1
PERANAN KARAPATAN ADAT NAGARI (KAN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PUSAKO TINGGI STUDI KASUS KAN SINTUAK, KECAMATAN SINTOGA, KABUPATEN PADANG PARIAMAN, PERIODE 2007-2010 Rika Fajrini Heru Susetyo Ugrasena Pranidhana Program studi ilmu hukum Fakultas hukum ABSTRAK Sejak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat minangkabau tidak lagi menjadi suatu entitas independen, demikian juga halnya Karapatan Adat Nagari (KAN) tidak lagi menjadi pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif tertinggi di nagari. Namun, terlepas dari semua pengurangan peran yang dialami KAN, ada satu peran yang tidak berubah dari dulu sampai sekarang, yakni peran untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako tinggi. Skripsi ini membahas mengenai peranan KAN dalam menyelesaikan sengketa tanah pusako tinggi di nagari Sintuak , kecamatan Sintoga, Kabupaten Padang Pariaman. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis-empiris dengan kacamata pluralisme hukum. Dari pembahasan skripsi ini dapat dilihat bahwa KAN merupakan salah satu forum penyelesaian sengketa alternatif yang dapat dipilih masyarakat nagari untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako tinggi. Masyarakat nagari akan memilih apakah KAN merupakan forum penyelesaian sengketa yang sesuai dengan kebutuhan da kondisi mereka hal mana yang dikenal dengan istilah forum shopping. Karapatan Adat Nagari dalam menyelesaikan sengketa berperan sebagai mediator sosial (social network mediator) yang mengusahakan perdamaian antara keduabelah pihak tapi terkadang juga dapat berperan layaknya arbitor yang memutus sengketa para pihak dan kedudukan hukum objek sengketa menurut hukum adat yang ada. Walaubagaimanapun, nagari saat ini tidak lagi menjadi “negara mini” yang mempunyai otonomi penuh, ia menjadi suatu lapangan sosial semi otonom (Semi Autonomous Social Field) yang dapat membuat aturan sendiri tapi sangat rentan dengan pengaruh luar. Begitu pula halnya dengan Karapatan Adat Nagari yang dapat membuat keputusan atas sengketa tanah pusako tinggi yang terjadi di masyarakat, namun keputusan tersebut tidak mengikat dan sangat rentan untuk tidak ditaati jika salah satu pihak membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Kata Kunci
: forum shopping ; Karapatan Adat Nagari, penyelesain sengketa alternatif ; pluralisme hukum ; semi autonomous social field.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
2
ABSTRACT Since joining with the Republic of Indonesia, the indigenous people of Minangkabau is not a full independent entity anymore, and so is Karapatan Adat Nagari (KAN). Karapatan Adat Nagari is no longer holding the executive, legislative and judicative power at once. Despite all the reduction of role which KAN has been experienced, there is one role which has not changed until now. It is the role to resolute land (pusako tinggi) dispute among nagari society. This undergraduate thesis analyzes the role of KAN in land (pusako tinggi) dispute resolution in Nagari Sintuak, Sintoga District Padang Pariaman Region. This undergraduate thesis uses juridical-empirical research method with the perspective of legal pluralism. Based on the analysis, KAN is one of alternative forum for dispute resolution of pusako tinggi which can be chosen by society in nagari. The society will choose whether KAN is the right forum suitable with their needs and condition, which activity known as forum shopping. Karapatan Adat Nagari in land dispute resolution takes role as social network mediator who aims for the peaceful agreement between parties. However, sometimes KAN also can take role as an arbiter who decide the verdict for parties and decide the status of object of dispute according to adat law. Nagari today is no longer a” mini country” which has full autonomy; it has become a semi-autonomous s social field which is able to generate its own regulation but very vulnerable to external influence. The same thing for Karapatan Adat Nagari, which can make the decision for land (pusako tinggi) dispute resolution but the decision is not legally binding and very vulnerable of the negligence if one of the parties decides to take the case to the court. Key words
: alternatif dispute resolution.; forum shopping ; legal pluralism ; Karapatan Adat Nagari,;semi autonomous social field,.
Pendahuluan Konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang bukan saja tidak dapat dihindari tapi juga dibutuhkan oleh masyarakat. Selama ini konflik selalu diasosiasikan dengan psikopatologi, penyimpangan sosial dan perang. Namun konflik juga merupakan akar dari perubahan individu dan perubahan sosial, ia adalah media dimana masalah-masalah dapat dikemukakan dan solusi-solusi ditawarkan. Isu sosial yang kita hadapai adalah bukan bagaimana caranya mengeliminasi atau mencegah konflik tapi bagaimana menciptakan kondisi yang akan membuat konflik itu konstrutif1. Berbagai cara digunakan sebagai pendekatan terhadap penyelesaian sengketa, salah satunya adalah dengan pendekatan otonomi masyarakat. Pendekatan ini bermaksud memberdayakan lembaga penyelesaian sengketa yang memungkinkan segmen-segmen berbeda dalam masyarakat yang beragam mewujudkan aspirasi mereka untuk penentuan 1
Raimo Vayrynen, ed., New Directions in Conflict Theory : Conflict resolution and conflict transformation, (London : Sage Publications Inc, 1991), hlm 27.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
3 nasib sendiri dan dengan bersamaan tetap menjaga integritas sosial dan teritorial . Lembaga ini menawarkan mekanisme bagi para pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai2 Dalam hal penyelesaian sengketa dengan pendekatan ini, dari dahulu masyarakat Minang telah mengenal lembaga penyelesaian adat yang dikenal dengan Karapatan Adat Nagari (KAN). Karapatan Adat Nagari adalah lembaga kerapatan dari Niniak Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako3. Setiap sengketa di masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara internal dibawa ke forum permufakatan adat yang berisikan para elit lokal tersebut. Forum permufakatan adat ini terdapat dalam tiap nagari, dimana Para Petinggi adat ini memahami betul seluk beluk adat masyarakat di nagari tersebut sesuai dengan pepatah minang adat salingka nagari, beda nagari mungkin terdapat beda adat istiadat pula, sehingga yang memangku kedudukan sebagai petinggi di nagari tersebut harus memahami adat setempat. Kewibawaan mereka dan kepercayaan masyarakat terhadap mereka merupakan modal sosial dalam menyelesaikan konflik pertanahan4. Karapatan Adat Nagari sendiri dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga adat dan pemutus sengketa adat mengalami banyak pasang-surut seiring dengan perkembangan politik di Indonesia. Pada era Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katemanggungan5, pemerintahan nagari dan pemerintahan adat berada dalam satu tampuk. Karapatan Adat Nagari memiliki memegang peran eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Karapatan Adat Nagari berisikan perwakilan-perwakilan penghulu kaum, diantara penghulu tersebut 2
