LAMPIRAN 2 SAMPEL PENELITIAN “PROMOSI KEPARIWISATAAN INDONESIA DALAM PUISI INDONESIA MODERN” No.
Penulis
Judul Puisi
Promosi Daerah
1. 2. 3. 4. 5.
Amir Hamzah Mansur Samin Hamid Jabbar Slamet Sukirnanto Taufiq Ismail
Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Kepulauan Riau
6. 7.
Dimas Arika Miharja Surasono Rashar
Jambi Sumatra Selatan
1994 1990
8.
Sensu Alfajrie Hamin
Bengkulu
1990
9. 10.
Isbedy Stiawan ZS Ajip Rosidi
Lampung Banten
1990 1993
11. 12.
Dodong Djiwapradja Lilik Mulyadi
Jawa Barat Jakarta
1968 1990
13. 14. 15. 16.
Isma Sawitri Sugiyanta Abdul Hadi W.M. M. Junaedi
Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Selatan
1990 1968 1990
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Barat Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara
2002 1990 2009 1990 1995 1990 2009
24. 25.
Aliemha Annisa Al Hadis Rina Kusmiarsih Verrianto Madjowa Yvonne de Fretes Anshar Muadin ST Bambang Widiatmoko W.S. Rendra Didi Marsudi
Batu Belah (Kabaran) Delitua Bukittinggi Riau Perjalanan Menziarahi Raja Ali Haji Candi Muara Jambi Sungai Musi – Venesia dari Timur Pantai Panjang di Batas Senja Punggungrahardjo Di Menara Mesjid Banten Pangandaran Topeng Monyet Jakarta Piknik Yogyakarta Madura Kisah Pedagang Terapung (2) Bukit Rawi Pesona Tanah Kutai Bumi Khatulistiwa Bunaken Sea Garden Pantai Losari Cerita dari Danau Poso Wakatobi
Tahun Penulisan 1937 1968 1990 1980 1995
Yoseph Arakei UBD
27. 28.
Zainal Abidin Sanny Tomasoa
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara
1979 1991
26.
Sajak Pulau Bali Legenda Putri Mandalika Mari Kita ke Laut
29. 30.
Said Agus Salim Hasballah SM Saad
Papua Papua Barat
1991 2000
Taman Laut Seraut Wajah dalam Aneka Tari dari Maluku Asmat Kau Kunanti di Kaimana
2010 1991 1991
1
ACEH BATU BELAH (Kabaran) Dalam rimba rumah sebelah Teratak bambu terlampau tua Angin menyusup di lubang tepas Bergaul di sudut sunyi Kayu tua membetul tinggi Membukak puncak jauh di atas Bagai perarakan melintas negeri Payung menaung jemala raja Ibu papa beranak seorang Manja bena terada-ada Lagu lagak tiada disangkak Mana tempat ibu meminta. Telur kemahang minta carikan Untuk lauk di nasi sejuk Tiada sayang; Dalam rimba telur kemahang Mana daya ibu mencari Mana tempat ibu meminta Anak lasak mengisak panjang Menyabak merunta mengguling diri Kasihan ibu berhancur hati Lemah jiwa karena cinta Dengar ……………dengar! Dari jauh suara sayup Mengalun sampai memecah sepi Menyata rupa mengasing kata Rang…….rang…..rangkup Rang……rang……rangkup Batu belah batu bertangkup Ngeri berbunyi berganda kali Diam ibu berpikir panjang Lupa anak menangis hampir Kalau begini susahnya hidup Biar ditelan batu bertangkup Kembali pula suara bergelora Bagai ombak datang menampar Macam sorak semarai rampai Karena ada hati berbimbang Menyahut ibu sambil tersedu Melagu langsing suara susah: Batu belah batu bertangkup 2
Batu tepian tempat mandi Insya Allah tiadaku takut Sudah demikian kuperbuat janji Bangkit bonda berjalan pelan Tangis anak bertambah kuat Rasa risau bermaharajalela Mengangkat kaki melangkah cepat Jauh ibu lenyap di mata Timbul takut di hati kecil Gelombang bimbang mengharu pikir Berkata jiwa menanya bonda Lekas pantas memburu ibu Sambil tersedu rindu berseru Dari sisi suara sampai Suara raya batu bertangkup. Lompat ibu ke mulut batu Besar terbuka menunggu mangsa Tutup terkatup mulut ternganga Berderak-derik tulang-belulang Terluka pula, merah basah Mulut maut menunggu mangsa Lapar lebar tercingah pangah Meraung riang mengecap sedap Tiba dara kecil sendu Menangis pedih mencari ibu Terlihat cerah darah merah Mengerti hati bonda tiada Melompat dara kecil sendu Menurut hati menaruh rindu Batu belah batu bertangkup Batu tepian tempat mandi Insya Allah tiada kutakut Sudah demikian kuperbuat janji (Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat, 1995, Hlm. 21—23)
SUMATERA UTARA DELITUA Bermula hijau binar menyibak angkasa api dari mana berlompatan pengawal istana; Ada gaduh di tempat jauh? Di malam rusuh itu Mukhayat Syah di balairung 3
memimpim sidang Aceh Utara menurunkan titah; Binar hijau adakah bencana datang dari mana, cahaya apa Panglima! Entah api, entah musuh cari sumbernya di tempat jauh! Cadik melancar ke tenggara lewat pesisir dan hutan rawa panglima sampai di Delitua sore bermandi cendana dan bunga-bunga istana indah, taman kemilau di ayunan beranggun Puteri Hijau langsing bersih panas pualam bagai bidari Dari setiap arah panglima menyidik bahaya mencoba masuk istana Delitua berdandan purnama di peranginan sudut istana hijau memancar sinar jelita dari tubuh anggun menghijau sawang, menghijau malam hijau rumput, hijau seluruh dan baun bumi menaburkan wangi dan mimpi Balik panglima ke Aceh Utara sambil sujut di balai istana menyampaikan berita; Cahaya hijau datang dari Delitua pancaran sinar tubuh Puteri Hijau bertubuh langsing indah pualam malam memancarkan hijau ke mana-mana menyibak angkasa! Bimbang pekur mukhayat Syah Putri Hijau, apa? kenapa hijau, kenapa kemilau dan birahi menjirat tubuh dimabuk rindu Paginya turunlah perintah Panglima kembali ke Delitua melamar Putri Hijau, putri d istana Dengan sirih cerana jadi permaisuri Raja Aceh Utara Sepanjang malam diresah rindu Setelah menunggu seminggu panglima tiba; Mambang Yazid Raja Aceh Utara Sebab dinda Putri Hijau belum ada hasrat merantau 4
