Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang? Opini
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
Desmon Simanjuntak E-mail:
[email protected] Bagian Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta
Abstrak eknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dan mengakibatkan perubahan pola perilaku manusia, termasuk dalam pendidikan. Dewasa ini berbagai informasi dapat diperoleh dalam jumlah banyak di banyak tempat, serta dalam waktu relatif cepat. Kemudahan memperoleh berbagai jenis informasi mengakibatkan sekolah bukan lagi satusatunya tempat untuk tempat belajar karena informasi tentang ilmu pengetahuan dan dan teknologi dapat didapatkan dengan mudah dan cepat kapan saja. Masalahnya ialah bagaimana kemajuan teknologi informasi dan komunikasi itu berpengaruh pada penyelenggaraan pendidikan? Tulisan ini membahas bagaimana perubahan (revolusi) di bidang pendidikan dilakukan untuk menanggapi teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena teknologi informasi dan lomunikasi tidak dapat dielakkan dari dunia pendidikan, tulisan ini juga memberikan saran kepada pihak-pihak terkait dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya.
T
Kata-kata kunci: Teknologi informasi dan komunikasi, revolusi pembelajaran, ketegangan, kecerdasan ganda. Instructional Revolution: Threat or Opportuniy? Abstract The fast development of information and communication technology has been changing the people’s needs and life style in all aspects including education. Today all kinds of information can be easily accessed in any place and any time making educational institution not the only place to learn. The problem is how the educational institution should take benefit of the advancement of information and communication technology to improve the instructional process quality and the student’s learning achievement. This article discusses what and how change should be made to revolutionize the educational instituton applying the exisiting information and communication facilities. As education institution can not get rid of the information and communication technology, this article also gives some rcommendation particularly dealing with instructional practices. Key words: Information and communication technology, instructional revolution, tension, multiple intelligence
Pendahuluan Salah satu penyebab mandeknya dunia pendidikan kita saat ini adalah ketidakmampuan pemerintah dan komunitas pendidikan dalam
mengantisipasi kemajuan teknologi dan sekaligus menerapkannya dalam proses belajarmengajar. Sistem sekolah saat ini masih dikendalikan oleh guru dan buku, dan guru merupakan pusat seluruh kegiatan belajar, Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
87
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
sehingga kualitas seorang guru menentukan anak didiknya dalam berbagai kemampuan. Alat peraga yang dipakai oleh banyak sekolah tergolong masih tradisional dan ketinggalan zaman, misalnya masih menggunakan alat peraga (mannequin) untuk belajar bagian-bagian tubuh manusia, maupun menggunakan bola dunia dari plastik untuk menunjuk negaranegara di dunia. Padahal anak didik bisa belajar tubuh manusia dan bola dunia menggunakan media komputer dan internet. Menggunakan alat peraga untuk belajar organ tubuh manusia, maupun menggunakan bola dunia dari plastik untuk menunjuk negara-negara di dunia memang tidak salah dan masih dimungkinkan, akan tetapi diperlukan cara dan metode yang lebih kreatif dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang semakin canggih agar anak didik lebih tertarik dan tertantang dengan pelajaran yang akan dipelajarinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini proses belajar-mengajar di Indonesia kurang sesuai dengan cara kerja otak anak sesungguhnya. Itulah yang membuat belajar umumnya menjadi tidak menyenangkan. Kenapa anak lebih senang main game atau nonton film? Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk melakukan kegiatan tersebut. Anak mendadak jadi jenius, bisa hafal dengan cepat jalan cerita film, nama-nama tokoh, atau tahu siasat untuk memenangkan game terbarunya. Sementara untuk belajar satu jam saja demi ulangan besok, sudah mengeluh dan mendadak ‘bodoh’. Hal ini bukan karena obyek yang ditekuni anak, (nonton/ main dan belajar) yang membuat reaksi otak anak berbeda. Setelah dianalisis dengan seksama, titik masalah justru terletak pada cara kerja otak ketika melakukan kedua kegiatan tersebut. Ketika anak menonton film atau main game favoritnya, tanpa disadari ia telah menggunakan kedua belah otaknya (kiri dan kanan) dibandingkan ketika belajar yang umumnya hanya menggunakan satu belah otak saja (kebanyakan otak kiri). Ternyata anak selama ini ‘salah’ menggunakan otaknya untuk belajar, dan metode guru dalam mengajarpun masih cenderung konvensional (monoton) dan hanya berorientasi pada nilai. Inilah perlunya revolusi pembelajaran. Menurut pemegang lisensi Mind Mapping untuk 88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
