VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK Masyarakat pedesaan Saparua melakukan pemasaran komoditas pertanian khususnya sagu sebagai makanan pokok melalui berbagai cara.
Salah satu cara
pemasaran yang memanfaatkan ikatan kekerabatan dikenal dengan istilah papalele. Papalele berkembang melalui ikatan kekerabatan satu negeri di aras Saparua, kemudian bergeser ke kota Ambon hingga ke luar Maluku.
Ikatan antar papalele
membentuk jejaring ekonomi dan budaya di masyarakat pedesaan Saparua. Sejak awal ikatan papalele tidak memandang perbedaan agama, sehingga aktivitas titip menitip komoditas berlangsung antar warga yang berbeda agama. Proses ke luar Saparua dilakukan secara bersama oleh pelaku papalele berbeda agama.
Sejak konflik
menyebar ke Saparua, pelaku papalele berbeda agama tidak dapat melakukan aktivitasnya secara bersama.
Secara perlahan hubungan antara papalele berbeda
agama tidak berjalan seperti sebelumnya.
Kondisi keamanan yang tidak terjamin
menghambat aktvitas papalele. Seiring eskalasi konflik yang semakin menguat, membentuk pula ikatan komunitas seagama sebagai upaya mempertahankan keamanan komunitas masingmasing.
Ikatan tersebut berkembang menjadi jejaring sosial yang melintasi negeri,
bahkan ke luar Saparua.
Jejaring tersebut tergambar melalui pengerahan bantuan
tenaga untuk membantu menjaga kemanan satu komunitas di Saparua, juga ke luar Saparua jika dibutuhkan. Bab ini menggambarkan terbentuknya jejaring ekonomi dan budaya, serta jejaring yang terbentuk saat konflik menyebar ke pedesaan Saparua. 6.1. Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua Sejak masa penjajahan Belanda perekonomian masyarakat Saparua berbasis pada pertanian, dengan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama. Tanaman yang banyak diusahakan, antara lain kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Komoditas lain didominasi oleh tanaman pangan seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan Tanaman sayuran mulai diusahakan secara meluas setelah konflik, karena masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran. Jenis sayuran yang diusahakan seperti,
bayam,
kubis,
kacang
panjang,
terong,
ketimun,
kangkung.
Selain
mengandalkan pertanian, usaha-usaha perikanan juga menjadi andalan masyarakat karena semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Sagu sebagai makanan pokok masyarakat menjadi tanaman keseharian yang secara mudah ditemui di hampir seluruh Saparua. Sagu biasanya diolah menjadi sagu
mentah untuk diolah lagi menjadi berbagai jenis produk turunan, seperti bagea, sagu lempeng, sarut dan sagu gula. Perdagangan hasil pertanian semakin berkembang setelah uang dikenal sebagai alat pertukaran. Masyarakat petani semula berfungsi juga sebagai pedagang yang langsung memasarkan hasil pertaniannya ke pusat pasar yang berada di ibukota kecamatan
dengan
cara
berjalan
kaki.
Perkembangan
selanjutnya,
tumbuh
kelembagaan titip-menitip hasil pertanian yang akan dijual ke pasar tersebut. Proses ini pada akhirnya menjadi jejaring sosial yang menjadi landasan perekonomian masyarakat Saparua. Dalam konteks ini, yang menarik adalah menjelaskan aktivitas jual beli baik dalam skala besar maupun kecil yang disebut masyarakat sebagai papalele. Papalele sebagaimana disebutkan sebelumnya tentang perdagangan hasil-hasil pertanian masyarakat dapat ditempuh dengan cara menjual secara langsung hasil kebun atau produk sendiri, baik masyarakat sebagai petani maupun
nelayan yang
sekaligus berperan sebagai pedagang. Aktivitasnya papalele berkembang sama dengan pedagang pengumpul desa yaitu, membeli produk dari petani atau nelayan, kemudian menjualnya kembali secara eceran. Sebagian besar papalele adalah perempuan karena laki-laki setelah melakukan aktivitas usahanya kemudian beristirahat. Aktivitas penjualan yang dilakukan isteri cukup menyita waktu, karena selain menjual di pasar desa ada juga yang melakukan dengan berjalan keliling desa bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Hal itu dilakukan terutama jika barang yang dijajakan berjumlah banyak dan sering terjadi pada komoditas perikanan. Penjualan di pasar tidak terbatas dalam pasar desa sendiri, khususnya saat hari pasar dimana aktivitas penjualan dilakukan juga di pusat kecamatan Saparua (hari Rabu dan Sabtu). Pihak laki-laki ada yang menjadi papalele, khususnya mereka yang tidak beraktivitas sebagai petani atau nelayan. Setelah itu muncul pula pedagang pengecer yang langsung berhubungan dengan petani atau nelayan untuk membeli produk mereka, kemudian menjualnya kepada konsumen di pasar. Perkembangan ini membuka jalan makin munculnya papalele. Petani atau nelayan dengan hasil pertanian/tangkapannya, serta pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer merupakan bentuk papalele awal. Keberadaan papalele yang khusus menjual produknya sendiri semakin nyata. Selain membeli produk dari sesama petani atau nelayan untuk dijual, serta orang luar desa yang memang bertujuan membeli produk di satu negeri kemudian menjualnya ke konsumen di tempat lain. Aktivitas perdagangan papalele ini sampai ke Ambon, bahkan ke Papua menggunakan kapal penumpang Pelni. Proses berjualan diawali sejak berada
di kapal. Biasanya produk olahan sagu, seperti sagu lempeng dijual ke penumpang saat sarapan pagi atau minum teh di sore hari. Sagu lempeng ini merupakan produk olahan sagu untuk dikonsumsi dengan cara dicelup (colo sagu) dalam kopi atau teh. Sedangkan produk olahan sagu yang lain seperti sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut dibungkus untuk dijual sebagai buah tangan. Produk ini menjadi produk andalan bagi papalele yang berdagang ke Papua karena kesamaan makanan pokok orang Papua dan Maluku. Namun, sagu lempeng, sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut belum diproduksi oleh petani di Papua sehingga cukup diminati. Banyak orang Maluku yang tinggal di Papua dan sudah lama meninggalkan Maluku, sehingga mengkonsumsi produk sagu seperti mengenang kembali kehidupan mereka di waktu lampau saat masih di daerah asalnya (Maluku). Papalele yang melintasi batas propinsi biasanya memiliki ikatan di tempat tujuannya. Ikatan tersebut untuk mempercepat penjualan sehingga memudahkan menyelesaikan kegiatan sebelum kembali ke Ambon. Jika ada komoditas yang belum habis terjual maka penjualan dipercayakan pada kerabatnya serta hasil penjualannya akan diambil setelah datang kembali. Kondisi ini menunjukkan adanya kekuatan jaringan kekerabatan yang oleh Granovetter (1985) dijelaskan sebagai konsep keterlekatan yaitu fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial. Konsep keterlekatan merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung antara para aktor. Tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah “terlekat” karena diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil pelembagaan sosial. Swedberg (1990) mencontohkan apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial. Kehidupan papalele sangat keras dan penuh tantangan. Orang papalele harus memiliki tubuh yang sehat karena harus tahan duduk berjam-jam di pasar dan tahan berjalan keliling negeri sampai jualannya habis. Orang papalele juga harus rajin mencari informasi harga serta keberdaan produk di berbagai tempat, sehingga sering melakukan perjalanan dari satu desa ke negeri lain. Papalele biasanya memiliki langganan dengan harga yang disepakati bersama, sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan produk dalam jumlah besar. Oleh karena itu, setiap perubahan harga diberitahukan pada produsen mengingat kuatnya persaingan antara sesama papalele. Perubahan harga biasanya terjadi saat bahan pokok (sagu)
sulit ditemui. Misalnya, kebutuhan pohon sagu di Saparua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akibat musim kemarau yang panjang, maka petani akan menyewa hutan sagu dari kenalannya di Pulau Seram untuk diolah menjadi sagu mentah dan produk turunannya. Jika demikian maka harga sagu mentah naik, begitu juga produk olahannya. Atau saat musim timur (ombak), dimana sulit melakukan perjalanan ke luar pulau (ke Ambon misanya) untuk menjual hasil. Kalau dilakukan maka harga sagu mentah dan produk olahannya lebih mahal, karena resiko papalele saat membawa dagangannya. Sesama papalele memiliki ikatan yang kuat. Sikap saling tolong menolong akan terlihat saat saling membantu untuk menaikkan dan menurunkan produk yang akan dijual ke dalam mobil pengangkut. Bila akan menjual produknya ke Ambon maka mereka akan berangkat bersama-sama dan ketika di dalam angkutan (motor laut) mereka duduk bersama-sama walau harus berdesak-desakan, sambil bersenda gurau untuk menghilangkan waktu dan makan bersama-sama bekal yang dibawa dari rumah. Bahkan setelah berjualan, mereka pulang bersama-sama. Apabila barang dagangannya belum habis terjual, mereka saling membantu menjual sehingga dapat pulang bersama ke Saparua. Penjelasan tersebut memberikan gambaran adanya ikatan senasib dan keberadaan dari negeri yang sama, sehingga selalu berusaha membantu satu dan lainnya dengan penuh kepercayaan dan toleransi (jika antara papalele yang berbeda agama). Ikatan-ikatan tersebut juga mengarah pada keseragaman harga produk yang dijual, sehingga menguatkan posisi papalele terhadap konsumen dan terutama pedagang pengumpul kecamatan yang ada di Saparua maupun di Kota Ambon. Bahkan tolong menolong ini nampak dalam kehidupan sehari-hari di negerinya. Bilamana ada salah seorang di antara papalele yang menikahkan anak, maka rekan-rekan papalele yang lain akan turut membantu. Misalnya mencari kayu bakar, memasak sampai terlibat langsung dalam menyelenggarakan pesta tersebut. Apalagi bila ada yang berduka, maka papalele yang lain akan datang berkunjung untuk turut berbelasungkawa
dengan
membawa
bantuan
uang
atau
turut
membantu
mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan upacara penguburan dan pengucapan syukur keluarga. Kenyataan-kenyataan demikian memperjelas adanya kekuatan ikatan antara papalele, yang telah menembus batas aktivitas pekerjaan. Kenyataan ini yang oleh Geertz (1978) disebut sebagai resiprositas sosial, yang seharusnya ada dalam proses klientisasi (ikatan antara papalele dan produsen).
