JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)
AUGUST ERNST PATTISELANNO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)
AUGUST ERNST PATTISELANNO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Disertasi Nama NIM
: Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) : August Ernst Pattiselanno : A1620124011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Anggota
Prof. Dr. Hendrik B. Tetelepta Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA
Tanggal Lulus : 17 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro 2. Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2008
August Ernst Pattiselanno NIM A 162024011
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 ini ialah konflik, dengan judul Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS, Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Bapak Prof. Dr. Hendrik B. Tetelepta selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rilus Kinseng, MA, Bapak Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro dan Bapak Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang yang telah banyak memberikan saran sebagai penguji. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan sebagai pimpinan Program Studi serta seluruh Dosen dan Pegawai Administrasi yang sangat membantu selama penulis mengikuti proses pendidikan di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Pattimura dan Fakultas Pertanian yang memberikan kesempatan bagi penulis melanjutkan pendidikan jenjang Doktor, serrta pimpinan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah menerima penulis melanjutkan studi program Doktor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, Bapak Ketua Latupati Pulau Saparua dan seluruh anggota Latupati Pulau Saparua yang sangat membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2008
August Ernst Pattiselanno
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 21 Agustus 1969 dari ayah J.J. Patiselanno dan ibu M.M. Apituley. bersaudara.
Penulis merupakan putra ketiga dari tiga
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosiologi Pedesaan
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unsrat Manado, lulus tahun 1992. Pada tahun 1998 penulis diterima pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Program Pascasarjana Unsrat Manado dan menamatkannya pada tahun 2001.
Kesempatan
untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2003.
Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Lektor Kepala di Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon sejak tahun 1993. Bidang ilmu yang menjadi tannggung jawab peneliti ialah Sosiologi Pedesaan. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Ikatan Sosiologi Indonesia.
Beberapa artikel telah diterbitkan dalam Jurnal Mimbar Sosek, Jurnal
Sosiologi, Jurnal Citra Lekha, dan Jurnal Eugenia. Artikel lain berjudul Jejaring Sosial dan Resolusi Konflik Masyarakat Pedesaan (kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) akan diterbitkan Jurnal Pembangunan Pedesaan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tahun 2008, serta Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Pasca Konflik (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) akan diterbitkan Jurnal Ikhtios pada tahun 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ABSTRACT PATTISELANNO AUGUST ERNST. Social Network and Rural Community Conflict (Case of Saparua Island, Maluku Province). Under direction of LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS and HENDRIK B. TETELEPTA. The Ambon conflict in January 1999 lasted for almost six years, added by the spreading of the conflict was analyzed using social network to understand the conflict happen in the community. The research aimed to see the relevance between social network and conflict in various borders and is there any other factor besides economics, politics, religions and culture which cause the conflict. Through qualitative technique, it is known that there is relevance between social network and conflict spreading which was initially happen in Ambon Island to rural communities in Saparua Island. The result of this research showed that Saparua conflict is a part of Ambon conflict, and it actually would not have arisen if there was an effort to press or to prevent conflict spreading. The handling of refugees also became the source of new conflict in Saparua, since the refugees coming to Ambon were not handled and they had to come back to Saparua. They were the ones who continue information which gave understandings and directed the behavior on a form of willingness to take revenge to other communities in Saparua that happened to have different religion. Thus the conflict in Saparua exploded. Therefore, in the case of Saparua conflict, economic, politic, religious and cultural aspect were not the basis of conflict explosion as it was Ambon. Hence, there are basic differences between the cause of conflict in Saparua and Ambon. Behind the religious conflict in Saparua, it turns out that relatives or customary relationship hold an important role. At last custom or tradition still becomes an important boundary on religious conflict in Saparua. Therefore, it is undeniable if custom then becomes the basis of reconciliation among the conflict groups, and therefore the role of local customary elites through Latupati institution becomes important and could be used in the process of conflict resolution.
RINGKASAN AUGUST ERNST PATTISELANNO. Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS, dan HENDRIK B. TETELEPTA. Konflik Maluku adalah konflik yang diawali oleh pertikaian antara dua individu berbeda etnis di Kota Ambon. Pertikaian tersebut kemudian melebar menjadi konflik antar pendatang dan penduduk asli.
Akhirnya konflik bergeser menjadi konflik
bernuansa agama, yaitu antara mereka yang beragama Islam (Salam) dengan Protestan dan Katolik (Sarani). Konflik yang terjadi menyebar sampai ke wilayah lain di luar Pulau Ambon meliputi Pulau-pulau Seram, Buru, Saparua, Haruku bahkan kemudian sampai ke seluruh wilayah Maluku termasuk Maluku Utara. Kejadian konflik berfluktuatif selama hampir enam tahun, sejak tahun 1999 sampai pertengahan tahun 2004. Hasil-hasil penelitian terdahulu menjelaskan penyebab konflik Maluku adalah persaingan penduduk asli dengan pendatang, pertarungan elit lokal Salam dan Sarani dalam memperebutkan posisi di bidang pemerintahan, serta penetrasi Undang-Undang Pemerintahan Desa yang meminggirkan budaya lokal yang hidup dalam masyarakat. Namun hasil-hasil penelitian tersebut, belum menjelaskan penyebab konflik di pedesaan Maluku. Akibat konflik yang dirasakan oleh masyarakat adalah, hancurnya infrastruktur pemerintahan dan harta benda milik pribadi. Selain itu, aliran pengungsi yang sampai kini penanganannya belum terselesaikan.
Bertolak dari fakta-fakta tersebut maka
penelitian menggunakan analisis jejaring sosial untuk memahami konflik yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro (pedesaan),
dan meso
(regional), serta mempertanyakan selain faktor ekonomi, politik, agama dan budaya adakah faktor lain yang mendorong konflik berkembang di masyarakat Pulau Saparua ? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik pada berbagai aras (mikro dan meso) serta mengungkapkan faktor di luar ekonomi, politik, agama dan budaya yang mendorong terjadinya konflik. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Strategi yang digunakan yaitu, bertanya pada informan kunci (key informan) selanjutnya melalui teknik bola salju (snowball) ditentukan informan-informan lainnya.
Kemudian dilanjutkan
dengan strategi studi riwayat hidup yang mengarah pada riwayat hidup informan yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam konflik serta penanganan
implikasinya. Teknik pengumpulan data riwayat hidup meliputi wawancara mendalam secara langsung, pengamatan, dan pemanfaatan arsip dokumentasi yang relevan. Pengamatan berperan serta juga digunakan sebagai metode penunjang prosedur pengambilan data, sehingga memperkecil jarak sosial antara peneliti dengan informan. Data-data yang terkumpul kemudian diolah melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Pulau Saparua dipilih sebagai lokasi penelitian karena,
sejak masa kolonial Belanda gigih berjuang melawan penjajahan;
sebagai pusat
pengaturan aktivitas kolonial Belanda meliputi kawasan Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku dan sebagian Pulau Seram;
pernah dikenal adanya Kerajaan Iha
sekaligus sebagai pusat agama Salam; salah satu pusat kediaman etnis Buton (Sulawesi Tenggara) yang dominan beragama Salam. Hasil penelitian menunjukkan konflik agraria sebenarnya lebih mendominasi nuansa konflik di Saparua. Konflik agraria tersebut meliputi konflik batas tanah antar warga satu negeri, juga batas tanah antar negeri yang belum terselesaikan sampai saat ini. Konflik bernuansa agama yang muncul kemudian di Saparua merupakan bagian konflik Ambon.
Konflik tersebut tidak akan muncul jika ada upaya menghambat
penyebaran konflik.
Pengungsi yang tidak tertangani di kota Ambon menyebabkan
mereka kembali ke daerah asal di Saparua. Mereka menjadi penerus informasi yang menimbulkan pemahaman yang mengarahkan terbentuknya perilaku membalaskan dendam kepada komunitas berbeda agama. Penyebaran informasi memunculkan jaringan informasi yang bersimpul pada masing-masing Negeri yang beragama sama. Selain itu, konsep khotbah atau dakwah yang dijalankan elit masing-masing agama tidak menunjang
adanya
keberadaan
agama
yang
berbeda.
Arus
informasi
yang
menyalahkan komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan ditambah dengan khotbah dan dakwah elit agama, semakin menguatkan keinginan untuk membalaskan dendam kepada komunitas berbeda agama. Sehingga tindakan kelompok yang saling berlawanan di Saparua, merupakan wujud dari perilaku sosial sebagai orientasi rasa kecewa dan dendam yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, perilaku sosial tersebut tidak lagi memperhitungkan rasionalitas kebersamaan sebelum konflik, tetapi rasionalitas yang ada hanyalah rasional berdasarkan kebenaran agama semata. Komunitas yang berbeda agama, harus menjadi korban rasionalitas yang hanya mendasari pada kebenaran sendiri atas agamanya. Oleh karena itu, organisasi masingmasing
agama
turut
mengkoordinasi
bantuan
tenaga
untuk
mempertahankan
komunitasnya masing-masing. Kenyataan demikian menunjukkan adanya perbedaan
dengan kasus konflik di Kota Ambon, yang disebabkan oleh kolaborasi aspek ekonomi, politik, agama dan budaya. Upaya mencegah terjadinya konflik bernuansa agama di Saparua dapat dimulai dengan merubah khotbah dan dakwah elit agama.
Elit agama seharusnya
mengemukakan keberadaan agama lain sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan. Pendekatan adat kemudian dapat dipakai sebagai upaya menekan perbedaan antar agama, sebagai satu kesatuan masyarakat berdasarkan adat istiadat di Saparua. Sehingga adat dapat menjadi dasar terciptanya rekonsiliasi antara kelompok yang berkonflik. Oleh karena itu, peran elit adat akan menjadi lebih dominan dibandingkan elilt pemerintah yang non-adat sekaligus memperkuat keberadaan Lembaga Latupati sebagai wujud kelembagaan adat di Saparua. konflik
Kelembagaan adat ini dapat dimanfaatkan dalam proses penyelesaian
terutama,
dengan
menyaring
informasi
yang
bermuatan
negatif serta
meneruskan informasi yang bermanfaat bagi seluruh warga Saparua. Kerjasama antara raja-raja negeri di Saparua dalam Lembaga Latupati menjadi katup pengaman sekaligus membentuk jejaring sosial yang bersimpul pada elit-elit adat di tingkat negeri yang mampu membentengi masyarakat Saparua dari kemungkinan terjadinya konflik di masa yang akan datang.
DAFTAR ISI Halaman : DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………
vii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………
viii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………….
Ix
DAFTAR ISTILAH LOKAL …………………………………………………………
x
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………….
1
1.1.
Latar Belakang ……………………………………………………………..
1
1.2.
Fokus Penelitian …………………………………………………………...
3
1.3.
Perumusan Masalah ……………………………………………………...
10
1.4.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian ………………………………………..
11
1.5
Novelity ……………………………………………………………………..
11
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………….
14
2.1.
Memahami Konflik Masyarakat di Pedesaan …………………………..
14
2.2.
Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik …………………………………
23
2.3.
Ikhtisar ………………………………………………………………………
30
III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………………………
34
3.1.
Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah …………………………………
34
3.2.
Pendekatan Kualitatif ……………………………………………………...
36
3.3.
Prosedur Pengumpulan Data …………………………………………….
37
3.4.
Prosedur Pengolahan Data ………………………………………………
40
3.5.
Lokasi Penelitian …………………………………………………………..
41
IV. SAPARUA : AJANG KONFLIK SEJAK MASA PENJAJAHAN ...................
43
4.1.
Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas ..................................
43
4.2.
Struktur Sosial Masyarakat Saparua ...................................................
50
4.3.
Penduduk Saparua ..............................................................................
55
4.4.
Perekonomian Rakyat .........................................................................
57
V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA ...................
59
5.1.
Keberadaan Konflik di Pedesaan Saparua .........................................
59
5.2.
Migrasi Anak Negeri Saparua ............................................................
79
5.3.
Peran Elit Agama dalam Konflik di Pedesaan Saparua ......................
83
5.4.
Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua .....................
85
5.5.
Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae .........................
97
VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK ………………………
102
6.1.
Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua .....
102
6.2.
Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua ...............................
108
6.3.
Keterlibatan Pihak-Pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua ……...
125
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI …………………………………………….
139
7.1.
Kesimpulan ………………………………………………………………..
139
7.2.
Implikasi Penelitian ……………………………………………………….
145
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
147
LAMPIRAN ………………………………………………………………………….
154
DAFTAR TABEL
Halaman : 1
Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi .........................................
24
2
Perbedaan Efek Komunikasi Dengan Jaringan Komunikasi ...............
25
3
Kategori Komplementer Modal Sosial …………………………………..
28
4
Kontimum Modal Sosial …………………………………………………..
29
5 6
Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Negeri di Saparua ………………………………………………………………... Historis Keberadaan Konflik di Saparua ……………………………….
55 63
7
Proses Kemunculan Konflik di Saparua ………………………………...
109
8
Identifikasi Aktor Dalam Jejaring Penyebaran Informasi ..…………….
113
9
Identifikasi Aktor Dalam Jejaring Konflik .............................................
117
10
Jenis Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dalam Konflik ……………………...
120
11
Tipe Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dan Konflik ...……………………….
121
12
Tipe Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dan Kerjasama ..............................
123
DAFTAR GAMBAR
Halaman : 1
Jejaring Komunikasi Umum .................................................................
24
2
Kerangka Pikir .....................................................................................
35
3
Jejaring Penyebaran Informasi Yang Memulai Konflik di Saparua …..
110
4
Jejaring Sosial Konflik Di Saparua ......................................................
116
5
Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama ........................
118
6
Jejaring Sosial Horizontal Dalam Konflik Saparua …………………….
124
7
Jejaring Sosial Vertikal Dalam Konflik Saparua ………………………..
125
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman : 1
Temuan Metodologi ……………………………………………………….
154
2
Instrumen Penelitian ………………………………………………………
157
3
Peta Lokasi Penelitian ……………………………………………….......
161
DAFTAR ISTILAH LOKAL
Aman
:
Babalu
:
Bakubae
:
Dati
:
Ewang
:
Gandong
:
Kapitan
:
Kasisi
:
Kewang
:
Latupati
:
Makan Dati
:
Mata Rumah
:
Mauweng
:
Meti
:
Negeri
:
Nunusaku
:
Papalele
:
Sekelompok marga yang sama dan menempati wilayah tertentu yang kemudian membentuk kesatuan wilayah sendiri Sekelompok warga Desa yang menyewa hasil kebun Sagu di Desa lain kemudian dikelola menjadi tepung sagu, dimana hasil olahan juga dibagi ke pemilik kebun sebesar sepuluh persen. Proses penyelesaian konfik untuk menuju perdamaian yang diawali pada tingkat masyarakat dan digagas oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang beranggotakan kedua kelompok yang berkonflik (Islam dan Kristen) Kesatuan di bawah Desa yang beranggotakan beberapa marga yang menguasai dan memanfaatkan wilayah tertentu dalam suatu Desa, dimana sistem pewarisannya kepada anak laki-laki dari setiap marga juga bagi anak perempuan yang tidak kawin Tanah kosong yang dimiliki negeri dan dapat dimanfaatkan oleh warga dengan seijin pimpinan negeri Ikatan kekerabatan antara dua negeri berdasarkan satu keturunan Orang yang bertugas memimpin saat terjadi perang dengan negeri lain dan berasal dari marga tertentu yang telah ditetapkan sejak Desa terbentuk Pengelola administrasi Mesjid yang diitentukan berdasarkan garis keturunan keluarga tertentu Organisasi yang mengatur ketertiban masyarakat negeri termasuk ketertiban pergaulan, namun biasanya diidentikkan dengan penjaga kelestarian lingkungan hidup wilayah negeri serta dipimpin oleh marga tertentu yang telah ditetapkan sejak negeri terbentuk, demikian pula anggotanya berasal dari marga-marga tertentu. Organisasi yang menghimpun seluruh Raja (kepaladesa) di tingkat Kecamatan Anggota dati yang berhak mengelola dan memanfaatkan tanah milik dati Sekelompok keluarga dengan marga tertentu yang berasal dari keturunan yang sama Orang yang bertugas mengurusi segala urusan adat istiadat dan berasal dari keturunan marga tertentu yang telah ditetapkan sejak negeri terbentuk Bagian pantai yang tergenang atau tertutup air laut waktu pasang dan kering waktu surut Kesatuan wilayah setingkat desa yang dipimpin oleh kepala wilayah yang disebut Raja Kesatuan wilayah yang berada di Pulau Seram dan dianggap sebagai cikal bakal keberadaan negeri-negeri di Maluku Tengah Pedagang keliling yang awalnya berorientasi dalam negeri kemudian berkembang ke luar hingga ke luar Pulau
Patalima
:
Patasiwa
:
Pela
:
Raja
:
Salam
:
Saniri Negeri
:
Sarani
:
Soa
:
Tanah Pusaka
:
Uli
:
Kelompok marga yang terbentuk dalam lima kelompok soa dan membentuk satu negeri Kelompok marga yang terbentuk dalam sembilan kelompok soa dan membentuk satu negeri Ikatan kekerabatan yang terbentuk antara dua negeri berdasarkan kesepakatan pendahulu negeri setelah saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan (membantu melawan musuh, membantu kebutuhan makanan, dan sebagainya) Pimpinan negeri yang diwariskan berdasarkan garis keturunan tertentu sejak negeri terbentuk Sebutan untuk pemeluk agama Muslim Kesatuan pengelola negeri yang dipimpin oleh Raja dan beranggotakan perangkat negeri yang keseluruhannya disebut sebagai Badan Saniri Negeri Sebutan untuk pemeluk agama Kristen (termasuk Protestan dan Katolik) Kesatuan wilayah di bawah negeri yang berisikan beberapa keluarga dari marga berbeda namun memiliki ikatan sejak negeri terbentuk, biasanya diawali dengan marga yang membentuk suatu negeri dan dipimpin oleh seorang Kepala Soa yang ditetapkan secara bersama oleh perwakilan masing-masing marga Tanah yang dikuasai dan dimiliki bersama oleh satu kelompok ahli waris yang diperoleh melalui pewarisan Kumpulan beberapa marga yang membeentuk kesatuan wilayah tertentu dan kemudian berkembang menjadi negeri
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Ambon berlangsung selama empat tahun sejak 1999 sampai 2002. Akhir tahun 2002 kondisi Ambon mulai pulih.
Sering terjadi ledakan bom atau rentetan
senjata dengan korban jiwa, tetapi tidak berlangsung secara kontinu.
Sisa-sisa
kerusuhan masih ada, walaupun berbagai graffiti yang mencela kelompok agama lain sudah dihapus. Angkutan kota tetap menarik penumpang dengan agama yang sama, meski berbagai jalan pembatas yang memisahkan antara warga Islam (Salam) dan Kristen (Sarani)1 di Ambon sudah disingkirkan. Kehidupan warga masih terpisah antara wilayah Salam dan Sarani, namun orang sudah tidak takut bepergian ke pasar di wilayah komunitas berbeda (Eriyanto, 2003). Tahun 2003 kondisi Ambon lebih membaik dan menuju pemulihan. Pos-pos TNI-POLRI tidak kelihatan lagi, saling mengunjungi antara komunitas berbeda agama telah berlangsung, walaupun belum normal seperti sebelumnya. Angkutan kota sudah menarik penumpang dengan agama berbeda, ditunjang pula dengan pulihnya sebagian besar aktivitas perkantoran. Kenyataan tersebut diandilkan oleh Konferensi Malino II sebagai bentuk perhatian pemerintah yang diikuti kedua pihak (baik tokoh pemuda, tokoh agama dan tokoh adat mewakili “grass root”) dan bersepakat untuk memulai kembali hidup damai. Gambaran singkat tersebut kontras dengan kondisi antara kurun waktu 1999 sampai akhir 2002.
Saat itu struktur masyarakat Maluku mengalami “pembelahan”
sosial maupun politik atas dasar suku (pada awalnya) yang bergeser menjadi agama. Warga kota Ambon saat situasi berlangsung sulit untuk menghindari keterlibatan dalam konflik. Konflik yang mulanya terpumpun pada masalah antar etnis kemudian bergeser ke agama tidak memandang ikatan selain agama, termasuk ikatan darah (kekerabatan) dan ikatan pela – gandong (budaya). Pilihan paling memungkinkan hanyalah ke luar dari lokasi konflik, mengingat
konflik mengarahkan terjadinya kekerasan kolektif
berdasarkan sentimen dan simbol-simbol agama (Laporan Lintas Kerusuhan Maluku oleh Crisis Centre Keuskupan Amboina Ambon, index tahun 1999 – 2003). Penjelasan tersebut merupakan kilas balik awal konflik hingga akhir tahun 2002. Tahun 2003 sampai awal tahun 2004 kota Ambon mengarah pada kondisi yang normal seperti sebelumnya. Masih tersisa puing-puing akibat konflik dan yang terpenting yaitu, 1
1 Selanjutnya Islam disebut Salam dan Kristen disebut Sarani sesuai istilah lokal
adanya sejumlah pengungsi yang kebutuhannya perlu ditangani secara cepat dan tepat sehingga tidak menjadi pemicu konflik baru. Memasuki pertengahan tahun 2004 (25 April) kondisi yang sudah membaik berubah drastis.
Konflik terjadi kembali dan merusakkan kebersamaan hidup yang
mulai terbangun antara komunitas Salam dan Sarani. Konflik saat itu tidak berlangsung lama, namun meningkatkan jumlah arus pengungsi pada kedua komunitas.
Arus
pengungsian d merupakan pengulangan untuk kedua kalinya sejak awal kerusuhan (Januari 1999). Berbeda dengan konflik sebelumnya, konflik yang terjadi tersebut tidak menyebar ke luar pusat kota Ambon.
Konflik sebelumnya menunjukkan cepatnya
penyebaran konflik ke seluruh Pulau Ambon, Pulau-Pulau Lease (Saparua, Haruku dan Nusa Laut), Pulau Seram, Pulau Buru kemudian tersebar ke seluruh wilayah Maluku yang lain (sampai Maluku Utara).
Penyebaran konflik demikian membentuk suatu
jaringan yang mampu melewati batas wilayah administrasi, bahkan melintasi laut. Konflik yang muncul kembali sebagaimana dijelaskan di atas ternyata penyebarannya tidak secepat dan seluas konflik sebelumnya. Konflik hanya terbatas pada beberapa daerah perbatasan Salam dan Sarani di pusat kota Ambon. Sehingga ada indikasi jaringan penyebaran konflik tidak berfungsi seperti sebelumnya. Indikasi lainnya yaitu, sasaran terjadinya konflik hanya diarahkan di kota Ambon.
Namun
pastinya implikasi konflik berupa gelombang pengungsi kembali meningkat akibat konflik tersebut. Tidak menyebarnya konflik seperti sebelumnya, menunjukkan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk tidak lagi memperpanjang konflik serta berupaya untuk kembali hidup dalam keadaan yang aman dan damai.
Pada saat yang sama, banyak
upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk mempertemukan elit-elit kelompok yang bertikai seperti gerakan “bakubae”. Gerakan dimaksud telah digagas sejak awal konflik (tahun 1999), namun memerlukan perjalanan panjang untuk sampai pada komitmen dan kesadaran bersama. Gerakan bakubae diikuti elit yang tergabung dalam Musyawarah Raja dan Latupati (Kepala Desa) Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease sebagai upaya menggunakan pendekatan adat (budaya) sebagai kekuatan pengikat dan peredam konflik berkepanjangan (Leatemia, 2003). Kenyataan
tersebut
mengarahkan
upaya
membangun
kembali
ikatan
adat/budaya. Selain itu menunjukkan peluang ikatan adat/budaya untuk membentuk kembali kesadaran dan komitmen masyarakat. Ikatan tersebut diawali oleh elit informal
dan formal dan diharapkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Pertemuan elit melalui kegiatan bakubae membuka kembali hubungan-hubungan elit Salam dan Sarani melalui ikatan adat atau budaya, sehingga diharpkan menguatkan kembali hubunganhubungan antar desa (negeri)2 yang berbeda agama. Terpilihnya Raja dan Latupati sebagai elit di aras Negeri, menunjukkan kuatnya peran elit dalam kehidupan masyarakat Maluku. Penyebaran konflik dapat dilakukan dengan memanfaatkan Raja dan Latupati sebagai elit negeri dengan menggerakkan warga masyarakatnya untuk terlibat dalam konflik. Elit negeri juga dapat menahan warga masyarakatnya sehingga tidak terlibat dalam konflik berkepanjangan.
Oleh karena itu, campur tangan elit menyebabkan
terjadinya konflik berkepanjangan atau konflik dapat segera diakhiri.
1.2. Fokus Penelitian Sejak zaman kolonial, Maluku sebagai sumber rempah-rempah sudah menjadi ajang pertarungan negara-negara Barat (Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda). Pada saat itu pula, konflik dimulai antara Negara-negara Barat (kolonial), maupun antara kaum kolonial yang mencari rempah-rempah dengan pemilik rempah-rempah. Dalam upaya menguasai rempah-rempah sekaligus menyebarkan agama inilah, bangsa kolonial membelah masyarakat Maluku berdasarkan dua agama besar yaitu Salam dan Sarani (Protestan dan Katolik).
Kenyataan tersebut dapat ditemui dalam berbagai
dokumen baik yang berbahasa Belanda, maupun yang di-Indonesiakan pada berbagai perpustakaan serta Daftar Inventaris Arsip Ambon (Arsip Nasional). Orang Belanda tiba di Ambon pada saat sedang terjadi permusuhan hebat antara rakyat Maluku dengan orang-orang Portugis; antara rakyat yang beragama Sarani dengan rakyat yang beragama Salam.
Usaha-usaha orang Portugis untuk
menguasai gudang rempah-rempah tidak berhasil.
Permusuhan dengan Kerajaan
Ternate (yang saat itu menguasai hampir seluruh wilayah Maluku), disebabkan oleh tindakan-tindakan gubernur dan serdadu-serdadu Portugis yang tidak bijaksana. Monopoli yang dijalankan Poprtugis, menimbulkan permusuhan dengan pedagangpedagang Ternate, Tidore, Jawa, Makasar dan Melayu. Saat itu yang dimaksud dengan Maluku ialah daerah geografis Propinsi Maluku termasuk Maluku Utara (sebelum pemekaran). Daerah asli Maluku hanya meliputi Halmahera Barat (Jailolo) dan pulau-
2
2 Selanjutnya disebut negeri berdasarkan Perda Pemerintah Kabupaten Maluku Tegah No.1 Tahun 2006
pulau sekitarnya, Ternate, Tidore dan Bacan. Dalam bahasa Ternate disebut Muloko (Naidah dalam B.K.I 2de deel 4de volgreeks, hal. 382 dikutip Leirissa, dkk, 1982). Cita-cita perang salib yang dipindahkan dari Eropa ke Asia, menimbulkan permusuhan dengan raja-raja Salam, pedagang-pedagang Salam dan rakyat yang beragama Salam. Dualisme timbul dalam politik mereka, yaitu melaksanakan tugas memerangi orang-orang Salam di mana saja dan menyebarkan agama Sarani (Katolik), dihadapkan pada keharusan berdagang dengan pedagang-pedagang Salam dan bersekutu dengan sultan-sultan Salam. dengan politik penyebaran agama.
Politik mencari untung dicampurbaurkan Dualisme ini akhirnya melemahkan dan
melenyapkan kedudukan mereka dari Ternate dan menimbulkan peperangan dengan Hitu (Manusama, 1977 : 15). Setahun kemudian Negeri Hitu dibantu dengan orang-orang Jawa menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir mereka dari Jazirah Leihitu. Orang-orang Portugis menuju ke Leitimur (jazirah tempat kedudukan pusat kota Ambon saat ini). Di sini mereka diterima dengan baik oleh kepala-kepala negeri (desa sekarang ini) dan rakyat, karena Leitimur mendapat kawan untuk menyerang dan melawan musuh-musuh lama mereka dari Hitu. Penerimaan yang baik, menimbulkan hal-hal yang baik pula bagi rakyat Leitimur; mereka berkenalan dengan agama Sarani yang membawa perubahan batin dan keyakinan. Tetapi justru penerimaan ini menimbulkan juga hal-hal yang buruk, yaitu pertumpahan darah yang berlarut-larut karena perang agama Salam dan Sarani. Lembaran sejarah yang digambarkan tersebut, termasuk lembaran sejarah terhitam dalam perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku.
Tidak kalah
kejamnya dengan kekejaman yang dilakukan di daerah-daerah lain, misalnya sekitar antara Islam dan Kristen di Laut Tengah semasa Perang Salib. Mungkin sekali keadaan yang buruk itu lambat laun menyadarkan rakyat di berbagai negeri. Kepala-kepala adat, orang-orang kaya, raja-raja mencari jalan untuk berdamai.
Kemungkinan besar
persekutuan pela (saudara) yang dikenal sampai sekarang ini, timbul sebagai hasil kesadaran akan masa yang gelap itu. Pela mula-mula timbul dalam Patasiwa, yang kemudian bercampur dan tersebar ke seluruh Maluku tengah. Persekutuan Pela itu adalah suatu jalan untuk mengakhiri permusuhan antara Salam dan Sarani,
suatu jalan yang sangat efektif untuk
menghentikan pertikaian. Walau pun ternyata saat pecah konflik (Januari 1999), adanya ikatan pela tidak mampu meredamnya.
Bahkan desa-desa Salam dan Sarani yang
memiliki ikatan pela, justru tidak mampu menahan keinginan sesama agamanya untuk
menyerang dan menghancurkan desa lain yang berbeda agama tetapi masih memiliki ikatan pela. Penjelasan tersebut di atas merupakan benang merah dari beberapa studi oleh peneliti asing (terutama Belanda) yang sudah berupaya mengakomodir kondisi konflik masa lampau (pada zaman penjajahan), walau pun lebih terarah pada aras meso dan makro. Di antaranya Jansen (1929), Fraassen (1972), Bartels (1977), Van Klinken (1999) dan Bartels (2000). Walau pun pada aras mikro sulit ditemui, namun disertasi Hikayat Tanah Hitu (Manusama, 1977) sampai saat ini cukup mewakali ajang konflik di aras mikro. Setelah konflik bernuansa Agama mulai terjadi (sejak Januari 1999), muncul berbagai tulisan dari masing-masing pihak yang berkonflik (berupa pembelaan diri maupun saling menyalahkan – bahkan sampai melibatkan lembaga resmi dari kedua kelompok agama yang bertikai), sehingga upaya memahami konflik dari para pelaku atau aktor sulit ditelusuri karena sudah terkooptasi dengan suasana konflik. Selain itu, ada pula tulisan dari berbagai penulis lain yang lebih terfokus pada upaya menggali akar konflik (kronologis kejadian sejak 19 Januari 1999) serta mengaitkannya dengan aras meso (pertikaian elit politik daerah antara elit – pejabat/birokrat yang Salam dan Sarani dalam memperebutkan kedudukan tertentu dalam pemerintahan).
Tulisan-tulisan
tersebut antara lain melalui studi Kastor (2000), Nanere (2000), serta laporan evaluasi jalannya konflik Ambon-Maluku oleh Tim Pengacara Muslim dan Tim Pengacara Gereja. Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan aras makro (konflik Indonesia saat jatuhnya pemerintah Orde Baru – Soeharto), kemudian berusaha menyusun berbagai strategi pemecahan konflik. Ternyata, berbagai tulisan tersebut tidak sampai menelusuri fenomena masa lalu (sejarah) secara rinci sampai pada aras mikro, walaupun ada juga yang menelusuri sejarah konflik pada aras meso dan makro. Seperti studi Ecip (1999) yang juga mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan mengupayakan pemecahan sekaligus sebagai dasar pada upaya manajemen konflik yang marak di berbagai daerah di Indonesia. Studi Salampessy, dkk (2001) sebagai kumpulan tulisan bernuansa sosiologi yang mengkaji akar permasalahan pada aras meso
dan
menghubungkan dengan aras makro. Akhirnya, studi Eriyanto (2003) tentang konflik media yang dijalankan masing-masing komunitas. Perlu diingat, bahwa studi-studi tersebut lebih netral dan tidak mengandung unsur keberpihakan pada salah satu komunitas.
Di luar ajang konflik Ambon – Maluku pada aras mikro, meso dan makro terdapat beberapa tulisan yang juga memusatkan pada penelusuran akar permasalahan ajang konflik di berbagai daerah yang terpumpun pada kekuatan sosiologis. Beberapa tulisan tersebut antara lain, Sihbudi dan Nurhasim (2001) yang memfokuskan pada kasus Kupang, Mataram dan Sambas sebagai keterkaitan kasus konflik yang dipicu oleh suatu jaringan yang terorganisir dengan baik.
Studi Surata dan Taufiq (2001) yang
memfokuskan pada menggali akar permasalahan konflik etnis di Sambas dan Sampit serta Kalimantan (pada aras meso) yang menunjukkan keterpinggiran etnis lokal akibat kemampuan yang ditunjukkan etnis pendatang yang akhirnya menguasai hampir seluruh kekuatan ekonomi informal, diikuti dengan cara mengatasinya. Studi Soemardjan dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (2001) yang juga menggali dan mengidentifikasi akar permasalahan konflik yang marak di Indonesia (aras makro) berdasarkan kasus pada aras meso yang kelihatannya dapat menjadi kesimpulan dari berbagai studi sebelumnya, serta menyusun upaya penyelesaiannya. Demikian pula studi Simanjuntak (2002) yang mefokuskan pada konflik status dan kekuasaan masyarakat Batak Toba, sebagai studi sosiologis yang paling serius dengan ajang konflik yang terstruktur secara tegas dan mantap dimulai dari aras mikro (pedesaan), kemudian menunjukkan keterkaitannya dengan aras meso (kabupaten dan propinsi), serta keterkaitannya dengan aras makro (peran elit etnis Batak Toba yang berada di Jakarta).
Studi ini pula secara tidak langsung, menggambarkan jaringan
sosial yang dibangun dari mikro sampai makro atau pun sebaliknya, walau pun untuk tataran teoritik tidak memberikan sumbangan yang signifikan karena lebih menunjukkan tataran praktis. Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil studi bernuansa konflik yaitu, akar konflik di Maluku bersumber pada lebih mampunya penduduk pendatang (migran) memasuki dan menguasai sektor informal yang selama ini tidak digarap oleh penduduk lokal kemudian mulai menyebar ke sektor formal yang memunculkan persaingan dengan penduduk lokal; pertarungan elit politik lokal salam dan sarani dalam menduduki kekuasaan di bidang pemerintahan (birokrat) sekaligus mengarahkan persaingan ke aspek agama; kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama dengan penetrasi kebijakan yang diikuti peraturan yang turut menghancurkan pengetahuan lokal (seperti UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menggeser kedudukan Pemerintahan Adat, sekaligus menggusur kedudukan elit adat), serta secara tidak langsung menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
(misalnya sistem pela dan gandong). Dengan demikian akar konflik dimaksud dapat disimpulkan merupakan masalah penguasaan yang tidak seimbang pada aspek ekonomi dan politik dilihat dari segi perbedaan agama dan budaya. Selain itu dapat dikatakan pula bahwasannya, studi-studi tersebut belum secara jelas menggambarkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik sebagai bagian penting untuk memahami fenomena konflik yang muncul di masyarakat. Studi tentang jaringan sosial di Indonesia, ditemui pada studi Saefuddin (1992) yang berhasil mengidentifikasi hubungan sosial yang kontinu di antara anggota rumahtangga miskin; atau antara mereka dan pihak lain yang memiliki tingkat sosial ekonomi lebih tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat yang bersangkutan. Kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial budaya untuk menghadapi lingkungan hidup di perkotaan, mendorong mereka untuk kreatif guna menciptakan dan memelihara penggunaan jaringan sosial baik untuk kelompok pemilik status ekonomi setara maupun berbeda. Sarana terpenting untuk hal tersebut adalah jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan dan kesamaan tempat asal-usul. Selain itu ditemukan adanya bentuk pola jaringan vertikal dan horizontal rumahtangga miskin di perkotaan.
Dalam membentuk jaringan sosial tersebut
(khususnya jaringan horizontal) faktor kekerabatan
merupakan salah satu unsur
pengikat yang penting. Dalam hal ini jaringan merupakan sarana untuk memenuhi atau mengatasi tekanan kehidupan sosial-ekonomi di perkotaan. Agusyanto (1996 : 18 -19) menjelaskan, bahwa jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus sehingga bila tujuan telah tercapai maka pelaku hubungan kepentingan tidak dilanjutkan lagi. Oleh karena itu, sturuktur sosial yang muncul dalam jaringan sosial seperti ini bersifat sementara dan terus berubah-ubah.
Ruang bagi tindakan dan interaksi pun lebih
didasarkan pada tujuan relasional. Sebaiknya, jika tujuan tersebut tidak konkret dan spesifik, atau hampir berulang setiap saat, struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Diikuti dengan studi Kusnadi (2000 : 206-207) yang menyimpulkan bahwa, jaringan sosial (ikatan kerabat dan tetangga) merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang paling utama dan efektif bagi rumahtangga pandhiga di Pesisir untuk mengatasi kesulitan ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika strategi ini tidak berhasil, maka mereka yang memiliki barang-barang berharga akan menggadaikan barang-barang tersebut. Namun bagi yang tidak memiliki barang berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi.
Beberapa studi jaringan sosial tersebut menghasilkan kesimpulan yaitu, jejaring sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang tepat untuk mengatasi masalah keterpurukkan ekonomi sebagai dampak rendahnya penguasaan terhadap sumberdaya. Jejaring sosial ini lebih kuat dengan adanya ikatan budaya (kekerabatan), walau pun dapat terputus kapan saja jika tujuan tercapai.
Studi-studi terrsebut juga lebih
menunjukkan pada pentingnya jejaring dalam mempertahankan kehidupan untuk tetap eksis, sehingga lebih mengarah pada kerjasama antara individu ataupun antara kelompok masyarakat.
Analisis fenomena kerjasama tersebut hanya berujung pada
putusnya hubungan jika tujuan tercapai, tanpa melihat peluang konflik akibat putusnya hubungan tersebut. Selain itu terdapat studi yang terfokus pada penanganan pengungsi seperti studi Noveria dan Romdiati (2002), Noveria, dkk (2002) khusus untuk penanganan pengungsi Maluku Utara yang mengungsi ke Sulawesi Utara.
Kemudian studi Purawana dan
Bambang Hendarta Suta (2003) yang membahas kebijaksanaan penanganan pengungsi akibat konflik antar etnis di Sambas (Kalimantan Barat). Studi Susetyo (2003) yang membahas dampak kebijakan relokasi terhadap pengungsi internal Sambas. Keempat studi ini menghasilkan serangkaian kesimpulan yaitu, terdapat tiga model pengungsian yang dilakukan pengungsi di kedua lokasi penelitian (kembali ke desa asal, ke luar daerah dan mengungsi ke tempat yang aman di kota yang sama).
Sementara itu,
terdapat dua pola penanganan pengungsi yaitu, dengan melakukan relokasi dan pemulangan ke daerah asal.
Kebijakan dalam penanganan pengungsi harus diikuti
dengan proses pemberdayaan menuju kehidupan mandiri di tempatnya berada (tempat sebelum konflik maupun tempat baru). Studi-studi tersebut lebih terarah pada kritik atas kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, sekaligus memberikan masukan guna penangan pengungsi yang lebih baik.
Studi-studi ini juga sebenarnya
menunjukkan berperannya jejaring sosial dalam penanganan pengungsi, walau pun tidak disebutkan secara tegas. Peran jejaring tersebut terlihat pada pemilihan model pengungsian serta pola penanganan, mengingat adanya ikatan antara pengungsi dengan tempat tujuan pengungsian menjadi unsur penting dalam pemilihan tersebut. Sehingga, secara tidak langsung ada jejaring yang terbangun dalam fenomena pengungsian tersebut. Berdasarkan pada gambaran sebelumnya, dapat dilihat bahwa isu agama di Maluku bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara
dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon (Maluku) pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua3 pada aras mikro ini merupakan dasar yang penting untuk menggali akar konflik yang sebenarnya, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi
manajemen
konflik.
Fokus
penelitian
ditentukan
demikian
mengingat,
berdasarkan penelusuran studi-studi tersebut di atas khususnya untuk Maluku belum ada satu studi pun yang menjelaskan jejaring sosial dalam konflik sampai pada resolusi konflik sebagai bagian yang saling melengkapi karena kalau tidak ada konflik maka tidak ada implikasinya demikian pula akar konflik harus diselesaikan agar konflik yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian struktur sosial masyarakat studi dari aspek konflik sampai pada implikasinya dapat ditelusuri dengan tepat. Berdasarkan uraian sebelumnya, isu agama sebagai sumber konflik di Maluku khususnya kota Ambon bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Namun, belum ada kajian khusus tentang isu agama sebagai sumber konflik di pedesaan Maluku. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon (Maluku) pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua4 pada aras mikro menjadi langkah, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi resolusi konflik. Implikasi konflik yang perlu ditangani seperti penanganan pengungsi yang tidak kunjung selesai berpotensi menjadi sumber konflik baru. Padahal penanganan pengungsi sudah dilakukan sejak konflik pertama meletus (tahun 1999). Berdasarkan pada latar belakang dan penelusuran studi-studi yang dilakukan sebelumnya seperti telah dikemukakan maka, dikembangkan tiga asumsi dasar yaitu : a.
Konflik yang dimulai di Ambon sejak Januari 1999 berakar pada masalah ekonomi, politik, agama dan budaya ternyata dalam hitungan hari begitu cepat menyebar ke seluruh pulau Ambon, bahkan kemudian beberapa bulan kemudian menyebar ke wilayah administrasi atau Kabupaten lain (Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan
3 3
Dalam uraian selanjutnya Pulau Saparua hanya disebut Saparua
akhirnya Maluku Utara – saat itu belum menjadi Propinsi sendiri), sehingga dapat dikatakan bahwa akar konflik (ekonomi, politik, agama dan budaya) menjadi ikatan penting dalam jejaring sosial yang terbentuk antar wilayah, mengingat penyebaran konflik dengan melintasi wilayah laut secara logis bukanlah sesuatu hal yang mudah dilaksanakan. b.
Jejaring sosial yang diasumsikan menggerakkan akar konflik pada dasarnya pula bergantung pada elit yang berada di dalamnya mengingat elit-lah yang memiliki basis masa (setiap anggota masyarakat pasti memiliki ikatan dengan elit-nya sehingga lebih mudah menggunakan elit sebagai motor dalam menggerakkan jejaring dibandingkan non-elit), sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya elit dapat menggerakkan jejaring sosial ke arah konflik atau ke arah kerjasama. Asumsi ini mengarahkan pula pada peluang elit untuk menggunakan paling tidak dua jejaring sosial yaitu, jejaring sosial yang mengarah pada proses disosiatif (konflik) dan mengarah pada proses asosiatif (kerjasama).
c.
Jika jejaring sosial ini mampu digunakan untuk memunculkan dan menyebarkan konflik (jejaring sosial konflik), maka bukan tidak mungkin kalau dengan menggunakan jejaring sosial pula konflik dapat diredam dan diselesaikan dengan tepat.
Dalam upaya meredam dan menyelesaikan konflik ini, jejaring sosial
mengarah pada kerjasama (jejaring sosial kerjasama).
Dalam hal ini konflik dan
kerjasama dillihat sebagai dua sisi mata uang, sehingga suatu saat yang muncul adalah konflik dan saat yang lain yang muncul adalah kerjasama.
Dengan
demikian, peluang munculnya konflik dan kerjasama pada saat yang sama menjadi mungkin mengingat elit mampu memanfaatkan lebih dari satu jejaring sosial. 1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latarbelakang dan fokus penelitian yang telah dijelaskan ada beberapa persoalan penelitian yang akan diuji, yaitu : (1)
Merujuk pada berbagai hasil studi sebelumnya maka dipertanyakan adakah factor lain yang mendorong konflik di masyarakat Saparua selain ekonomi, politik, agama dan budaya sekaligus untuk menjawab : (1.1)
Mengapa dan bagaimana konflik dapat berkembang ?
(1.2)
Benarkah penyebaran konflik dimulai dari lapisan elit dan berbasis dari persoalan sosial ekonomi ?
(2)
Bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro (pedesaan), dan meso (regional), lebih lanjut masalah ini dapat diurai menjadi : (2.1)
Adakah konflik berkaitan dengan jejaring sosial yang berkembang di masyarakat Pulau Saparua ?
(2.2)
Apabila ada, bagaimana terbentuknya kaitan serta dari mana jejaring sosial tersebut ada ?
(2.3)
Bilamana jejaring sosial bergerak ke arah konflik dan bilamana bergerak ke arah kerjasama?
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji “mengapa dan bagaimana” jejaring sosial dan konflik di Pulau Saparua Propinsi Maluku. Kajian tersebut mencakup pula beberapa hal yaitu : b.
Mengungkapkan faktor lain di luar ekonomi, politik, agama dan budaya yang mendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua.
b.
Mengungkapkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro dan meso. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada :
a.
Tataran teoritis yaitu, untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pengembangan teori konflik dengan memanfaatkan jejaring sosial dalam konflik (penyebaran konflik, resolusi konflik sampai pada penanganan implikasi konflik) atau pun sebagai suatu upaya untuk menghasilkan teori yang menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik.
b.
Tataran praktis yaitu, sebagai wujud kritik terhadap penyelesaian konflik yang kelihatannya
instan
dan
diprogramkan
oleh
pemerintah
sehingga
tidak
memperhatikan kehendak dari masyarakat yang berkonflik, ditambah lagi dengan penanganan implikasi konflik yang bersifat instrumental semata.
1.5. Novelity Penelitian ini memberikan sumbangan teori dalam memahami konflik masyarakat di pedesaan. Teori disumbangkan melalui pendekatan jejaring sosial untuk memahami konflik di pedesaan Saparua.
Faktor ekonomi, politik, budaya dan agama yang
diidentifikasi sebagai sumber konflik di kota Ambon diketahui bukan merupakan faktor pendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Pemicu konflik di pedesaan Saparua digerakkan oleh simpul-simpul penyebaran informasi yang berisi akibat buruk yang diterima oleh korban konflik asal Saparua yang menetap di pulau Ambon dan sekitarnya. Penyebaran
informasi
membentuk
jejaring
menyebarkan konflik ke pedesaan Saparua.
yang
mampu
menimbulkan
dan
Penyebaran informasi ditunjang pula
dengan keberadaan dakwah elit agama, yang mengarah pada kebenaran satu agama terhadap agama yang lain. Pembentukan jejaring diawali dengan arus balik masyarakat Saparua sebagai pengungsi, akibat konflik yang terjadi di Ambon dan sekitarnya.
Pengungsi asal
Saparua kemudian menjadi sumber informasi bagi kerabat dan tetangganya, terutama menceritakan kembali proses terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diterima sampai kemudian harus melakukan pengungsian.
Informasi yang berawal dari pengungsi,
kemudian tersebar ke negeri-negeri lain melalui kerabat dan tetangga.
Penyebaran
informasi selanjutnya membentuk kesamaan persepsi bahwa komunitas lain yang berbeda
agama
sebagai
penyebab
penderitaan
sehingga
harus
mengungsi.
Penyebaran informasi pada masing-masing komunitas berbeda agama, selanjutnya membentuk dua komunitas yaitu Salam dan Sarani. Penyebaran informasi yang tidak terkontrol karena berawal dari individu yang mengungsi kemudian tersebar menjadi persepsi komunitas menjadi bias, ketika komunitas lain yang berbeda agama dituduh sebagai penyebab penderitaan. Perbedaan agama sebagai salah satu sumber konflik di Ambon kemudian menyebar melalui ikatan se-agama sampai ke Saparua. Biasnya informasi ditunjang penyebaran isu dan selebaran yang tidak jelas kebenarannya, semakin memperkeruh hubungan antara komunitas berbeda agama di pedesaan Saparua. Keberadaan Latupati sebagai pengikat kekerabatan lintas agama di Saparua tidak mampu menahan penyebaran informasi, sehingga ikatan adat Pela dan Gandong seperti tidak memiliki kekuatan saat perbedaan agama dipersepsikan oleh komunitas Salam dan Sarani sebagai pemicu penderitaan anggota komunitasnya masing-masing.
Selain bahwa tidak ada upaya
pemerintah untuk menghindari terjadinya penyebaran konflik, bahkan cenderung terjadi pembiaran oleh pihak keamanan yang bertugas di Saparua. Terjadinya konflik terbuka antara
komunitas
Salam
dan
Sarani
didorong
penyebaran
informasi
mempersepsikan komunitas berbeda agama sebagai penyebab penderitaan.
yang
Resolusi konflik di pedesaan Saparua memerlukan dua langkah yang berjalan sekaligus, yaitu penggunaan penyelesaian berasaskan penguatan budaya lokal dan diikuti penguatan kembali hubungan-hubungan agraris dalam konteks reforma agraria. Dengan langkah awal melakukan analisis keberadaan hak-hak atas sumberdaya alam dan lahan dari negeri dan batas-batasnya melalui pembicaraan adat. Sebagaimana layaknya penelitian ilmiah, maka penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penelitian ini yaitu : a.
Peneliti
yang
berasal
dari
komunitas
Sarani
mengalami
kesulitan
saat
melaksanakan pengumpulan data terutama di Negeri Sirisori Salam, namun melalui beberapa strategi yang dijelaskan pada lampiran Disertasi (sumbangan ilmiah dari aspek metodologi penelitian) data-data yang diperlukan dapat diperoleh sehingga mampu menjelaskan lebih jauh bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik di Saparua. b.
Asal usul peneliti yang berasal dari Saparua sangat membantu dalam pengumpulan data, terutama data yang sulit diungkapkan karena menyangkut proses terjadinya penyerangan serta bantuan-bantuan (senjata standart, senjata rakitan, dan amunisi) yang digunakan masing-masing komunitas saat konflik terjadi. Kelemahan penelitian ini :
a.
Sulitnya untuk memperoleh fakta sumber-sumber penyebaran isu yang tidak terbukti kebenarannya, baik dalam lingkungan komunitas Salam maupun Sarani.
b.
Penelitian ini tidak mampu mengungkapkan keterlibatan institusi resmi Negara (Sipil dan Militer) secara jelas dalam konflik, karena terbatasnya data yang relevan untuk menjelaskan keterlibatan tersebut.
Kesulitan tersebut di atas menyebabkan penelitian ini tidak dapat mengungkapkan secara tegas keterkaitan jejaring sosial penyebaran konflik antar aras mikro sampai makro.
II. TINJAUAN PUSTAKA Jejaring sosial dapat menjadi sebab dan akibat konflik, maupun upaya resolusi konflik di pedesaan. Dalam kerangka inilah dijelaskan bagaimana secara teori, konflik dalam kaitannya dengan jejaring sosial yang di dalamnya ada proses komunikasi. Sebelumnya perlu ditelusuri hasil-hasil studi bernuansa konflik melalui studi-studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai tahun 2004. Hasil-hasil studi tersebut merupakan bagian dari proses pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia. 2.1. Memahami Konflik di Masyarakat Pedesaan 2.1.1. Pemetaan Konflik Masyarakat di Pedesaan Pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia dilakukan dengan menelusuri hasil studi bernuansa konflik di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelusuran tersebut menghasilkan beberapa konsep dan teori yang sering digunakan. Konsep-konsep yang digunakan pada “panggung konflik agraria” yaitu : a.
Konsep kelas Marxian, yang membagi masyarakat berdasarkan kepemilikannya yaitu penguasaan lahan dan akhirnya tingkat pendapatan, sehingga dikenal ada golongan atas yang menguasai tanah luas dan golongan petani sempit atau antara nalayan pemilik dan non-pemilik (Machfuddin, 1981; Girsang, 1996; Sjamsuddin, 1984; Sitorus, 1997; Hanggar, 2001), bahkan ditambah dengan kelas “bawah” atau golongan ketiga sebagai petani tak bertanah (Hamid, 1981), juga ditambah pula dengan golongan “sedang” (Kliwon, 1985)
b.
Konsep kelas Weberian, yang membagi masyarakat berdasarkan multi-dimensi bukan hanya kepemilikan saja dan menghasilkan elit lokal ekonomi, elit lokal politik dan elit lokal sosial (Satria, 2000) yang sebenarnya merupakan akibat dari tindakan “rasional” individu.
c.
Konsep “patron-client”, sebagai akibat ketakutan petani menanggung resiko “kegagalan” (Sutisna, 2001)
d.
