Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 30-39
Risk of Hypertension in Adolescents with Over Nutritional Status in Pangkalpinang, Indonesia Mirza Yusrizal 1), Dono Indarto 2), Muhammad Akhyar 3) Health Department of Pangkalpinang, Bangka Belitung, Indonesia Department of Physiology, Medicine Faculty, Sebelas Maret University, Indonesia 3) Education and Science Faculty, Sebelas Maret University, Indonesia 1)
2)
ABSTRACT Background: Adolescents are the changes of children to be adults. Gender, family history of disease, age, sodium intake and physical activity affect the pravelence of hypertension Adolescences are the time change from children into adults. Gender, family history of disease, body mass index or BMI according to age, sodium intake and physical activity affect the prevalence of hypertension in adulthood. Hypertension disorders in teenagers most will settle on adulthood. This study aimed to analyze risk factors of hypertension in adolescent aged 15-17 years with over nutritional status. Subject and Methods: This was an observational analytic study with cross sectional design. This was conducted in Pangkalpinang, Bangka Belitung Indonesia. A total of 120 students in grade X-XI in four high schools were selected by fixed-exposure sampling. BMI measurement used antropometri. Physical activity questionnaire used International Physical Activity Questionnaire. Sodium intake was measured with a food frequency questionnaire. Blood pressure was measured by using a sphygmomanometer. Data analysis was using a multiple linear regression. Results: Gender and nutritional status more positively associated with hypertension, (B = 5.77; p = 0.017) and (B = 4.85; p = 0.001), while sodium intake, family disease history and physical activity have a negative relationship, (B = 0.01; p = < 0.076), (B =-1.73; p = 0.481) and (B = >-0.01; p = 0.592). Multiple linear analysis obtained adjusted R2 = 0356 (35.6%). Conclusions: Young men have a higher average blood pressure than women of 5.77 mmHg. Any increase of 1 kg/m2 equivalent BMI will raise the blood pressure of 4.85 mmHg. Adolescents with more nutritional status can increase knowledge about hypertension, as well as regulate eating habits according to needs of physical growth and development. Keywords: hypertension, adolescent, gender, family history of disease, BMI, sodium intake, physical activity. Correspondence:
Mirza Yusrizal Health Department of Pangkalpinang, Bangka Belitung, Indonesia
[email protected]
30
Yusrizal et al./ Risk of Hypertension in Adolescents
PENDAHULUAN Remaja merupakan siklus kedua dalam kehidupan setiap individu. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini ditandai oleh perubahan fisik, psikologis dan sosial (WHO, 2011b; Soekatri et al, 2011). Perubahan fisik ditandai dengan bertambahnya masa otot, jaringan lemak dan perubahan hormonal (Andriani dan Wirjatmadi, 2012). Secara psikologis, remaja mengalami perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan, dan tanggung jawab yang dihadapinya (Istiany dan Rusilanti, 2013). Pertumbuhan sosial dan pola kehidupan di masyarakat mempengaruhi jenis penyakit pada remaja (Soekatri et al, 2011). WHO (2013) menyatakan bahwa penyakit kardiovaskuler secara global menyumbang 17 juta kematian setiap tahunnya. Sebanyak 9,4 juta kematian dikarenakan komplikasi dari hipertensi dan sekitar 45% kematian dari penyakit jantung serta 51% kematian akibat stroke. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas sebesar 5.9% (dari 31.7%. tahun 2007 menjadi 25.8% tahun 2013). Prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu 30.9% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013b). Hasil pengukuran di tujuh Kabupaten/Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada usia 15 tahun ke atas menyatakan Kota Pangkalpinang mempunyai prevalensi hipertensi 28.5% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013c). Dari hasil pengukuran tekanan darah pada anak-anak sekolah menengah umum tingkat atas di tiga SMA di Pangkalpinang oleh dinas kesehatan Kota Pangkalpinang pada bulan oktober 2015 didapatkan hasil sebesar 10.28% (Dinas Kesehatan Pangkalpinang, 2015). Banyak faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada remaja. Gaya
