Bab Sebelas
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong Pasca Konflik Maluku di Kota Ambon
Pengantar Realitas sosial yang digambarkan pada bagian ini terutama dibuat dalam rangka memberikan latarbelakang tentang proses reintegrasi sosial di kota Ambon. Karena itu, proses-proses sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada sejumlah ruang sosial [field] merupakan pintu masuk untuk menggambarkan realitas tersebut. Di samping itu, prakarsa dan intervensi berbagai kebijakan publik oleh pemerintah sehingga mendorong terjadinya proses-proses sosial antar warga kedua komunitas, juga diwarnai oleh kebutuhan ini. Dengan cara seperti ini, kita dapat memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang dinamika sosial dua komunitas pasca konflik Maluku di kota Ambon.
209
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Sebuah Catatan Perjalanan Jangan Sampai Indonesia Terbelah Keributan di Ambon-Maluku meruyak lagi. Tidak Seorang Warga Bangsa ini, yang loyal kepada Sang Saka Merah Putih dan Pancasila, menghendaki “perpecahan masyarakat” di Ambon-Maluku. Kita tidak ingin disintegrasi sosial, Kita ingin integrasi sosial pulih. Disintegrasi sosial hanya membawa kehancuran Tradisi Salam-Serani, Pela-Gandong yang berakar ratusan tahun, tak mungkin sirna. Persaudaraan dan hati nurani, tetap akan membangkitkannya balik dalam kehidupan nyata. Demi hari depan Maluku !
Jeritan Salah Seorang Tokoh Masyarakat Maluku Om, Dullah Souissa [Suara Maluku, Senin 7 September 1999]
Upaya mewujudkan rekonsialiasi antar warga kedua komunitas telah menjadi issue sejak kurang lebih empat bulan setelah konflik Maluku terjadi di kota Ambon [tahun 1999]. Wacana ini mengemuka sebagai jawaban terhadap kemungkinan warga kedua komunitas dapat berhenti untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan. Pada bulan Mei tahun 1999, Pemerintah Daerah [Maluku] mengambil prakarsa untuk memfasilitasi proses rekonsiliasi melalui perjalanan obor perdamaian yang dilarikan melintasi pulau Seram hingga ke kota Ambon. Kemudian ‘deklarasi menahan diri’ yang diumumkan oleh Pemerintah Daerah tanggal 7 Desember tahun 1999, yang dilanjutkan dengan Pertemuan antar para pemuka masyarakat dan agama kedua komunitas [dihadiri oleh Wakil Presiden Megawati] di atas Kapal Perang KRI Multatuli dan KRI Arun pada tanggal 25 April tahun 2000 ketika digelar Operasi Surya Bhaskara Jaya [SBY] 1, serta prakarsa dari raja 1 Lihat, Tonny D Pariela, ‘Damai Di Tengah Konflik Maluku’ Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor, pada Program Studi Studi Pembangunan-Universitas Kristen Satya Wacana, Tahun 2008.
210
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
negeri Galala dan raja negeri Hative Kecil sehingga terbentuklan sebuah lembaga yang diberi nama Forum Masyarakat Adat Ambon dan Lease [Harian Suara Maluku, 31 Mei tahun 2000]. Di samping itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga [baik pemerintah maupun LSM] serta prakarsa dari masing-masing tokoh masyarakat dan agama, maupun masyarakat secara perseorangan dan kelompok [dari kedua komunitas] dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi, dan berujung pada kesepakatan yang dicapai dalam Pertemuan Maluku di Malino tanggal 12 Pebruari tahun 2002. Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya rekonsiliasi tersebut dicapai, sehingga dari wacana berubah menjadi kenyataan sosial yang terus diwujudkan. Tidak dipungkiri, dalam perjalanan tersebut banyak anggota masyarakat kedua komunitas yang skeptis mengenai realitas sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat di kota Ambon, dan ini sah-sah saja sebagai bagian dari upaya ‘mewujudkan keharmonisan di tengah perbedaan’. Hanya masalahnya, seringkali persoalan ini terlalu disederhanakan oleh “orang-orang yang senantiasa berusaha untuk meraup keuntungan” sehingga mereka berusaha untuk kembali memelihara situasi ‘chaos’ dalam masyarakat. Namun, usaha tersebut tidak mendapat respons positif dari warga kedua komunitas di kota Ambon. Ketika hasil kesepakatan Pertemuan Maluku di Malino tahun 2002 akan diimplementasikan, oleh sejumlah kalangan di kota Ambon, hal ini dipandang sangat agresif dan menantang, karena dinilai berhasil, sehingga dapat dianggap sebagai proses rekonsiliasi tercepat dalam sejarah konflik antar kelompok di Indonesia. Pemerintah [Pusat dan Daerah] serta elemen-elemen masyarakat dari kedua komunitas tetap mengawal proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pemerintah senantiasa berusaha secepat mungkin untuk menormalkan kembali stabilitas sosial di kota Ambon; yang artinya bahwa ketika stabilitas sosial di kota Ambon sudah dicapai, maka semua komponen masyarakat tentu dapat memainkan peran penting untuk mengawalnya.
