Bab Lima
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
Pengantar Pada bagian ini, penulis akan menguraikan dinamika ruangruang sosial pra konflik [hingga tahun 1998] antara dua komunitas yang terikat dalam satu hubungan gandong di pulau Saparua; yang berbeda hubungan gandong di pulau Ambon; dan yang tidak memiliki hubungan gandong di kota Ambon. Uraian ini penting dilakukan untuk kita dapat memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang struktur masyarakat di wilayah riset.
Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong, di Pulau Saparua • Ruang Sosial dan Budaya Di dalam silsilah dan tradisi lokal, negeri Siri Sori [Salam-Serani] memiliki hubungan pela dengan negeri Ouw [Kristen], negeri Siri Sori Salam memiliki hubungan pela dengan negeri Haria di pulau Saparua, sementara negeri Siri Sori Salam dan negeri Siri Sori Serani 1 terikat dalam satu hubungan gandong. 1 Negeri Siri Sori [Islam-Kristen] di pulau Saparua, Negeri Hutumuri [Kristen] di pulau Ambon, dan Negeri Tamilou [Islam] di pulau Seram merupakan negeri-negeri yang terikat dalam satu hubungan gandong.
59
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Sebelum konflik Maluku melanda pulau Saparua, warga kedua komunitas membangun kehidupan berdampingan sangat rukun dalam berbagai konteks hubungan sosial. Kerukunan tersebut dapat tercipta karena terdapat berbagai persyaratan adat sehubungan dengan persekutuan desa [baca: negeri] secara keseluruhan, yang dikenal dengan ikatan gandong tanpa mempersoalkan perbedaan agama yang ada di antara mereka. Demikian pula dengan warga masyarakat dari negeri lain yang memiliki hubungan pela. Hubungan tersebut [pela khususnya] telah ditetapkan sebelum perbedaan-perbedaan itu terjadi, yakni ketika para anggota pela masih memeluk agama asli mereka. Ikatan tersebut telah ditetapkan oleh para leluhur dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu 2, dan secara ketat mereka mematuhinya (itulah konsekuensi-konsekuensi dari sumpah di antara para leluhur mereka). Adapun kewajiban-kewajiban timbal-balik yang termasuk dalam perjanjian pela mencakup; saling bantu dalam peperangan, hak milik bersama, dan larangan atas perkawinan antar-pela. Karena itu, jika terjadi pelanggaran, ada dua jenis sanksi yang dikenakan baik yang diberikan oleh para penguasa negeri [desa], maupun sanksi yang diberikan oleh para leluhur3. Untuk memelihara hubungan tersebut, biasanya dilakukan upacara ”bikin panas pela dan panas gandong”, yang dimaknai sebagai cara untuk mengukuhkan kembali ikatan pela dan gandong tersebut, di mana kewajiban-kewajiban dan hak-hak istimewa pela dan gandong dipertegas dan dikukuhkan kembali. Namun, dengan datangnya kekuasaan kolonial dibarengi dengan intervensi berbagai kebijakan publik oleh negara, terjadilah perubahan-perubahan yang secara drastis merombak keadaan sehingga sangat mengurangi pentingnya arti ikatanikatan pela dan gandong.
2 Penetapan pela antar dua desa (baca: negeri) atau lebih dilakukan dengan cara mengikrarkan sumpah ”persaudaraan darah” dan dimeteraikan dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka kemudian dicampur dengan minuman keras lokal, dari satu gelas, dan diminum oleh mereka secara bersama. Untuk lebih jelas mengenai hal ini, lihat Cooley, 1987. 3 Di masa lampau, tidak seorangpun meragukan adanya kekuatan gaib para arwaharwah leluhur, dan tidak terpikir oleh siapapun untuk melanggar adat pela.
60
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
Sekalipun demikian, warga kedua komunitas dalam realitas kehidupan sehari-hari senantiasa berusaha secara nyata untuk merawat dan tetap mempertahankan warisan para leluhur dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu hal yang menjadi perekat di antara mereka adalah kekuasaan terhadap hak petuanan [beschikkingscrecht]. Dari penuturan informan kunci 4 diketahui bahwa diketahui bahwa sekalipun terpisah secara agama dan pemerintahan, namun kedua negeri hanya memiliki dan terikat dalam satu petuanan [teritori]. Realitas ini sangat jarang ditemukan di manapun di Maluku. Menurut Ziwar Effendi [1987], hak petuanan dari negeri-negeri di Ambon Lease [termasuk negeri Siri Sori Salam dan Serani], di bagian daratan tidak hanya mengenai tanahnya saja, tetapi juga meliputi hutan, sungai dan segala hasilnya, perairan sepanjang pantai yang didepannya sampai ke batas air putih di mana kita bisa dapat melihat dasar lautnya. Hak terhadap petuanan yang dimiliki oleh negeri, kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang bernaung dibawah satu kerabat [family] atau persekutuan [anak negeri] untuk menjadi hak miliknya yang dikenal dengan nama dusun dati5. Karena distribusi hak petuanan diberikan kepada kerabat atau persekutuan, maka hingga kini warga kedua komunitas terikat di dalamnya. Sebagai contoh, marga Pelupessy, Saimima dan marga lainnya di negeri Siri Sori Salam dan di negeri Siri Sori Serani, sekalipun berbeda agama, namun mereka terikat dalam satu dusun dati. Di dalam dusun dati itulah, mereka menanam pohon-pohon cengkih dan melakukan berbagai aktivitas usaha tani. Di samping itu, untuk merawat hubungan sosial antar negerinegeri yang terikat dalam ikatan pela dan gandong, biasanya terwujud dalam bentuk kerja sama. Dari penuturan salah seorang Informan yang juga merupakan tokoh masyarakat dari negeri Siri Sori Salam [I. Tukan, Hasil wawancara tanggal 23 September 2010 dengan MP, 65 Tahun,Islam [Tuan Tanah]. 5 Istilah dati [datio] juga dipergunakan oleh J. Gerard Fried Riedel [1883] yang berarti petak-petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang kuat kerja atau kepala-kepala rumah tangga [hoof den van huisgezinnen] dengan syarat harus ikut 4
hongi.
