CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku Center for Security and Peace Studies (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian) Sekip K-9 Yogyakarta 55281 Phone: 62 274 520733 Email:
[email protected]
Universitas Gadjah Mada
http://csps.ugm.ac.id
Ucu Martanto
Ruang dan Konflik Wilayah Cerita dari Enam Desa
Paper No 3 Desember 2012 Tools Pencegahan Konflik dan Best Practices untuk Industri Ekstraktif 1
Ruang dan Konflik Wilayah Cerita dari Enam Desa Ucu Martanto
...untuk kami, masyarakat enam desa, sudah komitmen harga mati masuk Halbar...kalau harus membunuh atau mati, warga siap. ...kita dari jaman Kesultanan sudah Halbar. Menurut orang tua kami di Halmahera hanya ada satu Kesultanan yaitu Jailolo. [Abdul Muin (Mantan Kepala Desa Bobaneigo), 30 April 2010]
A. Pengantar Salah satu fenomena yang muncul, dan berangsur-angsur menjadi tren, pasca jatuhnya pemerintahan Suharto tahun 1998 adalah pemekaran daerah. Terhitung semenjak tahun 1999 hingga Juni 2009, terdapat penambahan 205 Daerah Otonom Baru (DOB) yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota (Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri, 2010). Jumlah ini diperkirakan mengalami penambahan mengingat tingginya hasrat daerah untuk memisahkan diri dari pemerintah daerah induk. Kebijakan moratorium pemekaran dalam rangka mengevaluasi keberadaan DOB tidak menyurutkan ambisi daerah untuk mengajukan proposal pemekaran. Sengketa wilayah merupakan fenomena yang sama gandrungnya dengan pemekaran daerah. Belum tuntasnya proses delimitasi wilayah pemerintah daerah di Indonesia menyebabkan batas wilayah antarpemerintah daerah tumpang-tindih. Dalam kondisi ketidakpastian batas-batas wilayah, DOB dilahirkan. Akibatnya mudah diterka, hampir setiap kasus pemekaran kabupaten/kota maupun provinsi – terutama di luar Pulau Jawa – selalu diikuti dengan sengketa batas wilayah.1 Tidak sedikit dari sengketa ini berakhir dengan konflik kekerasan yang menyimpang dari tujuan pemekaran daerah, seperti yang terkandung dalam UU No. 32 tahun 2004, yaitu: meningkatkan pelayanan
publik, kesejahteraan masyarakat, dan memperkokoh NKRI. Mengapa sengketa batas wilayah antar-pemerintah daerah seringkali ditempuh dengan jalan kekerasan antar-penduduk? Seseorang berperang mempertahankan kedaulatan teritorial NKRI dianggap sebagai pejuang nasionalisme, sementara bagi mereka yang rela mati untuk memperjuangkan batasbatas wilayah pemerintah daerahnya, apakah ini yang disebut 'provinsisme' atau 'kabupatenisme'? Apa yang mereka pertaruhkan ketika memperjuangkan batasbatas wilayah kabupaten/kota atau provinsi? Fenomena ini menyiratkan pertanyaan lebih lanjut tentang keindonesiaan, tentang kewilayahan, tentang pemerintahan, tentang kewarganegaraan. Saya menduga pertanyaanpertanyaan itu hanya akan tuntas dijelaskan melalui pisau analisa yang multiperspektif. Untuk melengkapi perspektif yang telah banyak digunakan (seperti: kelembagaan/tata kelola pemerintahan, ekonomi politik, politik identitas, gerakan sosial, dan konflik), tulisan ini mengangkat perspektif ruang dalam memahami pemekaran daerah dan konflik kekerasan batas wilayah. Sengketa batas wilayah antara Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) dengan Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dalam memperebutkan status wilayah enam desa (Dum Dum, Akesahu, Akelamo Kao, Tetewang, Bobane Igo, dan Pasir Putih) adalah contoh sempurna tentang silang sengkarut konflik
batas wilayah yang banyak tersebar di Indonesia. Pengamatan dan interaksi langsung saya selama enam bulan atas kasus sengketa wilayah enam desa antara Kabupaten Halbar 2 dengan Kabupaten Halut diharapkan dapat membaca posisi dan makna ruang dalam hubungan antara pemekaran dan konflik batas wilayah.
B. Ruang dan Kekuasaan Bagaimana memaknai ruang? Dalam tulisan ini, ruang dipahami bukan sebagai kontainer kosong, abstrak, netral, insignifikan, dan tidak memiliki makna apapun dalam menjelaskan fenomena sosial ataupun realita sosial. Sebaliknya, konsep ruang merupakan medium yang memintal hubungan intersubjektif, tindakan-tindakan subjek, dan lingkungan mereka; berkarakter konstitutif, produktif, positif, dan generatif; fundamental bagi semua bentuk kehidupan komunal, bagi semua penggunaan kekuasaan (West-Pavlov, 2009). Ruang tidak hadir secara universal. Sebagai produk sosial, ruang hanya dapat dipahami dalam konteks masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu. Seperti kutipan di awal tulisan ini, juga dalam kehidupan sehari-hari (everyday life), individu ataupun kolektif mengimaginasikan dan memaknai ruang secara berbeda-beda. Lefebvre (1991) mengurai fenomena ini dengan menunjukan bekerjanya dua konsep yang membentuk pemahaman dan praktek manusia terhadap ruang, yaitu ruang abstrak (abstract space) dan ruang sosial (social space). Ruang abstrak terbentuk melalui interseksi antara pengetahuan dan kekuasaan. Ini adalah ruang hirarkis yang bersangkut paut dengan hasrat seseorang untuk menguasai organisasi-organisasi sosial, seperti: penguasa politik, pengusaha, perancang wilayah, dst. Lefebvre menandaskan ruang abstrak adalah ruang hegemonik karena menyelimuti dan menggabungkan apirasi-aspirasi, keinginan, dan impian sehari-hari penduduk di dalam sistem kapitalisme. Berkembalikan dengan ruang abstrak, ruang sosial muncul dari praktek – pengalaman hidup sehari-hari yang tereksternalisasi dan termaterialisasi melalui
