Kutipan dari Buku Soemarsono –
Revolusi Agustus: III. Perjuangan sesudah Jepang Menyerah 1. Proses Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta Amir Sjarifuddin Calon Pertama Proklamator dari Kelompok Pemuda Jepang menyerah pada Sekutu dalam Perang Dunia Kedua pada tanggal 14 Agustus 1945. Para pemuda pada malam itu segera mengadakan rapat yang berlangsung tidak lama, karena kita sudah mempunyai pola. Yang menguntungkan kita waktu itu adanya kesatuan pola momentum proklamasi. Sebelumnya kita sudah bulat, kalau Jepang menyerah, kita menyatakan Proklamasi Indonesia Merdeka. Dan negara mana saja, termasuk Belanda tidak bisa menjajah kita kembali. Kita tidak mau diserahkan sebagai inventaris kepada Belanda. Ada cerita tentang kegiatan pemuda untuk persiapan kemerdekaan versi dari dua orang kawan yang saya tanggapi sama, yaitu dari Aidit dan Wikana. Dua tahun sebelum Jepang menyerah kita sudah mempunyai gambaran, karena kita sudah tahu Jepang akan kalah perang dan pada waktu Jepang kalah perang, itulah momen kita untuk melakukan proklamasi kemerdekaan. Kalau tidak ada momen seperti itu atau seandainya secara internasional tidak ada situasi itu, sulit untuk merdeka. Lihat saja negeri-negeri lain misalnya India, Filipina, ketika itu belum bisa memproklamasikan kemerdekaan. Yang terlibat dalam kejadian bulan Agustus itu ada kelompok-kelompok pemuda dari golongan yang kemudian bergabung dalam Partai Murba seperti Soekarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Armunanto lalu Sidik Kertapati waktu itu masih Murba. Ada pula dari golongan yang kemudian menjadi PSI. Kelompok ini menggerakkan pemuda di kalangan intelek, intelek yang sudah ter-secure di kalangan mahasiswa di antaranya Subadio Sastrosatomo, Dayino dari Yogya dll. Juga dari golongan yang kemudian menjadi PKI, a.l. Aidit, Trimurti, Sakirman, Wikana. Aidit waktu itu masih muda, paling muda. Dia sudah turut serta dan dihormati, karena kesediaannya berkorban itu. Hanya saya waktu itu sudah di Surabaya. Saya sudah dikirim untuk membantu gerakan di Surabaya itu. PKI bergerak di kalangan buruh. Ah waktu itu kita pemuda bersatu. Kalau cuma di atas saja, intelek saja tidak bisa. Buruh dan yang di desa-desa itulah yang bersedia mati, mati melawan Jepang, itu diorganisasi oleh PKI. PKI pada saat itu ilegal, pimpinannya Subandi Widarta, dari Jawa Timur.
1
Kami sudah bertekad dan menyadari bahwa kami tidak mau dijajah kembali. Jadi bukan Bung Karno dan Hatta, bukan senior elit di atas itu, tetapi kami pemuda-pemuda yang berumur dua puluh tahunan yang sudah bertekad tidak mau dijajah kembali. Kami sudah pengalaman dengan penjajahan Belanda seperti itu, Jepang lebih jahat lagi. Semboyan “Merdeka atau Mati” itu bisa menggerakkan jutaan massa rakyat. Kalau nggak ada momentum yang baik seperti itu belum tentu kita secepat ini merdeka, sebab melawan Jepang itu juga berat. Itu pemberontakan Singaparna, pemberontakan yang terakhir itu Supriadi, PETA di Blitar, itu gampang saja ditindas oleh Jepang. Ada juga Pimpinan Comite Central PKI-ilegal waktu itu, namanya Soekajat, Abdoel Azis dan Pamoedji. Pimpinan Comite Central, wah buat kita mereka itu orang-orang yang terhormat sekali, tapi mereka itu tanpa proses pengadilan sudah dibunuh sampai habis oleh Jepang di Penjara Kalisosok Surabaya. Jadi sekali lagi, jawaban kita pemuda waktu itu, ini momentum yang paling baik, begitu Jepang kalah perang, begitu kita nyatakan Indonesia merdeka, kita golongan pemuda. Setelah ditetapkan momen proklamasi, lalu yang menjadi pembicaraan selanjutnya timbul pertanyaan dalam rapat tanggal 14 Agustus 1945 itu, siapa yang musti memproklamasikan dan yang menjadi presiden RI yang pertama? Pertama kali yang dicalonkan dalam rapat waktu itu adalah Bung Amir Sjarifuddin. Semua