1
Sarapan Dingin A human being story, a novel by Silvano Hajid Maulana Mimpi dan Imajinasi 02.00 AM, 4 januari 2007…diatas segalanya… Raga yang mati atau jiwa yang mati…tak punya nama ke duanya tak dapat dipilih Aku merasakan angin yang membawaku pada kebebasan, angin yang mendorongku, aku tak percaya aku benar-benar memulai langkahku yang benarbenar jauh, beberapa langkah penuh dengan kekecewaan, aku tidak akan pernah menutup mata, aku duduk sejenak menghisap rokok untuk terakhir kalinya, menghirup udara malam dari sini untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, aku tak berguna jiwa dan ragaku serasa mati…
09.21 PM, 5 September 2006, Rumah susun, Bendungan Hilir, Jakarta Aku tiba-tiba ingin sekali mempunyai mata lain yang bisa melihatku berjalan, bertingkah, berbicara, tidur…ingin mengkoreksi diriku, cermin saja tidak cukup. Aku tiba-tiba ingin sekali mempunyai mata yang lain yang bisa melihatku dari sisi berbeda, “cermin” saja tidak cukup Ibu pernah bilang, bercermin dahulu sebelum melihat orang lain yang kamu anggap lebih buruk darimu, sama saja seperti berpikir sebelum bertindak mungkin…aku tidak mau menjadi daging, otot, tulang yang berjalan lurus, aku tahu diriku…aku seseorang yang berbeda, aku ingin berbelok… Kaki ku bergerak menuju cermin di kamar mandi…ku yakin pikiran bawah sadarku yang menyuruhku ke sini, tapi kurasa bukan untuk melihat sesuatu yang terlihat pada diriku
2
Aku takut apa yang ada sekarang, apa yang telah ku bangun sekarang, hilang tanpa tahu kemana lagi akan kucari, aku takut apabila semuanya berakhir dan bermula dari nol lagi Aku hanya ingin mengatakan pada diriku bahwa cemin bisa berbohong, sebelum ku mulai hariku besok dengan komputer, bis, asap, panas terik.
08.45 AM, 6 September 2006, Rumah susun, Bendungan Hilir, Jakarta “will you ever see me, like a possible lover again…” Tahiti 80 / Yellow Butterfly Setengah mataku terbuka, mencari-cari bunyi ringtone dari telepon genggamku… Aku masih tertidur dengan tangan yang meraba-raba bawah bantal, mencari telepon genggam… “when I look in to your Eyes I see the yellow butterfly…” Fuuh…akhirnya ku temukan…tepat disampingku… “Halo” ucapan jutaan orang ketika menerima telepon, aku termasuk jutaan orang itu…jutaan orang yang mengikuti orang lain dengan berkata halo...mengapa ku tak bilang damned you, it’s too morning to called me!!!… “dirga, gue tau lo baru bangun kan?” “iya, terus kenapa?” “nanti siang honor lo bisa di ambil, ketemu gue aja di starbucks PS, makasih banyak ya…bye” …Aku belum mengucapkan terimakasih kembali…telepon sudah ditutup… 02.00 PM –Starbucks, Plaza senayan- 6 September 2006 Aku tak suka aroma kopi di starbucks, aku lebih suka aroma kopi di warung kopi lokal…,aroma kopi di starbucks sangat rapih kadang membuatku mual, Maya yang tadi pagi menelepon ku sudah menunggu dengan se per empat kopi yang ada di cup.
3
“sorry I’m late , udah lama di sini?” aku mengakui bahwa pertanyaanku mengarah ke basa-basi “nggak lama, baru setengah jam…lo pesen aja dulu…apa gitu…”dirga sepertinya sudah tak sabar menerima honornya “nggak deh, kaya’nya nggak cocok kalo siang-siang panas kaya’ gini minum kopi…”Maya agak bingung dengan perkataanku “ kan ada yang dingin PAK!” dasar dirga…tak bisa ditebak “ tetep aja may, nggak cocok, harusnya juice atau air mineral dingin, nanti aja deh gue tazo mint tea” aku duduk di samping maya “ga, lo nggak suka kopi ya?”sepertinya dirga sudah mulai tergoda dengan kopikopi di sini…matanya melihat kopi yang disajikan barista “tergantung kopinya sih, oh iya, honor gue gimana…hehe…” this is the best part of our conversation…I think… “sebentar ya, gue udah nyiapin dari tadi” aku agak sedikit sibuk merogoh-rogoh tasku untuk mencari amplop honor dirga… “may, kenapa nggak lo transfer aja sih…”maya mengeluarkan amplop berisi honor ku sepertinya… “kalo bisa ketemu langsung kenapa enggak?”aku berbicara sebicara-bicaranya, tanpa tahu bagaimana dirga akan menagkap kata-kataku “Kan bukannya lebih gampang, lo tinggal ke ATM, nggak perlu nunggu kaya’ tadi kan?” Aku tak sabaran menerima honorku “Kadang-kadang teknologi bisa ngubah kita jadi nggak humanis lagi kan ga” aku menemukan alasan atas perkataan ku tadi “emang bener sih…tapi kenapa lo bikin asumsi kaya’ gitu, pernah trauma ya?”Aku makin tidak sabar menerima honorku
4
“nggak sih, Sebenernya sih ATM gue lagi kosong, gue males ke bank untuk nyetor, jadinya gue kemana-mana bawa uang lo, termasuk honornya Gaza, oh iya ini honor lo ga” aku menyerahkannya kepada dirga “Ga jangan lupa diitung dulu” Sebelum dirga mengucapkan terima kasih aku harus pastikan uang yang diterima dirga sesuai dengan yang ku janjikan sejak awal “oh iya” aku melihat jumlah uang seratus ribuan 80 lembar… “gimana?”aku bertanya lagi pada dirga “Pas, makasih banget may, kalo lo butuh tenaga desain grafis lagi panggil gue aja…” sebenarnya aku berharap untuk bertemu maya lagi “pastilah, lo, dan gaza tu yang duluan gue panggil, desain lo berdua keren banget, sesuai lah sama apa yang kita mau” semuanya sudah beres…tapi aku ingin disini lebih lama “bisa diatur may…”begitu banyaknya kata-kata yang dikeluarkan, akhirnya aku terpaksa memesan bukan kopi…
08.47 AM, 6 September 2006, Rumah susun, bendungan hilir, Jakarta “when I looking to your eyes…” Ku menemukan telepon genggamku tepat di sampingku “kenapa May?” “gue udah nyuruh orang transfer honor lo kemarin, gue lupa ngabarin lo” “huaaah (aku menguap selebar-lebarnya)” bukannya lo ngajak gue ketemuan di starbucks PS ya tadi…”aku setengah tidur “kapan? Ini gue baru nelpon lo…ya udah lo tidur lagi, nanti siang after lunch lo ikut gue meeting ketemu owner Damien lounge, mereka minta lo ngejelasin design lo lagi, kaya’nya aga kkurang puas mereka, oh iya hari ini hari terakhir lo kerja jadi graphics designernya Damien lounge, kontrak lo kan udah abis”
5
“yaudah, sampe ketemu di sana…” Telepon sudah di tutup…aku kaget, aku sudah tidak peka lagi pada mimpiku dan kenyataanku...
11.00 AM, 6 September 2006, menuju halte transjakarta Bendungan Hilir/jembatan penyeberangan besi pipih Tok, tok, tok… Jreg, jreg, jreg… Duk, duk, duk… Dung, dung, dung… Entah apa bunyi lain yang akan di timbulkan dari ribuan orang yang berjalan di atas lempengan besi yang terpaku sedikit rapih menjadi alas untuk berjalan di jembatan penyeberangan, sangat membuatku juga merasa gaduh…belakangan ini aku tidak bisa lagi membedakan mimpiku dan kenyataanku, atau kenyataanku dan mimpiku…mimpiku begitu nyatanya seperti hidup nyataku.
01.30 PM-Damien Lounge- 6 september 2006 Aku duduk dan kakiku terus saja bergerak, tumit menghentak lantai kayu, terus menerus, mataku menerawang ke sekeliling ruangan yang redup…menunggu maya dengan kesibukannya…menunggu dan menunggu “gimana may, ownernya udah dateng?”maya melewati ku, sebelumnya dia terlihat sibuk “Belum…oh iya…”aku duduk di samping dirga… “gini ga, langsung aja ya…gue seneng banget kerja bareng lo, tiga bulan yang lalu waktu Gaza recommended lo, gue tau kalo desain-desain lo pasti keren, padahal gue belum liat portfolio desain lo, then…I think you are the right person for our graphics designer, untuk promosi, dan event-event tertentu pasti bagus banget kalo lo bisa kerja tetap disini…visualisasi visi lounge ini, bikin grafis yang catchy
6
dan gak norak, paduan warna yang ciamik…wah gak tau deh harus ngomong apa lagi ” ekspresi wajah dirga berubah… “sound’s great, may lo tau sendiri gue nggak punya kerjaan tetap lagi kan, nanti siapa yang bakal bayar uang kontrakan dan makan buat gue…” “that’s why! Kontrak lo bisa di perpanjang di Damien lounge, gimana?...”dirga terlihat semakin antusias ke arah ku… “ga…dirga…” mata lelakinya menerawang melihat lampu Kristal hitam bergaya Victorian yang berada di tengah-tengah venue, aku dari tadi sibuk mondarmandir, memastikan bahwa lounge ini masih berjalan pada jalurnya “eh…may…”ya tuhan aku melamun lagi…aku tadi hanya membayangkan saja… imaji ku kacau sekali “Lo nggak perlu lagi ketemu sama owner Damien, no heart feeling ya ga, dia itu ternyata tipe orang yang gak terlalu tertarik sama sebuah konsep, lo tau kan maksud gue…yang penting profit, profit dan profit, lounge ini bakal berubah soon or later…maybe it would be some kind of restaurant, dan gue harus resign secepatnya ” dirga masih sedikit memperhatikan kata-kata ku, sepertinya dia memikirkan hal yang lain “kok gitu may, ummm…terus…?”maya berbicara tanpa duduk, aku berdiri juga akhirnya, karena ku yakin pasti pembicaraan ini akan begitu saja berjalan tanpa arti apa-apa…walaupun aku punya banyak pengharapan… “gimana ya…that’s it, lo udah terima honor lo, dan kontrak lo udah abis, tapi kalo nanti Damien lounge butuh lo untuk desain layout poster, flyer, atau big banner, pada event-event tertentu, kita pasti panggil lo lagi…yaah itu juga kalo Damien lounge gak berubah jadi Damien family restaurant yaa…and in that time gue juga pasti udah resigned” Dia terlihat sedikit kecewa “gue tau, oh iya lo lanjutin kerjaan lo lagi aja, kaya’nya dari tadi lo sibuk, dan kita nggak jadi kan ketemu owner Damien ? ” aku memastikan bahwa sehabis ini aku langsung pulang
7
“nggak jadi ga, tadi kan gue udah bilang, ya udah lah, gue mau ngelanjutin kerjaan gue, lo bisa stay dulu di sini apa gimana terserah…”aku berharap dia langsung pulang, aku tidak mempunyai banyak waktu lagi, dan tak punya bahan obrolan lain… “gue langsung pulang aja, kabarin gue kalo ada kerjaan lagi ya…keep in touch yaa…”aku berjalan menuju ruang redup itu, kakiku terasa berat sekali… “sip ga”dia meninggalkan Damien begitu saja, sedangkan aku masih larut dalam kesibukanku… Aku inginkan merasa akrab dengan maya, merasa seperti teman, suasana yang nyaman, aku ingin dia seperti apa yang aku inginkan, menjadi rekan kerja yang baik…, aku ingin dia menjadi hangat…aku harapkan banyak…tapi sudahlah, aku juga tidak akan sering bertemu dengannya lagi…aku baru nenyadari jika kedatanganku tadi sia-sia, aku tidak suka dengan segala hal yang tak perlu kulakukan, hanya buang-buang waktu…dan bertele-tele, sudahlah lagi pula detik ini aku takut akan kata “NANTI”, nanti aku akan bagaimana tanpa pekerjaan, aku harus apa?uang sangat menyiksa semua orang, menjadi pikiran semua orang…
Perkenalkan namaku Rhauma, Perkenalkan namaku Haris 10.00 AM, 23 Maret 2006,Rumah 12, kemang “halo, ini PMI pusat?” aku memastikan bahwa yang kutelpon benar “iya benar, ini dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu?” ”Saya Rhauma mba, saya tahun lalu pernah donor darah, apa saya bisa minta darah saya kembali?” ”maksud anda?” ”saya boleh minta darah saya kembali, saya tidak jadi menyumbang” aku berbicara seolah-olah aku pendonor darah yang paling pelit ”mba, kalo mau main-main jangan di sini”
8
Telepon ditutup begitu saja, ah besok ku coba telepon lagi, siapa tahu berhasil 1995, Kulon progo, Jogjakarta Bapak tidak suka dengan apa yang aku lakukan, aku hanya menggambar seharian, sedangkan mas dirga yang lebih disukai bapak diajak ke malioboro, aku belum pernah ke sana, jika mas dirga bisa ke malioboro mungkin aku bisa ke Jakarta, ibu di rumah saja menyiapkan makan malam, dan aku masih menggambar, aku menggambar, menggambar…bapak tidak suka, tidak akan pernah suka, sesukaku hari ini… aku tidak suka apa yang selalu di perintahkan bapak, belajar biar nanti bisa jadi dokter…pengusaha…atau masuk akademi militer. Makanan sudah ada di meja makan, padahal hari masih sore, belum malam, makanannya untuk malam tapi sudah ada sejak sore, aku tidak akan berani mengambil makanan itu, sebelum bapak makan, padahal aku sudah lapar, aku harus menjadi seseorang yang penuh sopan-santun, aku tidak mau selalu sopan, membuatku bosan, aku benci berada di sini… Aku ingin bapak menjadi baik, aku ingin bapak memarahi mas dirga, aku ingin ibu berbicara dan setuju dengan semua yang aku lakukan…besok aku sudah sekolah lagi, aku sangat malas…guru-gurunya bodoh, otaknya seperti kurang makan… Rumah 12, kemang. 25 Maret 2006 11.00 am “Halo, PMI pusat?” sama seperti kemarin, tetapi sekarang suaraku ku buat berat ”iya benar, dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu? ”begini, saya tahu memang agak konyol, tapi saya mau minta darah saya kembali, boleh?” ”memang ibu kenapa, kok tiba-tiba minta darahnya kembali?” ”begini lho, saya itu terinfeksi virus ganas, saya mau memastikan jika darah saya tidak dipakai...” aku berusaha menahan tawaku, tetapi tidak bisa kutahan, aku terpingkal-pingkal, dan telepon sepertinya ditutup
9
07.12 PM, 6 September 2006, rumah susun beendungan hilir, Jakarta Aku ingin berada di ruangan dingin ber-AC disini sangat pengap, di sini begitu tak nyaman…malam ini sangat panas, dan aku hanya mengandalkan kipas angin kecil yang aku beli di passer baroe dengan harga miring, aku berbaring sambil menghitung-hitung uang yang tersisa untuk hidupku nanti, sebenarnya aku malas, tapi jika tidak begini uangku bisa-bisa keluar tidak jelas, dan aku tidak makan, selama setahun ini ibu tidak pernah mengirimiku uang lagi… 1995, SD NEGERI kulon progo “Pak kenapa kita harus menghafal UUD 45?” aku malas menghafal, yang ku inginkan hanya berpikir bukannya menghafal “ya, memang harus, kita kan warga Negara Indonesia, bukan PKI, nanti ulangan bakal keluar” “tapi pak, kalo kita sudah hapal, apa gunanya?” aku masih bertanya, karena memang aku perlu tahu, aku juga agak bingung mengapa PKI begitu di bilang jahatnya, UUD 45 memang mendukung hak-hak sipil, hak dan kewajiban seorang warga Negara, aku tidak mengerti apa yang dimaksud hak dan kewajiban, aku belum pernah merasakannya, ataupun memanfaatkannya…mungkin secara sadar…malas aku pikir-pikir hal itu “supaya kita bisa mengamalkan nilai-nilai pancasila, dan mengerti tujuan bangsa, kamu mengerti!” Haris, aku muak meladeni anak ini, aku merasa bodoh…aku tidak bisa selamanya merasa sok tahu dengan murid-muridku “iya pak” aku memberikan jawaban supaya omongan pak tolol itu tidak panjang, sebenarnya aku masih penasaran, aku jijik teman sebangku ku mengeluarkan ingus dari hidungnya, tangannya penuh borok, kukunya hitam-hitam, di lehernya penuh daki, jika aku seperti itu, ibu pasti langsung di marahi bapak, dan pasti ibu menggosok seluruh badanku tanpa tahu apakah akan sakit atau tidak…
10
11.00 AM, 6 Juli 2005, ITC Fatmawati Sehabis donor darah, aku langsung ke sebuah ruangan yang menyediakan makanan dan minuman sehabis donor darah, aku tebak makanannya adalah mie instan rebus, telur rebus dan susu coklat...beberapa saat petugas PMI menyediakan makanan dan minuman sesuai dengana tebakanku... ”sama aja ya mi, kemarin-kemarin juga begini makanannya” aku mengambil garpu dan melilitkan mie yang ada di mangkuk ”iya, dari mami donor darah pertama kali sampe sekarang” aku memandang rhauma dan tersenyum sama dengannya ”mami, Rhauma ngambil kesimpulan kalo kita sumbang darah, sebagai rasa terimakasih PMI ngasih kita makanan ini” ”kalo yang mami pikir sih, sehabis kita donor darah kan pasti lemes, jadinya butuh protein yang banyak deh, maka dari itu kita di kasih susu dan telur, oh iya, kamu gimana sekarang? Lemes nggak? Apa pusing-pusing?” ”Rhauma juga bingung mi, ini kan pertama kalinya donor lagi setelah rhauma keracunan seafood waktu itu, tapi rhauma nggak lemes ya” 1995, Kulon Progo, Jogjakarta Pakde memegangi ke dua tangan ku, dan ibu memegangi badanku, aku tidak bisa bergerak…bapak membawa satu gelas kecil air jamu, air keruh, aku tidak tahu isinya apa, tiba-tiba saja bapak membuka mulutku dengan paksa, meminumkan jamu itu padaku… “anak susah makan, ya seperti ini! Nanti biar gemuk, biar sehat…”haris dari dulu tidak pernah gemuk, tidak pernah sehat seperti Dirga, dia seperti bukan anak ku saja, semua terlihat sehat dan bugar kecuali Haris… “pak, kalau tidak bisa gemuk ya jangan di paksakan!” Aku berlari ke kebun, sambil menangis, aku berharap bertemu mas Dirga, dia biasanya membelaku…ku cari-cari mas dirga…
11
2001, Rumah joglo besar, Kulon Progo, Jogjakarta Ku cari-cari mas Dirga, rumah sangat sepi, aku baru terbangun dari tidurku, tadi malam aku membantu mas Dirga mengepak pakaian dan barang-barang, mas Dirga mau ke Jakarta, untuk tes sesuatu…apa aku pun tidak tahu detailnya, yang aku tahu adalah mas Dirga mengikuti tes tahap akhir yang diadakan sebuah foundation dari luar negeri, jika lolos dia akan pergi beberapa tahun dan kembali kesini membawa kebanggaan yang lebih besar dari saat ini, aku takut mas Dirga akan berangkat hari ini, walaupun dia bilang masih seminggu lagi di sini, bapak sangat bangga sekali punya anak seperti mas dirga, begitu pun aku, kakak seperti dia membuatku menjadi sombong, dia begitu sempurna, sebelumnya dia lolos tes SPMB dan sudah di pastikan dia masuk perguruan tinggi negeri favorit, beberapa PMDK di perguruan-perguruan tinggi negeri, dan bangganya bapak akan menjadi sangat berlebihan, aku tak tahu bagaimana lagi bapak akan menyudutkanku dengan segala pilihanku, aku sangat berbeda dengan Mas Dirga, bapak mengancamku kalau dia tak akan pernah membiayai hidupku lagi selepas SMA, aku takut sekali karena dua tahun lagi aku sudah lulus SMA, aku masih punya pertanyaan yang selalu membuatku sangat melankolis dan ber andai-andai, “mengapa bapak begitu kakunya padaku?, mengapa bapak memperlakukan ku sangat berbeda dengan Mas Dirga, ironis sekali!”, aku tidak merasa spesial di dalam keluarga ku, aku hanya merasa bahwa aku ini spesial hanya dalam diriku saja, walaupun begitu aku sangat bangga dengan pilihanku, memang agak miris, tetapi aku bangga bila nanti selepas SMA aku bisa kuliah di FSRD ITB, atau … wow aku bisa kuliah di salah satu sekolah seni di Eropa…di sini sangat sedikit sekali orang yang menghargai seni, di sini banyak orang seperti bapak yang belum bisa menerima suatu seni sebagai kebutuhan, dan… hidup sendiri tanpa gangguan Bapak, aku tahu bakatku dan aku lebih baik dari Mas Dirga…tidak juga…bapak hanya menganggap kegiatanku adalah kegiatan pecundang, membuang-buang waktu dan tidak menghasilkan uang…apa salahnya sih kalau aku membantah, bukankah semua orang itu juga punya hak untuk berbicara dan
12
mengemukakan pendapat, ibu selalu mengajari aku untuk tetap lantang melawan apa yang menurutku salah…mengapa bapak selalu saja berpikiran negatif padaku. Mas Dirga dan Bapak baru saja pulang, aku tebak bapak mengajaknya berkeliling, berkunjung ke rumah saudara-saudara, dan ke rumah mbah kakung, bapak pasti mau membangga-banggakan anak kesayangannya itu, dengan alasan untuk berpamitan pada saudara-saudara yang lain dan Mbah kakung.