Konsep konflik sebagai suatu peselisihan atau perbentrokan antara dua pihak karena memperebutkan “tanah pusaka” (Harun, 1998), juga sebagai konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, serta konflik antara penduduk asli dan pendatang akibat salah satu kelompok yang termarjinalisasi (Syahyuti, 2002);
makna protes pemilik tanah (Saleh, 1997); sengketa tanah adat (Tantri, 2002); konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan (Petrus, 2000); perlawanan nelayan sebagai strategi adaptasi (Dede, 2001) e.
Konsep monetesi pedesaan, yang berakibat pada hilangnya atau menyempitnya atau pun berubahnya fungsi lahan pertanian (Sahab, 2002) Konsep-konsep yang digunakan pada panggung “konflik peluang berusaha dan
bekerja” yaitu : a.
Konsep persaingan di bidang usaha dagang, yang menghasilkan dominasi yang satu (etnis cina) terhadap yang lain (etnis melayu), atau dikatakan yang tertindas menjadi tersubordinasi (Arbi, 2001); konsep konflik kepentingan antar pedagang, (Meiyani, 1998);
b.
Konsep status yang terbentuk sebagai hasil keberadaan kekuatan ekonomi atau pendapatan rumahtangga, sehingga menghasilkan status rumahtangga kuat, kurang kuat dan pekerja (Susilowati, 1986)
c.
Konsep kelas sosial yang diadaptasi dari Marx dan Weber, dan menghasilkan pengertian kelas yang merupakan golongan dari sejumlah orang yang memiliki hubungan produksi yang sama dalam bidang ekonomi (Murdiyanto, 2001) juga pembagian kelas ala Marx yang menghasilkan lapisan masyarakat bawah (lowerlevel) sebagai nelayan dan produsen ikan/nelayan tradisional yang berstatus sebagai buruh dan melakukan usaha tanpa motor serta masyarakat atas (upperlevel) sebagai pemilik modal dan penguasa/nelayan non tradisional sebagai nelayan pemilik dan melakukan usaha menggunakan perahu bermotor (Pranadji, 1995; Boer, 1984)
d.
Konsep rasionalitas petani yang dijadikan alasan yang paling memungkinkan sebagai faktor pemicu sehingga petani melakukan tindakan-tindakan sosial yang dianggapnya logis (Mukhtar, 1994) Panggung “konflik nilai sosial budaya” sendiri mengungkapkan beberapa konsep
penting yaitu : a.
Konsep elit informal yang berperan dalam proses pembuatan keputusan pembangunan desa disebabkan oleh penggerak yang bersifat laten yang didasarkan pada hubungan sosial dan struktur sosial dari masyarakat (Iberamsjah, 1988)
b.
Konsep integrasi yang tidak lagi diartikan sebagai pembauran berbagai kelompok etnis dengan mengorbankan nilai atau norma yang mereka anut, tetapi lebih cenderung ke arah sosialisasinya Coser, yang memungkinkan seseorang tidak memaksakan apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok padahal berbeda menurut pandangan etnis lain, sehingga integrasi dianggap sebagai sikap dan pandangan serta pola hubungan yang harmonis dari dan antar para pelakupelakunya sehingga tercipta homogenitas pada pola nilai-nilai dan norma di antara kelompok dan struktur yang ada (Saad, 1984), juga menghasilkan perubahan secara sadar terhadap aspek kesejahteraan yang disebabkan proses interaksi antar individu dan antar kelompok masyarakat yang berinteraksi dan akhirnya menghasilkan “sesuatu yang baru” serta penciptaan keadaan yang lebih baik (Yosep, 1996); konsep integrasi pada unit pemukiman transmigrasi (Soumokil 1992); konsep keserasian hubungan antar etnik di perkotaan (Hartoyo, 1996); konsep integrasi masyarakat terasing ke dalam sistem nasional (Tasman, 1995); konsep tingkat integrasi transmigrasi dan penduduk asli (Torro, 1998); konsep interaksi antara masyarakat pendatang dan lokal (Ikhawan, 2000); konsep konflik dan integrasi dalam Komunitas Islam di Bali (Budi, 1992).
c.
Konsep status, yang dikembangkan sebagai hasil dari penggunaan sumberdaya manusia dan pengelolaan sumberdaya alam yang tercermin dalam pola usaha, dan menentukan pula produksi sekaligus pendapatan, atau dengan kata lain dasar ekonomi menjadi penentu status seseorang dalam masyarakatnya (Singarasa, 1988)
d.
Konsep kelas berdasarkan kedudukan dalam kekerabatan, sehingga lebih cocok dengan kelas Weberian yang lebih multidimensi dibandingkan dengan Marxian yang hanya terfokus pada dasar kepemilikan yang mengarah ke ekonomi, walaupun dalam aplikasinya ternyata terdapat tiga kelas dalam masyarakat yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah (Siagian, 2000); konsep konflik sebagai pertentangan kelas sosial dan ekonomi (Warsilah 2003)
e.
Konsep gerakan sosial (Keron, 2001); konsep solidaritas internal dan integrasi kelompok (Ngabalin, 2001); konsep konflik etnis yang menjurus pada konsep kerusuhan sosial (Syahrul, 2001; Konita, 2003); konsep pengakuan yang diperoleh dengan strategi oleh etnis lokal (Satrio, 2002); konsep resolusi konflik antara migran dengan penduduk asli (Zainuddin, 2002); konsep konflik etnis dan ras (Lan, 2003); konsep konflik agama (Basyar, 2003)
Berbagai konsep yang dicetuskan melalui studi pada masing-masing panggung, menunjukkan adanya kemiripan walaupun pada kedudukan panggung yang berbeda. Hal ini menjadi satu keraguan untuk menyatakan ada “pembaharuan” dalam penggunaan konsep-konsep pada studi yang bernuansa konflik. Hal ini terlihat dengan jelas, apabila konsep-konsep tersebut disandingkan dengan konsep-konsep yang asli. Studi konflik yang dilakukan di UI cukup memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian pada batas “pedesaan”. Selain itu, kekuatan teori yang dibangun lebih nyata karena studistudi yang dilakukan lebih terfokus pada tataran teoritik dibandingkan tataran praktis (empirik) seperti di IPB. Hasil kajian menunjukkan keberadaan konsep-konsep yang ternyata semuanya berada di bawah payung “teori konflik” sehingga menawarkan “disharmonisasi” seperti konsep pemetaan konflik, manajemen konflik, komunal, separatis yang dipadu dengan konsep-konsep konflik horizontal, konflik vertikal, elitmassa, antar elit, struktur konflik, penggerak konflik, konflik tanah, hukum negara dan hukum adat. Selain itu pandangan Coser menjadi acuan bahwa konflik antar kelompok menyebabkan menguatnya solidaritas internal dan memperkuat integrasi kelompok, sebagai hasil proses komunikasi desas-desus. Hasil lacakan terhadap hasil studi bernuansa “konflik” di LIPI, ternyata penggunaan konsep-konsep Marxian dalam menganalisis fenomena konflik sudah “mendominasi” setelah melewati tumbangnya ORBA (tahun 1998), sehingga keinginan peneliti untuk menelusuri “sesuatu” yang bertentangan dengan kebiasaan (mainstream) juga bermunculan seiring dengan munculnya era “reformasi”. Studi konflik di LIPI akhirnya lebih mampu memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian. Selain itu, ditunjang pula oleh kemampuan mengelola tataran teoritik dan praktis (empirik) secara bersamaan dalam pelaksanaan studi. Walau pun dalam hal perkembangan teori ternyata sama seperti di UI yaitu, nuansa konflik lebih cepat bergerak setelah munculnya “reformasi” (tahun 1998). Perkembangan teori sekaligus ditentukan oleh keberanian menentukan fokus kajian studi, karena semakin terfokus pada disharmonisasi maka penggunaan teori konflik akan lebih mampu memaparkan fenomena-fenomena yang ada. Oleh karena itu, studi-studi terbaru yang dilakukan LIPI (setelah 2000 – seiring dengan maraknya konflik sosial di Indonesia) mengangkat fenomena konflik dari sisi “disharmonisasi” dengan menggunakan teori konflik sehingga mampu menjelaskan fenomena konflik dengan lebih tajam, lengkap dan sesuai fenomena yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa, studi-studi konflik (baik di IPB dan di luar IPB termasuk UI dan LIPI) mengarah pada pengungkapan runtut kejadian (berlangsungnya konflik), mencari akar permasalahan (akar konflik), menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan konflik serta menguraikan cara menanggulangi konflik. Akar permasalahan konflik pada dasarnya bersumber pada dua aspek penting yaitu, aspek
ekonomi dan aspek nilai (budaya atau agama). Kedua aspek ini memunculkan aspek lainnya seperti politik. Hasil kajian menunjukkan belum ada studi yang menjelaskan adanya keterkaitan konflik dan jejaring sosial baik dari penyebab konflik maupun cara penanggulangan konflik. Berkaitan dengan konflik pedesaan yang disajikan dalam disertasi ini, dapat dikatakan bahwa kemunculan konflik di kalangan masyarakat pedesaan khususnya Pulau Saparua merupakan imbas dari konflik yang berkepanjangan di kota Ambon. Sehingga pilihan jejaring sosial sebagai aspek penting dalam konflik pedesaan Pulau Saparua menjadi jelas. Bahwasannya konflik di Saparua muncul karena diperluasnya konflik Ambon ke berbagai wilayah lain secarra sengaja oleh “pihak-pihak yang berkepentingan”, atau pun secara tidak sengaja oleh masyarakat pedesaan melalui proses komunikasi antar individu yang berkerabat dan atau bertetangga yang berisi terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diderita.
Proses penyebaran konflik dari
Ambon ke berbagai wilayah lain paling terjadi karena ada jejaring sosial yang menghubungkan antara wilayah Ambon dengan wilayah sasaran penyebaran konflik termasuk Saparua. 2.1.2. Konflik Masyarakat di Pedesaan Masyarakat manusia di manapun berada senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik atau pertentangan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak fungsional. Suatu sistem, pranata, atau institusi yang acapkali mengalami konflik dinilai tidak lebih harmonis daripada sistem, atau institusi lain yang relatif jarang mempunyai konflik.
Pemahaman seperti ini lebih
disebabkan oleh adanya kecenderungan dari kebanyakan orang untuk memilih “strategi hidup” yang akomodatif, daripada harus memakai jalan yang sering menempatkan orang dalam posisi yang saling kontradiktif. Dalam analisis studi konflik, paling tidak ada tiga pandangan klasik yang dapat dipakai sebagai dasar. Ketiga pandangan tersebut masing-masing diungkapkan oleh Marx, Coser dan Dahrendorf seperti dijelaskan berikut ini. 1. Pandangan Karl Marx (1967) Dalam teori Marx terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun, antara lain adalah penegakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orangorang yang berada dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas
ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya; serta berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Marx memberi tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya pemilikan alat produksi. Ia juga mempunyai ide yang kontroversial mengenai sistem dua-kelas yang digunakan dalam analisisnya, khususnya tentang ramalannya mengenai pertumbuhan yang semakin melebar antara kelas borjuis dan proletar.
Marx
mengajukan ramalan mengenai revolusi proletariat di waktu yang akan datang, dimana menurutnya tidak akan terjadi perubahan struktur sosial yang utama, kecuali dengan revolusi. Filosofi Marx banyak ditemukan dalam analisa sosiologi maupun ekonomi. Intinya Marx menghubungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Pemikiran filosofi Marx berpusat pada usahanya untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat; pola kepercayaan; dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Marx lebih memberi tekanan pada pentingnya kondisi materiil dalam struktur masyarakat, dan membatasi pengaruh budaya yang bebas terhadap kesadaran individu serta perilakunya. Marx (1967) membagi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan “kesadaran benar”.
Misalnya, ia meyakini bahwa kepatuhan dari para buruh dalam
pekerjaannya merupakan kesadaran palsu, sebab sesungguhnya dalam diri mereka terdapat bentuk kebutuhan lain yang ingin diperjuangkannya. Marx menunjuk kondisikondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Dengan demikian jelaslah, bahwa Marx memberikan gambaran tentang model konflik klas revolusioner dan perubahan sosial. Marx mengajukan asumsi yang sangat simpel, yaitu organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan tanah (the ownership of property) akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Struktur kelas dan susunan institusional seperti nilai budaya, kepercayaan, dogma agama/religi, dan sistem ide lain merupakan refleksi dasar-dasar ekonomi masyarakatnya (Marx, 1967). Oleh karena itu, semakin segmen sub ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang
sesungguhnya
(true
collective
interests),
semakin
cenderung
mereka
mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber langka sebagai gejala berikut ini :
1.
2. 3.
4.
Semakin perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. Semakin segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. Semakin para anggota segmen subordinat dapat mengkomunikasikan keluhankeluhan di antara satu dengan yang lain, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan (unifying ideologies), semakin cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan kolektifnya.
2. Pandangan Ralf Dahrendorf (1959) Menurut Dahrendorf (1959), terdapat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan sosial. Konflik akan menyebabkan terciptanya perubahan sosial. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif. Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua muka, yaitu konsensus dan konflik. Teorinya tentang konflik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh dari Marx. Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita : • • • • • •
Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan, Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan, Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan di antara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah, Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua kelompok yang berkonflik. Konflik selalu bersifat dialektik, karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru, dan dalam kondisi tertentu, akan memunculkan konflik berikutnya. Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik, dan aneka tipe pola institusional.
Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat tentang kepentingan obyektifnya.
Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan
bekembangnya kondisi teknik (kader kepemimpinan dan kodifikasi dalam sistem ide), berkembangnya kondisi politik (diperbolehkannya kelompok oposisi mengorganisir diri);
serta
bekembangnya
kondisi
sosial
(adanya
peluang
kelompok
laten
untuk
berkomunikasi dengan yang lain, dan meningkatnya rekruitmen oleh struktur yang ada). Oleh karena itu, jika suatu kelompok terbentuk secara kebetulan (byhance) sangat mungkin akan terhindar dari konflik.
Sebaliknya apabila kelompok semu yang
pembentukannya ditentukan secara struktur, maka akan memungkinkan untuk terbentuk menjadi suatu kelompok kepentingan yang menjadi sumber konflik atau pertentangan. Analisa Dahrendorf menunjukkan adanya posisi yang dilematis dari kelompok superordinat. Bahwa peningkatan atau perkembangan kondisi teknik, politik, dan sosial akan meningkatkan kesadaran kelompok semu/laten tentang kepentingan obyektifnya. Hal ini dapat membuka peluang tumbuhnya konflik. Di sisi lain, jika ketiga kondisi di dalam organisasi tersebut dirasa kurang, konflik pun akan berlangsung brutal atau keras. Walaupun demikian, di akhir proposisinya dikatakan bahwa semakin keras suatu politik, maka akan semakin besar angka perubahan struktural dan reorganisasi. Artinya, bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat mempunyai fungsi bagi terjadinya perubahan-perubahan sistem dalam skala tertentu (Dahrendorf, 1959). Berdasarkan pemikiran Dahrendorf tersebut, dapat dimaknai bahwa tindakantindakan “improvement” yang dilakukan oleh kelompok superordinat akan menghasilkan dua konsekuensi sekaligus. Pertama, terberdayakannya kelompok subordinat sehingga kesadaran tumbuh, dan ini juga berarti ancaman bagi keberadaan kelompok superordinat. Kedua, semakin terjauhkannya kelompok subordinat dengan akses-akses strategis yang ada dalam sistem, dan ini dapat menumbuhkan kekecewaan yang muaranya juga konflik antar segmen. Berdasarkan pemahaman semacam ini, dapat diduga bahwa konflik memang merupakan keniscayaan kehidupan yang tidak terhindarkan.
3. Pandangan Lewis Coser (1956) Menurut Coser, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber-sumber langka. Pertanyaan tentang legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan deprivasi absolut ke relatif (Coser, 1956). Coser (1956) menyampaikan proposisi tentang kekerasan konflik (the violence of conflict) sebagai berikut :
1. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang realistik atau tujuan yang dapat dicapai (obtainable goals), semakin cenderung mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya, oleh karenanya, kekerasan konflik akan semakin berkurang. 2. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang tidak realistik atau tujuan yang tidak dapat dicapai (unobtainable goals), semakin besar tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlibat dalam konflik, dan oleh karenanya konflik akan semakin keras. • Semakin konflik terjadi karena nilai-nilai pokok, semakin cenderung mengarah pada isu-isu yang nonrealistik. • Semakin konflik yang realistik berlangsung lama, semakin cenderung akan munculnya atau meningkatnya isu-isu yang nonrealistik. 3. Semakin kurang fungsi hubungan interdependensi di antara unit-unit sosial di dalam sistem, semakin kurang tersedianya alat-alat institusi untuk menahan konflik dan ketegangan, semakin keras suatu konflik. • Semakin besar perbedaan kekuasaan di antara super dan subordinat di dalam sistem, semakin kurang fungsi interdependensi. • Semakin besar tingkat isolasi subpopulasi di dalam sistem, semakin kurang interdependensi. Pandangan Coser, bahwa konflik sosial dipandang memiliki fungsi secara sosial menjadi penting artinya untuk memahami konflik masyarakat di pedesaan Saparua. Konflik sebagai proses sosial lebih banyak dilihat dari segi fungsi positif, maka teori konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial. Sebuah pandangan tentang konflik sosial yang menekankan langkah pada mengenal dan mengkaji sebab dan bentuk konflik yang wujud didalam masyarakat serta potensi akibatnya dengan perubahan sosial. Langkah ini menunjukkan agar konflik dikelola untuk tidak dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan. Ada harapan, bahwa konflik yang dikelola dapat diarahkan pada perubahan sosial yang diharapkan. Pemahaman ini paling memungkinkan dalam menjelaskan fenomena konfflik di Saparua, sehingga konflik dapat dikelola menjadi kekuatan masyarakat untuk bergerak lebih maju. Berdasarkan pemikiran tersebut, secara teoritik dapat diduga bahwa kekerasan yang terjadi disebabkan oleh adanya isu-isu yang nonrealistik di dalamnya. Isu yang tidak realistik adalah isu yang tujuan-tujuannya tidak dapat direalisir. Misalnya isu tentang agama, etnis, dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistik. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara keras, seperti di Saparua. Namun, konflik yang terjadi kemudian dapat dikelola sehingga mengarah pada perubahan sosial yang diharapkan. Dalam pemahaman kami, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu luas-sempitnya tujuan konflik, pengetahuan sang pemimpin tentang simbol-simbol kemenangan dan kekalahan dalam konflik, serta peran
pemimpin dalam memahami biaya konflik dan dalam mempersuasi pengikutnya. Pemikiran semacam ini menunjukkan kejelasan, bahwa peran pemimpin begitu besar. 2.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik Keterkaitan konflik dan jejaring sosial dapat dipahami dalam jejaring komunikasi. Jejaring komunikasi menunjukkan bagaimana hubungan antar individu terbangun dalam proses komunikasi melalui pola-pola tertentu. Jejaring komunikasi (communication network) adalah suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan informasi (Rogers dan Kincaid, 1981). Sependapat dengan Lewis (1987) yang mengatakan bahwa jejaring komunikasi adalah sistem yang merupakan garis komunikasi
yang
menghubungrkan
pengirim
pesan
dengan
penerima
pesan.
Selanjutnya, DeVito (1992) mendefinisikan jejaring komunikasi sebagai saluran atau jalan tertentu yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Rogers (1983) mengemukakan bahwa jejaring komunikasi adalah suatu jejaring yang terdiri dari individu-individu yang saling berhubungan oleh arus komunikasi yang terpola. Pernyataan ini diperkuat oleh Berger dan Chaffe yang diacu dalam Purnomo (2002) menyatakan bahwa jejaring komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontakkontak antara individu yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya. Robins yang diacu dalam Mislini (2006) berpendapat bahwa jejaring komunikasi adalah dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi yang dibangunkan dalam bermacam-macam pola. Jejaring komunikasi dibagi dalam lima macam jejaring, yaitu; jejaring rantai, jaringan Y, roda, lingkaran dan jejaring semua saluran, seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini :
Rantai
Y
Roda/Star
Semua saluran
Lingkaran
Gambar 1 Jejaring Komunikasi Umum (Robbins, 1984) Berdasarkan kriteria tersebut bahwa tidak ada satupun jejaring yang akan menjadi terbaik untuk semua kejadian. Apabila kecepatan yang penting, maka jejaring roda dan semua saluran yang lebih disukai. Jejaring rantai, jejaring Y dan jejaring roda mendapat nilai tinggi untuk kecermatannya. Susunan jejaring semua saluran adalah yang terbaik apabila tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan yang tinggi bagi penerima pesan. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk mengukur efektifitas jejaring komunikasi maka dapat menggunakan empat kriteria. Tabel 1 Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi Kriteria
Rantai Kecepatan Sedang Kecermatan Tinggi Timbulnya Sedang Pemimpin Ada Moril Sedang Sumber: Robins, SP (1984)
Jenis Jejaring Komunikasi Y Roda Lingkaran Sedang Cepat Lamban Tinggi Tinggi Rendah Sedang
Tinggi
Tidak ada
Sedang
Rendah
Tinggi
Semua Saluran Cepat Sedang Tidak ada Tinggi
Berkaitan dengan perspektif jejaring, terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami, sehingga dapat mempertajam analisis terhadap jejaring komunikasi, yaitu konsep jejaring sentralisasi versus desentralisasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan jejaring komunikasi model Y, bintang, all channel, rantai, konsep independen di mana anggota bebas dari pemilihan terhadap posisinya untuk menjadi apa kemudian informasi (berkomunikasi) lebih dapat terpuaskan (Beebe dan Masterson yang diacu dalam Mislini, 2006). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian jejaring komunikasi secara lebih khusus sesuai dengan penelitian ini, yaitu suatu rangkaian hubungan di antara individu-individu, sehingga membentuk pola-pola atau model-model jejaring komunikasi tertentu.
Model jejaring komunikasi tersebut, menjadi jalan bagi
penyebaran informasi antar individu sehingga terbentuk sekelompok individu dengan persepsi yang sama.
Berkaitan dengan konflik maka, penyebaran informasi berupa
pandangan negatif terhadap komunitas lain menyebabkan terbentuknya sekelompok individu yang berpandangan negatif. Hal yang sama terjadi juga pada komunitas yang menjadi lawan, maka terbentuk pula persepsi negatif dalam komunitas yang menjadi lawan. Pertemuan persepsi negatif berujung pada konflik antar kedua komunitas,
Rogers dan Kincaid (1981), menegaskan bahwa analisis jejaring komunikasi merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, di mana data hubungan mengenai arus komunikasi dianalisis dengan menggunakan beberapa tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara efek komunikasi dengan jejaring komunikasi. Tabel 2 Perbedaan Efek Komunikasi dengan Jaringan Komunikasi Keterangan Model yang digunakan pada pendekatan ini Unit analisis Tujuan variabelvariabel independen Tujuan variabelvariabel dependen
Pendekatan Efek Komunikasi
Analisa Jaringan Komunikasi
Model linier
Model konvergen
Individual
Beberapa tipe hubungan interpersonal Indeks dari struktur komunikasi (contoh: indek keterkaitan dan indek integrasi)
Karakteristik individu
1. Siapa berkomunikasi dengan siapa Efek dari komunikasi 2. Persetujuan dan pengertian individu (pengetahuan, sikap, dan dalam jaringan atau perilaku yang nyata)
Sumber: Rogers (1986) Inti dari perbedaan di atas adalah bahwa komunikasi konvergen sebagai proses pertukaran informasi dengan satu atau lebih individu lainnya, sementara komunikasi linier adalah sebagai proses komunikasi satu arah. Analisis jaringan komunikasi menggambarkan jaringan hubungan interpersonal yang dihasilkan lewat pertukaran informasi dalam struktur komunikasi interpersonal. Rogers (1986) mendefinisikan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari saling keterkaitan antara individu-individu yang dihubungkan oleh arus atau alur komunikasi yang terpola.
Dikaitkan dengan
kemunculan konflik maka, struktur komunikasi turut menentukan cepat tidaknya konflik terjadi.
Semakin kuat keterikatan antar individu, maka arus komunikasi bergerak
semakin lancar. Proses komunikasi linier memperbesar peluang konflik, karena tidak ada pertukaran informasi yang terjadi, sehingga arus informasi mengalir searah tanpa ada konflirmasi kebenaran informasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam jejaring komunikasi, yaitu: (1) mengidentifikasi klik dalam suatu sistim; (2) mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan, misalnya; sebagai liaisons, bridges dan isolated; dan (3) mengukur
berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi seperti keterhubungan klik, keterbukaan klik, keintegrasian klik dan lain sebagainya. Klik adalah bagian dari sistem (sub sistem) di mana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi (Rogers dan Kincaid,1981). Identifikasi klik membantu menentukan kedudukan aktor dalam penyebaran informasi. Berkaitan dengan konflik yang terjadi, maka kedudukan dan kemampuan aktor menjalankan fungsi pecahnya konflik.
penyebaran informasi semakin memperbesar peluang
Persepsi negatif tentang kelompok lain yang semakin menguat,
memudahkan terbentuknya perilaku yang mendukung persepsi tersebut.
Keinginan
menghancurkan kelompok lain merupakan wujud perilaku, akibat persepsi negatif terhadap kelompok lain.
Pembentukan persepsi merupakan gambaran proses
terbentuknya jejaring sebagai rangkaian hubungan di antara individu-individu dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu tersebut. Pertukaran informasi membentuk pola-pola atau model-model jaringan komunikasi tertentu. Dengan demikian model jejaring dalam konflik merupakan model jaringan komunikasi antara anggota masing-masing komunitas yang terbentuk karena terjadinya komunikasi (pertukaran informasi) di antara anggota komunitas dalam membicarakan akibat konflik yang sedang terjadi. Pendekatan komunikasi menjadi penting untuk memahami fenomena jejaring sosial dalam konflik karena, membangun jejaring tidak lepas dari peran komunikasi dalam arti sempit yaitu interaksi antara orang. mungkin terbentuk.
Tanpa interaksi maka jejaring tidak
Namun, pendekatan komunikasi di sini lebih ditekankan pada
pandangan terhadap jejaring sosial sebagai suatu hubungan antara orang yang akhirnya membentuk rangkaian hubungan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan inilah yang sebenarnya menjadi penting, karena kesamaan tujuan pada dasarnya merupakan prinsip utama dibangunnya interaksi. Dalam hal ini, tujuan diarahkan pada penyebaran konflik atau penghentian konflik. Walaupun semakin sesuai tujuan antara individu yang berinteraksi maka semakin mudah tujuan tercapai, namun peran pemimpin dalam masyarakat
sebenarnya
menempati
posisi
yang
penting
dan dominan
untuk
menentukan tujuan apa yang ingin dicapai. Proses interaksi tersebut menggambarkan kekuatan ikatan antar individu dari berbagai aspek, termasuk pula ikatan se-agama. Ikatan demikian menunjukkan adanya modal sosial yang berkembang dalam masyarakat yang tergambarkan melalui jejaring antar individu.
Bagi sosiolog studi tentang jejaring sosial telah dikenal sejak tahun 1960-an, yang dihubungkan dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna bagi kehidupan sosial (Powell dan Smith-Doerr, 1994). Mitchell (1969) menegaskan, pada tingkatan antar individu, jejaring sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas di antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari individu-individu yang terlibat. Sedangkan pada tingkatan struktur memperlihatkan bahwa pola atau struktur hubungan sosial meningkatkan dan/atau menghambat perilaku orang untuk terlibat dalam bermacam arena dari kehidupan sosial. Oleh karena itu tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial. Studi yang membahas keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial masih jarang dilakukan.
Jejaring sosial merupakan ekspresi modal sosial, sehingga studi
jejaring sosial dan konflik dapat ditelusuri dari studi modal sosial dan konflik. Uphoff dalam Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed] (2000 : 215 – 243) mengatakan bahwa, modal sosial sangat membantu jika dipahami dalam dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Kategori pertama diasosiasikan dengan berbagai bentuk organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), prosedur (procedure) dan networks yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama (cooperative behavior), serta terutama sekali terhadap tindakan kolektif yang memberi manfaat timbal-balik, “mutually benefit collective action” (MBCA). Sedangkan kategori yang kedua berasal dari proses mental dan hasil gagasan-gagasan yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap perilaku (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama. Kedua kategori tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam pandangan Uphoff, modal sosial dapat ditelusuri bentuknya, dari yang paling minimum, elementer, substansial hingga maksimum. Hal ini karena karakteristik modal sosial itu sendiri mengandung makna “some degree of mutuality, some degree of common identity, some degree of cooperation for mutual, not just personal, benefit (Dasgupta dan Ismail Seregeldin (ed) (2000 : 222). Modal sosial dapat dianalisa melalui fenomena-fenomena perilaku sebagaimana digambarkan dalam tabel 3.
Mengacu pada konsep-konsep di Tabel 3., yang dimaksud dengan modal sosial yaitu, pertama, institusi-institusi, relasi-relasi, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk perilaku kerjasama (cooperative behavior) dan koordinasi tindakan-tindakan bersama (collective action) untuk suatu tujuan yang manfaatnya dapat dirasakan secara bersama-sama (mutual benefit); kedua, kapablitas yang muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat. Tabel 3. Kategori komplementer Modal Sosial Aspek
Struktural
Kognitif
Sumber dan Manifestasi
Roles and Rules, Networks dan relasi personal lainnya, Prosedur dan Preseden
Norma-norma, nilai-nilai, sikap/tingkah laku, kelayakan
Domain
Organisasi Sosial
Civil Culture
Faktor Dinamis
Linkage horizintal Linkage Vertikal
Trust, solidaritas, kerjasama, derma (generosity)
Common Elements
Ekspektasi-ekspetasi yang melahirkan peilaku kerjasama yang kemudianmenghasilkan manfaat timba-balik (mutual benefit)
Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed], (2000 : 215 – 243) Dalam kasus konflik, modal sosial merupakan dasar utama dalam jejaring sosial yang dapat diamati pada dua tingkat : vertikal dan horizontal. Pada tingkat vertikal, dilihat bagaimana masyarakat membangun hubungan dengan pemerintah setempat, policy maker, dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan sinergi.
Pada tingkat
horizontal akan dilihat, pertama, bagaimana kerekatan dan keterikatan orang-orang satu sama lain dalam kelompok yang sama (solidaritas kelompok) yang melahirkan tindakan bersama dan perilaku kerjasama; dan kedua, bagaimana hubungan antara anggota satu kelompok dengan anggota kelompok yang lain (solidaritas sosial) yang kemudian melahirkan kepercayaan sosial (social trust). Dalam hal ini, melalui modal sosial dapat dianalisa jaringan sosial sebagai tindakan bersama dalam konflik sebagaimana digambarkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kontinum Modal Sosial Minimum Modal Sosial
Elementer Modal Sosial
Substansial Modal Sosial
Maksimum Modal Sosial
Tidak da kerjasama, sangat mementingkan diri sendiri (seek selfinterested)
Ada kerjasama, tetapi hanya terjadi jika kerjasama itu sangat menguntungkan untuk dirinya sendiri
Kerjasama terjadi atas dasar komitmen pada usaha bersama dan diharapkan bermanfaat juga untuk orang lain
Komit pada kesejahteraan orang lain, kerjasama tidak dibatasi pada pencarian keuntungan utuk diri sendiri, konsen pada public good.
Nilai-nilai : hanya menghargai diri sendiri (selfaggrandizement)
Efisiensi kerjasama
Efektivitas kerjasama
Altruisme, dipandang sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri
Isu-isu : selfishness, bagaimana menjaga selfishness dari destruksi sosial ?
Transaction cost, bagaimana biaya transaksi dikurangi untuk meningkatkan jaringan keuntungan masing-masing ?
Collective action, bagaimana kerjasama disukseskan dan dipertahankan ?
Self-sacrifie, berkorban atas dasar patriotisme atau fanatisme agama ?
Strategy Otonom
Kerjasama taktis
Kerjasama strategis
Meleburkan kepentingankepentingan individual (merger of individual interest)
Mutual benefit, tidak dihitung
Isntrumental
Intitutionalizad
Transenden
Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin (ed), (2000 : 215-243) Beberapa studi yang terfokus pada konflik sumberdaya alam telah berusaha menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial melalui modal sosial (social capital).
Seperti halnya studi Allen (1998) pada komunitas Nebraska yang
terfokus pada interaksi dalam membangun modal sosial dengan kesimpulan bahwa, pembentukan modal sosial merupakan unsur penting yang menjadi dasar penyelesaian konflik lokal karena jejaring, norma dan kepercayaan dibangun sebagai dasar tindakan kolektif komunitas. Sehingga modal sosial dianggap relevan sebagai strategi dasar dalam resolusi konflik. Demikian pula studi Keong (2000) yang terfokus pada modal sosial dan masyarakat sipil di Singapura, menyimpulkan bahwa modal sosial dibangun dengan mengembangkan tiga strategi penting yaitu, membangun jembatan penghubung (inisiatif dan proses pelembagaan melalui kerjasama dan pemecahan masalah secara bersama-sama); memperluas batas-batas (menyusun kembali batas-batas politik untuk
diskusi dan pengambilan keputusan bersama); dan menghancurkan penghalang (mereformasi wewenang dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik dan implementasi kebijakan). Ditunjang oleh studi Graham (2004) yang terfokus pada pemerintahan, konflik sosial dan pilihan aktivitas kerja di Philipina yang menyimpulkan bahwa, adanya peran jejaring sosial termasuk hubungan antara kekuatan ekonomi dan nelayan tradisional dimana tradisi pemerintah selama ini ternyata hanya menghasilkan modal sosial negatif sehingga diperlukan pemerintah yang bersih. 2.3. Ikhtisar Teori konflik secara fungsional yang dikemukakan Coser dapat menjadi saluran memahami konflik dalam tataran mikro, dengan individu, dan struktur jaringan sosial yang biasanya menjadi unit kajian konflik melalui pendekatan teori perilaku. Dalam upaya pengembangan teori konflik yang fungsional dan didekati melalui pendekatan teori perilaku disebutkan, bahwa konflik terjadi akibat bias persepsi di kalangan anggota kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya muncul sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing (in-group), berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok lain (out-group). Proses ini menumbuhkan jejaring sosial baru dan secara struktural terjadi perubahan akibat kelahiran kepemimpinan yang bersifat agresif. Akhirnya kondisi ini akan melahirkan konflik. Apabila konflik yang terjadi akan diselesaikan, maka masyarakat yang menghadapi konflik harus mampu mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama. Secara teori, konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerjasama apabila kepada mereka dikenalkan sebuah tujuan yang asasnya secara meyakinkan dapat membuat mereka yang sedang bertikai melihat sesuatu yang jauh lebih penting dari persoalan yang menjadi sumber konflik, sehingga mereka berusaha bekerjasama (Sherif, 1998 dikutip oleh Santosa, 2004). Pemahaman konflik dengan menggunakan kerangka Teori Konflik Fungsional dan Teori Perilaku dapat menjadi dasar dalam memberi kerangka penyelesaian konflik. Mengikuti pandangan Burton (1991), penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam tiga bentuk berbeda. Pertama, melalui manajemen untuk menemukan alternatif jalan keluar sebuah perselisihan (by alternative dispute resolution) agar dapat menampung atau membatasi
konflik.
Kedua,
adalah
penyelesaian
konflik
(settlement)
dengan
menggunakan proses yang bersandar pada wewenang dan hukum yang dapat
dipaksakan oleh kelompok elit. Sedangkan, penyelesaian yang ketiga adalah melakukan resolusi konflik.
Bentuk penyelesaian yang berbeda dengan sekedar penyelesaian
konflik melalui pendekatan manajemen konflik atau penyelesaian konflik yang bersandar pada kewenangan hukum. Resolusi konflik lebih menjadi sebuah proses analisis dan penyelesaian masalah yang menjadi sumber konflik dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan kelembagaan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut. Keterkaitan jejaring sosial dan konflik dilihat berdasarkan berpindahnya informasi dari satu pihak ke pihak lainnya.
Berpindahnya informasi membentuk persamaan
persepsi terhadap “sesuatu” yang diinformasikan. Akibat konflik yang dirasakan oleh satu pihak, diinformasikan ke pihak lain (kerabat, teman atau tetangga) di tempat pengungsian menimbulkan persepsi yang sama dalam arti kerabat, teman atau tetangga turut merasakan kesulitan yang dihadapi pemberi informasi akibat konflik yang berkepanjangan. Kemasan informasi kemudian menyebar dan membentuk kelompok yang memiliki persepsi yang sama terhadap informasi tersebut. Persepsi selanjutnya berubah menjadi perilaku emosional yaitu, keinginan untuk membalaskan dendam kepada siapa saja yang dianggap menyebabkan pemberi informasi mengalami kesulitan saat konflik.
Penjelasan tersebut mengarah pada Teori Pembelajaran Sosial yang
dikembangkan Bandura (1971) yang dikutip oleh Hjelle dan Ziegler(1992). Bandura menjelaskan teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. Teori Pembelajaran Sosial terutama bagaimana cara pandang dan cara pikir terhadap informasi yang diterima, mengarahkan terbentuknya perilaku konflik akibat cara pandang dan cara pikir bahwa kesulitan akibat konflik yang diterima kerabat, teman dan atau tetangga merupakan akibat dari perbuatan pihak atau kelompok lain. Sehingga satu-satunya cara penyelesaiannya hanya membalaskan dendam kepada kelompok yang sama walaupun bukan pelaku yang sebenarnya. Konteks konflik di pedesaan Saparua menunjukkan bagaimana kesulitan atau akibat yang diterima pihak Salam dan Sarani asal Saparua yang tinggal di luar Saparua menjadi informasi yang menyebar bagi kerabat, teman dan tetangga saat kembali ke
Saparua sebagai pengungsi. Penyebaran informasi memebentuk dua kelompok korban konflik, kemudian bermuara pada dua komunitas Salam dan Sarani. Padahal akibat yang diterima bukan perbuatan salah satu anggota kelompok di Saparua, tetapi di luar Saparua.
Namun informasi telah membentuk persepsi, yang berkembang menjadi
perilaku membalaskan dendam pada komunitas yang dianggap sebagai penyebab. Sumber-sumber utama konflik seperti ekonomi, politik, agama dan budaya secara tidak langsung dialihkan oleh adanya penyebaran informasi yang membentuk kelompok dan kemudian komunitas berdasarkan ikatan agama yang sama pada suatu jejaring sosial. Sehingga jejaring sosial yang lain dengan dasar ikatan budaya yang sebenarnya melampaui ikatan agama, menjadi tidak berfungsi.
Konflik kemudian
berkembang menjadi berkepanjangan, ketika perilaku yang terbentuk dari informasi yang bergerak dalam jejaring sosial dengan ikatan agama merupakan perilaku saling membalaskan dendam. Kajian jejaring sosial dan konflik di masyarakat pedesaan ini lebih merujuk pada upaya manajemen bukan penyelesaian konflik dengan pengaturan konflik berdasarkan kewenangan yang umumnya didasarkan pada aktivitas mediasi dan negosiasi. Oleh karena dua pendekatan yang disebut terakhir hanya akan berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan mempunyai posisi tawar yang sama. Padahal, hal tersebut sering tidak dipunyai masyarakat, khususnya mereka yang ada di pedesaan. Dengan demikian, hal yang penting dilakukan dalam penyelesaian konflik di masyarakat pedesaan adalah melacak konflik untuk menemukan proses perubahan berencana sebagai bentuk manajemen konflik yang mengarahkan penyelesaian konflik sebenarnya. Merujuk pada penyebaran informasi yang membentuk kelompok dengan ikatan agama dalam satu jejaring sosial, upaya penyelesaian konflik secara sederhana dapat dilakukan dengan mengubah isi informasi. Informasi akibat konflik diganti dengan informasi penguatan adat/budaya, sehingga ikatan adat/budaya kembali dikuatkan dan diharapkan kembali melampaui ikatan agama seperti sebelum konflik. Jika strategi ini mampu dijalankan, diharapkan menjadi satu strategi manajemen konflik melalui penguatan kelembagaan adat/budaya yang tidak memandang agama atau aspek lain baik politik dan ekonomi sebagai faktor pembatas. Penelitian ini dilakukan untuk mempertanyakan apakah selain faktor-faktor penyebab yang diungkapkan berbagai penelitian sebelumnya, adakah faktor lain yang mendorong terjadinya konflik di Saparua. Merujuk pada kenyataan tersebut maka aspek ekonomi, politik, budaya dan agama diterima sebagai akar konflik sebagaimana telah
diungkapkan oleh berbagai studi sebelumnya, namun selain ke empat faktor tersebut jejaring sosial terindikasi sebagai faktor lain yang mendorong terjadinya konflik. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan penting dalam mengungkapkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik, sehingga ada sumbangan teori yang belum pernah diungkapkan oleh berbagai studi konflik selama ini.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan diri dan keamanan subsistennya.
Kembalinya masyarakat korban konflik ke negeri asal
membawa pula informasi kondisi keterpurukan akibat konflik.
Informasi tersebut
membentuk persepsi tersendiri bagi komunitas di negeri asal.
Proses penyebaran
informasi kemudian berlanjut ke negeri-negeri sekitar yang komunitasnya seagama sekaligus membentuk jejaring sosial berdasarkan ikatan agama. Penyebaran isu-isu yang tidak terbukti kebenarannya semakin memperkuat jejaring dengan ikatan agama. Elit agama kemudian turut terlibat secara tidak langsung melalui dakwah yang cenderung menjelekan agama lain. Dukungan elit adat seagama menyebabkan adat dan budaya lokal tidak berfungsi meredam terjadinya konflik. Elit adat seharusnya memperkuat
ikatan
adat
dan
budaya
yang
sebelumnya
mampu
memelihara
keberagaman melalui ikatan pela dan gandong. Pecahnya konflik di Ambon Maluku sebagaimana berbagai hasil studi disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, agama dan budaya. Selain itu didorong adanya perbedaan yang telah tertanam dalam diri masyarakat Maluku sejak masa kolonial. Perbedaan ini dibawa ke aspek pemerintahan (birokrasi) dan memperlihatkan tajamnya persaingan antara kedua komunitas. Akumulasi akhir dari persaingan yang demikian menuju pada konflik terbuka, jika tidak ada alternatif pemecahannya.
Kenyataan
tersebut semakin diperparah oleh keterlibatan berbagai kelompok setelah konflik berlangsung. Beberapa kelompok penting seperti Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang bermetamorfosis sebagai RMS versi baru, dianggap sebagai keterwakilan komunitas Sarani.
Sementara dari komunitas Salam, muncul Laskar Jihad (LJ) yang
mengorganisir anggotanya dari berbagai daerah.
Keterlibatan kelompok “Preman
Coker” dalam berbagai aktivitas konflik, semakin memperkeruh situasi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka kerangka dasar pemikiran tersebut dapat digambarkan berikut ini :
ketidakadilan dan dominasi – Tersimpan lama
Praktek Beragama yang ekslusif Salam & Sarani benturan budaya
Persaingan antar kelompok elit tradisional dan masa kini
PEMICU DAN PEMATANGAN PRA KONDISI KONFLIK UNTUK BERMETAMORFOSIS MENJADI KONFLIK – DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
Provokasi, Isu, Ancaman dan Hasutan Hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan TNI-POLRI
Aksi Kekerasan
Dampak-Dampak Konflik
Keterlibatan kelompok pada masing-masing komunitas Tidak Adanya Penanganan Konflik yang tepat
KEMBALINYA MASYARAKAT KORBAN KONFLIK DE DAERAH ASAL DIIKUTI DENGAN PENYEBARAN INFORMASI ANTAR SESAMA KERABAT, TETANGGA DAN KOMUNITAS SEAGAMA DAN AKHIRNYA MEMBENTUK JEJARING ANTAR KOMUNITAS YANG MELINTASI BATAS NEGERI
Gambar 2. Kerangka Pikir
Hipotesis pengarah menunjukkan pada pedoman yang memberikan arah dalam kerja penelitian, sejak tahap kerja lapangan sampai pada penulisan laporan (Thomas yang dikutip oleh Creswel, 1994 : 70). Merujuk pada pendapat tersebut jelaslah, bahwa rumusan masalah penelitian dapat berubah sesuai dengan perubahan perkembangan studi, sehingga bentuk akhir laporan baru dapat ditemukan pada tahap analisis data dan penulisan laporan. Upaya
merumuskan
hipotesis
pengarah
dilakukan
peneliti
dengan
menghubungkan teori-teori yang bersesuaian dengan pengetahuan lapangan yang dimiliki.
Upaya ini bermuara pada munculnya sejumlah pertanyaan khusus yang
berkaitan dengan jejaring sosial dan konflik di Pulau Saparua, sekaligus menjadi pengarah prosedur kerja penelitian yang akan dilakukan. Intisari hipotesis pengarah dalam penelitian ini sebenarnya tertuju pada “mengapa dan bagaimana” jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua. Hipotesis-hipotesis pengarah tersebut dirumuskan pada penjelasan berikut ini : 1)
2)
Berkaitan dengan faktor lain yang menjadi pendorong terjadinya konflik maka : a.
Tidak tertanganinya konflik, menyebabkan korban konflik kembali ke negeri asal sekaligus membawa informasi yang berisi penderitaan yang diterimanya akibat konflik.
b.
Korban konflik sebagai pengungsi secara tidak langsung menyebarkan informasi melalui komunikasi antar individu dengan tetangga dan kerabat se-negeri, dilanjutkan oleh tetangga dan kerabat ke negeri-negeri lain yang seagama sehingga membentuk persepsi yang sama antar komunitas seagama lintas negeri dan akhirnya menjadi jejaring komunikasi antar negeri yang komunitasnya seagama.
Berkaitan dengan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antar aras maka : a.
Kembalinya korban konflik ke negeri asal menunjukkan kuatnya jejaring sosial yang terbentuk sejak pertama kali ke luar dari negeri asal.
b.
Aliran bantuan terjadi antar negeri dengan komunitas seagama di pedesaan Saparua maupun di luar Saparua.
3.2. Pendekatan Kualitatif Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif.
Pendekatan
ini
memungkinkan bagi peneliti untuk memilih strategi utama yaitu, studi kasus, sebagaimana diungkapkan Yin (1996). Pemilihan strategi studi kasus lebih didasarkan pada ketidaksamaan kondisi konflik pada berbagai lokasi di Maluku, baik dari segi waktu kemunculannya kembali, ekskalasinya maupun implikasi yang terjadi.
Selain itu
kekhasan Pulau Saparua sebenarnya terletak pada aspek kesejarahan, yaitu pergolakan melawan penjajah yang lebih dominan dibandingkan daerah/pulau lainnya di Maluku. Juga titik persinggungan antara agama (kalau konflik Ambon – Maluku disetujui sebagai konflik agama semata), awalnya sudah muncul di Saparua sebagai basis kekuatan Belanda di kawasan Maluku Tengah (meliputi pulau Seram, Buru, Banda, Haruku, dan Nusa Laut) yang dipertemukan dengan keberadaan Kerajaan Iha (kemungkinan besar merupakan pusat Kerajaan Islam di Maluku Tengah). Strategi studi kasus ini memungkinkan terjadinya dialog peneliti-responden serta terjadinya interaksi antara dan dalam kalangan peneliti dan responden. Sesuai dengan penjelasan Yin (1996) menyangkut strategi penelitian untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana, maka peneliti tidak mungkin melakukan eksperimen mengingat kriteria strategi studi kasus yaitu, sebagai suatu gejala sosial yang tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Gejala sosial yang diungkapkan dalam penelitian ini yaitu, jejaring sosial dan konflik yang mengarahkan penemuan akar konflik pada masyarakat Pulau Saparua.
3.3. Prosedur Pengumpulan Data 3.3.1. Penentuan Kasus Pada tahap awal untuk mendapatkan informasi, peneliti akan bertanya pada informan kunci (key informan) yaitu Ketua Latupati Pulau Saparua sekaligus sebagai Raja Negeri Tuhaha yang terlibat secara langsung dalam konflik dan manajemen konflik di Pulau Saparua. Selanjutnya melalui teknik bola salju (snowball) sebagai yang dijelaskan Moleong (1989), dengan informan selanjutnya sebagaimana dijelaskan berikut ini : a.
Penyerangan di negeri Iha (di Jazirah Hatawano) dengan informan : Sekertaris Latupati Saparua (Raja Negeri Itawaka), mantan Sekertaris Latupati (Raja Negeri Noloth), AL (tokoh pemuda Negeri Ihamahu sekaligus pemimpin kelompok kecil Sarani di Saparua), Sekertaris Negeri Iha, Raja Negeri Administratif Mahu.
b.
Penyerangan di Negeri Sirisori Sarani dengan informan : Raja negeri Sirisori Sarani, Kepala Soa Sirisori Sarani (TS sekaligus tokoh Pemuda), Kepala Soa negeri Sirisori Salam (sebagai pelaksana tugas Raja yang lebih banyak beraktivitas di Ambon), Raja negeri Ulath, Pelaksana Tugas Raja negeri Ouw (Raja Negeri Ouw sudah meninggal).
c.
Penyerangan di Dusun Pia dengan informan : Kepala Soa negeri Kulor (saat konflik Raja Kulor sekarang ini belum terpilih dan berdiam di Makasar sementara mantan Raja sudah meninggal), Kepala Urusan Pemerintahan negeri Kulor, Kepala Dusun Pia, EP (Kepala Keamanan Dusun Pia)
d.
Konflik negeri Haria dan Porto : Raja negeri Haria, Raja negeri Porto
e.
Negeri-negeri yang turut membantu saat konflik terjadi walaupun tidak berdekatan dengan negeri yang mengalami secara langsung dampak konflik : Raja negeri Booi, Raja negeri Paperu, Raja negeri Tiow, Kepala Pemuda negeri Saparua, Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku di Pulau Saparua, Ketua Majelis Ulama Indonesia
di
Pulau
Saparua,
Ketua
Majelis
Ulama
Indonesia
Maluku
(keturunan/anak negeri Iha), Mantan Ketua DPR Kabupaten Maluku Tengah (Anak negeri Iha di Seram Barat). Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait seperti Kantor Kecamatan Saparua, Dinas Sosial Maluku Tengah, serta LSM asing dan lokal yang turut terlibat sejak konflik sampai penanganannya. Selain itu didukung pula dengan catatan-catatan tertulis tentang konflik yang dimiliki oleh Organisasi Agama di Saparua maupun di Ambon seperti Crisis Centre Keuskupan Amboina, Crisis Centre Sinode GPM Ambon, dan Crisis Centre MUI Maluku. 3.3.2. Studi Riwayat Hidup Individu Pada dasarnya studi riwayat hidup yang digunakan sebenarnya mengarah pada riwayat hidup informan yaitu, aktor yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam konflik serta penanganan implikasinya. Sebagaimana dijelaskan Denzin (1970 : 220), bahwa studi riwayat merupakan studi tentang pengalaman dan pemahaman dari sisi pandang individu sendiri, sebagai metode untuk memahami tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksud di sini yaitu, pemanfaatan jejaring sosial sejak konflik sampai penanganan ikmplikasi konflik. Studi riwayat hidup ini lebih spesifik lagi diarahkan pada riwayat hidup suntingan yang menurut Denzin (1970 : 221 - 223) merupakan riwayat hidup topikal (yang mengemukakan satu fase atau tahapan dalam kehidupan individu subjek riwayat) yang juga diselingi dengan komentar, penjelasan dan pertanyaan oleh seseorang di luar individu subjek riwayat. Pilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa fenomena sosial yang ingin dimaknai hanyalah sejak konflik muncul sampai pada penanganan implikasinya, yang terjadi pada satu fase/tahapan kehidupan aktor yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung. Studi riwayat hidup ini mencakup kasus aktor dalam konflik yang masing-masing sebagai berikut : a.
Informan pada sub bab penentuan kasus bagian a, b, c dan d;
b.
Informan pada sub bab penentuan kasus bagian e. Teknik pengumpulan data riwayat hidup meliputi wawancara mendalam secara
langsung, pengamatan, dan pemanfaatan arsip dokumentasi yang relevan (Laporan Organisasi Keagamaan saat konflik terjadi). Khususnya untuk menelusuri akar konflik serta jejaring sosial yang terbentuk saat itu sebagai bahan perbandingan dilakukan dengan mempelajari arsip pemerintahan kolonial Belanda yang ada di Arsip Nasional. 3.3.3. Metode Pengamatan Berperan Serta Metode ini sebenarnya dikhususkan pada upaya peneliti untuk memahami jejaring sosial yang dimanfaatkan aktor (baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam konflik) sejak konflik sampai pada penanganan implikasi konflik. Hal ini dimungkinkan mengingat dua alasan metodologis yang mendasari pengumpulan data kualitatif dengan metode pengamatan berperan serta (Moleong, 1989 : 138) yaitu, pertama, pengamatan memungkinkan peneliti melihat, merasakan, dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana para aktor melihat, merasakan dan memaknainya; kedua, pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan aktor (intersubyektifitas). Selain itu, ragam tipe pengamatan berperan serta yang dipilih yaitu peran serta dan keterbukaan peneliti secara penuh, mengingat para aktor mengenal peneliti dan mengetahui kegiatan pengamatan yang dilakukan.