pemuda menerima. Perwakilanperwakilan pemuda yang terdiri dari Soekarni, Adam Malik, Ibrahim dari grup yang di kemudian hari menjadi Partai Murba, ada dari PSI Subadio dan ada dari PKI. Yang dari PKI memang tidak terbuka sebagai PKI, karena PKI ilegal waktu itu. Tapi itulah sebenarnya kelompok-kelompok pemudanya waktu itu. Mereka itu semua mengemukakan dan sependapat calon yang pertama adalah Amir Sjarifuddin, dia pemimpin Gerindo dan anti-fasis. Semua sepakat menerima Amir sebagai calon presiden. Dia dikenal kadernya Bung Karno. Bung Amir itu kan resminya kadernya Bung Karno dan orang nomor tiga. Moh Yamin kadernya Bung Karno dan orang nomor dua, sejak di Partindo dulu. Yah Bung Karno, kemudian Yamin lalu Amir. Amir kan dulu juga Partindo. Cuma Soekarni waktu itu yang mengemukakan pertanyaan: “Bung Amir di mana?” Dia sebenarnya juga tahu bahwa Bung Amir waktu zaman Jepang ditangkap dan ditawan oleh Jepang di Penjara Lowokwaru di Malang. Soekarni waktu itu mengemukakan: “Bagaimana Amir sebagai calon presiden ada di Penjara Lowokwaru di Malang, kalau umpamanya dia diketahui oleh Jepang lalu dibunuh. Nah kita mempunyai Presiden yang pertama sudah dibunuh, bagaimana bisa. Jadi mana lebih baik?” Kita kemudian juga tidak bisa membantah itu, karena kita masih belum ada kemampuan untuk mengambil Amir dalam waktu singkat dari penjara itu. Dia masih ada di tangan
2
Jepang saat tanggal 14-15 Agustus 1945. Amir sebenarnya sudah dituduh komunis oleh Jepang, tapi Bung Karno dan Hatta meringankan. Walaupun hukumannya telah diubah menjadi seumur hidup, tapi bagaimanapun Jepang pernah menuduh dia komunis dan kalau benar Amir akan memproklamasikan berdirinya Republik Indonesia dan akan menjadi Presiden kemudian bisa dibunuh, maka akan rusak juga gerakan proklamasi ini. Ya, itulah jalannya sejarah pencalonan presiden sebagaimana yang saya utarakan. Kalau seandainya Amir Sjarifuddin tidak di dalam penjara, maka Amir Sjarifuddin yang akan menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Sementara itu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pasukan laskar rakyat Malang berhasil mendobrak Penjara Lowokwaru dan berkoordinasi dengan kawan-kawan di dalam penjara membebaskan Amir Sjarifuddin dan tawanan lainnya. Amir Sjarifuddin diantarkan sendiri ke Jakarta oleh Rudhito Sukardi Sastrodiwirjo, pimpinan laskar rakyat Malang. (Rudhito Sukardi Sastrodiwirjo … Sebagai anggota MPRS dari Angkatan ’45, bersama-sama Chaerul Saleh, Wikana ikut mewakili Indonesia ke Perayaan Ulang Tahun RRT ke-16. Tanggal 10 Juli 1986 pada usia 66 tahun meninggal dunia di Amsterdam.) Perjalanan dari Malang ke Surabaya dengan mobil Mr. Soenarko, Residen Malang dan selanjutnya dengan keretaapi sampai Jakarta, ke Markas API Menteng 31 dan ke Gedung Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur Jakarta. Sutan Sjahrir Calon Kedua Proklamator dari Kelompok Pemuda Lalu Subadio Sastrosatomo mengemukakan bagaimana kalau Sjahrir yang menjadi presiden. Yah semua sependapat juga, sebab Sjahrir tidak bekerjasama dengan Jepang. Dan dia juga melakukan gerakan di kalangan mahasiswa. Jadi pilihan kedua Sutan Sjahrir yang akan dicalonkan sebagai Presiden. Kalau Sutan Sjahrir menerima usul dari kelompok pemuda maka Sutan Sjahrir-lah yang memproklamasikan Republik Indonesia. Setelah Sjahrir diterima sebagai calon proklamator, kemudian dikirim delegasi ke tempat tinggal Sjahrir. Dia waktu itu pagi-pagi masih main tenis. Utusan pemuda ini menunggu sampai Sutan Sjahrir pulang dari main tenis lalu baru bisa ngomong, jadi membuang waktu juga. Lalu langsung disampaikan putusan rapat oleh delegasi pemuda itu. Setelah Sutan Sjahrir mendengar usul dan pendapat pemuda dengan panjang lebar, lantas Sutan Sjahrir menjawab: “Saya pikir orang yang paling tepat itu Soekarno-Hatta.” Loh, mundur Sutan Sjahrir, dia tidak langsung menolak. Kita waktu itu juga mempunyai pikiran: “Apakah Sutan Sjahrir takut, tidak mau mengambil risiko, apakah begitu?” Tetapi dia bilang bahwa yang paling tepat adalah Soekarno-Hatta. “Mengapa?”, kata Sutan Sjahrir ini: “Sebab kita memerlukan kekuatan.“