Di siang mendung di hari sibuk Wazir dan hulubalang berkumpul dengan mata nyala Mukhayat syah bertitah : Telah ternoda Aceh Utara Oleh hinaan Delitua Angkat senjata! Maka disiang gaduh beduk dan canang menyiga sawang serunai tongkang berdengung memorak lasykar Aceh berduyun ke pantai akan menyerang Delitua akan melanda Delitua serata tanah Oleh nelayan pedagang para sampai berita ke Delitua ada musuh dari utara berloncatan pribumi dari tiap rumah tampil ke tengah medan aur dan duri dipasang kubu bercagak bambu, lela bersiap malam bertahan,malam berjoang menangkis serangan Aceh yang akan merampas dewi istana Menyisir pantai Labuan Deli menembus rawa dan hutan duri lasykar Aceh mengalir anak lela dilepaskan dan dari segenap medan menderu tapak kuda memorak angkasa; Rebut Delitua! Di puncak guha bukit Menyebar hitam jubah prajurit Langsung dipimpin Mambang yazid: Dinda perwira mambang Khayali! Pertahankan Delitua tiap pendekar dan juru tembak kerahkan ke tengah medan Siang pucat berjumbai kelabu Mambang khayali berseru: bangkit delitua: bangkit jiwa perkasa! Desak musuh ke baratdaya sebelum subuh mencapai pagi usir Aceh ke tepi pantai Delitua gigih bertahan lela Aceh menyiram seluruh Medan bumi hitam kental 5
hamper pagi cerah meninggalkan timbunan bangkai Aceh terdesak ke pantai Melihat lasykar undur ke utara melihat kemenangan delitua merenung Mukhayat Syah mencari siasat mencari tipu untuk menjebak musuh Berbunga kabut awan jingga dibuka serangan kedua Lela ditarik ke hutan timur dari tembak jarak jauh Berdering ringgit jadi peluru dituang dari karung menyiram setiap medan Delitua bimbang Delitua goncang ! Tembakan melancar larut ringgit menyirami kubu Delitua berloncatan dari tiap penjuru memunguti ringgit mencabuti aur dan duri Setiap kubu jadilah sunyi Aceh bangkit mengalir dan Mambang Khyali menjerit: Delitua yang dungu! Rasailah perangkap musuh! Wirawiri Mambang Khayali memekik Delitua yang hina dan menghardik: Delitua yang tergoda tipuan dunia kutukku bagimu semua sumpahku bagimu semua Oleh gusar yang menghebat Mambang Khayali mendekati lela Menggengam basungnya dan mengamuk anak lela dibikan ke seluruh medan lela meraung sejadinya membabat siapa saja entah Aceh, entah Delitua Maka takdir kuasa sebab dendam buruk bagian sebab kesal oleh tipuan dunia Mambang Khayali menjelma jadi meriam Meriam Khayali jadi murka basung menjerit tiada hentinya berpusing, menjolak dan menggila memuntahkan pelurunya, memuntahkan apinya dan pecah dua 6
sepotong terbang ke Aceh Utara sepotong meraung membela Delitua Ulah tipuan musuh Delitua telah runtuh di balai istana Hilirmudik Mambang Yazid mencari Mambang K Di peradauan menatap Putri Hijau menangisi nasib Delitua setelah menemui Mambang Yazid Meratap sedih: Kanda Yazid penguasa istana Delitua telah kalah Delitua telah musnah oleh tipuan uanga ringgit Aceh oleh kelicikan tipu Aceh Ke mana lagi arah yang kita tuju sebelum gapura dimasuki musuh? Delitua tambah pekat memudar tiap tempat Dirudung hati yang kelu Mambang Yazid terpekur membujuk dinda Putri Hijau telah nasib Delitua, dinda kalah kerna cerdik manusia Bukan salah nasib meminta bukan salah bijak istana akan bersipongang dalam sejarah Delitua musnah sebab tiadanya keluhuran jiwa Sebelum kanda pergi, dengarlah ini: Jika Aceh memasuki istana sebelum dinda jadi tawanan mereka minta jangan ada menyentuh tubuh mu jika akan berangkat jauh suruh sediakan keranda kaca pengangkut dinda Jika telah sampai di teluk Aceh semua pribumi harus menyongsongmu ke pantai Membawa telur, membawa bertih sebagai persembahan dionggokan di daratan dan jika dinda akan turun ke perahu sebut berulang kali namaku kita akan bertemu Maka asap berbalun naik gaiblah Mambang Yazid Dengan porak peranda 7
lasykar Aceh memasuki istana Putri Hijau yang tinggal sendiri tenang ditawan memasuki keranda kaca Diangkutlah keranda ke kapal bbertolak kencang ke Aceh Utara sorai kemenangan meriuh angkasa tiba di pantai akan mendarat seluruh bumi jadi gelap Balun ombak berdengung badai mengamuk hujan tumpah menggelap segala petir merentet bumi pun gegarlah laut dan daratan diaduk gelombang mengangkat kapal Hiruk lasykar Aceh mencasri arah tapi topan meenggarang dari balun golambang menyembul mulut besar berbelalai lebar menyongsong punggung kapal Sekali libas kapal pecah ekor melilit muncul Ular Naga mendekati keranda kaca dan kerangka kapal dilarikan ke dasar lautan Angkasa kelam kental dikocok lautan dan dari puncak gelombang terdengar sorak ke daratan: Heei, Raja Aceh Utara yang pongah! yang menurutkan napsu angkara murka Heei,penghuni daratan Sumatera Kukutuk nasibmu sepanjang kala atas hancurnya kerajaanku Delitua! Badai berbalun dengan petir dan teriak menggegar langit: Heei penghuni daratan Sumatera! Akulah ini Mambang Yazid Akulah ini yang telah menjelma menjadi ular Naga Sakti Akulah penguasa segara Akulah pengutuk mayapada selama manusia diperbudak napsunya! Daripada disentuh napsumu kuselamatkan adikku Putri Hijau ke kerajaanku yang kekal di dasar lautan tempat takhtaku sepanjang zaman 8
Telah tercipta acuan murka: Khayali jadi meriam puntung Kerna menurutkan amarah hati Aceh jadi daratan runtuh kerna diamuk napsu birahi dan Delitua jadi terhina kerna korban godaan dunia Sampai kini, di Andalas nun para tua sering bersatun: Ingin saksi korban berbagai napsu lihat di Delitua meriam puntung lihat karang pantai di Aceh Utara dan dengarlah kisah Siular Naga yang kekal bertakhta di dasar samudra tetap mengintai napsu manusia di dunia yang memperkuda tingkah siapa saja Apakah dunia dapat berubah selagi manusia tak dapat mengekang napsunya (Mansur Samin, Dendang Kabut Senja: Tiga Kumpulan Sajak. Cetakan Kedua, 1996, Hlm. 124—134) SUMATERA BARAT BUKITTINGGI Bukittinggi kukenang kau kota tercinta Bukittinggi o Jakartaku yang lama Semakin dekat karena rindu mendera Rindu yang dulu juga, rindu berkepanjangan Anak negerimu pergi serta berpulangan Meneruka rantau pun kampung halaman Bukittinggi kukenang kau kota tercinta Kota amai-amai setia yang sederhana Naik turun di seribu jenjang di seluruh kota Dan kini berdiri aku di Puncak Monas Jakarta Si emas yang silaukan pandangan para peminta Tapi masih kuingat Jam Gadang di suasana senja! Lalu ikut hanyut menyemut di Banteng yang terluka O kuingat Pasar Bawah: riuh payung-payung terbuka Rindu kita yang juga terbuka mencari cakrawala! Bukittinggi o Ngarai Sianokmu yang menganga Tapi Jakartaku punya ngarai lain lebih menganga Dalam mulut dan kemelut para urban se-Nusantara!
