tomorrow_edit.indd 1
11/18/2010 9:04:00 AM
A Thousand Tomorrows Ribuan Hari Esok Diterjemahkan dari A Thousand Tomorrows karya Karen Kingsbury Copyright © 2009 Karen Kingsbury Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada PT. Ufuk Publishing House Redesain Sampul: Ufukreatif Design Tata Letak: Dhani Ufukreatif Design Penerjemah: Iryani Syahrir & Dieni Purwandari Penyunting: Nastiti Pudiyaning Proofreader : Palupi Wuriarti Cetakan I: November 2010 ISBN: 978-602-8801-50-8 HEART PT Ufuk Publishing House Anggota IKAPI Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21 7976587, 79192866 Fax: 62-21 79190995 Homepage: www.ufukpress.com Blog : http://ufukpress.blogspot.com Email :
[email protected]
tomorrow_edit.indd 2
11/18/2010 9:04:01 AM
Dipersembahkan untuk... Donald, Pangeran Tampanku: Dansanya sangat indah, aku hanya bisa berharap musiknya tidak pernah berhenti. Kelsey, putri tercintaku: Terima kasih karena telah memberiku tempat yang paling khusus dalam hatimu. Tyler, lagu termanisku: Ketika lampu sorot menerangimu, Sayang, ayahmu dan aku akan berada di kursi terdepan. Sean, hati lucuku: Rasanya kau selalu di hatiku. Josh, raksasa lembutku: Rencana kita adalah mengadopsi dua bocah Haiti, tetapi Tuhan merencanakan tiga. Aku sangat gembira Dia mengirimmu kepada kami. EJ, pilihanku: Melihatmu menjadi dirimu sendiri��������������������������������������� , tumbuh dan besar seiring berjalannya waktu, menjadi salah satu berkah terbesarku. Austin, bocah ajaibku: Harimu berlalu dengan sangat cepat, anak terkecilku yang berharga. Aku tidak bisa memperlambat waktu, tetapi kau mengingatkanku bahwa aku bisa menikmati setiap detiknya. Dan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Penulis Kehidupan, yang telah—untuk saat ini— memberkahi������������������������� diriku dengan semua ini.
tomorrow_edit.indd 3
11/18/2010 9:04:03 AM
tomorrow_edit.indd 4
11/18/2010 9:04:04 AM
1 M
ary
Williams tidak pernah membayang-
kannya. Dia menjadi istri Mike Gunner pada musim panas 1972, ketika hanya cintalah yang dibutuhkan oleh dunia, cinta yang cukup besar sehingga mampu menyelesaikan semua masalah. Cinta itu sangat besar sehingga tak seorang pun pernah membayangkan mungkin akan berakhir, mati, atau lenyap mendadak seperti yang terjadi pada Sungai Mississippi berlumpur seluas sembilan meter. Pernikahan itu kecil-kecilan, diadakan di atas sebuah lereng bukit di Oxford tidak jauh dari Ole Miss, dekat dengan lapangan sepak bola berumput tempat Mike menjadi raja di sana. Pernikahan, kata mereka dalam hati, tidak berarti kehilangan
tomorrow_edit.indd 5
11/18/2010 9:04:04 AM
kebebasan mereka. Mereka hanya melanjutkan hubungan ke tingkat yang lebih tinggi, menjadi sesuatu yang lebih beragam, lebih rumit. Sebagai pengingat, selama upacara pernikahan, masingmasing memegang sesuatu yang melambangkan diri mereka—Mary memegang buku puisi, sedangkan Mike memegang sebuah bola sepak. Bola sepak. Jika diingat-ingat itu seharusnya bisa menjadi pertanda, karena sepak bola adalah cinta pertama Mike, dan pria macam apa yang bisa menikahi dua kekasihnya? Tetapi pada saat itu—dengan separuh tamu mengenakan gaun kain jumputan melambai dan rangkaian bunga—memegang sebuah bola sepak dan buku puisi tampak keren dan baru, sehingga menghina tradisi dan ikatan pernikahan. Mike dan Mary tidak mengenakan setelan rangkap tiga dan celemek berkanji. Mike memiliki kontrak NFL dengan Atlanta Falcons, dan sebuah rumah baru yang indah beberapa meter dari stadion. Mary lari dari rumahnya, sehingga meninggalkan Biloxi berarti memutuskan hubungan yang telah rusak. Mereka akan tinggal serumah, Mike dengan seragam Falcons-nya, dan Mary dengan pena serta kertasnya, siap untuk