Hal ini dimaksudkan pula untuk
memperkecil jarak sosial antara peneliti dan aktor, sehingga semakin kecil jarak maka diharapkan aktor akan secara terbuka dan jujur pula mengungkapkan keberadaan jejaring sosial sejak konflik sampai pada penanganan implikasi konflik yang dipahaminya.
Oleh karena itu, saya sebagai peneliti akan menghadapkan makna
menurut kasus antara masing-masing informan. Hal ini juga sekaligus sebagai upaya peneliti untuk menguji keberadaan serta kelayakan makna tersebut, yang menurut saya sebagai suatu upaya baru dalam pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, seakan-akan saya sebagai peneliti melakukan ferivikasi seperti pendekatan kuantitatif (padahal sebenarnya lebih tepat sebagai suatu strategi triangulasi atas makna yang diungkapkan pada kasus aktor.
Pengamatan berperan serta juga dilakukan peneliti melalui diskusi kelompok kecil pada masing-masing negeri yang hancur akibat konflik (negeri Iha, Sirisori Sarani dan Pia), dengan melibatkan tokoh-tokoh adat yang tergabung dalam Saniri Negeri (Badan Permusyarawatan Desa). Selain itu, peneliti juga mendiskusikan kembali hasilhasil temuan lintas negeri yang berbeda agama dan berbatasan langsung, seperti antara Kepala Soa Sirisori Salam dan Kepala Soa Sirisori Sarani; Kepala Soa Kulor dan Kepala Dusun Pia; serta Tuan Tanah negeri Iha dengan Tuan Tanah negeri Ihamahu. Setelah draft Disertasi tersusun, melalui kerjasama Kepala Pemerintahan Kecamatan Saparua dan Latupati peneliti juga melakukan pemaparan Hasil Penelitian awal di tingkat Pulau Saparua yang diikuti oleh seluruh Informan serta Tokoh Agama dan Tokoh Adat masing-masing negeri di Saparua. Hasil pemaparan menjadi penting, karena ada masukan-masukan, kritik dan koreksi atas hasil yang diungkapkan.
Sehingga,
kolaborasi berbagai strategi penelitian yang digunakan peneliti kemudian bermuara sebagai suatu tulisan ilmiah hasil peneliti yang disebut Disertasi.
3.4. Prosedur Pengolahan Data Miles dan Huberman (1992 : 15 – 21) menjelaskan ada tiga jalur analisis data kualitatif yaitu : a.
Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian
berlangsung, bahkan sebelum semua data-data terkumpul dan meliputi kegiatan meringkas data, mengkode data, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi dan menulis memo.
Proses ini berlangsung sampai dengan
penyusunan laporan, sehingga merupakan bentuk analisis yang menajamakan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, mengorganisir data sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. b.
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dapat berbentuk teks naratif (berbentuk catatan lapangan yang seringkali terlalu panjang sehingga seringkali tidak mampu diproses sebagai informasi yang bermutu); dan berbentuk matriks, grafik, jaringan dan bagan (merupakan penggabungan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, sekaligus
mempermudah untuk melihat apa yang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar atau terus melangkah melakukan analisis. c.
Penarikan kesimpulan mencakup pula verifikasi terhadap kesimpulan yang telah dibuat sebelumnya. Kesimpulan dapat diverifikasi dengan memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat, upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain.
3.5. Lokasi Penelitian Pulau Saparua merupakan salah satu pulau yang masuk wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Sejak masa kolonial Belanda wilayah ini dikenal dengan kegigihannya dalam berjuang melawan penjajahan.
Bahkan di wilayah ini terdapat
Benteng Duurstedee sebagai pusat pengaturan aktivitas kolonial Belanda meliputi kawasan Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku dan sebagaian Pulau Seram. Selain itu, lama sebelum kedatangan bangsa kolonial, di Pulau Saparua sudah dikenal adanya Kerajaan Iha sekaligus sebagai pusat agama Salam. Kerajaan Iha merupakan kerajaan yang berkedudukan di puncak gunung Iha yang sekarang ini berkedudukan di jazirah Hatawano meliputi negeri Iha dan Ihamahu (sebagai satu keturunan Kerajaan Iha yang dikenal dengan istilah gandong). Negeri Iha merupakan keturunan yang tetap Salam, sedangkan negeri Ihamahu merupakan keturunan yang menjadi Sarani saat Belanda menjajah Saparua (Rumphius dan de Graff dalam Manusama, 1977).
Saat konflik melanda Pulau Saparua, negeri Iha
diserang dan dihancurkan Desember 2001 tanpa bisa ditahan oleh gandongnya negeri Ihamahu, sehingga warganya sampai saat ini menyelamatkan diri ke negeri Tulehu dan Liang (Pulau Ambon) dan negeri Sepa (Pulau Seram). Sebelumnya, negeri Sirisori Sarani juga diserang dan dihancurkan oleh gandongnya negeri Sirisori Salam sehingga warga desa Sirisori Sarani berpindah ke negeri lama (tempat kedudukan negeri pertama kali yaitu pada daerah perbukitan di belakang negeri tersebut). Kemudian diikuti pula oleh penyerangan dan penghancuran dusun Pia oleh negeri Kulor, sehingga warga dusun Pia menyelamatkan dirinya ke kota Saparua. Seperti diketahui negeri Kulor, dusun Pia, negeri Sirisori Sarani dan negeri Sirisori Salam merupakan wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Iha, sehingga yang menempati negeri-negeri tersebut merupakan keturunan dari kerajaan Iha yang diberikan mandat untuk menjaga dan mengusahakan tanah
(petuanan milik Kerajaan Iha) yang ada dalam negeri-negeri tersebut. Setelah kerajaan Iha dihancurkan Belanda, maka Belanda membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi sejumlah negeri seperti sekarang ini. Pulau Saparua terdiri dari 16 negeri, dengan tiga negeri mayoritas beragama Salam yaitu Iha, Kulor dan Sirisori Salam serta 13 negeri lainnya mayoritas beragama Sarani. Sebelum pecahnya konflik (1999), Pulau Saparua merupakan salah satu pusat kediaman etnis Buton (Sulawesi Tenggara) yang dominan beragama Salam, namun dapat hidup berdampingan secara damai dengan penduduk lokal bahkan ada yang mengikat kekerabatan melalui perkawinan antar etnis sekaligus antar agama tanpa menjadikannya suatu permasalahan. Selama ini belum ada studi jejaring sosial serta keterkaitannya dengan konflik di Pulau Saparua pada khususnya dan Maluku pada umumnya. Padahal Pulau Saparua juga menjadi sasaran pengungsian oleh kaum kerabat dari pulau sekitarnya, terutama dari Pulau Ambon dan Pulau Seram. Selain itu, penanganan implikasi konflik (seperti pengungsi) oleh Pemerintah dan LSM juga telah dilakukan sejak pecahnya konflik (1999).
Dengan demikian pemilihan Pulau Saparua juga merupakan usaha untuk
mengungkapkan pemahaman fakta sosial berupa jejaring sosial dan konflik, yang bukan saja ada di Ambon sehingga perlu bergeser ke luar Ambon. Aspek inilah yang menjadi perbedaan mendasar dengan penelitian-penelitian sebelumnya, di samping juga bahwa penelitian ini terfokus pada jejaring sosial dalam konflik di aras mikro (pedesaan) pada tiga negeri (Iha, Sirisori Sarani dan Pia) yang terkena konflik dan implikasinya secara langsung kemudian dicari keterkaitannya ke aras meso.
IV. SAPARUA : AJANG KONFLIK SEJAK MASA PENJAJAHAN
4.1. Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas Sejak masa kompeni, Saparua menjadi pusat pengaturan aktivitas ekonomi, terutama untuk pengumpulan hasil-hasil perkebunan cengkeh milik rakyat di Saparua, Nusalaut dan sebagian Pulau Seram. Letaknya yang strategis menyebabkan Saparua dipilih kompeni sebagai pusat pengontrolan dan pengaturan kegiatan perdagangan. Hal tersebut menyebabkan aktivitas kompeni di Saparua didukung oleh pertahanan yang kuat melalui pembangunan Benteng Duursteede. Oleh karena itu, segala kegiatan pihak Kompeni diatur dulu dari Saparua kemudian dilaksanakan oleh pihak-pihak yang telah ditentukan.
Termasuk aktivitas penyebaran agama Sarani, berbagai aktivitas
politik pecah belah sebagai upaya meredam pemberontakan oleh masyarakat Saparua tahun 1817 di bawah pimpinan Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura). Saparua pula menjadi salah satu pusat pergerakan masyarakat melawan kepentingan pihak penjajah. Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang kemudian disarikan oleh Idema (1917), terdapat delapan penyebab pemberontakan Saparua, yaitu : 1. Beredarnya uang kertas sebagai alat resmi perdagangan, sementara masyarakat sendiri tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh uang kertas dimaksud meskipun dalam proses tukar menukar. 2. Perintah dan paksaan kompeni untuk membuat garam, padahal masyarakat belum memiliki pengetahuan tentang cara membuat garam. 3. Pembukaan perkebunan pala, dimana rakyat dikerahkan tanpa dibayar tetapi hanya sebagai pekerja paksa. 4. Perintah untuk memotong kayu dan membuat atap serta gaba-gaba untuk dinding bangunan secara paksa. 5. Keharusan wajib belajar bagi anak-anak di Saparua terutama di kota Saparua, sementara di negeri-negeri lain tidak diharuskan. 6. Merekrut para pemuda secara paksa dalam dinas militer di Jakarta. 7. Memperdagangkan ikan kering dan dendeng secara paksa. 8. Memperdagangkan kopi secara paksa. Pembentukan formasi negeri yang dilakukan Belanda sebenarnya tidak bermaksud untuk menunjukkan organisasi sosial yang didasarkan atas garis keturunan
(genealogis).
Setiap negeri memiliki sejumlah suku/marga eksogami (perkawinan
campuran) yang bersifat patrilineal.
Suku/marga itulah yang disebut sebagai
matarumah. Matarumah merupakan sebutan dari bahasa Melayu yang bahasa aslinya tau, dan istilah fam sebenarnya berasal dari bahasa Belanda (Cooley, 1962 : 36). Matarumah menjadi penting bagi negeri karena selain refleksi garis keturunan, juga untuk penetapan status kelompok utama dalam famili yaitu hubungan antara dua mata rumah yang menjadi ikatan darah karena suatu pernikahan. Hubungan turun temurun matarumah memberikan dampak terhadap pengorganisasian atas kontrol dan penggunaan tanah dati yang dianggap sebagai warisan yang tidak bisa diserahkan kepada pihak luar.
Selain itu, status matarumah tertentu sangat berperan dalam
administrasi negeri dan administrasi masjid (kasisi) di negeri Salam. Soa merupakan bagian penting dalam administrasi negeri di Saparua.
Soa
terdiri dari sejumlah matarumah yang hubungannya tidak memerlukan ikatan kekeluargaan. Kata soa berasal dari bahasa asli ternate yang berarti bagian geografis dari suatu kota atau desa. Tiap-tiap soa dipimpin oleh kepala soa yang kedudukannya di bawah Raja. Kepala Soa dan Raja pada awalnya ditunjuk pihak Belanda. Beberapa kedudukan lain yang penting dalam administrasi negeri adalah tuan tanah, Mauweng, Kapitan dan Kewang. Tuan tanah adalah representatif dari pendiri keluarga, mauweng yang mengurusi kegiatan kepercayaan (ritualisme), kapitan merupakan pemimpin perang, dan kewang yang dipercaya untuk memelihara keamanan negeri (Cooley, 1962). Kedudukan Raja saat masa kolonial mengalami perubahan fungsi yang mengarah tanggungjawab yang dilematis. Raja harus mengayomi negeri dari ancaman pihak luar, sementara Raja harus tunduk kepada keinginan Belanda. Menurut catatan Van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema (1917) dalam terminologi kolonial Belanda, Raja dianggap memiliki kekuatan sentral yang bisa dipakai untuk mengkooptasi berbagai elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai representasi kewenangan tertinggi Negara Belanda dengan asumsi penunjukkan langsung oleh House of Orange, Raja memiliki kewajiban sebagai berikut : a.
Menyediakan dan mengkoordinir tenaga kerja yang dipakai dalam pengolahan cengkeh.
b.
Sebagai agen untuk mendapatkan permintaan pasar atas hasil monopoli cengkeh.
Peran Raja kembali memgalami perubahan setelah monopoli cengkeh dihapuskan pada tahun 1863. Pada masa ini peran raja berfungsi sebagai penjaga hukum dan peraturan, mengumpulkan pajak dan mengurus dan mengorganisir penebangan pohon cengkeh.
Perubahan monopoli dan perubahan administratif
mempengaruhi pula hubungan kekuatan dalam negeri secara signifikan. Pitisgeld dan hasil geld (persentase hasil panenan cengkeh yang dibayarkan untuk Raja) dihapuskan bersamaan dengan penghapusan monopoli tersebut.
Sebagai gantinya, Raja diberi
kompensasi secara finansial yang didasarkan pada rata-rata cengkeh per tahun pada suatu negeri di awal tahun. Raja juga menerima 8% dari pajak per kepala (5 guilders per rumahtangga per tahun), dan sepertiganya
didistribusikan kepada kepala soa.
Dalam hal ini Raja Sarani lebih diuntungkan karena dari tahun 1875 – 1932 mereka mendapatkan 50 guilders untuk setiap warganya yang bergabung menjadi tentara colonial (Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema, 1917). Hal terpenting dalam masa itu yaitu dihapuskannya tenaga kerja pelayanan seperti kardja trop dan kwartodienst (pekerja pribadi untuk raja).
Pemuka negeri
sengaja diatur untuk menyediakan tenaga kerja dalam pengolahan cengkeh.
Hal
tersebut bergantung dari ukuran dan luas negeri. Tenaga kerja biasanya dibagi menjadi empat kelompok, di mana laki-laki dewasa menjai alternatif dalam penyediaan tenaga kerja yang dibutuhkan. Beberapa Raja memang sengaja mengambil keuntungan dari tenaga kerjanya sendiri secara langsung saat pengolahan cengkeh ke pemerintah. Raja-raja di Saparua umumnya memiliki 70 orang (kwartodienst) yang bekerja padanya setiap hari secara sah dan legal. Beberapa Raja bahkan menyewakan pekerja trop mereka ke orang-orang Eropa dan Arab di Ambon.
Mereka juga dipakai dan tidak
dibayar sebagai manusia perahu untuk mengantarkan para pejabat keliling pulau. Penghapusan kewajiban pengelolaan dan pemesanan membuat keuntungan besar bagi Raja tetapi sangat merugikan bagi warganya.
Kenyataan tersebut
berlangsung hingga tahun 1881, ketika Resident J.G.F. Riedel mengeluarkan suatu nota instruksi baru bagi Raja untuk menghentikan permintaan pelayanan kerja trop dari rakyatnya.
Nota tersebut juga secara mendetail menjelaskan batasan kekuasaan
judicial seorang Raja. Hal ini memunculkan protes dari para Raja. Banyak Raja yang tetap menginginkan kompensasi peningkatan pelayanan pribadinya (kwartodienst). Namun, kenyataan membuktikan bahwa reformasi yang dicetuskan Riedel tersebut
ternyata efektif dalam meredam kekuasaan Raja atas rakyatnya, dan juga kontrol atas sumberdaya ekonomi negerinya. Tahun 1920 pelayanan kwarto dan hakikil dihapuskan karena menyebarnya penyalahgunaan kekuasaan oleh Raja terhadap mereka. Selanjutnya diganti dengan kontribusi pemerintah (toelage) yang berupa pemberian secara adil lima guilders setiap orang dewasa per tahun. Penghapusan ini kemudian menimbulkan protes para Raja. Para Raja beranggapan bahwa pelayanan tersebut merupakan bagian integral dari sistem penggunaan tanah dati.
Hak untuk menggunakan dati (makan dati) juga
termasuk kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada Raja dan rumahtangganya. Jika kwarto ditarik maka sistem dati juga akan punah.
Hal tersebut dilakukan oleh
orang-orang Eropa untuk mengurangi pengaruh Raja terhadap lingkungannya sebagai patron. Akibatnya, secara ekonomi Raja menjadi terpuruk jika dibandingkan dengan pegawai pemerintah dalam negeri, para guru, dan pendeta. Sistem ini juga menurunkan pamor Raja dan mengarah pada rendahnya legitimasi rakyat kepada Raja-nya. Menurut catatan van der Kemp yang merujuk pada catatan harian Van Middelkoop yang dikutip oleh Idema (1917), sisa sejarah kolonial di Saparua dapat diklasifikasikan atas empat permasalahan, yaitu : 1. Masalah kekuasaan dan perdagangan, 2. Masalah penyebaran agama Katolik dan Protestan, 3. Masalah penganakemaskan kelompok Sarani, yang mana di satu sisi terkait dengan misi penyebaran agama tetapi di sisi lain terkait dengan upaya pengukuhan kekuasaan dan monopoli perdagangan. 4. Politik pecah belah, sesuatu yang mirip dengan politik menganakemaskan, tetapi dalam cakupan yang lebih luas dan cara-cara yang lebih kompleks. Masalah kekuasaan dan perdagangan sangat terkait dengan sistem penjajahan yang diterapkan bangsa Belanda.
Lewat usaha dagangnya VOC, Belanda
menyebarkan kekuasaannya ke seluruh kepulauan Nusantara termasuk Maluku. Dalam mengukuhkan kekuasaannya ini Belanda menerapkan sistem monopoli dan tanam paksa yang dilindungi dengan kekuatan militer yang besar.
Orientasi kekuasaan
menimbulkan perseturuan dengan para penguasa dan pedagang lokal. Misi Agama juga dijalankan oleh orang-orang Portugis yang sambil berdagang menyebarkan
agama
Katolik.
Orang-orang
Portugis
ini
cukup
luwes
dalam
perdagangan, tetapi misi penyebaran agamanya menimbulkan banyak reaksi. Tetapi
ketika orang Belanda juga mulai memasukkan unsur penyebaran agama, dengan segala kaitan masalah kekuasaan dan perdagangan di dalamnya, maka keberadaan bangsa Portugis terasa lebih lunak. Penganakemaskan penduduk yang mau memeluk agama Sarani dan melakukan politik pecah belah, ditambah dengan dukungan kekuatan militer yang besar menyebabkan Belanda menguasai Maluku termasuk Pulau Saparua. Oleh karena itu dapat disimpulkan, Belanda menjadikan agama sebagai salah satu komoditas politik sehingga menjadi bagian penting yaitu sebagai sumber konflik yang bersifat laten. Sebagai alat politik maka Belanda menganakemaskan kelompok Sarani dalam hal pendidikan, birokrasi, militer, dan polisi.
Kesempatan dalam pendidikan hanya
diberikan pada kelompok Sarani dan raja-raja negeri Salam. Sehingga kesempatan kelompok Sarani untuk memperoleh pendidikan, dan seterusnya memasuki birokrasi, militer dan Polisi lebih terbuka dibandingkan kelompok Salam yang hanya diwakili para Raja.
Sementara pemberian kesempatan kepada Raja negeri Salam, sebenarnya
menimbulkan kecemburuan bagi rakyatnya sendiri, sehingga menjadi sumber konflik terpendam. Inilah salah satu bentuk politik pecahbelah antar kerajaan atau antar negeri, internal kerajaan atau pun negeri, maupun bentuk-bentuk perpecahan lain yang didorong dengan iming-iming harta dan kekuasaan.
4.1.1. Konflik Agraria di Pedesaan Saparua Proses perubahan di pedesaan tidak terjadi secara otomatis, melainkan lebih diakibatkan oleh berlakunya berbagai faktor yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Interaksi antara faktor internal dan eksternal demikian kompleks sehingga memungkinkan berbagai interpretasi terhadap proses perubahan di pedesaan. Sebagian cendekiawan menekankan pada peranan faktor internal yang dipandang sebagai faktor yang dapat menentukan sekaligus menghambat proses perubahan di pedesaan.
Sedangkan cendekiawan lain
menekankan pada hubungan penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh pelapisan atas di kota-kota sehingga menimbulkan perubahan di desa, yang kadang-kadang perubahan tersebut bias menimbulkan hubungan yang bersifat eksploitatif. Menurut pendekatan neoklasik, di antara faktor-faktor internal yang penting yang mendorong pertumbuhan di desa itu adalah pertumbuhan pendudukan yang cepat yang kemudian mengakibatkan man/women-land ratio yang semakin menyempit dan menyempitnya pemilikan tanah, dan mulai tidak mampunya sumber-sumber di
pedesaan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat desa.
Sementara faktor-faktor
eksternal yang dianggap memiliki kontribusi cukup berarti dalam mendorong perubahan di pedesaan pada dasarnya mencakup aspek teknologis dan perluasan kapitalisme. Penganut pendekatan neo-populis percaya bahwa penyebaran teknologi merupakan faktor penting yang menjadikan daerah pedesaan berubah dari kondisi semula. Sedangkan penganut neomarxis cenderung lebih menekankan ekspansi kapitalisme sebagai penyebab terjadinya perubahan di pedesaan. Selain itu, dewasa ini banyak cendekiawan yang menaruh perhatian pada peran negara (state centered) yang diwujudkan dalam ekspansi birokrasi sebagai faktor eksternal penting yang menyebabkan perubahan di pedesaan. Hart (1986) misalnya, mengatakan bahwa perubahan program-program pembangunan pemerintah dan perubahan posisi pemerintah desa dari lembaga kepemimpinan masyarakat otonom menjadi ujung tombak struktur birokrasi.
Hal itu tergambar dari perubahan pranata
pedesaan lainnya sebagai akibat berlangsungnya modernisasi pertanian dalam hubungannya dengan pertananahan adalah adanya dinamika penguasaan tanah. Modernisasi pertanian yang berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir ini kemudian memacu sekurang-kurangnya tiga jenis aktivitas yang ada hubungan dengan pertanahan di pedesaan, yaitu jual beli tanah, gadai menggadai tanah dan sewa tanah secara kontan (Sediono Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 1984). Membahas masalah pertanahan menurut Gunawan Wiradi (1984) lebih baik menggunakan pendekatan lintas disiplin karena hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan tanahnya, yang di negara-negara agraris dipandang bersifat “religio-magis”, melainkan juga menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan tanah ialah aktivitas manusia dalam menggarap/menguasahakan tanah, sehingga orang lain tidak boleh memakainya, atau boleh tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Kemudian terlihat adanya hubungan antara pemilik tanah dengan buruhnya, antara sesama buruh tani atau antara orang yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses produksi di atas tanah tersebut.
Dari sinilah aspek utama sengketa-sengketa tanah harus dilihat, karena
masalah tanah sebenarnya merupakan masalah pembagian dan penyebaran sekaligus menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Secara makro, hubungan tanah dan manusia tidak dapat dipisakan. Antara satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain semuanya menunjukkan adanya hubungan
antara tanah manusia walau pun, di tingkat mikro erat tidaknya hubungan tersebut menjadi relatif tidak sama.
Namun, secara makro tidak dapat dilepaskan pula dari
pengertian identitas suatu bangsa atau kelompok manusia sekaligus merepesentasikan totalitasnya. Dalam tingkat ini, manusia dengan segala kekuatan dan kemampuannya sanggup berkorban untuk mempertahankan tanahnya dari penguasaan orang lain walau pun luas tanah yang dimilikinya hanya sejengkal saja. Kenyataan demikian semakin memperjelas bahwasannya, tanah memilki nilai-nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Konflik atau peperangan yang terjadi antara negeri serta antara manusia bukan saja memperebutkan tanah-tanah yang subur semata, tetapi ada nilai lain yang melekat dalam hubungan antara tanah dan manusia. Di Maluku Tengah terutama di Saparua perbedaan-perbedaan interpretasi manusia terhadap tanah ditentukan oleh kebudayaan yang dianut oleh pendukungnya (manusia sendiri).
Pandangan terhadap tanah dan
relasi antara manusia dan tanah untuk orang-orang Maluku Utara akan berbeda dengan orang di Maluku Tengah, demikian pula keduanya akan berbeda dengan orang di Maluku Tenggara.
Masing-masing daerah mempunyai konsep tanah yang berbeda,
akibat perbedaan pemahaman atau pun interpretasi terhadap lingkungan yang berbeda sehingga melahirkan adat-istiadat tanah yang berbeda pula.
4.1.2. Merujuk Konflik Agraria di Masa Lampau Memang secara faktual dan berdasarkan penelusuran data-data, dapat dilihat bahwa konflik yang berkembang di Saparua selalu didasari oleh dua hal yaitu permasalahan batas tanah (batas dusun antar sesama anak negeri maupun berbeda negeri).
Bahkan bukan saja pertikaian biasa yang terjadi, tetapi sudah merembes
menjadi pertikaian antar negeri dan memakan korban baik harta benda maupun korban jiwa. Bukti yang dapat disebutkan yaitu, pertikaian antara Noloth dan Iha yang dibantu gandongnya Ihamahu akibat permasalahan batas tanah. Konflik dimaksud tidak terjadi sekali saja, tetapi dapat muncul kapan saja dengan pokok persoalan yang sama yaitu batas tanah antara kedua negeri. Kelemahan yang paling besar dari terbengkalainya penyelesaian konflik tersebut disebabkan oleh tidak adanya dasar hukum yang dapat dipakai untuk membuktikan kebenaran argumen masing-masing pihak. Negeri Iha misalnya, menganggap bahwa seluruh wilayah Hatawano sebagai tanah milik mereka yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka pendiri
Kerajaan Iha.
Hal mana juga diakui oleh negeri Ihamahu sebagai gandongnya.
Memang antara Iha dan Ihamahu sama-sama merupakan generasi selanjutnya dari pendiri Kerajaan Iha, namun kemudian terpecah akibat perbedaan agama. Negeri Iha penduduknya tetap memeluk agama Salam yang dibawa dari Kerajaan Iha, sementara negeri Ihamahu mengikuti agama Sarani yang dianjurkan oleh penjajah Belanda. Hal ini juga meneyebabkan negeri Ihamahu memiliki tanah warisan yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan negeri Iha.
Bahkan jika ditelusuri lagi, pada dasarnya tanah
negeri Iha harus meliputi sepanjang jalur jazirah Hatawano sejak dari negeri Itawaka sampai negeri Tuhaha.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa, negeri Itawaka juga
terbentuk karena adanya tugas oleh pemerintahan Kerajaan Iha untuk menjaga keamanan di ujung jazirah Hatawano.
Hal tersebut dibuktikan dari keberadaan air
potang-potang sebagai sumber air penting, yang digunakan oleh keturunan Kerajaan Iha (Iha dan Ihamahu) saat berperang melawan musuh. Demikian pula dengan Ihamahu, yang memiliki tanah warisan yang cukup luas dari Kerajaan Iha karena mengikuti keinginan Belanda untuk menetap di pesisir dan memeluk agama Sarani.
Keadaan ini terjadi setelah Kerajaan Iha diserang dan
dihancurkan oleh armada laut Belanda. Saat Belanda menginjakkan kakinya di bumi Saparua, mereka mulai berupaya untuk menghancurkan kerajaa Iha yang dianggap sebagai musuh karena tidak mau mengikuti peraturan dagang yang dibuat Belanda.
Selain itu, perbedaan agama
menyebabkan Belanda sulit untuk menyebarkan agama Sarani yang menjadi strategi politik saat itu. Mengingat setelah memeluk Sarani maka, pemimpin negeri-negeri di Saparua dapat dibujuk untuk melakukan apa saja bagi kepentingan Belanda dengan iming-iming kedudukan dan hadiah termasuk pemberian tanah warisan. 4.2. Struktur Sosial Masyarakat Saparua 4.2.1. Latar Belakang Sejarah Masyarakat Saparua umumnya berasal dari daerah pedalaman Pulau Seram (yang sering disebut sebagai Nusa Ina atau Pulau Ibu). Karena sifatnya nomaden, menyebabkan mereka berpindah-pindah sampai pada akhirnya mendiami suatu daerah tertentu sampai akhirnya menetap di Pulau Saparua.
Sebelum sampai di Saparua
nenek moyang sebagai pendahulu Pulau Saparua harua melalui berbagai tahapan waktu yang berbeda antara satu negeri dengan negeri yang lain. Sebagai gambaran, masih dipertentangkan antara negeri mana yang pertama mendiami Saparua. Namun
beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda ternyata di Saparua sudah berdiri Kerajaan Iha sebagai pusat agama Salam (sebelumnya masyarakat Saparua memeluk agama suku atau sering disebut agama Nunusaku yang dibawa oleh mereka dari negeri asal mereka di Pulau Seram, dimana agama Nunusaku tersebut cenderung dekat dengan agama Hindu jika dilihat dari namanama atau marga pemimpin negeri waktu dulu). Pada mulanya, tempat asal usul masyarakat Saparua di Pulau Seram yang sering disebut Nunusaku aman dan damai. Sampai suatu saat terjadilah peperangan antara orang-orang di daerah Nunusaku (antara Patasiwa dan Patalima). Peperangan menyebabkan masyarakat yang berdiam di daerah Nunusaku berpindah tempat, dan membentuk kelompoknya sendiri.
Adapula yang langsung menyebar ke berbagai
tempat lain, sebagian ke utara dan sebagian lagi menuju ke selatan. Mereka yang menuju ke selatan inilah yang kemudian menamakan diri sebagai orang Noaulu atau suku Noaulu. Setelah suasana aman, sebagian orang asli Pulau Seram yang kemudian disebut orang Noaulu yang tadinya berpencar kembali besatu di suatu tempat yang bernama Aipura (daerah pedalaman). Di Aipura inilah mereka membentuk kesatuan sosial yang tetap mempertahankan identitas dirinya, sebagai orang Noaulu atau suku Noaulu. Sementara sebagian yang lain kemudian mencari daerah baru di sekitar Pulau Seram seperti Pulau Haruku, Nusalaut dan termasuk pula Saparua.
Bahkan ada
dugaan pula bahwasannya penyebaran ini sampai ke Pulau Ambon. 4.2.2. Sistem Pemerintahan Adat Badan Saniri Negeri atau Dewan Desa merupakan lembaga pemerintahan negeri yang utama di Saparua. Namanya sendiri merujuk pada sejarah pembentukannya. Kata “Badan berarti sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu”; Saniri merupakan istilah bahasa Seram untuk Dewan yang dulu memerintah deerah tiga batang air (tiga sungai Eti, Tala dan Sapalewa); sedangkan Negeri adalah bentuk melayu dari bahasa sansekerta nagara yang berarti daerah, kota atau kerajaan (menunjuk pada suatu wilayah pemerintahan). Badan Saniri Negeri di waktu lampau sedikitnya mengandung empat jenis jabatan.
Kekuasaan politik masing-masing jabatan berkurang menurut urutannya.
Golongan pertama mencakup jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi penuh, seperti Raja (kepala desa) dan kepala soa (sekumpulan matarumah). Golongan kedua
terdiri dari petugas-petugas tradisional yang memangku hanya sebagian dari tugas-tugas sejenis seperti tuan tanah.
Golongan ketiga ialah petugas-petugas tradisional yang
fungsi aslinya hampir hilang, seperti malesi dan kapitan (panglima perang). Golongan keempat ialah jabatan-jabatan tertentu yang tidak diisi lagi, seperti mauweng (pendeta adat). Satuan politik yang paling pertama adalah persekutuan-persekutuan hidup yang agak sederhana, terdiri dari kelompok-kelompok kecil keluarga yang berpindah-pindah kemudian menetap di suatu tempat (mungkin terjadi sebelum tahun 1450).
Setiap
pemukiman dikepalai oleh seorang upu yang bertanggungjawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan perang, ia dibantu oleh malessi. Sementara untuk urusan agama dan hubungan dengan dunia seberang dilakukan oleh mauweng dan pembantunya malimu dan maitele.
Upu merupakan keturunan pemimpin suatu soa
sebagai kelompok matarumah pendatang yang pertama.
Kemudian dua atau lebih
kelompok semacam itu bergabung untuk membentuk pemukiman kecil yang disebut aman. Soa saat dahulu juga lebih kecil dari soa sekarang ini karena hanya mencakup matarumah asli, keluarga patrilineal yang datang pada perpindahan pertama. Pendatang berikutnya kemudian dimasukkan pula ke dalam soa. Kemudian muncul seorang pemimpin tunggal yang bergelar latu dari antara pemimpin (upu) soa-soa itu.
Pemimpin-pemimpin yang lain menjadi pembantunya,
namun tetap bertanggungjawab atas kelompok asalnya.
Matarumah yang datang
pertama, tetap diistimewakan dengan berbagai cara yang khas dan pemimpinnya kemudian dikenal dengan gelar tuantanah, walau pun kemudian digantikan oleh matarumah yang lain dalam kedudukan sebagai pemimpin utama.
Selagi penduduk
terus bertambah dan negeri-negeri meluas, aman mulai bergabung ke dalam federasifederasi yang disebut uli. kilometer dari pantai.
Aman-aman ini bertempat di pegunungan, dua atau tiga
Aman yang berpengaruh dalam masing-masing uli akhirnya
sampai saat ini disebut sebagai “negeri lama”. Negeri-negeri lama adalah Negeri di mana matarumah raja (kepala Negeri) dan matarumah tuan tanah bermukim. Biasanya uli itu terdiri dari lima atau sembilan aman. Penguasa dan aman yang terkuat menduduki tempat utama dan menyediakan pemimpin federasi sebaga raja (kepala desa). Negerinegeri anggota uli lainnya dipimpin oleh penguasa bawahan yang disebut “patih” atau “orangkaya”. Sangat mungkin penggabungan ke dalam federasi dilakukan jauh sebelum kedatangan Portugis, serta dilakukan untuk melawan serangan dari kelompok-kelompok
yang kuat persenjataan dan keterampilannya yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Maluku Utara (Cooley, 1962). Sistem Kekerabatan Masyarakat. Pada
umumnya
di
Maluku
sistem
kekerabatan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat ialah sistem kekerabatan yang berdasarkan hubungan patrilineal diiringi dengan pola menetap matrilokal.
Sistem
kekerabatan yang berdasarkan hubungan patrilineal ini menyangkut kelangsungan hidup suatu matarumah.
Oleh karena itu, matarumah memegang peranan utama
dalam kehidupan keluarga. Matarumah ialah suatu kesatuan hidup dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan para istri yang sudah kawin dengan anak laki-laki suatu keluarga. Sesuai dengan garis keturunan patrilineal ini, maka perkawinan antara satu fam (marga) dilarang dan menghendaki suatu perkawinan ke luar yaitu dengan keluarga lain (exogami).
Seorang wanita yang telah menikah akan keluar dari garis keturunan
ayahnya, kemudian ia berpindah fam (marga) mengikuti garis nama keluarga suaminya. Dengan demikian sekaligus dia akan kehilangan hak-haknya selaku seorang anak di dalam keluarga ayahnya. Sebagaimana dijelaskan Blood (1972 : 167) bahwa, sistem kekerabatan merupakan suatu perluasan sistem keluarga dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap keluarga.
Sistem kekerabatan cenderung untuk mempertahankan
keberadaan keluarga melalui pola teladan interaksi informal. Sistem kekerabatan ini meliputi pula keluarga inti (nuclear family) dan keluarga diperluas (extended family). Keluarga Inti. Unit terkecil di dalam sistem kekerabatan ialah keluarga batih (nuclear family).
Keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang dikenal
dengan sebutan rumahtangga. Mula-mula terbentuk suatu keluarga. Dari keluarga, meningkat menjadi matarumah yang merupakan gabungan dari beberapa rumahtangga. Beberapa matarumah kemudian membentuk soa dan kumpulan soa membentuk negeri atau desa. Bentuk-bentuk ini merupakan bentuk keluarga dari suatu masyarakat yang memiliki hubungan genealogis. Sebutan keluarga batih (ayah, ibu, anak), menunjuk pada ayah yang mempunyai peranan utama. Ayah selaku kepala keluarga sekaligus bertanggungjawab kepada seluruh anggota keluarga. Anak-anak yang dilahirkan akan dikelompokkan pada kelompok ayah. Demikian juga pemeliharaan hak, wewenang dan kewajiban kerabat adalah menurut garis ayah. Keluarga Luas. Keluarga luas biasanya dijumpai di daerah Maluku. Adapun fungsi dari keluarga luas ini ialah untuk mewujudkan suatu tanggungjawab sang anak dalam memelihara orangtuanya. Di samping itu pula, untuk membiasakan anak menjaga
hubungan dengan pihak orangtua. Namun, belum dapat dipastikan bahwa matarumah ialah istilah yang tepat untuk keluarga luas (extended family). Apabila seorang anak perempuan menikah, ia akan tinggal dengan keluarga suaminya sehingga kelihatannya merupakan sebuah keluarga batih besar. Mereka akan tetap menetap dalam rumah, tidur bersama-sama demikian pula dalam hal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah dan suami akan bersama-sama bekerja (mencari makan), untuk seluruh anggota keluarga. Apabila mereka ingin membangun rumah, maka akan diusahakan agar rumah baru tersebut letaknya tidak jauh dari rumah batihnya (viriolokal).
Meskipun sudah
pindah rumah, namun biasanya tanggungjawab untuk mencari makan tetap diusahakan secara bersama-sama, walaupun tidak merupakan suatu kewajiban sehingga ada juga keluarga yang mengurus dirinya sendiri.
Itulah sebabnya tidaklah pasti, ungkapan
matarumah dipakai untuk penyebutan keluarga luas, sebab masalah tempat tinggal dan se-dapur bukan merupakan ukuran untuk penyebutan keluarga luas. Menurut Blood (1972 : 177), peraturan kekerabatan dalam masyarakat tradisional masih sangat kuat, dimana keluarga baru sangat jarang untuk diijinkan tinggal sesuai dengan pilihan mereka. Sistem kekerabatanlah (extended family) yang menentukan dimana keluarga baru itu akan menetap. Biasanya tempat tinggal mereka terpisah, namun masih dekat dengan keluarga salah satu pihak, apakah dari pihak suami ataukah dari pihak isteri. Keturunan dan Status. Kehidupan orang-orang Saparua menunjukkan bahwa,, ukuran tinggi rendahnya status seseorang tergantung dari matarumah tempat ia berasal. Biasanya yang menjadi warga utama yang dihormati oleh warga lainnya ialah keturunan atau matarumah yang menghasilkan Raja (pemimpin negeri/desa), kapitan atau panglima perang, kepala adat atau keluarga lain yang duduk di badan pemerintahan. Penghormatan ini terlihat dari cara warga desa lainnya berbicara dengan mereka, seperti disapa dengan panggilan-panggilan khas dan diikuti dengan membungkukkan badan sebagai ciri kedudukan status sosial yang lebih rendah. Atau pun saat bertemu, maka yang berstatus rendah akan menyapa sambil membungkuk terlebih dahulu. Demikian pula saat pertemuan dengan Raja, maka masyarakat akan bersila di atas tanah sedangkan Raja duduk di tempat yang lebih tinggi. Sistem Patrilineal. Struktur masyarakat Saparua didasarkan pada ikatan genealogis territorial yang tersusun menurut garis bapak atau patrilineal. Masyarakat demikian berarti masyarakat hukum adat yang anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan berasal dari satu keturunan menurut garis laki-laki dan terikat pada tanah atau daerah tertentu.
Unsur genealogis merupakan unsur
pengikat yang lebih kuat dibandingkan dengan unsur territorial (tanah). Hal ini bukan berarti bahwa, ikatan antara kelompok dengan tanah tidak mempunyai pengaruh yang kuat dalam perpaduannya dengan ikatan genealogis. Dalam hal pemilikan, pewarisan, dapat dilihat adanya saling pengaruh antara ikatan genealogis dan ikatan territorial. Faktor struktural masyarakat saparua memiliki fungsi laten yang merupakan akar dari perkelahian antarnegeri, yang ditandai oleh sikap-sikap mereka yang keras. Selain itu, ikatan genealogis dan tanah memegang peranan penting dalam memelihara nilai kebersamaan serta nilai kesetiaan antara anggota. Rasa kebersamaan karena saling percaya memperkuat mentalitas riligiomagis, yang menguasai seluruh kehidupan individu dan kelompok untuk mewujudkan satu bentuk perkelahian massal. 4.3. Penduduk Saparua 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Migrasi Jumlah penduduk Pulau Saparua tahun 2005 sebesar 33.221 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 16.654 jiwa dan Perempuan 16.567 jiwa. Selain itu terdapat 8 warga negara asing yang bertempat tinggal di Negeri Saparua.
Bila
dibandingkan per negeri maka jumlah penduduk dan kepadatan Negeri Haria lebih besar dibandingkan negeri-negeri lainnya di Pulau Saparua (Tabel 5). Tabel 5. Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Negeri di Pulau Saparua JUMLAH PENDUDUK (JIWA) 1 OUW 9,50 1.721 2 ULATH 6,80 1.612 3 SIRISORI SALAM 8,20 2.059 4 SIRISORI AMALATU 18,00 2.005 5 SAPARUA 8,00 2,694 6 TIOUW 7,90 1,466 7 PAPERU 9,10 1.343 8 BOOI 8,20 1.024 9 HARIA 16,70 6.464 10 PORTO 23,50 2.513 11 KULUR 6,50 837 12 TUHAHA 13,30 2.350 13 MAHU 6,55 654 14 IHAMAHU 12,10 1.505 15 IHA 0,75 16 NOLLOTH 11,20 3.070 17 ITAWAKA 10,20 1.904 Sumber : Kecamatan Saparua Dalam Angka Tahun 2006 NO
NEGERI
LUAS (KM2)
KEPADATAN (ORANG / KM) 181,16 237,06 251,10 111,39 336,75 185,57 147,58 124,88 387,07 106,94 128,77 176,69 99,85 124,83 247,11 186,67
4.3.2. Keragaman Etnik dan Religi Secara rinci komposisi penduduk di Saparua terdiri dari beberapa etnis antara lain etnis Maluku keturunan Arab, penduduk asli blasteran Negroid-Melayu, dan etnis pendatang dari Bugis, Buton, Makasar, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Toraja dan Cina. Di antara etnis pendatang tersebut yang paling dominan adalah Buton, Bugis dan Makasar (BBM). Etnis Buton merupakan etnis yang paling banyak dan lama menetap di Saparua. Pendatang Buton pertama kali datang ke Saparua sekitar tahun 1800-an. Awal kedatangannya waktu itu, untuk membantu kerajaan Salam Iha mengahadapi Belanda. Kemudian mereka memilih menetap di Saparua karena daerah asal mereka (Pulau Binungku – Tukangbesi di Sulawesi Tenggara), merupakan daerah tandus yang tidak berpotensi untuk usaha pertanian. Namun kemudian, ada juga pendatang Buton yang kemudian melakukan kawin campuran dengan penduduk asli dan memeluk agama Sarani. Tidak sedikit juga penduduk asli Sarani yang kawin dengan pendatang Buton kemudian berpindah mengikuti keyakinan agama Salam. Etnik Buton sejak awal kedatangannya mendiami lahan-lahan perkebunan di daerah perbukitan di belakang negeri (kawasan Saru dan gunung Panjang di negeri Saparua). Sebagian lain menetap di kawasan pesisir yang belum didiami (kawasan Waisisil di negeri Paperu dan kawasan Lawena di negeri Sirisori Sarani).
Mereka
berjumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya menetap di kawasan yang cukup luas di sekitar negeri Sirisori Sarani. Kehadirannya dapat diterima oleh anak negeri Salam maupun Sarani, namun dianggap sebagai kelas rendah, yaitu petani penggarap lahan baik lahan berupa tanah Dati maupun tanah Negeri.
Sejak
kedatangan etnik ini sampai tahun 1970-an, mereka membentuk komunal yang terpisah dari anak negeri dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya secara bebas. Perkembangan selanjutnya mengarah pada proses interaksi dan perkawinan antara etnik Buton dengan kelompok Salam maupun Sarani, setelah lama tinggal dalam beberapa generasi dan mampu berinteraksi serta menyesuaikan dengan adat setempat. Meskipun demikian, etnik Buton tidak ikut andil dan berpengaruh dalam persoalan politik, namun cukup berperan ketika kita memasuki sektor ekonomi karena mereka umumnya bekerja sebagai buruh kasar di pasar dan pelabuhan, serta pengelola lahan yang kurang subur. Secara berturut-turut kemudian masuk pendatang Bugis, Makasar, Muna, Padang, Toraja, Cina dan kemudian Jawa. Etnis Bugis, Makasar, Muna, Padang dan Toraja datang ke Saparua sekitar tahun 1900-an dengan berdagang sebagai tujuan
utama.
Sementara ada juga etnis Jawa masuk setelah berlangsungnya program
transmigrasi sekitar tahun 1960-an, yang kemudian beberapa kepala keluarga yang tidak tahan di lokasi transmigrasi (Desa Waimital dan Waihatu Kecamatan Kairatu), kemudian mulai mencari hidup ke tempat lain termasuk pula ke Saparua sebagai pedagang di sektor informal. 4.4. Perekonomian Rakyat Komoditas utama pertanian rakyat didominasi tanaman pangan seperti Umbi-umbian dan kacang-kacangan, kemudian jagung.
Tanaman sayuran mulai diusahakan secara
kontinu setelah konflik merebak di Pulau Saparua dan sekitarnya, sehingga masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran yang akan dikonsumsi. Jenis sayuran yang diusahakan yaitu, bayam, kubis, kacang panjang, terong, ketimun, kangkung. Sementara itu, sejak masa penjajahan Belanda penduduk Saparua sudah mengusahakan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama sumber pendapatan. Tanaman perkebunan yang diusahakan terutama kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Selain menggantungkan diri dari sektor pertanian, sektor perikanan juga menjadi andalan masyarakat mengingat semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Namun faktor iklim menjadi kendala utama sehingga tidak sepanjang tahun masyarakat menggantungkan dirinya kepada usaha di sektor perikanan. Menurut Statistik Kecamatan Saparua dalam Angka (2006), rumahtangga perikanan tangkap berjumlah 1.304, sementara jumlah nelayan tangkap berjumlah 2.380 jiwa.
Bahkan telah dibentuk kelompok usaha
sebanyak 60 kelompok untuk menunjang Pogram Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Jumlah alat tangkap serta kapal penangkap yang digunakan sangatlah bervariasi antara negeri, serta bergantung dari potensi ikan yang dimiliki oleh wilayah tangkapan masing-masing negeri.
Nilai produksi sektor perikanan di tahun 2006 sebesar Rp.
6.216.175.000 dengan biaya eksploitasi Rp. 934.426.300, sehingga sisa nilai produksi mencapai Rp. 5.283.748.000. Sementara pendapatan per kapita per tahun mencapai Rp. 2.220.062 yang tergolong sangat rendah, karena per harinya setiap keluarga nelayan hanya memiliki pendapatan sebesar Rp. 6.167. Sagu sebagai makanan pokok tidak termasuk dalam jenis tanaman utama karena sagu tumbuh secara alami. Sagu kemudian diolah menjadi sagu mentah yang diikuti dengan teknologi pasca panen, yang menghasil berbagai jenis produk turunan seperti bagea, sagu lempeng, sarut, sagu gula, dan lain sebagainya. Produk-produk olahan inilah yang menjadi produk andalan industri rumahtangga (home industry) yang dikelola kaum perempuan.
Produk olahan tersebut kemudian ada yang diperdagangkan sampai ke propinsi lain di kawasan timur Indonesia. Misalnya ke Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Proses perdagangan ini biasanya mengikuti jalur transportasi laut yang menjadi saluran penghubung utama dari Maluku ke propinsi lain di kawasan Timur. Berkembangnya sistem perdagangan yang dilakoni kaum perempuan kemudian memunculkan istilah papalele atau kemudian lebih disebut dengan perempuan papalele.
V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA Konflik di pedesaan Saparua sejak awal kemerdekaan bersumber pada sengketa batas tanah antar warga satu negeri dan batas tanah antar negeri. Konflik batas tanah menyebabkan kerugian harta benda milik pribadi bahkan korban jiwa. Konflik tersebut sering terjadi antar negeri dengan agama yang sama. Terjadinya konflik di kota Ambon tahun 1999, menyebabkan arus migrasi kembali ke daerah asal mengikuti aliran migrasi untuk mencari pekerjaan dan melanjutkan pendidikan ke luar Saparua. Arus migrasi sekaligus menjadi sumber penyebaran informasi yang membentuk persepsi kelompok di aras negeri. Persepsi tersebut semakin menguat melalui dakwah elit masing-masing agama yang cenderung tidak menerima kehidupan keberagaman. Ternyata kemudian elit adat turut mendukung elit Agama, sehingga ikatan kekerabatan seperti pela dan gandong tidak berfungsi semestinya.
Justru ikatan agama semakin menguat dan
membentuk simpul-simpul di aras negeri yang seagama. Sehingga konflik terjadi di pedesaan Saparua yang melibatkan komunitas Salam dan Sarani. Proses terjadinya penyerangan terhadap tiga negeri yaitu Iha, Sirisori Sarani dan Pia melibatkan negerinegeri seagama di Saparua. Bantuan masing-masing komunitas juga diberikan dalam bentuk bantuan tenaga dan bahan makanan.
Bantuan tersebut selain berasal dari
negeri-negeri di Saparua juga dari kerabat di Maluku dan di luar Maluku.
5.1. Keberadaan Konflik di Saparua Sampai dengan pertengahan 1980-an sering terjadi perkelahian fisik antarnegeri berdekatan, yang melibatkan hampir seluruh penduduk di Pulau Saparua,
Hal ini
menyebabkan banyak korban berjatuhan, baik jiwa maupun harta benda.
Orang
mengalami penderitaan secara fisik dalam bentuk pingsan dan kematian, serta banyak harta benda menjadi rusak dan musnah.
Perkelahian yang merupakan perilaku
kekerasan terhadap orang dan harta benda, jelas dilarang karena tergolong perbuatan kejahatan kekerasan. Perkelahian antarpenduduk negeri merupakan fenomena yang tidak asing lagi bagi mereka. Komunitas negeri yang saling berkelahi sudah bermusuhan sejak dahulu kala, saat mereka masih tinggal di negeri lama. Proses turun ke pesisir pantai yang dilakukan oleh penduduk dan struktur masyarakat yang kemudian dinamakan negeri sejak abad ke-17 saat VOC, dengan maksud mengamankan sistem monopoli perdagangan yang diterapkan mulai mencampuri kehidupan penduduk. Dalam kasus
tertentu pada pertengahan abad ke-17, sebagian besar penduduk negeri lama dipaksa pindah ke pesisir oleh penguasa-penguasa kolonial untuk memudahkan pengawasan dan mencegah perdagangan gelap dengan orang-orang Eropa lain, Bugis, dan sebagainya (Cooley, 1962). Saat itu sering terjadi perang antar suku, antar keluarga, dan antar negeri untuk merebut kekuasaan dan wilayah. Pemerintah Kompeni (VOC) berusaha bertindak sebagai juru damai, tetapi tidak selalu membawa hasil.
Politik yang dijalankan
pemerintah kompeni malah memperkuat permasalahan di antara mereka, di samping memperlemah pusat-pusat perlawanan yang potensial. Perkelahian dapat saja berhenti, tetapi tidak demikian halnya dengan dendam permusuhan. Ada semacam janji atau sumpah bersifat sakral yang tetap dipegang teguh dan bermakna sampai dunia kiamat pun mereka tidak akan saling berdamai. Misalnya ada sumpah bahwa, “selama dunia masih ada, negeri Ullath tetap bermusuhan dengan negeri Sirisori, kecuali rumput ruturutu sudah tinggi ke langit dan ujungnya sapu awan, di sinilah baru ada perdamaian. Sumpah dan janji inilah yang merupakan salah satu falsafah budaya bersifat negatif yang membentuk karakter kekerasan seseorang. Karakter ini sering menjadi sumber rangsangan untuk melakukan tindakan kekerasan. Penduduk Pulau Saparua mempunyai kultur yang homogen dengan sedikit variasi menurut agama yang dianut masing-masing penduduk.