Bukittinggiku semakin kikis tebingmu di sana Tapi tak habis-habis rinduku padamu kota sederhana Kukenang kau bersama ratapmu: Indonesia Tercinta! (Hamid Jabbar, Indonesiaku, Jakarta: Yayasan Indonesia dan Horison, 2004, Hlm. 118) 9
RIAU RIAU Kupulangkan kembali Resah. Kepadamu. Simpanlah Di semak gerumbul belantaramu Di sungai dan rawa-rawa Gurindam dan pantun melayu Aku pernah memungut Di dekat hulu Di kedalaman sunyi hutan Di tepian dan pantai Dalam kebat mantra Siapa yang mengiris siak Siapa yang mengkapak selat Siapa yang mencacah ombak Siapa yang menenggelamkan kalam Kupulangkan kembali seonggok kenangan Terimalah dengan membuka tangan Udara panas dan siang mengerang Seperti ada sebilah keris— Tidak disarungkan! (Slamet Sukirnanto, Gergaji, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, Hlm. 87)
KEPULAUAN RIAU PERJALANAN MENZIARAHI RAJA ALI HAJI Ada dua tempat di muka bumi ini yang mencekam perasaanku Yang pertama perpustakaan dan kedua kuburan Perpustakaan dengan ratusan ribu buku, tersusun rapi di deretan rak-rak dan lemari-lemari, lalu orang-orang duduk membaca dengan tenang sendiri-sendiri Yang kedua kuburan dengan ribuan batu nisan, pohon-pohon kamboja dan rumput-rumput ilalang, lalu orang-orang berziarah membaca doa, sesudah itu menyiangi rerumputan Sungguh perpustakaan dan kuburan mencekam perasaan Deretan buku perpustakaan mewakili ilmu pengetahuan yang ditawarkan Deretan nisan kuburan memberi isyarat berhentinya ilmu pengetahuan Angin bertiup dari atas awan, menyapu dedaunan di perbukitan Di perpustakaan orang-orang duduk dengan tekun, terbungkuk menyerap ilmu pengetahuan Di kuburan orang tegak atau mencangkung dengan hening menadahkan tangan, di sela-sela jemari bagai pasir ilmu pengetahuan meluncur berguguran 10
Demikianlah aku naik perahu sendirian, bergoyang-goyang digoncang arus laut musim kemarau, mega di atas bagai bulu domba, mendarat di pulau Penyengat, Inilah ziarahku ke kuburan cendekian besar abad sembilan belas, penyair Gurindam Dua Belas Telah kubawa Al-Fatihahku dalam kalbu, kusiapkan di ujung lidahku, seraya berpegang di pagar makammu, seraya memicingkan mata kuluncurkan tujuh ayat itu satu-satu Angin laut Pulau Penyengat bertiup lambat-lambat, adakah angin itu berputar mengelilingi jagat berasal dari abad yang lewat Kulangkahkan kaki lewat gugusan bangunan tua dan berhenti di masjid lama, kutunaikan shalat dhuha, lalu aku bercakap-cakap dengan penjaga masjid yang tidak lagi muda Ditunjukkannya padaku sebuah lemari pustaka, kayunya kukuh dari zaman lama, berisi kitab-kitab tua, tersusun bertumpuk-tumpuk, debu tipis sebagai sampul kulitnya, Ruangan sunyi, kitab-kitab itu sunyi, tapi berpuluh ribu abjad itu dari tangan ke telinga mengirim gelombang suara riuh berirama dengan indahnya bernyanyi Demikianlah terbentang kenang pada besarnya sang pengarang, yang karyanya jadi petunjuk raja-raja, pembimbing rohani rakyat jelata, nyanyian penduduk kawasan Melayu berseberangan lautan Dia berbicara tentang keadilan bagi warga dalam Gurindamnya: Hukum adil atas rakyat tanda raja beroleh inayat. Dia bersajak tentang cendekiawan: Kasihkan orang yang berilmu tanda rahmat atas dirimu, Dia mengingatkan tentang makna maut: Ingatkan diri mati itulah asal berbuat bakti. Akhirat terlalu nyata kepada hati yang tidak lupa. Kini, wahai pengarang Gurindam Dua belas, Syair Nikah, Syair Gemala, Mastika, Hikayat Abdul Muluk, Bustanul Katibin dan Tuhfatun Nafis, gelombang yang kau dayungkan dari laut abad lalu sampai alunnya ke tepian kami, rentak yang rancak mungkin berbeda, tapi percikan ke wajah serta lidah masih terasa masinnya, malu aku mengaku belum berbasah-basah kuselami ke dasar laut halaman demi halamanmu Kesunyian hari ini mengajakku bercakap-cakap, deburan pantai Penyengat memeluk tubuhku, tempias senjakala menyuruh angin laut menyisir rambutku 11
Kini dengan perahu kayu kutinggalkan pulau ini, dan tetap kukenang dua tempat yang mencekam itu, Hari ini dua tempat di muka bumi yang mencekam perasaanku Yang pertama perpustakaan dan kedua kuburan Perpustakaan dengan susunan beribu buku, berdiri rapi tiada debu rak dan lemari tegak bersaf-saf rapat dan padat, lalu kau lihat orang-orang duduk membaca, tenang tak sapa-menyapa Yang kedua kuburan yang bertaburan batu nisan, pepohonan kamboja dan rerumputan ilalang, orang-orang berziarah membaca doa, semua disapa maut tapi siapa yang benar-benar menyimaknya Wahai Penyair besar abad ke-19, kuburanmu adalah isyarat akhirat bagi perjalanan dunia fana, teladan amal karya sastrawan beriman, begitu dalam mencekam perasaan, dan, terimalah Ummul Qur’an seorang penyair abad ke-20, yang menghitung jejakmu menyeberang lautan. (Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953—2008, Jakarta: Majalah Sastra Horison, 2008, Hlm. 637—639)
JAMBI CANDI MUARA JAMBI Aku dengar keluh batubatu runtuh berpeluh. Tak ada arca atau stupa hanya ilalang bergoyang terpanggang matahari Sebuah situs tak terurus menggerus hati perjalanan sunyi, sendiri memikul luka diri mengaca pada bayang Batanghari yang tiada henti merangkum tragedi Aku sendiri membangun candi dalam mimpi yang sulit diurai di kedalaman hati: Kau tegar abadi. Jambi,1994 (Dimas Arika Miharja dalam Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Jakarta: Balai Grasindo, 2000, Hlm. 233—234) SUMATERA SELATAN SUNGAI MUSI – VENESIA DARI TIMUR dengan air kebiruan kudayung sampan anggun jembatan Ampera di atasnya Venesia dari timur dengan sampan-sampan hilir mudik menyanyikan tembang keindahan bahari dengan rumah-rumah terapungnya dan buah-buah segar dijajakan di atas perahu 12
Palembang kian semarak Sungai Musi – Venesia dari timur kenangan manis bagi wisatawan Palembang, Maret 1991 (Surasono Rashar dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 47--48)
