1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Manusia (subjek) sebagai pribadi tidak hanya dirumuskan sebagai suatu
kesatuan individu tanpa sekaligus menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Barker mengemukakan bahwa sebagai subjek, yaitu sebagai pribadi, manusia terikat kepada proses sosial yang menciptakan subjek “untuk” diri dan orang lain (Barker, 2013:173). Pemahaman mengenai manusia ini merupakan hasil dari penafsiran manusia mengenai realitas lingkungannya, baik alam dan juga sosial. Namun tidak hanya itu saja, penafsiran juga melibatkan di dalamnya aspek-aspek kedirian (diri/ tubuh) manusia itu sendiri, artinya melibatkan juga aspek-aspek pengalaman ketubuhan masing-masing manusia beserta potensi-potensi yang mereka miliki. Oleh karenanya penafsiran suatu kebudayaan atas peran-peran perempuan dan laki-laki dapat saja berbeda, hal itu dikarenakan perbedaan yang diperoleh dari pengalaman masing-masing. Penafsiran atas manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar statis dan tetap, konsepsi manusia di dalam suatu kebudayaan selalu berubah yang selalu dipengaruhi oleh paradigma yang sering kali juga berubah-rubah. Di zaman modern misalnya, di ranah Minangkabau sendiri sedikit banyaknya konsepsi mengenai manusia mulai
2
berubah yang akhirnya juga merubah dan membentuk makna baru mengenai manusia itu sendiri. Sekarang konsepsi mengenai manusia selalu diarahkan kepada pekerjaanpekerjaan tertentu yang menentukan wujud dan bentuk manusia ideal di dalam kebudayaan Minangkabau. Hal itu dikarenakan manusia selalu dimaknai dari hasilnya dan harga dirinya di dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya seseorang yang mendapatkan pekerjaan, misalnya dokter, pegawai negri sipil (dosen, guru, polisi), pengusaha sukses dan seterusnya memperoleh kedudukan yang dihormati di dalam kehidupan sosial. Konsep ini mengandaikan manusia sebagai produk yang dapat saja dibentuk oleh sesuatu dari luar dirinya, seperti “tanah liat” yang dapat dibentuk sesuai wacana yang berkembang. Seakan-akan proses hidup itu sendiri hanya merujuk kepada satu titik saja, yaitu pekerjaan, yang juga mempengaruhi konsepsi mengenai pendidikan, kehidupan dan kebahagiaan. Ironisnya sistem wacana tersebut selalu merujuk kepada suatu kepentingan-kepentingan yang beroperasi di belakangnya seperti ekonomi dan politik. Hal ini juga memperlihatkan kecenderungan materialitas di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sekarang yang mengandaikan manusia hanya materi belaka yang ukuran kesuksesan pun diukur lewat pencapaianpencapaian material: gelar, mobil, rumah, pekerjaan yang layak seperti dokter dan pegawai negeri sipil (PNS). Seakan-akan manusia yang tidak memiliki kemampuan mencapai hal tersebut disebut miskin, tidak berguna, tidak mampu, kehilangan harga diri dan sederatan nilai-nilai lainnya. Jika ditelusuri lebih jauh ke dalam kebudayaan Minangkabau itu sendiri, tidak dijelaskan secara spesifik pekerjaan seperti apa yang menentukan manusia ideal atau
3