Stefan Wolff, ed., Conflict Resolution: Theories and Practise, diunduh dari http://www.ethnopolitics.org/isa/Wolff.pdf pada tanggal 12 Juni 2013 3 Pasal 1 butir 20 Perda Kabupaten Padang Pariaman nomor 5 tahun 2009 tentang Pemerintahan Nagari; pasal 1 butir 13 Perda Provinsi Sumatera Barat nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari. 4 M odal sosial merupakan suatu mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat yang memimpinnya, institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (sosial trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama. Pierre Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotannya bentuk dukungan secara kolektif. Lihat Zaiyardam Zubir et al., Pemberdayaan Penyelesaian Konflik Tanah Berbasis Perdamaian Adat Minangkabau di Nagari Lawang Mandahiling dan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, diunduh dari http://repository.unand.ac.id/3384/2/ZAIYARDAM.ps , pada tanggal 8 November 2011 5 Menurut Tambo Alam Minangkabau, Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan merupakan saudara seibu beda ayah yang mencetuskan dua keselerasan dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau. Datuk Parpatih Nan Sabatang merupakan anak dari Puti Indo Jalito dengan Cati Bilang Pandai, ia adalah penggagas keselarasan Bodi Chaniago yang terkenal dengan sistemnya yang demokratis, sedangkan Datuk Katumanggungan merupakan anak dari Puti Indo Jalito dengan Sri Maharajo Dirajo, ia penggagas keselarasan Koto Piliang yang berciri khas pemerintahan Aristokratis
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
4 dipilihlah seorang menjadi ketua KAN yang sekaligus menjabat sebagai Kapalo Nagari, sementara KAN sebagai suatu perkumpulan juga mempunyai peran legislatif. Dalam bidang yudikatif, pejabat pengadilan adat nagari diangkat oleh Kapalo Nagari bersama dengan KAN, tentu saja pejabat pengadilan adat nagari ini juga berasal dari penghulu-penghulu kaum. Pada masa ini karena ketiga peran politik secara umum dipegang oleh KAN, maka putusanputusan pengadilan adat saat itu dapat dipaksakan keberlakuannya, termasuk putusanputusannya terhadap sengketa tanah. Pada masa penjajahan Belanda, tatanan nagari beserta KAN ini tidak diubah secara radikal. Karapatan Adat Nagari dibiarkan tetap eksis dan mengurus semua masalah adat sebagaimana yang diperjanjikan dalam Plakaat Panjang. Namun pemerintah kolonial Belanda melakukan beberapa “modernisasi” dalam tatanan nagari
dan KAN guna
mempermudah cengkramannya terhadap masyarakat nagari. Perubahan-perubahan yang dilakukan Belanda antara lain dengan membentuk pengadilan rendah (Landraad) di setiap pusat wilayah Minangkabau yang berfungsi sebagai pengadilan banding jika perkara tidak bisa diselesaikan di pengadilan nagari6, hukum adat boleh diberlakukan selama tidak bertentangan dengan prinsip hukum Belanda atau hukum negara (pemerintah Kolonial Belanda) tidak secara terang-terangan mengesampingkan hukum adat. Selain itu terdapat pula pembatasan terhadap KAN dimana tidak semua penghulu dapat duduk di KAN dan hanya KAN yang diakui pemerintah Belanda merupakan institusi adat yang sah7. Setelah Indonesia merdeka, KAN mengalami tantangan baru menempatkan diri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berada dalam suatu kekuasaan negara kesatuan, nagari tentu tidak bisa menjadi independen seperti dulu, KAN pun tidak bisa memegang kekuasaan penuh seperti dulu. Berbagai kompromi dilakukan agar KAN masih dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penjaga adat namun tetap dalam bagian negara Indonesia. Ujian terberat bagi KAN adalah ketika Pemerintah Pusat pada era Orde Baru memberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam 6
Pada tahun 1874 Der Kinderen menghapuskan pengadilan nagari, semua perkara diadili dengan hukum acara Belanda, namun substansi hukum adat boleh diterapkan dalam pperkara-perkara perdata. Pengadilan nagari kemudian dipulihkan kembali melalui Indlandse Gemeenteordonantie Buitengwestern (Ordonansi tentang Organisasi Desa Pribumi di luar Jawa-Madura) tertanggal 9 Maret 1935. Lihat Keebet von BendaBeckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat, (Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hlm 8. 7 Sejak berlakunya Nagari Ordonantie voor Sumateras-Westkust melalui stbl 1914 no. 774, penghulu yang duduk dalam karapatan adat diberi suatu besluit oleh Residen Sumatera Barat untuk duduk dalam KAN. KAN yang tidak diakui pemerintah Belanda bukuanlah institut adat yang sah. Lihat Iskandar Kemal, Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangannya; Tinjauan tentang Karapatan Adat, (Jogjakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm 159.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
5 UU ini kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional, sehingga keanekaragaman kesatuan masyarakat hukum adat diseluruh NKRI disamakan nomenklatur, struktur, filosofi dan fungsinya dengan desa. Konsep desa di wilayah Jawa dipaksakan keberlakuannya pada wilayah-wilayah luar jawa yang tentu punya kekhasan sendiri, termasuk wilayah Sumatera Barat. Undang-undang ini mengakibatkan kekacauan struktur yang telah ada, nagari-nagari dirombak menjadi desa, batas wilayah geografis dan administratif pun jadi berubah, lahan tanah pusako tinggi yang awalnya berada di satu nagari sehingga jelas niniak-mamaknya menjadi tersebar dalam beberapa desa. Undang-undang ini menimbulkan dikotomi antara pemerintahan desa yang bersifat administratif dengan pemerintahan nagari yang berbasis adat. Guna mempertahankan eksistensi KAN dan nagari, dikeluarkanlah Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pada Peraturan daerah ini nagari didudukkan sebatas sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, tidak lagi