61
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
saat ini menjabat sebagai Ketua MUI Maluku] diketahui bahwa, ketika komunitas Islam di negeri Siri Sori Salam hendak membangun mesjid, tidak seluruh bangunan tersebut harus dikerjakan oleh warganya sendiri, tetapi ada bagian-bagian tertentu dari bangunan itu yang merupakan tanggung jawab dan harus dikerjakan oleh saudara pelanya dari negeri Haria [Kristen]. Rumah ‘sabua’ yang diperuntukkan sebagai tempat kerja, material bangunannya tidak boleh disiapkan oleh mereka, tetapi harus didatangkan sekaligus dikerjakan oleh masyarakat dari negeri Ulath [Kristen]. Saudara gandong dari negeri Siri Sori Serane [Kristen] mengetahui dengan benar, apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Lebih lanjut dikatakan bahwa, tradisi ini sudah berlangsung dari dulu, diwariskan dan dipraktekkan turun-temurun hingga kini. • Ruang-ruang Politik dan Keagamaan Berdasarkan catatan sejarah serta penuturan dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat di kedua komunitas diketahui bahwa jauh sebelum tahun 1825, warga kedua komunitas hidup pada satu pemerintah negeri, atau menurut istilah yang digunakan Cooley [1961] adalah Badan Saniri Negeri. Berbagai pengaruh telah menentukan badan tersebut yang merupakan lembaga pemerintahan negeri yang utama di negeri Siri Sori. Namanya sendiri menunjukkan kepada sejarah yang telah membentuknya. Menurut Cooley [1961], kata badan antara lain berarti sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu; saniri adalah istilah bahasa Seram untuk dewan yang dahulu memerintah tiga sungai 6; sedangkan negeri adalah bentuk melayu dari kata bahasa sansekerta nagara, yang berarti daerah, kota atau kerajaan [suatu wilayah pemerintahan]. Di dalam Badan Saniri Negeri pada saat itu, sedikitnya terdapat empat jenis jabatan. Kekuasaan politik masing-masing jabatan berkurang menurut urutannya. Di antara golongan pertama, tercakup jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi penuh hingga saat ini Tiga sungai tersebut adalah batang air tala, batang air sapalewa, dan batang air eti, yang terdapat di pulau Seram Bagian Barat. 6
62
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
seperti raja [kepala Desa] dan kepala Soa [sekumpulan mata rumah]. Menurut Cooley [1961] kedua jabatan ini telah berusia beberapa abad lamanya. Dalam kategori yang sama tercakup anggota-anggota saniri yang non tradisional yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili subbagian dan golongan fungsional dalam masyarakat negeri. Jenis kedua, terdiri dari petugas-petugas tradisional yang memangku hanya sebagian dari tugas-tugas sejenis di masa lampau seperti misalnya tuan tanah 7. Jenis ketiga ialah petugas-petugas tradisional yang fungsi-fungsi aslinya saat ini sudah lenyap, seperti malessi atau kapitan [penghulu perang] dan terakhir, jabatan-jabatan tertentu seperti maweng [petugas keagamaan] sudah tidak diisi lagi. Pada abad empatbelas yang ditandai dengan kedatangan Bangsa Arab ke Maluku [Ambon] melalui Cina untuk berdagang rempahrempah, bersamaan dengan itu mereka juga menyebar agama Islam. Seiring dengan itu, muncul pula kekuatan baru yakni kesultanan Ternate dan Tidore sebagai satu kesatuan politik dengan ambisi penaklukkan dan perluasan wilayah kekuasaan yang ingin memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sekaligus menyebar agama Islam. Kemudian pada abad enam belas kedatangan Bangsa Portugis di Maluku [Ambon] di samping berdagang rempah-rempah, mereka juga menyebar agama Kristen Katolik. Kemudian kedatangan Bangsa Belanda pada abad tujuhbelas di samping untuk berdagang rempah-rempah, mereka juga menyebarkan agama Kristen Protestan [Kennedy, 1955]. Pada saat itulah, identitas berdasarkan agama Islam dan Kristen mulai dipakai sebagai pembeda. Implikasi dari realitas tersebut, maka pada tahun 1750 masyarakat Negeri Siri Sori yang telah menganut agama Islam mengajukan permohonan kepada para penguasa Belanda [overgeid] agar mereka diberikan pemerintah sendiri. Pada tanggal 17 Oktober 1817, permohonan itu diteruskan ke Ambon, tetapi ditolak. Kemudian pada tahun 1822, permohonan untuk membuat pemerintahan sendiri kembali diajukan, dan baru pada tahun 1825 permohonan tersebut dikabulkan. 7 Hingga saat penelitian ini dilakukan, jenis kedua ini masih ada dan berfungsi dan saat ini jabatan tersebut dipegang oleh Bapak Hamzah Salatalohy di Negeri Siri Sori Salam.
63
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Dan sejak saat itulah, negeri Siri Sori terbagi menjadi dua, yakni Negeri Siri Sori Salam [amapati] dan Negeri Siri Sori Serani [amalatu]. Walaupun terpisah secara pemerintahan dan agama yang dianut, namun kedua negeri tersebut [hingga kini] tetap memiliki dan terikat menjadi satu secara adat, serta hanya memiliki satu petuanan [teritorial]. Karena itu, sekalipun intervensi berbagai kebijakan publik oleh negara [seperti misalnya, Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, Undang-undang nomor 22 tahun1992 dan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Sitem Pemerintahan Daerah] dan diberlakukan secara nasional, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan dalam masyarakat sehingga jabatan-jabatan tradisional [seperti raja, kepala soa, tuan tanah] itu masih tetap dipraktikkan hingga kini di kedua negeri tersebut. Pada saat pelantikan raja negeri Siri Sori Serani atau Siri Sori Salam [bulan Maret Tahun 2011] misalnya, sebelum calon raja tersebut dilantik secara resmi oleh Bupatti Maluku Tengah dalam upacara pemerintahan, mereka telah dilantik terlebih dahulu secara adat oleh kepala adat, dalam satu upacara adat. Walaupun berbeda dari segi agama yang dianut, namun dalam realitas kehidupan sehari-hari warga kedua komunitas senantiasa tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai hambatan sehingga menimbulkan jarak sosial di antara mereka. Yang terjadi justru sebaliknya, kerukuran hidup di antara mereka senantiasa diwujudkan dalam berbagai konteks hubungan sosial. Pada saat komunitas Kristen di negeri Siri Sori Serani merayakan Hari Natal atau pada saat komunitas Islam di negeri Siri Sori Salam merayakan Lebaran misalnya, aktivitas saling mengunjungi untuk bersilaturahmi di antara mereka satu dengan yang lain berlangsung sangat intensif. Ada kebiasaan di mana dua hari sebelumnya, ada warga yang mengantarkan hasil kebun [berupa pisang, dan umbi-umbian] kepada saudara gandong mereka yang akan merayakan hari raya keagamaan. Di samping itu, ada saudara pela yang datang untuk bersilaturahmi, satu atau dua hari sebelumnya mereka juga mengantarkan hasil kebun kepada saudara pela yang akan merayakan hari raya keagamaan. Demikian pula pada saat meninggalnya salah
64
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
seorang anggota keluarga dari salah satu marga tertentu [Pelupessy, misalnya] di negeri Siri Sori Salam, biasanya yang diberitahu pertamatama adalah keluarga besar Pelupessy di negeri Siri Sori Serani, dan sebaliknya. Setelah diketahui, di samping pergi untuk melayat jenazah, mereka juga membawa serta hasil kebun untuk dapat dipergunakan setelah usai acara pemakaman dalam Ibadah Syukur [Kristen] dan atau Tahlilan [Islam] pada malam hari. • Pembentukan Ruang-ruang dan Jejaring Baru di Negeri Siri Sori Pada tahun 1937 ketika delapan keluarga etnis Buton [Islam] dari suku Tomia, Papalia, Kalidupa dan Raha di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan perahu layar mereka datang ke pulau Saparua, setibanya di pesisir pantai negeri Siri Sori Serani kemudian mereka mendatangi pemerintah negeri 8 untuk memohon izin tinggal di negeri Siri Sori Serani. Saat itu, mereka diizinkan untuk membangun pemukiman dan menempati petuanan [tanah dati] milik keluarga Pelupessy dan Puloumahuny yang letaknya berbatasan dengan negeri Saparua. Petuanan tersebut bernama Waehenahia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk etnis Buton dari tahun ke tahun mengakibatkan semakin luasnya wilayah pemukiman. Untuk menunaikan Ibadah, mereka diberi izin untuk mendirikan Mesjid di dalam pemukiman mereka. Pada tahun 1950-an, datang pula kurang lebih sebelas kepala keluarga etnis Buton khususnya dari suku Siompo dan meminta izin dari pemerintah negeri 9 untuk menempati tanah milik negeri Siri Sori Serani. Saat itu, diberikan izin untuk mendirikan pemukiman di tanah dati milik keluarga Palijama dan Sapulette yang letaknya berbatasan dengan petuanan negeri Tuhaha. Petuanan tersebut bernama Gunung Panjang. Tidak sebatas pemukiman saja, tetapi mereka juga diijinkan untuk mengolah tanah di sekitar areal pemukiman yang ditempati mereka untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Hasil usaha tani yang diperoleh selain untuk dikonsumsikan sendiri, sebagian juga dijual ke pasar di kota Kecamatan Saparua. Dalam bidang keagamaan, 8 9
Saat itu, Daniel Kesaulya menjadi Raja di Negeri Siri Sori Serani. Saat itu, Zeke Sopaheluwakan menjadi Raja di Negeri Siri Sori Serani.