3
Bagaimanapun memang ada alasannya yang masuk akal juga. Kalau Soekarno-Hatta itu yang memproklamasikan akan menguntungkan, karena Korps Polisi masih utuh, belum dilucuti, walau Peta sudah dilucuti. Polisi meskipun orang Indonesia, resminya polisi Jepang. Tapi pengaruh Soekarno di zaman Jepang itu sebagai pemimpin nasional di kalangan polisi itu juga besar. Lalu residen-residen zaman Jepang itu, shucokanshucokan, pegawai-pegawai tinggi, sudah ada bangsa Indonesia. Jadi kita sudah punya modal polisi, pegawai tinggi begitu. Artinya kita sudah mempunyai modal untuk mendukung Republik Indonesia itu, kalau Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Hanya waktu itu yah masuk akal juga buat pemuda itu. Soekarno, Hatta itu mula-mula termasuk Pemimpin Poetera, singkatan Poesat Tenaga Rakjat, pada zaman Jepang itu, lalu mereka masuk dalam Djawa Hokokai - Kebaktian Rakjat Djawa - yang itu semua berarti sudah menjadi perwakilan resmi yang ada hubungannya dengan kekuasaan Jepang, mereka itu pemimpin yang diakui oleh Jepang. Jadi Pemimpin Utama dahulu adalah Empat-Serangkai, 4 orang yang dipilih oleh Jepang yaitu Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kiyai Haji Mansoer. Ketika itu Soekarno-Hatta adalah Ketua dan Wakil Ketua Chuo Sangi In – Badan Penasehat - dan itu oleh Jepang sudah diberi autoritas, itu pertimbangannya. Tetapi yang menyebabkan pemuda ini menerima argumentasi Sutan Sjahrir ini karena polisi. Polisi masih intakt, ada korps polisi istimewa, ada komisaris-komisaris, ada inspektur-inspektur polisi yang bersenjata, itu memang penting, kita punya modal itu. Lalu dalam menanggapi argumentasi Sutan Sjahrir ada keraguan dari pemuda-pemuda. Sebab di kalangan pemuda ketika itu, kalau terhadap Soekarno-Hatta itu golongan pemuda sudah menganggap dan mengatakan pada Sjahrir: “Mereka itu adalah kolaborator Jepang dan sulit untuk diterima oleh dunia internasional juga karena kerjasama mereka dengan Jepang sudah erat.” “Kalau soal itu yah nanti itu ‘kan terserah pada kita, kalau umpamanya kita mau mengganti Soekarno-Hatta, itu adalah soal kita, pokoknya yang sekarang ini Soekarno-Hatta baiknya yang memproklamirkan.”, ungkap Sjahrir untuk meyakinkan wakil pemuda. Ini saya tidak turut di situ tetapi saya mendengar dari Wikana, Aidit, masalah dialog antara Sjahrir dan wakil-wakil pemuda ini. Soekarno-Hatta ini sudah dikenal oleh rakyat sebagai politikus, lalu ‘kata’ yang membuat yakin golongan pemuda ini adalah bagaimanapun musti kita punya modal, polisi bersenjata. Memang Peta tidak disebut karena Peta itu sudah dibubarkan, tetapi polisi penjajah itu masih ada, residen-residen yang diangkat oleh Jepang bisa mendukung Soekarno-Hatta, pegawai-pegawai Jepang juga, jadi memudahkan pengambilalihan kekuasaan, sebab
4
proklamasi mesti diikuti dengan pengambilalihan kekuasaan. Dan kedudukan SoekarnoHatta itu sebenarnya bagus, seandainya mengadakan perlawanan sedikit saja akan menguntungkan golongan pemuda, karena kedudukannya Soekarno-Hatta itu juga susah ditolak oleh Jepang, Jepang mungkin akan membantu juga, itu kata Sutan Sjahrir. Cuman sebenarnya berat juga untuk menerima Soekarno-Hatta, karena Soekarno-Hatta ini boleh dikatakan sudah terlampau dekat dengan Jepang. Ha, bicara mengenai setiap orang itu musti ada kelemahan juga. Jadi Bung Karno ini disamping hebatnya itu, inspirator saya juga Bung Karno ini, kita juga harus mengenal Bung Karno dalam sejarah. Sebab kalau itu tidak