BENGKULU PANTAI PANJANG DI BATAS SENJA ada hamparan pasir putih luas memanjang ada untaian karang berselimut ganggang hijau kuning ada cemara menghijau tua dalam belaian bayu senja berbisik pada nyiur melambai tentang cumbu rayu sepasang camar muda ada bias memerah kusumba di horizon langit barat terpantul pada pualam membiru laut ada kecipak debur ombak laut ada gemuruh gemulung gelombang pasang dalam naungan pondok beratap rumbai sepasang anak manusia bercengkrama menatap pada luas bentang laut di remang memerah kesumba sebuah perahu nelayan mengalun tenang ada angin mengelus lembut dan ombak pecah berderai ada senandung camar laut lambai nyiur serta cemara bisik tentang kesunyian tentang sebuah keheningan adalah kedamaian {Senja biru di Pantai Panjang Bengkulu, 27 April 1991} (Sensu Alfajrie Hamim dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 52)
LAMPUNG PUGUNGRAHARDJO*) aku baca nama-nama leluhur yang telah hilang 13
di batu-batu purba kusimak sejarah tapi aku tak pernah paham benar pada moyangku sebab abad-abad telah menyeretku ke dalam skrup dan pasar-pasar gemerlap di batu-batu purba kusimpan nama-nama leluhur dan langit yang menghunjamkan asap semakin ganas menggasakku dan anak-anakku hinga jauh dan hilang dari petamu aku baca nama-nama sejarah yang tertimbun di batu-batu purba yang ditulis leluhurku aku pun masih kenal pada tanah kelahiranku di mana senyum nenek moyangku terkenang di batu-batu purba aku baca kehidupan dan kematian raja-raja! *) Daerah peninggalan purbakala di Lampung Tengah (Isbedy Stiawan ZS dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 54)
BANTEN DI MENARA MESJID BANTEN Kepada Henri & Elianne Keluasan sawang terhampar lengang Laut di batas sayup Dalam panorama sejarah Kulihat barisan berkuda Tertib dan perkasa menyerbu Jakarta Berdiri Sultan perwira Mengajak rakyat mengangkat senjata Terhadap orang-orang kafir Yang serakah dan aniaya: “Usir!” Berderap suara kaki kuda Sorak-sorai prajurit berlaksa Rela mengorbankan jiwa Membela perintah agama Laut berdebur sayup Maka terlihat kapal-kapal dagang Armada paling kuat di dunia Membongkar dan memunggah Intan permata, rempah-rempah Teriak kelasi segala macam bahasa Saudagar segala macam bangsa Pertemuan berbagai peradaban 14
Pusat keadilan dan kemajuan
Sejauh mata memandang keheningan purba Kawasan yang ditinggalkan peradaban manusia Bekas-bekas istana belukar ular berbisa. (Ajip Rosidi, Terkenang Topeng Cirebon, Jakarta: Pustaka Jaya, 1993, Hlm. 233—234) JAWA BARAT PANGANDARAN Kutegur wajahku Yakinlah: ini bukan lukisan Nashar Perahu bergerak berlayar Mengabur tepi – damailah kegaduhan Angin pun lewat, berdesir Dan sepi atas pasir Pantai Laut Ombak Cagar alam Inilah Pangandaran Siapa berani berenang sampai Cijulang? Debur ombak – mengamuklah sepi Jejak-jejak kaki yang basah Telah lama musnah (Dodong Djiwapradja, Kastalia: Kumpulan Sajak 1948--1973, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, Hlm. 112)
JAKARTA TOPENG MONYET JAKARTA seorang anak jakarta bermimpi: “mengapa topeng monyet belum tiba?” padahal ia harus berlanggam padahal cuaca berangin begini topeng monyet belum tiba meski senja berairmata meski anak bermain senja toh topeng monyet harus tiba suara serombongan topeng monyet. cakrawalapun jatuh di suatu senja yang terbakar. anak-anak meminum arak 15
nenek moyangnya. seperti apakah aku yang dipanggang matahari? seperti apakah kami yang menanti sambil menari? seperti apakah mereka yang bernyanyi: “ayo nduk kita petik mimpi anak-anak.” suara sekumpulan anak-anak di kejauhan. tanpa senja dikakinya. sambil memandang panggung kosong. topeng monyet enggan bertandang. selagi lenong dan pawangnya belum datang. selagi musim berlarian dan anak-anak pada berdendang: “ayo ledek kethek, mainkan senja meraup hati.” seorang anak Jakarta berkata: “kapan topeng monyet akan tiba?” padahal cuaca berangin begini padahal hatiku tinggal disini (tapi topeng monyet harus tiba) walau langit berair mata walau anak bermain senja toh topeng monyet harus tiba untuk usaikan masa lajangku untuk upacara musim panenku maka topeng monyet harus tiba! di suatu senja yang terbakar seorang anak bermimpi tentang topeng monyet jakarta: “dalam gerobak dorong ayahnya.” (Lilik Mulyadi dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 68—69)
JAWA TENGAH PIKNIK Di kaki Prambanan keluarga Indonesia sedang piknik remaja dan remaja sedang hilir mudik anak-anak berhamburan memanjat tangga candi menyelidik kian kemari (batu berlumut berjamuran batu baru disusun tak gampang} Di sini sepuluh abad silam kepada Jawa wangsa Shailendra mewariskan Ramayana, Loro Jonggrang, Ganesha kongkrit, dingin, perkasa Di gersang tanah sosok sejarah sejak lama terserak terpecah di hadapan Nandi yang terpekur indah segumpal kekaguman nyaris terbelah Batu berlumut berjamuran 16
rembang senjakala si molek datang bertingkah selincah kupu-kupu bersepatu kets buatan Jepang membidik kamera juga buatan Jepang Klik di sana klik di sini klik, klik, klik Sesudah itu Shiwa Dewa Ganesha yang sendiri tidak ditolehnya lagi seringan kijang ia melomat manja terbuang ke masa kini (Isma Sawitri dalam Linus Suryadi AG, Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 2, Jakarta: Gramedia, 1987, Hlm. 436—437)