Indonesia, Sutanto, jika kita ingin memiliki sumber daya manusia yang lebih baik lewat pendidikan, jangan tekankan hanya pada sisi what to learn melainkan juga how to learn. Sebagai contoh, suatu kelas dengan guru yang sama, catatan sama, bukunya juga sama, mengapa waktu ulangan pelajaran tersebut nilai antar anak bisa berbeda? Persoalan tersebut bisa jadi terletak pada cara penyerapan anak yang berbeda terhadap materi pelajaran. Itulah perlunya penekanan pada how to learn di samping what to learn. Bayangkan saja apabila seorang siswa mengikuti sebuah materi pelajaran, padahal dia sudah mengetahui banyak tentang materi tersebut. Dia menjadi jenuh di ruang kelas dan mungkin juga mengganggu teman yang lain. Seharusnya anak diberi kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan lebih cepat apabila dia memiliki kemampuan melakukannya. Hal ini pernah terjadi di sebuah sekolah, seorang anak yang sudah sangat terbiasa menggunakan komputer di rumah, diberikan pelajaran program komputer dasar di sekolah. Anak tersebut tentu saja berpandangan pelajaran tersebut tidak bermanfaat. Akan lebih baik kalau anak tersebut dijadikan fasilitator bagi temannya atau dipersilahkan belajar yang lain. Dengan demikian menghargai potensi anak, dibandingkan anak diharuskan mengikuti pelajaran dengan keterpaksaan. Contoh yang diberikan di atas merupakan salah satu akibat sistem persekolahan yang “sama rata sama rasa” dan dikemas dalam produk yang sama. Sekolah kita tidak lebih dari produk pengalengan ikan, yang memasukkan ikan ke dalam mesin pengolahan dan keluar menjadi ikan kalengan yang siap dipasarkan dengan rasa, bentuk, dan cap yang sama. Itulah rupanya alasan mengapa Roem menyebutkan sekolah sebagai candu yang menggerogoti kreativitas dan kecerdasan sejati setiap peserta didiknya. Sistem pendidikan kita sedikit banyak masih menganut pola kolonial yang lulusannya diabdikan untuk kepentingan pembangunan dan membangun kelas menengah masyarakat. Di sini kurang dihargai arti sebuah kreativitas, perbedaan individual dan potensi terpendam yang mungkin sangat dahsyat apabila
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
difasilitasi secara baik. Bahkan sayangnya, potensi ini mengerdil di sekolah dan muncul di luar sekolah. Dalam temuan Thomos Gordon, banyak anak yang dinyatakan “broken” di sekolah kemudian menjadi anak yang sangat cerdas dan mampu menyelesaikan tes untuk tingkat yang lebih tinggi. Para pakar di berbagai negara mencari jawaban terhadap tantangan millennium dengan pendekatan pendidikan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan pendidikan kontekstual tuntutan kemanusiaan akan mereka jawab. Diharapkan kita juga tetap survive dan menjadi perespon kemajuan, tak terkecuali dengan pendidikan. Akan tetapi sangat mustahil kita dapat menjawab tantangan global dengan pola-pola lama yang tidak relevan lagi. Konsekuensinya, kita tidak perlu tabu dan alergi terhadap setiap perubahan dan penemuan. Selayaknya kita terbuka untuk mencari kemungkinan bongkar pasang metodo-logi bahkan sistem dalam pendidikan kita. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pelaksanaan pendidikan kita di sekolah belum sesuai dengan harapan. Pendidikan di sekolah kita terlalu menjejali otak anak dengan berbagai bahan ajar yang harus dihafal dan kurang diarahkan untuk membangun dan mengembangkan karakter serta potensi yang dimiliki dengan kata lain, proses pendidikan kita kurang diarahkan membentuk manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta kurang diarahkan untuk membentuk manusia yang kreatif dan inovatif. Jika institusi pendidikan ingin berhasil mengantarkan para peserta didiknya untuk mampu hidup layak dan berbudaya dalam masyarakatnya kelak tidak ada resep lain kecuali melakukan perubahan dan inovasi dalam kegiatan pembelajaran secara kreatif dan terus menerus. Bahkan bagi dunia persekolahan kita bukan hanya sekedar perubahan biasa tetapi perlu melakukan revolusi pembelajaran. Revolusi pembelajaran yang dilakukan tidak hanya terkait dengan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) apalagi dalam Kurikulum 2013 mendatang, melainkan harus didasarkan pada keinginan dan harapan untuk mengembalikan fungsi pendidikan sesuai dengan filosofinya, yaitu
“mengantarkan anak didik menyongsong kehidupan yang layak dalam masyarakatnya kelak”. Jika dikaitkan dengan judul, inti sari tulisan ini akan mengulas tentang tantangan dan peluang revolusi pembelajaran dalam mengantisipasi kemajuan teknologi yang semakin canggih, manfaat revolusi pembelajaran dalam pendidikan dan cara menerapkannya. Untuk mendalami lebih lanjut, dibahas penting-nya revolusi pembelajaran serta permasalahan dalam menerapkan revolusi pembelajaran dan merubah tantangan menjadi peluang.