07.30 PM, 6 september 2006, Rumah susun Benhil Aku akan berpamitan pada kontrakan, aku akan tinggal sementara di apartemen Gaza seperti biasanya, hanya dia yang tahu kesulitanku, hanya dia satu-satunya sahabat yang ku percaya dan Aku tak sadar jika keringat sudah banyak menetes dari badanku, aku merasa bau keringat, mungkin aku bisa tinggal sementara di apartemen Gaza, untuk menghemat, mungkin…lebih baik ku telepon dia… “halo, ini temennya Gaza ya ?” “ngg iya, ini nomornya Gaza kan ?” “bener, tapi Gaza masih di ruang operasi…” “Gaza kenapa ya ? ngg ini siapa ya ?” “gimana ngomongnya ya, saya suster disini, tadi Gaza nitipin HP nya, kamu nggak liat berita di TV ya?” “oh, eh iya suster, saya nggak punya TV, Gaza kenapa ya kok sampe di ruang operasi, emang gaza sakit apa?” “tadi siang ada bom lagi, kebetulan Gaza ada di dekat tempat kejadian, dia di ruang operasi sekarang“oooh, rumah sakitnya di mana sus?” “di RSPI” “halo…halo..halo…” Sialan! Pulsaku habis…mungkin aku ke rumah sakit besok, sekarang akan sia-sia jika aku kesana…
13
Qorin yang buta karena sunyi senyap 06.00 am, hampir bulan desember…2006, Toko Kue Ci Lina, Passer Baroe “Rin, bilangin ama ibu lu, besok bikin pastelnya 5 lusin aja, soalnya kemaren banyak yang nyisa” Qorin terlihat sedikit murung, aduh apa aku salah bicara ya? Dia itu perasa sekali “yah ci, ibu bikin kulit pastelnya terlanjur buat 10 lusin, saya kan nggak punya kulkas, takut berjamur ci…”aku harus bagaimana…aku tak tahu harus apa? Sekarang aku hanya bisa meraba-raba kotak pastel kemarin yang sudah biasanya Ci Lina siapkan di depan gerai kue-kue yang tersedia “lu titip aja di kulkas gua, nanti sore abang lu suruh kesini aja bawa kulit pastel” Qorin buta, selama ini hanya bisa menghafal jalan dari rumahnya ke toko ini dan hanya bisa berjalan di pagi hari, jika sudah sore, keadaan sudah berubah dan qorin bisa bingung dibuatnya “yaudah Ci, nanti saya bilang ke Ibu sama Bang Raihan, saya pulang dulu Ci” Aku sedikit lega, Ci Lina memberikanku jalan keluar “ati-ati, jangan buru-buru ya” aku kagum dengan semangat Qorin… “iya Ci, makasih ya….” Aku langsung keluar dari toko Ci Lina, aku meraba jalan dengan tongkat lipatku, aku mengenal jalan ini sejak lama, Ci Lina yang mengajariku, kecuali ‘lampu merah’…aku tak pernah mengenalnya dari dulu aku tak pernah tahu kapan aku harus menyeberang selain merasakan kehadiran orang di sekitarku dan menanyakan kapan waktunya menyeberang, aku tidak yakin dengan intuisiku di persimpangan jalan ataupun ‘lampu merah’,
kadang mobil atau motor bisa
melaju seenaknya walaupun lampu benar benar merah, ketika ci lina bilang, saat lampu bergulir ke warna merah, mobil-dan motor berhenti dan menunggu, sedangkan persimpangan lainnya berwarna hijau, walaupun aku tak mengerti warna hijau dan merah seperti apa, tapi kata ci lina lampu berwarna merah memberikan kesempatan pejalan kaki untuk menyeberang, iya aku bisa
14
merasakan dan mendengar ketika mobil berhenti, tapi aku juga merasakan ada beberapa kendaraan yang melaju…jadi apa aku harus mengandalkan setiap orang yang ada di sebelahku? “mas atau mba, saya mau nyebrang, ini sudah merah belum?” Aku menunggu lama jawaban orang yang ada di sebelahku… “mau saya Bantu nyebrang?, saya liat dari tadi kamu nunggu di sini” “oh…iya, makasih mas” Kurasa aku sudah ada di seberang jalan “makas…” Aku belum selesai berbicara “boleh kenalan nggak?” “saya Qorin…kamu sia a…” Kenapa dia selalu memotong kata-kataku “saya Gaza, oh yaudah sampe ketemu lagi” 'Telepon genggam sangat membantuku' - Rhauma Priatno12.00 pm, 27 Maret 2006, Rumah 12, Kemang Ah sudah, sudah cukup bermain-main sekarang saatnya bertukar gossip degan teman-temanku…aku menekan tombol di telepon genggamku, dan sesaat kemudian terhubung dengan Miranti “haiii Rhauma, you come back ?, where have you been, seru nggak tripnya?” “Gue baru tiga hari di Jakarta, ada gossip apa aja selama gue nggak ada? girl I miss you so bad !!!” “Miss you too honey, wah banyak banget bu, mantan lo si Kaffi tiba-tiba menghilang entah kemana, kania stop di dunia modeling, dia MBA, trus si Rendy ternyata gay, aduh apa lagi ya bu…sekarang elo dong yang cerita, oh iya oleholehnya mana?” “ada banyak banget, tapi udah last season banget, berhubung gue belinya tahun lalu, ada Hermes, tas-tas Balenciaga, oh iya lo mau Coach nggak?”
15
“wah asik…oh iya, tapi gue nggak bisa ketemu lo dulu, gue lagi sibuk banget sekarang” “Ya udah gue simpen dulu aja, bu gossip apa lagi dong?” “oh iya, Nendra nanyain no handphone lo terus tuh, kasih nggak?” “nggak usah, bikin dia penasaran aja” ”eh bu, ada telepon masuk ni, next time kita lanjutkan lagi yaa” Dasar sok sibuk...aku lalu menelpon temanku yang lain ”hai kania, ini gue Rhauma” “ya ampun, Rha lo kemana aja, kok menghilang dari peredaran...” ”biasa lah, nemenin nyokap travelling, eh kania gue denger lo married ya? Kok nggak ngundang-ngundang sih?” ”Ya ampun, lo tu dimana? Gue udah ngasih undangan ke rumah lo yang di menteng” ”iya, ya gue skip, kan gue nggak ada di indonesia, eh kok lo bisa cepet-cepet married sih, sama Andri kan marriednya?” ”ya iya lah, masa iya sama bokapnya, Andri juga udah mapan, yaa nggak ada salahnya kan kalo gue married” ”Tapi bener kan nggak kenapa-napa marriednya, maksud gue...yaaa you know lah” ”pasti lo tau dari si bencong kalo gue ini MBA, ah si bencong kurang ajar, gue itu nggak hamil, kalo gue berenti jadi model, yaa emang gue nggak kepengen aja, lo tau nggak kalo si miranti mau ngadain fashion show, dan dia ngebajak rancangan lo plek-plekan!” ”ah sumpah lo...syok gue...” “Iya, gue yang pertama tau, vivi, karina, sama Nathan juga udah tau sih, tapi mereka tetep aja jalan bareng Miranti”
16
“Wah, nggak bisa begini nih…” “Bener Rha, kita dateng aja ke fashion shownya sabtu depan, tau nggak temanya apa?” “apaan?” “AUDREY IS BACK” “yang bener lo..., gila ga bisa kaya gitu dong, ayo kita ringkus, dia...gue bakal obrak-abrik fashion shownya” “eh eh, lo taunggak kenapa gue panggil Miranti bencong?” “kenapa emangnya, jangan bilang dia rhinoplast ?” “sekarang Miranti dandan mirip banget bencong, pake bulu mata palsu di setiap occation, bling-bling banget deh, kan dia baru dapet partner baru....a.k.a penanam modal baru....a.k.a cowok BEGO yang siap menegeluarkan uangnya...” “siapa sih cowok baru itu?” “Nendra Rha!!! Dia Nendra...” Qorin punya keluarga yang tidak mempunyai otot di pipi 12.00 PM, hampir bulan desember 2006, Rumah petak gang sempit, Harmoni “Bang Raihan, nanti sore ke tokonya Ci Lina ya, nitip bahan-bahan pastel di kulkas nya Ci Lina” Aku meraba-raba kursi yang sebentar lagi aku duduki “Sore…?” ………………….. “Iya bang, pergi!” Aku mencari sumber suara… “Pergi?” …………………...
17
“Iya bang ke tempatnya Ci Lina” Aku sudah menemukan suara Bang Raihan, tepat di depan ku “Ci Lina!” ….Ci Lina! Oh… toko kue di pasar baru “iya bang” Bang Raihan sepertinya sedikit bergeser, suaranya sedikit menjauh “Kapan” …………………… “Nanti sore” Fuhh… “Yaudah….” Nanti sore, ke tempatnya Ci Lina…. Raihan menggambar gunung Kompleks Pegawai, Sawangan. Bogor, 1987 “Ibu… ayah pulang bu” hari ini ayah pulang dengan mobil baru, baru dipakai ayah, tapi kelihatan agak usang aku lari ke teras menunggu ayah turun dari mobil “Raihan mandi dulu!!!” anak itu bersemangat sekali menunggu ayahnya pulang “nanti aja bu, Raihan mau lihat mobil baru” aku senang aku kira ayah bercanda, asyik sekali besok-besok aku bisa berkeliling kompleks dengan mobil baru tapi usang, memamerkannya pada teman-teman, atau bahkan ke bandung dengan mobil baru, tidak dengan bus carteran bersama warga kompleks “assalammmualaikum” Raihan mencium tanganku…agak repot karena aku membawa beberapa map dan berkas-berkas dari kantor “ayah janji ya, sebelum berangkat ke kantor dan sebelum aku berangkat ke sekolah, ayah ajak aku keliling kompleks” “iya, tapi kamu tanya ibu dulu, makan malam sudah ada belum? ayah lapar nih, terus makanannya apa aja” aku melepas sepatuku, melepas lelah di sini, di teras
18
rumah, dan masuk dalam keadaan segar, membuang jauh-jauh raut muka masam dan lelah ku “ayah kita makan sup kacang merah, dendeng balado, tempe goreng, aduh Raihan jadi pengen cepet makan nih”aku kembali lagi ke teras dan menggandeng ayah masuk ke dalam
Gaza tidak setegang di jalur Gaza, Gaza yang ini sangat bersahabat 01.20 PM, 7 September 2006, -Rumah Sakit Pondok indah, Jakarta Selatan Aku menjenguk Gaza, membayangkan begitu parahnya dia, sampai tidak tahu lagi apa jadinya dia, Gaza satu-satunya sahabatku di Jakarta, dia begitu sangat ramah, awalnya dia pendiam, tapi, lama-kelamaan dia begitu terbuka…kumasuki ruangan tempat gaza dirawat “permisi…” aku sedikit takut, aku takut?” Aku sangat senang gaza tidak begitu parah, dia salah masuk kamar “Eh ga, masuk aja…” Dia teman pertamaku yang menjenguku “Gimana sekarang, tadi malem operasinya lancar?” Gaza hanya dibalut perban di sekitar kepala…umm mungkin juga bisa parah, karena yang dibalut perban daerah sekitar kepala… “ga, gue sekarang agak-agak nggak bisa denger, jadi mending apa yang lo omongin lo tulis aja…”aku menyodorkan buku dan ballpoint padanya “hah…” berarti yang tadi aku bicarakan sama sekali tak didengarnya, aku menulis di buku itu… ‘Za permanen nggak tu? Lo keluar dari rumah sakit kapan?...BOM lagi ya Za, bom lagi...syok gak lo’ “Syok lah ga, ini permanen, tadi pagi sih gue kaget banget, tapi sekarang udah mendingan, teknologi udah canggih, banyak alat bantu dengar kan!, gue besok
19
udah ada di apartemen gue lagi, kenapa? Lagi cekak ya? Lo sih boros, kan kita baru dapet honor design dari Damien lounge” ‘iya sih, tapi honor itu gue pake buat tiga bulan ke depan, kalo lo masih butuh room mate, gue bersedia kok! kan sekalian Bantu gue… hahaha’ “tenang aja, silahkan tinggal, nanti malem aja lo mulai tinggal, ada bir sama cemilan, lo abisin aja” aku senang membatunya, dia setahun ini memang kesulitan mencari uang, dan dia sendiri di Jakarta ‘dengan senang hati !’ aku berhenti menulis dan tertawa…aku mulai menulis lagi… ‘za, agak aneh ya, kalo ngomong kaya gini, lo cepet beli alat Bantu dengar gih, oiya nanti gue cariin di internet deh’ “Bagus, bagus, gue juga maunya gitu, secepatnya deh, untungnya cuma nggak bisa denger ya ga, coba kalo yang lain, gue nggak tau deh jadinya kaya’ gimana” Dan untung sekali aku masih punya rasa syukur… ‘wah Za, lo nggak bisa denger ipod lagi dong!’ Aku menyodorkan buku itu pada gaza “Sialan lo!!!” ‘za nyokap bokap dI Goa udeh tau?’ “gue ngak mau ngasih tau, mereka kan disana buat istirahat, ngabisin masa tuanya, dan nggak boleh ada kabar buruk deh, nanti bisa ngerusak suasana, jaujauh ke india, bukannya tenang malah nanti panic mereka” aku tidak ingin mengganggu mereka ‘waduh, cukup pengertian juga bapak yang satu ini!’ “asal transfer uang aja…hehehehehe”
20
02.00 am, 7 September 2006, Apartment gaza lantai 22, sudirman, Jakarta Seragam, sama, sebuah kemasan produk yang aku benci, tetapi secara tak sadar aku ikuti, ok laki-laki harus berbadan besar, berambut klimis, berwajah tampan, dengan personality yang sangat sempurna, sedangkan perempuannya bertubuh tipis beramput lurus dan panjang, selalu wangi…dari tadi aku hanya memindahmindah channel TV, dan apa yang ku lihat tak jauh dari sebuah keseragaman, suatu yang bisa ku sebut sangat kapitalis, sangat egois sekali! Semua orang ingin berpenampilan seperti standar dari kemasan produk manusia yang tersaji di televisi, gym mulai penuh, salon dengan teknologi terbaru dipenuhi orang-orang, plastic surgeon sudah tidak tabu lagi, sampai pada suntik silicon murah, trend! mode! muak aku mendengarnya, membuat orang mengeluarkan uang lebih banyak tak peduli mampu atau tidak mampu, melupakan prioritas yang lain yang lebih penting…aku hanya bisa berkeluh kesah dalam hati, tidak ada teman bicara hari ini, aku belum mengantuk…aku tak sabar menunggu Gaza pulang, dan berbicara banyak sekali!aku sudah menemukan alat Bantu pendengaran di internet, dan di jual di Indonesia, mudah-mudahan saja cocok dengan gaza, huahhh aku bilang tadi aku tidak mengantuk, tetapi sekarang sangat mengantuk… ini saat-saat dimana aku tidak merasa seimbang, badan ku sudah ingin tidur sedangkan pikiranku ingin tetap terjaga, pikiranku seolah-olah mencemooh badanku dan berkata tidur hanya untuk seorang pecundang, sedangkan badanku hanya sebagai sebuah badan yang hanya bisa bergerak tanpa berpikir dan menuruti perintah pikiranku
Qorin kebingunggan 07.00 am, 2 desember 2006, Harmoni “bu aku berangkat, udeh kesiangan aku bu…nanti pastelnya keburu nggak enak” Aku berpamitan dengan ibu, seperti biasa, ibu tidak punya kata-kata yang lain “Iya, hati-hati…”
21
Qorin mengangkat box berisi pastel-pastel yang akan dijual, dia berjalan dengan tidak semangat setiap hari…ssekejap dia sudah berada di jalan depan rumah, bergegas untuk mengantarkan pastel-pastel hangat yang dibuat tidak hangat Aku sama sekali tidak bahagia, aku sudah tidak mempunyai semagat lagi, hatiku sudah tertutup, hatiku sudah sangat hancur…aku seorang ibu yang hancur hatinya selama bertahun-tahun…
08.00 am, Desember 2006, Passer Baroe “Eh Rin, kemaren Gaza ngobrol sama lu ya?” Qorin bingung dan sedikit tak tahu apa yang ku bicarakan “Gaza?...tunggu ci saya pikir dulu, saya sih kemaren kenalan sama orang waktu nyebrang jalan, tapi lupa namanya” mungkin yang dimaksud Gaza adalah orang yang berkenalan denganku kemarin, siapa lagi? Aku tidak banyak bertemu orang, menurutku semuanya sama…aku sangat sulit membedakannya “yaa…kali, emang kemaren lu kenalan sama siapa aja?” mungkin banyak yang akan berkenalan dengannya, karena Qorin sangat cantik, terlebih lagi dia sangat baik “Cuma, satu orang sih Ci” aku menjawab dengan singkat “yaudah berarti bener, dia orangnya” tebakan ku tepat “emang kenapa Ci? Kok Ci Lina tau sih?” seribu kali tidak mungkin dan tidak penting bila Ci Lina membuntutiku “mamanya dulu langganan bika ambon gua di sini, tapi sekarang udah tinggal di luar negri, nah Gazanya itu jadi ikut-ikutan suka, tiga bulan ini dia nggak pernah dateng, gua pikir dia nyusul mamanya, eh ternyata dia dateng lagi kemaren ” qorin pun mengerti apa yang ku bicarakan sejak tadi “oh, gitu, hari ini dateng nggak Ci? Dia orangnya agak…mmm…gimana gitu…”aku merasakan ada orang di belakangku…mungkin koh budi yang siap mengantar bika ambon ter-enak yang pernah ku makan, baunya tercium sampai
22
