PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA ISLAM INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949 Skripsi Diajukan kepda Fakultas Adab untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora
Oleh: Ahmad Bayqhuni NIM: 102022024349 JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATTULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA ISLAM INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora
Oleh:
Ahmad Bayqhuni NIM:102022024349
Di bawah bimbingan
Pembimbing
Dr. Jajat Burhanudin NIP: 150 268 781
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
berjudul
”PERJUANGAN
GERAKAN
PEMUDA
ISLAM
INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Adab UIN ”Syarif Hidayatullah” Jakarta pada Tanggal 12 Mei 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu Syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta, 29 Mei 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, MA NIP: 150 247 010
Usep Abdul Matin, MA NIP: 150 288 391
Penguji
Pembimbing
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M. Hum NIP: 150 236 276
Dr. Jajat Burhanudin NIP: 150 268 781
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayattullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bekasi, 29 Mei 2008
Ahmad Bayqhuni
ABSTRAK Perjuangan bangsa Indonesia di dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah satu bentuk nyata nasionalisme yang kuat terhadap segala bentuk penjajahan. Perjuangan tersebut tidak hanya diberikan oleh kelompok nasionalis, akan tetapi kelompok Islam pun telah memberikan kontribusinya yang sangat besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada masa revolusi fisik 1945-1949 G.P.I.I. ikut berjuang mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Manifestasi perjuangannya bisa dilihat antara lain: yaitu Berjuang Melalui Balai Muslimin, Di Balai Muslimin inilah G.P.I.I. berjuang dengan memberikan sebuah ide pembentukan Pemuda Pelopor, gagasan tersebut dicetuskan oleh A. Karim Halim sebagai wakil ketua I G.P.I.I.. Tujuan dari pembentukan Pemuda Pelopor adalah untuk menggerakan revolusi di daerahdaerah bersama-sama dengan rakyat untuk menghadapi penjajah sehingga di daerah masing-masing diharapkan dapat terbentuk People’s Defence (pertahanan rakyat). Lebih lanjut lagi, perjuangan G.P.I.I. pada masa revolusi fisik bisa dilihat dari aktifnya G.P.I.I. di dalam organisasi kepemudaan yaitu BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia). BKPRI pada awal berdirinya sebagai wadah bagi para pemuda dan rakyat Indonesia untuk berjuang yang berdasarkan semangat persatuan sekaligus sebagai penolakan terhadap Pesindo yang diduga terdapat orang-orang komunis. Keikutsertaannya G.P.I.I. di dalam membentuk D.M.P.I.I. (Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia) pada tanggal 26 Oktober 1946 bersama-sama dengan Markas Tertinggi Hizbullah dan Markas Tertinggi Sabilillah adalah wujud nyata di dalam perjuangannya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada masa dewasa itu, pergolakan revolusi semakin menghajatkan pengorbanan di atas keimanan dan kepentingan negara serta keselamatan rakyat. Tujuan dari pembentukan D.M.P.I.I. adalah untuk merapatkan barisan di dalam melanjutkan perjuangan menghadapi Tentara Belanda. Penelitian ini pada dasarnya ingin menjawab permasalahan sekitar sejauh mana dan bagaimana pola perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada Masa Revolusi Fisik 1945 – 1949. Melalui Pengumpulan data tersebut dapat diketahui bahwa G.P.I.I. didalam usahanya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada masa revolusi fisik 1945-1949 telah memberikan kontribusi yang sangat besar dan urgen.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji dan syukur bagi Allah Azza wa Jalla sehingga atas perkenan-Nya jualah, karya tulis ini akhirnya bisa diselesaikan. Dan shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, teladan seluruh manusia. Dengan segala kerendahan hati serta niat yang tulus dan ikhlas, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. DR. Qomaruddin Hidayat, M.A, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta. 2. Bapak DR. H. Abdul Chair, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab yang telah memberikan persetujuan untuk penulisan skripsi ini. 3. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam dan Sekjur Bapak Usep Abdul Matin, SA,g, M.A, yang senantiasa mendukung dan memberikan kemudahan kepada penulis. 4. Bapak Dr. Jajat Burhanudin selaku pembimbing, yang telah meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Prof. Drs. Budi Sulistiono, M. Hum, selaku penguji yang telah menyediakan wktunya untuk menguji skripsi ini. 6. Bapak Umar Burhanudin selaku Pengurus GPI (Gerakan Pemuda Islam) yang telah banyak memberikan bahan-bahan tulisan yang dibutuhkan bagi penulis sehingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 8. Kepada segenap Pegawai Perpustakaan Nasional Tahun 2008 khususnya lantai IV (Ruang Micro Film) yang senantiasa membantu serta memudahkan penulis mencari data. 9. Ayahanda Samhari Armain dan Ibunda Dra. Siti Aminah yang dengan sabar dan penuh keikhlasan selalu mengiringi penulis dengan doa-doanya. 10. Pimpinan Perpustakaan UIN “Syarif Hidayatullah”, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta, Perpustakaan PB Nahdlathul Ulama dan Arsip Nasional, yang telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada penulis dalam mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. 11. Kakanda Nurman Hafiz dan Rifqiyati SE. dan Adik-adiku Miftahullah, Rahmi Ulfah, Nur Rizqiyah dan Nur Hilalliyah yang telah turut memberikan sumbangsihnya demi selesainya karya tulis ini. 12. Terima kasih juga kepada Monica Sartika yang telah banyak memberikan dukungan moril
sehingga penulis dapat kembali termotivasi dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini. 13. Sahabat-sahabatku diantaranya: Yusuf Sidik (Epray),
Bahrudin (Aji),
Testriono, Ahmad Ghazali, Fahrizal, Anas Yusman, Olman Dahuri, Hendri, Adiy Setiyadi dan Muhammad Nur. 14. Teman-teman Mahasiswa SPI angkatan 2002, yang selalu memberikan kenangan manis dan semoga silahturahmi diantara kita tidak akan berakhir. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ini. Untuk itu koreksi dan kritik membangun senantiasa
penulis harapkan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi setudi sejarah Islam di Indonesia dan dapat menambah khazanah kepustakaan Islam di Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama bagi penulis sendiri sambil mengharap ridha Allah, agar karya tulis ini merupakan amal yang bermanfaat. Amin.
Jakarta, 29 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………....... i KATA PENGANTAR…………………………………………………........ iii DAFTAR ISI………………………………………………………………... vi SINGKATAN – SINGKATAN .................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Perumusan dan Batasan Masalah............................................ 6 C. Tujuan Penelitian.................................................................... 7 D. Metode Penelitian................................................................... 7 E. Survei Pustaka........................................................................ 8 F. Sistematika Penulisan............................................................. 12
BAB II
KEADAAN SOSIAL-POLITIK PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN A. Munculnya Organisasi-organisasi Pemuda.............................. 14 B. Munculnya Multi Partai……………………………………… 19 C. Lahirnya Gerakan Pemuda Islam Indonesia…………………. 23
BAB III
BIOGRAFI KONTRIBUSI
INTELEKTUAL, KEDUA
PEMIKIRAN
TOKOH
GPII
DAN
HARSONO
TJOKROAMINOTO DAN ANWAR HARJONO A. Harsono Tjokroaminoto
a. Latar Belakang Kehidupan Harsono Tjokroaminoto.......... 32 b. Perjalanan Pendidikan Harsono Tjokroaminoto................. 34 c. Harsono Tjokroaminoto (Islamisme dan Nasionalisme sebagai alat pemersatu bangsa)........................................... 37 B. Anwar Harjono a. Latar Belakang Kehidupan Anwar Harjono....................... 40
b. Perjalanan Pendidikan Anwar Harjono.............................. 42 c. Persepektif Anwar Harjono tentang Pancasila dan Piagam
Jakarta
(Pembukaan
UUD
1945)........................................ 48 C. Kontribusi
Harsono
Tjokroaminoto
dan
Anwar
Harjono Di dalam G.P.I.I. a. Harsono Tjokroaminoto.................................................... 52 b. Anwar Harjono................................................................. 55
BAB IV
PERJUANGAN GPII PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945- 1949 A. Berjuang Melalui Balai Muslimin Kramat Raya 19................. 59 B. GPII Versus Pesindo; Membendung Pengaruh Komunis di Dalam Organisasi Kepemudaan……………………………... 68 C. Membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia…... 78
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan............................………………………………. 87 B. Saran-saran……………………………………………......... 89
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 90 LAMPIRAN………………………………………………………………… 93
SINGKATAN-SINGKATAN
API
: Angkatan Pemuda Indonesia
AMLG
: Angkatan Muda Listrik dan Gas
AMKA
: Angkatan Muda Kereta Api
AMRI
: Angkatan Muda Republik Indonesia
AMPTT
: Angkatan Muda Pos, Tilpon dan Telegraf
AM
: Angkatan Muda
AMS
: Algemene Middelbarea School
BKPRI
: Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia
BKR
: Badan Keamanan Rakyat
BP-KNIP : Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BPRI
: Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia
BPS
: Biro Pusat Statistik
DMPII
: Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
ELS
: Eropese Lagere School
FDR
: Front Demokrasi Rakyat
FNP
: Front Nasional Pemuda
GPII
: Gerakan Pemuda Islam Indonesia
Gerpri
: Gerakan Pemuda Republik Indonesia
HIS
: Hollandse Inlandse School
IPI
: Ikatan Pelajar Indonesia
KRIS KNIL
: Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi : Koninklijk Netherlands Indische Leger
KNIP
: Komite Nasional Indonesia Pusat
MULO
: Meer Uitegbreit Ondewijs
MPRS
: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
NICA
: Netherlands Indies Civil Administration
NU
: Nahdlathul Ulama
OSVIA
: Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren
Pesindo
: Pemuda Sosialis Indonesia
PPKI
: Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PII
: Partai Islam Indonesia
PNI
: Partai Nasioanal Indonesia
PETA
: Pembela Tanah Air
PRI
: Pemuda Republik Indonesia
RUU
: Rancangan Undang-undang
STI
: Sekolah Tinggi Islam
SI
: Sarekat Islam
SDI
: Sarekat Dagang Islam
SMT
: Sekolah Menengah Tinggi
SOBSI
: Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
SIAP
: Sarekat Islam Afdeling Pandu
TKR
: Tentara Keamanan Rakyat
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 timbulah keinginan dan gelombang kegembiraan baru dikalangan rakyat, terutama pemuda dan setiap warga negara, yaitu menganggap bahwa sudah menjadi tugasnyalah untuk melindungi Republik Indonesia dan kemerdekaan yang baru saja direbut.1
Banyak
organisasi
pemuda
bermunculan
pasca
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, baik yang beruang lingkup lokal maupun nasional, maupun menganut aliran agama tertentu seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia,2 gerakan ini pertama kali muncul untuk mewakili Pemuda Islam Indonesia dalam politik.3 Adapun organisasi-organisasi pemuda yang lahir pada masa itu ialah: Angkatan Pemuda Indonesia (API), AMLG (Angkatan Muda Listtrik dan Gas), Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), PRI (Pemuda RI), AMRI (Angkatan Muda RI), AMPTT (Angkatan Muda Pos, Tilpon dan Telegraf).4 Perjuangan Gerakan pemuda pada masa Revolusi memberikan kontribusi yang sangat besar dan urgen di dalam upayanya mempertahankan tanah air 1
P.R.S. Mani, Jejak Revolusi 1945 sebuah kesaksian sejarah, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1998), Cet. Ke-I, h. 87 2 H. Ridwan, Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: CV. Rajawali, 1948), Cet, Ke-I, h. 61. 3 ”Anggaran Dasar G.P.I.I. ,” Kedaulatan Rakyat, 29 November 1945, h. 2. 4 A. Dahlan Naruwihardjo, S.H., Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1979), h. 8.
Indonesia dari bangsa penjajah dalam hal ini adalah Belanda dan Sekutu. Perjuangan para pemuda bisa dilihat dari beberapa peristiwa yang terjadi antara tahun 1945-1949 yang disebut masa revolusi, masa ini bisa disebut juga masa revolusi fisik.5 Beberapa peristiwa yang dilakukan oleh para pemuda dalam merebut kekuasaan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia diantaranya adalah peristiwa perebutan alat transportasi milik sekutu yang dicetuskan pertama kali dalam bulan September 1945 oleh API (Angkatan Pemuda Indonesia), API didirikan pada tanggal 1 September 1945 dengan Wikana sebagai Ketua.6 Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, API mencoba melakukan perebutan kekuasaan dengan cara merebut alat-pengangkutan, Mobil dan Kereta Api yang kemudian pola tersebut dikuti oleh para pemuda lainnya.7 Kemudian peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para pemuda ialah terlaksananya Rapat Raksasa di Lapangan Ikada yang terjadi pada tanggal 19 September 1945. Rapat tersebut digerakkan oleh API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan Balai Muslimin (Mahasiswa STI).8 Pada saat itu Balai Muslimin adalah tempat tinggal bagi para Mahasiswa STI, PP STI terbentuk pada tanggal 5
Terminilogi Revolusi Fisik menunjuk kepada bentuk perjuangan, atau susunan kehidupan perjuangan yang sedemikian rupa yang melibatkan konflik-konflik fisik. Pertempuran dan peperangan yang terjadi tiga setengah abad ketika berhadapan dengan Belanda dan lebih kurang tiga setengah tahun dibawah kekejaman Jepang yang terjadi di seluruh pelosok nusantara adalah bentuk revolusi fisik bangsa Indonesia yang telah memakan begitu banyak korban harta dan nyawa. Untuk lebih lanjutnya lihat, Mohammad Sidki Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), cet, ke-3, h. 5-7. 6 Ridwan, Pemuda Islam…., h. 61. 7 Adam Malik, Mengabdi Republik, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), Cet-II Angkatan 45, h. 63. 8 Pada tanggal 18 September 1945, Subianto memerintahkan warga Balai Muslimin menyebar di sekitar Jakarta guna mengerahkan rakyat mengahadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada keesokan harinya. Malam itu juga penghuni Balai Muslimin dengan sejumlah truk yang tersedia, menyebar ke seluruh penjuru Jakarta mengajak dan mengangkut rakyat mengikuti rapat raksasa besok pagi. Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), Cet-I, h. 43.
