelitian pencegahan merupakan parameter yang diharapkan dapat mendukung kualitas pertumbuhan dan kesehatan semai tusam Hal tersebut dimungkinkan karena berbagai macam keuntungan yang didapatkan oleh tanaman apabila bersimbiosis dengan mikoriza. Hasil persentase infeksi mikoriza yang terjadi dalam perakaran semai pada plot penelitian pencegahan yang diamati setiap bulan disajikan pada Gambar 1. 100
Infeksi Mikoriza (%)
90 80
Bulan 2
70
Bulan 3
60
Bulan 4
50
Bulan 5
40
Bulan 6
30
Bulan 7
20 10 0 P0T0
P1T0
P0T1
P1T1
Perlakuan
Gambar 1.Persentase infeksi mikoriza pada plot penelitian pencegahan selama tujuh bulan pengamatan Keterangan : P0T0 : kontrol; P0T1 : tanpa pupuk dengan T. reesei; P1T0 : dengan pupuk tanpa T. reesei; P1T1 : dengan pupuk dan T. reesei.
Mikoriza dapat meningkatkan penyerapan yang selektif dan akumulasi unsur hara tertentu, khususnya fosfor; melarutkan dan memungkinkan menyerap unsur hara yang tidak terlarut; kadangkadang menjaga tanaman dengan cara memperlebar luasan bidang absorbsi pada sistem perakaran dan fungsi akar lebih lama (Agrios, 1988). Uji DMRT pengaruh perlakuan terhadap infeksi mikoriza disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Uji DMRT pengaruh perlakuan terhadap infeksi mikoriza pada perakaran semai tusam. Perlakuan P0T0 P1T0 P0T1 P1T1 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada p = 5 %
134
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Infeksi mikoriza (%) 73,65 a 80,84 b 86,54 c 92,34 d
Tabel 1 menunjukkan persentase infeksi mikoriza dengan perlakuan P0T1 memberikan hasil terbaik yang berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Infeksi mikoriza yang terjadi ditandai dengan perubahan bentuk dan perbesaran diameter luas permukaan akar pada dikotom sehingga penyerapan air dan hara menjadi lebih banyak.
(a)
(b)
Gambar 2. Infeksi mikoriza pada akar semai tusam. Keterangan : (a) Infeksi mikoriza pada akar tusam (Bar = 1 cm); (b) Dikotom pada akar tusam (Bar = 100 µm).
Pada semai setelah terjadi fotosintesis, ektomikoriza mulai berkembang. Ektomikoriza terbentuk apabila semai mendapatkan intensitas cahaya cukup tinggi. Perpanjangan masa pemberian cahaya juga dapat meningkatkan pembentukan sistem perakaran dan juga persentase akar yang berubah menjadi ektomikoriza (Gambar 2). A. Plot Penelitian Mikoriza Pemberian tablet mikoriza yang berisi jamur Russula sp. diharapkan dapat menghasilkan persentase infeksi mikoriza yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Peningkatkan infeksi mikoriza pada perakaran semai tusam yang ditandai dengan terjadinya dikotom dapat memberikan pengaruh yang positif dalam meningkatkan kualitas pertumbuhan dan kesehatan semai. Persentase infeksi mikoriza pada plot penelitian mikoriza disajikan dalam Gambar 3. 100
Infeksi Mikorisa (%)
90 80 70
Bulan 2
60
Bulan 3
50
Bulan 4
40
Bulan 5
30
Bulan 6
20 10 0 P0M0T0
P1M0T0
P0M0T1
P0M1T0
P1M0T1
P1M1T0
P0M1T1
P1M1T1
Perlakuan
Gambar 3. Persentase infeksi mikoriza pada plot penelitian mikoriza selama enam bulan pengamatan Keterangan : P0M0T0, kontrol; P1M0T0, dengan pupuk tanpa T. reesei dan mikoriza; P0M0T1, dengan T. reesei tanpa pupuk dan mikoriza; P0T0M1, dengan mikoriza tanpa pupuk dan T. reesei; P1T1M0, dengan pupuk dan T. reesei tanpa mikoriza; P1T0M1, dengan mikoriza dan T. reesei tanpa pupuk ; P0T1M1, tanpa pupuk dengan T. reesei dan mikoriza; P1T1M1, dengan pupuk, mikoriza dan T. reesei.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
135
Perlakuan P0M1T1 memberikan persentase infeksi mikoriza tertinggi sebesar 87,64 % (Gambar 3). Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan yang lain. Hasil analisis statistik infeksi mikoriza pada plot penelitian mikoriza dan uji DMRT disajikan pada dan Tabel 2. Tabel 2. Uji DMRT pengaruh perlakuan terhadap infeksi mikoriza pada perakaran semai tusam. Perlakuan P0M0T0 P1M0T0 P0M0T1 P1M1T0 P1M0T1 P1M1T1 P0M1T0 P0M1T1
Infeksi Mikoriza (%) 36,10 a 42,61 a 62,38 b 65,39 bc 72,89 cd 75,69 d 80,84 d 87,64 de
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada p = 5 %
Trichoderma menghasilkan sejenis hormon yang dapat menstimulasi perkecambahan spora jamur pembentuk mikoriza, artinya kehadiran Trichoderma pada rhizosfer memberikan efek yang menguntungkan dalam hal pembentukan mikoriza yang diharapkan sekaligus dapat memengaruhi pertumbuhan selanjutnya (Naemah dkk., 2003). T. reesei memberikan efek yang lebih baik terhadap pembentukan jamur mikoriza. Pembentukan dan perkembangan infeksi mikoriza pada akar tusam dapat dimulai dengan terjadinya infeksi pada akar yang baru muncul kemudian berkembang, dan karena penembusan oleh hifa akhirnya terbentuk jaring hartig pada pemukaan akar baru (Widyastuti dkk., 2004). Penambahan pelet T. reesei dan tablet mikoriza (P0M1T1) memberikan hasil yang terbaik. Hal tersebut memberikan informasi bahwa mikoriza dapat berinteraksi secara sinergis dengan agen pengendali hayati misalnya T. Reesei untuk memberikan efek yang positif bagi tanaman inang. IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini diketahui bahwa untuk plot pencegahan, perlakuan P1T1 memberikan persentase infeksi mikoriza yang tertinggi dan signifikan dibandingkan perlakuan yang lain. Sedangkan untuk plot mikoriza, perlakuan P0M1T1 yang menghasilkan persentase infeksi mikoriza yang tertinggi. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1988. Plant pathology. Academic Press, Inc. San Diego. California. Fourth Edition. pp. 45. Bennett, E. 1996. Slow release fertilizer. Department of Horticulture, Virginia Tech. Virginia. Brundrett, M., et al. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Pirie Printers. Canberra. Chang, Y.C., Y.C. Chang, dan R. Baker. 1986. Increased growth of plants in the presence of the biological control agents applied to seed. Phytopathology 76: 60-65. Davidson, H. dan R. Mecklenburg. 1981. Nursery management, administration and culture. Prentice hall inc. New Jersey. Gomez, K. A. dan A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley and Sons. Inc. New York. Hadi, S. 1994. Taksonomi dan biologi ektomikoriza. In Hadi, S. (ed). Patologi Hutan dan Perkembangannya di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. pp. 263-277. Harman, G.E. dan C.P.Kubicek. 1998. Trichoderma and Gliocladium (Vol. 2), Taylor and Francis, Ltd., London. 393p. 136
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Hidayat, J. dan C.P. Hansen. 2001. Informasi singkat benih Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Indonesia Forest Seed Project. Bandung. Lindsay, D.L. dan Baker, R. 1967. Effect on certain fungi on dwarf tomatoes grown under gnotobiotik conditions. Phytopathology 57: 1262-1263. Mikola, P. 1982. Tropical Mycorrhizae Research. Oxford University. London. Mukerji, K.G. dan K.L.Garg. 1966. Biocontrol of plant disease. CRC press. Boca Raton. Florida. Naemah, D., S.M. Widyastuti, dan Sumardi. 2003. Pengaruh Trichoderma terhadap terkembangan mikoriza pada akar Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Jurnal Agrosains. 16 (2): 173-183. Widyastuti, S.M., Sumardi, Irfa’i, dan Nurjanto, H.H. 2002. Aktivitas penghambatan Trichoderma spp. formulasi terhadap patogen tular tanah secara in vitro. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 8 (1) : 27-34. Widyastuti, S.M., Sumardi, dan N. Estikasari. 2004. Perbaikan kualitas semai tusam pasca sapih melalui aplikasi Trichoderma formulasi, pupuk lambat tersedia dan substitusi media tumbuh. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 10 (1): 23-32.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
137
PENGARUH TIGA POLA TANAM DAN TIGA DOSIS PUPUK KANDANG TERHADAP KEMAMPUAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn) Aris Sudomo, Encep Rachman, dan Aditya Hani Balai Penelitian Teknologi Agroforestri E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The objective of this research is to find out the influence of tree kinds of planting patterns and tree kind of compost on the survival and growth of Calophyllum inophyllum Linn on the sand soil at pangandaran beach. The research was conducted in Babakan village, Pangandaran sub distric, Ciamis distric, West java Province on December 2010 to December 2011. The research used Split-plot Design with 3 main plots (agroforestry of nyamplung+ ground nut (Arachis hypogaea), nyamplung+pandan (Pandanus adoratisimus) and monoculture of nyamplung ) and 3 sub plots (0 kg compost/planting, 5 kg compost/planting and 10 kg compost/planting). The growth of nyamplung i.e. height, diameter and number of leaves resulted by agroforestri of nyamplung + ground nut (53,45 cm/14,36 mm/41,53) was better than others. The planting survival resulted by agroforestry of nyamplung +ground nut was 85,33%, agroforestry of nyamplung+pandan was 66,22% and monocultur of nyamplung was 82,67%. 10 kg compost /planting gives the best growth, though it is significantly different from 0 kg compost/planting and 5 kg compost/planting. The best interaction was showed by agroforestry nyamplung+ground nut and 10 kg compost/planting which growth of diameter significant was different than other. Keywords : Agroforestry, Calophyllum inophyllum Linn, compost, beach
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan Bakar Nabati dari nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn dapat digunakan sebagai subsitusi minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel). Kelebihan bahan bakar nabati dari jenis tanaman kehutanan adalah bukan komoditi bahan pangan sehingga tidak meganggu pasokan pangan dunia, bahkan hutan tanaman dapat menghasilkan tambahan pangan apabila dikelola dengan sistem agroforestri. Nyamplung mempunyai keunggulan lain untuk dikembangkan, seperti: 1) tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia, 2) relatif mudah dibudidayakan dan cocok di daerah iklim kering, 3) permudaan alami banyak dan berbuah sepanjang tahun, 4) hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi, 5) pemanfaatan biji nyamplung untuk biofuel dapat menekan laju penebangan pohon hutan sebagai kayu bakar (Leksono dan Widyatmoko, 2010). Habitat nyamplung adalah pada lahan-lahan sepadan pantai dengan karakteristik yang relatif lebih ekstrim dibandingkan lahan-lahan pada dataran yang lebih tinggi pada umumnya. Daerah pantai mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut (Hani, et al., 2010) : (1) Dominasi lahan berupa pasir; (2) Mempunyai unsur hara yang sangat rendah; (3) Kandungan bahan organik sangat rendah; (4) Porositas tinggi sehingga tidak mampu menahan air; (5) Suhu harian rata-rata sangat tinggi; (5) Angin bertiup kencang dan membawa uap garam; dan (6) Intensitas cahaya matahari sangat tinggi. Karakteristik daerah pantai tersebut menyebabkan penanaman pada lahan pantai mempunyai tingkat kesulitan dan resiko kegagalan yang tinggi. Belum diketahuinya teknik silvikultur terhadap jenis-jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati khususnya nyamplung pada lahan pantai tersebut merupakan salah satu kendala dalam pengembangannya. Penelitian teknik silvikultur yang perlu dilakukan khususnya untuk jenis nyamplung (Calophyllum inophylum Linn) diantaranya adalah pola tanam dan pemupukan. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman nyamplung pada 138
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
lahan pasir tepi pantai. Sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui teknik silvikultur intensif khususnya jenis pola tanam dan dosis pemupukan pada tanaman nyamplung di lahan tepi pantai. II.
METODE
A.
Lokasi Penelitian Plot silvikultur intensif nyamplung di lahan tepi pantai Pangandaran berlokasi di wilayah administratif Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Lokasi penelitian tersebut berordinat S = 070 40’ 48.2”; E = 1080 40’ 53.5” dengan ketinggian ± 3 mdpl. B.
Bahan dan Alat Bahan penelitian yang diperlukan dalam penelitian ini adalah biji nyamplung yang berasal dari populasi tanaman nyamplung Batukaras, bibit pandan, benih kacang tanah, pupuk kandang, pupuk kimia dan bambu. Alat penelitian yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sprayer, GPS, tangki semprot, cangkul, parang, alat tulis, kamera, alat ukur tinggi dan alat ukur diameter, ember, timbangan dan lain-lain. C.
Metode Penelitian Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah Randomized Block With Split Plot dengan main plot yaitu 3 metode pola tanam nyamplung yaitu pola tanam 1 (agroforestri nyamplung dan kacang tanah), pola tanam 2 (agroforestri nyamplung dan pandan) dan pola tanam 3 (monokultur nyamplung). Sub plot yaitu 3 dosis pupuk kandang yaitu dosis 1 kontrol ( 0 kg/tanaman), dosis 2 (pupuk kandang 5 kg) dan dosis 3 (pupuk kandang 10 kg). Masing-masing unit penelitian ditempatkan pada 3 blok. Net plot pada setiap unit percobaan adalah 25 pohon sehingga total tanaman nyamplung yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 25 pohon x 3 blok x 3 pola tanam x 3 dosis pupuk kandang = 675 tanaman. D. Analisis Data Pengukuran pertumbuhan nyamplung dilakukan 3 bulan sekali. Untuk mengetahui perbedaan keragaman antar perlakuan maka kemudian dilakukan analisis varians atau uji F. Apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan pada taraf 5%. Alat bantu untuk analisis data tersebut digunakan soft ware SAS versi 9. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa perlakuan pola tanam dan pemberian pupuk kandang yang diuji berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter, tinggi dan jumlah daun nyamplung sampai umur 1 tahun. Interaksi antar perlakuan pola tanam x pupuk hanya berbeda nyata pada pertumbuhan diameter sedangkan pada parameter lain tidak berbeda nyata. A. Pengaruh Pola Tanam Terhadap Pertumbuhan Nyamplung Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri nyamplung +kacang tanah memberikan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun yang signifikan lebih baik dibanding pola tanam lainnya. Pola tanam agroforestri nyamplung+ kacang tanah juga memberikan persentase hidup nyamplung lebih baik dibanding pola tanam lainnya sebagaimana disajikana pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
139
Tabel 1. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun nyamplung sampai umur 12 bulan
Perlakuan
Persentase Hidup (%)
Rata-rata Diameter Tinggi (cm) (mm)
Jumlah daun
Agroforestri nyamplung + kacang (1)
85,33
53,45 a
14,36a
41,53a
Agroforestri nyamplung + pandan (2)
66,22
40,00 c
11,77b
18,61c
Monokultur nyamplung (3)
82,67
45,62 b
9,630c
21,75b
Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
Gambar 1. Pertumbuhan tinggi nyamplung pada 3 pola tanam umur 12 bulan
Gambar 2. Pertumbuhan diameter nyamplung pada 3 pola tanam umur 12 bulan Agroforestri tanaman nyamplung dan kacang tanah memiliki nilai pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Menurut Yulipriyanto, (2010) penggunaan kacangkacangan sebagai pupuk hijau banyak dilakukan di dalam sistem pertanian karena mampu menambat nitrogen kedalam tanah secara biologis. Tanaman kacang-kacangan sebagai tanaman legum memiliki kemampuan untuk bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen atau bakteri bintil akar. Bakteri bintil akar kacang-kacangan yang bisa dikenal dengan nama kolektif rhizobia (tunggal : Rhizobium) merupakan bakteri tanah yang mampu melakukan penambatan nitrogen udara melalui simbiosis dengan tanaman kacang-kacangan (Simanungkalit et al, 2001 dalam Anonim, 2004). Banyaknya N2 yang dikonversi menjadi amonia sangat tergantung pada kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah. Penambahan pupuk kandang pada lahan sebelum penanaman kacang tanah potensial bagi peningkatan kesuburan tanah. Nitrogen merupakan unsur esensial dalam jumlah relatif besar yang dibutuhkan tanaman dan bersumber dari butir – butir tanah (Soegiman, 1982). Bukan hanya itu saja, tanaman nyamplung dan tanaman kacang yang ditanam didaerah pantai atau berpasir menambah
140
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
unsur tanah pasir yang awalnya miskin akan unsur-unsur tanah menjadi relatif potensial meningkatkan unsur hara tanah yang bisa diserap oleh tanaman nyamplung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa pemberian bronjong pada monokultur nyamplung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tinggi tetapi menghambat pertumbuhan diameter. Hal ini disebabkan hormon pertumbuhan (auxin) akan merangsang pertumbuhan tinggi kearah datangnya sinar matahari. Tertutupnya tanaman nyamplung dengan bronjong mendorong untuk tumbuh ke atas mencari cahaya sehingga merangsang pertumbuhan tinggi. Disisi lain dengan dilingkupi bronjong menyebabkan ruang tumbuh tanaman nyamplung menjadi sempit sehingga pertumbuhan horisontal/diameter terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerianegara (1970) bahwa pertumbuhan diameter sebenarnya lebih kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor genetik karena pertumbuhan diameter tanaman merupakan fungsi dari ruang tumbuh Pertumbuhan jumlah daun nyamplung pada pola monokultur dibronjong signifikan lebih baik dibanding pola agroforestri dengan pandan. Pembronjongan pada nyamplung mengakibatkan ruang tumbuh relatif tertutup karena ketinggian bronjong lebih tinggi daripada tanaman nyamplung dan mengitari nyamplung. Marjenah (2001) mengemukakan bahwa jumlah daun tanaman lebih banyak ditempat ternaung daripada di tempat terbuka. Ditempat terbuka daun mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat ternaung. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di bawah naungan daripada di tempat terbuka. Fitter dan Hay (1992) dalam Marjenah (2001) mengemukakan bahwa luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Meskipun demikian jumlah daun nyamplung pada tempat ternaung dengan bronjong signifikan lebih rendah dibandingkan dengan agroforestri nyamplung+kacang tanah. Pada agroforestri nyamplung +kacang tanah terdapat pengolaan tanah, pembersihan gulma, dan pemberian pupuk kandang dan NPK sebelum penanaman kacang tanah. Walaupun agroforestri nyamplung+kacang tanah relatif terbuka sehingga penguapan tinggi hal ini diimbangi dengan terdapatnya masukan unsur hara yang berasal dari bintil-bintil akar, dekomposisi daun kacang tanah dan masukan pupuk pada saat penanaman kacang tanah yang menyebabkan pertumbuhan jumlah daun terpacu. Tanaman nyamplung yang mati rata-rata kekeringan karena kondisi lingkungan pantai yang ekstrim yaitu suhu panas, terik matahari, tanah miskin unsur hara dengan porositas tinggi sehingga relatif panas dan kebanyakan terjadi pada musim kemarau. Hal ini diperparah dengan munculnya angin timur yang bersifat kering dan mengandung air garam sehingga menyebabkan kematian beberapa tanaman. B. Pengaruh Pemberian Pupuk Dasar Terhadap Pertumbuhan Nyamplung Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang 10 kg/tanaman menghasilkan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun berbedanyata lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan pupuk dasar sebanyak 5 kg/tanaman belum memberikan pertumbuhan diameter dan jumlah daun yang berbedanyata dengan kontrol (0 kg/tanaman). Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh pemberian pupuk dasar/pupuk kadang terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji lanjut Duncan perlakuan pemberian pupuk dasar (pupuk kandang) terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun sampai umur 12 bulan Pertumbuhan Perlakuan Persentase Hidup (%) Tinggi (cm) Diameter (mm) Jumlah Daun Kontrol (0 kg/ tanaman) (1) 78,67 43,28c 11,16b 25,89b 5 kg/tanaman (2) 79,56 46,78b 11,49b 27,34b 10 kg/tanaman (3) 76,00 50,74a 13,28a 31,08a Keterangan (Remark) : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
141
Gambar 3. Pertumbuhan diameter nyamplung pada 3 dosis pupuk umur 12 bulan
Gambar 4. Pertumbuhan tinggi nyamplung pada 3 dosis pupuk umur 12 bulan Pertumbuhan tinggi banyak dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah sehingga memberikan respon yang berbeda nyata. Pemberian pupuk kandang akan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Secara fisik, agregasi tanah akan lebih baik sehingga kemampuan menyimpan air meningkat. Sedangkan secara kimia dengan input bahan organik maka meningkatkan unsur hara yang dapat diserap tanaman dan meningkatkan aktivitas biologis didalam tanah. Pertumbuhan tinggi tanaman sering dianggap sebagai fungsi kesuburan tanah. Pada penilaian tapak tempat tumbuh, kualitas tapak diduga berdasarkan tinggi tanaman, misal prediksi 100 pohon tertinggi untuk menaksir bonita atau menyusun indeks kualitas tapak (Daniel et al., 1979). Djajadi et al. (2002) menyatakan bahwa pupuk organik sebagai bahan organik lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan tanah, biomassa dan produksi tanaman (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, 2000). Efisiensi nutrisi tanaman meningkat apabila permukaan tanah dilindungi dengan bahan organik. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas dan sumber utama nitrogen, fosfor dan belerang. Pengaruh tidak langsung terjadi karena proses dekomposisi bahan organik yang menghasilkan asamasam organik mampu menonaktifkan anion-anion pengikat fosfat, yaitu Al dan Fe dan membentuk senyawa logam organik, sedangkan pengaruhnya secara langsung adalah karena bahan organik merupakan sumber P dan S tersedia dalam tanah (Ridwan, 2006). Pupuk organik digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan kadar bahan organik, menyediakan hara mikro, dan memperbaiki struktur tanah. Peranan biologis di dalam mempengaruhi aktifitas organisme mikro flora dan mikro fauna, serta peranan fisik di dalam memperbaiki struktur tanah dan lainnya. Penggunaan bahan organik juga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan perputaran hara tanah (IRRI, 2006). Menurut (Anonim, 1990 dalam Safuan 2002) pemberian bahan organik tidak hanya menambah unsur hara bagi tanaman, tetapi juga menciptakan kondisi yang sesuai untuk tanaman dengan memperbaiki aerasi, mempermudah 142
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
penetrasi akar dan memperbaiki kapasitas menahan air dan bahan organik dapat meningkatkan pH, KTK, serapan hara dan menurunkan Al-dd, serta struktur tanah menjadi remah. Sifat fisik tanah yang lebih baik memudahkan tanaman menyerap unsur hara (Safuan, 2002). Bahan organik cenderung mampu meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan di dalam tanah dan jumlah air yang tersedia pada tanaman. IV.
KESIMPULAN
1. Pola tanam agroforestri nyamplung+kacang tanah memberikan pertumbuhan nyamplung (tinggi 53,45 cm, diameter 14,36 mm dan jumlah daun 41,53) signifikan lebih baik dibanding monokultur nyamplung (tinggi 45,62 cm, diameter 9,63 mm dan jumlah daun 21,75) dan agroforestri nyamplung+pandan ( tinggi 40,00 cm, diameter 11,77 mm dan jumlah daun 18,61). 2. Persentase hidup nyamplung pada 3 pola tanam yaitu agroforestri nyamplung +kacang tanah (85,33%), agroforestri nyamplung + pandan (66,22%) dan monokultur nyamplung (82,67). 3. Pemberian pupuk kandang dengan dosis 10 kg/tanaman memberikan pertumbuhan signifikan lebih baik dibandingkan dengan dosis 5 kg/tanaman dan kontrol.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Soil Biology and Land Management. Soil Quality-Soil Biology. Technical Note No 4, United State Departement Of Agricultulture, Natural Resources Conservation Service, USA. Daniel, T.W., J.A. Helms, F.S Baker, 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur . Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Hani’in. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Djajadi, M. Sholeh. dan N. Sudibyo (2002) Pengaruh Pupuk Organik dan Anorganik ZA dan SP 36 Terhadap Hasil dan Mutu Tembakau Temanggung Pada Tanah Andisol. Jurnal Littri Vol 8 No 1, Maret 2002. Bali Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Hani. A. W. Handayani, B. Achmad, S. Mulyana, A. Badrunasar, Rusdy dan U. Saefudin. 2010. LHP Insentif Riset DIKTI ” Pemanfaatan Lahan Pantai Untuk Pengembangan agroforestri Berbasasis Nyamplung”. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak dipublikasikan IRRI. 2006. IRRI Rice Knowledge Bank. Bahan Oranik dan Pupuk Kandang. Kerjasama Badan Litbang Pertanian dan IRRI. www. Knowledgebank.irri.org.Jakarta. Leksono. B dan AYPBC Widyatmoko. 2010. Strategi Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) Untuk Bahan Baku Biofuel. Seminar Nasional Sains dan Teknologi III. Lembaga Penelitian. Universitas Lampung. 18-19 Oktober 2010. Marjenah, 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian Terhadap Pertumbuhan dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan ”Rimba Kalimantan” Vol. 6. Nomor. 2. Samarinda. Kalimantan Timur. Ridwan.
2006. Kotoran Ternak www.disnak.jabar.go.id/data/arsip/
Sebagai
Pupuk
dan
Sumber
Energi.
Safuan, L.O. 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropika dan Cara Pengelolaannya. Makalah Pengantar Sains. Progam Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Soerianegara, I., 1970 Pemuliaan Hutan. Laporan No 104. Lembaga Penelitian Hutan Bogor. Soegiman. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan. Bratara Karya Aksara. Jakarta. Yulipriyanto. H , 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
143
PENGEMBANGAN SISTEM AGROFORESTRI BERBASIS INDIGENOUS SPESIES DAN KESESUAIAN LAHAN DI WILAYAH KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR Abban Putri Fiqa dan Rachmawan Adi Laksono UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT The development of monoculture farming system nowadays, as happened in Pasuruan Regency, known as one of the causes of environmental problems. One solution that can be offered to solve the problems is by developing an agroforestry system. Research was done by collecting the secondary data about plant species which are selected for agroforestry system based on the indigenous species in Pasuruan Regency and also based on the field condition, potency and people’s need. In addition, research was also done by collecting the secondary data about the Pasuruan Regency land quality which is listed in the Spatial Monitoring Information System (SIMTARU) Pasuruan Regency. As a result, based on the potential plant selection process, three species has been selected as a plant which will be develop in the agroforestry system, i.e Durio zibethinus, Gnetum gnemon and Pennisetum purpureum. While based on the result of land suitability evaluation such as elevation, slope, soil texture, soil depth, effective depth, and landuse systems, the development of indigenous species based agroforestry systems in Pasuruan Regency is suitable to develop in the District of Tutur, Gempol as well as in a small area in the Prigen and Purwodadi District. Keywords: agroforestry, indigenous species, stratification and land suitability.
I.
PENDAHULUAN
Proses alih guna lahan hutan menyebabkan terjadinya beberapa kendala lingkungan di berbagai kawasan di Indonesia, salah satunya di Kabupaten Pasuruan. Subkhi (2012) melaporkan bahwa LSM Bumi Bhakti Persada dan Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan (Pusaka) mengungkapkan bahwa alih guna lahan telah terjadi pada hutan lindung di kawasan Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Sejumlah sekitar 60 hektare kawasannya telah beralih menjadi lahan pertanian. Pengembangan sistem pertanian monokultur oleh masyarakat diketahui menjadi salah satu penyebab masalah lingkungan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pasuruan juga mencatat bahwa pada tahun 2011, banjir menggenangi 3 wilayah kecamatan (Winongan, Grati dan Rejoso) akibat curah hujan yang tinggi di wilayah Kecamatan Lumbang yang terletak di dataran tinggi, dan menyebabkan lebih dari 2000 KK di 10 Desa tergenang. Hutan beserta vegetasinya, mempunyai fungsi hidrologis sebagai daerah resapan air hujan, yang tidak hanya mengalirkan air hujan menjadi alian permukaan, namun juga menyimpannya dalam bentuk air tanah. Hal ini juga akan membantu menjaga kestabilan tanah untuk mencegah terjadinya longsor dan erosi di perbukitan dan lereng, banjir di daerah hulu, serta banjir bandang di kawasan hilir (Suripin, 2002). Salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dikembangkannya sistem agroforestri. Pemilihan jenis tanaman yang akan dikembangkan dalam sistem agroforestri juga menjadi hal penting untuk diperhatikan, mengingat perananannya dalam memberikan pelayanan lingkungan di alam selain memberi manfaat secara ekonomis. Konsep agroforestri tradisional sendiri telah dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat pada pekarangan mereka sebagaimana disebutkan dalam Porey (2000), masyarakat tradisional melakukan konservasi biodiversitas, dimana pekarangan memiliki komposisi flora lokal dan struktur vegetasi kebun tradisional yang memiliki ciri hutan tropis sehingga sekaligus memperoleh keuntungan pelestarian terhadap tanah dan air. Oleh karena itu, sistem agroforestri berbasis indigenous species menjadi pilihan terbaik.
144
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
II.
METODE
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder mengenai jenis-jenis tanaman yang dipilih untuk sistem agroforestri berbasis indigenous species di kawasan Kabupaten Pasuruan, berdasarkan kondisi di lapang, potensi dan kebutuhan masyarakat. Selain itu dilakukan pula pengumpulan data sekunder mengenai kualitas lahan Kabupaten Pasuruan yang tercantum dalam Sistem Informasi Monitoring Tata Ruang (SIMTARU) Kabupaten Pasuruan berupa peta elevasi, curah hujan, kedalaman efektif, tekstur, jenis tanah, tata ruang dan sistem land use. Data kualitas lahan tersebut dicocokkan dengan persyaratan tumbuh jenis terpilih berdasarkan data syarat pertumbuhan ketiga tanaman terpilih menurut (Subhadrabandhu et.al, 1991; Verheij dan Sukendar, 1991; ‘t Mannetje, 1992), dan dianalisis secara spasial menggunakan program Arc View 3.1 yaitu dengan melakukan overlay data-data yang didapatkan dari layer-layer elevasi, curah hujan, kedalaman efektif, tekstur, jenis tanah, tata ruang dan sistem land use. Dari hasil analisis tersebut diperoleh peta kawasan berpotensi untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis indigenous species di Kabupaten Pasuruan. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Jenis Untuk Pengembangan Sistem Agroforestri Agroforestri menurut Sardjono et al., (2003) memiliki fungsi protektif dengan memberi manfaat secara biofisik serta ekonomis. Manfaatnya secara protektif pada level global bertujuan untuk mengkonservasi tanah dan air, meningkatkan C stock di alam, serta memberi manfaat pula dalam hal pelestarian biodiversitas. Untuk itu, maka pemilihan jenis dianggap perlu agar fungsi protektif pada sistem agroforestri dapat berjalan dengan baik. Salah satu parameter dalam pemilihan jenis adalah dengan mengatur sistem stratifikasi yang akan terbentuk dalam agroforest yang akan dibangun. Sistem stratifikasi vegetasi dalam hutan alam adalah sistem yang paling ideal untuk mengkonservasi tanah dan air. Berdasarkan proses seleksi tanaman berpotensi yang akan dikembangkan pada sistem agroforestri di wilayah Kabupaten Pasuruan, dipilih tiga jenis tanaman yang bisa dikembangkan berdasarkan potensi, kebutuhan dan kesesuaian lahan. Tanaman yang akan berperan sebagai strata tertinggi dalam sistem agroforestri adalah durian. Durian (Durio zibethinus), merupakan tanaman yang berperan sebagai emergent tree sehingga masuk dalam tingkat A dan B dalam sistem stratifikasi hutan. Durian dikembangkan di Kabupaten Pasuruan pada lahan setinggi 400-600 m dpl, seperti di Kecamatan Tutur, Purwodadi, Purwosari, Lumbang, Pasrepan, dan Prigen (Bappeda Pasuruan, 2011). Namun, produk komoditi unggulan Pasuruan ini justru mengalami penurunan jumlah produksi. Pada tahun 2010, produksi mencapai 41.170 ton sedangkan tahun 2009 mencapai 53.624 ton. Pengembangan durian sebagai tanaman lokal yang berpotensi ekologis sekaligus berpotensi ekonomis non kayu yang tinggi, akan memberikan keuntungan bagi petani. Tanaman pada strata C adalah melinjo (Gnetum gnemon), tanaman asli Indonesia dengan syarat tumbuh yang tidak rumit. Hasyim et al., (2009) melaporkan bahwa agroforestri melinjo di Jawa Timur mempunyai prospek yang baik dengan keunggulan seperti ketersediaan bahan baku, kesesuaian lahan, potensi pasar yang besar, peluang yang baik, dan keberlanjutannya usaha terjamin. Strata terbawah pada sistem agroforestri yang akan dibentuk adalah tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum). Pemilihan rumput gajah sebagai tanaman bawah akan membantu mencukupi kebutuhan pakan ternak bagi peternakan sapi perah yang banyak terdapat di Kabupaten Pasuruan. ‘t Mannatje (1992) menyebutkan bahwa rumput gajah juga memiliki fungsi sebagai tumbuhan pengkonservasi tanah. Namun rumput gajah saja tanpa ada sistem stratifikasi di atasnya juga kurang baik bagi lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
145
B. Evaluasi Lahan Untuk Pengembangan Sistem Agroforestri Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan data sekunder dari SIMTARU Kabupaten Pasuruan, evaluasi kesesuaian lahan berdasarkan literatur digunakan untuk menentukan kawasan yang sesuai untuk pengembangan sistem agroforestri dengan tanaman terpilih. 1. Elevasi Lahan Wilayah yang memenuhi syarat terdapat pada Gambar 1. Diketahui bahwa ketinggian kawasan yang sesuai untuk pengembangan tanaman durian dan melinjo adalah 0-1000 m dpl, sedangkan rumput gajah memiliki range elevasi yang lebih luas yaitu 0-3000 m dpl. Sebagian besar kawasan di Kabupaten Pasuruan memenuhi syarat elevasi untuk tumbuh.
Gambar 1. Area Kabupaten Pasuruan berdasarkan ketinggian yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman durian, melinjo dan rumput gajah 2. Jenis dan Tekstur Tanah Tanaman durian tumbuh dengan baik jika ditanam pada tanah jenis grumosol dan andosol kelabu (Kemenristek, 2005), sedangkan melinjo dan rumput gajah tidak membutuhkan jenis tanah yang spesifik untuk tumbuh dengan subur. Berdasarkan Gambar 2, kawasan yang sesuai dengan persyaratan jenis tanah hanya pada sebagian kecil Kecamatan di Kabupaten Pasuruan.
Gambar 2. Area Kabupaten Pasuruan berdasarkan jenis tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman durian, melinjo dan rumput gajah
146
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tekstur tanah yang sesuai untuk tanaman durian dan rumput gajah adalah lempung, sedangkan melinjo cocok di semua tekstur tanah, baik lempung, liat, pasir maupun kapur. Hasil analisis kesesuaian tekstur tanah ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Area Kabupaten Pasuruan berdasarkan tekstur tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman durian, melinjo dan rumput gajah 3. Kemiringan dan Kedalaman Efektif Tanaman durian berpotensi sebagai stabilisator lereng alami berdasar keberadaannya di alam, bentuk kanopi, serta interaksi akarnya dengan tumbuhan lain (Fiqa et al., 2005). Durian tumbuh dengan baik pada kemiringan lahan 0-15°. Sementara melinjo dan rumput gajah toleran pada semua tingkat kemiringan. Kawasan yang memenuhi persyaratan ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Area Kabupaten Pasuruan berdasarkan kemiringan tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman durian, melinjo dan rumput gajah. Kedalaman efektif menjadi salah satu syarat tumbuh yang dijadikan parameter. Sistem perakaran yang dalam pada tanaman durian, menjadikan tanaman tersebut membutuhkan kedalaman sekitar 50-200 cm. Hal ini disebabkan karena jika kedalaman air tanah terlalu dangkal atau dalam, rasa buah akan menjadi tidak manis selain itu tanaman akan kekeringan ataupun Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
147
akarnya busuk akibat selalu tergenang. Namun, tanaman melinjo dan rumput gajah tidak mensyaratkan kedalaman tertentu untuk dapat tumbuh dengan baik. Area di Kabupaten Pasuruan yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman, ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Area Kabupaten Pasuruan berdasarkan kedalaman efektif tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman durian, melinjo dan rumput gajah 4. Sistem Landuse Berdasar sistem land use, lahan yang berpotensi untuk pengembangan kawasan agroforestri adalah dalam bentuk sawah, kebun, tegalan dan rumput. Pengembangan sistem agroforestri di kawasan-kawasan ini berkaitan pula dengan potensi durian dan melinjo sebagai tanaman produksi non kayu yang dapat berperan sebagai stabilisator di lereng alami. Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa sebagian besar kawasan di Kabupaten Pasuruan, memenuhi persyaratan tersebut.
Gambar 6. Area Kabupaten Pasuruan berdasarkan sistem landuse yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman durian, melinjo dan rumput gajah
148
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
5. Pemetaan Berdasarkan Kesesuaian Lahan Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan secara elevasi, kemiringan, tekstur tanah, jenis tanah, kedalaman efektif, dan sistem landuse, pengembangan sistem agroforestri berbasis indigenous species, dengan tanaman pokok berupa durian, melinjo dan rumput gajah, di Kabupaten Pasuruan cocok untuk dikembangkan di wilayah Kecamatan Tutur dan Gempol, serta di sebagian kecil wilayah Kecamatan Prigen dan Purwodadi.
