C.0-1
SARANA DAN PRASARANA AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI RUMAH TRADISIONAL Studi Kasus: Rumah Tradisional Dayak di Desa Bahu Palawa dan Desa Buntoi, Provinsi Kalimantan Tengah Made W Widiadnyana Wardiha1, Muhajirin 1
Surel:
[email protected]
ABSTRAK: Permukiman tradisional terkadang terletak jauh dari perkotaan sehingga fasilitas yang menunjang kesehatan penghuninya seperti fasilitas air minum,, pengelolaan sampah, drainase, dan pengelolaan air limbahnya belum memadai. Kajian ini bertujuan mengidentifikasi identifikasi sarana prasarana air minum dan penyehatan an lingkungan permukiman (PLP) pada rumah tradisional di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu di Desa Bahu Palawa dan Desa Buntoi sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai basis data. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan melalui observasi terhadap kondisi sarana dan prasarana air minum dan PLP, dan wawancara dengan penghuni rumah untuk mengetahui kebiasaan yang berlaku di masyarakat dalam hal penggunaan air minum,, pengelolaan sampah, pemanfaatan air hujan, serta pengelolaan air limbah domestik domestik. Data dijabarkan jabarkan secara deskriptif dan dicari keterkaitan antara kondisi fasilitas air minum dan PLP dengan kebiasaan masyarakat. Analisis dilakukan secara deskriptif komparatif dimana hasil survey dibandingkan dengan standar pelayanan minimal dan hasil-hasil penelitian lainnya. Hasil kajian memperlihatkan bahwa fasilitas air minum minum,, pengelolaan sampah, air hujan, dan air limbah domestik di kedua desa tidak terlalu berbeda. beda. Jika dibandingkan dengan standar pelayanan minimal, pada dasarnya sudah memenuhi kecuali dalam hal jarak tangki septik dari sumber air serta sampah yang sama sekali belum terkelola terkelola. Perlu diperhatikan bahwa pembangunan fasilitas air minum dan PLP di masyarakat akat memerlukan sosialisasi terlebih dahulu sehingga masyarakat mengerti akan fungsi fasilitas tersebut dan fasilitas yang dibangun tersebut akan dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik. Selain itu, terdapat opsi untuk membangun fasilitas MCK secara terpisah ah dari bangunan rumah tradisional agar selaras dengan fungsi dari ruangan-ruangan ruangan di rumah tradisional tersebut.
Kata kunci : air minum minum, pengelolaan sampah, air hujan, jan, air limbah domestik, rumah tradisional. 1. Pendahuluan Permukiman tradisional merupakan salah satu bagian dari jenis jenis-jenis jenis permukiman yang masih memegang tradisi baik itu dari segi bangunan, adat istiadat, bahasa, dan aspek lainnya. Namun terkadang kawasan yang memiliki permukiman tradisional atau rumah tradisional tradis letaknya di pedalaman atau jauh dari perkotaan sehingga fasilitas yang menunjang kesehatan penghuninya seperti fasilitas air minum,, pengelolaan sampah, drainase, dan pengelolaan air limbahnya belum memadai. Walaupun di beberapa tempat tempat, masyarakat sudah ah diperkenalkan dengan fasilitas air minum dan penyehatan lingkungan permukiman (PLP) yang terdiri dari pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah dan drainase drainase,, namun belum semua masyarakat termasuk masyarakat di permukiman tradisional, dapat menikmati fasilitas atau sarana prasarana penunjang air minum dan PLP.. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi mengenai fasilitas atau sarana dan prasarana air minum, pengelolaan air limbah limbah,, pengelolaan sampah, dan air hujan di lingkungan permukiman permuk tradisional. Pada penelitian sebelumnya mengenai kondisi sarana dan prasarana air minum dan PLP di permukiman tradisional di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) diperoleh hasil bahwa 50% dari delapan permukiman tra tradisional disional yang dikaji belum memiliki sarana air minum, dan 37,5% sumber air yang digunakan di permukiman-permukiman permukiman
345
C.0-1
tersebut tidak memenuhi standar/baku mutu air bersih. Untuk sarana air limbah domestik, hanya 12,5% dari permukiman tersebut yang setiap ruma rumah h memilikinya. Sisanya, 25% tidak memiliki, 25% memiliki MCK komunal, dan 37,5% yang hanya sebagian penduduk yang memiliki MCK pribadi. Untuk saluran drainase dan pengelolaan sampah juga serupa serupa, dimana sekitar 25-40% 25 tidak memiliki saluran drainase atau ti tidak melakukan pengeloaan sampah. Sisanya, ada yang memiliki dan melakukan pengelolaan dengan baik baik, atau ada juga yang memiliki fasilitas namun belum termanfaatkan atau kondisinya kurang terawat [1]. Namun hal ini merupakan kondisi di permukiman tradisional yang ada di Provinsi Bali, NTB, dan NTT yang belum tentu dapat mewakili kondisi di tempat lain. Oleh karena itu, untuk di lokasi lain perlu dilakukan observasi langsung untuk melihat kondisi eksistingnya. Makalah ini merupakan paparan/kajian dari hasil oobservasi bservasi yang merupakan bagian dari kegiatan penelitian Indetifikasi Lingkungan Permukiman Tradisional Suku Dayak. Dalam makalah ini khusus dibahas mengenai identifikasi sarana prasarana air minum dan PLP di permukiman tradisional yang terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah dimana objek kajiannya adalah rumah tradisional di Desa Bahu Palawa, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, dan Desa Buntoi di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, sebagai salah satu aspek yang dikaji dalam penelitian. ian. