SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : SUNENDI Nim: 105045101500
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: SUNENDI NIM: 105045101500
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. M. Abduh Malik Nip: 150 094 391
Sri Hidayati, M. Ag Nip: 150 282 403
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kenikmatan serta manisnya Iman dan Islam sehingga kita dapat berjalan dibawah ridha-nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuanganya dalam membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan memberikan pencerahan kepada umatnya, sehingga kita dapat merasakan keindahan hidup dibawah naungan Islam. Rasa syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah daan taufiknya, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Dalam proses penulisan skripsi ini banyak kendala yang penulis hadapi, baik yang bersifat akademisi maupun non akademisi. Selama proses penulisan, penulis merasakan campuran perasaan tertekan, kehilangan rasa konsentrasi, oleh karena itu bila tidak dibantu dengan kesabaran hati, bantuan bahanbahan, kerelaan meluangkan waktu secara khusus serta jeri payah dari perseorangan dan lembaga-lembaga, skripsi ini tidak akan sampai pada bentuk yang sekarang. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitaan seakan terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dengan penuh hormat penulis menyatakan ungkapan rasa terimakasi yang sebesar-besarnya kepada semuanya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung membantu serta mendorong selesainya skripsi ini , penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menimbah ilmu. 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Asmawi, M. Ag dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Prof. Dr. H. M. Abduh Malik dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku dosen pembimbing skripsi dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan banyak masukan dan saran serta meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan penilaian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Dr. H. A. Mukri Aji. MA dan Burhanuddin SH. M.Hum, selaku penguji sidang skripsi yang dengan tegas dan teliti telah menguji daan memberikan masukan dalam perbaikan skripsi penulis. 7. Segenap para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi pengetahuan pemikiran dan gagasan kepada penulis. 8. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya
yang sangat membantu penulis dalam memperoleh buku-buku referensi dalam penyusunan karya ilmiah ini. 9. Untuk kedua orang tua penulis Bapak Kadi Maulyana dan Ibunda Asia yang senantiasa memberikan kasih sayang dan bimbingan dari kecil sampai penulis menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Ustd. Priyatno di Bogor dan tante Marina (Rina) di Cengkareng yang selalu mendukung untuk percepatan penyelesaian skripsi ini. Tak lupa pula kepada Adik-adik
dan
ponakan
penulis,
Handri
(ahong),
Muhammad
Ilyas
Habiburrahman (ilyas), Nur Sidiq, Ade Suganda (bentot), Fahrul Roji (fa’ung), Fajar, Jahid, dan ade Faturahman (fatur). 11. Teman-teman seperjuangan Abdul Malik, Abdul Razak, Abdul Wahid Muharrom, Adi Supriatna, Ahmad Jaelani, Ahmad Sanusi, Amien Indah Fitria, Asep Bahrul Jaman, Asharyanto, Deni Junaidih, Dewi Kurnia Sari, Fitrotul Amalia, Ifada Imaniah, Khusnul Anwar, Iin Sugiarto, Laila Latifa, Laili Maulida, Miftahu Chairina, Mohammad Trezal, Nasori, Raijak, Santoso Hari Wibowo, Sayidi, Siti Nafisah, Siti Widya Umiyati, Suspemilri, Usep Syafi’i Sanjabil MSSY, Yayah Ramadyan, Yazid Syukri, Zaki Tsani’ yang dari awal selalu belajar bereng di kelas, bersaing dalam prestasi, mengukir kebersamaan dalam sebuah persahabatan abadi. 12. Teman-teman KKS 21 Juli – 20 Agustus 2008 Kel. Sukamulya Kec. Cikupa Kab. Tangerang, Teuku Mahdar Ardian, Harry Candra, Sulaiman Ali, M. Imam Baihaqi, Syahrul Syawaludin, Abing Abdul Kabir, A. Zommy Dairobi, Fauzul
Azim, Fitria Hasanah, Hamdan Roziana AM, Leni Wulandari, M. Syuhadak Nasrullah, Saukah, Ahmad Hambali, Ali Imron, Dedi Aldi Wahyudi, Ifan Sunarya, Sabarudin Bintang, Asharyanto, Mohammad Trezal, Yazid Syukri. 13. Wanita yang selalu penulis cinta dan sayangi, Annisa Tri Hapsari, interaksi yang multidimensi dengannya, telah banyak sulutan semangat yang redup, kembangkan cinta yang susut, dan senyumkan dikalah cemberut melanda diri, engkau merupakan anugerah terindah dari Tuhan yang tak terhingga kepada penulis, yang selalu memotifasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan cepat-cepat cari kerja untuk kehidupan bersama. Akhirnya, tidak ada gading yang retak demikian pula dalam skripsi ini, bila terdapat kebenaran semata hanya petunjuknya, dan kesalahan adalah bukti nyata lemah hamba-nya. Kritik konstruktif dan masukan dalam skripsi ini, mutlak penulis harapan dalam rangka penjelajahan ilmu yang semakin luas. Semoga skripsi ini tidak hanya dorongan formalitas semata, tetapi bagian terpenting dalam meneguhkan semangat dalam belajar.
Jakarta, 12 juni 2009 M 18 Rajab 1430 H
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengaan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2009
Sunendi
SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Kajian Hukum Islam dan Hukum Pidana Indonesia)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: SUNENDI NIM : 105045101500
Di bawah Bimbingan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. M. Abduh Malik
Sri Hidayati, M. Ag
Nip. 150 094 391
Nip. 150 282 403
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan Di Bawah Umur (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Jinayah Siyasah Kosentrasi Pidana Islam.
Jakarta, 12 Juni 2009. Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Nip. 150 210 422
Panitia Ujian Ketua
: Asmawi, M. Ag Nip. 150 282 394
(....................................)
Sekretaris
: Sri Hidayati, M. Ag Nip. 150 282 403
(....................................)
Pembimbing I
: Prof. Dr. H. Abduh Malik Nip. 150 094 391
(………………………)
Pembimbing II
: Sri Hidayati, M. Ag Nip. 150 282 403
(....................................)
Penguji I
: Dr. H. A. Mukri Aji. MA Nip. 150 220 554
(.....................................)
Penguji II
: Burhanuddin SH. M.Hum Nip. 130 770 738
(.....................................)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. .......
i
DAFTAR ISI ............................................................................................ .......
v
BAB I
PENDAHULUAN Halaman A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
BAB II
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................
8
D. Tinjauan Pustaka......................................................................
9
E. Metode Penelitian ...................................................................
10
F. Sistematika Penulisan .............................................................
11
TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai tindak pidana dan Sanksi Pidana .....................................................................................
13
1. Pengertian Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Dalam Hukum Islam ..........................................................
13
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam hukum Pidana Islam ..
17
3. Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam .......................
21
B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai tindak pidana dan Sanksi Pidana............................................................................
24
1. Pengertian Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana
BAB III
Dalam Hukum Positif.........................................................
24
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam hukum Pidana Positif..
27
3. Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif ......................
31
PERKAWINAN
DIBAWAH
UMUR
MENURUT
HUKUM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan dasar Hukum Perkawinan ................................
36
B. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan ....................................
41
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ..............................................
46
D. Seputar Usia Perkawinan ........................................................
51
1. Pengertian Usia Perkawinan ..............................................
51
2. Usia Perkawinan Dalam Islam............................................
52
3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif .............................
56
E. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan Undangundang Perkawinan .................................................................
58
1. ...................................................................................... Perka winan Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam ..................
59
2. ...................................................................................... Perka winan Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ..............................................................
67
F. Praktek Perkawinan dibawah Umur Menurut Undang-undang Perlindungan Anak ................................................................. BAB IV
72
ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK PERKAWINAN DIBAWAH UMUR A............................................................................................ Studi Analisa Tentang Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan dibawah Umur .......................................................................................
77
1. ...................................................................................... Analisa Hukum Islam.........................................................
78
2. ...................................................................................... Analisa Hukum Positif .......................................................
BAB V
84
PENUTUP Kesimpulan ...................................................................................
95
Saran-Saran ...................................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
98
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji. Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah
memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiyaan lahir dan batin. Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah di tetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Islam menganjurkan orang untuk berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga, dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri makhluk Allah, termasuk manusia,2 sebagaiman firmannya dalam QS. Adz-Dzariyaat (51) ayat 49:
⌧ !"#
(49:51\ )ا ارت$%'()⌧*"
Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu meningatkan kebesaran Allah SWT”.
1
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 76.
2
Abd. Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 11-12.
Dalam QS. Yaasiin (36) ayat 36 dinyatakan:3
$56 12(34 ,"-.0 <☺ :;
78964 D AB-C964 >?@! KL <☺
E?:FG HIJ ( 36:36\) $%M☺D!$N Artinya: ” Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang mereka tidak ketahui”. Dalam sebuah hadist Nabi SAW, kita juga dianjurkan untuk menikah, seperti yang dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud, ucapan Nabi:
َ*َ+ْ!َ#َ َ,َ-َِْ وَﺱ0َ-َ َُلَ رَﺱُ ْلَ ا2 :َُْ َُ"ْ!ُ ْدٍ رََِ ا# ِ$ْ% ِ)َ&ِْ(ُ َ'ْ&ِ ا ْ$َ#ََ*جِ و4ْ-ِ ُ$َ5ْ)ََ*ِ وَأ5َ'ْ-ِ 78َ9َُ أ:جْ =َ<ِﻥ:َ?َ>َو0ْ-َ= َُ ا ْ'َءَة,ُBِْ# ََعDَ?ِْ اﺱ$َ# ِ'َب:+ ا 4
(رJ' اKَءٌ )رواHُِ َُ و: ْمِ =َ<ِﻥ:5 ِ% ِْ0َ-َ!َ= ْFِDَ?ْ"َ ْ,َ
Artinya: Rasulullah bersabda ”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa diantara kalian yang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah ia kawin. Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan, barang siapa yaang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari) Hukum Negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum Islam yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan dan tujuannya
3
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-syifa, 1998)
4
Imam Bhukhari, Sahih Bukhari, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3
adalah sebagai berikut, Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya, agar terwujud tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan suatu perkawinan.5 Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Usia Perkawinan dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 menyebutkan bahwa: ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Dengan adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menghendaki perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia apakah yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah
5
77.
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal .
diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Di lain pihak Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah, persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Tidak menentukan secara spesifik batasan umur tertentu bagi orang untuk melaksanakan perkawinan, hal ini menimbulkan suatu argumentasi serta penafsiran yang berbeda tentang batasan umur untuk dapat melangsungkan pernikahan di kalangan para ulama. Bahkan ada salah satu tokoh masyarakat di wilayah Semarang Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) mengatakan hukum Islam membolehkan perkawinan di bawah umur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Adanya pandangan yang berbeda terhadap batas umur untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundang baik yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ketentuan di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana khususnya dalam Pasal 288 KUHP, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, membuat penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur dan sanksi apa yang berlaku bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut kajian hukum Islam dan dalam aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: ”SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (KAJIAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Penelitian ini menjelaskan apa sebetulnya dan bagaimana pola pengaturan tentang perkawinan yang dilakukan oleh orang laki-laki dewasa yang menikahi anak perempuan yang notabene masih di bawah usia untuk menikah (kawin) dalam konsep perkawinan di bawah umur, serta bagaimana sanksi yang akan diberikan kepada pelaku yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif Indonesia yang kemudian mengacu kepada undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP khususnya dalam Pasal 288 dan mengacu pula kepada Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sehingga kita bisa menganalisa dan mengetahui dari dua sisi pandangan hukum, baik dalam hukum Islam maupun dalam aturan perundang-undangan Indonesia, berkaitan dengan sanksi pidana apakah ada atau tidaknya dalam dua aturan hukum tersebut. Serta apa saja yang menjadi hak dari seorang anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, sehingga kepentingan anak tidak terabaikan adanya. Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Adakah sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam terhadap praktek perkawinan dibawah umur? 2. Apa sanksi hukum yang ditentukan oleh hukum positif Indonesia terhadap praktek perkawinan dibawah umur?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian secara khusus dalam penulisan Skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui adakah sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut hukum Islam. 2. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur menurut hukum positif Indonesia. Adapun tujuan penelitian secara umum dalam penulisan Skripsi ini adalah : 1. Secara akademis, untuk menambah khazanah pengetahuan hukum pidana mengenai sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur, baik menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
2. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengharapkan dapat membantu dalam memberikan pemahaman yang lebih baik pada masyarakat umum dan khususnya umat Islam tentang praktek perkawinan dibawah umur yang dapat dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku.