Gambar 7. Area Kabupaten Pasuruan yang sesuai untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis indigenous species (durian, melinjo dan rumput gajah) Diharapkan dengan adanya pengembangan sistem agroforestri berbasis indigenous species, masyarakat akan mendapatkan keuntungan ekonomis yang besar dari ketiga tanaman terpilih. Selain itu, sistem agroforestri ini juga akan menjaga peran dan fungsi hutan sebagai catchment area dengan sistem stratifikasi dan pilihan tanaman yang serupa hutan alami. IV. KESIMPULAN Tanaman yang cocok dikembangkan sebagai tanaman agroforestri di kawasan Kabupaten Pasuruan adalah durian, melinjo dan rumput gajah. Hal ini disesuaikan dengan keadaan daerah serta potensi yang dimiliki tanaman tersebut untuk dibudidaya dan dimanfaatkan secara optimal. Jenisjenis tersebut memenuhi persyaratan sebagai tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan mampu memberikan ecological services yang baik bagi lingkungan di sekitarnya. Pengembangan kawasan agroforestri berbasis indigenous species di Kabupaten Pasuruan, cocok dikembangkan di daerah Kecamatan Tutur, Gempol serta sebagian kecil Kecamatan Prigen dan Purwodadi. Berdasarkan analisis elevasi, kedalaman, kemiringan, tekstur dan jenis tanah serta landuse. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Pasuruan, 2011. Produksi Durian Pasuruan Anjlok 12.454 Ton. Website:http://bappeda.jatimprov.go.id/2011/05/24/produksi-durian-pasuruan-anjlok-12454-ton/. Diakses tanggal 1 April 2013.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
149
BPBD
Kab. Pasuruan. 2011. Banjir Menggenang di Winongan, Grati dan Rejoso. Website:http://bpbd.pasuruankab.go.id/content-574-banjir-menggenang-di-winongan-gratidan-rejoso.html. Diakses tanggal 4 April 2013.
Fiqa, A.P., L. Astari, E. Arisoesilaningsih, Soejono, S. Isniningsih. 2005. Arsitektur Flora Lokal Berpotensi dalam Konservasi Mata Air dan Stabilisasi Lereng Alami di DAS Brantas. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII. Fakultas Biologi UGM Yogyakarta. 16-17 September 2005. Hasyim, Sri Sulastri, dan Soemarno. 2009. Model Kawasan Agroforestri Melinjo di Wilayah Kabupaten Malang. Agritek 17 (3):592-607. Kemenristek, 2005. TTG-Budidaya Pertanian Durian (Bombacaceae). Website: http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=2&doc=2a6. Diakses tanggal 4 April 2013. Porey, D.A. 2000. Ethnobiology and Ethnoecology in The Contex of National Laws & International Agreement Affecting Indigenous and Local Knowledge, Traditional Resources and Intellectual Property Rights. Dalam R. Ellen, P. Parkes, A. Bicker (Eds.). Indigenous Environmental Knowledge and its Transformations Critical Anthropological Perspectives. Harwood Academic Publishers. Singapore. pp. 35-54. Sardjono, M.A., T. Djogo, H.S.Arifin, dan N. Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroferestri. ICRAF. Bogor. Subhadrabandhu, S., J.P.M. Schneemann and E.W.M. Verheij. 1991. Durio zibethinus Murray. In Verheij, E.W.M. and R.E. Coronel. (eds) PROSEA No. 2. Edible Fruits and Nuts. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen. pp. 157-161. Subkhi,
M. 2012. Alih Fungsi Hutan Diduga Ulah Oknum Perhutani. Website: http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2012-0828/144784/Alih_Fungsi_Hutan_Diduga_Ulah_Oknum_Perhutani. Diakses tanggal 4 April 2013.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. pp. 102-107. 't Mannetje, L. 1992. Pennisetum purpureum Schumach. In: 't Mannetje, L. and R.M. Jones, (Eds.). PROSEA No. 4. Forages. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen. pp. 191-192. Verheij, E.W.M. and Sukendar. 1991. Gnetum gnemon L. In Verheij, E.W.M. and R.E. Coronel. (eds) PROSEA No. 2. Edible Fruits and Nuts. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen. pp. 182-184.
150
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PENINGKATAN PRODUKTIFITAS KOMPONEN AGROFORESTRI MELALUI PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK GUNA MENUNJANG KEBERHASILAN REHABILITASI LAHAN KRITIS 1
Budi Hadi Narendra1 dan Ryke Nandini2 2
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Land rehabilitation carried out either with conventionally or agroforestry patterns are often faced with poor soil quality due to low of soil organic matter content. This study aims to determine the effect of organic fertilizer on productivity of agroforestry components observed in three sites of critical land rehabilitation trials. In East Lombok, the research was carried out in a former pumice mining by applying agroforestry pattern using plant components such as teak, leucaena, sesbania, gliricidea, and agricultural crops such as maize and peanuts. The tested treatments were green manure effect derived from pruning of leucaena, sesbania, or gliricidea. In Bangli district, the rehabilitation was conducted on critical land covered by Mount Batur eruption material. The trial used calliandra and red beans as agroforestry components and chicken manure as organic fertilizer treatment. In Klungkung district, the trial used neem species combined with gliricidia, fodder grass, and cow manure application. Observations of land productivity were done by measuring the height and diameter for woody plant species, and weighing the crop harvest. Statistical data analysis of plant growth and crop harvest showed that application of organic fertilizer at three sites significantly could stimulate plant growth and crop harvest higher than the control. In the critical area of pumice mined, the use of green manure was able to produce peanuts and maize 1.3 and 2.5 tones/ha respectively. The legume’s pruning also been proven to increase the height and diameter growth of the teak 240.1 and 1.8 cm/yr respectively. In Bangli, manure treatment can produce highest red bean as 3.19 tones/ha or increased very significantly by 22 times compared to the control. Similarly, the use of manure increased twice in the height growth and tripled in diameter compared to the control. In Klungkung regency, cow manure application increased height growth of neem up to 4.5 times and 2.5 times for diameter growth compared to the control. Significant influence of organic fertilizer application can be used as an effort to improve the community welfare through additional alternative income from increased crop productivity. Keywords: critical land, agroforestry, organic fertilizers, crop productivity
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Luasan lahan kritis di Indonesia makin meningkat, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Di sisi lain, peningkatan jumlah penduduk telah mendorong terjadinya upaya-upaya perluasan lahan pertanian dengan membuka lahan-lahan baru atau memanfaatkan lahan di bawah tegakan dalam kawasan hutan. Hal ini mendorong perlunya dilakukan rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar hutan. Rehabilitasi lahan kritis yang merupakan aspek dari konservasi tanah, dilakukan guna memulihkan atau memperbaiki kondisi lahan sehingga dapat berfungsi sebagai media produksi dan pengatur tata air yang baik. Penanganan lahan kritis melalui program nasional telah banyak dicanangkan namun hasilnya masih belum optimal. Rehabilitasi lahan kritis dapat berhasil dengan baik bila ada keterlibatan masyarakat dengan sasaran perbaikan kesejahteraan melalui peningkatan produktifitas lahan. Selama lebih dari tiga dasawarsa, tercatat kegiatan rehabilitasi telah dilaksanakan pada lebih dari 400 lokasi di Indonesia. Keberhasilan proyek rehabilitasi, pada umumnya dicirikan oleh keterlibatan masyarakat setempat secara aktif, serta intervensi teknis yang digunakan secara spesifik untuk mengatasi masalah ekologis (Nawir, Murniati, dan Rumboko, 2008). Pendekatan ini dapat ditempuh melalui penerapan pola agroforestri yang diharapkan dapat mengurangi permasalahan perluasan lahan Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
151
kritis, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatkan hasil pertanian. Dalam pelaksanaanya, rehabilitasi lahan kritis baik yang dilaksanakan secara konvensional maupun dengan pola agroforestri sering dihadapkan pada rendahnya kualitas tanah akibat menurunnya sifat fisika, kimia dan biologi tanah yang tidak lepas dari rendahnya kandungan bahan organik tanah. Selain pemilihan jenis tanaman sebagai komponen agroforestri, teknologi perbaikan kualitas tanah yang tepat juga merupakan faktor penentu keberhasilan pola agroforestri yang diterapkan. Pupuk organik yang dapat diaplikasikan seperti dalam bentuk pupuk kandang atau pupuk hijau merupakan bahan pembenah tanah ramah lingkungan yang potensial memperbaiki kualitas tanah terutama pada tahap awal penerapan agroforestri. Pupuk kandang telah dirasakan manfaatnya dalam perbaikan sifat-sifat tanah baik sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik pupuk kandang dapat memperbaiki struktur tanah, menentukan tingkat perkembangan struktur tanah dan berperan pada pembentukan agregat tanah meningkatkan daya simpan lengas karena bahan organik mempunyai kapasitas menyimpan lengas yang tinggi (Jamilah, 2003). B. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan pupuk organik terhadap produktifitas komponen agroforestri yang diamati dalam suatu kegiatan ujicoba rehabilitasi lahan kritis. II.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian dilaksanakan pada tiga lokasi lahan kritis yaitu di Kabupaten Lombok Timur-NTB, Kabupaten Bangli-Bali, dan Kabupaten Klungkung-Bali. Lahan kritis pada masing-masing lokasi tersebut memiliki karakteristik yang khas dalam hal kondisi lahannya maupun penyebab kekritisannya. Di Kabupaten Lombok Timur penelitian dilaksanakan di lahan bekas penambangan batu apung. Lokasi penelitian terletak di bagian timur Pulau Lombok yang dikenal sebagai sentra penghasil batu apung. Sayangnya kegiatan penambangan mengakibatkan hilangnya lapisan atas tanah (top soil) melalui aliran permukaan sehinga tejadi penurunan kesuburan tanah dan menghambat pertubuhan tanaman. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya curah hujan di daerah ini yang menyulitkan masyarakat dalam merehabilitasi bekas tambang ini. Selain itu rehabilitasi lahan bekas tambang batu apung jarang dilakukan akibat minimnya teknologi yang efektif untuk mengembalikan produktivitas lahan. Di Kabupaten Bangli, ujicoba rehabilitasi dilakukan pada lahan kritis bekas letusan Gunung Batur. Secara administratif berada di Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Lokasi ini masuk dalam tingkatan sangat kritis dan terjadi akibat tutupan material letusan Gunung Batur. Sejak tahun 1804 sampai 2000, Gunung Batur tercatat pernah mengalami 26 kali letusan besar. Hamparan batuan dan pasir bekas letusan tersebut menyebabkan lahan di Gunung Batur mempunyai topografi bergelombang, berbatu-batu dan berpasir sehingga hanya jenis tanaman tertentu yang mampu tumbuh pada kondisi alami. Berdasarkan karakteristiknya, batuan beku yang terbentuk merupakan jenis Andesite basaltic berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman, bersifat masif dan sebagian vesikuler dengan bentuk permukaannya tidak teratur dan skorian, mengandung 35% plagioklas (<2 mm), olivin dan klinopiroksin dengan banyak butiran oksida besi (Badan Pengelola Museum Gunung Api Batur, 2009). Nusa Penida merupakan pulau kecil di tenggara Pulau Bali yang secara administrasi termasuk dalam Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Berdasarkan karakteristik fisiknya, hampir keseluruhan pulau merupakan lahan kritis, ditandai topografi perbukitan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang rendah, tipisnya lapisan tanah, dan dominannya batuan singkapan serta batuan permukaan. Peta lahan kritis Propinsi Bali (Bappeda Bali, 2009) menunjukkan 64% luasan Nusa Penida merupakan lahan kritis. Dari keseluruhan lahan kritis di Nusa Penida tersebut, 76% diantaranya merupakan kawasan hutan. 152
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
B. Rancangan Penelitian Di lahan bekas tambang batu apung, ujicoba rehabilitasi lahan dilakukan menggunakan pola agroforestri dengan komponen tanaman kayu berupa jati, lamtoro, turi dan gamal sedangkan tanaman pertaniannya menggunakan jagung dan kacang tanah. Tanaman kayu ditanam pada tahun pertama, diikuti tanaman pertanian pada tahun kedua. Jati ditanam dengan jarak 3 x 4 m, dan dalam baris tanaman jati ditanami jenis legum dengan jarak 0,5 m. Tanaman pertanian ditempatkan pada lorong-lorong antara barisan tanaman kayu. Ketiga jenis legum mulai dilakukan pemangkasan setelah enam bulan penanaman. Pemangkasan dilakukan dengan menyisakan batang utama setinggi satu meter. Hasil pangkasan dibenamkan dalam tanah sebagai pupuk hijau. Perlakuan yang diuji adalah pengaruh pemberian pupuk hijau yang berasal dari pangkasan tanaman lamtoro, turi, dan gamal terhadap pertumbuhan tanaman jati dan hasil panenan tanaman pertanian. Di Gunung Batur, ujicoba rehabilitasi lahan dilakukan melalui penanaman kaliandra dan kacang merah sebagai komponen tanaman agroforestrinya. Pupuk organik yang dijadikan perlakuan adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam dengan dosis 2 kg per lubang tanam. Jarak antar baris tanaman kaliandra adalah 3 m, sedangkan jarak antar tanaman dalam satu baris adalah 0,5 m. Lubang tanam untuk tanaman kaliandra dibuat dengan ukuran 30x30x30 cm. Di antara baris tanaman kaliandra, dibuat bedengan tanaman semusim dengan cara menyingkirkan batuan yang menutupi permukaan lahan menggunakan gancu. Di Nusa Penida Kabupaten Klungkung, rehabilitasi dilakukan dengan penanaman jenis mimba sebagai tanaman pokok menggunakan perlakuan pupuk kandang kotoran sapi sebanyak 5 kg per lubang tanam dan dikombinasikan dengan penanaman gamal dan rumput pakan ternak. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap berblok dengan perlakuan berupa pemberian pupuk organik pada tanaman kayu dan tanaman semusim sebagai komponen agroforestri. Pengamatan pertumbuhan tanaman kayu dilakukan dengan mengukur tinggi dan diameter batang tanaman, sedangkan pengamatan tanaman semusim dilakukan dengan menimbang hasil panenannya. Data pertumbuhan tanaman dan hasil panenan tanaman tersebut dianalisis secara statistik sesuai rancangan yang digunakan, menggunakan perangkat lunak SAS 9.0. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada tiga lokasi lahan kritis secara signifikan mampu memacu pertumbuhan tanaman kayu dan menghasilkan panenan tanaman semusim lebih tinggi dibandingkan kontrol. Di lahan kritis bekas tambang batu apung, penggunaan pupuk hijau yang berasal dari pangkasan tanaman legum mampu menghasilkan panenan kacang tanah dan jagung masing-masing 1,3 dan 2,5 ton/ha. Pangkasan legum tersebut juga terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata tinggi dan diameter tanaman jati masing-masing sebesar 249,1 dan 1,8 cm/th seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan jati dan hasil panen tanaman semusim Sumber Pupuk hijau Lamtoro Turi Gamal
Pertumbuhan jati Tinggi (cm/th) 238,0 248,3 249,1
Hasil panen (ton/ha) Diameter (cm/th) 1,6 1,7 1,8
Kacang tanah
Jagung
0,9 1,3 1,2
2,5 2,3 2,2
Pada pengukuran tahun ketiga, pertumbuhan jati yang diberi pangkasan legum jenis gamal menunjukkan tinggi dan diameter batang terbesar masing-masing 6,2 m dan 4,4 cm. Meskipun jenis gamal menyumbangkan biomasa pangkasan terbesar dibandingkan kedua jenis lainnya, namun gamal relatif memiliki kapasitas menyumbangkan N (nitrogen) yang lebih rendah dibandingkan lamtoro dan turi. Gamal memiliki kapasitas memfiksasi N sebesar 13,10-14,42g N/tanaman. Nilai ini Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
153
setara dengan 131-144kg N/ha/tahun (Gunaratne et al., 1998). Jenis lamtoro mampu menyumbangkan N hingga 500kg/ha/tahun (Arsyad, 1989), sedangkan turi dalam jangka waktu satu tahun setelah penanaman mampu menghasilkan pangkasan kering sebesar 20ton/ha dengan kandungan 150 – 245kg N/ha/tahun (National Academy of Sciences, 2000). Perbedaan kapasitas kemampuan tiap jenis legum berpengaruh dalam penyediaan jumlah N untuk pertumbuhan tanaman. Analisis pertumbuhan tanaman jati yang dilakukan Wijayanto (2007) juga menunjukkan pola agroforestri yang diterapkan pada pertanaman jati di Jawa Tengah mampu meningkatkan pertumbuhan jati dengan pertumbuhan tinggi 171 cm/th dan pertumbuhan diameter 1,7 cm/th. Sedangkan di Kupang (Susila, 2002), pertumbuhan jati yang ditanam secara monokultur menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing 120 cm/th dan 1,5 cm/th. Di India, tanaman jati yang dikombinasikan dengan legum juga terbukti mampu menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik. Pertumbuhan ini meningkat seiring dengan proporsi campuran legum yang digunakan. Pengamatan pada umur 44 bulan menunjukkan bahwa komposisi campuran 33% jati dengan 67% legum menghasilkan 45% lebih besar pada pertumbuhan tinggi dan 71% pada pertumbuhan diameter. Peningkatan pertumbuhan ini disebabkan sifat pupuk hijau dari tanaman legum yang mampu meningkatkan kandungan nitrogen tanah dan memperbaiki karakteristik tanah (Kumar et al., 1998). Seresah dari tanaman legum juga berperan sebagai mulsa yang mampu menurunkan erosi, mengoptimalkan suhu tanah dan kapasitas menyimpan air, memperbaiki struktur tanah, agregasi, aerasi, dan aktifitas biologi tanah. Di Kabupaten Bangli, perlakuan pemberian pupuk kandang kotoran ayam mampu menghasilkan panenan kacang merah tertinggi yaitu 3,19 ton/ha atau meningkat sangat signifikan sebesar 22 kali dibandingkan kontrol. Dengan asumsi berat biji kacang merah adalah 22% dari berat buah dalam polongnya, maka penenan ini mampu menghasilkan biji kacang merah 0,7 ton/ha. Hingga tahun ketiga, pengamatan pertumbuhan tanaman kaliandra menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang mampu menghasilkan tinggi dan diameter tanaman terbesar yaitu masing-masing 181,7 cm dan 2,1 cm. Analisis statistik menunjukkan terdapat peningkatan signifinifikan dibandingkan kontrol pada perlakuan penggunaan pupuk kandang yaitu dua kali lipat pada pertumbuhan tingginya dan tiga kali lipat pada diameter. Hal ini menunjukkan pemberian tambahan unsur hara pada tanah telah mampu diserap/dimanfaatkan secara baik oleh tanaman untuk pertumbuhan vegetatif dan generatifnya. Pemberian pupuk kandang ini juga didukung ketersediaan air yang cukup karena pertumbuhan tanaman kacang merah berlangsung saat musim hujan sehingga penyerapan unsur hara dapat optimal. Dari hasil uji korelasi menunjukkan bahwa antara bobot kacang merah dengan biomassa tanamannya terdapat hubungan yang erat dengan nilai koefisien korelasi 0,82. Hal ini menunjukkan tanaman kacang merah dengan biomassa tinggi akan menghasilkan bobot buah yang cenderung tinggi juga. Di Nusa Penida, aplikasi pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi menghasilkan ratarata pertumbuhan tinggi tanaman mimba sebesar 21,6 cm/th dan 1,6 mm/th pada diameter. Bila dibandingkan dengan kontrol, pemberian pupuk kandang ini telah mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman mimba hingga 4,5 kali dibandingkan kontrol dan 2,5 kali pada pertumbuhan diameternya. Adapun pertumbuhan tanaman rumput gajah dan gamal pada plot yang diberi pupuk kandang secara kualitatif menunjukkan pertumbuhan tunas yang lebih baik dibandingkan tanpa pupuk kandang sehingga diperoleh rumpun yang lebih banyak. Pemberian pupuk kandang seringkali diikuti oleh perbaikan sifat fisika tanah dengan keuntungan berupa turunnya runoff dan erosi, dan efek ini dapat bertahan beberapa tahun setelah pemberian pupuk (Gilley dan Risse, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Zingore et al. (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang mampu memelihara kesuburan tanah berpasir dengan meningkatnya kandungan bahan organik, P tersedia, K, Ca, Mg, dan unsur mikro dalam tanah. Tim peneliti pada Balai Penelitian Tanah menyatakan bahwa pupuk kandang kotoran sapi 154
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
yang telah mengalami pengomposan akan memiliki unsur hara lebih baik dibandingkan pupuk kandang yang masih segar, dengan kandungan N mencapai 2,34%, P 1,08%, K 0,69%, dan rasio C/N 16,8. Bilangan C/N ini telah cukup bagus (kurang dari 20) dibandingkan dengan pupuk kandang segar yang memiliki C/N > 40 sehingga proses dekomposisi akan menggunakan N tersedia mengakibatkan kekurangan N pada tanaman (Simanungkalit, et al., 2006). Menurut Mowidu (2001) pemberian 20 – 30 ton/ha bahan organik berpengaruh nyata dalam meningkatkan porositas total, jumlah pori berguna, jumlah pori penyimpan lengas dan kemantapan agregat serta menurunkan kerapatan zarah, kerapatan bongkah dan permeabilitas. Tambahan input pupuk kandang sebanyak 75 ton/ha per tahun selama 6 tahun berturut-turut dapat meningkatkan 4% porositas tanah, 14,5% volume udara tanah pada keadaan kapasitas lapangan dan 33,3% bahan organik serta menurunkan kepadatan tanah sebanyak 3%. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Pengaruh signifikan aplikasi pupuk organik terhadap produktifitas komponen agroforestri merupakan indikasi awal keberhasilan pola agroforestri yang diterapkan guna mendukung kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Penerapan pola ini dapat dijadikan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui alternatif tambahan penghasilan dari peningkatan produktifitas tanaman. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Badan Pengelola Museum Gunung Api Batur. 2009. Museum Gunung Api Batur. Badan Pengelola Museum Gunung Api Batur. Kintamani, Bangli. Bappeda Propinsi Bali. 2009. Peta Tingkat Kekritisan Lahan Wilayah Propinsi Bali Tahun 2008. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali. Denpasar. Gilley, J.E. dan L.M. Risse. 2000. Runoff and Soil Loss as Affected by the Application of Manure. Trans ASAE 43:1583–1588 Gunaratne, W.D.L., A.P. Heenkenda, K.V.S. Premakumara, and W.M.S. Bandara. 1998. Screening of woody and shrub legumes for agro-forestry systems based on biomass production, N yield and biological N2 fixing capacity. Forestry and Environment Symposium. Beruwala, Sri Lanka. Jamilah. 2003. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Kelengasan terhadap Perubahan Bahan Organik dan Nitrogen Total Entisol. Laporan Penelitian. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Kumar, B.M., S.S. Kumar and R.F. Fisher. 1998. Intercropping teak with Leucaena increases tree growth and modifies soil characteristics. Agroforestry Systems 42: 81–89. Mowidu. 2001. Peranan Bahan Organik dan Lempung Terhadap Agregasi dan Agihan Ukuran Pori pada Entisol. Tesis Master. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (Tidak diterbitkan). National Academy of Sciences. 2000. Sesbania. URL http://www.nf-2000.org/ secure/Other/F26. htm. Diakses 10 Desember 2004. Nawir, A.A., Murniati, dan L.Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. 383 pp. Simanungkalit, R.D.M., D.A.Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 283 pp. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
155
Susila, I.W.W. 2002. Pertumbuhan jati di Takari, Kupang. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Laporan Penelitian. (Tidak diterbitkan). Wijayanto, N. 2007. Study on impact of agroforestry Model on the growth of teak (Tectona grandis L.F) plants. JMHT Vol.13(2):100-108 Zingore, S., R.J. Delve, J. Nyamangara, and K.E. Giller. 2008. Multiple Benefits of Manure: The key to maintenance of soil fertility and restoration of depleted sandy soils on African smallholder farms. Nutr Cycl Agroecosyst 80:267–282
156
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN TANAMAN MELALUI KERAGAMAN TANAMAN TUMPANGSARI 1
Riskan Effendi1, Yetty Heryati1, dan M. Januwati2 2
Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Plantation forests are scattered throughout Java island and they are managed either by Perum Perhutani known as HTI or by community known as HR. In general those plantation uses agroforestry system where the farmers around plantation forests are allowed to plant agricultural plants for the first two years of plantation age . Tree species mostly planted are among others teak (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus/tusam (Pinus merkusii), kayu putih (Melaleuca cajuputtii) and sengon (Falcataria moluccana), while agricultural crops usually planted are paddy, corn, peanuts, tobacco, chilly, pine apples and cardamon and lately medicinal plants in limited amount. In the frame of increasing the plantation forest productivity it is necessary to add and to vary agricultural plants with medicinal plants species so that farmers and Perum Perhutani income may increase. Recently demand of medicinal plants as raw material of herbal industries increases while land for such purposes commonly community owned lands are limited. On the other hand Perum Perhutani had provided program called “ Utilization of Land under Forest Stand (PLTD)” which may attract medicinal plant farmers. This paper aimed at presenting various medicinal plants suitable to be planted under planted trees. Shade condition based on tree species, spacing and ages were also given. Production of several medicinal plants e.g. turmeric, ginger and cardamon, grown under plantation forests in Java are also presented. Information of F.moluccana plantation forest especially in Kediri seems to be more advantage for medicinal plants due to its light canopy and small leaves. Keywords: plantation forests, medicinal plants, shade under the stands
I. PENDAHULUAN Hutan tanaman saat ini banyak terdapat di pulau Jawa baik yang dikelola oleh Perum Perhutani berupa hutan tanaman industri (HTI) maupun yang dikelola dan dimiliki oleh rakyat yang disebut hutan rakyat (HR). Umumnya di pulau Jawa hutan tanaman menggunakan sistem agroforestri yaitu suatu sistem dimana masyarakat disekitar hutan diberi kesempatan untuk menanam tanaman tumpangsari dibawah tegakan hutan tanaman maupun pada saat memulai pembangunan hutan tanaman sampai berumur dua tahun. Jenis-jenis pohon yang banyak ditanam pada hutan tanaman itu diantaranya jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus/tusam (Pinus merkusii), dammar (Agathis sp.), kayu putih (Melaleuca cajuputtii) dan sengon (Falcataria moluccana). Tanaman tumpangsari yang umumnya banyak ditanam dibawah tegakan hutan tanaman itu diantaranya padi gogo, jagung, kacang tanah, tembakau, nanas dan kapulaga. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19 (Anonimus, 2012) menjelaskan bahwa untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang areal hutan tanaman, pemegang IUPHHK-HTI dapat menerapkan agroforestri pada areal tanaman pokok, tanaman kehidupan, tanaman unggulan berdasarkan azas kelestarian secara bersamaan dan atau berurutan serta bersifat temporal. Pemanfaatan herbal sebagai Obat Bahan Alam (OBA) di dunia medis akhir-akhir ini telah meningkat dengan pesat di seluruh dunia. Menurut Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, pada tahun 2008 persentase pertumbuhanan obat herbal dari tahun ke tahun meningkat terus dan berada di atas rata-rata pertumbuhan obat modern. Banyak alasan mengapa obat herbal cenderung tumbuh subur. Pertama, diyakini lebih aman. Tradisi minum jamu membuat konsumen lebih "cocok" dengan obat herbal dibandingkan dengan obat modern. Kedua, bahan baku obat herbal melimpah, sehingga makin banyak perusahaan farmasi terdorong ikut masuk pasar. Hasil survei Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
157
omnibus menunjukkan saat ini kata "herbal" ternyata sangat kuat. Daya tarik herbal cukup tinggi, persepsi masyarakat obat herbal lebih aman bagi kesehatan dan lebih manjur dibanding jamu dan obat biasa. Jumlah IOT dan IKOT pada tahun 2003 mencapai 1023 perusahaan (Badan POM, 2003). Selain dari sediaan simplisia, juga bentuk ektrak telah mempunyai pasar, sehingga serapan produksi tanaman obat semakin luas. Beberapa jenis tanaman obat diantaranya temulawak, kencur, jahe, sambiloto dan pegagan, menjadi andalan Indonesia yang diketahui berkhasiat meningkatkan nafsu makan dan stamina serta membantu menyembuhkan berbagai penyakit, seperti penyakit hati, reumatik dan radang, juga menurunkan koleterol (Hidayat dan Ruslina, 2008). Budidaya tanaman obat seperti jahe, lengkuas. kunyit , meniran, pegagan, sambiloto dll, telah diteliti oleh para peneliti BALITTRO (Januwati et al., 2000). Perum Perhutani saat ini mempunyai program “ Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan, (PLDT). Di KPH Kediri, Jawa Timur. Kegiatan PLDT belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Lokasi PLDT di KPH Kediri, khususnya di RPH Pandantoyo adalah tanaman sengon. Tanaman sengon yang diperbolehkan untuk program PLDT setelah tanaman berumur dua tahun keatas. Perum Perhutani memberikan kesempatan penanaman tungpangsari selama dua tahun dan setelah itu ditutup sesuai kontrak penanaman. Di RPH Padantoyo jenis tanaman yang dijadikan tanaman tumpangsari adalah nanas, jagung, cabu, terong ungu dan kacang panjang. Pemanfaatan lahan dibawah tegakan hutan tanaman baik hutan tanaman yang dikelola oleh pemerintah seperti hutan tanaman Perum Perhutani di Jawa maupun hutan tanaman milik rakyat telah dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Masyarakat yang menanam di hutan tanaman milik Perum Perhutani dikenal dengan istilah petani pesanggem.Menurut Effendi (2012) sebanyak 53 jenis tanaman dan ikan yang dikelompokkan dalam biji-bijian (padi gogo dll), umbi-umbian (ubi jalat dll), sayuran (ketimun dll), buah-buahan (nenas dll), ikan (mujaer dll). Akhir-akhir ini tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur , dll) telah di usahakan oleh masyarakat di lahan hutan khususnya di pulau Jawa dan juga lahan masyarakat dalam skala terbatas. Dalam rangka meningkatkan produktivitas hutan dan juga pendapatan para petani pesanggem Perum Perhutani, maka perlu adanya peningkatan keragaman jenis-jenis tumpangsari yaitu dengan tanaman obat / herbal. Jenis obat herbal belakangan ini mulai digemari oleh masyarakat, sehingga kebutuhan bahan baku meningkat dan harga jual tanaman herbal juga meningkat. Dipihak lain lahan untuk penanaman yang dilakukan oleh masyarakat terbatas. Pemilihan jenis tanaman obat/herbal ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya persyaratan tumbuh jenis herbal, terutama yang berkaitan dengan intensitas naungan karena lokasi tanaman berada dibawah tegakan. Disamping itu kesesuaian dengan ketinggian diatas permukaan laut (dpl), iklim dan jenis tanah perlu diperhatikan agar diperoleh produksi tinggi. Jenis yang ditanam juga harus mempunyai pasar yang jelas dengan harga yang memadai agar para petani tidak mengalami kerugian. Penanaman tanaman herbal umumnya pada lahan milik masyarakat dan umumnya mempunyai lahan yang terbatas. Sementara itu lahan hutan tanaman milik Perum Perhutani dimungkinkan untuk ditanami tanaman herbal seperti halnya tanaman tumpangsari. Jenis tanaman herbal yang ditanam tidak boleh mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Makalah ini mengemukakan upaya peningkatan produktivitas hutan tanaman melalui keragaman jenis tumpangsari dengan tanaman obat/herbal seperti kunyit, kencur, pegagan, dll., pada lahan hutan tanaman milik Perum Perhutani maupun lahan milik masyarakat. II. KONDISI HUTAN TANAMAN DI PULAU JAWA Luas hutan di Pulau Jawa yang meliputi hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani seluas 2,4 juta ha. Hutan-hutan tersebut dikelilingi oleh sebanyak 5.383 desa. Tenaga kerja yang diserap pada kegiatan di hutan-hutan tersebut sebanyak 563.910 orang (Purwanto, 2012). Hutan tanaman yang dikelola oleh Perum Perhutani termasuk hutan produksi dengan kelas perusahaan diantaranya kelas-kelas perusahaan jati, pinus dan sengon. Di hutan 158
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
tanaman tersebut umumnya dilakukan sistem agroforestri. Disamping hutan tanaman yang dikelola oleh Perum Perhutani juga terdapat hutan rakyat. Luas hutan rakyat tahun 2004-2011 mencapai 1.453.692 ha (Murniati, 2013). Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan penanaman tumbuhan adalah kebutuhan cahaya matahari. Jenis-jenis tumbuhan ada yang membutuhkan cahaya matahari penuh (full light demanders), misalnya jagung dan tumbuhan yang memerlukan naungan (shade tolerant) msalnya coklat, kopi. Di hutan tanaman terdapat keduanya yaitu (a) cahaya penuh pada saat tanaman berumur kurang dari satu tahun dan (b) kondisi naungan dibawah tegakan yang berumur lebih dari tiga tahun. Intensitas naungan dibawah tegakan dipengaruhi berbagai faktor diantaranya jarak tanam, jenis tanaman dan kondisi tajuk. Pada jarak tanam yang sempit misalnya 3 m x 1 m intensitas naungan lebih cepat terjadi dan lebih berat, sedangkan pada jarak yang lebih lebar misalnya 6 x 3 m, intensitas naungan terjadi pada umur yang agak tua. Selain itu jenis pohon yang mempunyai tajuk ringan seperti sengon akan menyebabkan intensitas naungan lebih ringan dibandingkan dengan jenis pohon bertajuk berat seperti jati dimana intensitas naungan lebih berat. Kondisi intensitas naungan pada hutan tanaman di Jawa menurut jenis dan jarak tanam disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Intensitas naungan dibawah tegakan menurut jenis pohon dan jarak tanam No.
Jenis pohon
1
Sengon
2
Nyawai
Jarak tanam 3mx2m 3mx2m 6mx3m
3 4 5 6
Jati Mangium Jati Mahoni Afrika
5mx5m 3mx2m 3mx3m 3 m x2 m
Umur 1-2 tahun 3-5 tahun 1-2 tahun 3 tahun 7 tahun 5 tahun 5 tahun -
Intensitas naungan 10 – 20 % 30-40 % 10 % 30 % 40 % 68 % 68 % 20-30 %
Keterangan Lokasi : Pandantoyo, Kediri Lokasi : Pandantoyo Kediri Lokasi : KHDTK Cikampek Lokasi : KHDTK Cikampek Lokasi : Sobang, Banten Lokasi : Parung panjang, Kab.Bogor Lokasi: Jampang kulon, Sukabumi Lokasi Majenang, Banyumas
Sumber : Effendi, R (2012, 2013), Alrasjid (2000), Sumarhani et al. (2003, 2005).
Hasil pengamatan penulis di hutan tanaman sengon umur 6 tahun di Pandantoyo, Kediri menunjukkan bahwa dibawah tegakan sengon tersebut masih dapat ditanami terong ungu dan kacang panjang. Jenis sengon mempunyai tajuk yang ringan dan mempunyai daun berukuran kecil.Hal ini mengakibatkan sinar matahari masih dapat menembus lantai hutan. Rumput dan pareparean juga tumbuh dengan subur dibawah tagakan sengon (Gambar 1).
Gambar 1. Tumbuhan bawah berupa kacang panjang, rumput dan nanas di bawah tegakan sengon di Pandantoyo, Kediri, Jawa Timur Hutan tanaman umumnya berada pada ketinggian rendah sampai sedang yaitu pada ketinggian 0-500 m diatas permukaan laut (dpl), namun ada pula pada dataran tinggi diatas 500 m dpl. Di pulau Jawa hutan tanaman pada hutan-hutan produksi terdapat pada ketinggian sampai 500 m dpl seperti hutan jati, hutan sengon di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hutan tanaman pinus tumbuh pada ketinggian > 500 m dpl terdapat di Jawa Barat Jawa Tengah dan Jawa Timur Curah hujan di pulau Jawa bervariasi mulai dari curah hujan tinggi seperti di Jawa Barat dan curah hujan sedang dan curah hujan rendah misalnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
159
Pemanfaatan lahan untuk penanaman tanaman obat beserta tanaman palawija dapat dilakukan pada hutan tanaman milik Perum Perhutani sebagai tanaman tumpangsari dan hutan rakyat khususnya hutan tanaman sengon. Luas hutan rakyat jenis sengon meningkat terus dari tahun ketahun sejalan dengan harga kayu sengon yang semakin meningkat. III. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN OBAT Tanaman obat seperti halnya tumbuhan pada umumnya, memerlukan persyaratan tumbuh agar diperoleh produksi sesuai dengan yang diharapkan. Paling tidak ada empat persyaratan tumbuh yang harus dipenuhi yaitu ketinggian diatas permukaan laut (dpl), jenis tanah, iklim dan intensitas cahaya atau naungan. Jenis tanaman obat yang dapat tumbuh pada berbagai ketinggian dpl adalah sbb: Dataran Rendah (10 – 400 m dpl.) : temulawak, lempuyang, kencur, kunyit, sambiloto, brotowali, sambiloto, nilam, serai wangi, kumis kucing dll. Dataran Menengah (400-800 m dpl.) : temulawak, lempuyang, kencur, kunyit, sambiloto, brotowali, sambiloto, jahe, sambiloto, nilam, serai wangi, kumis kucing dll. Dataran Tinggi (> 800 m dpl.) : temulawak, lempuyang, kencur, kunyit, sambiloto, brotowali, sambiloto, jahe, sambiloto, nilam, serai wangi, purwoceng, artemisia, adas, timus, stevia, gandapuro, kapulaga dll. Jenis tanah meliputi kesuburan tanah, tekstur tanah mempengaruhi produksi tumbuhan obat. Misalnya jenis temu-temuan menyukai tanah gembur. Intansitas cahaya dan naungan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman obat yang memerlukan cahaya penuh (sun plant) adalah : temulawak, kunyit, lempuyang, jahe merah, sambiloto, kumis kucing, jambu biji, salam. Jenis tersebut ditanam pada hutan tanaman yang berumur kurang dari satu tahun dimana terdapat cahaya penuh karena tanaman masih muda dan jarak tanam memungkinkan untuk mendapat cahaya penuh. Diantara tanaman temu-temuan dapat pula disisipi tumpangsari seperti padi, kacangkacangan, sayuran dan cabe. Tanaman obat yang perlu naungan (shading plant) adalah : cabe jawa, sirih, lada, kapulaga dll. Jenis tersebut dapat ditanam dibawah tegakan jati, mahoni, dan sengon. Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman obat yang dapat tumbuh dibawah tanaman pokok seperti jati, sengon. Gmbar 2 menyajikan tanaman obat dibawah hutan tanaman sengon dan jati.
Gambar 2. Tanaman kapulaga dibawah tegakan sengon dan kunyit dan kencur dibawah tegakan jati di pulau Jawa. Persyaratan tumbuh jenis-jenis tanaman obat secara lengkap disajikan pada Lampiran 1. Hasil penanaman tanaman obat berupa produksi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti yang dikemukakan sebelumnya. Pada lokasi yang tepat akan diperoleh hasil yang tinggi. Produksi berbagai tanaman obat dibawah tegakan hutan tanaman khususnya di pulau Jawa disajikan pada Tabel 2.
