SCUDÉRI E.T.A. Hoffmann
2015
Scudéri Diterjemahkan dari Mademoiselle de Scudéri karangan E.T.A. Hoffmann terbit tahun 1819 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
M
AGDALEINE DE
SCUDÉRI, yang masyhur akan puisi
mempesona dan karya tulis lainnya, tinggal di sebuah
mansion kecil di Rue St. Honoré atas kemurahan hati Louis XIV dan Madame de Maintenon. Pada suatu larut malam—sekitar tengah malam—di musim gugur tahun 1680, terdengarlah ketukan di pintu rumah ini, begitu nyaring dan keras, sampai menggoncang lantai. Baptiste, yang mengisi jabatan koki, kepala pelayan, sekaligus penjaga pintu di kediaman sederhana tersebut, sedang pergi ke desa atas izin Nona Scudéri untuk menghadiri pernikahan saudarinya. Oleh sebab itu, La Martinière, pengurus kamar, menjadi satu-satunya orang yang masih terjaga di rumah. Dia mendengar ketukan ini, terus-menerus, hampir tanpa henti. Dia teringat, karena Baptiste tidak ada, dia cuma berdua dengan majikannya, tanpa perlindungan. Terbayang olehnya kebongkaran, perampokan, dan pembunuhan yang kerap terjadi di Paris waktu itu. Dia yakin, segerombol penjahat yang tahu kondisi rumah tanpa penjaga sedang membangkitkan kegelisahan ini di depan pintu, dan akan melakukan suatu kekejaman jika pintunya dibukakan. Maka dia tetap di kamarnya, gemetar ketakutan, menyumpahi Baptiste dan pernikahan saudara perempuannya. Sementara itu ketukan menggemuruh terus berlanjut di pintu. Dia merasa mendengar sebuah suara sebentar-sebentar memanggil, “Cepat buka, demi kasih Kristus. Buka! Buka!” Akhirnya, kegelisahan menjadi-jadi. Dia mengambil lilin dan berlari ke peron tangga, di mana terdengar jelas suara yang berteriak, “Buka 5
pintunya, demi kasih Kristus!” “Toh,” katanya pada diri sendiri, “semua orang tahu perampok mustahil berteriak seperti itu. Mungkin itu seseorang yang sedang dikejar dan datang ke majikanku untuk mencari perlindungan. Beliau dikenal selalu siap berbuat baik—tapi kami harus waspada!” Dia membuka jendela dan menyeru ke jalan raya, menanyakan siapa gerangan yang berbuat gaduh di depan pintu selarut malam ini, sampai membuat semua orang terbangun dari tidurnya. Ini dia lakukan dengan suara yang diusahakan mirip suara lelaki. Dengan bantuan cahaya bulan redup, yang mulai menerobos awan-awan gelap, dia bisa menangkap satu sosok jangkung berjubah kelabu panjang, dengan topi lebar menutupi dahinya. Lalu dia memanggil-manggil dengan suara keras agar sosok di jalan tersebut ikut mendengar, “Baptiste! Claude! Pierre! Bangunlah, coba lihat siapa bajingan yang mencoba masuk malammalam begini.” Tapi sebuah suara lembut dan memelas menyapa dari bawah, “Ah, La Martinière, aku tahu itu kau, kau yang baik hati, meski berusaha mengubah suaramu. Dan aku tahu betul Baptiste sedang pergi ke desa, dan tak ada siapapun di rumah ini selain kau dan majikanmu. Biarkan aku masuk. Aku harus bicara dengan majikanmu sekarang juga.” “Kau pikir,” tanya La Martinière, “majikanku mau bicara denganmu di tengah malam begini? Kau tidak tahu beliau sudah lama tidur? Membangunkan beliau dari tidur lelap pertamanya 6
sama saja dengan mempertaruhkan jabatanku. Tidur yang berharga bagi seseorang seusianya.” “Aku tahu,” jawab orang di bawah, “dia baru saja menyimpan naskah novel Clelia, yang dikerjakannya dengan tekun, dan sedang menulis beberapa sajak untuk dibacakan besok di rumah Madame de Maintenon. Kumohon, La Martinière, berbaik
hatilah
membukakan pintu untukku. Lolosnya makhluk malang dari kehancuran bergantung padamu. Bukan, kehormatan, kebebasan, nyawa manusia, bergantung pada pembicaraanku dengan majikanmu. Ingat, amarahnya akan menimpamu selama-lamanya kalau dia tahu kaulah yang mengusir orang malang yang datang meminta bantuannya.” “Tapi kenapa mesti datang malam-malam begini?” tanya La Martinière. “Kembalilah besok pagi pada jam yang pantas.” Tapi balasan datang, “Apakah takdir, kala menyerang bagai halilintar penghancur, mempertimbangkan jam dan waktu? Saat hanya ada satu momen untuk menyelamatkan, apakah pertolongan harus ditunda? Buka pintunya. Jangan takut dengan orang malang yang tak punya pembela, diburu, didesak oleh nasib mengerikan, dan lari pada majikanmu agar diselamatkan dari bahaya yang dekat.” La Martinière mendengar orang asing ini merintih dan mengerang sambil mengucapkan kata-kata tersebut dalam penderitaan hebat. Suaranya bernada seorang pemuda, lunak dan lembut, dan sangat menyentuh hati. Karena terharu, dia pun beranjak tanpa ragu lagi dan mengambil kunci. Begitu dia membuka pintu, wujud berbungkus mantel 7
menghambur masuk dan melewati La Martinière, berteriak-teriak dengan suara liar, “Bawa aku ke majikanmu!” La Martinière mengangkat lampu yang sedang dipegangnya, menerangi wajah seorang pemuda belia, kacau dan lesu, pucat bagai mayat. Dia hampir jatuh ketakutan di peron ketika si pemuda membuka jubahnya dan memperlihatkan pangkal belati berkilauan yang menonjol dari dobletnya. Pemuda ini menyorotkan matanya pada La Martinière, dan berteriak, lebih liar lagi, “Bawa aku ke majikanmu, cepat!” La Martinière merasa majikannya dalam bahaya besar. Semua perasaan sayang untuk beliau, yang seperti ibu baginya, menyalakan dan menciptakan keberanian yang nyaris tak terbayangkan oleh dirinya sendiri. Buru-buru dia menutup pintu kamar, bergeser cepat di depannya, dan berkata dengan suara berani lagi tegas, “Kelakuan gilamu, setelah masuk ke rumah ini, sangat berbeda dari cara bicaramu di jalan tadi. Aku terlalu mudah mengasihanimu. Kau tak boleh bertemu atau bicara dengan majikanku pada jam segini. Kalau kau tak berniat jahat, dan tidak takut menampakkan diri di siang hari, datang dan ungkapkanlah keperluanmu padanya besok; tapi sekarang keluarlah dari rumah ini.” Si pemuda mendesah panjang, memelototi La Martinière dengan ekspresi menyeramkan, dan mencengkeram belatinya. Dalam hati La Martinière menitipkan jiwanya kepada Tuhan, tapi dia tetap berdiri kokoh dan memandang lurus wajahnya, bersandar lebih kuat ke pintu yang harus dilewati si pemuda jika ingin 8
menemui majikannya. “Biarkan aku bertemu majikanmu, cepat!” bentaknya sekali lagi. “Lakukan apa saja yang kau mau,” kata La Martinière, “aku takkan beranjak dari sini. Selesaikan kejahatan yang sudah kau mulai. Kematian memalukan di Place de la Grève akan menimpamu, seperti yang dialami rekan-rekan kejahatanmu yang terkutuk.” “Ha! Kau benar, La Martinière,” pekiknya. “Aku bersenjata, dan penampilanku seperti perampok dan pembunuh terkutuk. Tapi rekan-rekanku tidak dieksekusi—tidak dieksekusi,” lalu dia menarik belati, maju dengan raut jahat ke arah perempuan yang ketakutan. “Astaga!” serunya, menyangka ajalnya tiba, tapi pada saat itu, dari jalan raya di bawah, terdengar gemerincing dan dentingan senjata, dan derap kuku kuda. “Marechaussee! Marechaussee! Tolong! Tolong!” teriaknya. “Perempuan sial, kau bisa membinasakanku,” pekiknya. “Semuanya berakhir sekarang—semuanya! Ini, ambil ini, ambil. Berikan pada majikanmu sekarang, atau besok, terserah.” Sambil membisikkan itu, dia mengambil tempat lilin bercabang dari La Martinière, meniup tirus-tirusnya, lalu menaruh kotak perhiasan di tangannya. “Karena kau menjunjung tinggi keselamatan abadimu,” katanya, “berikan ini pada majikanmu.” Dia pun lari keluar pintu, dan menghilang. La Martinière merosot ke lantai. Dengan susah-payah dia bangun, dan meraba-raba dalam gelap menuju kamarnya, di mana 9
dia jatuh ke kursi lengan, kewalahan dan tak sanggup berkata-kata. Kemudian dia mendengar kertak-kertuk selot, yang tadi tak sempat dikunci ketika menutup pintu rumah. Kini rumah terkunci, langkah-langkah pelan dan goyah mendekati kamarnya. Bagai terkena mantera, tak mampu bergerak, dia siap dengan kemungkinan terburuk. Lalu pintu terbuka. Seketika dia gembira tak terkatakan. Dengan cahaya lampu malam yang redup dia melihat Baptiste. Pucat, dan kacau. “Demi kasih para santo,” serunya, “katakan apa yang telah terjadi! Oh, ada apa denganku. Sesuatu—entah apa—menyuruhku pergi dari pesta pernikahan kemarin—memaksaku pergi. Ketika sampai ke jalan ini, aku berpikir, Madame Martinière bukan orang yang jago tidur; dia akan mendengarku kalau pintu diketuk pelanpelan, dan akan mempersilakanku masuk. Lalu datanglah patroli, penunggang kuda dan pejalan kaki, bersenjata lengkap. Mereka mencegatku, dan tak membiarkanku lewat. Untung ada Desgrais, letnan Marechaussee. Dia mengenalku. Sewaktu mereka mengangkat lentera di depan mataku, dia berkata, ‘Oh, Baptiste! Bagaimana kau bisa di jalanan malam-malam begini? Seharusnya kau di rumah, menjaga rumah. Tempat ini tidak aman pada jam seperti ini. Kami berharap akan mendapat tangkapan bagus, dan tahanan penting, malam ini.’ Coba bayangkan, Madame La Martinière, apa yang kurasakan ketika dia bilang begitu. Dan begitu aku sampai di pintu, tak dinyana seorang lelaki berjubah menghambur keluar sambil memegang belati, mengelak dariku, dan pergi. Pintu terbuka, kuncinya ada di dudukan. Apa, demi 10
semua kekudusan, apa arti semua ini?” La Martinière, pulih dari kegelisahannya, menceritakan semua yang terjadi. Lalu keduanya kembali ke ruang depan, dan mereka menemukan tempat lilin di lantai, di mana orang asing tadi melemparkannya sambil lari. “Tak diragukan lagi, majikan kita hampir dirampok, dan kemungkinan juga dibunuh,” kata Baptiste. “Berdasarkan ceritamu, bajingan itu tahu tak ada siapa-siapa di rumah ini selain nona dan kau, bahkan tahu beliau masih duduk menulis. Pasti dia salah satu bandit brengsek yang suka mengintip rumah-rumah dan mencari segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dalam rencana jahat mereka. Dan kotak kecil itu, Madame Martinière, kurasa sebaiknya dilempar saja ke bagian terdalam Sungai Seine. Siapa yang menjamin bahwa seorang penjahat tidak sedang mengintai majikan kita? Kemungkinan besar, kalau kotak perhiasan itu dibuka, beliau akan jatuh mati seperti Marquis de Tournay saat membuka surat yang dikirim entah dari mana.” Setelah berunding lama, mereka sampai pada satu kesimpulan, besok pagi mereka akan menceritakan seluruh kejadian kepada majikan, dan bahkan menyerahkan kotak misterius itu, yang mungkin akan dibuka setelah diambil langkah antisipasi yang tepat. Usai menimbang semua keadaan terkait kemunculan si orang asing, mereka menduga ada suatu rahasia atau misteri dalam kasus ini, yang tidak berhak mereka urai, tapi harus diserahkan kepada atasan mereka. Kekhawatiran Baptiste beralasan. Paris, di masa itu, adalah kancah perbuatan keji. Hasil penemuan paling jahat sedang 11
menjadi sarana paling mulus untuk mengerjakannya. ***** Glaser, ahli obat asal Jerman, kimiawan paling terpelajar di zamannya, menyibukkan diri dengan riset dan eksperimen alkimia, sebagaimana lazim dilakukan oleh orang-orang yang menggeluti sains. Dia menugasi dirinya sendiri untuk menemukan philosopher’s stone. Seorang Italia bernama Exili bergabung dengannya, tapi baginya seni pembuatan emas adalah dalih belaka. Tujuannya menguasai seni ini adalah pencampuran, peramuan, dan sublimasi beraneka zat beracun yang Glaser harap akan memberikan hasil yang dicari-cari selama ini. Akhirnya Exili menemukan cara meramu racun halus tak berbau dan tak berasa, dan menewaskan secara perlahan atau seketika, tidak meninggalkan jejak pada organ manusia, dan membuat bingung dokter terhebat sekalipun, yang tidak mencurigai racun sebagai alat kematian dan mengaitkannya dengan penyebab alami. Tapi meski Exili melakukan ini secara hati-hati, dia dicurigai mengurusi racun, dan dijebloskan ke Bastille. Di sel yang sama dengannya terdapat seorang perwira bernama Godin de Sainte-Croix yang sedang diinapkan. Dia sudah lama menjalin hubungan dengan Marquise de Brinvilliers. Itu menjadi aib bagi seluruh keluarga Marquise, sampai akhirnya, di kala sang suami tak peduli dengan kelakuannya, ayahnya (Dreux d’Aubray, Letnan Sipil Paris) harus memisahkan pasangan bersalah ini 12
melalui lettre de cachet1 terhadap Sainte-Croix. Kapten Godin adalah pria penuh nafsu, tidak berkarakter atau beragama, seorang munafik, mengingat sikap buruknya sejak masa muda. Terlebih lagi, dia kecanduan pada rasa cemburu dan iri yang hebat. Maka tak ada yang lebih menyambutnya daripada rahasia jahat Exili, yang memberinya kemampuan menghancurkan semua musuh. Dia menjadi murid tekun Exili dan segera menyamai gurunya. Bahkan, setelah dibebaskan dari penjara, dia sanggup melakukan operasi sendirian. La Brinvilliers adalah perempuan bejad, dan Sainte-Croix menjadikannya monster. Pelan-pelan dia berhasil meracuni ayahnya sendiri (yang dia rawat dalam kepura-puraan selama kesehatannya memburuk), kemudian dua saudara lelakinya sendiri, kemudian saudara perempuannya. Sang ayah diracun karena dendam, sementara yang lain karena harta. Riwayat para peracun menunjukkan bahwa kejahatan seperti ini menyimpan hasrat tak tertahankan. Sebagaimana ahli kimia melakukan eksperimen demi kesenangan dan minat pengamatannya, seringkali para tahanan, tanpa maksud tersembunyi sekecil apapun, membunuh orangorang yang hidup dan matinya tidak penting bagi mereka. Kematian mendadak sejumlah orang miskin, pasien-pasien di Hôtel Dieu, tak lama setelah peristiwa yang barusan disinggung, 1
Surat yang ditandatangani oleh raja Prancis dan salah satu menteri, lalu ditutup dengan segel kerajaan, atau cachet. Berisi perintah langsung dari raja, biasanya untuk melaksanakan tindakan dan penghakiman sewenang-wenang yang tak bisa diajukan banding. 13
melahirkan kecurigaan bahwa roti yang biasa La Brinvilliers berikan kepada mereka setiap pekan (agar terlihat saleh dan murah hati) telah dibubuhi racun. Dan sudah pasti dia membubuhkan racun pada pastel merpati yang dihidangkan kepada para tamu undangannya. Chevalier du Guet, dan banyak lagi, menjadi korban jamuan jahat itu. Sainte-Croix, La Chaussée (kaki-tangannya), dan La Brinvilliers, berhasil menyembunyikan kejahatan mereka untuk waktu lama. Tapi, sehebat apapun penjahat bersikap tak tahu malu, selalu datang waktunya di mana Penguasa Kekal Surgawi menghukum mereka, bahkan di bumi ini. Racun ramuan Sainte-Croix sangat halus. Jika serbuknya (yang dijuluki sebagai “poudre de succesion” oleh warga Paris) tersingkap selagi dibuat, satu hirupan sudah cukup untuk mengakibatkan kematian seketika. Oleh karena itu dia selalu mengenakan masker kaca saat bekerja. Pada suatu hari masker ini jatuh sewaktu dia sedang mengocok serbuk yang selesai ke dalam botol kecil. Setelah menghirup sebagian serbuknya dia pun mati seketika. Karena dia tak punya ahli waris, kantor pengadilan langsung menyegel propertinya, dan ditemukanlah gudang senjata pembunuhan yang selama ini dipakai si penjahat, serta surat-surat Madame de Brinvilliers, sehingga tak menyisakan keraguan tentang kejahatan perempuan ini. Dia lari ke sebuah biara di Liège. Desgrais, perwira Marechaussee, diutus untuk mengejarnya. Menyamar sebagai pendeta, dia diterima di biara itu, dan berhasil menarik perempuan tersebut ke dalam hubungan asmara, dan membujuknya bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah taman 14
terpencil di luar desa. Begitu tiba di sana La Brinvilliers dikepung oleh anak buah Desgrais, dan keberanian gerejawi segera mengembalikan Desgrais menjadi perwira Marechaussee. Dia memaksanya masuk kereta kuda yang menunggu di luar taman, dan langsung berangkat ke Paris, dikelilingi penjagaan ketat. La Chaussée sudah lebih dulu dipancung, dan La Brinvilliers menderita kematian yang sama. Jasadnya dibakar, abunya ditebarkan oleh angin. Warga Paris kembali bernafas lega setelah dunia terbebas dari monster yang begitu lama menggunakan senjata pembunuhan rahasia terhadap kawan dan lawan tanpa tersentuh hukum. Tapi kemudian beredar rumor bahwa seni mengerikan milik si terkutuk La Croix telah diwariskan kepada seorang suksesor yang melanjutkannya dengan sukaria. Pembunuhan, bagaikan hantu tak terduga lagi tak terlihat, memasuki lingkaran kekerabatan, percintaan, dan persahabatan paling sempit dan dalam, menerkam korban-korban malang dengan leluasa dan cepat. Orang-orang yang hari ini tampak sehat dan kuat, besoknya terhuyung lemah dan sakit; tak ada dokter yang sanggup memulihkan mereka. Kekayaan, pengangkatan atau jabatan yang bagus, isteri yang cantik, yang barangkali sedikit terlalu muda untuk suaminya, sudah cukup menjadi alasan untuk memburu seseorang sampai mati. Kecurigaan paling menakutkan memutus ikatan paling sakral. Suami gemetar di depan isterinya, ayah takut pada puteranya, anak perempuan takut pada saudara laki-lakinya. Ketika temanmu mengajak makan malam, dengan hati-hati kau menghindari makanan dan anggur 15
yang
dihidangkannya;
dahulu
kegembiraan
dan
keriangan