sini, bika ambon yang di bawa koh budi pasti masih hangat dan baru saja keluar dari oven “Ci, Koh Budi mau nganter bika ambon kemana lagi?” aku bertanya basa-basi dengan ci lina “Koh Budi kagak di sini, dia lagi ada di Batam, lagi ada tawaran bisnis sama temennya, lu mau nitip apa? gua lagi sms-an nih sama dia” aku memakan satu pastel yang ada di gerai toko ku, lumayan buat mengganjal perut, hari ini tukang nasi campur langganan belum lewat “Nitip…atau oleh-oleh ci?, saya lagi nggak punya uang soalnya” Aku sedang tidak punya uang kalau aku menitipkan barang apa yang akan ku beli, pastinya aku membayar, tetapi kalau aku minta oleh-oleh…ummm sudah semestinya tidak membayar “yaudah oleh-oleh deh, lu mau apa?” Aku biasanya pelit pada orang lain bahkan pada diriku sendiri, tapi untuk qorin, aku tidak bisa begitu, sepertinya dia punya karisma yang membuat semua orang sangat ingin mengenalnya “terserah Ci, yang penting nggak ngerepotin koh budi sama Ci Lina” Ci Lina adalah orang termanis yang pernah aku temui walaupun dia sangat ceplas-ceplos jika bicara… “bisa di aturlah rin, tapi gua heran, Gaza kalo udah beli bika ambon gua pasti langsung pulang, tapi sekarang kok masih aja di sini” Aku memang heran dengan Gaza “kapan kesininya ?” aku agak bingung “lah…itu ada di belakang lu!” Qorin makin bingung “Loh, saya kira itu Koh Budi, sebelum Ci Lina cerita kalo koh budi lagi di batam” Pantas saja aku mencium semerbak aroma bika ambon… Pantas saja aku agak ragu kalau orang yang berdiri di belakangku itu koh budi… Pantaslah sekarang aku merasa malu… sangat malu…
23
09.00 am, 2 Desember 2006, Harmoni, Jakarta Jantungku masih berdebar-debar, aku begitu malunya, aku diam saja sambil meminum segelas air putih, bang raihan sekarang sudah bisa menuang air putih untuk ku… “Bang, nanti kalo pastel ibu laku dimana-mana, Bang Raihan kuliah ya!” Aku dari dulu selalu menyemangati bang raihan, selalu menyemangati keluarga ini, semangat yang tak bisa kutemui lagi sekarang “kuliah ?” kuliah…kuliah…kuliah…kuliah…terngiang-ngiang di kepalaku “Iya bang, bang raihan kuliah, terus jadi orang! Jangan kaya’ aku, aku seumur hidup Cuma bisa ngater pastel, yaa…walaupun aku suka sama apa yang aku lakuin tiap hari, tapi kalo aku jadi Bang Raihan pasti aku bakal kuliah, aku nyari beasiswa, kan bang raihan pinter…”mungkin omonganku terlalu panjang “iya, besok…” ……………………………………………………..kuliah… kuliah….kuliah…………………..kuliah….kuliah… “sekarang aja bang…” aku tahu kuliah untuk Bang Raihan tidak akan pernah terjadi, bang raihan sudah berumur 28, dan kita tidak mempunyai uang “nggak bisa sekarang…abang kan udah tua, kemaren aja ya?” Kemarin kuliah pasti lebih baik, aku tidak sabar menunggu kemarin… “bang, kemaren itu udah nggak ada, yang ada itu sekarang sama besok, dan besoknya lagi, besoknya lagi…” “besok?...” Besok…lagi… “Qorin, udah jangan ganggu Raihan, kamu bawa kulit pastel sama isinya nggak?” Aku memanggil qorin yang sedang mengobrol ‘tak perlu’ dengan Raihan, sedangkan aku hanya bisa memandangi matahari pagi di balik jendela ruang tamu “Bawa, bu…”
24
Aku hanya menjawab seperlunya… “Bang, masuk yuk, ngapain terus-terusan di sini…” tanganku di genggam bang raihan dan dia menuntunku masuk kerumah… “besok kuliah, kalo pastelnya laku keras…” besok kuliah kalo pastelnya laku keras, dari pada aku didepan rumah terus-terusan melihat mobil-mobil lalu lalang……………………………………………….aku mau masuk dulu, ibu pasti masak makanan enak “iya bang…”aku masuk kedalam rumah dengan perasaan agak aneh, Bang Raihan sudah bisa menuntunku lagi…hari ini memang perasaan ku kacau, sejam lalu aku begitu malunya dan sekarang bang raihan menuntunku lagi, aku juga terharu…
Puncak Haru, membahana banyak kebahagiaan yang bersahaja 1989, Lembang, Bandung “ayah, Raihan mau kaya’ gini terus deh, enak ya, di sini dingin, bagus banget pemandangannya, terus vila kantornya ayah juga enak, raihan bisa renang terus, nggak perlu ke kolam renang umum” aku bahagia, aku ingin seperti ini terus… suasana, yang hangat sekaligus sejuk…ayah yang sedang asyiknya membantu mang jaka membuat seurabi, ibu duduk bersama Qorin dan mengajarinya huruf Braille…semua sangat sempurna “nggak bisa terus-terusan di sini dong raihan, nanti rumah siapa yang jaga?” Aku juga berpendapat sama dengan raihan, jika bisa terus di sini pasti aku sudah lakukan sejak dulu “nggak ada” “Nah, kalo gitu kita sekali-sekali aja kesini, lagian juga kan raihan cepet bosenan” Menurutku tidak ada kata bosan di dalam keluarga ini…
25
09.00 AM, September 2006, Apartemen gaza lantai 22, sudirman, Jakarta Aku menatap keluar jendela, aku sudah merasa bosan berbicara pada Gaza dengan cara baru…aku ingin Gaza secepatnya bisa mendengar ‘za kapan lo check up lagi?’ “kapan-kapan, gue lagi males ke dokter” aku melihat dirga merogoh saku celananya, meraih telepon genggam yang layarnya berkelap-kelip, jika aku bisa mendengar pasti ada nadanya…dia terlihat antusias mengangkat telepon, kadang tersenyum dan kadang serius “telepon dari siapa ga?” sesaat dirga menaruh telepon genggamnya di meja...dan berarti pembicaraan di telepon sudah selesai ‘za,
Project
kita
di
Damien
lounge
bener-bener
membuka
peruntungan kita di akhir tahun!!!’ “Kenapa emangnya ga?” ‘tadi orang dari cavaro liquid yang waktu itu jadi sponsornya Damien lounge nawarin kita untuk jadi team brand Image nya…’ “wah seru banget!, akhirnya kita kerja juga, kuliah bareng, kerja juga bareng!” lumayan lah, team brand image… patut dicoba ‘tunggu dulu, ada lagi kejutan lainnya, lo pikir Cuma sekedar team branding? Kalo pikiran lo kaya gitu, lo salah besar! Team brand image untuk kawasan asia pasifik, wuuuhuuu!!!!terus desain sama slogan yang Cuma beredar di Damien lounge mau di beli cavaro liquid untuk promosi gila-gilaan di asia pasifik, dan kita dapet royalty dari setiap iklan, poster, dan semuanya yang ber hubungan dengan design kita!!! gilaaaaa kita kaya mendadak!!!’
26
“ga..ga…ga… lo kenapa sih dari tadi Cuma ngeliat keluar, city viewnya Jakarta kan nggak menarik, ayo dong ngobrol-ngobrol lagi!!!” ‘Oh, gue Cuma kurang tidur, tadi malem gue nonton tv sampe nggak tau waktu, ya lo tau sendiri kan, di kontrakan gue nggak ada tv…’god
damned!!!pikiranku
melayang-layang
lagi
mempermainkanku,
membuatku linglung dan membuatku tak tahu diri, imajinasi atau khayalan, bagiku keduanya terbesit sangat nyata It's Show Time, Rhauma...C'mon!!! Clumsy stage, Jakarta, 1 april 2006 Ugh, aku kesal, saatnya beraksi, aku dan kania berdua memasuki clumsy, tersenyum lebar kepada orang-orang sekitar “hai Uncle Bobby, you look…umf… so perfect with that pashmina” ku pikir dia terlihat konyol, tapi sudahlah, membahagiakan orang apa susahnya… “ini, emergency rha, Uncle tu nggak tau harus pake apa untuk runaway kali ini, uncle juga baru inget tadi pagi...tapi ok kan? Sense of fashion kamu masih ada ya, oh iya kamu tu menghilang deh selama ini…kemana?” “cari inspirasi fashion Uncle, aku tuh lagi explore model-model vintage , gayagaya culture timur tengah… yaaa sedikit aku rombak sih” aku langsung memasuki clumsy, meminum beberapa gelas wine dan mencicipi cookies hambar…aku menghampiri miranti yang terlihat nervous “Hai Miranti…kok nggak bilang sih kalo lo ngadain fashion show?” “Gue lupa bilang Rha, abis sibuk banget, trus lo kan waktu itu lagi gak di Indo” “oh iya congrats ya, next event asking me first…kalo mau dibilang kreatif ya jangan membajak dong” aku melihat Tante Kartika berjalan dengan anggunya, kuhampiri dia dan ku tinggalkan Miranti yang mematung “Tante Tartika…” “eh Rhauma, wow nice dress and hair do…” “iya deh nice dress, kan designernya tante”
27
”ah kamu nih sama aja kaya’ mami kamu, tante heran lho kok Miranti bisa semaju ini, dia kan nggak punya uang banyak untuk bikin show sehebat ini, apalagi designnya dulu-dulu terlalu pasaran...sekarang kok lebih mature” ”kan miranti cantik Tante, badannya juga bagus, siapa tahu dia punya penyokong dana...dan dari situ dia jadi semangat untuk jadi plagiat” ”gosip aja kamu, sebentar lagi fashion show dimulai lho, ayo kita ke front row seat, tante mau di sebelah kamu ya” ”iya tante” Aku memegangi handphone, melihat beberapa nomor di phone book, memutarmutar handphone...dan ups terjatuh...aku harus berbuat apa supaya fashion show ini berantakan, aku kesal sekali...fashion show sudah dimulai, dan aku hanya bisa tersenyum-senyum melihat rancanganku dipamerkan atas nama orang lain, sialan, jalang...mungkin handphone dapat membantuku...bukankah semua orang di negara ini bergantung pada handphone, Kania datang membisikiku... ”rha ayo dong bertindak!!!” ”males ah...biarin aja” aku masih sibuk melihat phone book di handphone ku Clumsy stage, Jakarta, back stage catwalk 1 april 2006 “hai nona plagiat…apa kabar?” aku tak sabar ingin menampar Miranti, rhauma bodoh, tidak mau bertindak!!! Orang culas seperti Miranti harus dihukum “udah deh, diem aja…Kania gue tau lo itu model useless yang mau cari muka sama rhauma kan, model anorexia, malnutrisi…what else…you’re too obsess to be supermodel dan selalu menjilat….jadi jangan pernah berani-beraninya ganggu gue” “heh bencong, pecun! Brengsek lo!!!gila ya lo gak punya kaca!!!, asal lo tau ya, lo bisa aja pulang nggak selamat, lo bisa aja pulang tinggal nama, lo tau Rhauma kan!!!” “terserah lo, gue punya cara gue sendiri supaya Rhauma terkagum-kagum sama gue” “pasti lo mau ngelakuin tindakan pengecut seorang pecun yang bar-bar”
28
“kita liat aja nanti” aku menyeka keringatku, membiarkan Kania pergi dengan marahnya
Clumsy stage, jakarta 1 april 2006 Aku berjalan menuju catwalk dengan rangkain bunga, my dream come true, walking trough runaway, everybody claping their hands, flowering me with all good comments, rhauma memandangku dengan penuh benci...aku tahu apa yang harus ku lakukan... ”halo semua, I think you’re enjoyed with this fashion show...(aku mulai menangis) …(aku mulai pidato penuh drama) saya memang miranti yang bukan apa-apa di fashion show ini, ini surprise untuk rhauma yang baru saja datang ke Indonesia, semua dress yang tadi di peragakan adalah hasil karya rhauma, saya disini hanya ingin mewujudkan fashion show ini, karena inilah yang bisa saya berikan selama ini atas kebaikan Rhauma pada saya” rhauma menaiki stage, memelukku erat...diiringi seluruh tepuk tangan orang-orang yang ada di sini...Rhauma membisikiku ”thanks ya, gue udah nggak sangka...you’re the best, ada hadiah buat lo, coke yang lo suka, dosis tinggi, siap di rumah lo” ”OMG, itu yang gue mau, you’re so kind, you’re my best part of my life” Lobby Clumsy stage, Jakarta 1 april 2006 “Rha, lo kenapa sih baik banget…nyadar nggak sih lo udah di backstab, lo nggak tau sih apa yang si bencong omongin waktu di backstage” aku berbicara pada rhauma dengan sedikit emosi “kita ke mobil dulu aja…” aku menaiki mobil bersama Kania…dan berkata lagi “gue bakal tato di jidat gue dengan tulisan looser kalo besok miranti nggak mati OD” aku berbicara dengan tenangnya sambil membakar selinting ganja
29
Playing with email... Jakarta, 6 Juli 2006 From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
I know You!
06/07/2006, Jeannie wrote : I will asking you something, do you mind if you have a little business with me? It’s new and I know you love challenge
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
it’s some kind of trick?
09/07/2006, Dirga wrote : Sorry to asking you, are you Indonesian? Because I read your last name similar with other Javanese people’s name, actually what is challenge I can do?
<SEND>
30
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
I just know you…
10/07/2006, Jeannie wrote : Iya, saya orang Indonesia, Cina jawa, saya ingin anda berbuat baik sedikit, dan pasti ada reward yang besar! I know you really-really need money to take a trip around of the world in your rest of life, saya baca artikel-artikel anda yang secara tidak langsung bilang anda ingin berkeliling dunia, spend all your money to know the pleasure of any country, that’s not cheap anything need money, you need your quality trip, and I have a lot of money…
<SEND>
From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
wow
12/07/2006, Dirga wrote : Saya kira artikel-artikel saya jarang ada yang baca, untuk saat ini saya hanya ingin berkeliling dunia, saya ingin pensiun muda, so what’s that challenge? Anda tinggal dimana sekarang?
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
I just know you…
13/07/2006, Jeannie wrote :
31
Jarang ada orang Indonesia yang bisa jadi jurnalis di negeri orang, saya tinggal di Dubai, saya pernah melihat anda memotret the palm jumeirah dari jumeirah beach, well it’s easy, you kill my daughter dan saya akan memberikan quality trip yang tidak pernah anda dapatkan sebelumnya
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
ARE YOU INSANE?
15/07/2006, Dirga wrote : You’re god damned freak person any way….
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Please…
15/07/2006, Jeannie wrote : Dia membuat saya menderita, dia jalang dan serakah
<SEND>
32
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Please, please, please…
25/07/2006, Jeannie wrote : Mengapa tidak membalas email saya?
<SEND>
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Please, please, please…
26/07/2006, Jeannie wrote : Mengapa tidak membalas email saya?
<SEND>
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Please, please, please…
27/07/2006, Jeannie wrote : Mengapa tidak membalas email saya?
<SEND>
33
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Please, please, please…
10/08/2006, Jeannie wrote : Mengapa tidak membalas email saya?
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
wow
16/08/2006, Dirga wrote : I need money, tapi bukan seperti itu caranya, saya memang ekstrim, tapi…banyak ‘tapi’ yang akan saya pikirkan, kalau mau main-main jangan di sini, jika ingin berkenalan dengan saya, bukan begini caranya, anda sebenarnya siapa? Tiga bulan yang lalu saya memang ke abudhabi, dan tidak bisa membedakan orang kita dengan orang ber ras mongoloid di sana, apakah saya pernah melihat anda?
<SEND>
34
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
I always know you…
17/08/2006, Jeannie wrote : Saya tahu anda ada di guang zhou sekarang! anda sedang menulis betapa berkembangnya china sekarang, anda takjub karena ekspor produk dari china diam-diam menguasai dunia Anda sangat menderita sekali disana, anda tidak bisa berbahasa mandarin…
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
are you kidding?
18/08/2006, Dirga wrote : Anda bercanda, atau anda tidak waras, atau anda memang tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengganggu!, atau anda orang gila yang tidak bahagia, stop ganggu saya, Oh iya saya lupa, seharusnya saya Tanya ini sejak saya membalas email anda pertama kali, dari mana anda mendapatkan alamat email saya? Email yang tahu hanya editor dan sekretaris, pastinya anda berhubungan dengan kedua orang tersebut kan?
<SEND>
35
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Iam Normally Insane…
19/08/2006, Jeannie wrote : WTF OMG (What the fuck oh my god) Saya hanya orang biasa yang sedikit pintar
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
Too much…
19/08/2006, Dirga wrote : WHY Me!!! Tantangan anda terlalu berisiko, saya tidak ingin berurusan dengan pihak-pihak yang merugikan saya, dan nantinya akan mengekang saya, jadi mengapa anda tidak menyewa hitman professional, atau mengapa bukan anda sendiri saja…oh iya saya perlu bukti…
<SEND>
36
From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Iam Normally Insane…
20/08/2006, Jeannie wrote : Rupanya anda sudah mulai antusias…, saya bilang saya orang biasa yang sedikit pintar, besok saya kirim $ 20000, bagaimana? Semua beres semua saya yang atur
<SEND>
From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
hmmm…
21/08/2006, Dirga wrote : Hmmm, dasar orang sakit!