Kenyataan-kenyataan tersebut juga berkaitan erat dengan adanya sistem kekerabatan yang berlangsung dalam masyarakat Maluku. Di Maluku dikenal istilah mata ruma sebagai sekumpulan keluarga dengan nama marga yang sama di negerinya yang sama, dan diyakini berasal dari satu keturunan yang sama, sehingga merasa adanya ikatan darah antara mereka. Dengan demikian, secara adat istiadat hal-hal demikian haruslah dilakukan. Kenyataan demikian sesuai dengan konsep resiprositas umum yang dijelaskan Swartz dan Jordan (1976) yang dikutip oleh Granovetter dan Swedberg (1992) bahwa, sistem resiprositas umum biasanya berlaku di kalangan orangorang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Ikatan dibangun papalele dengan pemilik produk di berbagai tempat. Pemilik produk selain berada dalam negeri juga yang berasal dari negeri sekitar. Hubungan yang dibangun dengan pemilik produk menunjukkan bahwa, papalele telah membangun jaringan sehingga memudahkan dalam memperoleh produk yang diinginkan. Di sisi lain, pemilik produk juga tidak perlu menjual ke pasar (baik pasar desa maupun pasar kecamatan). Kenyataan demikian menunjukkan adanya proses kllientisasi yang menurut Geertz (1978) terjadi pada pembeli dan penjual yang telah melakukan jual beli berulangulang, sehingga hubungan tidak lagi hanya sebagai hubungan penjual dan pembeli tetapi terjalin sedemikian rupa dengan hubungan-hubungan sosial lainnya. Dalam hal ini maka, klientisasi haruslah diikuti dengan resiprositas sosial, karena kalau tidak demikian maka jaringan yang sudah dibangun akan mudah putus. Jejaring ini didasarkan pula pada kepercayaan yang dibangun oleh kedua pihak saat memulai hubungan, serta berlangsung sepanjang hubungan berjalan. Hal ini menguatkan pendapat Dalton (1968) bahwa usaha mendapatkan keuntungan yang diperoleh melalui tawar menawar, merupakan motif yang mendasari struktur pasaran. Walaupun dalam masyarakat yang masih berbasis tradisi menurut Polanyi (1968) yang terjadi adalah resiprositas dan redistribusi, yaitu orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang terlibat titip-menitip barang didasarkan atas saling-percaya, karena harga jual diketahui ketika terjadi transaksi di pasar. Jadi ada kepercayaan yang dibangun antara mereka yang menitipkan dengan mereka yang dititipkan. Hal ini tetap dijaga karena, status penitip dan yang dititipkan boleh berganti orang, pada waktu yang berbeda mungkin saja seseorang yang dititip akan menjadi petani yang menitip. Demikian pula sebaliknya, orang pada satu saat dahulu yang menitip akan berstatus
sebagai yang dititipi. Hal ini dimungkinkan terus terjadi oleh karena proses ini berhimpit dengan keeratan hubungan ikatan darah. Mengingat umumnya negeri-negeri di Maluku Tengah terbentuk berdasarkan ikatan darah, sehingga walaupun masyarakat tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang berhubungan dekat tetapi dalam masyarakat ada “rasa satu keturunan”. Komersialisasi yang semakin meluas di Saparua memunculkan pedagang pengumpul tingkat negeri yang memiliki cukup modal, sehingga lebih dipercaya. Perkembangan demikian memperkuat posisi pedagang pengumpul. Masyarakat sering tidak mengetahui dengan pasti harga yang terjadi di pasar, sehingga pedagangpedagang pengumpul berpeluang mendapat keuntungan lebih besar. Pedagang pengumpul kemudian memanfaatkan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat dengan membuka peluang usaha baru di aras negeri. Selain bermodal cukup besar, pedanga pengumpul biasanya memiliki kedudukan penting dalam masyarakat atau menempati posisi penting secara adat setempat. Hal yang menarik dicatat dalam hal ini, berkenaan dengan perdagangan cengkeh yang pernah menghadapi harga beli yang jatuh secara drastis (antara tahun 1989-1997). Ketika itu masyarakat Saparua umumnya tidak melakukan pemanenan sama sekali karena harga begitu rendah. Namun, ada juga kelompok masyarakat yang melibatkan diri dengan kelembagaan ijon (istilahnya menggadaikan pohon cengkeh) kepada pedagang pengumpul (tingkat negeri). Sistem ini terus berkembang karena sedikit membantu masyarakat mendapat tambahan pendapatan. Pada akhirnya cara ini melibatkan juga pedagang pengumpul tingkat kecamatan karena semakin banyak masyarakat memerlukan tambahan pendapatan yang lebih cepat dan keuntungan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin besar. Hal tersebut terutama dalam kaitan kebutuhan keluarga untuk membiaya pendidikan anakanak. Pedagang pengumpul kecamatan sendiri biasanya berasal dari orang luar Saparua, seperti dari Etnis Bugis dan Jawa. Hal ini terjadi karena mereka memiliki ikatan dengan pedagang besar di Kota Ambon, sehingga modal yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan pedagang pengumpul negeri. Kelebihan seperti itu, menyebabkan pedagang pengumpul kecamatan mampu membantu masyarakat di negeri-negeri Saparua yang memerlukan uang dengan cepat dan tanpa prosedur yang berbelit-belit. Posisi pedagang yang menerima gadaian sebenarnya menyerupai kedudukan tengkulak. Namun, masyarakat menyukai yang demikian karena transaksi keuangan tidak rumit sebagaimana lewat lembaga keuangan resmi. Kondisi ini mendorong
terbentuknya jejaring sosial yang proses-prosesnya lebih didasarkan pada struktur pasar. Bahkan, jejaring ini berkembang menjadi saluran dari aliran orang dari masyarakat pedesaan Saparua yang mengadu nasib keluar dari daerah tinggalnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komersialisasi menjadikan jejaring sosial tersebut makin mengenal pertimbangan keuntungan uang. Mereka yang menjadi pedagang cenderung menentukan harga dan harga barang-barang yang dibeli dan dijualnya jauh di bawah harga pasar. Lebih lagi, informasi pasar tentang harga-harga barang sangat terbatas diketahui oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat kebanyakan makin bergantung kepada kebutuhan akan uang lebih besar untuk memenuhi konsumsi. Oleh karenanya masyarakat kebanyakan makin berada dalam posisi tawar yang lemah. 6.2. Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua Ikatan dan kepercayaan merupakan unsur utama jejaring sosial. Adanya ikatan yang kuat akan membawa suatu hubungan menjadi lebih kuat, apalagi dibarengi dengan kepercayaan yang besar antara kedua pihak yang memiliki ikatan tersebut. Biasanya ikatan antara dua pihak atau lebih, mudah dibangun karena adanya kepercayaan di antara mereka. Tabel 7 menjadi dasar sebelum mengikuti penjelasan terperinci tentang proses kemunculan konflik. Tabel tersebut menjelaskan bagaiman konflik mulai terjadi kemudian menjadi konflik yang tidak terkendali. Berdasarkan tabel tersebut terdapat empat tahap dalam proses konflik yang bermula di Ambon yaitu tahap kemunculan konflik, tahap pematangan konflik, tahap konflik terbuka dan tahap konflik yang tidak terkendali. Saat memasuki tahap pematangan, terjadi penyebaran konflik ke luar Ambon termasuk ke Saparua.
Penyebaran konflik terjadi karena tahapan tersebut menunjukkan upaya
pengerahan bantuan antar komunitas seagama dari berbagai wilayah di Ambon, kemudian diikuti dengan bantuan dari luar Ambon. Seballiknya juga terjadi pengerahan bantuan dari Ambon ke wilayah lain yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama.
Awalnya pengerahan bantuan diarahkan untuk memperkuat komunitas
seagama di Ambon, namun pengalihan serangan ke luar Ambon menyebabkan terjadinya aliran bantuan ke setiap wilayah yang kondisi keamanannya tidak terjamin. Pengerahan bantuan juga dilakukan berdasarkan isu-isu yang beredar dalam masyarakat. Adanya isu penyerangan oleh satu komunitas di wilayah tertentu, maka komunitas lawan akan mengerahkan bantuan ke wilayah tersebut.
Tabel 7. Proses Kemunculan konflik di Saparua No
Babak
Ciri-Ciri
Keterangan
Ikatan antar – Dimulai dengan pertikaian dua individu berbeda etnis dan agama, menarik anggota etnis masih kuat, kelompok masing-masing untuk terlibat, ikatan komunitas menjadi konflik terbuka antara dua komunitas seagama mulai diperkuat, berbeda etnis dan berkembang ke arah konflik antara komunitas berbeda agama, pemerintah kemunculan tidak mampu mengatasi, penggunaan senjata konflik tajam dominan, militer mulai bergerak
1
Januari Maret 1999
2
Juli – Konflik antar agama menjadi berkepanjangan, Nopember terbentuknya kelompok-kelompok kecil pada 1999 masing-masing komunitas yang awalnya untuk mempertahankan keamanan pada komunitasnya sendiri, konflik mulai menyebar ke wilayah lain (termasuk Saparua), pemerintah belum juga mengatasi sepenuhnya, penggunaan senjata api rakitan, militer semakin bertambah
Ikatan antar etnis berbeda agama memudar, ikatan agama semakin kuat, pematangan konflik
3
Desember 1999 – Januari 2000
Konflik antar agama di wilayah lainnya semakin gencar, penggunaan senjata standart diikuti penambahan pasukan militer, suasana semakin tidak terkendali, kelompok-kelompok kecil pada masing-masing komunitas mulai mencari keuntungan-nya sendiri-sendiri
Ikatan agama semakin menguat bahkan pihak keamanan turut masuk dalam ikatan, konflik terbuka
April – Sebagian besar wilayah Maluku berdarah, kekuatan TNI dan POLRI tidak mampu Agustus meredam, bahkan makin terlibat secara nyata, 2000 aksi ambil untung oleh pengusaha, pemerintah sipil, kelompok-kelompok kecil pada masingmasing komunitas dan pihak TNI-POLRI dalam berbagai bentuk terutama pengawalan keamanan masyarakat, munculnya Laskar Jihad yang mengumpulkan kekuatan dari Jawa untuk membantu komunitas Salam, komunitas Sarani diwarnai dengan pembentukan FKM yang kemudian berubah menjadi RMS versi baru Sumber : Data Sekunder (Diolah)
Ikatan agama membentuk jaringan akibat kepercayaan yang sama, ikatan ekonomi muncul antara berbagai pihak yang mencari keuntungan semata, konflik tidak terkendali
4
Sebagian penduduk di kota Ambon baik yang Salam maupun Sarani berasal dari Pulau Saparua. Hal inilah yang menjadi pokok penyebaran konflik karena, setiap warga
negeri-negeri di Pulau Saparua yang menjadi korban konflik Ambon maupun pulaupulau lain, akan dianggap sebagai alasan untuk melakukan penyerangan warga negeri lain yang dianggap berada dalam posisi berseberangan (Gambar 3). Model penyebaran informasi membentuk lingkaran, sehingga berjalan lambat karena tidak ada pemimpin yang mengatur penyebaran informasi.
Sejak Bulan Februari 1999 NL dan MS
mengungsi ke Saparua, sebagai dampak rusaknya rumah tempat tinggal saat kerusuhan merebak di Ambon (Januari 1999). Ternyata hingga bulan September 1999 eskalasi konflik di Saparua mulai meningkat.
6
1
2
5
3
4
7
10
8
9
Gambar 3. Jejaring Penyebaran Informasi yang Memulai Konflik Saparua Keterangan : 1. NL (Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Sarani) 2. LL (Kerabat NL di Negeri Ulath) 3. TH (Tetangga LL di Negeri Ulath) 4. YL (Kerabat NL di Negeri Tuhaha) 5. BL (Kerabat NL di Negeri Porto) 6. MS (Pengungsi dari Ambon yang berasal dari Negeri Sirisori Salam) 7. AS (Kerabat MS di Negeri Kulor) 8. JP (Tetangga MS di Negeri Sirisori Salam) 9. RS (Kerabat di Negeri Iha) 10.BS (Kerabat di Negeri Kulor) Proses pertukaran informasi antar aktor Penyebaran informasi yang dimulai dari kedua aktor di negerinya masing-masing, membentuk pemahaman yang sama antar kerabat satu negeri.
Secara perlahan
penyebaran informasi ke kerabat di luar negeri, membentuk pemahaman yang sama antar komunitas seagama.
Penyebaran informasi yang berisi akibat negatif yang
diterima pengungsi tidak dikontrol tetapi terjadi secara alamiah. Penyebaran informasi
tidak berjalan cepat, namun berlangsung ketika terjadi interaksi antar kerabat dalam satu negeri maupun berbeda negeri.
Oleh karena itu, penyebaran informasi tidak
langsung memicu terjadinya konflik antar komunitas berbeda tetapi didahului dengan proses pembentukan persepsi yang sama yang mengarah pada justifikasi bahwa komunitas agama lain yang menyebabkan penderitaan sebagai akibat konflik di Ambon. Sejalan dengan pandangan Rubent (1992 : 337) bahwa, konflik dapat terjadi karena perbedaan sikap, persepsi dan pola orientasi nilai antara mereka yang berkonflik. Penyebaran informasi merupakan proses komunikasi informal antara individu sebagai pengungsi korban konflik dengan kerabat dan tetangga di negeri-nya (di Saparua). Proses komunikasi informal yang sering terjadi dan berulang dari waktu ke waktu, kemudian mampu merubah persepsi yang menjadi dasar individu berperilaku. Persepsi bahwa komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan, kemudian membentuk perilaku yang ingin membalaskan dendam. Sebagai pendapat beberapa ahli seperti bahwa komunikasi informal juga dapat memiliki pola yang dapat diperkirakan dari waktu ke waktu, karena terus berulang dan yang kemudian menjadi relatif stabil (Beebe dan Masterson, 1950; Rogers dan Rogers, 1976; Rogers dan Kincaid, 1981; Jahi, 1988). Meskipun demikian, perlu mendapat perhatian, bahwa karena bersifat informal dan seiring dengan perilaku anggota yang mungkin secara spontan berubah, maka jaringan komunikasi ini tetap dapat berubah menurut waktu.