65
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mereka juga diijinkan untuk mendirikan Mesjid yang biasanya dimanfaatkan setiap saat oleh mereka untuk menunaikan ibadah. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, interaksi timbal-balik antara mereka dengan penduduk setempat berlangsung sangat intensif dalam berbagai konteks hubungan sosial. Karena itu selama menghuni kedua wilayah pemukiman tersebut, mereka tidak pernah diganggu. Yang terjadi justru sebaliknya, munculnya rasa saling percaya antara mereka dengan penduduk setempat sehingga mereka dipercayakan untuk menjaga dan merawat perkebunan cengkih milik warga setempat, dan bila tiba musim panen maka mereka [warga etnis Buton] juga dipercayakan untuk memetiknya kemudian hasilnya dibagi dua dengan para pemilik. Oleh pemilik tanah, mereka tidak diperbolehkan untuk menanam tanaman umur panjang [seperti Cengkih], kalaupun menanam maka mereka hanya memperoleh status sebagai hak pakai, bukan hak milik, ini diijinkan 10. Menurut pengakuan Bapak Johanes bahwa pada saat setiap musim panen cengkih, La Tara diberikan ijin untuk memetik hasil panennya, namun karena ia [La Tara] sangat jujur maka biasanya La Tara membawa dan memberikan sebagian kecil dari hasil panennya kepada Bapak Johanes. Ada kalanya diterima, tetapi kebanyakan dikembalikan kepada La Tara untuk dimanfaatkan membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan anak-anak yang usia sekolah, biasanya memanfaatkan Sekolah Dasar yang terdapat di negeri Siri Sori Serani. Jika sudah tamat, dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan lebih tinggi [seperti SMP atau SMU] yang terdapat di kota Kecamatan Saparua.
Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong, di Pulau Ambon • Ruang Sosial dan Budaya Dalam realitas kehudpan sehari-hari, warga komunitas Islam di negeri Tulehu dan warga komunitas Kristen di negeri Waai menge10 Dibuktikan oleh Bapak Johanis Pelupessy [75 tahun, Kristen] dari Surat Perjanjian yang dibuatnya secara bersama dengan La Tara [salah seorang etnis Buton] yang menanam Cengkih di atas tanah dati miliknya.
66
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
tahui benar dengan siapa atau dengan kelompok mana mereka memiliki hubungan kerabat. Kualitas hubungan kerabat antar warga kedua komunitas ditentukan melalui panggilan, sebutan atau sapaan seseorang terhadap yang lain. Tidak ada perbedaan terminologi kekerabatan pada warga kedua komunitas. Ketika berjumpa di ruang-ruang publik, mereka menggunakan bahasa melayu Ambon untuk menyebut kerabatnya yang secara umum menggunakan kata sapaan basudara (bersaudara). Kata basudara bagi mereka merupakan ekspresi untuk menyapa orang-orang yang memiliki hubungan dekat satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan kekerabatan yang dibangun dari berbagai latar belakang peristiwa yang pernah dialami bersama kemudian ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial secara intensif, ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kedua komunitas yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Perbedaan agama yang dianut, tidak merupakan hambatan yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk membangun kehidupan berdampingan secara serasi. Untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut, dijumpai adanya mekanisme tradisional yang diwariskan dari waktu ke waktu kemudian dipraktikkan hingga kini, dan ternyata berfungsi positif untuk mempertegas struktur kekerabatan di antara warga kedua komunitas. Salah seorang informan kunci [DB, 48 tahun, Kristen] menuturkan bahwa, marga Bakarbessy [Kristen] di negeri Waai dan marga Tawainella, Ohorella dan marga Umarella [Islam] di negeri Tulehu memiliki pertalian darah [famili] yang terbentuk atas dasar hubungan perkawinan [afinitas]. Persekutuan kerabat antara keempat marga tersebut dikenal dengan nama ‘anak cucu marlou’. Untuk merawat hubungan kekerabatan di antara mereka, biasanya secara berkala diwujudkan dalam bentuk aktivitas “cuci keramat” leluhur mereka. Di samping itu, aktualisasi hubungan tersebut senantiasa tercermin juga dalam berbagai bentuk kerja sama 11 [dalam istilah lokal 11 Kerja sama dalam bahasa asli disebut masohi meskipun hanya mencakup kerja sama dalam keadaan tertentu. Cooley [1987] mengatakan bahwa dalam kenyataannya, kerja
67
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
disebut masohi]. Pada saat pembangunan rumah-rumah ibadah [Mesjid dan Gereja] misalnya, warga kedua komunitas ikut serta untuk melaksanakannya. Pada tahun 1965 ketika warga komunitas Kristen di negeri Waai membangun gedung Gereja baru [permanen], warga komunitas Islam dari negeri Tulehu dan dari negeri Morela ikut terlibat dalam pekerjaan tersebut hingga rampung dan diresmikan pada tahun 1975. Demikian pula sebaliknya ketika dilakukan renovasi bangunan mesjid [mesjid pertama/tua] di negeri Tulehu tahun 1998, warga komunitas Kristen dari negeri Waai ikut terlibat hingga pekerjaan tersebut rampung. Tidak sebatas pembangunan rumah-rumah ibadah saja tetapi dalam upacara pelantikan raja yang dilaksanakan oleh salah satu komunitas, biasanya warga komunitas yang lain juga ikut terlibat untuk mempersiapkan berbagai keperluan sehubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Keterlibatan warga kedua komunitas secara timbal-balik dalam berbagai aktivitas sehubungan dengan kepentingan negeri sebagai suatu keseluruhan seperti ini, mesti dipahami sebagai suatu panggilan moral. Karena itu tanpa di minta kehadiran pun [diundang], namun bila diketahui, mereka pasti akan datang. Jika sudah selesai baru kemudian mengetahui, pasti mereka akan memberikan protes sosial kepada warga komunitas yang melaksanakannya. Terhadap realitas seperti ini, Cooley [1987] dalam penelitiannya pada sebuah desa di pulau Ambon mengatakan bahwa seluruh interaksi yang bersifat kerja sama itu mempunyai suatu fungsi bersama yaitu mengikat para anggota kelompok lebih erat dan mempermudah usaha memenuhi kebutuhan sosial, memantapkan masyarakat dan membuatnya lebih serasi serta lebih terpadu. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kenyataannya negeri-negeri di pulau Ambon dan Lease tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang dengan baik meskipun terjadi banyak perubahan dan adanya kekuatan-kekuatan yang merusak dari luar, menegaskan kehadiran yang vital dari pola-pola interaksi tersebut. sama yang merupakan penggabungan tenaga dan ketrampilan dalam penyelesaian pekerjaan yang tidak terjangkau oleh kekuasaan perorangan atau keluarga, adalah gejala umum yang terdapat pada negeri-negeri di Maluku Tengah.
68
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
Dalam aspek yang lain, diketahui bahwa dermaga pelabuhan rakyat yang terdapat di negeri Tulehu merupakan salah satu dermaga yang sangat ramai disingahi oleh kapal-motor dan speed boad yang mengangkut penumpang dari dan ke pulau Seram, Haruku, Saparua dan pulau Nusalaut. Pada saat tiba, biasanya para penumpang beristirahat beberapa saat untuk makan atau minum pada sejumlah warung yang letaknya di samping ruang tunggu dermaga. Jika hendak melanjutkan perjalanan ke kota Ambon, mereka kemudian dapat menggunakan jasa angkutan umum [angkot] yang sehari-hari biasanya parkir menunggu penumpang di samping dermaga. Para pengemudi angkot tersebut ada yang berasal dari negeri Tulehu, tetapi ada pula yang berasal dari negeri Waai. Para pengemudi angkot dari negeri Tulehu tidak pernah melarang atau membatasi kehadiran para pengemudi dari negeri Waai untuk mengangkut penumpang ke kota Ambon. Mereka saling mengenal dan pernah memiliki pengalaman yang sama dalam berbagai konteks hubungan sosial. Tidak sebatas di dermaga saja, tetapi ada kalanya mereka saling memasuki negeri Waai dan negeri Tulehu untuk melayani penumpang yang akan bepergian ke kota Ambon. Pada sore menjelang malam hari, biasanya mereka [para pengemudi angkot] bertemu di negeri Waai sambil duduk di tepi pantai dan secara bersama-sama mengkonsumsi minuman keras lokal [Sopi], kemudian mereka terlibat dalam berbagai percakapan. Tema-tema percakapan lebih banyak menyangkut dengan aktivitas yang mereka lakukan dari hari lepas hari sebagai pengemudi angkot, serta tema-tema percakapan lainnya, seperti kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan anak misalnya, karena tidak tersedianya jenjang pendidikan tingkat atas [SMU] di negeri Waai maka setelah anak-anak mereka menamatkan jenjang pendidikan pertama [SLTP] biasanya mereka memanfaatkan fasilitas pendidikan tingkat atas yang ada di negeri Tulehu. Pada saat itu, tidak ada larangan atau pembatasan terhadap kehadiran calon siswa dari negeri Waai yang akan melanjutkan pendidikan. Ketika anak-anak mereka diterima, tidak ada perlakukan yang berbeda dari para guru terhadap para siswa.