10 Juli 1945 dengan Subianto sebagai ketua umumnya.9 Peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan oleh para pemuda yang tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan guna menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan menyatakan bahwa kemerdekaan itu bukanlah hadiah Jepang. Sejumlah peristiwa di atas merupakan fakta sejarah yang dilakukan oleh para pemuda. Para pemuda melakukan resistensi terhadap Belanda dan Sekutu dikarenakan mereka dengan terang-terangan hendak ingin menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Fakta tersebut terbukti dengan kedatangan pasukan Inggris mendarat di Indonesia yang ditunggangi oleh Belanda,10 lambat laun Belanda membentuk NICA (Netherlansd-Indies Civil Administration) yang didukung oleh KNIL (Koninklijk Netherlandas-Indische Leger) untuk mengokohkan kekuasaannya.11 Kedatangan Belanda yang membonceng Inggris ke Indonesia pada tahun 1945 disebabkan oleh ketidakberdayaannya Belanda yang ingin mengusai 9
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi DR. Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993), h. 66. 10 Kedatangan pasukan Serikat pertama kali mendarat di pulau Jawa dan Sumatra. Mereka berada di bawah komando Asia Tenggara (South East Asia Comand atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Perwira Serikat yang pertama kali datang ke Indonesia pada tanggal 14 September 1945, adalah mayor Greenhalgh yang terjun payung di lapangan udara kemayoran. Tugas Greenhalgh adalah untuk mempersiapkan pembentukkan markas besar Serikat di Jakarta. Kedatangan Greenhalgh disusul oleh berlabuhnya kapal penjelajah Cumberland yang mendaratkan pasukan di Tanjung Priok pada tanggal 29 September 1945. kapal itu membawa Panglima Skadron Penjelajah V Inggris, yakni Laksamana Muda W.R. Patterson. Tujuan datangnya Laksamana Muda W.R. Patterson ini adalah menerima penyerahan dari tangan Jepang, membebaskan para tawanan perang dan interniran Serikat dan menegakkan serta mempertahanlkan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil. Namun kedatangan pasukan Serikat/Inggris ini diketahui membawa orang-orang NICA yang dengan terang-terangan hendak mengembalikan kekusaan Hindia Belanda. Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), jilid VI, h. 121-122. 11 Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 sesungguhnya merupakan pemanfaatan kevakuman kekuasaan yang terjadi pada saat itu akibat kekalahan Jepang dalam perang dunia ke-2 menghadapi Sekutu. Setelah proklamasi kemerdekaan Sekutu yang diwakili oleh Inggris datang ke Indonesia untuk melucuti Jepang. Kedatangan ini ternyata diboncengi oleh Belanda (NICA: Pegawai Sipil Belanda) dan ini merupakan awal usaha Belanda untuk kembali datang dan menjajah Indonesia yang memang tidak mereka akui kemerdekaannya. Sobantardjo, Sari Sejarah, (Yogyakarta: Bopkri, 1987), Jilid II, h. 69.
kembali Indonesia (Nusantara) atas kekalahan Jepang pada perang dunia ke II. Pada abad ke XIX dan awal abad ke XX pada saat itu Belanda dapat dikalahkan oleh Jepang pada perang dunia ke I yang berimplikasi jatuhnya Indonesia ke tangan Jepang yang sudah dijajah selama 350 tahun oleh imperialis Belanda. Ketika jepang mengalami kekalahan pada perang dunia ke II,12 kemudian Belanda ingin menguasainya kembali dengan tujuan menghancurkan sebuah negara yang dipimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang dan memulihkan suatu rezim kolonial yang menurut keyakinan mereka telah mereka bangun selama 350 tahun.13
Namun pada
tahun 1945 Belanda tidak sanggup melakukan hal itu sendirian, sehingga harapan mereka itu tertumpu pada pihak Inggris.14 Pendudukan kembali Belanda atas Indonesia ternyata mulai mengganggu eksistensi sentral pemerintah Republik Indonesia yang berada di Jakarta. Pada masa revolusi fisik 1945-1949 Sekutu di Jakarta semakin kuat dan akhirnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta. Akibatnya ketika itu, Jakarta bukanlah ”Kota Pusat Revolusi”, melainkan ”Kota Biasa”. Sebagaimana kota di daerah-daerah lain. Selama revolusi bergolak, dapat dikatakan Jakarta senantiasa berada di bawah pendudukan kekuasaan asing yang silih berganti: Inggris dan Belanda.
Pada saat itu sekutu (Inggris) banyak menguasai
bangunan-bangunan penting yang dimiliki Republik dan para polisi-polisi di Jakarta ditangkap oleh sekutu dengan dalih bahwa pemerintahan Republik 12
Negara yang berperang dalam Dunia ke II terdiri dalam dua blok yakni: Blok Sentral (AS) yang terdiri dari negara-negara: Italia, Jerman, dan Jepang (Fasis, Nazi) dan Blok Sekutu yang terdiri dari Negara-negara: Inggris Prancis, Rusia, Polandia, Belgia, Belanda dan Amerika Serikat (Liberal Kapitalis, social, Komunis). 13 M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta, Pen: Gajah Mada University Press, Cet. 5 2995), h. 318. 14 Ibid., h. 323.
dibuat dan dibentuk oleh Jepang, karena itu harus dibubarkan.15 Akhir tahun 1945 Jakarta sepenuhnya menjadi daerah pendudukan Sekutu. Pada tanggal 4 Januari 1946, Sukarno, Hatta, dan Menteri Pertahanan Amir Syariffudin, secara formal pindah ke Yogyakarta.16 Meskipun demikaian, bangsa Indonesia tidak gentar dalam menghadapi itu semua, resistensi terhadap Belanda dan Sekutu terus dilakukakan dengan semangat revolusi guna mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang baru merdeka. Khususnya Perjuangan para pemuda Islam melalui wadah G.P.I.I. yang berpusat di Balai Muslimin ialah sebagai salah satu wujud nyata di dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru merdeka. Perjuangan G.P.I.I. Tidak mungkin dapat dipisahkan dari Balai Muslimin itu sendiri, sebab dari Balai Muslimin pula arus pergerakkan pemuda Islam dimulai dengan direalisasikannya G.P.I.I. sebagai wadah perjuangan dan Balai Musliminlah sebagai tempat lahirnya G.P.I.I. sekaligus sebagai markas G.P.I.I. pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam Perjuangan Politiknya, di dalam organisasi kepemudaan G.P.I.I. mencoba membendung pengaruh komunis (Pesindo). Di dalam usaha membendung pengaruh Komunis, G.P.I.I. dan organisasi pemuda lainnya membentuk satu wadah yang disebut BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia), BKPRI ini adalah hasil dari penolakan organisasi G.P.I.I. dan organisasi lainnya yang menolak difusikan dengan organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).17
15
Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949, (Pen: Grafiti, Jakarta 1990), h. 39. 16 Ibid., h. 62. 17 H. Ridwan, Pemuda Islam...., h. 61.
Untuk lebih memperkuat barisan umat Islam, Gerakan Pemuda Islam Indonesia di dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada masa Revolusi Fisik 1945 -1949 merasa perlu merapatkan barisan, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 dalam maklumat bersama yang dikeluarkan di Malang oleh Markas Tertinggi Sabililillah atas nama K.H. Masjkur, Zainul Arifin atas nama Markas Tertinggi Hizbullah dan R. H. Benjamin atas nama PP G.P.I.I., membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia.18 Perjuangan pemuda
Islam
khususnya
G.P.I.I.
telah memberikan
sumbangan yang sangat besar di dalam menegakkan dan membangun bangsa Indonesia. Sebagai penduduk mayoritas, dengan sendirinya dan sangat wajar jika umat Islam memberi sumbangan terbesar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan dilatar belakangi oleh fakta sejarah di atas, maka penulis termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan lebih luas tentang perjuangan G.P.I.I. pada masa Revolusi Fisik 1945-1949. Untuk itu, dalam penelitian berupa skripsi ini penulis mengambil judul ”PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA ISLAM INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949”.
18
Harjono dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), Cet-I, h. 126.
B. Batasan dan Perumusan Masalah a. Batasan Masalah Supaya pembahasan ini tidak melebar, peneliti membatasi pada tiga faktor yang sangat penting dalam Perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada masa Revolusi Fisik tahun 1945 – 1949, yaitu: 1. Perjuangan GPII Melalui Balai Muslimin Kramat Raya 19. 2. GPII Vs Pesindo; Membendung Pengaruh Komunis di dalam Organisasi Kepemudaan. 3. Membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia.
b. Perumusan Masalah Maka dari batasan masalah tersebut dapat dirumuskan dengan pertanyaan sejauh mana dan bagaimana pola perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Inodenesia pada masa Revolusi Fisik 1945 – 1949?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah pada dasarnya untuk menjawab permasalahan sekitar perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada Masa Revolusi Fisik 1945 – 1949. Selain tujuan di atas, penulisan ini juga untuk menambah Khazanah pengetahuan.
D. Metode Penelitian Metode yang digunakan di dalam tulisan ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan historis yaitu Pendekatan Sosiologis, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Pengumpulan data, Di dalam pengumpulan data ini dibedakan antara data primer dan sekunder. Data perimer dalam kajian ini adalah surat kabar yang terbit pada masa itu. Adapun yang menjadi data sekunder adalah buku yang di tulis oleh orang lain mengenai perjuangan dari gerakan itu sendiri. Untuk menggali
data-data
yang
diperlukan
tersebut
penulis
melakukan
penelusuran kepustakaan (Library research) keberbagai perpustakaan seperti: Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattullah, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta, Perpustakaan PB Nahdathul Ulama, Perpustakaan PP Muhamadiyah dan Arsip Nasioanal. 2. Analisa Data. Setelah dilakukan klasifikasi data, penulis melakukan analisa dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menekankan pada perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dengan pendekatan sosiologis juga didapat data yang berkembang dari masa ke masa. Setelah dilakukan analisa, penulis menuliskan dengan metode deskripsi yaitu penulis menggambarkan Perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.
3. Historiografi, yaitu penulisan hasil penelitian tersebut dengan aspek-aspek kronologis. Tekhnik penulisan ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” UIN Jakarta Press, Jakarta: 2002.
E. Survey Pustaka Setelah melakukan survey pustaka yang berkaitan dengan pembahasan mengenai Gerakan Pemuda Islam Indonesia pasca proklamsi kemerdekaan Indonesia. Sejauh yang penulis ketahui belum ada sebuah buku yang menulis secara fokus tentang perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat tema ini. Akan tetapi, dapat ditemukan beberapa buku yang membahas sedikit tentang Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Di antaranya:
1. Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-198419 Di dalam buku tersebut mengandung uraian-uraian deskriptif tentang anatomi pergerakan pemuda Islam salah satunya adalah G.P.I.I.. Mengenai perjuangan G.P.I.I. di dalam buku tersebut sedikit dianalisis oleh penulis. Keterbatasan penulis mengenai Gerakan Pemuda Islam Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949 dikarenakan di dalam buku tersebut penulis memang ingin menampilkan tentang anatomi pergerakan pemuda Islam pada umumnya yang meliputi kurun waktu 1925-1984, juga mencoba secara analitis melihat arah gejala yang muncul di atas permukaan sejarah terhadap hari depan pemuda Islam di dalam rangka masa depan Islam di Indonesia. Dengan demikian, 19
H. Ridwan, Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: CV. Rajawali, 1948), Cet, Ke-I.
Penulis tidak menganalisis secara khusus mengenai Perjuangan G.P.I.I. secara komprehensif melainkan menganalisis pemuda Islam secara umum pada masa dewasa itu yang turut memberikan peranannya bagi kemerdekaan Indonesia. Perlu diketahuai bahwa perjuangan pemuda Islam Indonesia tidak sedikit dikarenakan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, perjuangan Pemuda Islam di Indonesia mempunyai andil yang sangat besar di dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia terhadap imperialisme Belanda. Jadi, mengenai perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia secara khusus, penulis kurang menganalisis (komprehensif) sampai sejauh mana kontribusi perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia bagi kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945-1949.
2. Revolusi Pemuda Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944194520 Revolusi Kemerdekaan Indonesia, adalah revolusinya para pemuda. Seorang ahli mengenai Indonesia, Ben Anderson begitu terpukau dengan kenyataan ini, sampai-sampai dia meluangkan waktunya untuk menulis buku khusus mengenai revolusi Kemerdekaan Indonesia yang disebutnya sebagai Revolusi Pemuda. Mengenai pemuda pada masa revolusi ini Ben Anderson menemukan keterangan-keterangan mutakhir dari orang Indonesia, Belanda dan Inggris sama-sama menekankan bahwa peranan inti awal pecahnya revolusi itu diambil, bukan oleh para cendekiawan yang terasingkan, bukan pula oleh kelaskelas yang tertindas, melainkan oleh kaum muda (Pemuda). Bedasarkan
20
Ben Anderson, Revolusi Pemuda, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), Cet, I.
keterangan itu Ben Anderson menjadi percaya bahwa watak khas dan arah revolusi Indonesia pada permulaannya memang sebagian ditentukan oleh “kesadaran Pemuda”, oleh karena itu sebagian besar buku ini disediakan untuk menguraikan dan menganalisisnya. Dalam bukunya juga terdapat keterangan yang lebih luas tentang asal mula partai-partai poltik dan militer, dan juga tentang peranan organisasi-organisasi pemuda. Akan tetapi di dalam buku tersebut tidak dianalisis secara mendalam tentang pemuda Islamnya terutama peranan G.P.I.I. pada awal revolusi, perlu diketahui bahwa manifestasi perjuangan G.P.I.I. yang di awali dari markasnya yaitu Balai Muslimin tidak sedikit pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia.
3. Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S.H.21 Di dalam buku tersebut hanya menjelaskan bagaimana kiprah Dr. Anwar Harjono S.H. di dalam berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Manifestasi perjuangan Anwar Harjono pertama-tama melalui Sekolah Tinggi Islam, yang kemudian Para pelajar Sekolah Tinggi Islam tersebut mendirikan organisasi pemudanya yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang bergerak membina persatuan untuk berjuang membela Republik Indonesia. Dengan persatuan itulah diharapkan umat Islam dan bangsa Indonesia tidak akan mudah di pecah belah. Di dalam buku tersebut penulis hanya menganalisis sepak terjang perjuangan beliau diantaranya yaitu mendirikan G.P.I.I. dan berjuang di dalamnya serta pemikiran DR. Anwar 21
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi DR. Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993).
Harjono baik pada awal masa revolusi sampai masa orde baru. Sudah jelas sekali, mengenai perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia secara khusus, penulis kurang menganalisis (komprehensif) sampai sejauh mana kontribusi perjuangan Gerakan Pemuda Islam Indonesia bagi kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945-1949. Dengan demikian, dari tiga buku di atas yang saya survey, ada sisi lain yang belum diungkap oleh penulis sebelumnya dalam menguak perjuangan G.P.I.I.. Untuk itu, guna melengkapi hasil-hasil studi yang telah ada, maka diadakan penelitian lebih lanjut tentang G.P.I.I., khususnya yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Mengingat tulisan tentang G.P.I.I. belum ada, maka penelitian yang dilakukan ini memiliki arti penting tersendiri dalam memberikan informasi dan sekaligus melengkapi serta menambah khazanah kepustakaan yang ada.
