24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PENCABULAN BAGI ANAK DI BAWAH UMUR
A. Hukum Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana Moeljanto mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar dasar dan aturan untuk: 1 Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, menentukan kapan dan dalam halhal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Dan Satochid Kartanegara menerangkan bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu : Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah perturan yang mengandung laranganlarangan atau keharusan keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman dan hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak
1
Moeljatno, Asasasas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002), 53
25
Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Dari pengertianpengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya hukum pidana adalah keseluruhan aturanaturan mengenai perbuatan yang dapat dihukum menurut aturan yang telah ditentukan sebagai alat peringatan yang dipergunakan oleh hakim untuk objek hukum pidana, yang terbagi menjadi dua yakni hukum pidana yang bersifat objektif dan subjektif dan dalam penerapannya dibedakan menjadi dua yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. 2. Tujuan/ Fungsi Hukuman dan Klasifikasinya Pada dasarnya secara umum fungsi hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada umumnya. Hal ini disebabkan hukum pidana merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Namun demikian, hukum pidana juga mempunyai fungsi khusus yang berbeda dengan hukum pada umumnya. Menurut Soedarto, 2 fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi: a. Fungsi Umum Oleh karena Hukum Pidana itu merupakan bagian dari hukum pada umumnya, maka fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu mengatur hidup kemasyarakatan, atau
2
Tongat, Dasardasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, Cet. I, 2008), 21
26
menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Dengan demikian menurut Soedarto, hukum hanya memperhatikan perbuatanperbuatan yang sosial relevant, artinya yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat. Hukum tidak mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila. Demikian juga hukum pidana. b. Fungsi Khusus Secara khusus hukum pidana dapat berfungsi melindungi kepentingan hukum (nyawa, badan, kehormatan, harta dan kemerdekaan) dari perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih kejam bila dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabangcabang hukum lainnya. Dari gambaran fungsi hukum pidana yang diberikan Soedarto diatas, tersimpul pendapat, bahwa hukum pidana mempunyai dua dimensi yang berbeda. Pertama, karena kedudukannya sebagai bagian dari hukum pada umumnya, maka hukum pidana mempunyai fungsi yang sama dengan hukum pada umumnya, perbuatanperbuatan
yang sekiranya tidak akan
menggoyahkan tertib sosial, berada diluar jangkauan hukum. Kedua, adanya legitimasi dalam hukum pidana untuk menggunakan sanksi yang lebih kejam apabila ada pelanggaran terhadap norma yang diaturnya. 3
3
Ibid., 22
27
Sehubungan dengan fungsi Hukum Pidana di atas, berbagai pendapat muncul mengenai tujuan dari adanya pemidanaan. Dapat dikemukakan beberapa pendapat ahli Hukum mengenai tujuan pidana sebagai berikut: Menurut Ricard D. Schwartz dan Jerome H. Sholnick yang dikutip oleh Barda Nawawi Arif sanksi pidana dimaksudkan untuk : 4 a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. (to prevent recidivism) b. Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deterother from the perforcemance of si,illar act) c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motifmotif balas dendam (to provide a chanel for the expression of retaliotary motives). Menurut pendapat Lamintang, terdapat 3 pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu: 5 a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan kejahatan. c. Untuk membuat penjahatpenjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatankejahatan lain, yakni penjahatpenjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat lagi diperbaiki. Tujuan pemidanaan yang berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, merupakan tujuan yang umum yang sangat luas. Tujuan umum tersebut menurut Barda Nawawi Arief merupakan 4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 20 5 Ibid.
28
induk dari keseluruhan pendapat dan teoriteori mengenai tujuan pidana dan pemidanaan. Dengan kata lain, semua pendapat dan teori yang berhubungan dengan tujuan pidana dan pemidanaan sebenarnya hanya merupakan perincian atau pengidentifikasian dari tujuan umum tersebut. 6 Adapun identifikasi dari tujuan utama dari pidana dan pemidanaan yakni perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat dikemukakan sebagai berikut: 7 a. Tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan. Perumusan tujuan pidana demikian ini dilatar belakangi perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Tujuan ini sering digunakan dengan berbagai istilah seperti ”penindasan kejahatan” (repression of crime) ”pengurangan kejahatan” (reduction of crime) ”pencegahan kejahatan” (prvention of crime) ataupun ”pengendalian kejahatan” (control of crime). b. Tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si pelaku. Tujuan ini dilatar belakangi perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya orang (si pelaku). Istilahistilah lain yang digunakan untuk merefleksikan tujuan ini adalah rehabilitasi, reformasi, treatment of offenders, reduksi, readaptasi sosial, resosialisasi pemasyarakatan, maupun pembebasan.