dikemukakan apa adanya, itu bukan sejarah. Nah ceritanya begini. Waktu Jepang masuk saya juga sudah menjadi muridnya Bung Karno. Inspirasi di kalangan anak-anak yang berjuang kebanyakan dari Bung Karno, jadi kalau Aidit mengatakan saya anak muridnya Bung Karno, tidak salah dia. Sebab kita anak-anak muda terkena inspirasi Bung Karno waktu melawan penjajah. Tetapi pernah kita kecewa pada Bung Karno dua kali. Sekali tahun 1935 dia diancam oleh Belanda mau dibuang ke Digul, dia menandatangani satu pernyataan kepada Hoofdkwartier - Markas Besar - waktu itu, bahwa ia tidak akan aktif dalam politik lagi, tetapi Bung Karno mau aktif saja di bidang agama di Muhammadiyah. Itu marah massa waktu itu. Potret-potret Bung Karno dibantingi di jalan-jalan. Tetapi itu bukan cacat dari Bung Karno, sebab waktu itu dia belum mantap dalam politik. Tapi waktu zaman Jepang kita kecewa yang kedua kalinya, yaitu kok Bung Karno mau kerjasama dengan Jepang. Padahal sebelumnya Bung Karno sudah berbicara dalam pidatonya: “Yang lebih jahat dari imperialisme Belanda ini adalah ini imperialisme Jepang. Si kate pendek.”, ini ucapan dia sebelum Jepang datang. Tetapi setelah Jepang datang, pemimpin-pemimpin nasional ini dikumpulkan lalu diajak bekerjasama oleh Jepang, Bung Karno mau. Yang tidak mau pada waktu itu Tjipto Mangunkusumo. Pada waktu Bung Karno mau bekerjasama dengan Jepang kami kecewa. Kecewa karena kerjasamanya selama tiga tahun perjalanan penjajahan Jepang di Indonesia. Sekarang di negeri Belanda banyak orang yang mempunyai tulisan-tulisan tentang korban zaman Jepang akibat pemimpin-pemimpin yang mau membantu Jepang terutama dalam penyerahan kaum muda itu untuk menjadi romusa dan Heiho. Tetapi baiklah kalau Bung Karno mengatakan tracé baru, kita tidak bisa konfrontasi, sebab menurut Bung Karno resminya kita bekerjasama dengan Jepang, tetapi sesungguhnya kita melawan Jepang.
5
Mengenai pencalonan Bung Karno sebagai presiden, PKI tidak termasuk yang memilih Bung Karno. Jadi waktu itu Wikana, Aidit, Sakirman tidak ada yang mengungkapkan supaya Bung Karno yang jadi Presiden. Kami waktu itu pikirannya sama begitu juga, artinya saya juga tidak ada pikiran memilih Bung Karno, karena Bung Karno waktu itu dalam pandangan kita sudah jelek, zaman Jepang korban romusa begitu banyak, waduh, sudah susah membela Bung Karno, dan pada waktu detik-detik Proklamasi itu kita tidak ada pikiran Bung Karno yang kita pilih sebagai Presiden, jadi tidak ada yang memilih. Kalangan pemuda memang ada hubungan dengan Bung Karno, tapi sebenarnya tidak begitu memuaskan hasilnya. Saya ambil contoh peristiwa. Itu kan Jepang ini janji-janji terus saja. Saya pada zaman Jepang itu sudah berani ngomong dengan massa bahwa Jepang itu hanya dari janji ke janji saja mau kasih kemerdekaan ke Indonesia. Orang sebenarnya sudah tidak percaya, tapi Bung Karno itu masih percaya. Kalau mau melawan Jepang mestinya Bung Karno bekerjasama dengan kita yang bergerak ilegal, karena kita yang melawan Jepang. Bung Karno tahu siapa orang-orangnya dari kelompok pemuda yang anti-Jepang. Tetapi Bung Karno percaya pada Jepang dan bukan pada pemuda-pemuda dan ini sebenarnya menyanggah teori dia sendiri tentang tracé baru, yang merupakan langkah baru untuk bekerjasama dengan Jepang. Semua ini keterangan dari Aidit, dari Wikana dan menurut pendapat saya, mereka berdua tidak bohong, karena pemuda-pemuda itu juga yang menekan Bung Karno sehingga terjadi pertengkaran mulut. Yah sekarang ada orang yang tidak rela kalau Bung Karno dikatakan sebagai “kolaborator” Jepang dan Bung Karno memang membantah, bahwa dia berkolaborasi dengan Jepang. Kalau ditanyakan kepadanya apa yang dimaksudkan dengan tracé baru dan kalau dilihat apa yang terdapat dalam tulisannya, ternyata dia juga menggunakan pemuda-pemuda