KINERJA FERMENTASI RAGI Saccharomyces cerevisiae PADA MEDIA VHG DENGAN VARIASI KONSENTRASI EKSTRAK RAGI SEBAGAI SUMBER NITROGEN UNTUK PRODUKSI BIOETANOL Safri Ishmayana, Alfitri, Sadiah Djajasoepana, Saadah D. Rachman, Agus Safari Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Jln. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangor, 45363, Sumedang e-mail:
[email protected]
Abstrak Salah satu upaya untuk meningkatkan perolehan etanol pada akhir proses fermentasi adalah dengan meningkatkan konsentrasi gula pada awal proses fermentasi sampai konsentrasi di atas 27% (b/v), yang dikenal sebagai kondisi very high gravity (VHG). Namun kondisi ini menyebabkan terjadinya cekaman osmotik pada sel ragi. Pada penelitian ini dilakukan penambahan ekstrak ragi yang kaya akan nitrogen sehingga dapat meningkatkan toleransi ragi terhadap cekaman osmotik. Galur ragi yang digunakan yaitu Saccharomyces cerevisiae A12, konsentrasi gula yang digunakan 30% (b/v) sedangkan media YEP digunakan 1/10, 1/5, 1 dan 2 kali dari formula acuan serta YNB sebagai kontrol. Fermentasi dilakukan dengan sistem batch pada kondisi aerob, suhu 30°C, dan kecepatan pengocokan 150 opm. Kurva pertumbuhan dengan pengukuran kerapatan optik pada 600 nm (OD 600nm) menunjukkan bahwa YEP dengan konsentrasi yang paling tinggi membantu pertumbuhan sel ragi dengan nilai OD 600nm tertinggi. Parameter pertumbuhan menujukkan bahwa sel yang tumbuh pada media YNB memiliki viabilitas paling baik, meskipun penggunaan glukosa dan produksi etanol oleh sel yang tumbuh pada media YNB tidak memberikan hasil yang baik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami fenomena ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi media YEP sangat berpengaruh terhadap kinerja fermentasi ragi S. cerevisiae. Semakin tinggi konsentrasi YEP yang digunakan, maka semakin baik kinerja fermentasi. Kata Kunci : bioetanol, cekaman osmotik, sel ragi, media fermentasi
Abstract One of the efforts to increase ethanol recovery at the end of fermentation process is by increasing sugar concentration at the initial stage of the fermentation process above 27% (w/v), which is known as very high gravity (VHG) condition. However this condition expose yeast cell to osmotic stress. In the present study, we investigate the addition extra YEP into media on fermentation performance. Saccharomyces cerevisiae strain A12 was used in the present study, sugar concentration used were 30% (w/v) whereas YEP media was 1/10, 1/5, 1 and 2 fold of reference formula and YNB as control. Fermentation was conducted in aerobic batch culture, at 30°C and shake speed at 150 opm. Growth curve by measuring optical density at 600 nm (OD600nm) indicate that the highest YEP concentration give the best support for yeast cell growth as indicated by the highest OD600nm. Growth parameters indicate that yeast cell grown in YNB has the best viability (~90%) until the end of fermentation, although it showed poor glucose utilization and ethanol production. Further investigation is required to understand this phenomenon. The results of the present study suggest that YEP concentration is very important in determining fermentation performance of the yeast cell. Higher YEP concentration promote fermentation performance. Keywords: bioethaol, osmotic stress, yeast cell, fermentation media