berkuasa, kini yang ada hanya tatapan liar, mengamat-amati, mencari si pembunuh rahasia. Para ayah tampak resah, membeli cadangan makanan di tempat-tempat tak biasa di mana mereka tak dikenal, kemudian memasaknya sendiri di kantin dekil, karena takut dengan pengkhianatan di rumah sendiri. Tapi seringkali, antisipasi paling cermat dan cerdik menjadi sia-sia belaka. Karena tekanan kekacauan ini terus meningkat, Raja membentuk pengadilan baru, yang diamanahi penyelidikan khusus dan penghukuman kejahatan rahasia tersebut. Namanya Chambre Ardente, yang bersidang dekat Bastille. La Regnie menjadi presidennya. Untuk waktu lumayan lama, upaya tekun La Regnie tak kunjung membuahkan hasil. Sedangkan Desgrais, yang kewalahan bekerja, kebagian jatah mencari sarang rahasia kejahatan busuk itu. ***** Di Faubourg Saint-Germain hiduplah seorang perempuan tua bernama La Voisin yang menjalani pekerjaan sebagai tukang ramal dan pemanggil arwah. Dia, dibantu kaki-tangannya La Sage dan Le Vigoureux, berhasil menggusarkan dan mengherankan orang-orang yang dianggap lemah dan percaya takhayul. Tapi perbuatannya lebih dari itu. Dia, seperti Croix, murid Exili, meramu racun halus tak berjejak, yang membantu anak-anak lelaki jahat untuk mempercepat warisan, dan menolong isteri-isteri tak berprinsip 16
untuk memperoleh suami lain yang lebih muda. Desgrais tahu rahasianya; La Voisin membuat pengakuan lengkap. Chambre Ardente pun menjatuhkan hukuman bakar padanya, dan eksekusi dilakukan di Place de la Grève. Di antara harta-benda miliknya ditemukan daftar orang-orang yang pernah memanfaatkan jasanya. Alhasil, bukan hanya terjadi eksekusi demi eksekusi, tapi juga timbulnya kecurigaan kuat terhadap orang-orang berkedudukan penting. Diduga, dari La Voisin-lah Kardinal Bonzy mendapat cara membebaskan diri dari semua orang yang, dalam kapasitasnya sebagai Uskup Agung Narbonne, mengharuskannya membayar pensiun. Demikan pula, Duchess de Bouillon dan Countess de Soissons (nama mereka ditemukan dalam daftar La Voisin) dituduh berhubungan dengannya, dan bahkan Henri de MontmorenciBoudebelle, Duke of Luxembourg, Peer dan Marshal of Realm, tidak lolos dari dakwaan di depan Chambre Ardente. Dia pasrah dipenjara di Bastille, di mana kebencian Louvois dan La Regnie mengurungnya dalam sel sepanjang enam kaki. Bulan demi bulan berlalu sebelum terbukti bahwa pelanggarannya tidak patut dihukum seberat itu. Dia cuma sekali mendatangi La Voisin untuk diramal. Yang pasti, semangat berlebihan telah menjerumuskan Presiden La Regnie ke dalam tindakan ilegal dan biadab. Pengadilannya menyerupai Inkuisisi. Dugaan kecil membuat seseorang dijatuhi hukuman berat, sedangkan penetapan tak bersalah seringkali hanya untung-untungan. Ditambah lagi, La Regnie tak enak dipandang, dan berwatak pendengki, sehingga 17
menimbulkan kebencian dari orang-orang yang semula memintanya menjadi penuntut balas atau pelindung mereka. Ketika dia bertanya pada Duches de Bouillon, “Apa pernah bertemu iblis?”, sang Duches menjawab, “Kurasa aku sedang melihatnya.” Sementara itu, di Place de la Grève, darah orang yang bersalah dan tersangka mengalir deras, kematian misterius dengan racun akhirnya menjadi semakin jarang. Masalah jenis lain menampakkan diri, menyebarkan ketakutan baru. Rupanya geng perampok membulatkan tekad untuk menguasai semua batu permata di kota. Kapanpun seperangkat perhiasan berharga dibeli, barang tersebut segera hilang dengan cara yang tak dapat dimengerti, meskipun dijaga dan dilindungi betul-betul. Setiap orang yang berani mengenakan batu mulia di malam hari pasti akan dirampok, entah di jalan raya terbuka atau di koridor rumah yang gelap. Seringkali bukan cuma dirampok, tapi juga dibunuh. Mereka yang berhasil lolos dari maut menceritakan bahwa kepala mereka dihantam kepalan tangan secara tiba-tiba. Setelah siuman, mereka sadar habis dirampok, dan berada di tempat yang berbeda dari lokasi pemukulan. Mereka yang dibunuh—dan ditemukan tergeletak hampir setiap pagi di jalan raya atau rumah—mendapat luka berat yang sama: tikaman belati, menembus jantung, yang kata ahli bedah dilakukan dengan cepat dan pasti sehingga korbannya jatuh tewas tanpa mampu bersuara. Nah, siapakah di Istana mewah Louis Quatorze yang tidak tersangkut dalam skandal asmara rahasia dan kerap berlalu-lalang di jalan raya pada larut malam dengan hadiah 18
berharga di sakunya? Seolah-olah geng perampok ini bergaul dengan arwah, mereka selalu tahu kapan hal semacam ini terjadi. Seringkali seorang pria tidak sampai ke rumah kekasihnya yang sedang menanti; seringkali dia roboh di lawang, di depan pintu, di mana kekasihnya ketakutan mendapati tubuhnya terkapar berdarah. Sia-sia Argenson, Menteri Kepolisian, menahan setiap orang di seantero Paris yang terkena kecurigaan sekecil apapun; sia-sia La Regnie mengamuk, berusaha memaksakan pengakuan; sia-sia para penjaga dan patroli diperkuat. Tak ditemukan satupun jejak pelaku kebiadaban. Satu-satunya tindakan yang bermanfaat adalah bepergian dengan senjata lengkap, dan membawa lilin. Tapi ada kasus-kasus di mana pelayan yang membawa lilin teralihkan oleh batu-batu yang dilempar padanya, sementara majikannya sedang dirampok dan dibunuh. Yang luar biasa dalam masalah ini, terlepas dari segala penggeledahan dan penyelidikan di setiap kawasan di mana batu permata berpotensi diperdagangkan, tak ada sedikitpun jejak batu mulia hasil rampokan. Desgrais geram sampai berbuih, lantaran kecerdasan dan keterampilannya tak berdaya mencegah lolosnya bangsat-bangsat ini. Setiap bagian kota yang kebetulan disinggahinya dibiarkan untuk sementara waktu, karena perampokan dan pembunuhan tengah mengintai mangsa kaya di suatu kawasan lain. Desgrais menemukan ide cerdik: membuat beberapa tiruan dirinya sedang berjalan kaki—bermacam-macam Desgrais, persis serupa dalam hal gaya berjalan, cara bicara, bentuk badan, muka, 19
dan lain-lain, yang tak bisa dibedakan oleh anak buahnya sendiri, atau ditunjuk mana yang asli. Sementara itu, mempertaruhkan nyawa, dia mengintai sendirian di tempat-tempat persembunyian paling rahasia, dan membuntuti orang-orang dari jarak tertentu yang, berdasarkan penampilannya, berpotensi membawa batu permata. Tapi orang-orang yang diawasinya tidak tertimpa bahaya apapun. Sepertinya trik ini sudah diketahui para penjahat, sebagaimana trik-trik lain. Desgrais pun putus asa. Suatu pagi dia mendatangi Presiden La Regnie, pucat, tegang, hampir hilang akal. “Ada apa—ada berita apa? Sudah dapat petunjuk?” seru Presiden kepadanya yang sedang melangkah masuk. “Ah, Monsieur!” tukas Desgrais, gagap karena amarah, “tadi malam, dekat Louvre, Marquis de la Fare diserang di depan mataku!” “Astaga!”
pekik
La
Regnie,
sangat
gembira,
“kita
mendapatkan mereka!” “Tunggu, dengar dulu,” kata Desgrais, tersenyum kecut. “Aku sedang berdiri dekat Louvre, mengamati dan menanti, dengan hati panas, menunggu iblis-iblis yang sudah membuatku bingung selama ini. Lalu datanglah satu sosok—tidak melihatku—dengan langkah tak pasti, selalu menoleh ke belakang. Dengan cahaya bulan aku mengenali Marquis de la Fare. Aku sudah mengira dia akan lewat. Aku tahu ke mana dia akan meluncur. Belum sampai sepuluh atau dua belas langkah melewatiku, tiba-tiba lompatlah seseorang, menghempaskan Marquis ke tanah, menindihnya. 20
Karena hilang kendali menyaksikan kejadian ini, yang bisa saja membuat pembunuh itu jatuh ke tanganku, aku pun berteriak keras, dan bermaksud meloncat dari tempat persembunyian dan menangkapnya. Tapi aku tersangkut jubahku hingga terjatuh. Kulihat orang itu kabur secepat angin. Aku bangkit dan langsung mengejarnya semampuku. Sambil berlari aku membunyikan terompetku. Dari kejauhan peluit-peluit anak buahku membalas. Keadaan semakin gaduh—gemerincing senjata, derap langkah kuda dari segala arah. “Di sini! Ikuti aku! Desgrais!” teriakku, sampai jalanan menggema. Aku melihat orang di depanku dalam cahaya bulan yang terang, berbelok ke kanan—ke kiri—untuk lolos dariku. Kami sampai di Rue Niçaise. Di sana tenaganya mulai habis. Aku mengumpulkan tenaga. Dia tak lebih dari lima belas kaki di depanku.” “Kau pasti menangkapnya! Anak-anak buahmu menyusul!” seru La Regnie, dengan mata menyorot, mencengkeram kedua lengan Desgrais seakan-akan dialah pembunuh yang kabur itu. “Lima belas kaki di depanku,” ulang Desgrais, dengan suara bergaung, dan menarik nafas keras, “orang itu, di depan mataku, mengelak ke satu sisi, lalu lenyap menembus tembok.” “Lenyap! Menembus tembok! Kau sinting?” pekik La Regnie, mundur tiga langkah, menepuk-nepuk kedua tangannya. “Silakan sebut aku sinting sesuka Anda, Monsieur,” balas Desgrais, mengosok-gosok dahi seperti tersiksa oleh pikiran jahat. “Panggil aku sinting, atau orang tolol yang baru melihat hantu; tapi ceritaku sungguhan. Aku berdiri memandang tembok, sementara 21
beberapa anak buahku datang terengah-engah, disertai Marquis de la Fare (sudah pulih) dengan pedang terhunus di tangannya. Kami menyalakan obor, kami memeriksa seluruh tembok. Tak ada jejak pintu, jendela, bukaan apapun. Itu tembok batu halaman yang kokoh, bagian dari sebuah rumah di mana orang-orang tinggal— mereka tidak mencurigakan sama sekali. Aku sudah memeriksanya sekali lagi tadi pagi dalam suasana terang. Pasti iblis sendiri yang mempermainkan kita.” Kisah ini menyebar ke segenap penjuru Paris, di mana semua kepala dipenuhi ilmu sihir, pemanggilan arwah, dan perjanjian iblis yang diperturutkan oleh La Voisin, Le Vigoureux, dan pendeta laknat Le Sage. Karena sudah menjadi sifat abadi kita bahwa kecenderungan ke arah supranatural dan ajaib mengangkangi nalar, masyarakat segera mempercayai ucapan Desgrais dalam ketergesaannya—bahwa iblis sendiri yang melindungi para bajingan itu, bahwa mereka sudah menjual jiwa kepadanya. Maklum saja bila cerita Desgrais segera mendapat banyak hiasan absurd. Dicetak, dijajakan ke seantero kota, dengan ukiran kayu di atasnya yang melukiskan sosok iblis seram terbenam ke dalam tanah di hadapan Desgrais yang ketakutan. Cukup untuk menakuti orang-orang, dan menakuti anak buah Desgrais sampai mereka hilang keberanian, bepergian di jalan raya dengan jimat di leher, dan diperciki air suci. Berhubung Chambre Ardente tak berhasil, Argenson mengusulkan kepada Raja agar membentuk—khusus menyangkut kejahatan jenis baru ini—sebuah pengadilan dengan wewenang lebih besar untuk melacak dan menghukum para pelanggar. Raja, 22
merasa sudah memberi wewenang terlalu luas kepada Chambre Ardente, dan tergoncang oleh banyaknya eksekusi mengerikan yang dilakukan oleh La Regnie si haus darah, tidak berkenan mengabulkan. Maka dirancanglah metode lain untuk mempengaruhi Baginda. Di kamar Madame de Maintenon—di mana Raja biasa menghabiskan sebagian besar waktunya pada sore hari, dan seringkali bekerja dengan para Menterinya sampai larut malam— terhampar sebuah petisi puitis di hadapannya, dari “Para Kekasih yang
Terancam
Bahaya”,
yang
mengeluh
bahwa
tatkala
“keksatriaan” mengharuskan mereka menjadi pembawa hadiah berharga untuk wanita pujaan, mereka selalu melakukannya dengan mempertaruhkan nyawa. Mereka bilang, menumpahkan darah demi wanita pujaan dalam pertempuran ksatria memang suatu kehormatan dan kebahagiaan, tapi serangan licik para pembunuh, yang mustahil diantisipasi, adalah soal lain. Mereka berharap agar Louis, bintang kutub terang yang menandakan cinta dan keberanian, berkenan terbit mengakhiri penodaan terhadap kemuliaan, mengusir kegelapan malam, dan menyingkap misteri gelap yang tersembunyi bersamanya; agar pahlawan kedewaan tersebut, yang telah melempar musuh-musuhnya menjadi debu, sekali lagi melambaikan pedang falchionnya yang menyala dan, seperti Hercules dalam kasus Larnean Hydra, Theseus dalam kasus Minotaur, menaklukkan monster pengancam yang melahap semua kesenangan cinta, dan menggelapkan semua kegembiraan menjadi kepedihan dan perkabungan. 23
Meski temanya serius, sajak ini sudah memadai sebagai frasefrase yang dibalik dengan jenaka, terutama di bagian yang melukiskan kondisi kegelisahan ketika para kekasih harus meluncur ke pujaan mereka, dan bagaimana ketegangan jiwa ini merusak semua kesenangan cinta, dan menggunting semua petualangan “keksatriaan” yang sedang berpucuk. Dan, karena diakhiri dengan pujian tinggi terhadap Louis XIV, mau tak mau Raja membacanya dengan kepuasan nyata. Setelah membaca teliti, Baginda berbalik pada Madame de Maintenon—tanpa mengangkat matanya—membaca lagi, kali ini dengan nyaring, lalu sambil tersenyum girang meminta pendapat Madame soal petisi “Para Kekasih yang Terancam Bahaya” tersebut. Madame de Maintenon, jujur dengan kesungguhannya, dan selalu mengenakan pakaian kesalehan tertentu, memberi jawaban bahwa
praktek-praktek
rahasia
dan
terlarang
tidak
layak
dilindungi, tapi penjahatnya mungkin perlu dihukum dengan undang-undang khusus. Raja tidak puas dengan jawaban ini. Baginda melipat kertasnya, dan hendak kembali ke Menteri Luar Negeri, yang sedang bekerja di ruang kecil depan, ketika kebetulan melirik ke samping, terpaku pada Nona Scudéri yang duduk di sebuah kursi lengan kecil. Baginda langsung menghampirinya. Senyum girang yang tadi menghiasi mulut dan pipinya tapi kemudian menghilang, kini kembali naik. Berdiri tak jauh di depannya, dengan wajah ceria, Baginda berkata: “Nyonya tak tahu dan tak mau tahu soal ‘keksatriaan’ kaum pria yang dirasuki cinta, dan menghindari urusan terlarang ini. 24
Tapi, Nona, apa pendapatmu tentang petisi puitis ini?” Nona Scudéri bangkit dari kursi. Bagaikan ungu langit malam, sesaat rona merah tersipu melintasi pipi pucatnya. Membungkuk lemah-lembut, dia menjawab dengan pandangan tertunduk: “Kekasih yang takut pencuri Tak layak dicintai.” Raja kaget, kagum akan semangat kejantanan dalam perkataan singkat ini—yang mengalahkan sajak tadi dengan segala deklamasi panjang-lebarnya. Baginda berseru, matanya menyorot: “Demi Santo Denis, kau benar, Nona! Undang-undang buta, yang menyentuh orang tak bersalah dan bersalah, tidak boleh memberi tempat pada sikap pengecut. Argenson dan La Regnie harus berusaha sebaik mungkin.” ***** Keesokan paginya, La Martinière memperbesar teror di masa itu, melukiskannya dalam warna-warna menyala kepada sang majikan. Dia menceritakan kejadian malam sebelumnya, dan menyerahkan kotak misterius sambil takut dan gemetar. Dia dan Baptiste (yang berdiri di pojok, sepucat kertas, meremas topi karena gejolak emosi dan cemas) memohon kepada majikannya, atas nama semua santo, agar berhati-hati dalam membukanya. Menimbang dan memeriksa misteri tertutup di tangannya, Nona Scudéri berkata sambil tersenyum, “Kalian sepasang orang aneh! Bangsat-bangsat jahat di luar sana, yang mencari barang25
barang di setiap rumah, seperti kau bilang, mereka tahu betul bahwa aku tidak kaya, dan tak ada harta di rumah ini yang layak memakan korban jiwa. Apa nyawaku terancam, pikirmu? Siapa yang berkepentingan pada matinya seorang wanita tua berumur 73, yang tak pernah menyiksa penjahat kecuali dalam novel-novelnya; yang menulis puisi medioker, tak bisa menghasut kedengkian siapapun; yang tak punya apapun untuk diwariskan selain barangbarang perawan tua yang terkadang pergi ke Istana, dan dua atau tiga lusin buku berjilid indah dengan pinggiran emas. Lagipula, meski
kemunculan
orang
ini
mengkhawatirkan
menurut
keteranganmu, La Martinière, aku yakin dia tak bermaksud mencelakaiku, jadi—” La Martinière melompat mundur tiga langkah, sementara Baptiste berlutut satu kaki sambil berseru “Ah!” sewaktu Nona Scudéri memencet tombol baja yang menonjol. Lalu tutup kotak pun terbuka diiringi bunyi tertentu. Betapa kagetnya dia melihat isinya berupa sepasang gelang, dan satu kalung yang kaya permata. Dia mengeluarkannya. Sementara Nona memuji pengerjaan kalungnya, La Martinière melirik heran pada gelang-gelang, dan memekik berulangkali bahwa Madame de Montespan saja tidak punya perhiasan seindah itu. “Tapi kenapa dibawa padaku?” tanya Nona Scudéri. “Apa artinya ini?” Dia melihat sebuah catatan kecil terlipat di dasar kotak. Dia mengira akan menemukan kunci misteri ini di dalamnya. Setelah dia membaca isi tulisan, catatan tersebut jatuh dari 26
tangannya yang gemetar. Dia menengadah ke langit, memohon, lalu merosot setengah pingsan di kursinya. Baptiste dan La Martinière buru-buru mendekatinya, cemas. “Oh!” serunya, dengan suara yang tercekik air mata, “aib! Penghinaan besar! Apa aku sudah ditakdirkan mengalaminya di usia senjaku? Apa aku pernah ceroboh, seperti para pemuda bodoh; apa kata-kata yang diucapkan dalam setengah canda dapat melahirkan penafsiran sengeri ini? Apa aku, yang selalu jujur terhadap semua kemurnian dan kebaikan sejak masa kecilku, dijadikan kaki-tangan dalam kejahatan persekutuan seram ini.” Dia menyeka matanya dengan saputangan. Baptiste dan La Martinière sama-sama bingung dalam dugaan-dugaan mereka, merasa tak berdaya untuk membantu sebaik-baik majikan yang begitu mereka sayangi, yang tengah menderita. La Martinière memungut kertas itu dari lantai. Di atasnya tertulis: “‘Kekasih yang takut pencuri Tak layak dicintai.’ “Kecerdasanmu, duhai wanita terhormat, telah menyelamatkan kami, yang menggunakan hak kaum kuat terhadap kaum lemah dan pengecut, dan menguasakan pada kami harta-benda yang disiasiakan secara tak pantas, dari penyiksaan pahit. Sebagai wujud terima kasih kami, tolong terima perhiasan ini dengan senang hati. Ini benda paling berharga yang dapat kami peroleh setelah berharihari. Walau sepatutnya kau dihiasi permata yang jauh lebih indah dan bernilai, kami tetap berharap kau tidak mencabut perlindungan 27