160
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tabel 2. Produksi tanaman obat di bawah tegakan hutan tanaman No.
1 2 3
Jenis komoditas
Bobot rmpang Produksi (g/tanaman) (ton/ha) A. Hutan Kemasyarakatan (Jati, Mahoni) 100- 400 m dpl. Temulawak 417,56 13,06 Kunyit 274,02 7,77 Kencur 43,46 6,97 B.
1 2 3 4 5
Hutan Rakyat (Sengon, Suren) 400 - 800 m dpl. Temulawak 527,08 Kunyit 307,10 Jahe kapur Kapolaga sambang Kapolaga lokal
15,73 8,54 8,89 0,25-0,5 0,6-1,0
Sumber : Rosiwati et al. (2012).
IV. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS Penanaman tanaman obat baik sebagai campuran pada tanaman tumpang sari maupun pada proyek Pemanfaatan Tanaman Dibawah Tegakan (PLDT) perlu memperhatikan produktivitas. Berkaitan dengan itu maka bibit yang ditanam harus berasal dari bibit unggul. Khusus untuk tanaman obat dan rempah dapat diperoleh informasi dari Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) Bogor. Kesesuaian jenis yang ditanam dengan persyaratan tumbuhnya meliputi ketinggian dpl, iklim, tanah dan naungan harus mendapatkan perhatian yang serius agar hasil panen nantinya cukup tinggi. Pemeliharaan yang intensif dan pencegahan hama dan penyakit secara terpadu juga perlu diterapkan. Produktivitas yang tinggi diharapkan akan menambah penghasilan antara sebelum panen kayu sesuai daur tebang. Selain itu pendapatan para petani juga akan meningkat apabila harga dan pasar tanaman obat meningkat. Lahan untuk penanaman tanaman obat berupa hutan tanaman milik Perum Perhutani dan hutan tanaman sengon milik masyarakat yang luasnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. V. PENUTUP 1. Dalam rangka meningkatkan produktivitas hutan tanaman, maka tanaman tumpangsari dapat ditambah dengan jenis tanaman obat/herbal yang dapat tumbuh dibawah tegakan dan mempunyai pasar dan harga yang memadai 2. Program Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT) yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani dapat dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain untuk penanaman jenis tanaman obat khususnya tanaman yang memerlukan naungan DAFTAR PUSTAKA Alrasyid, H., Sumarhani dan Y. Heryati. 2000. Percobaan Penanaman Padi Gogo di Bawah Tegakan Hutan Tanaman. Buletin Penelitian Hutan No. 621: 27 – 46. Anonimus. 2012. Peratutan Menteri Kehutanan No.P19/2102. Kementerian Kehutanan Jakarta BPOM. 2003. Pedoman penelitian budidaya, pascapanen dan produksi sediaan herbal. Pusat Riset Obat dan Makanan. Tidak dipublikasi. 129 h. Effendi, R. 2013. Laporan Perjalanan Dinas ke KPH Kediri. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor. (Tidak diterbitkan).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
161
Effendi, R. 2012. Dampak Pemanfaatan Lahan Hutan Tanaman untuk tanaman Pertanian pada Pola Agroforestri.Prosiding Seminar Nasional Agroforestri. Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Ciamis. Effendi, R. 2012. Pertumbuhan tanaman nyawai umur 3 tahun di KHDTK Cikampek, Jawa Barat. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor. (Tidak diterbitkan). Hidayat dan Ruslina. 2008. Formula bisnis sang jawara. Majalah SWA 19/XXIV: 1114-115 Januwati, M. dan M. Yusron, 2000. Usahatani dibawah tegakan hutan rakyat di sentra produksi tanaman obat di Jawa Tengah. Prosiding Kongres Nasional Obat Tradisonal Indonesia di Surabaya, 20-22 Nopember 2000. hal. 289 – 294. Januwati,M., M. Yusron dan E. R. Pribadi. 2006. Pengkajian budidaya tanaman temu-temuan pada model usahatani dibawah tegakan jati pada zone agroekologi Jawa Timur Selatan. BalaiPenelitian Rempah dan Obat. Bogor Kartasubrata, J. 2010. Sukses Budi Daya Tanaman Obat. IPB Press. ISBN: 978-979-493-272-8. Murniati.2013. Agroforestry : Potensi dan Kombinasi Jenis. Diskusi Ilmiah Berkala. Bogor, 22 Februari 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.(Tidak diterbitkan). Purwanto, A. 2012. Bisnis Agroforestri : Peluang dan Tantangan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III. Yogyakarta 29 Mei 2012. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis. Rostiwati, T., N. Januwati dan Y. Heryati. 2012. Teknologi Budidaya Tanaman Obat Untuk Wilayah Jawa Timur. Gelar Teknologi Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas HutanBogor Sumarhani. 2003. Pola Usaha Tani Tumpangsari Di bawah Tegakan Hutan Tanaman Khaya anthotheca Di BKPH Majenang, Jawa Tengah. Buletin Penelitian Hutan No. 639: 63 – 75. Sumarhani, Harun Alrasyid dan Yetti Heryati. 2005. Uji Coba Padi Gogo (Oriza sativa) Tahan Naungan Dengan Sistem Wanatani di Bawah Tegakan Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) Di BKPH Jampang Kulon, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. II No. 3: 227 – 239.
162
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Lampiran 1. Persyaratan tumbuh tanaman obat No
Nama tumbuhan obat
Ketinggian (m dpl)
Temperatur (°C)
Jumlah bulan basah (bulan/tahun)
Curah hujan (mm)
1
Jahe
300 -500
25 -30
7-9
2.500 4000
2
Kencur
50 – 500
25 - 30
5–9
2.500 – 4.000
3
Kunyit
240 – 1200
-
4
Temulawak
100 – 1500
5
Cabe Jawa
1 – 600
6
Sambiloto
Sampai 600 m
2000 – 3000
Naumgan sampai 30%
7
Meniran
Dataran rendah sampai 1500 m dpl
2500 3000
Dapat tumbuh di tempat ternaungi atau terbuka
8
Daun dewa
200 -1200
1500 3500
60%
2000 4000
Intensitas cahaya matahari (%) 70 - 100
100 atau 25 – 30% hingga tanaman umur 6 bulan dibawah tegakan sengon dan jati sampai tanaman umur 3 – 4 bulan (tingkat naungan tidak lebih dari 30%)
Tekstur tanah
Lempung – lempung liat berpasir Lempung liat berpasir
1500 4000 20 - 34
25 - 32
Jenis tanah
Kemiringan lahan
pH tanah
6,8 – 7,4
latosol, regosol, asosiasi antara latosol andosol Latosol, alluvial atau regosol
<30%
4,5 – 5,0
Andosol, latosol dan regosol Diperlukan naungan selama 3 – 5 bulan
Ringan dengan kandungan kimia tanah yang cukup, kaya bahan organic dan mineral, dan lapisan tanah dalam
Lempung berpasir dan lempung liat berpasir
5,5 – 7,0
Pada semua jenis tanah sperti andosol dan latosol Tumbuh di tempat lembab, kebun, ladang, sepanjang jalan dan tanah berumput dan bergerombol dalam jumlah banyak Tumbuh pada tanah PMK dan regosol, lebih cocok pada tanah
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Netral (6 – 7)
163
No
Nama tumbuhan obat
Ketinggian (m dpl)
Temperatur (°C)
Jumlah bulan basah (bulan/tahun)
Curah hujan (mm)
Intensitas cahaya matahari (%)
Tekstur tanah
Jenis tanah
alluvial dan andosol 9
Pegagan
164
200 – 800
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
30 – 40% Dibawah naungan hingga tempat terbuka
Latosol dengan kandungan liat sedang
Kemiringan lahan
pH tanah
PERBANDINGAN SISTEM AGROFORESTRY, MONOKULTUR INTENSIF, DAN MONOKULTUR KONVENSIONAL DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN SENGON 1
Wahyudi1 dan Sudin Panjaitan2 2
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Large of forest degradation areas in Indonesia is more than 21,9 million ha, meanwhile social condition in the surrounding forest region still poor. Developing plantation forest with applying corporate social responsibility is the best choice. The aim of this research was to compare agroforestry system, intensive monoculture system, and konventional monoculture system in the developing plantation forest in the degraded land. This research was comprised three treatment, i.e. agroforestry system as treatment 1 (mix of Paraserianthes falcataria and Oriza sativa), intensive monoculture system as treatment 2, and conventional monoculture system as treatment 3, using plant of Paraserianthes falcataria respectively. Analysis of varians and least significantly differ using SPSS 16.0. Result of this research showed that mean annual increment (MAI) of sengon diameters at agroforestry system, intensive monoculture system, and konventional monoculture system were 3,45 cm/th; 3,21 cm/th, and 1,99 cm/th respectively. Agroforestry system and intensive monoculture system were better than konventional monoculture system. Agroforestry system is the best choice because beside can produce 2,98 ton/ha of paddy, this system was also as good as intensive monoculture system, creating the job, improving of social prosperity, changing of local community opinion become positive perception for forestry developme, protection of forest, forest fire prevention, lessen fast of forest degradation and environmental quality preservation on the forest region Keywords: Agroforestry, degraded forest, intensive and conventional monoculture
I.
PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) pernah digalakkan di akhir tahun 80-an sampai pertengahan tahun 90-an khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Berdasarkan hasil evaluasi Dephutbun (2000), tingkat keberhasilan HTI tersebut kurang dari 30%. Sejak tahun 2007 Dephut meluncurkan kembali program hutan tanaman rakyat (Dephut 2007) setelah kegiatan GN-RHL juga kurang menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penyebabkan kurang berhasilnya program pembangunan hutan tanaman di luar pulau Jawa, khususnya di Kalimantan, adalah faktor edapis (Deptan, 2003; Noor, M. 1996; Sutejo dan Kartasapoetra, 1991), teknologi dan adaptasi teknis (Lahjie, 2004) dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat (Deptan, 2008). Kurangnya keterlibatan masyarakat setempat dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman sering menjadi kendala serius, terutama faktor keamanan, keutuhan kawasan dan ancaman terhadap kebakaran (Suratmo et al., 2003; Suyatno, 2004; Wibowo, 2003). Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia yang menggunakan sistem monokultur disamping rawan terhadap serangan hama dan penyakit dan terdegradasinya keanekaragaman jenis setempat, juga rawan terhadap kebakaran dan kurang memperhatikan keterlibatan masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pembangunan sumber daya alam di sekitarnya (less in corporate soscial responsibility). Oleh karena penelitian tentang keunggulan agroforestry dalam pembangunan hutan tanaman menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keunggulan sistem agroforestry, yang merupakan campuran tanaman sengon (Paraserinthes falcataria) dan tanaman padi gunung (Oriza sativa), dibanding pola penanaman monokultur intensif dan pola penanaman konvensional pada kegiatan pembangunan hutan tanaman sengon.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
165
II. METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di blok penanaman sengon (Paraserianthes falcataria) pada Hutan Tanaman Industri PT Gunung Meranti. Tempat tumbuh (site) beriklim A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dengan curah hujan 2.606 mm/tahun. Waktu penelitian selama 1 tahun, mulai dari penanaman awal sampai panen tanaman sengon berumur 1 tahun. B. Prosedur Penelitian 1. Semua plot penelitian berada pada lahan yang telah diolah (land clearing, disc plow, tonner, harrow) bekas semak belukar (bush-scrubs) bercampur alang-alang (Imperata cylindrica) yang masuk dalam katagori lahan terdegradasi. 2. Pada 5 hari sebelum penanaman, lahan tanam ditaburi kapur dolomit (MgSO4) dengan dosis 120 kg ha-1. Penanaman sengon dilakukan pada bulan Desember (musim hujan) dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Semua bibit sengon berasal dari persemaian dengan perlakuan yang sama. Bibit tersebut dinyatakan siap tanam bila telah mencapai tinggi antara 30-42 cm. 3. Setelah sengon ditanam, dilanjutkan dengan pembuatan plot penelitian sistem agroforestry (campuran tanaman sengon dan padi gunung dengan pemupukan lanjutan) sebagai perlakuan pertama (t1), pola monokultur intensif (tanaman sengon dengan pemupukan lanjutan) sebagai perlakuan kedua (t2) dan pola monokultur konvensional (tanpa pemupukan lanjutan) sebagai kontrol (t3). Masing-masing plot berukuran 10 m x 10 m (=100 m2) dengan ulangan 10 kali yang ditempatkan secara acak di lapangan. 4. Pengukuran pertama terhadap diameter dan tinggi tanaman sengon pada semua plot penelitian dilakukan pada hari ke-5 sampai ke-6 setelah penanaman, dilanjutkan dengan pemupukan lanjutan menggunakan komposisi pupuk SP-36, Urea dan KCl masing-masing dengan dosis 120 kg ha-1 yang tabur dalam hamparan lahan tanam. 5. Pada hari 7 dilakukan penanaman (penugalan) benih padi gunung varietas lokal di antara tanaman sengon pada plot penelitian agroforestry (t1). Jarak antar lubang 25 cm x 25 cm dan masing-masing lubang diisi 2-4 benih padi kemudian ditutup lapisan top soil. 6. Pembersihan gulma dilakukan pada setiap 3 bulan 7. Penyulaman tanaman sengon dilakukan pada bulan ke-3 setelah tanam. 8. Panen padi gunung dilakukan setelah berumur 4 bulan. Dicatat hasil panen padi. 9. Pengukuran diameter dan tinggi tanaman sengon pada ketiga perlakuan dilakukan pada umur 12 bulan. C. Analisis Data Analisis ragam (anova) dan uji antar perlakuan (LSD) terhadap data hasil penelitian dilakukan menggunakan SPSS 16.0 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Pertumbuhan Diameter dan Tinggi Sengon Pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman sengon pada sistem agroforestry (t1), pola monokultur intensif (t2) dan pola monokultur konvensional (t3) ditunjukkan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa, sistem agroforestry memberi pertumbuhan tanaman sengon yang paling baik setelah berumur 1 tahun, dengan rata-rata diameter sebesar 3,45 cm dan tinggi sebesar 3,77 m disusul sistem monokultur intensif dan pola monokultur konvensional, masing-masing sebesar 3,21 cm dan 3,67 m serta 1,99 cm dan 1,41 m.
166
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tabel 1.
No Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rataan
Rataan diameter dan tinggi tanaman sengon pada 3 perlakuan dan 10 ulangan dalam plot pengamatan pada umur 1 tahun D (cm) 3,11 2,99 3,78 3,61 3,38 4,11 3,69 2,93 3,2 3,7 3,45
Agroforestry Monokultur intensif Konvensional T (m) Hidup (%) D (cm) T (m) Hidup (%) D (cm) T (m) 401 80,40 2,76 299 79,64 1,12 121 354 73,00 3,75 318 81,08 2,12 98 345 79,52 2,98 399 91,04 1,88 176 390 80,04 3,55 389 74,84 1,57 186 321 79,04 3,18 407 80,00 2,2 109 411 78,08 2,94 376 88,48 2,73 192 389 65,20 3,14 382 84,00 1,99 143 394 75,88 3,52 362 79,64 2,3 131 378 77,80 3,3 398 92,00 2,1 134 387 75,01 2,98 344 79,28 1,9 121 377 76,40 3,21 367,4 83,00 1,991 141,1
Hidup (%)
84,40 79,36 79,48 80,04 79,64 75,96 80,28 67,55 80,16 76,84 78,37
Berdasarkan analisis ragam (anova) terhadap pertumbuhan diameter tanaman sengon diperoleh nilai significans < 0,05 (SPSS 16.0) atau Fh=42,11 > Ft=3,35, yang berarti terdapat perbedaan diantara perlakuan yang diberikan pada taraf nyata (95%). Hal yang sama juga terjadi pada pertumbuhan tinggi tanaman sengon dengan nilai significans < 0,05 (SPSS 16.0) atau Fh=167,385 > Ft=3,35, yang berarti terdapat perbedaan diantara perlakuan yang diberikan pada taraf nyata (95%). Uji antar perlakuan (Least significans difference test) terhadap rata-rata data diameter dan tinggi tanaman sengon menunjukkan bahwa sistem agroforestry (t1) dan pola monokultur intensif (t2) memberikan hasil yang sama (tidak berbeda nyata) dan keduanya berbeda (lebih baik) dibanding sistem konvensional (t3). Terdapat korelasi positif antara penambahan diameter dengan tinggi tanaman sengon dan keduanya merupakan parameter penting dalam pertumbuhan pohon (Kozlowski & Stephen, 1997) sekaligus sebagai indikator bahwa tanaman tumbuh secara normal (Barnett & George, 2003).
Gambar 1.
Persemaian sengon di PT Gunung Meranti (a). Tanaman sengon dan padi gunung sistem agroforestry
Sistem agroforestry dan pola monokultur intensif menghasilkan pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) yang sama baiknya dibanding kontrol. Tanaman sengon termasuk fast growing spesies yang memerlukan ketersediaan unsur hara yang cukup untuk mengimbangi kecepatan pertumbuhannya (Atmosuseno, 1999; Dephut, 1990; Prajadinata & Masano, 1994). Meskipun lahan tanam bekas semak belukar dan alang-alang termasuk dalam kriteria lahan kritis atau terdegradasi (PP No.34/2002) dan kesesuaian tempat tumbuh masih menjadi faktor pembatas bagi tanaman sengon (Dephut, 1990) yaitu tanah marginal dengan jenis podsolik merah kuning yang bersifat masam dengan kandungan Fe dan Al cukup tinggi (Siswomartono, 1989; Sutedjo & Kartasapoetra, 1991), namun dengan pemberian pupuk dasar Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
167
4
400
3,5
350
3
300 Tinggi (cm)
Diameter (cm)
berupa dolomit (MgSO4) sebesar 120 kg ha-1 serta pupuk lanjutan dengan komposisi urea: 200 kg ha1 , Super Phosfat-36: 150 kg ha-1 dan KCl: 100 kg ha-1 dapat menghasilkan pertumbuhan tanaman sengon yang baik. Fisher & Binkley (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh pengolahan lahan, kondisi tapak dan kesesuaian tanaman.
2,5 2 1,5
250 200 150
1
100
0,5
50
0
0 1
2 Perlakuan
1
3
a
2 Perlakuan
3
b
Gambar 2.
Perbandingan pertumbuhan diameter (a) dan tinggi (b) tanaman sengon pada 3 perlakuan. Pola konvensional memberi pertumbuhan yang paling rendah dan berbeda pada taraf nyata (sig.<0,05) dengan kedua perlakuan lainnya.
Mean Annual Increment (MAI) diameter dan tinggi tanaman sengon pada sistem agroforestry masing-masing sebesar 3,45 cm/th dan 3,77 m/th yang sama baiknya (tidak berbeda nyata) dengan sistem monokultur intensif sebesar 3,21 cm/th dan 3,67 m/th. Perbedaan yang nyata ditunjukkan pada pola penanaman monokultur konvensional, yang tidak disertai pemupukan lanjutan. Pola ini hanya mempunyai MAI diameter dan tinggi tanaman sengon masing-masing sebesar 1,99 cm/th dan 1,41 m/th yang berbeda nyata dengan kedua sistem yang lain (Tabel 3). Pertumbuhan tanaman sengon pada sistem agroforestry dan pola monokultur intensif dalam penelitian ini juga tidak berbeda dengan riap tanaman sengon yang tumbuh ditempat lain dengan kondisi edapis yang lebih baik. Berdasar studi literatur, MAI diameter dan tinggi tanaman sengon masing-masing sebesar 4,4 cm/th dan 4,83 m/th (Hani’in & Na’iem, 1995), 1,14-2,3 cm/th dan 1,52 – 2,36 m/th di Semaras (Suhardi, 1995) dan 2,53 - 3,5 cm/th dan 2,15 - 3,73 m/th di PT ITCI, Kaltim (Sutisna & Ruchaemi, 1995). Dengan demikian, sistem agroforestry dapat menjadi alternatif yang utama dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya di lahan marginal yang tersebar di Kalimantan serta daerah lain di Indonesia. B.
Sistem Agroforestry Pada plot agroforestry (t1) didapatkan hasil panen padi rata-rata sebesar 2,98 kg/0,1 ha atau 2,98 ton ha-1. Hasil panen padi ini masih lebih besar dibanding hasil panen padi dari masyarakat lokal dengan sistem perladangan berpindah yang kurang ramah lingkungan (Day et al., 1991), yang besarnya berkisar antara 1,7 – 2,5 ton ha-1. Menurut Noor (1996) panen padi gunung pada lahan marginal di Kalimantan berkisar antara 1,3 – 3,6 ton ha-1, di Sumatera 2,0-3,5 ton ha-1 dan di Sulawesi 2,3-4,4 ton ha-1.
168
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 3.
Sistem agroforesry tanaman sengon dan padi gunung di PT Gunung Meranti
Pola agroforestry disinyalir menimbulkan lebih tinggi unsur persaingan yang berdampak negatif pada efektifitas penyerapan air dan unsur hara dalam tanah (De Foresta et al., 2000; Lahjie, 2004). Tajuk tanaman sengon yang semakin membesar menyebabkan intensitas sinar yang diteruskan ke bawah menjadi berkurang (Manan, 1994) sehingga dapat mengurangi kuantitas dan kualitas fotosintesis tanaman padi yang berpengaruh pada produktifitasnya secara keseluruha (Gardner et al., 1991; Salisbury & Cleon, 1995). Namun demikian, perakaran tanaman sengon (Leguminoceae) yang mampu bersimbiosi dengan Rhizobium membentuk bintil akar dapat mengikat Nitrogen bebas dari udara (Fisher, R., dan Dan Binkley, 2000) diperkirakan turut berperan dalam menjaga ketersediaan unsur hara, utamanya unsur N dalam tanah. Berdasarkan hasil penelitian, sistem agroforestry memberikan pertumbuhan tanaman sengon dengan hasil terbaik seperti yang dicapai pada pola monokultur intensif. Dengan demikian, ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan budaya, sistem agroforestry lebih unggul dibanding pola monokultur intensif karena mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, menciptakan kerjasama dan kebersamaan antara perusahaan dan masyarakat lokal sehingga tumbuh rasa saling menjaga dan memiliki. Pendapat senada diungkapkan pula oleh Salisbury & Cleon (1995). Menurut Deptan (2008), sistem agroforestry juga mempunyai kelebihan dalam rangka meningkatkan persepsi positif masyarakat terhadap pembangunan hutan tanaman dan sistem agroforestry pada umumnya. Luas lahan tanam sistem agroforestry rata-rata 1,2 ha per KK sehingga hasil padi yang diperoleh berkisar 2,98 - 3,58 ton atau setara dengan 3-3,5 juta rupiah bersih setiap panen, setelah dipotong biaya produksi. Namun demikian nilai instrinsik tanaman padi pada masyarakat lokal (di sekitar hutan) jauh lebih tinggi dibanding sekedar perhitungan finansial secara umum. Masyarakat lokal sudah merasa puas apabila kebutuhan pangan telah tercukupi, karena pada umumnya kebutuhan mereka tidak sekomplek masyarakat di kota. Manfaat lain yang diperoleh pada sistem agroforestry adalah pengamanan terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan. Banyak studi menyatakan bahwa sebagian besar penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah faktor kesengajaan manusia (Sagala, 1988; Suyatno et al., 2004; Wibowo, 2003). Tradisi masyarakat lokal, di sekitar hutan, adalah membuka lahan tanam dengan cara pembakaran (Suyatno et al., 2004). Cara ini dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di sekitarnya yang lebih luas lagi, terlebih lagi apabila lahan yang digunakan berdekatan dengan timbunan bahan bakar, seperti padang alang-alang atau semak belukar (Suratmo et al., 2003). Sistem agroforestry dapat menekan angka kebakaran hutan dan lahan karena masyarakat lokal, sebagai pelaku pembakaran, akan turut menjaga lahan dan tanamannya. Sistem agroforestry juga dipercaya mampu menekan angka kerusakan hutan, karena masyarakat lokal yang semula membuka hutan untuk perladangan mulai dialihkan pada kegiatan penanaman yang lebih produktif dengan pola intensifikasi. Keterlibatan masyarakat lokal pada kegiatan usaha yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam dalam berbagai bentuk merupakan bagian dari konsep corporate social responsibilty (CSR) yang merupakan amanat dari UU. Dengan konsep ini masyarakat lokal tidak lagi menjadi tamu di kampungnya sendiri, melainkan turut Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
169
aktif dalam merencanakan, mengelola dan memanfaatan sumber daya alam dengan prinsip kelestarian. Hal ini sejalan dengan program pemberdayaan dan penghargaan masyarakat di daerah hulu sungai dalam berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan (Rupes, 2004). Kendala penerapan sistem agroforestry pada skala luas adalah aksesibilitas lahan dan kontinyuitas kegiatan. Pada umumnya masyarakat hanya terlibat kegiatan agroforestry pada lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggalnya. Masyarakat juga tidak dapat menggunakan lokasi yang sama setelah beberapa kali periode tanam sehingga mereka harus mencari lahan garapan baru. Padahal manajemen yang baik dalam pengelolaan sistem agroforestry dapat menciptakan kontinyuitas kegiatan tersebut, misalnya dengan berganti komoditi yang disesuikan dengan perkembangan penutupan tajuk pohon.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Sistem agroforestry dan sistem monokultur intensif yang diterapkan pada pembangunan hutan tanaman memberikan pertumbuhan tanaman pokok (sengon) yang lebih baik dibanding sistem monokultur konvensional. MAI diameter tanaman sengon pada sistem agroforestry, monokultur intensif dan monokultur konvensional masing-masing sebesar 3,45 cm/th; 3,21 cm/th dan 1,99 cm/th. Sistem agroforestry menjadi pilihan terbaik dalam pembangunan hutan tanaman karena disamping memberi hasil pertumbuhan tanaman sengon yang baik (tidak berbeda nyata dengan pola monokultur intensif), sistem ini juga memberi hasil padi sebesar 2,98 ton/ha serta mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatkan masyarakat lokal, menumbuhkan rasa saling memiliki terhadap akses sumber daya alam, menciptakan persepsi positif terhadap pembangunan tanaman dan agroforestry, menjaga keamanan hutan dan mengurangi laju degradasi hutan. B.
Saran Sistem agroforestry sebaiknya dikembangkan pada pola pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan yang berbasis pertanian agar tercipta iklim usaha yang kondusif dan bersinergi dengan kesejahteraan masyarakat, meminimalkan konflik dan mengurangi degradasi hutan. DAFTAR PUSTAKA Atmosuseno, B.S. 1999. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Tanaman Sengon. Penebar Swadaya, Jakarta. Barnett, J.R. dan George Jeronimidi, 2003. Publishing CRC Press.
Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell
Dephut, 1990. Peta Kesesuaian Agroklimat Pengembangan Hutan Tanaman Industri Sengon (Albizia falcataria) di Pulau Jawa. Kerjasama Perhimpi dengan BalitbangHut, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Dephut, 1996. Penjelasan tentang participatory rural appraisal (PRA). Pusat Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Dephutbun, 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Dephutbun, Jakarta. Dephutbun, 2000. Manajemen Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. De Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon, W.A. Djatmiko, 2000. Agroforest Khas Indonesia. ICRAF Southeast Asia. SMT Grafika Desa Putera, Jakarta. 170
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Deptan, 2003. Petunjuk Tenis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balitbang Pertanian, Bogor. Dephut, 2007. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Latar Belakang, Fakta dan Kebijakan.
Deptan, 2008. Revitalisasi Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Bangsa. Departemen Pertanian RI, Jakarta. Fisher, R.F., Dan Binkley, 2000. Ecology and Management of Forest Soil. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Gardner, F.P., R. Brent P., Roger L.M., 1985. Physiology of Crop Plant. The Iowa State University Press. Haygreen, J.G., and Jim L.B., 1982. Forest Product and Wood Science. The Iowa State University Press. Hani’in, O. dan Na’iem, M. 1995. Permasalahan Pembangunan dan Riap HTI. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. Kosasih, A.S., Rina B., Budi R., 2006. Silvikultur Hutan Tanaman Campuran. Puslitbang Hutan Tanaman, Balitbanghut, Bogor. Lahjie, A.M., 2004. Teknik Agroforestry. Universitas Mulawarman, Samarinda. Manan, S. 1994. Mengapa HTI Campuran. Makalah Diskusi Panel Landscaping. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. Manan, S. 1995. Riap dan Masa Bera di Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. Mckinnon, K., G.Hatta, Hakimah H., Arthur M., 2000. Ekologi Kalimantan. Canadian International Development Agency. Prenhallindo, Jakarta. Noor, M., 1996. Padi pada Lahan Marginal. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Prajadinata, S. dan Masano, 1994. Teknik Penanaman Sengon (Albizia falcataria L.Fosberg). Balitbanghut, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Rupes News Letter, 2004. Volume 2, Issue 1, June 2004. Sagala, A.P.S., 1988. Banjarbaru.
Pengendalian Api pada Reboisasi di Lahan Alang-alang di Tapin.
BTR
Singh, P., P.S. Pathak, M.M.Roy, 1995. Agroforestry Sistem for Sustainable Land Use. Science Publishers, Inc. Siswomartono, D., 1989. Ensiklopedi Konservasi Sumber Daya. Penerbit Erlangga, Jakarta Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Terbentuknya Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Santoso, H.B., 1991. Budidaya Sengon. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Suratmo, F.G., E.A. Husaeni, N. Surati J., 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Suyatno, et.al. 2004. Kebakaran Hutan, Masalah dan Solusinya. Center for International Forest Research (CIFOR) Sabarnurdin, S., 2008. Agroforestry. Strategi Penggunaan Lahan Multi Fungsi, Fleksibel Terhadap Perubahan Tuntutan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Agroforestry Fahutan UGM, Yogyakarta. Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Puslitbanghut dan Konservasi Alam, Bogor. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
171
PERTUMBUHAN BIBIT GANITRI (Elaeocarpus ganitrus) UMUR 4 BULAN PADA BEBERAPA MACAM MEDIA DAN NAUNGAN Rina Kurniaty1, Ratna Uli Damayanti1 ,dan Tati Rostiwati2
1
2
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan E-mail:
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) is one kind of wood plants that used as non timber forest products (HHBK). The appropriate nursery techniques of this plant is not widely known, therefore these activities were done to get an information about the right use of media and shade for ganitri seedling. The research using a Completely Randomized Design with Factorial. The first factor was media (soil,organic compost, rice husk charcoal and mix of the three media). The second factor was the shade (0% (no shade), 25%,50% and 75%). The treatment is repeated as many as 10 times, each repetition consists of 5 seeds. The result showed that the mixture of soil media+ organic compost ( 3:1, v:v) without shade (0%) at 4 months ganitri’s seedling gave the best result which diameter 4,14mm, high 28,7cm with survival percentage 94%, dry weight 3,41g, TR ratio 1,63 and IMB 0,42. Keywords: sapling, media, shade, ganitri
I. PENDAHULUAN Sumberdaya hutan (SDH) mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu (HHK), melainkan juga manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), karbon dan ekowisata. Produk-produk yang dihasilkan dari jenis tanaman HHBK dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya untuk pangan (Food), energi (Energy) dan obat-obatan termasuk kosmetika (Medicine). Salah satu jenis HHBK yang potensial adalah ganitri ( Elaeocarpus ganitrus). Pengelolaan HHBK yang tepat merupakan suatu sistem perencanaan hutan yang memberikan arahan untuk kegiatan pemanfaatan/pemungutan, rehabilitasi dan konservasi. Keberhasilan pengelolaan tersebut, diantaranya ditentukan oleh kualitas bibit tanaman, karena bibit yang berkualitas akan menghasilkan tegakan dengan tingkat produktifitas tinggi. Untuk menghasilkan bibit yang berkualitas diantaranya diperlukan media yang kaya dengan bahan organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman (Durahim, 2001). Media merupakan tempat tumbuh tanaman selama di persemaian. Media tumbuh di persemaian menjadi penting karena merupakan tempat tanaman menyerap unsur hara selama tanaman belum mencapai usia yang siap untuk di tanam di lapangan (Kurniaty dkk., 2006). Kurniaty dkk. (2006) menunjukkan bahwa media tanah + arang sekam padi (1:1) dengan naungan 75% cocok digunakan untuk pembibitan Mindi (Melia azedarach), sedangkan media tanah + sabut kelapa (coco peat) + arang sekam padi (1:1:1) dengan naungan 40% cocok untuk pembibitan suren (Toona sinensis). Naungan merupakan suatu upaya manipulasi terhadap masuknya sinar matahari yang diterima oleh tanaman. Untuk beberapa jenis tanaman hutan naungan diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan. Dalam rangka memperoleh informasi penggunaan beberapa macam media dengan naungan yang berbeda maka dilakukan penelitian tentang teknik pembibitan pada jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus). 172
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui jenis media dan intensitas naungan yang tepat untuk menghasilkan produksi bibit maksimal dan berkualitas dari ganitri . II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan anakan ganitri dilakukan di kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, dan pembibitan dilakukan di Stasiun Penelitian Nagrak, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Penelitian dilakukan selama 4 bulan dari bulan September sampai dengan Desember 2010. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan adalah anakan ganitri dengan tinggi 15-20 cm sebanyak 2000 anakan; media yang terdiri dari tanah, arang sekam padi, kompos organik dan campuran nya; polybag ukuran 12x15 cm; rak pembibitan; shading net dengan kerapatan yang berbeda (0%, 25%, 50% dan 75%); alat ukur tinggi bibit; kaliper; timbangan analitik; oven dan alat tulis. C. Metode Penelitian Persiapan anakan, - Pengumpulan anakan secara cabutan dilakukan pada jenis ganitri berupa anakan yang tersebar di bawah tegakan ganitri. Anakan yang terkumpul akarnya diberi kokopit yang sudah dibasahi kemudian dibungkus dengan menggunakan kertas merang. Setelah itu dimasukkan ke dalam kantung plastik. Sesampainya di persemaian anakan tersebut disimpan di tempat yang teduh dan lembab. Penyapihan, - Sebelum disapih, anakan ganitri dipotong daunnya dan sisakan sepertiga bagian. Penyapihan dilakukan pada beberapa macam media yang berbeda yaitu : M0 : Tanah, M1 : Kompos organik, M2 : Tanah + Kompos organik 3 :1 (v:v), M3 : Tanah + Arang sekam padi 3 : 1 (v:v), M4 : Tanah + Kompos organik + Arang sekam padi 3 : 1 : 1 (v:v:v). Anakan ganitri yang telah disapih dalam berbagai media tersebut diletakkan dalam bedengan dengan kerapatan naungan yang berbeda, yaitu : N0 : Naungan 0% (tanpa naungan), N1 : Naungan 25%, N2 : Naungan 50%, N3 : Naungan 75 %. Pengamatan, - Pengamatan dilakukan pada bibit umur 4 bulan setelah penyapihan, dengan parameter yang diamati adalah : Tinggi, diameter dan persen hidup bibit, berat kering akar dan batang, TR Ratio, indeks mutu bibit (IMB). Penghitungan Indeks Mutu Bibit dilakukan dengan menggunakan cara Dickson (1960) dalam Hendromono (1994) dengan rumus : Bobot Kering Batang (g) + Bobot kering akar (g) Indeks Mutu = Tinggi (cm) + Bobot Kering Batang (g) Diameter (mm) Bobot Kering Akar (g) D. Rancangan Penelitian Hasil pengukuran setiap parameter untuk masing-masing perlakuan dianalisa dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial 5X4X10 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 5 bibit. Yij = µ + άi + βj + (άβ) ij + εijk Dimana : Yijk άi βj (άβ) ij εij
= = = = =
Pengamatan pada media ke-i, naungan ke-j ulangan ke k Pengaruh media ke-i Pengaruh naungan ke-j Interaksi pengaruh media ke i dan naungan ke j Pengaruh galat percobaan pada media ke-i dan naungan ke-j
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
173
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil analisis keragaman (analysis of variance) pengaruh media dan naungan terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, persen hidup, berat kering, TR ratio dan indeks mutu bibit ganitri umur 4 bulan dapat dilihat bahwa kombinasi media dan naungan berpengaruh nyata pada taraf 5 % terhadap tinggi dan diameter dan berpengaruh tidak nyata pada persen hidup, berat kering, TR ratio dan IMB. Masing-masing sumber keragaman yang berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati kemudian dilakukan uji lanjut Duncan (Duncan multiple range test). Nilai rata-rata tinggi, diameter persen hidup, berat kering, TR ratio, dan indeks mutu bibit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Rata-Rata Tinggi, Diameter, Persen Hidup, Berat Kering, TR Ratio dan IMB Bibit Ganitri Umur 4 Perlakuan
Parameter Tinggi (cm)
Diameter (mm)
Persen hidup (%)
Berat kering
TR. Ratio
IMB
M0N0
28.7 a
3.65 bc
98tn
2.41tn
7.65tn
0.19tn
M1N0
26.3 bc
3.56 bcd
88tn
2.74tn
2.01tn
0.26tn
M2N0
28.7 a
4.14 a
94tn
3.41tn
1.63tn
0.42tn
M3N0
25.3 cde
3.48bcde
86tn
3.06tn
1.27tn
0.45tn
M4N0
25.9 bcde
3.75 ab
78tn
3.69tn
1.81tn
0.39tn
M0N1
27.8 ab
3.18 cdefgh
96tn
2.48tn
1.84tn
0.28tn
M1N1
25.1 cde
2.93 fgh
98tn
1.79tn
1.94tn
0.17tn
M2N1
26.0bcd
3.24cdefgh
100tn
2.09tn
1.85tn
0.21tn
M3N1
25.3cde
3.07 efgh
100tn
1.83tn
1.55tn
0.19tn
M4N1
22.5 f
2.73 h
88tn
1.84tn
1.74tn
0.17tn
M0N2
27.1abc
2.96 fgh
96tn
1.94tn
1.46tn
0.19tn
M1N2
23.7ef
2.76 gh
100tn
3.03tn
0.97tn
0.30tn
M2N2
27.3abc
3.34 bcdef
98tn
1.66tn
1.56tn
0.18tn
M3N2
24.0 def
2.89 fgh
98tn
1.62tn
2.09tn
0.17tn
M4N2
25.4 cde
3.16 cdefgh
96tn
2.22tn
1.37tn
0.22tn
M0N3
26.9 abc
3.06 efgh
92tn
2.06tn
2.63tn
0.16tn
M1N3
25.0 cde
3.52 bcde
86tn
2.56tn
1.29tn
0.28tn
M2N3
28.9a
3.22 cdefgh
100tn
2.37tn
1.57tn
0.26tn
M3N3
25.2 cde
3.59 bcd
98tn
2.21tn
1.76tn
0.24tn
M4N3
26.7 abc
3.14 defgh
92tn
2.84tn
1.36tn
0.31tn
Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %; - tn : perlakuan tidak berpengaruh nyata; - M0 : Tanah; M1 : Kompos organic; M2 : Tanah + Kompos organik 3 :1 (v:v); M3 : Tanah + Arang sekam padi 3 : 1 (v:v); M4 :Tanah + Kompos organik + Arang sekam padi 3 : 1 : 1 (v:v:v); - N0 : Naungan 0% (tanpa naungan); N1 : Naungan 25%; N2 : Naungan 50%; N3 : Naungan 75%.