yang bekerja di bawah tanah. Jadi resminya dia bekerjasama dengan Jepang, tetapi juga bekerjasama dengan gerakan pemuda yang ilegal. Apakah sekutu tidak akan menjadikan masalah itu suatu halangan? Bung Karno itu oleh Sekutu juga dianggap “war criminal”( Penjahat perang). Sampai sekarang masih ada suara begitu. Itu sejarah juga. Tentang benar tidaknya itu soal lain lagi. Tapi itu fakta sejarah. Dan orang, termasuk Bung Karno, tidak pernah memungkiri kerjasama dengan Jepang. Cuma Bung Karno mengatakan satu rumusan “Saya menempuh tracé baru” – arah baru. Arah baru itu artinya, dia resminya kerjasama dengan Jepang, tetapi dia sebenarnya menempuh jalan tidak membantu Jepang. Tetapi fakta-fakta sejarah ini, sulit juga dia ingkari. Korban zaman Jepang itu tidak sedikit. Korban dari rakyat yang menjadi romusa dengan keluarganya itu enam juta, belum orang-orang yang ditangkapi Jepang, termasuk
6
Pamoedji, Soekajat, Abdoel Azis, orang-orang yang dibunuhi Jepang, banyak juga. “Lalu bagaimana soal kepemimpinan Soekarno-Hatta kalau terus jadi presiden?” tanya wakil pemuda. “Hah itu gampang, itu soal nanti”, jawab Sjahrir. Nah itulah lahirnya kemudian, mengapa Soekarno-Hatta yang jadi presiden dan wakil presiden. Dan beberapa bulan setelah proklamasi Sjahrir memang menjadi perdana menteri dan sistem pemerintahan dari presidentil dirubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Sutan Sjahrir Mencalonkan Soekarno-Hatta sebagai Proklamator Kemudian datang delegasi pemuda ke Bung Karno dan Hatta. Yang ditunjuk waktu itu Aidit dan Wikana untuk datang ke Pegangsaan Timur, tempat kediaman Bung Karno. Ini yang saya dengar laporan dari Aidit dan Wikana. Waktu Aidit bersama Wikana ini datang atas nama delegasi pemuda untuk meyakinkan Bung Karno bahwa Jepang sudah menyerah, begini bicaranya: “Ini Bung, Jepang sudah menyerah tanggal 14 ini dan kami pemuda memutuskan harus ada proklamasi dan kami memutuskan Bung yang menjadi proklamatornya sebagai presiden yang pertama”, disampaikan begitu. “Itu kalian tahu Jepang, eh Nippon sudah kalah dari mana?”, kata Bung Karno menanggapi uraian utusan pemuda itu. “Loh masak begitu Bung tidak percaya kepada kami?” jawab wakil pemuda itu. Anak-anak muda ini sudah tèken mati semua. Kalau mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, konsekuensinya bertempur melawan Jepang. Pemuda-pemuda kita malam itu tidak tidur dan mereka buru-buru menemui Bung Karno dengan maksud supaya dia jangan sampai menunda-nunda waktunya untuk memproklamasikan kemerdekaan. Selama pembicaraan itu sempat terjadi keributan dengan Soekarno. Karena merasa diperlakukan secara kasar, Bung Karno sampai bilang: “Seret saja saya sampai ke ujung sana dan habisi saya.” “O bukan begitu maksudnya.”, jawab utusan pemuda itu. Nah Bung Karno bilang, bahwa dia baru datang dari Saigon. Di sana bertemu dengan Marsekal Hisaichi Terauchi (Panglima Tertinggi Balatentara Jepang di Timurjauh). Hari-hari ini akan diproklamasikan, Jepang akan memberikan hadiah kemerdekaan. Jadi kemerdekaan Indonesia macam itu yang dipikirkan Bung Karno waktu itu. Ya dengan pandangan seperti itu lalu terjadi clash dengan pemuda. Tidak mau proklamasi, tapi menunggu janji dari Jepang. Ini fakta sejarah yang terjadi pada tanggal 15 Agustus 1945. Dia kurang percaya dengan adanya gerakan rakyat ini, gerakan pemuda yang di bawah tanah itu, tapi percaya kepada Jepang. Dan kalau tetap mengikuti mereka, maka tidak akan ada proklamasi. Jepang menyerah tanggal 14 Agustus 1945 dan baru terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945 itu ada proklamasi, delay atau tertunda tiga hari setelah menurut sejarah utusan pemuda itu melaporkan kepada induk kelompok pemuda. Dan akhirnya diputuskan dipaksa saja. Diculik. Itulah rencana Rengasdengklok.