aktivitas seluruh anggota masyarakat, termasuk para agensi ruang abstrak (penguasa, pengusaha, perancang wilayah, dst) (Gottdiener, 1993: 131). Ruang sosial tidak bersifat tunggal dan tidak terdapat batas-batas eksklusif yang memisahkan ruang sosial satu dengan ruang sosial lainnya. Dengan karakter demikian menjadikan ruang sosial selalu saling-tindih dan saling-penetrasi satu dengan lainnya. Seperti diungkapkan Lefebvre (1991: 86-87), 'social space interpenetrate one another and/or superimpose them-selves upon one another. They are not things, which have mutually boundaries and which collide because of their contours or as a result of inertia'[sic]. Karakter ini menandakan kedinamisan ruang-ruang sosial yang dibentuk oleh praktek-praktek kekuasaan yang bekerja didalamnya. Bagaimana ruang (abstrak dan sosial) diproduksi? Lefebvre, dalam magnum opus-nya La Production de L'espace (1974), diterjemahkan dengan judul the production of space (1991) mengajukan bahwa ruang diproduksi melalui tiga proses atau dimensi trialektika yang saling terhubung. Proses atau dimensi ini adalah perceived – conceived – lived (Lefebvre, 1991: 40). Proses 'trialektika' ini menegaskan bahwa ruang memiliki karakter komplek dan memasuki hubungan-hubungan sosial pada semua tingkatan (Gottdiener, 1993: 131). Pada awalnya sebagai ruang fisik yang dapat dirasakan; kemudian sebagai abstraksi semiotik yang menerangkan baik bagaimana masyarakat biasa bernegosiasi dengan ruang (mental map) ataupun bagaimana politisi, perencana pembangunan, perusahaan, dan sejenisnya bernegosiasi dengan ruang; dan terakhir sebagai medium bagi tubuh untuk hidup dan berinteraksi dengan tubuh lainnya. Lefebvre memanifestasikan trialektika atas ruang ke dalam terminologi spasial yang disebutnya sebagai proses: spatial practice – representations of space – representational spaces (Lefebvre, 1991: 38-39). Praktek spasial adalah aktivitas dan interaksi yang mendefinisikan ruang. Praktek spasial masyarakat akan menghasilkan definisi ruang (milik masyarakat). Dengan demikian, untuk memahami praktek spasial masyarakat dapat dilihat melalui pembacaan terhadap ruang milik masyarakat. Representasi ruang adalah
4 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
ruang yang telah dikonseptualisasikan dengan tujuan mengarahkan tindakan manusia. Konsepsi-konsepsi ruang cenderung mengarah pada sistem penanda verbal, seperti: peta, maket tata ruang, informasi dalam gambar, dst. Ruang representasi adalah ruang sebagai tempat hidup penduduk dan pengguna ruang. Ini adalah ruang yang telah terdominasi oleh tamsilan dan simbol tertentu. Ruang representasi cenderung bertalian secara logis dengan sistem simbol dan penanda non-verbal. Aktivitas-aktivitas kekuasaan dalam ruang tidak bekerja dalam bentuk kekuasaan absolut, tidak terlokalisasi pada sumber kekuasaan tertentu melainkan terpencar diberbagai lokasi dan bekerja untuk mendisiplinkan masyarakat. Konsep dispositif (apparatus) yang diajukan Foucault (1980) dapat menerangi bagaimana kekuasaan bekerja di dalam ruang sosial. Foucault mendeskripsikan dispositif sebagai: a thoroughly heterogeneous ensemble consisting of discourses, institutions, architectural forms, regulatory decisions, laws, administrative measures, scientific statements, philosophical, moral and philanthropic propositions [...] the dispositif itself is the system or relations that can be established between these elements (1980; 94) Ruang bersifat sirkular; pada satu sisi sebagai salah bentuk produk sosial dan di sisi yang lain turut aktif memproduksi ruang baru. Sirkularitas ruang memungkinkan terjadi karena ia adalah konstituen dari elemen dispositif (West-Pavlov, 2007: 150). Ruang fisik yang dirasakan dan termanifestasi dalam praktek spasial keseharian masyarakat harus berhadapan dengan proyek-proyek representasi ruang milik elit, birokrat, perancang tata ruang, dst yang diaktualisasikan melalui teknologi-teknologi politik dan diskursus-diskursus saintifik (dispositif). Interaksi keduanya mendorong lahirnya ruang 'baru' (dengan cara menindih dan mempenetrasi ruang lama) sekaligus menjadi ruang representasi bagi ideologi dominan. Bagaimana bangunan konsep ruang (dan teori produksi ruang) menjelaskan sengketa status wilayah di enam desa?
Sebelumnya ada dua hal yang harus saya dudukan, pertama adalah pemahaman bahwa desa merupakan ruang sirkular; medium dari hubungan-hubungan sosial dan produk material yang mempengaruhi hubunganhubungan sosial, vice versa. Desa bukan sekadar objek yang diperebutkan atau diperjuangkan oleh agensi, tetapi sebagai tempat berlangsungnya konflik sekaligus struktur konstitutif yang memampukan (juga 3 menghambat) konflik antar-agensi. Kedua, ruang adalah produk sosial. Pemaknaan terhadap sebuah ruang selalu melibatkan proses negosiasi dan kontestasi. Melalui pengetahuan/kekuasaan, subjek-subjek berusaha menghegemoni makna atas sebuah ruang agar dapat mempolakan tindakan dan interaksi manusia yang hidup didalamnya. Berangkat dari konseptualisasi di atas, tulisan ini akan mendeskripsikan signifikansi politik ruang dalam sengketa wilayah enam desa.