tomorrow_edit.indd 6
11/18/2010 9:04:04 AM
menuangkan ungkapan dan kalimat penuh makna yang muncul dalam hatinya. Anak? Setidaknya mereka akan menunggu lima tahun. Mungkin sepuluh. Mary baru berusia sembilan belas tahun, masih anak-anak. Pernikahan berarti menemukan cara baru dan lebih besar untuk saling mencintai. Setiap hari Minggu, ia memberi semangat dari kursi penonton ketika suaminya berlari cepat di lapangan sepak bola, dan pada hari Selasa bersantai, tanpa alas kaki dan menyesap kopi ketika dia membacakan puisi terbarunya untuk sang suami. Itu hanyalah rencana. Tapi Tuhan berkehendak lain, karena Mary hamil tiga bulan kemudian dan melahirkan seorang bayi laki-laki tak lama sebelum ulang tahun pernikahan pertama mereka. Mereka memberi nama bayi itu Cody William Gunner. Si Codester kecil. Mary menyisihkan pena dan kertasnya lalu membeli sebuah kursi goyang. Dia menghabiskan hari-hari dan sebagian besar malamnya untuk menenangkan bayi yang menangis, memanasi botol, dan mengganti popok. “Maaf, aku sering tidak ada di rumah,” kata Mike kepada Mary. Mike tidak terbiasa dengan
tomorrow_edit.indd 7
11/18/2010 9:04:04 AM
bayi. Lagi pula, jika dia mau belajar, dia perlu lebih banyak waktu di lapangan, lebih banyak berlatih untuk menjaga berat badannya, lebih banyak waktu di lintasan lari. Mary mengatakan kepada Mike kalau dia tidak keberatan, dan lucunya, dia benar-benar tidak keberatan. Kehidupan berjalan dengan baik di rumah. Mike senang menjadi seorang ayah, karena Cody sangat laki-laki sejak dia lahir. Kata pertamanya adalah bola, dan Mike membelikannya sepasang sepatu lari beberapa bulan sebelum Cody bisa berjalan. Tahun-tahun sesudahnya dipenuhi dengan kesedihan dan kebahagiaan. Mike akhirnya menemukan penampilan terbaiknya, karena setiap musim dia menjadi semakin cepat dan semakin ahli menangkap lemparan jauh. Tidak ada peringatan dan tidak ada tanda-tanda kalau kehidupan akan porak-poranda. Pada musim semi 1978, ketika Cody hampir berusia lima tahun, Mary mengetahui kalau dia hamil. Tetapi, bukan calon bayi yang mengubah semuanya, melainkan tangkapan buruk pada Minggu bulan Oktober. Mike sedang sendirian, 9 meter dari pemain belakang yang terdekat, ketika dia
tomorrow_edit.indd 8
11/18/2010 9:04:04 AM
melompat ke udara, menangkap bola dan mendarat dengan posisi yang membuat lututnya bengkok. Rekam medis mengatakan kalau tulang sendi depannya sobek. Operasi dijadwalkan dan kruk dipesan. “Kau akan kehilangan satu musim,” kata dokter kepada Mike. “Jujur saja, aku tidak yakin kau akan bisa berlari seperti dulu lagi.” Enam minggu kemudian, Mary melahirkan Carl Joseph. Sejak awal, Carl berbeda. Dia tidak menangis seperti cara Cody menangis, dan dia lebih banyak tidur dari biasanya. Dia hanya rewel ketika saatnya makan, ketika susu dari botol keluar dari hidungnya saat dia sedang minum, sehingga membuatnya tersedak, tergagap dan batuk. Mike melihatnya dan menjadi gugup. “Kenapa dia melakukan itu?” “Aku tidak tahu.” Mary terus mendekap bayi yang bersendawa itu, membersihkan hidung bayinya dan meyakinkan dirinya kalau tidak ada yang salah. “Setidaknya dia tidak menangis.” Tetapi, Mike ingin pergi. Secepat mungkin, dia kembali ke ruang latihan, berlatih lebih keras agar lututnya sembuh kembali. Pada musim gugur