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi fasilitas penyediaan air minum, pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah domestik/sanitasi, dan pengelolaan air hujan di permukiman tradisional sehingga selanjutnya dapat dijadikan basis data dan diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan untuk pengambilan keputusan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan di permukiman tradisional. 2. Metode Pengumpulan data dalam kajian iini dimulai dengan melakukan observasi terhadap kondisi sarana dan prasarana air minum dan PLP di rumah tradisional di Desa Bahu Palawa dan Desa Buntoi yang terdiri dari fasilitas penyediaan air minum minum, distribusi air minum, penggunaan air minum, minum fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK), fasilitas pengelolaan sampah, serta fasilitas pengelolaan air hujan. Kemudian dilakukan pula wawancara dengan penghuni rumah tersebut untuk mengklarifikasi data hasil observasi serta menanyakan mengenai kebiasaan yang berlaku di masyarakat dalam hal penggunaan air minum,, pengelolaan sampah, pemanfaatan air hujan, serta kebiasaan mandi, cuci, kakus. Data yang dikumpulkan kemudian dijabarkan secara deskriptif dan dicari keterkaitan antara kondisi fasilitas air minum dan PLP dengan kebiasaan masyarakat. Analisis yang dilakukan berupa analisis deskriptif eskriptif komparatif dimana hasil observasi dan wawancara dibandingkan dengan kondisi fasilitas air minum dan PLP berdasarkan hasil hasil-hasil penelitian lainnya serta dibandingkan dengan standar pelayanan minimal bidang pekerjaan umum dan penataan ruang untuk menilai apakah kondisi fasilitas di desa-desa desa tersebut sudah dapat dikatakan baik atau belum. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Kondisi Fasilitas Air Minum dan PLP di Rumah Tradisional di Desa Bahu Palawa, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah Rumah tradisional yang diobservasi adalah Rumah Tua Djaga Bahen dimana rumah tersebut merupakan rumah bersejarah yang sengaja dilestarikan. Gambaran rumah dari tampak depan dapat dilihat pada Gambar 1. Rumah ini terbuat dari bahan kayu termasuk lant lantainya ainya dan berbentuk rumah panggung. Rumah Tua Djaga Bahen terletak di Desa Bahu Palawa. Dalam satu desa ini terdiri dari ±130 rumah, 150 KK atau sekitar 490 jiwa. Rumah Rumah-rumah rumah yang ada di Desa Bahu Palawa ada yang berbentuk rumah panggung maupun rumah batak batako. Rata-rata rata masyarakat di Desa Bahu Palawa menggunakan sumur bor untuk penyediaan air dan kamar mandi sudah dimiliki oleh masingmasing masing rumah.
346
C.0-1
Gambar 1. Rumah Tua Djaga Bahen (tampak depan)
Observasi yang dilakukan difokuskan pada Rumah Tua Djaga Bahen. Rumah ini dihuni oleh 3 orang atau 1 keluarga, namun keluarga yang lain sering datang berkunjung sehingga sehingg penghuni rumah ini bisa mencapai 6--8 8 orang. Fasilitas kamar mandi di rumah ini ada dua buah dan dipergunakan untuk aktivitas mandi, cuci pakaia pakaian, n, dan buang air besar dan kecil (Gambar 2).
Gambar 2. Dua kamar mandi di Rumah Tua Djaga Bahen
Kamar mandi ini masing-masing masing berukuran 3 x 3 meter dan bangunannya dibangun dengan menggunakan bahan beton yang ditempelkan pada bangunan yang berbahan kayu. Hal ini menyebabkan bangunan kayu menerima beban berat dari beton sehingga kontruksi lantai menjadi miring. Sementara itu, air buangan dari aktivitas mandi, cuci, dan buang air dialirkan melalui pipa menuju tangki septik yang diletakkan di bagian be belakang lakang rumah dan ditanam di dalam tanah (Gambar 3). Tangki septik untuk buangan dari kamar mandi berukuran panjang dan lebar masingmasing masing 2 meter dan 1 meter.
Gambar 3. Penyaluran Air Buangan dari Kamar Mandi ke Tangki Septik
Aktivitas mencuci perabotan rumah tangga dilakukan di dapur. Air buangan cucian tersebut dibuang ke bawah rumah atau kolong rumah dan mengalir menuju tangki penampungan yang ditanam di dalam tanah semacam tangki septik. Tangki septik ini berukuran 1 meter x 0,6 meter (Gambar 4). Pengelolaan air hujan di rumah ini ataupun di rumah yang lain di Desa Bahu Palawa tidak dengan menggunakan saluran drainase khusus untuk mengalirkan air hujan serta tidak memiliki penampung air hujan karena mereka tidak memanfaatkan air hujan untuk memenuhi m kebutuhan air minum. Air minum di rumah ini dialirkan dengan menggunakan pipa dimana sumber airnya berasal dari air tanah dalam yang diambil dengan menggunakan pompa. Masyarakat di Desa Bahu Palawa pada umumnya mengatakan istilah ”pompa air” dengan menyebut merek ”Hitachi”. Jadi mereka menyebutkan bahwa mereka memperoleh air dari ”Hitachi”. Air tanah tersebut ditampung dengan tandon air dan selanjutnya dialirkan dengan pipa ke dalam rumah (Gambar 5).