211
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Reintegrasi Sosial di Kota Ambon • Hubungan antar Komunitas di Daerah Perkotaan
Pasar Ketika stabilitas keamanan sudah benar-benar pulih di kota Ambon, pada akhir tahun 2003 pemerintah kota mulai memfungsikan kembali pasar Mardika dan menertibkan ‘pasar kaget 2’ yang banyak terdapat di dalam kota. Penertiban itu sesungguhnya dilakukan karena aktivitas jual beli yang terjadi di pasar kaget selain sangat mengganggu arus lalu lintas kenderaan bermotor, juga menghambat upaya pemerintah kota untuk menata kembali kota Ambon pasca konflik. Kebijakan tersebut ternyata belum sepenuhnya mendapat respons positif dari para pedagang [khususnya dari komunitas Kristen]. Mereka masih sangat ragu-ragu dan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwa, jika dipaksa untuk beraktivitas di pasar Mardika. Keragu-raguan ini tentu sangat beralasan, karena pada saat itu insiden-insiden kecil [sekalipun tidak bertahan lama] masih terjadi di dalam kota, sehingga mereka memilih untuk tetap bertahan beraktivitas di pasar kaget. Sekalipun dalam jumlah yang masih terbatas, namun pada awal tahun 2004 prakarsa pelaku ekonomi dari kalangan grass root dari komunitas Kristen sudah mulai berdatangan untuk bertransaksi di pasar Mardika. Ketika berada di lokasi pasar saat itu, umumnya mereka masih mengelompok pada masing-masing komunitas. Karena itu, dinamika interaksi timbal-balik masih nampak terpolarisasi berdasarkan agama yang dianut. Di sisi lain, prakarsa tersebut paling tidak telah memberikan sumbangan yang positif bagi mencairnya kebekuan interaksi yang terjadi selama konflik berlangsung. Satu minggu kemudian aktivitas di pasar sempat terhenti beberapa hari, ketika terjadi perkelahian antara salah seorang penjual ikan asal Buton [Islam] dengan salah seorang pemuda Ambon [Islam] dari negeri Kailolo. Walaupun kejadian itu secara cepat dapat diatasi oleh aparat keamanan [Kepolisian], namun situasi tersebut mengakibatkan para pedagang dan 2 Pasar Keget: pasar yang muncul pada saat konflik terjadi. ‘Tepi Jalan Rraya’ merupakan lokasi yang digunakan untuk Pasar Kaget.
212
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
warga masyarakat Kristen yang berada di pasar saat itu terpaksa harus melarikan diri [dan meninggalkan barang dagangan serta belanjaan mereka] untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman. Tindakan penyelamatan diri tersebut dilakukan karena mereka masih troma dengan pengalaman yang pernah dialami 3. Setelah situasi di pasar kembali mulai normal, namun para pedagang dan warga masyarakat Kristen sudah meninggalkan lokasi pasar. Sejak saat itu, aparat keamanan mengintensifkan kegiatan patroli untuk memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat yang sedang melakukan berbagai beraktivitas di pasar. Dua hari kemudian ketika kondisi keamanan di pasar sudah benar-benar terkendali, para pedagang dan warga komunitas Kristen mulai kembali untuk melakukan berbagai aktivitas. Sejak saat itu, secara bertahap warga kedua komunitas mulai menjalin interaksi timbal-balik, lama-kelamaan situasi tersebut mulai mencair. Sampai dengan saat penelitian ini berlangsung, aktivitas di pasar sudah berlangsung normal kembali. Warga kedua komunitas terlibat dalam proses-proses sosial yang cukup intensif. Ketika diwawancarai salah seorang Ibu [WT, 39 tahun, Islam] yang sehari-hari biasanya menjual sayur di badan jalan samping bangunan pasar ikan, ia menuturkan bahwa: Sebelum konflik terjadi di kota Ambon, basudara Kristen yang menjadi pelanggan sayur dari beta [saya]. Dulu [sebelum konflik] katorang [kami] tinggal sama-sama di wilayah pemukiman Kristen sebagai tetangga, dan katorang sangat saling mengenal antara satu dengan yang lain. Hanya konflik saja yang memisahkan katorang. Karena itu, meskipun saat ini kami sudah tinggal terpisah, namun senantiasa beta berusaha mencari apabila datang ke pasar.
Hingga kini, aktivitas jual-beli di pasar kota Ambon sudah berlangsung normal kembali. Dinamika interaksi antar warga kedua komunitas cenderung sangat intensif, namun tampak terpolarisasi.
3 Hasil wawancara mendalam tanggal 21 Nopember 2009, dengan EL, 34 tahun, Kristen [Penjual Ikan di pasar Mardika].
213
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Aktivitas jual-beli yang berlangsung pada ‘badan jalan’ [atas trotoar] di samping bangunan pasar ikan.
Para pedagang cenderung untuk memilih tempat duduk secara mengelompok pada saat menjajakan [menjual] barang dagangan mereka. Salah seorang penjual ikan [LM, 42 tahun, Islam] di pasar membenarkan hal tersebut. Menurutnya, tidak ada penjuan ikan dari komunitas Kristen yang dapat menempati pasar ikan. Senada dengan itu salah sorang penjual hasil kebun [MT, 49 tahun, Kristen] menuturkan bahwa semua tempat di dalam bangunan pasar induk maupun di pasar ikan sudah dipenuhi oleh para pedagang Islam asal Buton dan Bugis-Makassar. Tidak ada tempat lagi yang dapat ditempati oleh para pedagang dari komunitas Kristen. Karena itu, mereka cenderung memilih menempati trotoar di badan jalan untuk menjual ikan dan hasil kebun. Apabila pemerintah kota tidak secara bijaksana dapat 214
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
menangani hal ini, untuk jangka panjang kedepan realitas tersebut dapat saja menjadi pemicu terjadinya benturan sosial di antara mereka [para pedagang]. Berbeda dengan proses-proses sosial yang terjadi antar warga kedua komunitas di pusat-pusat perbelanjaan, restoran maupun di berbagai hotel yang terdapat dipusat kota Ambon. Sekalipun letaknya di wilayah pemukiman salah satu komunitas, saat ini warga kedua komunitas sangat bebas untuk pergi berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan atau melakukan acara makan bersama di restoran, tanpa ada rasa keragu-raguan sedikit pun dari mereka. Dua orang warga dari kedua komunitas [JU, 32 tahun, Islam; dan AL, 41 tahun, Kristen] yang dijumpai secara terpisah 4 menuturkan bahwa: Bukan baru saat ini saja kami mengunjungi pusat perbelanjaan dan restoran yang berada di dalam wilayah salah satu komunitas, tetapi sejak akhir tahun 2004 kami sudah masuk-keluar [pulang-balik] tanpa sedikitpun ada rasa takut. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kapan saja [siang atau malam hari] jika ada keperluan maka kami akan datang untuk berbelanja atau melakukan acara makan bersama keluarga. Kami sudah tidak mau hidup terkotak-kotak lagi, kami mau hidup bersama di kota ini [Ambon] secara berdampingan antara satu dengan yang lain seperti sebelumnya. Konflik yang terjadi tahun 1999 hingga 2001 hanya menyengsarakan, karena itu kami tidak mau peristiwa itu terulang lagi.