Oleh karena itu, ikatan-ikatan
budaya dan agama yang sebelum konflik menjadi pembentuk jejaring antar komunitas berbeda agama bergeser menjadi jejaring antar komunitas seagama. Penyebaran informasi juga didukung dengan penyebaran isu yang provokatif. Penyebaran isu yang terjadi pada kedua komunitas setelah ditelusuri bermotif sama. Isu pembunuhan dengan berbagai cara (dipukul, dibacok sampai ditembak) salah satu anggota komunitas oleh komunitas lain merupakan bentuk provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak teridentifikasi. Selain itu isu adanya penyerangan yang didukung oleh bunyi tembakan senjata semakin memperkuat persepsi negatif antar kedua komunitas.
Aparat keamanan yang bertugas tidak mampu mempersuasif
masyarakat, bahkan cenderung tidak berbuat apa untuk mengantisipasi konflik terbuka akibat isu yang tidak benar. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian terjadi konflik terbuka antara kedua komunitas. Penyebaran informasi yang tidak terkontrol menyebabkan kecermatan informasi menjadi lemah. Namun, penyimpangan informasi justru menjadi pemicu yang relevan
jika dikaitkan dengan penyebaran isu-isu dan selebaran yang menyesatkan saat konflik mulai muncul di pedesaan Saparua.
Penggunaan isu dan selebaran menyesatkan
menjadi pilihan, karena media massa (Radio) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok yang berkonflik berada di Ambon dan tidak menjangkau wilayah Pulau Saparua.
Kenyataan demikian menumbuhkan saling ketidakpercayaan antara
komunitas berbeda agama. Ketidakpercayaan menyebabkan terhambatnya komunikasi antara kedua komunitas dan berakhir dengan terjadinya konflik terbuka.
Samovar,
Pooter dan Jain (1985) menjelaskan bahwa, terhambatnya komunikasi akibat perbedaan tujuan komunikasi, etnosentrisme, kurangnya kepercayaan kepada pihak lain dan membuat kesimpulan berdasarkan stereotip mengakibatkan terjadinya konflik. Informasi yang dibawa NL dan MS sebenarnya hanya menjelaskan kerugian yang diderita dari sisi materi. Namun dalam perkembangan konflik di Ambon, banyak korban tewas yang berasal dari negeri-negeri Sarani maupun Salam di Saparua. Fakta tersebut kemudian menjadi pemicu, sekaligus pengobar keinginan membalaskan dendam kepada pihak lain yang dianggap sebagai penyebab. Pandangan Coser (1956) memperkuat penjelasan tersebut bahwa, terjadi ketegangan dengan pihak di luar komunitas sehingga masing-masing komunitas semakin memperkuat solidaritas internal dan bersama-sama menghadapi kekuatan komunitas lain. Seharusnya kenyataan adanya korban konflik dari kerabat warga negeri-negeri Saparua di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya disikapi dengan arif, sehingga tidak perlu terjadi tindakan penyerangan oleh satu komunitas yang menganggap komunitas lain sebagai penyebab. Pembalasan pihak korban hanya menjadi pemicu konflik baru antara kelompok-kelompok yang pada dasarnya tidak terlibat secara langsung dalam konflik di Ambon.
Kenyataan demikian berulang kali terjadi, sehingga penyebaran
konflik ke berbagai pulau di luar Ambon lebih cepat terjadi pula. Tabel 8. menjelaskan identifikasi masing-masing aktor yang terlibat dalam jaringan penyebaran informasi. Penyebaran informasi didahului dengan mengungsinya warga yang berasal dari Negeri Salam dan Sarani ke Saparua. Setelah semua harta benda milik pribadi habis terbakar, lokasi pengungsian yang tersedia dianggap tidak memadai, selain kondisi keamanan yang tidak terjamin. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata aktor berpendidikan sekolah menengah, berarti kemampuan pengetahuan cukup memadai untuk berpikir rasional. Seharusnya para aktor berpikir bahwa penderitaan kerabatnya tidak disebabkan oleh komunitas yang sama di Saparua. Hasil wawancara menunjukkan bahwa, saat pertama
kali mendengar informasi tersebut, tidak terpikirkan bahwa komunitas berbeda agama di Saparua sebagai penyebab penderitaan kerabatnya. Namun berkembangnya isu-isu yang memprovokasi kedua komunitas kemudian membentuk persepsi bahwa, penyebab penderitaan adalah komunitas agama lain. Kenyataan ini menjadi dasar bahwasannya tingkat pendidikan tidak menjadikan seseorang berpikir secara rasional saat diperhadapkan oleh perbedaan idiologi sebagai penyebab penderitaan. Tabel 8. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Penyebaran Informasi No
Aktor
Umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
Posisi
Fungsi
1
NL
49
SMA
Swasta
Opinion leder
2
LL
52
SMA
Tani
Cosmopolite
3
TH
47
SMA
Tukang
Cosmopolite
4
YL
54
SMA
Tani
Liaison
5
BL
43
SMA
Tani
Cosmopolite
6
MS
49
SMA
Swasta
Opinion leder
7
AS
52
SMP
Tani
Cosmopolite
8
JP
47
SMA
Tukang
Cosmopolite
9
RS
54
SMP
Tani
Liaison
10
BS
43
SMA
Tani
Cosmopolite
Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Memberikan informasi awal berdasarkan situasi yang dialaminya Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain Berhubungan dengan kelompok lain sekaligus mencari informasi tambahan Mengumpulkan informasi dari sumbersumber lain
Sumber : Data Primer (diolah) Pekerjaan para aktor di kedua komunitas mirip yaitu sebagai petani dan tukang. Aktivitas pekerjaan menjadi terhambat karena beredarnya isu provokatif menyebabkan rasa keamanan menjadi tidak terjamin. Terutama petani yang kebunnya berbatasan dengan komunitas berbeda tidak berani menjalankan aktivitas karena tidak ada rasa
aman. Terhambatnya pekerjaan juga menjadi pendorong untuk membenarkan isu-isu yang beredar, bahwa akan ada penyerangan oleh salah satu komunitas. Terhambatnya aktivitas juga menyebabkan banyak waktu luang yang dimanfaatkan untuk mencari informasi-informasi lain sehubungan dengan isu-isu yang tersebar. Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin bias kebenaran informasi tersebut.
Bahkan aktivitas pekerjaan berganti dengan aktivitas berkumpul dalam
kelompok-kelompok kecil untuk mempersiapkan keamanan masing-masing komunitas. Aktivitas demikian antara lain belajar membuat senjata rakitan serta membuat bom rakitan yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri sebagai bentuk antisipasi terhadap isu yang beredar. Aktivitas kelompok berkembang menjadi tenaga bantuan ke negeri lain yang dianggap rawan kondisi keamanannya. Beberapa aktor menjelaskan bahwa, ada rasa bangga saat mereka membantu keamanan negeri kerabat sekomunitas maupun membantu negeri yang terdesak akibat serangan komunitas berbeda agama. Saat menjalankan aktivitas tidak terpikirkan lagi bahwa sebenarnya masyarakat Saparua memiliki ikatan adat yang tidak memandang perbedaan agama. Perasaan emosi dan amarah mengarahkan terbentuknya rasa dendam pada komunitas berbeda, sehingga ikatan adat seperti hilang oleh kekuatan agama. Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konflik di Saparua tidak muncul serta merta, tetapi merupakan bias berkepanjangannya konflik di kota Ambon. Sehingga warga kota Ambon yang merasakan dampak negatif akibat konflik harus mengungsi ke daerah asalnya termasuk kembali ke Saparua. Mereka yang mengungsi secara tidak sengaja menjadi sumber-sumber penyebaran konflik baru. Hal ini terkadi karena setelah mengungsi ke daerah asal maka, para pengungsi ini akan menceritakan akibat buruk yang harus mereka terima sebelum mengungsi. Akibat buruk tersebut antara lain, hilangnya harta benda termasuk rumah tempat tinggal mereka. Ada yang menjadi korban sehingga cacat seumur hidup, sampai ada yang meninggal. Ceritacerita demikian menimbulkan trauma dan juga dendam dalam diri saudara-saudara mereka di negeri asal tanpa melihat ikatan adat sebagai perekat perbedaan agama di Saparua. Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Saparua seperti pela – gandong yang dianggap bertuah, ternyata kemudian tidak mampu menjadi jembatan penghubung atau sumber peredam konflik di tingkat lokal. Dahulunya ikatan kekerabatan begitu diagungagungkan sehingga, selalu menjadi acuan dasar bagi setiap anggota masyarakat dalam
bertingkah laku.
Namun, menjadi hancur sebagaimana munculnya konflik antara
komunitas Salam berhadapan dengan komunitas Sarani. Melemahnya ikatan kekerabatan sebenarnya tidak seratus persen tepat karena saat konflik ada kejadian yang berpeluang memperkuat kembali ikatan adat.
Fakta
berikut ini menggambarkan hal dimaksud : ketika, anak-anak negeri Ulath (beragama sarani) yang akan ke Saparua menggunakan angkutan laut mengalami kecelakaan di wilayah laut Sirisori Salam, ternyata ikatan kekerabatan masih cukup menonjol sehingga anak-anak negeri Sirisori Salam pun turut membantu menyelamatkan para korban. Padahal dalam suasana konflik yang menegangkan, seharunya apa yang dialami oleh masyarakat Ulath yang tenggelam merupakan kesempatan bagi masyarakat Sirisori Amapati untuk melakukan pembalasan. Namun, dengan berbagai pertimbangan terutama adanya ikatan dan kepercayaan sebagai dasar yang mengawali terbentuknya persekutuan masyarakat Saparua yang kemudian berkembang menjadi Latupati sekarang ini menjadi penghalang proses pembalasan dimaksud. Kenyataan demikian memberikan gambaran bahwa, walaupun terjadi proses melonggarnya ikatan adat akibat menguatnya ikatan agama ternyata ikatan adat masih memungkinkan untuk meredam berkepanjangannya konflik. Hal itu dapat dilakukan jika isu-isu menyesatkan dapat ditangkal dan diselesaikan oleh pemimpin masing-masing komunitas.
Selain itu masing-masing komunitas seharusnya memiliki kemampuan
menyaring setiap isu serta masukan informasi dari anggota komunitasnya di luar Saparua. Biasanya isu-isu tersebut melegalkan masuknya tenaga bantuan dari luar Saparua
sebagai upaya mempertahankan kondisi keamanan masing-masing
komunitas. Masuknya tenaga bantuan dari negeri lain di Saparua maupun dari luar Saparua membentuk jejaring sosial antar komunitas seagama. Jejaring yang terbentuk tidak selamanya berdampak positif tetapi justru menjadi penyebab hancurnya tempat tinggal serta penderitaan yang berkepanjangan. Fakta pembentukan jaringan dalam konflik terlihat melalui bantuan “pasukan” dari Ambon oleh AW sebagai pimpinan grass root dan kelompoknya. Bantuan tersebut dapat diterjemahkan sebagai ikatan yang kuat dari sisi idiologi agama, karena pihak pemberi bantuan dengan penerima bantuan memiliki keyakinan idiologi yang sama yaitu Sarani.
Terbentuknya jejaring sosial seperti ini menjadi lumrah karena kesamaan
keyakinan antara penerima bantuan dan pemberi bantuan (Gambar 4), serta adanya perbedaan idiologi dengan lawan mereka (kelompok penyerang).
3
2 1
4
5
Gambar 4. Jejaring Sosial Konflik di Saparua Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot dari Ambon (AW) 2. Anggota Grassroot dari Negeri Porto (BT) 3. Anggota Grassroot dari Negeri Ulath (LP) 4. Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani (MK) 5. Anggota Grassroot dari Negeri Haria (AL) Permintaan bantuan dilakukan oleh pimpinan Gereja Protestan Maluku (GPM) Sirisori Sarani ke Negeri-negeri lain di Saparua. Jika situasi keamanan semakin tidak dapat dijamin, maka Pimpinan Klasis Saparua menyampaikan permintaan bantuan ke Ambon melalui Posko Maranatha. Setelah itu, Posko Maranatha menugaskan pimpinan grass root yang mengkoordinir pasukan bantuan ke Saparua. Beberapa pimpinan grass root yang bernaung di Posko Maranatha antara lain, AW dan HN.