F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan ini, penulis akan membagi pembahasan dalam lima bab yaitu: 1. BAB I
: Pendahuluan. Meliputi Latar Belakang Masalah, Perumusan Dan Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Survey Pustaka Dan Sistematika Penulisan.
2. BAB II
: Keadaan sosial-politik Indonesia pada masa revolusi. Munculnya Organisasi-organisasi Pemuda, Munculnya Multi Partai, dan Lahirnya Gerakan Pemuda Islam Indonesia.
3. BAB III : Biografi intelektual, Pemikiran serta kontribusi kedua Tokoh G.P.I.I. Harsono Tjokroaminoto dan Anwar Harjono: Latar
Belakang Kehidupan, Perjalanan Pendidikan, dan Pemikiran kedua Tokoh tersebut. Harsono Tjokroaminoto (mengenai Islamisme dan Nasionalisme sebagai alat pemersatu bangsa). Sedangkan Anwar Harjono Tentang Pancasila dan Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945). 4. BAB IV : Pembahasan. Perjuangan G.P.I.I. pada masa Revolusi Fisik 19451949; Berjuang Melalui Balai Muslimin Kramat Raya 19, Membendung Pengaruh Komunis (G.P.I.I. Vs Pesindo di dalam organisasi kepemudaan) dan
Di dalam usaha Resistensi
Menghadapi Belanda: G.P.I.I. Membentuk Pemuda Islam Indonesia. 5. BAB V : Penutup dan Kesimpulan.
Dewan Mobilisasi
BAB II KEADAAN SOSIAL-POLITIK PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
A. Munculnya Organisasi-Organisasi Pemuda Fakta sejarah menyatakan bahwa di dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peranan para pemuda, manifestasi itu bisa dibuktikan dari Gerakan pemudanya yang kemudian membentuk organisasiorganisasi pemuda, yang pada akhirnya organisasi-organisasi tersebut mememberikan gambaran tentang eksistensi para pemuda di dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Gerakan pemuda pasca Proklamasi Kemerdekaan didirikan di Menteng 31, Jakarta. Gerakan ini dinamakan sebagai pusat Komite Van Aksi yang bermarkas di Menteng 31 Pimpinannya terdiri dari: Sukarni, M. Nitimihardjo, Adam Malik, Wikana, Chaerul Saleh, Pandu Wigana, Kusnaeini, Darwis, Johar Nur, Arminanto dan Hanafi.22 Munculnya kelompok ini, dikarenakan tidak puas dengan pembentukkan BKR atau Badan Keamanan Rakyat yang dibentuk oleh Presiden Sukarno pada tanggal 23 Agustus 1945 dan usul mereka mengenai hal pembentukkan Tentara Nsional ditolak oleh Presiden Sukarno dan Wakilnya Moh. Hatta .23 Oleh karena itu, kelompok ini mendirikan Gerakan tersendiri.
22
Adam Malik, Mengabdi Republik, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), Cet-II Angkatan 45, h. 41. 23 Sagimun MD, Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda Sampai Proklamasi, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1989), Cet-I, h. 332-333; Lihat juga Susila Budi Moefreni, JakartaKarawang-Bekasi Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min, (Jakarta: Keluarga Moeffreni Moe’min, 1999), Cet-I, h. 20.
14
Disamping Komite Van Aksi ini didirikan pulalah Barisan Pemudanya yang dinamakan API (Angkatan Pemuda Indonesia).24 API adalah organisasi pemuda yang pertama kali dibentuk setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan Wikana sebagai ketua dan anggota-anggota pimpinannya yang lain yaitu: Chairul Saleh, D.N. Aidit, A.M. Hanafi dan Chalid Rasyidi. 25 Di dalam literatur lain disebutkan bahwa API (Angkatan Pemuda Indonesia) tepatnya dibentuk pada tanggal 1 September 1945,26 organisasi ini berada di bawah pimpinan langsung dari Komite Van Aksi.27 Dalam usaha mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan, Komite Van Aksi mempunyai suatu program. Adapun isi-pokok program tersebut adalah:28 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdiri tanggal 17 Agustus 1945 dan Rakyat telah merdeka, bebas dari Pemerintahan bangsa Asing. 2. Semua kekuasaan harus di tangan Negara dan Bangsa Indonesia. 3. Jepang sudah kalah, dan tidak ada hak untuk menjalankan kekuasaan lagi di atas bumi Indonesia. 4. Rakyat Indonesia harus merebut senjata dari tangan Jepang. 5. Segala perusahaan (kantor-kantor pabrik, tambang, kebon dan lain-lain) harus direbut dan dikuasai oleh Rakyat Indonesia (terutama kaum buruh) dari tangan Jepang. Dengan keadaan dan susunan revolusi yang mulai bergelora ketika itu, maka dengan cepat di mana-mana terasa sambutan seluruh rakyat terhadap
24
Adam, Mengabdi...., h. 61. Ridwan, Pemuda Islam...., h. 61. 26 Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949, (Jakarta: PT Temprint, 1990), Cet-I, h. 47. 27 Adam, Mengabdi...., h. 62; Lihat juga Sugiman MD, Peranan Pemuda...., h.333. 28 Adam, Mengabdi...., h. 62. 25
Menara API yang bergelora di Menteng 31. Untuk merealisasikan program tersebut, kemudian yang dilakukan para pemuda dalam merebut kekuasaan yang pertama-tama ialah, merebut alat-pengangkutan, Mobil dan Kereta Api. Diawali dengan seorang dari organisasi API yaitu Chaerul Saleh pencetus pertama sekaligus memberikan contoh-sebuah mobil di Gambir Timur 9 dihidupkan mesinnya dan dilarikan. Contoh pemimpin yang revolusioner inilah yang diikuti oleh pemuda-pemuda lain dan kemudian oleh seluruh rakyat sendiri, sehingga hampir seluruh mobil jatuh di tangan Pemerintah dan Rakyat Indonesia.29 Tidak cukup disitu saja sesuai program yang sudah dibentuk, para pemuda mulai melanjutkan perebutan kekuasaan yang mengarah kepada perebutan Kereta Api. Pada tanggal 2/3-9-1945 diselenggarakan rapat Buruh Kereta-Api di sebuah rumah pegawai Kereta-Api di Manggarai dekat stasiun Manggarai dan dihadiri pula oleh pemuda Menteng 31 yang telah berlencana Kereta-Api. Diantaranya Kusnaieni, Pandu, Maruto, Johar Nur, Armansyah, Legiman, Hariyono dan Niman. Pada rapat itu diambil keputusan:30 1. Membentuk Komite Van Aksi untuk merebut seluruh jawatan Kereta-Api. 2. Pelaksanaan Perebutan Mulai Jam 10.30 pagi tanggal 3-9-1945 3. Pimpinan jawatan dan bagian-bagian diserahkan kepada tiap-tiap orang yang dipilih. Dengan pengorganisasian yang baik oleh para pemuda, pada akhirnya seluruh jawatan Kereta-Api telah berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia dalam tangan Bangsa Indonesia. 29 30
Ibid., h. 63. Ibid.
Pola perebutan kekuasaan seperti di Jakarta yang dicetuskan oleh komite Van Aksi dan API (Angkatan Pemuda Indonesia) bukan di Jakarta saja, ternyata di luar Jakarta tepatnya di pelabuhan Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945
sudah terbentuk organisasi yang terdiri dari para pekerja
penyulingan minyak dan pada tanggal 25 Agustus organisasi Angkatan Muda dibentuk di bawahnya, dipimpin oleh Sumarsono dan Ruslan Widjaja. Di dalam rapat yang diselenggarakan pada tanggal 17 September 1945 di lapangan Pasarturi di tengah-tengah kota Surabaya, organisasi ini memutuskan dari hasil rapatnya yaitu menuntut untuk mengambil alih gedung-gedung dan kantorkantor yang masih berada di bawah kekuasaan Jepang.31 Di Surabaya pada tanggal 23 September 1945 sebuah organisasi aksi baru dibentuk, yaitu Pemuda Republik Indonesia atau PRI, yang peranan-peranan utamanya diambil oleh Sumarsono, Kaslan, Krissubanu, Ruslan Widjaja, Kusnadi, Supardi, Supijah, dan Sotomo, yang segera memperoleh nama harum sebagai Bung Tomo.32 Tujuan dari organisasi ini adalah sama dengan organisasi-organisasi yang bermunculan sebelumnya yaitu menuntut untuk mengambil alih gedung-gedung dan kantor-kantor yang berada di tangan Jepang. Dapat dicatat bahwa sampai akhir bulan September itu, kegiatan pemuda dipusatkan di daerah-daerah kota dan ditujukan terutama terhadap instansi-instansi sipil. Peristiwa-peristiwa di atas yang di pelopori oleh pemuda, diikuti oleh sebagian besar kota-kota lainnya seperti di Yogyakarta yang sebagian besar sudah berada dalam tangan Indonesia menjelang tanggal 25 September. Begitu 31 32
Ben Anderson, Revolusi...., h. 150-151. Ibid., h. 153.
pula Bandung tanggal 28 September mulai di ambil alih. Begitu juga di Malang dan Surakarta pada tanggal 30 September, paling sedikit kantor-kantor pemerintahan dan gedung-gedung umum, tidak lagi dalam pengawasan Jepang.33 Sebuah organisasi pemuda yang berideologikan agama pun muncul seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1945 di Jakarta, dengan Harsono sebagai Ketuanya yang pertama.34 Tujuan dari Gerakan ini adalah membela agama Islam dan menentukan perjuangan Pemuda Islam Indonesia untuk mempertahankan serta menyempurnakan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.35 Kemudian
pada
tanggal
10
November
1945
di
Yogyakarta
diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia yang pertama dalam alam Indonesia. Berdasarkan kongres tersebut, organisasi-organisasi yang muncul adalah Gerpri (Gerakan Pemuda Republik Indonesia) Yogya, API (Angkatan Pemuda Indonesia) Jakarta, PRI (Pamuda Republik Indonesia) Surabaya, AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) Semarang, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), AMLG (Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telpon), dan G.P.I.I. (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) Jakarta.36 Didirikannya
organisasi-organisasi
pemuda
tersebut
ialah
untuk
menghimpun potensi pemuda yang akan merealisasi isi Proklamasi khususnya untuk merealisasi apa yang tercantum dalam naskah proklamasi: ”Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara 33
Ibid., h. 154. Subagijo I.N., Harsono Tjokrominoto Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), Cet-I, h. 83; lihat juga Ridwan, Pemuda Islam...., h. 61. 35 ”Anggaran Dasar G.P.I.I.,” Kedaulatan Rakyat, 29-11-1945, h. 2. 36 A. Dahlan Ranuwihardjo, S.H., Pergerakan Pemuda...., h. 8. 34
seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”37 Dengan eksistensi pemudalah satu-satunya kekuatan yang sanggup dan dalam dalam bulanbulan
Agustus, September, Oktober, November 1945 telah membuktikan
kesanggupan itu dengan merealisasi pemindahan kekuasaan secara fisik dan nyata. Dengan
organisasi-organisasi
inilah
para
pemuda
melakukan
perjuangannya di dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Maka para pemuda pada tahun 45 dijadikan pejuang dan tahun ini juga dikatakan sebagai Revolusi Pemuda. Kenapa dikatakan bahwa pada tahun 45 dikatakan Revolusi Pemuda? Dikarenakan struktur umur para pejuang 45, maksudnya jumlah besar golongan muda yang aktif di dalamnya, menimbulkan julukan ”Pemuda” pada tenaga-tenaga revolusioner.38
B. Munculnya Multi Partai Politik Terbentuknya Kabinet Parlementer pertama dengan segala kekurangannya yang dipimpin oleh Sutan Syahrir tidak terlepas dari kiprahnya dalam meresponi gejala-gejala yang muncul dari penguasa dalam membawa negara ini kedalam ideologi ”monolitic nasional parti” sebagaimana yang diumumkan dalam hasil sidang PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945.39 Menurut Sutan Syahrir, adanya ide ”monolitic nasional parti” adalah mengarah kepada pembentukkan Republik ke arah otoritarianisme dan terang-
37
Ibid., h. 8. Pilihan Artikel Prisma, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet-I, h. 120. 39 Wall Paragoan, Membangun Supremasi Sipil Lewat Multi Partai, (Jakarta: Misaka Ghazila, 1998), cet. I, h. 46. 38
terangan menuju fasisme.40 Oleh sebab itu semua harus dirubah dengan jalan demokratis yang hanya bisa dilakukan melalui parlemen yang ada pada masa itu, yaitu KNIP. Dengan merombak KNIP dari yang semata-mata berperan sebagai dewan penasehat menjadi dewan yang mempunyai kekuasaan legislatif. Hal ini berhasil dilaksanakan dengan jalan mengumpulkan 50 buah tanda tangan dari 150 anggota KNIP yang ada untuk kemudian mengusulkannya kepada Presiden.41 Munculnya Multi Partai Politik di Indonesia sejak merdeka sebagai akibat dari usul yang diajukan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang berfungsi sebagai parlemen yang disampaikan kepada pemerintah.42 Usul ini menuntut kepada pemerintah supaya diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik disertai pembatasan dan harapan bahwa partai-partai politik tersebut hendaknya memperkuat perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.43 Setelah usul tersebut diajukan oleh KNIP, akhirnya pemerintah mengeluarkan Maklumat pada tanggal 3 November 1945, dan berlaku surut pada sejak tanggal 16 Oktober 1945.44
Maklumat ini ditanda tangani oleh wakil Presiden
Mohammad Hatta, yang bunyinya sbb: ”Berhubungan dengan usulan BPKNIP kepada Pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan retrikasi, bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat perjuangan kita dalam mempertahankan 40
Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, “Seri Prisma I” (Jakarta: LP3ES, 19910, cet. Ke-3, h.206. 41 Ibid., h. 207. 42 Sebelumnya pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) seluruh kegiatan partai dihentikan, baru pada masa proklamasi kemerdekaan mulai muncul kembali yaitu pada masa Kabinet Syahrir. 43 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 64. 44 Hakiem, Perjalanan Mencari....., h. 81.
kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat, pemerintah menjelaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu bahwa: 1. pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena adanya partai politik itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. 2. pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota-nggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946”.45 Dengan adanya maklumat tersebut, jelas bahwa partai politik46 memiliki garis tempat berpijak yang kokoh. Point pertama, Maklumat tersebut memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik. Dengan adanya partai inilah aliran paham yang ada di dalam masyarakat dapat disalurkan secara teratur. Point kedua lebih meyakinkan lagi, berupa limit waktu pendirian partai politik, yakni harus sudah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan dasar maklumat pemerintah inilah kemudian berdiri berbagai partai politik yang telah ada sejak jaman penjajahan Belanda dan jaman pendudukan Jepang maupun partai politik yang baru berdiri sama sekali. Untuk melihat jumlah partai politik sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut akan lebih mudah jika diteliti melalui klasifikasi tertentu. Buku Kepartaian Indonesia/terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951, misalnya, membuat klasifikasi:47
45
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), cet. Ke-I, h. 469. 46 Deefinisi Partai Politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Untuk lebih lanjutnya lihat, Miriam Budiardjo, DasarDasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama, 1997), cet, ke-20, h. 160. 47 Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik...., h. 65-66.
