LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (1970-2000)
LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (19702000) Bagian ini menyajikan sejarah singkat pembangunan prasarana dan sarana penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL)1 selama 30 tahun yang terbagi dalam tiga dekade, yaitu:
a. •
Era Tahun 1970-1980 Gambaran Umum: Pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan kurang mendapat prioritas selama Pelita I (1969 – 1974) dan Pelita II (1974 –1979). Demikian pula halnya dengan pembangunan sarana pelayanan masyarakat lainnya, seperti komunikasi, transportasi, dan energi. Dalam dua dasa warsa tersebut titik berat pembangunan nasional difokuskan pada pembangunan pertanian dan irigasi sebagai upaya memantapkan ketahanan pangan. Dalam Pelita II terjadi perubahan ekonomi dunia dengan meningkatnya harga minyak bumi di pasaran dunia. Indonesia sebagai negara yang menyimpan sebagian cadangan minyak bumi dunia menjadi sasaran investasi, yang membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia dengan berkembangnya industri hilir dan industri terkait lainnya. Industri tersebut pada umumnya berlokasi di kawasan perkotaan sehingga pertumbuhan ekonomi di perkotaan meningkat cukup pesat. Pertumbuhan ekonomi di perkotaan tersebut menarik tenaga kerja di perdesaan untuk berimigrasi ke perkotaan.
Hal ini membawa dampak kepada meningkatnya kebutuhan terhadap infrastruktur
seperti jaringan jalan, jaringan air minum dan penyehatan lingkungan, energi, komunikasi, dan sebagainya.
•
Penyediaan Air Minum di Perkotaan: Pelayanan air minum di perkotaan pada saat Pelita I dan Pelita II masih mengandalkan jaringan yang dibangun pada masa penjajahan dan investasi tambahan setelah kemerdekaan dengan jumlah yang sangat terbatas. Kondisi tersebut tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Investasi prasarana dan sarana air minum beserta operasi dan pemeliharaannya dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Biaya pembangunan prasarana dan sarana air minum berasal dari APBN, APBD, maupun bantuan luar negeri bilateral, dan multilateral yang berasal dari Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia. Pembangunan prasarana dan sarana air minum berskala kecil biasanya dikaitkan dengan proyek pembangunan lainnya, seperti Kampung Improvement Project I (KIP I).
1
Penyehatan Lingkungan mencakup sanitasi dasar, pengelolaan air limbah rumah tangga, persampahan, dan drainase permukiman.
Lampiran A -- 1 -
•
Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil:
Dalam Pelita I dan Pelita II,
pembangunan prasarana dan sarana air minum belum menyentuh masyarakat perdesaan dan perkotaan skala kecil (IKK), yaitu wilayah permukiman dengan jumlah penduduk kurang dari 20 ribu jiwa. Pada umumnya, masyarakat perdesaan mendapatkan air dari sarana tradisional, seperti sumur, mata air, sungai dan sebagainya. Pada waktu itu, pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan sebagian dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Selain itu, pembangunan prasarana dan sarana air minum juga dilaksanakan oleh LSM, Unicef, serta bantuan teknis WHO dan UNDP. Pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan seringkali ditujukan untuk uji coba penerapan teknologi tepat guna, misalnya pompa tangan atau uji coba perangkat lunak seperti konsep Peran Serta Masyarakat dan konsep Pembentukan Lembaga
Pengelola.
Skala
pengembangannya sangat terbatas dan tidak besar, sehingga cakupan pelayanan dan dampaknya juga sangat terbatas. Prasarana dan sarana air minum yang telah dibangun seringkali tidak berlanjut atau mengalami kegagalan, karena prasarana dan sarana yang dibangun tidak dipelihara dengan baik.
•
Penyehatan Lingkungan: Selama Pelita I dan Pelita II, pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan di perkotaan dan perdesaan belum mendapatkan perhatian. Penanganan masalah limbah masih terbatas pada tahap konsep penanganan dan belum diwujudkan ke dalam pembangunan fisik.
Selain itu, pengelolaan limbah manusia secara sistematik belum dilakukan.
