Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
KONTRIBUSI POTENSIAL PADANG RUMPUT SEBAGAI WADAH DAN SUMBER PAKAN KERBAU DI SUMBAWA S.H. DILAGA Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62 Mataram 83125 Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Aneka ragam vegetasi rumput tumbuh di lahan penggembalaan dengan kandungan protein kasar (PK) 1,9 – 13,5% dan energi (TDN) 50,7 – 65,6%, mampu memberi kontribusi bagi kelangsungan peternakan ruminansia di Sumbawa. Potensi pastura tersebut masih dapat ditingkatkan 1,5 – 2 kali lipat dari keadaan sekarang, asalkan diikuti dengan manajemen beternak yang baik, mengingat ruminansia (terutama kerbau) mampu menggunakan pakan bermutu rendah dan kaya serat untuk difermentasikan menjadi zat makanan yang bermanfaat bagi tubuhnya. Kata kunci: Kerbau, kontribusi, potensi, pastura, fermentasi
PENDAHULUAN Di Pulau Sumbawa banyak terdapat padang rumput alam (native pastura) baik berupa stepa (padang rumput), savanna (padang rumput, di sana sini ada pepohonan), dan tundra (lahan kering, ditumbuhi rumput pada musim hujan), yang dimanfaatkan oleh ternak sebagai areal penggembalaan ternak (bahasa Sumbawa, LAR). Pemeliharaan peternak (kerbau, kuda, kambing, sapi Bali dan sapi Hissar) di areal lar dilakukan masyarakat Sumbawa secara turun temurun sejak dahulu kala. Ciri utama pemeliharaan ternak di Pulau Sumbawa adalah, sedikit menggunakan tenaga kerja, ternak dilepas bebas berkeliaran, akibatnya peternakan dituding sebagai biang keladi kerusakan hutan maupun lingkungan, merusak/memangsa tanaman pangan dan bahkan pengemudi kendaraan bermotor terganggu oleh tingkah laku ternak yang melintas di jalan raya (DILAGA, 2002). Bagi pemilik ternak yang kebetulan ternaknya mati/ hilang sebagai akibat dari cara pemeliharaan di atas, tidak akan membuat mereka gundah atau menyesal, karena mereka menyadari bahwa beternak di Sumbawa tidak perlu modal kecuali ternak, sedangkan makanan dan wadah pemeliharaan diserahkan kepada kearifan alam semata yaitu di lar. Dengan hanya beternak seperti itu mereka sudah mendapatkan hasil. Sampai dengan tahun 2000, banyak dibangun bendungan besar di Pulau Sumbawa. Akibatnya, banyak terjadi alih fungsi lahan,
yang tadinya digunakan untuk lar, berubah menjadi areal persawahan. Kawasan lahan penggembalaan menjadi berkurang luas maupun jumlahnya. Ini merupakan ancaman serius, karena lar tidak hanya berperan sebagai wadah pemeliharaan ternak, akan tetapi yang lebih penting adalah sebagai sumber pasokan pakan (rumput dan leguminosa). Kita masih bisa beternak di awang-awang, akan tetapi kita tidak mungkin bisa beternak tanpa adanya pakan. Kebanggaan yang selama ini diperoleh dari usahaternak akan hilang secara perlahan-lahan. Kemudian predikat Pulau Sumbawa (NTB) sebagai salah satu penghasil ternak potong di Indonesia menjadi sirna. Padahal pemerintah mencanangkan swasembada daging nasional pada tahun 2010, dan NTB termasuk dalam 11 propinsi potensial sebagai penghasil daging. Paling sedikit ada 6 (enam) keunggulan Kabupaten Sumbawa dalam bidang peternakan (berikut populasi ternak tahun 2005), yaitu: 1) Telah ditetapkan secara nasional sebagai wilayah pemurnian sekaligus sumber bibit sapi Bali (74.664 ekor) 2) Telah ditetapkan secara nasional sebagai wilayah pengembangan sekaligus sumber bibit sapi Hissar (986 ekor) 3) Mulai tahun 2005, kerbau akan dikembangkan sebagai primadona peternakan Kabupaten Sumbawa (68.519 ekor). Bahkan akan dideklarasikan sebagai kawasan pengembangan kerbau nasional.