6 7
Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, 85 Ibid., 86
29
c. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar pidana, maka tujuan pidana sering dirumuskan untuk mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya. Perumusan pidana lain yantg sejalan dengan tujuan ini antara lain: ”policing the police”, ”menyediakan saluran untuk motifmotif balas dendam” atau ”menghindari balas dendam”, maupun ”tujuan menteror” yang melindungi pelanggarar terhadap pembalasan sewenangwenang diluar hukum. d. Tujuan pidana adalah untuk memulihkan keseimbangan masyarakat. Tujuan ini dilatar belakangi perlunya perlindungan masyarakat dengan mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Perumusan tujuan pidana lainnya yang mencerminkan tujuan antara lain: ”untuk menghilangkan nodanoda yang diakibatkan oleh tindakan pidana”, untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan untuk mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Setelah berbagai hal dijelaskan tentang tindak pidana, yaitu pengertian dan tujuan hukuman, maka di jelaskan juga tentang klasifikasi hukuman (macam macam hukuman). Dalam KUHP, pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan, terutama sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 KUHP. Dalam hal ini Roeslan Saleh
30
menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana, dan yang terberat disebut lebih depan. 8 Jenisjenis Pidana yang disebutkan dalam pasal 10 KUHP ialah: 9 Secara rinci dari jenisjenis pidana yang terdapat dalam Pasal 10 Kitab Undangundang Pidana tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Hukumanhukuman Pokok a. Hukuman mati Pidana mati di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana Indonesia diatur dalam Pasal 11, yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot) dengan cara mengikat leher siterhukum dengan jerat pada tiang gantungan, lalu dijatuhkan papan dari bawah kakinya. 10 Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undangundang dengan Undangundang Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana.
b. Hukuman penjara Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana penghilangan kemerdekaan dan pidana ini dapat dijatuhkan untuk 8
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), 49 Soesilo, Kitab Undangundang Hukum Pidana (serta komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal), (Bogor: Polietia, 1991), 34 10 Wirdjono Prodjodikoro, Asasasas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), 178 9
31
seumur hidup atau sementara waktu. Berbeda dengan jenis lainnya, maka pidana penjara ini adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan. Andi Hamzah pernah mengemukakan bahwa pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang kemerdekaan, tetapi juga narapidana kehilangan hakhak tertentu, seperti hak memilih dan dipilih, hakim memangku jabatan publik, dan beberapa hak sipil lain. 11 Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun pada umumnya pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun dan dapat dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun. Roeslan Saleh menjelaskan bahwa banyak pakar memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup ini, keberatan ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak akan mempunyai harapan lagi kembali dalam masyarakat. Padahal harapan tersebut dipulihkan oleh lembaga grasi dan lembaga remisi. 12 Maka dari itu walaupun pidana penjara sudah menjadi pidana yang sudah umum diterapkan di seluruh dunia namun dalam perkembangan terakhir ini banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara. 11
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), 28 12 Roeslan, Pidana Indonesia, 62
32
c. Hukuman kurungan Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana penjara, namun lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara walaupun kedua pidana ini samasama membatasi kemerdekaan bergerak seorang terpidana. 13 Perbedaan antara pidana kurungan dengan pidana penjara dapat dirinci sebagai berikut: 14 1) Pidana kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan dari pada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara. 2) Ancaman maksimum umum pidana penjara 15 tahun, sedang ancaman maksimum umum pidana kurungan1 tahun. 3) Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara, tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan pidana kurungan. 4) Dalam melaksanakan pidana penjara dapat dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan diseluruh Indonesia (dapat dipindahpindahkan), sedang pelaksanaan pidana kurungan Lembaga Pemasyarakatan di mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan. 5) Pekerjaanpekerjaan narapidana penjara lebih berat dari pada pekerjaanpekerjaan pada narapidana kurungan. 13
Wirdjono, Asasasas Hukum Pidana, 180 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 3334 14
33
d. Hukuman denda Pidana denda ini banyak diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan atau berdiri sendiri. Adapun keistimewaan yang terdapat pada pidana denda adalah sebagai berikut: 15 1) Pelaksanaan pidana denda bisa dilakukan atau dibayar oleh orang lain. 2) Pelaksanaan pidan denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan dalam hal terpidana tidak membayarkan denda. Hal ini tentu saja diberi kebebasan kepada terpidana untuk memilih. 3) Dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada hanyalah minimum umum. Sedangkan maksimum khususnya ditentukan pada masingmasing rumusan tindak pidana yang bersangkutan. 2. Hukumanhukuman Tambahan a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, 16 hakhak yang dapat dicabut adalah: 1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu. 15
