KRIMINALISASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh
MOCHAMAD ABDUL ROCHIM NIM: 104043201371
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur sudah sepantasnya penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tidak ada habisnya melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya. Dan tidak lupa Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, akhirnya, jerih payah, dan kesabaran bertemu dengan kepastian yang telah digariskan oleh Sang Penguasa waktu. Tanpa kehendak-Nya, niscaya skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan penulis. Perkenankan, di pengantar skripsi ini penulis menaburkan untaian terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik semasa penulis berkuliah maupun semasa penulis mengerjakan hingga menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati dari penulis, ucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, S.H, MH, MM, selaku dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum 2. Dr. H. Muhammad Taufiqi M.Ag selaku ketua program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan arahan dan bimbingan selama penulis dalam menyelesaikan penelitian dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si selaku sekertaris program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.
i
4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah terutama dilingkungan jurusan perbandingan madzhab dan hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, telah mendidik dan membagi-bagikan ilmu dan pengalamannya secara tulus dan penuh keikhlasan. 5. Pimpinan serta staf dan jajaran pegawai akademik fakultas, pimpinan perpustakaan dan stafnya, baik perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh berbagai refrensi dalam menyelesaikan skripsi. 6. Kedua Orang tua dengan penuh kesabaran dan keikhlasan yang selalu mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan serta do’anya dimanapun penulis berada. 7. Adeku dan orang yang selalu menyemangati aku, kalianlah yang kumiliki dan slalu ada disaat ku butuh. 8. Sahabat-sahabat AL-BARKAH INSTITUT: Fatkhurrahman alias ndomen, Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Kurnia Majid, Nasihin Aziz Raharjo S.Kom.i. Ana Mulyana, Ali Syahbana, Kamal Fuadi S.Pd, Syarif Zakky Azizi, Fajar Mahbub, imam fitri R. dan fahmi 9. Sahabat-sahabat ku yang ada di jogja makasih atas semuanya telah banyak membantu 10. Teman-teman kelas PH dan PMF terutama angkatan 2004 maaf jika selama bersama saya belum bisa jadi teman yang baik buat kalian.
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi sederhana ini sebagai karya tulis sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran konstruktif. Namun dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang menggeluti bidang hukum, minimal bagi diri penulis sendiri. Akhirnya hanya kepada Allah SWT jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.
Ciputat, 17 Agustus 2011 Penulis,
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Tinjauan Pustaka dan Kajian Terdahulu ............................... 7 C. Perumusan dan Pembatasan Masalah .................................... 9 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 10 E. Metode Penelitian .................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan .............................................................. 12
BAB II
KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN ...... 13 A. Pengertian Kriminalisasi ......................................................... 13 B. Kriminalisasi dalam hukum keluarga .................................... 21
BAB III
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ................................................................ 28 A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur: ............................... 28 1. Perspektif Hukum positif .................................................... 29 2. Perspektif Hukum Islam ..................................................... 34
iv
B. Pengertian Anak dan Batas Usia: ........................................... 40 1. Perspektif Hukum Positif .................................................... 40 2. Perspektif Hukum Islam ..................................................... 42
BAB IV
PEMIDANAAN BAGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR ............................................................................................. 44 A. Kebijakan
Hukum
Pada
Saat
ini
Dalam
Rangka
Menanggulangi Perkawinan di Bawah Umur ........................ 44 B. Dasar Pertimbangan Perlunya Kriminalisasi Perkawinan Di Bawah Umur ............................................................................ 53 C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam Kriminalisasi
BAB V
Perkawinan di Bawah Umur .................... 66
PENUTUP ....................................................................................... 68 A. Kesimpulan .............................................................................. 68 B. Saran-saran .............................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75 LAMPIRAN 79
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah salah satu masa yang sangat penting bagi sejarah perjalanan hidup umat manusia, dimana dengan adanya pernikahan diharapkan akan munculnya generasi penerus dari keluarga tersebut, selain itu perkawinan merupakan salah satu cara dalam bersilaturahmi sesama manusia, karena pada hakekatnya perkawinan adalah mempertemukan dua keluarga yang berbeda. Adapun salah satu tujuan dari perkawinan adalah membawa kedua mempelai untuk melewati ke tahap jenjang kehidupan dari proses kehidupan sebelumnya, dengan diberlangsungkannya perkawinan secara otomatis nantinya akan merubah status kedua insan yang melangsungkan perkawinan menjadi suami istri dimana dengan adanya perubahan status tersebut dihalalkan baginya hal-hal yang dulunya dilarang antara laki-laki dan perempuan. Dengan perkawinan seseorang juga akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis, maupun secara sosial. Dari semua hal yang telah disebutkan, kedua mempelai juga akan menerima atau mengemban beban dan tanggung jawab yang sangat berat sesuai hak-hak dan kewajibannya masing-masing sebagai seorang suami istri. Perlu dicatat betapa besarnya tanggung jawab, baik bagi seorang suami maupun istri, mereka perlu memiliki kesiapan mental maupun spiritual yang matang dalam 1
2
menjalani bahtera rumah tangga, baik kesiapan secara fisik maupun psikis. Hal ini dikarenakan tanggung jawab seorang suami atau istri tidak mungkin terlaksana dengan persiapan yang asal-asalan dan kondisi fisik maupun psikis yang buruk. Jadi diperlukan persiapan yang cukup untuk menempuh kehidupan rumah tangga yang baik, sebab mempertahankan bahtera rumah tangga merupakan sebuah perjuangan tersendiri yang sangat berat. Misalnya bagi seorang laki-laki, dibutuhkan ketahanan dalam berjuang baik dalam mencari nafkah bagi keluarga maupun dalam menjaga keutuhan sebuah rumah tangga, dari segi ketahanan fisik seorang suami dituntut harus lebih kuat dari seorang perempuan karena laki-laki adalah sebagai pemimpin bagi istri dan anak dalam keluarganya. Seorang laki-laki dituntut untuk bisa mengolah segala potensi dan kreatifitas yang ada untuk mencukupi kebutuhan hidup bagi istri dan anak-anaknya dari keperluan sandang, pangan, serta perlindungan dari segala bentuk ancaman. Selain itu tidak kalah pentingnya bagi seorang wanita, harus mampu mempertahankan dan menjaga kehormatan suami dan keluarganya. Seorang wanita juga harus mempunyai ketahanan fisik yang kuat untuk melakukan rutinitas urusan rumah tangga yang sangat berat, dari mengurus dirinya sendiri, urusan rumah tangga, mengurus dan melayani kebutuhan suami, baik lahir maupun batin. Belum lagi kalau sudah dikaruniai keturunan, hal ini tentunya akan menambah pekerjaan bagi seorang istri sebagai ibu rumah tangga. Berawal dari sebuah kasus yang telah lama tidak terdengar lagi, beritanya yang pernah menghebohkan diberbagai media, baik dalam media cetak maupun di media
3
elektronik. Yaitu kasus pernikahan Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih kita kenal sebagai puji, seorang pengusaha dan pimpinan sebuah pondok pesantren Miftahul Jannah di Semarang. Berita perihal perkawinan Puji dengan seorang anak yang masih di bawah umur, dimana hal ini menjadi hal yang kontroversial dalam pemberitaannya diberbagai media yaitu, Lutfiana Ulfa seorang gadis yang masih di bawah umur yang akhir-akhir ini banyak menjadi bahasan diberbagai kalangan masyarakat. Karena ulahnya tersebut Puji dianggap telah menikahi seorang perempuan yang umurnya belum patut untuk menikah. Dari peristiwa tersebut Puji mendapat panggilan dari pihak kepolisian untuk diperiksa bersama ayah dari Lutfiana Ulfa yang bernama Suroso dengan surat panggilan bernomor 029 PGL/431/II/2009/Reskrim tertanggal 28 februari 2009 1. Dalam hal ini Puji di panggil untuk dimintai keterangan perihal perbuatannya tersebut, puji dijadikan saksi dalam kasus eksploitasi anak atas pernikahan sirri yang dilakukannya sebagaimana pasal 81 dan pasal 88 Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo pasal 290 ayat (2) KUHP. Pada akhirnya kasus perkawinan sirri puji disidangkan di pengadilan negeri Ungaran atas tuntutan pasal 81 dan pasal 88 Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo pasal 290 ayat (2) KUHP. Pada tanggal 23 oktober 2010 Pujiono Cahyo Widianto dalam sidang dinyatakan bebas dalam putusan sela2 dengan
1
Luxboy, Syekh Puji menghadiri persidangan,, artikel diakses pada 17 maret 2011 dari http://gugling.com/syekh Puji-menghadiri-persidangan. html
4
nomor perkara 233/Pid.B/2009/PN.Ung yang dibacakan majelis hakim yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Hari Mulyanto dengan dua anggota masing-masing Salman Alfaris dan Aris Gunawan3. Setelah adanya putusan sela dari Pengadilan Negeri (PN) Ungaran, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan Verzet4 atas putusan itu, selain itu kuasa hukum dari Puji juga mengajukan upaya hukum kasasi5 ke Mahkamah Agung. Namun pada akhirnya Mahkamah Agung (MA) menolak pengajuan kasasi oleh kuasa hukum dari puji terhadap putusan sela tersebut, setelah MA menolak upaya kasasi dari pihak puji, Mahkamah Agung memutuskan untuk melanjutkan perkara puji yang kemudian salinannya telah diterima oleh Kejaksaan Tinggi (KEJATI) Semarang dengan nomor 325 K/Pid.Sus/2010. Dan pada akhirnya hasil dari kelanjutan sidang tersebut, Puji divonis 4 (empat) tahun penjara dengan denda Rp 60 (enam puluh) juta6.
2
Yang dimaksud dalam kamus istilah aneka hukum C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil dikatakan putusan sela adalah putusan sementara, biasanya untuk menambahkan pemeriksaan karena dianggapnya kurang cukup; setelah setelah didapatkannya bahan-bahan tambahan itu, barulah pengadilan memberikan putusan akhir (eind-vonnis), 3
Admin, Putusan sela, syeh puji bebas, artikel diakses pada 17 maret 2011 dari http://radar pekalongan.com/putusan sela-syeh-Puji-bebas 4
Yang dimaksud verzet dalam kamus istilah aneka hukum C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil dikatakan verzet adalah perlawanan, yang dapat diajukan terhadap putusan verstek yaitu putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya pelawan. 5
Yang dimaksud kasasi dalam kamus hukum B.N Marbun dikatakan kasasi arti awalnya adalah pembatalan, pemecatan. Suatu instrumen hukum yang hanya dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali keputusan-keputusan pengadilan bawahan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi) tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum. 6
Kompas.com, Cuma 4 tahun, aktifis perempuan menyesal, artikel diakses pada tanggal 23 maret 2011 dari http://www.arsipberita.com/arsip/kasus-syekh-Puji.html
5
Dari contoh kasus di atas, terdapat sesuatu hal menarik bagi penulis yang masih perlu untuk dikaji ulang dan difahami secara mendalam dalam permasalahan perkawinan yang diasumsikan masih di bawah umur, yang mana hal ini cukup menarik untuk dibahas. Pada prinsipnya perkawinan merupakan sebuah ikatan yang sakral, dimana dengan terjadinya hal tersebut dihalalkan hubungan intim antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan layaknya seorang suami istri, dan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia. Jadi dalam permasalahan perkawinan di bawah umur pada kenyataannya belum ada kepastian hukum yang mengatur atasnya dengan jelas, di era sekarang masih adanya pemidanaan terhadap pelaku perkawinan di bawah umur merupakan sebuah hal yang kontroversial. Pada prinsipnya perkawinan itu sendiri mempunyai syaratsyarat dan rukun yang harus dipenuhi bagi kedua mempelai yang akan melakukan perkawinan yang dimana hal ini saling terikat satu dengan yang lain dan tak mungkin terpisah-pisah dalam syarat, rukun dan pelaksanaannya. Tidak hanya dalam aturan agama yang didalamnya terdapat ketentuan syaratsyarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam melakukan perkawinan, tetapi terdapat persyaratan yang sangat penting yang ditetapkan kepada kedua mempelai yang di dalamnya juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan mengatur keduanya, karena pada prinsipnya kita hidup dalam suatu negara hukum. Di indonesia berlaku undang-undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu acuan hukum perkawinan yang ada di Indonesia yang harus ditaati.