hidup yang tidak sehat antara lain konsumsi alkohol, merokok, konsumsi natrium berlebih, tingkat stress yang tinggi dan kurangnya aktifitas fisik dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi (Cordente-martinez et al, 2009; Roberta et al, 2015; NkehChungag et al, 2015). Bila tekanan darahnya tinggi, cenderung akan menjadi hipertensi saat dewasa dan dapat meningkatkan risiko penyakit stroke, jantung, ginjal, dan menjadi risiko morbiditas serta mortalitas yang lebih tinggi (Lurbe et al, 2009; Saing, 2005). Laki-laki memiliki risiko sekitar 2,3 kali lebih banyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan perempuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a). Penelitian di Hungaria dan Timur-tengah menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik maupun diastolik pada laki-laki secara signifikan lebih tinggi daripada perempuan (Katona et al, 2011). Adanya riwayat hipertensi dalam keluarga mempunyai peluang 3-4 kali untuk mengalami hipertensi pada usia dini dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat penyakit keluarga (Hartono, 2013). Bila kedua orang tua menderita hipertensi esensial maka 44.8% anaknya akan menderita hipertensi, dan bila salah satu orang tua yang hipertensi maka 12.8% keturunan yang akan mengalami hipertensi (Saing, 2005). Penelitian yang dilakukan pada remaja usia 14-17 tahun di Afrika Amerika menyatakan bahwa riwayat keluarga dengan tekanan darah tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya hipertensi pada remaja sebanyak 65% (Covelli, 2007). Status gizi berperan penting terjadinya hipertensi pada remaja dapat dilihat dari indeks massa tubuh menurut usia (IMT/U). Penelitian di Lisbon, Portugal menyatakan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada remaja dengan hipertensi didapati hasil dengan berat badan normal 30.4%, kegemukan 45.2% dan obesitas 45.5% (Silva et al, 2012). 31
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 30-39
Selain itu, konsumsi makanan tinggi natrium juga akan mempengaruhi tekanan darah (Yang et al, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh He (2008) pada anak rentang usia 4 sampai 18 tahun menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan garam dengan tekanan darah sistolik dan diastolik. Peningkatan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk menurunkan risiko hipertensi karena dengan aktivitas fisik, energi yang dikeluarkan akan semakin banyak sehingga keseimbangan energi dapat tercapai serta dapat mengontrol berat badan (WHO, 2011a). Amerika merekomendasikan agar remaja mulai meningkatkan aktivitas fisiknya selama 1500 menit/minggu atau sekitar 3,5 jam/hari, bahwa melakukan aktivitas fisik paling sedikit 15 menit dalam sehari diperkirakan dapat menurunkan 14% risiko hipertensi yang dapat menyebabkan kematian (Lauer, 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada remaja usia 15-17 tahun di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung. METODE PENELITIAN Observasional analitik digunakan dengan pendekatan cross sectional. Lokasi penelitian di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung pada siswa kelas X-XI di 4 SMA yang berusia 15-17 tahun. Subjek sebanyak 120 orang mengalami status gizi cukup dan satus gizi lebih sebagai kasus. Teknik sampling menggunakan dengan sistem fixed-exposure sampling. Pengukuran status gizi dengan antropometri. Aktivitas fisik diukur dengan kuesioner International Physical Activity Questionaire. Asupan natrium diukur dengan food frequency questionaire. Pengukuran tekanan darah menggunakan Sphygmomanometer. Analisis data menggunakan regresi linier berganda. Penelitian ini 32
telah mendapatkan persetujuan dari komisi etik penelitian kesehatan RSUD Dr. Moewardi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dengan nomor : 233/III/HREC/2016. HASIL PENELITIAN Tabel 1.1 menunjukan distribusi frekuensi Karakteristik responden penelitian. Rerata usia subjek penelitian adalah 16 tahun sebesar 32.50% dengan jenis kelamin perempuan. Rerata IMT memiliki status gizi normal sebesar 47.50%, dan tidak mengalami hipertensi sebesar 50.83% dengan jenis kelamin perempuan. Rerata subjek yang memiliki riwayat penyakit keluarga dengan hipertensi sebesar 27.50% dan 6.67% penyakit stroke pada jenis kelamin perempuan, serta rerata asupan natrium diperoleh 45.83% dengan asupan natrium cukup dan aktivitas fisik diperoleh 44.17% memiliki aktivitas fisik dengan jenis kelamin perempuan.
