Pesta Para Babi
MINGGU lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan sebuah peraturan penting. Perangkat hukum itu diberi nama Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau lebih dikenal sebagai Dana Aspirasi. Peraturan DPR ini, rencananya akan membekali setiap legislator dengan uang Rp 20 milyar per tahun. Uang itu akan dipakai ‘membangun’ distrik pemilihan mereka. Per tahun harus disisihkan Rp 11.2 trilyun dari APBN untuk memberi ‘sangu’ kepada anggota Dewan yang terhormat ini agar bisa menunaikan amanat aspirasi membangun di daerah pemilihannya. Peraturan yang dibikin DPR ini adalah pelaksanaan dari undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Ini adalah undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan semua lembaga-lembaga legislatif. Undang-undang ini dibikin oleh DPR periode lalu dan diundangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika UU MD3 diundangkan, pemilihan presiden baru saja berakhir. Koalisi partai-partai yang mendukung Prabowo Subianto (Koalisi Merah Putih/KMP), setelah gagal meraih kursi kepresidenan, akhirnya bergerak menguasai lembaga-lembaga legislatif. Itu dengan mudah mereka lakukan karena memang jumlahnya mayoritas. Untuk sebuah bangsa dengan minat baca yang lumayan rendah, tentu tidak mudah untuk membaca undang-undang dengan 428 pasal dan setebal 306 halaman ini. Lagipula, apa asyiknya membaca undang-undang yang bahasanya bukan bahasa novel roman? Demikianlah. Dalam UU tersebut, ada satu pasal diselundupkan (Pasal 80 huruf J) untuk melegalisasi dana aspirasi ini. Pasal ini sebenarnya mengatur hak-hak anggota DPR. 1
Seandainya Anda tidak tahu, anggota DPR punya 11 hak dan salah satunya adalah hak ‘mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.’ Tentu, banyak yang terkejut (atau pura-pura terkejut) ketika DPR hendak membikin peraturan UP2DP ini. Percekcokan politik di DPR antara Koalisi Merah-Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) kembali terjadi. Peraturan ini diloloskan oleh suara KMP dan ditentang oleh PDI-P, Nasdem, dan Hanura (KIH). Tampaknya peraturan ini tidak terlalu disukai oleh Presiden Jokowi. Sekalipun disokong oleh Wapres Jusuf Kalla, Jokowi ‘memberikan sinyal’ bahwa dia akan menolaknya. Hingga tulisan ini dibikin, memang belum ada ketentuan apakan undang-undang ini akan disetujui Jokowi. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, Jokowi akan menolak jika ‘dana itu di luar mekanisme ketentuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.’ *** Memang banyak hal menggelikan di seputar kelahiran peraturan DPR ini. Seperti, misalnya, sampai sekarang kita tidak pernah tahu siapa yang mengusulkan pasal ini masuk ke dalam undang-undang MD3 itu. Padahal tidak mungkin sebuah peraturan itu makbedunduk lahir tanpa ada yang mengusulkan bukan? Anggota DPR dari Partai Golkar yang juga mantan Wakil Ketua Pansus UU MD3 Aziz Syamsuddin, mengaku lupa siapa yang mengusulkan pasal itu. “Aduh lupa gue. Iya gue bilang lupa. Lho jawabnya kok masa?” demikian jawabnya ketika didesak wartawan Ketika ditanya apakah dirinya yang mengusulkan pasal itu, dia menajwab, “Lu jangan fitnah. Ini bulan puasa.” Lupa dan fitnah adalah dua kosa kata penting dalam politik Indonesia. Politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menuduh peraturan DPR soal dana aspirasi itu adalah upaya Ketua DPR Setya Novanto sendiri. Setya adalah politisi dari Partai Golkar dan merupakan salah satu politisi paling licin di republik ini. Namun tuduhan Ruhut itu dibantah angggota Partai Golkar yang lain, Muhammad Misbakhun. Bekas politisi PKS yang meloncat ke Golkar ini mengatakan bahwa soal dana aspirasi itu adalah amanat undang-undang. Memang ajaib. Tidak ada orang yang mau bertanggungjawab atas produk hukum ini. Akan tetapi, jelas semua anggota DPR pasti mau dengan ‘sangu’ Rp 20 milyar per tahun. Yang menarik adalah Partai Demokrat. Masih ingat partai ini? Seperti biasa, partai ini memainkan posisi mengambang. Ketua partainya, Susilo Bambang Yudhoyono menolak dana aspirasi. Tidak terlalu aneh. Ide dana aspirasi juga pernah digulirkan selama masa 2
