Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Santrock (2002) menyatakan anak sebagai individu yang berusia 2-6 tahun (masa usia dini) dan usia sekolah dasar (6-11) tahun sebagai masa anak-anak akhir. Para ahli mengemukakan bahwa anak-anak dapat dibentuk seiring perkembangannya dan pengasuhan di masa awal kehidupan mereka. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak selama masa usia dini kemudian dapat berpengaruh di masa selanjutnya. Karakteristik anak dengan demikian membutuhkan pengasuhan dan perlindungan bagi anak selama masa perkembangannya. Hak asasi anak untuk memperoleh perlindungan dan pendidikan selama masa hidupnya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 B dan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan juga melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Namun, pada kenyataannya di Indonesia masih diliputi oleh maraknya kasuskasus kekerasan seksual pada anak (KSA) yang jumlahnya semakin meningkat. Kekerasan seksual pada anak atau KSA merupakan setiap aktivitas pemuasan seksual orang dewasa atau anak yang lebih tua kepada anak-anak yang belum 1
cukup usia secara hukum (Johnson, 2004). Finkelhor (2009) menyatakan bahwa kekerasan seksual pada anak adalah segala bentuk kejahatan atau pelanggaran seksual yang dilakukan pada anak sampai usia tujuh belas tahun, baik pelaku adalah orang dewasa, anak-anak, maupun remaja. Orange dan Brodwin menyatakan kekerasan tersebut dilakukan dalam bentuk paksaan, ancaman, keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual (Paramastri, Supriyati, & Priyanto, 2010). Aktvitas pemuasan seksual melalui oral-genital, genital-genital, genitaldubur, tangan-genital, tangan-rektal, atau
sentuhan tangan-payudara, paparan
anatomi seksual, melihat paksa anatomi seksual, dan menunjukkan pornografi anak atau menggunakan anak dalam produksi pornografi, melihat atau menyentuh alat kelamin, pantat, atau dada oleh anak-anak pra-remaja merupakan bentukbentuk dari KSA (Johnson, 2004). Jenis KSA menurut KPAI (Erlinda, 2014) dan Indriati (2001) meliputi hubungan seksual, incest, perkosaan, sodomi, eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling), memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, dan memaksa anak untuk melihat kegiatan seksual. Definisi dari kekerasan seksual mungkin bragam, tetapi terdapat beberapa elemen yang seringkali terdapat dalam definisi KSA yakni eksploitasi terhadap anak, menggunakan paksaan, menggunakan bujukan atau rayuan, dan bertujuan untuk mencapai kepuasan yang diinginkan oleh orang dewasa (Kinnear, 2007). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari American Psychological Association atau 2
APA (2011) bahwa karakteristik utama terjadinya KSA adalah adanya posisi dominan dari orang dewasa sebagai pelaku yang memungkinkan untuk melakukan aktivitas seksual terhadap anak yang meliputi kekerasan fisik, maupun non fisik. KSA melalui fisik antara lain mencium alat kelamin anak, masturbasi, konak oralgenital, penetrasi, dan hubungan seks vagina dan seks anal. Pelecehan seksual non fisik seperti memperlihatkan aktivitas seskual, voyeurisme,dan pornografi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI (Erlinda, 2014) mengatakan kasus KSA di Indonesia sudah memasuki fase darurat, dimana jumlahnya semakin tinggi, sangat mengkhawatirkan, dan modus yang tidak berkeprimanusiaan. Hasil penelitian menunjukkan data usia pelaku KSA dapat dikatakan tidak mengenal usia (Fu’ady, 2011). Data yang diperoleh dari Komisi Nasional Perlindungan Anak atau KNPA yakni kasus KSA terus meningkat hingga 50% sejak tahun 2005. KPAI (Erlinda, 2014) mencatat peningkatan kasus KSA sebagai berikut:
Jumlah kasus KSA
1400
1380 kasus
1200 1000 800
746 kasus
600 400 200
329
525 kasus Tahun
2011
2012
2013
2014
Gambar 1. Peningkatan Jumlah Kasus KSA dari tahun 2011-2014 di Indonesia 3