YOGYAKARTA YOGYAKARTA Di atas andong menyusuri Yogya, seirama ketiplak kaki kuda seperti membawa kita pada nostalgia kejayaan yang telah silam. Yogya yang tenang, jalanan lenggang. Yogya adalah sebuah langgam tetap sederhana, sepeda banyak, becak tak dilarang, asongan justru dikoordinasi. dinamika hidup terus terjaga walau yogya telah dipoles gincu pembangunan. Kewajaran hidup pun tetap terawat meskipun di setiap sudut tak luput dari modernisasi menyusuri malioboro, menikmati seribu satu macam aroma dan pesona. dari supermarket sampai pasar loak, dari kentucky sampai gudeg dan jajan pasar, dari yang bermobil hingga pejalan kaki. semua terangkum jadi satu membentuk harmoni. malioboro memang tak pernah matisumber kehidupan yang tak bakal habis digali dan, biarkan malioboro abadi menyimpan tradisi memasuki keraton, menyaksikan keagungan warisan nenek moyang saksi sejarah kehormatan bangsa dan tantangan hari depan lestari yogyaku, sungguhpun di yogya tak ada pure seindah besakih, tak ada danau seindah toba, apalagi keunikan macam tana toraja. Yogya hanyalah cermin suasana tentang nilai budaya bangsa karya leluhur kita yang memuat legenda. tak juga istimewa barangkali saja sebagai jerit makna yang tersisa mari kita dengar gemanya, di tengah deru gemuruh seluruh anak cucu membangun yogya membangun negeri zahmrud khatulistiwa (Sugiyanta dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 84—85)
JAWA TIMUR MADURA Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal Dan sampan tenggelam di pintu cakrawala 17
Selamat pagi tanah, kelahiran! Sebab aku tak menghitung keberapa kali Kapan saat menebal pada waktu Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian Dan adakah yang lebih nikmat dari pada bersahabat dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan dengan kerja serta dengan kehidupan? Aku akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan Ketenangan Selat Kamal adalah ketenangan hati membuang pikiran dangkal yang menganggu sajakku kurangkul tubuh alam seperti mula kelahiran Adam sedang sesudah mengembara baiklah kita rahasiakan dari perjalanan ini aku membawa timbun puisi bahwa aku selalu asyik mencari keteduhan mimpi Kebiruan Selat Kamal adalah kebiruan sajakku dan terasa hidup makin kekal sesudah memusnah rindu bertemu segala milik dan hak dalam cinta dan sajak noktah-noktah berdebu dibersihkan di kedua tangan kuberi pula salam sayup kepada pantai yang berbatas pasir dan langit yang mulai redup pada waktu sajak lahir Kedangkalan Sungai Sampang adalah kedangakalan hatiku menimbang hidup terlalu gampang dan disitu ketergesaan mengganggu dan terlalu tamak dengan kesempurnaan dengan sesuatu yang bukan hak dengan kejemuan tapi sekali saat tiba juga pada suatu tempat tanpa petunjuk siapa – siapa asal kita bersempat mengerti juga kenapa kiambang 18
bertaut sepanjang sungai dengan belukar dan kembang – kembang sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya Diamnya Sungai Sampang adalah diamnya sajkku sekali waktu banjir datang sekali waktu airnya biru dan bertetap tujuan ke suatu muara yang berasal dari suatu daerah di pegunungan untuk sumber pertama Kerandahan Bukit Payudan adalah kerendahan hatiku menerima nasib dalam kehidupan di atas kedua batu sesekali pernah kita tidak tahu tentang kelahiran dan bertakut menjadi tua karena ancaman kematian Kemarahan Bukit Payudan adalah keramahan sajakku untuk mengerti kepastian yang lebih keras dari batu sesekali pernah kita tidak tahu ke mana mengembara kemudian muncul kembali di tanah kesayangan dengan kehampaan di tangan tak seorang menyambut datang tak seorang menyambut pulang tak seorang menerima lapang atau membacakan tembang – tembang dan kesia – kesiaan begini akan selalu kualami namun tak selalu kusesali sebab kubenam sebelum jadi Keterpencilan desa Pasongsongan adalah keterpencilan hatiku sebelum memuali perjalanan ke jauh kota dan pulau tapi keabdian lautnya kali kini telah mengembalikan cintaku tanah yang tersia sebelum di mengerti dan ditinggalkan rasa kebangganku 19
dan sebagai anak manusia sekali aku minta istirah mengembara berhenti membuat puisi yang mendera dan berhenti memikat dara – dara sebab disinilah tumpahnya darah kita pertama dan terakhir behentinya mengaliri nadinya (Abdul Hadi W.M., Madura, Luang Prabang, Jakarta: Grasindo, 2006, Hlm. 17—21)
KALIMANTAN SELATAN KISAH PEDAGANG TERAPUNG (2) laksana ayunan, jukung-jukung itu dipermainkan gelombang bersatu di sebuah lapangan air yang luas bersatu sampai seperti daratan berseliweran di sela-sela yang ada berselisihan, bersamaan, ketika berjalan saling senyum, saling tawar, saling berjualan sama-sama menyajikan, sama-sama mempromosikan kadang melaju dengan cepat, kadang stop seketika bisa mundur, juga berlari zig-zag kadang suatu akrobat bisa saja terjadi demi melihat pembeli berminat dengan dagangannya ditawarkan, dicocokkan, dibeli, gembiralah ia tak ada rasa takut bagi pembeli untuk pindah-pindah dan berloncatan dari jukung satu dan lainnya aku melihat itu semua dari sebuah jembatan aku suka sekali melihat pemandangan ini dari jauh setelah kerja aku bangga bisa hidup dari sini aku bangga bisa belajar dari sini aku bangga pasar terapung ini bisa tetap hidup walaupun banyak supermarket-supermarket canggih bermunculan dan aku bertambah bangga ketika seorang pelancong berkata: Its very good Its verynice I like it I never see before this, there is a market on water Catatan: Jukung adalah perahu tradisional khas Banjar tanpa mesin (M. Junaedi dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 145)
KALIMANTAN TENGAH BUKIT RAWI Bukit rawi, oh bukit rawi 20
Kuhampiri engkau Dengan sepenuh hati Kuharapkan sejuta mimpi Bukit rawi, oh bukit rawi Melodimu mengiringi Dirimu yang perawan Yang mulai merias diri Bukit rawi, oh bukit rawi Sungai Kahayanmu membelah Membawamu ke hilir Membuka cakrawala Bukit rawi, oh bukir rawi Blus, jazz, rock, dangdut Membawamu berhias diri berkaca Melangkah dari keterasingan Bukit rawi, oh bukit rawi Kucoba bersemayam di hatimu Mengenal hiruk pikuk kermahan orang-orangmu Berjabat tangan dengan tradisi dan budayamu Bukit rawi, oh bukit rawi Bawalah aku terbang Bersama karungutmu dan manasaimu Juga gadis perawanmu Bukit Rawi, 26 Januari 2002 (Aliemha dalam Kumpulan Puisi (Ed. Dafy Fajar Raharjo dkk. 2005:90. Palangkaraya: Pemkot Dinas Informasi Pariwisata dan Seni Budaya)