pemerintahannya oleh DPR. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden menolaknya. Namun kali ini, para anggota Partai Demokrat di DPR, yang diketuai anaknya sendiri, malah menerimanya. Partai ini memang dikenal punya kepribadian terbelah. Sementara, politisi PDIP di DPR sempat terpecah dalam menyikapi peraturan ini. Sebagian mendukung dana aspirasi dan sebagian menolak. Namun, ketika ketua partai Megawati Soekarnoputri tidak setuju dengan alasan merusak sistem ketatanegaraan, suara PDIP bulat menolak. Tetapi menolak atau menerima, kalau peraturan ini disahkan maka semua anggota DPR akan menerima dana Rp 20 milyar ini. Jika Anda anggota DPR, sulit untuk menolak uang Rp 20 milyar yang akan sangat berguna untuk kepentingan politik Anda. *** Apa sih dana aspirasi itu? Sebenarnya konsep ini dianggap menyimpang dari praktek demokrasi. Dana aspirasi kerap dikacaukan dengan konsep ‘pork barrel’ yang sering diterjemahkan sebagai ‘gentong babi’ itu. Apakah kedua konsep ini berbeda? Agak berbeda. Setidaknya dalam hal bagaimana dana aspirasi dan gentong babi itu dianggarkan. Namun akibatnya hampir sama, yakni untuk mempengaruhi pemilih untuk memberikan suaranya kepada politisi yang mengalokasikan dana tersebut. Kosakata pork barrel berasal dari khasanah politik Amerika Serikat. Pork barrel juga dikenal dengan nama lain sepertiearmarks, pet projects, atau member items. Umumnya istilah-istilah ini mengandung pengertian negatif dan dipandang sebagai sumber penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Di zaman sebelum ada mesin pendingin, salah satu cara untuk mengawetkan daging adalah dengan mengasinkannya dan menaruhnya di dalam gentong. Itulah asal-usul dari bacon atau daging babi asin yang diasap. Hingga sekarang pun ada ungkapan (slank) dalam politik Amerika, ‘Where is the bacon?’ atau ‘bringing home the bacon.’ Keduanya memiliki makna membawa pulang proyek-proyek pemerintah ke distrik pemilihan. Sehingga kata pork barrel itu mengandung arti proyek-proyek pemerintah yang dibawa pulang oleh seorang politisi ke distriknya. Proyek-proyek itu tentu saja secara khusus menguntungkan distriknya dan (ini yang penting) ditanggung oleh seluruh rakyat pembayar pajak. Keuntungan itu bisa berupa penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, pemberian subsidi, dan lain sebagainya. 3
Kadangkala banyak di antara proyek-proyek ini adalah proyek yang mubazir. Yang terkenal di zaman modern ini adalah sebuah proyek yang diejek dengan nama ‘Bridge to Nowhere.’ Ini adalah proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan kota kecil Ketchikan di Alaska (AS) yang berpenduduk 8,900 jiwa dengan lapangan terbang di pulau Gravina yang berpenduduk 50 jiwa. Kota dan pulau itu sebenarnya telah dihubungkan dengan kapal penyeberangan(ferry). Namun, banyak penduduk mengeluh bahwa mereka harus menunggu kapal sampai setengah jam dan harus membayar $6 per mobil. Pemerintah Federal Amerika mengeluarkan $320 juta untuk proyek itu, sementara tidak memiliki dana untuk memperbaiki jembatan-jembatan yang rusak akibat badai di negara bagian Lousiana yang padat penduduknya. Perbedaannya dengan dana aspirasi cukup besar. Dalam pork barrel, para legislator memasukkan proyek-proyek ke dalam anggaran negara. Ini berlangsung dalam proses lobbying selama penyusunan anggaran. Kadang seorang politisi memasukkan ‘pork’ dalam anggaran sebagai imbalan untuk memberikan suara dalam satu isu tertentu yang ingin digolkan oleh pihak pemerintah. Sementara dana aspirasi lebih merupakan ‘block grant.’ Setidaknya itu ide yang saya pahami ketika melihat naskah UP2DP. Setiap anggota DPR mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp 20 milyar. Uang sebesar ini dipakai untuk membiayai program-program kegiatan untuk daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan. Program-program itu bisa diusulkan lewat inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau oleh aspirasi masyarakat di daerah pemilihan tersebut. Dana itu bisa dipakai untuk pembangunan, perbaikan, atau peningkatan sarana dan prasarana yang ada dalam masyarakat. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari sanitasi, perbaikan jalan, kuburan, penyediaan jasa internet, pembuatan taman bacaan, dan lain sebagainya. Jelas bahwa anggota DPR yang mengelola dana aspirasi tidak berjuang untuk membawa pulang ‘pork’ ke daerah pemilihannya. Dia tidak perlu melakukan tawar menawar dengan pemerintah atau pihak-pihak yang menentukan anggaran. Setiap tahun, Rp 20 milyar sudah menunggu. Seorang anggota DPR-RI hanya tinggal mengajukan usulan program dan kolega-kolega lainnya di DPR – yang juga datang dengan programnya masing-masing – akan menyetujui atau tidak menyetujuinya. 4
*** Apa kira-kira akibatnya jika dana aspirasi ini jadi diterapkan? Apakah benar, sebagaimana yang dikatakan oleh anggota-anggota DPR, bahwa dana aspirasi akan membantu pembangunan di daerah? Studi-studi di negara-negara lain memperlihatkan bahwa hal-hal itu tidak terjadi. Yang paling diuntungkan dari model dana aspirasi ini adalah para legislator itu sendiri. Beberapa daerah tingkat I memang sudah menerapkan dana aspirasi ini, yang dimasukkan dalam APBD dalam pos Bansos (Bantuan Sosial). Di Propinsi Jawa Timur, misalnya, setiap anggota DPRD dialokasikan dana sebesar 5 milyar. Hal yang sama juga bisa didapati di Propinsi Kalimantan Selatan. Sebenarnya, Indonesia tidak sendirian dalam hal dana aspirasi ini. Banyak negara sudah menerapkan dana aspirasi atau yang lebih dikenal sebagai Constituency Development Funds (CDfs). Umumnya yang menerapkan CDFs ini adalah negara-negara Asia dan Afrika, seperti misalnya Pakistan (sejak 1985), Filipina (1989), India (1993), Ghana (1994), Zambia (1995), Kenya (2003), dan Tanzania (2009). Kalau Peraturan DPR tentang UP2DP ini disetujui oleh Jokowi, maka Indonesia akan bergabung dan sejajar dengan negara-negara yang disebutkan di atas. Beberapa studi menunjukkan bahwa dana aspirasi ini bisa berguna dalam hal pembangunan di daerah.[1] Dana aspirasi dipandang bisa membantu mengatasi masalah birokrasi pemerintahan daerah yang korup dengan membawa langsung proyek-proyek ke daerah. Dia juga bisa mengefektifkan pembangunan di daerah. Juga bisa membina hubungan lebih baik antara legislator dengan konstituennya sehingga legislator bisa mengerti keadaan daerah pemilihannya secara lebih baik. Disamping itu, dia akan membantu legislator untuk lebih berakar di daerah pemilihannya. Akan tetapi, masalah yang serius juga muncul dari penerapan dana aspirasi atau CDFs ini. Di bawah ini, ada beberapa masalah yang saya perkirakan akan muncul jika dana aspirasi ini dilaksanakan. Pertama, masalah terbesar adalah soal prinsip pemisahan kekuasaan. Negara modern dirancang untuk memisahkan kekuasaan membuat hukum dan mengawasinya (legislatif) dengan pelaksanaannya (eksekutif). Dana aspirasi membikin pemisahan ini menjadi kabur. DPR yang membuat hukum (termasuk anggaran) juga menjadi pelaksana. Kedua, sebagai konsekuensinya, pertanggungjawaban atas dana aspirasi ini akan lebih sulit. Kepada siapa dana aspirasi ini dipertanggungjawabkan? Jika pemerintah 5
mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggarannya kepada legislatif, maka DPR tidak punya mekanisme itu. Karena soal