Kenyataan ini menjelaskan bahwa munculnya sikap saling menerima seperti ini merupakan potensi positif untuk membangun kehidupan bersama secara serasi. Perbedaan yang ada, tidak lagi dijadikan sebagai hambatan untuk mendekatkan jarak sosial di antara mereka satu dengan yang lainnya. Demikian pula dengan pernyataan salah seorang informan [AP,49 tahun, Islam] yang biasanya memanfaatkan fasilitas salah satu hotel yang letaknya di wilayah pemukiman Kristen. Menurutnya:
4 Wawancara tanggal 12 Desember 2010 dengan JU di depan salah satu Restoran yang letaknya di wilayah pemukiman Kristen, dan dengan AL di salah satu Swalayan yang letaknya di wilayah pemukiman Islam.
215
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Tidak ada keraguan sedikitpun untuk masuk ke wilayah pemukiman Kristen. Pada saat masih sekolah, beta [saya] sekolah di skolahan Kristen. Beta punya mama [Ibu] dulunya seorang Kristen dan salah seorang kakak perempuan [saudara] juga kawin dengan orang Kristen. Beta punya banyak teman bergaul yang beragama Kristen. Selama konflik berlangsung di kota Ambon, komunikasi dengan basudara Kristen [Saudara keluarga Ibu dan keluarga Kakak] tidak pernah berhenti. Setelah situasi keamanan di kota Ambon sudah kondusif, sejak tahun 2004 jika Kakak dan keluarganya dari Jakarta datang berlibur ke Ambon, beta [saya] biasanya menggunakan hotel “X” untuk mereka tinggal [menginap] selama satu minggu, ada kalanya lebih dari satu minggu. Mereka tidak bisa tinggal di rumah, katong [kami] punya rumah tua [rumah warisan orang tua] tapi terbakar habis pada saat konflik terjadi tahun 1999. Rumah yang beta [saya] tinggal [tempati] saat ini sangat sempit.
Pola hubungan saling percaya yang kuat antar warga yang dirasakan seperti ini, telah mendorong mereka untuk memikirkan cara guna meningkatkan kualitas hubungan seperti yang pernah terjalin sebelumnya. Tidaklah mengherankan jika membangun kepercayaan [trust building] melalui kapitalisasi kebiasaan sosial orang Ambon dilakukan oleh warga salah satu komunitas dengan secara rutin melakukan hubungan dengan warga komunitas lain yang terus berlangsung hingga kini. Berangkat dari kenyataan bahwa ‘kepedulian untuk menjaga kualitas hubungan sekerabat’ merupakan bahasa bersama yang senantiasa dipraktekkan dan mengakar dalam kebiasaan orang Ambon. Kepedulian untuk menjaga hubungan tersebut merupakan medium sosial penting dalam mengintegrasikan kembali warga kedua komunitas di kota Ambon ke dalam rasa yang sama.
Jasa Angkutan Umum Dambaan yang muncul dari kegelisahan warga untuk memanfaatkan jasa angkutan kota [Angkot] secara bebas mengalami proses panjang, meliwati berbagai tahapan pengkondisian dan uji coba yang dilakukan oleh pemerintah kota Ambon [Dinas Perhubungan], sebelum akhirnya diterapkan secara menyeluruh pada akhir tahun 2004 untuk semua rute angkutan di wilayah kota Ambon. Serangkaian
216
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
tahapan penting ke arah tersebut adalah sebagai berikut 5: pertama, membangun kembali saling percaya di antara para pengemudi yang setiap saat melayani para pengguna jasa angkot di dalam wilayah kota Ambon. Langkah penting yang diambil oleh Dinas Perhubungan kota adalah mereduksi secara bertahap sekat-sekat segregasi antar para pengemudi. Sebagai contoh, memberikan arahan dua kali seminggu di terminal angkutan kota dengan melibatkan para pengemudi dari dua komunitas; kedua, penataan parsial ijin trayek angkutan kota. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan rute angkot seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Langkah ini dilakukan berdasarkan pengalaman bahwa fenomena “mengejar setoran,” para pengemudi dengan sengaja menyerobot ke rute-rute lain yang tidak sesuai dengan ijin trayek yang dikeluarkan. Sebagai contoh, melakukan penertiban melalui pemeriksaan kembali terhadap ijin-ijin trayek yang dimiliki setiap kenderaan [angkot]. Langkah-langkah yang diambil sebagaimana digambarkan di atas sebagai ekspresi dari sebuah kesadaran baru tentang pentingnya ketertiban dalam melayani para pengguna jasa angkutan umum pasca konflik di kota Ambon. Oleh karena itu, setelah meliwati tahapan penertiban tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari warga kota. Setelah situasi keamanan semakin kondusif, jasa angkutan umum yang melayani warga di dalam kota ternyata berperan cukup baik untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di kota Ambon. Sejak awal tahun 2005 warga kedua komunitas sudah secara bebas dapat memanfaatkannya, baik di terminal angkutan umum maupun pada saat berhenti untuk menurunkan penumpang di samping-samping jalan. Hasil wawancara dengan salah seorang pengguna jasa angkot [penumpang] 6 dari salah satu komunitas diketahui bahwa: Wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Perhubungan Kota, 21 Nopember 2009. Wawancara tanggal 12 Oktober 2010, dengan Ibu Hj AL, 59 tahun, Islam, yang saat itu pergi untuk menjenguk saudaranya yang sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah, dr Haulussy, di Kudamati [Pemukiman Kristen].
