Sarasehan Peristiwa Madiun 1948 Amsterdam 2002 I. Makalah Rusijati: Pengalaman Langsung Ikut Amir Sjarifuddin dalam Peristiwa Madiun 1948 Peristiwa Solo adalah provokasi-provokasi bersenjata yang dilakukan oleh Pemerintah Hatta dalam rangka pembasmian kaum komunis dan anasir-anasir kiri lainnya. Untuk melaksanakan tindakan ini, Pemerintah Hatta menugaskan Brigade Divisi Siliwangi yang sudah direformasi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin sebagai komandan dan bermarkas di Tasikmadu dan di Srambatan. Dalam operasi-operasinya kesatuan Divisi Siliwangi di Solo dibantu oleh Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat - GRR. Di samping itu, Brigade Divisi Siliwangi di bawah Komandan Letnan Kolonel Kusno Utomo di-disposisikan di daerah Yogyakarta. Yang dijadikan sasaran utama di Solo untuk ditindak adalah Divisi Panembahan Senopati, yang dengan keras menentang untuk melaksanakan perintah rekonstruksi-rasionalisasi model Hatta-Nasution. Divisi Penembahan Senopati dipimpin oleh Jendral Mayor Sutarto sebagai komandannya. Jadi di Solo waktu itu berhadapan secara langsung antara dua kekuatan bersenjata, yaitu kesatuan Divisi Siliwangi dan kesatuan Divisi Penembahan Senopati. Dengan demikian situasi di Solo waktu itu menjadi tegang. Dalam rangka aksi menolak rekonstruksi-rasionalisasi model Hatta-Nasution itu, pada tanggal 20 Mei 1948 bertepatan dengan Hari Kebangunan Nasional, di kota Solo diadakan demonstrasi dengan membawa senjata yang diikuti oleh ribuan massa rakyat. Pada tanggal 2 Juli 1948, Komandan Divisi Penembahan Senopati Jendral Mayor Sutarto diteror secara gelap, ditembak dari belakang di halaman rumahnya pada waktu malam hari ketika ia turun dari mobilnya. Tidak lama kemudian ia meninggal dunia. Pembunuhan gelap atas Sutarto itu tidak bisa dipisahkan dari usaha/tindakan Pemerintah Hatta untuk merekonstruksi-rasionalisasi Divisi Penembahan Senopati dengan kekerasan bersenjata. Oleh karena itu berhubung dengan teror yang dilakukan atas diri Sutarto, orang sering berkata: “Teror atas Sutarto adalah rasionalisasi secara lain”. Dengan demikian ketegangan situasi di kota Solo menjadi
1
semakin memuncak. Dalam operasi-operasinya, yang dimulai pada tanggal 1 September 1948, kesatuan Divisi Siliwangi melakukan penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan gelap atas anggota-anggota maupun kader-kader PKI–FDR dan anggota-anggota maupun Perwira-perwira Divisi Penembahan Senopati. Dalam proses perkembangannya, pada tanggal 13 September 1948, terjadilah pertempuran yang sengit antara kesatuan Divisi Siliwangi dan kesatuan Divisi Penembahan Senopati. Sekalipun atas perintah Panglima Besar Jendral Sudirman akhirnya terjadi gencatan senjata, tetapi kesatuan Divisi Siliwangi berusaha menggagalkan gencatan senjata dengan tetap melakukan penculikan dan pembunuhan gelap. Selanjutnya situasi di kota Solo tetap tegang. Pada tanggal 15 September 1948 Gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren Solo diserbu oleh kesatuan Divisi Siliwangi dan Barisan Banteng. Dalam situasi yang demikian gawat itu, maka harus dilakukan tindakan penyelamatan baik terhadap dokumen-dokumen maupun kader-kader organisasi. Menghadapi situasi yang demikian itulah, saya bersama dengan kawan Fransisca Fanggidaey dan petugas Dewan Pusat Pesindo ditugaskan untuk meninggalkan Solo menuju ke Madiun. Pada pertengahan bulan September 1948 berangkatlah kami bertiga meninggalkan Solo menuju Madiun dengan membawa dokumen-dokumen yang harus diselamatkan. Di Cepu kami dijemput oleh kawan petugas, yang mengurus kelanjutan perjalanan kami menuju Madiun. Kami meneruskan perjalanan menuju Madiun dikawal oleh beberapa kawan petugas. Pada tanggal 23 September 1948 kami