347
C.0-1
Gambar 4. Penyaluran Air Buangan dari Da Dapur ke Tangki Septik
Gambar 5. Penyaluran Air Minum dari Pompa Air ke Tandon hingga ke Dalam Rumah
Penyediaan air minum dengan sumur bor mulai populer digunakan oleh masyarakat karena pemerintah memasukkan bantuan untuk pengadaan pompa air. Sebelum menggunakan air dari sumur bor, rata-rata rata masyarakat di Desa Bahu Palawa menggunakan air sungai sebagai sumber air dimana untuk k kasus di Desa Bahu Palawa sungai yang dimaksud adalah Sungai Kahayan. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk maupun kepala desa, orientasi rumah panggung di zaman dulu adalah menghadap sungai karena masyarakat menganggap sungai sebagai sumber kehidupan pan salah satunya untuk kebutuhan sehari sehari-hari. hari. Menurut penuturan salah satu responden, sampai dengan tahun 1932 masyarakat masih menggunakan sungai sebagai sumber air termasuk untuk air minum karena airnya masih jernih. Setelah tahun 1932, mulai banyak penambangan pen emas sehingga kualitas air sungai mulai tercemar. Pada awal saat air sungai mulai tercemar, masyarakat sampai menggunakan tawas untuk menjernihkan air sungai yang ditampung dengan bak, namun setelah sumur bor mulai digunakan dan air sungai semakin tercemar maka masyarakat menggunakan air tanah sebagai sumber air utama. Gambar 6 menunjukkan mengenai kondisi air sungai yang sudah berubah warna akibat aktivitas penambangan yang dilakukan di hulu maupun di sekitar sungai. Aspek selanjutnya yang diobservasi ervasi di Rumah Tua Djaga Bahen adalah pengelolaan sampah. Menurut responden yang merupakan penghuni rumah tersebut, sampah dikelola dengan cara mengumpulkan, membuang, dan membakarnya. Jika penghuni rumah membakar sampahnya maka dilakukan di bagian belakang ng rumah, sedangkan apabila sampah tersebut hanya dibuang saja, terdapat satu tempat yang dijadikan tempat sampah komunal untuk menampung sampah-sampah sampah penghuni-penghuni penghuni rumah untuk satu Desa Bahu Palawa (Gambar 7).
Gambar 6. Kondisi Air Sungai Kahayan yang Berwarna Keruh akibat Pencemaran dari Aktivitas Pertambangan
348
C.0-1
Gambar 7. Tempat Pembakara Pembakaran Sampah di Belakang Rumah (kiri dan tengah)) dan Tempat Pembuangan Sampah Komunal (kanan)
Secara umum masyarakat di Desa Bahu Palawa menggunakan aair ir dari sumber air tanah yang diperoleh dari sumur bor, sudah memiliki kamar mandi yang dilengkapi dengan tangki septik, tidak menggunakan saluran drainase untuk mengalirkan air hujan, tidak menampung air hujan, serta mengelola sampah dengan membakar atau membuangnya di tempat pembuangan sampah komunal. Gambar 8 menunjukkan kondisi salah satu kamar mandi pada rumah salah satu rumah yang bukan termasuk rumah tradisional di Desa Bahu Palawa.
Gambar 8. Kondisi Kamar Mandi di Salah Satu Rumah di Desa Bahu Palawa
Untuk melihat secara kasar letak letak-letak fasilitas air minum,, kamar mandi, tangki septik, dan pembuangan sampah di salah satu rumah di Desa Bahu Palawa yang menjadi objek studi kali ini yaitu Rumah Tua Djaga Bahen, ditampilkan sketsa lokasinya sepert sepertii pada Gambar 9. Dilihat dari sketsa lokasi pada Gambar 9, terlihat bahwa letak tangki septik dengan sumber air, dalam hal ini sumur bor, jaraknya dekat yaitu sekitar 3 meter. Kondisi ini tidak memenuhi syarat kesehatan berdasarkan SNI 03 03-2398-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan Sumur Resapan [2] dimana jarak tangki septik terhadap sumber air minimal 10 meter. meter Kondisi di lapangan adalah sumber air dari sumur bor, yang biasanya memiliki kedalaman lebih dari 10 meter. Namun karena pada saatt observasi dilakukan tidak ditanyakan mengenai kedalaman sumur bor, maka tidak ada data mengenai hal tersebut. Dengan kenyataan bahwa sumber air cukup dalam, kemungkinan tercemar oleh tangki septik tidak besar, namun kondisi ini tetap tidak direkomendasikan. TEMPAT SAMPAH KOMUNAL
DAPUR
TEMPAT CUCI PIRING
SUNGAI KAHAYAN
TEMPAT PEMBAKARAN SAMPAH TANDON AIR + SUMUR BOR JALAN
RUANG TAMU DAN RUANG KELUARGA
TANGKI SEPTIK
JALAN
KAMAR KAMAR MANDI MANDI
KAMAR TIDUR
UTARA
Gambar 9. Sketsa Rumah Djaga Bahen di Desa Bahu Palawa dan Kelengkapan Fasilitas Air Minum, Kamar Mandi, Tangki Septik, dan Tempat Sampah
349
C.0-1
3.2 Kondisi Fasilitas Air Minum dan PLP di Rumah Tradisional di Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir,, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah Permukiman tradisional kedua yang diobservasi adalah Desa Buntoi dimana di Desa ini observasi difokuskan pada satu rumah tradisional yang disebut Rumah Gantung (Gambar 10). Rumah ini hanyaa dihuni oleh 1 orang saja yang bertindak selaku penjaga rumah rumah, yang juga dimasukkan sebagai situs budaya oleh pemerintah setempat. Seperti rumah sebelumnya di Desa Bahu Palawa, rumah ini juga menghadap ke Sungai Kahayan yaitu sungai yang sama yang melintasi melinta Desa Bahu Palawa.
