MENELUSURI MAKNA DI BALIK FENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT
Editor: Kustini
KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN JAKARTA, 2013
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
menelusuri makna di balik fenomena perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 …… Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI xxvi + 436 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN : 978-979-797-353-7 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, Nopember 2013
MENELUSURI MAKNA DI BALIK FENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT
Editor: Kustini Desain cover dan Lay out, oleh: Zabidi
Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012. Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut: 1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. 2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama. 3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di
Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat. 4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal. 5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang Keagamaan. 6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di Berbagai Komunitas Agama.
iii
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia. 8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini. 2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan. 3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman. 4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. 5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.
iv
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2013 Kepala, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002
v
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
vi
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI
F
enomena perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat merupakan dua hal yang sampai saat ini masih merupakan problem di masyarakat sekaligus problem bagi aparat Kementerian Agama khususnya di Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan. Bagi masyarakat, kedua fenomena perkawinan itu menjadi problem karena menimbulkan dampak yang sangat kompleks antara lain rapuhnya kehidupan keluarga sehingga rentan terjadi perceraian, tidak terjaminnya kehidupan anak baik dari sisi hukum maupun fisik dan kesehatan, serta terabaikannya hak-hak dan masa depan perempuan sebagai istri. Bagi Kementerian Agama, dua fenomena perkawinan tersebut mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 Ayat 1 terkait dengan pencatatan perkawinan dan Pasal 17 Ayat 1 terkait batasan usia nikah. Penelitian tentang perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat menjadi penting dilakukan. Bagi Kementerian Agama, dalam hal ini Ditjen Bimas Islam, kehidupan keluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan salah satu indikator bagi kesejahteraan dan kedamaian di masyarakat melalui vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
pembentukan keluarga sakinah. Prinsip-prinsip kehidupan perkawinan yang sakinah seperti saling menghargai antar anggota keluarga, terpenuhi kebutuhan ekonomi, dan terjaminnya masa depan anak, menjadi sulit tercapai jika pasangan itu melakukan nikah di usia belia, atau nikah secara tidak tercatat. Kami menyambut baik hasil penelitian ini yang dirangkum dalam sebuah buku berjudul Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, dengan beberapa harapan: Pertama, mampu mengungkapkan fenomena perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat secara mendalam. Meski penelitian ini dilakukan dengan pendekata kualitatif melalui studi kasus, yang berarti tidak menyajikan data kuantitatif, tetapi dengan temuan kasus-kasus di lapangan diharapkan mampu mengungkapkan hal-hal yang selama ini terlihat masih terselubung. Kedua, kami berharap bahwa hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi Ditjen Bimas Islam, dalam hal ini Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, dalam menyiapkan rumusan kebijakan terkait pencatatan perkawinan maupun pembentukan keluarga sakinah. Rumusan kebijakan tersebut diharapkan dapat menegaskan kembali tugas Kantor Urusan Agama di kecamatan untuk menghindari atau menimimalisir terjadinya dua fenomena perkawinan tersebut.
viii
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
Terima kasih kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai penanggung jawab kegiatan penelitian ini. Terima kasih kepada tim peneliti yang telah merumuskan desain penelitian, mengumpulkan data lapangan, serta menganalisis hasilnya sehingga tersaji dalam buku ini. Terima kasih kepada Sdr. Kustini sebagai editor yang menata kembali tulisan dari para peneliti sehingga menjadi sebuah buku yang layak baca. Akhirnya, kami berharap bahwa buku ini menjadi salah satu referensi bagi berbagai fihak, baik individu maupun lembaga, yang memiliki perhatian terkait dengan masalah kehidupan keluarga dan perkawinan. Semoga Allah swt mencatat upaya ini sabagai bagian dari usaha bersama menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Amin.
Jakarta, November 2013 Pgs. Kepala, Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Machasin, M. A. NIP. 19561013 198103 1 003
ix
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
x
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
PROLOG PROBLEM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN TIDAK TERCATAT (Sebuah Upaya Pencegahan) Oleh: Dr. Sururin1
T
ujuan pernikahan secara jelas dijabarkan dalam alQur’an dan hadits Nabi, yaitu menciptakan ketenangan jiwa bagi suami dan isteri (QS. Al-Rum: 21); untuk menyalurkan kebutuhan biologis sesuai dengan syariat Islam dan melahirkan generasi yang lebih berkualitas (QS. Al-nisa: 1); menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan diri. (H.R. Bukhari dan Muslim); dan pendewasaan diri bagi pasangan suami isteri. Untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut, maka dibutuhkan persiapan yang matang bagi calon suami dan istri yang hendak membina keluarga. Landasan teologis inilah yang mendasari landasan yuridis formal UU No 1 tahun 1974 yang dirinci dengan pelbagai pasal-pasalnya dan kompilasi hukum Islam. UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 menyebutkan bahwa “Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam bahasa lain, tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah dan maslahah. Sakinah 1
Dr. Sururin, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi PP Fatayat NU.
xi
Prolog
adalah ketenangan jiwa, untuk mewujudkannya harus terpenuhi mawaddah wa rahmah. Mawaddah adalah saling mengingatkan untuk kebaikan (nasikhah), adanya cinta bergelora (mahabbah), dan saling komunikasi (as-shilah). Sementara rahmah adalah memberikan rasa kasih sayang dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Kebahagian semakin sempurna tatkala keluarga yang dibentuk mampu mewujudkan keluarga maslahah. Keluarga Maslahah adalah keluarga yang bermanfaat bagi diri sendiri, pasangan, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Untuk mewujudkan tujuan pernikahan tersebut, pemerintah menetapkan beberapa aturan, antara lain perkawinan harus dicatat dan melarang perkawinan di bawah umur. Hal ini merupakan upaya Negara untuk melindungi institusi perkawinan dari penyalahgunaan perkawinan yang dapat merusak institusi keluarga. Sayang sekali aturan ini menghadapi kendala serius di lapangan, baik terkait dengan aturan pendukungnya, kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, serta pemahaman agama. Keberadaan aturan atas batas usia minimal calon pengantin dan keharusan mencatat perkawinan, namun tidak disertai kemudahan akses dan sanksi bagi pelanggarnya, pada akhirnya menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Kondisi masyarakat dengan pola relasi gender yang timpang, mengakibatkan perempuan mengalami dampak yang lebih rentan dari dua jenis perkawinan tersebut. Problem perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat merupakan masalah klasik dalam masyarakat Islam, bahkan kedua bentuk pernikahan itu telah dipraktekkan oleh umat Islam semenjak datangnya agama Islam. Namun kedua
xii
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
bentuk pernikahan ini di zaman modern didistorsikan oleh umat Islam itu sendiri dengan dasar mencontoh Rasulullah saw ketika menikah dengan Siti Aisyah ra, yang masih di bawah umur dan tidak dicatat. Buku ini merupakan hasil penelitian mengenai perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat di 7 (tujuh) propinsi yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan. Ketujuh wilayah ini dijadikan sampel populasi karena di daerah tersebut diduga banyak anggota masyarakat yang melaksanakan perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat. Sebagai upaya penelitian tentu saja terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai antara lain untuk menjelaskan hal-hal yang melatari masyarakat melakukan kedua bentuk perkawinan tersebut, serta mengungkap problematika dan dampak sosial, hukum, ekonomi dan kesehatan reproduksi bagi pasangan kedua bentuk perkawinan tersebut. Selain itu yang lebih urgen yaitu mengungkap upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya dua bentuk perkawinan tersebut di kalangan masyarakat. Hasil penelitian dalam buku ini menyajikan fakta mengenai problematika dan dampak sosial, hukum dan ekonomi serta kesehatan reproduksi bagi pasangan kedua bentuk perkawinan tersebut. Adapun problem yang sering muncul dari perkawinan di bawah umur adalah kurangnya keharmonisan rumah tangga sebagai akibat konflik karena sikap dari pasangan yang belum dewasa, apalagi ketika perkawinan dilakukan karena perempuannya hamil terlebih dahulu. Sedangkan perkawinan tidak tercatat yaitu sulitnya
xiii
Prolog
mendapat pengesahan status anak, karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah di sebut anak di luar kawin yang pada gilirannya akan sulit mendapatkan surat akte kelahiran dan pengurusan harta waris di pengadilan. Perkawinan yang tidak tercatat dan perkawinan di bawah umur menimbulkan kesulitan tersendiri bagi perempuan dan anak yang dilahirkannya. Nur Rofiah dan Kustini mengungkapkan berbagai kesulitan dan dampak buruk yang ditimbulkan, antara lain: hilangnya masa anak yang ceria bagi perempuan yang kawin di bawah umur, karena mereka dikondisikan untuk menjalani kehidupan orang dewasa. Sementara kedudukan perempuan sebagai istri dalam perkawinan tidak tercatat menjadi tidak diakui oleh Negara, akibatnya anak yang dilahirkan menjadi tidak diakui sebagai anak ayahnya. Implikasi lainnya, suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, berbagi harta gono gini, mewariskan dan implikasi hukum lainnya. Perempuan yang kawin tidak tercatat dan di bawah umur telah dilemahkan dalam tahap kehidupannya, khususnya terkait dengan hakhak reproduksinya. Dalam posisinya sebagai istri, dalam beberapa kasus ketika perkawinan dan keluarga yang dibangun tidak diawali dengan keinginan dan cinta dari pasangan, maka selama perkawinan tersebut ia harus berhubungan seksual dengan lelaki yang tidak dikehendakinya, tidak terlibat dalam memutuskan kapan dan berapa kali ia akan hamil/melahirkan. Dalam posisinya sebagai ibu, perempuan yang kawin di bawah umur menyebabkan perempuan kurang pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam mendidik putra-putrinya. Tidak cukup pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki akan memberikan dampak tersendiri tatkala sewaktu-waktu ia
xiv
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
dituntut untuk berperan sebagai kepala keluarga. Pada sisi lain, Negara memandang bahwa persoalan tersebut adalah persoalan perempuan, bukan persoalan Negara, Akibat lebih lanjut adalah rapuhnya fondasi perkawinan, sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas jauh dari kenyataan. Setiap bab dalam buku ini menyajikan pandangan masyarakat mengenai kedua perkawinan tersebut dan gambaran mengenai peran KUA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih banyak yang belum menyadari pentingnya pencatatan perkawinan. Mereka baru menyadari pentingnya buku (akte) nikah pada saat bersentuhan dengan persyaratan administrasi yang harus menyertakan dokumen tersebut. Sebagai contoh, saat mendaftarkan anak di sekolah dibutuhkan akte lahir, sementara untuk memperoleh akte lahir dibutuhkan akte nikah orang tuanya. Pada sisi lain, kasus yang terjadi pada perkawinan di bawah umur sebagian besar juga tidak tercatat. Hasil penelitian juga memaparkan masih ditemukannya oknum aparat yang “nakal” dengan memanipulasi data usia calon pengantin sehingga memenuhi persyaratan yang ditetapkan undang-undang. Pandangan tokoh agama terkait kedua macam perkawinan tersebut juga menunjukkan pandangan yang berbeda. Dalam beberapa kasus masih dijumpai tokoh agama yang mempunyai anggapan bahwa pencatatan perkawinan itu tidak penting, dan berpandangan bahwa pencatatan tersebut tidak pernah disyaratkan oleh ulama manapun. Sebaliknya, sebagian ulama lainnya menganggap mencatat perkawinan sebagai ikhtiyar positif dan menyayangkan tokoh agama yang menikahkan orang tanpa dicatat. Paparan tersebut
xv
Prolog
menggambarkan pandangan tokoh agama beragam, sehingga dibutuhkan berbagai upaya untuk merubah pandangan yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sebagai gambaran mengenai peran KUA, data di lapangan menunjukkan bahwa berbagai kegiatan telah digelar dalam rangka implementasi Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hasil penelitian di Tangerang Banten menunjukkan bahwa sosialisasi dilakukan melalui forum pengajian, hajatan, kenduri, dan tahlilan. Hampir semua KUA melaksanakan kegiatan “Isbat Nikah” untuk mengesahkan perkawinan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Penjelasan dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan belum terlihat kerjasama lintas sektor dan melibatkan stakeholder terkait. Pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah tradisi dan praktek kedua perkawinan tersebut bisa dihapuskan atau paling tidak diminimalisir?, karena hampir 40 tahun semenjak hadirnya UU No 1 tahun 1974 kasus perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat masih banyak dijumpai dalam masyarakat. Pentingnya buku ini terletak pada temuan fakta yang nampak paradok. Teori yang dikedepankan dalam penelitian ini adalah dampak kesehatan reproduksi yang diakibatkan perkawinan di bawah umur, akan tetapi temuan di lapangan, seperti di Kabupaten Tangerang Banten, tidak ada masalah terkait kesehatan reproduksi bagi pasangan yang kawin di bawah umur. Pendapat yang berbeda juga dijumpai pada pandangan tokoh agama. Satu sisi tokoh agama menolak perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat. Akan tetapi,
xvi
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
pada sisi lain masih dijumpai tokoh agama yang membolehkan, bahkan meng-akadkan dan mengesahkan perkawinan yang tidak tercatat dan di bawah umur. Sementara, dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat beberapa criteria usia anak. Menurut UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa batas usia anak adalah usia 18 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Usia 18 tahun juga diadopsi untuk UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi, UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No 03 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, serta UU No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, usia 18 tahun untuk menghadap dan untuk saksi. Sementara UU Pemilu No 8 tahun 2013 menyebut usia 17 tahun atau sudah kawin yang mempunyai hak pilih. Usia 17 tahun juga ditetapkan dalam UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk. Sementara menurut KUH Perdata, yang sudah tidak dianggap anak adalah usia 21 tahun atau sudah menikah. Tidak adanya satu kata dalam menetapkan kriteria anak (di bawah umur) menjadi persoalan tersendiri, karena menurut UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7, usia yang diijinkan kawin untuk laki-laki 19 tahun, sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Sebenarnya dalam pasal 50 pada UU yang sama menyebutkan bahwa sebelum usia 18 tahun, anak berada di bawah kekuasaan wali. Yang jelas, zaman telah berubah, maka perlu dilakukan revisi terkait usia menikah baik untuk lakilaki dan perempuan.
xvii
Prolog
Tradisi dan adat kebiasaan masyarakat yang mendukung dilakukan kawin di bawah umur dan tidak mencatatkan perkawinan perlu ditata kembali, sehingga tidak menimbulkan masalah dan terjadi kontradiksi antara adat istiadat/tradisi dan aturan perundangan yang berlaku. Tidak adanya sanksi bagi yang melanggar undangundang yang hingga sekarang masih berlaku, membuat orang tidak merasa bersalah melakukan praktek kawin di bawah umur dan tidak mencatatkan perkawinannya. Denda yang dikenakan bagi orang yang melanggar sama sekali tidak memberikan efek jera. Akan tepat apabila yang orang yang melanggar UU tersebut diberikan sanksi denda Rp 750.000.000,-. Yang tidak kalah penting dalam mewujudkan tujuan perkawinan adalah mempersiapkan diri bagi pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, baik persiapan fisik, mental, emosi, sosial, ekonomi serta agama yang kuat. Di samping itu perlu memberikan bekal yang cukup bagi para calon pengantin yang akan membentuk keluarga. Dengan demikian pembekalan bagi pasangan calon pengantin menjadi wajib untuk dilakukan, termasuk diantaranya diberikan informasi seputar perundangan yang berlaku di Indonesia. Kerjasama lintas sektor dan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat dibutuhkan guna mewujudkan tujuan perkawinan yang mulia sebagaimana tersebut di awal tulisan ini. Ihtiyar lain yang dilakukan antara lain dengan kawin cukup umur dan tercatat oleh Petugas Pencatat Nikah. Buku ini merupakan kontribusi dari para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia untuk meninjau
xviii
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
kembali perundangan yang telah berjalan serta kebijakan yang telah ditetapkan untuk mewujudkan Negara yang berkualitas. Negara yang berkualitas berangkat dari masyarakat yang berkualitas. Masyarakat berkualitas berasal dari keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah serta maslahah. Ciputat, 15 Oktober 2013
xix
Prolog
xx
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
PRAKATA EDITOR oleh: Kustini
U
ndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diberlakukan sejak 39 tahun yang lalu. Idealya karena telah berlaku sejak 39 tahu yang lalu, sebagian besar isi perundangan tersebut telah sangat dipahami oleh masyarakat, dan telah dipatuhi. Bahkan sebagian kelompok masyarakat, khususnya aktivis perempuan, telah mengajukan usulan agar Undang-undang tersebut segera direvisi karena dianggap out of date dan dalam beberapa hal dilnilai tidak (lagi) sesuai denga kondisi saat ini1. Paradoks dengan pandangan di atas, ternyata ada sebagian dari Undang-undang tersebut yang masih tidak (belum) ditaati khususnya terkait dengan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat.
1 Salah satu lembaga yang mengusulkan revisi terhadap UU Nomor 1 tahun 1974 adalah Komnas Perempuan. Menurut komisi ini, perubahan Undang-undang tersebut masih dalam proses pembahasan. Pengesahan perubahan UU Perkawinan adalah salah satu agenda legislasi nasional 2010-2014. Naskah perubahan disusun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan telah didiskusikan dengan kementerian lain yang terkait, masyarakat sipil dan Komnas Perempuan. Pemahaman yang terbatas pengambil kebijakan mengenai tanggungjawab negara, langkah atas diberlakukannya kebijakan afirmasi, dan keadilan gender adalah hambatan utama dalam memajukan perubahan UU Perkawinan (Laporan Independen Komnas Perempuan , 2011). Dalam berbagai seminar dan diskusi sudah sering diungkapkan perlunya perubahan UU Nomor 1 taun 1974 sehingga menjadi sebuah peraturan yang lebih responsive gender (lihat rekomendasi Seminar Sehari Tentang Strategi Mengatasi Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Dicatat tahun 2012 kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan Alimat)
xxi
Pengantar Editor
Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat merupakan dua hal yang sampai saat ini diakui sebagai salah satu kendala yang ditemui terkait dengan pencatatan peristiwa perkawinan di KUA Meski faktanya tidak terbantahkan bahwa terjadi perkawinan tidak tercatat dan perkawinan di bawah umur, tetapi ketika dicari jumlah yang pasti, maka tidak mudah juga untuk menemukan jawaban yang menampilkan data kuantitaif. Penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang hasilnya dirangkum dalam buku berjudul Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, merupakan salah satu upaya Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam rangka mengumpulkan data dan menyajikan informasi sebagai bahan bagi pimpinan terkait dengan pembinaan atau pemberdayaan kehidupan keluarga. Jika dikaitkan denan tugas dan fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagaimana tertaunag dalam Peratururan Menteri Agama Nomor 10 tahun 2010, penelitian ini dikatorikan sebagai bagian dari kegiatan bidan kajian “Pelayanan Keagamaan”. Oleh karena itu hasilnya diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pembuat kebijakan yang secara langsung member pelayanan bagi kehdupan keluarga pada komunitas muslim yaitu Direktorat Urusan Agama Isam dan Pembinaan Syariah. Dengan berbagai pertimbangan metodologis yang ditetapkan peneliti serta ketersediaan sumber daya dan anggaran yang dimiliki Puslitbang Kehidupan Keagamaan, peneltian ini telah menetapkan tujuh provinsi sebagai lokasi penelitian. Tujuh provinsi dimaksud adalah Jawa Barat
xxii
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
(Cianjur dan Indramayu), Jawa Tegah (Brebes), Jawa Timur (Bangkalan dan Trenggalek), Daerah Istimewa Yogyakardi ini dilakukan di Tim peneliti terdiri atas peneliti-peneliti Puslitbag Kehidupan Keagamata, Kalimanta Selatan, serta Provinsi Nusa Tenggara Barpa literature diketahui bahwa wilayah tersebut memiliki banyak problem keluarga khususnya terkait dengan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat. Menarik untuk disimak bahwa sebagian wilayah yang diteliti adalah wilayah pengirim buruh migran khususnya migran perempuan, antara lain Provinsi Jawa Barat meliputi Kabupaten Cianjur, Indamayu, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah. Meski penelitian ini secara khusus melihat pengaruh buruh migran perempuan terhadapi. kehidupan perkawinan dan keluarga, tetapi bisa dianalisis bahwa ketika istri tidak di rumah, maka kehidupan keluarga menjadi tidak utuh sehingga banyak terjadi peceraian yang tidak melalui Pengadilan Agama. Jika kemudian menikah lagi, maka pernikahan itu dilakukan tidak tercatat karena tidak memiliki akta pula. Kaitan antara migrasi internasional dengan rentannya kehidupan keluarga dijelaskan oleh Robert O. Blood (1997) bahwa migrasi internasional membawa dampak yang lebih buruk bagi keluarga karena melemahnya hubungan antar anggota keluarga. Meski pada saat ini sarana untuk komunikasi sangat mudah, khususnya melalui handphone, tetapi kesulitan yang dialami perempuan di tempat kerjanya yang baru seringkali berpengaruh pada pola komunikasi dengan kerabat di kampung halaman. Salah satu masalah yang dihadapi para buruh migrant tersebut, menurut Blood, adalah masalah bahasa.
xxiii
Pengantar Editor
Meski hasil penelitian ini tidak secara menyeluruh rmenyajikan data kuantitatif, tatapi telah berhasil menemukan pola atau model peristiwa-peristiwa perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat. Hal ini sejalan dengan pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif sehingga bukan jumlah data yang dipentingkan, tetapi kedalaman dan kekhasan dari masing-masing fenomena terkait dengan permasalahan penelitin. Kesulitan para peneliti untuk mengajikan temuan data yang bersifat kuantitatif menjadi mudah difahami karena peristiwa kawin tidak teratat maupun di bawah umur merupakan sesuatu yang tersembunyi. Terima kasih kepada Kepala Badn Litbang dan Diklat serta Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah menanamkan kebijakan untuk melakukan penelitian terkait dengan permasalahan keluarga. Terima kasih kepada para peneliti atas kerja akademiknya dalam menggali dan menyajikan data tentang perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat. Akhirnya, hanya kepada Allah kami berserah diri dan berharap penerbitan buku ini tercatat sebagai sebuah amal baik. Amin
Jakarta, November 2013 Kustini
xxiv
Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan ...
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan .... Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI …………………………………………………………… Prolog oleh: Dr. Hj. Sururin …………………………..................... Prakata Editor oleh: Dr. Hj. Kustini, M.Si. ………………………. DAFTAR ISI ....................................................................................... BAG. 1
BAG. 2
BAG. 3
iii vii xi xxi xxv
RELEVANSI PENELITIAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT: SEBUAH PENGANTAR Oleh: Kustini ……………………………………….........
1
DINAMIKA SOSIAL BUDAYA DAN PROBLEM PENCATATAN PERKAWINAN DI KABUPATEN TANGERANG BANTEN Oleh: Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas ………………..
21
PELAKSANAAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN INDRAMAYU JAWA BARAT Oleh: Muchith A. Karim dan Selamet ...........................
63 BAG. 4
PROBLEM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH Oleh: Muchtar dan Agus Mulyono ..............................
129
xxv
Daftar Isi
BAG. 5
BAG. 6
BAG. 7
BAG. 8
BAG. 9
BAG. 10
xxvi
38 TAHUN UU PERKAWINAN: FENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT Oleh: Nur Rofiah dan Kustini .......................................
159
MENELISIK PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Koeswinarno dan Fakhruddin M ……………..
219
POTRET PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA: Perkawinan Di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat Di Kab. Bangkalan Madura Oleh: Zaenal Abidin dan Sri Hidayati………………..
257
FENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR Oleh: Ah. Azharudin Lathif dan Muchit A. Karim….
285
PEREMPUAN DALAM BALUTAN PERKAWINAN YANG TIDAK BERPIHAK: Studi Kritis terhadap Problematika dan Dampak Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Nusa Tenggara Barat Oleh: Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah DF …... PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN BALANGAN DAN AMUNTAI KALIMANTAN SELATAN Oleh: Fauziah ................................................................
337
407
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
BAGIAN
1
RELEVANSI PENELITIAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT: SEBUAH PENGANTAR Oleh: Kustini
1
Kustini
2
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang:
P
erkawinan merupakan langkah awal untuk membentuk sebuah keluarga. Hampir di semua kelompok masyarakat, perkawinan tidak hanya merupakan masalah individu, antara seorang laki-laki dan perempuan, yang telah sepakat untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga. Perkawinan merupakan perpaduan antara banyak aspek, yaitu nilai budaya, agama, hukum, tradisi, ekonomi dan lain-lain. Perbedaan budaya dalam satu masyarakat menyebabkan proses perkawinan serta pemilihan pasangan akan berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hampir di setiap agama memiliki aturan tentang perkawinan. Dalam agama Islam, ada aturan ketika perkawinan tidak lagi bisa dilanjutkan, maka bisa melalui ‚pintu darurat‛ yaitu perceraian. Sementara dalam agama lain, seperti Kristen atau Katolik, perceraian adalah sesuatu yang terlarang, meski dalam kenyataan tetap saja ada perceraian yang secara administratif disahkan oleh Kantor Catatan Sipil. Dalam rangka mengatur dan memberi rambu-rambu tentang perkawinan, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bab I Dasar Perkawinan, Pasal 1 menyebutkan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal tersebut secara
3
Kustini
jelas mengungkapkan nilai-nilai luhur sebuah perkawinan karena menyangkut hak yang paling dalam yaitu ikalan lahir batin. Perkawinan, berdasarkan Undang-undang tersebut mengandung nilai-nilai spiritual karena mengacu kepada Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian, dalam administrasi tata pemerintahan Republik Indonesia, ikatan lahir batin saja tidak cukup untuk mengekalkan perkawinan dan menjamin hak-hak suami istri untuk terpenuhi. Diperlukan catatan formal administratif yang memperkuat pelaksanaan perkawinan. Hal itu diungkapkan pada Pasal 2 Ayat 2 yang menyatakan bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Sementara nilai-nilai sacral sebuah perkawinan tertera dalam Pasal 2 Ayat 1 yang menyebutkan: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk melayani pencatatan perkawinan, Pemerintah secara khusus telah menyediakan kantor pelayanan. Untuk pencatatan perkawinan bagi umat Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Sementara untuk pemeluk agama non Islam, pencatatan perkawinan dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil yang ada di setiap kabupaten/kota. Sebagai implementasi dari UndangUndang tersebut, Pemerintah telah menyediakan berbagai peraturan lainnya khususnya terkait dengan pencatatan nikah maupun biaya pencatatannya. Hal lain yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan adalah persoalan usia pernikahan, khususnya batas usia minimal bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat memenuhi syarat melakukan pernikahan. Ketetapan batas
4
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
minimal yang termaktub dalam pasal 7 ayat (1) UU No 1/1974 adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Penetapan usia minimal ini diyakini dapat menjadi salah satu faktor ketahanan rumah tangga, karena semakin dewasa calon pengantin maka semakin matang kondisi fisik dan mental seseorang dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Peraturan perundangan tentang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berlaku selama 39 tahun. Waktu yang cukup lama untuk melakukan sosialisasi serta mengevaluasi pelaksanaan Undang-undang tersebut di masyarakat. Jika sosialisasi dilakukan dengan efektif serta sarana dan prasarana disiapkan untuk pelaksanaan UndangUndang tersebut, maka seyogyanya pelaksanaan undangundang telah berjalan baik. Dalam kenyataan, saat ini banyak pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan undangundang setidaknya dilihat dari dua hal. Pertama, perkawinan yang tidak dicatat oleh petugas pencatat nikah. Kedua, perkawinan yang usia calon pengantin tidak (belum) sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan karena belum berusia 16 tahun untuk perempuan, dan belum berusia 19 tahun untuk laki-laki. Laporan Komnas Perempuan kepada CEDAW, bahwa selama dua tahun terakhir, Komnas perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Perempuan yang perkawinannya dilakukan secara adat, nikah sirri/nikah sembunyi, dan karenanya tidak memiliki surat bukti perkawinan. Dengan begitu perempuan tidak memiliki kekuatan dalam menyoal sikap suami untuk menikah lagi atau suami menelantarkan keluarga, dan tidak memperoleh hak yang sama dalam pemutusan perkawinan, termasuk pada harta bersama dan dukungan pengasuhan
5
Kustini
anak.1 Perkawinan yang tidak dicatatkan juga memiliki dampak diskriminasi pada anak, akte kelahiran mereka hanya dicantumkan nama ibunya sehingga menanggung stigma sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang dapat berlanjut pada berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, termasuk dalam hal kesempatan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan. Fenomena tentang perkawinan tidak tercatat dan perkawinan di bawah umur merupakan hal penting untuk menjadi bahan kajian. Penting karena menjadi sesuatu yang sangat ‚mencengangkan‛ bahwa di usia yang hampir 40 tahun ternyata pelaksanaan UU tersebut masih menemui banyak kendala. Sementara itu, data kuantitatif tentang dua hal dalam masalah perkawinan itu sulit untuk dicari. Karena itu Puslitbang Kehidupan Keagamaan merasa terpanggil melakukan kajian tentang perkawinan tidak tercatat dan perkawinan di bawah umur. B. Pertanyaan Penelitian Penelitian yang dilaksanakan tim peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan difokuskan untuk menjawab lima pertanyaan pokok 1. Bagaimana pasangan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat dalam memaknai perkawinannya? 2. Bagaimana problematika dan dampak sosial, hukum, ekonomi dan kesehatan reproduksi bagi pasangan kedua bentuk perkawinan tersebut? 1
6
Komnas Perempuan, Laporan Kepada CEDAW Point 63-64.
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
3. Apa yang menjadi penyebab terjadinya kedua bentuk perkawinan tersebut? 4. Bagaimana respon masyarakat, ulama dan pemerintah terhadap terjadinya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat? 5. Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam menanggulangi terjadinya dua bentuk perkawinan tersebut di kalangan masyarakat? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui makna perkawinan bagi pasangan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat. 2. Mengetahui problematika dan dampak sosial, hukum, ekonomi dan kesehatan reproduksi bagi pasangan kedua bentuk perkawinan tersebut. 3. Mengungkap hal-hal yang melatari masyarakat melakukan kedua bentuk perkawinan tersebut. 4. Mengetahui respon masyarakat, ulama dan pemerintah atas terjadinya Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat. 5. Mengungkap upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya dua bentuk perkawinan itu di kalangan masyarakat. D. Kegunanan Penelitian Penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah penelitian kebijakan (policy research). Oleh
7
Kustini
karena itu diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pembuat kebijakan khususnya bagi: 1. Kementerian Agama RI, baik di Pusat sampai ke tingkat kecamatan yaitu (Kantor Urusan Agama) dalam merumuskan kebijakan pembimbingan dan pelaksanaan perkawinan agar terlaksana perkawinan yang sesuai dengan peraturan perudangan. 2. Instansi terkait antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, serta pemerintah daerah. 3. Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberi perhatian pada issu tentang perkawinan, keluarga, atau perkawinan seperti Komnas Perempuan, serta para pakar pemerhati hukum Islam terutama bidang perkawinan. E. Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang perlu dipahami yaitu pelaksanaan Undang Undang Perkawinan, Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan tidak Tercatat di KUA. Secara konseptual istilah tersebut belum banyak diketahui oleh karena itu pengertian dan batasan masingmasing istilah itu perlu terlebih dahulu diperjelas guna menghindari kesalahpahaman terhadap pengertian dan batasan konsep tersebut: 1. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Pelaksanaan berasal dari kata laksana yang mengandung arti melakukan, menjalankan, mengerjakan mempraktekan, kata laksana mendapat awalan ‛pe‛, dan akhiran ‛an‛
8
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
berarti usaha melaksanakan rancangan dan meninjau pelaksanaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976, 553). 2. Undang-Undang Perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974), serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975) tentang perkawinan yang diundangkan pada tanggal 1 April 1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12 tambahan lembaran Negara RI Tahun 1975 Nomor. 3050). Undang-Undang ini antara lain bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka yang dimaksud pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam penelitian ini adalah usaha melaksanakan atau menerapkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan.. 3. Perkawinan di Bawah Umur Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan). Rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan ini menggambarkan betapa pentingnya suatu perkawinan bukanlah sekedar menciptakan keluarga bahagia dan kekal menurut ukuran duniawi, lahiriah dan materiil, namun suatu perkawinan yang
9
Kustini
mencakup aspek bahagia dan kekal menurut ukuran ukhrawi. Rumusan ini bersifat filosofis, abstrak, mendalam/inner bathiniyah. Tidak mudah memberikan konsep atau konstrak tentang keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut.2 Kontrak keluarga bahagia dan kekal tersebut hanya dapat diperoleh secara tidak langsung dengan mengenal gejalagejala yang berhubungan dengan keluarga tersebut. Karena rumitnya konstrak ini maka sulit pula menentukan variabel-variabel yang secara bulat dan utuh dapat menggambarkan kehidupan keluarga bahagia dan kekal tersebut. Satjipto Rahardjo menilai bahwa rumusan tujuan perkawinan sebagai rumusan hukum paling ‛jelek‛, namun diakui bahwa rumusan itu mengandung antisipasi yang jauh dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks.3 Secara operasional, keluarga bahagia dan kekal yang dicita-citakan oleh Undang-Undang ini adalah perkawinan (a) yang dimulai dari kehendak yang tulus/sadar dari masing-masing calon pengantin, diniatkan sebagai ibadah dengan memenuhi seluruh prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan agama (b) masing-masing pihak telah dewasa, sudah masak jiwa raga (laki-laki 19 tahun, perempuan 16 tahun), (c) tidak bercerai (d) hanya satu suami dan satu istri, (e) dilaksanakan menurut hukum agamanya (f) saling cinta mencintai, tolong menolong
2 3
10
Kuntjaraningrat, Methode-Methode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia 1993, hal 21. Satjipto Rahardjo, Dalam 25 Tahun Undang-Undang Perkawinan, Badan Litbang Agama, Jakarta 2001.
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
saling mengasihi, masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa keluarga bahagia dan kekal yang dicita-citakan Undang-Undang ini diantaranya adalah masing-masing calon suami istri telah dewasa, sudah matang jiwa raga (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan). Karena semakin dewasa calon pengantin, semakin matang fisik dan mantap jiwa mental seseorang dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Dengan begitu perkawinan yang dilakukan calon pengantin di bawah usia disebut sebagai perkawinan di bawah umur. Dengan demikian yang dimaksud perkawinan di bawah umur dalam penelitian ini adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang belum memenuhi syarat sesuai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu bagi laki-laki kurang dari usia 19 tahun dan perempuan belum mencapai usia 16 tahun. Pernikahan ini bisa dilakukan di bawah tangan atau dicatatkan ke KUA namun dengan ‛memalsukan‛, usia atau meminta izin dispensasi ke Kantor Pengadilan Agama setempat. 4. Perkawinan yang Tidak Tercatat di Kantor Urusan Agama. Keberadaan Kantor Urusan Agama amat penting bagi umat Islam. Sebab ia adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan yang terjadi di kalangan umat Islam. Artinya, ia ada bukan semata-mata pemenuhan tuntutan birokrasi tetapi secara substansial bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan kewajiban berkenaan dengan pengabsahan sebuah perkawinan. Dalam konteks seperti
11
Kustini
itu, seorang Pegawai Pencatat Nikah dituntut untuk betulbetul menguasai tugasnya. Ini hanya bisa dilakukan apabila yang bersangkutan mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan seorang Pegawai Pencatat Nikah kemampuan birokrasi yang baik dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman (hukum Islam) secara baik pula. Menurut Undang-Undang ini sahnya suatu perkawinan diukur dengan terpenuhinya ketentuanketentuan hukum agama yang dipeluk para calon pengantin. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan itu adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedang pencatatan perkawinan sendiri bersifat administratif. Suatu perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan di KUA mengurangi sahnya suatu perkawinan.4 Namun perlu diketahui bahwa terpenuhinya syarat-syarat perkawinan perlu penilaian-penilaian oleh pejabat yang berwenang. Pencatatan perkawinan merupakan persyaratan administrasi, tidak bedanya dengan pencatatan peristiwa kelahiran dan kematian. Pemenuhan syarat-syarat perkawinan sebagai penjabaran dari ‛dilakukan menurut hukum agama‛ disamping menjadi tanggungjawab calon pengantin (dan masyarakat), juga menjadi tanggungjawab pemerintah. Sehingga selain mencatat, tugas pokok Pegawai Pencatat Nikah (PPN), PPN di Kantor Urusan Agama dan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan. Pembantu Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil, adalah 4
12
Lihat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 214/PI/1988, Tanggal 22 Juli 1991 dan Keputusan Nomor 1073-PID/1994, Tanggal 4 Februari Tahun 1995.
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
meneliti apakah calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki telah memenuhi syarat-syarat agama, syarat-syarat negara untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana ditetapkan oleh hukum agama dan UndangUndang. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di KUA meneliti syarat-syarat dalam perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam.5 Dengan demikian perkawinan yang dilaksanakan di luar ketentuan peraturan di atas, dapat dikatagorikan sebagai perkawinan tidak tercatat di KUA. Dengan demikian yang dimaksud dengan perkawinan tidak tercatat dalam penelitian ini adalah suatu pernikahan antara seorang laki-laki dengan perempuan baik yang telah sah secara agama ataupun tidak, yang tidak dicatatkan/didaftarkan ke lembaga pernikahan (Kantor Urusan Agama setempat) (lihat pasal 10 ayat1 sd.3 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974) Tentang Perkawinan). F. Tinjauan Pustaka Penelitian Pelaksaan Undang-Undang Perkawinan (studi tentang Perkawinan Di bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat yang pernah dilakukan. Berbagai penelitian terkait perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di KUA telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah Pengkajian Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (Studi Kasus Perkawinan Tidak Tercatat, Di bawah Umur dan Perceraian di luar Pengadilan Agama dilaksanakan Puslitbang Kehidupan 5
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Jo UU Nomor 22 Tahun 1946 Jo UU Nomor 32 Tahun 11954.
13
Kustini
Beragama Badan Litbang Agama Tahun 1998/1999). Kajian ini berhasil mengungkap antara lain, bahwa di beberapa wilayah Indonesia secara riil masih banyak perkawinan di bawah umur, hal itu disebabkan belum tertatanya administrasi kependudukan tingkat desa. Masih saja sebagian besar kelahiran di pedesaan tidak tercatat, tidak memiliki akte kelahiran, bahkan data kelahiranpun tidak ada, banyak terjadinya perkawinan di bawah umur juga dapat diakibatkan pemahaman terhadap peraturan perundang terutama UU Perkawinan masih rendah. Sementara perkawinan tidak tercatat di KUA banyak terjadi pada umumnya dilakukan di depan kyai, ulama dan tokoh agama setempat. Masyarakat merasa lebih afdhol, lebih mantap melakukan akad perkawinan di depan Kyai atau tokoh agama lainya dari pada melakukannya di depan PPN. Penelitian ini memiliki kesamaan dalam hal menggali persoalan di sekitar perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di KUA, namun terdapat beberapa perbedaan antara penelitian tentang kajian perkawinan tidak tercatat di bawah umur dan perceraian di luar Pengadilan Agama, tidak menulusuri lebih jauh respon masyarakat, ulama, dan pemerintah serta upaya-upaya yang telah dilakukan dalam menanggulangi terjadinya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di KUA yang masih berkembang di masyarakat Indonesia. Penelitian tentang Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama ini lebih jauh akan menelusuri kedua hal tersebut di atas.
14
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
G. Prosedur Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian dengan judul,‛Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan (Studi Tentang Perkawinan Di bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kantor Urusan Agama)‛ dilakukan menggunakan metode kualitatif, dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat diperoleh informasi dari masyarakat yang dianggap mengetahui perihal terjadinya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama di kalangan masyarakat. Metode kualitatif dalam penelitian ini lebih menekankan kepada peneliti untuk memperhatikan pada proses, peneliti sebagai instrumen pokok pengumpulan dan analisis data sehingga peneliti terlibat langsung dalam kerja lapangan. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus dipilih atas dasar pertimbangan bahwa obyek studinya beragam, berusaha menelusuri dan menghubungkan berbagai variabel yang kemungkinan saling berkaitan, akan tetapi hasil ‛eksplanasinya‛ tidak dapat digeneralisir (Sapaniah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, 2003:22).6 2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 8 (delapan) provinsi yaitu: 1. Jawa Barat (Cianjur dan Indramayu), 2. Jawa Timur (Bangkalan dan Malang), 3. Jawa Tengah (Brebes), 4. (Daerah Istimewa Yogyakarta) Kota Yogyakarta, 6. Kalimantan Selatan (Balangan dan Amuntai), 7. Provinsi 6
Sapaniah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, 2003, hal 22.
15
Kustini
Banten (Tangerang), 8. Nusa Tenggara Barat. Pemilihan lokasi antara lain bahwa diwilayah tersebut diperkirakan banyak terjadi perkawinan di bawah umur seperti terungkap dalam buku Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tahun 2001 (Moh. Zahid, SH) yang menyatakan bahwa di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan serta DKI Jakarta, masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur begitu pula perkawinan tidak tercatat banyak terjadi di wilayah Jawa Timur yang diperkirakan mencapai 18.000 kasus. 4. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah: Perkawinan di bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kantor Urusan Agama. Pada tahap awal penelitian ini akan dilakukan pemilihan subyek penelitian melalui penggalian informasi dari berbagai sumber meliputi perpustakaan, dokumentasi. Studi kepustakaan dilakukan melalui kajian-kajian terhadap buku-buku, laporan penelitian, majalah, surat kabar, dan dokumen lainnya yang relevan terutama dokumen yang berkaitan dengan perkawinan di bawah umur dan perkawinan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama dari Pengadilan Agama Kabupaten/Kota, Kankemenag Kabupaten/Kota, BP4 Kabupaten/KUA Kecamatan serta laporan KUA. Sedangkan penelitian lapangan akan diperoleh informasi dari Kepala Subdit KUA dan Pembinaan Syariah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI. Kepala Subdit Urusan Agama Islam Kanwil Kementerian
16
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
Agama Provinsi, Kasubdit Urusan Agama Islam Kementerian Agama kabupaten/kota serta Kantor Urusan Agama kecamatan. Selain itu informasi diperoleh pula dari Komnas Perempuan, Pemda setempat, Pengadilan Tinggi Agama Provinsi dan Pengadilan Agama Kabupaten/Kota, Camat, Kepala Desa, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Orang Tua dan pelaku kedua bentuk perkawinan tersebut. Untuk menentukan lokasi yang tepat dimintakan petunjuk Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi maupun Kabupaten/Kota. 5. Data Yang Dihimpun. Data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah tentang perkawinan di bawah umur, perkawinan yang tidak tercatat dengan variabel sebagai berikut: a. Gambaran umum daerah penelitian meliputi Geografi dan administrasi pemerintahan; demografi, mata pencaharian serta pendidikan; sosial budaya dan kehidupan keagamaan. b. Perkawinan di bawah Umur meliputi: Masyarakat memaknai perkawinan di bawah umur; jumlah perkawinan usia muda; Problematika yang dihadapi dan dampak sosial, hukum, ekonomi, serta kesehatan. Apa yang melatari terjadinya perkawinan tersebut; proses pelaksanaan perkawinan di bawah umur; dispensasi dari Pengadilan Agama berkaitan dengan umur perkawinan; respon masyarakat; ulama dan pemerintah atas terjadinya perkawinan di bawah
17
Kustini
umur; upaya-upaya yang mereka lakukan dalam menang-gulangi perkawinan di bawah umur; dampak per-kawinan di bawah umur; saran-saran dan cara pemecahannya. c. Perkawinan Tidak Tercatat di KUA meliputi: informasi perkawinan tidak tercatat dan jumlah perkawinan tidak tercatat; masyarakat memaknai perkawinan tidak tercatat, problematika, dan dampak sosial, hukum, ekonomi, dan kesehatan. Apa yang melatari terjadinya perkawinan tidak tercatat; data tentang isbat nikah oleh Pengadilan Agama; respon masyarakat, ulama, dan pemerintah atas terjadinya perkawinan tersebut; dampak perkawinan tidak tercatat terhadap kehidupan anak-anaknya; saran-saran dan cara pemecahannya. 6. Teknik Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara langsung kepada sejumlah informan yang dianggap mengetahui tentang terjadinya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama dan data sekunder diperoleh dari dokumen, literatur, majalah, surat kabar dan surat-surat keputusan baik yang dibuat pemerintah, instansi terkait dan laporan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara dan pengamatan. Studi pustaka dilakukan dengan mengkaji dan menelaah buku-buku, dokumen, naskah hasil penelitian dan tulisan yang terkait dengan masalah yang dikaji. Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang dianggap banyak mengetahui permasalahan yang
18
Relevansi Penelitian Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat: ...
dikaji, dengan menggunakan pedoman wawancara. Pedoman wawancara disusun sebelum wawancara dilakukan dengan mengacu kepada tujuan studi (Ida Bagus Mantra, 2004:86). Untuk memperoleh informasi secara mendalam sesuai kebutuhan data yang dikumpulkan, peneliti mengembangkan sendiri pedoman wawancara tersebut. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap obyek-obyek tertentu untuk memperkaya data terkait. Data yang berhasil dikumpulkan, diperiksa keabsahannya melalui teknik trianggulasi. 7. Analisa Data Secara garis besar, dalam proses analisis data ditempuh cara pengorgani-sasian data melalui pengumpulan catatan lapangan, komentar peneliti, dokumen, laporan, artikel dan sebagainya untuk dideskripsikan sesuai kontek masalah, diinterpretasi untuk memperoleh pengertian baru sebagai bahan temuan. G. Jadwal Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian tentang Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan tidak Tercatat di Kantor Urusan Agama adalah Tim peneliti yang ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Kegiatan diselenggarakan pada bulan Maret s.d. November 2012.
19
Kustini
20
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
BAGIAN
2
DINAMIKA SOSIAL BUDAYA DAN PROBLEM PENCATATAN PERKAWINAN DI KABUPATEN TANGERANG BANTEN Oleh: Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
21
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
22
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
BAB I GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG
K
abupaten Tangerang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Banten dengan ibu kota Tigaraksa. Kabupaten ini terletak tepat di sebelah barat Jakarta; berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Provinsi DKI Jakarta di timur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di selatan, serta Kabupaten Serang di barat. Kabupaten Tangerang merupakan wilayah perkembangan Jakarta. Secara umum Kabupaten Tangerang dapat dikelompokkan menjadi dua wilayah pertumbuhan. Pertama, pusat pertumbuhan Balaraja dan Tigaraksa yang berada di bagian barat. Wilayah itu difokuskan sebagai daerah sentra industri, permukiman, dan pusat pemerintahan. Kedua, pusat pertumbuhan Teluk Naga, berada di wilayah pesisir, mengedepankan industri pariwisata alam dan bahari, industri maritim, perikanan, pertambakan, dan pelabuhan. Sebagian penduduk Kabupaten Tangerang bekerja di Jakarta. Beberapa perumahan memiliki fasilitas yang lengkap, sehingga menjadi kota mandiri. Gerak pembangunan menuju masyarakat modern sangat dirasakan masyarakat Kab. Tangerang, saat ini pembangunan infra struktur banyak digalakkan seperti pembangunan jalan desa, irigasi, jembatan, gedung sekolah, puskesmas, dan kantor-kantor pemerintah. Kabupaten Tangerang terdiri atas 29 kecamatan, yang dibagi lagi atas 251 desa dan 28 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Tigaraksa. Jumlah
23
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
penduduk Kab. Tangerang berdasarkan data tahun 2010 adalah sebanyak 1.798.601 orang. Masyarakat Kabupaten Tangerang termasuk masyarakat yang religius, mayoritas muslim yang menjalankan ajaran agama dengan baik, mereka sangat menghormati simbol-simbol keagamaan, di tengah masyarakat para kyai atau ulama memiliki peran yang strategis baik sebagai pemimpin agama maupun sosial kemasyarakatan. Di samping pemeluk agama Islam yang merupakan mayoritas, juga terdapat pemeluk agama lainnya yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sebagaimana umumnya daerah-daerah di Indonesia Kabupaten Tangerang juga multietnis. Namun demikian, meski terdiri dari berbagai agama dan etnis masyarakat dapat menjalankan agama dengan baik karena tingkat toleransi masyarakat yang tinggi.
24
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
BAB II TEMUAN DAN ANALISIS A. Perkawinan di Kabupaten Tangerang
P
erkawinan yang dilakukan masyarakat muslim di Kab. Tangerang kini banyak dilakukan dengan mencatatkannya di KUA. Berdasarkan data yang ada, angka perkawinan terus menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan (mencatatkan) perkawinan mereka terus meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 1. Jumlah Perkawinan di Kabupaten Tangerang Tahun 2010 dan 2011 No
KUA Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Teluk Naga Mauk Rajeg Sepatan Pasar Kemis Balaraja Kresek Kronjo Curug Cikupa Legok Tigaraksa Serpong Ciputat Pondok Aren Cisoka
Tahun 2010 Rata-Rata Jumlah Per-bulan 1.444 120.33 903 75.25 1.265 105.42 1.806 150.50 2.027 168.92 1.187 98.92 1.041 86.75 978 81.50 1.667 138.92 1.462 121.83 1.260 105.00 999 83.25 1.296 108.00 2.084 173.67 1.671 139.25 1.639 136.58
Tahun 2011 Rata-Rata Jumlah Per-bulan 1.584 132.00 1.088 90.67 1.524 127.00 2.064 172.00 2.336 194.67 1.413 117.75 1.156 96.33 1.191 99.25 1.749 145.75 1.625 135.42 1.243 103.58 1.251 104.25 1.342 111.83 2.251 187.58 1.784 148.67 1.790 149.17
25
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pakuhaji Kosambi Pamulang Pagedangan Panongan Cisauk Jayanti Kemiri Sukadiri Jambe Jumlah
1.203 980 1.513 961 732 960 601 357 581 770 31.387
100.25 81.67 126.08 80.08 61.00 80.00 50.08 29.75 48.42 64.17 2.615.58
1.322 1.404 1.672 929 828 1.057 643 480 753 949
110.17 117.00 139.33 77.42 69.00 88.08 53.58 40.00 62.75 79.08
Sumber: Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang
Data tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan pencatatan perkawinan dari data tahun 2010 ke data tahun 2011. Hal ini bisa dipahami bahwa umumnya masyarakat Kabupten Tangerang telah mencatatkan perkawinan mereka di KUA bagi yang muslim dan di Kantor Catatan Sipil bagi masyarakat pemeluk agama lainnya. Data tersebut juga menunjukkan bahwa ada jumlah perkawinan dari tahun ke tahun terjadi peningkatan. Faktor penting yang turut mempengaruhi berkurangnya perkawinan tidak tercatat ini adalah karena adanya perubahan pola masyarakat dari pola hidup agraris menuju masyarakat industri, seperti yang terjadi di Kecamatan Kosambi dan Keronjo. Untuk wilayah Kecamatan Kosambi misalnya karena wilayah ini dekat dengan DKI Jakarta dan perbatasan dengan Kota Tangerang maka saat ini sudah menjadi daerah yang relatif maju, sehingga angka perkawinan tidak dicatat di daerah ini kini tidak ada lagi. Padahal dulunya hampir mayoritas masyarakat tidak mencatatkan perkawinan mereka di KUA. Sementara di Kecamatan Keronjo meski secara geografis tidak berada di perbatasan kota, namun daerah tersebut sudah
26
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
mulai banyak dibuka industri, seorang penghulu di KUA Kecamatan Kronjo mengatakan: ‚Saat ini di Kronjo sudah muncul beragam industri, kondisi demikian merubah pola pikir masyarakat karena dipaksa berhadapan dengan berbagai persoalan administrasi yang mengharuskan adanya Akte Nikah, misalnya untuk mengurus akte kelahiran anak dan jamsostek bagi suami/istri, hal ini turut menjadi penyebab kenapa pencatatan perkawinan jadi meningkat.‛ 1. Fenomena Perkawinan di Bawah Umur Kasus perkawinan di bawah umur di Kabupaten Tangerang hingga saat ini masih bisa dijumpai, namun jumlahnya secara pasti sulit untuk diketahui karena banyak yang tidak mendaftarkan/mencatatkannya di KUA. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk dapat melangsungkan perkawinan masing-masing pihak harus telah dewasa, sudah masak jiwa raga yaitu untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Menurut Pasal 22 UU Perkawinan , jika perkawinan di mana salah satu atau kedua belah pihak masih di bawah umur maka perkawinannya dapat dibatalkan. Namun jika secara resmi perkawinan di bawah umur terpaksa ingin di ajukan ke KUA maka ada ketentuan khusus, yaitu disamping mendaftar di KUA juga harus lebih dahulu memperoleh ijin dispensai dari Pengadilan Agama.7 Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang Agus Salim menyatakan bahwa sebelum tahun 2005 meski tidak ada data pasti berapa jumlah pernikahan di bawah umur, namun ia menerima informasi pernikahan 7
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
27
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
tersebut saat itu makin marak di sejumlah wilayah Utara Tangerang, seperti di Teluknaga, Kosambi, Mauk dan Pagedangan. Demikian juga di Wilayah Tangsel seperti daerah Setu, Ciputat dan Serpong. Agus Salim mengatakan: "Kawin siri dan kawin kontrak juga naik jumlahnya. Pernikahan dini tanpa surat nikah juga semakin banyak terjadi dan tidak terdaftar di KUA setempat. Gadis-gadis yang seharusnya menuntut ilmu dinikahi tidak sesuai hukum yang diatur.‛ Menurut Agus Salim, pernikahan di bawah umur itu terjadi dengan persetujuan sejumlah penghulu pernikahan (kyai dan ustadz) tanpa melihat motif di balik pernikahan. Padahal, dari calon suami istri itu merupakan pasangan di bawah umur yang seharusnya tidak boleh dinikahkan. Karena itu, Kemenag melakukan penertiban dan mencoba merangkul para penghulu pernikahan. Agus Salim menyatakan: "Umumnya penghulu pernikahan adalah kiai maupun ustad daerah setempat. Untuk itu kita akan mensosialisasikan kepada para penghulu untuk tidak menikahkan anak di bawah umur," Agus Salim juga mengatakan: "Karena penghulu itu dibayar mereka akhirnya berani menikahkan pasangan muda. Itu yang menjadi persoalan." Namun demikian, saat ini di Kabupaten Tangerang jarang terjadi perkawinan di bawah umur. Umumnya masyarakat telah memahami adanya peraturan bahwa usia menikah harus memenuhi usia cukup dewasa (lakilaki 19 tahun dan perempuan 16 tahun), dan jika terpaksa dengan usia kurang dari yang telah ditetapkan maka harus mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama.
28
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
Berdasarkan data di Kementerian Agama Kabupaten Tangerang di Tahun 2012 hanya ada 1 kasus perkawinan di bawah umur yang dilakukan secara tercatat dan mendapat dispensasi ke Pengadilan Agama. Di antara faktor yang menyebabkan berkurangnya perkawinan di bawah umur adalah karena semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat dan partumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan cukup penting sebab disamping berpengaruh terhadap bertambahnya wawasan masyarakat, jika dilihat dari usia, maka mereka yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tingga akan semakin bertambah umurnya dari pada umur ketika mereka lulus SLTA.8 2. Modus Perkawinan di Bawah Umur Perkawinan di bawah umur umumnya dilakukan secara tidak formal atau tidak didaftarkan di KUA, melainkan dilakukan di hadapan kyai dan tokoh agama. Namun ada juga beberapa kasus perkawinan di bawah umur yang dilakukan secara formal (resmi) dicatatkan di KUA dan tanpa izin atau dispensi dari Pengadilan Agama, yaitu dengan modus, sebelumnya pihak keluarga mengubah data identitas calon pengantin yang bersangkutan. Seorang informan yang, ia menyatakan: ‚Perkawinan di bawah umur saat ini masih ada, sebab terlihat secara fisik calon pengantin masih belum dewasa atau masih anak, tapi ketika mendaftar di KUA, jika dilihat berkas-berkasnya sudah memenuhi ketentuan (laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun), kemungkinan ada rekayasa sejak di kelurahan dalam 8
Wawancara dengan Suherman penghulu Kecamatan Keronjo, tgl 4 Agustus 2012
29
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
menuliskan data namun secara formal tertulis di KTP dan suratsurat lain sudah memenuhi sehingga tetap berkas perkawinannya bisa diproses di KUA‛. Pernyataan adanya modus rekayasa data tersebut sejalan dengan pengakuan seorang warga yaitu Lm (usia 45 th) yang dulu memiliki tetangga yang menikahkan anak perempuannya padahal usianya masih di bawah umur karena baru lulus Madrasah Tsanawiyah. Perkawinan dilakukan karena ada laki-laki anak seorang kyai yang melamar maka akhirnya ia menyetujui anaknya dinikahkan. Saat pengurusan KTP usia calon pengantin perempuan tersebut dipalsukan diurus oleh seorang perantara di Kelurahan. 3. Motif Perkawinan di Bawah Umur Perkawinan di bawah umur yang masih terjadi di Kabupaten Tangerang memiliki beberapa motif, antara lain orang tua terpaksa menikahkan karena perempuan dari pasangan tersebut sudah lebih dahulu hamil.9 Misalnya dalam kasus pernikahan Cn (Perempuan, 15 th) dengan Sf (laki-laki, 17 th). Orang tua Cn terpaksa menikahkan putrinya, untuk menutupi ‘aib’, secara moral juga harus bertanggungjawab atas kehamilan putrinya, karena perlu ada kejelasan siapa ayah dari anak yang dikandung CN jika ia melahirkan nanti. Kasus perkawinan di bawah umur juga ada yang bermotif ekonomi seperti yang dilakukan oleh Dn (perempuan, 20 th), ia hingga saat ini sudah menikah 3 9
30
Wawancara dengan Hasanudin Penghulu Kecamatan Kosambi. Tgl 2 Agustus 2012.
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
kali, pernikahannya yang pertama dengan seorang lakilaki sudah beristri, saat usia DN 15 tahun dan baru lulus SD. Namun perkawinan tersebut tidak berlangsung lama, hanya sekitar 8 bulan ia bercerai dengan suaminya. Perkawinan ke dua dilakukan saat usia DN 17 tahun juga dengan laki-laki beristri dan berlangsung hanya beberapa bulan saja. Kini DN menikah lagi dengan laki-laki yang juga sudah beristri. Menurut DN beberapa pernikahannya dengan laki-laki yang sudah beristri adalah karena ia ingin memiliki suami yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi ekonomi orang tuanya yang hidup kekurangan mendorong DN yang merupakan anak tunggal ingin mengubah kehidupan keluarganya. Apalagi saat ini DN mempunyai seorang anak. Ketiga perkawinannya dilakukan secara tidak tercatat. Adapun dua kasus perceraiannya dengan suami terdahulu disebabkan karena istri sah suaminya mengetahui hubungan perkawinan mereka dengan DN, hingga terjadi percekcokan dan memilih kembali pada istri pertamanya. Di samping itu suaminya tidak memberi nafkah yang memadai. Sementara orang tua DN selalu menyetujui perkawinan anaknya karena memang ia tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup DN dan masa depannya. Tentang usia, menurut orang tua DN tidak jadi masalah, dulu mereka juga menikah dalam usia yang relatif muda dan usia itu tidak mempengaruhi kehidupan keluarganya. Motif lainnya dari perkawinan di bawah umur adalah karena ingin ada peningkatan status sosial. Dalam kasus perkawinan Rn (perempuan, 16 th), orang tua Rn menikahkan anak perempuannya padahal usianya masih di bawah umur dan baru lulus Madrasah Tsanawiyah,
31
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
karena ada laki-laki anak seorang kyai yang melamar maka akhirnya ia menyetujui anaknya dinikahkan. Orang tua Rn merasa beruntung karena Rn dinikahi oleh MS (23 th), anak seorang kyai. Orang tua Rn tidak mempersoalkan perkawinan anaknya yang umurnya baru mau memasuki usia 16 tahun, baginya yang penting Rn sudah baligh (sudah haid) dan laki-laki yang ingin menikahinya menurutnya sudah cukup dewasa sehingga bisa membimbing anaknya dalam berumah tangga. Faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan di bawah umur adalah pendidikan. Adanya faktor pendidikan sebagai salah satu penyebab masih terjadinya perkawinan di bawah umur ini diakui oleh salah seorang informan dari warga Kecamatan Kemiri, beberapa pelajar di Kemiri merasa cukup jika telah lulus SLTA bahkan banyak yang hanya lulus SLTP. Jarang sekali yang melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi. Hal ini berkorelasi dengan kurangnya informasi dan pengetahuan tentang hal-hal yang terkait dengan UU Perkawinan maupun makna perkawinan, sehingga mereka tidak merasa bersalah ketika melakukan perkawinan di bawah umur. Ada juga perkawinan di bawah umur yang didasarkan adanya motif mitos. Menurut seorang Penghulu Kecamatan Keronjo, pernah terjadi seorang warga yang ingin menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah memiliki beberapa istri. Laki-laki tersebut berprofesi sebagai ‘orang pintar’ dan darisegi ekonomi dianggap mampu. Menurut informasi pernikahan itu ada motif terkait mitos yang
32
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
menyebutkan menikahi anak-anak dapat membuat lelaki jadi perkasa dan awet muda, saat itu pengajuan perkawinannya ditolak oleh KUA karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan peraturan perundangan yang ada. Kemiskinan, keinginan menaikan status sosial/ ekonomi, dan kurangnya pendidikan, serta hamil sebelum nikah merupakan merupakan beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan di bawah umur. Faktor-faktor tersebut berkelindan dengan adanya pemahaman agama, yaitu bahwa dalam agama perkawinan sah jika pasangan sudah baligh dan bukan karena batas umur tertentu. Sementara itu sebagian orang tua mereka juga melakukan perkawin di usia muda, sehingga perkawinan di usia muda dianggap sebagai budaya dan bukan sesuatu yang memalukan. 4. Makna Perkawinan bagi Pasangan Perkawinan di Bawah Umur Masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur, umumnya memaknai perkawinan adalah bagian dari syari’at ajaran Islam, untuk itu perkawinan dianggap sah jika usia pasangan telah baligh, yaitu bagi perempuan adalah sudah haid (menstruasi) dan bagi laki-laki adalah sudah ‘mimpi basah’ (ihtilam) yang ditandai dengan keluarnya sperma. Untuk itu perkawinan meski usia perempuan belum berumur 16 tahun dan laki-laki belum 19 tahun, mereka tetap menganggap perkawinan tersebut sah karena telah dilakukan sesuai syari’at Islam.
33
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
5. Respon Masyarakat terhadap Perkawinan di Bawah Umur Menurut beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kabupaten Tangerang, perkawinan di bawah umur secara agama bisa dinyatakan sah asalkan keduanya sudah baligh, namun tetap perkawinan tersebut tidak dianjurkan karena dengan usia yang masih muda maka berpotensi terjadinya keributan dalam rumah tangga, karena secara emosi usia tersebut masih labil dan belum matang. Rumah tangga akan menghadapi banyak problem, jika salah satu usia pasangan belum matang maka akan mudah emosional dalam menghadapi problem-problem perkawinan, hal ini akan memicu konlik dan perceraian yang tidak diinginkan. 6. Upaya Penanggulangan Perkawinan di Bawah Umur Untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur oleh masyarakat Kementerian Agama melalui para kepala KUA dan para penghulu, dalam setiap kesempatan dimana mereka dapat tampil berbicara di masyarakat, maka selalu mensosialisasikan pentingnya perkawinan didasarkan atas ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Para kepala KUA dan penghulu berulangkali menyosialisasikan pentingnya perkawinan setelah usia pasangan matang atau dewasa, sosialisasi dilakukan oleh para Kepala KUA khususnya dalam forum rapat pembinaan/kordinasi para petugas P3N dan ‘amil yang dilakukan setiap bulan di KUA.
34
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
7. Dampak Perkawinan di Bawah Umur Dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Rudy Irwin, menyatakan secara medis perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun sangat rentan terkena kanker leher rahim (serviks). Selain itu kanker serviks bisa terjadi pada perempuan yang melahirkan di bawah usia 20 tahun dan berganti-ganti pasangan seksual. Perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun, 58,5% lebih rentan terkena kanker reviks. Setiap tahun sekitar 500 ribu perempuan didiagnosis menderita kanker serviks dan lebih dari 250 ribu diantaranya meninggal dunia. Saat ini ada 22,2 juta perempuan yang mengidap penyakit serviks.10 Dalam penelitian ini, dari beberapa kasus yang ada, di Kabupaten Tangerang belum dijumpai adanya dampak negatif dari perkawinan di bawah umur terkait soal kesehatan reproduksi. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang dulunya melakukan pernikahan di bawah umur, sejauh ini tidak ditemukan adanya informasi terhadap gangguan kesehatan reproduksi. Persoalan yang muncul akibat perkawinan d bawah umur lebih banyak dampak negatifnya karena mengganggu keharmonisan rumah tangga, yang antara lain diakibatkan sikap belum dewasa dari pasangan. Persoalan lainnya adalah terkait kesulitan ekonomi, khususnya ketika latar belakang perkawinan itu adalah perempuannya hamil lebih dahulu. Perkawinan dilakukan untuk menutupi ‘aib’, dan mengabaikan kesiapan aspek ekonomi dari pasangan.
10
http://delail.wordpress.com
35
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
B. Perkawinan Tidak Tercatat 1. Fenomena Perkawinan Tidak Tercatat Sebelum reformasi yaitu sekitar sebelum tahun 1988, peristiwa perkawinan di Kabupaten Tangerang masih banyak yang tidak didaftarkan di KUA atau yang sering disebut dengan ‚perkawinan agama‛ atau ‚kawin kampung‛. Perkawinan ini biasanya hanya dihadiri keluarga kedua belah pihak juga dihadiri/disaksikan oleh tokoh agama setempat tanpa kehadiran petugas KUA. Perkawinan semacam ini banyak terjadi khususnya di daerah-daerah yang jauh dari kota dan masih kategori agraris yang pengaruh kyai/ulamanya masih kuat. Hasanudin seorang penghulu di Kecamatan Kosambi mengatakan: ‚Untuk perkawinan tidak tercatat masih ada di daerah yang kepatuhan pada ulamanya tinggi yaitu di daerah Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan Kabupaten Serang seperti Kecamatan Kronjo, Kresek dan Mauk. Disana pengaruh para abah (kyai) lebih besar dibanding penghulu.‛ Untuk menjumpai masyarakat muslim di Kabupaten Tangerang yang melakukan perkawinan di bawah tangan (tidak mencatatkan di KUA) saat ini relatif sulit, kecuali beberapa saja, itupun biasanya dilakukan karena yang bersangkutan tidak bisa memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan yang ada. 11 Salah seorang informan yang kini menjadi petugas Penghulu di KUA Kecamatan Kosambi mengatakan: ‚Saat ini semua perkawinan di Kec. Kosambi dicatatkan di KUA, 11
36
Wawancara dengan Hasanudin Penghulu Kecamatan Kosambi, tgl 2 Agustus 2012.
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
dahulu memang ada perkawinan yang dilakukan secara agama saja atau melalui ‘perkawinan kampung’.‛ Secara umum ada beberapa faktor yang diduga merupakan penyebab atau setidak-tidaknya yang turut melatar belakangi adanya perkawinan tidak tercatat di Kabupaten Tangerang selama ini, yaitu antara lain: a. Tidak Memenuhi Persyaratan Administratif Faktor penyebab banyaknya perkawinan tidak dicatat di Kabupaten Tangerang sangat beragam, salah satunya adalah pasangan calon pengantin tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan". Selanjutnya Undang-Undang Perkawinan juga menentukan: 1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka diwajibkan mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada suami yang beristri lebih dari seorang apabila: a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
37
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
Dalam beberapa kasus, warga yang menginginkan poligami tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah mendapat izin pengadilan, karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam UU Perkawinan. Maka kemudian mereka terpaksa melakukan perkawinan dengan cara perkawinan tidak tercatat atau masyarakat setempat menyebutnya ‘kawin kampung’. Persoalan lainnya adalah karena salah satu dari pasangan yang akan menikah adalah janda atau duda yang tidak memiliki surat cerai yang sah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama. Mereka akhirnya terpaksa melakukan ‘kawin kampung’ karena jika mengajukan ke KUA pasti pengajuan pencatatan perkawinannya ditolak sebab tidak memenuhi persyaratan administratif.12 b. Masyarakat Banyak yang Belum Memahami Peran KUA Faktor lain yang menjadi penyebab banyaknya perkawinan tidak dicatat di Kabupaten Tangerang adalah karena sebelumnya keberadaan dan peran KUA belum banyak diketahui masyarakat. Salah seorang informan yang kini menjadi petugas P3N di Kelurahan Salembaran Kecamatan Kosambi mengatakan: ‚Dulu di sini banyak perkawinan dengan cara agama saja. Saat itu mayoritas masyarakat belum mengenal KUA. KUA belum punya kantor permanen, masih sepi hanya ada kepala dan
12
38
Wawancara dengan Suherman penghulu Kecamatan Keronjo. Tgl. 4 Agustus 2012.
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
satu staff saja. Kondisi bangunan KUA saja ketika itu masih memperihatinkan‛. Kurang diketahuinya keberadaan KUA dan perannya selanjutnya menyebabkan masyarakat memiliki rasa ‘takut’ untuk bertemu petugas. Bahkan ketika pegawai KUA mendatangi mereka di rumahnya, banyak masyarakat tidak bersedia untuk mendaftarkan perkawinannya, mereka hanya percaya pada ‘amil saja. Selain itu dalam bayangan warga, perkawinan yang dicatatkan di KUA identik dengan biaya yang mahal.13 Di samping itu akses jalan di beberapa kecamatan dan desa di Kabupaten Tangerang saat itu masih sangat terbatas, beberapa ruas jalan tidak dapat dilalui kendaraan karena rusak parah sehingga kantor kecamatan atau kantor KUA khususnya sulit diakses. Seorang staf di KUA Kecamatan Mauk menyatakan: ‚Saat ini jalanan sudah bagus-bagus, dulu masyarakat sulit bepergian karena jalanannya rusak. Masyarakat juga malas datang ke KUA karena disamping jauh juga untuk menuju ke sana jalanannya banyak yang rusak‛. c. Kehidupan Masyarakat yang Agraris Kondisi geografis-sosiologis masyarakat Kabupaten Tangerang yang umumnya mengandalkan hidup dari pertanian, mereka relatif belum menghadapi banyak persoalan terkait hal-hal yang bersifat 13
Wawancara dengan Dulhalim ‘amil juga P3N lurah Salembaran Jaya kecamatan Kosambi, Agustus 2012.
39
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
administratif sehingga akta nikah belum menjadi keperluan. Hal demikian menjadikan masyarakat kurang menganggap penting adanya akta nikah sebagai surat sah bukti perkawinan. Di Kecamatan Kemiri misalnya, yang termasuk daerah terisolasi karena jauh dari perkotaan, masyarakatnya masih hidup dengan pola agraris. Pada masyarakat semacam ini tingkat kebutuhan terhadap hal-hal administratif seperti pengurusan dokumen belum begitu terasa. Tidak banyak masyarakat yang memerlukan paspor, jamsostek/Askes, KPR BTN, atau lainnya. Berbeda dengan kondisi pada masyarakat kota dimana akta nikah dibutuhkan oleh masyarakat, karena menjadi syarat dalam pengurusan dokumen dan banyak transaksi misalnya untuk membuat Kartu Keluarga (KK), akte kelahiran anak, kartu kesehatan, jaminan sosial kesehatan kerja seperti Jamsostek atau kartu Askes, keredit perbankan seperti BTN, pengurusan paspor untuk haji atau umroh, maupun pengurusan kepemilikan harta waris dan gono-gini di pengadilan agama. d. Persepsi bahwa Perkawinan adalah Otoritas Agama Hal lain yang mempengaruhi banyaknya perkawinan tidak tercatat adalah bahwa secara teologis perkawinan dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai otoritas wilayah agama semata, perkawinan diyakini merupakan bagian dari syari’at ajaran Islam dan termasuk dalam pelaksanaan ibadah semata. Mereka tidak menganggap bahwa perkawinan juga merupakan ikatan perjanjian (kotrak sosial) antar
40
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
dua individu pasangan sehingga disamping perlu komitmen juga membutuhkan pencatatan administratif, untuk itu legitimasi kyai atau ulama menjadi sangat penting. Perkawinan tidak dianggap sah jika tidak mendapat legitimasi kyai atau ulama. Secara sosiologis masyarakat di Kabupaten Tangerang memberi kedudukan yang tinggi kyai atau ulama sebagai pemimpin spiritual dan tokoh keagamaan. Masyarakat lebih mempercayakan keabsahan perkawinan pada kyai atau ulama, bukan kepada pejabat KUA. 2. Persepsi bahwa Pencatatan Perkawinan Mempersulit Hidup Sebagian masyarakat Kabupaten Tangerang tidak mau mencatatkan perkawinan karena adanya persepsi bahwa pencatatan perkawinan dianggap akan mempersulit kehidupan mereka kelak. Pandangan seperti itu ditemukan khususnya di Kecamatan Kemiri. Wilayah ini sebelumnya merupakan bagian dari Kecamatan Mauk, namun setelah pemekaran, Kemiri menjadi kecamatan tersendiri. Dari data perkawinan dalam tabel 1 di atas, diketahui bahwa angka perkawinan tercatat di Kecamatan Kemiri adalah yang terkecil jumlahnya. Hal ini terjadi karena disamping jumlah penduduk yang relatif sedikit dibanding kecamatan lain, juga banyak warga yang beranggapan pencatatan perkawinan itu merupakan sesuatu yang merepotkan karena menyebabkan mereka terikat dan harus patuh kepada hukum Negara. Kerepotan itu misalnya dihadapi jika di kemudian mereka akan
41
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
bercerai, harus mengurus ke pengadilan agama yang tempatnya relartif jauh.14 Di samping beberapa faktor tersebut, terdapat beberapa alasan lain yang dikemukakan warga antara lain adanya mitos atau kepercayaan pada penanggalan atau hitungan waktu untuk penetapan perkawinan yang kadang harus tengah malam, alasan kesibukan kerja, dan faktor ekonomi yaitu tidak mampu membayar biaya pernikahan di KUA. 3. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa saat ini masih ada beberapa warga yang tidak mau mencatatkan perkawinan mereka, karena salah satu pasangan tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, misalnya berstatus janda atau duda yang tidak memiliki surat cerai yang sah yang ditetapkan oleh pengadilan agama, atau pihak suami yang ingin berpoligami namun tidak memenuhi persyaratan yaitu tidak memiliki ijin istri pertama yang ditetapkan pengadilan agama. Untuk itu mereka akhirnya menempuh perkawinan dengan cara kawin agama atau kawin kampung. Kementerian Agama Kabupten Tangerang banyak memberikan sosialisasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan serta dampak-dampak dari adanya perkawinan yang tidak tercatat seperti adanya kesulitan dalam pengurusan akte kelahiran anak, pengajuan kredit perbankan termasuk BTN, pengurusan paspor untuk 14
42
Wawancara dengan Rofiuddin, Penghulu KUA Kecamatan Kemiri.
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
pendaftaran haji/umroh. Jamsostek/Askes, pengurusan perceraian, harta waris dan gono-gini, dan lainnya. Upaya tersebut cukup signifikan berhasil. Namun demikian berdasarkan informasi dari beberapa informan, mereka umumnya menyatakan tidak menghadapi kendalakendala tersebut, hal ini karena pola kehidupan mereka yang ada di desa, bekerja sebagai petani atau wiraswasta yang tidak banyak bersentuhan hal-hal tersebut di atas. Misalnya untuk pendidikan anak, sekolah biasanya dapat menerima anak-anak untuk bersekolah dengan melampirkan fotocopy kartu keluarga (KK) orang tuanya, mereka diperkenankan mengikuti pendaftaran meski tidak memiliki akte kelahiran. MS (45 th) seorang suami yang sudah 10 tahun menikah dengan H (40 th), MS bekerja sebagai tukang servis alat elektronik di rumahnya, ia mengatakan selama ini rumah tangganya tidak merasakan kesulitan apa-apa kecuali ketika ingin mengajukan kredit di bank, itu sulit sebab pihak bank mengharuskan adanya copy surat akte nikah. Sedangkan untuk sekolah anak-anaknya tidak ada masalah, sebab masih ada KK. Dahulu MS terpaksa menikah dengan tidak mencatatkan perkawinan, sebab ketika ia bercerai dengan istri pertamanya ia tidak memiliki biaya untuk mengurs perceraian, saat itu biayanya 1 juta lebih, sehingga terpaksa ketika ia menikah dengan H maka dilakukan dengan tanpa pencatatan perkawinan. Kasus lain yang merupakan dampak dari perkawinan tidak tercatat adalah tentang status anak, sebagaimana dijelaskan dalam UU No.1 Tahun 1974 diatur
43
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
dalam Pasal 42 dengan Pasal 44. Dari Pasal-Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa UU tersebut membedakan antara anak sah dengan anak luar kawin. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut anak di luar kawin. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya. Untuk itu anak di luar kawin akan terjadi persoalan dengan masalah kewarisan khususnya jika terkait dengan harta peninggalan ayahnya. Namun demikian anak luar kawin masih memiliki peluang sebagaimana anak sah dan dapat menjadi seorang ahli waris, dalam Pasal 272 KUHPerdata disebutkan bahwa anak luar kawin akan menjadi anak sah apabila: (a). orang tuanya kawin, dan (b). sebelum mereka kawin, mereka telah mengakui anaknya atau pengakuan ini dilakukan dalam akte perkawinan.15 Dalam rangka menghindari adanya permasalahan hukum dikemudian hari maka banyak warga yang tidak memiliki akte nikah kemudian mengajukan sidang isbat nikah ke Pengadilan Agama untuk yang muslim dan ke Pengadilan Negeri untuk non-muslim. Namun karena beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan dimulai dan sudah berapa banyak jumlah warga yang mengajukan isbat nikah atau penetapan perkawinan melalui pengadilan tersebut.
15
44
Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 280 KUH Perdata dikatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya.