urang 1, tetapi lebih kepada proses manjadi, penemuan, dan pencarian akan hakikat hidup masing-masing individu. Karena di dalam paradigma masyarakat Minangkabau setiap manusia memiliki bijo (blue print) atau cetak biru realitas dirinya, dan tugas manusia itu untuk mencari, merumuskan dan menemukan siapa dirinya. Tidak ada sistem hirarki mengenai pekerjaan ideal karena setiap manusia memiliki potensinya masing-masing dan unik, seperti sidik jari yang tidak sama, tetapi inheren dan unik disetiap manusia itu sendiri. Singkatnya, perumusan mengenai hakikat manusia di dalam paradigma masyarakat Minangkabau juga melibatkan pertanyaan mengenai manusia itu sendiri secara ontologi dan eksistensi, untuk apa manusia ada, karena manusia ada dikarenakan keberadaannya dikehendaki oleh realitas dan juga Tuhannya. Manusia itu “ada” karena eksistensinya (keberadaannya) dikehendaki oleh realitas dan tidak ada yang tidak berguna, karena keberadaan masing-masing individu itu unik dan berimplikasi bagi keseimbangan kosmologis masyarakat Minangkabau. Paradigma masyarakat Minangkabau mengenai kriteria urang dipersonifikasi dengan istilah “baringin di tangah padang” (pohon beringin di tengah padang), yang dijelaskan oleh Mulyadi Putra sebagai berikut:
________________ 1
Urang dalam tatanan bahasa minangkabau bermakna ganda, yaitu urang sebagai orang lain (the other) merujuk kepada kata ganti orang ketiga tunggal, misalnya: Ani, Budi atau Badu. Dan urang dalam arti kriteria orang yang “ideal” dalam konstruksi nilai masyarakat Minangkabau, dalam pemaknaan ini, kata urang tidak berdiri sendiri, biasanya didahului dengan kata manjadi dan digabung manjadi urang atau dalam bahasa Indonesia adalah menjadi orang, merupakan dua komponen kata yang berbeda maksud dan penekanannya, manjadi dimaksudkan lebih pada kriteria proses. Maka manjadi urang adalah sebuah kriteria proses yang harus dilalui oleh seseorang supaya nantinya dapat masuk pada kriteria nilai urang ideal di dalam kebudayaan Minangkabau.
4
“Kayu beringin di tengah padang berurat cukam ke tanah, „penuh‟ bumi karena rumpunnya. Kena gempa tidak akan tercerabut, kena badai tidaklah oleng, melainkan sebatas goyang lantaran diterpa angin lalu. Artinya, teguh dengan pendirian, istiqamah dengan tauhid, berprinsip, tegar dan kokoh. Kayu beringin berpucuk cewang ke langit, tingginya menggapai awan lalu, pedoman musafir lalu. Daunnya yang rimbun tempat berteduh, tempat berlindung kehujanan, jika panas ganti payung panji. Uratnya tempat bersila, batangnya yang besar tempat sandaran, dahannya yang rampak tempat bergantung. Artinya, menjadi panutan di tengah masyarakat, cerdik tempat orang bertanya, kaya tempat orang bertenggang, jago tempat orang mengadu. Setitik katanya dilautkan, gerak diberi jadi contoh dalam masyarakat. Sungguhpun beringin tinggi menjulang, tetapi tingginya menawungi yang di bawah. Walaupun besarnya merimbun, besar menenggang dengan yang kecil. Itu lah sifat yang dipakai. Dalam ungkapan kekinian, peduli dengan lingkungan (Putra, 2013: 114)”.
Artinya kontribusi seseorang tidak dilihat dari hal-hal yang ada di luar diri seseorang, tetapi dilihat dari proyeksi dan potensi seseorang untuk dapat berkontribusi, membangun, mengembangkan, dan mensejahterakan kedudukan kelompoknya. Kontribusi tersebut dapat berbentuk apa saja atau dari kemampuan individu tersebut, maupun menjadi seperti yang dijelaskan Heidegger, bahwa orang atau manusia tidak ditentukan oleh kualitas, esensi, atau “untuk apa”nya seseorang tersebut, tetapi dilihat dari kemungkinan seseorang itu untuk ada (Heidegger, 1949:29). Jadi urang dipandang dari “menjadi apa” bukan “untuk apa” nya seseorang tersebut. Hal ini, ditentukan oleh penemuan, penelusuran, dan pencarian jati diri seseorang tersebut dalam menemukan dirinya dan dapat dikontribusikan ke dalam kehidupan masyarakat.