Yusrizal et al./ Risk of Hypertension in Adolescents
Tabel 1.2 menunjukkan rerata subjek memiliki tekanan darah normal dengan IMT normal sebesar 70.00%, memiliki tekanan darah normal dengan asupan natrium cukup sebesar 63.30%, memiliki tekanan darah normal dengan aktivitas fisik sedang sebesar 57.50%.
perempuan. Penelitian di Hungaria dan Timur-tengah menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik maupun diastolik pada laki-laki secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (Katona et al, 2011). Laki-laki memiliki risiko sekitar 2.3 kali lebih banyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan perempuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a). Tekanan darah sistolik remaja laki-laki lebih besar 4 mmHg pada usia 13 – 15 tahun dibandingkan perempuan dan usia 16 – 18 tahun memiliki perbedaan tekanan darah mencapai 10 – 14 mmHg lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Maranon and Reckelhoff, 2013). Salah satu perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya faktor hormonal seperti: hormon androgen dan testoteron, diduga berperan dalam pengaturan tekanan darah terkait dengan adanya perbedaan kedua jenis kelamin tersebut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a,
Tabel 1.3 Analisis Multivariat tentang Faktor Risiko Hipertensi pada Remaja dengan Variabel Jenis Kelamin, Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi dan Strok, IMT/U, Asupan Na, Aktivitas Fisik Variabel Riwayat penyakit keluarga hipertensi (1=Ya, 2=Tidak) Jenis kelamin (Laki-laki) IMT (kg/m2) Asupan natrium(mg) Aktivitas fisik (METs) Konstanta N Adj R2 p
Koefisien Regresi B
CI 95% Batas Bawah Batas Atas
p
-1.73
-6.59
3.13
0.481
5.77 4.85 < 0.01 >-0.01 100.24
1.07 3.03 <0.01 >- 0.01 86.84 120 35.60% <0.001
10.48 6.66 < 0.01 < 0.01 113.65
0.017 <0.001 0.076 0.592 <0.001
PEMBAHASAN Hasil penelitian terdapat hubungan positif antara jenis kelamin dengan risiko hipertensi, laki-laki memiliki tekanan darah lebih tinggi dari
Maranon and Reckelhoff, 2013). Hormon androgen diduga secara kuat sebagai mediator hipertensi dan penyakit kardiovaskuler. Fakta lain ET-1 yang dihasilkan oleh sel endotel pembuluh darah lebih sedikit pada 33
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 30-39
perempuan dibandingkan dengan lakilaki. Adanya androgen pada laki-laki diketahui dapat menstimulasi produksi ET-1. Androgen diduga berperan di dalam terjadinya hipertensi. Dalam hal ini, hipertensi terjadi mungkin karena pengaruh renin-angiotensin ginjal. Testosteron juga diketahui dapat mengaktivasi sistem renin-angiotensin yang mempengaruhi peningkatan tekanan darah (Adhita dan Pramuningtyas, 2010). Terdapat hubungan negatif antara riwayat penyakit keluarga dan risiko hipertensi. Ini dimungkinkan karena usia subjek masih remaja, risiko hipertensi meningkat bermakna sejalan dengan bertambahnya usia, semakin bertambah usia semakin meningkat risiko hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Penelitian di Eropa menunjukkan prevalensi hipertensi pada anak-anak dan remaja sebesar 1% - 4% (Kollias, 2011). Menurut penelitian Henuhili et al, (2011) bahwa gen hipertensi bersifat dominan, setiap individu hipertensi ada di setiap generasi, dan keturunan yang tidak mewarisi hipertensi akan mempunyai keturunan hipertensi juga, pewarisan hipertensi bukan bersifat X-linked, yaitu gen yang terdapat pada kromosom kelamin, karena baik ayah atau ibu dapat mewariskan pada keturunan lakilaki maupun perempuan. Menurut hukum Mendel, jika hanya salah satu orang tua menderita hipertensi, maka kemungkinan anaknya untuk tidak menderita hipertensi yaitu 50% (Kalangi et al, 2015). Beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gen yang dapat mempengaruhi tekanan darah, antara lain gen-gen yang dikelompokkan menjadi: gen yang mengkode sistem renin-angiotensin (Poilmorfisem I/D gen Angiotensi-converting enzym), gen yang berperan dalam homeostatis natrium ginjal dan gen yang mengatur metabolisme streoid. (Zarouk et al., 2012; Sayed-Tabatabaei et al, 2006; Ehret and Caulfield 2013). Gen-gen yang berperan dalam homeostasis natrium di ginjal yaitu gen lysine-deficient protein 34