pertanggungjawaban ini, dana aspirasi sangat rawan untuk menjadi sarang korupsi. Ketiga, dana aspirasi bisa dipakai untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum. Tidak bisa disangkal bahwa dana aspirasi ini merupakan mekanisme pembelian suara. Anggota DPR akan mendistribusikan dana-dana ini untuk wilayah-wilayah strategis dalam konstituensinya yang pasti akan menguntungkan dirinya dalam pemilihan umum. Misalnya, dengan pertimbangan strategis dan taktik politik, seorang anggota DPR akan lebih mengucurkan dana aspirasi ke Kecamatan A ketimbang Kecamatan B, karena karakteristik pemilih di Kecamatan A akan lebih menguntungkan dirinya dalam pemilihan ketimbang Kecamatan B. Dengan demikian, tujuan dana aspirasi adalah untuk ‘memeratakan pembangunan’ sungguh bisa dipertanyakan. Keempat, penerapan dana aspirasi ini akan memperkuat patronase dan klientalisme politik. Dengan kata lain, dana aspirasi akan membikin seorang legislator sebagai patron politik dan penerimanya sebagai clients. Sekalipun dua hal ini adalah fenomena yang umum dalam politik Indonesia, namun dia akan memperkuat posisi legislator sebagaipatron. Kelima, dengan dukungan dana aspirasi akan semakin sulit untuk mengganti seorang legislator. Turnover atau penggantian anggota DPR Indonesia tergolong tinggi. Untuk periode pemilihan 2014, misalnya, sebanyak 57 persen dari anggota DPR lama tidak terpilih kembali. Jika dana aspirasi ini jadi diterapkan, kemungkinan sangat sulit untuk mengganti anggota DPR yang sedang menjadi petahana (incumbent). Keenam, posisi menjadi anggota DPR menjadi semakin menguntungkan (lucrative). Bayangkan, selama lima tahun menjadi anggota DPR, Anda akan mengelola dana sebesar Rp 100 milyar. Itu di luar gaji resmi dan tunjangan-tunjangan yang Anda dapatkan. Bisa diduga karena kedudukan sebagai anggota DPR makin menguntungkan maka persaingan untuk duduk di kursi DPR ini juga akan semakin keras. Pertanyaannya kemudian, apakah, seperti di Thailand atau Filipina, kedudukan politik ini cukup berharga sehingga harus dicapai dengan mengadu nyawa? Saat ini, pembunuhan politik sangat rendah di Indonesia. Namun jika pertarungan mengeras dan sebuah posisi politik dianggap cukup pantas untuk direbut dengan mengorbankan nyawa, saya kira pembunuhan politik akan naik. 6
*** Jelaslah bahwa dana aspirasi akan lebih banyak membawa kerusakan pada sistem demokrasi kita. Dia akan menyuburkan patronase, korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Dana ini juga akan lebih sulit diawasi penggunaannya. Kini bola panas ini ada di tangan Jokowi. Apakah ia akan meloloskan peraturan ini? Sekali lagi Jokowi berada pada posisi yang sulit. Dia tidak memiliki kekuatan parlementer yang cukup. Dia membutuhkan koalisi di DPR. Tentu saja kalkulasi politik ini sudah dihitung dengan matang oleh para politisi di DPR dan di partai-partai politik. Manuver-manuver politik yang dilakukan para politisi ini kebanyakan bertujuan untuk memperkuat posisi politik mereka, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Seperti misalnya, politisi PDIP yang duduk dalam pemerintahan Jokowi, Tjahjo Kumolo, melemparkan ide untuk memberikan dana Rp 1 trilyun per tahun. Bekas politisi Golkar ini memang akhirnya meralat kembali ucapannya sehari sesudahnya. Belum lagi upaya-upaya pelemahan KPK yang dimulai secara sistematis dari dalam pemerintahan Jokowi dan disambut gembira oleh DPR. Tampaknya, para politisi ini sedang berpesta. Mereka sibuk membagi-bagi kue dan membikin segala macam perangkat aturan untuk memperbesar kue itu. Karena para babi itu sedang berpesta, sebagai rakyat kita hanya bisa berucap: “Selamat berpesta!” ———— [1] Lihat misalnya, Mark Baskin (2010). Papernya bisa didapatkan disini: http://www.cid.suny.edu/publications1/CDF%20-%20CPA%20Background%20Paper.pdf
7