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI (Erlinda, 2014) juga menunjukkan kasus KSA yang meningkat dari tahun 2011 hingga 2014. Laporan KSA yang diterima oleh KPAI di dalam tiga bulan pertama 2014 meningkat berkisar 42-62 persen (Auliani, 2014). Ketua KNPA menyatakan bahwa dari kasus kekerasan seksual pada anak tahun 2014 diketahui bahwa kasus banyak terjadi di lingkungan sekolah (Aji, 2014). Kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak juga terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah kasus di DIY mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mayoritas pelaku merupakan teman dekat, kerabat, hingga tetangga korban. Data dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY menyebutkan bahwa KSA di DIY merupakan kasus yang tertinggi dibandingkan dengan kasus yang lainnya dan meningkat dari tahun 2001 hingga tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 ada 32 kasus, 2010 terdapat 34 kasus, dan sampai dengan Agustus 2011 ada 25 kasus kekerasan seksual (Prabowo, 2011). Berdasarkan data kasus yang terlapor di Lembaga Swadaya Masyarakat (Kantor Berita Antara, 2013) menyatakan bahwa data yang didapatkan dari Unit Pelayanan, Anak dan Perempuan (UPPA) Polres Gunungkidul, jumlah kekerasan seksual pada anak sejak bulan Januari hingga bulan Oktober 2013 terdapat 29 kasus. Sementara selama 2013 dari 44 kasus kekerasan pada anak, 43 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak di DIY. LPA Jogja juga mencatat bahwa hingga Mei 2014 diketahui 17 kasus kekerasan seksual yang terjadi lingkungan pendidikan (Atmasari, 2014). Jumlah tersebut diprediksi bisa lebih banyak lantaran masih banyak warga yang enggan melapor kepada 4
petugas kepolisian lantaran ada perasaan malu dan takut. Psikiater Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari di Gunung Kidul juga mengatakan selama enam tahun terakhir di tahun 2014 angka kekerasan seksual pada anak mencapai 108 kasus (Sutarmi, 2014). Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi korban KSA, termasuk anak-anak yang masih usia dini. APA (2011) menyatakan bahwa KSA dapat terjadi pada anak-anak dari segala usia, ras, etnis, budaya, dan latar belakang ekonomi, baik anak-anak yang berasal dari pedesaan, perkotaan, pinggiran kota, terjadi pada semua jenis lingkungan dan masyarakat di seluruh dunia, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UGM/RSUP DR SARDJITO dalam Temu Wicara Pencegahan Tindak KKSA pada Anak Usia Dini, yang diadakan oleh Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi UGM, tanggal 17 Mei 2014 menyatakan bahwa terdapat korban kekerasan seksual yang ditangani di UPKT RSUP DR Sardjito sejak tahun 2009-2011 terus meningkat. Data korban seksual di UKPT RSUP DR Sardjito meliputi 27% pada korban usia 20-39 tahun dan 73% korban berusia 0 – 19 tahun.Hal tersebut sejalan dengan data sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jogja diketahui bahwa selama tahun 2013, dari 44 kasus kekerasan seksual pada anak, 43 kasus diantaranya adalah kekerasan seskual pada anak-anak di bawah usia. Kasus KSA pada anak usia dini yang terus meningkat ditunjukkan dengan semakin banyaknya pengaduan atas kejadian kekerasan seksual pada anak. Usia korban KSA rata-rata berkisar antara 2 – 15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan 5
masih berusia 1 tahun 3 bulan. Saat ini korban kekerasan seksual bukan hanya menimpa kaum remaja, tetapi juga menimpa ank-anak usia dini dimulai dari usia 0-6 tahun yang semakin rentan terhadap aksi kekerasan (Silitonga, 2014). Beberapa kasus kekerasan sesksual yang terjadi pada anak usia dini seperti pada kasus KSA di Denpasar yang dilakukan oleh pria yang dipanggil Codet (30 tahun), dimana yang menjadi korban adalah anak-anak berusia 5 tahun hingga 6 tahun (Doni & Mira, 2010). Demikian pula dengan kasus pencabulan seorang kakek berusia 65 tahun terhadap anak berusia 2
tahun 8 bulan di Jakarta