tomorrow_edit.indd 9
11/18/2010 9:04:04 AM
berikutnya, dia boleh bermain, tetapi dia pemain paling lambat kedua dari empat puluh pemain. “Kami akan mencobamu di tim khusus, Gunner,” kata pelatih kepadanya. “Kau harus memperbaiki catatan waktumu kalau kau mau posisimu kembali.” Masa depannya mendadak seburam lutut kirinya, Mike mulai pergi dengan pemain lain setelah pertandingan, minum-minum dan pulang dengan pandangan yang aneh serta linglung. Ketika Carl Joseph berusia dua tahun, Mike dikeluarkan dari Falcons. Dikeluarkan tanpa ucapan terima kasih atau kartu semoga-berhasil. Pada saat itulah mereka tahu kenyataan tentang Carl Joseph. Putra kedua mereka menderita down syndrome. Kondisinya disertai dengan banyak sekali masalah, seperti masalah makan, pertumbuhan, dan bicara yang lambat. Pada suatu pagi, Mary duduk bersama dengan Mike di meja makan. “Kau tidak pernah bicara tentang Carl Joseph,” kata Mary sambil berkacak pinggang. “Kau bertingkah seolah-olah dia sakit flu.” Satu kerusakan atau cacat fisik bawaan yang diser tai keterbelakangan mental.
10
tomorrow_edit.indd 10
11/18/2010 9:04:04 AM
Mike mengangkat bahu. “Kita akan membawanya terapi dan dia akan sembuh.” “Dia tidak akan sembuh, Mike.” Mary mendengar suaranya gemetar. “Dia akan seperti ini untuk selamanya. Dia akan tinggal bersama kita selamanya.” Kalimat terakhir itulah yang mencuri perhatian Mike. Dia tidak mengatakan sesuatu yang penting pada saat itu, sehingga tidak ada yang bisa diingat oleh Mary. Tetapi pada musim panas tahun itu, Mike lebih banyak pergi daripada di rumah. Alasannya selalu sama. Dia pergi berkeliling untuk melakukan pertandingan uji coba, melihat-lihat selama beberapa minggu dari sebuah kota ke kota lainnya, bekerja sama dengan sejumlah tim, mencoba untuk meyakinkan para pelatih bahwa dia belum kehilangan kecepatannya, belum melakukan apa pun tetapi lebih kuat sejak mengalami cedera. Tetapi pada suatu pagi di akhir pekan, ketika Mike masih tidur di kamarnya, Mary menemukan foto Polaroid dalam tas bepergian Mike. Di foto itu Mike berada di sebuah bar dan dikelilingi oleh tiga gadis, seorang gadis duduk di masing-masing lutut Mike, dan satu lagi menggelayut di bahunya.
11
tomorrow_edit.indd 11
11/18/2010 9:04:04 AM
Ketika Mike bangun, Mary sedang berada di dapur siap untuk menantangnya. Mike harus berhenti bepergian, berhenti memercayai kalau kontrak selanjutnya di depan mata. Bar akan menjadi masa lalu, karena Mary membutuhkannya di rumah untuk membantunya mengurus anak-anak. Uang mereka habis. Jika sepak bola tidak dapat menawarkan apa-apa lagi, Mike harus mencari pekerjaan dan cara lain untuk membiayai mereka. Mary mengingat semua pidatonya, tetapi semua itu percuma. Mike mengendalikan pembicaraan sejak dia menemukan Mary di meja makan. “Ini...” Mike mengayunkan tangannya dan membiarkan jatuh terkulai di pinggangnya. Matanya merah. “Aku tidak mau ini lagi.” “Apa?” Mary mengangkat foto Polaroid tersebut. “Maksudmu ini?” Mata Mike menyorotkan amarah. Diambilnya foto itu dari Mary, meremas-remasnya, dan melemparkannya ke tempat sampah. Mike menatap Mary dengan tatapan dingin dan acuh tak acuh. Mike menggertakkan giginya. “Apa yang kulakukan di luar rumah itu urusanku.”