Ibid., 40 Pasal 35 ayat 1, yang berbunyi: Hakhak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam halhal yang ditentukan dalam kitab undangundang ini, atau dalam aturan umum lainnya 16
34
2) Hak memasuki Angkatan Bersenjata. 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturanaturan umum. 4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri. 5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri. 6) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. b. Perampasan barang yang tertentu Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim ada 2 jenis berdasarkan Pasal 39 ayat 1 KUHP, 17 yaitu: 1) Barangbarang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan, misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang. 2) Barangbarang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, misalnya: pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan. c. Pengumuman putusan hakim Pengumuman hakim ini, hakim dibebaskan menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, dapat melalui surat kabar,
17
Pasal 39 ayat 1, yang berbunyi: “Barangbarang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”.
35
ditempelkan di papan pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau televisi. Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orangorang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang dilakukan orang tersebut. Disamping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan. Misalnya: 18 1) Penempatan dirumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit seperti penjelasan pasal 44 ayat 2 KUHP. 19 2) Bagi anak yang belum umur 16 (enam belas) tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa: 20 a. Mengembalikan
kepada
orang
tuanya,
walinya
atau
pemeliharanya, dengan tidak dikenai suatu hukuman, atau; b. Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah, dengan tidak dikenakan suatu hukuman yang kejahatan tesebut ditentukan. 3) Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal 8 Undangundang No. 7 Drt. 1955) dapat berupa: 18
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana: Bagian keII, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2005), 63 19 Pasal 44 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena daya akalnya (zijner verstandelijke vermogens) cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 20 Penjelasan pasal 45 Kitab Undangundang Hukum Pidana, 61
36
a. Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (tiga tahun untuk kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE).
b. Pembayaran uang jaminan untuk waktu tertentu. c. Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan yang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan.
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasajasa untuk memperbaiki akibatakibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain. B. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsurunsur pidananya. 21 Dan unsurunsur itu terdiri dari : a. Obyektif. Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan
21
Moeljatno, Hukum Pidana , 54
37
mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif di sini adalah tindakannya. 22 b. Subyektif. Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang). Dilihat dari unsurunsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Dan syaratsyarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah: a. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benarbenar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa. b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu 22
Ibid., 55
38
perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat. 23 c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum. 24 d. Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyatanyata bertentangan dengan aturan hukum. e. Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal hukumnya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di dalam suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman. 25
23
Adami Chazawi, Hukum Pidana I, 45. Ibid., 46. 25 Adami Chazawi, Hukum Pidana I, 47. 24
39
2. Tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak dan sanksinya dalam hukum pidana. Pengertian perbuatan cabul (pencabulan) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. 26 Pengertian perbuatan cabul yang dijelaskan di dalam KUHP adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. 27 Pengertian perbuatan cabul itu lebih luas dari pengertian persetubuhan. Sebagaimana pengertian persetubuhan menurut Hoge Raad, yaitu perpaduan alat kelamin lakilaki dengan alat kelamin perempuan, dimana disyaratkan masuknya penis kedalam liang vagina, kemudian penis mengeluarkan sperma sebagaimana biasanya membuahkan kehamilan. 28 Sementara itu, apabila tidak memenuhi salah satu syarat saja, misalnya penis belum masuk spermanya sudah keluar, kejadian ini bukan persetubuhan, akan tetapi termasuk perbuatan cabul sehingga bila dilakukan dengan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan berbuat cabul menurut
26
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 80 27 Soesilo, Kitab Undangundang Hukum Pidana, 121 28 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, 81.