1. Pendahuluan Bioetanol dihasilkan melalui proses fermentasi gula sederhana dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme utama yang digunakan dalam fermentasi etanol adalah ragi [1]. Saccharomyces cerevisiae merupakan spesies ragi yang digunakan secara luas dalam fermentasi bioetanol skala besar. Hal ini karena S. cerevisiae dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi yang relatif tinggi terhadap etanol [2].Dalam industri fermentasi, ragi terpapar terhadap berbagai faktor lingkungan seperti konsentrasi gula, konsentrasi etanol, sumber nitrogen, pH, dan tekanan osmosis yang menyebabkan terjadinya berbagai cekaman [3]. Ragi memerlukan sumber karbon, nitrogen, mineral, dan vitamin [4]. Kombinasi nutrien ini diformulasikan dalam media fermentasi untuk mendukung pertumbuhan dan viabilitas sel ragi. Ragi dari genus Saccharomyces mampu memanfaatkan berbagai gula dengan jumlah enam atom
312
karbon sebagai sumber karbon dan energi [5]. Galur ragi umumnya mempunyai ketahanan terhadap konsentrasi glukosa sampai 22% (b/v) [6]. Peningkatan efisiensi produksi bioetanol dapat dicapai dengan memilih bahan baku yang tepat, optimasi praperlakuan bahan baku dan tahap fermentasi etanol, serta pemanfaatan produk samping secara optimal. Optimasi dalam fermentasi etanol dapat dilakukan dengan mengendalikan parameter utama pada tahap tesebut. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi fermentasi etanol antara lain konsentrasi gula, konsentrasi etanol, suhu kultur dan pH media [7]. Berbagai penelitian mengenai optimasi media fermentasi telah dilakukan untuk meningkatkan kinerja fermentasi. Suplementasi media menggunakan ekstrak ragi, dinding sel, glisin, tepung kedelai, dan tepung finger millet (Eleusine coracana L.) dapat meningkatkan produksi etanol dan mempersingkat waktu fermentasi [8, 9]. Jumlah gula yang difermentasi meningkat dengan suplementasi media menggunakan glisin, prolin dan glisin betain [10]. Penerapan teknologi very high gravity (VHG) sangat potensial untuk diterapkan dalam pembuatan bioetanol. Teknologi VHG pada produksi bioetanol didefinisikan sebagai media fermentasi yang mengandung 27 g atau lebih padatan terlarut (gula) /100 g bubur [11]. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam fermentasi kondisi VGH adalah ragi mengalami cekaman osmotik yang dapat mengurangi pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel secara signifikan [11]. Adapun kadar gula yang tinggi dalam media fermentasi menyebabkan peningkatan tekanan osmosis yang mengganggu viabilitas sel ragi yang menyebabkan rendahnya etanol yang dihasilkan. S. cerevisiae dapat memfermentasi gula yang jumlahnya ditingkatkan ketika semua nutrien yang diperlukan tersedia dalam jumlah yang cukup [8]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari bagaimana pengaruh ketersediaan nutrisi, khususnya nitrogen dari YEP, terhadap kinerja fermentasi pada kondisi VHG. 2. Metode Penelitian Galur ragi dan pemeliharaan Ragi yang digunakan dalam proses fermentasi adalah S. cerevisiae A12, suatu galur ragi toleran etanol yang digunakan dalam pembuatan roti. Ragi ditumbuhkan pada agar miring dengan media YEP yang terdiri dari (b/v) 0,5% ekstrak ragi; 0,5% pepton bakteriologis; 0,3% amonium sulfat; 0,3% kalium dihidrogen fosfat; 1% glukosa; dan 1,5% agar. Media disimpan pada suhu 4 oC dan ditumbuhkan kembali setiap enam bulan sekali. Media tumbuh dan kondisi kultur Ragi ditumbuhkan pada empat media YEP variasi konsentrasi dengan komposisi pada Tabel 1 dan satu media YNB (0,67 g/L) sebagai kontrol. Tabel 1 Komposisi media YEP dalam gram per 100 mL pelarut. Konsentrasi YEP 1/10* 1/5* 1* 2* Ekstrak ragi 0,05 0,1 0,5 1 Pepton 0,05 0,1 0,5 1 (NH4)2SO4 0,03 0,06 0,3 0,6 KH2PO4 0,03 0,06 0,3 0,6 * kali konsentrasi yang digunakan oleh Ishmayana [12] Komponen