dan ingatan untuk kami di masa mendatang—PARA SILUMAN.” “Mungkinkah,” pekik Nona Scudéri, setelah setengah siuman, “manusia sanggup melangsungkan kejahatan tak tahu malu dan penghinaan tak terkendali lebih jauh lagi?” Mentari bersinar terang menembus tirai-tirai jendela dari sutera merah tua. Akibatnya barang-barang berkilau itu, yang tergeletak di samping kotak terbuka di atas meja, memancarkan cahaya merah. Setelah memandanginya Nona Scudéri menutupi wajah dalam kengerian, dan segera menyuruh La Martinière untuk membawa pergi perhiasan tak menyenangkan itu, seakan-akan direndam dengan darah korban pembunuhan. La Martinière, setelah memasukkan kembali kalung dan gelang-gelang ke wadahnya, berpikir bahwa jalan terbaik adalah menyerahkannya kepada Menteri Kepolisian, dan menceritakan semua yang sudah terjadi. Nona Scudéri bangkit, mondar-mandir pelan dan bisu, seperti sedang memikirkan jalan terbaik. Lalu dia menyuruh Baptiste membawakan tandu, dan meminta La Martinière mendandaninya, karena dia akan pergi kepada Nyonya Maintenon. Dia tahu pada jam segitu Madame de Maintenon akan sendirian. Dibawanya kotak dan perhiasan itu, lalu berangkatlah. Madame de Maintenon keheranan melihat wanita tua ini (yang biasanya baik, manis, dan ramah), pucat, tertekan, gelisah, masuk dengan langkah goyah. “Astaga, ada apa denganmu?” tanyanya kepada sang tamu, yang hampir tak mampu berdiri tegak, berusaha meraih kursi yang Nyonya sodorkan. Akhirnya, setelah sanggup 28
bicara, dia menceritakan penghinaan mendalam dan tak terobati yang ditanggungnya akibat jawaban sembrono kepada Raja. Madame de Maintenon, usai mendengar duduk perkaranya, menganggap Nona Scudéri terlalu memasukkannya ke dalam hati, meski kebetulan tersebut memang aneh—bahwa penghinaan dari sekumpulan pengacau laknat tidak boleh melukai hati yang tulus dan mulia. Akhirnya dia minta perhiasan itu diperlihatkan. Nona Scudéri menyerahkan kotak terbuka. Begitu melihat batu-batu indah dan bernilai dan pengerjaannya, Madame de Maintenon tak mampu menahan ekspresi kagum. Dia mengangkat gelang-gelang dan kalung ke jendela, membiarkan cahaya matahari mengenainya, dan mendekatkan karya pandai emas menawan itu ke matanya, untuk melihat bagaimana keterampilan luar biasa telah membentuk setiap mata rantai kecil. Tiba-tiba dia berbalik pada Nona Scudéri, dan berseru, “Apa kau tahu, hanya ada satu orang yang mampu mengerjakan ini— René Cardillac.” Waktu itu René Cardillac adalah pandai emas paling cakap di seluruh Paris, salah satu orang paling artistik sekaligus paling luar biasa di masanya. Pendek tapi berbahu lebar, kuat, dan berotot, Cardillac yang kini berusia lebih dari 50 tahun masih kuat dan aktif seperti anak muda. Tenaga ini, yang dianggap tak biasa, juga diperkuat oleh rambut tebal keriting kemerahan dan wajah besar bersinar. Andai dia tak dikenal sebagai orang paling lurus dan terhormat, tidak egois, terbuka, ramah, senantiasa siap menolong, mungkin lirikan aneh dari mata suramnya akan membuatnya 29
disangka orang jahat dan pemarah. Dalam seninya, dia pekerja paling terampil, bukan cuma di Paris, tapi mungkin di seluruh dunia di masa itu. Kenal akrab dengan setiap jenis batu mulia, tahu semua keistimewaannya, dia dapat menangani dan memperlakukannya sedemikian rupa sampai-sampai perhiasan yang sekilas jelek dan tak berarti, jadi cemerlang dan bagus setelah keluar dari bengkelnya. Dia menerima setiap pesanan dengan hasrat membara, dan memasang tarif yang moderat, yang terasa tak sebanding dengan pekerjaannya. Dan pekerjaan ini tidak memberinya istirahat. Siang dan malam dia terdengar memalu-malu di bengkelnya, dan seringkali, ketika pekerjaan hampir rampung, tiba-tiba dia tidak puas dengan bentuknya—merasa ragu apakah rangkanya sudah cukup bagus; sebagian sambungan kecil belum cukup menurut pendapatnya—akibatnya semua dilempar ke dalam tempat peleburan, dan diulang dari awal. Jadi, setiap karyanya adalah mahakarya nyata dan tak tertandingi, yang membuat pemesannya takjub. Tapi sulit sekali mengambil karya yang sudah selesai dari tangannya. Dia akan menyuruh pemesan menunggu satu sampai dua minggu dengan beribu dalih—bahkan sampai berbulan-bulan. Bisa saja dia ditawari dua kali lipat dari harga yang disepakati, tapi percuma, dia tak mau mengambil lebih. Ketika akhirnya harus menyerah pada keluhan pelanggan, dan mengantarkan karyanya, dia tak dapat menyembunyikan kekesalan—bukan, tapi kemarahan —yang menggelegak di dalam dirinya. Jika terpaksa harus mengantar suatu karya bernilai dan kaya, berharga beberapa ribu 30
franc, dia akan berlari ke sana kemari seperti orang gila, memaki dirinya sendiri, karyanya, dan setiap benda dan orang di sekitarnya. Tapi kemudian seseorang akan menghampirinya, berteriak, “René Cardillac, maukah kau membuatkan kalung yang indah untuk wanita yang akan kunikahi?” atau “sepasang gelang untuk gadisku?” atau semacamnya. Dia akan berhenti sejenak, menyorotkan matanya pada si pembicara, dan berkata, “Coba lihat apa yang kau bawa.” Lalu orang itu mengeluarkan kotak perhiasan kecil dan berkata, “Ini ada batu-batu permata, tidak terlalu bernilai, hanya barang sehari-hari, tapi di tanganmu—” Cardillac akan memotong pembicaraannya, merenggut kotak dari tangannya, mengeluarkan batu-batu (memang tidak bernilai), mengangkatnya ke sumber cahaya, kemudian berseru, “Ho! Ho! Batu biasa, katamu! Tak ada yang seperti ini! Sangat bagus, indah! Tunggu saja apa yang bisa kuhasilkan dengannya. Kalau kau tak keberatan dengan segenggam Louis, akan kutambahkan dua atau tiga lainnya yang nanti bercahaya dalam pandanganmu bagai matahari!” Si pelanggan akan berkata: “Kuserahkan semua urusan padamu, Maestro René, ubah-ubah saja sesukamu.” Entah pelanggannya seorang maling kaya atau pria terpandang, Cardillac akan meraih lehernya, memeluknya, dan menciumnya, dan menyatakan dirinya kembali bahagia, dan karyanya akan siap dalam waktu delapan hari. Lalu dia akan berlari pulang secepat mungkin ke bengkelnya, di mana dia akan mulai memalu-malu, dan dalam delapan hari sebuah mahakarya akan siap. Tapi segera setelah si pelanggan tiba, siap membayarkan harga 31
moderat yang diminta, dan mengambil barangnya, Cardillac akan murung, marah-marah, kasar, dan kurang ajar. “Tapi coba pikirkan, Maestro Cardillac,” kata si pelanggan, “besok hari pernikahanku.” “Masa bodoh,” jawab Cardillac, “apa pentingnya hari pernikahanmu bagiku? Kembalilah dua minggu lagi.” “Tapi itu sudah selesai—ini uangnya. Aku harus mengambilnya.” “Masih banyak perubahan yang harus kubuat sebelum melepasnya dari tanganku, dan aku takkan membiarkanmu mengambilnya hari ini.” “Kukatakan padamu, kalau kau tak serahkan perhiasanku dengan baik-baik—dan siap kubayar—kau akan melihatku datang kembali bersama satu barisan anak buah D’Argenson.” “Mudah-mudahan iblis menangkapmu dengan seratus sepit merah pijar, dan menggantungkan beban 150 kilo pada kalung itu, biar pengantinmu tercekik!” Sambil berserapah demikian dia menjejalkan karyanya ke saku dada si pelanggan, mencengkeram lengannya, mendorongnya keluar pintu, sampai terhuyung-huyung di tangga. Lalu dia akan tertawa kesetanan di jendela, menyaksikan orang malang itu pergi terpincang-pincang sambil menutup hidungnya yang berdarah dengan saputangan. Tidak mudah untuk menjelaskan kenapa, setelah menyanggupi pesanan dengan sigap dan semangat, Cardillac terkadang tiba-tiba memelas kepada pemesan, dengan emosi terdalam—disertai permohonan paling menyentuh, bahkan diiringi sedu-sedan dan air 32
mata—agar tidak memintanya meneruskan pengerjaan. Banyak orang, di antara orang-orang yang paling dihormati oleh Raja dan negara, sudah menawarkan uang besar untuk spesimen karya Cardillac yang paling kecil, tapi sia-sia. Dia berlutut di kaki Raja, memohon belas kasihnya, supaya tidak menyuruhnya membuatkan karya untuknya. Dan dia menolak semua pesanan Madame de Maintenon. Pernah, ketika Madame ingin dibuatkan cincin kecil, dengan emblem seni di atasnya, yang hendak diberikan kepada Racine, dia menolak dengan ekspresi ngeri dan jijik. ***** “Karena itu aku berani bertaruh,” kata Madame de Maintenon, “kalaupun aku memanggil Cardillac, untuk mencaritahu siapa yang dibuatkan perhiasan ini, dia takkan mau datang, karena takut diberi perintah olehku. Tak ada yang bisa membujuknya bekerja untukku. Tapi belakangan ini dia tidak terlalu keras kepala. Kudengar dia bekerja lebih giat dari sebelumnya, dan membolehkan pelanggannya mengambil langsung perhiasan mereka, meski dia sangat kesal dan menyerahkannya sambil memalingkan wajah.” Nona Scudéri ingin sekali perhiasan yang jatuh ke tangannya secara tak wajar itu dikembalikan ke pemiliknya secepat mungkin. Dia berpikir René Cardillac yang menakjubkan ini harus segera diberitahu bahwa dia tak memintanya bekerja, tapi hanya ingin dengar pendapatnya tentang batu tertentu. Nyonya setuju dengan rencana ini. Cardillac pun dipanggil, dan dalam waktu singkat 33
sudah masuk ke ruangan, seolah-olah dia sedang dalam perjalanan ke sana ketika dipanggil. Saat melihat Nona Scudéri, dia tampak bingung, seperti orang yang dihadapkan dengan hal tak terduga, yang untuk sementara lupa akan tatakrama. Pertama-tama dia menghormat padanya, lalu berpaling pada Nyonya. Dengan tak sabar Madame de Maintenon menanyakan
apakah
perhiasan
berbatu
permata
itu—yang
berkilauan di atas taplak meja hijau gelap—adalah hasil karyanya. Cardillac hampir tidak melirik barang-barang tersebut. Masih terpaku pada wajah Nyonya, dia buru-buru memasukkan kalung dan gelang-gelang ke dalam wadahnya, dan menyodorkannya dengan keras. Dengan senyum jahat memancar dari wajah merahnya dia berkata, “Sebetulnya, Nyonya, siapapun pasti tahu karya tangan René Cardillac. Sedikit sekali yang mengira ada pandai emas lain di dunia ini yang mampu membuatnya. Sudah pasti aku pembuatnya.” “Kalau begitu,” sambung Nyonya, “katakan, untuk siapa kau membuatnya.” “Untuk diriku sendiri,” jawabnya. “Mungkin Nyonya anggap ini aneh,” lanjutnya, sementara mereka berdua menatapnya heran. Madame de Maintenon ragu, Nona Scudéri gelisah bagaimana kelanjutan perkara ini. “Tapi kukatakan sejujurnya, Nyonya. Demi keindahan karya semata aku mengumpulkan beberapa batu terindahku, bekerja demi kesenangan, lebih cermat dan lebih tekun dari biasanya. Perhiasan ini hilang dari bengkelku tak lama 34
kemudian, dengan cara yang sulit dimengerti.” “Syukurlah!” pekik Nona Scudéri, matanya berseri-seri. Sambil tersenyum dia bangkit dari kursi dan cepat-cepat menghampiri Cardillac seperti gadis remaja. Dia memegang pundaknya, berkata, “Ambil kembali harta-karunmu, Maestro René. Para penjahat itu sudah merampoknya!” Lalu dia menceritakan bagaimana perhiasan itu jatuh ke tangannya. Cardillac, mendengarkan dalam diam, dengan mata tertunduk, hanya menggumam “Hm! Sungguh! Ah! Ho, ho!”, terkadang mengistirahatkan tangannya ke balik punggung, atau mengelus dagu dan pipi. Setelah Nona selesai, Cardillac bergulat dengan pikiran-pikiran aneh yang mendatanginya selama Nona bercerita, dan tak sanggup mengambil keputusan yang memuaskan dirinya sendiri. Dia menggosok alis, mendesah, menyeka mata—barangkali menahan air mata. Akhirnya dia meraih kotak perhiasan (yang disodorkan oleh Nona Scudéri), pelan-pelan berlutut dengan satu kaki, dan berkata, “Nona yang mulia! Takdir menetapkan kotak ini untuk Nona, dan sekarang aku merasa, untuk pertama kalinya, bahwa aku memikirkan Nona pada saat mengerjakannya—bukan, aku sengaja membuatnya untuk Nona. Sudilah menerima karya ini, dan mengenakannya; ini karya terbaik yang pernah kukerjakan selama ini.” “Ah! Maestro René,” kata Nona Scudéri, berolok-olok, “bagaimana kau sampai berpikir aku pantas menghias diri dengan batu-batu indah itu di usiaku sekarang? Dan apa yang mendorongmu membuatkan hadiah seberharga itu? Sudahlah! 35
Andai aku secantik dan sekaya Marquise de Fontange, tentu saja aku takkan melepasnya. Tapi apa urusannya, tangan layuku dan leher keriputku, dengan semua kemegahan itu?” Cardillac sudah berdiri, dan berkata dengan raut liar, seperti lupa diri, masih mengulurkan kotak ke arahnya, “Sudilah menerimanya, Nona! Nona tak tahu betapa dalam ketakziman hatiku akan kebaikan dan balasan Anda. Terimalah persembahan kecil ini, sebagai usahaku untuk membuktikan kehangatan salamku.” Sementara Nona Scudéri masih bimbang, Madame de Maintenon mengambil kotak dari tangan Cardillac, seraya berkata, “Nah, demi Tuhan, Nona, kau selalu membicarakan umur tuamu. Apa hubungannya kita dengan usia dan beban hidup? Kau seperti remaja pemalu yang dengan gembira mengapai-gapai buah terlarang, padahal mampu mengumpulkannya tanpa tangan atau jemari. Jangan segan menerima hadiah bagus dari Maestro René Cardillac, yang tak bisa diperoleh ribuan orang lain, sekalipun dengan uang atau permohonan.” Sambil bicara dia terus mendorong kotak kepada Nona Scudéri, dan kini Cardillac kembali berlutut, menciumi gaunnya, tangannya, mendesau, menangis, terisak, bangkit, dan pergi tergopoh-gopoh dalam keadaan kalut, menumbangkan kursi dan meja, akibatnya gelas dan porselen berbenturan dan bergemerincing. “Demi para santo, ada apa dengan orang itu?” jerit Nona Scudéri ketakutan. 36
Tapi Nyonya tertawa gembira, berkata, “Ada apa, Nona? Maestro René jatuh cinta berat padamu dan, menurut hukum keksatriaan, dia mulai mengepung hatimu dengan hadiah berharga.” Dia meneruskan senda-gurau ini lebih jauh, meminta Nona Scudéri tidak terlalu keras kepala terhadap pencintanya yang putus asa. Nona, sebaliknya, terhanyut oleh arus angan menyenangkan. Dia bilang, kalau benar begitu keadaannya, dia takkan mampu menahan diri untuk menggembirakan dunia dengan pemandangan pengantin 73 musim panas dan seorang pandai emas dan keturunan yang memuaskan. Madame de Maintenon menawarkan diri untuk merangkai bunga pengantin, dan sedikit menggambarkan tugastugas ibu rumah tangga, urusan yang tidak terlalu dikuasai oleh perempuan mungil dan kurang pengalaman tersebut. Tapi terlepas dari semua senda-gurau dan gelak-tawa ini, saat bangkit untuk pergi Nona Scudéri kembali muram sambil memegang kotak perhiasan. “Apapun kejadiannya,” katanya, “aku tak sampai hati mengenakan perhiasan ini. Biar bagaimanapun benda ini pernah berada di tangan salah satu penjahat itu, yang merampok dan membunuh seperti setan dan mungkin bersekutu dengannya. Merinding rasanya membayangkan darah yang melekat pada batu-batu gemerlapan ini—bahkan perilaku Cardillac terkesan liar dan aneh menurutku. Aku tak bisa membuang firasat adanya suatu misteri mengerikan di balik semua ini. Tapi saat menghimpun seluruh perkara ini sejelas mungkin di depan mata batinku dengan segala konsekuensinya, aku tak mampu menebak 37
misteri apa itu. Dan yang terpenting, bagaimana Maestro René yang baik dan terhormat itu—teladan semua warga yang baik dan bertingkah baik—bagaimana bisa dia tersangkut dengan kejahatan atau kesalahan. Tapi bagaimanapun juga, aku tak sanggup mengenakan perhiasan ini.” Nyonya menganggap keberatan ini agak berlebihan. Tapi saat Nona Scudéri menanyakan, demi kehormatan dirinya, apa yang akan diperbuatnya dalam posisi demikian, beliau menjawab tegas dan sungguh-sungguh, “Lebih baik melemparnya ke Seine daripada memakainya.” Adegan dengan Maestro René menginspirasi Nona Scudéri untuk menulis beberapa syair bagus, yang dia bacakan kepada Raja keesokan malamnya di tempat Madame de Maintenon. Mungkin, bayangan Maestro René membawa lari seorang pengantin pingitan 73 tahun telah membuatnya mampu menaklukkan firasat buruk. Raja tertawa segenap hati, bersumpah bahwa Boileau Despreaux telah bertemu gurunya. Jadi sajak Scudéri dianggap yang paling jenaka yang pernah ditulis. ***** Beberapa bulan berlalu. Nona Scudéri sedang menyeberangi Pont Neuf di atas kereta kuda berkaca milik Duchesse de Montpensier. Waktu itu kereta kuda berkaca baru ditemukan, jadi orang-orang langsung berkerumun jika ada yang muncul di jalan raya. Akibatnya orang ramai menganga dan mengerumuni kereta kuda 38
milik Duchesse di Pont Neuf, sampai kuda-kudanya hampir tak bisa maju. Tiba-tiba Nona Scudéri mendengar suara pertengkaran dan sumpah-serapah, dan melihat seseorang menerobos kerumunan dengan cara meninju dan memukul tulang-tulang rusuk. Sementara dia terus mendekat, mereka kaget oleh tatapan menusuk dari wajah belianya
yang
pucat,
bernodakan
dukacita.
