RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA
SKRIPSI JUSTIAN RENARDI LOUIS
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN JUSTIAN RENARDI LOUIS. D14062273. 2010. Ripitabilitas Sifat Kecepatan Lari dan Korelasi Fenotipiknya dengan Tinggi Badan pada Kuda Pacu Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Rini H. Mulyono, M.Si. Kuda Pacu Indonesia merupakan hasil grading-up kuda Sumba dengan kuda pacu Thoroughbred, membentuk ”bangsa baru” yang telah beradaptasi baik dengan lingkungan Indonesia sehingga dianggap sebagai kuda lokal. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi sifat kecepatan lari adalah ripitabilitas. Penelitian ini diperlukan sebagai dasar pengembangan Kuda Pacu Indonesia (KPI). Perolehan informasi kecepatan lari sebagai data penelitian dilakukan dari koleksi data pada Buku Panduan Acara Kejurnas Pordasi tahun 1998–2008. Data yang diperoleh merupakan data performa fenotipik kuda pacu yang dilombakan. Data yang diolah merupakan kecepatan lari, yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba, dan tinggi badan. Setiap individu kuda yang diamati memiliki jumlah catatan yang tidak sama satu sama lain. Data dari individu-individu kuda yang diamati dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Perhitungan ripitabilitas kecepatan lari dilakukan berdasarkan Becker (1968) dengan model statistik Yik = µ + αi +eik. Perhitungan nilai korelasi dilakukan dengan rumus korelasi regresi. Kecepatan lari KPI jantan dan betina pada umur dua tahun berbeda (P<0,05), berturut-turut sebesar 15,030±0,724 dan 15,203±0,634 m/detik. Kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina tidak berbeda pada umur 3, 4, dan >4 tahun; berturut-turut sebesar 15,096±0,514; 15,244±0,704; dan 15,308±0,758 m/detik. Ripitabilitas kecepatan lari kuda pacu jantan pada umur dua tahun (0,573±0,140) lebih tinggi daripada betina (0,315±0,206). Ripitabilitas kecepatan lari pada umur tiga tahun (0,278±0,138) dikategorikan sebagai ripitabilitas sedang. Ripitabilitas kecepatan lari tertinggi (0,737±0,042) ditemukan pada umur empat tahun, dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi. Ripitabilitas kecepatan lari umur diatas empat tahun (0,460±0,095) lebih rendah daripada umur empat tahun, tetapi masih tetap dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi. Pada umur dua tahun pengaruh genetis kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan betina, sedangkan pengaruh lingkungan sementara ditemukan lebih tinggi pada kedua jenis kelamin umur tiga tahun. Pada umur tersebut pengaruh lingkungan sementara, seperti pelatihan, masih lebih besar daripada pengaruh genetis. Kelompok kuda pacu umur empat tahun mampu mengekspresikan keunggulan sifat kecepatan lari; karena pengaruh genetis lebih tinggi daripada pengaruh lingkungan sementara. Pengaruh genetis dan lingkungan sementara diamati pada ripitabilitas kecepatan lari. Hasil uji-t menunjukkan bahwa secara umum tinggi badan KPI pada kisaran umur 2– >4 tahun tidak berbeda. Tinggi badan KPI pada umur 2 dan 3 tahun berturut-turut sebesar 151,143±4,949 dan 151,21±5,528 cm. Kuda pacu jantan dan ii
betina umur empat tahun memiliki tinggi badan berturut-turut sebesar 153,095±5,610 dan 149,811±5,394 cm; pada umur diatas empat tahun berturut-turut sebesar 151,626±8,219 dan 148,662±5,039 cm. Kelompok kuda pacu jantan umur empat tahun memiliki korelasi positif (koefisien korelasi 0,53) yang sangat nyata (P<0,01) antara kecepatan lari dan tinggi badan. Korelasi antara sifat kecepatan lari dan tinggi badan tidak ditemukan pada kuda pacu kelompok umur lain. Kata-kata kunci : kuda-pacu, kecepatan, ripitabilitas, korelasi fenotipik
iii
ABSTRACT Repeatability of Racing Performance and Phenotypic Correlation Between Racing-Speed and Body Height in Indonesian Racehorse Louis, J. R., R. R. Noor, dan R. H. Mulyono The aims of this study were to estimate the repeatability of racing-speed and values of phenotypic-correlation between racing-speed and body-height in Indonesian racehorse; which are expected to be useful for a development of Indonesian racehorses’ performance through selection programs. The racing records used in the study were obtained from the ”Kejurnas Pordasi horseracing guidebook & registry” 1998–2008. The traits used in the study were racing-speed and body-height for ages of 2, 3, 4, and >4 years old. The data from each age were analyzed separately. Results showed that the racing-speed of 2 years old male and female Indonesian racehorses are significantly different (P<0.05). Mean of fastest racing-speed is shown by the group of above-four years old. Estimates of speed repeatability range from moderate to high (0,278±0,138 to 0,737±0,042); was highest for the group of four years old and lowest for the group of three years old. Group of two years old males shows higher estimates of speed repeatability than group of females for the same age. Results of t-test show that body-height of Indonesian racehorses in general for the age of 2 through >4 years old are not significantly different. Group of 4 years old males shows a very significant (P<0.01) phenotypic correlation between racingspeed and body-height. The results indicate that a moderate level of genetic progress might be possible for racing performance of Indonesian racehorse if selection is based on the phenotypic values of the horses, particularly on racing-speed and body height, above the age of four years old. Keywords: racehorse, speed, repeatability, phenotypic correlation
iv
RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA
JUSTIAN RENARDI LOUIS D14062273
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 v
Judul : RIPITABILITAS SIFAT KECEPATAN LARI DAN KORELASI FENOTIPIKNYA DENGAN TINGGI BADAN PADA KUDA PACU INDONESIA Nama : Justian Renardi Louis NIM
: D14062273
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc.) NIP: 196102101986031003
(Ir. Rini H. Mulyono, M.Si.) NIP: 196211241988032002
Mengetahui : Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 195912121986031004
Tanggal Ujian: 20 Oktober 2010
Tanggal Lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bandung pada tanggal 27 Januari 1988. Penulis adalah putra pertama anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Hendy Louis dan Tririanti Suryabudhi. Penulis mengawali pendidikan dasar di Kota Bandung pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Santa Angela Bandung dan diselesaikan pada tahun 2000. Penulis kemudian melanjutkan mengambil pendidikan menengah pertama pada tahun 2000 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Santa Angela Bandung dan diselesaikan pada tahun 2003. Pendidikan menengah tingkat atas Penulis ditempuh pada tahun 2003 hingga tahun 2006 di SMU Santa Angela Bandung. Selama bersekolah penulis sempat aktif sebagai anggota dan pengurus Kelompok Sosial Serviam Santa Angela Bandung periode 2004/2005 dan 2005/2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB) sebagai anggota Biro Pendidikan dan Pembinaan (periode 2006-2007), sebagai ketua Divisi Internal (periode 2007-2008), dan sebagai koordinator Biro Pengembangan dan Pendidikan (periode 2008-2009). Penulis pun sempat aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) periode 2008-2009. Penulis pernah melaksanakan kegiatan magang di PT. Obor Swastika yang berada di bawah naungan Koperasi Peternak Babi Indonesia pada tahun 2008. Penulis pun pernah menjadi Asisten mata kuliah Teknik Penanganan dan Pengolahan Hasil Ikutan Ternak pada tahun akademik 2009/2010. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun akademik 2009/2010.
vii
KATA PENGANTAR Kuda Pacu Indonesia merupakan sebuah ”bangsa baru” ternak kuda yang diharapkan dapat berkembang pada masa yang akan datang. Perkembangan ini dapat diraih melalui banyak cara, dan diantaranya ialah seleksi. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi genetis sifat kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia (KPI), yang akan bermanfaat bagi penetapan program seleksi yang tepat. Penelitian diawali dengan pengumpulan dan pentabulasian data catatan kecepatan lari kuda pacu menjadi sekumpulan data yang lebih mudah diolah. Proses penelitian dilakukan dengan mengevaluasi sifat kecepatan lari dan korelasi sifat tersebut dengan tinggi badan KPI. Hasil penelitian menjelaskan mengenai sifat kecepatan lari, ripitabilitas (daya pengulangan), dan korelasi fenotipik sifat tersebut dengan tinggi badan pada berbagai kelompok umur. Hasil ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan potensi kuda pacu Indonesia, ataupun penilitian lain yang mengarah pada tujuan yang sama. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan; tidak lupa kepada pembaca yang akan meluangkan waktu mempelajari dan memanfaatkan hasil tulisan ini. Tuhan memberkati.