B. Pembahasan Dari uji beda yang dilakukan (Tabel 1) dapat dilihat bahwa perlakuan M2N0 memberikan hasil tinggi dan diameter yang berbeda dengan perlakuan lainnya yaitu 28,7 cm dan 4,14 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa media tanah+kompos organik 3:1 (v:v) dengan naungan 0 % merupakan media dan naungan yang cocok dalam pertumbuhan bibit ganitri asal cabutan umur 4 bulan.
174
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Dari analisa media yang dilakukan, media M2 memiliki pH 5,2 (masam), C rendah (1,88 %), N sedang (0,22 %) dan C/N rendah (8,5), P dan K rendah yaitu 0,12 mg/100g dan 0.69 mg/100g. Unsur Nitrogen (N) dan Phospor (P) merupakan unsur hara makro yang diperlukan tanaman dalam jumlah banyak. Unsur N dapat memacu pertumbuhan tanaman secara umum terutama pada fase vegetatif, pembentukan klorofil, asam amino, lemak, enzim dan persenyawaan lainnya, merangsang perkembangbiakan mikroorganisme. Walaupun unsur hara yang terkandung dalam media M2 rendah namun nilai C/N nya juga rendah sehingga hara yang terkandung didalamnya mudah diserap oleh tanaman karena media sudah matang. Seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Berat Kering yang dihasilkan M2N0 adalah 3,41 g, lebih besar dari perlakuan lainnya kecuali M4N0. Berat Kering yang tinggi menunjukkan bahwa bibit mampu menyerap unsur posphor yang terkandung dalam media. Berat kering suatu bibit menjadi indikator baik tidak nya bibit, karena BK mencerminkan status nutrisi tanaman (Prawiranata dkk., 1995). Naungan 0% (tanpa naungan) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit ganitri umur 4 bulan (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pertumbuhannya, ganitri sangat memerlukan cahaya, sehingga ketika mendapatkan cahaya yang cukup untuk aktifitas fisiologisnya tanaman cenderung melakukan pertumbuhan ke samping (pertumbuhan diameter). Hal ini sesuai dengan pendapat Marjenah (2001), bahwa pada intensitas cahaya yang cukup tanaman cenderung memacu pertumbuhan diameternya sehingga tanaman yang tumbuh pada tempat terbuka mempunyai tendensi untuk menjadi pendek dan kekar. Dalam kaitannya dengan nilai TR Ratio, Duryea & Brown, (1984) dan Setyaningsih dkk. (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan dan kemampuan hidup bibit terbaik umumnya terjadi pada TR ratio yang seimbang yaitu antara 1 dan 3. Dalam penelitian ini semua perlakuan memberikan nilai yang seimbang yaitu antara 1,27-2,63 kecuali M0N0 (7,65) dan M1N2 (0,97). Demikian juga perlakuan M2N0 memberikan nilai TR ratio yang seimbang yaitu 1,63. Seperti yang dikemukakan oleh Setyaningsih dkk. (2000), bahwa nilai TR ratio yang seimbang dibutuhkan bibit agar penyerapan air dan hara oleh akar ditranslokasikan ke pucuk seimbang dengan luasan fotosintesis yang cukup untuk melakukan transpirasi dan menghasilkan karbohidrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan akar. Indeks Mutu Bibit merupakan salah satu indikator siap tidak nya bibit dipindah ke lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa bibit yang memiliki nilai IMB minimal 0.09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila dipindah ke lapangan. Dalam penelitian ini, nilai IMB tidak berbeda nyata antara satu perlakuan dengan yang lainnya namun perlakuan M2N0 memiliki nilai IMB tertinggi yaitu 0,42 dibanding perlakuan lainnya kecuali M3N0. Hasil ini menunjukkan bahwa bibit ganitri umur 4 bulan asal cabutan sudah siap dipindah ke lapangan. IV.
KESIMPULAN
Media tanah + kompos organik 3:1 (v:v) tanpa naungan (0%) pada bibit ganitri asal cabutan umur 4 bulan memberikan hasil terbaik pada diameter 4,14 mm, tinggi 28,7 cm dengan persen hidup 94 %, Berat kering 3,41 g, TR ratio 1,63 dan IMB 0,42. DAFTAR PUSTAKA Durahim dan Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Mikoriza Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan no.628.Hal.13-26. Duryea, M. L dan G. N. Brown. 1984. Seedling Physiology and Reforestation Success. Prociding of The Physiology Working Group Technical Session. DR. W. Juck Publisher. Boston. Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca.C.DC). Buletin Penelitian Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
175
Kurniaty, R. Budi Budiman dan Made Suartana. 2006. Teknik Pembibitan Tanaman Hutan Secara Generatif. Laporan Hasil Penelitian (LHP). Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. Marjenah. 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan Di Persemaian Terhadap Pertumbuhan Dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan “Rimba Kalimantan” Vol.6 No.2.Unmul Samarinda. Prawirawinata, W. Harran. S. Tjondronegoro, P. 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan Jilid II. Departemen Botani. Fakultas MIPA IPB. Bogor. Sarief, E.S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana Bandung. Setyaningsih, L., Y. Munawar dan M. Turjaman. 2000. Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbusula dan pupuk NPK terhadap pertumbuahan Bitti. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor.
176
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Lampiran 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Media Sifat Tanah M0 Ekstrak 1:2,5 PH 4.6 H2O 4.2 KCL Bahan Organik (%) 2.46 C 0.04 N 61.5 C/N Ekstrak HCL 25% (mg per 100 gr) 0.05 P2O5 0.08 K2O
Media M1
M2
M3
M4
8.6 8.3
5.2 5.1
4.6 4.1
6.2 5.9
26.57 1.48 18.0
1.88 0.22 8.5
2.13 0.11 19.4
5.10 0.28 18.2
0.69 2.37
0.12 0.69
0.10 0.13
0.16 0.87
Keterangan: M0 : Tanah M1 : Kompos organik M2 : Tanah + Kompos organik 3 :1 (v:v) M3 : Tanah + Arang sekam padi 3 : 1 (v:v) M4 : Tanah + Kompos organik + Arang sekam padi 3 : 1 : 1 (v:v:v)
Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Sangat Sifat tanah Rendah rendah C (%) <1,00 1,00 -2,00 N (%) <0,10 0,10-0,20 C/N <5 5-10 P2O5 HCl 25% <10 10-20 (mg/100g) K2O HCl 25% <10 10-20 (mg/100g) Sangat masam masam pH H2O <4,5 4,5-5,5
2,01-3,00 0,21- 0,50 11-15
3,01 – 5,00 0,51-0,75 16-25
Sangat Tinggi >5,0 >0,75 >25
21-40
41-60
>60
21-40
41-60
>60
Agak masam
netral
Agak alkalis
5,6-6,5
6,6-7,5
7,6-8,5
Sedang
Tinggi
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
177
PERTUMBUHAN MANGROVE PADA TAMBAK SILVOFISHERY DI DESA BIPOLO KECAMATAN SULAMU KABUPATEN KUPANG M. Hidayatullah Balai Penelitian Kehutanan Kupang E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Conversion of mangrove into embankment business units continued to increase in recent years. On the one hand these activities can increase incomes through aquaculture activities, meanwhile on the other hand this conversion contribute to the degradation of mangrove ecosystem . Embankment with silvofishery pattern is expected to bridge these two interests. This paper aims to provide information about the growth of Rhizophora mucronata Lmk. on silvofishery embankment owned by local people in the Bipolo village, Sulamu subdistrict, Kupang District. The study was conducted by measuring the growth of mangrove periodically in order to describe the dynamics of growth in each plot. Parameters measured were stem diameter, height and number of roots. The measurement results showed that plot C which has trench pattern and can be reached by tidal water showed better average growth and weight of fish when compared to plots A and B with the same pattern but the location of the pond only can be reached by the highest tide. Average plant growth 3 years for each parameter in a row of stem diameter, height and number of roots is, plot A: 16.70 mm, 109.43 cm and 5.31 strands, plot B: 16.55 mm, 113.13 cm and 5.76 while the plot strands C: 17.77 mm, 117.88 cm and 5.92 strands. While the average weight of fish on each plot (A,B,C and D) after the maintenance for 7 months are : 145.36 g, 147.14 g and 170.47 g. The choice of plants and the right location is very crucial in silvofishery. Keywords : Mangrove, embankment, silvofishery, Rhizphora mucronata
I. PENDAHULUAN Menurut Santoso, (2000) hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%. Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki manfaat sebagai penyedia berbagai kebutuhan hidup manusia, fungsi sosial, ekonomi dan ekologi mangrove mendukung dalam proses pembangunan berkelanjutan. Beberapa fungsi dan manfaat hutan mangrove diantaranya adalah sebagai pelindung garis pantai, tempat berpijah aneka biota laut, sebagai pengatur iklim mikro, penghasil keperluan rumah tangga dan industri, penghasil bibit ikan, sebagai bahan baku obat-obatan, pariwisata, penelitian dan pendidikan serta manfaat-manfaat yang lainnya. Namun demikian kondisi hutan mangrove dengan beragam manfaat tersebut dalam beberapa tahun terakhir semakin menurun, kondisi yang sama juga terjadi pada hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemanfaatan kawasan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian dan keseimbangan lingkungan, masih rendahnya pemahaman masyarakat akan fungsi dan manfaat mangrove menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Luas hutan mangrove di NTT mencapai 40.614.11 ha (BPHM Wilayah I Bali, 2011), sebagian besar dari jumlah tersebut mengalami tekanan yang besar sehingga terlihat pada beberapa lokasi kualitas ekosistem mangrove semakin menurun. Dalam beberapa tahun terakhir kerusakan ekosistem hutan mangrove di NTT diduga semakin tinggi, sementara kegiatan penanaman dan
178
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
rehabilitasi mangrove sangat terbatas sehingga belum mampu mengimbangi laju kerusakan hutan mangrove. Selain memberi dampak positif melalui peningkatan taraf hidup dan kesempatan kerja bagi masyarakat, pemanfaatan wilayah pesisir juga memberi dampak negatif karena pemanfaatan yang kurang terkendali. Konversi lahan untuk kegiatan budidaya perikanan tambak merupakan salah satu kegiatan yang turut mendorong penurunan kualitas ekosistem mangrove, pembuatan unit-unit tambak semakin gencar dilakukan karena aktifitas tersebut dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat (Hidayatullah, M. dkk, 2011). Melihat kondisi diatas, maka kegiatan rehabilitasi dan penyelamatan hutan mangrove perlu segera dilakukan untuk memperbaiki fungsi dan manfaatnya. Kegiatan rehabilitasi atau penanaman pada kawasan pesisir mendesak untuk dilakukan mengingat banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan tanaman mangrove. Konsep silvofishery yang memadukan antara usaha tambak dengan penanaman mangrove diharapkan dapat menjembatani dua kepentingan tersebut, sehingga kegiatan budidaya perikanan tambak tidak mengorbankan kelestarian ekosistem mangrove. Aspek keuntungan yang diperoleh dari sistem silvofishery dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan dan energi (aspek ekonomi) serta menjaga kestabilan ekosistem mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi) (Wibowo dan Handayani, 2006). Pola ini dipandang sebagai pendekatan teknis, karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus perbaikan lingkungan. Masyarakat di desa Bipolo kecamatan Sulamu kabupaten Kupang mulai mengembangkan sistem ini pada awal tahun 2009 dengan keterbatasan pemahaman yang dimiliki, menggunakan jenis Rhizophora mucronata. Masyarakat meyakini bahwa tambak silvofishery tersebut dapat memperbaiki kualitas ekologi mikro tambak, sekaligus mampu meningkatkan produksi serta memperpanjang masa produksi tambak. Penanaman dilakukan dengan sistem empang parit dengan jarak tanam yang berbeda tanpa adanya pembutaan guludan sebagai area penanaman. Tulisan ini bertujuan untuk (a). mendapatkan data tentang pertumbuhan mangrove pada tambak silvofishery, (b). mendapatkan data tentang produktifitas tambak pada masing-masing plot silvofishery. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada tambak silvofishery milik masyarakat di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang NTT. Pada tahun 2011. B. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah plot silvofishery tahun 2009. Jenis tanamannya adalah Rhizophora mucronata Lmk sedangkan ikan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah jenis bandeng (Chanos chanos). Peralatan penelitian adalah timbangan digital, tali tambang, caliper digital, meteran, kamera untuk mendokumentasikan kegiatan dan obyek penelitian, buku lapangan serta alat tulis menulis. C. Metode Penelitian Kegiatan yang dilakukan meliputi : 1. Pengukuran pertumbuhan mangrove pada tambak silvofishery yang merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan tanaman pada setiap periode pengamatan. Parameter yang diamati adalah diameter, tinggi tanaman serta jumlah akar. Data dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung penambahan setiap parameter pengamatan, selanjutnya dibahas secara deskriptif untuk melihat dinamika tegakan pada masing-masing plot silvofishery
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
179
2. Produktifitas silvofishery yang dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung perbedaan pertumbuhan ikan pada masing-masing plot setiap periode pengamatan. Selanjutnya datadata tersebut dibahas secara deskriptif untuk melihat pengaruh masing-masing plot terhadap produktifitas tambak III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Desa Bipolo merupakan salah satu dari 6 (enam) desa/kelurahan di kecamatan Sulamu, seluruh wilayah kecamatan ini adalah daerah pesisir dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani tambak. Luas desa Bipolo mencapai 41,47 km2 atau 15,35% dari seluruh wilayah kecamatan Sulamu. Curah hujan sebesar 11.000 mm/thn, suhu rata-rata harian berkisar antara 250C sampai 32,20C, perbandingan jumlah bulan basah dan bulan kering sama yaitu 6 bulan setiap tahunnya (BPS Kab. Kupang, 2007). Keadaan umum sumberdaya lahan di desa Bipolo terdiri dari beberapa formasi lahan meliputi dataran alluvial, lembah alluvial, perbukitan, teras, rawa, pegunungan dan pantai. Jenis tanah dicirikan dengan warna tanah abu-abu sampai hitam, tekstur tanah lempungan dan didominasi oleh jenis tanah alluvial. Sebagian masyarakat melakukan aktifitas pada dataran alluvial, seperti untuk usaha budidaya pertanian lahan basah dan lahan kering. Sementara itu, pada lahan rawa banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk usaha budidaya perikanan tambak. Masyarakat di desa Bipolo banyak yang membuka hutan mangrove menjadi unit-unit usaha tambak bandeng dan nila. B. Pertumbuhan Mangrove Penanaman mangrove dari jenis Rhizophora mucronata pada unit-unit tambak di Bipolo dilakukan pada tahun 2009 dengan model empang parit, penanaman dilakukan dengan membuat jalur-jalur dengan jarak tanam yang berbeda. Plot C memperlihatkan rata-rata pertumbuhan yang lebih baik pada setiap parameternya bila dibandingkan dengan plot A dan B. Pada plot A dan B terdapat indikasi serangan hama ulat kantong yang menyerang pucuk daun, kemudian menyebar kesemua daun dan batang sehingga pertumbuhan tanaman terganggu. Pada beberapa tanaman, serangan hama ulat kantong ini menyebabkan kematian pada tanaman mangrove, namun demikian penanggulangannya masih dilakukan secara manual, dengan membersihkan daun yang terserang. Saat ini petani masih mencari jenis pestisida yang tepat untuk menganggulangi serangan tersebut yang tidak mengganggu perkembangan ikan di dalam tambak. Pengambilan data dilakukan secara rutin setiap 3-4 bulan untuk mendapatkan data pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan mangrove pada masing-masing plot setiap periode pengukuran terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan mangrove pada plot silvofishery Jarak Jumlah Plot Tanam (m) Pohon
Tinggi rata-rata (cm) Mei 2011
Agust 2011
Des 2011
Diameter rata-rata (mm) Mei Agust Des 2011 2011 2011
Jumlah akar rata-rata Mei 2011
Agust 2011
Des 2011
A
2x2
336
92.71
97.32
109.43 11.31
12.79
16.7
3.09
3.68
5.31
B C
2x1 3x2
133 1220
89.62 93.83
97.05 102.38
113.13 11.86 117.88 12.06
13.59 14.27
16.55 17.77
3.32 3.51
4.31 4.34
5.76 5.92
Jarak antara garis pantai dengan lokasi tambak berkisar antara 0,9 – 1,2 km, lokasi plot C merupakan yang terdekat dengan garis pantai dan terpisah dari plot A dan B. Lokasi plot yang jauh dari garis pantai menyebabkan tidak dapat dijangkau secara maksimal oleh air pasang, sehingga untuk kebutuhan tambak juga menggunakan air dari sumur bor, plot-plot ini hanya dapat dijangkau oleh air pasang ketika terjadinya pasang tertinggi. Lokasi plot C yang relatif lebih dekat dengan garis 180
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
pantai menyebabkan kuantitas air yang masuk kedalam tambak lebih besar dibandingkan dengan dua plot yang lain, sehingga proses keluar masuknya serasah dan mineral yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman pada plot C lebih baik dibandingkan dengan plot A dan B. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab mengapa pertumbuhan tanaman di dalam plot C lebih bagus, selain disebabkan adanya indikasi serangan hama ulat kantong pada plot A dan B. Kondisi air tambak yang selalu tergenang menyebabkan proses sirkulasi air menjadi terganggu, sehingga proses keluar masuknya serasah dan mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman agak terhambat. Arief (2003), mengatakan bahwa Rhizophora merupakan jenis yang masuk dalam zona proksimal yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Terletak di belakang zona Avicennia dan Sonneratia dengan kadar garam yang lebih rendah dari jenis Avicennia dan Sonneratia dan perakaran tanaman terendam hanya selama air pasang berlangsung. Idealnya untuk mendukung pertumbuhan tanaman, bisa dibuat guludan sebagai area penanaman khusus di dalam tambak. Guludan tersebut dikondisikan agar tanaman tidak selalu tergenang, tanaman hanya akan terendam pada saat volume air banyak, sedangkan pada saat volume air sedikit tanaman tidak terendam air. Sementara itu untuk current area atau area pemeliharaan ikan, dilakukan pada tempat yang lebih rendah sehingga pada saat volume air sedikitpun tetap dalam keadaan terendam air. Pertumbuhan tanaman pada semua plot terlihat kurang bagus, salah satu penyebab hal tersebut diduga karena jenis tanah di dalam tambak kurang tepat untuk pertumbuhan jenis R. mucronata. Hasil analisis memperlihatkan bahwa komposisi pasir di dalam tambak cukup besar yaitu pada kisaran 27,33 % – 34 % (Lab. Fakultas Pertanian, UNDANA, 2011), karena pada umumnya menurut Noor, dkk (2006), jenis R. mucronata dan Avicennia marina tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama pada daerah endapan lumpur terbentuk. C. Produktifitas Silvofishery Pada bulan Mei 2011 dilakukan pelepasan anakan bandeng dalam bentuk gelondongan pada tiga plot silvofishery sebanyak 27.000 ekor dengan rincian demplot A sebanyak 6.000 ekor, demplot B 6.000 ekor dan demplot C 15.000 ekor. Pengambilan data penambahan berat ikan dilakukan pada 20 ekor contoh yang diambil secara acak pada setiap kali pengamatan. Asumsi yang digunakan dalam pengukuran berat ikan adalah semua ikan bandeng yang ada di dalam tambak mendapat perlakukan yang sama sehingga pertambahan berat badan dianggap terjadi secara merata. Ratarata penambahan berat timbang ikan bandeng terlihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Rata-rata penambahan berat bandeng pada tambak silvofishery No
Plot
1.
Waktu Pengukuran (Berat dalam Gram) Umur 0 bulan
Umur 3 bulan
Umur 7 bulan
A
2
26,6
145,36
2.
B
2
26,3
147,14
3.
C
2
27,05
170,47
Sumber : Data lapangan, 2011 (diolah), * data tahun 2012
Penambahan rata-rata berat ikan bandeng pada demplot C lebih baik diduga karena pertukaran air yang lebih baik sehingga keluar masuknya serasah dan mineral yang bisa membantu pertumbuhan tanaman juga menjadi lebih baik sehingga produksi serasahnya juga lebih baik. Dekomposisi serah ini akan menjadi bahan organik bagi tanaman maupun untuk mendukung pertumbuhan klekap (makanan alami ikan) (Kardi, 2010). Volume air laut yang masuk pada plot C juga lebih banyak sehingga salinitas air lebih baik. Meskipun hasil analisis menunjukkan bahwa ratarata nilai salinitas pada plot silvofishery kurang mendukung baik untuk pertumbuhan R. mucronata (20-30 ‰) (Arief, 2003) maupun untuk perkembangan bandeng. Hasil pengukuran salinitas pada semua plot, nilainya hanya berkisar antara 7 – 7,7 ‰ (Lab BLHD NTT, 2011), padahal menurut Nybakken (1992) untuk bididaya ikan bandeng membutuhkan nilai salinitas berkisar antara 12 – 20 Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
181
‰, nilai yang lebih rendah atau lebih tinggi dari angka tersebut dapat menyebabkan perkembangan ikan menjadi lebih lambat. Pada pengukuran bulan Desember 2011 (umur ikan bandeng 7 bulan) menunjukkan bahwa berat rata-rata ikan berkisar antara 145,35 – 170,36 gr/ekor, artinya bahwa untuk mencapai berat 1 kg dibutuhkan 5, 87 – 6,88 ekor ikan. Berdasarkan wawancara dengan pemilik tambak, pemanenan akan dilakukan ketika berat ikan bandeng telah mencapai kisaran 250 gr – 300 gr per ekor atau 3 – 4 ekor untuk 1 kg bandeng. Pada umumnya waktu yang diperlukan sampai masa panen berkisar antara 5-6 bulan jika yang digunakan sebagai bibit adalah nener dan 4-5 bulan jika yang digunakan dalam bentuk gelondongan dengan kisaran berat 150 – 300 gr/ekor (Raswin, 2003). Pada tabel memperlihatkan bahwa untuk mencapai berat seperti itu setidaknya dibutuhkan waktu selama 10 bulan, baru dapat dipanen. Waktu pemeliharaan yang cukup lama ini diduga karena jumlah pakan yang diberikan kurang maksimal sehingga pertumbuhan ikan juga berlangsung lambat. Beberapa jenis pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan adalah ursal yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan, perbesaran dan pembobotan berat ikan dan lodant untuk meningkatkan fitoplankton sebagai pakan tambahan bandeng. Menurut Raswin (2003), pertumbuhan ikan bandeng pada satu tempat bisa berbeda dengan tempat lain bergantung pada jumlah pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan maupun pengaruh kesuburan tambaknya. Semakin banyak volume pakan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu maka penambahan berat ikan akan berlangsung lebih cepat. IV. KESIMPULAN Pembuatan tambak untuk kegiatan budidaya perikanan, sirkulasi air di dalam tambak sangat perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap perkembangan ikan dan pertumbuhan tanaman. Faktor kualitas air dan tanah menjadi faktor penentu dalam kegiatan budidaya perikanan tambak. DAFTAR PUSTAKA Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. BPS Kabupaten Kupang 2007. Kabupaten Kupang dalam Angka Tahun 2008. BPS Kabupaten Kupang. BPHM Wilayah I, 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali. Dinas Kehutanan Propinsi NTT, 2006. Statistik Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hidayatullah, M, dkk, 2011. Ekologi Silvofishery dan Dinamika Tegakan Mangrove Di Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Tidak dipublikasikan. Kardi, M. Ghufran 2010. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya. Pintar Budidaya Ikan di Tambak secara Intensif. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Noor, Y. R, Khazali, M dan Suryadiputra, I. N. N, 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia. Raswin, M. 2003. Pembesaran Ikan Bandeng. Modul : Pengelolaan Air Tambak. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan Nasional. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional. Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta. Soerianegara, 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Proseding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Wibowo, K dan Handayani, T. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 7. No 3. Pusat Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta. 182
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PETA SEBARAN SURIAN (Toona sinensis) DENGAN SISTEM AGROFORESTRI DI JAWA Agus Astho Pramono dan Danu Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The use of high quality seeds collected from seed source that matches the ecological conditions of the planting site is one of the factors that determine the productivity of agroforestry. Seed zoning that begins with mapping the distribution of population is important in forest development strategy. Maps of population distribution and information of stands condition will assist users in selecting seed sources that appropriate to their planting site. This study was aimed to determine the distribution of population surian (Toona sinensis) in community forests in Java and to determine the potency of suren stands to be developed as a seed source. The activities in this study were: 1) literature study of natural distribution and land suitability of surian; 2) secondary data collection: a map of soil, rainfall, altitude, administration, agro-climatic, and vegetation; 3) field surveys; 4) preparation of surian ecological distribution maps using ArcView software. 5) identify potential seed sources. The most widespread surian populations are found in the western part of Java, especially Tasikmalaya, Garut, West Bandung, Bandung, Sumedang, Subang, Sukabumi, Cianjur, Bogor and Kuningan. Surian population increasingly rare toward the eastern part of Java island. In Central Java suren populations were found in areas of Sumbing slopes, Merapi and Slamet covering Wonosobo, Temanggung, Magelang, Boyolali, Tegal and Purbalingga regency. In East Java, surian population were found in Malang. Surian grown in the highlands average above 500 m asl in various soil types include Regosol, Podsolic, Latosol, and Andosol. Surian stands which potential to be developed as seed sources surian is located in West Java (eg Subang and Sumedang), because in this area there are still many large-diameter natural stands thus might have a wider genetic variation than stands in Central Java and East Java. Keywords: land suitability, seed zone, population distribution, surian, Toona sinensis
I. PENDAHULUAN Setiap lahan memiliki karakteristik yang spesifik dibanding dengan lahan lainnya. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan dengan sistem agroforestri menuntut ketersediaan benih dari jenis-jenis yang memiliki adaptasi lingkungan yang luas dan kemanfaatan yang tinggi untuk mengoptimalkan potensi lahan yang tersedia. Zobel dan Talbert (1984) menyatakan bahwa penggunaan jenis dan benih pada lahan yang tepat merupakan upaya yang paling murah, paling cepat dan paling besar untuk meningkatkan kualitas tegakan. Benih bermutu untuk bisa menampilkan kualitas genetiknya harus ditumbuhkan pada lahan yang sesuai. Untuk itu harus ada kesesuaian kondisi lingkungan antara lahan penanaman dengan lahan di mana benih berasal, berarti benih yang digunakan berasal dari lahan yang kurang lebih sama dengan lahan penanaman. Cara praktis untuk mencocokan antara sumber benih dengan lokasi penanaman dapat penggunakan informasi dari peta zonasi benih. Di Indonesia telah terasedia peta zonasi benih yang dikeluarkan oleh Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Peta ini telah meliputi seluruh wilayah Indonesia dikelompokkan dalam 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku serta Papua. Namun, zonasi ini masih bersifat umum, sehingga perlu dikembangkan ke arah yang lebih spesifik yaitu zonasi untuk setiap jenis tanaman. Dalam rangka mendukung pengembangan agroforestri perlu upaya pemetaan sebaran dan kesesuaian lahan untuk jenis-jensi pohon yang banyak ditanam di hutan rakyat, diantaranya adalah yaitu surian (Toona sinensis). Tanaman surian (Toona sinensis) merupakan jenis yang cukup populer dan banyak ditemui di Jawa terutama di daerah-daerah dataran tinggi. Surian memiliki kualitas kayu yang cukup baik sehingga, dengan semakin menurunnya pasokan kayu dari hutan alam di luar Jawa, jenis ini memiliki Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
183
potensi tinggi sebagai penghasil kayu konstruksi maupun furnitur untuk kebutuhan konsumen di Jawa di masa mendatang. Populasi alami dari T. sinensis terdapat di Asia Tenggara dari India dan Nepal ke arah timur melalui China, Burma, dan Thailand ke Malaysia dan Indonesia. Menurut Ginting et al. (1995) T. sinensis dapat dijumpai di ketinggian 350- 2500 m dpl. Biasanya di hutan Montana primer, sering di dekat sungai dan di hutan sekunder. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan peta sebaran populasi dan zonasi ekologi surian dalam rangka pengembangan sumber benih surian (Toona sinensis) di Jawa. II. METODE PENELITIAN A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder tentang potensi lahan, sebaran populasi jenis surian, peta, dan kondisi agroklimat yang terkait. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan komunikasi langsung dengan beberapa pakar yang mengetahui mengenai jenis yang dimaksud. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: jenis tanaman yang berasosiasi, luas wilayah, lokasi (letak geografis, wilayah administrasi pemerintahan, wilayah kehutanan), kondisi ekologis (jenis tanah, ketinggian, curah hujan, kelerengan), potensi produksi, musim buah serta sistem silvikultur yang digunakan, sebaran populasi (hutan alam dan hutan tanaman). Peta yang digunakan meliputi peta administrasi, peta tanah, data iklim berupa peta curah hujan, peta kelas ketinggian, peta land use (penggunaan lahan) wilayah Jawa, serta peta zonasi benih tanaman hutan wilayah Jawa - Madura sebagai penunjang. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi, antara lain: Perum Perhutani, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS), Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BPPTP), Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH), Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bakosurtanal, Badan Planologi Departemen Kehutanan dan instansi terkait lainnya. Data primer dikumpulkan pada tahun 2009 melalui survey lapangan untuk (1) mengidentifikasi kondisi dan sebaran populasi jenis surian yang tersebar di beberapa lokasi wilayah Jawa meliputi : letak geografis, iklim, jenis tanah, topografi, wilayah administrasi pemerintahan, (2) mengidentifikasi luas lahan yang dapat ditanami jenis surian, (3) mengidentifikasi kondisi tegakan, pembungaan dan pembuahan. Bahan dan alat untuk survey lapangan dan laboratorium: GPS (Global Positioning System), teropong, hagameter, altimeter. B. Penyusunan Peta Sebaran Penyusunan peta dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Peta sebaran populasi untuk sumber benih disusun dengan memetakan/plotting data lokasilokasi sebaran populasi yang meliputi letak geografis/letak wilayah administratifnya pada peta administrasi wilayah Pulau Jawa. 2. Peta zonasi surian dilakukan melalui tumpang susun/overlay peta yang berbeda berupa peta lereng, peta ketinggian, peta tanah dan peta iklim (data curah hujan) dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Wilayah penelitian dibatasi/diseleksi berdasarkan peta land use (penggunaan lahan). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil survei terhadap tegakan-tegakan hutan rakyat di Jawa Barat diketahui bahwa surian banyak ditemukan di dataran tinggi, di atas 500 m dpl. Surian tersebar di lereng pegunungan di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Bandung, Bandung Barat, Sumedang, Subang, Sukabumi,
184
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Cianjur, Bogor, Kuningan dan Purwakarta. Wilayah yang paling banyak dijumpai tegakan surian berada di Kab. Sumedang. Di Jawa Tengah surian tidak begitu banyak ditemui. Tegakan surian dijumpai di dataran tinggi di lereng Gunung Merapi, Sumbing dan Slamet. Di Jawa Tengah banyak lahan-lahan berhutan di masyarakat telah terkonversi menjadi lahan pertanian sehingga jenis-jenis pohon hutan yang dahulunya tumbuh secara alami di hutan-hutan rakyat atau hutan negara telah banyak ditebang oleh masyarakat. Di wilayah Jawa Tengah paling banyak dijumpai surian adalah di Kabupaten Wonosobo. Di Wonosobo, hampir di setiap kecamatan dapat dijumpai tegakan surian walaupun populasinya sudah sedikit karena banyaknya konversi lahan. Di Propinsi Jawa Timur sangat jarang ditemukan tegakan surian, survei yang dilakukan di kabupeten-kabupaten yang memiliki wilayah dataran tinggi yaitu Jember, Bondowoso, Madiun, Ponorogo, Trenggalek dan Malang, surian hanya ditemukan yang berumur muda yaitu di Kabupaten Malang. Lokasi-lokasi ditemukannya tegakan surian ditampilkan dalam bentuk peta seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta sebaran lokasi ditemukannya tegakan surian di Pulau Jawa Surian yang ditemui sebagian besar dikelola dalam sistem agroforestri. Misalnya di pematang sawah atau di tegalan yang diolah secara intensif untuk tanaman sayuran, Misalnya di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Surian juga banyak ditemukan pada lahan-lahan perkebunan, seperti di perkebunan teh negara di kampung Gambung, di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung Selatan, perkebunan teh di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Tegakan surian ini selain berada di antara kebun teh negara atau perusahaan skala besar, juga di temukan di perkebunan rakyat. Tegakan surian di kebun teh rakyat dapat ditemukan antara lain di Kecamatan Bojong, Kab. Purwakarta dan di Kec Cugenang, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Tegakan surian juga ditemukan sebagai peneduh di perkebunan kopi, misalnya di Kecamatan Wonoboyo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur surian pada umumnya merupakan tegakan-tegakan hasil kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) yang masih berumur muda. Pohon yang sering ditemukan berasosiasi dengan surian adalah tisuk atau waru. Di Jawa Barat selain dengan tisuk sering ditemukan berasosiasi dengan kayu afrika, sedangkan di Jawa Tengah sering berasosiasi dengan cemara, nangka. Secara umum surian tumbuh di dataran-dataran tinggi rata-rata di atas 500 m dpl dan tumbuh berbagai jenis tanah antara lain Regosol, Podsolik, Latosol, Andosol. Berdasar kondisi lingkungan yaitu ketinggian tempat, jenis tanah dan curah hujan maka lokasi-lokasi yang mewakili sebaran surian ini di zonasikan hasil zonasinya dicantumkan dalam Gambar 2.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
185
Gambar 2. Zona sebaran potensi lahan untuk penanaman surian di Jawa B. Pembahasan Beberapa pustaka menyatakan bahwa sebaran surian berada di dataran tinggi yang berada di ketinggian di bawah 1200 m dpl. Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa surian banyak ditemukan pada ketinggian di atas 500 m dpl dan mulai jarang ditemukan pada ketinggian di atas 1000 m dpl. Sebagai contoh, di Kab. Bandung Selatan, pada wilayah di atas 1000 m dpl seperti di Kec. Pengalengan, tanaman yang dominan di hutan rakyat adalah Eucalyptus sp dan Pinus merkusii. Surian mulai banyak ditemukan pada wilayah yang berada di bawahnya yaitu di Kec Cimaung. Demikian juga di Kecamatan Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor, surian mulai dapat ditemukan pada ketinggian di atas 500 m dpl yaitu di Desa Sukakarya dan mulai jarang ditemukan pada wilayah di atas 1100 m dpl. Populasi surian di Pulau Jawa semakin ke arah bagian timur semakin jarang. Hal ini diduga karena beberapa hal yaitu karena pengaruh lingkungan dan pengaruh intervensi manusia. Lingkungan yang berpengaruh terhadap pola sebaran ini diduga adalah kondisi iklim, karena semakin ke arah timur Pulau Jawa kondisi iklim semakin kering. Namun faktor yang lebih dominan diduga adalah faktor intervensi manusia. Secara umum tegakan surian yang berukuran besar banyak dijumpai di hutan-hutan rakyat yang permudaannya terjadi secara alami. Kondisi hutan rakyat dengan permudaan alam banyak dijumpai di Propinsi Jawa Barat, misalnya di Kabupaten Sumedang. Pada hutan-hutan rakyat yang dikelola lebih intensif dengan menggunakan system permudaan buatan, seperti di Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, Jawa Tengah, petani lebih memilih jenis tanaman yang lebih cepat untuk dipanen, yaitu sengon. Dibandingkan dengan jenis pohon lainnya, surian lebih mampu bertahan pada lahan-lahan pertanian, contohnya di Kabupaten Temanggung. Di wilayah ini jenis pohon yang dominan dikembangkan pada hutan rakyat adalah sengon, namun pada lahan-lahan pertanian, misalnya di pematang sawah atau di tegalan dengan tanaman sayuran, sengon kurang diminati.. Pada lahanlahan ini pohon yang cocok untuk ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian adalah jenis pohon-pohonan yang memiliki tajuk ringan dan dapat dipruning keras. Berkaitan dengan hal ini maka surian menjadi pilihan petani, karena pohon surian menggugurkan daunnya pada musim tertentu, dan tahan untuk di-pruning keras hingga tersisa sekitar 20% tajuknya. Karena karakter fisiologisnya, surian juga banyak ditemukan sebagai pohon peneduh pada lahan-lahan perkebunan, misalnya di Perkebunan teh di Kecamatan Pasirjambu. Kabupaten Bandung Selatan dan Kecamatan Cugenang. Tegakan surian ini berada di antara kebun teh milik perusahaan besar maupun di lahan-lahan masyarakat yang merupakan bekas kebun teh. Surian juga ditemukan pada perkebunan kopi misalnya di Kabupaten Temanggung. Dalam upaya mewujudkan agroforestri yang berkualitas tinggi, rendahnya penggunaan benih berkualitas masih menjadi permasalahan. Di Jawa hanya sebagian kecil petani yang 186
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
menggunakan benih atau bibit berkualitas, itupun pada umumnya diperoleh dari bantuan pemerintah (Roshetko et al., 2012). Petani memperoleh benih atau bibit dari berbagai jalur lokal, yang biasanya informal, misalnya dengan mengumpulkan dari hutan setempat, lot kayu atau kebun, atau saling tukar dengan teman atau keluarga (Roshetko dan Verbist 2004). Mahalnya harga benih berkualitas yang bisa mencapai 15 – 40 kali lebih mahal dari benih biasa, juga penjadi penyebab rendahnya minat petani terhadap benih berkualitas (Ochsner et al. 2004). Untuk mengatasinya, pemerintah berupaya untuk menumbuhkembangkan kegiatan perbenihan dengan memberikan kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan perbenihan baik kegiatan pemuliaan, produksi maupun peredaran benih (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2004). Dari hasil pengamatan dalam penelitian ini diketahui bahwa bahwa prospek pengembangan benih bersertifikat di hutan rakyat kurang baik. Sertifikasi yang selama ini berjalan di lahan hutan rakyat belum didasari atas permintaan petani terhadap benih dan bibit bersertifikat. Permintaan benih hanya muncul ketika ada proyek dari pemerintah. Tanpa peran aktif dari masyarakat sendiri, yang pada umumnya tidak paham tentang sumber benih baik teknis pengelolaan maupun prospek ekonominya, maka tegakan-tegakan yang potensial untuk sumber benih dalam jangka panjang akan semakin susut karena pemanenan atau konversi lahan. Berdasarkan survei ini sangat sulit ditemukan tegakan-tegakan yang potensial untuk dijadikan sumber benih yang sesuai dengan kriteria sumber benih bersertifikat. Menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2004) agar dapat disertifikasi tegakan harus memiliki syarat setidaknya: a) terdapat pohon induk minimum sebanyak 25 pohon, b) pohon induk tersebut hendaknya tidak berkerabat, c) berkualitas baik, memiliki penampilan di atas rata-rata, d) sudah berbunga dan menghasilkan benih, e) aman dari penebangan liar, penyerobotan lahan, gangguan kebakaran, gangguan ternak atau hewan liar, f) sehat, g) mempunyai asal usul benih yang jelas, h) ada jalur isolasi untuk mencegah kontaminasi serbuk sari dari luar. Syarat sertifikasi ini sangat sulit terpenuhi karena pada umumnya surian tumbuh tersebar tidak merata. Jarang ditemukan surian yang terkonsentrasi di dalam satu hamparan. Jika ditemukan, pada umumnya merupakan hasil penanaman proyek penghijauan atau gerhan yang masih berumur muda. Untuk satu kepemilikan lahan jarang ditemukan pohon surian dewasa yang jumlahnya lebih dari 25 pohon. Untuk kepentingan ketersediaan sumber benih di masa depan diperlukan upaya pengembangan dan penyelamatan potensi genetik dari tegakan surian alami. Sumber-sumber tegakan dengan regenerasi alami yang masih potensial untuk dikembangkan adalah tegakan-tegakan di Jawa Barat terutama di Kabupaten Sumedang dan Subang. Untuk tegakan alami yang mulai langka terutama yang berada di wilayah Jawa Tengah, seperti di Wonosobo dan Temanggung diperlukan upaya konservasi sumber daya genetik surian misalnya melalui konservasi eksitu atau insitu. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sebaran utama populasi surian berada di Jawa bagian Barat yaitu di Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Bandung Barat, Bandung, Sumedang, Subang, Sukabumi, Cianjur, Bogor dan Kuningan. 2. Semakin ke arah bagian timur Pulau Jawa, populasi surian semakin jarang. Di Jawa Tengah ditemukan di wilayah-wilayah lereng Gunung Sumbing, Merapi dan Slamet yang meliputi Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Magelang, Boyolali, Tegal dan Purbalingga. Di Jawa Timur hanya ditemukan di Kabupaten Malang. 3. Di Jawa Barat masih banyak ditemukan tegakan-tegakan hasil regenerasi alami dengan pohon yang berukuran besar, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah jarang ditemukan tegakan alami. 4. Surian tumbuh di dataran-dataran tinggi rata-rata di atas 500 m dpl dan tumbuh pada berbagai jenis tanah antara lain Regosol, Podsolik, Latosol, dan Andosol. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
187
B. Saran 1. Tegakan yang dapat dikembangkan sebagai sumber benih adalah di wilayah Jawa Barat (misalnya di Kab. Subang dan Sumedang), karena masih banyak ditemukan tegakan alami yang berukuran besar sehingga diduga memiliki variasi genetik yang lebih luas dari pada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 2. Perlu upaya penyelamatan potensi genetik dari tegakan surian alami yang mulai langka di wilayah Jawa Tengah, seperti di Wonosobo dan Temanggung, misalnya melalui konservasi eksitu atau insitu. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2004. Petunjuk Teknis Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta. Gintings, AN, E. Boer, SC. Lim, dan RHMJ Lemmens. 1995. Toona (Endl.) M.J. Roemer. dalam :Plant Resources of South-East Asia. 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers. Prosea. Bogor. p.498-499. Ochsner, P, U. Lusianto, dan J. Siswandi. 2004. Laporan Mengenai Bagaimana Meningkatkan Penyebaran Benih Bermutu dari Pengedar Benih di Daerah Ponorogo-Wonogiri. Kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, BPTH Jawa dan Madura dan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. Roshetko, JM, AA. Pramono, D. Rohadi, N. Widyani, GS. Manurung, A. Fauzi, dan P. Sumardamto. 2012. Smallholder Teak Systems on Java, Indonesia, Income for Families, Timber for Industry. Conference Proceedings. IUFRO 3.08.00 Small-Scale Forestry Conference 2012: Science for Solutions. 24-27 September 2012. Amherst, Massachusetts USA. Roshetko, J. dan B. Verbist. 2004. Domestikasi Pohon. Bandung. Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Zobel, B dan J. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. Wave Land Press, Inc. Illinois. USA.