5 6
217
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Sekalipun pengemudinya [Angkot] basudara Sarani [Kristen], beta seng [tidak] takut dan ragu. Beta naik oto [angkot] Kudamati untuk mengunjungi basudara [saudara] yang sedang di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] dr. Haulussy [wilayah pemukiman Kristen].
Terminal Angkutan Umum, di Mardika- Kota Ambon
Kesan yang sama dikemukakan oleh salah seorang pengemudi angkot jalur Terminal-Kudamati [YS, 32 tahun, Kristen] bahwa, sejak situasi keamanan di kota Ambon benar-benar telah pulih dan bahkan hingga saat ini, ia sama-sekali tidak merasa keberatan tetapi dengan senang hati bersedia untuk mengantar para penumpang dari komunitas Islam pada saat menaiki angkot yang dibawanya. Hal yang sama terjadi pula pada jalur angkot dari terminal yang hendak ke luar pusat kota Ambon. Sekalipun para pengemudinya berbeda agama, namun tidak pernah dipersoalkan oleh para penumpang dari kedua komunitas. Bagi mereka, 7 yang penting mereka tiba di tempat tujuan dengan aman. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi rasa saling curiga antara satu dengan yang lainnya, sehingga dengan bebas mereka dapat saling menerima dalam berbagai konteks hubungan sosial. Walaupun perjumpaan-perjumpaan tersebut sifatnya hanya sementara, namun paling Pengakuan MS, 17 tahun [Islam]. Salah seorang Mahasiswi Politeknik Negeri Ambon yang setiap hari menggunakan jasa angkot jalur Ambon-Laha [yang dikemudikan oleh seorang pengemudi Kristen] dari terminal menuju ke Kampus di Negeri Rumahtiga.
7
218
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
tidak perjumpaan tersebut telah memberikan sumbangan yang positif untuk mencairkan kebekuan interaksi sekaligus mendekatkan jarak sosial di antara mereka.
Lembaga Pendidikan Dari realitas sosial yang nampak dewasa ini maka dapat dikatakan bahwa secara umum performance pelayanan pendidikan di kota Ambon sudah jauh meningkat dibanding kondisi awal setelah stabilitas sosial keamanan mulai kondusif sejak tahun 2003 hingga tahun 2005. Konflik yang terjadi pada tahun 1999 menyebabkan segregasi secara total terhadap pemilihan dan pemanfaatan sekolah-sekolah, penyebaran Guru dan pegawai-pegawai. Situasi seperti ini berlangsung hingga tahun 2005. Memasuki tahun ajaran 2006-2007 berbagai sekolah telah didorong oleh Walikota Ambon8 beserta stafnya [Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon] untuk menghilangkan sekat-sekat segregasi termasuk kembali ke lokasi asal bagi sekolah-sekolah yang sebelumnya beroperasi di tempat-tempat lain. SMPN 7 sejak tahun 1999 [selama konflik] hingga tahun 2005 beraktivitas di negeri Passo [wilayah pemukiman Kristen] misalnya, sejak tanggal 20 Maret tahun 2006 telah dikembalikan ke lokasi asalnya di Poka-Rumah Tiga. Di samping itu, SMPN dan SMU/SMK Negeri yang selama ini hanya dimasuki oleh Siswa dari salah satu komunitas, sejak tahun 2006 telah menerima pendaftaran Siswa baru dari komunitas lain. Demikian pula halnya dengan Universitas Pattimura [UNPATTI] dan Politeknik Negeri Ambon, sekalipun dengan kondisi bangunan serta berbagai peralatan penunjang proses belajar-mengajar yang masih sangat terbatas saat itu namun sejak tahun 2004 kedua lembaga pendidikan tersebut sudah kembali dan mulai beraktivitas di lokasi asalnya di Poka-Rumah Tiga. Sebelumnya, kedua lembaga pendidikan tersebut beraktivitas pada kampus-kampus alternatif di dalam kota, dengan pelayanan yang tersegregasi akibat situasi konflik.
M. J. Papilaya, sebagai Walikota Ambon [saat itu]. Lihat juga, Tamrin Amal Tomagola, dkk [2007], Format Ulang Birokrasi Kota Ambon.
8
219
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Sejak tahun 2007 hingga saat penelitian ini dilaksanakan, pengamatan langsung di beberapa sekolah menunjukkan bahwa sudah banyak Guru Kristen yang mengajar di sekolah yang letaknya di pemukiman komunitas Islam, dan sebaliknya. Demikian pula sudah terdapat banyak siswa Islam yang telah mengikuti pendidikan pada sekolah-sekolah yang letaknya di wilayah pemukiman komunitas Kristen, dan sebaliknya. Di samping itu, interaksi antar Siswa, Siswa dengan Guru, serta antar para Guru ternyata sudah berlangsung sangat intensif. Perbedaan agama yang dianut tidak lagi dijadikan sebagai hambatan bagi mereka untuk menjalin kehidupan bersama sebagai satu komunitas di sekolah tempat mereka beraktivitas sehari-hari.
Proses Belajar-mengajar di SMU Negeri 1 Ambon [Kondisi Pebruari 2010]
Informasi yang diperoleh dari dua orang Guru [Mr.L, 39 tahun, Islam yang bertugas di Sekolah SMU Negeri II, sekolah tersebut berada di wilayah pemukiman Kristen; dan EM, 42 tahun, Kristen yang bertugas pada SMP Negeri 14 di Tantui, sekolah tersebut berada di wilayah pemukiman Islam] diketahui bahwa, mereka diterima secara baik oleh Siswa dan para Guru lain di lingkungan sekolah tempat mereka bekerja, bahkan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan 220
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
bangunan sekolah tersebut senantiasa menyapa mereka dengan santun. Tidak ada sikap apriori yang ditunjukkan oleh siswa, para Guru maupun warga masyarakat terhadap kehadiran mereka. Salah seorang murid 9 yang diwawancarai menuturkan bahwa: Ketika mereka diberikan tugas oleh para Guru yang harus diselesaikan di rumah, biasanya ia pergi ke rumah teman [Kristen] untuk sama-sama mengerjakannya. Dalam perjalanan, ia tidak pernah merasa takut. Oleh karena itu, kapan saja mau pergi ke rumah teman yang beragama Kristen [siang atau malam hari], ia akan pergi.