tiba di Madiun, dijemput oleh kawan petugas setempat dan ditempatkan tidak jauh dari kota. Dokumen-dokumen yang harus diselamatkan kami serahkan kepada petugas setempat yang bertanggung-jawab. Kami tidak bisa bertemu dengan pimpinan, karena sudah menghadapi situasi yang gawat, yaitu serangan dari pasukan bersenjata Pemerintah Hatta. Kami berada ditempat penampungan hanya dua hari. Pada tanggal 25 September 1948, kami meninggalkan tempat penampungan untuk menggabungkan diri dengan rombongan yang akan berangkat meninggalkan Madiun menuju ke Dungus. Dalam rombongan ikut pula sejumlah perempuan. Setelah sampai di Dungus rombongan mendapat seekor kuda untuk membawa
2
dokumen-dokumen. Dalam hal ini, rombongan sama sekali tidak mengangkut “mas-picis-raja-brana” - harta-karun - seperti yang sering difitnahkan oleh kaum reaksi. Rombongan kami adalah rombongan sipil yang harus diselamatkan. Rombongan kami mengikuti pasukan yang bertugas disamping bertempur juga bertugas melindungi rombongan sipil. Dalam rombongan itu juga terdapat seorang dokter, yaitu dr. Djajoes. Selama perjalanan rombongan sipil itu diatur oleh grup petugas khusus. Pengikutpengikut rombongan dikelompokkan sesuai dengan lapangan kegiatannya masingmasing - BKPRI, Pesindo, IPI dan lain-lainnya. Rombongan sipil itu terdiri dari orang-orang yang berumur antara 15 tahun antara lain Wulandari, anggota IPI dan lebih kurang 50 tahun (antara lain Bung Amir, Suripno, dr. Djajoes). Selama perjalanan, ditempat-tempat yang dilalui terdapat aktivis-aktivis setempat yang harus menyelamatkan diri dari ancaman serangan pasukan pemerintah untuk bergabung ke dalam rombongan sipil. Dengan demikian rombongan sipil semakin bertambah besar jumlahnya, lebih kurang mencapai 500 orang. Di samping itu dalam perjalanan, pasukan Maladi Jusuf juga merekrut pemuda-pemuda untuk memperkuat pasukan tempur. Kehidupan sehari-hari dalam rombongan diatur oleh grup petugas khusus. Makan-minum seadanya sesuai dengan keadaan. Dalam keadaan yang sulit, misalnya di hutan kadang-kadang juga hanya makan dedaunan yang dijumpai. Akhirnya kuda pengangkut juga terpaksa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan makan. Perlengkapan masing-masing pengikut rombongan juga apa adanya, pakaianpun hanya satu-satunya yang melekat .di badan. Tidur di rerumputan bagi kami para pengikut rombongan juga tidak menjadi masalah. Meskipun dalam situasi yang sesulit itu hubungan kesetia-kawanan di dalam rombongan selalu baik. Di dalam perjalanan, kami selalu menjaga sikap hubungan yang baik dengan massa rakyat di berbagai tempat yang dilalui rombongan. Massa rakyat yang bersimpati kepada kami juga memberikan bantuan secara sukarela, misalnya menyediakan tempat istirahat, memberikan bantuan makanan dan minuman dan sebagainya. Sebaliknya, rombongan juga memberikan biaya ganti-rugi kepada rakyat setempat yang diminta memberikan bantuan bahan-bahan untuk keperluan rombongan. Dalam
perjalanan
selanjutnya,
rombongan
harus
naik-turun
gunung
dan
keluar-masuk hutan. Secara berturut-turut perjalanan rombongan meliwati tempat-tempat sebagai berikut: Dungus => Kresek => Ngebel => Pulung =>
3
Ponorogo => Mlarak => Balong => Slumpring => Tegalombo => Nawangan => Bandar => Padi => Ngromo => Kismantoro => Dlingu => Cemorosewu => Sarangan melewati lereng Gunung Lawu Utara lalu menyeberangi Jembatan Sonde yang melintasi Bengawan Solo => Randublatung dan selanjutnya menuju Klambu. Setelah sampai di Klambu rombongan sipil terpaksa harus berpisah dengan pasukan bersenjata, karena pasukan bersenjata beserta pimpinan akan meneruskan perjalanan menuju daerah pendudukan Belanda untuk melanjutkan perjuangan bersenjata langsung melawan Belanda. Menyadari bahwa rombongan sipil tidak ada kemunginan ikut ambil bagian dalam perjuangan bersenjata secara langsung di daerah pendudukan, maka diberi kesempatan untuk berdaya-upaya menghindarkan diri dari pengejaran pasukan pemerintah. Setelah berpisah dengan pasukan bersenjata, saya berhasil kembali ke Solo ditempat keluarga. 20 Oktober 2002
