SAMIUN PENTHUL Oleh : Alifia Febriani Alawiyah Khotijah
Di jalan raya segerombolan penari lengk ap dengan penabuh gamelannya berjalan kaki tidak untuk mengisi sebuah acara pesta atau hajatan, mereka hanya mengikuti langkah kakinya. Tak apa hanya receh, mereka tetap menampakkan senyum dan tawa. Panas, debu dan klakson kendaraan mungkin sudah mereka anggap teman kerja. “neng gung tak dung neng gung.. .”. “hak eee hok yaaa hake e hok yaaa”. Suara kendang mbah Kardi terdengar sangat memekakkan telinga. Mbah Kardi yang merupakan ketua kelompok tari penthul itu sebenarnya sudah sangat bisa dianggap sepuh, tapi ia tak hanya ingin berdiam diri di rumah menghabiskan masa mudanya hanya di rumah, menurutnya itu adalah sisa umur yang sia-sia. Di dalam kelompok tari tersebut terdapat juga anak laki-laki dan menantunya. Sesekali tangan mbah Kardi mengusap keringat yang sudah sedari tadi mengucur di wajahnya. Terlihat angka trafficlight yang berhitung secara mundur sudah menujukkan angka tiga. Mbah Kardi beserta kelompoknya segera menyingkir dari zebracross yang sudah dianggapnya panggung pertunjukkan. Warna biru sudah tergantikan oleh warna oranye kemerah-merahan, senja mulai menampakkan wujudnya. Rombongan mbah Kardi segera naik ke dalam truk yang telah mereka minta untuk sekedar tumpangan kembali ke desa. Jalan terjal serta udara dingin yang terasa menusuk kulit karena pakaian tari yang tipis serta tanpa lengan karena berbentuk seperti rompi. Terlihat dari lawan arah sebuah sepeda motor dengan pengemudinya ugal-ugalan. Seketika itu pun seisi truk menjadi riuh ricuh, hanya terdengar suara istighfar dari penumpangnya. Dan tiba-tiba….. .
1 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
“Le lee Samiun kowe nek ndi le..” Seorang wanita paruh baya memakai daster abu-abu yang sudah lusuh mengetuk pintu rumah gedhek Samiun berulang kali sambil membawa sebuah rantang aluminium Karena tidak mendapat jawaban, wanita tersebut langsung masuk ke dalam rumah, dilihatnya Samiun tertidur dikamarnya dengan menggunakan kaos dalam dan celana seragam SD yang belum ia ganti . “Lhadalah malah turu bocah iki bar sekolah.” Wanita tersebut berusaha menggoyanggoyangkan tubuh Samiun berniat agar Samiun bangun dari tidurnya. “le Samiun tangi lee.” Tambahnya “Enten punapa dhe?” Jawab Samiun sekenanya, dirinya masih sibuk menerjapnerjap matanya dan berusaha mengumpulkan nyawanya secepat mungkin . Tapi ia masih bisa melihat budhenya berjalan kearah dapurnya. “Iki tak gawakke opor pithik karo lontong le, dimaem yo. “ suara budhe dari dapur cukup terdengar oleh Samiun. Budhe sibuk mengganti tempat opor serta lontong yang berada di dalam rantangnya berpindah di piring dan mangkok milik Samiun. “Wes budhe tak pulang yo le.” Budhe keluar dari dapur dan mengahampiri Samiun di kamarnya “Enggeh dhe, matursuwun nggih dhe” Samiun yang sudah duduk bersender di ranjangnya berusaha menggapai tangan budhenya untuk salim. Lewat lubang-lubang gedhek rumahnya ia bisa mengetahui bahwa ini sudah sore malah hampir petang . Dia berdiri dan dengan langkah lunglai setelah bangun tidur ia menuju ke arah ruang tamu untuk sekedar duduk . Lampu ruang tamu yang masih berupa lentera dengan bahan bakar spirtus cahanya berwarna kuning jauh dari kesan modern. Kursi lapuk dengan kaki kursi yang sudah tak seimbang peninggalan keluarganya dibuat berjajar dengan formasi dua ke arah barat serta tiga ke arah tenggara. Dinding gedheknya yang dicat warna putih, sekarang sudah berubah warna
2 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
menjadi coklat entah terakhir dicat tahun berapa bahkan si tuan rumah juga tidak ingat. Rumah dan isinya ini ialah harta satu-satunya yang dimiliki oleh Samiun, tidak ada lagi keluarga. Di barat dinding gedhek rumahnya terpajang dua kepala barongan, mungkin itu salah satu harta yang paling berharga yang berada di dalam rumahnya. Kepala barongan itu adalah salah satu dari perlengkapan tari penthul milik simbah, ayah, dan ibunya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ia tinggal sendirian di rumah tersebut, untuk makan ia sering diberi oleh tetangga atau budhenya, dan untuk biaya sekolah ia sangat bersyukur karena mendapat bantuan dari pemerintah . Kepala barongan itu berhasil mengajaknya ke potongan-potongan gambar ingatannya yang dimana masih ada