D. Tinjauan Pustaka Berbicara mengenai perkawinan terlebih perkawinan di bawah umur sudah ada Skripsi dan buku-buku atau penelitian yang membahas tentang perkawinan di bawah umur. Misalnya, pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan karya ilmiyah mahasiswa (skripsi) di fakutas Syariah terdapat skripsi yang ditulis oleh, Boy Valdi yang berjudul ”Dispensasi nikah bagi perkawinan di bawah umur (Studi analisis putusan No. 008/PDT.P/2006/PJAP)” dalam skripsinya ia mengutarakan apa yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur dan peringanan untuk dapat di berikanya dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang belum cukup umur untuk dapat melangsungkan suatu pernikahan. Dari buku yang membahas tentang ”Tindak Pidana Mengenai Kesopanan”, karya Drs. Adami Chazawi, SH, membicarakan tentang Kejahatan kesusilaan dalam persetubuhan dengan Istri yang belum waktunya untuk dikawin terkait dengan pasal 288 ayat (1), (2), dan (3) KUHP. Dari uraian di atas, sudah ada literatur yang membahas tentang perkawinan secara umum. Untuk itu disini penulis membedakan serta lebih memfokuskan penulisan skripsi mengenai sanksi pidana bagi praktek perkawinan di bawah umur.
E. Metode Penelitian Dalam penulisaan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu pemecahan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikannya, kemudian menganalisa data dan menginterprestasikannya. Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu yaitu pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dimana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan mengulas buku-buku, dokumendokumen, majalah, jurnal-jurnal yang ada relevansinya dengan tema penelitian yang dibahas. Tujuan digunakan studi kepustakaan adalah untuk mendapatkan landasan teoritis yang berupa konsep, pendapat para Fuqaha dan para ahli hukum pidana atau literatur yang berhubungan dengan materi yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan metode Kualitatif dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan kemudian membandingkanya. Adapun mengenai sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data primer dan sekunder, data primer,6 merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber utama (pertama), yakni yang diperoleh dari hasil kajian hukum baik dalam literatur hukum Islam maupun terhadap perundang-undangan yang dalam hal ini adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan Undang-
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia , UIPress, 1986), h. 12.
undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Data sekunder adalah semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, dalam hal ini adalah buku-buku, literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini. Kemudian teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah menggunakan bahan dokumen yang tertulis berbentuk buku-buku, artikel dan makalah dan hasilnya berupa kutipan atau catatan. Setelah data-data tersebut terkumpul, kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode: 1. Metode Deduktif, yaitu suatu cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat umum, kemudian di tarik atau diambil kesimpulan yang bersifat khusus. 2. Metode Komparatif, yaitu membandingkaan antara keduanya antara hukum Islam dengan hukum Positif dengan cara menganalisa keduanya. Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.7
F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dengan kata pengantar, daftar isi dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya gambaran pembagian bab-bab sebagai berikut: 7
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
BAB I
Pendahuluan; Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif; Terbagi menjadi dua sub bab. Pertama, ketentuan hukum pidana islam mengenai tindak pidana dan sanksi pidana, unsurunsur tindak pidana dalam hukum pidana islam, jenis-jenis hukuman dalam hukum islam. Kedua, ketentuan hukum pidana positif mengenai tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-unsur tindak pidana dalam hukum pidana positif, jenis-jenis hukuman dalam hukum positif.
BAB III
Tinjauan Umum Tentang Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif; Terdiri dari enam sub bab yaitu: pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat sahnya perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, seputar usia perkawinan, perkawinan di bawah umur menurut hukum islam dan undang-undang perkawinan, praktek perkawinan di bawah umur menurut undang-undang perlindungan anak.
BAB VI
Analisa Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Praktek Perkawinan di Bawah Umur; Studi analisa tentang sanksi pidana bagi praktek perkawinan di bawah umur.
BAB V
Penutup; merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis tentang hal-hal yang telah dibahas dalam penelitian ini.
BAB II TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana Dalam ensiklopedi hukum Pidana Islam, tindak pidana (jarimah) diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hudud atau ta’zir.8 Adapun menurut istilah syar’i, jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainya. 9 Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih Islam memberikan pengertian jinayah adalah yang meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota badan, menghilangkan anggota badan, seperti salah satu panca indera.10 Para Fuqaha sering memakai kata-kata ”jinayah” ini untuk ”jarimah”, bahkan kebanyakan Fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan jarimah adalah larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman had 8
Alie Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.
9
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1990), Cet Ke-23, h. 396.
dan ta’zir. Kemudian Ahmad Hanafi mengkatagorikaan jarimah kepada tiga macam bentuk, yaitu:11 a. Jarimah Hudud Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, dan pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), atau pun oleh masyarakat yang di wakili oleh negara (sultan). b. Jarimah Qisas-diyat Jarimah Qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasannya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus. c. Jarimah Ta’zir Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman Ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah memberikan pengajaran (at-ta’dib). Syara tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan11
Ahmad Hanafi, Asas – Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) h. 7-8
ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga. Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu. Sementara itu, hukum Islam memuat suatu aturan hukum yang sangat berat dan tegas, tetapi memiliki sesuatu keluwesan dalam menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan yang melanggar terhadap hak-hak masyarakat. Ketentuan tersebut menunjukan pada bagaimana hukum yang berlaku bagi pelaku kejahatan atau perbuatn yang dilakukan. Kata sanksi dalam pidana Islam disebut dengan istilah alUqubah yang berasal dari bahasa arab yang artinya adalah pembalasan dengan keburukan. Sedangkan Abdul Qadir’ Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatannya melanggar perintah Allah SWT.12 Ahmad Fathi Bahasi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam skripsinya memberikan definisi sanksi (uqubah), adalah balasan berbentuk ancaman yang ditetapkaan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.13 Menurut A. Djazuli bahwa maksud pokok Hukuman (sanksi) adalah untuk memelihara dan menciptakan
12
Abdul Qadir’ Audah , al-Tassyri’ al- Jinai al-Islami, (Bairut: Muassasah al- Risalah, 1992), Cet. Ke-II, Zuz I, h. 812. 13
Ahmad Ratomi Zain, Sanksi Atas Penyalagunaan Tanah Wakaf oleh Nazhir Dalam Perfektif Hukum Fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004, Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Wahab Kampung Cantiga Cipondo Tangerang, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. 14 Begitu juga menurut A. Hanafi, bahwa tujuan dari pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat Islam adalah pencegahan (ar-radu waz-zajru) dan pengajaran serta pendididkan (al-islah wat taahdzib).15 Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan pengusahaan kebaikan kepada diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya terhadap melakukan jarimah (kejahatan). Di samping segi kebaikan pribadi pembuat jarimah, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya masing-masing.16 Hukuman tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa, dengan hukuman (sanksi) perintah atau larangan akan diperhitungkan dan 14
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menaggulangi Kejahatan), Loc. Cit.
15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Loc. Cit.
16
Ibid., h. 191-192
memiliki arti. Meskipun sanksi itu sendiri bukan merupakan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pelaku kejahatan sekurang-kurangnya, namun sanksi tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat (kepentingan publik). Syariat Islam menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai kejahatan dan mengancam dengan hukuman tertentu untuk perbuatan-perbuatan tersebut dengan maksud melindungi kepentingan- kepentingan kolektif dan sistem yang di atasnya berdiri bangunan besar masyarakat, serta membuat masyarakat dapat menyelamatkan nilai-nilai moral dan kehidupan yang harmoni. Tuhan mengadakan larangan-larangan (hukuman/sanksi) tidak akan mendapatkan suatu keuntungan karena ketaatan manusia, sebagaimana juga tidak akan menderita karena kedurhakaan mereka terhadapnya.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pengerian jarimah ialah laranganlarangan syara yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga telah disebutkan, bahwa dengan penyebutan kata-kata syara, dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nas-nas) syara dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman (sanksi) terhadapnya. Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang dari syara maka perintah-perintah dan larangan-larangan itu hanya ditunjukan kepada orang
yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan (taklif), sebab pembebanan itu artinya panggilan (khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan, dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut. Bahkan orang yang dapat memahami pokok panggilan (khitab), tetapi tidak mengetahui perincian-perinciannya, apakah berupa suruhan atau larangan, apakah akan membawa pahala atau siksa, seperti orang gila dan anak-anak yang belum tamyiz maka keduanya dipersamakan dengan benda-benda mati bahkan hewan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sukar diberi pembebanan (taklif), karena untuk dapat memahami pembebanan tersebut, bukan saja diperlukan pengertiannya pokok panggilan, tetapi juga diperlukan pengertiannya terhadap perincian-perinciannya. Unsur-unsur kejahatan dalam hukum Pidana Islam secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu: Unsur-unsur dasar umum dan unsur-unsur khusus. Unsur-unsur dasar (umum) mencakup:17 1. Rukun Syar’i atau unsur hukum (legal element) yaitu ketentuan yang jelas untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan kejahatan dan menentukan hukuman atasnya (ketentuan-ketentuan syariat); 2. Rukun Maddi atau unsur materiil (essential element) yaitu berupa perbuatan, baik perbuatan aktif (komisi) maupun perbuatan pasif atau pengabaian (omisi);
17
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy Syamil, 2001), h. 135.
3. Rukun Adaby atau unsur budaya/ unsur moril (cultural element) yang meliputi kedewasaan, dapat bertanggungjawab dan dapat dipersalahkan kepada diri si pelaku atas perbuatannya. Sedangkan menurut pendapat Zainuddin Ali, untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima segala sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut Mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang sudah baligh dan berakal sehat.18 Dari pembicaraan diatas kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi, diantaranya unsur-unsur sebagai berikut:19 1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadap pelakunya, dan unsur ini biasa disebut ”unsur Formal” (rukun syar’i).
18
19
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Cet.ke-1. h. 22. Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 6
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatanperbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat sesuatu, dan unsur ini biasa disebut ”unsur materiil” (rukun maddi). 3. Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawabkan terhadap suatu jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut dengan ”unsur moral” (rukun adabi). Sesuatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukan bahwa tanpa ketiga unsur tersebut sesuatu perbuatan tidak dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana), untuk dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku maka ketiga unsur tersebut harus terpenuhi secara keseluruhan. Disamping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman (sanksi), seperti unsur pengambilan dengan diam-diam pada jarimah pencurian, atau dalam tindak pidana perzinahan, unsur bersenggama ini merupakan sesuatu yang harus dipenuhi. Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau unsurunsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah yang dilakukan si pembuat kejahatan. Dikalangan fuqaha biasanya pembicaraan tentang kedua unsur umum dan khusus dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu dari suatu jarimah.
3. Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam Hukum pidana Islam merupakan aturan-aturan yang bersumber dari syariat Islam yang memiliki tujuan yang luhur baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menurut keduanya bahwa hukuman menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya, yaitu: a) Hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam Al-qur’an dan Hadist, yaitu: 1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishas, diyat, kafarat. Misalnya pencurian, perzinahan, minum khamar, murtad. 2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut juga dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, melakukan perbuatan maksiat. b) Hukuman dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman yang lain, yaitu: 1. Hukuman pokok (uqubat ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman dera seratus kali kepada pelaku zinah yang belum kawin (ghairu muhson). 2. Hukuman Pengganti (uqubat badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena satu alasan hukum, seperti hukuman diyat atau denda bagi pembunuhan sengaja yang telah mendapatkan maaf
oleh pihak keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan. 3. Hukuman Tambahan (uqubat taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh. 4. Hukuman Pelengkap (uqubat takmiliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong dan diletakan dilehernya. c) Hukuman dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, yaitu: 1. Hukuman yang memiliki batas tertentu, dimana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had. 2. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah di mana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti pada kasus maksiat, mengganggu kemaslahatan dan ketertiban umum yang diancam hukuman ta’zir. d) Hukuman dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu: 1. Hukuman badan, hukuman yang dijatuhkan atas badan, seperti hukuman dera (jilid). 2. Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, seperti hukuman mati, hukuman rajam.