6
Selain kedua undang-undang tersebut di atas, perlu adanya perhatian lain yang harus diperhatikan agar tidak terjadi pertentangan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang lain yang mungkin masih terdapat keterkaitan dengan perkawinan di bawah umur. Diantaranya undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002. Jika undang-undang ini tidak diperhatikan mungkin akan banyak terjadi perkawinan di bawah umur dimana perkawinan di bawah umur tersebut merupakan salah satu sebab terjadinya perceraian, karena hal ini dimungkinkan kurang siapnya mental dari calon mempelai dalam menjalani bahtera hidup rumah tangga. Selain itu ada suatu pokok bahasan yang tidak kalah penting mengenai perkawinan di bawah umur yaitu, kejelasan aturan hukum, dan apakah pernikahan di bawah umur itu merupakan suatu kriminalisasi hukum? hal ini yang menjadi suatu pembahasan yang menarik untuk di teliti. Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dalam bingkai penulisan skripsi dengan judul “KRIMINALISASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR”.
B. Tinjauan (Review) Kepustakaan Terdahulu 1. Implikasi nikah di bawah umur terhadap reproduksi perempuan (Analisa pasal 7 UU NO 1 1974). Fakultas Syari’ah oleh Fatimatuz Zahro’. Tahun 2009. dalam skripsi ini peneliti membahas tentang hak reproduksi perempuan dengan menggunakan analisa pasal 7 UU NO 1 1974 dan penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum sosiologis atau empiris.
7
2. Manipulasi usia perkawinan (Analisa kritis pasal 7 UU NO 1 1974) Fakultas Syari’ah 2009 oleh Debi Zulkarnain. Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang mengungkapkan praktik manipulasi usia perkawinan calon pengantin yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sehingga berakibat nikah di bawah umur. Dalam hal usia perkawinan, penulisnya cenderung terhadap intruksi Mendagri no 27 tahun 1983 yang mendukung program KB dalam rangka menekan laju kependudukan. 3. Dispensasi nikah di bawah umur (Studi putusan pengadilan Agama Jakarta Selatan no: 082/pdt.p/2008/pajs). Fakultas Syari’ah. oleh Amri Yusar. Tahun 2009 dalam skripsi ini menggunakan penelitian lapangan yang hanya menekankan tentang dispensasi nikah di bawah umur dan ketentuan usianya. 4. Dispensasi nikah bagi perkawianan di bawah umur (studi analisis putusan no 008/PDT.p/2006/PAJP). Fakultas Syari’ah. Oleh Boy Valdi. Tahun 2008. Dalam skripsi ini penulis membahas prosedur pengajuan permohonan dispensasi nikah dan prosesnya dipengadilan agama jakarta pusat serta pertimbangan apa saja yang di ambil oleh Hakim dalam memberikan dispensasi nikah. Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan. 5. Sanksi pidana bagi praktek perkawinan di bawah umur
(kajian
hukum Islam dan hukum positif).Fakultas Syari’ah. oleh Sunendi. Tahun
8
2009, dari skripsi ini penulis membahas adakah sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam dan hukum positif terhadap praktek perkawinan di bawah umur, disitu juga dibahas tentang usia perkawinan dari hukum positif dan hukum Islam. 6. Perkawinan usia muda dan pengaruhnya terhadap tingkat perceraian (studi kasus pada masyarakat desa jatisari kec. Cileungsi kab. Bogor). Fakultas Syari’ah, oleh Hilmah Ismail. Tahun 2007. Peneliti dalam skripsi ini membatasi permasalahan yang dibahas adalah pengaruh perkawinan usia muda terhadap tingkat perceraian, penulis dalam skripsi ini menggunkan metode penelitian deskriptif. 7. Pernikahan usia muda terhadap pembentukan keluarga sakinah (Studi kasus kec. Rajeg kab. Tangerang). Fakultas Syari’ah, oleh Ahmad Hidayat. Tahun 2008. Yang diangkat dalam skripsi ini adalah pengaruh pernikahan di usia muda terhadap pembentukan keluarga sakinah termasuk bahasan poin usia muda. 8. Perkawinan di bawah umur di desa pantai bahagia kec. Muara gembonng kab. Bekasi menurut hukum Islam dan hukum positif. Fakultas Syari’ah, oleh Achmad Saprudin. Tahun 2007. Yang dibahas dalam skripsi ini yaitu faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya perkawinan di bawah umur. Penelitian ini mengunakan metode kepustakaan dan penelitian lapangan.
9
C. Pembatasan dan Rumusan masalah 1. Pembatasan masalah Pembatasan masalah disini dimaksudkan agar masalah lebih terfokus dan spesifik. Dalam pembatasan masalah ini peneliti hanya membahas seputar perkawinan di bawah umur dan apakah pernikahan di bawah umur merupakan sebuah kriminalisasi. 2. Rumusan masalah Berdasarkan alasan dari judul di atas, maka yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur? b. Bagaimanakah pemidanaan perkawinan di bawah umur dalam hukum positif sebagai kriminalisasi? c. Bagaimanakah pandangan hukum islam terhadap kriminalisasi perkawinan di bawah umur?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun Tujuan yang ingin didapatkan dari penelitian ini mempunyai beberapa tujuan diantaranya: a. Untuk mengetahui seluk beluk perihal apakah yang dimaksud dengan perkawianan di bawah umur
10
b. Untuk mengetahui apakah perkawinan di bawah umur merupakan suatu bentuk kriminalisasi dan eksploitasi terhadap anak. c. Untuk mengetahui sudut pandang islam tentang kriminalisasi. 2. Manfaat penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat teoritis: Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan kegunaan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum perkawinan dan perlindungan terhadap anak. b. Manfaat praktis: Secara praktis hasil dari penelitian ini dapat menjadi suatu informasi yang penting dan terbaru bagi masyarakat yang dimana di daerahnya banyak terjadi pernikahan/perkawinan di bawah umur, dan sebagai sebuah pedoman dan informasi bahwasanya perkawinan di bawah umur bisa menjadi salah satu faktor penyebab terjadi maraknya perceraian karena disebabkan tidak siapnya mental seoarang anak untuk menjalani dan membentuk bahtera keluarga yang sakinah. Dan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat umum dan pemerintah dalam sosialisasi perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, perdagangan anak, dan berbagai bentuk eksploitasi terhadap seorang anak.
11
E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder7. 2. Sumber data a. Data primer yaitu, yang terdiri dari bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat secara pasti diantaranya adalah perundang-undangan b. Data sekunder yaitu, berisi bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan dari hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum dan jurnal yang masih terkait serta wawancara dengan narasumber seorang ahli hukum atau orang yang ahli tentang kehidupan anak untuk memberikan pendapat hukum tentang suatu fenomena yang terkait dengan penelitian
F. Sistematika Penulisan Untuk memahami dan mengetahui substansi dari skripsi ini secara sistematis dan tersusun dengan baik, serta untuk memperoleh kejelasan dalam pembahasannya, maka peneliti menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,cet. II. (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), h. 15
12
BAB I:
Pendahuluan; merupakan bab yang menguraikan tentang latar belakang masalah, tinjauan (review) kajian terdahulu, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta metode yang dipakai dalam penelitian ini.
BAB II:
Membahas tentang pengertian kriminalisasi dan kriminalisasi dalam hukum keluarga.
BAB III:
Bab ini berisikan bahasan apa itu perkawinan di bawah umur, dan anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang perlindungan anak, diantaranya tentang Pengertian anak dan batas usianya menurut hukum Islam dan hukum positif.
BAB IV:
Bab ini merupakan bab yang berisikan hasil dari penelitian dan analisa terhadap ada atau tidaknya kriminalisasi dalam perkawinan di bawah umur, dan dampak pernikahan di bawah umur
BAB V:
Merupakan bab penutup; kesimpulan dan saran
BAB II KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN
A. Pengertian Kriminalisasi 1. Kriminalisasi dalam Perespektif Hukum Positif Sebelum memberikan penjelasan perihal kriminalisasi kita perlu pelajari ilmu kriminologi sebagai komponen dalam memahami kriminalisasi, karena kriminalisasi merupakan salah satu bagian dari ilmu kriminologi. Dimana kata kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah pengetahuan tentang kejahatan yang secara umum berarti ilmu untuk mempelajari kajahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan baik. Adapun hal yang dipelajari dari fenomena-fenomena kejahatan tersebut dalam masyarakat dinamakan sebagai “kriminalitas atau kajahatan” dengan syarat-syarat dan kriterianya yaitu8: a. Merupakan perbuatan atau perilaku manusia; b. Melanggar norma hukum pidana, terutama yang telah di undangkan dan sebagai materi studinya yang belum dituangkan sebagai kejahatan namun terasa “itu perbuatan jahat”; c. Perilaku manusia yang “jahat” ini ditandai dengan:
8
Prof. Dr. Soedjono Dirjosisworo, Anatomi Kejahatan di Indonesia, gelagat dan proyeksi antisipasinya pada awal abad ke 21, (Bandung: Granesia, 1996), h. 3
13
14
1) Mengakibatkan kerugian-kerugian material maupun non-material 2) Membawa korban baik individual, kelompok maupun aparatur pemerintahan. d. Oleh karena itu harus dicegah dan diberantas atau ditanggulangi. Untuk itu di undangkanlah hukum pidana, hal ini dimaksudkan untuk melakukan pencegahan agar orang tidak berbuat. Hal ini berarti bahwasannya hukum pidana berfungsi sebagai sarana “prevensi umum”, dan yang termasuk prevensi khususnya adalah mencegah mereka yang terpidana agar tidak kambuh menjadi “jahat” lagi. Dalam prevensi khusus ini lebih diperlukan metode pembinaan yang mengarahkan pada “pemasyarakatan”. Untuk ini perlu pula adanya pembinaan terhadap masyarakat yang akan menerima mereka yang telah menjalani pemasyarakatan. Adapun objek dari studi kriminologi tersebut adalah mencakup perihal kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Kajian pokok dari kriminologi adalah kejahatan yang termuat dalam hukum pidana, dan keberadaannya sangat berkaitan dengan hukum pidana, dimana kedua disiplin ilmu ini saling berkaitan dan saling bergantung antara satu dengan yang lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Dalam perkembangannya kriminologi dijadikan sebagai ilmu yang membantu hukum pidana (ilmu pembantu),
15
dalam perkembangannya sekarang kriminologi sudah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri9. Dalam kamus hukum internasional dan indonesia, kriminalisasi adalah suatu proses memperhatikan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat, 10 sedangkan dalam kamus hukum lain mendefinisikan bahwa kriminalisasi adalah proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh hukum pidana atau perundang-undangan. 11 Sedangkan Abdussalam dalam bukunya “kriminologi” menjelaskan bahwa pengertian kriminalisasi adalah pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai suatu peristiwa yang bisa merugikan atau membahayakan masyarakat luas tetapi undangundang belum mengaturnya. 12 Adapun kebijakan dalam penyusunan kriminalisasi mengambil dari tiga sumber bahan yang sudah ada yaitu terdiri dari: 1. KUHP (Wvs) yang masih berlaku; 2. Konsep BAS tahun 1977; 3. Undang-Undang diluar KUHP.13
9
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 17
10
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (Jakarta: Wacana Intelektual, 2007), h. 266 11
Kamus Hukum, (Bandung : Citra Umbara 2008), h. 231
12
Abdussalam , Kriminologi, ( Jakarta: Restu Agung, 2007), h. 18
16