Gambar 10. Rumah Tradisional di Desa Buntoi
Seperti juga rumah di Desa Bahu Palawa, rumah gantung di Desa Buntoi juga sebelumnya menggunakan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari sampai sebelum aktivitas penambangan emas dan pasir men menyebabkan sungai tercemar. Sebelum ebelum tercemar, air sungai ini bahkan dapat dimanfaatkan untuk diminum. Namun karena saat ini air sungai sudah tercemar maka masyarakat di Desa Buntoi menggunakan air dari PDAM dan dari sumur bor bor. Khusus sumur bor, hanya dimanfaatkan untuk sumber air di rumah gantung ini saja sedangkan masyarakat yang lain di Desa Buntoi memanfaatkan air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), walaupun beberapa penduduk masih memanfaatkan air sungai untuk mandi. Untuk air dari sumur bor ditampung dengan bak air dari fiber dan selanjutnya dialirkan ke dalam rumah. Gambar 11 dan Gambar 12 memperlihatkan mengenai kondisi air sungai Kahayan yang melewati Desa Buntoi dan kondisi fasilitas penyediaan air minum di rumah gantung Buntoi Buntoi. Dalam hal penyediaan air minum minum,, air hujan tidak dimanfaatkan oleh penduduk di Desa Buntoi terutama di rumah gantung. Air hujan juga dialirkan ke sungai dengan memanfaatkan kontur tanah saja tanpa membuatkan saluran drainase. Berdasarkan pengakuan dari na narasumber, rasumber, curah hujan di Desa Buntoi cukup tinggi dimana musim hujan lebih panjang daripada musim kering. Meskipun kondisi curah hujan tinggi, masyarakat tidak memanfaatkan air hujan dan hanya menggunakan air tanah, PDAM dan air sungai untuk keperluan seha sehari-hari.
Gambar 11. Sungai Kahayan yang Melewati Desa Buntoi sudah Berwarna Kecoklatan namun Tetap Dipakai untuk Ativitas Mandi
Gambar 12. Penyediaan Air dengan Sumur Bor yang Ditampung ke Dalam Bak Air dari Fiber
350
C.0-1
Pengelolaan sampah di rumah yang diobservasi yaitu rumah gantung Buntoi sama seperti pengelolaan sampah di Desa Bahu Palawa yaitu hanya dikumpulkan di satu tempat dan dibakar. Sejumlah sampah dikumpulkan di samping bangunan rumah, sedangkan sejumlah sampah lainnya ada yang dibakar kar di depan halaman rumah (Gambar 13). Namun ada juga sampah yang dibuang sembarangan di belakang rumah, sedangkan sampah dari dalam rumah yang berasal dari kegiatan menyapu rumah dibuang melalui lubang di pojok bangunan untuk memudahkan membuang sampah tersebut ersebut dari rumah yang berbentuk panggung (Gambar 14). Tidak terdapat tempat sampah khusus di rumah ini untuk menampung sampah.
Gambar 13. Lokasi Pengumpulan Sampah (kiri) dan Pembakaran Sampah (kanan)
Gambar 14. Sampah yang Dibuang di Belakang Rumah (kiri) dan Lubang di Pojok Rumah untuk Membuang Sampah Hasil Kegiatan Menyapu Rumah
Rumah gantung Buntoi ini juga memiliki dua buah kamar mandi dan satu tempat untuk mencuci perabot rumah tangga maupun mencuci pakaian. Dua kamar mandi itu masing-masing masing satu untuk mandi dan satu untuk toilet. Seperti di rumah di Desa Bahu Palawa, kamar mandi di rumah ini juga dibangun menggunakan beton dan ditumpuk di atas lantai kayu rumah tersebut. Air buangan dari toilet dialirkan dengan pipa ipa menuju tangki septik sedangkan air buangan dari kegiatan mencuci dibiarkan mengalir ke bawah rumah tanpa dialirkan atau ditampung. Sumber air untuk kegiatan mandi, mencuci, dan toilet juga menggunakan air dari sumur bor. Gambar 15 mempelihatkan mengenaii fasilitas kamar mandi, toilet, dan tempat mencuci di rumah gantung Buntoi.