(Fardianto, 2014). Pada bulan Agustus 2012, ZN (47 thn) ditangkap karena memperkosa AN, anak berumur 3 tahun. Korban mengalami trauma dan sering kejang-kejang. Beberapa catatan KPAI (Erlinda, 2014) mengenai kasus KSA pada anak usia dini yakni kasus KSA di Sukabumi, dimana terdapat 120 yang menjadi korban kekerasan seksual/ sodomi oleh Emon. Kemudian kasus KSA yang dilakukan oleh Baekuni atau disebut Babe sejak tahun 1993-2010 yang melakukan KSA kepada 14 anak laki-laki berusia 4 tahun – 14 tahun. Korban semuanya dicekik sebelum penetrasi dan dimutilasi untuk menghilangkan barang bukti. Pelaku kemudian diberikan hukuman mati. Kasus KSA lainnya yakni kasus siswa di taman kanak-kanak bertaraf internasional di Jakarta diduga menjadi korban sodomi dan tindak kekerasan oleh sejumlah pegawai sekolah itu. Kasus yang yang KSA yang menjadi trigger pengungkapan kasus KSA hingga saat ini yakni kekeasan seksual yang menimpa anak TK di Jakarta International School atau JIS (Murti, 2014). Kasus tersebut 6
terungkap pada tanggal 21 Maret 2014 yang diberitakan di surat kabar Tempo (Utama, 2014). Ibu korban terkejut saat putranya seringkali pulang ke rumah memakai baju cadangan dari sekolah dan terlihat mengompol. Korban berusia 5 tahun tersebut menyatakan kepada ibunya: "Mami, tolong bilang ke teman Mami yang polisi, datang ke sekolahku karena ada bapak jahat di sekolah" Kasus KSA pada siswa TK juga terjadi di DIY (Putra, 2014) yakni anak kembar dilecehkan oleh anak tetangganya yang menumpang untuk sekolah di Yogyakarta. Ibu korban mengadukan kasus anaknya sebagai berikut: "Bayangkan anak TK bisa menahan perasaan ini hingga dia kelas 2 SD dan baru bercerita bahwa, maaf, saat anak saya di Yogyakarta, kedua anak tetangga saya yang menumpang untuk bersekolah itu memainkan kelamin anak saya, hingga celananya basah. Bahkan sampai pagi, anak saya tidak memakai celana. Anak saya tahu, tapi diam saja karena takut dibunuh,". Kasus
KSA
tersebut
kemudian
memberikan
dampak
negatif
bagi
perkembangan psikologis pada anak. Pada korban yang mengalami permasalahan pasca trauma tersebut tampak dari adanya ingatan yang tiba-tiba muncul tentang kekerasan seksual yang dialami, mimpi buruk berisikan rasa tidak berdaya dan berputus asa, menghindari stimulus yang mengingatkan tentang trauma seksual, mudah marah, merasa dirinya berada pada kondisi tidak aman, dan adanya ide untuk melakukan bunuh diri (Indriati, 2001). Data yang diperoleh dari UPKT RSUP DR Sardjito sejak tahun 2009-2011 diketahui bahwa jumlah korban kekerasan seksual diantaranya 28% mengalami depresi, 43% mengalami PTSD, gangguan mental lainnya 24%, dan
5% korban tidak mengalami gangguan
mental. 7
Johnson (2004) menyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak usia dini kemungkinan masih banyak yang tidak diketahui karena adanya rasa malu dan takut untuk melaporkan kejadian KSA, serta adanya kemungkinan anak belum memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik dalam melaporkan sebuah kejadian dengan detail, pemahaman anak yang masih kurang dalam mengenali tindakan yang merupakan kekerasan seksual, terutama jika pelaku KSA merupakan orang terdekat atau pengasuhnya. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapapat Santrock (2005) bahwa anak usia dini usia 2-7 tahun memiliki karakteristik belum mampu berfikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami. Pelaku KSA dengan demikian dapat lebih mudah memanipulasi anak dengan memberikan iming-iming atau hadiah serta ancaman, serta informasi yang salah tentang nilai-nilai agar kebutuhan seksual orang dewasa tersebut terpenuhi (Kinnear, 2007). Johnson (2004) menyatakan konsekuensi dari KSA dapat berdampak pada aspek fisik dan psikologis anak. Dampak fisik dapat berupa terdapatnya jaringan atau organ yang rusak, dimana organ tersebut kemungkinan menyebabkan bekas luka. Namun demikian, dampak psikologis dapat berdampak lebih lama bagi anak, seperti gangguan stres pasca-trauma, serta adanya kehamilan dan beberapa penyakit menular seksual mengakibatkan efek seumur hidup berupa ancaman jiwa atau percobaan bunuh diri pada korban. Kekerasan seskual pada anak dengan demikian dapat berakibat pada sakit fisik, mental, sosial, dan bahkan dapat mengancam produktivitas korban. Whitaker (Cashmore & Shackel, 2013) menyatakan bahwa sebagian besar pelaku KSA adalah orang-orang yang menjadi 8