kinase 1, amilorid-sensitive shodium channel, gen subunit beta dan gamma yang mengkode 2 subunit EnaC channel sodium (Toker et al, 2015). Gen-gen tersebut mempengaruhi pompa Na+-K+ pada tubulus ginjal sehingga meningkatkan retensi natrium dan air pada ginjal. Meningkatnya reabsorbsi natrium pada ginjal maka volume plasma dan cairan ekstrasel meningkat, begitu juga volume ekstrasel meningkat dan menyebabkan peningkatan aliran darah balik vena ke jantung. Terjadilah peningkatan curah jantung dan selanjutnya peningkatan tekanan arteri (Zarouk et al, 2012; Sayed-Tabatabaei et al, 2006; Ehret and Caulfield 2013). Gen-gen yang berpengaruh pada metabolisme steroid yaitu CYP11B2 (gen aldosteron synthase) dan NR3C2 (gen reseptor mineralokortikoid). Gen-gen tersebut meningkatkan produksi aldosteron sehingga nantinya akan meningkatkan retensi natrium di ginjal. Terjadi peningkatan curah jantung dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri. (Zarouk et al, 2012; SayedTabatabaei et al, 2006; Ehret and Caulfield 2013). Polimorfisme insersi/delesi dari angiotensinconverting enzyme (ACE) dikarakteristikan dengan adanya atau hilangnya repeat sequence 28bp pada intron 16 dan merupakan gen yang juga diduga berperan kuat dalam mekanisme hipertensi. Polimorfisme gen tersebut menghasilkan 3 genotipe: II Homozigot, ID heterozigot, dan DD homozigot. Studi menyatakan individu homozigot dengan alel D mempunyai konsentrasi ACE yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu heterozigot ID atau homozigot II (Kuschnir and Mendonça, 2007). Dengan bertambahnya kadar ACE dalam darah dan jaringan, maka kadar Ang II (angiotensin II) juga meningkat. Dua pengaruh utama Angiotensin II dalam meningkatkan tekanan arteri yaitu vasokonstriksi di berbagai bagian di tubuh dan penurunan ekskresi garam dan ginjal oleh air. Dengan adanya vasokonstriksi di berbagai tempat, maka terjadi peningkatan tahanan perifetotal
Yusrizal et al./ Risk of Hypertension in Adolescents
yang selanjutnya meningkatkan tekanan arteri. Ang II juga berperan dalam reabsorpsi natrium dan air dari urin. Mekanisme terjadinya hipertensi sama dengan mekanisme hipertensi oleh gen yang berperan dalam homeostasis natrium di ginjal (Zarouk et al, 2012; Sayed-Tabatabaei et al, 2006; Ehret and Caulfield, 2013). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi tentang riwayat penyakit keluarga dan usia terhadap kejadian hipertensi. Tidak terdapat hubungan positif antara asupan natrium dengan kejadian risiko hipertensi. Adanya hubungan antara asupan natrium dengan risiko hipertensi dikemungkinan karena tidak semua orang memiliki kepekaan individu terhadap asupan natrium yang dipengaruhi oleh genetik, kemungkinan lain karena reaksi individu terhadap jumlah natrium didalam tubuh berbeda tergantung pada sensitivitas yang dimiliki oleh individu tersebut (Kotchen et al, 2006). Terjadi kebiasaan yang sudah lama dilakukan dengan mengkonsumsi makanan tinggi natrium (penggunaan penyedap masakan, makanan olahan dan makanan yang diawetkan seperti terasi, ikan asin, dan kerupuk) (Mahan et al, 2012). Adanya asupan zat gizi lain seperti kalium juga mempengaruhi respon natrium terhadap tekanan darah. Kalium merupakan kation utama dalam cairan intraseluler yang memiliki fungsi sama seperti natrium. Asupan tinggi kalium dapat meminimalisir peningkatan tekanan darah oleh adanya natrium yang berlebih (Appel, 2011). Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa rasio natrium dan kalium dalam urin lebih kuat untuk menggambarkan hubungan dengan tekanan darah (Mahan et al, 2012). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kautsar et al (2014) menyatakan tidak ada hubungan antara asupan natrium dengan risiko hipertensi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fatta dan Sulchan, (2012), menyatakan terdapat hubungan
bermakna antara asupan natrium dengan risiko hipertensi, asupan tinggi natrium berisiko 4.536 kali untuk menjadi hipertensi. Penelitian He et al (2008) menyatakan bahwa ada hubungan antara asupan natrium terhadap tekanan darah, peningkatan 1 g/hari dalam asupan narium dapat menaikkan 0.4 mmHg pada tekanan sistolik dan 0.6 mmHg tekanan diastolik. Asupan tinggi natrium menyebabkan hipertrofi sel adiposit akibat proses lipogenik pada jaringan lemak putih, jika berlangsung terus menerus akan menyebabkan penyempitan saluran pembuluh darah oleh lemak dan berakibat pada peningkatan tekanan darah (FonsecaAlaniz et al, 2008). Asupan natrium yang tinggi dapat mengakibatkan ion Na dalam bahan makanan diserap dalam pembuluh darah, ion Na di dalam darah akan mengakibatkan tubuh meretensi lebih banyak air untuk mempertahankan elektrolit sehingga terjadi penumpukan cairan dalam tubuh karena natrium mengikat cairan di luar sel yang tidak dapat dikeluarkan (Adrogue dan Madias, 2008; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a). Konsumsi natrium yang berlebihan dalam jangka waktu lama berpotensi besar untuk meningkatkan hipertensi (Covelli, 2007). Untuk lebih jelasnya diperlukan penelitian lebih lanjut yang menghubungakan asupan natrium dengan kalium. Tidak terdapat hubungan yang positif antara aktivitas fisik dan risiko hipertensi. Kejadian ini dimungkinkan karena hanya sebagian kecil siswa yang melakukan olahraga secara teratur dan sebagian besar waktu digunakan untuk kegiatan rutin seperti pekerjaan rumah tangga, belajar dan menonton tv. Olahraga yang dilakukan remaja mungkin masih belum sepenuhnya melakukan olahraga dengan mekanisme yang baik, maksudnya adalah pada saat mereka melakukan olahraga, jenis, waktu, intensitas, serta frekuensinya kurang tepat atau terlalu lama sehingga tidak sesuai dengan standar kesehatan. 35
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 30-39
Menurut Sutangi dan Winantri, (2011), bahwa olahraga yang tidak sesuai dengan standar kesehatan tidak akan memberikan efek kesehatan, olahraga isotonik yang memanfaatkan gerakan kaki seperti jalan lebih baik daripada olehraga isometrik yang memanfaatkan gerakan tangan seperti angkat beban, karena efek dari olahraga isotonik dapat meningkatkan ketahanan pernapasan jantung atau menekan menyempitnya pembulu darah sedangkan olahraga isometrik yang kurang menguntungkan pada sistem pernafasan jantung atau dapat meningkatkan tekanan darah. Pada penelitian Prasetyo et al, (2015) menyatakan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi. Penelitian yang dilakukan Sulastri dan Sidhi, (2011) juga meyatakan tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian hiperteni pada remaja. Aktivitas yang dilakukan seperti olah raga dapat menurunkan tekanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (hipertensi) dan dapat melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa bila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat pada kondisi tertentu (Tsioufis et al, 2010). Terdapat hubungan positif antara IMT dan risiko hipertensi. Pada penelitian Fitriana et al, (2013) didapat bahwa obesitas mempengaruhi kejadian hipertensi. Penelitian yang dilakukan Kautsar et al, (2014), menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kegemukan terhadap kejadian hipertensi. Penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hipertensi dengan status gizi lebih pada remaja (Flores-Huerta et al, 2009). Kelebihan berat badan meningkatkan kejadian risiko penyakit hipertensi lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan berat badan normal Kautsar et al, (2014). Adanya peningkatan berat badan normal sebesar 10% mengakibatkan kenaikan darah 7 mmHg (Kementerian Kesehatan Republik Indoneisa, 2013a). Menurut (Sanchez-Zamoran et al, 2009; Rusilanti 36
dan Istiany, 2013), risiko untuk terkena hipertensi 3.6 kali lebih besar pada remaja dengan kelebihan berat badan dan 14 kali lebih besar dari remaja obesitas. Obesitas akan mengaktifkan kerja jantung dan dapat menyebabkan hipertrofi jantung dalam jangka waktu lama, curah jantung, isi sekuncup jantung, volume darah dan tekanan darah akan cenderung naik selain itu fungsi endokrin juga terganggu, sel-sel beta pankreas akan membesar, insulin plasma meningkat dan toleransi glukosa juga meningkat sehingga memudahkan terjadinya penyakit hipertensi (Kautsar et al, 2014). KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan positif antara jenis kelamin dan IMT dengan faktor risiko hipertensi pada remaja usia 15-17 tahun. Remaja putra memiliki rerata tekanan darah lebih tinggi dari perempuan sebesar 5.77 mmHg. Setiap peningkatan setara 1 kg/m2 IMT akan meningkatkan tekanan darah sebesar 4.85 mmHg. Remaja dengan status gizi lebih dapat meningkatkan pengetahuan tentang hipertensi, serta mengatur kebiasaan makan sesuai kebutuhan pertumbuhan fisik dan perkembangannya DAFTAR PUSTAKA Adhita PM, Pramuningtyas R. (2010). Perbedaan Angka Kejadian Hipertensi antara Pria dan Wanita Penderita Diabetes Mellitus Berusia ≥45 Tahun. Biomedika, 2(2): 67–71. Diakses pada tanggal 9 Juni 2016. Adrogue HJ, Madias NE. (2008). Sodium and Potassium in the Pathogenesis of Hypertension. The New England Journal of Medicine. 356(19) : 1966–1978. Diakses pada tanggal 16 September 2015. Andriani M, Wirjatmadi B. (2012). Peran Gizi dalam Siklus Kehidupan. Edisi Pertama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Yusrizal et al./ Risk of Hypertension in Adolescents
Appel LJ. (2011). Diet and Blood Pressure Nutrition Diet and Hypertension In: Rous AC, Caballero B, Cousins RJ, Tucker KL, Ziegler TR. Modern Nutrition And Health Disease. 11th ed. Philadelpia; Wolters Kluwer. 875886. Cordente MCA, Garcia SP, Sillero QM, Stirling JR. (2009). Correlations between the Blood Pressure and Other Health Variables in Spanish Adolescents. Journal Adolescent Medicine Health. 21(4): 635–651. Diakses pada tanggal 16 September 2015. Covelli MM. (2007). Prevalence of Behavioral and Physiological Risk Factors of Hypertension in (African) (American) Adolescents. Journal Pediatric Nursing. 33(4): 323–332. Diakses pada tanggal 12 Desember 2015. Dinkes Pangkalpinang. (2015). Laporan Hasil pengukuran Tekanan Darah Pada Anak SMU 2015, Pangkalpinang. Ehret GB, Caulfield MJ. (2013). Genes for blood pressure: An Opportunity to Understand Hypertension. European Heart Journal. 34(13): 951–961. Fatta LA, Sulchan M. (2012). Asupan Tinggi Natrium dan Berat Badan Lahir sebagai Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Obesitas pada Remaja Awal. Journal of Nutrition College. 1(1): 127–133. Available at: http;//ejournal s1.undip.ac.id/index.php/jnc. Diakses pada tanggal 18 November 2015. Fitriana R, Lipoeto NI, Triana V. (2013). Faktor Risiko Kejadian Hipertensi pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Sidomulyo Kota Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1): 10–15. Diakses pada tanggal 15 Januari 2016. Flores HS, Klunder KM, Cruz LR, Santos JI. (2009). Increase in Body Mass Index And Waist Circumference is Associated With High Blood Pressure in Children And