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN… .…………………………………………………………………… ii ABSTRACT...………………………………………………………………………..iv LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………………. v LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... vi RIWAYAT HIDUP………………………………………………………………....vii KATA PENGANTAR……………………………………………………………...viii DAFTAR ISI……… ..……………………………………………………………….ix DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xii PENDAHULUAN.................................................................................................... 1 Latar Belakang.............................................................................................. 1 Tujuan .......................................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 2 Kuda............................................................................................................. 2 Kuda Thoroughbred .......................................................................... 3 Kuda Pacu Indonesia (KPI) / Peranakan Thoroughbred ..................... 4 Kuda Sandel...................................................................................... 4 Seleksi dan Persilangan................................................................................. 5 Pelestarian Sumberdaya Genetik Kuda .............................................. 5 Sifat Kuantitatif ............................................................................................ 6 Kecepatan Lari dan Performa Pacu.................................................... 7 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Performa Pacu. .................. 8 Pertumbuhan dan Tinggi Badan......................................................... 8 Ripitabilitas .................................................................................................. 9 MATERI DAN METODE...................................................................................... 11 Lokasi dan Waktu ....................................................................................... 11 Materi ......................................................................................................... 11 Prosedur dan Rancangan ............................................................................. 12 Prosedur .......................................................................................... 12 Rancangan dan Analisis Data .......................................................... 13 Nilai Ripitabilitas ...................................................................... 13 Uji-t 2 Sampel ........................................................................... 14 Korelasi Fenotipik Antara Kecepatan Lari dengan Tinggi Badan............................................................................. 14 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................... 15 Sifat Kecepatan Lari dan Ripitabilitasnya.................................................... 15 Sifat Kecepatan Lari........................................................................ 15 ix
Ripitabilitas Sifat Kecepatan Lari .................................................... 20 Tinggi Badan .............................................................................................. 23 Korelasi Sifat Kecepatan Lari dan Tinggi Badan......................................... 25 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................... 27 Kesimpulan................................................................................................. 27 Saran .......................................................................................................... 27 UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. 28 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 29 LAMPIRAN………………...………………………………………………….........31
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah Sampel Kuda yang Diamati Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.................................................................................... 11 Tabel 2. Tabel Analisis Ragam .............................................................................. 13 Tabel 3. Rataan Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur............................................. 15 Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina ................................. 18 Tabel 5. Nilai σ dan σ Sifat Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur................................... 19 Tabel 6. Nilai Ripitabilitas Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur................................... 21 Tabel 7. Rataan Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur .................................................... 23 Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Uji-t Tinggi Badan antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina ................................. 24 Tabel 9. Korelasi antara Kecepatan Lari dan Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur................... 25
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia antara Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur ................. 32 Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Uji-t Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia antara Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur ................. 32 Lampiran 3. Contoh Data Kecepatan Lari berdasarkan Pencatatan dari Buku Panduan Acara Pacuan Kuda pada Kuda Pacu Indonesia Nomor Individu 1-15 ........................................................................ 33 Lampiran 4. Contoh Data Kecepatan Lari berdasarkan Pencatatan dari Buku Panduan Acara Pacuan Kuda pada Kuda Pacu Indonesia Nomor Individu 16-30 ...................................................................... 33 Lampiran 5. Contoh Data Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Jantan pada Umur Dua Tahun .............................................................................. 34 Lampiran 6. Contoh Data Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Betina pada Umur Lebih dari Empat Tahun (lima tahun dan lebih) ...................... 35 Lampiran 7. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan Umur Dua Tahun........................................................................................ 36 Lampiran 8. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Betina Umur Dua Tahun........................................................................................ 37 Lampiran 9. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Tiga Tahun .................................................................. 38 Lampiran 10. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Empat Tahun ............................................................... 39 Lampiran 11. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Lebih dari Empat Tahun .............................................. 40
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kuda Pacu Indonesia merupakan ternak lokal Indonesia yang telah beradaptasi baik di lingkungan Indonesia. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan sektor ekonomi dan budaya yang tidak dapat dilepaskan dari peran pemulia dalam proses pengembangannya. Kebijakan pemerintah mengenai pengembangan ternak lokal Indonesia, contohnya Permentan No.35/Permentan/OT.140/8/2006, diharapkan dapat menempatkan kuda pacu sebagai salah satu target utama sumber budaya lokal yang menjadi simbol kebanggaan sekaligus daya tarik pariwisata bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Kuda pacu yang bermutu tinggi memiliki nilai ekonomi tersendiri karena peningkatan kecepatan pacu berkorelasi dengan harga jual. Kepemilikan kuda pacu bermutu tinggi juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi pemilik, disamping memberikan keuntungan nyata dalam bentuk perolehan hadiah karena prestasi yang berhasil diraih. Kuda Pacu Indonesia (KPI) merupakan kuda hasil grading-up kuda lokal Sumba dengan kuda pacu unggul Thoroughbred yang membentuk ”bangsa baru” yang telah beradaptasi baik dengan lingkungan Indonesia sehingga dianggap sebagai kuda lokal. Metode seleksi merupakan upaya pemuliaan untuk meningkatkan kecepatan pacu kuda lokal Indonesia, sehingga karakteristik kuda lokal Indonesia dapat dipertahankan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi ke arah sifat kecepatan pacu kuda adalah ripitabilitas. Sejauh ini belum banyak penelitian yang membahas mengenai potensi genetis kecepatan lari kuda pacu Indonesia. Penelitian ini sangat diperlukan sebagai dasar pengembangan KPI. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sifat kecepatan lari dan mendapatkan informasi mengenai pewarisan sifat kecepatan lari KPI melalui perhitungan pendugaan nilai ripitabilitas. Penelitian ini pun memiliki tujuan untuk mengkaji korelasi antara sifat kecepatan lari dengan sifat tinggi badan KPI. Hasil yang didapatkan dari tujuan ini diharapkan dapat mempermudah penentuan strategi seleksi yang akan diterapkan. 1
TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda (Equus caballus) termasuk dalam famili Equidae yang berkerabat erat dengan keledai (Equus asinus), zebra (Equus zebra), dan hemione (Equus heminus). Food and Agriculture Organization (FAO) (2000) menyatakan bahwa sejarah berdasarkan pertimbangan arkeolog menunjukkan bahwa bangsa kuda telah didomestikasi di daerah Eurasian, negara bagian Ukraina pada tahun 4000 SM dimana kuda dimanfaatkan sebagai hewan tunggangan dan sumber daging. Terdapat juga beberapa daerah lain yang diduga telah mendomestikasi kuda seperti China, Mesopotamia, Turkistan, dan wilayah bagian Utara pegunungan Persia. Sementara itu, tempat dan waktu pertama kali kuda didomestikasi masih menjadi perdebatan diantara para arkeologis. Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) menurut Ensminger (1962) memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut : Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Perissodactyla
Famili
: Equidae
Genus
: Equus
Spesies
: Equus caballus
Saat ini pengetahuan terkini tentang domestikasi kuda didasarkan pada material purbakala dari bagian Selatan Ukraina yang telah berusia 4200-3800 SM (metode radiokarbon) (Anthony et al., 1991). Dikatakan bahwa terdapat paling kurang dua subspesies dari kuda liar yaitu Equus ferus ferus atau kuda Tarpan dan Equus ferus przewalksi yang dikenal sebagai kuda Mongolian. Kuda Tarpan terakhir dibunuh pada bulan Desember 1879, keturunan jenis ini masih dipelihara di kebun binatang Moskow sampai tahun 1880 dan di wilayah Poltava, Ukraina sampai tahun 1918 (Bannikov dan Flint, 1989), sedangkan kuda Przewalski keturunannya masih dapat dijumpai di alam liar di dataran Barat Daya China yang kemudian banyak berbaur dengan kuda domestik dari Barat. Populasi kuda di seluruh dunia mencapai kira-kira 62 juta ekor, yang terdiri dari 500 bangsa, tipe, dan varietas. Bangsa kuda 2
pada awalnya dianggap sebagai hewan yang berkaitan dengan lokasi geografis tempatnya dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara khusus (Bowling dan Ruvinsky, 2004). Kuda dapat dikelompokkan menjadi tipe berat, tipe ringan, dan kuda poni sesuai dengan ukuran, bentuk tubuh, dan kegunaan. Kuda tipe berat memiliki tinggi badan 1,45-1,75 m saat berdiri, bobot badan lebih dari 700 kg, dan biasa digunakan sebagai kuda pekerja. Kuda tipe ringan memiliki tinggi badan 1,45-1,70 m saat berdiri, bobot badan 450-700 kg, digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik, dan kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih lincah dibanding kuda tipe berat. Kuda poni memiliki tinggi kurang dari 1,45 m dan bobot badan 250450 kg. Dijelaskan lebih lanjut bahwa beberapa kuda berukuran kecil biasa dibentuk dari keturunan kuda tipe ringan (Ensminger, 1962). Parakkasi (1986) menyatakan bahwa kuda berperanan penting dalam aktivitas kehidupan masyarakat sejak kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha berdiri yaitu sekitar abad ketujuh. Kuda berperanan sebagai alat transportasi, penarik bajak di sawah, berburu, dan penggunaan kuda dalam olahraga ketangkasan berkuda serta pacuan. Penggunaan kuda dalam olahraga ketangkasan berkuda dan pacuan banyak ditemukan di Nusa Tenggara Barat dan Timur. Peternakan tradisional telah melahirkan kuda pacu lokal seperti kuda Batak, Padang Mangatas, Priangan, Sumba, Minahasa, dan kuda Sandel, yang menurut Equestrian Indonesia (2008) berasal dari daerah-daerah yang dikenal memiliki ternak-ternak kuda tradisional seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat serta Nusa Tenggara Timur. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa di Indonesia juga ditemukan populasi kuda peranakan Thoroughbred yang merupakan persilangan antara kuda Thoroughbred dan kuda lokal Sumba (kuda Sandel) yang digunakan sebagai kuda pacu. Kuda Thoroughbred Food and Agriculture Organization atau FAO (2000) menyatakan bahwa kuda Thoroughbred merupakan bangsa kuda yang dibentuk dari induk-induk kuda bangsa lain yaitu : kuda Darley Arabian, Godolphin Arabian, dan Byerly Turki. Nama-nama tersebut diambil dari nama para pemilik kuda galur murni tersebut, masing-masing yaitu Thomas Darley, Lord Godolphin, dan Captain Robert Byerly. 3
