Bab Sepuluh
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon Pasca Konflik Maluku
Sebuah Catatan Perjalanan Ketika situasi keamanan di pulau Ambon sudah pulih [tahun 2004], masyarakat negeri Waai di tempat pengungsian mengkonsolidasikan diri kemudian membentuk sebuah tim dan diberi nama Tim Pemulangan. Setelah terbentuk, tim tersebut mulai berproses menyiapkan masyarakat untuk kembali ke negeri Waai, yang artinya bahwa sekalipun tim tersebut hanya beberapa orang dari negeri Waai saja, karena itu persiapannya harus dilakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Setelah melakukan persiapan yang cukup menguras energi, maka persiapan difokuskan pada penyiapan peninjauan dan pembersihan negeri. Pada bulan Agustus tahun 2004, Tim pemulangan yang terdiri dari tokoh masyarakat, satu orang utusan masyarakat negeri Waai dari Belanda, beberapa orang anggota TNI, POLRI, dan satu orang dari Pemda Provinsi [PU] pergi melakukan peninjauan lokasi untuk persiapan pemulangan. Pada saat pergi sampai ke negeri Waai, dilakukan peninjauan secara saksama oleh petugas dari PU tersebut. Namun setelah selesai kemudian Tim dalam perjalanan untuk kembali ke Ambon, namun ketika sampai di jembatan ‘wairutung’ mereka dihadang oleh 183
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
sekelompok masyarakat Liang yang bergabung dengan kelompok Lasykar Jihad [LJ]. Hadangan tersebut dilakukan dengan maksud untuk ‘menghabisi seluruh anggota Tim 1, namun dapat dicegat oleh ‘anak-cucu Marlou’ 2 serta masyarakat Tulehu pada umumnya. Saat itu, anak cucu Marlou dan masyarakat Tulehu menyatakan [untuk masyarakat negeri Liang dan LJ] bahwa, apabila terjadi sesuatu terhadap Tim, maka kita [sesama Islam] akan saling berhadapan satu dengan lain. Mengingat siatuasi saat itu sudah sangat tegang, tiba-tiba salah saorang anggota Tim [dari PU] melarikan diri keluar dari Tim inti, dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya. Pada bulan Maret tahun 2005, para pemuda 3 dari negeri Tulehu [Islam] mengambil prakarsa untuk datang bertemu dengan para pemuda negeri Waai [Kristen] di Passo [tempat pengungsian], dan kedatangan mereka mendapat sambutan positif dari para pemuda negeri Waai. Ketika bertemu, para pemuda Tulehu menyampaikan maksud kedatangan mereka, yakni mengajak pemuda negeri Waai untuk bertemu
dengan para pemuda Liang di negeri Liang, dalam rangka membicarakan berbagai hal sehubungan dengan persiapan pemulangan masyarakat negeri Waai. Ajakan tersebut ternyata diterima. Saat itu para
pemuda Tulehu mengatakan bahwa, mereka berjanji untuk menjadi jaminan keselamatan bagi para pemuda Waai4. Setelah itu, pemuda kedua negeri [Tulehu dan Waai] menyepakati tentang waktu untuk bertemu dengan pemuda Liang [Islam] di negeri Liang. Satu minggu kemudian, para pemuda Tulehu menjemput pemuda Waai di negeri Passo kemudian secara bersama-sama mereka pergi ke negeri Liang. Ketika tiba, mereka diterima dengan positif, Hasil wawancara mendalam, tanggal 21 Januari 2011 dengan DB, 47 tahun [Kristen] dari negeri Waai, salah seorang anggota Tim. 2 Hasil wawancara mendalam, tanggal 21 Januari 2011 dengan Im.T, 35 tahun [Islam] dari negeri Tulehu, salah seorang [Pemuda] Anak-Cucu Marlou yang ada pada saat itu di tempat kejadian. 3 Hasil wawancara mendalam, tanggal 21 Januari 2011 dengan Im.T, 35 tahun [Islam] dari negeri Tulehu, salah seorang [Pemuda] Anak-Cucu Marlou yang ikut dalam proses tersebut. 4 Hasil wawancara mendalam, tanggal 23 Januari 2011 dengan IR, 45 tahun [Kristen], salah seorang Pemuda dari negeri Waai. 1
184
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
kemudian pemuda Tulehu dan Waai menyampaikan maksud kedatangan mereka, yakni untuk membicarakan persiapan pemulangan masyarakat negeri Waai. Pada saat itu pula, para pemuda Liang menyetujuinya, kemudian pemuda ketiga negeri tersebut bersepakat untuk bersama-sama pergi bertemu dengan Pemerintah Daerah [PEMDA] Maluku 5. Mendengar kesepakatan yang telah dicapai oleh para pemuda dari ke tiga negeri tersebut, tokoh masyarakat dan beberapa orang pemuda dari negeri Morela 6 [Islam] secara spontan menyatakan keinginan mereka untuk bergabung, dan keinginan itu dikabulkan oleh para pemuda dari ke tiga negeri tersebut. Setelah ada kesepakatan antara pemuda dan tokoh masyarakat dari negeri Morela tersebut, pada awal bulan April [2004], mereka secara bersama-sama mendatangi PEMDA [Kepolisian Daerah Maluku, Kodam XVI Pattimura, Gubernur Provinsi Maluku, dan Wali kota Ambon] untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka dalam rangka membicarakan persiapan pemulangan masyarakat negeri Waai. Saat itu, PEMDA memberikan apresiasi positif atas prakarsa para pemuda dan tokoh masyarakat yang secara sadar telah datang menyampaikan keinginan mereka. Tiga hari kemudian PEMDA menyampai surat undangan rapat kepada Raja Tulehu, Raja Liang, Raja Morela, dan Pejabat negeri Waai7, untuk membicarakan hasil kesepakatan dari tokoh masyarakat dari negeri Morela beserta para pemuda dari keempat negeri yang telah disampaikan kepada PEMDA. Sejak saat itu, para pimpinan dari ketiga negeri [Tulehu, Waai, dan Morela] memberikan sambutan positif terhadap inisiatif PEMDA untuk mengundang mereka dalam rangka membicarakan persiapan pemulangan masyarakat Waai ke negeri mereka. Akan tetapi, hal tersebut ditolak oleh pimpinan [Raja] negeri Liang. Argumentasi yang dikemukakan oleh Raja Liang adalah, ia tidak Hasil wawancara mendalam, tanggal 23 Januari 2011 dengan ML, 33 tahun [Islam] dari negeri Liang, adalah salah seorang Pemuda yang terlibat dalam proses tersebut 6 Hasil wawancara mendalam, tanggal 27 Januari 2011 dengan AT, 35 tahun [Islam] dari negeri Morela, adalah salah seorang Tokoh Masyarakat yang ikut dan berproses secara bersama 7 Pengakuan dari ER, 63 tahun, Kristen [mantan Pejabat Negeri Waai] pada saat diwawancarai secara langsung tanggal 25 Januari 2011. 5
185
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
menyetujui masyarakat Waai pulang ke negeri mereka. Alasan yang dikemukakan oleh Raja negeri Liang tersebut, ternyata mendapat reaksi sangat keras dari warga masyarakatnya [khususnya para pemuda] sendiri. Beberapa saat kemudian, ia merubah keputusan tersebut dan menyetujui pemulangan masyarakat Waai ke negeri mereka 8. Pada bulan Mei tahun 2005, seluruh masyarakat negeri Morela dan Tulehu bersam-sama dengan masyarakat negeri Waai melakukan pembersihan negeri Waai untuk persiapan pemulangan. Tepatnya tanggal 25 Oktober tahun 2005, masyarakat negeri Tulehu, Morela dan para pemuda Liang menjemput masyarakat Waai di Passo, kemudian mereka berjalan kaki [15 km] secara bersama-sama menuju ke negeri Waai didampingi oleh PEMDA Provinsi Maluku dan dikawal oleh sejumlah anggota TNI dan POLRI. Dalam perjalanan, mereka secara bersama-sama melantunkan lagu ‘Gandong’ diiringi dengan tifa dan totobuang [gendang] sampai tiba di negeri Waai. Ketika tiba, mereka semua berkumpul di lokasi Gereja Waai [yang sudah hancur] dan bersama-sama berdoa mensyukuri perjalanan mereka. Usai berdoa, para ibu-ibu melebur dan meangkul satu dengan yang lain, sedangkan laki-laki menyebar kemudian saling membantu untuk mendirikan sabua 9 yang akan dipergunakan oleh masyarakat negeri Waai sebagai tempat tinggal [hunian] sementara. Menjelang malam hari, masyarakat negeri Tulehu, Morela dan para pemuda Liang kembali ke negeri mereka masing-masing. Sementara anggota POLRI dan PEMDA kembali ke kota Ambon, sedangkan anggota TNI tinggal, kemudian mendirikan dua pos penjagaan [keamanan] di negeri Waai, dan mereka masih bertugas untuk menjaga keamanan di negeri Waai hingga saat ini 10.