Sebelum “disuruh”
pemerintah Belanda untuk menetap di pesisir pantai, mereka berdiam di lereng gunung. Saat mereka tinggal di negeri lama ini dan sewaktu dipindahkan ke pesisir pantai sering terjadi perkelahian antarkelompok, untuk memperebutkan tempat tinggal yang tetap atau untuk menetapkan batas territorial mereka.
Bila ada kelompok lain yang ingin
memperoleh sebagian atau memasuki territorial mereka, maka perkelahian pun tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan adanya hak-hak yang melekat pada daerah-daerah teritorial tersebut. Di atas tanah yang merupakan unsur keterikatan masyarakat adat, selain merupakan sumber kehidupan, juga tersimpan benda-benda suci milik mereka. Benda-benda ini memiliki nilai-nilai tertentu bagi mereka, sehingga gangguan terhadap benda-benda tersebut mengakibatkan gangguan terhadap struktur sosial genealogis masyarakat. Sesudah mereka menempati daerah pesisir yang dinamakan negeri, maka tempat mereka semula (di pegunungan) dijadikan tanah usaha yang ditanami tanaman keras seperti cengkeh, pala, kenari, sagu dan sebagainya. Hasil tanaman dijadikan sumber penghidupan bagi mereka.
Pemilikan tanah-tanah ini berdasarkan sistem
kekerabatan patrilineal yang berasal dari satu keluarga inti, yang kemudian beranak pinak. Tanah yang diusahakan secara turun temurun ini kemudian dinamakan tanah dati yang di atasnya berlaku hukum adat. Selain itu ada dusun perusahaan, yakni tanah yang diusahakan sendiri-sendiri oleh masing-masing keluarga. Umumnya jarak antara pemukiman dan batas kedua desa yang bersengketa hanya dipisahkan oleh jalan raya sepanjang kurang lebih lima meter. Malahan sebagian pemukiman penduduk sebuah negeri, saling mengelilingi satu dengan yang lain. Tanah garapan atau dusun mereka saling bersilang. Misalnya, penduduk negeri Noloth bila hendak ke tanah usaha atau negeri Itawaka.
tanah garapan, harus melewati tanah-tanah garapan
Keadaan negeri-negeri yang demikian berdekatan, menyebabkan
banyak rumah yang terbakar dan korban berjatuhan jika sengketa berubah menjadi konflik terbuka. Menurut data yang terkumpul tentang sengketa antar negeri di Saparua yang berkembang menjadi konflik terbuka, terjadi antara penduduk negeri Ouw dengan negeri Ulath sebanyak enam kali sejak 1918. Kemudian terjadi lagi pada 1948, 1958, 1964, 1973 dan terakhir 1975. Konflik pada tahun 1973 mengakibatkan kerugian di pihak negeri Ouw dengan 60 rumah penduduk terbakar. Kerugian pihak lawan pada tahun 1975 yaitu, desa Ulath dengan 146 rumah terbakar selain korban jiwa, luka ringan dan luka parah. Konflik antara penduduk negeri Haria dengan penduduk negeri Porto yang menimbulkan kerugian, paling banyak terjadi pada tahun 1957, 1977, 1983 dan terakhir tahun 2002. Konflik antara penduduk negeri Itawaka dan negeri Noloth terjadi pada tahun 1957, 1967, 1970, 1982 dan terakhir 2001.
Demikian pula antara Ihamahu
dengan Noloth maupun Ihamahu dengan Mahu. Konflik ini juga mengakibatkan puluhan rumah terbakar, selain korban jiwa dan luka-luka. Bahkan di akhir tahun 2006, kembali terjadi konflik bernuansa agraria antara negeri Itawaka dan negeri Ihamahu.
Konflik tersebut muncul sebagai akibat,
perselisihan batas antara masing-masing negeri teristimewa menyakut kepemilikan sumber air. Konflik dimaksud menyebabkan terjadinya penebangan dan pembakaran pohon cengkeh milik masyarakat Ihamahu sebanyak 500 pohon. Hal ini mengakibatkan hubungan antara kedua negeri menjadi tegang, namun kemudian pihak Muspida Kecamatan Saparua bersama-sama Latupati Saparua serta Pimpinan Gereja telah berupaya menyelesaikan masalah tersebut, namun sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik akibat proses penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku pembakaran belum juga dilaksanakan.
Hal tersebut menunjukkan rentannya masyarakat untuk
berkonflik pada dasarnya akibat tidak jelasnya batas-batas antar negeri, atau dapat dikatakan sebagai konflik yang berbasis sumber-sumber agraria (agrarian based of conflict). Konflik bernuansa agama muncul setelah pecah konflik Ambon tahun 1999. Konflik tersebut pada tahun 2000 diikuti dengan bergejolaknya Saparua melalui konflik terbuka antara negeri-negeri Salam dengan negeri-negeri Sarani.
Menurut Kinseng
(2007) berdasarkan pihak (aktor) yang berkonflik itu sendiri, maka konflik agama merupakan konflik yang terjadi antara dua atau lebih agama yang berbeda, seperti antara Islam dan Kristen atau Islam dan Hindu, misalnya. Konflik yang terjadi melibatkan semua negeri bahkan warga Saparua yang ada di perantauan (khususnya Kepulauan Lease dan Seram). Nuansa agama yang muncul saat konflik menyebabkan Pulau Saparua terbelah menjadi dua yaitu negeri Sarani dan negeri Salam. Konflik di Saparua sendiri menyisakan tiga titik noda yaitu negeri Iha (Salam) di Jazirah Hatawano, negeri Sirisori (Sarani) di Jazirah Tenggara dan negeri Pia (Sarani) di Jazirah Pia-Kulor. Ketiga negeri tersebut diserang sehingga mengungsi ke berbagai tempat. Khususnya penduduk Iha, sampai saat penelitian dilakukan masih mendiami lokasi pengungsian di Negeri Liang (Pulau Ambon) dan negeri Sepa (Pulau Seram). Sejak masa kemerdekaan persoalan agraria menjadi inti dalam fenomena konflik di Saparua (tabel 6). Tidak jelasnya batas tanah antar warga satu negeri, bahkan antar negeri yang berbatasan sering menjadi awal pecahnya konflik antar negeri. Persoalan agraria tidak terselesaikan secara baik karena, masing-masing negeri berpegang pada pengetahuan tata batas yang dimilikinya. Rujukan pada peta yang dikeluarkan sejak masa penjajahan Belanda, biasanya menjadi acuan penentuan batas antar warga maupun antar Negeri. Proses penyelesaian secara hukum yang memakan waktu lama dan berkepanjangan, menyebabkan persoalan tersebut merebak menjadi konflik terbuka antar warga satu negeri maupun antar negeri. Bahkan dalam situasi konflik bernuansa agama, konflik batas tanah antar negeri yang seagama masih berlangsung seperti antara negeri Porto dan Haria, antara negeri Itawaka dan Ihamahu, serta negeri Ulath dan Ouw.
Tabel 6. Historis Keberadaan Konflik di Saparua No 1
Basis Konflik
Ciri-Ciri
Ketertindasan
Masyarakat bekerja paksa tanpa upah, menimbulkan kemarahan dan akhirnya pemberontakan 2 Agraria (batas Tidak ada batas yang jelas antar negeri, negeri) biasanya berpatokan pada peta tanah dari jaman Belanda, tidak ada lembaga khusus yang menanganinya secara tuntas, akhirnya terjadi konflik antar negeri yang masih mengandalkan kekuatan spiritualitas, korban harta benda 3 Agraria (batas Persaingan dalam menguasai tanah, negeri dan batas pemerintah tidak mampu mengatur tanah antar warga permasalahan tanah yang didasarkan pada adat, akhirnya terjadi konflik antar satu negeri) warga satu negeri juga antar negeri dimana kekuatan spiritual mulai memudar dan hanya bergantung pada senjata peralatan perang, pembakaran rumah, mulai ada korban jiwa selain harta benda 4 Agama Masyarakat Pulau Saparua terbagi menjadi dua yaitu Salam dan Sarani, imbas dari pesatnya penyebaran isu yang menyesatkan, menggunakan senjata api rakitan dan standar, tiga negeri dihancurkan termasuk pula beberapa bagian dari lahan usaha, korban jiwa bertambah terlebih korban harta benda, mengungsi ke luar negeri Sumber : Data Hasil Penelitian (Diolah) Tahun 2006
Keterangan Masa VOC (1600-1945) Masa Orde Lama (1945-1965)
Masa Orde Baru (1966-1998)
Masa Reformasi (1999-2004)
5.1.1. Kilas Balilk Konflik Iha : titik api di Jazirah Hatawano Gandong Iha – Ihamahu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerangan oleh Negeri-negeri Sarani di Pulau Saparua ke Negeri Salam - Iha dilakukan sebanyak lima kali. Alasan penyerangan yaitu untuk memecahkan perhatian pihak Salam, sehingga rencana penyerangan pihak Salam ke dua negeri Sarani yaitu Sirisori Sarani dan Pia dapat dihindari. Jika diperoleh informasi akan ada penyerangan ke Sirisori Sarani maupun Pia, maka pihak Sarani melakukan serangan gangguan ke Iha. Saat penyerangan pertama dan kedua ke negeri Iha, negeri Ihamahu sebagai “gandong” negeri Iha tidak ikut terlibat karena kuatnya “ikatan gandong” dalam kehidupan masyarakat Ihamahu. Penyerangan dimaksud selalu megalami kegagalan mengingat, secara keyakinan adat-istiadat yang mengaitkan keberadaan Kerajaan Iha sebagai asal-
usul Negeri Iha dan Negeri Ihamahu maka sulit untuk masuk ke Negeri Iha tanpa dukungan Negeri Ihamahu. Selain itu, kelompok penyerang yang berasal dari Negerinegeri sekitar Ihamahu (seperti Itawaka, Noloth, Tuhaha dan Mahu) tidak mengetahui dengan jelas situasi dan kondisi Negeri Iha. Saat mendengar akan ada serangan dari pihak Salam ke Sirisori Sarani secara besar-besaran, maka negeri Ihamahu turut terlibat mengatur serangan ke Iha. Tujuan penyerangan saat itu untuk mengganggu kondisi negeri Iha, sehingga kelompok Salam yang berencana melakukan penyerangan ke Sirisori Sarani akan terpecah perhatiannya. Adanya penyerangan menyebabkan kelompok Salam harus membagi kekuatan dengan membantu dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyerangan ke negeri Iha. Kekuatan penuh pihak Salam yang semula diarahkan ke Sirisori Sarani, dengan sendirinya terbagi untuk membantu Iha sehingga kemungkinan penyerangan dan penghancuran Sirisori Sarani dapat dihindari.
Hal demikian mendasari keterlibatan
negeri Ihamahu dalam mengatur serangan dengan tujuan memecahkan perhatian kelompok Salam, bukan untuk membakar dan menghancurnya “gandong”-nya negeri Iha. Keterlibatan negeri Ihamahu diputuskan juga dalam rapat negeri antara pimpinan negeri dengan Majelis Gereja Protestan Ihamahu. Rapat menghasilkan kesepakatan untuk melakukan pendekatan gandong dengan tokoh-tokoh adat di negeri Iha. Pendekatan dengan Raja Iha bertujuan agar segera mengirimkan utusan-utusannya ke negeri-negeri di jazirah Hatawano pada khususnya maupun Saparua pada umumnya. Langkah tersebut diikuti pula dengan desakan agar negeri Iha tidak menerima adanya masukan orang-orang dari Iha, sehingga situasi dan kondisi aman di jazirah Hatawano dapat dipertahankan. Selain itu, masuknya “orang asing” ke Iha akan mempengaruhi cara pandang bahkan juga dapat menimbulkan pikiran-pikiran yang mengarah pada perpecahan antara saudara sekandung. Tokoh pemuda Negri Ihamahu (AL) menjelaskan bahwa : sebelum terjadi penyerangan ke negeri Iha, maka pendekatan oleh Raja dan Tokoh Agama dari Ihamahu ditolak Raja Iha, dengan alasan bahwa konflik yang terjadi merupakan konflik agama, sehingga tidak mungkin ada persatuan lagi antara Iha dan Ihamahu yang berbeda agama walau pun memiliki “ikatan gandong”, apalagi dengan negeri-negeri lainnya. Keputusan ini sangat dilandasi oleh turut campurnya pihak di luar keturunan Iha yang asli (bukan keturunan Iha, atau hasil perkawin campuran antara perempuan Iha dengan laki-laki dari negeri lain, atau kelompok Jihad yang sudah masuk dan menetap
dalam Iha), sehingga tidak ada lagi pemikiran untuk mempertahankan adat-istiadat dan berganti dengan pemikiran yang mengarah ke perbedaan akibat adanya perbedaan agama. Informasi yang berkembang di Ihamahu meyakinkan bahwa, di Iha saat itu sudah masuk begitu banyak pasukan Jihad selain pasukan militer yang ditempatkan secara resmi. Selain itu, di kedua ujung negeri Iha baik yang berbatasan dengan Negeri Noloth maupun yang berbatasan dengan Negeri Ihamahu terdapat masing-masing satu regu Brimob BKO (Laporan Klasis Gereja Protestan Maluku Pulau Saparua). Sementara pihak TNI (khususnya AD) ditempatkan di tengah-tengah negeri Iha. Masuknya orang luar ke dalam Iha, sangat mungkin dilakukan dengan menggunakan speedboat yang sering masuk dan ke luar Iha seminggu tiga kali. AL juga menjelaskan krologis penghancuran Negeri Iha sebagai berikut : Saat anak negeri Ihamahu yang berada di depan berhasil masuk sampai ke tengah-tengah negeri Iha, bahkan sampai ke Mesjid yang juga merupakan hasil karya dari anak-anak negeri Ihamahu sekaligus sebagai bukti nyata adanya ikatan segandong antara Iha-Ihamahu dan ikatan pela dengan Amahai, maka saat itu pula terndengar suara gemuruh seperti sekumpulan orang yang berada dalam kondisi ketakutan. Ternyata sebagian besar masyarakat Iha telah terperangkap dalam Mesjid, sementara pasukan bantuan yang tadinya hendak membantu justru telah melarikan diri dan mencari penyelamatan ke kapal perang TNI-AL yang sejak pagi berlabuh di pesisir pantai Jazirah Hatawano. Untung saja bukan warga negeri lain yang sampai duluan ke depan Mesjid, sebab kalau mereka yang sampai duluan maka tidak dapat dihindarkan lagi akan terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat Iha yang sudah terkurung dalam Mesjid. Merujuk pada kondisi demikian maka, warga Ihamahu mengatur strategi dengan cara memberikan informasi kepada kelompok Sarani yang berasal dari negeri-negeri di luar Ihamahu bahwa masih ada “sniper (penembak jitu)”, sehingga hati-hati untuk masuk ke dalam Mesjid. Warga Ihamahu menambahkan pula mereka harus menunggu abaaba dari pihak Ihamahu, jika situasi dan kondisi sudah jelas aman maka mereka segera masuk ke dalam mesjid Iha.
Selain itu, pihak Ihamahu juga berupaya menahan
masuknya kelompok Sarani (negeri lain di luar Ihamahu) dengan melemparkan bom ke halaman mesjid, sehingga mereka takut untuk masuk ke dalam Mesjid. Strategi demikian menyebabkan semua masyarakat Iha (laki-laki maupun perempuan, serta dewasa maupun anak-anak) yang tadinya terkurung di dalam Mesjid, berhasil meloloskan diri dengan melompati jendela mesjid yang mengarah ke pantai. Setelah itu mereka kemudian menyelamatkan diri melalui perahu karet ke kapal perang TNI-AL yang berlabuh di pantai. Upaya ini didukung pula dengan tembakan dari kapal
perang yang diarahkan ke pesisir pantai negeri Ihamahu, Itawaka dan Noloth. Penembakan ini dilakukan untuk menghindari adanya penyerbuan dari kelompok Sarani ke arah pesisir Iha karena banyak warga Iha sedang menunggu perahu karet untuk menyelamatkan diri ke kapal perang. Keadaan itu terjadi pada tanggal 22 September 2000, tepatnya pukul delapan malam. Adapun orang Iha terakhir yang meninggalkan mesjid adalah penabuh beduq, dimana sebelum meninggalkan mesjid masih sempat memukul beduq sebagai tanda bahwa negeri mereka telah jatuh. Selain itu, di antara masyarakat Iha masih tertinggal seorang nenek yang memang tidak mampu lagi menyelamatkan diri. Nenek ini kemudian oleh Raja Ihamahu segera diamankan di pastori Gereja Ihamahu, kemudian keesokan harinya dibawa ke Polsek Saparua untuk diungsikan ke Tulehu (Pulau Ambon) karena semua masyarakat Iha telah mengungsi ke negeri Tulehu (Laporan Krisis Centre Gereja Protestan Maluku dan Keuskupan Amboina). Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada keinginan untuk melakukan penyerangan ke negeri Iha, apalagi sampai membakar rumah-rumah dan mesjid yang juga merupakan buah tangan warga Ihamahu. Namun situasi dan kondisi sangatlah tidak memungkinkan, juga ditunjang oleh keras kepalanya Raja Iha yang tidak mau menolak masuknya orang “luar Iha” ke dalam negerinya serta tidak mau menyepakati hal tersebut dengan Raja-raja di jazirah Hatawano dan Saparua pada umumnya. Sehingga saat semua masyarakat Iha telah meninggalkan negeri maka, warga negeri di luar Ihamahu mulai melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk serta akhirnya melakukan pembakaran terhadap Mesjid Iha. Warga Iha sendiri banyak yang kecewa dengan saudara “gandong”-nya Ihamahu, karena menganggap bahwa sebagai saudara sekandung seharusnya orang Ihamahu mempertahankan Iha sekaligus melawan para penyerang yang hendak menghancurkan Iha.
Ada juga warga Iha yang beranggapan bahwa, masuknya
kelompok Jihad ke dalam Iha tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari upaya menghancurkan ikatan “gandong” antara Iha-Ihamahu. Namun, kenyataan demikianlah yang harus diterima bahwasannya ketahanan masyarakat dalam menghadapi situasi demikian tidak cukup kuat, sehingga dengan mudah dapat dipakai sebagai dasar untuk menggerakkan dan mengarahkan munculnya konflik yang salah satu akibatnya yakni kehancuran negeri Iha. Kesadaran akan kerugian yang diderita akibat konflik, kemudian memunculkan semangat untuk memperkuat kembali ikatan kekerabatan antara Iha-Ihamahu. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa, ikatan kekerabatan tersebut hanya luntur sesaat yakni saat konflik mencapai puncaknya di Saparua melalui penyerangan dan penghancuran harta benda bahkan nyawa pihak musuh. Fakta menunjukkan bahwa, setelah konflik dan situasi semakin kondusif ternyata ikatan kekerabatan
tersebut
muncul kembali. Sebagaimana dijelaskan informan negeri Ihamahu berikut ini : Sekali waktu masyarakat Ihamahu diundang oleh “pela” negeri Amahai untuk mengerjakan perbaikan Gereja Amahai. Saat itu sempat terjadi pertemuan dengan saudara gandung Iha yang untuk sementara mengungsi di negeri Souhoku (tetangga negeri Amahai). Saat bertemu ada yang diundang ke rumah pengungsian mereka dan disuguhi makan dan minum. Sebagai saudara segandong walau pun masih ada keraguan, karena saat itu situasi belum aman seperti sekarang ini, namun mengingat ikatan kekerabatan maka beberapa anak negeri Ihamahu berketetapan untuk pergi mengunjungi mereka. Saat itu terlihat bahwa mereka benar-benar mengalami kesulitan hidup, walau pun tetap berusaha memenuhi kebetuhan hidup dengan bertanam ubikayu dan keladi, serta mencari ikan, namun mereka belum memiliki tempat tinggal yang tetap atau masih menumpang di rumah saudara mereka di negeri Souhoku. Mereka ini merupakan bagian dari orang Iha yang mengungsi ke Sepa (sekitar 25 km dari Masohi – ibukota Kabupaten Maluku Tengah), kemudian mencari tempat tinggal lebih dekat ke kota Masohi agar memudahkan dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Kunjungan tersebut berlangsung selama tiga jam sampai hari sudah gelap. Saat akan pulang, orang Iha mengantar warga Ihamahu kembali ke Amahai dengan janji bahwa besok hari pagi-pagi orang Iha akan kembali untuk memberikan ikan hasil tangkapan mereka sebagi buah tangan uintuk dibawa pulang ke Ihamahu. Ternyata keesokan harinya mereka menepati janji, yaitu sekitar jam 5.30 pagi mereka telah menunggu di pelabuhan speedboat Namano (negeri Amahai) untuk memberikan sekantung plastk ikan komu (tuna kecil). Warga Iha sendiri pernah kembali ke Saparua untuk melihat kondisi negeri mereka setelah hancur bersama-sama dengan penjabat Gubernur Maluku (Sinyo Sarundajang), namun mereka belum berani mengambil keputusan untuk kembali. Ada juga yang berjualan parang sampai ke Saparua. Sehingga sebagian besar masyarakat Iha yang berpendapat bahwa, tidak usah dipaksakan dan biarlah semuanya berjalan dari masyarakat bawah secara perlahan-lahan sehingga pada waktunya dipastikan warga Iha kembali ke Saparua. Saat “panas-gandong” (Ihamahu-Iha yang dibuat oleh negeri Ihamahu), negeri Iha di pengungsian (Liang – Pulau Ambon) mengutus enam orang warganya ke Ihamahu untuk menghadiri acara dimaksud selama dua hari. Justru masyarakat Iha yang mengungsi ke Sepa (Pulau seram) tidak mengirimkan utusan sama sekali. Selain itu, saat memasuki bulan puasa masyarakat Iha yang telah mengungsi ke Liang (Pulau Ambon) menyempatkan diri untuk membersihkan kuburan orangtua dan
saudara mereka di Iha. Selain berkunjung ke saudara “gandong” di negeri Ihamahu, mereka sempat pula mengunjungi negeri-negeri tetangga seperti Noloth dan Itawaka. Mengingat sebelum kerusuhan antara negeri Iha dan Noloth maupun negeri Iha dengan Itawaka, hidup bersama secara damai terutama saat memetik cengkeh maupun mencari ikan. Pertautan Negeri Itawaka dan Noloth dalam Konflik dengan Negeri Iha. Sebelum konflik terjadi di pedesaan Saparua tidak pernah ada permasalahan antara negeri Itawaka dengan Negeri Iha. Bahkan Itawaka selalu terlibat dalam pembangunan dan renovasi mesjid Iha. Itawaka pernah bermasalah dengan Noloth sehingga rumahrumah warga Itawaka di perbatasan Noloth terbakar. Bahkan saat konflik tahun 1966 “baeleo (rumah adat)” Itawaka turut terbakar. Hal itu terjadi akibat permasalahan anak muda dan juga karena masalah batas tanah (konflik agraria).
Walaupun demikian
warga Itawaka juga berhasil membakar rumah-rumah Noloth yang saling berbatasan. Saat Noloth melakukan penyerangan, masyarakat Itawaka tidak mengetahuinya sehingga tidak mempersiapkan diri.
Oleh karena itu, banyak rumah yang terbakar
bahkan ada warga Itawaka yang meninggal. Fakta tersebut merupakan kilas balik bahwasannya, setelah masa kolonial Belanda konflik yang sering terjadi sebenarnya bukan antara negeri yang berbeda Agama. Hal ini mengarahkan bahwa, agama bulanlah sumber utama konflik. Dengan kata lain, perbedaan Agama tidak menjadi dasar bagi munculnya konflik di Saparua. Namun kemudian penyebaran konflik bernuansa agama yang bermula dari Ambon, ternyata cukup mampu merubah pengalaman sejarah negeri-negeri di Saparua (yang tidak pernah ada konflik bernuansa agama) sampai kemudian memunculkan konflik agama yang berkepanjangan. Kenyataan demikian menunjukkan kematangan masyarakat belum cukup kuat untuk menghadapi proses pematangan konflik melalui isu-isu maupun situasi yang memicu emosi dan dendam antara negeri yang berbeda agama di Saparua. Misalnya, ada informasi bahwa warga beragama tertentu dari salah satu negeri di Saparua meninggal sehingga harus melakukan pembalasan terhadap warga beragama lain di Saparua.
Oleh karena itu, konflik di Saparua begitu mudah pecah namun proses
penyelesaiannya juga berlangsung secara alami tanpa pengaturan dari pihak mana pun. Hal ini disebabkan oleh kesamaan adat istiadat antara negeri-negeri di Saparua, sehingga ikatan adat-istiadat antara negeri berbeda agama kemudian tumbuh kembali.
Berawal dari masyarakat tingkat bawah kemudian ditularkan ke masyarakat lainnya, sampai kemudian mengarah ke proses perdamaian antara seluruh negeri di Saparua. Sebagai gambaran dijelaskan informan dari Itawaka bahwa, setelah Iha hancur pernah sehari sebelum Lebaran warga Iha datang untuk membersihkan kuburan keluarga mereka. Saat itu warga Itawaka turut membantu membersihkan Iha yang diatur oleh badan pemerintahan masing-masing negeri. Memang saat konflik makin memanas masyarakat Itawaka turut merasakan kesulitan melakukan perjalanan darat ke kota Saparua. Saat itu warga Itawaka harus turun dari mobil dan berjalan kaki sepanjang Negeri Iha hingga sampai perbatasan dengan Negeri Ihamahu.
Hal itu terjadi karena kelompok Jihad telah masuk dan
mengusai serta mengatur Iha.
Padahal semua warga Iha saling kenal dengan
masyarakat Itawaka, karena jumlahnya sedikit. Selain itu ada hal yang menyulut emosi masyarakat Itawaka karena, jika melintasi pesisir pantai Ntegeri Iha menggunaan speedboat maka mereka diejek dan ditertawakan oleh warga Iha yang tidak dikenal (orang luar Iha). Warga luar Iha kemudian melakukan penembakan terhadap warga Ihamahu, Noloth dan Itawaka.
Sehingga jika warga Itawaka tidak turut mendukung
upaya menjatuhkan Iha maka dapat dipastikan Negeri-negeri Ihamahu, Noloth dan Itawaka yang terletak di ujung Hatawano yang akan hancur (Laporan Gereja Protestan Maluku Klasis Saparua).. Warga Itawaka turut membantu dalam penyerangan dan pengahancuran Iha, bahkan penyerangan tersebut didukung pula oleh negeri-negeri Sarani lain di Saparua. Saat itu kelompok Salam yang berkedudukan di negeri Iha mulai memulai penyerangan dan pembakaran tujuh rumah warga Noloth.
Serangan balasan pihak Sarani
menyebabkan kelompok Salam yang berencana membantu Negeri Iha tidak semuanya berhasil masuk ke Iha. Kelompok yang tidak sempat masuk ke Iha kemudian menyerang Dusun Pia. Serangan tersebut diikuti dengan penghancuran dusun Pia sampai warganya mengungsi ke kota Saparua. Saat Noloth terbakar pada tanggal 22 September 2000, Raja Noloth datang kepada Raja Itawaka untuk meminta bantuan warga Itawaka. Raja Itawaka masih berpikir untuk membantu, karena jika merujuk pada keturunan Kerajaan Iha maka warga Itawaka merupakan “adik”, sehingga tidak mudah bagi Itawaka untuk membantu penyerangan menghancurkan Iha hanya karena berbeda kepercayaan. Pendeta Noloth juga datang mengungkapkan hal yang sama kepada Raja Itawaka. Akhirnya
Raja
Itawaka masuk untuk berdoa yang kemudian bersama seorang warganya mulai
melakukan persiapan bantuan walaupun masih ada perbantahan dalam diri. Saat Raja Itawaka sampai di Negeri Noloth, ternyata warga Iha telah menyerang dan membakar tujuh rumah warga Noloth. Saat itu masyarakat Itawaka mulai bersiaga, khususnya di negeri Ihamahu. Serangan dari arah Ihamahu selain memperkuat pertahanan juga untuk memecah perhatian kelompok penyerang agar tidak terkonsentrasi ke arah negeri Noloth. Raja Itawaka sebagai pimpinan negeri mengkoordinir masyarakat yang masuk angkatan kerja untuk membantu menjaga negeri Ihamahu. Raja sendiri masuk ke negeri Ihamahu dan bertemu dengan satu regu brimob yang bertugas di Ihamahu. Ada juga satu regu Brimob yang bertugas di Noloth, dan dua regu Brimob yang ditempatkan dalam negeri Iha. Selain itu dalam negeri Iha juga ada TNI yang ditugaskan resmi dari Kodim Maluku Tengah (Batalyon XXX).
Mereka dilengkapi dengan senjata otomatis standart,
sementara pihak Sarani hanya memiliki lima sampai delapan pucuk senjata standart serta selebihnya senjata rakitan dan dukungan moral yang kuat untuk membantu menjaga keamanan negeri Ihamahu. Menurut AL : Penyerangan dari arah Negeri Ihamahu turut dibantu anggota Polsek Saparua yang Sarani, serta ditunjang dengan strategi perang yang dimiliki Raja Itawaka sebagai pensiunan Polri. Saat itu bom berjatuhan bersamaan dengan penembakan dari kapal perang TNI-AL yang berlabuh di pesisir pantai jazirah Hatawano, sehingga pihak Sarani lebih banyak mundur terutama di perbatasan negeri Noloth, sehingga tujuh rumah dapat dibom dan dibakar oleh kelompok penyerang. Sepertinya sudah ada kerjasama antara mereka yang ada di dalam Iha dengan kapal perang, sehingga penembakan dan pengeboman dapat dilakukan secara bersamaan. Raja Ihamahu dan Raja Itawaka berpendapat langkah yang diambil warga Itawaka sudah tepat, karena kalau tidak melakukan penyerangan dan penghancuran negeri Iha maka dikhawatirkan Negeri-negeri Sarani di Jazirah Hatawano dapat dihancurkan. Tepat jam tujuh malam serangan balik oleh kelompok Sarani ke negeri Iha mulai dilakukan, sampai kemudian jam delapan malam negeri Iha berhasil dijatuhkan. Sebagian warga Iha kemudian naik perahu karet dan sebagian lagi berenang ke kapal perang TNI-AL untuk selanjutnya diungsikan ke Tulehu (Pulau Ambon).
Setelah
penyerangan warga Sarani menemukan dua jenasah yang kemudian dikuburkan, yaitu seorang Iha dan seorang lagi yang tidak diketahui identitasnya. Menurut Laporan Klasis GPM Pulau Saparua (2002), jika dilihat dari bentuk wajah serta warna kulit sepertinya jenazah tersebut bukan warga etnis Maluku. Sehingga mereka mensinyalir sebagai aparat TNI atau “kelompok Jihad” dari luar negeri Iha. Selain itu ditemukan pula jenasah
yang dibuang dalam sumur, kemudian ada juga sekeluarga warga Iha yang dibantai karena tidak mau mengikuti perintah untuk berperang dengan gandongnya negeri Ihamahu. Selama penyerangan terhadap negeri Iha, tidak ada bantuan makanan yang diberikan karena sudah menjadi kebiasaan saat konfllik, negeri yang menerima bantuan harus menanggung kebutuhan makanan kelompok yang membantu. Oleh karena itu kebutuhan makanan kelompok yang membantu menjadi beban warga Ihamahu. Khusus untuk kelompok bantuan dari negeri sekitar Ihamahu seperti Itawaka dan Noloth, maka saat waktu makan mereka pulang ke negerinya masing-masing kemudian kembali lagi untuk berjaga di Ihamahu. Sebagian besar warga yang membantu lebih memilih untuk makan di Ihamahu sehingga tidak membuang waktu. Biasanya kelompok warga Itawaka yang masuk dalam kelompok pemberi bantuan berjumlah 30 orang. Kelompok ini masuk ke Ihamahu melalui belakang Iha, dengan penuh kehati-hatian karena telah ditempatkan ranjau berupa benda tajam.
Demikian pula biasanya AL dan dua orang temannya
mempersiapkan 30 orang jika diminta bantuan ke Ulath maupun Sirisori Sarani. Setelah Iha mengungsi Raja Itawaka pernah beberapa kali berkunjung ke Tulehu untuk bertemu dengan masyarakat Iha.
Bahkan bersama-sama dengan raja-raja
Saparua lainnya yang tergabung dalam Latupati, berupaya untuk membujuk masyarakat Iha agar kembali. Masyarakat Iha berpendapat belum waktunya dengan alasan yang tidak diungkapkan. Kelihatannya warga Iha yang mengungsi di Liang berpeluang besar untuk kembali ke negerinya di Hatawano (Saparua). Sebaliknya warga Iha yang mengungsi ke Sepa (Pulau Seram) sulit untuk kembali ke Hatawano. Sampai sekarang pendekatan masih terus dilakukan, tetapi warga Iha berpendapat sekitar 25 – 30 tahun baru mereka kembali. Dasar pemikiran warga Iha yaitu, sejarah Saparua mencatat bahwa pengungsian saat ini adalah untuk ketiga kalinya mereka tergusur dari Saparua sehingga sulit untuk kembali. Saat konflik memanas di Jazirah Hatawano, tidak ada warga dari luar Saparua yang datang membantu Itawaka. Seballiknya sejumlah 50 KK warga Itawaka yang berada di lokasi transmigrasi lokal di negeri Sepa (Pulau Seram) harus mengungsi ke Itawaka karena diserang kelompok Salam. Saat ini pengungsi yang tersisa di Itawaka hanyalah 40 KK. Mereka sulit kembali ke lokasi transmigrasi karena tanah mereka telah dikuasai oleh orang Sepa (beragam Salam). Diantara 40 KK yang kembali ke Itawaka, 20 KK di antaranya telah memperoleh bantuan rumah yang dibangun Pemda, namun 20 KK lainnya belum.
5.1.2. Kilas Balik Konflik Sirisori Sarani : titik api di Jazirah Tenggara Gandong Sirisori Sarani – Sirisori Salam. Kehidupan sebelum konflik antara warga Sirisori Amalatu (Sarani) dengan Sirisori Amapati (Salam)5 sangat rukun dan aman tanpa permusuhan, karena kedua negeri merupakan adik-kakak (gandong). Konflik yang terjadi antara kedua negeri karena pengaruh konflik Ambon yang menyebar ke Saparua terlebih khusus Sirisori Salam. Selama konflik terjadi semua warga berupaya untuk terlibat dalam mempertahankan negeri. Upaya yang dilakukan ternyata memakan korban jiwa. Bantuan yang masuk dari ke negeri Sirisori Sarani berasal dari negeri-negeri di Saparua dan juga dari Ambon. Bantuan berupa tenaga pendukung dan bahan makanan. Bantuan tenaga tersebut diarahkan untuk mempertahankan negeri dari serangan kelompok Salam. Laporan Klasis GPM Pulau Saparua menunjukkan bahwa : Saat tanggal 23 Oktober 1999 sekitar jam 16.30, masyarakat Sirisori Sarani dikejutkan dengan serangan pihak Sirisori Salam secara beruntun dari berbagai arah (gunung maupun pesisir pantai). Serangan dibarengi dengan senjata organik ke arah pemukiman secara proradis. Kelompok penyerang juga menggunakan pakaian loreng yang menutupi kaos warna hitam. Akibat penyerangan besar-besaran serta lemahnya petugas Brimob yang menjadi pembatas antara Negeri Sirisori Salam dan Sirisori Sarani, maka pihak Sirisori Sarani mengalami kerugian besar, setelah rumah dan harta benda mereka dijarah dan menyisakan puing-puing bekas rumah maupun bangunan lain, seperti kantor negeri dan Gedung Gereja. Terlihat dalam penyerangan ke Sirisori Sarani, negeri Sirisori Salam didukung pihak militer yang ditempatkan sebagai tenaga keamanan yang berjaga di kedua negeri. Ternyata saat penyerangan justru petugas militer yang bertugas turut melakukan penyerangan ke Sirisori Sarani. Selain dukungan tenaga Jihad dari negeri-negeri Salam di Pulau Haruku (Kailolo dan Pelauw) maupun dari Pulau Seram yang masuk menggunakan speed-boad. Sirisori Sarani tidak memperoleh bantuan dari pihak militer. Justru warga negeri Sirisori Sarani berusaha menyelamatkan anggota Brimob BKO yang tidak sanggup lagi mempertahankan situasi keamanan antara kedua negeri (Laporan Gereja Protestan Maluku Klasis Saparua). Bahkan untuk memperkuat pertahanan Sirisori Sarani datang pula bantuan dari Ambon yaitu kelompok AGAS (masyarakat sipil dengan persenjataan lengkap ala militer dan umumnya berasal dari Kudamati Ambon). Dugaan berkembang setelah konflik ternyata pasukan AGAS memiliki keterkaitan dengan pasukan yang menyerang dari
5
5) Selanjnya disebut Sirisori Salam dan Sirisori Sarani
Sirisori Salam. Hal ini diperkuat fakta saat penyerangan dilakukan kelompok AGAS kemudian
berbalik
menyerang
bersama-sama
secara
sembunyi-sembunyi.
Sebagaimana dijelaskan informan Negeri Sirisori Sarani berikut ini : Hal tersebut baru diketahui kemudian setelah negeri Sirisori Amalatu dihancurkan kemudian anak-anak negeri berdiskusi tentang kronologis penyerangan. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa, saat pasukan Agas sudah berada dalam posisi mereka mengatakan harus menunggu perintah dari komandan mereka melalui HT, ternyata komandan mereka juga menunggu informasi kesiapan penyerangan dari komandan pasukan militer di Sirisori Salam, sehingga pasukan Agas ini berfungsi memperlambat pergerakan pasukan Sirisori Sarani beserta bantuan dari negeri-negeri lain. Saat pasukan penyerangan sudah siap, justru pasukan bantuan mundur dengan alasan waktu belum tepat dan saat itu pasukan dari Sirisori Salam menyerang dengan dahsyat sementara pasukan AGAS justru melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk dari bagian belakang seakan-akan pihak penyerang telah menguasai seluruh negeri. Hal demikianlah menimbulkan kekacauan dan kepanikan masyarakat, untunglah koordinasi tokoh keamanan negeri Sirisori Sarani berjalan dengan baik sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa, walau pun jumlah korban harta benda tidak dapat dihindari. Beberapa tokoh adat negeri Sirisori Sarani seperti Kepala Soa sangat berperan dalam mengkoordinir warga menghadapi serangan negeri Sirisori Salam. Peran kepala Soa sangat dominan terutama untuk mempertahankan keberadaan negeri dari serangan musuh. Kepala Soa turut menghimpun anak-anak Soa guna membentuk pertahanan yang kuat dalam menghalau serangan Sirisori Salam. Bantuan yang masuk terutama berupa bantuan tenaga dan bantuan makanan. Sejak beredar isu-isu penyerangan ke Sirisori Sarani maka bantuan terus berdatangan terutama untuk memperkuat pertahanan. Bantuan makanan yang diberikan negeri-negeri tetangga berupa makanan yang sudah diolah, maupun makanan mentah berupa pisang dan keladi sebagai makanan tradisional. Setelah Sirisori Sarani diserang dan dihancurkan warganya mengungsi ke lokasi perkebunan negeri – dusun negeri. Setelah mengungsi negeri Sirisori Sarani selalu menghalangi keinginan negeri-negeri lain di Saparua untuk melakukan penyerangan balasan ke Sirisori Salam. Saat mengungsi banyak bantuan dari berbagai pihak seperti, bantuan beras oleh pemerintah, bahan makanan mentah dan yang siap dimakan dari negeri-negeri Sarani di Saparua. Menurut informan (Bapak MS) serta Laporan Klasis Gereja Protestan Maluku Pulau Saparua menunjukkan bahwa, penyerangan yang dilakukan kelompok Salam sebanyak dua kali yang kemudian diikuti dengan pembakaran sebagian besar sarana
dan prasarana negeri Sirisori Sarani. Penyerangan kelompok Salam mengindikasikan adanya keterlibatan pihak “militer”. Indikasi tersebut semakin diperkuat dengan adanya keterlibatan militer yang memang ditugaskan secara resmi di perbatasan Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Pihak militer yang berbalik menyerang Sirisori Sarani dengan senjata-senjata otomatis, bahkan ditemukan pula mortir yang ditembakkan oleh penyerang dari arah Sirisori Salam. Sebelum penyerangan terjadi, warga Sirisori Sarani sempat melakukan pemantauan situasi dan mendapati bahwa banyak speedboat yang masuk ke Sirisori Salam. Speedboat tersebut yang diduga membawa masuk Laskar Jihad sebagaimana isu-isu yang berkembang saat itu. Konflik antara Sirisori Salam dan Sirisori Sarani tidak pernah melibatkan tokohtokoh negeri baik yang ada di Jakarta maupun Belanda. Justru tokoh-tokoh masyarakat yang berada di luar Maluku banyak memberikan bantuan makanan dan uang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setelah konflik berkepanjangan. Sebenarnya Sirisori Sarani berencana untuk membalas dengan dukungan tenaga dari berbagai negeri di Saparua dan sekitarnya, namun kemudian tokoh-tokoh adat negeri Sirisori Sarani sendiri melarang dan menolak rencana penyerangan tersebut. Sebelum kerusuhan kehidupan kedua negeri Sirisori Salam dan Sarani sangatlah erat. Bahkan ada kerjasama dalam melaksanakan berbagai kegiatan usaha seperti halnya saat mencari ikan. Jika salah satu negeri Sirisori melaksanakan sasi, maka mejadi kewajiban bagi mereka untuk memberikan ikan (ikan umpan maupun ikan untuk makan) jika diperlukan warga Sirisori yang tidak melaksanakan sasi. Hal ini sudah merupakan adat istiadat sejak dahulu antara adik kakak Sirisori Salam dan Sirisori Sarani. Sebelum konflik, masyarakat Sirisori baik Salam maupun Sarani banyak berusaha sebagai pedagang, petani serta nelayan. Usaha tersebut berjalan dengan lancar. Saat konflik usaha yang dimiliki tidak berjalan dengan baik, karena menghadapi kendala keamanan saat ke kebun maupun saat mencari ikan di laut. Menurut Kepala Soa Sirisori Salam (MK) upaya penyerangan selalu diambil oleh Sirisori Sarani, sehingga sesuai dengan falsafah yang kedua negeri anut bahwa sapa bale batu maka batu bale dia terbukti. Penyerangan yang menjadi inisiatif Sirisori Sarani dalam arti mereka yang membalik batu, sehingga mereka sendiri harus dibalik oleh batu berupa kebakaran dan kehancuran negeri mereka sendiri. Terjadi empat sampai lima kali penyerangan dari Sirisori Sarani terhadap Sirisori Salam. Namun, Sirisori Salam melakukan dua kali serangan balik yang pertama berhasil membakar rumah-rumah
Sirisori Sarani yang berbatasan dengan Sirisori Salam, kemudian yang kedua menghancurkan dan membakar 80 persen rumah dan sarana serta prasarana lainnya termasuk Rumah Adat (Baeleo) dan Gereja Sirisori Sarani. Saat konflik sedang berlangsung di Saparua, dilakukan upaya untuk memperkuat kembali ikatan adat untuk meredam konflik yang berkepanjangan. Negeri Tamilow di Pulau Seram mengundang negeri Sirisori Sarani ke negeri Tamilou (sebagai gandong) untuk memperkuat kembali ikatan gandong.
Ternyata negeri Sirisori Salam tidak
diundang. Padahal negeri Sirisori Sarani dan Sirisori Salam harusnya diundang sebagai bagian dari ikatan gandong. Hal tersebut mengherankan tokoh-tokoh adat negeri Sirisori Salam. Tidak diundangnya negeri Sirisori Salam menyebabkan tokoh-tokoh adatnya mengganggap bahwa mereka tidak memiliki hubungan gandong dengan negeri Tamilow. Hal ini merupakan suatu pengingkaran terhadap adat, dan saat ini kedua Sirisori berusaha meluruskan permasalah dimaksud dengan masing-masing gandong. Konflik Negeri Sirisori Salam dan Negeri Ulath serta Negeri Ouw. Mendengar terjadinya kontak senjata antara Sirisori Salam dengan Sirisori Sarani pada tanggal 21 Oktober 1999, maka negeri Ulath dan Ouw berusaha melakukan tekanan ke arah Sirisori Salam untuk mengurangi tekanan pihak Salam ke Negeri Sirisori Sarani. Sekitar 8 (delapan) warga Negeri Ulath dan Ouw melakukan serangan gangguan dari arah timur negeri Sirisori Salam. Serangan tersebut berlangsung sampai jam 17.00. Menurut Laporan Klasis GMP Pulau Saparua, saat penyerangan kedelapan warga melihat keterlibatan aparat militer (TNI dan POLRI) yang bertugas di Sirisori Salam. Keterlibatan aparat sangat nyata dengan melakukan penembakan terhadap warga Sirisori Sarani, Ulath dan Ouw.
Bahkan sejak jam 17.00, tekanan oleh kelompok
penyerang dari Sirisori Salam yang didukung aparat keamanan (Batalyon XXX dan Brimob XXX) sebagai satuan yang bertugas di perbatasan Sirisori Salam terus berlangsung sampai malam hari. Aparat Brimob yang bertugas di Sirisori Sarani lebih bersifat pasif, bahkan tidak sedikitpun melakukan tembakan balasan untuk menghalau kelompok penyerang. Negeri Ulath cukup merasakan dampak akibat penyerangan oleh Sirisori Salam yaitu terdapat 18 rumah yang terbakar di perbatasan Ulath – Sirisori Salam. Beberapa rumah di hutan sebagai tempat menyimpan barang turut dibakar. Selain itu masyarakat Ulath sulit melaksanakan aktiiftas melaut karena takut ditembak oleh penembak gelap, sementara untuk ke hutan harus hati-hati karena dusun Ulath berbatasan dengan dusun
Sirisori Salam. Situasi demikian menyebabkan banyak warga Ulath kemudian mengungsi sementara ke luar Saparua untuk mencari tempat yang lebih aman. Masyarakat yang berasal dari Ulath yang mengikuti program transmigrasi lolal di Sepa (Pulau Seram) turut mengungsi kembali ke negeri Ulath.
Mereka sampai
sekarang ini belum kembali ke daerah asal karena keamanan tidak terjamin selain bahwa tanah-tanah mereka yang ditanami tanaman tahunan sudah diambil alih oleh masyarakat sekitar Sepa. Saat konflik negeri Ulath sendiri waktu itu mendapat bantuan dari berbagai negeri sarani di Saparua dan Nusalaut. Hal itu terjadi karena mereka melihat situasi Ulath yang cukup kritis, sementara situasi di Sirisori Sarani juga demikian. Oleh karena itu bantuan dibagi sebagian ke Ulath, dan sebagian lagi ke Sirisori Sarani. Harapan pemberi bantuan diarahkan untuk menahan serangan negeri Sirisori Salam. Serangan pihak Sirisori Salam sendiri menurut Raja Ulath (pensiunan POLRI) merupakan serangan oleh pihak militer jika dilihat dari pola, strategi, peralatan/bunyi tembakan, serta bukti adanya mortir yang tidak meledak. 5.1.3. Kilas Balik Konflik Dusun Pia : korban terjepitnya Iha Penyebab terjadinya penyerangan ke dusun Pia karena : 1.
Adanya orang luar (Jihad) umumnya berasal dari negeri-negeri salam di Pulau Haruku (Negeri-negeri Pelauw, Kailolo dan Rohomoni), dari Pulau Seram (Negeri Latu) dan Pulau ambon (Negeri Hitu, Liang dan Tulehu) yang masuk ke negeri Kulor yang kemudian memprovokasi dan memaksa masyarakat untuk melakukan penyerangan.
2.
Adanya keterlibatan aparat keamanan yang mendukung dan memberanikan masyarakat, hal ini terlihat dari penggunaan senjata organik serta seragam militer oleh kelompok penyerang, bahkan menurut Brimob yang bertugas di negeri Kulor mereka juga disandera dan dipaksa untuk bersama-sama menyerang. Penyerangan yang dilakukan negeri Kulor diketahui saat seorang anak dusun
Pia hendak mengambil ternak sapi yang dikandangkan di kebun.
Saat itu terlihat
sekelompok orang berpakaian loreng dan bersenjata lengkap telah berada dalam kawasan dusun Pia.
Melihat hal itu, anak negeri ini berusaha menembak dengan
senjata rakitan miliknya namun tidak mengenai sasaran. Saat yang sama kelompok penyerang melakukan penembakan diikuti dengan serangan yang menghancurkan sebagian besar sarana dan prasarana termasuk bangunan Sekolah Dasar, Gedung Gereja serta sebagian besar rumah-rumah penduduk. Selain itu, pohon-pohon cengkeh
milik masyarakat Pia tidak luput dari perusakan oleh kelompok penyerang dengan cara menguliti batang pohon cengkeh hingga beberapa minggu kemudian mengalami kekeringan sampai mati. Tembakan terhadap peternak sapi mengagetkan masyarakat dan menyadari kalau dusun Pia telah diserang. Peternak sapi tersebut berhasil lolos masuk dalam pemukiman karena mengetahui dengan baik kondisi negerinya dan kemudian memberitahukan apa yang dilihatnya kepada teman-teman yang lain. Sebenarnya informasi penyerangan oleh negeri Kulor tersebut telah diperoleh warga Pia jam 12 malam tangga 22 September 1999. Namun penanggungjawab keamanan dusun Pia berpikir tidak mungkin ada penyerangan karena dalam dusun Pia ditempatkan satu regu Brimob BKO oleh Kapolda Maluku guna meredam penyebaran konflik di Saparua sekaligus menjaga situasi dan kondisi aman antara dusun Pia dan negeri Kulor. Saat penyerangan dilakukan oleh kelompok Salam ke dusun Pia tanggal 23 September 1999 ternyata satu regu brimob yang ditempatkan di Desa Kulor telah “disandera” oleh kelompok penyerang, sehingga secara tidak langsung juga dipaksa untuk melakukan penyerangan ke Dusun Pia (Laporan Crisis Centre Keuskupan Amboina). Hal itu terlihat oleh koordinator keamanan yang selalu berkoordinasi dengan pihak Brimob yang ditempatkan di Dusun Pia, sehingga saat warga Pia yang berjaga di depan dapat melihat adanya pasukan Brimob BKO yang ditempatkan di Kulor telah tergabung dalam kelompok penyerang. Hal ini menyebabkan pasukan Brimob yang ada di negeri Pia tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap penyerang. Selain itu pihak Brimob BKO yang telah mengetahui informasi penyerangan justru tertidur saat kelompok penyerang memasuki dusun Pia. Bahkan petugas keamanan sempat menanyakan apakah yang masuk itu kawan atau musuh, padahal jelas-jelas bahwa penembakan telah dilakukan mengarah pada masyarakat Pia termasuk ke arah pasukan Brimob yang ditugaskan di Pia. Akhirnya pasukan Brimob yang bertugas di Pia tidak mampu menggunakan senjata mereka, sehingga beberapa dari mereka menyerahkan senjata organiknya kepada masyarakat Pia untuk digunakan mengahalau penyerang. Bantuan yang masuk setelah Pia diserang berasal dari berbagai negeri Sarani di Saparua yaitu : 1. Bantuan makanan siap santap berupa (nasi, sayur, ikan, pisang, keladi, ubi kayu yang sudah dimasak);
2. Bantuan personil untuk menambah kekuatan masyarakat Pia agar mampu melawan serangan negeri Kulor dengan peralatan parang, tombak, panah dan senjata rakitan namun sudah terlambat karena saat mereka datang sebagian besar sarana dan prasarana warga masyarakat telah terbakar sampai ke batas gedung gereja Pia. 3. Kondisi demikian terjadi karena pada saat yang sama di jasirah Hatawano juga tengah bergejolak dimana pasukan Jihad dan personal aparat TNI yang masuk ke Negeri Iha telah melakukan penyerangan terutama ke Noloth sehingga bantuan juga diarahkan ke Hatawano tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya di saat yang sama Pia juga menjadi sasaran oleh kelompok penyerang. 4. Sementara di jazirah tenggara juga tersebar isu akan ada penyerangan terhadap Negeri Sirisori Sarani serta negeri Ulath oleh kelompok dari negeri Sirisori Salam, padahal serangan tersebut baru dilakukan beberapa hari setelah negeri Pia dan Iha jatuh. Setelah Dusun Pia diserang dan dihancurkan maka warga masyarakatnya melakukan pengungsian ke tempat lain yaitu : 1. Sesaat setelah penyerangan usai saat jam 13.00 (siang) maka anak-anak dan kaum perempuan mulai mengungsi ke Baeleo Tiouw pada tanggal 24 September 2000. 2. Tanggal 29 September 2000 pindah mengungsi ke Asrama Polisi Saparua di Batubakar serta kantor KUD Sampanrua. Adapun upaya yang dilakukan untuk meredam konflik tersebut antara lain : 1. Diawali dengan upaya pembangunan gereja Pia yaitu jemaat Pia memohon bantuan dari LSM dan saudara-saudara di Belanda, namun pihak pemberi bantuan tidak mau mengambil resiko kalau memberikan bantuan kemudian terbakar lagi. Oleh karena itu harus ada kesepakatan damai dulu antara negeri Pia dan Kulor, sehingga melalui Raja Kulor (yang lama disebut bapa raja tua) dan Kepala Dusun Pia dilakukanlah pertemuan pertama saat bulan Oktober 2004.