Kebijakan kriminalisasi pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dalam kriminalisasi itu sendiri harus melakukan harmonisasi dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini, yang bertujuan agar kebijakan kriminalisasi dapat diterima oleh masyarakat.14 Pada dasarnya kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana.15 Adapun upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak terlepas dari kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau upayaupaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya perlindungan masyarakat, adapun aspek yang sangat penting untuk kesejahteraan atau perlindungan masyarakat karena adanya nilai-nilai, kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan juga dengan pendekatan secara integral yang dilakukan dengan menyeimbangkan sarana penal dan non penal. 16
13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan KUHP Baru (Jakarta: kencana, 2008), h. 232 14
Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2005), h. 126 15
Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), h. 240
17
Selain kriminalisasi ada juga upaya pembaharuan hukum dengan penalisasi, yang penentuanya sebagaimana pengertian kriminalisasi, dan penalisasi tidak jauh berbeda. Hanya penekenannya pada crime dan “penalisasi” saja. Sebagaimana diketahui kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Penalisasi yang semula berupa tindakan tercela dibidang hukum perdata atau hukum administrasi, tetapi kemudian dipandang perlu untuk diancamkan pidana kepada petindaknya. Jika dilihat dalam sejarahnya kriminalisasi di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman proklamasi kemerdekaan dan hingga kini masih tetap berlangsung, sehubungan dengan penetapan kriminalisasi, dibutuhkan kriteria tertentu, namun bukan suatu hal yang mudah untuk menetukan kriteria ini secara pasti. Meskipun demikian menurut Prof. Sudarto, ada beberapa kriteria yang patut di pertimbangkan dalam menentukan kriminalisasi ini yaitu17: a. Tujuan hukum pidana b. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki c. Perbandingan antara sarana dan hasil d. Kemampuan aparat penegak hukum Dalam prinsip-prinsip kriminalisasi ada hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dengan memperhatikan berbagai variasi pengaturan yang ada diberbagai negara yang 16
Bukhori, Nurani Kriminalisasi Tindak Pidana Teroris (Palembang: Fakultas Syari’ah IAIN Raden Patah, 2004), h. 113 17 Prof. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, cet. V, (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 31-41
18
telah berusaha membuat bentuk mode law yang diharapkan dapat dijadikan pedoman oleh berbagai negara untuk mengatur criminal privacy protection, menurut OECD asas-asas tersebut mencakup18: a. Ultima ratio principle. Hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas. b. Precision principle. Ketentuan hukum pidana harus tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana, perumusan hukum pidana yang bersifat samar harus dihindari. c. Clearness principle. Tindakan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana. d. Princip of differentiation. Prinsip pembedaan harus jelas anatara yang satu dengan yang lain. Untuk hindarkan perumusan yang bersifat global. e. Priciple of intent. Tindakan yang dikriminalisasikan harus dengan dolus (itention), sedangkan untuk tindakan culpa harus dinyatakan dengan syarat khusus untuk memberikan pembenaran kriminalisasinya. Metode penentuan kriminalisasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana di indonesia ada beberapa metode pendekatan, diantaranya dapat dilakukan dengan cara: Metode Evolusioner, metode ini dilakukan dengan cara perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada dalam KUHP, Metode Global, metode ini diterapkan dengan membuat suatu pengaturan tersendiri diluar
18
S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), h. 172
19
KUHP misal UU TIPIKOR, dan Metode Kompromis, penggunaan metode ini ialah menambah bab tersendiri dalam KUHP mengenai tindak pidana tertentu. Dan hal ini sudah dibuktikan lewat berbagai penambahan yang diadakan selama ini terhadap KUHP (WvS yang ada pada tanggal 8 maret 1942)19.
2. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Islam Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana sementara itu kriminalisasi dalam perspektif hukum islam tidak ada pembahasan secara tersendiri, namun dalam hukum pidana islam ketetntuan kriminal dapat dikategorikan menjadi beberapa macam jenis sesuai dengan aspek berat dan ringannya hukuman yang ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur’an dan al-Hadis. Atas dasar itu, para ulama membaginya menjadi tiga, yaitu (1) jarimah hudud, (2) jarimah qisâs/diyât, dan (3) jarimah ta‘zîr. Jarimah hudud mencakup sejumlah tindak pidana yakni pencurian, perzinaan, qadzaf (tuduhan palsu zina), konsumsi khamar, hirâbah (perampokan), bugât (pemberontakan), dan riddah (murtad). Nass-nass jarimah hudûd ini sudah jelas dan tegas, baik menyangkut tindak pidananya maupun sanksi pidananya. Sedangkan jarimah qisâs/diyât meliputi tindak pidana pembunuhan (penghilangan nyawa) dengan kesengajaan, pembunuhan (penghilangan nyawa) semi sengaja, pembunuhan (penghilangan nyawa) karena kesalahan atau kealpaan, pelukaan dengan kesengajaan, 19
Ibid., h. 173-174
20
pelukaan semi sengaja, dan pelukaan karena kesalahan atau kealpaan. Nass-nass jarimah qisâs/diyât ini juga sudah jelas dan tegas, baik tindak pidananya maupun sanksi pidananya20. Adapun jarimah ta‘zîr mencakup semua tindak pidana yang tidak termasuk dalam jarimah hudûd dan jarimah qisâs/diyât. Kerangka acuan identifikasi tindak pidana jarimah ta‘zîr merujuk pada salah satu dari empat acuan berikut ini21: 1. Perbuatan pidana yang masuk jarimah hudûd tetapi dalam proses terjadinya mengandung unsur syubhat; 2. Perbuatan yang dikualifisir maksiat oleh agama; 3. Perbuatan yang tidak dilarang agama tetapi dikualifisir oleh ulil amri yang dapat mendatangkan mafsadah/madarrah atau merusak maslahah; 4. Perbuatan yang dikualifisir oleh ulil amri melanggar peraturan perundangan-undangan (siyâsah syar’iyyah) yang diterbitkan olehnya. Berdasarkan beberapa acuan yang tersebut pada point ketiga jelaslah bahwa ulil amri berdasarkan pertimbangan maslahah dapat menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan pidana berikut sanksi pidananya, misalnya larangan merokok di dalam ruang fasilitas publik.
20
H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. 3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 12-13 21
Dr. Asmawi, M.A, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam Kontemporer, h. 27 artikel diakses pada tanggal 18 april 2011 dari http://www.pdfreference.com/Kriminalisasi-Poligami-dalam-Hukum-Keluarga-di-Dunia-IslamKontemporer
21
B. Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Sebagaimana telah dibahas di atas, yang dimaksud dengan kriminalisasi adalah proses memperhatikan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat 22, jadi yang dimaksud dengan kriminalisasi dalam hukum keluarga adalah proses yang semula tidak dianggap sebagai suatu peristiwa pidana dalam hukum keluarga, tetapi dalam perkembangan hukum kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Ada beberapa ketentuan kriminalisasi dalam hukum keluarga diberbagai negara islam karena adanya tuntutan pembaharuan hukum yang akan merubah hukum lama dengan hukum baru, diantaranya kasus poligami, nikah sirri atau di bawah tangan. Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad ke-20 adalah adanya upaya reformasi hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Turki tercatat sebagai negara pertama yang melakukan reformasi hukum keluarga. Adapun tujuan usaha reformasi dalm hukum keluarga yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori diantaranya23:
22
23
Marbun B. N., Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006). h. 148
Dr. Asmawi, M.A, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam Kontemporer, h. 2 artikel diakses pada 18 april 2011 dari http://www.pdfreference.com/KriminalisasiPoligami-dalam-Hukum-Keluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer
22
1. Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum perkawinan. Usaha unifikasi ini dilakukan karena ada sejumlah madzhab yang diikuti di negara yang bersangkutan, yang boleh jadi terdiri atas madzhabmadzhab di kalangan Sunni, atau antara Sunni dan Syi’i. Bahkan, untuk kasus Tunisia, unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan agama. 2. Bertujuan untuk peningkatan status wanita. Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, dari situ dapat dilihat dari sejarah legislasinya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Undang-Undang perkawinan Mesir dan Indonesia adalah contoh yang masuk dalam kelompok kedua ini. 3. Bertujuan untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena doktrin fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya. Dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga ini merupakan tujuan dari reformasi undang-undang
perkawinan
dimayoritas
negara-negara
muslim,
meskipun tidak menutup kemungkinan dibeberapa negara mencakup beberapa tujuan sekaligus. Menurut penelitian dari Tahir Mahmood, ada tiga belas aspek dalam undangundang hukum keluarga di dunia muslim kontemporer yang mengalami reformasi yakni: batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hakhak dan kewajiban para pihak akibat perceraian, masa kehamilan dan implikasinya,
23
hak kewalian orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiyyah wâjibah, dan pengelolaan wakaf24. Berkaitan dengan reformasi hukum keluarga dalam rangka pembaharuan hukum yang perlu direfesi, dilakukan dengan cara mengkriminalkan perilaku yang pada awalnya bukan suatu perbuatan pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana atau dikenal dengan kriminalisasi. Ada beberapa pembaharuan dalam hukum keluarga yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang perkawinan, diantaranya poligami. Kriminalisasi dalam kasus poligami terdapat pada negara-negara islam di dunia, diantaranya Turky, Tunisia, Pakistan. Mengenai kriminalisasi poligami, dengan merujuk pada penelitian yang dicatat oleh Tahir Mahmood dalam hukum keluarga Turki (Turkish Code of Personal Status 1926) dapat dikemukakan sebagai berikut25: Undang-Undang hukum perdata Turki menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menikah untuk kedua kalinya jika ia tidak bisa membuktikan perkawinannya yang pertama telah putus karena kematian suami/isteri atau karena perceraian atau karena putusan pembatalan oleh Pengadilan. Dinyatakannya pula bahwa suatu perkawinan yang kedua yang dilakukan seseorang dapat dianggap tidak sah oleh Pengadilan berdasarkan alasan bahwa orang tersebut masih terikat perkawinan dengan pasangannya yang pertama.
24
Ibid. h. 2 dikutip dari Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Times Press, 1987), h. 11-12. 25
Ibid. h. 14 dikutip dari Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, h. 21. Penulis tidak berhasil mengakses teks UU dimaksud. dalam bukunya ini, Tahir Mahmood hanya membuat catatan, tidak memuat teks UU tersebut. dalam proposisinya tersebut, Tahir Mahmood merujuk kepada Pasal pasal 93 dan 112 Turkish Code of Personal Status 1926.
24
Sedangkan dalam hukum perkawinan Tunisia, kriminalisasi poligami diatur dalam The Tunisian Code of Personal Status 1956 seperti dipaparkan dalam pasal 18 ayat (i) menyatakan26: Memiliki lebih dari satu orang isteri atau poligami adalah dilarang. Siapa saja yang sudah menikah dan pernikahannya itu secara hukum belum putus melakukan pernikahan lagi, akan dipidana dengan pidana kurungan selama satu tahun atau dengan pidana denda sebesar 240.000 malims atau dengan kombinasi pidana kurungan dan pidana denda tersebut, dan bahkan perkawinannya yang terkemudian dianggap melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.