Penanganan limbah pada tingkat rumah tangga dilayani melalui jamban dengan tangki septik, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki jamban menggunakan tempat pembuangan limbah tradisionil seperti sungai, kolam, kebun, sawah, dan lain-lain.
Dalam upaya penataan permukiman
kumuh di perkotaan, pemerintah membangun tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Sebagian prasarana dan sarana penyehatan lingkungan cakupan pelayanannya terbatas, kurang terpelihara, dan kurang dimanfaatkan oleh masyarakat.
b. •
Era Tahun 1980 – 1990 Gambaran Umum:
Pertumbuhan ekonomi pada era 1980-1990 cukup tinggi, dan sektor
manufaktur dan teknologi berkembang sangat pesat. Kondisi perekonomian yang baik tersebut sangat kondusif bagi perkembangan sektor infrastruktur. Pada saat yang sama dicanangkan Dekade Air Internasional (1981-1989) yang bertujuan meningkatkan pelayanan air minum bagi semua lapisan masyarakat. Kedua momentum tersebut menjadi pendorong bagi peningkatan pelayanan air minum bagi masyarakat.
Sehingga selama Pelita III (1979-1984) dan Pelita IV (1984-1989) terjadi
peningkatan investasi yang sangat signifikan di sektor air minum.
Dalam Pelita III pembangunan
prasarana dan sarana air minum berhasil meningkatkan cakupan pelayanan air minum sebesar 20-30% dan dalam Pelita IV penyediaan prasarana dan sarana air minum mampu melayani 55% masyarakat.
•
Penyediaan Air Minum di Perkotaan: Selama Pelita III, pemerintah menyediakan investasi cukup besar di bidang penyediaan prasarana dan sarana air minum di perkotaan, termasuk untuk
Lampiran A -- 2 -
meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam bidang perencanaan dan pelaksanaan. Pada saat itu, pemerintah mulai melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan internasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan investasi di sektor air minum. Model pendekatan pembangunan dan standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat, termasuk untuk pembangunan prasarana dan sarana air minum di Ibu Kota Kecamatan (IKK). Pembangunan prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan mengacu kepada standar teknis pelayanan air minum internasional yang mendasarkan perhitungan kepada jumlah penduduk. Dampak dari pelaksanaan standar tersebut adalah terkonsentrasinya investasi prasarana dan sarana air minum pada kawasan-kawasan yang padat penduduk seperti di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Walaupun telah cukup banyak investasi yang dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana air minum namun laju investasi tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk sehingga cakupan pelayanan sulit untuk dinaikkan secara signifikan.
•
Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil:
Pembangunan prasarana dan
sarana air minum di kota kecil (dengan jumlah penduduk kurang dari 50.000 jiwa) dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai pengelolanya dibentuk Badan Pengelola Air Minum (BPAM) yang bersama-sama dengan pemerintah daerah dikembangkan menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Sedangkan pembangunan prasarana dan sarana air minum di perdesaan
dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM-PL), Departemen Kesehatan dibantu oleh Direktorat Jendral Pembangunan Masyarakat Desa (PMD),
Departemen Dalam Negeri. Pola perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan ditentukan
oleh pemerintah pusat melalui departemen teknis yang menangani. Pada era ini bantuan kerjasama dan pinjaman luar negeri melalui lembaga keuangan bilateral dan multilateral meningkat terus. Walaupun dalam skala kecil, LSM mulai berperan serta dalam penyediaan prasarana dan sarana air minum di perdesaan dan kota-kota kecil dengan bantuan dana dari berbagai donor nirlaba.
Seiring dengan meningkatnya tuntutan otonomi, untuk mendorong kapasitas
pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan prasarana dan sarana air minum maka diciptakan mekanisme hibah pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Walaupun tingkat cakupan pelayanan kepada masyarakat meningkat secara signifikan, namun kinerja pemanfaatan prasarana dan sarana yang telah dibangun ternyata kurang menggembirakan, banyak prasarana dan sarana yang tidak dapat dioperasikan karena tidak dipelihara secara benar.