40
Pasal 289 KUHP, 29 ini apabila maksud memaksa ditujukan pada perbuatan cabulnya. Anak adalah sebagai generasi penerus bangsa anak merupakan tunas bangsa yang akan melanjutkan eksistensi suatu bangsa, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Namun pada akhirakhir ini sering terdapat suatu tindak pidana mengenai pencabulan anak dibawah umur yang dilakukan oleh orang dewasa maupun oleh anak di bawah umur, dan hal ini merupakan suatu ancaman yang sangat besar dan berbahaya bagi anak, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Perkara persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak di bawah umur merupakan kualifikasi perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan atau juga disebut dengan perkosaan berbuat cabul. 30 Pasalpasal yang menerangkan tentang tindak pidana pencabulan yaitu sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undangundang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah sebagai berikut: Pasal 287 ayat (1), yang berbunyi: 31 ”Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu bukan masanya untuk kawin, dihukum penjara selamalamanya 9 tahun”.
29
Pasal 289, yang berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 30 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, 78. 31 Moeljatno, Kitab Undangundang Hukum Pidana, 105
41
Pasal 289, yang berbunyi: 32 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Didalam Undangundang No. 23 tahun 2002, menyatakan bahwa: 33 Pasal 81, yang berbunyi: 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82, menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.
C. Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Tindak Pidana (Jari>mah) Secara bahasa Jari>mah mengandung pengertian dosa, durhaka. Laranganlarangan syara>‘ (hukum Islam) yang diancam hukuman h{aa>d 32 33
Ibid., 106 Undangundang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
42
(khusus) atau ta’zi>r pelanggaran terhadap ketentuanketentuan hukum syariat yang mengakibatkan pelanggarnya mendapat ancaman hukuman. 34 Laranganlarangan syara>’ tersebut bisa berbentuk melakukan perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Melakukan perbuatan yang dilarang misalnya seorang memukul orang lain dengan benda tajam yang mengakibatkan korbannya luka atau tewas. Adapun contoh Jari>mah berupa tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan ialah seseorang tidak memberi makan anaknya yang masih kecil atau seorang suami yang tidak memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya. Perbuatan Pidana dalam Hukum Islam dikenal dengan “Jari>mah”, yaitu: laranganlarangan syara>’ yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman h}aad atau ta’zi>r. 35 Para fuqaha sering memakai katakata “jina>yah” untuk “jari>mah”. Semula pengertian “jina>yah” ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha yang dimaksud dengan katakata “jina>yah” ialah perbuatan yang dilarang oleh Syara’, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau hartabenda ataupun lainlainnya.