69
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Yang terjadi justru sebaliknya, para siswa dari negeri Waai senantiasa mendapat perlakuan yang sama dengan siswa yang berasal dari negeri Tulehu. • Ruang Politik dan Keagamaan Menurut tuturan sejarah diketahui bahwa jauh sebelum terjadi kontak dengan dunia luar ketika warga kedua komunitas masih memeluk agama suku, mereka hidup dan menempati tujuh negeri [Eri] yang letaknya di pegunungan. Semua lokasi pemukiman dinamakan Negeri Lama 12 di mana mereka pernah menjalani kehidupan bersama. Jarak antara Eri yang satu dengan Eri yang lainnya relatif tidak jauh. Nama-nama dari ketujuh Eri tersebut meliputi, Eri Eluhu, Eri Nani, Eri Poking Sau, Eri Pating Saung, Eri Hunimua, Eri Amaheru, dan Eri Amalaeng. Hampir dapat dipastikan bahwa penyebaran pemukiman yang ditempati oleh warga kedua komunitas yang terjadi kala itu tampaknya didasarkan pada suatu kelompok kerabat atau Soa 13. Sebagaimana dinyatakan oleh Kennedy [1955] bahwa pada awalnya Soa merupakan suatu kelompok kekerabatan. Kadang kala rumah tau 14, bertepatan sama dengan soa. Karena itu Cooley [1987] menyatakan bahwa salah satu tugas pokok dari suatu kelompok keturunan satu garis ialah penguasaan serta administrasi tanah. Tanah itu dikelola secara komunal oleh soa. Seperti telah disebutkan dalam penguraian sebelumnya bahwa kedatangan Bangsa Arab ke Maluku [Ambon] melalui Cina untuk berdagang rempah-rempah pada abad empatbelas, bersamaan dengan itu mereka juga menyebar agama Islam. Serentak dengan itu, muncul pula kekuatan baru yakni kesultanan Ternate dan Tidore yang ingin memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sekaligus menyebar agama Islam. Kemudian, pada abad enambelas kedatangan Bangsa Portugis di Maluku [Ambon] di samping berdagang rempah-rempah, mereka juga Cooley [1987] mengatakan bahwa, negeri lama adalah negeri pertama yang ditempati oleh warga dan letaknya di pegunungan. 13 Cooley [1987] mengatakan bahwa, Soa adalah kelompok keturunan uni-lateral. 14 Rumah tau [atau lumatau] adalah istilah asli untuk kelompok keturunan satu garis, yaitu mata-rumah. 12
70
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
menyebar agama Kristen Katolik, dan disusul pula pada abad tujuhbelas kedatangan Bangsa Belanda dengan tujuan yang sama yakni, selain berdagang rempah-rempah mereka juga menyebarkan agama Kristen Protestan. Pada saat itulah, identitas berdasarkan agama Islam dan Kristen mulai dipakai sebagai pembeda. Ketika warga kedua komunitas diperhadapkan dengan berbagai pengaruh yang datang dari luar tersebut, mengakibatkan sebagian besar di antara mereka sudah mengenal agama Islam dan meninggalkan agama Suku. Ketika Portugis dan Belanda mulai menguasai pulau Ambon, para misionaris Katolik dan Protestan berusaha untuk mengkristenkan warga kedua komunitas. Sejak saat itu, warga kedua komunitas terpecah menjadi dua bagian. Ada sebagian warga yang menganut agama Islam, dan ada pula sebagian yang menganut agama Kristen. Mereka yang menganut agama Kristen tetap tinggal di pemukimannya, sedangkan yang tidak bersedia kemudian menyebar dan melarikan diri dan menetap di beberapa tempat. Menurut Cooley [1987], tidak dapat diragukan pula bahwa selain peperangan, masuknya agama Islam dan agama Kristen telah menyebabkan sejumlah kelompok tertentu berpindah dengan suka-rela seperti, misalnya, apabila perbedaan agama menimbulkan perpecahan pada negeri menjadi dua kelompok atau lebih. Pada saat menetap di wilayah tersebut, kemudian mereka mengganti nama marga 15 dengan marga yang lain. Warga yang melarikan diri ke arah utara yaitu ke negeri Liang, marga Kayadoe diganti menjadi marga Lesi, marga Talaperu menjadi marga Oper, dan marga Matakupan menjadi marga Rehalat. Warga yang melarikan diri ke arah barat menuju negeri Wakal, negeri Morela dan ke negeri Hative (negeri Mamala dan negeri Morela pada saat itu masih menjadi satu negeri). Mereka terdiri dari marga Salamoni kemudian diganti menjadi marga Sasole, marga Renalaiselan kemudian diganti menjadi Lauselan, marga Reawaruw kemudian diganti menjadi marga Sialara di negeri 15 Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi alasan sehingga keluarga-keluarga tersebut mengganti nama marga mereka dengan marga yang lain, ketika mereka meninggalkan wilayah pemukiman [Eri] pertama dan menetap di wilayah pemukiman yang baru.
71
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Morela.Warga yang melarikan diri ke negeri Wakal adalah marga Reawaruw kemudian diganti menjadi marga Lemaru, sedangkan warga yang melarikan diri sampai ke negeri Hative hingga kini belum diketahui. Warga yang melarikan diri ke arah selatan yakni ke negeri Tulehu, adalah keluarga dari marga Salamoni kemudian diganti menjadi Tuasalamoni, marga Tuanahu kemudian diganti menjadi marga Nahumaruri. Sedangkan warga yang melarikan diri ke arah Timur yakni di negeri Kailolo adalah keluarga dengan marga Marasabessy dan hingga kini marga ini tidak mengalami perubahan. Mereka kemudian mendiami Negeri Kailolo sampai saat ini. Warga yang melarikan diri dan menetap hingga kini di negeri Liang, Morela, Tulehu dan ke negeri Kailolo, seluruhnya menganut agama Islam. Dalam penelitiannya di Desa Allang di pulau Ambon, Cooley [1987] mencatat bahwa tibanya orang Eropa dan ditegakkannya kekuasaan kolonial, menampilkan kekuatan-kekuatan baru. Kekuasan Belanda menghancurkan sistem pemerintahan tradisional yang disebut Uli 16 dan sebagai gantinya menetapkan negeri-negeri yang berdiri sendiri, yang langsung tunduk pada pejabat-pejabat Belanda. Ini dimaksudkan agar lebih mudah diperalat untuk mencapai tujuan ekonomi Belanda, terutama monopoli perdagangan rempah-rempah, juga untuk menjamin adanya masyarakat yang tertib dan patuh. Cooley menyatakan bahwa di beberapa bagian di Maluku Tengah [termasuk di pulau Ambon dan kepulauan Lease] telah terjadi beberapa kali peperangan antar kelompok yang sengit. Kekuatan-kekuatan dari luar, termasuk dari Eropa, berkali-kali terlibat di dalamnya. Suatu pergolakan umum ditimbulkan oleh perpindahan tempat pemukiman dari pegunungan ke pesisir pantai. Beberapa mata rumah, bahkan soa, dalam sebuah aman telah dipunahkan atau dibuang ke tempat lain sebagai hukuman. Gubernur Belanda di Ambon memimpin hongitochten [ekspedisi penghukuman] terhadap pemukim-pemukim yang tidak mentaati aturan yang diterapkan Belanda. Ekspedisi-ekspedisi 16 Cooley [1987] mengatakan bahwa Uli adalah kumpulan dari beberapa aman [negeri] yang berkedudukan di pegunungan. Aman yang berpengaruh dalam masing-masing Uli hingga kini disebut negeri lama. Biasanya Uli itu terdiri dari lima atau sembilan aman. Uli sudah ada sebelum orang Belanda tiba tahun 1605, atau bahkan sebelum kedatangan Portugis tahun 1512.