dipandang sebagai kesatuan pemerintah daerah tingkat terendah dalam NKRI. Dalam Peraturan Daerah ini pula diatur mengenai posisi KAN dimana KAN masih berwenang menyelenggarakan urusan adat serta menyelesaikan sengketa mengenai sako, pusako dan perkara perdata adat lainnya namun putusannya tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Setelah era reformasi mulailah ada semangat untuk kembali ke nagari. Masyarakat Minangkabau sepertinya merindukan romantisme budaya masa lalu dimana adat dan pemerintahan bersatu dalam sistem nagari, dimana fungsi niniak-mamak dalam menjaga harta pusako dan membimbing anak kemenakan kembali dihargai. Mulailah muncul Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 yang kemudian diganti dengan Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Walaupun dalam Peraturan Daerah ini KAN disebutkan secara eksplisit, nampaknya mengembalikan kejayaan KAN dan kemampuannya menyelesaikan sengketa terkait adat seperti masa lalu jauh lebih sulit dibanding sekedar mengeluarkan peraturan daerah. Efektivitas KAN sebagai lembaga penyelesaian sengketa adat
terutama di bidang
pertanahan kemudian dipertanyakan, apakah niniak-mamak ini kemudian masih dianggap punya wibawa dan berkharismatik oleh masyarakat? Apakah mereka masih punya modal sosial untuk menyelesaikan sengketa tanah menimbang posisi mereka sudah mulai luntur sejak perubahan-perubahan yang terjadi di masa pemerintah kolonial Belanda, ditambah dengan penyeragaman konsep pemerintahan desa di era orde baru. Apa masih perlu KAN
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
6 dipertahankan sebagai lembaga penyelesaian sengketa adat? Toh putusan-putusannya tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Proses modernisasi, pendidikan modern dan urbanisasi yang menyebabkan orang tak lagi harus selamanya berada di bawah naungan Penghulu dan Karapatan Adat Nagari. B. Schrieke mengatakan bahwa Minangkabau telah mengalami proses individualisasi, dengan segala akibat struktural yang disebabkannya. Dengan kata lain, ikatan adat dan keterikatan seseorang pada keharusan adat telah mulai mengendur. Hal ini mulai terjadi sejak Minangkabau semakin terbuka secara ekonomis dan sosial8. Terlepas dari semua keraguan terhadap KAN, dengan masih diakuinya KAN sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan masyarakat adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dalam Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 serta fungsinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa terkait adat dalam Peraturanperaturan daerah Kabupaten setidaknya menunjukkan ada political will dari Pemerintah Daerah untuk tetap mempertahankan eksistensi KAN ini. Hal menarik yang perlu dicermati juga bahwa selama perubahan-perubahan yang telah dialami KAN dari mulai era Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan hingga era otonomi daerah, KAN banyak mengalami pengurangan fungsi, namun satu fungsinya yang tidak berubah adalah perannya dalam menyelesaikan sengketa tanah pusako. Bahkan ketika pengadilan adat dihapuskan oleh Der Kinderen, perkara tanah pusako tetaplah ditangani dahulu oleh para penghulu adat9. Menurut hemat Peneliti hal ini dikarenakan ada ikatan adat yang kuat antara masyarakat Minangkabau dengan tanah mereka sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Selama ikatan ini masih ada maka selama itu pulalah KAN masih berperan dalam menyelesaikan sengketa tanah pusako Tanah di Minangkabau merupakan harta kolegial yang dimiliki bersama-sama oleh suatu kaum, suatu suku atau suatu nagari. Tanah yang dimiliki bersama ini disebut dengan istilah harta pusako tinggi. Pemanfaatan tanah pusako tinggi ini adalah secara ganggam bauntuak yaitu anak kemenakan boleh menikmati hasil dari tanah namun tidak memiliki tanah tersebut secara individual, tanah harta pusako tinggi ini merupakan tambilang basi bagi anak-kemenakan. Harta pusako tinggi ini terikat dengan ketentuan hukum adat dalam hal pemanfaatan, transaksi ekonomi hingga mekanisme pewarisan. Dalam perkembangan adat Minangkabau lahirlah apa yang disebut dengan harta pusako randah yang merupakan harta pencaharian perseorangan baik ketika ia masih lajang maupun setelah menikah. Harta pusako 8
Suardi Mahyuddin, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Jakarta: PT. Candi Cipta Paramuda, 2009), hlm. XIII 9 Benda-Beckmann, ... Goyahnya Tangga Menuju Mufakat..., hlm 8.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
7 rendah merupakan hak individu,tidak terikat dengan hukum adat tapi menggunakan hukum islam10. Kekhasan hubungan masyarakat terhadap tanahnya juga mewarnai sengketa-sengketa tanah yang terjadi di Minangkabau. Sumatera Barat yang merupakan daerah bermukimnya masyarakat minang menghadapi eskalasi sengketa tanah (tanah ulayat) cukup tinggi. Menurut data dari Komnas HAM, terdapat 60 kasus tanah ulayat sejak 2004-2009. Sementara data Perkumpulan Qbar, ada 59 kasus konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah daerah dan pihak swasta, yang meliputi 44 nagari, 11 kaum, 4 suku, 25 perusahaan dan 9 kabupaten/kota di Sumbar, dengan luas wilayah konflik 105.702 ha menyangkut investasi ( Padeks,16/05/2011). Nilai-nilai hukum adat dan adat Minangkabau masih digunakan oleh masyarakat dalam menghadapi sengketa-sengketa tanah tersebut, oleh karena itu penyelesaian sengketa tanah di Sumatera Barat tidak bisa begitu saja diselesaikan dengan hukum nasional, karena ada nilai-nilai adat yang harus diakomodasi dalam setiap penyelesaian sengketa tersebut, apalagi sengketa yang melibatkan tanah pusako. Dari latar belakang diatas, Peneliti tertarik untuk mengkaji peranan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa tanah dengan mengambil studi kasus pada KAN Nagari Sintuak. Setelah adanya guncangan perubahan pemerintahan nagari ditambah dengan gempuran arus globalisasi, apakah konsep pilihan penyelesaian sengketa berbasis kearifan lokal ini masih bertahan dan mendapat kepercayaan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa tanah. Penelitian ini akan mengambil studi kasus sengketa tanah yang terjadi di Nagari Sintuak, Kabupaten Padang Pariaman, periode 2007-2010. Dalam penelitian ini, Peneliti membatasi pada beberapa pokok permasalahan, yaitu; 1.
Bagaimana posisi Karapatan Adat Nagari sebagai lembaga penyelesaian sengketa tanah dari sudut pandang kultural dan yuridis
2.
Bagaimana pola-pola sengketa tanah yang terjadi di Nagari Sintuak
3.