C. Syair Lama, Arransemen Baru Kami merasa diciderai oleh keputusan-keputusan politik yang tidak melibatkan masyarakat enam desa dan merubah-ubah sejarah hubungan antara masyarakat enam desa dan Kesultanan Jailolo. [Freddy Punene (Ketua Forum Perjuangan Enam Desa),1 Mei 2010] Sejarah enam desa tidak dapat dipisahkan dengan rangkaian kejadian, seperti: kebijakan transmigrasi tahun 1975, konflik kekerasan di Maluku Utara tahun 19992000, produksi pertambangan emas PT NHM semenjak tahun 1999, pemekaran wilayah Provinsi Maluku Utara tahun 1999, penggalian kembali Kesultanan Jailolo tahun 2002, dan pemekaran Kabupaten Halmahera Utara tahun 2003. Pada bagian ini saya tidak menguraikan kronologi dari setiap kejadian tersebut melainkan menyelaraskan analisa waktu dan tempat kejadian. Pengedepanan analisa sinkronik (narasi temporal-spasial) ditujukan untuk memperlihatkan bekerjanya sirkularitas ruang sosial sehingga mampu meningkatkan daya penjelas atas realitas sosial yang terjadi di enam desa.
Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 5
Secara geografis wilayah enam desa terletak pada sepanjang pesisir Teluk Kao di Pulau Halmahera. Setelah pemekaran Provinsi Maluku Utara melalui UU No. 46 tahun 1999, pemekaran Kabupaten Halmahera Utara melalui UU No. 1 tahun 2003, dan dilanjutkan dengan pemindahan ibukota provinsi dari Kota Ternate (Pulau Ternate) ke Desa Sofifi di Kabupaten Tidore Kepulauan pada tahun 2008 menjadikan wilayah enam desa strategis dalam menghubungkan antara ibukota provinsi ke kabupaten-kabupaten yang berada di bagian utara dan barat Pulau Halmahera. Dari aspek sumberdaya ekonomi, wilayah enam desa tergolong kaya sumberdaya perikanan dan sangat strategis semenjak perusahaan pertambangan emas PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM) mulai berproduksi pada 4 tahun 1999 di kawasan Gosowong. Terdapat beragam etnis/sub-etnis yang tinggal di enam desa, dengan kelompok terbesar dari Kao, Tidore, Tobelo, Galela, Tobaru, Ibu, dan SangirButon.
Politik Demografi dan Kekerasan Komunal Pe m b a n g u n a n i s m e m e r u p a k a n rujukan ideologis bagi segala kebijakan ekonomi politik pemerintahan Orde Baru. Salah satu kebijakan yang sangat mengemuka adalah (politik) demografi melalui programprogram transmigrasi. Kebijakan ini tidak hanya untuk mengendalikan komposisi dan jumlah penduduk antar pulau tetapi juga mengakselerasikan perekonomian di daerahdaerah terbelakang. Penjelasannya adalah bagi pemerintah Orde Baru kemiskinan adalah persoalan budaya oleh karena itu diperlukan modernisasi melalui asimilasi budaya masyarakat yang memiliki etos kerja lebih baik. Transmigrasi bedol kecamatan pada tahun 1975 dari Kecamatan Makian di Pulau Makian ke daerah Malifut dan Jailolo di Pulau Halmahera dapat dibaca dalam kerangka pikir proyek besar politik demografi pemerintahan 5 Orde Baru. Etnis Makian mayoritas beragama Islam, dikenal memiliki karakter kewirausahaan, dan memiliki posisi strategis pada jabatan-jabatan pemerintahan.
Transmigrasi penduduk Pulau Makian berserta perangkat pemerintahan desa dan kecamatan ke wilayah Malifut dan Jailolo telah melahirkan persoalan dalam penataan wilayah administratif dan etnisitas antara transmigran (etnis Makian) dengan penduduk lokal (etnis Kao). Pemerintah daerah (saat itu Kabupaten Maluku Utara) membuat teritorial baru yang dibernama Kecamatan Makian Daratan untuk tempat tinggal para transmigran. Wilayah tersebut berada di wilayah Kecamatan Malifut. Bagi masyarakat lokal, wilayah Kecamatan Makian Daratan adalah tanah adat yang dipinjamkan kepada etnis Makian. Namun logika ini berbeda dengan perspektif pemerintah dalam memandang hak atas tanah. Akibatnya kontestasi identitas ruang (penggunaan nama 'Makian' pada kecamatan baru) dan praktek spasial antara transmigran dan penduduk lokal menjadi tidak terhindarkan. Kondisi ini ditambah lagi dengan peningkatan disparitas ekonomi antara para transmigran dengan penduduk lokal akibat perlakukan istimewa pemerintah melalui bantuan sosial kepada para transmigran. Pembuat kebijakan menggelar politik representasi atas ruang (Kecamatan Makian Daratan) melalui pernyataan saintifik dan teknologi politik, seperti: sistem administrasi kependudukan, regulasi, institusi-institusi sosial, dll. Setelah 18 tahun, pemerintah daerah kembali melakukan reteritorialisasi terhadap desa-desa di kawasan ini. Keputusan DPRD tingkat II Maluku Utara tanggal 11 September 1993 untuk menghapus dan menggabungkan 5 (lima) desa di Kecamatan Kao dan 6 (enam) desa di Kecamatan Jailolo, menjadi Kecamatan 6 Makian-Malifut mengembalikan memori masa lalu. Imagi ruang dan identitas ruang yang telah terkubur kembali digali oleh kebijakan pemerintah daerah. Masyarakat di 11 desa menolak untuk bergabung dalam Kecamatan Makian-Malifut dengan alasan penambahan “Makian” pada nama kecamatan selain belum tuntasnya proses hidup bersama antara etnis Makian dengan penduduk lokal. Tanpa penyelesaian yang tuntas, kedua persoalan ini diredam melalui instrumen-instrumen kekuasaan.