72
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
tersebut diangkut dengan kora-kora [perahu perang] yang dituntut dari negeri-negeri dan didayung oleh penduduk negeri itu sendiri. Tingkat dan keikutsertaan warga dalam ekspedisi-ekspedisi tersebut menentukan apakah mereka menerima hadiah atau hukuman dari Belanda. Perpindahan dan ketidakstabilan merupakan ciri kurun waktu terbentuknya negeri [kira-kira tahun 1480-1660]. 17 Dalam masa itu, banyak hal yang hilang dari struktur pemerintahan negeri, dan yang masih tersisa hingga kini hanya soa dan mata rumah. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pada masa itu, penjajah Belanda telah memanfaatkan pola pemerintahan tradisional dengan membaginya ke dalam tiga kepangkatan dengan jabatan raja sebagai yang tertinggi. Hingga kini, gelar raja tetap digunakan warga kedua komunitas [termasuk negeri-negeri yang ada di Maluku Tengah]. Raja biasanya berasal dari tingkat tertinggi bangsawan negeri. Kedudukan tersebut menurut Cooley [1987] cenderung untuk diwariskan secara turun-temurun. Pada masa lampau, putra sulung menggantikan ayahnya menjadi raja. Saniri Negeri kemudian melantiknya sesudah ayahnya meninggal. Memasuki tahun 1990-an, warga kedua komunitas telah menyepakati bahwa raja itu harus berasal dari salah satu mata-rumah tertentu yang dianggap memiliki hak keturunan dan tanggung jawab tradisional untuk memerintah. Cooley [1987] mencatat bahwa di kebanyakan negeri di Maluku Tengah, sedikitnya terdapat dua mata-rumah dengan hak istimewa demikian, yakni mata-rumah yang berkuasa sebelum masa penjajahan dan mata-rumah yang berkuasa karena diangkat oleh penguasa Belanda. Akan tetapi, sepanjang ingatan para tua-tua adat di dua komunitas yang diteliti, hanya satu mata-rumah saja yang memerintah. Apabila kekuasaan itu direbut oleh orang-orang yang tidak memiliki hak keturunan, menurut penuturan mereka bahwa dalam hal demikian maka kemalangan akan menimpa keluarga yang menyerobot kekuasaan dan juga melanda negeri. Pada umumnya mereka meyakini bahwa hak-hak istimewa pada kelompok keturunan tertentu, sesuai dengan ketentuan adat. Dikatakan selanjutnya bahwa, sebelum tahun 1960, raja benar-benar adalah penguasa mutlak yang lebih 17
Lihat, F.L. Cooley, 1987.
73
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
ditakuti daripada dihormati. Ia mewakili seluruh kekuasaan para leluhur, di dalam garis keturunan mereka ia berdiri dan atas nama mereka ia memerintah. • Ruang Ekonomi dan Perdagangan Dalam kehidupan warga kedua komunitas ada dua sektor yang memberikan andil dalam perekonomian mereka, yakni sektor pertanian, dan sektor perikanan. Sektor lain yang cukup berperan juga adalah sektor perdagangan [termasuk restoran] serta sektor pengangkutan/ transportasi dan komunikasi. Dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dari hari lepas hari, warga kedua komunitas cenderung menggantungkan sepenuhnya dari sektor pertanian, terutama pada tanaman cengkih yang merupakan tanaman warisan para leluhur, diusahakan mereka dari waktu ke waktu hingga kini. Karena itu, mereka umumnya bekerja sebagai petani, kemudian beralih sebagai nelayan. Hanya bagian kecil dari mereka saja yang bekerja sebagai buruh pelabuhan maupun sebagai pegawai negeri. Cengkih dan Pala merupakan komoditas perdagangan yang pada masa lalu selalu diincar oleh bangsa Cina, Arab, Portugis dan Belanda 18. Kedua jenis komoditas tersebut [khususnya cengkih] hingga kini banyak diusahakan [ditanami] oleh warga masyarakat kedua komunitas maupun di negeri-negeri lainnya di pulau Ambon, Seram dan di kepulauan Lease. Pada masa pemerintahan Orde Baru ketika diterapkannya kebijakan monopoli cengkih oleh BPPC, para pedagang membeli cengkih dari masyarakat dengan harga yang relatif murah [per-kg hanya tujuh ribu rupiah]. Sebelum ada monopoli oleh BPPC, para pedagang keturunan Cina biasanya membeli cengkih dari masyarakat dengan harga yang relatif cukup tinggi yakni dua puluh hingga dua puluh lima ribu rupiah per-kg. Akibatnya kebijakan monopoli tersebut, banyak warga kedua komunitas yang menebang pohon-pohon cengkih Lihat, A. Coresao [ed], The Suma Oriental of Tome Pires, [London, 1944]. Coresao menjelaskan bahwa pedagang-pedagang bangsa Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk Kayu Cendana, Banda untuk Pala dan Maluku untuk Cengkih, dan barang perdagangan ini tidak dikenal di lain-lain tempat di dunia kecuali ditempat-tempat yang disebutkan sebelumnya; dan telah saya tanyakan dan selidiki apakah barang ini terdapat ditempat lain dan semua orang katakan tidak.
18
74
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
mereka dan diganti dengan tanaman coklat. Ini disebabkan karena, harga coklat di pasaran saat itu jauh lebih baik daripada harga cengkih. Pada hal, selama ini cengkih merupakan satu-satunya komoditas perdagangan yang memberikan kontribusi sangat besar dalam menunjang ekonomi rumah tangga warga kedua komunitas. Pada saat itu, warga kedua komunitas mulai memusatkan perhatian untuk meningkatkan usaha dalam bidang perikanan. Informasi yang diperoleh dari para informan [AT, 39 tahun, Islam dan FS, 41 tahun, Kristen] yang sehari-hari bekerja aktif sebagai nelayan menuturkan bahwa, dengan menggunakan empat buah motor ikan [dua buah di antaranya yang dimiliki warga sedangkan dua buah lainnya adalah bantuan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi], sejumlah warga komunitas Islam di negeri Tulehu pergi melaut untuk menangkap ikan. Demikian pula bagi komunitas Kristen di negeri Waai, dengan menggunakan lima buah jaring bobo milik warga, sejumlah warga pergi melaut untuk menangkap ikan. Sebagian besar dari hasil tangkapan biasanya mereka menjualnya ke pasar, baik ke pasar di kota Ambon maupun di jual kepada para pengusaha perikanan di pelabuhan Tulehu. Para informan menuturkan bahwa ternyata aktivitas ini [sebagai nelayan] cukup menjanjikan. Sumbangan yang diberikan oleh sektor perikanan ternyata sangat signifikan dalam menunjang ekonomi keluarga dari warga kedua komunitas. Oleh karena itu, banyak di antara warga kedua komunitas yang sebelumnya menekuni pekerjaan usaha tani sebagai petani kemudian beralih untuk menekuni usaha di bidang perikanan [dan bekerja sebagai nelayan]. Sejak tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh hingga tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, harga cengkih di pasaran relatif cukup baik. Para pedagang membeli cengkih dari masyarakat dengan harga tiga hingga empat puluh ribu rupiah per-kg. 19 Realitas ini tidak secara signifikan dapat merubah pola usaha warga kedua komunitas yang telah terlanjut bekerja sebagai nelayan. Bagi mereka, dengan bekerja sebagai nelayan setiap hari mereka dapat memperoleh 19 Hasil wawancara tanggal 27 Oktober 2010 dengan DB, 47 tahun [Kristen] dan MS, 56 tahun [Islam]
75
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
pendapatan tetap [per hari seorang nelayan dapat memperoleh seratus lima puluh hingga dua ratus ribu rupiah] dari hasil tangkapan dan ternyata sangat membantu ekonomi keluarga warga. • Pembentukan Ruang-ruang dan Jejaring Baru di Negeri Waai dan Negeri Tulehu Jauh sebelum konflik Maluku yang terjadi di kota Ambon kemudian menyebar ke pulau Ambon, para migran etnis Buton dari Sulawesi Tenggara sudah datang dan membangun pemukiman di dalam petuanan kedua negeri. Para informan yang diwawancarai [DB, 47 tahun, Kristen dan MS, 56 tahun, Islam] menuturkan bahwa mereka tidak mengetahui secara pasti pada tahun berapa para migran etnis buton tersebut menempati negeri Waai dan negeri Tulehu. Berdasarkan ceritera-ceritera yang diperoleh dari para orang tua-tua mereka maka dapat dikatakan bahwa, nampaknya sebelum mereka lahir lagi para migran tersebut sudah ada. Di negeri Tulehu, para migran tersebut membangun dua buah pemukiman, satu pemukiman letaknya berbatasan dengan negeri Suli sedangkan pemukiman yang lainnya letaknya dekat dengan dergama pelabuhan Tulehu yang dikenal dengan nama Mamoking. Para migran tersebut selain membangun pemukiman, mereka juga diijinkan oleh pemerintah negeri untuk melakukan aktivitas pertanian di atas tanah dati milik beberapa keluarga di dalam petuanan negeri Tulehu. Mereka [para transmigran] memanfaatkan tanah untuk melaksanakan aktivitas usaha tani dengan status sebagai hak pakai bukan hak milik. Karena itu, mereka tidak diijinkan untuk menanam jenis-jenis tanaman umur panjang seperti cengkih dan mereka hanya diperbolehkan untuk menanam jenis-jenis tanaman umur pendek saja, seperti pisang, pepaya, dan sebagainya. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, dinamika interaksi antar warga etnis Buton dengan penduduk setempat berlangsung sangat intensif. Selama hidup secara bersama dengan penduduk negeri Tulehu dan menjalani berbagai aktivitas kehidupan dari hari lepas hari, mereka tidak pernah diganggu oleh penduduk setempat. Hal ini dapat tercipta 76