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
Dengan adanya surat pengesahan ini maka secara hukum, pasangan tersebut memiliki bukti sah perkawinan yang dapat dipergunakan sebagaimana Buku Akte Nikah. Beberapa warga di Kecamatan Kosambi, Kronjo, Mauk, dan Kemiri telah banyak yang kini mengajukan isbat nikah. Seorang informan Mh (50 th) yang menikah dengan R (45 th) sejak 7 tahun lalu mengatakan, dia kini memiliki surat pengesahan perkawinan dari Pengadilan Agama Tangerang karena mengukuti Isbat Nikah, sebab dia bekerja di salah satu perusahanaan dan membutuhkan surat pengesahan perkawinan dari Pengadilan Agama untuk pengurusan Jamsostek. Berbagai alasan dikemukan oleh beberapa pasangan yang kini telah memiliki surat pengesahan perkawinan dari Pengadilan Agama melalui sidang isbat, seperti: untuk mengurus akte kelahiran anak, paspor, Jamsostek/Askes dan lainnya. Antusiasme warga yang melakukan sidang isbat untuk setiap daerah berbeda, untuk di Kecamatan Kronjo cukup tinggi. Menurut Suherman Penghulu di Kecamatan Kronjo, di Kronjo sudah tiga kali dilakukan sidang isbat massal. Biayanya dibayar oleh warga sebesar Rp. 299 ribu ditambah biaya administrasi 50 ribu. Kini Biaya sidang isbat ini naik sekitar Rp. 499 ribu. Adapun untuk di daerah Kosambi pernah dilakukan sidang isbat secara massal sekitar 90 orang (pasangan), dengan biaya dari pihak Bandara Sukarno Hatta (PT. Angkasa Pura), ketika itu warga yang mau ikut sidang isbat diberi stimulan tiga gram emas. Hingga saat ini,
45
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
menurut Muhsinin, selain kegiatan yang diprakarsai Bandara pengajuan sidang isbat baru satu orang saja.16 Pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Banten bekerjasama dengan Pengadilan Agama Tigaraksa menyelenggarakan Isbat Nikah untuk 200 pasangan yang berasal dari wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, dan ditambah 100 pasangan dari wilayah Pengadilan Agama Tangerang, sehingga menjadi 300 pasangan. Isbat Nikah juga dilakukan melalui Sidang Keliling. Pengadilan Agama Tigaraksa melakukan Sidang Keliling mengambil lokasi di wilayah Kota Tangerang Selatan dengan mengambil tempat di Aula Kantor Kelurahan Paku Jaya Kecamatan Serpong Utara. Sidang Keliling tersebut dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 5 Mei 2011 dengan menyidangkan 35 perkara isbat nikah, dengan Ketua Majelis Drs. Musiazir, Hakim Anggota Ahmad Bisri, SH. dan H. Rosmani Daud, S.Ag dan Panitera Pengganti Hikmah Nurmala, SH. Pelaksanaan sidang keliling Pengadilan Agama Tigaraksa tersebut bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam rangka peningkatan ketertiban administrasi perkawinan masyarakat Kecamatan Serpong Utara, dan peningkatan peran serta perempuan dalam pembangunan keluarga serta masyarakat.17
16 17
46
Wawancara dengan Muhsinin petugas P3N sekaligus „amil Desa Salembaran Jaya. Tgl 2 Agustus 2012.
http://www.pa-tigaraksa.net/index.php? option=com_content&view=article&id= 102%3 Asidang-keliling-pa-tigaraksa-di-tangerang-selatan&Itemid=126
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
Terkait pengurusan harta waris atau harta gono-gini, sejauh ini warga juga umumnya tidak menghadapi kendala, karena sistem masyarakat higga saat ini masih mengedepankan musyawarah keluarga, maka persoalan tersebut umumnya diselesaikan oleh pihak keluarga terkait dengan disaksikan oleh tokoh agama. Di Kecamatan Kosambi dan Keronjo, dampak perkawinan tidak tercatat biasanya di atasi oleh masyarakat dengan mengajukan surat penetapan ahli waris oleh Kelurahan. Beberapa nama ahli waris diajukan dengan menyebutkan nama salah satu nama dari ahli waris yang akan bertindak atas nama ahli waris untuk mengurus pembagian harta waris tersebut. Untuk itu higga saat ini relatif tidak pernah dijumpai kasus yang bersifat merugikan masyarakat meski orang tua mereka tidak memiliki akte nikah, dan mereka (anak-anaknya) tidak memiliki akte kelahiran. Namun demikian, menurut salah seorang ‘amil sekaligus P3N di Kecamatan Kosambi pernah terjadi kasus perebutan harta waris dari kedua orang tua yang pernikahannya tidak tercatat, harta waris ini diperebutkan oleh dua orang anaknya. Anak yang lebih besar ingin menguasai seluruh harta waris. Akhirnya dengan susah payah si adik harus berjuang di pengadilan untuk mendapatkan harta waris tersebut, lebih dari satu tahun persoalan ini diselesaikan, dengan biaya yang tidak sedikit karena harus melibatkan beberapa pengacara.18 Dalam hal penetapan ahli waris masyarakat umumnya menyelesaikan secara kekeluargaan. Berdasarkan 18
Wawancara dengan Dulhalim P3n sekaligus „amil Kelurahan Salembaran Jaya Kecamatan Kosambi.
47
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
peraturan hukum yang ada (KUHPerdata) untuk kasus anak dari perkawinan tidak tercatat ini maka terdapat dua kemungkinan. Pertama, orang tua telah kawin (Pasal 272 274 KUH Perdata). Kedua, orang tuanya tidak kawin, oleh karena salah satu dari mereka meninggal dunia (Pasal 275 KUHPerdata). Kedua kasus tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Berdasarkan Pasal 272 KUH Perdata, anakanak luar kawin menjadi anak sah apabila bapak dan ibu tersebut melangsungkan perkawinan. Sedangkan berdasarkan Pasal 275 dalam hal orang tua si anak tidak kawin, karena salah seorang dari mereka telah meninggal dunia, maka pengesahan tidak mempunyai akibat-akibat "penuh". Di Kabupaten Tangerang, untuk problematika sebagaimana disebutkan di atas, bagi masyarakat yang beragama Islam tidak banyak dijumpai, namun untuk non muslim telah terjadi beberapa kali persidangan terkait soal tersebut, setidaknya terdapat dua buah kasus yang pernah disidangkan di PN Tangerang yang melibatkan warga dari etnis Tionghoa, yaitu: a) Kasus Nyonya Ong Ten Nio, ia telah mengajukan kepada PN Tangerang, demi kepentingan untuk memperoleh status sebagai istri yang sah menurut hukum dan status hukum anak-anaknya di kemudian hari, Nyonya Ong Ten Nio kemudian mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Tangerang Untuk mensahkan perkawinan Nyonya Ong Ten Nio dengan Tuan Yusup Gouw Tjun Ong (Bachtiar). Pengadilan akhirnya mengabulkan tuntutan pemohon
48
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
dan juga menetapkan bahwa anak-anak yang terlahir dalam perkawinan secara adat, agama Kristen antara Pemohon Ong Ten Nio dengan Yusup Gouw Tjun Ong (Bachtiar) yaitu dua orang anak, telah turut diakui dan disahkan sebagai anak suami istri dari: Yusup Gouw Tjun Ong (Bachtiar) dengan Ong Ten Nio. b) Kasus anak-anak (6 orang) dari hasil perkawinan secara adat Agama Budha antara ayah yang bernama Jap Kim Tjioe dengan ibu yang Tjini Binti Nasimin. Mereka mengajukan kepada PN Tangerang permohonan mendaftarkan perkawin-an antara Jap Kim Tjioe dengan ibu yang Tjini Binti Nasimin sebagai orang tua mereka dan permohon-an untuk diakui sebagai anak keduanya. Akhirnya PN Tangerang mengabulkan tuntutan sebagian pemohon dan menolak sebagian lainnya. Yaitu menerima permohonan dalam hal mendaftarkan perkawinan antara Jap Kim Tjioe dengan ibu yang Tjini Binti Nasimin. Sedangkan untuk permohonan atas status anak (pemohon) dari keduanya tidak dapat dikabulkan. Keputusan PN Tangerang tersebut telah sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu tidak dapat dilakukan apabila kedua orang tua biologisnya tersebut telah meningggal dunia, karena tidak dapat memberikan kesaksian. Dengan demikian status hukum anak-anak luar kawin tersebut tetap menjadi anak luar kawin. Sehingga pengesahannya (perkawinan) tidak mempunyai akibat-akibat "penuh". yaitu: pengesahan dalam hal pewarisan tak akan merugikan anak- anak sah dahulu
49
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
dan pengesahan dalam hal pewarisan tidak berlaku terhadap para keluarga sedarah lainnya, kecuali sekedar keluarga sedarah dari bapak dan atau ibu si anak yang telah menyetujui pemberian surat pengesahan. 4. Makna Perkawinan Tidak Tercatat Masyarakat yang melakukan perkawinan tidak dicatat umumnya memaknai perkawinan sebagai bagian dari syari’at ajaran Islam semata, untuk itu perkawinan dianggap sah jika perkawinan mereka dilakukan di hadapan kyai, karena dengan demikian maka perkawinan tersebut dilakukan sesuai syari’at ajaran Islam dengan mendapat legitimasi kyai atau ulama. 5. Respon Masyarakat terhadap Adanya Perkawinan Tidak Tercatat Masyarakat tidak secara eksplisit menganggap negative perkawinan tidak tercatat, mereka umumnya menganggap bahwa perkawinan tidak dicatat ini dilakukan karena memiliki alasan-alasan khusus, namun mereka umumnya menganggap perkawinan yang ideal adalah disamping dihadiri kyai juga dicatatkan di KUA. Misalnya menurut H. Aspuri Ketua MUI Kecamatan Mauk meski secara agama memang sah, namun tetap dianjurkan untuk didaftarkan ke KUA karena lebih menghindari halhal (persoalan) yang mungkin terjadi dikemudian hari. Pandangan seperti yang disampaikan H. Aspuri ini, juga dikemukakan oleh banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan redaksi yang sedikit berbeda.
50
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
6. Upaya Penanggulangan Perkawinan Tidak Tercatat Untuk menanggulangi terjadinya perkawinan tidak tercatat di masyarakat, maka Kementerian Agama melalui para kepala KUA dan para penghulu selalu berusaha mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan, khususnya dalam forum rapat pembinaan/ kordinasi para petugas P3N dan ‘amil yang dilakukan setiap bulan di KUA, salah seorang petugas P3N di Kelurahan Salembaran Kecamatan Kosambi mengatakan: ‚Dulu di sini banyak perkawinan dengan cara agama saja. tapi sejak kira-kira tahun 1993 waktu Kepala KUA nya pak Hanafi, ia sering mengumpulkan tokoh-tokoh agama, amil, dan penyuluh, mereka semua diminta untuk membantu memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa pencatatan itu penting dan prosesnya tidak sulit, sejak saat itu semua para ‘amil dan P3N akhirnya mendaftarkan perkawinan masyarakat yang meminta bantuan di KUA, kita juga sebelumnya lebih dahulu memberikan pengertian kepada masyarakat‛. Sosialisasi juga disampaikan melalui flayer (selebaran) dan standing banner. Upaya sosialisasi ini relatif efektif, karena dapat memberi informasi kepada masyarakat yang datang ke KUA tentang hal-hal yang penting diketahui seputar soal perkawinan. Dengan adanya beberapa hal yang telah disebutkan tersebut, kini banyak anggota masyarakat yang mencatatkan perkawinan putra-putri mereka. Para petugas P3N, ‘amil juga tokoh
51
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
agama pun kini selalu menganjurkan masyarakat jika ada yang meminta bantuan untuk pengurusan perkawinan agar memenuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah yaitu mencatatkan perkawinan di KUA.
52
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
BAB III PENUTUP
D
alam ilmu sosial sistem sosial manusia tersusun atas berbagai komponen yang saling berinteraksi secara kompleks, komponen-komponen penyusun sistem sosial itu antara lain adalah populasi, teknologi, struktur sosial, dan ideologi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan yang telah dilaksanakan, secara sosiologis masyarakat Kabupaten Tangerang terbagi dua: sebagian masih memiliki pola hidup tradisional dan sebagian lainnya menuju masyarakat industri. Pengkategorian kedalam dua bagian tersebut hanya untuk memudahkan identifikasi, sebab pada dasarnya membagi suatu komunitas masyarakat yang begitu kompleks dalam dua bagian tanpa studi yang mendalam adalah over simplifikasi. Masing-masing komunitas masyarakat tersebut memiliki sistem sosial yang terdiri dari komponen yang berbeda dan masing-masing saling mempengaruhi. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Durkheim membedakan antara dua tipe fakta sosial: material (misalnya birokrasi, hukum) dan non material (misalnya kultur dan institusi sosial). Durkheim juga menyatakan bahwa dua fakta sosial seperti hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama merupakan struktur ekternal yang memiliki kekuatan (force) yang bersifat memaksa individu. Dalam masyarakat agraris seperti di Kecamatan Kemiri dan Mauk fakta-fakta sosial non material lebih mendominasi,
53
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
perkawinan tidak dicatat masih terjadi karena budaya kepatuhan pada kyai/ulama masih tinggi sehingga mengabaikan peran KUA. Di sini Undang-Undang Perkawinan tidak menjadi sub sistem yang mengikat masyarakat. Berbeda dengan masyarakat di Kecamatan Kosambi dan sebagian Keronjo yang secara sosiologis sebagai masyarakat yang menuju masyarakat industri, disini fakta sosial material lebih menjadi pertimbangan masyarakat. Keberdaan Buku Nikah dibutuhkan sebagai legal-formal sebuah perkawinan. Karena itu perkawinan tidak dicatat maupun perkawinan di bawah umur saat ini nyaris tidak bisa ditemukan lagi. Pada masa lalu di Kabupaten Tangerang, perkawinan tidak dicatat merupakan fenomena umum, sehingga muncul berbagai problematika seperti sulitnya pengurusan surat akte kelahiran anak yang bisa berdampak pada soal pembagian harta waris. Kuatnya ikatan moralitas bersama ternyata telah menciptakan sub sistem yang unik dalam mengatasi problematika tersebut. Melalui sistem musyawarah dan kekeluargaan dengan petunjuk dari tokoh agama setempat, mereka dapat menyelesaikan persoalan pembagian harta waris tanpa harus melalui proses pengadilan. Disini fakta sosial non material berperan dan dapat menjadi solusi dari keruwetan akibat tidak adanya dokumen sah hubungan ahli waris (suami,istri, dan anak) karena perkawinannya tidak tercatat. Untuk memahami motif perkawinan tidak dicatat dan perkawinan di bawah umur, dalam teori fungsionalisme struktural dinyatakan bahwa masyarakat adalah terdiri dari kesatuan system. Setiap komponen dari sistem tersebut, akan saling mendukung dan saling memperkuat untuk melanggengkan sistem sosial masyarakat. Setiap hal yang
54
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
bertentangan dan tidak mendukung sistem maka dikatakan sebagai suatu penyimpangan (deviance) terhadap keutuhan sistem social. Dalam teori Merton disebut dengan istilah anomie. Merton mengajukan analisis tentang adanya hubungan antara kultur, struktur sosial, dan anomie. Dalam perspektif hukum positif, perkawinan di bawah tangan dan perkawinan di bawah umur merupakan suatu perbuatan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku atau suatu tindakan penyelewengan hukum. Beberapa alasan lahirnya perkawinan tersebut adalah dilakukan untuk peningkatan status sosial ekonomi dan persepsi bahwa pencatatan perkawinan itu akan mempersulit. Teori anomie dalam fungsionalis struktural ini dapat menjelaskan bentuk perilaku menyimpang tersebut, dimana saat ini, kultur yang ada di masyarakat adalah lebih menekankan kesusksesan material, maka cara yang ditempuh adalah ‘jalan pintas’ yaitu dengan menikahkan anak yang belum cukup umur dan pernikahan yang tidak dicatat. Upaya ‘jalan pintas’ ini merupakan anomie dan penyimpangan (deviance) dari sistem sosial yang ada dan mengambil bentuk alternatif yang kadang tidak dapat diterima dan memilih cara-cara ilegal dalam mencapai tujuan. Namun demikian, mengingat banyaknya faktor penyebab dari adanya perkawinan tidak dicatat dan perkawinan di bawah umur, maka tidak dapat dikatakan bahwa seluruhnya merupakan anomie, Misalnya dalam kasus perkawinan tidak dicatat yang penyebabnya adalah ketidakmampuan membayar biaya di KUA. Pola hidup masyarakat yang agraris yang belum bersinggungan dengan syarat administratif seperti di kota, dan minimnya pemahaman tentang hukum dan aturan perkawinan, tidak dapat dikatakan anomi. Demikian juga dalam kasus
55
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
perkawinan di bawah umur yang terjadi karena perempuannya hamil lebih dahulu, hal tersebut dilakukan orang tua umumnya karena motif terpaksa agar ada yang bertanggung jawab terhadap anak dan bayi yang dikandung. Terkait adanya pandangan masyarakat bahwa perkawinan sebagai bagian dari syari’at ajaran Islam semata sehingga perkawinan dianggap sah, jika mendapat legitimasi kyai atau ulama dan tidak perlu dihadiri petugas P2N dan dicatatkan, maka pandangan ini sesungguhnya perlu diluruskan sebab meski perkawinan merupakan bagian dari syari’at ajaran Islam dan termasuk dalam pelaksanaan ibadah, namun berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada terdapat akibat/dampak hukum dari perkawinan yang sah yaitu: (1) Timbulnya hubungan antara suami-istri, (2) Timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan (3) Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak. Karena itu perkawinan seharusnya dimaknai sebagai ikatan perjanjian (kotrak sosial).19 Melihat adanya 3 hal akibat/dampak hukum dari perkawinan tersebut, maka jika dilihat dari aspek tujuan hukum yaitu adanya maslahah (kebaikan) bagi manusia dan menghindari keburukan (dharar), maka sesungguhnya pencatatan perkawinan saat ini adalah hal yang harus (wajib) dilakukan karena akan lebih aman dan terhindar dari adanya kerugian di kemudian hari.
19
56
Dalam Pasal 26 KUHPerdata disebutkan, bahwa undang-undang hanya memandang perkawinan dalam hubungan- hubungan perdata. Dari ketentuan ini, dapat diketahui bahwa KUHPerdata memandang perkawinan semata-mata merupakan perjanjian perdata, tidak ada kaitannya dengan agama yang dianut oleh para pihak (calon mempelai).
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
A. Kesimpulan Saat ini masyarakat Kabupaten Tangerang, umumnya mendaftarkan perkawinan mereka di KUA, baik secara langsung atau melalui petugas P3N atau ‘amil. Berdasarkan data, masyarakat yang mendaftarkan perkawinan, dari tahun ke tahun terus menunjukkan kenaikan. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan (mencatatkan) perkawinan terus meningkat. Saat ini masih terdapat beberapa kasus perkawinan tidak dicatat dan perkawinan di bawah umur, namun jumlahnya sangat sedikit. Dari hasil kajian ini, untuk menjawab pertanyaan penelitian dapat disimpulkan beberapa hal yaitu: 1. Meski jumlahnya semakin menurun setiap tahunnya, saat ini di masyarakat Kab. Tangerang masih terjadi praktik perkawinan di bawah umur maupun perkawinan tidak tercatat. Namun demikian jumlahnya secara pasti sulit diketahui karena umumnya mereka tidak mendaftarkan/ mencatatkannya secara resmi di KUA. 2. Beberapa penyebab adanya perkawinan di bawah umur adalah antara lain: perempuan hamil lebih dahulu, tingkat ekonomi yang lemah, ingin menaikan status sosial/ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan beberapa faktor yang menjadi penyebab masih terjadinya perkawinan tidak dicatat adalah karena salah satu pasangan tidak dapat memenuhi persyaratan, misalnya janda atau duda yang tidak memiliki surat cerai yang sah, atau pihak suami yang ingin berpoligami namun tidak memiliki izin pengadilan agama, kurang dipahaminya peran KUA, pola kehidupan masyarakat yang agraris,
57
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
alasan teologis, dan persepsi bahwa pencatatan perkawinan itu akan merepotkan/mempersulit. 3. Problematika yang muncul dari perkawinan di bawah umur adalah kurangnya keharmonisan rumah tangga, akibat perselisihan karena sikap dari pasangan yang belum dewasa, apalagi ketika perkawinan dilakukan karena perempuannya hamil lebih dahulu. Sedangkan untuk perkawinan tidak dicatat maka problematika yang muncul antara lain sulitnya mendapat pengesahan status anak, karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut anak di luar kawin, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan surat akte kelahiran anak dan pengurusan harta waris di pengadilan. 4. Sebagian masyarakat pelaku perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat masih memaknai perkawinan sebagai bagian dari syari’at ajaran Islam semata untuk itu perkawinan dianggap sah, jika mendapat legitimasi kyai atau ulama. Mereka belum menyadari bahwa perkawinan juga merupakan ikatan perjanjian (kotrak sosial) antar dua individu sebab perkawinan memiliki beberapa akibat hokum. Untuk itu di samping perlu komitmen, perkawinan juga harus sesuai ketentuan aturan dan hukum yang ada, serta membutuhkan pencatatan administratif. 5. Dalam perspektif tokoh agama dan tokoh masyarakat, perkawinan tidak tercatat meski secara agama sah, namun tetap dianjurkan untuk mendaftarkannya ke KUA karena menghindari hal-hal (kerugian) yang mungkin terjadi di kemudian hari. Sedangkan perkawinan di bawah umur
58
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
meski secara agama dinyatakan sah namun tidak dianjurkan, karena dengan usia yang masih muda berpotensi untuk terjadinya konflik dan akhirnya terjadi perceraian. 6. Kasus perkawinan tidak tercatat dan perkawinan di bawah umur ditangani oleh pemerintah melalui program Sidang Isbat bahkan ada Sidang Isbat keliling. Kementerian Agama Kabupaten Tangerang dalam hal ini para kepala KUA dan penghulu, melakukan sosialisasi program sidang isbat keliling tersebut. Mereka juga menyosialisasikan pentingnya pencatatan Perkawinan dalam forum pertemuan rapat pembinaan/kordinasi para petugas P3N dan ‘amil yang dilakukan setiap bulan di tiap KUA. Para petugas P3N, ‘amil juga tokoh agama kemudian mensosialisasikan ke masyarakat dengan menganjurkan masyarakat saat pengurusan perkawinan agar mencatatkan perkawinan di KUA. B. Rekomendasi 1. Kementerian Agama, khususnya di tingkat kecamatan perlu melakukan penyuluhan (sosialisasi) secara lebih intensif tentang masalah-masalah perkawinan, UndangUndang Perkawinan, serta peraturan pelaksanaannya sehingga praktik perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatat bisa diminimalisir dan dicegah. Pelaksanaan sosialisasi ini perlu melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat termasuk para penyuluh agama, petugas P3N, dan ‘amil dengan menyampaikan dampakdampak negatif dari adanya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat, serta adanya beberapa akibat/dampak hukum dari suatu perkawinan.
59
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
2. Para tokoh agama agar dapat menjelaskan pentingnya pencatatan perkawinan kepada masyarakat, mengingat banyaknya dampak negatif dari adanya perkawinan tidak tercatat, disamping itu karena adanya beberapa akibat/ dampak hukum dari suatu perkawinan maka para tokoh agama juga perlu menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa perkawinan di samping harus dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama juga merupakan sebuah kontrak sosial. 3. Untuk mengurangi dampak negatif yang dirasakan masyarakat yang karena berbagai alasan di masa lalu melakukan perkawinan tidak tercatat, maka Kementerian Kehakiman melalui Pengadilan Agama juga Pengadilan Negeri agar mengintensifkan program Sidang Isbat, antara lain dengan memperbanyak Sidang Isbat Keliling dan memperbanyak informasi dan sosialisasinya di masyarakat. Di samping itu perlu mempermudah mekanismenya dan juga dengan lebih meringankan biaya administrasinya, sehingga Sidang Isbat ini dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
60
Dinamika Sosial Budaya dan Problem Pencatatan Perkawinan di Kabupaten Tangerang ...
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama RI Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji. 2004. Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Panduan Konseling Perkawinan, Jakarta. Gunarso, Singgih D. 2007. Psikologi Untuk Keluarga, Jakarta: BPK Gunung Mulia. George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori-Teori Sosiologi Modern. Judul asli Modern Sosiological Theory (2004) dialih bahasakan oleh Alimandan, Edisi Keenam. Jakarta: Kencana. Hartono dan Arnicun Aziz. 1999. Ilmu Sosial Dasar, Cetakan ke empat. Jakarta : Bumi Aksara. Indah Setia Rini. 2009. Tesis tentang ‚Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Perkara Nomor: 74/Pdt.P/2005/Pn.Tng Di Pengadilan Negeri Tangerang)‛. Program Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 214/PI/1988, Tanggal 22 Juli 1991 dan Keputusan Nomor 1073-PID/1994, Tanggal 4 Februari Tahun 1995. Komnas Perempuan. 2011. Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Kepada Komite CEDEW mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan
61
Abdul Jamil dan Mukhtar Ilyas
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, Jakarta. Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. Mubarok, Achmad. 2002. Al-Irsyad an Nafsiy: Konseling Agama, Teori dan Praktik Jakarta: Bina Rena Pariwara. Muh, Zahid. 2001. Dua Puluh Lima Tahun Undang-Undang Perkawinan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta. Muhammad Amin Suma, Prof. Dr. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Jo UU Nomor 22 Tahun 1946 Jo UU Nomor 32 Tahun 1954. Suryadi, Erna. 2008. Kekerasan Suami Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Keluarga Plural, (KDRT/Domestic Violence). Disertasi pada Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi. Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
62
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
BAGIAN
3
PELAKSANAAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN INDRAMAYU JAWA BARAT Oleh: Muchith A. Karim dan Selamet
63
Muchit A. Karim dan Selamet
64
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
BAB I GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Geografi, Demografi dan Administrasi Pemerintah
K
abupaten Indramayu terletak di pesisir utara Pulau Jawa, terdiri dari 31 Kecamatan dengan 307 desa yang berbatasan langsung dengan laut dengan panjang garis pantai 115 km. Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah 2.040.110 km2, atau 204.011 ha dan merupakan sebuah wilayah administratif. Agar pembangunan dapat dirasakan secara merata maka diperlukan aparat pemerintahan untuk perencanaan dan palaksanaan pembangunan. Selain aparat pemerintahan, peran aktif masyarakat adalah roda penggerak pembangunan. Dengan kinerja aparat pemerintahan yang baik diharapkan pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Beberapa daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut. Di sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah selatan Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon, sebelah barat Kabupaten Subang, dan sebelah timur Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon. Pada tahun 2010 pemerintah RI telah melaksanakan Sensus Penduduk serentak di seluruh wilayah NKRI. Hasil SP 2010 menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan data hasil registrasi penduduk daerah lain jika di wilayah lain hasil SP umumnya menunjukkan laju pertumbuhan penduduknya positif, maka di Kabupaten Indramayu angka registrasi penduduk tahun 2009 lebih besar dari hasil SP 2010 namun bila dibandingkan dengan hasil SP
65
Muchit A. Karim dan Selamet
2000 maka rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Indramayu selama kurun waktu 10 tahun terakhir 0,54%. Tingginya angka registrasi penduduk selama beberapa tahun terakhir akibat diabaikannya pencatatan migrasi penduduk yang keluar dari Indramayu terutama penduduk perempuan terus meningkatnya jumlah TKI terutama TKW sangat mempengaruhi terhadap berkurangnya penduduk Indramayu yang diidentifikasi akibat semakin derasnya migrasi keluar penduduk perempuan. Kurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan maupun melanjutkan pendidikan juga diidentifikasikan menjadi penyebab rendahnya laju pertumbuhan penduduk. Kesadaran masyarakat Kabupaten Indramayu dalam menerapkan program KB dianggap berhasil, hal ini ditandai dengan semakin rendahnya TFR yang hanya 2.2 ini berarti setiap wanita usia 15-49 tahun mempunyai keturunan rata-rata sampai 2 jiwa. Berbagai indikator kependudukan dapat digunakan untuk melihat kondisi suatu wilayah, seperti adanya laju pertumbuhan yang tinggi, kepadatan penduduk yang terlalu rendah atau terlalu tinggi yang menunjukkan penyebaran penduduk di suatu wilayah serta indikatorindikator lainnya. Pada akhir tahun 2009 berdasarkan hasil registrasi penduduk Kabupaten Indramayu dihuni sebanyak 1.744.897 jiwa. Sedangkan pada akhir tahun 2010 berdasarkan hasil SP 2010 hanya mencatat 1.668.395 jiwa, 858.942 laki-laki dan 809.453 perempuan. Turunnya jumlah penduduk bukan berarti terjadi laju pertumbuhan negatif tetapi sebagaimana dijelaskan di atas karena terabaikannya laporan migrasi keluar penduduk Indramayu selama beberapa tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan hasil SP 2000 maka terdapat kenaikan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 0.54%. Setiap tahun
66
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
sehingga kepadatan penduduk di Indramayu mencapai 818 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi di Kecamatan Karang Ampel 2.075 jiwa/km2, dan terendah di Kecamatan Cantigi 247 jiwa/km2.20 B. Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Keberhasilan pembangunan manusia di Indramayu dapat dilihat dari indikasi kemajuan di bidang pendidikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu pada tahun ajaran 2009/2010 untuk tingkat Sekolah Dasar tercatat sebanyak 885 unit, 189.726 murid dan 9.024 guru. Kemudian di tingkat SLTP, jumlah sekolah tercatat sebanyak 157 unit, 68.850 orang murid dan guru sebanyak 3.625 orang. Sedangkan di tingkat SLTA jumlah sekolah tercatat sebanyak 51 unit, 17.954 orang murid dan 1.452 orang guru. Dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan tercatat 61 sekolah, 23.951 murid dan 1.662 guru. Untuk meningkatkan aspek pendidikan, kesehatan dan akhlak masyarakat Indramayu, pemerintah daerah Indramayu suatu konsep ‚Desa Cerdas, Sehat dan Bermoral‛ mempunyai tujuan untuk menciptakan dan menghidupkan kembali sikap responsif bagi desa-desa di Kabupaten Indramayu yang terkemas dalam sistem masyarakat secara menyeluruh di Kabupaten Indramayu. Di Indramayu terdapat beberapa suku, terutama suku Jawa dan Sunda, yang mempunyai dampak terhadap sistem kekerabatan yang mereka anut antara lain: 1. Sistem kekerabatan parental atau bilateral seperti dianut suku Jawa. Suku ini menganggap bahwa hak dan 20
BPS Kabupaten Indramayu dalam Angka 2009
67
Muchit A. Karim dan Selamet
kedudukan suami isteri sederajat dan seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat. Bentuk perkawinan yang berlaku adalah perkawinan bebas, tidak mengenal pembayaran jujur dan perkawinan semenda, setelah perkawinan, suami isteri bebas memilih apakah akan menetap di tempat suami atau isteri atau membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh orang tua masing-masing. Kehidupan keluarga demikian itu merupakan ciri kehidupan yang ideal bagi keluarga Indonesia yang modern tanpa meninggalkan asas kekeluargaan walaupun tidak lagi terikat dalam hubungan kekerabatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Suami istri memikul kewajiban yang luhur, untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar dan susunan masyarakat (pasal 30 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).21 2. Sistem kekerabatan bilateral yang dianut suku Sunda. Suku ini menganut sistem kekerabatan yang bersifat bilateral, yaitu garis keturunan yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui laki-laki maupun perempuan. Sistem kekerabatan ini dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat mana agama, dan biasanya dua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Perkawinan di tanah sunda misalnya dilakukan baik 21
68
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sumatera Utara, Jakarta, 1982 hal. 77.
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
secara adat maupun agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan maka tampak sekali bahwa dalam upacara-upacara terpenting ini terdapat unsur agama dan adat. Pada masyarakat Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak yang didapat dari perkawinan atau adopsi, yang belum kawin. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada prinsipnya adalah neolokal. Hubungan sosial antara keluarga batih amat erat. Keluarga batih merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga batih itu sering juga terdapat anggota-anggota keluarga lain, seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau perempuan.22 Dalam keadaan kekurangan perumahan lebih dari satu dua keluarga batih. Kekurangan rumah itu lebih terasa di kota-kota kecil maupun besar. Masalah yang timbul dari mendiami satu rumah tangga boleh lebih dari satu keluarga inti, adalah hubungan yang menjadi kurang serasi dari pihak kaum wanita yang tiap hari harus bertemu dalam dapur yang sama, tempat pengambilan air yang sama, tempat menjemur pakaian yang sama.23 C. Kehidupan Keagamaan 22 23
Koentjaraningrat, Prof. Dr., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta 31 Mei 1970, Djambatan, hal 313. Ibid
69
Muchit A. Karim dan Selamet
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Pada tahun 2010 penduduk yang beragama Islam tercatat sebanyak 1.753.372 jiwa, selebihnya tersebar pada empat agama lain yaitu Kristen sebesar 4.385 jiwa, Katolik 2.835 jiwa, Hindu 257 jiwa, Buddha 297 jiwa, dan Konghucu 13. Jumlah rumah ibadat pada tahun 2008 tercatat 761 masjid, 4.229 langgar dan 549 musholla, 19 gereja, dan 2 vihara. Pada setiap masjid atau musholla dibentuk kepengurusan. Ketuanya dipilih oleh warga terutama anggota masyarakat yang lebih menguasai pengetahuan agama dan umum. Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu mengelola dan meningkatkan kegiatan dalam mensejahterakan jamaah, sekaligus dapat menjadi panutan masyarakat sekitarnya. Dengan cara semacam itu masjidmasjid diharapkan bisa berfungsi sebagai tempat ibadah dan media pengembangan kehidupan kemasyarakatan. Untuk itu kepengurusan masjid dibimbing dan diawasi oleh urusan kemasjidan dan zawaib KUA Kecamatan. Masjid diisi dengan berbagai kegiatan meliputi pelaksanaan shalat berjamaah, shalat jum’at, pengajian, ceramah agama, serta peringatan hari-hari besar Islam. Belajar membaca al-Qur’an juga merupakan salah satu kegiatan masjid dalam meningkatkan kemampuan anak-anak mengenai baca tulis al-Qur’an, serta meningkatkan pemahaman agama masyarakat sekitar masjid. Upaya-upaya di atas diusung pula oleh pemerintah daerah Indramayu dengan mewajibkan anakanak untuk belajar di Madrasah Diniyah dan Aliyah dengan menerbitkan Perda No. 2 tahun 2003 tentang Wajar MDA. Bahkan tidak berhenti sampai disitu, pemda mencanangkan pembacaan al-Qur’an pada setiap jam 07.00 WIB seluruh aparatur pemerintah dan lembaga pendidikan di Indramayu
70
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
pada masing-masing unit kerjanya untuk melaksanakan membaca al-Qur’an secara bersama-sama. Langkah semacam ini mendapat respon positif dari masyarakat dan cukup berpengaruh terhadap pengamalan agama mereka, sehingga terlihat semarak dan bergairahnya masyarakat mengamalkan ajaran agama. Akan tetapi perlu dicatat bahwa praktik pengamalan agama masyarakat Indramayu, masih mengacu pada pemahaman Islam tradisional, dalam pengertian agama diamalkan mengikuti alat tradisi yang berakar pada paham animisme dan dinamisme. Kedua paham ini merupakan kepercayaan nenek moyang pada masa pra Hindu yang dipelihara terus pada masa Hindu yang akhirnya sebagian nilai dan norma itu tetap bertahan dalam proses Islamisasi. Walaupun secara keseluruhan Islam merupakan pegangan utama, namun nilai dan norma tradisi masih terpelihara di tengah kehidupan masyarakat tradisional. Prinsip kelompok tradisional menggabungkan antara nilai tradisi dengan agama Islam yakni mengikuti pola pada tahapan proses Islamisasi sebelumnya dimana Islam tidak lagi memberantas tradisi yang ada tapi hanya meluruskan serta memberi hal-hal yang sangat sensitif dengan ajaran Islam. Dengan pola itu berakibat sebagian nilai serta norma tradisi lolos dari penyaringan Islam, sehingga praktek kehidupan keagamaan banyak dipengaruhi urusan tradisi.24 Kehadiran Undang-Undang Perkawinan di Indonesia adalah untuk menyeragamkan pengakuan dan tatacara 24
Ibid hal. 316, dan lihat Laporan Penelitian Pelaksanaan Perkawinan dan Penceraian di Berbagai Komunitas di Pulau Sumatera, Dep. Agama RI, Badan Litbang Agama, Puslitbang Kehidupan Beragama tahun 2002, hal. 22
71
Muchit A. Karim dan Selamet
pelaksanaan perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa membeda-bedakan keturunan agama dan kepercayaan, semenjak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 9 Tahun 1975, di daerah Indramayu telah dilakukan pembinaan dan penyuluhan di bidang perkawinan agar peraturan tersebut segera dipahami, dihayati dan diamalkan masyarakat. Undang-Undang tersebut menyatakan setiap perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan sedangkan bagi mereka yang beragama selain Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkwinan pada Kantor Catatan Sipil. Untuk itu maka Kantor Urusan Agama seluruh kecamatan di Kabupaten Indramayu, melakukan pelayanan terhadap masyarakat muslim yang akan melangsungkan pernikahan. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir 2011 s.d Maret 2012 Kantor Kementrian Agama Kabupaten Indramayu mencatat 22.875 peristiwa nikah di tahun 2011, dan 4.054 peristiwa nikah pada tahun 2012, dan pada umumnya pernikahan tersebut menggunakan wali nasab.25 BAB II
25
72
H. Mahya Hasan, Kasi Urais Kantor Kementerian Agama Indramayu Jumlah Nikah dan Rujuk tahun 2012-2012
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
PELAKSANAAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR A. Aspek Hukum Pelaksanaannya
Perkawinan
di
Bawah
Umur
dan
B
erdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Atas dasar pengertiaan tersebut maka tentunya ada beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar dalam palaksanaan perkawinan tersebut; salah satunya adalah mengenai batas usia minimum untuk seseorang bisa melakukan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UUP, yang menyebutkan bahwa, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Maka dalam pengertian perundangan apabila terjadi perkawinan pada usia kurang dari yang ditentukan baik itu bagi mempelai pria maupun wanita termasuk perbuatan yang melanggar hukum karena perkawinan yang dilaksanakan kedua pasangan tersebut masih di bawah umur. Namun ketentuan pasal 7 ayat (1) UUP di atas termasuk tidak berlaku absolut karena dalam pasal 7 ayat (2) dinyatakan, bahwa dalam hal penyimpangan pada ayat (1) pasa1 ini dapat meminta dispensasi pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Ketentuan pasal 7 ayat (2) ini mengandung pengertian bahwa perkawinan di bawah umur dapat dilakukan apabila ada permintaan dispensasi yang
73
Muchit A. Karim dan Selamet
dimintakan oleh salah satu pihak orang tua dari kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan. Apalagi dalam pasal 7 ayat (3) UUP secara tidak langsung menyatakan bahwa permintaan dispensasi tersebut dapat dimintakan pengadilan atau pejabat lain dengan alasan bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan memperbolehkan.26 Dengan kata lain perkawinan di bawah umur masih bisa terjadi atas izin Undang-Undang Perkawinan walaupun mereka masih dalam kategori usia anak-anak yaitu usia di bawah 18 tahun (pasal 1 ayat (1) No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) dan melanggar hak asasi anak (UU No 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 s/d pasal 66. Pada prinsipnya perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan atau terjadi pada seseorang diusia anak-anak. Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Anak, perkawinan di bawah umur adalah tindakan merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh hak-haknya yaitu hak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan, kekerasan dan dikriminasi.27 Sementara ditinjau dari UU HAM pasal 52 s/d pasal 66 terjadinya perkawinan di bawah umur adalah pelanggaran pada hak atas anak-anak meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk berfikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi dan berkreasi dan hak 26 27
74
Tabloid Nyata, Perkawinan Di bawah Umur Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
untuk mendapat perlindungan.28 Dalam konteks hak anak sangatlah jelas sekali yang tercantum dalam pasal 26 ayat (1) butir c UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak pada perspektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan, yang harus menjadi perhatian bersama. Hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hakhaknya.29 Perlu diketahui bahwa pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berfikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai, sehingga kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut sudah memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan bathin. Undang-undang perkawinan tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur, dimaksudkan agar suami istri dalam masa perkawinan dapat menjaga kesehatannya dan keturunannya. Akan tetapi pada tataran implementasi di lapangan ketentuan tersebut masih mengalami banyak kendala dan permasalahan. Hal ini terbukti masih banyaknya kasus 28 29
Dyah Ayuningtyas S Jay dan Mardiko Saputro WYDII. Meluncurkan Program “Stop Perkawinan Di bawah Urnur” HttP://www.NU.or.id/Page.Php.Id & menu: NEWS. Viea & NEWS. Id: 14815
75
Muchit A. Karim dan Selamet
pernikahan anak di bawah umur. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2008 terdapat 32,2% perempuan yang menikah pada usia di bawah 15 tahun dan pada laki-laki tercatat 11,9%. Sedangkan perempuan yang melahirkan antara usia 13-18 tahun mencapai 18% dan perkawinan di bawah usia 18 tahun angkanya mencapai 49%. BPS juga mencatat lima provinsi yang memiliki angka perkawinan di bawah umur tertinggi yaitu Jawa Timur (28%), Kalimantan Selatan (27%), Jambi (23%) Sulawesi Tengah (20,8%) dan Jawa Barat (27,2%). Data lain menyebutkan Bappenas melansir pada tahun 2008 sekitar 2 juta pasangan menikah terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan di bawah umur.30 Sementara pada tahun 2011 Kepa1a Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sugiri Syarif menyatakan bahwa di Kabupaten Indramayu Jawa Barat disinyalir menjadi daerah tertinggi kasus pernikahan di bawah umur di Indonesia. Kultur sosial budaya menjadi salah satu penyebab tingginya kasus tersebut. Selanjutnya ia menyatakan angka pernikahan di bawah umur tertinggi terdapat di daerah Pantai Utara (Pantura) seperti Cirebon, Brebes, Indramayu dan lain-lain, Kabupaten Indramayu menjadi daerah paling tinggi kasus pernikahan di bawah umur.31 Tingginya kasus pernikahan di bawah umur juga diperoleh dari informasi Pansek Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, yang menyatakan bahwa selama ia menjabat Pansek di beberapa kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat, Indramayu yang paling tinggi kasus perkawinan di 30 31
76
Http.google.com, Perkawinan Anak Di bawah Umur dalam Perspektif Kesehatan, Hukum dan HAM Harian Seputar Indonesia, Indramayu Tertinggi Pernikahan Dini, Kamis 23 Juni 2011
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
bawah umur. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir 20102012, sampai dengan bulan Juni 2012 di Pengadilan Agama Indramayu mencatat sebanyak 825 kasus perkawinan usia anak-anak, guna memperoleh dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Banyak masyarakat yang mengaku anaknya sudah berusia 16 tahun, untuk memenuhi persyaratan bisa dilangsungkan pernikahan sesuai pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan.32 B. Pengalaman Pelaku Perkawinan di Bawah Umur Untuk menggali dan mendalami bagaimana pelaku perkawinan di bawah umur memaknai perkawinannya dalam menghadapi kehidupan rumah tangga dilakukan wawancara dengan beberapa informan: 1. Y, usia 38 tahun, pendidikan SMP, suku Jawa, pekerjaan buruh, alamat Desa Dukuh Jeruk Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu, suami N, 48 tahun, pendidikan SMP suku Sunda, pekerjaan karyawan pengeboran minyak di Indramayu, alamat Desa Dukuh Jeruk Kecamatan Karangampel; Mereka menikah dalam usia istri 15 tahun dan suami 25 tahun. Pernikahan dalam usia muda itu dilakukan Y karena ia anak tunggal, orang tuanya sudah bercerai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat sulit, sehingga untuk menopang hidupnya membutuhkan bantuan dan uluran tangan orang lain. Ketika itu N sebagai karyawan pengeboran minyak menaruh perhatian pada Y dengan cara selalu memberikan uang kepadanya. Semakin hari hubungan 32
Momon Abdurahman, SH, Pansek Pengadilan Agama Indramayu, wawancara 25 Juli 2012 di Indramayu
77
Muchit A. Karim dan Selamet
kedua insan berlainan jenis ini semakin akrab. Hal semacam itu pasti akan menjadi pembicaraan dan gunjingan tetangga dan masyarakat sekitar. Untuk menghindari gossip yang berkepanjangan pihak keluarga memutuskan agar Y segera melaksanakan perkawinan walaupun masih usia anak-anak. Menurut Y dalam mempersiapkan pelaksanaan pernikahannya khususnya pengurusan administrasi pencatatan di KUA seperti surat keterangan nikah dari desa, dispensasi nikah dari Pengadilan Agama serta surat-surat lainnya yang menjadi persyaratan proses pernikahan, oleh pihak keluarga sepenuhnya diserahkan kepada Pembantu Pegawai Pencatat Nikah desa setempat. Tetapi amanat tersebut oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) disalahgunakan. P3N mengubah umur calon pengantin dari 15 tahun menjadi 17 tahun dibuat P3N tanpa melalui penetapan Pengadilan Agama Indramayu. Namun dispensasi nikah tersebut tidak dipermasalahkan oleh Kantor Urusan Agama setempat. Dengan begitu persyaratan administrasi pernikahan Y dengan N dianggap telah memenuhi syarat, sehingga akad nikah bisa dilangsungkan oleh Penghulu Kecamatan Karangampel dengan wali nasab pada tahun 1987. Semenjak itu pasangan suami-istri tersebut mulai membina kehidupan rumah tangga, menjalin hubungan mesra berusaha saling menghormati, saling mengasihi, menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing, kedua belah pihak menerima keadaan pasangannya. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari N sangat memahami keinginan istrinya, sehingga dia berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
78
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
keluarga. Dengan cara semacam itu pasangan ini semakin hari merasakan kebahagiaan hidup dalam rumah tangga, dan dikarunia 3 orang anak. Setelah kehidupan rumah tangga dijalaninya selama 17 tahun, prahara mulai mengancam kehidupan keluarga yang ditandai dengan perilaku N yang menjalin hubungan dengan wanita idaman lain. Kondisi semacam ini menurut Y menyulut konflik keluarga yang sulit dicari solusinya. Pasangan tersebut kemudian memutuskan untuk bercerai dan ketiga anaknya diasuh oleh istrinya. Perceraian dengan suaminya menurut Y ternyata menambah sederet permasalahan yang menimpa kehidupan keluarganya, khususnya dalam memenuhi kebutuhan hidup ketiga anaknya. Kondisi keluarga yang tidak mendukung serta kebutuhan ekonomi mendorong Y untuk mencari pekerjaan sebagai TKW di Arab Saudi. Penghasilannya sebagai TKW dirasakan Y dapat meningkatkan kesejahteraan dan tarap hidup keluarganya. Dalam suasana seperti ini Y menjalin hubungan dengan pria keturunan Arab dari Pasuruan Jawa Timur. Pria yang berstatus duda ini kemudian mengawini Y secara resmi dicatat di Kantor Urusan Agama Karangampel. Namun pernikahannya yang kedua hanya bertahan selama dua tahun, karena menurut dia suaminya lebih dekat dengan anak perempuannya yang sudah menikah, yang dapat menimbulkan keretakan keluarga sehingga sering terjadi konflik yang berakhir jadi perceraian.33 Selanjutnya ia menjelaskan bahwa perkawinan di bawah umur sudah menjadi kebiasaan, karena ada 33
Y, Wawancara tanggal 25 Juli 2012 di Indramayu
79
Muchit A. Karim dan Selamet
keyakinan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh menolak lamaran pihak laki-laki, walaupun umurnya masih di bawah 16 tahun, penolakan tersebut akan berdampak pada sulitnya mendapat jodoh. 2. Hj. R, usia 43 tahun, pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, pekerjaan wiraswasta, alamat Desa Pringgacala Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu, suami H. Sy 53 tahun. Perkawinan pertama Hj. R dilaksanakan pada tahun 1983 dalam usia 14 tahun. Hal itu dilakukan karena orang tuanya terlanjur menerima lamaran laki-laki tetangga dekat. Akibat lain karena orang tua dalam memilih calon pasangan hidup anaknya kurang mempertimbangkan pilihan anaknya; keterbatasan ekonomi keluarga serta rendahnya pendidikan orang tua; adanya pandangan masyarakat yang tidak membolehkan pihak perempuan menolak lamaran karena khawatir anaknya akan sulit mendapatkan jodoh. Suasana di atas yang melatari dilakukannya perkawinan pertama Hj. R yang ketika itu berusia 14 tahun dengan H suaminya. Akad nikah dilaksanakan Penghulu, dihadiri wali dan saksi. Untuk mengurus surat-surat dan administrasi pencatatan nikah meminta bantuan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Dalam meningkatkan usia calon pengantin dari 14 tahun menjadi 17 tahun, dispensasi nikah dibuat tanpa penetapan Pengadilan Agama setempat. Setelah menikah pasangan ini tidak bisa menjalankan kehidupan rumah tangga layaknya pasangan suami istri. Hubungan mereka tidak harmonis, karena pihak istri kurang bisa menerima kehadiran suaminya. Konflik rumah tangga pun tidak bisa
80
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
dielakkan, dan akhirnya keduanya memilih untuk bercerai, walaupun melalui proses yang cukup panjang. Setelah bercerai ia menjalin hubungan dengan pria pilihan hatinya H. Sy yang sekarang menjadi suaminya. Perkawinan dengan H. Sy menimbulkan konflik keluarga karena mantan suaminya adalah adik istri kakak iparnya. Usia perkawinan dengan suami keduanya sudah berjalan selama 27 tahun dan mereka merasakan kebahagiaan rumah tangga walau dirasakan terdapat persoalan yang mewarnai kehidupan rumah tangganya antara lain masalah ekonomi karena suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Kesulitan ekonomi yang berkepanjangan mendorong keduanya untuk merantau ke negeri jiran, meskipun dengan risiko menitipkan anak-anak yang masih kecil untuk diasuh famili padahal mereka masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.34 3. C, 36 tahun, pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, pekerjaan buruh alamat Desa Pringgacala Blok Underan Kecamatan Karangampel Kabupaten Indramayu. Pada bulan September 1987 dalam usia 13 tahun C menikah dengan S 18 tahun, Parkawinan dalam usia muda dilakukan antara lain akibat pendidikan rendah; kurang memahami ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang hanya membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria; kesulitan ekonomi keluarga perempuan dalam membiayai kebutuhan hidup anakanaknya, padahal ia merupakan anak pertama; adanya anggapan masyarakat pedesaan bahwa seorang perem-
34
Wawancara dengan H. Sy, tanggal 25 Juli 2012 di Indramayu
81
Muchit A. Karim dan Selamet
puan tidak terlalu penting untuk memperoleh pendidikan tinggi, mengingat akhirnya mereka kembali ke dapur. Kondisi di atas mendorong pasangan ini me1akukan perkawinan diusia muda. Akad nikah dilaksanakan penghulu setempat, dihadiri wali dan dua orang saksi. Untuk mengurus surat-surat dan administrasi pencatatan nikah lainnya meminta bantuan P3N. Da1am meningkatkan usia calon pengantin perempuan yang berusia 13 tahun menjadi 17 tahun dispensasi nikah dibuat tanpa penetapan dan Pengadilan Agama. Setelah menikah pasangan ini berusaha untuk membangun kehidupan rumah tangga bahagia dan sejahtera, mereka mampu mempertahankan keutuhan keluarga selama 25 tahun. Keluarga tersebut merasa hidup harmonis, karena keduanya memiliki tanggung jawab yang tinggi sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Suami sebagai seorang yang ahli dibidang bangunan, dengan penghasilan yang memadai mampu memberi nafkah keluarga. Sedang istrinya dapat membantu suami melalui keahliannya sebagai juru masak dalam acara-acara hajatan. Dengan begitu mereka mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal, menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dibanding pendidikan orang tuanya. Keberhasilannya membangun kehidupan rumah tangga, dan mempertahankan keutuhannya selama 25 tahun dirasakan C berkat pasangannya selalu berusaha saling menghormati, saling menghargai, serta satu sama lain saling membantu sesuai peran masing-masing dalam kehidupan rumah tangga. Suami yang mempunyai tugas untuk memberi nafkah keluarga bekerja sesuai dengan
82
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
keahliannya, dan sebagai istri membantu suaminya mencari nafkah walaupun hanya sebagai tukang masak pada acara-acara hajatan di kampungnya.35 C. Dampak Sosial Perkawinan di Bawah Umur. Ketentuan batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (l) UU No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ‚Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun‛. Perihal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur.36 Pembatasan umur minimal untuk menikah bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berfikir. Kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan aspek kebahagiaan lahir dan bathin. Undang-Undang perkawinan yang tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur, agar suami istri yang dalam masa perkawinan dapat menjaga kesehatan dirinya dan keturunannya. Batas umur sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal, khususnya di Indramayu karena pernikahan usia muda, telah menjadi sebuah fenomena di masyarakat, bahkan kasusnya cukup tinggi dan menjadi
35 36
C, Wawancara tgl 25 Juli 2012 di Indramayu Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Pelaksanaan UU Perkawinan di DKI Jakarta dan Jawa Barat, Proyek Kehidupan Beragama. h. 18
83
Muchit A. Karim dan Selamet
keprihatinan orang tua, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Sementara dilihat dari segi hukum perkawinan di bawah umur, dianggap pelanggaran terhadap: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun, sedang Pasal 6 (2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.37 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak (b) menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan bakat dan minatnya dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak.38 3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 PTPPO. Amanat undang-undang ini bertujuan melindungi anak agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskrimasi. Dengan begitu sangat disayangkan apabila ada orang tua melanggar undangundang ini. Oleh karena itu pemahaman terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan untuk
37 38
84
Pasal 7 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua.39 Secara biologis alat-alat reproduksi anak-anak masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan, jika dipaksakan justeru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak, patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara istri dan suami atau dasar kekerasan seksual dan pemaksaan terhadap seorang anak. Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.40 Perkawinan yang dilakukan saat masih di bawah umur memaksa kedua mempelai untuk meninggalkan pendidikan formal. Tidak saja terputusnya pendidikan memangkas potensi untuk tumbuh dan berkembang, tetapi juga menutup kemungkinan anak untuk bisa 39 40
Perhatikan Amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO yang bertujuan melindungi anak Syafruddin, Tokoh Masyarakat Desa Underan Kecamatan Karangampel, Wawancara tgl 27 Juli 2012
85
Muchit A. Karim dan Selamet
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena keterbatasan jenjang pendidikan. Pendidikan yang rendah sama artinya dengan keterbatasan pengetahuan keterampilan maupun kreatifltas yang memungkinkan seseorang untuk bersaing di lapangan kerja yang makin tinggi daya saingnya. Kondisi masyarakat yang masih kerap menerapkan praktik pernikahan di bawah umur, juga cenderung memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dan berin-teraksi dengan jenjang yang lebih tinggi, baik secara profesional maupun sosial. Dalam hal lapangan kerja maupun pengembangan usaha dalam skala yang lebih besar, pendidikan yang memadai dapat meningkatkan tingkat kepercayaan diri seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain maupun dengan kolega. Ini berarti juga hilangnya kesempatan atau potensi bagi keluarga atau orang tua untuk memiliki anak atau anggota keluarga yang mampu meningkatkan taraf hidup keluarga dalam konteks yang lebih stabil.41 Dengan begitu perkawinan di bawah umur ternyata lebih banyak madhorotnya daripada manfaatnya. Oleh karena itu orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan anak dalam usia muda dan harus memahami peraturan perundangan yang berlaku untuk melindungi anak. Begitu pula para pemuka agama harus peduli terhadap perlindungan anak sehingga mereka tidak tergoda untuk melegalkan perkawinan di
41
86
Dyah Ayuningtyas, S.JAI dan Mardiko Saputro, Stop Perkawinan Di bawah Umur
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
bawah umur yang bertentangan dengan undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.42 E. Respon Masyarakat, Ulama dan Pemerintah 1. Respon Masyarakat dan Ulama Dalam perspektif adat, kerap kali perkawinan di bawah umur terjadi karena dorongan kultural dalam satu komunitas yang mempunyai keyakinan bahwa orang tua tidak boleh menolak laki-laki yang melamar anak perempuannya, sebab apabila hal itu dilakukan, maka anak gadisnya akan sulit memperoleh jodoh. Sementara ada kelompok masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai kelas dua. Masyarakat menghindari stigma sebutan perawan tua sehingga mereka berupaya mempercepat pelaksanaan perkawinan dengan berbagai alasan. Selain itu perkawinan di bawah umur pun kental dengan motif ekonomi. Keluarga yang ekonominya lemah akan segera menikahkan anaknya agar terbebas dari beban pembiayaan kehidupan sehari-hari. Banyak orang tua dan keluarga mungkin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya yang masih di bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berfikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur. Kondisi ini akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan ‚kekuasaan‛ atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah properti keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas 42
H. Mufri, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, Wawancara tgl 28 Juli 2012
87
Muchit A. Karim dan Selamet
dirinya sendiri, serta yang paling menyakitkan adalah menggunakan alasan terminologi agama, faktor-faktor tersebut yang biasanya digunakan masyarakat Indramayu untuk menikahkan anak perempuannya, sehingga di daerah tersebut dikenal banyak terjadi kasus perkawinan di bawah umur.43 Perkawinan dalam pandangan Islam adalah fitrah kemanusiaan dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, karena menikah merupakan ghorizah insaniyah (naluri kemanusiaan) yang harus dipenuhi dengan jalan yang sah, agar tidak mencari jalan kesesatan yang menjerumuskan ke lembah hitam. Perintah perkawinan dalam Islam tertuang dalam a1-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih ada asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhammad SAW, khususnya perkawinan beliau dengan Siti Aisyah. Istilah dan batasan nikah di bawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih terjadi perbedaan. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi wanita. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah, namun secara implisit syariat menghendaki orang yang akan menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikisnya, dewasa dan faham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dan ibadah.
43
88
H. Nuramin, Tokoh Masyarakat, Wawancara tgl 29 Juli 2012
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
Kontroversi muncul menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk boleh menikah yang berimplikasi terhadap tidak adanya kebebasan atas pernikahan di bawah umur dalam kaca mata ini. Hal ini relevan dengan hukum positif Indonesia yaitu UU Perkawinan KUHP dan UU Perlindungan Anak yang tidak menegaskan sanksi hukumnya terhadap pernikahan di bawah umur. Walaupun dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mewajibkan orang tua dan keluarga untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, namun perkawinan di bawah umur tidak serta merta dipandang sebagai tindakan kriminal menurut hukum; sementara itu undang-undang perkawinan memberikan dispensasi kepada pasangan yang belum cukup umur untuk bisa melakukan pernikahan.44 Dalam hal ini hukum yang ada memberikan ruang bagi praktik perkawinan di bawah umur. Dilihat dari segi budaya dan tradisi terdapat beberapa daerah di Indonesia yang menganggap bahwa perkawinan di bawah umur merupakan tindakan biasa, umpamanya masyarakat Indramayu Jawa Barat berkeyakinan orang tua untuk tidak menolak pinangan pertama kepada anak perempuannya, karena penolakan tersebut akan mengakibatkan anaknya sulit memperoleh jodoh.45 Keyakinan tersebut tentunya akan dapat mempersubur tumbuhnya kasus-kasus perkawinan di bawah umur di daerah tersebut. Untuk menanggulangi atau meminimalisir hal itu, upaya-upaya yang dilakukan 44 45
Pasal 26 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Thalib Setiady. 2008 Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabea Bandung hal. 222
89
Muchit A. Karim dan Selamet
adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak menikahkan anaknya yang masih di bawah umur rnelalui media majelis taklim. Lembaga sosial dan organisasi keagamaan, serta lembaga pendidikan agar anak-anak usia sekolah tidak menikah pada usia muda.46 Selain upaya di atas, apabila ada pasangan yang akan menikah masih di bawah umur meminta surat pengantar nikah yang biasanya terlebih dahulu ditolak permohonannya selanjutnya diserahkan kepada P3 N setempat untuk memproses permohonan tersebut melalui Kantor Urusan Agama. 2. Respon Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama Keberadaan KUA dengan peran dan fungsinya penting bagi umat Islam. Sebab lembaga ini adalah satusatunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan pencatan perkawinan yang terjadi di kalangan umat Islam. Artinya lembaga ini bukan semata-mata pemenuhan tuntutan birokrasi tetapi secara substansial bertanggung jawab penuh terhadap keabsahan perkawinan. Dalam konteks itu, seorang penghulu dituntut untuk betul-betul menguasai tugasnya. Ini hanya bisa dilakukan apabila penghulu mempunyai kualifikasi yang dibutuhkan antara lain kemampuan birokrasi yang baik dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang memadai.47 Tugas dan fungsi penghulu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, talak, dan rujuk adalah mencatat perkawinan. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa bagi orang 46 47
90
Joni Handoko. Tokoh Masyarakat Desa Sumur Adem Kecamatan Sukra, Wawancara tgl 29 Juli 2012 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat, Optimalasi peran KUA melalui jabatan Penghulu, Jakarta, 2000, hal. VII
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinan dilakukan oleh P3NTR. Ketentuan ini berlaku seluruh Indonesia, sesuai UU No. 32 tahun 1954. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946, nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang ditunjuk olehnya. Berdasarkan ketentuan tersebut posisi penghulu atau P3NTR tetap dipertahankan sebagai pegawai pemerintah tetapi tugasnya hanya mengawasi pernikahan. Setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tugas dan fungsi penghulu sebagai PPN semakin kuat. PP No. 9 Tahun 1975 yang merupakan ketentuan pelaksana dari Undang-Undang tersebut dijumpai beberapa pasal yang mengatur masalah pencatatan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut antara lain menyatakan: Pencataan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.48 Adapun pejabat yang berwenang melakukan pencatatan nikah adalah PPN (Pegawai Pencatat Nikah) ialah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat Menteri Agama pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan, yang merupakan satusatunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam dalam 48
Aos Sutisna, Peran Penghulu Dalam Menjalankan Hukum Islam (Edp) Peradilan Agama di Indonesia, Bidang Pustaka Bani Quraisy, 2004 hal. 139.
91
Muchit A. Karim dan Selamet
wilayahnya (UU No. 22 tahun 1946). Apabila PPN berhalangan, pekerjaannya dilakukan oleh wakil PPN. Apabila wakil PPN lebih dari satu maka kepala PPN menetapkan salah satu wakil PPN itu untuk melaksanakan tugas PPN, yaitu membantu kelancaran pelayanan kepada masyarakat dalam melakukan pengawasan, nikah dan penerimaan rujuk. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan di bawah umur Undang-Undang Perkawinan telah menentukan batas umur untuk kawin ialah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Dengan batasan umur tersebut diharapkan terbentuk keluarga bahagia, kekal dan sejahtera, seperti diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan, bahwa ‚Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur.49 Dalam kondisi tertentu perkawinan di bawah umur dapat dilakukan karena Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan. Dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Undang-Undang Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap warga negara yang batas usianya belum mencukupi dengan surat dispensasi dari
49
92
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.50 Atas dasar ketentuan di atas menurut keterangan informan, bahwa pasangan calon mempelai yang usianya masih di bawah umur (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) pendaftaran nikahnya akan ditolak oleh Kantor Urusan Agama. Kemudian kepala Kantor Urusan Agama setempat menyampaikan usulan permohonan dispensasi nikah di bawah umur atas nama pasangan tersebut, kepada Ketua Pengadilan Agama yang menyatakan pihaknya tidak dapat menerima pendaftaran nikah atas nama pasangan tersebut, karena yang bersangkutan masih di bawah umur, serta memohon kepada Ketua Pangadilan agar yang bersangkutan segera diberikan dispensasi nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku.51 Permohonan disepensasi nikah yang masuk ke Pengadilan Agama dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mencapai 693 pasangan dalam arti bahwa dari perkawinan di bawah umur yang terlihat di permukaan di kalangan masyarakat Indramayu cukup banyak. Sebaliknya menurut keterangan beberapa informan perkawinan di bawah umur yang tidak nampak dipermukaan jumlahnya lebih banyak lagi, mengingat adanya budaya setempat yang berkeyakinan, bahwa orangtua tidak boleh menolak lamaran pihak laki-laki terhadap anak perempuannya, karena dikhawatirkan anaknya akan susah mendapatkan jodoh dihari depan.52 50 51 52
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangampel Muhson Ahmad, Wawancara tanggal 27 Juli 2012 Nur Amin, wawancara tanggal 28 Jul 2012
93
Muchit A. Karim dan Selamet
Ada beberapa upaya yang dilakukan para Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan di wilayah Kabupaten Indramayu berupaya untuk meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur. Pertama, sosialisasi pentingnya usia minimal dalam melaksanakan perkawinan terutama melalui ceramah-ceramah agama di masjidmasjid, serta lembaga pendidikan. Kedua, menekankan kepada PPN atau penghulu, untuk memperketat pelaksanaan perkawinan di bawah umur, dan menolak mereka yang akan menikah ketika batas usia belum sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 1974. Langkah-langkah semacam itu ditempuh, didasari atas arahan dari Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Indramayu dalam penerapan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.53
53
94
Jadwal Sahlan Kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Ampel Indramay Wawancara Juli 2012
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
BAB III PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KANTOR URUSAN AGAMA
A. Aspek Hukum Perkawinan Tidak Tercatat di Kantor Urusan Agama
U
ndang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyatakan tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pasal ini sesuai dengan pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam atau Inpres RI No. 1 tahun 1991 ayat (1) berbunyi agar terjamin ketertiban-ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, harus dicatat sedangkan ayat (2) berbunyi pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah. Pada ayat (1) pasal 5 KHI disebutkan ada kata harus dicatat, kata harus disini berarti wajib atau rukun karena dengan pencatatan itu akan mendatangkan kemaslahatan sedangkan kalau tidak dicatatkan akan mendatangkan kekacauan dan kemudlaratan, mendirikan kemaslahatan dan menolak kemudharatan hukumnya wajib. Karena pencatatan perkawinan mendatangkan kemaslahatan, maka seharusnya pencatatan perkawinan itu dijadikan salah satu rukun perkawinan pada zaman sekarang ini, oleh karena itu perkawinan yang tidak dicatatkan berarti tidak memenuhi rukun perkawinan, karena tidak memenuhi rukun perkawinan maka sudah dipastikan perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut hukum Islam.
95
Muchit A. Karim dan Selamet
Pada ayat 2 KHI disebutkan sahnya pencatatan itu harus dilakukan oleh petugas pencatatan nikah (KUA), analoginya jika pencatatan itu dilakukan oleh bukan Petugas Pencatat Nikah, maka nikahnya tidak sah karena selain PPN (KUA) tidak memiliki kewenangan untuk mencatatkan atau melangsungkan pernikahan. Begitu juga pada asal 6 ayat (1) KHI berbunyi: untuk memenuhi ketentuan pasal 5 KHI, setiap perkawinan harus dilangsungkan di bawah pengawasan pegawai pencatatan nikah. Oeh karena itu perkawinan yang dilakukan di luar petugas pencatat nikah maka nikahnya tidak sah, dan tidak sah juga menurut hukum Islam.54 Pencatatan perkawinan sebagai upaya untuk tertib administrasi dan merupakan kewajiban warga negara sehingga mereka yang menikah di bawah tangan atau tidak dicatat di Kantor Urusan Agama, tidak dijamin akibat administrasinya, dikarenakan mereka tidak punya bukti nikah. Bahkan oleh PP No. 9 tahun 1975 pasal 45 Jo pasal 3 dan PP No. 9 tahun 1975, mereka diancam dengan hukuman kurungan satu bulan atau dengan hukuman denda setinggitingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), dan orang yang menikahkan tanpa ada kewenangan diancam hukuman 3 bulan kurangan.55 Di Indonesia perkawinan tidak tercatat (atau sering juga disbut dengan istilah nikah siri diakui keberadaannya, sehingga di Indonesia ada dua pilihan hukum untuk melangsungkan perkawinan. Pertama, Pernikahan yang dilangsungkan melalui Pegawai Pencatat Nikah (Kantor 54
55
96
Soeleman Sholeh, Drs. MHI, Perkawinan dan Perceraian diawah tangan ditinjau dari Hukum Islam, Thesis Universitas Diponegoro, Semarang 2004, hal 22. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Perkawinan
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
Urusan Agama), yang dikenal dengan perkawinan secara resmi. Kedua: Perkawinan yang dilangsungkan di luar Pegawai Pencatat Nikah (KUA), biasanya dilakukan di hadapan tokoh masyarakat/ulama, yang dikenal dengan perkawinan tidak resmi/di bawah tangan/siri. Perkawinan tidak resmi atau siri biasanya dilakukan oleh pria yang ingin melangsungkan pernikahan untuk isteri kedua dan seterusnya, karena untuk beristri lebih dari satu orang (poligami) seorang pria harus mendapatkan izin dari pengadilan, sedangkan untuk mendapatkan izin dari pengadilan harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi serta ada izin dari istri pertama. Oleh karena itu pria yang ingin beristri lebih dari satu orang mereka lebih cepat mendatangi tokoh masyarakat atau ulama karena tidak ada syarat-syarat yang ditentukan. Jika perkawinan tidak tercatat tidak dicegah maka tokoh masyarakat atau orang-orang tertentu akan berlomba-lomba untuk menikahkan sebanyak mungkin, serta akan dijadikan sebagai ladang bisnis yang menggiurkan untuk mendatangkan uang. Perkawinan seperti ini bukan yang dikehendaki oleh syariah, karena tidak akan mendatangkan kemaslahatan oleh karena itu perlu ditanamkan kepada masyarakat bahwa perkawinan di bawah tangan/kawin siri tidak sah menurut hukum Islam karena tokoh masyarakat/ ulama/ustad/ulama tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pernikahan.56 Perlu dicatat bahwa perkawinan tidak tercatat banyak terjadi di Kabupaten Indramayu, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir tahun 2010-2012 mencapai 1.144 perkawinan tidak tercatat. Hal itu terlihat dari perkara isbat 56
Soekeman Sholeh, Opcit, hal 25-26
97
Muchit A. Karim dan Selamet
nikah yang masuk ke Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu.57 B. Makna Perkawinan Tidak Tercatat Bagi Pelakunya Untuk menggali bagaimana pelaku perkawinan tidak tercatat memaknai perkawinannya dalam menghadapi kehidupan rumah tangga, peneliti berusaha mewawancarai beberapa informan pelaku perkawinan tidak tercatat antara lain: 1. M, umur 65 tahun, pendidikan Sekolah Dasar, pekerjaan tani alamat Desa Pringgacala Blok Underan Kecamatan Karang Ampel, dan R umur 52 tahun, pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, pekerjaan tani alamat Desa Pringgacala Kecamatan Karang Ampel. Pasangan ini menikah tidak dicatatkan di Kantor Uruan Agama, karena suami R yang pertama telah meninggalkan dirinya selama 8 tahun, akibat gangguan jiwa dan sampai sekarang belum kembali. Akhirnya R mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, namun gugatan tersebut ditolak pengadian agama. Atas saran dari salah seorang petugas P3N kemudian ia menikah melalui salah seorang ulama setempat. Pelaksanaan akad nikah dilakukan seorang ulama dengan bantuan seorang petugas P3N dihadiri wali dan dua orang saksi. Setelah menikah dengan cara tidak resmi pasangan ini selalu berusaha untuk menciptakan keluarga yang harnomis, walaupun pernikahannya tidak tercatat di KUA, tidak dicatatkannya pernikahan tersebut karena biaya pernikahan di KUA, cukup mahal. Disamping itu pernikahan yang dilakukan secara siri, 57
98
Momon Abdurahman, Laporan Perkara Itsbat Nikah yang Diterima Pengadilan Agama 2010-2012
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
apabila dalam kehidupan rumah tanggannya terjadi konflik mudah untuk bercerai. Pasangan ini merasa rumah tangganya dalam mengarungi kehidupan sehari-hari cukup harmonis.58 2. S umur 35 tahun, pendidikan SD, pekerjaan tani, suku Jawa alamat desa Pringgacala Blok Underan Kecamatan Karang Ampel, dengan K 29 tahun, pendidikan MI pekerjaan tani, suku Jawa alamat Desa Benda Kecamatan Karang Ampel. Latar belakang perkawinan S dengan K adalah karena isteri S yang pertama meminta cerai, karena sudah mempunyai pria idaman lain (PIL) yang segera akan menikahi dirinya. Wanita yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi melalui perantara ketua RT setempat melakukan cerai di bawah tangan, surat cerai yang didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak yang diwakili orang tua isterinya ditanda tangani di atas materai. Berdasarkan surat cerai di atas, ia bermaksud menikah dengan pria pilihannya, namun pihak KUA tidak bisa mengabulkan permohonan pelaksanaan nikahnya, sebab ia tidak memiliki surat cerai dari pengadilan agama. Walaupun begitu melalui oknum mantan P3N pernikahannya dapat dilangsungkan dengan tidak dicatatkan di KUA, dengan kata lain pernikahannya dilakukan di bawah tangan sebagaimana dikemukakan informan bahwa kehidupan perkawinannya sampai saat
58
R, Wawancara 30 Juli 2012 di Indramayu
99
Muchit A. Karim dan Selamet
ini telah berlangsung selama 8 tahun, sudah dikarunia 2 orang anak. Dalam mengarungi kehidupan rumah tangga melalui perkawinan tidak tercatat, pasangan ini merasa hidup secara harmonis untuk membentuk keluarga harmonis menurut mereka tidak mesti harus menikah secara tercatat. Karena yang paling penting sah menurut agama, selain itu dalam rumah tangga harus saling asih dan menerima apa adanya keadaan masing-masing pasangan. Mereka berharap perkawinannya merupakan perkawinan yang terakhir.59 3. R bin K, umur 30 tahun, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan tani, tempat tinggal Blok Kalen Tengah Rt. 04 Rw. 03 Desa Sumuradem Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu. Dan J binti C, umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal Blok Kalen Tengah Rt. 04 Rw. 03 Desa Sumuradem Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu. Pada tanggal 18 Agustus 2002 pasangan ini telah melangsungkan pernikahan menurut agama Islam di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu; dengan wali nikah bernama Warga bin Carmadi sebagai kakak kandung, dihadiri oleh saksi-saksi antara lain bernama H. Madrisa dan Tarmun dengan mas kawin berupa uang sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dibayar tunai, akad nikahnya dilangsungikan antara R bin K dengan wali nikah W bin C pada saat pernikahan berlangsung pasangan ini tidak mengetahui apakah dihadiri oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra Kabupaten 59
S, wawancara 30 Juli 2012 di Indramayu
100
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
Indramayu atau tidak; ketika itu masing-masing berstatus jejaka dan perawan. Setelah berlangsungnya pernikahan mereka betempat tinggal di kediaman bersama, mereka telah hidup rukun sebagai mana layaknya suami isteri, dewasa ini mereka sudah dikarunia seorang anak perempuan bernama Wardah Jukayah. Akan tetapi setelah pernikahan berlangsung mereka tidak pernah menerima kutipan akta nikah dari Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu, setelah mengurus dan mengusut surat tersebut ternyata pernikahan pasangan ini tidak tercatat pada register Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra. Sehubungan dengan itu pasangan ini segera mengajukan permohonan penetapan isbat nikah ke Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu dan memohon kepada Ketua Pengadilan Agama segera memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk diitsbatkan pernikahannya yang telah dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 2002. Permohonan di atas dikuatkan dengan alat-alat bukti: a. Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu bernomor: tanggal diberi tanda P1; fotocopy Kartu Tanda Penduduk an. Ritno bin Kasim bernomor: 32.1224. 21281.0004 tanggal 22 Pebruari 2007, telah dicocokkan dengan aslinya, diberi tanda P2; foto kopi Kartu Tanda Penduduk an. Jukiyah bernomor: 32.1224.490377.0003 tanggal 5 Oktober 2009, telah dicocokan dengan aslinya, diberi tanda P3; foto kopi Kartu Keluarga no.