6 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
Momen-momen produksi ruang bertaburan pada fase ini. Tumpang-tindih dan saling penetrasi antara ruang sosial masyarakat lokal dengan ruang sosial transmigran tidak terhindarkan dan ini memang proses alamiah. Interaksi imagi ruang (space of representation) penduduk lokal dan transmigran membidani pembentukan ruang sosial dan identitas ruang baru. Dua yang menarik dari proses produksi ruang pada fase ini adalah terjadinya pengendapan ruang sosial lama oleh penduduk lokal dan pengerasan atau penegasan antagonisme-antagonisme antara transmigran dan penduduk lokal dalam praktek spasial keseharian mereka. Kejadian selanjutnya adalah lahirnya Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1999 (PP No. 42/1999) tentang Penataan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Dati II Maluku Utara dan Provinsi Dati I Maluku. Meskipun penggabungan 11 desa dari dua kecamatan telah dilakukan semenjak 1993, namun. PP No. 42/1999 sejatinya hanya mengubah nama Kecamatan Makian-Malifut menjadi wilayah administrasi Kecamatan Malifut. Penolakan atas integrasi identitas ruang warga berimbas pada pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Lima desa yang berasal dari Kecamatan Kao tetap mendapat pelayanan dari Kecamatan Kao, sementara enam desa dari Kecamatan Jailolo tetap mendapat pelayanan dari Kecamatan Jailolo. Aksi boikot warga 11 desa terhadap pelayanan yang seharusnya diberikan dari Kecamatan Malifut me ny e ba bka n a kt ifit a s pe me r int a ha n kecamatan tidak berjalan normal. Seiring dengan berjalannya waktu, lima desa dari Kecamatan Kao yang awalnya menolak bergabung, pada akhirnya kelima desa ini menerima dimaksukan dalam wilayah Kecamatan Malifut. Sementara sebagian besar warga enam desa tetap tidak mau masuk dalam Kecamatan Malifut. Dengan berbagai argumentasi, akan saya dijelaskan pada bagian selanjutnya, mereka tetap menginginkan menjadi bagian dari Kecamatan Jailolo. Bagi mereka PP No. 42/1999 adalah sumber masalah yang memicu konflik diantara warga enam desa hingga saat ini. Pada bulan Agustus 1999, kekerasan komunal di Maluku Utara pecah. Kekerasan dimulai di Pulau Halmahera antara kelompok
etnis Kao yang mayoritas beragama Kristen dengan etnis Makian yang beragama Muslim dengan medan pertempuran di Kecamatan Malifut (Rozi, et.al, 2006; Klinken, 2007). Dari 11 desa, gelombang kekerasan semakin meluas ke Kecamatan Tobelo, Pulau Halmahera bagian utara hingga ke Pulau Ternate dan Tidore. Hingga kekerasaan berakhir pada tahun 2000, jumlah korban jiwa mencapai 2.794 atau terbesar dalam sejarah kekerasan nonseparatis di Indonesia pasca Orde Baru (Varshney, et.al, 2004) Layaknya bara dalam sekam, kontestasi ruang (konflik ruang) yang telah terjadi semenjak tahun 1975 menemukan momentum untuk diangkat kembali. paling tidak ada dua skenario mengapa kekerasan komunal Maluku Utara pertama kali terjadi di Kecamatan Malifut. Skenario pertama, jatuhnya rejim otoriter Orde Baru diikuti dengan melemahnya sistem praktek kekuasaan negara di daerah. Pelemahan ruang representasi (representasional space) negara yang dibangun melalui pendisiplinan masyarakat di Kecamatan Malifut dimanfaatkan etnis Kao untuk merestorasi imagi ruang yang selama ini mengendap. Pada saat bersamaan diskursus politik komunitarian yang ditandai dengan kebangkitan kesultanan/kerajaan lokal menggejala di hampir seantero wilayah Indonesia memperkuat amunisi bagi etnis Kao untuk menantang dominasi ruang negara dalam praktek spasial keseharian mereka. Namun demikian, target kontestasi dan negosiasi atas ruang bukan dengan negara melainkan etnis Makian yang selama ini diuntungkan oleh kebijakan tata kelola ruang ataupun simbol representasi keberadaan negara dalam masalah persengketaan di wilayah tersebut. Skenario kedua, jika kekerasan komunal di Maluku Utara adalah bagian perekayasaan elit politik maupun militer maka menjadikan Kecamatan Malifut sebagai medan konflik pertama adalah pilihan paling tepat. Sebab, benih-benih konflik telah tersedia di sini. Kontestasi ruang yang menjadi legenda konflik antara etnis Kao dan etnis Makian semakin runcing dengan identitas agama yang melekat pada kedua etnis. Di sini isu konflik ruang dapat dipergunakan sebagai pemicu eskalasi kekerasan, selanjutnya isu akan digeser
Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 7
menjadi konflik antar-agama. Narasi konflik kekerasan agama di Poso dan Ambon mempermudah untuk menggeser isu konflik ruang di Maluku Utara. Dari dua skenario di atas, tampak bahwa ruang memiliki posisi yang signifikan dalam perubahan sosial di Maluku Utara, terutama di Kecamatan Malifut. Kekerasan komunal yang luar biasa di Maluku Utara tidak dapat dilepaskan dari kontestasi/negosiasi ruang antara etnis Makian dan etnis Kao walaupun semakin meluas gelombang kekerasan semakin menghilang pula isu konflik ruang antara Kao dengan Makian.