Prosesnya dimulai dengan
pengiriman surat oleh Kepala Dusun Pia ke Raja Kulor untuk meminta waktu mengadakan diskusi tentang hal dimaksud. 2. Kemudian disepakati bahwa masyarakat Kulor akan aktif membantu Pia dalam melaksanakan pembangunan Gereja, sehingga warga Kulor terlibat dalam Panitia Pembangunan Gereja, selain akan terlibat secara aktif dalam pelaksananaanya. 3. Ketika perundingan perdamaian disepakati yang akan diwali dengan kerjasama dalam pembangunan gereja, maka persetujuan dimaksud merupakan pengikat yang
kuat bagi kedua warga negeri Pia dan Kulor untuk bersama-sama menjalani kehidupan ke depan, bahkan perjanjian perdamaian serta kesepakatan dimaksud turut dihadiri oleh Ketua MUI Maluku dan Ketua Sinode GPM Maluku. Konflik dusun Pia dan negeri Kulor tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat Pia baik yang ada di Ambon, Masohi, Jakarta maupun Belanda.
Bahkan mereka yang
sangat berperan memberi bantuan berupa makanan, pakaian bekas layak lakai serta uang saat mengungsi ke Saparua selama dua tahun. Jadi selayaknya masyarakat Pia berterimakasih kepada mereka, karena bantuan tersebut sangatlah membantu saat berada di lokasi pengungsian. Selain itu, saat kembali warga Pia di Belanda melalui LSM di Ambon memberikan bantuan air bersih yang menggunakan tenaga matahari. Air bersih tersebut masih berfungsi sampai saat ini dan sangat membantu kekurangan air yang dialami warga. Oleh karena itu, bantuan air bersih diarahkan kepada warga yang berada di perbatasan mengarah ke Kulor dengan dibangunnya dua bak penampung yang dilengkapi keran air yang dapat digunakan secara bergiliran sejak pagi hingga sore hari.
5.2. Migrasi Anak Negeri Saparua 5.2.1. Tuntutan Pendidikan dan Pekerjaan Jauh sebelum konflik merebak di Maluku, orang Saparua telah lama mendiami kota Ambon dengan berbagai tujuan.
Orang Saparua lebih mudah memperoleh
pendidikan sebagai “hadiah” karena memeluk agama Sarani yang disebarkan oleh Belanda bersamaan dengan politik perdagangan rempah-rempah. Hal ini juga dinikmati sebagian kecil komunitas Salam terutama mereka yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat, seperti keluarga Raja dan Tokoh Adat. Anak negeri Saparua yang telah menyelesaikan pendidikan dasarnya, berpindah ke Ambon untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.
Saat itu tingkat
pendidikan lanjutan termasuk Sekolah Guru hanya berada di kota Ambon. Perpindahan ini kemudian menyebabkan mereka menetap di kota Ambon, setelah memperoleh pekerjaan yang layak sebagai pegawai pemerintahan.
Arus migrasi ini kemudian
membentuk sejumlah besar masyarakat asal Saparua baik Salam maupun Sarani di kota Ambon. Selain itu ada yang menyebar ke wilayah lain di Maluku dan kemudian memilih menetap secara permanen seperti di Pulau Seram, Pulau Banda, Pulau Kei dan Pulau Tanimbar sebagai Guru maupun sebagai Guru Agama (dulunya disebut Guru
Zending).
Penempatan saat bekerja menyebabkan ada yang menetap di wilayah
mayoritas Salam atau mayoritas Sarani. Saat konflik merebak akibat perbedaan agama ada yang kembali ke Saparua karena rumah mereka hancur dan mengalami kehilangan harta benda yang telah diupayakan selama puluhan tahun. Selain ke wilayah lain di Maluku ada pula anak negeri Saparua yang menyebar sampai ke Papua. Keturunan mereka tersebar di berbagai wilayah di Papua sampai saat ini.
Keberadaan orang Saparua di luar Maluku menjadi sumber ikatan baru ketika
konflik merebak di Ambon. Oleh karena itu, Papua merupakan salah satu wilayah tujuan pengungsian komunitas Salam dan Sarani. Selain melanjutkan ke Ambon, orang Saparua juga melanjutkan penidikan ke tingkat Perguruan Tinggi ke Makasar dan Manado. Sebagian dari mereka ada yang kembali untuk mengabdikan diri di daerah asal (Maluku). Sebagian lagi menetap di Makasar dan Manado.
Keberadaan orang Saparua di Manado dan Makasar juga
menjadi sumber ikatan kekerabatan yang menarik arus pengungsian saat konflik. Banyak juga orang Saparua yang merantau sampai ke Pulau Jawa untuk melakukan
berbagai
pekerjaan.
Beberapa
orang
Saparua
kemudian
berhasil
memperoleh pekerjaan yang layak dan digolongkan sebagai tokoh masyarakat Saparua di perantauan. Orang Saparua yang di perantauan turut berperan penting meringankan beban pengungsi saat konflik melalui bantuan baik moril maupun materiil tanpa melihat perbedaan agama yang dianut.
Bahkan mereka cenderung menyalahkan kondisi
masyarakat Saparua yang harus terpecah menjadi kelompok Salam dan Sarani. Selain aliran migrasi anak negeri ke luar Saparua ada pula etnis lain yang masuk ke Saparua. Etnis Buton datang ke Saparua untuk menjadi petani penggarap tanah. Etnis Bugis dan Padang menjadi pedagang sekaligus pedagang pengumpul kecamatan dan jejaring perdagangan rempah-rempah dengan etnis Cina sebagai pedagang besar di Ambon.
Etnis Jawa sebagai pedagang keliling maupun pekerjaan jasa di sektor
informal lainnya.
Keberadaan etnis Cina di Saparua mendominasi perdagangan
sebagai pedagang pengecer bagi pedagang kecil di pedesaan Saparua. 5.2.2. Arus Migrasi Sebagai Pengungsi di Saparua Konflik Ambon menyebabkan orang Saparua yang menetap di Ambon maupun wilayah lain di Maluku kembali ke Saparua. Aliran migrasi sebagai pengungsi menjadi sumber-sumber informasi yang akurat bagi masyarakat Saparua.
Informasi tentang
konflik terbaru beserta akibat-akibatnya menjadi bahan pembicaraan dan membentuk
persepsi yang sama di aras negeri. Penyebaran informasi meluas ke negeri-negeri lain dan membentuk persepsi antara komunitas seagama. Persepsi dimaksud kemudian berubah menjadi keinginan untuk membalaskan kehancuran terhadap komunitas yang berbeda agama.
Padahal komunitas berbeda agama di luar Saparua yang
menyebabkan kerugian bahkan kematian anggota komunitas tertentu di Saparua. Kenyataan demikian disebut sebagai rasionalitas idiologi. Rasionalitas idiologi yaitu rasional yang hanya didasarkan pada kebenaran idiologinya sendiri. Idiologi pihak lain tidak pernah diperhitungkan apalagi dibenarkan. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya konflik antara Salam dan Sarani di pedesaan Saparua.
Konflik yang terjadi memutuskan jejaring ekonomi (hubungan dagang),
jejaring politik (aliansi separtai politik), jejaring adat/budaya (kekerabatan pela dan gandong). Jejaring yang tetap dipertahankan hanyalah ikatan seagama. Oleh karena itu sesama Sarani membentuk komunitas negeri-negeri Sarani, sedangkan sesama Salam membentuk komunitas negeri-negeri Salam. Intensitas konflik meningkat saat anak-anak negeri yang tersebar di luar Saparua dilibatkan sebagai upaya mempertahankan negeri. Upaya mempertahankan negeri dilakukan dengan dua cara yaitu, membentuk pertahanan untuk mengantisipasi serangan pihak lain dan melakukan penyerangan ke negeri yang berbeda agama. Keterlibatan dimaksud berupa bantuan tenaga yang disertai peralatan (senjata rakitan maupun standart) yang diperoleh dengan berbagai cara. Pemilikan senjata standart terbukti melalui penyerahan senjata oleh anak negeri di Saparua seperti di Ulath, Sirisori Sarani, Sirisori Salam, Noloth dan Itawaka kepada pihak berwenang (Kepolisian dan TNI). Ikut sertanya anak negeri dari luar Saparua memperparah situasi dan kondisi konflik di Saparua. Keterlibatan anak negeri Saparua di kota Ambon dan sekitarnya saat konflik berlangsung, menjadi ikatan dalam jejaring sosial seagama sebagai sumbersumber
bantuan
utama
untuk
menjaga
kondisi
keamanan
negeri
maupun
mengupayakan serangan ke negeri yang berbeda idiologi. Saat konflik terjadi di Saparua, etnis Buton, Bugis dan Padang mengungsi ke luar Saparua karena tempat tinggal mereka berada di antara mayoritas Sarani. Keberadaan etnis-etnis tersebut semakin terdesak saat terjadi penyerangan pihak Salam yang menghancurkan negeri Kariu di Pulau Haruku yang beragama Sarani. Penghancuran tersebut menimbulkan emosional komunitas Sarani di Saparua yang dimanifestasikan dengan keinginan membalaskan dendam melalui pembakaran dan
penghancuran rumah komunitas Salam dari etnis Buton, Bugis dan Padang yang tinggal dalam wilayah mayoritas komunitas Sarani. Padahal etnis Buton, Bugis dan Padang di Saparua bukan penyebab hancurnya negeri Kariu. Kesamaan agama menjadi alasan pembenaran tindakan pembalasan tersebut.
Hal yang sama dialami anak negeri
Saparua yang bertempat tinggal di antara mayoritas komunitas Salam di Saparua. Berbeda dengan komunitas Salam dan Sarani asal Saparua di luar Maluku yang tetap mempertahankan keberagaman kehidupan bermasyarakat. Keberadaan anak-anak negeri Saparua di luar Maluku seperti di Papua, Makasar, Manado dan Pulau Jawa menjadi sumber-sumber bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saudaranya di Saparua. Para perantau asal Saparua memberikan bantuan baik makanan, pakaian dan uang tunai kepada anak negerinya yang seagama maupun berbeda agama. Hal ini dimungkinkan karena di perantauan tidak ada konflik antara sesama anak negeri Saparua yang berbeda agama. Masing-masing pihak saling meminta dan menerima bantuan, jika ada permintaan bantuan untuk pembangunan rumah ibadah di Saparua. Bahkan saat konflik, bantuan dari tokoh masyarakat negeri Ihamahu di Pulau Jawa banyak disalurkan ke negeri Iha yang menjadi korban konflik. Sementara mereka yang bermukim di Belanda, banyak memberikan bantuan dana untuk membeli senjata standart guna mempertahankan keberadaan negeri asal di Saparua. Namun ada yang tidak menyetujui hal dimaksud dan menyarankan untuk dilakukan rekonsiliasi secara merata di wilayah Saparua. Setelah konflik mulai mereda rekonsiliasi tersebut dikonkritkan dengan terbentuknya Panitia Pembangunan Gereja Sirisori Sarani yang didukung oleh Sirisori Salam.
Juga membentuk Panitia
Pembangunan Gereja Pia yang didukung oleh negeri Kulor. Hal-hal tersebut kemudian menjadi dasar dalam proses keberlanjutan resolusi konflik di Saparua. 5.2.3. Arus Migrasi Ke Luar Maluku Untuk Mencari Ikatan Kekerabatan Selain kembali ke Saparua, banyak pula anak negeri Saparua yang memilih ke luar Maluku dengan alasan keamanan. Umumnya lokasi yang dipilih lebih didasarkan adanya ikatan kekerabatan. Misalnya, jika ada kerabat yang berdiam di Papua maka dipastikan Papua menjadi tujuan mereka menyelamatkan diri karena Papua menjadi lokasi yang lebih aman dibandingkan Maluku. Selain itu peluang kerja lebih terasa lebih mudah didapatkan di Papua dibandingkan wilayah lain seperti di Sulawesi maupun Pulau Jawa.
Pemilihan Papua juga terkait dengan jejaring ekonomi khususnya
pemasaran sagu dengan produk turunannya oleh kaum perempuan papalele.
Saat konflik banyak yang bermigrasi ke luar Maluku untuk mencari suasana aman sekaligus melanjutkan pendidikan.
Anggota komunitas Sarani lebih memilih
Manado sebagai tempat tujuan perpindahan pendidikan anak-anak mereka, karena mayoritas penduduk di Manado beragama Sarani. Kebalikannya dengan yang Salam lebih memilih Makasar maupun Kendari sebagai tujuan perpindahan pendidikan anakanak mereka, karena kedua kota tersebut pendudukanya mayoritas beragama Salam. Fakta ini memperkuat bahwasannya dampak konflik yang bernuansa agama memunculkan pemikaran bahwa, keamanan itu lebih terjamin jika tinggal dengan komunitas yang seagama.
Hal tersebut mempersulit tercapainya resolusi konflik di
Saparua pada tataran mikro, serta di Ambon pada tataran meso.
5.3. Peran Elit Agama Dalam Konflik di Pedesaan Saparua Ciri SARA dalam masyarakat saat kolonial Belanda berkuasa, selalu diperkuat dengan kebijakan penguasa yang hanya merekrut tentara dari golongan etnis tertentu yaitu Ambon dan Manado. Jelas ini adalah bagian dari kebijakan penguasa kolonial yang dikenal sebagai “devide et impera”.
Agama juga menjadi perhatian besar
pemerintah kolonial. Banyak perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang diilhami oleh ajaran agama dan dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Ekonomi dan politik kolonial yang menempatkan golongan pedagang/pengusaha Tionghoa bersaing dengan pedagang pribumi yang umumnya Salam, membuat konflik ekonomi ini berdimensi ras dan agama. Dengan demikian, conflict of interest yang umumnya berada pada lapisan strategic elite, tampak berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa (umat). Aspek kognitif dan afektif rakyat (umat) yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi aliran dan kemudian ideologi kelompok, dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang efektif. Sosialisasi berbagai isu yang merangsang menguatnya sentimen dan solidaritas kelompok pada grassroot level, terutama yang bernuansa agama dimainkan oleh orang atau kelompok tertentu, sehingga suasana batin kelompok masyarakat lapisan bawah terkondisi dalam format yang sangat eksklusif. Akibatnya, bukan budaya politik partisipatif atau demokratis yang menonjol; sebaliknya budaya politik yang sarat dengan muatan nilai-nilai parokial dan subjektif. Pada prinsipnya, pandangan bahwa agama sebagai bagian dari konflik di pedesaan Saparua tidak bisa dielakkan. Motif utama konflik di pedesaan Saparua haruslah dipandang bahwa "agama-agama di Saparua telah dieksploitasi dan dipolitisasi
untuk melahirkan dan melegitimasi konflik kekerasan massa". Dengan demikian, sumber konflik tidak terletak pada pluralitas agama di Saparua melainkan pada design kerusuhan yang memperalat (1) sensitivitas dan sikap fanatik masyarakat Saparua terhadap agama sebagai motor aksi kekerasan (2) kecemasan dan ketidak-berdayaan masyarakat membendung eskalasi pertikaian. Kelanggengan konflik terpelihara oleh adanya sikap bias elit agama saat melakukan dakwah yang cenderung menjelekjelekkan agama lain sehingga memelihara rasa persaingan antar umat beragama di Saparua. Selain tindakan aparat keamanan yang seringkali bias dalam pelaksanaan prosedur pengamanan, juga diikuti dengan beredarnya senjata dan amunisi ilegal di kalangan masyarakat, provokasi-provokasi dari dalam dan luar masyarakat, serta adanya ketidak-mampuan pemerintah menyelesaikan konflik. Pengendapan dan eskalasi aksi kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin menyulitkan posisi dan peran masyarakat Saparua untuk mengatasi konflik kekerasan dalam dirinya. Padahal sejarah masa silam Saparua menunjukkan bahwa tatanan sosial-budaya Saparua cukup menghormati pluralitas dan toleran. Adanya jurang kenyataan antara suasana kehidupan masyarakat Saparua masa lalu dan masa kini menunjukkan bahwa dua kelompok masyarakat Saparua yang bertikai terkondisikan untuk tidak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri. Perangkat budaya dan agama yang semestinya mampu menjembatani kembali konflik dan perbedaan ternyata lumpuh. Berbagai proses penanganan konflik yang terjadi selama ini baik oleh pihak pemerintah, aparat keamanan hingga media massa, tidak menghasilkan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan kerusuhan dan mengkondisikan diri dalam perdamaian. Justru yang terjadi yaitu semua pendekatan yang telah dilakukan, entah itu pendekatan keamanan, pendekatan dialogis maupun penanganan korban dan pengungsi kerusuhan, berakhir dengan peruncingan emosi dan suasana konflik itu sendiri. Keterlibatan Institusi Agama jelas dengan membeli amunisi yang digunakan untuk mempertahankan masing-masing kawasan yang diserang, sehingga tidak lagi berfungsi mendamaikan tetapi justru memperparah situasi dan kondisi keamanan. Secara tidak langsung dapat dikatakan pihak Lembaga Agama terlibat mengobarkan konflik walau mungkin bermaksud untuk mempertahankan entitas masing-masing kelompok saat tertekan. Tindakan demikian menunjukkan kekerdilan penguasaan pengetahuan beragama, sehingga terlibat mengarahkan konflik melalui upaya mempertahankan masing-masing wilayah yang diserang. Kuatnya pengaruh agama
dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari masing-masing pihak. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini : Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar (negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha) yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apapun juga selain berjagajaga. Justru masyarakat negeri Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap beberapa rumah milik negeri Noloth akibat hasutan orang dari luar, sehingga konflik pecah di jazirah Hatawano. Masyarakat mulai dikumpulkan untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth diserang dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu mempertahankan keberadaan negerinya dengan bantuan dari negeri-negeri sekitar (Itawaka, Ihamahu, Mahu dan Tuhaha). 5.4. Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua Berbagai temuan menyebutkan bahwa
Selama 30 tahun masa orde baru
pranata-pranata lokal ini telah mengalami marjinalisasi, modifikasi, dan disorganisasi dalam konteks pengintegrasian pranata lokal ke dalam struktur pemerintahan daerah berdasarkan UU No 5/1974.
Oleh karena itu perlu ditinjau kembali berbagai
permasalahan yang terjadi sebagai acuan untuk menghindari berulangnya kesalahan, mengangkat kembali potensi yang ada, serta mengulas bagaimana dan sejauhmana pendinamisan dan pemberdayaan kembali pranata-pranata lokal itu dapat dilaksanakan untuk menunjang otonomi daerah. Isu-isu yang relevan perlu dikaji secara cermat untuk kepentingan-kepentingan penelitian, penetapan kebijakan dan pendampingan, agar pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi mengabaikan pranata-pranata dan budaya lokal. Selanjutnya, diharapkan dapat diwujudkan pemerintah daerah yang demokratis, bernafaskan kerakyatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat dalam mencapai masyarakat lokal yang tangguh. Penerapan UU No. 5/1974 di Maluku, telah merengut kemerdekaan dan kemampuan pemerintahan adat sebagai pelaksana sistem pemerintahan desa yang selalu diwariskan secara turun temurun. Pewarisan sistem pemerintahan adat bukanlah
suatu hegemoni buta, tetapi lebih didasarkan pada kekuatannya untuk mempertahankan kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat. Struktur pemerintahan adat di Maluku memberlakukan tiga fungsi negara secara umum yaitu, pertama, Raja (kepala desa) beserta pembantu-pembantunya yang berfungsi menjalankan pemerintahan; kedua, Saniri Negeri yaitu kepala-kepala soa (kumpulan mata rumah – keluarga) yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan; ketiga, Kewang (polisi) yang berfungsi mengawasi jalannya peraturan dalam masyarakat, termasuk pelanggaran kearifan lokal yaitu sistem pemilikan (dusung) dan pelanggaran usaha pelestarian lingkungan (sasi). Dengan demikian dalam sistem pemerintahan adat di Maluku, telah dibedakan antara fungsi pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Maluku cukup beragam.
Namun
keragaman tersebut menjadi tidak berarti, karena tanpa keberadaan pemerintahan adat tidak mungkin dapat dijalankan secara baik. Beberapa gambaran yang khas dari sistem pemerintahan adat antara lain, adanya sistem pemilikan komunal yang tidak memungkinkan pemilikan pribadi dengan sertifikasi. Hal ini bukanlah pelanggaran hak pribadi, tetapi lebih didasarkan pada usaha pewarisan milik tersebut secara tetap dan kontinu bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu hak milik yang dikatakan pribadi, tidak dapat dijual secara bebas. Modernisasi
pertanian
sebagai
model
pembangunan
yang
berdasarkan
pendekatan top-down ternyata memerlukan biaya yang tinggi. Model seperti ini juga semakin lama, menurunkan kualitas lingkungan sekaligus merusakkan lingkungan. Hal ini dilihat pula dengan perpanjangan tangan pemerintah pusat, yang turut dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Maluku melalui kepala desa (pemimpin desa). Kedudukan kepala desa sebagai pemimpin negeri di Maluku, selama ini menjadi perdebatan sengit. Namun “hegemoni”
UU No 5/1974, ternyata sulit dihadapi dan berakhir dengan
terkooptasinya masyarakat ke dalam pelaksanaan UU tersebut yang dikatakan penuh nuansa
demokrasi.
Padahal
dalam
penerapannya
sudah
kelihatan
“ketidak
demokrasiannya”, karena rakyat tidak pernah ditanyakan pendapatnya seperti rakyat di Maluku yang masih menjalankan sistem pemerintahan adat. Melalui UU No 5/1974, mulailah diterapkan kebebasan dalam memilih secara demokratis pemimpin desa beserta aparat pembantunya (walaupun sebenarnya sering sudah diatur oleh pemimpin di atasnya demi kepentingan politiknya). Penerapan UU tesebut menyebabkan posisi kepala desa bisa diduduki oleh siapa saja termasuk oleh orang yang berasal dari luar desa (tanpa memperhitungkan keturunan seperti halnya
dalam pemerintahan adat). Oleh karena itu pengetahuan lokal pemimpin desa seringkali tidak ada sama sekali. Kemudian dibentuk LKMD menggantikan Badan Saniri Negeri, yang biasanya diisi oleh pegawai negeri sipil yang kebetulan bertugas dalam desa tersebut (mantri, bidan, guru) sehingga pemahaman tentang masyarakat setempat belum memadai. Selain itu, tidak diakomodasikan lembaga kewang (yudikatif) dalam sistem pemerintahan desa yang baru semakin memperuncing potensi konflik antara elit lokal formal dengan informal. Elit lokal formal yang memegang kekuasaan saat ini, ingin mempertahankan kekuasaan yang sudah dipegangnya selama ini. Pada sisi lain, elit lokal informal masih menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan (karena secara adat masih melekat pada dirinya).
Potensi konflik yang sudah lama terpendam ini, memungkinkan
diarahkan menjadi konflik terbuka antara elit lokal formal dan informal beserta pengikutnya masing-masing.
Oleh karena itu, sering terjadi dalam pelaksanaan
pembangunan di suatu desa yang dipimpin kepala desa (bukan dari elit lokal informal), biasanya tidak mendapat dukungan dari elit lokal informal beserta kelompoknya. Masing-masing elit (baik elit lokal formal maupun informal) dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mengikuti harapan masing-masing elit. Oleh karena itu, kedudukan elit lokal sangat penting dalam mewarnai konflik yang terjadi. Kekuatan dan potensi berkembangnya konflik, sangat tergantung pada masing-masing elit lokal yang berkonflik.
Masing-masing elit lokal dapat mempengaruhi pengikutnya untuk
melanggengkan konflik atau untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara mereka. Pola pembangunan di Indonesia yang lebih berorientasi pada kota dan mengabaikan desa, mengakibatkan hajat hidup masyarakat desa yang lebih banyak disisihkan dibandingkan dengan masyarakat kota.
Perhatian pembangunan kota
dibandingkan dengan desa tersebut, merupakan akibat awal terciptanya kota sebagai primadona serta memiliki daya tarik (pull factors) yang kuat bagi masyarakat desa dibandingkan dengan daya dorong (push factors) masyarakat desa pergi ke kota. Gemerlap kota tanpa memperhatikan keseimbangannya dengan pembangunan di desa, menyebabkan masyarakat desa berbondong-bondong menuju ke kota.
Sebaliknya,
desa yang pada dasarnya memiliki sumberdaya alam untuk dieksploitasi namun tidak sebanding dengan daya dukung sumberdaya manusia yang tersisa serta kurangnya perhatian pemerintah turut mendukung terciptanya desa dengan embel-embel kehidupan yang kurang gizi. Bahkan, desa-desa yang miskin ini dibiarkan begitu saja, sehingga desa itu sendiri harus lenyap akibat intervensi ekonomi perkotaan.
Maluku merupakan konflik SARA paling awal, paling lama dan paling berdarah sepanjang sejarah kolonial di Indonesia.
Tapi banyak pakar menunjuk Orde Baru
sebagai biang keladi timbulnya kerusuhan sosial di kawasan itu. Orde Baru memang represif, yang meminggirkan mekanisme adat sebagai instrument problem solving bagi komunitas setempat.
Bisa jadi juga, provokator dengan motif politik tertentu ikut
bermain pula. Namun satu hal yang pasti ada yaitu, adanya ketegangan SARA yang sebenarnya belum hilang sebagai bentuk pewarisan masa kolonial dan secara tidak langsung masih tersimpan sebagai pengalaman pahit yang harus selalu dikenang dan diwariskan pada generasi selanjutnya. Kenyataan demikian menimbulkan pemahaman dan pengetahuan yang negatif antaretnik dan kemudian antaragama, sehingga bermunculan anggapan-anggapan yang saling menyudutkan bahkan menjelekkan antara satu dan lainnya ibarat cap yang dipatri dan sulit dihilangkan. Masa Portugis. Perselisihan antarkomunitas di Maluku memang sudah berlangsung lama, terutama antara empat kerajaan Salam (Moluku Kie Raha) – yakni ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo – yang sering melibatkan Kimalaha (vazal) mereka di bagian selatan : Pulau Ambon (Leihitu di Utara dan Leitimor di Selatan), Haruku, Seram, Saparua, Manipa, Nusalaut, Buano, Tual, Buru dan sebagainya. Namun, skala perang, intensitas dan nuansanya berubah setelah peng-Sarani-an orang Maluku oleh Padri Portugis, dan tentunya monopoli rempah-rempah. Apalagi ditunjang dengan kehadiran Spanyol yang mendukung Tidore, sebagai lawan dari Ternate yang terlebih dahulu bersekutu dengan Portugis. Nanulaitta (1966) menyebutkan, dengan menguasai jalur perdagangan Salam di mana saja ditemukan, diikuti dengan menyiarkan agama Katolik maka Portugis telah memindahkan cita-cita Perang Salib ke Asia. Memang ketika itu Perang Salib masih berlangsung di Eropa. Demi kelancaran usaha, Portugis mengikat perjanjian dengan Sultan Khairun dari Ternate. Salah satu isi perjanjian yaitu, kampanye misi penginjilan yang di luar dugaan memperoleh banyak pengikut yang sebagian besar masih kafir di Halmahera dan Leitimur. Akibatnya fatal, orang Salam Ternate dan Tidore memerangi penduduk Sarani sekaligus memulai insiden saling membunuh pertama antara Salam dan Sarani (Hanna dan Des Alwi dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa, peristiwa ini menjadi pemicu semangat dakwah portugis, dengan melakukan Saranisasi secara luas dan intens di kepualauan selatan hingga jumlahnya pengikutnya menjadi ribuan orang.
Fenomena ini mungkin
merupakan ekspresi permusuhan antara rakyat Leitimur (kawasan di mana kota Ambon sekarang berkedudukan) terhadap penguasa Salam di belahan utara.
Suksesnya
Sarani memicu golongan Salam melakukan tekanan, karena perpindahan agama ketika itu dipandang sebagai pergeseran loyalitas politik. Seiring dengan gencarnya pengabaran Injil yang diikuti dengan monopoli rempah-rempah, permusuhan Salam dan Sarani makin menjadi-menjadi. Tahun 1564, rakyat Salam mengepung dan membakar negeri-negeri (kampung/desa) Sarani. Negeri Nusaniwe, kampung di Leitimur dihancurkan rata dengan tanah.
Sedangkan pusat
Sarani di Hatiwe jatuh ke tangan pasukan Salam. Seratus orang Sarani dibunuh dan sisanya lari ke gunung-gunung di sekitar kota Ambon, bahkan ada yang melarikan diri sampai Saparua.
Padahal di Saparua sendiri, perang sedang berkecamuk.
Kaum
Salam di negeri Sirisori Salam menyerang negeri Ulat yang Sarani (kondisi demikian sering terjadi dengan “tanah” sebagai permasalahan pokok, sampai pecahnya konflik Ambon – Maluku 1999).
Adanya dukungan pasukan Portugis menyebabkan rakyat
Salam dapat dikalahkan. Tahun 1570, akibat penghianatan dan pembunuhan terhadap Sultan Hairun, seluruh Maluku bergolak. Sultan Baabulah mengirim pasukan ke selatan. Dukungan dan bantuan rakyat Hitu (Salam lokal), Jawa, Makasar dikerahkan, sampai akhirnya berhasil menggusur dan menghancurkan kedudukan Portugis di Hitu sehingga harus bergeser ke Leitimor (daerah kota Ambon sekarang ini). Permusuhan terus berlangsung di seluruh kawasan dan tidak mungkin membahas seluruh pertempuran tersebut yang melibat vis a vis umat Salam dan Sarani. Hal itu dianggap sebagai lembaran terhitam dalam sejarah perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku.
Dengan demikian, Nanulaitta (1966) menyimpulkan
bahwa kemungkinan besar Pela dan Gandong (aliansi persaudaraan tanpa memandang ikatan agama dan darah) yang dikenal sekarang ini merupakan bentuk kesadaran akan masa gelap tersebut. Masa Belanda.
Sementara peperangan agama yang begitu hebat sedang
berkecamuk, muncullah Belanda yang memadukan kekuasaan politik dan perdagangan. Belanda kemudian membentuk serikat perdagangan VOC (Vereniging Oost-Indische Company) guna memperkuat monopoli-nya atas perdagangan cengkeh termasuk juga pada di Kepulauan Belanda.
Kerajaan-kerajaan setempat akhirnya hanya menjadi
boneka dan kaki tangan VOC dalam menjalankan kebijakan politik perdagangannya. Nanere (2002) mencatat, kebijakan yang paling tragis bagi rakyat di kawasan pantai barat Hamahera yaitu pemusnahan tanaman cengkeh, demi mengontrol kuota
perdagangan cengkeh. Sentra produksi cengkehpun akhirnya berpindah ke pulau-pulau Lease (Ambon dan sekitarnya). Kendati Belanda melakukan kontrol yang ketat namun, orang Salam masih sering melanggar perjanjian monopoli (hongi tochten = pembatasan penanaman dan penjualan produk cengkeh dan hanya boleh menjual kepada VOC/Belanda) dengan melego hasil cengkehnya ke pedagang-pedagang Makasr, Melayu dan Jawa. Bahkan, masih menanam cengkeh di wilayah terlarang. Maka mulailah VOC melakukan usaha menghentikan semua kegiatan illega, dengan menaklukkan penduduk Salam di berbagai tempat seperti Hoamoal, Manipa, Buru dan Banda. Mereka menghancurkan benteng pertahanan yang tak terlalu kuat diikuti dengan pembakaran negeri-negeri, hewan ternak, pepohonan cengkeh, pohon kelapa, pohon pisang dan hamper semua yang hidup dan bergerak.
Bahkan menggiring penduduk yang telah menyerah dan
memaksa sekitar 5000 orang untuk bunuh diri, diperbudak dan dikirim ke pulau lain sedangkan yang tertangkap dibuang ke Ambon (Sejarah Indonesia Modern, 1991). Tempat pembuangan pejuang Salam di Ambon sekarang ini menjadi perkampungan Salam Batu Merah, sekaligus menjadi titik awal dimulainya konflik Ambon-Maluku Januari 1999. Kampung Mardika (sebagai kampung Sarani) yang bertetangga dengan Kampung Batu Merah (sebagai kampung Salam), menurut Luhulima (1971) dibentuk oleh Portugis untuk menampung orang Portugis hitam bekas budak India yang telah dibebaskan (dimerdekakan).
Dengan demikian dapatlah dilihat, bahwa penduduk
Hoamoal yang dipindahkan de Vlaming ke Ambon merupakan cikal bakal dari penduduk Salam yang sekarang ini mendiami kampong Batu Merah asli. Sehingga nampaklah adanya kesengajaan dari pihak Belanda untuk melestarikan permusuhan Salam dan Sarani ke Ambon guna memudahkan pengontrolah. Mungkin pula, pengetahuan ini yang dipakai oleh “aktor intelektual” di belakang konflik Ambon – Maluku (jika dugaan kita ada yang merancang konflik dengan memulai dari perbatasan Mardika – Baru Merah). Seperti diketahui, perseturuan antara Mardika dan Batu Merah terus berlangsung setiap tahunnya merupakan fenomena yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat kota Ambon.
Oleh karena itu, pecahnya konflik Januari 1999 yang diawali dengan
pertikaian antara kelompok pemuda di perbatasan Batu Merah – Mardika, juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja dan umumnya masyarakat tidak menyangka bahwa kemudian akan berkembang bahkan sampai saat ini belum pulih sepenuhnya. Mungkin
saat itu, hanya “aktor intelektual” beserta kelompoknya yang mengetahui dengan pasti ke mana konflik Januari 1999 akan dibawa dan dimuarakan. Paling tidak hanya merekalah yang mampu menjawab dengan pasti perihal, kepentingan apa sebenarnya yang ingin dicapai dan diharapkan dari konflik dimaksud. Perjalanan konflik selanjutnya menunjukkan bahwa, kelompok sipil maupun militerlah yang kemudian diuntungkan akibat keberadaan konflik tersebut. Misalnya, mangalirnya bantuan kemanusiaan bagi korban konflik yang kemudian ditangani oleh Pemerintah namun sampai saat ini permasalahan pengungsi saja belum terselesaikan. Padahal, sudah begitu banyak dana yang dikucurkan untuk menangani masalah tersebut. Sementara itu, keuntungan yang diperoleh kelompok militer terlihat dalam bentuk “pengawalan” keamanan bagi masyarakat yang harus bepergian dengan melalui wilayah komunitas berbeda dengan imbalan uang dalam jumlah tertentu. Khususnya untuk perjalanan lewat darat, biasanya pengawalan dilakukan oleh pihak TNI-AD dan sebagian juga Kepolisian. Sementara, untuk jalur laut biasanya dikawali oleh pihak TNI-AL (Marinir) juga dengan imbalan tertentu.
Pihak TNI-AU juga
memperoleh manfaat dengan digunakannya pesawat Hercules (milik TNI AU) sebagai sarana pengangkut penumpang umum dengan bayaran tertentu (bayaran dalam situasi konflik yang berbeda dengan situasi normal), karena pada awal konflik sampai beberapa waktu kemudian maskapai penerbangan sipil tidak berani melakukan aktivitasnya di Ambon. Namun tidaklah cukup kuat untuk menarik satu kesimpulan, bahwa kelompokkelompok tersebutlah yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya konflik sampai implikasinya (fisik, mental dan materi) yang harus ditanggung oleh masyarakat yang berkonflik. Sehingga diperlukan analisis yang lebih tajam dan terperinci, sehingga upaya menggali akar konflik sampai pada berkembangnya konflik secara meluas mampu membuka selubung keterlibatan berbagai kelompok sebagai pengawalan berkembangnya konflik sampai tingkat tertentu dengan keuntungan tertentu pula. Namun ada benang merah yang dapat ditarik untuk saat ini bahwa, begitu kompleksnya akar penyebab konflik Ambon – Maluku sehingga sangatlah sulit menguraikan benang kusut penyebabnya sekaligus mencari solusi penyelesaian yang paling tepat. Dibandingkan dengan wilayah lain, usaha Portugis dan Belanda menggarap Ambon di bidang sosial budaya jauh lebih serius. Hal ini dapat dilihat pada tingkat melek huruf dan mental orang Sarani Ambon.
Ketika Indonesia merdeka, jumlah
penduduk Ambon yang mengecap pendidikan formal sebesar 37 persen, jauh di atas
Jawa yang hanya mencapai 0.2 persen (Ricklefs dikutip oleh TAPAK dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001).
Tak heran, kemudian
masyarakat Maluku bagian Selatan mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) melalui Proklamasi Kemerdekaan tanggal 25 April 1950.
RMS ternyata didukung oleh
masyarakat Maluku baik Salam maupun Sarani, namun kemudian berhasil dipatahkan Tentara Pusat dengan dukungan penduduk Salam Batu Merah dan Hitu (Smith Alhadar dikutip oleh TAPAK dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001). Faktor lokal dapat ditelusuri sebagai berikut.
Saat para penjajah menginjak
kakinya di pasir putih Maluku (mulai dari Portugis dan kemudian Belanda), di Maluku Utara sendiri telah berdiri dengan kukuh empat Kerajaan Salam (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo).
Kerajaan Ternate pernah menguasai hampir seluruh daerah pantai di
Maluku Utara, sebagian pula Seram (Maluku Selatan), daerah Gorontalo (Sulawesi Utara), dan Filipina Selatan (Mindanao) yang semua di-salam-kannya. Bangsa penjajah tak punya pilihan selain berusaha menanamkan pengaruhnya di luar wilayah Kerajaan Ternate yaitu, di pedalaman Halmahera dan Maluku Selatan. berkiprah di daerah-daerah tersebut.
Misi Sarani diijinkan
Jadilah Maluku terbagi dua dengan mayoritas
Salam di bagian utara dan bagian selatan dengan mayoritas Sarani. Sejalan dengan kebijakan memecah belah, Belanda secara diskriminatif mendorong pembangunan di Maluku bagian selatan yang Sarani.
Sejak saat itu
terbentuklah suatu segregasi wilayah yang berbasis agama di Maluku. Warga Sarani di Maluku bagian selatan yang berpendidikan, banyak terserap ke dalam birokrasi Belanda. Sedangkan yang tidak berpendidikan memilih bergabung ke dalam tentara kolonial (KNIL). Wujud segregasi sosial berbasis agama bahkan terus berlanjut ke tingkat satuan wilayah yang lebih kecil.
Di tingkat desa atau kelurahan (negeri), dapat ditemukan
dengan mudah apa yang disebut negeri Salam dan negeri Sarani. Pola pemukiman yang disebut juga dengan segregated pluralism sebagai lawan dari integrated pluralism, yaitu warga cenderung bermukim dengan sesame umatnya sendiri. Pada masa-masa awal kemerdekaan, segregasi tempat tinggal ini diperkuat lebih lanjut oleh perbedaan pendidikan dan jenis pekerjaan.
Perbedaan tersebut
bermuara pada, perbedaan tingkat kesejahteraan antara warga negeri Salam dan warga negeri Sarani.
Negeri Sarani biasanya ada di pusat kota, warganya berpendidikan,
bekerja di perkantoran/pemerintah, rumahnya berlistrik dan berair PAM. Sebaliknya, negeri Salam ada di pinggiran kota, warganya mayoritas kurang berpendidikan, bekerja
sebagai petani, nelayan, pedagang ikan dan sayuran di pasar tradisional, dengan rumah berlampu petromaks dan air dari sumur galian. Untungnya warga Maluku bagian selatan, terutama di Ambon dan Lease memiliki sistem peredam ketegangan sosial yang dikenal dengan istilah pela gandong. Sistem ini memungkinkan warga berbeda agama atau pun suku mengangkat sumpah melalui suatu upacara khusus, berjanji untuk saling setia serta saling membantu dan membela dalam suka dan duka seperti layaknya terhadap saudara kandung sendiri dalam semua urusan secara tulus dan sepenuh hati.
Sistem sosial ini melahirkan cross cutting
affiliation and loyality di antara pihak-pihak yang berbeda latar belakangnya. Seperti diketahui, walaupun orang Ambon dikenal temperamental seperti orang Aceh dan Madura, namun sekali mereka berjanji maka janji itu akan dipegang seteguh-teguhnya apa pun akibatnya (Botti dikutip oleh Nuria Soeharto dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001). Bagi orang yang pernah tahu tentang Saparua, dikenal memiliki tradisi budaya pela dan gandong yaitu suatu tradisi yang menjalin persaudaraan antara komunitas yang berbeda agama.
Apabila komunitas Sarani memiliki hajat seperti membangun
Gereja, membangun rumah adat (baeleo), maka komunitas Salam secara otomatis akan turut membantu. Demikian pula sebaliknya, jika komunitas Salam yang memiliki hajat seperti membangun Mesjid maka komunitas Sarani secara otomatis turut membantu pula. Fakta menunjukkan bahwa, pembangunan Mesjid Iha di Pulau Saparua di akhir tahun 1990-an turut dilakukan oleh gandong-nya Ihamahu yang Sarani di Pulau Saparua serta pela-nya Amahai di Pulau Seram yang juga Sarani. Bahkan sampai melibatkan keturunan pela dan gandong yang berada di luar Maluku.
Kenyataan tersebut
menunjukkan betapa kuatnya jejaring kekerabatan pela dan gandong sebagai ikatan adat yang melampaui ikatan agama. Namun saat jejaring kekerabatan tersebut tidak mampu menghindari terjadinya konflik di Saparua. Bahkan Mesjid Iha yang merupakan simbol
kekuatan jejaring kekerabatan pela dan gandong turut dihancurkan saat
penyerangan komunitas Sarani ke negeri Iha (Desember 2000). Bahkan negeri Ihamahu sebagai gandongnya sekaligus tetangga Iha tidak mampu menahan upaya penyerangan dan penghancuran negeri Iha termasuk Mesjid yang turut dibangun secara bersamasama. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pela dan gandong saat konflik pecah di Saparua
tidak
mampu
lagi
memerankan
fungsinya
untuk
mempertahankan
persaudaraan tanpa memandang agama.
Penyebaran konflik sampai ke Saparua
justru didukung oleh informasi-informasi yang disampaikan aliran pengungsi korban konflik di Ambon dan sekitarnya. Anak negeri yang mengungsi ke Saparua membawa cerita menyedihkan, berupa hilangnya harta benda bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Fakta-fakta tersebut mendominasi pergeseran pemikiran masyarakat dan melemahkan jejaring kekerabatan antar agama melalui adat pela dan gandong diikuti dengan menguatnya jejering kekerabatan sesama agama. Budaya pela dan gandong memiliki hal positif yaitu rakyat Saparua yang terdiri dari komunitas Salam dan Sarani berasal dari keturunan yang sama. Oleh karena itu harus saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan dilarang untuk menyakiti apalagi saling membunuh.
Ikatan pela-gandong umumnya terjalin antara
negeri Salam dan negeri Sarani karena di Maluku setiap negeri umumnya dihuni satu pemeluk agama saja Salam atau Sarani. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu budaya mudah mengalami infiltrasi dan akulturasi. Pengaruh-pengaruh luar turut melunturkan nilai budaya pela dan gandong. Bahkan gerakan-gerakan politik yang membuat dikotomi warga setempat atas nama agama turut merusak budaya pela dan gandong. Misalnya ada istilah Republik Maluku Sarani (RMS) sebagai metamorfosis dari kelompok Front Kedaulatan Maluku (FKM). Masuknya kelompok Laskaf Jihad (LJ) saat konflik berkembang turut mengambil bagian baik dengan keterlibatan langsung maupun melalui informasi menggunakan berbagai media (cetak dan elektronik). Selain itu kelompok “preman Coker” yang kemudian diketahui turut mengobarkan konflik ternyata dijaga oleh pihak
Kopassus
(TNI-AD). Proses penangkapan kelompok Coker menyebabkan terjadinya bentrokan antara aparat keamanan dari Brimob (Polri) dengan Kopassus (TNI-AD). Kenyataan tersebut memberikan memperkuat indikasi bahwa, pihak yang mengendalikan konflik Ambon (Maluku) turut menyusup di dalam kedua komunitas baik Salam maupun Sarani. Warga yang disusupi kemudian menjadi pemicu konflik pada masing-masing komunitas yang berkembang menjadi konflik berkepanjangan antara kedua komunitas. Hasil diskusi kelompok terfokus pasca konflik Saparua dapat disimpulkan, bahwa pela dan gandong sudah tidak dikenal oleh generasi yang baru lahir di alam kemerdekaan.
Desakralisasi kebudayaan tersebut sebenarnya sudah berlangsung
cukup lama. Merujuk pada keberadaan pela dan gandong ternyata rakyat setempat mau diadu dengan pendatang yang Salam. Kondisi demikian menyebabkan solidaritas penduduk lokal yang Salam lebih kuat kepada pendatang yang juga Salam. Sehingga
pranata-pranata adat di wilayah Saparua terlupakan begitu saja dan tidak mampu mempertahankan kerukunan antar masyarakat berbeda agama. Selain itu kehidupan bersama antara Negeri Salam dan Sarani untuk hidup berdampingan secara damai tidak dapat dipertahankan. Fakta-fakta tersebut merupakan titik balik dari kehidupan beragama masyarakat pedesaan Saparua, yang selama ini selalu dibentengi oleh budaya pela dan gandong. Ternyata pula, ikatan agama telah berhasil melemahkan ikatan adat sehingga muncul sebagai kekuatan baru dalam masyarakat Saparua.
Pelemahan budaya pela dan
gandong, menjadi bukti lemahnya kekuatan ikatan adat untuk menghindari terjadinya konflik yang mengarah pada konflik bernuansa agama.
Sehingga tidak ada pilihan
selain menguatkan ikatan antara masyarakat sesama agama, bukan lagi menguatkan ikatan budaya pela dan gandong untuk meredam terjadi dan meluasnya konflik. Berbeda dengan kenyataan konflik yang terjadi di salah satu wilayah Maluku yaitu Maluku Tenggara.
Seperti diketahui, Maluku Tenggara merupakan fenomena
heterogenitas agama yang sangat kental namun memiliki kekuatan budaya yang masih dijunjung tinggi. Keberadaan tingkatan budaya (kasta) di Masyarakat Maluku Tenggara (Kei), merupakan kekuatan yang mampu mengendalikan konflik bernuansa agama sehingga tidak berkepanjangan.
Keberadaan marga dalam masyarakat Maluku
Tenggara tidak menunjukkan bahwa, marga yang sama memeluk agama yang sama pula. Dalam hal ini, ikatan kekerabatan yang dikembangkan bukan berdasarkan ikatan agama itu sendiri. Sehingga sangat mudah ditemui dalam masyarakat adanya satu marga tertentu yang memeluk agama Katolik, Protestan dan Muslim. Kenyataan demikian menjadi dasar pijakan bahwasannya kekuatan budaya (adat-istiadat) di Maluku Tenggara mampu melampaui agama. Tentu saja perlu kajian yang lebih mendalam, namun kasus Maluku Tenggara dapat menjadi dasar dugaan bahwasannya ikatan budaya masih mampu melampaui ikatan agama dalam konteks resolusi konflik yang sesungguhnya. Inilah yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak terutama pemerintah, sehingga tidak menyebabkan sebuah konflik menjalar kemanamana tetapi dapat diramu sedemikian rupa menjadi sebuah kekuatan untuk mempererat kebersamaan masyarakat melalui ikatan budaya. Nuansa otonomi daerah kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah Maluku Tengah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Negeri yang juga berlaku dan diterapkan di Pulau Saparua.
Perda ini kemudian, memanifestasikan
kekuatan adat dalam arti jaringan kekerabatan kemudian dapat diterapkan dengan lebih
baik, mengingat pemegang mandat di aras negeri merupakan Raja yang diwariskan secara turun temurun melalui sistem patrilineal pada garis keturunan marga Raja di masing-masing negeri. Hasil pertemuan dalam Seminar Manajemen Konflik di Pulau Saparua yang diikuti seluruh Latupati Pulau Saparua dan Pemerintah Kecamatan Saparua, disimpulkan bahwa upaya menyelesaikan konflik sehingga tidak terulang kembali yaitu jangan berpikir hal-hal yang telah lewat dan harus menghentikan pembicaraan tentang akibat-akibat negatif dari konflik yang pernah terjadi. Perlu dilakukan pendekatan adat karena telah ditunjukkan oleh keberadaan Sirisori Salam dan Kulor, saat terlibat dalam Panitia Pembangunan Gedung Gereja Sirisori Sarani dan Pia yang hancur saat konflik. Warga Sirisori Sarani yang mengungsi walaupun
masih sulit menerima kehidupan
bersama karena dendam yang belum berakhir serta kekecewaan yang belum hilang, telah memulai kerjasama dengan Sirisori Salam dalam membangun kembali Gereja Sirisori Sarani yang hancur saat konflik. Upaya meredam konflik perlu dilakukan melalui perdamaian adat yang melibatkan Badan Pemerintahan, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama sebagaimana yang terjadi antara Negeri Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Perdamaian yang dilakukan tidak melibatkan pihak luar baik pemerintah sipil maupun pihak militer yang bertugas. Melalui upaya perdamaian disepakati untuk tidak mengulangi lagi apa yang sudah terjadi dan diharapkan melupakannya, sehingga semua warga masyarakat kedua negeri secara bersama-sama membangun negeri terlebih lagi ditekankan bagi generasi muda sebagai generasi penerus. Sekretaris negeri Sirisori Salam bersama Tokoh Adat Negeri Sirisori Sarani secara bersama sepakat bahwa adat harus tetap dipertahankan sebagai ikatan pengikat dalam jaringan sosial masyarakat di pedesaan Saparua.
Kesepakatan tersebut
digambarkan berikut ini : Upaya yang dilakukan kami untuk meeredam konflik, dengan cara adat yang mana melibatkan Badan Pemerintahan, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat serta Tokoh Agama. Upaya perdamaian juga dilakukan saat bertepatan dengan acara pelantikan Raja Sirisori Sarani, dimana saat itu masyarakat Sirisori Salam-lah yang membuat tempat acaranya (sabuah). Demikian pula dalam pekerjaan pembangunan Gereja Sirisori Sarani yang terbakar saat penyerangan oleh Sirisori Amapati, justru masyarakat Sirisori Salam yang menjadi sebagian besar anggota Panitia Pembangunan Gereja bahkan turut terlibat dalam pekerjaan pembangunan seperti pengecoran tiang. Sebaliknya juga yang terjadi saat pelantikan Bapa Raja Sirisori Salam, maka masyarakat Sirisori Sarani yang membangunan tempat acara (sabuah). Sehingga dapat dikatakan bahwa, upaya
penyelesaian konflik tidak dipaksakan dan diatur tetapi menjadi kesepakatan bersama kedua warga segandong Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Alasan yang dikemukakan pula oleh Kepala Soa Negeri Kulor, Kepala Dusun Pia, Kepala Soa Sirisori Salam serta Tokoh Adat Sirisori Sarani bahwa konflik terjadi karena hancurnya ikatan budaya yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka. Jelasnya terlihat pada penjelasan berikut ini : Ada keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan ikatan yang dibangun oleh datuk-datuk sejak jaman dahulu bagi Sirisori Salam dan Sarani. Hal itu sebenarnya merupakan penerapan Bhineka Tunggal Ika yang sangat nyata. Jadi sebenarnya tidak menjadi satu kesalahan jika kemudian kami bersepakat untuk menguatkan kembali ikatan yang dibangun para datuk-datuk leluhur kami. Oleh karena itu, saat ini kami membangun kesepakatan untuk saling toipang menopang, bahu-membahu dalam menghadapi berbagai masalah. Kalau pun konflik terjadi kembali, maka kami tetap berpegang pada adat istiadat untuk tidak terlibat dalam konflik bahkan kami harus saling menjaga dengan menghalau setiap serangan yang diarahkan pada salah satu dari kami tanpa memandang kelompok agama apa yang membangun serangan. Semua Latupati di Saparua sepakat bahwasannya rekonsiliasi di Saparua tidak ada artinya dengan kehadiran para elit, baik di Ambon maupun Jakarta seperti berikut : Jadi proses rekonsiliasi antara negeri berbeda agama, tidak diatur oleh pemerintah, tetapi muncul dari keinginan dasar masing-masing anak negeri. Kerinduan itu muncul, melihat adanya kondisi yang tidak mengenakkan saat konflik kerena seharusnya kami saling bertegur sapa, saling tolong menolong, saling bantu membantu, tetapi konflik menghancurkan segalanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kondisi Sirisori Salam dan Sarani seperti semula. Upayakan pertemuan antara kami dimulai oleh Bapak AS (Sirisori Salam) dengan bapak MS (Sirisori Sarani) berupa pertemuan informal, seperti saat bertemu di laut mencari ikan bersam-sama maka kami saling memberikan ikan sebagai umpan jika salah satu kehabisan. Kemudian saling memberikan ikan kepada yang lain, jika tidak mendapat ikan saat melaut. Hal demikian muncul karena ada perasaan saudara dan saling memiliki sebagai saudara segandong. Pertemuan secara resmi terjadi sejak Desember tahun 2004, setelah terpisah kurang lebih empat tahun. Ada kepercayaan bahwa siapa yang melakukan kejahatan atau berhati kotor, dipastikan ia akan menerima balasan saat konflik terjadi seperti, tertembak hingga cacat sampai meninggal. 5.5. Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae Gerakan Baku Bae Maluku bekerjasama dengan Universitas Pattimura (Unpatti) melaksanakan Musyawarah Latupati Maluku, sejak tanggal 9 – 11 Januari 2003 di Kampus Unpatti Ambon. Musyawarah para pemuka adat dan tokoh masyarakat itu merupakan salah satu upaya mengobati luka akibat konflik dan memulihkan sendi kehidupan di Maluku. Berbagai upaya rekonsiliasi untuk Maluku yang dilakukan oleh
berbagai pihak secara berangsur-angsur telah memperlihatkan hasil positif, sekalipun belum mampu mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat secara utuh seperti pada kondisi sebelum Januari 1999, tetapi paling tidak perasaan menyesal telah hadir dalam lubuk hati masyarakat.