Adolescents in Mexico City. Archives of Medical Research, 40(3): 208–215. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/re trieve/pii/S01884409090003 8. Diakses pada tanggal 18 November 2015. Fonseca AMH, Takada J, AndreottiS, Campos TBF, Campana AB, Borge SCN, Lima FB. (2008). High Sodium Intake Enhances InsulinStimulated Glucose Uptake in Rat Epididymal Adipose Tissue. Journal of Obesity. 16(6): 1186–92. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/18369340. Hartono A. (2013). Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Edisi Pertama. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara. He FJ, Marrero NM, Macgregor GA. (2008). Salt and Blood Pressure in Children and Adolescents. Journal of Human Hypertension. 22 : 4–11. Diakses pada tanggal 18 November 2016. Henuhili V, Rahayu T, Nurkhasanah L. (2011). Pola Pewarisan Penyakit Hipertensi dalam Keluarga sebagai Sumber Belajar Genetika. 242– 247. Istiany A, Rusilanti. (2013). Gizi Terapan. Edisi Pertama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Katona E, Zrinyi M, Komonyi E, Lengyel S, Paragh G, Zatik J, Fulesdi B, Pall D. (2011). Factors Influencing Adolescent Blood Pressure: The Debrecen Hypertension Study. Kidney and Blood Pressure Research. 34(3) : 188–195. Diakses pada tanggal 12 Desember 2015. Kalangi JA, Umboh A, Pateda V. (2015). Hubungan Faktor Genetik dengan Tekanan Darah pada Remaja. Jurnal e-Clinic. 3: 3–7. Kautsar F, Syam A, Salam A. (2014). Hubungan Obesitas, Asupan Natrium dan Kalium Dengan Tekanan Darah Pada Mahasiswa Universitas Hasanuddin. 1–9.
37
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 30-39
Diakses pada tanggal 12 Februari 2016. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013a). Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksanan Hipertensi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013b). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013c). Riskesdas dalam Angka 2013 Pokok-Pokok Hasil RISKESDAS dalam Angka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Diakses pada tanggal 20 November 2016. Kollias A. (2011). Hypertension in Children and Adolescents. Pediatric Clinics of North America. 1(1): 15–19. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/167167 93. Kotchen TA, Kotchen JM. (2006). Nutrition, diet, and Hypertension, In: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballerro B, Cousins RJ, Editors, Modern Nutrition in Health and Disease. 10th Edition, Philadelpia; Lippincott Williams and Wilkins. 1095-1107. Kuschnir MCC, Mendonca GAS. (2007). Risk Factors Associated with Arterial Hypertension in Adolescents. Journal de Pediatria. 83(4): 335–342. Lauer MS. (2012). And What About Exercise? Fitness and Risk of Death In “Low-Risk” Adults. American Heart Association. 4: 1– 4. Lurbe E, Cifkova R, Cruickshank JK, Dillon MJ, Ferreira I, Invitti C, Kuznetsova T, Laurent S, Mancia G, Morales OF, Stergiou G, Wuhl E, Zanchetti A. (2009). Management of High Blood Pressure in Children and Adolescents: Recommendations of The European Society of 38