Pemekaran dan Emas ...ada masyarakat yang bertahan hanya karena kita orang menjaga solidaritas dan menghormati orang tua (tokoh masyarakat). Dorang tidak melihat mereka bertahan karena pelayanan ataupun sejarah. ... dana comdev menjadi daya tarik masyarakat untuk pindah [Rudy Gofotor (Kepala Desa Tetewang versi Halut), 1 Mei 2010). Selain pembentukan Kecamatan Malifut dan kekerasan komunal, terdapat tiga momen yang penting setelahnya, yaitu: pemekaran Provinsi Maluku Utara, produksi tambang emas di kawasan Gosowong oleh PT NHM, dan pemekaran Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Halmahera Selatan (Halsel), dan Kepulauan Sula dari Kabupaten Maluku Utara pada tahun 2003. Ketiga momen ini sama-sama berpengaruh pada proses produksi ruang di enam desa. Sebagian besar kajian pemekaran daerah di Maluku Utara tidak pernah lepas dari analisa elit lokal (misalnya: Yanuarti, 2004; Tryatmoko, 2005; Klinken, 2007). Refleksi Pratikno (2002) terhadap fenomena pemekaran daerah menghasilkan temuan yang sangat kuat tentang elit. Menurutnya, 'dalam pengalaman hampir seluruh kasus pembentukan daerah otonom, yang tidak pernah dirugikan oleh kebijakan pemekaran adalah lapisan elit di semua komponen. Elit politisi
akan meningkatkan pelebaran sumberdaya politik berupa jabatan politik baru seperti Kepala Daerah dan DPRD. Elit birokrasi juga memperoleh keuntungan dengan semakin terbukanya promosi baru, eselon baru, dan jabatan struktural baru di daerah otonom.' Elaborasi tentang perilaku dan persaingan antar-elit bahkan telah menempatkan mereka pada posisi signifikan untuk memahami sukses-gagal pemekaran daerah. Hipotesis generik ini cenderung menggiring pada condicio sine qua non sehingga mudah terpeleset dalam menganalisa tentang elit dan hubungannya dengan pemekaran daerah. Untuk menanggapi hal tersebut, dan menjadi landasan dalam memaparkan bagian ini, ada dua proposisi yang harus dicermati, yaitu: elit bukan subjek otonom dan hanya melalui diskursus keberadaan mereka diperhitungkan. Gerakan pemekaran Kabupaten Maluku Utara menjadi Provinsi Maluku Utara selalu dihubungkan dengan konsep Moluku Kie Raha (Empat Kerajaan Kepulauan/TernateTidore-Bacan-Jailolo). Berbagai studi tentang sejarah Maluku Utara mengidentikan Moluku Kie Raha dengan empat kesultanan yang memegang kekuasaan tradisional atas seluruh masyarakat Pulau Halmahera dan kepulauan di sekitarnya (Amal, 2009; Martodirdjo, 1995). Seperti halnya konsep-konsep yang beruratakar pada kebudayaaan, Moluku Kie Raha bersifat multi-intepretatif. Ia tidak hanya menyodorkan ikatan sosial politik di lingkungan kelembagaan tingkat pusat kesultanan ataupun ikatan sosial-spiritual masyarakat Maluku Utara (Martodirdjo, 1995: 108). Namun lebih dari itu, Moluku Kie Raha adalah imagi ruang/spasial yang mengikat identitas masyakarat dan empat institusi kesultanan yang ada di Maluku Utara. Sebagai sebuah kesatuan yang membentuk konsep Moluku Kie Raha, maka ketiadaan salah satu dari empat kesultanan dapat menghilangkan maknanya. Pembangkitan kembali Kesultanan Bacan di tahun 1998 dan Kesultanan Jailolo 7 tahun 2002, bukan hanya menandai kebangkitan politik komunitarian tetapi merupakan proyek simbolisasi kultural dan legitimasi politik atas representasi ruang yang bernama Maluku Utara.
8 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
Proyek-proyek representasi ruang pasca 1998 yang digagas dan didorong oleh elit-elit daerah menggejala seiring dengan terbukanya keran kebijakan pemekaran daerah. Restorasi kerajaan-kerajaan lokal pasca Orde Baru umumnya diikuti dengan proposal pemekaran kabupaten/kota ataupun provinsi setidaknya hal ini telah terkuatkan dalam studi yang dilakukan Klinken (2010). Penggalian kembali Kesultanan Jailolo berdampak pada penyempurnaan diskursus Moluku Kie Raha, pemobilisasian imagi ruang masyarakat Maluku Utara, dan peningkatan daya tawar dalam menegosiasikan ruang dengan pemerintah pusat. Pada saat yang sama, hadirnya kembali Kesultanan Jailolo akan memberikan angin segar untuk membuka kesempatan pengembangan kecamatan menjadi Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) dan bagi perjuangan masyarakat enam desa melepaskan diri dari Kecamatan Malifut dan bergabung dengan Kecamatan Jailolo (Kabupaten Halbar). Sungguhpun otoritas dan pengaruh politik Kesultanan Jailolo tidak sebesar yang dimiliki Kesultanan Ternate dan Tidore, namun kehadirannya merupakan aset bagi pengolahan diskursus ruang dan identitas Kabupaten Halbar dan status enam desa. UU No. 46/1999 merupakan capaian paripurna atas imagi ruang Maluku Utara menjadi Provinsi Maluku Utara dengan cakupan wilayah yang kurang lebih sama dengan imagi ruang dalam konsep Moluku Kie Raha. Tiga tahun kemudian disahkan UU No. 1/2003 tentang pembentukan Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Halmahera Timur (Haltim), Halmahera Selatan (Halsel), Kepulauan Sula, dan Kota Tidore Kepulauan. Pemekaran Kabupaten Halut, Halsel, dan Kepulauan Sula berasal dari kabupaten induk Maluku Utara. UU ini juga merubah nama Kabupaten Maluku Utara menjadi Kabupaten Halmahera Barat seraya memindahkan ibukotanya dari Ternate ke Jailolo. Dengan terbentuknya Kabupaten Halut, maka status adminitratif enam desa masuk dalam Kecamatan Kao, Kabupaten Halut. Involusi spasial Kabupaten Halbar memberikan dampak yang sangat luas pada aspek sosio-kultural, ekonomi, dan politik bagi elit dan pejabat lokal. Praktek spasial di dalam ruang fisik dan ruang sosial mengalami