Berdasarkan
permintaan dari Klasis Saparua, maka AW ditugaskan Posko Maranatha untuk memimpin pasukan bantuan ke Saparua.
Kalaupun situasi negeri Sarani semakin
terdesak, maka pimpinan Gereja setempat dapat melakukan permintaan bantuan ke negeri Sarani yang dapat dihubungi dengan cepat kemudian dilaporkan ke Posko Maranatha. Sementara dari pihak Salam, permintaan bantuan langsung dilakukan ke Posko Al Fatah.
Berdasarkan permintaan bantuan ini, maka pimpinan Posko segera
mengkoordinasikan dengan kelompok bantuan yang berdiam di sekitar Pulau Saparua seperti di Masohi (Pulau Seram) maupun di Pelau (Pulau Haruku). Jika kondisi semakin tidak terkendali, maka pasukan bantuan kemudian dibawa langsung dari Ambon melalui pelabuhan Hitu (Jazirah Leihitu) juga pelabuhan Tulehu (Kecamatan Salahutu). Kedua pelabuhan tersebut termasuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, namun berlokasi di Pulau Ambon. Berdasarkan gambar jejaring sosial konflik tersebut di atas
maka digambarkan identifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam jaringan tersebut (Tabel 9). Fakta menunjukkan bahwa, kelompok grass root Salam dan Sarani selalu menyertakan oknum anggota TNI dan POLRI dari masing-masing negeri yang mengalami situasi terdesak. Oknum TNI dan POLRI tersebut tidak berada di bawah komando pimpinan iunstitusi masing-masing, namun tergerak untuk membantu karena ikatan satu negeri serta ikatan satu agama. Kenyataan ini telah diakui oleh Pimpinan POLDA Maluku maupun KODAM Pattimura, dalam berbagai pemberitaan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan dalam Laporan Krisis Centre Keuskupan Amboina, Panglima KODAM Pattimura memperkirakan sekitar sepuluh persen anggota TNI terlibat secara langsung dalam konflik di Maluku. Tabel 9. Identifikasi Aktor dalam Jejaring Konflik No
Aktor
1
AW
Umur (tahun) 51
Pendidikan
Pekerjaan
Posisi
Fungsi
PGSD
PNS
Gate Keepers
Mengontrol penyebaran informasi ke aktor lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lain
2
BT
29
SMA
-
Cosmopolite
3
LP
27
SMA
-
Cosmopolite
4
MK
24
SMA
-
Cosmopolite
5
AL
26
SMA
-
Cosmopolite
Bantuan dari kelompok grass root ini, menunjukkan terbentuknya jejaring sosial horizontal dimana pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan dapat dikatakan setara karena tidak ada perbedaan posisi dalam masyarakat. Perbedaan mendasar antara keduanya yaitu, pemberi bantuan memiliki kelebihan dari segi kepemilikan peralatan berupa senjata standart, serta dilengkapi pula dengan granat standart serta bom rakitan
dan pelontar rakitan.
Saat itu yang dipikirkan oleh masyarakat penerima bantuan
hanyalah keamanan diri dan keamanan harta benda. Padahal kelompok penyerang sangat kuat dan dibekali dengan persenjataan yang memadai, seperti dijelaskan oleh Informan berikut ini : Dalam penyerangan dari Sirisori Salam, banyak terlibat pihak militer yang saat itu menjadi pasukan pengamanan yang ditugaskan secara resmi di Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Bahkan aparat keamanan yang betugas di Sirisori Sarani turut bergabung dengan dengan pihak militer dari Sirisori Salam untuk melakukan penyerangan bahkan kemudian menjarah dan membakar sarana dan prasarana di Sirisori Salam. Bukti keterlibatan pihak militer terlihat dari adanya penggunaan senjata standart TNI dari selongsong peluru, serta dari bekas mortir yang ditembakkan.
Berdasarkan pada kenyataan demikian maka dapat dikatakan, ada jejaring yang dibangun kelompok grass root sebagai pemberi bantuan dengan pihak penyerang. Hal mana dibuktikan dengan fakta bahwa, setelah kelompok grass root masuk, maka serangan segera dihentikan. Jadi kelompok pemberi bantuan secara nyata, sebenarnya tidak memiliki fungsi apa-apa dalam konteks memberikan bantuan keamanan bagi negeri yang diserang.
Jejaring yang terbentuk antara kelompok penyerang dengan
kelompok grass root, mengarah pada ikatan ekonomi dalam arti luas yaitu masingmasing kelompok dibayar untuk mengobarkan konflik menjadi konflik berkepanjangan (Gambar 5).
3
2
6
1 4
8
7
5
9
10
Gambar 5. Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama
Keterangan : 1. Pemimpin Grassroot Sarani dari Ambon (AW) 2-5 Anggota Grassroot dari Negeri Sirisori Sarani,Ulath, Porto dan Haria 6. Pemimpin Kelompok Salam dari Ambon (ML) 7-10. Anggota Kelompok Salam dari Negeri Sirisori Salam Bridge
Saat konflik terjadi di Saparua yang melibatkan bantuan dari Ambon ke masingmasing komunitas, hubungan antara kedua pemimpin grass root belum diketahui oleh penerima bantuan. Bahkan pemimpin kelompok Salam (ML), tidak diketahui dengan jelas identittasnya.
Adanya hubungan antara pemimpin kedua kelompok diketahui
setelah AW meninggal.
Fenomena AW sebagai penyelamat bagi komunitas Sarani
yang diserang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang kemudian terungkap. Sebagai pemimpin grass root, awalnya AW mampu menjalankan fungsinya dengan baik untuk membantu
mempertahankan
keamanan
negeri-negeri
Sarani
yang
diserang.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan jutsru kehancuran selalu dialami oleh negeri yang menerima bantuan AW dan kelompoknya.
Bahkan untuk mendapat bantuan,
negeri-negeri yang akan dibantu harus membayar sejumlah biaya kepada AW dan kelompoknya. Sementara AW sendiri direkomendasikan oleh Posko Maranatha (Sarani) untuk memberikan bantuan apabila diminta oleh komunitas Sarani di Ambon dan sekitarnya (termasuk Saparua). Ternyata kelompok ini lebih mementingkan kepentingan sendiri, sehingga proses pemberian bantuan disesuaikan dengan kemampuan masingmasing negeri membayarkan sejumlah uang sesuai permintaan. Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa, dalam perjalanan konflik AW diduga disusupi oleh pihak lain yang tidak teridentifikasi dari penelitian ini.
Pihak
tersebut kemudian memberikan imbalan agar AW dan kelompoknya bukan menjadi penjaga keamanan justru
menjadi penghancur dari dalam komunitas Sarani.
Oleh
karena itu, setiap gerakan bantuan AW di setiap negeri sepertinya dilindungi oleh aparat keamanan yang bertugas.
Tujuan pemanfaatan AW sebagai penghancur dalam
komunitas Sarani sebenarnya merupakan upaya melanggengkan konflik di Maluku dan Saparua khususnya. Setiap ada korban jiwa dan harta benda dari satu komunitas akan diikuti dengan upaya pembalasan terhadap komunitas yang dianggap sebagai penyebab. Posisi AW yang beragama Sarani sengaja dipakai untuk membakar emosi dan dendam komunitas Sarani terhadap komunitas Salam. Faktanya selama kelompok AW bermain dalam konflik ternyata eskalasi konflik semakin meluas dan meningkatkan korban jiwa dan harta benda.
Justru kondisi keamanan negeri Sarani yang diserang
lebih dijamin tanpa kehadiran AW dan kelompoknya.
Selain itu, aktivitas AW dan
kelompoknya sering meminta bantuan dana dari pedagang etnis Cina yang digunakan untuk membiaya bantuan bagi negeri Sarani yang diserang, bahkan permintaan bantuan
sering menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak sesuai dengan ajaran agama seperti menodongkan senjata api. Selanjutnya terungkap pula bahwa, dana bantuan tersebut lebih sering digunakan oleh AW dan kelompoknya untuk berfoya-foya demi kepentingan pribadi. Namun, penelitian ini tidak dapat menjawab apakah aktivitas AW dan kelompoknya seperti demikian diketahui oleh pimpinan Posko Maranatha (Sarani) yang memberi rekomendasi saat permohonan bantuan dari negeri-negeri Sarani di berbagai wilayah Ambon dan sekitarnya. Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut di atas, maka kemunculan jejaring dalam konflik dapat disarikan pada tabel 10. berikut ini : Tabel 10. Jenis dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik NO 1
Jenis Jejaring Yang Muncul Horizontal
Ciri-Ciri
Kesetaraan antara pemberi bantuan dan penerima bantuan, ikatan didasarkan pada agama, pemberi bantuan memiliki senjata yang memadai dan standart TNI 2 Horizontal Ikatan yang didasarkan pada keuntungan ekonomi sehingga memunculkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kelompok bebantuan ke pihak Sarani dengan kelompok penyerang dari pihak Salam, ikatan agama tidak mempengaruhi jaringan 3 Horizontal Bantuan untuk pemenuhan kebutuhan (makanan) baik saat mempertahankan diri dari serangan maupun saat pengungsian terpaksa harus dilakukan, ikatan agama lebih dominan karena yang terjadi yaitu saling membantu antara pemeluk agama yang sama Sumber : Data Primer (Diolah)
Keterangan Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon ke Saparua Bantuan grass root kelompok Sarani dari Ambon dengan kelompok penyerang dari Sirisori Salam
Bantuan makanan dari negeri Sarani ke Pia dan Sirisori Sarani, bantuan makanan dari negeri Salam ke Iha
Selain itu terdapat pula jejaring vertikal dan horizontal secara bersamaan. Jejaring tersebut melalui pemberian bantuan yang diperoleh dari instansi pemerintah (bersifat vertikal) maupun sesama masyarakat yang tidak mengalami dampak langsung konflik. Bantuan- bantuan yang masuk antara lain : 1. Bantuan Indomie dan Beras dari pedagang Cina di Saparua 2. Bantuan beras dan selimut dan pemuda-pemuda Masohi 3. Bantuan beras dari LSM Salawaku
4. Bantuan sarimie, beras dan 10 karton pakaian baru 5. Bantuan beras, selimut, kacang, indomie, sabun mandi dan odol gigi dari ACF (LSM asing yang beraktivitas di Maluku) 6. Bantuan selimut dan pakaian layak pakai dari LSM Christina M Tiahahu 7. Bantuan ember, tikar dan lentera dari Sinode GPM Maluku 8. Bantuan gula pasir, beras dan uang Rp. 5 juta dari pela-gandong 9. Bantuan uang sebesar Rp. 45.000 per orang dari pemerintah 10. Bantuan uang Rp. 1.200.000 per orang dari Pemerintah Pemetaan
jejaring
dalam
konflik
dimaksudkan
untuk
menggambarkan
mekanisme pembentukan jejaring dalam kaitannya dengan berkembangnya konflik sebagai konflik yang berkepanjangan. Hal ini perlu dipahami mengingat, ada peluang bahwa jejaring yang sama juga berperan dalam menghentikan bahkan kemudian menjadi titik tolak resolusi konflik yang berkepanjangan. Merujuk pada konflik Saparua, maka pemetaan jejaring dalam konflik (tabel 11). Tabel 11. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dalam Konflik No 1
Tipe Jejaring Individu
Ciri-Ciri
Penyebaran isu dan informasi menyesatakan, penggunaan selebaran dari individu ke individu, bergerak secara individu untuk membalaskan kematian dari kerabat atau saudaranya, ikatan kekerabatan masih dominan 2 Kelompok Penyebaran informasi dari individu ke kelompoknya, pengaturan strategi secara matang, melibatkan keseluruhan anggota kelompok, memudahkan meluasnya konflik karena keterlibatan banyak orang 3 Komunitas Koordinasi dilakukan oleh elit agama karena ikatan idiologi (agama) sangat dominan, ikatan adat-istiadat antara komunitas yang berbeda agama menjadi pudar, upaya memanaskan situasi didukung oleh keterlibatan TNIPOLRI secara langsung maupun tidak langsung (jual beli amunisi – peluru) Sumber : Data Primer (Diolah
Keterangan Sebagai titik awal terjadinya konflik, sekaligus proses pematangan konflik
Proses keberlanjutan konflik dari individu ke kelompok
Proses menjadi konflik terbuka dan meluas ke tingkat komunitas, sehingga konflik semakin sulilt untuk diatasi
Proses penularan sosial dapat dicontohkan oleh merebaknya konflik di seantero wilayah Maluku. Secara sadar atau tidak, keputusan yang diambil individu dipengaruhi
oleh lingkungan sosial dan tindakan yang diambil menjalarkan dan memperkuat efek yang ada secara kolektif. Karena informasi mengalir dalam jaringan sosial, maka dalam proses pengambilan keputusan sosial, struktur jaringan penting dalam menentukan seberapa jauh efek kolektif tersebar. Sehingga bukan tidak mungkin pula, jika konflik di pedesaan Saparua muncul sebagai ungkapan keinginan membalaskan dendam dari sanak saudara dan kerabat yang meninggal saat konflik pecah di wilayah lain di luar Saparua.