8 Hasil wawancara mendalam, tanggal 23 Januari 2011 dengan ML, 33 tahun [Islam] dari negeri Liang. 9 Sabua [Ind: tenda] yang dibangun sementara dihalaman depan atau samping rumah dengan menggunakan material bangunan dari bambu sebagai penyangga dan trapal [yang terbuat dari plastik dan banyak di jual di toko] untuk menutupi atasnya. 10 Hasil wawancara tanggal 21 Januari 2011 dengan DB, 47 tahun [Kristen] dari negeri Waai, [salah seorang anggota Tim Pemulangan].
186
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Meskipun sangat sulit untuk dibayangkan, realitas tersebut di atas dapat terjadi. Paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa ada kesadaran yang muncul dari masyarakat kedua komunitas untuk segera membangun kembali kehidupan yang berdampingan secara serasi. Karena itu, dengan berbagai resiko yang mesti dihadapi, namun tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk terus berjuang, sehingga akhir dari seluruh perjuangan yang dilakukan adalah, masyarakat Waai dapat pulang kembali ke negeri mereka. Kehidupan Sehari-hari • Jasa Angkutan Umum Sebelum konflik Maluku terjadi pada tanggal 19 Januari tahun 1999 di kota Ambon, dermaga pelabuhan di negeri Tulehu merupakan salah satu dermaga di pulau Ambon yang sangat ramai disingahi oleh kapal-motor dan speed boad yang mengangkut penumpang dari pulau Seram, Haruku, Saparua dan dari pulau Nusalaut ke kota Ambon. Para penumpang sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Ambon, biasanya mereka berhenti sejenak untuk makan atau minum pada sejumlah warung makan yang disediakan oleh beberapa anggota masyarakat dari negeri Tulehu [Islam], kemudian dapat menggunakan jasa angkutan umum [angkot] dari Tulehu, maupun dari Waai [Kristen] yang biasanya parkir di pelabuhan Tulehu untuk melayani penumpang ke kota Ambon. Satu minggu setelah konflik terjadi di kota Ambon, dermaga pelabuhan Tulehu mulai tampak sepi dan tidak terlihat seperti sebelumnya. Para pengemudi mobil angkot dari negeri Waai yang biasanya parkir dan mengangkut penumpang di terminal ke kota Ambon, suda tidak tampak lagi karena mereka menghindar dari berbagai kemungkinan yang dapat saja terjadi saat itu. Satu minggu kemudian, ketika eskalasi konflik di kota Ambon semakin tinggi yang ditandai dengan terjadinya kekerasan, pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk dan sarana-sarana peribadatan sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, serentak dengan itu 187
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
pula dermaga tersebut tampak sangat sepi. Sejak saat itu, dermaga pelabuhan tersebut hanya disinggahi oleh speed boad yang mengangkut penumpang dari pulau Haruku, khususnya dari beberapa negeri yang penduduknya beragama Islam saja, seperti dari negeri Kailolo, Pelau, dan beberapa negeri lainnya. Sedangkan kapal-motor dan speed boad yang mengangkut penumpang yang beragama Kristen dari pulau Seram, Haruku, Saparua, dan dari pulau Nusalaut dengan tujuan ke kota Ambon, mereka cenderung memilih untuk menurunkan penumpangnya di pesisir pantai negeri Passo 11, sekalipun harus menempuh perjalanan yang memakan waktu lebih lama. Realitas ini ternyata berdampak sangat buruk terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di negeri Tulehu. Sudah tidak ada lagi aktivitas bongkar-muat di pelabuhan, warung-warung makan sudah tampak sepih karena tidak ada pengunjung, putusnya jalur transportasi yang menghubungkan negeri Tulehu dengan kota Ambon mengakibatkan jasa angutan umum yang ada tidak lagi beroperasi optimal seperti sebelumnya. Semua ini ternyata berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat. Pada hal, dermaga pelabuhan tersebut sebelumnya merupakan salah satu ‘sumber pendapatan’ yang sangat potensial bagi mereka. Ketika kondisi keamanan di Maluku umumnya dan di pulau Ambon khususnya telah benar-benar pulih, maka pada bulan Oktober tahun 2005 masyarakat negeri Waai kembali dari lokasi pengungsian [di negeri Passo-kota Ambon] ke negeri asal mereka. Serentak dengan itu, Dinas Perhubungan Provinsi Maluku mulai mengaktifkan kembali dermaga pelabuhan Tulehu. Seluruh kapal-motor dan speed boad yang mengangkut penumpang dari dan ke kota Ambon tidak lagi menyinggahi Passo, tetapi harus menyinggahi pelabuhan Tulehu. Sejak saat itu pula, seluruh kapal-motor dan speed boad dari pulau Seram, Haruku, Saparua dan dari pulau Nusalaut dengan tujuan ke kota Ambon mulai menyinggahi pelabuhan Tulehu untuk menurunkan penumpang,