34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 22 35 Ahmad Hanafi, Asasasas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 1
43
Seperti pengertian Jarimah yang dikemukakan oleh Imam alMawardi adalah sebagai berikut: 36
ﺍَﻭْﺗَﻌْﺰِﻳْﺮ ﺤَﺪﱟ ِﺑ ﻋَﻨْﻬَﺎ َﺗَﻌَﺎﻟﻰ ُﺯُﺧِﺮَﺍﷲ ﺷَ ْﺮﻋِﻴﱠﺔ ﻣَﺤْﻈُﻮْﺭَﺍﺕ ُﺍﻟﺠَﺮَﺍﺋِﻢ Jarimah adalah perbuatanperbuatan yang dilarang oleh Sya>ra’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman h}ad atau ta’zi>r. Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua): pertama, rukun umum, artinya unsurunsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsurunsur yang harus terpenuhi pada jenis jari>mah tertentu. 37 Pertama, unsurunsur umum jari>mah adalah: 38 a) Unsur Formil (adanya undangundang atau nas). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undangundang yang mengaturnya. Dalam hukum positif masalah dikenal dengan istilah asas legalitas. Dalam syari’at islam lebih dikenal dengan istilah arru>kn asysyar’i. Kaidah yang mendukung unsur ini adalah “tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nas”. Dan kaidah lain menyebutkan “tiada hukuman bagi pembuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan nas”. 36
Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 1 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, Cet. I, 2009), 10 38 Ibid., 1011 37
44
b) Unsur Materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jari>mah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana islam disebut dengan arru>kn alma>di. c) Unsur Muril (pelakunya mukalaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana terhadap jari>mah yang dilakukannya. Dalam syari’at islam unsur moril disebut dengan ar ru>kn aladabi. Unsurunsur umum diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan persoalan hukum pidana islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi. Kedua, unsur khusus. Yang dimaksud dengan unsur khusus ialah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jari>mah) tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jari>mah yang satu dengan jenis jari>mah yang lainnya. 39 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara unsur yang umum dengan unsur yang khusus pada jari>mah ada perbedaan. Unsur umum jari>mah macamnya hanya satu dan sama pada setiap jari>mah. Sedangkan unsur khusus bermacammacam serta berbedabeda pada setiap jenis jari>mah. 2. Tujuan Hukuman dan Sanksinya 39
Ibid., 11
45
Sebagaimana hukuman dan tujuan hukuman dalam hukum pidana umum, dalam hukum pidana Islam pun hukuman mempunyai tujuan yang sama, yaitu demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. 40 Jika hukuman merupakan suatu kebutuhan atau demi kemaslahatan masyarakat, ia harus disesuaikan dengan kadarnya. Karena itu hukuman tidak boleh lebih atau kurang dari ukuran yang semestinya untuk melindungi masyarakat dan menolak bahaya tindak pidana atas diri mereka. Hukuman dapat dianggap mewujudkan kemaslahatan masyarakat manakala ia jauh dari sifat berlebihlebihan (ifra>t wa tafri>t), dan memenuhi unsurunsur dibawah ini: 41 a. Hukuman mempunyai daya kerja yang cukup sehingga bisa memberikan pendidikan dan mencegah terpidana mengulangi perbuatannya. Dalam hukuman tersebut, hakim dapat memilih hukuman yang sesuai dengan kepribadian pelaku serta menentukan jumlah hukuman yang cukup untuk mendidik dan mencegah bahayanya. Ketetapan ini menuntut adanya berbagai jenis hukuman untuk satu tindak pidana dan membuat dua jenis hukuman (batas terendah dan batas tertinggi) dalam satu hukuman, dengan tujuan agar hakim dapat memilih di antara kedua hukuman tersebut.
40 41
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam, 124 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, (Bogor: Kharisma Ilmu, t.t), 60
46
b. Hukuman tersebut juga mempunyai daya kerja yang cukup bagi orang lain. Artinya hukuman tersebut dapat mencegah orang lain untuk melakukan tindak pidana sehingga ketika ia berfikir untuk berbuat tindak pidana, akan berfikir olehnya bahwa hukuman yang akan menimpanya lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya. Hal ini mengharuskan jenis dan bentuk hukuman atas suatu tindak pidana dapat menimbulkan efek takut untuk melakukan tindak pidana tersebut. c. Ada persesuaian antara hukuman dan tindak pidana yang diperbuat. Dengan demikian suatu hukuman sesuai dengan tindak pidananya. Maka dari itu, tidak tepat bila hukuman bagi perampok disamakan dengan hukuman percurian biasa. d. Ketentuan hukuman bersifat umum. Artinya pelaku untuk setiap orang yang memperbuat tindak pidana tanpa memandang pangkat, keturunan dan berbagai ketentuan lainnya. Hukuman yang memenuhi unsurunsur tersebut adalah hukuman biasa yang boleh dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang memiliki pengetahuan dan pilihan (mudrik mukhta>r). Maka dari itu, sebagaimana ditetapkan oleh prinsip (kaidah) umum, apabila si pelaku adalah orang gila atau orang yang dipaksa, mereka tidak dapat dijatuhi hukuman. Misalnya jika orang gila membunuh orang lain, ia tidak di qishash, jika ia berzina ghairu mukhsan (statusnya belum kawin) ia tidak didera. Keputusan yang sama juga berlaku pada anak kecil yang belum