a
b
c
d
Gambar 15. a. Fasilitas kamar mandi, b. tempat mencuci c. lobang untuk pembuangan sampah d. tempat pembuangan sampah
Selain di rumah gantung Buntoi, masyarakat lainnya di Desa Buntoi rata--rata sudah memiliki kamar mandi dan toilet di masing masing-masing masing rumah. Namun walaupun begitu, di pinggir-pinggir pinggir sungai masih terdapat bangunan bangunan-bangunan bangunan berupa toilet darurat yang menurut pengakuan penduduk setempat sudah tidak digunakan lagi (Gambar 16). Namun jika dilihat dari kondisinya, kemungkinan bangunan tersebut masih digunakan sebagai tempat untuk aktivitas mencuci.
Gambar 16. Bangunan Toilet Darurat di Desa Buntoi
351
C.0-1
TANDON AIR
KAMAR MANDI
EMPANG
TANGKI SEPTIK
TEMPAT CUCI
JALAN
TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH
TEMPAT PEMBAKARAN SAMPAH
SUNGAI KAHAYAN
Gambar 17. Sketsa Bangunan Rumah Gantung Buntoi dan Fasilitas Air Minum,, Kamar Mandi, dan Tempat Sampah di Sekitar Rumah
Untuk melihat kondisi fasilitas air minum,, pengelolaan sampah, dan fasilitas sanitasi di rumah gantung Buntoi, dapat dilihat melalui sketsa bangunan seperti pada Gambar 117 7. Seperti terlihat pada Gambar 17, terdapat empang atau semacam sungai kecil yang kondisi airnya tidak layak seperti berwarna kecoklatan dan banyak sampah terdapat di sana. Di pinggir empang tersebut banyak nyak terdapat kandang hewan ternak dan kotoran kotoran-kotoran kotoran ternak tersebut dibuang ke empang tersebut. Aliran air dari empang ini mengalir sampai ke Sungai Kahayan dan otomatis berkontribusi pula pada pencemaran air Sungai Kahayan. Gambar 118 menunjukkan konsisi empang yang ada di samping bangunan rumah yang diobservasi.
a
b
Gambar 18. a. Empang di Samping Rumah Gantung b. Kondisi Kualitas Air Empang yang Tidak Layak
Berbeda dengan kondisi di Rumah Tradisional Bahu Palawa, letak tangki septik di Rumah Buntoi jauh dari sumber air yang berupa sumur bor, dimana jaraknya sekitar 11 meter. Hal ini sudah memenuhi syarat menurut SNI 03 03-2398-2002 [2]. 3.3 Pembahasan Berdasarkan hasil sil pengamatan yang dilak dilakukan ukan di dua rumah tradisional pada dua desa yang berbeda di Kalimantan Tengah yaitu Desa Bahu Palawa dan Desa Buntoi dapat dikatakan bahwa kondisi fasilitas penyediaan air minum minum,, pengelolaan air limbah domestik, pengelolaan air hujan huj dan pengelolaan sampah di kedua desa tidak jauh berbeda. Hal ini dapat lebih mudah dilihat jika kondisi kedua rumah tradisional tersebut dibandingkan seperti pada Tabel 1. Penyediaan air di kedua desa diperoleh dari air tanah dengan bantuan sumur bor wa walaupun laupun di salah satu desa yaitu Desa Buntoi masyarakat lebih banyak menggunakan air dari PDAM. Selain itu sebelumnya masyarakat di sana juga menggunakan air Sungai Kahayan sebagai sumber air sebelum kondisi air sungai tersebut tercemar. Selain dari pengaku pengakuan an masyarakat hal ini juga bisa dilihat dari
352
C.0-1
pembangunan rumah yang mengarah ke sungai dimana zaman dahulu hal tersebut menandakan masyarakat menganggap sungai sebagai sumber kehidupan mereka. Tabel 1. Kondisi eksisting fasilitas penyediaan air minum dan PLP di rumah tradisional Desa Bahu Palawa dan Buntoi Parameter 1. Air minum - sumber air
- penampungan air - distribusi air 2. Air limbah domestik - ketersediaan toilet / kamar mandi - ukuran toilet / kamar mandi - tangki septik - kondisi bangunan kamar mandi - pembuangan air bekas mandi dan cuci - jarak tangki septik dari sumber air 3. Drainase - saluran drainase - pemanfaatan air hujan 4. Pengelolaan sampah - metode pengelolaan sampah
Kondisi eksisting Rumah tradisional Desa Bahu Rumah tradisional Desa Buntoi Palawa Air tanah / sumur bor, sungai (namun tidak dimanfaatkan lagi) Tandon air Pipa
2 kamar mandi dilengkapi toilet untuk 1 rumah 3 x 3 meter2 1 tangki septik Dibangun dari beton pada lantai kayu sehingga lantai miring Dialirkan ke tangki septik khusus
Air tanah/sumur bor, sungai (beberapa orang masih memanfaatkan untuk mandi) Tandon air berbahan fiber Pipa
3 meter
1 kamar mandi dan 1 toilet (terpisah) untuk 1 rumah 1,5 x 2,5 meter2 1 tangki septik Dibangun dengan alas dari beton dan ditumpuk di atas lantai kayu Dialirkan ke bawah rumah tanpa ditampung 11 meter
Tidak ada saluran drainase Tidak dimanfaatkan
Tidak ada saluran draionase Tidak dimanfaatkan
Dikumpulkan, dibuang di tempat pembuangan sampah komunal, dibakar
Dikumpulkan di belakang dan samping rumah, dibakar