12
tomorrow_edit.indd 12
11/18/2010 9:04:05 AM
Mary membuka mulut, tetapi sebelum dia mengatakan kalau Mike salah, Mike melepaskan cincin kawin dari jari kirinya dan menjatuhkannya di atas meja di tengah-tengah mereka. “Semuanya sudah berakhir, Mary. Aku tidak mencintaimu lagi.” Suara tangisan Carl terdengar dari lantai atas. Pelan dan monoton, tangisan dari seorang anak yang akan selalu berbeda. Mary mendongak, mengikuti suara tersebut. Kemudian dia menatap mata Mike lagi. “Ini bukan soal aku.” Dia menjaga suaranya agar tetap tenang dan pelan. “Ini soal kau.” Mike mengembuskan napas keras. “Ini bukan soal aku.” “Ini soal kau.” Mary duduk, dan matanya tidak beralih dari mata Mike. “Kau berada di puncak ketenaran sebelum cedera, sekarang kau menganggur dan takut.” Suaranya terdengar penuh rasa sayang. “Ayo kita bersatu, Mike.” Mary berdiri, mengambil cincin Mike, dan mengulurkannya kepada Mike. “Biarkan aku menolongmu.” Tangisan Carl menjadi semakin keras. Mike memejamkan mata. “Aku tidak bisa...” Kalimatnya hampir menyerupai bisikan penuh luka. “Aku tidak bisa tinggal di sini. Aku tidak bisa 13
tomorrow_edit.indd 13
11/18/2010 9:04:05 AM
menjadi ayahnya, Mary. Setiap kali aku melihatnya, aku... aku tidak bisa melakukannya.” Mary merasakan darah di wajahnya habis dan lantai linoleum murah berubah menjadi cair di bawah kakinya. Apa yang dia katakan? Ini semua soal Carl Joseph? Carl yang berharga, yang tidak pernah melakukan apa pun kecuali tersenyum kepada Mike dan ingin digendong olehnya? Kulit kepala Mary terasa gatal, dan bulu di lengannya berdiri. “Maksudmu kau tidak bisa terus menikah denganku karena... karena Carl Joseph?” “Jangan bilang seperti itu.” Mike menjepit batang hidungnya dan menundukkan kepala. Tangisan Carl menjadi semakin keras. “Tapi itu benar, bukan?” Kenyataan meledak dalam diri Mary, memberondongkan pecahan peluru ke hati dan jiwanya, dan meninggalkan luka yang akan membekas untuk selamanya. “Kau ingin pergi karena tidak bisa menjadi ayah Carl Joseph. Atau karena kau malu. Karena dia tidak sempurna.” “Aku sudah berkemas, Mary. Aku sudah menelepon taksi. Aku akan terbang ke California dan memulai kehidupan lagi. Kau bisa mengambil
14
tomorrow_edit.indd 14
11/18/2010 9:04:05 AM
rumah ini. Aku akan mengirimkan uang kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan.” Di bagian terkecil dan kurang penting dalam benaknya, Mary bertanya-tanya di mana Cody berada, kenapa dia sangat diam. Tetapi dia tidak bisa menindaklanjuti rasa penasarannya. Dia terlalu sibuk mengingatkan dirinya untuk bernapas. “Kau pergi karena putramu menderita down syndrome? Apa kau mendengarkan kata hatimu, Mike?” Tapi Mike telah berjalan kembali menuju tangga. Ketika dia meninggalkan rumah sepuluh menit kemudian, dia menggumamkan ucapan selamat tinggal bukan kepada siapa-siapa. Cody berjalan ke pintu masuk dari ruang duduk dengan bercucuran air mata, matanya membelalak, dahinya mengerenyit karena khawatir. “Ayah, tunggu!” Cody berlari keluar melalui pintu, tali sepatu tenisnya yang tidak diikat melambai����������������������������� -lambai setiap dia melangkah. Dengan menggandeng Carl Joseph, Mary mengikutinya, ketakutan dengan apa yang akan terjadi di luar. Taksi menunggu di luar, dan tanpa menoleh ke belakang, Mike membantu sopir taksi memasukkan kopernya ke dalam bagasi. 15