11 Di negeri Passo, tidak tersedia dermaga yang dapat disinggahi oleh Kapal-Motor maupun speed boad.
188
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
mengakibatkan situasi di pelabuhan saat itu mulai kembali tampak ramai. Setelah masyarakat Waai [Kristen] sudah berada kembali di negeri mereka, satu bulan kemudian sejumlah kerabat dari negeri Tulehu, Morela dan dari negeri Liang [Islam] sering kali datang mengunjungi mereka. Para kerabat tersebut, ada yang datang secara perseorangan, tetapi ada pula yang datang secara kelompok. Perjumpaan yang terjadi saat itu dilukiskan oleh beberapa orang informan 12 sebagai suatu peristiwa yang ‘luar biasa’ karena baru pertama kali terjadi selama mereka [kedua komunitas] hidup. Karena sejak tinggal berdampingan antara satu dengan yang lain selama ini, baru pernah mereka berpisah selama empat tahun lebih. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, motivasi apa yang mendorong warga komunitas Islam [baik dari negeri Tulehu Morela maupun dari negeri Liang] sehingga mereka mengunjungi komunitas Kristen di negeri Waai, pada hal kedua komunitas tersebut beberapa tahun sebelumnya terlibat dalam konflik sosial secara berhadap-hadapan? serta bagaimana respons warga komunitas Kristen di negeri Waai terhadap kehadiran mereka [warga komunitas Islam dari ketiga negeri tersebut]? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini tentu membutuhkan data lapangan yang akurat, sebab jika tidak, sulit untuk memperoleh jawaban secara utuh dan menyeluruh. Berikut ini, akan dicoba untuk menjawabnya. Berdasarkan catatan sejarah yang diperoleh, diketahui bahwa pada masa lalu ketika para leluhur mereka belum mengenal agama [resmi] dan masih tinggal di pemukiman pertama [negeri lama] di hutan secara bersama-sama sebagai suatu persekutuan masyarakat, kehidupan mereka sangat rukun antara satu dengan yang lainnya. Namun ketika mereka mulai diperkenalkan dengan agama Islam [yang dibawakan oleh para pedagang dari bangsa Arab] dan agama Kristen
Hasil Wawancara mendalam tanggal 4 dan 5 Oktober tahun 2010, dengan Ac.L 49 tahun [Islam] dari negeri Liang; Nr.T 52 tahun [Islam] dari negeri Tulehu, dan WT 69 tahun [Kristen] dari negeri Waai.
12
189
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Protestan [yang dibawakan oleh missionaris dari bangsa Belanda] 13, ada sebagian dari mereka yang menerima kemudian mengikuti agama Kristen Protestan dan tetap tinggal di negeri Waai, tetapi ada pula sebagian yang menolak, kemudian melarikan diri dan tersebar pada beberapa tempat [negeri tetangga] kemudian merubah “nama marga’ 14 mereka. Pada hal, marga-marga yang sama tersebut berasal dari satu keturunan dan ‘nenek moyang’ yang sama, hanya saja mereka terpisah karena perbedaan agama yang dianut. Sekalipun agama yang dianut oleh mereka berbeda satu dengan yang lainnya, namun selama ini ikatan kerabat yang terjalin di antara mereka senantiasa dipelihara dan diwujudkan dalam berbagai konteks hubungan sosial. Menurut beberapa orang informan kunci 15 bahwa, pertalian hubungan kerabat ini-lah yang senantiasa mendorong kami untuk datang menjumpai para kerabat di negeri Waai. Pada saat kerabat datang [baik dari negeri Tulehu, Morela maupun dari Liang] mengunjungi kami, tidak ada alasan yang kuat untuk kami menolak mereka 16. Dikatakan bahwa, pada saat mereka datang. kami senantiasa menerima dan menyambut mereka dengan penuh kasih-sayang, karena kami sadar kami ini sebenarnya hanya ‘satu’, kami memiliki banyak kesamaan dalam hidup, dan kami memiliki ‘nenek moyang’ yang sama. Nampaknya realitas ini merupakan cikal-bakal bagi para pengemudi angkot dari negeri Waai sehingga pada awal tahun 2006, mereka Lihat Sejarah Negeri Waai, pada Bab. IV. Ada tiga ‘marga’ yang melarikan diri ke sebelah Utara, yakni ke ‘negeri Liang’ dan merubah nama marganya dari marga “Kayadoe” dirubah menjadi marga “Lessi”, “Talaperu” menjadi “Oper”, dan “Matakupan” menjadi marga “Rehalat”. Sedangkan yang melarikan diri ke sebelah Barat yakni ke negeri Wakal, dan Morela [saat itu negeri Mamala dan Morela masih merupakan satu negeri] yakni, yang ke negeri Morela adalah marga “Salamoni” menjadi “Sasole”, “Renalaiselan” menjadi “Lauselan”, marga “Reawaruw” menjadi “Sialara”; dan ke negeri Wakal adalah marga “Reawaruw kemudian berubah menjadi “Lemaru”. Sedangkan yang melarikan diri ke Selatan yakni ke negeri Tulehu adalah marga “Salamoni” kemudian berubah menjadi “Tuasalamoni”, “Tuanahu” menjadi “Nahumarury”, dan marga “Bakarbessy” menjadi “Tawainella”; sementara yang melarikan diri ke Timur tepatnya di negeri Kailolo [di pulau Haruku] adalah marga “Marasabessy” yang tidak pernah berubah hingga saat ini. 15 Hasil Wawancara mendalam tanggal 4 dan 5 Oktober tahun 2010, dengan Ac.L 49 tahun [Islam] dari negeri Liang dan Nr.T 52 tahun [Islam] dari negeri Tulehu. 16 Hasil Wawancara mendalam, tanggal 5 Oktober 2010, dengan WT, 69 tahun [Kristen] dari negeri Waai. 13 14
190
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
masuk dan melayani penumpang dari dermaga pelabuhan Tulehu menuju ke kota Ambon. Menurut informan kunci [AM,42 tahun, Kristen], salah seorang sopir angkot Jurusan Waai-Ambon mengatakan bahwa, pada saat ia menaikkan penumpang ke dalam mobil yang dibawanya, tidak sedikitpun muncul sikap apriori yang ditunjukkan oleh para pengemudi angkot dari negeri Tulehu terhadap kehadirannya. Yang terjadi justeru sebaliknya, mereka disambut secara positif oleh warga masyarakat dari negeri Tulehu yang pada saat itu sementara melaksanakan berbagai aktivitas di pelabuhan. Hal ini tentu saja bisa terjadi karena, sebelumnya mereka [para pengemudi angkot] sudah sangat saling mengenal antara satu dengan yang lain. Bahkan beberapa orang di antara mereka terikat dalam hubungan kekerabatan atas dasar kesamaan asal-usul [memiliki marga yang sama karena berasal dari satu ketururan yang sama] sekalipun mereka berbeda agama yang dianut. Di samping itu, mereka juga pernah memiliki pengalaman yang sama dalam berbagai konteks hubungan sosial, hanya konflik saja yang memisahkan mereka satu dengan yang lainnya. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan, pengamatan langsung yang dilakukan menunjukkan bahwa dinamika interaksi antar warga kedua komunitas yang tercipta di atas dermaga pelabuhan Tulehu memperlihatkan adanya kerelaan dari mereka untuk saling menerima dengan tidak mempersoalkan perbedaan yang ada di antara mereka. Hal ini terlihat secara jelas dari percakapan dan ‘senda gurau’ yang terjadi di antara mereka, ketika mereka secara bersama-sama sedang menunggu para penumpang yang belum tiba di dermaga pelabuhan. Demikian pula sebaliknya, para penumpang pada saat naik ke mobil untuk membuat perjalanan ke kota Ambon, mereka tidak membedabedakan siapa dan mobil dari mana yang akan ditumpanginya. Salah seorang informan 17 yang dijumpai ketika sementara menunggu jasa angkot, mengatakan bahwa:
Hasil wawancara tanggal 21 Oktober 2010 dengan AM, 35 tahun [Kristen], salah seorang Ibu dari negeri Waai yang akan pergi menjual ikan di pasar Passo
17
191
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
sekarang ini sudah ‘aman’, katong [warga kedua komunitas] sudah kembali seperti ‘dulu’. Beta [saya] naik mobil angkot duduk bakudekat [bererdekatan] dengan ‘basudara’ dari Tuluhu [Islam] lalu [kemudian] katong [kita] berceritera antara satu dengan yang lain sampe [hingga] beta [saya] turun di pasar Passo. Ia menceriterakan pengalamannya selama konflik bahwa, sekalipun rumah dan seluruh hartanya hangus dibakar saat itu, tetapi katong tidak mau memikirkannya lagi. Kejadian tersebut jadi pengalaman pahit par katong jua, sekarang ini katong harus bekerja saja par [buat] penuhi anak-anak punya tuntutan [kebutuhan] sekolah.