188
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
POLA AGROFORESTRI UNTUK MENINGKATKAN FUNGSI EKOLOGI DAN AGROEKONOMI HUTAN RAKYAT Nina Mindawati1, A. Syaffari Kosasih1, Sofwan Bustomi 1, Sitompul SM2, dan Setyono Yudo Tyasmoro2 1
2
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The choice of tree species to be developed for agroforestry is a very important thing to keep the balance between economy and environment aspects. In general the farmers plant various plant species but they do not consider the suitability among plant species such as light requirement and soil fertility. Therefore research on optimalitation of agroforestry pattern was carried out so that farmers income increased and environment sustainability was kept. Research on application of several agroforestry planting pattern was conducted at community forest of Sumber Urip village, Doko subdistrict, District of Blitar East Java for five years (2007-2011) with the aim of increasing the farmers income.The research used split plots design with planting pattern treatments : sengon (Falcataria moluccana) monoculture (A), sengon plantation+ coffee+ gliricidia+ Manihot esculenta+kacang tunggak (B), sengon plantation + coffee + cacao + gliricidia + corn + kacang tunggak (C) , sengon plantation + coffee + cacao + gliricidia + gingger + kacang tunggak (D) and sengon plantation + coffee + gliricidia + gingger + corn + kacang tunggak (E) with three replications. Deciding the best pattern was based on four studied aspects (growth of sengon, growth of agricultural plants, erosion and soil fertility). Research result showed that the pattern having the highest scoring value was B pattern followed by D. From those two patterns it can be concluded that sengon was good for agroforestry by mixed with coffee, gliricidia and kacang tunggak. Keywords : Agroforestry, ekology, agronomy, community forest
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola agroforestri merupakan pola tanam campuran antara tanaman kehutanan (kayukayuan) dengan tanaman semusim, tanaman obat-obatan, tanaman pangan dan dengan lainnya. Pola tanam Agroforestri pada umumnya dilaksanakan di hutan rakyat dimana tanaman kehutanan merupakan tanaman tahunan yang berfungsi sebagai tabungan sedangkan tanaman semusim dan lainnya merupakan tanaman sehari-hari. Sistem Agroforestri yang ideal jika dapat memainkan fungsi hutan untuk mengatasi masalah ekologi, dan agroekonomi untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan atau nilai ekonomi. Fungsi hutan meliputi pemeliharan kesuburan tanah, stok karbon dan biodiversivitas, sedang fungsi agroekonomi berhubungan dengan pendapatan petani termasuk pangan. Pola ini disebut juga dengan tumpangsari. Sistem tumpangsari antara tanaman pohon dengan tanaman semusim atau setahun khususnya jenis tanaman pangan sudah dipraktekkan secara luas oleh petani. Sistem ini dikenal dengan istilah agroforestri yang menggambarkan suatu sistem gabungan antara budidaya tanaman pertanian dengan kehutanan (Sanchez, 1995; Foresta & Michon, 2000). Salah satunya adalah agroforestry yang telah dilakukan menggunakan sistem pertanaman pagar (Hedgerow-intercropping system) (Sitompul et al., 1992, 1994 & 2000; Van Noordwijk et al., 1992; Hairiah et al., 2000) Untuk memaksimalkan hasil pola agroforestri, maka perlu pengaturan dan pemilihan jenis yang tepat agar selain hasil secara ekonomi meningkat juga lingkungan secara ekologi terjaga untuk keberlanjutan. Jenis tanaman dalam pola agroforestri adalah tanaman yang memenuhi kriteria fungsi ekologi dan agroekonomi. Fungsi ekologi difokuskan pada aspek stok karkon, resapan air Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
189
(hirologi), dan kesuburan tanah (bahan organik). Fungsi agroekonomi difokuskan pada aspek pangan, dan pendapatan jangka panjang, menengah dan pendek. Penelitian tentang beberapa pola tanam agroforestri berbasis sengon (Paracerianthes moluccana) telah dilakukan dengan tujuan menghasilkan pola agroforestri yang mampu memberikan pertumbuhan optimal pada tanaman sengon, tanaman pangan, mampu menurunkan tingkat erosi dan air limpasan serta menjaga kesuburan tanah. Sasaran penelitian adalah mendapatkan model pola agroforestri terbaik antara tanaman sengon dengan tanaman pangan untuk daerah Blitar, khususnya Desa Sumberurip. II. METODOLOGI A.
Tempat dan waktu Lokasi kegiatan dilaksanakan di kawasan hutan rakyat seluas ± 3,5 ha yang berada di Dukuh Krajan, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko Kabupaten Blitar, Jawa Timur dengan jenis tanah Inceptisol. Waktu penelitian dilaksanakan mulai Januari 2007 sampai dengan Desember 2010. B. Bahan dan alat Bahan yang dipakai adalah benih sengon, jagung, bibit jahe, pupuk Urea, SP 36. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Alat yang digunakan : GPS, meteran, jangka sorong, timbangan, lightmeter, chinometer, ombrometer, gelas ukur, oven, kertas saring dan lain-lain. C. Metode Penelitian 1. Rancangan Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan digunakan untuk mengadopsi fungsi petak ragaan (demonstration plot) disamping fungsi penelitian (on farm research). Pola tanam yang diterapkan sebagai pertlakuan adalah : A. tanaman Sengon (monokultur sengon) B. tanaman Sengon + kopi + gliricidia + ubi kayu + kacang tunggak C. tanaman Sengon + kopi + coklat + gliricidia + jagung +jagung + kacang tunggak D. tanaman Sengon + kopi +coklat + gliricidia + jahe +kacang tunggak E. tanaman Sengon + kopi + gliricidia + jahe + jagung +kacang tunggak Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan memberikan pupuk dasar sebesar 60 kg P2O5 dan 60 kg K2O/ha . Gangguan gulma dan hama dicegah dengan penyiangan dan penyemprotan pestisida seperlunya. Penentuan pola terbaik dilakukan dengan menskoring hasil dengan nilai (5,4,3,3 dan 1) berurutan dari yang terbaik sampai yang terendah berdasarkan 3 aspek yang diteliti (pertumbuhan sengon, kesuburan tanah dan besarnya erosi dan air limpasan ), kemudian dijumlahkan secara kumulatif dan nilai terbesar merupakan pola terbaik . III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Pertumbuhan Sengon Dari hasil pengukuran seris rataan diameter dan tinggi pohon dari masing-masing petak/pola tanam dapat disusun pola persamaan pertumbuhan diameter dan tinggi pohon yang disajikan pada Tabel 1 dan trend pertumbuhan secara periodik berdasarkan persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
190
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tabel 1. Penduga parameter persamaan diameter dan besarnya koefisien determinasi Petak
2
Penduga parameter persamaan a B 3.3444 -2.5668 4.5862 -3.9919 3.4364 -2.6168 3.9362 -3.2714 4.8280 -4.4218
A B C D E
R
0.9579 0.9991 0.9600 0.9995 0.9995
Diameter (cm)
Umur (tahun) Gambar 1. Kurva pertumbuhan diameter pohon sengon Berdasarkan persamaan pada Tabel 1, maka diperoleh dugaan diameter pohon pada masing-masing petak yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Dugaan diameter rata-rata pohon sengon pada berbagai pola tanam Umur
A
B
C
D
E
1
2.2
1.8
2.3
1.9
1.5
2
7.9
13.3
8.4
10.0
13.7
3
12.1
25.9
13.0
17.2
30.0
4
15.0
34.0
16.2
23.0
38.0
Tabel 3. Penduga parameter persamaan tinggi sengon pada Demplot Hutan Rakyat di Blitar. Petak penelitian/ pola tanam A B C D E
Penduga parameter persamaan a B 2.6111 -1.8503 4.0038 -3.1119 2.8756 -2.2852 3.3920 -2.6250 4.1352 3.6899
2
R
0.9542 0.9984 0.9609 0.9999 0.9986
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
191
Tinggi (m) 30.0
B
25.0
E
20.0 15.0
D
10.0
C A
5.0 0.0 1
2
3
4
Umur (tahun) Gambar 2. Kurva pertumbuhan tinggi sengon Berdasarkan persamaan pada Tabel 3, dapat diduga pertumbuhan tinggi pohon yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Dugaan tinggi rata-rata pohon sengon pada demplot Hutan Rakyat di Blitar pada berbagai pola tanam Umur
A
B
C
D
E
1
2.1
2.4
1.8
2.2
1.6
2
5.4
11.6
5.7
8.0
9.9
3
7.3
19.4
8.3
12.4
18.3
4
8.6
25.2
10.0
15.4
24.8
Dari hasil dugaan yang tercantum pada Tabel 2 dan 4, diketahui bahwa pertambahan tumbuh secara periodik bulanan (monthly periodic increment) diameter pohon dari Pola A, B, C, D, dan E berturut-turut sebesar 4,3; 10,7;4,6; 7,0; dan 7,0 cm atau rata-rata seluruh petak sebesar 6,6 cm tiap tahun; sedangkan pertumbuhan tingginya pada masing-masing pola tersebut berturut-turut sebesar 2,1; 7.6;2,7; 4,4; dn 7,8 m rata seluruh petak sebesar 4,4 m tiap tahun. B.
Pertumbuhan dan produktivitas tanaman pangan Pertumbuhan dan produktivitas tanaman pangan jenis jagung dan jahe pada plot C, D dan E, dan tanaman ubi kayu pada pola B, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian Jenis Jahe Jagung Kacang tunggak
Kopi 192
Pola D E C E B C D E B C
Tinggi (cm) 55,0 60,2 75,25 69,67
Diameter (cm) 0,92 1,08
Jumlah anakan 2,0 9,0 -
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Jumlah daun 12,0 13,0 23,0 24,0
Produksi (ton/ha) 3,06-2,56 3,44-3,82 0,084 0,093 0,183 0,120 -
Jenis
Pola D E
Tinggi (cm) 58,25 57,92
Diameter (cm) 0,85 0,87
Jumlah anakan -
Jumlah daun 10,0 11,0
Produksi (ton/ha) -
Keterangan : - = tidak tersedia data
Berdasarkan Tabel 5, terlihat pertumbuhan tanaman jahe menunjukkan bahwa tinggi tanaman jahe pada pola E relatif seragam dengan tinggi sekitar 60 cm, tidak demikian dengan pola D yang mempunyai kecenderungan beragam antara 50 – 60 cm. tinggi tanaman dan jumlah daun pada pola D dan E terlihat sama. Namun jika dilihat pada jumlah anakan diperoleh hasil yang berbeda, tanaman jahe yang ditanam pada pola E mempunyai jumlah anakan yang lebih tinggi dibanding pada jahe yang ditanam pada petak D setelah 2 bulan penanaman. Hasil tanaman jagung dinyatakan bobot jagung (ton) tiap ha, menunjukkan bahwa pola E produksinya lebih tinggi, menghasilkan jagung sebesar 3,82 ton/ha pada tahun pertama, sejalan dengan bertambahnya penutupan tajuk sengon pada tahun kedua hanya 3,44 ton/ha ,sedangkan pola C hanya sekitar 3 ton/ha pada tahun pertama dan 2,56 ton/ha pada tahun kedua. Hasil produksi kacang tunggak yang memberikan hasil tinggi pada pola D 1,83 kuintal /ha, sedangkan pola B, C dan E hasil antara 0,84 – 1,2 kuintal/ha). Pertumbuhan tinggi, diameter batang dan jumlah daun tanaman kopi berbagai pola diketahui bahwa pertumbuhan tanaman pada berbagai pola agroforestri tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil tanaman semusim yang ditanam di bawah tegakan sengon semakin menurun akibat jumlah cahaya yang diterima semakin kecil. C.
Erosi dan limpasan permukaan Nilai erosi dan air limpasan permukaan pada setiap pola tanam dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai erosi dan air limpasan permukaan pada setiap pola tanam Pola tanam A B C D E Lahan kosong
Erosi (ton/ha) 2,3 1,5 2,9 3,4 1,9 4,1
Air limpasan (mm) 162,3 137,5 500,2 565,6 535,7
Dari Tabel 6. terlihat bahwa pola agroforestri menghasilkan nilai erosi yang sangat berbeda nyata pada setiap perlakuan tanaman. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada lahan kosong, erosi yang terjadi sebesar 4,1 t ha-1, dan merupakan nilai erosi paling tinggi tapi tidak berbeda dengan pola tanam D 3,4 t ha-1, pola C 2,9 t ha-1 dibanding dengan pola A,B dan E. Pola B sebesar 1,5 t ha-1 menghasilkan nilai erosi yang paling rendah dan tidak berbeda dengan pola E yang erosinya sebesar 1,9 t ha-1. Sedangkan untuk limpasan permukaan, setiap pola sangat berbeda, dimana pola D sebesar 565,6 mm menunjukkan limpasan permukaan yang lebih tinggi tetapi tidak berbeda dengan pola E 535,7 mm dan pola C ( 500,2 mm) dibanding dengan pola A dan B. Pola B yang air limpasannya sebesar 137,5 mm merupakan nilai yang paling rendah. dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan A dengan tanaman sengon sebesar dan perlakuan E. D.
Kondisi Kesuburan Tanah Kesuburan tanah di akhir penelitian diambil sampelnya dan di analisa sifat kimia tanah pada setiap pola yang dicobakan di laboratorium (Tabel 7).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
193
Tabel 7 . Hasil analisis sifat kimia tanah pada setiap pola tanam pola tanam A
Jeluk (cm) 0 - 20 20 - 40
B 0 - 20 20 - 40 C
0 - 20 20 - 40
D
0 - 20 20 - 40
E
0 - 20 20 - 40
PH tanah
Bahan Organik
H2O 5,83 (S) 5,83 (S)
KCL 50,6 (S) 49,6 (S)
C% 0,91 (Sr) 0,82 (Sr)
N% 0,13 (R) 0,93 (Sr)
C
/N 7,1 (R) 8,9 (R)
P tersedia mg /kg 9,80 (Sr) 5,40 (Sr)
5,53 (S )
4,73 (S)
0,99 (Sr)
0,13 (R)
7,70 (R)
5,53 (S) 6,10 (N) 5,93 (S) 6,33 (N) 6,26 (N) 5,60 (S) 5,83 (S)
4,80 (S) 5,16 (S) 5,16 (S) 5,56 (S) 5,66 (S) 4,83 (S) 5,06 (S)
0,76 (SR) 1,02 (R) 0,82 (Sr) 0,90 (Sr) 0,77 (Sr) 1,10 (R) 0,90 (R)
0,09 (Sr) 0,15 (R) 0,08 (Sr) 0,10 (R) 0,06 (Sr) 0,13 (R) 0,09 (Sr)
8,50 (R) 6,7 (R) 9,50 (R) 8,80 (R) 8,9 (R) 8,50 (R) 10,60 (S)
Basa-basa (meq/100g) Ca 6,47 (R) 5,58 (R)
Mg 3,67 (T) 3,28 (T)
K 0,79 (R) 0,75 (R)
7,90 (Sr)
10,17 (R)
5,17 (T)
0,73 (R)
4,70 (Sr) 10,30 (Sr) 5,50 (Sr) 9,70 (Sr) 8,60 (Sr) 13,70 (Sr) 7,90 (Sr)
8,15 (R) 10,07 (R) 7,77 (R) 8,72 (R) 7,37 (R) 7,93 (R) 6,35 (R)
4,47 (T) 4,73 (T) 4,09 (T) 4,80 (T) 4,08 (T) 4,34 (T) 4,19 (T)
0,70 (R) 0,90 (R) 0,36 (R) 0,93 (R) 0,86 (R) 0,82 (R) 0,66 (R)
Keterangan : S=sedang; R=rendah;Sr=Sangat rendah;T=tinggi;N=normal
Berdasarkan Tabel 7. Terlihat bahwa kondisi areal penelitian secara umum dalam keadaan kesuburan yang sedang (pola A,B dan E) sampai normal (pola C dan D) berlisar antara ph 5,53 sampai 6,33. Kandungan hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) pada semua pola tanam relatif sama yaitu dalam kondisi rendah untuk K dan Ca dan sangat rendah untuk P , kondisi unsur hara N yang rendah pada lapisan atas dan sangat rendah pada lapisan bawah, kecuali kandungan unsure hara Mg yang masuk katagori tinggi (3,28-5,17 meq/100g) pada semua pola tanam. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana uraian di atas, maka untuk menentukan pola agroforestri terbaik dibuat scoring . Hasil penskoringan dari ke tiga aspek yaitu pertumbuhan sengon, kesuburan lahan dan erosi dan aliran permukaan, sedangkan hasil dari tanaman semusim tidak dimasukan karena produksinya belum semua di panen, tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai scoring lima pola agroforestri di Desa Sumber Urip, Blitar Parameter
Pola
A
B
C
D
E
TANAH
B
0
0
0
5
0
C
0
0
4
0
0
D
0
0
0
0
3
A
0
2
0
0
0
E
1
0
0
0
0
1
2
4
5
3
A
5
0
0
5
0
B
0
4
0
0
0
E
0
0
0
0
3
(C)
0
0
1
0
0
Erosi dan aliran permukaan
194
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Parameter
Pertumbuhan sengon
Pola
A
B
C
D
E
(D)
0
0
0
1
0
5
4
1
1
3
B
0
5
0
0
0
D
0
0
0
4
E
0
0
0
0
3
(A)
1
0
0
0
0
(C)
0
0
1
0
0
1
5
1
4
3
7
11
6
9
6
Total Nilai RANKING
B D
1 2
A
3
(C)
4
(E)
4
Keterangan : ( ) = mempunyai nilai rangking yang sama
Berdasarkan hasil skoring di atas, menunjukan bahwa pola agroforestri yang baik dan dapat dikembangkan di Desa Sumber Urip berturut-turut adalah pola B terbaik pertama dengan nilai 14, pola D terbaik kedua nilai 8, pola E dan A sama berada diurutan ke tiga karena mempunyai nilai yang sama yaitu 7 dan terakhir adalah pola agroforestri C dengan nilai 6. Dua pola agroforestri terbaik untuk dijadikan percontohan dan dapat diterapkan dalam skala luas di Desa Sumber Urip, Blitar berturut-turut adalah pola B ( Sengon + kopi + gliricidia + ubi kayu + kacang tunggak); dan pola D (Sengon + kopi +coklat + gliricidia + jahe +kacang tunggak ). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tanaman kehutanan sengon sangat baik jika ditanam secara agroforestri dengan tanaman kopi, gliricidia dan kacang tunggak. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pertumbuhan diameter sengon terbaik terdapat pada petak D, B dan E yaitu sebesar 17.2-28.6 cm, sedangkan pertumbuhan pada petak A dan C lebih rendah antara 12,0-13.0 cm; demikian juga potensi kayunya 2. Pola agroforestri A, B dan E cukup efektif menekan terjadinya air limpasan dan erosi pada lahan hutan rakyat. 3. Kondisi tempat tumbuh terutama keadaan kesuburan tanah pada semua pola agroforestry relatif sama 4. Walaulpun belum diakukan kajian secara ekonomik namun berdasarkan hasil skoring dari 3 aspek ( pertumbuhan sengon, erosi dan aliran permukaan, kesuburan tapak), agroforestri dengan menggunakan tiga pola terbaik untuk dijadikan percontohan dan dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam skala luas di Desa Sumber Urip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar berturutturut adalah pola B ( Sengon + kopi + gliricidia + ubi kayu + kacang tunggak); dan pola D (Sengon + kopi +coklat + gliricidia + jahe +kacang tunggak). B. Saran Memberikan input hara tnah dengan pupuk dasar K dan batu kapur atau dolomit karena kondisi awal ke 3 macam unsur hara penting N, P dan K rendah. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
195
DAFTAR PUSTAKA Foresta, de H. dan Michon, G. 2000. Agroforestri Indonesia: beda sistem beda pendekatan. Dalam "Agroforest khas Indonesia", H de Foresta, A. Kusworo, G. Michon dan WA Djatmiko (eds.). Institut de Recherche pour le Developpement (IRD). pp 1-18. Hairiah, K., Utami, S.R., Suprayogo, D., Widianto, Sitompul, S.M., Sunaryo, Lusiana, B., Mulia, R., van Noordwijk, M. and Cadisch, G. 2000. Agroforestri on Acid Soils in the Humid Tropics: Managing tree-soil-crop interactions. International Centre for Research in Agroforestri. 38 pp. Lutz, H.J and RFJ Chandler . 1951. Forest soil. John Wiley & Sons inc. Printed in the US Sanchez, P.A. 1995. Science in agroforestri. Agroforestri sistems, 30: 5-55 Sitompul, S.M. 1994. Budidaya lorong untuk sistem pertanian terlanjutkan pada lahan kering beriklim basah. Laporan Hasil Penelitian, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional, Badan Penelitian (P4N/ARM) dan Pengembangan Pertanian Sitompul, S.M, and Hairiah, K. 2000. Assessment and Simulation of Aboveground and Belowground Carbon Dynamics, Report to Asia Pacific Network (APN) Sitompul, S.M, Hairiah, K., Cadisch, G. and Van Noordwijk, M. 2000. Dynamics of density fractions of macro-organic matter after forest conversion to sugarcane and and woodlots, accounted for in a modified Century Pola. Netherland J. Agric. Sci.,48: 61-73 Sitompul, S.M. and Listyarini, E. 1992a. Soil organic carbon formation and nitrogen balance under cassava-based cropping sistems in Lampung. Agrivita 15:33-38 Sitompul, S.M., Syekhfani and Van der Heide. 1992b. Yield of maize and soybean in a hedgerow intercropping sistem. Agrivita 15:69-75 Van Noordwijk, M., Kurniatun Hairiah, Sitompul, S.M. and Syekhfani, M.S. 1992. Rotational hedgerow intercropping + Peltophorum pterocarpum = New hope for weed-infested soils. Agroforestri Today, October-December: 4-6 Van Noordwijk, M., Sitompul, S.M., Kurniatun Hairiah, Endang Listyarini and Syekhfani, M.S. 1995. Nitrogen supply from rotational or spatially zoned inclusion of Leguminosae for sustainable maize production on an acid soil in Indonesia. Dalam “Plant and Soil Interactions at Low pH”. R.A. Date et al. (eds.). Kluwer Academic Publishers, the Netherlands. p.779-784
196
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
POTENSI HAMA PADA POLA AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU Sri Utami dan Agus Kurniawan Balai Penelitian Kehutanan Palembang E-mail :
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT The traditional Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) wood agroforestry has practiced by smallholder farmers in Bengkulu. Agroforestry is a land management which accommodates some of interests e.g. social, economic and ecological function. One of the problems in Kayu bawang plantation development is pest attack. Pest attack can significantly decrease the Kayu bawang growth and influence the wood production. Knowledge about kind of pests and its damage is urgently to do before efforts technologies of preventive and controlling. This research aimed to identify the pest, symptom and level of pest attack in Kayu bawang wood agroforestry in Province of Bengkulu. The research was done using inventory of some pests (sampling intensity of 10%) and identification methods. Observation of pest attack in the some fields showed that Kayu bawang were attacked by bagworm (Pteroma plagiophleps), stem borer (Xystrocera globosa) and termites (Neotermes sp.). The bagworm caused minor damage on stems and leaves. Percentage of bagworm pest was 10.67% and its intensity was 7.14%. Stem borer caused lightly destructive borer and the death of Kayu bawang. Percentage of stem borer pest was 6.36% and its intensity was 2.48%. Stem borer pest was significantly decreased of growth (high and diameter) 6.77% and 16.19% respectively. Termites cause minor damage like irregular cavities in wood and damage on surface of wood. Percentage of its termite was 2.7% and its intensity was 3.57%. Keywords: agroforestry, Dysoxylum mollissimum, Neotermes sp., Pteroma plagiophleps, Xystrocera globosa
I. PENDAHULUAN Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan tanaman unggulan lokal yang tersebar luas di Provinsi Bengkulu. Utami et al. (2011) melaporkan bahwa kayu bawang hampir dijumpai di setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu meliputi Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, Seluma, Kepahiang, dan Rejang lebong. Umumnya pola pengusahaan kayu bawang adalah campuran dan hanya beberapa lokasi yang menerapkan pola monokultur (Utami et al., 2011). Pola tanam campuran (agroforestri) dilakukan dengan mengkombinasikan tanaman kayu bawang dengan jenis tanaman lainnya, baik tanaman kayu (jati, mahoni, sungkai, terap), tanaman buah (duren, nangka, cempedak) atau tanaman perkebunan (karet, sawit, coklat dan kopi). Budidaya tanaman dengan pola agroforestri ini memberikan keuntungan bagi masyarakat berupa optimalisasi hasil, ekosistem lebih stabil dan penutupan lahan lebih baik sehingga mengurangi resiko erosi. Selain bisa dikembangkan dengan pola agroforestri, jenis ini dinilai memenuhi kualitas sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Kayunya termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet IV dengan berat jenis 0,56 gram/cm3 dan telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu pertukangan, terutama sebagai bahan bangunan dan meubellair (Siahaan & Saefullah, 2007). Informasi dari lapangan juga menyebutkan bahwa di Kabupaten Bengkulu Utara pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 4 m x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang rata-rata per tahun 1,93 cm, riap tinggi rata-rata per tahun 2,14 m (Apriyanto, 2003). Utami et al. (2010) melaporkan bahwa ditemukan serangan hama pada tegakan kayu bawang mulai umur 4 hingga 10 tahun yang ditanam secara campuran di beberapa lokasi di Provinsi Bengkulu. Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004) pada umumnya serangan hama bisa menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk kerusakan langsung yang dapat ditimbulkan oleh serangga hama diantaranya yaitu mematikan pohon, merusak sebagian Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
197
pohon, menurunkan pertumbuhan pohon/tegakan, dan mnerusak biji/buah. Serangan hama yang berat bisa merugikan secara ekonomi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai jenis serangga hama dan potensi kerusakannya pada tegakan kayu bawang mutlak diperlukan sebelum dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi jenis-jenis hama potensial yang menyerang tegakan kayu bawang pola agroforestri di Propinsi Bengkulu. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada beberapa lokasi di Provinsi Bengkulu yaitu : 1) Desa Pasar Pedati Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Tengah (campuran kayu bawang dengan sawit), 2) Desa Kampung Delima Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang lebong (campuran kayu bawang dengan kakao), dan 3) Desa Air Sulau Kecamatan Kedurang Ilir Kabupaten Bengkulu Selatan (campuran kayu bawang dengan karet). Penelitian dilakukan mulai Bulan Maret hingga November 2011. B. Prosedur Kerja 1. Inventarisasi Serangan Hama Kegiatan ini dilakukan dengan cara membuat petak/plot pengamatan pada areal tanaman yang terserang, baik di skala lapangan maupun persemaian yang luasannya diambil 10% dari luasan seluruh areal yang terserang atau di areal seluas 1 – 3 ha, dimana luasan areal ini terbagi dalam plotplot kecil berukuran 20 x 50 m (0,1 ha). Parameter yang diamati yaitu jenis hama yang menyerang, bentuk kerusakan, bagian tanaman yang terserang, persentase serangan dan tingkat kerusakan tanaman. 2. Penghitungan Serangan Hama Persentase serangan hama dan penyakit (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 %.
P
Jumlah tan aman yang terserang dalam suatu petak ukur x 100 % Jumlah seluruh tan aman dalam suatu petak ukur
Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1 dan Tabel 2). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini.
I
(n
i
x vj)
Z xN
x 100 %
Keterangan : I : Tingkat kerusakan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Sehat Ringan Agak berat Berat Sangat berat
198
Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun - Kerusakan daun 5 % - Kerusakan daun antara 5 % x 25 % - Kerusakan daun antara 25 % x 50 % - Kerusakan daun antara 50 % x 75 % - Kerusakan daun antara 75 % x 100 % - Pohon gundul/hampir gundul
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Nilai 0 1 2 3 4
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Sehat Ringan Agak berat Berat Sangat berat Gagal
Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Tanaman - Batang rusak 0 % - Batang rusak antara 1 % - 20 % - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % - Batang rusak di atas 80 % - Pohon tumbang/patah/mati
Nilai 0 1 2 3 4 5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan beberapa jenis serangan hama pada tegakan kayu bawang di tiga lokasi penelitian yaitu hama ulat kantong (Pteroma plagiophleps), kumbang penggerek (Xystrocera globosa) dan rayap pohon Neotermes sp. A. Ulat kantong (P. plagiophleps) Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jenis hama yang ditemukan menyerang tanaman kayu bawang pada tegakan kayu bawang yang ditanam secara campuran dengan kakao di Desa Kampung Delima Kecamatan Curup Timur yaitu ulat kantong. Hama ini termasuk ordo Lepidoptera famili Psychidae. Ulat kantong merupakan salah satu serangga dengan ciri-ciri morfologi tubuh ditutupi oleh daun-daun kering (Kalshoven, 1981). Larva tinggal di dalam kantong sampai dewasa. Bergerak dan makan dengan mengeluarkan kepala dan sebagian toraksnya. Pupa jantan akan menjadi ngengat yang bersayap, sedangkan yang betina tidak bersayap atau sayap dan kakinya kerdil dan tetap hidup di dalam kantong (Pracaya, 1995). Ulat kantong merupakan hama yang bersifat polyfag. Selain menyerang kayu bawang, ulat ini dikenal sebagai hama utama pada tanaman sengon, jambu, belangeran dan ulin. Bagian tanaman yang terserang ulat kantong yaitu batang. Serangan hama ini lebih banyak pada bagian kulit batang tetapi tidak sampai menembus bagian empulur kayu (Gambar 1). Bekas serangan hama ini pada kulit batang akan nampak alur-alur tidak beraturan bekas gigitan ulat. Serangan ulat kantong ini tergolong ringan, dengan persentase dan intensitas serangan masing-masing sebesar 10,67% dan 7,14%.
A
B
Gambar 1. A) Ulat kantong, B) Gejala serangan pada kulit batang Menurut Awang dan Taylor (1993), ulat kantong memiliki tanaman inang: A. mangium, Anacardium occidentale, Cassia biflora, Cinnamomum malabratum, Delonix regia, Embica officinalis, Eucalyptus tereticornis, Paraserianthes falcataria, Populus deltoids, Syzygium equeum, Tamarindus indica dan Tectona grandis. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
199
B. Kumbang Penggerek (X. globosa) Jenis kumbang penggerek yang menyerang kayu bawang yaitu X. globosa. Serangan hama ini dijumpai pada tegakan kayu bawang yang ditanam secara campuran dengan karet di Desa Air Sulau Kabupaten Bengkulu Selatan. Hama ini mempunyai sebaran yang luas meliputi India, Ceylon, Burma (Myanmar), Siam, Malaya, Jawa, Sulawesi, Filipina, Mesir, Mauritius, dan Kepulauan Hawai. Hama ini tergolong ordo Coleoptera famili Cerambycidae. ± 2,8 cm
± 5 mm
A
B
C
Gambar 2. A) Kumbang X. globosa, B) Lubang gerek pada pucuk tanaman (tanda panah), C) Lubang gerek pada pangkal tanaman Kumbang ini berwarna coklat kemerahan, disekeliling protoraks terdapat garis tebal yang berwarna hijau kebiruan dan mengkilat (Gambar 2A). Pada kumbang jantan garis hijau kebiruan pada protoraks yang letaknya lateral arahnya miring, sedangkan pada kumbang betina letak garis ini tidak miring tetapi lurus searah dengan arah memanjang tubuhnya. Pada kumbang betina terdapat ovipositor menjulur. Kumbang dewasa memiliki sungut yang panjang (1-2 kali panjang tubuh), perbedaan panjang sungut diduga berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin. Imago X. globosa merupakan serangga nocturnal (Daly et al., 1998). Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah adanya lubang gerekan pada bagian pucuk dan pangkal batang tanaman Kayu bawang (Gambar 2.b dan 2.c). Lubang gerengan sampai pada bagian kayu teras, sehingga dijumpai cacat batang yang sangat merugikan secara ekonomi. Jumlah lubang gerekan di sekitar pangkal batang dapat lebih dari satu. Pada lubang gerekan akan keluar eksudat dan hal ini akan menstimulasi semut untuk mendatangi bagian batang yang terserang. Pada kerusakan lanjut, daun tanaman terlihat menguning, kering dan rontok, pada akhirnya tanaman mati. Besarnya persentase dan intensitas serangan hama kumbang penggerek ini masing-masing sebesar 6,36% dan 2,48%. Selama 5 bulan pengamatan, serangan hama ini mengakibatkan penurunan pertumbuhan tinggi sebesar 6,77% dan diameter tanaman sebesar 16,19%. Tanaman inang hama ini adalah Acacia catechu, A. mangium, A. modesta, Acrocarpus fraxinifolius, Albizia lebbek, A. lucida, A. moluccana, A. odoratissima, A. procera, A. stipulate, Anacardium occidentale, Bauhinia acuminate, Bombax anceps, B. malabaricum, Grewia tiliaefolia, Xylia dolabriformis. (Awang & Taylor, 1993; Friedman dkk., 2008). C. Rayap Neotermes sp. Hama ini menyerang tanaman kayu bawang yang ditanam secara campuran dengan kelapa sawit di Desa Pasir Pedati Kabupaten Bengkulu Tengah. Serangga ini termasuk ordo Isoptera famili Kalotermitidae. Rayap pohon Neotermes sp. (Gambar 3.A) menyerang pohon yang masih hidup dan bersarang dalam pohon serta tidak berhubungan dengan tanah. Serangan rayap pohon Neotermes sp. menyebabkan rongga-rongga tidak teratur dalam kayu dengan meninggalkan lapisan yang tipis
200
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
pada permukaan kayu (Gambar 3.B). Besarnya persentase dan intensitas serangan rayap masingmasing sebesar 2,70% dan 3,57% yang dikategorikan dalam serangan ringan.