47
tamyiz, melakukan tindak pidana tidak mungkin untuk di qisas, ia dapat di titipkan dip anti asuhan atau dikirim ke panti rehabilitasi. 42
Sebagaimana Hadits Nabi Saw:
ُﺍﻟْﻘَﻠَﻢ َﺭُ ِﻓﻊ : َﻗَﺎﻝ َﻭَﺳَﻠﱠﻢ ِﻋَﻠَ ْﻴﻪ ُﺍﷲ ﺻَﻠّﻰ ﺍﷲ ﺭَﺳُﻮﻝ َﺍﻥﱠ ﻋَﻨْﻬَﺎ َﺍﷲ َﺭَﺿِﻲ َﺷﺔ َ ِﻋَﺎء ْﻋﻦ َ ﺣَﺘﱠﻰ ﻟﺼﱠﺒِﻲ ِﻋَﻦ َﻭ َﻳَﺒْﺮَﺃ ﺣَﺘﱠﻰ ﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﻠَﻰ ِﻋﻦ َ َﻭ َﻳَﺴْﺘَﻴْﻘِﻆ ﺣَﺘﱠﻰ ﺍﻟﻨﱠﺎءِﻡ ِﻋﻦ َ ٍ َﺛﺔ َ َﺛﻼ ْﻋﻦ َ 43 . َﻳَﻜْﺒُﺮ Artinya: Dari Aisyah ra. Rasulullah saw. bersabda: Tidak dianggap (dosa terhadap tindakan diri) tiga orang, yakni orang tidus sampai bangun, dan orang gila sampai dia waras, dan anak kecil sampai dia bermimpi senggama (dewasa). (HR. Abu Daud) Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbedabeda, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002, menyatakan bahwa: ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan”. Menurut Pasal 1 Undangundang Republik Indonesia No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: 1) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2) Anak nakal adalah: Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut 42
Ibid., 6061 Abu Daud sulaima>n bin alAsy’a>b bin Ishaq bin Basyi>r bin Syada>d bin ‘Amr alAzdiy alSijistaniy, Sunan Abi Daud, Juz 4, Hadits Nomor 3498, (Beirut: Maktabah al‘As}riyyah, tt), 139 43
48
peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan dari segi hukum Islam bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum ba>ligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap ba>ligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun. 44 Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam alQur’a>n.
ْﻬُﻢ َﺃَﻣْﻮَﺍﻟ ْﺇِﻟَﻴْﻬِﻢ ﻓَﺎﺩْﻓَﻌُﻮﺍ ﺭُﺷْﺪًﺍ ْﻣِﻨْﻬُﻢ ْﺁﻧَﺴْﺘُﻢ ْﻓَِﺈﻥ َﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡ ﺑَﻠَﻐُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﺘﱠﻰ ﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰ ﻭَﺍﺑْﺘَﻠُﻮﺍ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya. (alNisa>’ ayat 6). 45 Yakni: Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usahausaha mereka, kelakuan dan lainlain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai. Dengan demikian, apabila pelaku tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dan tidak bisa dijatuhi hukuman yang semestinya, sedangkan tindak pidananya harus dicegah dan masyarakat harus dilindungi dirinya, masyarakat boleh menggunakan caracara yang dapat melindungi diri mereka dari kejahatan si pelaku, seperti menempatkan pelaku tindak pidana di lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, atau sekolah sampai pada batas waktu
44
Hukum Islam (http://teosufi.webs.com/apps/blog/show/7280762), diakses tanggal 10 Juli
2012 45
Kementerian Agama RI, alQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Fokus Media, 2010), 77
49
yang ditentukan, yang sekiranya begitu ia keluar dari tempat tersebut, keadaannya sudah sembuh dan perilaku jahatnya tidak lagi dikhawatirkan. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur atau dalam istilah islamnya belum mumayyiz, maka tidak dikenakan hukuman. Hanya saja dikenakan hukuman untuk mendidik murni (ta’bi>diyyah kha>lisah), bukan hukuman pidana. 46 Ini karena anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Hukum Islam tidak menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan kepada anak kecil. Hukum Islam memberikan hak kepada waliyalamr (penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandangannya. Para fuqaha menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai bagian dari hukuman untuk mendidik. Pemberian hak kepada penguasa untuk menentukan hukuman agar ia dapat memilih hukuman yang sesuai bagi anak kecil di setiap waktu dan tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman: 47 a. Memukul si anak. b. Menegur atau mencelanya. c. Menyerahkan kepada penguasa atau orang lain. d. Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anakanak nakal. e. Menempatkannya di suatu tempat dengan pengawasan khusus.
46
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, 259. Ibid., 259
47
50
f. Dan lainlain
D. Hukuman Kumulatif 1. Hukuman Kumulatif Ditinjau dari Hukum Pidana Dalam hukum pidana di Indonesia, hukuman kumulatif disebutkan di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana dalam Bab II Penjelasan Pasal 10 tentang hukumanhukuman. 48 Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa undangundang membedakan dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.Bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok. “cumulatie” (kumulasi) lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. Akan tetapi dalam tindak pidana ekonomi (Undangundang Darurat No. 7 tahun 1955) dan tindak pidana subversi (Penpres No. 11 tahun 1963) cumulatie hukuman dapat dijatuhkan, yaitu hukuman badan dan hukuman denda. 49 Dalam penetapan kumulasi hukuman pun, hakim mempunyai dasar pertimbangan pribadi dalam menetapkan hukumannya, hal itu terlihat dari pembebanan hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa dalam setiap perkara
48 49
Soesilo, Kitab UndangUndang Hukum Pidana, 36 Ibid.
51
pidana. Berikut merupakan acuan yang menjadikan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusanputusan hukuman, diantaranya mengenai lamanya pemidanaan, serta tujuan pemidanaan.
Dalam pemidanaan terdapat pedoman pemidanaan, dimana hakim wajib mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut: 50 a. Kesalahan pembuat b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana c. Cara melakukan tindak d. Sikap batin pembuat e. Riwayat hidup dan keadaan sosial pembuat sesudah melakukan tindak pidana f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban j. Tindak pidana dilakukan dengan berencana. Hal penting yang menyertai pemidanaan ialah lamanya suatu pidana tertentu, hal tersebut tak lain berkaitan juga dengan pola dalam penetapan jumlah ancaman pidana.
50
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 3
52
a. Pola Penetapan Jumlah Ancaman Pidana Dalam menetapakan jumlah atau lamanya ancaman pidana, dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief terdapat dua alternatif sistem yaitu: 51 1) Sistem pendekatan absolut, yakni untuk setiap orang tindak pidana ditetapkan bobot atau kualitasnya sendirisendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman pidana minimum) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap pidana ini dikenal dengan sistem indifinite atau sistem maksimum. 2) Sistem atau pendekatan relatif, yaitu untuk tiaptiap tindak pidana tidak ditetapkan bobot atau kualitasnya (maksimum pidananya) sendirisendiri tetapi bobotnya direlatifkan: yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana. b. Pola Maksimum dan Minimum Pidana Menurut pola KUHP maksimum khusus pidana penjara yang paling rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu dan 15 (lima belas) tahun, yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan. Sedangkan maksimum yang di bawah 1 (satu) tahun sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu. Ancaman pidana maksimum 51
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 131
53
khusus yang paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan 15 (lima belas) tahun yang dapat juga mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan. 52 c. Pola Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana Menurut Konsep KUHP pemberatan dan peringanan pidana tidak berbeda dengan KUHP yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Namun menurut Konsep KUHP, pemberatan danatau peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan pidana menurut Konsep KUHP dapat juga dikurangi setengahnya dari pembatasan pidana bagi anak yang berusia 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. 53 d. Pola Perumusan Pidana Jenisjenis pidana yang pada umumnya diancamkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok, dengan menggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu: 54 1) Diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu. 2) Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu. 3) Diancam dengan pidana penjara (tertentu) 52
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 174175 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 175 54 Ibid, 165 53
54
4) Diancam dengan pidana penjara atau kurungan. 5) Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda. 6) Diancam dengan pidana penjara atau denda. 7) Diancam pidana kurungan. 8) Diancam dengan pidana kurungan atau denda 9) Diancam dengan pidana denda. Dalam perumusan pidana pokok tersebut terlihat bahwa KUHP hanya menganut 2 sistem perumusan delik yakni perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok) dan perumusan alternatif. Pidana pokok yang dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan, atau denda. Tidak ada pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal. Sistem perumusan alternatif dimulai dari delik yang paling berat sampai yang ringan, sedang untuk pidana tambahan bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik. Dalam konsep ditentukan jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan. 55