Dengan demikian, keputusan untuk berkonflik merupakan keputusan
independen yang bebas dari pengaruh. Perkembangan konflik selanjutnya menunjukkan keputusan independen untuk berkonflik masih diragukan karena konflik kemudian melebar dan melibatkan warga Saparua di luar Saparua (di pulau Lease dan pulau Seram misalnya).
Bahkan
diindikasikan ada keinginan dari pihak-pihak tertentu yang tidak teridentifikasi, untuk melibatkan Saparua dalam konflik berkepanjangan. Salah satu pendorong peluang konflik berkepanjngan yaitu sifat temperamen orang Saparua yang mudah terpancing emosinya. Karakter seperti ini menjadi incaran dari pihak yang ingin memperluas konflik melalui isu-isu. Isu-isu tersebut antara lain akan ada penyerangan dari satu negeri ke negeri lain yang berbeda adama, juga memberikan informasi yang tidak benar tentang kematian warga salah satu kelompok agama di wilayah lain di luar Saparua. Oleh karena itu, keputusan untuk berkonflik bagi masyarakat Saparua bukan karena perbedaan idiologi (agama) maupun keinginan untuk merdeka. Keputusan untuk terlibat dalam konflik didorong keinginan membalaskan dendam dan amarah sematamata. Kebetulan yang menjadi korban anggota salah satu kelompok agama, sehingga walaupun kejadian berlangsung di luar Saparua (di Ambon misalnya) maka kelompok agama yang warganya menjadi korban akan membalaskan dendam kepada kelompok agama yang dianggap sebagai penyebab.
Padahal, pelakunya tidak memiliki
keterkaitan dengan warga di Saparua yang kebetulan beragama sama. Hal yang menarik yaitu bagaimana perselisihan antardua orang di batu Merah (Ambon) dapat bereskalasi menjadi konflik di aras mikro antara salam dan sarani di pedesaan Saparua. Pemetaan jejaring dan kerjasama, dirasa perlu untuk menunjukkan kemampuan jejaring yang bukan saja berkaitan dengan konflik (Tabel 12). Sebelum konflik hubungan Negeri Kulor dengan Pia sangatlah harmonis. Bahkan terdapat ikatan ekonomi yang saling menguntungkan. Biasanya masyarakat Kulor menanam ubi kayu yang kemudian dibeli oleh warga Dusun Pia yang mengolahnya menjadi “sagu singkong”. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1994,
yang diawali oleh ikatan antara individu. Seorang warga Pia yang memerlukan ubi kayu sebagai bahan baku sagu kemudian membelinya dari seorang warga Kulor. Pertemuan awal antara kedua individu berlanjut menjadi ikatan ekonomi yang menguntungkan. Bahkan kemudian berkembang bukan hanya individu saja, tetapi menjadi ikatan ekonomi antara komunitas Pia yang beragama Sarani dengan komunitas Kulor yang beragama Salam.
Bahkan sampai ke aras negeri, menyebabkan hubungan antara
negeri Pia dengan Kulor sangatlah harmonis. Tabel 12. Tipe dan Ciri-ciri Jejaring Sosial dan Kerjasama No
Tipe Jejaring
Ciri-Ciri
Keterangan
1
Individu
Ikatan lebih ke arah ekonomi juga adat istiadat, saling mengutungkan, tidak memperhatikan perbedaan agama, keputusan membentuk ikatan merupakan keputusan individu tanpa campur tangan siapa pun juga, memungkinkan untuk mengarah pada perluasan ikatan
Ikatan jual belil hasil kebun ubi kayu antara seorang warga Pia dengan seorang warga Kulor, saling meminjam antara individu warga Iha dengan Ihamahu
2
Kelompok
Ikatan ekonomi masih dominan, keputusan secara kolektif karena berkenan dengan proses kerja serta hasil yang harus dirasakan bersama, sulit untuk berkembang lebih luas lagi karena keterbatasan bahan baku yang mampu disiapkan oleh warga Kulor
Ikatan jual beli dimana kelompok pembuat sagu “kasbi-ubi kayu” dari Pia membeli bahan baku ubi kayu dari kelompok warga Kulor yang berusahatani ubi kayu
3
Komunitas
Ikatan ekonomi semakin dominan karena saling mengutungkan, seharusnya lebih tahan dari berbagai upaya pemutusan ikatan dengan alasan apa pun termasuk alasan perbedaan agama namun ternyata ikatan tersebut putus akibat konflik yang bernuansa agama
Ikatan antara komunitas Kulor sebagai penyedia ubi kayu dengan Pia sebagai pembeli yang mengolahnya menjadi sagu kasbi
Sumber : Data Primer (Diolah
Jejaring sosial yang ditemukan saat konflik terbentuk karena masyarakat menginginkan rasa aman serta untuk memenuhi kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jejaring social tersebut berupa jejaring sosial horizontal dan vertikal. Dalam jejaring sosial horizontal, anggota-anggotanya memiliki status sosial ekonomi yang
relatif setara, sedangkan dalam jejaring sosial vertikal, anggota-anggotanya tidak memiliki status sosial ekonomi yang setara. Jejaring sosial horizontal terdiri atas (a) jejaring seagama, (b) jejaring campuran kerabat dan seagama . Jejaring sosial bersifat vertikal terdiri dari (a) jejaring seagama, (b) jejaring kerabat, (c) jejaring campuran kerabat dan seagama. Jejaring horizontal (Gambar 6) terbentuk berdasarkan fakta bahwa, negeri yang mengalami serangan (baik yang salam maupun sarani), akan segera mendapatkan bantuan baik bantuan tenaga untuk membantu menjaga keamanan negeri, maupun bantuan makanan untuk memelihara keamanan pangan masyarakat. Bantuan tersebut sering diberikan oleh masyarakat negeri lain di Saparua yang memiliki ikatan idiologi (agama yang sama). Selain ikatan seagama, terdapat bantuan yang diberikan oleh mereka yang memiliki ikatan kekerabatan yang berbeda agama.
MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK
KERABAT YANG SALAM DI SAPARUA
MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK
NEGARA (PEMERINTAH KECAMATAN SAPARUA)
KERABAT YANG SARANI DI SAPARUA
Gambar 6 . Jejaring Sosial Horizontal dalam Konflik Saparua Jejaring vertikal (Gambar 7) juga didominasi oleh jejaring seagama, baik dari lembaga resmi pada tingkat yang lebih tinggi seperti Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Keuskupan Amboina maupun Majelis Ulama Indonesia Maluku (MUI). Bantuan yang diberikan berapa penyegaran rohani maupun bantuan makanan. Sementara ada juga bantuan keamanan pangan dalam bentuk uang tunai, pakaian layak pakai maupun makanan yang diberikan oleh masyarakat Maluku maupun Saparua yang berada di luar Maluku, dimana pemberi bantuan tidak memandang ikatan agama tetapi lebih karena ikatan kekerabatan yang telah ada sejak dulu. Misalnya bantuan dari Tokoh Masyarakat Ihamahu di Jakarta kepada masyarakat Iha yang telah mengungsi ke Liang (Pulau Ambon).
Jika dilihat dari aspek agama, jelas ada perbedaan mendasar keyakinan
agama antara negeri Iha yang beragama Salam dengan negeri Ihamahu yang beragama Sarani. Namun ikatan kekerabatan (gandong) antara kedua negeri menjadi perekat sehingga bantuan tetap diberikan, tanpa memandang perbedaan agama. Selain itu, orang Maluku di Belanda baik Salam maupun Sarani terutama yang berasal dari Saparua turut memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai untuk keamanan pangan, maupun untuk memulihkan kondisi tempat tinggal (rumah) serta sarana ibadah (mesjid dan gereja) yang rusak. Hal ini menunjukkan bahwa, adanya jejaring campuran yang terbentuk karena aspek kesamaan agama sekaligus karena memiliki ikatan kekerabatan.
MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK
LEMBAGA AGAMA SALAM DI LUAR SAPARUA
MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK
IKATAN PELA DAN GANDONG DI LUAR SAPARUA
LEMBAGA AGAMA SARANI DI LUAR SAPARUA
Gambar 7. Jejaring Sosial Vertikal dalam Konflik Saparua
6.3. Keterlibatan Pihak-pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua 6.3.1. Sipil dan Militer : Membangun Jejaring dan Kepentingan Konflik Ambon yang menyebar ke wilayah lain di Maluku menyebabkan pemerintah berketetapan untuk menerapkan Darurat Militer. Penerapan darurat militer kemudian menajdi perdebatan di tingkat masyarakat. Konflik Maluku sesungguhnya tidak berasal dari masyarakat. Paling tidak ada empat indikasi yang bisa dijadikan parameter. Pertama, kultur masyarakat Ambon atau Maluku sendiri yang sebenarnya tidak pernah bergejolak horizontal secara berarti. Konflik-konflik yang terjadi di Maluku (dan mungkin di daerah-daerah lain) sebenarnya adalah konflik vertikal yang ditularkan kepada masyarakat, termasuk konflik perihal Republik Maluku Selatan (RMS). Karena itu, sebenarnya konflik Maluku tidak memiliki akar historis dan sosiologis, melainkan
politis. Kedua, konflik di Maluku yang pecah pasca jatuhnya Soeharto, beberapa kali diberitakan terjadi hanya karena suatu perselisihan kecil yang kemudian diperluas oleh sekelompok orang yang sampai saat ini tidak teridentifikasi oleh aparat keamanan. Entah mengapa aparat keamanan dan intelijen sangat sulit untuk mencari siapa sebenarnya kelompok dan atau "aktor intelektual" yang berada dibalik meluasnya konflik-konflik tersebut. Faktor ini menguatkan indikasi yang pertama, bahwa konflik Maluku tidaklah konflik horizontal yang genuine, melainkan konflik politis yang sifatnya vertikal. Ketiga, beberapa peristiwa yang terjadi, entah langsung atau tidak langsung korelasinya berkaitan dengan peristiwa politik di Jakarta. Beberapa peneliti, antara lain Thamrin A. Tomagola yang dikutip oleh Salampaessy dan Zairin (2001) mengatakan bahwa setiap pecahnya peristiwa kekerasan di Maluku selalu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa politik yang berkaitan dengan pengusutan atau terganggunya kepentingan orang-orang yang berkoneksi dengan keluarga Cendana dan pejabat Orde Baru lainnya. Karena itu, akar konflik di Maluku justru terletak pada elite (baik pusat maupun daerah) dan bukan pada masyarakat. Keempat, dalam beberapa peristiwa yang terjadi di Maluku terlihat bahwa aparat militer dan kepolisian yang bertugas justru mengambil posisi untuk involve dalam konflik. Hal itu juga sempat menjadi perhatian beberapa kalangan dan juga dialog di Malino perihal keterlibatan satuan dan oknum militer dalam konflik. Sehingga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid telah dilakukan rotasi satuan yang bertugas dengan tujuan menghindari keterlibatan aparat dalam konflik. Hal lain yang penting adalah mempertegas penyikapan dan penindakan terhadap gerombolan sipil bersenjata dari pihak manapun. Bagaimana mungkin menerapkan status darurat militer, bila ternyata banyak kelompok para-militer yang mungkin terstruktur dan memiliki garis komando tersendiri. Gerombolan sipil bersenjata itu harus ditindak tegas untuk menghindari perluasan konflik dan mengakhiri kekerasan. Keterlibatan pihak sipil bersenjata terjadi pada semua situasi konflik baik di Ambon maupun di pedesaan Saparua. Anggota komunitas Salam dan Sarani memiliki senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Selain itu, bantuan tenaga saat konflik di pedesaan Saparua menunjukkan pemilikan senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Kepemilikan senjata standart harusnya hanya berada di tangan institusi resmi Negara seperti TNI dan Polri. Oleh karena itu kepemilikan senjata standart di luar kedua institusi tersebut merupakan pelanggaran hukum sehingga perlu diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Ternyata kemudian penduduk sipil yang memiliki senjata
standart dan menggunakannya saat konflik tidak pernah mendapat sanksi, bahkan terkesan adanya pembiaran oleh pihak berwenang. Sebagaimana terungkap dalam penyerangan pihak Sirisori Salam ke Ulath, juga penyerangan negeri Iha ke negeri sekitar di Hatawano berikut ini : Keterlibatan TNI sangat nyata dengan adanya penggunaan senjata otomatis standart TNI serta dilengkapi pula dengan pelontar dan mortir dalam kasus konflik di Saparua khususnya di titik api Iha-Ihamahu. Hal ini mengindidkasikan kuatnya keterlibatan militer karena penggunaan mortir sangat tidak dimungkinkan jika penggunanya tidak terlatih dan memiliki keterampilan khusus. Setelah serangan gangguan dilakukan yang keempat kali ke Iha karena terlihat banyak orang-orang baru dalam Iha, serta dilihat dari masuknya lima speed asing yang melakukan penembakan ke arah Ihamahu serta speedboat milik Ihamahu yang ditugaskan untuk menjaga perairan di depan jazirah hatawano. Saat itulah mulai dilakukan penyerangan-penyerangan secara penuh ke Iha. Bersamaan dengan itu, masuk pula bantuan dari Ambon sebanyak 30 orang dan bersenjata standart TNI karena menurut saya senjata seperti itu merupakan milik Negara, entah yang menggunakannya adalah aparat resmi atau aparat gadungan yang dipimpin oleh AW. Sementara pasukan bantuan yang berhasil memasuki Iha dan mulai melakukan penyerangan balik ke arah Ihamahu. Saat jam 16.00 sore tanggal 24 September 2006 hari Sabtu, mulailah terjadi penyerangan oleh kelompok Jihad ke arah Ihamahu maupun Noloth dan dibantu pula oleh dua Kapal perang menembak ke arah negeri Ihamahu dan ItawakaNoloth. Pihak Ihamahu dengan bantuan berbagai negeri di Saparua berusaha mempertahankan dan melakukan serangan balik ke Iha. Sekitar jam 19.00 mereka berhasil masuk ke dalam Iha. Saat itu pasukan Jihad telah mengundurkan diri dengan menaiki kapal perang, sementara bantuan dari aparat TNI yang berasal dari kapal perang tidak berhasil masuk lagi untuk membantu masyarakat Iha. Namun hal ini kelihatannya sebagai suatu upaya secara sengaja untuk menghancurkan Iha oleh kelompok itu sendiri, kemungkinan tujuan mereka agar perseturuan antara Salam dan Sarani terus berkobar, dimana jika ada negeri Salam yang dihancurkan maka akan terjadi juga pembalasan terhadap negeri Sarani. Demikian seterusnya, sehingga konflik berkepanjangan dan bernuansa agama akan terus berlangsung tanpa dapat dihindari. Pada dasarnya, konflik yang terjadi bukan merupakan konflik agama karena persenjataan yang beredar saat konflik merupakan senjata resmi dan standart TNI – POLRI sehingga bagaimana mungkin senjata demikian beredar dalam masyarakat sipil. Kemungkinan untuk konflik tersebut diatur pihak tertentu, didukung juga dengan tidak adanya tindakan tegas dari aparat keamanan dalam penggunaan senjata organik oleh masyarakat sipil. Setiap negeri yang ditempati aparat seperti halnya Sirisori Salam, ternyata saat konflik berlangsung aparat TNI yang ada dalam Sirisori Salam memerintahkan anak negeri Sirisori Sarani mundur karena mereka yang akan mempertahankan negeri sebagai tugas dan tanggungjawabnya. Ternyata, setelah mundur justru masuklah pasukan penyerang bekerja sama dengan Aparat TNI yang bertugas tadi untuk mulai melakukan penjarahan dan bahkan kemudian mulai membakar setelah penjarahan dilakukan.
Penjelasan Raja Itawaka, Raja Noloth, Kepala Soa Sirisori Salam dan Raja Ulath turut menggambarkan keterlibatan pihak atas (Sipil dan Militer) dalam konflik: Penembakan terhadap warga Itawaka di Tanjung Ouw, kemudian alat angkutan “pok-pok (sejenis speedboat kecil)” yang juga tertembak mesinnya sehingga menggunakan satu mesin untuk kembali ke Noloth. Diperkirakan mereka itu adalah penembak-penembak yang terlatih dan bukan tidak mungkin kalau itu merupakan aparat TNI yang menguasai peralatan dan persenjataan militer. Hal itu juga didukung oleh rentetan tembakan senjata otomatis dan standart TNI, dengan asumsi bahwa mereka sudah terlatih atau pun oleh aparat militer yang kebetulan berasal dari negeri Iha sendiri. Yang pasti seorang sipil tidak mungkin demikian, kecuali sudah terlatih dan dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman militer. Bahkan komandan Brimob BKO dari Kelapa Dua dan 13 anak buahnya juga disandera oleh pihak penyerang, sehingga tidak mampu mengendalikan pasukan nya. Bahkan kemudian komandan Brimob BKO juga dibawa bersama-sama masyarakat Iha ke atas kapal perang, sehingga juga menimbulkan tandatanya bagi kami masyarakat sipil. Pihak Brimob pun menyerahkan senjatanya kepada Bapa Raja Itawaka dan kemudian mundur, sehingga Raja Itawaka mengkoordinir pertahanan dan kemudian balik menyerang dari arah Ihamahu, karena kalau tidak demikian maka pihak penyerang (dari Iha) akan terus masuk mungkin dapat menembus Noloth dan bukan tidak mungkin sampai ke Itawaka. Amunisi dan senjata standart milik Brimob itu digunakan untuk bertahan dan balik menyerang ke Iha. Kalau tidak demikian kami diperkirakan habis dan terbakar, karena beberapa speedboat bantuan yang akan masuk ke Iha merupakan aparat militer baik TNI maupun Polri yang Salam dan berasal dari Ambon. Kondisi demikian menjadi hal yang biasa, karena semua sudah terpisah menurut agamanya masing-masing. Hal tersebut kami dengar dari teman kami di Tulehu maupun Palauw beberapa minggu kemudian, bahkan mereka berpikir orang Saparua yang Sarani akan habis dibantai, mengingat mereka yang datang itu bersenjata lengkap bahkan menggunakan mortir. Selain itu, untung saja kami juga memiliki persediaan amunisi, dengan cara membeli dari teman-teman kami atau kerabat kami yang berdinas di TNI maupun Polri. Waktu itu ada dua perahu jaring besar dengan sekelompok orang yang ingin membantu Iha, selain itu ada dua speedboat bantuan yang masuk tetapi satunya berhasil ditembak sampai tenggelam, sehingga kapal motor jaring maupun speedboat tidak berani merapat ke Iha dan hanya berlindung di belakang kapal perang. Sirisori Salam merupakan basis Salam di Saparua maupun Maluku dan menurut arahan kapolda bahwa Sirisori Salam merupakan barometer keamanan di Maluku. Sehingga setiap ada konflik di Ambon maka Sirisori Salam pun akan goyah. Di Sirisori Salam ditempatkan tentara secara resmi, demikian pula di Ulath dan Sirisori Sarani. Kemudian Brimob masuk tentara ditarik masuk ke dalam Sirisori Salam. Ulath sendiri diserang selama 6 kali dan yang terakhir 26 Oktober 2000 selama 6 jam dan berakibat 17 rumah terbakar, yang waktu itu kami melihat ada masuk pasukan yang diturunkan dari kapal perang, dimana mereka dilengkapi dengan senjata otomatis standart, juga longser dan mortir. Saya sendiri menemukan mortir yang tidak meledak di belakang gereja Ulath dan saya menyerahkannya ke SPN Passo. Mortir tersebut merupakan mortir standart angkatan darat, sehingga tidak dapat dinafikkan ada keterlibatan militer dalam penyerangan yang dilakukan oleh Sirisori Salam ke Ulath maupun Sirisori Sarani. Serangan ke Ulath juga sepertinya dikoordinir dengan baik, jika dilihat dari pola
serta strategii penyerangan yang dilakukan. Sehingga saya menyebutkan itu adanya peran dari pihak militer yang memang mengetahui dengan jelas strategi penyerangan. Kuatnya dugaan keterlibatan pihak Militer dalam konflik di Saparua tergambar dari penjelasan Raja Ulath berikut ini : Selama ini berdasarkan pengamatan, terdapat penggunaan pensiunan TNI serta anak-anak purnawirawan yang berfungsi untuk menyebarkan konflik. Jadi seperti penggunaan strategi intelejen untuk menggalang kekuatan guna penyebaran konflik dimaksud. Oleh karena itu disebutkan bahwa hal ini merupakan strategi intelejen oleh BAIS yang memang bermaksud menggoyang Maluku. Jadi adanya FKM / RMS termasuk AM juga merupakan strategi intelejen untuk menunjukkan adanya kegiatan makar sehingga perlu kelompok tandingan yang kemudian disebut sebagai Jihad untuk meredam serta menyeimbangkan kekuatan yang pada akhirnya mampu melanggengkan konflik di Maluku. Demikian pula keterlibatan BL yang selama itu berperan sebagai Laskar Kristus, sebenarnya merupakan asuhan KOPASSUS yang sengaja dimunculkan juga untuk menunjukkan adanya perlawanan terhadap kelompok Jihad. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konflik yang terjadi sebenarnya merupakan pengaturan yang dikendalikan dari pusat, bukan muncul dari masyarakat sendiri. Agama hanyalah menjadi topeng, sehingga memudahkan koknflik menjadi panjang dalam kurun waktu yang lama. Pada dasarnya sebenarnya RMS tidak ada karena sudah lama hilang sejak tahun 1950-an. Namun hal itu harus dihidupkan untuk memperuncing konflik. Jihad sendiri sebenarnya berpakaian di luar putih tetapi di dalamnya loreng. Sebenarnya sangat nyata juga di Sirisori Salam kelihatan sekali bahwa Jihad yang ada itu menggunakan jenggot maupun kumis palsu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka ini sebenarnya adalah tentara yang kemudian menyamar sebagai Jihad dan merupakan strategi tertentu guna mengimbangi berbagai kelompok Sarani yang sudah dibentuk sebelumnya. Strategi intelejen TNI memang demikian dengan prinsip penyusupan, penggalangan dan akhirnya penghancuran. Jadi mereka menyusup dan menggalang kekuatan dari rakyat sipil (termasuk kelompok Kristen RMS, laskar Kristus dan kemudian Jihad), dan akhirnya kelompok-kelompok inilah yang berfungsi untuk membakar amarah masyarakat berdasarkan agama sehingga konflik berkepanjangan sulit untuk dihindari. Sehingga masyarakat juga tanpa sadar telah tergalang untuk terus berkonflik, berbeda dengan tugas intelejen Kepolisian yang melakukan wawancara dan ineterview untuuk mengungkapkan kasus. Hal ini juga nyata saat konflik terjadi di Porto – Haria, dimana waktu itu digalang lah kekuatan masing-masing 5 di Negeri Porto dan 5 di Negeri Haria untuk mengobarkan konflik awal sehingga kemudian terjadi saling serang antara porto dan haria. Hal ini sudah terungkap dan telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta namun tanpa penyelesaian yang jelas mengenai keterkaitan aparat TNI karena yang disidangkan hanyalah warga sipil yang digunakan sebagai boneka yaitu 10 orang (5 di Porto dan 5 di haria). Mengingat senjata yang digunakan itu berasal dari senjata standart TNI yang telah dipersiapkan oleh pihak militer. Hal ini diperkuat oleh cerita seorang polisi anak negeri Ulath (HN) yang mengungkapkan kasus keterlibatan BL dalam kerusuhan Haria dan Porto. HN sendiri menjadi target operasi oleh inetelejen KOPASSUS.