korban kekerasan seksual di masa lalunya. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak agar keshatan anak sejak usia dini tidak terancam (Paramastri, dkk, 2010). Upaya pencegahan KSA kepada anak usia dini dapat disesuaikan dengan karakteristik perkembangan kognitif anak. Anak dapat diberikan pengetahuan dan keterampilan
melalui
media-media
pembelajaran
yang
konkret,
seperti
menggunakan media boneka ataupun media bergambar. Hal ini sejalan dengan pendapat Paramastri, Prawitasari, Prabandari, dan Ekowarni (2011) yang menyatakan bahwa metode pencegahan KSA pada anak dapat dilakukan melalui media bergambar atau buklet. Selanjutnya, Maan (Kinnear, 2007) menyatakan bahwa salah satu penanganan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya KSA pada anak dengan menggunakan media boneka. Boneka mainan yang dilengkapi dengan organ vital berfungsi untuk menjelaskan kepada anak-anak tentang nama-nama, fungsi organ tersebut, dan pentingnya organ tersebut untuk dilindungi agar terhindar dari kekerasan seksual. Undang-undang No. 23 tahun 2002 menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan cara yang bersifat preventif maksudnya upaya penanggulangan 9
tersebut lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Pencegahan juga dapat diartikan sebagai usaha perubahan yang positif, seperti memberikan perlindungan terhadap anak karena anak merupakan orang yang paling mudah dibujuk dan selain itu anak belum dapat memberontak seperti yang dilakukan oleh orang-orang dewasa (Paramastri, Prawitasar, Prabandari, & Ekowarni, 2011). Finkelhor dan Strapko (Bolen, 2003) menyatakan bahwa program-program pencegahan kekerasan seskual memiliki tiga tujuan yakni: (a) untuk mengajari anak-anak konsep pelecehan seksual, sering digambarkan sebagai “sentuhan buruk” di bagian tubuh yang privasi, (b) untuk mengajarkan anak-anak bahwa mereka dapat menolak tawaran tersebut dan untuk menjauh dari orang tersebut, dan (c) untuk mendorong anak-anak agar memberitahu orang dewasa tentang tawaran yang terjadi. Program pencegahan kekerasan seksual pada anak tersebut sebagain besar berhasil mengajari anak-anak tentang konsep seksual dan keterampilan dalam perlindungan diri. Tujuan utama dari teknik ini menurut Kohl adalah untuk mencegah penyalahgunaan oleh kerabat, orang lain yang dikenal, dan orang asing, sehingga dapat mengurangi kerentanan terhadap kekerasan dan eksploitasi pada anak (Bolen, 2003). Wurtele dan Miller-Perrin (1992) menyatakan sebagian besar program pencegahan kekerasan seksual pada anak menekankan pada kesamaan hal konsep yang diajarkan pada anak meliputi pengenalan situasi yang berpotensi kasar, mengajarkan strategi menolak dengan mengatakan “tidak” atau berteriak, dan mendorong anak untuk mampu mengungkapkan perilaku orang lain atau dewasa 10
yang melecehkan. Kebanyakan program pencegahan juga menekankan bahwa anak-anak tidak harus menyalahkan diri sendiri jika terjadi suatu kejadian pelecehan seksual (Finkelhor & Dziuba-Leatherman, 1995). Finkelhor menyatakan beberapa kondisi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya KSA yakni salah satunya dengan memfokuskan pada halangan eksternal atau penolakan kondisi yang dapat mendukung terjadinya KSA (Carol, 200). Dalam hal ini usaha pencegahan kejahatan tersebut lebih diutamakan karena usaha prevensi jelas lebih baik dan lebih ekonomis daripada tindakan represif. Disamping itu usaha pencegahan dapat mempererat kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat. Gullotta dan Bloom (2014) menyatakan bahwa pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi prevalensi suatu