tomorrow_edit.indd 15
11/18/2010 9:04:05 AM
Cody berhenti tak jauh dari tempatnya, dadanya naik-turun. “Ayah mau pergi ke mana?” Mike ragu-ragu, matanya menatap Cody. “Kau tidak perlu tahu.” “Tapi Ayah—” Cody melangkah lebih dekat. “Kapan Ayah akan pulang?” “Tidak akan.” Mike menatap Mary dan kembali menatap Cody. “Sudah tiba saatnya, Nak.” Mike berjalan ke pintu penumpang. “Jadilah anak yang baik untuk ibumu, kau dengar?” “Tapi Ayah... Aku ada pertandingan bisbol hari Jumat. Ayah berjanji akan datang!” Anak itu ketakutan, dia mengucapkan kalimatnya tanpa bernapas dan tanpa berhenti. “Ayah, jangan pergi!” Mike membuka pintu taksi. “Tunggu!” Mary berjalan tanpa alas kaki melintasi rumput basah ke arah taksi. Carl Joseph tetap tinggal di belakang, diam tak bergerak, hanya menonton, sambil mengulum ibu jarinya. Mary mengacungkan jarinya ke udara. “Kau tak bisa pergi sekarang, Mike. Putramu sedang berbicara denganmu.” “Jangan lakukan ini, Mary.” Mike memandangnya dengan pandangan memperingatkan. Mike membungkukkan sedikit badannya ke arah 16
tomorrow_edit.indd 16
11/18/2010 9:04:05 AM
kursi penumpang. “Tidak ada lagi yang harus kukatakan.” “Ayah!” Cody memandang Mike, lalu Mary dan kembali memandang Mike. “Apa yang terjadi, Ayah mau pergi ke mana?” Mike menggigit bibirnya dan mengangguk pelan kepada Cody. “Sampai jumpa, Nak.” “Baiklah!” teriak Mary, suaranya melengking dan panik. “Pergi saja kalau begitu.” Wanita itu membungkuk dan lututnya gemetar. Air mata mengalir deras di wajahnya. “Silakan pergi saja. Tapi kalau kau pergi sekarang, jangan pernah kembali. Jangan pernah!” “Apa?” Cody terlihat putus asa dan muak, dunianya berputar di luar kendali. Dia menatap ibunya dengan mata membelalak. “Jangan bilang begitu, Bu. Jangan katakan kepada Ayah kalau dia tidak boleh kembali!” Mata Mary tidak pernah meninggalkan wajah Mike. “Jangan ikut campur, Cody. Kalau dia tidak menginginkan kita lagi, dia bisa pergi.” Suara Mary meninggi lagi. “Kau dengar aku, Mike? Jangan pernah kembali!” Apa yang kemudian terjadi akan menjadi bagian dari kehidupan mereka selama pagi masih datang 17
tomorrow_edit.indd 17
11/18/2010 9:04:05 AM
setelah malam. Ayah Cody sekali lagi memandang mereka bertiga yang berdiri di halaman, kemudian masuk ke kursi belakang, menutup pintu, dan taksi itu bergerak pergi. “Ayah!” Cody meneriakkan namanya dan berlari mengejar. Suara itu membuat Carl Joseph takut. Dia membenamkan mukanya ke tangan dan jatuh berlutut, badannya berayun-ayun ke depan dan berteriak, “Mama.... Mama... Mama.” Mary menghampirinya. “Sshh. Tak apa-apa.” Mary mengusap punggungnya. Kenapa ini terjadi? Dan