I. Dasar Ketuhanan: 1. Masjumi. 2. Partai Sjarikat Islam Indonesia. 3. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti). 4. Partai Kristen Indonesia (Parkindo). 5. Partai Katholik. II. Dasar Kebangsaan: 1. Partai Nasional Indonesia (PNI). 2. Persatuan Indonesia Raya (PIR). 3. Partai Indonesia Raya (Parindra). 4. Partai Rakyat Indonesia (PRI). 5. Partai Demokrasi Rakyat (Banteng). 6. Partai Rakyat Nasional (PRN). 7. Partai Wanita Rakyat (PWR). 8. Partai Kebangsaan Indonesia (Parki). 9. Partai Kedaulatan Rakyat (PKR). 10. Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI). 11. Ikatan Nasional Indonesia (INI). 12. Partai Rakyat Jelata (PRJ). 13. Partai Tani Indonesia (PTI). 14. Wanita Demokkrat Indonesia (WDI). III. Dasar Marxisme: 1. Partai Komunis Indonesia (PKI). 2. Partai Sosialis Indonesia.
3. Partai Murba. 4. Partai Buruh. 5. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). IV. Partai lain-lain: A. Partai Demokrat Tionghua Indonesia (PDTI). B. Partai Indo Nasional (PIN).
C. Lahirnya Gerakan Pemuda Islam Indonesia Lahirnya G.P.I.I. tidak terlepas dari peranan Pelajar Sekolah Tinggi Islam di dalam memberikan penerangan dan membangkitkan semangat rakyat. Manifestasi perjuangan STI bisa dilihat dalam ide penyelenggaraan rapat raksasa di Lapangan Ikada yang didesakkan oleh para mahasiswa di asrama Perapatan 10 dan Balai Muslimin (Asrama STI).48 Rapat Raksasa yang diprakarsai dan digerakkan oleh para pemuda pada tanggal 19 September 1945 adalah manifestasi tekad dan usaha bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyatakan bahwa kemerdekaan itu bukanlah hadiah Jepang.49 Sejak sukses memobilisasi rakyat dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada, semakin banyak pemuda Muslim yang datang ke Balai Muslimin dan menyatakan hasrat mereka untuk bergabung di dalam perjuangan mahasiswa STI. Melihat besarnya simpati kaum muda terhadap perjuangan para pemuda Islam, juga mengingat tingkatan perjuangan yang lebih memerlukan
48 49
Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 64. Ibid.
pengorganisasian yang mantap pada saat itu, maka para mahasiswa STI merasa perlu membentuk wadah perjuangan bagi para pemuda Islam. Untuk merelisasikannya supaya PP STI dapat menampung dan menjadi wadah perjuangan pemuda Islam, maka dalam salah satu rapat anggota STI yang dipimpin oleh Suroto Kunto, disepakati perubahan nama PP STI, Pembuatan Angaran Dasar, dan memilih pengurus baru – termasuk orang-orang luar STI yang bersimpati kepada perjuangan pemuda Islam.50 Tentang saat-saat berdirinya organisasi pengganti PP STI itu yaitu G.P.I.I. terdapat paling sedikit empat versi. Yakni versi Harsono Tjokroaminoto, versi H. Aboebakar, versi A. Karim Halim, dan versi Anwar Harjono. Versi Harsono Tjokroaminoto dalam Biografinya Soebagijo I.N. ”Pada suatu ketika akhir September, Harsono diminta datang di Balai Muslimin dan disitu sudah nampak hadir sejumlah ”orang-orang tua” Masyumi, seperti Wondoamiseno, Abikusno, Kiyai Mansyur, Kartosudarmo dan lain-lain. Dalam pertemuan itu Harsono diminta agar membentuk suatu wadah bagi pergerakan Pemuda Islam. ”Pada masa dewasa itu di Jakarta dan kemudian disusul dibeberapa kota lainnya, telah dibentuk organisasi pemuda yang maksud serta tujuannya memberi dukungan kepada Republik yang baru berdiri. Namun, organisasi pemuda yang baru berdiri tadi ternyata tidak mewakili pemuda Islam dan tidak ada tanda-tanda bernafaskan ke-Islam-an. Padahal, dalam negara merdeka yang namanya Republik Indonesia, umat Islam merupakan mayoritas dan justru kerenanya sudah sewajarnyalah apabila pemuda Islam yang mempunyai wadah sendiri ikut dalam mempertahankan kelangsungan hidup negara yang masih muda itu. ” Mengapa Harsono yang ditunjuk untuk mmenyusun serta mendirikan Gerakan pemuda Islam itu, karena dialah yang selama ini dipandang orang cakap dan telah berpengalaman dalam urusan organisasi; berkat perjuangannya dalam SIAP dan dalam Pemuda Muslimin dimasa sebelum perang dulu. ”Mendapat perintah dari para sesepuh demikian, Harsono tidak memberi tanggapan apa-apa, kecuali menyanggupinya sesuai dengan disiplin yang selama ini selalu dijalankannya: tiap mendapat tugas untuk kepentingan negara, bangsa dan agama dia selalu ”sami’na wa toqna”, saya mendengar dan saya tunduk atas perintah itu. 50
Ibid., h. 70.
”Sebagaimana halnya yang selalu dilakukan sejak ia masih muda, pada malam harinya Harsono lalu sembahyang tahajud, mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon petunjuk serta pertolongan-Nya, agar dia mendapat tugas yang dibebankan kepadanya itu dengan baik.... ”Demikian pula yang terjadi atas Gerakan pemuda yang kini hendak disusun serta didirikannya itu. Dalam tekadnya, wadah pemuda yang akan disusun serta didirikannya itu pertama-tama harus mempunyai sifat pemuda, yaitu dinamis. Lincah cekatan, siap berkorban, tidak selalu lamban. ”Namanya pun jangan mempergunakan nama yang pernah terkait dengan sesuatu organisasi yang pernah ada. ”Akhirnya, sewaktu bertemu kembali dengan para sesepuh yang menginstruksikan kepadanya tempo hari, dia melapor bahwa kini telah berhasil didirikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. ”Karena organisasi itu bernama Gerakan, maka jelaslah bahwa sifatnya akan selalu bergerak, menuju ke arah perbaikan dan kemajuan sesuai dengan sifat pemuda, dinamis. Kata-kata Pemuda dipakai, karena wadah baru itu memang diperuntukan para pemuda, bunga bangsa. ”Kata-kata Islam dipakai, karena tekanan memang diletakkan pada katakata itu, memberi identitas khas kepada segenap anggotanya, bahwa mereka adalah pemuda Islam, yang berjuang dengan asas dan dasar ke-Islam-an, dalam mencari ridho Tuhan ikut mempertahankan negara Republik Indonesia. ”untuk lebih memberi penegasan lagi, bahwa pemuda Islam yang bergerak itu memang pemuda Islam di Indonesia, maka nama Indonesia pun harus dibubuhkan di belakangnya, sehingga wadah baru itu nama lengkapnya adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia. ”Almanak waktu itu menunjukkan 2 Oktober 1945 dan peresmian berdirinya G.P.I.I. diadakan di Balai Muslimin pula, dengan Harsono sebagai Ketuanya yang pertama”.51
Kutipan di atas menyimpulkan beberapa hal. Pertama, inisiatif pembentukkan G.P.I.I. sepenuhnya datang dari kalangan ”orang tua” yang dalam hal ini adalah Wondoamiseno, Abikusno, Kiai Mansyur, Kartosudarmo, dan lain-lain. Kedua, peran Harsono semata-mata melaksanakan inisiatif ”orang tua” tersebut di atas. Ketiga, seluruh gagasan tentang penamaan dan sifat organisasi G.P.I.I. sepenuhnya hasil pikiran Harsono, dalam rangka ini peran para mahasiswa nihil sama sekali. Sebagai demikian, maka rapat-rapat yang dilakukan PP STI untuk menggagas perubahan PP STI supaya dapat 51
Subagijo I.N., Harsono Tjokrominoto Mengikuti...., h. 82-85.
menampung dan menjadi wadah perjuangan pemuda Islam, menjadi tidak ada artinya sama sekali. Yang menjadi pertanyaan kemudian, benarkah para mahasiswa itu sama sekali tidak
punya
inisiatif
seperti terkesan
dari biografi
Harsono
Tjokroaminoto di atas? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita simak versi H. Aboebakar: ”Sudah sejak revolusi meletus tanggal 17-8-1945, di dalam kalangan pemimpin Masyumi pada waktu itu timbul hasrat untuk mengadakan suatu ikatan dari pemuda Islam yang bersifat militant, Gerakan pemuda yang bersemangat jihad untuk kemerdekaan agama, bangsa dan tanah air. Dan yang besar sekali memberikan dorongannya ke arah pembentukkan organisasi tersebut ialah M. Natsir, K.H.A. Wahid Hasjim, dan Anwar Tjokroaminoto. Perpaduan pikiran ketiga pemimpin ini berputar sekitar tiga pokok tujuan, yang harus terdapat pada organisasi Pemuda Islam Indonesia yang dicita-citakan itu, yaitu pertama meliputi tuntutan revolusi, kedua harus dapat menciptakan kader-kader dan bibit-bibit pemimpin politik dari perjuangan umat, dan yang ketiga harus merupakan suatu lapangan perjuangan yang dapat mempertemukan pemuda-pemuda yang berasal dari pendidikan pesantren dengan pemuda-pemuda yang berpendidikan sekolah umum. ”Cia-cita ketiga pemimpin besar itu, Moh. Natsir, K.H.A. Wahid Hasjim dan Anwar Tjokroaminoto disambut dengan perhatian yang besar oleh beberapa mahasiswa yang pada waktu itu belajar pada Sekolah Tinggi Islam, yang baru didirikan pada waktu itu di Jakarta, karena dalam kalangan mereka pun sudah terdapat keinginan hendak mendirikan organisasi pemuda Islam Indonesia, yang dapat melayani tuntutan-tuntutan revolusi ketika itu, sesuai dengan semangat yang berkobar-kobar dalam jiwa tiap rakyat Indonesia, hendak merdeka sebagai suatu bangsa yang layak dan bebas dari penjajahan yang kejam dan zalim itu... ”Pada tanggal 2 Oktober 1945 diadakanlah pertemuan di antara para Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam, pemuda-pemuda Islam di Jakarta dan para pemuka Islam yang dapat dicapai ketika itu. Pertemuan itu diadakan di gedung Kramat Raya No. 19 di Jakarta yang dinamakan Balai Muslimin Indonesia.... ”Rapat pembentukkan pada 2 Oktober 1945 itu di mulai pada pukul 4.30 sore. Setelah diadakan pertukaran pikiran seperlunya, maka disetujuilah mendirikan organisasi pemuda Islam yang dicita-citakan
itu dan yang diberi nama Gerakan Pemuda Islam Indonesia G.P.I.I.....”.52 Berbeda dengan keterangan Harsono yang terkesan menafikan inisiatif para mahasiswa STI, H. Aboebakar menyebut bertemunya dua hasrat. Hasrat para orang tua, dan hasrat para mahasiswa STI. Menariknya, Aboebakar tidak menyebut-nyebut Harsono dalam proses awal pembentukkan G.P.I.I.. Beberapa nama yang didebut Aboebakar sebagai pemegang inisiatif mendirikan G.P.I.I. di kalangan mahasiswa STI ialah: Anwar Harjono, Karim Halim, Ahmad Buchari, Djanamar Adjam, sjadeli Muchsin, Adnan Sjamni, Masmimar, dan Sjarwani.53 Nama Harsono, muncul dalam tulisan Karim Halim berikut ini: ”Panitia kecil dibentuk diketuai Karim Halim dan meyusun Anggaran Dasarnya serta penggantian nama PP STI. Karena Karim waktu remajanya hidup di tengah-tengah pemimpin PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) di Sumatra Barat, ia terpengaruh oleh PERMI dan menyusun Anggaran Dasarnya menyerupai AD PERMI. Untuk nama, karena onderbouw PERMI bernama HPII (Himpunan Pemuda Islam Indonesia), Karim memberi nama Gerakan Pemuda Islam Indonesia (G.P.I.I.). Istilah Gerakan lebih dinamis. ”Konsep AD organisasi baru itu dimusyawarahkan dengan kawan di asrama. M. Natsir yang juga hadir dalam pertemuan itu tidak setuju tambahan kebangsaan. Untuk dasar cukup Islam, karena Islam telah mencakup segala-galanya. ”Waktu menyusun personalia pengurus, panitia berkonsultasi dengan Anwar Tjokroaminoto yang tinggal tidak jauh dari asrama, yaitu di Keramat Pulo. Anwar Tjokroaminoto menyarankan untuk mendapat simpati dari kalangan pemuda Islam supaya ketua umum dipilh Harsono Tjokroaminoto, waktu itu masih di tahanan Kompetai.... ”Persiapan itu dilaporkan kepada pimpinan MIAI yang waktu sudah berubah nama dengan Masjoemi, Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia. Kiyai. A. Wahid Hasjim sangat gembira dan bangga akan anak-anak Balai Muslimin. Rektor STI, Prof. Kahar Moezakir meluapluap semangatnya dan mengatakan kalau beliau masih muda sudah barang tentu akan menjadi anggota organisasi pemuda Islam itu. H. 52
H. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim, (Jakarta, Panitya Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957), h. 449. 53 Ibid.