gangguan atau disfungsi dengan mengurangi jumlah kasus atau kejadian yang muncul dalam populasi tertentu disebut prevensi primer. Usaha prevensi primer untuk kasus KSA dengan demikian merupakan hal yang penting dan perlu dilakukan secara luas karena besarnya potensi anak untuk menjadi korban, sulitnya mendeteksi pelaku KSA, anak-anak seringkali menyalahkan diri sendiri jika terjadi suatu kejadian pelecehan seksual (Finkelhor & Dziuba-Leatherman, 1995). Prevensi primer dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan atau keterampilan individu melalui pendidikan atau pelatihan dengan memodifikasi agen atau lingkungan terdekat (Gullotta & Bloom, 2014).
Bolen (2003)
menyarankan agar metode pencegahan yang lebih efektif untuk KSA adalah program yang berbasis sekolah, yakni promosi pola-pola hubungan yang sehat. 11
Bronfenbreuner (Martani, 2012) menyatakan bahwa salah satu sistem yang paling kuat, langsung pengaruhnya kepada perkembangan anak, dan merupakan situasi lingkungan yang menyebabkan anak dapat melakukan kontak langsung serta saling mempengaruhi adalah mikrosistem, salah satu unsurnya adalah guru. Tudge, J., Mokrova, I., Hatfield, B., Karnik, R.B. (2009) dan Bronfenbenner (1994) menyatakan bahwa pada dasarnya, orang tua dan guru merupakan bagian utama dari lingkungan pembelajaran anak yang memiliki peranan penting dalam memberikan pendidikan, perlindungan, keterempilan pada anak. Orang tua dapat bekerja sama dengan guru untuk bersama-sama mentransfer nilai-nilai dan langkah-langkah perlindungan ini kepada anak-anak sesuai dengan usia anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Babatsikos (2012) yang menyatakan bahwa program prevensi yang langsung dilakukan kepada anak bukanlah satu-satunya jawaban untuk masalah sosial yang kompleks. Program edukasi yang langsung kepada anak tersebut dikritisasi karena hanya menempatkan tanggung jawab prevensi pada anak (Collin-Vezina, Daigneault, Hebert, Parent, dan Tremblay, 2006). Dengan demikian, program prevensi KSA dapat diberikan kepada lingkungan terdekat anak yakni salah satunya guru di sekolah. Pohan (2011) menyatakan bahwa sekolah merupakan tempat yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, membentuk sikap, dan mengembangkan keterampilan pada anak. Sekolah diharapkan mampu menciptakan lingkungan sekolah sehat, adanya pendidikan kesehatan di sekolah, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan adanya kebijakan serta upaya sekolah untuk mempromosikan
12
kesehatan (Depkes, 2008). Salah satu agen di sekolah yang seringkali berinteraksi dengan anak secara langsung adalah guru. Guru dapat menjadi sumber informasi mengenai pengetahuan dan keterampilan prevensi KSA pada anak selain melalui media, teman sebaya, orang tua, serta tenaga kesehatan (Ghule & Donta, 2008; Philips & Martinez, 2010). Guru merupakan bagian utama dari lingkungan pembelajaran siswa dan memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan kepada siswa. Berdasarkan alasan tersebut beberapa upaya penanganan terkait prevensi KSA dapat diarahkan kepada guru. Pemberian psikoedukasi pelatihan untuk prevensi KSA dengan demikian sangat penting. Data preliminary yang diambil dari hasil diskusi dengan beberapa orang tua dan guru pada Temu Wicara Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini, yang diadakan oleh Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, tanggal 17 Mei 2014, menemukan bahwa guru mengalami kesulitan dalam membantu siswa dalam mencegah terjadinya KSA. Guru mengalami kebingungan tentang apa yang harus dilakukan oleh guru terhadap siswa agar sejak dini mengajarkan cara menjaga dirinya dari KSA. Berdasarkan hasil kuesioner yang disebaran kepada 28 orang guru TK di Kabupaten Sleman,Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa guru-guru telah memperoleh informasi mengenai kekerasan seksual pada anak. Selanjutnya, peneliti mewawancarai kepala sekolah dari salah satu TK Islam Terpadu. Kepala sekolah menyatakan bahwa berita tentang kasus KSA sudah diketahui oleh banyak kalangan termasuk guru-guru, tetapi hingga saat ini guru-guru belum 13