•
Penyehatan Lingkungan:
a. Limbah Cair Manusia:
Instalasi pengolah limbah cair terpusat (sewerage) mulai dibangun di
beberapa kota besar oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Mengingat operasi dan pemeliharaan
instalasi pengolah limbah cair memerlukan kecermatan teknis dan biaya yang mahal maka pengoperasian dan pemeliharaannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan secara bertahap diserahkan kepada pemerintah daerah.
Pemerintah mulai mengembangkan dan mempromosikan
Lampiran A -- 3 -
sarana pengolah limbah setempat (on-site) dan tempat mandi, cuci, kakus (MCK). Pembangunan MCK banyak mengalami hambatan dan kegagalan serta sarana yang telah terbangun kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk kawasan padat penduduk di perkotaan dilaksanakan pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan yang dilengkapi tangki septik. Kegiatan ini pada umumnya dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah menyediakan dana stimulan dan dikembangkan oleh masyarakat melalui swadana.
Program penyediaan jamban di perdesaan,
seluruh material pembangunannya ditentukan oleh pemerintah pusat, ternyata hasilnya kurang menggembirakan.
Cakupan pelayanan di bidang ini meningkat secara signifikan, namun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat perdesaan masih melakukan “buang air besar” (BAB) di tempat tradisional.
b. Penyehatan Lingkungan Permukiman Lainnya: Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan menyebabkan terabaikannya penanganan limbah padat, khususnya di perkotaan. Pengelolaan limbah padat (sampah) baru dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dimulai awal tahun 1980-an, namun demikian teknologi yang dipergunakan masih belum ramah lingkungan sehingga seringkali menimbulkan persoalan baru pada lingkungan sekitarnya. Kesadaran untuk mempergunakan teknologi yang ramah lingkungan berbenturan dengan mahalnya konstruksi, operasi, dan pemeliharaan yang harus dilaksanakan. Inovasi-inovasi baru dibidang pengelolaan limbah padat yang ramah lingkungan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pembangunan saluran limbah yang terintegrasi dengan sistem penanggulangan banjir dan drainase air hujan belum dilaksanakan secara integratif dan sistematis. Pada saat itu, untuk memecahkan persoalan genangan yang ada di permukiman, pemerintah cenderung untuk memecahkannya dengan pendekatan partial. Dampaknya adalah tidak adanya kesatuan sistem jaringan drainase dengan lingkup perkotaan sehingga penanganan persoalan genangan pada satu kawasan menyebabkan genangan pada kawasan lain. Selain itu, lemahnya kapasitas dan tanggung jawab aparat di bidang jaringan drainase serta tidak adanya anggaran untuk operasi dan pemeliharaan jaringan drainase merupakan permasalahan rutin yang menyebabkan tidak tertanganinya genangan yang ada di permukiman.
c. •
Era Tahun 1990-2000 Gambaran Umum: Pelita V (1989-1994) dan Pelita VI (1994-1999) merupakan era globalisasi terutama di bidang ekonomi. Meningkatnya tuntutan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi menyebabkan kendali pemerintah pusat lebih dilonggarkan. Pada saat yang sama, prinsip Dublin-Rio (Dublin-Rio Principles) diterapkan secara internasional. Keterlibatan dunia swasta di semua sektor meningkat pesat, demikian juga di bidang infrastruktur perkotaan. Pada Repelita VI, pembangunan prasarana dan sarana air minum direncanakan untuk melayani sekitar 60% penduduk perdesaan dan 80% penduduk perkotaan. Krisis ekonomi, yang terjadi sejak Agustus 1997 dan diikuti oleh krisis politik, mengakibatkan terjadinya kemandegan ekonomi, cadangan devisa pemerintah sangat
Lampiran A -- 4 -
terbatas sehingga anggaran pemerintah yang ada tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan prasarana dan sarana.