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Iam Normally Insane…
21/08/2006, Jeannie wrote : Saya anggap jawabannya oke, ini seperti sebuah game, tapi untuk anda tidak akan pernah ada game over, saya kirim uang anda lewat money gram, anda cari money gram terdekat dan tunggu perintah saya hanya lewat email ini
<SEND>
37
Kecukupan Dirga & Haris melampaui suatu yang cukup Jogjakarta, 2001. Hari ini aku akan menghabiskan waktu dengan Mas Dirga, aku senang dan sangat tidak senang sekaligus, aku senang Mas Dirga masih di sini, walaupun besok dia sudah berangkat pagi-pagi sekali ke bandara adisutjipto, aku senang sisa waktu ini bisa kuhabiskan dengan Mas Dirga, aku senang Mas Dirga bisa pergi, keluar dari rumah ini walaupun hanya beberapa tahun, memberikannya kesempatan untuk berpikir dan bernapas, tapi tetap saja bapak masih akan selamanya di sini, dan aku sangat tidak senang sekali, bagiku bapak berwarna hitam, warna yang selalu ada setiap kupejamkan mata dan tidak akan pernah berubah kecuali ku buka mataku, kalau saja spermanya tidak mempunyai andil atas keberadaan ku, pastinya aku tidak akan memanggilnya bapak, sebuah panggilan yang menurutku mempunyai arti sangat terhormat sebagai seorang yang hangat dan berwibawa, tetapi lamakelamaan ‘bapak’ menurutku adalah sebuah panggilan kepada orang yang gila hormat, orang yang sangat amat kuno, dalam artian pemikirannya…aku tidak pernah bisa memahami pemikirannya, sudah sejak lama ketika aku mulai bisa berpikir dan sejauh otak ku sekarang bisa mengingat, aku tidak pernah ingin memahami lagi pemikiran bapak dan tidak mau tahu, jika nanti Mas Dirga pergi, pasti membuatku sendiri, tidak ada yang akan membelaku, tidak akan ada yang akan ‘berbicara’ padaku lagi dirumah ini, bapak mempunyai mulut dan lidah yang tersambung dengan otaknya secara tidak benar…itulah anggapanku ada mulutnya yang selalu mengeluarkan sindiran, makian, dan…dan batu yang ada di kepalanya semakin menjadikanku orang yang tidak tahu lagi harus berbuat apa…sampai aku lupa kapan terakhir kali aku menangis, aku sudah tidak bisa menangis lagi sekarang, aku sudah biasa menghadapi bapak… “Ris, mas cari, ternyata kamu ada disini, kamu lagi gambar apa?” aku mencari haris sampai di jembatan dengan sungai kecil yang berair jernih dilengkapi ikanikan kecil sampai sedang dan tumbuhan air yang dekat dengan salah satu sawah milik bapak, aku tahu dia ada disini, tempat paling bebas menurutnya, tempat dimana bapak tidak akan kesini, haris merokok, dia begitu sempurna, dia punya
38
pemikiran yang hebat, dia punya bakat yang aku tidak punya, dan dia selalu bisa melawan bapak…, Ibu yang sangat hebat yang membuatnya seperti itu, cukup aku saja yang patuh, bapak tidak ingin kami gagal, bapak hanya menjalankan apa yang seharusnya menjadi perannya “aku lagi nyoba pensil charcoal mas, buat gambar-gambar aja, ternyata enak juga, mas, kalo tesnya lolos Mas Dirga langsung berangkat? nggak pulang dulu ke sini?” aku tahu jawabannya pasti tidak, aku menghisap rokok ku dalam-dalam, sangat lucu menurutku, aku memancing maut sejak dini, tapi sudah lah menurutku rokok mempuyai efek penyembuhan untuk rasa lelah…terlebih lagi sedikit melupakan bapak…bullshit it was…bullshit “aku nggak pulang lagi Ris, nggak akan pernah pulang…” Haris agak kaget dengan kata-kataku…” “apa maksudnya mas? Nggak akan pernah pulang? terus aku gimana?” lalu apa lagi yang harus ku lakukan? Mas Dirga sebuah warna yang berbeda, dia seorang kakak, bapak, ibu sekaligus menurutku, dia yang selalu ada di saat aku tidak ingin siapa-siapa menemuiku, dan dia selalu mempunyai jalan keluar yang membuatku lebih tenang “iya, Mas Mirga sebenernya nggak pernah tes untuk dapat beasiswa, mas Dirga bohong sama bapak, mas dirga bilang ada biaya tes, maksudnya buat uang pelicin, tapi Mas Dirga pakai untuk kuliah di jawaharlul nehru university, mas dirga tertarik sama social science, mas dirga benar-benar ingin jadi jurnalis” Haris tambah kaget, ya, aku ingin jadi jurnalis, alasannya sangat sederhana, aku ingin kemanapun aku suka, aku ingin membuka mata, aku ingin mempelajari semuanya yang ada di dunia ini… “mas, aku gimana nanti? Bukannya Mas Dirga mau masuk sekolah bisnis?” aku bingung dan aku takut tidak pernah bertemu lagi dengan Mas Dirga “yang mau itu kan bapak, bukan aku, Mas Dirga nggak bisa terang-terangan ngelawan kemauan bapak seperti apa yang kamu lakukan selama ini, mas dirga
39
Cuma bisa diam-diam seperti ini” aku tidak tahu apakah aku tricky atau tidak, tapi aku tidak ingin selamanya terkurung dalam duniaku yang sempit ini “nanti kalo bapak tahu gimana Mas?” aku masih kaget “jangan sampai bapak tahu, cuma kamu yang tahu, Mas Dirga nggak suka bapak, selama ini Mas Dirga selalu patuh sama bapak dan nggak tahu lagi mau kemana” Haris melanjutkan sketsanya, menggambar…melihat keluarga ini, aku sepertinya tidak ingin membangun rumah tangga, aku hanya ingin sendiri dan pergi kemanapun ku suka, hidupku ini sangat singkat dan sewaktu-waktu aku bisa mati, aku tidak ingin mempunyai sebuah keluarga, aku tidak ingin mempunyai rumah dengan istri dan anak yang menanti di rumah ketika aku kerja, kerja 5 hari seminggu dari pagi sampai sore, membiayai kehidupan keluarga, dan jadi tua, sungguh aku sangat tidak ingin, aku hanya ingin sendiri, membiayai diriku sendiri, mengurus diriku sendiri, dan menikmati hidup sendiri, aku ingin mati bahagia, mungkin aku aneh, aku merasa tidak pernah memiliki apa-apa di dunia ini…kulihat Haris masih menggambar, suasana hening, dan Haris seperti tidak percaya dengan keputusanku… “ Ris, kamu kok jadi diam?” aku ingin membelokkan percakapan “aku jadi mikir mas, ternyata Mas Dirga juga sama seperti aku, aku senang mas, ternyata selama ini aku benar” iya aku merasa paling benar sekarang, Bapak yang kaku, dan sangat menjaga wibawanya, menjaga panggilan ‘bapak’ sesuai dengan apa yang ia inginkan, hah…ternyata bapak yang salah, Mas Dirga menjadi pembenaranku… “iya Ris, menurut ku kita benar, Mas Dirga cuma mau yang terbaik buat Mas Dirga, Mas enggak mau kalau Mas Dirga Cuma bisa jadi wayang selama ini, dan bapak dalangnya, kamu juga harus bisa dan harus tahu apa yang kamu mau” aku merasa sore ini adalah momen yang paling berarti bagiku… “Ris, kamu coba gambar tentang masa depan, gambar kasar aja, nggak perlu bagus-bagus, bisa juga simbol atau apalah gitu…”Haris mulai menggambar, pertama dia menggambar pandang rumput yang luas, kedua dia menggambar
40
sosok manusia di bawah sinar, tanpa bayangan, ketiga dia menggambar…apa lagi jika bukan toga… “selesai mas, cepet kan?, emang ada apa sih?” aku masih bertanya-tanya maksud dari Mas Dirga “terus, artinya apa Ris?” gambar yang ketiga aku sudah tahu maknanya, tetapi gambar pertama dan kedua aku tidak tahu “yang pertama, emang nanti aku mau punya rumah dengan halaman belakang yang luas penuh dengan rumput hijau, yang kedua artinya Mas Dirga yang mau sendiri, yang ketiga artinya kartu aman di Indonesia untuk melamar pekerjaan” see! It’is simple…I think… “ada lagi Ris, coba kamu bikin gambar tentang kematian…” sesaat kemudian haris mengisi kertas dengan warna hitam pekat, dan kemudian dia menggambar sebuah mata, dia menggambar lingkaran di dalam lingkaran di dalam lingkaran di dalam lingkaran, dan terakhir dia menggambarkan sebuah garis lurus “artinya?” “iya mas, aku nggak tahu gambar yang pertama ini, sama seperti aku nggak tahu tentang kematian, kalo gambar kedua aku pikir kematian bisa membuka mata kita untuk melihat apa yang tidak bisa kita lihat di dunia, kalo yang ketiga mungkin hanya sebuah imajinasiku, artinya banyak kehidupan lain yang bisa aku jalani selain di dunia, kalo gambar ke empat itu hanya interpretasiku terhadap kematian, sepi dan tidak ada gelombang suara sedikitpun”
Penulis itu bernama Gaung Sulaiman Warung Kopi,- Jl Biliton- 21 Juli 2006, 06.43. PM Aroma kopi panas begitu menusuk, kopi lokal dengan bungkus kertas yang di seduh air panas di campur dengan sedikit gula, aku merasa segera ingin meminumnya, aku menunggu gaza disni, rencananya aku ingin ke Damien lounge bersamanya, menyerahkan desain, logo, dan beberapa layout untuk promosi,
41
masih banyak yang harus dibenahi, untungnya aku kerja bersama Gaza, aku dan Gaza tidak pernah sekolah desain, sekolah yang aku impikan, tetapi aku malah kuliah bisnis yang tak berguna dan tanpa rencana, begitupun Gaza, aku dan dia hanya ingin cepat-cepat keluar dari rutinitas tak berguna dan menyelesaikan skripsi yang hingga kini tidak ada ide, …aku menemukan ide, bukan ide tentang skripsiku, tetapi ide tentang desain, tak kusadari tangan ku sudah bergerak membuat sketsa-sketsa kasar di sketch book, crayon 2 B ku sudah mulai tumpul, tetapi, semakin tumpul semakin leluasa aku membuat sketsa, setelah itu mungkin aku akan memindahkan imajinasiku ini ke laptopku, membuat beberapa perbaikan supaya hasilnya sempurna seperti apa yang aku inginkan, aku hanya ingin semua sempurna, walaupun desain sudah benar-benar jadi, tetapi ada beberapa sisi yang ku pandang ganjil, konsentrasiku terpecah, seseorang mencoba menyapaku “Wah, mas jago gambar ya” saya melihat anak muda penuh antusias dengan semangatnya yang tinggi, sendirian, minum kopi lokal, sebuah gambaran yang jarang saya lihat untuk anak muda seusianya “oh…pak nggak juga” seorang kakek berumur sekitar 70 tahunan dengan rambut yang baru disemir menghampiriku “mas ndak seperti anak muda yang lain, pergi ke coffee shop, meghabiskan minimal tiga puluh ribu untuk secangkir kopi padahal harga biji kopinya tidak sampai lima ribu harganya” saya terlalu bersemangat dengan anak muda yang kelihatannya berbeda dari yag lainnya “kebetulan saya nggak suka kopi-kopi di coffee shop, baunya nggak enak, dan harganya irasional bagi saya” orang tua itu ternyata sangat memperhatikan kehidupan-kehidupan orang lain “Iya saya lebih suka kopi tubruk yang hitam pekat dan aromanya yang khas, oh iya, mas ini pelukis, atau cuma iseng-iseng aja menggambar” saya duduk di dekat anak muda ini “awalnya hobby pak, tapi sekarang jadi profesi” aku senang waktu menunggu ku ini kuhabiskan di isi obrolan dengan orang baru, dan beruntungnya aku tidak
42
pernah merasa curiga dengan orang baru ini, di Jakarta setiap jam terjadi kejahatan yang sebelumnya tidak pernah kita duga “jadi mas ini pelukis?” saya menuangkan kopi panas dari gelas ke piring kecil agak cembung supaya dapat diminum “ bukan pak, nggg tapi kadang-kadang, saya sekarang freelance aja untuk desain grafis” aku mengikuti cara orang tua ini meminum kopi, sedikit demi sedikit demi sebuah kenimatan kopi yang sudah tidak sabar ingin kureguk dari tadi, semenjak kucium aroma yang sangat tajam, sebelum ku berbicara lagi, telepon genggamnya berdering, dia segera keluar dari warung kopi, sepertinya telepon itu penting, dia tidak kembali lagi, mengapa aku sangat mengenalnya, seperti dejavu, atau sejenisnya……..apalah itu aku tidak tahu…aku ingat, Dia Gaung Sulaiman, penulis dengan imaji yang tinggi, dengan gaya bahasa yang di sukai semua orang, orang yang sangat pintar yang pernah aku tahu lewat buku-bukunya…aku tahu aku pernah lihat profilnya, buku-bukunya memang bukan best seller tapi sangat bagus, aku tidak percaya pernah mengobrol dengannya
Putih tidak selalu putih, putih bila di bawah bayangan akan menjadi abuabu Depan rumah 12, kemang, 9 Juli 2006 Udara pagi menginspirasikanku untuk lebih baik, aku berdiri dan berusaha terus berdiri memandangi langit yang biru, suasana penuh semangat, aku tertawa sendiri merasa sangat bahagia karena dihibur oleh suasana pagi yang indah, tukang bubur melewatiku… “bang aku mau dong, tapi porsinya setengah ya…,nggak pake apa-apa Cuma buburnya aja “ aku geli sendiri mendengarkan pesananku “wah, mba puasa mutih ya” aku heran dengan gadis ini ”puasa mutih itu apa sih bang?” tanyaku dengan terheran-heran, aku kira itu sebuah kiasan atau gunjingan
43
”yang saya tahu sih, itu puasa tapi Cuma makan yang putih-putih aja, kaya’ nasi, garem, aer putih, supaya bisa ngerasa lebih deket sama tuhan” ”oh gitu, kalo gitu setiap hari saya puasa mutih juga dong bang, sebulan ini saya Cuma makan bubur kaya gini aja..., tapi kok nggak deket-deket sama tuhan ya bang” ”waduh saya nggak tahu...”
06.30 am, 3 Desember 2006, Toko Kue Ci Lina “Tumben lu dateng pagian?” “iya Ci, saya malu kemarin…” suara Ci Lina agak serak, seperti mau flu dan batuk “ah elu, kenapa mesti malu?” aku mencoba menggoda qorin “ya malu lah Ci, lagi ngomongin orang, ternyata orangnya ada di dekat saya” aku mungkin masih malu sekarang “Eh, Ci tappiii……(aku menekankan kata) jujur ya, orangnya kesini nggak, saya dateng pagian biar nggak ketemu dia lagi, malu saya Ci” sumpah aku benar-benar malu, aku tak tahu apakah aku yang terlalu membesar-besarkan “Iya, tuh orangnya ada di depan” aku berkata dengan santainya, andai saja aku bisa tertawa sekarang, aku takut Qorin tersinggung, dia agak sensitif, yah… menurutku, aku juga tidak tahu pasti, selama ini dia sangat tertutup “hah” jantungku langsung berdetak lebih kencang dari kemarin, hahahaha mungkin, aku juga tidak menghitung kecepatan detak jantungku kemarin “Ci….” “Kenapa Rin?” “Saya pulang dulu” aku segera membalikan badan, aku mendengar suara agak berisik di depan ku “tunggu dulu, Rin gua ambil box lu yang kemaren”
44
“Ci saya, mau nyoba pastelnya, berapa Ci ?” pastel hangat dengan sedikit asap, sangat nikmat untuk mengganjal perut, aku menunggu qorin disini, iya namanaya qorin, ci lina bilang begitu… …Kudengar suara Gaza, suara yang lantang sekarang, tidak seperti kemarin, terdengar sedikit ragu-ragu, aku mendengar suara pensil bergesekan dengan kertas, setelah itu Gaza mulai bicara lagi “Ci, sama susu kacangnya juga ya” …aku sedikit bingung mereka menulis sesuatu, tidak lama Gaza langsung bicara lagi “wah, saya juga bingung Ci, skripsi saya belum selesai, kaya’nya jadi dua semester nih, saya nggak mau buru-buru ngambil S2, mau kerja dulu deh Ci, saya udah janji sama papa mau kerja di kantornya” “maaf nih, dari tadi kok saya dengar kamu cuma ngomong sendiri aja ya, ada apa sih?” terlebih lagi Gaza berbicara dengan intonasi yang tidak biasa, dan Ci Lina hanya diam saja, sesaat kemudian kudengar lagi suara gesekan pensil dengan kertas, dan sekarang kudengar ada dua sumber suara, mungkin gaza dan ci lina membicarakan sesuatu lewat tulisan dan agak pribadi, aku agak tersinggung… …suara gesekan antara pensil dan kertas semakin terdengar… “nggak ada apa-apa kok (aku berbicara pada Qorin) Ci saya pulang dulu ya… (kemudian pamit dengan ci lina)”
Depan rumah 12, Kemang, 10 juli 2006 “bang saya mau bubur kaya’ kemarin ya” “siap mba, mba baru ya di sini” aku menyiapkan mangkuk “baru sih, baru empat bulanan lah” “oh…ni mba buburnya” “eh iya, makasih bang, bang panggil saya Rhauma aja”
45
“iya mba Rhauma” “bang, kok mau sih jadi tukang bubur” “yaa, apalagi… saya kan miskin mba rhauma, ini juga kan udah diatur sama yang di atas” “berarti tuhan ngatur semua orang ya bang, berarti tuhan ngatur orang jadi orang miskin, atau kaya, jadi jahat atau baik, kalo itu semua tuhan yang ngatur nggak adil dong bang, kita semua kan maunya yang baik-baik aja kan, buat apa surga neraka ada kalo semua orang udah diatur hidupnya, diatur jalannya” “mba, saya jadi bingung tuh mba…” “ah udahlah, anggap aja Cuma omongan biasa, punya keluarga bang?” ”Punya mba, istri 1 anak 5...” ”Ya ampun bang, pasti rame banget di rumah, oh iya besok istri sama anak abang bawa kesini ya, mau saya ajak jalan-jalan” ”wah, iya mba rhauma, besok saya ajak kesini”
06.45 am, 3 Desember 2006, Toko Kue Ci Lina, Passer Baroe, jakarta …Aku semakin bingung “Ci ini ada apa sih?” “Lu jangan sensi dulu, kagak ada apa-apa kok, tenang aja” kasihan Qorin dia begitu ingin tahunya “terus, kenapa nggak ngomong langsung aja, kenapa harus tulis-tulisan segala ci?” aku berusaha menutupi kekesalanku dengan berbicara agak tenang “Lu belom tau ya?”