II. Makalah F. Fanggidaej: Peristiwa Madiun Sesudah 54 Tahun Peristiwa Madiun: suatu peristiwa sejarah yang terjadi 54 tahun yang lalu, yaitu pada bulan September 1948. Apa gunanya disinggung kembali suatu peristiwa yang terjadi setengah abad lebih yang lalu? Apakah hanya terdorong secara emosional oleh nostalgia, oleh kenang-kenangan pribadi? Atau untuk mencari hikmah dari suatu peristiwa politik penting masa lampau? Bagi saya, ikut serta di dalam seminar ini, adalah suatu usaha kecil untuk ikut mencoba memberikan sedikit isi kepada hikmah tersebut; dan sama sekali bukan karena terdorong nostalgia atau kenang-kenangan emosional belaka. Tidak banyak, bahkan mungkin tidak ada yang bisa saya tuturkan tentang peristiwa itu sendiri dan fakta-fakta sekitarnya. Saya tidak mengalami sendiri proses terjadinya Peristiwa Madiun itu. Lagi pula, dalam bulan-bulan Juni sampai dengan Agustus 1948 saya sibuk memberikan laporan tentang misi saya di luarnegeri kepada pemuda dan rakyat Indonesia. Kiranya cukup terwakilkan oleh uraian seorang tokoh utama, seperti kawan
4
Soemarsono dan kawan-kawan lainnya, tentang berbagai aspek penting Peristiwa Madiun itu sendiri, khususnya aspek politik dan militer. Di samping itu tersedia pula tidak sedikit penulisan tentang Peristiwa Madiun, bukan hanya dari pihak Indonesia sendiri, juga hasil penelitian pengamat-pengamat politik luarnegeri baik media pers maupun kalangan ilmuwan sejarah, yang sudah lama beredar. Yang saya mungkin dapat menggambarkan adalah situasi Solo berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi di bulan September menjelang hijrah kami - dua kawan lainnya dan saya - ke Madiun pada tanggal 18 September 1948. Uraian saya akan dimulai dengan suatu prolog dan saya akhiri dengan suatu epilog, kalau boleh saya gunakan kata-kata ‘besar’ itu! Dalam prolog, pertama saya ingin menunjuk kepada kenyataan bahwa lama setelah Peristiwa Madiun menjadi sejarah, sementara orang masih juga menganggap peristiwa itu sebagai salah satu ‘hasil godokan’ South East Asian Youth- and Students Conference yang diselenggarakan bulan Februari 1948 di Calcutta, India. Lepas dari fakta bahwa anggapan ini salah sama sekali, dia menunjukkan adanya ketakutan di kalangan kekuatan-kekuatan konservatif - oleh Bung Karno jauh sesudah Konperensi Calcutta disebut “the old established forces” - baik di Barat maupun di Timur, akan tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru, terutama di kalangan generasi muda yang anti-kolonialis dan anti-imperialis. Perlu kawan-kawan mengetahui - kalau memang sudah lupa atau waktu itu belum lahir atau masih balita! bahwa atas penugasan BKPRI – Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, sesudah mengunjungi World Youth Festival pertama dan sidang WFDY (World Federation of Democratic Youth – Federasi Pemuda Demokratis Sedunia - pen.) dan IUS (International Union of Student – Ikatan Mahasiswa Internasional – pen.) di Praha bersama Suripno dan Sugiono - Ketua Sarekat Mahasiswa Indonesia – bulan Juli-Agustus 1947 di Praha, - saya pada bulan November 1947 dari London menuju Calcutta untuk ikut serta sebagai anggota International Preparatory Committee mempersiapkan Konperensi itu, mewakili BKPRI. Kemudian pada bulan Februari 1948, saya ikut serta sebagai anggota Delegasi Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh kawan Supeno dengan anggota-anggotanya Otto Rondonuwu dan Amin, yang ketiga-tiganya langsung datang dari Indonesia. Adalah kenyataan, bahwa Konperensi Calcutta yang pesertanya dating dari belasan