Perasaan menyesal merupakan satu kunci adanya harapan
untuk menatap masa depan yang lebih baik. Karenanya sebuah gerakan moral Baku Bae Maluku bersama Universitas Patimura (Unpatti) menyelenggarakan Musyawarah Latupati Maluku di Ambon. Musyawarah yang dihadiri 110 latupati (para tokoh masyarakat dan pemuka adat) dan kalangan cendikiawan lainnya ini lebih mirip sebuah forum penyesalan para Ketua Adat, Raja maupun Lurah atas peristiwa kelabu di Maluku yang telah menelan korban ribuan jiwa, harta benda dan harga diri dengan kehancuran budaya pela gandong yang selama ini menjadi ikatan batin orang Maluku. Para Latupati diminta memberikan masukan sehingga nantinya bisa dibuat rencana dasar untuk mengoptimalkan peran mereka di Maluku. Selain itu dapat dicari solusinya untuk mensinergikan seluruh komponen masyarakat sipil untuk penghentian kekerasan di Maluku dan menghasilkan rencana dasar untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, menata kembali sistem pendidikan dan memfasilitasi perencanaan pemulangan pengungsi ke daerah asalnya pasca penghentian kekerasan di Maluku. Seperti disebutkan Ketua Musyawarah Latupati Maluku. Ny Theresia Maitimu dan disetujui pula oleh Pejabat Pemerintah Pusat, bahwa : Situasi Maluku semakin hari semakin baik. Komunitas Salam dan Sarani telah mulai berkumpul kembali seperti sebelumnya. Suasana inilah yang menggerakkan sejumlah orang yang peduli dengan perdamaian di Maluku untuk mengumpulkan para ketua adat, raja dan lurah di seluruh Maluku agar secara bersama-sama menjaga wilayah ini sehingga tidak ada orang lain yang ingin menghancurkannya kembali. Sementara itu, staf ahli Mendiknas, Drs Hendro Soemaryo MM, yang mewakili Mendiknas Malik Fadjar membuka Musyawarah Latupati tersebut mengatakan, semangat kerjasama seperti ini senantiasa terus dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya untuk membangkitkan kembali budaya pela gandong yang telah berakar di tengah masyarakat. Selama keberadaan masyarakat Maluku yang majemuk yang diikat oleh nilai-nilai budaya pela gandong terbukti mampu hidup berdampingan, kekeluargaan dan persaudaraan sehingga dapat membangun berbagai sendi kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. ”Fakta membuktikan akibat konflik sosial berkepanjangan, berbagai fasilitas umum maupun properti pribadi rusak yang membuat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban masyarakat. Karena itu kita sadar bahwa konflik apapun bentuknya tidak akan pernah memberikan keuntungan, sebaliknya yang terjadi adalah kerugian mental, sosial dan ekonomi yang besar yang membuat luka pada bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengalaman pahit yang sangat berharga, sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat Maluku selama ini harus menjadi modal dan pemacu untuk
mendorong dan membangkitkan semangat pela gandong yang merupakan anatomi budaya masyarakat Maluku sehingga segenap aparatur pemerintah, tokoh masyarakat, para latupati, cendekiawan dan anggota masyarakat untuk berpikir, berusaha dan bekerja keras yang dilandasi smangat optimisme dalam menyongsong masa depan yang lebih cerah. Selanjutnya diungkapkan, kebijakan dan strategi yang akan digunakan untuk merehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan di Provinsi Maluku dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu, pertama, pendekatan percepatan yaitu dilakukan dengan mempertimbangkan kenyataan sarana-prasarana, tenaga dan dana yang jauh berkurang dalam kondisi wilayah yang terisolasi; kedua, pendekatan pemberdayaan dengan memperhatikan potensi dan kekuatan yang telah dimilikinya sehingga perlu optimalisasi penggunaan sarana prasarana, tenaga dan dana yang ada serta, ketiga, pendekatan penguatan yaitu dengan memperhatikan infrastruktur dan kelembagaan yang ada tetapi perlu ditingkatkan kualitas peran dan fungsinya untuk mempercepat terwujudnya target dan tujuan yang hendak dicapai. Baku bae pengertian harafiahnya adalah saling berbaikan, namun dalam konflik Maluku pengertiannya adalah penghentian kekerasan sehingga gerakan Baku Bae adalah gerakan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan di Maluku. Fasilitator Gerakan Baku Bae Maluku, Ichsan Malik, mengaku selama proses lokakarya Baku Bae maupun dalam interaksi selama tiga tahun Gerakan Baku Bae ada seperangkat nilainilai dasar yang dijadikan acuan dalam proses untuk menghentikan kekerasan di Maluku yang dinamakan Spirit Baku Bae. Spirit Baku Bae ini terdiri atas beberapa nilai yaitu pemaafan, keadilan, solidaritas, dan keragaman. Keempat nilai atau spirit Baku Bae baik disadari maupun tidak ternhyata telah menjadi penuntun bagi Gerakan Baku Bae dalam upaya untuk menghentikan kekerasan di Maluku (Letaemia Rolly, ed, 2003). Gerakan Baku Bae menempuh strategi yaitu dikembangkan dengan bertitik tolak dari kenyataan yang ada di Maluku yaitu masyarakat Maluku telah terbelah, tercerai berai, luluh lantak secara sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama. Ada beberapa strategi yang dikembangkan yaitu penghentian kekerasan, pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, pembenahan pendidikan, penyediaan sarana kesehatan minimal, penyediaan sarana informasi dan komunikasi rakyat serta penegakan hukum. Menurut Ichan Malik ungkapan kemarahan, rasa dendam, rasa curiga, putus asa, dorongan untuk mengambil jalan pintas merupakan ekspresi umum yang muncul dari masyarakat yang telah mengalami konflik seperti Maluku. Gagasan perdamaian atau penghentian kekerasan yang diusung oleh Gerakan Baku Bae Maluku memang tidak mudah karena itu bacaan terhadap momentum yang tepat serta terus menerus
membuka ruang dialog tentang keadilan, pluralisme dan solidaritas korban paling tidak mampu mengurangi dorongan untuk terus melanjutkan konflik. Salah satu fasilitator Gerakan Baku Bae menjelaskan, mantapnya sistem pemerintahan adat dengan sendirinya akan menjamin integritas sosial dan menghindari timbulnya kembali kerusuhan yang luas dan berkepanjangan. Oleh karena itu sudah waktunya para Latupati kini mengkonsolidasikan diri demi kelangsungan dan ketentraman hidup di Maluku. Namun harus dipikirkan juga bagaimana para Latupati dibina secara sistematis agar tidak terpuruk dalam globalisasi yang makin kuat. Mantapnya peranan Latupati sebagai penegak integritas sosial menyebabkan kedamaian dan ketentraman bisa terpelihara. Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan yaitu mengusahakan agar para pengungsi dapat kembali ke pemukiman mereka yang asli. Salah satu tokoh Latupati Maluku, Mahfud Nukuhehe menegaskan dalam forum Gerakan Baku Bae bahwa : saat ini yang menjadi agenda mendesak dalam membangun kembali Maluku adalah membuka ruang yang kondusif bagi tertatatanya kembali hubungan antar masyarakat, hubungan antara masyarakat dengan alamnya dan hubungan antara masyarakat dengan struktur lokal-nasionalnya. Hubungan antar manusia perlu ditata kembali atas dasar prinsip-prinsip pluralitas dan kesetaraan. Sikap dapat menerima kehadiran manusia lain dengan apa adanya pada hakikatnya adalah sikap tunduk pada keberasaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan keragamannya. Situasi dan kondisi keamanan di Provinsi Maluku secara perlahan tetapi pasti mulai berubah ke arah yang semakin menjanjikan semua pihak. Kondisi yang berangsur-angsur membaik ini tetap membutuhkan kewaspadaan dan kehati-hatian semua pihak, sebab bisa saja keadaan ini berubah 180 derajat kalau saja kita semua lengah, teledor dan tak punya gagasan apapun dalam memanfaatkan peluang yang telah terbangun ini. Sehingga, adat menjadi salah satu solusi dalam membangun kembali Maluku sebab pengalaman membuktikan bahwa kekuatan adat dapat berperan dan berkontribusi dalam mendorong kondisi Maluku yang ada dewasa ini. Berperannya adat dalam memberikan solusi berkenaan dengan problematika di Maluku sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi adar dimana adat itu sesungguhnya lahir dari haribaan masyarakat itu sendiri. Namun demikian, Mahfud menyadari ketika berbicara tentang adat belum tentu bisa diterima oleh semua pihak dan kemungkinan masih ada pihak-pihak yang khawatir dan berpandangan bahwa dengan menguatnya adat, peran Raja/Latupati serta kelembagaan adat lainnya hanya akan membangkitkan kembali romatisme sejarah. Sebenarnya pandangan seperti itu tidak perlu terjadi sebab adat bukanlah sesuatu yang statis dan kaku namun sebaliknya luwes dan dinamis sehingga bisa bertahan hingga saat ini. Oleh karena itu, berkenaan dengan peran adat, Raja dan Latupati serta kelembagaan adat lainnya dalam membangun Maluku, maka nilai-nilai adat akan sangat terbuka untuk berinteraksi dan membangun dialog. Sebab melalui dialoglah kita akan mengantarkan masyarakat menuju masa depan Maluku yang lebih baik.
Saat konflik terjadi banyak warga Sarani yang sedang berkunjung ke kerabatnya warga Salam yang merayakan Idul Fitri. Jika awal konflik telah terbentuk dua kelompok berdasarkan agama, maka dipastikan banyak warga Sarani yang mati karena saat yang sama berada di rumah wagma Salam. Kondisi yang sama terjadi di pedesaan Saparua ternyata masih ada warga Sarani yang menyelamatkan begitu banyak warga Salam (Bugis, Padang dan Buton). Penjelasan tersebut menjadi dasar bahwa, ikatan adatistiadat di Saparua harus diitingkatkan lagi sehingga dapat dipertahankan sebagai suatu kekuatan penahan terjadinya konflik. Salah satu cara untuk menekan terjadinya konflik di pedesaan Saparua yaitu berpatokan pada peraturan adat mengingat Saparua merupakan negeri-negeri adat yang memiliki peraturan adat tersendiri. Hal itu pula ditunjang oleh kesepakatan Latupati Saparua untuk tetap mendukung proses rekonsialiasi. Selain itu, jika ada informasi yang mengarah pada perpecahan agama haruslah didiskusikan dan diselesaikan dahulu. Apabila negeri Salam dan Sarani di Saparua dapat menyatukan barisannya, mustahil mereka terpuruk seperti yang dialami sekarang ini. Kedua komunitas dapat bekerjasama dalam beberapa hal berikut ini : 1.
Bekerjasama mengontrol mekanisme pasar jika berada dalam ikatan ekonomi,
2.
Bekerjasama untuk menolak arahan dan hembusan isu-isu yang bersifat memanasi dengan memunculkan dan memprovokasi perbedaan-perbedaan mendasar antara kedua idiologi baik melalui aktor-aktor yang menyusup maupun aktor-aktor resmi tanpa disadari oleh kedua penganut idiologi,
3.
Bekerjasama memperkuat ikatan adat seperti halnya Pela-Gandong sebagai simbol agama suku yang menjadi asal mula keyakinan masyarakat Saparua sebelum masuknya agama Salam dan Sarani.
VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK Masyarakat pedesaan Saparua melakukan pemasaran komoditas pertanian khususnya sagu sebagai makanan pokok melalui berbagai cara.
Salah satu cara
pemasaran yang memanfaatkan ikatan kekerabatan dikenal dengan istilah papalele. Papalele berkembang melalui ikatan kekerabatan satu negeri di aras Saparua, kemudian bergeser ke kota Ambon hingga ke luar Maluku.
Ikatan antar papalele
membentuk jejaring ekonomi dan budaya di masyarakat pedesaan Saparua. Sejak awal ikatan papalele tidak memandang perbedaan agama, sehingga aktivitas titip menitip komoditas berlangsung antar warga yang berbeda agama. Proses ke luar Saparua dilakukan secara bersama oleh pelaku papalele berbeda agama.
Sejak konflik
menyebar ke Saparua, pelaku papalele berbeda agama tidak dapat melakukan aktivitasnya secara bersama.
Secara perlahan hubungan antara papalele berbeda
agama tidak berjalan seperti sebelumnya.
Kondisi keamanan yang tidak terjamin
menghambat aktvitas papalele. Seiring eskalasi konflik yang semakin menguat, membentuk pula ikatan komunitas seagama sebagai upaya mempertahankan keamanan komunitas masingmasing.
Ikatan tersebut berkembang menjadi jejaring sosial yang melintasi negeri,
bahkan ke luar Saparua.
Jejaring tersebut tergambar melalui pengerahan bantuan
tenaga untuk membantu menjaga kemanan satu komunitas di Saparua, juga ke luar Saparua jika dibutuhkan. Bab ini menggambarkan terbentuknya jejaring ekonomi dan budaya, serta jejaring yang terbentuk saat konflik menyebar ke pedesaan Saparua. 6.1. Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua Sejak masa penjajahan Belanda perekonomian masyarakat Saparua berbasis pada pertanian, dengan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama. Tanaman yang banyak diusahakan, antara lain kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Komoditas lain didominasi oleh tanaman pangan seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan Tanaman sayuran mulai diusahakan secara meluas setelah konflik, karena masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran. Jenis sayuran yang diusahakan seperti,
bayam,
kubis,
kacang
panjang,
terong,
ketimun,
kangkung.
Selain
mengandalkan pertanian, usaha-usaha perikanan juga menjadi andalan masyarakat karena semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Sagu sebagai makanan pokok masyarakat menjadi tanaman keseharian yang secara mudah ditemui di hampir seluruh Saparua. Sagu biasanya diolah menjadi sagu
mentah untuk diolah lagi menjadi berbagai jenis produk turunan, seperti bagea, sagu lempeng, sarut dan sagu gula. Perdagangan hasil pertanian semakin berkembang setelah uang dikenal sebagai alat pertukaran. Masyarakat petani semula berfungsi juga sebagai pedagang yang langsung memasarkan hasil pertaniannya ke pusat pasar yang berada di ibukota kecamatan
dengan
cara
berjalan
kaki.
Perkembangan
selanjutnya,
tumbuh
kelembagaan titip-menitip hasil pertanian yang akan dijual ke pasar tersebut. Proses ini pada akhirnya menjadi jejaring sosial yang menjadi landasan perekonomian masyarakat Saparua. Dalam konteks ini, yang menarik adalah menjelaskan aktivitas jual beli baik dalam skala besar maupun kecil yang disebut masyarakat sebagai papalele. Papalele sebagaimana disebutkan sebelumnya tentang perdagangan hasil-hasil pertanian masyarakat dapat ditempuh dengan cara menjual secara langsung hasil kebun atau produk sendiri, baik masyarakat sebagai petani maupun
nelayan yang
sekaligus berperan sebagai pedagang. Aktivitasnya papalele berkembang sama dengan pedagang pengumpul desa yaitu, membeli produk dari petani atau nelayan, kemudian menjualnya kembali secara eceran. Sebagian besar papalele adalah perempuan karena laki-laki setelah melakukan aktivitas usahanya kemudian beristirahat. Aktivitas penjualan yang dilakukan isteri cukup menyita waktu, karena selain menjual di pasar desa ada juga yang melakukan dengan berjalan keliling desa bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Hal itu dilakukan terutama jika barang yang dijajakan berjumlah banyak dan sering terjadi pada komoditas perikanan. Penjualan di pasar tidak terbatas dalam pasar desa sendiri, khususnya saat hari pasar dimana aktivitas penjualan dilakukan juga di pusat kecamatan Saparua (hari Rabu dan Sabtu). Pihak laki-laki ada yang menjadi papalele, khususnya mereka yang tidak beraktivitas sebagai petani atau nelayan. Setelah itu muncul pula pedagang pengecer yang langsung berhubungan dengan petani atau nelayan untuk membeli produk mereka, kemudian menjualnya kepada konsumen di pasar. Perkembangan ini membuka jalan makin munculnya papalele. Petani atau nelayan dengan hasil pertanian/tangkapannya, serta pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer merupakan bentuk papalele awal. Keberadaan papalele yang khusus menjual produknya sendiri semakin nyata. Selain membeli produk dari sesama petani atau nelayan untuk dijual, serta orang luar desa yang memang bertujuan membeli produk di satu negeri kemudian menjualnya ke konsumen di tempat lain. Aktivitas perdagangan papalele ini sampai ke Ambon, bahkan ke Papua menggunakan kapal penumpang Pelni. Proses berjualan diawali sejak berada
di kapal. Biasanya produk olahan sagu, seperti sagu lempeng dijual ke penumpang saat sarapan pagi atau minum teh di sore hari. Sagu lempeng ini merupakan produk olahan sagu untuk dikonsumsi dengan cara dicelup (colo sagu) dalam kopi atau teh. Sedangkan produk olahan sagu yang lain seperti sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut dibungkus untuk dijual sebagai buah tangan. Produk ini menjadi produk andalan bagi papalele yang berdagang ke Papua karena kesamaan makanan pokok orang Papua dan Maluku. Namun, sagu lempeng, sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut belum diproduksi oleh petani di Papua sehingga cukup diminati. Banyak orang Maluku yang tinggal di Papua dan sudah lama meninggalkan Maluku, sehingga mengkonsumsi produk sagu seperti mengenang kembali kehidupan mereka di waktu lampau saat masih di daerah asalnya (Maluku). Papalele yang melintasi batas propinsi biasanya memiliki ikatan di tempat tujuannya. Ikatan tersebut untuk mempercepat penjualan sehingga memudahkan menyelesaikan kegiatan sebelum kembali ke Ambon. Jika ada komoditas yang belum habis terjual maka penjualan dipercayakan pada kerabatnya serta hasil penjualannya akan diambil setelah datang kembali. Kondisi ini menunjukkan adanya kekuatan jaringan kekerabatan yang oleh Granovetter (1985) dijelaskan sebagai konsep keterlekatan yaitu fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial. Konsep keterlekatan merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung antara para aktor. Tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah “terlekat” karena diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil pelembagaan sosial. Swedberg (1990) mencontohkan apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial. Kehidupan papalele sangat keras dan penuh tantangan. Orang papalele harus memiliki tubuh yang sehat karena harus tahan duduk berjam-jam di pasar dan tahan berjalan keliling negeri sampai jualannya habis. Orang papalele juga harus rajin mencari informasi harga serta keberdaan produk di berbagai tempat, sehingga sering melakukan perjalanan dari satu desa ke negeri lain. Papalele biasanya memiliki langganan dengan harga yang disepakati bersama, sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan produk dalam jumlah besar. Oleh karena itu, setiap perubahan harga diberitahukan pada produsen mengingat kuatnya persaingan antara sesama papalele. Perubahan harga biasanya terjadi saat bahan pokok (sagu)
sulit ditemui. Misalnya, kebutuhan pohon sagu di Saparua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akibat musim kemarau yang panjang, maka petani akan menyewa hutan sagu dari kenalannya di Pulau Seram untuk diolah menjadi sagu mentah dan produk turunannya. Jika demikian maka harga sagu mentah naik, begitu juga produk olahannya. Atau saat musim timur (ombak), dimana sulit melakukan perjalanan ke luar pulau (ke Ambon misanya) untuk menjual hasil. Kalau dilakukan maka harga sagu mentah dan produk olahannya lebih mahal, karena resiko papalele saat membawa dagangannya. Sesama papalele memiliki ikatan yang kuat. Sikap saling tolong menolong akan terlihat saat saling membantu untuk menaikkan dan menurunkan produk yang akan dijual ke dalam mobil pengangkut. Bila akan menjual produknya ke Ambon maka mereka akan berangkat bersama-sama dan ketika di dalam angkutan (motor laut) mereka duduk bersama-sama walau harus berdesak-desakan, sambil bersenda gurau untuk menghilangkan waktu dan makan bersama-sama bekal yang dibawa dari rumah. Bahkan setelah berjualan, mereka pulang bersama-sama. Apabila barang dagangannya belum habis terjual, mereka saling membantu menjual sehingga dapat pulang bersama ke Saparua. Penjelasan tersebut memberikan gambaran adanya ikatan senasib dan keberadaan dari negeri yang sama, sehingga selalu berusaha membantu satu dan lainnya dengan penuh kepercayaan dan toleransi (jika antara papalele yang berbeda agama). Ikatan-ikatan tersebut juga mengarah pada keseragaman harga produk yang dijual, sehingga menguatkan posisi papalele terhadap konsumen dan terutama pedagang pengumpul kecamatan yang ada di Saparua maupun di Kota Ambon. Bahkan tolong menolong ini nampak dalam kehidupan sehari-hari di negerinya. Bilamana ada salah seorang di antara papalele yang menikahkan anak, maka rekan-rekan papalele yang lain akan turut membantu. Misalnya mencari kayu bakar, memasak sampai terlibat langsung dalam menyelenggarakan pesta tersebut. Apalagi bila ada yang berduka, maka papalele yang lain akan datang berkunjung untuk turut berbelasungkawa
dengan
membawa
bantuan
uang
atau
turut
membantu
mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan upacara penguburan dan pengucapan syukur keluarga. Kenyataan-kenyataan demikian memperjelas adanya kekuatan ikatan antara papalele, yang telah menembus batas aktivitas pekerjaan. Kenyataan ini yang oleh Geertz (1978) disebut sebagai resiprositas sosial, yang seharusnya ada dalam proses klientisasi (ikatan antara papalele dan produsen).
Kenyataan-kenyataan tersebut juga berkaitan erat dengan adanya sistem kekerabatan yang berlangsung dalam masyarakat Maluku. Di Maluku dikenal istilah mata ruma sebagai sekumpulan keluarga dengan nama marga yang sama di negerinya yang sama, dan diyakini berasal dari satu keturunan yang sama, sehingga merasa adanya ikatan darah antara mereka. Dengan demikian, secara adat istiadat hal-hal demikian haruslah dilakukan. Kenyataan demikian sesuai dengan konsep resiprositas umum yang dijelaskan Swartz dan Jordan (1976) yang dikutip oleh Granovetter dan Swedberg (1992) bahwa, sistem resiprositas umum biasanya berlaku di kalangan orangorang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Ikatan dibangun papalele dengan pemilik produk di berbagai tempat. Pemilik produk selain berada dalam negeri juga yang berasal dari negeri sekitar. Hubungan yang dibangun dengan pemilik produk menunjukkan bahwa, papalele telah membangun jaringan sehingga memudahkan dalam memperoleh produk yang diinginkan. Di sisi lain, pemilik produk juga tidak perlu menjual ke pasar (baik pasar desa maupun pasar kecamatan). Kenyataan demikian menunjukkan adanya proses kllientisasi yang menurut Geertz (1978) terjadi pada pembeli dan penjual yang telah melakukan jual beli berulangulang, sehingga hubungan tidak lagi hanya sebagai hubungan penjual dan pembeli tetapi terjalin sedemikian rupa dengan hubungan-hubungan sosial lainnya. Dalam hal ini maka, klientisasi haruslah diikuti dengan resiprositas sosial, karena kalau tidak demikian maka jaringan yang sudah dibangun akan mudah putus. Jejaring ini didasarkan pula pada kepercayaan yang dibangun oleh kedua pihak saat memulai hubungan, serta berlangsung sepanjang hubungan berjalan. Hal ini menguatkan pendapat Dalton (1968) bahwa usaha mendapatkan keuntungan yang diperoleh melalui tawar menawar, merupakan motif yang mendasari struktur pasaran. Walaupun dalam masyarakat yang masih berbasis tradisi menurut Polanyi (1968) yang terjadi adalah resiprositas dan redistribusi, yaitu orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang terlibat titip-menitip barang didasarkan atas saling-percaya, karena harga jual diketahui ketika terjadi transaksi di pasar. Jadi ada kepercayaan yang dibangun antara mereka yang menitipkan dengan mereka yang dititipkan. Hal ini tetap dijaga karena, status penitip dan yang dititipkan boleh berganti orang, pada waktu yang berbeda mungkin saja seseorang yang dititip akan menjadi petani yang menitip. Demikian pula sebaliknya, orang pada satu saat dahulu yang menitip akan berstatus
sebagai yang dititipi. Hal ini dimungkinkan terus terjadi oleh karena proses ini berhimpit dengan keeratan hubungan ikatan darah. Mengingat umumnya negeri-negeri di Maluku Tengah terbentuk berdasarkan ikatan darah, sehingga walaupun masyarakat tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang berhubungan dekat tetapi dalam masyarakat ada “rasa satu keturunan”. Komersialisasi yang semakin meluas di Saparua memunculkan pedagang pengumpul tingkat negeri yang memiliki cukup modal, sehingga lebih dipercaya. Perkembangan demikian memperkuat posisi pedagang pengumpul. Masyarakat sering tidak mengetahui dengan pasti harga yang terjadi di pasar, sehingga pedagangpedagang pengumpul berpeluang mendapat keuntungan lebih besar. Pedagang pengumpul kemudian memanfaatkan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat dengan membuka peluang usaha baru di aras negeri. Selain bermodal cukup besar, pedanga pengumpul biasanya memiliki kedudukan penting dalam masyarakat atau menempati posisi penting secara adat setempat. Hal yang menarik dicatat dalam hal ini, berkenaan dengan perdagangan cengkeh yang pernah menghadapi harga beli yang jatuh secara drastis (antara tahun 1989-1997). Ketika itu masyarakat Saparua umumnya tidak melakukan pemanenan sama sekali karena harga begitu rendah. Namun, ada juga kelompok masyarakat yang melibatkan diri dengan kelembagaan ijon (istilahnya menggadaikan pohon cengkeh) kepada pedagang pengumpul (tingkat negeri). Sistem ini terus berkembang karena sedikit membantu masyarakat mendapat tambahan pendapatan. Pada akhirnya cara ini melibatkan juga pedagang pengumpul tingkat kecamatan karena semakin banyak masyarakat memerlukan tambahan pendapatan yang lebih cepat dan keuntungan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin besar. Hal tersebut terutama dalam kaitan kebutuhan keluarga untuk membiaya pendidikan anakanak. Pedagang pengumpul kecamatan sendiri biasanya berasal dari orang luar Saparua, seperti dari Etnis Bugis dan Jawa. Hal ini terjadi karena mereka memiliki ikatan dengan pedagang besar di Kota Ambon, sehingga modal yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan pedagang pengumpul negeri. Kelebihan seperti itu, menyebabkan pedagang pengumpul kecamatan mampu membantu masyarakat di negeri-negeri Saparua yang memerlukan uang dengan cepat dan tanpa prosedur yang berbelit-belit. Posisi pedagang yang menerima gadaian sebenarnya menyerupai kedudukan tengkulak. Namun, masyarakat menyukai yang demikian karena transaksi keuangan tidak rumit sebagaimana lewat lembaga keuangan resmi. Kondisi ini mendorong
terbentuknya jejaring sosial yang proses-prosesnya lebih didasarkan pada struktur pasar. Bahkan, jejaring ini berkembang menjadi saluran dari aliran orang dari masyarakat pedesaan Saparua yang mengadu nasib keluar dari daerah tinggalnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komersialisasi menjadikan jejaring sosial tersebut makin mengenal pertimbangan keuntungan uang. Mereka yang menjadi pedagang cenderung menentukan harga dan harga barang-barang yang dibeli dan dijualnya jauh di bawah harga pasar. Lebih lagi, informasi pasar tentang harga-harga barang sangat terbatas diketahui oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat kebanyakan makin bergantung kepada kebutuhan akan uang lebih besar untuk memenuhi konsumsi. Oleh karenanya masyarakat kebanyakan makin berada dalam posisi tawar yang lemah. 6.2. Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua Ikatan dan kepercayaan merupakan unsur utama jejaring sosial. Adanya ikatan yang kuat akan membawa suatu hubungan menjadi lebih kuat, apalagi dibarengi dengan kepercayaan yang besar antara kedua pihak yang memiliki ikatan tersebut. Biasanya ikatan antara dua pihak atau lebih, mudah dibangun karena adanya kepercayaan di antara mereka. Tabel 7 menjadi dasar sebelum mengikuti penjelasan terperinci tentang proses kemunculan konflik. Tabel tersebut menjelaskan bagaiman konflik mulai terjadi kemudian menjadi konflik yang tidak terkendali. Berdasarkan tabel tersebut terdapat empat tahap dalam proses konflik yang bermula di Ambon yaitu tahap kemunculan konflik, tahap pematangan konflik, tahap konflik terbuka dan tahap konflik yang tidak terkendali. Saat memasuki tahap pematangan, terjadi penyebaran konflik ke luar Ambon termasuk ke Saparua.
Penyebaran konflik terjadi karena tahapan tersebut menunjukkan upaya
pengerahan bantuan antar komunitas seagama dari berbagai wilayah di Ambon, kemudian diikuti dengan bantuan dari luar Ambon. Seballiknya juga terjadi pengerahan bantuan dari Ambon ke wilayah lain yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama.
Awalnya pengerahan bantuan diarahkan untuk memperkuat komunitas
seagama di Ambon, namun pengalihan serangan ke luar Ambon menyebabkan terjadinya aliran bantuan ke setiap wilayah yang kondisi keamanannya tidak terjamin. Pengerahan bantuan juga dilakukan berdasarkan isu-isu yang beredar dalam masyarakat. Adanya isu penyerangan oleh satu komunitas di wilayah tertentu, maka komunitas lawan akan mengerahkan bantuan ke wilayah tersebut.
Tabel 7. Proses Kemunculan konflik di Saparua No
Babak
Ciri-Ciri
Keterangan
Ikatan antar – Dimulai dengan pertikaian dua individu berbeda etnis dan agama, menarik anggota etnis masih kuat, kelompok masing-masing untuk terlibat, ikatan komunitas menjadi konflik terbuka antara dua komunitas seagama mulai berbeda etnis dan berkembang ke arah konflik diperkuat, antara komunitas berbeda agama, pemerintah kemunculan tidak mampu mengatasi, penggunaan senjata konflik tajam dominan, militer mulai bergerak
1
Januari Maret 1999
2
Juli – Konflik antar agama menjadi berkepanjangan, Nopember terbentuknya kelompok-kelompok kecil pada 1999 masing-masing komunitas yang awalnya untuk mempertahankan keamanan pada komunitasnya sendiri, konflik mulai menyebar ke wilayah lain (termasuk Saparua), pemerintah belum juga mengatasi sepenuhnya, penggunaan senjata api rakitan, militer semakin bertambah
Ikatan antar etnis berbeda agama memudar, ikatan agama semakin kuat, pematangan konflik
3
Desember 1999 – Januari 2000
Konflik antar agama di wilayah lainnya semakin gencar, penggunaan senjata standart diikuti penambahan pasukan militer, suasana semakin tidak terkendali, kelompok-kelompok kecil pada masing-masing komunitas mulai mencari keuntungan-nya sendiri-sendiri
Ikatan agama semakin menguat bahkan pihak keamanan turut masuk dalam ikatan, konflik terbuka
April – Sebagian besar wilayah Maluku berdarah, kekuatan TNI dan POLRI tidak mampu Agustus meredam, bahkan makin terlibat secara nyata, 2000 aksi ambil untung oleh pengusaha, pemerintah sipil, kelompok-kelompok kecil pada masingmasing komunitas dan pihak TNI-POLRI dalam berbagai bentuk terutama pengawalan keamanan masyarakat, munculnya Laskar Jihad yang mengumpulkan kekuatan dari Jawa untuk membantu komunitas Salam, komunitas Sarani diwarnai dengan pembentukan FKM yang kemudian berubah menjadi RMS versi baru Sumber : Data Sekunder (Diolah)
Ikatan agama membentuk jaringan akibat kepercayaan yang sama, ikatan ekonomi muncul antara berbagai pihak yang mencari keuntungan semata, konflik tidak terkendali
4
Sebagian penduduk di kota Ambon baik yang Salam maupun Sarani berasal dari Pulau Saparua. Hal inilah yang menjadi pokok penyebaran konflik karena, setiap warga
negeri-negeri di Pulau Saparua yang menjadi korban konflik Ambon maupun pulaupulau lain, akan dianggap sebagai alasan untuk melakukan penyerangan warga negeri lain yang dianggap berada dalam posisi berseberangan (Gambar 3). Model penyebaran informasi membentuk lingkaran, sehingga berjalan lambat karena tidak ada pemimpin yang mengatur penyebaran informasi.
Sejak Bulan Februari 1999 NL dan MS
mengungsi ke Saparua, sebagai dampak rusaknya rumah tempat tinggal saat kerusuhan merebak di Ambon (Januari 1999). Ternyata hingga bulan September 1999 eskalasi konflik di Saparua mulai meningkat.
6
1
2
5
3
4
7
10
8
9
Gambar 3. Jejaring Penyebaran Informasi yang Memulai Konflik Saparua Keterangan : 1. NL (Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Sarani) 2. LL (Kerabat NL di Negeri Ulath) 3. TH (Tetangga LL di Negeri Ulath) 4. YL (Kerabat NL di Negeri Tuhaha) 5. BL (Kerabat NL di Negeri Porto) 6. MS (Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Salam) 7. AS (Kerabat MS di Negeri Kulor) 8. JP (Tetangga MS di Negeri Sirisori Salam) 9. RS (Kerabat di Negeri Iha) 10.BS (Kerabat di Negeri Kulor) Proses pertukaran informasi antar aktor Penyebaran informasi yang dimulai dari kedua aktor di negerinya masing-masing, membentuk pemahaman yang sama antar kerabat satu negeri.
Secara perlahan
penyebaran informasi ke kerabat di luar negeri, membentuk pemahaman yang sama antar komunitas seagama.
Penyebaran informasi yang berisi akibat negatif yang
diterima pengungsi tidak dikontrol tetapi terjadi secara alamiah. Penyebaran informasi
tidak berjalan cepat, namun berlangsung ketika terjadi interaksi antar kerabat dalam satu negeri maupun berbeda negeri.
Oleh karena itu, penyebaran informasi tidak
langsung memicu terjadinya konflik antar komunitas berbeda tetapi didahului dengan proses pembentukan persepsi yang sama yang mengarah pada justifikasi bahwa komunitas agama lain yang menyebabkan penderitaan sebagai akibat konflik di Ambon. Sejalan dengan pandangan Rubent (1992 : 337) bahwa, konflik dapat terjadi karena perbedaan sikap, persepsi dan pola orientasi nilai antara mereka yang berkonflik. Penyebaran informasi merupakan proses komunikasi informal antara individu sebagai pengungsi korban konflik dengan kerabat dan tetangga di negeri-nya (di Saparua). Proses komunikasi informal yang sering terjadi dan berulang dari waktu ke waktu, kemudian mampu merubah persepsi yang menjadi dasar individu berperilaku. Persepsi bahwa komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan, kemudian membentuk perilaku yang ingin membalaskan dendam. Sebagai pendapat beberapa ahli seperti bahwa komunikasi informal juga dapat memiliki pola yang dapat diperkirakan dari waktu ke waktu, karena terus berulang dan yang kemudian menjadi relatif stabil (Beebe dan Masterson, 1950; Rogers dan Rogers, 1976; Rogers dan Kincaid, 1981; Jahi, 1988). Meskipun demikian, perlu mendapat perhatian, bahwa karena bersifat informal dan seiring dengan perilaku anggota yang mungkin secara spontan berubah, maka jaringan komunikasi ini tetap dapat berubah menurut waktu.
Oleh karena itu, ikatan-ikatan
budaya dan agama yang sebelum konflik menjadi pembentuk jejaring antar komunitas berbeda agama bergeser menjadi jejaring antar komunitas seagama. Penyebaran informasi juga didukung dengan penyebaran isu yang provokatif. Penyebaran isu yang terjadi pada kedua komunitas setelah ditelusuri bermotif sama. Isu pembunuhan dengan berbagai cara (dipukul, dibacok sampai ditembak) salah satu anggota komunitas oleh komunitas lain merupakan bentuk provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak teridentifikasi. Selain itu isu adanya penyerangan yang didukung oleh bunyi tembakan senjata semakin memperkuat persepsi negatif antar kedua komunitas.
Aparat keamanan yang bertugas tidak mampu mempersuasif
masyarakat, bahkan cenderung tidak berbuat apa untuk mengantisipasi konflik terbuka akibat isu yang tidak benar. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terjadi konflik terbuka antara kedua komunitas. Penyebaran informasi yang tidak terkontrol menyebabkan kecermatan informasi menjadi lemah. Namun, penyimpangan informasi justru menjadi pemicu yang relevan
jika dikaitkan dengan penyebaran isu-isu dan selebaran yang menyesatkan saat konflik mulai muncul di pedesaan Saparua.
Penggunaan isu dan selebaran menyesatkan
menjadi pilihan, karena media massa (Radio) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok yang berkonflik berada di Ambon dan tidak menjangkau wilayah Pulau Saparua.
Kenyataan demikian menumbuhkan saling ketidakpercayaan antara
komunitas berbeda agama. Ketidakpercayaan menyebabkan terhambatnya komunikasi antara kedua komunitas dan berakhir dengan terjadinya konflik terbuka.
Samovar,
Pooter dan Jain (1985) menjelaskan bahwa, terhambatnya komunikasi akibat perbedaan tujuan komunikasi, etnosentrisme, kurangnya kepercayaan kepada pihak lain dan membuat kesimpulan berdasarkan stereotip mengakibatkan terjadinya konflik. Informasi yang dibawa NL dan MS sebenarnya hanya menjelaskan kerugian yang diderita dari sisi materi. Namun dalam perkembangan konflik di Ambon, banyak korban tewas yang berasal dari negeri-negeri Sarani maupun Salam di Saparua. Fakta tersebut kemudian menjadi pemicu, sekaligus pengobar keinginan membalaskan dendam kepada pihak lain yang dianggap sebagai penyebab. Pandangan Coser (1956) memperkuat penjelasan tersebut bahwa, terjadi ketegangan dengan pihak di luar komunitas sehingga masing-masing komunitas semakin memperkuat solidaritas internal dan bersama-sama menghadapi kekuatan komunitas lain. Seharusnya kenyataan adanya korban konflik dari kerabat warga negeri-negeri Saparua di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya disikapi dengan arif, sehingga tidak perlu terjadi tindakan penyerangan oleh satu komunitas yang menganggap komunitas lain sebagai penyebab. Pembalasan pihak korban hanya menjadi pemicu konflik baru antara kelompok-kelompok yang pada dasarnya tidak terlibat secara langsung dalam konflik di Ambon.
Kenyataan demikian berulang kali terjadi, sehingga penyebaran
konflik ke berbagai pulau di luar Ambon lebih cepat terjadi pula. Tabel 8. menjelaskan identifikasi masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan penyebaran informasi. Penyebaran informasi didahului dengan mengungsinya warga yang berasal dari Negeri Salam dan Sarani ke Saparua. Setelah semua harta benda milik pribadi habis terbakar, lokasi pengungsian yang tersedia dianggap tidak memadai, selain kondisi keamanan yang tidak terjamin. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata aktor berpendidikan sekolah menengah, berarti kemampuan pengetahuan cukup memadai untuk berpikir rasional. Seharusnya para aktor berpikir bahwa penderitaan kerabatnya tidak disebabkan oleh komunitas yang sama di Saparua. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, saat pertama
kali mendengar informasi tersebut, tidak terpikirkan bahwa komunitas berbeda agama di Saparua sebagai penyebab penderitaan kerabatnya. Namun berkembangnya isu-isu yang memprovokasi kedua komunitas kemudian membentuk persepsi bahwa, penyebab penderitaan adalah komunitas agama lain. Kenyataan ini menjadi dasar bahwasannya tingkat pendidikan tidak menjadikan seseorang berpikir secara rasional saat diperhadapkan oleh perbedaan idiologi sebagai penyebab penderitaan. Tabel 8. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Penyebaran Informasi No
Aktor
Umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
Posisi
Fungsi
1
NL
49
SMA
Swasta
Opinion leder
2
LL
52
SMA
Tani
Cosmopolite
3
TH
47
SMA
Tukang
Cosmopolite
4
YL
54
SMA
Tani
Liaison
5
BL
43
SMA
Tani
Cosmopolite
6
MS
49
SMA
Swasta
Opinion leder
7
AS
52
SMP
Tani
Cosmopolite
8
JP
47
SMA
Tukang
Cosmopolite
9
RS
54
SMP
Tani
Liaison
10
BS
43
SMA
Tani
Cosmopolite
Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain
Sumber : Data Primer (diolah) Pekerjaan para aktor di kedua komunitas mirip yaitu sebagai petani dan tukang. Aktivitas pekerjaan menjadi terhambat karena beredarnya isu provokatif menyebabkan rasa keamanan menjadi tidak terjamin. Terutama petani yang kebunnya berbatasan dengan komunitas berbeda tidak berani menjalankan aktivitas karena tidak ada rasa
aman. Terhambatnya pekerjaan juga menjadi pendorong untuk membenarkan isu-isu yang beredar, bahwa akan ada penyerangan oleh salah satu komunitas. Terhambatnya aktivitas juga menyebabkan banyak waktu luang yang dimanfaatkan untuk mencari informasi-informasi lain sehubungan dengan isu-isu yang tersebar. Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin bias kebenaran informasi tersebut.
Bahkan aktivitas pekerjaan berganti dengan aktivitas berkumpul dalam
kelompok-kelompok kecil untuk mempersiapkan keamanan masing-masing komunitas. Aktivitas demikian antara lain belajar membuat senjata rakitan serta membuat bom rakitan yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri sebagai bentuk antisipasi terhadap isu yang beredar. Aktivitas kelompok berkembang menjadi tenaga bantuan ke negeri lain yang dianggap rawan kondisi keamanannya. Beberapa aktor menjelaskan bahwa, ada rasa bangga saat mereka membantu keamanan negeri kerabat sekomunitas maupun membantu negeri yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama. Saat menjalankan aktivitas tidak terpikirkan lagi bahwa sebenarnya masyarakat Saparua memiliki ikatan adat yang tidak memandang perbedaan agama. Perasaan emosi dan amarah mengarahkan terbentuknya rasa dendam pada komunitas berbeda, sehingga ikatan adat seperti hilang oleh kekuatan agama. Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konflik di Saparua tidak muncul serta merta, tetapi merupakan bias berkepanjangannya konflik di kota Ambon. Sehingga warga kota Ambon yang merasakan dampak negatif akibat konflik harus mengungsi ke daerah asalnya termasuk kembali ke Saparua. Mereka yang mengungsi secara tidak sengaja menjadi sumber-sumber penyebaran konflik baru. Hal ini terkadi karena setelah mengungsi ke daerah asal maka, para pengungsi ini akan menceritakan akibat buruk yang harus mereka terima sebelum mengungsi. Akibat buruk tersebut antara lain, hilangnya harta benda termasuk rumah tempat tinggal mereka. Ada yang menjadi korban sehingga cacat seumur hidup, sampai ada yang meninggal. Ceritacerita demikian menimbulkan trauma dan juga dendam dalam diri saudara-saudara mereka di negeri asal tanpa melihat ikatan adat sebagai perekat perbedaan agama di Saparua. Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Saparua seperti pela – gandong yang dianggap bertuah, ternyata kemudian tidak mampu menjadi jembatan penghubung atau sumber peredam konflik di tingkat lokal. Dahulunya ikatan kekerabatan begitu diagungagungkan sehingga, selalu menjadi acuan dasar bagi setiap anggota masyarakat dalam
bertingkah laku.
Namun, menjadi hancur sebagaimana munculnya konflik antara
komunitas Salam berhadapan dengan komunitas Sarani. Melemahnya ikatan kekerabatan sebenarnya tidak seratus persen tepat karena saat konflik ada kejadian yang berpeluang memperkuat kembali ikatan adat.
Fakta
berikut ini menggambarkan hal dimaksud : ketika, anak-anak negeri Ulath (beragama sarani) yang akan ke Saparua menggunakan angkutan laut mengalami kecelakaan di wilayah laut Sirisori Salam, ternyata ikatan kekerabatan masih cukup menonjol sehingga anak-anak negeri Sirisori Salam pun turut membantu menyelamatkan para korban. Padahal dalam suasana konflik yang menegangkan, seharunya apa yang dialami oleh masyarakat Ulath yang tenggelam merupakan kesempatan bagi masyarakat Sirisori Amapati untuk melakukan pembalasan. Namun, dengan berbagai pertimbangan terutama adanya ikatan dan kepercayaan sebagai dasar yang mengawali terbentuknya persekutuan masyarakat Saparua yang kemudian berkembang menjadi Latupati sekarang ini menjadi penghalang proses pembalasan dimaksud. Kenyataan demikian memberikan gambaran bahwa, walaupun terjadi proses melonggarnya ikatan adat akibat menguatnya ikatan agama ternyata ikatan adat masih memungkinkan untuk meredam berkepanjangannya konflik. Hal itu dapat dilakukan jika isu-isu menyesatkan dapat ditangkal dan diselesaikan oleh pemimpin masing-masing komunitas.
Selain itu masing-masing komunitas seharusnya memiliki kemampuan
menyaring setiap isu serta masukan informasi dari anggota komunitasnya di luar Saparua. Biasanya isu-isu tersebut melegalkan masuknya tenaga bantuan dari luar Saparua
sebagai upaya mempertahankan kondisi keamanan masing-masing
komunitas. Masuknya tenaga bantuan dari negeri lain di Saparua maupun dari luar Saparua membentuk jejaring sosial antar komunitas seagama. Jejaring yang terbentuk tidak selamanya berdampak positif tetapi justru menjadi penyebab hancurnya tempat tinggal serta penderitaan yang berkepanjangan. Fakta pembentukan jaringan dalam konflik terlihat melalui bantuan “pasukan” dari Ambon oleh AW sebagai pimpinan grass root dan kelompoknya. Bantuan tersebut dapat diterjemahkan sebagai ikatan yang kuat dari sisi idiologi agama, karena pihak pemberi bantuan dengan penerima bantuan memiliki keyakinan idiologi yang sama yaitu Sarani.
Terbentuknya jejaring sosial seperti ini menjadi lumrah karena kesamaan
keyakinan antara penerima bantuan dan pemberi bantuan (Gambar 4), serta adanya perbedaan idiologi dengan lawan mereka (kelompok penyerang).
3
2 1
4
5
Gambar 4. Jejaring Sosial Konflik di Saparua Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot dari Ambon (AW) 2. Anggota Grassroot dari Negeri Porto (BT) 3. Anggota Grassroot dari Negeri Ulath (LP) 4. Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani (MK) 5. Anggota Grassroot dari Negeri Haria (AL) Permintaan bantuan dilakukan oleh pimpinan Gereja Protestan Maluku (GPM) Sirisori Sarani ke Negeri-negeri lain di Saparua. Jika situasi keamanan semakin tidak dapat dijamin, maka Pimpinan Klasis Saparua menyampaikan permintaan bantuan ke Ambon melalui Posko Maranatha. Setelah itu, Posko Maranatha menugaskan pimpinan grass root yang mengkoordinir pasukan bantuan ke Saparua. Beberapa pimpinan grass root yang bernaung di Posko Maranatha antara lain, AW dan HN.
Berdasarkan
permintaan dari Klasis Saparua, maka AW ditugaskan Posko Maranatha untuk memimpin pasukan bantuan ke Saparua.
Kalaupun situasi negeri Sarani semakin
terdesak, maka pimpinan Gereja setempat dapat melakukan permintaan bantuan ke negeri Sarani yang dapat dihubungi dengan cepat kemudian dilaporkan ke Posko Maranatha. Sementara dari pihak Salam, permintaan bantuan langsung dilakukan ke Posko Al Fatah.
Berdasarkan permintaan bantuan ini, maka pimpinan Posko segera
mengkoordinasikan dengan kelompok bantuan yang berdiam di sekitar Pulau Saparua seperti di Masohi (Pulau Seram) maupun di Pelau (Pulau Haruku). Jika kondisi semakin tidak terkendali, maka pasukan bantuan kemudian dibawa langsung dari Ambon melalui pelabuhan Hitu (Jazirah Leihitu) juga pelabuhan Tulehu (Kecamatan Salahutu). Kedua pelabuhan tersebut termasuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, namun berlokasi di Pulau Ambon. Berdasarkan gambar jejaring sosial konflik tersebut di atas
maka digambarkan identifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam jaringan tersebut (Tabel 9). Fakta menunjukkan bahwa, kelompok grass root Salam dan Sarani selalu menyertakan oknum anggota TNI dan POLRI dari masing-masing negeri yang mengalami situasi terdesak. Oknum TNI dan POLRI tersebut tidak berada di bawah komando pimpinan iunstitusi masing-masing, namun tergerak untuk membantu karena ikatan satu negeri serta ikatan satu agama. Kenyataan ini telah diakui oleh Pimpinan POLDA Maluku maupun KODAM Pattimura, dalam berbagai pemberitaan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan dalam Laporan Krisis Centre Keuskupan Amboina, Panglima KODAM Pattimura memperkirakan sekitar sepuluh persen anggota TNI terlibat secara langsung dalam konflik di Maluku. Tabel 9. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Konflik No
Aktor
1
AW
Umur (tahun) 51
Pendidikan
Pekerjaan
Posisi
Fungsi
PGSD
PNS
Gate Keepers
Mengontrol penyebaran informasi ke aktor lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain
2
BT
29
SMA
-
Cosmopolite
3
LP
27
SMA
-
Cosmopolite
4
MK
24
SMA
-
Cosmopolite
5
AL
26
SMA
-
Cosmopolite
Bantuan dari kelompok grass root ini, menunjukkan terbentuknya jejaring sosial horizontal dimana pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan dapat dikatakan setara karena tidak ada perbedaan posisi dalam masyarakat. Perbedaan mendasar antara keduanya yaitu, pemberi bantuan memiliki kelebihan dari segi kepemilikan peralatan berupa senjata standart, serta dilengkapi pula dengan granat standart serta bom rakitan
dan pelontar rakitan.
Saat itu yang dipikirkan oleh masyarakat penerima bantuan
hanyalah keamanan diri dan keamanan harta benda. Padahal kelompok penyerang sangat kuat dan dibekali dengan persenjataan yang memadai, seperti dijelaskan oleh Informan berikut ini : Dalam penyerangan dari Sirisori Salam, banyak terlibat pihak militer yang saat itu menjadi pasukan pengamanan yang ditugaskan secara resmi di Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Bahkan aparat keamanan yang betugas di Sirisori Sarani turut bergabung dengan dengan pihak militer dari Sirisori Salam untuk melakukan penyerangan bahkan kemudian menjarah dan membakar sarana dan prasarana di Sirisori Salam. Bukti keterlibatan pihak militer terlihat dari adanya penggunaan senjata standart TNI dari selongsong peluru, serta dari bekas mortir yang ditembakkan.