Informasi yang sama juga diberikan salah seorang Mahasiswa 10, bahwa ia tidak ragu-ragu pergi ke rumah teman [Islam] untuk mengerjakannya tugas yang diberikan para Dosen. Lebih lanjut dikatakan bahwa: Dalam proses belajar-mengajar hingga saat ini, para Dosen tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Yang terjadi justeru sebaliknya, kami sering dibimbing dan diarahkan untuk senantiasa meningkatkan prestasi belajar sehingga dapat menyelesaikan studi secara baik dan tepat waktu.
Aktivitas Mahasiswa di Kampus PGSD-UNPATTI [Kodisi Pebruari 2010] 9 Wawancara tanggal 12 Juli, tahun 2009 dengan AL, 17 tahun [Islam] salah seorang Siswa SMU Negeri 1 Ambon. 10 Wawancara tanggal 30 Juli, tahun 2010 dengan OR, 21 tahun [Kristen] salah seorang Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan-Universitas Pattimura, Ambon.
221
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Pegawai Upaya untuk menormalkan kembali hubungan para pegawai di lingkungan pemerintahan, merupakan suatu tantangan yang telah ditangani secara bijaksana oleh pemerintah daerah. Situasi konflik yang keras dan berkepanjangan dan telah merenggut banyak korban jiwa, harta benda serta hancurnya sarana-prasarana pelayanan publik, diikuti oleh derajat ketidakpercayaan yang tinggi atas lembaga-lembaga publik adalah beban berat tersendiri yang telah dapat diselesaikan oleh pemerintah Provinsi dan Kota Ambon. Di samping itu, pola hubungan saling tidak percaya yang kuat antar pegawai, antar pegawai dengan atasan yang dirasakannya pada saat situasi keamanan mulai kondusif di Kota Ambon, telah mendorong pemerintah daerah memikirkan cara yang tepat untuk mencairkan kebekuan interaksi tersebut. Sementara itu, terpuruknya pelayanan publik akibat konflik, menjadi persoalan lain yang sama peliknya. Membangun kembali saling percaya di antara para pegawai dan pejabat di lingkungan kantor pemerintah Kota pasca konflik merupakan sebuah harapan yang senantiasa didambakan warga masyarakat. Langkah penting yang telah ditempuh oleh Walikota dan Wakil Walikota 11 saat itu adalah mereduksi secara bertahap sekat-sekat segregasi antar pegawai. 12 Hal ini dilakukan dengan mengadakan rapat staf dua hari sekali yang melibatkan pegawai dan pejabat dari kedua komunitas yang pernah terlibat konflik. Di samping itu, juga diciptakan moment sosial seperti olahraga bersama dan jenis perlombaan lainnya. Aktivitas-aktivitas trust building dilakukan secara reguler dan diperluas sehingga menjangkau aktivitas di luar jam kerja. Lebih lanjut, upayaupaya untuk memperkuat rasa saling percaya antar pegawai dilakukan melalui pemanfaatan momentum keagamaan penting, yang dimulai dengan aktivitas saling kunjung antar pegawai Muslim dan Kristen pada perayaan hari raya Natal dan Lebaran sejak tahun 2002. Usahausaha yang dilakukan secara bertahap tersebut ternyata membuahkan 11 M.J. Papilaya, sebagai Walikota dan Syarif Hadler sebagai wakil Walikota [periode 2001-2006]. 12 Thamrin Amal Tomagola, dkk [2007], Format Ulang Birokrasi Kota Ambon.
222
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
hasil. Pada bulan pebruari tahun 2002 Walikota menghimbau setiap pegawai dan guru yang belum masuk kantor untuk segera masuk. Himbauan tersebut ternyata mendapat respons positif, menandai era awal normalisasi kehidupan pemerintahan di kota Ambon. Pada tahun 2003, interaksi timbal-balik antar pegawai maupun pejabat yang berbeda agama mulai terbangun, sekalipun belum sepenuhnya sebagaimana yang diharapkan. Hingga tahun 2009 saat penelitian ini dilaksanakan, realitas yang dijumpai menunjukkan tidak ada jarak sosial antar pegawai baik yang ada di bawa koordinasi pemerintah Kota maupun pemerintah Provinsi. Mereka terlibat secara bersama-sama dalam berbagai aktivitas di tempat kerja tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada. Hasil wawancara dengan empat orang pegawai 13 dari instansi yang berbeda menunjukkan bahwa rasa saling percaya antar sesama pegawai dari kedua komunitas bukan baru terjalin pasca konflik, tetapi sudah terjalin jauh sebelum konflik terjadi. Diakui bahwa ketika konflik terjadi, aktivitas perkantoran berlangsung sangat tersegregasi mengakibatkan mereka terpisah antara satu dengan yang lain. Sekalipun demikian, mereka tetap berkomunikasi secara timbal-balik antara satu dengan yang lain [melalui telpon seluler]. Ketika situasi keamanan sudah berangsurangsur pulih, mereka bersepakat untuk berjumpa di kantor Gubernur Maluku. 14 Perjumpaan tersebut berlangsung dua hingga tiga kali dalam seminggu. Pada saat aktivitas perkantoran suda mulai berlangsung, intensitas pertemuan di antara mereka semakin tinggi. Pola hubungan saling tidak percaya kini kembali ke situasi normal. Kepercayan antar sesama pegawai pun mengalami peningkatan cukup signifikan. Kendatipun demikian, terjalinnya hubungan tersebut hingga saat ini tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai prakarsa maupun inisiatif yang dilakukan sendiri oleh para pegawai. Banyak 13 Wawancara mendalam dengan dua orang pegawai [AP, 49 tahun, Kristen dan NS, 43 tahun, Islam] dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon [tanggal 12 Pebruari 2010], serta dengan dua orang pegawai [UL, 41 tahun, Islam dan HK, 39 tahun, Kristen] dari Dinas Sosial Provinsi Maluku [tanggal 13 Pebruari 2010]. 14 Saat itu, kantor Gubernur Maluku dijadikan sebagai tempat bertemunya para pegawai dari kedua komunitas.