Dalam hukum keluarga Pakistan, kriminalisasi poligami diatur dalam The Muslim Family Laws Ordinance 1961 seperti yang dipaparkan dalam pasal 6 ayat (1) The Muslim Family Laws Ordinance 1961 menyatakan27: Seorang laki-laki, selama masih terikat dengan perkawinan yang ada, tidak boleh, kecuali memiliki izin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Arbitrase melakukan akad perkawinan dengan perempuan lain atau akad perkawinan tanpa ada izin tertulis tersebut juga tidak dapat dicatat menurut undangundang ini. Dalam pasal ini memuat ketentuan bahwa siapa saja yang hendak melakukan poligami, harus terlebih dahulu memiliki izin tertulis dari Majelis Arbitrase. Ditegaskan juga bahwa perkawinan poligami yang dilakukan tanpa memiliki izin dimaksud tidak diakui secara hukum atau tidak sah secara hukum.
26
Ibid. h. 17 dikutip dari teks UU dimaksud merujuk kepada Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, h. 153 27
h. 245
Ibid. h. 21 kutipan teks UU dimaksud merujuk kepada Tahir Mahmood, Personal Law … , ibid.,
25
Sedangkan di indonesia dalam undang-undang perkawinan tidak memuat adannya kriminalisasi poligami ataupun ketentuan pidana, dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 pada dasarnya menganut azas monogami, sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun di ayat (2) disebutkan pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pengadilan akan memberi izin apabila pelaku poligami mengajukan permohonan dengan ketentuan– ketentuan yang sangat ketat sebagaimana tertulis pada pasal 5 ayat (1), untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut28: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Ketentuan izin dari pengadilan juga disebutkan dalam pasal 4 ayat (2), pengadilan dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini hanya memeberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila 29:
28
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 142
29
Ibid., h. 141-142
26
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiabnya sebagai istri; b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak dapat melahirkan. Dari beberapa ketentuan kriminalisasi dalam hukum keluarga di dunia Islam kontemporer diantarannya, Turki, Tunisia, dan Pakistan. Diantara negara yang melakukan kriminalisasi terhadap poligami diatas, hanya negara pakistanlah yang menyantumkan ketentuan izin dari majelis arbitrase bagi seorang yang hendak berpoligami. Beberapa ketentuan aturan yang mengatur tentang hal yang berkaitan dengan perkawinan yang ada di indonesia tidak ada yang memuat ketentuan pidana, tidak seperti halnya di negara Turki, Tunisia yang mengkriminalkan poligami, di indonesia hanya dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Bab IX yang terdapat ketentuan pidana, diantaranya Pasal 45 yaitu30: (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku maka: a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7500 (tuju ribu limaratus);
30
PP. NO. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU NO. 1 Tahun 1974 yang dikutip dari sayuti thalib. h. 186
27
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketetuan yang diatur dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13 dan 44 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setingggi-tingginya Rp7500. (2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.
BAB III PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur Permasalahan perkawinan di bawah umur bukanlah suatu hal yang baru di indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku, tidak di kotakota besar saja tapi di pedalaman desa juga ada. Sebabnya pun bervariasi, diantaranya karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (married by accident) dan lain-lain. Selain menimbulkan masalah sosial, perkawinan di bawah umur bisa menimbulkan masalah hukum. Perkawinan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa yang sempat dibahas di bab satu membuka ruang kontroversi bahwa perkara perkawinan di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum islam dan hukum nasional. Kenyataan ini melahirkan minimal dua permasalahan hukum. Pertama : harmonisasi antar sistem hukum yang satu dengan yang lain. Kedua : tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkwinan yang dilaksanakan oleh orang di bawah umur. Dalam persepektif agama dan negara terjadi perbedaan dalam memaknai dimensi perkawinan di bawah umur. Negara memaknai perkawinan di bawah umur di lihat dari segi Undang-Undangnya dengan batasan umur, sementara dalam agama,
28
29
perkawinan di bawah umur ialah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh. Dari penjelasan di atas dikatakan adanya perbedaan sikap dari hukum islam dan hukum positif yang ada di Indonesia, maka dari itu akan kita bahas secara terpisah apa itu perkawinan di bawah umur dalam perspektif hukum positif dan hukum islam.
1. Perspektif Hukum Positif Pengertian perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 disebutkan: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Maha Esa 31. Hal ini mendapat perhatian dan pemahaman oleh masyarakat, karena UndangUndang ini merupakan landasan pokok dari hukum perkawinan. Begitu juga dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan perkataan ikatan lahir dan batin itu dimaksudkan bahwa suami dan istri tidak boleh semata-semata hanya berupa ikatan lahiriah saja, dengan makna seoarang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami istri dalam suatu ikatan formal saja. Tetapi kedua-duanya juga harus membina ikatan batin berupa cinta dan kasih sayang yang mendalam. Sehingga perkawinan dalam Undang-Undang ini tidak semata-semata hubungan hukum saja antara seorang pria dengan seorang wanita, akan tetapi juga mengandung aspek-aspek lainya yaitu, aspek agama, biologis, sosial dan juga masyarakat. 31
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 141
30
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah menurut syarat dan ketentuan rukun-rukunya, maka akan menimbulkan akibat hukum (hak-hak dan kewajiban) selaku suami dan istri dalam keluarga. Jika suami istri sama-sama menjalankan hakhak dan kewajibannya, sesuai dengan tanggung jawab masing-masing maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup dalam berumah tangga. Sebelum membahas tentang pengertian perkawinan di bawah umur, terlebih dahulu penulis akan mendefinisikan tentang maksud dari anak di bawah umur. Adapun yang dimaksud dengan anak di bawah umur yaitu, anak yang belum mumayyiz atau belum bisa dibebani tanggung jawab, karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan dalam bertindak yaitu akal, apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban. Adapun yang dimaksud anak di bawah umur dalam perspektif Undang-Undang adalah anak yang usianya masih di bawah 18 tahun, sesuai yang tertulis dalam Undang-Undang perlindungan anak. Berdasarkan hubungan ini, yang dimaksud perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya yang belum memenuhi syarat umur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada pasal 6 ayat (2) “untuk melangsungkan
31
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua”32. Dengan berpegangan pada pasal 6 ayat (2) diatas, secara umur dapat diartikan bahwa untuk melaksanakan perkawinan seseorang harus berumur lebih dari 21 tahun, sedangkan seorang yang belum mencapai umur ini harus mendapatkan izin dari orang tua. Untuk membatasi agar tidak semua umur dengan mudah dapat melakukan perkawinan hanya dengan mendapat izin orang tua, maka selanjutnya pada pasal 7 Undang-Undang yang sama menjelaskan dan memberikan batasannya lebih jelas. Pasal tersebut menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dasar hukum positif di Indonesia di atas, memakai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) yang menyatakan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak, baik dari pihak pria maupun wanita. Sedangkan ayat selanjutnya dengan pasal yang sama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4), Undang-Undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut, ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud pasal 6 ayat (6).
32
Ibid., h. 142
32
Masih berkaitan dengan ketentuan hukum positif yang dapat dijadikan dasar hukum pernikahan/perkawinan di bawah umur, di Indonesia adalah pasal 15 KHI. Walaupun sebenarnya KHI merupakan penguat dari Undang-Undang perkawinan, tentang masalah syarat umur ini tetap di jelaskan. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam UndangUndang No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun33. Apabila dibandingkan dengan batasan umur bagi calon mempelai dibeberapa negara muslim, negara Indonesia secara definitif belum yang tertinggi, berikut data komparatif34: NEGARA
Usia laki-laki
Usia perempuan
Algeria
21
18
Banglades
21
18
Mesir
18
16
Irak
18
18
Yordania
16
15
Libanon
18
17
33
34
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: fokus media, 2005), h. 10
H. M. Atho’ Muzdhar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: studi perbandingan dan keberanjakan UU modern dari kitab-kitab fiqih, cet.1, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 209-210
33
Libia
18
16
Malaysia
18
16
Maroko
18
15
Yaman utara
15
15
Pakistan
18
16
Somalia
18
18
Yaman selatan
18
16
Syiria
18
17
Tunisia
19
17
Turki
17
15
Secara rinci syarat-syarat perkawinan bagi mereka yang masih muda atau di bawah umur dan ingin melangsungkan perkawinan, maka di bawah ini diuraikan prosedur persyaratannya, diantaranya adalah sebagai berikut 35: 1. Para pihak mengajukan perkawinan terlebih dahulu pada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat; 2. Dari KUA diberi formulir untuk di isi dan kemudian diajukan pada Pengadilan Agama; 3. Menunggu penetapan dari Pengadilan Agama dan dengan berbagai sidang;
35
Penejelasan Undang-Undang No. 1 tahun 1974
34
4. Menyerahkan izin kepada KUA jika telah di dapatkan dan jika tidak maka perkawinan dibatalkan; 5. Pelangsungan oleh KUA. Dengan demikian, selain syarat-syarat melangsungkan perkawinan secara umum, khusus dalam persyaratan umur bagi pelaku perkawinan di bawah umur di indonesia adalah mendapatkan izin dari pengadilan agama (PA) dan kantor urusan agama (KUA), karena keduanya adalah lembaga yang dapat memberikan izin dispensasi tersebut. Namun demikian umumnya harus mendapatkan penetapan izin terlebih dahulu
dari
pengadilan
agama
dimana
mereka
hendak
melangsungkan
perkawinannya. Dan untuk pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan prosedur pelaksanaan perkawinan pada umumnya. Dengan catatan bahwa syarat-syarat secara keseluruhan telah terpenuhi, termasuk di dalamnya adanya syarat-syarat mendapatkan izin dari pengadilan agama setempat. Dari persyaratan yang telah disebutkan, setidaknya memberikan kelonggaran kapada hakim yang sedang dimintakan izin untuk mengabulkan permintaan kawin dari calon mempelai baik dari laki-laki maupun perempuan yang masih di bawah umur.
2. Perspektif Hukum Islam Ajaran dalam agama Islam sangatlah universal, fleksibel dan rasional, yang ajaranya sesuai dengan tempat dan zaman serta mudah diterima oleh khalayak
35
masyarakat, baik berkaitan dengan masalah ibadah, akhlak, muamalah, maupun berkaitan dengan aturan (hukum) diantarnya tentang pernikahan (munakahat). Dalam hukum Islam terdapat maqasidu syari’ah yang isinya ada lima prinsip perlindungan diantaranya perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima prinsip islam ini satu diantaranya adalah menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl) agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Pada dasarnya, hal ini tidak disebutkan dalam hukum Islam (kitab fiqih) yaitu mengenai pengertian dari perkawinan di bawah umur, hal ini dalam hukum islam juga tidak ditemukan pembahasan secara khusus baik itu sebagai suatu kajian yang mandiri maupun dalam satu bab yang mandiri pula. Hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah. Untuk itu, masalah batasan umur seseorang untuk melaksanakan perkawinan ini termasuk kedalam wilayah ijtihadiyyah. Dalam fiqih menyebutkan adanya perkawinan muda atau kawin belia dengan istilah nikah ash-shaghir/ash-shaghirah secara literal berarti kecil, namun yang dimaksud dengan shaghir/shaghirah disini adalah anak laki-laki atau perempuan yang belum baligh36. Ketentuan baligh antara seorang laki-laki dan seorang perempuan berbeda. Pada anak laki-laki, ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilam, yakni mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani), sedangkan anak perempuan, ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid.