Jika membahas mengenai fasilitas lainnya yaitu pengelolaan sampah, air hujan, dan air limbah domestik, juga identik di kedua rumah tradisional tersebut tersebut. Pengelolaan engelolaan sampah dilakukan dengan membuang sampah di satu tempat atau juga dengan membakar sampah. Air hujan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air dan hanya dibiarkan mengalir. Dalam hal pengelolaan air limbah domestik, air buangan dari to toilet ilet terutama dari kegiatan buang air besar dialirkan menuju tangki septik sedangkan air bekas mandi atau cuci ada yang dialirkan ke bak penampung ada juga yang hanya dibuang ke bawah rumah. Selain kondisi tangki septik, kondisi kamar mandi di kedua rumah juga serupa yaitu dibangun dari bahan beton yang ditempel di atas lantai kayu. Perbedaannya adalah, di rumah di Desa Bahu Palawa, efek dari pembangunan beton tersebut sudah terlihat yaitu lantai rumah menjadi miring, sedangkan di rumah di Desa Buntoi, lantai ai masih tetap rata belum terpengaruh oleh berat beton. Selain itu, dari standar kesehatan berdasarkan jarak tangki septik ke sumber air, kondisi di rumah Desa Bahu Palawa lebih tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan di Desa Buntoi. Apabila ditinjau berdasarkan dasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang [3] maka rumah tradisional di kedua desa sudah memenuhi SPM dari aspek air minum dan air limbah permukiman, sedangkan dari aspek drainase dan pengelolaan sampah belum memenuhi SPM (Tabel 2). Aspek air minum memenuhi SPM karena di kedua rumah tradisional sudah tersedia akses penyediaan air dengan jaringan perpipaan yang memadai walaupun belum ada data volume air per hari yang sudah terpenuhi. Aspek air limbah permukiman juga memenuhi me
353
C.0-1
dalam hal sudah tersedia sistem air limbah setempat yaitu tangki septik. Untuk drainase dan pengelolaan sampah karena belum ada jaringan drainase dan fasilitas pengurangan dan penanganan sampah, maka dikategorikan belum memenuhi SPM. Namun jika dite ditelaah, laah, SPM ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk rumah tradisional ini karena bukan termasuk perkotaan. Di rumah tradisional ini tidak diperlukan jaringan drainase karena lahan mereka masih luas dan air hujan bisa langsung terserap ke dalam tanah tanpa harus tergenang selama 2 jam hingga ketinggian air lebih dari 30 cm. Begitu pula dengan fasilitas pengurangan sampah belum diperlukan karena lingkungan mereka masih dapat menampung jumlah sampah. Namun, khusus untuk sampah, perlu dikelola dengan lebih baik dalam hal estetika dengan dikumpulkan di satu tempat dan tidak dibuang di sembarang tempat. Tabel 2. Kriteria fasilitas air minum dan PLP di Rumah Tradisional Desa Bahu Palawa dan Buntoi Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Pena Penataan taan Ruang Rumah tradisional Desa Bahu Palawa
Standar Pelayanan Minimal Minimal/SPM [3]
Rumah tradisional Desa Buntoi
1. Air minum Tersedianya akses air minum yang aman melalui Sistem Penyediaan Air Minum dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari
Memenuhi SPM
Memenuhi SPM
2. Air limbah permukiman - tersedianya sistem air limbah setempat yang memadai - tersedianya sistem air limbah skala komunitas/kawasan/kota
Memenuhi SPM
Memenuhi SPM
3. Drainase Tersedianya sistem jaringan drainase skala kawasan dan skala kota sehingga tidak terjadi genangan (lebih dari 30 cm, selama 2 jam) dan tidak lebih dari 2 kali setahun
Belum memenuhi SPM
Belum memenuhi SPM
4. Pengelolaan sampah - tersedianya fasilitas pengurangan sampah di perkotaan - tersedianya sistem penanganan sampah di perkotaan
Belum memenuhi SPM
Belum memenuhi SPM
Pengumpulan data yang dilakukan belum sampai pada tahap menanyakan mengenai kebutuhan serta keberterimaan masyarakat terhadap fasilitas air minum dan PLP tersebut. Namun dalam salah satu wawancara dengan penghuni rumah gantung Buntoi, diperoleh informasi bahwa pembangunan kamar mandi yang dilakukan oleh pemerintah setempat dibangun di bagian rumah yang sebenarnya diperuntukkan untuk dapur dan bukan untuk kkamar amar mandi atau tempat cuci. Hal ini dapat dilihat dari kondisi bangunan kamar mandi dimana dinding belakangnya masih terlihat bagian rumah pada saat sebelum dibangun (Gambar 119). ). Selain itu pembangunan tersebut juga tidak diinformasikan terlebih dahulu kepada pada penghuni rumah dan hanya langsung dibangun saja. Hal ini perlu menjadi perhatian oleh kita bersama bahwa walaupun suatu fasilitas tersebut perlu atau penting untuk masyarakat, sebelum pembangunan diperlukan sosialisasi terlebih dahulu sehingga masyarakat masyara mengerti akan fungsi fasilitas tersebut sehingga fasilitas yang dibangun akan dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik. Disamping itu, menurut opini penulis, pembangunan fasilitas air minum dan PLP seperti bangunan MCK di rumah tradisional tidak harus ddilakukan ilakukan di dalam rumah seperti umumnya yang dilakukan pada rumah modern. Ada pilihan untuk membangun fasilitas secara terpisah dari bangunan rumah. Jangan sampai bangunan rumah adat yang memang memiliki fungsi di masing-masing masing ruangan menjadi kehilangan ffungsi ungsi hanya karena perlu dilengkapi dengan fasilitas MCK. Keselarasan adat atau tradisi dengan pembangunan infrastruktur perlu dipertimbangkan.