101
Muchit A. Karim dan Selamet
3212240106095735 tanggal 25 Juni 2010, dicocokan dengan aslinya, diberi tanda P4.
telah
b. Saksi I, Tarman Karban umur 60 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, tempat kediaman di Blok Kalen Tengah Rt. 04 Rw. 03 Desa Sumuradem Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu di bawah sumpah telah memberikan keterangan-keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut : 1) Saksi kenal dengan pasangan suami isteri tersebut karena merupakan tetangga 2) Selaku saksi pasangan ini akan mengisbathkan pernikahannya karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu 3) Saksi menyaksikan pernikahan pasangan tersebut pada tanggal 18 Agustus 2002 di wilayah KUA Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu. Saat menikah masing-masing pasangan ini berstatus jejaka dan perawan. Pernikahan tersebut dilaksanakan karena tidak ada kalangan perkawinan, dan selama ini pasangan tersebut belum pernah bercerai. 4. Saksi II Aripin bin Karpin umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, tempat kediaman di Blok Kalen Tengah Rt. 04 Rw. 03 Desa Sumuradem Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu di bawah sumpah telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sama seperti kesaksian saksi pertama, selanjutnya permohonan pasangan ini didiajukan ke Pengadilan Agama Indramayu, pada intinya
102
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
didasarkan pada pasal 7 (2) kompilasi Hukum Islam yakni pernikahannya tidak dapat dibuktikan dengan buku kutipan Akta Nikah karena tidak tercatat di Register Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi pernikahannya tersebut dilaksanakan. Mengacu pada berbagai pertimbangan di atas serta peraturan perundangan yang berlaku, Pengadilan Agama Indramayu menetapkan untuk: (a) Mengabulkan permohonan itsbat nikah pasangan ini, (b) Menetapkan sahnya perkawinan antara Ritno bin Kasim dan Jukiyah binti Carmadi, yang dilangsungkan pada tanggal 18 Agustus 2002 di wilayah KUA Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu, dan (c) Memerintakan kepada pasangan ini untuk mencatatkan pernikahannya pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu. Dalam mengemukakan pengalaman kehidupan rumah tangganya J menuturkan bahwa beberapa bulan setelah pernikahannya, ia mengandung dan melahirkan anak pertamanya laki-laki namun tidak berumur panjang. Pada kondisi semacam itu mereka berdua tetap tabah menghadapi cobaan hidup dan selalu memohon kepada Allah, agar kehidupan rumah tangganya lebih baik di masa datang, dan ia selalu membina hubungan baik dengan suaminya. Menjalankan kehidupan dengan saling menghormati, membagi peran sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai suami istri, yakni suami sebagai kepala keluarga mencari nafkah dan isteri membantu suami untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
103
Muchit A. Karim dan Selamet
Untuk itu J sebagai seorang istri yang merasa kondisi ekonomi rumah tangganya masih serba kakurangan ia bertekad bekerja sebagai TKW dan berangkat ke Taiwan pada tahun 2003. Penghasilan dari bekerja sebagai TKW selama 4 tahun dimanfaatkan untuk modal membangun rumah tangga yang lebih baik lagi. Suaminya yang hidup dari hasil pertanian selalu berusaha meningkatkan taraf hidup agar sejahtera, sehingga sepulang isterinya mereka bersepakat untuk membangun rumah yang sekarang ditempati. Pada taraf kehidupan yang semakin sejahtera dan bahagia, pada tahun 2008 mereka kembali dikarunia seorang anak perempuan bernama Wardah usia 4 tahun. Kelahiran anak perempuan tersebut menggugah pasangan ini untuk membuat akte kelahiran, dari sini muncul permasalahan bahwa perkawinannya ternyata tidak tercatat pada register KUA Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu, karena buku akte nikahnya palsu dewasa ini menurut Jukiyah kehidupan rumah tangga dirasa semakin harmonis. Kehidupan harmonis dalam keluarga diawali dengan niat menikah hanya untuk beribadah pada Allah SWT dan mengikuti sunah rasul. Dalam memilih pasangan juga harus diperhatikan agamanya. Apabila keluarga diwarnai dengan kehidupan yang religius, maka rumah tangga akan dipelihara dan dijaga oleh Allah SWT, sehingga rumah tangga tersebut akan hidup tentram dan bahagia. C. Latar Belakang Terjadinya Perkawinan Tidak Tercatat Fenomena perkawinan tidak tercatat merupakan fenomena yang banyak terjadi di tengah masyarakat baik pada masyarakat tradisional pedesaan maupun perkotaan
104
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
yang mungkin tingkat pola pikir mereka lebih maju disamping tercukupinya segala informasi dan pengetahuan kekinian. Meskipun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sudah berlaku sejak 37 tahun lalu, praktek perkawinan tidak tercatat masih saja terjadi dengan berbagai alasan. Di Kabupaten Indramayu menurut data perkara Istbat nikah yang masuk ke Pengadilan Agama pada kurun waktu 3 tahun terakhir 2010 s.d 2012 sebagaimana diungkapkan di atas tercatat sebanyak 1144 pasangan. Data tersebut jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain diseluruh Indonesia, merupakan peringkat teratas dalam kasus perkawinan tidak tercatat. Meningkatnya kasus perkawinan tidak tercatat di Indramayu menurut penuturan beberapa informan disebabkan karena: 1. Masih banyak terjadinya nikah perjodohan, keyakinan, ketidaktahuan masyarakat akan fungsi surat nikah, ekonomi, poligami, keteledoran aparat desa atau PPN, keterbatasan-keterbatasan administratif, janda, dan nikah yang tidak direstui orang tua. Dari beberapa penyebab terjadinya nikah tidak tercatat, faktor yang dominan adalah ekonomi. Hal ini dikemukakan Masturah bahwa kebanyakan masyakarat melakukan nikah tidak tercatat karena mereka tidak memiliki uang untuk membayar administrasi pernikahan di KUA.60Ada pula karena mereka menganggap pernikahan cukup dilakukan oleh seorang ulama. 2. Sulitnya mendapat izin istri sebelumnya, calon istri sudah hamil terlebih dahulu sebelum nikah, perselingkuhan menjaga diri dari perbuatan dosa (zina), calon istri mantan suaminya PNS atau TNI polri kedua mempelai sudah 60
Masturah, Wawancara tanggal 30 Juli 2012
105
Muchit A. Karim dan Selamet
sama-sama berusia lanjut tidak cukup syarat dan malas mengurus persyaratan sesuai dengan prosedur Pelaksanaan nikah tidak tercatat juga sering dilakukan masyarakat karena terlalu lama bertunangan, sehingga orang tua kedua belah pihak memilih untuk menikahkan anaknya secara tidak tercatat untuk menjaga diri dari perbuatan dosa (zina).61 Hal-hal di atas bila disimak lebih jauh sebenarnya bertentangan dengan wacana tentang perempuan yang kini banyak dibicarakan kaum feminis. Artinya disaat mereka berbicara tentang ketidak adilan gender justru kaum perempuan yang lain terjebak dalam ketidakadilan itu. Hal ini bisa terlihat bagaimana berlakunya hukum agama dan hukm adat terutama dalam membuat keputusan menikah membuat perempuan terjebak pada sistem patriarki.62 D. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat Perkawinan tidak tercatat mempunyai implikasi yang sangat merugikan bagi: 1. Istri atau perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum pihak perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia, dan tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan karena secara hukum perkawinan sulit untuk dibuktikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial akan sulit 61 62
Hj. Maskupa, Wawancara tanggal 26 Juli 2012 Syafruddin mantan Anggota DPRD Kabupaten Indramayu, Wawancara tanggal 3 Agustus 2012
106
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap sebagai isteri simpanan. Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki. Selain itu karena tidak memiliki bukti perkawinan perempuan juga tidak memiliki kekuatan dalam menyoal sikap suami untuk menikah lagi atau suami menelantarkan keluarga, dan tidak memperoleh hak yang sama dalam pemutusan perkawinan, dan dukungan pengasuhan anak. 2. Anak yang dilahirkan: a. Tidak syahnya perkawinan tidak tercatat menurut hukum negara memiliki implikasi negatif bagi status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekwensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya.63 Di dalam akta kelahiranpun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Selain itu ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu saat ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anak kandungnya. Hal ini merugikan anak karena tidak menerima haknya atas 63
Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
107
Muchit A. Karim dan Selamet
biaya kehidupan, pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. b. Implikasi sosial dan psikologis, keterangan berupa status anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak, secara sosial anak akan diklaim sebagai anak di luar nikah atau anak haram. Hal ini jelas akan mengganggu proses sosialisasi si anak dengan lingkungannya. Sehingga akhirnya akan menjadi beban bagi anak terhadap tumbuh dan kembangnya secara psikologis, dimana secara psikis anak juga belum siap dan mengerti dengan apa yang terjadi atas akibat perkawinan tidak tercatat. 3. Terhadap suami, hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah tidak tercatat dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan, karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang tidak tercatat dianggap tidak sah di mata hukum. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. 64 Memperhatikan betapa merugikannya perkawinan tidak tercatat terhadap pihak istri dan anaknya, maka tokoh masyarakat setempat Jadwal Syahlan melakukan upayaupaya untuk mensosialisasikan tentang pentingnya pelaksanaan perkawinan berdasarkan peraturan PerundangUndangan yang berlaku kepada masyarakat melalui 64
Http.Google.com, Problematika dan Implikasi Tangan/Nikah Siri, Kamis 08 Maret 2012
108
Perkawinan
di
Bawah
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
forum-forum pertemuan, misalnya majelis-majlis ta’lim, dll. Hal itu dilakukan agar tumbuh kesadaran hukum mereka sehingga tidak melaksanakan lagi perkawinan di bawah tangan, untuk menjaga hal-hal yang bersangkutan dan menjamin kepastian hukum, jika terjadi perceraian misalnya ada landasan hukum bagi seorang istri menuntut haknya seperti warisan dan nafkah anak. Jika dilangsungkan tidak melalui ketentuan perundangundangan, maka hak-hak yang bersangkutan akan dikebiri terutama istri dan anak. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihakpihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak dan lain-lain.65 Melalui pencatatan perkawinan juga dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masingmasing, karena dengan akta ini hak suami istri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi di antara mereka. Disisi lain untuk mencegah semakin berkembangnya praktek kawin tidak tercatat Abdul Madjid salah seorang tokoh agama di Indramayu, mengharap kepada pemerintah untuk meninjau kembali proses pencatatan perkawinan sebagaimana diatur oleh UndangUndang. Disamping itu, ia juga berusaha untuk menyadarkan masyarakat khususnya kaum perempuan 65
Jadwal Syahlan, Tokoh Agama, Wawancara tanggal 3 Agustsu 2012
109
Muchit A. Karim dan Selamet
akan pentingnya surat nikah, yang dilakukan oleh berbagai lembaga dan instansi secara masif, seperti lembaga keagamaan, pendidikan badan penasehat perkawinan di KUA. E. Respon Masyarakat, Ulama dan Pemerintah Terhadap Perkawinan Tidak Tercatat Sebagaimana dinyatakan Prof. Bagir Manan, pencatatan merupakan sesuatu yang penting saja tidak mengurangi keabsahan perkawinan bila tidak dicatatkan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, sahnya perkawinan tidak disangkutpautkan dengan pencatatan. Namun demi keamanan dan mempermudah pembuktikan alangkah baiknya perkawinan yang dilangsungkan dicatatkan pula pada Kantor Urusan Agama (untuk muslim) atau Dinas Catatan Sipil (bagi non muslim). Karena ada sebagian praktisi hukum seperti hakim dan panitera berpendapat, sahnya perkawinan juga ditentukan dengan dicatatkan atas tidak dicatatkan.66 Dari sini muncul pilihan hukum untuk melangsungkan perkawinan di luar pegawai pencatat pernikahan yang biasanya dilakukan di hadapan tokoh masyarakat/ulama, yang dikenal dengan perkawinan tidak resmi/tidak tercatat/siri. Perkawinan tidak tercatat biasanya dilakulan oleh pria yang ingin melangsungkan pernikahan untuk istri kedua dan seterusnya, karena untuk beristri lebih dari satu orang seorang pria harus mendapat ijin dari pengadilan sedangkan untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi serta ijin dari istri yang pertama. 66
110
Basuni-Bahrmid Panjaitan, Blogspotcom Kisman, Menuju Indonesia, Perkawinan tidak Tercatat, Jum‟at 29 Juli 2011.
Sosialisme
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
Oleh karena itu pria yang ingin beristri lebih dari satu orang mereka lebih suka mendatangi tokoh masyarakat/ulama karena tidak ada syarat-syarat yang ditentukan.67 Pendapat di atas sejalan dengan pandangan ulama Indramayu H. Mafri salah seorang alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Universitas Hasyim Asyhari Jombang Jawa Timur, yang menyatakan perkawinan tidak tercatat sah menurut ajaran agama, dalam kaitan ini ia mengemukakan dalil ‚qaidah fiqliyah‛ yang menyatakan: ‚Darul Mafasid Muqadamun ‘ala jalbil mashalih‛ yang artinya menghindari kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Berdasarkan pandangan tersebut, dia sering diminta masyarakat untuk mengawinkan anaknya secara tidak tercatat. Menurutnya perkawinan tidak tercatat masih banyak dilakukan masyarakat melalui jasa para naib dan tokoh agama setempat.68 1. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa dicatat Kantor Urusan Agama hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan pada zaman sekarang, karena itu nikah tidak tercatat termasuk yang dilarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat. Pandangan ini mengilhami sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Hal itu terlihat pada dibuatnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, PP Nomor 9 tahun 1975, UU No. 7 tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam dll, Peraturan perundang-undangan tersebut dibuat untuk 67 68
Soleman Soleh, Pernikahan dan Penceraian di bawah Tangan ditinjau dari Hukum Islam, hal. 26 H. Mufri Alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Universitas Hasyim Asyhri Jombang Jawa Timur, Ulama dan Tokoh Agama Indramayu Wawancara 3 Agustus 2012
111
Muchit A. Karim dan Selamet
mengatur kehidupan manusia di Indonesia agar mereka hidup penuh dengan kedamaian dan kasih sayang antara satu sama lain, terutama dalam menghadapi kehidupan keluarga agar mereka hidup secara harmonis. Dengan begitu kedua peraturan perundangan di atas menghendaki agar perkawinan itu dicatatkan karena jika perkawinan itu tidak dicatatkan akan terjadi kekacauan dan kemadlaratan, karena kemungkinan besar perkawinan itu akan tidak terkontrol, banyak orang yang kawin cerai, atau berkali-kali menikah akan mengaku belum pernah menikah, yang pada akhirnya mengakibatkan kemadlaratan yang amat besar bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dan tidak diketahui siapa ayah kandung yang sebenarnya, karena tidak akan bisa diingat lagi siapa yang sudah menikah dan siapa yang belum menikah, tapi kalau dicatatkan akan diketahui pernikahan seorang dan akan dikontrol serta dapat diketahui pula nama orang tua seseorang.69 Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan ‚Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku‛ atau sesuai dengan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam/Impres No.1 tahun 1991, ayat (1) berbunyi : ‚Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus dicatat, sedangkan ayat (2) berbunyi ‚pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) sahnya pencatatan harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (KUA), analoginya jika pencatatan dilakukan oleh 69
Soleman Soleh Drs. MH, Perkawinan dan Perceraian di bawah Tangan ditinjau dari Hukum Islam. Pengadilan Agama Tigaraksa, hal. 15
112
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
bukan petugas pencatat nikah, maka nikahnya tidak sah, karena selain PPN (KUA) tidak memiliki kewenangan untuk mencatatkan atau melangsungkan pernikahan. Begitu pula pasal 6 ayat (1) KHI mnyatakan untuk memenuhi ketentuan pasal 5 KHI, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pegawasan pegawai pencatat nikah, yang mengandung makna perkawinan wajib dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah, maka nikahnya tidak sah pula menurut hukum Islam. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah lembaga yang ditunjuk presiden RI untuk menangani perkawinan bagi orang yang beragama Islam, sehingga para petugas pencatat nikah KUA telah disumpah oleh pemerintah agar mereka dapat menjalankan tugas sesuai dengan jabatan yang diembannya. Dengan ‚tauliyah‛ ini KUA mempunyai kewenangan mutlak untuk menangani masalah pernikahan bagi mereka maupun lembaga swasta, golongan, pribadi tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pernikahan. Atas dasar kewenangan tersebut maka KUA seluruh kabupaten Indramayu berdasar KMA No. 517 tahun 2011, pasal 2 mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota dibidang urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan, salah satunya adalah melayani pelaksanaan nikah dan pencatatannya. Masyarakat yang berada di wilayah KUA masing-masing kecamatan jika akan melangsungkan akad nikah sebagian mereka langsung datang ke pembantu penghulu, semua urasan yang berkaitan dengan
113
Muchit A. Karim dan Selamet
administrasi pencatatan nikah (calon pengantin) minta diselesaikan oleh Pembantu Penghulu (P3N), seperti surat keterangan nikah dari RT, RW dan kelurahan, sedangkan Kartu Keluarga dan foto copy KTP, pas foto 2 x 3 sebanyak 5 lembar diserahkan ke Pambantu Penghulu. Kemudian semua persyaratan oleh pembantu Penghulu diserahkan ke KUA, yang diterima oleh staf pelaksana KUA. Sebelum hari H perkawinan (hari kesepuluh) pasangan calon pengantin dipanggil oleh Kepala KUA untuk diberi penasehatan perkawinan. Pelaksanaan nikah diselenggarakan di rumah calon isteri sesuai dengan tanggal dan hari yang telah ditetapkan. Selesai akad nikah langsung diberikan buku akta nikah. Tetapi apabila calon suami istri langsung datang ke KUA melapor untuk melaksanakan pernikahan di kantor, maka semua persayaratan seperti surat keterangan akan menikah dari RT, RW dan kelurahan, Kartu Keluarga, foto copi KTP, pas poto ukuran 2 x 3 sebanyak 5 lembar, semua disiapkan/diurus sendiri oleh calon pengantin. Untuk menghindari adanya praktik perkawinan tidak tercatat, KUA telah menghimbau masyarakat melalui penyuluhan maupun saat mengawasi peristiwa akad nikah, bila calon pengantin diketahui sesuai pengakuan ataupun berdasarkan keterangan saksi-saksi maka disarankan untuk mengajukan permohonan istbat nikah ke Pengadilan Agama.70
70
Mahya Drs. Seksi Urusan Agama Kantor Kementrian Agama Kabupaten Indramayu, Wawancara 28 JUli 2012/
114
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
F. Upaya-Upaya Pemerintah Mengatasi Perkawinan Tidak Tercatat Untuk mengatasi banyaknya pasangan nikah tidak tercatat di daerahnya, empat tahun lalu pemerintah daerah Indramayu telah membuat terobosan kebijakan melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menggandeng Kantor Kementrian Agama dan Kantor Pengadilan Agama, meluncurkan program bernama Isbat Nikah. Melalui program itu, pasangan nikah tidak tercatat bisa diputihkan atau dilegalkan status perkawinannya dan dicatatkan di Pengadilan Agama berdasarkan waktu saat nikah itu dilakukan. Dengan cara begitu, anak-anak yang lahir juga memiliki kedudukan hukum yang kuat. Si anak juga memiliki hak memperoleh pelayanan administrasi kependudukan, berupa akta kelahiran. Selain itu, tentu saja, hak hukumnya sebagai ahli waris dari orang tuanya juga terjamin. Program ini awalnya bertujuan melindungi hak hukum anak-anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat. Bagaimanapun, mereka harus memperoleh akta kelahiran. Hanya, kami dihadapkan pada banyaknya anak yang lahir dan ibunya tidak bisa menunjukkan buku nikah. Dari situ, Pemerintah Kabupaten Indramayu lalu mencari jalan keluar, caranya dengan isbat nikah.71 Isbat nikah berbeda dengan pernikahan massal. Solusi yang dijalani banyak daerah dalam mengatasi nikah siri atau kawin kiai. Dalam pernikahan masal, waktu nikah yang tercatat di dalam buku disesuiakan dengan kapan pernikahan massal itu diselenggarakan. Jika begitu, bagaimana nasib 71
Cecep Nana Suryana Kepala Disdukcapil Kabupaten Indrayamu, Istbat Nikah Solusi Arif.
115
Muchit A. Karim dan Selamet
anak-anaknya yang sudah lahir lebih dulu jauh sebelum orangtuanya dinikahkan secara masal‛ pernikahan masal bukan solusi. Dari situlah, hasil konsultasi dengan Kantor Kementrian Agama Kabupaten dan Pengadilan Agama, akhirnya dicari jalan keluar berupa isbat nikah. Sejak isbat nikah dijadikan kebijakan, Disdukcapil Indramayu aktif menginventarisasi pasangan nikah tidak tercatat melalui Kecamatan, Desa dan Kantor Urusan Agama di Kecamatan, pasangan nikah tidak tercatat (siri) didaftarkan dan bila terkumpul kemudian pelaksanaan isbat nikah dilakukan masal di kantor kecamatan. Selama empat tahun, sudah ribuan pasangan nikah tidak tercatat yang dilegalkan. Pelaksanaannya di kantor Kecamatan setelah mereka didaftar. Petugas dari Pengadilan Agama datang ke kecamatan untuk pelaksanaan isbat nikah masal itu. Akta kelahiran anak-anaknya tentu saja tercatat sebagai anak dari pasangan orang tua, bukan anak seorang ibu. Yang menjadi persoalan ialah bila pasangan nikah siri itu ternyata orang dari luar daerah. Kasus terbitnya akta kelahiran dengan status anak seorang ibu terjadi bila pasangan si ibu berasal dari luar kota dan telah bercerai. Kalau pasangannya sudah tidak ada, baru akta kelahiran anaknya tertulis status anak seorang ibu. Di Indramayu, tidak sedikit kawin tidak tercatat yang pasangannya pria dari luar negeri, terutama Timur Tenga, biasanya terjadi pada TKW. Untuk isbat nikah, Pemkab Indramayu menanggung seluruh biaya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat. Untuk biaya administrasi di Kantor Urusan Agama, dialokasikan Rp.80.000 per pasangan, dan untuk Pengadilan Agama Rp.251.000 per pasangan. Mekanis-
116
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
me pembayarannya dari Pemkab ke Pengadilan Agama yang besarnya disesuaikan dengan jumlah berapa pasangan tidak tercatat yang diputihkan status perkawinannya melalui isbat nikah. Ketua Pengadilan Agama Indramayu Drs. H. Misbachul Muin mengatakan, isbat nikah merupakan terobosan terbaik mengatasi pasangan nikah tidak tercatat. Karena alasan utama praktik nikah tidak tercatat di Indramayu adalah ekonomi, program isbat nikah yang ditanggung oleh APBD merupakan upaya penyelesaian tuntas. Apa yang telah dilakukan di Indramayu sepertinya sangat relevan bila dilaksanakan secara nasional, apalagi di tengah polemik pemidanaan pelaku nikah tidak tercatat. Soal bantuan APBD itu bergantung pada komitmen pemerintah daerah masing-masing, sejauh mana kepeduliannya dalam melindungi hak hukum masyarakatnya. Di Indramayu, isbat nikah dilaksanakan secara berkala. Biasanya, sekali dalam 4-6 bulan. Pelaksanaan, sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan setiap hari Jum’at, bertempat di kantor kecamatan. Sebelum pelaksanaan isbat nikah masal, riwayat pernikahan semua pasangan diveritifikasi terlebih dulu oleh petugas di Kantor Urusan Agama. Kalau yang nikah tidak tercatat ternyata tidak sah (tidak memenuhi rukun pernikahan sesuai syariah), hakim Pengadilan Agama akan menolak. Solusinya, nikah tidak tercatatnya disahkan terlebih dulu sesuai dengan ketentuan agama, baru bisa isbat nikah. Isbat nikah dilakukan hari Jum’at soalnya, pada hari itu, biasanya relatif sepi sidang. Kami mengirim tiga hakim agama ke kantor kecamatan, katanya. Setiap akan ada penyelenggaraan isbat nikah, pasangan nikah tidak tercatat didata oleh aparat desa
117
Muchit A. Karim dan Selamet
kemudian dilaporkan ke kecamatan dan Kantor Urusan Agama. Setelah diverifikasi, nantinya ada penilaian lain, yakni riwayat anak-anaknya. Untuk pasangan nikah siri yang anaknya bertatus pelajar, biasanya akan diprioritaskan. Tidak saja komitmen soal hak perlindungan hukum dan pelayanan administrasi kependudukan, ada juga komitmen melindungi hak-hak pendidikan anak-anaknya. Setelah isbat nikah, Pemkab Indramayu melalui Disdukcapil langsung mengurus kepentingan berkaitan dengan administrasi kependudukan. Pasangan nikah tidak tercatat yang telah diputihkan langsung diminta agar mengurus Kartu Keluarga (KK) dan akta kelahiran bagi anak-anaknya. Untuk keluarga miskin dan punya anak berprestasi di sekolah, proses pembuatan KK dan akta kelahirannya gratis, itu belum termasuk ada jaminan asuransi. Untuk program terobosan di bidang kependudukan itu, Pemkab Indramayu telah memperoleh penghargaan dari Unicef di tahun 2007 lalu. Sejak itu, banyak pemerintah daerah lain yang datang ke daerah di Pantai Utara itu untuk studi banding. Kabupaten Indramayu dinilai berhasil mengelola persoalan nikah tidak tercatat tanpa mempermasalahkan para pelaku. Ketika pemidanaan pelaku nikah tidak tercatat menjadi kontroversi, tampaknya isbat nikah menjadi solusi yang arif.72
72
Web: http://newspaper, Pikiran Rakyat.com/PR Print.php?mib=berita detail&id=134057 2010/3/mg (khs 579@...>:> Nikah Siri >aCoe kawin kiai a EIIlalu, Berazhlah Mereka….
118
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perkawinan dalam usia muda pada umumnya dilakukan warga Indramayu, karena faktor kultural yaitu keyakinan bahwa orang tua tidak boleh menolak laki-laki yang melamar anak perempuannya, sebab apabila hal itu dilakukan, maka anak gadisnya akan sulit memperoleh jodoh dimasa-masa yang akan datang. Masyarakat menghindari stigma sebutan perawan tua sehingga mereka berupaya mempercepat pelaksanaan perkawinan anaknya dengan berbagai alasan. Selain itu perkawinan di bawah umur pun kental dengan aroma dan motif ekonomi. Keluarga yang ekonominya lemah akan segera menikahkan anaknya agar terbebas dari pembiayaan kehidupan sehari-hari. Ada juga masyarakat yang menggunakan terminologi agama, norma agama yang tidak mengharamkan pernikahan di bawah umur dijadikan alasan oleh mereka untuk segera menikahkan anaknya walaupun masih di bawah umur, selain itu adanya kecenderungan berkembangnya pergaulan bebas remaja dan anak-anak. 2. Menurut pengalaman pelaku perkawinan di bawah umur, menunjukkan bahwa pada awal kehidupan rumah tangganya, pasangan usia muda berusaha menjalin hubungan mesra, saling menghormati, saling mengasihi, menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing
119
Muchit A. Karim dan Selamet
kedua belah pihak saling menerima kondisi pasangannya, dengan cara itu kehidupan keluarga terasa damai dan sejahtera. Akan tetapi setelah perkawinannya berjalan beberapa tahun dan dikarunia beberapa anak, kondisi semacam itu tidak bisa dipertahankan, karena prahara rumah tangga mengancam kehidupan keluarga dan menyulut konflik keluarga yang sulit dicarikan solusinya. Lantas pasangan tersebut akhirnya memutuskan untuk bercerai. 3. Perkawinan di bawah umur mempunyai berbagai dampak dari segi hukum dianggap melanggar peraturan perundangan; Secara biologis alat-alat reproduksi anakanak masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenis, apalagi jika sampai hamil dan melahirkan, karena dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya dan sampai membahayakan anak; Secara psikis anak belum siap dan mengerti tentang hubungan seks sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan bagi anak yang sulit disembuhkan; Perkawinan di bawah umur memaksa kedua mempelai untuk meninggalkan pendidikan formal. Tidak saja terputusnya pendidikan tapi juga memangkas potensi untuk tumbuh dan berkembang, serta menutup kemungkinan anak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena keterbatasan jenjang pendidikan. 4. Pembatasan usia nikah seperti yang dikehendaki UU Perkawinan yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, ternyata memberikan toleransi bagi mereka
120
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
yang usianya belum mencukupi dengan memberikan surat dispenasi nikah dari Pengadilan Agama, atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak orang tua pihak pria maupun wanita. 5. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tercatat sebanyak 1.144 pasang perkawinan tidak tercatat. Meningkatnya kasus perkawinan tidak tercatat di Indramayu disebabkan masih banyak terjadinya nikah perjodohan, keyakinan, ketidaktahuan masyarakat akan fungsi surat nikah, faktor ekonomi, poligami, serta keteledoran aparat desa atau PPN, keterbatasan administratif, janda, dan nikah yang tidak direstui orang tua. 6. Menurut pengalaman pelaku perkawinan tidak tercatat, dalam mencapai kehidupan rumah tangga yang harmonis sebenarnya pernikahan tidak harus dicatat di Kantor Urusan Agama. Karena yang terpenting adalah sah menurut agama, selain itu dalam kehidupan rumah tangga antara suami istri harus saling asih dan menerima keadaan masing-masing, mampu membagi peran sesuai dengan hak dan kewajiban suami istri, suami sebagai kepala keluarga berkewajiban mencari nafkah untuk memenuhi kebututan sehari-hari, dan istri membantu suami mentasarufkan harta sesuai dengan kebutuhannya. 7. Perkawinan tidak tercatat mempunyai implikasi yang merugikan istri atau perempuan pada umumnya baik secara hukum maupun sosial, secara hukum pihak perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami, dan tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan tidak bisa dibuktikan, secara
121
Muchit A. Karim dan Selamet
sosial akan sulit bersosialisasi karena perempaun yang melakukan perkawinan tidak tercatat dianggap sebagai istri simpanan. Karena tidak memiliki bukti perkawinan, maka ia tidak memiliki kekuatan menyoal sikap suami untuk menikah lagi; Bagi anak, bahwa status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Dalam akta kelahiran status anak dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan ibu yang melahirkannya. Status anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak. 7. Untuk mengatasi banyaknya pasangan nikah tidak tercatat di daerah Kabupaten Indramayu telah membuat terobosan kebijakan melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menggandeng Kantor Kementrian Agama dan Kantor Pengadilan Agama meluncurkan program istbat nikah. Pasangan perkawinan tidak tercatat bisa diputihkan status perkawinannya dan dicatatkan di Pengadilan Agama, berdasarkan saat nikah tidak tercatat dilakukan. Dengan cara begitu anak yang dilahirkan juga memiliki kedudukan hukum yang kuat. Anak memiliki hak memperoleh pelayanan administrasi kependudukan, hak waris dari orang tuanya juga terjamin. B. Rekomendasi 1. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang pentingnya kematangan dan kedewasaan calon pengantin dalam perkawinan untuk menghadapi kehidupan rumah tangga, karena semakin dewasa calon pengantin, semakin matang fisik dan mantap jiwa mental seseorang, akan
122
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
semakin mampu kehidupan.
menghadapi
tantangan-tantangan
2. Untuk mengurangi terjadinya kasus perkawinan di bawah umur di Indramayu, karena pada umumnya masyarakat ketika akan mengurus surat nikah anaknya yang usianya masih di bawah ketentuan Undang-Undang Perkawinan, oleh aparat desa maupun P3N dicatat bahwa usia mereka telah memenuhi ketentuan Undang-Undang Perkawinan yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Hal ini disebabkan orangtua maupun aparat desa tidak mempunyai catatan kelahiran anak tersebut. Aparat desa cenderung mengikuti keinginan orang tua ‚caten‛ agar secepatnya dapat dilaksanakan pernikahan. Menghadapi kondisi semacam itu perlu segera lebih ditertibkan administrasi kependudukan oleh pemda setempat, serta pembinaan lebih jauh terhadap P3N agar mereka dalam melakukan pendaftaran nikah lebih berpegang pada peraturan perundangan yang berlaku. 3. Perlu lebih ditingkatkan koordinasi antara Kantor Kementrian Agama dengan Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu dalam penanganan dispensasi dan istbat nikah. Hal ini dilakukan untuk lebih menekan terjadinya kasus perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat di KUA.
123
Muchit A. Karim dan Selamet
124
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
DAFTAR PUSTAKA Aos Sutisna, Peran Penghulu Dalam Menjalankan Hukum Islam di Indonesia, Dalam Aqil Mubarak, Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004 Basuni-Bahmisd Panjaitan, Blogspot.com, Menuju Kisaran Sosioalisme Indonesia, Parkawinan Tidak Tercatat, Jum’at 29 Juli 2011. Departemen Agama RI Ditjen Birnas Islam dan Urusan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Panduan Konseling Perkawinan, Jakarta, 2004. Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta, Raja Grafindo, 2003. Gunarso, Singgih D. 2007. Psikologi Untuk Keluarga, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Http.Google.com, Sejarah dan Hukum Nikah Siri 03 Mei 2011. Kementerian Agama RI, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Batasan Umur Calon Pengantin Hukum Perkawinan Katolik. Yosep Komingman. Kementerian Agama RI, Renstra Kementerian Agama RI, Tahun 2009 - 2014. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 214/PI/1988, Tanggal 22 Juli 1991 dan Keputusan Nomor 1073-PID/1994, Tanggal 4 Februari Tahun 1995.
125
Muchit A. Karim dan Selamet
Komnas Perempuan, Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Kepada Komite CEDEW mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia, Jakarta 2011. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1993. Lijan Poltak Sinambela dkk. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan ke empat Tahun 2008. Mahkamah Agung, Pustusan Mahkamah Agung RI No. 1976 K/PDT/2007, tentang Gugatan PErdata Tjia Mei Joeng dengan Lion Tjoeng Tjen. Muh,
Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Undang-Undang Perkawinan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 2001.
Muhammad Amin Suma, Prof. Dr, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2004. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Jo UU Nomor 22 Tahun 1946 Jo UU Nomor 32 Tahun 1954. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat, Optimalisasi Peran KUA melalui Jabatan Fungsional Penghulu, Jakarta 2003 -----, Problematika Perkawinan Di bawah Tangan/Nikah Siri, Kamis 08 Maret 2012
126
Pelaksanaan Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten...
Suryadi, Erna. Kekerasan Suami Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Keluarga Plural, (KDRT/Domistic Violence). Disertasi pada Universitas Indonesia, Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi. Jakarta, 2008. Soleman Shaleh, Perkawinan dan Perceraian Di bawah Tangan Ditinjau dari Hukum Islam Thesis Univeristas Diponegoro, Semarang 2004. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Syamsul Hadi, Pesantren Se-jawa Madura Nyatakan Nikah Siri sah, Detik Surabaya.
127
Muchit A. Karim dan Selamet
128
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
BAGIAN
4
PROBLEM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH Oleh: Muchtar dan Agus Mulyono
129
Muchtar dan Agus Mulyono
130
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
BAB I GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Geografi, Demografi dan Administrasi Pemerintahan
K
abupaten Brebes yang merupakan wilayah paling barat dari Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayahnya 1.657,73 km², jumlah penduduknya sekitar 1.732.719 jiwa (2010). Ibukotanya ada di Brebes. Brebes merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk paling banyak di Jawa Tengah.73 Pada umumnya Kabupaten Brebes terkenal dengan hasil produksi bawang merah dan industri telor asin di samping pertanian sebagai mata pencaharian utama. Kabupaten Brebes merupakan salah satu wilayah daerah tingkat II yang termasuk dalam program pengembangan wilayah provinsi yang mempunyai sifat sebagai wilayah pantai dan pertanian. Kabupaten Brebes terletak di bagian Utara paling Barat Provinsi Jawa Tengah. Penduduk Kabupaten Brebes mayoritas menggunakan bahasa Jawa yang yang mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh daerah lain, biasanya disebut dengan Bahasa Jawa Brebes. Namun sebagian penduduk Kabupaten Brebes juga bertutur dalam bahasa Sunda dan banyak nama tempat yang dinamai dengan bahasa Sunda menunjukan bahwa pada masa lalu wilayah ini adalah bagian dari wilayah Sunda. Daerah yang masyarakatnya sebagian besar menggunakan bahasa Sunda atau biasa disebut dengan Bahasa Sunda Brebes, adalah meliputi Kecamatan Salem, Banjarharjo, dan Bantarkawung, 73
Selanjutnya lihat http://www.jateng.kemenag.go.id/brebes/index.php?pilih=download&mod=yes diakses tanggal 3 Agustus 2012
131
Muchtar dan Agus Mulyono
dan sebagian lagi ada di beberapa desa di Kecamatan Losari, Tanjung, Kersana, Ketanggungan dan Larangan Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (sekarang disebut sebagai Kali Brebes atau Kali Pemali yang melintasi pusat Kota Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Ibukota kabupaten Brebes terletak di bagian timur laut wilayah kabupaten. Kota Brebes bersebelahan dengan Kota Tegal, sehingga kedua kota ini dapat dikatakan "menyatu". Brebes merupakan kabupaten yang cukup luas di Provinsi Jawa Tengah. Sebagian besar wilayahnya adalah dataran rendah. Bagian barat daya merupakan dataran tinggi (dengan puncaknya Gunung Pojoktiga dan Gunung Kumbang), sedangkan bagian tenggara terdapat pegunungan yang merupakan bagian dari Gunung Slamet. Secara administratif Kabupaten Brebes terbagi dalam 17 kecamatan, yang terdiri atas 292 desa dan 5 kelurahan. Kecamatan-kecamatan yang terdapat di Kabupaten Brebes, yaitu: Banjarharjo, Bantarkawung, Brebes, Bulakamba, Bumiayu, Jatibarang, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Losari, Paguyangan, Salem, Sirampog, Songgom, Tanjung, Tonjong dan, Wanasari komoditi tersebut.
132
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
B. Kehidupan Sosial, Budaya, dan Agama Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trade mark mengingat posisinya sebagai penghasil terbesar di tataran nasional. Pusat bawang merah tersebar di 11 kecamatan yaitu Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tonjong, Losari, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Songgom, Jatibarang, dan sebagian Banjarharjo. Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan di Brebes. Dari sekitar 1,7 juta penduduk Brebes, sekitar 70 persen bekerja pada sektor pertanian. Sektor ini menyumbang 53 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Brebes, yang 50 persen dari pertanian bawang merah. Budidaya bawang merah diperkirakan mulai berkembang di Brebes sekitar tahun 1950, diperkenalkan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Brebes. Hingga kini budidaya bawang merah menjadi napas kehidupan masyarakat. Berbagai varietas bawang unggulan juga dihasilkan dari Brebes, antara lain varietas Bima Brebes yang berwarna merah menyala, rasa lebih pedas, dan lebih keras dibandingkan bawang dari luar daerah atau luar negeri. Saat ini, sekitar 23 persen pasokan bawang merah nasional berasal dari Brebes. Sementara untuk wilayah Jawa Tengah, Brebes memasok sekitar 75 persen kebutuhan bawang merah. Sektor industri merupakan salah satu sektor penting dalam membantu laju perekonomian, oleh sebab itu keberadaan industri sebagai salah satu pilar perekonomian di Kabupaten Brebes telah memberi pengaruh dalam perekonomian daerah, meskipun secara demografi mata pencaharian sebagaian besar penduduk adalah sebagai petani. Kegiatan Industri di Kabupaten Brebes dibagi menjadi
133
Muchtar dan Agus Mulyono
beberapa kelompok dan cabang yaitu kelompok industri formal cabang agro, kelompok industri formal cabang tekstil dan kelompok industri formal cabang logam, mesin dan elektronik. Industri yang ada di Kabupaten Brebes meliputi industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri rumah tangga. Kelompok industri besar merupakan industri formal agro (pabrik teh, pabrik jamur, pabrik gula dan gondorukem). Kelompok industri kecil yang ada di Kabupaten Brebes meliputi industri kecil formal dan non formal. Kelompok industri kecil formal terdiri dari cabang industri agro; elektronika dan aneka; mesin, logam, dan perekayasaan. Sedangkan kelompok industri non formal meliputi industri kimia, agro dan hasil hutan serta elektronika dan aneka. Kelompok industri kecil yang ada di Kabupaten Brebes meliputi industri kecil formal dan non formal. Kelompok industri kecil formal terdiri dari cabang industri agro, elektronika dan aneka, mesin, logam, dan perekayasaan. Sedangkan kelompok industri non formal meliputi industri kimia, agro dan hasil hutan serta elektronika dan aneka. C. Kehidupan Keagamaan Kehidupan kegamaan di Kabupaten Brebes secara umum cukup kondusif. Namun demikian, pernah terjadi gesekan antarumat dan intern umat beragama di antaranya tahun 2010 karena ada rumah penduduk yang dijadikan tempat ibadat Kristen Jawa di RT 02/03 desa Tanjung, Kecamatan tanjung, Kab. Brebes. Di kalangan intern umat beragama Islam pernah terjadi kasus yang dapat memecah belah kerukunan intern umat Islam, dengan adanya pendirian masjid An Nur Jl. Yos Sudarso yang lokasinya berdekatan
134
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
kurang lebih 300 m dari masjid Al Mukaromah Islamic Center. Namun gesekan tersebut telah diselesaikan dengan baik.74 Menurut data Kantor Kementerian Agama Kabupaten Brebes 2012 jumlah umat Islam sebanyak 1.946.236 jiwa, Kristen 2.538 jiwa, Katolik 2.343 jiwa, Hindu 193 jiwa, Budha 554 jiwa dan, Khonghucu 132 jiwa. Dan jumlah tempat ibdat Masjid sebanyak 1.153 buah, Musholla 162 buah, Langgar 5.152 buah, Gereja 17 buah, Vihara 1 buah, dan Klenteng 2 buah. Jumlah penyuluh PNS sebanyak 16 orang dan penyuluh non-PNS sebanyak 447 orang.75 Menurut data Pengadilan Agama Brebes, pada tahun 2010 terdapat 1 perkara pembatalan perkawinan, 894 perkara cerai talak, 2.700 perkara cerai gugat, 2 perkara izin poligami, 6 perkara itsbat nikah dan 3 perkara dispensasi kawin. Pada tahun 2011 terdapat 1 perkara pembatalan perkawinan, 1.092 perkara cerai talak, 2.855 perkara cerai gugat, 3 perkara izin poligami, 11 perkara itsbat nikah dan 17 perkara dispensasi kawin. Dan pada tahun 2012, data sampai bulan Juli terdapat 1 perkara pembatalan perkawinan, 659 perkara cerai talak, 1.663 perkara cerai gugat, 4 perkara izin poligami, 6 perkara itsbat nikah dan 16 perkara dispensasi kawin.
74 75
Wawancara dengan Akrom J Daosat pada tanggal 30 Juli 2012 Data Keagamaan Seksi Penamas Kantor Kementerian Agama Kab. Brebes 2012
135
Muchtar dan Agus Mulyono
136
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
BAB II TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaaan Perkawinan di Bawah Umur 1. Penyebab Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur
M
enurut data dari Pengadilan Agama Kab. Brebes, pada tahun 2010 dan 2011 terdapat 2 orang laki-laki yang usianya di bawah 19 tahun melakukan perkawinan di bawah umur, yaitu di KUA Kecamatan Brebes.76 Dan setelah dikonfirmasi ke Kepala KUA Kecamatan Brebes pelaku pernikahan di bawah umur tersebut sudah tidak tinggal di wilayah Kec. Brebes, namun di Jakarta.77 Mereka melakukan pernikahan di bawah umur diantaranya karena sudah sedemikian eratnya hubungan mereka di mana mereka tinggal di Jakarta yang jauh dari pemantauan orang tua. Juga karena mereka menjalin pergaulan tidak sehat yang mengakibatkan perempuan hamil duluan. Setelah mereka pulang ke Brebes, mengajukan permohonan ke KUA tetapi ditolak karena belum cukup umur. Kemudian mereka mengajukan ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan dispensasi nikah.78 Setelah memperoleh surat dispensasi nikah dari PA, maka permohonan nikah ke KUA dapat diproses dan melanjutkan ke jenjang pernikahan secara sah. 76 77 78
Data diambil dari Kantor Kementerian Agama Kab. Brebes, data usia kawin Kabupaten Brebes tahun 2010 dan tahun 2011 Wawancara dengan Sodiqin tanggal 30 Juli 2012 Hasil Salinan Penetapan Pengadilan Agama Kabupaten Brebes No. 0019/Pdt.P/2011/ PA.Bbs
137
Muchtar dan Agus Mulyono
Pernikahan di bawah umur juga terjadi di wilayah kecamatan Larangan dengan sebab di antaranya, karena sudah sedemikian dekat hubungan antara dua sejoli sehingga orang tua merasa tidak nyaman dengan keadaan mereka, ada juga karena sindiran rekan-rekannya yang dianggap tidak laku.79 Kemudian juga disebabkan karena dorongan orang tua, karena yang merasa sudah tidak mampu membiayai kebutuhan keluarga, sehingga dengan melangsungkan pernikahan diharapakan dapat mengurangi beban ekonomi keluarga, karena sudah menjadi tanggungjawab suaminya.80 Para perempuan yang telah menikah di bawah umur, di antara umur 14 s.d. 15 tahun seperti Was, Sus, Ti, Ana, Win, dan War yang nikah pada tahun 2008-2009, tidak mengalami kesulitan ketika mengurus proses pernikahannya karena orang tua mereka telah menguruskannya melalui Lebe,81 Sedangkan Ibu Di menikah di usia 14 tahun dengan Kar (23 tahun), karena sudah saling mencintai. Mulai dari awal pernikahan sampai sekarang, mereka bekerja sebagai buruh tani. Mereka juga masih tinggal bersama orang tua. Dan dari hasil pernikahannya dikaruniai seorang anak yang sudah berumur 2 tahun. Pada waktu Ibu Di hamil pertama kali, ia mengalami keguguran dan pada kehamilan kedua kelahirannya hanya dibantu oleh dukun beranak. Dalam proses melahirkan Ibu Di tidak menggunakan jasa Bidan 79
80 81
Para remaja di Kecamatan Larangan ujung menganggap bahwa kalau ada anak gadis sudah berusia di atas 18 tahun belum nikah maka termasuk perawan tua dan tidak laku. Hasil wawancara dengan Wastini, Susanti, Tika, Diana,Winarni, dan Warningsih pelaku nikah di bawah umur pada tanggal 2 Agustus 2012 Wawancara dengan Diah tanggal 1 Agustus 2012. Istilah Lebe di Kecamatan larangan adalah panggilan untuk pegawai P3N
138
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
atau Dokter, karena tidak mempunyai biaya. Ibu Di juga sering diperlakukan kasar oleh suami, seperti dipukul maupun dijenggut. Kekerasan terhadap istri dilakukan bila suami tidak memiliki uang/biaya hidup sehari-hari. Kemudian informan yang lain menjelaskan bahwa terjadinya perkawinan di bawah umur karena adanya kerjasama antara orang tua anak dan petugas kelurahan atau Lebe. Di antaranya ketika orang tua akan menikah anaknya yang usianya belum mencukupi, maka orang tua mengajukan permohonan secara lisan ke Lebe untuk dinaikan umurnya. Namun menurut Lebe, ketika orang tua akan menikahkan anaknya yang masih di bawah umur apapun konsekwensi terkait penaikan umur -dibuat surat perjanjian antara orang tua dan lebe yang semua konsekwensi terkait penaikan umur akan ditanggung oleh orang tua yang bersangkutan. Kemudian adanya perjodohan dari kedua belah pihak orang tua antara calon istri maupun calon suami, yang dalam istilah, agar harta bendanya tidak kemana-mana. Dan beberapa informan tidak menjelaskan ada atau tidaknya surat dispensasi nikah seperti persyaratan pernikahan ketika belum mencapai umur yang dipersyaratkan dalam UU No. 1 tahun 1974. Ketika dikonfirmasi ke pejabat KUA Kecamatan Larangan juga tidak ada data dispensasi pernikahan dikarenakan kurang umur. 2. Dampak Perkawinan di Bawah Umur Pengalaman beberapa informan pelaku perkawinan di bawah umur dalam menghadapi rumah tangga bervariasi, misalnya ketika ada masalah yang menimpa mereka baik masalah psikologis dalam rumah tangga,
139
Muchtar dan Agus Mulyono
masalah ekonomi, mereka kurang bijaksana dalam dalam menyelesaikannya, seperti istri menjadi sasaran penganiayaan, suami lari dari masalah dan tidak berusaha menyelesaikannya, suami meninggalkan istri tanpa memberitahu ke mana tujuannya, bahkan ada suami yang merapat pada orang tuanya dan mengabaikan tanggung jawab sebagai suami sehingga semakin mempersulit kehidupan rumah tangga mereka. Begitu juga bagi orang tua yang anaknya melakukan perkawinan di bawah umur, mulai dari pra nikah sampai setelah pernikahan ada yang semua kebutuhan hidup pernikahan anaknya ditanggung oleh kedua orang tuanya. Bahkan keadaan ini berlanjut bertahun-tahun di mana orang tua harus menanggung beban kehidupan mereka, karena beberapa dari mereka belum mandiri. Dari beberapa informan masyarakat Kecamatan Larangan, mereka mengungkapkan belum bisa mengubah kebiasaan walaupun sudah ada UU Perkawinan no 1 Tahun 1074 karena bila mereka mempunyai anak perempuan sudah mencapai usia 18 atau 19 tahun dan belum menikah, maka masyarakat sekitar menganggap ia tidak laku ataupun ia perawan tua. Ada juga sebagian informan yang lebih senang melakukan perkawinan di usia muda walaupun mereka harus putus di tengah jalan/bercerai, hal ini tidak menjadi masalah bagi mereka bahkan ia lebih senang disebut janda daripada perawan tua. Dampak yang lain dari perkawinan di usia muda di antaranya, terjadi KDRT seperti yang dialami Ibu Di. Kemudian kehidupan ekonomi yang tidak stabil
140
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
disebabkan sulitnya mencari pekerjaan/kehidupan. Dari segi hukum, beberapa informan juga belum tahu lebih jelas UU Perkawinan khusunya tentang persyaratan apa saja yang harus diselesaikan sebelum menikah. Mengenai tanggung jawab ekonomi setelah berkeluarga, beberapa informan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena mereka tidak memiliki keahlian khusus berpendidikan SD s.d. SMP, oleh karena itu mereka hidup dari buruh tani yang pekerjaan dan penghasilannya tidak menentu. Kemudian kasus yang menimpa Sus, ketika dia hamil anak pertama sempat keguguran karena menurut dokter kandungan pinggangnya masih terlalu sempit, namun anak ke dua lahir normal seperti wanita pada umumnya.82 Begitu juga yang dialami Di,83 ia sering mengalami KDRT bahkan pernah ditendang oleh suami hingga pingsan selama 2 jam. DI juga pernah ditinggalkan suaminya selama 1 tahun ketika anak kedua berusia 2 bulan di kandungan. Ia juga hanya sesekali diberi nafkah oleh suaminya, ketika suaminya tidak mempunyai uang, maka akan pergi ke rumah orang tuanya dan membiarkan DI bersama neneknya. Walaupun perlakuan suaminya begitu keras terhadapnya, ia masih ‚mencintai‛ suaminya. Ia juga takut kalau ditinggalkan suaminya dan ia juga takut menjadi janda. Ada juga beberapa pelaku nikah di bawah umur yang rata-rata pernikahan sudah 2-5 tahun ada yang merasa tidak ada permasalahan dalam menjalankan 82 83
Wawancara dengan Su tanggal 2 Agustus 2012 Wawancara dengan Di tanggal 1 Agustus 2012
141
Muchtar dan Agus Mulyono
pernikahannya, karena sudah dibangun dengan rasa saling mencintai.84 Ketika mereka menjalani kehidupan rumah tangga merasa nyaman, hanya sesekali terjadi perselisihan ketika ada kekurangan masalah ekonomi, namun mereka tetap membicarakan dengan suaminya sehingga dapat dipecahkan bersama. 3. Respon Masyarakat, Ulama dan Pejabat Pemerintah Beberapa informan di masyarakat Kec. Larangan terhadap adanya pernikahan di bawah umur, karena hal itu sudah sering terjadi, maka dianggap sudah biasa. Bahkan pernah ada satu kasus hamil di luar nikah di masyarakat, ketika ada orang tua yang hendak menikahkan anaknya dan diketahui oleh pejabat kelurahan belum cukup umur, keluarga calon mempelai menggunakan cara ‚kekerasan dan anarkis‛ yang tidak hanya mengajak keluarga mereka untuk berdemo, namun mengajak keluarga yang lainnya agar pejabat terkait memberikan izin pernikahan.85 Menurut K. H. Zubaedi selaku tokoh agama Kecamatan Larangan, ada orang tua yang mempunyai anak gadis setelah menamatkan Sekolah Dasar agar segera dinikahkan dengan alasan ingin memiliki menantu dan kalau sudah menikah maka orang tua akan lepas dari tanggung jawab. Kemudian ada juga orang tua yang menjodohkan dengan saudara jauh agar harta keluarga tidak jatuh ke orang lain. Selanjutnya, ada juga ketakutan orang tua kalau hubungan anaknya sudah sedemikian dekat akan terjadi kehamilan. Di samping hal 84 85
Hasil wawancara dengan Was, Su, Ti, Ana, Win, dan War tanggal 2 Agustus 2012 Wawancara dengan Sahidin HW tanggal 2 Agustus 2012
142
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
ini ada juga karena malu dengan anggapan masyarakat ketika anak gadisnya sudah berumur 18-20 tahun sudah dianggap perawan tua.86 Dengan adanya kejadian pernikahan di bawah umur K. H. Zubaidi selaku tokoh agama Islam menyarankan agar masyarakat lebih sadar hukum, karena menurut UU No. 1 tahun 1974 syarat minimal wanita yang mau menikah berumur 16 dan 19 tahun bagi laki-laki, bahkan beliau menyarankan agar perempuan ketika mau menikah minimal berumur 20 tahun agar, karena menurutnya dengan menikah pada umur tersebut perempuan sudah lebih siap, baik secara mental maupun organ reproduksinya. Dan bagi laki-laki menurut Zubaidi, minimal berumur 25 tahun. Beliau juga mengusulkan kalau memungkinkan UU perkawinan terkait batasan umur untuk ditinjau ulang. Ustd. Zubaidi sering memberikan ceramah melalui pengajian-pengajian, khutbah-khutbah, dan pada acara Walimatul ‘Urrus kepada masyarakat di samping tentang pemehaman keagamaan umumya juga mengenai pentingnya mentaati peraturan terkait perkawinan serta resiko melakukan pernikahan di bawah umur terutama bagi perempuan. Menurut Zubaidi, untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan di masyarakat, hubungan antara Babinsa dengan Lebe ataupun aparat setempat perlu diaktifkan dan ditingkatkan, sehingga dapat mengurangi hal-hal buruk yang akan terjadi di masyarakat, khususnya Kec. Larangan.
86
Wawancara dengan Zubaedi tanggal 2 Agustus 2012
143
Muchtar dan Agus Mulyono
Menurut Syauqi Wijaya, selaku Kepala Seksi Urais Kementerian Agama Kabupaten Brebes, ketika telah terbukti terjadi pernikahan di bawah umur, maka akan diinvestigasi dan tindaklanjuti penyelesaiannya.87 Ketika penyelewengan itu dilakukan olah aparat Kementerian Agama, maka akan diproses sesuai peraturan yang berlaku. Dan karena proses pernikahan ini melibatkan beberapa lembaga seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, maka penyelesaiannya perlu kerjasama dengan mereka. Dan Kementerian Agama tidak akan menghalang-halangi proses pernikahan ketika semua persyaratan sudah dipenuhi. 4. Upaya Penanggulangan Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh para tokoh agama dan pejabat pemerintah dalam menanggulangi pernikahan di bawah umur di antaranya: memberikan bimbingan kepada para calon mempelai yang mau nikah; memberikan penyuluhan kepada para jamaah pengajian tentang betapa pentingnya pernikahan jika didahului dengan persiapan fisik dan mental yang kokoh. Kesadaran hukum masyarakat tentang ketentuan batas usia pernikahan untuk laki-laki dan perempuan juga perlu terus dibangun melalui berbagai kegiatan dan acara-acara pertemuan baik di tingkat desa, maupun pada kegiatankegiatan kegamaan Islam.88 Menurut Ibu Maryati sebagai pengurus PEKKA, perkawinan di bawah umur bertentangan dengan UU Perkawinan dan UU Perlindungan anak, namun kondisi 87 88
Wawancara dengan Syauqi Wijaya tanggal 30 Juli 2012 Wawancara dengan Zubaedi 2 Agustus 2012
144
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
masyarakat di lokasi penelitian belum mendukung sepenuhnya dilakukannya UU Perkawinan secara konsekwen di mana masyarakatnya masih banyak yang melakukan dan membolehkan untuk melakukan perkawinan di bawah umur yang disebabkan adanya berbagai hal seperti adanya kemajuan teknologi elektronik dan alat komunikasi yang tidak bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja dengan segala permasalahannya, namun ketika anak yang belum mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dikonsumsi mereka akan mudah terprovokasi, lebih-lebih ketika tidak ada kontrol dari orang tua maupun masyarakat. Beberapa upaya-upaya lainnya yang telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya nikah di bawah umur antara lain: a. Dilakukan sosialisasi terhadap Undang-Undang Perkawinan baik melalui kegiatan formal maupun non formal, seperti acara pernikahan, khutbah jumat, pengajian-pengajian di majlis taklim baik yang dilakukan oleh KUA, PA maupun tokoh agama dan masyarakat; b. Memberikan penyuluhan tentang batasan usia pernikahan kepada para masyarakat melalui aparat kelurahan dan Lebe serta KUA yang secara langsung dapat berkomunikasi dengan masyarakat. c. Memberikan penerangan kepada masyarakat akan resikonya baik fisik maupun mental jika melakukan pernikahan di usia muda melalui KUA, Tokoh masyarakat.
145
Muchtar dan Agus Mulyono
B. Perkawinan Tidak Tercatat 1. Fenomena Perkawinan Tidak Tercatat Beberapa informan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Brebes menyatakan bahwa tidak terdapat data mengenai adanya perkawinan tidak tercatat. Semua perkawinan dapat terlaksana ketika sudah memenuhi syarat administrasi. Ketika salah satu syarat belum memenuhi, maka belum bisa dilaksanakan pernikahan, misalnya suami telah mempunyai istri berkeinginan mempunyai istri ke dua maka harus mempunyai izin dari istri pertama. Ketika izin istri pertama belum didapatkan maka belum dapat melanjutkan pernikahannya. Setelah peneliti ke masyarakat mencari informasi ke beberapa yang mengaku telah dinikahi tetapi tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Diantara pelaku perkawinan tidak tercatat adalah Mas dan Car. 2. Penyebab Perkawinan Tidak Tercatat Pengalaman Mas yang telah perkawinan tidak tercatat dengan Man di Desa Waled, Cirebon pada tahun 2005 mempunyai beberapa alasan mengapa mereka menikah tidak tercatat, di antaranya karena kedua belah pihak sama-sama mencintai, kemudian karena mereka sudah lama bersama-sama takut melakukan perbuatan tercela dan mereka takut menjadi gunjingan orang, kemudian mereka melakukan perkawinan tidak tercatat.89 Sedangkan Car beralasan mengapa ia melakukan perkawinan dengan tidak tercatat dengan Fur di Desa Sukamandi Subang Jawa Barat karena sama-sama saling 89
Wawancara dengan Masruroh tanggal 1 Agustus 2012
146
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
mencintai dan Fur telah memiliki surat cerai dari istri pertama, namun ternyata aspal sehingga ketika akan menikah di Larangan petugas P3N tidak berkenan akahirnya mereka menikah di Subang Jawa Barat.90 3. Respon Masyarakat, Ulama dan para Pejabat terhadap Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat Masyarakat di lingkungan Kec. Larangan menganggap perkawinan tidak tercatat seperti yang dilakukan Mas dan Car tidak menjadi pergunjingan, karena telah menikah secara syar’i. Sedangkan Zubaedi selaku tokoh agama Islam menganggap, bahwa yang menikahkan secara tidak tercatat seharusnya ditindak tegas dan bagi calon pengantin terutama perempuan harus meminta nikah secara resmi. Kemudian hubungan antara Babinsa dengan P3N atau aparat setempat agar ditingkatkan untuk mengurangi hal-hal yang mungkin terjadi di masyarakat terutama para pelaku perkawinan tidak tercatat.91 Selanjutnya menurut Syauqi Wijaya selaku Kepala Seksi Urais terhadap para pelaku dan yang menikahkan sirri agar dilakukan dengan pendekatan persuasif, karena pada dasarnya mereka adalah orang yang mengetahui peraturan perundang-undangan, namun ketika mereka tetap menikahkan sirri maka perlu ditindak tegas agar terjadi efek jera bagi para pelaku. Sedangkan H. Sahidin HW, SE selaku Sekdes Larangan terjadinya perkawinan tidak tercatat di masyarakat Kec. Larangan persentasenya sangat kecil atau 90 91
Wawancara dengan Carsiti tanggal 2 Agustus 2012 Wawancara dengan Zubaedi tanggal 2 Agustus 2012
147
Muchtar dan Agus Mulyono
kira-kira 1:1000 (satu dibanding seribu), karena percatatan perkawinan di kecamatan Larangan setiap tahunnya mencapai 2.000. Lebih lanjut Sahidin mengharapkan agar para petinggi di pusat dan anggota dewan memberi contoh yang baik dan tayangan TV hendaknya tidak menampilkan tayangan yang kurang mendidik, karena sebagian masyarakat Kec. Larangan khusunya belum cukup dewasa menerima dan menyaring tayangantayangan yang tidak sesuai dengan norma agama dan masyarakat.92 Seperti anggota Dewan yang melakukan nikah sirri, para mahasiswa yang berdemo. Di antara pengalaman orang tua pelaku perkawinan tidak tercatat dalam menghadapi rumah tangga sering tidak melaporkan/memberitahukan kepada masyarakat setempat karena pekawinan itu sendiri dilakukan di daerah lain setelah kembali tempat asal mereka sudah menjadi suami istri sehingga masyarakat setempat tidak bisa berbuat banyak. Atau mereka melakukan perkawinan secara diam-diam tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sehingga sulit dihindari untuk melakukan pembinaan terhadap orang-orang yang melakukan perkawinan tidak tercatat. Kadang-kadang yang melakukan perkawinan tidak tercatat bukan penduduk setempat, mereka tinggal di tempat tersebut mengontrak rumah salah satu warga seperti yang di alami oleh pasangan Sumiyati dengan pasangannya Ridwan. Sumiyati yang berasal dari Indramayu dan Ridwan yang tinggal di Jakarta dengan istri pertama.
92
Wawancara dengan Sahidin HW tanggal 2 Agustus 2012
148
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
4. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat Ketika Mas melakukan perkawinan tidak tercatat dengan Man, banyak kejadian-kejadian yang membuat Mas merasa sedih di antaranya jarang di kunjungi suami, jarang dikasih nafkah, dan untuk biaya sekolah anak terkadang diberikan tetapi tidak maksimal. Ketika anak sakit suami tidak di rumah sehingga tidak ada tempat bertukar pikiran, ketika istri pertama datang ke rumah istri ke dua ia marah-marah, bahkan hingga mengakibatkan perkelaian. Ketika istri pertama dan kedua berkelahi, suami hanya diam saja dan tidak dicarikan solusinya. Karena pasangan tersebut malu kepada masyarakat sekitar, maka apapun kejadian yang menimpa mereka tidak diceritakan kepada masyarakat sekitar. Mas juga sering bersedih ketika anaknya menanyakan bapaknya. Begitu juga dengan Car yang melakukan perkawinan tidak tercatat dengan Fur. Setelah beberapa lama ia menikah mulai tampak akhlak suami yang tidak terpuji, di antaranya hutang kepada tetangga dan teman kerjanya, namun tidak pernah bermusyawarah dengan istri. Ketika yang dihutangi menagih, istri baru tahu dan kemudian dilunasi oleh istrinya. Pada awalnya dibiarkan saja oleh istri sebagai rasa cinta kepada suami, namun dalam perjalaan selanjutnya, ia pernah ditinggal suami selama 7 tahun tanpa kabar dan berita dan kemudian kembali kepada istri. Dengan kepulangan suaminya Car masih menerima dengan terbuka, karena menurutnya siapa tahu tingkah suami berubah. Namun ternyata masih mengulangi perbuatannya, dengan meninggalkan hutang yang cukup banyak dan para penghutang menagih pada
149
Muchtar dan Agus Mulyono
istrinya. Kemudian Car marah dan mengusir Fur karena berbagai hal yang begitu memberatkan perasaannya, padahal istri telah berusaha menutupi kekurangan suaminya dengan berbagai cara. Kemudian menurut Syah, sebagai anak buah perkawinan tidak tercatat merasakan kurang mendapat perhatian yang maksimal dari orang tua terutama perhatian dari ayahnya sehingga ia merasakan seperti ada beban moral dalam pergaulan di sekolah dan masyarakat. Dengan demikian risiko yang diakibatkan dari perkawinan yang tidak tercatat banyak ditanggung oleh istri dan anak-akannya. 5. Makna Perkawinan menurut Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat Sebagian informan memandang bahwa perkawinan tidak tercatat adalah suatu perkawinan yang sah tetapi secara administrasi belum lengkap bila hal ini tidak dilakukan pencatatan, biasanya perkawinan yang demikian dilakukan di tempat lain mereka pulang sudah menjadi suami istri dan kadang mereka juga melakukan syukuran sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa ia sudah menikah. Agar nanti mereka tidak dianggap/kumpul kebo oleh masyarakat setempat.93 Mas dan Car memaknai kehidupan rumah tangga yang dialaminya sebagai bagian karunia Tuhan yang harus diterima atau sudah takdir dari-Nya sehingga harus dijalani sebisa mungkin, bahkan rasa sakit yang dirasakan, cukup dirasakan sendiri karena memendam rasa malu 93
Wawancara dengan Sahidin HW, tanggal 2 Agustus 2012
150
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
kalau diketahui tetangganya. Maka dengan sekuat tenaga Mas dan Car telah menghidupi keluarganya dengan keringat sendiri, tanpa bantuan dari suaminya. 6. Upaya Penanggulangan Perkawinan Tidak Tercatat Dengan adanya beberapa kasus perkawinan tidak tercatat seperti di atas, pembinaan telah dilakukan baik oleh para pejabat pemerintah, maupun tokoh agama diantaranya dilakukan melalui ceramah-ceramah keagamaan, sosialisasi UU Perkawinan oleh aparat (KUA) seperti ketika melakukan khutbah nikah. Sedangkan menurut KH. Zubaedi, perkawinan tidak tercatat boleh-boleh saja hal ini tergantung pada niat dan tujuannya. Bagi seseorang yang akan melakukan perkawinan tidak tercatat bila tujuannya untuk bersenangsenang sebaiknya pelakunya harus ditindak tegas karena selama ini penanganannya tidak dilakukan secara serius sehingga sampai kini perkawinan semacam itu masih banyak dilakukan oleh anggota masyarakat. Sebagai contoh yang melakukan adalah seorang PNS maka masyarakat lainnya akan mencontohnya. Di sini ada barometer PNS sebagai ukurannya. Sebaiknya bagi seseorang yang akan melakukan nikah kembali harus ikuti peraturan dan sanksinya terutama bagi yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun pelaksanaan di lapangan tidak semudah itu, sehingga masih terjadi pernikahan tidak tercatat (di satu sisi agama membolehkan walaupun dengan berbagai persyaratan tetapi di sisi lain ada larangan bagi orang yang akan menikah kembali). Apalagi pernikahan ini tidak
151
Muchtar dan Agus Mulyono
tercatat karena banyak merugikan baik materiil maupun moril kepada istri dan anak-anaknya.94 Adapun upaya untuk menanggulangi perkawinan sirri di masyarakat menurut Sahidin HW agar terus mensosialisasi UU No. 1 tahun 1974 dilakukan melalui acara pengajian, tahlilan, hajatan, dan kenduri; dalam era sekarang rasa malu di masyarakat sudah tidak sungkan untuk berbuat yang tidak sesuai dengan hukum agama, berbuat amoral di depan masyarakat lainnya oleh karena itu penyadaran kepada masyarakat akan arti pentingnya mempraktikkan kehidupan keagamaan yang benar perlu ditingkatkan, begitu juga mengikuti aturan yang dibuat oleh pemerintah.95 Begitu juga Zubaedi menganjurkan agar calon pengantin terutama perempuan harus meminta nikah secara resmi. Para ulama hendaknya tidak menikahkan orang yang menginginkan perkawinan tidak tercatat ketika syarat-syarat tidak dipenuhi.96 Selain itu juga bagi pelaku nikah tidak tercatat harus di tindak tegas terutama yang PNS sebagai contoh di masyarakat. Sosialisasi UU Perkawinan harus ditingkatkan yang selama ini dirasakan masih kurang dan diadakan tanya jawab khususnya tentang perkawinan tidak tercatat.
94 95 96
Wawancara dengan H. Sodikin KUA Kota Brebes Wawancara dengan Sahidin HW tanggal 2 Agustus 2012 Wawancara dengan Zubaidi tanggal 2 Agustus 2012
152
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulkan: 1. Pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat memaknai perkawinan-nya sebagai karunia Tuhan yang harus diterima atau sudah takdir dari-Nya sehingga harus diterima dengan lapang dada. Apapun yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka diterima dengan lapang dada, walaupun ada di antara mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, namun mereka pendam sendiri. Yang mereka harapkan dalam kehidupan rumah tangganya agar antara suami istri agar saling setia, ekonomi cukup, saling percaya, komunikasi yang terbuka, saling pengertian, saling menyayangi, dan saling menyadari kekurangan masing-masing-masing pasangan sehingga dapat menerima kekurangan masing-masing. 2. Problematika yang dihadapi keluarga yang nikah di bawah umur antara lain ada kecenderungan belum matang secara fisik dan mental, dengan indikasi sering terjadi percekcokan dalam keluarga, adanya KDRT, pendidikan pelaku mulai SD s.d. SMP sehingga ditemukan problem di antaranya problem kesehatan, ekonomi dan sosial. Dan problematika yang dihadapi keluarga yang menikah tidak tercatat antara lain kurang adanya jaminan perlindungan kepada istri dan anak-anaknya, beban
153
Muchtar dan Agus Mulyono
perasaan yang dipikul sendiri, karena malu untuk menceritakan kepada orang lain. 3. Faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur di antaranya karena hamil di luar nikah, dorongan keluarga ingin cepat mendapat menantu, dan karena persoalan ekonomi keluarga, Sedangkan penyebab terjadinya perkawinan tidak tercatat diantaranya pasangan sudah terlanjur saling mencintai, namun suami masih terikat dengan pernikahan sebelumnya, atau adanya kebohongan dari salah satu pihak tentang status perkawinannya, kemudian karena malu terhadap anggapan masyarakat akan adanya ‚kumpul kebo‛. Faktor lain adalah untuk mempermudah proses pernikahan karena tidak perlu melalui proses administrasi sebagaimana nikah tercatat. Alasan atau faktor tersebut, lebih banyak terjadi pada kasus pernikahan poligami. 4. Respon masyarakat terhadap pelaku nikah di bawah umur, ada yang tidak mempermasalahkan karena masyarakat setempat masih beranggapan bahwa apabila mempunyai anak gadis berusia di atas 18 tahun, maka akan dikatakan perawan tua. Juga disebabkan kurang adanya sosialisasi UU Perkawinan sehingga masyarakat kurang memahami peraturan tersebut yang hingga saat ini masih terjadi perkawinan di bawah umur. Di samping teknologi sekarang yang sudah modern, anak juga kurang dapat mengerem pergaulannya dan orang tua juga kurang dapat mengontrol pergaulan anak-anaknya yang sudah remaja/puber sehingga terkadang ‚kebablasan‛ sehingga membuat malu orang tua. Dan mengenai pernikahan tidak tercatat/nikah sirri, masyarakat sekitar tidak begitu
154
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
mempermasalahkan, karena menurut anggapan masyarakat mereka telah menikah resmi secara syar’i. Ada juga ulama yang melihat kurang adanya pertanggungjawaban orang yang menikahkan sirri. Hal itu ditunjukan dengan tidak menghadirkan wali dari pihak perempuan, oleh karena itu pemerintah perlu mensosialisasikan lebih lanjut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan baik melalui kegiatan pengajian, dan kegiatan di pemeritahan. Pernikahan tidak tercatat di wilayah Kec. Larangan sulit untuk diberantas karena pernikahan tersebut dilakukan di luar wilayah tempat tinggal (ada yang di Jawa Barat). 5. Upaya-upaya yang telah lakukan untuk menanggulangi terjadinya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat antara lain pemerintah terus menyosialisasikan UU No. 1 tahun 1974 baik melalui kegiatan-kegiatan pengajian, tahlilan, hajatan, dan kenduri. Juga dilakukan upaya persuasif terhadap pelaku dan oknum pelaksana pernikahan di bawah umur maupun pernikahan tidak tercatat. Serta akan diberi sanksi yang setimpal bagi para pelaku, sehingga membuat efek jera bagi para pelaku. B. Rekomendasi: 1. Pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu lebih mempermudah akses pendidikan masyarakat di Kecamatan Larangan, sehingga minimal sampai pendidikan setingkat SMA. 2. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam
155
Muchtar dan Agus Mulyono
Negeri, dan Kementerian Kesehatan perlu terus saling bekerjasama untuk mewujudkan masyarakat yang taat hukum, khususnya terhadap UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. Membangun kesadaran para ustad dan kyai sebagai pelaku perkawinan tidak tercatat, tentang pentingnya pencatatan perkawinan agar syah menurut syari’at agama Islam dan resmi secara aturan negara.
156
Problem Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat pada KUA ...
DAFTAR BACAAN Ashley Montago dalam Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Bina Cipta, 1982, hal.118 Data dari Kantor Kementerian Agama Kab. Brebes, data usia kawin Kabupaten Brebes tahun 2010 dan tahun 2011 http://www.jateng.kemenag.go.id/brebes/index.php?pilih=do wnload&mod=yes diakses tanggal 3 Agustus 2012 Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1957, Cet. III, hal. 89. MC. Suprapti, Kehidupan Masyarakat Nelayan di Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991) Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Batasan Umur Calon Pengantin oleh Hukum Perkawinan Katolik Nomor 1083, adalah 14 Tahun bagi Perempuan, 18 Tahun bagi Laki-Laki, Sumber Yosep Komingman. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Jo UU Nomor 22 Tahun 1946 Jo UU Nomor 32 Tahun 11954. Sapaniah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, 2003 Seminar Evaluasi Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Diselenggarakan Badan Litbang Agama, tanggal 8-9 Januari 1985, di Jakarta. Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 184.
157
Muchtar dan Agus Mulyono
158
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
BAGIAN
5
38 TAHUN UU PERKAWINAN: FENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN CIANJUR
Oleh: Nur Rofiah dan Kustini
159
Nur Rofiah dan Kustini
160
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
BAB I GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Mengenal Kabupaten Cianjur
M
enurut Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 adalah 2.168.514 jiwa dan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa dengan penduduk pria sebesar 1.120.550 jiwa dan perempuan 1.047.964 jiwa.97 Jumlah penduduk pria 72.586 jiwa lebih banyak daripada perempuan. Penghasilan utamanya adalah pertanian (sekitar 52,00%) dan perdagangan (23,00%).98 Cianjur juga dikenal sebagai kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita) terbanyak di Jawa Barat. Rata-rata setiap bulan Kabupaten Cianjur memberangkatan 60 sampai 75 orang dengan tujuan negara-negara di kawasan Timur Tengah diantaranya Saudi Arabia, Yordan, Abu Dhabi, Qatar, Bahrain, Oman, dan lainnya.99 Alasan utama menjadi TKI/ TKW adalah ekonomi. Hingga pertengahan April tahun 2012, jumlah TKI asal Cianjur mencapai 30 ribu orang. Tahun lalu, jumlah TKI asal Cianjur yang berangkat sekitar enam ribu orang.100 Sayangnya pada umumnya tidak terdata di Dinas Sosial Tenaga Kerja 97
98 99 100
Profil Daerah Kabupaten Cianjur, Statistik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/demografipendudukjkel.php?i a=3203&is=37 Sekilas Cianjur, diakses dari http://cianjurkab.go.id/Content _Nomor_Menu_ 15_3.html pada tanggal 15 Oktober 2012 Kab Cianjur Kantong TKI/W Terbanyak di Jabar, diakses dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=48212 pada tanggal 15 Oktober 2012 Minat TKI CIanjur Masih Tinggi, http://radarsukabumi.com/?p=26139 pada tanggal 15 Oktober 2012
161
Nur Rofiah dan Kustini
Transmigrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, Kabupaten Cianjur.101 Hubungan kerja masyarat Cianjur dengan orang-orang Arab tidak hanya terjadi di Timur Tengah, melainkan juga di Cianjur sendiri. Tidak sedikit masyarakat Arab yang menghabiskan liburan panjang sekitar empat bulan di sebuah perumahan di Cianjur. Para eks TKW biasa bekerja paruh waktu pada keluarga-keluarga ini. Di samping bekerja, mereka juga ditengarai melakukan praktek nikah mut’ah yang oleh ulama Cianjur sendiri diyakini haram hukumnya. Praktek nikah mut’ah ini seringkali menggunakan saksi, wali, amil (petugas nikah) gadungan. Tidak sedikit yang dikawini adalah perempuan-perempuan muda siswi sekolah. Pernah anak-anak sudah waktunya masuk kongga masuk sekolah. Ternyata mereka belum selesai masa kontrak nikahnya..... Ada delapan anak kelas 1 sebuah sekolah setingkat menengah atas....Kenapa mau nikah? Karena dari temannya banyak yang melakukan itu. Dibayar 8 juta selama dua minggu gak boleh kemana-mana pengen apa saja dipenuhin.102 Praktek nikah Mut’ah melibatkan anak-anak di bawah umur sebagai mempelai perempuan dan jangka waktu yang pendek membuat perkawinan ini tidak tercatat. Tidak jarang praktek ini menimbulkan dampak yang panjang terutama jika perempuan mengalami kehamilan, sementara mantan suami sudah kembali ke tanah airnya tanpa meninggalkan alamat yang bisa dilacak. Orangtua yang ingin memproses secara 101 102
Kab Cianjur Kantong TKI/W Terbanyak di Jabar, http://www.pelita.or.id/ baca.php?id=48212 Wawancara dengan seorang pendamping perempuan di Cianjur, Senin 30 Juli 2012.