7
Nah dari cerita inilah akhirnya terjadi sejarah, mengapa pemuda memutuskan untuk menculik saja dan memaksa Bung Karno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok agar mau memproklamasikan. Seandainya Bung Karno mau, tidak akan sampai dipaksa ke Rengasdengklok. Di Rengasdengklok terjadi sandiwara. Bung Karno kalau mendapat tekanan kayak begitu dari pemuda gampang dia menerima. Tapi Hatta yang keras. Waktu itu Bung Karno kan bersama Hatta. Jadi di Rengasdengklok itu Wikana seolah-olah komandan pemuda di situ. Datanglah barisan pemuda dan bertanya: “Bagaimana pemimpin kita sudah mau proklamasi belum? Ini kita sudah bertempur, mati banyak!” Maksudnya supaya mereka mau bertindak. Ini ceritanya, saya tidak ngerti itu. Itu Hatta kemudian sampai marah, karena dia menanggapi ini kok main-main dengan pertempuran. Tapi akhirnya toch Hatta mau bersama Soekarno menandatangani Proklamasi. Sementara itu ada lagi kejadian di Jakarta. Setelah Bung Karno dan Hatta tidak ada di tempatnya, mereka diketahui oleh Jepang, kemudian dicari oleh Jepang. Achmad Subardjo waktu itu masuk intel Jepang, jadi dia musti tahu di mana Bung Karno. Akhirnya dia tahu juga, kalau Bung Karno itu di Rengasdengklok. Alasannya diberitahukan pada Jepang, kalau proklamasi di Jakarta dikhawatirkan akan terjadi bentrok dengan Jepang. Jadi itu alasannya. Lalu Jepang lewat Maeda (Laksamana Muda Maeda Tadashi adalah Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jepang di Jakarta.) waktu itu menjamin, boleh proklamasi di Jakarta. Kemudian Soekarni yang mengambil Bung Karno dari Rengasdengklok dibawa ke Jakarta, ke Pegangsaan Timur 56. Itulah sebabnya mengapa Proklamasi baru terjadi pada tanggal 17. Mestinya, kalau Bung Karno mau proklamasi bisa dilangsungkan pada tanggal 15 Agustus 1945. Akhirnya proklamasi diselenggarakan di Pegangsaan Timur, tapi dengan jaminan. Kalau umpamanya Bung Karno itu masih menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, itu kan artinya kemerdekaan kita itu ekor dari Jepang. Sekutu bisa menyebutnya: “Waah ini anak fasis.”, tidak akan diakui, malah bisa jadi ditumpas. Pengakuan Kemerdekaan Indonesia yang dimaksud ini bukan pengakuan dari Jepang, tetapi secara internasional. Negara yang merdeka itu membutuhkan pengakuan. Sebab kalau tidak ada pengakuan, tidak bisa mengadakan hubungan antar negara. Sama seperti suami-isteri, itu ada kalanya membutuhkan nikah, sudah dinikahkan, itu sudah diakui, oh ini suami-isteri. Itu, negara juga begitu, membutuhkan erkenning. Jadi yang dimaksud adalah pengakuan dunia internasional.
8
Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Jakarta Pada tanggal 19 September 1945 telah disiapkan rapat raksasa di Lapangan Ikada Jakarta, yang waktu itu tinggal menunggu kedatangan Bung Karno saja. Tetapi setelah Bung Karno datang, pengunjung rapat raksasa disuruh pulang oleh Bung Karno, karena tekanan dari Jepang. Kalau sampai dilangsungkan rapat itu, Jepang akan bertindak dengan kekerasan. Karena tidak mau pertumpahan darah, Bung Karno lalu bicara mengimbau rakyat supaya pulang. “Negara Indonesia sudah diproklamasikan dan pengambilalihan kekuasaan akan dilakukan oleh pemerintah dalam waktu secepat-cepatnya. Sekarang Saudara-saudara tercinta pulanglah!”, demikian pidato Bung Karno. Imbauan itu untuk mencegah terjadinya clash dengan pasukan Jepang yang memang sudah siap dengan senjatanya dan diancam dengan senapan mesin di Lapangan Ikada. Nah itulah peristiwa tanggal 19 September 1945, kegagalan rapat raksasa di Lapangan Ikada Jakarta. Saya mengatakan, kalau menyinggung soal Proklamasi, jangan Bung Karno dan Hatta saja yang disebut. Itu bukannya kita mengurangi pentingnya mereka menyatakan proklamasi dan sebagai proklamator mereka menjadi presiden dan wakil presiden. Itu tetap penting, tapi kalau menurut saya, jangan dihargai melebihi dari yang semestinya. Kita jangan melupakan yang di belakangnya itu. Ini kalau yang namanya sejarah, yang menjadi alasan mereka untuk bisa memproklamirkan itu adalah gerakan pemuda tahun empatpuluhlima yang turut dalam gerakan proklamasi. Wikana, Aidit, Sakirman, Soekarni, Chaerul Saleh, Subadio Sastrosatomo. Itu orang-orang yang aktif. Saya juga ikut menyiapkan dan aktif di Surabaya. Itu orangorang yang menjadi motor, yang menggerakkan adanya gerakan proklamasi. Momennya begitu Jepang kalah, terus proklamasi. Pemimpin Soekarno-Hatta menolak waktu itu. Itulah sebabnya terjadi sejarah mereka diculik itu. Lha kalau cuma Soekarno proklamator, founding father, Hatta, wakilnya, itu tidak saya kurangi. Itu sekarang sudah disanjung anak-anak kita, Bung Karno itu dapat penghormatan luar biasa, Hatta juga luar biasa. Tapi kita mesti tahu juga, yang sebenarnya bergerak, menggerakkan adanya itu adalah kelompok pemuda. Saya bukan ingin menonjolkan karena saya turut kelompok pemuda ini. Tapi ini sejarah. Kalau kita mau belajar dari sejarah sebagaimana adanya, fakta atau datanya mesti sama.