penyempitan. Kewenangan pengelolaan sumberdaya ekonomi yang bersumber dari tanah (soil dan land) dan sumberdaya politik dari penguasaan wilayah administratif harus diserahkan kepada daerah otonom lain. Demikian halnya dengan sumberdaya sosiokultural yang terlegitimasi dari kekuasaan simbolik pasca kebangkitan Kesultanan Jailolo mengalami penyusutan. Jika demikian, tidak berlebihan jika pemerintah Kabupaten Halbar memberikan dukungan penuh kepada perjuangan enam desa yang berkeinginan mengintegrasikan wilayahnya ke dalam Kabupaten Halbar. Sebaliknya, pemerintah Kabupaten Halut mempertahankan status enam desa ke dalam wilayahnya sesuai dengan regulasi yang ada. Perjuangan mayoritas penduduk enam desa mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Halbar melalui pembentukan kecamatan dan pemberian pelayanan publik kepada masyarakat enam desa. Pemerintah Kabupaten Halbar mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 tahun 2005 tentang pembetukan Kecamatan Jailolo Timur. Kecamatan Jailolo Timur melingkupi wilayah 6 (enam) desa yaitu Desa Bobane Igo, Tetewang, Akelamo, Akesahu, Dum-Dum, dan Pasir Putih. Di lain pihak, teritorialisasi enam desa ke dalam Kecamatan Jailolo Timur oleh pemerintah Kabupaten Halbar mendorong upaya serupa dari pemerintah Kabupaten Halut. Pemerintah Kabupaten Halut mengeluarkan Peraturan Daerah No. 2 tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Kao Teluk yang terdiri dari desadesa dari Kecamatan Kao (termasuk enam desa yang menjadi sengketa). Dampak dari dua kebijakan ini adalah setiap desa di wilayah enam desa terdapat dua versi pemerintahan desa. Ketegangan antar-warga desa yang mengindentifikasikan diri mereka sebagai warga Kabupaten Halbar pada satu pihak dan Kabupaten Halut di pihak lain terjadi di tingkat desa. Apa yang berharga dari wilayah enam desa? Bangunan argumentasi yang mengetengahkan operasi pertambangan PT. NHM sebagai salah satu faktor penyebab konflik status wilayah di enam desa pasca tahun 1999 dan melanggengkan konflik hingga saat ini sulit untuk disangkal. Operasi pertambangan PT. NHM di dalam kawasan
Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 9
blok-blok tambang yang disepakati dalam kontrak karya menambah variabel penyebab konflik sehingga menambah kompleksitas penyelesaian konflik status wilayah di enam desa. Seperti dikemukakan Klinken (2007) “masalah ruwet itu semakin menjadi-jadi terutama ketika NHM, sebuah perusahaan Australia, menemukan emas di Gosowong di Kecamatan Kao yang berdekatan dengan wilayah yang bertikai itu”. PT. NHM adalah perusahaan joint venture, antara Newcrest Mining Limited, Australia (82,5%) dengan PT. Aneka Tambang, Indonesia (17,5%), yang menandatangani “Kontrak Karya” penambangan emas di kawasan Gosowong, bagian utara Pulau Halmahera pada 28 April 1997. Setelah mendapatkan ijin tahap pembangunan konstruksi pada September 1998, PT NHM mulai mengajukan lisensi kehutanan untuk aktivitas kontruksi. PT NHM mendapat ijin dari Menteri Kehutanan untuk membuka hutan di kawasan Gosowong-Toguraci pada 23 Oktober 1998 (Newcrest Mining Limited, 1999). Produksi emas pertama di kawasan Gosowong pada tanggal 25 Juli 1999. Produksi ini adalah generasi pertama dari enam generasi kontrak karya penambangan emas yang dipegang oleh PT. NHM. Gosowong adalah nama lain dari tambang Kencana yang meliputi blok-blok pertambangan terbuka (open pits) di daerah Gesowong dan Toguraci (Newcrest Mining Limited, 2009). Gosowong dan Toguraci berada di wilayah Kecamatan Kao dan Kecamatan Malifut, Kabupaten Halut. Konflik antara PT. NHM dengan masyarakat pertama kali berkaitan dengan pengambilalihan status hutan adat Soa Pagu (Suku Pagu) dan kawasan hutan lindung yang berada di penambangan Gosowong. Pada tahun 1997, PT NHM meminta masyarakat Soa Pagu untuk menyerahkan tanah adatnya sebagai kelanjutan dari Kontrak Karya dan lisensi kehutanan yang telah mereka kantongi. Menurut masyarakat Soa Pagu, wilayah ini adalah hutan adat mereka dan mereka tidak pernah mendapat informasi dan menyetujui pengalihan status hutan adat menjadi wilayah penambangan (Coalition Against Mining in Protected Areas, 2004). Konflik-konlfik selanjutnya berkaitan dengan rekruitmen tenaga kerja lokal, pengelolaan-distribusi dana
Community Development (Comdev)/Corporate Social Responsibility (CSR), dan pencemaran lingkungan di Teluk Kao (PSKP, 2010b). Mengikuti UU Perimbangan Keuangan (UU No. 33/2004) dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4/2009), dana bagi hasil dan perizinan dari operasi pertambangan PT NHM yang dapat ditarik oleh kabupaten setempat merupakan daya tarik tersendiri bagi elit-elit lokal dan pejabat lokal. Sementara bagi masyarakat yang secara administratif terdaftar sebagai penduduk kabupaten, penyaluran dana Comdev/CSR adalah berkah selain bantuan-bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah daerah. Ini semua hanya dapat dinikmati jika kawasan pertambangan masuk dalam teritori kabupaten yang bersangkutan. Hingga saat ini, daerah eksploitasi emas PT NHM berada pada wilayah Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halut yang secara yuridis enam desa masuk didalamnya. Oleh karenanya, pendapatan daerah dari produksi tambang emas PT NHM masuk ke dalam kas Kabupaten Halut, sementara dana Comdev/CSR diberikan kepada warga yang masuk ke dalam sistem adminsitrasi kependudukan Kabupaten Halut. Demikian halnya dengan proses rekruitmen tenaga kerja lokal, dimana PT NHM hanya mau merekrut pekerja (rendahan) yang memiliki identitas kependudukan (KTP/Kartu Tanda Penduduk) Kabupaten Halut. Persoalan muncul ketika sebagian besar masyarakat enam desa menolak masuk ke dalam administrasi kependudukan Kabupaten Halut. Karena mereka hanya memiliki KTP Kabupaten Halbar maka dengan sendirinya mereka tidak dapat bekerja di PT NHM serta tidak mendapat jatah dana Comdev/CSR sungguhpun mereka tinggal di kawasan tambang yang sama-sama mendapatkan eksternalitas dari kegiatan produksi pertambangan. Kondisi ini terjadi semenjak tahun 2006 ketika kedua pemerintah kabupaten mengeluarkan Perda tentang status enam desa. Sebelumnya tahun 2006, seluruh masyarakat enam desa mendapatkan 8 pembagian jatah Comdev/CSR dari PT NHM. Isu pencemaran lingkungan di Teluk Kao mulai mengemuka pada pertengahan tahun 2000-an. Masyarakat enam desa, juga masyarakat desa-desa lain yang
10 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
menggantungkan sumber penghidupannya pada sumberdaya perikanan di Teluk Kao resah karena hasil tangkapan ikan, terutama ikan teri, di perairan Teluk Kao semakin lama semakin berkurangnya. Akibatnya tidak sedikit penduduk enam desa yang terpaksa beralih pekerjaan. Masalah muncul terutama bagi mereka yang tidak memiliki tanah untuk digarap menjadi lahan pertanian, perkebunan, maupun perternakan. Jalan keluar yang diambil oleh sebagian besar kelompok ini adalah mengubah hutan konservasi yang ada di desa mereka menjadi lahan pertanian, sebagian lainnya bekerja pada sektor-sektor informal. Sementara penduduk enam desa yang memiliki tanah, kesulitan yang mereka hadapi adalah tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan tentang pertanian, perkebunan, dan perternakan, serta tidak tersedianya pasar untuk mempertukarkan hasil-hasil produksinya.