Raja Negeri Paperu bahkan pernah mengutarakan pada salah satu kerabatnya yang menjadi anggota Tim 19 (Tim yang dibentuk Pemerintah untuk mengatasi Kondflik Maluku yang beranggotakan 19 orang Perwira Menengah dan Perwira Tinggi dari TNI dan POLRI asal Maluku) bahwa Tim 19 tidak perlu bekerja tetapi serahkan saja kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Mengingat sejak dibentuk sampai konflik mereda TIM 19 tidak memberikan peran faktual dalam meredakan konflik yang sedang berlangsung. Kemudian ada pula warga Negeri Ulath sendiri yaitu HN-2 yang juga dikatakan sebagai pemimpin grassroot. Tetapi menurut responden dari negeri Ulath, pemimpin grassroot ini diindikasikan merupakan salah satu binaan intelejen untuk mengobarkan konflik Maluku. Pemimpin ini biasanya mengarahkan anggota kelompoknya dengan alasan untuk memperkuat dan melindungi kawasan Sarani. Ternyata, mereka sendiri yang menjadi perusak dan penghancur dan bahkan tidak segan-segan membunuh sesama warga Sarani. 6.3.2. Isu Kelompok Agama Pada prinsipnya, pandangan bahwa agama sebagai bagian dari konflik di Maluku tidak bisa dielakkan namun bukan itu sumber dan motif konflik. Motif utama dari konflik di Maluku haruslah dipandang bahwa "agama-agama di Maluku telah dieksploitasi dan dipolitisasi untuk melahirkan dan melegitimasi konflik kekerasan massa". Dengan demikian, sumber konflik tidak terletak pada pluralitas agama di Maluku melainkan pada design kerusuhan yang memperalat (1) sensitivitas dan sikap fanatik masyarakat Maluku terhadap agama sebagai motor aksi kekerasan (2) kecemasan dan ketidakberdayaan masyarakat membendung eskalasi pertikaian. Selanjutnya, kelanggengan konflik ini terpelihara oleh akibat adanya sikap bias dari aparat keamanan, peredaran senjata dan amunisi ilegal di kalangan masyarakat, provokasi-provokasi dari dalam dan luar masyarakat, ketidak-mampuan pemerintah menangani penyelesaian konflik. Pengendapan dan eskalasi aksi kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin menyulitkan posisi dan peran masyarakat Maluku untuk mengatasi konflik kekerasan dalam dirinya. Padahal sejarah masa silam Maluku menunjukkan bahwa tatanan sosial-budaya Maluku cukup menghormati pluralitas dan toleran. Adanya jurang kenyataan antara suasana kehidupan masyarakat Maluku masa lalu dan masa kini menyebabkan dua kelompok masyarakat Maluku yang bertikai terkondisikan untuk tidak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri. Perangkat budaya dan agama yang
semestinya mampu menjembatani kembali konflik dan perbedaan ternyata lumpuh. Berbagai proses penanganan konflik yang terjadi selama ini baik oleh pihak pemerintah, aparat keamanan hingga media massa, terlihat tidak adanya upaya membangun kemampuan masyarakat untuk mengendalikan kerusuhan dan mengkondisikan diri dalam perdamaian. Justru yang terjadi ialah baik semua pendekatan yang telah dilakukan, entah itu pendekatan keamanan, pendekatan dialogis maupun penanganan korban dan pengungsi kerusuhan, berakhir dengan peruncingan emosi dan suasana konflik itu sendiri. Konflik di Maluku dimulai dari kota Ambon di pulau Ambon pada tanggal 19 januari 1999 terjadi dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama terjadi dalam periode Januari – Juni. Gelombang kedua terjadi dalam periode Juli – Okobtober dan gelombang ketiga terjadi sejak bulan November 1999 hingga kini. Dalam tiga gelombang ini, kerusuhan telah menyebar hampir ke seluruh kawasan kepulauan di Maluku, ke berbagai kota, kabupaten, kecamatan, hingga pedesaan. Konflik Maluku ditandai dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan, serta penghancuran lingkungan kehidupan masyarakat seperti penjarahan, pembakaran dan pengrusakkan rumah,harta milik pribadi, fasilitas dan sarana umum maupun pemerintahan hingga tempat-tempat ibadah. Walaupun ada berbagai versi angka korban kerusuhan di Maluku namun yang pasti angka-angka itu memiliki kesamaan pesan yakni bahwa jumlah keseluruhan korban Jiwa maupun korban luka akibat kerusuhan di Maluku telah mencapai ribuan jiwa dan jumlah para pengungsi telah mencapai puluhan ribu jiwa. Eskalasi konflik dengan tingginya tingkat destruksi wilayah, jumlah korban dan kerugian material, serta semakin terlantarnya para pengungsi, telah membawa bencana baru dalam kehidupan masyarakat Maluku kini dan generasi yang akan datang. Perjalanan konflik Maluku menghasilkan beberapa persoalan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan dan dukungan masyarakat Internasional. Yaitu: a.
Penghentian aksi kekerasan yang membutuhkan adanya dukungan dan tekanan dari masyarakat International terhadap pemerintah, militer, politikus, institusi agama maupun institusi-insitusi sosial untuk mengakhiri praktek politisasi konflik di Maluku dan menegakkan hukum yang adil bagi masyarakat Maluku.
b.
Penyediaan kebutuhan dasar kehidupan masyarakat sebagai syarat untuk bisa mempertahankan kehidupan dan kelangsungan masa depan bangsa Maluku. Kebutuhan dasar ini berkaitan dengan kondisi terlantarnya para pengungsi yang sangat membutuhkan penyediaan pangan, obat-obatan, pakaian dan perumahan.
c.
Pemberdayaan masyarakat menuju rekonsiliasi. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat efek distorsi politisasi agama dalam pelembagaan budaya kekerasan dalam kehidupan masyarakat. Disamping itu kebutuhan ini juga diperlukan untuk menjawab beban traumatis aksi kekerasan yang diperparah dengan hancurnya sejumlah pusat-pusat pemberdayaan masyarakat seperti Sekolah, tempat-tempat Ibadah ataupun hancurnya sumber pendapatan dan pembiayaan hidup masyarakat. Keterlibatan organisasi resmi kedua komunitas agama di tingkat meso terbukti
melalui pembentuk Posko Maranatha untuk komunitas Sarani dan Posko Al Fatah untuk komunitas Salam. Terjadi pembelian amunisi yang digunakan untuk mempertahankan masing-masing komunitas yang diserang, sehingga tidak lagi berfungsi mendamaikan tetapi justru memperarah situasi dan kondisi keamanan.
Sehingga secara tidak
langsung dapat dikatakan pihak elit agama terlibat mengobarkan konflik, walaupun bermaksud untuk mempertahankan entitas masing-masing komunitas yang tertekan. Namun dibalik itu justru menunjukkan kekerdilan penguasaan pengetahuan beragama sehingga bukan menghindari konflik, tetapi justru terlibat
secara tidak langsung
mengarahkan konflik. Sehingga secara tidak langsung upaya mempertahankan mempertahankan
keberadaan masing-masing komunitas saat diserang, turut
mengobarkan konflik yang berkepanjangan. Kuatnya pengaruh agama dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari pihak lawan. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini : Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar (Negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha) yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apa pun juga selain berjagajaga. Padahal justru masyarakat Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap Noloth akibat hasutan orang dari luar. Maka bergejolaklah Hatawano, sehingga mulailah dikumpulkan mesyarakat untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth dihantam dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu memeprtahankan keberadaan negeri Noloth dengan bantuan dari negeri-negeri
sekitar (Itawaka, Ihamahu, kampung dan Tuhaha). Apalagi setelah terjadi penyerangan dan pembakaran beberapa rumah di Sirisori Sarani dan kemudian pembakaran di Pia. Saat konflik dari kelompok penyerang ada yang menjadi korban menurut perkiraan, karena saat hari minggu tanggal 23 Nopember 2000 setelah Iha jatuh ada pasukan yang masuk ke Iha, sehingga banyak masyarakat di hatawano yang kebetulan sedang menghadiri gereja segera melarikan diri ke dalam hutan karena takut. Mereka masuk dengan perahu karet yang dilabuhkan kapal perang dan memeriksa beberapa kapal ikan yang ada di Iha, kemudian masuk ke Ihamahu dan menyita parang-parang dan tombak yang dimiliki masyarakat Ihamahu. Keghiatan tersebut ditentang oleh perempuan Ihamahu karena menurut para perempuan, parang merupakan peralatan kerja yang selalu dipakai oleh masyarakat. Oleh karena itu, pasukan “siluman” menurut tidak lagi menjalankan aksinya, kemudian mengambil kelapa muda di dusun negeri Ihamahu untuk kemudian meninggalkan hatawano dengan menggunakan perahu karet ke kapal perang. Yang pasti saat konflik berlangsung dapat diperkirakan bahwa pasukan yang berada di Iha memiliki senjata dengan amunisi yang dapat diandalkan sehingga secara berani mau dan mampu melakukan penyerangan sampai kemudian mereka sendiri hancur. Apalagi dukungan tembakan dari kapal perang sangat membantu dan memudahkan serangan dan pembakaran yang dijalankan ke Noloth karena, tembakan tersebut menahan bantuan masuk dan bantuan penyerangan ke Iha. Apalagi anak-anak negeri di Hatawano tidak berkeinginan untuk menyerang dan menghancurkan Iha, namun demi mempertahankan diri serta mempertahankan harga diri, maka dilakukan serangan balik ke Iha. Ditunjang pula dengan adanya informasi bahwa Jihad telah mendiami negeri Iha, walau pun secara fakta tidak dapat secara nyata dilihat namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari orang Iha sendiri. Selain itu, tidak mungkin lagi menahan keinginan untuk menyerang dari anakanak negeri lain di Ihamahu dan Noloth, seperti Itawaka dan Tuhaha. Penyerangan ke Iha dilakukan karena Iha menerima Jihad dan mereka lah yang melakukan penyerangan duluan dengan membakar dan melakukan pemboman ke negeri Noloth, sehingga pihak Itawaka pun turut membantu Noloth karena kalau Noloth hancur maka kemungkinan Itawaka pun akan hancur. 6.3.3. Kelompok Preman Penyerangan awal komunitas Sarani ke wilayah komunitas Salam di pedesaan Saparua dilakukan oleh pasukan bantuan dari Ambon. Dugaan kerjasama antara pasukan bantuan dari Ambon di pihak Sarani dengan pasukan bantuan di pihak Salam karena kedua kelompok masuk secara bersamaan ke wilayah masing-masing komunitas. Setelah pasukan bantuan dari Ambon (AW, dan kawam-kawan) melakukan penyerangan ke arah Negeri Iha, maka pasukan Jihad yang merupakan bantuan yang masuk ke Iha melakukan serangan balasan. Setelah penyerangan berlangsung justru pasukan bantuan dari Ambon di bawah pimpinan AW segera meninggalkan Negeri Ihamahu. Hal yang sama juga terjadi saat Negeri Iha telah terkepung dimana pasukan bantuan yang menggunakan lima speed ternyata telah lebih dahulu meninggalkan
negeri Iha.