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
selain karena lamanya hidup bersama dalam satu negeri, mereka juga memiliki pengalaman bersama dalam berbagai konteks hubungan sosial. Di samping itu, adanya kesamaan agama yang dianut oleh para migran dengan penduduk setempat nampaknya ikut memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan berdampingan secara serasi. Pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan [Lebaran] misalnya, aktivitas saling mengunjungi secara timbal-balik untuk bersilaturakhmi dengan sesama senantiasa berlangsung tanpa mempertimbangkan perbedaan asal-usul yang ada di antara mereka. Anak-anak mereka yang usia sekolah, selama ini memanfaatkan berbagai fasilitas pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai pada jenjang Pendidikan Tinggi yang ada di negeri Tulehu. Demikian pula di negeri Waai, para migran etnis Buton diijinkan untuk membangun pemukiman di dua tempat di atas tanah dati milik warga setempat. Satu lokasi pemukiman terletak di perbatasan antara negeri Waai dengan negeri Liang, sedangkan lokasi yang lainnya [yang dikenal dengan nama Wainuru] terletak dekat dengan lokasi pemukiman masyarakat negeri Waai. Berdasarkan informasi dari salah seorang informan kunci [DB, 47 tahun, Kristen] pemilik tanah dati [di Wainuru] yang ditempati oleh para migran etnis Buton tersebut, menyatakan bahwa para migran diijinkan tinggal dan mereka diperbolehkan mengolah tanah tersebut selain untuk membangun pemukiman juga diusahakan/diolah untuk berkebun [usaha tani], tetapi mereka tidak diijinkan untuk menanam berbagai jenis tanaman umur panjang [Cengkih, misalnya]. Di samping membangun pemukiman, mereka juga diberi kesempatan untuk mendirikan Mesjid di dalam pemukiman mereka yang dapat dimanfaatkan untuk menunaikan ibadah. Sekalipun terdapat perbedaan agama antara para migran [Islam] dengan penduduk setempat [Kristen], namun perbedaan tersebut tidak pernah dijadikan hambatan sehingga menimbulkan jarak sosial antara satu dengan yang lain. Yang terjadi justeru sebaliknya, terwujudnya kehidupan berdampingan secara serasi di antara mereka. Realitas tersebut dapat terwujud karena lamanya hidup bersama sehingga
77
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
berkembangnya rasa saling percaya antara satu dengan yang lain. Karena itu, pada saat setiap kali musim panen cengkih, warga masyarakat negeri Waai senantiasa mempekerjakan para migran untuk memetik cengkih. Adakalanya para migran yang mendatangi penduduk setempat untuk diijinkan memetik panen cengkih mereka [penduduk setempat]. Menurut informan, biasanya kalau para migran memetik panen cengkih, pembayaran upah tenaga kerja sangat tergantung dari kesepakatan yang dicapai antara para migran dengan pemilik pohon cengkih. Ada yang dibayar dengan uang tunai, tetapi ada pula yang dibayar dengan memberikan cengkih hasil petikan para migran. Selama hidup berdampingan, tidak pernah terjadi bentur-an fisik antara mereka satu dengan yang lainnya. Apabila ada aktivitas untuk membangun negeri, para migran biasanya ikut berpartisipasi secara bersama-sama dengan penduduk setempat untuk menyelesaikannya. Anak-anak usia sekolah mereka, selama ini memanfaatkan fasilitas pendidikan yang terdapat di negeri Waai [seperti Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertama].
Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong Kota Ambon • Ruang Sosial dan Budaya Realitas kehidupan sehari-hari yang dijalani dua komunitas di kota Ambon hampir tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada kehidupan masyarakat yang mendiami kota-kota lain di Indonesia. Masyarakatnya sangat heterogen, baik dari segi etnis, agama, pekerjaan dan lainnya. Pola pemukiman warga kota yang mendiami wilayah pusat kota, umumnya bersifat segregated pluralism dan hanya di beberapa wilayah saja yang cenderung bersifat integrated pluralism. Sedangkan pada wilayah non urban, pola pemukiman bersifat segregated pluralism. Realitas ini dapat terjadi karena pada wilayah ini terdiri dari negeri-negeri [daerah pedesaan] yang selama ini hidup pada masing-masing teritorial yang diklaimnya sebagai milik mereka.
78
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
Sekalipun pola pemukiman cenderung terpolarisasi menurut garis keagamaan yang dianut, namun dinamika interaksi yang terjadi tidak nampak terpolarisasi dalam berbagai konteks hubungan sosial. Karena itu, perbedaan agama, tidak dijadikan sebagai hambatan yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk membangun kehidupan berdampingan secara serasi antara satu dengan yang lain. Untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut, dijumpai adanya tradisi yang diwariskan dari waktu ke waktu kemudian dipraktikkan hingga kini, dan ternyata berfungsi positif untuk merawat kehidupan berdampinan. Ketika hari-hari besar keagamaan [Natal dan Lebaran] dirayakan misalnya, warga kedua komunitas saling mengunjungi untuk bersilaturahmi antara satu dengan yang lain dengan tidak mempersoalkan perbedaan agama yang dianut. Mereka terlibat dalam proses-proses interaksi sangat intensif, sehingga bagi orang luar yang baru pertama kali datang ke Ambon akan sulit untuk membedakan warga kota satu dengan yang lain dari segi agama yang dianut. Demikian pula dengan warga yang mendiami wilayah non urban, hubungan-hubungan kekerabatan yang dibangun dari berbagai latar belakang peristiwa yang pernah dialami bersama kemudian ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial secara intensif, ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kedua komunitas yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Perbedaan agama yang dianut, tidak merupakan hambatan yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk membangun kehidupan berdampingan secara serasi. Untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut, dijumpai adanya mekanisme tradisional [panas pela, dan gandong] yang diwariskan dari waktu ke waktu kemudian dipraktikkan hingga kini, dan ternyata berfungsi positif untuk mempertegas struktur kekerabatan di antara warga kedua komunitas. Untuk merawat dan mempertahankan relasi tradisional di antara mereka, biasanya diwujudkan dalam bentuk aktivitas bersama. Pembangunan Mesjid dan Gereja misalnya, ketika dilaksanakan oleh salah satu komunitas pada salah satu negeri, biasanya dikerjakan bersama dengan komunitas lain dari negeri yang berbeda namun karena terikat dalam satu hubungan pela atau gandong. Keterlibatan bersama seperti ini, dimaknai oleh 79
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mereka sebagai suatu tanggungjawab dan kewajiban sosial. Dan hal ini bukan baru pernah terjadi, namun sudah merupakan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi hingga kin. • Ruang-ruang Politik dan Keagamaan Kota Ambon dalam proses perkembangannya tidak terlepas dari posisi intinya yakni sebagai kota pemerintahan. Posisi ini semakin diperkuat dengan diumumkannya Kota Ambon [saat itu sebagai Kotapraja] sebagai ibukota pemerintah provinsi Maluku, 20 kemudian Undang-undang Nomor 8 tahun 1965 memberi status pemerintahan baru bagi kota ini yakni berubah dari Kotapraja Ambon menjadi Kotamadya Ambon. Dengan status ganda seperti ini telah menempakan kota Ambon sebagai kota pemerintahan tersibuk di provinsi Maluku. Sejalan dengan perubahan status tersebut, maka struktur organisasi kelembagaan disesuaikan dengan status Kotamadya berupa pembentukan dinas-dinas daerah dan perusahaan daerah. Sambil menunggu ditetapkannya Peraturan Daerah [Perda] tentang pembentukan Lingkungan di kota Ambon maka pada tanggal 17 Mei tahun 1971 Walikota 21 mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 16/Kpts/1971 untuk membatalkan semua keputusan yang pernah dikeluarkan menyangkut dengan kesatuan-kesatuan administratif terendah di wilayah kota Ambon. Jika sebelumnya kesatuan terendah disebut Wijk dan Kampung, kemudian diganti dengan dibentuknya Rukun Tetangga [RT] dan Rukun Kampung [RK] dan pada saat itu tercatat sebanyak delapan Lingkungan. Sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, pemerintah kota Ambon dalam menjalankan roda pemerintahannya tetap merujuk pada kebijakan pemerintah pusat. Ketika intervensi Undangundang Nomor 5 tahun 1974 [tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah] dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 [tentang Sistem Pemerintahan Desa] kemudian disusul dengan dikeluarkan Keputusan 20 Pengumuman tersebut dikeluarkan oleh DPR-GR, dengan Nomor: Odes I/16/DPRGR, tanggal 27 Januari tahun 1964. 21 Saat itu, M.H. Manuputty sebagai Walikota Ambon.