Pembahasan Pentingnya Revolusi Pembelajaran Salah satu proses pendidikan adalah pembelajaran. Menurut Miarso (2004 : 528), pembelajaran adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu dalam kondisi tertentu. Sedangkan Reigulth dan Merill berpendapat bahwa pembelajaran sebaiknya didasarkan pada teori pembelajaran yang bersifat preskriptif, yaitu teori yang memberikan “resep” untuk mengatasi masalah belajar. (dalam Miarso, 2004 : 529). Pembelajaran merupakan hasil kolaborasi yang baik antara guru, siswa, dan kurikulum. Guru berperan sebagai penanggung jawab jalannya pembelajaran dan juga berfungsi sebagai salah satu sumber belajar maupun sebagai fasilitator. Siswa berperan sebagai pencari pengetahuan dan berfungsi sebagai pengkonstruk pengetahuan menurut teori konstruktivisme. Kurikulum merupakan isi materi itu sendiri. Sedangkan revolusi adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang dan menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun sistem lama suatu sistem yang sama sekali baru. Jadi, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa revolusi pembelajaran adalah perubahan yang cukup mendasar dalam usaha mengatasi masalah belajar. Dalam usaha tersebut dilakukan pengelolaan lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif sehingga ada upaya untuk membangun sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
89
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
Pada awal perkembangan budaya, pendidikan itu menjadi tanggung jawab penuh orang tua dan keluarga, dengan dukungan anggota masyarakat lain selain lingkungan. Dalam perkembangan budaya, kemudian dibentuklah suatu lembaga khusus dengan orang-orang tertenu untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak. Menurut seorang ilmuwan Inggris, Sir Eric Ashby seperti yang dikutip Miarso (2004 : 708), kejadian menyerah-kan tanggung jawab pendidikan dari orang tua kepada lembaga yang kemudian diberi nama “sekolah” adalah merupakan revolusi pendidik-an yang pertama. Kapan terjadinya revolusi itu, tidak ada yang tahu secara tepat. Ada yang memperkirakan bahwa kejadian itu dapat ditelusuri hingga 600 tahun SM, yaitu dengan diselenggarakannya lembaga pendi-dikan oleh kaum Sufi, termasuk diantaranya Socrates, Aristoteles, dan sebagainya. Meskipun telah terjadi revolusi ribuan tahun yang lalu, masih ada sebagian anggota masyarakat yang belum menganggap pendidikan sebagai suatu keperluan hidup, seperti halnya makan, minum, pakaian, dan sebagainya. Terutama pada masyarakat yang kurang beruntung kondisi sosial-ekonominya, pendidikan melalui sekolah dianggap merupakan sesuatu yang mahal dan karena itu merupakan prioritas untuk memperolehnya. Sebagian lain berpendapat bahwa pendidikan sekolah bagi anak wanita kurang dianggap perlu, karena kodratnya nanti hanya akan mengurus rumah tangga. Pendapat lain yang hampir berseberangan menganggap bahwa sekolah itu merupakan segalanya. Sehingga kalau sudah mengirimkan anaknya ke sekolah, maka pendidikan si anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, dan orang tua tinggal menerima hasilnya sebagai anak yang terdidik. Pendapat ini mendapat dukungan dari pimpinan sekolah, yang menganggap bahwa dia mendapat mandat penuh dari orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Dua kubu pendapat tersebut merupakan persepsi yang keliru mengenai pendidikan. Pendidikan, pertama-tama merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat. Baru pada saat usia anak mencapai usia sekolah, 90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
sebagian tanggung jawab pendidikan tersebut dilimpahkan kepada lembaga pendidikan khusus yang disebut sekolah. Pelimpahan sebagian tanggung jawab tersebut juga bukan merupakan mandat penuh dan tidak terbatas dari keluarga kepada sekolah. Keluarga dan masyarakat tetap mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak dan warganya. Masalah yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dapat dibentuk dan bahkan ditingkatkan keselarasan hubungan antara keluarga, masyarakat, dan sekolah. Lebih lanjut Eric Ashby, seperti yang dikutip Miarso (2004 : 665), menyatakan bahwa telah terjadi revolusi keempat dalam bidang pendidikan. Revolusi pertama terjadi ketika orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada “orang yang berilmu” (atau guru). Revolusi kedua dengan digunakannya tulisan untuk keperluan pendidikan (pada batu, keramik, daun lontar, dan sebagainya). Revolusi ketiga terjadi dengan ditemukannya mesin cetak sehingga materi pendidikan dapat disajikan dalam bentuk buku. Revolusi keempat terjadi dengan ditemukannya perangkat elektronik seperti radio dan televisi yang dapat digunakan untuk penyebaran pendidikan secara lebih meluas dan cepat. Menyambung pendapat Ashby tersebut, barangkali tepat kalau sekarang kita memasuki revolusi kelima dengan berkembangnya teknologi dan telekomunikasi informasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat merupakan potensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Internet sebagai anak kandung dari teknologi informasi dan komunikasi menyimpan informasi tentang segala hal yang tidak terbatas, yang dapat digali untuk kepentingan pengembangan pendidikan. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi bagi dunia pendidikan berarti tersedianya saluran atau sarana yang dapat dipakai untuk menyiarkan program pembelajaran baik secara searah maupun secara interaktif. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi ini penting mengingat kondisi geografis Indonesia secara umum berada pada daerah pegunungan yang terpencar ke dalam banyak pulau. Dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