D. Epilog Sekelumit cerita tentang enam desa di atas memberikan gambaran tentang signifikansi ruang dalam dinamika dan perubahan sosial di enam desa. Proses negosiasi dan kontestasi ruang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di enam desa melalui agensi-agensi yang berkepentingan terhadap pemaknaan ruang sosial enam desa. Melalui pengetahuan, mereka membangun imaginasi ruang di enam desa dan melalui instrumen dispositif, mereka mempraktekan kekuasaan untuk mewujudkan ruang representasi enam desa yang mempolakan praktek spasial seharihari masyarakat enam desa termasuk para agensi. Proses produksi makna atas ruang enam desa tidak pernah final karena selalu berada pada situasi kontigensi. Resistensi warga enam desa yang menginginkan bergabung dengan Kabupaten Halbar dikoordinasikan oleh Forum Perjuangan Enam Desa. Eksistensi forum perjuangan ini didukung oleh pemerintah Kabupaten Halbar melalui perangkat aparat Kecamatan Jailolo Timur. Susunan pengurus organisasi yang dibentuk oleh para kepala desa dan mantan kepala desa versi Kabupaten Halbar. Mereka
secara aktif melakukan pewacanaan tandingan terhadap kebijakan-kebijakan Kabupaten Halut dan PT NHM terhadap status dan penduduk enam desa. Sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS), Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu, penolakan pendirian pos polisi di enam desa oleh Polres Halut, pemberian pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi warga enam desa, reproduksi narasi sejarah tentang Kesultanan Jailolo, intimidasi, hingga aksi masa di Kantor Gubernur merupakan sebagian upaya dalam menggalang dukungan bagi perjuangan mereka. Berlangsungnya sengketa status wilayah enam desa hingga saat ini dibaca sebagai bentuk kedinamisan proses negosiasi/kontestasi atas ruang yang tidak pernah final. Praktek-praktek kekuasaan yang diperagakan oleh para agensi melalui diskursus sejarah, pelayanan publik, administrasi pemerintahan, ilmu pengetahuan tata ruang, distribusi dana-dana community development/social corporate responsibility, pembentukan forum perjuangan enam desa, hingga tindakan-tindakan intimidasi dan kekerasan merupakan upaya-upaya hegemonisasi atas ruang enam desa. Lebih jauh lagi, cerita konflik status wilayah enam desa telah mengkonfirmasi konsep ruang dalam teori-teori kritis geografi manusia dari pemikir-pemikir mazhab Frankfurt maupun post-strukturalis Perancis. Agenda-agenda penelitian tentang pemekaran dan konflik batas wilayah di Indonesia yang bersandar dari perspektif ini tampaknya semakin mendesak untuk dilakukan agar mendapatkan gambaran dan solusi kebijakan yang lebih utuh.
Ucu Martanto Staf Pengajar Departemen Politik, FISIP Universitas Airlangga dan Assosiate Researcher pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), Universitas Gadjah Mada.
Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 11
Catatan Akhir 1
Pengaturan tentang batas daerah dibuat sangat terlambat dan intrumen-intrumen yang dimiliki pemerintah daerah masih terbatas. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah mengatur bahwa dalam penegasan batas daerah dapat diwujudkan dengan: a. Penelitian dokumen; b. pelacakan batas; c. pemasangan pilar batas; d. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; dan e. pembuatan peta batas; serta f. khusus penegasan batas daerah di laut juga dilakukan penentuan titik awal dan garis dasar.
2
Dalam penelitian berjudul Building Peace within Community: Developing Social Cohesion in West Halmahera, penulis bersama tim peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian-UGM melakukan penelitian selama 6 (enam) bulan di Kabupaten Halbar dan Halut. Data yang digunakan dalam tulisan ini banyak bersumber dari penelitian tersebut. Hasil penelitian ini dapat dilihat dalam PSKP (2010) Laporan Assesment di Enam Desa Kabupaten Halmahera Barat, PSKP-SERASI USAID.
3
Realita ini dikonseptualisasikan Giddens dengan menggunakan terma 'duality of structure', namun Giddens tidak menyadari bahwa konsep ini telah terlebih dahulu diteorisasikan Lefebvre dengan istilah 'production of space'.
4
Sebagian wilayah enam desa masuk dalam kawasan lingkar tambang yang diproduksi oleh PT NHM. Belakangan terdengar rencana PT. NHM untuk memperluas kawasan pertambangannya hingga ke Desa Dum-Dum dan Akesahu.
5
Berbekal hasil penelitian Direktorat Vulkanologi pada tahun 1973 terhadap aktivitas Gunung Kie Besi, Bupati Maluku Utara membuat Surat Keputusan No. 9/10-1/MU/75 tanggal 30 Juni 1975 untuk mengosongkan Pulau Makian dari aktifitas pemerintahan dan domisili penduduk. Surat Keputusan Bupati ini dipertegas dengan memornadum DPRD Kabupaten Maluku Utara No. I/DPRD/MU/77 tanggal 3 Maret 1977 tentang penegasan pemindahan penduduk Pulau Makian ke daratan Malifut Halmahera. Direktorat Vulkanologi berkirim surat kepada Bupati Maluku Utara yang isinya mempertajam argumen pemindahan penduduk berserta perangkat pemerintahan desa hingga kecamatan di Pulau Makian (Kabupaten Halmahera Barat, 2010).