ayah ibu serta simbahnya. Dia bahkan masih bisa mengingat suara tabuhan kendang simbahnya ketika melatihnya tari penthul. Tanpa sadar air mulai mengalir dari ujung matanya. “Jeglek …” suara beberapa sepeda terparkirkan di depan rumah Samiun “Samiun un samiunnnnn” teriak Lintang, Sifa, Ade, Joni, dan Bagas teman sekolah samiun yang setiap hari mengahampiri Samiun ketika berangkat dan pulang sekolah . “yoooo sek diluk lagi jadwal buku.” Sahut Samiun dari dalam rumahnya Samiun pun keluar dari rumahnya dengan menggendong tas punggungnya yang berwarna hitam dengan membawa sepatu dan kaos kaki ditangannya karena kakinya masih memakai sandal jepit. Ia duduk di lincak depan rumahnya untuk memakai kaos kaki dan sepatunya yang berwarna hitam standart untuk anak sekolah. Setelah selesai melakukan ritual tersebut Samiun dan menuju sepedanya yang terletak disamping rumahnya . “Sepedaku bocor” Samiun mengecek dan memutar-mutar ban sepedanya yang masih tertempal pada rangka sepedanya untuk mengecek kondisinya .
3 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
“Bocor tenan huhh..” Samiun yang kesal mencoba menendang sepedanya tetapi malah melesat dan itu membuat badannya jatuh ke tanah. “Hahahah un samiun.” Teman-temannya dengan kompak menertawainya . “ Makane ati-ati un, sepeda kok disaduk kan sepeda ora iso ngerasakke loro.”. Kata Lintang anak perempuan dengan tubuh yang agak bongsor menimpali “Goncek aku wae wis un, ayo selak telat” Joni menawari samiun sambil berakting mengelapi boncengan sepedanya . “ Yowes ayo mangkat” Samiun segera duduk di boncengan sepeda Joni Butuh waktu 5 menit dari rumah Samiun menuju sekolah, dengan jalan pintas lewat jalan sawah tentunya. Matahari belum terlalu tinggi, sehingga menimbulkan siluet bayangan anak-anak tersebut saling bergurau . Bel sekolah berbunyi tiga kali itu tandanya jam sekolah mulai berakhir,muridmurid SD Langenharjo 02 keluar berhamburan . Ade dan bagas mencari-cari keberadaaan Samiun, Lintang, Sifa, dan Joni, karena berbeda Ade dan Bagas duduk di kelas 5 dan lainnya di kelas enam. Setelah bertemu mereka pun pulang menuju rumah Samiun. Karena lincak depan rumah samiun tidak cukup diduduki berenam maka Ade, Bagas dan Joni duduk di atas sepeda. “Kowe mau ulangan ntuk piro un?” Sifa membuka pembicaraan “80 tok, panas yo ” jawab samiun sambil membuka satu kancing baju sekolahnya lalu mengipasi lehernya dengan tangan kanannya “Aku kalah neh karo kowe, aku 75. Sesok kudune aku sinau ben iso ngalahke kowe.” Sifa berbicara sambil menggulung tangannya di dada . “Aku mau ditagih bu Evi buku paket matematika karo bahasa Indonesia, aku yo ewoh karo budheku nek jaluk duwet. Piye jal?” Samiun menaruh tas punggungnya di
4 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
atas pahanya lalu menenggalamkan mukanya disana tetapi kedua matanya masih terlihat. “Aku nduwe ide. Tapi kowe gelem ora un?” Joni turun dari sepedanya dan berdiri di samping Samiun “Piye ?” Samiun mendongakkan kepalanya menatap si Joni “Ngamen penthul, kowe nari gowo barongane, sifa lintang gowo jaran kepange, mengko aku, ade karo bagas seng nabuh alat musike. Aku yakin iso kan kene tau diwarahi pak Diman pas pelajaran kebudayaan. Ayolah ngewangi Samiun cah, oke?” Lima teman yang lain mendengarkan rencana Joni dengan serius, dan hanya mengangguk-angguk saja tanda setuju. Mereka masuk ke dalam rumah Samiun mengambil peralatan tari yang berada di rumah Samiun dan mengambil bagian masing-masing seperti baju, rompi, celana, kepala barong, selendang, dan yang terakhir adalah alat musik . Setelah dirasa tidak terlalu panas, mereka keluar dan berencana ngamen dengan berjalan kaki. Dengan baju yang sama berwarna merah dan pinggirnya disum dengan hiasan berwarna keemasan. Memakai slayer batik di kepala, dan yang perempuan ditambahkan selendang di pinggangnya . Ditangan kanan dan kiri Lintang dan Sifa membawa kuda kepang yang terbuat dari rotan beserta cambuk plastiknya. Samiun membawa kepala barongannya . Ketika ditengah-tengah perjalanannya mereka dicegat oleh bu Ginah . “Eh bocah kowe arep nek ndi?” Bu Ginah memarkirkan motornya di depan mereka dan berjalan menghampirinya . “Niki lho bu ajeng ngamen ting Kota.” Samiun memberikan kepala barongannya ke tangan kirinya karena ia sudah merasa pegal dan memang kepala barongan sangat berat.