162
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
hukum untuk menuntut hak anaknya, seringkali baru menyadari bahwa dirinya bisa terjerat hukum sebagai pelaku trafiking karena dipandang telah menjual anaknya pada orang Arab tersebut. Sementara orang Arab yang menjadi pelaku trafiking sesungguhnya malah dapat menghirup udara bebas di negaranya sendiri tanpa harus bertanggungjawab sedikit pun atas anak balakatiktuk (ditelantarkan ayahnya) lahir dari nikah mut’ahnya. Situasi ini sesungguhnya telah meresahkan masyarakat terutama pemuka agamanya karena masyarakat Cianjur adalah masyarakat yang religius. Hal ini tercermin dari filosofi hidup mereka yaitu ngaos, mamaos dan maenpo. Ngaos adalah tradisi mengaji yang mewarnai suasana dan nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Mamaos adalah seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Maenpo adalah seni diri pencak silat yang menggambarkan keterampilan dan ketangguhan.103 Filosofi Ngaos diimplementasikan melalui banyaknya pengajian atau majlis ta’lim rutin yang dikunjungi oleh ratusan jamaah dan dipimpin oleh seorang ajengan (tokoh agama). Pada tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Cianjur mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomer 03 Tahun 2006 tentang Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah yang merupakan bagian dari upaya Penerapan Syariat Islam secara kaffah (seutuhnya).104 Perda ini merupakan tindak lanjut dari Format Dasar pelaksanaan 103 104
Profil Cianjur, dikutip dari http://cianjurkab.go.id/Content_Nomor_Menu_ 17_3.html pada tanggal 15 Oktober 2012. Penerapan Syariat Islam di Cianjur, Kajian Utama, Risalah No.6 Th 41 September 2003, h. 18
163
Nur Rofiah dan Kustini
Syariat Islam di Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 yang ditandatangani oleh 35 lembaga Islam.105 Ajengan mempunyai posisi yang istimewa di kalangan masyarakat Cianjur. Secara sosial otoritas mereka bisa lebih kuat daripada pemerintah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, para ajengan tidak memiliki ‛masa jabatan‛ tertentu dalam menjalankan fungsi kepemimpinan sebagaimana pemerintah. Oleh karena itu, pejabat pemerintah termasuk bupati seringkali berusia jauh lebih junior daripada Ajengan atau bahkan pernah menjadi murid langsung para ajengan pada masa mudanya. Kedua, para ajengan mempunyai jadwal rutin untuk menyapa umatnya melalui berbagai pengajian sehingga secara psikologis lebih dikenal dan lebih dekat sehingga lebih didengar oleh masyarakatnya. Ketiga, para ajengan memiliki otoritas spiritual yang dihubungkan dengan keyakinan agama, sedangkan pemerintah tidak. Kedudukan ajengan bahkan menjadi otoritas tunggal pada kelompok-kelompok Muslim tertentu di Cianjur yang masih mengharamkan penggunaan speaker, handphone, selalu berpakaian sarung bagi laki-laki dan rok span bagi perempuan. Kelompok Muslim ini hanya menempuh pendidikan di lingkungan pesantren mereka sendiri dan tidak mengakui otoritas lembaga pemerintah seperti KUA. Jadi masih ada Kiai yang mengharamkan sekolah misalnya itu di daerah Cbdg. Lihat sekolah aja begitu, bagaimana melihat KUA juga tidak penting. Saya kalau menikahkan resmi di sana harus pake
105
Ormas Islam yang ikut menandatangani Format Dasar ini antara lain adalah NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, SI (Syarikat Islam), DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia), Front Hizbullah, GARIS (Gerakan Reformis Islam).
164
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
sarung, karena mereka ngga mau menerimanya, pake speaker aja ngga boleh, haram.106 Para ajengan pada umumnya tidak melarang perkawinan di bawah umur dan tidak mengharuskan pencatatan perkawinan. Bahkan di Cianjur ada budaya kawin gantung di mana perempuan dan laki-laki dikawinkan sebelum baligh namun belum boleh melakukan hubungan suami-istri sampai ketika masa baligh tiba.107 Calon mempelai yang belum baligh dalam kawin gantung bisa laki-laki dan perempuan, bisa pula salah satunya. Pada umumnya kawin gantung dilakukan antara laki-laki dewasa dengan anak perempuan yang belum baligh. Kawin gantung pada umumnya bertujuan agar setelah baligh anak perempuan tersebut tidak menikah dengan laki-laki lain. Meskipun perkawinan anak dikecam karena memberangus hak perempuan atas pendidikan yang baik untuk mengembangan diri, hak untuk memperoleh informasi, hak untuk bermain, dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun seksual, kawin gantung malah ditegaskan boleh oleh Musyawarah Nasional Majlis Ulama Indonesia
106 107
Penuturan HD, pimpinan sebuah KUA di wilayah Kabupaten Cianjur pada Kamis 26 Juli 2012, di Cianjur. Menurut kamus kawin gantung mempunyai dua arti yaitu perkawinan yang sudah sah tetapi suami-istri belum boleh tinggal serumah (masih tinggal di rumah masing-masing). Arti kedua adalah perkawinan yang belum diresmikan penuh (pengesahannya ditunda sampai dewasa). Kawin gantung yang dipraktekkan di Cianjur lebih mengarah pada pengertian kedua yakni pernikahan yang dialami oleh anak-anak terlepas mereka tinggal serumah ataukah tidak setelahnya. Deskripsi dari Kawin Gantung, dikutip dari http://www.kamusbesar.com/52749/kawin-gantung pada tanggal 24 November 2012.
165
Nur Rofiah dan Kustini
(MUI) di Padang pada tahun 2009 dan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar pada tahun 2010.108 Kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan agama di atas menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam melihat fenomena perkawinan anak dan perkawinan tidak tercatat di Cianjur.
108
Hentikan Fatwa Sahnya Nikah Dini, diakses dari http://www.syarikat.org/ content/hentikan-fatwa-sahnya-nikah-dini pada tanggal 28 Noveber 2012.
166
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
BAB II TEMUAN DAN ANALISA DATA A. Perkawinan di Bawah Umur
P
raktek kawin gantung yang di Cianjur bisa menyebabkan perempuan mengalami kawin cerai berkali-kali sebelum usia 16 tahun. Salah seorang perempuan sebut saja Bunga, dikawinkan pertama kali pada saat kelas II SD (7 tahun) dengan laki-laki berusia 16 tahun selama tiga tahun kemudian kelas V SD (10 tahun) cerai untuk pertama kalinya. Menikah lagi di usia 12 tahun selama tiga bulan lalu cerai untuk kedua kalinya. Umur 13 tahun (belum haid) nikah untuk ketiga kalinya selama 20 hari kemudian cerai ketiga kalinya. Kemudian nikah keempat kalinya saat itu juga belum haid dan haid pertama langsung hamil lalu ketika usia kehamilan dua bulan kembali cerai untuk keempat kalinya. Ketika anak berusia lima tahun kembali nikah kelima kalinya dan lagi-lagi ketika hamil dua bulan dicerai. Nikah untuk keenam kalinya bertahan selama dua tahun kemudian setelah melahirkan anak baru usia 9 bulan kembali mengalami perceraian. Terakhir menikah ketujuh kalinya dan punya anak berusia 40 hari kembali cerai.109 Empat perkawinan pertama Bunga terjadi sebelum berusia 16 tahun. Proses perceraian pada kawin gantung sama mudahnya dengan proses perkawinannya. Suami cukup mengembalikan istri pada orangtuanya sebagaimana dialami Bunga; Waktu dicerai dia bilang ke orang tua saya, mau nitip dulu tapi 109
Wawancara dengan Bunga (nama samara), pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur.
167
Nur Rofiah dan Kustini
seandainya ada jodoh dengan orang lain boleh saja. Waktu itu nikah dari kelas 2 SD sampe kelas 5 SD. Gak pernah tidur bareng, paling digendong. Nya disebatna teh kawin gantung.110 Adapun usia perempuan yang mengalami kawin di bawah umur bervariasi. Berdasarkan 322 arsip perkara isbat nikah pada tahun 2009-2011 yang dimiliki oleh PEKKA ditemukan bahwa laki-laki yang menikah antara tahun 1974 hingga 2011 pada umumnya telah berusia 19 tahun atau lebih sesuai UU Perkawinan, sedangkan perempuan berusia banyak berusia di bawah 16 tahun mulai 7 tahun hingga 15 tahun sebagaimana tabel berikut ini:111 Tabel-1 Usia Perempuan Ketika Pertama Kawin Usia Perempuan Ketika Dikawinkan 07 tahun 09 tahun 10 tahun 11 tahun 12 tahun 110 111
Jumlah 1 1 2 3 19
Tahun Kawin 1 Januari 1982 4 November 1978 1980, 1990 1982, 1984, dan 1987 1978-1997
Wawancara dengan Bunga, pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya. PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga adalah sebuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan pendampingan pada perempuan kepala keluarga untuk mengakses keadilan. Mereka mempunyai sekretariat Nasional di Jakarta dan beberapa center di berbagai daerah salah satunya adalah Cianjur. Pekka Cianjur bekerjasama dengan Pemda Cianjur, PA Cianjur, Badan Peradilan Agama Mahkamag Agung RI mengadakan Sidang Keliling secara Prodeo yang antara lain melayani isbat nikah. Hingga tahun 2012 Pekka Cianjur telah mengfasilitasi sidang keliling di empat kecamatan yaitu Cipanas, Pacet, Campaka, dan Sukaresmi.
168
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
13 tahun 14 tahun 15 tahun Jumlah
6 20 31 83
1974-1991 1979-2003 1976-2006
Tabel di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1974 di Cianjur dapat dipastikan bahwa sejumlah 83 dari 322 perempuan di bawah umur, usia perempuan yang dikawinkan di bawah umur bervariasi antara 07 sampai dengan 15 tahun, pada tahun 1982 masih ada yang dikawinkan pada usia 07 tahun, pada tahun 1990 masih ada yang dinikahkan pada usia 10 tahun, pada tahun 1997 masih ada yang dinikahkan pada usia 12 tahun, pada tahun 2003 masih banyak yang dikawinkan pada usia 14 tahun dan pada tahun 2006 masih banyak yang dikawinkan pada usia 15 tahun. Tentu saja angka tersebut tidak menunjukkan jumlah sesungguhnya perkawinan di bawah umur. Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) pada Senen 30 Juli 2012 di Cianjur, empat dari tujuh kader Pekka yang hadir dikawinkan pada usia di bawah umur. Tiga di antara empat kader tersebut dikawinkan setelah tahun 1974. Dua orang dikawinkan ketika berusia 15 tahun dan satu orang ketika berusia 12 tahun. Jumlah sebenarnya dari perkawinan di bawah umur tidaklah mudah ditemukan karena pada umumnya hanya dilakukan di hadapan tokoh agama (ajengan) dan tidak dicatatkan di KUA. Mestinya data perkawinan ini dapat dilihat dari jumlah permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur. Namun menurut laporan tahunan periode 2006-2011 jumlah permohonan dispensasi kawin adalah nol, sedangkan perkara yang banyak
169
Nur Rofiah dan Kustini
diputus adalah cerai thalaq, cerai gugat, dan isbat nikah sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini; Tabel 2 Data Cerai Thalaq, Cerai Gugat, Isbat Nikah, dan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur Tahun 2006-2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Cerai Thalaq 89 77 100 138 116 164
Cerai Gugat 325 327 539 648 656 885
Isbat Nikah 175 360 276 340 423 838
Dispensasi Kawin 0 0 0 0 0 0
Angka perkawinan di bawah umur mestinya juga bisa dilihat dari data kawin di bawah umur sebagai salah satu faktor penyebab perceraian. Namun lagi-lagi laporan tahunan Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur periode 2009-2011 menunjukkan bahwa jumlah perceraian karena kawin di bawah umur adalah nol. Faktor penyebab terbanyaknya adalah ekonomi, tidak ada tanggungjawab, dan tidak ada keharmonisan sebagaimana tabel berikut ini:
170
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
Tabel 3 Faktor Penyebab Perceraian Di Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur Tahun 2006-2011 Tahun
Ekonomi
Tidak Ada Tanggungjawab
Tidak Harmonis
2009 2010 2011
146 159 169
220 211 307
339 402 573
Kawin Di Bawah Umur 0 0 0
Dua tabel terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2011 angka isbat nikah: 838, dispenasi kawin: 0, dan kawin di bawah umur: 0. Angka nol pada dispensasi kawin dan kawin di bawah umur pada laporan tersebut berbeda dengan keterangan salah seorang pejabat di Pengadilan Agama Cianjur sebagai berikut: Terutama tahun 2011 menangani 1 kasus, tahun 2012 marak ijin nikah di bawah umur sampai 3 kasus. Problem yang terjadi sesuai dengan pengaduan yang tercantum dalam surat permohonan adalah karena mereka kecelakaan (menjalin hubungan terlanjur sampai melakukan hubungan suami istri) sementara usia mereka masih SMP (yang barusan ditangani berumur 15 tahun) bahkan ada yang baru 12 tahun (lulus SD).112 Angka nol pada data kawin di bawah umur sebagai faktor penyebab perceraian juga tidak serta merta menunjukkan tidak adanya perceraian akibat nikah di bawah umur di kalangan masyarakat karena perkawinan di bawah 112
Wawancara dengan FS salah satu pimpinan PA Cianjur pada hari Kamis, 2 Oktober 2012, di Kantor PA Kabupaten Cianjur.
171
Nur Rofiah dan Kustini
umur pada umumnya tidak dicatatkan dan perceraian akibat kawin di bawah umur pun kadang dikategorikannya pada faktor ekonomi, faktor ketidakharmonisan, atau faktor penyebab perceraian yang lain. Data di atas cukup menunjukkan bahwa pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur pada umumnya memilih hanya menikan secara agama daripada meminta dispensasi kawin dan daripada memalsukan umur. Perempuan yang dikawinkan pada usia anak-anak pada umumnya mengandung unsur pemaksaan terselubung di mana anak tidak menyadari bahwa dirinya dikawinkan sebagaimana dialami Bunga (dikawinkan pada usia 7 tahun) atau pemaksaan terbuka di mana anak ingin menolak tetapi tidak mampu sebagaimana dialami oleh Melati (dikawinkan ketika berusia 12 tahun). Nuju kelas dua diperjodohkan, perjodohan antara bapak sareng bapakna diditu. Kan pun Bapa teh gaduh pasantren. Didieu seueur santrina. Ayeuna ge santri na seueur keneh. Abdi dijodohkeun nuju kelas 2 SD, umur 7 tahun. Pamegetna 16 tahun. Dulu mah jarang anu sakola dugi ka SMP teh....113 Kata Bapak malu kalau gak jadi. Kakaknya laki-laki itu yang menjodohkan. Kalau gak mau gak enak tetangga. Setelah itu dikasih uang lagi 25 ribu rupiah. Sambil jalan mikir, bagaimana ya? Gimana beda di rumahnya, ada hawu. Kemudian ibu bilang kamu harus nurut sama Bapak, kan malu. Tapi di hati gak terima. Masih pengin main. Belum
113
Wawancara dengan Bunga, pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur.
172
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
pernah pacaran. Pengin sekolah. Ijazah MI (Madrasah Ibtidaiyah) aja gak ditebus karena gak ada uang.114 Perkawinan di bawah umur mempunyai banyak faktor penyebab baik pemahaman agama, hukum, maupun sosial ekonomi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Selain keyakinan tentang bolehnya kawin gantung, pemahaman agama berikut ini juga berpengaruh pada perkawinan di bawah umur, yaitu: 1. Kekhawatiran anak berbuat zina. Orangtua memilih segera mengawinkan anaknya walau masih di bawah umur daripada mereka melakukan zina. 2. Pandangan bahwa aborsi haram dalam segala situasi sehingga anak perempuan yang terlanjur hamil karena zina, maka lebih baik dikawinkan segera dengan pasangan zinanya daripada aborsi anak masih 11 tahun atau siswi SD. 3. Laki-laki dan perempuan dipandang sudah boleh kawin asalkan sudah baligh yang ditandai dengan mimpi basah bagi anak laki-laki dan menstruasi bagi anak perempuan. Sementara sekarang ini banyak anak yang mengalami baligh di bawah 16 tahun. 4. Keyakinan bahwa perkawinan Rasulullah Saw dengan Aisyah yang ketika itu berusia 9 tahun adalah teladan bagi umatnya yang pasti mengandung banyak manfaat daripada mafsadatnya.
114
Wawancara dengan Melati (bukan nama sebenarnya), pada Minggu, 29 Juli 2012 di Pacet Cianjur.
173
Nur Rofiah dan Kustini
5. Keyakinan bahwa kerelaan atau ijin calon mempelai perempuan tidak menjadi syarat sahnya perkawinan sehingga perkawinan dianggap sah walaupun anak perempuan tidak menyadari perkawinan tersebut atau bahkan menolaknya. 6. Pemahaman tentang hak ijbar ayah yang dipahami sebagai hak untuk memaksa anak perempuannya kawin. 7. Keharusan mentaati orangtua termasuk ketika orangtua mengawinkannya. 8. Keyakinan bahwa ajaran agama lebih diutamakan jika bertentangan dengan aturan negara dan pembatasan usia minimal calon mempelai yang menjadi aturan negara dianggap tidak ada dalam agama. Aspek hukum yang turut melestarikan perkawinan di bawah umur adalah sebagai berikut:
praktek
1. Perkawinan di bawah umur antara Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan anak tidak sama. 2. Tidak adanya sanksi definitif dalam Undang-undang perkawinan pada pelaku perkawinan di bawah umur. 3. Undang-undang perlindungan anak memberikan sanksi pidana bagi pelaku perkawinan di bawah umur namun tidak ditegakkan. 4. Undang-undang perkawinan memberikan peluang adanya dispensasi kawin namun tidak ada kriteria tertentu mengenai siapakah yang berhak atas dispensasi tersebut sehingga di samping diberikan pada anak yang terlanjur
174
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
melakukan zina hingga hamil, dispensasi juga diberikan pada anak yang dikhawatirkan berzina. 5. Dalam prakteknya perkawinan di bawah umur kerap diperlakukan sebagai delik aduan sehingga tidak akan diproses secara hukum apabila tidak ada pengaduan. 6. Aparat penegak hukum hanya memproses secara hukum petugas pernikahan muali amil hingga kepala KUA dalam perkawinan di bawah umur tetapi tidak memproses kasus yang dilakukan oleh tokoh agama. Adapun aspek sosial ekonomi dan budaya yang menjadi faktor penyebab perkawinan di bawah umur adalah sebagai berikut: 1. Pandangan bahwa menjadi perawan tua (perawan jomlo) adalah tabu. Di Sunda bahkan pepatah yang mengatakan Kawin ayeuna isuk pepegatan (hari ini kawin besok cerai) masih lebih baik daripada jomlo.115 Orangtua menjadi bangga jika anak perempuannya yang masih SD sudah ada yang melamar, dan sebaliknya khawatir jika belum kawin. Perempuan pun kemudian merasa malu jika belum menikah sementara teman-teman sebayanya telah menikah. 2. Pandangan bahwa menolak lamaran sebagai tabu dan dapat mempersulit jodoh. 3. Perkawinan di bawah umur dianggap wajar karena ibu dan nenek mereka dulu juga dikawinkan di bawah umur. 4. Pihak laki-laki memberikan uang pada keluarga perempuan (ada yang hanya Rp 25,000,-) kemudian 115
Amri Marzali, Kebudayaan Sunda, h. 154
175
Nur Rofiah dan Kustini
keluarga perempuan merasa tidak enak untuk menolak lamarannya. 5. Anggapan bahwa pendidikan bagi perempuan tidaklah penting sehingga walaupun ada sekolah di dekat rumah mereka tetap tidak disekolahkan, apalagi ketika jarak sekolah cukup jauh dan biaya sekolah mahal. Karena tidak sekolah, kemudian anak perempuan tidak mempunyai kegiatan dan akhirnya dipandang lebih baik kawin secepat mungkin. 6. Ketidaktahuan tentang adanya aturan batas usia minimal calon mempelai. 7. Anggapan bahwa anak perempuan yang segera dikawinkan dapat mengurangi beban keluarga karena dia dijaga oleh suaminya. Perkawinan di bawah umur merupakan pengalaman yang seringkali tidak disadari oleh perempuan hingga ia memasuki usia di mana kesadaran dirinya mulai muncul. Perkawinan anak mempunyai dampak di mana anak tidak siap menjalankan tugasnya dalam perkawinan. Melati misalnya semula mengira bahwa perkawinan seperti sekolah yang ada masa akhirnya dan merasa terkejut ketika mengetahui bahwa perkawinan berlaku seumur hidup. Saya pikir nikah itu kayak sekolah, ada tahunnya. Kok saya ga selesai-selesai. Terus nenek saya bilang nikah itu seumur hidup. Saya heran: ya Allah bagaimana saya harus hidup dengan orang yang saya tidak cintai. Suami memang
176
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
baik, tapi saya ga cinta. Kata suami: kok judes amat. Saya sama dia ga ada rasa, malah minta diceraikan saja.116 Dampak perkawinan di bawah umur lainnya adalah sebagai berikut: 1. Tidak menyadari perubahan statusnya sebagai istri.117 Istri masih bertingkah laku sebagaimana anak-anak seperti tidur dengan boneka dan uang belanja dibelikan boneka.118 Sebaliknya istri pun diperlakuan seperti anak-anak, digendong, dipangku, dan dibujuk kalau menangis.119 2.
116 117
118
119
120
Tidak mengetahui haknya dengan baik sehingga hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. 120
Wawancara dengan EM, pada Minggu, 29 Juli 2012 di Pacet Cianjur. Waktos eta abdi teh ameng di kobong wae. Anjeuna tos dewasa. Abdi teu sadar tos nikah. Waktos kelas 5 tos naikeun kelas abdi ditaros ku anjeuna “naek teu sakola teh”. Saur abdi the “naik atuh”, teras abdi teh dilahun ku anjeuna (suami), tutur Bunga dalam wawancara pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur. DW waktu nikah lulus SD dinikahkan dengan pemuda penjual pisang yang keliatan maju. Tidur ga mau sama suami tapi dengan boneka dan tempat tidurnya penuh boneka. Uang belanja dipakai buat beli boneka, penuturan peserta tentang tetangganya dalam FGD tentang Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, di Kantor Pekka Cianjur, Sabtu 28 Juli 2012 Manehan mah teu asa-asa meureun mangku the dan rumasa geus jadi salaki. Kadang abdi ge sok digandong. Abdi sok aya emutan mah, naha ka santri sanes mah tara diajak ka bumina, tara digandong. Abdi mah diajak kaditu kadieu. Digandong. Anjeunan oge masihan artos receh ka abdi. Emut keneh. Kadang abdi teh ari nuju nagis jejeritan ku anjeuna di rerepeh. “Jep‟jep ulah nangis, penuturan Bunga dalam dalam wawancara pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur. Di rumah cuma seminggu, nangis terus. Kalo tidur harus disuruh-suruh. Mungkin suami saya ngadu ke kakaknya, kakanya ngadu ke Bapak. Seminggu pindah ke rumah mertua. Saya ngurung aja di kamar, karena ga ada yang kenal. Di sana saya harus nyari kayu bakar. Harus ngurus mertua perempuan yang sudah tua, harus ngurus makan, penuturan Melati dalam wawancara pada Minggu, 29 Juli 2012 di Pacet Cianjur. Demikian pula dalam hubungan seksual, Karena takut durhaka dan dosa kalau tidak tidur sama suami jadi ya ikut aja.
177
Nur Rofiah dan Kustini
3. Mengalami hubungan seksual di usia anak-anak, bahkan sebelum menstruasi yang pertama.121 4. Mengalamai hamil di usia anak-anak.122 5. Putus sekolah. Pada umumnya perempuan yang mengalami perkawinan di bawah umur pendidikannya terputus baik pendidikan formal, maupun pendidikan agama. Setelah kawin, perempuan pada umumnya langsung masuk masa reproduksi yang panjang yaitu hubungan seksual dengan suami, hamil, melahirkan, menyusui secara berulang-ulang. 6. Kesulitan melakukan adaptasi suami-istri perkawinan di bawah umur rentan perceraian.
sehingga
7. Rentan terhadap pembebanan sepihak terutama pasca perceraian seperti mengurus anak dalam jumlah banyak tanpa bantuan mantan suami sama sekali. 8. Perempuan mudah berada dalam kondisi harus menjadi kepala keluarga atau pencari nafkah tunggal keluarga akibat penelantaran ekonomi yang dilakukan oleh suami.
121
122
Setelah berhubungan seks itu trauma, takut dan sakit serasa ada yang nonjol dan kaya ada silet kaya seperti mau melahirkan. Terus setelah berhubungan seks pertama, istrahat tidak berhubungan seks selama 3 bulan sampai rasa ketakutan hilang, penuturan TN dalam wawancara pada hari Sabtu 4 Oktober 2012 di Cianjur Pertama hubungan seksual sebelum haid. Sebulan pertama perkawinan tidak berhubungan seksual. Hubungan seksual pertama sakit kalau pipis berdarah. Berkali-kali hubungan seksual baru menstruasi, penuturan NS dalam FGD bersama kader Pekka pada hari Senen 30 Juli 2012 di Cianjur Jadi saat menikah dulu saya usia 15 tahun suami sudah 22 tahun. Setelah menikah dua bulan baru berhubungan seksual. Mens pertama tiga bulan setelah menikah. Setelah mens pertama langsung punya anak dan saat itu usia saya 15 tahun, penuturan NN dalam wawancara pada hari Sabtu 4 Oktober 2012 di Cianjur.
178
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
9. Mempunyai daya saing yang lemah dalam bursa kerja karena pada umumnya pekerjaan mensyaratkan pendidikan di level tertentu. 10. Mudah terjebak pada pekerjaan yang berbahaya, kotor, dan sulit seperti menjadi TKW, bahkan mudah terjebak sebagai korban perdagangan manusia. Perempuan yang mengalami perkawinan di bawah umur baik yang tidak mempunyai anak seperti Melati maupun mempunyai anak banyak dengan ayah yang berbeda semua seperti Bunga memaknai perkawinan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Bunga menuturkan perkawinannya sebagai sesuatu yang merepotkan karena harus menanggung sendiri empat anak dari bapak yang berbedabeda, enak kalo jodohnya sendiri. Sapertos abdi ayuena sababaraha kali nikah, gaduh putra repot teu aya biaya. Nyuhunkeun biaya ka lanceukna abdi teu luas, margi beda bapak. Abdi ge upami nyuhunkeun nanaon sok ragu. Bilih aya murangkalih nu teu rido, margi lain Bapak. Makana abdi mah usaha satiasa-satiasa.123 Meskipun demikian, Bunga tidak lagi mengharapkan ada laki-laki yang bisa menjadi suaminya agar beban ekonomi dapat ditanggung bersama. Menjadi orangtua tunggal lebih baik daripada kawin lagi yang belum tentu memberikan ketenangan, ayeuna tos 16 tahun, teu hoyong nikah deui. Ogah we gaduh caroge deui. Anak lahiran tahun 1996. Saya sudah janda 16 tahun. Teu hoyong nikah deui. Lamun heug disebut bosen, nya
123
Wawancara dengan Bunga, pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur.
179
Nur Rofiah dan Kustini
henteu da nikah nu panglamina 2 tahun. Aya nu 20 hari, 2 bulan, sareng 2 tahun… 124 Melati yang dikawinkan pada umur 13 tahun dan perkawinannya berlangusng selama 18 tahun tanpa anak memaknai perkawinannya sebagai sebagai kehidupan yang tidak nyaman dan tidak tenteram: Selama 18 tahun rumah tangga, saya ga nyaman, ga tentrem. Orang bilang kamu kurang apa. Sudah punya rumah. dll. Tapi tetep juga ga nyaman....125 Ketika ditanya pengalaman menyenangkan apa yang terjadi dalam 18 tahun perkawinannya, Melati menegaskan: Kayaknya ga ada. Makanya saya suka ngomong dari nikah selama 18 tahun ga ada kehidupan... Hidup selama 18 tahun ga ada artinya. Untung ga punya anak.126 Perempuan yang mengalami perkawinan di bawah umur ada yang mengaku senang dan tidak mengalami persoalan yang berarti. Hal ini dituturkan oleh ibunda Bunga yang juga mengalami perkawinan di bawah umur, Abdi nikah waktos usia 9 tahun. Waktu itu ibu teu terang nanaon. Aa’na barudak teh nuju mondok di J (sebuah tempat). Pun biang teu nyuhunkeun nanaon, teu nyuhunkeun abdi ditikah. Ngan Aa nyarios ka pun biang bade ngegelueh abdi. Janjina Aa teh mun nikah abdi bade disenangkeun; kahiji bade dikamekahkeun, kadua bade dibumian, katilu bade disenangkeun. Da abdi mah waktos anom teh bujang ge gaduh opat. Abdi mah tara damel, sagala disadiakeun. Anjeuna bageur, abdi diogo. Emam sok dihuapan.Saya nikah waktu itu Bapak usia 20 tahun. Abdi 9 tahun. Aa mah bageur. Waktos teu 124 125 126
Wawancara dengan Bunga, pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur. Wawancara dengan Melati, pada Minggu, 29 Juli 2012 di Pacet Cianjur. Wawancara dengan Melati, pada Minggu, 29 Juli 2012 di Pacet Cianjur.
180
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
acan dewasa abdi teu dijamah-jamah. Ditiipkeun we ka raka-raka. Waktos umur 12 tahun abdi ngandung, 13 tahun gaduh orok si HW.127 Pengalaman positif yang dialami oleh ibundanya Bunga yang sangat berbeda dengan Bunga mempunyai banyak faktor pendukung antara lain suami adalah orang yang bertanggungjawab, kondisi ekonomi stabil, status sosial tinggi yang menjadikan Ibundanya Bunga selamat dari pengalaman perkawinan sangat buruk yang dialami anak perempuannya. Dampak perkawinan anak yang cukup banyak dan signifikan memberikan pergeseran pandangan di kalangan masyarakat. Seorang tokoh ulama di Cianjur memiliki gagasan yang progresif bahwa balighnya calon mempelai semestinya tidak hanya didasarkan pada kondisi fisik semata melainkan juga baligh secara pengetahuan dan ekonomi. Mungkin batasan baligh itu dan yang beredar itu baligh dari sisi usia saja. Selain baligh secara usia maka ada juga baligh secara pemikiran, secara ilmu pengetahuan, dan bahkan baligh secara ekonomi. Bahkan untuk laki-laki semestinya tidak hanya baligh secara umum. Pada umumnya baligh lakilaki diukur dari sisi umur dan sekarang usia 9 tahun sudah sudah mimpi basah. Jadi menurut agama harusnya dikembangkan baligh tidak hanya secara fisik tapi juga kematangan mental. Sekarang usia 9 tahun sudah mens dan kata fiqih itu sah-sah saja, tetapi ketika dia punya anak yang pertama yang secara fisik ada gangguan kesehatan sehingga
127
Penuturan Ibunda Bunga di tengah-tengah wawancara dengan Bunga, pada hari Sabtu, 28 Juli 2012, di rumahnya di Cianjur
181
Nur Rofiah dan Kustini
baligh tidak hanya secara fisik tapi secara keseluruhan termasuk kematangan standar sangat minimal.128 Pandangan di atas berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang hanya melihat baligh dengan ukuran fisik, yakni mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Laki-laki dan perempuan berapa pun usia yang dipandang patas bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah adalah apabila sudah mengalami perisitiwa tersebut. Tokoh agama yang sama mempunyai pandangan yang bertentangan dengan konsep baligh di atas ketika berbicara tentang kawin gantung dan nikah dini sebagai berikut; Kawin gantung boleh saja karena Aisyah nikah dengan Rasul usia dini tapi baru disetubuhi di usia yang lebih dewasa. Ditunggu. Benar itu, tapi campurnya tidak. Jadi menikahnya Rasulullah itu untuk mengikat kekeluargaan kaitannya dengan dakwah. Jadi Nabi itu istilahnya ‘Kawin gantung’. Nabi dalam membentuk satu jamaah seperti kita menanam padi seperti menanam cabangcabang dan sebagainya… Bisa diikhtiyarkan tapi jangan dilarang menikah di bawah umur karena sudah ada perintahnya yaitu hadis nabi itu. Tapi kita bisa mengikhtiarinya agar bisa meminimalisir perkawinan dini yang banyak madharatnya.129 Pandangan di atas mencerminkan kuatnya keyakinan tokoh agama tentang bolehnya perkawinan di bawah umur berdasarkan pada hadis tentang perkawinan Rasulullah Saw meskipun telah memiliki pandangan yang cukup progresif berkaitan dengan konsep baligh. TW pengurus salah satu 128 129
Wawancara dengan KHJ, seorang tokoh agama di Cianjur, pada Jumat 3 Agustus 2012. Wawancara dengan KHJ, seorang tokoh agama di Cianjur, pada Jumat 3 Agustus 2012.
182
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
organisasi perempuan Muslim di Cianjur menolak dengan tegas pendangan tersebut: Aisyah dinikahi Nabi tapi saat itu tidak langsung digauli. Digauli saat Aisyah dewasa. Tapi untuk sekarang ada aturan yang melarang, dan ada alasan-alasan khusus yang tidak membolehkan. Saya ngga setuju perkawinan Aisyah dijadikan dasar nikah dini. Perkawinan Aisyah bukan mewajibkan menikah di usia dini. Itu hanya contoh saja di saat Rasulullah dulu. Rasulullah menikah jangan dilihat Aisyah di usia 9 tahunnya saja tapi lihat alasannya. Dan sekarang bagi yang masih membolehkan nikah dini hadis tersebut difahami setengahnya saja sehingga dijadikan sebagai justifikasi. Dan kalau ditafsirkan sebagai bolehnya nikah dini, itu penafsiran yang salah dalam arti kurang lengkap. Harusnya hadis itu dilihat lagi. Rasulullah menikah Aisyah karena dia bisa menjamin. Rasulullah bisa menjamin baiknya, kalau kita belum bisa menjamin.130 Dua pandangan di atas menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur masih terus diperdebatkan. Jika tidak ada ketegasan sikap agama terhadap perkawinan di bawah umur, maka kemungkinan perkawinan jenis ini akan terus berlangsung tanpa memandang dampak personal maupun individual yang dialami oleh perempuan, keluargam masyarakat, bahkan negara. Pemahaman ulang atas perkawinan Rasulullah dengan Aisyah yang kerap dijadikan dasar perkawinan di bawah umur merupakan upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Upaya lain dilakukan oleh P2TP2A Cianjur yang meminimalisir dampak perkawinan di bawah umur 130
Wawancara dengan TW, seorang pengurus organisasi perempuan di Cianjur, pada Jumat 3 Agustus 2012.
183
Nur Rofiah dan Kustini
karena hamil di luar nikah dengan mempertahankan hak anak atas pendidikan, Awalnya kesepakatan keluarga jangan sampai aib. Kami membuat kesepakatan, anak lagi sekolah, karena guru tidak tahu kalau dia hamil karena ada yang sudah kelas 3 agar dia lulus dulu baru kita nikahkan.131 Tentu upaya-upaya juga dilakukan melalui pengetatan administrasi. Misalnya pemalsuan umur yang kerap terjadi pada perkawinan di bawah umur telah diberlakukan verifikasi identitas yang semula hanya perlu KTP, kini perlu juga Kartu Keluarga, Ijazah, dan Akte Kelahiran. Demikian dituturkan oleh Bapak Hamdan, Ketua KUA Kecamanatan Cibeber Cianjur. Sekarang kalau menikah itu harus di cek dulu dari mulai ijazah, KK, KTP, dan akte kelahiran. Jadi kalau mau memalsukan sangat sulit karena harus di rubah semuanya.132 Upaya tersebut cukup efektif karena memalsukan empat kartu tentunya semakin sulit dibandingkan hanya memalsukan KTP. Namun demikian, upaya administratif tersebut hanya efektif mengurangi pencatatan perkawinan di bawah umur, tetapi tidak efektif mencegah perkawinan di bawah umur sendiri karena mereka masih bisa melakukannya di hadapan tokoh agama. B. Perkawinan Tidak Tercatat Perkawinan tidak dicatat terjalin secara berkelindan dengan perkawinan di bawah umur. Perkawinan tidak dicatat banyak disebabkan oleh perkawinan di bawah umur karena tidak memenuhi persyaratan. Sebaliknya perkawinan di 131 132
Wawancara dengan P2TP2A Cianjur di kantornya pada Senin 30 Juli 2012. Wawancara dengan Bapak Hamdan pada tanggal Kamis, 26 Juli 2012
184
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
bawah umur pada umumnya tidak dicatatkan kecuali mereka yang melakukan pemalsuan umur. Perkawinan tidak tercatat, sebagaimana perkawinan di bawah umur, tidak memiliki data yang menunjukkan fenomenanya secara utuh. Data perkawinan tidak dicatatkan dapat ditelusuri melalui isbat nikah. Berikut adalah data isbat nikah yang berada dalam Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cinajur tahun 2006-2011 sebagai berikut; Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
2006 1 3 5 13 31 16 18 19 25 9 21 14 175
2007 97 38 13 22 22 34 13 20 19 13 23 46 360
2008 30 22 18 34 9 26 32 24 19 18 30 14 276
2009 31 17 26 16 21 23 49 27 6 44 64 16 340
2010 15 47 14 14 9 26 16 13 11 64 125 69 423
2011 13 67 143 96 64 74 127 66 69 40 43 36 838
Data di atas menunjukkan adanya trend peningkatan jumlah isbat nikah dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2008. Selama kurun waktu enam tahun di atas Pengadilan Agama Cianjur berhasil menjadikan 2,412 perkawinan yang tidak tercatat menjadi tercatat. Angka isbat nikah di atas tentu saja baru sedikit jika dibandingkan dengan kuatnya tradisi perkawinan tidak tercatat di Kabupaten Cianjur.
185
Nur Rofiah dan Kustini
Perkawinan tidak tercatat mempunyai beberapa faktor penyebab baik agama, hukum, maupun sosial budaya dan ekonomi. Praktek nikah di bawah umur yang dilegitimasi oleh pemahaman agama merupakan faktor penyebab penting. Faktor pemahaman agama yang turut melestarikan adanya perkawinan tidak dicatat adalah sebagai berikut: 1. Pandangan bahwa pencatatan perkawinan tidak diperintahkan oleh agama sehingga pasangan yang menikah secara agama pada umumnya menganggap cukup sehingga tidak perlu mencatatkannya di KUA. 2. Pandangan bahwa ijin istri pertama dalam poligami tidak disyaratkan oleh agama. Para suami banyak kawin lagi tanpa sepengetahuan istri dan negara. 3. Pandangan bahwa praktek nikah mut’ah itu dibolehkan oleh agama. 4. Keyakinan bahwa jika ada peraturan negara yang bertentangan dengan ajaran agama, maka ajaran agamalah yang diutamakan sementara pencatatan perkawinan yang ditentukan pemerintah dianggap tidak diperintahkan agama. 5. Pemahaman bahwa janda boleh menikah tanpa ijin wali sehingga banyak janda yang diperistri secara diam-diam tanpa prosedur perkawinan yang dituntut negara. 6. Upaya mengkriminalkan selain petugas pernikahan dianggap sebagai kriminalisasi syariah karena mengawinkan orang dipandang sebagai bagian dari tuntunan syariah.
186
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
7. Keberadaan tokoh agama sebagai aktor utama yang mengawinkan pasangan tanpa dicatatkan. Di samping faktor agama, perkawinan tidak tercatat juga disebabkan oleh faktor hukum sebagai berikut: 1. Pencatatan perkawinan dipandang lebih mahal daripada perkawinan secara agama yang tidak dicatatkan. 2. Pencatatan perkawinan dipandang lebih rumit karena mensyaratkan banyak hal dibandingkan dengan perkawinan agama. 3. Tidak adanya pengarsipan yang lengkap sehingga mereka yang kehilangan buku nikah seringkali datanya tidak ditemukan. 133 4. Tidak adanya sistem pendataan terpadu sehingga status perkawinan seseorang tidak bisa dikroscek dengan mudah. 5. Surat nikah bisa diganti dengan surat keterangan sudah menikah dari keluarahan. 6. Akte kelahiran bisa diganti dengan surat kenal lahir dari kelurahan. 7. Tidak bisa memenuhi salah satu syarat perkawinan, misalnya umur belum mencapai usia minimal calon mempelai, tidak ada surat pengantar dari kedutaan negara terkait bagi warga negara asing, tidak ada foto, tidak 133
Dulu perkawinannya resmi tapi suratnya hilang terus lapor ke-KUA. Karena berbelit-belit dan harus bayar lagi karena kemampuan ekonomi tidak bisa akhirnya tidak jadi. Dua tahun sudah menikah surat nikah hilang (kalau tidak salah hilang di mobil saat mau ke Tasik) dan baru sadar ketika anak yang ketiga mau masuk sekolah harus ada akte. Kalau dulu itu ngga begitu sadar, penuturan AN dalam wawancara pada Sabtu 4 Agustus 2012, di Cianjur.
187
Nur Rofiah dan Kustini
punya KTP, KK, dan akte kelahiran, tidak ada ijin dari istri pertama. 8. Surat nikah yang dimiliki ternyata asli namun palsu, misalnya tidak ada nomornya, tidak tertulis nama mempelai, lengkap semua tetapi tidak terdaftar di KUA. 9. Tidak memiliki akte cerai karena beberapa hal: tidak mendapatkan ijin cerai dari atasan, dicerai secara siri padahal nikahnya tercatat, nikah dan cerainya siri, status perkawinan digantung oleh suami (ditelantarkan begitu saja tanpa diceraikan), 10. Tidak ingin diwalikan oleh ayahnya yang pelaku KDRT bahkan perkosaan incest sementara KUA tetap menuntut persetujuan ayahnya. 11. Kesulitan mendapatkan surat keterangan janda/ duda mati sehingga tidak bisa mengurus perceraian secara negara sehingga tidak bisa menikah untuk kedua kalinya secara tercatat. 12. Perkawinan pertama tidak tercatat sehingga tidak bisa cerai di pengadilan dan akhirnya menikah berikutnya pun tidak bisa tercatat. 13. Penolakan permohonan dispensasi kawin. 14. Pemidanaan perkawinan bagi istri yang belum dicerai secara negara hanya diberlakukan pada petugas perkawinan tidak kepada tokoh agama. 15. Manipulasi wali pelanggaran huku
188
hakim
tidak
dipandang
sebagai
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
Faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang menjadi penyebab perkawinan tidak dicatat adalah sebagai berikut: 1. Tidak mengetahui dicatatkan.134
bahwa
perkawinan
harus
2. Tidak menganggap penting perkawinan dicatatkan. 3. Tidak mengetahui adanya layanan gratis nikah bagi orang yang tidak mampu.135 4. Tidak mengetahui adanya cerai resmi secara prodeo atau gratis. 5. Menikah dicatatkan di KUA, tetepi cerai tidak mau lewat sidang di pengadilan karena mengira sidang hanya untuk orang jahat. 6. Tidak mau cerai di pengadilan karena memandang cerai sebagai aib yang sebisa mungkin tidak diketahui orang banyak sedangkan apabila sidang di pengadilan pasti menjadi banyak yang tahu.
134
135
Saya ngga tahu kalau menikah begitu harus dicatatkan namanya juga masih anak-anak. Waktu saya menikah yang menikahkan itu amil Emuh yang sekarang sudah meninggal dan ajengan sebagai saksi, saat itu si amil tidak bertanya apakah saya sudah haid atau tidak. Seinget saya syarat-syarat nikah saat itu harus ada foto... Wawancara dengan TN pada Sabtu 4 Agustus 2012 di Cianjur. Jadi alasannya bisa karena biaya. Kalau nikah di jam kantor itu bisa gratis karena itu jam kerja. Kalau nikah di luar kantor biayanya bisa sampai 500 ribu kemudian dibagikan kepada naib yang datang dan amilnya, penuturan HD pimpinan sebuah KUA di wilayah Kabupaten Cianjur dalam wawancara pada Kamis 26 Juli 2012, di Cianjur. Namun informasi ini diakui tidak diketahui masyarakat dengan baik: Tidak ada sosialiasai bahwa nikah bisa gratis asal di KUA pada jam kerja dan ada surat keterangan tidak mampu. Bayar nikah 400 ribu baik di rumah maupun di KUA, penuturan peserta di FGD yang dilaksanakan di kantor PEKKA Cianjur pada Kamis 26 Juli 2012.
189
Nur Rofiah dan Kustini
Dampak perkawinan tidak tercatat, sebagaimana perkawinan di bawah umur lebih banyak dialami oleh perempuan sebagai berikut: 1. Tidak bisa mengurus akte kelahiran dengan mencantumkan nama ayahnya, 2. Tidak bisa nikah lagi secara sah dan dicatatkan dengan laki-laki lain bagi janda yang tidak mempunyai surat cerai, 3. Status gantung karena tidak ada kepastian statusnya sehingga perempuan tidak bisa kawin lagi sampai puluhan tahun bahkan mempunyai cucu sedangkan suaminya sudah kawin lagi berkali-kali. 4. Mau berangkat keluar negeri susah karena salah satu syaratnya harus ada surat nikah, 5. Bagi yang mau meminjam uang ke bank misalnya untuk modal usaha itu juga susah, 6. Membuat akte kelahiran anaknya susah juga, 7. Tidak bisa mengurus pensiun, 8. Tidak bisa memproses KDRT secara hukum,136 9. Tidak bisa pinjam modal ke bank, 10. Tidak bisa mengurus visa umroh dan haji, 11. Anak tidak bisa tes PNS/ TNI, 12. Tidak bisa urus harta gono-gini, 13. Tidak bisa urus waris, 14. Tidak bisa nuntut nafkah anak pasca cerai, 136
Perkawinan tidak tercatat dari beberapa kasus itu banyak yang terjadi dikita, nikah di bawah tangan, saat permasalahan kita menguruskan hak-haknya yang terhambat terutama secara hukum karena proses pengurusan KDRT harus terbukti bahwa dia benar syah harus dicatat. Ini juga kendala terutama secara hukum untuk kita khususnya dalam menangani kasus KDRT sebagaimana dituturkan oleh pengurus pengurus P2TP2A dalam wawancara pada Senin, 30 Juli 2012.
190
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
15. 16. 17. 18.
Suami bisa nikah dg status perjaka, Tidak bisa punya surat cerai, Hilang hak perwalian, Dianggap pasangan kumpul kebo,
Dampak-dampak tersebut tentunya masih banyak dan mempengaruhi cara pandang suami atau istri terhadap perkawinannya. Perkawinan yang tidak tercatat di sebuah negara yang mewajibkan pencatatannya berakibat pada tidak diakuinya perkawinan tersebut oleh negara. Salah seorang narasumber memaknai perkawinannya ketika tidak mempunyai surat nikah sebagai perkawinan yang diliputi kekhawatiran, Saya pernah tinggal dan ngontrak di Jakarta merantau bersama suami. Tanpa surat nikah, ada rasa was-was dan khawatir takut dikira kupul kebo atau ada pemeriksaan dari RT. Saya tinggal bersama suami dan anak yang ketiga. Anak pertama dan kedua tinggal sama neneknya. Alhamdulillah apa yang dikhawatirkan itu tidak terjadi. Ngontrak di Jakarta selama 2 tahun. Saat itu anak ketiga masih kecil usia 4 bulan sampai usia 2 tahun. Kehawatiran kedua karena ngga ada surat nikah anak ngga bisa sekolah karena ngga ada akte. Yang bisa bikin itu setelah isabat nikah aja.137 Setelah mempunyai surat nikah, perkawinan dimaknai sebagai perkawinan yang menyenangkan karena terbebas dari bermacam-macam rasa khawati. Setelah saya punya surat nikah seneng, dan menjadi pede pergi kemana-mana. Kemudian saya memproses pembuatan akte untuk keenam anak. Tahun 2009 saya dapet surat nikah, dan tahun 2010 baru dapet akte. Jadi tahun 2010 baru buat akte karena ada program pembuatan akte kelahiran geratis secara masal yang 137
Wawancara dengan AN pada Sabtu 4 Agustus 2012, di Cianjur.
191
Nur Rofiah dan Kustini
diadakan oleh Pemda inisiatif dari PEKKA. Jadi PEKKA berinisiatif untuk mengadakan pembuatan akte gratis kemudian diajukan ke Pemda dan pemda menyetujuinya.138 Lemahnya penegakan hukum menyebabkan banyak pasangan suami istri khususnya mereka yang tidak pernah berurusan dengan administrasi memaknai perkawinannya yang tidak tercatat sebagai perkawinan yang sama seperti perkawinan lainnya. Suami juga belum punya masalah dengan surat nikah karena suami kerja sebagai tukang bangunan. Lama ngga membuat surta nikah karena ngga pernah ada masalah. Membuat surat nikah karena takut ada masalah. Setelah isbat nikah belum pernah memanfaatkan surat nikah.139 Pencatatan perkawinan semestinya tidak hanya dijadikan persoalan administrati melainkan lebih dari itu mesti dilihat dalam konteks pencapaian tujuan perkawinan dan mencegah perkawinan dipermainkan. Masyarakat tidak hanya diberi informasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan tetapi juga mengapa pencatatan itu penting dalam pencapaian sakinah pada keluarga modern sekarang ini. Masyarakat masih banyak yang belum menyadari pentingnya pencatatan perkawinan. Mereka baru mengurus jika mau mengurus sesuatu yang mensyaratkan buku nikah. Contohnya adalah mendaftarkan anak ke sekolah memerlukan akte kelahiran, sedangkan mengurus akte kelahiran memerlukan buku nikah orangtuanya, Sadar (tentang pentingnya surat nikah, pen.) waktu mau bikin akte 138 139
Wawancara dengan AN pada Sabtu 4 Agustus 2012, di Cianjur Wawancara dengan NS pada Sabtu 4 Agustus 2012 di Cianjur.
192
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
kelahiran anak harus ada surat nikah. Jadi kepentingannya baru sadar belakangan. Setelah menyadari pentingnya, kemudian saya diberi tahu ibu TK tentang Isbat Nikah. Waktu itu, surat nikah diperlukan untuk mengurus akte kelahiran anak pertama. Saya coba ngurus-ngurus waktu itu, karena terbentur sama biaya jadi ngga bisa. Lupa harus bayarnya berapa tapi lumayan gede.140 Perkawinan tidak tercatat sebetulnya cukup meresahkan terutama karena pelakunya ad a para tokoh agama yang cukup disegani oleh masyarakat. Polisi dan petugas KUA pun tidak bisa melakukan apa-apa, Jadi polisi itu menganggap kalau perceraian di bawah tangan dan perkawinan di bawah tangan atau tidak tercatatkan itu bukan masalah, jadi kurang greget dari polisi. Jadi belum ada pidana kiai karena kasus menikahkan di usia dini. Kalau ada persoalan, baru ada pengaduan. Padahal ini bukan delik pengaduan.141 Tokoh agama pada umumnya melihat pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang tidak pernah disyaratkan oleh ulama mana pun sehingga menganggap bahwa pencatatan perkawinan itu tidak penting. Namun sebagain tokoh agama menganggap pancatatan perkawinan sebagai ikhtiyar positif dan menyayangkan tokoh agama yang terlibat menikahkan orang tanpa mencatatkannya, Nikah itu supaya tertib tidak dipermainkan, ada ikhtiar harus dicatatkan. Masalah administrasi itu harus dicatatkan. Surat Al-Baqarah menceritakan pentingnya dicatatkan hutang piutang….Kalau kiainya banyak bergaul maka dia itu tidak mau, kalaupun menikahkan dia akan mensyaratkan untuk di catatkan. 140 141
Wawancara dengan AN pada Sabtu 4 Agustus 2012. Wawancara dengan HD pada Kamis 6 Juli 2012.
193
Nur Rofiah dan Kustini
Termasuk MUI menyarankan untuk pencatatan karena akan ada masalah. Saya pernah ada yang minta pertanggungjawaban orang arab katanya dia sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Dia mau minta surat ke saya, saya ngga mau karena saya ngga terlibat.142 Respon di atas menunjukkan adanya sikap yang berbeda dari masyarakat di mana sebagian sudah menyadari pentingnya pencatatan sebagian lagi tidak menyadarinya. Namun demikian, di tengah upaya-upaya untuk mencatatkan perkawinan terus berlangsung. Upaya pencatatan perkawinan sebagaimana upaya pencegahan perkawinan di bawah umur terus dilakukan melalui berbagai cara. Orangtua yang telah menyadari pentingnya pencatatan perkawinan akan memastikan perkawinan anaknya untuk dicatat, Saya juga ingin memastikan untuk anak-anak yang berkeluarga untuk mempunyai surat nikah agar mempermudah urusannya karena banyak manfaatnya dan bisa memperoleh berbagai akses.143 Di samping upaya yang bersifat pribadi, dilakukan juga upaya untuk membangun kesadaran tentang pentingnya pencatatan perkawinan dilakukan melalui mimbar-mimbar agama, Sosialisasi oleh KUA koordinasi melalui kepala desa, majlis ta’lim pengajian, atau syahriyahan (pengajian bulanan ), mingguan. Secara acak kami lakukan sosialisasi itu. Dan kesadaran di masyarakat juga diperlukan.144 Upaya struktural yang dilakukan dalam mengatasi perkawinan tidak tercatat adalah pengadaan isbat nikah yang dilakukan oleh KUA 142 143 144
Wawancara dengan KHJ, seorang tokoh agama di Cianjur, pada Jumat 3 Agustus 2012. Wawancara dengan AN pada Kamis 6 Juli 2012. Wawancara dengan HD pada Kamis 6 Juli 2012.
194
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
maupun oleh masyarakat. Pekka bekerjasama dengan Badilag dan Pemda mengadakan isbat nikah prodeo (gratis) yang melayani isbat nikah maupun isbat cerai. Latar belakang diadakannya isbat nikah oleh Pekka adalah sebagai berikut sebagaimana dituturkan oleh pengurus Pekka Cianjur: Pertama, karena anggota Pekka banyak janda yang ditinggal begitu saja sama suami. Di pertemuan kelompok yang masuk Pekka itu khusus janda-janda. Setelah ngobrolngobrol di kelompok ternyata banyak yang cerai ngga punya surat cerai karena ditinggal begitu saja sama suaminya. Setelah tanya ke masyarakat, banyak yang ingin isbat nikah karena banyak yang nikah tapi ngga tercatatkan terutama bagi yang menikah sudah lama. Usia perkawinan sekitar usia 20 tahun, ada yang 10 tahun dan lainnya. Yang jelas sudah lama sampai sudah punya anak cucu. Terus kita lobby ke pemerintah utuk melakukan isbat nikah.145 Di samping itu juga mulai ada upaya pengetatan administrasi dengan tidak memberlakukan surat keterangan kawin sebagai pengganti buku nikah dan surat kenal lahir sebagai pengganti akte kelahiran. Pencatatan perkawinan semakin banyak dilakukan oleh masyarakat karena sebelumnya akte kelahiran dapat diganti dengan surat kenal lahir yang dikeluarkan oleh kelurahan yang sekarang tidak berlaku, Anak pertama masuk SMP cukup dengan surat ’kena lahir’, begitu juga dengan masuk SMA-nya. Anak kedua masuk SMP cukup pake ‘surat kenal lahir’ dan masuk SMA baru harus pake akte. Anak ketiga, SMP harus pake akte dan saat itu anak ketiga sudah ada aktenya.146 145 146
Wawancara dengan TK pada Rabu 6 Agustus 2012. Wawancara dengan AN pada Sabtu 4 Agustus 2012 di Cianjur
195
Nur Rofiah dan Kustini
Selain surat kenal lahir yang sudah tidak lagi diberlakukan, surat keterangan sudah menikah dari kelurahan juga sudah tidak bisa digunakan. Semua anak saya ngga punya akta kelahiran karena sekolah dulu ngga mengharuskan pake akte kelahiran. Dan 4 anak terakhir yang punya akta kelahiran. Caranya buat akta kelahiran dengan menunjukan surat keterangan menikah. Suami mendukung isbat nikah dan datang saat itu ke majelis.147 Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat merupakan upaya Negara untuk melindungan institusi perkawinan dari penyalahgunaan perkawinan yang dapat merusak institusi keluarga. Sayang sekali aturan ini menghadapi kendala serius di lapangan baik terkait dengan aturan pendukungnya, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, maupun pemahaman agama. Keberadaan aturan tentang batas usia minimla calon mempelai dan keharusan mencatatkan perkawinan namun tidak disertai dengan kemudahan akses dan sanksi bagi pelanggarnya ini pada akhirnya menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Namun demikian, relasi gender yang tidak setara antara lakilaki mengakibatkan keduanya mengalami dampak yang berbeda dari dua jenis perkawinan ini. C. Analisis Temuan Ada dua istilah kunci untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yaitu kelamin dan gender. Mansour Fakih menjelaskan perbedaan mendasar antara istilah jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara 147
Wawancara dengan NN, Sabtu 4 Agustus 2012 di Cianjur.
196
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki-laki mempunyai penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, rahim, sel telur, dan sebagainya. Adapun gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.148 Misalnya lakilaki berambut pendek dan memakai celana panjang, sedangkan perempuan berambut panjang dan memakai rok. Jenis kelamin adalah kodrat ilahi yang tidak bisa dipetukarkan dan tetap, sedangkan gender adalah konstruksi sosial sehingga bisa ditukarkan, berbeda-beda, dan dapat berubah. Perbedaan jenis kelamin atau biologis laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan fungsi reproduksi keduanya dalam perkawinan. Misalnya laki-laki menjalani fungsi reproduksi berupa hubungan seksual saja, sedangkan perempuan menjalani fungsi reproduksi berupa hubungan seksual, hamil, melahirkan, dan menyusui. Masa reproduksi di antara keduanya pun berbeda di mana perempuan menjalani fungsi reproduksi jauh lebih lama dan lebih kompleks daripada laki-laki. Kondisi ini menunjukkan bahwa perempuan seharusnya lebih siap secara fisik, mental, sosial, dan spiritual dan memiliki pengetahuan yang memadai dalam memasuki perkawinan. Namun dalam perkawinan di bawah umur fakta yang ada justru sebaliknya, yakni laki-laki pada umumnya sudah berusia dewasa atau matang sedangkan perempuan masih anak-anak. Perempuan yang kawin di bawah umur secara fisik maupun mental belum siap untuk melakukan hubungan seksual sehingga merasa kesakitan 148
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), h. 7-8.
197
Nur Rofiah dan Kustini
sebagaimana kesaksian Mawar (bukan nama sebenarnya) berikut ini; Waktu menikah belum haid, setahun setelah nikah baru haid. Dalam bayangan saya nikah itu hanya campur saja, dan belum faham kalau nikah itu harus tidur bareng dan itu jadi dag-dig-dug karena takut....Karena takut doraka dan dosa kalau tidak tidur sama suami jadi ya ikut aja. Setelah berhubungan seks itu trauma, takut dan sakit serasa ada yang nonjol dan kaya ada silet kaya seperti mau melahirkan. Terus setelah berhubungan seks pertama, Istrahat tidak berhubungan seks selama 3 bulan sampai rasa ketakutan hilang.149 Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki juga mengakibatkan keduanya mengalami perbedaan dampak dalam perkawinan tidak tercatat, sebagai berikut: 1. Meskipun tidak tercatat, namun perempuan tidak bisa menyembunyikan status perkawinannya di saat hamil, melahirkan, dan menyusui sementara laki-laki bisa menyembunyikannya sehingga laki-laki dapat mengaku sebagai perjaka dan menikah lagi dengan mudah. 2. Laki-laki yang melakukan perkawinan tidak tercatat lebih aman dari tuduhan melakukan hubungan seksual di luar nikah karena tidak mengalami hamil, melahirkan, dan menyusui sebagaimana perempuan. 3. Dalam perkawinan tidak tercatat, laki-laki dapat mudah lari dari tanggungjawab sebagai ayah perempuan hanya boleh mencantumkan nama sebagai orangtua anak tanpa nama suami ayahnya.
149
Wawancara dengan Mawar pada Sabtu 4 Oktober 2012 di Cianjur.
198
dengan karena dirinya sebagai
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
4. Laki-laki dapat melakukan perkawinan tercatat dengan seorang perempuan dan melakukan perkawinan tidak tercatat dengan perempuan lainnya pada waktu yang sama, sebaliknya perempuan dengan status gantung (ditelantarkan tanpa dicerai) tidak bisa kawin lagi selama puluhan tahun hingga punya cucu karena suami belum menjatuhkan thalak dan dirinya tidak mengetahui adanya hak khulu atau cerai gugat. 5. Perkawinan tidak tercatat menyebabkan banyaknya perempuan berstatus gantung (muallaqah) karena ditelantarkan tanpa dicerai, tetapi tidak menyebabkan banyak duda dengan status perkawinan yang tidak jelas. Perbedaan perempuan dan laki-laki secara biologis kemudian melahirkan penyikapan masyarakat yang berbeda pada keduanya (perbedaan sosial atau gender). Perbedaan penyikapan ini tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Sayangnya perbedaan gender ini sering melahirkan ketidakadilan gender terutama pada pihak yang berada dalam posisi lebih lemah. Bentuk ketidakadilan gender ada bermacam-macam. Pertama adalah pelabelan (stereotype) yaitu pemberian sifat negatif pada jenis kelamin tertentu pada umumnya adalah perempuan. Misalnya anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah, cengeng, dan emosional sebaliknya laki-laki dianggap kuat, tabah, dan rasional. Perkawinan di bawah umur banyak terjadi karena adanya keluarga menghindari pelabelan negatif pada anak perempuan yang tidak segera menikah sebagai perawan tua. Di usia yang sama, laki-laki tidak mendapatkan label sebagai perjaka tua.
199
Nur Rofiah dan Kustini
Perempuan juga mendapatkan label negatif dalam perkawinan tidak tercatat, yaitu sebagai istri simpanan. Kedua, adalah posisi di bawah (subordinasi) yaitu menempatkan jenis kelamin tertentu pada umumnya perempuan di bawah jenis kelamin lainnya pada umumnya laki-laki. Misalnya menempatkan perempuan lebih rendah, kurang penting, dan kurang bernilai daripada laki-laki. Perkawinan di bawah umur terutama yang terjadi melalui kawin gantung merefleksikan pandangan bahwa perempuan tidak penting sehingga persetujuannya tidak diperlukan dalam perkawinan dirinya. Perempuan secara sepihak dikawinkan oleh orangtuanya pada saat dirinya belum mengerti arti kehidupan apalagi arti perkawinan. Perkawinan tidak tercatat juga merefleksikan pandangan yang merendahkan perempuan karena mengandung arti bahwa hak-hak perempuan dalam perkawinan tidak perlu diakui oleh negara. Ketiga, adalah peminggiran (marjinalisasi) yaitu peminggiran jenis kelamin tertentu pada umumnya perempuan dalam dunia ekonomi dan politik. Perempuan yang diberi label lemah dan emosional dan diposisikan di bawah laki-laki, kemudian dipinggirkan atau terpinggirkan dalam dunia politik formal. Perempuan dihalangi untuk menjadi pejabat publik dan dilarang bekerja. Perkawinan di bawah umur telah banyak menyebabkan perempuan putus sekolah yang kemudian mengakibatkan perempuan teringgirkan dari dunia kerja karena ketiadaan ijazah pendidikan tinggi yang menjadi tuntutan pekerjaan. Perkawinan tidak tercatat juga meminggirkan perempuan dari akses keadilan karena tidak mampu memproses KDRT yang
200
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
dialaminya, harta waris, harta gono-gini, dan nafkah secara hukum. Di samping itu, perkawinan tidak tercatat juga menyebabkan perempuan tidak mampu mengakses perceraian secara hukum sehingga tidak bisa menikah lagi ketika ditelantarkan oleh suami selama bertahun-tahun. Sebaliknya perkawinan tidak tercatat justru membuat status laki-laki tetap perjaka dan dapat dengan mudah menikah lagi. Keempat beban ganda (double burden) yaitu beban berlipat ganda bagi jenis kelamin tertentu pada umumnya perempuan. Misalnya perempuan yang telah bekerja di luar rumah tetap dianggap menjadi bertanggung jawab penuh pada urusan rumah tangga, sementara ketika laki-laki tidak bekerja tidak dianggap bertanggungjawab terhadap urusan urusan rumah tangga. Perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat seringkali berakhir dengan perceraian dalam usia perkawinan yang pendek yang diiringi dengan penelantaran anak. Perempuan tiba-tiba harus menjadi ibu sekaligus bapak bagi anaknya, sementara laki-laki dapat melalaikan sama sekali kewajibannya sebagai ayah tanpa ada sanksi hukuman apapun. Kelima, adalah kekerasan yaitu tindakan yang bisa mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan pada jenis kelamin tertentu pada umumnya perempuan baik secara fisik, seksual, prikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi. Perempuan yang dikawinkan di bawah umur dapat mengalami kekerasan secara berlapis, baik mental karena harus hidup dengan orang yang tidak dia kenal maupun dia cintai, maupun secara seksual karena harus
201
Nur Rofiah dan Kustini
berhubungan seksual dengan suaminya bahkan sebelum mengalami menstruasi yang pertama. Perkawinan tidak tercatat juga dapat menyebabkan perempuan mengalami kekerasan bertubi-tubi. Misalnya ketika menjadi korban KDRT, dia tidak mampu mendapatkan perlindungan hukum karena ketiadaan surat nikah yang membuktikan bahwa pelaku adalah suaminya. Dalam perkawinan di bawah umur maupun perkawinan tidak tercatat, agama pada umumnya dipahami memiliki aturan yang berbeda dengan negara, yakni laki-laki dan perempuan boleh menikah setelah baligh yakni mimpi basah bagi laki-laki walaupun belum mencapai 19 tahun dan menstruasi bagi perempuan walaupun belum mencapai 16 tahun. Agama juga dipahami tidak mengharuskan pencatatan perkawinan sebagaimana aturan Negara. Sementara itu dalam kondisi di mana agama dan Negara mempunyai aturan yang berbeda, maka aturan agama harus diprioritaskan. Sayangnya pemahaman agama hingga kini didominasi perspektif lakilaki. Para mufasir, fuqoha, dan sarjana muslim hingga kini pada umumnya laki-laki. Kondisi ini merupakan akibat langsung peminggiran perempuan dari pendidikan, termasuk pendidikan agama. Demikian halnya pemahaman agama terkait dengan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat, juga didominasi oleh perspektif laki-laki. Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat meskipun memberikan banyak dampak buruk namun analisa di atas menunjukkan bahwa dampak buruk tersebut banyak dialami hanya oleh pihak perempuan, misalnya berhubungan seksual sebelum haid, hamil, melahirkan, dan menyusui secara terus menerus yang mengalami hanyalah
202
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
perempuan. Demikian halnya kekhawatiran-kekhawatiran pada tidak diakuinya perkawinan oleh negara karena tidak tercatat pada umumnya juga hanya dialami perempuan. Lakilaki tidak mengalaminya. Oleh karena itu, meskipun perempuan dan pemerhati perempuan telah lama memperingatkan bahaya perkawinan di bawah umur baik di level nasional maupun internasional, MUI justru menegaskan nikah gantung pada tahun 2009 (tiga tahun yang lalu) yang disusul oleh NU pada 2012 (dua tahun lalu). Proses fatwa di kedua lembaga keagamaan ini diikuti oleh mayoritas ulama laki-laki jika tidak boleh mengatakan seluruhnya laki-laki, yang tidak mengalami langsung dampak buruk dari kedua perkawinan tersebut. Perkawinan Rasulullah Saw dengan Aisyah merupakan acuan praktek perkawinan di bawah umur di kalangan Muslim. Pada umumnya dipahami bahwa usia Aisyah ketika dinikhai Rasulullah Saw adalah 6 tahun kemudian berhubungan seksual di usia 9 tahun. Sebenarnya ini bukanlah satu-satunya pendapat yang berkembang di kalangan ulama. Ath-Thabari melakukan kritik sejarah atas usia Aisyah ketika menikah dan menyimpulkan bahwa usianya adalah 14 tahun. Menurut Tabari, juga menurut Hisyam ibn `Urwah, Ibn Hanbal dan Ibn Sa’ad, ‘Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, pada riwayat lain, menurut al-Thabari semua anak Abu Bakar (4 orang), termasuk ‘Aisyah, dilahirkan pada masa jahiliyah melalui 2 istrinya, atau sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul. Ini berarti ketika Nabi hijrah ke Madinah, ‘Aisyah sudah berumur 13-14 tahun. Ini juga
203
Nur Rofiah dan Kustini
mengindikasikan ketika Rasulullah menikahi ‘Aisyah setahun setelah Hijrah, umur ‘Aisyah diperkirakan 14-15 tahun.150 Ulama lain termasuk Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa usia Aisyah ketika menikah diperkirakan 17-18 tahun. Menurut sebagian besar ahli sejarah, termasuk Ibnu Hajar Al-Asqalani,151 Abdurrahman bin Abi Zannad152 dan Ibnu Katsir, selisih umur Asma-anak perempuan tertua Abu Bakar- dengan ‘Aisyah adalah 10 tahun. Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah, Asma meninggal dunia pada 73 H dalam usia 100 tahun.153 Dengan demikian pada awal Hijrah Nabi ke Madinah usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622 M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika ‘Aisyah berumah tangga), ‘Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, ‘Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana ‘Aisyah berumah tangga. Beberapa versi di atas menunjukkan bahwa usia Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah tidaklah pasti. Namun demikian, dari sekian analisis sejarah yang ada menunjukkan bahwa Aisyah tidak mungkin berusian tujuh tahun ketika dinikahi oleh Rasulullah Saw. Sayangnya, pemahaman inilah 150
151
152 153
Al-Tabari, Tarikh al Umam wa al-Mamluk, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 50, dikutip dari Wahyuni Shifaturrahmah, Mengkritisi Hadis-Hadis tentang Usia Pernikahan Aisyah dalam http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/27/mengkritisi-hadishadis-tentang-usia-pernikahan-%E2%80%98aisyah/ Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqribu al-Tahzib, Bab fi al-Nisa, alHarfu al-Alif, (t.t.p.: Dar Ihya al-Turath al-Islami, t.t.), h. 654 dikutip dari Wahyuni, Mengkritisi… Al-Zahabi, Siyar al-A`lam al-Nubala’, Vol. 2, (Beirut: Mu‟assasah al-Risalah, 1992), h. 289 dikutip dari Wahyuni, Mengkritisi…. Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. 8, (Al-Jizah: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1933), h. 371-372.
204
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
yang paling poluler di kalangan masyarakat Muslim. Untungnya, popularitas sebuah riwayat tidak menentukan nilai sebuah hadis. Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat merupakan persoalan masyarakat Muslim modern. Dalam peradaban kertas di mana segala sesuatu hanya diakui jika didukung dengan dokumen seperti rumah (akte rumah), mobil (BKKB), dan lain-lain maka perkawinan tentunya lebih berharga dari harta benda yang perlu dilindungi secara hukum melalui pencatatan perkawinan. Indonesia bukanlah satu-satunya negara Muslim yang mengatur kedua hal ini. Ada Turki, Tunisia, Maroko, Malaysia, dan banyak negara Muslim lainnya yang juga mengatur keduanya. Di samping relasi gender, perkawinan juga dipengaruhi relasi kuasa, baik antara orangtua dan anak, suami dan isteri, keluarga dan masyarakat, agama dan negara, tokoh dan umat beragama, maupun negara dengan rakyat. Perkawinan di bawah umur dan perkawian tidak dicatat merefleksikan posisi perempuan yang lemah dalam berbagai relasi kuasa. Pertama adalah relasi kuasa antara anak dan orang tua. Seorang anak tidak mampu menolak walau sangat ingin, bahkan belum mengerti ada pilihan menolak karena usianya yang masih sangat dini terhadap perkawinan yang dikehendaki orangtuanya. Otoritas tak terbatas yang dimiliki orangtua telah menjadikan EM (narasumber dalam penelitian ini) mengalami kawin-cerai hingga lima kali sebelum berusia 16 tahun. Pada umumnya perkawinan di bawah umur adalah tidak dicatatkan. Anak yang tidak mengerti bahwa perkawinan harus dicatatkan sementara orangtuanya mengerti dan tidak mencatatkan berarti bahwa orangtua telah
205
Nur Rofiah dan Kustini
memposisikan anak pada sebuah perkawinan yang tidak sah menurut negara sehingga tidak mampu memperoleh hakhaknya dengan baik. Kedua adalah antara suami dan isteri. Pada umumnya perkawinan di bawah umur, kecuali karena hamil di luar nikah yang terjadi pada siswa-siswi, terjadi antara laki-laki dewasa dan perempuan di bawah umur. Beberapa narasumber penelitian ini mempunyai suami yang baik sehingga menunggu isteri dewasa kemudian siap untuk melakukan hubungan seksual. Namun sebagian naraumber mengalami hubungan seksual bahkan sebelum mengalami menstruasi yang pertama dan mengalami pula perceraian secara sepihak pada saat berusia masih di bawah umur dan dalam kondisi hamil. Dalam perkawinan tidak tercatat, isteri tidak bisa menuntut haknya dari suami secara negara dan tidak mampu memperkarakan suami ketika terjadi KDRT. Sebaliknya negara juga tidak bisa menuntut suami untuk menunaikan tanggungjawabnya. Ketiga adalah relasi keluarga dengan masyarakatnya. Keluarga tunduk pada penilaian negartif masyarakat sehingga memilih mengawinkan anak di bawah umur untuk menghindari anggapan memiliki anak perempuan yang tidak laku atau perawan tua. Beberapa narasumber juga mengaku tidak bisa menolak lamaran karena sudah terlanjur menerima uang dari pelamar walau jumlahnya tidak begitu banyak. Keluarga tetap memilih untuk mengawinkan anak perempuannya di bawah umur karena rasa tidak enak secara sosial. Dalam perkawinan tidak tercatat terdapat beberapa narsumber yang kesulitan mencatatkan perkawinannya karena prosedur yang berbelit dan biaya yang terus
206
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
bertambah hingga mencatatkannya.
akhirnya
memilih
untuk
tidak
Keempat relasi agama dan negara. Negara meskipun sudah menetapkan batas usia minimal calon mempelai, namun tokoh-tokoh agama dapat melanggarnya bahan menyediakan diri sebagai alternatif perkawinan yang tidak diijinkan oleh negara. Ketidakberanian polisi atau pejabat negara yang berwenang untuk sekedar mencegah tokoh agama melakukan hal ini merefleksikan kekuasaan yang tidak imbang. Perempuan kembali dikorbankan akibat relasi ini. Hal yang sama terjadi dalam perkawinan tidak tercatat karena mereka yang dinikahkan hanya di hadapan tokoh agama tanpa mengurusnya ke lembaga negara. Kelima adalah relasi tokoh agama dan umatnya. Perkawinan di bawah umur pada umumnya diakui sebagai sebuah kebenaran oleh tokoh agama. Sebagai sumber pengetahuan agama, tokoh menjadi panutan umat. Dampak negatif yang diterima oleh perempuan dalam perkawinan di bawah umur menjadi sesuatu yang tidak dianggap penting sehingga perkawinan di bawah umur tetap diyakini sebagai kebolehan. Perempuan menjadi korban dari keyakinan agama seperti ini. Hal yang sama terjadi pada perkawinan tidak dicatat karena pada umumnya tokoh agama menganggap perkawinan tidak dicatat sudah sah. Keenam adalah relasi negara dan rakyat. Meskipun negara telah menetapkan usia minimal perkawinan bagi calon mempelai, namun negara tidak memberikan sanksi tegas pada pelakunya. Pembiaran perkawinan di bawah umur menunjukkan ketidakpedulian penguasa pada dampak sosial khususnya yang dialami perempuan. Demikian halnya
207
Nur Rofiah dan Kustini
pengabaian terhadap dampak negatif dari perkawinan tidak tercatat yang menimpa banyak perempuan dan anak-anak. Pada akhirnya pemangku adat, agama, dan negara tidak hanya perlu mempunyai tujuan utama dalam penyelenggaraan perkawinan, tetapi juga perlu merumuskan cara-cara yang sama dalam mencapainya tanpa mengabaikan kearifan masing-masing. Tradisi maupun pemahaman agama perlu terus diperbaharui terutama jika sudah terbukti dalam realitas justru menimbulkan mafsadat yang menyebabkan tujuan perkawinan sulit dicapai, seperti praktek perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatatkan. Mafsadat ini hanya bisa dihindari dengan cara membangun relasi gender dan relasi kuasa yang adil karena dari sinilah semuanya bermula.
208
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
BAB III PENUTUP Kesimpulan asil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perempuan dan menghalangi keluarga sejahtera atau sakinah yang menjadi tujuan perkawinan terwujud. Perkawinan di bawah umur memberikan dampak buruk pada perempuan berupa hilangnya masa anak-anak yang ceria karena ia dikondisikan menjalani kehidupan orang dewasa, antara lain hubungan seksual, hamil, melahirkan, dan menyusui, kemudian putus sekolah sehingga hilang kesempatan untuk mengembangkan diri melalui dunia pendidikan baik pendidikan umum maupun agama, sehingga tidak mengetahui haknya dengan baik dan hanya bisa menjalankan apa diperintahkan orang-orang dewasa di sekelilingnya, perempuan kemudian mempunyai daya saing yang lemah dalam dunia kerja karena ketiaadaan ijazah dan keterampilan yang terlatih, hingga akhirnya mudah jatuh miskin ketika tiba-tiba suami meninggalkan dirinya untuk perempuan lain atau meninggal karena di panggil-Nya sehingga ia harus menafkahi sendiri anak-anaknya. Padahal tidak ada jaminan sama sekali suami berusia lebih panjang daripada istri yang berarti bahwa setiap perempuan sangat mungkin akan mengalami menjadi pencari nafkah tunggal anak-anaknya. Perkawinan tidak tercatat juga memberi dampak buruk bagi perempuan karena perkawinan ini membuat kedudukan perempuan sebagai istri menjadi tidak diakui oleh Negara yang selanjutnya berdampak pada tidak diakuinya anak hasil
209
Nur Rofiah dan Kustini
perkawinan tersebut sebagai anak ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi mungkin telah mengubah cara pandang atas hubungan perdata anak dan ayah dalam perkawinan tidak tercatat ini, namun putusan ini tetap menafikan hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya. Lebih-lebih jika putusan MK ini masih menjadi kontroversi, maka hak anak atas ayahnya belum dapat dipastikan, sedangkan hak perempuan atas suaminya dipastikan tidak dalam kacamata negara. Hal ini berarti hubungan seksual antar keduanya tidak dipandang di luar nikah, dan suami dipandang tidak berkewajiban untuk menafkahi, berbagi harta gono-gini, mewariskan, dan implikasi hukum lainnya. Sementara itu, perkawinan di bawah umur pada umumnya dilakukan dengan cara tidak tercatat. Perempuan yang mengalami perkawinan di bawah umur sekaligus tidak tercatat telah dilemahkan posisinya dalam setiap tahap kehidupannya. Dalam posisinya sebagai anak, perkawinan di bawah umur menyebabkan perempuan mengalami perkawinan dan perceraian bahkan berkali-kali secara sepihak oleh para laki-laki yaitu ayah dan suaminya. Hal ini dilakukan demi menghindari stigma perawan tua masyarakat atau anggapan aib, mengatasi rasa malu orangtua, mengatasi ketidakmampuan orangtua untuk memastikan anaknya tidak akan hamil di luar nikah, dan hal lain di luar dirinya. Para ulama yang melarang perkawinan di bawah umur menegaskan bahwa perwalian hanya boleh dilakukan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi pihak yang diwalikan. Jadi perwalian tidak berlaku dalam hal yang bermanfaat namun manfaat itu tidak bagi pihak yang diwalikan, apalagi dalam hal yang memberi mafsadat bagi pihak yang diwalikan. Sementara anak tidak memperoleh manfaat sama sekali dari
210
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
perkawinan karena dia belum membutuhkannya, bahkan anak menanggung dampak buruk dari perkawinannya.154 Dalam posisinya sebagai istri, perkawinan di bawah umur menyebabkan perempuan harus menjalani kewajiban sebagai istri dan sebagai ibu akibat dari keputusan sepihak dari para laki-laki yaitu ayah dan suaminya. Perempuan kehidupan perkawinan dan keluarga yang tidak diawali dengan keinginan dan cinta yang kuat pada pasangan. Selama masa perkawinan ia harus berhubungan seksual dengan lelaki yang tidak dikehendakinya, tidak terlibat untuk memutuskan kapan dan berapa kali akan hamil selama perkawinannya. Dalam posisinya sebagai ibu, perkawinan di bawah umur menyebabkan perempuan berada dalam kondisi tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk mendidik anak-anaknya, tidak mempunyai bekal ketrampilan yang terasah dan bekal pendidikan yang cukup jika sewaktu-waktu dituntut menjadi kepala keluarga atau pencari nafkah tunggal anak jika tiba-tiba suami meninggalkan dirinya atau meninggal dunia. Perkawinan tidak tercatat menyebabkan kesulitankesulitan yang dialami oleh perempuan sebagai anak, istri, dan ibu dalam perkawinan di bawah umur maupun perkawinan sesuai batas usia minimal menjadi tidak diakui oleh Negara. Hal ini berarti bahwa Negara memandang bahwa persoalan tersebut adalah persoalan perempuan sendiri, bukan persoalan Negara. Akibat dari semua ini adalah rapuhnya fondasi perkawinan, mudahnya perkawinan mengalami disorientasi, lahirnya keluarga-keluarga tandus 154
Musthafa as-Siba‟ie, Al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qanun (Beirut: Dar alWaraq, 1999), h. 57.