Ketiga kuda stallions (pejantan) tersebut dibawa ke Inggris dari Wilayah Mediteranian Timur Tengah sekitar abad ke-17 yang disilangkan dengan kuda Eropa. Hasil persilangan dengan kuda betina lokal di Inggris tersebut kemudian menurunkan kuda pacu unggul yang dinamakan English Thoroughbred yang digunakan sebagai kuda pacu di seluruh dunia (Kidd, 1995). Dijelaskan lebih lanjut oleh FAO (2000) bahwa persilangan kuda unggul tersebut menghasilkan kuda persilangan yang memiliki kemampuan mengangkut beban sekaligus memiliki kecepatan lebih untuk jarak tempuh yang jauh. Kuda tersebut kemudian berkembang dalam ukuran yang lebih ramping, gagah, dan menarik sebagai kuda pacuan. Blakely dan Blade (1991) menyatakan bahwa selain kecerdasannya, karakteristik lari dan daya tahan kuda Thoroughbred telah terbukti selama ratusan tahun dalam arena perlombaan flat dan jumping seperti Kentucky Derby dan English Grand National Steeplechase. Kuda Pacu Indonesia (KPI) / Peranakan Thoroughbred Kuda Pacu Indonesia (KPI) merupakan peranakan Thoroughbred yang dibentuk melalui program grading-up dengan tujuan untuk memenuhi permintaan kuda pacu. Proses pembentukan kuda peranakan Thoroughbred dimulai dari kuda G1 yang merupakan hasil persilangan betina lokal dengan pejantan Thoroughbred, dengan darah lokal 50% dan darah Thoroughbred 50%. Kuda G2 merupakan hasil persilangan kuda betina G1 pada umur 3 atau 4 tahun dengan pejantan Thoroughbred. Kuda betina G2 yang disilangkan dengan pejantan Thoroughbred akan menghasilkan kuda G3, kuda dengan komposisi darah lokal 12,5% dan darah Thoroughbred 87,5%, yang dijadikan bibit pejantan (parent-stock). Kuda Pacu Indonesia merupakan hasil persilangan kuda betina G4 dengan kuda jantan G4 atau G3 (Soehardjono, 1990). Kuda Sandel Kuda Sandel (Sandalwood Pony) merupakan kuda pacu lokal Indonesia yang dikembangkan di Pulau Sumba. Kuda ini diduga memiliki moyang (leluhur) kuda Arab yang disilangkan dengan kuda poni lokal beberapa generasi (grading-up) untuk meningkatkan performa kuda tersebut. Nama “Sandalwood” sendiri dikaitkan dengan kayu cendana (Sandalwood) yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (Equestrian Indonesia, 2008). 4
Kuda ini memiliki pinggang agak tinggi dan merupakan keturunan kuda Australia yang pernah diintroduksi ke Pulau Sumba (Soehardjono, 1990). Meskipun demikian, kuda Sandel memiliki postur tubuh yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kuda ras dari Australia atau Amerika. Kuda Sandel memiliki tinggi punggung antara 130-142 cm, kaki dan kuku yang kuat dengan leher yang besar serta memiliki daya tahan (endurance) yang tinggi sehingga banyak digunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang, dan bahkan kuda pacu (Equestrian Indonesia, 2008). Edwards (1994) menyatakan bahwa kuda lokal Indonesia (termasuk kuda Sumba) digolongkan sebagai kuda poni. Dijelaskan lebih lanjut bahwa konformasi tubuh kuda Sumba terlihat tidak sempurna, tetapi memiliki bagian punggung yang sangat kuat. Seluruh kuda poni (termasuk kuda Sumba) telah beradaptasi secara fisik dan merubah cara hidup mereka untuk dapat bertahan pada kondisi tempat mereka hidup (Roberts, 1994). Jenis kuda ini sampai sekarang masih diternakkan di Pulau Sumba dan diperdagangkan ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura, dan Bali sebagai kuda tarik, tunggang, dan kuda pacu (Equestrian Indonesia, 2008). Seleksi dan Persilangan Gatenby (1991) menyatakan bahwa perbaikan mutu ternak dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan untuk membentuk bangsa baru dengan introduksi gen baru dari luar. Noor (2008) menyatakan pula bahwa persilangan merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan laju pertumbuhan ternak. Persilangan dan seleksi merupakan salah satu peran yang dapat dilakukan peternak dalam mengembangkan kualitas ternak (kuda), misalnya seleksi terhadap kecepatan dan stamina yang berkembang dengan cepat (Campbell dan Lasley, 1981). Seleksi kuda pacu dilakukan berdasarkan konformasi, silsilah keturunan, catatan pacuan, dan kesehatan terutama perototannya. Seleksi pada kelompok kuda sprinter (jarak pacu yang dekat) dipilih kuda yang umumnya memiliki perototan yang lebih banyak, sedangkan untuk pacuan yang jaraknya cukup jauh pemilihan kuda umumnya melihat panjang kaki (Worldiq, 2006). Pelestarian Sumberdaya Genetik Kuda Catatan oleh FAO (2001) menyatakan sedikitnya satu bangsa ternak asli punah setiap minggu dan lebih dari sepertiga dari bangsa ternak asli di Eropa dalam keadaan terancam punah. Lebih lanjut catatan FAO (2000) ini menambahkan bahwa 5
hilangnya bangsa-bangsa ternak lebih disebabkan oleh kecenderungan peternak untuk mengembangkan bangsa ternak eksotik. Keadaan ini banyak terjadi pada petani-peternak di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India akibat banyaknya persilangan yang meluas (Sodhi et al., 2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar yang berlebih, penerapan mekanisasi pertanian yang tidak tepat, dan diversifikasi produk ternak menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besaran sumberdaya genetis ternak lokal melalui persilangan dan penggantian breed baru yang mengancam kelestarian plasma nutfah keragaman genetik ternak, yang sangat penting untuk dipertahankan sebagai konservasi sumberdaya genetik hewan. Hal ini pun akan berdampak pada kelangsungan ketersediaan sumber makanan asal hewan yang berkelanjutan (Subandriyo dan Setiadi, 2003; Sodhi et al., 2006). Konservasi sumberdaya genetik hewan lokal memainkan peranan penting dalam kelangsungan ketersediaan pangan dunia. Namun peranan ini masih sering kurang disadari, terlihat dari kenyataan bahwa (1) lebih dari 60% bangsa-bangsa ternak dunia berada di negara-negara berkembang; (2) mempertahankan potensi genetik ternak asli/ lokal bukan merupakan hal yang menguntungkan bagi peternak; (3) tidak adanya program pengawasan yang ketat dan ketersediaan informasi yang akurat terhadap sebagian besar bangsa ternak asli; dan (4) masih kurangnya pengembangan potensi genetik terhadap bangsa-bangsa ternak lokal (FAO, 2001). Jacoebs (1994) menambahkan bahwa bangsa kuda yang terdapat di Indonesia pemuliabiakannya dipengaruhi oleh iklim tropis serta lingkungannya. Tinggi badannya berkisar antara 1,15 -1,35 m sehingga tergolong dalam jenis poni. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikapnya kurang serasi, karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan kaki bagian belakang. Sikap berdiri seperti ini terdapat pada berbagai jenis kuda di Asia Tenggara. Sifat Kuantitatif Setiap sifat kualitatif dan kuantitatif yang diekspresikan seekor hewan atau ternak disebut fenotip. Fenotip (P) atau disebut pula sebagai penampakan suatu ternak (Noor, 2008) merupakan hasil keseluruhan pengaruh-pengaruh gen atau genotip (G), lingkungan (E), dan interaksi antara pengaruh genotip dan lingkungan (G x E) (Martojo, 1992). Sifat-sifat kualitatif, seperti warna, pola warna, sifat 6
bertanduk, atau tidak bertanduk sangat mudah dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat-sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen. Sifat kualitatif biasanya bersifat tidak aditif (Noor, 2008). Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak baik untuk sifat produksi seperti ukuran morfologi tubuh, kecepatan lari, daya tahan, dan tenaga tarik juga untuk sifat reproduksi seperti lama kebuntingan, lama birahi, dan produksi susu (Martojo, 1992). Noor (2008) menyatakan bahwa sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak pasangan gen yang bersifat aditif. Gen-gen tersebut terdapat dalam sel-sel jaringan dari berbagai bagian tubuh dan organ-organ vital yang saling berinteraksi dalam proses biokimia faali tubuh, maka tidaklah sulit membayangkan bahwa jumlah gen yang berperanan dalam proses tumbuh kembang ini dapat mencapai ratusan bahkan ribuan (Martojo, 1992). Kecepatan Lari dan Performa Pacu Hintz (1980) menyatakan bahwa performa pacu dapat diukur melalui pendapatan (hadiah pada perlombaan), catatan pendapatan, indeks pendapatan ratarata, jarak dari juara, tingkatan performa, berat penyeimbang, waktu-tempuh, waktu rata-rata, urutan juara, lomba yang didiskualifikasi, dan sebagainya. Namun, waktutempuh dianggap sebagai parameter yang paling tepat untuk mengukur performa pacu, selain itu waktu-tempuh juga merupakan parameter yang paling sering digunakan. Hal serupa dinyatakan pula oleh Ekîz dan Koçak (2007) bahwa performa pacu kuda dapat diukur melalui waktu-tempuh atau urutan finish suatu jarak lomba, jumlah pendapatan dalam satu periode, dan berat penyeimbang. Namun waktutempuh merupakan sifat yang lebih mudah diwariskan dibanding posisi juara dan jumlah uang yang dimenangkan. Lebih jauh dijelaskan bahwa waktu-tempuh lomba dalam setiap pacuan merupakan satu-satunya ukuran langsung terhadap kecepatan dan juga merupakan sebuah ukuran kuantitatif yang paling tepat untuk mengevaluasi performa pacu pada kuda secara genetis. Nilai kecepatan lari seekor kuda dapat diperoleh dengan membagi jarak pacu terhadap waktu tempuh. Ekîz dan Koçak (2007) menyatakan bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi. Hintz (1980) menyatakan bahwa secara umum kuda Thoroughbred di Amerika mencapai puncak performa pacu pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut 7
bahwa puncak performa pacu kuda Thoroughbred di Amerika bermacam-macam, yakni 4 tahun pada pejantan; 2,5 tahun pada induk atau kuda betina; dan 5,5 tahun pada kuda jantan kastrasi. Thompson (1995) dan Quickness (2006) menyatakan bahwa keseluruhan kerangka kuda memiliki perototan yang terdiri atas tiga jenis urat syaraf utama, yaitu slow twitch fiber, intermediate twitch fiber, dan fast twitch fiber. Slow twitch fiber mempengaruhi kekuatan dan daya tahan otot,
intermediate twitch fiber
mempengaruhi kemampuan kedua urat syaraf lain, dan fast twitch fiber mempengaruhi kecepatan kontraksi otot. Otot dengan fast twitch fiber memberikan seekor kuda kecepatan, kegesitan, dan ketangkasan serta kekuatan saat berlari. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Performa Pacu.
Hintz (1980)
menyatakan bahwa faktor umur dan jenis kelamin mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Faktor lingkungan seperti umur pejantan (ayah), musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk, dan urutan kelahiran individu tidak mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi. Pelatih yang berpengalaman memiliki kemampuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda. Pelatih kemudian akan menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi khusus kuda. Pertumbuhan dan Tinggi Badan Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa kelompok hormon androgen yang mempengaruhi perkembangan karakteristik seks sekunder pada jantan, juga memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan tulang dan otot. Graham-Thiers dan Kronfeld (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda memerlukan tambahan makanan berupa asam amino meskipun hanya melakukan sedikit exercise. Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa sekresi testosteron sebagai hormon utama androgen mempengaruhi pertumbuhan cepat yang terjadi menjelang dan selama pubertas. Individu jantan memproduksi testosteron lebih banyak dari individu betina. Hal ini menyebabkan individu jantan tumbuh lebih besar dan cepat. Hormon estrogen yang banyak diproduksi oleh individu betina ditemukan menghambat pertumbuhan jaringan otot pada beberapa spesies. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jenis kelamin memainkan peranan penting dalam 8
pertumbuhan seekor ternak. Kadar androgen yang tinggi pada ternak jantan akan meningkatkan perkembangan otot sehingga individu jantan memiliki pertumbuhan yang lebih besar dan cepat, terutama pada massa protein tubuh. Bowling dan Ruvinsky (2004) menyatakan bahwa ukuran tubuh kuda memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan akan semakin meningkat seiring pertambahan umur. Tinggi pundak (atau tinggi badan) kuda Thoroughbred memiliki nilai heritabilitas antara 0,33 hingga 0,88. Sebuah analisis hubungan antara konformasi dan karakteristik kecepatan lari pada anak kuda menjelaskan peningkatan kecepatan yang dihasilkan anak kuda disebabkan oleh pertambahan panjang langkah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ternyata anak kuda yang larinya cepat memiliki kaki yang lebih berat dengan frekuensi langkah lebih banyak dan tinggi; dan hal ini terjadi pada kuda yang relatif lebih tinggi. Hill et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan pada pertambahan massa tubuh kuda pacu Thoroughbred, beserta perototannya, dengan peningkatan tinggi badan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hubungan ini semakin nyata pada kuda jantan, yang memiliki massa tubuh (otot) yang lebih padat dan banyak. Ripitabilitas Ripitabilitas (r) merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut hidup (Noor, 2008). Nilai ripitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan, dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya (Warwick et al., 1987). Noor (2008) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi nilai ripitabilitas adalah variasi lingkungan yang tetap, contohnya ialah penyakit dan kualitas makanan yang rendah selama ternak masih muda dapat mengubah kondisi ternak dan berpengaruh selamanya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa besar nilai ripitabilitas suatu sifat dipengaruhi oleh besar nilai heritabilitas sifat yang sama. Semakin besar nilai ripitabilitas, semakin besar pula nilai heritabilitas untuk sifat yang sama. Nilai ripitabilitas berkisar antara 0-1. Nilai ripitabilitas dapat digolongkan menjadi tiga 9
kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Nilai ripitabilitas suatu sifat dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0,0-0,2; dikatakan sedang jika berada di antara 0,2-0,4; dan dikatakan tinggi jika nilainya melebihi 0,4. Pallawaruka (1999) menyatakan bahwa ripitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistensi, reabiliti) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa ripitabilitas suatu sifat berguna dalam memperkirakan produktivitas ternak pada masa yang akan datang berdasarkan satu atau lebih catatan produksi. Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa nilai ripitabilitas yang tinggi menandakan ternak tersebut mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama untuk setiap tahunnya, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi (atau terendah) secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai ripitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Maciejowski dan Zięba, 1982).