227
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
4) Peternakan kambing PE yang cukup pesat perkembangannya, dan belum tergantikan posisinya untuk memenuhi selera konsumen akan sate dan soto kambing Madura khas Sumbawa (59.524 ekor). 5) Populasi kuda 32.653 ekor yang sejak lima tahun terakhir dikenal sebagai penghasil susu kuda liar yang diyakini sebagai “obat” mujarab agar sehat dan kuat. 6) Masih tersedia lahan yang potensial untuk areal penggembalaan paling sedikit 38% dari total luas wilayah Kabupaten Sumbawa. Dengan adanya keunggulan tersebut di atas, sudah selayaknya Kabupaten Sumbawa disebut sebagai Kabupaten Peternakan, dan diharapkan menjadi sentra pengembangan peternakan, tidak hanya di Kawasan Timur Indonesia, akan tetapi secara nasional. Kerbau sebagai primadona peternakan Kabupaten Sumbawa perlu mendapat perhatian, untuk itu telah dilakukan suatu survei pada tahun 2003 di Desa Penyaring Kecamatan Moyo Hilir (sekarang Kecamatan Moyo Utara) terhadap peternak kerbau. Desa tersebut dipilih karena populasi kerbaunya cukup banyak (1378 ekor) dan terkenal sebagai produsen air susu (susu kerbau dan susu sapi Hissar). Di desa tersebut terdapat industri rumah tangga yang mengolah air susu kerbau dan sapi Hissar menjadi permen susu (caramel) khas Sumbawa. Selain itu, masyarakat Desa Penyaring umum memerah dan meminum ataupun menjual air susu kambing PE (Peranakan Ettawa) dan kuda (susu kuda liar). Data dan informasi dihimpun melalui wawancara perihal peternak dan keluarganya, cara beternak, penampilan produksi kerbau, serta pengamatan langsung di pastura. Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil survei tahun 2003 tersebut masih relevan untuk dijadikan bahan acuan saat ini, mengingat keadaan peternakan secara umum di Kabupaten Sumbawa belum berubah. HASIL DAN PEMBAHASAN Peternak kerbau dan keluarganya Keadaan peternak kerbau dan keluarganya perlu dikemukakan terlebih dahulu, mengingat
228
merekalah yang paling berperan dalam melaksanakan proses produksi usahaternaknya. Dengan mengetahui keadaan mereka secara umum, dapatlah disusun suatu strategi tentang bagaimana sebaiknya program pengembangan ternak ini kedepan, paling tidak mereka dapat dijadikan kelompok binaan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan peternakan. Dari 177 orang peternak kerbau di lokasi survei, 64 orang (36,2%) diantaranya adalah responden penelitian ini. Kebanyakan responden telah berusia di atas 46 tahun (40,6%), kemudian diikuti oleh kelompok muda berumur 21-35 tahun (36,0%), dan kelompok usia menengah (36-45 tahun) sejumlah 23,4%. Ini memberi petunjuk bahwa pemeliharaan kerbau kebanyakan dilakukan oleh orang tua, dengan pengalaman beternak lebih dari 21 tahun, berpendidikan Sekolah Dasar (67,2%, dan 10 orang diantaranya tidak tamat SD), serta sebagian besar (64,1%) dari peternak kerbau tersebut tidak pernah mengikuti kursus/ penyuluhan baik di bidang peternakan, pertanian, koperasi, dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa mereka kurang disentuh oleh program pembangunan peternakan (DILAGA et al., 2003; SUHUBDY, et al. 2005). Semua responden bercita-cita untuk mewariskan pemeliharaan kerbaunya kepada anak keturunannya kelak, manakala mereka sudah tidak mampu mengurusnya. Keinginan tersebut sudah