B
A
Gambar 3. A) Rayap Neotermes sp., dan B) Gejala serangan rayap Pemilihan tanaman pencampur memegang peran penting dalam upaya pengendalian hama/penyakit dalam tegakan pola agroforestri. Diupayakan komposisi tanaman dalam pola agroforestri disamping mempertimbangkan optimalisasi hasil juga perlu memperhatikan hubungan kisaran hama dengan tanaman inang. Diupayakan jenis tanaman yang ditanam dalam satu lahan bukan merupakan inang dari hama tertentu sehingga ledakan populasi karena ketersediaan bahan makanan bagi hama dapat ditekan. Dengan dijumpai serangan hama pada tegakan Kayu bawang pola agroforestri di Provinsi Bengkulu perlu dikaji tentang pemilihan jenis tanaman pencampur yang dapat menekan potensi serangan hama dengan memilih jenis yang bukan merupakan inang yang kompatibel dengan tanaman Kayu bawang. IV. KESIMPULAN 1. Jenis hama yang dijumpai menyerang pada tegakan Kayu bawang pola agroforestri di Provinsi Bengkulu adalah ulat kantong (Pteroma plagiophleps), kumbang penggerek (Xystrocera globosa) dan rayap pohon Neotermes sp. 2. Persen dan intensitas serangan masing-masing untuk hama ulat kantong (Pteroma plagiophleps) sebesar 10,67% dan 7,14%, kumbang penggerek (Xystrocera globosa) sebesar 6,36% dan 2,48% dan rayap pohon Neotermes sp. Sebesar 2,70% dan 3,57%. 3. Serangan hama kumbang penggerek menyebabkan penurunan pertumbuhan tinggi tanaman Kayu bawang sebesar 6,77% dan diameter sebesar 16,19%. DAFTAR PUSTAKA Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.F) pada Tegakan Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia 5(2). Website:http://www. bdpunib.org/jipi/artikeljipi/2003/64.PDF. Diakses tanggal 13 Agustus 2007. Awang K. & D. Taylor, editor. 1993. eds. Acacia mangium, Growing and utilization. MPTS Monograph Series No.3. Winrock International and The Food and Agriculture Organization of The United Nation. Bangkok. Thailand Daly, H.V., J.T. Doyen & A.H. Purcell. 1998. Introduction to Insect Biology and Diversity. Oxford University Press Inc. New York. Djunaedah, S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
201
jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita. Program pasca sarjana, IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan). Friedman, A.L.L., Rittner, O. & Chikatunov, V.I. 2008. Five New lnvasive Species of Longhorn Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in Israel. Phytoparasitica 36(3):242-246 Kalshoven, LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. [Diterjemahkan oleh: Laan PA van der]. Ichtiar Baru-van Hooeve. Jakarta. Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. Siahaan, H. & T.R. Saefullah. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, tanggal 21 Agustus 2007 di Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Hlm. 150-154 Sumardi & Widyastuti, S.M. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Utami, S, Primayuna, A., Herdianan, N. & T.R. Saefullah. 2011. Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran: Sebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang, tanggal 13 Juli 2011 di Musi Rawas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang kehutanan. Bogor. Hlm.73-78 Utami, S., A. Kurniawan, T.R. Saefullah, A.B. Hidayat. 2010. Budidaya Jenis Kayu bawang Aspek Perlindungan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak Dipublikasikan.
202
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
POTENSI TANAMAN LOKAL SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR DAN RUMPUT PAKAN DALAM MEMPERBAIKI PRODUKTIVITAS LAHAN DAN PAKAN PADA PRAKTEK AGROFORESTRI 1
IN.Prijo Soetedjo1 dan Ida Rachmawati2 2
Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Balai Penelitian Kehutanan Kupang E-mail:
[email protected]
ABSTRACT It has been well known that productivity of land and crop at agroforestry system tend to decrease gradually on that system. Most farmers do not practice continually organic matter harvested from trees to improve soil fertility. The main reason is its needs large amount of organic matters (20-30 t/ha) to improve soil fertility. Therefore, solid organic matters have to be changed to liquid a organic matter which is more efficient, less amount of source, and environmental friendly. Also, grass as livestock consumption has to able in improving soil fertility. First research has been conducted to know the affect of various concentrations of leaves extract (50%, 75%, and 100%) harvested from babonik, nitas and johar to improving of C organic, N total, available P, and K. Second research has been conducted to know the affect of various grasses to change bulk density and porosity, and C organic, N total, available of P, K. Both of those researches were arranged on Randomized Completed Block Designed with 3 replications. Result of the research showed that liquid organic fertilizer extracted from babonik affected significantly to C organic and total N followed by nitas and johar. Moreover, 50% concentrated of extract resulted gradually to C organic, N total, available of P and K. Result of second result showed that Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana improved significantly physical (bulk density and porosity) and chemical (C organic, N total, available of P and K) characteristics of soil compared to Kahirik dan Mapu Key words: agroforestry, babonik, nitas, various grasses
I. PENDAHULUAN Praktek agroforestri sudah lama dipraktekkan secara tradisional oleh petani di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun tingkat keberhasilan dalam memperbaiki daya dukung lahan dan hasil tanaman secara berkelanjutan sangat kecil. Hal ini terutama disebabkan pengaturan model dan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang diinteraksikan tidak tepat. Pemanfaatan bahan organik tidak dilakukan secara berkelanjutan karena jumlah yang harus digunakan sangat banyak (rata rata 20-30 t/ha), dan pemakaian pupuk anorganik secara berlebihan yang berakibat pada pemadatan tanah. Pemanfaatan beragam sumber bahan organik dalam bentuk padatan sebenarnya mampu memperbaiki kondisi tersebut. Hal ini disebabkan bahan organik mengandung hara yang cukup lengkap, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya menahan air, meningkatkan KTK tanah, dan memperbaiki aktifitas biologi tanah. Namun dalam aplikasinya diperlukan jumlah yang banyak (20-30 t/ha). Pemakaian pupuk organik dalam bentuk cairan ternyata mampu menekan jumlah persatuan luasan, lebih efisien, murah dan dapat memperbaiki kualitas fisik, kimia maupun biologi tanah, aman bagi lingkungan, dan tidak meninggalkan residu dalam tanaman sehingga aman untuk dikonsumsi manusia (Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Pemanfaatan tanaman lokal sebagai sumber bahan organik akan lebih menguntungkan karena tanaman mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat, mudah diperoleh, dan sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Sejumlah studi dalam praktek agroforestri tradisional menunjukkan pula bahwa pakan yang ditanam adalah pakan sebagai penguat teras namun sedikit sumbangannya terhadap perbaikan sifat fisik dan kimia tanah bahkan cenderung menjadi pesaing bagi tanaman pangan dalam penggunaan faktor tumbuh. Olehkarena itu perlu dicari pula jenis pakan yang mampu memberikan sumbangan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah, disenangi ternak dan mampu memperbaiki bobot ternak. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
203
II. METODE PENELITIAN A. Penelitian 1 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ekstrak daun babonik, johar (Cassia siamea LAMK), dan nitas (Sterculia foetida LINN), larutan refresh mikroorganisme R1M, urin sapi, gula air, air, kertas label, plastik, alumunium foil, dan bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis laboratorium. Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Berblok dengan tiga ulangan. Variabel penelitian adalah: Ekstrak daun babonik dengan konsentrasi 50%, 75%, dan 100% Ekstrak daun johar dengan konsentrasi 50%, 75%, dan 100% Ekstrak daun nitas dengan konsentrasi 50%, 75%, dan 100% Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Sidik Ragam.yang dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal untuk membandingkan konsentrasi terbaik pada masing masing jenis pupuk organik cair, dan jenis pupuk organik cair terbaik pada semua konsentrasi yang diteliti. Peubah pengamatan terdiri atas peubah kimia tanah: N total tanah dengan menggunakan metode Semiautomatic Kjedhal Digestion P tersedia tanah dengan menggunakan metode Olsen K tersedia tanah dengan menggunakan metode Flame Fotometer C organik tanah dengan menggunakan metode Pengabuan B. Penelitian ke 2 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Kahirik, Panicum maximum (benggala), Euchlaena mexicana dan Mapu , serta bahan kimia untuk analisis laboratorium. Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Berblok dengan tiga ulangan. Variabel perlakuan terdiri atas jenis rumput pakan yang terdiri dari 6 jenis rumput yaitu rumput Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Kahirik, Panicum maximum (benggala), Euchlaena mexicana dan Mapu. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Sidik Ragam.yang dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil Taraf 5 %. Peubah fisik tanah yang dianalisa adalah kerapatan isi tanah dan porositas tanah. Peubah kimia tanah yang dianalisa adalah: N total tanah dengan menggunakan metode Semiautomatic Kjedhal Digestion P tersedia tanah dengan menggunakan metode Olsen K tersedia tanah dengan menggunakan metode Flame Fotometer C organik tanah dengan menggunakan metode Pengabuan Peubah kandungan nutrisi rumput yang diamati pada akhir penelitian: Kandungan protein kasar dengan metode Mikro Kjedhal Kandungan serat kasar dengan metode Wendee Kandungan lemak kasar dengan metode Extraksi Ether III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian 1 1. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Nitas, Johar dan Babonik terhadap Kandungan C Organik Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk cair dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kandungan C organik dalam tanah. Hasil Uji Ortogonal Kontras menunjukkan bahwa rata-rata semua pemberian pupuk cair ekstrak daun johar, nitas, dan babonik memberikan pengaruh nyata dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk (Tabel 1, kontras 7,8,9). Rata rata pemberian pupuk organik cair babonik mampu meningkatkan kandungan C organik pada semua konsentrasi ekstrak lebih tinggi, diikuti dengan pemberian pupuk organik cair nitas dan johar. Hal ini disebabkan daun babonik mengandung serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan daun 204
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
johar dan nitas yang diindikasikan dengan permukaan daun yang lebih kasar dan kaku. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis tanaman yang berbeda memiliki kandungan hara berbeda, sehingga kualitas unsur hara yang dihasilkan akan berbeda, tergantung dari tingkat kemudahan dekomposisi dan mineralisasinya. Semakin mudah bahan tersebut terdekomposisi dan termineralisasi, akan semakin cepat unsur hara dapat dilepaskan. Proses dekomposisi atau mineralisasi, di samping dipengaruhi oleh kualitas bahan organiknya, juga dipengaruhi oleh frekuensi penambahan bahan organik, ukuran partikel bahan, kekeringan bahan, dan cara penggunaannya (dicampur atau disebarkan di permukaan) (Atmojo, 2003, dan Suryani 2007). Tabel 1. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Johar, Nitas, dan Babonik Terhadap Kandungan C Organik Akhir Uji Kontras Ortogonal 1 2 3 4 5 6 Tanpa pupuk Johar 50% 5,07 4,88 4,88 Johar 75% 4,59 4,88 4,88 Johar 100% 4,97 4,88 4,88 Nitas 50% 4,82 5,34 5,34 Nitas 75% 5,60 5,34 5,34 Nitas 100% 5,59 5,34 5,34 Babonik 50% 7,08 5,96 5,96 Babonik 75% 4,92 5,96 5,96 Babonik 100% 5,88 5,96 5,96 F 5% 0,19tn 1,40tn 6,57* 1,14tn 6,19* 2,01tn Ket: * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata, tn = berpengaruh tidak nyata Perlakuan
Awal 3,45 3,45 3,45 3,45 3,45 3,45 3,45 3,45 3,45 3,45
C-Organik (%) Akhir 3,35 -0,1 5,07 1,62 4,59 1,14 4,97 1,52 4,82 1,37 5,60 2,15 5,59 2,14 7,08 3,63 4,92 1,47 5,88 2,43
7 3,35 4,88 4,88 4,88 6,08*
8 3,35 5,34 5,34 5,34 10.38**
9 3,35 5,96 5,96 5,96 17,85**
2. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Nitas, Johar dan Babonik terhadap Kandungan N Total Hasil ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair johar, nitas dan babonik pada semua konsentrasi yang diteliti berpengaruh nyata terhadap peningkatan kandungan N total tanah dibandingkan tanpa pemberian pupuk (Tabel 1, kontras 7,8,9). Hal ini disebabkan kandungan N total tanah yang rendah (0,25), sehingga dengan pemberian pupuk organic cair ini jumlah N total dalam tanah dapat ditingkatkan dan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman pangan dibawah tegakan pohon. Kandungan N total tanah tidak berbeda nyata secara statistik dengan pemberian jenis pupuk organik cair berbeda (kontras 4,5,dan 6) maupun pemberian jenis pupuk organik cair yang sama tapi konsentrasi ekstrak berbeda (kontras 1,2, dan 3). Namun kecenderungan kandungan N total tanah meningkat lebih tinggi bila diberi pupuk organik cair babonik diikuti dengan nitas dan johar. Hal ini disebabkan kandungan N ekstrak babonik lebih tinggi yaitu 1,57% dikuti dengan N ekstrak nitas 1,52% dan johar 1,31%. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2007) dan Rosmarkam dan Yuwono (2007) bahwa banyaknya unsur hara yang dikandung oleh suatu pupuk menentukan kemampuan pupuk tersebut untuk meningkatkan kadar unsur hara dalam tanah Tabel 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Johar, Nitas, dan Babonik terhadap Perubahan dan Kondisi Akhir Kandungan N Total Tanah Perlakuan Tanpa pupuk Johar 50% Johar 75% Johar 100% Nitas 50% Nitas 75% Nitas 100% Babonik 50% Babonik 75%
N Total (%) Awal Akhir
Kontras Ortogonal 1 2 3
4
5
6
7
8
9
0,25
0,33
0,08
-
-
-
-
-
-
0,33
0,33
0,33
0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25
0,64 0,63 0,65 0,63 0,66 0,70
0,39 0,38 0,40 0,38 0,41 0,45
0,64 0,63 0,65 -
0,63 0,66 0,70
-
0,64 0,64 0,64 0,66 0,66 0,66
0,64 0,64 0,64 -
0,66 0,66 0,66
0,64 0,64 0,64 -
0,66 0,66 0,66
-
0,25
0,64
0,39
-
-
0,64
-
0,65
0,65
-
-
0,65
0,25
0,64
0,39
-
-
0,64
-
0,65
0,65
-
-
0,65
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
205
Perlakuan Babonik 100%
N Total (%) Awal Akhir
Kontras Ortogonal 1 2 3
4
5
6
7
8
9
0,25
0,41
-
0,66
2,5 tn Ket: ** = berpengaruh sangat nyata, tn = tidak nyata F 5%
-
0,66
-
0,65
0,65
-
-
0,65
0,01 tn
0,12 tn
1,18 tn
0,09 tn
0,62 tn
12,20 **
18,16 **
13,71 **
3. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Nitas, Johar dan Babonik terhadap Kandungan P tersedia Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair pada semua konsentrasi ekstrak yang diteliti tidak menunjukkan perbedaan nyata secara statistik terhadap kandungan P tersedia dalam tanah (Tabel 3). Hal ini diduga karena kandungan P2O5 di lahan tersebut cukup tinggi (64,2 ppm) sehingga pemberian tambahan dari luar akan memberikan pengaruh yang tidak nyata. Tabel 3. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Johar, Nitas, dan Babonik terhadap Perubahan dan Kondisi Akhir Kandungan P2O5 Tanah Perlakuan Tanpa pupuk Johar 50% Johar 75% Johar 100% Nitas 50% Nitas 75% Nitas 100% Babonik 50% Babonik 75% Babonik 100%
P2O5 (ppm) Awal Akhir 64,2 59,67 64,2 101,73 64,2 93,13 64,2 52,67 64,2 101,07 64,2 80,63 64,2 98,53 64,2 62,77 64,2 93,93 64,2 115,93
-4,53 37,53 28,93 -11,53 36,87 16,43 34,33 -1,43 29,73 51,73
F 5%
Uji Kontras Ortogonal 1 2 101,73 93,13 52,67 101,07 80,63 98,53 0,66 0,10 tn tn
3 62,77 93,93 115,93 1,40 tn
4 82,51 82,51 82,51 93,41 93,41 93,41 0,21 tn
5 82,51 82,51 82,51 90,88 90,88 90,88 0,12 tn
6 93,41 93,41 93,41 90,88 90,88 90,88 0,01 tn
7 59,67 82,51 82,51 82,51 0,01 tn
8 59,67 93,41 93,41 93,41 0,46 tn
9 59,67 90,88 90,88 90,88 0,87 tn
Ket: tn = tidak nyata
Diantara jenis pupuk organik cair yang diteliti, rata-rata pupuk organik cair nitas mampu memberikan peningkatan P tersedia lebih baik dibandingkan babonik dan johar. Hal ini disebabkan kandungan P dalam jaringan nitas lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme pengurai sehingga pada proses mineralisasi P lebih mudah dan cepat terjadi dan P yang dilepaskan ke dalam tanah juga tinggi (Poerwowidodo, 1992; Stevenson, 1982 dalam Atmojo, 2003; Hardjowigeno, 2007). 4. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Nitas, Johar dan Babonik terhadap Kandungan K tersedia Hasil analisa ragam terhadap kandungan K tersedia dalam tanah pemberian pupuk organik cair pada semua konsentrasi yang diteliti berpengaruh nyata secara statistik (Tabel 4 4, kontras 7,8, dan 9). Tabel 4. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Johar, Nitas, dan Babonik terhadap Perubahan Kandungan K2O Tanah Perlakuan Tanpa pupuk Johar 50% Johar 75% Johar 100% Nitas 50% Nitas 75% Nitas 100% Babonik 50% Babonik 75% Babonik 100%
206
K2O (me/100 g) Awal Akhir 1,02 1,12 1,02 1,58 1,02 1,40 1,02 1,45 1,02 1,48 1,02 1,51 1,02 1,45 1,02 1,49 1,02 1,50 1,02 1,48
0,10 0,56 0,38 0,43 0,46 0,49 0,43 0,47 0,48 0,46
Uji Kontras Ortogonal 1 2 3 1,58 1,40 1,45 1,48 1,51 1,45 1,49 1,50 1,48
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
4 1,47 1,47 1,47 1,48 1,48 1,48 -
5 1,47 1,47 1,47 1,49 1,49 1,49
6 1,48 1,48 1,48 1,49 1,49 1,49
7 1,12 1,47 1,47 1,47 -
8 1,12
1,48 1,48 1,48 -
9 1,12 1,49 1,49 1,49
Perlakuan
K2O (me/100 g) Awal Akhir
F 5%
Uji Kontras Ortogonal 1 2 3
4,29 tn Ket: ** = berpengaruh sangat nyata, tn = tidak nyata
0 tn
0,0004 tn
4
5
6
7
8
9
0,004 tn
0,06 tn
0,03tn
25,07 **
25,55 **
26,84 **
Perbandingan diantara pupuk organik cair pada semua konsentrasi ekstrak dan perbandingan diantara konsentrasi ekstrak tidak menunjukkan perbedaan nyata secara statistik (Tabel 4, kontras 1,2,3,4,5,dan 6). Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan K dalam jaringan tanaman yang diteliti relatif sama. Namun dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair mampu memperbaiki kandungan K dalam tanah walaupun pada konsentrasi yang rendah (50%) B. Penelitian 2 1. Pengaruh jenis-jenis rumput terhadap kerapatan isi tanah dan Porositas Tanah Hasil analisa keragaman dan Uji BNT taraf 5% menunjukkan bahwa rumput Setaria spachelata mempengaruhi kerapatan isi tanah lebih tinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan Brachiaria mutica, Mapu, Panicum maximum, dan Euchlaena mexicana (Tabel 5) Tabel 5. Pengaruh jenis-jenis rumput terhadap kerapatan isi tanah dan Porositas tanah Jenis Rumput Brachiaria mutica Setaria spachelata Kahirik Panicum maximum Euchlaena mexicana Mapu BNT 5 %
3
kerapatan isi tanah (g/cm ) 1,39 b 1,50 b 1,23 a 1,36 ab 1,34 ab 1,38 b 0,14
Porositas tanah (%) 46,28 ab 42,05 a 52,43 b 47,56 ab 48,20 b 46,66 ab 5,57
Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji BNT pada taraf 5%
Hasil analisa ini disebabkan perkembangan dan penyebaran akar Setaria spachelata belum mampu untuk menerobos tanah sehingga belum mampu untuk merubah kerapatan isi tanah. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Utomo (1998) bahwa aktivitas akar dapat membentuk retakan-retakan (cracks), sehingga porositas tanah meningkat, tetapi kerapatan isi tanah menjadi rendah. Lahan yang ditumbuhi Kahirik memiliki nilai kerapatan isi yang paling rendah. Hal ini tampaknya berhubungan dengan kemampuan rumput ini dalam membentuk anakan baru dengan kemampuan penyebaran akar yang lebih baik. Hasil analisis Ragam dan uji lanjut BNT taraf 5% menunjukkan bahwa lahan yang ditanami Kahirik memiliki nilai porositas yang tertinggi dan berbeda sangat nyata dengan lahan yang ditanami Setaria spachelata, namun tidak berbeda nyata dengan lahan satuan percobaan yang di tanami Euchlaena mexicana, Panicum maximum, Mapu, dan Brachiaria mutica (Tabel 5). Nilai porositas ini berhubungan dengan analisa kerapatan isi tanah. Semakin tinggi kerapatan isi tanah, maka semakin kecil ruang-ruang kosong (pori-pori) tanah, karena semakin rapatnya partikel-partikel tanah. Lahan satuan percobaan yang ditanami Kahirik memiliki nilai kerapatan isi yang rendah sebagai akibat kemampuan menerobos tanah yang baik dari akarnya, yang menciptakan ruang-ruang kosong sehingga persentasi pori-pori tanah meningkat. Brachiaria mutica, walaupun persentase porositas totalnya bukanlah yang tertinggi namun jenis rumput ini bila dibandingkan dengan jenis-jenis rumput introduksi lainnya memiliki nilai porositas total yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan Brachiaria mutica memiliki tipe pertumbuhan yang merambat dan pada setiap buku akan tumbuh akar. Dengan tumbuhnya akar pada setiap buku akan menambah jumlah dan penyebaran akar sehingga menambah kemampuan akar untuk
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
207
menerobos tanah yang dapat menurunkan nilai kerapatan isi tanah. Menurunnya nilai kerapatan isi tanah membuat porositas totalnya meningkat 2. Pengaruh Jenis-Jenis Rumput Terhadap Kandungan Hara Tanah Hasil analisis Ragam terhadap beberapa kandungan kimia tanah pada lahan satuan percobaan yang ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput pakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (C-organik, N-total, P tersedia, dan K tersedia,), (Tabel 6). Tabel 6. Analisis kimia tanah lahan yang ditumbuhi beberapa jenis rumput pakan pada akhir penelitian Jenis Rumput Pakan
Brachiaria mutica Setaria spachelata Kahirik Panicum maximum Euchlaena mexicana Mapu BNT 5 %
Peubah Pengamatan Kandungan Kimia Tanah C-Organik N- Total P Tersedia (%) (%) (ppm) 1,89 0,16 77,12 2,34 0.16 82,33 1,25 0,18 58,76 2,34 0,21 68,68 1,6 0,19 75,35 2,91 0,14 67,25 tn tn tn
Kandungan Nutrisi Protein Kasar (%) 10,78 10,79 11,13 11,32 11,20 11,29 tn
Serat Kasar (%) 30,05 b 29,51 b 29,29 b 29,04 ab 28,25 ab 27,59 a 1,57
Lemak Kasar (%) 1,24 a 1,27 b 1,28 b 1,31 c 1,32 c 1,33 c 0,02
Keterangan : angka-angka yang di ikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji BNT 5%. tn : tidak nyata menurut uji BNT pada taraf 5 %
Walaupun kandungan kimia tanah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun bila dibandingkan dengan kondisi awal tampak bahwa kandungan kimia tanah setelah akhir penelitian mengalami peningkatan yang cukup baik. 3. Analisis Kandungan Nutrisi Rumput Pakan yang Diteliti Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa kandungan serat kasar dan lemak kasar berbeda nyata secara statistika sedangkan protein kasar tidak berbeda nyata (Tabel 6). Hasil uji lanjut BNT taraf 5 % menunjukkan bahwa jenis rumput Brachiaria mutica memiliki kandungan serat kasar yang paling tinggi. Hal ini tampaknya disebabkan karena morfologi dari rumput Brachiaria mutica terdapat cukup banyak batang yang menjalar. Bamualim dan Wirdahayati (2002) menunjukkan bahwa meningkatnya proporsi batang tanaman akan menyebabkan meningkatnya kandungan serat kasar tanaman tersebut. Tingginya kandungan lemak kasar dari rumput mapu disebabkan karena proporsi daun dari rumput ini yang sedikit lebih banyak dibandingkan rumput yang lain. Hasil studi Tillman dkk (1998) menunjukkan bahwa daun mengandung lebih banyak lemak dibandingkan dengan batang. IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Rata rata pupuk organik cair dari ekstrak babonik, nitas dan johar mampu memperbaiki kandungan C organik, N, P, dan K tanah dibandingkan tanpa pemberian pupuk 2. Ekstrak daun babonik mampu meningkatkan kandungan C organik dan N total lebih tinggi dibandingkan ekstrak daun nitas dan johar pada semua konsentrasi yang diberikan 3. Rata rata dengan pemberian 50% ekstrak daun babonik, nitas dan johar sudah mampu meningkatkan kandungan C organik, N, P, dan K tanah 4. Jenis rumput Brachiaria mutica mampu memperbaiki kerapatan isi dan porositas tanah lebih baik yang diikuti oleh jenis rumput Setaria spachelata, Panicum maximum, Euchlaena mexicana dan Mapu. 208
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
5. Jenis rumput Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana mampu memperbaiki kondisi kimia lahan lebih baik dibandingkan jenis rumput lokal Kahirik dan Mapu. 6. Jenis rumput Mapu memiliki kandungan lemak kasar yang cukup tinggi diikuti oleh jenis rumput Euchlaena mexicana dan Panicum maximum.. Kandungan serat kasar rumput Mapu paling rendah dibandingkan rumput yang lain DAFTAR PUSTAKA Atmojo, W. S. 2003. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Bamualim A dan R. B Wirdahayati. 2002. Peternakan di Lahan Kering Nusa Tenggara. BPTP Naibonat. Hardjowigeno, S. 2007. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. Poerwowidodo, M. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung. Purwendro, S., dan Nurhidayat. 2006. Pengelolaan Sampah Menjadi Pupuk Cair Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2007. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Suryani, A. 2007. Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos. http://www.damandiri.or.id. 10 Agustus 2009. Tillman D.A, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan V, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Utomo, W.H. 1998. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP Malang.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
209
PRODUKSI BUAH GANITRI PADA PADA BERBAGAI UKURAN POHON DI TEGAKAN HUTAN RAKYAT CAMPURAN SALAWU, TASIKMALAYA Gunawan dan Asep Rohandi Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Observations of fruit production is useful for predicting the potential of the fruit ganitri it aims to obtain preliminary information on the potential for fruit production of ganitri on some composition and size of trees that can be predicted for the production per unit area. The results showed that fruit production of ganitri was less correlated to stem diameter and crown width. The relationship between the diameter of the stem with the fruit production is indicated by the linear equation of y = 0.396x + 2838, while the width of the canopy and fruit production is shown by the equation of y = 1.568x + 7209. Average of fruit production of ganitri was 10.68 kg / tree / season. If it is assumed that the fruiting season occured twice in a year with a spacing of 4 mx 4 m, the fruit production is estimated 13 350 kg / ha / year. For the prediction resultsof fruit production so that is quite good (close), then the observation of the production potential should be done in a timely manner as well as stands with a fairly uniform conditions with a number of more examples. It would be better to minimize other factors that will affect the observations. Keywords: Elaeocarpus ganitrus the potential, the production of fruit, mixed forest
I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia menyediakan kurang lebih 4.000 jenis tanaman berkayu yang memungkinkan berpotensi sebagai produk HHBK, bahkan beberapa jenis pohon diketahui memilki multifungsi. Salah satu jenis pohon penghasil (HHBK) yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah ganitri (E. ganitrus). Tanaman ini bermanfaat sebagai pohon pelindung jalan raya (hutan kota), kayunya digunakan untuk pertukangan dan bahan baku alat musik (gitar, piano). Selain itu, bentuk dan ukuran biji ganitri yang unik dapat menghasilkan berbagai produk perhiasan (gelang, kalung, tasbih), bahkan di India dipergunakan sebagai bahan sesajen pada upacara pembakaran mayat (Heyne, 1987). Pertumbuhan yang relatif cepat dengan teknik silvikultur yang mudah menyebabkan jenis ini menjadi jenis prioritas dalam kegiatan penghutanan kembali lahan kritis, padang alang-alang dan daerah terdegradasi lainnya. Di beberapa daerah seperti di Ciamis dan Tasikmalaya, jenis ini pun mulai dibudidayakan sebagai komoditi hutan rakyat. Untuk menunjang kegiatan pengembangannya, perlu didukung dengan ketersediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, informasi teknologi penanganan benih dan pembibitan yang tepat. Sampai saat ini, masih belum banyak dilakukan penelitian dan pengembangan mengenai teknologi perbenihan jenis tersebut, yang meliputi produksi benih, pengujian benih, penyimpanan benih sampai pembibitan. Namun demikian, teknologi perbenihannya harus terus dikembangkan sejalan dengan permasalahan yang ditemui di lapangan. Salah satu informasi yang masih dirasakan kurang adalah gambaran hubungan antara ukuran pohon (diameter batang dan tajuk) dengan potensi produksi buah yang dihasilkan. . Produksi benih bervariasi dari tahun ke tahun dan dari satu pohon ke pohon yang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya variasi ini, antara lain kegagalan pohon untuk berbunga, penyerbukan yang tidak sempurna (Owens, 1995). Untuk pohon di daerah tropis faktorfaktor yang mempengaruhi variasi tersebut masih belum banyak diketahui. Informasi mengenai 210
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
perkiraan benih yang dihasilkan serta mutunya sangat penting diketahui, mengingat umur tanaman hutan bervariasi ketika mulai berbunga dan menghasilkan benih. Gambaran ini akan sangat membantu dalam perencanaan penanaman di masa yang akan datang (Stubsgaard dan Baadsgaard, 1994), baik untuk program hutan tanaman, hutan rakyat maupun kegiatan reboisasi dan konservasi lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara diameter batang dan lebar tajuk dengan produksi buah ganitri. II. METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian pengamatan produksi buah ganitri (E. ganitrus) dilakukan pada hutan rakyat yang berlokasi di Desa Puspahiyang, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2009. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tegakan ganitri, jaring, karung, polybag dan lain-lain. Alat yang digunakan meliputi gunting stek, gelas ukur, pisau cutter, cangkul, termohigro meter, oven, timbangan, kamera, kotak es, ember, meteran, kaliper, alat tulis dan lainlain. C. Prosedur Kerja Pengamatan produksi buah ganitri dilakukan untuk memprediksi produksi buah pada setiap satuan luas. Kegiatan dilakukan dengan mengambil beberapa sampel pohon berdasarkan kelas tinggi dan diameter. Pengelompokan ukuran pohon sampel ditentukan berdasarkan sebaran ukuran yang diperoleh. Selain tinggi dan diameter pohon, diukur pula lebar tajuk dan tinggi tajuk serta umur tegakan. Pengunduhan dilakukan pada waktu panen raya. Pengambilan buah dilakukan dengan mengunduh secara total untuk mengetahui produksi buah pada setiap pohon. D. Analisa Data Analisis data dilakukan untuk melihat hubungan antara diameter batang dan lebar tajuk dengan produksi buah dengan menggunakan analisa regreasi. Y = a + bx atau Y = a + bx + cx2 atau Y = a + bx + cx2 + dx3 dimana : Y = produksi benih a = konstanta b = umur pohon
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan buah ganitri (E. ganitrus) dilakukan pada saat musim panen raya yaitu pada bulan Maret-April dengan mengunduh secara total seluruh buah pada tegakan yang diamati. Data hasil pengamatan produksi buah ganitri selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
211
Tabel 1.
No
Produksi buah ganitri (E. ganitrus) dari lokasi hutan rakyat Puspahiyang, Salawu, Tasikmalaya Deskripsi Pohon Tinggi Total TBC Diameter (m) (m) (cm) 12 7.50 17.26
Lebar Tajuk (m) 2.00
Produksi Buah (kg)
Keterangan
9.00
Tidak Diteres
1.
Umur (Tahun) 4
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
4 9 5 5 4 4 4 -
11 10 14 10 10 13 10 9 12 8.5 8.5 8.5 12 10 11 8 11 9
7.00 6.50 6.00 7.50 6.50 7.50 6.50 6.50 9.50 6.00 6.00 6.00 9.00 7.00 8.00 6.00 8.00 7.00
16.59 15.22 20.45 19.11 21.72 18.76 12.17 9.55 7.96 20.00 20.00 16.00 30.00 30.00 35.00 25.00 15.00 20.00
3.50 2.50 2.50 4.00 3.00 3.50 2.50 2.50 2.00 1.80 1.80 1.70 2.50 2.50 2.80 2.50 1.50 2.00
7.00 8.00 34.00 3.00 10.00 15.00 15.00 8.00 8.00 8.50 8.40 8.00 10.00 15.00 17.00 6.00 5.00 8.00
Tidak Diteres Trubusan Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres
20.
-
10
7.50
23.20
3.40
20.50
Diteres
Keterangan : - umur tidak diketahui
Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa buah ganitri hasil pengunduhan memiliki produksi yang berbeda baik berdasarkan umur tanaman, diameter batang ataupun lebar tajuk. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kondisi pohon yang diunduh cukup bervariasi dan berasal dari lokasi yang berbeda serta diambil secara acak dengan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Proses pembungaan dan pembuahan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam (individu pohon) ataupun dari luar (lingkungan). IFSP (2000), Produksi benih bervariasi dari tahun ke tahun, dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan dari satu pohon ke pohon lain. Selanjutnya Owens (1995) menjelaskan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya variasi ini, antara lain tempat tumbuh, kegagalan pohon untuk berbunga, penyerbukan tidak sempurna. Bila dilihat dari beberapa hal seperti faktor umur pohon, perbedaan produksi cukup sulit untuk dibandingkan karena tidak semua pohon yang diamati umurnya dapat diketahui. Meskipun demikian, dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pohon dengan umur yang sama menghasilkan produksi buah yang berbeda begitu pula untuk pohon dengan umur yang berbeda. Sudrajat et al. (2007) melaporkan bahwa dari beberapa penelitian terhadap beberapa jenis tanaman hutan, yang dilakukan di Cijambu, Sumedang untuk jenis Pinus merkusii, PT. ITCI Kalimantan Timur untuk Gmelina arborea dan E. deglupta dan Subanjeriji Sumatera Selatan untuk jenis A. mangium, diperoleh adanya kecenderungan hubungan yang bervariasi antar umur dan produksi benih jenisjenis tersebut.
212
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Gambar 1.
Hubungan diameter batang terhadap produksi buah ganitri (E. ganitrus)
Apabila dilihat hubungan antara diameter batang ataupun lebar tajuk dengan produksi buah menunjukkan koefisien determinasi (R2) yang cukup rendah yaitu untuk diameter 0.247 dan lebar tajuk 0.023. Hubungan antara diameter batang dengan produksi buah ditunjukkan oleh persamaan linier y = 0.396x + 2.838, sedangkan antara lebar tajuk dan produksi buah ditunjukkan dengan persamaan y = 1.568x + 7.209 (Gambar 1). Dari nilai koefisien determinasi (R2) di atas dapat menunjukkan bahwa pohon-pohon yang mempunyai diameter dan lebar tajuk yang lebih besar memiliki kemungkinan yang kecil untuk menghasilkan produksi buah yang lebih banyak. Rendahnya korelasi yang terjadi diduga selain disebabkan oleh faktor genetik, juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Hackett (1985) menjelaskan bahwa kondisi fisik lingkungan sangat kuat mempengaruhi umur reproduksi. Apabila pohon pada kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan vegetatif, maka tahap pembungaan awal akan berlangsung lebih cepat dan reproduksi akan terjadi pada umur yang lebih muda dibandingkan pada tanah yang kurang sesuai.
Gambar 2. Tegakan, bunga, buah dan biji ganitri (E. ganitrus) Pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa perbedaan faktor lingkungan yang dapat dilihat diantaranya adalah kondisi tanah, intensitas cahaya serta perlakuan/teknik silvikultur yang diterapkan oleh petani (pemilik pohon). Sebagian besar pohon berada pada tegakan/kebun campuran dengan kondisi tegakan yang cukup rapat. Sebagian petani melakukan pemeliharaan secara intensif seperti pembersihan gulma dan pemupukan, sedangkan sebagian lagi dibiarkan seadanya. Selain itu, adanya perlakuan peneresan terhadap beberapa pohon yang dapat Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
213
mempengaruhi produksi buah. Ross dan Pharis (1985) dalam Nurhasybi dan Sudrajat (2008) menjelaskan bahwa kemampuan pohon memproduksi benih/buah merupakan interaksi antara faktor internal (dalam) antara lain umur pohon, kesehatan pohon dan faktor genetik serta faktor eksternal (luar) seperti tingkat kesuburan tanah, kebutuhan cahaya, kerapatan tegakan, hama dan penyakit. Selain itu, faktor perlakuan silvikultur seperti pemangkasan atau pengurangan pucuk tajuk tanaman, peneresan, pemupukan maupun pengaturan jarak tanam dapat meningkatkan produksi benih. Supaya prediksi produksi buah hasilnya cukup baik (mendekati), maka pengamatan potensi produksi sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat (panen raya) serta tegakan dengan kondisi yang cukup seragam dengan jumlah contoh yang lebih banyak. Hal tersebut akan lebih meminimalisir pengaruh-pengaruh faktor lain yang akan berpengaruh pada hasil pengamatan. IV. KESIMPULAN Produksi buah ganitri memiliki korelasi yang cukup kecil terhadap ukuran diameter batang dan lebar tajuk. Rata-rata produksi buah ganitri 10.68 kg/pohon/musim. Apabila diasumsikan musim berbuah terjadi 2 kali dalam setahun dan jarak tanam 4 m x 4 m, maka produksi buah diperkirakan sebesar 13.350 kg/ha/tahun. Supaya prediksi produksi buah hasilnya cukup baik (mendekati), maka pengamatan potensi produksi sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat serta tegakan dengan kondisi yang cukup seragam dengan jumlah contoh yang lebih banyak. Hal tersebut akan lebih meminimalisir pengaruh-pengaruh faktor lain yang akan berpengaruh pada hasil pengamatan. DAFTAR PUSTAKA Hackett, W.P. 1985. Juvenility, Maturation, and Rejuvenilination in Woody Plants. Hort. Rev. 7 : 109155. Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Cetakan I, Jakarta. IFSP. 2000. Seasonal and Locality Variation in Seed Production. Training Course in Seed Biologi, 7-18 Februari 2000. Bogor. Nurhasybi dan Sudrajat. 2008. Teknik Pendugaan Potensi Produksi Benih Tanaman Hutan. Info Benih Vol. 12 No.2, Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Owens, J.N. 1995. Constrains to Seed Production : Temperate and Tropcal Forest Trees. Tree Physiology. Heron Publishing. Canada. P.477-484. Stubsgaard dan baadsgaard. 1994. Planning Seed Collection. Indonesia Tree Seed Source Develovement Project. Ministry of Forestry. Jakarta. Sudrajat, D.J., Nurhasybi dan M. Zanzibar. 2007. Studi Hubungan Umur Pohon dengan Produksi dan Mutu Benih Acacia mangium Willd, Gmelina arborea Linn dan Eucalyptus deglupta Blume. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Belum Diterbitkan.