10
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan skripsi dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2010 di Laboratorium Genetika Kuantitatif Bagian Pemuliaan dan Genetika, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Pengambilan informasi kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia sebagai data penelitian dilakukan dari koleksi data atau catatan kecepatan pacu pada Buku Panduan Acara Kejurnas Pordasi Ke-32 Tahun 1998, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-34 Tahun 2000, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Tahun 2000-2003, Buku Panduan Pacuan Kuda dalam Rangka HUT Minahasa Ke576 Tahun 2004, Buku Panduan Acara Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-39 Tahun 2005, Buku Panduan Acara Piala Jakarta Derby 2006, Buku Panduan Acara Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-40 Tahun 2006, Buku Panduan Acara Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-41 Tahun 2007, Buku Panduan Acara Lomba Pacuan Kuda Bendi Kalaper dan Perayaan Menyambut Natal Pordasi Tahun 2008, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-42 Tahun 2008, Buku Panduan Pacuan Kuda Kejurnas Pordasi Ke-42 Tahun 2008. Jumlah sampel yang digunakan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Sampel Kuda yang Diamati Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Kuda (Ekor)
Umur (Tahun)
Jumlah (Ekor)
Jantan (♂)
Betina (♀)
2
38
40
78
3
51
48
99
4
40
36
76
>4
39
27
66
Jumlah (Ekor)
168
151
--
11
Prosedur dan Rancangan Prosedur Data yang diperoleh merupakan data performa fenotipik kuda pacu yang dilombakan. Data meliputi nama kuda, nama induk pejantan, warna rambut, umur, tinggi badan, nama pemilik, event dan tahun lomba, jarak tempuh lomba, waktu tempuh lomba, waktu pelaksanaan lomba dan selisih jarak finish dengan kuda peserta sebelumnya. Data tersebut akan dirangkum dalam bentuk tabel yang lebih mudah untuk dipelajari. Data yang dapat diolah merupakan catatan kecepatan lari dan tinggi badan selama masa produktif sampai dengan tahun terakhir pencatatan dilakukan. Setiap individu kuda yang diamati memiliki jumlah catatan yang tidak sama satu sama lain. Data dari individu-individu kuda yang diamati dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur, kemudian ditabulasikan untuk mempermudah pengolahan data lebih lanjut. Data yang telah ditabulasikan digunakan dalam perhitungan ripitabilitas pada penelitian ini. Perhitungan nilai ripitabilitas kecepatan lari menggunakan data kecepatan lari yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba. Hintz (1980) menyatakan bahwa waktu tempuh mengindikasikan jumlah detik yang dibutuhkan seekor kuda untuk menyelesaikan lomba, dan merupakan parameter yang paling sering digunakan. Ekîz dan Koçak (2007) melaporkan bahwa waktu tempuh lomba dalam setiap pacuan merupakan satu-satunya pengukuran langsung pada kecepatan dan juga merupakan pengukuran kuantitatif yang tepat untuk mengevaluasi secara genetis performa pacu pada kuda. Nilai kecepatan lari seekor kuda diperoleh dengan membagi jarak lomba terhadap waktu tempuh. Pengujian rataan dilakukan dengan uji-t 2 sampel; jika uji-t antara kelompok jantan dan betina pada kelompok umur tertentu menunjukkan hasil tidak nyata, maka data yang digunakan merupakan data gabungan (kelompok jantan dan betina). Data yang telah ditabulasikan tersebut diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hubungan korelasi antara kecepatan lari dan tinggi badan. Perhitungan nilai korelasi dilakukan dengan rumus korelasi regresi. Hubungan korelasi ini disebut korelasi fenotipik pada penelitian ini.
12
Rancangan dan Analisis Data Data kecepatan lari yang telah ditabulasikan diolah menggunakan metode analisis ragam (ANOVA) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. dan diolah lebih lanjut untuk mendapatkan nilai ripitabilitas. Data yang sama juga digunakan untuk mendapatkan nilai korelasi antara kecepatan lari dengan tinggi badan kuda yang diamati. Pengelompokan dan pentabulasian data dilakukan dengan menggunakan program Excell Microsoft Office. Pengolahan data dengan metode analisis ragam, analisis uji-t 2-sampel, dan perhitungan nilai korelasi dilakukan melalui program MINITAB14 dan Statistix8. Model rancangan percobaan berdasarkan Becker (1968) yaitu: Yik = µ + αi +eik Keterangan: Yik
= pengukuran ke-k pada individu ke-i
µ
= nilai tengah umum
αi
= pengaruh individu ke-i
eik
= pengaruh lingkungan tidak terkontrol dan atribut deviasi genetik individu
Tabel 2. Tabel Analisis Ragam Sumber Keragaman
KT yang Diharapkan
Derajat Bebas
JK
KT
Antara Individu
n- 1
JKw
KTw
Antara Pengamatan dalam Individu
m-n
JKe
KTe
Total
m- 1
JKt
σ + k1σ σ
Keterangan : n= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, σ
= KTw, σ = KTe, koefisien k1=
jumlah ulangan
(
)
(m. −
∑
.
), ∑ m = kuadrat-
Nilai Ripitabilitas Pendugaan nilai ripitabilitas dihitung dengan menggunakan rumus (Becker, 1968): R = σ = MS
σ2W σ2W + σ2e
dan σ
=
–
13
Keterangan : R
= ripitabilitas = ragam kecepatan pacu antara individu-individu yang diamati = ragam kecepatan pacu berdasarkan pengukuran-pengukuran dalam individu yang diamati = kuadrat tengah kecepatan pacu = kuadrat tengah individu yang diamati
k1
= jumlah pencatatan atau ulangan
Uji-t 2 Sampel Pengujian kesamaan antara dua populasi dihitung menggunakan rumus: t = ((X1 - X2) -
0)
/s
Keterangan : X1 = rataaan populasi sampel 1 X2 = rataan populasi sampel 2 s
= standar deviasi sampel 0
= perbedaan antara rataan populasi
Korelasi Fenotipik Antara Kecepatan Lari dengan Tinggi Badan Pendugaan koefisien korelasi antara dua parameter (kecepatan lari dan tinggi badan) dihitung dengan menggunakan rumus koefisien korelasi regresi (Maciejowski dan Zięba, 1982): r Keterangan : rxy
=
∑ xy –
∑ 2−
(∑ x)(∑ y) n
∑ 2 n
∑ 2−
∑ 2 n
= koefisien korelasi untuk x (tinggi badan) dan y (keceptan lari)
Σxy
= jumlah pengamatan nilai tinggi badan dan kecepatan lari
Σx
= jumlah pengukuran nilai tinggi badan
Σy
= jumlah pengukuran nilai kecepatan lari
Σx2
= jumlah kuadrat nilai tinggi badan
Σy2
= jumlah kuadrat nilai kecepatan lari
(Σx)2 = kuadrat jumlah nilai tinggi badan (Σy)2 = kuadrat jumlah nilai kecepatan lari n
= jumlah pasangan-data (individu) yang diamati 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kecepatan Lari dan Ripitabilitasnya Sifat Kecepatan Lari Kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia (KPI) yang diamati pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, secara umum kecepatan lari KPI baik pada jantan maupun betina semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Hal ini didukung pernyataan Hintz (1980) bahwa pada kuda Thoroughbred di Amerika secara umum puncak performa pacu dicapai pada umur empat tahun. Performa pacu seekor kuda dinilai dari nilai kecepatan atau berapa cepat seekor kuda dapat berlari dan menyelesaikan pacuan. Tabel 3. Rataan Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Jenis Kelamin
Umur (Tahun) 2
3
4
>4
----------------------------------------------(m/detik)----------------------------------------------
♂
15,030a ± 0,724 (4,82%) (n=38)
15,076a ± 0,521 (3,46%) (n=51)
15,220a ± 0,700 (4,6%) (n=40)
15,280a ± 0,813 (5,32%) (n=39)
♀
15,203b ± 0,634 (4,17%) (n=40)
15,118a ± 0,509 (3,37%) (n=48)
15,271a ± 0,718 (4,7%) (n=36)
15,349a ± 0,675 (4,4%) (n=27)
Rataan
15,119± 0,686 (4,54%) (n=78)
15,096 ± 0,514 (3,41%) (n=99)
15,244 ± 0,704 (4,62%) (n=76)
15,308 ± 0,758 (4,95%) (n=66)
Keterangan: persen dalam kurung menyatakan koefisien keragaman, n=jumlah individu, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)
Hasil dalam penelitian ini menyatakan bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina umur dua tahun berbeda, dan hal ini didukung oleh pernyataan Ekîz dan Koçak (2007) bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi. Berdasarkan Tabel 3 juga dapat diamati bahwa secara statistik kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina pada kelompok umur 3, 4, dan >4 tidak berbeda. 15
Nilai rataan kecepatan lari kuda pacu betina pada umur tiga tahun relatif lebih rendah daripada umur dua tahun. Penurunan kecepatan lari ini kemungkinan karena waktu dan frekuensi latihan kuda pacu betina yang berkurang akibat penerapan program manajemen reproduksi. Peternak atau pemilik kuda memerlukan replacement-stock atau pengganti yang diturunkan dari kuda pacu unggul. Kuda pacu betina pada periode umur ini (tiga tahun) mendapatkan porsi dan waktu latihan yang lebih sedikit, karena dikonsentrasikan untuk persiapan memperoleh keturunan dengan mempertimbangkan masa bunting dan kondisi kesehatan kuda betina serta anak. Jumlah kuda pacu betina unggul yang mengikuti pacuan berkurang karena program tersebut. Damron (2006) menyatakan bahwa proses pengawinan kuda betina sebaiknya dilakukan pada umur diatas dua tahun meskipun pubertas atau dewasa kelamin dicapai pada umur 1,0–1,5 tahun. Manajemen reproduksi ini mencakup masa laktasi anak kuda, program latihan selama kebuntingan dan pasca kelahiran anak, pemenuhan kebutuhan pakan dan nutrisi. Penerapan aspek manajemen yang berbeda oleh masing-masing peternak akan memberikan hasil yang berbeda pula pada setiap individu kuda pacu betina, terutama pada sifat kecepatan lari. Koefisien keragaman terbesar pada sifat kecepatan lari kuda pacu betina (4,7%) dimiliki oleh kelompok kuda pacu betina umur empat tahun. Hal ini mungkin terjadi karena sifat pacu unggul dari kuda pacu betina telah terekspresi. Berdasarkan jumlah sampel yang diamati, secara umum kuda pacu pada umur tiga tahun meningkat (n=99). Kemungkinan hal ini terjadi karena cukup banyak peternak yang baru mulai menyertakan kuda mereka dalam pacuan saat kuda berumur tiga tahun. Pada umur tersebut banyak ditemukan kuda dengan performa yang layak untuk disertakan dalam pacuan; yang diperlihatkan dengan koefisien keragaman yang menurun (4,54% pada umur dua tahun menjadi 3,41% pada umur tiga tahun) atau keseragaman kecepatan lari yang meningkat. Keseragaman kecepatan lari ini menunjukkan bahwa baik kuda yang baru turut serta maupun kuda yang telah berpacu sebelumnya memiliki kecepatan lari yang tidak terlalu berbeda. Koefisien keragaman terkecil kuda pacu jantan (3,46%) ditemukan pada umur tiga tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir seluruh kuda pacu jantan berumur tiga tahun yang diamati dalam penelitian ini memiliki kecepatan yang hampir seragam. Koefisien keragaman yang sedikit lebih besar (4,82%) dimiliki oleh 16