5 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
“Mending nek omahku wae yok sakiki le, soale putuku ulang tahun tapi badut e durung teko, aku jane arep nyilih sound nek pak RT malah wes ketemu kowe, yowes kowe wae yo le ngisi nek acara omahku.” Menepuk punggung Samiun berulang kali. “tenan buk?”. Tanya mereka serentak . “iyo tenan a.” Bu Ginah membalikkan motornya berlalu meninggalkan Samiun dan rombongannya . “Alhamdulillah.” Ucap mereka kompakan . Setelah mereka sampai di rumah Bu Ginah mereka dengan sigap menata alat musik di halaman rumah bu Ginah yang sangat luas bahkan sangat bisa dijadikan lapangan bola tetapi dengan pemain 5-6 orang. Setelah dirasa semuanya sudah siap semua, Joni, Ade dan Bagas mulai menabuh alat musiknya . Seketika itu pula Samiun memakai barong dan menari bersama Sifa dan Lintang yang memakai kuda kepang. Seirama dengan music mereka menari, melenggak-lenggokkan badannya selaras dengan tabuhan gendang teman-temannya. ”Hak eee hok yaa hak eee hoyaaaa…” tanpa sadar penonton pun ikut mengucap hal itu. Setelah selesai dan mendapat bayaran dari bu Ginah mereka pulang. Ditengah perjalanan pulang rombongan Samiun dicegat oleh pak Lurah. “Le sesok kan Minggu, nek kelurahan arep ditekani Dinas Kebudayaan Pati, sesok kowe lan kanca-kancamu dadi pembuka acara nek balai desa yo?” “Oke pak siap yeeeeeee.”ucap mereka tanpa pikir panjang kegirangan “Sesok angger teko wae, jam 9 yo le.” “Enggih pak.” Jawab mereka yang hampir berbarengan mendengar jawaban mereka, pak Lurah pun pergi
6 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
Mereka pun melanjutkan perjalanan lagi, tak berselang lama langkah mereka diberhentikan lagi, kali ini bukan bu Ginah ataupun pak Lurah tetapi ibu dan bapaknya Lintang . “ Iki lho bu ne anakmu wedhok, digoleki marai khawatir wong tuwa wae, bali sekolah ora langsung bali malah ngluyur saiki malah ngamen astaghfirullah bu nee. Setelah memarkirkan motornya Pak Sirin menarik Lintang jadi disebelahnya “Nduk, nek bali sekolah kuwi muleh ndisik mengko ngluyur meneh rapopo.” Bu Ita mengelus-elus rambut Lintang . “Iki mesti gara-gara Samiun, gak usah konconan karo Samiun! Arep dadi opo kowe-kowe?” Pak Sirin marah dan menunjuk-nunjuk Samiun. Samiun dan lainnya hanya bisa menundukkan kepalanya. “Niki mboten salah e Samiun pak, kula kepengen ngewangi Samiun mbayar buku sekolahan.” Lintang memegang tangan bapaknya “Un, sesok nek ngamen ojo ngejak Lintang. Isin aku nek ana wong reti nek anakku ngamen.” Memaksa Lintang untuk pulang naik motor bersama ia dan ibunya . Setelah ditinggal Lintang, Ibu, dan bapaknya mereka kembali ke rumah Samiun untuk mengembalikan barang-barangnya . Esoknya Sifa, Adi, Bagas dan Joni sudah berada di rumah Samiun. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Lintang belum datang . Mereka sibuk menata peralatan dan pakaian sambil membicarakan Lintang . “Ndek wingi Lintang tekan omah diamuk ora yo?” ucap Ade yang sedang mengikatkan slayer batik dikepalanya. “Aku moh nari dewean, nek gak ono Lintang piye huhuuuu aku isin nek dewean” kata Sifa terisak “ Alah manja , kan wes dikancani Samiun, yo un?” Bagas menyenggol Samiun yang sedang membersihkan kepala barongannya
7 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