Agus Salim memuji prakarsa yang diambil pelajar-pelajar STI, karena beliau salah seorang dosen. Dr. Aboe Hanifah bersedia menjadi donatur tetap”.54 Keterangan Karim Halim, ternyata sejalan tulisan H. Aboebakar. Yakni bahwa pembentukkan G.P.I.I. merupakan hasil perpaduan gagasan antara para mahasiswa STI dengan para orang tua. Tiga nama tokoh yang disebut Aboebakar, juga muncul dalam tulisan Karim Halim, sementara ”orang-orang tua” yang disebut Harsono tidak disebut baik oleh Aboebakar maupun oleh Karim Halim. Sesudah menjelaskan bahwa dalam bergejolaknya perjuangan, kalangan mahasiswa STI merasakan perlunya wadah perjuangan pemuda Islam, Harjono lebih lanjut berkata: ”Di kalangan orang-orang tua juga terdapat keinginan yang sama. Karena waktu itu satu-satunya tokoh pemuda Islam yang populer adalah Sdr. Harsono Tjokroaminoto, maka para orang tua cendrung kepada Sdr. Harsono untuk mengetuai organisasi yang akan dibentuk. Orang-orang tua yang menghendaki didirikannya wadah perjuangan Pemuda Islam, yang saya tahu antara lain Pak Natsir, K.H.A. Wahid Hasjmi, dan Pak Anwar Tjokroaminoto. Ketiga tokoh tersebut menginginkan dibentuknya wadah bersifat umum/sipil dan juga bersifat militer. Di samping itu juga supaya tercermin komposisi personalia pimpinan menunjukkan adanya integrasi antara mereka yang keluaran sekolah-sekolah umum dengan keluaran sekolah-sekolah agama. ”Ketika para mahasiswa STI sepakat membentuk wadah perjuangan pemuda Islam, keinginan orang tua bertemu dangan keinginan para pemuda. Ketika itu disepakati Sdr. Harsono sebagai Ketua Umum, Moefreini Moekmin – dari unsur pemuda militer -, dan A. Karim Halim – dari unsur keluaran AMS – sebagai Wakil Ketua;sedang saya dari unsur pesantren dan madrasah sebagi sekretaris”.55 Demikianlah fakta tentang proses berdirinya G.P.I.I.. Maka pada tanggal 2 Oktober 1945 diresmikanlah berdirinya Gerakan Pemuda Islam Indonesia 54
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), Cet I, h. 52. 55
Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 74-75.
(G.P.I.I.) yang bertujuan: (1) Mempertahankan Negara Republik Indonesia, dan (2) Menyiarkan Agama Islam.56 Dalam upacara peresmian itu, Anwar Harjono tampil membacakan Anggaran Dasar dan susunan pengurus. Pucuk Pimpinan G.P.I.I. pertama kali tersusun sebagai berikut.57 Ketua
: Harsono Tjokroaminoto
Wakil Ketua I
: A. Karim Halim
Wakil Ketua II
: Moefraini Moekmin
Sekretaris Umum : Anwar Hrjono Bendahari
: ......................
Pembantu
: Ahmad Buchari
Pembantu
: Djanamar Adjam
Pembantu
: Adnan Sjamni
Semua pengurus hadir pada peresmian di Balai Muslimin itu, kecuali tiga orang: Harsono Tjokroaminoto yang masih dalam tahanan Jepang, Moefraini Moekmin yang sedang di luar kota untuk menyusun lasykar rakyat, dan Ahmad Buchari yang sedang di Lampung.58 Semenjak G.P.I.I. berdiri, gerakan ini mulai menunjukan eksistensinya di sekitar Pulau Jawa – Madura dan Pulau Sumatera, hal ini bisa dilacak dari titik pergerakan G.P.I.I. yang bisa dilihat di dalam konperensi atau kongres yang telah diselenggarakan serta menifestasi perjuangannya. Fakta tersebut diuraikan di dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat sebagai berikut:
56
H. Ridwan, Pemuda Islam...., h. 113; Lihat juga Pasal 4 Di Dalam Anggaran Dasar
G.P.I.I.. 57 58
H. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim...., h. 450. Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 52.
“G.P.I.I. Yogyakarta minta diumumkan supaya anggota-anggota G.P.I.I. seluruh kota Yogya menyambut pengumuman Ketua Dewan Pertahanan Daerah, yang diumumkan kemarin, dengan mengambil tindakantindakan yang seperlunya agar pengumuman tersebut bisa berjalan dengan sempurna. Tindakan dijalankan bersamaan dengan badan-badan dan pemerintah di tempat masing-masing.”59 “PP G.P.I.I. bagian penyiaran minta diumumkan sebagai berikut. Untuk merencanakan langkah pimpinan selanjutnya G.P.I.I. mengundang pimpinan-pimpinan daerah untuk konferensi. Tempat di Kediri dan waktu 17-18 Oktober 1946 yang hadir tiap-tiap pimpinan 4 orang, sebagaimana tsb. Peninjau tidak diadakan. Diharap semua utusan sudah sampai di Kediri pada tanggal 16 Oktober 1946.”60 “PP G.P.I.I. minta diumumkan untuk memutuskan pendirian G.P.I.I. seluruhnya terhadap naskah rencana persetujuan Indonesia – Belanda, maka Pucuk Pimpinan mengundang untuk berkonprensi bertempat di Solo pada tanggal 4-5 Desember 1946. 1. Ketua pimpinan daerah (seorang) dan membawa suara seluruh cabang didaerahnya masing-masing. 2. Pengawas wilayah, seorang dari tiap-tiap wilayah. Utusan-utusan harap sudah datang di Solo pada hari Rabu sore tanggal 4 Desember 1946 dan masing-masing membawa uang sokongan konperensi sebanyak R. 5 (Lima Rupiah) peninjau tidak diadakan.”61 “Berhubung dengan kedatangan ketua PP G.P.I.I. di Madiun Sdr. Harsono Tjokroaminoto, maka G.P.I.I. telah mengadakan pertemuan anggota, untuk mendengarkan penjelasan tentang soal yang mengenai perjuangan G.P.I.I. pada masa ini.”62 “Kongres G.P.I.I. ke II yang didatangi oleh wakil-wakil cabang dan pimpinan-pimpinan derah seluruh Jawa – Madura akan dilangsungkan mulai besok pagi hingga tanggal 21-4-1947 di Yogyakarta. Akan dibicarakan antara lain ialah: Kedudukan G.P.I.I. Pelajar, Ideologi Darul Islam, dan langkah perjuangan ke depan.”63 “Upaya pembentukan G.P.I.I. telah dirintis sejak Ketua Harian PP G.P.I.I., A. Karim Halim, berada di Sumatera. Hasilnya terlihat ketika pada 15 Oktober 1946, Pembantu Umum PP G.P.I.I., Adnan Sjamni, meresmikan kepengurusan G.P.I.I. se-Sumatera yang berpusat di Pematang Siantar, diketuai oleh Mahals. G.P.I.I. Sumatera dibagi menjadi tiga konsulat, masing-masing Konsulat Sumatera Utara dipimpin oleh Mahals, Konsulat Sumatera Tengah berpusat di
59 60 61 62 63
“G.P.I.I. Membantu Yogyakarta,” Kedaulatan Rakyat, 11-10-1946, h. 2. “Konperensi G.P.I.I. Seluruh Daerah,” Kedaulatan Rakyat, 12-10-1946, h. 2. “Konperensi G.P.I.I. Yogyakarta,” Kedaulatan Rakyat, 30-11-1946, h. 2. “Pertemuan G.P.I.I. Di Madiun,” Kedaulatan Rakyat, 10-5-1947, h. 4. “Kongres G.P.I.I. ke II,” Kedaulatan Rakyat, 17-4-1947, h. 2.
Bukittinggi dipimpin oleh Buchari Tamam, dan Konsulat Sumatera Selatan berpusat di Palembang dipimpin oleh Usman Hamid.”64
64
Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 77.
BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL, PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI TOKOH G.P.I.I.
A. Harsono Tjokroaminoto a. Latar Belakang Kehidupan Harsono Tjokroaminoto (keluarga) Omar Said Tjokroaminoto adalah ayahnya Harsono Tjokroaminoto. Orang tua Omar Said adalah seorang Pangreh Praja dengan pangkat Wedana di Kleco, di daerah Madiun, bernama Raden Mas Tjokroamiseno beliau adalah keturunan langsung Raden Mas Adipati Tjokronegoro, Bupati Ponorogo dan beliau ini adalah anak laki-laki dari kiyai Bagus Kasan Besari sesepuh sekaligus ulama di tanah Perdikan di wilayah Situ Pala. Istri kiyai Bagus Kasan Besari ini seorang puteri pemberian dari Susuhan Paku Buwono III. Di dalam tubuh Omar Said Tjokroaminoto mengalir darah ke-kiyai-an dan kepriyai-an,
bagsawan budi dan bangsawan daerah sekaligus. Dalam
perkembangan jalan hidupnya di kemudian hari kedua unsur tadi sangat mempengaruhinya.65 Sebagai anak bangsawan yang bergelar Raden Mas, Omar Said Tjokroaminoto berhasil mengecap ilmu pengetahuan yang cukup memadai yaitu beliau berhasil menyelesaikan studinya pada OSVIA, sekolah untuk calon bumiputra. Setelah selesai dari OSVIA, Omar Said menjadi jurutulis di Glodog, Purwodadi di daerah Madiun. Namun jabatan tersebut tidak lama dipegangnya dan kemudian beliau minta keluar dari kepegawaian.66
65 66
Soebagijo I.N., Mengikuti Jejak...., h. 1. Ibid., h. 2.
32
Keluarga H.O.S. Tjokroaminoto lalu pindah ke Surabaya dan mulailah beliau tergerak untuk terjun kedalam kancah perjuangan bangsanya. Adanya Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tahun 1905, yang kemudian berkembang menjadi organisasi masa yaitu Sarekat Islam, pada saat itu Omar Said ikut bergabung kedalamnya. Dalam waktu yang singkat Omar Said Tjokroaminoto berhasil mendapatkan kepercayaan dari anggota Sarekat Islam dan terpilih menjadi ketuanya. Pemerintah Belanda sadar dan tahu betapa besar pengaruh Omar Said Tjokroaminoto pada rakyat Jawa terutamanya, maka sewaktu didirikan Volksraad di dalamnya Omar Said diangkat sebagai anggota wakil Sarekat Islam, bersama Abdul Muis.67 Ketika Sarekat Islam mengadakan kongresnya pada tahun 1913 di Surabaya, pada tahun yang sama Harsono Tjokroaminoto anak Omar Said Tjokroaminoto lahir. Harsono Tjokroaminoto dilahirkan pada hari Senin tanggal 24 April 1913 di Desa Glodok, daerah Madiun, Jawa Timur.68 Tempat kelahirannya di sebuah kediaman resmi kakeknya Harsono yang bernama Mangunsumo, beliau adalah seorang Patih.69 Harsono Tjokroaminoto mempunyai lima saudara, beliau sendiri merupakan anak nomor 3 (tiga). Kakaknya yang tertua, Netty Utari, pernah menjadi isteri pertama dari almarhum Bung Karno, Presiden Republik Indonesia. Sedangkan kakaknya yang nomor 2 (dua) Anwar Tjokroaminoto, semasa hidupnya pernah menjadi wartawan. Dalam kelembagaan negara
67
Ibid. Harsono Tjokroaminoto, Menelusuri Jejak Ayahku Harsono Tjokrominoto, (Jakarta: Penerbit Sejarah Lisan dan Arsip Nsional Republik Indonesia, 1983), h. 1. 69 Patih pada waktu itu suatu jabatan setingkat di bawah Bupati, merupakan kedudukan yang tidak saja tinggi tetapi juga merupakan kedudukan yang dianggapnya setengah keramat, karena tidak semua orang bisa mencapainya. 68
beliau pernah menjabat Penasehat Almarhum Panglima Besar
Sudirman,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia untuk masa Jabatan 1968-1973 dan 1973-1978. Adik Harsono yang perempuan bernama Islamiah, dan yang bungsu bernama Suyud Achmad dan bekerja menjadi wartawan.70
b. Perjalanan Pendidikan Harsono Tjokroaminoto Sebagai keturunan bangsawan, sudah tentu mendapat hak khusus dari pemerintah Belanda terutama dalam pendidikan. Harsono dibenarkan untuk belajar di Eropese Lagere School atau Sekolah Rendah Belanda, yang sebenarnya memang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan IndoBelanda. Pada waktu itu Sekolah Rendah mempunyai 7 kelas; dan bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Belanda. Dengan demikian, maka anak-anak bumiputera yang sekolah di ELS secara tak disadari terpaksa harus mempergunakan bahasa itu di dalam percakapannya sehari-hari.71 Selain mendapat pelajaran umum di ELS, Harsono bersaudara sebagai keluarga yang taat kepada ajaran Islam oleh orang tuanya juga diwajibkan belajar mengaji; belajar membaca huruf Al-Quran. Pelajaran mengaji ini diberikan di rumah pada setiap sore hari dengan mendatangkan guru kerumah, adapun guru tersebut bernama Ibu Sumbulatin. Pelajaran mengaji ini tidak hanya merupakan membaca Al-Qur’an saja tetapi diajarkan pula mengenai ilmu saraf dan tajwid. 70 71
Harsono Tjokroaminoto, Menelusuri Jejak...., h. 1. Soebagijo I.N., Mengikuti Jejak...., h. 4.
Sebagai anak seorang tokoh terkemuka Sarekat Islam, Harsono di dalam menempuh pendidikan selalu berpindah-pindah, ketika tinggal di Surabaya Harsono belajar di ELS. Namun tidak berapa lama kemudian keluarga Omar Said Tjokroaminoto pindah ke Cimahi (Bandung), di sana sudah disediakan rumah untuk keluarga Tjokroaminoto yang disediakan oleh warga Sarekat Islam. Di Bandung Harsono Tjokroaminoto melanjutkan pendidikannya di sekolah MULO sampai umur 16 tahun.72 Setelah menamatkan pelajaran pada tingkat pendidikan menengah, kemudian Harsono Tjokroaminoto melanjutkan pendidikannya di pesantrenpesantren, pada saat itu Harsono berusia 17 tahun yaitu: di Babat Rembang, Jawa Timur, di Purwokerto, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada waktu itu jarang sekali anak-anak Indonesia yang melanjutkan pendidikan di pesantren. Hal ini disebabkan oleh paradigma negatif orang tua anak-anak Indonesia pada masa dewasa itu yaitu beranggapan bahwa: “anak-anak yang mengikuti pendidikan di pesantren adalah anak-anak atau orang-orang yang agak kurang intelak, kurang cerdas pikirannya, kurang maju, bahkan pakainnya pun kurang teratur”.73 Sudah barang tentu di pesantren Harsono secara khusus memperdalam pelajaran agama Islam, Di samping itu juga pelajaran mengenai bacaan atau loghat Qur’an yang kalau dalam istilah sekarang disebut grammernya Qur’an, termasuk pula seni membaca Qur’an seperti yang sekarang secara berkala dipertandingkan di dalam Musabaqoh Tilawathil Qur’an. Dengan demikian Harsono sebagai orang yang cukup berpengaruh di dalam masa kemerdekaan 72 73
Soebagijo I.N., Mengikuti Jejak...., h. 18-20. Harsono, Menelusuri Jejak...., h. 18.