memungkinkan diselenggarakannya pendidikan jarak jauh, sehingga memungkinkan terjadinya pemerataan pendidikan di seluruh wilayah bumi Indonesia, baik yang sudah dapat dijangkau transportasi darat maupun yang belum dapat dijangkau. Dengan demikian pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan mempunyai arti penting terutama dalam rangka pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitas serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan hal itu, telah terjadi pergeseran paradigma atau cara berpikir dalam menghadapi berbagai fenomena dalam memasuki abad ke-21 atau millennium ketiga. Menurut laporan UNESCO (1996), seperti yang dikutip Surya (2010 : 228), ada tujuh ketegangan yang dihadapi di awal abad ke-21 ini yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi dunia pendidikan. Ketujuh ketegangan itu ialah: (1) manusia akan menjadi satu warga dunia secara global, tetapi tidak ingin tercabut akarnya dari budaya lokal; (2) ketegangan antara kebutuhan universal dan individual; (3) ketegangan antara tradisional dan modernitas; (4) ketegangan antara kebutuhan untuk kompetisi dan kepedulian pada keseimbangan kesempatan; (6) ketegangan antara keinginan perluasan pengetahuan dan ketegangan antara tuntutan global dan lokal, yaitu di satu pihak terdapat kecenderungan dan keterbatasan kapasitas manusiawi untuk mencapainya; (7) ketegangan antara nilai-nilai spiritual dan material. Tren perkembangan global yang didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara global telah menyebabkan pergeseran pola kehidupan global yang ditandai dengan perkembangan: (1) dari komunitas lokal ke masyarakat dunia; (2) dari kohesi sosial ke partisipasi demokratis; (3) dari pertumbuhan ekonomi ke perkembangan sumber daya manusia. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi pola kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya kegiatan pembelajaran. Permasalahan dalam Menerapkan Revolusi Pembelajaran Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan masa depan hampir selalu diilhami oleh perkem-
bangan komunikasi dan teknologi. Melalui teknologi komputer, Bill Gate mengembangkan sistem jaringan komputer seperti otomatisasi bawah sadar otak manusia. Kini, kemampuan bahwa sadar (inner-mind, sub-consius) sedang diteliti secara cermat seiring dengan banyaknya temuan para ahli tentang kemampuan otak (kiri dan kanan) manusia yang tak terhingga. Pendidikan mereka pilih sebagai media akselerasi menuju lompatan masa depan. Lihat misalnya, alasan yang dikemukakan oleh Thomas Gordon dalam mengantarkan The Learning Revolution: perubahan radikal terjadi di dunia ini; perubahan radikal tersebut telah mempengaruhi seluruh persendian kehidupan kita; segala sesuatu saat ini memungkinkan terjadi; hanya satu dari lima orang yang mengerti manfaat sebuah revolusi; hanya 20% orang yang akan menguasai asset, 60% orang yang tidak mengetahui manfaat revolusi dan perubahan (80%) hanya akan mendapatkan 2% saja. Permasalahan dalam menerapkan revolusi pembelajaran ini adalah sistem pendidikan yang masih berpatokan pada nilai dan mengejar what to learn. Lebih lanjut Sutanto menegaskan, nilai tidak dapat menentukan apakah seorang anak bodoh atau tidak. “Silahkan ada standarisasi, tapi jangan mengotak-kotakkan anak pintar dan anak bodoh. Selama ini sistem mengatakan anak yang nilainya 5 adalah anak yang bermasalah. Ia pun juga menekankan agar sistem jangan terlalu terpaku pada metode standarisasi, seperti ujian negara. Menurutnya tidak adil mengambil kesimpulan terhadap masa depan anak lewat sebuah ujian nasional (UN). UN hanya menekankan pada kecerdasan berbahasa dan berlogika. Padahal, Howard Gardner seperti yang dikutip Lucy (2009 : 68), mengungkapkan ada 9 jenis kecerdasan yang berbeda di dalam diri setiap orang, yaitu: (1) kecerdasan verballinguistik; (2) kecerdasan visual-spasial; (3) kecerdasan kinestetik; (4) kecerdasan musikal; (5) kecerdasan intraper-sonal; (6) kecerdasan interpersonal; (7) kecerdasan logika-matematika; (8) kecerdasan naturalis; (9) kecerdasan eksistensial. Variasi dan kombinasi kecerdasan ini tentu berbeda dalam diri tiap-tiap orang, tetapi yang pasti temuan ini sempat “menggegerkan” dunia psikologi dan pendidikan karena Gardner mengindikasikan Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
91
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