3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara dan pengasingan. 4. Hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti hukuman diyat, denda. Berdasarkan pemaparan diatas apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana khususnya di bidang pelanggaraan dalam hukum perkawinan dan kejahatan terhadap anak yang mengakibatkan luka-luka yang mana membahayakan atas diri sang anak karena dalam suatu perkawinan melakukan persetubuhan dengan anak (istri) yang seharusnya atau sepatutnya belum waktunya untuk dikawin, maka penguasa dalam hal ini negara dapat melakukan suatu tindakan dalam upaya menjerat dan menghukum pelaku sesuai dengan hukuman yang berlaku di negara tersebut, artinya kepada pelaku dapat dikenakan suatu hukuman ta’zir. Adapun macam-macam sanksi yang berkaitan dengan jarimah ta’zir adalah sebagai berikut: 1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan, maka hukuman yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan hukumaan jilid. 2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan. 3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta, dalam hal ini yang terpenting adalah denda, penyitaan atau perampasan. 4. Sanksi-sanksi lainya yang ditentukan ulil amri demi kemaslahatan umum (masyarakat pada umumnya).
B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana Secara terminologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata Tindak dan kata Pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan, tingkah laku, kelakuan, sepak terjang. Sedangkan kata pidana berarti kejahatan kriminal dan pelanggaran. Sementara kalau dilihat dari segi hukum berarti hukum mengenai perbuatan-perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap penguasa.20 Dalam keterangan yang lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak pidana, ialah untuk menyatakan konkrit sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak gerik atau sikap jasmani seseorang.21 Secara tradisional, pidana dipandang sebagai suatu nestapa (derita) yang dikenakan kepada si pembuat karena melakukan suatu delik (kejahatan).22 Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”Tindak Pidana” di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan ”strafbaar feit”. Perkataan ”feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid sedangkan ”strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai 20
Poerwa Darminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).
21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 55.
22
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 27.
h. 1074.
”bagian dari suatu kenyatan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. Oleh karena seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undangundang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkatan ”strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”strafbaar feit” tersebut. Para sarjana hukum telah merumuskan suatu teori yang berbeda-beda di antara mereka, antara lain adalah: Pendapat Hazewinkel Suringa sebagaimana yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa kata ”strafbaar feit” adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.23 Moeljatno mengatakan bahwa perkataan ”strafbaar feit” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.24
23
P.A.F, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h. 181. 24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) Cet. Ke-7. h. 54.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit (tindak pidana) menurut hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik, tingkah laku, sikap jasmani seseorang yang bertentangan dengan hukum atau mengadakan suatu pelanggaran terhadap penguasa yang diancam dengan hukuman, yang dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas perbuatannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjalankannya. Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan pidana. Namun pada dasarnya pengertian sanksi lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu ”Sanc’tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. 25 Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Dalam kamus istilah hukum, sanksi mempunyai arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, (undangundang).26 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum (rechtgevolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat hukum yang dimaksud disini adalah berupa
25
S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda - Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1990) h.560. 26
J.C.T. Simorangkir dkk, Kamus hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 152.
suatu tindakan, yaitu dimana hukum dijatuhkan berhubung telah dilanggarnya suatu aturan oleh seseorang.27 Diatas diterangkan bahwa apabila dipandang dari sudut sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum (rechtsgecolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat ini merupakan suatu tindakan, dimana hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya sesuatu norma oleh seseorang. Tugas dari sanksi adalah suatu jaminan bahwa suatu norma akan ditaati. Pada azasnya tiap norma dapat dijamin dengan sanksi yang berbentuk siksaan (leed) karena itu hukum pidana di dalam lapangan hukum disebut ”het strafrecht is de citadel van het recht” (hukum pidana adalah merupakan benteng hukum). Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau sikap berupa hukuman yang dijatuhkan atau diberikan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat didalam masyarakat.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Positif Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsurunsurnya, maka yang pertama dapat kita jumpai adalah disebutkanya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan ”een doen atau een niet doen” atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di
27
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (T.tp., Balai Lektur Mahasiswa)
dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”een nalaten” yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang). Membicarakan unsur-unsur dari tindak pidana, dapat dibedakan setidaknya dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut pandang undangundang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasalpasal peraturan perundang-undangan yang ada. Maka timbullah di dalam doktrin unsur dari suatu tindak pidana menurut beberapa teoritisi dari para sarjana hukum yang berbeda-beda, antara lain: Moeljatno memberikan beberapa elemen atau unsur-unsur dari suatu tindak pidana diantaranya harus memuat: kelakuan dan akibat (adanya suatu perbuatan); keadaan yang menyertai perbuatan; adanya tambahan yang memberatkan pidana; unsur melawan hukum baik yang objektif dan subjektif.28 Sedangkan menurut pendapat Jonkers sebagaimana yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, menyatakan bahwa unsur-unsur dari suatu tindak pidana dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:29 adanya suatu perbuatan manusia; sifat melawan hukum; adanya sifat kesalahan; pelaku dapat dipertanggungjawabkan;
28
29
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 63.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008) h. 81.
Walaupun dari rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya ada persamaannya,
ialah tidak
memisahkan
antara unsur-unsur
mengenai
perbuatannya dengan unsur-unsur yang mengenai diri orangnya. Sungguh pun demikian setiap tindakan pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya terbagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.30 Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.31 Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut, antaranya: 1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa); 2. Maksud atau ”voornemen” pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam pasal 53 ayat1 KUHP;
30
P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997) h. 193-194. 31
Ibid., h. 194
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti terdapat di dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau ”voorbedachte raad” seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP; Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut, diantaranya: 1. Sifat melanggar hukum atau ”wederrechtelijkheid” ; 2. Kualitas dari diri si pelaku itu sendiri, misalnya ”keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP; 3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijkheid (melawan hukum); itu harus selalu dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari suatu delik yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya rumusan unsurunsur dari suatu tindak pidana yang dilakukan si pelaku (penjahat) maka kepada pelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatanya didepan hukum. Untuk kebutuhan praktek, perumusan dari tiap-tiap unsur sangat memudahkan pekarjaan aparat penegak hukum, baik sebagai peserta pemain maupun sebagai peninjau. Apakah suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang dirumuskan dalam pasal undang-undang, maka diadakanlah penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-
unsur dari delik yang didakwakan. Jika ternyata sudah cocok maka dapat di tentukan bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) di pertanggungjawabkan kepada pelakunya, namun jika unsur-unsur tersebut tidak memenuhi ketentuan yang telah di cantumkan dalam bunyi pasal yang disangkakan maka kepada pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawabkan.
3. Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenisjenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel dalam KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari: 1. Pidana Mati Berdasarkan pada hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah suatu hukuman yang terberat, yang pelaksanaanya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila dikemudian hari ternyata penjatuhan pidana terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau
pembuatnya atau petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana. 2. Pidana penjara Pidana penjara adalah suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan. 3. Pidana kurungan Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, namun dalam hal pidana kurungan masa lamanya seseorang dalam menjalani pidananya relatif lebih singkat dari pada pidana penjara. 4. Pidana denda Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa. Dimana uang denda yang dibayar terpidana menjadi milik negara, oleh karena itu, kejaksaan setelah menerima dari terpidana, uang itu harus disetor ke kas negara.
5. Pidana tutupan Pidana tutupan ini ditambahkan dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Namun dalam praktik hukum selama ini pidana tutupan ini sangat jarang diterapkan oleh hakim dalam putusan hukumnya. Pidana tambahan terdiri dari: 1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata (burgerlijke daad) tidak diperkenankan. UU hanya memberikan kepada negara melalui alat atau lembaganya yang berwenang melakukan pencabutan hak tertentu saja, menurut pasal 35 ayaat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah: a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampuh, atau pengampuh pengawas atas anak yang bukan anak sendiri; e. Hak
menjalankan
kekuasaan
bapak,
menjalankan
perwalian
atau
pengampuan atas anak sendiri; f. Hak menjalankan mata pencaharian;
2. Pidana perampasan barang-barang tertentu; Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barangbarang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui keputusan hakim pidana, yaitu: a. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran) yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, narkoba dari kejahataan narkoba atau psikotropika; dan b. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam tindak kejahatan pencurian.
3. Pidana pengumuman keputusan hakim; Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP) bila tidak, putusan itu batal demi hukum. Tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti yang disebutkan di atas. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan. Dalam pidana pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, melalui media radio maupun televisi yang beban pembiayaannya dibebankan kepada terpidana. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian ini, adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana). Dari uraian diatas terdapat suatu perbedaan antara hukuman pokok dengan hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman yang lain (imperatif), berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum secara mandiri. Adapun hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman pokok (fakultatif), sehingga tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman tanpa ada hukuman pokok terlebih dahulu (tidak mandiri).
BAB III PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.32 Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan” berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.33 Arti nikah menurut Paunoh Daly ialah bergabung dan berkumpul; dipergunakan juga dengan arti wata’ atau akad nikah. 34 Secara terminologis kitabkitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad nakaha atau zawaja.35 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal I ayat (1) memberikan suatu definisi tentang perkawinan (nikah) dengan merumuskan “perkawinan ialah ikatan
32
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 456. 33
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 7.
34
Paunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104. 35
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 74.
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon gholidhon) untuk menaati perintah Allah dan menjalankanya merupakan suatu ibadah. Menurut pendapat Abu Yahya Zakariya Al-Anshary yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat mendefinisikan nikah menurut istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafad nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya. 36 Dari pendapat yang disampaikan diatas maupun yang termaktub dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta dalam Kompilasi Hukum Islam, maka dapat saya ambil benang merah bahwa perkawinan (nikah) adalah akad yang sangat kuat (mitsaqon gholidhon) atau perjanjian lahir batin yang mengandung maksud kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing pihak dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi, banyak suruhan-suruhan Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan perkawinan. Diantaranya dapat kita lihat dalam firman Allah SWT dalam surat AnNuur (24): ayat 32. 36
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 8.
PC☺,$N964 O4M"FIJ D $F"?,RS#4 E Q P -U .W3$? - )T$. 34$'"!Y O4MIM $N %? ZJ?4D["Y 34 U?: N (32:24\[ )ا رET?$] \\F08 34 Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. Selain itu terdapat ayat lain dalam surat An-Nisaa (04): ayat 3.
`LJ ^ _HF %? PCc,$d*#4 b? O4M aFG! U "# " $ O4M"FI"Y Phi$ 3gGf#4 f %?l"Y O \,$kC j,!E O4M #m!" `LJ
E9HF D>"$ $ J nm8M"Y @#8"o P -U ,☺NJ ( 3:4\ )ا "ءO4M #M!" `LJ 4bpTJ Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan. Di antaranya dinyatakan dalam hadits riwayat dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW’ bersabda:
َ,َ-َِْ وَﺱ0َ-َ َُلَ رَﺱُ ْلَ ا2 :َُْ َُ"ْ!ُ ْدٍ رََِ ا# ِ$ْ% ِ)َ&ِْ(ُ َ'ْ&ِ ا ِ*َ5َ'ْ-ِ 78َ9َُ أ:جْ =َ<ِﻥ:َ?َ>َو0ْ-َ= َُ ا ْ'َءَة,ُBِْ# ََعDَ?ِْ اﺱ$َ# ِ'َب:+ َ*َ ا+ْ!#َ َ Kَءٌ )رواHُِ َُ و: ْمِ =َ<ِﻥ:5 ِ% ِْ0َ-َ!َ= ْFِDَ?ْ"َ ْ,َ ْ$َ#ََ*جِ و4ْ-ِ ُ$َ5ْ)وََأ (رJ' ا
37
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda: ”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa di antara kalian yaang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah Ia kawin. Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari). Hadist Nabi dari Anas Bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban bahwasanya Nabi SAW’ memerintahkan nikah dan melarang keras membujang seraya beliau bersabda: Artinya: ”Nikahlah kamu dengan perempuan-perempuan penyayang dan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan berbangga-banga dengan banyaknya kamu terhadap umat lain di hari kiamat”.38 Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakn perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situsi yang melingkupi
37
38
Imam Bhukhari, Sahih Bukhar, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 44.
suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, maka dapat dihukumi sebagai berikut:39 a. Sunnah, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan ia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkaan perkawinan. b. Makruh, bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada, sehingga takut akan menimbulkan berbagai kemusykilan bagi istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan sewajarnya karena ia masih mementingkan dirinya saja. c. Wajib, bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, dan ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin. d. Haram, bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai nafkah rumah tangganya, tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai dirinya dan keluarganya atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim terhadap istrinya. e. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun. 39
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 79.
B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.40 Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan dalam Islam memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan mengenai rukun dan syarat perkawinan, diantaranya sebagai berikut: 1. Rukun Perkawinan (nikah) Menurut jumhur ulama rukun nikah itu ada empat, yaitu:41 a. Sighah (ijab dan qabul); b. Calon suami dan calon istri; c. Wali
40
Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan UndangUndang Perkawinan, h. 59. 41
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 13-14.