Pemuda
ini,
memandangi mereka, maju sekuat tenaga dengan bantuan tinju dan siku, hingga tiba di pintu kereta kuda, membukanya dengan paksa, dan melemparkan sebuah catatan ke pangkuan Nona Scudéri. Selepas itu dia menghilang seperti cara datangnya, membagikan dan mendapatkan pukulan dan tinjuan. Tak lama setelah melihat si pemuda, La Martinière, yang ikut bersama majikannya, jatuh pingsan di dalam kereta kuda sambil menjerit ketakutan. Dengan percuma Nona Scudéri menarik tali, lalu berteriak kepada pengemudi. Seolah didesak oleh setan busuk, pengemudi terus memecut kuda-kudanya sampai menendangnendang, terjerembab dan mendompak; busa keluar dari cuping hidung mereka. Akhirnya mereka berderap cepat di atas jembatan. Nona Scudéri mengosongkan isi botol hirupnya kepada La Martinière yang tengah pingsan. Akhirnya dia membuka mata, merinding dan gemetar, berpegangan pada sang majikan dengan tegang; ketakutan dan kengerian tampak di wajahnya. Kemudian dia mengerang susah-payah, “Demi kasih Perawan Suci, apa yang diinginkan orang jahat tadi? Dialah yang membawa perhiasan di malam buruk itu.” Nona Scudéri menenangkannya, bahwa tak terjadi apa-apa, bahwa yang terpenting adalah memastikan isi surat 39
itu. Dia pun membukanya dan membacakan sebagai berikut: “Kau mampu menghalau kematian gelap dan kejam yang sedang mendorongku ke jurang yang dalam. Aku mohon padamu —seperti seorang anak pada ibunya, dalam pancaran rasa bakti— aku mohon kirimlah kalung dan gelang-gelang itu pada Maestro René Cardillac, dengan berpura-pura atau apa saja—misalnya, untuk mengubah atau memperbaiki sesuatu. Keselamatanmu, nyawamu—tergantung
pada
tindakan
ini.
Jika
kau
tidak
menurutinya sebelum lusa, aku akan menerobos rumahmu, dan bunuh diri di depan matamu.” “Jadi sudah jelas,” kata Nona Scudéri, setelah membaca surat ini, “apakah lelaki misterius ini anggota kelompok perampok dan pembunuh atau bukan. Dia tak punya niat jahat terhadapku. Andai kami bertemu dan bicara malam itu, entah peristiwa aneh apa, entah rentetan gelap apa yang akan menimpaku. Aku tak bisa menduga-duga. Tapi, apapun masalahnya, apapun perintah surat ini, aku pasti melakukannya, apalagi kalau cuma membuang perhiasan pembawa petaka, yang bagiku seperti jimat jahat Pangeran Kegelapan. Sekali mendapatkannya, kemungkinan besar takkan dilepas lagi oleh Cardillac.” Dia berniat membawanya kepada Cardillac besok hari, tapi seakan-akan seluruh semangat pesolek Paris bersekutu untuk menyerbu dan mengepungnya dengan sajak, drama, dan anekdot. Jarang sekali La Chapelle membaca adegan tragedi sampai akhir, dan mengaku sudah menaklukkan Racine, mengganggunya dengan pidato jelek salah satu rajanya, sebelum Boileau menembakkan 40
beberapa bola api yang membumbung ke langit malam tragedi, dengan cara mengalihkan pokok pembicaraan dari kolonade Louvre, di mana arsitek Dr. Perrault membelenggunya. Di kala tengah hari mencapai puncaknya, Nona Scudéri harus pergi ke Madame de Montansier. Jadi kunjungan ke René Cardillac harus ditunda sampai besok. Tapi pemuda itu selalu hadir di benaknya. Sejenis ingatan samar mencoba bangkit di dalam dirinya. Entah bagaimana dan kapan, dia pernah melihat wajah dan raut itu sebelumnya. Mimpimimpi berat mengganggu tidurnya. Dia merasa sudah bertindak ceroboh, dan layak disalahkan karena tidak langsung menyambar tangan meminta tolong yang diulurkan si pemuda malang. Bahkan dia merasa, tercegahnya suatu kejahatan keji bergantung pada dirinya. Begitu hal ini menjadi terang, dia segera berpakaian dan bertolak ke kediaman sang pandai besi seraya membawa perhiasan itu. Banyak orang berbondong-bondong ke arah Rue Niçaise (di mana Cardillac tinggal), berkumpul di pintu, berteriak-teriak, marah-marah, berdesakan, berusaha menyerbu ke dalam rumah, ditahan dengan susah-payah oleh Marechaussee yang menjaga tempat tersebut. Di tengah hiruk-pikuk liar itu terdengar suarasuara berteriak, “Robek-robek saja dia! Seret tangan dan kakinya, dasar pembunuh keparat!” Akhirnya Desgrais muncul, bersama sejumlah anak buah, dan membentuk jalur di antara kerumunan padat. Pintu terbuka, dan seseorang terbelenggu dibawa keluar, berbaris pergi di tengah-tengah kutukan khalayak yang murka. 41
Pada saat Nona Scudéri melihatnya, setengah kebas oleh rasa ngeri dan firasat suram, jeritan meratap menusuk telinganya. “Terus maju!” pekiknya kepada pengemudi. Memutar kudakuda dengan cepat dan cerdik, pengemudi berhasil memencarkan massa, lalu mendekat ke pintu rumah René Cardillac. Desgrais ada di sana, dan di bawahnya ada seorang gadis muda nan cantik, setengah berpakaian, rambut kusut, dan raut putus asa tak terobati, memegangi lutut, berteriak dengan penderitaan amat pahit dan dalam, “Dia tak bersalah! Dia tak bersalah!” Desgrais dan anak buah berusaha melepaskannya dan mengangkatnya dari tanah, sampai akhirnya seseorang yang kasar dan kuat mencengkeram lengannya, menyeretnya. Tergopoh-gopoh dia melepas gadis itu. Si gadis berguling-guling ke bawah tangga batu, dan terkapar di trotoar seperti orang mati. Nona Scudéri tak bisa menahan diri lagi. “Demi Kristus!” pekiknya, “apa yang terjadi? Ada apa di sini?” Cepat-cepat dia membuka pintu kereta kuda dan melangkah keluar. Kerumunan membukakan jalan untuknya dengan penuh hormat. Setelah satu atau dua wanita pengasih mengangkat si gadis, meletakkannya di atas tangga, dan menggosok alisnya dengan cairan ekstrak, Nona Scudéri menghampiri Desgrais, dan mengulang pertanyaannya sambil marah. “Terjadi sesuatu yang mengerikan,” kata Desgrais. “René Cardillac ditemukan tewas pagi ini, akibat tusukan belati. Pekerjanya, Olivier, adalah pembunuhnya, dan baru saja dibawa ke penjara.” 42
“Dan gadis itu—” “Madelon,” potong Desgrais, “puteri Cardillac. Penjahat itu kekasihnya, dan sekarang dia menangis dan meraung, berteriakteriak bahwa Olivier tidak bersalah—tidak cukup bersalah. Padahal dia tahu semuanya tentang kejahatan ini, dan aku harus memenjarakannya juga.” Sambil berbicara dia melempar lirikan mengancam dan jahat kepada si gadis, yang membuat Nona Scudéri merinding. Gadis itu kini mulai siuman, dan bernafas lemah, tapi belum mampu berbicara atau bergerak. Dia terbaring dengan mata terpejam. Orang-orang tidak tahu harus berbuat apa, apakah membawanya masuk, atau membiarkannya di situ sedikit lebih lama sampai pulih betul. Terharu, Nona Scudéri memandangi gadis polos ini dalam linangan air mata. Dia merasakan ketakutan Desgrais dan anak buahnya. Tiba-tiba langkah-langkah berat menuruni tangga, orangorang memikul jasad Cardillac. Mengambil keputusan cepat, Nona Scudéri berkata, “Aku akan bawa pulang gadis ini bersamaku. Selanjutnya terserah padamu, Desgrais.” Bisik-bisik setuju beredar di antara kerumunan. Dua wanita tadi mengangkat si gadis, semua orang berdesakan, seratus tangan terulur membantu, lalu dia digotong ke kereta kuda, sementara dari setiap bibir terucap doa untuk sang wanita baik hati yang telah menyelamatkannya dari penahanan dan persidangan. ***** 43
Madelon terbaring pingsan selama berjam-jam, tapi akhirnya upaya Seron—dokter paling terkenal di Paris kala itu—berhasil memulihkannya. Nona Scudéri meneruskan apa yang Serun mulai, menyorotkan sinar harapan ke dalam hati si gadis sampai arus deras air mata melegakannya. Dia pun sanggup menceritakan kisahnya, sesekali terpotong oleh penderitaan yang mengubah ucapan menjadi isakan: Dirinya terbangun di tengah malam oleh ketukan pelan di pintu, dan mengenali suara Olivier yang memintanya segera bangun, karena ayahnya sedang sekarat. Dia lompat, ketakutan, dan membukakan pintu. Olivier, pucat, tegang, bermandikan keringat, memimpin ke bengkel dengan langkah terhuyunghuyung; sementara dia mengikuti di belakang. Di sana ayahnya terbujur dengan mata berkaca-kaca, dan desahan kematian di kerongkongannya. Dia langsung merangkulnya, menangis liar. Dia melihat, ternyata kemejanya diliputi darah. Oivier mengangkat Madelon lemah-lembut, lalu sibuk membasuh luka di dada kiri ayahnya dengan balsem, dan memperbannya. Sementara itu ayahnya siuman. Desahan di kerongkongannya berhenti. Dia menatap puterinya lalu Olivier, penuh ekspresi. Diraihnya lengan sang
puteri,
kemudian
diletakkannya
di
lengan
Olivier,
menyatukan mereka berdua. Pasangan ini berlutut di samping ranjang ayahnya ketika dia bangkit dengan jeritan menusuk, tapi segera jatuh lagi sambil mendesau dalam, meninggalkan dunia ini. Mereka pun menangis dan meratap. 44
Olivier menceritakan bagaimana ayahnya dibunuh di depannya dalam sebuah ekpedisi malam itu, dan bagaimana dia susah-payah menggotongnya pulang, tidak mengira beliau terluka sekarat. Begitu mentari terbit, orang-orang rumah—yang mendengar langkah kaki mereka, tangisan dan ratapan mereka semalam— berdatangan dan mendapati mereka masih berlutut pilu di samping jasad sang pandai emas. Lalu hiruk-pikuk dimulai, Marechaussee menerobos masuk, Olivier ditahan sebagai pembunuh ayah Madelon. Gadis ini menambahkan cerita paling menyentuh tentang kebaikan, kemurahan, kesalehan, dan ketulusan Olivier, bagaimana dia menghormati majikannya seperti ayah sendiri, dan bagaimana sang ayah membalas kasih-sayangnya, memilihnya menjadi menantu meski melarat, karena keterampilan dan kesetiaannya sepadan dengan kemuliaan hatinya. Semua ini Madelon lalui karena keutuhan cintanya, dan dia menambahkan, andaikata Olivier menusukkan belati ke jantung ayahnya di depan matanya sendiri, dia akan menganggapnya sebagai tipudaya Setan daripada percaya bahwa Olivier sanggup berbuat sengeri itu. Sangat tersentuh oleh penderitaan Madelon, dan condong percaya pada ketidakbersalahan Olivier, Nona Scudéri melakukan penyelidikan, dan ternyata semuanya mengkonfirmasi perkataan Madelon tentang hubungan kekeluargaan antara sang majikan dan pekerjanya. Orang-orang rumah dan para tetangga semuanya menyebut Olivier sebagai teladan dalam perilaku yang baik, teguh, dan patut dicontoh. Setahu mereka tak ada cela darinya. Tapi 45
ketika kejahatan itu disinggung, semuanya mengangkat bahu, dan berpikir ada sesuatu yang tak bisa dimengerti. Olivier, dibawa ke hadapan Chambre Ardente, teguh menolak —sebagaimana Nona Scudéri ketahui—kejahatan yang dituduhkan padanya, dan bersikukuh majikannya diserang di jalan raya di depan matanya, lalu digotong dalam kondisi masih hidup, walau tidak bertahan lama. Ini sesuai dengan pernyataan Madelon. Berulangkali Nona Scudéri meminta diceritakan detil-detil kejadian dahsyat itu. Terutama dia menyelidiki apakah pernah ada pertengkaran antara Olivier dan ayahnya, apakah Olivier sama sekali bebas dari sifat tergesa-gesa yang kerap menyerang manusia berwatak baik layaknya penyakit gila, dan menggiring mereka melakukan perbuatan di luar kehendak. Tapi semakin antusias Madelon menceritakan kehidupan rumah nan damai yang mereka jalani bersama, dalam kasih-sayang tulus, semakin habis pula sisa kecurigaan terhadap Olivier. Memeriksa dan mempertimbangkan segalanya dengan cermat, berawal dari asumsi bahwa Olivier adalah pembunuh Cardillac, meski semua keterangan menunjukkannya tak bersalah, Nona Scudéri tidak menemukan motif untuk melakukan perbuatan keji itu, karena justru akan merusak kebahagiaannya sendiri. Miskin tapi cakap, dia berhasil meraih simpati majikan termasyhur, dia mencintai puterinya—sang majikan
mendukung
cintanya.
Kebahagiaan, keberuntungan
selama sisa hidupnya terbuka lebar di depannya. Maka, dengan asumsi bahwa—hanya Tuhan yang tahu penyebabnya—dia memang melakukan serangan mematikan kepada majikannya 46
dalam ledakan amarah, butuh kemunafikan hebat untuk bersikap seperti itu setelahnya! Yakin betul akan ketidakbersalahannya, Nona Scudéri memutuskan untuk menyelamatkan Olivier, apapun resikonya. Dia merasa, sebelum memohon kepada Raja secara langsung, sebaiknya pergi ke Presiden La Regnie, menguraikan semua keadaan yang menunjukkan ketidakbersalahan Olivier agar menjadi bahan pertimbangannya, dan barangkali menghidupkan keyakinan dalam pikirannya yang menguntungkan si tertuduh, dan tersampaikan kepada para hakim. La Regnie menyambutnya dengan segala perhatian yang pantas untuk wanita semulianya, yang dijunjung tinggi oleh Paduka Raja sendiri. Dia mendengarkan semua ceritanya tentang keadaan, pertalian, dan karakter Olivier, juga tentang kejahatan itu sendiri. Namun, senyumnya yang lembut tapi jahat memberi tanda bahwa permohonan Nona, peringatan Nona (diiringi cucuran air mata) bahwa seorang hakim semestinya tidak menjadi musuh si tertuduh, tapi siap mendengarkan apapun yang meringankannya, justru tidak sampai ke telinga tulinya. Ketika akhirnya Nona Scudéri selesai, cukup kelelahan dan menyeka air mata dari pipinya, La Regnie angkat bicara: “Kau memang baik hati, Nona,” katanya, tersentuh oleh air mata ala gadis remaja yang jatuh cinta, “kau pasti percaya semua yang dia katakan; tapi tak paham ide kejahatan menakutkan seperti ini. Lain halnya dengan Hakim, yang terbiasa merobek topeng kemunafikan dan pengelabuan yang busuk lagi tak tahu malu. 47
Tentu
saja,
aku
tak
berkewajiban
mengungkap
jalannya
persidangan pidana kepada siapapun yang ingin menyelidiki. Aku melakukan tugasku, Nona! Pendapat dunia tidak menyusahkanku sama sekali. Pelaku kejahatan pasti gemetar di hadapan Chambre Ardente, yang tak mengenal hukuman selain darah dan api. Tapi olehmu, Nona, aku takkan dipandang sebagai monster bengis dan biadab. Maka dari itu, perkenankan aku menyajikan secara singkat bukti kesalahan penjahat muda ini. Syukurlah pembalasan telah menimpanya. Dengan kecerdasanmu, sebentar lagi kau akan membuang rasa simpati dan kemurahanmu, yang menjadi kehormatan bagimu, tapi tidak cocok untukku. “Well! Pagi ini René Cardillac ditemukan terbunuh dengan tusukan belati, tak ada siapapun di dekatnya kecuali karyawannya, Olivier Brusson, dan puterinya. Di kamar Olivier ditemukan, di antaranya, belati diliputi darah segar yang pas dengan lukanya. Olivier bilang, ‘Cardillac diserang di jalan raya di depan mataku.’ “‘Apa niatnya untuk merampok?’ “‘Aku tidak tahu.’ “‘Kau sedang berjalan dengannya dan kau tidak mampu menghalau si pembunuh atau menahannya?’ “‘Majikanku berjalan lima belas atau mungkin enam belas kaki di depanku, aku mengikutinya.’ “‘Kenapa sejauh itu?’ “‘Majikanku yang menginginkannya.’ “‘Lantas apa urusan Maestro Cardillac di jalan raya selarut itu?’ 48
“‘Aku tak tahu.’ “‘Tapi dia tak biasa keluar setelah jam sembilan, kan?’ Olivier ragu, bingung, mendesah, menitikkan air mata, bersumpah bahwa Cardillac tidak pergi keluar malam itu, dan menjumpai ajalnya. “Nah, perhatikan, Nona, sudah terbukti dengan pasti bahwa Cardillac tidak meninggalkan rumah malam itu; konsekuensinya, pernyataan
Olivier
bahwa
dia
pergi
bersamanya
adalah
kebohongan tak tahu malu. Pintu rumah di jalan raya itu dikunci dengan gembok berat. Jika dibuka dan ditutup akan menghasilkan gaduh menusuk. Engsel pintunya juga berkeriat-keriut dan merintih. Sebagaimana dibuktikan dalam eksperimen, bunyi gaduhnya terdengar jelas dari lantai atas rumah. Nah, di lantai bawah, dekat pintu jalan raya, bermukim bapak Maître Claude Patru bersama pengurus rumahnya, yang umurnya hampir delapan puluh tahun, tapi masih bugar dan aktif. Mereka berdua mendengar Cardillac menuruni tangga persis jam sembilan, seperti kebiasaannya, menutup dan memalang pintu dengan berisik, kembali naik, membaca doa malam, lalu (ditebak dari penutupan pintunya) masuk ke kamar tidur. “Maître Claude Patru menderita sulit tidur seperti banyak kaum sepuh lainnya; dan di malam itu dia tak bisa memejamkan mata. Karenanya, sekitar jam setengah sepuluh, pengurus rumah menyalakan lampu di dapur, yang dicapai dengan melintasi lorong, dan duduk di meja di sisi majikannya sambil memegang buku kronik tua. Dia membacakannya keras-keras, sementara pak tua 49
memusatkan pikirannya pada bacaan, terkadang duduk di kursi lengan, terkadang mondar-mandir pelan untuk membangkitkan kantuk. Rumah sunyi sampai menjelang tengah malam; tapi kemudian mereka mendengar langkah-langkah kaki cepat di atas, dentaman berat sesuatu ke lantai, dan disusul erangan bergema. Mereka berdua diserang oleh rasa takut dan cemas. Kengerian melanda mereka. Ketika siang datang, apa yang dikerjakan dalam gelap menjadi terang.” “Tapi, demi nama para Santo,” pekik Nona Scudéri, “terkait keadaan yang sudah kuceritakan panjang-lebar padamu, menurutmu adakah motif untuk perbuatan jahat ini?” “Hmm!” balas La Regnie. “Cardillac bukan orang miskin. Dia menyimpan perhiasan berharga.” “Tapi semua miliknya akan turun pada puterinya! Kau lupa Olivier akan menjadi menantunya.” “Barangkali dia dipaksa berbagi dengan orang lain,” kata la Regnie, “atau berbuat itu untuk mereka!” “Berbagi! Membunuh untuk orang lain,” jerit Nona Scudéri keheranan. “Kau harus tahu, Nona,” sambung La Regnie, “darah Olivier sudah mengalir di Place de la Grève sebelum ini, kejahatannya terkait dengan misteri mendalam yang sudah lama merundung Paris. Jelas, Olivier adalah bagian dari gerombolan keji yang berbuat jahat tanpa tersentuh sama sekali, membingungkan semua upaya pemantauan atau pencarian kita. Melalui dirinya semua fakta akan, harus, ditemukan. Luka Cardillac sama persis dengan 50