36
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan gender, cet V, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 89
36
Dalam fiqih Asy-Syafi’i, usia haid minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan untuk anak perempuan adalah 17 tahun. Sementara Abu Yusuf, Muhammad Bin Hasan, dan Asy-Syafi’i menyebutkan usia 15 tahun sebagai tanda baligh, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan37. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwasannya perkawinan di bawah umur adalah perkawinan antara seorang mempelai yang salah satu atau keduanya belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Pengertian inilah yang dimaksud dalam penelitian ini dengan istilah perkawinan di bawah umur. Adapun perkawinan yang dilakukan pada umur diatas (19 tahun bagi pria, dan 16 tahun bagi wanita) walaupun masih di bawah umur 21 tahun tetap dianggap sebagai perkawinan yang layak dan bukan perkawinan usia dini. Dasar hukum perkawinan di bawah umur dalam hukum islam adalah al-Qur’an dan sunnah, tentang perkawinan di bawah umur ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan, masing-masing saling memberikan alasannya. Para ulama yang membolehkan perkawinan di bawah umur beralasan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah perkawinan. Berikut beberapa dasar yang membolehkan kawin dalam usia muda atau perkawinan di bawah umur, yakni:
37
Ibid. h. 90 yang dikutip dari Al-Kasani, Budai’ Ash-Shanai, juz VII, H. 171-172. Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz II, Beirut: Dar Al-ihya’at-Turats al-Arabi, h. 166
37
38
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid”. (QS. Ath-Thalaq 05: 4)
Pada dasarnya ayat ini berbicara mengenai masa iddah (masa menunggu) bagi perempuan yang sudah menopaose dan bagi perempuan yang belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah 3 (tiga) bulan. Secara tidak langsung, ayat ini juga dapat dipahami mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa dilaksanakan pada perempuan belia (usia muda) karena iddah hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah kawin dan bercerai39. Husein Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, ia mengartikan bahwa masa tunggu bagi wanita yang diceraikan untuk melakukan perkawinan lagi adalah tiga bulan, baik itu telah mengalami menstruasi atau belum. Kata lam yahid menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu tiga bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya. Muhammad
38
39
Ath-Thalaq (05): 4
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. V (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 91
38
menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia (belum mengalami menstruasi), karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang telah melangsungkan perkawinan40. Disamping mengambil dalil pada ayat-ayat di atas, yang sering dijadikan alasan untuk menikahkan seorang anak pada usia muda atau belia adalah mengambil dari peristiwa perkawinan Nabi dengan Aisyah r.a yang masih belia dan mengambil peristiwa sahabat yang menikahkan putra-putrinya. Sebagaimana ungkapan Aisyah r,a berikut ini:
ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺗﺰوج ﻋﺎ ﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﺑﻨﺖ ﺳﺖ او ﺳﺒﻊ وﺑﻨﻰ ﺑﮭﺎ .ﺑﻨﺖ ﺗﺴﺢ ﺑﺎءﻧﻜﺎح اﺑﻲ ﺑﻜﺮ اﺑﯿﮭﺎ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ
“Bahwa Rasulullah S.A.W. memperistri Aisyah r.a. pada usia 6 (enam) tahun atau 7 (tujuh) tahun, dan beliau menggaulinya pada usia 9 (sembilan) tahun, melalui pengawinannya Abu Bakar r.a., ayahnya.” (HR. Bukhari)41.
Dan para fuqaha sepakat bahwa seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap anak laki-lakinya yang belum dewasa. Demikian pula terhadap anak perempuannya yang masih gadis dan belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya 42.
40
Ibid., h. 92
41
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, analisis fiqih para mujtahid jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet III. h. 405 42
Ibid., h. 404
39
Perlu dikemukakan juga beberapa pandangan imam madzhab (madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali) tentang hak ijbar bagi wali mujbir. Sedangkan yang disebut dengan wali mujbir ialah ayah, atau kalau tidak ada ayah-kakek. Hak ijbar sendiri ialah hak seorang ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya, baik yang sudah dewasa maupun yang masih muda, tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan, asal anak perempuan tersebut tidak berstatus janda 43. Jadi menurut madzhab ini, hak ijabar hanya diberlakukan kepada perempuan yang masih di bawah umur dan tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa. Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta-merta dapat dilaksanakan dengan sekehendak sendiri. Ulama syafi’i (para pengikut imam asysyafi’i) mengatakan bahwa untuk mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain 44: 1.
Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya, yaitu ayah atau kakek;
2.
Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya;
3.
Calon suami harus kufu’ (sesuai/setara), dan
43
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2009), cet. V, h. 93 44
Ibid., h. 94
40
4.
Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.
B. Pengertian Anak dan Batas Usia 1. Perspektif Hukum Positif Dalam setiap negara mempunyai pendefinisian tersendiri tentang anak, dan mungkin tidak sama dengan negara lain. Dalam convention on the raight of the child (CRC), mendefinisikan anak:
“Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun kecuali menurut UndangUndang yang berlaku pada anak-anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.45
Pengertian dan batas usia anak dapat dilihat dalam berbagai perundang-undangan. Batas usia anak sendiri untuk memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Batas usia anak adalah pengelompokan batas maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih menjadi usia dewasa atau sudah bisa menjadi sebagai seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan atau tindakan hukum. Dalam pandangan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga disebutkan hal yang sama dalam KHA namun dalam Undang-Undang ini disisipkan kalimat anak yang masih dalam kandungan yaitu: ”anak adalah seseorang
45
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka 2010), h. 40
41
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Seharusnya setelah lahir Undang-Undang perlindungan anak yang dikategorikan lex specialis semua ketentuan definisi anak harus disesuaikan, namun dalam kenyataannya yang dikemukakan oleh (Hadi Supeno: kriminalisasi anak, 2010), masih banyak disharmonisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Beberapa Undang-Undang disebutkan46: a.
Undang-Undang no. 1 tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
b.
Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum kawin.
c.
Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.
d.
Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin.
e.
Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.
46
Ibid., h. 41
42
f.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 tahun sampai 15 tahun, dan ketentuan lainnya.
Dengan penetapan batas umur anak, seseorang yang umurnya belum mencapai batas yang ditetapkan harus dianggap belum matang secara seksual karena itu harus dianggap belum mampu memberikan atau menerima persetujuan secara matang untuk melakukan kontak seksual.
2. Perspektif Hukum Islam Ketika berbicara batas usia/umur kapan seseorang diperbolehkan untuk menikah maka, inilah diperlukan ijtihad ulama karena dalam hukum islam tidak adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah, dan banyak para ulama yang berbeda pendapat mengenai masalah ini. Maka dari situ dalam hukum Islam tidak adanya penjelasan secara spesifik mengenai pengertian dari perkawinan di bawah umur secara pasti. Apabila kedewasaan di nilai dari segi balighnya anak dalam hukum Islam di tandai dengan ihtilam (mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma pada anak lakilaki), dan bagi perempuan balighnya ditandai dengan menstruasi atau haid47. Jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun menurut pendapat Asy-Syafi’i minimal menstruasi dapat terjadi pada usia 9 tahun bagi anak perempuan, sedangkan
47
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2009), cet V. h. 90
43
Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi anak perempuan adalah usia 17 tahun. Sementara Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Asy-Syafi’i menyebutkan usia 15 tahun sebagai tanda baligh, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan48. Namun pendapat para imam madzhab di atas berbeda dengan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah yaitu:
ﻗﺎل ﺳﻠﯿﻤﺎن ﺑﻦ, واﻧﺎ ﺑﻨﺖ ﺳﺒﻊ, ﺗﺰوﺟﻨﻰ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ:ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﺔ ﻗﺎت . ودﺧﻞ ﺑﻰ واﻧﺎ ﺑﻨﺖ ﺗﺴﻊ, او ﺳﺖ:ﺣﺮب “Dari Aisyah r.a berkata: Rasulullah S.A.W telah mengawiniku pada saat usia 7 tahun. Kata sulaiman bin Harb: “enam tahun”. dan mengumpuli aku, sedang aku berusia 9 (sembilan) tahun.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)49.
Hukum islam, dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadis memang tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk melangsungkan perkawinan. Menurut penulis masalah usia Aisyah ketika dikawinkan dengan Rasulullah dengan Aisyah merupakan pengecualian.
48
49
Ibid., h. 90 yang dikutip dari al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i, juz VII, h. 171-172
H. Bey Arifin dan A. Syinqity Djamaluddin, Terjemahan dari Sunan Abi Daud, jilid III, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992), h. 49
BAB IV PEMIDANAAN BAGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
A. Kebijakan Hukum Pada Saat ini Dalam Rangka Menanggulangi Perkawinan di Bawah Umur Secara prinsip pada saat ini belum ada kebijakan hukum sacara khusus dan spesifik yang melarang adanya perkawinan di bawah umur. Berdasar undang-undang R.I yang berlaku pada saat ini hal yang mengatur tentang perkawinan adalah undang-undang no. 1 Tahun 1974. Dalam penjelasannya, dalam undang-undang ini tidak terdapat ketentuan pidana yang melarang perkawinan di bawah umur, hal ini dikarenakan pada dasarnya permasalahan perkawinan masuk dalam ranah hukum perdata. Sedangkan peraturan atau undang-undang yang dianggap sebagai upaya penanggulangan pada saat ini adalah: 1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dalam
undang-undang perkawinan
ini
memang
sudah ada semangat
pendewasaan umur bagi orang yang hendak melaksanakan perkawinan namun dalam undang-undang ini tidak menyebutkan adanya sangsi pidana bagi orang yang melanggarnya, disitu hanya menyebutkan perihal yang berkaitan dengan batasan umur bagi orang yang hendak melaksanakan perkawinan, diantaranya:
44
45
a. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun50. b. Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita 16 (enam belas) tahun51. Dan ayat (2) yang menyebutkan dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh ke dua orang tua baik pihak pria maupun wanita. c. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua52. d. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dalam kekuasaan wali53. Dari ketentuan undang-undang di atas, disebutkan bahwasanya ada suatu kebijakan dan semangat pendewasaan umur yang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bagi orang yang hendak melaksanakan pernikahan (kawin) guna menekan terjadinya kasus perkawinan di bawah umur meski dibarengi dengan adanya 50
Undang-Undang perkawinan no. 1 tahun 1974 Pasal 6 Ayat (2)
51
Undang-Undang perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1)
52
Undang-Undang perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 47 ayat (1)
53
Undang-Undang perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 50 ayat (1)
46
dispensasi bagi orang yang hendak melakukan perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur.
2. Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Berangkat dari kasus perkawinan di bawah umur antara puji (Pujiono Cahyo Widianto) dengan seorang anak yang bernama Lutfiana Ulfa yang masih berumur 12 (dua belas) tahun, dengan adanya pernikahan tersebut Puji dipidana oleh pengadilan negeri semarang dengan vonis 4 (empat) tahun penjara dan denda Rp 60 juta (enam puluh juta rupiah), karena telah dinilai terbukti terdapat unsur penipuan, melakukan serangkaian kebohongan, atau bujuk rayu untuk melakukan persetubuhan sebagaimana tercantum dalam pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dari kasus itu jelas bahwasanya undang-undang ini berisikan esensi dari pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perkawinan di bawah umur. Namun pertanggungjawaban pidana yang telah diterima oleh puji pada prinsipnya disebabkan bukan karena perbuatannya melakukan perkawinan dengan seorang anak yang masih di bawah umur tapi hal yang menjadi sebuah entri poin kenapa dia kemudian bisa di hukum dengan tindakannya tersebut, adalah disebabkan karena dia telah dinilai terbukti pada sebuah tindakan eksploitasi seksual terhadap anak yang terbukti masih di bawah umur, dan tidak menutup kemungkinan dari adanya pernikahan di bawah umur sang pelaku memang mempunyai kelainan seks yaitu
47
pedophilia. Dan hukum yang berlaku di indonesia yang terkait dengan hal itu adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 pasal 81 yang menyebutkan54: (1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 dan paling sedikit Rp 60.000.000,00. (2) Ketentuan pidana sebagaimana pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dengan diberlakukannya undang-undang no.23 Tahun 2002 pasal 81 tentang perlindungan anak adalah salah satu langkah yang tepat untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak indonesia, khususnya yang berkaitan dengan masalah pedophilia55, dan perkawinan di bawah umur sebab undang-undang tersebut secara umum menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan
dari
adanya
diskriminasi
dan
kekerasan.