Bagaimana peranan Karapat Adat Nagari Sintuak dalam menyelesaikan sengketa tanah
10
Di awal abad 20 para Tuanku Laras dan Kepala Federasi Nagari yang diangkat Belanda, dalam rapat mereka di Bukittinggi sebagaimana tercatat dalam Adatrechtsbundel memutuskan pembagian harta pusaka atas dua kategori itu. Kemudian di tahun 1930-an para ulama Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dalam rapat mereka di Bukittinggi memutuskan hal yang sama, sekali lagi pada tahun 1952 musyawarah tigo tungku sajarangan (niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai) yang diantaranya dihadiri oleh Haji Agus Salim lagi-lagi memutuskan hal yang sama. Lihat Suardi Mahyuddin, Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Jakarta: PT. Candi Cipta Paramuda, 2009), hlm. XI-XII.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
8 Tinjauan Teoritis Pluralisme Hukum Pada masa awal pluralisme hukum diartikan sebagai ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum dalam lapangan sosial tertentu yang dikaji, dan sangat menonjolkan dikotomi antara hukum negara di satu sisi dan berbagai macam hukum rakyat di sisi yang lain11. Sebatas pengertian ini maka pluralisme hukum hanya sekedar pemetaan keanekaragaman hukum yang ada (mapping of legal universe). Namun lebih dari sekedar dapat ditunjukkan adanya keanekaragaman hukum, yang juga menjadi kajian adalah apa yang terkandung dalam keanekaragaman tersebut dan bagaimana sistem hukum yang beranekaragam ini saling berinteraksi. Pluralisme hukum adalah lawan dari ideologi legal centralisme yang memandang bahwa hukum adalah hukum negara, sama bagi semua orang, eksklusif dari hukum-hukum yang lain dan ditegakkan oleh satu perangkat institusi negara tunggal12 Dengan adanya pluralisme hukum ini, masyarakat mempunyai pilihan di forum hukum mana sengketa yang mereka hadapi akan diselesaikan. Pilihan ini berdasarkan aturan hukum mana yang dirasa lebih baik atau lebih menguntungkan bagi masyarakat. Kegiatan memilih arena bersengketa ini dikenal dengan istilah forum shopping13 Semi Autonomous Social Field (SASF) Sally Folk Moore mengemukakan konsep Semi Autonomous Social Field (SASF) yang didefinisikannya sebagai suatu bidang atau kelompok dalaam masyarakat yang dapat membuat aturannya sendiri dan dapat memaksakan keberlakuan aturan tersebut pada anggotanya. Walaupun kelompok ini dapat membuat aturan sendiri, ia tetap rentan terhadap intervensi pihak luar yang lebih berkuasa, intervensi negara misalnya. Karena kerentanan inilah ia disebut bersifat semi-otonom14.
11
Griffiths dalam Sulistyowati Irianto, “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global”, salah satu tulisan dalam Hukum Yang Bergerak; Tinjauan Antropologi, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm 29. 12 John Griffith, What is Legal Pluralism, diunduh dari keur.eldoc.ub.rug.nl/FILES/wetenschappers/2/11886/11886.pdf 13 Benda-Beckmann, ... Goyahnya Tangga Menuju Mufakat..., hlm 64 14 Sally Folk Moore dalam “What is Plural in The Law? A praxiological Answer”, artikel ditulis oleh Baudouin Dupret, diakses dari http://ema.revues.org/index1869.html
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
9 Penyelesaian Sengketa Sengketa adalah perselisihan atau pertentangan yang terjadi antar individu. Tahap-tahap sengketa terdiri dari15 : 1.
Tahap pre-konflik, Fase ini adalah tahap dimana salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, dijahati,disakit. Pada tahap ini pihak yang merasa tersakiti masih memendam perasaannya. Perlakuan tidak adil ini bisa jadi nyata bisa jadi hanya imajinasi dari orang tersebut tergantung pada persepsi orang ini. Perasaan sakit hati yang dipendam ini dapat meningkat menjadi konflik ketika individu mau berkonfrontasi atau bisa juga menurun ketika individu memutuskan untuk menarik diri dari interaksi sosial lebih lanjut. Fase ini dapat dikatan adalah fase monadic dimana hanya melibatkan satu pihak saja
2.
Tahap konflik, fase ini adalah ketika pihak yang merasa tersakiti melakukan konfrontasi dengan pihak yang dianggap menyakitinya. Pihak yang tersakiti ini mengkomunikasikan perasaannya pada pihak lawan. Pada fase ini kedua belah pihak menyadari bahwa ada ketidaksepahaman diantara mereka. Fase ini adalah fase diadik yang melibatkan dua belah pihak yaitu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil dan pihak yang dianggap memperlakukan tidak adi. Pada tahap ini para pihak dapat menyelesaikan konflik dengan koersi atau negosiasi, atau dapat pula fase ini dapat berekskalasi menjadi fase sengketa
3.
Tahap sengketa, pada tahap ini konflik sudah dibawa ke ranah publik. Pihak ketiga secara aktif terlibat dalam perselisihan ini. Pihak ketiga ini dapat masuk sebagai perintah dari para pihak, atau sebagai pendukung para pihak atau bahkan atas keinginannya sendiri ingin terlibat dalam perselisihan.
Tahapan ini tidak harus berurutan, seseorang dapat saja langsung menuju tahap sengketa tanpa melalui tahap konflik contohnya pihak yang merasa diperlakukan tidak adil langsung mengajukan gugatan ke pengadilan tanpa terlebih dahulu berkonfrontasi dengan pihak lawan. Guna menyelesaikan sengketa ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh para pihak, yaitu16 :
15
Laura Nader and Harry F.Todd Jr,ed. The Disputing Process-Law in Ten Societies, (New York : Columbia University Press),1978 ,hlm 14-15 16 Ibid., hlm 9-11
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
10 -‐
Lumping it, istilah ini digunakan Felstiner dan didiskusikan oleh Galanter dan Danzig dan Lowy. merujuk pada kegagalan pihak yang dirugikan untuk mengemukakan
komplain
atau
gugatannya.