Masing-masing media ditambahkan dengan glukosa sampai konsentrasi akhir glukosa mencapai 30% (b/v). Media disterilisasi pada suhu 121 oC dan tekanan 15 psi selama 15 menit.menggunakan autoklaf sebelum digunakan. Pembuatan kultur biang dilakukan dengan mengambil beberapa ose kultur dari agar miring kemudian diinokulasi ke dalam media inokulum steril. Kemudian media ini dinkubasi selama 16 jam pada suhu 30oC dan dikocok dengan kecepatan 150 opm. Media inokulum yang digunakan merupakan media YEP yang terdiri dari 0,5 gram ekstrak ragi; 0,5 gram pepton bakteriologis; 0,3
313
gram amonium sulfat; 0,3 gram kalium dihidrogen fosfat per 100 mL volume media dengan konsentrasi glukosa akhir 2%. Rasio ukuran labu erlenmeyer terhadap volume kultur dijaga pada 4:1 untuk menjaga ketersediaan oksigen terlarut. Kultur biang digunakan untuk menginokulasi media produksi dengan jumlah sel hidup awal sebanyak ~106 sel/mL. Kondisi eksperimen dan pencuplikan Kultur aerobik dibuat dengan memasukkan media cair YEP dan YNB ke dalam labu erlenmeyer yang sudah disterilisasi, kemudian ditutup dengan kapas. Konsentrasi sel hidup pada awal fermentasi dikondisikan sebanyak ~10 6 sel/mL. Sampel diambil dari media eksperimen dengan menggunakan mikropipet aseptik setiap 6 jam pada 36 jam pertama kemudian setiap 12 jam sampai mencapai 144 jam. Parameter yang diukur pada setiap pengambilan sampel adalah kurva pertumbuhan dengan cara mengukur kerapatan optis pada panjang gelombang 600 nm, jumlah sel, laju pertunasan sel, konsentrasi etanol dan konsentrasi glukosa. Kurva pertumbuhan Pertumbuhan ragi ditentukan dengan mengukur kerapatan optis pada panjang gelombang 600 nm (OD600nm) menggunakan spektrofotometer. Sampel dapat diencerkan dengan akuades bila diperlukan. Perhitungan sel ragi Sel dihitung dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x dengan bantuan hemasitometer setelah diwarnai menggunakan metilen violet seperti dijelaskan oleh Smart et al. [13]. Analisis residu glukosa dan produk etanol Kadar glukosa ditentukan dengan menggunakan metode kalium ferisianida basa sebagimana dijelaskan oleh Walker & Harmond [14], sedangkan kadar etanol ditentukan dengan metode enzimatik menggunakan enzim alkohol dehidrogenase seperti dijelaskan oleh Amerine & Ough [15] dengan modifikasi pada aktivitas enzim yang digunakan menjadi sebesar 4000 Unit/mL. 3. Hasil dan Pembahasan Parameter pertumbuhan sel ragi Kurva pertumbuhan ragi ditentukan dengan mengukur turbiditas media pada panjang gelombang 600 nm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sel ragi yang ditumbuhkan pada media YEP2 memberikan nilai turbiditas yang paling tinggi, diikuti oleh YEP1, YEP1/5, dan YEP1/10. Sel ragi yang ditumbuhkan pada media YNB sebagai kontrol memberikan nilai yang hampir sama dengan sel ragi yang ditumbuhkan pada media YEP 1/10 seperti ditunjukkan pada Gambar 1(a). Fase adaptasi teramati pada 6 jam pertama setelah kultur biang dimasukkan ke dalam media fermentasi, diikuti oleh fase eksponensial. Sel ragi yang ditumbuhkan pada media YEP2 mengalami fase eksponensial yang paling lama (sampai jam ke 18) dibandingkan sel ragi yang ditumbuhkan pada media lainnya (sampai jam ke 12). Hal ini menunjukkan bahwa media fermentasi dapat