211
Nur Rofiah dan Kustini
yang tidak mampu menumbuhkan potensi setiap anggotanya secara maksimal, bahkan menguburnya sejak dini. Perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat mempunyai sebab dan dampak yang kompleks meliputi aspek tatanan hukum (negara), sosial budaya (masyarakat), dan pemahaman agama (tokoh agama). Ketiga mempunyai peran ganda, yakni melestarikan kedua perkawinan ini sehingga melahirkan problem, dan sebaliknya melakukan upaya-upaya untuk mencegahnya sehingga dapat mengatasi problem. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Ditjen Bimas Islam dalam hal ini Direktorat Urusan Agama Islam di Pusat dan jajarannya di daerah. a. Melakukan sosialisasi ke masyarakat agar mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama serta memperketat pengecekan persyaratan administrasi pelaksanaan perkawinan untuk menghindari perkawinan di bawah umur. Sosialisasi dianggap penting sebab banyak masyarakat yang masih memandang perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat sebagai bukan urusan negara karena tidak memenuhi persyaratan perkawinan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. b. Melakukan survey untuk mengetahui jumlah pasti perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di seluruh wilayah Indonesia untuk mengetahui jumlah, faktor penyebab, dan dampak sebagai dasar pembuatan kebijakan untuk mengatasinya (peraturan dan alokasi anggaran).
212
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
c. Mengintegrasikan informasi tentang batas minimal usia mempelai dan pencatatan perkawinan dalam mata pelajaran yang relevan di lembaga pendidikan agama seperti pembahasan pernikahan dalam mata pelajaran fiqh. d. Melakukan sosialisasi tentang prosedur perkawinan dan transparansi biaya perkawinan untuk menghindari pemanfaatan sepihak atas ketidaktahuan masyarakat. e. Membuat sistem dengan prosedur yang mudah, berbiaya murah, dan pelayanan yang ramah bagi pencatatan perkawinan. f.
Menganggarkan biaya untuk layanan buku nikah gratis khususnya bagi mereka yang telah melakukan sidang isbat nikah secara prodeo.
g. Menganggarkan program perkawinan massal serta isbat nikah khususnya di daerah terpencil. 2. Kementerian Pendidikan Nasional a. Membuat kebijakan nasional agar negara mengfasilitasi pendidikan gratis di tingkat SD, SMP, dan SMA bagi setiap warga negara. Pendidikan bisa menyelamatkan anak-anak dari menikah, hubungan seksual, hamil, melahirkan, dan menyusui yang hanya layak dilakukan oleh orang dewasa. b. Melindungi hak pendidikan bagi anak perempuan yang mengalami kehamilan di usia sekolah dengan melarang lembaga pendidikan mengeluarkan murid perempuan yang mengalami kehamilan, baik karena
213
Nur Rofiah dan Kustini
zina, perkosaan, maupun karena perkawinan yang dipaksakan oleh orangtua. c. Mengintegrasikan informasi tentang usia minimal calon mempelai dan pencatatan perkawinan dalam mata pelajaran yang relevan seperti Pendidikan Kewarganegaraan dengan memandang keduanya sebagai kewajiban sebagai warga negara. 3. Pemerintah Daerah a. Membuat mekanisme perlindungan anak melalui peraturan atau kebijakan baik di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun desa/kelurahan. Salah satu daerah yang sudah membuat peraturan itu adalah Desa Sukalaksana Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur melalui Perdes No 1/ 2004 melarang perkawinan di bawah umur dan mendenda 1 juta rupiah bagi pelanggarnya di mana dana tersebut akan digunakan untuk pendidikan anak keluarga miskin. Perdes ini merupakan respon dari maraknya perkawinan anak di bawah umur yang telah menjadi keprihatinan para tokoh masyarakat setempat seperti ulama karena diyakini mengancam kesejahteraan lahir batin pasangan pengantin. b. Menganggarkan bantuan finansial bagi pelaksanaan isbat nikah dan isbat thalaq pasangan suami-istri dari masyarakat tidak mampu seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah daerah Kabupaten Cianjur yang telah bekerjama dengan PA untuk melaksanakan sidang prodeo di tengah pemukinan masyarakat. Tentu tindakan ini merupakan tindakan sementara selama
214
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
pencatatan perkawinan belum masyarakat tidak mampu.
terjangkau
oleh
4. Pemuka Agama a. Membangun kesadaran bahwa keluarga sakinah yang dicita-citakan oleh Islam meniscayakan proses perkawinan yang sakinah. b. Mengintegrasikan usia minimal calon mempelai dan pencatatan perkawinan dalam konsep keluarga sakinah Muslim Indonesia. c. Mempertimbangkan temuan-temuan penelitian litertur hadis tentang usia Aisyah ketika dinikahi Rasulullah Saw yang menunjukkan bahwa hadis tentang usia 7 tahun tahun dan 9 tahun tidaklah kuat. d. Mewaspadai penyalahgunaan ajaran agama dan perkawinan Rasulullah dengan Asiyah untuk menjustifikasi prilaku kelainan seksual pedofilia yaitu kegemaran berhubungan seksual dengan anak-anak yang dibalut dengan tradisi agama. e. Mempertimbangkan mafsadat perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat yang dialami oleh perempuan dan anak-anak dalam memberikan pandangan agama.
215
Nur Rofiah dan Kustini
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Kasem Moussavi (Ed.), Guide to Equality in the Family in the Maghreb,Women’s Learning Partnership for Right, 2005 Amri Marzali, Kebudayaan Sunda: Kasus Cikalong dalam Junus Melalatoa (penyunting), Sistem Budaya Indonesia, Jakarta, Pramator , 1997. Kemeneg PP, BKKBN, dan UNFPA, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Jakarta, 2005. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996. Musthafa as-Siba’ie, Al-Mar’ah bain al-Fiqh wa al-Qanun, Beirut, Dar al-Waraq, 1999. Risalah No.6 Th 41 September 2003, Penerapan Syariat Islam di Cianjur, Kajian Utama. Tim Editor, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Jakarta, BKKBN, Kemeneg PP, dan UNFPA, 2005. WLUML, Mengenali Hak Kita: Perempuan, Keluarga, Hukum dan Adat di Dunia Islam, terj. Suzanna Eddoyo, Jakarta, SCN CREST dan LKiS, 2007. Deskripsi dari Kawin Gantung, dikutip dari http://www.kamus besar.com/52749/kawin-gantung pada tanggal 24 November 2012. Geografi Kabupaten Cianjur, http://bappeda.cianjurkab.go.id/ diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
216
38 Tahun UU Perkawinan: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan ...
Hentikan Fatwa Sahnya Nikah Dini, diakses dari http://www. syarikat.org/content/hentikan-fatwa-sahnya-nikah-dini pada tanggal 28 Noveber 2012. Kab Cianjur Kantong TKI/W Terbanyak di Jabar, diakses dan http://www.pelita.or.id/baca.php?id=48212 pada tanggal 15 Oktober 2012 Marie C. Hoepfl, Choosing Qualitative Research: A Primer for Technology Education Researchers,http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/v9n1/hoe pfl.html diakses pada tanggal 30 November 2012. Memandang Masalah dengan Perspektif Perempuan, http:// www.kalyanashirafound.org/index.php?option=com_c ontent&view=article&id=79: memandang-masalahdengan-perspektif perempuan&catid=51: article& Itemid = 119 diakses pada tanggal 5 November 2012. Minat
TKI CIanjur Masih Tinggi, http://radar suka bumi.com/?p=26139 pada tanggal 15 Oktober 2012
Profil Daerah Kabupaten Cianjur, Statistik Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, diakses dari http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/demografipendud ukjkel.php?ia= 3203&is=37 pada tanggal 15 Oktober 2012 Qualitative Inquiry, http://www.personal.psu.edu/users/w/ x/wxh139/Quality.htm yang diakses pada tanggal 30 November 2012. Sekilas Cianjur, diakses dari http://cianjurkab.go.id/ Content_ Nomor_Menu_15_3.html pada tanggal 15 Oktober 2012
217
Nur Rofiah dan Kustini
Wahyuni Shifaturrahmah, Mengkritisi Hadis-Hadis tentang Usia Pernikahan Aisyah dalam http://wahyuni-shifatur rahmah. ordpress.com/2010/02/27/mengkritisi-hadishadis-tentang-usia-pernikahan-%E2%80%98aisyah/ dikutip pada 30 November 2012. Yong Tin Jin, Feminism: Making Senses of Its Relevance and Praxis, diakses dari http://www.ibiblio.org/ahkitj/ wscfap/arms1974/Leadership%20Formation%20progra m/Resource%20Book%2001%20SELF%202003/3d%20Fe minism.htm pada tanggal 18 Oktober 2012.
218
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
BAGIAN
6
MENELISIK PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Koeswinarno dan Fakhrudin
219
Koeswinarno dan Fakhrudin
220
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
BAB I SELINTAS YOGYAKARTA A. Sosio Demografis
P
rovinsi DIY yang merupakan provinsi terkecil kedua di Indonesia setelah Provinsi DKI Jakarta, yang terletak di bagian tengah pulau Jawa yang terletak di antara 7033’ LS – 8012’ LS. Secara geografis, di sebelah selatan DIY berbatasan dengan Samudera Indonesia dan dibatasi dengan garis panjang pantai sepanjang 110 km. Di sebelah utara menjulang tinggi gunung paling aktif di dunia, Merapi (2.968m) yang pada pertengahan tahun 2006 masih menunjukkan aktivitasnya, dan mengalami puncak erupsi terbesar seteleh lebih dari 100 tahun pada akhir Nopember 2010. Di sebelah barat mengalir sungai Progo yang berawal dari Propinsi Jawa Tengah. Sedangkan di sebelah timur mengalir sungai Opak yang bersumber dari Puncak Merapi dan bermuara di laut Jawa. Sedangkan secara administratif, wilayah DIY berbatasan dengan Kabupaten Magelang (di sebelah barat laut), Kabupaten Klaten (di sebelah timur), Kabupaten Wonogiri (di sebelah tenggara), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah barat). Luas keseluruhan DIY adalah 3.185,80 km2 atau kurang dari 0,5% luas daratan Indonesia dengan ibukota Provinsi adalah Kota Yogyakarta. Secara administratif DIY terbagi dalam 5 wilayah daerah Kabupaten/Kota, yaitu :
Kota Yogyakarta dengan luas 32,5 km2 Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2 Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2
221
Koeswinarno dan Fakhrudin
Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2 Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2
Dengan demikian, Kota Yogya merupakan wilayah paling sempit dibanding kabupaten lain di DIY.Banyak sebutan yang diberikan untuk Yogyakarta, yaitu Kota Perjuangan, Kota Kebudayaan, Kota Pariwisata dan Kota Pelajar/Pendidikan. Kota Perjuangan berkaitan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebutan Kota Kebudayaan berkaitan erat dengan riwayat Kota Yogyakarta sebagai pusat kerajaan, baik kerajaan Mataram (Islam), Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman, sehingga banyak peninggalan- peninggalan budaya bernilai tinggi yang masih tetap lestari di Yogyakarta. Kota Pariwisata dikarenakan banyaknya potensi pariwisata di Yogyakarta. Yogyakarta merupakan tujuan wisata kedua terbesar di Indonesia setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata telah dikembangkan di DIY, yaitu wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata belanja bahkan wisata kuliner. Khusus untuk wisata kuliner, Yogyakarta juga disebut sebagai Kota Gudeg, terkait dengan masakan khas yang berasal dari daerah ini. Sedangkan sebutan Kota Pelajar/Pendidikan terkait dengan sejarah dan peran Yogyakarta dalam dunia pendidikan di Indonesia, dimana Universitas Gajah Mada merupakan salah satu universitas tertua di Indonesia yang berdiri tahun 1946. Tata kehidupan gotong-royong yang kental di masyarakat Yogyakarta tergambar dalam lambang DIY
222
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
dengan bulatan (golong) dan tugu berbentuk silinder (gilig). Selain itu Candrasengkala atau Suryasengkala dalam lambang tersebut menggambarkan semboyan Yogyakarta yang terbaca dalam huruf Jawa: "Rasa Suka Ngesthi Praja, Yogyakarta Trus Mandhiri". Rasa melambangkan angka 6, suka angka 7, ngesthi angka 8, praja angka 1, adalah melambangkan tahun Masehi 1945, yaitu tahun de facto berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan semboyan itu sendiri berarti ‛Dengan Berjuang Penuh Rasa Optimisme Membangun Daerah Istimewa Yogyakarta untuk Tegak Selama-lamanya‛. Berdasarkan hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Yogyakarta adalah 388.627 orang, yang terdiri atas 48,67%laki-laki dan 51,33% perempuan. Dari hasil SP2010 sebagian besar penduduk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tinggal di Kabupaten Sleman yakni sebesar 31,6 persen, sedang Kota Yogyakarta memiliki jumlah penduduk sebesar 11,2 persen dari jumlah penduduk Provinsi DIY. Pertumbuhan penduduk pada Kota Yogyakarta pada Sensus Penduduk 2010 mengalami penurunan, yakni -2,24. Perhitungan ini berdasar Supas 2005, di mana jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebesar 435.236 orang sedang hasil SP 2010 388.627 orang. Berdasarkan perhitungan PDRB atas harga konstan, perekonomian Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 2007 tumbuh sekitar 4,31 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,70 persen(angka diperbaiki). Hal yang menggembirakan dari gambaran ekonomi D.I. Yogyakarta tahun 2007 adalah pertumbuhan positif dari seluruh sektor.
223
Koeswinarno dan Fakhrudin
Kualitas pendidikan yang memadai diperlukan penduduk untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Tingginya permintaan jasa pendidikan menuntut tersedianya penyelenggara pendidikan yang makin bermutu. Secara nasional, pendidikan diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD), pada tahun 2007 memiliki 2.035 sekolah dengan jumlah murid sebanyak 307.475 anak dan diasuh oleh 23.149 guru. Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMP tercatat sebanyak 500 sekolah dengan 147.569 anak didik yang diasuh oleh 12.988 orang guru. Pada Sekolah Menengah Umum, tercatat sebanyak 7.175 orang guru yang mengajar 62.100 siswa yang tersebar pada 208 sekolah. Adapun untuk tingkat Sekolah Menengah Kejuruan terdapat 173 unit sekolah dengan 63.359 siswa yang diajar oleh 6.849 orang guru. Pada jenjang perguruan tinggi negeri, Provinsi DI. Yogyakarta memiliki Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Institut Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Sekolah Tinggi Teknik Nuklir (STTN) dan Akademi Teknologi Kulit (ATK) dengan jumlah mahasiswa keseluruhan sebanyak 84.344 orang atau naik 3,45% dibandingkan tahun 2006, yang diajar 4.213 dosen tetap. Adapun perguruan tinggi swasta (PTS) tercatat sebanyak 123 institusi dengan rincian 48,78% akademi, 27,64% sekolah tinggi, 13,82% universitas serta masing-masing 6,50% politeknik dan 3,25% institut yang diasuh oleh 17.444 orang dosen.
224
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
B. Beberapa Gejala tentang Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan Di bawah Umur di Yogyakarta Seperti kota-kota besar lain, problem keluarga yang menyangkut pernikahan di Yogyakarta muncul dengan pola yang beragam. Konflik-konflik keluarga mulai muncul, beriringan dengan semakin berkembang dan kompleksnya persoalan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Yogyakarta. Beberapa persoalan pernikahan yang berhasil dilaporkan oleh Pengadilan Agama Yogyakarta adalah sebagai berikut155 Tabel 1 Beberapa Kasus Perkawinan di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6
155
Jenis Perkara Pembatalan Perkawinan Cerai Talak Cerai Gugat Istbat Nikah Dispensasi Kawin Ijin Poligami
Perkara Masuk 2 149 409 1 36 12
Perkara Diputus 1 144 383 0 34 11
Data ini hanya dipilih yang yang berkaitan dengan tema riset.Data seperti ijin perwalian, pencabutan kekuasaan orang tua, wasiat, kelalaian kewajiban suami/istri dan lain-lain tidak disajikan.
225
Koeswinarno dan Fakhrudin
Tabel 2 Beberapa Kasus Perkawinan di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6
Jenis Perkara Pembatalan Perkawinan Cerai Talak Cerai Gugat Istbat Nikah Dispensasi Kawin Ijin Poligami
Perkara Masuk 1 154 429 3 61 4
Perkara Diputus 1 125 388 4 56 3
Tabel 3 Beberapa Kasus Perkawinan di Pengadilan Agama Yogyakarta Sampai Agustus Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6
Jenis Perkara Pembatalan Perkawinan Cerai Talak Cerai Gugat Istbat Nikah Dispensasi Kawin Ijin Poligami
Perkara Masuk 1 121 398 2 26 6
Perkara Diputus 1 95 334 1 26 3
Berdasar laporan PA tersebut cerai gugat mulai meningkat secara tajam melebihi cerai talak, baik pada tahun 2010, 2011 dan 2012. Secara analitis, ada perubahan sosial dan budaya dalam konteks kejawaan, terutama dari sisi perempuan.Keberanian perempuan menggugat cerai menjadi indikator semakin ‚beraninya‛ perempuan mendobrak mitos. Keberanian dan kemampuan untuk hidup mandiri, juga
226
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
menjadi pemicu penting ketika perempuan harus menggugat cerai suaminya. Perempuan Jawa yang ada dalam subordinasi laki-laki, semakin lama semakin surut dengan merasuknya persoalan-persoalan ekonomi yang lebih memberatkan (Koeswinarno, 2011). Dalam Serat Centhini digambarkan bahwa sosok perempuan atau isteri ideal ibarat lima jari tangan. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat telunjuk, istri harus menuruti segala perintah suami. Ibarat panunggul(jari tengah), istri harus mengunggulkan suami bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis. Ibarat jejenthik, istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani suami. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan peradaban yang terus bergerak pada ranah global, peran kaum perempuan Jawa semacam itu agaknya sudah jauh mengalami pergeseran. Asumsi ini diperkuat dengan gencarnya perjuangan kaum feminis dalam upaya melakukan pembebasan ‚mitos‛ lama yang selama ini dinilai telah amat merugikan jagat kaum perempuan, termasuk keberanaian gugat cerai terhadap suami. Bahkan, perempuan Jawa modern saat ini sudah banyak yang mulai mendidik anak-anaknya dengan norma androgini, yakni norma lelaki dan perempuan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan hal-hal lain pada dirinya, tanpa dibatasi stereotipe peran yang berlaku. Melalui norma ini, anak lakilaki bisa mengekspresikan kelembutan dan anak perempuan bisa mengekspresikan keberanian. Agaknya, pandangan feodalistik yang cenderung memosisikan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum lelaki semakin terkikis. ‚Sudah bukan jamannya lagi seorang istri
227
Koeswinarno dan Fakhrudin
hanya menunggu kepulangan sang suami sekedar ingin melolos sepatu atau dasi yang diyakini sebagai simbol kesetiaan‛156 Memang harus diakui, pandangan feodalistik semacam itu tidak selamanya negatif. Setidaknya, nilai etika, kesetiaan, kelembutan, dan keharmonisan merupakan nilai positif yang terpancar dari sosok perempuan Jawa sebagaimana tergambar dalam Serat Centhini itu. Dalam konteks demikian, perempuan pasca-Jawa alias perempuan Jawa modern, seringkali dihadapkan pada situasi dilematis, antara mengikuti arus modernisasi dengan segenap dinamikanya; atau tetap menjadi sosok perempuan yang sarat sentuhan nilai tradisi; lembut, serba mengalah, sendika dhawuh, dan pasrah. Meminjam istilah Emile Durkheim, kaum perempuan pasca-Jawa, sedang berada dalam kondisi anomie; masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa, tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern. Satu kaki sudah melangkah menjadi modern, tetapi satu kaki yang lain masih bertahan dengan nilai-nilai lama. Oleh sebab itu, cerai gugat dapat dilihat dalam 2 dimensi. Pertama, di satu sisi menjadi catatan penting ‚keberanian‛ perempuan dalam mendobrak tabu perkawinan. Namun dalam dimensi yang lain, dapat dilihat sebagai kegagalan perempuan dalam mempertahankan diri sebagai perempuan yang dimitoskan memiliki ‚cinta‛ dan mampu mempertahankannya. Dimensi kedua, semangat dan budaya Jawa yang selalu menjaga ‚harmoni‛, secara perlahan runtuh akibat peran ekonomi yang semakin menjadi ideologi keluarga.
156
Wawancara dengan aktivis perempuan di Yogyakarta
228
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
‚Di beberapa tempat yang saya teliti, cerai gugat banyak dilakukan perempuan yang berprofesi sebagai guru. Ini akibat sertifikasi guru, yang kemudian menjadikan perempuan lebih mandiri secara ekonomi. Tapi ya itu tadi, mereka gagal sebagai pendidik dan perempuan Jawa yang seharusnya mampu menjaga konflik.‛157 Cerai gugat meningkat sebagian besar memang muncul karena persoalan yang ditimbulkan oleh suami, baik masalah ekonomi, sosial, dan bahkan seksual. Namun demikian, dalam beberapa kasus, cerai gugat muncul karena inisiatif perempuan. Dengan kata lain, keputusan cerai gugat seorang istri dilakukan secara sadar karena ‚persoalan‛ akibat dalam diri mereka. Termasuk dalam gaya hidup ini dengan ditunjukkannya angka dispensasi nikah yang cukup tinggi. Dispensasi nikah sebagian besar, dan bahkan hampir seluruhnya adalah karena nikah pada usia di bawah umur sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, baik untuk pasangan laki-laki maupun perempuan. Umumnya karena persoalan kehamilan tak dikehendaki (unwanted pregnancy).Hanya beberapa kasus dari dispensasi nikah yang disebabkan persoalan ekonomi. Sementara untuk ijin poligami, angka tertinggi dilakukan oleh PNS.158 Terkecuali PNS, hampir tidak ada yang memiliki ekses ‚karier pekerjaan‛ ketika seseorang melakukan poligami. Bahkan beberapa kepala daerah di Indonesia, secara terbuka melakukan poligami. Ini artinya sebenarnya masyarakat mulai permisif merespons persoalan-persoalan poligami. 157 158
Diskusi dengan Muchsin Jamil dalam Presentasi Hasil Penelitian PEKKA di Semarang, Juli 2011 Wawancara dengan Ketua P.A. Yogyakarta.
229
Koeswinarno dan Fakhrudin
230
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
BAB II TEMUAN PENELITIAN A. Perkawinan Di bawah Umur: Dari Korban Gaya Hidup Sampai Masalah Ekonomi
A
ngka Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, menunjukkan jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan di Indonesia yakni 19,1 tahun. Survei itu juga memperlihatkan angka kematian ibu akibat melahirkan sebesar 228 per 10 ribu kelahiran hidup. Angka ini merupakan tertinggi di Asia Tenggarata tersebut, dapat dilihat besarnya angka pernikahan dini di Indonesia.159 Sampai dengan Agustus 2012, PA Yogyakarta mencatat 26 kasus disepansasi nikah yang seluruhnya adalah persoalan nikah di bawah umur yang disebabkan unwanted pregnancy. Puput ketika menikah berusia kurang 5 bulan menuju 16 tahun, sedang suaminya Kahar berusia 18 tahun pada awal tahun 2011 lalu. Di mata masyarakat setempat, Kahar adalah pemuda cukup pendiam dan bahkan menjadi tokoh pemuda di kampungnya. Maka ketika ia diketahui dia menghamili Puput, masyarakat sekitar hampir tidak percaya. ‚Dulu sempat menjadi perbincangan, karena orang tidak menyangka kalau dia (Kahar) menghamili gadis SMP‛160
159 160
BPS 2007 Wawancara dengan tetangga orang tua Kahar
231
Koeswinarno dan Fakhrudin
Di Yogyakarta, Puput tinggal bersama ibunya dan sekolah di sebuah SMP swasta.AyahPuput tinggal di Balikpapan bekerja di perusahaan minyak, sedang ayah Kahar seorang PNS, dan memiliki beberapa sawah yang cukup luas di Kabupaten Bantul.‚Saya sempat panik dan merasa malu dengan orang. Tapi bagaimana lagi, anak polah bapa kepradah.161 Terus terang, usia keduanya kemudian saya naikkan. Kebetulan lurah di sini saya kenal baik. Sama-sama orang Pemda lah‛162 Sampai saat ini, hampir semua kebutuhan pasangan muda ini dipenuhi oleh kedua orang tua Kahar dan sesekali orang tua Puput memberikan uang kepada anaknya.Ketika hamil, Puput terpaksa keluar dari sekolah, dan kemudian mengikuti ujian Paket B untuk menyelesaikan SMP nya.Saat ini Puput sibuk mengurus anaknya yang berusia 1.5 tahun. Untuk menambah penghasilan, Kahar selain mengurus beberapa sawah yang dimiliki orang tuanya, juga berencana akan mengikuti pendidikan Satpam.‚Kadang ada perasaan iri dengan teman-teman SMA saya dulu, yang sekarang masih suka main-main‛163 Pengalaman melakukan pernikahan di bawah umur, agak berbeda dengan pasangan Lili dan Yoyok.Ketika menikah bulan Mei 2003 Lili masih kelas 2 SMP, sedang Yoyok sudah berusia 29 tahun. Yoyok sejak sebelum nikah hingga saat ini bekerja sebagai kernet bis kota. Kadangkadang ia kerja serabutan, ketika sedang libur. ‚Jadi kernet kan
161 162 163
Pepatah Jawa, karena perilaku anak, orang tua ikut terkena getahnya. Ayah Kahar menceritakan proses pernikahan anaknya Wawancara dengan Kahar. Namun menurut beberapa informasi teman Kahar, ia masih sering juga main-main dengan teman-temannya. Terkadang juga pulang sampai larut malam.
232
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
4 hari masuk, 4 hari libur‛.164 Pernikahan Yoyok dan Lili dilaksanakan ketika ibunya sakit keras.‚ Anak saya banyak.Pesan mendiang isteri saya waktu itu, Lili dinikahkanh saja, daripada menjadi beban ekonomi keluarga.Tadinya pingin setelah lulus SMP, tapi karena sakit, ya terpaksa mogol165 sekolahnya‛166 Alasan lain adalah, agar ibunya bisa menyaksikan pernikahan anak perempuan pertamanya. Lili sejak kelas 1 SMP memang sudah berpacaran dengan Yoyok, yang jarak usianya sangat jauh, 14 tahun lebih. Proses nikah Lili dan Yoyok dilalui dengan 4 kali sidang di PA Yogyakarta, karena usia yang belum mencukupi sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan. Seingat Supardi, ketika itu menghabiskan biaya sekitar Rp 350.000,00 sampai tuntas kemudian mendapat surat pengantar ke KUA setempat untuk menikah. Setahun setelah menikah, Lili melahirkan anaknya.‚Wah, ya masih seperti anak kecil.Saya yang momong anaknya.Kadang Lili lupa kalau dia sudah punya anak. Masih sering main dengan teman. Sampai sekarang, sampai anaknya sudah kelas 2 SD‛167 Dari kacamata psikologi, pernikahan dini dapat mengakibatkan dampak psikis yang buruk pada pihak yang belum siap. Hal tersebut dapat terjadi apabila dalam pernikahan tersebut terjadi kekerasan-kekerasan yang mungkin berdampak pada kondisi psikologis anak. Sedangkan dari segi biologis, pada usia dini organ-organ reproduksi yang dimiliki cenderung belum dapat digunakan dengan optimal, tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh 164 165 166 167
Pengakuan Yoyok Mogol, berhenti sekolah dan tidak sampai lulus Wawancara dengan ayah Lili, Supardi. Wawancara dengan mertua Lili, karena dia tinggal bersama mertuanya.
233
Koeswinarno dan Fakhrudin
kejiwaan si anak. Secara psikologis dan biologis seseorang matang bereproduksi dan bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga antara usia 20 – 25 atau 25 – 30, di bawah itu terlalu cepat. Jadi pre-cocks matang sebelum waktunya (Hawari, 2009). Tetapi persoalan nikah di bawah umur, terkadang memang sulit dihindari, terutama jika menyangkut persoalan unwanted pregnancy (kehamilan tak dikehendaki). ‚Sudah terlanjur, dari pada digugurkan, kan malah dosa‛168 Alasan-alasan ini menjadi bagian akhir untuk memutuskan pernikahan pelaku KTD atau keluarga, meskipun masih di bawah usia nikah. Dari aspek kesehatan, pernikahan du bawah umur banyak menghadapi masalah. Hal ini disebabkan perempuan yang belum dewasa, memiliki organ reproduksi yang belum kuat untuk berhubungan intim dan melahirkan, sehingga gadis di bawah umur memiliki resiko 4 kali lipat mengalami luka serius dan meninggal akibat melahirkan.169 Namun sesungguhnya problem utama pernikahan di bawah umur adalah ekonomi dan sosial rumah tangga setelah pernikahan. Umumnya mereka tidak siap dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, terutama pihak suami. Seperti Kahar misalnya, meski ia diberi kepercayaan untuk mengelola beberapa lahan persawahan yang milik orang tuanya, tetap saja masih dianggap menjadi beban, belum menjadi kesadaran sebagai seorang suami.Setiap pagi hari yang seharusnya ia bisa mengawasi lahan ketika panen tiba, Kahar masih belum beranjak pergi dari rumah sampai pukul 10 siang. Kesiapan sebagai ‚pekerja‛ juga merupakan hambatan tersendiri.Kahar masih belum mampu menempatkan diri sebagai pemilik lahan
168 169
Pengakuan orang tua (ibu) Puput Wawancara dengan dr. Haryono, spesialis kandungan,
234
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
yang seharusnya mampu mengatur orang-orang yang bekerja di lahannya. Bahkan perlakuan terhadap anak pun dipandang belum sebagaimana orang tua yang memiliki anak. Setiap hari orang tua Kahar masih disibukkan dengan memandikan, menyiapkan pakaian, makanan dan keperluan lain untuk cucunya. Sesekali orang tua Puput datang membantu merawat cucunya.Terhadap pernikahan di bawah umur, begitu mereka memutuskan pernikahan, maka sebenarnya ‚perlakuan‛ terhadap mereka tidak lagi merupakan perlakuan terhadap anak.Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir serta bertindak, namun sebenarnya mereka bukan pula orang dewasa yang telah matang, karena fakta menunjukkan perempuan yang melakukan pernikahan di bawah umur, sikap dan perilaku mereka masih seperti anak-anak(Daradjat, 2004). Pernikahan di bawah usia ternyata telah melahirkan kepribadian baru, yang ambigu dan liminal. Dianggap anak tidak, dewasa pun tidak. Di sinilah norma anak-anak sudah tidak bias diberlakukan, sedang untuk diterapkan norma sebagai orang tua juga belum mencukupi. Liminal state adalah sebuah kondisi yang terdapat dalam suatu peralihan/tranformasi, dimana terdapat disorientasi, ambiguitas, keterbukaan, dan ketidakpastian (indeterminancy). Dalam liminal state inilah maka dimungkinkan terjadinya perubahan-perubahan, misalnya: status sosial, personality value, atau identitas pribadi. Jadi dengan kata lain, liminality adalah sutu periode transisi dimana pikiran normal, selfunderstanding dan tingkah laku dalam kondisi relaks, terbuka dan receptive untuk menerima perubahan (Turner, 1977).
235
Koeswinarno dan Fakhrudin
Karena disorientasi, maka nilai-nilai yang diberlakukan pun tidak dapat disamakan dengan nilai-nilai normatif dalam masyarakat. Dalam masyarakat Jawa, undangan-undangan atau pertemuan-pertemuan sosial selalu dikenakan kepada orang tua. Biasanya, mendefinsikan orang tua adalah mereka yang berkeluarga. Namun pada kenyataannya, dalam masyarakat Jawa pasangan usia muda mengalami pengecualian. Puput dan Kahar selama hampir 2 tahun menikah, belum dikenakan standard nilai sebagai orang tua di kampungnya. ‚Kalau ada undangan atau hajatan, kami belum dapat undangan sendiri‛170 nilai-nilai yang ambigu semacam ini hampir dialami dalam banyak hal, baik dalam rumah maupun di luar rumah sebagai anggota masyarakat. Pengecualianpengecualian semacam inilah yang dialami pasangan di bawah umur sebagai hambatan kultural. Kondisi ini berbeda dengan Yoyo. Meski ia menikahi Lili yang masih di bawah usia pernikahan, Yoyo justru memiliki tanggung jawab yang ‚lebih‛ sebagai suami, dan ayah dari anaknya yang saat ini sudah ada di kelas 2 SD. Usia Yoyo saat menikahi Lili memang tidak tergolong muda lagi. Yoyo bahkan bisa mengganti ‚posisi‛ sebagai isteri. ‚Sampai usia anak saya 1.5 tahun isteri saya belum mandiri. Sekarang, alhamdulillah sudah mandiri, bahkan dia sudah bekerja membantu tetangga mencuci dan seterika. Lumayan, untuk tambahan‛171 Dalam perkawinan usia di bawah umur yang non-KTD, posisi dan peran suami begitu penting untuk menyelesaikan bebanbeban psikoloogis dan sosial. Tidak seperti pasangan Kahar dan Pulut yang mengalami masa-masa liminal. Dalam 170 171
Wawancara dengan Puput Wawancara dengan Yoyo
236
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
lingkungan sosial, terutama Yoyo diposisikan sebagai orang tua dalam konteks budaya Jawa, meski untuk Lili terjadi pengecualian. Tetapi kemampuan suami dalam mengendalikan rumah tangga di kemudian hari, menjadikan peran istri semakin tumbuh.Para suami memang harus bekerja sama dengan para istrinya dalam rumah tangga, akan tetapi rumah tangga yang didominasi oleh suami sangatlah jarang. Keluarga Jawa selalu membagi tugas secara seimbang (Geertz, 1983).Dengan demikian, kematangan sosio-psikologis salah satu pasangan, dapat mengatasi persoalan dan hambatan ekonomi-sosial. B. Perkawinan Tidak Tercatat: Seksualitas atau Ekonomi? Sampai jaman saat ini, perjodohan, walaupun sudah tidak sepopuler masa lalu, masih terjadi dalam kebudayaan Jawa, lebih tepatnya di kelas sosial yang rendah (Greetz 1961). Mereka menjodohkan anaknya dengan tujuan agar anak mereka memiliki kehidupan yang lebih baik dari pada orang tuanya.Tradisi keluarga Jawa bersistemasikan keluarga nuclear, dimana keluarga menjadi sumber dari segalanya dan sangat mementingkan hubungan baik antara satu sama lain. Setelah menikah, sepasang suami istri diperbolehkan untuk tinggal di antara rumah keluarga sang suami atau di rumah keluarga sang istri, tetapi jika mereka sudah dapat bekerja dan mendapat penghasilan sendiri, sepasang suami dan istri tersebut diperbolehkan untuk berpisah rumah dengan keluarganya. Walaupun tidak boleh dilakukan di depan umum, sudah menjadi keharusan dalam suku Jawa sebagai sepasang suami istri untuk menunjukan kasih sayang antara satu sama lain. Seorang istri harus menghormati suaminya karena dalam
237
Koeswinarno dan Fakhrudin
rumah tangga, seorang suami dianggap sebagai orang yang lebih tua dari sang istri. Sang suami adalah pemimpin dari sebuah keluarga dan selalu memiliki status yang lebih tinggi dari sang istri (Geertz 1961). Perjodohan semacam ini, sekarang menjadi dilema di kalangan beberapa pasangan.Pernikahan siri antara Han dan Yuni, menurut Han karena sebenarnya semula dia tidak menginginkan Siti, istri sahnya.‚Tidak ada perjodohan, karena kami dulu berpacaran sebagaimana remaja biasa. Saya juga tidak mau dijodohkan. Kalau masih ‚berbau‛ saudara ya, karena saya ketemu mas Han itu di pertemuan trah‛172 Menurut pengakuan Siti, semula ia tidak menerima pernikahan siri antara suaminya dengan perempuan lain. Tetapi karena demi anak, Siti rela ‚mengalah‛, padahal jika dilihat secara sosial, Siti saat ini duduk sebagai PNS dan menduduki jabatan structural cukup tinggi. Sementara Han adalah seorang dosen arsitektur di PTS serta menjadi konsultan perencanaan di beberapa proyek nasional.Di mata tetangga kompleks di mana Han dan Siti tinggal, pernikahan siri Han dengan Yuni sempat menjadi perbincangan.‚Dasar wanita nggak bener, merebut suami orang‛, ‚Han itu kuper, maka ketika dirayu dia, ya sudah.Laki-laki mana yang tidak ngiler dengan gayanya‛, ‚Sayang, hanya tukang sayur aja kok mau. Ya memang cantik sih‛173 Rumah Han dengan Yuni memang tidak berjauhan. Kebiasaan Han dan kawan-kawannya makan siang di warung makan milik Yuni inilah, yang ‚dicurigai‛ menjadi sebab 172 173
Wawancara dengan Han dan Siti berbeda waktu dan tempat. Trah adalah pertemuan keluarga besar dengan garis keturunan yang lebih luas Beberapa komentar tetangga Han dan Siti.
238
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
mereka melakukan perselingkuhan dan kemudian nikah siri. Tidak ada persoalan ekonomi sama sekali, karena Yuni merupakan perempuan mandiri dan secara ekonomi cukup. Perbedaan konsep tentang perkawinan –tercatat dan tidak tercatat- sesungguhnya berada pada ranah perbedaan konstruksi sosial di satu sisi dan definisi normatif di lain sisi, di mana Negara, agama dan kebudayaan berperan penting dalam membentuk pemahaman dan pemaknaan tentang perkawinan. Konsep Berger tentang konstruksi sosial menjelaskan bahwa masyarakat merupakan produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.Dengan demikian ada dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosiokultural. Itu sebabnya kenyataan hidup sehari-hari mengandung skema-skema tipifikasi atas dasar mana orang lain dipahami dan diperlakukan (Berger dan Luckmann, 1990: 44). Karena itu dialektika tersebut terjadi dalam tiga momen simultan, yakni eksternalisasi, yakni penyesuaian diri dengan dunia sisio-kultural sebagai produk manusia, obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana mereka menjadi anggotanya). Dengan mengikuti pikiran Berger ini, maka sesungguhnya nikah tidak tercatat merupakan sebuah dunia yang secara bersama-sama tercipta antara pelaku dengan lingkungan sosio-kulturalnya, di mana secara konstruktif orang lebih suka menyebutnya dengan nikah siri. Nikah siri ada bukan karena sebuah tuntutan dan kebutuhan. Nikah siri ada karena sebuah tekanan hukum dan budaya yang ada,
239
Koeswinarno dan Fakhrudin
kemudian masyarakat mengkonstruksikan, sehingga disinilah terjadi internalisasi. Orang melakukan keputusan nikah siri, bukan sebuah keputusan hukum, melainkan karena tekanantekanan sosial, kebudayaan, dan Negara yang dalam beberapa pertimbangan tidak memungkinkan melakukan nikah sesuai aturan Negara. Nikah tercatat dan tidak tercatat, tidak menjadi penting sebenarnya.Ia menjadi penting karena persoalan sosial dan kultural, karena masing-masing pernikahan memiliki implikasi yang tidak sama. Masa depan anak-anak, warisan, dan hak-hak perempuan merupakan implikasi yang mungkin muncul di kemudian hari. Tetapi persoalannya, mengapa beberapa perempuan ‚bersedia‛ melakukan pernikahan tidak tercatat? Alasan pertama adalah seksualitas. ‚Dia menjanda sudah 5 tahun, kesepian‛174 ‚Ah, masak begitu ditanyakan‛175 Sulit untuk mengatakan bahwa inti perkawinan tidak tercatat, seperti nikah siri sebenarnya tidak berbasis seksualitas. Akibatnya dalam posisi seperti ini, yang sebenarnya terjadi adalah pertarungan antara perempuan dengan perempuan. Pertarungan antara isteri sah dengan isteri tidak sah terhadap suami mereka. ‚Enam tahun lebih saya berjuang merebut kembali suami saya, dan sekarang pelan-pelan agak berhasil. Dia mulai menyadari dan menyesali perbuatan menikah dengan dia. Tapi semua telah terjadi, yang ada tinggal mengembalikan Mas Han, meski masih ada dia‛176
174 175 176
Wawancara dengan teman Yuni semasa belum menikah siri dengan Han. Setelah menikah, mereka jarang bertemu Wawancara dengan Yuni melalui kawan dekatnya Cerita panjang Siti dengan sahabatnya.
240
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
C. Agama, Gaya Hidup atau Politisasi Lembaga Perkawinan? Di Yogyakarta, fenomena nikah siri di kalangan mahasiwa pernah mencuat cukup kuat selama 5 tahun terakhir. Ironisnya, gejala ini justru banyak dilakukan di kalangan mahasiswa yang memiliki basis agama dipandang cukup kuat.‚Ya kalau mereka seks bebas, kalau kami kan tidak‛177. Sebagian besar pelaku nikah siri di kalangan mahasiswa selain dilakukan oleh mereka yang ‚memahami‛ agama lebih baik, juga dilakukan oleh kelompok sosial menengah ke bawah. Berikut ini sebuah cerita panjang mahasisiwa yang melakukan nikah siri. Awalnya memang tidak pernah terpikirkan, atau bahkan tidak terbersit sedikitpun, untuk melakukan praktik nikah siri seperti yang dilakukan oleh dua mahasiswa, Eri dan Boniyang sedang menyelesaikan studi di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Pikiran ke arah itu baru muncul di tengah jalan, bersamaan dengan fenomena pergaulan dunia kampus yang sedikit banyak mengubah cara pikir dalam memraktikkan ajaran agama di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Pengalaman dan pergaulan tersebut memberikan banyak warna dalam mengatirkulasi praktik keberagamaan dua mahasiswa Islam di kota pendidikan ini. Sebagai bagian dari kultur di kalangan mahasiswa Islam, nikah siri terus menjadi alternatif bagi mereka ketika persiapan dan segala sesuatunya untuk nikah secara resmi belum memungkinkan. Memang tidak semua mahasiswa 177
Wawancara dengan aktivis organisasi mahasiswa yang melakukan nikah siri, dan mengkritik mahasiswa lain yang cenderung melakukan seks bebas
241
Koeswinarno dan Fakhrudin
menerima praktik nikah siri, namun bagi mereka yang melakukan nikah siri bisa dijadikan solusi alterntif untuk mengamankan pergaulan agar tidak terjerumus ke praktik perzinahan atau praktik seks di luar nikah. Fenomena aktivisme mahasiswa dan pergaulan yang menuntut interaksi laki-laki dan perempuan dalam waktu bersamaan dengan intensitas optimal membuat banyak perubahan dalam hal pergaulan. Tidak sedikit peristiwa hamil di luar nikah atau aborsi yang dilakukan mereka ketika masih di jenjang kuliah.178 Fenomena begitu membuka peluang praktik nikah siri menjadi sangat masif, khususnya bagi mahasiswa-mahasiswa yang tidak ingin melacurkan dirinya masuk ke dalam lingkaran praktik seks di luar nikah. Keinginan agar hubungan mereka menjadi sah, tidak berdosa dan atau agar tidak dimurkai Allah, alternatifnya adalah praktik nikah siri. Dengan melakukan perkawinan siri mahasiswa merasa aman dalam melakukan aktivitasnya sebagai layaknya suami istri, sehingga kehidupan mereka begitu bebas dalam pergaulannya. Selain untuk menghilangkan sekat-sekat ketentuan dalam syariat Islam, perkawinan siriini dilakukan untuk kepastian hubungan mereka dan juga efisiensi dalam berbagai hal, misalnya dalam membayar sewa kos, konsumsi dan biaya hidup lainnya selama mereka sedang menempuh studi. Untuk itu, nikah siri kerapkali menjadi puncak dari proses security (pengamanan) terakhir dalam memaknai dan menjalankan ajaran keberagamaan seseorang, khususnya 178
Terdapat institusi yang berbentuk LSM di Yogyakarta, pernah melakukan aborsi mahasiswa. Bahkan konon, lembaga ini sangat terkenal di kalangan “mereka” yang ingin melakukan aborsi. Diperlukan sebuah studi yang lebih mendalam lagi.
242
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
dalam konteks hubungan interpersonal seseorang dengan Tuhannya. Sementara aspek-aspek sosial, seperti rasa segan berpacaran atau berhubungan intens dengan perempuan, menjadi salah satu motivasi yang sedikit banyak memberikan keyakinan bagi mereka untuk melakukan praktik nikah siri.179 Karena secara agama, nikah sirih adalah sah, tapi penelisikan tentang alasan yang dikemukakan ketika seseorang melakukan nikah siri menjadi suatu topik menarik. Suatu hal yang cukup mudah dijumpai tentang alasan mereka melakukan nikah siri adalah ‚daripada zinah/kumpul kebo, maka nikah sirih lebih baik, tidak menambah dosa‛. Naifnya terkadang dan dari beberapa mahasiswa yang telah nikah siri, banyak teman di sekitarnya yang tidak mengetahui bahwa mereka telah menikah. Sementara itu, ada kelompok mahasiswa memang tidak mempedulikan praktik dan isu seputar nikah siri. Bagi mereka yang menolak nikah siri tapi tetap berhubungan secara intens dengan pacar, ancamannya adalah praktik perzinahan. Praktik seperti ini yang justru lebih marak terjadi di kalangan dunia kampus di Indonesia. Yogyakarta sendiri sudah pernah menggegerkan publik ketika sebuah buku semi penelitian berjudul Sex in The Kost karya Iip Wijayanto terbit tahun 2003.180 Buku tipis karya seorang ustad ini menjabarkan secara gamblang bagaimana fenomena pergaulan bebas yang dipraktikkan oleh mahasiswa di Yogyakarta. Meski buku ini ditentang banyak pihak karena ditengarai tidak mengikuti kaidah penelitian yang ketat, buku yang laku keras itu telah 179 180
Wawancara dengan Eri dan Boni secara bersama-sama Ketika Iip Wijayanto merelease “hasil” penelitiannya banyak dikecam orang Yogya, karena yang dia ukur adalah keperawanan. Sekarang Iip menjandi Ustad muda cukup terkenal di kalangan remaja.
243
Koeswinarno dan Fakhrudin
menjadi salah satu ‚hipotesis mentah‛ dari ‚data yang mentah‛ pula tentang pergaulan di kalangan mahasiswa, khususnya di kampus Yogyakarta. Bagi kelompok yang mendobrak nilai dan ajaran agama Islam khususnya, nikah siri menjadi suatu ironi tersendiri yang bagi mereka. Di samping telah berani melakukan hubungan seksual di luar nikah, mereka menganggap bahwa kebutuhan naluri seksual atau agar supaya pasangan mereka menjadi muhrim yang menjadi latar belakang di balik praktik nikah siri adalah suatu bentuk pelarian sesaat. Toni, berasal dari Jawa Timur, adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Alumni pesantren selama 6 tahun ini memilih Fakultas Tarbiyah di kampusnya. Tahun pertama di kampus, kegiatan-kegiatannya hanya terfokus kepada kuliah dan sesekali ikut dunia pergerakan.181 Sebagai seorang anak yang datang dari keluarga miskin dan sangat pas-pasan, memaksa dia untuk mencari sebagian besar biaya hidupnya di Yogyakarta. Dia memilih menjadi takmir masjid karena gratis dan bisa mengabdikan ilmu dan pengalamannya selama di pesantren dulu. Menjadi takmir tentu menuntut dirinya untuk komit terhadap nilai-nilai agama Islam dan perilaku Islami. Ini tuntutan yang lahir karena konstruksi sosial masyarakat yang tidak bisa dihindari oleh seorang takmir. Di samping itu, identitas santri juga telah melekat dan menjadi salah satu simbol kebesarannya dalam menjaga dan mengamalkan ajaran-ajaran syariat Islam yang sangat dipahaminya.
181
Di kalangan mahasiswa universitas berbasis Islam, aktif dalam organisasi mahasiswa sering disebut “aktif dalam pergerakan”
244
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
Tahun kedua kuliah sikap yang diambil Toni cukup mengejutkan teman-temannya yang berasal dari daerah yang sama. Toni ternyata pindah organisasi pergerakan, tapi samasama berasas Islam. Organisasi sebelumnya, adalah pergerakan yang sedikit progresif dan pindah ke organisasi yang sedikit lebih ke kanan, atau suatu jamaah dan kelompok yang mengamalkan syariah Islam secara lebih strik, keras, militan, dan bahkan meminimalisir potensi tafsir bagi jamahnya. Jalan yang diambil Toni merupakan pilihan setelah dia satu tahun setengah berada di lingkungan masjid dan segala macam aktivitasnya. Kegiatan organisasi Toni cukup mentereng di kelompok barunya ini. Secara struktural posisinya cepat mencapai posisi dari anggota divisi hingga menjadi koordinator ataupun kepala. ‚Maklum, pengetahuan Toni tentang ilmu-ilmu keislaman memang sangat mumpuni dan seorang seperti dia layak menjadi pemimpin sebuah kelompok kecil atau divisi sebuah organisasi‛.182 Bersama organisasi tersebut, Toni harus menjaga ketat aturan dan ketentuan-ketentuan yang dipegang teguh olenh anggota, salah satunya adalah di larang pacaran. ‚Boleh pacaran tapi di bawah satu organisasi atau di bawah pengetahuan pimpinan‛.183 Organisasi ini memang kerap mendoktrinasi tentang pacaran haram dan dilarang. Akhirnya mereka banyak berkomitmen untuk tidak pacaran atau pacaran dengan komunitas internal mereka. Karena semakin fokus dengan dunia pergerakan dan beberapa tanggung jawab di masjid, Toni mulai sedikit demi sedikit mengurangi
182 183
Wawancara dengan teman dekat Toni Pengakuan Toni
245
Koeswinarno dan Fakhrudin
pertemuan dengan teman-temannya yang dari satu daerah, Jawa Timur. Di tahun ketiga kuliah, Toni langsung pamit kepada seniornya di kampus yang sama-sama berasal dari satu daerah untuk menikah siri. Memang segala macam pilihan yang dilakukan Toni hamper pasti dikomunikasikan dengan teman ini. Karena awal-awal di Yogyakarta Toni banyak berhutang budi kepada seniornya yang dua tahun lebih awal studi di Yogyakarta. Seniornya ini tidak menolaknya, namun memastikan apakah keputusan itu sudah menjadi pilihan bulat atau sekedar main-main. Lewat curhat panjang, Toni bercerita bahwa dia harus melakukan pernikahan di bawah tangan karena dia melihat posisinya sebagai takmir dan koordinator di organisasinya. Tidak mungkin dia mencontohkan sesuatu yang memang dilarang secara ketat di organisasinya ataupun di ajaran Islam yang dia pahami. ‚Nikah siri ini demi menghindari praktik berhubungan yang melanggar ajaran agama.Saya ingin hubungan seperti pertemuan, jalan bareng, dan berduan menjadi boleh dan tidak dimurkai Allah‛.184 Toni sudah lebih awal menceritakan ihwal ini kepada keluarganya di rumah. Meskipun pada awalnya orang tuanya menolak dan mempertanyakan motivasi dan tanggung jawabnya, Toni meyakinkan bahwa dirinya ingin selamat dari pergaulan bebas seperti marak di kampusnya. Mendengar cerita demikian, orang tua Toni sebagai keluarga yang religius, memperbolehkan Toni nikah siri dengan Fia. Dengan catatan tidak hamil lebih dahulu sebelum kuliah diselesaikan. 184
Pengakuan dalam wawancara dengan Toni
246
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
Namun tidak begitu dengan Fia, isteri siri Tono. Ia justru nekat dengan tidak meminta persetujuan orang tuanya lebih dulu. Fia sadar karena status mereka, baik secara fisk maupun finansial masih sangat tergantung kepada orangtua, sehingga jika orangtua mengetahui, mereka khawatir studi mereka tidak akan dibiayai. Akhirnya Fia bulat untuk tidak menyampaikan secara langsung kepada orangtuanya. Ia sudah percaya dengan sosok Toni yang sudah dua tahun saling kenal dan saling suka juga. Toni sebenarnya mendorong Fia agar secara jujur mengatakan semua rencana pernikahan siri mereka. Namun dengan tegas Fia tidak mau menceritakan pernikahan sirinya kepada pihak keluarganya karena Fia sadar kondisi psikologi orang tua. Ihwal nikah sirri adalah suatu pengalaman baru dalam keluarga Fia sehingga tidak memungkinkan rencana pasangan ini bisa diizinikan menikah siri. Dengan tekad yang bulat akhirnya Fia memilih bungkam dari orang tuanya dan memasrahkan semuanya kepada Toni agar mencarikan wali yang bisa menggantikan orang tua Fia. Dengan jasa pimpinan ulama organisasi, pernikahan ‚di bawah tangan‛ pun dilaksanakan. Pasangan ini tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk pernikahan mereka. Toni hanya mempersiapkan dana 500 ribu. Uang itu digunakan untuk mempersiapkan konsumsi untuk jamaah internal yang datang ke acara pernikahan siri tersebut. Jamaah yang datang ke dalam akad nikah merupakan ‚tim‛ yang selalu berhubungan dengan acara seperti itu. Sementara temanteman komunitas mahasiswa yang sedaerah tidak mengetahui status pernikahan Toni dengan Fia.
247
Koeswinarno dan Fakhrudin
D. Seksualitas dalam Fenomena Perkawinan Di Bawah Umur dan Tidak Tercatat Melihat beberapa data empiris pernikahan-pernikahan di bawah umur dan tidak tercatat di perkotaan, agaknya persoalan seksualitas menjadi problem kausal yang sangat menonjol dibanding persoalan ekonomi, pendidikan, dan tradisi lokal. Dalam perbincangan mengenai seksualitas, tidak lepas dari berbagai 7 perbincangan besar, yakni: (1) Virginitas; (2) Komoditas nafsu (Commodity of Lust); (3) Perkawinan (Moral Sexuality) dan Promiskiuti (Profane Sexuality); (4) Fungsi Kekerabatan (Kebutuhan akan kerabat serta penolakan terhadapnya); (5)Displinisasi moralitas via tubuh dan liberasi tubuh; (6) Sumber nilai moral yakni agama dan kesakralan;(7) Wacana Patriarki (Kadir, 2007). Perbedaan dalam menanggapi keberadaan seksualitas menjadikannya ia masuk ke dalam ranah permasalan sosial budaya, meski secara biologis ia cenderung sejajar dengan kebutuhan lainnya seperti makan, minum dan buang air. Namun secara sosiokultural, seks menjadi campur tangan berbagai elemen seperti masyarakat, ketika berada di wilayah pengaturan publik maka seks mampu tercipta dalam berbagai macam etiket upacara (ritus pubertas, kultus kesuburan, nikah, nikah siri) hingga tabu di dalamnya. Selain itu konsepsi seksual menjadi berbeda secara ruang dan waktu, karena ia dibentuk oleh momen politik, perubahan ekonomi, struktur keluarga, bahkan hingga berbagai gerakan resistensi. Freud membagi ke dalam dua kategori yakni objek seksual, yaituindividu/pribadi yang menjadi sumber daya tarik seksual, dan tujuan seksual lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai demi pemenuhan hasrat dan insting
248
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
seksual (Freud, 2003).185 Dua kategori Freud tersebut cukup menjelaskan bahwa seksualitas merupakan tindakan yang bersifat majemuk, interaksionis yang melibatkan lebih dari diri sendiri, seksualitas merupakan dua entitas yang saling mengadakan hubungan, yang kadang merupakan proses dikotomis. Efek dari dikotomisasi,yaitu terciptanya tataran struktural hierarkhis, dimana yang keluar sebagai pemenang dari dikotomisasi tersebut berhak memaknai lawannya sebagai normal atau tidak, diposisikan sebagai subordinan atau super ordinan dan lain sebaginya. Seksualitas adalah suatu konsep konstruksi sosial terhadap nilai, orientasi, perilaku yang berkaitan dengan seks. Berbagai praktik seksual di masyarakat, menjadi alat mengukur perkembangan masyarakat itu dan hubungan lakilaki dan perempuan. Seksualitas adalah cermin nilai-nilai masyarakat, adat, agama, lembaga-lembaga besar seperti negara, dan hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (Suryakusuma, 1996). Praktik-praktik seks merupakan ekspresi dari suatu sistem nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga seksualitas sangat terikat pada sistem nilai yang digunakan alat ukur menentukan suatu tindakan dilakukan. Jika di kaji berbagai nilai tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam hal seksualitas, dengan mudah dapat dilihat betapa diskriminasi seksual itu menjadi gejala yang umum. Laki-laki dianggap lebih dominan dorongan seksualnya, perempuan lebih pasif. Namun demikian dalam soal perkawinan tidak tercatat dalam kasus ‚isteri kedua‛, sebenarnya ada kekuatan tersembunyi, bahwa perempuan sedang bertarung dengan 185
Sigmund Freud. Teori Seks. 1:2003. Jendela. Yogyakarta.
249
Koeswinarno dan Fakhrudin
perempuan. Kasus Siti-Han-Yuni menjelaskan bahwa kedua perempuan bertarung untuk memperebutkan satu laki-laki. Sulit untuk mengatakan bahwa tidak terjadi persaingan antarperempuan, meskipun dalam persoalan kekuasaan, masih tampak dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta sifat pasifnya perempuan. Ketika Yuni memutuskan ‚mau‛ dinikah siri, sebenarnya ia sadar bahwa Han telah menjadi isteri sah dari Siti. Sebaliknya, Siti sebagai istri sah justru baru mengetahui suami sahnya memiliki isteri siri beberapa lama kemudian. Dengan cara yang sama dapat dikatakan, bahwa perempuan sebenarnya dalam kasus ini sedang melakukan penindasan terhadap perempuan, dengan media laki-laki. E. Respons terhadap Perkawinan Tidak Tercatat dan Di bawah Umur Umumnya masyarakat merespons ‚tidak begitu suka‛ terhadap dua fenomena perkawinan itu. Setidaknya, sanksi sosial masyarakat timbul beberapa saat sampai kemudian pelaku mampu beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara yang sama, masyarakat secara ambigu merespons persoalan perkawinan tidak tercatat dan di bawah umur. ‚Bagaimana lagi sudah terlanjur‛, ‚Bagaimana tidak tertarik, seksi banget‛, ‚Ya sudah diterima saja, yang penting nantinya jadi baik‛. Pernyataan-pernyataan semacam itu menunjukkan bagaimana ambiguitas sikap masyarakat dalam menerima fenomena dua perkawinan tersebut. Posisi ulama dalam konteks dua perkawinan ini tidak netral. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh ‚madzab organisasi‛. Ulama-ulama ‚modern‛ dan aktivis di beberapa LSM cenderung menolak perkawinan tidak tercatat, meski mereka bersikap ambigu
250
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
ketika disodorkan ‚nash‛ yang memperbolehkan nikah siri dan bahkan poligami. Namun pada ulama-ulama yang ada di beberapa pondok pesantren, meski mereka bukan pelaku perkawinan tidak tercatat, tidak melarang nikah siri, sebagaimana perkawinan tidak tercatat. ‚Tidak perlu ijin istri, cukup memberi tahu‛.186
186
Pernyataan seorang ulama tentang nikah siri
251
Koeswinarno dan Fakhrudin
252
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
P
ersoalan seksualitas dan ekonomi merupakan bagian penting dalam melahirkan perkawinan tidak tercatat dan di bawah umur. Problematika perkotaan menuju kepada gaya hidup konsumtif dan pragmatis, yang didorong oleh kekuatan media dan informasi, kemudian menyentuh kehidupan manusia kota dalam pemaknaan perkawinan yang berubah. Perubahan orientasi perempuan Jawa, perubahan makna perkawinan, perubahan posisi laki-laki kemudian melahirkan gaya hidup yang lebih dekat dengan persoalan seksualitas. Kekuatan seksualitas inilah yang kemudian menjadi variabel penting timbulnya sejumlah persoalan perkawinan, perceraian baik gugat maupun talak, serta sejumlah konflik keluarga. Ekonomi, gaya hidup, dan kehidupan pragmatis kemudian menjadi kekuatan yang menjembatani seksualitas, itu sebabnya posisi perkawinan tidak tercatat dan di bawah umur di Kota Yogyakarta ‚menunjukkan‛ angka yang semakin meningkat. Secara resmi memang sulit mencatat angka-angka itu, namun fenomena sosial dan budaya kota menunjukkan semakin permisifnya sikap masyarakat terhadap dua perkawinan itu. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa meningkatnya sikap permisif masyarakat terhadap perkawinan tidak tercatat dan perkawinan di bawah umur, akibat fenomena dua perkawinan tersebut mulai terbiasa dijumpai dalam lingkungan sosial mereka.
253
Koeswinarno dan Fakhrudin
B. Saran-Saran 1. Perkawinan tidak tercatat umumnya dilakukan oleh lakilaki yang ingin memiliki istri kedua dengan berbagai alasan. Dengan lahirnya keputusan MK yang merevisi UU No 1 Tahun 1974, fenomena ini semakin mendapat ruang temunya, sehingga revisi UU No 1 Tahun 1974 akibat keputusan MK (mungkin) mendesak diperlukan, setidaknya dalam merespons keputusan itu. 2. Atau jika kemudian UU tersebut tidak dilakukan revisi, maka diperlukan exposure informasi yang lebih tajam dan memberi penjelasan kepada publik, terutama kalangan masyarakat kota ‚kelas bawah‛, karena di kota-kota besar perkawinan tidak tercatat justru dilakukan oleh ‚mereka‛ yang melek hukum dan memiliki status sosial cukup baik di masyarakat. 3. Memberi pemahaman tentang ‚pentingnya‛ pencatatan merupakan aktivitas yang terus-menerus ‚perlu‛ dilakukan, namun memberi ‚penyadaran‛ akan konsekuensi hukum jauh lebih penting. 4. Bagian terbesar perkawinan di bawah umur adalah akibat seksualitas, yang diindikasikan akibat gaya hidup dan kekuatan media. Oleh sebab itu, mendorong kinerja Satgas Antipornografi yang telah dibentuk di awal tahun 2012 dan di bawah komando Kemenko Kesra dan Kementerian Agama, ‚penting‛ untuk lebih didorong, sehingga tidak terkesan ‚sekedar dibentuk‛.187
187
Lihat Perpres No 25 th 2012 Tanggal 2 Maret 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi
254
Menelisik Perkawinan Tidak Tercatat dan Perkawinan di Bawah Umur di Kota Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 1995. ‚Tubuh, Kesehatan dan Reproduksi Hubungan Gender‛. Populasi No. 6 Vol. 43-54. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM. _______, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Berger, Peter L dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Jakarta: LP3ES Berger, Peter L, 1994 Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES Daradjat, Zakiah, 2004. ‚Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara Fromm, Erich, 2002. Cinta, Yogyakarta: Jalasutra
Seksualitas,
Matriarki,
Gender,
Grossberg, Lawrence, 1996 ‚Identity and Cultural Studies: Is That All There Is?‛, dalam Stuart Hall dan Paul Du Gay (ed.), Questions of Cultural Identity, London, Thousand Oak, New Delhi: Sage Peublications. Koeswinarno, 2011. Jejak-Jejak Perempuan Muslimah sebagai Kepala Keluarga: Perempuan-Perempuan Desa yang Pemberani di Kabupaten Temanggung, Laporan Penelitian Balai Litbang Agama Semarang. Sarup, Madan, 2003 Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta: Jendela
255
Koeswinarno dan Fakhrudin
256
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
BAGIAN
7
POTRET PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA: Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan tidak Tercatat di Kabupaten Bangkalan - Madura
Oleh: Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
257
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
258
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
BAB I TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Wilayah
K
abupaten Bangkalan terdiri dari 18 kecamatan, 281 desa188 dan 8 kelurahan.189 Letak Bangkalan yang berada di ujung Pulau Madura sangat menguntungkan, karena berdekatan dengan Kota Surabaya sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Timur yang merupakan pusat perniagaan untuk wilayah Indonesia Timur. Kabupaten Bangkalan merupakan daerah Pengembangan Pembangunan Gerbang Kertasusila dan termasuk ke dalam pengembangan Kota Surabaya atau yang lebih dikenal dengan Surabaya Urban Development Policy. Dengan dibangunnya jembatan Suramadu yang menghubungkan jalur darat antara Surabaya dan Bangkalan serta pelabuhan laut internasional dan terminal peti kemas di Bangkalan sangat berdampak positif bagi pembangunan ekonomi khususnya investasi di Kabupaten Bangkalan.190 B. Perkawinan di Bawah Umur 1. Fenomena perkawinan di bawah umur Untuk mendapatkan data jumlah perkawinan di bawah umur di Kab. Bangkalan sangat sulit. Berdasarkan informasi dari Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec.
188 189 190
Bangkalan Dalam Angka, Tahun 2011. http://regionalinvestment.com/newsipid/displayprofil.php?ia=3526 Ibid.
259
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
Galis191 dan Kepala KUA Kec. Bangkalan,192 selama menjadi kepala KUA, belum pernah mencatatkan perkawinan pasangan di bawah umur. Seluruh formulir, surat-surat, dan data dari desa/kelurahan yang diserahkan ke KUA biasanya semua sudah memenuhi seluruh yang dipersyaratan KUA. Walaupun terkadang sering juga didapati secara fisik, calon pengantin (catin) kelihatan masih anak-anak. Berdasarkan hasil penelitian Kholilah, pada umumnya perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun, oleh modin desa/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (PPPN) usianya di ‘naikkan‛ minimal 16 tahun atas permintaan orang tua calon pengantin. Caranya kolom Kartu Keluarga (KK) seperti tanggal dan tahun kelahiran yang biasanya diketik manual, oleh modin desa dihapus dengan tip ex dan diganti sesuai dengan keinginan calon pengantin perempuan dan kemudian difotocopy. Selanjutnya modin desa meminta stempel dan tanda tangan kepala desa untuk di tunjukkan ke KUA.193 Namun ketika dikonfirmasi kepada salah seorang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di Desa Banyuayuh, Kec. Kamal194 P3N tersebut menyatakan tidak pernah memanipulasi data usia calon pengantin, karena 191 192 193
194
Wawancara dengan Arif Rachman, S.Ag, M.Si. di KUA Kec. Galis, 6 September 2012 jam 10.30 – 11.30. Wawancara dengan Moh. Fauzi, di Kantor KUA Kec. Bangkalan, 12 September 2012. Kholilah, Kawin Sirri Pada Masyarakat Madura (Studi Kasus Tentang Faktor Penyebab Dan Pengaruh Kawin Sirri Terhadap Hubungan Dalam Keluarga Di Desa Buminyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, (tesis), Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hal. 84. Wawancara dengan Sanhaji, P3N Kecamatan Kamal, 13 September 2012.
260
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
harus ada keputusan (dispensasi) dari Peradilan Agama, apabila ingin menikah di bawah umur. Menurutnya, perkawinan di bawah umur jarang terjadi, kalaupun terjadi biasanya jauh-jauh hari orang tua calon pengantin meminta tolong kepada kepala desa/klebun untuk mengubah data yang ada dalam Kartu Keluarga (KK). Kalau di desa mengubah usia dalam KK mudah dilakukan, tetapi untuk daerah perkotaan hal itu sulit untuk dilakukan. Hal senada juga disampaikan oleh Klebun (Kepala Desa) Tanah Merah Dajah195 yang belum pernah melayani perkawinan di bawah umur. Syarat-syarat pendaftarannya sama dengan yang berlaku untuk KUA harus ada pernyataan dari orang tua. Bisa saja ada klebun yang memanipulasi data usia calon pengantin, tetapi beliau tidak pernah melakukan, karena kalau melakukan manipulasi akan dibidik oleh lawan politik pada waktu Pilkades untuk menjatuhkan kepala desanya. Dengan demikian, menurut Klebun, selama ini di Desa Tanah Merah Dajah tidak ada perkawinan di bawah umur. Selanjutnya menurut Mansur, SE196 Klebun Desa Paseseh, Kecamatan Tanjung Bumi, selama 6 tahun menjadi kepala desa apabila ada warga yang ingin mendaftar perkawinan di kantor desa, dia selalu menanyakan kepada calon pengantin apakah usianya sudah berumur 17 tahun atau belum. Menurutnya, batas minimal usia perkawinan adalah 17 tahun untuk laki-laki 195 196
Wawancara dengan H. Kafrawi Kepala Desa Tanah Merah Dajah, 13 September 2012. Wawancara dengan Mansur, SE, Klebun Desa Paseseh Kecamatan Tanjung Bumi, tgl. 17 September 2012
261
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
dan perempuan. Apabila ternyata ada yang di bawah 17 tahun, ia akan mengarahkan warganya tersebut untuk meminta dispensasi ke Pengadilan Agama (PA) Bangkalan, karena kalau tidak, pihak KUA tentu tidak akan menerima. Apabila warganya tersebut tidak mau mengurus ke PA, maka itu adalah urusan warganya sendiri dan pihak kelurahan tidak bertanggung jawab. Karena kitu, selama penelitian ini tidak diperoleh data tentang jumlah perkawinan di bawah umur, baik di KUA maupun di kantor desa/kelurahan. Namun, berdasarkan data di Pengadilan Agama Bangkalan, pada tahun 2012 hanya ada dua kasus permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan, yaitu: (1). Penetapan Nomor: 188/Pdt.P/2012/PA.Bkl, mengabulkan dan memberikan dispensasi anak pemohon berinisial AF umur 18 tahun, untuk menikah dengan F binti MM umur 21 tahun 9 bulan. (2). Pendaftaran Nomor: 499P/2012 tanggal 31 Agustus 2012, yaitu orang tua dari anak perempuan berinisial N, umur 14 tahun 9 bulan (lahir 12 Desember 1997) memohon dispensasi untuk dapat menikah dengan laki-laki berinisial AL, umur 21 tahun. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 13 September 2012197.Dalam sidang tersebut majelis hakim mengabulkan permohonan dispensasi karena desakan dari pemohon. Alasan memberian dispensasi kedua permohonan tersebut adalah karena telah lama dijodohkan, sudah akrab betul, sudah mempunyai pekerjaan, dan ada kekhawatiran terjadi perzinahan.
197
Pada saat sidang, peneliti hadir menyaksikan.
262
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
Menurut Panitera PA Bangkalan,198 beberapa tahun sebelumnya, tidak ada satu pun yang mengajukan dispensasi perkawinan ke PA Bangkalan. Penjelasan tersebut sesuai dengan data Laporan Pengadilan Agama Bangkalan dua tahun terakhir (tahun 2010–2011) yang menunjukkan perkara yang diterima dan diputus untuk dispensasi kawin adalah Nihil. Selanjutnya, peneliti mencoba menelusuri melalui 44 penetapan/isbat nikah yang telah ditetapkan PA Bangkalan pada tahun 2012. Dari 44 penetapan tersebut, ditemukan 9 pasang suami-istri yang menikah di bawah umur. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 1, sebagai berikut: Tabel 1
198
AN, 1979 Is, 1960 AB, 1962 Ruk, 1962 Mis, 1961 Mun, 1980 Sar, 1983 AA, 1975 MH, 1979
WS, 1983 Rok, 1973 Nes, 1967 SF, 1975 Nur, 1968 Jew, 1981 Am, 1986 Rod, 1983 Fat, 1980
Usia saat menikah
0234 0235 0029 0008 338 333 331 322 316
Tahun menikah
Inisial Suami, Thn kelahiran
1 2 3 4 5 6 7 8 9
No. Rgstr
No.
Inisial Istri, Thn kelahiran
Perkawinan di Bawah Umur Berdasarkan Data Isbat Nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan
1998 1984 1979 1987 1982 1997 1999 1998 1996
19 th–15 th 24 th–11 th 17 th–12 th 25 th–12 th 21 th–14 th 17 th–16 th 16 th–13 th 23 th–15 th 17 th–16 th
Wawancara Drs. H. Dulloh, SH, MH, Panitera/Sekretaris Pengadilan Agama Bangkalan
263
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
Dari Tabel 1 tersebut di atas dapat dilihat bahwa pemohon isbat nikah di Bangkalan secara umur/lama pernikahan menunjukkan sangat bervariasi, ada yang sudah lama sekali baru mengajukan isbat karena kebutuhan mempunyai surat nikah baru dirasakan saat ini. Dilapangan ditemukan responden pelaku perkawinan usia di bawah umur sebagai berikut: a. Ny. Sum,199 (47 tahun). Menikah tahun 1977 pada usia 12 tahun, dijodohkan pada usia 7 tahun oleh orangtuanya. Selisih dengan umur suaminya sekitar 23 tahun. Suaminya bernama H.T yang sekarang tinggal di Pontianak bersama istrinya yang lain. Dari perkawinan mereka, menghasilkan 8 orang anak, 2 diantaranya telah meninggal dunia karena keguguran. Menurut Ibu Sum, pada awal-awal perkawinan mereka hidup bahagia, tidak pernah terjadi pertengkaran diantara mereka. Namun, setelah mereka pindah rumah (kira-kira tahun 2000 an) mulai sering terjadi pertengkaran. Suami sering marah-marah tanpa alasan yang jelas. Ny. Sum dipaksa ikut kerja di sawah, sementara ia juga mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya. Ketika suaminya marah ia melawan, sehingga tak jarang suaminya melakukan kekerasan fisik. Sekarang Ny. Sum sedang dalam proses perceraian dengan suaminya setelah suaminya pergi meninggalkan keluarga selama 17 tahun.
199
Wawancara pada hari Jum‟at, 7 September 2012, jam 11.15 – 12.00 di kediamannya di Desa Jaddih, Kec. Socah
264
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
b. Ny. St200 (40 tahun). Menikah pada usia 12 tahun karena dijodohkan kedua orang tuanya. Selama hidup berumah tangga dengan suaminya, jarang terjadi pertengkaran yang berarti, sampai saat ini hidup baikbaik saja dengan keluarga. Sempat merantau ke Jakarta dengan suaminya selama 5 tahun. Saat ini Ny. St dan suaminya bertani sambil merawat cucu-cucunya, sedangkan anaknya merantau ke Jakarta. c. Ny. Sai, 201 (21 tahun). Menikah di usia 15 tahun (th. 2006). Memiliki 1 orang anak usia 5 tahun, di urus oleh orang tuanya. Saat ini berencana mengajukan gugatan perceraian dengan suaminya karena tidak tahan dimadu. Sejak suaminya menikah lagi, sering terjadi pertengkaran. d. Ny. Ruk, (48 tahun). Menikah di usia 14, sedangkan suaminya berusia 16 tahun (menikah tahun 1978) karena dijodohkan. Memiliki anak 5 orang. Sampai saat ini Ny. Ruk dan suaminya bertani sambil merawat cucu-cucunya yang orangtuanya bekerja di Jakarta sebagai penjual besi tua dan kehidupan mereka baikbaik saja. Menurut ibu Nyai Salimah202, seiring dengan perkembangan teknologi, dan semakin meningkatnya pendidikan orang tua dan pendidikan anak, mengawinkan anak di bawah umur semakin berkurang. Menurutnya, saat ini apabila ada orang tua yang menikahkah anaknya 200 201 202
Wawancara pada hari kamis, 6 September 2012, di PP Syehkhona Kholil, jam 15.00 – 16.00 Wawancara, 11 September 2012, di pasar buah. Dra. Hj. Salimah, Ketua Muslimat NU Daerah Jawa Timur, wawancara 9 September 2012 di kediaman beliau jam 11.00 – 12.30.