46
“Gimana saya tahu Ci, dari tadi Gaza ngomongnya nggak jelas, terus Ci Lina cuma nulis-nulis aja, saya kan buta, jadi nggak bisa ngeliat tulisan” Fuuuh… sabar…sabar…sabar… “Dia sekarang kagak bisa denger lagi…dia itu tuli” aku tersenyum kecil pada qorin, walaupun dia tidak bisa melihat, aku tahu dia bahwa aku ingin menghiburnya …aku tak habis pikir…kemarin aku malu, sekarang aku bingung…
Seorang ibu, seorang anak yang hancur hatinya Sawangan, bogor, (menuju Jakarta di dalam mobil Toyota kijang) 1996 “Bu ayah kenapa?, Raihan nggak tahu harus ngapain, soalnya ibu panik banget” aku bingung, aku tidak tahu apa yang terjadi “tadi ayah pingsan di kantor, gula darahnya tinggi, ibu juga dapet telepon dari kantor ayah, pak Johan bilang kalo ayah sekarang ada di Cipto” aku tidak bisa tenang dalam situasi seperti ini “Bu pelan-pelan nyetirnya, sini deh raihan aja yang nyetirin” aku takut dengan keadaan ibu sekarang, ibu tidak pernah begini sebelumnya “nggak usah, biar ibu aja…” aku tetap tidak bisa tenang, aku hanya bisa dzikir dalam hati “bu, ayah nggak apa-apa kan?” aku pesimis, ibu tidak bisa berbohong padaku “kita berdoa aja raihan…”…aku tidak bisa berkata apa-apa, mobil yang kusetir melaju dengan kencangnya, mobil yang membawa segudang panik, aku sendiri tidak tahu keadaan Mas Dahlan, suamiku tercinta, aku akan tetap menghamba padanya sampai mati…aku tidak ingin terjadi apa-apa, aku ingin keluarga ku normal kembali seperti kemarin, kemarin lusa, dan kemarin-kemarinnya, aku ingin hari ini cepat berlalu
47
“bu, beneran deh, mending Raihan aja yang nyetir, ibu pucet banget” keadaan ibu sebegitu paniknya, yang aku bayangkan keadaan ayah, aku takut… “yaudah, ibu minggirin mobil dulu, kaki ibu dari tadi emang udah gemetar…” aku mengambil nafas yang sangat panjang berusaha menenangkan diri
Pondok Indah Mall, Jakarta 11 juli 2006 Mengapa aku begitu bahagianya, padahal aku baru kenal istri dan anak tukang bubur itu beberapa jam yang lalu, kuajak mereka berbelanja, kubiarkan mereka bermain-main dan memilih barang sesukanya...yah aku menebus dosa hari ini atas kematian miranti...ah tidak juga aku hanya memberikan kokain padanya, terserah dia mau memakainya atau tidak...I am not guilty... ”sudah puas bu belanjanya...” ”iya neng, anak-anak seneng banget, wah eneng ini baik banget” ”biasa aja bu, saya suka sama anak-anak bu, saya suka ngeliat mereka ketawa, lagian juga saya nggak sebaik itu” ”beneran eneng tuh baik banget” ”ah ibu, kalo nanti saya mati, ibu sering-sering dateng ke makam saya ya, doain saya ”neng jangan ngomong gitu ah, hidup mati ada di tangan tuhan” ”kalo hidup mati ada di tangan tuhan, berarti tuhan yang ciptaiin kita itu tau dong kita mati kapan” ”si eneng nih yang ada-ada aja”
48
Yeah, Everybody gonna loved today!!! Gaza & Qorin, Si tuli dan si buta 1.21 PM, 5 Desember 2006, Harmoni, Jakarta Aku sedang di teras rumah qorin, ummm tepatnya bukan teras sebab hanya berukuran kira-kira 2 meter x 1 meter, tadi setelah dari toko Ci Lina, aku mengantar Qorin pulang, untung saja Qorin menyimpan alamat rumah yang ditulis ibunya, jadi aku bisa sedikit tahu rumah Qorin dimana, walaupun aku tidak begitu hafal daerah Harmoni, Qorin begitu cepat bicara, aku tidak bisa menangkap artikulasinya dengan jelas… “Rin bisa ngomong agak sedikt lambat, tiap kata di cacah aja, saya bingung, dari tadi Cuma ngerti sedikit omongan kamu” “Ok ke, Kam Muuu Maw wu ngommm moong Ap Pa Lag giii, Maaaaa aaaaff yaaa, Jad Diii, Kebing ngung ngan” Gaza, baru beberapa hari kenal dia, aku merasa begitu nyaman, setidaknya ada orang yang bisa ku ajak berbicara, aku tidak mempunyai pilihan lain, ibu tidak pernah bisa kuajak berbicara, dia hanya berbicara seperlunya, bang Raihan tidak seperti kebanyakan orang, dan Gaza, dia tidak bisa mendengar suaraku tapi dia berusaha untuk mengerti apa yang ku bicarakan, andaikan saja aku dulu sempat belajar huruf alphabeth, aku tidak begitu mengerti huruf Braille, ibu sudah tidak sempat lagi mengajariku, ibu sibuk. “saya besok sudah bisa mendengar, ada optik yang juga jual alat bantu dengar, saya besok mau kesana, kamu jangan ngomong lagi, saya capek dari tadi baca omongan kamu, saya mau pulang dulu, besok kita pasti bisa ngobrol lancar, nggak seperti ini, walaupun keliatannya asyik, tapi males juga kalo selamalamanya seperti ini” aku lihat Qorin cuma bisa tersenyum, aku bergegas pulang, aku begitu bersemangatnya
Abudhabi, 12 Januari 2006 Aku sudah muak dengan mami, apalagi dengan diriku sendiri…sejak kecil aku di perlakukan seperti orang sakit, gara-gara aku mempunyai keturunan penyakit diabetes, aku pemakan sayur rebus, kurang karbohidrat sejak kelas 6 SD, jadilah
49
aku Rhauma seorang gadis kurus dengan pelayanan ekstra 24 jam, dan segudang larangan dari mami, aku tidak boleh jajan sembarangan, terbukti waktu aku melahap 2 mangkuk bakso tak lama setelah memakannya aku langsung dirawat di rumah sakit, mami bilang aku keracunan vetsin, atau aku harus tidur pada pukul 9 malam, karena pada saat tengah malam tubuh kita mengeluarkan racun, dan sekarang ketika mami tahu aku berpenyakit aku diperlakukan seperti orang yang mau mati besok, mami mengajakku keliling dunia, mami ingin membuat kenangan terindah pada sisa-sisa hidupku…hello! Aku masih bisa bertahan hidup sampai 3 atau 10 tahun kedepan…aku mengemasi barang-barangku, aku mungkin kalut dan ingin kembali ke Indonesia, meneruskan cita-cita ku sebagai fashion designer…hahahaha…ah tidak, aku akan menyenangkan diriku sendiri saja
Lamunan siang hari 11. 35 AM, 28 Juli 2006,, Warung Kopi, Jl Biliton, Jakarta Pusat Hari ini aku tidak menunggu gaza disini, aku menunggu Gaung Sulaiman, siapa tahu dia menyempatkan dirinya datang ke sini, aku berharap bertemu dia lagi, aku ingin belajar dengannya, aku sudah membawa buku-buku karyanya, buku-buku itu akan menjadi spesial bila ada tanda tangannya, sangat menarik apabila aku dapat mengenalnya, mengenal orang sepintar dia, memenuhi otak ku memberikan ku sebuah pandangan baru yang selama ini ku tak punya…hmmm, aku seperti ingin tertawa, sangat aneh disini meminum kopi panas di siang hari yang panas. …mungkin ini tempat favoritnya, kata orang-orang disini, dia selalu menyempatkan dirinya untuk datang, walaupun hanya beberapa menit…sebelum aku mulai berpikir lagi, dia sudah datang membawa surat kabar dan sebungkus rokok cengkih, aku memberikan isyarat padanya…hmmm tepatnya sebuah gelagat untuk menyuruhnya duduk di sebelahku…aku memulai pembicaraan dengan sebuah basa-basi… “Pak kemarin sibuk sekali, sampai lupa kopinya belum dihabiskan”
50
“Iya, saya terburu-buru…”saya bertemu anak muda ini lagi, dan dengan mata penuh harapan “Bapak itu Gaung Sulaiman, kan…?” terbata-bata, aku sampai tidak bisa menyusun kalimat, aku takut salah bicara…kulanjutkan lagi kata-kataku “Saya dirga” “wah, saya tidak perlu memperkenalkan diri saya lagi ya, ngomong-ngomong kamu kok bisa tahu saya, kamu pernah baca buku-buku saya?” saya takjub, buku saya ternyata ada yang baca, buku-buku penuh kritik, buku-buku fiksi yang tidak punya nilai jual “Beberapa, kan sebagian ada yang di bredel, oh iya saya juga bawa buku-buku karangan bapak, nggg tolong tanda tangani…bisa pak?” aku mengeluarkan bukubuku itu dari tas, tasku sedikit lega dan bisa bernafas, dari tadi tasku dipenuhi barang-barang, berat sekali “terima kasih, anda sudah baca buku saya, memang banyak yang bilang kalau saya terlalu jujur, terlalu dalam, padahal saya tidak pernah mau berhubungan dengan politik” saya mengambil pena dari saku, memberikan tanda tangan pada halaman pertama dari ke empat buku yang tertumpuk di meja “Menyindir mungkin? kebijakan publik, situasi negara, dan cerita tentang manusia dengan otak marmer juga lumayan menyentil pak” aku berbicara seolaholah sudah mahir dalam dunia sastra “saya hanya ingin menjadi seorang warga negara yang baik, walaupun hidup saya habis di luar negeri” saya membakar rokok tanpa filter, rokok yang bisa habis lama sekali “pak, buku-buku bapak yang di bredel masih ada?” aku penasaran dengan bukubuku itu “masih, kalau mau baca, saya masih punya naskah aslinya di rumah, kamu bisa kerumah saya kapan saja…” hanya beberapa orang saja yang tertarik dengan karya saya, saya merasa kasihan dengan diri saya
51
“wah, kalau sekarang bagaimana pak?” siapa tahu aku bisa ke rumahnya sekarang “bisa, saya juga tidak tahu harus mengisi hari-hari saya di umur yang sudah tua ini, oh iya, sekalian kamu bisa membuat sketsa rumah saya, segala sudut di rumah saya adalah harta yang paling berharga, saya mau mengabadikannya, kalau-kalau nanti terjadi bencana dan rumah saya hancur, maklumlah rumah tua”
Kadang adalah relatif, kadang baik relatif buruk, kadang buruk relatif baik Sawangan, Bogor, 1997 “Bu, ayah sudah setahun stroke, nggak ada perubahan apa-apa” aku melihat bapak terbaring, tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki kirinya, jemarinya tidak bisa mencengkram apa-apa lagi, mulutnya separuh terbuka dan kadang-kadang mengeluarkan suara lirih, mungkin dia dzikir atau melafalkan ayat-ayat al-qur’an, atau mungkin dia bershalawat, ibu selalu merawat ayah, ibu kurus sekarang, ibu tidak bisa lagi tersenyum lepas, dan jarang sekali keluar rumah “pasti sembuh, tinggal tunggu waktunya, asal kita sabar semua pasti ada jalannya” anak-anak ku pastinya sudah tahu keadaan ayahnya, mungkin Raihan sudah mengerti, karena dia sudah besar, tapi Qorin…perhatianku terbagi sekarang, lebih banyak pada ayah mereka, qorin hanya mendapat sebagian kecil dari seluruh perhatianku, qorin masih terlalu muda untuk tidak bahagia “hidup kita kok bisa berubah begini, uang kita makin sedikit, kita bertiga butuh makan, lebih-lebih biaya untuk pengobatan ayah, belum lagi terapi ayah” aku takut tidak bisa makan, terlebih lagi aku takut kehilangan ayah, ayah sangat tidak layak lagi untuk hidup, ayah sangat kurus dan tidak bisa lagi berbuat, kecil kemungkinannya untuk sembuh seperti dulu, bukannya aku pesimis tapi aku realistis “ibu yakin, pasti ada jalan, tugas kamu sekarang belajar, dan perhatiin Qorin, kamu nggak usah mikir tentang keadaan keuangan kita” walaupun aku tidak tahu sehabis ini apa yang akan terjadi
52
Misi Segera terlaksana 12.00 PM, 2 Oktober 2006, Halaman Rumah 12, Kemang Aku begitu inginnya tak terlihat, tak mencolok, aku sangat ingin impianku tercapai, impian yang dijanjikan seorang ibu gila pesakitan yang tidak ingin anak gadisnya hidup lagi, yang katanya jalang dan serakah… aku mulai mengeluarkan kamera lomo ku, memotret rumah 12, sebuah bangunan tiga lantai yang terdiri dari 12 rumah bertipe 45 di dalamnya, bangunan yang sangat hijau, disetiap balkonya tergantung tanaman-tanaman dalam pot yang tangkainya menjulur panjang, bangunan dengan cat merah marun dengan suasana yang sangat asri, sedikit menyerupai impian rumah yang diinginkan Haris, rumah hijau…, hari ini aku hanya ingin melanjutkan apa yang aku suka dan sedikit ingin mengetahui sosok Rhauma Priatno, seorang anak gadis dari seorang ibu yang sinting…aku tidak hiraukan itu, aku hanya ingin hidupku nantinya berwarana Seseorang berdiri di depanku, selagi aku memotret… “bisa tolong minggir sedikit?” “oh iya maaf mas…, saya mau nanya, itu kamera lomo kan?” aku menunjuk kamera itu dengan jariku “iya” sepertinya aku mengenal orang ini “beli di aksara ya?” pertanyaan ku sedikit mengganggu orang ini, sok tahu sekali “iya”… “saya juga lagi mau nyoba-nyoba lomograph, umm…udeh pernah ke Benton junction?” “belum, itu tempatnya di mana?” mataku masih takjub dengan bangunan ini, aku sama sekali tidak menghiraukan orang ini “di daerah karawaci, kalo malem bagus banget di sana,
mau saya traktir?,
sekalian ngobrolin tentang lomograph”
53
“Ummm gimana ya…sebenernya saya juga masih nyoba-nyoba kamera lomo, saya nggak tahu banyak” “Sehabis ngobol-ngobrol, saya tunjukin daerah-daerah yang bagus untuk difoto, gimana?, oh iya, saya Rhauma” “apa?” aku sepertinya salah mendengar, aku gemetar “saya Rhauma! Kamu siapa?” “saya Dirga”
Qorin Menunggu dengan sabar 06.00 PM 4 November 2006, Harmoni Aku, masih menunggu di depan teras, menunggu kehadiran Gaza, Gaza yang sudah sebulan lebih tidak pernah kutemui lagi di toko ci lina, ataupun di teras ini, terakhir dia pergi untuk membawa sebuah harapan baru, harapan yang selama ini ku cari-cari, aku sudah tidak sabar lagi, aku semakin tidak sabar, ibu yang selalu pasrah, ibu yang tidak punya pengharapan, ibu yang seperti angin, bang raihan yang sampai sekarang tidak bisa diajak untuk bercerita, mungkin bisa tergantikan oleh Gaza, bukan peran mereka terhadapku selama ini yang akan tergantikan, tetapi rasa kesepianku di tengah-tengah kegelapanku ini
Imajinasi, imajinasi, imajinasi Rumah Gaung Sulaiman, Jl Biliton, 28 Juli 2006, menunggu sore… Mataku seperti mata seseorang yang takjub, Rumah ini sama seperti apa yang aku idam-idamkan, aku berjalan perlahan-lahan, membuka sketch book dan mulai membuat sketsa, jendela tanpa terali dengan daun jendela seperti daun jendela di museum fatahilah, langit-langit yang tinggi, tembok dengan warna putih gading yang mulai pudar, beberapa furniture bergaya art deco, rumahnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk satu keluarga kecil, halaman belakangnya cukup luas
54
dengan rumput yang hijau dan lebat dilengkapi beberapa pohon angsana yang sangat rindang, dan bangku taman dengan warna merah yang sudah mulai pucat termakan usia, berkarat di kaki-kakinya… Masuk lagi ke dalam rumahnya, banyak pajangan-pajangan unik dari berbagai negara, berbagai kebudayaan hasil perjalanannya yang cukup panjang, foto-foto hitam putih yang mulai berjamur terpasang tak beraturan di dinding, dengan pigura yang berbeda-beda, suasana remang di iring lagu-lagu club 8 dari cd player di ruang tengah…Gaung juga sangat mengikuti perkembangan musik, tidak melulu hanya tembang kenangan, suasana yang sangat damai…Gaung sudah sangat nyaman berada di tengah rumahnya, duduk di sofa dan memanggilku sepertinya dia sudah menemukan naskah-naskah asli yang aku tanyakan tadi siang… “pak, nggak apa-apa saya baca naskah ini?” aku hanya sekedar memastikan “tidak apa-apa, baca saja lah, bisa kamu bawa pulang, tapi di kopi dulu, tempat foto kopinya tidak jauh dari warung kopi” “yaudah saya fotokopi sekarang saja pak” aku mulai melangkah, menaruh sketch book ku di meja, tidak sabar ingin membacanya “dirga, saya sedang punya ide, mumpung saya masih ingat, tolong dengarkan dulu” saya ingin secepatnya menceritakannya “Ide apa pak?” aku penasaran, selain ingin membaca, aku juga ingin mendengarkannya “hanya sebuah cerita” “sepertinya jarang ada kesempatan seperti ini” aku menunda langkahku menuju tempat foto kopi, dan duduk di depan Gaung Sulaiman “ada sebuah lingkaran yang sangat luas, lingkaran itu dikelilingi desa-desa luas sekali dan dipagari dengan tebing-tebing tinggi, yang dijaga ketat oleh para penjaga berbadan besar yang telah diseleksi dari desa-desa di sekeliling lingkaran itu…mereka sangat bengis, tidak akan membiarkan seseorang pun lari dari desa,
55
keluar dari sekeliling lingkaran itu, sedangkan di dalam lingkaran terdapat padang rumput tanpa batas, begitupun di luar lingkaran dan tentunya di luar desa yang mengelilingi lingkaran, padang rumput tanpa batas…tidak ada satupun penduduk desa yang boleh melihat keadaan di dalam lingkaran, maupun keadaan di luar lingkaran dan sudah pasti di luar desa, penduduk yang sangat banyak itu lapar dan miskin, tidak tahu harus berbuat apa, setiap harinya mereka menanam batang singkong, mencabut singkong yang sudah besar dari tanah, menunggu singkong hingga besar, hanya itu keahlian mereka, tidak mempunyai uang, tidak tahu apaapa, dan bodoh…tanpa tahu dunia luar, yang tahu dunia luar dan isi dari lingkaran yang sangat luas hanya raja, pejabat-pejabat, dan beberapa penjaga yang bisa menyimpan rahasia, salah satu penjaga takjub sekali, merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, karena butuh waktu satu minggu untuk melewati hamparan padang rumput di luar desa, sedangkan di dalam lingkaran, butuh waktu tiga hari untuk mencapai pusat lingkaran, penjaga itu menceritakannya pada seorang pemuda, sahabatnya sejak kecil, mereka terpisahkan karena perbedaan fisik mereka, sang penjaga berbadan gempal dan sengaja di ajari ayahnya untuk ber wajah bengis, sedangkan sahabatnya sangat kurus, rambutnya tipis…si kurus sangat penasaran dengan cerita sahabanya itu, ia bergegas pergi menuju hamparan padang rumput itu untuk menemukan sesuatu yang membuat sahabatnya takjub, karena semangatnya si kurus menjadi sangat cerdik, ia bersembunyi di balik jubah besar sahabatnya, menyuruhya berjalan terus sampai ke tengah-tengah padang rumput, dua hari sudah berlalu, dan si kurus baru keluar dari jubah yang dipakai sahabatnya, setelah sahabatnya memastikan sudah tidak ada orang lagi, sampai pada hari ketiga mereka menemukan sebuah sumur, di dalamnya terdapat bongkahan emas, batu-batu mulia, dan semuanya berkilauan, si kurus bertanya pada sahabatnya “ Penjaga, benda apa gerangan yang ada di dalam lubang itu? ” Lalu sahabatnya menjawab “ itu adalah benda-benda yang sangat mempunyai nilai” Si kurus bertanya lagi “ maksudya, nilai apa?”