kelompok kuda pacu jantan berumur dua tahun. Hal ini sangat mungkin terjadi karena banyak faktor, diantaranya pengalaman latihan setiap individu, program latihan dan pemeliharaan, proses perkembangan perototan setiap individu, program pemberian pakan dan manajemen, dan hubungan joki atau pelatih dengan individu. Penerapan manajemen pemeliharaan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Faris (2009) menyatakan bahwa aspek pemeliharaan kuda seperti perawatan kaki dan pemandian kuda berpengaruh terhadap kenyamanan kuda dan peningkatan penampilan kuda. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi, pelatih berpengalaman memiliki kemampuan menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda untuk kemudian menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi kuda. Faris (2009) menyatakan bahwa pelatih dan joki mempengaruhi mental kuda muda. Pola latihan kuda pacu secara umum terdiri dari kombinasi latihan berdasarkan gaya berjalan kuda yaitu walk, trot, dan canter yang diterapkan pada pagi dan sore hari. Kecenderungan peningkatan kecepatan lari kuda pacu pada umur di atas tiga tahun kemungkinan mempengaruhi keputusan peternak untuk menyertakan kuda mereka dalam pacuan, yang diperlihatkan dengan jumlah sampel yang lebih sedikit (n=99 pada umur tiga tahun, n=76 pada umur empat tahun) dengan kecepatan lari yang meningkat. Hal ini mungkin mengindikasikan kuda yang diikutsertakan dalam pacuan sudah merupakan hasil seleksi. Jumlah sampel yang semakin sedikit dengan umur yang bertambah, pada umur lebih dari tiga tahun, mengindikasikan bahwa sampel yang diamati merupakan individu-individu kuda terseleksi yang memiliki performa unggul atau berkecepatan lari tinggi. Tabel 4 menyajikan hasil uji-t kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina antara dua kelompok umur yang diamati pada penelitian ini. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan lari kuda pacu Indonesia secara umum tidak dipengaruhi oleh umur pada selang umur 2–4 tahun. Kecepatan lari kuda pacu mulai meningkat dari umur empat menuju diatas empat tahun. Kecepatan lari kuda pacu jantan pada penelitian ini ditemukan terbesar pada kelompok umur empat tahun, dan hal ini sesuai dengan pernyataan Hintz (1980) bahwa puncak performa pacu kuda jantan Thoroughbred di Amerika berada pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut bahwa puncak performa pacu kuda betina 17
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari Antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina Umur (Tahun) 2–3 2–4 2 – >4 3–4 3 – >4 4 – >4
Jenis kelamin
Hasil uji-t
Nilai P
♂
tn
0,873
♀
tn
0,113
♂
tn
0,097
♀
tn
0,806
♂
tn
0,064
♀
tn
0,334
♂
tn
0,061
♀
tn
0,196
♂
*
0,029
♀
**
0,005
♂
tn
0,919
♀
tn
0,223
Keterangan : *= nyata, **= sangat nyata, tn= tidak nyata
Thoroughbred di Amerika dicapai pada umur 2–3 tahun. Pada penelitian ini kecepatan lari tertinggi kuda pacu betina (15,349 m/detik) baru dicapai pada umur diatas empat tahun. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor genetis maupun faktor lingkungan seperti manajemen reproduksi, program pelatihan, dan manajemen pakan. Hal ini dapat diamati pada Tabel 5 yang menyajikan nilai ragam genetis dan lingkungan untuk sifat kecepatan lari KPI pada berbagai kelompok umur. Faris (2009) menyatakan bahwa pemberian pakan pada kuda pacu sebaiknya memiliki rasio hijauan : konsentrat sebesar 30:70 dengan frekuensi pemberian 2–3 kali dalam sehari. Pemberian pakan kuda pacu sebaiknya mempertimbangkan bobot badan, skor tubuh, dan umur kuda; namun hal ini belum diterapkan dalam manajemen pemeliharan kuda pacu di Indonesia. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kuda muda memerlukan lebih banyak pakan (Faris, 2009), dengan kadar protein 2%–4% lebih tinggi untuk kegiatan latihan ringan, kerja menengah, dan kerja berat (Cunningham et al., 2005). Pada umur dua tahun pengaruh genetis kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan kuda pacu betina, sedangkan pengaruh lingkungan 18
sementara ditemukan tinggi pada kuda pacu betina. Pada umur tersebut potensi genetis kecepatan lari lebih tinggi ditemukan pada kuda pacu jantan. Pelatihan merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh besar terhadap kecepatan lari. Faktor lingkungan sementara pada kuda pacu betina lebih besar dibandingkan kuda pacu jantan, mengindikasikan bahwa kuda pacu betina lebih tidak mudah untuk mengadaptasikan diri sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Tabel 5. Nilai σ dan σ Sifat Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun) ♂
σ
(σ + σ )
σ (σ )
0,193
0,144
♀
0,084
0,183
3
(♂+♀)
0,049
0,127
4
(♂+♀)
0,235
0,084
>4
(♂+♀)
0,126
0,148
2
Keterangan : σ =Kuadrat Tengah Antara Individu, σ = Kuadrat Tengah Antara = Ragam Pengamatan dalam Individu, σ = Ragam Genetis, σ Lingkungan Tetap, σ = Ragam Lingkungan Sementara
Pada umur tiga tahun kuda pacu betina sudah mulai mampu beradaptasi diri sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi, hal ini diperlihatkan oleh kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina yang tidak berbeda. Pada umur tersebut, pengaruh lingkungan sementara ditemukan masih lebih tinggi dibandingkan pengaruh genetis pada kedua jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan sementara, seperti pelatihan, masih lebih besar dari pengaruh genetis. Pelatihan yang dilakukan secara terus menerus pada kuda pacu jantan dan betina menghasilkan individu yang telah beradaptasi untuk tampil sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Hal ini diperlihatkan dengan pengaruh genetis yang lebih besar dari pengaruh lingkungan sementara pada kelompok umur empat tahun. Pada kelompok umur ini kuda pacu yang telah dilatih dengan baik mampu mengekspresikan keunggulan sifat kecepatan lari. Faktor-faktor lingkungan lain berdasarkan Hintz (1980) meliputi umur pejantan (ayah), musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk, dan urutan 19
kelahiran tidak mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Dijelaskan lebih lanjut bahwa faktor lain seperti umur dan jenis kelamin mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Pada penelitian ini perbedaan performa pacu kuda jantan dan betina diperlihatkan pada umur dua tahun. Puncak performa pacu kuda yang ditemukan pada penelitian ini sedikit berbeda dengan yang ditemukan Hintz (1980) pada kuda Thoroughbred di Amerika. Hal tersebut terjadi karena KPI merupakan hasil persilangan kuda Sumba dengan kuda Thoroughbred, yang telah membentuk ”bangsa baru” dan telah beradaptasi baik pada kondisi Indonesia. Ripitabilitas Sifat Kecepatan Lari Sifat kecepatan lari yang diamati dalam penelitian ini termasuk ke dalam sifat kuantitif. Martojo (1992) menyatakan bahwa sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak seperti kecepatan lari. Pengukuran sifat-sifat kuantitatif tidak berakhir pada perolehan nilai dan rataan ukuran sifat-sifat tersebut, seringkali hasil pengukuran digunakan dalam perhitungan untuk menyelidiki apakah sifat tersebut memiliki kecenderungan untuk berulang pada pengukuran berikutnya di masa yang akan datang. Perhitungan tersebut berguna untuk mengetahui apakah sifat yang diamati merupakan sebuah ekspresi genetis atau semata-mata merupakan hasil pengaruh lingkungan sementara pada seekor atau sekelompok ternak. Hasil perhitungan yang digunakan untuk mengetahui kecenderungan pengulangan suatu sifat disebut dengan nilai ripitabilitas. Keragaman suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan ripitabilitas sifat tersebut, semakin beragam data maka semakin rendah nilai ripitabilitas dan sebaliknya. Noor (2008) menyatakan bahwa ripitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama. Hal yang serupa dinyatakan oleh Pallawaruka (1999) bahwa ripitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistensi, reabiliti) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Berdasarkan Tabel 5 diperoleh nilai ripitabilitas kecepatan lari kuda pacu yang disajikan pada Tabel 6. Nilai ripitabilitas kecepatan lari diturunkan dari kelompok kuda pacu umur 3, 4, dan >4 tahun tanpa membedakan jenis kelamin berdasarkan hasil statistik uji-t; nilai ripitabilitas kecepatan lari kuda pacu umur 2 tahun dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Kisaran nilai ripitabilitas kecepatan lari yang diperoleh mendekati 20
pernyataan Martojo (1992) yaitu 60%–80%, pada kelompok kuda pacu umur empat tahun dan kelompok kuda pacu jantan umur dua tahun. Tabel 6. Nilai Ripitabilitas Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
Nilai Ripitabilitas (R ± S.E.)