354
C.0-1
Gambar 19. Kondisi Kamar Mandi di Rumah Gantung Buntoi dimana Bagian Dinding Belakang Merupakan Merupa Dinding Sisa Bangunan Sebelum Kamar Mandi Dibangun
Kondisi fasilitas air minum dan PLP berdasarkan hhasil asil observasi ini dapat dibandingkan di dengan penelitian di rumah tradisional yang lain yang serupa dengan rumah di Desa Bahu Palawa dan Buntoi, salah satunya hasil penelitian pada tahun 2010 mengenai kondisi sarana prasarana air minum dan PLP di Desa Tradisional Trunyan, Provinsi Bali. Kemiripan Desa Trunyan dengan desa di Kalimantan tersebut yaitu letak desa yang berdekatan dengan sumber air yang yan besar yaitu Danau Batur, dimana hal ini mirip dengan kondisi Desa Bahu Palawa dan Buntoi yang tepat berada di pinggir Sungai Kahayan. Hal ini menyebabkan masyarakat menggunakan air sungai sebagai sumber air. Begitu juga di Desa Trunyan, masyarakat menggu menggunakan nakan air danau sebagai sumber air. Masyarakat di Desa Trunyan memanfaatkan danau sebagai tempat untuk mandi, mencuci, buang air besar, bahkan tempat pembuangan sampah pun diletakkan di pinggir danau yang otomatis sampahnya masuk ke dalam danau [4]. Perbedaannya aannya adalah Sungai Kahayan yang berdekatan dengan Desa Bahu Palawa dan Buntoi ini tercemar lebih dominan akibat kegiatan penambangan di hulu sungai. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa sumber air besar yang berdekatan dengan suatu permukiman aakan dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari hari yang berpotensi mencemari kualitas air, dimana hal ini dilakukan oleh masyarakatnya sendiri yang tinggal di dekat sumber air dan memanfaatkan sumber air tersebut. Perairan seperti sungai merupakan salah satu hal penting yang dipertimbangkan dalam pemilihan tempat bermuki bermukim [5],, terutama yang bermata pencaharian di bidang agraris sehingga sungai menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari sehari masyarakat. Untuk mencegah penurunan kualitas air akibat dari pemanfaatan dalam kegiatan sehari-hari sehari masyarakat yang berpotensi menambah jumlah limbah yang masuk ke sumber air, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan program penyuluhan dan menjaga men aturan adat setempat untuk meminimalkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan. Hal ini juga merupakan rekomendasi dari hasil analisis SWOT yang dilakukan pada saat dilakukan analisis mengenai kondisi lingkungan di permukiman tradisional di Bali, NTB, dan NTT [4].. Hal ini karena rumah atau permukiman tradisional sebagian besar masih berpegang pada adat setempat yang memiliki sistem mengikat sehingga aturan adat akan dapat digunakan untuk menjaga kondisi lingkungan agar tidak ddicemari. Namun, aturan adat yang perlu diterapkan tidak bisa langsung ditetapkan. Perlu dilakukan diskusi dengan pemuka adat dan masyarakat setempat seperti dalam bentuk diskusi grup terfokus (FGD). FGD ini merupakan salah satu cara untuk memperoleh inform informasi asi mengenai pemikiran masyarakat setempat dalam berbagai hal termasuk dalam local logic masyarakat mengenai kesehatan dan sanitasi [6]. Local logic inilah yang dapat dijadikan rekomendasi mengenai aturan adat yang perlu diterapkan namun perlu juga ditamba ditambahkan hkan mengenai alasan mengapa hal tersebut dilakukan. Penerapan aturan adat untuk melindungi kualitas lingkungan dari pencemaran merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai alternatif.