mulai tampak saat ini, terbukti dari semakin banyaknya kalangan muda (umur 21-35 tahun) yang sudah mulai memelihara kerbau (36,0%) dengan pengalaman beternak antara 2-7 tahun, terhitung sejak mereka menerima warisan dari orangtuanya. Kesiapan peternak dalam program agribisnis kerbau Untuk mengetahui kesiapan peternak responden dalam melaksanakan program agribisnis ternak kerbau, dicoba melakukan pendekatan melalui dinamika populasi kerbau pada taraf peternak responden, seperti disajikan pada Tabel 1. Tampak pada data Tabel 1 bahwa, populasi kerbau responden pada 10 tahun yang lalu sampai dengan tahun 2003, sepertinya tidak ada perubahan/statis. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, peternak nampaknya cukup
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
bijak dalam memanfaatkan alam (lar), yaitu menjaga agar tidak terjadi penggembalaan yang berlebihan di areal lar dihubungkan dengan ketersediaan rumput, terutama pada musim kemarau. Mereka menyiasatinya dengan cara menjual kerbaunya setiap tahun, terutama untuk keperluan anak sekolah, pesta pernikahan, maupun untuk ongkos naik haji. Pada tahun survei ini dilakukan, jumlah kerbau yang dijual ke luar desa 115 ekor (58 jantan dan 47 betina). Kedua, populasi nampak statis karena adanya kemurkaan alam terhadap ternak kerbau yang dipelihara dengan cara dilepas bebas di lar Sumbawa, terutama pada musim kemarau, yaitu terjadi kematian pada kerbau muda yang baru disapih, karena adaptasi makanan. Sejak lahir hingga disapih pakannya berupa air susu induk, begitu disapih langsung mendapat pakan serat bermutu rendah. Tegasnya, kehidupan anak kerbau pada masa sedang munyusu adalah “mewah” karena kandungan gizi air susu kerbau sangat tinggi, namun begitu mencapai umur disapih sampai dengan dewasa, kehidupannya berubah drastis yaitu “sengsara”, makanan cari sendiri di areal lar. Pada tahun survei ini dilakukan, jumlah kerbau yang mati pada musim kemarau 45 ekor, sebagian besar mati umur disapih (27 ekor), mati umur menyusui 14 ekor, sisanya 4
ekor mati pada umur dewasa. Keadaan yang terjadi di Sumbawa serupa dengan yang dialami oleh peternak kerbau rawa (kerbau kalang) di Jenamas Barito Selatan Kalimantan Tengah yang dilepas bebas di padang penggembalaan yang vegetasinya didominasi oleh rumput (kumpai) padi hiang (Oryza sativa forma spontanea), yaitu anak kerbau yang disapih pada musim banjir (air rawa pasang), si anak kesulitan berenang untuk mencari rumput rawa yang terendam air sampai ketinggian >1 m, menyebabkan anak mati lemas karena kurang pakan (DILAGA, 1987b, 1988). Ketiga, nisbah kerbau jantan : betina terlampau sempit, yaitu 1 : 2,4; padahal pada cara pemeliharaan seperti yang dilakukan peternak responden, mestinya nisbah jantan : betina = 1 : 10 masih sangat layak diterapkan (DILAGA et al., 2003). Akibat dari banyaknya jantan yang dipelihara, kesempatan terjadinya perkawinan yang tepat waktu, tepat saat, dan tepat sasaran menjadi kurang optimal, karena ketika ada betina yang birahi, para pejantan akan bertarung terlebih dahulu untuk memperebutkan betina itu, sehingga seringkali pejantan muda dan tidak diunggulkan justru yang dapat membuahi terlebih dahulu. Apabila hal ini tidak segera diatasi, populasi kerbau di lokasi survei akan tetap tidak bertambah.