mempengaruhi pertumbuhan sel ragi, semakin tinggi konsentrasi YEP yang digunakan, maka semakin baik pertumbuhan sel. Hal ini sesuai dengan hasil yang diungkapkan oleh Bafrncová et al. [8] yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah biomassa setelah penambahan ekstrak ragi pada media fermentasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena penambahan ekstrak ragi ke dalam media fermentasi meningkatkan nitrogen alfa amino bebas (free alpha amino nitrogen / FAN), yang merupakan salah satu nutrisi yang diperlukan pada proses biosintesis komponen sel ragi [16]. Untuk menentukan fase kematian pada proses fermentasi ini, dilakukan penghitungan sel hidup dan sel mati dengan menggunakan hemasitometer dan pewarnaan menggunakan metilen violet untuk membedakan sel yang hidup dan sel yang mati [13]. Gambar 1(b) menunjukkan kurva jumlah sel hidup selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sel ragi yang ditumbuhkan pada media YEP pada umumnya mengalami kematian sel lebih cepat dibandingkan dengan sel yang ditumbuhkan pada media YNB. Meskipun demikian, jumlah sel paling banyak diperoleh pada media yang menggunakan YEP2. Fenomena yang teramati pada media YNB
314
berhubungan dengan viabilitas sel. Penentuan viabilitas sel menunjukkan bahwa sel yang ditumbuhkan pada media YNB menunjukkan viabilitas yang paling baik dibandingkan sel yang ditumbuhkan pada media YEP mencapai ~90% viabilitas sepanjang proses fermentasi (Gambar 2(a)). Fenomena ini merupakan hal yang tidak terduga, karena YNB merupakan media yang memiliki nutrisi yang lebih miskin dibandingkan YEP, namun ternyata dapat mempertahankan viabilitas sel lebih baik dibandingkan YEP. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami fenomena ini. 40 Sel hidup (×106/mL)
12
OD600nm
10 8 6 4
2
30 20 10 0
0 0
24
48
72 96 Waktu (jam)
120
0
144
24
48
72
96
120
144
Waktu (jam)
(a) (b) Gambar 1 (a) Kurva pertumbuhan dan (b) jumlah sel hidup S. cerevisiae A12 dalam variasi konsentrasi media sesuai keterangan dengan konsentrasi glukosa 30% berdasarkan OD600nm. Kultur ditumbuhkan pada kondisi aerob pada suhu 30 oC. 100 80
Sel bertunas (%)
Viabilitas (%)
100 80
60
60
40
40
20
20
0
0 0
24
48
72
96
120
144
Waktu (jam)
0
24
48
72
96
120
144
Waktu (jam)
(a) (b) Gambar 2 (a) Viabilitas sel dan (b) persentase sel bertunas ragi S. cerevisiae A12 pada variasi media sesuai keterangan dengan konsentrasi glukosa 30%. Kultur ditumbuhkan dalam kondisi aerob pada suhu 30oC. Kecepatan pertumbuhan sel ditentukan dengan menentukan laju pertunasan sel. Gambar 2(b) menunjukkan persentase sel bertunas selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sel yang ditumbuhkan pada media YEP memiliki presentase sel bertunas yang lebih tinggi selama proses fermentasi, meskipun pada akhir fermentasi sel yang ditumbuhkan pada media YEP1/10 memiliki nilai presentase sel bertunas yang hampir sama dengan sel yang ditumbuhkan pada media YNB. Hal ini membuktikan bahwa YEP merupakan sumber nutrisi yang lebih baik dibandingkan YNB dalam hal pembentukan sel baru, sesuai dengan hasil kurva pertumbuhan (Gambar 1(a)) yang menunjukkan lebih tingginya turbiditas sel yang ditumbuhkan pada media YEP. Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun dalam hal viabilitas sel YNB memberikan hasil lebih baik, namun sel hidup yang ditumbuhkan pada media YNB tidak memiliki pertumbuhan sel yang baik, atau dengan kata lain, jumlah sel selama proses fermentasi relatif konstan.