56
“benda yang dapat kau tukar dengan hidupmu, bahkan seluruh penduduk desa” sahabatnya menjawab “aku tidak tahu apakah aku berharga atau tidak” si kurus lalu melihat lebih dekat lagi benda berkilauan itu “Raja pun tidak tahu harus di apakan benda-benda itu, raja hanya menyimpannya, dan kadang memamerkannya pada pejabat-pejabat yang lain” “mengapa kau tahu bila benda berkilauan itu sangat berharga” “karena yang selama ini kulihat hanya kebun singkong dan padang rumput, aku tidak pernah melihat benda seindah ini, maka ku simpulkan itu adalah benda yang sangat berharga” Kemudian mereka melanjutkan perjalan mereka lagi. Sampailah mereka pada desa dengan kebun singkong yang terhampar luas… “ sahabatku sang penjaga, kita sampai dimana?” “ini masih desa yang sama, kita tadi menyeberangi lingkaran, sekarang turunlah dari punggungku, dan keluar dari jubahku” “mengapa?, apakah sudah tidak ada penjaga-penjaga yang lain?” “maaf sahabatku yang kurus, justru itu, sekarang kita dikelilingi para penjaga yang badannya besar-besar, maaf sahabatku yang kurus, aku tidak mau mengorbankan kesenanganku dan tidak mau mengorbankan hak istimewa ku untuk masuk dalam lingkaran, dan keluar dari desa, maka dari itu akan ku buat kau buta” “mengapa?” “karena memang sudah begitu ketentuannya”
57
Semua akhirnya jatuh dan pecah 01.00 PM, 17 November 2006, Harmoni, Jakarta Gaza…mengapa tidak pernah datang lagi, aku tidak pernah punya teman bicara yang tidak biasa selain ci lina dan gaza, aku melepas lelah sepulang dari toko Ci Lina, aku tidak pernah bersemangat lagi akhir-akhir ini, aku merasa ibu ada di sebelahku sekarang, aku cukup senang karena ibu bisa melihat kalau-kalau Gaza datang, dan memberitahu aku, walaupun Gaza terlihat dari kejauhan…bagi mata normal seperti punya ibu
Jl biliton, 28 Juli 2006, Hampir sore Tempat fotokopi yang dikatakan Gaung Sulaiman tidak nampak, aku berjalan melewati warung kopi yang tadi aku kunjungi…aku menoleh untuk sejenak dan berhenti… Aku melihat sosok diriku di warung kopi itu…aku memicingkan mata, memastikan jika itu aku, itu benar aku, tapi aku yang mana?, aku dimana sekarang…? Oh, aku kehabisan kata-kata aku hanya berimajinasi…lagi! ya tuhan ini semakin mencekikku, kopiku sudah dingin sejak tadi, walaupun aku pernah melihat Gaung Sulaiman saat menunggu Gaza di warung Kopi ini, tetapi imajinasiku benar-benar kelewatan, fuuuh, aku merasa penantianku sia-sia, membawa buku-buku yang memberatkan beban di tasku, membuang waktuku…aku bingung terhadap diriku, sungguh bingung dengan semua khayalan dan mimpiku yang terasa nyata, atau terlalu banyak obsesi terpendam yang tidak dapat kuwujudkan…
03.00 PM, 29 Desember 2006, Harmoni Aku tidak sanggup lagi menunggu, aku masuk ke dalam rumah, menyesali waktu menungguku di teras sehabis mengantar pastel ke toko Ci Lina, aku tidak percaya aku sudah menunggu selama itu setiap harinya dalam beberapa bulan ini
58
Sawangan, Bogor. 1998 “Ayah meninggal, ibu jangan terus diam, ibu ngomong sesuatu dong!” aku menangis melihat ayah di kafani “iya, ayah meninggal” aku sudah tidak mempunyai nafas lagi, suami yang kucintai sudah meninggal dunia, aku belum siap, sungguh aku belum siap, Qorin berada di pangkuanku, kerudung hitam yang kupakai menutupi mataku, aku tidak berani menatap anak-anak ku, aku sungguh tidak kuat, kurasa inilah hasil dari semua kesabaranku
Harmoni, 4 Januari 2007, 01.02 PM Gaza tidak akan muncul…aku ingin menangis tapi mengapa tidak bisa, aku terlalu membesar-besarkan suatu keadaan dalam diriku dan lingkunganku, aku terlalu bersemangat mengenal Gaza, di tengah-tengah kesepian dan kejenuhanku tiba-tiba di datang, tapi aku terlalu berpengharapan, aku mengharapkan aku tidak merasa berada di dalam kegelapan dan kesepian dengan hanya mengandalkan sebuah pertemuanku dengan seseorang yang baru ku kenal dalam tiga hari, aku tidak akan pernah berubah, keluarga ku tidak akan pernah berubah, sampai mati aku akan tetap berada di dalam kesepian, di dalam kegelapan, aku merasa sangat jenuh, aku merasa sangat jenuh, jenuh, jenuh, jenuh, jenuh, jenuh, jenuh, jenuh, jenuh sekali, jenuh sekali, aku menunggu air mataku keluar, aku mencari Bang Raihan aku masuk kedalam rumah…aku menabrak bang raihan, aku langsung memeluk dia, menunggu air mata yang tidak kunjung muncul, ya tuhan aku kecewa dengan diriku…
Dekat Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, 2 Oktober 2006, 03.00 PM Banyak tumpukan tangki-tangki bekas truk tangki berjejer, container-container bekas berhamburan, drum-drum yang sudah di pipihkan dan menjadi pagar
59
sebuah tempat pengolahan limbah, di seberangnya terdapat rawa-rawa, dengan rumput-rumput di air yang menjulang tinggi, di lewati dengan rangkaian besi dan kabel penghantar listrik yang begitu tinggi dan besarnya, pemandangan yang tidak indah tetapi mempunyai daya tarik untuk di foto “Kamu suka view yang agak-agak creepy ya?” “Nggak juga Dir, emang males banget sih ngeliat semi junk yard kaya’ gini, tapi bisa jadi background yang bagus untuk cover majalah, atau buku, mungkin juga bisa jadi backround untuk foto di fashion page, atau juga bisa jadi tempat yang artistik baget untuk setting film” aku berbicara begitu panjangnya dengan dirga, dia terlihat begitu tertarik, ku terobos ilalang, dan mencari obyek yang indah… indah sekali, aku begitu takjubnya dengan tempat ini “kamu coba kamera ini deh” aku menyodorkan kameraku, melihat Rhauma begitu bersemangat, aku jadi ingin tahu gadis yang sangat menarik ini “nggak usah, kamu aja” aku berusaha menolak “kamu aja, coba sekali aja deh…” aku sedikit memohon “aku nggak bisa…” aku tidak memberikan alasan yang tepat “yaudah…” aku berjalan kearah tangki bekas penuh karat, memotret tanpa juntrung, karena kupikir aku hanya mencoba-coba kamera ini, aku belum tahu hasilnya “Dirga, saya mau coba kamera kamu, kamu kok nggak fokus sih, sayang filmnya kan…” Aku meraih kamera dari tangan Dirga, mengambil banyak gambar termasuk dirinya, aku merasa seperti fotografer pro, padahal bukan
Sawangan, Bogor. 1999 Kriiiiing…kriiiiiing…kri…..
60
Aku mencari-cari sumber bunyi telepon…kuraba-raba telepon yang ada di ruang tamu “Assalamualaikum, ini dengan siapa?” “Waalaikumsalam, saya Sunarto, ini dengan siapanya mas Noor Raihan Ghozali?” “Saya adik nya, ada apa ya pak?” “Bisa bicara dengan orang tuanya?” “Sebentar saya panggilin pak” Aku membalikan badan, sedikit berteriak memanggil ibu… “ibu!!!! Ada telepon” “Dari siapa?” dari kamar aku bergegas menuju ruang tamu, dan meraih gagang telepon “Dari pak Sunarto…” aku merasakan ibu ada di sebelahku “Halo, iya, ini pak Sunarto yang mana ya?” nama yang asing dan tidak pernah ku kenal “Bu, mas Noor Raihan Ghozali Over dosis, dia saya temukan kejang-kejang di toilet”
Harmoni, 2000, 04.13 AM Hari ini aku baru pindah ke rumah yang sangat kecil ini, sebuah kontrakan yang tidak layak menurutku, sampai sekarang aku seperti kehabisan nafas, kehabisan tenaga untuk berdiri, keluarga yang ku idam-idamkan dari dulu, keluarga yang ku bangga-banggakan, aku tidak ingat lagi dulu aku pernah sangat bahagia, hidupku menurun drastis, suamiku meninggal, otak Raihan sudah entah kemana, kokain, amphetain, ganja atau apalah yang jelas aku tidak bisa melihat dia utuh sekarang, aku tidak bisa membuat qorin bahagia, terlebih lagi uangku tinggal sedikit, apa lagi yang harus kulakukan selain merasa kehabisan nafas
61
Sarapan Dingin masih ada di lemari es 09.17 AM, Apartemen Gaza, 7 Desember 2006 Bumi perputar, matahari sudah memancarkan sinarnya, menyebarkan sinarnya di tengah-tengah hamparan manusia yang sudah beraktifitas, aku sendiri baru bangun tidur, hari ini sama dengan kemarin, alat Bantu dengar tidak berfungsi seperti apa yang aku ingin kan, aku masih tidak bisa mendengar, 2 hari ini aku seperti orang linglung, kemana-mana mencari dokter THT, dan alat bantu dengar yang paling canggih, tetap saja aku tidak akan bisa mendengar lagi, aku akan membiasakan diriku dengan kesepian ini, dan berkomunikasi dengan cara-cara yang lain, tetapi, aku tidak akan menemui Qorin lagi, tidak akan! Aku takut dia kecewa, lagi pula aku benci dengan perasaan ku yang tidak menentu, hari pertama kulihat dia begitu anggun, dan mungkin aku merasa jatuh cinta, hari kedua, aku semakin yakin jika aku memang benar-benar menyukainya, hari ketiga aku sangat yakin…amat yakin, sisanya sampai hari ini, aku merasa aku tidak menyukainya, dari dulu perasaan ku tidak menentu, dan ini bukan untuk yang pertama kalinya, sekarang aku tidak mempunyai rasa yang biasanya orang lain rasakan, mungkin namanya jatuh cinta, rasa yang tidak pernah kelihatan, ….mungkin bukan sekarang, tapi sejak dulu, ah tak tahu lah aku bingung juga dengan perasaan ku, apa aku terlalu pemilih, terlalu perfectionist, aku hanya tidak tahu…sekarang aku tutup perasaan ku, aku hanya ingin rasional, mungkin nanti ada yang membuka perasaan ku, kali ini aku takut membuat Qorin kecewa, huh, terlalu di dramatisir, baru tiga hari berkenalan, mungkin Qorin juga memakluminya, aku sejujurnya hanya ingin hidup yang sederhana dan tidak ingin direpotkan orang lain serta tidak ingin merepotkan orang lain, selalu menjaga emosiku berada pada kadar yang sesuai, tidak ingin terlalu meledak, mudah-mudahan aku bisa melakukannya seperti sebelum aku begini, sebelum aku dinyatakan sudah tidak bisa mendengar lagi, aku takut menjadi sensitif, aku ingin selalu menjadi orang yang bahagia tanpa ada masalah, tanpa memikirkan masalah yang terlalu berlarut-larut, aku tidak ingin mempermasahkan suatu masalah
62
‘gaza, sebentar lagi tahun baru lo mau kemana?’ aku menulis pada selembar kertas bekas, gaza sudah putus harapan, yang kau lihat memang begitu, tetapi gaza berusaha untuk menjadikannya suatu angin yang dapat pergi begitu saja “nggak tau kemana, gue nggak punya rencana, ada masukan nggak?” ‘nonton TV aja, liat berita, atau nonton DVD sambil minum bir atau wine, gimana?’ “ya udah, atur aja, gue mau tidur lagi sekarang, pusing banget skripsi belum juga selesai, dan masih nganggur-nganggur aja” ‘sama aja za, gue juga gitu, lebih pusing lagi gue nggak enak sama lo, numpang terus disini’ “ya ampun ga, kaya’ kita baru kenal kemaren aja, santai aja, jangan mikir yang enggak-enggak” ‘iya juga sih’ Gaza masuk kembali ke dalam kamarnya, aku masih memikirkan terus tentang skripsiku, tentang penghasilanku yang nol sejak dua bulan yang lalu, aku tidak menjadi dirga yang sesuai dengan apa yang ku bayangkan
02.13 AM, 1 Januari 2006, Apartemen Gaza Lantai 22, Sudirman, Jakarta Gaza tertidur di depan TV, tapi aku tidak, aku berjalan menuju kamar mandi, aku bertemu dengan cermin selagi aku berpikir, dan kupikir adalah kesempatan yang baik untuk merefleksikan diriku di depan cermin di dalam kamar mandi, merfleksikan apa yang telah kulakukan setahun belakangan ini, dan membuat perencanaan 1 tahun kedepan… Dirga, dirimu sudah gagal kali ini, titik yang paling gagal, sudah tidak berpenghasilan, hidup selalu terpojok dengan segala keterbatasan yang ada, target hidup tidak terpenuhi, uang sudah mulai menipis, hidup luntang-lantung, skripsi
63
tidak sesuai target, bukan seperti yang aku inginkan, dirga yang tidak pernah gagal dan selalu sempurna sekarang berubah menjadi dirga yang merosot kualitas hidupnya, dirga tanpa celah, sekarang hanya seseorang yang lelah berupaya…aku bingung apa yang harus kulakukan nanti, apa yang bisa kulakukan nanti, aku tidak berpikir tentang kebebasan ku lagi, aku tidak berpikir tentang bagaimana sebebas-bebasnya mengekspresikan diriku, kini aku berpikir bagaimana caranya harus bertahan hidup, tidak mungkin aku mengandalkan bantuan orang lain terus menerus, aku tidak akan mungkin kembali kerumah ku dengan segala kegagalan yang ada, walaupun aku masih muda walaupun penuh tenaga…aku merasa gagal, akumerasa tidak sempurna, aku merasa bapak menolak kehadiranku sekarang, jika ia tahu segala kegagalan ku, mungkin aku terlalu melebih-lebihkan, tetapi aku memang begini, aku selalu cemas bila tidak ada mimpi lagi besok, aku selalu cemas, aku tidak pernah puas aku tidak pernah bersyukur…kulihat bayangan sosok lain di cermin, aku terkejut! …aku terkejut melihat Haris di dalam cermin, aku ini dirga, lalu siapa yang ada di cermin…sebagian pikiranku berkata jika akulah yang mempuyai bayangan sosok itu… Bukan aku, aku dirga, aku manusia tanpa celah…cermin itu bohong, itu haris, orang yang kubenci, orang yang tidak ingin aku lihat lagi, perasaan yang di kendalikan alat pikirku bergaung memanggilku Haris, aku sudah katakan pada diriku sendiri aku bukan haris… Pikiranku sedikit kosong, mungkin ini hanya mimpi, aku keluar dari kamar mandi melanjutkan nonton TV ku…Gaza sudah terbangun, mungkin tadi dia hanya tidur ayam “Dirga…D I R G A…D I R G A…Haris” Aku terkejut dan bingung, aku cepat-cepat menulis pada kertas yang ku ambil sembarang dari depan TV ‘ lo Panggil gue apa tadi?’
64
“Haris! Emangnya kenapa?” Aku tidak sabaran, menulis lagi, aku langsung berbicara saja “ Nama gue Dirga…Dirga…Dirga…Haris…Haris…Haris…Haris” oh tidak, mengapa alat pikirku berucap jika aku dirga, tetapi mulut ku berkata haris…apa yang ku tahu kudengar dirga malah tiba-tiba menjadi haris…aku menjadi sangat bias… “ris lo ngomong apa? Gue kan nggak bisa denger…” ‘gue, …haris?’ akhirnya aku menulis lagi “iya! Dasar anak aneh!” ‘Haris?’
01.44 AM, 04 Januari 2006, Apartemen Gaza, Sudirman, Jakarta Empat hari, iya sudah empat hari aku menjadi haris, aku bingung, aku sungguh bingung hingga aku mual dan ingin muntah, kepalaku melayang-layang seperti habis menghisap mariyuana, aku menjadi orang baru atau aku menjadi orang yang sudah lama aku tinggalkan, aku juga tidak tahu…aku curiga jangan-jangan aku sebelum-sebelumnya adalah orang-orang yang berbeda, atau mungkin obsesiku yang terpendam dalam kepalaku…badanku seperti merasa hancur, dan harus membangun dan memulai diriku dari titik nol, jantungku berdebar tidak seperti biasanya, aku melamun…dan mengikuti otakku untuk berlari keluar dari apartemen gaza, menuju tangga darurat dan berbelok lagi ke arah roof top, tempat yang ku inginkan untuk sendiri, tempat yang ku inginkan untuk menenangkan diri…pikiranku kosong lagi
65
01. 55 AM, 04 Januari 2006, Roof top di apartemen 24 lantai Bila aku adalah Haris, aku berarti sangat kecewa, seribu kali kecewa yang datang bertubi-tubi, Haris yang kosong yang tidak pernah ku isi dan ku tempati…lagi, aku tertunduk duduk di pinggir, kakiku tidak menginjak apa-apa…yah sekarang aku kosong, aku bukan Dirga…Lagi!!! memang aku bukan Dirga…uhhh…aku berusaha mengeluarkan seluruh nafasku tetapi tersendat-sendat oleh isak yang tidak ku sadari, isak yang juga di kendalikan tanpa ku ketahui, tapi mungkinkah aku haris? Aku Haris? Aku Haris? Aku Haris!, aku tidak mampu berteriak, walaupun tidak ada orang disini, aku merasakan angin yang sangat kencang di atas sini, aku seperti berada di ruang gelap tidak terbatas, ruang gelap hampa udara, aku merasa berada di luar bumi melayang-layang di angkasa yang sangat luas dan menyadari diriku yang sangat kecil tanpa nama, tanpa arti, tanpa tujuan… bila semua orang selama ini memanggilku Haris, dan yang aku sadari mereka memanggilku Dirga, berarti ada yang salah dalam diriku, tetapi, apakah jika aku menulis namaku sendiri, menyebut namaku sendiri dengan sebutan Dirga, tanpa aku sadari yang sebenarnya adalah Haris…berarti otakku sudah begitu menguasai diriku dan melepas diriku dari kendali, ku buka dompetku, kulihat KTP ku, yang kulihat Haris dengan foto yang akupun masih bingung mendefinisikannya, kumasukan lagi dompetku ke kantung ku dan menyalakan rokok, menghisapnya, membuatku sedikit lepas dari tekanan yang aku yakin pasti aku buat sendiri, walaupun aku tidak mengetahuinya secara pasti, ada sedikit rasa yang terlintas untuk mengetahui akan jadi apa aku nanti, aku ingin jadi siapa saja selain menjadi Haris, ada yang lewat dalam benakku, sebuah lingkaran dalam lingkaran, dalam lingkaran, dalam lingkaran, dalam lingkaran yang terus menerus tanpa henti bergerak menjadi lingkaran tanpa batas…, Raga yang mati atau jiwa yang mati…tak punya nama ke duanya pun tak dapat dipilih Aku merasakan angin yang membawaku pada kebebasan, angin yang mendorongku, aku tak percaya aku benar-benar memulai langkahku yang benarbenar jauh, beberapa langkah penuh dengan kekecewaan, aku tidak akan pernah
66
menutup mata, aku duduk menghirup udara malam dari sini untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, aku tak berguna jiwa dan ragaku serasa mati… Rokok yang masih separuh kubuang ke bawah, begitupun diriku…kubiarkan diriku terjatuh, menunggu kesempatan kehidupan lain, setidaknya tidak menjadi haris, kesempatan kehidupan yang aku dan semua orang belum pernah tahu, kehidupan lain dan kesempatan lain setelah kematian…aku tersenyum, memang sebaiknya aku tak pernah ada, kubiarkan diriku dengan cepat meluncur ke daratan…
Namaku Haris Kulon Progo, Jogjakarta, 2001 Dirga sudah pergi selama tiga bulan, Dirga yang selalu ku banggakan, ku anggap Dirga sudah berhasil, memenuhi cita-citanya, terutama cita-citaku, demi kebaikan dia, kebaikan keluarga ini, dan sekarang hanya tinggal Haris, semakin lama dia semakin tidak bisa diatur, semakin melenceng dngan pengharapan ku, aku hanya ingin dia menjadi orang yang terbaik…aku ingin kedua anakku tidak mengalami kegagalan dengan apa yang telah diperbuatnya, tidak juga, bagiku hanya dirga lah yang paling terbaik, haris hanya membuat malu saja “Ris, nanti malam ikut bapak ke rumah mbah kakung ya!” “Iya pak” tiba-tiba setelah mas Dirga pergi, aku menjadi sangat menurut, menjadi sesempurna mungkin di depan bapak, jika tidak begitu aku tidak akan bisa kuliah, dan tidak akan bisa mengikuti jejak mas Dirga untuk mewujudkan apa yang aku inginkan, aku bermuka dua sekarang, ku puji-puji bapak di depan, dan ku kutuk bapak di belakangnya…aku mulai berimajinasi jika aku bisa lebih baik dari sekarang…meninggalkan diriku yang lama, dan menjadi diriku yang baru…diriku yang baru menurut bapak “kamu pakai baju yang rapih ya” Haris semakin mudah diatur, dia sudah jarang menggambar, suatu pekerjaan yang tidak berguna! Dia juga sudah tidak pernah lagi membantahku, menyindirku, dan sekarang menjadi manis, sangat santun
67
“iya pak, nggg tapi maaf pak, kemejaku semuanya sudah pernah dipakai untuk pergi ke rumah mbah kakung, aku takut bikin malu bapak” apa urusan ku! aku sebenarnya tidak perduli “Oh, ya sudah, kamu pakai kemeja batik bapak saja, kan ukuran badan kita hampir sama” Sebagaimana baiknya Haris, aku masih tetap tidak bisa menganggapnya sesuatu yang sama atau lebih baik dengan Dirga “terima kasih pak, kalau begitu aku mau mengerjaan PR ku sekarang, dan nanti malam langsung berangkat” aku menuju kamarku dan tidak sabar ingin mengambar lagi, walaupun secara sembunyi-sembunyi, bapak lebih senang jika aku menyelesaikan soal matematika yang rumit, atau les bahasa inggris, atau mengutak-atik mobil bapak, kurasa tanpa menggambar, tanpa berekspresi dan di kelilingi dengan hal-hal yang membosankan akan menjadikanku manusia terbosan di dunia
68
Uno Challenge 12.00 PM, Guang zhou, China, 22 Agustus 2006 From
:
[email protected]
To
:
Jeannie
[email protected]
Subject
:
Saya sudah terima uangnya
22/08/2006, Dirga wrote : Uang sudah berada dalam tangan saya, saya akan ke Indonesia setelah saya menyelesaikan tulisan saya disini, awal oktober saya sudah berada di Indonesia, bagaimana jika saya tidak pernah melakukan apa yang anda perintahkan?