bahwa sebenarnya setiap anak itu cerdas. kelas adalah sebuah keniscayaan. Menemukan Permasalahannya ada pada ketidaktahuan peluang untuk menciptakan sesuatu yang para guru dan orang tua (dan juga masyarakat diperlukan demi mencapai pembelajaran masa secara umum) tentang mengenali, menghargai, depan adalah sesuatu yang mungkin dan harus serta mengembangkan kecerdasan anak itu terus diupayakan. Guru harus mau berubah dan sendiri. Diperlukan perubahan dan usaha keras keluar dari zona nyaman agar mampu untuk mengatasi hal tersebut, karena ketika para mengikuti perkembangan teknologi informasi guru dilatih untuk mengajar tidak lagi dengan dan komunikasi yang semakin canggih. cara konvensional (melainkan dengan Dengan memperhatikan: (1) dinamika glomenerapkan kecerdasan majemuk) dan orang tua bal yang membawa tuntutan perubahan dan juga dipandu untuk mengenali minat dan bakat persaingan yang semakin tajam; (2) keadaan anaknya secara alami, maka “masalah gang- geografis Indonesia yang terdiri dari kepula-uan; guan belajar” yang diderita oleh seba-gian anak (3) penyebaran penduduk yang terpusat di akan lenyap dengan sen-dirinya. pulau Jawa; (4) kemampuan, kelemahan, Perubahan yang cukup mendasar dalam peluang maupun permasalahan yang melekat usaha mengatasi masalah belajar tersebut pasti pada teknologi itu sendiri; serta (5) terbatasnya akan menimbulkan tantangan sekaligus jangkauan pendidikan tatap muka konvensional peluang dalam pembelajaran di kelas maupun yang bersifat formal; dapat kiranya diramalkan di luar kelas, khususnya bagi guru. Guru yang arah kecenderungan pendidikan mendatang mau terbuka dan secara umum adamau belajar akan lah sebagai berikut; m em p e r s i a pk a n (a) pendidikan terMenemukan peluang untuk diri dan terus mengbuka dengan modus menciptakan sesuatu yang asah kompetensibelajar jarak jauh diperlukan demi mencapai nya guna mengataakan menjamah penpembelajaran masa depan adalah si masalah belajar didikan yang berada sesuatu yang mungkin dan harus bagi anak didiknya, di luar jangkauan terus diupayakan. dan guru tersebut pendidikan tatap akan berusaha muka konvensional menggunakan cara yang bersifat klasik; dan metode yang bervariasi untuk memfasilitasi (b) lembaga pendidikan/ latihan yang mempuanak didiknya untuk belajar dan mengembang- nyai satu kepentingan untuk mememanfaatkan kan kreativitas dan imajinasi mereka. Sementara sumber secara bersama akan berkolaborasi guru yang hanya puas dengan cara dan metode dalam suatu jaringan pendidikan jarak jauh; (c) yang digunakannya selama ini, tidak akan sekolah formal dan informal secara bertahap berusaha memfasilitasi anak didiknya. Padahal akan memanfaatkan kemampuan jaringan e-mail anak sekarang telah memasuki era baru dalam dan e-library untuk akses data atau informasi perkembangan teknologi informasi dan yang bersangkutan; (d) daerah pelosok jauh dan komunikasi. Jika guru tidak mempersiapkan terpencil secara bertahap melalui kantong generasi penerus bangsa yang melek informasi eksperimentasi akan diperkenalkan dengan dan teknologi (IT) maka di masa mendatang penggunaan teknologi yang tepat guna dalam bangsa ini akan menghasilkan sumber daya semangat kebersamaan antara pemerintah, ormanusia yang hanya sekelas pekerja dan ang tua, dan masyarakat sehingga pendidikan karyawan saja, sementara sumber daya manusia tidak hanya dapat diakses, tetapi juga terjangkau; yang kreatif, inovatif dan jago dalam IT akan sulit (e) penggunaan CD-ROOM multimedia dalam ditemukan. pendidikan secara bertahap akan dapat menggantikan TV dan Video karena sifatnya Merubah Tantangan Menjadi Peluang yang luwes, interaktif, dan tahan rusak (durable). Merubah tantangan dalam menerapkan revolusi Rose seperti yang dikutip Dadang S. pembelajaran baik di dalam kelas atau di luar Anshori (2013 : 1), misalnya memperkenalkan 6 92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
langkah menuju sebuah proses pembelajaran masa depan, yang disebutnya dengan MASTER plan: (1) motivating your mind, (2) acquiring the information, (3) searching out meaning, (4) triggering the memory, (5) exhibiting what you know, (6) reflecting on how you’ve learned. Motivasi dalam belajar memegang peranan sangat penting. Guru yang baik adalah guru yang mampu menyarangkan motivasi dalam dada para pemelajar (learner), sehingga anak didik tahu how to learn. Mengetahui cara belajar lebih penting dari pada materi pembelajaran. De Porter (2001 : 50), menyebutkan bahwa menciptakan minat merupakan jalan yang sangat baik untuk memotivasi diri demi mencapai tujuan. Satu di antara temuannya adalah dengan menciptakan sesuatu yang diperlukan bagi si pembelajar. Belajar yang dibutuhkan akan lebih efektif daripada belajar hal karena diprogramkan. Dia menyebutnya dengan AMBAK (Apa Manfaat Bagiku). Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk merubah tantangan menjadi peluang dalam menerapkan revolusi pembelajaran dan demi mencapai pembelajaran masa depan, Pertama, belajar dengan penuh beban dan ketakutan harus berubah menjadi belajar dengan menyenangkan (learning is fun). Untuk dapat berhasil, seorang anak tidak hanya bisa ditekan dan didoktrin untuk belajar tetapi juga bisa melalui rangsangan dan pujian. Secara psikologis rangsangan dan pujianlah yang akan membangun kepribadian secara positif. Maka tak ada satu dasar pun seorang guru harus mencaci, menekan, memukul siswanya ketika dalam pembelajaran mengalami kesalahan. Penanaman kewibawaan seorang guru tidak bisa dilakukan dengan kekerasan secara fisik atau mental, melainkan melalui sikap keterbukaan dan contoh dalam perilaku pembelajaran. Perilaku kasar seorang guru hanya memunculkan sikap benci dan kasar di samping tekanan psikologis dalam belajar. Hal yang tampak adalah hadirnya rasa ketakutan terhadap seorang guru dalam diri siswa dengan alasan yang tidak rasional. Persoalannya bagaimana menciptakan perangkat belajar yang menyenangkan tersebut? Langkah yang paling esensi adalah bagaimana membangun persepsi seorang guru terhadap pembelajaran. Selan-
jutnya seberapa besar sistem persekolahan memberikan jaminan “keamanan psikologis” kepada setiap siswa sehingga dia bisa belajar dengan tenang? Sekolah tentu tidak sama dengan penjara. Sekolah bukan tempat kaum pendosa. Oleh karena itu seluruh ekspresi potensial harus keluar dan dirangsang tanpa tekanan apa pun. Paradigma negatif harus berubah menjadi paradigma positif. Kedua, kemampuan otak tak terbatas. Sejak awal anak-anak dikategorikan dalam klasifikasi pintar-bodoh. Akibatnya guru mempersepsikan anak-anak dalam kecerdasannya. Guru tidak melihat murid dari kategori potensi yang mampu dikembangkan. Persepsi pertama dalam diri guru telah mengubah kehidupan siswa menjadi seorang yang tertekan dan tidak percaya diri. Banyak di antara siswa menghukum dirinya karena keterlambatannya dalam belajar. Dia menganggap bahwa kebodohan adalah musibah dan kecerdasan sebuah anugrah. Kecerdasan dan kebodohan menjadi sesuatu yang mutlak. Persepsi ini hadir karena perlakuan emas guru terhadap siswa yang dianggap pintar, sementara tak ada tempat bagi mereka yang lambat belajar. Malangnya, mereka yang bodoh dianggap sebagai anak yang tidak memiliki masa depan dan guru sekali-kali tidak pernah memberi motivasi agar mereka meningkatkan kemampuannya. Kerapkali terjadi apabila si anak bodoh melakukan kreativitas positif sekalipun masih dianggap miring dan tidak mendapatkan respon dari guru-guru mereka karena “stempel” yang terpasang sejak awal di otak gurunya. Penelitian mutakhir mengatakan bahwa otak manusia tak terbatas. Kita bisa berpikir apa saja. Kita juga bisa berpikir sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Persoalannya, otak kita tidak terbiasa dihadapkan pada masalah besar dan canggih. Di sekolah anak belum terbiasa untuk berpikir. Selain karena anak malas berpikir, gurunya tidak terbiasa untuk berpikir yang rumit atau membiasakan anak berpikir kritis. Pertanyaan kritis dianggap sebagai penyimpangan dalam dunia pendidikan kita. Ketiga, sekolah bukan ajang demonstrasi kekurangan siswa. Pengungkapan kekurangan hanya boleh dilakukan dalam rangka memperbaiki skill atau sikap yang dianggap Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
93
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
perlu diperbaiki. Kekurangan harus dipandang sederajat dengan kelebihan dalam proses belajar. Kekurangan atau kesalahan bukan barang haram dalam belajar, justru bernilai positif agar siswa memiliki pengalaman ganda dalam hidupnya sehingga lebih selektif. Belajar justru menggenapkan kekurangan dan menguatkan kelebihan. Andaikan hanya ada kelebihan dalam belajar, maka pengalaman siswa dan guru akan timpang. Langkah ini cukup ampuh dalam membangun kepercayaan diri (self confident) dalam diri siswa. Guru jangan sekali menambah kekurangan siswa dengan kata yang menyudutkan, menyakitkan dan mempermalukannya di depan temannnya yang lain. Tanpa sadar hal ini sering dilakukan guru di dalam kelas. Hubungan guru dengan siswa adalah hubungan ilmiah. Kesalahan sama maknanya dengan kebenaran. Keempat, belajar hakikatnya mengarahkan seseorang sesuai potensinya. Untuk itu, guru berkewajiban mengetahui tipe belajar anak. De Porter membagi tipe belajar anak: visual, auditorial, dan kinestetis. Jangan paksakan membaca banyak pada mereka yang punya gaya belajar auditorial. Berilah mereka kesempatan yang banyak untuk berdiskusi dan menyimak berbagai informasi. Mereka akan lebih memahami materi dengan cara mendengarkan. Demikian juga jangan terlalu banyak mengajak diskusi kepada anak yang gaya belajarnya visual. Berilah bacaan atau gambar-gambar yang memudahkan dia memahami materi. Atau hadirkan diskusi dan gambar bagi mereka yang memiliki gaya belajar kinestetis. Pengenalan gaya belajar siswa memungkinkan guru mengelola kelas secara baik. Anak yang pendek tidak selamanya harus di depan apabila dia memiliki gaya belajar visual. Sebaliknya mereka yang memiliki gaya belajar auditorial harus duduk berdekatan dengan guru agar jelas memahami penjelasan materi yang disampaikan oleh gurunya. Berdasarkan cara belajar ini pun guru bisa menunjukkan bagaimana siswa belajar secara efektif. Kita juga sering mendengarkan keluhan anak-anak tentang sulitnya menangkap pelajaran atau mengingat bacaan. Ini erat kaitannya dengan tipe belajar seseorang. Kelima, belajar yang dibutuhkan siswa. Dalam psikologi dijelaskan bahwa anak tidak 94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