55
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 179
55
Bentukbentuk perumusan pidana tidak berbeda dengan KUHP, hanya dengan cacatan bahwa di dalam Konsep: 1) Pidana penjara dan denda, ada yang dirumuskan ancaman minimalnya. 2) Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori. Pedoman untuk menerapakan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan secara alternatif diterapkan secara kumulatif. 56 2. Hukuman Kumulatif Ditinjau dari Hukum Islam (Fikih Jina>yah) Hukuman dalam istilah Arab sering disebut ‘uqubah, yaitu bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara>’ yang ditetapkan Allah dan Rasulnya untuk kemaslahatan Manusia. 57 Menurut Abd alQadir Awdah, hukuman adalah suatu penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat perbuatannya melanggar aturan. 58 Hukuman dalam fikih jina>yah dapat dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya. 59 a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nasnya dalam al Qur’a>n dan alHadi>st. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua:
56
Ibid, 180181 Makhrus, Hukum Pidana Islam, 111 58 Abdul alQadir Awdah, atTasyri’ alJina’i alIslami,Cet. I, (Bairut: Dar alFikr, t.t), 214 59 Djazuli, Fikih Jina>yah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 28 57
56
1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudu>d, qis}as, diyad dan kafarat. Misalnya hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh dan orang yang mendzihar istrinya. 2) Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zi>r, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, dan melanggar aturan lalu lintas. b. Ditinjau dari hubungan antara satu hukuman dengan hukuman lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat: 60 1) Hukuman Pokok (‘uqu>bah as{liah), seperti hukuman qis}as untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian. 2) Hukuman pengganti (‘uqu>bah badaliah), yaitu yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qis}as atau hukuman ta’zi>r sebagai pengganti hukuman h}aa>d atau hukuman qis}as yang tidak bisa dijalankan. 3) Hukuman tambahan (‘uqu>bah taba’iah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga, sebagai tambahan dari hukuman qis}as (mati), atau hukuman dicabutnya hak sebagai saksi 60
Djazuli, Fikih Jina>yah, 28
57
yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jari>mah qadzaf (memfitnah orang lain berbuat zina) disamping hukuman pokoknya, yaitu jilid 80 (delapan puluh) kali. 4) Hukuman pelengkap (‘uqu>bah takmiliah), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman pokok yang telah dijatuhkan, dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi pemisahannya dengan hukuman tambahan. Contoh hukuman pelengkap ialah mengalungkan tangan pencuri yang telah di potong di lehernya. c. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi menjadi dua: 61 1) Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, dimana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman h}aa>d. 2) Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwah, seperti dalam kasuskasus maksiat yang diancam dengan ta’zi>r.
d. Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat: 62
61 62
Djazuli, Fikih Jina>yah, 29 Ibid.
58
1) Hukuman badan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid (dera). 2) Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati. 3) Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan. 4) Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda, dan perampasan. Hukum pidana Islam (Fikih Jina>yah) tidak menyebutkan hukuman kumulatif secara eksplisit, hanya saja hukuman kumulatif dalam pidana Islam disebutkan sebagai gabungan hukuman. Gabungan hukuman ialah serangkaian sanksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah secara berulangulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan lainnya belum mendapatkan putusan terakhir. 63 Dalam gabungan hukuman pun, para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman. Imam Malik, misalnya, mengenal teori altada>khul (saling memasuki), yaitu apabila seseorang melakukan jari>mah qadzaf dan minum khamr. Sesudah itu, tertangkap. Menurut teori ini hukumannya hanya satu, yaitu 80 (delapan puluh) kali jilid. Alasannya karena jenis dan tujuannya sama.
63
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam, 117
59
Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, hukuman mati itu menyerap semua hukuman. Demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami dulu, baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu persatu. 64
64
Abdul qadir audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, 257