214
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PRODUKTIVITAS KACANG TANAH (Arachis hypogeae L) DIBAWAH TEGAKAN MANGLID DALAM SISTEM AGROFORESTRI Aris Sudomo Balai Penelitian Teknologi Agroforestry E-mail :
[email protected]
ABSTRACT The objective of this research is to find out the productivity of Arachis hypogeae L and growth of manglid (Manglieta glauca BI) in agroforestry system at the private forest area. It was conducted in private forest area in Tenggerraharja Village of Sukamantri Sub-District of Ciamis District. The research used split plot design as the methodology, with three kinds of prunning intensity for manglid (0%, 50%, and 75%) as the main plot, three planting spaces (2 m x 2 m, 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m) and two planting patterns (monoculture of manglid and agroforestry system of Arachis hypogeae L and manglid) for the subplots. The monoculture of Arachis hypogeae L or without manglid tree was used for the comparation. It used 450 manglid trees (3 pruning intensities x 3 planting spaces x 2 planting patterns x 25 plants). The research showed that the plants weight and the biomass of Arachis hypogeae L under the manglid tree with 0% pruning intensity are (1015 gram/113 gram), pruning intensity 50% (1075 gram/125 gram) and pruning intensity 75% (1567 gram/155 gram). The plants weight and the biomass of Arachis hypogeae L under the manglid tree with 2 m x 2 m of planting spaces was 1450 gram/ 165 gram, with 2 m x 3 m planting space was 1400 gram/ 118 gram, and with 3 m x 3 m planting space was 1060 gram/100 gram. The monoculture of Arachis hypogeae L plants in the open space 2 2 produces 1800 grams/ m of its weight and 163 grams/m of its biomass. LER (Land Equivalend Ratio) point for Arachis hypogeae L and manglid in agroforestry system is 1.78. This showed that agroforestry pattern is more productive than monoculture pattern. Keywords: Agroforestry, Arachis hypogeae L, Private forest dan Manglid
I. PENDAHULUAN Kacang tanah merupakan komoditi tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat tumbuh di lahan tadah hujan hutan rakyat. Kebutuhan kacang tanah di Indonesia yang diproduksi dari dalam negeri hanya 83,73% sedangkan sisanya sebesar 16,27 % harus diimport dari luar negeri (Badan Ketahanan Pangan Nasional, 2008). Penggunaan jenis tanaman kacang-kacangan sebagai pupuk hijau banyak dilakukan di dalam sistem pertanian modern disebabkan oleh kemampuan menambat nitrogen, jatuhan daun dan batang, mempertahankan sifat fisik tanah. (Yulipriyanto, 2010). Pada lahan kering hutan rakyat, tanaman berkayu jenis manglid menjadi primadona masyarakat, khususnya wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Selain nilai jual bagi industri kayu cukup tinggi, jenis tanaman kayu manglid terbukti telah dapat tumbuh baik di lahan-lahan masyarakat. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan pemenuhan kebutuhan jangka pendek bagi masyarakat dapat di tempuh dengan teknologi agroforestri yang mengkombinasikan tanaman kayu daur panjang dengan tanaman semusim daur pendek. Permasalahan dalam teknologi agroforestri adalah adanya interaksi antara tanaman penyusun yang terkadang bersifat saling kompetitif dalam memperebutkan faktor-faktor pertumbuhan (sinar matahari, air dan unsur hara). Hal ini terjadi karena kedua tanaman yang berdekatan sama-sama memerlukan sumber daya yang ada baik didalam tanah (air dan unsur hara) maupun diatas tanah (sinar matahari). Oleh karena itu diperlukan pengaturan tanaman kayu baik secara jarak tanam dan pemangkasan tajuk sebagai tindakan silvikultur agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas tanaman kacang tanah (Arachis hypogeae L) dan pertumbuhan tegakan manglid pada sistem agroforestri di lahan kering hutan rakyat. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
215
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di lahan tadah hujan pada hutan rakyat yang secara administratif termasuk wilayah Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat selama 4 bulan mulai bulan Februari s/d Juni 2012. Lahan hutan rakyat tersebut berketinggian ± 894 mdpl dan curah hujan 2.071 mm/tahun dan berdasarkan Schmith Ferguson, termasuk type C (agak basah) (BP3K, 2012). B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan manglid, benih kacang tanah, pupuk kandang, NPK dan Urea. Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah cangkul, sabit, tambang, drum, meteran, ember, kaliper, timbangan, kamera, termohigrometer, luxmeter dan alat tulis. C. Prosedur Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah split plot design. Tegakan manglid berumur 2 tahun dengan mainplot 3 intensitas pruning (0%, 50% dan 75%) dengan sub-plot 3 jarak tanam (2 m x 2 m, 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m) dan sub-sub plot 2 pola tanam (monokultur manglid dan agroforestri manglid+kacang tanah). Penanaman kacang tanah secara monokultur dilakukan sebagai pembanding. D. Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data biofisik (sifat fisik dan kimia tanah, temperatur, kelembaban, intensitas cahaya), pertumbuhan manglid (diameter dan tinggi) dan pertumbuhan kacang tanah (berat tanaman kacang tanah dan berat kering polong kacang tanah hasil panen). Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman dianalisis secara deskriptif kuantitatif. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Biofisik Plot Penelitian Karakteristik tanah lokasi plot penelitian menjadikan gambaran tingkat kesuburan tanah untuk sumber daya faktor pertumbuhan tanaman agroforestri manglid +kacang tanah. Berdasarkan analisis sampel tanah sebelum penanaman agroforestri dan setelah penanaman agroforestri dapat diketahui karakteristik sifat fisik dan kimia tanah pada lokasi plot penelitian (Tabel 1). Tabel 1. Penilaian tanah pada monokultur dan agroforestri manglid+kacang tanah No
Parameter
Monokultur Manglid Umur 24 Umur 28 bulan bulan
2
Kadar lengas % (0,5 mm) Kadar lengas % (2 mm)
3
pH H20
5,58
4,77
4
C (%)
1,78
3,99
5
BO (%)
3,07
6,88
6
N tot (%)
0,18
0,36
1
216
Agroforestri Keterangan
Keterangan Sebelum
Sesudah
20,30
16,22
23,50
12,93
19,85
15,80
23,08
12,76
5,95
4,80
2,12
3,88
3,65
6,68
Agak masam ke masam Sedang ke sangat tinggi Sedang ke sangat tinggi
0,26
0,31
Sedang
Masam Sedang ke sangat tinggi Sedang ke sangat tinggi Rendah ke Sedang
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
No 7
Monokultur Manglid Umur 24 Umur 28 bulan bulan
Parameter
9
P tsd (ppm) K tsd (me/100 gram) KPK (me/100 gram)
10
Tekstur
8
Agroforestri Keterangan
Keterangan Sebelum
Sangat rendah Rendah ke Sedang
Sesudah
2,07
1,58
0,28
0,49
20,61
32,89
Lempung
Lempung
Lempung
Lempung (%)
47,96
59,47
51,71
59,51
Debu (%)
32,55
21,82
34,41
21,63
Pasir (%)
19,49
18,71
13,88
18,86
Sedang ke tinggi
1,45
2,65
Sangat rendah
0,28
0,51
Rendah ke Sedang
21,66
32,93
Sedang ke Tinggi
Lempung
Sumber : Hasil analisis sampel tanah tahun 2012 di Laboratorium tanah Fakultas Pertanian UGM
Produksi Berat Kering Kacang Tanah (Gram/m2)
B. Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah Intensitas pruning manglid yang berbeda menyebabkan intensitas cahaya juga berbeda sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah. Semakin besar intensitas pruning menghasilkan intensitas cahaya semakin besar sehingga pertumbuhan dan produksi kacang tanah yang lebih baik. Kacang tanah memerlukan tempat terbuka untuk pertumbuhan yang optimal. Hal ini terlihat dari relatif lebih bagusnya pertumbuhan dan produksi kacang tanah pada tempat terbuka (monokultur ). Hasil penelitian dalam Mindawati et.al. (2006) menunjukkan bahwa kacang tanah dapat tumbuh baik dibawah tegakan sengon. Penanaman kacang tanah di bawah tegakan Acacia mangium dan Eucaliptus deglupta tidak berhasil baik karena terhalang naungan dan perakaran tanaman pokok (Haryanto dan Dwiriyanto, 1988). Agroforestri Jati dan kacang tanah menunjukkan bahwa secara umum hasil yang diperoleh dari sistem agroforestri lebih rendah dibandingkan dengan monokultur, baik untuk aktual maupun potensi produksi (Setyonining, 2003). 200 150 100 50 0
113
125
0%
50%
155
163
75%
Monokultur Kacang
Intensitas Pruning Pohon Manglid
Berat Tanaman Kacang Tanah/m2
Gambar 1. Produksi kacang tanah pada tiga intensitas pruning manglid 2000 1500
1800
1567 1015
1075
0%
50%
1000 500 0 75%
Monokultur Kacang
Intensitas Pruning Pohon Manglid
Gambar 2. Pertumbuhan kacang tanah pada tiga intensitas pruning manglid Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
217
Berat Tanaman Kacang Tanah (Gram/m2)
Pertumbuhan kacang tanah pada ketiga jarak tanam secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan pada monokultur. Rata-rata produksi kacang tanah pada pola agroforestri mengalami penurunan sebesar 19,63% dibandingkan dengan tempat terbuka (monokultur kacang tanah) sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Hal ini disebabkan oleh persaingan dalam memperoleh faktor pertumbuhan (air, unsur hara dan sinar matahari). Meskipun demikian pada data disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4 ternyata jarak tanam semakin lebar menghasilkan pertumbuhan dan produksi kacang tanah yang semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pada manglid umur 2 tahun jarak tanam belum memberikan efek perbedaan dalam memperoleh faktorfaktor pertumbuhan. Jikapun ada perbedaan faktor-faktor pertumbuhan lebih disebabkan oleh perlakuan intensitas pruning. Hal ini sesuai dengan penelitian Widiarti, (1986) yang menyatakan bahwa jarak tanam pohon tidak memberikan pengaruh nyata dalam produksi tanaman semusim kacang tanah ,jagung dan padi gogo. 1800
2000 1500
1450
1400 1060
1000 500 0 2mx2m
2mx3m
3mx3m
Monokultur Kacang
Jarak Tanam Pohon Manglid
Produksi Berat Kering Kacang Tanah (Gram/m2)
Gambar 3. Pertumbuhan kacang tanah pada tiga jarak tanam manglid 200
165
150
163 117.5
100
100 50 0 2mx2m
2mx3m
3mx3m
Monokultur Kacang
Jarak Tanam Manglid
Gambar 4. Berat kering kacang tanah pada tiga jarak tanam manglid C. Pertumbuhan Manglid Dalam Pola Tanam Agroforestri Pertumbuhan manglid pada pola tanam agroforestri relatif lebih lambat dibandingkan pola tanam monokultur manglid yang ditunjukkan oleh delta (selisih pertumbuhan tinggi dan diameter setelah dan sebelum penanaman tanaman bawah) yang lebih rendah. Pola tanam agroforestri menghasilkan delta pertumbuhan tinggi (54,63 cm) dan diameter (5,39 mm). Data ini lebih rendah dibandingkan pada pola tanam monokultur yang menghasilkan delta pertumbuhan tinggi (59,03 cm) dan diameter (5,81 mm) sebagaimana disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Manglid+kacang tanah dalam pola agroforestri menyebabkan kompetisi didalam tanah dalam memperoleh unsur hara dan air. Hal ini disebabkan oleh karakteristik perakaran keduanya yang sama dangkal dekat dengan permukaan tanah. Keberadaan kacang tanah dalam pola tanam agroforestri menyebabkan berkurangya faktor pertumbuhan di dalam tanah untuk manglid terutama air dan unsur hara. Hal ini menyebakan pertumbuhan manglid pada pola tanam 218
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Pertumbuhan Tinggi (cm)
agroforestri relatif lebih lambat dibandingkan monokultur. Hal ini berbeda dengan penelitian Sabarnurdin, (1992) yang menyatakan bahwa pertumbuhan diameter jati lebih baik pada sistem tumpangsari kacang tanah. 300.00
250.35
250.06
250.00
195.43
191.32
200.00 150.00 100.00
59.03
Sebelum agroforestri
54.63
Setelah agroforestri
50.00 0.00
Delta Pertumbuhan Tinggi Monokultur Manglid
agroforestri Manglid+Kacang Tanah
Pola Tanam
Pertumbuhan Diameter (mm)
Gambar 5. Pertumbuhan tinggi pada monokultur dan agroforestri 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
36.14 30.74
34.62 28.80
Sebelum agroforestri 5.81
5.39
Monokultur Manglid
agroforestri Manglid+Kacang Tanah
Setelah agroforestri Delta Pertumbuhan Diameter
Pola Tanam
Gambar 6. Pertumbuhan diameter pada monokultur dan agroforestri D. Land Equivalen Ratio (LER) Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas menunjukkan bahwa pola tanam agroforestri mengakibatkan produksi tanaman sedikit lebih rendah dibandingkan dengan jika ditanam monokultur baik pada manglid maupun kacang tanah. Selanjutnya untuk mengetahui alternatif pola tanam yang lebih menguntungkan antara agroforestri atau monokultur maka dilakukan perhitungan nilai kesetaraan lahan (LER) sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Kesetaraan Lahan (LER) Agroforestri Manglid dan Kacang tanah Pola Tanam/Hasil/LER
Hasil Produksi Manglid (Delta Volume)
Monokultur Manglid Monokultur Kacang tanah
LER/komoditi
Kacang tanah (Kg/ha)
Manglid
Kacang Tanah
LER
0.07 1630 Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
219
Pola Tanam/Hasil/LER Agroforestri Manglid+kacang tanah
Hasil Produksi Manglid (Delta Kacang tanah Volume) (Kg/ha) 0.07
1275
LER/komoditi Manglid Kacang Tanah 1
0.78
LER
1,78
Nilai LER (Land Equivalent Ratio) untuk agroforestri manglid+ kacang tanah (1,78). Hal ini menunjukkan bahwa pola agroforestri memberikan keuntungan lebih produktif bila dibandingkan ketika komoditi tersebut ditanam tunggal/monokultur. Komoditi pada kondisi tunggal/monokultur akan dapat menghasilkan seperti pada pola agroforestri jika keluasan lahannya 78% lebih luas. Nilai LER >1 lebih banyak dikontribusikan komponen LER manglid (1) yang menunjukkan hasil yang relatif tidak berbeda jauh antara ditanam dengan agroforestri dengan ditanam monokultur. Kacang tanah merupakan jenis legum yang mempunyai kemampuan mengikat N bebas dari udara. Kontribusi LER dari tanaman pangan relatif rendah yaitu kacang tanah (0,78). Hal ini menunjukkan bahwa agroforestri menyebabkan lebih banyak penyusutan hasil produksi tanaman pangan tersebut dibanding monokultur. Meskipun demikian secara keseluruhan pola tanam agroforestri tetap lebih menguntungkan dari pada jika tanaman tersebut ditanam tunggal/monokultur dengan nilai LER>1. IV.
KESIMPULAN
A. Kesimpulan 1. Rata-rata produksi kacang tanah pada pola agroforestri mengalami penurunan sebesar 19,63% dibandingkan dengan tempat terbuka (monokultur kacang tanah). Delta pertumbuhan tinggi dan diameter manglid selama ± 3 bulan pada sistem agroforestri (54,63 cm/5,39 mm) dan pada monokultur manglid (59,03 cm/5,81 mm). 2. Semakin besar intensitas pruning dari 0%, 50% dan 75% menghasilkan pertumbuhan dan produksi kacang tanah semakin besar. Berat tanaman dan berat kering polong kacang tanah pada setiap m2 pada intensitas pruning 0% (1015 gram/113 gram) , intensitas pruning 50% (1075 gram/125 gram) dan intensitas pruning 75% (1567 gram/155 gram). 3. Nilai LER (Land Equivalent Ratio) untuk agroforestri manglid+ kacang tanah adalah 1,78. DAFTAR PUSTAKA Badan Ketahanan Pangan Nasional. 2008. Slide Power Point. Materi Dipresentasikan di Balai Penelitian Teknologi Agroforestri. Ciamis. BP3K, 2012. Programa Kehutanan Sukamantri. Balai Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan. Sukamantri. Ciamis Daniel, T.W., J.A. Helms dan F.S Baker, 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur . Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Hani’in. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Haryanto, Y dan H. Dwiriyanto. 1988. Uji Coba Pengembangan Tanaman Pangan Agroforestry. BTR Benakat. Palembang. Mindawati. N., A. Widiarti dan B. Rustaman. 2006. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. P3HT. Dephut. Bogor. Na’iem, M dan M.S. Sabarnurdin. 2003. Agroforestri Dalam Pengelolaan Lahan Intensif Sumber Daya Lahan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri. “Peranan Strategis Agroforestri Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari Dan Terpadu. Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta. Setyonining, A.R. 2003. Potensi Produksi Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaenae L) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectona grandis L) pada Sistem Agroforestri di Kalipare, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). 220
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Sabarnurdin, MS. 1992. Pengaruh Tanaman Semusim Terhadap Pertumbuhan Jati (Tectona grandis) Serta Kesuburan Tanah Pada Sistem Tanaman Tumpangsari di Wanagama I. Buletin FKT UGM 21:35-51. Yogyakarta. Widiarti, 1986. Percobaan Penanaman Khaya anthoteca dengan sistem tumpangsari. Buletin Penelitian Hutan 481:27-52. Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaanya. Graha Ilmu. Edisi Pertama. Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
221
Shorea Balangeran SEBAGAI AGROFORESTRI DI LAHAN RAWA GAMBUT Purwanto B Santosa dan Tri Wira Yuwati BPK Banjarbaru Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Agroforestry on peat swamp land has a strategic role in peat land rehabilitation. Optimizing utilization of land through agroforestry could help reduce abandoned land with poor vegetation. Apart from enhancing the input of agroforestry could also improving ecological condition. Shorea balangeran is a commercial timber tree species of Dipterocarpaceae family with known local name as kahoi, kahui, balangeran. This species is being 3 used as construction wood and the price is increasing in 2013 reached up to 3 million rupiahs/m . Naturally, balangeran could increase 20-25 m with free-branched stem of 15 m, diameter 50 cm and the timber is classified in the durability class of II (I-III) and strength class of II with bulk density of 0,86.This paper aimed to determine the utilization of balangeran as agroforestry species from the perspective of silvicultural aspects based on research results. The silvicultural aspects were nursery, planting and tending. The propagation of belangeran could be carried out generatively by seed or wildlings and vegetatively by cuttings. The application of indigenous mycorrhiza and fertilizer was proved to increase the quality of seedlings. The application of ectomycorrhiza Boletus sp. and Scleroderma sp. could increase the height and diameter of balangeran in the nursery scale and up to 40 months after planting in the field. In the planting aspect, the land preparation in the degraded and over burned peat swamp area by mounding in the higher micro topograph could reach 8.5 m height compared with no mounding 8.2 cm nine and a half years after planting. As for diameter, mounding give 8.5% better diameter growth compared with no mounding. Tending could be carried out with weeding with frequency of once every 3-4 months. Based on several research results, Shorea balangeran is a prospective species for agroforestry as main timber species in peat swamp. Keywords : peat swamp land, agroforestry, Shorea balangeran
I. PENDAHULUAN Era pembangunan kehutanan di saat ini dan mendatang adalah era pembangunan hutan tanaman untuk dapat menjadi pemasok utama bahan baku kayu, seiring dengan semakin berkurangnya potensi kualitas dan kuantitas sumber daya hutan alam. Hutan alam tidak lagi mampu menyokong kebutuhan kayu nasional saat ini yang mencapai 57,1 juta m3 per tahun, sedangkan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman hanya sebesar 45,8 juta m3 per tahun (MENLH, 2007). Berdasarkan rencana strategis Badan Litbang Kehutanan, diharapkan hutan tanaman sudah mampu berperan dalam menyediakan 75% kebutuhan bahan baku industri perkayuan pada tahun 2014 (Badan Litbang Kehutanan, 2009). Salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan produktifitas dari kerusakan hutan dan lahan gambut adalah melalui penanaman. Agroforestri yang merupakan perpaduan antara tanaman kehutanan dan pertanian dapat berkontribusi dalam peningkatan tananaman kehutanan, khususnya pada lahan gambut yang terdegradasi. Menurut Harun (2005), terdapat beberapa teknik agroforestri yang digunakan masyarakat di lahan gambut di Kalimantan Selatan yaitu alley cropping dengan teknik gundukan, alley cropping dengan teknik galengan, alley cropping dengan teknik surjan dan multiple cropping dengan teknik guludan atau baluran. Agroforesti di lahan gambut diharapkan bermanfaat baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Secara ekonomi, agroforestri di lahan gambut mampu menyediakan kebutuhan pangan dan diversifikasi produk baik untuk keperluan komersial atau subsisten. Adanya pohon sebagai komponen penyusun agroforestri lahan gambut dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan kayu dan bentuk investasi jangka panjang bagi petani. 222
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Shorea balangeran termasuk jenis pohon komersial dan termasuk dalam famili Dipterocarpaceae dengan nama daerah yang dikenal di Kalimantan yaitu kahoi, kahui, balangeran dan di Sumatera yaitu : belangeran, belangir, belangiran, melangir. Pada sebaran alamnya terdapat secara berkelompok. Tinggi pohon balangeran dapat mencapai 20-25 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 15 m, diameter 50 cm dan tidak berbanir dan kayunya memiliki kelas awet II (I-III) dan kelas kuat II dan mempunyai berat jenis 0,86. Shorea balangeran merupakan jenis tumbuhan hutan rawa gambut yang selama ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Harga kayu balangeran di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada bulan April 2013 saat ini cukup tinggi di pasaran yaitu mencapai 3 juta rupiah per meter kubik. Namun kayu balangeran yang ada di pasaran selama ini masih dari tegakan alam dan bukan berasal dari tanaman. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi aspek silvikultur Shorea balangeran yang cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai tanaman penyusun agroforestri di lahan gambut. II. METODE A. Pembibitan dan pertumbuhan bibit Musim buah masak balangeran di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah bulan Februari – April. Pada tahun 2011 di bulan tersebut terjadi panen raya. Jumlah benih balangeran yang telah disortasi dengan membuang sayapnya sekitar 3500-4000 buah /kg. Benih balangeran bersifat rekalsitran sehingga benihnya (bijinya) tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Oleh karena itu, jika memperoleh benih balangeran sebaiknya benih langsung disemai pada bedengan atau polibag dan disimpan dalam bentuk bibit, bukan disimpan dalam bentuk benih (seeds). Pembuatan bibit secara vegetative stek dengan kondisi lingkungan yang terkontrol dengan pengaturan pengkabutan / metode KOFFCO menunjukkan stek sudah mulai berakar antara 11-16 minggu dengan tingkat keberhasilan 75,3% (Rusmana, 2005). Untuk penumbuhan akar stek balangeran media yang dapat digunakan yaitu pasir sungai dan campuran cocopeat + sekam padi (2:1), (Rusmana dan Lazuardi, 2004). Peningkatan pertumbuhan bibit balangeran dapat dilakukan dengan pemupukan dan aplikasi mikorisa lokal yang dieskplorasi dari lahan rawa gambut. Yuwati et al., (2010) melaporkan aplikasi pupuk makro terhadap semai balangeran menunjukkan bahwa pemberian Urea (N), TSP (P), KCl (K) dan Dolomit (CaMg) dengan dosis 36,8 mg/ polibag, dengan aplikasi 2 kali seminggu menunjukkan bahwa penambahan unsur N, P dan K berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai balangeran, akan tetapi penambahan unsur CaMg tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah helai daun semai balangeran umur 7 bulan di persemaian (Yuwati et al., 2010).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
223
60 b
50 b
tinggi (cm)
40
b
30 20
a
d
kontrol N NP NPK NPKCaMg
10 0 unsur hara makro
Gambar 1. Grafik rata-rata pertumbuhan tinggi semai S. balangeran umur 7 bulan di persemaian dengan aplikasi N, P, K dan CaMg (Yuwati et al., 2010)
Aplikasi mikorisa terhadap semai balangeran dilaporkan Turjaman et al. (2011) bahwa spora ECM terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan semai tersebut sampai 6 bulan setelah inokulasi di persemaian, dimanan Boletus sp dan Scleroderma sp meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 26% sedangkan Strobilomyces sp secara signifikan meningkatkan pertumbuhan tinggi 16% dibanding tanpa aplikasi mikorisa. B. Persiapan lahan dan penanaman Secara alami kondisi hutan rawa gambut mempunyai mikrotopografi yang merupakan variasi elevasi permukaan gambut, yaitu terdiri dari bagian permukaan gambut yang permukaan lebih tinggi, terdiri dari material organik gambut, dengan tinggi 0,3-1 meter (hummock) dan bagian elevasi permukaan yang lebih rendah (hollow). Menurut Rieley dan Page (2008) mikrotopografi di permukaan gambut berupa guludan-guludan kecil (small hummocks) yang bisa mencapai tinggi 50 cm atau lebih dan cekungan-cekungan yang hampir sama dalamnya. Kerusakan mikrotopografi (hummock-hollow) alami secara luas di kawasan gambut disebabkan karena degradasi hutan rawa gambut karena terjadinya pengatusan air dengan pembuatan sistem kanal besar-besaran dan penebangan hutan yang berlebih (Anonim, 2008). Berdasarkan evaluasi tanaman balangeran yang terapat pada hutan rawa gambut sekunder pasca terbakar tahun 1997 di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman lebih baik pada kondisi mikrotopografi dengan elevasi permukaan lebih tinggi daripada cekungan seperti Gambar 2 berikut (Santosa, 2010b). Tanaman balangeran yang terbaik penampilan tingginya (13 m) terdapat pada gundukan, sedangkan terendah (5,5 m) pada cekungan dengan kedalaman air terendah terendah 38 cm dan terdalam 91 cm.
224
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
150
100
50 13
5.5 0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65 67 69
-38 -50
-100 permukaan gambut (cm)
-91
tinggi pohon (m) -150
tinggi permukaan air (cm)
Gambar 2a. Mikrotopografi permukaan gambut guludan dan cekungan pada tanaman balangeran (Santosa, 2010b) Parameter Tinggi (cm) Diameter (cm) Diameter tajuk (m) Intensitas cahaya (%)
Pertumbuhan Baik Jelek 1250 (±50) 270 (±43,5) 14,53 (±1,8) 1,9 (±0,3) 3,9 (±1,1) 1,2 (±0,3) 0,17 (±0,02) 0,11 (±0,01)
Ket sig sig ns ns
Suhu udara (oC) Kelembaban udara (%)
26,5 (±2,1) 86 (±0,00)
29,3 (±0,5) 84 (±1,7)
ns ns
Suhu tanah (oC) Kandungan serat Mikrotopografi (cm) Kedalaman air (cm)
26,3 (±0,5) 66,6(±9,4) 12,5 (±4,4) 75,5 (±4,4)
27 (±0,00) 68,2 (±12,1) 0,66 (±1,6) 63,6 (±1,6)
ns ns sig sig
Ket: angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi ;sig (signifikan) ns ( non signifikan)
Gambar 2b. Kondisi lingkungan pada tanaman balangeran berpenampilan baik dan jelek (Santosa, 2010a)
Berdasarkan beberapa parameter pengamatan yang dilakukan pada kategori tanaman yang mempunyai penampilan baik dan penampilan jelek, diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan pada parameter mikrotopografi dan tingi permukaan air. Pada kondisi mikrotopografi yang tinggi, permukaan air semakin rendah dan sebaliknya. Tanaman S.balangeran 9,5 tahun pada 2 tipe persiapan lahan yaitu dengan guludan dan tanpa guludan diketahui bahwa tinggi tanaman dengan persiapan lahan digulud yaitu 8,5 m sedangkan tanpa gulud mempunyai penampilan tinggi 8,2 m. Hal ini berarti penampilan tinggi tanaman yang digulud adalah 3,5% lebih baik daripada tanpa gulud, sedangkan diameter batangnya 8,5 % lebih baik. Peran dan pengaruh guludan yang dibuat pada areal tanaman di rawa gambut dilaporkan beberapa peneliti diantaranya: 1) Tanaman Macaranga sp., Baccaurea sp., Syzygium pyrifolium, Sterculia bicolor dan Syzygium oblatum di lahan gambut Thailand menunjukkan pertumbuhannya lebih baik, hal ini karena adanya oksigen yang cukup pada zona perakaran dan lebih sedikit gulma yang tumbuh pada awal pertumbuhan tanaman (Nuyim, 2000).
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
225
2) Guludan dibuat agar tanaman tidak tergenang pada saat permukaan air naik dan aerasi lebih baik dan secara kimia menurut mempunyai keasaman relatif kurang tinggi dan unsur toksik relatif kurang, kandungan hara dan kandungan nitrogen lebih tinggi (Nishimua et al., 2007) 3) Guludan dibuat agar dapat memberikan lingkungan perakaran lebih baik, disamping itu berguna juga untuk membuat gambut lebih padat sehingga penjangkaran akar dalam tanah lebih kuat (Aribawa et al.,1993) 4) Mengurangi dampak terjadinya ketergenangan pada bibit pada fase awal pertumbuhannya, yaitu : a. Tanaman yang tidak dilakukan pengguludan akan mengalami lebih banyak ketergenangan pada masa awal pertumbuhannya yang menyebabkan beberapa gangguan fisiologis tanaman yaitu fotosintesis dan transport karbohidrat terganggu, penyerapan unsur hara makro berkurang karena pembusukan dan kematian akar (Kozlowski, 1997). b. Ketersediaan dan pengambilan unsur hara di rawa gambut oleh tanaman tergantung percabangan akar, jangkauan akar, dan panjang dan kerapatan rambut akar, sehingga ketika terjadi ketergenangan disekitar perakaran menjadi hypoxia dan anoxia yang berpengaruh terhadap berkurangnya penyerapan hara (Gupta, 2005). c. Pada daerah yang tergenang, aerasi berkurang menyebabkan respirasi akar menurun sehingga akan mengurangi pertumbuhan akar dan penyerapan hara (Sutrisno, 1998). Berdasarkan infomasi diatas diketahui bahwa persiapan lahan dengan pengguludan sebagai upaya untuk menghindari ketergenangan bibit menunjukkan pengaruh yang baik pada fase awal tanaman beradaptasi dengan lingkungan dan tahapan pertumbuhan tanaman selanjutnya. C. Pemeliharaan tanaman balangeran Periode kritis adalah suatu periode dimana tanaman berada pada kondisi yang peka terhadap lingkungan, terutama unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Apabila gulma tumbuh dan mengganggu tanaman pada periode kritis tersebut, maka tanaman akan kalah bersaing dalam pengunaan unsur-unsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Periode kritis untuk persaingan gulma pada setiap jenis dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk bersaing, jumlah dan macam gulma yang berasosiasi. Pengetahuan periode kritis persaingan gulma dengan tanaman pokok sangat penting artinya dalam usaha mencapai efisiensi tindakan pengendalian gulma (Sukman dan Yakup, 2002). Grafik pertumbuhan tanaman selama 6 bulan menunjukkan bahwa tanaman yang dipelihara setiap 2 bulan sekali mempunyai pertambahan tinggi terbesar dibandingkan perlakuan lain. Tabel 1. Pengaruh pemeliharaan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang dan daya hidup tanaman S. balangeran (Santosa, et al., 2003) Perlakuan P1 P2 P3 P0
Pertumbuhan Tinggi 25.32 a 27.95 a 24.27 a 18.46 a
Diameter 0.20 ab 0.21 a 0.22 b 0.15 a
Keterangan :-Nilai tengah yang diikuti huruf yang sama untuk masing-masing parameter yang diamati tidak berbeda nyata pada taraf 5%. P1 = penebasan 2 bulan sekali, P2 = penebasan 3 bulan sekali, P3 = penebasan 4 bulan sekali, P0 = kontrol
Pertumbuhan tanaman balangeran menunjukkan bahwa tanaman yang dipelihara setiap 3 bulan sekali mempunyai pertambahan tinggi terbesar dibandingkan perlakuan penebasan 2 bulan, 4 bulan sekali dan kontrol (tidak ditebas selama 6 bulan). Diameter tanaman balangeran menunjukkan tidak terdapat perbedaan diantara perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian ini, penebasan tanaman balangeran dapat dilakukan 3 bulan sekali. Hal ini sesuai dengan penelitian Bastoni dan Sianturi (2000) yang melaporkan bahwa berdasarkan pada laju pertumbuhan tinggi tumbuhan bawah di lahan rawa gambut Sumatera dan laju pertumbuhan tinggi tanaman pengayaan, pembebasan 226
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
tumbuhan bawah yang efektif dilakukan dengan frekuensi 3 kali pada tahun pertama (4 bulan sekali) serta 2 kali pada tahun kedua dan ketiga (6 bulan sekali) setelah penanaman. III. PENUTUP Tanaman balangeran mempunyai pertumbuhan yang baik ketika kondisi lingkungan mendukung. Untuk itu diperlukan manipulasi lingkungan agar balangeran dapat tumbuh optimal. Pada lahan gambut tipis dan gambut yang dalam dengan kondisi tergenang diperlukan manipulasi tapak. Persiapan lahan gundukan secara individu terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan balangeran. Dalam penerapan agroforestri di lahan gambut, dimungkinkan dilakukan beberapa teknik agroforestri yang dapat dilakukan, yaitu alley cropping dengan teknik gundukan, alley cropping dengan teknik galengan, alley cropping dengan teknik surjan dan multiple cropping dengan teknik guludan atau baluran. DAFTAR PUSTAKA Bastoni dan Sianturi, A. 2000. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan (Enrichment Planting) Pada hutan Rawa Gambut di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa dan Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan di Hutan Lahan Basah dilaksanakan di Banjarmasin. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. P 109-117. Badan Litbang Kehutanan. 2009. Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jakarta. Harun, M.K., 2005. Analisis Sosial Ekonomi dan Lingkungan Fisik Sistem Agroforestri Khas Lahan Gambut Tipis di desa Sei Pantai, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Menlh. 2007. Status lingkungan hidup Indonesia 2006. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Nishimua T.B.,. Suzuki, E., Kohyama, T., Tzuyuzaki, S. 2007. Moratlity and growth of trees in peat swamp and heath forest in Central Kalimantran after severe drought. Plant Ecol 188:165177. Rusmana, 2005. Teknik pembuatan bibit sistem KOFFCO. Materi Alih Teknologi Sistem KOFFCO. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Persemaian
Santosa, P. B, Yuwati, T. W., and Rachmanadi. D. 2012. Long Term Effect of Site Preparation on the Growth of Balangeran (Shorea balangeran) at Over Burnt Peat Swamp Forest, Central Kalimantan, Proceeding Inafor 2011. Forestry Research and Development Agency. Ministry of Forestry. Santosa, P.B., Rachmanadi, D., Wahyuningtyas, R. dan Rusmana. 2003. Pengaruh penyiangan gulma terhadap daya hidup dan pertumbuhan awal tanaman Shorea balangeran di lahan rawa gambut. Buletin Tekno Hutan Tanaman (1) : 48-59 Santosa, 2010a. Pertumbuhan Shorea Balangeran (Korth.)Burck.), Gonystylus Bancanus (Miq).Kurz) dan Tetramerista Glabra (Miq.) di Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar Kalimantan Tengah. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan Santosa, P.B, 2010b. Mikrotopografi, Kedalaman air dan Pertumbuhan Tanaman Gambut. GALAM. Balai Penelitian Kehutanan, Banjarbaru.
di Hutan Rawa
Sukman, Y., dan Yakup, 2002. Gulma dan Teknis Pengendaliannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Supriyo, H., Nurjanto, H,H., dan Figyantika,A.2009. Effect of water table depht on the root system of Acacia crasicarpa in peat soil (histosols). Proceeding ICBS. Faculty of Biology.Gadjah Mada University. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
227
Rusmana dan Lazuardi,2004. Standardisasi Mutu Bibit. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Turjaman, M., Santoso, E., Susanto, A., Gaman, S., Limin, S.H., Tamai, Y., Osaki, M. dan Tawaraya, K. 2011. Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forests. Wetlands Ecology Management 19:331-339. Turjaman, M., Saito H, Santoso , E., Susanto, A.,Gaman S., Limin S. H., Shibuya M., Takahashi K, Tamai Y., Mitsuru, Osaki and Tawaraya, K., 2008. Effect of ectomycorrhizal fungi inoculated on Shorea balangeran under field conditions in peat-swamp Forests. Proceeding International Seminar Peat. Gadjah Mada University. Yuwati.T.W., Susanti.P.D., Hermawan.B. 2010. Studi Nutrisi Tanaman Meranti Rawa dan Jelutung Rawa. Hasil Penelitian. Balai Penelitia Banjarbaru. (Tidak dipublikasikan).