Sedangkan menurut pendapat Sidi Nazar Bakry rukun perkawinan itu adalah:42 a. Calon pengantin laki-laki dan perempuan; b. Wali dari pihak calon perempuan; c. Dua orang saksi yang adil (laki-laki); d. Ijab dari wali calon pengantin perempuan atau wakilnya; e. Kabul dari pihak calon pengantin kali-laki; Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat lima rukun yang termuat dalam pasal 14 yang meliputi: a. Calon Suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi; e. Ijab dan qabul; 2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Kholil Rahman sebagaimana yang di kutip oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia menentukan bahwa syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, diantaranya, yaitu:43
42
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.
29. 43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 71.
1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam; b. Laki-laki; c. Jelas orangnya; d. Dapat memberikan persetujuan; e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam; b. Perempuan; c. Dapat dimintai persetujuanya; d. Tidak terdapat halangan perkawinan. 3. Wali nikah, syarat-syaratnya: a. Laki-laki; b. Dewasa; c. Mempunyai hak perwalian; d. Tidak terdapat halangan perwalian. 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya: a. Minimal dua orang saksi laki-laki; b. Hadir dalam ijab qabul; c. Dapat mengerti maksud akad; d. Beragama Islam; e. Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya: a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali; b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki; c. Memakai kata-kata nikah, tazwij; d. Antara ijab dan qabul bersamaan (bersambungan) e. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah; f. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 dimana ada syarat penambahan untuk kedua mempelai, dimana ada pembatasan usia jika akan melangsungkan suatu pernikahan dengan rumusan pasal 7 ayat (1) dan (2) sebagai berikut: (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. KHI dalam Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut: (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Hal-hal yang disebutkan diatas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa, calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada pintu perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri maupun salah satu diantara keduanya yang masih dibawah umur (anak-anak). Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih yang lalu. Namun demikian, apabila kita lacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat an-Nisaa (04): 9.
-M"# stu2(34 gr*#
E?:HY D O4M )$'" O4M!Y2"6 nH,!Fy QvwNxC!o (34 O4M wd*Y"Y -U?:T$] QL-M"2 O4M #M *# ( 9:4\ )ا "ء4zmNm0 Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. Ayat tersebut bersifat umum, tidak secara langsung menunjukan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda maupun tua-muda dibawah
ketentuan yang diatur UU No.1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraan maupun perkembangan fisik dan psikisnya tidak baik. Akan tetapi berdasarkan pada pengamatan berbagai pihak rendahnya usia perkawinan, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan dari perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang.
C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan a. Tujuan Perkawinan Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang diatur oleh pranata hukum. Karena hakekat perkawinan pada dasarnya bukan hanya sebagai media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari pada itu yakni pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (suami-istri). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Islam menetapkan tujuan perkawinan sebagai platform bagi pasangan suami istri yang ingin membentuk rumah tangga yang harmonis,44 sebagaimana tersebut dalam QS. Ar-Ruum (30): 21.
%J HZ{d,$N4 D -U FG HIJ Df "# $56 O4}MQ G$9~# 2☯8J U .Q$ K!h :T"#? b? %? P 8v☺D{C QTM -M"~# >,$N @#8"o (21:30\ )ا *وم$%'(⌧H$d$N 44
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV Pamulang, 2005), h. 3.
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Dari ayat tersebut diatas dapat kita ambil pengertian bahwa Islam menghendaki dengan adanya perkawinan tersebut tercipta rasa tentram, baik menyangkut masalah lahir maupun batin yang dihiasi dengan adanya rasa kasih dan sayang antara kedua belah pihak. Dengan memahami tujuan ini, maka sejak awal pasangan yang hendak mewujudkan sebuah rumah tangga, haruslah mempunyai komitmen bahwa penyatuan hubungan antara mereka berdua bukanlah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga untuk saling memahami, saling menghormati dan saling mengasihi antara kedua belah pihak. Sehingga mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana tersirat dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, secara konsisten diharapkan berbagai goncangan yang mungkin saja terjadi selama mengarungi kehidupan rumah tangga tidak dapat mengurangi keharmonisan bagi kedua belah pihak hingga kelak pada usia tua nanti bahkan sampai ajal yang memisahkan diantara mereka, karena cinta dan sayang diantara keduanya begitu besar. Bila dalam QS. Ar-Ruum ayat 21 ditegaskan bahwa tujuan perkawinan untuk menciptakan ketentraman pada pasangan suami istri yang diliputi oleh rasa kasih dan sayang, maka dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pun tidak jauh berbeda, yakni tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini sebagaimana
yang tersebut dalam pasal 1. Pengertian ”bahagia” dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 termuat dalam kata ”tentram” dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, karena dengan terciptanya suatu ketentraman dalam suatu keluarga, maka dengan sendirinya akan muncul suasana bahagia. Demikian pula dengan kata ”kekal” dalam UU No. 1 Tahun 1974, terkandung dalam kalimat ”diliputi rasa kasih dan sayang” dalam QS. ArRuum ayat 21. Hal ini dikarenakan bahwa perwujudan rasa kasih dan sayang tidak mungkin ada bila perkawinan itu hanya berlangsung dengan batas waktu, karena rasa kasih dan sayang erat kaitanya dengan hubungan batin kedua bela pihak. Sehingga hanya perkawinan yang bersifat kekal sajalah rasa kasih dan sayang dapat terwujud.45 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang ditetapkan dalam pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupaan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. b. Hikmah Perkawinan Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan tatanan keluarga yang tenang, damai, tentram dan penuh kasih sayang. Disamping itu perkawinan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik (dzurriyyah tayyibah). Dengan adanya perkawinan sebagaimana yang diatur agama, maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara dengan baik, baik yang berkaitan dengan nasab dalam arti asal-usul seseorang, maupun terpelihara dalam arti jasmani dan rohaninya. Salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk memperoleh keturunan yang baik, salih dan salihah. Dengan demikian, pernikahan dalam Islam 45
Ibid., h. 4.
mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia. Secara detil beberapa hikmah dari perkawinan tersebut diantaranya:46 1. Perkawinan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i. 2. Upaya untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran hawa nafsu yang tidak benar seperti perzinahan dan perkosaan. 3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram, dengan adanya cinta dan kasih sayang diantara kedua belah pihak. 4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab, baik dalam hubungan suami-istri maaupun orang tua dan anak. 5. Perkawinan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezki yang halal serta barokah. 6. Memperkokoh tali persaudaraan antara masyarakat, terutama antar kedua keluarga sehingga terwujud solidaritas sosial (takaful ijtima’i) dengan perluasan hubungan persaudaraan, antara dua keluarga besar, yaitu keluarga besar dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan. 7. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu laporanya, sebagaimana yang dimuat dalam koran al-Sya’b yang terbit pada hari sabtu, tanggal 1 juni 1959, melaporkan bahwa pasangan suami-istri akan bertahan 46
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, h. 42-44.
hidup lebih lama jika dibandingkan dengan yang bukan pasangan suami-istri (hidup sendiri tanpa pasangan) seperti seorang duda, janda, sendiri karena perceraian, lelaki bujangan maupun gadis yang belum menikah. Selain hikmah-hikmah diatas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmahhikmah dari suatu perkawinan sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat, sebagai berikut:47 1. Sesungguhnya naluri seks merupakan suatu naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluarnya tidak dapat
memuaskannya,
maka
banyaklah
manusia
yang
mengalami
kegoncangan, kacau, daan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalam alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan menjadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati barang yang halal. 2. Kawin merupakan jalan yang terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup
manusia serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. 3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yaang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kamanusiaan seseorang. 47
Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 69-72.
4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya. 5. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin daan sunguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibanya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. 6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkaan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyanyagi akan terbentuk masyarakat yang kuat dan bahagia.
D. Seputar Usia Perkawinan 1. Pengertian Usia Perkawinan Usia perkawinan merupakan suatu prase (kelompok kata) usia dan perkawinan. Usia adalah kata lain dari (lebih takzim) umur, yang berarti lama waktu hidup. Atau dapat pula diartikan sebagai masa, misalnya masa hidupnya cukup lama
berarti ia memiliki usia yang panjang.48 Sedangkan kawin merupakan kata yang bermakna aktif, mendapat prefiks (pe-an) menjadi perkawinan adalah pernikahan yang sungguh-sungguh dilakukan sesuai dengan cita-cita hidup berumah tangga yang bahagia. Dari pengertian yang sederhana itu dapat dirumuskan bahwa, usia perkawinan adalah usia yang dianggap cocok secara fisik dan mental untuk melakukan perkawinan. Usia perkawinan dalam pengertian ini penekananya adalah pada perhitungan atas umur yang secara fisik dan mental siap membangun kehidupan rumah tangga. Dengan usia perkawinan yang cocok dan telah memiliki kematangan psikologi, diharapkan terwujud rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohma yang didambakan dan kelak dapat mencerminkan suatu kehidupan masyarakat yang damai, sejahtera, dan dinamis. 2. Usia Perkawinan Dalam Islam Perkawinan dalam Islam tidak ditentukan oleh batas usia harus berumur 16 tahun bagi perempuan dan berumur 20 tahun bagi laki-laki baru boleh kawin. Padahal dalam Islam tidak demikian, tetapi perkawinan dalam Islam yang esensi dan subtansial adalah akil baligh, layak kawin siap mental, tidak ditentukan oleh batas usia sepanjang sudah memenuhi persyaratan syariat Islam perkawinan sudah sah dan halalan toyyibah. Sebagaimana perkawinan Rasulullah saw untuk diteladani oleh umatnya yakni perkawinan Rasulullah dengan Siti Aisyah. Meski perkawinan
48
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1113.
Rasulullah itu sudah sah menurut syariat Islam, tetapi Rasulullah belum menggaulinya karena belum akil baligh. Rasulullah baru menggaulinya ketika Siti Aisyah sudah akil baligh (dewasa). Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan seseorang boleh melangsungkan perkawinan. Sekalipun hukum Islam tidak membatasi usia menimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, namun hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04): 6.
Pb☺,$dT#4 O4M!$d-4 O4M $ 4"o? 4^{ ^ _ G
4 %?l"Y 2"fQ#4 4mD(kC -Ujf -U-"#? O4}M!"YT"Y ( 6:4\ )ا "ء... O -U7{8MJ Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka mengatakan bulugh al nikah itu diartikan dengan dewasa. Kedewasaan itu bukanlah bergantung kepada umur, tetapi bergantung kepada kecerdasan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik dan ada pula seseorang usianya telah agak lanjut, tetapi belum matang pemikiranya.49 Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan istilah baligh. Prinsipnya, seorang lelaki telah baligh jika sudah pernah bermimpi basah (mengeluarkan sperma). Sedangkan seorang perempuan 49
Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), Juz IV, h. 266.
disebut baligh jika sudah pernah menstruasi. Nyatanya, sangat sulit memastikan pada usia berapa seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami menstruasi. Para Ulama mazhab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti dari kebaligh-an dari seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi lakilaki. Namun dalam pandangan ulama klasik terdahulu serta menurut pendapat Majlis Ulama Indonesia (MUI), berdasarkan pada hasil dari ijtihadnya masing-masing, telah menetapkan dan menentukan batasan usia ideal untuk melangsungkan perkawinan diantaranya: 1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun. Dengan alasan bahwa tanda-tanda kedewasaan itu datang tidak sama untuk setiap orang, maka kedewasaan ditentukan oleh umur. Disamakan masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan oleh akal, dengan akallah terjadi taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum. 2. Imam Maliki menetapkannya 18 tahun sementara itu Imam Abu Hanifah menetapkan usia baligh bagi laki-laki adalah 19 tahun, sedangkan anak perempuan usia 17 tahun. Pendapat Abu Hanifah dalam hal usia baligh ini adalah batas maksimal, sedangkaan usia minimalnya adalah usia 12 tahun untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma,
menghamili atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan dapat hamil atau haid.50 3. Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Husain Muhammad dalam bukunya Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender menyebut kedewasaan itu pada usia 15 tahun untuk lakilaki maupun untuk perempuan.51 4. Sedangkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) hanya memberikan dua kriteria sebelum melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dikutip dari skripsi Boy Valdi, “Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No. 008/PDT.P/2006/PAJP,”, yakni spiritual daan material. Secara spiritual agar di dalamnya diperoleh ketenangan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan berkembangnya cinta dan kasih sayang. Adapun secara material merupakan kesanggupan membayar mahar dan nafaqah.52 Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat tentang batas usia menimal seseorang boleh kawin itu dikarenakan adanya perbedaan sudut tinjauan. Dikatakan bulugh al nikah itu dengan 50
Hilman Ismail, Perkawinan Usia Muda dan Pengaruhnya Tergadap Tingkat Perceraian Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Jatisari Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 51
Husain Muhammad, Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 68. 52
Boy Valdi, Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No. 008/PDT.P/2006/PAJP, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 42.
kecerdasan karena tinjauannya dititik beratkan pada segi mental, yakni dilihat pada sikap dan tingkah laku seseorang. Bagi yang mengatakan cukup umur dan bermimpi, yang berarti fokus tinjauanya pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf. Jadi, dalam hukum Islam saat paling tepat untuk menikah tidak dilihat dari segi umur, karena kebutuhan seseorang untuk menikah adalah berbeda-beda. Aisyah r.a. dalam sebuah riwayat, ketika menikah dengan Rasulullah SAW masih berumur 9 tahun. Tetapi kedewasaan dan kesiapannya untuk menikah telah matang, mungkin sama dengan mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum seperti saat sekarang ini. Hal diatas merupakan konsekuensi bahwa soal usia perkawinan menurut hukum Islam jika di simplikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usi baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Demikian pula, asumsi yang dibangun ialah bahwa usia balig harus mengacu pada dimensi yang komplementer, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan aspek-aspek ini seharusnya dimiliki oleh calon suami istri sebagai konsekuensi ”sense of responsibility” baik terhadap pribadi masing-masing maupun bagi keturunan dan lingkungannya.