<SEND> From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Please, please, please…
22/08/2006, Jeannie wrote : Kamu bercanda…uang itu tidak berarti bagi saya, lagi pula saya tahu anda…Ok, awal oktober cari putri saya bernama Rhauma Priatno, dia tinggal di Rumah 12, kemang, kadang-kadang dia di pelabuhan ratu, kadang-kadang dia di carita, dan kadang kadang dia di seminyak, tapi saya pastikan dia ada di Jakarta sekarang sampai akhir tahun, lihat foto-foto yang saya attach bersama email ini, selebihnya tunggu perintah saya
<SEND>
69
Aku mungkin curiga dengan Jeannie, seseorang yang begitu mudahnya mengeluarkan uang, yang tidak habis pikir lagi, aku tidak menemukan apa-apa di semua dokumen yang kucari tentang latar belakang keluarga Priatno, yang dapat aku simpulkan sekarang adalah mereka keluarga yang sangat kaya raya, mungkin tidak tersentuh karena begitu hebatnya. aku tidak perduli dengan beberapa kemungkinan bahwa email jeannie adalah email palsu, mudah sekali membuat email sekarang!, jika orang iseng yang melakukannya wajar saja, tapi orang yang satu ini adalah orang iseng yang berlebihan, ah sudahlah, uang membuatku bisa melakukan apa saja
Kulon Progo, 2002 Kegiatan rutin tiap minggu, pergi kerumah mbah kakung, bapak tidak hentihentinya membicarakan Mas Dirga, hmmm…padahal menurutku dia sudah mulai panik sebab Mas Dirga tidak pernah mengabari kami, beberapa sepupuku berbicara seperlunya denganku, mereka anggap aku bodoh atau mereka iri pada ku, aku sekarang sudah meenjadi cucu kesayangan mbah kakung, dan hampir menjadi kebanggaan bapak, karena aku hanya bisa mengangguk, memberi janji dan mimpi kepada semuanya dan sejenak melupakan kebiasaan ku, sifat asliku… melupakan kalau aku masih tidak sepaham dengan pola pikir dan tujuan bapak… bapak yang selalu menjaga sopan-santun dimanapun, menjaga nama baik keluarganya dan tidak ada satu orang pun yang boleh merusaknya, bapak yang selalu ingin di bangga-banggakan, di elu-elu kan, bapak yang selalu berbohong tentang semuanya di depan semua orang, bapak bermulut besar, dan sangat berkuasa di rumah, bapak seorang pemaksa, bapak yang selalu saja dibodohi orang, bapak yang berotak marmer…bapak dengan politik mercusuarnya… fuuuh…aku bingung dengan bapak…bapak tidak pernah bersikap apa ada nya…, apa salahnya bersikap seadanya, bukankah itu lebih baik?...mungkin maksud bapak sangat baik, ia ingin melindungi keluarga ini, ia ingin keluarga ini tersohor dan punya nama, bapak adalah orang yang naïf yang punya dunianya sendiri
70
“Ris, 2 tahun lagi kamu lulus SMA lho, kamu mau kuliah dimana?” aku sengaja bertanya pada Haris di depan saudara-saudara yang lain “Aku mau kuliah di sekolah bisnis pak, nantinya aku mau mengembangkan bisnis bapak, menjadi lebih besar dari sekarang, walaupun sekarang sudah besar” ingin aku menjawab bahwa aku akan kuliah di sekolah desain, ataupun sekolah seni… ATAU AKU INGIN CEPAT-CEPAT KELUAR DARI LINGKARAN BAPAK “bisnis sederhana bapak akan jadi lebih baik jika kamu dan mas mu ikut di dalamnya” aku bangga dengan apa yang dikatakan Haris, tentang masa depannya dan tentang bisnis ku, biar semua orang tahu…
Permainan uno dimulai 09.16 PM, 1 Oktober 2006, Taksi dari bandara, Aku di Indonesia lagi, Jakarta akan sangat mudah bagiku dengan segala janji yang diberikan jeannie, aku ingin juga bertemu haris, walaupun aku tidak tahu kabarnya sedikitpun sejak terakhir aku bertemu dengannya…aku melihat tas yang aku bawa, tas yang ber isi 3 teeshirt, 10 pakaian dalam, 1 jas, 2 kemeja, 3 jeans, 2 celana bahan, Ipod, laptop, dan kamera digital, hanya barang-barang itu yang kupunya dan selalu ku bawa kemanapun aku pergi “pak saya sebenarnya tidak tahu mau kemana sekarang, saya belum punya tempat untuk berteduh” “mau saya antar ke hotel?” “Antar saya ke toko buku dan toko musik saja dulu” “baik mas…, kita ke aksara atau ke QB di kemang saja ya…sudah lama tinggal di luar negeri ya?” “lumayan pak” “Diluar negeri mas tidak menjadi TKI kan…saya bisa tahu dari pakaian yang mas pakai”
71
“saya TKI pak” supir taksi ini sangat membuatku ingin menamparnya “wah, nggak percaya saya…” “loh memangnya bapak siapa? Kok bisa sebegitu yakinnya” “TKI biasanya datang kembali ke Indonesia dengan raut muka yang kasar, gaya berpakaian yang sedikit memaksakan, dan yang lebih penting lagi mereka hanya keluar dari terminal khusus disini” “oooh, saya memang tenaga kerja asal Indonesia, saya wartawan asal indonesia, apa bedanya? Sama saja kan? Seorang akuntan, seorang teknisi, sampai seorang chef yang berasal dari Indonesia dan bekerja di luar negeri juga bisa di sebut Tenaga kerja Indonesia kan?” aku mengobrol suatu hal yang tidak penting “bisa juga di sebut begitu, tapi pandangan kita sudah terlanjur dibuat bahwa TKI adalah tenaga kerja kasar” “terserah bapak sih, bisa lebih cepat lagi , menyetirnya pak?, saya ingin cepatcepat sampai” setelah itu aku pura-pura tertidur, aku sangat tertekan di Guang Zhou, sangat susah mencari data dan informasi disana, aku dibuat tertekan oleh bahasa, beberapa jenis bahasa yang dipakai di china, semuanya tidak aku mengerti dan aku tidak ingin diganggu oleh pembicaraan apapun, walaupun itu sangat menarik, terlebih lagi tugas ku saat ini tidak masuk akal, yang kubutuhkan sekarang adalah, menyendiri, membaca beberapa buku Seno Gumira Ajidarma yang belum sempat ku beli, dan mendengarkan Editors, aku belum sempat membeli CDnya, mudah-mudahan ada di Indonesia
Kulon Progo, Jogjakarta 2002, menunggu maghrib Aku merasa tertekan, lebih tepatnya tersiksa, setiap harinya pola hidupku ku atur dengan rutinitas yang sama, bangun pagi sekali, sekolah, les bahasa inggris, menunggu maghrib di ruang keluarga sambil mengerjakan soal-soal matematika yang tidak pernah kutahu jawabannya, dan tidur pada jam 9 malam, pada waktu akhir pekan pergi kerumah mbah kakung, membicarakan soal agama, soal masa
72
depan, dan bisnis bapak, selalu setuju dengan apa yang bapak bilang, dan selalu merasa sepaham dengan bapak…yang aku ingin kan adalah hidup yang tidak terlalu teratur dan berjalan seperti apa adanya, ibu kulihat sendiri saja di teras rumah, kebetulan bapak sedang tidak ada, aku perlahan menghampiri ibu, dan berbasa-basi dengannya…muak dengan semuanya, muak dengan apapun, aku muak dengan bapak…tapi aku juga ingin diorangkan bapak “bu, ibu nunggu apa?” kata-kata pembuka ku membuat ibu sedikit bereaksi “Ibu nggak nunggu apa-apa” aku langsung masuk ke dalam rumah untuk memastikan hidangan makan malam sudah ada pada tempatnya “ibu tunggu dong, aku kan mau ngobrol sama ibu” aku mengikuti ibu ke meja makan “apa lagi yang mau di obrolkan, ibu tidak suka kamu selalu berpura-pura tidak menjadi dirimu, selama ini kamu berusaha untuk menggantikan posisi mas mu kan? Selama ini pekerjaan ibu sia-sia mendidik kamu menjadi anak yang bisa meninggikan derajat ibu” “maksud ibu apa?” aku tahu, aku tidak akan pernah menggantikan posisi mas dirga, tidak akan pernah bisa menjadi dirinya apalagi menjadi pesaingnya “ibu tahu sifat anak ibu masing-masing, walaupun ibu hanya bisa diam selama ini, ibu tahu segala perubahan sikapmu, segala perbuatanmu…memang apa yang kamu inginkan? Percuma” sejak aku kecil aku diharuskan untuk menunduk, dan membungkuk di depan suami, aku tidak ingin selalu diam, menunduk terus, aku ingin Haris berdiri, menarik kepalaku supaya aku berdiri tegak, Haris ku pengaruhi, sangat mudah membuat kecambah putih menjadi pohon yang kuat… memasukkannya dengan materi siap tempur, materi pintar yang banyak akal, menurunkan bakat gambarku pada Haris, menurunkan bakat terpendamku untuk bersuara…melawan suamiku, melawan keangkuhan manusia, melawan dan terus melawan, Dirga sudah berhasil mengalahkan ayahnya…dia pergi jauh sekarang, sekarang giliran Haris yang bertindak
73
“ibu tenyata memperhatikanku…aku hanya ingin menjadi lebih baik saja bu” aku tidak hanya ingin menjadi lebih baik, aku ingin uang bapak untuk membiayai hidupku nanti di Jakarta “berhenti berpura-pura, ibu tidak suka dengan Haris yang sekarang, sudah cukup hanya mas mu saja yang begitu, dia selama ini baik pada kita, dia selama ini selalu patuh pada bapak, dan sekarang apa yang ia lakukan? Dia meninggalkan kita, dan pergi begitu saja, mas mu seperti bom waktu, sebelum meledak sangat tenang, dia sangat santun dan menjadi harapan ibu, setelah meledak, ibu baru tahu kalau dia begitu membenci keluarga ini, ibu tidak terlalu suka dengan hidupnya yang terlalu lurus” “ibu tahu, kalau mas dirga tidak benar-benar mendaftarkan beasiswa?” “ibu tahu sejak awal, dia cerita pada ibu” “kok ibu diam saja” “apa lagi yang bisa ibu lakukan, biarlah dia begitu, ibu tidak ingin mengubah pandangan bapak mu padanya, jadilah Haris seperti biasanya, jadilah haris seperti yang ibu biasanya lihat, haris yang selalu nyeleneh, biarlah bapak terus menerus memarahimu, teruslah melawan bapakmu, sampai bapakmu kalah” “ibu ngomong apa?” aku terkejut dengan ucapan ibu, maksudnya apa? “iya, ibu tahu kamu masih suka menggambar, kamu masih bercita-cita ingin kuliah di sekolah seni rupa kan? Ibu sering dengar umpatan-umpatan kasar kamu tentang bapakmu yang hipokrit, atau…atau …kamu masih tidak sepaham dengan bapakmu kan?” “maksud ku mengapa ibu ingin aku terus melawan bapak?” “karena ibu telah menikah dengan orang yang bodoh, dan tidak tahan selalu diam, ibu selalu puas ketika kamu melawannya dan memojokannya” “bu, sudah lah aku hanya ingin lebih baik!”
74
“Haris, kamu perlu tahu, untuk menjadi lebih baik tidak harus dipaksakan untuk baik, bapakmu mungkin punya harapan yang begitu besar pada Dirga, tapi ibu menaruh harapan yang lebih besar pada mu” “bu, yang aku tahu selama ini adalah bapak dan aku tidak mempunyai tujuan yang sama…tidak pernah sepaham, ibu yang selalu mengajari aku untuk bersuara apabila terjepit, ibu yang selama ini bilang kalau orang angkuh, orang sombong adalah musuh kita, sama seperti bapak, dia juga musuh kita” “iya, bapak mengira tujuannya sama dengan Dirga, dan mungkin sekarang sama dengan mu, tapi ibu yakin tujuan dan harapan ibu sama dengan mu, umpamanya kamu menyukai seni, dan melupakan yang lain, begitulah bapak dan ibumu ini, bapak lebih menyukai Dirga, dan ibu lebih menyukai dirimu, mas mu tahu akan hal itu” “ibu ini sudah maghrib, aku sholat dulu” aku bergegas kekamarku, aku tahu hanya mas Dirga yang dapat ku percaya, walaupun omongan ibu membuatku mati berdiri, tetapi aku lebih percaya mas Dirga, apa yang bisa aku percaya dari orang seperti ibu, orang yang tidak bisa bersuara seperti dia, orang yang akan mati dengan begitu banyaknya penyelasan dan andai-andai…
75
04.00 PM, 1 oktober 2006, Soho, Plaza semanggi From
:
[email protected]
To
:
[email protected]
Subject
:
Your assignment
01/08/2006, Jeannie wrote : Saya punya town house di cilandak, pergilah ke sana, dan untuk sementara ini tinggalah disana, saya sudah attach foto town house itu beserta petanya, di rumah itu terdapat kamar dengan dinding bercat kuning, di lemari pakainnya terdapat senjata api, kamu bisa pakai untuk membunuh rhauma, tetapi jangan terburu-buru, dekati dia dahulu, kenali dia dahulu
<SEND> Aku masih punya rasa curiga padanya, ini terlalu mudah, dan seperti main-main, aku curiga dengan keberadaan jeannie, dia mungkin saja sudah menyusun semuanya sebelumnya, tetapi ini terlalu mudah…dan dengan mudahnya pula dia mengeluarkan uang, aku tidak perduli yang penting adalah uang
Kulon Progo, Jogjakarta, 2002 “ pak, saya berpikir apakah benar Dirga selama ini seperti apa yang kita kira?” aku mencoba memancing amarah suamiku “Kamu bicara apa bu?, kalau saya balikkan, apakah haris selama ini sudah benarbenar berubah?” “Cukup pak, biarlah Dirga saja yang menjadi anak yang tidak berkembang seperti semestinya, biarlah Haris berkembang seperti apa yang dia mau, bila suatu saat nanti haris meledak seperti yang dirga lakukan bagaimana?” “maksud mu, Dirga sama seperti haris? Susah diatur?”
76
“Bapak belum tahu kan, bahwa Dirga tidak akan pernah kembali ke rumah ini, dia tidak benar-benar mendapatkan beasiswa…bapak d bohongi, aku, dan haris juga” “jangan ngawur!” aku tidak habis pikir tentang istriku yang tiba-tiba menyudutkan anaknya sendiri “pak, sebelum terlambat, coba bapak lihat Haris sekarang, dia sekarang menjadi penurut kan? Karena apa? Dia mungkin punya maksud yang lain, tapi bapak perlu tahu kalau Haris masih melakukan apa yang dia suka” “maksudmu haris masih suka menggambar?” suatu perbuatan yang sia-sia, bila menggambar saja masih ia lakukan, berarti dia juga masih melawanku, masih ingin menusukku dari belakang, masih jadi aib keluarga, masih tidak menurutiku, masih lancang, masih nyeleneh, aku harus menaklukan anak ini, tidak ada yang bisa menaklukanku, tidak ada yang bisa “iya” apa salahnya menggambar
09.00 PM,4 Januari 2007, Rumah 12, Kemang, Jakarta Penuh dengan hasrat, malam ini aku melupakan tugasku, rhauma begitu cantiknya malam ini, berbeda dengan apa yang kulihat sebelumnya… “Saya cinta kamu”, aku memeluk rhauma mengajaknya bersandar di sofa “saya cinta kamu?, sejauh apa? Tunjukanlah malam ini…” aku mulai menciumi Dirga, melepas pakaiannya…memulai segala sentuhanku… “saya tidak bisa menjanjikan apa-apa setelah ini…” aku mulai gelisah “maksud kamu?” Dirga mulai bergairah, aku tahu cara membuat dia bergairah “saya tidak suka di usik, saya tidak perduli besok, nikmatilah saat ini saja” cinta semalam, cinta yang kadang merupakan hasratku, aku memang manusia yang suka sendiri dan tidak ingin terganggu, tetapi jika hasrat yang datangnya secara naluri, aku tidak bisa menahannya…
77
5 Desember 2006, Fuji Image Plaza, Pondok Indah Aku baru saja mencetak foto…semua foto…aku berjalan menuju taksi, dan melihat-lihat foto-foto yang baru saja jadi, ku lihat berulang-ulang, lantas aku teringat dengan foto-foto yang ada dalam attached file di email dari Jeannie, foto Rhauma, foto tampak depan rumah 12, foto town house, semua mempunyai sisi, atau sudut atau posisi yang sama, aku bandingkan foto-foto itu dengan foto yang diambil rhauma dari kamera lomo ku, walaupun backgroundnya jelas-jelas beda, lokasinya jelas-jelas beda, tapi mempunyai kesamaan posisi objek yang difoto, objek yang tidak fokus berada ditengah, sedikit ke pojok kiri, memperlihatkan background dan mengkesampingkan objek yang sebenarnya…hmmm, rasa curigaku tertutup oleh uang
09.12 PM, 4 Januari 2007 Rumah 12, kemang, Jakarta Aku telanjang menuju pintu keluar, kusuruh dirga berdiri dan keluar “sekarang keluar dan jangan pernah bertemu dengan ku” “apa-apaan ini!” rhauma sudah berubah, tidak seperti yang aku kenal selama ini, dia merokok, dan membuka pintu sedikit, berwajah dingin dan mengisyaratkan bahwa aku sudah harus keluar sekarang “mamaku menyuruh mu untuk membunuhku kan?” “dari mana kamu tahu?” aku curiga sejak awal dan mungkin akan sedikit terbukti “aku hanya orang biasa yang sedikit pintar” “kecurigaanku benar!, tujuan kamu apa sebenarnya?” aku mulai tidak habis pikir dengan Rhauma “aku hanya orang biasa yang sedikit pintar, jadi keluarlah sekarang!” “ok!” aku marah, aku cepat-cepat memakai pakaianku, aku cepat-cepat keluar
78
09.25 PM, 4 Januari 2007, Rumah 12, Kemang, Jakarta Aku sudah berada di luar, aku merasa sangat bodoh, aku kembali lagi kedalam, kucari pistol yang ada di dalam tas ku, benda yang tidak pernah kusentuh, ku todongkan pistol itu pada rhauma, aku heran sekali bagaimana aku bisa setega ini, aku mungkin bisa setega ini karena harga diri… “hmmm, sampai saat ini tugasku belum selesai, kan? Jadi,… selamat tinggal…”aku pura-pura bodoh, ku tarik pelatuknya, dan tidak ada suara apapun seperti yang ku lihat di film-film, seperti lucky number slevin, the pianist, ataupun fateless…jadi…hmmm aku memang belum pernah menyentuh senjata api, aku cinta damai…jauh-jauhlah benda itu dariku…sekarang aku merasa bodoh… Rhauma pun mulai tertawa dan hampir terpingkal-pingkal “hahaha, kamu bercanda, aku yang menyusun semua ini, aku tidak akan banyak mengambil risiko, pistol itu tidak ada pelurunya…terima kasih telah bermainmain selama ini…aku sangat puas”
Kulon Progo, Jogjakarta, 2002 Bapak membentak-bentak seisi rumah, bapak merobek-robek semua sketsa yang pernah kubuat sejak aku kecil, ibu pasti mengadukannya pada bapak…bapak menamparku sangat keras, aku tidak melawan karena aku anak yang berusaha untuk baik, aku ingin melawan tetapi aku bingung ingin jadi apa, aku ingin seperti mas dirga tetapi bisa melakukan semua hal yang kusuka... Bapak langsung pergi setelah membuat kekacauan yang sama sekali tidak ada gunanya, aku geram pada ibu…aku melangkah menuju bangku di ruang tamu, ibu duduk disana dengan sangat tenang… “ibu itu kenapa sih, kok suasana seperti ini ibu malah tenang-tenang saja” “bukankah kita sudah biasa seperti ini?”