dibentuk oleh lingkungan. Maka keterampilan dasar yang harus diberikan. Kita sering mendengar pepatah berikan pancing bukan ikannya. Piranti ilmu pengetahuan lebih penting daripada ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan caranya, siswa dimungkinkan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak daripada gurunya. Pada dasarnya seluruh materi dalam proses pembelajaran dibutuhkan oleh siswa. Keenam, hubungan guru dan murid bukan subjek dan objek. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Mengajar adalah belajar. Oleh karena itu, sama sekali tidak dipermasalahkan apabila siswa lebih pintar dari guru dan guru belajar dari murid tersebut. Romo Mangun secara radikal menyarankan agar istilah guru dan siswa ditiadakan saja sebab memberi batas yang tidak wajar bagi komunikasi akademis. Sebutansebutan tadi telah melahirkan jurang pemisah dan perbedaan status di ruang kelas, bahkan di ruang masyarakat. Sebutan yang memposisikan guru selalu benar dan siswa yang lebih banyak salahnya daripada benarnya. Rasa hormat yang berlebihan dari siswa dan sikap gila hormat dari guru hanya akan mengubah makna belajar menjadi belajar menghormat. Di ruang belajar sikap ini harus diperlunak dan disubstantifkan. Kita bisa menggunakan sejuta simbol untuk menyatakan suatu substansi. De Forter (2001 : 8), melalui pengala-man Super Camp mengedepankan proses pembelajaran “loncat katak” dan disebutkannya bahwa selama ini pembelajar diajari cara “jalan siput”. Bahwa belajar dapat dan harus menyenangkan (learning is fun). Belajar dengan terminologi persekolahan selalu dirasakan dengan segala keterpaksaan. Coba kita ingat kembali apa ekspresi anak apabila seorang guru tidak bisa hadir di ruang kelas, apakah mereka merasa kehilangan sosok seorang guru yang akan mengajarkan materi pelajaran yang baru atau mereka senang karena guru yang akan mengajar di kelas mereka tidak datang. Atau bagaimana jika kita menemukan guru yang sudah lebih dulu masuk sebelum bel berdering, apakah mereka akan bersemangat untuk mengikuti pelajaran atau sebaliknya. Jack Kanfield seperti ditulis De Porter (2001 : 96), menemukan kenyataan bahwa seorang anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
atau dukungan setiap harinya. Jadi satu komentar positif berbanding enam komentar negatif. Bagaimana mungkin seorang pembelajar bisa belajar secara maksimal dan mengoptimalkan seluruh potensi dirinya dalam kondisi yang tertekan bahkan ketidaksenangan dalam belajar. Inilah yang menarik para pakar untuk melakukan penelitian dan pencarian metode baru. Penggunaan media musik untuk merangsang otak adalah salah satu alternatif. Sebelum seseorang memasuki esensi dalam pembelajaran, hal yang tak perlu dilupakan adalah kesanggupan untuk menerima kenyataan dan mengubahnya sesuai dengan paradigma baru. Ini tak mudah karena berkaitan erat dengan kebiasaan pembelajaran dan pembentukan sikap guru dalam menghadapi perubahan yang mungkin dalam banyak sisi mengubah karakternya. Apabila ada stigma bahwa guru dan murid adalah mitra (bukan subjek-objek) bagaimana agar sikap feodal yang sudah tertanam cukup lama dalam guru-guru akan berubah menjadi sifat kemitraan, bersikap kooperatif dan tegas dalam menerapkan aturan dan peraturan di dalam kelas. Ada konsekuensi yang harus dijalani guru, misalnya guru harus siap dikritik karena guru tidak lagi menjadi pemegang otoritas kebenaran; guru harus menghargai murid sebagai potensi yang sejajar dengan dirinya; dalam pergaulan guru tidak memposisikan diri dengan jarak yang diametral; guru harus siap membiasakan diri menghadapi murid sebagai objek pembelajar yang sejajar; guru harus siap dengan pluraritas dan keanekaragaman cara berpikir dan menghargainya dalam bejana yang setingkat; bahkan guru harus menyadari perubahan nilai simbolis yang dicerminkan murid atas apresiasinya tentang rasa hormat, sopan santun, dan sejenisnya yang selama ini dianut dalam bentuk lain, berdebat, radikalisasi konsep, kritis, dan substansialis. Sekali lagi, untuk mendukung terciptanya lebih banyak lagi anak cerdas, alangkah pentingnya orang tua dan guru menyadari how to learn selain what to learn. Khusus untuk orang tua, merekalah yang harus menjadi orang pertama yang bisa menerapkan revolusi pembelajaran ini, misalnya mendampingi anak saat belajar di rumah, berbincang-bincang dengan anggota keluarga baik di rumah maupun
di luar rumah, dan lain-lain. Cari dan galilah kecerdasan buah hatinya, lalu ajarkan mereka how to learn. Kembangkan seluruh kecerdasan anak sebelum usia 12 tahun, setelahnya baru difokuskan pada satu bidang tertentu sesuai dengan kecerdasan sang anak.