265
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
yang masih usia sekolah menjadi perbincangan. Selain itu, para kyai yang menyekolahkan putra-putrinya sampai perguruan tinggi juga merupakan contoh bagi masyarakat untuk ikut menyekolah-kan anak-anak mereka minimal sampai aliyah/SMA. Namun demikian, ibu Nyai Salimah tidak menyangkal bahwa dipesantren yang dikelolanya apabila orang tua menitipkan anaknya, dan beberapa bulan kemudian meminta anaknya kembali untuk dinikahkan dengan alasan calon suaminya (tunangannya) mengajak segera menikah. Kalau sudah terjadi demikian, pihak pesantren tidak bisa berbuat banyak. 2. Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Penyebab perkawinan di bawah umur masyarakat Bangkalan adalah: a. Faktor Budaya Budaya masyarakat Bangkalan dan Madura pada umumnya sampai saat ini walau tinggal sedikit masih berlaku menjodohkan anak-anaknya sejak kecil. Mereka beranggapan bahwa seorang perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur 12 sampai 15 tahun. Apabila telah melebihi umur tersebut dan masih juga belum menikah, semua orang akan mencemoohnya sebagai ta' paju lakeh (perempuan tidak laku). Kebiasaan masyarakat, apabila pihak perempuan setelah mendapat lamaran dari pihak lakilaki akan cenderung menerima dan tidak berani menolak, karena sikap menolak bagi pihak perempuan
266
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
sangat tabu. Kebiasaan tersebut seperti sudah menjadi budaya di masyarakat, dan apabila terjadi penolakan ada kekhawatiran anak perempuannya akan terjadi sangkal (susah mendapatkan jodoh). Sikap keluarga perempuan biasanya tidak berani menolak jam, hari dan bulan yang sudah ditentukan pihak laki-laki.203 b. Faktor pendidikan Rendahnya pendidikan orang tua sangat mempengaruhi perilaku mereka untuk segera menikahkan anak-anaknya. Mereka beranggapan untuk anak perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi karena nanti kerjanya hanya sebagai ibu rumah tangga.204Selain itu putus sekolah juga menjadi penyebab perkawinan di bawah umur. Apabila anak sudah tidak sekolah lagi, maka orang tua segera menikahkannya. c. Faktor ekonomi Keadaan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya, maka anak perempuannya dikawinkan dengan orang/keluarga yang dianggap mampu. d. Faktor jauh dari orang tua Banyak anak-anak yang dirawat dan diasuh oleh kakek dan neneknya, sementara orang tua mereka merantau ke luar Pulau Madura. Perlakuan kakek dan nenek yang terlalu sayang terhadap cucunya, yang 203 204
Wawancara dengan Moch.Amin Mahfud. Wawancara dengan nyai Salimah
267
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
terkadang terlalu memberi kebebasan terhadap pergaulan cucu-cucunya dengan lawan jenis. Untuk menghindari aib karena kekhawatiran perzinahan, maka segera mengusulkan kepada ayah/ibunya untuk segera menikahkan cucunya. 205 3. Dampak Perkawinan di Bawah Umur Perkawinan di bawah umur banyak berdampak bagi pelaku, orang tua, maupun bagi anak yang dilahirkannya. Bagi para pelaku, perkawinan di bawah umur berdampak tidak tercapainya tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Hal tersebut, disebabkan sering terjadi pertengkaran karena emosi masing-masing pasangan belum matang, kurang adanya tanggung jawab terhadap peran masing-masing, perselingkuhan, terputusnya akses pendidikan, khusus bagi anak perempuan berdampak pada kesehatan reproduksi, resiko meninggal pada waktu melahirkan bagi ibu dan anak. Dampak bagi anak diantaranya adalah kurangnya perhatian dan didikan dari orang tua langsung. Sedangkan bagi orang tua pelaku perkawinan di bawah umur, menambah beban tanggungan keluarga karena ikut serta menanggung biaya hidup anak-menantu-cucu, disamping ikut merawat cucu. Dalam penelitian ini, berdasarkan wawancara dengan beberapa responden pelaku perkawinan di bawah umur, dampak perkawinan tersebut adalah sering terjadi pertengkaran disebabkan pembagian kerja kurang adil, keguguran,206 dan poligami tidak sehat.207 Dampak bagi 205 206
Wawancara dengan Nyai Salimah Pengalaman Ny. Sum, desa Jaddih, kec. Socah.
268
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
anak, sering menyaksikan pertengkaran orang tua, kurang perhatian, kasih sayang dan didikan dari orang tua, sewaktu kecil dirawat nenek-kakek, setelah usia sekolah dititipkan di pesantren, sehingga tidak pernah merasakan kesan yang menyenangkan selama hidupnya bersama kedua orang tuanya.208 Sedangkan dampak bagi orang tua adalah beban menanggung hidup anak-menantu sampai mereka mandiri, serta merawat cucu disaat anak-menantu merantau.209 Namun demikian, tidak semua pelaku perkawinan di bawah umur mengalami dampak negatif sebagaimana tersebut, banyak juga pelaku yang bisa hidup rukun damai sepanjang umur perkawinan mereka. 4. Makna Perkawinan di Bawah Umur Pelaku perkawinan di bawah umur memaknai perkawinan sebagai ibadah dan kewajiban harus dijalani secara turun temurun. Orang tua sangat mendominasi dalam menentukan jodohnya. Anak tidak mempunyai kemampuan/kebebasan untuk menentukan dengan siapa mereka akan menjalankan perkawinan. Dalam konteks budaya Madura, kebiasaan menjodohkan anak antar keluarga yang masih di bawah umur dan bahkan ketika anak masih dalam kandungan ibunya mempunyai makna atau dapat ditafsirkan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menghendaki seorang perempuan hidup sendiri tanpa pendamping seorang laki-laki sebagai suami, yang antara lain akan melindungi kehormatannya. Akan tetapi, karena sistem kekerabatan dalam masyarakat 207 208 209
Pengalaman Ny.Sai, desa Petrah, kec. Tanah Merah Dajjah Wawancara dengan Sam (gadis 34 tahun), anak dari ibu Sum, tgl 7 september 2012. Wawancara Nyai Salimah.
269
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
Madura bersifat patriarkal, yang dalam kehidupan keluarga dicerminkan oleh posisi superordinasi suami terhadap istri, salah satu implikasinya adalah suami selalu mapas kepada isterinya. Sebaliknya, istri senantiasa abhasa kepada suami sebagai ungkapan penghormatan. Kalaupun ada sementara suami yang tidak menggunakan bahasa mapas, biasanya hanya cukup menggunakan bahasa pada tingkatan menengah.210 Posisi superordinasi terimplementasikan pula dalam peran suami yang sangat dominan hampir di segala segi kehidupan, sehingga perlindungan istri cenderung sangat berlebihan. 5. Respon Pemerintah dan Tokoh Masyarakat terhadap Perkawinan di Bawah Umur Para tokoh masyarakat dari kalangan ulama pada dasarnya tidak melarang perkawinan yang dilaksanakan di bawah usia minimal menurut undang-undang, tetapi juga tidak menganjurkan. KH. M. Zaenal Abidin211 berpendapat idealnya usia perkawinan adalah 20–25 tahun. Menurutnya pada usia tersebut kematangan usia sangat dibutuhkan dalam membina rumah tangga. Hal senada juga disampaikan oleh H. Walid Sya’roni212. Menurutnya usia minimal perkawinan dalam Undang210
211 212
Pada dasarnya penggunaan bahasa Madura hanya dibedakan menjadi dua, yaitu Abhasa (penggunaan bahasa tinggi dan halus), dan Mapas (penggunaan bahasa kasar). Penggunaan kedua jenis bahasa ini sebagai alat berkomunikasi antar anggota keluarga atau kerabat sangat tergantung pada posisi yang bersangkutan dalam struktur kekerabatan. Misalnya, seorang anak harus abhasa kepada orang tuanya. KH. M. Zaenal Abidin, M.Pd, pengasuh Ponpes Darul Rahman, Desa Burneh, Kec. Burneh Drs. H. Walid Sya‟roni, Penyuluh Agama KUA kecamatan Galis, wawancara tgl 7 September 2012.
270
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
Undang Perkawinan 16 tahun–19 tahun belum cukup matang dalam membina rumah tangga. Pemuda dan pemudi pada usia 16 tahun–19 tahun adalah usia anakanak yang baru tamat SMP atau SMA yang pikirannya masih suka bermain dan belum matang. Budaya tersebut pada kondisi zaman sekarang dan kedepan, peran orang tua sangat mempengaruhi generasi selanjutnya. Menurutnya usia yang matang untuk suatu perkawinan bagi perempuan 21 tahun, dan bagi laki-laki 25 tahun. Adapun menurut KH. Abdul Hanan Nawawi, idealnya jarak umur antara laki-laki dan perempuan 5 tahun dan kalau 3 tahun terlalu dekat dimana kematangan perempuan lebih pintar. Umur ideal adalah perempuan 19 tahun dan laki-laki 25 tahun, dengan umur ini mencontoh baginda Rosulullah, dan pada umur tersebut laki-laki sudah matang dalam bermasyarakat.213 Selanjutnya, Moh. Anas Sa’dullah juga merespon tentang usia minimal pernikahan wanita 16 tahun dan pria 19 tahun. Menurutnya usia tersebut terlalu rendah untuk saat ini, sebaiknya antara 18 tahun dan 21 tahun, yaitu setelah tamat dari pendidikan SMA.214 6. Upaya Meminimalisir Perkawinan di Bawah Umur Upaya-upaya untuk meminimalisir perkawinan di bawah umur diantaranya adalah sebagai berikut:215
213 214 215
KH. Abdul Hanan Nawawi, wawancara. Moh. Anas Sa‟dullah, SAP, Kasubag Agama dan Budaya, Bag. Administrasi Kesra, Pemkab Bangkalan, wawancara. Drs. Moch. Amin Mahfud, wawancara.
271
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
a. Sosialisasi Undang-undang Perkawinan dan KHI oleh Kankemenag dan KUA bekerja sama dengan Pemkab Bangkalan dalam bentuk kegiatan ibu-ibu (PKK); dengan BKKBN dalam acara orientasi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR); dalam acara Pembinaan terhadap calon pengantin; dalam acara akad nikah; khutbah walimah; dan berbagai kegiatan lainnya. b. Himbauan dan memberi motivasi kepada santriwan/ santriwati agar terus melanjutkan sekolah.216 c. Pihak pesantren mengadakan perjanjian kepada orang tua agar tidak mengambil anaknya sebelum menyelesaikan studi di pondoknya. d. Setiap ada pengajian/dalam resepsi perkawinan disampaikan materi mengenai batas umur perkawinan dan tatacara melayani suami. Ada pondok pesantren mengkaji khusus kitab perkawinan kepada santrinya yang sudah tunangan/masuki masa perkawinan.217 C. Perkawinan Tidak Tercatat 1. Fenomena Perkawinan Tidak Tercatat Ada tiga bentuk perkawinan yang tidak tercatat yang peneliti temui di lapangan, yaitu: a. Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan suami istri di hadapan kyai, memenuhi rukun dan syarat perkawinan, di hadiri banyak undangan, dengan mendaftarkan melalui modin desa/P3N, membayar sejumlah uang, menyerahkan syarat-syarat perkawin216 217
Dra. Hj. Salimah, wawancara KH. Abdul Hanan Nawawi, wawancara
272
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
an, tetapi mereka tidak pernah menerima buku nikah. Perkawinan seperti ini banyak ditemui pada perawan dan perjaka serta janda atau duda yang menikah lagi. Mereka beranggapan bahwa perkawinan mereka telah sah menurut agama dan negara.218 b. Perkawinan yang dilakukan pasangan suami istri di hadapan kyai, memenuhi rukun dan syarat perkawinan, hanya dihadiri orang-orang tertentu, tidak didaftarkan melalui modin desa/P3N. Biasanya perkawinan seperti ini dilakukan oleh masyarakat yang ekonominya sulit, atau perkawinan yang dilakukan di daerah perantauan.219 c. Perkawinan yang dilakukan pasangan suami istri yang disembunyikan dari masyarakat. Saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak menceritakan perkawinan tersebut kepada orang lain. Menurut Kholilah, perkawinan seperti ini hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui, dan biasanya dilakukan oleh orangorang yang mengerti agama (kyai) dan orang-orang kaya untuk kepentingan poligami.220 2. Penyebab Perkawinan Tidak Tercatat Faktor penyebab yang mempengaruhi perkawinan tidak tercatat/sirri antara lain adalah: (1) kesadaran hukum yang masih rendah; masyarakat masih banyak yang kurang mengetahui pentingnya pencatatan perkawinan, 218
219 220
Seperti yang dialami oleh pasangan Ny. Suh-Tn. Fad, Ny. Fad-Tn. Must, Ny. YTn. Much., wawancara di PA Bangkalan ketika menghadiri sidang isbat nikah, 10 Sept. 2012. Seperti kasus suami Ny. Sum, menikah di pontianak. Kholilah, Kawin Sirri ,hal. 84.
273
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
terutama bagi masyarakat pedesaan; (2) adat istiadat, dimana sudah turun temurun sejak dahulu orang tuanya juga tidak dicatatkan perkawinannya; (3) sebagian kecil ekonomi (tidak mampu/tidak punya biaya) dan (4) kyai kurang mendukung program pemerintah dalam pelaksanaan UU Perkawinan; (5) keinginan berpoligami namun tidak mendapat izin dari istri pertama; (6) tidak ingin repot-repot mengurus surat-surat persyaratan perkawinan; (7) memperoleh derajat sosial yang lebih tinggi. Bagi perempuan yang mau menjadi istri ke 2, ke 3, atau ke 4 dari seorang kyai, maka ia akan menjadi ibu nyai. Bagi perempuan yang mau menjadi istri ke 2 atau ke 3 dari keturunan bangsawan anaknya mendapat gelar/panggilan Lora. Berdasarkan data dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bangkalan, jumlah perkawinan yang tercatat dari tahun 2010 – 2012 sebagaimana dalam Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2 Jumlah Perkawinan yang tercatat di Kabupaten Bangkalan Tahun 2010 - 2012221 Tahun 2010 2011 s/d Agustus 2012 Jumlah Total
221
Jumlah 11.515 11.692 7.203 30.409
Sumber data : Daftar Laporan Perincian NTCR, Sie Urais Kemenag Kabupaten Bangkalan, tahun 2010, 2011, 2012.
274
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
Dari Tabel 2 tersebut di atas dapat dilihat bahwa jumlah perkawinan di Kabupaten Bangkalan dalam 3 tahun terakhir setiap bulan hampir sebanyak 1.000 peristiwa nikah. Sementara itu, data isbat nikah di PA Bangkalan sebagaimana dalam Tabel 3: Tabel 3 Jumlah daftar Isbat nikah di Pengadilan Agama Bangkalan Tahun 2008 - 2012222 Tahun 2008 2009 2010 2011 s/d Agustus 2012
Jumlah 132 108 161 397 490
Dari Tabel 3 tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam 2 tahun terakhir di Kabupaten Bangkalan terjadi pengajuan isbat nikah yang sangat tinggi. Alasan pengajuan perkara isbat nikah di PA Bangkalan pada umumnya dilakukan oleh masyarakat untuk kepentingan: adanya kepastian hukum antara kedua belah pihak (suami dan isteri) dan untuk mengurus akte kelahiran anak.223 2. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat Bagi masyarakat desa yang letaknya di pedalaman, tidak pernah merantau keluar kampung, dan tidak pernah 222 223
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Bangkalan tahun 2008 - 2012 Wawancara Drs. H. Dulloh, SH, MH, Panitera/Sekretaris Pengadilan Agama Bangkalan, 10 September 2012.
275
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
berurusan dengan administrasi pemerintahan, perkawinan yang tidak tercatat tidak akan berdampak apa-apa. Perkawinan yang tidak tercatat baru berdampak saat mereka hendak mendaftar anak untuk sekolah, merantau mencari pekerjaan ke luar negeri, pergi haji atau umroh, persyaratan mendapatkan santunan kematian, atau merantau ke luar Madura untuk bekerja/menuntut ilmu. Sementara itu, Ny. Suh menuturkan pengalamannya selama 23 tidak memiliki buku nikah, tidak merasa kesulitan ketika memasukkan anak-anaknya sekolah bahkan sampai anak tertuanya masuk perguruan tinggi. Namun ketika anak ketiganya akan mendaftar mengikuti kontes kecantikan, (semacam abang/none di Jakarta) terhalang karena tidak memiliki akte kelahiran. Saat ini anak tertuanya juga membutuhkan akte kelahiran untuk keperluan wisuda. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikanya di perguruan tinggi. Dalam rangka pengurusan akte kelahiran anak-anaknya tersebutlah kemudian Ny. Suh dan suaminya mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama.224 Selain itu, banyak terdapat anak-anak yang dalam akte kelahirannya sebagai anak ibu. Nama ayah tidak dicantumkan dalam akte kelahiran, karena orang tuanya tidak mempunyai buku nikah. Hal tersebut dialami oleh Ny. Fad (35 tahun) yang menikah dengan suaminya Tn. Must (40 tahun) pada tahun 1996 di hadapan kyai. Perkawinannya tersebut tidak terdaftar di KUA setempat. Ketika anaknya memerlukan akte kelahiran untuk 224
Wawancara dengan Ny. Suh, dari desa Petrah Tanah Merah Dajah, 10 September 2012.
276
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
melanjutkan sekolah ke SMP, Ny. Fad. membuatkan akte kelahiran anaknya tersebut tanpa buku nikah. Akibatnya dalam akte tersebut hanya tercantum nama anak bin nama ibu yang melahirkannya, tidak tercantum nama ayahnya. Namun menurut Ny. Fad,225 pencantuman anak sebagai anak ibu saja dalam akte kelahiran tidak membawa dampak psikologis bagi anaknya. Akte kelahiran tersebut hanya digunakan sebagai persyaratan administrasi untuk masuk sekolah. 3. Makna Perkawinan Tidak Tercatat Pelaku perkawinan tidak tercatat memaknai perkawinannya sebagai hal yang normal, tidak ada masalah. Karena menurut mereka, asalkan akad nikah sudah diwakilkan kepada kyai maka perkawinannya sah. Pencatatan perkawinan hanya sebatas urusan administrasi, selagi tidak ada masalah maka mereka merasa tidak perlu mencatatkan perkawinannya. Apalagi, banyak orang tua mereka yang pernikahannya dulu juga tidak tercatat, tidak pernah mengalami kendala dalam rumah tangga mereka. Mereka baru mengurus pencatatan perkawinannya (melalui isbat nikah), apabila ada urusan mereka yang mensyaratkan adanya bukti telah terjadi perkawinan. 4. Respon Masyarakat terhadap Perkawinan Tidak Tercatat KH. Musyarif Damanhuri, kurang setuju terhadap perkawinan yang tidak tercatat, dimana dampak negatifnya lebih banyak dari pada positifnya. Dimana Indonesia merupakan negara hukum, termasuk dirugikan 225
Wawancara dengan Ny. Fad, dari desa Petrah, kecamatan tanah merah Dajjah, 12 September 2012
277
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
dalam pembagian waris apabila isteri tua tidak mau memberi izin, maka isteri muda akan kalah. Walaupun demikian, menurutnya semua ulama mengesahkan perkawinan tanpa pencatatan, dan sebagian lagi melarang karena lebih pada dampak sosial, ekonomi, hukum dan pendidikan.226 Menurut KH. M. Zaenal Abidin, perkawinan tidak tercatat akan merugikan pihak perempuan dan konsekuensi bagi suami tidak berat, karena apabila sudah tidak cocok suami akan melakukan talak secara lesan. Konsekuensinya yang menjadi korban adalah pihak perempuan dan anak turunnya. Namun untuk wilayah perkotaan sebagian besar perkawinan sudah dicatatkan. Menurutnya juga, perkawinan tidak tercatat tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, namun perlu adanya sosialisasi yang riil dalam berumah tangga tidak hanya mengandalkan percintaan, tetapi yang dibutuhkan adalah komitmen membentuk keluarga sakinah diperlukan persyaratan yang lengkap. Senada dengan KH. M. Zaenal Abidin, KH. Abdul Hanan Nawawi menyebutkan bahwa secara hukum agama perkawinan sirri sah dan tidak bertentangan, tetapi kurang baik karena tidak tercatat dalam administrasi pemerintahan.227
226
227
KH. Musyarif Damanhuri, Ketua Umum MUI Kab. Bangkalan sejak 2009, Pengasuh Ponpes Salafiyah Saidiyah, Dusun Air Mata, Desa Buduran, Kec. Arusbaya, wawancara KH. Abdul Hanan Nawawi, Wakil Rois PC NU Kab. Bangkalan, Pengasuh Ponpes Darul Fatwa, Desa Ketentang, Kec. Kwayar, wawancara.
278
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
5. UpayaMeminimalisir Perkawinan Tidak Tercatat Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka meminimalisir perkawinan tidak tercatat diantaranya sebagai berikut: a. Pencatatan nikah di Kab. Bangkalan sejak tahun 2010 sudah menggunakan Sistem Administrasi Nikah (SIMKAH), sistem ini dilakukan untuk meminimalkan peluang pemalsuan surat/akte nikah. b. Sosialisasi UU Perkawinan oleh Kepala KUA kepada para kepala desa.228 c. Penyuluhan tentang hukum (pentingnya pencatatan perkawinan) oleh LSM Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) kepada anggotanya dalam setiap pertemuan.229 d. Lembaga-lembaga pendidikan sudah mulai mensyaratkan akte kelahiran bagi calon peserta didik yang akan masuk sekolah.
228 229
Moh. Fauzi-Kepala KUA Kec. Bangkalan, wawancara Kholilah, pengurus Pekka Tanah Merah Dajjah, wawancara tgl 10 September 2012.
279
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
280
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan disimpulkan sebagai berikut:
di
lapangan,
dapat
1. Fenomena Perkawinan di bawah umur sudah mulai berkurang seiring dengan berkurangnya perjodohan, meningkatnya pendidikan dan ekonomi masyarakat Bangkalan. Sementara perkawinan tidak tercatat masih banyak dilakukan bagi yang ingin berpoligami tetapi tidak mendapat izin dari istri pertama, dan bagi yang menikah di perantauan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan sudah mulai terlihat, dari bertambahnya setiap tahun permohonan penetapan isbat nikah di PA Bangkalan. 2. Faktor penyebab perkawinan di bawah umur yang paling dominan adalah budaya menjodohkan anak-anak mereka sejak kecil, serta masih adanya anggapan sebagai ta' paju lakeh (perempuan tidak laku) apabila umurnya telah melebihi usia haid pertama atau pada umur 12 sampai 15 tahun belum menikah. Sementara faktor penyebab perkawinan tidak tercatat adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan poligami untuk memperoleh derajat sosial yang lebih tinggi. Misalnya dengan menjadi ibu nyai atau istri bangsawan dan anaknya mendapat gelar/panggilan Lora.
281
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
3. Pada umumnya para pelaku perkawinan di bawah umur dan pelaku perkawinan tidak tercatat memaknai perkawinan sebagai ibadah dan kewajiban harus dijalani turun temurun secara alami, tidak mempertimbangkan dampak negatif khususnya sebagai warga Negara yang harus mentaati peraturan perundangan yang berlaku dari perkawinan tersebut. Selagi perkawinan tersebut sesuai dengan ketentuan syariat dan dilakukan di hadapan kyai, sah-sah saja. 4. Dampak dari perkawinan usia dini bagi para pelaku adalah sering terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga yang diakhiri dengan perceraian. Namun banyak juga yang mengalami keadaan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan bagi anak, kurang mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya langsung karena mereka diasuh oleh kakek-neneknya. Adapun dampak dari perkawinan tidak tercatat, sulit mendapatkan pelayanan administrasi dalam beberapa urusan. 5. Pada umumnya respon ulama, masyarakat dan aparat pemerintah kurang setuju dengan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat, karena lebih banyak dampak negatif nya dibandingkan positifnya. Untuk usia minimal perkawinan bagi perempuan dan laki-laki mereka menyarankan berkisar antara usia 18–25 tahun. Untuk perkawinan tidak tercatat, mereka sepakat untuk dihindari, namun demikian mereka tetap menganggap sah perkawinan walau tidak tercatat. Kenyataannya, di Madura masih banyak pemuka agama yang menikahkan
282
Potret Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: Perkawinan di Bawah ...
anak usia dini dan perkawinan tidak tercatat sehingga antara teori dan praktek tidak saling mendukung. 6. Sudah banyak upaya yang telah di lakukan dalam meminimalisir terjadinya dua bentuk perkawinan tersebut, diantaranya adalah Sosialisasi Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), penyuluhan hukum, dan tertib administrasi, serta makin tingginya tingkat pendidikan masyarakat. B. Saran/Rekomendasi 1. Kementrian Agama, khusus di wilayah Pulau Madura agar mengaktifkan kembali modin desa (P3N), membina, dan menjadikan mereka sebagai staf KUA di kelurahan, sebagai perpanjangan tangan KUA di kecamatan; Menyeleksi para penyuluh agama sesuai dengan minat dan keahlian sebagai penyuluh agama dalam pengangkatan pegawai. 2. Kepada KUA kecamatan agar lebih intensif memberikan penyuluhan, khususnya mengenai dampak negatif perkawinan di bawah umur, dan pentingnya pencatatan perkawinan; Mempermudah urusan administrasi, serta meringankan biaya operasional. 3. Pejabat kemenag dan KUA agar lebih intensif mengadakan pendekatan-pendekatan kepada para kyai dan tokoh masyarakat baik dalam bentuk diskusi, seminar atau pertemuan lainnya dalam upaya memberikan pengertian tentang dampak negatif dari kedua bentuk perkawinan tersebut.
283
Zaenal Abidin dan Sri Hidayati
DAFTAR PUSTAKA Bangkalan Dalam Angka, Tahun 2011. Daftar Laporan Perincian NTCR, Seksi Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bangkalan, Tahun: 2010, 2011, 2012. George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Dialih bahasakan oleh Alimandan, (Jakarta: Kencana, 2011), Edisi ke enam http://regionalinvestment.com/newsipid/displayprofil.php?ia= 3526 Kholilah, Kawin Sirri Pada Masyarakat Madura (Studi Kasus tentang Faktor Penyebab dan Pengaruh Kawin Sirri terhadap Hubungan dalam Keluarga Di Desa Buminyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, (tesis), Pyrogram Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003 Komnas Perempuan, Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kepada CEDAW Komite Mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, 2007-2011, 10 Oktober 2011 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Bangkalan, Tahun: 2010 dan 2011 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
284
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
BAGIAN
8
FENOMINA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR
Oleh: Ah. Azharuddin Lathif dan Muchith A. Karim
285
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
286
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
BAB I KONDISI UMUM WILAYAH
P
enelitian ini secara umum dilakukan di Kabupaten Malang, tetapi secara khusus di fokuskan pada satu kecamatan di Gondanglegi Kabupaten Malang. Oleh karena itu profil wilayah penelitian akan diuraikan secara umum wilayah Malang terlebih dahulu baru secara khusus wilayak kecamatan Gondanglegi. Kabupaten Malang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia yang memiliki luas wilayah 3.534,86 km2 (353.486 hektar), nomor 2 terluas di Jawa Timur setelah Kabupaten Banyuwangi. Menurut hasil Susenas penduduk Kabupaten Malang tahun 2010 berjumlah 2.447.051 jiwa. Jumlah terserbut terdiri dari laki-laki 1.232.841 (50,38 persen) jiwa dan perempuan 1.214.210 (49,62 persen) jiwa. Sejak tahun 2008, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2008, Kota Kepanjen ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Malang yang baru. Kota Kepanjen saat ini sedang berbenah diri agar nantinya layak sebagai ibu kota kabupaten. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kota Batu, dan Kabupaten Pasuruan di utara, Kabupaten Lumajang di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri di barat. Sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan yang berhawa sejuk, Malang dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Jawa Timur. Malang terdiri dari 33 kecamatan, yaitu Ampelgading, Bantur, Bululawang, Dampit, Dau, Donomulyo, Gedangan, Gondanglegi, Jabung, Kalipare, Karangploso, Kasembon, Kepanjen,
287
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
Kromengan, Lawang, Ngajum, Ngantang, Pagak, Pagelaran, Pakis, Pakisaji, Poncokusumo, Pujon, Sumbermanjing, Wetan, Singosari, Sumberpucung, Tajinan, Tirtoyudo, Tumpang, Turen, Wagir, Wajak, Wonosari.230 Kecamatan Gondanglegi merupakan salah satu dari 33 kecamatan yang mempunyai peranan yang strategis terutama sebagai salah satu wilayah penyangga percepatan pengembangan Ibu Kota Kabupaten Malang di Kepanjen. Berdasarkan letak geografis Wilayah Kecamatan Gondanglegi berada pada daerah Malang bagian selatan, dengan keadaan permukaan tanah datar mencapai 100% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Gondanglegi, termasuk Satuan wilayah Pengembangan (SWP) Kepenjen dan dengan Luas keseluruhan wilayah kecamatan adalah 6.584,44 Ha, meliputi 14 desa terdiri atas 31 dusun, 59 RW, 385 RT dengan perincian sebagai berikut. Adapun nama-nama desa adalah sebagai berikut: Gondanglegikulon, Gondanglegiwetan, putat kidul, Sepanjang, Putatlor, Ketawang, Urek-urek, Putukrejo, Ganjaran, Bulupitu, Sumberjaya, Sukorejo, Panggungrejo, dan Sukosari.231 Jumlah penduduk Kecamatan Gondanglegi hasil sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 81.301 jiwa yang terdiri dari; penduduk Laki-laki sebanyak 40.579 jiwa dan Penduduk Perempuan sebanyak 40.722 jiwa. Dalam jumlah penduduk tersebut, pemeluk Islam sebanyak 78.555jiwa, Katolik 80 jiwa, Protestan 92 jiwa dan Buddha 2 jiwa. Sedangkan sarana 230
231
Data diakses pada tanggal 15 September 2012 dari situs Badan Statistik Kabupaten Malang, http://malangkab.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/ 43-materi-dda/122-geografi-dan-iklim Badan Statistik Kabupaten Malang, Kecamatan Gondanglegi Tahun 2011, h. VII-VIII
288
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
penunjang ibadah khususnya bagi yang beragama Islam; masjid sebanyak 51 buah sedangkan langgar sebanyak 673 buah. 232 Selain ibadah berbagai fasilitas pendidikan ada di Kecamatan Gondanglegi; TK: 47 buah, SD/MI: 49 buah, SMP/MTS: 24 buah, SMU/MA: 18 buah, Perguruan Tinggi: 1 buah, dan Pondok Pesantren: 54 buah. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Gondanglegi terdiri dari: Tidak Tamat SD (34.954 jiwa), SD/ MI (19.470 jiwa), SLTP/M.Ts (10.435 jiwa), SMA/MA (6.734 jiwa) dan Tamat Perguruan Tinggi (743 jiwa). Mata pencaharian masyarakat di dominasi pada sektor pertanian/perkebunan terutama padi dan tebu. Adapun komposisinya dengan sektor lain, secara terinci sebagai berikut: Buruh Tani (14.290 Jiwa), TKI (1.829 0 jiwa), Petani Pemilik/Penggarap (4.342 jiwa), Petani Peternak (8.641 jiwa), Pedagang (4.748 jiwa), Jasa (3.331 jiwa), Petani Perkebunan (jiwa), Pegawai Negeri Sipil (5.410 jiwa), Industri Kecil (1.567 jiwa), Pensiunan (1800 jiwa), TNI/Polri (490 jiwa), Buruh bangunan (1.080 jiwa). Dalam melaksanakan aktifitas perekonomian di Kecamatan Gondanglegi didukung sarana infrastruktur sebagai berikut: Pasar kabupaten 1 buah, pasar hewan 1 buah, toko/kios: 342 buah, warung 123 buah, KUD 1 buah, koperasi non KUD: 5 buah, bank umum: 4 buah, Lembaga Keuangan mikro informal: 3 buah, dan industri kecil: 15 kuah.233
232 233
Ibid, h. IX Ibid, h. 2-42
289
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
290
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
BAB II PERKAWINAN DI BAWAH UMUR A. Fenomena Perkawinan di Bawah Umur erdasarkan data resmi dari Kantor Kementrian Agama Kabupeten Malang, jumlah pernikahan 3 tahun terakhir adalah 26.327 pasangan (2010), 26.675 pasangan (2011), dan 25.654 pasangan (hingga Oktober 2012).234 Dari jumlah terse-but pasangan perkawinan di bawah umur yang meminta dispensasi ke Pengadilan Agama Kabupaten Malang berjum-lah 97 pasangan (2010), 183 pasangan (2011), dan 194 pasangan (per Oktober 2012).235 Jadi prosentase perkawinan di bawah umur di Kabupaten Malang masih terbilang rendah, yaitu 0,37% (2010), 0,69% (2011), dan 0,76% (per Oktober 2012). Namun demikian dari sisi trennya pada tiga tahun ini, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini, jumlah pasangan perkawinan di bawah umur mengalami kenaikan yang siginifikan. Terutama pada tahun 2010-2011, naik kurang lebih hampir 50%. Dispensasi Nikah Di Kabupaten Malang 2010-2012
234 235
TAHUN
Jumlah Nikah
2010 2011 2012*
26327 26675 25654
Jumlah Perkawinan di bawah umur 97 183 194
% 0,37 0,69 0,76
Diolah dari data Daftar Laporan Perincian NTCR Tahunan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Malang tahun 2010- Sept 2012 Diolah dari Data Perkara Dispensasi Nikah Pengadilan Agama Kab. Malang Tahun 2010- September 2012
291
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
*data tahun 2012 hingga bulan Oktober
Data di atas berbeda cukup signifikan dengan data yang pernah disampaikan Kepala Badan Keluarga Berencana (KB) Kabupaten Malang M. Fauzi yang dilansir di Kompas.com (2009), bahwa ‚Angka perkawinan di bawah umur (usia antara 16 hingga 20 tahun) di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, cukup tinggi yakni mencapai 26,9 persen dari rata-rata total pasangan yang menikah sebanyak 23.000 per tahun‛.236 Perbedaan yang cukup tajam ini, boleh jadi karena perbedaan pembuatan kategori usia perkawinan di bawah umur, yang menurut BKKBN adalah pernikahan yang dilangsungkan di bawah usia 21 tahun. Sementara data yang ada di Pengadilan Agama masuk kategori perkawinan di bawah umur, yang perlu mendapatkan despensasi, jika usia calon mempelai untuk laki-laki kurang dari 19 tahun, sementara untuk perempuan kurang dari 16 tahun. Walaupun demikian, jika merujuk pada fenomina perkawinan di bawah umur yang dilakukan secara ‚illegal‛ (tanpa dispensasi pengadilan) sebagaimana disampaikan AFI, Kepala Urusan Agama Islam (Urais) Kabupaten Malang, adalah cukup fenominal terutama pada 4 tahun terakhir ini karena berbagai alasan, alasan yang paling dominan adalah kekuatiran orang tua pada anak-anaknya terjerumus ke pergaulan bebas atau bahkan telah terjerumus dalam pergaulan bebas tersebut.237 Berbeda dengan informasi para tokoh masyarakat, informasi tentang fenomina perkawinan di bawah umur dari aparat pemerintahan, seperti kepala Desa atau Modin (P3N), 236 237
Diakses pada tanggal 20 September 2012 dari http://regional.kompas. com/read/2009/02/10/ 09114723/ Nikah.Dini.Marak.di.Kabupaten.Malang Wawancara Pribadi dengan AFI, Kepala Urusan agama Islam (Urais) Kabupaten Malang , Malang, 19 September 2012
292
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
cendrung ditutup-tutupi dan secara formal mereka menyatakan sangat kecil dan semakin tahun semakin berkurang.238 Perbedaan antara informasi dari aparat pemerintah desa dan tokoh masyarakat tersebut sangat wajar terjadi, karena posisi mereka yang berbeda. Tentu bagi aparat pemerintah tidak mungkin menyampaikan informasi seadannya karena akan berkonsekwensi pada pelanggaran jabatannya, yaitu pelanggaran membiarkan praktik yang menyimpang di daerah/wilayah yang menjadi kekuasannya. Sementara itu, dari hasil penelusuran langsung peneliti dibantu penduduk lokal di desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi, ternyata tidaklah sulit mencari pasangan perkawinan di bawah umur yang bisa dijadikan responden penelitian. 1. Proses dan Pihak-Pihak yang Berperan dalam Perkawinan Di bawah Umur Proses pelaksaaan perkawinan di bawah umur di Kabupaten Malang dari segi yuridis, dibagi 2 macam. Perkawinan di bawah umur yang resmi dan perkawinan di bawah umur yang tidak resmi. Perkawinan di bawah umur yang resmi dilaksanakan melalui prosedur administrasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan melibatkan para aparat institusi negara yang berwenang, seperti kantor desa, KUA, dan Peradilan agama. Sementara perkawinan di bawah umur yang tidak resmi dilaksanakan secara non presedural tanpa melibatkan aparat aparat institusi negara yang berwenang.
238
Wawancara Pribadi dengan MY, kepala Desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, Malang, 14 September 2012
293
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
Adapun proses perkawinan di bawah umur yang resmi berdasarkan informasi Kepala KUA Gondanglegi dan Pembantu Pencatat Nikah (PPN) desa Ganjaran adalah sebagai berikut: pertama, kedua mempelai atau yang mewakili datang ke Kantor Desa untuk mengurus administrasi persyaratan perkawinan di Desa, seperti surat keterangan untuk nikah (N1) dan Surat keterangan AsalUsul (N2) serta Surat Keterangan tentang Orangtua ( N4 ) , kedua, calon mempelai atau yang mewakili atau P3N menyampaikan pendaftaran nikah ke KUA dengan melampirkan persyaratan-persyaratan dari Desa. Ketiga, apabila persyaratan telah terpenuhi termasuk dari sisi usia, maka KUA mengabulkan dan menjadwalkan saat akad nikahnya. Akan tetapi, jika persyaratan kurang, misalnya dalam hal ini adalah usia, maka melalui model surat N8 pihak KUA memberitahukan adanya halangan /kekurangan persyaratan. Bila persyaratan tersebut tidak juga mungkin bisa terpenuhi maka pihak KUA mengeluarkan surat Model N9, yaitu surat penolakan pernikahan. Keempat, atas dasar surat penolakan tersebut (N9) calon mempelai atau yang mewakilinya, bisaanya diwakili P3N, mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Bila PA mengabulkan/atau memberikan izin untuk melaksanakan nikah maka KUA akan memproses kembali pernikahan kedua calon mempelai tersebut. Sebaliknya, bila ditolak maka perkawinan harus ditunda hingga persyaratan usia tersebut tercapai.239 Namun 239
Wawancara Pribadi dengan JM, kepala KUA Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, Malang, 7 September 2012; Wawancara Pribadi dengan NF, PPN Desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, Malang, 16 September 2012
294
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
demikian berdasarkan informasi P3N, hampir sebagian besar permohonan despensasi tersebut diizinkan.240 Sementara pelaksanakan perkawinan di bawah umur yang tidak resmi di desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, setidaknya ada 3 model. Pertama, Pihak orang tua calon mempelai mendatangi Kyai/tokoh agama untuk datang ke rumahnya guna mengawinkan atau meng-ijabkabul-kan anaknya dan disaksikan oleh keluarga bahkan masyarakat sekitar. Kedua, Orang tua mendatangi kyai dengan membawa kedua calon mempelai untuk dinikahkan secara langsung di rumah Kyai tersebut. Ketiga, Kyai yang memiliki inisiatif menikahkan kedua calon mempelai karena berbagai pertimbangan, diantaranya pertimbangan menghindari fitnah pergaulan antar lawan jenis atau memang kedua calon mempelai telah berkeinginan kuat untuk segera menikah dan meminta kyai menikahkan karena orang tuanya tidak menyetujuinya. Meskipun para kyai/tokoh masyarakat tersebut tidak keberatan menikahkan pasangan di bawah umur dengan alasan maslahah (tingkat dharury atau hajjy) tetapi tetap saja kyai menghimbau kepada pasangan tersebut untuk tetap mendaftar ke KUA atau memohon despensasi ke PA. Berdasarkan informasi dari 4 informan penelitian, semua informan melakukan perkawinan di bawah umur akan tetapi dilakukan melalui prosedur resmi dengan dicatatkan melalui KUA, hanya saja secara administrasi usia mereka dituakan (di mark up) dari usia yang sesungguhnya. Hal ini juga diakui oleh para kyai/tokoh 240
Wawancara Pribadi dengan ABDR, P3N/Modin desa Ketawang Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, Malang, 7 September 2012
295
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
masyarakat sebagai model yang banyak dilakukan oleh masyarakat.241 Sementara itu, pasangan perkawinan di bawah umur yang tidak dicatat biasanya karena faktor ekonomi, karena tidak punya biaya untuk minta dispensasi atau karena pihak suaminya masih terikat dengan perkawinan sebelumnya.242 Adapun Pihak yang paling berperan terjadinya perkawinan di bawah umur adalah, pertama, tokoh agama, apalagi di wilayah penelitian ini, tokoh agama adalah menjadi sentral figure masyarakat. Ia tidak hanya sebagai tokoh agama tetapi juga tokoh masyarakat dan tidak dikenal lagi tokoh adat. Walaupun demikian tokoh agama selalu beralasan bahwa mereka menikahkan pasangan di bawah umur karena faktor pertimbangan maslahah. Adakalanya maslahah tingkat primer (dharury), atau minimal tingkat skunder (hajjy).243 Pihak Kedua, Modin/P3N, melalui modin sering usia calon mempelai bisa dikondisikan. sementara pihak KUA enggan meniliti kebenaran surat keterangan dari kelurahan. Hal ini juga terlihat dari profil responden di atas, bahwa meskipun keempat responden melakukan perkawinan di bawah umur pada usia (<16 tahun) tetapi
241 242 243
Wawancara Pribadi dengan KH. SRN, Tokoh Masyarakat/Agama Desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, Malang, 15 September 2012 Ibid Wawancara Pribadi dengan KH. MSN, Tokoh Masyarakat/Agama Desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, Malang, 17 September 2012
296
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
mereka bisa mencatatkan perkawinannya di KUA dengan cara me-mark up usia mereka.244 Ketiga, orang tua, yang segera ingin anaknya menikah karena berbagai alasan, terutama kekuatiran orang tua anaknya akan terjerumus dalam perzinaan/ pergaulan bebas. Ini jelas sekali tampak dari table tentang alasan melakukan perkawinan di bawah umur di atas. Keempat, Pengadilan Agama yang cendrung mempermudah persyaratan dispensasi nikah apalagi kalau karena alasan kedua calon mempelai sudah tidak bisa dipisahkan lagi (takut zina). Kemudahan pengadilan ini juga tidak lepas dari tekanan sebagian tokoh agama atau tokoh masyarakat agar PA jangan mempersulit aspek administrasi orang yang sudah niat baik untuk nikah secara resmi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Apalagi kalaupun tidak diizinkan mereka juga akan tetap melangsungkan perkawinan.245 2. Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur Penyebab atau faktor pendorong terjadinya perkawinan di bawah umur menurut pengangkuan pelaku maupun tokoh masyarakat ada beberapa macam alasan. Alasan-alasan perkawinan di bawah umur bagi pelaku yang menjadi informan penelitian ini adalah sebagai berikut:246
244 245 246
Wawancara Pribadi dengan KH. SRN Wawancara Pribadi dengan AFI; dan Wawancara Pribadi dengan KH. SRN Wawancara Pribadi dengan SAN, Pelaku Nikah Di bawah Umur, Malang, 10 September 2012, Wawancara Pribadi dengan MFD, Pelaku Nikah Di bawah Umur, Malang, 13 September 2012, Wawancara Pribadi dengan KHO, Pelaku
297
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
No
Inisial Informan
Alasan
1
SAN
2
MFD
3
KHO
4
AD
Orang tua kuatir akan terjerumus pergaulan bebas karena sudah berpacaran Keinginan orang tua karena sudah ada jodohnya yang mau Keinginan orang tua untuk menjaga kehormatan anak gadisnya Keinginan pribadi karena kuatir terjadi hal yang tidak dinginkan
Dari 4 (empat) informan di atas, alasan utama melakukan perkawinan di bawah umur adalah karena faktor kekuatiran orang tua pada anaknya akan terjerumus dalam perzinaan/pergaulan bebas, baik yang memang hubungannya sudah dekat atau hanya karena tindak preventif (menjaga kehormatan) sehingga segera anaknya dicarikan jodoh. Ini disampaikan oleh 3 (tiga) dari 4 (empat) informan di atas. Sementara 1 (satu) informan karena alasan sudah ada calon suami (jodohnya) yang mau. Sementara ada kepercayaan di kalangan masyarakat, kalau menolak lamaran bisaanya akan mempersulit jodoh anaknya dikemudian hari. Alasan perkawinan di bawah umur karena faktor kekuatiran orang tua pada anaknya akan terjerumus dalam perzinaan/pergaulan bebas juga disampaikan oleh para aparat pemerintahan yang terkait dengan urusan pernikahan, seperti kepala KUA Gondanglegi, Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dan para tokoh Nikah Di bawah Umur, Malang, 16 September 2012, Wawancara Pribadi dengan AD, Pelaku Nikah Di bawah Umur, Malang, 17 September 2012.
298
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
masyarakat/kyai yang menjadi informan dalam penelitian ini. Walaupun demikian diakui oleh kepala desa Ganjaran dan tokoh masyarakat/kyai, bahwa faktor hamil sebelum nikah pada saat ini menjadi penyebab utama. Namun demikian, bisaanya Pengadilan agama dalam memberikan despensasi nikah menyebutkan karena alasan kemaslahatan yang lebih besar jika dinikahkan ‚karena kedua calon mempelai sudah sulit untuk dipisahkan‛. Selain kedua faktor tersebut, masih ada faktor lain meskipun jarang terjadi, yaitu Karena ingin menikah di depan jenazah orang tuannya atau karena Musim panen tiba sehingga biaya nikah dan biaya resepsi tersedia saat itu.247 Sementara faktor pertimbangan ekonomi untuk meringankan beban orang tua tidak pernah kedengaran berdasaran informasi tokoh masyarakat, demikian juga karena tradisi perjodohan sejak masa kecil seperti di masyarakat asli Madura tidak terjadi juga di Desa Ganjaran Gondanglegi ini, meskipun hampir 90% penduduknya berasal dari etnis Madura.248
247 248
Wawancara Pribadi dengan KH. MSN Wawancara Pribadi dengan KH. SRN
299
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
300
Ekonomi
Hukum
1
SAN
Istri takut pada suami jika tidak bisa menjalankan kewajibannya
Suami tidak menafkai sejak perceraian
Ada, anak tdk dinafkai mantan suami
2
MFD
Terasa tertekan dengan sikap suami yang temperamental
Baik-baik saja
Tidak ada
3
KHO
Awal pernikahan tidak bisa melayani karena kepaksa nikah
Ekononomi menjadi problem keluarga hingga pernah jadi TKI
Tidak ada
AD
Baik-baik Agak menyesal saja pada awal pernikahan ketika harus mengurusi anak dan tidak bisa melakukan kegiatan lain layaknya anak muda
Tidak ada masalah
Baik
Kualitas Hubungan suami-istri
Psikologis
4
Inisial Informan
No
Repro-duksi
3. Dampak dan Makna perkawinan di bawah umur bagi pasangan
Terjadi perceraian. Tidak harmonis berdasar penilaian anak baik Hubungan baik, konflik terjadi bisa teratasi dengan sikap mengalah baik Hubungan baikbaik saja, istri mengalah bila terjadi konflik. Atau kadang mertua dan saudara membantu menyelesaikan baik Sangat baik dan akrab konflik kecil bisa dan bisa teratasi dengan saling memahami
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
Data diolah dari hasil wawancara.249
Perkawinan di bawah umur di wilayah Gundang Legi pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat yang ada dalam strata sosial ekonomi rendah. Oleh karena itu, mereka juga tidak memiliki pendidikan tinggi, bahkan sebagian besarnya (3 orang dari informan di atas) adalah Sekolah Dasar, hanya seorang dari mereka yang berpendidikan setingkat SMP/Tsanawiyah. Oleh karena itu, sulit kiranya menilai bahwa perkawinan di bawah umur yang mereka lakukan berdampak terhadap pendidikan. Bahwa mereka setelah menikah tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi bukan sematamata karena meperkawinan di bawah umur tetapi secara ekonomi pun seandainya mereka tidak menikah, orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Apalagi umumnya masyarakat sekitar Gondanglegi hanya berpendidikan tingkat Sekolah Dasar, bahkan masih banyak yang tidak tamat SD. Sementara itu, apakah tingkat pendidikan mereka berpengaruh terhadap praktik perkawinan di bawah umur? Dalam penelitian ini memang tidak dilakukan uji pengaruh secara spesifik terhadap pertanyaan tersebut, tetapi dari profil informan yang ada, di samping informasi dari kepala desa dan tokoh masyarakat bahwa sebagian besar pelaku perkawinan di bawah umur adalah berasal dari keluarga berpendidikan rendah maka dapat dipastikan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh signifikan. Hal ini juga ditegaskan oleh Siti Aisyah, Dosen 249
Wawancara Pribadi dengan SAN, Wawancara Pribadi dengan MFD, Wawancara Pribadi dengan KHO, Wawancara Pribadi dengan AD
301
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
STAI Al-Qolam Gondanglegi bahwa hampir tidak pernah terdengar dari keluarga yang ‚melek akademis‛ melakukan perkawinan di bawah umur.250 Sedangkan dampak perkawinan di bawah umur terhadap ekonomi keluarga, memang bersifat subyektif untuk menilainya. Berdasarkan jawaban informan 2 (dua) dari 4 orang informan menyatakan tidak ada persoalan dalam hal ekonomi keluarga. Hanya 1 (satu) orang yang menyatakan memiliki persoalan ekonomi sehingga ia (istri) harus bekerja sebagai TKI ke Arab Saudi. Sementara seorang lagi, pada saat sebelum perceraian tidak mengalami persoalan tetapi setelah perceraian suami sudah tidak memberikan nafkah lagi, termasuk pada anakanak yang ditinggalkan. Sehingga pada gilirannya mantan istri dan anaknya mengalami kesulitan ekonomi. Namun demikian, bila dibandingkan dengan kehidupan ditempat tertentu seperti Jakarta yang memiliki standar hidup lebih tinggi maka kehidupan ekonomi mereka pasti masih tergolong rendah alias dhuafa. Dampak di bidang hukum, nyaris tidak ditemukan pada para informan di atas. Karena mereka semua melakukan perkawinan di bawah umur dengan prosedur resmi melalui pencatatan KUA walaupun ada pemalsuan usia dengan cara memark up usia sebenarnya. Namun demikian, dari informasi tokoh agama, memang ada juga yang perkawinan tidak dicatat yang tidak dicatatkan ke KUA, umumnya dilakukan karena suami masih ada ikatan dengan istri sebelumnya atau istri pertama dalam kasus 250
Wawancara Pribadi dengan Siti Aisyah, Dosen STAI Al-Qolam Gondanglegi, Malang, 12 September 2012
302
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
poligami. Namun demikian, pada saat mereka membutuhkan legalitas pernikahannya untuk pra-syarat mengurusi surat-surat penting seperti akta kelahiran, pembagian waris, persyaratan ibadah haji dan lain-lain mereka menempuh prosedur itsbat nikah di Pengadilan Agama. Sedangkan dampak kesehatan reproduksi bagi perempuan/istri pasangan perkawinan di bawah umur, menurut para informan tidak pernah terjadi pada mereka. Bahkan keempat informan menyatakan baik-baik saja ketika proses hamil hingga melahirkan. Anak yang lahir pun hingga saat ini normal dan tidak ada gangguan apa pun. Memang pernah ada perempuan yang menikah di bawah umur mengalami keguguran tetapi menurut mereka hal itu juga bisa terjadi pada perempuan yang telah cukup usia/dewasa dalam pernikahan. Hanya saja, sebagian informan menyatakan bahwa kehadiran anak yang begitu cepat setelah melahirkan kadang terasa mengurangi kesempatan untuk bersenang-senang layaknya anak yang masih mudah, karena begitu memproleh momongan mereka harus berperan serius sebagai ibu rumah tangga. Peran ini kata sebagian mereka agak terasa berat jika suaminya tidak mau peduli dan lebih mementingkan urusannya sendiri. Padahal mengasuh anak bukan pekerjaan yang ringan. Selanjutnya, sehubungan dengan kualitas keharmonisan hubungan pasangan mereka, dari empat responden, 3 orang responden menyatakan hubungan mereka dengan pasangannya baik-baik saja. Kalau pun pada waktu tertentu terdapat perbedaan pendapat yang
303
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
berakhir dengan perseteruan, mereka bersyukur selama ini masih mampu menyelesaikannya dengan baik, bahkan menurut mereka pertikaian kecil dengan pasangan hidupnya adalah bagian dari ‚bumbu keluarga‛ yang kadangkala sebagai alat untuk intropeksi masing-masing pasangan suami istri. Memang menurut sebagian mereka, istri-lah yang cenderung mengalah bila terjadi perbedaan pendapat. Tetapi mereka pun menyadari mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah tetapi demi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu keutuhan tali perkawinan. Sementara 1 (satu) informan menyatakan bahwa perkawinanya pada awalnya memang bahagia, namun sejak suami memiliki WIL (Wanita Idaman Lain) maka kehidupan keluarganya menjadi berantakan yang kemudian berujung pada perceraian. Pasca perceraiannya beban kehidupan keluarga semakin berat, terlebih pasca cerai suami tidak mau memberikan nafkah/biaya hidup untuk anak hasil perkawinannya. 4. Respon Tokoh Masyarakat Terhadap Perkawinan di bawah umur Dari dua orang tokoh masyarakat yang berhasil dijadikan nara sumber, mereka sepakat bahwa perkawinan di bawah umur bukan merupakan nikah yang ideal. Namun demikian, kalau kalau praktik tersebut dilihat dalam perspektif fiqh (hukum Islam) maka hukumnya tetap sah dengan syarat calon mempelai telah baligh dan berakal. 251
251
Wawancara Pribadi dengan KH. MSN, Wawancara Pribadi dengan KH. SRN
304
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
Sementara itu, terkait dengan peran Kyai dalam menikahkan pasangan perkawinan di bawah umur, KH. MSN tidak setuju kalau hal tersebut sampai dilarang dalam perundang-undangan. Sebab tidak sedikit perkawinan di bawah umur terjadi karena faktor keterpaksaan atau faktor preventif untuk menghindari mudharat yang lebih besar. Misalnya kedua calon pasangan tersebut telah pacaran lama dan cendrung dikuatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Maka dalam kondisi seperti itu menikahkan akan lebih baik untuk menjaga martabat dan kehormatan keluarga. Walaupun demikian, ia menambahkan bahwa ini bukan berarti Kyai harus mengkampanyekan pentingnya perkawinan di bawah umur yang memang dalam banyak hal terkadang mengandung mudharat, baik dari sisi psikologis atau juga sisi ekonomi. 5. Upaya Penanggulangan Perkawinan di bawah umur Diakui para tokoh masyarakat maupun aparat pemerintahan bahwa perkawinan di bawah umur merupakan salah satu faktor penyebab ketidak harmonisan, keretakan rumah tangga, atau bahkan hingga perceraian. Namun demikian tokoh agama dan pelaku perkawinan di bawah umur menolak kalau dikatakan perkawinan di bawah umur sebagai faktor dominan. Memang ada pasangan perkawinan di bawah umur yang akhirnya dicerai tetapi kebanyakan mereka langgeng dan harmonis. Menurut mereka saat ini faktor yang paling dominan adalah faktor ekonomi dan perselingkuhan. Dan hal tersebut bisa terjadi
305
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
pada perkawinan di bawah umur maupun nikah dewasa. Hal ini juga dikuatkan oleh hakim Pengadilan Agama.252 Upaya meminimalisir belum banyak dilakukan aparat pemerintahan apalagi tokoh masyarakat. Bahkan penyuluhan oleh BKKBN pun nyaris tidak pernah kedengaran. Sementara penyuluhan KUA juga belum terprogram dengan baik kecuali dalam momen tertentu misalnya kalau KUA diminta sambutan acara hari besar mereka menyinggung persoalan pentingnya memperhatikan kedewasaan dalam pernikahan. Sementara, para tokoh agama juga tidak menjelaskan ‚dampak perkawinan di bawah umur‛ ketika membahas fiqh munakahat.253 B. Perkawinan Tidak Dicatat 1. Fenomena Perkawinan Tidak Dicatat Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kabupaten Malang periode 2010-2012 jumlah pengesahan nikah (itsbat) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:254
252 253 254
TAHUN
Jumlah Nikah
2010 2011 2012*
26327 26675 25654
Jumlah Itsbat Nikah 229 283 244
% 0,87 1,1 0,87
Wawancara Pribadi dengan KH. MSN, Wawancara Pribadi dengan KH. SRN, dan Wawancara Pribadi dengan MY, Wawancara Pribadi dengan MFD. Ibid. Diolah dari data Daftar Laporan Perincian NTCR Tahunan dari Kantor Kementerian Agama Kabupeten Malang tahun 2010- Sept 2012, dan Data Perkara Pengesahan Nikah Pengadilan Agama Kabupaten Malang Tahun 2010September 2012.
306
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata setiap tahun ada kurang lebih 1% dari pasangan di kabupaten Malang yang melakukan pengesahan pernikahan (itsbat) jika dibandingkan dengan jumlah pasangan yang nikah secara normal. Tentu jumlah ini relatif besar jika dibandingkan dengan di wilayah lain di Jawa Timur, misalnya di Jombang, Kediri, Blitar, Trenggalek. Berdasarkan pengakuan KH. SRN, Tokoh masyarakat Gondanglegi yang juga Kyai yang disegani yang sudah beberapa kali telah menikahkan pasangan perkawinan tidak dicatat, bahwa praktik perkawinan tidak dicatat di Kecamatan Gondanglegi jumlahnya cukup banyak, tetapi berapa jumlah pastinya sulit untuk diungkapkan, hanya saja yang bersangkutan secara pribadi sering diminta masyarakat sekitar untuk menikahkan pasangan secara sirri (tidak dicatat). Baik perkawinan tidak dicatat yang permanen (tidak dicatatkan di KUA selamanya) atau perkawinan tidak dicatat ‚sementara‛ yang dikemudian hari akan dicatatkan juga di KUA.255 Namun demikian, ketika informasi tersebut dicross ceck dengan aparat desa seperti lurah dan modin mereka cenderung menutup-nutupi fenomina ini. Kata-kata yang sering terucap dari mereka adalah ‚ada tetapi tidak banyak itupun diketahui ketika mereka akan mengajukan itsbat nikah ke pengadilan‛, ‚akhir-akhir ini nyaris sudah tidak pernah kedengaran lagi‛, dan ‚itu dulu sebelum tahun 80 an. Namun 255
Wawancara Pribadi dengan KH. SRN
307
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
ketika konfirmasi yang sama disampaikan kepada Kepala KUA Gondanglegi, JM, tidak menampik fenomena perkawinan tidak dicatat di Kecamatan Gondanglegi khususnya dan Kabupaten Malang pada umumnya.256 2. Proses dan Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Perkawinan Tidak Dicatat Menurut KH. MSN, proses perkawinan tidak dicatat dari sisi ada tidak adanya wali dibagi menjadi dua bentuk: Perkawinan tidak dicatat dengan wali dan perkawinan tidak dicatat tanpa wali. Perkawinan tidak dicatat dengan wali pelaksanaannya seperti nikah secara normal yang memenuhi syarat dan rukun pernikahan, termasuk adanya wali, hanya bedanya tidak dihadiri penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA). Biasanya dalam model ini Kyai diundang ke rumah orang tua calon mempelai perempuan dan orang tua walinya mewakilkan ke Kyai untuk proses ijab qabulnya.257 Sementara perkawinan tidak dicatat yang tanpa wali, adalah nikah yang tidak dihadiri oleh wali calon mempelai perempuan karena boleh jadi wali tidak menyetujui perkawinan tersebut atau karena tempatnya yang jauh dari pelaksanaan akad nikah. Pada umumnya model nikah seperti ini dilaksanakan di tempat kyai. Memang, diakui oleh KH. MSN bahwa nikah seperti ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah, tetapi madzab lain, terutama madzhab hanafi kan membolehkan. Apalagi biasanya kasus perkawinan tidak dicatat tanpa wali terjadi karena faktor
256 257
Wawancara Pribadi dengan JM. Wawancara Pribadi dengan KH. MSN
308
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
dharurat (emergent). Jadi seandainya dilaksanakan dengan cara pindah mazhab, menurut Kyai MSN dibolehkan.258 Sementara itu, menurut KH. SRN, pengasuh pondok Pesantren Raudhatul Ulum Ganjaran-Gondanglegi, praktik perkawinan tidak dicatat ada kalanya dikenal dengan ‚perkawinan tidak dicatat abadi‛ dan ‚perkawinan tidak dicatat sementara‛. Perkawinan tidak dicatat abadi, bila sejak awal calon mempelai sudah tidak berencana untuk mendaftarkan secara resmi ke KUA dan tidak juga melalui itsbat nikah. Biasanya model perkawinan tidak dicatat seperti ini dilakukan oleh pasangan yang sudah tua yang tidak ada harapan punya anak lagi, atau suami yang melakukan poligami yang tidak ingin diketahui istri sebelumnya, atau karena sulitnya mengurus administrasi perizinan poligami bagi PNS. Sedangkan perkawinan tidak dicatat sementara merupakan perkawinan tidak dicatat yang sejak awal calon mempelainya telah berencana akan mendaftarkan perkawinanya KUA. Model seperti ini biasanya dilaku-kan oleh mempelai yang masih berstatus mahasiswa atau yang masih kurang usia minimal nikah, atau karena tuntutan harus segera nikah karena faktor-faktor seperti; ingin dinikahkan didepan mayat orang tuanya sebelum dikuburkan, hamil sebelum nikah, atau karena surat undangan sudah terlanjur disebar sementara mengurus administrasi nikah membutuhkan waktu yang relatif lama.259 Seperti halnya pada proses pelaksanaan perkawinan di bawah umur, ada beberapa pihak yang sangat berperan 258 259
Ibid Wawancara Pribadi dengan KH. SRN
309
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
dalam proses pelaksanaan perkawinan tidak dicatat. Adapun Pihak yang paling berperan terjadinya perkawinan di bawah umur adalah, Pertama, tokoh agama. Tokoh agama seperti halnya dalam pelaksanaan perkawinan di bawah umur memegang peran central dalam masyarakat. Sehingga boleh atau tidaknya perkawinan tidak dicatat dilaksanakan tergantung restu dari para tokoh agama, atau dikenal dengan sebutan Kyai. Dalam kaitannya, dengan perkawinan tidak dicatat ini pun para tokoh agama dengan jujur menyatakan bahwa mereka sudah sering menikahkan calon pengantin secara tidak dicatat (sirri), meskipun sebenarnya mereka pun menyadari akan dampak negatif perkawinan tidak dicatat tetapi karena faktor pertimbangan maslahah lain yang lebih besar terpaksa praktik seperti itu dilaksanakan. Apalagi secara Fiqh/syariat dibolehkan asal terpenuhi syarat dan rukunya.260 Kedua, orang tua, yang segera ingin anaknya menikah karena berbagai alasan. Ibu KM menyatakan:‚....zaman sekarang itu susah mas... kalau kita biarkan anak kita bergaul dengan lawan jenis tanpa pengawasan ketat bisa-bisa dia terjerumus pada pergaulan bebas. Ujung-ujungnya yang malu kan orang tuanya. Oleh karena itu, perkawinan tidak dicatat dilakukan biasanya untuk menghindari hal-hal seperti itu. Toh nantinya juga akan dicatatkan. Ada juga sih yang disebabkan karena memandang surat nikah tidak penting, tetapi alasan seperti itu setahu saya sedikit, itupun pasangan yang sudah tua usianya..‛261 Ketiga, Pengadilan Agama yang 260 261
Wawancara Pribadi dengan KH. MSN Wawancara Pribadi dengan KM, Ibu Pelaku Nikah Di bawah Umur, Malang, 19 September 2012
310
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
cendrung mempermudah persyaratan itsbat nikah apalagi kalau alasan tidak bisa dipisahkan lagi (takut zina). Akibatnya masyarakat cendrung menganggap mudah untuk mendapatkan legalitas pernikahan jika diperlukan, sehingga semakin tidak ada beban ketika melaksanakan perkawinan tidak dicatat. Walaupun demikian, AFI, Kepala Urais Kabupaten Malang menjelaskan bahwa kemudahan yang diberikan PA dalam itsbat nikah bukan berarti PA mendukung perkawinan tidak dicatat tetapi itulah solusi cerdas yang bisa diberikan negara melalui lembaga hukum. Karena kalau tidak dikabulkan itsbat nikah maka justru akan mengakibatkan kerugian pihak lain, terutama anak-anak yang dilahirkan oleh pasangan perkawinan tidak dicatat.262 3. Penyebab Perkawinan Tidak Dicatat Dari uraian tentang model pelaksanaan perkawinan tidak dicatat di atas telah dijelaskan beberapa faktor yang melatar belakangi pelaksanaan perkawinan tidak dicatat, yaitu antara lain karena: a. Tidak menganggap urgen dicatat dan bila diperlukan baru di catat b. Usia pernikahan belum mencukupi/Perkawinan di bawah umur c. Kepentingan poligami dan atau istri simpanan. d. Kawin lari karena tidak disetujui orang tua atau ada orang tua tetapi jauh tempatnya e. Menutupi aib, umumnya karena hamil sebelum nikah 262
Wawancara Pribadi dengan AFI
311
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
f.
Karena ingin menikah di depan jenazah orang tuannya
Sementara itu, bagi pelaku, terutama pihak istri, halhal yang menjadi pendorong dilaksanakan nikah secara tidak tercatat (perkawinan tidak dicatat) dapat dilihat pada tabel berikut ini:263 Tabel: 1 No 1 2
Inisial Informan DLM FRY
3
AFF
Alasan Belum merasa penting untuk memiliki Merasa tidak terlalu butuh surat nikah karena sudah sama-sama tua dan tidak memungkinkan punya anak Belum bercerai secara resmi dengan suami pertama, jadi masih ada halangan untuk dicatatkan secara resmi ke KUA
Dari tabel di atas, dua dari tiga informan yang ada melakukan nikah tidak dicatat karena merasa belum terlalu butuh surat nikah saat ini. Sementara hanya satu informan yang nikah secara cerai karena masih terhalang dengan status nikah sebelumnya yang belum putus secara hukum tetapi sudah cerai secara fiqh hukum Islam). Sedangkan, motif melakukan perkawinan tidak dicatat karena tingginya biaya nikah tidak menjadi faktor penyebab. Hal ini diakui oleh para pelaku, tokoh masyarakat hingga aparat Desa. FRY pelaku perkawinan tidak dicatat menyatakan ‚saya melakukan perkawinan tidak 263
Wawancara Pribadi dengan DLM, Pelaku Nikah Tidak Dicatat, Malang, 23 September 2012, Wawancara Pribadi dengan FRY, Pelaku Nikah Tidak Dicatat, Malang, 25 September 2012, Wawancara Pribadi dengan AFF, Pelaku Nikah Tidak Dicatat, Malang, 25 September 2012
312
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
dicatat bukan karena nikah lewat KUA mahal, tetapi karena pertimbangan sudah tua dan sudah tidak terlalu memerlukan lagi surat nikah untuk kepentingan pengurusan akta kelahiran, bank dan lain-lain‛. Sementara KH. SRN menginformasikan bahwa ‚...biaya nikah disini tidak mahal, lain dibanding daerah jakarta seperti tempat sampeyan. Lagi pula setahu saya kalau memang calon mempelai dari keluarga yang miskin kan bisa dibebaskan. Jadi alasan mereka bukan persoalan biaya tetapi alasan-alasan lain seperti tadi telah saya kemukakan...‛. hal yang sama ditegaskan oleh P3N Ganjaran, SS, bahwa ‚biaya nikah disini resminya Cuma Rp. 30.000, hanya dengan lain-lain sekitar Rp. 150.000. jadi tidak ada alasan mahal, apalagi bagi penduduk yang miskin bisa gratis‛ 4. Dampak dan Makna Perkawinan Tidak Dicatat Bagi Pasangan
1
DLM
Kalau masyarakat biasa aja, hanya ortu sering menanyakan kapan akan dicatat.
Merasa Tidak baik-baik masalah saja tidak ada hambatan dan tekanan psikologis apapun
Ada kekuatiran tt status anak, pingin segera itsbat tapi terhalang biaya.
Kualitas Hubungan suami-istri
Hukum
Ekonomi
Psikologis
Sosial
No
Inisial Informan
Dampak perkawinan tidak dicatat terutama bagi pelaku perkawinan tidak dicatat dari pihak perempuan/ istri yang jadi informan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Secara umum bahagia, jarang konflik
313
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
2
FRY
Tidak pernah ada masalah
Sangat baik apalagi suami adalah penyabar
Tidak jadi masalah
Karena tidak punya anak tidak merasa kuatir
Baik-baik saja selama perkawinan, tidak pernah ada masalah
3
AFF
Tidak ada dampak yang dirasakan, biasa saja krn perkawinan tidak dicatat disini sudah lumrah
Masih merasa was-was krn tidak catat (terhalang perceraia nnya dg suami sebelumn ya)
Tidak ada masalah
Belum dirasakan, tetapi segera ingin menuntas kan percerainn ya secara hukum dengan suami pertama agar bisa segera itsbat
Secara umum baik, hanya sering kurang nyaman sehubun gan dengan anak adopsi bawaan suami
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari aspek sosial terutama respon masyarakat terhadap pernikahan mereka ternyata semua informan menyatakan tidak ada masalah. Bahkan seorang informan menjelaskan bahwa praktik perkawinan tidak dicatat di desa Ganjaran Gondanglegi adalah hal yang biasa (lumrah). Sementara dari aspek psikologis, umumnya mereka tidak merasa ada tekanan psikis selama menjalani kehidupan keluarga, hanya saja satu orang informan yang pernikahannya dengan suami pertama belum putus secara
314
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
hukum tetapi sudah cerai secara syariah merasa was-was dengan pernikahan saat ini karena kuatir akan ada efek hukum seandainya pernikahan mereka tidak segera disahkan melalui itsbat nikah. Sedangkan secara ekonomi, walaupun 2 orang informan terlihat dalam penampilan kehidupan rumah tangganya biasa-biasa saja tetapi mereka tidak merasakan persoalan ekonomi dalam kehidupan keluarga mereka. Sementara seoramg informan yang suami istri sebagai guru juga merasa cukup secara ekonomi dengan gaji yang diperolehnya selama ini. Dampak yang sangat mereka risaukan walaupun saat ini belum dialami dan rasakan adalah persoalan kedudukan hukum sebagai istri sirri (pernikahan tidak dicatat) dan nasib anaknya dikemudian hari. Karena itu, dua dari tiga informan tersebut masih berharap bisa segera melakukan itsbat nikah biar dikemudian hari aman dari persoalan hukum yang kemungkinan akan menimpa dirinya atau anaknya. Sementara seorang informan merasa aman-aman saja dengan statusnya saat ini apalagi hingga saat ini dia belum diberikan anaknya, jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan. Namun demikian, harapan bisa mencatatkan pernikahannya tetap ada. Bagi tokoh masyarakat yang menjadi informan dalam penelitian ini menyadari akan kemungkinan munculnya dampak dari perkawinan tidak dicatat, terutama yang berpeluang akan menimpa pihak peremuan/istri dan anak-anaknya, seperti misalnya persoalan hak nafkah, nasab anak, waris dan lain-lain. Demikian juga dampak halangan administratif bila mereka melakukan perbuatan-
315
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
perbuatan hukum, seperti membuat akta kelahiran anak, syarat administrasi haji, dan pengajuan kredit. Namun demikian, mereka berkilah bahwa meskipun secara formal dampak tersebut bisa saja terjadi, tetapi dalam praktiknya selama ini tetap aja bisa disiasati. Misalnya beberapa orang yang perkawinan tidak dicatat tetap aja dia bisa mendapatkan KK, bahkan ada juga yang masih bisa ikut proses e-KTP (beberapa bulan yang lalu). Demikian juga persyaratan haji pun ternyata bisa tanpa harus memiliki akta nikah.264 5. Respon Tokoh Masyarakat Sama halnya dalam hal perkawinan di bawah umur, pada kasus perkawinan tidak dicatat pun para kyai lebih cendrung membolehkan karena menurut syariah pencatatan nikah bukan merupakan rukun atau syarat nikah. Meskipun demikian mereka sadar bahwa perkawinan tidak dicatat bisa berdampak negatif. Akan tetapi, lagilagi, seperti yang beberapa kali dikutip dari pernyataan para kyai di atas, mereka menikahkan dengan cara tidak dicatat, karena alasan kepentingan maslahah yang lebih besar dalam kondisi darurat atau minimal hajjiyat. Di samping itu, merekapun sering menyebut fatwa MUI yang juga masih membolehkan perkawinan tidak dicatat. Walaupun masih ada catatan bahwa bila berpotensi menimbulkan dampak negatif sebaiknya ditinggalkan. KH. Sya’roni menyatakan ‚…setahu saya, Fatwa MUI Pusat pun kan masih membolehkan perkawinan tidak dicatat dengan catatan tidak menimbulkan mudharat. Oleh 264
Wawancara Pribadi dengan KH. SRN
316
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
karena itu, kalau justru akan membawa maslahah yang lebih besar masih diperbolehkan…‛265 6. Upaya penanggulangan Meskipun perkawinan tidak dicatat telah menjadi fenomina dan rahasia umum, tetapi belum banyak langkah-langkah efektif dan efisien yang dilakukan pihakpihak terkait untuk meminimilisirnya. Misalnya pada level Kantor Urusan Agama (KUA) belum ada program rutin untuk sosialisasi tentang bahasa praktik perkawinan tidak dicatat di masyarakat. Pihak KUA umumnya menyampaikan hal tersebut pada momen-momen tertentu seperti ketika memberikan sambutan hari-hari besar atau saat khutbah nikah, itupun kalau khutbah nikah diserahkan kepada penghulu.266 Sementara pada level desa, Modin/P3N juga belum secara optimal berfungsi sebagai garda depan pembantu pejabat pemerintah yang bertugas penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan pernikahan.267 Sementara, pihak tokoh agama/Kyai pun tidak menyampaikan tentang bahaya perkawinan tidak dicatat karena berbagai alasan, antara lain karena hukum Islam tidak melarang selain pertimbangan menghindari sikap kemenduaan.268 Memang di Kabupaten Malang menurut penjelasan Kepala KUA Gondang Legi, pernah menyelenggarakan 265 266 267 268
Ibid. Wawancara Pribadi dengan JM. Wawancara Pribadi dengan ABDR Wawancara Pribadi dengan KH. MSN
317
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
nikah dan itsbat massal secara gratis. Hanya saja karena jumlah peserta yang sangat terbatas maka belum banyak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat luas. Menurut Muhammad Yusuf, kepala desa Ganjaran, nikah dan itsbat massal secara gratis dalam 5 tahun terakhir ini baru dilaksanakan sekali, itupun di desa ganjaran hanya kebagian 2 (dua) pasang. Satu pasang untuk nikah dan satu pasang lagi untuk itsbat nikah. Sedangkan, upaya meminimalisir perkawinan tidak dicatat melalui jalur hokum, menurut pengakuan Kepala KUA Gondanglegi, belum pernah dilakukan karena berbagai pertimbangan yang dilematis.269 7. Pembahasan Dari paparan tentang fenomena perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatat di atas, terlihat bahwa trend praktik kedua perkawinan tersebut di Malang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sementara upaya penanggulangan belum banyak dilakukan bahkan cenderung semakin lama semakin diabaikan. Untuk mengulas lebih jauh mengapa penegakan hukum perkawinan terutama terkait dengan larangan perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatat tidak efektif berjalan di masyarakat, berikut akan dipaparkan analisis SWOT (strength, weakness, opportnities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam perspektif teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system) yang digagas oleh Lawrence M. Friedman. Untuk memudahkan pembacaan 269
Wawancara Pribadi dengan JM.
318
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
dari paparan analisis SWOT akan dibuat tabel sebagaimana disajikan di bawah ini: Elemen
Kekuatan (S)
Struk 1. Telah memiliki tr lembaga hukum mulai dari lembaga legislatif (DPR), eksekutif (Kementrian agama/KUA) dan Yudikatif (PA, PTA, MA) 2. Tidak ada pembedaaan kedudukani antara pengadilan agama dengan pengadilan lainnya (PN, PTUN, PM) 3. Lembaga DPR yang mayoritas anggotanya beragama Islam dan banyak berasal dari tokoh pergerakan/orm as Islam 4. Peningkatan kulaitas pegawai pencatat nikah terus meningkat terutama sejak fungsionalisasi jabatan penghulu
Kelemahan (W) 1. Lembaga legislatif belum optimal dalam menagkap aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan UU, sehingga usul amandement UU perkawinan lambat direspon 2. Kementrian agama/KUA belum optimal dalam pelaksanaan UU terutama terkait dengan tugas edukasi/sosialisas i serta tertib administrasi persyaratan perkawinan 3. Pengadilan cendrung permisiv dalam proses pemberian despensasi dan istbat bikah 4. Lembaga administrasi negara ditingkat kelurahan masih sangat longgar dalam penyelenggaraan
Peluang (O)
Tantangan (T)
1. UU KY yang 1. Kuatnya memberikan Desakan kompetensi lembaga untuk swadaya mengawasi masyarakat dan hakim, media untuk termasuk optimalisasi hakim penegakan PA/PTA/MA hukum di dianulir MK Indonesia dan pemberantasan 2. kontrol lembaga KKN pemerintahan 2. Perhataian besar yang lebih masyarakat tinggi dunia terhadap terhadap lembagaadministrasi lembaga hukum tingkat dalam konteks kelurahan/de supremasi sa masih hukum di Lemah Indonesia 3. turunnya 3. Menguatnya kepercayaan semangat masyarakat penyelenggaraa terhadap n GCG di lembaga lembagapenegak lembaga hukum hukum baik pada level karena legislatif, berbagai eksekutif dan kasus KKN yudikatif yang 4. Program E KTP menderanya Kementrian Dalam Negeri yang datanya akan digunakan untuk keperluan
319
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
layanan administrasi negara lainnya, termasuk administrasi perkawinan 5. Tunjangan hakim/KUA telah dan akan dinaikan sehingga akan meminimalisir terjadinya tindak korupsi/gratifik asi yang akan meringankan proses administrasi nikah, itsbat,dan despensasi nikah 6. Semakin meningkatnya anggaran negara yang pada gilirannya juga akan mengalir pada lembaga2 pemerintahan yang bertugas u melaksanakan UU perkawinan 1. Keputusan 1. Lahirnya Banyak pasalMK yang berbagai pasal UU memberikan peraturan perkawinan no peluang anak perundang1/1974 yang yang lahir di undangan lain memperlemah luar yang penegakan pernikahan mendukung hukum yang sah, peningkayan perkawinan, termasuk kualitas seperti pasal 2 perkawinan kehidupan ayat 1, dan KHI
administrasi kependudukh sehingga dengan mudah bisa merubah identitas penduduk untuk kepentingan administrasi perkawinan (mark up umur) 5. Rendahnya kordinasi antar lembaga pemerintah atau non pemerintah dalam pelaksanaan dan sosialisasi per-uu perkawinan
Subta nsi
320
1. Memiliki hukum tertulis (berbagai peraturan per-UU yang mengatur persoalan hukum perkawinan)
1.