54
Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI Undang-Undang Perlindungan Anak, (Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI 2003), h. 43-44 55
Yudhasmara Foundation, pedophilia. Artikel diakses pada 9 september 2011 dari http://
[email protected],http://pedophiliasexabuse.wordpress.com/
48
Selain itu dalam pasal 81 dalam undang-undang ini pada bagian ke empat pasal 26 ayat (1) poin C ini ditegaskan bahwa orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak56. Namun jika hal itu terjadi maka orang tua juga bisa dikenai hukuman, tetapi hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan perkawinan di bawah umur, karena dalam urusan perkawinan adalah lebih ke masuk dalam wilayah hukum perdata. Jika dilihat dari persepektif hukum islam perkawinan yang terjadi antara puji dengan lutfiana ulfa sudah bisa dikatakan sah secara agama dengan adanya keterangan surat resmi dari MUI Jateng pada kejaksaan negeri ambarawa yang isinya menyatakan pernikahan puji dengan ulfa sudah sah menurut ajaran islam57, jika MUI sudah menyatakan sah dipastikan perkawinan itu sudah memenuhi rukun dan syarat nikah diantaranya dengan adanya: (1) shighah (ijab dan qobul), (2) calon istri, (3) calon suami dan, (4) wali, hal ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama yang berbeda dengan pendapat hanafiah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada dua yaitu ijab dan qobul. Namun jika dilihat dalam persepektif hukum di indonesia dengan adanya undang-undang spesialis anak yaitu Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pelaku perkawinan dengan anak di bawah umur, dengan adanya dalih inilah puji divonis 4 (empat) tahun penjara dengan denda Rp 60 juta (enam puluh juta rupiah). 56
57
Ibid., h. 22
Basfin Siregar, syeikh puji divonis 4 tahun, Artikel diakses pada tanggal 23 maret 2011 dari http//new.gatra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=339:syeikh puji divonis 4 tahun.
49
Berdasarkan kasus di atas, jika pada saat ini terjadi pernikahan di bawah umur kebijakan yang dianggap efektif digunakan untuk menanggulangi terjadinya perkawinan di bawah umur adalah Undang-Undang perlindungan anak No. 23 tahun 2002. Meskipun dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sudah ada semangat pembatasan usia bagi calon yang hendak melaksanakan perkawinan yang telah disebutkan dalam penjelasan di atas. Melihat dari keterangan di atas mengapa kemudian harus dibatasi usia untuk menikah pada usia tertentu, hal ini diasumsikan pada usia itu (anak yang masih di bawah umur) adalah usia pendidikan. Jadi pada kondisi tersebut seseorang yang masih di bawah umur mau masuk kepada bahtera rumah tangga dipastikan belumlah siap kondisi dirinya untuk menuju dunia baru dalam hidupnya, yang diantaranya adalah persiapan pemantapan mental. Dalam tinjauan fiqih dijelaskan bahwasannya pernikahan bukanlah cerminan dari ucapan verbal akad semata tetapi lebih kepada eksistensi kualitas hubungan, walaupun hal tersebut haruslah didahului dengan simbolisasi aqad, sekalipun itu menikahkan anak pada usia anak-anak tetapi tidak diperbolehkan pelaku untuk melakukan hubungan ketika anak itu belum siap baik secara fisik atau secara mental. Intinya dalam aspek perkawinan tidak boleh terjadi simbiosis yang bersifat parasit yang bisa saling merusak/merugikan baik itu dalam
50
tumbuh kembang maupun untuk kelangsungan hidup pelaku perkawinan di bawah umur58.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam kitab undang-undang hukum pidana (wet boek van strafrecht) disitu juga tertulis tentang adanya ketentuan sangsi pidana yang berkaitan dengan perkawinan diantaranya: Pasal 27959 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetaui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi pengahalang yang sah untuk itu; 2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetaui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi pengahalang untuk itu.
58
Wawancara pribadi dengan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, wakil ketua KPAI pada tanggal 21 juli 2011 59
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP (Jakarta: RINEKA CIPTA, 2005), h. 111
51
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 no. 1-5 dapat dinyatakan. Pasal 28860: (1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan itu mengakibatkan lukaluka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dari ketentuan pasal 288 disitu dapat diartikan adanya unsur perlindungan terhadap alat reproduksi perempuan yang sudah menikah dengan tidak untuk melakukan hubungan kelamin hingga pasangannya sudah dirasa siap.
Pada saat ini cukup banyak upaya yang telah dilakukan dari berbagai lembaga pemerhati anak yang melakukan penelitian terhadap perkawinan di bawah umur dan 60
Ibid, h. 115-116
52
hasilnya menunjukkan meningkatnya jumlah kasus perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur, diantaranya data dari jumlah perkara dispensasi kawin di pengadilan agama Bantul pada tahun: 2005 tercatat 25 perkara, 2006 tercatat 37 perkara, 2007 tercatat 52 perkara, 2008 tercatat 70 perkara, dan sampai bulan maret 2009 perkara dispensasi kawin sudah pada 23 perkara. Jika ini kwartal pertama, maka bisa diasumsikan sampai akhir tahun perkara bisa sampai pada angka 92 dengan kenaikan sangat tinggi, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 perkara dispensasi kawin akan sampai angka melebihi 100 anak61.
Pada tahun 2009 departemen agama juga sudah melakukan upaya pencegahan terjadinya perkawinan di bawah umur salah satunya dengan merancang undangundang terapan peradilan agama tentang perkawinan yang akan menaggulangi dengan sangsi yang jelas. RUU yang dirancang dan sudah diajukan oleh depag saat ini sudah ditandatangani oleh presiden namun belum dibahas oleh DPR. RUU ini oleh Dirjen Bimas Islam Depag prof. Dr. Nasarudin Umar dikatakan lebih rinci dari undangundang perkawinan, khususnya tentang sangsi. Sangsi bagi pelaku perkawinan di bawah umur uraiannya mencapai Rp. 6 (enam) juta, dan sangsi untuk penghulu yang mengawinkannya adalah sebesar Rp. 12 (dua belas) juta dan kurungan 3 (tiga) bulan62.
61
Lily Ahmad, Hakim Dan Pernikahan Dini, diakses pada tanggal 5 agustus 2011 dari http://lilyahmad.multiply.com/journal/item/26/HAKIM_DAN_PERNIKAHAN_DINI 62
Lukman, Perkawinan di Bawah Umur Diberi Sangsi Pidana, artikel diakses pada tanggal 21 juli 2011 dari http:\DEPAG KABUPATEN PASURUAN. htm
53
B. Dasar Pertimbangan Perlunya Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur Dalam bab ini akan membahas tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan untuk mempidana pelaku perkawinan di bawah umur yang di kenal dengan kriminalisasi perkawinan di bawah umur, dimana dalam mengkriminalkan perkawinan itu harus menggunakan kebijakan atau ketentuan pidana untuk mengangkat atau menetapkan atau menunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal). Tindak pidana pada hakikatnya merupakan perbuatan yang di angkat atau perbuatan yang ditunjuk atau ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat di pidana oleh pembuat Undang-Undang63. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk mempidana perkawinan di bawah umur, menurut Prof. Sudarto64, disini ada beberapa kriteria yang patut di pertimbangkan dalam menentukan kriminalisasi, yaitu: e. Tujuan hukum pidana f. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki g. Perbandingan antara sarana dan hasil h. Kemampuan aparat penegak hukum Tidaklah mudah untuk mengkriminalkan pernikahan di bawah umur yang hal ini didasarkan pada peranggapan-peranggapan, jangan sampai terjadi adanya peraturan 63
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 295 64
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,cet.V (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 31-41
54
yang telah susah payah dihasilkan dengan mengeluarkan biaya yang sangat banyak akhirnya tidak dapat dilaksanakan, atau yang paling buruk peraturan itu malah mendatangkan ketidak-tentraman dalam masyarkat. Memang dalam membentuk undang-undang pidana terkesan bahwa dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana seolah-olah dijadikan sebagai satu-satunya sarana, mengingat efek prevensi generalnya mempunyai ancaman yang tidak dapat disangkal. Hukum pidana dikatakan dapat menyaring dari sekian banyak perbuatan yang tercela, dan tindak asusila atau yang merugikan dikalangan masyarakat. Hukum pidana digunakan untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki. Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumya ialah tercapainya kesejahteraan masyarakat baik secara materil maupun spiritual, maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi warga masyarakat. Dengan adanya kerugian berarti ada korban. Perlu diingat bahwa korban dari perbuatan itu tidak hanya orang lain akan tetapi dapat pula pelakunya sendiri. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sangsi negatif yang berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. Yang jelas kalau undang-undang itu sudah jadi dan dilaksanakan, ia akan menggerakkan sekian banyak badan/lembaga dan orang untuk dapat diterapkan. Ada polisi, badan penuntut umum,
55
pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya, mereka ini masuk dalam mekanisme yang disebut sistim hukum pidana65. Dari adanya usaha pencegahan perbuatan yang dilarang itu dengan suatu peraturan atau perundang-undangan mungkin sekali mendatangkan perasaan aman dan tentram dikalangan masyarakat. Kenapa dikatakan “mungkin sekali” karena memang pada umumnya hal tersebut tergantung pula dari sifat perbuatan yang dilarang itu dan pemilihan tersebut, apakah benar-benar tidak dikehendaki oleh seluruh rakyat66. Dalam hukum pidana masih ada lagi yang perlu diperhatikan, yaitu efek dari pidana itu sendiri terhadap terpidana. Kita juga harus memperhitungkan, bahwa hukum pidana itu sendiri bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak pidana. Karena itu harus benar-benar dipertimbangkan akibat dari sesuatu peraturan pidana. Jadi dari penjelasan diatas cukup jelas bahwasanya tidak mudah untuk mengkriminalkan (mempidana) pelaku perkawinan di bawah umur. Dalam kehidupan masyarakat saat ini kasus itu memang tidak asing, dengan banyaknya kasus pernikahan di bawah umur sesuai dengan hasil penelitian dari PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) pada tahun 2008 di kabupaten Nias yaitu angka pernikahan antara usia 13-18 tahun mencapai angka sekitar 9,4% dari 218 responden perempuan yang sudah menikah dan yang akan menikah. Angka pernikahan di usia muda bagi 65
66
Ibid., h. 46 Ibid., h. 46-47
56
anak perempuan 3x lebih besar dibanding dengan anak laki-laki. Di kota malang menurut catatan kantor pengadilan agama (PA), angka perkawinan di bawah usia 15 tahun meningkat dibanding pada tahun 2007, hingga bulan september 2008 tercatat terjadi 10 perkawinan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah umur 15 tahun67. Adanya fenomena perkawinan di usia anak-anak tidak jauh berbeda antara kota yang telah diteliti PKPA dengan kota lainnya, seperti di daerah Bantul dengan adanya data jumlah perkara dispensasi kawin di pengadilan agama bantul sampai bulan maret 2009 perkara dispensasi kawin sudah pada 23 perkara68. Dengan kenaikan sangat tinggi, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 perkara dispensasi kawin akan sampai pada angka melebihi 100, mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah dan sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas dua, dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan diantaranya masalah ekomoni, sosial, anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi anak perempuan dan stigma terhadap status perempuan tua69.