KALIMANTAN TIMUR PESONA TANAH KUTAI melalui sebuah dermaga tongkang tua merapat ketepian rindu etam berdekap perlahan pada tanah etam, tanah pujaan tanah etam, tanah Kutai bumi etam nan elok permai wadah etam dilahirkan ke dunia dari rahim ibunda tercinta tanah Kutai oi tanah Kutai Etam pulang menyusun hari mencicipi pesonamu dini yang kian memikat hati tanah etam, tanah pujaan pijak kudungga kala lampau sinaran jaya raja Mulawarman kerajaan hindu tertua di Indonesia 21
siapa kira tanah Kutai, tanah pujaan negeri leluhur Mulawarman menyimpan selaksa pesona alam kebudayaan benua Dayak benua pedalaman seribu ragam sejuta unik tanah Kutai, oi, tanah Kutai sekeping pesona sudah kau hadirkan di antara lekuk sungai Mahakam dan deru mesin tongkang di perjalanan indahnya alam hutan tropis Meranti hijaunya menjilat kaki langit menggetarkan jiwa sang petualang benua Dayak, benua pedalaman bumi yang penuh kedamaian berjenis anggrek berbunga anggrek hitam yang utama tumbuh alami menarik hati kersik Luway tempat ini tanah Kutai oi tanah Kutai usah kau palingkan eloknya sarung Tanjung Jone usah kau sembunyikan moleknya kain ulap doyo hasil tenunan gadis dayak rupawan benua dayak benua pedalaman denting sampe di kejauhan membuat langkah tertahan nyanyian Leleng mengalun perlahan tari Datun Julut berjalan gadis remaja Dayak Kenyah tengah meliuk gemulai dalam paduan Enggang menari sayapnya seakan mengusap langit semesta terbang berkepak akh … tari Enggang yang menawan berlian-berlian dayak menari nyatakan ekspresinya melingkar…. melenggak…. berkelok…. Itukah berlian Sentiu? upacara adat suku Dayak Benuaq tanah Kutai oi tanah Kutai benua Dayak, benua pedalaman pesonamu takkan pudar dijajah waktu terus majulah, meniti arah datanglah pujian kata dan devisa bagi negara (Annisa Al’Hadis dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 151—152)
22
KALIMANTAN BARAT BUMI KHATULISTIWA Kemakmuran tersimpul Pada wajah bumu khatulistiwa Kemajuan terpancar Pada masa ke masa. Perbedaan bukan lagi masalah Suku, budaya, dan bahasa bukan lagi celah Kemajemukan tlah berubah berkah Membaur mencipta cerah. Berbagai peristiwa mengukir sejarah Pemakaman Mandor sebagai bukti nyata Patriotisme rakyat melawan penjajah Wujud dari kecintaan pada bangsa dan negara. Kekayaan alam melimpah ruah Logam mulia, intan, dan permata Hutan belantara Tanah subur Air tersedia Warga mempersembahkan senyum dan tawa. (Rina Kusmiarsih, Potret Sang Pemimpi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009, Hlm. 55)
SULAWESI UTARA BUNAKEN SEA GARDEN dari jauh hamparan permadani mewangi bawa perahuku jelungkup menjilat ombak bersama deru peka disekujur bernyanyi kidung laut berayun bersahutan burung-burung mengibaskan kalbu hembusan-nya berayun di kirap sayap dan derap perahuku menapak pasir putihmu bunaken bermandi cahaya terbit musim barat penuh fantasi musim timur penuh fantasi segala musim siap menyapa langkah demi langkah bunaken taman lautmu pelepas rindu raga yang gundah terbang seketika ditelan panoramamu lihatlah Coral reefs1) berbisik-bisik lorong-lorong berseliweran 23
para Pelagis2) berduaan bergerombol menyapaku pelangi bervariasi dengan formula di seluk semak sponge3) menari-nari lihatlah! moluska4) krustasea5) ekhinoderma6) rumput laut bersahut-sahutan di dekat karang bunaken di malam hari taman lautmu bersama rembulan raga hangat hyper fantasi lihatlah merjan-merjan keluar bercahaya seperti permata elok berlarian, berciuman pas semaraknya bunaken kau beda dengan mereka beda dengan Bahama beda dengan Fiji beda dengan Karibia bunaken wajahmu pesona tropika pesona Indonesia primadona *) 1) 2) 3) 4)
Taman Laut Bunaken Terumbu karang Ikan yang hidup berenang Bunga karang Jenis binatang lunak yang hidup pada berbagai macam habitat misalnya: bangsa keong, kerang-kerang, cumi-cumi 5) Berbagai jenis udang 6) jenis binatang berkulit berduri hidup didasar laut sebagai benthos. (Verrianto Madjowa dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 159—161) SULAWESI SELATAN PANTAI LOSARI Sepi yang ke sekian terus berbicara di hias kerlap-kerlip pelita penjaja kacang pisang epek dan derum motor tegak sangat dekat memandang bulan yang jauh sepi yang telanjang di atas riak laut pada awan yang enggan beringsut 24
perlukah kita berjabat tangan? perempuan dari negeri dongeng (lagu itu, akan selalu kau ingat?) bagai segumpal udara yang sangat kubutuhkan tapi tak dapat kumiliki bagai mesti menghilang entah menuruti hukum alam malam tidak hitam seperti katamu kemarin tapi kenapa ia tak berperasaan ‘Pergilah esok menyongsong matahari.’ ‘Aku akan terbakar bangus.’ ‘Kalau begitu songsonglah hutan berbunga, peri manis pantas di sana.’ ‘Kupilih hutan lebat penuh rahasia. Aku ingin mencari.’ ‘Mencari apa?’ ‘Sesuatu … yang ku tahu tak akan kuperoleh, kecuali dalam sejuta mimpi.’ lalu, sepi yang ke sekian terus berbicara di hias kerlap-kerlip pelita penjaja kacang pisang epek derum motor dan – hati yang runtuh (Yvonne Fretes dalam Upita Agustin dan Yvonne de Fretes, Sunting, Jakarta: Puisi Indonesia, 1995, Hlm. 35—36)
SULAWESI TENGAH CERITA DARI DANAU POSO ada yang bercerita di bibirmu suatu sore tentang ikan-ikan yang menyergap airmata kami ada yang bercermin dalam riakmu suatu sore tentang nyanyian tanah air muncul tenggelam tersedak :di perutmu, danau poso ada surga matahari khatulistiwa yang tak terbaca dalam lembaran waktu hari-hari kami ikan-ikan berseleweran di bawah jukung, di bawah 25