355
C.0-1
Salah satu contoh upaya untuk mengadopsi aturan adat dalam peningkatan kualitas lingkungan di permukiman tradisional adalah seperti pada penelitian yang dilakukan di Desa Adat Gunung Alam, Provinsi Bengkulu. Masyarakat di Desa Gunung Alam ini mengunakan sumber air berupa air Sungai Ketahun dan dari ari sumur gali. Selain sebagai sumber air, sungai juga digunakan untuk aktivitas MCK walaupun kondisi air sungai sudah tercemar oleh aktivitas industri penambangan emas [7]. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman desa adat ini salah satu konsepnya adalah dengan memanfaatkan adat atau kebiasaan masyarakat yang berlaku setempat yaitu menerapkan MCK komunal dengan mengadopsi konsep pemandian umum yang disebut unon dimana pemandian ini membagi antara pemandian laki laki-laki laki dan perempuan. Dalam hal sosialisasi sosia mengenai peningkatan kualitas lingkungan, dapat dimanfaatkan adat istiadat dimana di daerah tersebut sangat menghormati kaum perempuan, sehingga diharapkan dengan melibatkan kaum perempuan untuk mengubah pola hidup dan perilaku hidup sehat masyaraka masyarakatt dapat diterima oleh masyarakat setempat dengan baik. Prinsip yang dijelaskan dalam contoh di atas dapat juga dilakukan di permukiman tradisional lain dimana masing-masing masing memiliki adat tersendiri sehingga sebelum dilakukan sosialisasi mengenai peningkatan n kualitas lingkungan di permukiman tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan kajian mengenai adat istiadat setempat dan diusahakan agar memanfaatkan adat istiadat tersebut untuk menyebarkan informasi baru mengenai pola hidup yang sehat. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Kajian dari hasil observasi yang dilakukan di dua rumah tradisional di Kalimantan Tengah yaitu Desa Bahu Palawa dan Desa Buntoi memperlihatkan bahwa fasilitas penyediaan air minum, pengelolaan sampah, pengelolaan air hujan, dan pengelolaan air limbah domestik di kedua desa tidak terlalu berbeda dimana sumber umber air minum berasal dari air tanah dan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), pengelolaan sampah dengan cara dikumpulkan dan dibakar, air hujan tidak dimanfaatkan, serta air limbah domestik dari kloset dialirkan ke tangki septik sedangkan air sisa kegiatan mandi dan cuci ada yang dialirkan ke tangki septik ataupun dibuang langsung ke bawah rumah. Jika dibandingkan dengan standar pelayanan minimal, pada dasarnya sudah memenuhi kecuali dalam hall jarak tangki septik dari sumber air serta sampah yang sama sekali belum terkelola. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pembangunan fasilitas air minum dan PLP di masyarakat memerlukan sosialisasi terlebih dahulu sehingga masyarakat mengerti akan fungsi fun fasilitas tersebut dengan harapan fasilitas yang dibangun akan dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan adat yang berlaku setempat agar lebih diterima oleh masyarakat. Selain itu, terdapat opsi untuk membangun angun fasilitas MCK secara terpisah dari bangunan rumah tradisional agar selaras dengan fungsi dari ruangan ruangan-ruangan ruangan di rumah tradisional tersebut. 4.2 Saran Dalam kajian ini hanya menganalisis mengenai kondisi sarana prasarana air minum dan PLP, namun belum sampai pada menganalisis mengenai aturan adat yang berlaku setempat dan kebiasaan masyarakat yang dapat dikaitkan dengan metode peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya perlu diperdalam dipe untuk pengumpulan ulan data dalam hal aturan adat adat. 5. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar dalam hal data yang ditampilkan pada makalah ini merupakan data penelitian dari program gram penelitian Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar Tahun Anggaran 2013.
356
C.0-1
6. Referensi 1.
Putri, P.S.A. dan Wardiha, M.W. 2011. ”Pendekatan Masyarakat dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna Bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP) untuk Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Tradisional di Propinsi Bali, NTB, NTT”. Proceeding Kolokium 2011 Hasil Litbang Bidang Permukiman, Bandung, Mei 4, IV-45 – IV59.
2.
Badan Standardisasi Nasional Nasional. 2002. SNI 03-2398-2002: Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan Sistem Resapan Resapan.
3.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14/PRT/M/2010. 2010. ”Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.” Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
4.
Wardiha, M.W. dan Putri, P.S.A. 2010. ”Condition of Water Supply and Sanitation Facilities at Traditional Settlement Community and The Improvement Efforts”. Proceeding on The 2nd International Seminar on Tropical Eco Eco-Settlements,, Denpasar, November 3-5, 155-170.
5.
Sabrina, R.,, Antariksa, dan Prayitno, G. 2010. “Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Sasak Dusun Limbungan Kabupaten Lombok Timur”, Jurnal Tata Kota dan Daerah, Daerah 1(2), 87-108.
6.
Putri, P.S.A. dan Wardiha, M.W. W. 2013. ”Identification problems in the implementation plan of appropriate priate technology for water and sanitation using FGD approach (case study: Kampong Sodana, Sumba Island, East Nusa Tenggara Province)”. Procedia edia Environmental Sciences 17, 984-991.
7.
Marzalena, Silas, J.,, dan Amiranti, S. 2010. “Konsep Melayakkan Permukiman Desa Adat, Studi Kasus: Bidang Air Bersih dan Sanitasi di Desa Gunung Alam Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu”, Prosiding Perumahan dan Permukiman dalam Pembangunan Kota, Kota Surabaya, Maret 4, IV-11 – IV-11.
357