67
Ahmad Sofyan, MA dan Misran Lubis. Pernikahan Dini, artikel diakses pada tanggal 18 juli 2011dari http://niaschild.multiply.com/journal PKPA Nias-indonesia 68
Lily Ahmad, Hakim dan Pernikahan Dini, artikel diakses pada 5 agustus 2011 dari http://lilyahmad.multiply.com/journal/item/26/HAKIM_DAN_PERNIKAHAN_DINI 69
opcit
57
Hasil dari penelitian PKPA (pusat kajian dan perlindungan anak) diatas, dapat dijadikan dasar pertimbangan tentang perlunya kriminalisasi perkawinan di bawah umur, dengan mengingat dampak-dampak yang akan timbul dari adanya perkawinan di bawah umur, jelaslah sebuah upaya hukum harus dilakukan demi melindungi hakhak yang terzdholimi dengan adanya pernikahan di bawah umur, hal ini haruslah diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena hal itu merupakan hal yang tidak kalah krusialnya. Sebab diantara masalah yang akan timbul dari pernikahan dini atau di bawah umur adalah dampak-dampaknya yang akan dirasakan semakin lama semakin menarik perhatian bagi banyak kalangan. Untuk mengetahui dampak dari pernikahan di bawah umur menjadi sangat penting dalam rangka upaya untuk menemukan obyektifikasi hasil penelitian ini. Sebab dengan mengetahui dampaknya (perbuatan yang tidak dikehendaki), maka akan lebih mudah bagi kita untuk menganalisis pernikahan di bawah umur dari aspek maslahah dan mafsadahnya. Diantara dampak-dampak yang akan timbul dari adanya perkawinan di bawah umur terdapat beberapa aspek, diantaranya yaitu: a. Dampak hukum, setiap negara mempunyai peraturan-peraturan yang terwujud dalam sebuah undang-undang. Salah satu sifat undang-undang adalah mengikat terhadap seluruh warga negaranya. Mengikat disini mengandung pengertian terdapat kewajiban bagi warga negara untuk selalu mentaati adanya peraturan (Undang-Undang) yang berlaku, dimana bagi setiap orang yang melanggarnya dikenakan sangsi bagi warga negara yang melanggar
58
aturan tersebut atau yang lebih tepatnya disebut dengan adanya ancaman pidana, denda atau sangsi administrasi. Dalam perkawinan di bawah umur, secara yuridis terdapat pelanggaran terhadap undang-undang dalam beberapa aspek, diantaranya adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat (1), adapun isinya bahwasannya perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapi umur 19 tahun dan wanita 16 tahun, dan Undang-Undang no.23 tahun 2002 pasal 26 ayat 1, bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak dengan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Amanah dari undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi anak, agar tetap sesuai dengan kodratnya, dan tetap memperoleh hak-haknya untuk tetap hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Undang-undang merupakan salah satu bentuk representasi dari masyarakat yang di tetapkan oleh pemerintah atau pemimpin untuk mengatur masyarakatnya demi melindungi hak-hak masyarakat yang menjadi tanggungannya. b. Dampak biologis, pernikahan di bawah umur memberikan dampak yang tidak bagus dalam tumbuh kembang anak-anak, hal ini dikarenakan jika dilihat dari kacamata biologis, anak-anak yang masih belum dewasa dan masih dalam
59
masa pertumbuhan baik dari segi fisik maupun mental, jika dipaksakan pernikahan tersebut akan mengganggu pertumbuhan alat reproduksinya, hal ini dikarenakan alat kelamin tersebut masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan berakibat sangat tidak baik bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan di bawah umur tersebut, maka akan terjadi trauma ataupun gangguan fisik maupun mental, robeknya alat kelamin dan infeksi yang membayangi dan akan membahayakan organ reproduksinya dan tidak menutup kemungkinan sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan terhadap seorang anak. c. Dampak psikis, secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan
seks,
sehingga
akan
menimbulkan
trauma
psikis
yang
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
60
d. Dampak sosial, yang dimaksud dampak sosial disini adalah adanya hirarki laki-laki dengan perempuan, dan adanya ketidakstabilan dalam fungsi keluarga. Adanya hirarki antara laki-laki dengan perempuan tidak bisa lepas dari fenomena sosial, hal ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap sebagi pelengkap sex bagi orang lakilaki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk islam yang sangat menghormati perempuan. Dampak sosial selanjutnya adalah berhubungan dengan perjalanan keluarga. Menurut Muhammad Amin Summa pernikahan tidak semata-mata tercermin pada konotasi makna biologis. Akan tetapi jauh dari pada itu pernikahan juga akan mengakibatkan hubungan psikis, kejiwaan dan perbuatan-perbuatan (tingkah laku) dibalik hubungan biologis mereka berdua. Selain itu juga akan mencerminkan hubungan-hubungan dengan orang lain yang masuk sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan yaitu hubungan dengan keluarga dan mertua, juga hubungan yang dilakukan dengan masyarakat sekitarnya. Sebab orang yang sudah melakukan perkawinan secara otomatis ia akan mendapatkan predikat kehormatan sejajar dengan kehormatan manusia itu sendiri. 70
70
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), h. 49
61
e. Dampak perceraian, salah satu dampak pernikahan di bawah umur adalah rawan perceraian. Keluarga bahagia dan sejahtera yang menjadi tujuan dari pada pernikahan yang sudah tidak lagi menjadi acuan dan bahkan sulit di dapatkan dalam perkawinan di bawah umur. Hal ini dikarenakan ketika macam-macam permasalahan dan aneka konsekuensi pada pernikahan dan berkeluarga datang menerpa, mereka yang notabene kurang berpendidikan dan berpengalaman tidak mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik. Dengan maraknya wacana dampak-dampak dari perkawinan di bawah umur yang disebutkan diatas yang menjadikan adanya anggapan bahwa perlunya dilakukan sebuah tindakan terhadap pelaku perkawinan di bawah umur. Karena perkawinan di bawah umur dianggap sebagai sebuah perbuatan yang tidak dikehendaki dalam masyarakat karena pada nantinya akan menimbulkan dampak yang tidak baik dalam tatanan masyarakat. Hal penting yang perlu diingat dalam menyikapi permasalahan perkawinan di bawah umur adalah hal ini merupakan permasalahan perdata, adalah salah ketika memasukkan masalah pernikahan di bawah umur kedalam masalah hukum pidana, berbeda halnya dengan pemaksaan untuk menikah terhadap seorang anak, yang dengan itu seorang anak merasa terintimidasi dan dilanggar hak dan privasinya untuk tetap tumbuh kembang sesuai dengan sewajarnya, dengan ini layak atas kasus ini menjadi ranah pada hukum pidana, hal ini bukan semata karena terjadinya
62
perkawinan tersebut
tapi karena adanya unsur
pemaksaan dalam proses
berlangsungnya pernikahan tersebut 71. Dan hal lain yang perlu perhatikan untuk melakukan perkawinan adalah rukun dan syarat dalam perkawinan tersebut, karena rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum. Dalam sebuah perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal dan dipisahkan, bila dari kedua hal itu tidak lengkap maka tidak sah dari perkawinan tersebut. Keduanya mengandung arti yang berbeda tetapi terdapat sebuah kaitan yang pasti. Adapun yang dimaksud rukun adalah suatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya 72. Dalam perkawinan perlu diperhatikan juga asas dan prinsipnya, dan yang dimaksud dengan asas dan prinsip perkawinan disini adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh undang-undang perkawinan. Adapun asas-asas dan prisip-prinsip yang di anut oleh undang-undang perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan umum undangundang perkawinan itu sendiri, diantaranya sebagai berikut 73:
71
Wawancara pribadi dengan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, wakil ketua KPAI pada tanggal 21 juli 2011 72
Prof. DR. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Croup, 2009), cet.3, h. 53 73
Ibid., h. 25-26
63
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan meteril. 2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan setiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga di muat dalam daftar pencatatan. 3. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan seorang yang lebih dari seorang, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan dapat diputuskan oleh pengadilan. 4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
64
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menetukan bahwa untuk melangsungkan kawin baik bagi pria maupun wanita ialah usia, 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. Jadi secara sederhananya asas dan prinsip dari perkawinan itu adalah sebagai berikut74: 1. Asas sukarela 2. Partisipasi keluarga 74
Ibid., h. 26
65
3. Perceraian dipersulit 4. Poligami di batsasi secara ketat 5. Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki derajat wanita Dari ketentuan diatas, yang
dimaksudkan sebagai asas dan prinsip dari
perkawinan yang ada dalam undang-undang perkawinan yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, disini bisa diartikan bahwa kematangan umur bagi calon mempelai sangatlah relatif sesuai kondisi fisik dan mental para pelaku perkawinan, dengan inilah perlu diperketat dalam pelaksanaanya, agar nantinya dapat menjadi pintu masuk dari upaya dalam menekan angka perkawinan di bawah umur. Dikarenakan anak yang melakukan perkawinan sangatlah memerlukan kesiapan fisik dan mental yang matang untuk membina rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Poin lainnya adalah untuk memperbaiki derajat wanita. Dari poin ini bisa diartikan bahwa dalam kehidupan keluarga banyak wanita yang menjadi korban perkawinan di bawah umur, terutama di daerah pedesaan. Sehingga seorang anak perempuan tidak bisa menjalani masa kanak-kanak dengan sewajarnya, dan tidak bisa menikmati pendidikan dimana pendidikan itu guna mengembangkan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka secara optimal.
66
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur Dalam hukum islam memang tidak ada pembahasan secara mandiri tentang kriminalisasi namun substansi dari kriminalisasi dalam hukum pidana islam sudah ada, dengan adanya salah satu konsep penting dan fundamental dari hukum islam yaitu konsep dari maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum islam disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Maslahah mursalah adalah metode penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan universal sebagai tujuan syara’ tanpa berdasar secara langsung pada teks atau makna nas tertentu.75 Pada dasarnya perkawinan di bawah umur dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang melarang perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur bahkan ada hadis yang dijadikan dalil yang membolehkan perkawinan di bawah umur yang artinya: “Bahwa Rasulullah S.A.W memperistri Aisyah r.a pada usia 6 (enam) tahun atau 7 (tujuh) tahun, dan beliau menggaulinya pada usia 9 tahun, melalui pengawinannya Abu Bakar r.a., ayahnya” (HR. Bukhori)76. Dari hadis diatas bisa diartikan bahwasanya perlunya kesiapan mental dan fisik untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, terutama kesiapan fisik 75
Hamka Haq, Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat, (Erlangga: 2007), h. 80 76
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analis Fiqih Para Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani: 2007), cet. III. h. 405
67
ketika hendak melakukan hubungan suami istri. Jika seorang suami memaksakan untuk melakukan bubungan intim ketika sang istri belum siap dan berakibat terlukanya alat kelamin sang istri. Maka tepatlah suami mendapatkan hukuman ta’zir karena telah melanggar dan membuat kemadaratan kepada istrinya, sehingga terjadi bahaya dan mengganggu kesehatan sang istri. Kebutuhan-kebutuhan yang menjaga kemaslahatn sang isri dan masyarakat merupakan alasan yang kuat bagi syara’ untuk menetapkan hukumanhukuman ta’zir yang demikian itu kepada pelaku, sehingga akan tercipta sebuah kemaslahatan dan keadilan bersama. Namun pada dasarnya menyetubuhi istri yang belum waktunya untuk dikawin ini tidaklah dilarang dan tidak dipidana atau dihukum ta’zir. Baru dapat dikenakan hukuman ta’zir apabila dari persetubuhan itu mengakibatkan timbulnya luka-luka pada alat kelamin sang istri. Dari adanya lukaluka itu sang suami bisa dikenakan hukuman ta’zir.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari keterangan-keterangan yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan dari rumusan masalah yang disebutkan dalam bab 1 diantaranya: 1. Dari pembahasan yang telah dibahas dalam bab-bab terdahulu dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang salah satu dari pelaku atau keduanya masih di bawah umur menurut pandangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dalam peraturan tersebut diatur perihal batas minimal dari usia pernikahan, untuk pria usia dibatasi 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun, tetapi dalam hal ini terdapat pengecualian terhadap anak yang masih di bawah umur yang hendak melakukan perkawinan, dengan ini tentunya diberlakukan dengan adanya syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (2). 2. Selain itu dapat diambil kesimpulan pula bahwa pemidanaan perkawinan di bawah umur dalam hukum positif sebagai kriminalisasi seperti halnya kasus perkawinan syekh puji hingga dia bisa dihukum bukan karena pernikahannya 68
69
tetapi lebih pada prosesnya yang terdapat indikasi kuat eksploitasi anak, jadi perkawinan di bawah umur adalah bukan suatu kriminalisasi (suatu perilaku yang awalnya tidak di anggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana) Sebagaimana hasil dari wawancara yang dilakukan dengan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA selaku wakil ketua KPAI Bidang Keagamaan dan Budaya yang menyatakan: “Bahwa pada prinsipnya soal perkawinan merupakan suatu urusan perdata, ada hukum tersendiri yang mengatur secara khusus tentang perkawinan yaitu undangundang no. 1 tahun 1974 yang sudah mengatur batas usia anak yang dibolehkan untuk menikah baik laki-laki maupun perempuan yang dibedakan yang kemudian ada pengecualian bagi anak yang masih diluar batas usia yang telah ditentukan dengan adanya dispensasi. 3. Sedangkan kriminalisasi sebagaimana yang dibahas dalam hukum positif tidak ditemukan bahasan secara mandiri dalam hukum islam, namun secara substansinya sudah ada. Maslahah mursalah dalam hukum islam adalah salah satu metode penetapan hukum yang didasarkan pada kemaslahatan universal (umat), dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang melarang hal perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur namun jika seorang suami memaksakan untuk melakukan hubungan intim ketika sang istri belum siap dan mengakibatkan terlukanya alat kelamin sang istri, dari kejadian itu sang suami bisa dikenakan hukuman ta’zir. Pada dasarnya menyetubuhi istri yang
70
belum waktunya untuk dikawin tidaklah dilarang dan tidak dipidana atau dihukum ta’zir.