perahu, yang membawa kami wisata ke masa lalu dan masa datang, riak-riak bergelembung, seperti jiwa cemas kami, akankah abadi keindahan alam? ada yang menangis antara ksedihan tangan-tangan kami menyentuh tubuhmu menyiduk air danau meneguknya hingga kelubuk hati dari Tentena kami pandangi sebuah cerita tentang esok hari milik sapa engkau nanti? warna airmu ikan tunamu perut dan urat nadimu diam-diam membisu tafakur dalam sisa keindahan wajahmu semakin subur cinta kami di antara ribuan kecemasan ada yang bercerita di perutmu danau Poso suatu sore ketika kita saling bergenggaman tangan saling takut melepaskan (Anshar Muadin ST dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 170--171) SULAWESI TENGGARA WAKATOBI Nelayan tua tak henti megayuh sampan Melawan arus gelombang angin selatan Adakah ikan tersangkut jala terentang Hidup makin sulit untuk dipandang. Di atas kapal Sagori Lumba-lumba kutangkap dengan mata Ketika meloncat menyibak udara Lantas berenang dengan segala kenang Di lautan yang luas membentang. (Bambang Widiatmoko, Hikayat Kata, Yogyakarta: Gama Media, 2011, Hlm. 73)
BALI SAJAK PULAU BALI Sajak percaya akan keampuhan industri dan yakin bisa memupuk modal nasional dari kesenian dan keindahan alam, maka Bali menjadi obyek pariwisata. Betapapun: tanpa basa-basi keayakinan seperti itu, 26
Bali harus di buka untuk pariwisata. Sebab: pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin, dan maskapai penerbangan harus berjalan. Harus ada orang-orang untuk dingkat. Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual. Dan waktu senggang manusia, serta masa berlibur untuk keluarga, harus bisa direbut oleh maskapai untuk diindustrikan. Dan Bali, dengan segenap kesenian, kebudayaan, dan alamnya, harus bisa diringkaskan, untuk dibungkuskan dalam kertas kado, dan dibungkus dalam kertas kado, dan disunguhkan pada pelancong. Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia, di muka perkemahan kaum Badui di sisi mana pun yang tak terduga, lebih mendadak dari mimpi, merupakan kejutan kebudayaan. Inilah satu kekuasaan baru. Begitu cepat hingga kita terkesiap, Begitu lihai seahingga kita terkesima. Dan sementara kita bengong, pesawat terbang jet yang muncul dari mipi, membawa bentuk kekuatan modalnya: Laangan terbang. ’’hotel – bistik – dan – coca cola ‘’, Jalan raya, dan para pelancong. ‘’oh, look, honey – dear! Lihat orang – orang pribumi itu! Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera. Fantastic! Kita harus memotretnya! ……………………………… Awas! Jangan di jabat tangannya Senyum saja and say hello. You see, tanganya kotor Siapa tahu ada telor cacing di situ. ……………………………….. My God, alangkah murninya mereka. Ia tidak menutupi teteknya! Look, John, ini benar – benar tetek. Lihat yang ini! O, sempurna! Mereka bebas dan spontan. Aku ingin seperti mereka ….. Eh, maksudku…… Okey! Okey! … ini hanya pengandaian saja. Aku tahu kamu melarang ku tanapa beha. 27
Look, now, John, jangan cemberut! Berdirilah di sampingnya, Aku potret dari sin. Ah! Fabulous!’’ Dan Bank Dunia Selalu tertarik membantu negara miskin Untuk membuat proyek raksasa. Artinya: yang 90% dari bahannya harus diimpor. Dan kemajuan kita adalah kemajuan budak atau kemajuan penyalur dan pemakai. Maka di Bali Hotel-hotel pribumi bangkrut Digencet oleh packaged tour. Kebudayaan rakyat ternoda digencet standar dagang internasional. Tari-tarian bukan lagi satu mantra, Tetapi hanya sekedar tontonan hiburan. Pahatan dan ukiran bukan lagi ungkapan jiwa, tetapi hanya sekedar kerajinan tangan. Hidup dikuasai kehendak manusia, tanpa menyimak jalannya alam. Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, Hati, empedu, sungai, dan hutantan. Di Bali: Pantai, gunung, tempat tidur dan pura, telah dicemarkan. (Rendra. Potret Pembangunan dalam Puisi. Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Jaya. 1996:71—74)
NUSA TENGGARA BARAT LEGENDA PUTRI MANDALIKA
Lombok. kini tak sedulu Putri Mandalika yang bimbang menceburkan dirinya ke laut lalu menjadi ikan Nyale Lombok. Di zaman ini. Telah menjelma menjadi Putri Mandalika nan cantik jelita! dengan memakai tenunan sutra Tradisional Ragi Genep atau Songket yang berbenang emas dan perak. melenggang-lenggok berjalan sambil diiringi musik Kecimol mengundang setiap mata untuk memandang. “Ah! Alangkah anggunnya dia apa lagi dikelilingi panorama yang indah subur tanahnya. Berkecukupan masyarakatnya! dan taman laut dengan ikan berwarna warni serta karang 28
biru (Blue Coral) antara Gili Air, Gili Meno dan Terawangan atau pantai sire berpasir putih yang terlindung sebuah teluk dengan airnya yang jernih. ada juga gunung Rinjani di sana! “ah! Menambah eloknya ia!” untuk menyambut semua ini. Orang-orang menari tari Gandrung bersama! para pemuda menari tari Parisean yang bernilai keperwiraan dengan rotan di tangan sebagai pemukul dan Ende terbuat dari kulit kerbau serta perisai didampingi Pakembar. Mereka mengadu ketangkasan! legenda Putri Mandalika ini. Asal peristiwa Bau Nyale Nyale beramai-ramai di pantai Kuta lombok selatan tiap tahunnya (menangkap ikan tiap tahunnya) Lombok. Kini tak sedulu Putri Mandalika yang bimbang menceburkan dirinya ke laut lalu menjadi ikan Nyale Lombok. Di zaman ini. Telah menjelma menjadi Putri Mandalika nan cantik jelita atas rasa syukur karunia Illahi ini mereka menarikan tari Tinjal dengan kecerahan wajah dan kesegaran gerak! (Didi Marsudi dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 136—137)