luka semua orang yang dirampok dan dibunuh di jalanan dan rumah-rumah. Dan yang paling meyakinkan, sejak penahanan Olivier, perampokan dan pembunuhan berhenti, jalanan menjadi aman di malam hari. Bukti yang cukup bahwa Olivier kemungkinan besar adalah pentolan gerombolan. Hingga kini dia tak mau mengaku, tapi ada banyak cara untuk memaksanya bicara!” “Lantas Madelon!” pekik Nona Scudéri, “gadis polos yang jujur itu.” “Ah!” seru La Regnie, dengan senyum berbisa, “siapa yang bisa menjawab bahwa dia tak terlibat juga? Dia tak terlalu peduli pada ayahnya. Air matanya hanya untuk pemuda pembunuh itu.” “Apa?” pekik Nona Scudéri, “bukan untuk ayahnya? Gadis itu —mustahil!” “Oh,” lanjut La Regnie, “ingat kisah La Brinvilliers! Maaf kalau aku harus segera membawa gadis dalam lindunganmu itu, dan menempatkannya di Conciergerie.” Nona Scudéri merinding dengan gagasan seram ini. Dia merasa, kebenaran dan kebajikan takkan tahan dengan pria tak menyenangkan ini, yang seolah-olah mampu menemukan pembunuhan dan kesalahan di hati terdalam dan tersembunyi. Dia bangkit. “Bersikaplah manusiawi!” cuma itu yang sanggup dikatakannya dalam kondisi cemas dan tertekan. Sewaktu pergi menuruni tangga, diiringi formalitas penghormatan dari Presiden, sebuah ide aneh terlintas di benaknya—entah bagaimana. “Bolehkah aku menemui Olivier Brusson malang itu?” 51
tanyanya, berbalik tajam. La Regnie meneliti wajahnya, lalu tersenyum menjijikkan yang menjadi ciri khasnya. “Nona,” katanya, “kau pasti berpikir, karena lebih percaya pada perasaanmu sendiri—suara batinmu—daripada mata kita, kau ingin memeriksa kebersalahan atau ketidakbersalahan Olivier secara langsung. Jika kau tidak takut dengan sarang kejahatan yang suram itu, jika kau tidak benci melihat jenis-jenis kebejadan dalam segala gradasinya, maka pintu Conciergerie akan terbuka untukmu dua jam lagi. Olivier, yang nasibnya menarik simpatimu, akan dibawa ke hadapanmu.” Nona Scudéri betul-betul tak sampai hati mempercayai kebersalahan Olivier. Semua kesaksian memberatkannya. Bahkan, tak ada hakim di dunia ini yang akan berpikir sebaliknya selain La Regnie, meski kenyataannya tidak demikian. Tapi gambaran kebahagiaan rumahtangga yang diceritakan oleh Madelon di depan matanya dengan begitu gamblang, telah mengalahkan semua kecurigaan. Jadi dia lebih menyetujui hipotesis adanya misteri yang tak dapat dimengerti ketimbang mempercayai apa yang diberontak oleh hati nuraninya. Dia yakin Olivier akan menuturkan kejadian malam itu, dan dengan begitu dia dapat menembus lebih jauh ke dalam rahasia yang tak dilihat oleh hakim, lantaran mereka menganggapnya tak layak diselidiki. Tiba di Conciergerie, dia diajak ke sebuah ruangan besar dan terang. Kemudian terdengarlah dentingan belenggu. Olivier 52
Brusson dibawa masuk, tapi begitu melihatnya Nona jatuh pingsan. Setelah dia siuman, Olivier sudah tak ada. Dia buru-buru meminta diantar ke kereta kudanya, dia tak mau berada di tempat kejahatan dan keburukan itu lebih lama lagi, meski sedetikpun. Celaka! Sepintas saja dia sudah mengenali sosok pemuda yang melemparkan surat ke dalam kereta kudanya di Pont Neuf, yang membawakan kotak perhiasan untuknya. Kini semua keraguan lenyap, kecurigaan La Regnie beralasan. Olivier adalah anggota gerombolan kejam, dan tak diragukan lagi telah membunuh majikannya! Dan Madelon! Tak pernah tertipu begitu pahit oleh perasaannya sendiri, Nona Scudéri ragu apa ini betul-betul nyata— diserbu oleh kekuatan setan yang eksistensinya tidak dia percayai. Dia tak memungkiri kecurigaan bahwa Madelon bersumpah palsu, dan mungkin terlibat dalam tindakan berdarah itu. Dan sudah menjadi karakter pikiran manusia, ketika sebuah gagasan menghinggapinya, ia akan mencari dan menemukan warna-warna untuk melukis gagasan tersebut lebih gamblang. Dia menimbang dan mempertimbangkan seluruh kejadian dan perilaku Madelon. Ternyata banyak hal yang menimbulkan kecurigaan. Banyak hal yang sebelumnya dianggap sebagai bukti ketidakbersalahan kini menjadi bukti kemunafikan dan kelicikan. Jeritan meluluhkan dan tangisan tersedu-sedu itu mungkin disebabkan oleh rasa takut bahwa kekasihnya akan bermandikan darah—bukan, tapi takut dirinya jatuh ke tangan algojo. Bertetap hati untuk mengusir ular yang dirawatnya, Nona 53
Scudéri turun dari kereta kuda. Madelon bersimpuh di kakinya dengan
tatapan
surgawi—tulus
bagai
malaikat—tangannya
mendekap dada yang turun-naik. Dia mencucurkan air mata, memohon pertolongan dan pelipur. Bersusah-payah mengendalikan diri dan berbicara setenang mungkin, Nona Scudéri berkata, “Pergi dari sini! Pergi! Bersyukurlah karena pembunuh itu sedang menanti hukuman yang pantas untuk kejahatannya. Semoga kesalahan tidak membebani kepalamu juga.” Setelah menjerit, “Celaka! Kalau begitu semuanya sudah berakhir!” Madelon jatuh pingsan. Nona Scudéri menyerahkannya pada La Martinière dan pergi ke ruangan lain. Kesusahan dan terasing dari segala hal duniawi, dia ingin pergi dari dunia yang dipenuhi pengkhianatan dan kepalsuan. Dia mengeluhkan takdir yang telah memberinya hidup panjang untuk memperkuat keyakinannya akan kebenaran dan kebajikan, tapi justru menghancurkan angan indah di usia tua yang telah menerangi jalannya selama ini. Dia mendengar Madelon, yang dituntun pergi oleh La Martinière, menggumam dalam akses terputus-putus, “Dia juga sudah ditipu oleh orang-orang itu. Ah! Sialnya diriku! Malangnya Olivier!” Nada suaranya menyentuh hati Nona, dan sekali lagi timbul keyakinan akan adanya suatu misteri, keyakinan akan tidak bersalahnya Olivier. Dicabik-cabik oleh perasaan kontradiktif, dia berteriak, “Roh jahat apa yang sudah membuatku bingung dalam kisah buruk ini! Bisa-bisa aku mati karenanya!” Pada saat itulah Baptiste masuk, pucat dan ketakutan, untuk 54
memberitahukan bahwa Desgrais ada di depan pintu. Sejak persidangan La Voisin yang mengerikan, kemunculan Desgrais di sebuah rumah menjadi tanda pasti adanya suatu tuduhan pidana. Pantaslah Baptiste merasa ngeri. Karena itu majikannya bertanya sambil tersenyum lembut, “Ada apa, Baptiste? Apa nama Scudéri ada dalam daftar La Voisin?” “Ah! Demi Kristus,” pekik Baptiste, seluruh tubuhnya gemetar, “bagaimana Nona bisa berkata begitu? Tapi Desgrais—si seram Desgrais—terlihat misterius, dan bersikeras—dia tak sabar ingin bertemu Nona.” “Well, Baptiste,” katanya, “persilakan dia masuk, orang yang membuatmu ketakutan ini. Aku sama sekali tak cemas dengannya.” ***** “Presiden La Regnie mengutusku kemari, Nona,” kata Desgrais saat masuk, “dengan permintaan yang hampir tak sanggup beliau sampaikan andai kau bukan orang yang baik hati dan berani, andai harapan terakhir untuk mengungkap kekejaman berdarah tidak terletak di tanganmu, andai kau tidak menaruh perhatian (dan memikul peran) dalam kasus ini, yang membuat Chambre Ardente dan kami semua terus-terusan tegang. Sejak melihatmu, Olivier Brusson jadi gila. Dia tetap bersumpah dirinya sama sekali tak bersalah atas kematian René Cardillac, meski siap menanggung hukuman yang pantas didapatnya. Perhatikan, Nona, pengakuan terakhir barusan jelas mengacu pada kejahatan lain di mana dirinya 55
bersalah. Tapi segala upaya untuk membuatnya bicara telah gagal. Dia memohon dan memelas agar diperkenankan bicara denganmu. Kepadamu saja dia mau memberitahukan segalanya. Maka dari itu sudilah kiranya Nona mendengarkan pengakuan Brusson.” “Apa?” pekik Nona Scudéri naik darah, “aku menjadi alat pengadilan pidana, dan menyalahgunakan kepercayaan orang malang ini untuk membawanya ke tiang gantungan! Tidak, Desgrais! Walau dia bajingan dan pembunuh, aku tak bisa memperdaya dan mengkhianatinya sekejam itu. Aku tak ada urusan dengan pengakuannya. Kalaupun ada, akan kukunci dalam hatiku, seperti segel pengakuan dosa yang dibuat pendeta.” “Boleh jadi, Nona,” kata Desgrais, tersenyum tipis, “kau akan berubah pendapat setelah mendengarkan Brusson. Bukankah kau meminta Presiden agar bersikap manusiawi? Sekarang beliau mengalah pada keinginan konyol Brusson, dan mencoba upaya yang lebih bijak—dan terakhir—sebelum berpaling pada alat siksa, karena Brusson sudah lama matang untuk itu.” Nona Scudéri merinding di luar kemauan. “Aku mengerti, Nona,” sambungnya, “kau tidak mungkin datang kembali ke sel bawah tanah suram itu, yang belakangan merasukimu dengan kengerian dan kebencian. Olivier akan dibawa ke rumahmu sendiri, di malam hari, layaknya orang merdeka. Apa yang dia katakan takkan kami dengar. Tapi tentu saja akan ada pengawal yang menemaninya. Jadi dia bisa bercerita dengan leluasa dan tanpa kekangan. Adapun resiko yang mungkin kau hadapi saat berjumpa orang itu, nyawaku menjadi jaminannya. Dia 56
membicarakanmu dengan rasa hormat yang tinggi. Dia bersumpah, misteri gelaplah yang mencegahnya menemuimu lebih awal, sampai akibatnya dia celaka. Sebagai tambahan, terserah Nona, mau menceritakan pengakuan Brusson atau tidak, sebanyak apapun, sesedikit apapun, terserah. Ada lagi yang menghalangimu?” Nona Scudéri duduk dengan mata terpaku ke lantai, termenung. Dia merasa tak punya pilihan selain mematuhi Yang Maha Tinggi yang menuntutnya menjernihkan misteri ini—seakan tak ada jalan lari dari tugas aneh di mana dia terperangkap tanpa dikehendakinya. Mengambil keputusan cepat, dia menjawab sungguh-sungguh, “Tuhan akan memberiku bimbingan dan keteguhan. Bawa Brusson ke sini, aku akan menemuinya.” ***** Seperti di malam datangnya kotak perhiasan itu, kini di tengah malam pula pintu diketuk. Baptiste, sesuai perintah, membukakannya. Darah Nona Scudéri menjadi dingin saat mendengar langkah berat para pengawal Brusson menempatkan diri di sekitar lorong-lorong. Pintu dibuka, Desgrais masuk, disusul Olivier Brusson, tanpa belenggu, berpakaian sopan. “Ini Brusson, Nona,” kata Desgrais, membungkuk hormat, lalu pergi. 57
Brusson jatuh berlutut di depan Nona Scudéri. Wajahnya memancarkan ekspresi murni dan bersih dari jiwa yang jujur, meski dipelintir dan disimpangkan oleh kengerian dan rasa pahit. Semakin lama Nona memandanginya, semakin gamblang ingatan tentang seseorang yang sangat dicintainya—entah siapa. Setelah perasaan ngeri pergi, dia lupa bahwa si pembunuh Cardillac sedang berlutut di hadapannya. Lalu dengan nada niat baik yang menjadi karakter alaminya, dia berkata: “Nah, Brusson, apa yang ingin kau katakan padaku?” Brusson, masih berlutut, mendesah dalam, karena kepedihan mendalam, dan menyahut: “Oh, Nona, kau yang begitu kuhormati dan kupuja, tak adakah jejak ingatan tentang diriku yang tersisa dalam benakmu?” Masih memandanginya, dia mengaku menemukan kemiripan di wajahnya dengan seseorang yang disayanginya, dan karena inilah rasa takutnya kepada sang pembunuh teratasi, sehingga sanggup mendengarkan dengan tenang. Terluka oleh perkataannya, Brusson cepat-cepat bangkit, dan mundur selangkah, menatap muram ke lantai. Lalu, dengan suara bergema, dia berkata, “Apa kau sudah lupa dengan Anne Guiot? Puteranya, Olivier, bocah yang biasa kau timang di atas lututmu, ada di hadapanmu sekarang.” “Oh! Demi kasih para Santo!” pekiknya, menutupi muka dengan kedua tangan dan merosot di kursi. Dia punya alasan untuk sekaget ini. Anne Guiot, puteri seorang warga yang jatuh miskin, dulu tinggal bersama Nona Scudéri sejak kecil. Dia membesar58
kannya seperti anak sendiri, penuh kasih-sayang dan perhatian. Setelah anak itu tumbuh dewasa, seorang pemuda tampan dan sopan bernama Claude Brusson jatuh cinta padanya. Karena dia pekerja kelas satu di bidang pembuatan dan perbaikan jam, yang tentunya menghasilkan pendapatan besar, ditambah lagi Anne sangat menyukainya, Nona Scudéri tak punya alasan untuk keberatan dengan rencana pernikahan mereka. Maka mereka pun membangun rumah, menjalani hidup berumahtangga yang damai dan bahagia, dan ikatan di antara mereka semakin erat dengan lahirnya bocah paling tampan, pantulan kecantikan ibunya. Nona Scudéri memuja Olivier kecil, yang sering diambil dari ibunya selama berjam-jam dan berhari-hari, untuk ditimang dan diciumi. Karena itu sang bocah merasa erat dengannya, dan senang berada bersamanya seperti dengan ibu sendiri. Setelah tiga tahun berlalu, kondisi bisnis Brusson yang tertekan membuat pekerjaan semakin langka setiap harinya, sampai akhirnya dia hanya sanggup mendapatkan roti untuk makan mereka sekeluarga. Selain itu, timbul rasa rindu pada kampung halamannya, Jenewa yang indah. Maka keluarga itu pindah ke sana, meski Nona Scudéri sudah mencegah mereka dan menjanjikan bantuan barang-barang kebutuhan. Anne menulis surat satu atau dua kali kepada ibu angkatnya, lalu berhenti. Nona Scudéri mengira dirinya telah dilupakan dalam kebahagiaan hidup Brusson. Sekarang persis sudah 23 tahun sejak keluarga Brusson meninggalkan Paris menuju Jenewa. “Celaka!” pekik Nona Scudéri, setelah agak pulih, “kau, 59
Olivier! Putera Anne-ku! Dan sekarang!” “Nona!” kata Olivier tenang dan sabar, “pasti kau tak pernah mengira bocah yang kau sayangi dengan kelembutan seorang ibu, yang kau timang di atas lututmu, yang kau beri gula-gula, akan berdiri di depanmu sebagai terdakwa pembunuhan setelah dewasanya. Aku sama sekali tak bersalah! Chambre Ardente menuduhku berbuat kejahatan, tapi aku berharap untuk mati sebagai seorang Kristen, meskipun di tangan algojo—aku bebas dari semua kesalahan. Bukan karena tanganku—bukan karena kejahatanku Cardillac menjemput ajal.” Seraya mengatakan ini Olivier mulai gemetar dan bergoncang. Nona Scudéri memberi isyarat agar dia duduk di kursi kecil tak jauh darinya. “Aku punya cukup waktu,” sambungnya, “untuk persiapan berbicara denganmu—yang kuanggap sebagai anugerah terakhir dari Tuhan—dan untuk meraih ketenangan dan pengendalian diri demi menceritakan kisah naasku. Karena itu, sudilah mendengarkanku dengan tenang, apapun kengerian yang kau rasakan dari penyingkapan misteri yang tak pernah terpikirkan sedikitpun. Ah! Andai saja ayahku tak pernah meninggalkan Paris! Sepanjang ingatanku tentang Jenewa, aku hanya ingat air mata orangtuaku yang tak terlipur, dan air mataku sendiri saat menyaksikan ratapan mereka yang tak kupahami. Kemudian, aku mengerti sepenuhnya —tentang kemiskinan pahit dan parah, serba kekurangan dan kemelaratan
hidup
mereka. Ayahku
tertipu
dalam
semua
harapannya. Bungkuk dan sakit karena kepedihan, dia meninggal 60
setelah berhasil menempatkanku sebagai pekerja magang di seorang pandai emas. Ibuku banyak membicarakanmu, dia ingin menceritakan semua kemalangannya, tapi kemurungan yang lahir dari kemiskinan menghalanginya. Itu, dan juga keseganan semu, yang sering menggerogoti hati terluka, membuatnya mengurungkan niat. Dia menyusul ayahku beberapa bulan kemudian.” “Anne yang malang! Anne yang malang!” ucap Nona Scudéri, diliputi dukacita. “Aku bersyukur dia telah tiada dan tak menyaksikan putera tercintanya roboh, dengan cap buruk, di tangan algojo,” jerit Olivier keras, memandang liar ke angkasa. Tiba-tiba di luar terdengar gejolak; suara orang-orang yang mondar-mandir. “Ho, ho!” katanya, tertawa kecut. “Desgrais sedang membangunkan anak buahnya, dikiranya aku mau kabur. Tapi, biar kulanjutkan. Majikan memperlakukanku dengan kasar, tapi aku segera menjadi salah satu pekerja terbaik dan bahkan lebih baik darinya. Suatu kali seorang asing datang ke bengkel untuk membeli karya kami. “Ketika melihat kalung buatanku, dia menepuk pundakku dengan ramah, lalu berkata sambil mengagumi kalungku, ‘Ah, ha! Anak muda, ini betul-betul karya kelas satu. Tak ada yang mampu mengalahkannya selain René Cardillac, pandai emas terhebat. Pergilah kepadanya. Dia akan senang memilikimu. Tak ada selain dirimu yang akan sangat berguna baginya, dan tak ada selain dirinya yang bisa mengajarimu apapun.’ “Kata-kata orang asing itu meresap ke dalam hatiku. Tak ada ketenangan lagi bagiku di Jenewa. Aku terdorong kuat untuk 61
meninggalkannya, dan akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari majikanku. Aku datang ke Paris, di mana René Cardillac menerimaku dengan dingin dan kasar. Tapi aku berpegang pada pendirianku. Dia terpaksa memberiku sesuatu untuk menguji keterampilanku, betapapun sepele. Jadi aku mendapatkan cincin untuk diselesaikan. Ketika aku membawanya kembali dalam keadaan beres, dia memandangku dengan berbinar-binar, seakan tatapannya menembusku. Lalu dia berkata, ‘Kau orang hebat— unggul. Kau boleh ikut kerja denganku. Aku akan memberimu upah yang bagus. Kau akan puas denganku.’ Dan dia menepati janjinya. Setelah beberapa pekan bersamanya, aku bertemu Madelon yang kukira sedang mengunjungi bibi Cardillac di desa. Akhirnya dia pulang. Ya Tuhan, ada apa denganku saat melihat makhluk bagai malaikat itu! Adakah pria yang pernah jatuh cinta melebihiku! Dan sekarang! Oh Madelon!” Olivier tak sanggup berbicara lagi karena sedih. Dia menutupi muka dengan kedua tangan, dan terisak-isak keras. Akhirnya dia bersusah-payah menaklukkan rasa sakitnya, dan melanjutkan: “Madelon memandangku dengan baik, dan semakin sering masuk ke bengkel. Ayahnya mengawasi, tapi kami sering berjabat tangan diam-diam, yang menandai perjanjian kami. Cardillac rupanya tidak memperhatikan. Rencanaku adalah, jika aku bisa memperoleh simpatinya dan mencapai peringkat Maestro, aku akan meminta restunya untuk pernikahan kami. Suatu pagi, saat aku masuk untuk memulai pekerjaan, dia menghampiriku dengan raut marah dan jijik. 62