Terminal Penumpang di dermaga pelabuhan Tulehu, yang biasanya dimanfaatkan oleh para penumpang kedua komunitas
Senada dengan itu, informan Ibu Nr.T, 51 tahun [Islam] 18, dengan menggunakan bahasa melayu Ambon dan dialek Tulehu, ia mengatakan: Sampe jua basudara e, mau biking apa lai. Katong seng lia waktu konflik tu, tarada untung, katong basudara bakubakalai laeng deng laeng biking katong hidop labe sangsara. Kalu inga beta pung basudara Waai waktu itu, beta cuma duduk lalu manangis saja. Beta seng bisa biking apa-apa par dong. Sakarang ni, katong hidup bae-bae jua jang biking katong sangsara lai.
18 Ibu Nr.T, adalah salah seorang pemilik salah satu warung makan di terminal penumpang Tulehu.
192
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
berhenti sudah saudara, mau buat apa lagi. Kita tidak melihat pada saat konflik berlangsung itu, tidak ada yang untung, kita bersaudara berkelahi satu dengan yang lain mengakibatkan hidup kita lebih sengsara. Apabila mengingat saya punya saudara masyarakat negeri Waai saat itu, saya hanya duduk sambil menangisi mereka saja. Saya tidak dapat berbuat apa-apa untuk mereka. Sekarang ini, kita hidup baik-baik saja, jangan buat kita sengsara kembali.
Jasa angkutan umum “Ojek”. Para pengemudi ojek dari kedua komunitas yang sementara menunggu penumpang, di samping Dermaga Pelabuhan Tulehu
Tentu sangat sulit untuk membayangkan makna yang terkandung dibalik ungkapan para informan tersebut di atas. Yang dapat dikatakan di sini adalah, ungkapan tersebut merupakan suatu ekspresi yang menggambarkan adanya keinginan yang sungguh untuk kembali membangun kehidupan berdampingan secara harmonis’. Perbedaan agama yang dianut, jangan dijadikan sebagai penghalang untuk mewujudkan kehidupan bersama yang serasi dan seimbang dalam berbagai konteks hubungan sosial. • Hari-hari Besar Keagamaan dan Daur Hidup Untuk mempertegaskan kembali hubungan kekerabatan yang terjalin antar para kerabat kedua komunitas, biasanya diwujudkan 193
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
dalam berbagai konteks hubungan sosial. Bagi mereka, hal tersebut terwujud dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terjalin pada saat hari-hari besar keagamaan dirayakan, serta berbagai daur kehidupan yang berlangsung dalam realitas kehidupan sehari-hari. • Hari-hari Besar Keagamaan Interaksi timbal-balik warga kedua komunitas pada saat hari-hari besar keagamaan dirayakan, sudah berlangsung jauh sebelum konflik melanda kehidupan mereka tahun 1999. Hanya saja, hal tersebut ‘terputus’ pada saat warga masyarakat Waai [Kristen] berada di lokasi pengungsian di desa Passo [kota Ambon] kurang lebih lima tahun [tepatnya empat tahun tiga bulan] lamanya. Namun sejak mereka kembali, pada tahun pertama dan kedua aktivitas tersebut belum berlangsung sebagaimana mestinya. Diakui oleh salah seorang informan kunci [Wm.T, 69 tahun, Kristen] dari negeri Waai bahwa: Tahun pertama dan kedua sejak mereka kembali ke negeri Waai, aktivitas saling mengunjungi belum berlangsung secara lancar ketika hari-hari besar keagamaan dirayakan oleh warga kedua komunitas. Ini disebabkan karena kami [masyarakat negeri Waai] sedang sibuk untuk melakukan berbagai pekerjaan untuk membangun kembali rumah-rumah penduduk yang hancur pada saat konflik terjadi. Sebab, pada saat mereka kembali, pemerintah Provinsi [Dinas Sosial] memberikan bantuan ‘Bahan Bangunan Rumah [BBR] berupa Semen, Tripleks dan lainnya bagi masing-masing Kepala Keluarga [KK] untuk kembali membangun rumah-nya. Hal ini yang mendorong kami untuk secepatnya dapat memanfaatkan bantuan BBR tersebut, agar dapat menghindar dari terjadinya kerusakan. Ini tidak berarti bahwa kami tidak mau menerima para kerabat [saudara] Islam yang datang mengunjungi kami pada saat kami merayakan hari Natal. Bagi kami, sekalipun ada dengan kesibukan apapun, namun jika saudara kami datang, maka kami akan tinggalkan semua kesibukan tersebut, kemudian menerima mereka.
Senada dengan itu, Mc.T, 61 tahun [Islam] dari negeri Tulehu mengatakan bahwa: Memang benar tahun pertama-kedua sejak basudara [masyarakat] dari negeri Waai pulang mereka disibukkan dengan pekerjaan untuk membangun rumah-rumah mereka yang hancur.
194
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Namun, pada saat mereka merayakan hari Natal, kami [kerabat] dari negeri Tulehu pergi mengunjungi mereka, dan saat berada di Waai kami bertemu juga dengan saudara dari Liang, Morela yang sama-sama datang memberikan ucapan selamat ‘Natal’. Pada saat kami tiba, basudara di Waai menyambut dan menerima kami dengan baik, walaupun saat itu mereka sementara tinggal di rumah-rumah darurat 19. Karena itu, kami sangat merasa puas dan terharu terhadap sambutan yang diberikan kepada kami. Diakui oleh informan tersebut bahwa ketika kami merayakan Lebaran tahun 2006 dan tahun 2007, hanya beberapa orang saudara dari negeri Waai saja yang datang bersilaturahmi dengan kami, tetapi itu tidak menjadi masalah karena kami sangat mengerti kesibukan basudara [kerabat] yang sedang dilaksanakan saat itu.