Indonesia yaitu dengan menepis semua anggapan negatif bahwa pendidikan pesantren kurang intelek. Sebab sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan pesantren Harsono telah mampu menunjukkan talentanya bahwa beliau bisa berjuang melalui dua organisasi yang dia pimpin yaitu G.P.I.I. dan Sareakat Islam. Adapun pesantren yang pertama dituju oleh Harsono adalah sebuah pesantren yang cukup terkenal yaitu di Kebon Jeruk, Jakarta. Di pesantren tersebut gurunya orang Arab. Selanjutnya Harsono belajar pada beberapa pesantren yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Patut diketahui bahwa kehidupan di lingkungan pesantren sangat berlainan dengan sekolah umum, misalnya di ELS, MULO dan sebagainya. Sebab di pesantren pada umumnya pelajaran diberikan pada sehabis sembahyang subuh sampai jam 10.00 pagi. Kemudian sampai kira-kira jam 12.00 siang menjelang lohor. Setelah sembahyang lohor pelajaran dilanjutkan kembali sampai kira-kira ashar. Sistim pendidikan di pesanteren pada waktu itu pada umumnya bersifat mandiri. Semua santri yang tinggal masing-masing harus membawa
bekal
untuk makananya selama satu bulan sendiri-sendiri dan setiap satu bulan mereka mendapat kiriman untuk satu bulan . Pesantren hanya menyediakan pondok dan tempat belajar bagi para santrinya.74 Dengan bekal yang didapati dari pesantren-pesantren, kemudian Harsono melanjutkan sekolahnya ke luar negeri yaitu Hindustan untuk mempelajari Ilmu Perbandingan Agama. Adapun
74
Harsono, Menelusuri Jejak...., h. 20.
perbandingan agama yang dipelajari adalah Islam, Kristen (Protestan dan Katholik) dan Hindu.75
c. Islamisme dan Nasionalisme sebagai alat pengikat persatuan Bangsa Perjuangan bangsa Indonesia di dalam merebut kemerdekaan sudah diinsyafi oleh bangsa Indonesia itu sendiri yaitu dengan mengutamakan semangat nasionalisme yang dijadikan sebagai alat pengikat persatuan, dengan adanya kesadaran tersebut, bangsa Indonesia berhasil menuju ke gerbang kemerdekaan. Sedangkan bagi bangsa Indonesia agama dijadikan sebagai landasan utamanya dari rasa nasionalisme itu sendiri. Oleh karena itu Harsono Tjkroaminoto terus menumbuhkan dan menerapkannya di dalam dirinya maupun di dalam organisasi yang dia pernah pimpin seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia dan Partai Syarikat Islam. Kedua sendi tersebut yaitu Islamisme dan Nasionalisme sudah dididik oleh ayahnya yaitu Omar Said Tjokroaminoto untuk menghadapi perjuangan, Omar Said Tjokroaminoto selalu menekankan untuk senantiasa mengembangkan dua sendi utama
yaitu
Islamisme dan Nasionalisme.
Menurut Harsono
Tjokroaminoto tidaklah mungkin bisa bergerak sebagai orang Islam kalau tidak mengerti Nasionalisme yang kita miliki untuk berjuang. Demikian juga sebaliknya, Harsono tidak bisa berjuang hanya sebagai bangsa saja tanpa adanya sendi atau asas yang kuat yaitu Islam. Dengan dasar pengertian inilah maka pada waktu Harsono diangkat menjadi Pucuk Pimpinan Partai Syarikat
75
Harsono, Menelusuri Jejak...., h. 25.
Islam kedua sendi itu selalu di pegang teguh. Ditegaskan lagi oleh Harsono sebagai berikut: ”Di dalam zaman kemerdekaan Indonesia saya membangun bukan untuk melawan, bukan untuk memberontak dan memecah belah kekuatan-kekuatan, tetapi saya membangun negara yang biasa disebut dengan Istilah state dan nation building. Saya tidak memecah dan memberontak, melainkan dengan senjata ampuh yang saya miliki yaitu dengan jiwa Islam dan dengan bekal ideologi dan falsafah negara Pancasila saya ikut membangun suatu bangsa dan negara Indonesia, yang merdeka dan berdaulat”.76 Menurut Harsono Tjokroaminoto ”Nasionalisme sudah tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia sejak dahulu dan oleh karenanya kita pergunakan sebagai alat pengikat persatuan. Sedangkan agama adalah landasan utamanya”.77 Unsur agama bagi partai syarikat Islam memang merupakan sendi utamanya, tetapi untuk keluar yaitu pengembangan dan pembinaan terhadap bangsa Indonesia maka rasa nasionalisme itu harus lebih dipertajam, lebih-lebih menjelang saat-saat yang sudah dapat diperhitungkan, saat rakyat Indonesia akan merdeka. Manifestasi rasa Nasionalisme Harsono Tjokroaminoto dituangkan di dalam Syarikat Islam yang dinaunginya yaitu Pancasila sebagai dasar negara dipakai sebagai asas dari organisasi Syarikat Islam. Masalah ini memang menjadi masalah yang sangat diprioritaskan, bukan saja dikarenakan Pancasila sudah menjadi watak dan tabiat perjuangan Syarikat Islam sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Program Asas dan Program Tandhim Syarikat Islam
76 77
Soebagijo I.N., Mengikuti Jejak...., h. 277. Harsono, Menelusuri jejak...., h. 56.
sejak tahun 1917, tetapi juga masalah ini sangat diprioritaskan dalam rangka menjaga kesinambungan dan kelestarian serta eksestensi Syarikat Islam.78 Di dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang pernah di pimpin oleh Harsono Tjokroaminoto, Harsono juga menerapkan dan megembangkan kedua landasan tersebut, yaitu Nasionalisme dan Islamisme. Hal ini bisa dilihat ketika G.P.I.I. berdiri pada tanggal 2 Oktober 1945 telah berhasil merumuskan Anggaran Dasar Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang menjelaskan bahwa Gerakan ini mendukung semangat Nasionalisme di dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, adapun Anggaran Dasar G.P.I.I. yang mencerminkan semangat tersebut sebagai berikut: Fasal 4 ”Gerakan Pemuda Islam Indonesia membela kesempurnaan Agama Islam dan menentukan
haluan
perjuangan
Pemuda
Islam
Indonesia
untuk
mempertahankan serta menyempurnakan Negara Republik Indonesia Merdeka yang berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.79
Terlihat jelas bahwa
tujuan dari perjuangan G.P.I.I. yaitu berdasarkan falsafah Pancasila yaitu sila ke 1 (satu) Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun organisasi ini berlandaskan Islam namun organisasi ini tidak mengisolasikan diri dengan organisasi yang pada saat itu berdiri seperti API, PRI, AMRI dll. Bahkan untuk mempersatukan pemuda se-Indonesia G.P.I.I. bersama-sama organisasi pemuda lainnya membentuk Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. G.P.I.I. di wakili oleh Achmad Buchori sebagai wakil
78
H. Harsono Tjokroaminoto, Pedoman Pelaksanaan Tugas Syarikat Islam, (T.tp, T.pn,
t.t.), h. 4. 79
“Anggaran Dasar G.P.I.I.,” Kedaulatan Rakyat, 29 November 1945, h. 2.
ketua II.80 Dengan demikian jelas sekali bahwa Harsono sangat berpengaruh di dalam organisasi ini dengan menanamkan dua landasan yaitu Islamisme dan Nasionalisme.
B. DR. Anwar Harjono, S.H. a. Latar Belakang Kehidupan Anwar Harjono (Keluarga) Di dalam tradisi kekuasaan raja-raja Jawa sesudah kedatangan Islam, pusat pemerintahan ditata dengan mengakomodasikan kepentingan Islam. Selain Kraton sebagai tempat tinggal Sultan, Sultan juga mendirikan Masjid dan perkampungan untuk tempat tinggal keluarga Penghulu Kraton dan para stafnya, didirikanlah perkampungan yang diberi nama Kauman. Menurut GF Pijper81, Kauman yang terletak di dekat masjid dimungkinkan sebagai penjelmaan dari keinginan untuk dekat kepada sesuatu ”yang suci”. Lepas dari hal itu, perkampungan Kauman memang menarik. Penduduknya adalah para abdi dalam santri yang mengabdikan diri pada pemerintah, dan karenanya mereka termasuk golongan Priyai82, tetapi dari segi kelas sosial mereka termasuk kelas menengah. Pada perkembangan berikutnya, kampung Kauman tidak hanya terdapat di sekitar Kraton. Kampung Kauman dengan citranya sebagai kampung santri terbentuk juga di berbagai kota yang jauh dari Kraton. Salah satu kampung Kauman terdapat di Krian Sioardjo, Jawa Timur.
80
Mengenai BKPRI lihat bukunya H. Ridwan Saidi ”Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925 -1984”, h. 62-63. 81 GF Pijfer, beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (Jakarta, UI Press, 1984), h. 65. 82 Istilah Priyai digunakan tidak untuk mengacu kepada sesuatu konsep. Sekedar menunjukkan bahwa golongan ini berasal dari kalangan pegawai pemerintah.
Di kampung ini hiduplah suami-istri Tamsir dan Datun. Tamsir seharihari bekerja sebagai kepala kantor pos Krian,
Tmasir dan Datun
sesungguhnya bukanlah penduduk asli Kauman, mereka sama-sama berasal dari Pacitan. Untuk ukuran zamannya, Tmsir adalah pelopor. Beliau terhitung orang yang pertama keluar dari desa untuk mencari kerjaan, walaupun sesungguhnya dangan jabatan ayahnya sebagai kepala desa, bahkan melewati batas Kabupaten. Karena itulah, bertahun-tahun kemudian jika ada warga desa hendak mencari pekerjaan di Surabaya, rumah Tamsir senantiasa menjadi semacam stasiun persinggahan. Sebagai kepala kantor pos Krian, prestasi kerja Tamsir sesungguhnya cukup baik. Jika beliau bersedia di pindahkan ke kota lain, tentu jabatannya akan meningkat. Akan tetapi, Krian terutama Kauman dengan lingkungan santrinya sudah terlanjur mengikat hati Tamsir dan Datun. Beliau lebih memilih tetap sebagai kepala kantor pos, dari pada harus pindah dari Krian. Begitulah sampai pensiun, Tamsir tetap kepala kantor pos Krian. Pasangan Tamsir (1891-1966) dan Datun (1903 – 1979) dikarunai enam putra. Lima laki-laki, dan seorang perempuan. Anak sulung pasangan suami istri yang berbahagia ini dilahirkan di Krian pada tanggal 8 November 1923, dan diberi nama Harjono.83 Sebagai anak yang dilahirkan dikampung santri, Harjono telah sejak dini diperkenalkan kepada Islam. Selain mendapatkan pendidikan Islam langsung dari orang tuanya, Harjono belajar kepada seorang Kiyai yang tinggal di dekat masjid. Kiyai Mas demikian para penduduk
83
Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 20.
kampung Kauman biasa
memanggilnya.
Dari Kiyai Mas,
Harjono
mempelajari Al-quran, termasuk doa-doa yang diambil dari kitab suci itu. Hubungan Tamsir dengan putra-putrinya tampak cukup akrab. Itu terlihat dari kebiasaan Tamsir mendialogkan apa saja yang baru dilakukannya pada hari itu kepada sisulung Harjono. Dari kebiasaan berdialog itulah Harjono kemudian tahu bahwa meskipun ayahnya seorang pegawai pemerintah, beliau rupanya salah seorang simpatisan Sarekat Islam khususnya dan pergerakan nasional pada umumnya. Setiap habis menghadiri rapat umum Sarekat Islam di Surabaya, Tamsir selalu menceritakan kesan-kesannya.
b. Perjalanan Pendidikan Anwar Harjono
Sikap
simpati
dan
minatnya
terhadap
pergerakan
nasional,
mempengaruhi pola pikir Tmasir terutama dalam hal pendidikan anakanaknya. Hal ini dapat terlihat dengan dimasukkannya Harjono ke Taman Siswa di Mojokerto, bukan di Hollands Inlandse School (HIS), sekolah dasar yang didirikan oleh Belanda bagi para Pribumi.84 Sebagaimana diketahui Taman Siswa merupakan lembaga pendidikan yang di dirikan oleh Ki Hajar Dewantara, pada tanggal 3 Juli 1922, sebagai wujud respon terhadap sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Di Taman Siswa dikembangkan sistem pendidikan yang demokratis. Sebutan murid terhadap guru di sekolah-sekolah Belanda harus meneer atau tuan, tetapi dalam Taman Siswa murid memanggil guru hanya dengan sebuah pak, mas
84
Ibid., h. 23.
atau ibu saja. Ke sekolah semacam itulah Hrjono dikirim ayahnya. Rasa cinta tanah air, dan sikap demokrat dipupuk di sekolah ini.85 Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, di Taman Siswa Mojokerto, walaupun dalam waktu yang singkat sempat pula pindah ke Taman Siswa Surabaya. Kedua orang tuanya menunjukkan keinginan kuat untuk menjadikan anak sulung mereka ahli dan berkhidmat kepada agama, maka Harjono pun dikirim ke Muallimin Muhammadiyah Malang, sebuah lembaga pendidikan yang cita-citanya guna mendidik kader pendidik dan da’i persyarikatan. Namun beberpa saat setelah mengikuti pendidikan di Muallimin Muhammadiyah Malang, ayah Harjono membaca iklan tentang dibukanya Muallimin Muhammadiyah di Yogyakarta, yang pengelolaannya dilaksanakan oleh tokoh-tokoh pimpinan pusat Muhammadiyah. Atas inisiatif ayahnya, Harjono yang ketika itu baru naik ke kelas dua dipindahkan ke Yogyakarta. Pengalaman yang dia peroleh dari proses belajar mengajar selama lima tahun (1938 – 1942), memberikan pengaruh yang amat mendalam bagi pengalaman hidup Harjono berikutnya. Murid-murid Muallimin, sebagai kader Muhammadiyah masa depan, tidak hanya memperoleh teori-teori, tetapi diajarkan pula praktik-praktik lapangan. Murid-murid Muallimin juga mendapatkan pendidikan kader politik dari tokoh-tokoh Partai Islam Indonesia (PII) seperti: Dr. Soekiman Wirdjosanjojo, Wali Al-Fatah, dan lain-lain. Bahkan Harjono beserta temantemannya juga sering menghadiri rapat-rapat umum yang diadakan tokoh-
85
Ibid., h. 24.