Tabel 1. Pemilikan kerbau peternak responden di Desa Penyaring Keadaan populasi kerbau responden, (ekor) 10 tahun yang lalu 577
5 tahun yang lalu 635
Tahun 2003 555
Perkiraan 5 tahun yang akan datang 1027
Sumber: DILAGA, et al. (2003)
Mengapa peternak senang memelihara kerbau jantan? Karena harga jualnya lebih tinggi dibanding kerbau betina (terpaut Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000) untuk umur, bobot badan, serta kondisi yang relatif sama. Seluruh peternak responden (100%) berpendapat bahwa, beternak kerbau menguntungkan dan sangat besar andilnya dalam kehidupan mereka. Merekapun masih berkeinginan untuk mengembangkan/meningkatkan populasi kerbaunya 5 tahun mendatang menjadi 1027 ekor, agar rataan kepemilikan menjadi sekitar 10 ekor/peternak, dibanding saat survei dilakukan 5 ekor/peternak. Hal ini berarti bahwa, laju pertumbuhan populasi
kerbau di tahun-tahun mendatang hendaknya 8,2% setahun. Harapan tersebut cukup realistis, mengingat 5 tahun yang lalu populasi kerbau mereka cukup tinggi (635 ekor Tabel 1). Beberapa faktor pemacu tumbuhnya harapan dan keinginan peternak responden untuk melaksanakan agribisnis usahaternak kerbau adalah karena manfaat yang mereka dapatkan yaitu kerbau sebagai sumber tabungan (100%), 90% responden menjawab kerbau sebagai penghasil uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan mendesak lainnya seperti biaya anak sekolah, pesta perkawinan anak/saudara
229
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
kandung, maupun untuk pergi haji. Sedangkan jumlah responden yang berpendapat bahwa peran kerbau sebagai lambang status sosial, sumber pupuk, maupun untuk pengangkutan berturut-turut 73,4%, 55,6% dan 47%. c. Kontribusi padang penggembalaan Semua padang penggembalaan (lar) di Sumbawa tidak hanya digunakan oleh kerbau saja, melainkan oleh berbagai jenis ternak ruminansia/herbivora lainnya seperti sapi Hissar, sapi Bali, kambing dan kuda. Kondisi lar sangat sederhana, tidak pernah mengalami perbaikan vegetasi (pasture improvement),
pemupukan, pengairan, maupun manajemen penggembalaan dan lainnya. Dalam keadaaan seperti itu, dapat diduga pertumbuhan ternak belum sesuai dengan mutu genetik yang dimilikinya, karena asupan pakan belum sesuai dengan kebutuhan minimal ternak. Pemeliharaan kerbau dilepas bebas, tanpa ada tambahan input seperti pemberian pakan konsentrat bagi semua struktur umur kerbau (DILAGA et al., 2003; SUHUBDY, et al. 2005). Vegetasi lar sebagian besar didominasi oleh Familia graminae (rumput, bahasa Sumbawa rebu) dan sangat disukai oleh ternak (Tabel 2).
Tabel 2. Komposisi proksimat rumput lar di Desa Penyaring Nama pakan (bahasa Sumbawa) Rebu gurin Rebu idir Rebu betam Rebu lonto lilin Rebu teki Rebu jahe Rataan Rumput gajah
BK, (%) 23.6 24.0 25.1 25.5 32.5 28.9 26.6 16.6
PK, (%) 1.9 3.0 13.5 5.3 6.2 2.5 3.6 10.8
TDN, (%) 50.7 55.1 52.2 65.6 59.7 53.3 56.1 57.6
Sumber: DILAGA et al. (2003)
Komposisi zat makanan rumput padang penggembalaan sangat rendah kandungan proteinnya (PK) bila dibandingkan dengan rumput gajah yang umum digunakan dikenal oleh peternak di daerah dengan sistem peternakan intensif seperti di Pulau Jawa. Kandungan energi rumput tersebut yang diduga dari nilai TDN-nya adalah hampir sama dengan rumput gajah. Untuk itu, pemberian pakan tambahan kaya protein dan energi kepada kerbau perlu dilakukan oleh peternak. Selain rumput, di lokasi padang penggembalaan terdapat Mimosa vigra yang merupakan gulma semak berduri dan sangat subur, berbunga dan berbuah hampir sepanjang tahun dan mencapai puncaknya pada musim kemarau. Tingkat kesuburan tanah antara lain dapat dilihat/diketahui dari pertumbuhan tanaman yang tumbuh di lahan itu. Tanah yang mempunyai tingkat kesuburan rendah,
230
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang tidak baik. Kemasaman tanah (pH) padang penggembalaan berharkat netral, bukan merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Kadar bahan organik dari contoh tanah padang penggembalaan berkisar antara 4,45 – 10,14% atau berharkat tinggi sampai dengan sangat tingi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan STEVENSON (1981) bahwa, tanah yang digunakan untuk penggembalaan ternak akan mempunyai kadar bahan organik sekitar 5 – 10%, sebagai akibat dari seringnya tanah mendapatkan input berupa feses dan urine ternak. Harkat seperti itu menunjukkan status bahan organik tanah lar merupakan faktor pendukung bagi kesuburan tanah dan tanaman. Kadar protein (PK) rumput lar berkorelasi dengan kadar N-total tanah, yaitu rendah, sedangkan kadar P-total dan K-total cukup tersedia bahkan lebih bagi kebutuhan tanaman.