3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin
adalah hubungan yang tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja. Karena itu salah satu prinsip dan syarat perkawinan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 6 Ayat (1) UU Perkawinan, dinyatakan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai artinya, kedua mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua. Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika ada penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita (Pasal 7 ayat 2).53 KUHPerdata dalam pasal 29 menentukan, Setiap laki-laki yang belum berusia 18 tahun penuh dan wanita yang belum berusia 15 tahun penuh, tidak diperbolehkan mengadakan perkawinan namun bila ada alasanalasan penting Presiden dapat menghapuskan larangan itu dengan memberikan dispensasi.54
53
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya Paramita, 2006), Cet. Ke- 37. h. 540. 54
Ibid., h. 8.
Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 15 ayat (1), untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.55 Sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan seorang ibu.56
E. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Sebelum mengemukakan perkawinan dibawah umur dalam pandangan hukum Islam dan UU Perkawinan, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan tentang maksud anak dibawah umur. Anak di bawah umur yaitu anak yang belum mumayyid atau anak yang belum bisa dibebankan suatu tanggung jawab, karena karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan cakap dalam bertindak yaitu akal. Apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna ia wajib menunaikan beban tugas yang
55
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan PerUndang-undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 10. 56
Undang-undang RI No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlidungan Anak, (Jakarta: Trinity, 2007), Cet. Ke-1. h. 3.
dipikul kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas dan ada pula yang bersifat sempurna. Berdasarkan hubungan ini, yang dimaksud dengan perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi syarat umur yang ditentukan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1), ”Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.”
1. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam Diantara keistimewaan ajaran agama Islam adalah fleksibel, universal, rasional, sesuai dengan tempat dan zaman serta mudah diterima oleh khalayak, baik yang berkaitan dengan masalah ibadat, akhlak, muamalat, maupun yang berkaitan dengan hukum (aturan) pernikahan. Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al-Bajuri menuturkan bahwa
agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur. Pada dasarnya ketentuan tentang batas umur minimal perkawinan tidak ditentukan secara tegas dalam literatur hukum Islam. Mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini (mensahkanya). Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. Ath Thalaaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat, sejumlah fakta pernikahan para sahabat dengan perempuan di bawah umur, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin alKhatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib dan Qudamah bin Math’ghun yang menikahi putri Zubair. Bahkan dalam kitab-kitab fiqh memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas seperti ungkapan ”boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau ”boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam yang dikutip oleh Amir Syarufuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.57 Begitu pula kebolehan itu disebutkan secara tidak langsung sebagaimana setiap kitab fiqh menyebutkan kewenangan wali
57
Amir Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2006) h. 66.
mujbir mengawinkan anak-anak yang masih kecil atau perawan. Bahkan dalam literatur fiqh kontemporer ditemukan ungkapan bila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si istri disusukan oleh ibu si suami, maka istrinya itu menjadi haram baginya. dari ungkapan ini dapat dipahami bahwa istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu ialah bila berlangsung selagi yang menyusu masih berumur dua tahun kurang. Hal ini berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. 58 Sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam.59 Menikahi atau menikahkan perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan: “Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).60 Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan dalam QS. Ath Thalaaq (65): 4.
%? 58
59
G$N
C;,(#4 TF"☺#4 - W3gG?v
Ibid., h. 66-67.
Yusuf Fatawie, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama http://dovesmotion.blog.friendster.com/2008/11/fikih-perkawinan-di-bawahumur/. 60
dan
Negara.
Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, (Yordania), juz II, h. 1600.
<!<m!"Y
E9-"-C4 #':D(J !v"i,E P D[$" E"# C;,(#4 M964 >,"#J !K[$N %J <:!hJ (34 5wd$N $ P <:⌧M Z-J D J(3 !:" ( 4:65\قPD )ا4QD< Artinya: ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuanperempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.
ِْ0َ-َ ُ اU:-ََِْ رَﺱُ ْلَ اِ ﺹH: ﺕَ>َو:ْQَ َ2 َRَْ َُ رََِ اSَ+ِTَ ُ(ْ&ِ َ) 61
(,-"# Kَ )روا$ْ0ِِِ ﺱFْ"ُِ ﺕQِْ% َِ وَأَﻥ% Uََ%ََ و$ْ0ِِِّ ﺱQِ"ِ َ,:-َوَﺱ
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah r.a bahwa ia telah berkata: Rasulullah SAW telah mengawini aku ketika aku berumur 6 (enam) tahun, dan tinggal bersamaku pada waktu aku berusia 9 (sembilan) tahun. (H.R. Muslim). Selain dari mayoritas ulama fiqih yang membolehkan perkawinan dalam usia muda, ada juga yang mengatakan bahwa perkawinan gadis di usia muda itu tidak sah atau dilarang. Seperti pendapat dari Ibnu Syubrumah, beliau menyatakan beberapa alasanya, di antaranya hadist Abu Hurairah yang di riwayatkan oleh Muslim.
61
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Sahih Muslim, juz 2 (Beirut Libanon: T.tp) h. 1038.
َ,:-َِْ وَﺱ0َ-َ ُ اU:-َ رَﺱُ ْلَ اُ ﺹ: أَن:َُْ ُ ا:َِِ هُ*َْ*َةَ ر%َ)َ&ِْ(ُ أ َ :َ ُ ْا2 ،َ ﺕُ"ْ?َ]ْذَنU:?َ) ُ*ْBِ'ْ َ^ُ اBُْ وَ_َ ﺕ،َ*َ#ْ]َ?ْ"ُ ﺕU:?َ) ُ,َِّ`َْ^ُ اBَُْلَ _َﺕ2 62
(,-"# Kَ )رواQُBْ"َ أَنْ ﺕ:ََل2 َ؟Rَُ إِذْﻥcْ0َرَﺱُ ْلَ اِ وَآ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: Janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuannya, dan perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai restunya, para sahabat bertanya, wahai Rasulullah, bagaimana tanda restu seorang perawan? Beliau menjawab: ”yaitu jika diam”. (H.R. Muslim). Hadist ini mewajibkan wali termasuk bapak untuk meminta izin dari anak gadisnya sebelum berlangsung akad nikahnya. Oleh karena sahnya akad nikah tergantung pada izin sedangkan izin dari orang tua atau gadis yang belum dewasa tidak dianggap, maka wajiblah atas wali menunggu sampai anak gadisnya dewasa untuk mendapatkan izinnya. Dalil ini kita kemukakan sebagai alasan dari pendirian Ibnu Syubrumah menurut riwayat Ibnu Hazam. Sedangkan pendirian Ibnu Syubrumah sendiri menurut riwayat at-tahawi, dalil yang harus kita kemukakan adalah sebagai berikut: tujuan utama dari pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan dan memelihara diri dari kemaksiatan. Cara mendapatkan keturunan dan memelihara tentulah dengan jalan persetubuhan, sedangkan maksud utama ini hanya dapat dilakukan terhadap gadis yang usianya telah memungkinkan untuk disetubuhi. Lebih lanjut Ibnu Syubrumah dan al-Batti berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Peunoh Daly dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, 62
Ibid,. h. 1056.
bahwa tidak sah sama sekali mengawinkan anak yang masih kecil. Akad nikah yang dilakukan oleh wali sebagai ganti dari anak yang masih kecil itu dianggap batal. Penulis menyatakan bahwa hikmah hukum perkawinan dalam Islam memperkuat pandangan Ibnu Syubrumah itu, karena tidak ada kemaslahatan bagi anak kecil dalam perkawinan yang serupa itu (perkawinan dibawah umur), bahkan akan mendatangkan kemudharatan.63 Selain dari pada pendapat dari Ibnu Syubrumah, di atas yang tidak memperkenankan perkawinan dalam usia muda, ada juga dalil-dalil syar’i lainya yang dapat menunjukan isyarat untuk kedewasaan seseorang sebelum lakukan suatu perkawinan itu diharuskan adanya suatu kedewasaan. Dalil-dalil hukum itu diantaranya: 1. Sadd Adz-Dzari’ah, artinya melaksanakan suatu perbuatan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan), dimana menutup jalan yang bisa membawa malapetaka, karena kawin di bawah umur bisa membawa malapetaka bagi keluarga dan akibat-akibat lainya yang negatif maka wajib menghindari dengan jalan menunda perkawinannya.64
63
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, h. 131. 64
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1. h. 132.
2. Kaidah-kaidah dalam Fiqihiyah antara lain:65 a)
َُ*َارُ ُ>َالe ا Artinya: ”Mudharat atau malapetaka itu harus dihilangkan”. Karena kawin di bawah umur membawa mudharat baik kepada dirinya, keluarga maupun kepada masyarakat, maka seharusnya kawin di bawah umur harus dihindari.
b)
ِ^ِ َ5َf ِ اgْ-َH ْ$ِ# ٌم:&َhُ# ِ&َِﺱ4َf ا Artinya: ”Menghindari mafsadat atau kerusakan harus didahulukan dari pada mencari maslahat atau kebaikan”. Kawin di bawah umur mungkin adapula manfatnya atau maslahatnya, namun mudharat atau resiko jauh lebih besar dari pada manfaat atau kebaikanya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kawin di bawah usia muda itu ditunda sampai orang itu cukup dewasa dan matang pisik, pikis dan mentalnya.
Dengan memperlihatkan argumen-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka penulis lebih condong pada pendapat Ibnu Syubrumah dan dengan disertai landasan atas kaidahkaidah fiqh untuk tidak memperkenankan perkawinan usia muda dengan alasan bahwa perkawinan usia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina
65
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet. Ke-2. h. 9.
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dimana kegagalan tersebut bertentangan dengan tujuan untuk mencapai kemaslahatan sebagaimana yang didambakan oleh keluarga dari kedua belah pihak (suami istri) disebabkan persiapan mental kedua pihak belum cukup matang. Kemudian persoalan yang paling krusial tentang kawin muda adalah dalam pandangan para ahli fiqh, adalah faktor ada tidaknya unsur kemaslahatan didalamnya terutama untuk pihak istri, karena dikhawatirkan dalam perkawinan usia muda itu dapat menimbulkaan kemudharatan, kerusakaan atau keburukan, terutama kepada pihak istri. Dengan demikian maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan di maksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifdz al-’irdh) agar tidak terjerumus kedalam perbuatan terlarang, melangsungkan kehidupan manusia atau keturunan (hifdz al-nasl) yang sehat mendirikan kehidupan rumah tangga yang di penuhi kasih sayang antara suami istri dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, maka pengaturan keluarga dan usaha-usaha menjaga kesehatan reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian yang serius dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi calon wanita demi kemaslahatan bersama.
2. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau kelak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut undang-undang perkawinan itu adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan (Verbintenis). Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 tersebut perlu difahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena itu dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainya yang mengatur tentang perkawinan. Apabila dianalisis lebih lanjut, kondisi perkawinan di Indonesia secara umum dapat di katagorikan mempunyai pola perkawinan muda. Usia muda secara global dimulai sejak umur 12 (dua belas) tahun dan berakhir pada usia 21 (dua puluh satu) tahun.66 Apabila dihubungkan antara Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan Pasal 7 ayat (1), maka pengertian tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa unsur: a. Perkawinan merupakan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita; b. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin;
66
Siti Rahayu Aditono, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagianya, (Yogyakarta: Gaja Mada Press, 1989), h. 219.
c. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia; d. Perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; e. Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi calon pria dan berusia 16 (enam belas) tahun bagi calon wanita; f. Harus ada izin dari orang tua terhadap perkawinan yang belum sampai umur 21 (dua puluh satu) tahun; g. Harus ada dispensasi kawin dari Pengadilan Agama atas permintaan orang tua bagi yang ingin melangsungkan perkawinan di bawah umur. Dari unsur-unsur diatas dapat diambil pengertian bahwa perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak mempelai yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi calon mempelai wanita dan umur 19 (sembilan belas) tahun bagi calon mempelai pria, sehingga diperlukan dispensasi kawin dari pengadilan. Yang dimaksud dari dispensasi kawin disini adalah adanya suatu penetapan hukum dari Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri selain yang beragama Islam. Dengan adanya suatu penetapan tersebut maka perkawinan dibawah umur dapat dilangsungkan. Adapun yang dapat dijadikan bahan pertimbangan hukum untuk mendapatkan dispensasi kawin adalah sebagai berikut:
a. Kondisi yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah umur batas minimum sebagaimana yang ditentukan dalam UU Perkawinan tersebut dimungkinkan; b. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, menyangkut susila yang berlaku di masyarakat pada umumnya; c. Adanya kepentingan yang mendesak, misalnya calon istri telah hamil lebih dahulu yang dibuktikan dengn keterangan dokter; d. Persetujuan yang menyatakan bahwa atas dasar sukarela tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun dan setuju untuk melasungkan perkawinan, ditandatangani oleh kedua calon mempelai. Adapun pelaksanaan perkawinan di bawah umur, prosedurnya adalah sebagai berikut: a. Minta surat pengantar dari ketua RT (rukun tetangga) dimana calon mempelai bertempat tinggal, yang ditujukan kepada kelurahan. Dan dari kelurahan itulah calon mempelai akan mendapatkan surat model PI yang berisi surat pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Nikah, surat model NA yang berisi surat keterangan untuk kawin, surat model NH yang berisi surat keterangan tentang orang tua, surat model NI yang berisi surat keterangan asal-usul dan surat persetujuan yang menyatakan bahwa atas dasar sukarela tanpa ada
tekanan dari pihak manapun dan setuju untuk melangsungkan perkawinan yang ditandatangani kedua calon mempelai;67 b. Setelah mendapatkan surat-surat diatas kemudian mempelai mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Ketua Pengadilan Agama yang di buat oleh orang tua/walinya atau wakilnya; c.
Sebelum diadakan sidang Pengadilan, calon mempelai terlebih dahulu mendapat nasehat perkawinan dari BP-4;
d. Setelah Pengadilan mempelajari arti permohonan ini kemudian mengadakan sidang. Sidang dihadiri oleh kedua orang tua/walinya, calon mempelai dan saksi-saksi; e. Setelah mendapatkan penetapan dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, kemudian ke Kantor Urusan Agama yang mewakili wilayah hukum dimana tempat tinggal mempelai dengan membawa sekaligus menyerahkan suratsurat yang telah diisi oleh Kepala Desa, yang meliputi: 1. Surat keterangan untuk nikah (Model N1) 2. Surat keterangan asal-usul (Model N2) 3. Surat persetujuan mempelai (Model N3) 4. Surat tentang orang tua (Model N4) 5. Surat izin orang tua (Model N5) 6. Surat pemberitahuan kehendak untuk menika (Model N7)
67
KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) Perkawinan, (Jakarta: 1983).
Pedoman Penyuluhan Undang-undang
7. Setelah Kantor Urusan Agama menerima berkas-berkas itu kemudian diadakan penelitian dan selanjutnya mengadakan pengumuman. 8. Setelah hari kesepuluh waktu kerja, tidak ada halangan dan pencegahan perkawinan, maka pada hari yang telah ditentukan kemudian dilangsungkan perkawinan sesuai dengan peraturan. Jika kita mengkaji lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas, prinsip dasar dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terdapat pelarangan untuk melangsungkan perkawinan kepada pihak-pihak yang belum cukup umur, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1). Namun dalam kesempatan yang sama didalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan pun secara tersirat membolehkan dilangsungkanya praktek perkawinan dibawah umur, dengan adanya dispensasi nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan dengan ketentuan dan syarat-syarat yang mengaturnya. Namun, disisi lain akibat adanya dispensasi kawin dalam perkawinan di bawah umur, dampaknya telah terjadi peningkatan angka perceraian atau banyaknya kasus kematian ibu saat melahirkan, selain itu perceraian juga menjadi pintu bagi masuknya tradisi baru yakni pelacuran. Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bisa dibatalkan bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. ”Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 maka perkawinan di bawah umur masuk dalam kategori eksploatasi anak, karena seorang anak yang masih dalam asuhan orang tuanya seharusnya mendapatkan kesempatan belajar. Perkawinan di bawah umur jelas merampas hak anak itu.
F. Praktek Perkawinan di Bawah Umur Menurut UU Perlindungan Anak Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berahlak mulia. Pembinaan tumbuh kembang anak adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh semua pihak, baik orangtua, tenaga kesehatan, serta anggota masyarakat dengan baik, utuh, dan optimal sejak anak berusia dini dan bahkan sejak dalam kandungan, sehingga anak benar-benar menjadi generasi masa depan bangsa yang diharapkan. Selain pemenuhan hak untuk tumbuh kembang anak, segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan harus segera dihentikan tanpa kecuali termasuk perkawinan di bawah umur. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah ”seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir ke dunia dalam keadaan fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah sebaliknya, jahat.68 Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi
68
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet ke-1. h. 1.
anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib, dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.69 serta prinsip-prinsip dasar konvensi atas hak-hak anak yang meliputi diantaranya: a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam penjelasan secara umum Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang perlindungan anak mengemukakan bahwa oleh karena anak, baik secara rohani jasmani dan sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak. Pemeliharaan, jasmani dan pengamanan kepentingan itu selayaknya dilakukan oleh pihak yang mengasuhnya yang dalam hal ini orang tua sang anak dan di bawah pengawasan dan bimbingan negara, dan dimana perlu oleh negara sendiri. Karena merupakan kewajiban, maka yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak wajib pula melindunginya dari gangguan yang datang dari luar maupun dari diri anak
69
67.
Wagianti Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet ke-1. h.
sendiri. Ketentuan yang tertuang di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa hak-hak anak diantaranya: 1. Hak Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran Deklarasi hak anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada 20 November 1952, antara lain menyatakan bahwa anak-anak berhak mendapatkan pendidikan wajib belajar secara cuma-cuma, sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar.70 Mereka harus mendapatkan pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan
umumnya
dan
pengetahuan
yang
memungkinkan
mereka
mengembangkan kemampuanya, pendapat pribadinya serta tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna atas dasar kesempatan yang sama. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1). Pasal 9 ayat (1) ”Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. 2. Hak Beristirahat dan Bermain Beristirahat sesungguhnya adalah kebutuhan manusia termasuk bagi anak, dan kesempatan bermain merupakan fitrah anak yang berbeda dengan rekreasi dan hiburan yang kadangkala perlu pula untuk dilakukan oleh orang dewasa ketika membutuhkanya. Perbedaan itu di sadari atas tujuan yang ingin dicapai baik anakanak maupun orang dewasa pada umumnya. Bagi seorang anak, waktu bermain dan istirahat mutlak diperlukan guna membantu pertumbuhannya dan perkembangan diri 70
Bismar Siregar, dkk., Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 19.
baik secara fisik, mental dan sosial. Hal ini tersebut merupakan tuntutan keadaan dan kondisi dimana ia dapat belajar, beraktifitas dan berinteraksi sesuai dengan kesenangannya sebagai rangsangan. Dalam Pasal 11 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: Pasal 11 ”Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”. 3. Hak Perlindungan Setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi; Ketentuan diatas tertuang dalam Pasal 13 ayat (1), bahwa anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah kedalam bentuk diskriminasi rasial, agama, mupun bentuk-bentuk diskriminasi lainya. b. Eksploitasi, baik Ekonomi maupun Seksual; Eksploitasi
ekonomi
dengan
menjadikan
barang
dagangan,
mempekerjakan anak usia dibawah umur, eksploitasi seksual dimana anak menjadi objek perilaku penyimpangan seksual. Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal 26 ayat 1 butir c UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan di usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini. Disisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar faktor ekonomi (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan “kekuasaan” atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/ asset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri. Satu hal yang juga harus menjadi perhatian bersama adalah mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam memberikan hak pendidikan, hak tumbuh kembang, hak bermain, hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, segala bentuk eksploitasi, dan diskriminasi. Serta yang paling penting adalah menempatkan posisi anak pada dunia anak itu sendiri untuk berkembang sesuai dengan usia perkembangan anak.
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini (pernikahan dibawah umur). Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah jika tanpa disertai dengan adanya penetapan atau Dispensasi dari Pengadilan. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum maupun yang telah baligh namun belum mencapai usia yang ditetapkaan dalam UU Perkawinan. Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam dalam merespons pernikahan tersebut. Dalam karya tulis ini akan mencoba untuk memaparkan bagaimana dua sistem hukum baik dalam hukum Islam dan hukum Positif dalam mencermati perkawinan dibawah umur tersebut, untuk itu penulis akan mengawalinya dengan analisa dalam hukum Islam terlebih dahulu kemudian dilanjutkan analisa dalam hukum Positif, dalam pemaparan analisa dalam karya tulis ini penulis berusaha untuk bersikap
moderat dan tidak memihak kepada salah satu sistem hukum, sehingga hasilnya akan lebih objektif. 1. Analisa Hukum Islam Memori kita mungkin belum lupa tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa, gadis berusia 12 tahun. Pernikahan yang sempat membuat heboh jagat hukum nasional. Hampir semua media cetak dan elektronik mengulas pernikahan tidak lazim tersebut. Hebohnya kasus tersebut menimbulkan pertanyaan dimasyarakat, bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa tersebut? Sah atau tidak? Silang pendapat pun muncul. Ada yang menjawab sah, sedangkan kalangan yang lain tidak sah. Jumhur ulama membolehkan perkawinan dibawah umur sebagian ulama yang lain tidak membolehkan. sebagaimana yang telah di uraikan penulis dalam bab-bab sebelumnya khususnya dalam bab III, namun dalam karya tulis ini kita tidak akan membahas kasus dari Syekh Puji yang menikahi Ulfa tersebut. Terlepas dari silang pendapat tersebut, kasus pernikahan dibawah umur akan lebih menarik jika dijadikan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk berfikir secara falsafat dalam hukum Islam. Artinya dibalik hukum Islam yang normatif, ada filsafat hukum Islam yang melatari dan menjadi inti dari adanya hukum Islam tersebut. Dengan pendekatan filsafat hukum Islam ini, kita akan bisa melihat dan membandingkan dengan jelas mana di antara dua pendapat di atas yang lebih sesuai dengan tujuan hukum Islam. Salah satu konsep penting dan fundamental dalam hukum Islam adalah konsep dari maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia.
Sedangkan definisi dari al-Maslahah al-Mursalah sendiri yaitu suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya.71 Konsep ini telah diakui oleh para ulama. Adapun inti dari konsep maqasid al-syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan kemaslahatan dan keadilannya. Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal. Kembali kepada pembicaraan awal melihat perkawinan di bawah umur yang menjadi bahan pembicaraan dari berbagai kalangan saat sekarang ini, penulis sampaikan adalah keharusan adanya pembedaan dalam hukum Islam antara dua hal yang menjadi titik krusial dalam melihat perkawinan di bawah umur, pertama: yaitu antara proses berlangsungnya akad nikah (ijab dan qabul) tersebut. Dan yang kedua: adalah proses persetubuhan (jima) antara keduanya, yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri setelah melakukan proses akad nikah pada umumnya.
71
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1. h. 117.