223
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
variasi program dan aktor yang turut berinvestasi bagi terciptanya situasi tersebut. • Peran Pemerintah Ketika situasi keamanan di kota Ambon sudah berangsur-angsur mulai pulih pada awal tahun 2002, namun belum menjamin kehadiran pegawai untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat secara maksimal. Tugas-tugas tersebut sebagian masih dilaksanakan pada kantor-kantor alternatif. Saat itu, penanganan pengungsi di kota Ambon dilakukan oleh pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota, instansi terkait, donatur dan lembaga swadaya masyarakat lokal dan internasional. Untuk mengatasi hambatan dalam bidang pendidikan, kebijakan yang diambil pemerintah kota saat itu adalah para siswa diperbolehkan untuk mengikuti proses belajar-mengajar pada sekolah terdekat yang relatif aman termasuk anak-anak di lokasi pengungsian, sesuai jenjang. Sedangkan Dinas Kesehatan Kota membangun kerja sama dengan MSF dalam rangka memberi pelayanan kesehatan di tempat-tempat pengungsian, di puskesmas-puskesmas dan pos kesehatan lain secara cuma-cuma. Pada akhir tahun 2002, pemerintah kota mulai melakukan rehabilitasi fisik kota. Kegiatan ini dapat terwujud karena adanya bantuan dana pemerintah serta berbagai upaya yang dilakukan pemerintah kota untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara sahabat. Operasionalnya ditindak lanjuti melalui kerjasama pemerintah kota dengan dinas Pekerjaan Umum [PU] provinsi untuk membersihkan puing-puing kerusuran. Di samping itu, juga melakukan rekonstruksi rumah-rumah penduduk yang rusak dan terbakar pada 15 lokasi, 5 unit pasar, bangunan sekolah dasar [SD] dan menengah pertama [SLTP] serta 4 unit kantor. Untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di kota Ambon, pemerintah kota memprakarsai mewujudkan rekonsiliasi dengan melibatkan pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, aparat keamanan, LSM dan unsur lain yang mendukung. Upaya224
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
upaya konkrit yang telah dilaksanakan meliputi: pertama, pertemuan satu atap antara pemerintah daerah, pihak keamanan dan berbagai komponen masyarakat terkait untuk membahas upaya pemulihan kondisi sekaligus berusaha meredam isu-isu yang berkembang; kedua, menumbuhkan kembali sistem adat dengan melakukan aksi nyata hubungan pela dan gandong antar negeri; ketiga, melibatkan tokohtokoh masyarakat, agama duduk dalam badan independen yang dikenal dengan Pusat Rujuk Sosial Provinsi Maluku agar mengagendakan langkah kebijakan mencari solusi pemecahan; serta mengadakan penyuluhan dan dialog antar umat beragama dengan melibatkan unsurunsur cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh agama, ketua-ketua pemuda yang mewakili Desa/Negeri/Kelurahan pada tiga kecamatan di kota Ambon. Langkah yang diprakarsai Menko Polkam dan Menko Kesra, menghasilkan Perjanjian Maluku di Malino dengan 11 butir kesepakatan. Sebagai tindaklanjut hasil kesepakatn Malino tersebut, ditetapkan program penanganan yang meliputi sosialisasi, penanganan pengungsi, rehabilitasi, santunan sosial, pemantauan dan evaluasi. Sejak perjanjian Malino disepakati dan mulai ditindaklanjuti, stabilitas sosial dan keamanan di kota Ambon berangsur-angsur pulih. Aktivitas pemerintahan dan masyarakat berjalan mulai normal kembali. Di samping itu, sejalan dengan kebijakan politik yang diambil oleh Pemerintah dan DPRD kota Ambon pada bulan Maret tahun 2002 untuk menormalisasikan kembali kehidupan ekonomi, kehidupan sosial kemasyarakatan serta mendorong dilakukan penegakan hukum secara konsisten untuk mewujudkan rasa aman bagi seluruh warga kota, ternyata mendorong mulai munculnya kesadaran secara bertahap dari warga kedua komunitas. Karena itu, sebagian kecil para pelaku ekonomi kedua komunitas dari kalangan grass roots [khususnya] sudah menjalin interaksi di pasar kota Ambon, lama-kelamaan kemudian berkembang hingga saat ini. Munculnya persepsi negatif masyarakat atas ketidakadilan yang ada pada pemerintah kota. Bagi komunitas Muslim misalnya, pemerintah kota Ambon dinilai sebagai pusat dan simbol ketidakadilan 225
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
terutama dalam kaitannya dalam rekruitmen dan promosi jabatanjabatan publik. Komunitas ini merasa sebagai korban elite birokrasi pemerintah kota Ambon, terutama dalam penerimaan dan penempatan pegawai-terutama dalam jabatan-jabatan strategis-baik birokrasi maupun Guru. Lebih dari itu, kondisi ini dibaca sebagai upaya elite birokrasi Kristen mempertahankan dominasi [Tomagola, dkk, 2007]. Terlepas dari penilaian subjektif seperti itubenar atau salah, namun untuk mengeliminir image tersebut maka pada tahun 2002 pemerintah kota di bawa kepemimpinan M.J. Papilaya [Walikota] dan Syarif Hadler [wakil Walikota] melakukan format ulang birokrasi kota Ambon. Salah satu wujud nyata pengembangan kebijakan di bidang kepegawaian adalah pengembangan program yang diberi label Standar Kompetensi Jabatan [SKJ]. Program ini diimplementasikan pertama kali dalam proses pemilihan Sekretaris Kota pada awal tahun 2003, untuk kemudian secara berturut-turut diberlakukan terhadap semua eselon dalam tubuh birokrasi. 15 Memasuki tahun 2003 hingga kini, Walikota 16 Ambon mulai menggelorakan kembali dilaksanakan peringatan hari Pattimura setiap tanggal 15 Mei17 dengan melibatkan warga kedua komunitas. Warga yang terlibat mengetahui secara pasti, peran mereka masing-masing. Selama ini, obor Pattimura didatangkan dari pulau Saparua menuju ke kota Ambon dan setibanya di negeri Tulehu kemudian disambut oleh pemuda kedua komunitas yang beberapa jam sebelumnya sudah tiba dari kota Ambon untuk menjemputnya. Dengan menggunakan kendaraan roda dua [termasuk mobil], mereka secara bersama-sama mengawal perjalanan Obor tersebut dari negeri Tulehu menuju kota Ambon. Ketika tiba di negeri Batumerah, obor tersebut diambil-alih oleh para pemuda dari negeri Batumerah kemudian mereka melarikannya hingga tiba di lapangan meredeka. Pada saat tiba, obor tersebut diserahkan kepada Walikota, dan dilanjutkan dengan prosesi upacara peringatan.