Dinamika interaksi timbal-balik pada saat hari-hari besar keagamaan dirayakan oleh warga kedua komunitas, baru saja mulai intensif sejak tahun 2008, 2009, dan tahun 2010 yang lalu. Pada saat hari Natal dirayakan oleh warga masyarakat dari komunitas Kristen di negeri Waai, para kerabat dari negeri Tulehu, Liang [Islam] serta saudara gandong mereka dari negeri Morela [Islam] biasanya datang memberikan ucapan selamat hari Natal bagi para kerabat [Kristen] yang sementara merayakannya. Demikian pula sebaliknya ketika hari Lebaran [Idul Fitri] dirayakan, warga masyarakat dari komunitas Kristen di negeri Waai melakukan kunjungan ke negeri Tulehu, Liang, serta ke negeri Morela [Islam] untuk bersilaturahmi dengan para kerabat mereka yang sementara merayakannya. • Daur Hidup Aktivitas saling mengunjungi tersebut tidak semata-mata hanya terjadi ketika hari-hari besar keagamaan dirayakan saja, tetapi tampak pula dalam berbagai daur kegidupan yang dilaksanakan oleh warga kedua komunitas. Pada acara ‘Baptisan’ atau acara ‘Sidi’ salah seorang anak dari salah satu keluarga Kristen di negeri Waai dilaksanakan, para kerabat Islam yang dekat di negeri Tulehu biasanya senantiasa Rumah darurat, biasanya dibangun sementara di samping atau bagian belakang rumah yang sementara dibangun, dengan material bangunan dari bambu atau batang kayu sebagai penyanggah, dan beratapkan daun rumbia.
19
195
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
diundang [sering tidak diundang, tetapi mereka mendengar dari orang lain, pasti mereka akan datang] untuk hadir bersama-sama merayakan acara tersebut. Sebaliknya, jika salah seorang anak dari salah satu kerabat Islam melaksanakan ‘Sunatan’, biasanya para kerabat dari negeri Waai [Kristen] diundang untuk hadir bersama-sama merayakannya. Demikian pula hal nya, ketika salah satu kerabat hendak menikahkan salah seorang anaknya, tradisi saling mengundang senantiasa dilakukan, baik pada saat peminangan anak gadis maupun ketika resepsi pernikahan dilaksanakan. Setelah selesai dilakukan peminangan, biasanya kerabat datang membawakan sejumlah bahan makanan [hasil kebun], kemudian kerabat dari calon pengantin laki-laki mempersiapkan ‘sabua’ 20 sehari [ada kalanya dua hari] sebelumnya, yang nantinya akan dipergunakan sebagai tempat untuk acara resepsi pernikahan tersebut. Tanpa diberitahu sekalipun, para kerabat dari kedua komunitas biasanya mempunyai tanggung jawab sosial bersama untuk mempersiapkan ‘sabua’ tersebut. Pada saat salah seorang anggota kerabat ‘meninggal dunia’, kewajiban sosial para kerabat biasanya dilakukan. Ketika mendengar berita duka tersebut, serentak dengan itu pula para kerabat akan datang melayat, ada kalanya mereka datang sekaligus membawa berbagai jenis bahan makanan yang nantinya akan dipergunakan usai acara pemakaman. Bagi ibu-ibu [perempuan], setelah selesai melayat, mereka suda mengetahui dengan pasti apa yang harus mereka lakukan. Mereka ke dapur kemudian membantu keluarga yang sedang berduka mempersiapkan jaminan alakadar untuk ibadah syukur [Kristen] usai acara pemakaman, atau tahlilan [Islam] yang dilaksanakan pada malam hari. Sedangkan laki-laki, empat hingga lima orang pergi ke lokasi pekuburan untuk mempersiapkan tempat pemakaman, sedangkan yang lain tetap tingga;l untuk mempersiapkan ‘sabua’ di depan atau di samping rumah untuk menampung warga masyarakat yang datang melayat maupun untuk menghadiri acara [ibadah] pemakaman. ‘Sabua [Ind: tenda] yang dibangun sementara dihalaman depan atau samping rumah dengan menggunakan material bangunan dari bambu sebagai penyangga dan trapal [yang terbuat dari plastik dan banyak di jual di toko] untuk menutupi atasnya. 20
196
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Terhadap berbagai realitas sosial sebagaimana digambarkan di atas, para informan kunci “ZB, 48 tahun [Kristen] dari negeri Waai dan Mh.N, 57 tahun [Islam] dari negeri Tulehu” yang diwawancarai mengatakan bahwa, sekalipun para kerabat tidak diundang, namun apabila mereka mendengar dan atau mengetahuinya dari orang lain, maka pasti mereka akan menghadiri sekaligus merayakan acara tersebut secara bersama-sama. Namun, jika mereka tidak diundang dan acara yang dilaksanakan suda selesai kemudian baru mereka mengetahuinya, maka kerabat yang melaksanakan acara atau yang mengalami kedukaan tersebut akan mendapat protes dari mereka 21. Dalam pergaulan para pemuda yang terjadi antar kedua komunitas saat ini, mereka terlibat dalam proses interaksi timbal-balik yang sangat intensif tanpa mempersoalkan perbedaan [agama] yang ada di antara mereka. Pada siang hari, biasanya para pemuda tersebut bekerja sebagai penjual jasa [tukang ojek ‘motor’] untuk mengantar warga masyarakat kedua komunitas, baik ke Tulehu maupun ke Waai dengan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Namun pada malam hari [pukul 19.00 atau 20.00 WIT] biasanya beberapa orang pemuda [Islam] dari negeri Tulehu datang dan bertemu dengan ‘teman’ [Kristen] mereka di negeri Waai. Pada saat bertemu, biasanya mereka mencari tempat di tepi jalan raya 22 atau di atas ‘talud’ di tepi pantai, kemudian mereka duduk dan berceritera selama berjam-jam sambil minum minuman keras ‘Sopi’ 23. Setelah selesai, para pemuda Islam kembali ke negeri Tulehu. Ketika berjumpa dengan salah seorang informan kunci 24 di lokasi penelitian [negeri Tulehu] diketahui bahwa: Ini merupakan kelaziman bagi masyarakat yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan di Maluku umumnya, dan di Maluku Tengah khususnya. 22 Pada malam hari, tepi jalan raya di negeri Waai sudah sepi dari kenderaan yang melintasinya. 23 “Sopi” adalah minuman keras buatan lokal, yang terbuat dari buah pohon aren [pohon mayang]. 24 Wawancara mendalam tanggal 11 Nopember 2010 dengan Is.T, 31 tahun, salah seorang pemuda dari kebanyakan pemuda [Islam] dari negeri Tulehu, yang hampir setiap malam hari selalu pergi mencari teman-teman pemuda [Kristen] di negeri Waai untuk minum ‘sopi’. 21
197
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Ia sering datang untuk mencari teman di negeri Waai dengan alasan bahwa, di sini [negeri Tulehu] ia dan kebanyakan pemuda lainnya tidak diperbolehkan untuk minum ‘Sopi’. Kalaupun mereka minum harus dilakukan secara sembunyi, sebab jika diketahui, pasti akan mendapat reaksi keras dari orang tua mereka. Menurutnya, untuk aman, mereka lebih suka datang ke negeri Waai, mencari teman kemudian sama-sama minum ‘Sopi’. Di sini [Waai], memang tidak ada larangan, hanya sering kali diingatkan oleh para orang tua bahwa boleh saja minum, tetapi secukupnya saja, jangan sampai ‘mabuk’.