B. Saran Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya perkawinan masuk dalam wilayah perdata, adalah salah jika perkawinan diartikan dan masuk pada ranah hukum pidana. Dari kasus perkawinan syekh puji dapat disimpulkan tidak perlu adanya pemahaman sebagai sebuah kriminalisasi terhadap perkawinan, dengan ini menjadi jelas dalam memahami permasalahan ini. Dengan ini kita harus mengetahui bahwasannya dampak negatif dari kriminalisasi itu sendiri diantaranya: 1. Menimbulkan pengaruh negatif terhadap kehidupan keluarga (istri/ suami) yang ditinggal menjalani hukuman penjara 2. Adanya cap atau anggapan yang melekat terhadap pelaku sebagai mantan narapidana setelah menjalani hukuman dikalangan masyarakat. 3. Dengan statusnya sebagai mantan narapidana akan sulit baginya mencari pekerjaan di sebuah instansi baik dalam pemerintahan maupun swasta karena melekat sebuah anggapan bahwasannya dia sebagai mantan narapidana
71
Hemat penulis hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur bukan dengan kriminalisasi tetapi dengan menghilangkan faktorfaktor dalam proses terjadinya perkawinan di bawah umur diantaranya: 1. Faktor Perjodohan Faktor perjodohan orang tua terhadap anak-anaknya biasanya berlaku di daerah primitif pedesaan dan rendah taraf pendidikannya. Adapun faktor dan motifasi orang tua untuk menikahkan anaknya sangatlah beragam, menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, orang tua menikahkan anaknya yang masih kecil atau di bawah umur karena: a. Adanya keinginan untuk segara mendapatkan tambahan anggota keluarga. b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk dari perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya. c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.77 Dalam islam mengenal tentang wali mujbir78. Menurut syafi’iyah, wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan wanita perawan, baik wanita perawan itu masih kecil ataupun sudah dewasa, walaupun tidak ada persetujuan dari perawan tersebut. Akan tetapi wali tetap dianjurkan (mustahab) untuk meminta persetujuannya terlabih dahulu79.
77
Alfiah, “faktor-faktor pernikahan dini”, artikel diakses pada tanggal 5 agustus 2011 dari. www.alfiah.23. Student. Umm.ac.id 78
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak feto untuk menikahkan anak yang masih kecil atau belum baligh. Abdurrahman al-juzairi, mazahib al-arba’ah. (beirut, libanon: maktabah alasyiriyyah, 2003), IV: 28 79
opcid
72
2. Faktor Pendidikan Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktunya dengan bekerja, maka anak itu sudah merasa cukup mandiri dan merasa mampu untuk menghidupi dirinya sendiri, sehingga ada dorongan yang sangat kuat untuk segera menikah atau berkeluarga. Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur, dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan halhal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang juga diluar kontrol bisa membuat kehamilan diluar nikah80. Di sisi lain agama sangat menganjurkan adanya mencari ilmu, bahkan mencari ilmu hukumnya wajib. 3. Faktor Pemahaman Agama Yang dimaksud dengan pemahaman agama adalah, proses seseorang dalam memahami secara komprehensif sesuai aturan-aturan yang berlaku, hal ini akan sangat penting, dikarenakan agama merupakan sebuah norma dasar yang akan sangat berpengaruh dalam membentuk karakteristik seseoarang yang nantinya akan berdampak terhadap kehidupannya sehari-hari.
80
Lily Ahmad, “Hakim dan Pernikahan Dini”, artikel diakses pada tangal 5 agustus 2011 dari http://lilyahmad.multiply. Com/journal/item/26/HAKIM DAN PERNIKAHAN DINI.diposkan pada tanggal 7 may 2009,
73
Adanya pemahaman sepihak terhadap agama tanpa menengok kepada dasar-dasar hukum yang melandasinya semisal dalam maqasid asy-syar’i. Biasanya dalam memandang persoalan pernikahan, orang yang akan menikahkan anaknya di bawah umur sesuai dan mengikuti adanya hadis pernikahan nabi Muhammad S.A.W dengan Aisyah r.a selain itu juga berpihak kepada hadis ancaman bagi orang tua yang tidak segera mengawinkan anaknya 81. 4. Faktor Ekonomi Faktor ini merupakan salah satu faktor adanya pernikahan di bawah umur, tidak bisa dipungkiri lagi salah satu penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur adalah tekanan ekonomi, bahkan ada juga indiksi eksploitasi dari orang tua terhadap anak. Biasanya orang tua akan merelakan anaknya untuk dinikahkan dengan orang yang sudah mapan perekonomiannya, karena dalam keluarga tersebut sudah merasa kesulitan untuk memberi nafkah terhadap anak tersebut, sehingga dengan dinikahkan anak tersebut akan sedikit mengurangi beban orang tua82. Memang sekilas menurut hukum Islam faktor tersebut dibenarkan bahwa disyaratkan bagi seorang wali yang ingin menikahkan anaknya yang masih kecil atau di bawah umur harus sekufu dan mampu memberi nafkah. Namun jika adanya niat tidak baik dari orang tua yang ingin mengeksploitasi anak, maka hal tersebut sangat 81
Hadis dari Abu Isa at-Tirmizi, sunan at-Tirmizi, hadis: 1084, (Bairut; Dar’ihya’ al-Arabi., tt, III:394) 82
Persoalan Ekonomi, Motif Nikah Muda, artikel diakses pada tanggal 19 juni tahun 2011 dari kompas.com semarang sabtu 14 maret 2009
74
dilarang oleh agama. Dalam undang-undang perlindungan anak yang berlaku di indonesia juga melarang terjadinya eksploitasi terhadap anak dengan jalan apapun83.
83
UU NO.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 13
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung, 2007 Adjis, Chairil A dan Akasyah, Dudi. Kriminologi Syariah. Cet. I, Jakarta: RMBOOKS, 2007 Arifin, Bey, dan Syinqity Djamaludin. Terjemahan Sunan Abi Daud, jilid III,Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992 Djazuli, A., Fiqih Jinayah: upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam, cet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000 Djirjosisworo, Soedjono. Anatomi Kejahatan di Indonesia, Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya pada awal abad ke 21, Bandung: Granesia, 1996 Haq, Hamka, Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat, Erlangga: 2007 Kamus Hukum, Bandung : Citra Umbara 2008. Kansil C.S.T dan Cristine S.T Kansil., Kamus Istilah Aneka Hukum, cet. I Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001 Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI. UndangUndang Perlindungan Anak, Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI 2003 Marbun B. N. Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 2006. Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan: refleksi kiai atas wacana agama dan gender, cet. V, Yogyakarta: LkiS, 2009 75
76
Muzdhar, M. Atho’ dan Khairudin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: studi perbandingan dan keberanjakan
Undang-Undang modern
dari kitab-kitab fiqih, Jakarta: Ciputat Press, 2003 Nawawi Arief, Barda. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003 -----------------------------, Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, cet. I. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005 -----------------------------, Bunga Rampai Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan KUHP baru, jakarta: kencana, 2008 Prajogo, soesilo. Kamus Hukum Internasional Dan Indonesia, Jakarta: Wacana Intelektual, 2007 Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010 Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid: analisis fiqih para mujtahid jilid II, cet. III Jakarta: Pustaka Amani, 2007 Sianturi S.R dan Mompang L. Panggabean. Hukum Penitensia, Jakarta:akarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996 Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet. VIII. Jakarta: Rajawali Pers, 2004 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, cet.V. Bandung: PT. Alumni, 2007 Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005
77
Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan. Jakarta: PT. Gramediapustaka utama, 2010 Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada Media Croup, 2009 Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. V. Jakarta: UI-Press, 1986 Tim Redaksi Fokusmedia. Himpunan Peratuaran Perundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Focusmedia, 2005 Tim Redaksi. Perundangan Tentang Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010
Rujukan dari Situs Internet, dan Wawancara Pribadi
Admin, Putusan Sela, Syeh Puji Bebas, artikel diakses pada 17 maret 2011 dari http://radar pekalongan.com/putusan sela-syeh-Puji-bebas Ahmad Sofyan, MA dan Misran Lubis, Pernikahan Dini, artikel diakses pada tanggal 18 juli 2011dari http://niaschild.multiply.com/journal PKPA Nias-indonesia Alfiah, Faktor-Faktor Pernikahan Dini, artikel diakses pada tanggal 5 agustus 2011 dari. www.alfiah.23. Student. Umm.ac.id Basfin Siregar, Syeikh Puji Divonis 4 Tahun, Artikel diakses pada tanggal 23 maret 2011
dari
http//new.gatra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=339: syeikh puji divonis 4 tahun.
78
Dr. Asmawi, M.A, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer,
artikel
diakses
pada
tanggal
18
april
2011
dari
http://www.pdfreference.com/Kriminalisasi-Poligami-dalam-HukumKeluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer Kompas.com, Cuma 4 tahun, aktifis perempuan menyesal, artikel diakses 23 maret 2011 dari http://www.arsipberita.com/arsip/kasus-syekh-Puji.html Lily, Ahmad, Hakim dan Pernikahan Dini, artikel diakses pada 5 agustus 2011 dari http://lilyahmad.multiply.com/journal/item/26/HAKIM_DAN_PERNIKAHA N_DINI Luxboy, Syekh Puji Menghadiri Persidangan, artikel diakses pada 17 maret 2011 dari http://gugling.com/syekhPuji-menghadiri-persidangan. html Persoalan Ekonomi, Motif Nikah Muda, artikel diakses pada tanggal 19 juni tahun 2011 dari kompas.com semarang sabtu 14 maret 2009 Wawancara pribadi dengan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA. Wakil Ketua KPAI pada tanggal 21 juli 2011