Simpulan Kesimpulan Tidak dapat disangkal lagi bahwa saat ini terjadi revolusi pembelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ini terlihat dengan perkembangan teknologi yang telah mempengaruhi seluruh pola kehidupan masyarakat bahkan budaya kita, termasuk di bidang pendidikan. Masyarakat Indonesia, dalam memasuki era industrialisasi dan kemudian era informasi, haruslah melek teknologi, tidak hanya dalam arti menjadi konsumen produk teknologi, melainkan pula sebagai masyarakat yang mampu menguasai dan mengembangkan teknologi. Sumbangan pendidikan untuk terwujudnya masyarakat yang maju dan melek teknologi sangat penting sekali. Namun, sementara itu kebijakan dan program pendidikan belum mampu memberikan respon yang memadai. Di sisi lain, kemajuan dan pemanfaatan teknologi di dalam pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada khususnya tidak dapat dihindari. Teknologi memang mendudukkan guru pada peranan yang berbeda dari sebelumnya; fungsi dan peranan guru diharapkan lebih banyak merancang dan mengembangkan desain pembelajaran (designer), mengelola pembelajaran (manager), tutor dan motivator. Dengan kata lain, di samping mengembangkan kemampuan emosional dan sosial peserta didik, kehadiran guru sangat diperlukan dalam membuat rancangan belajar mengajar, mengelola proses, dan melakukan evaluasi hasil belajar-mengajar peserta didik. Manfaat penggunaan teknologi untuk mencapai tujuan belajar-mengajar ditentukan oleh kemampuan guru dalam mendayagunakannya secara tepat. Oleh sebab itu, pemanfaatan teknologi dalam bidang pendidikan memang menuntut sejumlah persyaratan yang cukup berat. Antara Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
95
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
lain, diperlukan biaya investasi yang cukup besar dan tenaga (sumber daya manusia) yang terampil dan mahir dalam mengelola dan mengembangkannya dengan kreatif dan tepat guna. Namun perlu diingat bahwa pendidikan pun merupakan investasi jangka panjang, dan karena investasi sarana dan prasarana pendidikan harus diperhitungkan dengan daya guna hasil pendidikan di masa depan. Pemanfaatan teknologi dalam bidang pendidikan akan terwujudkan dengan tersedianya berbagai sumber belajar dalam berbagai bentuk dan jenis (multimedia resources for learning). Hal ini menuntut adanya perubahan dalam lembaga pendidikan dan pola pembelajaran. Perubahan ini tentu saja pada gilirannya menuntut perubahan kualifikasi pada tenaga kependidikan, tidak hanya mereka yang ada di lapangan, melainkan pula mereka yang mengelola dan menentukan kebijakan pendididikan.
Saran Mewujudkan hal tersebut di atas memang bukan perkara sederhana dan mudah. Diperlukan usaha keras dan dukungan dari semua pihak baik dari guru, orang tua (masyarakat), dan juga pemerintah. Pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan perlu meningkatkan kualitas serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu dengan cara penyediaan infrastruktur dan sarana-prasarana pendidikan, melatih guru untuk mengajar tidak lagi dengan cara konvensional (melainkan deng-an menerapkan kecerdasan majemuk) dan mengembangkan teknologi informasi dan media pembelajaran. Kebijakan pendidikan tersebut juga tidak terlepas dari peran serta orang tua (masyarakat) dalam mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas pendidikan di Indonesia. Tulisan ini hendaknya dapat menjadi rujukan dan inspirasi bagi para guru, bahwa guru memegang peranan yang amat penting dalam menerapkan revolusi pembelajaran tersebut dan yang lebih penting lagi, guru harus mampu memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran tertentu karena guru
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi. Di samping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal dan guru juga harus belajar secara terus-menerus untuk menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalisnya. Sehingga kemajuan dan pemanfaatan teknologi di dalam pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada khususnya tidaklah sesuatu yang patut dihindari, melainkan dapat dijadikan peluang untuk membuat dan mengembangkan rancangan belajar mengajar, mengelola proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil belajar membelajarkan peserta didik.
Daftar Pustaka De Porter, Bobbi & Mike Hernacki. (2001). Quantum learning: Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung : Kaifa Sunggiardi, M.S. (2010). e-Pendidikan untuk Indonesia maju. Dalam: Education for change – pendidikan untuk perubahan: Terus berkarya menjadi berkat. Jakarta : BPK Gunung Mulia http://dc435.com/2012/01/25/revolusipembelajaran-saatnya-fokus-pada-howto-learn/, diakses 23 April 2013. htt p: //fb-ed uc at ion. com/pemanfaat anteknologi-informasi-untuk-meningkatkan-kualitas-dan-efektifitas-pendidikan.html, diakses pada 8 Mei 2013 http://file.upi.ed u/Direktori/FPBS/ JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_ INDONESIA/197204031999031D A D A NG/Gur u_par a_juar a. pd f, diakses pada 8 April 2013 http://www.artikata.com/arti-347869revolusi.html, diakses 23 April 2013. Lucy, Bunda. (2009). Mendidik sesuai dengan minat dan bakat anak (Painting your children’s future). Jakarta : Tangga Pustaka Meier, Dave. (2003). The accelerated learning handbook. Panduan kreatif dan efektif
Revolusi Pembelajaran: Tantangan Atau Peluang?
merancang program pendidikan dan pelatihan (terjemahan). Bandung : Kaifa. Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta : Kencana. Sanjaya, Wina. (2009). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta : Kencana Lucy, Bunda. (2009). Mendidik sesuai dengan minat dan bakat anak (Painting your children’s Future). Jakarta : Tangga Pustaka
Meier, Dave. (2003). The accelerated learning handbook. Panduan kreatif dan efektif merancang program pendidikan dan pelatihan (terjemahan). Bandung : Kaifa Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta : Kencana Sanjaya, Wina. (2009). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta : Kencana
Jurnal Pendidikan Penabur - No.20/Tahun ke-12/Juni 2013
97