Isu
yang
menyebabkan
ketidaksepakatan diacuhkan begitu saja dan hubungan dengan pihak lawan tetap berlanjut. Galanter menyatakan hal ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang informasi atau akses ke hukum atau mereka yang memutuskan bahwa untungnya terlalu kecil dan ongkosnya lebih mahal jika mereka berperkara -‐
Avoidance, adalah menarik diri dari situasi konflik atau memutuskan hubungan dengan pihak yang lawannya. Hal ini banyak digunakan dalam sengketa dan pemutusan hubungan dengan pihak lawan itu sendiri dapat berfungsi sebagai sanksi. Avoidance mengakhiri hubungan sosial dengan lawannya
-‐
Coercion, merupakan penyelesaian sengketa dengan memaksakan kehendak salah satu pihak ke pihak lainnya. Koersi menggunakan kekuatan sepihak untuk memaksa pihak lain;
-‐
Negotiation, negosiasi adalah perundingan antara dua pihak tanpa bantuan pihak ketiga. Kedua pihak ini para pembuat keputusan, mereka saling membujuk satu sama lain untuk mencapai penyelesaian sengketa yang disepakati. Negosiasi adalah kesepakatan dyadic ( melibatkan dua pihak) ;
-‐
Mediation, mediasi proses perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang membantu keduabelah pihak untuk mencapai kesepakatan baik diminta oleh kedua belah pihak maupun ditunjuk oleh otoritas tertentu, tapi kedua belah pihak tetap harus setuju terhadap intervensi mediator sebagai pihak ketiga. Mediator ini dapat merupakan lembaga netral atau seseorang yang dihormati dalam masyarakat;
-‐
Arbitration, arbitrase penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga dimana para pihak bersepakatan untuk menerima penyelesaian sengketa yang diputuskan oleh arbitor;
-‐
Adjudication, adjudikasi adalah ketika berbicara mengenai adanya pihak ketiga yang mempunyai otoritas untuk campur tangan dalam penyelesaian sengketa tanpa perlu kesepakatan para pihak pihak ketiga ini dapat membuat putusan penyelesaian sengketa dan memaksakan kepatuhan terhadap putusan tersebut.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
11 Pembahasan Sebelum era kemerdekaan nagari adalah negara mini yang otonom dibawah kekuasaan para Penghulu yang duduk dalam Karapatan Adat Nagari (KAN). Karapatan Adat Nagari pada saat ini berperan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setelah Indonesia merdeka, nagari-nagari tidak lagi seotonom dulu, ia telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tentunya mempunyai kewajiban untuk tunduk pada hukum negara. Walaupun demikian, nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat tetap diakui oleh negara melalui konstitusi Indonesia sebagaimana termaktub dalam pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia setelah amandemen. Pasal 18 B ayat (2) ini menyatakan pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini otomatis juga membawa pada pengakuan terhadap institusi tradisional adatnya. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat Minangkabau otomatisnya juga membawa pada pengakuan terhadap KAN sebagai bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat Minangkabau itu sendiri.Walaupun diakui, peranan KAN saat ini tidak seperti dulu lagi. KAN tidak lagi menjadi penguasa tunggal trias politica di dalam nagari. Kekuasaan eksekutif KAN telah diambil alih oleh Wali Nagari, peran legislatif telah dijalankan oleh Badan Musyawarah Nagari serta peran yudikatifnya pun telah dihapuskan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini telah menyempurnakan proses penyingkiran peradilan adat dan unifikasi pengadilan nasional. Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat kemudian menjadi apa yang disebut Sally Folkmore sebagai Lapangan Sosial Semi Otonom (Semi Autonomous Social Field). Karapatan Adat Nagari sebagai lembaga pemusyawaratan masyarakat hukum adat tertinggi dalam nagari dapat membuat peraturan-peraturan tertentu yang ditaati oleh anak nagari bahkan Karapatan Adat Nagari diakui kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako. Namun nagari tidak sepenuhnya otonom ia sangat rentan dengan pengaturanpengaturan memaksa dari negara, bahkan keputusan Karapatan Adat Nagari terhadap sengketa tidak dapat dipaksakan keberlakuannya jika salah satu pihak mengajukan perkara ke Pengadilan Negeri.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
12 Adanya pluralisme hukum mengakibatkan adanya semacam pengakuan terhadap beberapa sistem hukum yang dapat dipilih oleh masyarakat nagari dalam menyelesaikan sengketa ini. Pilihan terhadap sistem hukum ini berpengaruh terhadap forum penyelesaian sengketa apa yang akan dipilih. Karapatan Adat Nagari adalah salah satu forum penyelesaian sengketa alternatif yang dapat dipilih masyarakat yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan substansi dan prosedur hukum adat. Jika melihat peranan KAN sebagaimana tercantum dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Perda Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dapat terlihat bahwa KAN dikehendaki menjadi suatu lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang berorientasi putusan perdamaian. Dalam Perda ini KAN tidak lagi menempati posisi sebagai lembaga peradilan adat yang memutus sengketa dan dapat pula memaksakan keberlakuan putusannya layaknya Pengadilan Negeri. Peraturan daerah Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 yang menggantikan Perda Sumatera Barat nomor 9 tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari memberikan kewenangan lebih besar bagi Pemerintahan Kabupaten untuk mengatur tugas dan fungsi, susunan dan kedudukan serta hak dan kewajiban KAN. Karapatan Adat Nagari Sintuak yang menjadi objek tulisan ini berada dibawah pengaturan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Nagari. Dalam Perda ini KAN diatur dalam Bab V mengenai “Lembaga Lain”. Perda ini memperjelas bahwa kedudukan KAN di Kabupaten Padang Pariaman tidak masuk dalam struktur pemerintahan nagari. KAN dipandang sebagai organisasi masyarakat (ormas) yang telah ada dari dulu di dalam nagari Pemerintahan nagari hanya terdiri dari Wali Nagari dan Badan Musyawarah (BAMUS) Nagari . Namun dalam BAMUS Nagari ini terdapat unsur niniak mamak sebagai anggotanya sehingga walaupun sebagai sebuah lembaga KAN tidak masuk dalam struktur pemerintahan nagari, anggotaanggota KAN biasanya juga berperan dalam pemerintahan nagari melalui BAMUS. Karapatan Adat Nagari berdasarkan Perda Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari pasal 86 ayat (1) mempunyai tugas antara lain menyelesaikan perkara-perkara perdata adat dan adat istiadat; serta mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum terhadap anggota masyarakat yang bersengketa serta memberikan kekuatan hukum terhadap suatu hal dan pembuktian lainnya menurut sepanjang adat atau silsilah keturunan(ranji).