315
Penggunaan substrat dan pembentukan produk Kadar glukosa yang tersisa dan etanol yang dihasilkan selama proses fermentasi ditentukan untuk menentukan efisiensi fermentasi. Gambar 3(a) menunjukkan sisa glukosa selama proses fermentasi. Sel ragi yang ditumbuhkan pada media YEP 2 menunjukkan penggunaan glukosa paling baik, ditunjukkan dengan residu glukosa yang paling sedikit pada akhir proses fermentasi, diikuti oleh media YEP1, YEP1/5, YEP1/10 dan YNB. Hal ini menunjukkan bahwa sel memerlukan nutrisi yang cukup agar dapat menggunakan gula yang tersedia dalam media fermentasi. Jika nutrisi tidak mencukupi, maka pada akhir proses fermentasi gula akan tersisa dan menurunkan efisiensi fermentasi. Menurut Thomas et al. [17] sintesis enzim glikolisis serta enzim dari jalur heksosa monofosfat pada kondisi stres osmotik akibat konsentrasi gula tinggi diatur oleh konsentrasi gula dan ketersediaan nitrogen. Kekurangan nitrogen pada media dengan konsentrasi gula tinggi merupakan salah satu penyebab fermentasi berjalan lamban atau terhenti. Penghambatan transpor gula merupakan faktor utama yang menghambat metabolisme fermentasi. Transporter gula menunjukkan afinitas tinggi terhadap substrat yang diatur oleh represi katabolik dan tidak terdeteksi pada fermentasi dengan konsentrasi gula yang tinggi. Keterbatasan nitrogen menghambat sintesis protein transporter sehingga sistem transpor gula menjadi tidak aktif meskipun masih terdapat gula dalam media [18]. Dengan demikian, laju fermentasi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen pada media ditandai dengan besarnya penurun residu glukosa.
Hasil pengukuran etanol ditunjukkan pada Gambar 3(b). Etanol yang dihasilkan sesuai dengan sesuai dengan penggunaan glukosa yang telah dibahas sebelumnya. Etanol paling banyak dihasilkan pada media yang menggunakan YEP2, dimana residu glukosa terdeteksi paling sedikit. Meskipun demikian, etanol paling tinggi yang diperoleh hanya sebanyak ~5% yang terdeteksi pada jam ke 132. Jumlah ini masih dibawah hasil teoritis sebesar ~14%. Hal ini dapat terjadi karena adanya cekaman osmotik yang menurunkan efisiensi fermentasi. Selain itu pada jam ke 144 terdeteksi penurunan kadar etanol yang dapat terjadi karena adanya aktivitas sel ragi menggunakan kembali etanol yang dihasilkan karena sudah memasuki fase diauksik [19].
Etanol (%)
Residu glukosa (%)
120 100 80 60 40 20 0
0
24
48 72 96 Waktu (jam)
120
144
6 5 4 3 2 1 0 0
24
48 72 96 Waktu (jam)
120
144
(a) (b) Gambar 3 (a) Residu glukosa dan (b) etanol yang dihasilkan oleh S. cerevisiae A12 pada media fermentasi sesuai keterangan dengan konsentrasi awal glukosa 30%. Kultur ditumbuhkan pada kondisi aerob dan suhu 30oC. 4. Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketersediaan nutrisi, terutama nitrogen, sangat berpengaruh terhadap kinerja fermentasi ragi pada kondisi VHG. Penggunaan YEP pada fermentasi VHG lebih baik dibandingkan YNB karena dapat meningkatkan kinerja fermentasi ragi yang ditunjukkan dengan tingginya kadar etanol yang dihasilkan. Meskipun demikian, pada penelitian ini ditemukan adanya fenomena yang tidak terduga, yaitu viabilitas sel yang tinggi pada sel yang ditumbuhkan pada media YNB. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami fenomena ini.