Senada dengan itu, informan kunci 25 lainnya mengatakan bahwa: Para pemuda kedua komunitas [Tulehu dan Waai] setiap hari masuk-keluar kedua negeri tersebut. Pada malam hari, biasanya mereka berkumpul di negeri Waai kemudian berceritera sambil minum ‘sopi’, sering kali mereka minum hingga larut malam. Pada saat mendapat laporan dari masyarakat bahwa, biasanya mereka minum sampai mabuk. Ketika para pemuda akan kembali ke Tulehu, bunyi motor mereka sangat mengganggu di malam hari. Karena itu, satu minggu sebelumnya, ia pernah ‘menegur’ beberapa orang pemuda [Islam] dari negeri Tulehu ketika datang untuk menemui teman mereka di negeri Waai untuk minum ‘sopi’ secara bersama-sama.
Dari dinamika interaksi yang terjalin antar warga kedua komunitas sebagaimana tersebut di atas, tergambar sangat jelas kuatnya keinginan mereka untuk senantiasa merawat dan memperkuat hubungan kekerabatan yang ada di antara mereka. Lebih jauh dari itu adalah kewajiban-kewajiban sosial yang pantas dipikul oleh anggota kerabat, dan ini merupakan salah satu cara untuk memelihara hubungan kerabat yang mengikat mereka satu dengan yang lainnya.
Hasil wawancara mendalam, tanggal 27 Januari 2011 dengan Bapak ZB. 48 tahun, Kristen [Raja Nnegeri Waai].
25
198
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Reintegrasi Basis Kerabat • Hubungan antar Komunitas: Kerabat sebagai Kekuatan Perekat (bridging) Dari aspek sejarah 26 diketahui bahwa, hubungan kerabat yang ada di antara mereka ada yang bersifat teritorial geneologis, dan ada pula yang bersifat afinitas [kerabat yang terjadi atas dasar hubungan perkawinan]. Antara masyarakat negeri Waai [Kristen] dengan masyarakat negeri Morela dan negeri Liang [Islam], mereka terikat dalam hubungan kerabat yang bersifat teritorial geneologis. Sedangkan antara masyarakat negeri Waai dengan negeri Tulehu, mereka terikat dalam hubungan kerabat yang bersifat afinitas. Masih segar dalam ingatan para tua-tua adat, pada masa lalu betapa sangat akrab mereka dengan relasi timbal-balik yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama untuk saling ‘tolong-menolong’. Ada potensi yang sangat besar, dan mereka mensyukurinya karena setiap saat dipahaminya sebagai ‘modal’ yang kemudian senantiasa dipraktikkan untuk memelihara sekaligus merawat hubungan tersebut. Sudah pasti banyak yang menjadi pertimbangan mereka untuk menjadikan hubungan tersebut sebagai ‘perekat’ guna senantiasa mendekatkan mereka satu denganyang lainnya. Namun pada tahun 1999, warga masyarakat kedua komunitas diperhadapkan dengan ujian dalam kehidupan sebagai suatu ‘keseluruhan’ yang utuh dengan semua pertalian ikatan kekerabatan warisan masa lalu. Konflik antar kedua komunitas yang dialami, menciderai rasa kebersamaan yang sudah tertanam sejak para leluhur. Kekerasan fisik yang terjadi kala itu akibat hasutan dari ‘luar’, sempat menggoyahkan ikatan kerabat tersebut. Setelah situasi keamanan benar-benar telah pulih dan komunitas Kristen di negeri Waai telah kembali dari tempat pengungsian, warga kedua komunitas mencoba menggelorakan kembali ikatan kerabat yang ada di antara mereka. Hal ini semata-mata bertujuan untuk mempertegaskan kembali ikatan tersebut sekaligus membangkitkan semangat ‘kebersamaan’ di antara mereka satu dengan yang lainnya. 26
Lihat data Sejarah negeri Waai [Bab IV]
199
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Menjaga dan merawat ikatan tersebut yang mengikat warga kedua komunitas, senantiasa diwujudkan dengan sikap untuk saling menerima perbedaan yang ada. Salah seorang informan kunci 27 menuturkan bahwa, sudah menjadi kehendak sejarah bahwa kerabat yang berada di negeri Tulehu [Islam], negeri Waai [Kristen], negeri Liang [Islam] dan Morela [Islam], kami memiliki ‘marga’ dan sejarah yang sama, meskipun berbeda agama yang dianut. Perbedaan ini merupakan kenyataan yang senantiasa diakui, diterima, dan dihormati oleh kami. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, warga masyarakat kedua komunitas [kami] menikmati, tidak ada yang lebih indah selain perbedaan itu dalam warisan sejarah para leluhur. Meski diakui sebagai kerabat yang plural [berbeda agama], mereka senantiasa diperhadapkan dengan berbagai persoalan pelik, yakni memper-tahankan eksistensi ikatan tersebut. Sementara, di sisi lain, kami28 harus mampu untuk menjaga, merawat dan mewariskan ikatan tersebut kepada generasi muda saat ini. Pewarisan ini penting dilakukan untuk membangun pemahaman yang sama tentang eksistensi ikatan tersebut yang ada di antara kedua komunitas, dan cara ini dapat menjadi solusi. Lebih lanjut dikatakan bahwa, bila hal ini tidak dilakukan, yang terjadi dimasa datang adalah munculnya generasi muda dengan ‘pemahaman yang dangkal’ karena pada dasarnya mereka tidak mengetahui relevansi pengetahuan tentang ikatan kerabat yang ada di antara warga kedua komunitas. Senada dengan itu, salah seorang tokoh masyarakat29 juga mengajak agar warga masyarakat kedua komunitas [di negeri Tulehu dan negeri Waai] bersama-sama menatap masa depan dengan penuh harapan dan terus berjuang untuk mempertahankan warisan para leluhur, dengan tetap bersandar pada semangat [spirit] ikatan tersebut. 27 Hasil wawancara mendalam, tanggal 27 Januari 2011 dengan ZB, 48 tahun, Kristen [Raja, Negeri Waai]. 28 Hasil wawancara mendalam, tanggal 27 Januari 2011 dengan DB, 47 tahun, Kristen [Tokoh Masyarakat, Negeri Waai]. 29 Hasil wawancara mendalam, tanggal 29 Oktober 2010 dengan Ib.T, 56 tahun, Islam [Tokoh Masyarakat] dari Negeri Tulehu.