“‘Aku tak butuh lagi kerjamu,’ katanya. ‘Keluar dari rumah ini, dan jangan sampai aku melihatmu lagi. Tak perlu kusebutkan alasannya. Buah cantik yang coba kau petik sama sekali tak pantas untuk pengemis seperti dirimu!’ “Aku berusaha bicara, tapi dia merenggutku dan mendorongku keluar pintu dengan kasar hingga aku terjatuh. Kepala dan lenganku terluka. Geram, dan kesakitan, aku pun pergi, dan akhirnya menemukan kenalan baik hati di Faubourg St. Germain, yang memberiku tempat tinggal di lotengnya. Aku tidak bisa tenang ataupun tidur. Malam harinya aku keluyuran di sekitar rumah Cardillac, berharap Madelon akan mendengar desahan dan ratapanku, dan barangkali berbicara padaku lewat jendela, tanpa ketahuan. Segala jenis rencana nekat untuk membujuknya, memenuhi kepalaku. Rumah Cardillac di Rue Niçaise berbatasan dengan tembok tinggi berceruk, yang memuat patung-patung tua setengah rusak. “Suatu malam aku berdiri dekat salah satu patung itu, mendongak ke jendela-jendela rumah yang terbuka ke halaman di balik tembok. Tiba-tiba aku melihat cahaya di bengkel Cardillac. Waktu itu tengah malam, dan dia tak pernah terjaga pada jam segitu, karena selalu pergi tidur jam sembilan tepat. Jantungku berdebar gelisah. Kupikir mungkin terjadi sesuatu, dan dengan begitu aku boleh masuk ke rumah. Tapi cahaya itu hilang lagi. Aku menghimpit ke dalam ceruk, dan memepet patung, tapi aku terperanjat ketakutan, merasakan pepetanku berbalas, seolah patung itu menjadi hidup. Di bawah cahaya bulan redup aku 63
melihat batu itu perlahan-lahan berputar, dan di belakangnya tampak sosok gelap yang berjalan keluar pelan-pelan dan menuruni jalan raya dengan langkah diam-diam. Aku loncat ke patung, yang kembali berdiri dekat tembok seperti sediakala. Di luar kemauan, seakan dipaksa oleh suatu kekuatan di dalam diriku, aku membuntuti sosok gelap itu. Saat melewati patung Perawan Suci, sosok ini menoleh, cahaya lampu di depan patung mengenai wajahnya. Ternyata Cardillac! Rasa takut tak terlukiskan menyergapku, rasa ngeri menguasaiku. “Seperti didorong oleh suatu mantera, aku merasa harus mengikuti pelindur bagai hantu ini—begitulah yang kupikirkan tentang majikanku saat itu, meski tidak sedang bulan purnama, waktu di mana dorongan seperti itu menyerang para pelindur. Akhirnya Cardillac menghilang dalam bayangan pekat, tapi berdasarkan bunyi tertentu yang terdengar jelas, aku bisa tahu bahwa dia masuk ke dalam gerbang sebuah rumah. Apa artinya ini? Aku bertanya-tanya keheranan, apa yang akan dia perbuat? Aku menghimpit ke tembok. Tiba-tiba muncul seorang lelaki, bersenandung dan bernyanyi, dengan bulu putih yang kentara dalam gelap, dan pacu-pacu berdentingan. Cardillac menerjangnya dari kegelapan, seperti macan dengan mangsanya. Lelaki itu roboh sambil megap-megap. Aku bergegas mendekat dengan pekikan ngeri. Cardillac mencondong di atasnya. “‘Maestro Cardillac, sedang apa kau?” teriakku. “‘Terkutuk kau!’ balasnya lalu berlari melewatiku secepat kilat, dan menghilang. 64
“Hilang akal—nyaris tak mampu melangkah—aku menghampiri lelaki yang tergeletak itu, lalu berlutut di sampingnya, berharap masih dapat diselamatkan. Tapi nyawanya sudah tak ada. Dalam keadaan cemas aku hampir tak sadar bahwa Marechaussee sudah datang dan mengepungku. “‘Ada satu lagi yang dijatuhkan oleh para iblis itu!’ pekik mereka serempak. ‘Ah! Ha! Anak muda, apa yang sedang kau lakukan di sini? Apa kau bagian dari gerombolan itu?’ Mereka menangkapku. Aku bicara sejelas mungkin bahwa aku tak mungkin melakukan perbuatan seburuk itu, dan meminta mereka melepasku. Lalu salah satu dari mereka mengangkat lentera ke wajahku, dan berkata sambil tertawa: ‘Ini Olivier Brusson, pandai emas yang bekerja di Maestro René Cardillac yang terhormat. Dia membunuh orang-orang di jalan! Sangat mungkin! Siapa yang pernah dengar ada pembunuh meratapi mayat korbannya, dan membiarkan dirinya tertangkap basah? Ceritakan semuanya, bocah, terus-terang saja.’ “‘Tepat di depan mataku,’ jawabku, ‘seseorang menerjang pria ini, menusuknya, dan lari secepat kilat. Aku berteriak sekeras mungkin. Aku berusaha memeriksa kalau-kalau dia dapat diselamatkan.’ “‘Tidak, nak,’ seru salah satu dari mereka yang mengangkat mayat, ‘dia sudah tewas! Tikaman belati menembus jantungnya seperti biasa.’ “‘Astaga!’ timpal yang lain, ‘terlambat lagi seperti dua hari yang lalu.’ Kemudian mereka membawa mayatnya. 65
“Aku tak mengerti semua ini. Aku mencubit diriku sendiri, apakah aku sedang bermimpi buruk? Aku harus segera bangun, dan mengagumi keanehan mimpiku. Cardillac—ayah Madelon— pembunuh kejam! Aku merosot tak berdaya di tangga batu sebuah rumah. Hari semakin terang. Sebuah topi perwira berbulu halus tergeletak di trotoar di hadapanku. Perbuatan berdarah Cardillac yang dilakukan di tempat ini kembali tergambar jelas dalam batinku. Aku lari ketakutan. “Dengan pikiran berputar-putar, hampir tak sadar, aku duduk di lotengku. Lalu pintu terbuka, dan masuklah René Cardillac. “Demi Kristus! Apa maumu?” teriakku. Namun dia tak menghiraukan, dan mendekat dengan tenang dan sopan seraya tersenyum, yang menambah rasa ngeriku. Dia menarik sebuah bangku reyot tua dan duduk di sampingku. Aku tak mampu beranjak dari ranjang jerami. “‘Well, Olivier,’ katanya, ‘apa kabarmu, bocah malang? Sebetulnya aku terlalu gegabah mengusirmu. Aku merindukanmu di setiap kesempatan. Sekarang aku punya pekerjaan yang tak bisa diselesaikan tanpamu. Kau tak mau kembali bekerja denganku? Kau tak menjawab. Ya, aku tahu, aku sudah menghinamu. Aku tak mau berpura-pura tidak marah atas pendekatanmu pada Madelon. Tapi aku sudah memikirkan ulang masalah ini, dan aku pikir tak ada menantu yang lebih baik darimu, dengan segala kemampuan, keterampilan,
ketekunan,
dan
keterpercayaanmu.
Pulanglah
denganku, kau dan Madelon sangat serasi.’ “Kata-katanya menusuk hatiku. Aku merinding dengan 66
kejahatannya. Tak sanggup berucap sepatah kata pun. “‘Kau ragu,’ katanya tajam, matanya yang berseri-seri terpancang padaku. ‘Barangkali kau tak bisa pulang hari ini. Karena ada urusan lain. Barangkali kau ingin menemui Desgrais, atau ada tanya-jawab dengan D’Argenson atau La Regnie. Awas, nak, cakar yang menerkam orang lain, jangan sampai mengoyakmu.’ Mendengar ini semangatku yang terasa berat menemukan saluran pelampiasan. “‘Orang-orang,’ kataku, ‘yang sadar dengan kejahatan kejinya mungkin merasa takut pada nama-nama yang kau sebutkan, tapi aku tidak. Aku tak punya urusan dengan mereka.’ “‘Ingat, Olivier,’ lanjutnya, ‘kau sudah mendapat kehormatan bekerja denganku—Maestro paling masyhur di masanya, di manamana dipuji akan kejujuran dan kebaikannya. Fitnah keji apapun akan kembali kepada penyebarnya. Adapun soal Madelon, harus kukatakan padamu bahwa kau mesti berterima kasih padanya. Karena dialah aku mengalah. Dia mencintaimu dengan curahan perasaan yang tak pernah kukira. Tak lama setelah kau pergi, dia bersimpuh di kakiku, mendekap lututku dan bersumpah dalam cucuran air mata, bahwa dia tak sanggup hidup tanpamu. Kupikir ini cuma imajinasi. Anak muda selalu merasa akan mati karena cinta setiap kali pemuda berwajah pucat menatap mereka sedikit ramah. Tapi Madelon betul-betul jatuh sakit, dan saat aku memintanya untuk berhenti beromong-kosong, dia memanggilmanggil namamu berulangkali. Tadi malam aku memberitahunya bahwa aku mengalah dan menyetujui semuanya, dan akan 67
menjemputmu hari ini. Jadi pagi ini dia mekar lagi seperti mawar, dan menunggumu penuh harap.’ “Semoga
Tuhan
memaafkanku,
tapi—entah
bagaimana
kejadiannya—tiba-tiba aku mendapati diriku berada di rumah Cardillac, di mana Madelon, dengan teriakan ‘Olivier! Olivier-ku! Kekasihku! Suamiku!’ merangkulku, dan memelukku ke dadanya, dan aku, dalam kebahagiaan total, bersumpah demi perawan Suci dan semua Santo, takkan pernah meninggalkannya.” Dilanda kenangan tentang momen penting ini, Olivier terpaksa berhenti. Kaget dengan kejahatan seseorang yang mulanya dipandang sebagai penjelmaan ketulusan dan kebaikan, Nona Scudéri memekik: “Mengerikan! René Cardillac ternyata anggota gerombolan pembunuh yang sudah sekian lama menjadikan Paris sarang perampok!” “Anggota gerombolan, katamu, Nona?” ujar Olivier. “Tak pernah ada gerombolan. René Cardillac sendirian mencari dan menemukan korban-korbannya dengan akal bulus dan aktivitas jahat. Berkat kesendirian inilah dia tak terjamah hukuman— mustahil jejak pembunuh ditemukan. Tapi izinkan aku melanjutkan. Cerita berikut ini akan menjernihkan misteri, dan menyingkap rahasia manusia paling jahat sekaligus paling malang. Kau sekarang tahu sikapku terhadap majikanku. Langkah pun diambil, aku tak bisa mundur. Berkali-kali aku merasa menjadi antek Cardillac dalam pembunuhan, dan karena cinta Madelon semata aku melupakan sementara rasa sakit yang menyiksa batinku, karena dampingannya semata aku bisa mengusir semua jejak 68
kengerian dari penampilan luarku. Saat bekerja dengan pak tua itu di bengkel, aku tak mampu memandang wajahnya, hampir tak mampu berbicara sepatah katapun, lantaran kengerian yang meliputiku di depan makhluk jahat ini, yang menunaikan tugas sebagai ayah yang lembut dan warga yang baik, sementara malam membungkus kekejiannya. Madelon, murni dan saleh bagai malaikat, sangat menyayanginya. Hatiku tercabik bila memikirkan hal tersebut. Seandainya pembalasan menimpa penjahat bertopeng ini, dia akan menjadi korban keputusasaan paling mengenaskan. Aku pun bungkam, meski konsekuensi kebungkamanku adalah kematian sebagai penjahat. Walau sudah banyak yang kuhimpun dari perkataan Marechaussee, tetap saja kejahatan Cardillac, motif dan cara pelaksanaannya, masih menjadi teka-teki bagiku. Jawabannya segera muncul.” “Suatu hari, Cardillac, yang biasanya membuatku ngeri dengan tawa dan candanya dalam semangat tinggi selama kami bekerja— tampak muram dan termenung. Tiba-tiba dia melempar benda yang sedang dikerjakannya, sampai mutiara dan batu-batu lain bergulir di lantai. Dia bangkit dan berkata, ‘Olivier! Kita tidak bisa seperti ini terus, aku tak tahan dengan situasi ini. Semua upaya Desgrais dan anak buahnya telah gagal, tapi kesempatan jatuh ke tanganmu. Kau menyaksikan pekerjaan malamku. Aku dipaksa oleh Bintang Jahat, tak mungkin aku melawan. Dan kau dituntun oleh Bintang Jahat-mu untuk membuntutiku, membungkus dan menyembunyikanmu dalam mantel tak tertembus, memberi keringanan pada langkahmu sehingga kau mampu bergerak bersama binatang69
binatang kecil tak bersuara, akibatnya aku—yang biasanya mampu melihat dengan jernih di malam hari seperti harimau, dan mendengar bunyi yakni dengungan agas paling pelan di kejauhan —tidak melihatmu. Bintang Jahat-mu membawamu padaku, rekanku—kaki-tanganku! Kau paham sekarang, kau tak bisa mengkhianatiku. Karena itu kau harus tahu semuanya.’ “Aku ingin berteriak: ‘Takkan pernah, takkan pernah mau aku menjadi rekanmu, kaki-tanganmu, dasar penjahat kejam.’ Tapi kengerian akibat ucapannya telah melumpuhkan lidahku. Aku hanya mengeluarkan suara yang tak bisa dimengerti. Cardillac duduk lagi di kursi kerjanya, menyeka keringat dari dahinya, dan tampak kesulitan menguasai diri, diserang oleh ingatan masa lalu. Akhirnya dia berkata: ‘Orang bijak banyak bicara tentang dorongan aneh yang menghampiri wanita hamil, dan pengaruh aneh yang ditimbulkan dorongan tersebut terhadap bayinya. Ibuku pernah
menceritakan
sebuah
kisah
mengherankan.
Ketika
mengandungku satu bulan, dia, bersama para perempuan lain, menonton arak-arakan istana di Trianon, dan melihat seorang prajurit berkuda dalam setelan Spanyol, dengan kalung permata gemerlapan di lehernya. Dia tak bisa mengalihkan pandangan dari benda itu. Dia menginginkan batu-batu berkilau itu, yang menurutnya sangat indah. Dulunya, sebelum ibuku menikah, si prajurit bermaksud memacarinya, tapi ibuku menolak sambil marah-marah. Ibuku masih mengenalinya, tapi sekarang, diterangi cahaya batu permata, dia bagai makhluk dari langit, jelmaan keindahan. Prajurit itu memperhatikan tatapan harap ibuku yang 70
berapi-api, dan merasa kali ini lebih beruntung daripada dulu. “‘Dia berhasil mendekati ibuku, memisahkannya dari temanteman, dan mengajaknya ke tempat sepi. Di sana dia mendekapnya. Ibuku memegangi kalung indah itu, tapi pada saat itulah si prajurit roboh, ibuku ikut terseret. Entah karena penyakit apopleksi, atau apa, aku tak tahu, tapi dia mati. Ibuku berjuang melepaskan diri dari dekapan lengannya yang kaku, tapi sia-sia. Dengan mata hampa yang tertuju padanya, dan penglihatan yang telah pergi, jasad itu berguling-guling bersamanya. Jeritan ibuku akhirnya terdengar oleh orang-orang yang melintas di kejauhan. Mereka buru-buru mendekatinya, dan menyelamatkannya dari rangkulan kekasih yang menyeramkan ini. “‘Rasa takut membuatnya jatuh sakit yang teramat parah. Dia, dan aku, tak punya harapan untuk hidup. Tapi dia sembuh, dan persalinannya lebih lancar daripada yang diperkirakan. Tapi teror momen dahsyat itu sudah mengincarku. Bintang Jahat-ku telah terbit, dan ke dalam diriku melesat berkas-berkas cahaya yang menyalakan hasrat paling aneh dan paling mencelakakan. Bahkan di masa kanak-kanak aku berpikir tak ada yang menandingi berlian berbingkai emas. Ini dianggap sebagai khayalan anak kecil, padahal bukan. Waktu kecil aku mencuri emas dan perhiasan di manapun aku menemukannya, dan aku tahu perbedaan antara yang bagus dan yang jelek, sangat jelas, seperti penilai karya seni yang ulung. Aku hanya tertarik pada yang murni dan bernilai, aku tak mau menyentuh emas campuran atau buatan. Hasrat bawaan lahir itu diawasi oleh hukuman keras ayahku. Tapi, agar selalu 71
berurusan dengan emas dan batu mulia, aku menerima panggilan hidup menjadi pandai emas. Aku menjalaninya penuh gairah, dan segera menjadi maestro pertama dalam seni ini. Lalu dimulailah periode di mana bakat alami dalam diriku, yang sudah lama terkekang, muncul dengan kuat, melonjak dengan hebat, menyapu apapun di depannya. Segera setelah menyelesaikan sebuah karya dan mengantarkannya, aku jatuh ke dalam kegelisahan dan kesedihan yang menghalangi tidurku, mengganggu kesehatanku, dan merampas kesenangan hidupku. Orang yang kubuatkan karya itu membayangiku siang malam, seperti hantu. Aku terus-menerus melihatnya di depan mata batinku, mengenakan perhiasan indahku, lalu sebuah suara membisikiku terus-menerus: ‘Itu milikmu! Cepat ambil! Apa gunanya berlian untuk orang mati?’ Akhirnya aku pergi mencuri. Aku punya akses ke rumah-rumah orang mulia. Aku manfaatkan setiap kesempatan dengan cepat. Tak ada gembok yang mempan dengan keterampilanku, dan segera aku mendapatkan kembali karyaku. Tapi ini tidak cukup menenangkan keresahanku. Suara misterius itu terdengar lagi, mengejekku, dan berkata: ‘Ho, ho! Salah satu orang mati itu mengenakan perhiasanmu.’ Entah dari mana datangnya, tapi aku menyimpan kebencian tak terlukiskan kepada semua orang yang kubuatkan perhiasan. Lebih dari itu, di dalam hatiku aku mulai ingin membunuh mereka. Ini membuatku takut. Saat itulah aku membeli rumah ini. Aku menyepakati harga dengan pemiliknya, di sini, di ruang kita duduk ini, sambil meminum sebotol anggur untuk menghormati transaksi.’ 72
“‘Malam tiba, dia hendak pergi ketika bilang padaku: ‘Dengar, Maître René, sebelum pergi aku harus memberitahukan rahasia rumah ini.’ Dia membuka lemari makanan, yang dibangun ke dalam tembok di sana, dan mendorong bagian belakangnya. Itu mengantarkannya ke dalam ruang kecil, di mana dia membungkuk dan mengangkat pintu kolong. Pintu ini memperlihatkan sebuah tangga sempit nan curam. Kami pun menuruninya, dan di dasarnya terdapat pintu sempit kecil yang membawa kami ke halaman terbuka. Di sana dia mendekati tembok, mendorong sepotong besi yang sedikit menonjol. Seketika satu blok tembok berputar, sehingga seseorang bisa keluar lewat bukaan tersebut menuju jalan raya. Kau harus lihat penemuan ini kapan-kapan, Olivier. Dulunya rumah ini biara. Para biarawan yang menempati rumah ini pasti membuatnya agar bisa menyelinap masuk dan keluar sembunyisembunyi. Bahannya kayu tapi dilapisi kapur dan adukan semen, dan di sebelah luarnya ditempatkan sebuah patung, juga dari kayu, meski mirip batu, yang berputar pada engsel kayu. Saat aku melihat susunan ini, ide-ide gelap menyentak dalam kepalaku. Aku merasa, perbuatan-perbuatan itu, yang sampai sekarang masih misterius bagiku, sudah dipersiapkan di sini. “‘Aku baru menyelesaikan satu set perhiasan indah untuk seorang lelaki dari istana yang, setahuku, akan diberikan kepada seorang penari opera. Segera saja siksaan maut melandaku, momok itu mengikuti langkahku, iblis itu berbisik di telingaku. Aku pulang ke rumah bermandikan keringat penderitaan, aku berguling-guling di ranjang, susah tidur. Dalam mata pikiranku aku melihat orang 73