Untuk soal yang pertama yaitu proses berlangsungnya akad nikah (ijab dan qabul) bahwa dalam hukum Islam, sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama bahwa pernikahan dibawah umur jika telah memenuhi macam-macam dari ketentuan rukun perkawinan maka nikah itu adalah sah secara hukum Islam karena rukun dan syarat nikah telah terpenuhi sehingga sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dimana adanya kedua belah pihak, adanya Wali, saksi, mahar dan akad (ijab dan qabul) sudah terpenuhi. Untuk masalah soal umur istri yang masih di bawah usia sebagaimana yang ditentukan dalam UU Perkawinan tidak menjadi masalah dalam hukum Islam, karena dalam hukum Islam yang dilihat adalah kebalighan seseorang, dan kebalighan itu dilihat dari kondisi seseorang, dimana untuk seorang laki-laki adalah Ia pernah bermimpi basah sedangkan untuk seorang wanita adalah Ia pernah menstruasi (haid), sebagaimana yang pernah dicontohkan dari pernikahan baginda Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah pun dilakukan dalam usia yang sangat muda. Namun untuk masalah yang kedua yaitu proses persetubuhan antara keduanya, dalam masalah ini konsep penting dan fundamental dari hukum Islam dari maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia kiranya harus diterapkan dan diutamakan tentunya. Dalam persoalan ini kita harus bisa melihatnya secara menyeluruh dalam arti bahwa kita tidak bisa hanya melihat dari sisi aspek kepuasan dari salah satu pihak saja, namun dibalik itu kita juga harus melihat dari sisi yang lain yang kemungkinan besar bisa berdampak buruk bagi perkembangan salah satu pihak
khususnya untuk diri sang istri, untuk itu alangkah lebih baiknya jika proses persetubuhan itu ditunda terlebih dahulu dan proses persetubuhan dilakukan ketika kematangan dari organ-organ reproduksi sang istri benar-benar telah siap, sehingga tidak menggangu dan tidak mendatangkan kemudharatan bagi sang istri dan anakanak yang dilahirkan kelak nantinya sebagaimana konsep dari hukum Islam atas maqasid al-syari’ah. Dalam hukum Islam yang menjadi titik persoalan dari perkawinan dibawah umur ini adalah permasalahan yang kedua (persetubuhan) yang harus mendapatkan perhatian yang serius, bukan dari persoalan akad nikahnya sebagaimana yang di permasalahkan dan menjadi acuan dalam ketentuan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 khususnya dalam pasal 7 ayat (1). Dimana untuk masalah persetubuhan diantara keduanya jika dikhawatirkan akan berdampak buruk dan akan mendatangkan bahaya sebagaimana yang di sampaikan oleh parah ahli di bidang kesehatan dan medis terlebih untuk pihak wanita (istri) alangkah lebih baiknya untuk menunda persetubuhan itu sampai benar-benar kesiapan fisik dan psikis dari sang istri benar-benar telah siap untuk disetubuhi. Jika kita kaji lebih mendalam lagi ketentuan syariat hukum pidana Islam tentang tindak pidana maka disana akan kita temukan pembagian tindak pidana dalam Islam, salah satunya adalah jarimah ta’zir. Dimana tindak pidana ta’zir ini bisa dikenakan hukuman kepada pelaku jarimah manakala telah melakukan perbuatan pelanggaran-pelanggaran. Persoalan kasus perkawinan dibawah umur inipun kepada pelakunya bisa di kenakan hukuman ta’zir, hukuman ini bukan dikenakan atas zatnya dari suatu perkawinan melainkan hukuman ini dikenakan kepada pelaku karena sifat-
sifat dari perbuatannya itu yang mengganggu kepentingan, membahayakan serta merusak baik fisik dan psikis, terlebih kepada kesehatan sang istri di kemudian hari, karena melakukan perkawinan di bawah umur kemudian terjadi atau berlangsungnya proses persetubuhan tanpa adanya masa jedah dari proses akad nikah dengan proses persetubuhan tersebut, di mana dari peristiwa persetubuhan dengan sang istri itu jika mendatangkan kemudharatan dan keburukan yang nyata dan berdampak besar, yang semestinya proses dari pada persetubuhan itu seharusnya ditunda terlebih dahulu. Sebagaimna yang telah dicontohkaan dari pernikahan baginda Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah, yang ada masa jedah dari proses akad nikah dengan proses persetubuhan itu sendiri, dimana Nabi menikahi Aisyah dalam usia 6 (enam )tahun kemudian Nabi baru tinggal serumah dan menjalin hubungan rumah tangga dengan Aisyah ketika Ia berusia 9 (sembilan) tahun. Sebagaimana hadist yang datang dari Aisyah:
ِْ0َ-َ ُ اU:-ََِْ رَﺱُ ْلَ اِ ﺹH: ﺕَ>َو:ْQَ َ2 َRَْ َُ رََِ اSَ+ِTَ ُ(ْ&ِ َ) 72
(,-"# Kَ )روا$ْ0ِِِ ﺱFْ"ُِ ﺕQِْ% َِ وَأَﻥ% Uََ%ََ و$ْ0ِِِّ ﺱQِ"ِ َ,:-ﺱ َ َو
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah r.a bahwa ia telah berkata: Rasulullah SAW telah mengawini aku ketika aku berimur 6 (enam) tahun, dan tinggal bersamaku pada waktu aku berusia 9 (sembilan) tahun. (H.R Muslim) Sehingga tepatlah kiranya kepada pelaku (suami) mendapatkan hukuman tak’zir karena telah melanggar dan membuat kemudharatan kepada istrinya sendiri, sehingga terjadi bahaya dan mengganggu kesehatan sang istri. Kebutuhan-kebutuhan
72
Imam Abi al-Husaini Muslim, Sahih Muslim, juz 2 (Beirut Libanon: T.tp) h. 1038.
dan menjaga kemaslahatan sang istri dan masyarakkat merupakan alasan yang kuat bagi syara’ untuk menetapkan hukuman-hukuman ta’zir yang demikian itu kepada pelaku, sehingga akan tercipta sebuah kemaslahatan dan keadilan bersama. Namun pada dasarnya menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk dikawin ini tidaklah dilarang dan tidak dipidana atau dihukumi hukuman ta’zir. Baru dapat dikenakan hukuman ta’zir apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka dan yang membahayakan. Akibat luka-luka serta yang mendatangkan kemudharatan adalah membuktikan bahwa perempuan (istri) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas untuk disetubuhi, tidaklah menimbulkan luka-luka serta tidak membahayakan sebagaimana perempuan yang belum waktunya untuk disetubuhi. Titik akhir analisa penulis demi terwujudkannya serta memelihara dari suatu kemaslahatan umat manusia umumnya, khususnya bagi pihak wanita (istri) alangkah lebih baiknya untuk tidak memperkenankan perkawinan yang masih dibawah umur dan di usahakan kepada pihak laki-laki untuk menunda dan menunggu sampai usia sang mempelai wanita telah dewasa sebagaimana batasan usia untuk menikah yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang dengan alasan bahwa pertimbangan dari perkawinan usia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dimana kegagalan tersebut bertentangan dengan tujuan untuk mencapai kemaslahatan sebagaimana yang didambakan oleh keluarga darikedua belah pihak (suami istri) disebabkan persiapan mental belum cukup matang khususnya bagi pihak wanita.
2. Analisa Hukum Positif Dalam perspektif masyarakat di Indonesia, perkawinan dibawah umur sebenarnya adalah hal yang lazim dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat di beberapa daerah tertentu. Beragamnya latar belakang serta kebudayaan masyarakat di Indonesia menyebabkan perihal pernikahan dini ini menjadi suatu hal yang kontroversial. Masyarakat yang berlatar belakang penganut agama Islam yang kuat menganggap bahwa pernikahan dibawah umur adalah suatu hal yang halal dan tidak ada masalah karena syarat-syarat sahnya pernikahan menurut hukum agama Islam sudah terpenuhi, namun untuk masalah persetubuhan hendaknya ditunda sampai kondisi dari kesiapan fisik dan psikis sang istri benar-benar telah siap, sebagaimana uraian dalam analisa hukum Islam diatas. Namun apabila dilihat dari perspektif hukum nasional, pernikahan dibawah umur terindikasi telah melanggar beberapa aturan perundang-undangan yang ada diantaranya: 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 288 KUHP; 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Pelanggaran hukum yang pertama, dapat kita lihat dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) di mana dalam ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya.
Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut pemahaman dalam teori hukum Islam, pernikahan dibawah umur pada dasarnya adalah sah karena syarat-syarat sahnya perkawinan menurut hukum agama Islam sudah terpenuhi. Namun pencatatan perkawinan tersebut terganjal ketentuan lain yang berkaitan dengan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang ini. Ketentuan yang mengganjal tersebut ialah terdapat dalam Pasal 7 undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) terdapat ketentuan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun ketentuan Pasal 7 ayat (1) dalam UU Perkawinan ini bisa diambil jalan keluarnya dan tetap melakukan perkawinan dibawah umur dengan syarat mengajukan upaya permohonan dispensasi nikah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) undang-undang ini, yang menyatakan bahwa apabila ada penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) dapat dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk. Namun dalam persoalan pernikahan dibawah umur ini bisa dilakukan upaya pencegahan baik sebelum dilakukaan pernikahan dan bisa pula dilakukan setelah pernikahan itu sudah terjadi adanya, caranya adalah dengan pembatalan atas suatu perkawinan jika tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkaan perkawinan
sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pencegahan itu dapat kita lihat dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 16 UU Perkawinan yaitu: Pasal 13: ”Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”. Pasal 14: Ayat (1) ”Yang dapat mencegah perkawinan ialah para pihak dalam garis keturunan lurus ke atas ke bawah, saudara, wali nikah, pengampuh dari salah seorang mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan”. Ayat (2) ”Mereka yang disebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini”. Pasal 16: Ayat (1) ”Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), dan pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini tidak terpenuhi”. Pasal-pasal di atas adalah pasal yang mengatur tentang pencegahan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan termasuk perkawinan dibawah umur sebelum dikeluarkanya dispensasi nikah dari Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri selain yang beragama Islam. Namun jika perkawinan itu sudah terjadi atau terlajur dilaksanakan maka upaya hukum yang bisa dilakukan adalah dengan pembatalan perkawinan tersebut kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23 daan Pasal 25 UU Perkawinan, bunyi Pasal tersebut adalah: Pasal 22: ”Perkawinan dapat dibatalkan, apabila pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Pasal 23: ”Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: a. b. c. d.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; Suami atau istri; Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; Pejabat yaang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undaang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus”.
Pasal 24: ”Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri”. Sebagaimana ketentuan diatas bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila
dalam
perkawinan
tersebut
tidak
memenuhi
syarat-syarat
untuk
melangsungkan perkawinan, termasuk perkawinan yang dilakukan dibawah umur yang tidak dapat menunjukan surat atau izin dari pengadilan atas dispensasi nikahnya. Terlebih dengan banyaknya tanggapan dari masyarakat tentang pernikahan di bawah umur, terlebih atas kasus perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji baru-baru ini segera disikapi oleh Departemen Agama (Depag). Saat ini, Depag sedang merancang UU Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan yang akan menghadang perkawinan di bawah umur dengan sanksi yang jelas. Ke depan, pelaku perkawinan di bawah umur akan mendapat sanksi denda mencapai Rp.6 juta dan sanksi untuk penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp.12 juta dan kurungan tiga bulan. "RUU ini lebih rinci daripada UU Perkawinan, khususnya tentang sanksi," kata Dirjen Bimas Islam Depag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar seusai Konsultasi Nasional Hukum
Keluarga Islam di Indonesia di Jakarta, Selasa.73 Sekalipun baru dalam tahapan rancangan atas terapan UU Peradilan Agama tentang perkawinan, namun paling tidak dengan adanya rancangan UU ini diharapkan praktek-praktek perkawinan dibawah umur yang terjadi di dalam masyarakat kita dapat diminimalisir adanya bahkan kelak di harapkan dapat dihilangkan budaya-budaya perkawinan dalam usia muda. Pelanggaran hukum kedua, adalah pelanggaran dalam ketentuan KUHP atas tindakan menyetubuhi istri yang sepatutnya belum waktunya untuk dikawin, sebagaimana dalam Pasal 288 yang selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 288: Ayat (1) ”Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang perempuan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Ayat (2) ”Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun”. Ayat (3) ”Jika mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”. Mengenai kejahataan, dapat dirumuskan pada ayat (1), sedangkan ayat (2) dan ayat (3) merupakan dasar pemberat pidananya. Kejahatan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur Objektif: a. Perbuatannya: bersetubuh; b. Objek: dengan perempuan istrinya yang belum waktunya dikawin;
73
Batam Pos, Ancaman Pidana Perkawinan di Bawah Umur, berita di akses pada 5 Februari 2009 dari http://batampos.co.id/Nasional/Ancaman Pidana Pernikahan di Bawah Umur. html.