Wawancara mendalam dengan Walikota ambon, 28 Mei 2011. M.J. Papilaya, sebagai Walikota Ambon [saat itu]. 17 Perayaan Hari Pattimura tersebut selama kurang lebih tiga tahun tidak dapat dilaksanakan, karena kota Ambon dilanda konflik sosial. 15 16
226
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
Pada tanggal 16 Agustus tahun 2005, Pemerintah Provinsi melaksanakan perayaan Hari Ulang Tahun [HUT] Provinsi Maluku yang pertama kali dirayakan pada usia ke 60. Perayaan tersebut dimeriahkan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan perlombaan yang melibatkan warga kedua komunitas. Salah satu jenis perlombaan yang dinilai berpotensi untuk mendekatkan jarak sosial sekaligus menghidupkan kembali ikatan pela antar negeri-negeri [kedua komunitas] yakni lomba perahu manggurebe. Para pendayung pada masing-masing perahu hanya ditempati oleh warga kedua komunitas yang terikat dalam satu hubungan pela. Warga kedua komunitas menyambut dengan sangat positif kebijakan tersebut sehingga mereka berpartisipasi secara aktif untuk mendukung seluruh agenda HUT. Kemudian pada tahun 2006 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum dalam rangka memilih wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPRD I dan DPRD II [Kota Ambon] kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kesadaran warga kedua komunitas sangat tinggi untuk mensukseskannya. Sekalipun berbeda agama yang dianut tetapi karena memiliki kesamaan dalam idiologi salah satu partai tertentu, ternyata mendorong mereka untuk terlibat secara bersama tanpa mempertimbangkan perbedaan yang ada. Salah satu realitas menarik yang rasanya perlu dikemukakan yakni, ketika dilakukan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota untuk periode 2006-2011 yang dilaksanakan pada tahun 2006. Dari enam pasangan kandidat Walikota dan wakil Walikota yang ditetapkan oleh KPU Kota saat itu untuk ikut dalam pemilihan, ternyata tidak ditemukan satu pasanganpun yang berasal dari warga salah satu komunitas saja tetapi setiap pasangan adalah kombinasi dari kedua komunitas. Kenyataan seperti ini ternyata berdampak pada pembentukan Tim Suksek dari masing-masing kandidat. Tim-tim sukses tersebut mengakomodir warga kedua komunitas. Mereka terlibat secara bersama-sama tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada, kemudian mengikuti semua tahapan proses mulai dari kampanye hingga selesai pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Realitas yang sama juga
227
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
terjadi pada tanggal 16 Mei tahun 2011 yang lalu ketika dilakukan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Ambon [untuk periode 20112016] yang diikuti oleh 8 pasangan calon Walikota dan wakil Walikota Ambon. Upaya untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di kota Ambon tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi terus dilakukan oleh pemerintah Kota Ambon dan pemerintah Provinsi. Dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Dunia tahun 2009 ditandai dengan pemasangan Gong Perdamaian Dunia [World Peace Gong] di kota Ambon. Kota Ambon merupakan kota ke 34 di Dunia yang ditetapkan oleh PBB sebagai situs Perdamaian Dunia. Pada tanggal 15 Nopember 2009, Gong Perdamaian Dunia [GPD] tiba di kota Ambon dan disimpan di ruang VVIP bandara internasional Pattimura di negeri Laha. Pada tanggal 23 Nopember 2009 GPD dikirab menuju lokasi monumen di kota Ambon yang diawali dengan penyerahan GPD oleh Wali Kota Ambon 18 kepada Gubernur Maluku 19 selanjutnya diangkut dengan mobil truk terbuka dan diarak sepanjang tiga puluh enam km menuju lokasi monumen dengan dukungan ratusan unit sepeda motor dan kendaraan roda empat yang dihiasi. Kemudian pada tanggal 25 Nopember, GPD tersebut ditabuh secara resmi oleh Presiden Repumbil Indonesia. 20 Antusiasme warga kedua komunitas menyambut kehadiran GPD di kota Ambon relatif cukup tinggi. Hal tersebut nampak ketika diarak mengelilingi Kota sampai dengan diresmikannya, warga Kota berbondong-bondong mengikuti. Hingga kini, monumen tersebut ramai dikunjungi dan dijadikan oleh warga Kota sebagai tempat rekreasi di malam hari. Dua orang anggota DPRD Provinsi Maluku [FK, 59 tahun, Kristen dan LS, 53 tahun, Islam] yang diwawancarai saat itu menyatakan bahwa, semoga dengan penempatan GPD di kota Ambon ini dapat mengakhiri peristiwa yang pernah terjadi di Maluku. Peristiwa tersebut harus menjadi yang pertama dan yang terakhir. Oleh sebab M. J. Papilaya, sebagai Wali Kota Ambon [saat itu]. K.A. Ralahalu, sebagai Gubernur Maluku [saat itu]. 20 Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Presiden RI [saat itu]. 18 19
228
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
itu, dengan ditabuhnya GPD diharapkan menjadi pertanda konflik sudah berakhir dan perdamaian membuka sejarah baru bagi rakyat Maluku.