228
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
PROSPEK BUDIDAYA TANAMAN OBAT JENIS BIDARA LAUT (Strychnos lucida R.Br.) DENGAN WANAFARMA Dewi Maharani Balai Penelitian Teknologi Agroforestry E-mail:
[email protected]
ABSTRACT No fewer than 400 ethnic people of Indonesia have a strong relationship with the forest in their everyday lives and they have a high knowledge in the use of traditional medicinal plants. Likewise with the Hu'u in Dompu derived utilizing medicinal plants in the forest, one of which is a type of plant or marine bidara by its local name songga wood (Strychnos lucida R.Br.) is used as a malaria drug. At this time bidara laut conservation in the wild is threatened. This is due to the demand for a variety of purposes bidara laut both subsistence and commercial is relatively high, as well as the destructive harvesting and development effort has not been done. Accordingly, in order to preserve and to satisfy market demand need for cultivation technique songga types. Technological development of medicinal plants, one of which is with wanafarma. Research methods used were observations include measurements of plant dimensions (height and diameter) are held on a plot size of 20 mx 20 m. Location observation that the forest area to other uses in the Village Hu'u, District Hu'u Dompu. Based on observations of bidara laut known that plants in plots dominated observations of saplings and seedlings with an average height of 1.81 m - 2.21 m and an average diameter of 2.10 cm - 4.13 cm. The results showed that bidara laut plants can grow in the shade so that the potential developed by wanafarma cropping pattern. This is supported by nursery techniques bidara laut is relatively easy to do with the way that use the generative seed and vegetatively using stem cuttings. Keywords: Medicinal plants, development, bidara laut
I. PENDAHULUAN Berdasarkan perkembangan pengetahuan di bidang obat-obatan, tumbuhan hutan tropika merupakan sumber obat yang terbesar. Dari luas kawasan hutan tropika Indonesia sekitar 120,35 juta hektar mengandung 80% dari total jenis tumbuhan berkhasiat obat, dan memiliki keanekaragaman hayati kedua terkaya di dunia setelah Brazilia (Tambunan, 2008). Tidak kurang dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Amzu, 2003). Begitupun dengan masyarakat Hu’u di Kabupaten Dompu memanfaatkan tumbuhan obat yang berasal dalam hutan, salah satunya adalah jenis tumbuhan bidara laut atau dengan nama lokalnya kayu songga (Strychnos lucida R.Br.) yang dimanfaatkan sebagai obat malaria (BPK Mataram, 2010). Pada saat ini kelestarian bidara laut di alam semakin terancam. Hal ini disebabkan permintaan bidara laut untuk berbagai keperluan baik yang bersifat subsisten maupun komersil relatif tinggi (Setiawan dan Narendra, 2012), serta cara pemanenan yang destruktif dengan menebang batang pohonnya dan upaya pengembangannya belum banyak dilakukan (Maharani, et al., 2011). Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka melestarikan dan untuk memenuhi permintaan pasar perlu adanya teknik budidaya jenis songga. Menurut Amzu (2003) pertimbangan pengembangan tanaman obat diantaranya karena tingginya pemanfaatan tanaman obat tersebut oleh masyarakat, adanya pasar serta adanyan ancaman kerusakan hutan sebagai sumber plasma nutfah tanaman obat. Pengembangan tanaman obat dapat dilakukan dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan. Teknologi pengembangan tanaman obat, salah satunya yaitu dengan wanafarma. Wanafarma adalah suatu bentuk pola tanam yang memadukan tanaman hutan (wana) dan tanaman herbal obat (farma), dimana dalam Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
229
pelaksanaannya harus memperhatikan aspek teknis diantaranya (1) kesesuaian antara tanaman pokok dan tanaman sela, (2) tidak ada persaingan cahaya, air, hara dan CO2, dan (3) tanaman tidak memiliki hama dan penyakit yang sama (Yusron, 2010). Oleh karena itu wanafarma merupakan salah satu bentuk agroforestry. Pengembangan agroforestry, menurut Raintree (1983) dalam Widianto, et al. (2003) meliputi tiga aspek, yaitu (a) meningkatkan produktivitas sistem agroforestry, (b) mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan (c) penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability). Yusron (2010) menjelaskan langkah pertama dalam menerapkan pola tanam wanafarma adalah mengetahui tingkat naungan di bawah tanaman hutan. Beberapa jenis tanaman obat dapat tumbuh di bawah naungan hingga 45%, namun produktivitasnya turun drastis jika tingkat naungan lebih dari 50%. Oleh karena itu, lahan yang dapat dikembangkan dengan pola tanam wanafarma adalah lahan hutan rakyat dan hutan Perhutani dengan tingkat naungan kurang dari 45%, atau umur tanaman hutan kurang dari 5 tahun. Pola tanam yang dipilih disesuaikan dengan kondisi agroekologi dan minat petani. Penerapan pola tanam wanafarma dapat meningkatkan pendapatan petani. Tingkat pendapatan ini sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang diusahakan. Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, penanaman temulawak secara monokultur di bawah tanaman sengon dapat meningkatkan pendapatan petani Rp5-10 juta/ha. Bila yang ditanam jahe, pendapatan petani hanya mencapai sebesar Rp3 juta/ha. Oleh karena itu pengembangan jenis bidara laut sebaiknya dilaksanakan di luar kawasan hutan. Pertimbangannya karena status hukum jenis ini masih belum jelas antara hasil hutan kayu atau non kayu, hal ini disebabkan produk yang lebih dikenal adalah berupa gelas kayu songga yang memanfaatkan batang pohonnya. Selain itu, karena jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang cukup menjanjikan karena banyaknya permintaan (BPK Mataram, 2010). Berdasarkan Data Statistik Dinas Kehutanan provinsi NTB tahun 2006 daerah penghasil kayu songga adalah kabupaten Dompu dengan produksi pada tahun 2004 mencapai 6.000 ton (Dishut Prov. NTB, 2007). Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka mendukung upaya pengembangan jenis bidara laut sebagai jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat, penulis merasa perlu menjelaskan beberapa hal yang merupakan potensi bidara laut berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan studi literature terkait. II. METODE PENELITIAN Dalam rangka mengetahui prospek pengembangan jenis bidara laut dengan model wanafarma, sehingga dilaksanakan pengumpulan data dan informasi melalui pengamatan di lokasi tempat tumbuh alaminya serta studi literature terkait. Pengamatan dilakukan dengan membuat petak pengamatan secara purposive sampling, yaitu langsung di tempat jenis ini berada. Pengamatan meliputi pengukuran dimensi tumbuhan (tinggi dan diameter batang), dominansinya serta kondisi lingkungannya. Pengamatan dilaksanakan pada plot ukuran 20 m x 20 m sebanyak 3 plot dengan jarak antar plot minimal 50 m. Lokasi pengamatan yaitu pada kawasan hutan untuk areal penggunaan lainnya di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu. Waktu pengamatan dilaksanakan antara bulan Februari – November 2010 (BPK Mataram, 2010). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Lahjie (2001) dalam mendukung pengembangan agroforestry, kegiatan agroforestry harus mempunyai performa yang minimal sama dengan alternatif-alternatif lainnya, khususnya penanaman monokultur. Performa tersebut dimaksud menyangkut tujuan sosial dan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kemudian menurut Mile (2007), untuk menjamin keberhasilan usaha maka komoditas yang dipilih disamping mempunyai keunggulan komperatif berupa keunikan produk yang dimiliki sesuai spesifik lokasi, harus pula memiliki keunggulan kompetitif (daya saing) baik dilingkungan domestik/local maupun internasional. 230
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Keunggulan kompetitif tersebut antara lain mencakup baik mutu produk (quality), harga produk (price) maupun layanan yang dapat diberikan (service). Berdasarkan hal tersebut, sehingga untuk mendukung pengembangan jenis bidara laut dengan pola wanafarma, diperlukan menilai jenis ini dari berbagai aspek, diantaranya: 1. Aspek Budaya Menurut Nair (1993) pemilihan spesies yang akan digunakan dalam agroforestry harus didasarkan pada budaya, ekonomi serta faktor lingkungan. Jenis bidara laut (kayu songga) telah dimanfaatkan secara turun-temurun khususnya oleh masyarakat Hu’u (Kabupaten Dompu – Nusa Tenggara Barat). Hasil penelitian tim BPK Mataram tahun 2010 menjelaskan bahwa pemanfaatan jenis ini cukup beragam, hal ini karena adanya keterbatasan terhadap pelayanan kesehatan publik serta kreatifitas masyarakat dalam memanfaatkan kondisi alam. Pemanfaatan jenis ini antara lain untuk mengobati berbagai penyakit misalnya penyakit yang dapat diobati dengan songga antara lain malaria, sakit perut, mual, sakit gigi, darah tinggi, dan demam. Bagian yang dimanfaatkan hampir seluruh bagian tanaman yaitu daun, kulit, biji, batang dan akar, dengan sebagian besar yang dimanfaatkan adalah bijinya. Pemanfaatan bidara laut (kayu songga) saat ini mulai berkembang, seperti yang dilakukan oleh herbalis di Yogyakarta membuat kapsul kayu songga dari serutan kayu songga menjadi serbuk yang dimanfaatkan untuk pengobatan diabetes dan mempercepat pengeringan luka bakar, sedangkan herbalis di Bogor mencampurkan serbuk kayu songga dengan pulosari untuk pengobatan penyakit maag dan dengan kumis kucing untuk pengobatan diabetes (Trubus, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa manfaat bidara laut (kayu songga) mulai diterima oleh masyarakat luas. 2. Aspek ekonomi Pada tahun 2000, manfaat jenis bidara laut sebagai obat mulai dikenal oleh masyarakat di luar Kabupaten Dompu. Hal ini menjadikan peluang bisnis bagi pengusaha setempat, yaitu dengan memanfaatkan batang jenis ini sebagai kerajinan gelas kayu songga yang dipromosikan berkhasiat sebagai obat seperti pada Gambar 1 (BPK Mataram, 2010). Dari penelusuran tersebut diperoleh informasi bahwa satu batang kayu songgah dengan panjang 100 cm dapat dibuat menjadi 10 buah cangkir. Satu buah cangkir songgah dengan diameter 15–20 cm, panjang 10 cm dihargai antara Rp. 5.000,- s.d. Rp. 10.000,- sampai di tangan distributor. Sampai di tangan konsumen harganya dapat mencapai Rp. 20.000,- s.d. Rp. 50.000,-, bahkan ada yang mencapai Rp. 75.000,- per buah. Dari informasi yang ada dapat dilihat bahwa pemburu songgah tidak mendapatkan hasil yang sepadan jika dibandingkan dengan akibat yang harus ditanggung oleh masyarakat dan ekosistem di Hu’u. Keuntungan berlipat justru diperoleh pengusaha cangkir songgah yang bukan merupakan masyarakat Hu’u. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat pemburu songgah di Hu’u, kayu songgah dengan diameter 15 – 20 cm, dan panjang 100 cm dihargai oleh pengepul songgah senilai Rp. 3.000,- s.d. Rp. 9.000,-. Kemudian pengepul menjual kayu tersebut kepada pengusaha senilai Rp. 4.000,- s.d. Rp. 10.000,-.
Gambar 1. Bahan baku kayu songga dan produk gelas kayu songga (BPK Mataram, 2010)
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
231
Pemasaran kayu songga dalam bentuk gelas, berdasarkan hasil wawancara selain sekitar Kabupaten Dompu juga telah dipasarkan di daerah Kalimantan bahkan telah di ekspor ke Arab Saudi. 3. Aspek teknis Pada umumnya masyarakat setempat belum ada upaya mengembangkan jenis bidara laut. Berdasarkan informasi, beberapa pengusaha pernah mencoba melakukan pembibitan namun mengalami kegagalan. Oleh karena itu untuk mendukung upaya pengembangannya dilakukan pengamatan kondisi pertumbuhannya di alam. Selain itu, keberhasilan agroforestry sangat bergantung pada eksploitasi interaksi komponen (Nair, 1993). Lebih lanjut dijelaskan, dalam agronomi dan ekologi terdapat interaksi interspesifik dan intraspesifik, yaitu interaksi dengan sesama jenis tanaman dan berbeda jenis. Interaksi komponen mengacu pada pengaruh salah satu komponen dari sistem pada kinerja komponen lain serta sistem secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut sehingga interaksi antar komponen dapat bersifat menguntungkan dan merugikan. Besarnya efek interaktif antara pohon dan komponen lainnya dalam sistem agroforestry sistem tergantung pada karakteristik spesies, kerapatannya, dan tata ruang dan pengelolaan penanaman pohon. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa tumbuhan bidara laut pada petak pengamatan mendominasi pada tingkat pancang dan semai dengan nilai dominansi relatif (DR) 41,66% dan 68,74% dengan rata-rata tinggi dari 1,81 m – 2,21 m serta rata-rata diameter batang dari 2,10 cm – 4,13 cm (Maharani, et al., 2011). Rendahnya potensi tumbuhan songga di lokasi pengamatan karena lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi eksploitasi tumbuhan songgah yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan maupun masyarakat Dompu (BPK Mataram, 2010). Hasil analisis potensi jenis bidara laut di kabupaten Bima dan Dompu juga menunjukkan potensi yang relatif kecil untuk tanaman dengan diamater batang lebih dari atau sama dengan 10 cm (BPK Mataram (2011) dalam Setiawan dan Narendra, 2012). Jenis bidara laut yang tumbuh di Desa Hu’u Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu berada pada kondisi tanah bertekstur dominan lempung berpasir dengan kandungan N total rendah–sedang dan C-org sedang–tinggi, curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.418,1 mm dengan suhu udara 20º - 30ºC. Berdasarkan hasil pengamatan jenis bidara laut mampu berasosiasi dengan ketiga jenis yaitu jenis luhur (Schoutenia ovata Korth), ndao (Dracontomelon spp.) dan kempasi (Kompassia maccensis Maing). Hal ini karena jenis ini mampu beregenerasi dengan baik yaitu dengan ditemukan tumbuh pada semua tingkat vegetasi yaitu mulai dari tingkat semai sampai tingkat pohon. Kemudian dari teknik pembibitannya, jenis bidara laut dapat dikembangkan secara generatif yaitu dengan menggunakan biji dan vegetatif dengan stek batang (BPK Mataram, 2010). Pembibitan dengan stek batang disesuaikan dengan kemampuan regenerasinya di alam yaitu mampu tumbuh melalui trubusan dari bekas penebangan seperti pada Gambar 2 (Maharani, et al., 2011).
Gambar 2. Tunas yang tumbuh (trubusan) dari batang bekas tebangan (Maharani, et. al., 2011). Dari hasil percobaan, pembibitan dengan stek batang diketahui mampu bertunas setelah 14 hari dari mulai penanaman stek langsung di polibag sedangkan pembibitan dengan biji lebih lambat 232
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
yaitu kurang lebih 8 minggu baru berkecambah (Gambar 3. dalam BPK Mataram, 2010). Hal ini menunjukkan pertumbuhan jenis bidara laut pada tahap pembibitan cukup lambat, akan tetapi pada percobaan ini kondisi lingkungan belum cukup terkendali yaitu kondisi naungan yang kurang dan kondisi angin yang cukup kencang. Oleh karena itu sebaiknya upaya percobaan pembibitan dilakukan dengan kondisi lingkungan yang lebih terkendali.
Gambar 3. Pembibitan jenis bidara laut dengan biji dan stek batang (BPK Mataram, 2010) IV. KESIMPULAN Berdasarkan aspek budayanya, pemanfaatan jenis bidara laut sudah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas, sedangkan dari aspek ekonomi mampu memberikan pendapatan pada beberapa masyarakat Hu’u dan beberapa pengusaha di Kabupaten Dompu. Berdasarkan aspek teknisnya, untuk pembibitan dapat dilakukan baik secara generatif atau menggunakan biji maupun secara vegetatif yaitu dengan stek batang. Pertumbuhannya di alam, jenis bidara laut mampu tumbuh di bawah naungan dan mampu beregenerasi melalui biji dan trubusan. Dalam rangka pengembangannya, hal pertama yang perlu dilakukan terutama oleh Pemerintah khususnya dari Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang berwenang sebaiknya segera membatasi eksploitasi jenis bidara laut di kawasan hutan dan segera melakukan upaya perlindungannya. Hal ini juga dimaksudkan untuk penyediaan sumber benih. , karena musim berbunga dan berbuah terbatas hanya terjadi pada bulan Juli – Agustus (BPK Mataram, 2010). Lokasi pengembangan sebaiknya diprioritaskan di sekitar lokasi tumbuh alaminya atau di Desa Hu’u itu sendiri, hal ini agar memudahkan dalam pengambilan sumber benih serta diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena daya tahan biji dan batang untuk stek dianggap relatif masih baik. Kemudian juga dapat membantu perekonomian masyarakat sekitar lokasi tersebut. Perlu dilakukan uji coba penanaman lebih lanjut dengan berbagai pola tanam. DAFTAR PUSTAKA Amzu, E. 2003. Pengembangan Tumbuhan Obat Berbasis Konsep Bioregional (Aplikasi Azas Keunikan Sistem Kedirian): Contoh Kasus Taman Nasional Meru Betiri, di Jawa Timur. Makalah Individu Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Pogram Pascasarjana / S3, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. 2010. Eksplorasi, Pemanfaatan dan Budidaya Kayu Songga sebagai Bahan Obat Alternatif di Provinsi NTB dan Bali. Laporan Hasil Penelitian Program Intensif Riset Dasar Kementerian Riset dan Teknologi Tahun Anggaran 2010. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Mataram. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB Tahun 2006. Mataram. Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
233
Lahjie, A. B. M. 2001. Teknik Agroforestri. Penerbit UPN Veteran Jakarta. Jakarta. Maharani, D., M. M. B. Utomo dan R. Nandini. 2011. Potensi Tumbuhan Obat Jenis Songga (Strychnos lucida R.Br.) di Desa Hu’u (Privinsi Nusa Tenggara Barat) dan Desa Prapat Agung (Provinsi Bali). Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011: Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Kearifan Lokal. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup – Universitas Jenderal Soedirman. Purwekerto. Mile. M. Y. 2007. Prinsip-prinsip Dasar dalam Pemilihan Jenis, Pola Tanam dan Teknik Produksi Agribisnis Hutan Rakyat Info Teknis Vol. 5 no. 2, September 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. KLGWER Academic Publisher in cooperation with International Centre for Research in Agroforestry. London. Setiawan, O. dan B. H. Narendra. 2012. Sistem Perakaran Bidara Laut (Strychnos lucida R.Br.) untuk Pengendalian Tanah Longsor. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol.1 No.1, Agustus 2012 : 50-61. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Trubus. 2013. Kayu Songga Atasi Tifus, Malaria, Diabetes dan Kista. No. 522 Mei/XLIV. Yusron. M. 2010. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 32 No. 6, 2010. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
234
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
STUDI PRODUKTIVITAS TIGA JENIS RUMPUT PAKAN TERNAK DI KAWASAN HUTAN JATI DI KABUPATEN BLORA Sajimin, S.N. Jarmani, dan A. Anggraeni Balai Penelitian Ternak E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This experiment was conducted in the teak forests at Blora district. The research was aimed to examine the forage production in agroforestry system for feed availability. The study was focused on forage introduction under teak forest using three grass species (Panicum maximum cv Purpleguinea, Pennisetum purpureum cv Taiwan dan Pennisetum purpureum local). The grass were planted on five farmers cooperators as replication and the Completely Randomized Block Design were used as experimental design. Parameter observed include the morphology aspect : growth, plant production (fresh and dry), nutritive value (crude protein, crude fiber, Ca, and fospor). The result showed that P.maximum cv Purpleguinea performed good growth with high productions of forage, compared to P.purpureum cv Taiwan and P.purpureum local. Nutritive value (crude protein 14.09 % and crude fiber 38.87 % with Ca 1.22 % and fospor 1.59 %. Carrying capasity on P.maximum cv Purpleguinea (4.09 animal/ha) was highest and recommended to develop in teak forest Blora. Keywords : forage production, quality, teak forest
I. PENDAHULUAN Tanaman jati di Kabupaten Blora merupakan komoditas utama dan mencapai 49 % dari luas wilayah. Kondisi hutan umumnya berbatasan dengan penduduk/petani yang tinggal dipinggiran hutan jati dan menggarap lahan perhutani atau sebagai pesanggem. Petani disekitar hutan jati umumnya memelihara ternak sapi yang merupakan kebanggaannya. Namun sistem pemeliharaannya masih secara tradisionil yaitu pagi digembalakan dihutan jati dan malam diikat dalam rumah. Semenjak adanya larangan penggembalaan ternak dihutan jati maka peternak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pakan. Jarmani et al. (2010) melaporkan waktu yang dihabiskan peternak untuk mencari hijauan rata-rata 2- 5 jam per hari untuk 5 ekor ternak dengan jarak 1 - 5 km dari tempat tinggal. Akibatnya populasi ternak tiap tahun terjadi penurunan akibat kekurangan pakan terutama musim kemarau yang selalu berulang setiap tahun. Menurut Subiharta et al. (2005) 90,5 % peternak di Blora mengalami kekurangan pakan pada musim kemarau. Hal ini karena Kabupaten Blora termasuk daerah beriklim kering dengan curah hujan 1566 mm/th. Daerah ini memiliki bulan kering dari April – Oktober, sehingga produktivitas lahan yang dimiliki petani untuk pertanian produksinya rendah 49,7%. Usaha peningkatan produktivitas ternak menghadapi kendala utama dalam hal penyediaan pakan hijauan. Fluktuasi pakan hijauan baik kualitas maupun kuantitas sangat terasa setiap waktu, sehingga penurunan produksi ternak tidak dapat dihindari ketika keadaan hijauan tebatas. Melihat kenyataan ini Indonesia yang merupakan Negara berdimensi pertanian memiliki kekayaan sumber daya lahan dan sekaligus potensi sumber hijauan yang berpeluang untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu peternakan harus mampu memanfaatkan sumber daya alam secara optimal seperti lahan sebagai sumber hijauan pakan. Upaya itu perlu dilakukan agar dapat menyediakan pakan hijauan yang berkualitas tinggi dan berkesinambungan sepanjang waktu. Peningkatan kebutuhan pakan ternak seiring dengan peningkatan populasi ternak untuk mencapai swasembada daging 2014 perlu perluasan lahan pertanaman hijauan pakan ke kawasan hutan. Perluasan lahan pertanaman di kawasan pertanian semakin rendah bahkan laju konversi lahan pertanian menjadi peruntukan lain yang semakin tinggi. Hutan yang dikonversi menjadi lahan Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
235
pertanian berdampak dengan penurunan stabilitas lingkungan sehubungan dengan penurunan keanekaragaman hayati. Penurunan keanekaragaman dapat dicegah melalui pertanaman campuran antara pohon dengan tanaman hijauan pakan. Namun system tersebut belum dapat diterima sepenuhnya oleh praktisi agronomi karena pohon menaungi tanaman sela sehingga produksi tidak optimal. Perluasan lahan untuk tanaman pakan dikawasan hutan melalui konversi atau pertanaman campuran antara pohon dengan tanaman pakan semakin meningkat karena peningkatan kebutuhan hijauan pakan ternak. Pengelolaan hutan dengan pola silvopastura dimana perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak berkepentingan lain saling berbagi dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuain dan keselarasn untuk pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Pola silvopastura selama ini adalah penanaman hijauan pakan ternak yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum). Rumput gajah merupakan salah satu tanaman pakan ternak asli dari bagian Tropis Afrika kemudian diintroduksikan keberbagai bagian dunia pada daerah tropis dan telah beradaptasi baik di Asia Tenggara. Curah hujan yang cocok 1000 mm/th dengan musim kering yang pendek. Jenis rumput tersebut telah dikenal dan banyak dibudidayakan peternak sebagai sumber pakan hijauan dibawah tegakan pinus. Namun produktivitasnya belum optimum sehingga masih perlu penelitian untuk mendapatkan jenis tanaman pakan yang sesuai pola silvopastura di hutan jati. Salah satu kendala utama dalam pengembangan tanaman pola silvopastura adalah kurang tersedianya lahan subur untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Penanaman tanaman pakan ternak (TPT) diarahkan pada lahan perhutani seperti hutan jati yang berpotensi sebagai kawasan pengembangan tanaman pakan ternak. Pengembangan tanaman pakan pada system agroforestri dihutan pinus sebagai tanaman sela banyak dipengaruhi faktor pembatas pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya. Menurut Purnomo dan Sitompul (2006) rerata fraksi cahaya yang lolos dari tajuk pohon jati sebesar 50 % berperan sebagai faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman sela. Masuknya fraksi cahaya juga ditentukan umur dan kepadatan tajuk serta jarak antar pohon menentukan kualitas cahaya yang diterima tanaman sela. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam pengembangan tanaman pakan ternak dapat memanfaatkan tanah pada tegakan jati yang diketahui sangat luas dan tersebar pada berbagai wilayah hutan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan produltivitas beberapa jenis rumput pakan ternak pada pertanaman jati. II. METODE Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan jati Kabupaten Blora termasuk iklim tipe D ( Schmith dan Ferguson, 1951). Curah hujan terendah (musim kering) pada bulan April sampai Oktober dengan rata-rata tahunan 1946 mm tahun-1. Keadaan topografi bergelombang sampai berbukit pada tinggi tempat 20 - 200 m dpl dengan jenis tanah vertisol. Pelaksanaan penelitian adalah bulan Maret tahun 2011 - September tahun 2012. Jenis tanaman pakan ternak yang digunakan rumput gajah Taiwan (Pennisetum purpureum cv Taiwan), rumput panicum (Panicum maximum cv Purpleguinea) dan rumput gajah lokal (Pennisetum purpureum). Tiga jenis rumput ditanam di lahan lima petani koperator sebagai sebagai ulangan , Jarak tanam antar pohon jati 2 x 6 m. Petak percobaan dibawah tegakan jati adalah 4 X 5 m, jarak tanam 0.5 x 1,0 m. Pengolahan tanah menggunakan cangkul dilakukan seminggu sebelum penanaman dan setelah tanah bersih dari gulma diberi pupuk kandang 10 ton ha-1. Tektur tanah pasir 72 %, liat 11 % dan debu 7 %, pH tanah 8,2. Kandungan bahan organik C/N ratio 12 %, kandungan P 2O5 9 ppm, K2O 89 ppm, Ca 8,34 % dan Zn 85 ppm. Bahan tanaman sela menggunakan stek rumput gajah lokal dan rumput gajah taiwan untuk rumput P.maximum cv Purpleguinea dengan pols. Parameter yang diamati tinggi tanaman, jumlah tunas produksi hijauan berat segar dan berat kering. Pengamatan dilakukan setiap 60 hari dan pada
236
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
saat panen diambil sampel secara komposit untuk analisa kualitas hijauan dilaboratorium meliputi protein kasar, serat kasar, Ca, dan P. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pertumbuhan Hasil pengamatan karakter morfologi ke tiga jenis rumput yang ditanam dibawah tegakan jati di Desa jomblang, meliputi tinggi tanaman dan jumlah tunas per rumpun dilakukan sebelum pemanenan hijauan pada umur 6 minggu dan hasilnya seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan tinggi tanaman dan jumlah tunas per rumpun tiga jenis rumput di bawah tegakan tanaman jati Jenis tanaman P.maximum cv Purpleguinea P.purpureum cv Taiwan P.purpureum local
Tinggi tanaman (cm) a 86,92 c 122,51 b 93,28
Jumlah tunas c 37,15 b 9,76 a 5,92
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata (P<0,05)
Pada Tabel 1 tersebut terlihat hasil analisa keragaman menunjukkan adanya perbedaan nyata tinggi tanaman pada tiga jenis rumput yang berbeda. Pertumbuhan tanaman tertinggi diperoleh rumput Taiwan 122,51 cm, untuk rumput gajah lokal 93,28 cm dan P.maximum 86.92 cm. Hasil pengukuran tinggi dan jumlah tunas per rumpun setiap pemanenan dari 6 kali panen rataan pertumbuhan tanaman pada rumput gajah nyata lebih tinggi (P<0,05) dibanding rumput P. maximum cv Purpleguinea dan rumput gajah lokal (Gambar 1dan 2). Selanjutnya jumlah tunas/rumpun berbeda nyata P<0.05 dengan rataan tertinggi tunas per rumpun 37,15 (P.maximum cv Purpleguinea), kemudian diikuti 9,76 (P.purpureum Taiwan) dan terendah 5,92 (P.purpureum lokal). Jika dibandingkan ketiga jenis rumput nampaknya dengan perbedaan jenis juga berbeda pertumbuhan dan sifat tanaman yang berbeda. Lebih banyaknya jumlah tunas per rumpun rumput P.maximum cv Purpleguinea disebabkan jenis rumput ini memiliki batang kecil. Sehingga hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pakan ternak (Sajimin, et al., 2005). Perbedaan tersebut juga berpengaruh pada produksi hijauan seperti yang tertera pada Tabel 3.
Gambar 1. Rerata tinggi (cm) tiga jenis rumput di bawah tanaman jati
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
237
Gambar 2. Rerata jumlah tunas per rumpun tiga jenis rumput dibawah pertanaman jati selama 6 kali panen Pada Gambar 1 dan 2 diatas menunjukkan bahwa rerata jumlah tunas setiap tunas tertinggi pada rumput P.maximum cv Purpleguinea kemudian diikuti rumput panicum dan terendah rumput gajah lokal. Jumlah tunas ada kecenderungan meningkat seiring dengan bertambahnya umur rataan tanaman. Namun pada panen ke lima dan ke enam ada penurunan tinggi maupun tunas hal tersebut disebabkan waktu pengamatan musim kering (tidak hujan) air berkurang. Air merupakan unsur yang dibutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Djazuli, (2010) pada tanaman yang terjadi kekeringan sebagian stomata daun menutup sehingga terjadi hambatan masuknya CO2 dan menurunnya aktifitas fotosintesis yang mengakibatkan menekan pertumbuhan dan hasil bahkan terjadi kematian tanaman. Hasil penelitian ini nampaknya juga dipengaruhi curah hujan, dimana saat panen tidak ada hujan Gambar 3.
Gambar 3. Curah hujan per bulan di Kabupaten Blora tahun 2011 - 2012 B. Produktivitas hijauan Hasil pengamatan komponen produksi hijauan ketiga jenis rumput dibawah tegakan jati tertera pada Tabel 2.
238
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
Tabel 2 . Rataan produksi berat segar dan berat kering tiga jenis rumput dibawah tegakan jati di Blora Jenis tanaman P.maximum cv Purpleguinea P.purpureum cv Taiwan P.purpureum local
Berat segar b
415,92 b 496,29 a 215,32
Berat kering b
112,29 b 119,11 a 38,76
Kadar air (%) 73 76 82
Produksi berat kering (t/ha/th) 10,11 10,72 3,49
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 4. Rerata produksi hijauan segar tiga jenis rumput (gram/rumpun/panen) dibawah tegakan tanaman jati
Gambar 5. Rerata produksi hijauan berat kering tiga jenis rumput dibawah tegakan tanaman jati (gram/panen/rumpun) Rerata hasil bahan kering ketiga kultivar rumput dibawah tegakan pohon jati dibanding hasil penelitian Siregar (1991) P.purpureum dan P.purpupoides mencapai 63 ton dan 110 ton/ha. Kemudian Sajimin dan Purwantari (2011) melaporkan produksi rumput gajah dibawah pinus 8,47 Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
239
ton/ha. Produksi rumput dibawah tegakan jati hasil penelitian ini masih lebih rendah, hal ini disebabkan cahaya yang masuk rendah sehingga proses fotosintesa untuk produktivitas rumput terhambat. Menurut Purnomo dan Sitompul (2006) cahaya memegang peranan penting dalam pertumbuhan tanaman disamping air dan unsur hara. Tanaman yang mendapat cahaya lebih besar memiliki laju fotosintesis lebih tinggi sehingga tanaman menghasilkan biomassa lebih besar daripada tanaman yang menerima cahaya lebih rendah. Kemudian rumput Panicum dengan rumput gajah Taiwan tidak beda nyata (P<0,05). Tidak ada perbedaan ini disebabkan rumput Panicum yang memiliki tunas tinggi dan kadar air rendah (73 %) dan mempengaruhi produksi berat kering. Hasil penelitian ini produksi rumput Panicum tidak beda banyak dari yang di laporkan Purwantari et al., (2002) produksinya rumput panicum mencapai 11,1 - 13,8 t/ha/th. C. Kandungan nutrisi hijauan rumput Hasil analisa kualitas hijauan tiga jenis rumput dibawah tegakan pinus tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisa nilai nutrisi hijauan di kawasan hutan jati Jenis tanaman Panicum maximum cv purpleguinea Pennisetum purpureum cv Taiwan Pennisetum purpureum (gajah local) Rumput Lapang Standar NRC *
Protein kasar (%) 14,09 11,07 11,29 9,79 8,0
Serat kasar (%) 38,87 31,34 36,61 49,92 -
fosphor (%) 1,59 1,43 1,42 1,34 0,22
Calsium (%) 1,22 1,42 1,37 1,24 0,28
Keterangan : * Royburn (2009)
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nutrisi rumput dibawah tegakan pohon jati pada akhir percobaan mempunyai kandungan protein kasar rata-rata tertinggi pada rumput P.maximum (14,09 %), kemudian diikuti rumput gajah lokal 11,29 % dan terendah rumput P.purpureum cv Taiwan 11, 07 % . Jika dibandingkan dengan standar NRC maka ruminant hasil analisa rumput yang diintroduksikan di bawah tegakan jati masih dapat untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. (Rayburn, 2009). Hijauan yang ditanam di hutan jati merupakan sumber pakan ternak sapi perah yang dipelihara petani sekitar hutan sebagai pekerjaan utama ternak sapi lebih banyak memerlukan mineral seperti Ca dan P, dari hijauan dibawah tegakan jati. Hasil analisa kandungan unsur tersebut rata-rata 1,22 – 1,42 % dan 1,42 - 1,59. Hasil ini nampaknya telah memenuhi standar kebutuhan mineral NRC untuk kebutuhan ternak (Rayburn, 2009). Walaupun kandungan nutrisi hijauan memenuhi syarat tapi untuk kebutuhan ternaknya harus sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya sehingga daya dukung pakan ternak di kawasan hutan jati perlu ditingkatkan. Jika dibandingkan analisa rumput lapang yang biasa diberikan ternak kualitasnya masih dibawah ketiga rumput introduksi. D. Daya dukung Selain membandingkan produksi hijauan yang diperoleh perlu juga diketahui daya dukung jenis tanaman pakan terhadap ternak konsumennya. Telah diketahui bahwa satu unit ternak sapi yang beratnya 1000 kg memerlukan 2 % bahan kering/hari untuk kebutuhan hidup pokoknya (Lubis, 1968). Bila sapi di kabupaten Blora kawasan hutan jati rata-rata berat badannya 300 kg, maka per ekor memerlukan bahan kering 6 kg/hari, atau selama satu tahun sekitar 2,16 ton. Berdasarkan perhitungan tersebut daya tampung dari rumput P.purpureum Taiwan menampung 4,96 ekor/ha/tahun, kemudian P.maximum cv Purpleguinea 4,68 ekor/ha/th dan P.purpureum lokal 1,61 ekor/ha/th. Berdasarkan perhitungan tersebut maka dilokasi kawasan hutan jati masih bisa dikembangkan tanaman pakan unggul untuk memenuhi pakan ternak.
240
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
IV. KESIMPULAN Introduksi tanaman pakan ternak dibawah tegakan jati menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan produksi berat kering yang stabil pada rumput P.maximum cv Purpleguinea rata-rata per ha mencapai 10,11 t/ha/th dengan daya dukung 4,68 satuanternak/ha/th. Daya dukung tertinggi terdapat pada hasil rumput P.maximum cv Purpleguinea 4,96 ekor/ha/th dengan kandungan protein kasar hijauan tertinggi 14,09 %. Dengan demikian maka disarankan kepada petani di daereh Blora untuk menggunakan rumput P.maximum cv Purpleguinea dalam penyediaan pakan ternak yang ditanam dengan sistem lorong dibawah tegakan jati. DAFTAR PUSTAKA Djazuli, M., 2010. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan dan beberapa karakter morfo-fisiologis tanaman nilam. Bul-Littro; 21 (10): 8 -17. Jarmani, S.N, Sajimin, B. Haryanto, A. Anggraeni. 2011. Penerapan dan pengembangan teknologi penyediaan pakan ternak berkualitas berwawasan lingkungan untuk perbaikan produktivitas ternak dan kawasan hutan jati di Kabupaten Blora. Laporan akhir Hasil Penelitian kegiatan PIPP. Balitnak. Puslitbangnak. 32p. Lubis, D.A. 1968. Ilmu makanan ternak. P.T. Pembangunan Jakarta. Purnomo, D dan S.M. Sitompul. 2006. Irradiasi pada system agroforestri berbasis jati dan pinus serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Biodiversitas Vol 7(3). P 251 – 255. Purwantari, N.D., B.R. Prawiradiputra dan Sajimin. 2002. Teknologi hijauan pakan ternak dengan sistem alley cropping. Disampaikan dalam Temu Prosfesi Agribisnis Peternakan. Tasikmalaya. 10 p. Rayburn, E.B., 2009. Nutrient Requirments for Beef Cattle. Forage management. West Virginia University. 6p. www:wvu.edu/aqexten. 2/7/2011 Sajimin, dan N.D. Purwantari. 2011. Pengembangan tiga jenis rumput pakan ternak dibawah tegakan pinus untuk mendukung pakan sapi perah di Lambang. Prosiding Seminar Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran Bandung. .11 p. Sajimin, E.Sutedi, N.D. Purwantari dan B.R. Prawiradiputra., 2005. Agronomi rumput benggala (Panicum Jacq) dan pemanfaatannya sebagai rumput potong. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan. Bogor. P 121 - 129. Siregar, M.E. 1991. Kebutuhan pupuk untuk pengembangan tanaman makanan ternak. Prosiding lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan pupuk V. Puslitanak Bogor. P 469 - 492. Schmidt, F.H and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on wet and dry period. Rtaion For Indonesia with Western New Guinea Verh. No.42. pp 1-77. Subiharta. 2005 in B.Sudaryanto, K.Subagyono, Subiharta, ernawati, B.Utomo, R.N. Hayati A.Rivai, A.S.Romdan. Laporan akhir. Pemetaan wilayah sapi berpotensi beranak kembar dan identifikasi pakan yang berpengaruh terhadap kelahiran kembar di Provinsi Jawa Tengah. BPTP. Jawa Tengah. 93p.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013
241