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
13 Berdasarkan tugas-tugas tersebut, pasal 87 ayat (1) Perda nomor 5 Tahun 2009 Kabupaten Padang Pariaman mengatur bahwa KAN mempunyai fungsi Sebagai lembaga Peradilan Adat Nagari. Lembaga Peradilan Adat Nagari disini tentunya tidak diartikan sebagaimana layaknya fungsi yudikatif Pengadilan Negeri. Karapatan Adat Nagari sebagai Lembaga Peradilan Adat Nagari lebih dipahami bahwa KAN adalah alternatif tempat penyelesaian sengketa perdata adat. Sebagai alternatif tempat penyelesaian sengketa perdata adat pun KAN tidak dapat memaksakan putusannya. Sengketa tanah pusako tinggi yang dihadapi KAN Sintuak biasanya terjadi antara orang perorangan, orang melawan kesatuan kaum dalam nagari atau antara satu kaum dengan kaum lainnya. Belum ada kasus dimana orang atau kaum sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat bersengketa dengan perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi atau kasus sengketa dimana masyarakat hukum adat dihadapkan dengan pemerintah daerah yang memerlukan tanah untuk pembangunan. Karena yang berpekara masih internal masyarakat hukum adat itu sendiri maka perkara yang dihadapi KAN Sintuak tidaklah serumit perkara dimana masyarakat hukum adat berhadapan dengan entitas di luar mereka, contohnya masyarakat hukum adat berhadapan dengan perusahaan atau pemerintah daerah dimana hukum adat terkadang sering dibenturkan dengan hukum negara. Para pihak yang berperkara semuanya mengakui dan menundukan diri pada hukum adat Minangkabau, apalagi yang diperkarakan adalah menyangkut tanah pusako tinggi. Para Pihak yang berperkara pun rata-rata masih mempunyai hubungan keluarga yang masih akan berlanjut sampai akhir penyelesaian sengketa, hal ini juga menjadi faktor pendorong para pihak untuk mencari jalan penyelesaian yang lebih kompromistis dengan tetap menjaga hubungan baik. Pada kasus sengketa tanah SDN 08 Toboh Gadang, sengketa terjadi karena klaim dari pihak yang sebenarnya tidak berhak atas sebidang tanah, klaim ini dapat terjadi karena pihak yang mengklaim mendapat bantuan dari tokoh politik yang dihormati di nagari. Pada kasus sengketa Johan Datuk Majo Indo dengan Nasrul Datuk Bangso Malelo Dirajo sengketa terjadi antara dua kaum berbeda karena ketidakjelasan asal-usul tanah, apakah tanah tersebut merupakan milik kaum Johan Datuk Majo Indo suku Tanjung atau milik kaum Nasrul Datuk Bangso Malelo Dirajo suku Sikumbang. Sedangkan pada kasus Johan Datuk Majo Indo melawan Aliwin CS sengketa terjadi karena ketidakjelasan asal-usul tanah, apakah tanah tersebut termasuk pusako tinggi yang harusnya diwariskan dari mamak ke kemenakan atau termasuk pusako randah yang diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
14 Peristiwa hukum yang melatarbelakangi sengketa ini rata-rata telah terjadi sangat lampau, sehingga saksi-saksi yang ada hanya mendengar peristiwa tersebut dari niniakmamaknya terdahulu, dan saat kejadian usianya masih kecil. Hal ini cukup menjadi tantangan dalam proses pembuktian nantinya. Dari hasil penelitian ini, KAN Sintuak dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyelesaian sengketa memiliki peran sebagai mediator sebagaimana dikenal dalam konsep penyelesaian sengketa alternatif. Penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh Penghulu adat selaku selaku hakim perdamaian nagari mirip dengan “mediator” dalam Assensus Model17 yang diperkenalkan oleh kaum abolisionis yang menginginkan komunikasi yang lebih fleksibel. Apa yang dilakukan pemangku adat selaku hakim perdamaian sedikit banyak menghindari proses peradilan secara formal dan menggantinya dengan sistem kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat. Para niniak mamak berperan sebagai mediator bagi para pihak yang bersengketa, tapi mereka bukanlah mediator sebagaimana yang dikenal dalan mediasi dunia bisnis koperasi. KAN merupakan tipe mediator social-network, dimana niniak mamak yang duduk menyelesaikan masalah mempunyai hubungan sosial dengan pihak-pihak yang bersengketa. Mereka mungkin tidak netral dalam arti ada nilai-nilai tertentu yang mereka pegang, namun oleh para pihak mereka dianggap dapat berlaku adil. Para niniak-mamak ini cukup menaruh perhatian akan terjaganya hubungan baik jangka panjang antar para pihak, dan ia pun masih akan berhubungan dengan para pihak bahkan setelah sengketa selesai, berbeda dengan mediator profesional yang hubungannya dengan para pihak hanya sampai penandatanganan kesepakatan penyelesaian sengketa. Datuk Majo Indo sebagai mantan ketua KAN Sintuak pun selalu menegaskan bahwa KAN haruslah memutus perdamaian. Dalam kedua kasus sengketa tanah Johan Datuk Majo Indo KAN Sintuak berusaha mendamaikan para pihak dengan opsi membagi tanah dengan porsi berbeda atau sejumlah uang kompensasi Namun tidak semua usaha perdamaian tersebut berhasil. Ketika tidak terjadi perdamaian, Karapatan Adat Nagari Sintuak membuat keputusan bagaimana kedudukan dari 17
Assensus Model adalah pengakuan akan kapasitas manusia untuk menentukan penilaian final mengenai apa yang benar dan salah , intrepretasi nilai dan norma harus dilakukan dalam proses yang terus menerus dan terbuka. Proses yang terus menerus dan terbuka ini adalah fondasi dari hukum yang lebih komunikatif. Assensus model tidak mengakui adanya kesepakatan kaku dalam masyarakat mengenai suatu norma yang selalu dianggap benar ( lihat Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, edited by Dennis Sullivan, Larry Tiff, Publisehd by Routledge, Taylor and Francius Group, hlm 200)
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
15 objek sengketa dan bagaimana penyelesaian sengketa seharusnya. Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) huruf d juncto pasal 87 ayat (1) huruf e Perda Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 tahun 2009 tentang Pemerintahan Nagari KAN sintuak berperan untuk memberikan kedudukan hukum