200
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Ia menghimbau agar hilangkan mata rantai dendam yang selama ini menjerat kita akibat konflik, sehingga kita [warga kedua komunitas] bisa bahu-membahu dengan leluasa, memberi makna kepada ikatan tersebut sebagaimana yang dilakukan para leluhur kita. Upaya untuk menjaga dan merawat ikatan tersebut tidak hanya nampak dari pembicaraan mereka saja, tetapi senantiasa tercermin dalam berbagai antivitas nyata dengan melibatkan warga kedua komunitas. • Pembangunan Sarana Peribadatan
Gedung Gereja Ketika kembali pada tahun 2005, maka untuk menunaikan ibadah, masyarakat negeri Waai membangun sebuah gedung Gereja ‘darurat’ yang digunakan hingga saat ini. Pada tahun 2007 lalu, mereka mulai membangun gedung Gereja baru yang permanent, namun hingga kini bangunan tersebut belum selesai dikerjakan. Mengawali dilakukan pekerjaan ‘pondasi’ bangunan gedung Gereja, ada tradisi yang hidup dan berkembang serta dipraktikkan dalam realitas kehidupan kedua komunitas. Ketika hendak mengerjakan pondasi gedung Gereja di negeri Waai [tahun 2007], batu pertama yang akan diletakkan sebagai ‘batu alasan’ diambil dari ‘hutan’ di negeri Morela 30 [Islam]. Proses pengambilan batu tersebut digambarkan oleh salah seorang informan kunci 31 sebagai berikut: Setelah mendapat informasi dari basudara gandong di negeri Waai tentang waktu peletakan batu pertama pembangunan gedung Gereja, kemudian Raja memberitahukan masyarakat tentang hal tersebut, sekaligus menentukan waktu pengambilannya. Batu yang akan diambil sebanyak ‘tiga’ buah 32, namun Ketiga buah batu yang diambil dari negeri Morela, karena masyarakat di negeri Morela dengan masyarakat di negeri Waai terikat dalam satu ikatan kerabat yang bersifat geneologis. 31 Hasil wawancara mendalam, tanggal 23 Januari 2011 dengan MS, 71 tahun, Islam [salah seorang tua adat] dari negeri Morela. Tradisi ini sudah berlangsung sejak didirikan gedung Gereja Pertama [Gereja Tua] di negeri Waai, demikian pula sebaliknya pada saat pembangunan Mesjid Pertama [Mesjid Tua] di negeri Morela. 32 Informan sudah tidak mengingat secara pasti, makna dari angka ‘tiga’ tersebut. 30
201
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mengawali pengambilannya dilakukan upacara adat yang dipimpin oleh Raja selaku Kepala Adat. Usai acara adat, para tua-tua adat kemudian menuju ke hutan untuk mengambilnya. Pada saat naik ke hutan, Raja dan seluruh komponen masyarakat negeri Morela sudah menunggu di depan rumah Raja, dan setelah turun dari hutan, tua-tua adat menyerahkan ketiga buah batu tersebut kepada Raja dan Imam Mesjid, kemudian secara bersama-sama mereka mengantarkan [batu tersebut] ke negeri Waai. Dalam perjalanan, ibu-ibu membawa serta berbagai jenis bahan makanan 33 [hasil kebun] yang akan dipergunakan oleh masyarakat negeri Waai pada saat mereka bekerja. Ketika tiba, mereka disambut oleh Raja, Pendeta, tua-tua adat serta seluruh masyarakat dalam satu upacara adat, kemudian ketiga buah batu tersebut diserahkan kepada Raja, dan Raja menyerahkannya kepada Pendeta. Pada saat Pendeta menerimanya, dilakukan ‘ibadah’ pendek, dan setelah selesai ibadah, ketiga batu tersebut diambil oleh Pendeta dan Raja [Waai] kemudian meletakkannya di dalam ‘kolam’ yang sudah disiapkan sebelumnya, diikuti dengan membubuhkan semen 34 oleh Raja Waai dan Raja Morela 35, dan bubuhan semen ke-dua dilakukan oleh Pendeta. Usai peletakan batu pertama, dilanjutkan dengan acara ‘makan patita’ [makan bersama], sebagai lambang persekutuan kerabat. Setelah selesai acara makan bersama, sore harinya masyarakat Morela kembali ke negeri mereka.
Acara ‘makan patita’ Pada saat tiba, bahan-bahan makanan tersebut diserahkan kepada ibu-ibu di negeri Waai. 34 Membubuhkan semen di atas batu pertama tersebut menandakan pekerjaan pembangunan segera dilaksanakan. 35 Keterlibatan Raja Morela untuk membubuhkan semen di atas batu pertama menandakan keikutsertaan masyarakat negeri Morela dalam pembangunan Gereja tersebut. 33
202
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Pada saat pekerjaan hendak dilanjutkan keesokan hari, warga masyarakat Morela datang membantu, namun jika ada halangan, biasanya mereka memberikan bantuan [menurut kemampuan masingmasing orang] material berupa besi cor: Semen, atau kayu, sebagai pengganti ketidakhadiran mereka. Ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab sosial warga, yang harus dipukul secara bersama-sama. Lebih lanjut, informan tersebut mengatakan bahwa, apabila gedung Gereja tersebut sudah selesai dibangun dan akan diresmikan, masyarakat negeri Morela diundang untuk ikut bersama dalam acara tersebut dan pada saat datang biasanya mereka membawakan bahan makanan [hasil kebun] untuk acara peresmian. Selesai dilakukan acara ibadah peresmian, dilanjutkan dengan acara ‘makan patita’ hingga selesai kemudian pada sore hari mereka pulang kembali ke negeri Morela.
Gedung Gereja Baru Negeri Waai yang sementara dibangun [kondisi sampai Nopember tahun 2010]
Cuci Keramat Dalam realitas kehidupan warga kedua komunitas, marga Bakarbessy [Kristen] di negeri Waai dan marga Tawainella, Ohorella dan marga Umarella [Islam] di negeri Tulehu memiliki pertalian darah [famili] yang terbentuk atas dasar hubungan perkawinan [afinitas]. 203
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari warga dari masing-masing marga mengetahui benar dengan siapa mereka memiliki hubungan kerabat dekat. Persekutuan kerabat antara keempat marga tersebut dikenal dengan nama ‘anak cucu marlou’, dan marga Tawainella ditunjuk sebagai ketua persekutuan kerabat, dan jabatan tersebut dari dahulu hingga kini tidak pernah dipindah-alihkan kepada marga lainnya. Menurut para informan 36 bahwa, hubungan tersebut terjadi karena ‘moyang’ laki-laki [Islam] dari marga Tawainella di negeri Tulehu menikah dengan ‘moyang’ perempuan [Kristen] dari marga Bakarbessy di negeri Waai, dan setelah menikah mereka tinggal sampai meninggal di negeri Tulehu. Ketika meninggal [tidak diketahui secara pasti oleh para informan, pada usia berapa mereka meninggal], mereka dimakamkan di tempat pemakaman [kuburan] yang sama, dan kuburan tersebut oleh seluruh anak cucu ‘Marlou’ memaknainya sebagai ‘keramat’.
Keramat Anak Cucu Marlou Yang terletak di Negeri Tulehu 36 Hasil wawancara mendalam tanggal 26 Januari 2011 dengan AT, 69 tahun [Islam] dari negeri Tulehu, dan PB, 74 tahun [Kristen] salah seorang tua adat dari negeri Waai. Menurut mereka, kegiatan cuci keramat tidak dapat dilakukan oleh salah satu marga tertentu saja, tetapi harus dilakukan oleh keempat marga tersebut. Ini sudah merupakan tradisi dari para orang tua-tua mereka sejak dahulu, diwariskan dan dipraktikkan hingga saat ini.