9
Tentang pandangan setuju, saudara anti atau tidak anti-komunis, itu masalah kedua. Tapi, Soekarni yang belakangan menjadi Murba, Chaerul Saleh, Adam Malik, Hanafi yang sekarang sudah tidak ada, mereka itu turut. Aidit, Wikana, Sakirman, Trimurti, Soemarsono turut sebagai gerakan dari kelompok komunis. Lalu ada lagi satu kelompok lagi, Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, Djohan Sjahruzah. Itu, di Surabaya ada tiga puluh pemuda kelompok Djohan Sjahruzah, mereka itu turut juga. Tanpa itu, tidak ada proklamasi. Ini fakta sejarah! Nah jadi gerakan itu bisa lahir lebih dulu dari bawah dan tidak musti partai. Memang sejarah itu sejarah perjuangan klas, itu tidak bisa dikurangi dan diungkiri. Tapi sejarah itu juga perjuangan massa. Jadi klas itu sebenarnya juga tidak bisa dipisahkan dari massa banyak yang bergerak. Jadi kalau Bung Karno programnya itu kan “Mencapai Indonesia Merdeka”. Gerakan massa yang revolusioner, bersama massa. Dikasih jiwa yang revolusioner supaya mau berrevolusi. Intinya dikasih teori pokok-pokok begitu, supaya rakyat ini gandrung kepada kemerdekaan dan mau merdeka, tidak bisa ditawar lagi, tidak mau dijajah lagi. Hah itu geestnya, jiwanya. Nanti sampai pada dorongan kemauannya. Dari revolutionaire wil, akhirnya akan melahirkan revolutionaire daad. Dan benar itu, kemerdekaan Indonesia lahir dari gerakan massa yang seperti ini. Sekali lagi saya kemukakan, bahwa pada tahun 1945 waktu Revolusi Agustus itu jangan Proklamatornya saja yang ditonjolkan, memang Proklamasi-nya itu dahsyat karena tanpa itu tidak akan ada negara secara formalnya. Tetapi latar belakangnya itu adalah gerakan pemuda. Kalau tidak ada pemuda yang berjuang, juga tidak bisa ada Proklamasi. Dan Proklamasi itu kalau cuma pernyataan saja, tidak ada artinya, tidak ada kekuatan konkret. Jadi dalam politik itu mesti ada kekuatan konkret, power, mesti ada kekuatan konkret. Nah, kalau kita punya kekuatan konkret maka siapa pun tidak akan bisa mengabaikan kita. Siapa pun termasuk juga lawan kita, mereka akan berhitung: “Wah ini mereka berat atau tidak?”, mesti mereka akan cari kompromi. Jadi kalau diteropong yang berjuang pada tahun 1945 itu adalah anak-anak kiri semua. Kalau yang kanan punya pertimbangan lain. Nanti kalau sudah merdeka aku bisa jadi residen atau aku bisa jadi pegawai tinggi apa begitu, maka dari itu mereka tidak akan berani berjuang, karena sudah punya pikiran begitu. Yang berani berjuang adalah mereka yang mempunyai ideologi, ideologi kemerdekaan, mau mati, mau risiko, mau mengorbankan diri, itu yang berjuang! Oleh karena itu ketika pada tahun 1945 waktu Revolusi Agustus itu di mana-mana memang patut ada Taman Pahlawan, karena mereka ideologinya itu
10
adalah ideologi pengorbanan, rela mati untuk kemerdekaan. Jadi mereka yang bersatu dengan rakyat, ada pikiran bersatu dengan rakyat, ada ideologi membela yang tertindas yang terhisap, mau melawan musuh - itulah yang dikatakan kiri. Ada yang menanyakan tentang peranan golongan pemuda Islam detik-detik proklamasi itu. Di kalangan pemuda Islam ada juga tokoh-tokohnya seperti Boechori di Jakarta, Soedibjo di Surabaya dan lain-lain yang bersatu dengan gerakan kiri. Jadi kiri semua. PKI itu kiri. Mereka juga menyebutkan dirinya kiri dan tidak mau disebut golongan kanan. Yang menyebutkan dirinya kanan waktu itu tidak ada. Sebab yang dikatakan”kanan” itu Masyumi. Gerakan-gerakan kanan di Indonesia waktu itu, yalah mereka yang mengharapkan Jepang akan membebaskan bangsa Indonesia, memberikan kemerdekaan. Banyak yang tidak menyangka, bahwa Masyumi itu lahir di zaman Jepang. Jadi bukan masalah Islam-nya, Islam itu digunakan. Atheis itu tidak anti-Tuhan, karena Tuhan tidak tampak, tetapi yang jelas mereka itu anti imperialis, sedangkan kepercayaan mereka berbeda-beda - pluralis. Memang golongan Islamnya waktu itu sebenarnya banyak yang dipengaruhi oleh Masyumi yang didirikan