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
areal penggembalaan (lar) dan populasi ternak kerbau masih dapat ditingkatkan sampai dengan dua kali lipat populasi saat survei ini dilaksanakan.
Keadaan potensi padang penggembalaan Faktor pemicu lainnya yang menyebabkan peternak responden bersemangat meningkatkan populasi kerbaunya antara lain adalah karena menurut mereka masih ada tersedia Tabel 3. Kesuburan tanah lar di Desa Penyaring No 1 2 3 4 5
Jenis analisis pH-H2O Bahan organik, (%) N-total, (%) P-total, (ppm) K-total (ppm)
Kisaran nilai 7.12 – 7.21 4.45 – 10.14 0.019 – 0.022 176.11 – 215.27 42.83 – 908.05
Harkat*) Netral Tinggi – sangat tinggi Rendah Sangat tinggi Sangat tinggi
Sumber: DILAGA (2002) Keterangan: *) Berdasarkan patokan PUSAT PENELITIAN TANAH BOGOR (1983)
Tabel 4. Pandangan peternak responden terhadap ketersediaan padang penggembalaan No 1
Macam ukuran Kelas padang penggembalaan Jumlah, (%)
2
Persediaan rumput sekarang Jumlah, (%) Daya tampung padang penggembalaan (berapa kali dari sekarang) Jumlah, (%) Ketersediaan rumput jika populasi bertambah beberapa kali lipat dari sekarang Jumlah, (%)
3 4
Pandangan peternak (1) (2) (3) (4) 28.1 31.3 4.7 36.0 Kurang 0.0 (1.5) 100.0
Cukup Lebih 100.0 0.0 (2) (3) 98.4 0.0
(2) 98.4
(3) 0.0
(4) 0.0
Sumber: DILAGA et al. (2003) Keterangan: Padang penggembalaan kelas (1) = dekat dari tempat tinggal (<3 km) dan luas, kelas (2) = jauh dari tempat tinggal (>3 km) dan luas, kelas (3) = dekat dan sempit, kelas (4) = jauh dan sempit; Luas dan sempit adalah relatif, tergantung persepsi peternak
Tabel 4 menggambarkan bahwa jumlah peternak responden yang mempunyai kemudahan untuk memanfaatkan padang penggembalaan Kelas 1 ada 28,1%, lebih kecil dari proporsi jumlah mereka yang memanfaatkan padang penggembalaan Kelas 2 (31,3%) dan Kelas 4 (36,0%). Informasi yang dapat diambil dari keadaan itu adalah, masih tersedia padang penggembalaan di lokasi survei. Artinya, ruang untuk ekspansi usaha
masih mungkin untuk dilakukan. Menurut estimasi mereka, padang penggembalaan umumnya masih cukup memenuhi kebutuhan ternak seandainya populasi kerbau bertambah menjadi 1,5 - 2 kali lipat dari populasi pada saat survei dilaksanakan. Hal ini dapat dipahami, karena kerbau mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai keadaan lar, sebagaimana yang dilaporkan OGNJANOVIC (1974) seperti disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Dampak mutu padang rumput terhadap pertumbuhan kerbau dan sapi No 1 2
Perbandingan Padang rumput jelek Padang rumput sedang
Kerbau 0.2 kg/hari 0.6 kg/hari
Sapi 0.0 kg/hari 0.3 kg/hari
Sumber: OGNJANOVIC (1974)
231
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