terhadap tanah yang dipersengketakan menurut hukum adat untuk kepentingan hubungan keperdataan adat, juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat. Putusan KAN mengenai kedudukan tanah sesuai dengan hukum adat ini sebenarnya tidak semertamerta menjadi keputusan KAN yang dapat menyelesaikan sengketa. Setelah KAN memutus apa yang benar menurut hukum adat, maka ia kemudian memutus apa yang sebaiknya dilakukan menurut alua nan patuik (alur yang patut dan bijak) agar terjadi perdamaian antara para pihak. Pada tahap memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan inilah peranan KAN untuk mendorong kesepakatan para pihak diuji Peran KAN yang juga memutus mengenai kedudukan hukum dari objek perkara berdasarkan hukum adat dan jika tidak terjadi kesepakatan damai, KAN kemudian akhirnya juga memutus bagaimana penyelesaian sengketa seharusnya menurut pandangan KAN membuat KAN juga mempunyai peran lain selain menjadi Mediator. Mediator biasanya dikenal sebagai pihak ketiga yang bertugas hanya untuk mendorong perdamaian antara kedua belah pihak tapi tidak berwenang untuk memutuskan. Peran KAN sebagaimana yang dijelaskan diatas mempunya kemiripan dengan peran Arbitrator dalam upaya arbitrase. Dalam arbitrase pihak ketiga –arbitor- yang ikut campur tangan dalam sengketa mempunyai kewenangan untuk memutus bagaimana seharusnya sengketa tersebut diselesaikan. Namun satu hal dari konsep-konsep mengenai arbitrase yang berbeda dengan praktek KAN adalah dalam arbitrase para pihak harus bersepakat untuk menerima bentuk penyelesaian yang diputus oleh arbitor. Sedangkan pada kasus ini, putusan KAN mengenai sengketa tidak disepakati akan dipatuhi oleh para pihak. Jika tidak setuju dengan putusan ini, maka para pihak dipersilahkan untuk melanjutkan sengketa ke Pengadilan Negeri. Peran KAN yang juga sebagai mediator dan semu-arbitrator ini dapat menjadi ciri khas sendiri dalam perannya menyelesaikan sengketa. Dalam kasus Johan Datuk Majo Indo dengan Nasrul Datuk Bangso Malelo Dirajo jika dilihat dari surat keputusan KAN Sintuak nomor: 03/LAN/STK/II-2007 sebenarnya tidak mencapai kata sepakat antara kedua belah pihak tapi akhirnya KAN memutuskan bahwa berdasarkan hukum adat yang tanah tersebut berkedudukan sebagai tanah kaum Nasrul Datuk Bangso Malelo Dirajo. Keputusan KAN ini dipatuhi oleh kedua belah pihak, oleh karena
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
16 tidak ada upaya hukum lain yang diajukan maka keputusan KAN ini dianggap sebagai keputusan perdamaian yang telah disepakati kedua belah pihak. Sedangkan dalam kasus Johan Datuk Majo Indo dengan Aliwin CS juga jika dilihat dari surat keputusan KAN Sintuak nomor 01/P4/KAN/STK-2009 sebenarnya tidak menghasilkan kesepakatan damai antara kedua belah pihak, KAN Sintuak pun akhirnya memutuskan bahwa berdasarkan hukum adat tanah tersebut adalah tanah pusako randah dari Aliwin CS, sehingga yang berhak atas tanah tersebut adalah Aliwin CS. Berbeda dengan kasus sebelumnya, kali ini Johan Datuk Majo Indo tidak mematuhi keputusan KAN ini dan mengajukan sengketa ke pengadilan negeri. Dari kasus yang terakhir ini dapat terlihat jelas bahwa surat keputusan KAN Sintuak nomor 01/P4/KAN/STK-2009 bukanlah suatu kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Masyarakat nagari memilih KAN Sintuak sebagai forum penyelesaian sengketa didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : a.
Hubungan sosial dengan pihak yang bersengketa dan dengan KAN sendiri sebagai lembaga penyelesaian sengketa.Sifat dari hubungan individu yang bersengketa dapat dikelompokan menjadi dua:18 -‐
Single interest (simplex), dimana hubungan antar individu hanya berdasarkan satu hubungan kepentingan saja, contohnya penumpang dengan kondektur, jemaat dengan pendeta ibu rumah tangga dengan penjual sayur
-‐
Multi interest (multiplex), dimana hubungan antar individu berdasarkan beberapa macam hubungan kepentingan, contohnya seorang kepala desa yang tidak hanya terikat secara politik dengan tetangganya tapi juga secara darah keturunan. Hubungan yang bertumpu pada banyak kepentingan ini merupakan sumber sengketa tapi juga sekaligus sumber dari kohesi dalam masyarakat
Semakin multipleks hubungan seseorang dengan lawan sengketa dan niniak mamak yang menyelesaikan sengketa, semakin besar pula kepentingannya untuk menjaga kelangsungan hubungan baik di masa depan, maka semakin besar pula kemungkinan ia akan memilih cara-cara kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara dengan memilih KAN sebagai forum penyelesaian sengketa.Begitu pula sebaliknya, jika hubungan para pihak sangat simpleks, tidak ada kepentingan besar untuk menjaga hubungan baik maka
18
Ibid.
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
17 semakin besar pula potensi mereka untuk memilih mekanisme penyelesain sengketa dengan konsep menang-kalah b.
Objek Sengketa, Tidak cukup mengatakan bahwa jika para pihak mempunyai kepentingan untuk melanjutkan hubungan sosial maka ia akan memilih jalan negosiasi atau mediasi dengan penyelesaian yang kompromistis. Sengketa mengenai penguasaan terhadap sumber daya terutama sumber daya yang langka dapat menjadi sengketa yang hebat. Para pihak yang terlibat mungkin memposisikan sumber daya yang diperebutkan ini lebih tinggi dari hubungan sosial dengan pihak lawannya19.Semakin langka dan bernilai objek sengketa maka semakin besar usaha individu untuk mempertahankan objek sengketa tersebut, semakin besar pula potensinya untuk melanjutkan perkara ke Pengadilan bila KAN tidak menghasilkan kesepakatan yang diharapkannya.
c.
Akses terhadap forum penyelesaian sengketa itu sendiri, masyarakat nagari akan lebih memilih forum yang tidak hanya dekat dengannya dan berbiaya murah, tapi juga forum yang lebih ia kenal baik dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang dipakai maupun orang yang menyelesaikan sengketa. Prosedur pengadilan negeri didasarkan pada anggapan yang sangat berbeda. Prosedur tersebut dimaksud untuk menjamin suatu perlakuan yang netral, berjarak dan tidak berpihak terhadap suatu sengketa. Kesempatan hakim untuk mendapat informasi terbatas, hanya informasi yang dikemukakan selama persidangan resmi saja yang diterima. Hakim tidak hanya kurang memiliki informasi tentang latar belakang sengketa seperti yang dimiliki para ninik mamak, melainkan juga dibatasi dalam upaya mereka mencari informasi dan menilai informasi tersebut. Para hakim berorientasi pada penanganan sengketa tipe Belanda, dimana permasalahan hukum harus dijawab dan norma harus diterapkan dengan cara yang tandas. Pendidikan hakim belum sepenuhnya mendukung kemampuan mendamaikan para pihak.