•
Penyediaan Air Minum di Perkotaan: Investasi prasarana dan sarana air minum pada masa itu banyak berasal dari hutang lembaga keuangan bilateral maupun multilateral. Keberhasilan konsep P3KT yang mengintegrasikan seluruh infrastruktur perkotaan kedalam satu paket pinjaman menarik perhatian lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Pemeran utama pendekatan konsep tersebut adalah Departemen Pekerjaan Umum yang kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
Banyaknya paket pekerjaan yang harus diselesaikan dan
terbatasnya sumber daya manusia menjadi kendala dalam peningkatan kualitas prasarana dan sarana permukiman yang dibangun.
Hal ini terjadi karena pembinaan teknis, supervisi, dan pengawasan
kualitas pekerjaan konstruksi menjadi sangat terbatas dan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Secara bertahap pendekatan kegiatan IKK (Ibu Kota Kecamatan) bergeser ke kota-kota ukuran menengah, namun standar pembangunan IKK masih tetap dijadikan acuan. Cakupan pelayanan masih merupakan tujuan pembangunan, sehingga konstruksi prasarana dan sarana baru menjadi kegiatan utama, sedangkan kegiatan pemeliharaan dan rehabilitasi cenderung terabaikan. Pengelolaan PDAM belum dapat dilaksanakan sesuai standar perusahaan, kendala yang dihadapi adalah rendahnya kemampuan mengelola suatu perusahaan (masih terdapat PDAM yang dikelola oleh birokrat bukan profesional di bidangnya), tidak adanya kebebasan dalam menentukan tarif, mahalnya investasi baru, dan terbatasnya sumber daya manusia. Selain kendala tersebut terdapat kendala alam yaitu semakin menipisnya air baku (disebabkan oleh rusaknya lingkungan) yang dapat dimanfaatkan dan ketiadaan sumber air yang dapat dimanfaatkan.
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar PDAM masih
bergantung kepada subsidi dari pemerintah pusat. Pada tahun 1988, disadari bahwa agar PDAM dapat meningkatkan mutu pelayanan air minum kepada masyarakat maka kebijakan air minum perlu diubah dan pengelolaan PDAM perlu direformasi secara menyeluruh. Pelayanan air minum perlu melibatkan dunia swasta dan dilakukan secara profesional, berorientasi kepada keuntungan (tanpa meninggalkan beban sosial), dan menjauhkan campur tangan birokrasi dalam pengelolaan perusahaan.
•
Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil: Pelita IV merupakan titik awal dimulainya partisipasi masyarakat dan terlibatnya LSM di tingkat daerah dan nasional dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang didanai oleh lembaga keuangan internasional. Konsep kepemilikan masyarakat dan pendekatan yang didasarkan kepada kebutuhan (Demand Responsive 2
Approach) mulai diterima secara luas, walaupun pelaksanaannya masih dilakukan secara terbatas.
Proyek pembangunan prasarana dan sarana sosial (PKT, P3DT, dan sebagainya), termasuk di dalamnya prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, diterima sebagai pendekatan pembangunan alternatif dengan hasil yang cukup bervariasi. Pada pendekatan ini dilakukan terobosan 2
Demand Responsive Approach diterjemahkan menjadi Pendekatan Tanggap Kebutuhan yang artinya: suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di dalamnya pendanaan
Lampiran A -- 5 -
baru dalam penyaluran anggaran pemerintah dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam pembangunan prasarana dan sarana.
Pemerintah daerah berperan
sebagai fasilitator dan pembina teknis. Namun demikian, cakupan pelayanan ternyata tidak sesuai dengan yang direncanakan. Persoalan lama selalu berulang dalam prasarana dan sarana air minum yaitu kurang optimalnya pemanfaatan prasarana dan sarana air minum yang telah dibangun karena ketidakmampuan masyarakat untuk mengoperasikan dan memeliharanya.
•
Penyehatan Lingkungan:
a. Limbah Cair Manusia:
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan limbah cair
manusia masih belum setinggi kesadaran terhadap pentingnya air minum.