5
negara Asia Barat, Timur dan Selatan serta Asia Tenggara telah mengambil keputusan-keputusan dan juga mengeluarkan Resolusi Pokok yang dengan kuat mengutuk imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat, serta seruan untuk berlawan. Negara-negara itu ketika itu sedang bergejolak dalam perjuangan untuk merebut dan membela kemerdekaan nasionalnya dan perdamaian dunia, melawan kolonialisme dan imperialisme. Pada tanggal 12 April 1948 saya tiba kembali di Indonesia. Segera sesudah itu, BKPRI menyelenggarakan rapat-rapat laporan tentang Konperensi Calcutta di berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat itu juga terjadi insiden-insiden pembunuhan dan penculikan di Solo bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus, dan berikut di Madiun sendiri pada bulan Agustus dan awal/pertengahan September 1948. Pada 30 Juni 1948, dalam kehidupan pribadi, saya menjalani perkawinan saya yang sudah dua tahun tertunda itu, dengan Soekarno, anggota Dewan Pusat Pesindo dan salah seorang dari 11 kawan yang kemudian dibunuh di Ngalian. Betapa tepat stelling bahwa Peristiwa Madiun adalah lanjutan dari Peristiwa Solo dan bahwa kedua-duanya tidak berdiri sendiri, dapat saya pribadi mengalaminya. Pada kira-kira 7 September (tanggal yang tepat sudah saya lupa), tengah malam, kamar kecil yang Soekarno dan saya tempati di bagian belakang rumah Wikana sesudah perkawinan kami, digedor dan dibuka dengan paksa oleh dua, tiga orang gerombolan bersenjata. Soekarno, tanpa diberikan kesempatan untuk berpakaian mengenakan celana panjangnya, didorong keluar, masuk sebuah truck yang sedang menunggu, kemudian hilang di gelap malam. Tanggal 14 September - entah sore, entah malam - ia kembali. Dengan tidak memberikan penjelasan apapun, ia mengambil beberapa potong pakaian dan sikat giginya, untuk kemudian menghilang lagi. Saya hanya dipesan: “Jaga dirimu!” Ini adalah kata-kata terakhir yang saya dengar dari mulutnya, dan kesempatan terakhir kami bertemu muka selagi ia masih hidup. Karena keselamatan saya sendiri terancam oleh gerombolan bersenjata yang pada 17 September mengepung rumah Wikana di Solo, saya dengan beberapa kawan dibawa lari ke Madiun mencari perlindungan di BKPRI. Setibanya di Madiun, kami tidak ditempatkan di BKPRI, tetapi di rumah seorang teman di kota Madiun. Kami tidak diperbolehkan keluar rumah. Ini sebabnya juga saya tidak banyak mengetahui tentang apa yang terjadi di kota Madiun sendiri, sebelum kami mengikuti barisan panjang yang menuju ke
6
Dungus, Sarangan, Gunung Lawu. Baru di dalam perjalanan itu kami mendengar apa yang telah terjadi di kota Madiun. Lepas dari penilaian orang mengenai situasi politik ketika itu di Madiun menjelang Mars Jauh, lepas dari ada tidaknya satu atau lebih “actor intellectualis”nya yang oleh sementara orang dianggap ‘keblinger’, saya berpendapat bahwa Mars Jauh itu sendiri merupakan suatu tindakan beladiri melawan agresi militer pemerintah R.I. ketika itu yang dilancarkan oleh pasukan Siliwangi. Suatu tindakan beladiri melawan penindasan dan penghinaan terhadap rakyat. Karenanya harus dipuji. Beribu-ribu kawan yang telah mengorbankan jiwanya harus kita kenangkan dengan rasa hormat yang mendalam. Saya ingin menyebut beberapa detik peristiwa yang menggambarkan sikap orang komunis terhadap rakyat pekerja, terhadap tanahair, terhadap hidup dan perjuangan yang saya saksikan di dalam Mars Jauh itu. Di sebuah desa ada anggota pasukan kita yang karena kehausan memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa. Saat itu bung Amir yang kebetulan melihatnya, menghardik dengan suara keras dari bawah pohon: “Turun! Turun segera! Jangan memetik!” Dengan nada serius dan rasa marah tertahan, Bung Amir memberikan peringatan kepada kita semua yang maju berkumpul menyaksikannya: “Pohon kelapa itu milik rakyat penduduk yang mendiami kampung ini dan memiliki rumah serta isi kebun ini. Mereka sekarang tidak ada. Kita sekali-kali tidak berhak mengambil sesuatu dari tuanrumah yang sedang tidak ada dan tidak memberikan izin kepada kita untuk mengambil sesuatu.” Di suatu daerah datar ketika pasukan Siliwangi tak terlalu jauh di belakang barisan kami, dan kami diperintahkan jalan cepat, menempuh, sedapat mungkin, tujuh kilometer sejam untuk menghindarkan kontak dengan musuh, saya melihat seorang tua berjalan agak sulit, bercelana kumuh, basah dari darah yang setetes demi setetes membasahi kakinya. Pak Sardjono! Ketua CC PKI pada waktu itu, bekas buangan di Digul. Ia sedang menderita penyakit aambeien. Dengan senyum di bibir, seolah-olah minta maaf karena mungkin tak sanggup memenuhi target tujuh kilometer sejam itu - beliau menghampiri saya, sambil berkata memandang pemandangan alam yang hijau dan indah, seolah-olah tak ada perang saudara, tak ada Siliwangi yang membunuh bangsanya sendiri: “Sangat indah tanahair kita!”
7
Humor dan cetusan falsafah di tengah-tengah pertempuran, betapapun sengit, juga terjadi. Tempat adalah sebuah lereng pucuk gunung Lawu. Barisan sedang dicecar oleh berondongan peluru Siliwangi, dibalas oleh pasukan kita. Tempat itu gundul dan hanya dipenuhi pohon-pohon kapok dengan batang-batang kurus-tinggi. Ingin menyelamatkan secercah hidup yang sedang tumbuh di dalam perut, saya lari mencari keselamatan di belakang sebatang pohon kapok yang kurus, sambil merangkul perut dengan kedua belah tangan saya. Tiba-tiba setelah meredanya pertempuran, terdengar gelak-ketawa - muncullah sosok seorang komandan pasukan kita: Yadao! Masih tertawa kecil-kecil ia berkata: “Perut zus lebih lebar dari batang pohon itu!” Kemudian dilanjutkan dengan penuh arti: “Ibu dan bayi saling melindungi jiwanya masing-masing ....” Pada tanggal 18 November 1948 rombongan pemudi-pemudi Pesindo, termasuk saya, ditangkap di Klambu. Kalau tadi kami masih bersama-sama, setibanya di satu pos markas tentara pemerintah, saya dipisahkan dari rombongan pemudi. Suatu ketika saya dihampiri seorang perwira tinggi yang melemparkan pertanyaan aneh - saya lupa kata-kata yang tepat - yang bernada tuduhan - begitulah yang saya secara subjektif rasakan!: “Apakah kau telah membawa blueprintnya pemberontakan Madiun dari Calcutta?” Perwira itu ternyata Kemal Idris. Jawaban saya, “Saya tidak tahu-menahu tentang blueprint apa saja. Saya di Calcutta utusan pemuda Indonesia membela dan mempropagandakan kemerdekaan Indonesia.” Saya disatukan dengan rombongan bung Amir, pak Sardjono, Suripno, Maruto Darusman dan Djokosujono, dibawa dengan kereta-api ke Solo, ke rumah gubernuran, di mana kami ditunggu Gatot Subroto. Di Delanggu terjadi satu peristiwa yang memberikan kesan yang mendalam kepada saya. Di stasion bergerombollah massa rakyat: teriakan kutukan disertai lemparan kulit buah pisang dan lain-lain serta telur busuk telah ‘menyambut’ kami. Bagi saya, betapa perih dan sakit untuk mengalami luapan marah dan histeria massa rakyat itu. Bukan sepotong kulit jeruk keprok yang mengena pipi saya itu yang menyakitkan, tetapi arti politik di belakang peristiwa itu: suatu cerminan dari perpecahan yang mendalam dalam kekuatan rakyat yang selamanya mengalami penindasan dan penghinaan? Sesuatu yang pada waktu itu saya belum dapat mengenal dan menyedarinya, hanya dapat merasakan sebagai suatu sinyal, suatu isyarat yang menakutkan. Tinggal satu pertanyaan yang sangat mengganggu: siapa yang bertanggungjawab atas keadaan itu?