5
Urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau dipandang dari kontribusi dan proyeksi dari potensi-potensi masing-masing individu untuk dapat membangun kelompoknya, yang nantinya dapat berkontribusi melalui instansi-instansi adat seperti: jadi penghulu (tokoh adat), cadiak pandai (orang yang bertanggung jawab dalam bidang pengetahuan), alim ulama (orang yang bertanggung jawab dalam bidang keagamaan), hulu balang (keamanan), bundo kanduang (ibu suku) dan mungkin di sektor-sektor lain seperti seorang pengusaha yang membangun kampungnya melalui pembangunan sekolah, jalan, mesjid dan sebagainya. Hal ini juga ditegaskan oleh Navis dengan membagi kriteria urang dalam beberapa golongan atau kategori yang diistilahkan dengan “orang yang sebenarnya orang” (orang yang sempurna sebagai manusia) sebagai berikut: “1. Orang kebilangan (orang ternama atau terkemuka), orang kuat dan orang tahu yang masing-masing terdiri dari empat jenis. Orang kebilangan adalah orang yang terkemuka dalam masyarakatnya. Mereka itu adalah seperti berikut: (1) Orang tua, yaitu orang yang jadi pemimpin atau dituakan dalam lingkungan dan tugasnya (professional dan fungsional). Ia mempunyai persyaratan : berakal agar dapat mencari penyelesaian permasalahan yang timbul, berilmu agar dapat memecahkan permasalahan dengan tepat, mampu (berkecukupan) agar kehidupan tidak tergantung kepada orang lain, pemurah agar dapat membantu kesulitan orang lain, jaga (waspada) agar selalu bersikap hati-hati, sabar agar tidak dikendalikan emosi, adil agar tidak pilih kasih dalam menghadapi orang lain, dan bijaksana agar dapat selalu mengambil tindakan yang tepat sehingga resiko menjadi sangat kecil. (2) Orang pandai atau cendekiawan, yaitu orang yang berilmu agar ia dapat memberikan petunjuk apa yang benar, gigih agar tidak mudah terobangambing pendiriannya, pendiam agar ia tidak digunakan orang yang tidak tepat, sokah agar sikapnya selalu memancarkan optimisme. (3) Orang bagak (berani) mempunyai persyaratan: bersih agar tidak menimbulkan rasa ketakutan dan kecurigaan, ramah agar orang merasa terlindung, sehat jasmani
6
dan rohani agar tidak mudah dikalahkan, lapang agar tidak mudah naik darah atau pemarah. (4) Orang kaya mempunyai persyaratan rendah hati dalam pergaulan agar hidup tidak menimbulkan rasa iri orang lain, pemurah agar dapat membantu kesulitan orang lain, hemat agar tidak mendorong orang lain hidup berlebih-lebihan, beriman agar tidak tergoda menggunakan harta sehingga tidak merugikan orang lain. 2. Orang kuat ialah orang yang dipandang mampu memberikan perlindungan kepada orang lain tanpa merisaukan risiko yang akan dipikulnya karena perbuatannya itu. Ada empat hal pula yang menjadi ciri orang kuat itu. (1) Kuat membela kebenaran, meski ia akan berhadapan dengan pendapat umum yang akan menyalahkannya. (2) Kuat melakukan kebajikan, meski ia tidak akan mendapatkan apa-apa sebagai imbalan. (3) Kuat menyelesaikan persengketaan yang terjadi sampai tuntas meski ia akan menghadang bahaya. (4) Kuat memberi maaf kepada orang meski orang itu telah mencelakakan kehidupannya. 