316
Ucapan Terima Kasih
Kami mengucapkan terima kasih kepada Prof. Robert P. Learmonth dari University of Southern Queensland untuk pemberian kultur murni S. cerevisiae galur A12. Referensi [1] G.M. Walker, “Bioethanol: science and technology of fuel alcohol”. BookBoon.com. Frederiksberg, Denmark, 2010. [2] J. S Harrison dan J. C. J. Graham, “Yeast in Distilery Practice”, Academic Press. London, England, 1970. [3] B. R. Gibson, S. J. Lawrence, J. P. R. Leclaire, C. D. Powell dan K. A. Smart, “Yeast responses to stresses associated with industrial brewery handling” FEMS Microbiology Reviews, vol. 31, no. 5, hal 535–569, 2007. [4] C. W. Bamforth, “Food, Fermentation and Microorganisms”. Blackwell Publishing. USA, 2005. [5] M. Carlson, “Regulation of Sugar Utilization in Saccharomyces Species”, Journal of Bacteriology, vol. 169, no. 11, hal 4873-4877, 1987. [6] B. Atkinson dan F. Mavituna, “Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook”, The Nature Press, USA, 1983. [7] M. L. Shuler dan F. Kargi, “Bioprocess Engineering, Basic Concept”, Prentice Hall Inc., USA, 1992. [8] P. Bafrncová, D. Šmogrovičová, I. Sláviková, J. Pátková dan Z. Dömény, “Improvement of very high gravity ethanol fermentation by media supplementation using Saccharomyces cerevisiae”, Biotechnology Letters, vol. 21, hal 337–341, 1999. [9] L. V. A. Reddy dan O.V.S. Reddy, “Rapid and enhanced production of ethanol in very high gravity (VHG) sugar fermentation by Saccharomyces cerevisiae: Role of finger millet (Eleusine coracana L.) flour”, Process Biochemistry, vol. 41 hal. 726–729, 2006. [10] K. C. Thomas, S. H. Hynes dan W. M. Ingledew. “Effects of particulate materials and osmoprotectants on very-high-gravity ethanolic fermentation by Saccharomyces cerevisiae”, Applied and Environmental Microbiology, vol. 60, no. 5, hal 1519-1524, 1994. [11] K. C. Thomas, S. H. Hynes, A. M. Jones dan W. M. Ingledew, “Production of fuel alcohol from wheat by VHG technology”, Applied Biochemistry and Biotechnology, vol. 43, hal. 211226, 1993. [12] S. Ishmayana, “Investigation of growth medium supplementation and ethanol tolerance of the yeast Saccharomyces cerevisiae”. MSc Thesis. University of Southern Queensland, Australia, 2011. [13] K. A. Smart, K. M. Chambers, I. Lambert, C. Jenkins dan C. A. Smart, “Use of methylene violet staining procedures to determine yeast viability and vitality”, J. Am. Soc. Brew. Chem., vol. 57, no. 1, hal 18-23, 1999. [14] J. A. Walker dan D.L. Harmon, “Technical note: a simple, rapid assay for alpha-amylase in bovine pancreatic juice”, J. Anim. Sci., vol. 74, hal. 658-662, 1996. [15] M. A. Amerine dan C. S. Ough, “Wine and Must Analysis”, John Wiley & Sons, New York, USA, 1974. [16] G. P. Casey, C. A. Magnus dan W. M. Ingledew, ”High-Gravity Brewing: Effects of Nutrition on Yeast Composition, Fermentative Ability, and Alcohol Production”, Appl. Env. Microbiol., vol. 48, no. 3, hal. 639-646, 1984. [17] K. C. Thomas, S. H. Hynes dan W. M. Ingledew, “Practical and theoretical considerations in the production of high concentrations of alcohol by fermentation”, Process Biochemistry, vol. 31, no. 4, hal. 321 – 331, 1996. [18] J. Arrizon dan A. Gschaedler, “Increasing fermentation efficiency at high sugar concentrations by supplementing an additional source of nitrogen during the exponential phase of the tequila fermentation process”, Can. J. Microbiol., vol. 48, hal. 965-970, 2002. [19] J. Piškur, E. Rozpędowska, S. Polakova, A. Merico dan C. Compagno, “How did Saccharomyces evolve to become a good brewer?”, TRENDS in Genetics, vol. 22, no. 4, hal. 183-186, 2006.
317