tokoh Partai Islam Indonesia (PII).86 Dan satu hal lain yang perlu menjadi catatan, dan dapat membantu memahami sosok pergerakan yang ada di dalam diri Hrjono, adalah kebiasaannya membaca surat kabar yang menyuarakan semangat pergerakkan seperti: Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Islam Bergerak. Jiwa kepemimpinan yang ada dalam dirinya, merupakan salah satu hasil yang ia dapat di Muallimin Yogyakarta, di sana ia aktif di Kepanduan Muhammadiyah, Hizbhul Wathon87, bahkan Harjono pun pernah tercatat sebagai pemimpin Hizbhul Wathon, ketika ia duduk di kelas akhir. Setelah ia lulus dari Muallimin, sayang kelulusannya dipaksakan kondisi dikarenakan faktor hadirnya penjajahan Jepang di Indonesia, Harjono mulai mengabdikan
dirinya
di
dunia
pendidikan,
ia
mengajar
di
HIS
Muhammadiyah. Di tengah pengabdian dirinya pada dunia pendidikan, hasrat untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut tetap ada di dalam niatnya, maka Harjono pun mencoba masuk di Sekolah Menengah Tinggi Surabaya, kendatipun ia tidak mempunyai ijazah MULO sama dengan SMP sekarang. Harjono tetap diterima di SMT. Bahkan lebih sekedar dari itu ia juga dianggap murid yang pandai dan berbakat, hal itu dikarenakan ia telah terbiasa berbahasa Indonesia. Ketika itu bahasa Indonesia belumlah lazim digunakan. Setelah keluar dari SMT, Harjono muda masih tetap mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan, tetapi ada perkembangan lain yang tidak diperkirakan, pada usia 20 tahun, kedua orang tua Harjono menyuruhnya 86
Partai Islam Indonesia didirikan pada tanggal 4 Desember 1938. ketuanya yang pertama adalah Raden Wiwoho, bekas Ketua Umum Jong Islamiten Bond (JIB) dan anggota Volksraad. 87 Hizbhul Wathon dibentuk pada tahun 1918 oleh K.H.. A. Dahlan. Mulanya sebagai bagian dari Departemen Pendidikan Muhammadiyah. Pada tahun 1926, Kongres Muhammadiyah memutuskan untuk membentuk departemen khusus bagi gerakan kepanduan yang diberi nama Majlis Hizbul Wathon.
untuk segera menikah, dan untuk istri sudah dipilihkan. Namun Harjono merasa terlalu muda untuk menikah dan semangatnya untuk menimba ilmu masih tinggi. Hal inilah yang mendorong Harjono untuk berangkat ke Jakarta selain juga untuk menghindar dari keinginan orang tuanya.88 Kehidupan barunya di Jakarta diisi dengan mengikuti kursus bahasa Jepang, di jalan Cilacap, Cikini. Dan tinggal sementara di rumah tantenya. Untuk mengurangi beban yang ditanggung tantenya, Harjono berusaha mencari pekerjaan dan pondokan, dan ia kemudian berhasil mendapatkan pondokan baru yaitu asrama Kramat 19, yang kemudian Balai Muslimin Indonesia dan asrama mahasiswa Sekolah Tinggi Islam. Menyusul setelah Harjono mendapatkan pondokan baru, pada tahun 1943 ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai staf perpustakaan di Gunseinkabu Soombu Chosashitsu (Biro Pusat Statistik) yang berkantor di jalan Dr. Soetomo. Tempaan pendidikan agama dan tauhid yang kuat dari kedua orang tuanya, dan latar pendidikan di Muallimin Muhammadiyah, membuat Harjono kukuh dan lebih memilih keluar dari pekerjaannya. Faktor yang membuatnya lebih memilih keluar dari pekerjaannya adalah adanya kewajiban bagi para pegawai untuk melakukan Saikerei: yaitu upacara menghormati Tenno Heika yang dianggap sebagai putra Dewa Matahari, dengan cara membungkukkan badan sebagaimana rukuk, dalam shalat ke arah Timur Laut. Bahkan sekali waktu seluruh karyawan BPS diwajibkan untuk hadir di Chureido, tempat penyimpanan abu prajurit Jepang, di gereja Immanuel dan diwajibkan memberi hormat kepada abu para prajurit Jepang tersebut.89 88 89
Ibid., h. 32. Ibid., h. 33.
Kegundahan rohani akibat kewajiban ber-seikerei, membuatnya merasa ada beban batin. Maka ia pun berusaha mencari ketetapan ruhani dalam shalat tahajud yang memang ia tidak pernah tinggalkan. Upaya untuk mencari ketenangan dan ketetapan hati memperoleh suatu keputusan, Harjono akan meneruskan mempelajari ilmu keagamaan, dan lembaga yang dipilihnya ialah pesantren yang paling berpengaruh ketika itu, yakni Pondok Pesantren Tebuireng. Pesantren yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari (1871 – 1947). Pondok Pesantren Tebuireng yang terletak di desa Cukir, kurang lebih 8 kilometer sebelah tenggara kota Jomnbang, Jawa Timur,90 didirikan oleh Kiyai Hasyim pada tahun 1899 dan diakui resmi oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 6 Februari 1906.91 Pesantren Tebuireng menjadi terkenal bukan saja karena peranannya yang menentukan di dalam pembentukkan dan pengembangan Jam’iyyah Nahdlathul Ulama (NU) yang sejak didirikannya pada tahun 1926 telah mengambil bagian yang cukup penting dalam kehidupan politik di Indonesia,92 tetapi juga karena didirikannya Pondok Pesantren ini telah memperlihatkan kecendrungannya yang amat kuat terhadap pembaharuan materi dan metode pengajarannya. Bagi Harjono yang terbiasa dengan model pendidikan sekolah, masuk pesantren dan menjadi santri sama artinya dengan menjalankan kehidupan baru. Karena itulah dia mempersiapkan diri lahir batin menjelang keberangkatannya ke Pesantren. Selama Harjono menuntut ilmu di pesantren
90
Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (LP3ES, Jakarta, 1982), Cet. Ke-2, h. 100. 91 Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim...., h. 77. 92 Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 35.
tersebut, pada tahun 1916-1919 terjadi reformasi dan pembaharuan dalam pendidikan pesantren Tebuireng tersebut yang dimotori oleh K.H. Wahid Hasjim dan Kiyai Ma’shum.93 Semenjak reformasi dan pembaharuan mata pelajaran dengan dimasukkannya pelajaran umum di pesantren Tebuireng, Harjono kemudian di percaya untuk mengajar pelajaran umum semisal: Ilmu Bumi, Sejarah, dan Bahasa Jepang. Yang pada awalnya Harjono sudah menguasai pelajaran tersbut. Di pesantren Tebuireng Hrjono juga dizinkan untuk mengikuti pengajian sorogan langsung kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asya’ri, padahal hanya para Gus (keturunan Kiai/kerabat dekat Hadratus syaikh) yang kala itu mengikuti pengajian sorogan.94 Meskipun demikian, Harjono mendapatkan pengalaman yang tidak baik di pesantern pada awal ia masuk, ia sempat dicurigai lantaran namanya Harjono bermata sipit berkepala plontos serta mampu bahasa Jepang, akhirnya Harjono bertekad menambahkan nama depannya dengan Anwar, jadilah nama lengkapnya Anwar Harjono.95 Pada awal tahun 1945, Masyumi membuat dua keputusan: Pertama membentuk barisan Mujahidin dengan nama Hizbullah. Kedua mendirikan perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Sebagai tindak lanjut dari keputusan mendirikan STI, pada bulan April 1945 Masyumi mengundang para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai kalangan swasta dan pemerintah untuk lebih mengkonkritkan rencana tersebut.96
93
Dhofier, Tradisi Pesantren...., h. 104. Metode Sorogan adalah metode yang bersifat individual, dimana sang santri mengaji kitab tertentu dan membacakannya di depan Kiyai atau asistennya. 95 Ibid., h. 41. 96 Ibid., h. 42. 94
Berita dibukanya STI di Jakarta, sampai juga ke telinga Harjono di Tebuireng. Dulu ketika Dr. Satiman Wirjosandjojo mendirikan perguruan tinggi Islam yang disebut Pesantren Luhur di Surakarta, ayahanda Harjono ingin sekali memasukkan anak sulungnya ke sana. Niat itu tidak terlaksana, karena Pesantren Luhur itu keburu ditutup. Kini ketika Harjono mendengar STI dibuka, perhatiannya dituju kesana. Yang pada waktu itu Harjono sudah setahun nyantri di Tebuireng. Hasratnya ingin masuk ke STI dikemukakan kepada Kiyai Wahid Hasjim yang ternyata memberi dukungan penuh. Maka Harjono pun pergi ke Jakarta untuk masuk STI. Setibanya di Jakarta Harjono bertemu Rektor STI, K.H.A. Kahar Muzakir. Bekas Direktur Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta yang telah lama mengenal Harjono. Kemudian Anawar Harjono menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Islam dan tinggal di Balai Muslimin97, jalan Kramat Raya 19.
c.
Persepektif Anwar Harjono Tentang Pancasila Dan Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945)
Pendirian Harjono yang sangat tegas mengenai konstitusi negara Indonesia, sesungguhnya bukanlah hal baru. Dan bukan soal yang mengherankan bagi Harjono, sepanjang menyangkut Pancasila sebagai falsafah dasar negara, sejak diproklamasikan kemerdekaan tidak ada satu partai Islam pun yang ragu-ragu menyatakan penerimaannya. Penerimaan itu tidak dilakukan sebagai taktik. Umat Islam menerima Pancasila, adalah karena 97
Balai Muslimin pada saat itu sebagai salah satu markas perjuangan nasional dan dalam perkembangan sejarahnya Balai Muslimin sebagai tempat lahirnya G.P.I.I.. Di Jakarta pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia terdapat tiga markas pergerakan Nasional yaitu: Menteng Raya 31, Prapatan 10, dan Kramat Raya 19, ketiganya sangat berperan di dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
pertimbangan-pertimbangan yang asasi, yakni karena asas Islam dapat menerima Pancasila. Sikap Harjono terhadap Pancasila, dalam tulisannya yang berjudul ”Piagam Jakarta dan Persepektifnya dalam Perundang-undangan Nasional Kita”. Bagi Harjono, Piagam Jakarta adalah perumusan Kompromis atau gentlemen agreement antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan.98 Bagi Harjono, berdasarkan keterangan di atas, jelaslah ada “faktor luar” yang sangat kuat sekali yang mempunyai daya menentukan, sehingga mampu ”membongkar” sama sekali perumusan kompromis yang dengan susah payah telah dihasilkan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan melalui Panitia Sembilan yang mereka bentuk. Apa dan siapa sebenarnya ”Faktor luar yang mempunyai daya menentukan sehingga mampu membongkar sama sekali gentlemen agreement itu”, menurut Harjono perlu diselidiki dengan cermat dan serius.99 Menurut Harjono Piagam Jakarta kerap kali diidentikan dengan ide Negara Islam dalam pengertian yang juga tidak tepat, padahal sepanjang sejarah, belum pernah ada satu partai Islam pun yang mencantumkan tujuannya
untuk
membentuk
negara
Islam.
Harjono
mengingatkan,
menghidup-hidupkan kembali masalah sikap umat Islam terhadap Pancasila dalam konotasinya yang negatif, pada waktu negara dan bangsa sedang berada dalam taraf pembangunan sekarang ini, adalah sungguh tidak bijaksana. Lebih-lebih karena MPRS sendiri dalam sidang IV tahun 1966 dengan ketetapan No. XX/MPRS/1996 telah mempertegas kedudukan hukum Piagam 98 99
Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 340. Ibid., h. 342.
Jakarta, maka membongkar kembali kesepakatan itu semata-mata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan machts-politik yang bersifat sangat insidental, hanya akan menimbulkan dampak nasional serius.100 Karena itu, Harjono menegaskan kembali pendiriannya, sikap umat Islam terhadap Pncasila sebagai filsafat dasar negara tidak perlu diragukan lagi. Jangankan mengenai Pncasila, hasil ciptaan manusia, ujar Harjono, ”sedangkan mengenai wahyu-wahyu Tuhan sendiri orang dapat berbeda-beda dalam penafsiran dan pengamalannya.” karena itu, perbedaan-perbedaan penafsiran dan pengamalan Pancasila, bukan saja terjadi antara golongan Islam dengan golongan-golongan lainnya, melainkan juga terjadi dalam golongan Islam masing-masing, bahkan juga di dalam golongan-golongan lainnya. ”Maka itu, dalam hal ini yang diperlukan ialah kelapangan dada dari segala pihak, baik secara perorangan maupun golongan”. Tegas Harjono. Pertanyaannya kemudian, apakah dengan dicoretnya tujuh kata dari rumusan Pancasila yang pertama, Syari’at Islam menjadi kehilangan hak hidupnya di Indonesia, dan dengan demikian mustahil dilaksanakan oleh rakyat Indonesia yang beragama Islam? Menjawab pertannyaan ini, Harjono lebih dulu mengemukakan fakta perumusan Pancasila yang dalam sejarah mengalami beberapa kali perubahan: (1) Perumusan pertama pada tanggal 22 Juni 1945, (2) Perumusan kedua pada tanggal 18 Agustus 1945, (3) Perumusan ketiga pada tanggal 6 Februari dan 15 Agustus 1950, dan (4) Perumusan keempat pada tanggal 5 Juli 1959.101
100 101
Ibid., h. 343. Ibid., h. 344.
Melihat berbagai perubahan rumusan itu, Harjono berpendapat bahwa sebenarnya yang diperjuangkan oleh umat Islam selama ini, dengan tidak memandang partai tempatnya menyalurkan aspirasi politik, adalah masih tetap dalam rangka penerimaannya terhadap Pancasila sebagai falsafah negara yang mengikat kita semuanya sebagai bangsa. Sambil mengingatkan agar jangan mempertentangkan Syari’at Islam dengan Pancasila, Harjono merujuk penegasan agar Perdana Menteri Djuanda ketika menjawab pertanyaan anggota DPR, Ahmad Sjaichu, sehubungan dengan bunyi konsideran Dekrit 5 Juli, bahwa kepada perkataan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam pembukaan UUD 1945, dapat diartikan ”Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan Syari’at Islam Islam”, sehingga dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam yang disesuaikan Syari’at Islam.102 Harjono kemudian menunjuk beberapa kasus ”perbenturan” antara pihak yang mengatur dengan pihak yang diatur, akibat diabaikannya hal-hal di luar kekuasaan badan pembuat undangundang: 1. Proses terjadinya Undang-undang Perkawinan yang dimulai dengan RUU yang bersifat sekuler, dan tidak menentu departemen mana yang mengajukannya sebagai RUU ke DPR. 2. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang membakar bukubuku Pendidikan Moral Pancasila. 3. Proses terjadinya Undang-undang Pradilan Agama yang banyak menarik perhatian agama, khususnya pihak-pihak non-Islam. 102
Mr. Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Jajasan Prapanca, 1959), h. 621.