Berdasarkan pada kenyataan demikian maka dapat dikatakan, ada jejaring yang dibangun kelompok grass root sebagai pemberi bantuan dengan pihak penyerang. Hal mana dibuktikan dengan fakta bahwa, setelah kelompok grass root masuk, maka serangan segera dihentikan. Jadi kelompok pemberi bantuan secara nyata, sebenarnya tidak memiliki fungsi apa-apa dalam konteks memberikan bantuan keamanan bagi negeri yang diserang.
Jejaring yang terbentuk antara kelompok penyerang dengan
kelompok grass root, mengarah pada ikatan ekonomi dalam arti luas yaitu masingmasing kelompok dibayar untuk mengobarkan konflik menjadi konflik berkepanjangan (Gambar 5).
3
2
6
1 4
8
7
5
9
10
Gambar 5. Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama
Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot Sarani dari Ambon (AW) 2-5 Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani,Ulath, Porto dan Haria 6. Pemimpin Kelompok Salam dari Ambon (ML) 7-10. Anggota Kelompok Salam dari Negeri Sirisori Salam Bridge
Saat konflik terjadi di Saparua yang melibatkan bantuan dari Ambon ke masingmasing komunitas, hubungan antara kedua pemimpin grass root belum diketahui oleh penerima bantuan. Bahkan pemimpin kelompok Salam (ML), tidak diketahui dengan jelas identittasnya.
Adanya hubungan antara pemimpin kedua kelompok diketahui
setelah AW meninggal.
Fenomena AW sebagai penyelamat bagi komunitas Sarani
yang diserang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang kemudian terungkap. Sebagai pemimpin grass root, awalnya AW mampu menjalankan fungsinya dengan baik untuk membantu
mempertahankan
keamanan
negeri-negeri
Sarani
yang
diserang.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan jutsru kehancuran selalu dialami oleh negeri yang menerima bantuan AW dan kelompoknya.
Bahkan untuk mendapat bantuan,
negeri-negeri yang akan dibantu harus membayar sejumlah biaya kepada AW dan kelompoknya. Sementara AW sendiri direkomendasikan oleh Posko Maranatha (Sarani) untuk memberikan bantuan apabila diminta oleh komunitas Sarani di Ambon dan sekitarnya (termasuk Saparua). Ternyata kelompok ini lebih mementingkan kepentingan sendiri, sehingga proses pemberian bantuan disesuaikan dengan kemampuan masingmasing negeri membayarkan sejumlah uang sesuai permintaan. Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa, dalam perjalanan konflik AW diduga disusupi oleh pihak lain yang tidak teridentifikasi dari penelitian ini.
Pihak
tersebut kemudian memberikan imbalan agar AW dan kelompoknya bukan menjadi penjaga keamanan justru
menjadi penghancur dari dalam komunitas Sarani.
Oleh
karena itu, setiap gerakan bantuan AW di setiap negeri sepertinya dilindungi oleh aparat keamanan yang bertugas.
Tujuan pemanfaatan AW sebagai penghancur dalam
komunitas Sarani sebenarnya merupakan upaya melanggengkan konflik di Maluku dan Saparua khususnya. Setiap ada korban jiwa dan harta benda dari satu komunitas akan diikuti dengan upaya pembalasan terhadap komunitas yang dianggap sebagai penyebab. Posisi AW yang beragama Sarani sengaja dipakai untuk membakar emosi dan dendam komunitas Sarani terhadap komunitas Salam. Faktanya selama kelompok AW bermain dalam konflik ternyata eskalasi konflik semakin meluas dan meningkatkan korban jiwa dan harta benda.
Justru kondisi keamanan negeri Sarani yang diserang
lebih dijamin tanpa kehadiran AW dan kelompoknya.
Selain itu, aktivitas AW dan
kelompoknya sering meminta bantuan dana dari pedagang etnis Cina yang digunakan untuk membiaya bantuan bagi negeri Sarani yang diserang, bahkan permintaan bantuan
sering menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak sesuai dengan ajaran agama seperti menodongkan senjata api. Selanjutnya terungkap pula bahwa, dana bantuan tersebut lebih sering digunakan oleh AW dan kelompoknya untuk berfoya-foya demi kepentingan pribadi. Namun, penelitian ini tidak dapat menjawab apakah aktivitas AW dan kelompoknya seperti demikian diketahui oleh pimpinan Posko Maranatha (Sarani) yang memberi rekomendasi saat permohonan bantuan dari negeri-negeri Sarani di berbagai wilayah Ambon dan sekitarnya. Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut di atas, maka kemunculan jejaring dalam konflik dapat disarikan pada tabel 10. berikut ini : Tabel 10. Jenis dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik NO 1
Jenis Jejaring Yang Muncul Horizontal
Ciri-Ciri
Kesetaraan antara pemberi bantuan dan penerima bantuan, ikatan didasarkan pada agama, pemberi bantuan memiliki senjata yang memadai dan standart TNI 2 Horizontal Ikatan yang didasarkan pada keuntungan ekonomi sehingga memunculkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kelompok bebantuan ke pihak Sarani dengan kelompok penyerang dari pihak Salam, ikatan agama tidak mempengaruhi jaringan 3 Horizontal Bantuan untuk pemenuhan kebutuhan (makanan) baik saat mempertahankan diri dari serangan maupun saat pengungsian terpaksa harus dilakukan, ikatan agama lebih dominan karena yang terjadi yaitu saling membantu antara pemeluk agama yang sama Sumber : Data Primer (Diolah)
Keterangan Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon ke Saparua Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon dengan kelompok penyerang dari Sirisori Salam
Bantuan makanan dari negeri Sarani ke Pia dan Sirisori Sarani, bantuan makanan dari negeri Salam ke Iha
Selain itu terdapat pula jejaring vertikal dan horizontal secara bersamaan. Jejaring tersebut melalui pemberian bantuan yang diperoleh dari instansi pemerintah (bersifat vertikal) maupun sesama masyarakat yang tidak mengalami dampak langsung konflik. Bantuan- bantuan yang masuk antara lain : 1. Bantuan Indomie dan Beras dari pedagang Cina di Saparua 2. Bantuan beras dan selimut dan pemuda-pemuda Masohi 3. Bantuan beras dari LSM Salawaku
4. Bantuan sarimie, beras dan 10 karton pakaian baru 5. Bantuan beras, selimut, kacang, indomie, sabun mandi dan odol gigi dari ACF (LSM asing yang beraktivitas di Maluku) 6. Bantuan selimut dan pakaian layak pakai dari LSM Christina M Tiahahu 7. Bantuan ember, tikar dan lentera dari Sinode GPM Maluku 8. Bantuan gula pasir, beras dan uang Rp. 5 juta dari pela-gandong 9. Bantuan uang sebesar Rp. 45.000 per orang dari pemerintah 10. Bantuan uang Rp. 1.200.000 per orang dari Pemerintah Pemetaan
jejaring
dalam
konflik
dimaksudkan
untuk
menggambarkan
mekanisme pembentukan jejaring dalam kaitannya dengan berkembangnya konflik sebagai konflik yang berkepanjangan. Hal ini perlu dipahami mengingat, ada peluang bahwa jejaring yang sama juga berperan dalam menghentikan bahkan kemudian menjadi titik tolak resolusi konflik yang berkepanjangan. Merujuk pada konflik Saparua, maka pemetaan jejaring dalam konflik (tabel 11). Tabel 11. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik No 1
Tipe Jejaring Individu
Ciri-Ciri
Penyebaran isu dan informasi menyesatakan, penggunaan selebaran dari individu ke individu, bergerak secara individu untuk membalaskan kematian dari kerabat atau saudaranya, ikatan kekerabatan masih dominan 2 Kelompok Penyebaran informasi dari individu ke kelompoknya, pengaturan strategi secara matang, melibatkan keseluruhan anggota kelompok, memudahkan meluasnya konflik karena keterlibatan banyak orang 3 Komunitas Koordinasi dilakukan oleh elit agama karena ikatan idiologi (agama) sangat dominan, ikatan adat-istiadat antara komunitas yang berbeda agama menjadi pudar, upaya memanaskan situasi didukung oleh keterlibatan TNIPOLRI secara langsung maupun tidak langsung (jual beli amunisi – peluru) Sumber : Data Primer (Diolah
Keterangan Sebagai titik awal terjadinya konflik, sekaligus proses pematangan konflik
Proses keberlanjutan konflik dari individu ke kelompok
Proses menjadi konflik terbuka dan meluas ke tingkat komunitas, sehingga konflik semakin sulilt untuk diatasi
Proses penularan sosial dapat dicontohkan oleh merebaknya konflik di seantero wilayah Maluku. Secara sadar atau tidak, keputusan yang diambil individu dipengaruhi
oleh lingkungan sosial dan tindakan yang diambil menjalarkan dan memperkuat efek yang ada secara kolektif. Karena informasi mengalir dalam jaringan sosial, maka dalam proses pengambilan keputusan sosial, struktur jaringan penting dalam menentukan seberapa jauh efek kolektif tersebar. Sehingga bukan tidak mungkin pula, jika konflik di pedesaan Saparua muncul sebagai ungkapan keinginan membalaskan dendam dari sanak saudara dan kerabat yang meninggal saat konflik pecah di wilayah lain di luar Saparua.
Dengan demikian, keputusan untuk berkonflik merupakan keputusan
independen yang bebas dari pengaruh. Perkembangan konflik selanjutnya menunjukkan keputusan independen untuk berkonflik masih diragukan karena konflik kemudian melebar dan melibatkan warga Saparua di luar Saparua (di pulau Lease dan pulau Seram misalnya).
Bahkan
diindikasikan ada keinginan dari pihak-pihak tertentu yang tidak teridentifikasi, untuk melibatkan Saparua dalam konflik berkepanjangan. Salah satu pendorong peluang konflik berkepanjngan yaitu sifat temperamen orang Saparua yang mudah terpancing emosinya. Karakter seperti ini menjadi incaran dari pihak yang ingin memperluas konflik melalui isu-isu. Isu-isu tersebut antara lain akan ada penyerangan dari satu negeri ke negeri lain yang berbeda adama, juga memberikan informasi yang tidak benar tentang kematian warga salah satu kelompok agama di wilayah lain di luar Saparua. Oleh karena itu, keputusan untuk berkonflik bagi masyarakat Saparua bukan karena perbedaan idiologi (agama) maupun keinginan untuk merdeka. Keputusan untuk terlibat dalam konflik didorong keinginan membalaskan dendam dan amarah sematamata. Kebetulan yang menjadi korban anggota salah satu kelompok agama, sehingga walaupun kejadian berlangsung di luar Saparua (di Ambon misalnya) maka kelompok agama yang warganya menjadi korban akan membalaskan dendam kepada kelompok agama yang dianggap sebagai penyebab.
Padahal, pelakunya tidak memiliki
keterkaitan dengan warga di Saparua yang kebetulan beragama sama. Hal yang menarik yaitu bagaimana perselisihan antardua orang di batu Merah (Ambon) dapat bereskalasi menjadi konflik di aras mikro antara salam dan sarani di pedesaan Saparua. Pemetaan jejaring dan kerjasama, dirasa perlu untuk menunjukkan kemampuan jejaring yang bukan saja berkaitan dengan konflik (Tabel 12). Sebelum konflik hubungan Negeri Kulor dengan Pia sangatlah harmonis. Bahkan terdapat ikatan ekonomi yang saling menguntungkan. Biasanya masyarakat Kulor menanam ubi kayu yang kemudian dibeli oleh warga Dusun Pia yang mengolahnya menjadi “sagu singkong”. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1994,
yang diawali oleh ikatan antara individu. Seorang warga Pia yang memerlukan ubi kayu sebagai bahan baku sagu kemudian membelinya dari seorang warga Kulor. Pertemuan awal antara kedua individu berlanjut menjadi ikatan ekonomi yang menguntungkan. Bahkan kemudian berkembang bukan hanya individu saja, tetapi menjadi ikatan ekonomi antara komunitas Pia yang beragama Sarani dengan komunitas Kulor yang beragama Salam.
Bahkan sampai ke aras negeri, menyebabkan hubungan antara
negeri Pia dengan Kulor sangatlah harmonis. Tabel 12. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dan Kerjasama No
Tipe Jejaring
Ciri-Ciri
Keterangan
1
Individu
Ikatan lebih ke arah ekonomi juga adat istiadat, saling mengutungkan, tidak memperhatikan perbedaan agama, keputusan membentuk ikatan merupakan keputusan individu tanpa campur tangan siapa pun juga, memungkinkan untuk mengarah pada perluasan ikatan
Ikatan jual belil hasil kebun ubi kayu antara seorang warga Pia dengan seorang warga Kulor, saling meminjam antara individu warga Iha dengan Ihamahu
2
Kelompok
Ikatan ekonomi masih dominan, keputusan secara kolektif karena berkenan dengan proses kerja serta hasil yang harus dirasakan bersama, sulit untuk berkembang lebih luas lagi karena keterbatasan bahan baku yang mampu disiapkan oleh warga Kulor
Ikatan jual beli dimana kelompok pembuat sagu “kasbi-ubi kayu” dari Pia membeli bahan baku ubi kayu dari kelompok warga Kulor yang berusahatani ubi kayu
3
Komunitas
Ikatan ekonomi semakin dominan karena saling mengutungkan, seharusnya lebih tahan dari berbagai upaya pemutusan ikatan dengan alasan apa pun termasuk alasan perbedaan agama namun ternyata ikatan tersebut putus akibat konflik yang bernuansa agama
Ikatan antara komunitas Kulor sebagai penyedia ubi kayu dengan Pia sebagai pembeli yang mengolahnya menjadi sagu kasbi
Sumber : Data Primer (Diolah
Jejaring sosial yang ditemukan saat konflik terbentuk karena masyarakat menginginkan rasa aman serta untuk memenuhi kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jejaring social tersebut berupa jejaring sosial horizontal dan vertikal. Dalam jejaring sosial horizontal, anggota-anggotanya memiliki status sosial ekonomi yang
relatif setara, sedangkan dalam jejaring sosial vertikal, anggota-anggotanya tidak memiliki status sosial ekonomi yang setara. Jejaring sosial horizontal terdiri atas (a) jejaring seagama, (b) jejaring campuran kerabat dan seagama . Jejaring sosial bersifat vertikal terdiri dari (a) jejaring seagama, (b) jejaring kerabat, (c) jejaring campuran kerabat dan seagama. Jejaring horizontal (Gambar 6) terbentuk berdasarkan fakta bahwa, negeri yang mengalami serangan (baik yang salam maupun sarani), akan segera mendapatkan bantuan baik bantuan tenaga untuk membantu menjaga keamanan negeri, maupun bantuan makanan untuk memelihara keamanan pangan masyarakat. Bantuan tersebut sering diberikan oleh masyarakat negeri lain di Saparua yang memiliki ikatan idiologi (agama yang sama). Selain ikatan seagama, terdapat bantuan yang diberikan oleh mereka yang memiliki ikatan kekerabatan yang berbeda agama.
MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK
KERABAT YANG SALAM DI SAPARUA
MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK
NEGARA (PEMERINTAH KECAMATAN SAPARUA)
KERABAT YANG SARANI DI SAPARUA
Gambar 6 . Jejaring Sosial Horizontal dalam Konflik Saparua Jejaring vertikal (Gambar 7) juga didominasi oleh jejaring seagama, baik dari lembaga resmi pada tingkat yang lebih tinggi seperti Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Keuskupan Amboina maupun Majelis Ulama Indonesia Maluku (MUI). Bantuan yang diberikan berapa penyegaran rohani maupun bantuan makanan. Sementara ada juga bantuan keamanan pangan dalam bentuk uang tunai, pakaian layak pakai maupun makanan yang diberikan oleh masyarakat Maluku maupun Saparua yang berada di luar Maluku, dimana pemberi bantuan tidak memandang ikatan agama tetapi lebih karena ikatan kekerabatan yang telah ada sejak dulu. Misalnya bantuan dari Tokoh Masyarakat Ihamahu di Jakarta kepada masyarakat Iha yang telah mengungsi ke Liang (Pulau Ambon).
Jika dilihat dari aspek agama, jelas ada perbedaan mendasar keyakinan
agama antara negeri Iha yang beragama Salam dengan negeri Ihamahu yang beragama Sarani. Namun ikatan kekerabatan (gandong) antara kedua negeri menjadi perekat sehingga bantuan tetap diberikan, tanpa memandang perbedaan agama. Selain itu, orang Maluku di Belanda baik Salam maupun Sarani terutama yang berasal dari Saparua turut memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai untuk keamanan pangan, maupun untuk memulihkan kondisi tempat tinggal (rumah) serta sarana ibadah (mesjid dan gereja) yang rusak. Hal ini menunjukkan bahwa, adanya jejaring campuran yang terbentuk karena aspek kesamaan agama sekaligus karena memiliki ikatan kekerabatan.
MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK
LEMBAGA AGAMA SALAM DI LUAR SAPARUA
MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK
IKATAN PELA DAN GANDONG DI LUAR SAPARUA
LEMBAGA AGAMA SARANI DI LUAR SAPARUA
Gambar 7. Jejaring Sosial Vertikal dalam Konflik Saparua
6.3. Keterlibatan Pihak-pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua 6.3.1. Sipil dan Militer : Membangun Jejaring dan Kepentingan Konflik Ambon yang menyebar ke wilayah lain di Maluku menyebabkan pemerintah berketetapan untuk menerapkan Darurat Militer. Penerapan darurat militer kemudian menajdi perdebatan di tingkat masyarakat. Konflik Maluku sesungguhnya tidak berasal dari masyarakat. Paling tidak ada empat indikasi yang bisa dijadikan parameter. Pertama, kultur masyarakat Ambon atau Maluku sendiri yang sebenarnya tidak pernah bergejolak horizontal secara berarti. Konflik-konflik yang terjadi di Maluku (dan mungkin di daerah-daerah lain) sebenarnya adalah konflik vertikal yang ditularkan kepada masyarakat, termasuk konflik perihal Republik Maluku Selatan (RMS). Karena itu, sebenarnya konflik Maluku tidak memiliki akar historis dan sosiologis, melainkan
politis. Kedua, konflik di Maluku yang pecah pasca jatuhnya Soeharto, beberapa kali diberitakan terjadi hanya karena suatu perselisihan kecil yang kemudian diperluas oleh sekelompok orang yang sampai saat ini tidak teridentifikasi oleh aparat keamanan. Entah mengapa aparat keamanan dan intelijen sangat sulit untuk mencari siapa sebenarnya kelompok dan atau "aktor intelektual" yang berada dibalik meluasnya konflik-konflik tersebut. Faktor ini menguatkan indikasi yang pertama, bahwa konflik Maluku tidaklah konflik horizontal yang genuine, melainkan konflik politis yang sifatnya vertikal. Ketiga, beberapa peristiwa yang terjadi, entah langsung atau tidak langsung korelasinya berkaitan dengan peristiwa politik di Jakarta. Beberapa peneliti, antara lain Thamrin A. Tomagola yang dikutip oleh Salampaessy dan Zairin (2001) mengatakan bahwa setiap pecahnya peristiwa kekerasan di Maluku selalu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa politik yang berkaitan dengan pengusutan atau terganggunya kepentingan orang-orang yang berkoneksi dengan keluarga Cendana dan pejabat Orde Baru lainnya. Karena itu, akar konflik di Maluku justru terletak pada elite (baik pusat maupun daerah) dan bukan pada masyarakat. Keempat, dalam beberapa peristiwa yang terjadi di Maluku terlihat bahwa aparat militer dan kepolisian yang bertugas justru mengambil posisi untuk involve dalam konflik. Hal itu juga sempat menjadi perhatian beberapa kalangan dan juga dialog di Malino perihal keterlibatan satuan dan oknum militer dalam konflik. Sehingga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid telah dilakukan rotasi satuan yang bertugas dengan tujuan menghindari keterlibatan aparat dalam konflik. Hal lain yang penting adalah mempertegas penyikapan dan penindakan terhadap gerombolan sipil bersenjata dari pihak manapun. Bagaimana mungkin menerapkan status darurat militer, bila ternyata banyak kelompok para-militer yang mungkin terstruktur dan memiliki garis komando tersendiri. Gerombolan sipil bersenjata itu harus ditindak tegas untuk menghindari perluasan konflik dan mengakhiri kekerasan. Keterlibatan pihak sipil bersenjata terjadi pada semua situasi konflik baik di Ambon maupun di pedesaan Saparua. Anggota komunitas Salam dan Sarani memiliki senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Selain itu, bantuan tenaga saat konflik di pedesaan Saparua menunjukkan pemilikan senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Kepemilikan senjata standart harusnya hanya berada di tangan institusi resmi Negara seperti TNI dan Polri. Oleh karena itu kepemilikan senjata standart di luar kedua institusi tersebut merupakan pelanggaran hukum sehingga perlu diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Ternyata kemudian penduduk sipil yang memiliki senjata
standart dan menggunakannya saat konflik tidak pernah mendapat sanksi, bahkan terkesan adanya pembiaran oleh pihak berwenang. Sebagaimana terungkap dalam penyerangan pihak Sirisori Salam ke Ulath, juga penyerangan negeri Iha ke negeri sekitar di Hatawano berikut ini : Keterlibatan TNI sangat nyata dengan adanya penggunaan senjata otomatis standart TNI serta dilengkapi pula dengan pelontar dan mortir dalam kasus konflik di Saparua khususnya di titik api Iha-Ihamahu. Hal ini mengindidkasikan kuatnya keterlibatan militer karena penggunaan mortir sangat tidak dimungkinkan jika penggunanya tidak terlatih dan memiliki keterampilan khusus. Setelah serangan gangguan dilakukan yang keempat kali ke Iha karena terlihat banyak orang-orang baru dalam Iha, serta dilihat dari masuknya lima speed asing yang melakukan penembakan ke arah Ihamahu serta speedboat milik Ihamahu yang ditugaskan untuk menjaga perairan di depan jazirah hatawano. Saat itulah mulai dilakukan penyerangan-penyerangan secara penuh ke Iha. Bersamaan dengan itu, masuk pula bantuan dari Ambon sebanyak 30 orang dan bersenjata standart TNI karena menurut saya senjata seperti itu merupakan milik Negara, entah yang menggunakannya adalah aparat resmi atau aparat gadungan yang dipimpin oleh AW. Sementara pasukan bantuan yang berhasil memasuki Iha dan mulai melakukan penyerangan balik ke arah Ihamahu. Saat jam 16.00 sore tanggal 24 September 2006 hari Sabtu, mulailah terjadi penyerangan oleh kelompok Jihad ke arah Ihamahu maupun Noloth dan dibantu pula oleh dua Kapal perang menembak ke arah negeri Ihamahu dan ItawakaNoloth. Pihak Ihamahu dengan bantuan berbagai negeri di Saparua berusaha mempertahankan dan melakukan serangan balik ke Iha. Sekitar jam 19.00 mereka berhasil masuk ke dalam Iha. Saat itu pasukan Jihad telah mengundurkan diri dengan menaiki kapal perang, sementara bantuan dari aparat TNI yang berasal dari kapal perang tidak berhasil masuk lagi untuk membantu masyarakat Iha. Namun hal ini kelihatannya sebagai suatu upaya secara sengaja untuk menghancurkan Iha oleh kelompok itu sendiri, kemungkinan tujuan mereka agar perseturuan antara Salam dan Sarani terus berkobar, dimana jika ada negeri Salam yang dihancurkan maka akan terjadi juga pembalasan terhadap negeri Sarani. Demikian seterusnya, sehingga konflik berkepanjangan dan bernuansa agama akan terus berlangsung tanpa dapat dihindari. Pada dasarnya, konflik yang terjadi bukan merupakan konflik agama karena persenjataan yang beredar saat konflik merupakan senjata resmi dan standart TNI – POLRI sehingga bagaimana mungkin senjata demikian beredar dalam masyarakat sipil. Kemungkinan untuk konflik tersebut diatur pihak tertentu, didukung juga dengan tidak adanya tindakan tegas dari aparat keamanan dalam penggunaan senjata organik oleh masyarakat sipil. Setiap negeri yang ditempati aparat seperti halnya Sirisori Salam, ternyata saat konflik berlangsung aparat TNI yang ada dalam Sirisori Salam memerintahkan anak negeri Sirisori Sarani mundur karena mereka yang akan mempertahankan negeri sebagai tugas dan tanggungjawabnya. Ternyata, setelah mundur justru masuklah pasukan penyerang bekerja sama dengan Aparat TNI yang bertugas tadi untuk mulai melakukan penjarahan dan bahkan kemudian mulai membakar setelah penjarahan dilakukan.
Penjelasan Raja Itawaka, Raja Noloth, Kepala Soa Sirisori Salam dan Raja Ulath turut menggambarkan keterlibatan pihak atas (Sipil dan Militer) dalam konflik: Penembakan terhadap warga Itawaka di Tanjung Ouw, kemudian alat angkutan “pok-pok (sejenis speedboat kecil)” yang juga tertembak mesinnya sehingga menggunakan satu mesin untuk kembali ke Noloth. Diperkirakan mereka itu adalah penembak-penembak yang terlatih dan bukan tidak mungkin kalau itu merupakan aparat TNI yang menguasai peralatan dan persenjataan militer. Hal itu juga didukung oleh rentetan tembakan senjata otomatis dan standart TNI, dengan asumsi bahwa mereka sudah terlatih atau pun oleh aparat militer yang kebetulan berasal dari negeri Iha sendiri. Yang pasti seorang sipil tidak mungkin demikian, kecuali sudah terlatih dan dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman militer. Bahkan komandan Brimob BKO dari Kelapa Dua dan 13 anak buahnya juga disandera oleh pihak penyerang, sehingga tidak mampu mengendalikan pasukan nya. Bahkan kemudian komandan Brimob BKO juga dibawa bersama-sama masyarakat Iha ke atas kapal perang, sehingga juga menimbulkan tandatanya bagi kami masyarakat sipil. Pihak Brimob pun menyerahkan senjatanya kepada Bapa Raja Itawaka dan kemudian mundur, sehingga Raja Itawaka mengkoordinir pertahanan dan kemudian balik menyerang dari arah Ihamahu, karena kalau tidak demikian maka pihak penyerang (dari Iha) akan terus masuk mungkin dapat menembus Noloth dan bukan tidak mungkin sampai ke Itawaka. Amunisi dan senjata standart milik Brimob itu digunakan untuk bertahan dan balik menyerang ke Iha. Kalau tidak demikian kami diperkirakan habis dan terbakar, karena beberapa speedboat bantuan yang akan masuk ke Iha merupakan aparat militer baik TNI maupun Polri yang Salam dan berasal dari Ambon. Kondisi demikian menjadi hal yang biasa, karena semua sudah terpisah menurut agamanya masing-masing. Hal tersebut kami dengar dari teman kami di Tulehu maupun Palauw beberapa minggu kemudian, bahkan mereka berpikir orang Saparua yang Sarani akan habis dibantai, mengingat mereka yang datang itu bersenjata lengkap bahkan menggunakan mortir. Selain itu, untung saja kami juga memiliki persediaan amunisi, dengan cara membeli dari teman-teman kami atau kerabat kami yang berdinas di TNI maupun Polri. Waktu itu ada dua perahu jaring besar dengan sekelompok orang yang ingin membantu Iha, selain itu ada dua speedboat bantuan yang masuk tetapi satunya berhasil ditembak sampai tenggelam, sehingga kapal motor jaring maupun speedboat tidak berani merapat ke Iha dan hanya berlindung di belakang kapal perang. Sirisori Salam merupakan basis Salam di Saparua maupun Maluku dan menurut arahan kapolda bahwa Sirisori Salam merupakan barometer keamanan di Maluku. Sehingga setiap ada konflik di Ambon maka Sirisori Salam pun akan goyah. Di Sirisori Salam ditempatkan tentara secara resmi, demikian pula di Ulath dan Sirisori Sarani. Kemudian Brimob masuk tentara ditarik masuk ke dalam Sirisori Salam. Ulath sendiri diserang selama 6 kali dan yang terakhir 26 Oktober 2000 selama 6 jam dan berakibat 17 rumah terbakar, yang waktu itu kami melihat ada masuk pasukan yang diturunkan dari kapal perang, dimana mereka dilengkapi dengan senjata otomatis standart, juga longser dan mortir. Saya sendiri menemukan mortir yang tidak meledak di belakang gereja Ulath dan saya menyerahkannya ke SPN Passo. Mortir tersebut merupakan mortir standart angkatan darat, sehingga tidak dapat dinafikkan ada keterlibatan militer dalam penyerangan yang dilakukan oleh Sirisori Salam ke Ulath maupun Sirisori Sarani. Serangan ke Ulath juga sepertinya dikoordinir dengan baik, jika dilihat dari pola
serta strategii penyerangan yang dilakukan. Sehingga saya menyebutkan itu adanya peran dari pihak militer yang memang mengetahui dengan jelas strategi penyerangan. Kuatnya dugaan keterlibatan pihak Militer dalam konflik di Saparua tergambar dari penjelasan Raja Ulath berikut ini : Selama ini berdasarkan pengamatan, terdapat penggunaan pensiunan TNI serta anak-anak purnawirawan yang berfungsi untuk menyebarkan konflik. Jadi seperti penggunaan strategi intelejen untuk menggalang kekuatan guna penyebaran konflik dimaksud. Oleh karena itu disebutkan bahwa hal ini merupakan strategi intelejen oleh BAIS yang memang bermaksud menggoyang Maluku. Jadi adanya FKM / RMS termasuk AM juga merupakan strategi intelejen untuk menunjukkan adanya kegiatan makar sehingga perlu kelompok tandingan yang kemudian disebut sebagai Jihad untuk meredam serta menyeimbangkan kekuatan yang pada akhirnya mampu melanggengkan konflik di Maluku. Demikian pula keterlibatan BL yang selama itu berperan sebagai Laskar Kristus, sebenarnya merupakan asuhan KOPASSUS yang sengaja dimunculkan juga untuk menunjukkan adanya perlawanan terhadap kelompok Jihad. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konflik yang terjadi sebenarnya merupakan pengaturan yang dikendalikan dari pusat, bukan muncul dari masyarakat sendiri. Agama hanyalah menjadi topeng, sehingga memudahkan koknflik menjadi panjang dalam kurun waktu yang lama. Pada dasarnya sebenarnya RMS tidak ada karena sudah lama hilang sejak tahun 1950-an. Namun hal itu harus dihidupkan untuk memperuncing konflik. Jihad sendiri sebenarnya berpakaian di luar putih tetapi di dalamnya loreng. Sebenarnya sangat nyata juga di Sirisori Salam kelihatan sekali bahwa Jihad yang ada itu menggunakan jenggot maupun kumis palsu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka ini sebenarnya adalah tentara yang kemudian menyamar sebagai Jihad dan merupakan strategi tertentu guna mengimbangi berbagai kelompok Sarani yang sudah dibentuk sebelumnya. Strategi intelejen TNI memang demikian dengan prinsip penyusupan, penggalangan dan akhirnya penghancuran. Jadi mereka menyusup dan menggalang kekuatan dari rakyat sipil (termasuk kelompok Kristen RMS, laskar Kristus dan kemudian Jihad), dan akhirnya kelompok-kelompok inilah yang berfungsi untuk membakar amarah masyarakat berdasarkan agama sehingga konflik berkepanjangan sulit untuk dihindari. Sehingga masyarakat juga tanpa sadar telah tergalang untuk terus berkonflik, berbeda dengan tugas intelejen Kepolisian yang melakukan wawancara dan ineterview untuuk mengungkapkan kasus. Hal ini juga nyata saat konflik terjadi di Porto – Haria, dimana waktu itu digalang lah kekuatan masing-masing 5 di Negeri Porto dan 5 di Negeri Haria untuk mengobarkan konflik awal sehingga kemudian terjadi saling serang antara porto dan haria. Hal ini sudah terungkap dan telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta namun tanpa penyelesaian yang jelas mengenai keterkaitan aparat TNI karena yang disidangkan hanyalah warga sipil yang digunakan sebagai boneka yaitu 10 orang (5 di Porto dan 5 di haria). Mengingat senjata yang digunakan itu berasal dari senjata standart TNI yang telah dipersiapkan oleh pihak militer. Hal ini diperkuat oleh cerita seorang polisi anak negeri Ulath (HN) yang mengungkapkan kasus keterlibatan BL dalam kerusuhan Haria dan Porto. HN sendiri menjadi target operasi oleh inetelejen KOPASSUS.
Raja Negeri Paperu bahkan pernah mengutarakan pada salah satu kerabatnya yang menjadi anggota Tim 19 (Tim yang dibentuk Pemerintah untuk mengatasi Kondflik Maluku yang beranggotakan 19 orang Perwira Menengah dan Perwira Tinggi dari TNI dan POLRI asal Maluku) bahwa Tim 19 tidak perlu bekerja tetapi serahkan saja kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Mengingat sejak dibentuk sampai konflik mereda TIM 19 tidak memberikan peran faktual dalam meredakan konflik yang sedang berlangsung. Kemudian ada pula warga Negeri Ulath sendiri yaitu HN-2 yang juga dikatakan sebagai pemimpin grassroot. Tetapi menurut responden dari negeri Ulath, pemimpin grassroot ini diindikasikan merupakan salah satu binaan intelejen untuk mengobarkan konflik Maluku. Pemimpin ini biasanya mengarahkan anggota kelompoknya dengan alasan untuk memperkuat dan melindungi kawasan Sarani. Ternyata, mereka sendiri yang menjadi perusak dan penghancur dan bahkan tidak segan-segan membunuh sesama warga Sarani. 6.3.2. Isu Kelompok Agama Pada prinsipnya, pandangan bahwa agama sebagai bagian dari konflik di Maluku tidak bisa dielakkan namun bukan itu sumber dan motif konflik. Motif utama dari konflik di Maluku haruslah dipandang bahwa "agama-agama di Maluku telah dieksploitasi dan dipolitisasi untuk melahirkan dan melegitimasi konflik kekerasan massa". Dengan demikian, sumber konflik tidak terletak pada pluralitas agama di Maluku melainkan pada design kerusuhan yang memperalat (1) sensitivitas dan sikap fanatik masyarakat Maluku terhadap agama sebagai motor aksi kekerasan (2) kecemasan dan ketidakberdayaan masyarakat membendung eskalasi pertikaian. Selanjutnya, kelanggengan konflik ini terpelihara oleh akibat adanya sikap bias dari aparat keamanan, peredaran senjata dan amunisi ilegal di kalangan masyarakat, provokasi-provokasi dari dalam dan luar masyarakat, ketidak-mampuan pemerintah menangani penyelesaian konflik. Pengendapan dan eskalasi aksi kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin menyulitkan posisi dan peran masyarakat Maluku untuk mengatasi konflik kekerasan dalam dirinya. Padahal sejarah masa silam Maluku menunjukkan bahwa tatanan sosial-budaya Maluku cukup menghormati pluralitas dan toleran. Adanya jurang kenyataan antara suasana kehidupan masyarakat Maluku masa lalu dan masa kini menyebabkan dua kelompok masyarakat Maluku yang bertikai terkondisikan untuk tidak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri. Perangkat budaya dan agama yang
semestinya mampu menjembatani kembali konflik dan perbedaan ternyata lumpuh. Berbagai proses penanganan konflik yang terjadi selama ini baik oleh pihak pemerintah, aparat keamanan hingga media massa, terlihat tidak adanya upaya membangun kemampuan masyarakat untuk mengendalikan kerusuhan dan mengkondisikan diri dalam perdamaian. Justru yang terjadi ialah baik semua pendekatan yang telah dilakukan, entah itu pendekatan keamanan, pendekatan dialogis maupun penanganan korban dan pengungsi kerusuhan, berakhir dengan peruncingan emosi dan suasana konflik itu sendiri. Konflik di Maluku dimulai dari kota Ambon di pulau Ambon pada tanggal 19 januari 1999 terjadi dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama terjadi dalam periode Januari – Juni. Gelombang kedua terjadi dalam periode Juli – Okobtober dan gelombang ketiga terjadi sejak bulan November 1999 hingga kini. Dalam tiga gelombang ini, kerusuhan telah menyebar hampir ke seluruh kawasan kepulauan di Maluku, ke berbagai kota, kabupaten, kecamatan, hingga pedesaan. Konflik Maluku ditandai dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan, serta penghancuran lingkungan kehidupan masyarakat seperti penjarahan, pembakaran dan pengrusakkan rumah,harta milik pribadi, fasilitas dan sarana umum maupun pemerintahan hingga tempat-tempat ibadah. Walaupun ada berbagai versi angka korban kerusuhan di Maluku namun yang pasti angka-angka itu memiliki kesamaan pesan yakni bahwa jumlah keseluruhan korban Jiwa maupun korban luka akibat kerusuhan di Maluku telah mencapai ribuan jiwa dan jumlah para pengungsi telah mencapai puluhan ribu jiwa. Eskalasi konflik dengan tingginya tingkat destruksi wilayah, jumlah korban dan kerugian material, serta semakin terlantarnya para pengungsi, telah membawa bencana baru dalam kehidupan masyarakat Maluku kini dan generasi yang akan datang. Perjalanan konflik Maluku menghasilkan beberapa persoalan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan dan dukungan masyarakat Internasional. Yaitu: a.
Penghentian aksi kekerasan yang membutuhkan adanya dukungan dan tekanan dari masyarakat International terhadap pemerintah, militer, politikus, institusi agama maupun institusi-insitusi sosial untuk mengakhiri praktek politisasi konflik di Maluku dan menegakkan hukum yang adil bagi masyarakat Maluku.
b.
Penyediaan kebutuhan dasar kehidupan masyarakat sebagai syarat untuk bisa mempertahankan kehidupan dan kelangsungan masa depan bangsa Maluku. Kebutuhan dasar ini berkaitan dengan kondisi terlantarnya para pengungsi yang sangat membutuhkan penyediaan pangan, obat-obatan, pakaian dan perumahan.
c.
Pemberdayaan masyarakat menuju rekonsiliasi. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat efek distorsi politisasi agama dalam pelembagaan budaya kekerasan dalam kehidupan masyarakat. Disamping itu kebutuhan ini juga diperlukan untuk menjawab beban traumatis aksi kekerasan yang diperparah dengan hancurnya sejumlah pusat-pusat pemberdayaan masyarakat seperti Sekolah, tempat-tempat Ibadah ataupun hancurnya sumber pendapatan dan pembiayaan hidup masyarakat. Keterlibatan organisasi resmi kedua komunitas agama di tingkat meso terbukti
melalui pembentuk Posko Maranatha untuk komunitas Sarani dan Posko Al Fatah untuk komunitas Salam. Terjadi pembelian amunisi yang digunakan untuk mempertahankan masing-masing komunitas yang diserang, sehingga tidak lagi berfungsi mendamaikan tetapi justru memperarah situasi dan kondisi keamanan.
Sehingga secara tidak
langsung dapat dikatakan pihak elit agama terlibat mengobarkan konflik, walaupun bermaksud untuk mempertahankan entitas masing-masing komunitas yang tertekan. Namun dibalik itu justru menunjukkan kekerdilan penguasaan pengetahuan beragama sehingga bukan menghindari konflik, tetapi justru terlibat
secara tidak langsung
mengarahkan konflik. Sehingga secara tidak langsung upaya mempertahankan mempertahankan
keberadaan masing-masing komunitas saat diserang, turut
mengobarkan konflik yang berkepanjangan. Kuatnya pengaruh agama dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari pihak lawan. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini : Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar (Negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha) yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apa pun juga selain berjagajaga. Padahal justru masyarakat Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap Noloth akibat hasutan orang dari luar. Maka bergejolaklah Hatawano, sehingga mulailah dikumpulkan mesyarakat untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth dihantam dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu memeprtahankan keberadaan negeri Noloth dengan bantuan dari negeri-negeri
sekitar (Itawaka, Ihamahu, kampung dan Tuhaha). Apalagi setelah terjadi penyerangan dan pembakaran beberapa rumah di Sirisori Sarani dan kemudian pembakaran di Pia. Saat konflik dari kelompok penyerang ada yang menjadi korban menurut perkiraan, karena saat hari minggu tanggal 23 Nopember 2000 setelah Iha jatuh ada pasukan yang masuk ke Iha, sehingga banyak masyarakat di hatawano yang kebetulan sedang menghadiri gereja segera melarikan diri ke dalam hutan karena takut. Mereka masuk dengan perahu karet yang dilabuhkan kapal perang dan memeriksa beberapa kapal ikan yang ada di Iha, kemudian masuk ke Ihamahu dan menyita parang-parang dan tombak yang dimiliki masyarakat Ihamahu. Keghiatan tersebut ditentang oleh perempuan Ihamahu karena menurut para perempuan, parang merupakan peralatan kerja yang selalu dipakai oleh masyarakat. Oleh karena itu, pasukan “siluman” menurut tidak lagi menjalankan aksinya, kemudian mengambil kelapa muda di dusun negeri Ihamahu untuk kemudian meninggalkan hatawano dengan menggunakan perahu karet ke kapal perang. Yang pasti saat konflik berlangsung dapat diperkirakan bahwa pasukan yang berada di Iha memiliki senjata dengan amunisi yang dapat diandalkan sehingga secara berani mau dan mampu melakukan penyerangan sampai kemudian mereka sendiri hancur. Apalagi dukungan tembakan dari kapal perang sangat membantu dan memudahkan serangan dan pembakaran yang dijalankan ke Noloth karena, tembakan tersebut menahan bantuan masuk dan bantuan penyerangan ke Iha. Apalagi anak-anak negeri di Hatawano tidak berkeinginan untuk menyerang dan menghancurkan Iha, namun demi mempertahankan diri serta mempertahankan harga diri, maka dilakukan serangan balik ke Iha. Ditunjang pula dengan adanya informasi bahwa Jihad telah mendiami negeri Iha, walau pun secara fakta tidak dapat secara nyata dilihat namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari orang Iha sendiri. Selain itu, tidak mungkin lagi menahan keinginan untuk menyerang dari anakanak negeri lain di Ihamahu dan Noloth, seperti Itawaka dan Tuhaha. Penyerangan ke Iha dilakukan karena Iha menerima Jihad dan mereka lah yang melakukan penyerangan duluan dengan membakar dan melakukan pemboman ke negeri Noloth, sehingga pihak Itawaka pun turut membantu Noloth karena kalau Noloth hancur maka kemungkinan Itawaka pun akan hancur. 6.3.3. Kelompok Preman Penyerangan awal komunitas Sarani ke wilayah komunitas Salam di pedesaan Saparua dilakukan oleh pasukan bantuan dari Ambon. Dugaan kerjasama antara pasukan bantuan dari Ambon di pihak Sarani dengan pasukan bantuan di pihak Salam karena kedua kelompok masuk secara bersamaan ke wilayah masing-masing komunitas. Setelah pasukan bantuan dari Ambon (AW, dan kawam-kawan) melakukan penyerangan ke arah Negeri Iha, maka pasukan Jihad yang merupakan bantuan yang masuk ke Iha melakukan serangan balasan. Setelah penyerangan berlangsung justru pasukan bantuan dari Ambon di bawah pimpinan AW segera meninggalkan Negeri Ihamahu. Hal yang sama juga terjadi saat Negeri Iha telah terkepung dimana pasukan bantuan yang menggunakan lima speed ternyata telah lebih dahulu meninggalkan
negeri Iha.
Hal inilah yang mengindikasikan adanya keterkaitan dan keterlibatan
kelompok AW, dkk, untuk memperkeruh situasi dan kondisi keamanan di Negeri Ihamahu. Keterlibatan kelompok preman dalam konflik Saparua juga dinyatakan oleh responden-responden berikut ini : Saat itu juga ada terlibat pasukan bantuan dari Ambon (AW, dkk), yang juga bermaksud membantu di Sirisori Sarani (Amalatu) ternyata sesaat setelah penyerangan dimulai mereka juga mulai meninggalkan negeri Sirisori Sarani dan penyerangan balik oleh kelompok dari Sirisori Salam mulai berlangsung sampai menghancurkan, menjarah dan membakar negeri Sirisori Sarani. Keterlibatan kelompok AW sebenarnya sudah dimulai dari saat berkepanjangannya konflik Ambon. Berdasarkan pengalaman kami, dimana ada kelompok AW dalam suatu konflik di suatu tempat (kawasan Sarani), maka dapat dipastikan tempat tersebut akan hancur dan terbakar. Seperti halnya juga saat terjadi penghancuran kampus Unpatti di Poka, Rumahntiga dan Wailela.; juga di Tawiri (laha), Pohon Pule, Urimessing. Daerah-daerah tersebut yang saat konflik saya turut ada di dalamnya (sejak Januari 1999 selama setahun setengah) untuk membantu kelompok Sarani yang diserang untuk mempertahankan diri walau pun ternyata kelompok Sarani sendiri seperti halnya kelompok AW turut terlibat membuka jalan, sehingga setelah orang Sarani mundur maka pihak penyerang mulai menjarah dan membakar termasuk pula aparat keamanan. Demikian pula jika terjadi pembakaran di kawasan Salam, dapat dipastikan adanya keterlibatan kelompok-kelompok dalam masyarakat Salam sendiri seperti halnya kelompok AW. Masuknya AW ke Saparua diindikasikan oleh adanya kerjasama antara kedua kelompok tersebut, demikian pula sampai terbakarnya salah satu kawasan oleh satu kelompok lainnya. Jadi jika ada rencana penyerangan ke kawasan Sarani dapat dipastikan kelompok AW ada di situ, demikian pula kelompok Salam juga dipastikan ada di situ. Bahkan jika diamati ternyata, AW sebagai pemimpin begitu mudah untuk berkomunikasi dengan aparat TNI yang bertugas di kawasan tersebut. Seakan-akan telah saling kenal mengenal antara kelompok-kelompok dimaksud dengan aparat TNI yang bertugas di kewasan itu. Selama proses konflik berlangsung koordinasi sering dilakukan oleh pihak Klasis Gereja Protestan Maluku Wilayah Saparua untuk memberikan bantuan ke negeri-negeri yang terancam, bahkan kemudian memintakan bantuan ke Posko Maranatha di Ambon jika situasi negeri Sarani makin terdesak. Koordinasi biasanya dilakukan secara langsung dimana, saat suatu daerah diserang maka akan terjadi perminataan pasukan bantuan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kemudian diarahkan ke lokasi yang diserang. Oleh karena itu, biasanya pihak Sarani bergerak setelah memperoleh informasi yang jelas dari pihak atau negeri yang diserang. Setelah itu baru kami (berjumlah tiga orang) mulai bergerak. Banyak juga yang tidak pernah bergabung dengan salah satu kelompok, karena berdasarkan pengalaman banyak terjadi penyimpangan dan perilaku buruk yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang sering terlibat dalam konflik. Biasanya kelompok-kelompok, melakukan aksi meminta uang dengan alasan akan dipakai untuk membiayai konflik yang terjadi. Padahal kemudian uang tersebut dipakai mereka untuk berfoya-foya. Hal itulah yang membuat kami
menolak bergabung bersama mereka. Kemudian kenyataan dari adanya penyimpangan-penyimpangan dimaksud kemudian terbukti dengan matinya AW yang entah disebabkan oleh apa. Ada isu yang berkembang dia ditembak oleh istrinya sendiri karena terlibat perselingkuhan dengan perempuan lain, atau kah memang sengaja dihilangkan untuk memutuskan rantai jejaring konflik di Maluku. Lebih mengherankan lagi, ternyata tidak dilakukan pengusutan terhadap kematian AW yang diakibatkan oleh tembakan senjata standart larfas pendek (pistol), seakan-akan bahwa kematian AW adalah proses kematian yang normal. 6.3.4. Keterlibatan Kelompok Teroris : Sejak Konflik Sampai Pasca Konflik Keterlibatan Kelompok Teroris belum terungkap saat konflik dimulai dan berkembang di Maluku. Namun, setelah konflik mereda terungkap bahwa upaya-upaya memanaskan situasi baik yang dilakukan dengan mengorbankan anggota kelompok Sarani maupun anggota kelompok Salam ternyata dilakukan olehpihak-pihak yang tidak termasuk dalam kedua kelompok tersebut. Terungkapnya peledakan bom di depan Hotel Amboina yang mengakibatkan korban anggota masyarakat dari kelompok Sarani dan kelompok Salam dilakukan oleh kelompok teroris yang mulai memasuki Ambon setelah konflik merebak. Walaupun tidak diketahui secara pasti waktu kedatangan kelompok teroris, namun fakta persidangan di Pengadilan Negeri Ambon (merujuk berita surat kabar lokal) menunjukkan bahwa jaringan teroris yang bermain di Ambon memiliki hubungan dengan jaringan teroris yang bergerak di Poso dan Pulau Jawa. Kelompok teroris yang bergerak di Ambon memiliki pusat pelatihan di Pulau Seram, bahkan kemudian melakukan rekruitmen anggota dari Negeri-negeri di sekitar lokasi pusat pelatihan tersebut. Bahkan jaringan teroris ini berhasil merekrut anggota POLRI yang kemudian meninggalkan kesatuannya, serta terlibat secara langsung dalam aktifitas-aktifitas kelompok teroris di berbagai lokasi di Maluku. Rekruitmen anggota biasanya diawali dengan dakwah-dakwah yang kemudian dimatangkan sebagai kebenaran
idiologi,
sehingga
mengharuskan
anggota
kelompok
mengamalkan
kebenaran tersebut dalam setiap aspek kehidupannya. Pengamalan idiologi tersebut, termasuk pula melakukan berbagai aksi teror tanpa memperhitungkan siapa yang menjadi korban.
Beberapa penyebab keterlibatan kelompok teroris dalam konflik Ambon yaitu : 1.
Ketegangan struktural antara nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, ada kontradiksi internal. Misalnya, Indonesia yang kaya raya ini telah
memakmurkan sebagian kecil warganya, dan menyisakan ratusan jutaan lainnya dalam situasi ekonomi tak menentu. 2.
Tersebarnya keyakinan bersama mengenai suatu hal yang dianggap sebagai musuh bersama. Ketegangan-ketegangan sosial seperti yang dijelaskan di atas akan makin memperkuat ambuguitas dalam sistem keyakinan seseorang yang kemudian memfasilitasi munculnya kecemasan pada dirinya.
3.
Faktor pengobar. Biasanya berupa peristiwa-peristiwa yang diemosionalisasikan sehingga melipatgandakan tingkat ketegangan yang sudah ada dalam masyarakat. Isu soal dibakarnya sebuah rumah ibadah salah satu komunitas atau meninggalnya anggota komunitas akibat perbuatan komunitas berbeda agama.
4.
Mobilisasi untuk turut serta dalam aksi. Inilah hasil dari fungsi komunikasi dan persuasi massa yang kemudian memungkinkan mereka mengambil tindakan kolektif secara drastis. Indoktrinasi bisa jadi salah satu bentuknya. Unsur kepemimpinan atau yang belakang makin sering disebut-sebut sebagai provokator dan aktor intelektual yang muncul secara tiba-tiba dari kerumunan massa menjadi penting.
5.
Lumpuhnya kontrol sosial. Jika dalam sebuah situasi yang dikuasai oleh kerusuhan, elit-elit dalam masyarakat biasanya juga terpecah dalam berbagai kantung yang terbedakan oleh taktik, strategi politik, dan pegangan ideologis yang dimilikinya, kontrol sosial akan jebol, dan aksi massa yang lebih besar lagi akan besar peluang suksesnya. Kenyataan demikian merupakan pembenaran atas tindakan teror yang
dilakukan, saat situasi dan kondisi Ambon termasuk Saparua semakin kondusif. Namun perlu diperhatikan dan ditelusuri dengan lebih seksama, apakah kelompok pembuat teror ini memang berdiri sendiri tanpa campurtangan pihak lain atau mereka hanya sebagai boneka atas kepentingan pihak ketiga yang menginginkan kembali terjadinya situasi dan kondisi tidak aman pasca konflik di Ambon termasuk di Saparua. Memang teror dimaksud tidak sampai meluas ke Saparua, namun jika dilakukan di Ambon dan mengakibatkan warga yang berasal dari Saparua menjadi korban maka dipastikan akan ada upaya balas dendam dari kerabatnya terhadap warga berbeda agama. Pemberitaan media massa sesuai fakta persidangan kemudian mengarah pada keterlibatan kelompok teror pasca konflik berkepanjangan di Ambon. Kelompok teror juga melibatkan oknum Polri yang disertir. Selain itu kelompok ini telah melakukan
penggalangan massa (rekruitmen) dari warga yang berusia muda di negeri-negeri Pulau Seram.