Hypertension. Journal of Hypertension. 27(9) : 1719–1742. Mahan LK, Escott SS, Raymond JL. (2012). Krause's Food and The Nutrition Care Process, 13th edition, Philadelphia. 900-918. Maranon R, Reckelhoff JF. (2013). Sex and Gender Differences in Control of Blood Pressure. Clinical science National Institutes of Health, 125(7) : 311–318. Nkeh CBN, Sekokotla AM, Sewani RC, Namugowa A, Iputo JE. (2015). Prevalence of Hypertension and Pre-hypertension in 13-17 Year Old Adolescents Living in Mthatha South Africa: a Cross-Sectional Study. Central European Journal of Public Health. 23(1): 59–64. Prasetyo DA, Wijayanti AC, Werdani EK. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Usia Dewasa Muda di Wilayah Puskesmas Sibela Surakarta.(1). Rahajeng E, Tuminah S. (2009). Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Maj Kedokteran Indonesia. 59(12): 580–587. Roberta G, Holanda I, Vieira EES, Nunes RB, Vilarouca AR. (2015). Prevalence of Arterial Hypertension and Risk Factors in Adolescents. Acta Paul Enferm. 28(1): 81–87. Available at: http://dx.doi.org/10.1590/19820194201500014. Diakses pada tanggal 19 November 2015. Rusilanti, Istiany A. (2013). Gizi Terapan. Edisi Pertama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Saing JH. (2005). Hipertensi pada Remaja. Sari Pediatri. 6(4): 159– 165. Diakses pada tanggal 18 November 2015. Sanchez ZLM, Salazar ME, AnayaOcampo R, Lazcano PE. (2009). Body Mass Index Associated with Elevated Blood Pressure in Mexican School-Aged Adolescents. Preventive Medicine. 48(6): 543– 548.
Yusrizal et al./ Risk of Hypertension in Adolescents
Sayed TFA, Oostra BA, Isaacs A, Van DCM, Witteman JCM. (2006). ACE Polymorphisms. Circulation Research. 98(9): 1123–1133. Silva D, Matos A, Magalhaes T, Martins V, Ricardo LA. (2012). Prevalence of Hypertension in Portuguese Adolescents in Lisbon, Portugal. Revista Portuguesa de Cardiologia (English Edition). 31(12): 789– 794. Soekatri M, Almatsier S, Soetardjo S. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sulastri D, Sidhi. (2011). Faktor Risiko Hipertensi pada Siswa SMU Adabiah di Kota Padang. Majalah Kedokteran Andalas. 35(2): 149– 158. Sutangi H, Winantri. (2011). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Wanita Lansia di POSBINDU Desa Sukaurip Kecamatan Balongan Indramayu. e-jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Wiralodra Indramayu, pp.1–8. Available at: ISSN 16937945. Toker RT, Yildirim A, Demir T, Ucar B, Kilic Z. (2015). Circadian Blood Pressure Rhythm in Normotensive Offspring of Hypertensive parents. Cardiology Journal, 22(2), pp.172– 178. Tsioufis C, Kyvelou S, Tsiachris D, Tolis P, Hararis G, Koufakis N,
Psaltopoulou T, Panagiotakos D, Kokkinos P, Stefanadis C. (2010). Relation between Physical Activity and Blood Pressure Levels in Young Greek Adolescents : The Leontio Lyceum Study. 21(1): 63– 68. WHO. (2013). A Global Brief on Hypertension Silent Killer, Global Public Health Crisis World Health Day 2013, 1211 Geneva, Switzerland: World Health Organization. Diakses pada tanggal 15 November 2015. WHO. (2011b). Strengthening the Health Sector Response to Adolescent Health and Development. 805–813. Diakses pada tanggal 12 November 2015. Yang Q, Zhang Z, Kuklina EV, Fang J, Ayala C, Hong Y, Loustalot F, Dai S, Gunn JP, Tian N, Cogswell ME, and Merritt R. (2012). Sodium Intake and Blood Pressure Among US Children and Adolescents. Pediatrics. 130(4): 611–619. Diakses pada tanggal 19 Januari 2016. Zarouk WA, Hussein IR, Esmaeil NN, Raslan HM, Reheim HAA, Moguib O, Emara NA. (2012). Association of Angiotensin Converting Enzyme Gene (I/D) Polymorphism with Hypertension and Type 2 Diabetes. Bratisi Lek Listy, 113(1): 14–18.
39