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
2. Memiliki hukum tidak tertulis 2. berupa norma Fiqh yang dijadikan pedoman masyarakat, termasuk pedoman/nor ma pernikahan
3.
pada Pasal 7 ayat (3) butir ‚e‛. Pasal 7 ayat 2 UUP No. 1/1974 memberikan peluang dispensasi dari pengadilan. Sementara Despensasi tidak disertai Kriteria alasan dapatnya memperoleh despensasi sehingga dengan mudah orang memperoleh despensasi UU no 1/1974 yang tidak mengatur aspek pelanggaran pidana dalam perkawinan, sementara ketentuan pidana yang ada pada Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan PP no 9/1975 sangat ringan dan tidak diterapkan secara tegas
tidak dicatat anggota menjadi anak keluarga, sah melalui misal UU No. pembuktian 23/2002 sain (uji tentang DNA), perlindungan berpeluang anak, undangmenyuburkan undang nikah tidak Kependuduka dicatat n, dan lain2. Munculnya lain disparitas 2. Munculnya opini yang draf tajam dan rancangan saling hukum bertentangan keluarga dari dari berbagai berbagai unsur lembaga masyarakat pemerintahan, terkait isuPT dan atau hukum ormas/LSM keluarga 3. Semakin termasuk isu terbukanya tt status studi banding perkawinan terhadap di bawah subtansi umur dan peraturan pernikahan perundangtidak dicatat undangan 3. kemungkinan dari negarakesalahpaha negara lain, man termasuk UU masyarakat terkait dengan (karena tidak perkawinan membaca 4. Penyelesaian secara kasus keseluruhan) pelanggaran terhadap pidana bidang Fatwa MUI hukum yang perkawinan menyatakan dimungkinka bahwa nikah n masuk di bawah dalam
321
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
4.
Buda ya
322
1. 1. Tradisi masyarakat yang masih mentaati norma hukum atau agama yang terkait dengan pernikahan 2. Tradisi ilmiah PT yang masih mengkaji aspek hukum keluarga baik yang bersumber 2. dari Per-UU maupun dari doktrin Agama (Fiqh) 3. PA, PTA, MA yang telah lama menjadi
terhadap siapapun yang melanggar Ketidakjelasan prinsip dalam UU no 1/1974 apakah merupakan peraturan yang bersifat bersifat memaksa atau mengatur
Budaya masyarakat tertentu (termasuk yang menjadi obyek penelitian) yang memberikan peran tokoh masyarakat/aga ma lebih dibanding pejabat pemerintah pelaksana dan penegak UU perkawinan (KUA dan PA) Pemahaman masyarakat yang rendah terhadap norma hukum yang ada di per-uu karena
tangan sah kompetensi karena telah PA pasca terpenuhi revisi UU No. syarat dan 7/1989/UU No rukun nikah, 3/2006 tetapi haram 5. Adanya jika terdapat rancangan UU mudharat Terapan Peradilan Agama bidang Hukum Keluarga yang mempertegas sanksi n pidana bagi pelanggar UU Perkawinan 1. Budaya 1. Tingkat pergaulan pendidikan bebas masyarakat semakin yang mulai meningkat meningkat menyebabkan seeiring banyaknya dengan pasangan peningkatan muda yang kemampuan menikah ekonomi akibar hamil masyarakat sebelum dan program nikah pendidikan 2. Kekuatiran gratis banyak orang 2. Banyak dari tua terhadap kalangan keselamatan keluarga anaknya pesantren/to akibat koh pergaulan agama/masy bebas arakat yang sehingga menuntut mempercepat ilmu di PT proses Agama Islam pernikahan yang pada
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
lembaga penyelesai 3. sengketa terkait hukum keluarga 4. Peran tokoh masyarakat dan tokoh agama sangat dominan dalam mengarahkan 4. budaya hukum masyarakat
5.
faktor pendidikan Rendaknya kuantitas dan kualitas proses sosialisasi norma per-UU oleh para pelaksananya (Kementrian/K UA, BKKBN, PA dll) Rendahnya mentalitas beberapa penegak hukum yang siap mengorbankan idealitas demi uang sehingga berimplikasi terhadap longgarnya pemberian izin itbat dan despensasi pernikahan Kebiasaan lembagalembaga masyarakat menyelenggara kan Itsbat masal atau nikah massal untuk pasangan yang sudah lama menikah secara tidak dicatat cenderung menyuburkan
3.
4.
untuk gilirannya menjaga akan martabat merobah keluarga pola pikir 3. Budaya suap keagamaan untuk mereka mempermud Semakin ah layanan terbukanya administrasi informasi pemerintahan melalui media masa 4. Pemahaman keagamaan yang tokoh memberikan masyarakat pendidikan yang fiqh pentingnya sentris. kedewasaan 5. Adanya dalam budaya pernikahan ‚sungkan/ew dan uh pakewuh‛ pentingnya bila perkawinan berhadapan dicatat dengan tokoh Banyak masyarakat/t Programokoh agama program yang pemerintah melanggar yang peraturan menyentuh perundangkepentingan undangan masyarakat yang mempersyar atkan adanya surat nikah, Akta kelahiran, dan atau kartu keluarga. Seperti program kartu sehat, program
323
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
6.
perkawinan tidak dicatat Anggapan masyarakat tertentu bahwa praktik perkawinan di bawah umur dan tidak dicatat merupakan hal yang biasa dan sudah lumrah.
pemberdayaa n masyarakat miskin, bantuan Langsung Tunai, calon jamaah haji, masuk sekolah negeri
Dari paparan tabel SWOT di atas terlihat bahwa saat ini ketiga elemen sistem hukum di atas masih jauh dari harapan, sehingga wajar jika penegakan hukum bidang perkawinan terutama yang terkait dengan larangan perkawinan di bawah umur dan pekawinan tidak dicatat belum berjalan dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, Langkah-langkah strategis untuk penegakan hukum perkawinan harus dilakukan secara simultan dan komprehensif pada ketiga elemen sistem hukum di atas. Perbaikan tidak cukup dilakukan pada elemen subtansi UU perkawinan tetapi juga harus menyentuh unsur lain, yaitu elemen struktur dan kultur hukum. Oleh karena itu, berikut akan ditawarkan beberapa langkah strategis untuk mencari solusi atas lemahnya penegakkan hukum perkawinan di indonesia: Pertama, untuk elemen struktur hukum saat ini eksistensinya relatif telah memadai, mulai dari lembaga legislatif (DPR), eksekutif (kementrian terkait/Kemenag/ KUA), yudikatif (PA, PTA, dan MA). Yang perlu ditingkatkan pada elemen ini adalah optimalisasi fungsinya,
324
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
misalnya pada lembaga legislatif/DPR harus segera membahas dan mengesahkan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan agar kekurangankekurangan yang ada pada UU payung, UU No. 1 Tahun 1974, bisa diminimalisir. Tentu saja, dalam proses pembahasannya perlu mengakomodir aspirasi berbagai golongan masyarakat. Sementara Kementerian Agama/ KUA hendaknya mengoptimalkan tugas edukasi/sosialisasi UU Perkawinan secara maksimal kepada kalangan masyarakat luas dengan bekerjasama dengan lembaga terkait, baik pemerintah seperti BKKBN maupun LSM yang peduli persoalan hukum keluarga. Di samping itu, KUA harus lebih ketat dalam urusan administrasi perkawinan, khususnya terkait dengan banyaknya tindak pemalsuan identitas calon mempelai, misalnya mark up umur untuk kasus nikah di bawah umur, dan manipulasi surat keterangan status perkawinan calon mempelai sebelumnya untuk kasus pernikahan tidak dicatat. Sementara itu, Pengadilan Agama hendaknya lebih ketat lagi dalam memberikan dispensasi nikah untuk pasangan pernikahan di bawah umur, termasuk karena alasan kehamilan sebelum nikah. Karena kelonggaran yang diberikan pengadilan selama ini, justru kontra produktif dengan usaha meminimalisir pernikahan di bawah umur, dan cenderung membuka (fathu al-zari’ah) peluang semakin maraknya hamil di luar nikah karena despensasi adalah dianggap solusi bagi para pelakunya. Demikian juga PA harus selektif dan ketat menerapkan UU untuk pemberian itsbat nikah. Dalam konteks ini, termasuk kegiatan itsbat massal yang dibiayai pemerintah atau ormas dan yang lainnya, harus juga diminimalisir agar
325
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
tidak dijadikan sebagai alasan untuk semakin menggampangkan untuk tidak mencatatkan segera peristiwa perkawinan yang dilakukan warga masyarakat karena nantinya mereka mengharapkan bisa dilakukan melalui istbat nikah, termasuk itsbat masal. Sementara, Untuk lembaga negara yang lain, seperti Kementrian Dalam Negeri, sangat diharapkan bisa membantu memperbaiki administrasi perkawinan melalui data base E-KTP yang terintegrasi dengan pelayanan administrasi negara lainya, termasuk administrasi perkawinan. Dengan cara demikian pemalsuan identitas dalam modus perkawinan di bawah umur atau perkawinan tidak tercatat akan bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Kedua, pada elemen subtansi hukum ada beberapa hal yang perlu dan mendesak untuk dilakukan yaitu: 1).Mengamandemen atau merevisi UU. No. 1/1974 khususnya pada pasal-pasal ‚karet‛ yang berpeluang ditafsirkan berbeda-beda sehingga dijadikan alasan untuk tidak mentaati norma-norma yang hendak ditegakkan dalam UU tersebut dengan alasan doktrin agama/hukum Islam tidak melarang. Misalnya, pasal 2 ayat (1), dan pasal 7 ayat (2) 2). Segera menjadikan KHI sebagai UndangUndang Hukum Terapan Peradilan Agama (UU-HTPA) bidang perkawinan dengan memperbaiki pasal-pasal ‚karet‛ yang cendrung ditafsirkan secara fleksibel sehingga memperlemah penegakan hukum perkawinan, seperti Pasal 7 ayat (3) butir ‚e‛ yang sering dijadikan alasan memberikan pengesahan nikah (isbat) secara longgar. Di samping itu, perlu ditambahkan pasal-pasal yang bisa mendukung penegakan hukum perkawinan, yaitu misalnya dengan ditambahkan ketentuan sanksi
326
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
pelanggaran pidana yang relatif tegas dan sanksi yang berat seperti yang ada pada RUU HTPA bidang perkawinan. 3. Sementara itu, terkait dengan doktrin hukum fiqh yang masih dijadikan rujukan masyarakat dalam pelaksanaan perkawinan sebenarnya tidak bermasalah asal tidak memakai madzhab fiqh yang justru bertentangan dengan norma-norma hukum yang ada di Peraturan Perundang-undangan tentang perkawinan. Oleh karena itu, prinsip bahwa ‚hukm al-haakim yarfa’i alkhilaf‛/keputusan hakim/negara menghilangkan perbedaan pendapat (madzhab), demikian juga dengan prinsip/ metode maslahah mursalah dalam hukum Islam, harus disosialisasikan di masyarakat terutama di kalangan tokoh masyarakat agar tidak terjadi pertarungan norma hukum negara versus hukum syariah (fiqh). Ketiga, pada aspek elemen budaya hukum Nampaknya lebih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, karena pada aspek inilah yang saat sekarang menjadi akar persoalan dalam hal penegakan hukum perkawinan di masyarakat indonesia. Persoalan utamanya adalah tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dibeberapa daerah masih sangat memperihatinkan yang antara lain disebabkan karena faktor kemiskinan kultural dan mungkin juga struktural. Problem kemiskinan dan pendidikan ini diantaranya yang menyuburkan praktik perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatat. Apalagi umumnya mereka yang melakukan kedua macam perkawinan tersebut adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan miskin. Kemiskinan lah yang mendorong mereka segera melalkukan perkawinan usia muda karena berharap akan meringankan beban orang tua, demikian
327
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
juga rendahnya pendidikan yang diantaranya menyebabkan mereka kurang mengetahui dampak-dampak negatif kedua macam perkawinan itu. Kondisi masyarakat yang miskin dan rendah tingkat pendidikannya tersebut diperparah lagi dengan sikap tokoh masyarakat/agama yang cendrung meligitimasi perilaku masyarakat yang kurang produktif dengan doktrin-doktrin agama/fiqh atau dengan istilah lain para tokoh agama yang ‚fiqh oriented‛ tanpa mau membuka ‚kran ijtihad‛ karena tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh semua pihak antara lain; 1). Pemerintah, termasuk Kementrian Agama/KUA dan lembaga hukum lainnya harus semakin intensif melakukan edukasi/ sosialisasi dan berbagai pendekatan kepada masyarakat dan tokohnya terkait dengan penegakan hukum perkawinan, baik melalui seminar, pelatihan, workshop, bahsul masail, dll. Di samping itu, program-program pemerintah yang menyentuh kepentingan masyarakat perlu mempersyaratkan lebih ketat adanya surat nikah, Akta kelahiran, dan atau kartu keluarga, Seperti program kartu sehat, program pemberdayaan masyarakat miskin, bantuan Langsung Tunai, calon jamaah haji, dan masuk sekolah negeri dll. Dengan cara demikian masyarakat akan sadar pentingnya memiliki akta nikah untuk keperluan persyaratan program-program di atas. 2). Para pendidik, termasuk pendidikan pesantren melalui lembaga pendidikan perlu memasukkan materi tentang dampak negative perkawinan di bawah umur/sirri‛ dalam mata pelajaran fiqh, kewarganegaraan/PPKN, biologi, IPS dan lain-lain. 3). LSM, Ormas, atau lembaga kemasyarakatan lainnya harus terus aktif untuk memperdayakan
328
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang dampak negatif nikah usia muda dan nikah tidak dicatat melalui berbagai forum, misalnya PKK, majelis taklim, tabligh akbar, Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan lainlain. 4). Media Massa perlu juga berperan dalam mensosialisasikan dampak negatif perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak dicatat baik melalui pemberitaan, film yang mendidik dan lain-lain.
329
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
330
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari paparan di atas dapat disimpulkan temuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Pasangan perkawinan di bawah umur (perkawinan di bawah umur) dan perkawinan tidak tercatat dalam memaknai perkawinannya di kabupaten Malang khususnya di kecamatan Gondanglegi tidak sama antara satu dengan lainnya. Ada yang merasa biasa-biasa saja tidak bedanya dengan mereka nikah secara normal. Namun sebagian, ada yang merasakan penderitaan terutama ketika ditinggal oleh pasangannya. Dan umumnya yang merasakan penderitaan adalah pihak istri selain anak-anak. 2. Problematika dan dampak sosial, hukum, ekonomi dan kesehatan reproduksi bagi pasangan perkawinan di bawah umur (perkawinan di bawah umur) dan perkawinan tidak tercatat memang untuk sebagian orang merasakan. Hal yang paling umum dirasakan dampaknya bagi pelaku perkawinan di bawah umur adalah dampak ekonomi, apalagi umumnya mereka berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Sedangkan dampak yang paling dirasakan atau minimal dikuatirkan bagi pelaku perkawinan tidak tercatat adalah lebih pada kekuatiran status hukum, terutama bagi istri dan anak yang dilahirkannya dari perkawinan tersebut.
331
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
3. Faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur (perkawinan di bawah umur) di Gondanglegi adalah ketakutan orang tua bila anaknya terjerumus dalam perzinaan/pergaulan bebas, Untuk menutupi rasa malu karena sudah hamil sebelum nikah, Keyakinan masyarakat ‚ketakutan kualat menolak lamaran‛, Karena ingin menikah di depan jenazah orang tuannya, Musim panen tiba. Dari beberapa faktor tersebut, faktor ketakutan orang tua anaknya terjerumus dalam perzinaan/pergaulan bebas merupakan faktor yang dominan untuk saat ini. Sementara, faktor motif ekonomi untuk meringankan beban orang tua, tradisi perjodohan sejak masa kecil seperti di masyarakat asli Madura tidak terjadi di Gondang legi. Sedangkan faktor penyebab maraknya fenomina perkawinan tidak dicatat di Gondanglegi adalah belum merasa penting memiliki legalitas perkawinan, Usia pernikahan belum mencukupi/perkawinan di bawah umur, kepentingan poligami atau masih ada ikatan hukum dengan pasangan sebelumnya, Kawin lari karena tidak disetujui orang tua, menutupi aib yang pada mumnya karena hamil sebelum nikah, dan faktor ingin menikah di depan jenazah orang tuannya, sementara tingginya biaya nikah tidak menjadi faktor utama karena biaya nikah bagi orang miskin bisa gratis. 4. Praktik perkawinan di bawah umur (perkawinan di bawah umur) dan perkawinan tidak tercatat (perkawinan tidak dicatat), bagi masyarakat Gondanglegi merupakan fenomina yang umum dan bukan merupakan aib bagi seseorang yang melakukannya. Bahkan pihak aparat pemerintah seperti Urais Kementrian Agama Kabupaten, KUA, dan Desa, meskipun mereka merasa prihatin akan
332
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
fenomina tersebut tetap memakluminya. Sementara kalangan ulama/tokoh masyarakat, meskipun mereka menyadari akan dampak yang mungkin timbul dari kedua praktik pernikahan tersebut tetapi mereka tetap melakukan atau minimal membiarkan karena secara agama (syariah) menurut mereka diperbolehkan terlebih bila kondisinya sangat emergensi (dharury). 5. Untuk menanggulangi terjadinya dua bentuk perkawinan tersebut aparat pemerintah telah melakukan kegiatankegiatan seperti sosialisasi, dan nikah- itsbat masal tetapi hingga saat ini belum berjalan dengan baik. Bahkan, meskipun kegiatan semacam itu pernah diadakan tetapi tidak dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Sedangkan tokoh masyarakat/kyai merasa tidak ada kewajiban untuk melakukan penanggulangan karena semua itu mereka nilai menjadi tugas aparat pemerintan. Sementara aparat desa yang seharusnya menjadi garda depan penanggulangan penyimpangan administrasi perkawinan tersebut, justru kadang menjadi pihak yang memfasilitasi atau memberikan kemudahan administratif untuk memanipulasi persyaratan perkawinan, sehingga dengan mudah anak yang belum cukup usia bisa melangsungkan perkawinan dengan memanipulasi usia, atau orang yang tidak pernah melangsungkan perkawinan dicatat tapi bisa membuat kartu keluarga dll.
333
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Wasian, ‚Akibat Hukum Perkawinan Sirri (tidak dicatatkan) Terhadap Kedudukan Istri, Anak, dan Harta Kekayaaan: Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan‛, Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2010. Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Hukum di Indonesia,Jakarta: Ghalia Indonesia: 2002 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1995 Dwi Rifiani, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal De Jure Volume 3, Nomor 2, Desember 2011 diterbitkan P3M Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, New York: W.W. Norton & Company, 1998 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2003 Sofia Hardani, Perkawinan Anak di bawah Umur Dalam Perspektif Islam, Jurnal Marwah, Volume VII, Nomor 1, Juni Th. 2009, diterbitkan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Sutan Syarif Kasim Riau
334
Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Malang ...
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2008 Situs Badan Statistik Kabupaten Malang, http://malangkab. bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/43-materi-dda/ 122-geografi-dan-iklim Badan Statistik Kabupaten Malang, Kecamatan Gondanglegi Tahun 2011 Data Daftar Laporan Perincian NTCR Tahunan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Malang Tahun 2010Sept 2012 Data Perkara Dispensasi Nikah Pengadilan Agama Kab, Malang Tahun 2010- September 2012 Data Perkara Pengesahan Nikah Pengadilan Agama Kabupaten Malang Tahun 2010- September 2012 Peraturan Perundang-Undangan Bidang Hukum Perkawinan; Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 22 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, talak, dan Rujuk dan lain-lain Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/ SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
335
Ah. Azharuddin Lathif dan Muchit A. Karim
336
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
BAGIAN
9
PEREMPUAN DALAM BALUTAN PERKAWINAN YANG TIDAK BERPIHAK: Studi Kritis terhadap Problematika dan Dampak Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Nusa Tenggara Barat Oleh: Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
337
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
338
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
BAB I TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian urvey Sosial Ekonomi Nasional 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 4.500.212 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.183.646 jiwa dan perempuan sebanyak 2.316.566 jiwa. Data tersebut menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Penduduk NTB tergolong miskin. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB tercatat 21,55% atau sekitar 1.009.352 jiwa.270 Realitas ini sangat memprihatinkan karena jumlahnya hampir dua kali lipat rata-rata nasional, yang menurut catatan BPS sampai bulan Maret 2011 penduduk miskin berjumlah 12,49% atau 11,96% di bulan Maret 2012.271 Dilihat dari persentase buta huruf, terdapat 16,51% penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak mampu membaca dan menulis. Persentase tersebut didominasi oleh perempuan, yaitu 20,60%, dan laki-laki 12,06%. Data tersebut menunjukkan kesenjangan gender dalam hal kemampuan baca tulis masih cukup tinggi. Realitas tersebut berimplikasi pada akses 270
271
Sebagaian besar informasi dalam gambaran lokasi penelitian disarikan dari BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, “Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2010”, Mataram: BPS NTB, 2011. Data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, “Maret 2012. Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Mencapai 29,13 Juta Orang”, http://www.bps.go.id/ ?news=940, diakses 13 Oktober 2012.
339
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
dan partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi, khususnya pada jumlah pencari kerja. Kesenjangan tersebut pada gilirannya berakibat pada marginalisasi perempuan di bidang ekonomi. Tingginya tingkat kemiskinan pada umumnya terkait dengan tingkat pendidikan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang dominan di wilayah NTB adalah di bidang pertanian, lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan latar belakang pendidikan atau ketrampilan khusus. Data menunjukkan penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, mayoritas bekerja pada sektor pertanian (47,12%), diikuti dengan perdagangan (17,47%) dan jasa (12,86%). Sisanya bekerja dalam sektor pertambangan dan penggalian, industri, konstruksi, angkutan, komunikasi, listrik, gas, serta keuangan dan lain-lain. Penduduk NTB juga bekerja sebagai pekerja migrant karena terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah asal. Provinsi NTB hingga saat ini merupakan salah satu daerah pengirim TKI terbesar di Indonesia. Jumlah TKI yang terdaftar hingga tahun 2010 mencapai 56.150 orang dengan komposisi 66,62% laki-laki dan selebihnya perempuan. Bidang pekerjaan TKI terbanyak adalah bekerja di ladang (36.988) dan Pekerja Rumah Tangga/PRT (17.693). Data tersebut menggambarkan bahwa TKI selama ini bekerja sebagai pekerja kelas bawah yang tidak memerlukan latar belakang pendidikan tinggi dan ketrampilan khusus. Realitas tersebut menyebabkan TKI rentan mendapatkan perlakuan tidak adil di negara orang. Kondisi ekonomi yang sulit juga mendorong sebagian masyarakat NTB ikut serta dalam program transmigrasi yang telah dicanangkan pemerintah. Jumlah transmigran dari NTB
340
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
pada tahun 2010 adalah 1.972 jiwa dengan 472 kepala keluarga, lebih tinggi dari tahun 2009, yang jumlahnya 986 jiwa dengan 260 kepala keluarga. Realitas tersebut menunjukkan adaya kesadaran masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial dari kemiskinan yang diderita sebelumnya.272 Islam merupakan agama mayoritas yang dipeluk masyarakat NTB (94,8%), yang diikuti dengan Hindu (3.7%), Buddha (0.8%), Kristen (0.3%), Katolik (0.3%), dan Khonghucu (0.1%). Total masyarakat yang menganut agama Islam berjumlah sebanyak 3.940.861 orang, yang terdiri dari 2.093.325 laki-laki dan 1.847.536 perempuan. Urais Kemenag Provinsi NTB juga mencatat jumlah keluarga Sakinah di wilayah tersebut mencapai 1.208.097, yang terdiri dari PraKeluarga Sakinah/Pra-KS (85.757), Keluarga Sakinah 1/KS 1 (473.792), Keluarga Sakinah 2/KS 2 (413.597), Keluarga Sakinah 3/KS 3 (206.827), dan Keluarga Sakinah/KS 3 Plus (26.758).273 Dengan begitu dapat disimpulkan jumlah KS 3 Plus sebagai indikator dari keluarga harmoni baik dari sisi kesejahteraan duniawi maupun ukhrowi masih sangat sedikit dibandingkan Keluarga Sakinah di level lainnya.274 Penduduk usia nikah di NTB tercatat sebanyak 3.003.963, yang terdiri dari 1.451.292 laki-laki dan 1.552.671 272 273
274
BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, “Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2010”, Mataram: BPS NTB, 2011 Kemenag menjelaskan secara rinci definisi dari KS 1, KS 2, KS 3, dan KS 3 plus dalam “Pedoman MotivatorKeluarga Sakinah”, Mataram: Kementrian Agama Kantor Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Bidang Urusan Agama Islam, 2011. Hampir seluruh data tentang gambaran kehidupan sosial keagamaan masyarakat NTB disarikan dari Saleh karim, dkk, Direktori Bidang Urusan Agama Islam kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi NTB 2011, NTB: Kanwil Kemenag RI Provinsi NTB, tidak dipublikasikan.
341
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 72.565 laki-laki menikah di usia 20 tahun ke bawah, dan lebih banyak perempuan yakni 77.634. Untuk usia 21-25 tahun menikah terdapat 870.775 laki-laki dan 931.603 perempuan. Tingkat selanjutnya, usia 26-30 tahun menikah terdiri 362.823 laki-laki dan 388.168 perempuan. Kemudian, mereka yang menikah di usia 30 tahun ke atas berjumlah 145.129 laki-laki dan 155.267 perempuan. Kelompok penduduk yang berusia 10 tahun ke atas berjumlah 3.852.570 orang. Dari jumlah tersebut, menurut data BPS NTB, status perkawinan penduduk tahun 2010 didominasi oleh yang kawin, yaitu sebanyak 56,02%. Sisanya berisikan penduduk yang belum kawin sebanyak 34,83%, dan cerai hidup 3,24%, serta dan cerai mati 5,92%. Sementara itu tingginya jumlah peristiwa nikah dapat dilihat dari data di Kemenag Kota Mataram yang selama 4 tahun jumlahnya mencapai 13.831 kasus. Tabel 1. Rekap Jumlah Peristiwa Nikah/Rujuk Kantor Kementrian Agama Kota Mataram Tahun Anggaran 2008-2011 Tahun 2008 2009 2010
Jumlah Peristiwa Nikah/Rujuk 3108 3731 3536
2011
3456
Total
13.831
Sumber: Data diolah dari Data Peristiwa Nikah/Rujuk Kantor Urusan Agama Islam, Kantor Kementrian Agama Kota Mataram, tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011.
342
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
Berdasarkan jumlah kasus yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama di Mataram selama tahun 2007-2011, terdapat jumlah perkara cerai gugat (12.813), cerai talak (5.056), itsbat nikah (4.624) dan izin poligami (137). Cerai gugat menjadi jumlah terbanyak dalam perkara yang diputus PTA terkait persoalan keluarga di NTB. Tingginya jumlah itsbat nikah juga mengindikasikan adanya perkawinan tidak tercatat yang masih terjadi di NTB (lihat tabel 2). Tabel 2. Perkara yang Diputus pada Pengadilan Agama Se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Mataram Tahun 2007-2011 Perkara
2010
2011
26
40
24
Total 20072011 137
-
2
4
4
11
905 2.096 29 13 311 6 26 3.410
1.096 2.670 28 15 1.762 9 38 5.646
1.091 2.979 42 35 727 16 32 4.966
1.279 3.294 41 21 1.626 13 42 6.344
5.056 12.813 171 97 4.624 44 169 23.122
2007
2008
1. Izin poligami
23
24
2. Pembatalan perkawinan 3. Cerai talak 4. Cerai gugat 5. Harta bersama 6. Penguasaan anak 7. Isbath nikah 8. Dispensasi kawin 9. Wali adhol Jumlah
1 685 1.774 31 13 198 31 2.756
Tahun 2009
Sumber: data diolah dari Laporan Tahunan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, tahun 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011.
Terkait bidang kesehatan, NTB dikenal sebagai salah satu provinsi yang memiliki problem Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA) yang tertinggi di Indonesia. Data BPS Provinsi NTB menunjukkan AKI pada tahun 2010 berjumlah 113 kasus dari jumlah 99.941 pesalinan. Sementara itu, AKA di NTB mencapai 99.941 kelahiran, dan
343
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
bayi yang lahir meninggal berjumlah 608 orang. Jumlah balita yang mengalami gizi buruk mencapai 1.365 dari 534.362 jumlah balita se-NTB. Untuk mengatasi tingginya AKI dan AKA, beragam upaya telah dilakukan pemerintah, di antaranya adalah (1) peningkatan partisipasi masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat di bidang KIA dengan membentuk sistem kesiagaan bersama antara berbagai komponen di masyarakat, dan (2) mengimplementasikan kebijakan pemerintah terkait AKINO (Angka Kematian Ibu Nol) secara efektif dan efisien. Problem sosial lainnya yang masih terjadi di NTB adalah kasus kekerasan. Meskipun belum ada data yang valid tentang jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak versi pemerintah, akan tetapi berdasarkan berbagai sumber dinyatakan kasus kekerasan masih cukup banyak terjadi. Salah satu data yang diperoleh terkait kekerasan anak yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum APIK NTB, terdapat lima jenis kasus kekerasan anak yang tertinggi yaitu penganiayaan (166), perkosaan (150), trafficking (84), penelantaran (81), pencabulan dan pedhofilia masing-masing 68 kasus (Lihat tabel 3):
Jenis Kasus 1. 2. 3. 4.
344
Tabel 3. Jumlah Kasus Kekerasan Anak LBH APIK NTB Tahun 2007-2011
Hamil Tidak di kehendaki Melarikan anak di bawah umur Pencabulan Penculikan
2010
2011
1
4
0
Total 20072011 7
1
13
8
12
34
13 0
1 3
14 2
10 0
68 16
2007
2008
1
1
0 9 0
Tahun 2009
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
5. 6. 7. 8. 9.
Penelantaran Penganiayaan Perkosaan Trafficking Eksploitasi ekonomi 10. Phedhofilia 11. KDRT 12. Menikah di bawah umur
0 35 13 5 0
3 44 19 23 0
43 38 31 20 35
20 15 23 6 0
15 12 8 8 0
81 166 150 84 35
2 1 0
0 0 0
0 0 1
4 0 1
1 0 0
68 1 2
Sumber: LBH Apik Nusa Tenggara Barat 2007-2011
2. Perkawinan di Bawah Umur a. Fenomena Perkawinan di Bawah Umur, Makna Perkawinan, dan Faktor Penyebabnya Menanyakan tentang perkawinan di bawah umur di masyarakat Sasak tampak bukan menjadi sesuatu yang tabu diperbincangkan atau tema yang disembunyikan. Hampir setiap orang yang ditemui akan dengan mudah dan tampak biasa menjelaskan tentang pengetahuan mereka mengenai praktik perkawinan ini di masyarakat sekitarnya. Menurut Peneliti dari IAIN Mataram, Ibu Nur dan Pak Jamal, praktik ini masih banyak ditemui, khususnya di daerah Lombok Timur dan Lombok Barat, salah satunya di Desa Mesangguk. Sedangkan Pak Muallif, pejabat Kementrian Agama Kabupaten menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang masih mempraktikkan perkawinan di bawah umur di daerah Lombok Barat, khususnya di daerah pedesaan seperti Desa Sesela, Desa Midang, Dusun Kekeran di Desa Batu Layar, dan Dusun Kekait di Desa Daye. Beberapa informan lain menyatakan bahwa Desa Sakra Lombok Timur, Desa Jago Lombok Tengah juga masih banyak praktik perkawinan di bawah umur, termasuk
345
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
juga Desa Sade Lombok Tengah, di mana peneliti sempat berkunjung ke sana. Usia perkawinan di bawah umur yang terjadi cukup bervariasi, untuk perempuan berada dalam rentang antara usia 9 tahun hingga 15 tahun namun kebanyakan berada di kisaran usia 14-15 tahun, sedangkan untuk laki-laki, kebanyakan terjadi dalam rentang usia antara 13-18 tahun. Dari berbagai sumber dinyatakan bahwa kebanyakan praktik perkawinan di bawah umur kerapkali terjadi pada pihak perempuan, sedangkan suaminya telah mencapai usia dewasa atau kebanyakan di atas usia 20 tahun. Akan tetapi juga ditemukan perkawinan dimana pasangan suami dan istri sama-sama berusia di bawah ketentuan Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu di bawah usia 16 dan 19 tahun. Didalam melakukan perkawinan, para informan tidak selalu berdasarkan pada tujuan sebagaimana tujuan yang termaktub dalam UU nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Sebagian informan menyatakan bahwa perkawinan dilakukan sebagai bagian dari proses siklus hidup yang harus dijalani atau hanyalah bagian dari takdir yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, tidak ada persiapan khusus untuk hal tersebut, misalnya saja pengetahuan yang dibangun orang tua terhadap anak-anaknya tentang apa yang harus diperhatikan saat akan menikah atau memilih calon pendamping, pengetahuan tentang organ reproduksi, dan lainnya. Secara khusus, beberapa informan perempuan dalam wawancara
346
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
kelompok juga tampak kesulitan menjelaskan apa tujuan mereka melakukan perkawinan, namun pada akhirnya penjelasan yang terungkap dari tujuan perkawinan yang dilakukan adalah untuk melaksanakan peran seks dan peran gender perempuan, di antaranya agar punya anak, untuk mengurus anak, untuk menjadi istri, dan untuk mengurus rumah tangga. Sedangkan informan laki-laki peserta FGD yang menikahi perempuan di usia di bawah umur menyatakan bahwa pernikahan yang dibangunnya ditujukan untuk membangun sebuah keluarga bahagia. Bagi mereka, memilih istri bukan diukur dari usianya, namun dilihat dari kecantikan lahir batinnya. Kecantikan lahir dapat dilihat dari kondisi fisik perempuan, sedang kecantikan batin dapat dilihat dari kesehariannya. Perempuan dianggap baik dan pantas dipinang jika perempuan tersebut rajin membantu orang tuanya dalam menyelesaikan pekerjaanpekerjaan rumah, seperti menyapu, mencuci, atau aktifitas reproduksi lain yang terlihat dalam keseharian. Karena itu, biasanya para laki-laki akan terlebih dahulu mengamati perempuan yang akan dikunjungi (midang) dan memilih perempuan yang rajin mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Durasi waktu untuk mengenali calon pasangan (berpacaran) pun bervariasi, ada yang dalam hitungan hari, bulan, dan tahun. Pilihan waktu merarik275 275
Informasi tentang merarik dapat dibaca lebih lanjut dalam Sagimun dkk., “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan
347
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
(melarikan perempuan untuk tujuan menikah) biasanya muncul dari inisiatif pihak laki-laki yang mengajak si perempuan. Perempuan kebanyakan hanya mengikuti apa yang diminta atau ditawarkan laki-laki, meskipun terkadang tidak didasari oleh kerelaan namun lebih karena perempuan ’terpaksa’ mengikuti ajakan untuk merarik karena takut diputus dari hubungan pacaran yang sedang dijalani. Pengakuan ini diungkap oleh Ana, pelaku perkawinan di bawah umur yang menyatakan bahwa:‛.... (saya) diajak ketemu di depan musholla, saya datang karena khawatir, maunya tamat sekolah dulu, karena waktu itu sudah kelas 2 SMP. (kenapa khawatir?) kan kemarinnya dia sms, bilang kalau tidak datang, mau merarik sama cewek lain.‛276 Hal senada juga diakui oleh beberapa informan perempuan yang menikah di bawah umur lainnya, misalnya Yaya yang mengaku menyesali waktu merarik yang ditentukan suaminya karena saat itu dirinya sudah menjelang ujian kelas 6 SD sehingga terpaksa putus sekolah. Sedang Erni justru tidak tahu kalau akan diajak merarik oleh laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, karena pada waktu itu hanyalah janjian untuk bertemu di tempat orkesan, namun
276
dan Kebudayaan- Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah”, Laporan Penelitian, tahun anggaran 1978/1979. Baca juga laporan penelitian “Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid 1” disusun oleh Team Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat, diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1977. FGD pada kelompok Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012.
348
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
ternyata dibawa langsung ke rumah orang tuanya untuk merarik. Perkawinan di bawah umur ini masih terjadi karena beragam faktor. Dari hasil wawancara dengan tokoh adat, tokoh agama, penyuluh, pejabat di Kankemenag Kabupaten, pegawai Pengadilan Tinggi NTB, dan akademisi, teridentifikasi adanya lima faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, yaitu faktor ekonomi, dekadensi moral, perkembangan teknologi, tekanan sosial budaya, dan kesadaran hukum. Faktor pertama adalah ekonomi. Persoalan keterbatasan ekonomi pada masyarakat Sasak kerap menjadikan mereka dalam situasi yang sulit. Pendidikan yang dienyam hanya terbatas pada pendidikan dasar dan sulit bisa bagi mereka untuk memiliki harapan bersekolah sampai pada jenjang yang diinginkan. Misalnya saja, pada masyarakat Gerung Lombok Barat yang kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh tani musiman dengan penghasilan yang diperoleh tidak pasti. Jika sedang musim panen dan tanam, peluang kerja bagi mereka terbuka, baik untuk laki-laki dan perempuan. Biasanya laki-laki bekerja sebagai pemetik jagung dan penanam jagung, sedangkan perempuan mengupas jagung. Upah yang diperoleh sangat tergantung pada seberapa banyak hasil kerja yang dilakukan. Penghargaan atau upah tidak didasarkan pada kategori jam kerja, namun diukur melalui banyaknya jagung yang dipetik dan dikupas, serta luasnya lahan kebun yang ditanam.
349
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Secara umum, penghasilan yang diperoleh pada kerja musiman ini berkisar antara Rp. 25 ribu hingga Rp. 35 ribu perhari.277 Situasi ini tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Lombok Timur yang pekerjaan musimannya adalah mengupas kacang.278 Akan tetapi jika musim tanam dan musim panen telah lewat, maka penduduk kebanyakan tidak bekerja, atau beberapa di antara mereka mencari pekerjaan lainnya yang peluangnya sangat terbatas. Karena itulah, selepas sekolah di tingkat dasar (SD), maka yang terpikir bagi mereka adalah menikah. Jika perkawinan terjadi di saat mereka belum tamat sekolah, maka putus sekolah menjadi bagian yang tidak bisa dihindari. Pihak sekolah tidak mengizinkan murid yang telah menikah kembali bersekolah, pun sekedar untuk menjalani ujian akhir sekolah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dua informan, Yani dan Elah berikut, Yani: ‚Setelah merarik tidak bisa sekolah lagi, nggak dibolehin sekolah. Kalau ketahuan sudah kawin tidak bisa sekolah lagi, di sini tidak boleh, biar ujian akhir saja tidak boleh‛, Elah, ‚Saya sudah mau ujian akhir, tidak bisa ikut ujian itu. Iya, langsung berhenti gitu‛.279 Faktor ekonomi sebagai penyebab perkawinan di bawah umur ini tidak hanya ditemui pada keluarga 277
FGD pada kelompok Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012 dan FGD pada kelompok laki-laki (suami) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012. 278 FGD pada kelompok Ibu dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012. 279 FGD pada kelompok Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012.
350
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
miskin. Pada keluarga-keluarga dengan kelas ekonomi berkecukupan juga terjadi. Kebanyakan hal ini terjadi pada kelompok keluarga seprofesi, seperti keluarga para penjual emas dan mutiara, dan keluarga para pengusaha taliwang. Menurut Dr. Jamal, menikahkan anak di usia di bawah umur tidaklah menjadi masalah bagi mereka karena mereka telah memiliki jaminan ekonomi masa depan melalui usaha bisnis yang dijalani orang tuanya. Pendidikan formal tidak menjadi factor utama yang diperhatikan. Oleh karena itulah, pada dua kelompok ini akan ditemukan tingkat pendidikan yang tidak tinggi bagi anak-anaknya, bukan karena ketidakmampuan dalam membiayai sekolah, namun karena pendidikan sekolah dianggap tidak menjanjikan jaminan ekonomi di masa depan. Perkawinan ini kebanyakan dilakukan di dalam lingkaran keluarga sebagai salah satu cara agar pengembangan usaha lebih mantab atau kepemilikan harta tidak meluas keluar dari keluarga mereka atau di antara kalangan pedagang seprofesi. Perkawinan antar keluarga ini diakui oleh beberapa penjual emas dan mutiara di daerah Sekarbela Mataram280. Toko-toko emas dan mutiara yang berjajar di sepanjang jalan dapat dipastikan memiliki hubungan kekerabatan atau per-iparan satu sama lain. Meskipun demikian, Muthoharoh dan Izzat --pedagang emas dan mutiara-- menyatakan saat ini 280
Wawancara informal, Penulis Buku dan Penjual Emas Mutiara, Izzat, MA, Sekarbela, 13 September 2012 dan Wawancara informal, penjual emas dan Mutiara, Muthoharah, Sekarbela, 9 September 2012, dan wawancara informal pada dua penjual emas dan mutiara Sekarbela, 4 September 2012
351
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
sudah jarang mendengar perkawinan di bawah umur di kalangan keluarganya, namun mereka mengakui bahwa pendidikan formal bagi anak perempuan belum dianggap penting. Perempuan pada umumnya mengenyam pendidikan hanya sampai pada tingkat SMP atau maksimal di tingkat SMA, setelah itu mereka didorong untuk menikah. Namun sebelum-nya, baik perempuan maupun laki-laki diajarkan memiliki skill untuk menempa, membuat, atau menjual emas dan mutiara. Setelah dianggap cukup mahir dalam keahlian tersebut, maka biasanya mereka akan diizinkan untuk menikah. Faktor kedua yang dianggap menjadi pemicu terjadinya perkawinan di bawah umur adalah karena telah terjadinya dekadensi moral dan pemahaman keagamaan. Menurut salah satu tokoh agama, dinyatakan bahwa anak-anak dari keluarga buruh migrant biasanya kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, sehingga mereka mencari kasih sayang dari laki-laki teman atau kenalannya. Dekadensi moral ini mengakibatkan terjadinya perkawinan yang dilakukan karena telah terjadi kehamilan di luar perkawinan281. Fakta ini diakui cukup banyak terjadi, salah satu yang contoh yang disampaikan adalah seorang informan perempuan di Lombok Barat yang menikah pada usia 15 tahun, dan empat bulan berikutnya melahirkan seorang anak perempuan. 281
Wawancara informal, Akademisi dan peneliti, Dr. Jamaluddin, Makassar, 3 September 2012
352
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
Tuan Guru Munajib, Ketua Yayasan Pesantren alHalimy, Sesela. Lombok Barat menjelaskan adanya hubungan kausalitas antara dekadensi moral pada anak dengan tingkat pemahaman keagamaan dari orang tua. Menurutnya, ketika orang tua memiliki pemahaman agama yang dangkal, maka anak tidak diajarkan nilai-nilai moral agama sejak kecil sehingga kontrol terhadap perilaku anak menjadi lemah. Hal ini terlihat di lingkungan pendidikan yang dikelolanya. Dalam pergaulan sehari-hari, menurutnya, agresifitas sebagian siswi nampak lebih menonjol dari para siswa. Ketika pulang sekolah, ada siswi–siswi yang tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ke tempat lain untuk tujuan tertentu. Biasanya mereka menggunakan sweater untuk menutupi seragam sekolahnya.282 Meskipun masih dalam pandangan normative perempuan dianggap harus pasif dalam berelasi dengan laki-laki, namun penjelasan tersebut menegaskan tentang adanya perubahan perilaku pada remaja yang tidak hanya pada laki-laki saja. Faktor ketiga yang memicu perkawinan di bawah umur adalah perkembangan teknologi yang semakin mudah diakses oleh anak-anak dan remaja. Telephone cellular salah satunya, dianggap menjadi media penghubung yang efektif bagi terjadinya perkawinan di bawah umur. Pihak laki-laki dan perempuan dengan mudah membangun kedekatan emosional melalui telepon genggam tanpa sepengetahuan orang 282
Wawancara mendalam, Tokoh Agama, Tg. H. Munajib, Lombok Barat, 14 September 2012.
353
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
tua. Padahal dalam system adat, terdapat proses midang, yaitu kunjungan atau kedatangan laki-laki ke rumah perempuan untuk melakukan pendekatan atau kesempatan berbicara untuk merencanakan 283 pernikahan dengan si perempuan di tempat yang disebut sebagai berugaq (semacam gazebo terbuka di halaman depan rumah) dengan pengawasan dari sang ayah.284 Dugaan dari tokoh agama dan adat tentang penyalahgunaan telepon selular sebagai media yang memicu terjadinya perkawinan di bawah umur terbukti melalui pengalaman Ana dari Lombok Barat yang menikah pada saat usianya belum mencapai 16 tahun. Ana mengenal suaminya melalui telepon nyasar yang mengajaknya berkenalan, lalu merarik di hari pertama kalinya Ana bertatap muka dengan laki-laki tersebut.285 Selain pemanfaatan telepon selular, kemudahan alat transportasi juga menjadi media yang mempermudah seseorang melakukan merarik untuk kemudian menikah di beberapa hari kemudian. Dengan melakukan perjanjian di suatu tempat, seperti di depan masjid, di tempat konser musik (orkesan), layar tancap, atau di sekolah, perempuan bertemu dengan laki-laki dan melakukan merarik berdua saja. Jika seorang laki283
284 285
Badan Penelitian Sejarah dan Budaya Daerah (1979), Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lihat juga wawancara kepada L.Putria dalam bulletin LBH Bini Paringan, edisi XXVII, Juli-September 2009, Mataram: LBH APIK NTB. Wawancara mendalam, Tokoh Adat, Raden M. Rais, Lombok Barat, 14 September 2012. Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ana, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 13 September 2012
354
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
laki dan perempuan melakukan hal tersebut dan telah melewati malam, maka dalam pemahaman masyarakat, keduanya harus dinikahkan dan dianggap telah siap melakukan perkawinan. Hal ini dianggap sebagai aturan adat merarik yang tidak bisa dilanggar jika tidak ingin mendapat sanksi adat. Pemahaman adat tersebut mengakibatkan orang tua dan masyarakat cenderung ‘terpaksa’ menyetujui merarik yang sudah dilakukan anak-anaknya. Adat ditempatkan sebagai pressure factor terhadap maraknya perkawinan di bawah umur.286 Pandangan ini bertentangan dengan penjelasan tokoh adat, Raden Rais yang menekankan bahwa merarik hanya boleh dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh adat dalam titi tata merarik, yaitu lakilaki dan perempuan sudah saling mengenal, samasama dewasa, melalui proses midang sebelumnya, perempuan dijemput oleh laki-laki bersama keluarganya, yang salah satunya perempuan, dari rumah si perempuan, harus dilakukan pada malam hari, dan ditempatkan di rumah salah satu kerabat atau teman si laki-laki. Dengan demikian, sebenarnya praktik merarik yang banyak dilakukan saat ini melanggar titi tata merarik tersebut dan cukup sulit bagi pemangku adat menerima asumsi bahwa adat menjadi penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur.287 286 287
Wawancara mendalam, Pengulu, H. M. Rizal, Mataram, 13 September 2012 Wawancara mendalam, Tokoh Adat, Raden M. Rais, Lombok Barat, 14 September 2012, lihat juga bulletin LBH Bini Paringan, edisi XXVII, JuliSeptember 2009, Mataram: LBH APIK NTB.
355
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Selain adat, tekanan sosial juga dianggap sebagai pressure factor yang ikut berkontribusi terhadap terjadinya perkawinan di bawah umur. Bentuk tekanan sosial yang ditemukan adalah mitos-mitos, seperti mitos malu yang akan ditimpakan pada keluarga perempuan jika merarik tidak dilanjutkan dengan perkawinan, mitos sial yang akan dilekatkan pada perempuan dan mengakibatkan dirinya sulit mendapatkan jodoh, serta tekanan social pada perempuan untuk menjaga nama baik keluarga288. Meskipun sebagian informan laki-laki mengatakan bahwa mereka tidak lagi mempersoalkan perempuan yang batal kawin, namun bagi mereka mitos tersebut masih terasa hidup, bahkan menurut Raden Rais, ada semacam motto dalam masyarakat yang berbunyi ‚lebih baik ambil janda daripada perempuan yang tidak jadi kawin.‛289 Tekanan sosial tersebut mengakibatkan perempuan yang melakukan merarik atau dikondisikan laki-laki untuk melakukan merarik tidak memiliki pilihan untuk membatalkan rencana perkawinannya. Padahal secara adat hal tersebut dimungkinkan, yaitu di dalam proses adat yang disebut sejati selabar. Namun pada kenyataannya, menurut pengalaman Raden Rais, proses tersebut jarang dilakukan meskipun sudah diusulkan oleh pemangku adat karena keluarga lebih 288
289
FGD pada kelompok laki-laki (suami) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012, dan FGD pada kelompok Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012. Wawancara mendalam, Tokoh Adat, Raden M. Rais, Lombok Barat, 14 September 2012.
356
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
mempertimbangkan mitos malu, aib, dan sial daripada masa depan perkawinan anak-anaknya.290 Selain pemahaman dan praktik merarik yang salah secara adat serta mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat, temuan lain yang menjadi pemicu perkawinan di bawah umur pada masyarakat adalah adanya pandangan anak sebagai investasi dan caracara black magic seperti guna-guna yang dilakukan lakilaki kepada perempuan yang ingin dinikahinya. Gunaguna ini diakui dialami oleh Ani pada perkawinan pertamanya, dengan perantara makanan berupa bakso yang diberi oleh laki-laki yang belum lama dikenalinya. Setelah makan bakso ini, Ani mengaku teringat terus pada laki-laki tersebut, membuatnya tidak bisa makan selama hampir satu minggu dan mendorongnya nekad melarikan diri dari rumah untuk mencari rumah laki-laki tersebut, untuk kemudian memintanya dinikahi291. Situasi-situasi di atas memberi gambaran tentang bagaimana kerentanan posisi perempuan secara budaya dan social telah dimanfaatkan secara tidak tepat. Faktor terakhir yang menyebabkan perkawinan di bawah umur masih terjadi di masyarakat Sasak adalah rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan konsekuensi hukum atas tindakan yang dilakukan. Baik laki-laki maupun perempuan pada umumnya masih belum menyadari pentingnya akta nikah, 290 291
Wawancara mendalam, Tokoh Adat, Raden M. Rais, Lombok Barat, 14 September 2012. Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012
357
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
kecuali hanya untuk memudahkan pembuatan akta kelahiran anak-anak mereka agar bisa sekolah. Hampir semua informan tidak mengetahui bahwa akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA memberikan konsekuensi perlindungan hukum pada kedua belah pihak, baik pihak laki-laki maupun perempuan. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran hukum ini terlihat nyata dalam kasus-kasus perceraian yang diketahui atau dialami para informan pedesaan, dimana kebanyakan dari mereka hanyalah menggunakan cara-cara adat dan tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama sehingga janda tidak memegang surat akta cerai dan tidak memperoleh hak apapun. Biasanya para janda baru mengurus surat cerai saat akan menikah lagi secara tercatat di KUA.292 Perceraian yang diakui beberapa informan sebagai perceraian secara adat, setelah dikonfirmasi pada tokoh adat, ternyata proses perceraian adat yang banyak dilakukan masyarakat tidak sepenuhnya memenuhi aturan adat yang benar. Cara adat yang umum dilakukan hanyalah proses pengembalian perempuan kepada orang tua atau keluarga si perempuan dengan diantar oleh orang tua atau keluarga laki-laki. Akan tetapi, ketentuan adat mengenai pembagian harta yang sebenarnya telah diatur oleh adat tidak dilakukan sehingga hak istri atas harta gono gini tidak diperoleh. Harta yang dibawa pulang hanyalah beberapa barang bawaan sebelum 292
FGD pada kelompok Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012, dan Wawancara mendalam, Petugas P3NTR, Rama (bukan nama sebenarnya), Mataram, 13 September 2012.
358
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
perkawinan saja, bahkan beberapa kasus, tanpa membawa kembali harta bawaannya. Demikian juga yang dialami oleh Ana, Nevi, dan Ani, para informan perempuan, dalam pengalaman praktik perceraian yang dijalaninya secara adat. b. Problematika dan Dampak Perkawinan di Bawah Umur Berdasarkan pengalaman dari para informan perempuan dan laki-laki, perkawinan di bawah umur yang mereka lakukan tidak memberi dampak serius pada persoalan kesehatan reproduksi dan social. Akan tetapi ditemukan adanya dampak kekerasan dalam rumah tangga yang cukup kuat dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual yang dialami perempuan. Karena perkawinan dianggap sebagai bagian dari siklus hidup, maka tidak ada informasi atau pendidikan yang diarahkan pada upaya pengetahuan dan pemahaman tentang perkawinan dan segala hal yang terkait dengannya. Karena itulah, perempuan yang melakukan perkawinan di bawah umur tidak memahami hak dan kewajibannya dirinya dan suaminya dalam rumah tangganya sebagai konsekuensi perkawinan yang dilakukannya. Akibatnya, perempuan merasa shock ketika mengetahui bahwa setelah menikah seorang istri memiliki begitu banyak tanggungjawab secara budaya, tidak hanya sekedar mengurus kebutuhan sehari-hari suami, seperti memasak, mencuci, menyapu dan mengepel rumah, atau mengurusi kerja-kerja produksi seperti memandikan dan memberi makan sapi, akan tetapi juga harus tidur bersama suami dan berhubungan seksual dengan suami.
359
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Adaptasi perempuan atas posisinya sebagai istri tidak hanya membuatnya kaget dan bingung, namun juga merasakan ketakutan hingga beberapa hari. Berikut penuturan informan yang mengakui merasa takut ketika menyadari di malam pertama dia harus tidur bersama dengan suaminya, Ani,‚Saya itu merasa takut sih. Saya nanya sama dia, kak kenapa tidur sama saya, kan biasanya kakak lain kamar. Soalnya kamu udah jadi istri saya. Lho kapan nikah? Tadi kan datang bapak kamu semuanya. Perkawinan siri namanya.293 atau pengakuan Iim yang saat menikah baru mengalami menstruasi yang pertama mengatakan bahwa, ‚Malam pertama takut, dalam seminggu masih takut aja. Pastinya ditanya sama mertua gimana-gimana. Saya cerita sama mertua terus saya dikasih nasehat sama mertua,‛bagaimana pun kamu sekarang gak usah takut karena ini sudah kemauan kamu‛.294 Problem sosial yang dirasakan informan yang menikah di usia di bawah umur adalah gosip-gosip yang tidak nyaman yang diungkapkan oleh masyarakat sekitar. Gossip ini tidak menjadi masalah bagi mereka karena biasanya tidak berlangsung lama dan tidak membuat perempuan atau laki-laki yang menikah di bawah umur merasa dikucilkan secara sosial. Ketika yang menikah di bawah umur adalah perempuan, maka gossip dan cibiran dari lingkungan masyarakat sekitar lebih banyak ditujukan pada perempuan, misalnya ungkapan masih sangat kecil, dugaan adanya kehamilan di luar 293 294
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012. Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Iim (bukan nama sebenarnya), Mataram, 13 September 2012.
360
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
perkawinan, atau lainnya. Masyarakat tidak lagi melihat proses sebelum terjadinya perkawinan, atau cara-cara yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan hingga sampai terjadi perkawinan tersebut. Akan tetapi, munculnya gossip dan cibiran tidak secara umum terjadi pada perkawinan di bawah umur karena sebagian besar masyarakat masih menggunakan ukuran kesiapan perkawinan pada perempuan bukan pada usianya, namun pada terjadinya menstruasi perempuan. Apabila telah menstruasi, maka telah dianggap siap menikah, usia berapapun dia, meskipun pada praktiknya juga kerapkali tidak selalu diperhatikan atau ditanyakan terlebih dahulu. Persoalan kekerasan, khususnya kekerasan psikologis dan kekerasan seksual sangat tampak nyata terjadi pada beberapa informan perempuan yang menikah di bawah umur. Di antaranya adalah Ani, perempuan belia yang pada saat menikah belum mengalami menstruasi. Di malam pertama setelah akad nikah, Ani merasa kaget dan panik saat suaminya mengajaknya berhubungan seksual. Ani menolak dan merasa apa yang dilakukan suaminya sebagai tindakan yang memalukan. Iapun berontak dan karenanya suaminya mengikat kedua tangan dan kakinya di atas ranjang agar suaminya mudah menyetubuhi istrinya. Ani berteriak namun tidak ada yang menolongnya. Kejadian semacam ini terjadi terus selama beberapa bulan sehingga Ani memperoleh pemahaman bahwa demikianlah hubungan seksual yang sebenarnya. Ia baru menyadari bahwa hal tersebut tidak wajar saat suatu malam suaminya tidak mengikatnya dan dia bertanya „mengapa sida (kamu) tidak ikat adik lagi?”.
361
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Suaminya menjawab, “sudah sekian bulan, siapa lagi laki-laki yang mau pada adik?”.295 Dampak dan persoalan hukum yang perempuan atau laki-laki yang menikah di bawah umur secara langsung adalah tidak memungkinkannya mereka memperoleh akta nikah karena belum memenuhi syarat administratif dari negara. Namun fakta di lapangan menemukan bahwa perkawinan di bawah umur yang dilakukan perempuan tidak selalu menghalangi mereka untuk memperoleh akta nikah, karena di antara mereka ada yang bisa mendapatkan akta nikah dengan cara memanipulasi usia. Berdasarkan pengakuan para informan perempuan, biasanya penambahan usia hanya didasarkan pada roman wajah dan dikira-kira usia yang pantas baginya menurut pandangan pencatat nikah. Dari usia 14 atau 15 tahun bisa dinaikkan menjadi 17, 19 atau 20 tahun296. Sebagai bukti administrative pendukung, dapat diupayakan dari surat domisili yang dikeluarkan aparat pemerintah di tingkat RT atau RW.297 Salah satu pengakuan disampaikan Iim yang dengan sengaja menaikkan usianya agar bisa mencatatkan perkawinannya, “Iya denger bahwa batas usia nikah bagi perempuan minimal 17 tahun, makanya waktu saya akad nikah dicuriin usia saya tiga tahun. Baru bisa saya dinikahkan soalnya ada yang bilang saya terlalu kecil gitu. Proses merarik, kita yang merencanakan. Waktu merarik langsung memberitahu ke kepala lingkungan. Kepala lingkungan yang lapor ke RT dan RT lapor
295 296 297
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012 FGD pada kelompok Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 12 September 2012. Wawancara mendalam, Mantan Petugas P3NTR, Roma (bukan nama sebenarnya), Gerung Lombok Barat, 13 September 2012
362
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
ke penghulu. Waktu lapor ke kepala lingkungan kita berdua yang langsung udah mengaku umur 17 tahun.298 Fenomena ini memberikan pemahaman tentang rendahnya data permohonan dispensasi nikah yang ada dalam data PTA Mataram dengan fakta banyaknya perkawinan di bawah umur. Dalam data laporan tahunan PTA Mataram menyebutkan pada tahun 2007, perkara permohonan dispensasi nikah hanya 2 perkara, tahun 2008 terdapat 7 perkara, tahun 2009 terdapat 4 perkara, tahun 2010 terdapat 9 perkara, dan tahun 2011 terdapat 16 perkara.299 Data ini menguatkan informasi di atas, bahwa data usia perkawinan di bawah umur tidak ditemukan karena adanya manipulasi usia kawin pasangan nikah, atau karena perkawinan tersebut tidak dicatatkan sehingga menjadi fenomena gunung es. Pejabat P3NTR yang kami wawancara menyatakan tidak pernah melakukan manipulasi atas usia perkawinan di tempatnya bertugas. Berdasarkan data yang diperolehnya, perkawinan yang selama ini dicatat olehnya selalu memenuhi syarat usia yang ditetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika ada perkawinan yang tidak memenuhi syarat minimal, maka pejabat P3NTR akan menganjurkan untuk mengajukan permohonan dispensasi nikah di pengadilan agama. Memang proses ini akan memakan waktu yang tidak sebentar, karena itu dalam pengalamannya menjadi pejabat P3NTR ini, ia mengakui belum ada kasus dispensasi nikah yang 298 299
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Iim (bukan nama sebenarnya), Mataram, 8 September 2012. Laporan tahunan Rekapitulasi Data Perkara pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2007-2011.
363
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
ditanganinya.300 Penjelasan ini tampak berbeda dengan pengalaman yang diungkapkan para informan perempuan dalam praktik perkawinan yang dijalani mereka. Bagi perkawinan di bawah umur yang memperoleh akta nikah, ternyata tidak menjamin dirinya dapat mengakses hukum dan mendapat perlindungan, apalagi bagi yang tidak memperoleh akta nikah. Sebagaimana telah disinggung dalam beberapa faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, lemahnya pengetahuan perempuan terhadap hak-haknya menjadikan akta lahir tidak memiliki makna yang lebih substantif, selain hanya untuk keperluan administrative pembuatan akta lahir anak hasil perkawinannya. Perkara-perkara perdata terkait harta bersama, nafkah, pengasuhan anak, perceraian, dan kewarisan tidak terlihat dipahami oleh para informan, sehingga dalam perceraianpun perempuan tidak menggunakan akta nikah sebagai modal mengakses hukum. Situasi ini akan turut menyumbang angka perceraian di NTB yang tinggi karena proses perceraian yang sedianya melalui proses konseling di KUA dan proses mediasi untuk tujuan ishlah di pengadilan agama tidak dilakukan. c. Respon dan Pemerintah
Upaya
Keluarga,
Masyarakat
dan
Respon orang tua terhadap perkawinan di bawah umur yang dilakukan anak-anaknya cukup beragam. Sebagian mendukung dan menganggapnya tak masalah, namun sebagian lainnya menolak dan beranggapan bahwa 300
Wawancara mendalam, Petugas P3NTR, Rama (bukan nama sebenarnya), Gerung Lombok Barat, 13 September 2012.
364
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
sebaiknya seseorang menikah setelah mereka berusia matang. Mereka yang mendukung menyatakan perkawinan di bawah umur tidak masalah karena memang itu merupakan kemauan anak itu sendiri, karena sudah jodohnya, atau takdir, atau dianggap lebih baik dari pada melanggar norma-norma agama. Demikian penuturan salah satu ayah, ‚Saya setuju-setuju saja, yang penting sah dari pada berzina‛.301 Dan penuturan salah seorang ibu dari anak yang menikah di bawah umur, ‚Bagi saya menikah muda tak masalah. Karena semua itu takdir, biarkan saja. Gila kita kalau melawan takdir Allah‛.302 Sedangkan orang tua yang tidak menyetujui perkawinan di bawah umur mengaku bahwa sebenarnya mereka tidak ingin anak mereka menikah di bawah umur, tapi mereka terpaksa melakukannya karena tak punya pilihan lain. Rasa kecewa dirasakan para ibu, seperti pernyataan ibu SNH, ibu dari Yani yang merarik satu hari sebelum ujian nasional SMP, menyatakan, ‚Anak saya merarik bagaimana kita bisa tahan. Dia yang mau. Kita sudah ajarkan dia mengaji dan sudah habis kita sekolahkan. Sudah banyak biaya. Dia yang melanggar. Stress saya memikirkannya‛.303 atau pernyataan beberapa ibu yang lain. ‚Saya sebenarnya pengen anak saya sekolah, tapi itu sudah jodohnya. Kalau ingat, anak saya putus sekolah saya jadi
301
FGD pada kelompok Bapak dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012. 302 FGD pada kelompok Ibu dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012. 303 FGD pada kelompok Ibu dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012.
365
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
sedih‛.304 ‚Saya nangis dan marah waktu mengetahui anak saya mau menikah. Kenapa pacarnya tidak mau menunggu sampai dia selesai sekolah? Karena saya ingin dia selesai sekolah dulu. Dia anak pertama, dan saya ingin dia jadi contoh bagi adikadiknya‛.305 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sebagian informan sebenarnya sudah memiliki kesadaran bahwa perempuan perlu memperoleh pendidikan yang tinggi sehingga ke depan mereka bisa memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Mengenai usia minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, hampir semua orang tua mengetahuinya, namun usia menikah yang ideal menurut mayoritas orang tua adalah berusia 30 tahun, dan laki-laki berusia 35 tahun. Alasannya, pada usia tersebut baik perempuan maupun laki-laki sudah mencapai kematangan fisik, mental dan ekonomi. Pada usia 30-an biasanya anak perempuan maupun laki-laki sudah selesai sekolah, dan sudah bekerja sehingga dapat mendukung ekonomi keluarga. Akan tetapi mereka terpaksa mengizinkan anak mereka yang belum berusia 16 tahun menikah karena orang tua meyakini bahwa pembatalan perkawinan bagi anak gadis yang sudah merarik tidak bisa dilakukan karena mereka khawatir anak mereka mengalami depressi atau
304
FGD pada kelompok Ibu dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012. 305 Wawancara, ibu dari perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Sida (bukan nama sebenarnya), Mataram, 15 September 2012.
366
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
sulit mendapatkan pasangan sesuai dengan mitos yang berlaku di wilayah tersebut.306 Respon orang tua tersebut di atas berbeda dengan respon yang ditunjukkan oleh tokoh agama dan tokoh adat yang lebih melihat perkawinan di bawah umur sebagai sebuah masalah. Tuan guru H. Munajib Khalid misalnya, menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur tidak sejalan dengan semangat Islam yang menekankan bahwa perkawinan harus didasarkan kepada kematangan fisik, kemampuan ekonomi dan tingkat pengetahuan agama, bahkan rentan terhadap sejumlah problem rumah tangga. Lebih Jauh, Tuan Guru Munajib menegaskan bahwa perkawinan di bawah umur bertentangan dengan tiga hukum, yaitu hukum agama yang berimplikasi pada dosa, hukum negara berimplikasi pada penjara, dan hukum adat yang dapat berimplikasi pada teralienasi atau terkucilkannya seseorang dari masyarakat karena adanya sanksi sosial.307 Sementara itu, respon tokoh adat terbelah menjadi dua, yaitu tokoh adat yang berada di level elit, dimana pada umumnya mereka memiliki pengetahuan yang tinggi dan memahami secara baik filosofi dari setiap praktik adat; dan tokoh adat di level bawah yang diwakili oleh Kepala Dusun, dimana mereka secara langsung menerapkan praktik adat di masyarakatnya. Berdasarkan 306
FGD pada kelompok Ibu dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012, dan FGD pada kelompok Bapak dari anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, Gerung, Lombok Barat, 11 September 2012. 307 Wawancara mendalam, Tokoh Agama, Tg. H. Munajib, Lombok Barat, 14 September 2012.
367
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
wawancara dengan tokoh adat yang berada di level grassroot, mereka tampak kurang memahami konsepsi dan filosofi adat sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh adat di tingkat elit. Hal ini disinyalir berkontribusi terhadap terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan adat di masyarakat, termasuk adat merarik. Padahal menurut Raden Rais, sebenarnya secara filosofis merarik ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hukum negara. Dalam penjelasannya, Raden Rais justru menegaskan bahwa apabila merarik diterapkan secara benar maka bisa memberikan perlindungan kepada perempuan karena sebenarnya merarik memberikan hak perempuan untuk menentukan pilihan pada pasangan hidupnya. Sayangnya, selama ini merarik sudah mengalami pergeseran makna.308 Oleh karena itulah Raden Rais menegaskan perlunya sosialisasi terkait pemahaman merarik secara benar sehingga perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat dapat diminimalisir di Provinsi NTB. Dalam masyarakat NTB, merarik juga dapat dilaporkan kepada pihak berwajib. Pada umumnya kasus merarik yang dilaporkan kepada pihak yang berwajib adalah kasus-kasus terkait perkawinan yang tidak sekufu baik karena harta, agama, usia, kebangsawanan, sudah dijodohkan, atau penolakan mertua terhadap calon menantu. Namun pelaporan karena penolakan calon pengantin perempuan dengan alasan melanjutkan sekolah tidak ditemukan. Terhadap fenomena ini, kalangan tokoh adat menghimbau agar persoalan seperti ini sebaiknya 308
Wawancara mendalam, Tokoh Adat, Raden M. Rais, Lombok Barat, 14 September 2012.
368
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
diselesaikan oleh lembaga adat, kecuali sudah sampai pada terjadinya tindak pidana, seperti perkosaan. Untuk menekan terjadinya perkawinan di bawah umur, berbagai pihak di NTB seperti pemerintah, tokoh adat, LSM, dan tokoh agama telah banyak melakukan berbagai upaya. Misalnya saja, tokoh adat telah melakukan kerjasama dengan sekolah agar memberikan sanksi bagi orang yang menikahi siswa di bawah umur, melakukan sosialisasi budaya Sasak yang benar dalam bentuk Diskusi Lintas Desa, dan bekerjasama dengan pemerintah dalam mensosialisasikan itsbat nikah. Sosialisasi ini dilakukan karena aturan adat Sasak yang tidak tertulis, banyaknya Kepala Dusun yang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang adat Sasak, dan tidak adanya materi adat Sasak dalam materi pelajaran sekolah dalam muatan lokal sekolah. 309 Upaya yang telah dilakukan pemerintah diwujudkan dalam bentuk beragam kebijakan yang bisa melindungi masyarakatnya, khususnya kaum perempuan dan anak. Dari hasil identifikasi yang sudah dilakukan, terdapat 10 kebijakan daerah yang ditujukan untuk perlindungan perempuan dan anak, yaitu 5 kebijakan di tingkat provinsi dan 5 lainnya di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, pemerintah daerah juga melakukan tindakan kongkrit dalam bentuk kegiatan yang dapat meminimalisir problem perkawinan di bawah umur. Pemda Kabupaten Mataram, misalnya, memberikan dukungan finansial bagi 1000 pasang suami istri yang melakukan isbat nikah di tahun 309
Wawancara mendalam, Tokoh Adat, Raden M. Rais, Lombok Barat, 14 September 2012.
369
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
2010 dan 2011. Sementara itu, Kemenag di tingkat Provinsi juga melakukan program pembinaan gerakan keluarga sakinah dalam bentuk peningkatan pemahaman keagamaan, peningkatan pendidikan agama melalui pendidikan formal, pembinaan remaja usia menikah, pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan gizi, kursus calon pengantin, dan konseling keluarga.310 Kantor Kementrian Agama juga telah banyak melakukan upaya-upaya untuk mengurangi praktik perkawinan di bawah umur. Salah satu contohnya, di KUA Kota Mataram melakukan upaya kongkrit agar perkawinan di bawah umur tidak terjadi. Sebagaimana penjelasan Burhanul Islam, Kepala Kemenag Kota Mataram, KUA Kota Mataram membuat dua model program untuk meminimalisir perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat, yakni program yang bersifat formal dan non-formal. Program formal yang dimaksud adalah Isbat nikah gratis bagi 1000 pasangan pengantin pada tahun 2010 dan 2011, dan sosialisasi tentang Nikah dan Rujuk. Sedangkan program yang bersifat non-formal seperti penyuluhan langsung pada masyarakat, sosialisasi melalui majlis taklim dan kelompok-kelompok pengajian lainnya, mengisi seminarseminar terkait perkawinan dini dan perkawinan tidak tercatat, khutbah nikah, dan pertemuan dengan berbagai tokoh se-kota Mataram untuk mendiskusikan beragam problem termasuk isu perkawinan antar agama. Upaya yang dilakukan pemerintah tidak selalu berjalan mulus. 310
Pedoman MotivatorKeluarga Sakinah, Mataram: Kementrian Agama Kantor Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Bidang Urusan Agama Islam, 2011.
370
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
Ada hambatan yang dialami dan ditemui dalam upaya sosialisasi perkawinan di bawah umur, yaitu resistensi dari sebagian masyarakat yang masih terbelenggu oleh mitos; Kepala Dusun, Kepala Kampung dan Ketua Rukun Tangga yang masih memegang kuat tradisi pra-prosesi perkawinan yang terkadang membutuhkan biaya yang sangat besar. Disamping pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama, upaya menekan praktik perkawinan di bawah umur juga dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satunya adalah LBH APIK Nusa Tenggara Barat yang memiliki focus perlindungan pada perempuan dan anak. Upaya yang dilakukan berorientasi pada 3 (tiga) sasaran, yaitu secara struktur memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum agar lebih responsif dan berpihak pada korban, secara substansi mendesakkan peraturan dan kebijakan di tingkat daerah untuk melahirkan Perda dan kebijakan yang adil terhadap perempuan, dan secara kultur memberikan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat untuk lebih memahami hukum yang berkeadilan gender. Secara khusus dalam hal perkawinan di bawah umur, LBH APIK melakukan sosialisasi dan penyadaran melalui cara-cara yang sangat beragam, seperti melalui Pentas Seni,311 Festival Musik, Talk show, Dialog Publik,312 Workshop dan Lokalatih pada tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh pemuda dan 311 312
“Melakukan Perubahan dengan Elegan”, Buletin Bini Parigin, Edisi ke-27, JuliSeptember 2009, h.9. “Melakukan Perubahan dengan Elegan”, Buletin Bini Parigin, Edisi ke-27, JuliSeptember 2009, h. 8.
371
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
NGO, dan berbagai bentuk pelatihan paralegal untuk klien, mitra dan jaringan.313 Selain itu, LBH APIK juga membentuk Jaringan Perlindungan Anak se-Pulau Lombok, menerbitkan bulletin dan buku, seminar, membuat Kontrak Politik dengan Kandidat Gubernur NTB tahun 2009 yang kemudian terpilih menjadi Gubernur 2009-2013, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Se-Dunia, dan melakukan penelitian, kajian, serta diskusi. 3. Perkawinan Tidak Tercatat a. Fenomena Perkawinan Tidak Tercatat Sebagaimana perkawinan di bawah umur, masyarakat secara umum menjawab pertanyaan mengenai perkawinan tidak tercatat secara spontan dan tampak tidak menjadi masalah. Beberapa informan yang ditanyai kebanyakan tidak merasa canggung dalam menjelaskan tentang masih banyaknya praktik perkawinan ini di masyarakat. Menurut penjelasan dari Nur, seorang akademisi dari IAIN Mataram, dalam masyarakat Sasak dikenali dua macam perkawinan yang tidak tercatat pada negara, yaitu perkawinan sirri dan perkawinan liar. Perkawinan siri merupakan perkawinan yang tidak diketahui oleh masyarakat luas dan dilakukan secara diam-diam, sementara perkawinan liar adalah perkawinan yang diketahui secara umum oleh masyarakat, namun keduanya sama-sama tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama setempat. 313
“Pelatihan Paralegal bagi Klien LBH APIK NTB” dan Pelatihan Para Legal Mitra dan jaringan, Buletin Bini Parigin, Edisi ke-22, Mei- Juli 2007, h.14-15.
372
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
Kebanyakan perkawinan siri dilakukan oleh PNS, pegawai pemerintah, dan anggota dewan yang berpoligami, sedangkan perkawinan liar dilakukan oleh masyarakat yang menikah di bawah umur dan perkawinan poligami pada masyarakat yang tidak memiliki jabatan structural di dalam pemerintahan, seperti tuan guru atau tokoh adat.314 Data secara statistik tentang perkawinan tidak tercatat tidak ditemukan, namun diyakini oleh beberapa informan sebagai fenomena umum yang hingga sekarang masih banyak terjadi di NTB. Salah satu indicator yang dapat digunakan untuk melihat fenomena ini adalah masih tingginya tingkat permintaan istbat nikah, sebagaimana data perkara yang masuk di Pengadilan Agama se-NTB berikut ini,
314
Wawancara informal, Akademisi dan peneliti, Nur Khaerani, ME, Makassar, 3 September 2012.
373
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Tabel 4. Data Permohanan Itsbat Nikah yang Diterima Pengadilan Agama Sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Mataram
Sumber: data diolah dari Laporan Tahunan Rekapitulasi Data Perkara Pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011
Data di atas menunjukkan masih tingginya permohonan itsbat nikah yang diterima pengadilan agama. Menurut Pak Karyadi, Kepala Panitera Muda Hukum di PTA Mataram menyatakan bahwa perkawinan tidak tercatat pada umumnya masih banyak terjadi di daerah pedesaan, akan tetapi di daerah perkotaan seperti di kota Mataram, kesadaran akan pentingnya perkawinan tercatat sudah mulai tumbuh. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakat perkotaan lebih mudah dalam mengakses informasi
374
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
dan tingkat pendidikannya masyarakat desa.315
lebih tinggi ketimbang
b. Faktor Penyebab, Makna Perkawinan dan Dampak Perkawinan Tidak Tercatat Faktor penyebab perkawinan tak tercatat di NTB cukup beragam, di antaranya karena perkawinan poligami, rendahnya pemahaman pasangan tentang pentingnya akta nikah, dan kemiskinan yang mengakibatkan merasa keberatan dengan tingginya biaya akta nikah dan itsbat nikah. Dalam hal poligami, menurut beberapa informan, tidak dilakukannya pencatatan nikah ini didasarkan pada alasan karena tidak mendapatkan persetujuan dari istri pertama. Poligami ini menurut pengetahuan beberapa informan tidak hanya dilakukan oleh sebagian kalangan tokoh agama, namun juga dari aparat pemerintah seperti anggota dewan, pejabat dan staf pegawai negeri sipil (PNS). Kelompok ini dimungkinkan mengetahui aspek hukum dari perkawinan tidak tercatat dan pentingnya akta nikah, namun tidak dilakukan karena kesulitan mengurus izin poligami yang harus diperoleh dari pengadilan Agama. Sementara bagi yang PNS terikat PP No. 10 tahun tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam perkawinan poligami, karena kesulitan memperoleh izin tertulis dari istri pertama sebagaimana disyaratkan Pengadilan Agama, maka hal yang paling memungkinkan agar dapat berpoligami 315
Wawancara informal, Pejabat PTA, Karyadi MH., Mataram, 11 September 2012.