♂
0,573 ± 0,140
♀
0,315 ± 0,206
3
♂+♀
0,278 ± 0,138
4
♂+♀
0,737 ± 0,042
>4
♂+♀
0,460 ± 0,095
2
Keterangan : R= nilai ripitabilitas, S.E.= standard error
Nilai ripitabilitas suatu sifat ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan, dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun sementara (Noor, 2008). Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya. Noor (2008) menyatakan bahwa contoh variasi lingkungan tetap akan mempengaruhi nilai ripitabilitas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkungan tetap ini dapat mengubah kondisi ternak dan berpengaruh selama ternak hidup. Pada penelitian ini lingkungan tetap yang dapat mempengaruhi kecepatan lari kuda pacu antara lain pelatihan. Dijelaskan oleh Noor (2008) bahwanilai ripitabilitas berkisar antara 0–1 dan digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (0,0-0,2), sedang (0,2-0,4), dan tinggi (>0,4). Tabel 6 menunjukkan bahwa secara umum nilai ripitabilitas kecepatan lari kuda pacu Indonesia yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara sedang sampai tinggi (0,278–0,737). 21
Ripitabilitas kecepatan lari tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini ditemukan pada umur empat tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada umur tersebut daya pengulangan sifat kecepatan lari berkorelasi tinggi satu sama lain, yang pada penelitian ini dicapai pada kecepatan lari yang tinggi. Pada umur tersebut kuda pacu telah dapat mengekspresikan potensi genetis dengan baik sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Daya pengulangan sifat kecepatan lari pada umur dua tahun ditemukan lebih tinggi pada kuda jantan, mengindikasikan bahwa potensi genetis kecepatan lari kuda jantan pada umur tersebut sudah mulai terekspresi. Hal ini kemungkinan dipengaruhi peranan hormon-hormon terkait perbedaan jenis kelamin dan pertumbuhan. Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa kelompok hormon androgen yang mempengaruhi perkembangan karakteristik seks sekunder pada jantan, juga memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan tulang dan otot. Perkembangan tulang dan otot kuda pacu Indonesia umur dua tahun pada penelitian ini kemungkinan mempengaruhi kecepatan lari. Daya pengulangan sifat kecepatan lari kelompok kuda pacu umur lebih dari empat tahun relatif menurun, diindikasikan dengan nilai ripitabilitas yang lebih rendah, yaitu 0,46 yang masih dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi. Penurunan ini kemungkinan mengindikasikan bahwa sifat kecepatan lari kuda pacu mengarah pada kondisi yang lebih stabil, ditandai juga dengan besar pengaruh genetis dan lingkungan yang hampir seimbang (Tabel 5). Kuda pacu pada kelompok umur diatas empat tahun menunjukkan potensi kecepatan lari yang baik, walaupun faktor lingkungan sementara tetap berpengaruh, seperti pelatihan (program dan waktu latihan, hubungan joki dengan individu) dan manajemen pemeliharaan yang teratur (pakan, kontrol penyakit, perkandangan, program pemuliaan). Graham-Thiers dan Kronfeld (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda memerlukan tambahan makanan berupa asam amino meskipun hanya melakukan sedikit exercise. Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa kuda dewasa tanpa latihan (maintenance) memerlukan 8% protein dalam pakan, sedangkan kuda dewasa dengan latihan ringan memerlukan 1,8% protein lebih banyak. Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa nilai ripitabilitas yang tinggi menandakan ternak mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama setiap tahun, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi (atau terendah) secara 22
konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai ripitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Maciejowski dan Zięba, 1982). Perolehan nilai ripitabilitas kecepatan lari pada penelitian (0,28–0,74) ini sedikit di atas hasil pengamatan Ekîz dan Koçak (2007) pada kuda Thoroughbred di Turki (0,28–0,40). Hal ini mengindikasikan bahwa KPI memiliki daya pengulangan dan pewarisan sifat kecepatan lari yang lebih tinggi daripada kuda Thoroughbred, meskipun kecepatan lari KPI lebih rendah. Tinggi Badan Tinggi badan KPI yang diamati pada penelitian ini disajikan pada Tabel 7. Hasil statistik uji-t yang tertera pada Tabel 8 menunjukkan bahwa tinggi badan kuda pacu Indonesia secara umum tidak berbeda pada kisaran umur 2– >4 tahun, kecuali tinggi badan kuda jantan antara kelompok umur 4– >4 tahun. Tinggi badan kuda pacu jantan dan betina umur 2 dan 3 tahun tidak berbeda. Perbedaan tinggi badan mulai nampak pada umur empat tahun. Perbedaan tersebut mungkin terjadi karena pengaruh hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan yang disebabkan perbedaan jenis kelamin. Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa sekresi Tabel 7. Rataan Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Jenis Kelamin
Umur (Tahun) 2
3
4
>4
-----------------------------------------------(cm)----------------------------------------------
♂
♀
Rataan
151,212a ± 4,938
151,808a ± 5,426
153,095a ± 5,610
151,626a ± 8,219
(3,27%) (n=31)
(3,57%) (n=43)
(3,66%) (n=40)
(5,42%) (n=38)
151,079a ± 5,031
150,582a ± 5,598
149,811b ± 5,394
148,662b ± 5,039
(3,33%) (n=33)
(3,72%) (n=41)
(3,6%) (n=34)
(3,39%) (n=27)
151,143 ± 4,949
151,21 ± 5,528
151,586 ± 5,911
150,394 ± 7,173
(3,27%)
(3,66%)
(n=64)
(n=84)
(3,90%) (n=74)
(4,77%) (n=65)
Keterangan: persen dalam kurung menyatakan koefisien keragaman, n=jumlah individu, superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)
23
testosteron sebagai hormon utama androgen mempengaruhi pertumbuhan cepat yang terjadi menjelang dan selama pubertas. Individu jantan memproduksi testosteron lebih banyak daripada individu betina sehingga tumbuh lebih besar dan cepat. Hormon estrogen betina pada beberapa spesies menghambat pertumbuhan jaringan otot. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jenis kelamin memainkan peranan penting dalam pertumbuhan seekor ternak. Kadar androgen yang tinggi pada jantan meningkatkan perkembangan otot sehingga individu jantan memiliki pertumbuhan yang lebih besar dan cepat, terutama pada massa protein tubuh. Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Uji-t Tinggi Badan Antara Dua Kelompok Umur pada Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina Umur (Tahun) 2–3
3–4
4 – >4
Jenis Kelamin
Hasil Uji-t
Nilai P (P-Value)
♂
tn
0,366
♀
tn
0,804
♂
tn
0,178
♀
tn
0,134
♂
*
0,017
♀
tn
0,365
Keterangan : *= nyata, tn = tidak nyata
Perbedaan tinggi badan KPI yang ditunjukkan pada Tabel 7 mungkin disebabkan oleh perbedaan individu antara kelompok umur dalam penelitian. Tidak seluruh kuda yang diamati pada satu kelompok umur merupakan individu yang sama dengan kelompok umur lain. Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan komposisi darah kuda Thoroughbred yang dimiliki individu KPI yang diamati. Soehardjono (1990) menyatakan bahwa KPI merupakan hasil persilangan antara kuda G3, antara kuda G4, atau antara kuda G3 dengan kuda G4. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kuda G3 merupakan kuda dengan komposisi darah lokal : Thoroughbred sebesar 12,5% : 87,5%, kuda G4 merupakan kuda dengan komposisi darah lokal : Thoroughbred sebesar 6,25% : 93,75%. Hal ini menunjukkan bahwa KPI dapat memiliki komposisi darah lokal : Thoroughbred sebesar 12,5% : 87,5%, 6,25% : 93,75%, atau 9,375% : 90,625%. Daya pewarisan sifat atau heritabilitas 24
tinggi badan menurut Bowling dan Ruvinsky (2004) digolongkan sedang sampai dengan tinggi (0,33–0,88). Korelasi Sifat Kecepatan Lari dan Tinggi Badan Bowling dan Ruvinsky (2004) melaporkan analisis hubungan antara konformasi dan karakteristik kecepatan lari pada anak kuda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa peningkatan kecepatan lari anak kuda disebabkan pertambahan panjang langkah. Anak kuda berkecepatan lari tinggi memiliki kaki yang lebih panjang, frekuensi langkah yang lebih banyak, dan melangkah lebih tinggi. Hal ini terjadi pada kuda yang relatif lebih tinggi. Pada penelitian ini, pendugaan nilai korelasi antara kecepatan lari dengan tinggi badan dilakukan berdasarkan pernyataan Bowling dan Ruvinsky (2004), bahwa tinggi badan merupakan faktor penentu kecepatan lari kuda pacu. Hasil pendugaan nilai korelasi antara sifat kecepatan lari dengan tinggi badan KPI disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Korelasi Antara Kecepatan Lari dengan Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
Koefisien Korelasi
Nilai P (P-Value)
2 tahun
♂ ♀
0,091 0,034
0,534 tn 0,813 tn
3 tahun
♂ ♀
0,108 0,056
0,389 tn 0,675 tn
4 tahun
♂ ♀
0,530 0,228
0,000 ** 0,097 tn
Lebih dari 4 tahun
♂ ♀
0,052 0,126
0,645 tn 0,359 tn
Keterangan : ** = sangat nyata, tn = tidak nyata
Tabel 9 menunjukkan bahwa kuda pacu jantan umur empat tahun memiliki korelasi yang sangat nyata (P<0,01) antara kecepatan lari dan tinggi badan. Semakin tinggi badan kuda jantan yang berlari maka semakin meningkat kecepatannya, dan sebaliknya. Hal yang berbeda ditemukan pada kuda pacu betina. Kecepatan lari kuda pacu betina umur empat tahun tidak berkorelasi dengan tinggi badan. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan Hill et al. (2010) bahwa terdapat asosiasi yang 25
signifikan pada pertambahan massa tubuh kuda pacu Thoroughbred beserta perototannya, dengan peningkatan tinggi badan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hubungan ini semakin nyata pada kuda jantan, yang memiliki massa tubuh (otot) yang lebih padat dan banyak. Koefisien korelasi sangat nyata (P<0,01) yang ditunjukkan kelompok KPI jantan umur empat tahun kemungkinan karena kuda pacu jantan berada pada kondisi puncak performa. Potensi genetis sifat kecepatan lari tertinggi telah diekspresikan oleh KPI jantan umur empat tahun. Pada umur lebih dari empat tahun potensi genetis sifat kecepatan lari tidak berbeda dengan umur sebelumnya, tetapi tinggi badan kelompok kuda pacu jantan ditemukan lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan tidak ditemukan korelasi antara kecepatan lari dan tinggi badan. Performa puncak kuda pacu Indonesia pada umur empat tahun kemungkinan dipengaruhi perkembangan otot yang lebih sempurna disamping pelatihan yang lebih rutin. Thompson (1995) dan Quickness (2006) menyatakan bahwa keseluruhan kerangka kuda memiliki perototan yang terdiri atas tiga jenis urat syaraf utama yaitu slow twitch fiber yang mempengaruhi kekuatan dan daya tahan otot, intermediate twitch fiber yang mempengaruhi kemampuan kedua urat syaraf lain, dan fast twitch fiber yang mempengaruhi kecepatan kontraksi otot. Otot dengan fast twitch fiber memberikan seekor kuda kecepatan, kegesitan, ketangkasan, dan kekuatan saat berlari. Kondisi puncak performa kecepatan lari pada kuda pacu Indonesia jantan umur empat tahun yang diperoleh pada penelitian ini kemungkinan dipengaruhi ukuran dan perkembangan otot yang lebih matang, termasuk otot dengan fast twitch fiber yang telah dilatih lebih lama, yang belum dicapai pada kelompok umur yang lebih muda.