kenapa tidak ada peringatan lebih dulu? Kepalanya pusing karena tergoncang, perutnya mual dan dia tidak bisa berdiri ketika melihat Cody mengejar taksi ayahnya. Taksi itu sama sekali tidak memelankan lajunya, tetapi Cody tetap saja berlari. “Ayah! Ayah! tunggu!” Lima rumah terlewati, tujuh, sepuluh. “Jangan pergi, Ayah! Tolonglah!” Setiap kata Cody menghantam Mary, seperti truk Mack. Ketika tidak tahan lagi, dia berteriak mengejar Cody. “Cody, kembali!” Tapi Cody tidak mau kembali dan tidak mau berhenti berlari. Di sepanjang jalan hingga ke ujung 18
tomorrow_edit.indd 18
11/18/2010 9:04:05 AM
blok, dengan kecepatan lari yang didapatkannya dari sang ayah, dia berlari hingga taksi itu telah lama menghilang dari pandangan. Kemudian, selama sepuluh menit, dia berdiri di sana. Anak lelaki berambut gelap berusia delapan tahun itu berdiri di sudut jalan menatap sebuah taksi yang tidak akan pernah kembali. Di dalam hati kecilnya, Mary nyaris senang Mike pergi. Tentu saja beberapa jam yang lalu dia bersedia berjuang untuk pernikahan mereka. Tapi saat itu, dia pikir semuanya lebih sederhana. Dia dapat memahami kebingungan Mike, karena karier sepak bolanya sedang limbung. Tetapi malu dengan Carl Joseph? Carl adalah putranya, bagian dari dirinya. Karena anak itu cacat, maka dia tidak akan bisa berbuat hina dan jahat seperti yang baru saja dilakukan oleh ayahnya. Tidak, Carl akan selalu memiliki hati yang baik dan sederhana, tapi Mike akan kehilangan itu semua—sama seperti dia kehilangan semuanya tentang Carl Joseph sejak hari Carl didiagnosis. Bahkan ketika dia berdiri di sana, memohon Cody untuk kembali dan pulang, tidak percaya 19
tomorrow_edit.indd 19
11/18/2010 9:04:05 AM
kalau pernikahannya telah berakhir, dia merasakan ketetapan hatinya. Tidak ada pria penyayang yang tidak mencintai putranya sendiri. Kalau Mike tidak mau menjadi ayah Carl Joseph, dia akan mencintai anak lelaki itu untuk mereka berdua. Mary akan bertahan, sekalipun dia tidak pernah mendengar lagi kabar tentang Mike Gunner. Wanita itu memfokuskan diri pada Cody sekali lagi, bahu kecil bocah itu lunglai ketika dia menunggu, dengan menatap jalanan yang kosong tempat taksi tadi menghilang. Cody menangis, itu tak diragukan lagi. Mary masih bisa melihat pipinya yang tercoreng air mata dan tatapan sedih di wajahnya. Apakah Cody merasakan seperti yang dirasakannya? Ditinggalkan? Dikuasai oleh perasaan putus asa? Pikiran aneh melintas dalam benaknya, dan mendadak rasa takut menyelimutinya. Karena pikiran itu tak terpikirkan olehnya hingga saat itu. Ya, dia akan bertahan, dan Carl Joseph pasti akan baik-baik saja tanpa Mike. Tapi Cody mengagumi ayahnya, dia selalu mengagumi Mike. Dan kalau bahu lunglai anak itu merupakan sebuah pertanda, maka Cody kemungkinan
20
tomorrow_edit.indd 20
11/18/2010 9:04:05 AM
tidak akan kembali baik-baik saja seperti dia dan Carl. Sebaliknya, Cody kemungkinan tidak akan seperti dulu lagi.
*
21
tomorrow_edit.indd 21
11/18/2010 9:04:05 AM