375
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
adalah dengan melakukan perkawinan tidak tercatat, baik dalam bentuk nikah siri maupun kawin liar. Sebagai contoh, Dr. Jamaluddin bercerita, bahwa dirinya pernah berkunjung bersama beberapa pejabat ke suatu dusun pelosok dan menemui seorang kepala dusun yang memiliki empat istri. Sang kepala dusun tersebut sering menceraikan istrinya yang keempat untuk kemudian menikah lagi dengan perempuan lain dan menjadikannya sebagai istri keempatnya yang baru316. Perkawinan dengan perceraian yang mudah semacam ini hanya dapat dilakukan bila perkawinan dilakukan tanpa dicatatkan, sehingga tidak ada konsekuensi hokum dan perlindungan hokum bagi perempuan mantan-mantan istri kepala dusun tersebut. Namun demikian, tidak semua perkawinan poligami di NTB tidak dicatatkan. Ditemukan juga perkawinan poligami yang dicatatkan. Hal ini terlihat dari data PTA yang memperlihatkan adanya perkara permohonan izin poligami. Jika melihat data dari PTA Mataram, permohonan izin poligami terlihat terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2007 terdapat 38 perkara, tahun 2008 terdapat 41 perkara, tahun 2009 terdapat 59 perkara, tahun 2010 terdapat 80 perkara, namun di tahun 2011 menurun, yaitu terdapat 36 perkara. Belum diketahui berapa jumlah perkara yang
316
Wawancara informal, Akademisi dan peneliti, Dr. Jamaluddin, Makassar, 3 September 2012.
376
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
diputus dalam kategori dikabulkan permohonan izin poligaminya.317 Dalam hal izin poligami, suami harus mendapatkan izin tertulis dari istri pertama bila ia memiliki akta nikah. Namun kenyataannya, suami kadangkala melakukannya dengan cara-cara yang tidak jujur. Misalnya saja yang dialami oleh bibi ipar seorang informan yang dipoligami. Suaminya berpoligami dan berhasil mendaftarkan perkawinan keduanya karena ia memiliki surat izin tertulis dari istri pertamanya. Karena mengetahui akan mendapat kesulitan, sang suami mengatakan kepada istri pertamanya, bahwa ia akan membelikannya sebuah mobil untuknya. Agar mudah dalam upaya balik nama mobil, diperlukan beberapa tanda tangan istrinya. Tanpa curiga, sang istri menandatangi semua berkas dan tanpa memeriksa kembali tumpukan kertas yang diterimanya itu. Ternyata salah satu lembar kertas tersebut berisi pernyataan persetujuan izin poligami dari dirinya. Pengalaman ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara seorang laki-laki memperoleh izin poligami dari istrinya, yang di antaranya dilakukan dengan cara yang manipulative dan memanfaatkan kepercayaan perempuan. Faktor penyebab terjadinya perkawinan tidak tercatat yang berhubungan dengan rendahnya pengetahuan dan pemahaman pasangan tentang pentingnya pencatatan perkawinan memberikan 317
Laporan tahunan Rekapitulasi Data Perkara pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2007-2011.
377
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
gambaran yang tidak berbeda dengan situasi pada perkawinan di bawah umur. Misalnya saja pengakuan Adi, seorang guide wisata dari Desa Sadeh Lombok Tengah yang menjadi desa wisata yang sangat indah. Menurutnya, hampir dipastikan di desanya tersebut tidak ada perkawinan yang dicatatkan. Perkawinan cukup dilakukan di balai adat dengan menghadirkan tokoh adat dan tokoh agama. Sedangkan usia minimal, tidak menjadi perhatian penting karena ukuran seseorang dianggap pantas menikah dilihat dari kemampuan seorang perempuan menenun kain. Ratarata perkawinan perempuan di Desa Sadeh berkisar antara usia 15-16 tahun, dan biasanya dari pihak perempuan juga baru berani menikah ketika sudah bisa menenun karena itulah pekerjaan sambilan perempuan di desa tersebut selain sebagai ibu rumah tangga. Praktik perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di desa tersebut terjadi karena selama ini tidak adanya upaya baik dari pihak pemerintah, NGO, tokoh adat, maupun tokoh agama yang menjelaskan tentang pentingnya perkawinan tercatat. Ia sendiri mengaku tidak pernah mendengar atau menyaksikan penyuluhan atau informasi tentang pentingnya perkawinan dicatatkan di KUA.318 Sedangkan faktor kemiskinan pada perkawinan tidak tercata lebih didasarkan pada alasan tingginya biaya akta nikah di tingkat prakteknya di masyarakat. Menurut Karyadi, sejauh ini dirinya mendengar biaya 318
Wawancara informal, Guide Wisata, Adi, Sade Lombok Tengah, 07 September 2012.
378
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
yang harus dikeluarkan untuk pengurusan akta nikah sekitar Rp. 300.000,-319, jumlah yang lebih tinggi dari biaya resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Ketika dikonfirmasi pada informan perempaun yang menikah dini dan memiliki akta nikah, hampir semua menyatakan tidak tahu secara pasti besar biayanya karena pengurusan akta nikah dilakukan oleh orang tua atau mertua. Namun besaran biaya tersebut dibenarkan oleh petugas P3NTR dan menjelaskan bahwa biaya tersebut sudah termasuk biaya transport dirinya untuk bolak balik ke KUA karena kebanyakan masyarakat desa tidak mengurus semua berkas sendiri ‚maunya terima beres, jadi semua kita yang urus‛.320 Selain penyebab di atas, alasan seorang perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat berbeda satu sama lain. Berdasarkan pengalaman 3 orang perempuan, alasan yang diungkapkan adalah untuk menghindari maksiat, karena dipengaruhi black magic dalam bentuk guna-guna, dan karena terpaksa. Alasan terpaksa ini diakui pada konteks perempuan sudah terlanjur melakukan merarik dan merasa tidak mungkin dibatalkan jika tidak ingin mencemarkan nama baik keluarga atau terkena akibat buruk dari mitos yang dipercayainya. Alasan menghindari maksiat diakui oleh Iim (43 tahun), siswi sekolah Madrasah Tsanawiyah yang menikah di usia 14 tahun dengan laki-laki berusia 23 319 320
Wawancara informal, Pejabat PTA, Karyadi MH., Mataram, 11 September 2012. Wawancara mendalam, Petugas P3NTR, Rama (bukan nama sebenarnya), Gerung Lombok Barat, 13 September 2012.
379
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
tahun. Ia melakukan merarik dua bulan sebelum ujian nasional. Menurutnya, ‚saya menikah pilihan sendiri karena takut godaaan‛.321 Meskipun diakuinya bahwa ketika dirinya berpacaran, berbeda dengan zaman sekarang, karena mereka ‚gak berani pegang-pegangan walaupun hanya berduaan, biasanya, hanya ngobrol-ngobrol di rumah dan jarang pergi jalan-jalan‛.322 Kenyataannya, mereka tetap saja khawatir tergoda untuk melakukan maksiat karena masih kuatnya keyakinan sebagaimana hadis Rasulullah, bila dua orang yang bukan muhrim berdua-duaan maka yang ketiganya adalah syetan. Alasan penggunaan black magic atau diguna-guna ini terjadi pada Risa (35 tahun). Ia sangat yakin bahwa perkawinan keduanya bukan didasarkan saling mencintai, tetapi karena diguna-guna, sebagaimana hal ini juga sangat umum ditemukan di NTB. Risa yang tinggal di Lombok Timur dan sudah tiga kali menikah mengaku sangat selektif dalam memilih calon suami karena kegagalannya pada perkawinan pertama. Namun dirinya merasa aneh karena pada perkawinannya yang kedua, ia menikah tanpa mengenal secara mendalam calon suaminya, padahal ia belum lama menjanda karena suaminya berselingkuh. Risa diperkenalkan oleh temannya dengan seorang laki-laki. Selang seminggu setelah diperkenalkan ia dilamar, dan tanpa berpikir panjang ia langsung menerimanya. Karena dalam 321 322
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Iim (bukan nama sebenarnya), Mataram, 8 September 2012. Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Iim (bukan nama sebenarnya), Mataram, 8 September 2012
380
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
pandangannya, calon mempelai pria cukup tampan. Namun, ia terkejut ketika pesta perkawinan usai, ia menemukan muka suaminya sangat menyeramkan dan sulit untuk digambarkan dengan kata-kata, sampai-sampai ia tak mampu menatap muka suaminya. Sepanjang sore ia tak berani masuk kamar dan terus menerus ketakutan. Sebelum malam tiba, ketika seisi rumah sibuk dengan urusan masingmasing, dengan uang pas-pasan ia menyelinap dan melarikan diri dari rumah mertuanya ke Pulau Jawa, di mana salah seorang familinya tinggal. Dengan pelan ia menuturkan alasannya kabur, ‚Saya tak sanggup membayangkan harus melalui malam pertama dengan suami yang mukanya sangat menakutkan. Jadi saya kabur ke Jawa Timur. Kalau saya pulang ke rumah orang tua, pasti mereka memaksa saya kembali ke rumah mertua dan tinggal dengan suami. Saya gak mau. Akhirnya saya meminta cerai.323 Penggunaan cara-cara black magic di NTB diakui kebenarannya oleh beberapa akademisi dan aktivis gender IAIN Mataram. Masyarakat NTB masih banyak yang menggunakan black magic untuk berbagai tujuan, termasuk untuk mendapatkan calon istri atau meraih jabatan yang lebih tinggi. Untuk tujuan tersebut, sebagian masyarakat meminta bantuan dukun atau orang yang disebut kiyai324 untuk melakukannya.325 323 324
Wawancara mendalam, penjual buku, Risa (bukan nama sebenarnya), PancorLombok Timur, 13 September 2012. Panggilan kiyai di Mataram berbeda dengan yang umum dipahami dalam masyarakat muslim Jawa. Kiyai dalam masyarakat Lombok adalah orang yang dituakan, sesepuh, atau orang yang disegani di masyarakatnya, namun tidak selalu didasarkan pada kedalaman pengetahuan agama. Pada orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, disebut tuan guru, sedangkan
381
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Pada beberapa kasus yang diketahui, perkawinan dengan menggunakan black magic melalui dukun memang menunjukkan keanehan, misalnya sang mempelai yang diguna-guna yang pada awalnya melihat wajah calon pasangannya sangat menawan, tiba-tiba tampak seperti babi atau binatang lainnya pada saat pengaruh black magic tersebut hilang.326 Penggunaan black magic yang mendorong perempuan terpaksa menikah juga dialami oleh Ani (20 tahun) pada perkawinan pertamanya. Bakso dan bunga mawar yang diberikan laki-laki yang pernah ia tolak cintanya, membuatnya tidak bisa makan selama hampir satu minggu dan nekad melarikan diri dari rumahnya di Lombok Timur untuk mencari laki-laki tersebut, yang belakangan diketahui tinggal di daerah Sumbawa. Black magic tersebut membuatnya tak mampu berpikir secara sehat. Berikut penuturannya: ‚Awalnya gak mau nikah sama dia. Saya tolak dia, akhirnya dia pergi ke dukun. Iya, waktu itu dia bilang mau ndak kamu jadi istri saya?Maaf saja saya masih berumur 14 tahun. Ndak apa-apa katanya. Kalau laki-laki itu udah berumur 21 tahun. Akhirnya malam kamis, malam senen sama malam jumat dia bawa bunga. Dia taruh di depan saya. Bunga mawar merah. Terus dia bawain bakso juga. Jangan dikasi siapa-siapa dulu, kamu aja yang makan. Terus
325 326
level di bawahnya disebut sebagai ustadz untuk laki-laki dan ustadzah untuk perempuan. Wawancara informal, aktivis gender dari IAIN Mataram, Nunung, MA. dan akademisi, Dr. Jamaluddin, Mataram, 16 September 2012. Wawancara informal, aktivis gender dari IAIN Mataram, Nunung, MA, Mataram, 16 September 2012
382
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
saya makan. Waktu itu saya belum curiga. Terus malam Jum’at datang lagi dia. Saya bilang kenapa tiba-tiba saya cinta sama kamu. Pas makan bakso, dikasih bunga itu juga, saya terbayang-bayang dia. Waktu itu saya gak pernah mau makan. Inget dia terus hampir satu minggu lebih. Pas habis dia ngasih bakso sama bunga langsung ninggalin saya ke Sumbawa. Akhirnya saya pergi cari dia ke Sumbawa.327 Penggunaan cara-cara kejahatan seperti black magic di atas memberi gambaran tentang bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan secara budaya dan sosial dan sejauh mana posisi rentan perempuan dimanfaatkan untuk kepentingan laki-laki. Alasan ketiga dari informan perempuan yang mengaku terpaksa menikah tanpa mengurus akta nikah karena ia merasa malu sudah merarik. Karena itu, perempuan yang sudah meraarik akan menerima biaya mas kawin sekecil apapun yang penting perkawinan dapat dilangsungkan. Ani misalnya, hanya menerima uang Rp 10.000,- dan setoples permen susu sebagai mas kawin, padahal dirinya tidak menyukai permen susu. Hal ini dimungkinkan karena calon suaminya mengaku tak punya uang. Dengan terpaksa Ani menerima tawaran calon suaminya, Kalau kamu mau 10.000, saya nikah sama kamu. Kalau kamu ndak mau, kamu pulang aja sana. Kalau saya pulang merasa malu sama keluarga karena udah satu minggu menghilang. Akhirnya saya mau dibayar mas kawinnya 10.000 itu. Terus saya
327
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012.
383
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
telpon keluarga saya, suruh mereka ke Sumbawa. Akhirnya keluarga ke Sumbawa, pinjem uang ke tetangga.328 Dalam keterbatasan pengetahuan dan kesadaran hukum, perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat mengaku tidak merasakan dampak, kecuali kesulitan dalam hal pengurusan akta nikah anak. Akan tetapi dari hasil penggalian mendalam melalui wawancara, ditemui dampak perkawinan tidak tercatat terhadap kehidupan perempuan adalah rentannya posisi perempuan dan tidak terlindunginya hak-hak perempuan, khususnya ketika kekerasan fisik, psikis, dan seksual terjadi. Terhadap kekerasan yang dialaminya, sebagaimana pada kasus-kasus yang dialami perempuan yang menikah di bawah umur dan pada perkawinan tidak tercatat, kekerasan yang dialami perempuan tidak mendorong perempuan melakukan perlawanan atas kekerasan yang dialaminya, apalagi melaporkannya ke pihak yang berwajib. Situasi tidak berbeda ini dikarenakan perkawinan tidak tercatat banyak dilakukan oleh perempuan yang masih di bawah umur, sebagaimana pengalaman Ani yang mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual dari suaminya sejak malam pertama, tidak hanya oleh suaminya juga oleh keluarga suaminya. Dalam kisahnya, Ani menuturkan pengalamannya, ‚Saya nangis dari jam 9 sampe subuh, soalnya ndak mau tidur sama dia. Akhirnya dia ngikat pake tali, tangan kaki. Baju saya dirobek. Terus saya teriak, semua 328
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012.
384
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
orang heran, kenapa? soalnya dulu itu masih takut dan belum mens juga. Sakit sih sampe dua minggu. Dalam dua minggu masih lagi gitu, ya tapi tetep saya nangis terus dan setiap malam diiket. Kalau pagi-pagi itu dia buka, jadi dibiarin gak pake baju‛.329 Lebih jauh Ani menceritakan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan pihak keluarga suaminya, termasuk mertua serta kakak dan adik iparnya, ‚Semuanya disuruh sama mertua soalnya kan gak punya kerja. Di sana disuruh nyuci, petik daun, dan lain-lain. Ada tiga orang kakak, baik perempuan dan laki-laki,tetapi mereka gak suka bantu. Kalau saya gak kerja, saya gak dikasih makan,dipukul juga‛.330 Perkawinan tidak tercatat ini disinyalir berkontribusi sangat kuat terhadap fenomena kawin cerai yang terjadi di NTB. Perkawinan tidak tercatat memudahkan proses perceraian yang tidak harus melalui prosedur pengadilan agama. Fenomena ini diakui banyak informan sebagai hal umum yang terjadi. Beberapa sejarah perkawinan informan perempuan yang menikah di bawah umur dan atau perkawinannya tidak tercatat juga membuktikan fenomena tersebut. Di antaranya Nevi, usia 26 tahun, menikah pertama usia 11 tahun, bercerai pertama pada usia 15 bulan perkawinannya, lalu menikah lagi usia 13 tahun dengan seorang duda beranak satu. Pada kehamilan keduanya dituduh selingkuh dan ditinggal 329 330
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012. Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012.
385
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
suami ke Malaysia tanpa kabar selama 8 tahun, akhirnya memutuskan pulang ke rumah orang tuanya. Setelah 15 bulan di rumah orang tuanya, ia menikah lagi yang ketiga, pada saat melahirkan premature Nevi bercerai, dan lima bulan kemudian menikah lagi dengan suami keempat, dan saat ini sedang mempertimbangkan untuk bercerai karena suaminya tidak memberinya nafkah, malah banyak menuntut uang dari dirinya. Nevi juga menjelaskan tentang beberapa teman sebayanya yang sudah menikah berkali-kali, misalnya Eli yang telah menikah 4 kali, Biha pertama kali menikah usia 10 tahun dan saat ini telah menikah 6 kali, serta Minah, teman bermainnya yang telah menikah 12 kali.331 Dampak dari perkawinan yang tidak terencana dengan baik kerapkali berhubungan dengan rendahnya pengetahuan orang tua dalam pengasuhan anak. Hal ini terlihat pada salah satu informan, Iim, misalnya, yang memiliki pemahaman yang minim dalam menjaga kesehatan bayinya. Selama hamil ia tak pernah makan makanan bergizi, suaminya pun tidak mempedulikannya. Sepanjang usia kehamilan dia hanya makan sambal sehari tiga mangkok karena alasan ngidam yang dilakukan sejak anak pertama hingga anaknya yang kelima. Meski suaminya terus menerus mengingatkannya, ia tetap tak berubah. Sikap peduli suaminya hanya dalam bentuk mengingatkan, namun upaya khusus agar istrinya memahami 331
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012.
386
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
pentingnya pemenuhan gizi selama kehamilan tidak banyak dilakukan suaminya. ‚Suami kan marah, nanti kamu sakit perut tapi mungkin itu kan karena pembawaan bayi. Tiga mangkok dibuatin sama ibu saya. Sampe tiga kali sehari makan sambal tapi gak terasa sakit. Sambal saya jilatjilat saja. Saya gak makan sampe saya melahirkan. Makanya kalau saya hamil kayak krempeng. Kalau ada makanan lain langsung muntah. Berat sekali saya hamil, sampe lima kali saya melahirkan. Suami membelikan macam-macam agar dimakan tapi gak mau juga, seperti bakso. Cuma sambel yang enak saya makan. Makanya saya heran kok anak saya cantik-cantik, makanannya sambel aja. Kan dulu pake dukun aja waktu melahirkan, cuma paling periksanya ke Puskesmas. Kemaren anak yang ketiga baru saya rasakan dokter. Semua lahir di dukun bu cuma paling kecil ini lahir sama dokter.332 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, salah satu dampak dari perkawinan tidak tercatat adalah sulitnya mengakses akta lahir anak sehingga anakanak mengalami keterbatasan dalam mengakses pendidikan formal. Karena alasan inilah, Iim dan suaminya baru-baru ini mengikuti program itsbat nikah gratis dari pemerintah agar ia memiliki akta nikah sehingga dapat membuatkan akte kelahiran untuk anaknya yang terakhir. Sedangkan Ani, dengan keterbatasan pengetahuannya soal hukum, mengganggap tidak masalah ketika aparat desa membantunya dalam pengurusan akta lahir anaknya dari hasil 332
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Iim (bukan nama sebenarnya), Mataram, 8 September 2012.
387
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
perkawinannya yang tidak tercatat. Karena ia tidak memiliki bukti perkawinan, maka dalam akta lahir anaknya, Ani mengunakan nama kakak kandungnya, atau paman si anak sebagai nama ayahnya. Padahal pemalsuan data ini berkonsekuensi terhadap berbagai hal lain, seperti kewalian, kewarisan, hubungan perkawinan sedarah, dan konsekuensi hukum lain yang tidak disadari oleh Ani. Dalam memaknai perkawinan, ada perbedaan antara pasangan yang menikah di daerah perkotaan dan pedesaan. Sebagian perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat dan tinggal di wilayah perkotaan, seperti Mataram, sudah memahami dengan baik apa makna perkawinan bagi mereka. Iim misalnya, dengan sangat jelas menyatakan bahwa makna perkawinan baginya adalah ‚untuk membangun keluarga sakinah‛333. Namun Nevi yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Mataram dan berasal dari sebuah desa di Lombok Timur mengalami kesulitan dalam menjelaskan secara baik makna perkawinan. Bagi Nevi perkawinan tampak hanya sebagai cobacoba peruntungan dalam menjalani hidup. Hal ini terlihat dalam pengakuannya yang mengatakan bahwa ‚kawin ya untuk kawin aja, kalau tidak cocok, cerai, … kawin lagi kali ada yang bagus. ….ya nggak minta-minta gini (meminta uang).‛ Saat wawancara dilakukan, Nevi berusia 26 tahun, telah menikah 4 kali dan berencana akan meminta cerai suami keempatnya karena alasan 333
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Ani, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 14 September 2012.
388
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
suaminya kerap memintanya uang. Anak-anak Nevi dari perkawinan sebelumnya dititipkan pada orang tuanya, dan Nevi mengirimkan uang untuk keperluan anak-anaknya dalam jumlah yang tidak pasti, sangat tergantung kondisi uang hasil kerja Nevi di Mataram.334 Sebagaimana perkawinan di bawah umur, problem hukum pasti akan dihadapi oleh pasangan yang menikah tanpa dicatatkan di KUA. Mereka, baik suami maupun istri tidak akan mendapatkan perlindungan di hadapan hukum, khususnya untuk urusan-urusan perdata terkait harta bersama, nafkah, dan kewarisan. Perkawinan model ini juga memudahkan terjadinya kawin cerai yang diakui hingga kini masih banyak terjadi di masyarakat NTB, dengan tanpa adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak pasca perceraian. Perkawinan tidak dicatatkan juga membawa dampak pada anak, tidak hanya karena anak tidak memperoleh akta lahir yang berkonsekuensi akses anak pada dunia pendidikan, namun juga akan berpengaruh pada hak-hak sipil anak lainnya. b. Respon dan Upaya Masyarakat dan Pemerintah Secara umum, respon masyarakat dan pemerintah terhadap perkawinan tidak tercatat tidak terlalu berbeda dengan temuan pada perkawinan di bawah umur. Ada pihak yang menggagapnya tidak masalah karena mengacu pada hukum fiqh bahwa 334
Wawancara mendalam, perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat, Nevi, (bukan nama sebenarnya), Mataram, 8 September 2012.
389
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
perkawinan tersebut sudah dianggap sah menurut agama, namun ada yang menganggapnya sebagai masalah karena dapat menempatkan perempuan dan anak sebagai korban ketidakadilan. Berbagai upaya untuk menekan perkawinan tidak tercatat dilakukan oleh berbagai pihak, meskipun tidak semarak perkawinan di bawah umur. Beberapa upaya yang sudah dilakukan di antaranya adalah sosialisasi yang dilakukan oleh tokoh adat di tingkat desa-desa dalam bentuk diskusi lintas desa dan bekerjasama dengan pemerintah dalam mensosialisasikan program itsbat nikah. Tokoh agama juga melakukan sosialisasi dengan memasukkan pengetahuan pentingnya akta nikah dalam berbagai aktifitas mereka, seperti dalam khutbah jumat, ceramah, dan khutbah nikah. Sedangkan upaya pemerintah berupa mengeluarkan beberapa regulasi (lihat lampiran 1), dan mengadakan kegiatan kongkrit seperti itsbat nikah gratis. Salah satunya pernah dilakukan oleh Pemda Kabupaten Mataram yang mengadakan itsbat nikah gratis untuk 1000 pasang suami istri pada tahun 2010 dan 2011. Program inilah yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan data perkara permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama seprovinsi NTB yang terlihat dalam tabel di atas. Sedangkan upaya dalam bentuk sosialisasi juga dilakukan dalam bentuk kegiatan formal dan non formal di tingkat masyarakat grassroot, seperti penyuluhan langsung, seminar, serta mengembangkan jaringan kerjasama dengan tokoh adat dan tokoh agama.
390
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
Dalam melakukan upaya menekan perkawinan tidak tercatat ini, hambatan dan kendala juga dihadapi oleh pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama. Hambatan yang dialami pemerintah dalam bentuk resistensi dari sebagian masyarakat yang masih menganggap perkawinan secara agama sah berarti sudah tidak masalah. Resistensi juga muncul dari tokoh agama yang masih memegang pandangan fikih tentang poligami sebagai ajaran agama dan tidak boleh diintervensi oleh negara. 4. Interpretasi dan Analisa Dalam fakta yang ada, praktik adat merarik yang dilakukan secara tidak tepat menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap maraknya perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat di NTB. Adat merarik yang sejatinya menjadi media bagi perempuan untuk menunjukkan otonomi dirinya dalam memilih pasangan, telah mengalami pergeseran menuju pemanfaatan kerentanan perempuan secara sosial untuk kepentingan yang tidak berpihak pada perempuan. Konsensus antara laki-laki dan perempuan yang kerap kali diklaim ada dalam praktik merarik tidak sepenuhnya benar, karena dalam proses-proses konsensus tersebut, perempuan kerapkali menjadi bagian yang hanya mengikuti kehendak laki-laki meskipun terkadang perempuan menyadari bahwa hal tersebut merugikan dirinya. Tindakan komunikasi yang terjadi telah gagal mencapai tahap undestanding, sebagaimana penjelasan dalam teori komunikasi Habermas.
391
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Kegagalan ini terefleksi dari bagaimana perempuan diposisikan dalam relasinya dengan laki-laki yang statusnya masih calon suami, maupun ketika telah menjadi suaminya, serta relasinya dengan masyarakat sekitarnya. Dalam relasinya dengan laki-laki suaminya, perempuan kebanyakan ditempatkan sebagai obyek, baik dalam proses memilih maupun dalam praktik-praktik perkawinan dan pasca perkawinan. Dalam relasinya dengan masyarakat, perempuan juga kerap dijadikan obyek gosip dan sindiran, yang menempatkan perempuan seakan-akan sebagai pelaku utama praktik perkawinan di bawah umur dan atau perkawinan tidak tercatat. Padahal, kenyataan kerapkali menunjukkan perempuan hanyalah korban dari sebuah praktik budaya yang terjadi atas kehendak di luar diri perempuan itu sendiri. Karena itulah, dalam perspektif Habermas, tindakan komunikatif yang seharusnya menghasilkan konsensus yang rasional dan legitimate tidak terjadi, karena masing-masing subyek, khususnya perempuan dalam berkomunikasi tidak dapat mengungkapkan pendapat dan sikapnya secara bebas dan tanpa paksaan. Akibatnya, beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi, bahkan hingga terjadinya pemutusan hubungan perkawinan atau perceraian. Dalam posisinya, laki-laki kerap memilih tindakan strategis dalam menentukan perkawinannya. Melalui komunikasi yang dibangun, laki-laki menempatkan perempuan sebagai obyek yang kehadirannya dimanfaatkan untuk kepentingan strategis yang direncanakan laki-laki. Dalam konteks ini, perempuan sebagai pendengar diposisikan secara tidak setara karena
392
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak ungkapan yang dikemukakan laki-laki. Menurut Habermas, hal ini dimungkinkan karena laki-laki sebagai pembicara/aktor memanfaatkan norma-norma sosial dan ekpressi subyektifnya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakannya. Dalam konteks ini, laki-laki memanfaatkan kelemahan perempuan yang tidak memiliki bergaining power untuk tujuan yang diinginkannya. Hal ini tampak dapat dipahami dalam perspektif Habermas yang menjelaskan bahwa pada tindakan strategis, seseorang dapat menggunakan bahasa bukan sebagai medium untuk menumbuhkan ‛pemahaman‛ dan ‛upaya mempengaruhi‛ sehingga mencapai tujuan intersubyektif, akan tetapi sebagai alat untuk memaksakan kehendak. Pemaksaan kehendak ini dilakukan melalui kata-kata maupun dengan tindakan kekerasan untuk mencapai hal yang tampak sebagai sebuah konsensus dalam praktik-praktik perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat.
393
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
394
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
P
enelitian ini menyimpulkan beberapa poin utama yang muncul sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang dikemukakan sebelumnya, yaitu:
1. Fenomena perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat masih banyak terjadi di masyarakat NTB, umumnya pada masyarakat pedesaaan. Sementara pada masyarakat perkotaan sudah terjadi perubahan karena kesadaran masyarakat untuk menikah di usia dewasa telah mulai tumbuh. 2. Perempuan yang menikah di bawah umur dan tidak tercatat memaknai perkawinannya beragam. Sebagian besar informan memahami perkawinan sebagai bagian dari proses natural kehidupan manusia atau bagian dari takdir yang harus dijalani. Pemahaman ini berimplikasi pada minimnya perhatian orang tua untuk melakukan transfer pengetahuan dan pengalaman terkait kesiapan perempuan dan laki-laki dalam menghadapi perkawinan. Sebagian lainnya memahami perkawinan sebagai sarana untuk melaksanakan peran seks dan peran gender mereka sebagai istri, seperti kerja-kerja reproduksi, merawat dan membesarkan anak serta mengurus rumah tangga. Hanya sebagian kecil yang menyatakan makna perkawinan sebagai upaya untuk membangun keluarga sakinah.
395
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
3. Faktor penyebab perkawinan di bawah umur di antaranya: (a) faktor ekonomi, (b) meningkatnya dekadensi moral, (c) perkembangan teknologi dan alat transportasi, (d) tekanan sosial budaya, dan (e) lemahnya kesadaran hukum. Khusus untuk aspek budaya, merarik seringkali dianggap sebagai faktor determinan bagi maraknya perkawinan di bawah umur. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat terhadap filosofi merarik yang sebenarnya. Padahal kalangan agamawan dan tokoh adat meyakini bahwa bila merarik diterapkan secara benar, maka perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat dapat dihindari. Sementara, faktor penyebab perkawinan tak tercatat yaitu (a) sulitnya mendapatkan izin poligami dari PA, (b) rendahnya pemahaman pasangan tentang pentingnya akta nikah, dan (c) kemiskinan yang menyebabkan mereka tidak mampu membayar biaya akta nikah 4. Problematika dan dampak perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat, diantaranya adalah: a. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual, yang kebanyakan korbannya adalah perempuan. b. Perempuan dan laki-laki tidak memahami hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga sebagai konsekuensi dari perkawinan. Khususnya pada perempuan, kenyataan yang harus dihadapi pasca perkawinan menjadikan perempuan merasa schock saat mengetahui banyaknya peran budaya yang harus dilakukan, termasuk juga hal-hal yang terkait dengan relasi hubungan seksual dengan suami.
396
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
c. Secara hukum, mereka tidak dapat memperoleh akta nikah karena belum memenuhi syarat administratif dari Negara, kecuali telah melakukan prosedur hukum di pengadilan agama. Namun faktanya sebagian besar pelaku perkawinan di bawah umur tetap memperolah akta nikah karena adanya manipulasi usia dalam data perkawinan yang ada. d. Tidak ditemukan adanya dampak perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat terhadap kesehatan reproduksi sebagaimana selama ini diasumsikan, meskipun hal ini penting dilakukan kajian lebih lanjut. 5. Respon orang tua pelaku kedua jenis perkawinan tersebut adalah sebagian mendukung dan menganggapnya tak masalah, karena itu sudah takdir dan merupakan pilihan anak itu sendiri. Hal utama yang menjadi perhatian orang tua adalah perkawinan anak-anaknya telah sah menurut agama. Namun, sebagian lainnya menolak dan beranggapan bahwa sebaiknya seseorang menikah setelah mereka berusia matang. Karena itu, mereka terpaksa menyetujui karena anak gadis mereka sudah merarik. Demikian pula, respon tokoh adat dan tokoh agama terbagi menjadi dua pendapat. Tokoh agama, seperti tuan guru dan tokoh adat yang berada di level elit, pada umumnya menganggap kedua jenis perkawinan tersebut sebagai masalah. Sementara, tuan guru dan tokoh adat di level bawah tidak menganggap itu masalah. Respon pejabat pemerintah pada umumnya menganggap perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat merupakan masalah yang cukup serius. Karena itu, untuk
397
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
meminimalisir kedua jenis perkawinan tersebut pemerintah daerah baik di level provinsi maupun kabupaten dan kota membuat beragam kebijakan untuk melindungi masyarakatnya, khususnya kaum perempuan dan anak. Pemerintah daerah juga mengadakan program itsbat nikah gratis dan penyuluhan kepada masyarakat melalui beragam media. Sementara itu, tokoh adat telah melakukan kerjasama dengan pihak sekolah agar memberikan sanksi bagi orang yang menikahi siswa di bawah umur, mengadakan diskusi lintas desa, dan bekerjasama dengan pemerintah dalam mensosialisasikan itsbat nikah. B. Rekomendasi 1. Pemda perlu mengintegrasikan pengetahuan tentang adat perkawinan Sasak yang tepat dan benar ke dalam materi pelajaran Muatan Lokal (Mulok) sehingga perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat dapat diminimalisir. 2. Pemda perlu meningkatkan sinergitas program dengan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan NGO dalam meminimalisir perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat, sehingga program yang dilakukan dapat berjalan efisien dan efektif. 3. Pemda harus menindak secara tegas pada pelaku pemalsuan data perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat serta memproses secara hukum. 4. Pemda perlu bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh adat untuk membuat buku panduan teknis pelaksanaan adat perkawinan Sasak dan mendorong para pejabat di
398
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
level grass root seperti Kepala Dusun, dan Kepala Kampung, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya untuk mentaati dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. 5. Pemda, tokoh agama, dan tokoh masyarakat perlu melakukan sosialisasi intensif kepada masyarakat, khususnya orang tua, terkait upaya membangun komunikasi dan relasi yang baik antara orang tua dengan putra-putri mereka dan memberikan penjelasan lebih dalam tentang dampak perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat bagi perempuan dan anak. 6. Sebagian tokoh agama menyatakan bahwa merarik tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetapi selama ini merarik sudah dipahami secara keliru. Karena itu, tokoh agama dan tokoh adat perlu mensosialisasikan praktek merarik yang sebenarnya, sehingga merarik tidak merugikan perempuan atau kelompok marginal lainnya. 7. Kementrian agama perlu mempertimbangkan biaya nikah tercatat bagi praktik perkawinan yang ada di daerahdaerah dimana akses penduduk terhadap KUA cukup jauh atau sulit atau pada pasangan nikah dengan ekonomi terbatas. Perlu adanya pelayanan perkawinan di luar kantor KUA yang bebas biaya bagi kelompok-kelompok tersebut sehingga praktik besaran biaya yang memberatkan masyarakat tidak terjadi. 8. Kementrian agama dan pemerintah daerah perlu bekerjasama untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat, khususnya berkaitan dengan perlindungan hukum negara yang dijamin melalui kepemilikan akta nikah.
399
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
400
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
DAFTAR PUSTAKA ‚Melakukan Perubahan dengan Elegan‛, Buletin Bini Parigin, Edisi ke-27, Juli-September 2009, h.9. ‚Melakukan Perubahan dengan Elegan‛, Buletin Bini Parigin, Edisi ke-27, Juli-September 2009, h. 8. ‚Pelatihan Paralegal bagi Klien LBH APIK NTB‛ dan Pelatihan Para Legal Mitra dan jaringan, Buletin Bini Parigin, Edisi ke-22, Mei- Juli 2007, h.14-15. LBH Bini Paringan, edisi XXVII, Juli-September 2009, Mataram: LBH APIK NTB. George Ritzer dan Barry Smart, Hand Book Teori Sosial, terj. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie dan Waluyati, Bandung: Nusa Media, 2011, h. 400-401. Hardiman, F. Budi, Demokrasi Libertatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Gabermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009 ‚Pedoman MotivatorKeluarga Sakinah‛, Mataram: Kementrian Agama Kantor Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Bidang Urusan Agama Islam, 2011. Badan Penelitian Sejarah dan Budaya Daerah (1979), Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lihat juga wawancara kepada L.Putria dalam bulletin LBH Bini Paringan, edisi XXVII, Juli-September 2009, Mataram: LBH APIK NTB.
401
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, ‚Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2010‛, Mataram: BPS NTB, 2011. Komnas Perempuan, ‚Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kepada CEDAW Komite Mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia, 2007-2011, 10 Oktober 2011. Komnas Perempuan, ‚Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kepada Komite CEDAW Mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia, 2007-2011‛, 10 Oktober 2011. Poin 64. Laporan tahunan Rekapitulasi Data Perkara pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2007-2011. Laporan tahunan Rekapitulasi Data Perkara pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram tahun 2007-2011. Pedoman MotivatorKeluarga Sakinah, Mataram: Kementrian Agama Kantor Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Bidang Urusan Agama Islam, 2011. Sagimun dkk., ‚Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan- Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah‛, Laporan Penelitian, tahun anggaran 1978/1979. Saleh karim, dkk, Direktori Bidang Urusan Agama Islam kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi NTB 2011, NTB: Kanwil Kemenag RI Provinsi NTB, tidak dipublikasikan.
402
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
Team Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. ‚Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid 1‛. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1977. LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Tabel 1. Jumlah dan Kategori Informan No
1
2
Jenis Pengambilan Data
Wawancara Kelompok (FGD)
Wawancara Mendalam
Kategori Informan Orang Tua dari laki-laki dan perempuan yang mempraktikkan perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat Suami dan Istri yang mempraktikkan perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat Perempuan yang mempraktikkan perkawinan di bawah umur dan tidak tercatat Tokoh masyarakat, adat dan agama Aparat Pemerintah (kankemenag, penghulu, petugas P3NTR, kepala dusun, panitera muda PTA, pegawai KUA) Lain-lain (aktifis, akademisi, masyarakat
L
P
3
7
3
7
0
4
4
0
5
0
2
1
403
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
3
Wawancara Informal Jumlah
umum) Aparat/mantan aparat pemerintah Tokoh agama Lain-lain (aktifis, akademisi, masyarakat umum)
Ket. L= Laki-laki, P=Perempuan
404
1
1
0
1
5
4
23
25
Perempuan dalam Balutan Perkawinan yang Tidak Berpihak: Studi Kritis terhadap ...
LAMPIRAN 2 Daftar Peraturan dan Perundangan untuk Perlindungan Masyarakat, khususnya Perempuan dan Anak Tingkat Provinsi 1. Peraturan Daerah Provinsi NTB No. 2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pencegahan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan, 2. Peraturan Daerah Provinsi NTB No 10 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, 3. Peraturan Gubernur NTB No. 28 tahun 2009 tentang Mekanisme Penyelenggaraan Pencegahan, Penanganan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan Pada Pusat Pelayanan Terpadu dan Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di provinsi Nusa Tenggara Barat. 4. Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat No 29 tahun 2009 tentang Gugus Tugas, Susunan Pusat Pelayanan Terpadu Peran Serta Masyarakat dan Tata Cara Pengawasan Pencegahan Perdagangan Orang, 5. Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat tentang Pelaksaan Pemotongan untuk Nafkah Anak dan Mantan Istri di Lingkungan Pemerintah Privinsi Nusa Tenggara Barat.
405
Ida Rosyidah dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
PERATURAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 1. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur No. 12 Tahun 2006 tentang Penempatan, Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Kabupaten Lombok Timur, 2. Keputusan Bupati Lombok Timur tentang Pembebasan Biaya Visum Et Revertum untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, 3. Keputusan Bupati Lombok Timur tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Kabupaten Lombok Timur Tahun 2006, 4. Keputusan Bupati Lombok Timur tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu terhadap Perempuan dan Anak Kabupaten Lombok Timur Tahun 2009-2014, 5. Keputusan Bupati Lombok Timur tentang Penghapusan Perempuan terhadap Perempuan dan Anak (PKTPA) Pada Pondok pesantren Hamzanwadi NW pancor, Syaikh Zainudin NW Anjani dan al-Istiqomah Desa Suralaga Kabupaten Lombok timur tahun 2009.
406
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
BAGIAN
10
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI KABUPATEN BALANGAN DAN AMUNTAI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: Fauziah
407
Fauziah
408
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
BAB I GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
S
ecara geografis, Kota Banjarmasin dibelah oleh sungai Martapura dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa. Kota ini juga terkenal dengan julukan kota ‚seribu sungai‛ dikarenakan banyaknya sungai yang malang melintang membelah kota ini. Sungai ini tidak hanya menjadi sarana transpotasi tapi juga merupakan urat nadi kehidupan masyarkat dimana budaya masyarakat Banjarmasin adalah budaya masyarakat sungai. Sebab sungai yang menyebabkan Banjarmasin sempat Berjaya dimasa lampau. Amuntai adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Utara, salah satu dari 14 Kabupaten/kota yang ada di Kalimanatan Selatan. Kabupaten ini memilik luas wilayah 892,7 km² atau 2,38% dari luas provinsi Kalimantan Selatan dan Kota ini mempunyai motto sebgai kota bertakwa dan memiliki lambang kubah yang mengambarkan ketakwaan kepada Tuhan Yang maha Esa, kesucian hati untuk melaksnakan segala perintah dan larangan-Nya. Selanjutnya Mihrab melambangkan kepemimpinan yang jujur dan berwiabwa, ketaatan kepada pemimpin yang benar dan ketabahan dalam menghadapi segala kesulitan. Jumlah pemeluk beradasarkan agama: Islam 222.741 orang, Kristen 40 orang, Hindu 3 orang, Budha 14 orang untuk Katholik dan Khonghucu tidak ada pemeluk.335
335
KUA Kab Amuntai
409
Fauziah
Kabupaten Balangan terletak di bagian utara Provinsi Kalimantan Selatan. Dari Kota Banjarmasin, dengan jarak lebih kurang 215 kilometer di sebelah utara,Kabupaten Balangan dapat dicapai setelah melalui beberapa kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan: Banjarbaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah. Kabupaten ini merupakan daerah transit. Balangan menjadi tempat persinggahan perjalanan antarkota dari Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah menuju Kalimantan Selatan, maupun sebaliknya. Secara administratif, Kabupaten Balangan berbatasan dengan: Kabupaten Tabalong di sebelah utara, Kabupaten Kota Baru dan Kabupaten Paser (Kalimantan Timur) di bagian timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah di sebelah selatan, dan Kabupaten Hulu Sungai Utara di bagian barat. Berbicara Kabupaten Balangan, pasti akan ingat di sana terdapat sebuah bendungan mini yang disebut warga setempat sebagai ‚tabat Basar.‛ Mengapa lokasi ini begitu dikenal, bukan saja sebagai objek wisata, tetapi juga sebagai lokasi irigasi sederhana pedesaan, sekaligus sebagai berkembangbiaknya, ikan sungai dan rawa. Tetapi melalui buah karya tetuha masyarakat Inan yang kala itu sekitar 30 tetuha kampung membuat bendungan sederhana yang berhasil menjadi lokasi irigasi pedesaan yang mampu mengairi ratusan hektare persawahan setempat. Bukan saja, ribuan ton padi sudah berhasil diproduksi dari hasil pengairan sederhana, tetapi sudah ribuan kwintal ikan dihasilkan dari hasil produksi tabat basar ini. Kabupaten Balangan mempunyai slogan ‛Sanggam‛ dalam slogan ini sebenarnya merupakan singkatan dari Sanggup Begawi
410
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
Gasan Masyarakat. Artinya, Sanggup Bekerja untuk Masyarakat. Inilah slogan para pemimpin di daerah ini. Kab Balangan memiliki luas wilayah 1.878,3 kilometer persegi. 87% diantaranya berupa daratan. Termasuk di dalamnya, hutan-hutan di Pegunungan Meratus. Sementara sisanya daerah perairan, yang terdiri dari sungai dan rawa-rawa. Ada sekitar 117 ribu jiwa yang berdiam di Balangan. Terdapat delapan kecamatan di Balangan, yaitu Paringin, Paringin Selatan, Batumandi, Lampihong, Juai, Halong, Awayan dan Tebing Tinggi. Halong merupakan kecamatan terluas dengan 659,84 kilometer persegi. Dan Lampihong yang luas wilayahnya 96,96 kilometer persegi, menjadi yang terkecil. Pusat kabupaten berada di Paringin. Monumen Perjuangan Rakyat Balangan dan Pasar Paringin menjadi landmark daerah ini.
411
Fauziah
412
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
BAB II HASIL TEMUAN DAN ANALISIS A. Fenomena Perkawinan di Bawah Umur erkawinan di bawah umur ternyata masih tinggi di Kalimantan Selatan. Bahkan angka tersebut tertinggi di Indonesia. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan Rosihan Adhani kepada wartawan pernah mengungkapkan. Angka pernikahan dini di Kalimantan Selatan mencapai 9 persen. Angka tersebut merupakan angka pasangan yang menikah pada usia di bawah 15 tahun. Menurut data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kalimantan Selatan di atas angka rata-rata nasional. Angka pernikahan dini nasional sendiri hanya 4,8 persen. Menurut Rosihan, tingginya angka pernikahan dini di Kalsel disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi dan budaya, atau lantaran tidak mampu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, banyak diantara pelajar yang memilih menikah. Fakta tersebut, lanjut Rosihan, cukup mengkhawatirkan, pasalnya usia menikah yang terlalu muda membuat risiko kesehatan terutama untuk ibu dan bayi. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, Kalimantan Selatan ternyata membukukan ‚prestasi‛ yang cukup mencengangkan. Provinsi dengan penduduk lebih dari 3,6 juta jiwa ini ternyata menempati urutan pertama angka perkawinan di bawah umut di Indonesia, mengalahkan di Jawa Barat yang pada tahun
413
Fauziah
sebelumnya menempati urutan pertama. Angka umur perkawinan secara nasional masing-masing berbeda-beda. Hasil survey BPS Kota Banjarmasin pada tahun 2010 berkenaan dengan usia perkawianan pertama: No
Kab/Kota
Persentase Usia Perkawinan Pertama 10-16
17-18
19-24
25+
1. 2. 3.
Tanah Laut Kota Baru Banjar
28,49 25,76 27,77
26,95 26,33 26,92
36,21 39,56 36,79
8,34 8,35 8,52
4. 5. 6.
Barito Kaula Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara (Amuntai) Tabalong Tanah Bumbu Balangan Banjarmasin Banjar Baru Kalsel
26,67 37,37 36,72
24,63 23,91 23,76
37,19 33,71 32,36
11,51 4,65 7,15
38,19
24,51
30,45
6,84
31,44
23,14
35,09
10,32
24,05 33,33 43,42 20,25 21,32 28,69
28,24 24,53 22,76 21,51 18,09 24,39
37,60 33,57 27,59 44,62 47,27 37,37
10,11 8,57 6,22 13,62 13,32 9,55
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
B. Makna Perkawinan bagi Pasangan Perkawinan di Bawah Umur Di dalam melakukan perkawinan di bawah umur, pelaku menyatakan bahwa perkawinan merupakan bagian dari ibadah dan sunatullah. Begitu pula jodoh sudah takdir yang ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, tidak perlu ditunda-tunda kalau jodohnya sudah datang dan sudah ada
414
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
yang melamar. Para informan perempuan menjelaskan apa tujuan mereka melakukan perkawinan di bawah umur karena mereka dijodohkan oleh orang tuanya dan untuk berbakti kepada orang tua, ingin membantu orangtua yaitu meringankan beban orangtua. Seringkali anak-anak berada pada posisi yang sulit untuk memilih antara menikah atau tidak. Namun demikian, dalam beberapa kasus anak mungkin memilih menjalani perkawinan di bawah umur daripada harus menghadapi konsekuensi sosial tidak mematuhi tradisi. Sementara bagi orangtua, kalau anak perempuan sudah bisa masak, mengurus rumah sebaiknya dinikahkan karena malu jika menikah terlambat. Menikah dengan laki-laki yang sudah mempunyai pekerjaan dianggap jauh lebih baik. Sedangkan informan laki-laki yang melakukan perkawinan di bawah umur menyatakan bahwa memilih istri yang baik dan sholehah bukan diukur dari usianya. Begitu pula dengan usia pasangan, tidaklah menjadi ukuran untuk mencapai kebahagiaan perkawinan. Menurutnya jika perempuan tersebut rajin membantu orang tuanya dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, menyapu, mencuci, atau mau mengurusi orangtua dan keluarganya sudah layak untuk dijadikan isteri. Menurut beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kabupaten Amuntai dan Kabupaten Balangan, perkawinan dinyatakan sah asal sudah memenuhi ketentuan syariat agama. Namun perkawinan di bawah umur tidaklah dianjurkan karena akan berpotensi terjadinya percekcokan yang akan mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Percekcokan atau konflik dalam perkawinan itu terjadi karena pasangan yang masih berusia muda
415
Fauziah
cenderung emosinya masih labil dan belum matang. Sementara kehidupan dalam perkawinan tidaklah selalu mulus, banyak problem yang dihadapi. Apabila mereka tidak bisa menyelesaikan problem dalam rumah tangganya, mudah mengambil keputusan untuk bercerai. C. Upaya Penanggulangan Perkawinan di Bawah Umur Untuk mengurangi terjadinya perkawinan di bawah umur, telah dilakukan berbagai upaya oleh Kementerian Agama melalui Kepala KUA kecamatan dan penyuluh serta tokoh masyarakat. Upaya tersebut antara lain melalui pembinaan dan sosialisasi tentang problem-problem perkawinan di bawah umur. dan membawa ijazah SD ke KUA. BKKBN dan sikolog juga ikut aktif memberikan penjelasan ke sekolah-sekolah mengenai kesehatan dan alat reproduksi. Selain itu upaya yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perkawinan di bawah umur yaitu membangun sekolah-sekolah. Pada umumnya, anak-anak yang masih sekolah tidak mau menikah muda, Jadi kelanjutan pendidikan sebagai strategi efektif untuk menghindari perkawinan di bawah umur. Selain itu pembinaan kepada orang tua penting dilakukan untuk mendorong dan mengirimkan anaknya ke sekolah, atau ke pendidikan nonformal bagi anak perempuan yang telah drop out sekolah. D. Faktor-Faktor Penyebab Dari hasil wawancara diketahui bahwa yang melatar belakangi terjadinya perkawinan tidak tercatat adalah karena beberapa faktor, seperti budaya tradisi yaitu: 1). Budaya yaitu malu jika menikah terlambat karena takut dibilang tidak laku dan menjadi perawan tua. 2). Perjodohan, orangtua menjodohkan anak perempuannya kalau sudah mendapat
416
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
menstruasi dengan laki-laki yang sudah memiliki pekerjaan supaya bisa meringankan beban orangtua dan bisa membantu keluarga. 3). Kehamilan yang tak diinginkan, terpaksa menikah karena perempuan telah hamil daripada membuat aib keluarga lebih baik dinikahkan. ''Yah mau bagaimana lagi, daripada menanggung malu,'' begitu biasanya ucapan pasrah para orangtua yang terpaksa menikahkan anaknya di usia dini 4). Kurangnya pendidikan dan minat untuk bersekolah. Mereka lebih baik memilih bekerja di kebun karet sebagai penyadap karet yang bekerja hanya beberapa jam dari jam 08.00 s/d 13.00 WIT mendapatkan upah sebesar Rp 50.000,- Rp 100.000,. Karena merasa sudah punya penghasilan mau apalagi selain menikah. Disamping itu juga karena letak sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka sehingga mereka malas meneruskan untuk bersekolah. 5). Kecangihan teknologi seperti internet dan hand phone yang semakin mudah diakses oleh anak-anak dan remaja. Para remaja mudah melihat dan mendapatkan gambar atau tontonan yang berbau sex dan pornografi. 6). Pergaulan remaja, usia sekolah sudah berpacaran sehingga mereka sering tidak masuk sekolah. Khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan orangtua memilih menikahlkan mereka dan putus sekolah. E. Dampak Perkawinan di Bawah Umur Dari pengalaman pelaku perkawinan di bawah umur menurut mereka perkawinan yang mereka jalankan tidak memberikan dampak yang membahayakan pada persoalan kesehatan reproduksi, meskipun diantara informan pernah mengalami keguguran namun menurutnya penyebabnya dikarenakan ia sering mengendarai motor. Namun ditemukan adanya kekerasan dalam bentuk kekerasan psikis, yang
417
Fauziah
dialami perempuan. Karena pelaku memaknai perkawinan adalah ibadah dan berbakti kepada orangtua, maka perempuan yang melakukan perkawinan di bawah umur tidak memahami konsekuensi perkawinan yang dilakukannya. Akibatnya, perempuan merasa shock ketika pertama melahirkan karena rasa sakit yang luar biasa namun tidak berani memberitahu orangtua dan suaminya. Rasa sakit itu hanya dipendamnya sendiri. Idealnya, hamil dan memiliki anak dialami oleh wanita yang sudah cukup umur. Kehamilan di usia remaja membawa risiko yang tidak kecil, baik dari sisi medis maupun psikologis. ''Masalah kehamilan remaja, secara biologis maupun sosial mempunyai dampak yang tidak baik pada si ibu maupun si anak,'' kehamilan pada remaja mengundang risiko terhadap si ibu juga anaknya. Ibu yang hamil saat remaja cenderung mengalami anemia (kurang darah) berat. Ini karena sebelum hamil pun, remaja (sekitar 40-50 persen) sudah anemia. Ibu hamil yang anemia, kesehatannya akan terganggu. Misalnya saja napsu makannya atau ngidamnya menjadi lebih berat, kondisi fisiknya juga akan lemah, dan lain-lain. Selain itu, kalau dia melahirkan, kemungkinan terjadi perdarahan lebih besar. Begitu pun anak yang dilahirkan, ada kemungkinan lahir prematur atau memiliki berat lahir rendah. Sebagaimana diketahui, risiko meninggal pada ibu yang hamil muda/remaja lebih tinggi yaitu 4-6 kali dibandingkan ibu yang berusia 20-30 tahun. Belum lagi jika kehamilan itu terjadi di luar nikah di mana seorang remaja cenderung untuk menggugurkannya (aborsi). Padahal aborsi sama sekali bukan solusi yang aman. Data menunjukkan, kontribusi aborsi terhadap kematian ibu
418
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
mencapai lebih dari 13 persen. Dijelaskan Siswanto, aborsi memiliki banyak efek samping. Jika dilakukan dengan cara kuret dan tidak hati-hati, bisa merusak leher rahim. Dan ini bisa membuat si remaja tadi tidak bisa mempunyai anak karena serviks (leher rahim) membuka terus sehingga ia akan mudah sekali mengalami keguguran.Masalah yang tak kalah berat juga akan muncul jika si remaja putri hamil dalam kondisi rumah tangga yang belum siap. Bukan tak mungkin, dia akan kekurangan gizi. Dan jelas sekali hal ini akan berisiko terhadap janin yang ia kandung. Jika si ibu kurang gizi, hampir bisa dipastikan janin pun tidak akan tumbuh dengan baik. Selain itu dampak dan persoalan hukum bagi pasangan yang menikah di bawah umur adalah tidak memungkinkannya memperoleh akta nikah karena belum memenuhi syarat administratif dari negara. Namun fakta di lapangan ditemukan perkawinan di bawah umur yang dilakukan perempuan tidak selalu menghalangi mereka untuk memperoleh akta nikah, karena di antara mereka ada yang memanipulasi usia. Dari usia 14 atau 15 tahun bisa dinaikkan menjadi 17 s/d 20 tahun. Namun demikian, Kepala KUA menyatakan tidak pernah melakukan manipulasi atas usia perkawinan di tempatnya bertugas. Berdasarkan data yang diperolehnya, perkawinan yang selama ini dicatat olehnya selalu memenuhi syarat usia yang ditetapkan UU. Jika ada perkawinan yang tidak memenuhi syarat minimal, maka dianjurkan untuk mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Namun kebanyakan para pasangan mengambil jalan pintas dengan memalsukan usia dan membuat KTP baru karena alasannya proses untuk mendapatkan dispensasi cukup lama dan memerlukan biaya.
419
Fauziah
Hal lain dikarenakan letak Pengadilan Agama yang cukup jauh karena di Kabupaten Balangan belum memiliki Pengadilan Agama masih bergabung dengan Pengadilan Agama Kabupaten Amuntai. Karena itulah, untuk mengantisipasi manipulasi usia ini, Kepala KUA Balangan mensyaratkan kepada pasangan yang ingin menikah selain mengikuti suscatin juga membawa ijazah SD. Pemerintah perlu memiliki komitmen untuk menanga-ni perkawinan di bawah umur. Perkawinan di bawah umur perlu dilarang oleh hukum dan hukum harus ditegakkan. Masyarakat sering menolak hukum ini, yang menjadikan sulit dipraktekkan. Otoritas penegak hukum perlu ditentukan untuk mengatasi kasus ini dan menyelesaikannya. Mitra dalam menentang perkawinan di bawah umur perlu mendapat dukungan. Unsur-unsur masyarakat yang menolak perkawinan di bawah umur, misalnya organisasi wanita, membutuhkan dukungan untuk menjamin agar mereka memiliki kapasitas untuk bertindak secara efektif dalam melakukan advokasi terhadapnya. Untuk anak perempuan yang sudah menikah, pelayanan harus dikembangkan untuk memberikan konseling kepada mereka mengenai isu mulai dari kekerasan fisik sampai reproduksi. F. Pengalaman Pelaku Pernikahan di Bawah Umur 1. M. setamat dari sekolah dasar menikah pada tahun 1993. Pada saat itu ia berusia 13 tahun dan suaminya berusia 15 tahun. Saat ini mereka sudah memiliki 3 orang anak dan 1 orang cucu. Pernikahannya diawali dengan perjodohan orangtuanya yang sudah tidak sanggup lagi membiayai hidup M dan adiknya. Sehingga orang tuanya terpaksa menikahkan M supaya ada yang mengurusnya dan
420
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
menangung hidupnya. Awalnya dia tidak mau dan sempat melarikan diri kabur dari rumah. Namun ia mendapat kabar ketika ia kabur bahwa orangtuanya jatuh sakit. Karena itu tidak ada lagi pilihan bagi M kecuali menuruti kemauan orang tuanya untuk dinikahkan. Setelah menikah, ia tinggal di rumah mertua. Menurut pengakuannya ia sangat takut sekali ketika melakukan hubungan suami-isteri. Apalagi ketika melahirkan anak pertama rasa sakitnya luar biasa, tetapi ia tidak berani mengadu kepada orangtuanya, sehingga rasa sakit itu ia pendam sendiri. Untungnya untuk urusan mengasuh anak, ia dibantu oleh kakak iparnya. Tapi ia sendiri pernah mengalami keguguran pada kehamilan ketiga pada usia kandunagn masuk 7 bulan. Namun menurutnya kejadian ini dikarenakan ia sibuk bekerja membantu suami mencari nafkah berjualan nasi di pasar. suaminya hanya bekerja sebagai kuli bangunan yang pekerjaaan dan penghasilannya kadang tidak tetap. Ia sebetulnya suka iri melihat teman-temannya bersekolah dan berhasil da njuga sedih karena teman-temannya tidak mau mengenal dia lagi mungkin malu punya teman penjual nasi. Nasmun dibalik kesedihannya ada rasa bahagia karena bisa membantu adiik-adiknya. Kini ia sudah memiliki anak dan cucu. Namun sayang kejadian nikah di usia muda juga dialami anakanya yang masih sekolah di kelas 2 SMU. Ia terpaksa menikahkan anak perempunnya karena sudah punya pacar dan hubungannya sudah sangat dekat dengan kekasihnya dan ia takut anak perempuannya hamil di luar nikah. 2. S. menikah pada usia 16 tahun saat ia duduk di kelas 2 SMU. Suaminya berusia 18 tahun. S memilih menikah
421
Fauziah
karena ia sudah berpacaran cukup lama dengan suaminya. Ketika sekolah ia tidak tinggal bersama orangtuanya karena ia sekolah di Samarinda jadi terpaksa kos. Mereka berpacaran sudah sangat dekat. Akhirnya mereka putuskan daripada jadi bahan gunjingan orang lebih baik mereka menikah. Setelah menikah S tidak lagi melanjutkan sekolahnya. 3. Ibu N menikah tahun 1988 ketika ia berusia 13 tahun tamat dan baru saja menamatkan Sekolah Dasar. Suaminya Ib saat itu berusia 17 tahun dan sekolah kelas 2 Aliyah. Keduanya menikah dengan memanipulasi data menuakan umur mereka supaya bisa dinikahkan. Pernikahan ini diawali dari perjodohan orang tua N. Suaminya Ib melamar dan diterima oleh kedua orang tua N karena meskipun masih kelas 2 Aliyah tapi Ib sudah mengajar di pesantren sehingga dianggap sudah dewasa baik secara fisik maupun psikhis. Uniknya pasangan ini meskipun pernah terancam bubar pernikahannyar karena Bapak Ib menikah lagi, namun pasangan ini kembali harmonis, karena setelah bapak Ib tidak lagi menjabat anggota DPR dia bercerai dengan isteri keduanya. G. Fenomena Perkawinan Tidak Tercatat (nikah sirri) Perkawinan tidak tercatat atau yang popular disebut dengan nikah sirri merupakan persoalan aktual yang patut mendapatkan perhatian serius. Nikah sirri sesuai dengan dengan pengertiannya adalah pernikahan yang tidak memiliki dokumen resmi dari Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil. Perniklahan sirri secara administratif hukum negara tidak diakui, karena tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah sesuai dengan
422
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
perundang-undanan yang berlaku sebagaimana dijelaskan pada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bahkan pernikahan jenis ini dianggap sebuah pelanggaran yang diancam dengan hukuman denda. Pemberlakuan tindak pidana bagi pelaku nikah sirri sebagaimana dalam RUU HMPA Bidang perkawinan yang memberikan ancaman hukuman denda maksimal 6 juta atau kurungan maksimal 6 bulan336 mengakibatkan kisruh di masyarakat dan merupakan polemik yang harus dituntaskan secara arif oleh berbagai kalangan baik para ulama, akademisi, pakar hukum, para aktifis maupun pengambil kebijakan hukum. Salah satu masalah yang urgen dalam melihat permasalahan nikah sirri secara komprehensif adalah mengenai pencatatan nikah. Pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemasalahatan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Karena apabila tidak dicatatkan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain teruatama isteri dan anak-anak. Data-data Perkawinaan. Perkara Yang Putus pada Pengadilan Agama se-Wilayah PTA Banjarmasin No 1. 2. 3. 4. 5. 336
Jenis perkara Pembatalan Perkawinan Cerai Talak Cerai Gugat Isbath Nikah Dispensasi Kawin
Tahun 2009 6
Tahun 2010 3
Tahun 2011 2
946 3220 310 18
1078 3647 640 46
1324 4386 778 115
Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) Bidang Perkawinan pasal 143.
423
Fauziah
6.
Ijin Poligami
7
4
10
Perkara Yang Putus pada Pengadilan Agama Banjarmasin No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis perkara Pembatalan Perkawinan Cerai Talak Cerai Gugat Isbath Nikah Dispensasi Kawin Ijin Poligami
Tahun 2009 1
Tahun 2010 1
Tahun 2011 -
247 827 27 11 -
303 860 34 22 2
324 1031 32 50 6
Kasus Perkawianan yang Masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Amuntai No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis perkara Pembatalan Perkawinan Cerai Talak Cerai Gugat Isbath Nikah Dispensasi Kawin Ijin Poligami
Tahun 2009 -
Tahun 2010 -
Tahun 2011 -
86 510 14 -
91 275 43 1 -
110 392 75 1
A. Makna Perkawinan bagi Pasangan Perkawinan Tidak Tercatat Masyarakat tidak semuanya menganggap negatif perkawinan tidak tercatat. Bagi pelaku perkawinan tidak tercatat umumnya mereka memaknai perkawinan berdasarkan agama dan dianggap sah jika perkawinan mereka telah dilakukan di hadapan kyai/ulama dan keluarga. Namun perkawinan tidak tercatat ini dilakukan karena memiliki alasan-alasan khusus seperti tidak memiliki akta cerai ketika
424
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
ingin menikah lagi dan bagi yang poligami tidak mendapatkan izin dari isteri pertama. Akan tetapi banyaknya perkawinan tidak tercatat yang terjadi di masyarakat dikarenakan masih rendahnya kesadaran untuk mencatatkan perkawinan mereka. Salah satu petunjuk rendahnya kesadaran hukum ini adalah masyarakat kurang mengerti keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari tercatatnya dan kepemilikan buku nikah/kutipan Akta Nikah bagi suami dan isteri. Ada pula keengganan mendaftar ke Kantor Urusan Agama, karena sadar persyaratan perkawinan tidak lengkap, sehingga apabila dibawa ke KUA pasti ditolak. B. Respon Masyarakat terhadap Adanya Perkawinan Tidak Tercatat Tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat menyatakan bahwa perkawinan tidak tercatat sudah memenuhi ketentuan syariat agama. Pada kenyataannya masyarakat memaknai perkawinan sebagai bagian dari syari’at ajaran Islam semata sehingga perkawinan sudah sah jika sudah dihadiri kyai atau ulama dan tidak perlu dihadiri petugas P2N dan dicatatkan, maka pandangan ini perlu diberikan penjelasan karena berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada terdapat akibat/dampak hukum dari perkawinan yang sah yaitu: (1) Timbulnya hubungan antara suami-istri, (2) Timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan (3) Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak. Untuk itu pencatatan perkawinan harus (wajib) dilakukan karena akan ada mudhoratnya yaitu dapat merugikan isteri dan anak untuk menghindarinya lebih aman dicatatkan karena akan terhindar dari adanya kerugian di kemudian hari. Meskipun adanya yang melakukan nikah sirri
425
Fauziah
karena ketidaklengakapan administrasi pernikahan, sehingga seringkali dijadikan alasan. C. Faktor-Faktor Penyebab Adapun faktor penyebab perkawinan tidak tercatat di Kabupaten Balangan dan Kabupaten Amuntai di antaranya: 1. Keyakinan keagamaan, dimana pelaku beranggapan bahwa selama pernikahan telah memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan agama, maka pernikahan tersebut telah mendapatkan legalitas secara agama tidak perlu dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini dikarenakan masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman pasangan tentang pentingnya pencatatan perkawinan. 2. Perkawinan poligami, Dalam perkawinan poligami, karena kesulitan memperoleh izin tertulis dari istri pertama sebagaimana disyaratkan Pengadilan Agama, maka hal yang paling memungkinkan agar dapat berpoligami adalah dengan melakukan perkawinan tidak tercatat, baik dalam bentuk nikah siri. Namun kenyataannya, suami kadangkala melakukannya dengan cara-cara yang tidak jujur. Misalnya saja yang dialami oleh seorang isteri yang suaminya berpoligami dan berhasil mendaftarkan perkawinan keduanya karena ia memanipulasi data. Isteri pertamanya tidak mengetahui kalau ia beralasan dinas sebetulnya pulang ke rumah isteri keduanya karena pada saat itu masih menjadi anggota DPR pada tahun 1999 s/d tahun 2009. 3. Kemiskinan sehingga merasa keberatan dengan tingginya biaya akta nikah. 4). Opini public lebih baik menikah sirri
426
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
daripada berzina, karena sering main ke tempat kontrakan pacarnya daripada masyarakat sekitar terganggu dan berzina memilih menikah sirri karena masih pelajar SMA. 5). Syarat adminstrasi tidak terpenuhi seperti tidak cukup umur atau tidak memiliki akta nikah atau akta cerai bagi yang mau berpoligami. D. Upaya Penanggulangan Perkawinan Tidak Tercatat Upaya untuk menanggulangi terjadinya perkawinan tidak tercatat di masyarakat, maka Kementerian Agama melalui para kepala KUA dan para penghulu selalu berusaha mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan, Para petugas P3N, ‘amil juga tokoh agama pun kini selalu menganjurkan masyarakat jika ada yang meminta bantuan untuk pengurusan perkawinan agar memenuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah dan memberikan pengetahuan pentingnya akta nikah seperti dalam khutbah jumat, ceramah, dan khutbah nikah. tokoh agama bekerjasama dengan pemerintah dan Pengadilan Agama mensosialisasikan program itsbat nikah. mengadakan kegiatan itsbat nikah gratis. Salah satunya pernah dilakukan oleh Pengadilan Agama Balangan mengadakan itsbat nikah gratis pada tahun 2010, 2011 dan 2012. Program inilah yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan data perkara permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kabupaten Balangan. Dalam melakukan upaya menekan perkawinan tidak tercatat ini, masih terdapat hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama. Hambatan yang dialami pemerintah karena sebagian masyarakat masih menganggap perkawinan secara agama sah dan tidak ada masalah.
427
Fauziah
E. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat Perkawinan tidak tercatat memiliki dampak negatif bagi pelakunya terutama bagi istreri dan anak yang dilahirkan. Meskipun dampak akibat perkawinan tidak tercatat bersifat kasuitis namun kenyataannya banyak pasangan kawin tidak tercatat dapat hidup harmonis dan diakui di tengah-tengah masyarakat. Meskipun dampak negatif yang ditimbulkan juga cukup merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum positif maupun sosial. Secara hukum postif, perempuan yang dinikahi tidak tercatat, tidak dianggap istri yang sah menurut hukum negara. Dengan demikian, istri tidak memiliki hak atas nafkah dan warisan jika suami meninggal dunia, isteri juga tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perceraian. Begitupula kerugian terhadap anak yang dilahirkan tidak dicantumkan nama ayahnya karena di dalam akte kelahirannya hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkan. Keterangannya berupa status sebagai anak luar nikah. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat dan anak tidak dapat mewarisi harta dari ayahnya. F. Pengalaman dari Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat 1. Salah satu kader Pekka di amuntai sudah 3 kali melakukan perkawinan tidak tercatatt. Pernikahan sirri pertamanaya dikarenakan usianya yang masih belum cukup baru tamat dari SD. Karena syaratnya tidak terpenuhi ia menikah tidak tercatat. Namun setelah menikah ia kabur dari rumah suaminya. Pernikahan tidak tercatat yang kedua karena dari pernikahan pertama tidak mempunyai akat nikah dan akta cerai. Pernikahannya hanya bertahan 5
428
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
bulan, mereka bercerai karena isteri pertamanya mengetahui dan suaminya takut sehingga menceraikannya. Pernikahn sirrinya yang ketiga juga sama karena tidak mmeiliki akta nikah dan kata cerai. Pernikahan ketiga ini dijalani sampai suamanya meninggal. Namun Ia mnyesali telah menikah tidak tercatat karena ia merasakan kerugian dan tidak ada hasilnya. Hal ini dikarenakan ia telah turut membantu usaha bengkel suaminya yang ketiga tapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari harta peningalan suaminya karena diambil semua oleh anak tirinya. 2. Ani melakukan perkawinan tidak tercatat dengan suami keduanya karena ingin menikah secepatnya karena ia ingin ada yang melindungi dirinya dan memberi nafkah kedua anaknya yang yatim. Dia tidak perduli apakah suaminya saat ini sudah punya istri atau tidak yang penting ia selalu pulang meskipun setiap 2 minggu sekali karena suaminya bekerja di Samarinda dan selalu memberi nafkah.
429
Fauziah
430
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan: 1. Bagi pasangan perkawinan di bawah umur memaknai perkawinan merupakan suatu pilihan yang terbaik untuk beribadah dan mengikuti sunatullah, membantu dan meringankan beban orangtua, menghindari perzinahan akibat bebasnya pergaulan dan penyalahgunaan dari kemajuan teknologi. Bagi merka usia muda bukanlah halangan untuk bahagia atau tidak dalam suatu perkawinan, meskipun usia yang sangat muda dirasakan sangat beresiko pada kesehatan yaitu ketika melahirkan anak dan mendidik anak. Sementara bagi pasangan perkawinan tidak tercatat memaknai perkawinan merupakan urusan agama dan cukup dinikahkan oleh kiyai atau ulama tidakmperlu di catatkan. Namun ada juga yang melakukan perkawinan tidak tercatat karena urusan administrasi mereka tidak lengkap seperti umurnya belum cukup atau karena tidak memiliki akta cerai bagi yang mau menikah lagi. 2. Problem yag dirasakan bagi perkawinan di bawah umur yaitu ketika mereka mau melahirkan pertama kali. Mereka merasakan ketakutan dan sakit yang luar biasa dan juga mengalami kesulitan dalam mengurus anak sehingga mereka masih memerlukan bantuan keluarga. Sedangkan
431
Fauziah
bagi pasangan nikah tidak tercatat secara sosial perempuan yang di nikahi secara sirri, sulit bersosialisasi karena dianggap isteri simpanan. Pernikahn sirri ini juga mengakibatkan isteri tidak berhak atas harta gono gini ketika suaminya meningal dunia dan ketika terjadi perceraian. 3. Penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur karena rendahnya pendidikan dan banyaknya anak yang putus sekolah, sudah bekerja dan memiliki penghasilan yang mereka anggap cukup sehingga tidak ada pilihan kecuali menikah, kemiskinan faktor ekonomi keluarga untuk mengurangi beban keluarga, perjodohan, anak perempuan yang sudah menstruasi dijodohkan orang tua kepada lakilaki yang sudah punya pekerjaan. Disamping itu ada juga karena kekhawatiran orang tua yang melihat hubungan anaknya sudah terlalu dekat dengan pacarnya sehingga dikhawatirkan hamil di luar nikah. Sedangkan penyebab terjadinya pernikahan tidak tercatat dikarenakan beranggapan nikah sudah sah jika dilakukan oleh kiyai atau ulama tidak perlu dicatatkan lagi, tidak lengkapnya syarat administrative pasangan sehingga daripada ditolak oleh KUA mereka memilih melakukan nikah sirri. 4. Respon masyarakat, ulama dan pemerintah terhadap kedua bentuk pernikahan ini, menurut mereka pernikahannya adalah sah selama rukun dan persyaratan yang ditetapkan oleh agama terpenuhi. Namun kemudhartan yang dimungkinkan akibat terjadinya kedua bentuk pernikahan ini harus diperhatikan sehingga kedua bentuk perkawinan ini harus dihindari.
432
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
5. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggullangi terjadinya kedua bentuk perkawinan ini pemerintah bekerjasa sama dengan masyarakat memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang bahayanya pernikahan usia muda terutama disekolah-sekolah dan dampak negatif dari pernikahan sirri. Memperhatikan dan meningkatkan usia anak sekolah serta mengharuskan pasangan yang ingin menikah datang ke KUA terlebih dahulu untuk dilihat secara langsung dan mendpatkan bimbingan serta disyaratkan membawa ijazah sekolah sebelum dilakukan pernikahan karena banyak yang memanipulasi umur dan PA Amuntai melakukan isbat keliling terhadap pasangan yang belum tercatat. B. Rekomendasi 1. Pemerintah, tokoh agama lebih meningkatkan pemberian penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya perkawinan dicatatkan dan bahaya yang diakibatkan dari pernikahan di bawah umur. 2. Pemda, tokoh agama, dan tokoh masyarakat perlu melakukan sosialisasi intensif kepada masyarakat, khususnya orang tua, terkait upaya pentingnaya pendiidkan bagi ank usia sekolah. 3. Kementerian Agama bekerjasama dengan Pengadilan Agama agar mengintensifkan program Sidang Isbat, antara lain dengan memperbanyak Sidang Isbat Keliling dan memperbanyak informasi dan sosialisasinya di masyarakat.
433
Fauziah
434
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat di Kabupaten Balangan ...
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama RI Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinan, Panduan Konseling Perkawinan, Jakarta, 2004. Kementerian Agama RI, Undang-Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Batasan Umur Calon Pengantin Hukum Perkawinan Katolik. Yosep Komingman. Faisal, Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta, Raja Grafindo, 2003. Gunarso, Singgih D. 2007. Psikologi Untuk Keluarga, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI Nomor 77 Tahun 2008, tentang Pedoman Pemberian Bantuan Menteri Agama dan Sekretaris Jenderal Departemen Agama Bagi Lembaga-Lembaga dan Kegiatan Keagamaan. Kementerian Agama RI, Renstra Kementerian Agama RI, Tahun 2009 – 2014. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 214/PI/1988, Tanggal 22 Juli 1991 dan Keputusan Nomor 1073-PID/1994, Tanggal 4 Februari Tahun 1995. Komnas Perempuan, Laporan Independen Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Kepada Komite CEDEW mengenai Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia, Jakarta 2011.
435
Fauziah
Kuncoriningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1993. Lijan Poltak Sinambela, Prof. Dr. Dkk, Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan ke empat Tahun 2008. Mubarok, Achmad. 2002. Al-Irsyad an Nafsiy: Konseling Agama, Teori dan Praktik Jakarta: Bina Rena Pariwara. Muh,
Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Undang-Undang Perkawinan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 2001.
Muhammad Amin Suma, Prof. Dr, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2004. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama Jo UU Nomor 22 Tahun 1946 Jo UU Nomor 32 Tahun 1954. Sutjipto Rahardjo Prof, Dr, SH, Pemenuhan Pendidikan dan Anak, Paper di Dalam Seminar Sehari, tanggal 31 Agustus Suryadi, Erna. Kekerasan Suami terhadap Istri dalam Rumah Tangga Keluarga Plural, (KDRT/Domistic Violence). Disertasi pada Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Sosiologi. Jakarta, 2008. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
436