mengetahui bagaimana cara menangani agar kasus tersebut tidak terjadi pada anak didiknya. Selanjutnya, peneliti juga mewawancarai guru dari sekolah tersebut. Guru menyatakan bahwa saat ini media sosial banyak memberitakan kasus kekerasan yang terjadi pada anak. Namun, hingga saat ini, belum terdapat fasilitas atau hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengantisipasi permasalahan tersebut. Guru menyatakan bahwa guru belum mengetahui hal apa yang dapat dilakukan oleh guru agar dapat mencegah terjadinya KSA pada anak didiknya. Selanjutnya guru juga menyatakan bahwa letak sekolah berbaur dengan SD, rumah warga, sawah-sawah, dan jalan raya, dimana orang luar dapat masuk tanpa ada batasan (pagar penghalang). Hal tersebut menurut guru dapat memberi peluang pada pelaku kejahatan, sehingga guru merasa perlu untuk mengetahui cara-cara mengajari anak usia dini agar dapat melidungi dirinya dari kejahatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Johnson (2004) bahwa pelaku dapat menemukan anak-anak sebagai korban saat bermain-main, saat di kerumunan atau perkumpulan acara keluarga, atau pelaku mendekati anak-anak yang berada di dekat rumah pelaku. Oleh karena itu, keterampilan guru dalam mengajar prevensi KSA sangat diperlukan sebagai salah satu upaya menghindarkan anak dari kasus KSA. Hal ini sejalan dengan pendat Killic (2010) bahwa guru membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengajar, sehingga guru butuh diberikan pelatihan sebelum pengajaran dimulai. Pandangan konstruksivisme menyatakan bahwa individu sebagai pembelajar aktif akan membentuk (konstruksi) pengetahuannya dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dan pengetahuan baru yang diperolehnya. Indiviu dapat 14
membangun konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dan proses ini dikenal sebagai accretion. Konsep-konsep yang telah dibentuk oleh individu kemudian dapat terus berkembang sejalan dengan pengetahuan dan pengalaman baru yang diperolehnya (Jasin & Shaari, 2012). Pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengajar anak usia dini dengan demikian dapat diperoleh dari adanya pengalaman, akibat proses mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi berdasarkan sesuatu yang diketahui, baik melalui pengalaman, belajar, dan informasi yang diterima (Notoatmodjo, 2006). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan guru (overt behavior) yang kemudian berhubungan dengan keterampilan guru. Keterampilan mengajar (teaching skill) merupakan suatu karakteristik umum dari seseorang yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diwujudkan melalui tindakan. Keterampilan dasar mengajar (teaching skill) pada dasarnya adalah berupa bentuk-bentuk perilaku bersifat mendasar dan khusus yang dimiliki oleh seorang guru sebagai modal awal untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajarannya secara terencana dan profesional (Rusman, 2013). Dalam proses pengajaran prevensi KSA kepada anak usia dini, adanya pengetahuan dan keterampilan guru merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh optimalisasi pada anak. Untuk mengatasi hambatan yang dialami para guru dan orang tua dalam memahami dan mentransfer pendidikan prevensi KSA kepada anak usia dini, maka dibutuhkan usaha pemberian psikoedukasi pelatihan prevensi KSA kepada guru. Dimana, Oser, Achtenhagen dan Renold 15