26
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina pada umur 3, 4, dan >4 tahun tidak berbeda. Kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan betina tertinggi ditemukan pada kelompok umur empat tahun. Pada umur dua tahun pengaruh genetis kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan kuda pacu betina, sedangkan pengaruh lingkungan sementara ditemukan lebih tinggi pada kuda pacu betina dan kedua jenis kelamin pada umur tiga tahun. Ripitabilitas sifat kecepatan lari kuda pacu jantan pada umur dua tahun lebih tinggi daripada betina (0,573 vs. 0,315). Ripitabilitas kecepatan lari pada umur tiga tahun (0,278) lebih rendah daripada umur dua tahun, dan dikategorikan sebagai ripitabilitas sedang. Ripitabilitas kecepatan lari kuda pacu Indonesia tertinggi (0,737), dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi, ditemukan pada umur empat tahun. Ripitabilitas kecepatan lari pada umur diatas empat tahun lebih rendah daripada umur empat tahun (0,460 vs. 0,737), tetapi masih tetap dikategorikan sebagai ripitabilitas tinggi. Tinggi badan kuda pacu Indonesia secara umum tidak berbeda pada kisaran umur 2– >4 tahun. Perbedaan tinggi badan antara kuda pacu jantan dan betina mulai nampak pada umur empat tahun. Kuda pacu jantan umur empat tahun memiliki korelasi yang sangat nyata (P<0,01) antara kecepatan lari dan tinggi badan. Kecepatan lari kuda pacu betina umur empat tahun tidak berkorelasi dengan tinggi badan. Korelasi antara kecepatan lari dan tinggi badan tidak ditemukan pada kelompok kuda pacu umur lebih dari empat tahun. Saran Penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih banyak perlu dilakukan sehingga hasil penelitian akan lebih menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari Kuda Pacu Indonesia. Pencatatan pada parameter lain, seperti panjang tungkai dan panjang badan, akan meningkatkan keakuratan perhitungan korelasi sifat kecepatan lari. Penelitian mengenai korelasi panjang tungkai dengan kecepatan lari dapat dilakukan dan digunakan sebagai pembanding, untuk menentukan faktor yang berkorelasi lebih besar dengan kecepatan lari Kuda Pacu Indonesia. 27
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala berkat, tuntunan, dan karunia-Nya dalam penulisan skripsi ini. Penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Prof.Dr.Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. dan Ir. Rini Herlina Mulyono, M.Si. selaku pembimbing skripsi atas kesabaran, tanggung jawab, dan perhatian yang luar biasa. Terima kasih untuk waktu, pengalaman, dan nasihat yang senantiasa diberikan dari awal pencetusan ide penelitian hingga penulisan skripsi terselesaikan. Penulis pun mengucapkan terima kasih kepada Ir. Salundik, M.Si. selaku pembimbing akademik atas saran, pengarahan, dan pengalaman yang dibagikan selama ini; terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, M.S. dan Dr. Ir. Didid Diapari, M.Si. sebagai anggota dewan penguji atas pangalaman serta saran bagi penulisan skripsi, tidak terlewatkan kepada Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si. selaku dosen pembahas seminar atas saran yang telah diberikan bagi penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih pada keluarga tercinta: Mama dan Cici atas semua doa, dorongan, dan perhatian yang tak kunjung padam; Papa atas doa dan nasihat yang selalu membangun; terimakasih untuk semua pengorbanan dan bantuan kalian. Terima kasih pada Liza Angela atas semua doa, dukungan, pengorbanan, kesabaran, dan perhatian yang selalu ditunjukkan dengan penuh cinta. Terima kasih Penulis ucapkan pada semua sahabat Fakultas Peternakan : A.Vanda A., Yoshefhin M.R., D. Sunaryo, D.K. Barus, Mellisa R.S.D., S.J. Sianturi, serta teman-teman lain atas dukungan dan perjuangan bersama. Terimakasih Penulis ucapkan pada Maksiaterz: D. Pramudita, F.R. Luhur, A. Sutrisna, Rio A.R., J. Glen, Y. Tigana, Bayang D.K., dan W.G. Munthe atas semua dukungan, persahabatan, pengalaman, kesabaran, keisengan, dan kebersamaan selama ini. Terima kasih pada Priskila L, Vania D.A., Cintya, dan Fuad H. sebagai rekan seperjuangan dalam penelitian; Erick T. atas dukungan dan hiburan selama penulisan skripsi; semua sahabat Anak-Bola Angela atas dukungan dan doa yang diberikan. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan IPB atas kerja keras dan dedikasi yang telah diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2010 Penulis 28
DAFTAR PUSTAKA Anthony, D., D.Y. Telegin, & D. Brown. 1991. Origin of the horseback riding. Scientific American. 225: 44-48. Bannikov, A. G. & F. E. Flint. 1989. Order Perrisodactyla. In : Skolov, V. E. (Ed). Life of Animals Mammals. Vol. 7. Prosveshenie, Moscow. Becker, W. A. 1968. Manual of Procedures in Quantitative Genetics. 2nd ed. Washington State University Press, Washington. Blakely, J. & D. H. Blade. 1991. The Science of Animal Husbandry. Prentice-Hall Inc., New Jersey. Bourdon, R. M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall Inc., New Jersey. Bowling, A. T. & A. Ruvinsky. 2004. The Genetic of The Horse. CABI Publishing, London. Campbell, J. R. & J. F. Lasley. 1981. The Science of Animals that Serve Humanity. 3rd ed. McGraw-Hill Book Company, New York. Cunningham, M., M. A. Latour, & D. Acker. 2005. Animal Science and Industry. 7th ed. Pearson Prentice Hall, New Jersey. Damron, W. S. 2006. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social, and Industry Perspectives. 3rd ed. Pearson Prentice Hall, New Jersey. Edwards, E. H. 1994. The Encyclopedia of The Horse. Dorling Kindersley, London. Ensminger, M. E. 1962. Animal Science. Animal Agriculture Series. 5th ed. Printers & Publishers Inc., Danville, Illinois. Ekîz, B. & Ö. Koçak. 2007. Estimates of genetic parameters for racing times of Thoroughbred horses. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 2007. 31(1): 1-5. Equestrian Indonesia. 2008. Grading Up Kuda Lokal dengan Thoroughbred. http://www.equestrian-indonesia.org/thoroughbred [20-05-2010]. Faris, I. 2009. Pola latihan kuda pacu di Pulo Mas dalam rangka menghadapi Kejuaraan Derby Nasional 2009. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Food and Agriculture Organization (FAO). 2000. World Watch List for Domestic Animal Diversity. 3rd ed. FAO, Rome. Food and Agriculture Organization (FAO). 2001. Sustainable Use of Animal Genetic Resources. IDAD-APHD FAO, Rome. Gatenby, R. M. 1991. Sheep. The Tropical Agriculturalist. McMillan Education Ltd., London. Graham-Thiers, P. M. & D. S. Kronfeld. 2005. Amino acid supplementation improves muscle mass in aged and young horses. J. Anim. Sci. 83: 27832788.
29
Hill, E. W., J. Gu, S. S. Eivers, R. G. Fonseca, B. A. McGivney, P. Govindajaran, N. Orr, L. M. Katz, & D. MacHugh. 2010. A sequence polymorphism in MSTN predicts sprinting ability and racing stamina in Thoroughbred horses. PLoS ONE 5(1): e8645. doi:10.1371/journal.pone.0008645 Hintz, R. L. 1980. Genetics of performance in the horse. J. Anim. Sci. 51:582-594. Islami, R. Z. 2006. Evaluasi performa Kuda Pacu Indonesia. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jacoebs, T. N. 1994. Budidaya Ternak Kuda. Kanisius, Yogyakarta. Kidd, J. 1995. Horses and Ponies of The World. Ward Lock Publishing, London. Lasley, J. E. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd ed. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Maciejowski, J. & J. Sięba. 1982. Genetics and Animal Breeding. Elsevier Publisher Company, Amsterdam. Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Noor, R. R. 2008. Genetika Ternak. Cetakan ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta. Pallawaruka, 1999. Ilmu Pemuliaan Ternak Perah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parakkasi, A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik vol. 1b. UI Press Indonesia, Jakarta. Quickness, A. 2006. Isometrics training and fast twitch muscle fibers. http://www.athleticquickness.com/about_athletic_quickness/ismtrcs_training/java.ht m [27 Agustus 2010].
Roberts, P. 1994. The Complete Horse. Multimedia Books Publishing Ltd., London. Sodhi, M., M. Mukesh, B. Prakash, S.P.S. Ahlawat, & R. C. Sobti. 2006. Microsatellite DNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed of Indian Zebu (Bos indicus) cattle, a major breed of Rajasthan. J. Genet. 85: 165-170. Soehardjono, O. 1990. Kuda. Yayasan Pamulang, Jakarta. Subandriyo & B. Setiadi. 2003. Pengelolaan plasma nutfah hewani sebagai asset dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, Bogor 2128 Juli 2003, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Thompson, K. N. 1995. Skeletal growth rates of weanling and yearling Thoroughbred horses. J. Anim. Sci. 73:2513-2517. Turner, H. N. & S. Young. 1969. Quantitative Genetics in Sheep Breeding. Cornell University Press, New York. Warwick, E. J., J. M. Astuti, & W. Hardjosubroto. 1987. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Worldiq. 2006. The Horse. http://www.worldiq.com/horserace/selection [20 Mei 2010]. 30
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Uji-t Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Antara Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun)
Hasil Uji- t
Nilai P
2
*
0,045
3
tn
0,441
4
tn
0,877
>4
tn
0,147
Keterangan : *= nyata, **= sangat nyata, tn= tidak nyata
Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Uji-t Tinggi Badan Kuda Pacu Indonesia Antara Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (tahun)
Hasil uji-t
Nilai P
2
tn
0,705
3
tn
0,139
4
**
0,000
>4
**
0,006
Keterangan : *= nyata, **= sangat nyata, tn= tidak nyata
32
Lampiran 3. Contoh Data Kecepatan Lari Berdasarkan Pencatatan dari Buku Panduan Acara Pacuan Kuda pada Kuda Pacu Indonesia Nomor Individu 1-15 Kecepatan (m/detik) pada pencatatan ke-
No. Individu 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1.
14,50 15,09
14,81
14,77 14,72
14,68 15,38
15,06
15,01
15,38 15,15
15,05 14,63
15,49
15,69
2.