3. Orang tahu ada empat penilaian tentang yang dikatakan sebagai orang yang mengetahui itu, yakni: (1) Orang yang tahu memimpin orang lain dan tahu memimpin dirinya sendiri, itulah orang yang terpuji; (2) Orang yang tahu memimpin dirinya tetapi tidak tahu memimpin orang lain itulah orang yang tidak mencari pujian; (3) Orang yang tahu memimpin orang lain tetapi tidak tahu memimpin dirinya sendiri itulah orang yang haus akan pujian; (4) Orang yang tidak tahu memimpin dirinya juga tidak tahu memimpin orang lain itulah orang yang tidak terpuji (Navis, 1984 : 96-97)”. Representasi manusia ideal yang dikemukakan oleh Navis mendekati kriteria urang yang dikemukakan di dalam falsafah Minangkabau yang tertuang dalam konsep baringin di tangah padang. Kriteria ini hanya dapat terbentuk jika telah melewati proses (manjadi urang). Berdasarkan hasil wawancara dengan Hajizar (Budayawan Minangkabau) pada tanggal 1 Juli 2012, mengemukakan bahwa, manjadi urang merupakan suatu penemuan jati diri yang harus dilewati melalui fase merantau, jika belum merantau berarti belum manjadi urang. Merantau berarti mengumpulkan pengalaman yang
7
diperoleh individu dari lingkungannya (rantau), yang nantinya menjadi acuan individu dalam menentukan minat dan potensi masing-masing. Seperti ada yang hobi berdagang, bertani, mendalami ilmu agama, pengetahuan, dan sebagainya. Semuanya didapat dari proses manjadi urang yang dilalui oleh individu. Manjadi urang berarti mampu menetapkan apa yang menjadi minat (potensi) di dalam dirinya sendiri. Kemampuan pengalaman serta pengetahuan yang dia peroleh tersebut nantinya dapat digunakan dan dipakai untuk mengajarkan kemenakan, anak dan saudara-saudaranya. Secara prinsip pergi merantau bukan saja sebuah medan atau tempat yang “diwajibkan” oleh masyarakat Minangkabau, tetapi lebih daripada itu marantau juga memiliki tujuan untuk mengembangkan, menemukan dan mencari pemahaman soal “diri” atau kemungkinan-kemungkinan potensi yang dimiliki oleh seseorang di dalam dirinya yang nantinya dapat dikontribusikan dan diproyeksikan. Marantau adalah sebuah perjalanan kehidupan, pencarian jati diri dan belajar hidup. Oleh karena itu, daerah rantau dalam paradigma masyarakat Minangkabau diistilahkan sebagai “galanggang gadang” yaitu tempat pertaruhan hidup dengan realitas yang sama sekali berbeda dari pada di kampung. Kata “galanggang” berarti tempat atau ruang yang biasa digunakan untuk menyebutkan lokasi pertarungan silat, sementara gadang adalah ruang lingkup atau wilayah yang berbeda dari kampung sendiri. Merantau tidak hanya sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh orang Minangkabau, namun merupakan ranah tempat pergulatan pemikiran dan pembelajaran untuk mengenali diri dan lingkungan serta memahami makna
8
kehidupan itu sendiri. Pergulatan dan kegigihan masyarakat Minangkabau dalam beradaptasi dengan daerah rantau menjadi point interest peneliti dalam mengerjakan studi ini. Penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Usman Pelly, di mana Orang Minangkabau memiliki misi budaya, yang didasarkan kepada nilai dominan dari pandangan dunia masyarakatnya. Dalam studinya, Pelly menemukan pentingnya tradisi merantau dalam kosmologi Minangkabau. Dunia dalam kosmologi Minangkabau (alam Minangkabau dan rantau) dihubungkan oleh kesadaran adanya suatu misi budaya yang memunculkan tradisi migrasi sirkular. Seperti yang ingin dia perlihatkan, tujuan dasar dari misi budaya adalah memperkaya dan memperkuat kampung halaman (Pelly,1988: 277). Namun, dalam menjalankan misi budaya tersebut, banyak dari mereka terjebak dalam dunia citra, di mana ukuran dari kesuksesan mereka adalah seberapa banyak material seperti rumah, mobil, dan barang-barang mewah yang mereka kumpulkan dan mereka kirim ke kampung halaman. Ironisnya hal itu malah menyeret mereka jauh dari nilai manusia yang ideal yang ditekankan oleh paradigma masyarakat Minangkabau itu sendiri. Manusia ideal yang direpresentasi dengan manjadi urang bagi masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta, dewasa ini hanya dipahami sebagai urang yang mampu menonjolkan citra sukses yang diwakili lewat seberapa bagus mobil yang mereka bawa pulang, serta seberapa banyak uang yang dapat mereka hamburkan ketika berada di kampung halaman pasca pulang dari perantauan. Persoalan ini sebenarnya sangat terasa di dalam pengalaman pulang bersama (pulang basamo) yang biasanya terjadi menjelang hari raya Idhul Fitri, di mana para perantau