Hal inilah yang mengindikasikan adanya keterkaitan dan keterlibatan
kelompok AW, dkk, untuk memperkeruh situasi dan kondisi keamanan di Negeri Ihamahu. Keterlibatan kelompok preman dalam konflik Saparua juga dinyatakan oleh responden-responden berikut ini : Saat itu juga ada terlibat pasukan bantuan dari Ambon (AW, dkk), yang juga bermaksud membantu di Sirisori Sarani (Amalatu) ternyata sesaat setelah penyerangan dimulai mereka juga mulai meninggalkan negeri Sirisori Sarani dan penyerangan balik oleh kelompok dari Sirisori Salam mulai berlangsung sampai menghancurkan, menjarah dan membakar negeri Sirisori Sarani. Keterlibatan kelompok AW sebenarnya sudah dimulai dari saat berkepanjangannya konflik Ambon. Berdasarkan pengalaman kami, dimana ada kelompok AW dalam suatu konflik di suatu tempat (kawasan Sarani), maka dapat dipastikan tempat tersebut akan hancur dan terbakar. Seperti halnya juga saat terjadi penghancuran kampus Unpatti di Poka, Rumahntiga dan Wailela.; juga di Tawiri (laha), Pohon Pule, Urimessing. Daerah-daerah tersebut yang saat konflik saya turut ada di dalamnya (sejak Januari 1999 selama setahun setengah) untuk membantu kelompok Sarani yang diserang untuk mempertahankan diri walau pun ternyata kelompok Sarani sendiri seperti halnya kelompok AW turut terlibat membuka jalan, sehingga setelah orang Sarani mundur maka pihak penyerang mulai menjarah dan membakar termasuk pula aparat keamanan. Demikian pula jika terjadi pembakaran di kawasan Salam, dapat dipastikan adanya keterlibatan kelompok-kelompok dalam masyarakat Salam sendiri seperti halnya kelompok AW. Masuknya AW ke Saparua diindikasikan oleh adanya kerjasama antara kedua kelompok tersebut, demikian pula sampai terbakarnya salah satu kawasan oleh satu kelompok lainnya. Jadi jika ada rencana penyerangan ke kawasan Sarani dapat dipastikan kelompok AW ada di situ, demikian pula kelompok Salam juga dipastikan ada di situ. Bahkan jika diamati ternyata, AW sebagai pemimpin begitu mudah untuk berkomunikasi dengan aparat TNI yang bertugas di kawasan tersebut. Seakan-akan telah saling kenal mengenal antara kelompok-kelompok dimaksud dengan aparat TNI yang bertugas di kewasan itu. Selama proses konflik berlangsung koordinasi sering dilakukan oleh pihak Klasis Gereja Protestan Maluku Wilayah Saparua untuk memberikan bantuan ke negeri-negeri yang terancam, bahkan kemudian memintakan bantuan ke Posko Maranatha di Ambon jika situasi negeri Sarani makin terdesak. Koordinasi biasanya dilakukan secara langsung dimana, saat suatu daerah diserang maka akan terjadi perminataan pasukan bantuan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kemudian diarahkan ke lokasi yang diserang. Oleh karena itu, biasanya pihak Sarani bergerak setelah memperoleh informasi yang jelas dari pihak atau negeri yang diserang. Setelah itu baru kami (berjumlah tiga orang) mulai bergerak. Banyak juga yang tidak pernah bergabung dengan salah satu kelompok, karena berdasarkan pengalaman banyak terjadi penyimpangan dan perilaku buruk yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang sering terlibat dalam konflik. Biasanya kelompok-kelompok, melakukan aksi meminta uang dengan alasan akan dipakai untuk membiayai konflik yang terjadi. Padahal kemudian uang tersebut dipakai mereka untuk berfoya-foya. Hal itulah yang membuat kami
menolak bergabung bersama mereka. Kemudian kenyataan dari adanya penyimpangan-penyimpangan dimaksud kemudian terbukti dengan matinya AW yang entah disebabkan oleh apa. Ada isu yang berkembang dia ditembak oleh istrinya sendiri karena terlibat perselingkuhan dengan perempuan lain, atau kah memang sengaja dihilangkan untuk memutuskan rantai jejaring konflik di Maluku. Lebih mengherankan lagi, ternyata tidak dilakukan pengusutan terhadap kematian AW yang diakibatkan oleh tembakan senjata standart larfas pendek (pistol), seakan-akan bahwa kematian AW adalah proses kematian yang normal. 6.3.4. Keterlibatan Kelompok Teroris : Sejak Konflik Sampai Pasca Konflik Keterlibatan Kelompok Teroris belum terungkap saat konflik dimulai dan berkembang di Maluku. Namun, setelah konflik mereda terungkap bahwa upaya-upaya memanaskan situasi baik yang dilakukan dengan mengorbankan anggota kelompok Sarani maupun anggota kelompok Salam ternyata dilakukan olehpihak-pihak yang tidak termasuk dalam kedua kelompok tersebut. Terungkapnya peledakan bom di depan Hotel Amboina yang mengakibatkan korban anggota masyarakat dari kelompok Sarani dan kelompok Salam dilakukan oleh kelompok teroris yang mulai memasuki Ambon setelah konflik merebak. Walaupun tidak diketahui secara pasti waktu kedatangan kelompok teroris, namun fakta persidangan di Pengadilan Negeri Ambon (merujuk berita surat kabar lokal) menunjukkan bahwa jaringan teroris yang bermain di Ambon memiliki hubungan dengan jaringan teroris yang bergerak di Poso dan Pulau Jawa. Kelompok teroris yang bergerak di Ambon memiliki pusat pelatihan di Pulau Seram, bahkan kemudian melakukan rekruitmen anggota dari Negeri-negeri di sekitar lokasi pusat pelatihan tersebut. Bahkan jaringan teroris ini berhasil merekrut anggota POLRI yang kemudian meninggalkan kesatuannya, serta terlibat secara langsung dalam aktifitas-aktifitas kelompok teroris di berbagai lokasi di Maluku. Rekruitmen anggota biasanya diawali dengan dakwah-dakwah yang kemudian dimatangkan sebagai kebenaran
idiologi,
sehingga
mengharuskan
anggota
kelompok
mengamalkan
kebenaran tersebut dalam setiap aspek kehidupannya. Pengamalan idiologi tersebut, termasuk pula melakukan berbagai aksi teror tanpa memperhitungkan siapa yang menjadi korban.
Beberapa penyebab keterlibatan kelompok teroris dalam konflik Ambon yaitu : 1.
Ketegangan struktural antara nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, ada kontradiksi internal. Misalnya, Indonesia yang kaya raya ini telah
memakmurkan sebagian kecil warganya, dan menyisakan ratusan jutaan lainnya dalam situasi ekonomi tak menentu. 2.
Tersebarnya keyakinan bersama mengenai suatu hal yang dianggap sebagai musuh bersama. Ketegangan-ketegangan sosial seperti yang dijelaskan di atas akan makin memperkuat ambuguitas dalam sistem keyakinan seseorang yang kemudian memfasilitasi munculnya kecemasan pada dirinya.
3.
Faktor pengobar. Biasanya berupa peristiwa-peristiwa yang diemosionalisasikan sehingga melipatgandakan tingkat ketegangan yang sudah ada dalam masyarakat. Isu soal dibakarnya sebuah rumah ibadah salah satu komunitas atau meninggalnya anggota komunitas akibat perbuatan komunitas berbeda agama.
4.
Mobilisasi untuk turut serta dalam aksi. Inilah hasil dari fungsi komunikasi dan persuasi massa yang kemudian memungkinkan mereka mengambil tindakan kolektif secara drastis. Indoktrinasi bisa jadi salah satu bentuknya. Unsur kepemimpinan atau yang belakang makin sering disebut-sebut sebagai provokator dan aktor intelektual yang muncul secara tiba-tiba dari kerumunan massa menjadi penting.
5.
Lumpuhnya kontrol sosial. Jika dalam sebuah situasi yang dikuasai oleh kerusuhan, elit-elit dalam masyarakat biasanya juga terpecah dalam berbagai kantung yang terbedakan oleh taktik, strategi politik, dan pegangan ideologis yang dimilikinya, kontrol sosial akan jebol, dan aksi massa yang lebih besar lagi akan besar peluang suksesnya. Kenyataan demikian merupakan pembenaran atas tindakan teror yang
dilakukan, saat situasi dan kondisi Ambon termasuk Saparua semakin kondusif. Namun perlu diperhatikan dan ditelusuri dengan lebih seksama, apakah kelompok pembuat teror ini memang berdiri sendiri tanpa campurtangan pihak lain atau mereka hanya sebagai boneka atas kepentingan pihak ketiga yang menginginkan kembali terjadinya situasi dan kondisi tidak aman pasca konflik di Ambon termasuk di Saparua. Memang teror dimaksud tidak sampai meluas ke Saparua, namun jika dilakukan di Ambon dan mengakibatkan warga yang berasal dari Saparua menjadi korban maka dipastikan akan ada upaya balas dendam dari kerabatnya terhadap warga berbeda agama. Pemberitaan media massa sesuai fakta persidangan kemudian mengarah pada keterlibatan kelompok teror pasca konflik berkepanjangan di Ambon. Kelompok teror juga melibatkan oknum Polri yang disertir. Selain itu kelompok ini telah melakukan
penggalangan massa (rekruitmen) dari warga yang berusia muda di negeri-negeri Pulau Seram.
Berbagai media mengulas bahwa, warga yang direkrut tidak diketahui
keberadaannya saat ini. Pola rekruitmen dilakukan secara tertutup dengan berbagai alasan, diiringi dengan penyebaran dan indoktrinasi ajaran-ajaran yang mengarah pada perilaku teror dapat diterima selama bertujuan membela umat yang tertindas. Namun sangat disayangkan karena, banyak orang tidak berdosa yang harus menjadi korban entah karena teror dilakukan di wilayah Sarani maupun Salam. Fakta demikian memudarkan anggapan bahwa, perilaku teror yang dimunculkan bukan merupakan akibat ketertekanan yang berkepanjangan dan meledak akibat tidak mampu ditahan lagi. Jawaban-jawaban yang dikemukakan pelaku teror saat sidang digelar menunjukkan bahwa, tindakan yang mereka lakukan hanyalah untuk membalaskan kematian salah satu komunitas Salam akibat ditembak oleh petugas Polri yang kebetulan beragama Sarani.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah tindakan
balasan demikian akan melegakan pihak keluarga korban atau apakah yang menjadi korban dapat hidup kembali ? Tentu saja jawabannya tidak, mengingat pembalasan juga tidak diarahkan pada oknum pelaku tetapi pada oknum lain yang tidak punya kaitan kekerabatan dengan pelaku selain bahwa sama-sama beragama Sarani. Memang pada awalnya ketika situasi dan kondisi konflik masih memanas, upaya teror yang dilakukan dapat memberikan hasil yang maksimal. Jika situasi aman dan teror dilaksanakan maka, dipastikan saling membalas akan muncul kembali dengan dampaknya pada terjadinya konflik yang berkepanjangan. Seperti misalnya peledakan bom di depan Hotel Amboina, kemudian diikuti oleh tindakan balasan dari pihak Sarani dengan melakukan protes ke pihak Penguasa Darurat Sipil (Gubernur Maluku). Akhirnya karena stuasi tidak terkendali maka gedung Kantor Gubernur turut dibakar. Upaya pembiaran juga nampak di sini karena, pihak keamanan tidak bertindak tegas mencegah terjadinya pembakaran. Pada dasarnya kelompok teroris sendiri tidak mendapatkan keuntungan secara materi. Padahal akibat perbuatannya banyak rakyat yang semakin terpuruk karena keamanan menjadi dasar bagi berbaurnya kembali masyarakat Salam dan Sarani pada suatu tempat umum seperti pasar bersama, terminal bersama maupun tempat berbelanja kebutuhan sandang secara bersama-sama.
Berkepanjangannya konflik
cukup memberikan keuntungan bagi Birokrat Pemerintah Daerah, yang diberikan kesempatan untuk mengelola dana-dana
pemberdayaan pengungsi.
Sebagai
gambaran, sampai tahun 2007 penyelesaian pengungsi belum tercapai.
Program
penyelesaian sudah dimulai sejak tahun 1999, bahkan kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres 6 Tahun 2003 yang menyerap dana triliun rupiah.
Hal-hal demikian
mengindikasikan, bahwa konflik memberikan keuntungan kepada banyak pihak yang berkompeten dengan upaya penyelesaiannya. Sementara di sisi lain memberikan kerugian bagi masyarakat sebagai penerima akibat konflik, sekaligus hanya sebagai objek program penyelesaian konflik.