79
“iya, tapi kali ini ibu yang memulainya kan? kenapa ibu mengadukan semuanya pada bapak” bapak, apa yang salah dengan bapak, aku melakukan semuanya secara wajar, aku tidak melakukan dosa besar “dia kan kepala rumah tangga, dia harus tahu semuanya” “ibu mencoba membelokkan masalah...biarkan aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan” “ini semuanya salahmu, andai saja kamu mengikuti perkataan ibu…mengapa kamu tidak melawannya!” “karena aku ingin menjadi lebih baik bu!”
Kulon Progo, Jogjakarta, akhir tahun 2002 Bapak tidak akan pernah percaya lagi padaku, apapun yang aku lakukan sekarang selalu salah, aku sudah menyusun semua ini dengan sempurna, tapi semua itu runtuh…aku tidak ingin menyusunnya lagi, aku muak aku frustasi sekarang… “sekarang atau nanti kamu sama saja, kamu sudah bapak tidak percaya lagi, sekarang terserah kamu mau apa…” aku hanya ingin anak-anak ku tidak gagal, tidak terpeleset, apakah aku salah? Aku ingin anak-anak ku menjadi seperti ku, kaum berpendidikan, menjunjung nilai-nilai leluhur, membuat nama keluarga tersohor… “pak, aku memang banyak salah, tetapi aku juga ingin menjadi apa yang bapak ingin kan” dasar bapak itu adalah orang yang paling berpikiran tidak waras, karena
terlalu
konservatif…YAAH
BERARTI
AKU
HARUS
MENGIKUTINYA, dulu aku punya aturan ku sendiri, sekarang aku harus mengikuti peraturan bapak, dulu aku berusaha membuat arus, sekarang aku hanya bisa Mengikuti arus “percuma, kamu nanti akan seperti mas mu kan? Di depan bapak, kamu sangat santun dan nantinya diam-diam melakukan semua yang bukan kemauan bapak, terserah kamu mau melakukan apa”
80
“pak!” aku mendorong bapak, aku geram…bapak membalas mendorongku lebih keras, aku tersudut, aku merasa tidak berdaya, aku lepas kendali dan tidak ingin melawan lagi, bapak langsung pergi, tidak tahu kemana lagi, ibu menghampiriku memeriksa badanku yang mungkin terluka “mengapa kamu tidak melanjutkannya…ibu lihat tadi kamu melawan bapak…” “aku tadi kelepasan bu, aku tidak ingin melawan bapak lagi” “haris, kamu terlalu terobsesi oleh suatu bentuk kesempurnaan, seharusnya kamu melawan, kamu harus melawan!” “tidak bu, ini semua kesalahan Haris” Haris yang salah, haris yang salah, yang paling benar mas Dirga, Haris memang pantas mendapatkannya, ini kesalahan haris, hanya mas dirga yang anak kesayangan bapak
ibu itu racunku sejak aku kecil Kulon Progo, akhir tahun 2002 Aku berada di kamarku…ibu menghampiriku lagi, aku semakin ingin mempunyai kesempurnaan sama dengan apa yang mas dirga punya “kenapa kamu selalu terobsesi ingin menjadi sempurna? tidak ada yang sempurna!” “Sempurna, di mata semua orang, bukan hanya mataku saja…aku jawab iya bu!!!...aku ini ingin di anggap manusia bu, untuk masuk di dalam lingkaran bapak aku harus sempurna seperti Mas Dirga” “jadi kamu ingin menjadi Dirga?” “tidak bu, ibu hanya tidak becus! Ibu hanya patung! Ibu buat aku bingung, ibu itu racunku sejak aku kecil”
81
Kulon progo, Jogjakarta, 2003 Aku melawan bapak untuk yang terakhir kalinya, sumpah ini yang terakhir kalinya… “pak aku tidak ingin kuliah di sekolah bisnis, kenapa bapak selalu memaksakan kehendak!” sebuah trial error yang tidak akan berhasil Bapak tidak bicara, dia menyeretku ke kamar mandi, mengguyurku dengan air, bapak tidak berbicara, bapak seorang pemaksa “pak, sudah pak!” aku menepis guyuran terakhir… Aku tidak ingin melawan bapak, apa yang bapak bilang akan kuturuti, aku tahu semua yang bapak inginkan adalah yang terbaik buat ku, Tiba-tiba aku berpikir, ini semua keasalahan ku, ini semua kesalahan haris, dia yang salah, dia tidak bisa apa-apa, dia hanya bisa mengeluh, dia yang salah, dia yang salah, dia selalu saja punya pemikiran yang berbeda, dia yang salah, dia yang tidak pernah sejalan dengan bapak, dia yang salah, dia yang penuh racun, Dirga yang selalu benar, aku benci Haris, ini aku…aku dirga yang selalu sempurna…
Hai, Namaku Dirga, Dirga yang paling baru, Haris...enyahlah... Kulon Progo, Jogjakarta, Maret 2003 Hari ini begitu indahnya aku merasa terlahir lagi, udara sangat segar dan ingin cepat-cepat kuhirup sebanyak-banyaknya, matahari pagi sudah terbit dengan dramatis…aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah… “Pak, dirga ingin kuliah di sekolah bisnis, nanti dirga mau lihat di internet, dirga mau mencari sekolah bisnis terbaik di Indonesia”…… “terserah kamu nak…apapun yang terbaik”
82
Groupies Gaung Sulaiman Wates, Jogjakarta, Desember 1990 Aku mengajak anakku jalan-jalan, di sekitar kota, dekat sekali dengan patung nyi ageng serang, anakku Haris adalah anak yang ku impikan sejak dulu, seseorang yang bisa membawaku menjadi perempuan yang tidak tertunduk lagi… sebenarnya aku bertemu dengan temanku Laila, banyak koleksi bukunya yang harus Haris baca sejak dini, mungkin dia belum mengerti, tapi suatu saat kejujuran akan lebih baik dari sebuah angan-angan kosong “Nak, jangan bilang bapakmu ya kalo kita pergi ke rumah tante Laila” ”iya bu, tapi berarti ibu bohong” ”iya, bohong...tapi jadi kebaikan kan? Kebaikan yang lebih tinggi, kita harus mengorbankan kebaikan yang lainnya, yaitu kejujuran” lalu aku berbincangbincang dengan Laila, membicarakan Gaung Sulaiman yang tiba-tiba menghilang gara-gara buku terbarunya yang sangat menyindir orang-orang berkuasa, baginya kuasa yang tertinggi adalah milik tuhan, kuasa milik manusia hanya membuat manusia menjadi lebih jahat ”Bohong demi kebaikan kan bu, hmmm” aku melihat rak buku tante Laila, rak bukunya penuh dengan buku-buku ensiklopedia, buku-buku biografi orang-orang terkenal, dan...wah ada bukunya Gaung Sulaiman...yang aku tahu dan pernah aku baca...mmm bukunya dia yang berjudul ’si kurus’, ternyata banyak sekali bukubuku karangannya...walaupun aku tidak tahu maknanya, tapi aku terus paksakan membaca, suatu saat pasti akan berguna ”Tante Laila, Haris pinjam bukunya Gaung Sulaiman ya...” ”ambil saja, ibu mu tadi juga sudah bilang sama tante” ”Terima kasih lho Laila” tidak lama kemudian kami pulang, waktuku hanya sebentar di luar, kalau suamiku tahu aku pergi ke rumah Laila yang sangat terkenal di kota kecil ini sebagai orang yang Apathetic terhadap Indonesia, pasti aku akan habis...sekejap saja andong membawa kami melewati jalan yang baru di
83
aspal, yang aku bisa lakukan adalah mendidik Haris menjadi orang yang nantinya akan berhasil, menjadi harapanku, menanamkan segala nilai-nilai kebaikan, dan menjadikannya seseorang yang bisa mempertahankan haknya, yang bisa membela dirinya sendiri secara pintar, tidak bodoh seperti bapaknya.
Sarapan Dingin siap disajikan lengkap dengan kebekuan rasanya 10.01.AM, 4 januari 2007, Town House, Cilandak, Jakarta Aku tidak perduli dengan berita kematian Haris di televisi, bunuh diri …aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu, apa yang selalu mengusiknya...aku sangat ingin marah, aku merasa sangat dibodohi Rhauma, uhm...maksudku uang membuatku sangat bodoh, aku tidak akan pulang kerumah bertemu bapak dan ibu, bukan karena aku takut atau malu, tetapi karena aku muak melihat mereka, aku benar-benar sendirian sekarang...besok yang akan kulakukan adalah melanjutkan pekerjaan yang kusuka, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan pergi ketempat yang paling aku suka...menghabiskan waktu hidupku di dalam perjalanan, dan mengakhirinya di Ibiza, atau di sebuah countryside di perancis, kebun anggur berhamparan, bangunan-bangunan tua yang masih kokoh, makanan terlezat di dunia, wine terbaik...impianku terlalu muluk..., aku hanya ingin sendiri, aku merasa tidak memiliki apa-apa di dunia ini, rumah…mobil…istri, dan anakanak tidak akan kubawa mati, semuanya akan hilang, tidak ada yang kekal, orang yang pernah ku wawancara bilang kalau aku ini sinting, tidak pernah investasi untuk diriku, apa lagi asuransi, merencanakan financial yang matang…, aku tidak pernah melakukannya, aku tidak mau repot, selama ini aku hanya menyewa mobil jika ada perlunya, berarti tidak perlu susah-susah untuk merawatnya, membayar pajaknya, dan mengasuransikannya, atau rumah…aku tidak pernah punya rumah, aku hanya menyewanya…karena aku tidak selalu menetap di sebuah tempat, aku berpindah-pindah, aku hanya tidak ingin terjebak dalam rutinitas yang membosankan, aku akan pergi secepatnya dari rumah ini, membawa barangbarang yang biasa kubawa, kembali lagi ke kantor redaksi majalah geoeco di
84
Singapura,
dan...fuuuh
melakukan
segala
rutinitasku...sedikit
melupakan
impianku...
12.00 PM, 4 Januari 2007, Rumah 12, kemang, Jakarta Dirga bodoh, dirga tolol, aku ingin menyudahi permainan ini, permainan tanpa game over, aku tidak ingin menyudahinya tadi malam, tetapi aku masih belum bisa menemukan orang yang kuanggap sangat pantas dengan ku, maksudku aku belum ingin menyudahinya, menyudahi segala sesuatu yang telah kurencanakan dari awal, kupilih sosoknya, kuciptakan gelagatnya, mudah memang mencarinya, Kulihat phonebook di handphoneku, lalu kutelepon seseorang untuk menerobos database GEOECO, mencari-cari email Dirga, melihat file perencanaan perjalanan jurnalis Dirga, membuat email palsu, hhhhh….aku hanya membuat game yang simple, semua orang bisa melakukannya…aku endiri disini, mami ternyata membiarkanku bermain dengan uang yang banyak, mami terlalu sibuk dan paranoid, dan tidak bahwa aku sudah 24 tahun, aku merasa sendirian tanpa hiburan, Pleisure tanpa Play atau tanpa Leisure. Mungkin nanti aku akan melanjutkannya, melanjutkan permainanku, sampai dirga muak…dan aku puas…
Rumah Sakit Siloam Glenagles, Karawaci, 16 Juli 2005 ”Rhauma saya Cuma bilang semua penyakit itu pasti ada obatnya” aku tidak bisa menahan luapan kesedihanku pada pasienku sendiri ”dok, tes waktu itu ya dok?, saya sakit parah ya” aku seperti sudah divonis kanker...mami memegangi tanganku ”tenang dong Rhauma...” aku berdoa dalam hati dan berharap bahwa anak gadisku akan selalu sehat ”mami kamu yang khawatir tentang penyakit keturunan diabetes itu...” aku belum sempat melanjutkan pembicaraan ku
85
”Jadi saya diabetes dok?” aku berharap penyakitku diabetes, karena aku sudah biasa makan makanan yang tidak mengandung gula, termasuk nasi yang mengandung karbohidrat ”Iya dok, kami sekeluarga juga sudah diet ketat, setiap hari makan sayur rebus, tanpa gula dan garam” aku menambahkan ucapan rhauma ”Rhauma bebas dari gula, dia tidak diabetes, dan kadar gulanya normal’ aku melanjutkan pembicaraan ku pada rhauma dan maminya sebelum pembicaraanku dipotong lagi ”ah, syukur deh kalo gitu, dokter ngagetin aja” aku bernapas lega begitu pun juga mami ”tapi...Rhauma positif HIV” aku berusaha bicara secepat mungkin ”Ah apa dok...?” aku terkejut, mami juga terkejut ”HIV” aku tak mampu berkata-kata...pada rhauma dan maminya ”ok, dok saya, ummm, begini, aduh...apa...itu...apakah ada obatnya?” aku merangkul Rhauma dan berusaha tegar, tetapi tetap saja air mataku keluar ”saya bilang, semua penyakit pasti ada obatnya, mungkin sampai saat ini belum ada obatnya, tapi kan ada alternatif lain, untung saja belum AIDS, jadi kita tetap bisa menjaga daya tahan tubuh rhauma dengan suplemen khusus, atau coba pakai terapi alternatif...”aku tidak mampu lagi...aku menutup pembicaraan ini sambil mencatatkan rekomendasi suplemen, dan tempat sinsei yang paling bagus...
Rumah 12, Kemang, 20 juli 2006 ”Halo, PMI pusat...” aku menelpon PMI untuk kesekian kalinya, tetapi kali ini serius ”Iya, ini dengan siapa?”
86
”saya Rhauma, mba waktu itu saya donor darah, dan saya ternyata terinveksi HIV, saya mau memastikan kalau darah yang saya sumbang waktu itu bukan untuk transfusi” ”oh, mba saya prihatin dengernya, begini mba, seluruh kantung darah sebelumnya diperiksa dulu, jika ada virus menular langsung kami buang mba” ”oh, jadi darah saya aman kan? sudah di buang kan?” ”iya, saya bisa pastikan, kami juga konfirmasi kok mba sama pendonor kalaukalau darahnya bermasalah, waktu itu mba pernah di telepon?” ”wah saya juga nggak tahu, saya waktu itu mungkin lagi nggak di indoneisa, yau dah mba, makasih yaa...” Kututup telepon dan ku merasa lega, entah bagaimana aku merasa lega...aku tidak bisa sepenuhnya percaya
Abudhabi, 6 September 2005 Ketika ku ingat bahwa aku dan mami pernah donor darah pada bulan juli lalu, aku langsung tersentak, darahku bisa saja mengaliri orang-orang yang butuh golongan darah O, dan menyebabkan orang itu tertular virus HIV...mami bersiap-siap menuju mall dubai, aroma khas parfum glow sangat terasa... ”Rhauma, ayo kita shopping, kita siapkan kaki untuk jalan-jalan” ” ayo!!!habis itu kita ke pantai ya mi...” ”siplah” Aku tidak dapat membohongi perasaanku sendiri, mami juga, kita semua tahu kita sama-sama sedih, all the things that I’ve done is fake lately...uff...aku seperti alice in wonderland, oh tidak, mungkin seperti nobita yang ketika tahu doraemon adalah mimpinya, ingin rasanya membentur-benturkan kepala...tidak terasa kami
87
sudah mencoba sepatu-sepatu lucu dengan harga ratusan dolar yang tertumpuk di shrinkage...murah bagi mami dan aku ”nggak biasanya ya kita coba barang-barang obralan...” aku mencoba membuka percakapan ”Yaaa...sekali-kali mi, kan bisa memperkecil budget belanja kita, terus sisanya kita sumbang deh” ”wah ide bagus...mmm rhauma kamu sebelumnya pernah berhubungan sex?...”tanyaku pada rhauma ”ya belum lah mi, pasti mami mau tanya kok bisa aku kena virus HIV, FYI aku juga nggak pernah ngedrugs” ”iya mami tahu...eh rhauma coba kamu liat deh yang ini, sepatu ini lucu ya, agakagak vintage, jadi ngingetin mami sama audrey hepburn” aku mencoba mengalihkan pembicaraan ”iya mi, sepatu yang di pake waktu film breakfast at tiffany’s kan?” aku tahu mami sedang mengalihkan pembicaraan ”Kok kamu jarang bikin-bikin desain pakaian lagi sih, ayo dong katanya kamu terinspirasi sama Audrey Hepburn” ”lagi nggak ada ide mi..., mi berminat beli rumah di Palm jebel ali nggak?” tanyaku pada mami “nanti kalo udah jadi aja...kita sunbathing tiap hari yaa...pasti seru” aku akan memberikan semua hal yang indah pada Rhauma “mi, tunggu deh, aku dulu pernah jalan di trotoar yang emang agak rame, waktu masih di indonesia, terus ada yang kaya nusuk aku pake’ jarum...mungkin nggak aku kena virus HIV di situ” ooooh ho ho ho, Rhauma si gadis yang lugu, ya aku menggambarkan diriku sebagai gadis yang lugu, aku akan terus menjadi boneka panda lucu kesayangan mami, mami tidak perlu mengetahui berapa laki-laki yang sempat ku tiduri, perasaanku sekarang sangat datar dan terlebih lagi tidak peka, aku seperti ingin memulai sesuatu hal yang sangat menarik, mempermainkan
88
orang seperti boneka, layaknya mami yang menganggapku boneka panda yang selalu di mainkan di puppet show dan selalu tersenyum
Aku saat ini seperti sudah tidak lapar, ketika ku lapar aku akan makan apa yang aku inginkan...ketika aku tidak lapar aku tidak ingin makan, tetapi aku ingin menyimpannya jika ku lapar nanti Apartemen Gaza, lantai 22, Sudirman, 04 januari 2007, 10.00 AM Aku baru bangun, seperti biasa aku membuka jendela, membiarkan sinar matahari masuk, dari lantai 22 ini, aku bisa melihat segala pemandangan, ke langit, ke gedung-gedung yang tidak jauh dari apartemen ini, dan ke bawah, kulihat banyak sekali kerumunan orang di bawah sana, dengan police line…aku tidak tahu apa itu, aku lapar dan membuka lemari es, aku sudah tidak sabar ingin memakan apa saja, ku lihat pastel yang ku beli waktu itu masih ada, aku tidak perduli lagi apakah rasanya masih enak atau sudah tidak enak, aku hanya lapar dan ingin segera memakan pastel beku ini…ku gigit perlahan-lahan walaupun bumbubumbu dan rasa pastelya sangat hambar tertutup oleh rasa dingin dan aku terpaku…apa yang akan kurencanakan nanti, apa yang harus kulakukan nanti… terserah tuhan ingin membuatku seperti apa…
(End of Sarapan Dingin)
89