Berbagai media mengulas bahwa, warga yang direkrut tidak diketahui
keberadaannya saat ini. Pola rekruitmen dilakukan secara tertutup dengan berbagai alasan, diiringi dengan penyebaran dan indoktrinasi ajaran-ajaran yang mengarah pada perilaku teror dapat diterima selama bertujuan membela umat yang tertindas. Namun sangat disayangkan karena, banyak orang tidak berdosa yang harus menjadi korban entah karena teror dilakukan di wilayah Sarani maupun Salam. Fakta demikian memudarkan anggapan bahwa, perilaku teror yang dimunculkan bukan merupakan akibat ketertekanan yang berkepanjangan dan meledak akibat tidak mampu ditahan lagi. Jawaban-jawaban yang dikemukakan pelaku teror saat sidang digelar menunjukkan bahwa, tindakan yang mereka lakukan hanyalah untuk membalaskan kematian salah satu komunitas Salam akibat ditembak oleh petugas Polri yang kebetulan beragama Sarani.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah tindakan
balasan demikian akan melegakan pihak keluarga korban atau apakah yang menjadi korban dapat hidup kembali ? Tentu saja jawabannya tidak, mengingat pembalasan juga tidak diarahkan pada oknum pelaku tetapi pada oknum lain yang tidak punya kaitan kekerabatan dengan pelaku selain bahwa sama-sama beragama Sarani. Memang pada awalnya ketika situasi dan kondisi konflik masih memanas, upaya teror yang dilakukan dapat memberikan hasil yang maksimal. Jika situasi aman dan teror dilaksanakan maka, dipastikan saling membalas akan muncul kembali dengan dampaknya pada terjadinya konflik yang berkepanjangan. Seperti misalnya peledakan bom di depan Hotel Amboina, kemudian diikuti oleh tindakan balasan dari pihak Sarani dengan melakukan protes ke pihak Penguasa Darurat Sipil (Gubernur Maluku). Akhirnya karena stuasi tidak terkendali maka gedung Kantor Gubernur turut dibakar. Upaya pembiaran juga nampak di sini karena, pihak keamanan tidak bertindak tegas mencegah terjadinya pembakaran. Pada dasarnya kelompok teroris sendiri tidak mendapatkan keuntungan secara materi. Padahal akibat perbuatannya banyak rakyat yang semakin terpuruk karena keamanan menjadi dasar bagi berbaurnya kembali masyarakat Salam dan Sarani pada suatu tempat umum seperti pasar bersama, terminal bersama maupun tempat berbelanja kebutuhan sandang secara bersama-sama.
Berkepanjangannya konflik
cukup memberikan keuntungan bagi Birokrat Pemerintah Daerah, yang diberikan kesempatan untuk mengelola dana-dana
pemberdayaan pengungsi.
Sebagai
gambaran, sampai tahun 2007 penyelesaian pengungsi belum tercapai.
Program
penyelesaian sudah dimulai sejak tahun 1999, bahkan kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres 6 Tahun 2003 yang menyerap dana triliun rupiah.
Hal-hal demikian
mengindikasikan, bahwa konflik memberikan keuntungan kepada banyak pihak yang berkompeten dengan upaya penyelesaiannya. Sementara di sisi lain memberikan kerugian bagi masyarakat sebagai penerima akibat konflik, sekaligus hanya sebagai objek program penyelesaian konflik.
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Kesimpulan penelitian meliputi sumber konflik serta keterkaitan jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua, diikuti dengan kesimpulan teoritik.
Kesimpulan
kemudian dilanjutkan dengan implikasi hasil penelitian secara teori dan praktis. 7.1. Kesimpulan 7.1.1. Sumber Konflik di Saparua Konflik hak atas tanah antara negeri maupun batas-batas tanah antara sesama anak negeri berpeluang diarahkan menjadi konflik yang meluas dan berkepanjangan. Berbagai contoh telah diuraikan, bagaimana negeri Ulath dan Ouw mengalami konflik berkepanjangan sejak dahulu hingga saat ini akibat silang sengketa menyangkut batas tanah yang sebenarnya antara kedua negeri. Demikian pula bagaimana negeri Porto dan Haria yang juga sama-sama beragama Sarani, namun harus selalu dibayangi oleh kemungkinan konflik akibat perselisihan batas tanah. Bahkan saat konflik bernuansa agama telah berjalan dan berkepanjangan di Pulau Saparua, ternyata konflik tanah antara Porto dan Haria pun turut meramaikan suasana konflik di Saparua. Justru konflik tanah ini, lebih khas karena tidak terjadi antara negeri yang berbeda Agama, tetapi lebih sering terjadi antara negeri yang agamanya sama. Oleh karena itu, peran Lembaga Latupati sebagai Lembaga Adat di Saparua haruslah mendapat legitimasi lebih kuat apalagi dengan diterapkan Perda Nomor 128 Tahun 2006 tentang Pemerintah Negeri. Dengan demikian Lembaga Latupati diharapkan memberikan kontribusi-nya bagi upaya penyelesaian sengketa agrarian (tanah) antar negeri maupun memfasilitasi sengketa antara masing-masing anak negeri. Merujuk berbagai sumber sejarah, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di pedesaan Saparua memiliki sikap militansi yang tinggi, tetapi tetap agamis, penuh toleransi dan selalu mengedepankan hubungan kemanusiaan. Beberapa institusi adat seperti pela dan gandong misalnya, merupakan bukti betapa masyarakat Maluku sebelumnya memiliki sejumlah kearifan pengetahuan lokal untuk memelihara tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Institusi yang dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan baik geneologis maupun teritorial tersebut, mengandung makna aliansi yang memadukan perbedaan-perbedaan dalam suatu wadah persatuan. Maksudnya, persatuan yang terwujud secara tradisional, tidak menghilangkan identitas diri masing-masing kelompok sub-suku (yang umumnya
berbeda agama); sebaliknya, simbol-simbol perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola interaksi antar kelompok. Sikap militansi dan reaktif masyarakat asli di pedesaan Saparua, dibentuk oleh lingkungannya yang keras dengan teritorial yang terbatas, disamping adanya tradisi perang yang dimiliki. Sebagai sifat dasar, maka perkembangan baik agama Sarani maupun Salam tidak menghilangkan sikap yang militan, keras dan reaktif tersebut. Pada masa lalu, berbagai lembaga adat termasuk pela dan gandong, dapat berfungsi sesuai keinginan dan harapan warga masyarakat. Arti penting dari peranan lembaga tersebut khususnya lembaga pela dan gandong, disebabkan oleh 3 (tiga) hal: 1. Adanya potensi konflik antar kelompok yang menguasai dan bermukim pada wilayah-wilayah tertentu yang berbeda-beda. 2. Realita pola segregasi pemukiman (konsentrasi penduduk yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang sama), dan pemilahan sosial (social cleavages) yang jelas. 3. Pelestarian hubungan kekerabatan yang bersifat geneologis (gandong). Tidak berfungsinya lembaga pela dan gandong merupakan salah satu faktor yang ikut memperbesar peluang terjadinya konflik sosial secara terbuka. Jika dicermati dengan baik, pembentukan lembaga pela disamping mempunyai sejarahnya tersendiri, fungsional pula terhadap pola pengelompokan masyarakat secara teritorial (segregasi sub-etnik). Artinya, realitas social grouping di Maluku (terutama di Maluku Tengah termasuk Saparua) menunjukkan bahwa masyarakat umumnya tersegregasi menurut etnis (dan agama) dalam negeri masing-masing, yang kemudian disebut negeri Salam dan negeri Sarani (produk penjajahan Belanda). Meskipun kelompok masyarakat menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, tetapi karena perbedaan agama yang dianut, maka salah satu kelompok memisahkan diri dan membangun pemukimannya sendiri. Contohnya Sirisori Salam dan Sirisori Sarani. Selain itu, ada pula pendatang yang menetap pada suatu negeri dan membangun pemukimannya berdasarkan segregasi agama dan membentuk dusun dalam wilayah administrasi negeri tertentu. Pola pemukiman sedemikian menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kultur yang sama, tetapi orang Ambon terpecah kedalam dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok Salam dan kelompok Sarani. Disinilah letak pentingnya peran lembaga pela dan gandong sebagai savety valve untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus meminimalkan kemungkinan
konflik antar kelompok sosial. Manajemen konflik yang merupakan ekspresi kearifan pengetahuan lokal ini dengan sendirinya impoten, karena: (1) panas pela sebagai lembaga mitra atau pendukung tidak berfungsi; (2) masuknya ideologi nation state; dan (3) kemerosotan kekuatan adat akibat dominasi pengaruh institusi agama sebagai institusi tandingan dalam sistem kepercayaan masyarakat. Konflik yang berawal di Ambon dapat menyebar ke Saparua, melalui jejaring sosial penyebaran informasi dibawa oleh pengungsi yang kembali ke Saparua karena kondisi ketidakamanan maupun ketidaknyamanan di lokasi pengungsian. Penyebaran informasi yang berisi penderitaan akibat konflik di Ambon, dikomunikasikan kepada kerabat dan tetangga saat mengungsi ke Saparua. Informasi tersebut kemudian menyebar melintas batas negeri namun antar komunitas seagama. Kenyataan demikian terjadi karena konflik Ambon telah bergeser menjadi konflik antar komunitas berbeda agama (antara Salam dan Sarani) yang ditunjang oleh faktor ekonomi, politik dan budaya.
Penyebaran informasi antar komunitas seagama di Saparua membentuk
jejaring sosial dengan persepsi yang sama, bahwa komunitass agama lain merupakan peneyebab penderitaan anggota komunitasnya masing-masing. Persepsi
tersebut
kemudian
membentuk
keinginan
untuk
bertindak
membalaskan dendam kepada komunitas agama lain yang dianggap sebagai penyebab penderitaan. Tindakan yang diambil oleh kelompok yang saling berlawanan di Saparua, merupakan wujud dari tindakan sosial sebagai orientasi rasa kecewa dan dendam yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, tindakan-tindakan sosial tersebut tidak lagi memperhitungkan rasionalitas kebersamaan sebelum konflik, tetapi rasionalitas yang ada hanyalah rasional berdasarkan kebenaran agama semata. Dengan demikian yang beragama lain, terpaksa harus menjadi korban akibat rasionalitas yang hanya mendasari pada kebenaran sendiri atas agamanya dan harus diterima oleh kelompok lain yang berbeda agama. Seperti diketahui, agama mempunyai salah satu ciri yaitu eksklusivisme. Penyebarluasan isu agama mendorong lahirnya sikap fanatik dan solider di kalangan sesama pemeluk agama. Ciri demikian memudahkan orang untuk mencari dan menyatukan diri ke dalam kelompoknya masing-masing. Penyatuan diri tersebut semakin menguat bilamana isu tersebut dipahami sebagai panggilan suci. Upaya menciptakan kesiagaan dan momentum konflik, ditunjang oleh berbagai isu operasional yang secara tidak langsung muncul dalam dakwah elit agama berupa :
1. Pelecehan terhadap keyakinan atau akidah salah satu agama. 2. Pelecehan terhadap simbol-simbol agama, 3. Intimidasi terhadap komunitas yang menganut salah satu agama tertentu. 4. Penyesatan informasi (dis-informasi) tentang suatu kejadian tertentu yang sebenarnya (mungkin) tidak terjadi, termasuk isu persiapan penyerangan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya pada waktu tertentu. Tentang kesan keterlibatan oknum aparat keamanan. Sesuai realitas lapangan, masalah ini paling tidak memiliki 2 (dua) versi : 1. Ada oknum aparat dari kesatuan TNI dan POLRI tertentu yang secara sadar dan sengaja terlibat atau melibatkan diri dalam membantu salah satu kelompok. Meskipun motif yang melatarbelakangi perilaku menyimpang demikian sulit diidentifikasi, tetapi yang pasti ialah cara tersebut sangat bertentangan dengan netralitas sikap dan posisi berdasarkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. 2. Ada oknum aparat yang dengan setia dan jujur melaksanakan tugasnya secara tegas dan konsisten untuk menghalau massa dari kelompok tertentu, tetapi dinilai sebagai sikap keberpihakan.
7.1.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik Masalah perbedaan agama dan etnis cukup memberi peluang akan timbulnya konflik, namun kerentanan dari dalam masyarakat itu sendiri tidak mungkin sampai pada situasi yang menghancurkan diri sendiri tanpa mengalami tekanan yang cukup kuat dari luar. Selain itu, tekanan penyebaran konflik ke wilayah yang lebih luas sangat terasa melalui isu-isu yang menyesatkan juga didukung oleh informasi-informasi mutakhir dari kaum kerabat melalui jaringan komunikasi (telepon dan HP), maupun secara langsung ketika harus kembali ke negerinya di Saparua sebagai pengungsi atau sekedar mencari keamanan dari situasi keamanan yang tidak terkendali baik di Ambon maupun lokasilokasi sekitarnya. Dalam penyebaran konflik ini pula, tidak dapat dihindari terjadinya penggunaan simbol-simbol agama untuk membangkitkan sentimen agama. Kenyataan-kenyataan demikianlah yang menunjukkan keberadaan jejaring dalam konflik di Saparua. Konflik Saparua sebagai bagian konflik Ambon, sebenarnya tidak akan muncul jika ada upaya untuk menekan atau pun menghambat penyebaran konflik. Penanganan pengungsi juga menjadi sumber konflik baru di Saparua, akibat tidak tertanganinya pengungsi yang ada di kota Ambon menyebabkan mereka kembali
ke daerah asal di Saparua. Mereka menjadi penerus informasi yang berakibat pada keinginan untuk membalaskan dendam kepada komunitas lain yang kebetulan berbeda agama di Saparua. Faktor jejaring sosial dengan ikatan agama sebagai dampak konflik Ambon menjadi pendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Penyebaran informasi sebagai ekspresi jejaring sosial dari Ambon ke Saparua berhasil menggerakkan basis konflik bernuansa agama sehingga terjadi konflik berkepanjangan di Saparua. Ada perbedaan mendasar antara penyebab konflik di Saparua dengan Ambon, yaitu penyebab konflik Ambon tidak dapat dilihat dari satu faktor saja tetapi terutama oleh faktor ekonomi, politik, budaya dan agama sebagaimana hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Sementara di pedesaan Saparua, keberadaan
jejaring sosial sebagai sumber penyebaran informasi menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan agama. Penyebaran informasi dari korban konflik di luar Saparua ditambah informasi-informasi menyesatkan dari pihak yang tidak dapat diidentifikasi menjadi pendorong utama terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Jejaring dengan ikatan ekonomi dan budaya menjadi tidak berfungsi bahkan sepertinya hilang dalam kehidupan masyarakat Saparua. Pela dan gandong serta jual beli komoditas pertanian tidak berjalan saat konflik.
Jejaring sosial dengan ikatan
agama, mendominasi penyebaran informasi yang mendorong terjadinya konflik terbuka dan berkepanjangan antar komunitas berbeda agama di Saparua. Ditunjang pula mengalirnya informasi secara terus menerus melalui aliran orang yang keluar masuk Saparua saat konflik terjadi di pedesaan Saparua. Kekuatan ikatan adat pela dan gandong seharusnya tetap diusung oleh Lembaga Latupati, sehingga penyebaran informasi yang menyebabkan konflik di pedesaan Saparua dapat diredam. Oleh karena itu penguatan Lembaga Latupati menjadi salah satu jalan penting untuk menguatkan kembali ikatan adat dan budaya yang pada dasarnya tidak memperhatikan perbedaan agama. 7.1.3. Kesimpulan Teoritik Akar kegagalan menjelaskan berbagai konflik yang terjadi, dikarenakan konflik lebih dilihat sebagai masalah yang berakar dari kesenjangan ekonomi, keadilan, atau pengalaman penindasan di masa orde baru. Tema-tema semacam inilah yang terusmenerus dibolak-balik.
Secara umum teori-teori demikian cenderung melihat
masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Masyarakat tidak dianggap sebagai sebuah entitas yang problematik. Kalaupun ada
konflik atau persoalan dalam masyarakat, hal itu dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite negara yang mengendalikan negara. Cara pandang demikian sering tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Misalnya, mengapa konflik konflik terjadi di Halmahera dan kepulauan Maluku umumnya termasuk di pedesaan Saparua yang justru basis ekonominya bersifat agraris, mengapa kota atau daerah yang mendapatkan tingkat represi militer justru tidak memperlihatkan gejala konflik daripada daerah-daerah yang selama ini kurang mendapatkan represi militer. Kegagalan mengemukakan masalah karena titik tolak yang tidak memadai ini haruslah diganti dengan titik tolak pada masyarakat itu sendiri. Negara menjadi sumber masalah, karena lemah dan hampir tidak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak hukum dan tata tertib. Dengan demikian pokok persoalan konflik sosial haruslah dilihat dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bringing the state back in haruslah digeser kepada bringing the society back in. Oleh karena itu pengungkapan fenomena demikian harus dimulai dengan mempelajari perilaku mikro, yaitu bagaimana perilaku individu bergerak menjadi perilaku kolektif (kelompok dan komunitas). Titik tolak ini diyakini bisa menjelaskan dengan lebih terinci mengapa konflik-konflik seperti terjadi di Saparua mengambil bentuk yang begitu keras dan berdarah. Kajian studi ini yang mengarah pada aras pedesaan dengan negeri sebagai basis, menunjukkan bahwa perlu disepakati keterkaitan antar aras mikro dan meso. Mengingat aktor pedesaan dengan berbagai keterbatasannya, walaupun memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri namun biasanya memiliki panutan yang dilihat sebagai dasar pengambilan keputusan tersebut.
Kondisi keterpurukan
masyarakat secara umum atau kelompoknya secara khusus, mampu memberikan masukan berarti bagi keputusan untuk berkonflik atau tidak. Keterlibatan individu dalam konflik, merupakan keputusan sendiri dan otonom namun tidak lepas dari pengaruh situasional sekitarnya.
Keterpurukan kaum kerabatnya yang mengalami konflik dan
harus mengungsi, juga meninggalnya salah satu anggota kerabat ternyata menjadi pemicu upaya pembalasan dendam sehingga menjadi konflik berkepanjangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial. Jejaring sosial berperan meredam dan menumbuhkan konflik sosial. Bahkan jejaring sosial berperan penting dalam manajemen konflik guna menyelesaikan akar permasalahan yang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Jejaring sosial dalam konteks konflik di Saparua, diekspresikan melalui penyebaran informasi yang bergerak
antara kerabat dari luar Saparua yang mengalami korban konflik. Keterpurukan akibat konflik di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, kemudian mneyebar ke daerah asal (Saparua) saat terjadi pengungsian maupun pengamanan diri. Penyebaran informasi mampu membentuk kelompok dengan berpersepsi sama, kemudian melebar menjadi komunitas berpersepsi sama. Persepsi yang terbentuk mengarah pada perbedaan idiologi, bahwa komunitas berbeda yang menjadi penyebab keterpurukan komunitas yang lain. Agama dipakai sepakai simbol untuk membedakan masing-masing komunitas.
Fakta bahwa ada
perbedaan ekonomi, politik, budaya dan agama tidak mampu menyebarkan konflik, jika informasi dan ditunjang isu-isu yang berkembang di Saparua tidak mengarah pada salah satu komunitas sebagai penyebab kesulitan yang dialami komunitas berbeda. Agama menjadi simbol karena lebih mudah membagi masyarakat dari aspek agama dibandingkan dengan aspek lainnya (ekonomi, politik dan budaya), sebab yang pasti hanya ada dua komunitas di Saparua yaitu Salam dan Sarani.
7.2. Implikasi Penelitian Kerangka teori konflik makro yang melihat kejadian konflik di pedesaan Saparua dengan hanya melihat sebagai akibat dari masalah kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, atau penindasan oleh negara ternyata tidak terlalu memadai untuk mengidentifikasi akar konflik. Oleh karena penerapan kerangka teori tersebut cenderung melihat masyarakat sebagai the innocent party yang berhadapan dengan negara yang represif. Konflik yang terjadi lebih dipandang sebagai akibat penetrasi negara, atau cerminan dari manipulasi dan pertentangan para elite negara yang mengendalikan negara. Kenyataannya, masyarakat di pedesaan Saparua bukanlah entiti sosial yang bebas dari problematik. Saparua bukan merupakan wilayah yang punya kesenjangan yang tajam sebagaimana kesenjangan yang terjadi di kota-kota besar. Pihak luar masyarakat Saparua dan negara memang tetap menjadi sumber masalah, tetapi bukan karena kuat dan dominan, tetapi justru karena lemah dan hampir tidak berdaya untuk menjalankan perannya sebagai alat penegak tertib sosial. Dengan demikian, dalam memahami konflik Pedesaan Saparua, asumsi dan kerangka dasar teori konflik makro perlu juga disempurnakan dengan teori perilaku. Artinya, persoalan konflik sosial juga perlu dilihat dari sisi masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bringing the state back in perlu digeser kepada bringing the society back in.
Secara
nasional,
diperlukan
adanya
itikad
baik
secara
politis
untuk
mengembangkan berbagai kebijakan publik yang konsisten dengan filosofi kebhinekaan untuk menghindar dari kemungkinan penyalahgunaan kebijakan dimaksud oleh oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja mengeksploitasi paradigma mayoritasminoritas yang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai politik aliran bagi kepentingan elit tertentu. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat konflik terjadi di Saparua, pihakpihak yang berkompeten di bidang agama (pemimpin umat) ternyata kemudian secara tidak sengaja dapat menjadi sumber informasi saat memberikan khotbah atau dakwah di hadapan kelompok masing-masing. Fakta demikian tidak dapat dipungkiri mengingat, terbelahnya masyarakat Saparua menjadi dua kelompok Agama membuka peluang bagi upaya masing-masing kelompok Agama untuk memperkuat kelompoknya.
Upaya memperkuat solidaritas
anggota kelompok melalui dakwah ternyata menjadi solidaritas berlebihan dan berubah menjadi kebenaran kelompoknya sendiri, tanpa memikirkan bahwa kelompok lain juga merasakan kebenaran yang sama. Oleh karena itu, perlu diperhatikan lagi sebaiknya isi dakwah berisi cara-cara masing-masing Agama menjalankan Ibadahnya. Berkaitan dengan penyelesaian konflik, ternyata program yang dilakukan pemerintah tidak memperhatikan kehendak masyarakat yang berkonflik. Belum lagi, prosesnya cenderung bukan melakukan resolusi konflik, tetapi lebih berupa penanganan konflik yang bersifat instrumental semata. Oleh karenanya dalam resolusi konflik di pedesaan Saparua yang diperlukan adalah dua langkah yang berjalan sekaligus, yaitu penggunaan penyelesaian berasaskan penguatan budaya lokal yang sekaligus menguatkan kembali hubungan-hubungan agraris dalam konteks reforma agraria. Dengan langkah awal melakukan analisis keberadaan hak-hak atas sumberdaya alam dan lahan dari negeri dan batas-batasnya melalui pembicaraan adat Solusi konflik di tingkat lokal seharusnya tidak menyamaratakan perlakuan bagi kelompok masyarakat yang bermukim di desa dan di kota. Sebab, struktur sosial budaya, ekonomi dan politik wilayah pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Bagi wilayah pedesaan Saparua, dapat dilakukan penguatan kembali lembaga-lembaga adat seperti Pela dan Gandong serta berbagai hubungan kekerabatan lainnya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi yang intensif antar kelompok masyarakat di aras negeri. Upaya penguatan ini harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti menghidupkan pula berbagai lembaga pendukung lainnya seperti penyesuaian atas eksistensi sistim pemerintahan adat dan lembaga adat.
DAFTAR PUSTAKA
Blood, Robert. O. Jr., 1972. The Family. The Free Press, New York Burton, J. 1991. Conflict: Resolution and Provention. New York St. Martin’s Press. Beebe, S.A. dan J.T. Masterson., 1950. The Process of Communication : An Introduction to Theory and Practice. Holt, Rinehart and Winston Inc., New York. Cooley, F.L., 1962. Ambonese Adat, A General Description. University, Connecticut.
New Haven, Yale
Coser, Lewis, A., 1956. The Functions of Social Conflict. New York : Free Press. Creswell, John, 1994. Research Design, Qualitative and Quantitative Approach. London : Sage Publications. Dahrendorf, Ralf., 1959. Class and Class Conflict In Industrial Society. Stanford, Calif. : Stanford University Press. Dasgupta, P. dan Ismail Serageldin (ed). 2000. Social Capital : A Multifaceted Perspective. The World Bank, Washington DC. DeVito, J.A., 1992. The Interpersonal Communication Book (Sixth Edition). Harper Collins Publishers, New York. Denzin, Norman, K., 1970. The Research Act : A Theoritical Introduction to Sociological Methods. Aldine Publishing Company, Chicago. Eriyanto., 2003. Media dan Konflik Ambon. Kantor Berita Radio 68H, Majalah Pantau dan Media Development Loan Fund, Jakarta. Geertz, Clifford., 1978. Peddlera and Princes : Social Development and Economic Change in Two Indonesians Towns. The University of Chicago, Chicago Granovetter, M. 1985. Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness. Dalam: M. Granovetter and R. Swedberg. 1992. The Sociology of Economic Life. Westview Press, San Fransisco. Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J. 1992. Personality Theory. McGraw-Hill International: NY. Idema, H.A., 1917. De Oorzaken van den Opstand van Saparoea in 1817. Arsiap Nasional, Jakarta. Jahi, Amri (ed)., 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di NegaraNegara Dunia Ketiga : Suatu Pengantar. PT Nasional, Surabaya
Jansen, H.J., 1929. Inheemsche Groepen-Systemen in de Ambonsche Molukken, Adatrechtbundels XXXVI : Borneo, Zuid-Celebes, Ambon, Enz. 1933, Serie R, No. 77 Kastor, Rustam., 2000. Fakta dan Data, dan Analisa Komparatif Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku. Wihdah Press, Jogyakarta. Kusnadi., 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press, Bandung Leatemia, Rolly (editor). 2003. Mematahkan Kekerasan dengan Semangat Bakubae. Aliansi Masyarakat Sipil dan Gerakan Bakubae Maluku, Jakarta. 225 hlm Leirissa, R.Z., Z.J. Manusama, A.B. Lapian, Paramita Abdurachman., 1982. Maluku Tengah di Masa Lampau (Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas). Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Marx, Karl., 1967. Capital, 3 volumes, translated by Samuel Moore and Edward Aveling. New York : International Publishers. Miles, Matthew, B dan A.M. Huberman., 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sember Tentang Metode-Metode Baru. UI Press, Jakarta. Mitchell, J.C., 1969. The Concept and Use of Social Networks. Manchester University Press, England. Moleong, Lexy, J., 1989. Bandung.
Metodologi Penelitian Kualitatif.
Remaja Rosdakarya,
Nanere, Jan., 2000. Kerusuhan Maluku Seri Pertama : Halmahera Berdarah. Yayasan Bimaspela, Ambon Noveria, Mita dan Haning, Romdiati., 2002. Pengungsi di Maluku Utara dan Sulawesi Utara : Penanganan Melalui Pola Pemulangan dan Relokasi. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Noveria, Mita; Haning, Romdiati; Aswatini, Raharto; Ade, Latifa; Bayu, Setiawan; Suko, Bandiyono dan Fitranita., 2002. Pengungsi di Maluku Utara dan Sulawesi Utara : Upaya Penanganan Menuju Kehidupan Mandiri. Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Polanyi, Karl., 1968. Societies and Economic System dalam George Dalton (ed), Primitive, Archaic and Modern Economies, Essay of Karl Polanyi. Beacon Press, Boston Powell, W.W dan L. Smith-Doerr., 1994. Networks and Economic Life dalam N.J. Smelser and R. Swedberg (eds) The Handbook of Economic Sociology. Princeton University Press, Princeton Purawana dan Bambang Hendarta Suta., 2003. Konflik Antar Komunitas Etnis di Sambas 1999 Suatu Tinjauan Sosial Budaya. Romeo Grafika, Pontinak
Robbin, S. 1984. Management: Concept and Practice. Newjersey: Prentice Hall Inc Rogers, E.M dan R.A. Rogers., 1976. Communication in Organization. The Free Press, New York. Rogers, E.M and D.L. Kincaid. 1981. Communication Networks ; Toward a New Paradigma for Research. The Free Press, New York Rogers, E.M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York: The Free Press Rogers, E.M. 1986. Communication Technology. The new media in society. The Free Press. A Division of Macmillan, Inc. New York Rubent, Brent, D., 1992. Communication in Human Behaviour. Third Edition. Prentice Hill Inc. Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001. Tergusur Asap Mesiu. Tapak Ambon, Jakarta
Ketika Semerbak Cengkeh
Samovar, Larry, A; Pooter Richard E., dan Jain Nemi C.C., 1985. Interculture Communication : A Reader. Fifth Edition. Belmonth Wadsworth Publish Company. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT Bumi Aksara Sihbudi, Risa dan Moch. Nurhasim., 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia (Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas). PT Grasindo, Jakarta. Simanjuntak, Bungaran, A., 2002. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jendela, Jogyakarta. Sinansari, Ecip., 1999. Menyulut Ambon : Kronologi Merambatnya Berbagai Kerusuhan di Indonesia. Mizan, Bandung. Sumardjan, Selo dan YIIS., 2001. Identifikasi Penyebab Konflik di Indonesia. Jurnal Sosiologi Indonesia, No. 02/2001 Surata, Agus dan Tuhana, Taufig., 2001. Atasi Konflik Etnis. Jogyakarta : Penerbit UPN Van Klinken, Gerry., 1999. What Caused The Ambon Violence ? Perhaps not religious hatred, but a corrupt civil service sparked the bloodletting. Inside Indonesia, No. 60, Oktober-Desember, hal 15-16. Yin, Robert. K., 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode, Alih Bahasa : M.D. Mudzakir). Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Acuan dari Thesis dan Disertasi : Agusyanto, Ruddy. 1996. Dampak Jaringan-jaringan Sosial dalam Organisasi : Kasus PAM Jaya DKI Jakarta (Tesis Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Arbi, 2002, Sumber dan Persaingan Ekonomi Dagang Antara Etnik Cina dan Etnik Melayu : Kasus Sungai Pakning Bengkalis Riau. Bartels, Dieter., 1977. Guarding the Invicible Mountain : Intervillage Alliances, Religious Syncretism, and Ethnic Identity Among Amboneese Christians and Moslems in the Mollucas. Cornell : Disertasi Cornell University. Boer, Ambiar, 1989, Perbedaan Tingkat Sosial Ekonomi Nelayan Tradisional dan NonTradisional : Studi Kasus di Kecamatan Bangko Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Budiono, Machfuddin, 1981, Pola Penguasaan Tanah dan Pengembangan Sapi Perah di Pedesaan : Studi Kasus Di Dukuh Pandesari, Pujon, Malang, Jawa Timur Dundawa, 1981, Perbedaan Status Petani Karet dan Penyadap : Studi Kasus di Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Fraassen, Ch. F van., 1972. Ambon Rapport. Thesis MA, Leiden Girsang, Wardis, 1996, Pola Penguasaan Tanah dan Strategi Hidup Rumah Tangga di Desa Transmigrasi (Studi Kasus Desa Transmigrasi Marga Sakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupatan Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu Hidayat, Hamid, 1981, Masalah Struktur Agraria dan Kedudukan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pujon Kidul (Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto, Kabupaten Malang) Hidayat, Kliwon, 1985. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraria di Desa Jatisari, Lumajang, Jawa Timur Iberamsjah, 1988, Peranan Elite Informal Desa dalam Proses Pembuatan Keputusan Pembangunan Desa : Studi Kasus di Kecamatan Beji, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat Manusama., 1977. Hikayat Tanah Hitu (Disertasi). Belanda : Leiden Universiteit Mislini, 2006. Analisis Jaringan Komunikasi Pada Kelompok Swadaya Masyarakat. Kasus KSM di Desa Taman Sari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Muksin, 2002. Jaringan Komunikasi dan Kohesivitas. Kajian Iklim Kelompok dan Aplikasi Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Ramah Lingkungan di Desa Purwasari Bogor, Jawa Barat. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Murdianto, Eko, 2002, Remitan Migrasi Sirkuler dan Gejala Perubahan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa (Kasus di Desa Trukan, Desa Nglegi, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta) Ngabalin, Ali, Muchtar., 2001. Pemuka Pendapat dan Konflik Masyarakat (Studi tentang Peran Pemuka Pendapat dalam Konflik di Maluku). PPS Bidang Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta. Pranadji, Tri, 1995, Gejala Modernisasi dan Kelembagaan Bagi Hasil : Kajian Perubahan Sosial Atas Kasus Pada Kelompok-Kelompok Kerja Nelayan Tangkap di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Purnomo, A. 2002. Hubungan Tipe Diri Dengan Jaringan Komunikasi. Kasus Taruna Pesantren Wirausaha Agribisnis Abdurrahman bin Auf di Desa Bulan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor Saad, Mohammad, 1984, Masalah Integrasi Sosial di Daerah Transmigrasi Kempas Jaya di Propinsi Riau Saefuddin. 1992. Stability and Change : A Case Study of The Social Networks and Household Flexibility Among The Poor of Jakarta, Indonesia (Disertasi). Pittsburgh : University of Pittsburgh Sahab, Kurnadi, 2002, Perubahan Nilai-Nilai Sosial Budaya, Kajian Kasus Perubahan Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Pada Masyarakat Bengkulu Sarman, Mukhtar, 1994, Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani : Kajian pada Komunitas Petani Plasma PIR Karet Danau Salak, Kalimantan Selatan Satria, Arif, 2000, Modernisasi Nelayan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapayak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah) Setyanto, A. 1993. Hubungan Karakteristik Petani dan Keterkaitannya dalam Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Paket Teknologi Supra Insus di Desa Pandeyan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukaharjo, Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Siagian, Baginda, 2002, Perubahan Struktur Masyarakat dan Sistem Lapisan Masyarakat Pedesaan di Sekitar Danau Toba. Singarasa, Henry, 1988, Pemukiman Kembali Penduduk di Desa Kereng Bangkirai, Propinsi Kalimantan Tengah Sjamsuddin, 1984, Pola Penguasaan Tanah dan Hubungan dalam Pertanian di Sawah : Kasus di Dua Daerah Pedesaan Sulawesi Selatan Soemartono, Tjipto, 1981, Konflik dan Loyalitas antar-Elite dari Suatu Komunitas Kecil, Studi tentang Perubahan Sosial di Wulan, Jawa Tengah
Suharjito, Didik, 1992, Dinamika Komunitas Pedesaan Sekitar Hutan dalam Usahatani Tumpangsari Program Perhutanan Sosial : Studi Kasus di KPH Saradan dan KPH Malang Sumitro, Bambang, 1986, Pola-Pola Pencarian Nafkah di Pedesaan : Studi Kasus Perubahan Pola Pencarian Nafkah Pada Suatu Desa di Jawa Barat Susetyo, Heru., 2003. Implementasi dan Dampak Kebijakan Relokasi terhadap Pengungsi Internal Korban Kerusuhan Sambas 1999 (Studi Kasus Pengungsi madura di Satuan Pemukiman (SP) I Parit Madani Dusun Martapura Desa Tebang Kacang Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat (Thesis). Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia Susilowati, Tuti, 1986, Hubungan Ekonomi dan Kekuasaan Antara Rumahtangga Nelayan Berbeda Status dalam Pengembangan Usaha Perikanan : Studi Kasus di Desa Mertasinga, Cirebon Sutisna, Entis, 2002, Perubahan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Hubungan Kerja Agraria Berkaitan Masuknya Perusahaan Industri pada Masyarakat Petani di Pedesaan Sutrisna, Dedi, 1996, Struktur Sosial Rekayasa di Lingkungan Perumahan Pola Hunian Berimbang (Kasus di Perumnas Rancaekek Kencana di Kabupaten Bandung) Syahyuti, 2002, Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan : Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah Warsito, Rukmadi, 1981, Aspek Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraria : Studi Kasus Tentang Perubahan Sosial di Grumbul Kalicacing, Desa Kalimandi, Banjarnegara, Jawa Tengah Yosep, Sombuk, Musa, 1996, Pengaruh Program Transmigrasi dan Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Struktur Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tradisional Irian Jaya (Kasus Suku Arfak di di Kabupaten Manokwari) Zulkarnaen, Harun, 1998, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Konflik tanah di Minangkabau (Studi Kasus di Nagaragi Simawang, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)
Acuan dari Situs Web : Allen, John., 1998. Community Resolution : The Development of Social Capital Within An Interaction Field. Lincoln, NE 68583-0922. E-mail :
[email protected] Bartels, Dieter., 2000. Your God is No Longer Mine : Moslem-Christian Fracticide in The Central Moluccas (Indonesia) After a Half Millennium Old Tolerant Coexistence and Ethnic Unity. http://www.google.com/index.html disalurkan melalui kontak_salawaku@yahoo,com. 9 September.
Graham, Jeniffer., 2004. Rethinking Governance, Social Capital and Livelihood Choices : Stories from Philippines. http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/ 00001403/00/Graham_Rethinking_040511_paper. Keong, Tan, Tay., 2000. Social Capital and The Traveling of Civil Society in Singapore.
[email protected]
Acuan dari Laporan Organisasi Keagamaan : Laporan Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-pulau Lease, Saparua tahun 1999 – 2003. Laporan Crisis Centre Gereja Protestan Maluku Ambon, tahun 1999 – 2004. Laporan Lintas Kerusuhan Maluku oleh Crisis Centre Keuskupan Amboina Ambon, idex tahun 1999 – 2003. Laporan Crisis Centre MUI Maluku, tahun 1999 – 2004.
LAMPIRAN TEMUAN METODOLOGI Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan karena konflik sebagai tema penelitian masih meninggalkan trauma yang mendalam bagi individu, kelompok maupun komunitas yang menerima dampak langsung akibat konflik. Perbedaan agama sebagai salah satu basis konflik, masih membekas dan menimbulkan persepsi yang lain terhadap orang yang berbeda agama. Kaitannya dalam pelaksanaan penelitian khususnya saat pengumpulan data dilakukan, penulis awalnya kesulitan memperoleh data-data yang faktual terlebih untuk data keterlibatan individu, kelompok bahkan komunitas dalam konflik.
Data-data
keterlibatan kelompok tertentu pada masing-masing komunitas terasa sulit ditemui saat peneliti melakukan pengumpulan data di negeri Sirisori Salam. Penulis memahami bahwa dengan latar belakang agama Sarani maka penulis berpeluang tidak dipercaya sebagai kerabat oleh informan negeri Sirisori Salam yang dapat berdampak pada terhambatnya proses pengumpulan data. Oleh karena itu, sebelum penelitian dilakukan penulis terlebih dulu mendiskusikannya dengan Ketua MUI Maluku (kebetulan merupakan salah satu murid dari kakek penulis yang juga berasal dari Negeri Iha dan saat menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Saparua berdiam di Sirisori Salam sebagai negeri asal ibunya). Hasil diskusi mejadi acuan penulis terutama sangat membantu menemukan informan yang tepat di Sirisori Salam.
Kedekatan
kekerabatan antara penulis beberapa tokoh Salam seperti Ketua MUI Maluku dan juga mantan Ketua DPR Kabupaten Maluku Tengah (berasal dari Iha Seram Barat), menjadi jalan bagi penulis untuk memperoleh data-data yang akurat dari informan yang tepat. Saat memulai pengumpulan data di Sirisori Salam, penulis berhadapan dengan situasi dimana informan tidak sepenuh mempercayai penulis sehingga beberapa infromasi penting tidak diungkapkan.
Menghadapi situasi demikian demikian, maka
penulis kemudian mengallihkan pembicaraan ke topik sejarah Sirisori Salam sekaligus keterkaitan dengan Kerajaan Iha yang pernah ada di Saparua. Strategi ini menjadi pintu masuk bagi penulis, mengingat penulis sama halnya dengan informan Kepala Soa yang juga berasal dari keturunan Kerajaan Iha. Selain itu, kakek penulis sebagai seorang guru yang bertugas di Saparua juga merupakan guru dari Kepala Soa tersebut. Hal-hal demikian kemudian menjadi aspek-aspek penting yang menimbulkan keterbukaan dari informan dalam memberikan data sesuai dengan fakta saat konflik. Selain itu, pada pertemuan kedua dan selanjutnya penulis juga menyertakan Kepala Soa sekaligus
Tokoh Pemuda Sirisori Sarani sebagai saudara “gandong” dan “teman baik” dari Kepala Soa Sirisori Salam. Sementara pengumpulan data di Negeri Kulor (semua warganya beragama Salam), penulis juga mengalami kendala karena perbedaan agama antara penulis dengan informan. Penulis kembali mempertanyakan aspek-aspek historis Negeri Kulor yang ternyata punya kaitan erat dengan Kerajaan Iha. Selain itu, proses pengumpulan data menjadi lebih lancar ketika penulis berhasil mengidentifikasi salah satu Kepala Soa yang ibunya berasal dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan beragama Sarani. Kepala Soa inilah yang sangat membantu dan memberikan informasi dengan sangat terbuka. Selain semakin sering penulis berdiskusi dengan informan, maka kedekatan yang terjalin menumbuhkan kepercayaan bagi informan sehingga informasi-informasi tentang konflik terlebih proses penyerangan ke Dusun Pia terungkap dengan transparan. Pengumpulan data di Negeri Iha penulis lakukan bersama-sama dengan salah satu warga Negeri Ihamahu (AK) yang kawin dengan perempuan Salam dan sampai menetap di negeri Tulehu Pulau Ambon.
Sebagaimana diketahui negeri Iha dan
Ihamahu memiliki ikatan “gandong”. Sementara negeri Tulehu merupakan pilihan warga Iha ketika harus mengungsi dari Pulau Saparua.
Selain warga Negeri Iha sangat
mengenal keluarga penulis sebagai satu keturunan dari Kerajaan Iha. Strategi tersebut memudahkan penulis saat proses pengumpulan data dari informasi Negeri Iha di pengungsian (negeri Tulehu dan Liang di Pulau Ambon). Bahkan Tuan Tanah Iha (AT), menjelaskan dengan gamblang apa yang sebenarnya terjadi saat sebelum Negeri Iha diserang dan dihancurkan. Berdasar penjelasan-penjelasan tersebut di atas maka pengumpulan data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif terlebih dengan topik yang rentan (seperti konflik bernuansa agama) dan mengharuskan kekuatan peneliti dalam pengumpulan informasi, dapat dilakukan dengan baik melalui beberapa strategi berikut ini : 1.
Pengetahuan peneliti tentang budaya setempat harus kuat, bukan sekedar tinggal bersama-sama dan mendiskusikan masalah secara bersama pula.
2.
Peneliti sebaiknya berasal dari ikatan kekerabatan yang sama jika menghadapi informan dengan perbedaan agama (terlebih untuk fokus penelitian konflik bernuansa agama).
3.
Peneliti harus mengetahui tokoh-tokoh kunci yang biasanya bertempat tinggal di luar lokasi penelitian, sebab mereka menjadi jalan masuk bagi penelitian karena rekomendasi mereka menjadi kepercayaan bagi informan di lokasi penelitian.
4.
Menggunakan tenaga peneliti dengan latar belakang agama yang sama dengan agama yang dianut informan, sehingga menimbulkan kepercayaan bagi informan bahwa antara informan dengan peneliti merupakan komunitas yang sama.
5.
Mengintensifkan diskusi-diskusi informal dengan informan baik secara individual, maupun secara kelompok dengan beberapa kerabat informan sehingga peneliti tidak lagi dianggap sebagai orang luar tetapi menjadi bagian dari komunitas yang sama.
Jika hal-hal tersebut mampu dilakukan oleh peneliti, maka pengumpulan data dari informan-informan yang berbeda agama dapat dilakukan dengan lancar. Akhirnya data-data penting sehubungan dengan tema penelitian dapat diperoleh sekaligus memperlancar proses penelitian.
LAMPIRAN INSTRUMEN PENELITIAN Untuk kepentingan penelitian ini, maka Pedoman Wawancara ini dibagi dalam 4 (empat) bagian : Bagian Pertama. Bagian ini yang dipertanyakan adalah persepsi informan tentang Elit seperti : Siapa saja yang dapat disebut elit ?; Bagaimana perannya baik terhadap kelompoknya atau terhadap masyarakat kebanyakan, khususnya dalam konflik (sejak munculnya sampai upaya penyelesaian) ?; Faktor-faktor apa yang berpengaruh dalam hal pelaksanaan peran elit tersebut ?; Bagaimana kredibilitas Elit (sebelum konflik, saat konflik dan kemungkinan ke depan nanti) ?; Apakah ke-Elit-an mereka berkenan dengan satu aspek atau beberapa aspek, misalnya ekonomi, politik, agama dan budaya ?. Orang yang diwawancarai (informan) diharapkan akan memberi informasi terhadap semua hal ini. Selain itu, wawancara ini diusahakan diberi warna secara keseluruhan berkenan dengan tujuan yang ingin dicapai. Tujuannya adalah mendapatkan informasi yang lengkap tentang Elit dan perannya, baik dalam kelompoknya maupun terhadap masyarakat umumnya. Pertanyaan bersifat terbuka (open ended), sehingga diharapkan akan mendapat informasi yang lengkap.
Bagian Kedua. Bagian ini yang dipertanyakan adalah berbagai hal menyangkut konflik di Saparua pada khususnya maupun di Ambon (Maluku) pada umumnya, seperti : Bagaimana gambaran umum konflik ?; Apakah akibat konflik bagi masyarakat saat ini dan masa nanti ?. Diikuti pula dengan berbagai pertanyaan lain yang mungkin akan dikembangkan sejalan dengan penemuan di lapangan,
Informan diharapkan akan
mampu memberikan jawaban atas apa yang ia rasakan dan ia alami.
Bagian Ketiga. Bagian ini mempertanyakan hubungan yang dibangun oleh elit seperti : Bagaimanan pola hubungan antara elit dengan massanya dan sebaliknya ?; Bagaimana pola hubungan antara Elit dengan Elit kelompok lain dan sebaliknya ?; Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat atau pun pendukung di antara mereka ?; Bagaimana sikap dan perilaku Elit saat melakukan hubungan tersebut ?; Diharapkan bagian ini juga akan mempertanyakan sikap dan perilaku sosial masyarakat secara umum melintasi tingkat-tingkat pembangunan sosial ekonomi dan perbedaan-perbedaan karena pengaruh berbagai sistem kultural dan politik.
Bagian Keempat. Bagian ini berkaitan dengan jangkauan solidaritas yang terjadi baik sebelum konflik, saat konflik dan kemungkinan ke depannya seperti : Adakah masalah loyalitas dalam konteks homogen dan heterogen ?; Adakah tingkat kesenjangan hubungan sosial yang dirasakan melintasi garis-garis kelas, agama, dan etnis ?; Bagaimana pola perilaku pribadi yang terbentuk ?. Tujuannya adalah untuk mendeteksi pola-pola yang mencirikan proses-proses asosiatif dan disosiatif, yang berhubungan dengan berbagai tingkat konflik dan perubahan masyarakat pedesaan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan : a) Untuk mengetahui tentang elit dan konflik terutama pola hubungannya, maka pendekatan yang perlu dilakukan dalam penelitian ini merupakan pendekatan integral. Artinya, sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian, perlu juga memahami persepsi responden dan masyarakat tentang permasalahan keseluruhan dari penelitian yang hendak dilakukan, demi mendapat respons yang lebih positif dari responden. b) Tidak semua responden memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mereka sulit dalam menyatakan diferensiasi yang memadai atas persepsi-persepsi mengenai elit berkenan dengan konflik yang terjadi. c) Istilah elit perlu didefinisikan secara jelas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yang dengannya mudah untuk diarahkan demi mencapai apa yang diinginkan. Kita diharapkan tidak berupaya untuk menyodorkan konsep kita pada informan dalam kesadaran kita tentang adanya perbedaan perspektif kita dan informan baik tentang elilt, jejaring sosial maupun konflik, sebab hal ini akan menyulitkan kita untuk mengukurnya.
Dengan
lain
kata,
berilah
informan
kesempatan
untuk
mengemukakan pendapatnya terlebih dulu tentang hal-hal yang menjadi tujuan penelitian, kemudian dibuat pertanyaan sektoral sekitar tanggapan-tanggapan mereka.
PEDOMAN WAWANCARA ELIT DAN NON ELIT IDENTITAS PRIBADI : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Tempat / Tgl Lahir Pendidikan Nama istri Jumlah Anak Pekerjaan Alamat Kedudukan dlm negeri
: : : : : : : :
SEKITAR KONFLIK : 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Bagaimana kehidupan dengan pihak lain sebelum konflik : Kronologis konflik : Mengapa konflik terjadi : Peran dalam konflik : Adakah bantuan yang masuk dari negeri lain : Apa saja bentuk bantuan tersebut : Apa maksud pemberian bantuan tersebut : Adakah keterlibatan pihak militer dari masing-masing pihak yang berkonflik : Adakah keterlibatan pihak lain pada masing-masing pihak yang berkonflik : Adakah keterlibatan tokoh-tokoh negeri yang berada di luar (di Ambon atau Jakarta) : Bagaimana bentuk keterlibatan mereka : Adakah keterlibatan pemerintah kecamatan/kabupaten/propinsi : Setelah konflik pecah dan meminta korban dari kelompok anda, adakah upaya untuk membalaskan akibat tersebut : Bagaimana cara pembalasan dilakukan : Adakah keterlibatan orang di luar negeri (baik di Saparua-Haruku-Nusalaut-Seram, Ambon dan Jakarta) dalam pembalasan tersebut : Bagaimana bentuk keterlibatan mereka :
SEKITAR AKIBAT KONFLIK : 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Adakah upaya yang dilakukan untuk meredam konflik yang terjadi : Siapa saja yang terlibat dalam upaya tersebut : Bagaimana tanggapan anda terhadap upaya tersebut : Apa saja akibat konflik yang dapat dirasakan sampai saat ini : Bagaimana cara menangani akibat konflik tersebut : Adakah keterlibatan pihak lain dalam menangani dampak tersebut : Bagaimana bentuk keterlibatan pihak-pihak tersebut : Secara umum hikmah apa yang dapat dipetik dari konflik yang terjadi :
INSTANSI PEMERINTAH / APARAT MENANGANI KONFLIK 1. Dasar hukum penanganan konflik Maluku baik di tingkat Pusat maupun daerah. 2. Mengenai peristilahan, mengapa konflik Maluku 1999 disebut sebagai “konflik agama”, bukan “konflik etnis”, “konflik internal” dan sebagainya. 3. Bagaimana kronologis terjadinya konflik di Saparua ? Negeri-negeri (Desa-desa) mana saja yang dominan terlibat dalam konflik ? Bagaimana bentuk keterlibatan negeri-negeri tersebut ? Adakah individu yang dominan dalam menggerakkan keterlibatan negeri-negeri tersebut ? Bagaimana kedudukan individu dalam negerinya maupun di Saparua secara umum ? Adakah hubungan yang dibangun oleh individu tersebut dengan negeri-negeri lain di sekitar Saparua (Haruku, Nusalaut, Seram) ? Adakah hubungan yang dibangun oleh individu tersebut dengan kelompok atau komunitas di Ambon dan Jakarta ? 4. Proses penanganan konflik Saparua dan Maluku secara umum : a. tahap-tahap penanganan konflik secara umum b. apa saja yang dilakukan dalam proses penanganan konflik di Saparua c. adakah perbedaan antara penanganan konflik di Saparua dengan di tempat lain di Maluku 5. Proses Implementasi Kebijakan Penanganan Konflik di Saparua : a. Apa saja yang dilakukan dalam proses implementasi kebijakan konflik b. Apa saja pilihan-pilihan dalam kebijakan yang dilaksanakan c. Siapa lembaga atau instansi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan d. Bagaimana kesesuaian antara rencana dengan implementasi penanganan konflik e. Bagaimana teknis penanganan implementasi sejak perencanaan hingga realisasi. 6. Adakah individu yang berperan dalam penanganan konflik selain lembaga atau instansi ? a. Mengapa individu tersebut terlibat secara pribadi ? b. Apa saja yang dilakukannya dalam penanganankonflik ? b. Bagaimana tingkat keberhasilannya dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan instansi atau lembaga ? 7. Masalah koordinasi dalam penanganan konflik : a. Bagaimana koordinasi antara negeri dengan Saparua ? b. Bagaimana koordinasi antara Saparua dengan Kabupaten ? c. Bagaimana koordinasi antara Kabupaten dengan Propinsi ? d. Bagaimana koordinasi antara Propinsi dan Pusat ? e. Adakah peran instansi lain dalam pelaksanaan fungsi koordinasi tersebut ? f. Adakah peran LSM dalam proses penanganan konflik baik di tingkat Saparua, Kabupaten, Propinsi maupun Pusat ?
LAMPIRAN PETA LOKASI PENELITIAN