14,68 14,62
13,47
13,89 14,29
14,07 14,27
14,09
13,75
15,38 15,38
15,28 15,22
15,17
14,92
3.
15,02
15,71
15,75
15,32
4.
15,06
15,74
5.
14,60
15,38
14,74
Keterangan : 1= Bridgit; 2= Nokia; 3= Putri Tevane; 4= Sinyo Pedooben; 5= Ratu Dora; 6= Bhayangkara Minsel; 7= Damai; 8= Peter Pan; 9= Tri Love; 10= Minsel Queen; 11= My Way Junior; 12= Merry Christmas; 13= Duta Tonsea; 14= Bunga Kasih; 15= Maesa Queen
Lampiran 4. Contoh Data Kecepatan Lari Berdasarkan Pencatatan dari Buku Panduan Acara Pacuan Kuda pada Kuda Pacu Indonesia Nomor Individu 16-30 Kecepatan (m/detik) pada pencatatan ke-
16
1.
15,98
15,93 16,33
16,25
15,31 15,77
2.
14,97
15,35 15,52
14,63
15,65 15,93
3. 4. 5.
No. Individu 17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
15,25 15,37
15,45
15,50
15,61 14,70
15,27
13,87 14,07
14,81 15,15
14,66
15,02
15,47 14,40
14,82
14,14 14,49
15,63
14,55
15,05 14,54
14,94
14,94
14,39 14,38
Keterangan : 16= Red Ranger; 17= Maesa Star; 18= Prima Sulut; 19= Torona Queen; 20= Padang Bulan; 21= Ratu Samosir; 22= Acropolis; 23= Anglia Rose; 24= Pasiwuren; 25= Romeo; 26= Putra Simpaty; 27= Bless Pangeran; 28= Maesa Putra; 29= Bravo Tonsea; 30= Putri Swadiri
33
33
Lampiran 5. Contoh Data Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Jantan pada Umur Dua Tahun No. Individu
rataan No. individu
rataan No. individu
rataan
2
6
8
9
13
16
18
27
29
31
32
37
38
15,094 14,616
14,677 14,066
15,055 14,092
15,008 13,748
14,625
15,975
16,327
14,701
14,215 14,128
14,286 14,706
15,980 15,198
15,350 15,267
14,855
14,371
14,574
14,378
14,625
15,975
16,327
14,701
13,866 14,135 14,938 14,313
14,172
14,496
15,589
15,309
40
46
68
70
82
96
97
98
102
104
106
107
108
14,929 14,513
15,410
15,289 15,313
15,011 15,342
13,414
15,267
14,946 14,652
15,039 15,317
15,311
15,322
14,838
15,463 15,583
15,476 15,321
14,721
15,410
15,301
15,177
13,414
15,267
14,799
15,178
15,311
15,322
14,838
15,523
15,399
109
115
119
138
139
146
160
161
162
164
197
206
15,508 15,342
16,000 15,504 15,834 15,779
15,269 15,599
14,987
15,260
14,523
15,180
15,045
15,018
14,975
15,154
15,005
15,434
14,987
15,260
14,523
15,180
15,045
15,018
14,975
15,154
15,005
15,425
Keterangan : 2= Nokia; 6= Bhayangkara Minsel; 8= Peter Pan; 9= Tri Love; 13= Duta Tonsea; 16= Red Ranger; 18= Prima Sulut; 27= Bless Pangeran; 29= Bravo Tonsea; 31= Prima Maroon; 32= Golgota; 37= Lebih Baik; 38= Prince Jade; 40= Opo Kilat; 46= Iron Horse; 68= Lord Baracuda; 70= Lucky Bravo; 82= Wali Nagari; 96= Mayoret; 97= Sinar Ramadhan; 98= Anak Nagari; 102= Tanjung Alam Putra; 104=Jubah Putih; 106= Saud; 107= Putra Manguni Makasiouw; 108= Qolbun Salim; 109= Brave Heart (Bintang Klabat); 115= Aroma Cengkeh; 119= Pramuda Wardani; 138= Jofid Scanlon; 139= Terano; 146= Bintang Sanubari; 160= Prince Alzao; 161= Situjuh Nagari; 162= King Master; 164= Bintang Ramboh; 197= Wuri Muda; 206= Banyu Kencana
34
34
Lampiran 6. Contoh Data Kecepatan Lari (m/detik) Kuda Pacu Betina pada Umur Lebih dari Empat Tahun (lima tahun dan lebih) No. Individu
20
36
45
48
49
54
56
58
63
64
69
72
76
79
15,309
15,299
15,782
15,535
15,528
14,802
15,278
15,515
15,518
16,021
15,867
15,530
14,927
15,845
15,835
15,674
14,937
15,238
16,197
15,845
15,653
15,719
15,265
14,773
16,085
15,933 rataan
15,481
15,299
15,782
15,755
15,601
14,837
15,258
15,856
15,518
15,790
15,867
15,530
14,927
No. individu
84
90
101
116
121
122
125
129
141
157
170
177
183
14,445
14,943
15,796
15,301
15,244
14,991
16,108
14,599
14,960
14,962
15,742
15,321
14,915
14,218
14,756
15,335
15,393
15,102
14,689
14,773
15,518
14,973
16,139
14,974
15,697
14,956
15,605
15,054
15,212
14,802
15,012
14,796 rataan
14,332
14,824
15,796
15,301
15,244
15,547
15,751
14,599
14,960
14,961
15,742
Keterangan : 20= Padang Bulan; 36= North Lady; 45= Selebritis; 48= Queen Trojan; 49= Lady Antik; 54= Pakas Star; 56= Arena Tumotowa; 58= My Glory; 63= Aussie; 64= Anglia; 69= Aquarian Trojan; 72= Noni Toraget; 76=Super Sport; 79= Brilliant Agam; 84= Wimpina; 90= Dewi Prima; 101= Cinto Nagari; 116= Rano Reindang; 121= Cinta Mulia; 122= Miss Redgan; 125= Xena; 129= Yes One; 141= Princess Tanjung; 157= Bunga Bangsa; 170= Bontot Tanjungsari; 177= Dalimo Putri; 180= Peduli
35
35
Lampiran 7. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan Umur Dua Tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antara Individu
37
16,379
0,443
+ k1
Antara Pengamatan dalam Individu
21
3,020
0,144
Total
58
19,399
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, pengamatan, koefisien k1= (
)
(
.−
∑
.
= KT antara individu,
= KT antara
), N= jumlah individu, m.= jumlah
pengamatan, ∑ m = kuadrat jumlah ulangan
=(
( )
.−
∑
.
= 1/37 (59 – 105/59)
)
=
=
= 1,547
0,193 0,193 + 0,144
= 0,573
=
= 0,443 – 0,144 1,547 = 0,193 S.E.(R) =
(
. )(
(
.
)[ ( )(
)
)
]
= √ 2(59 – 1) (1–0,573)2 [1 + (1,547 –1) 0,573]2 (1,547)2 (59–38) (38 – 1) = √ 0,020 = 0,14
R ±S.E. = 0,573 ± 0,14
36
Lampiran 8. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Betina Umur Dua Tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antara Individu
39
12,024
0,308
+ k1
Antara Pengamatan dalam Individu
20
3,661
0,183
Total
59
15,685
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, pengamatan, koefisien k1= (
)
(
.−
∑
.
= KT antara individu,
= KT antara
), N= jumlah individu, m.= jumlah
pengamatan, ∑ m = kuadrat jumlah ulangan
=(
)
(
.−
∑
.
= 1/39 (60 – 106/60) = 1,493
)
=
=
0,084 0,084 + 0,183
= 0,315
=
= 0,308 – 0,183 1,493 = 0,084 S.E.(R) =
(
. )(
(
)[ ( . )(
)
)
]
= √ 2(60 – 1) (1– 0,315)2 [1 + (1,493 – 1) 0,315]2 (1,493)2 (60 – 40) (40 – 1) = √ 0,043 = 0,206
R ± S.E. = 0,315 ± 0,206
37
Lampiran 9. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Tiga Tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antara Individu
98
19,467
0,199
+ k1
Antara Pengamatan dalam Individu
48
6,092
0,127
Total
146
25,559
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, pengamatan, koefisien k1= (
( )
.−
∑
.
= KT antara individu,
= KT antara
), N= jumlah individu, m.= jumlah
pengamatan, ∑ m = kuadrat jumlah ulangan
=(
( )
.−
∑
)
.
=
= 1/98 (147 – 251/147) = 1,483
=
0,049 0,049 + 0,127
= 0,278
=
= 0,199 – 0,127 1,483 = 0,049 S.E.(R) =
(
. )(
(
.
)[
)(
(
)
)
]
= √ 2(147 – 1) (1– 0,278)2 [1 + (1,483 – 1) 0,278]2 (1,483)2 (147 – 99) (99 – 1) = √ 0,019 = 0,138
R ± S.E. = 0,278 ± 0,138 38
Lampiran 10. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Empat Tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antara Individu
75
33,383
0,445
+ k1
Antara Pengamatan dalam Individu
41
3,446
0,084
Total
116
36,828
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, pengamatan, koefisien k1= (
)
(
.−
∑
.
= KT antara individu,
= KT antara
), N= jumlah individu, m.= jumlah
pengamatan, ∑ m = kuadrat jumlah ulangan
=(
)
(
.−
∑
.
)
=
= 1/75 (117 – 213/117) = 1,536
=
0,235 0,235 + 0,084
= 0,737
=
= 0,445 – 0,084 1,536 = 0,235 S.E.(R) =
(
. )(
(
)[ ( . )(
)
)
]
= √ 2(117 – 1) (1– 0,737)2 [1 + (1,536 – 1) 0,737]2 (1,536)2 (177 – 76) (76 – 1) = √ 0,0018 = 0,042
R ± S.E. = 0,737 ± 0,042
39
Lampiran 11. Analisis Keragaman Kecepatan Lari Kuda Pacu Jantan dan Betina Umur Lebih dari Empat Tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antara Individu
65
26,383
0,406
+ k1
Antara Pengamatan dalam Individu
70
10,381
0,148
Total
135
36,763
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, pengamatan, koefisien k1= (
)
(
.−
∑
.
= KT antara individu,
= KT antara
), N= jumlah individu, m.= jumlah
pengamatan, ∑ m = kuadrat jumlah ulangan
=(
)
(
.−
∑
.
)
=
= 1/65 (136 – 400/136) = 2,047
=
0,126 0,126 + 0,148
= 0,46
=
= 0,406 – 0,148 2,047 = 0,126 S.E.(R) =
(
. )(
(
)[ ( . )(
)
)
]
= √ 2(136 – 1) (1– 0,46)2 [1 + (2,047 – 1) 0,46]2 (2,047)2 (136 – 66) (66 – 1) = √ 0,009 = 0,095
R ± S.E. = 0,46 ± 0,095
40