80
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
Menteri Dalam Negeri [Kepmendagri] 22 Nomor 140-502 tahun 1980 tertanggal 22 september tahun 1980 tentang penetapan Desa menjadi Kelurahan, saat itu kota Ambon ditetapkan menjadi enam belas Kelurahan, yang diresmikan setahun kemudian oleh gubernur Maluku atas nama Menteri Dalam Negeri. Kemudian diterbitkan Surat keputusan Walikota tanggal 10 Oktober tahun 1981 Nomor Kep. 188-45-68/KMA dengan menghapus delapan lingkungan yang ada sebelumnya dan memberlakukan enam belas kelurahan tersebut lengkap dengan struktur kelembagaannya sekaligus ditindaklanjuti dengan menentukan batas-batas wilayah Kelurahan oleh Walikota Ambon. Kemudian, pada tahun 1979 dikeluarkan Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 13 tahun 1979 [kemudian direalisasi tahun 1980], di mana wilayah kota Ambon diperluas dari 4,02 km2 menjai 377 km2 dan dari satu kecamatan menjadi tiga kecamatan, maka hingga akhir tahun 1997 di wilayah pemerintahan kota Ambon telah terdapat dua puluh kelurahan dan tiga puluh buah Desa yang tersebar di tiga kecamatan. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, pemerintah Kota mendapat kontrol dari Dewan Perwakilan Rakyar Daerah [DPRD] kota Ambon. Sebagai sebuah institusi Negara, DPRD kota Ambon memiliki struktur [terdiri dari satu orang Ketua dan dibantu oleh dua orang wakil Ketua] dengan Badan Kelengkapan Dewan [saat itu terdiri dari empat komisi]. Secara struktural, masingmasing komisi mempunyai satu orang ketua dan satu orang Wakil Ketua. Hingga tahun 1998, kehidupan politik di kota Ambon berkembang dengan baik, karena dibangun dengan dasat kerukunan serta toleransi yang diikat oleh semangat pela. Seluruh kekuatan partai politik bergabung dalam fraksi-fraksi 23 di DPRD [kota Ambon]. Dengan status sebagai kota pusat pemerintahan, ternyata telah menyebabkan kota ini tumbuh dan berkembang ke arah kota modern. Warga kota mulai membutuhkan berbagai infra struktur dalam
Saat itu, Amir Machmud, sebagai Menteri Dalam Negeri RI. Fraksi yang ada pada saat itu di DPRD kota Ambon meliputi, Fraksi Persatuan Pembangunan; Fraksi Demokrasi Pembangunan; Fraksi Karya Pembangunan; dan Fraksi ABRI. 22 23
81
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
menunjang aktivitas kehidupan mereka, mulai dari kebutuhan sarana peribadatan, perumahan, air bersih, pendidikan dan lainnya. Dalam kehidupan antar umat beragama, kota Ambon merupakan pusat dari lembaga-lembaga 24 keagamaan yang ada di Maluku. Selain lembaga agama Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik, terdapat pula lembaga agama Hindu dan Budha. Di kota Ambon, harmonisasi kehidupan antar umat beragama tidak saja tampak pada saat hari-hari besar keagamaan dirayakan [Natal dan Lebaran], tetapi juga ketika membangun Rumah Ibadah dari salah satu agama. Partisipasi dalam pembangunan tersebut tidak saja datang dari penduduk negeri-penegi di kota Ambon yang memiliki hubungan tradisional pela, tetapi juga dari para penganut agama yang berbeda sekalipun tidak memiliki hubungan pela. Realitas ini memberi gambaran bahwa toleransi antar para penganut agama yang berbeda di kota Ambon sangat positif untuk mewujudkan kehidupan berdampingan secara serasi dalam berbagai konteks hubungan sosial. Karena itu ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial secara intensif, ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kota yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Untuk memelihara dan merawat kerukunan hidup antar umat beragama, lembaga-lembaga keagamaan yang ada di kota Ambon senantiasa membangun kerja sama dengan pemerintah Kota Ambon. Kerja sama tersebut tidak saja terkait dengan kegiatan-kegiatan seperti Pesparawi, MTQ, tetapi juga berkaitan dengan bantuan pembangunan sarana prasarana ibadah. Selain itu, lembaga-lembaga keagamaan diminta berperan juga untuk menyebarluaskan hasil-hasil pembangunan kepada umatnya, sekaligus menggerakkan umat beragama untuk berpartisipasi dalam pembangunan di kota Ambon.
Lembaga-lembaga keagamaan yang terdapat di kota Ambon meliputi, Sinode Gereja Protestan Maluku [GPM] yang merupakan wadah tertinggi dalam struktur kelembagaan umat Kristen Protestan di provinsi Maluku; Keuskupan Amboina yang merupakan wadah tertinggi umat Katolik di daerah ini; serta Majelis Ulama Indonesia [MUI] Maluku yang telah mengukuhkan dirinya sebagai garda terdepan umat Islam Maluku. Selain itu, terdapat pula lembaga keagamaan Hindu dan Budha di kota Ambon.