pada zaman Jepang itu. Masyumi dipakai oleh Jepang karena Masyumi ini bisa menggunakan agama untuk anti komunis. Dan Jepang itu, wah kalau terhadap komunis itu, itu walaupun dibelehi atau diapain yah, ini kayak perbuatan Suharto ini, diapa-apakan begitu, halal-halal saja. Jepang itu kejam sekali kalau mengenai komunis, tanpa proses hukum mereka dibunuh. Orang-orang kanan itu juga bilang berjuang untuk kemerdekaan. Saya bersama-sama mereka yang mempunyai cita-cita kemerdekaan negara Republik Indonesia untuk rakyat banyak sebab yang menderita zaman kolonialisme ini adalah rakyat banyak, itu kalau disebut secara klas, yah kaum buruh yang dihisap keringatnya, kaum tani yang tidak bertanah lagi karena feodalisme dipertahankan oleh kapitalisme itu. Rakyat banyak, rakyat banyak ini berapa banyak, mungkin lebih dari 90%. Kalau umat Islam mengatakan mungkin lebih dari 90% rakyat Indonesia ini beragama Islam, kalau secara klas yang tertindas atau yang menderita itu lebih dari 90%. Lho, sisanya apa tidak menderita? Sisanya kurang menderita, sisanya malah disuap oleh Belanda yang kolonial itu misalnya dijadikan bupati, pegawai-pegawai tinggi. Mereka hidupnya senang. Di zaman Belanda ada istilahnya kalau priyayi, poro yayi dia tidak begitu menderita. Bupati itu digaji 1.500 Gulden – mewah, itu lebih dari cukup untuk kehidupan tetapi itu ada berapa prosen yang demikian? Bung Karno dahulu memberikan inspirasi waktu saya masih muda: “Kolonialisme ini ibarat satu naga yang kepalanya di Indonesia
11
dan ekornya di negeri Belanda. Kepalanya makan kekayaan di Indonesia, beraknya di negeri Belanda berupa 600 juta Gulden setiap tahun.” Itu pengertian kolonialisme Belanda. Nah, yang paling menderita itu rakyat banyak. Yang sedikit orang, para bupati itu bukan melawan kolonialisme malah dipakai oleh Belanda menindas rakyatnya sendiri. Itu kenyataan masyarakat Indonesia, masyarakat kolonial! Masyarakat kolonial lain kira-kira sama seperti itu. Ini, pertama kali musti jelas untuk apa kita berjuang. Zaman Amir Sjarifuddin, kita berjuang tidak cukup untuk negaranya saja. Untuk negara dan rakyat. Apa gunanya negara merdeka tetapi rakyatnya tidak merdeka? Ada Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Dewan Perwakilan Rakyat segala macam, tetapi rakyatnya masih menderita terhisap. Modal asing masih menghisap rakyat Indonesia, itu namanya masih belum merdeka penuh. Rakyatnya miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan. Itu merdeka negaranya, istilahnya merdeka, tetapi rakyatnya belum merdeka. Ini untuk pemuda-pemuda, kalau tidak dimengerti, ini bisa terulang kembali. Kalau kita sekarang ini memandang ke atas, para elite, elite mana yang bisa diharapkan. Lha wong bobrok seperti itu, DPR saja tak memikirkan rakyat sedikit pun. Tidak sedikit pun memperjuangkan nasib rakyat. Tapi di kalangan pemuda-pemuda masih ada yang mau berjuang. Nah zaman Suharto itu sudah disebut neo-kolonialisme. Mereka belum tentu mau melawan neo-kolonialisme kalau mereka diuntungkan. Maka itu soal bangsa ini musti jelas, ada golongan bangsa yang tidak begitu tertindas dan golongan bangsa mayoritas yang tertindas. Secara istilah politik, sekarang ini jarang ada orang yang tidak bisa menerima adanya klas-klas. Tapi bagaimanapun soal kemerdekaan adalah juga masalah perjuangan klas. Revolusi 17 Agustus itu memang ada kekurangannya: rakyat sadar, rakyat menuntut, rakyat berkobar semangat merdekanya, tetapi tidak ada konsep yang benar. Belum ada satu konsep perjuangan nasional yang bisa menjadi program rakyat, program kemerdekaan rakyat. Baru sesudah Pak Musso datang ke Indonesia ada konsep program kemerdekaan yang disebut “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Barulah ada konsep tentang bagaimana perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya, yang disebut Revolusi Nasional Demokrasi dan bagaimana harus mencapai kemerdekaan yang 100% itu.
12