Hakim dilatih lebih untuk mengatakan apa itu hukum
daripada membawa orang-orang menyelesaikan masalah mereka 20
Meskipun tidak semua keputusan KAN dipatuhi oleh para pihak, tapi semua sengketa tanah pusako biasanya akan memilih KAN sebagai forum penyelesaian sengketa pertama sebelum mereka maju ke Pengadilan mengingat antara pihak yang bersengketa terdapat hubungan yang multipleks. Namun hubungan yang multipleks ini tidak menjamin akan 19 20
Laura Nader and Harry F.Todd Jr,ed, ... The Disputing Process-Law in Ten Societies..., hlm 17-18 Ibid., hal 42
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
18 tercapai kesepakatan perdamaian di KAN, jika objek sengketa sangat berharga dan langka kemungkinan para pihak akan meneruskan berperkara ke Pengadilan Negeri,seperti kasus Johan Datuk Majo Indo ketika melawan Aliwin CS. Pilihan berperkara ke Pengadilan pun tidak hanya ditentukan berdasarkan seberapa bernilai objek perkara tersebut, tapi juga berdasarkan apakah dengan mekanisme yang ada di Pengadilan Negeri akan membawa keuntungan di pihaknya. Johan Datuk Majo Indo baru berani melanjutkan perkaranya ke Pengadilan Negeri ketika ia mempunyai surat hibah sebagai alat bukti tertulis. Dalam hal ini dapat kita lihat para pihak ‘berbelanja’ memilih forum mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka. Karapatan Adat Nagari memang menjadi forum penyelesaian sengketa alternatif yang familiar bagi masyarakat nagari, tapi proses penyelesaian sengketa di KAN sangat bergantung pada figur niniak mamak yang duduk di dalamnya dan dapat diintervensi oleh kekuatan politik tertentu dalam nagari. Sebagai contoh dalam sengketa tanah SDN 08 Toboh Baru Karapatan Adat Nagari Sintuak yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa malah dapat diintervensi oleh Niniak mamak yang mempunyai pengaruh besar dalam nagari, hal ini akhirnya menyebabkan ketua KAN saat itu harus mundur dan terjadi disharmoni antara Wali Nagari dengan Pengurus KAN baru. Karapatan Adat Nagari Sintuak dalam menyelesaikan perkara tidak mempunyai pedoman beracara yang tertulis, tata cara penyelesaian sengketa dilaksanakan menurut adat kebiasaan saja. Namun sebenarnya adanya pedoman beracara ini telah diamanatkan oleh Perda Kabupaten Padang Pariaman nomor 5 tahun 2009 untuk dibuat dan ditetapkan oleh KAN masing-masing nagari.
Penutup Selain hukum negara, hukum adat Minangkabau diakui keberlakuannya di Sumatera Barat terutama yang berkaitan dengan tanah pusako tinggi. Dengan adanya pluralisme hukum ini, masyarakat mempunyai pilihan di forum hukum mana sengketa yang mereka hadapi akan diselesaikan, tidak terpaku pada Pengadilan Negeri semata. Pilihan ini berdasarkan aturan hukum mana yang dirasa lebih baik atau lebih menguntungkan bagi masyarakat. Kegiatan memilih arena bersengketa ini dikenal dengan istilah forum shopping Dalam situasi pluralisme hukum, individu dapat menggunakan lebih dari satu hukum untuk merasionalisasi dan melegitimasi keputusan atau perilaku mereka. Kita tidak tahu
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
19 hukum mana yang akan digunakan oleh individu karena perangkat hukum apa, dalam kasus yang bagaimana yang akan dipilih masyarakat, akan bergantung pada kemanfaatan, pengetahuan lokal, pemahaman terhadap konteks interaksi dan hubungan kekuasaaan yang ada21. Keberadaan norma dan hukum baik yang bersumber dari negara maupun dari tradisi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan langsung mengenai perilaku masyarakat, faktor non hukum juga berperan22. Berlakunya hukum adat untuk tanah pusako dan adanya KAN sebagai lembaga penegak hukum adat tidak dapat dijadikan alasan satusatunya mengapa masyarakat nagari memilih menyelesaikan sengketa di KAN. Begitu pula sebaliknya, adanya hukum negara dan disediakannya Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan sengketa tidak pula dapat dijadikan dasar mengapa sebagian orang memilih bersengketa di Pengadilan Daftar Pustaka Benda-Beckmann, Keebet von. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000 Benda-Beckmann, F. Von, K. Von Benda-Beckmann, H.L.J.Spiertz. Local Law and Customary Practise in the Study of Water Rights’. Makalah dipresentasikan pada IIMIFREEDEAL-WAU-EUR Workshop on Water Rights, conflict and policy . Kathmandy. 22-24 January, 1996. H.L.Joep, Spiertz. “Water Rights and Legal Pluralism: Some basic of legal anthropological approach”. In Negotiating Water Rights, ed. Bryan R. Bruns and Ruth S, Meinzen-Dick. London : Intermediate Technology Publication.2000 Indonesia. Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Perda Nomor 5 tahun 2009. -----------. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari. Perda Nomor 2 tahun 2007 Irianto, Sulistyowati. “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global”, salah satu tulisan dalam Hukum Yang Bergerak; Tinjauan Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
21
Spiertz,H.L.Joep, “Water Rights and Legal Pluralism: Some basic of legal anthropological approach”, In Negotiating Water Rights, ed. Bryan R. Bruns and Ruth S, Meinzen-Dick, (London : Intermediate Technology Publication,2000) hlm 191 22 F. Von Benda-Beckmann, K. Von Benda-Beckmann, H.L.J.Spiertz, Local Law and Customary Practise in the Study of Water Rights’, Makalah dipresentasikan pada IIMI-FREEDEAL-WAU-EUR Workshop on Water Rights, conflict and policy , Kathmandy, 22-24 January, 1996
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013
20 John Griffith, What is Legal Pluralism, diunduh dari keur.eldoc.ub.rug.nl/FILES/wetenschappers/2/11886/11886.pdf Kemal, Iskandar. Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangannya; Tinjauan tentang Karapatan Adat. Jogjakarta: Graha Ilmu, 2009. Mahyuddin, Suardi. Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Jakarta: PT. Candi Cipta Paramuda, 2009), Nader, Laura and Harry F. Todd Jr, ed. The Disputing Process-Law in Ten Societies. New York : Columbia University Press. Sally Folk Moore dalam “What is Plural in The Law? A praxiological Answer”, artikel ditulis oleh Baudouin Dupret, diakses dari http://ema.revues.org/index1869.html Sullivan,Dennis, Larry Tiff, ed, Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, Publisehd by Routledge, Taylor and Francius Group Vayrynen, Raimo ed., New Directions in Conflict Theory : Conflict resolution and conflict transformation, London : Sage Publications Inc, 1991 Wolff, Stefan, ed., Conflict Resolution: Theories and http://www.ethnopolitics.org/isa/Wolff.pdf pada tanggal 12 Juni 2013
Practise.
Zubir, Zaiyardam Et al. “Pemberdayaan Penyelesaian Konflik Tanah Berbasis Perdamaian Adat Minangkabau di Nagari Lawang Mandahiling dan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat”. diunduh dari http://repository.unand.ac.id/3384/2/ZAIYARDAM.ps
Peranan Karapatan..., Rika Fajrini, FH UI, 2013