Uji banding pemeliharaan kerbau di padang penggembalaan jelek maupun sedang memperlihatkan bahwa kerbau masih mampu tumbuh pada kondisi pastura yang buruk sekalipun. Hasil penelitian kalangan pakar yang membandingkan kadar Asam Lemak Atsiri (ALA, yang diukur adalah C2 = asetat, C3 = propionat, dan C4 = butirat) dalam cairan rumen (% Molar) kerbau dan sapi yang diberi pakan sama (ada 13 macam pakan) telah dihimpun oleh DILAGA (1987a dan 1988), kemudian dihitung stoichiometry fermentasi pakan menjadi ALA dan akibatnya terhadap penggunaan energi. Hasilnya disarikan sebagai berikut: Besarnya energi yang terbuang sebagai panas fermentasi (kerbau 6,4% vs sapi 6,5%) dan gas metan (CH4) pada kerbau lebih kecil daripada sapi (20,25% vs 20,92%), akibatnya nisbah C3 : C2 pada kerbau lebih besar daripada sapi (0,255 vs 0,248), produksi panas asal fermentasi pakan dalam rumen dan oksidasinya dalam tubuh kerbau lebih kecil dibanding sapi. Ini berguna bagi kerbau untuk mengatur suhu tubuhnya agar terhindar dari cekaman panas. Selain itu, besarnya nisbah C3 : C2 pada kerbau memberi indikasi bahwa kerbau lebih cepat menimbun lemak tubuh daripada sapi yang mendapat pakan sama, karena asam propionat (C3) bersifat glukogenik; sedangkan asam asetat (C2) dan asam butirat (C4) cenderung bersifat termogenik. Menurut SUTARDI (1980) produk fermentasi pakan yang menghasilkan C2 dan C4, maka sebagian besar energinya diubah menjadi panas. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kerbau cenderung lebih baik dalam menghemat energi daripada sapi, karena kerbau mampu memperkecil pembuangan energi berupa panas fermentasi dan metan. Tegasnya, kerbau lebih unggul dari sapi dalam mengkonversi dan menggunakan pakan, bagaimanapun mutunya. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa peternak siap untuk mengembangkan ternak kerbau sebagai primadona Kabupaten Sumbawa, apalagi kalau mendapatkan bimbingan teknis dan permodalan dari pemerintah. Hal tersebut akan dapat dicapai oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa dengan cara mulai menata kembali lahan-lahan tidur atau lahan yang selama ini dijadikan lar untuk selanjutnya ditetapkan melalui peraturan
232
daerah (Perda), agar peruntukannya tidak dialih fungsikan oleh siapapun dan sampai kapanpun (DILAGA, 2000). Tegasnya, potensi lahan-lahan itu perlu dioptimalkan. Keadaan peternakan penggembalaan di Negeri Belanda pantas dijadikan teladan, yakni suatu kawasan yang telah ditetapkan untuk areal peternakan, maka tidak akan dapat diubah peruntukannya untuk kepentingan lain. Konsistensi pemerintah Belanda melindungi peternak itulah yang akhirnya menyebabkan mereka mampu meraup devisa dari daging, susu dan keju. Pemanfaatan lahan di luar sub sektor peternakan Beberapa masalah pada pakan ruminansia menurut DILAGA (2006) yang sebagian besar berupa hijauan adalah: 1) Belum terpetakannya potensi pakan ruminansia, 2) Adanya kesenjangan antara penyebaran ternak dengan ketersediaan pakan, 3) Kesenjangan ketersediaan pakan pada musim kemarau dan musim hujan, 4) Mutu hijauan rendah, dan 5) Penggunaan pakan konsentrat masih sangat terbatas karena biaya produksi meningkat. Padahal kita ketahui bahwa pakan ruminansia diolah dan diproduksi dari aneka bahan baku yang berasal dari hasil-hasil pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan maupun bahan organik lainnya yang telah