9
mengusahakan untuk merental mobil hanya untuk dipandang sukses di wilayah perantauan. Aktivitas pulang bersama (pulang basam) bukan hanya persoalan silaturahmi saat pulang dari rantau, tetapi sekaligus sebagai ajang pertaruhan harga diri dan wahana untuk mempertontonkan identitas baru. Kondisi seperti ini, menjadikan mereka terjebak dalam pemahaman yang dangkal, urang hanya dimaknai sebagai urang yang hedonis. Perilaku hedonisme sudah sangat melekat pada sebagian masyarakat Indonesia saat ini, terutama masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, termasuk masyarakat Minangkabau yang ada di daerah perantauan. Budaya hedonisme telah mendorong orang mengkonsumsi suatu barang atau mencari kepuasaan di mana suatu barang
tersebut
bukanlah
keperluan
utama
dalam
kehidupan.
Dalam
perkembangannya, masyarakat mengkonsumsi suatu barang tidak lagi karena butuh atau sekedar memenuhi nilai guna untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu, untuk menyatakan diferensiasi sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan
Daniel
Miller
yang
menyatakan
bahwa
subjek
(manusia)
mengeksternalisasi dirinya melalui penciptaan objek-objek yang dimaksudkan untuk menciptakan diferensiasi. Kemudian menginternalisasikan nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublimasi atau pemberian pengakuan. Kondisi ini melanda sebagian besar masyarakat Minangkabau yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta maupun kota besar lainnya di Indonesia. Seperti yang ditulis oleh Pelly yang menyatakan bahwa:
10
“masyarakat Minangkabau mendorong kaum muda mereka untuk merantau, mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan, sebagai simbol berhasilnya misi mereka. Kalau tidak, maka mereka tidak akan diterima oleh sesama orang kampung; mereka dianggap telah gagal menjalankan misi mereka. Penduduk kampung akan menyebut mereka bagaikan” seekor siput pulang kerumah” (pulang langkitang) atau menyebut mereka “begitu perginya, begitu pulangnya (baitu pai, baitu pulang). Tidak ada muka manis bagi para perantau yang gagal. Mereka harus kembali ke kota rantau atau “larut dirantau dan tidak usah pulang” (laruit di rantau urang). Inilah salah satu penyebab dari rantau Cino (migrasi permanen) oleh sebagian suku Minangkabau. Mereka malu kembali ke kampung karena akan dikucilkan oleh orang kampung (Pelly, 1994: 10)”. Rasa malu yang timbul atas prilaku orang kampung membuat perantau Minangkabau “yang dianggap gagal” berusaha mempertahankan harga diri mereka dengan tidak pulang kampung, atau terpaksa pulang, namun dengan membawa simbol-simbol keberhasilan dalam bentuk material yang menawan. Sebagian dari mereka terpaksa berhutang di daerah perantaun untuk membeli atau merental mobil yang dapat dipertontonkan kepada orang kampung. Prilaku ini yang menjadikan katalisator terbaik dalam proses pengeroposan nilai-nilai “ideal” yang tertanam di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang. Praktek-praktek budaya yang dilakukan oleh orang Minangkabau misalnya merantau hanya sebatas seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Kecendrungan ini juga dibahas oleh Ma‟arif yang mengatakan bahwa “kehidupan masyarakat Minangkabau dewasa ini menjadi gersang dari nilai-nilai budaya. Akibatnya nilai-nilai budaya berupa keramahan dan sikap suka menolong sudah punah dan jauh pada sikap masyarakat Minangkabau pada umumnya (Ma‟arif,