8
Pertanyaan mana saya bawa serta ketika saya dipenjarakan di sebuah sel, tepat di samping sel-sel kawan-kawan Maruto dan Suripno cs. Kedua sel kami itu dihubungi saluran air antara dua lobang buang air – wc – yang letaknya di belakang kedua sisi dinding yang memisahkan sel kami. Saluran itu kami gunakan untuk saling berkiriman ‘kattebelletjes’ yang kami masukkan ke dalam kotak korek-api yang terapung-apung di atas saluran air yang menuju saluran air sebelahnya. Kertas-kertas sobekan koran itu sangat membantu saya secara moril dan mental, terutama selama berlangsungnya pemeriksaan. Saya juga moril terbantu kalau waktu menuju ke kamar pemeriksaan saya berpapasan dengan Alimin dan beliau melemparkan senyum kepada saya yang mengandung dorongan supaya tabah sambil mengangkat tangan tanda salam. Di dalam pemeriksaan berkali-kali saya dimintai keterangan tentang Konperensi Calcutta dalam hubungan dengan apa yang mereka namakan ‘pemberontakan Madiun’. Jawaban saya, yah itu-itu juga: “Saya wakil pemuda Indonesia. Membela dan mempropagandakan kemerdekaan Indonesia di Eropa dan Calcutta. Saya tidak bertanggungjawab atas Peristiwa Madiun.” 19 Desember 1948 sore hari. Kakilangit Solo diwarnai merah dari api bumi hangus rakyat Solo yang melawan masuknya pasukan-pasukan Belanda yang datang menduduki Solo. Alimin dan saya yang dengan rombongan tawanan lainnya sedang diantar keluar dari penjara oleh penjaga-penjaga, diselamatkan oleh anggotaanggota Pesindo dan ditampung di rumah penduduk yang bersahabat. Waktu itu kami belum mengetahui bahwa 11 kawan Amir Sjarifuddin cs, termasuk suami saya, Soekarno, malam 19 Desember itu juga dieksekusi di desa Ngalian atas perintah Gubernur Militer Gatot Subroto. Baru pada tanggal 20 September 1950 diketahui melalui pengakuan resmi tertulis dari Kepala Kepolisian Keresidenan Surakarta bahwa pada tanggal 19/20 Desember 1948, pukul 23.30 sebelas kawan Amir Sjarifuddin telah “diberikan hukuman secara militer” di desa Ngalian, tanpa melalui pengadilan, sebagaimana surat itu berbunyi. Pada tanggal 19 November 1950 di desa Ngalian diselenggarakan penguburan kembali serta pemberian penghormatan terakhir kepada sebelas kawan yang ditembak di Ngalian itu. Epilog. Sekarang kita berkumpul disini di tahun 2002. Sebagian besar dari kita
9
adalah orang-orang yang terhalang pulang. Jadi, kita berada di negeri orang: Mengenang kembali 19 September 1948. Limapuluh empat tahun sudah berlalu. Dari generasi 1945 itu hanya tinggal beberapa orang saja. Sebagai salah seorang dari angkatan “Peristiwa Madiun” itu saya menyadari betapa mahapenting pengalaman masalampau itu diteruskan kepada generasi-generasi muda berikutnya. Bukan karena nostalgia serta kenang-kenangan penuh emosi, tetapi karena rasa tanggungjawab joang kepada generasi-generasi berikut rakyat dan bangsa Indonesia. Kita sudah melalui Peristiwa Madiun 1948, Razzia Agustus 1951, percobaan kup 17 Oktober 1952, serangan-serangan PRRI-Permesta 1956-1957. Bangsa Indonesia sudah mengalami berbagai percobaan