itu menunggang kuda menuju penarinya seraya membawa perhiasanku yang cantik. Penuh geram aku melompat bangkit, mengenakan mantel, turun ke tangga rahasia, keluar lewat tembok, pergi ke Rue Niçaise. Dia datang, aku menerjang, dia berteriak, aku mencengkeram dari belakang, kutusuk jantungnya dengan belatiku. Perhiasan itu pun menjadi milikku. Setelah melakukannya aku merasakan kedamaian, kepuasan di dalam diriku yang tak pernah kusadari. Momok itu menghilang—suara iblis berhenti. Kini aku tahu apa perintah Bintang Jahat-ku, yang harus selalu kuturuti, atau aku binasa. “‘Kau sudah tahu semuanya sekarang, Olivier. Jangan dipikirkan. Aku harus melakukan apa yang tak bisa dihindari, aku sudah menanggalkan semua rasa kasihan atau perasaan sayang yang menjadi bagian dari manusia, dan melekat dalam diri manusia. Kau tahu betapa sulitnya melepas karyaku. Banyak orang yang tak bisa kuhabisi, dan aku tak bisa dibujuk agar bekerja untuk mereka. Bahkan, di saat-saat merasa harus melepas momokku dengan darah keesokannya, aku menyudahi urusan hari itu dengan pukulan yang merobohkan pemegang perhiasanku, sehingga aku mendapatkannya kembali.’ “Setelah mengatakan semua ini, Cardillac membawaku ke ruang besi rahasianya dan memperlihatkan koleksi perhiasan. Raja pun tak bisa menandinginya. Setiap perhiasan dipasangi label kecil bertuliskan nama-nama pemesannya, dan waktu perebutannya— melalui pencurian, perampokan, atau pembunuhan. “‘Di hari pernikahanmu, Olivier,’ katanya, dengan nada 74
sungguh-sungguh, ‘kau harus bersumpah padaku, dengan tangan di atas salib, bahwa begitu aku mati, kau akan langsung mengubahnya menjadi debu. Akan kuberitahu caranya nanti. Tak ada manusia, paling tidak kau dan Madelon, yang boleh menyimpan batu-batu berlabel darah ini.’ “Terkunci dalam labirin kejahatan, terkoyak oleh rasa cinta dan jijik, aku seperti orang terkutuk yang ditunjuki arah ke atas oleh malaikat mulia yang tersenyum lembut, sementara Setan menekannya ke bawah dengan cakar panas. Senyum kasih malaikat, yang memantulkan kebahagiaan surgawi, menjadi siksaan terhebat baginya. Aku terpikir untuk lari, bahkan bunuh diri, tapi Madelon! Salahkan aku, salahkan aku, Nona, karena terlalu lemah untuk mengatasi hasrat yang membelengguku sampai binasa. Aku akan menebus kelemahanku dengan kematian hina. Suatu hari Cardillac masuk dengan semangat luar biasa hebat. Dia mencium dan membelai Madelon, memandangku dengan penuh kasih-sayang, meminum sebotol anggur enak di meja, bernyanyi dan bersukaria. Biasanya dia hanya minum di hari besar atau hari libur. Madelon meninggalkan kami, aku pergi ke bengkel. “‘Duduklah, nak,’ kata Cardillac, ‘tak usah bekerja lagi hari ini. Mari minum untuk kesehatan wanita paling mulia dan mempesona di seluruh Paris.’ “Setelah kami bersulang, dan dia meneguk segelas penuh, dia berkata: ‘Katakan, Olivier, bagaimana menurutmu baris-baris ini? Kekasih yang takut pencuri Tak layak dicintai.’” 75
“Lalu dia menceritakan apa yang terjadi antara kau dan Raja di ruang tamu Madame de Maintenon, sambil menambahkan bahwa dia selalu menghormatimu lebih dari manusia lain, bahwa penghormatan dan penghargaannya padamu membuat Bintang Jahatnya pucat di depanmu, dan dia yakin, jika kau mengenakan karya terbaik yang pernah dibuatnya, momok itu takkan menghasutnya untuk membunuh. “‘Dengarkan, Olivier,’ katanya, ‘dengarlah apa yang akan kulakukan. Beberapa waktu lalu aku membuat kalung dan gelanggelang untuk Henrietta dari Inggris, aku sendiri yang mencari batubatunya. Aku membuat karya terbaik yang pernah kuhasilkan, dan hatiku remuk berpisah darinya, harta-karun jiwaku. Kau tahu dia mati dibunuh. Pesanannya masih ada padaku, dan sekarang aku akan menghadiahkannya kepada Nona Scudéri, atas nama gerombolan yang ditakuti itu, sebagai tanda hormat dan terima kasih. Selain menjadi lambang keluhurannya, ini akan menandai rasa jijikku terhadap Desgrais dan anak buahnya. Kau yang akan membawakan perhiasannya.’ “Ketika dia menyebut-nyebut namamu, Nona, selubung gelap rupanya terangkat, menyingkap kenangan bahagia masa kecilku, yang bangkit lagi dalam warna-warna memancar di depanku. Rasa nyaman merasuki jiwaku, seberkas harapan mengusir bayangbayang gelap. Cardillac membaca pengaruh ucapannya terhadapku, dan membuat penafsiran sendiri. ‘Sepertinya ideku membuatmu senang,’ katanya. ‘Aku harus bilang, suara batin yang menagihnagih darah layaknya binatang pengoceh, telah menyuruhku 76
berbuat ini. Berkali-kali aku merasa ide-ide aneh masuk ke dalam pikiranku—kecemasan batin mencengkeramku kuat, ketakutan terhadap sesuatu yang mengerikan, kekaguman yang berhembus ke masa kini dari suatu dunia lain nan jauh. Bahkan aku merasa, di saat-saat demikian, perbuatan yang dilakukan Bintang Jahat lewat diriku mungkin akan dibebankan pada jiwaku, meski aku tak punya peran di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu kuputuskan untuk membuat mahkota berlian cantik untuk Perawan Suci di Gereja St. Eustache. Tapi ketakutan tak terlukiskan selalu menyerangku, semakin kuat, ketika aku mulai mengerjakannya. Jadi aku menelantarkannya sama sekali. Sekarang aku merasa, dengan menghadiahkan karya terbaikku kepada Nona Scudéri, aku mempersembahkan pengorbanan sederhana untuk personifikasi kebaikan dan kebajikan, dan meminta perantaraannya.’ “Cardillac tahu betul semua seluk-beluk cara hidupmu. Dia memberitahuku bagaimana dan kapan harus membawa perhiasan itu padamu. Aku gembira. Tuhan seperti menunjukkan jalan keluar dari siksaan neraka melalui si kejam Cardillac. Berlawanan dengan kemauan Cardillac, kuputuskan mencari jalan untuk bertemu dan bicara denganmu. Sebagai putera Anne Brusson dan anak timanganmu dahulu, aku bermaksud bersimpuh di kakimu dan menceritakan segalanya. Aku tahu kau akan menyimpan rahasia ini, karena mempertimbangkan kesengsaraan yang mungkin menimpa Madelon, tapi akalmu yang agung dan cerdas pasti menemukan cara untuk mengakhiri kejahatan Cardillac tanpa membongkarnya. Jangan tanya aku bagaimana caranya, aku tak 77
tahu. Tapi aku percaya kau akan menyelamatkanku dan Madelon sebagamana aku percaya pada perantaraan Perawan Suci. Kau tahu, Nona, niatku gagal malam itu, tapi aku tak putus asa untuk kesempatan di lain waktu. “Cardillac mendadak kehilangan semangat. Dia mondarmandir dengan masygul, merepet tak karuan, dan menggerakgerakkan lengannya seakan menghalau musuh. Kepalanya seperti dipenuhi pikiran jahat. Dia terus begitu sepanjang pagi. Akhirnya dia duduk di meja kerja, bangkit lagi sambil marah, menengok ke luar jendela, lalu berkata berat dan murung: ‘Andai saja Henrietta dari Inggris sudah menerima perhiasanku.’ Ucapan itu membuatku ngeri. Aku tahu otak sakitnya kembali dirasuki hasrat hebat untuk membunuh, suara iblis itu kembali terdengar keras di telinganya. Aku merasa hidupmu terancam oleh semangat membunuh itu. Jika Cardillac bisa mendapatkan kembali perhiasannya, kau aman. Bahaya semakin besar. Aku melihatmu di Pont Neuf. Aku mendekati kereta kudamu, dan melemparkan catatan yang memintamu segera mengembalikan perhiasan itu kepada Cardillac. Kau tidak datang. Ketakutanku menjadi keputus-asaan ketika esok harinya Cardillac tidak membicarakan apa-apa selain perhiasan tak ternilai yang terlihat dalam mimpinya. Aku menduga ini mengacu pada perhiasanmu, dan aku yakin dia sedang memikirkan serangan mematikan, yang diputuskan akan dillaksanakan malam itu. Aku harus
menyelamatkanmu,
sekalipun
mengorbankan
nyawa
Cardillac. “Setelah dia masuk kamar dan berdoa malam seperti biasa, aku 78
pergi ke halaman lewat jendela, menyelinap keluar melalui bukaan tembok, dan mengambil posisi tak jauh dari situ, dalam bayangan pekat. Tak lama kemudian Cardillac muncul, meluncur pelan di jalan. Aku membuntutinya. Dia mengambil arah Rue St. Honoré. Jantungku berdebar kencang. Sekonyong-konyong dia menghilang. Kuputuskan untuk berjaga di pintu rumahmu. Seperti dalam kejadian pertama di mana aku ditakdirkan menyaksikan salah satu kejahatannya, melintaslah seorang perwira, bersenandung dan bernyanyi, dia tak melihatku. Seketika satu sosok gelap melompat dan menyerangnya. Cardillac! Kuputuskan untuk mencegah pembunuhan ini. Aku berteriak keras, dan dalam dua langkah sudah sampai ke titik itu. Bukan perwira itu, tapi Cardillac, yang ambruk terengah-engah ke tanah, terluka parah. Si perwira menjatuhkan belati, menghunuskan pedang, dan berdiri dalam posisi bertahan, menyangka aku komplotannya. Tapi dia buru-buru pergi saat aku memeriksa sosok roboh tersebut, alih-alih mencemaskan perwira. Cardillac masih hidup. Kupungut belati yang dijatuhkan perwira tadi. Aku menyelipkannya ke dalam sabuk, terus mengangkat Cardillac ke atas pundakku, menggotongnya susah-payah ke rumah, dan naik tangga rahasia menuju bengkel. Selebihnya kau pun tahu. “Kau lihat, Nona, satu-satunya kejahatanku adalah karena aku tidak menyerahkan ayah Madelon kepada proses hukum, agar mengakhiri kejahatannya. Siksaan apapun takkan bisa membuatku membocorkan rahasia kebengisan Cardillac. Tak sudi aku menjadi perantara Kekuatan Abadi itu untuk menghancurkan Madelon, 79
kekuatan yang selama ini menyembunyikan kejahatan seram ayahnya. Tak ada dendam duniawi untuk menyeret mayat Cardillac dari tanah yang menutupinya, dan menstempel aib pada tulangbelulangnya yang hancur-lebur. Tidak. Kekasih jiwaku akan berkabung atasku sebagai korban tak bersalah. Waktu akan meredakan dukacitanya untukku, tapi kepedihannya atas kejahatan sang ayah takkan bisa dihilangkan oleh apapun juga.” Olivier berhenti, air mata mengalir deras di pipinya. Dia bersimpuh di kaki Nona Scudéri, memelas: “Kau sudah yakin aku tak bersalah, aku tahu. Kasihani aku. Katakan bagaimana keadaan Madelon.” Nona Scudéri memanggil La Martinière, dan dalam beberapa menit Madelon sudah lengket di leher Olivier. “Karena kau di sini, semua baik-baik saja. Aku tahu nyonya berhati mulia ini akan menyelamatkanmu,” kata Madelon berulang-ulang. Olivier pun lupa nasibnya, dan semua yang mengancamnya. Dia bebas dan bahagia. Dengan sangat mengharukan, mereka meratapi penderitaan satu sama lain, dan berangkulan sekali lagi, dan menangis bahagia lantaran bersatu kembali. Andaipun sebelumnya Nona Scudéri tidak yakin akan ketidakbersalahan Olivier, sekarang ini dia pasti yakin, dengan menyaksikan sepasang kekasih itu melupakan dunia, penderitaan, dan dukacita mereka, dalam kegembiraan. “Hanya hati yang suci,” katanya, “yang mampu melupakan dengan bahagia.” 80
Cahaya pagi menerobos masuk, Desgrais mengetuk pintu pelan-pelan, mengingatkan mereka bahwa sudah waktunya Olivier dibawa. Sebab kalau terlambat, akan menarik perhatian. Pasangan kekasih ini harus berpisah. Sangkaan yang dirasakan Nona Scudéri ketika Olivier pertama kali masuk kini menjadi kenyataan—yang tak mengenakkan. Anak lelaki Anne—Anne yang sangat disayanginya—meski tidak bersalah, terlibat sedemikian rupa hingga sulit untuk diselamatkan dari kematian hina. Dia mengagumi kepahlawanannya, yang mendorongnya lebih memilih mati, dikenai tuduhan bersalah, daripada membocorkan rahasia yang dapat membinasakan Madelon. Di alam kemungkinan, Nona berpikir tak ada cara untuk menyelamatkan anak malang ini dari penjara menjijikkan dan persidangan menakutkan. Tapi tertanam kuat dalam benaknya bahwa dia tak boleh segan berkorban demi mencegah ketidakadilan paling nyata ini. Dia menyiksa diri dengan segala jenis rencana dan rancangan, yang sebagian besar mustahil dan tak mungkin dilaksanakan— tertolak begitu terbentuk. Cahaya harapan semakin redup, dia semakin putus asa. Tapi keyakinan penuh, polos, dan suci yang dimiliki Madelon, semangatnya kala membicarakan sang kekasih, yang segera bebas dan menjemputnya sebagai isteri, mengembalikan harapan Nona Scudéri sampai taraf tertentu. Mulai bertindak, dia menulis surat panjang kepada La Regnie. Isinya menceritakan bagaimana Olivier Brusson membuktikan kepada dirinya dengan sangat terpercaya bahwa dia sama sekali tak 81
bersalah atas pembunuhan Cardillac, bahwa tekad heroik untuk membawa rahasia sampai liang lahat, yang kebocorannya akan mendatangkan kehancuran bagi seseorang berbudi luhur dan tak berdosa, telah menghalanginya memberi pernyataan di depan Pengadilan, meski itu dapat membersihkannya dari segala tuduhan dan membuktikan bahwa dia tak pernah menjadi anggota gerombolan sama sekali. Dengan kefasihan terbaik yang dimilikinya, Nona Scudéri menumpahkan semua pikiran yang diharapkan mampu melunakkan hati batu La Regnie. La Regnie membalas beberapa jam kemudian, gembira bahwa Olivier sudah membersihkan diri di depan penyokong dan pelindungnya yang baik hati. Adapun tekad heroik untuk membawa mati sebuah rahasia menyangkut kejahatan yang dituduhkan, dengan menyesal dia katakan bahwa Chambre Ardente tidak kagum pada kepahlawanan semacam itu, tapi harus berusaha melenyapkannya dengan cara yang manjur. Dalam tempo tiga hari, dia sedikit ragu untuk mendapatkan rahasia mengherankan itu, rahasia yang mungkin memperjelas banyak perkara aneh. Nona Scudéri tahu betul apa yang dimaksud dengan “cara yang manjur”, yaitu meruntuhkan heroisme Olivier. Jelas sekali, pemuda malang itu diancam dengan penyiksaan. Dalam kegelisahan hebat akhirnya terpikir olehnya, untuk menghemat waktu, nasehat hukum dari seorang pengacara akan ada gunanya. *****
82
Pierre Arnaud d’Andilly merupakan advokat paling ternama di Paris kala itu. Kebaikan hati dan karakter luhurnya sebanding dengan kecakapan profesi dan pikiran luasnya. Kepadanyalah Nona pergi, dan menceritakan segalanya, selengkap mungkin, tanpa memberitahukan rahasia Olivier. Dia menyangka d’Andilly akan mengiringi perkara orang tak bersalah itu, tapi dia kecewa. D’Andilly mendengarkan ceritanya, lalu sambil tersenyum dia menjawab dalam kata-kata Boileau, “Terkadang kebenaran tidak terbukti benar.” Dia menyampaikan sangkaan-sangkaan serius dan mencolok terhadap Olivier, bahwa tindakan La Regnie tidak keras atau prematur sama sekali, justru biasa saja; bahkan, bertindak sebaliknya sama dengan melalaikan tugas sebagai Hakim. Dia tidak yakin dirinya mampu menyelamatkan Brusson dari alat siksa dengan pembelaan sehebat apapun. Tak ada yang dapat melakukan itu selain Brusson sendiri, entah dengan membuat pengakuan penuh, atau dengan menceritakan fakta pembunuhan Cardillac secara akurat, yang mungkin mengarah pada penemuan selanjutnya. “Kalau begitu aku akan bersimpuh di kaki Raja dan meminta belas-kasih,” pekik Nona Scudéri, suaranya tercekik tangisan. “Demi Tuhan, jangan lakukan,” kata d’Andilly. “Simpan itu untuk keadaan mendesak. Kalau gagal sekali, hilang selamanya. Raja takkan memaafkan penjahat macam Brusson, masyarakat akan mengeluhkan ancaman terhadap diri mereka. Bisa saja Brusson menghilangkan sangkaan terhadap dirinya, dengan mengungkap rahasianya, atau dengan cara lain. Saat itulah waktunya 83
berpaling pada Raja. Baginda takkan bertanya apa yang terbukti secara hukum atau yang tidak, tapi dibimbing oleh keyakinannya sendiri.” ***** Apa boleh buat, Nona Scudéri setuju dengan pengalaman hebat d’Andilly. Dia duduk di kamarnya, mempertimbangkan apa—atas nama Perawan Suci dan semua santo—yang mesti diupayakan selanjutnya. Kemudian La Martinière datang untuk memberitahukan bahwa Count de Miossens, salah satu Kolonel Pengawal Raja, ingin sekali bicara dengannya. “Maaf, Nona,” kata Kolonel, membungkuk dengan penghormatan ala prajurit, “aku sudah mengganggumu, dan mengusikmu pada jam seperti ini. Dua kata cukup menjadi dalihku. Aku datang terkait Olivier Brusson.” “Olivier Brusson,” seru Nona Scudéri, menanti penuh semangat apa yang akan didengarnya, “manusia paling naas itu! Apa yang ingin kau katakan tentangnya?” “Aku tahu,” kata Miossens, tertawa lagi, “nama anak lindunganmu itu membuat kedatanganku patut didengarkan. Setiap orang yakin Brusson bersalah. Aku tahu kau berpikir sebaliknya, dan konon pendapatmu bersandar pada apa yang dia ceritakan. Lain halnya denganku. Tak ada yang lebih yakin daripada aku bahwa Brusson tidak bersalah atas kematian Cardillac.” “Bicaralah! Oh, bicaralah!” pekik Nona Scudéri. 84