NUSA TENGGARA TIMUR MARI KITA KE LAUT Wahai orang Lamalera! Janganlah kita lupa akan perahu dan kerja kita di laut. Biar zaman berganti zama Mari jaga dan rawat laut, taman kehidupan Angin timur berhembus, arus mengalir, matahari perlahan terbit dengan cahaya bagai kobaran api. Sahabat, dorong perahu, dirikan tiang dan tariklah layar Kayuhlah perahu kita dalam irama Hilibe, hilibe, hilibe... Mari kita ke laut. Sebab, inilah tugas hidup warisan leluhur, Kita harus pergi. Kampung kita kelaparan dan penuh susah Yatim-piatu dan para janda menangis pilu Dengan tangan terulur mereka menanti rezeki dari laut. Sahabat, mari bersatu kita mengayuh perahu ke laut. Sebab inilah tugas hidup warisan leluhur, Kita harus pergi. Panggil dan kumpulkanlah Kedua Tuan Tanah – Gule-Narague dan Libbu-Soge, Tiga Tungku, pemilik perahu, ahli pembuat perahu dan seluruh masyarakat. Mari kita duduk bersama di pantai, 29
Sebagai saudara Kita bicara bersama tentang nasib hidup kita. Inilah adat yang diwariskan leluhur, Kita harus teruskan. (Yoseph Arakie Ulanaga Bruno Dasion, Pukeng Moe, Lamalera, Yogyakarta: Lamalera, 2011, Hlm. 112—113)
MALUKU TAMAN LAUT sang surya terbit menyambut pagi di haluan perahu nelayan pulang berlayar dan berdayung alam kala itu sederet pulau di Maluku menghijau di bawah sinar kehidupan ombak yang menghantarkan perahu nelayan itu bertujuan, sambil mendesah nafas lautan menghembus bulu-bulu sayap tarian camar bergelut bersama buih ombak pantai seakan menyampaikan kabar ke telinga kita bicara tentang taman laut Maluku di kepulauan permai sang surya merangkak, burung nuri balas berlenggang khas fauna menyambut siang dengan keindahan flora juga bergoyang dalam kebeningan sebuah taman indah nian taman laut berkelok celah-celah karang ikan-ikan serta bintang laut asik berenang menikmati pesona biru bagai panorama taman laut surga dunia yang menakjubkan buat penyelam, dia terpesona menyusurinya di taman pulau Banda dan Doi penuh misteri keindahan tiada pemandangan rasanya tentang kejenuhan alam pulau Pombo pun menawarkan sebuah kesan dengan kenangan laut bersama flora dan faunanya desir lirih suara pantai Hunimoa menyapa pula suara keindahan disambut lembut pantai Natsepa di Ambon, amboy rupanya rahasia taman laut itu sudah kehendak-NYA Tuhan berikan ciptaan-NYA di sana berupa keindahan taman laut yang kepada ikan dan bintang laut bebas berenang berbaju kemewahan lumut laut dan karang hitam berumput laut memberi kesan seuntai mahkota rambut putri pantai bergoyang-goyang dalam permainan arus lembut menghanyutkan kesejukan sebuah taman laut (Zainal Abidin dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 173) MALUKU UTARA SERAUT WAJAH DALAM ANEKA TARI DARI MALUKU dengarlah desah ombak menyibak perahu 30
perahu nelayan melaju, selaju alun berlalu senandung rebana berlalu gadis manis menari lengso turuti irama tifa , dan jukulele dendangkan senandung rindu dari Maluku di pesisir landai jujaro mungare berdansa tali berputar-putar ke kiri dan ke kanan semilir pantai , desirkan gelora remaja di alam merdeka mereka juga berlompat-lompat tari sahureka-reka dalam dendang, dan pukulan gaba-gaba tampilkan aneka gerakan santai itulah citra remaja di alam terbuka pucuk-pucuk kelapa melayung menatap kaki-kaki telanjang yang basah dalam deburan ombak kaki-kaki telanjang menapak pasir terpesona pada pada bambu gila bambu gila, ya bambu gila bambu gila, segila mereka yang memeluk bambu mereka tergila-gila dan menjadi gila bambu mereka tergila-gila pada bambu demikianlah atraksi bambu gila menampilkan gerakan artistik perpaduan kemagisan dan keanehan bambu yang gila dari Maluku sedang tari perang bukannya mereka berperang tapi dengan perang dan salawaku melahirkan gerakan tangkas lambang keberangan dan keberanian putra-putra patasiwa dan patalima telah mengalir darah kabaresi titisan darah Pattimura yang menggusur relung dada para pemuda namun dari celah sejarah hari ada kelembutan ada keayuan dara manis nona-nona ambon pentaskan tari tifa kain tenun, burung Cendrawasih dan mutiara pelengkap busana mereka tampilkan aneka gerak dalam gema tifa sedang tari cendrawasih menampilkan gerak burung yang terbang, wajahnya berseri memandang aneka budaya bangsaku gadis manis menari dan terus menari bagai burung cendrawasih yang berseri menatap para wisatawan 31
(SannyTomasoa dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 174—175)
IRIAN JAYA/PAPUA ASMAT lelaki ampuh penuh misteri lelaki bermuasal Fumeripits yang derap tifanya hantarkan dunia pakau wow ipits yang menakik menoreh kayu jadi pesona Asmat-ow! lelaki sejati di rimba Irian Jaya tegarmu adalah salju abadi Jaya Wijaya di Bivak geriap hidup bermuara memancar juang dari teriak hidup perangmu yang kini kau pekikan untuk membangun bangsa! terbersit ketabahan para wanita yang memburu iguana yang mengerkah sagu yang mendendangkan alunan budaya dengan tifa tergetar membuncangkan semangatmu! Asmat – Wow! lelaki sejati yang tentang alam menukik dalam lembah yang penuh tualang o, lelaki bermuasal Fumeripits! yang memahat jati diri lewat jemari wow ipits yang mengukir pesona Irian Jayaa dengan patung Bis dan perahu-perahu Lesung Panjang Asmat! manusia sejati yang menakik jati diri pada ornamen bangsa yang setia pada tradisi!
* Fumeripits: Leluhur Asmat * Wow Ipits: Pemahat Asmat * Asmat Ow: Manusia Sejati * Bivak: Rumah Asli (Said Agus Salim dalam Lazuardi Adi Sage, Potret Pariwisata Indonesia dalam Puisi, Jakarta: Pustaka KOMINDO, 1991, Hlm. 179—180)
PAPUA BARAT KAU KUNANTI DI KAIMANA Untaian pepulauan bagai kaca membiru tepianpasifik dikilau perak pelangi kau dengarkan tingkah dayung oleng sampan kayu tua 32
dia dengan lengan hitam perkasa percikan sinar rindu gadis kecil tak berbusana di darmaga malu-maludibisiknya, ”sayang, kita mendayung bersama dalam dingin sepi ombak abadi di sini pula kita bercinta danberkubur bersama!” Teluk Gewerpe,Irian Jaya 22 Mei 2000: 10:10 (Hasballah Sheikh M. Saad. Bakti Kemanusiaan (Ed. A. Aziz Deraman. 2001:74. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).
33