“Assalamualaikum” Suara Lintang yang cempreng seolah menggema di seluruh sutut ruangan rumah Samiun. Seluruh orang tak percaya bahwa Lintang bisa ada di sini. “ Yok cepet wes ape jam 9 lho, pakaianku ndi fa?” Tanya Lintang kepada Sifa “ Kuwi nek njero kotak samping kursi, whekkk Lintang Teko.”Sifa mengejek Bagas yang tadi menggodanya . “Terus bapakmu nek reti piye Lin” Pertanyaan Samiun membuat seisi ruangan hening dan semua menoleh kepada Lintang. “Tenang bapakku lagi nek sawah. Aku wes cerita ibukku nek arep pentas nek balai desa lan ibukku setuju. Mengko nek bapakku tekon aku nek ndi, ibuku arep muni nek aku nek omahe simbahku.” Kata Lintang sambil memakai rompi dan membetulkan celananya yang agak longgar. “Wes siap kabeh?” Tanya Samiun kepada teman-temannya “wes un” teman-temannya serentak menjawab. “De, kendangmu ndi?” Samiun melihat Ade yang tidak membawa apa-apa . “Astaghfirullah lali….”. Ade segera mengambil Kendang di dalam rumah Samiun “Adeeeeeee……” yang lain hanya bisa geleng-gelen kepala melihat tingkah Ade . Pelataran balai desa masih kosong, Dinas Kebudayaan belum datang atau mereka yang terlalu semangat berangkat. Untung sudah ada pak Lurah yang sedang sibuk menata teks pidatonya untuk dibacanya nanti. Seperti biasa mereka menata alat musik dan tentu diri masing-masing . Setengah jam kemudian mobil hitam bertuliskan Dinas Kebudayaan Pati memasuki parkiran kelurahan desa Langenharjo. Setelah pihak Dinas Kebudayaan dipersilahkan duduk . Rombongan Samiun Penthul memulai aksinya . Rombongan Samiun pun mendapat tepuk tangan dan apresiasi dari Dinas Kebudayaan
8 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
Pertunjukkan telah usai, dari balik pagar kelurahan Lintang mengenal siapa sosok dibalik pagar tersebut, bapaknya. Seketika wajahnya pucat pasi takut jikalau bapaknya memarahinya lagi. Setelah selesai berberes, mereka keluar dari balai desa, tetapi lintang menundukkan wajahnya selama perjalanan. Tiba di rumah Samiun , semua kaget karena melihat bapak dan ibunya Lintang duduk di lincak depan rumah Samiun. Lintang berlari ke arah bapak dan ibunya mendahului teman-temannya. “Maaf nggih pak bu Lintang sampun gawe bapak ibu isin, tapi Lintang seneng lan tresno kaliyan seni tari , nek mboten kula lan rencang-rencang terus sinten seng bakal nguri-nguri kebudayaan e awake dewe.” Lintang memeluk ibunya dan tidak berani menatap wajah bapaknya. Dilihatnya Samiun dan teman-temannya sudah berada persis di depan rumah Samiun . “Bapak seng kudune njaluk ngapuro nduk, bapak wes ndelok mau kowe lan kanca-kancamu nek balai desa. Bapak saiki ora isin, malah atine bapak bungah ngerti anak e pinter nari. Maafke bapak yo nduk.” Mengusap wajah anaknya “Samiun bapak njaluk ngapuro nggih nek ndek wingi salah kiro lan kadung emosi, bapak saiki setuju. Ben jadwal e ora pas-pasan karo jadwal sekolah, bapak wae seng ngatur jadwale. Pendidikan tetep seng utama .” Pak Sirin menyalami Samiun dan teman-temannya. Tak terkira rasa senang yang dirasa oleh Samiun dan teman-temannya. Sekarang menari bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan mereka tetapi karena mereka memang menyukainya. Pada pagi hari yang tidak terlalu cerah tapi belum tanda-tanda hujan Pak Sirin keluar dari rumahnya dengan membawa palu,paku, dan sebuah papan. Beliau lalu menuju ke belakang rumahnya . Ternyata beliau sedang memaku sebuah papan di pohon jambu air depan rumahnya. Papan tersebut bertuliskan : SAMIUN PENTHUL 089675328759.
9 Samiun Penthul|AlifiaFebriani
TARI PENTHUL adalah Tari khas Jawa Tengah, biasanya menggunakan barong dan kuda kepang. Serta diiringi dengan dengan musik-musik jawa yang berasa l dari alat musik tradisional gamelan.
10 Samiun Penthul|AlifiaFebriani