“Akulah orang yang menikam pak pandai besi itu di Rue St. Honoré, dekat pintu rumahmu,” ungkap Kolonel. “Kau—kau!” seru Nona Scudéri. “Demi nama para Santo, bagaimana bisa?” “Aku bersumpah padamu, Nona, aku sangat bangga dengan prestasiku. Cardillac, harus kukatakan, adalah bajingan tua hipokrit yang terlantar, keluyuran di malam hari untuk merampok dan membunuh orang-orang, dan tak pernah dicurigai sedikitpun. Aku sendiri tak tahu dari mana datangnya kecurigaanku pada bangsat renta itu, saat dia tampak depresi menyerahkan karya pesananku, saat dia memaksaku memberitahukan untuk siapa aku memesan, dan menanyai pelayanku kapan aku biasa menjumpai wanita tertentu. Sudah lama aku mendapat kesan bahwa setiap orang yang dibunuh oleh tangan-tangan tak dikenal ini mempunyai luka yang sama, dan aku yakin pembunuhnya mempraktekkan tikaman yang pasti, yang menewaskan seketika—dan memperhitungkannya dengan cermat. Jadi kalau gagal, perkelahian mereka akan seimbang. Ini mendorongku melakukan antisipasi sederhana dan nyata yang belum pernah dibayangkan siapapun. Aku mengenakan perisai dada dari baja di balik pakaianku. Cardillac menyerangku dari belakang. Dia mencengkeramku dengan kekuatan raksasa, tapi tikaman terarahnya tergelincir pada perisai dada. Kemudian aku melepaskan diri dari genggamannya, dan menanam belatiku di jantungnya.” “Dan kau belum mengatakan apa-apa?” tanya Nona Scudéri. “Kau belum memberitahukan pihak berwenang soal ini?” 85
“Perkenankan aku menjelaskan, Nona,” katanya. “Itu bisa menjeratku
dalam
penyelidikan
hukum
yang
menakutkan,
mungkin berakhir dengan kehancuranku. La Regnie, yang mencium kejahatan di mana-mana, tak mungkin mempercayaiku begitu saja, bila aku menuduh Cardillac yang baik, terhormat, panutan masyarakat, sebagai pembunuh tetap. Pedang Pengadilan kemungkinan besar justru akan mengarahkan matanya padaku.” “Mustahil,” balas Nona Scudéri. “Pangkatmu—kedudukanmu —” “Oh!” sela Miossens, “ingat kasus Marsekal Luxembourg. Dia berniat meramal nasib di tempat Le Sage, dan dicurigai ikut meracun, lalu dimasukkan ke Bastille. Tidak, demi Santo Dionys! Tak sekejap kebebasan pun—tak seujung telinga pun—akan kupercayakan pada La Regnie pengamuk itu, yang gemar menaruh pisaunya di leher kita semua.” “Tapi akibatnya seorang manusia tak bersalah diseret ke tiang gantungan,” kata Nona Scudéri. “Tak bersalah, Nona!” pekik Miossens. “Kau sebut kakitangan Cardillac manusia tak bersalah? Dia, yang membantunya dalam kejahatan, dan patut mati ratusan kali? Tidak. Dia pantas menderita, walau sudah kuceritakan padamu kejadian sesungguhnya, dengan harapan kau memanfaatkannya demi kepentingan anak lindunganmu itu, tanpa menyeretku ke dalam cengkeraman Chambre Ardente.” Merasa gembira lantaran keyakinannya terkonfirmasi dengan jelas, bahwa Olivier tak bersalah, Nona Scudéri tak segan 86
menceritakan segalanya kepada Moissens, yang sudah tahu semua kejahatan Cardillac. Lalu dia memintanya ikut pergi ke d’Andilly, agar menyampaikan semuanya secara rahasia, dan meminta nasehat untuk langkah selanjutnya. Setelah
Nona
menceritakan
kepadanya
panjang-lebar,
d’Andilly kembali menyelidiki fakta-fakta paling kecil. Dia bertanya pada Count Miossens apakah cukup yakin bahwa Cardillac-lah yang menyerangnya, dan apakah dia bisa mengenali Olivier sebagai orang yang menggotong tubuhnya. “Waktu itu,” jawab Miossens, “bulan bersinar terang, jadi aku bisa mengenali bapak pandai besi itu dengan sempurna. Ditambah lagi, pagi ini di tempat La Regnie, aku melihat belati yang menusuknya. Itu milikku, aku mengenalinya dari ornamen gagangnya. Dan saat aku berjarak satu langkah dari si pemuda, aku lihat wajahnya cukup jelas, karena topinya jatuh. Tentu saja aku akan mengenalinya dalam sekejap.” D’Andilly merenung sesaat, lalu berkata: “Mustahil melepas Brusson dari tangan pengadilan dengan cara apapun. Demi Madelon, dia tak bisa dibujuk untuk mengakui Cardillac seorang perampok dan pembunuh. Sekalipun dia melakukannya, dan berhasil membuktikan kebenaran dengan menunjukkan jalan masuk rahasia dan koleksi perhiasan curian, kematian akan tetap menjadi nasibnya sebagai kaki-tangan. Konsekuensi yang sama akan terjadi jika Count Miossens menceritakan petualangan dengan Cardillac kepada para hakim. Penangguhan, itu yang kita incar. Sebaiknya Count Miossens pergi ke Conciergerie, untuk 87
dipertemukan dengan Olivier, dan mengenalinya sebagai orang yang mengangkut tubuh Cardillac, lalu temui La Regnie dan katakan, ‘Aku lihat seseorang tertusuk di Rue St. Honoré, dan aku berada tak jauh dari tubuhnya ketika orang lain berlari menghampiri, membungkuk, dan karena masih hidup, diangkatnya ke pundak lalu dibawa pergi. Aku mengenali Olivier Brusson sebagai orang itu.’ “Ini akan mengarah pada pemeriksaan lanjutan terhadap Brusson, dikonfrontir dengan Count Miossens, penyiksaan akan ditangguhkan, dan penyelidikan lebih jauh akan diadakan. Saat itulah waktunya meminta pertolongan kepada Raja. Otak brilianmu, Nona, akan menunjukkan cara paling pas untuk melakukan ini. Kurasa lebih baik ceritakan saja semuanya kepada Baginda. Pernyataan Count Miossens akan menopang pernyataan Olivier. Barangkali juga pemeriksaan terhadap rumah Cardillac akan membantu. Kemudian Raja akan mengikuti penilaiannya sendiri—dengan kebaikan hatinya. Mungkin memaafkan di kala pengadilan hanya menghukum.” Count Miossens menuruti nasehat d’Andilly, dan segalanya berjalan sesuai yang dia katakan. Kini waktunya pergi ke Raja, dan inilah yang paling sulit, sebab Baginda sangat ngeri terhadap Brusson, yang diyakininya sudah lama meneror Paris, bahkan penyebutan namanya langsung membuatnya murka. Madame de Maintenon, yang setia pada sistem untuk tidak menyebut-nyebut persoalan tak mengenakkan di depan Baginda, menolak semua intermediasi. 88
Jadi nasib Brusson sepenuhnya ada di tangan Nona Scudéri. Setelah merenung lama, dia menemukan skema yang langsung dilaksanakannya. Dia mengenakan setelan sutera hitam tebal, serta perhiasan Cardillac, dan kerudung hitam panjang, lalu muncul di tempat Madame de Maintenon pada saat Raja ada di sana. Sosok luhurnya dalam pakaian berkabung ini menimbulkan rasa hormat, bahkan dari orang-orang remeh yang melalui hari-hari mereka di ruang-ruang depan Istana. Mereka semua melapangkan jalan untuknya. Begitu dia masuk, Raja sendiri langsung bangkit, heran, dan menghampirinya. Berlian-berlian kalung dan gelang mengkilat di matanya, lalu Baginda berseru: “Astaga! Karya Cardillac!” Berpaling pada Madame de Maintenon, Baginda berkata sambil tersenyum, “Lihat, Nyonya, bagaimana perempuan cantik ini berkabung untuk calon suaminya.” “Ah, Paduka!” kata Nona Scudéri, seakan meladeni sendaguraunya, “sungguh buruk menjadi seorang pengantin berkabung yang memakai setelan semencolok ini. Tidak, urusanku dengan pandai emas itu sudah selesai. Aku tidak akan mengenangnya. Tapi pemandangan seram jenazahnya yang digotong di depanku terusmenerus terbayang dalam ingatanku.” “Apa!” kata Raja, “kau betul-betul melihatnya, orang naas itu?” Kemudian Nona bercerita dalam beberapa kata (tidak menyinggung Brusson sama sekali) bagaimana takdir membawanya ke pintu rumah Cardillac persis saat pembunuhan itu ketahuan. 89
Dia melukiskan kengerian dan kepedihan Madelon, kesannya terhadap gadis jelita itu, bagaimana dia mengambilnya dari tangan Desgrais, dan membawanya di tengah tepuk-tangan banyak orang. Juga adegan dengan La Regnie, Desgrais, dan Olivier Brusson sendiri. Perhatian semakin bertambah. Raja terbawa oleh kegamblangan cerita Nona Scudéri, tidak memperhatikan bahwa yang sedang dibicarakan adalah kasus Brusson yang begitu dibencinya. Baginda mendengarkan sambil menahan nafas, terkadang mengungkapkan ketertarikannya dengan berseru. Dan sebelum Baginda menyadarinya, masih terheran dengan keajaiban yang didengarnya, belum mampu menata semuanya dalam pikiran, tiba-tiba Nona Scudéri bersimpuh di kakinya, memohonkan belaskasih untuk Olivier Brusson. “Apa yang kau lakukan?” sergah Raja, meraih kedua tangannya dan mendudukkannya. “Ini cara yang aneh untuk merebut hati kami. Cerita yang sangat mengerikan! Siapa yang akan menanggung kebenaran kisah aneh Brusson?” “Pernyataan Miossens membuktikannya,” jawabnya, “penggeledahan rumah Cardillac, keyakinanku sendiri, dan ah! Hati murni Madelon, yang merasakan kemurnian serupa dalam diri Brusson.” Raja hendak mengucapkan sesuatu, dipotong oleh kegaduhan dari arah pintu. Louvois, yang bekerja di ruang sebelah, menjulurkan kepalanya dengan ekspresi cemas. Raja bangkit, mengikutinya keluar. Madame de Maintenon dan Nona Scudéri mengira gangguan ini pertanda buruk. Sebab, meski sempat 90
tertarik, Raja mungkin takkan jatuh ke dalam perangkap untuk kedua kalinya. Tapi beberapa menit kemudian Baginda kembali, mondar-mandir dua atau tiga kali, lalu berhenti di depan Nona Scudéri dengan tangan di punggung, dan berkata setengah berbisik, tanpa memandangnya: “Aku ingin bertemu Madelon-mu itu.” Nona Scudéri menjawab: “Oh! Terima kasih, Paduka! Sungguh kehormatan besar Paduka sudi merendahkan diri untuk anak malang itu. Dia akan segera menghadap.” Dia berjalan ke pintu secepat mungkin dengan setelan tebalnya, dan menyeru kepada orang-orang di ruang depan bahwa Raja ingin bertemu Madelon Cardillac. Dia kembali sambil tersedu-sedu karena bahagia dan tergugah. Dia sudah menyangka hal ini, makanya dia mengajak Madelon, menyuruhnya menunggu bersama pembantu Nyonya, dengan petisi pendek di tangannya yang dibuat oleh d’Andilly. Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah bersujud di kaki Raja. Rasa hormat, bingung, malu, cinta, dan sedih membuat darahnya mengalir semakin cepat, pipinya bercahaya, matanya berkilaukan tetesan terang, yang sesekali jatuh dari bulu mata halusnya ke atas dada putih bersih nan indah. Raja tergerak oleh kecantikan gadis ini. Baginda mengangkatnya lemah-lembut, dan membungkuk seperti hendak mencium tangannya, tapi melepasnya. Baginda menatapnya sambil berkaca-kaca, menunjukkan emosi yang dalam. Madame de Maintenon berbisik kepada Nona Scudéri, “Tidakkah dia mirip La Vallière, sosok kecil itu? Raja sedang larut dalam kenangan terindah, kau menang hari ini.” 91
Meski bicaranya pelan, rupanya terdengar juga oleh Raja. Pipi Raja memerah karena malu. Baginda melirik Madame de Maintenon lalu berkata lembut dan hangat, “Aku cukup yakin bahwa kau, anakku, menganggap kekasihmu tidak bersalah, tapi kita harus dengar apa kata Chambre Ardente. Baginda menyuruh Madelon pergi dengan lambaian halus tangannya. Si gadis masih bermandikan air mata. Nona Scudéri merasa, kemiripannya dengan La Vallière, meski mulanya seperti menguntungkan, sudah mengubah niat Raja begitu Madame de Maintenon
menyebut-nyebutnya.
Mungkin
Baginda
seperti
diingatkan dengan pedas bahwa dirinya akan mengorbankan keadilan ketat demi kecantikan, atau mungkin seperti pemimpi yang,
ketika
namanya
dipanggil
keras-keras,
mendapati
pemandangan indah nan ajaib dalam pikirannya menghilang. Barangkali Baginda tak lagi menyaksikan La Vallière di depannya, tapi hanya membayangkan Soeur Louise de la Miséricorde—nama kerahiban La Vallière di antara para biarawati Carmelite—yang menyakitinya dengan kesalehan dan pertobatan. Sekarang tak ada yang bisa diperbuat selain menunggu keputusan Raja dengan sabar. Sementara itu, pernyataan Count Miossens di hadapan Chambre Ardente sudah diketahui luas. Sebagaimana sering terjadi, opini masyarakat segera beralih dari satu ekstrim ke ekstrim lainnya. Orang yang sudah distigmatisasi sebagai pembunuh paling kejam, dan rela dirobek-robek sebelum sampai ke tiang gantungan, kini diratapi sebagai tumbal tak berdosa dari sebuah pengorbanan biadab. Para tetangga lamanya kini hanya 92
mengingat karakter dan perilakunya yang mengagumkan, cintanya terhadap Madelon, serta kesetiaan dan pengabdian jiwa raganya dalam melayani majikan. Kerumunan orang, dengan amarah mengancam, kerap berkumpul di depan Istana La Regnie, berteriak-teriak, “Bebaskan Olivier Brusson! Dia tak bersalah!”, bahkan melempari jendela dengan batu, sampai-sampai La Regnie meminta perlindungan Marechaussee. Hari-hari berlalu, Nona Scudéri belum juga mendengar apaapa tentang Olivier Brusson. Dalam kecemasannya dia mendatangi Nyonya Maintenon, yang menyebut bahwa Raja terus bungkam soal ini, dan sebaiknya jangan mengingatkan Baginda. Ketika menanyakan “La Vallière kecil itu” sambil tersenyum khas, Nona Scudéri melihat wanita mulia ini tampak sedikit kesal dengan urusan yang telah menyeret Raja plin-plan ke dalamnya, mengalahkan pesonanya. Alhasil, tak ada yang bisa diharapkan dari Madame de Maintenon. Akhirnya Nona Scudéri berhasil mencaritahu, dengan bantuan d’Andilly, bahwa Raja bercakap-cakap lama dengan Count Miossens; bahwa Bontems, perwira dan agen rahasia Raja, datang ke Conciergerie, dan bicara dengan Brusson; bahwa Bontems, bersama beberapa orang lain, berkunjung lama ke rumah Cardillac. Claude Patru, yang tinggal di lantai bawah, mengaku mendengar bunyi-bunyi bantingan di atas pada malam hari, dan mengenali suara Olivier di antara mereka. Sudah pasti Raja sendiri yang menyebabkan penyelidikan tersebut. Tapi yang menjadi teka-teki adalah lamanya pengambilan keputusan. Kemungkinan besar La 93
Regnie berusaha sekuat tenaga untuk mencegah mangsanya lepas dari genggaman, dan ini menggunting segala asa yang sedang berpucuk. Hampir sebulan sudah berlalu ketika Madame de Maintenon diutus untuk memberitahu Nona Scudéri bahwasanya Raja ingin bertemu malam itu di ruang tamu Madame. Jantung Nona berdebar cepat. Dia tahu nasib Olivier akan diputuskan malam itu. Dia memberitahu Madelon, maka gadis ini berdoa kepada Perawan Suci dan para Santo agar Nona berhasil meyakinkan Raja akan ketidakbersalahan kekasihnya. Tapi Raja seolah-olah lupa dengan seluruh perkara itu. Baginda melewatkan waktu dengan mengobrol santai bersama Nyonya Maintenon dan Nona Scudéri, tanpa sepatah katapun menyinggung Olivier Brusson. Akhirnya Bontems muncul, menghampiri Raja, dan bicara pelan-pelan sehingga para wanita tak mendengarnya. Nona Scudéri gemetar, tapi Raja bangkit, mendekatinya, dan berkata, dengan mata berbinar: “Selamat, Nona. Anak lindunganmu, Olivier Brusson, bebas.” Nona Scudéri, dengan air mata mengalir di pipi, tak mampu berkata-kata, hendak bersimpuh di kaki Raja, tapi Baginda mencegahnya dan berkata: “Sudah, sudah! Nona, seharusnya kau menjadi Jaksa Agung dan membela kasusku, karena tak ada yang sanggup menolak kefasihan lidah dan kekuatan bujukanmu. Orang yang dilindungi oleh kebajikan,” tambahnya lebih serius, “dapat menolak segala tuduhan Chambre Ardente, atau pengadilan 94
manapun di dunia ini.” Nona Scudéri kini menemukan kata-kata, menumpahkan rasa terima kasih paling hangat. Tapi Raja memotong. Baginda bilang ada terima kasih yang lebih hangat sedang menanti Nona di rumah, sementara pada saat itu Olivier sedang memeluk Madelon. “Bontems,” tambah Baginda, “akan menyerahkan seribu Louis, yang akan kau berikan kepada si kecil itu sebagai hadiah pernikahan dariku. Biarkan dia menikah dengan Brusson, yang sebetulnya tidak layak mendapat harta seindah itu. Kemudian mereka berdua harus tinggalkan Paris. Itulah wasiatku.” ***** La Martinière menyambut majikannya dengan langkah tak sabar, sedangkan Madelon berseru: “Ah! Aku tahu, kau, hanya kau, akan menyelamatkan suamiku.” “Kau sudah menjadi ibuku,” pekik Olivier, “keyakinanku padamu tak pernah goyah.” Mereka mencium tangannya, mencucurkan air mata, lalu berpelukan lagi. Mereka bersumpah, kebahagiaan ini sebanding dengan seluruh penderitaan di masa kemarin. Beberapa hari kemudian pendeta mengucapkan pemberkatan atas mereka. Andaipun Raja tidak menyuruh mereka meninggalkan Paris, Brusson tak mau menetap di sana, di mana segalanya mengingatkan dia akan masa kekejaman Cardillac, di mana insiden apapun dapat menyingkap rahasia jahat yang sudah diketahui oleh 95
beberapa orang, dan menghancurkan ketenangan hidupnya selamalamanya. Segera setelah menikah, dia bertolak ke Jenewa bersama isterinya, dipercepat oleh berkat dari Nona Scudéri. Berbekal jatah Madelon dari Raja, keterampilan kerja, dan semua sifat baik, dia menjalani kehidupan bahagia tanpa kesusahan. Seluruh asa, yang gagal terwujud dan menyebabkan ayahnya wafat, terpenuhi dalam diri sang putera. Setahun setelah Brusson meninggalkan Paris, terbitlah sebuah pengumuman terbuka, ditandatangani oleh Harloy de Chauvalon, selaku Uskup Agung Paris, dan oleh Pierre Arnaud D’Andilly, selaku Pengacara Parlemen, yang menyatakan bahwa seorang pendosa yang bertobat telah menyerahkan harta-karun emas dan perhiasan curian berharga kepada Gereja, di bawah segel pengakuan. Semua orang yang hingga akhir tahun 1680 pernah kerampokan barang-barang seperti ini, terutama dengan serangan mematikan di jalan raya, diminta mengajukan klaim kepada d’Andilly, asalkan barang yang ada dalam koleksi sesuai dengan deskripsi yang mereka berikan, dan asalkan surat pengajuannya asli, tanpa keraguan. Banyak orang yang namanya tertera dalam daftar Cardillac sebagai korban pingsan, bukan terbunuh, berdatangan kepada d’Andilly untuk mengambil harta mereka, dan mendapatkannya kembali sambil terkejut. Sisanya menjadi barang milik Gereja St. Eustache.
96