11
2005:4)”. Orang Minangkabau dewasa ini, terutama generasi muda telah mulai asing dengan budayanya sendiri. Budaya luar lebih mendominasi dalam proses pembentukan manjadi urang itu sendiri. Orang Minangkabau berubah menjadi manusia modern yang juga ikut andil dalam melestarikan budaya kapitalisme. Banyaknya
nilai-nilai
luar
yang
mendominasi
seperti
modernitas
dengan
kecendrungan individualime, hedonisme dan materialisme yang berbenturan dengan budaya lokal (Minangkabau) menyebabkan semakin buruknya pemahaman mengenai manjadi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau. Situasi ini mengakibatkan perbedaan pandangan antarsesama masyarakat Minangkabau dalam memahami manjadi urang sebagai karakter manusia ideal, di mana manjadi urang yang dikonstruksi di dalam paradigma masyarakat Minangkabau berbeda dengan realitas sosial masyarakat Minangkabau. Manjadi urang yang seharusnya ditekankan kepada proses (to be) merujuk kepada konsepnya Fromm, direpresentasikan dengan urang yang lebih menekankan kepada nilai kebendaan atau konsep kepemilikan (to have). Masyarakat Minangkabau tidak lagi eksis sebagai urang yang mengada (manjadi), melainkan sebagai urang yang memiliki, yaitu memiliki kekayaan (harta benda), pekerjaan ideal (dokter dan pegawai negeri sipil (PNS)), kekuasaan yang dilandasi dengan keserakahan, kedengkian, dan agresivitas (Fromm, 1987). Pada akhirnya, permasalahan ini memicu pergulatan representasi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau dewasa ini, baik di kampung halaman maupun di daerah rantau. Di kampung halaman misalnya, antarsesama elit Minangkabau (penghulu, cadiak pandai, alim ulama). Juga
12
di daerah rantau yaitu antara kalangan civitas akademik, budayawan serta agen-agen yang terlibat dalam pembentukan identitas manusia ideal dalam paradigma masyarakat Minangkabau. Penelitian ini penulis batasi hanya dalam lingkup perantau Minangkabau yang ada di kota Yogyakarta. Bagaimana mereka bergulat menentukan posisi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang, bertahan hidup demi menjalankan misi budaya serta cara mereka dalam mempertahankan eksistensi mereka di kampung halaman. Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan masyarakat Minangkabau, karena tidak hanya kebudayaan yang sangat bertolak belakang, juga atmosfer yang membangun kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Selain itu, di kota Yogyakarta sendiri, kepentingan masyarakat Minangkabau ke sana juga sangat bervariasi, seperti ada para perantau yang bergerak di bidang ekonomi: rumah makan, berjualan di kaki lima Malioboro, dan tentunya pendidikan. Hal yang menarik untuk melihat polemik orang Minang di kota Yogyakarta adalah, karena sebagian besar tujuan masyarakat Minangkabau ke kota Yogyakarta untuk pergi kuliah atau belajar sangat terasa bagaimana orang dipersepsikan di kota ini. Hal ini menarik untuk melihat secara lebih jauh, karena pendidikan salah satu aspek sentral di dalam tujuan manjadi urang yaitu melalui belajar menemukan jati diri. Bahkan persoalan ini telah dipupuk sudah sejak dini atau pada tingkat sekolah dasar (SD). Namun yang dipersoalkan di sini adalah pendidikan tidak hanya untuk memperoleh ijazah semata guna memperoleh gelar dan pekerjaan tertentu, tetapi seharusnya pendidikan juga dapat menjadi tempat penemuan jati diri, hasrat pengetahuan,
13