Hal inilah yang
menyebabkan rendahnya tingkat sambungan rumah kedalam sistem sewerage yang telah dibangun. Sedikitnya sambungan rumah tersebut menyebabkan tingkat pendapatan tidak sesuai dengan yang direncanakan
sehingga
tidak
mampu
menutup
biaya
operasi
dan
pemeliharaan
serta
mengembangkan jaringan pelayanan. Dampaknya, banyak institusi baik di pusat maupun di daerah enggan untuk mengelola jaringan limbah cair manusia.
Di beberapa kota, telah berhasil dibangun instalasi pengolah limbah berbasis masyarakat (IPLBM). Secara teknis biasanya merupakan pengaliran limbah cair dari rumah-rumah melalui saluran perpipaan dangkal (shallow sewer) yang dirangkai dengan tangki septik ukuran besar dan kolam terbuka sebagai instalasi pengolah3.
Selain pendekatan tersebut, pemanfaatan LSM
untuk
memotivasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya lingkungan yang sehat khususnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan jaringan pelayanan limbah cair manusia telah berhasil memotivasi masyarakat untuk melakukan penyambungan pada instalasi pengolah limbah terpadu yang ada di Kota Cirebon4.
Dalam pembangunan prasarana sosial (P3DT dan lainnya) konsep MCK masih sering dilakukan, walaupun banyak yang tidak berfungsi setelah selesai dibangun.
Begitu pula dalam setiap proyek
sarana AMPL skala besar, komponen penyediaan jamban (latrine) selalu ada. Program stimulan dengan pemberian bantuan material yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan penerapan konsep satu teknologi masih tetap berlanjut. Hasil yang diperoleh tidak selalu memuaskan, namun demikian banyak juga yang cukup berhasil. Program dapat berhasil dengan memuaskan bila masyarakat memanfaatkan prasarana dan sarana yang dibangun dan mereka mau memeliharanya agar prasarana dan sarana tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Penyehatan Lingkungan Lainnya:
Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal), sebagai
badan penanggung jawab dan pengendali masalah lingkungan hidup dibentuk, namun masih terfokus
3
Contoh Instalasi Pengolah Limbah Berbasis Masyarakat (IPLBM) yang sudah berjalan baik adalah di Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Sistem direncanakan, dibangun, dan dioperasikan dengan pendanaan masyarakat sendiri. 4 Kota Cirebon memiliki sistem penyaluran dan pengolahan limbah terpusat, pemasaran sambungan ke rumah tangga dilakukan menggunakan jasa LSM
Lampiran A -- 6 -
pada masalah-masalah lingkungan skala besar belum menjangkau skala permukiman.
Hal ini
menyebabkan isu sektor penyehatan lingkungan, khususnya sampah dan drainase, tidak pernah mendapat perhatian pada tingkat nasional. Persoalan sampah dan drainase masih dianggap sebagai persoalan teknis yang dapat dipecahkan oleh departemen teknis. Persoalan sampah dan drainase pada
dasarnya
bukan
persoalan
teknis
saja,
namun
menyangkut
persoalan
pengelolaan
(management), sumber daya manusia, dan administratif pemerintahan.
P3KT sebagai suatu konsep penanganan persoalan infrastruktur perkotaan cukup baik, tetapi anggaran yang tersedia melalui P3KT terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh sektor infrastruktur yang ada di perkotaan. Kondisi ini menyebabkan penanganan persoalan infrastruktur di perkotaan dilakukan secara parsial dan tidak sistematis. Kondisi di atas ditambah dengan kinerja departemen teknis yang berorientasi proyek (project oriented) bukan berorientasi kepada program (program oriented), menyebabkan pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan nyata yang ada di masyarakat sehingga prasarana dan sarana yang dibangun kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Dampaknya adalah persoalan infrastruktur tidak terpecahkan dan pemanfaatan anggaran yang sebagian dibiayai melalui hutang menjadi tidak efisien dan efektif.
Hal ini dapat dilihat pada sektor persampahan dan drainase, investasi untuk
pembangunan prasarana dan sarana drainase serta persampahan telah menghabiskan anggaran yang cukup besar, namun persoalan persampahan dan genangan di perkotaan setiap tahun hingga saat ini belum terselesaikan.
Lampiran A -- 7 -