diolah maupun yang belum diolah. Melihat kepada sumber keterkaitan pasokan pakan, maka sudah selayaknya diupayakan pemanfaatan lahan lain di luar sub sektor peternakan untuk diintegrasikan dengan ternak, misalnya ternak dengan perkebunan kelapa (coco beef), ternak dengan kehutanan dapat dibuatkan suatu areal silvo pastura. Selain itu, perlu melakukan reformasi di bidang pertanahan (agraria) untuk menjamin tersedianya lahan untuk padang penggembalaan (lar), maupun lahan untuk sumber pakan, seperti misalnya areal pertanaman jagung untuk pakan ternak (corn beef). KESIMPULAN •
Padang rumput alam (native pastura) perlu dikelola dengan cara pengaturan penggembalaan, pemeliharaan lahan dan vegetasi tanaman pakan, serta perbaikan
Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi
•
mutu pastura dengan melakukan penyebaran benih leguminosa serta diikuti dengan pemberantasan gulma. Kesuburan lahan padang penggembalaan masih dapat ditingkatkan fungsinya sebagai tempat penggembalaan, areal penanaman Hijauan Makanan Ternak (HMT) sistem potong-angkut (cut and cary) maupun sebagai wadah sumber bibit/benih HMT. DAFTAR PUSTAKA
DILAGA, S.H. 1987a. Suplementasi Kalsium dan Fosfor pada Kerbau Rawa Kalimantan Tengah yang Mendapat Ransum Padi Hiang (Oryza sativa forma spontanea). Thesis S2 Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. DILAGA, S.H. 1987b. Pemeliharaan Kerbau Rawa di Kalimantan Tengah. ORYZA-UNRAM Vol. XII/Nomor:13, April 1987. DILAGA, S.H. 1988. Kerbau Rawa Kalimantan Tengah dan Makanannya. ORYZA-UNRAM Vol. XII/Nomor:16, Januari 1988. DILAGA, S.H. 2000. Padang Penggembalaan, Ruang Bersama untuk Peternak (Suatu Upaya Pemberdayaan Daerah di Pulau Sumbawa). Info Bappeda NTB, Vol. II Nomor:19, Juli 2000.
DILAGA, S.H. 2002. Kelayakan Lingkungan Lahan Kering Sumbawa sebagai Wadah Penggembalaan Sapi Hissar. Disajikan pada Seminar Nasional IV Pengembagan Lahan Kering. Mataram, 27-28 Mei 2002. DILAGA, S.H., C. ARMAN, HASYIM dan LESTARI, 2003. Potensi Kerbau sebagai Penghasil Susu untuk Menunjang Penelitian Uji Klinis Anti H. pylory pada Anak Balita Kurang Gizi di Kabupaten Sumbawa. Proyek Penelitian & Pengembangan Teknologi-Bappeda NTB. DILAGA, S.H. 2006. Ketahanan Pakan menuju Swasembada Daging 2010. Disampaikan pada Seminar Pengkajian Ilmu dan Teknologi Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan pada Masyarakat Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Mataram, 31 Mei 2006. OGNJANOVIC, A. 1974. Meat and Meat Production. In: The Husbandry and Health of the Domestic Buffalo. Ed. E.R. COCHRILL. FAO – Rome. STEVENSON, F.J. 1981. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. JHON WILLEY and SONS, New York. SUHUBDY, H. POERWOTO, I.B. DANIA, IMRAN, M. MUHZI, S.H. DILAGA dan SOFYAN. 2005. Profil dan Potensi Ternak Kerbau Sumbawa di Propinsi NTB, suatu Rekaman Pendahuluan Data Dasar Kerbau Lokal. Laporan Penelitian Dinas Peternakan NTB. SUTARDI, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jurusan Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
233