204
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Ketika salah seorang dari anak cucu ‘Marlou’ melihat keramat tersebut sudah kotor atau pagarnya sudah rusak sehingga dipikir untuk segera dilakukan perbaikan, biasanya langsung diberitahukan kepada ketua persekutuan. Ketua persekutuan kemudian mengundang wakil [biasanya yang dituakan] dari keempat marga tersebut berkumpul [rapat] untuk membicarakannya. Jika ada kesepakatan tentang waktu untuk melakukan perbaikan [cuci keramat], maka ada kewajibankewajiban sosial yang harus ditanggung oleh masing-masing marga. Kewajiban tersebut berupa bahan-bahan [cat, besi, atau semen] yang diperlukan, dan membawa serta berbagai jenis ‘makanan’ [yang sudah dimasak] pada saat melakukan pekerjaan cuci keramat. Ketika tiba waktunya untuk melakukan acara cuci keramat, marga Bakarbessy datang dari negeri Waai dan pada saat tiba di halaman bagian luar keramat [di negeri Tulehu], mereka disambut oleh ketiga marga tersebut dengan menggunakan ‘kain salele’ [kain gandong], kemudian salah seorang yang dituakan dari marga Tawainella mengucapkan “mari datang anak cucu marlou” kemudian dibalas oleh salah seorang yang dituakan dari marga Bakarbessy dengan mengucapkan “kami sudah datang” kemudian mereka dikurung dalam kain gandong dan diantar masuk ke halaman bagian dalam dari keramat tersebut.
‘Kain salele’ [kain gandong] 37 yang digunakan ketika menyambut anak cucu Marlou dari negeri Waai 37
Kain gandong (sumber: http://mjlatu.blogspot.com/ , diunggah, 5 Feb 2011.)
205
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Setelah itu, seluruh anak cucu marlou yang hadir [laki-laki, perempuan, tua, muda] secara bersama-sama mulai melakukan ‘cuci keramat’ hingga selesai. Setelah itu, dilakukan acara ‘makan patita’ [makan bersama] di halaman keramat tersebut yang menandakan acara cuci keramat sudah selesai. Usai acara makan bersama, marga Bakarbessy diantar oleh ketiga marga lainnya untuk pulang ke negeri Waai, dan setelah tiba, ketiga marga tersebut kemudian kembali ke negeri Tulehu. Kegiatan cuci keramat sebagaiaman digambarkan di atas, secara intrinsik memperlihatkan suatu fungsi yang sangat laten untuk memperkuat sekaligus mempertegaskan kembali struktur kekerabatan yang ada di antara warga dari keempat marga tersebut. • Peran Pemerintah Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka pada awal tahun 2006 lalu, Pemerintah Daerah mempercayakan para kontraktor untuk membangun sejumlah sarana dan prasarana publik di negeri Waai. Sarana dan prasarana pendidikan yang dibangun tersebut meliputi, lima buah bangunan Sekolah Dasar Negeri (SD N], dan satu buah bangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri [SMP N], disertai dengan pengadaan kursi-meja untuk menunjang kelancaran proses belajarmengajar para siswa di sekolah. Tidak ada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Umum [SMU] atau Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] di negeri Waai. Karena itu, setelah menamatkan SMP, anak-anak dari Waai dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di kota Ambon. Untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah mempercayakan kontraktor juga untuk membangun satu buah gedung Puskesmas, dan hingga saat ini, bangunan gedung Puskesmas tersebut sudah dimanfaatkan Untuk menunjang tugas-tugas pemerintahan di negeri Waai, maka Pemerintah Daerah mempercayakan salah satu kontraktor untuk membangun satu buah bangunan Balai Desa. Sedangkan Kantor Desa, 206
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Berbeda Gandong di Pulau Ambon….
Pemerintah Daerah memberikan bantuan dana kepada pemerintah Negeri Waai sebesar Rp.50.000.000, dan Gedung PKK sebesar Rp. 100.000.000, kemudian pemerintah negeri memobilisir masyarakat untuk membangunnya. Untuk sarana peribadatan, ada tiga buah bangunan gedung Gereja di negeri Waai yang hancur akibat konflik. Setelah masyarakat kembali, pemerintah memberikan bantuan dana sebesar Rp. 200.000.000 untuk membangun kembali masing-masing gedung Gereja tersebut. Menurut DB 47 tahun [Tokoh Masyarakat negeri Waai], jumlah bantuan untuk membangun tiga buah bangunan gedung Gereja di negeri Waai relatif sangat kecil, karena harga material bangunan yang dibeli ternyata relatif sangat mahal. Sekalipun demikian, sisa kebutuhan material yang tidak dapat dibeli [dengan bantuan dana tersebut] harus diupayakan oleh panitia pembangunan dengan jalan mendatangi para donatur, serta bantuan murni yang diperoleh dari masyarakat negeri Waai. Sedangkan untuk masyarakat, pemerintah tidak menyediakan bangunan rumah kepada mereka tetapi diberikan dalam bentuk bantuan Bahan Bangunan Rumah [BBR]. Bantuan BBR diberikan kepada 1855 Kepala Keluarga [KK] di negeri Waai, berupa 40 sak semen, 60 lembar sink, 1 buah closed [biasa], 15 lembar triplex, dan upah kerja sebesar Rp 1.250.000. Salah seorang informan kunci [AT, 49 tahun, Kristen], yang diwawancarai tanggal 29 Oktober 2010 mengatakan bahwa, sekalipun material bangunan yang diberikan pemerintah sangat terbatas untuk bisa membangun sebuah bangunan rumah yang ‘layak huni’, namun ia senantiasa mensyukurinya. Oleh karena itu, ia bertekad bekerja keras mencari uang, dan atas bantuan dua orang‘saudaranya’ [Adik dan Kaka], rumah yang dibangun tersebut telah selesai dikerjakan pada tahun 2008, dan sudah ditempati oleh keluarganya
Kesimpulan Berdasarkan realitas sebagaimana telah digambarkan di atas maka dapat dikatakan bahwa budaya lokal yang mengikat kedua komunitas di wilayah pedesaan, ternyata berperan sangat signifikan 207
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
untuk mempercepat proses pemulihan sosial antar komunitas di wilayah riset. Oleh karena itu, kesadaran yang muncul dari komunitas Islam di negeri Tulehu untuk mengambil prakarsa dan kemudian terlibat dalam berbagai proses untuk mengembalikan komunitas Kristen ke negeri Waai, merupakan suatu hal yang terjadi diluar dugaan banyak orang. Untuk memelihara serta mempertahankan relasi yang sudah terjalin kembali antar dua komunitas, senantiasa diwujudkan bentuk kerja sama secara timbal-balik tanpa mempertimbangkan perbedaan yang ada di antara mereka. Karena itu, interaksi yang terjalin dalam realitas kehidupan sehari-hari, tidak nampak terpolarisasi. Sikap terbuka yang diwujudkan untuk saling menerima antara satu dengan yang lain, menjelaskan bahwa sejarah masa lalu masih segar dalam ingatan [memori kolektif] mereka. Karena itu, proses pemulihan sosial dapat berlangsung dengan cepat pada dua komunitas di wilayah riset.
208