c. Menimbulkan akibat luka-luka; Unsur Subjektif: a. Diketahuinya atau sepatutnya harus di duga bahwa perempuan itu belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang disetubihi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang belum waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk disetubuhi karena masih anak-anak (dibawah umur). Pada Pasal 288 ini tidak dimasukan unsur belum berumur lima belas tahun seperti dalam Pasal 287. apakah disini tidak berlaku mengenai umur lima belas tahun? Berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 287 yang menyebutkan sebagai alternatif dari belum berumur lima belas tahun, dalam hal itu tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum waktunya untuk dikawin, maka dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan (ditafsirkan) bahwa perempuan (istrinya) yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur lima belas atau enam belas tahun (merujuk kepada Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan boleh untuk menikah usia enam belas tahun untuk wanita). Kejahatan dalam pasal ini tidak dioper dari Wvs Belanda, melainkan khusus ada dalam WvS Hindia Belanda (kini KUHP), berdasarkan pertimbangan bahwa pada penduduk asli Indonesia dahulu sering terjadi adanya pernikahan anak. Seperti pada istilah kawin gantung dalam hukum adat, yang maksud sebenarnya hanya sekedar ikatan resmi perkawinan yang belum boleh disetubuhi. Oleh karena itu, apabila suaminya tidak sabar menahan gejolak seksualnya, undang-undang memperbolehkan menyetubuhi istrinya yang masih anakanak itu, tetapi jangan sampai luka-luka. Jika sampai luka-luka maka kepada
pelakunya (suami) Ia dipidana. Konsep ini pada dasarnya sama seperti konsep dalam hukum Islam, dimana ada masa jedah dari proses akad nikah itu sendiri dengan proses memperbolehkan suami untuk menyetubuhi istrinya. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa lampau. Perempuan (istri) yang belum waktunya untuk dikawin adalah unsur objektif. Tentang keadaan yang sebenarnya ini harus diketahui oleh suaminya itu, apabila Ia tahu secara pasti tentang keadaan itu. Dia sepatutnya harus menduga bahwa perempuan (istrinya) itu belum pantas untuk disetubuhi. Inilah unsur kesalahan si pembuat. Baru dapat dipidana apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka. Akibat luka-luka adalah membuktikan bahwa perempuan (istri) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas untuk disetubuhi, tidaklah menimbulkan luka-luka yang membahayakan sebagaimana perempuan yang belum waktunya untuk disetubuhi. Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekedar luka-luka, tetapi menimbulkan luka-luka berat, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan tahun). Bahkan apabila berakibat kematian istrinya itu, maka dapat dijatuhkan pidana penjara peling lama 12 (dua belas tahun). Akibat luka berat atau kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini. Mengenai luka berat oleh Undang-undang telah diberikan pengertian khusus secara limitatif oleh Pasal 90 KUHP, yang menyatakan, bahwa luka berat itu berarti: a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkaan bahaya;
b) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; c) Kehilangan salah satu pancaindra; d) Mendapat cacat berat; e) Menderita sakit limpuh; f) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; g) Gugur atau matinya kandungan seorang ibu. Itulah pengertian luka berat, karena telah dirinci secara limitatif maka tidak ada luka berat selain yang telah disebutkan secara limitatif menurut Pasal 90 tersebut. Dari ketentuan di atas dapat kita ambil benang merah bahwa ada persamaan dalam ketentuan hukum Positif dengan hukum Islam yang mana sama-sama dipidananya pelaku (suami) apabila dari perkawinan dibawah umur itu dapat mendatangkan kemudharatan dan keburukan (luka-luka) kepada sang mempelai wanita (istri) karena telah mensetubuhi istrinya padahal harus diketahui bahwa belum waktunya untuk disetibuhi, sehingga kepada pelakunya dapat dikenakan hukuman ta’zir dalam hukum Islam dan hukuman pidana dalam hukum Positif. Pelanggaran hukum yang ketiga, adalah dalam ketentuan undang-undang Perlindungan Anak, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, sekalipun dalam Undang-undang Perlindungan anak memberikan batasan umur lebih tinggi dari pada ketentuan yang
disebut UU Perkawinan dalam penyebutan angka, namun pada dasarnya dua ketentuan yang terdapat didalamnya mengindikasikan diharapkannya bahwa suatu perkawinan itu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar telah dewasa, sehingga calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah perkawinan yang dilakukan dibawah umur. Terlebih jika usia mempelai wanita itu masih dibawah batas umur untuk bolehnya melangsungkan pernikahan, sudah barang tentu hak-hak dari sang anak yang semestinya didapatkan akan terabaikan dengan adanya ikatan perkawinan, Dibawah ini akan diuraikan pasal dari pada hak-hak anak. Dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan lain yang berkaitan ada dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Ketentuanketentuan tersebut bisa dikatakan telah dilanggar jika dalam usia anak-anak atau
remaja telah terjadinya suatu perkawinan dibawah umur, maka dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi anak dimana Ia tidak dapat tumbuh, berkembang karena beralihnya status dari seorang anak menjadi ibu rumah tangga yang berarti pula bahwa Ia telah lepas dari bimbingan orang tuanya sesuai ketentuan yang ada dalam Pasal 6. Selain itu ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu dalam Pasal 11 juga dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Jika perkawinan dibawah umur tetap dilakukan maka hal tersebut jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang ini. Dengan tidak bersekolah, maka dia tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui jalur pendidikan formal yang pada akhirnya akan menghambat pengembangan karakter pribadi dalam diri sang anak. Selain itu juga mengurangi hak anak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang serta bergaul, bermain dengan temanteman sebayanya karena dengan berstatus sebagai istri yang berarti bahwa Ia sudah memiliki kewajiban terhadap suaminya, sehingga hak-hak atas dirinya sendiri akan terabaikan adanya. Jika kita lihat dalam Pasal 26 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: Mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan terlebih lagi adalah bahwa orang tua berkewajiban untu mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Melihat dari segala ketentuan ini bisa dikatakan bahwa jika orang tua yang telah membiarkan atau bahkan memaksakan kepada anak-anaknya untuk menikah dalam usia muda dan terlebih usianya belum mencukupi sebagaimana yang ditentukan dalam batas usia boleh menikah dalam ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) maka orang tua telah melakukan pelanggaran hak anak yaitu bahwa orang tua telah melalaikan kewajiban untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak seperti yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a di atas. Selain itu juga orang tua telah melakukan pelanggaran hak anak karena tidak berusaha untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak seperti ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf C UU ini. Sehingga setiap orang termasuk orang tua yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mana mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga fungsi sosialnya atau penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada pelakunya. Sehingga diharapkan di masa yaang akan datang dengan adanya aturan ini hak-hak dari pada anak dapat terjamin dan terlaksana dengan baik dan praktek perkawinan di bawah umur yang masih terjadi di berbagai pelosok daerah negeri ini dapat diminimalisir dan pada akhirnya dapat
dihilangkan budaya perkawinan dalam usia muda, karena selain perkawinan itu menghilangkan hak-hak dari seorang anak, perkawinan itu pun melanggar dari pada ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Perlindungan Anak
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari akhir penulisan karya tulis ini penulis sampaikan ada beberapa hal atau poin yang bisa kita ambil dalam kesempatan ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil dari simpulkan atas pembahasan dalam karya tulis ini. 1.
Dalam hukum Islam perkawinan dibawah umur pada dasarnya di perbolehkan jika telah memenuhi ketentuan rukun dari suatu perkawinan, Namun untuk persoalan persetubuhan diantara keduanya (suami istri) diharapkan tidak terjadi terlebih dahulu (ditunda) sebelum kondisi baik mental maupun psikis dari sang anak (istri) telah siap untuk itu, siap dalam artian bahwa tidak mendatangkan luka-luka yang membahayakan, serta tidak mendatangkan kemudharatan atau keburukan di kemudian hari atas persetubuhan tersebut terhadap istrinya. Namun jika persetubuhan itu mendatangkan luka-luka yang membahayakan, serta terjadi suatu kemudharatan kepada istrinya karena proses persetubuhan tersebut yang semestinya ditunda terlebih dahulu maka kepada pelakunya di hukumi dengan hukuman ta’zir.
2.
Dalam Undang-undang Perkawinan pada dasarnya tidak memperbolehkan terjadinya praktek perkawinan dibawah umur jika kedua pasangan belum mencukupi batas usia untuk menikah sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1),
namun dalam keadan tertentu UU ini pun memberikan kelonggaran kepada mereka yang hendak melakukan perkawinan dibawah umur dengan cara mengajukaan permohonan Dispensasi nikah kepada Pengadilan diwilayah hukum yang telah ditentukan dalam UU ini dengan syarat-syarat yang ditentukan. 3.
Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP telah menggariskan bahwa jika dalam suatu perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita atau yang sepatutnya harus diduga bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin (setubuhi), apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka yang membahayakan terhadap istri (yang notabene masih dibawah umur), maka diancam dengan pidana penjara, sehingga jika dari perkawinan dibawah umur ini kepada pihak perempuan (istri) mendapatkan luka-luka yang membahayakan sebagaimana ketentuan dalam pasal 288 ayat (1) maka kepada pelakunya di pidanakan.
4.
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak telah melarang terjadinya praktek perkawinan yang melibatkan anak-anak didalamnya, sehingga kepada pelakunya bahkan kepada orang tua yang dengan sengaja membiarkan atau bahkan menyuruh kepada anak-anaknya untuk menikah dalam usia muda dapat dikenakan pidana sebagaimana suatu keharusan bagi orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada anak-anak (belum cukup umur untuk menikah), sebagaimana ketentuan yang di gariskan dalam Pasal 26 ayat 1 sub C UU Perlindungan Anak.
B. Saran-Saran 1.
Perlunya ditingkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhanpenyuluhan hukum, sehingga tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum setiap warga masyarakat meningkat di masa yang akan datang.
2.
Perlunya dilakukan sebuah usaha sistematis yang terarah dalam rangka pengawasan yang menyangkut pernikahan agar tidak terjadi lagi kasus pernikahan terhadap anak di bawah umur.
3.
Kepada pelaku yang benar-benar telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana harus diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat menjerahkan kepada pelaku dan menjadikan peristiwa itu sebagai contoh yang baik kepada masyarakat.
4.
Berhubung dengan adanya Dispensasi nikah dari Pengadilan bagi meraka yang belum mencukupi syarat-syarat untuk menikah, termasuk didalamnya tentang batasan usia, diharapkan semua pihak membangun kesadaran hukum dan diawali dari pribadi sendiri, sehingga akan tercipta ketertiban hukum dengan mengkomunikasikannya ke pihak terkait dalam hal ini KUA dan Pengadilan Agama. Sehingga adanya peringatan dari lembaga perkawinan seandainya terjadi suatu penyimpangan dalam penerapannya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia. Surabaya: Al- Hidayah.
Aditono, Siti Rahayu. Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagianya. Yogyakarta: Gaja Mada Press, 1989.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy. Penerjemah Tim Tsalisah. Jakarta : PT. Kharisma Ilmu, 2007.
Bakry, Nazar Sidi. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Chazawi, Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam KalanganAhlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Furchan, Arief. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Ghazaly, Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Bogor: Kencana, 2003.
Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Kertanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu. (Balai Lektur Mahasiswa)
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Cet. Ke-7.
Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Cet.Ke-2.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Projodikoro, Wirjono. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003.
Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2003. cet ke-5.
Salam, Moch Faisal. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2005. Cet ke-1.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Bandung: PT. Asy Syamil Press, 2001. cet ke-2.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Perkawinan Dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008. cet ke-2.
Siregar, Bismar. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Soetodjo, Wagianti. Hukum Pidana Anak. Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Surkalam, Luthfi. Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita. Tangerang: CV. Pamulang, 2005.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. Ke1.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar FIQH. Jakarta: Kencana, 2003.
_______________, Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
_______________, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.
Yafie, Alie. dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. T.tp: PT. Kharisma Ilmu.
Legislasi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 Tahun 1946.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.