pembunuhan atas Presiden Soekarno. Dan pada tahun 1965-1966 kita mengalami Gerakan 30 September berikut 32 tahun Orde Baru yang dampaknya masih kita rasakan dan belum dapat kita atasi. Mengenang kembali sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yah, sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, maka sebagai benang merah yang menjelujuri rangkaian peristiwa itu, tampak bagi saya suatu pola komplotan kepentingan global modal raksasa asing, terutama yang diwakili oleh imperialisme Amerika Serikat. Pola komplotan itu bertujuan menjadikan negeri-negeri Dunia Ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin, termasuk Indonesia, yang telah merebut kemerdekaannya sesudah Perang Dunia II dan kaya bahan-bahan pelikan strategis, seperti minyak, batubara, tembaga dan uranium (untuk menyebut beberapa saja), menjadi negara-negara satelit yang tunduk dan setia kepada imperialis Amerika Serikat dan Barat. Kita tidak lupa konperensi rahasia Sarangan antara G. Hopkins - penasehat politik luarnegeri Presiden Truman dari Amerika Serikat dan M. Cochran - wakil Amerika dalam Komisi Jasa-jasa Baik – dengan pembesar-pembesar R.I. yang telah menelorkan “Red Drive Proposals” - Anjuran pembasmian orang-orang merah/orang-orang komunis - pada bulan Juli 1948. Kita juga mengenal peranan Campbell dari F.B.I. – Federal Bureau of Investigation - yang telah memainkan peranan penting di belakang Razzia Agustus 1951. Peranan Amerika Serikat di dalam perebutan kekuasaan oleh sementara kekuatan militer daerah seperti PRRI-Permesta di Sumatra dan Sulawesi tahun-tahun 1956 dan 1957, menjadi jelas dengan tertangkapnya pengemudi pesawat pembom AS yang antara lain telah mengebom Ambon, Alan Pope.
10
Peristiwa Madiun adalah mata rantai awal di dalam rangkaian usaha imperialisme dunia dengan bekerja sama dengan kekuatan anti-komunis dan anti-rakyat dalamnegeri untuk menghancurkan Republik Indonesia yang maju, adil dan cinta-rakyat, menjadi neo-koloni Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Sejarawan Barat, Harvey J. Key, menegaskan bahwa “menguasai masalampau adalah senjata ampuh dalam memenangkan perjuangan politik sekarang.” Dr.Susanto Zuhri, sejarawan, Kepala Direktorat Sejarah pada Badan Pengembangan Kebudayaan dan Parawisata, berkata: “Sesuatu kita kenang karena dianggap bermakna. Makna yang kita angkat dari peristiwa itu adalah pelajaran berharga.” Sebagai akhir kata makalah ini, ingin saya mengomentari kata-kata tersebut di muka: Memenangkan perjuangan politik, tergantung dari siapa yang menguasai masa lampau sebagai senjata ampuh, dan untuk kepentingan mana dan siapa makna masa lampau itu digunakan. Saya yakin bahwa generasi muda Indonesia dan generasi-generasi berikutnya yang memihak rakyat dan kepentingan massa rakyat di desa dan kota, akan mampu mengambil dengan tepat hikmah dari sejarah masalampau dan pengalaman generasi tua - yang positif maupun yang negatif – untuk meneruskan perjuangan demi satu Indonesia yang lebih adil, bahagia dan damai. 20 Oktober 2002
11