6
Lima desa dari Kecamatan Kao adalah Desa Sosol, Wangeotak, Tomabaru, Tabobo, dan Gayok. Enam desa dari Kecamatan Jailolo adalah Desa Dum-Dum, Akesahu, Akelamo Kao, Tetewang, Bobane Igo, Pasir Putih.
7
Jejak terakhir tentang keberadaan Kesultanan Jailolo tercatat tahun 1656, setelah itu eksistensinya hilang dalam catatan sejarah. Banyak versi cerita rakyat yang mengisahkan keberadaan Sultan dan Kesultanan Jailolo setelah tahun 1656. Tahun 2002 menerangkan penobatan Sultan Jailolo dihadapan Sultan Ternate, Tidore, dan Bacan. Pencarian terhadap pewaris tahta Kesultanan Jailolo telah dilakukan jauh sebelum tahun 2002, bukan tidak mungkin ini dilakukan karena urgensi konsep Moluku Kie Raha dalam pemekaran Provinsi Maluku Utara.
8
Tahun 2005 dana comdev diberikan kepada seluruh desa yang masuk dalam kawasan lingkar tambang tanpa kecuali. Setelah tahun 2006 ketika mau kucur dana, ada informasi kalau mau ambil harus rubah stempel desa. Pemerintah Kabupaten Halut memanggil beberapa orang untuk membentuk pemerintahan desa (versi Halut) dan membagikan dana comdev kepada masyarakat yang ikut dalam pemerintah desa. Setiap tahun dana comdev meningkat tahun 2006 dapat Rp. 75 juta; tahun 2007 jadi sekitar Rp. 100 juta lebih; tahun 2008 jadi Rp. 300 juta lebih; tahun 2009 mendapat jatah Rp. 600 juta untuk tiap proposal kegiatan yang diajukan tiap desa. [Rudi Gofotor (Kepala Desa Tetewang versi Halut), 1 Mei 2010].
12 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
Daftar Pustaka Amal, Adnan. 2009. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Makassar: Pusat Kajian Agama dan Masyarakat (PUKAT). Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin. 2004. Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003). UNSFIR Working Paper - 04/03. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Evaluasi Kebijakan Pembentukan DOB, Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di DOB, Direktorat Otda BappenasJakarta. Coalition Against Mining in Protected Areas. 2004. Fact Sheet: Community opposition to Newcrest / PT Nusa Halmahera Mineral. Diunduh dari: http://users.nlc.net.au/mpi/rr/docs/h4-engfactsheet-NHM-Newcrest-hires.pdf Departemen Dalam Negeri. (2005), Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah. Pusat Litbang Otonomi Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri. Jakarta. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri, (2010) Daftar Daerah Otonom Baru Pembentukan Tahun 1999-2009. Diunduh tanggal 2 Desember 2010 dari http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/03/05/d/o/-1.pdf Foucault, Michel. 2007. Security, Territory, Population: Lectures at the Collège de France, 197778, (Terj. Graham Burchell), New York: Palgrave. Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (ed. and transl. Colin Gordon). New York: Pantheon. Gottdiener, M. 1993. A Marx for Our Time: Henri Lefebvre and the Production of Space, Sociological Theory, Vol. 11, No. 1 (Mar., 1993), pp. 129-134. Kabupaten Halmahera Barat.2010. Dokumen Perkembangan Penanganan Aspirasi Enam Desa di Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta. Klinken, Gerry van., 2010. Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal, dalam Davidson, Jamie S., Henley, David., Moniaga, Sandra (ed). Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV. Lefebvre, Henri. The Production of Space (terj. Donald Nicholson-Smith), Blackwell. Lembaga Administrasi Negara. 2005. Laporan Evaluasi Penyelenggaran Otonomi Daerah Periode 1999-2003, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Martin Jones, Rhys Jones and Michael Woods. 2004. An Introduction to Political Geography. Routledge. Martodirdjo, Haryo S. 1995. Orang Tugutil di Halmahera dalam Konteks Kebudayaan Maluku Utara, Masyarakat Indonesia, Tahun XXII No. 1, 1995, Edisi Khusus. Newcrest Mining Limited. 1999. Annual Report 1999. Newcrest Australia. hal 22. Diuduh tanggal 12 Juli 2010 dari http://www.newcrest.com.au//upload/83_18x10x200431313PM.pdf. Newcrest Mining Limited. 2009. Sustainability Report 2009. Australia: Newcrest Mining Limited. D i u n d u h p a d a t a n g g a l 1 2 J u l i 2 0 1 0 d a r i http://www.newcrest.com.au//pdf/Sustainability%20Report%202009.pdf. Pratikno. (2002). Rasionalisasi Pemekaran dan Penggabungan Daerah, Jurnal Pemekaran Daerah, Edisi 1 No. 1, Pascasarjana PLOD-UGM. Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian. (2010a) Assessment Report: Enam Desa Kabupaten Halmahera Barat, PSKP-UGM dan SERASI-USAID. Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian. (2010b) Workshop Report: Membangun Kohesi Sosial di Enam Desa, PSKP-UGM dan SERASI-USAID. Ruang dan Konflik Wilayah: Cerita dari Enam Desa | 13
Soja, Edward. 1989. Postmodern Geographies: The Reassertion of Space in Critical Social Theory, London: Verso. Tryatmoko, Mardyanto W. 2005. 'Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elit Lokal di Maluku Utara', Masyarakat Indonesia Jilid XXXI No. 1 2005, LIPI: Jakarta. Yanuarti, Sri. et.al,. 2004. Konflik Maluku Utara: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang, Jakarta: LIPI. West-Pavlov, Russell. 2009. Space in Theory: Kristeva, Foucault, Deleuze, Amsterdam-New York, NY: Rodopi B.V.
14 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku