MEDIASI SIKAP PENONTON FILM TERHADAP INTENSI MENONTON FILM NASIONAL : KAJIAN MOVIE VIEWING, ETHNOSENTRISME DAN CULTURAL PROXIMITY SEBAGAI VARIABEL ANTESENDEN Rina Astini Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana Jakarta Email :
[email protected] atau
[email protected] ABSTRAK Fungsi dasar suatu film adalah sebagai sarana hiburan. Dalam film terkandung fungsi informatif maupun edukatif bahkan persuasif. Film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. Namun berdasarkan data perbandingan perkembangan film Indonesia, dapat dilihat bahwa terjadi pasang surut perfilman nasional, bahkan tercatat pada tahun 2012 – 2013 terjadi penurunan jumlah penonton film nasional yang masuk dalam kategori sepuluh film terlaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perilaku konsumen dalam memilih film nasional. Variabel-variabel yang digunakan dalam studi ini adalah unsur-unsur keperilakuan yang didorong oleh konsep budaya yang dianut konsumen seperti Movie viewing, Cultural Proximity dan Etnosentrisme. Penelitian dilakukan di Bioskop XXI Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada bulan Mei 2014. Responden penelitian ini adalah penonton film The Raid : Berandal sejumlah 155 responden. Analisis dilakukan dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM) melalui program Lisrel 8.8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan dan positif Movie Viewing terhadap Intensi menonton film, Cultural proximity terhadap Sikap penonton, Etnosentrisme terhadap Intensi menonton film, dan Sikap penonton terhadap Intensi menonton film. terdapat pengaruh signifikan dan negatif Cultural proximity terhadap Intensi menonton film, dan Etnosentrisme terhadap Sikap penonton. Sedangkan ditemukan tidak terdapat pengaruh signifikan Movie viewing terhadap Sikap penonton. Hasil temuan penelitian juga menganalisis bahwa variabel Sikap penonton memediasi pengaruh Cultural proximity dan Etnosentrisme terhadap Intensi menonton film. Kata kunci : Movie Viewing, Cultural proximity, Etnosentrisme, Sikap penonton, Intensi menonton film.
I. PENDAHULUAN Shimp dan Sharma dalam (Suryadi dan Hendrawan 2010) mengatakan bahwa konsumen yang etnosentris adalah konsumen yang memiliki pdanangan tentang kesesuaian dan moral dalam perilaku pembelian produk asing. Etnosentrisme merupakan sikap emosional sekelompok golongan, etnik atau agama yang merasa etniknya lebih superior daripada etnik lain. Telah dijelaskan juga oleh Mulyana (2000;70) ; Rizwi (2013), Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memdanang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memdanang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. Orang etnosentris cenderung melihat kelompok mereka sebagai superior dari orang lain. Semakin pesatnya perkembangan zaman, sikap etnosentrisme tak lagi mendominasi sikap masyarakat dalam hal menonton film di bioskop. Munculnya film-film Holywood di Indonesia dengan kualitas yang bagus, membuat masyarakat, khusunya kalangan anak muda dan kaum urban lebih memilih dan peduli pada film Holywood, yang berkualitas dibdaningkan dengan film Indonesia. Masyarakat yang semakin kritis terhadap film Indonesia, yang dinilai kurang dari segi kualitas, seperti konsep difilmnya. Selain itu masyarakat lebih memiliki banyak pilihan menonton film di bioskop. Perilaku memilih film-film tersebut berbeda dalam diri masyarakat masingmasing, setiap masyarakat pasti memiliki kegemaran masing-masing pada film-film yang beredar di bioskop, seperti genre horror, komedi, drama romantic, thriller laga, atau animasi. Jika harapan penonton tentang film yang ditonton terpenuhi, maka masyarakat akan merasa puas. Kepuasan masyarakat itu akan tercermin dalam intensi perilaku masyarakat yang akan terus menerus kembali menonton film-film tersebut. Berbagai pendapat dan penilaian setiap individu terhadap suatu hal pasti akan berbeda baik dan buruknya, ini merupakan pertimbangan yang rasional. Setiap individu memiliki emosional yang dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam menentukan pilihan, memutuskan sikap, dan memberikan pendapat. Proximity (kedekatan) adalah salah satu unsur nilai yang menunjukkan kekuatan seseorang terhadap peristiwa yang dijadikan suatu berita. Berikut beberapa jenis proximity kedekatan budaya. Kedekatan budaya (Cultural Proximity) ditunjukkan oleh jarak karena adanya unsur budaya seperti bahasa, kesenian, dan upacara keagaman. Terhadap orang lain, seringkali seorang melakukan komunikasi sedemikian dekatnya karena memiliki identitas budaya yang sama. Orang-orang yang memiliki kesamaan dan nilai-nilai, sikap, keyakinan, sosio ekonomi, agama dan ideologi cenderung saling menyukai dan memiliki tingkat kedekatan atau keintiman yang tinggi. Film, sejak pertama kemunculannya memang menjadi suatu fenomena yang menarik dan unik. Semakin berkembangnya teknologi dan penerapan film dimasukkan dalam disiplin seni (baik sebagai hiburan atau sebagai ekspresi dari si pembuatnya), kajian komunikasi (sebagai sebuah media penyampaian pesan yang dipdanang efektif), sejarah (dikaitkan dengan kemampuannya menangkap jejak sejarah perkembangan peradaban sebuah bangsa maupun dunia) dan masih banyak lagi kajian yang dapat diambil dari sebuah film. Di Indonesia sendiri juga kaya akan film yang dapat digunakan untuk melihat sejarah dan perkembangan bangsa. Perjalanan film nasional mengalami fase pasang surut. Pada tahun 2007 film asing masuk ke Indonesia ada 296 buah, sedangkan film Indonesia ada 59 buah. Dari
situ sudah terlihat jelas film asing masuk ke Indonesia 6x lipat daripada film dalam negeri. Tahun 2008 film asing yang masuk ke Indonesia menurun menjadi 185 buah sedangkan film dalam negeri meningkat film I87 buah. Dari hasil itu film asing menurun hanya 2x lipat saja haya dalam satu tahun. Dan untuk tahun 2013 (data sampai 13 November 2013) ada 187 film asing yang masuk ke Indonesia sementara film dalam negeri terus meningkat walau tak signifikan sebanyak 96 buah. Pada tahun 2014 saja baru berlangsung 3 bulan hingga Maret, film nasional yang terdaftar 40 judul film tetapi hanya 36 yang yang dinyatakan lulus sensor. Seperti contoh film The Raid : Redemption (2011) yang mampu menembus pasar internasional dengan masuk ke empat film festival dan disaksikan berjuta-juta pasang mata dalam ajang Sundance Film Festival, Toronto Film Festival, Cannes Film Festival, dan Glasgow Film. Berikut perbdaningan produksi film nasional dan film asing periode 2007 – 2013 : Festival.
Gambar 1.1 Gambar 1.1. Perbandingan Produksi Film Indonesia vs Film Asing Periode 2007 – 2013 Tabel 1.1 : Jumlah Perbandingan Film Indonesia dan Film Asing yang Beredar tahun
Film Indonesia
film asing
2007 2008 2009 2010 2011 2012
53 87 78 77 82 90
296 185 204 192 168 182
Sumber:http://www.frame-magz.com Grafik dan tabel di atas menggambarkan perbdaningan film Indonesia dengan film Asing periode 2007 – 2013 terlihat jelas film Indonesia semakin tahun terus naik dan tidak kalah dengan peredaran Film-Film Asing yang ada. Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah film Indonesia yang beredar dibioskop memang selalu dibawah jumlah film asing yang beredar. Hal ini tentunya akan berdampak jumlah penonton film Indonesia akan selalu rendah. Tidak dapat dipugkiri peran pihak bioskop sangat menentukan keberhasilan film Indonesia di negerinya sendiri. Untuk diketahui, distributor film asing di Indonesia adalah pemilik jaringan bioskop, dan tentunya mereka dapat menentukan film apa saja yang akan tayang, dan berapa lama
jatah tayang film di bioskop. Pihak bioskop akan selalu menampilkan film-film terbaru, yang diperkirakan akan menarik penonton dalam jumlah banyak, dan sepertinya film asing masih menjadi sesuatu yang menarik untuk ditonton oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya film-film asing di bioskop semakin lama , tanpa disadari telah mengikis rasa etnosentrisme dalam diri masyarakat Indonesia, mereka lebih mengagumi budaya hasil karya asing dibdaningkan dengan hasil karya negeri sendiri. Peran pemerintah mutlak diperlukan untuk melindungi film-film Indonesia, untuk mendapatkan porsi tempat yang sama di bioskop-bioskop dengan film-film asing, seperti pada peraturan undang-undang republik Indonesia Nomor 33 tahun 2009 Tentang Perfilman pasal 32 : „Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurangkurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut‟. Namun pada kenyataannya tidak demikian, sampai saat ini bioskop tanah air, masih didominasi film asing. Padahal film Indonesia merupakan produk asli dalam negeri yang seharusnya mendapatkan perlindungan dalam pemasaran. Selain proteksi dari pemerintah dalam undangundang yang diterbitkan untuk mengatur peredaran film, tentunya dibutuhkan peran masyarakat Indonesia sebagai konsumen dari film-film Indonesia untuk terus memilih film Indonesia sebagai pilihan dalam menonton film, karena sebenarnya pemilik bioskop hanya melakukan pemenuhan atas permintaan dan kebutuhan pasar, tentang film-film asing. Sebagai pemilik bioskop hanya menyediakan apa yang menjadi permintaan pasar, karena orientasi laba sebesar-besarnya di harapkan dari setiap prododuk yang di jualnya, dalam hal ini adalah film-film yang akan diedarkan dibioskopnya. Akan tetapi berbeda dengan jumlah penonton mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun seperti tampak pada grafik berikut ini :
Total Penonton film Indonesia top 10 16.000.000 14.000.000 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 -
Total Penonton film Indonesia top 10
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 1.2. Total Penonton Film Indonesia TOP 10 Sumber: filmindonesia.or.id/movie Berdasarkan sepuluh (10) film yang beredar setiap tahunnya selama lima (5) tahun terakhir dapat digambarkan perkembangan perfilman Indonesia yang terus naik dan turun atau fluktuatif. Dari grafik tersebut diketahui bahwa penonton domestik masih merasa film nasional tidaklah menjadi pilihan utama dalam pemilihan jenis film yang akan ditonton. Dari data tersebut terlihat pada tahun 2009, jumlah penonton
film Indonesia berada diposisi yang tinggi, ini dikarenakan terdapat beberapa film yang mengangkat tema religi, yang sesuai dengan mayoritas penduduk Indonesia, selain itu juga terdapat film nasionalis, dan film film pada tahun edar 2009 memiliki kualitas yang bagus, yang memang layak untuk mendapat apresiasi berupa banyaknya jumlah penonton. Setelah tahun 2009 sampai dengan 2013, peringkat 10 besar film Indonesia mengalami penurunan, dan kenaikan tergantung berdasarkan film-film yang sedang edar ditahun tersebut. Individu akan terpengaruh dengan adanya sebuah masukan yang baru mengenai sesuatu hal yang sedang tenar. Ini juga sangat mempengaruhi tingkat rating film tersebut. Pada saat promosi dan pemasaran film tersebut tim manajemen yang mengurusi bagian ini menarik perhatian para penonton untuk menonton film yang akan ditayangkan. Perkembangan film Indonesia sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kontribusi masyarakat Indonesia dalam menonton film-film Indonesia. Aktivitas movie viewing tersebut juga dipengaruhi sifat mencintai budaya sendiri pada diri masyarakat. Salah satu sifat yang mempengaruhi adalah etnosentrisme. Seperti dalam Schiffman & Kanuk (2008), Intensitas dedikasi untuk konsumsi lokal produk sangat tergantung pada sejauhmana sisi etnosentrisme seseorang. Perilaku memilih film-film tersebut berbeda dalam diri masyarakat masingmasing, setiap masyarakat pasti memiliki kegemaran masing-masing pada film-film yang beredar di bioskop, seperti genre horror, komedi, drama romantic, thriller laga, atau animasi. Jika harapan penonton tentang film yang ditonton terpenuhi, maka masyarakat akan merasa puas. Kepuasan masyarakat itu akan tercermin dalam intensi perilaku masyarakat yang akan terus menerus kembali menonton film-film tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini akan melakukan studi mengenai intensi berperilaku penonton film nasional yang diindikasikan dari sikap penonton akan film nasional. Faktor-faktor yang dijadikan sebagai pendorong minat menonton adalah Movie Viewing, Etnosentrisme dan Cultural Proximity. Sehingga tujuan penelitian ini adalah : (1) Menganalisis persepsi movie viewing, etnosentrisme, dan cultural proximity sebagai faktor-faktor pendorong seseorang menonton film nasional, (2) Menganalisis pengaruh faktor-faktor tersebut pada no 1 terhadap sikap penonton film, (3) Menganalisis pengaruh Sikap terhadap intensi menonton film nasional, dan (4) Menganalisis mediasi Sikap pada pengaruh factor-faktor pendorong terhadap intensi menonton bioskop.
II. LANDASAN TOERI Film merupakan bagian dari karya seni yang menampilkan gabungan dari seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan gambar sebagai bentuk visualisasinya. Menurut Wibowo.dkk, 2006:196 yang merupakan salah satu pakar perfilman di Indonesia berpendapat bahwa film adalah gambaran teaterikal yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dan televisi atau sinetron yang dibuat khusus untuk siaran televisi. Film adalah media audiovisual yang menarik, mudah dicerna dan dapat langsung merasuk ke pikiran dan jiwa mereka ; sehingga perlu juga dipikirkan film apa saja yang sesuai sebagai tontonan” , ungkapnya. Pentingnya film sebagai salah satu metode penanaman nilai nilai arif kebudayaan kepada generasi muda. “Film adalah salah satu media transformasi pengembangan nilai-nilai budaya kita.
Pada dasarnya film merupakan alat audio visual yang menarik perhatian orang banyak, karena dalam film selain memuat adegan yang terasa hidup juga adanya sejumlah kombinasi antara suara, tata warna, costum, dan panorama yang indah. Film memiliki daya pikat yang dapat memuaskan penonton. Banyak alasan orang menyukain film, karena adanya unsur usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu. Kelebihan film karena tampak hidup dan memikat. Alasan seseorang untuk menonton film untuk mencari nilai-nilai yang memperkaya batin. Setalah menyaksikan film, seseorang memanfaatkan untuk mengembangkan sesuatu realitas rekaan terhadap realitas nyata yang dihadapi. Film dapat dipakai penonton untuk melihat-lihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru. Sebuah film disadari atau tidak, dapat merubah pola kehidupan sesorang. Terkadang ada seseorang yang ingin meniru kehidupan yang di kisahkan dalam film tersebut. Para penonton kerap menyamakan seluruh pribadinya dengan salah seorang pemeran film. Film mempunyai pengaruh sendiri bagi para penontonnya. 2.1. Menonton Film Identik Dengan Pergi Ke Bioskop Menurut Dahar (2011) menonton merupakan salah satu proses belajar yang menggunakan gambaran kognitif dari tindakan. Dalam teorinya, hal ini disebut belajar melalui pengamatan yang terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Dalam hal ini, film merupakan gambaran kondisi kehidupan manusia yang dibuat sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang menonton film tertentu akan merefleksikannya dalam kehidupan nyata, dan inilah yang disebut belajar. Kegiatan movie viewing di Indonesia, identik dengan pergi ke bioskop untuk menonton film. Ke suksesan suatu film pun diukur dari banyaknya penonton yang menikmati film Indonesia di bioskop. Oleh karena itu kegiatan menonton film erat hubungannya dengan bioskop, karena bioskop merupakan suatu tempat film dipasarkan oleh para produsen film, untuk kemudian ditonton oleh masyarakat yang ingin menikmati film. Sayangnya di Indonesia belum tersedianya data penonton yang akurat, sehingga sulit untuk mengukur keberhasilan suatu film. 2.2. Tipe-Tipe Orang Yang Menonton Film. Cukup banyak pecinta film yang ada di Indonesia namun tak banyak dari mereka yang benar-benar suka dan mengerti mengenai seni menonton film. Kebanyakan dari mereka hanya menonton film sebagai sarana pengisi waktu luang dan media penyaluran hiburan dan ada juga yang menonton film merupakan sebuah seni dan sangat menikmati setiap detik dari film tersebut dan berusaha mengerti pesan yang terkdanung dari sebuah film.Beberapa tipe penonton film yang menggambarkan perilaku penonton film sebagai berikut : (1). Penonton Hiburan : Tipe penonton ini adalah sekumpulan penonton yang akan membeli DVD/VCD atau pergi ke bioskop hanya untuk menonton film-film populer dan tidak terlalu mau menonton film yang rumit dan aneh. Pokoknya mereka mau menonton film yang mudah dicerna, populer, banyak adegan perang, spesial efek bagus dan sedikit adegan-adegan panas., (2). Penonton Tersegmentasi : Tipe penonton ini cukup unik untuk dicermati karena mereka biasanya akan menonton film hanya jika film tersebut dibintangi, disutradarai oleh favorit mereka atau film dengan tema dan genre tertentu. Dengan kata lain, mereka akan malas menonton film diluar hal-hal favorit mereka sendiri. (3) Penonton Film Festival : Penonton yang termasuk ke dalam tipe ini adalah penonton yang hanya menonton film-film yang pernah meraih atau masuk nominasi dalam berbagai festival-festival film baik lokal maupun internasional. Tidak mudah untuk dapat masuk ke dalam tipe ini karena memang biasanya film yang ditonton bergenre drama
berat yang menekankan pada dialog, karakter dan plot atau jalan cerita. (4) Penonton Okasional : Yaitu penonton yang tidak terlalu suka namun juga tidak terlalu mau meninggalkan film. Mereka biasanya cukup menonton film-film yang ditanyangkan oleh TV dan jika ada kesempatan hanya membeli film-film populer itupun tidak secara reguler. Film bukanlah sesuatu yang harus ditonton secara reguler dan film merupakan sarana hiburan belaka. 2.3. Cultural Proximity Konsep kedekatan budaya diperkenalkan oleh Straubhaar (1991) untuk menjelaskan keberhasilan terus-menerus dari produk media nasional dan regional visa-vis yang global, terutama yang diproduksi di Hollywood (Georgiou, 2012). Menurut Strabhaar, kedekatan budaya mengacu kepada “materi nasional atau diproduksi secara lokal yang lebih dekat dengan dan lebih memperkuat identita tradisional, yang berbasis di daerah, etika, dialek/bahasa, agama, dan unsur-unsur lain. Pendapat dan penilaian setiap individu pada individu lain maupun dalam menanggapi suatu hal, tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional. Setiap individu merupakan mahluk emosional dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam menentukan pilihan, pendapat dalam memberi penilaian. Oleh karena itu, ketika menyenangi seseorang ataupun tertarik pada suatu hal, kita cenderung melihat segala hal yang berkaitan dengannya secara positif, sebaliknya ketika kita membencinya, kita cenderung melihat karakteristiknya secara negatif. Istilah yang menggambarkan hal ini disebut Proximity (Kedekatan). Proximity (Kedekatan) adalah salah satu unsur nilai yang menunjukan kekuatan seseorang terhadap peristiwa atau suatu hal. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, proximity (kedekatan) diartikan sebagai salah satu unsur nilai pesan, yang menunjukkan kekuatan pembaca terhadap peristiwa yang dijadikan berita. Kedekatan Budaya (Cultural Proximity) ditunjukkan oleh jarak karena adanya unsur budaya seperti bahasa, kesenian, dan upacara dalam keagamaan dalam Rahmawati Haruna 2001 (Ecip:1990). Koentjoro dalam Ecip (1990) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Beberapa dimensi Kebudayaan dibagi menjadi sebagai berikut: 1) Bahasa, 2) Sistem Pengetahuan; 3) Organisasi Sosial, 4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, 5) Sistem Mata Pencarian Hidup 6) Sistem religi 7) Kesenian 2.4. Etnosentrisme Etnosentrisme merupakan kecendrungan kelompok masyarakat tertentu untuk menutup diri dari kelompok lainnya dan sulit menerima segala sesuatu yang bukan berasal dari kelompok mereka sendiri. (Shimp dan Sharma, dalam Schiffman & Kanuk, 2008). Etnosentrisme bermanfaat dalam upaya untuk menjamin keberlangsungan kelompok dan budaya mereka, meningkatkan solidaritas kelompok, perilaku yang sesuai dengan adat yang dipegang, kerjasama, loyalitas dan efektifitas kelompok, ( Shimp dan Sharma dalam Erna, 2012). Shimp dan Sharma adalah yang pertama kali menggunakan pandangan etnosentrisme ini dalam konsep pemasaran yang kemudian dikenal dengan istilah
”etnosentris konsumen”. Istilah ini digunakan oleh Shimp dan Sharma dalam (Erna, 2012) untuk mewakili keyakinan yang dipegang oleh konsumen Amerika tentang kepantasan dan moralitas, terhadap pembelian produk buatan luar negeri. Dalam perspektif etnosentris konsumen, pembelian produk impor akan dianggap salah karena berpotensi merugikan perekonomian domestik dan menyebabkan hilangnya pekerjaan bagi masyarakat lokal. Selain itu, konsumen yang etnosentrisnya tinggi juga berpdanangan lebih jauh bahwa produk domestik dipdanang unggul, sedangkan produk dari negara lain (misalnya dari kelompok lain) dipdanang lebih rendah. Sebaliknya, bagi konsumen yang ”non-etnosentris”, produk asing dipdanang sebagai objek yang akan dievaluasi dengan penilaian mereka sendiri tanpa mempertimbangkan dimana produk tersebut dibuat. Konsep ”ethnocentrism” oleh Shimp dan Sharma diformulasikan sebagai konsep untuk mempelajari perilaku pelanggan dan implikasi pemasarannya. Shimp dan Sharma dalam (Erna, 2012) mengemukakan bahwa beberapa pelanggan umumnya percaya bahwa pembelian produk yang diproduksi secara lokal merupakan kepantasan secara moral dalam suatu kesadaran normatif. Selanjutnya Shimp dan Sharma dalam (Erna, 2012) mengembangkan skala pengukuran kecendrungan tingkat etnosentris pelanggan,yang dikenal dengan istilah Customer Ethnosentrism Scale (CETSCALE). Penggunaan CETSCALE menunjukkan bahwa mereka yang termasuk kelompok etnosentris tinggi lebih cenderung untuk menonjolkan aspek-aspek positif produk buatan dalam negeri dan mengurangi konsumsi produk buatan luar negeri. Mereka bereaksi negatif atas periklanan yang menggunakan tema buatan negara lain. Selain itu, asal dan konstruksi produk dalam negeri dinilai lebih tinggi sebagai pertimbangan pembelian oleh mereka yang memiliki tingkat etnosentris lebih tinggi. Skala etnosentris pelanggan teryata berlaku secara cross-national (Mowen dan Minor, 2001 dalam Erna,2012). 2.5. Sikap (Attitude) Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. Tidak ada sikap tanpa adanya objek (Gerungan, 2004). LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007). Schiffman, Kanuk (2008:225) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: 1) Komponen kognitif Komponen kognitif berkaitan dengan pikiran atau rasio individu yang dihubungkan dengan konsekuensi yang dihasilkan tingkah laku tertentu. Hal ini berhubungan dengan belief seseorang mengenai segala sesuatu baik negatif maupun positif tentang objek sikap. 2) Komponen afektif Emosi atau perasaan konsumen menganai produk dan merk tertentu merupakan komponen afektif dari sikap tertentu. Emosi dan perasaan ini sering dianggap sangat evaluatif sifatnya, yaitu mencakup penilaian seseorang terhadap obyek sikap secara langsung dan menyeluruh atau sampai dimana seseorang menilai
objek sikap “menyenangkan” atau “tidak menyenagkan”, “bagus” atau “tidak bagus”. Seperti pada tabel berikut: 3) Komponen perilaku Kecenderungan tingkah laku, intensi, komitmen dan tindakan yang berkaitan objek sikap Fishbein & Ajzen (1975) menyatakan bahwa intensi sering dilihat sebagai komponen konatif dari sikap dan diasumsikan bahwa komponen konatif ini berhubungan dengan komponen afektif dari sikap. . 2.6. Intensi (Intention) Pengertian pertama menyiaratkan bahwa intensi merupakan sesuatu yang disengaja atau disadari, bahkan sudah mulai dilakukan. Hal ini dipertegas dalam definisi dari kamus yang sama (Chaplin,2004) mengenai istilah intentional (intensional) yaitu menyinggung maksud, pamrih, atau tujuan; dengan maksud tertentu; disadari atau atas kemauan sendiri. Selain itu, menurut Ajzen (2005), intensi dapat dijelaskan melalui teori perilaku terencana yang merupakan pengembangan dari teori tindakan beralasan. Intensi merefleksikan kesediaan individu untuk mencoba melakukan suatu perilaku tertentu (Ajzen, 2005). Dalam referensi lainnya, Ajzen (dalam Teo & Lee, 2010), mengemukakan definisi intensi yaitu indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha. dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Intensi memiliki korelasi yang tinggi dengan perilaku, dan karena itu dapat digunakan meramalkan perilaku. Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan, maka intensi adalah suatu kemungkinan individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Intensi dapat dijelaskan melalui teori perilaku terencana yang merupakan pengembangan dari teori tindakan beralasan oleh Fishbein dan Ajzen (Ajzen, 2005). Teori perilaku terencana didasarkan pada asumsi bahwa individu dapat berperilaku secara bijaksana, sehingga mereka memperhitungkan semua informasi yang ada baik secara implisit maupun eksplisit dan mempertimbangkan akibat dari perilaku mereka. Teori ini mengatakan bahwa intensi seseorang untuk menunjukkan atau tidak menunjukkan suatu perilaku adalah faktor yang paling menentukan apakah suatu perilaku terjadi atau tidak. Berdasarkan teori ini pula, Ajzen (2005) mengemukakan bahwa intensi terdiri dari tiga aspek, yaitu : (1) Attitude toward the behavior ; 2) Normative Belief; 3) Subjective norm; 4) Perceived behavior control 2.7.Model Penelitian dan Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis dan penelitian terdahulu, maka disusunlah suatu model penelitian sebagai berikut :
Movie Viewing
Sikap (Attitude)
Etnosentrisme
Intensi (Intention)
Cultural Proximity
Gambar 2.1 : Model Penelitian Hipotesis Berdasarkan perumusan telaah kajian teori dan penelitian terdahulu maka dirumuskanlah hipotesis sebagai berikut : 1. Movie Viewing berpengaruh signifikan terhadap sikap penonton 2. Etnosentrisme berpengaruh signifikan terhadap terhadap sikap penonton 3. Cultural Proximity berpengaruh signifikan terhadap sikap penonton 4. Sikap penonton berpengaruh signifikan terhadap intensi berperilaku 5. Movie viewing berpengaruh signifikan terhadap intensi berperilaku secara langsung 6. Etnosentrisme berpengaruh signifikan terhadap intensi berperilaku secara langsung 7. Cultural Proximity berpengaruh signifikan terhadap intensi berperilaku secara langsung.
III. PEMBAHASAN Penelitian ini mengambil populasi penonton XXI di kompeks Taman Ismail Marzuki yang sedang menonton film The RAID:Berandal. Sedangkan sampel yang diambil mengacu pada ketentuan 5 x jumlah indikator (31) yaitu 155 responden. Analisis data dilakukan dengan menggunakan the Structural Equation Model (SEM) dengan bantuan Program Lisrel 8.8. Berdasarkan Analisis data diperoleh hasil sebagai berikut : 4.1.Uji Kecocokan Model Pengukuran Tabel 3.1. Hasil Uji Kecocokan Model Pengukuran NO
UkuranGOF
1
Roots Means Square Error of Approximation (RMSEA)
2
Normated Fit Index (NFI)
3
Tucker-Lewis Index (TLI) atau Non-Normated Fit Index (NNFI)
TargetTingkat Kecocokan
Hasil Estimasi
Tingkat Kecocokan
RMSEA ≤0,08
0,074
Baik
NFI ≥0,90
0,81
Marjinal Fit
NNFI ≥0,90
0,88
Marjinal Fit
4
Comparative Fit Index (CFI)
CFI≥0,90
0,90
Baik
5
Incremental Fit Index (IFI)
IFI≥0,90
0,90
Baik
6
Relative Fit Index (RFI)
RFI≥0,90
0,78
Tidak Fit
7
Goodness of Fit Index (GFI)
GFI≥0,90
0,81
Marjinal Fit
Adjusted Goodness of Fit Index AGFI≥0,90 0,81 Marjinal Fit (AGFI) Berdasarkan tabel 3.1 terlihat bahwa konstruk yang digunakan untuk membentuk sebuah model penelitian, pada pengukuran keseluruhan variabel ada beberapa telah memenuhi Kriteria Goodness of fit yang telah ditetapkan. Di mana untuk RMSEA, CFI, dan IFI berada dalam rentang nilai yang diharapkan walaupun NFI, NNFI, GFI, AGFI diterima secara marjinal dan RFI tidak fit. Dengan demikian uji kelayakan structural keseluruhan variabel ini telah memenuhi syarat penerimaan. 8
4.2.Uji Kecocokan Model Struktural Uji kecocokan model struktural terdiri dari uji kecocokan keseluruhan model dan analisis hubungan kausal (Wijanto, 2008). Pada uji kausalitas dapat dilihat bagaimana hubungan kausal antar variabel, dan apakah hubungan tersebut signifkan. Hasil analisis hubungan kausal antar variabel dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut: Tabel 3.2. Analisis Hubungan Kausal antar variabel Hipotesis
Structural Path
tValues
Keterangan
H1
Movie Viewing Sikap Penonton
0,76
Data Tidak Mendukung Hipotesis
H2
Movie Viewing Intensi Menonton Film
2,79
Data Mendukung Hipotesis
H3
Cultural Proximity Sikap Penonton
2,58
Data Mendukung Hipotesis
H4
Cultural Proximity Intensi Menonton Film
-2,59
Data Mendukung Hipotesis
H5
Etnosentrisme Sikap Penonton
-2,09
Data Mendukung Hipotesis
H6
Etnosentrisme
2,78
Data
Kesimpulan Movie Viewing tidak berpengaruh terhadap Sikap Penonton Movie Viewing berpengaruh positif terhadap Intensi Menonton Film Cultural Proximity berpengaruh positif terhadap Sikap Penonton Cultural Proximity berpengaruh negatif terhadap Intensi Menonton Film Etnosentrisme berpengaruh negatif terhadap Sikap Penonton Etnosentrisme
Intensi Menonton Film
Mendukung Hipotesis
berpengaruh positif terhadap Intensi Menonton Film Sikap Penonton Sikap Penonton Data berpengaruh positif H7 Intensi Menonton 2,66 Mendukung terhadap Intensi Film Hipotesis Menonton Film Dari tabel 3.2 di atas, maka dapat menarik kesimpulan mengenai model penelitian ini. Berdasarkan tabel diketahui bahwa Movie Viewing tidak berpengaruh signifikan terhadap Sikap Penonton, ditunjukan dengan nilai t sebesar 0.76 <1,96. Namun Movie Viewing berpengaruh positif dan signifikan terhadap Intensi Menonton Film dengan nilai t sebesar 2,79 > 1,96. Pada variabel Cultural Proximity diketahui berpengaruh signifikan positif terhadap Sikap Penonton dengan nilai t sebesar 2,58 > 1,96, sedangkan untuk pengaruhnya terhadap Intensi menonton film ditemukan nilai t sebesar -2,59 > -1,96 yang artinya Cultural Proximity berpengaruh negatif dan signifikan berpengaruh terhadap Intensi menonton film. Variabel Etnosentrisme diketahui berpengaruh signifikan dan negatif terhadap Sikap Penonton, yang ditunjukkan dengan nilai t sebesar -2,09 > -1,96, sedangkan pengaruh Etnosentrisme terhadap Intensi menonton film diketahui berpengaruh signifikan dan positif yang ditunjukkan oleh nilai t sebesar 2,78 > 1,96. Pengujian hipotesis terakhir adalah pengaruh Sikap Penonton terhadap Intensi menonton film. Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa terdapat pengaruh signifikan dan positif antara Sikap Penonton terhadap Intensi menonton film yang ditunjukkan dengan nilai t sebesar 2,66 > 1,96. IV. KESIMPULAN 1. Movie Viewing tidak menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap Sikap Penonton Artinya setelah responden menonton suatu film nasional tidak akan mempengaruhi penilaian dan persepsi mereka mengenai kualitas film nasional secara keseluruhan. Film nasional ternyata benar-benar dinilai per satu-satuan film saja, tidak menggambarkan secara utuh penilaian pada seluruh film nasional. 2. Movie Viewing berpengaruh signifikan dan positif terhadap Intensi menonton film. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa setelah menonton film The Raid : Berandal, responden mempunyai keinginan untuk menonton film nasional lagi. Film nasional tetap mempunyai daya tarik bagi penonton domestik meskipun terkesan penonton pilih-pilih dulu pada saat akan menonton film nasional. Dengan kata lain, semakin sering penonton domestik menonton film nasional semakin tinggi intensi penonton untuk menonton film nasional. 3. Cultural Proximity (kedekatan budaya) menunjukkan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap Sikap Penonton. Artinya penonton domestik dapat menikmati film nasional karena paham akan film yang ditayangkan berdasarkan budaya. Kedekatan budaya tersebut yang mempengaruhi sikap penonton terhadap film nasional. Sehingga dapat disimpulkan semakin dekat tampilan budaya yang ditayangkan dalam film nasional semakin baik sikap penonton domestik terhadap film nasional.
4. Cultural Proximity menunjukkan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap Intensi menonton film. Artinya kedekatan budaya yang dirasakan penonton film The Raid : Berandal mempengaruhi keinginan penonton untuk menonton film nasional lain. Namun hasil pengujian menunjukkan pengaruh negatif. Artinya semakin penonton merasakan film yang ditonton menayangkan budaya yang mirip atau dekat dengan budaya nasional semakin rendah intensi penonton untuk menonton film nasional. Hal ini menunjukkan bahwa penonton domestik ternyata tidak menyukai film dengan latar belakang budaya domestik, penonton lebih menyukai menonton film dengan latar belakang budaya yang lain (budaya asing). 5.Etnosentrisme menunjukkan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap Sikap penonton. Artinya penonton yang etnosentrisme nya tinggi (memandang kelompok dan budayanya lebih baik) ternyata sikapnya terhadap film nasional justru rendah. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dengan latar belakang budaya yang kental bisa jadi malah tidak menyukai film nasional. Sebaliknya seseorang dengan etnosentrisme rendah lah yang malah bersikap baik terhadap film nasional. Kondisi ini dapat terjadi karena film nasional yang ditayangkan lebih banyak mempertontonkan budaya yang dianggap tidak sesuai dengan budaya nasional. 6. Etnosentrisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi menonton film ditemukan. Artinya meskipun sikap penonton rendah pada saat etnosentrisme tinggi, namun intensi penonton untuk menonton film nasional tetap tinggi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan penonton dengan etnosentrisme tinggi tetap berharap dapat menonton film nasional yang berkualitas, sehingga film nasional tetap dapat dipertahankan keberadaannya di negara sendiri. 7. Sikap penonton berpengaruh signifikan dan positif terhadap Intensi menonton film. Artinya semakin baik sikap penonton akan film nasional semakin tinggi intensi penonton untuk menonton film nasional. Hal ini menunjukkan bahwa seorang penonton harus mempunyai sikap yang baik akan film nasional dalam artian pandangan dan penilaian mereka terhadap film nasional, yang pada gilirannya akan berdampak pada keinginan mereka untuk menonton film nasional.
REFERENSI Augusty, Ferdinand. (2006). Metode Penelitian Manajemen :. Pedoman Penelitian Untuk Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Ilmu Manajemen Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Awaluddin Yusuf, Iwan. ( 2010). Senarai Perkembangan Industri Perfilman: Arena Hiburan, Informasi, Dan Ekstase Kepentingan. Jurnal Semai Komunikasi. Program STIKOM : Vol. 3, No 1 Th 2012. Dion. (2010). “Tipe-TipePenonton Film di Idonesia”. [online] http://dionbarus.com/tipe-tipe-penonton-film-di-indonesia (diakses 1 Mei 2014). Ghozali, Imam & Fuad. (2005). Structural Equation Modeling. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Gunawan Putra, Fatwa, (2008). USU Respository. “Tayangan Bioskop Trans Tv Dan Minat Menonton Film (Studi Korelasional Tentang engaruh Tayangan Bioskop Trans TV Terhadap Minat Menonton Film Barus,
Dikalangan Mahasiswa USU”. [online] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14797/1/09E00867.pdf, (diakses 14 April 2014). Hermans, B. (2000). “Desperately Seeking: Helping Hands and Human Touch”. [online]. http://www.hermans.org/agents2/ch3_1_2.htm. (diakses 25 Juli2008) Indya, Putri. FE UI. (2008). “Analisis Tingkat Literatur”. [online] lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124706-6011-Analisis%20tingkat-Literatur.pdf. (diakses 11 April 2014). Jonathan Pasaribu, Adrian. (2013). “Risalah 2012: Menjaga Momentum Film Indonesia”. [online]. http://filmindonesia.or.id/article/risalah-2012-menjagamomentum-film-indonesia#. (diakses 14 April 2014). Joseph, Dolfi (2011. S1 thesis, UAJY. “Landasan Konseptual Perencanaan Dan Perancangan Pusat Apresiasi Film Di Yogyakarta”.[online]. http://ejournal.uajy.ac.id/821/3/2TA11217.pdf# (diakses 1 Mei 2014) Kotler, Philip & Kevin Lane Keller. (2007). Manajemen Pemasaran. PT.INDEKS: JAKARTA Kusnaedi. (2008). Model-model Persamaan Struktural ; Satu dan Multigroup Sampel dengan Lisrel. Bandung : Alfabet. Luviana. (2014). “Sudahkah Anda Datang ke Bioskop ?”. [online] http://www.portalkbr.com/nusantara/jakarta/3192660_4260.html (diakses 1 Mei 2014). Pratama Putra, Ardhi. (2012). Universitas Gunadarma.”Hubungan Antara Intensitas Menonton Film Drama Romantis Dengan Kecenderungan Seks Pranikah Pada Remaja”. [online]. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved =0CC4QFjAC&url=http%3A%2F%2Fpapers.gunadarma.ac.id%2Findex.php% 2Fpsychology%2Farticle%2Fdownload%2F16737%2F15929&ei=jQmqU_XuJ 9OGuASG14KQBQ&usg=AFQjCNENcPwVRRy3ISO4PMhoCPtmljBkw&sig2=urs198QlkHCrD44WdSCybg. ( diakses 23 Juni 2014). Sitinjak J.R.T dan Sugiarto. (2006). Lisrel. Yogyakarta. Graha Ilmu. (2006). Schiffman, Leo & Leslie Lazar Kanuk. (2008). “Perilaku Kosumen”. PT. INDEKS : Jakarta Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabet Suryadi, Nanang dan Dimas Hendrawan. (2010) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. “ Kecenderungan Etnosentrisme, Sikap, dan Intensi Konsumen dalam Membeli Produk Sepatu Buatan Usaha Kecil danMenengah (UKM)”. Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 8, Nomor 2, Mei 2010. [online] http://jurnaljam.ub.ac.id/index.php/jam/article/viewFile/331/367. (diakses 1 Mei 2014). Wijanto, Setyo Hari. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL. 8.8 . Konsep dan Tutorial. Yogyakarta :Graha Ilmu. www.21cineplex.com/features/ini-dia-karakter-yang-terdapat-di-film-the-raid-2berandal,56.htm [online] (diakses 24 Juni 2014).
BIODATA PENULIS Dr. Rina Astini, MM, memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE), Jurusan Manajemen Universitas Jenderal Soedirman, lulus tahun 1992. Memperoleh gelar Magister Manajemen (MM) pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Indonesia Jakarta, lulus tahun 2000. Memperoleh gelar Doktor (Dr) pada Program Pasca Sarjana Ilmu Manajemen, lulus tahun 2011. Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana Jakarta.