Monumen Gong Perdamaian Dunia, di Kota Ambon
Untuk mensukseskan Visit Indonesia Year semester ke dua [Juli hingga Desember 2010], dilaksanakan kegiatan Sail Banda yang berlangsung dari tanggal 24 Juli hingga 17 Agustus di Maluku. Ada sejumlah kegiatan yang dilaksanakan di kota Ambon antara lain; seminar internasional tentang tanaman sagu, simposium internasional ilmu pengetahuan teknologi kelautan dan perikanan serta seminar teknologi eksplorasi bawah laut, yang diikuti oleh para cendekiawan dari kedua komunitas. Sedangkan kegiatan yang bertema Pulau-pulau Kecil Untuk Masa Depan [Small Island For Our Future] diisi dengan kegiatan sosial yaitu operasi Bhakti Surya Baskara Jaya berupa pemberian bantuan kesehatan bagi masyarakat yang berada di wilayah pesisir pantai bagian selatan dan utara Maluku. Terlepas dari manfaat positif yang dapat diperoleh baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, akan tetapi substansi dari kegiatan bertaraf nasional dan internasional yang dilaksanakan pemerintah di kota Ambon sebenarnya ingin memperlihatkan kepada dunia 229
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
internasional bahwa provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon merupakan wilayah yang damai, nyaman pasca tragedi kemanusiaan yang pernah berlangsung lebih dari tiga tahun. Di sisi lain, kegiatan-kegiatan yang diprakarsai pemerintah tersebut dinilai sangat potensial untuk mengukuhkan kembali hubungan sosial antar warga kedua komunitas. Tampaknya, upaya-upaya untuk membangun kembali kehidupan berdampingan secara serasi, dimaknai secara positif oleh mereka. Karena itu, setelah situasi berangsur-angsur kondusif, dijumpai banyaknya warga masyarakat kedua kelompok yang pernah berkonflik mulai terlibat dalam interaksi timbal-balik secara intensif dalam berbagai konteks hubungan sosial, tanpa mempertimbangkan pengalaman traumatik yang pernah dialami bersama. Karena itu, sekalipun menempati pemukiman yang tersegregasi menurut garis keagamaan yang dianut dewasa ini, namun hubungan kerja sama timbal-balik di antara mereka tidak dijumpai tampak terpolarisasi. Realitas ini mengindikasikan munculnya keinginan yang kuat dari orang Ambon khususnya, dan orang Maluku pada umumnya akan hal-hal sepeleh yang dapat menyebabkan konflik itu meluas dan menjadi malapetaka baru bagi kehidupan mereka selanjutnya. Karena itu, beberapa kasus konflik baru yang bersifat sporadis yang terjadi belakangan ini tidak menimbulkan konflik yang meluas dan berkepanjangan; misalnya, kasus konflik yang terjadi di kota Ambon (Mei 2007) pada saat Harganas; konflik antar kelompok (Islam-Kristen) di kota Masohi (Desember 2008); konflik yang terjadi di kota Ambon antar warga desa Kailolo dengan desa Pelau (awal 2009); konflik yang terjadi di pasar (kota Ambon) antara salah satu warga Buton dengan salah satu warga desa Kailolo, (Juli 2009), Konflik antar kelompok yang terjadi di Kota Ambon [tanggal 9 September 2011], dan kasus-kasus konflik antar individu lainnya.
Kesimpulan Sejak awal ketika konflik terjadi di kota Ambon tahun 1999, masyarakat di kota diperhadapkan dengan realitas yang memaksa mereka untuk merenung dan menemukan gagasan. Kurang lebih empat bulan kemudian, setelah melalui serangkaian tukar pendapat 230
Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….
yang intens [antara pemerintah dengan para tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama serta aparat keamanan], barulah sebuah gambaran lebih utuh mengenai apa yang harus dilakukannya muncul. Saat itu, gagasannya semakin mengental yang memunculkan tekad dari kedua komunitas untuk menghentikan konflik yang sedang terjadi. Gagasan tersebut kendatipun secara formal merupakan bagian dari dorongan pemerintah, namun sesungguhnya berangkat dari keresahan warga kedua komunitas. Setelah melewati rentang waktu yang cukup panjang ketika stabilitas sosial dan keamanan mulai kondusif di kota Ambon tahun 2002, dinamika interaksi yang terjadi di ruang-ruang sosial secara bertahap mulai berkembang secara positif. Hingga saat ini, prosesproses sosial antar dua komunitas sudah berlangsung sangat intensif. Tidaklah mengherankan jika pembangunan kepercayaan [trust building] melalui kapitalisasi kebiasaan orang Ambon diwujudkan oleh warga kedua komunitas secara rutin dalam perjumpaan sehari-hari di sejumlah ruang-ruang sosial. Rutinitas perjumpaan tersebut pada akhirnya menjadi gagasan untuk membentuk sebuah nilai bersama, yakni cita-cita untuk mengubah persepsi subyektif antar komunitas dalam rngka mewujudkan kehidupan berdampingan secara serasi.
231