(Saraswati dan Paramastri, 2013) menyatakan bahwa pemberian informasi untuk guru penting dilakukan karena bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang strategi yang dapat diterapkan di dalam kelas, sehingga guru dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Kemampuan mengajar guru dibutuhkan dalam proses penyampaian infromasi prevensi KSA. Agar pengajaran berjalan secara efektif, maka dasar-dasar keterampilan mengajar perlu dikuasai oleh pengajar. Dasar-dasar keterampilan mengajar tersebut terdiri dari membuka, menjelaskan, menyajikan informasi, bercerita, memberi contoh dan pembanding, mendesain dan menggunakan media audiovisual, responsif terhadap siswa, adanya variasi kegiatan dan menyimpulkan (Brown & Manogue, 2001). Modul “PROAKSI” adalah sebuah program pelatihan bagi guru untuk dapat mengajarkan prevensi KSA pada anak usia dini. Program ini dibuat dengan tujuan agar guru memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menyampaikan materi prevensi KSA pada anak usia dini. Melalui pemberian pelatihan kepada guru dan pengajar merupakan hal yang sangat penting dan bermanfaat untuk membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan, sehingga memiliki keterampilan yang selayaknya para profesional kesehatan yang bisa berinteraksi dengan anak. Modul ini berisikan materi-materi tentang prevensi KSA yang akan diberikan kepada guru. Materi modul “PROAKSI” meliputi materi pengetahuan tentang KSA, materi perlindungan atau prevensi KSA yang dapa diberikan kepada anak usia dini, dan materi guru mengajari keterampilan perlindungan diri pada anak.
16
Pemberian
psikoedukasi
pelatihan
melalui
modul
“PROAKSI”
ini
menggunakan model pembelajaran experential learning. Hal tersebut dikarenakan modul ini diberikan kepada guru sebagai orang dewasa yang paling dekat dengan anak saat di sekolah. Malcom Knowles (Hamdani, 2010) menyatakan dalam pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, lebih mengembangkan teknik belajar yang bertumpu pada pengalaman yang dikenal sebagai experential learning. Dalam pelatihan atau pembelajaran untuk orang dewasa lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peran serta atau partisipasi peserta pelatihan. Majid (2013) menyatakan bahwa experiential Learning (EL) adalah suatu model proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara berlangsung. Kolb (McCarthy, 2010) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran experiential learning
menggabungkan proses pengalaman, persepsi, kognisi,dan perilaku
dalam proses pembelajaran. Tujuan dari model pembelajaran experntial learning untuk mempengaruhi peserta didik dengan tiga cara (Majid, 2013) yaitu untuk (a) mengubah struktur kognitif peserta didik, (b) mengubah sikap peserta didik, dan (c) memperluas keterampilan-keterampilan peserta didik yang telah ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Calrk, Thretoon, dan Ewing (2010) bahwa proses belajar menciptakan pengetahuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian materi prevensi KSA kepada guru melalui teknik experiential learning dapat 17
meningkatkan keterampilan guru dalam mengajar prevensi KSA pada anak usia dini. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan validasi modul “PROAKSI” (Program Atasi Kekerasan Seksual Dini) dalam meningkatkan keterampilan guru dalam mengajarkan prevensi kekerasan seksual pada anak usia dini. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah keterampilan mengajarkan prevensi KSA melalui modul “PROAKSI” pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelompok memberikan
kontrol. Hasil penelitian diharapkan dapat
kontribusi di bidang psikologi pendidikan dalam bentuk
psikoedukasi sebagai usaha prevensi KSA. Secara praktis, penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan dan keterampilan bagi guru dalam mengajarkan prevensi KSA. Berikut alur berpikir dalam penelitian ini : Guru PAUD yang tidak diberi perlakuan (Kelompok Kontrol) : Keterampilan guru mengajarkan prevensi KSA masih rendah
Keterampilan guru mengajarkan prevensi KSA masih rendah
Guru PAUD yang diberi perlakuan (Kelompok Eksperimen) : Modul “PROAKSI” melalui Model pembelajaran Experienial Learning Keterampilan guru mengajarkan prevensi KSA masih rendah
Keterampilan guru mengajarkan prevensi KSA tinggi.
Gambar 2. Bagan alur berpikir penelitian 18