24
82
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
• Ruang Ekonomi dan Perdagangan Apabila dilihat dari sumber-sumber penghidupan yang ada, sebagian besar warga kota hidup sebagai pegawai [baik negeri maupun swasta] dan buruh-buruh kasar. Para pedagang yang ada [pedagang kelontong, para pedagang konsumsi dan perusahaan-perusahaan swasta] hampir seluruhnya terdiri dari para migran. Hampir seluruh ruang di dalam bangunan pasar, ditempati oleh mereka. Walaupun demikian, tidak pernah ada keberatan dari penduduk lokal terhadap berbagai aktivitas yang mereka [para migran] lakukan, baik di dalam bangunan pasar induk maupun di atas trotoar yang letaknya di samping-samping jalan. Kehidupan ekonomi rakyat tergantung pada desa-desa di sekitar dan pulau-pulau sekelilingnya. Saat itu, aktivitas dan fasilitas perdagangan berpusat pada daerah yang terletak di dekat pelabuhan. Di samping itu, toko-toko dan kios kecil tersebar hampir di seluruh kota. Aktivitas perekonomian yang menonjol di kota Ambon meliputi perdagangan, perindustrian/perikanan, perbankan [baik pemerintah maupun swasta], hotel dan restoran. Sektor lain yang cukup berperan dalam perekonomian kota Ambon adalah sektor angkutan dan komunikasi. Dominannya sektor-sektor tersebut ternyata mendorong pemerintah kota menjadikan kota Ambon sebagai pusat aktivitas ekonomi dan transit bisnis di provinsi Maluku [R.Z. Leirissa, dkk, 2004]. Selain sebagai Ibukota provinsi Maluku, kota Ambon tidak saja memposisikan dirinya sebagai kota pusat pemerintahan, tetapi juga berkembang sebagai kota perdagangan, kota pelayanan jasa, dan sebagai kota transit terpenting dari dan ke luar provinsi Maluku. Sementara itu, posisi geografis kota Ambon sebagai daerah penghubung antara bagian selatan dan utara provinsi Maluku menjadikan kota ini sebagai kota transit, antara pulau-pulau di provinsi Maluku, maupun antar provinsi Maluku dengan kota-kota lain di luar provinsi Maluku. Oleh karena itu, pemerintah kota juga memberi perhatian pada upayaupaya pengembangan dan perluasan pelabuhan Ambon sebagai pusat akumulasi dan distribusi barang, jasa dan orang, dengan harapan pelabuhan tersebut dapat berfungsi sebagai pelabuhan samudera. 83
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Pembentukan Ruang-ruang dan Jejaring Baru di Kota Ambon Sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, salah satu konsekuensi dari kota Ambon sebagai ibukota Provinsi Maluku, maka tidak dapat menutup diri bagi kehadiran para migran yang datang dengan berbagai latar belakang budaya dari berbagai wilayah di nusantara. Mereka datang dengan berbagai motivasi, ada yang datang untuk mencari pekerjaan, melanjutkan pendidikan, berbisnis, dan ada pula yang datang dengan motif untuk bekerja sebagai pedagang. Salah satu akibat yang muncul adalah terjadinya perubahan sosial dan demografis di kota Ambon. Sampai dengan tahun 1979, penduduk kota Ambon seluruhnya mendiami daerah urban dengan luas wilayah hanya 4,02 km2, dimana tingkat kepadatan penduduknya telah mencapai 49,92525 jiwa/km2. Pada tahun 1980 telah terjadi perluasan wilayah Kota Ambon dari 4,02 Km2 menjadi seluas 377 km2. Dari perspektif demografis, perluasan wilayah kota Ambon tersebut telah menghasilkan perbedaan yang menyolok antara wilayah urban [kota Ambon lama] dengan wilayah non urban [daerah perluasan yang merupakan daerah perdesaan]. Data kependudukan pada saat pemekaran [tahun 1980] diketahui bahwa penduduk kota Ambon sebanyak 207,702 jiwa, tujuh tahun kemudian [1987] jumlah penduduk telah mencapai 241,367 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 2,6%. Dari jumlah tersebut ternyata 91,74% mendiami daerah perkotaan dan hanya 8,26% saja yang berdiam di perdesaan. Ini berarti tingkat kepadatan penduduk di kota Ambon mencapai 3933 jiwa/ Km2, sedangkan untuk daerah perdesaan hanya 10 jiwa/km2 [R.Z. Leirissa, dkk, 2004]. Rentang waktu antara tahun 1972 dengan realisasi pemekaran kota tahun 1980 merupakan tahun-tahun pertumbuhan kota yang tidak teratur. Pada sisi yang lain, harus diakui bahwa implementasi pembangunan di kota Ambon pada saat itu telah memberikan hasil cukup positif bagi kehidupan warga kota. Namun di lain pihak, Dari BPS kota Ambon, tidak ditemukan data penduduk yang dirinci menurut suku bangsa [kelompok etnik], sehingga sulit untuk dapat membedakan berapa jumlah penduduk asli dan berapa jumlah penduduk pendatang.
25
84
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
kemajuan itu telah berimplikasi pada membanjirnya para migran ke kota Ambon sehingga tumbuhnya pemukiman-pemukiman kumuh di sudut-sudut kota dan menimbulkan berbagai permasalahan sosial lainnya. Bersamaan dengan itu, harga-harga tanah makin meningkat sementara pemerintah Kota mengalami keterbatasan dana dalam rangka membebaskan lahan-lahan strategis bagi pengembangan kota. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Walikota 26 adalah memindahkan warga kota [para migran asal Buton dan Bugis Makassar] yang berdiam di belakang Benteng Victoria ke Dusun Nania setelah pemukiman mereka habis terbakar. Demikian pula kecenderungan warga kota [para migran asal Buton dan Bugis Makassar] untuk memilih tempat tinggal dekat dengan pusat kota telah membawa perubahan pada ekosistem kota Ambon. Daerah-daerah pesisir yang dekat pusat kota dibuat tanggultanggul pengeringan untuk kemudian membangun pemukiman di atasnya. Demikian pula wilayah pegunungan dekat dengan pusat kota dijadikan pemukiman oleh warga kota sendiri [para migran dari berbagai etnis], tanpa memperhitungkan resiko yang timbul sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk di pusat Kota, pemerintah kota menciptakan areal pemukiman baru [kerja sama dengan Perum-perumnas dan KPR-BTN] di luar pusat kota seperti di Poka, Rumahtiga, Passo dan Batu Merah Atas [Kebun Cengkih dan Air Kuning] yang merupakan wilayah perluasan Kota [R.Z. Leirissa, dkk, 2004]. Konfigurasi pola pemukiman etnis Ambon di kota Ambon cenderung tersegregasi menurut agama yang dianut. Hingga tahun 1998, para migran yang datang ke kota Ambon dari berbagai kabupaten di Maluku, cenderung membangun pemukiman yang mengelompok berdasarkan asal usul. Sementara migran dari Bugis-Makassar yang datang, cenderung memilih untuk membangun pemukiman secara mengelompok di wilayah pemukiman komunitas Islam lokal. Ada kalanya lokasi [ruko] kegiatan sehari-hari di pasar misalnya, juga dijadikan sebagai tempat tinggal mereka. Sementara para migran etnis Buton, 26
Albert Porwayla saat itu yang menjadi Walikota Ambon [1980-1985].
85
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mereka datang kemudian menyebar hampir pada setiap wilayah pemukiman di kota Ambon. Perbedaan agama yang dianut tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih wilayah yang didatangi kemudian ditempati oleh mereka. Para migran etnis Buton yang menempati wilayah-wilayah pemukiman komunitas Kristen di kota Ambon, mereka memperoleh berbagai kemudahan mengolah tanah [tanah petuanan milik negeri] untuk dijadikan sebagai lahan usaha tani, sekalipun hanya sebatas status hak pakai. Kemudahan tersebut diperoleh karena dalam realitas kehidupan sehari-hari para migran cenderung mewujudkan sikap saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya. Selama hidup bersama dengan komunitas lain, tidak pernah terjadinya benturan fisik. Oleh sebab itu, mereka sering dipercayakan untuk menjaga, merawat sekaligus memelihara perkebunan cengkih milik penduduk setempat [komunitas Kristen]. Pada saat tibanya musim panen cengkih, mereka juga dipercayakan untuk memetiknya, kemudian hasilnya dibagi secara bersama dengan para pemilik. Lamanya kehidupan bersama dalam sebuah wilayah pemukiman nampaknya memberikan sumbangan positif untuk menciptakan rasa saling percaya antara satu dengan yang lain. Karena itu, hubunganhubungan yang terbangun antar sesama warga kota sekalipun kemudian mereka harus berbeda dari segi agama yang dianut, namun ketika mereka terlibat secara intensif dalam proses-proses sosial di ruangruang publik ternyata memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kedua komunitas yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Kesimpulan Dinamika kehidupan dua komunitas pra konflik yang telah digambarkan di atas memperlihatkan bahwa kerukunan hidup beragama antar komunitas di kota Ambon sangat positif dibanding dengan realitas yang sama terjadi di kota-kota lain di Indonesia. Karena itu, perbedaan agama yang dianut tidak pernah dijadikan sebagai hambatan
86
Dinamika Ruang-ruang Sosial Dua Komunitas Pra Konflik Maluku
untuk membangun kehdiupan berdampingan yang serasi antara satu dengan yang lainnya. Sekalipun pola pemukiman kedua komunitas di pusat kota cenderung bersifat segregated pluralism, namun interaksi sosial yang terjalin pada berbagai ruang-ruang publik tidak nampak terpolarisasi. Yang terjadi justeru sebaliknya, mereka terlibat dapam proses-proses sosial secara intensif sehingga memperlihatkan adanya sebuah gambaran tentang pluralisme di kalangan warga kedua komunitas yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
87