pemahaman dan untuk mencari kebenaran, tidak hanya berkaitan dengan pekerjaan tertentu. Bagi perantau Minangkabau, pendidikan adalah hal yang utama dalam proses manjadi urang, sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh agama mereka yaitu: Pertama, tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat. Kedua, tuntutlah ilmu sampai ke negara China, mereka diharuskan untuk belajar sampai ke negara China. Baik itu, belajar cara berusaha, bekerja atau berdagang. Baik China maupun kota perantauan lainnya dijadikan guru untuk memetik pengalaman dan pembelajaran. Seperti yang tertuang dalam falsafah hidup mereka yaitu “alam takambang jadi guru”, yang artinya alam semesta adalah guru yang mampu mendidik mereka di manapun mereka berada. Pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari rantau itu nantinya dapat diberikan kepada masyarakat di kampung halaman. Masyarakat Minangkabau dengan tegas melihat persoalan merantau ini dengan fungsi sebagai sebuah pencarian, pengembangan dan potensi diri. Dalam falsafah: “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah peguno balun” (pohon keratau di hulu, berbuah berbunga belum, kerantau bujang dahulu di rumah belum berguna). Artinya sebelum seseorang tersebut merantau, maka keberadaannya belum diakui di dalam kehidupan sosial, karena dianggap belum memiliki kemampuan, belum mengetahui diri dan belum mampu untuk menjadi orang (manjadi urang). Namun melalui merantau tersebut dianggap telah memiliki kemampuan, pengetahuan,
14
pengalaman, dan nantinya dapat dikontribusikan ke kelompok (suku) maupun keluarganya.
1. 2 Rumusan Masalah 1.
Bagaimana urang direpresentasikan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta .
2.
Apa yang menyebabkan pergulatan representasi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta.
3.
Bagaimana implikasi pergulatan representasi urang di dalam membangun kebudayaan Minangkabau sekarang.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum Secara
umum,
penelitian
ini
bertujuan
mengkaji,
memahami
dan
mendeskripsikan posisi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta. Menafsir realitas objek yang memiliki keteraturan juga memiliki subjektivitas sendiri terhadap dinamika dan perubahan sosial-budaya.
15
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk: pertama, ingin mengetahui bagaimana urang direpresentasikan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau. Kedua, ingin mengetahui penyebab pergulatan representasi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta. Ketiga, ingin mengetahui implikasi pergulatan representasi urang di dalam membangun kebudayaan Minangkabau sekarang. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Beberapa manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan dapat: 1) Memberikan sumbangsih untuk kajian budaya dalam memahami falsafah manjadi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau; 2) Memberikan kontribusi terhadap pengembangan keilmuan, khususnya dalam mengakaji paradigma baru masyarakat Minangkabau; 3) Untuk memperkuat kajian representasi “manusia ideal” dalam prespektif kajian budaya.
1.4.2 Manfaat Praktis 1) Bagi masyarakat, agar bisa mendapatkan sumbangsih dan informasi, bagaimana nilai urang dipahami dan direalisasikan untuk membangun identitas manusia ideal di dalam kebudayaan Minangkabau.
16
2) Bagi pengamat budaya, memberikan inspirasi kepada pengamat budaya maupun peminat kajian budaya terutama yang menekuni fenomena realitas budaya dalam dinamika kebudayaan Minangkabau. 3) Bagi peneliti lain terutama dapat dijadikan acuan, gagasan dan informasi peneliti yang memiliki perhatian dan ketertarikan terhadap representasi “manusia ideal” dalam kacamata kajian budaya di Indonesia.