4. Proses terjadinya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang semula berjiwa sekuler, dan kemudian dapat memenuhi hasrat ummat. 5. Reaksi-reaksi Masyarakat terhadap aturan-aturan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang murid sekolah memakai kerudung/jilbab sesuai keyakinan agama mereka yang kemudian ditinjau kembali, sehingga tidak bertentangan dengan UUD. Semua itu menurut Harjono, sekedar mengilustrasikan bagaimana harga yang harus dibayar jika peraturan dibuat hanya berdasarkan kemauan mereka yang berada di eksekutif/legislatif. Dan itu terjadi tidak salah lagi, karena secara sadar maupun tidak sadar, mereka yang berwewenang membuat undang-undang mengabaikan jiwa dan semangat konstitusi negara. Juga aspirasi yang hidup di dalam qalbu mayoritas rakyat Indonesia.
D. Kontribusi Harsono Tjokroaminoto dan Anwar Harjono Di dalam G.P.I.I. c. Harsono Tjokroaminoto Untuk memahami kontribusi Harsono Tjokroaminoto serta usaha-usaha yang dilakukannya bagi perkembangan G.P.I.I., maka perlu dipahami terlebih dahulu dari pemikirannya. Ditegaskan oleh Harsono sebagai berikut: ”Di dalam zaman kemerdekaan Indonesia saya membangun bukan untuk melawan, bukan untuk memberontak dan memecah belah kekuatankekuatan, tetapi saya membangun negara yang biasa disebut dengan Istilah state dan nation building. Saya tidak memecah dan memberontak, melainkan dengan senjata ampuh yang saya miliki yaitu dengan jiwa Islam dan dengan bekal ideologi dan falsafah negara Pancasila saya ikut
membangun suatu bangsa dan negara Indonesia, yang merdeka dan berdaulat”.103 Menurut Harsono Tjokroaminoto ”Nasionalisme sudah tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia sejak dahulu dan oleh karenanya kita pergunakan sebagai alat pengikat persatuan. Sedangkan agama adalah landasan utamanya”.104 Unsur agama bagi G.P.I.I. memang merupakan sendi utamanya sebagai landasan, tetapi untuk keluar yaitu pengembangan dan pembinaan terhadap persatuan bangsa Indonesia maka rasa nasionalisme itu harus lebih dipertajam, lebih-lebih menjelang saat-saat yang sudah dapat diperhitungkan, saat rakyat Indonesia akan merdeka. Kedua sendi tersebut yaitu Islamisme dan Nasionalisme selalu dipegang teguh oleh Harsono Tjokroaminoto sehingga kedua sendi tersebut diterapkan pula di dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang pernah dipimpinnya. Hal ini bisa dilihat ketika G.P.I.I. berdiri pada tanggal 2 Oktober 1945, Ketua Umumnya yang pertama yaitu Harsono Tjokroaminoto telah berhasil merumuskan Anggaran Dasar Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang menjelaskan bahwa Gerakan ini mendukung semangat Nasionalisme di dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, adapun Anggaran Dasar G.P.I.I. yang mencerminkan semangat tersebut ialah sebagai berikut: Fasal 4 ”Gerakan Pemuda Islam Indonesia membela kesempurnaan Agama Islam dan menentukan
haluan
perjuangan
Pemuda
Islam
Indonesia
untuk
mempertahankan serta menyempurnakan Negara Republik Indonesia merdeka yang berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.105 103 104 105
Terlihat jelas bahwa
Soebagijo I.N., Mengikuti Jejak...., h. 277. Harsono, Menelusuri jejak...., h. 56. “Anggaran Dasar G.P.I.I.,” Kedaulatan Rakyat, 29 November 1945, h. 2.
tujuan dari perjuangan G.P.I.I. yaitu berdasarkan falsafah Pancasila yaitu sila ke 1 (satu) Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan fakta di atas. Pemikiran Harsono Tjokroaminoto mengenai Islamisme dan Nasionalisme ternyata memberikan implikasi bagi dirinya terhadap perjuangan di dalam masa-masa awal kemerdekaan. Salah satunya ialah, kontribusinya yang sangat besar sekali di dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia yaitu ketika Harsono Tjokroaminoto dipercaya untuk memberikan sebuah nama bagi pergerakan pemuda Islam. Pada saat itu Harsono Tjokroaminoto ditugaskan oleh pemuka Masjumi yang berkumpul disatu Hotel di jalan Kramat di sebelah stasiun trem untuk mengadakan suatu musyawarah. Beberapa Pemuka Islam antara lain: dr. Soekiman, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Kiai Haji Mas Mansur, Zainul Arifin, dan Wahid Hasjim. Pertemuan tersebut membicarakan serta merencanakan bagaimana cara mempersatukan semua pergerakan pemuda Islam yang ada kedalam satu wadah tunggal.106 Harsono Tjokroaminoto memberikan sebuah nama gerakan bagi pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia, nama tersebut tidak serupa dengan nama-nama yang sudah lampau dan juga hendaknya tidak berbau partai politik, tetapi tetap mempunyai watak suatu gerakan pemuda yang dinamis sifatnya dan bernafaskan Islam. Pada bulan Oktober 1945 lahirlah dengan resmi satu wadah tunggal pemuda-pemuda Islam yang ada di seluruh Indonesia.
106
Sejarah Lisan, Menelusuri Jejak...., h. 127.
Kontribusi Harsono Tjokroaminoto ternyata tidak hanya memberikan sebuah nama gerakan bagi pemuda Islam seluruh Indonesia. Akan tetapi, kelahiran Organisasi G.P.I.I pada awal kemerdekaan ternyata memberikan kedudukan bagi Harsono Tjokroaminoto sebagai Ketua Umum yang pertama. Hal itu sejalan dengan kiprah dan kontribusi Harsono Tjokroaminoto di dalam pergerakan pemuda pada umumnya dan pergerakan pemuda Islam pada khususnya.
d. Anwar Harjono
Sejak G.P.I.I. berdiri pada tanggal 2 Oktober 1945 di Jakarta, Anwar Harjono terus terlibat di dalamnya. Anwar Harjono mula-mula muncul sebagai Sekretaris Umum PP G.P.I.I., ketika Ketua PP G.P.I.I. berpindah dari Harsono Tjokroaminoto. Posisi sebagai sekretaris dimasa itu agaknya memang pas dengan temperamen Anwar Harjono yang tenang, karena itulah ketika G.P.I.I. memperluas kiprahnya, Harjono sebagai orang G.P.I.I. ditunjuk mewakili G.P.I.I. sebagai sekretaris. Seperti di Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia Harjono sebagai salah satu perwakilan dari G.P.I.I. yang ditunjuk sebagai Sekretaris demikian pula di dalam Benteng Republik yang dibentuk oleh berbagai partai dan organisasi yang menentang perjanjian Linggar Jati. Namun demikian, posisi sekretaris tidak selamanya dijabat oleh Anwar Harjono. Semenjak menghadapi agresi Belanda kedua Harjono meninggalkan posisi sekretaris. Mula-mula Harjono ditunjuk sebagai Ketua PP G.P.I.I. Darurat ketika menghadapi agresi Belanda II, setelah Belanda menyerah, mandat Ketua PP G.P.I.I diserahkan kembali oleh Anwar Harjono, dalam
kepengurusan yang diperbaharui, Anwar Harjono dipercaya menjadi Ketua I. Tidak hanya di situ saja, ketika G.P.I.I. memperluas kiprahnya Anwar Harjono sebagai perwakilan dari G.P.I.I. dipercaya menjadi Ketua di dalam Front Nasional Pemuda (FNP). Kontribusi Anwar Harjono bagi G.P.I.I. dapat dilihat dari Kongres ke Kongres G.P.I.I. sebagai Berikut:107 Kongres Pertama diselenggarakan di Surakarta pada tanggal 25-26 Desember 1945, Anwar Harjono dalam kepengurusan pada periode tersebut menjabat sebagai Sekretaris Umum. Pada tanggal 15 Maret 1946, PP G.P.I.I. mengumumkan mobilisasi pemuda Islam untuk menghadapi agresi militer Belanda II. Masuknya G.P.I.I. ke Benteng Republik Indonesia dan terbentuknya Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, menempatkan posisi Anwar Harjono sebagai salah satu perwakilan dari G.P.I.I. sebagai Sekretaris di dalam kedua badan perjuangan tersebut. Kongres Kedua diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 13-15 Maret 1947. Keputusan-keputusan antara lain: (1) menyatakan hubungan kerja sama dengan Masyumi, (2) Berusaha mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda Islam seluruh dunia, (3) Karena perbedaan pandangan politik yang prinsipil dengan BKPRI, memutuskan supaya G.P.I.I. keluar dari BKPRI. (4) Memilih Harsono Tjokroaminoto sebagai Ketua Umum G.P.I.I., dengan pengertian susunan kepengurusan yang lain tidak berubah. Di dalam kepengurusan tersebut, Anwar Harjono tetap sebagai Sekretaris Umum.
107
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 126-127.
Kongres Ketiga diadakan di Surakarta pada tanggal 23-25 April 1948. Kongres antara lain memutuskan G.P.I.I. Menolak perjanjian Renville. Pada periode inilah Anwar Harjono ditunjuk menjadi Ketua PP G.P.I.I. Darurat. Kongres Kempat diselenggarakan di Semarang pada tanggal 15-21 Maret 1950. Pada kongres tersebut membicarakan ikhtiar membangun kembali organisasi G.P.I.I. setelah selesai revolusi fisik. Juga diambil keputusankeputusan mengenai soal-soal politik, keamanan dan lain-lain. Perlu dicatat pula pada periode ini Anwar Harjono menjabat sebagai Wakil Ketua I. Demikianlah kiprah Anwar Harjono di dalam organisasi G.P.I.I. dari awal berdirinya sampai masa revolusi fisik berakhir. Beliau selalu aktif di dalam organisasi tersebut dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit, sehingga hal tersebut terlihat dari kemajuan yang dicapainya kepercayaan G.P.I.I.
dengan diberikannya
sebagai Sekretaris Umum dan akhirnya menjadi Ketua PP
BAB IV PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA ISLAM INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949
Sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 timbulah keinginan dan gelombang kegembiraan baru dikalangan rakyat, terutama pemuda dan setiap warga negara, yaitu menganggap bahwa sudah menjadi tugasnyalah untuk melindungi Republik Indonesia dan kemerdekaan yang baru saja direbut.108 Perjuangan para pemuda Islam melalui wadah G.P.I.I. yang berpusat di Balai Muslimin adalah sebagai salah satu representasi nyata di dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru merdeka. Perjuangan G.P.I.I. Tidak mungkin dapat dipisahkan dari Balai Muslimin itu sendiri, sebab dari Balai Muslimin pula arus pergerakan pemuda Islam dimulai dengan direalisasikannya G.P.I.I. sebagai wadah perjuangan
dan Balai
Musliminlah sebagai tempat lahirnya G.P.I.I. sekaligus sebagai markas G.P.I.I. pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. Perjuangan Politik G.P.I.I. dapat dilihat di dalam organisasi kepemudaan, G.P.I.I. mencoba membendung pengaruh komunis (Pesindo). Di dalam usaha membendung pengaruh Komunis, G.P.I.I. dan organisasi pemuda lainnya membentuk satu wadah yang disebut BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia), BKPRI ini adalah hasil dari penolakan organisasi G.P.I.I. dan organisasi lainya yang tidak mau difusikan dengan organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).109 108 109
P.R.S. Mani, Jejak Revolusi 1945…., h. 87. H. Ridwan, Pemuda Islam...., h. 61.
58
Untuk lebih memperkuat barisan umat Islam pada tanggal 26 Oktober 1946, Gerakan Pemuda Islam Indonesia di dalam mempertahankan kemerdekaan menyatukan langkah dengan merealisasikan Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, bersama Markas Tertinggi Sabililillah atas nama K.H. Masjkur, Zainul Arifin atas nama Markas Tertinggi Hizbullah dan R. H. Benjamin atas nama PP G.P.I.I..110
A. Berjuang Melalui Balai Muslimin Kramat Raya 19 Peranan pemuda dan mahasiswa di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia sangat besar kontribusianya. Fakta itu bisa dilihat dari eksistensi para pemuda pada awal-awal kemerdekaan Indonesia yang di analisis oleh seorang peneliti yang bernama Bend Anderson, ia mengatakan bahwa: “Ia menemukan keterangan-keterangan mutakhir dari orang-orang Indonesia, Belanda dan Inggris sama-sama menekankan bahwa peranan inti pada awal pecahnya revolusi itu diambil, bukan oleh para cendekiawan yang terasingkan, bukan juga terutama oleh kelas-kelas tertindas, melainkan oleh kaum muda, atau sebagaimana orang-orang Indonesia menyebutnya mereka, Pemuda”.111 Eksistensi para pemuda, bisa dilihat dari munculnya organisasi-organisasi lokal di kota-kota. Didirikannya organisasi-organisasi tersebut ialah untuk menghimpun potensi pemuda yang akan merealisasi isi Proklamasi khususnya untuk merealisasi apa yang tercantum di dalam naskah Proklamasi, adapun isi naskah Proklamasi tersebut adalah sebagai berikut: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan
110 111
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 126. Ben Anderson, Revolusi...., h. 15.
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”112 Atas dasar ini, pemudalah satusatunya kekuatan yang sanggup dan dalam tahun khususnya 1945-1946 yang sanggup merealisasikan pemindahan kekuasaan secara fisik dan nyata. Pada masa dewasa itu di Jakarta telah dibentuk organisasi pemuda yang maksud serta tujuannya memberi dukungan kepada Republik Indonesia yang baru berdiri. Namun, organisasi pemuda yang baru berdiri tadi ternyata tidak mewakili pemuda Islam dan tidak ada tanda-tanda bernafaskan ke-Islam-an. Padahal, dalam negara merdeka yang namanya Republik Indonesia, umat Islam merupakan mayoritas dan justru kerenanya sudah sewajarnyalah apabila pemuda Islam yang mempunyai wadah sendiri ikut dalam mempertahankan kelangsungan hidup negara yang masih muda itu. 113 Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, para pemuda Islam pada tanggal 2 Oktober 1945 mengadakan pertemuan yang dihadiri antara antara lain: para Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam, pemuda-pemuda Islam di Jakarta dan para pemuka Islam yang dapat dicapai ketika itu. Pertemuan itu diadakan di gedung Kramat Raya No. 19 di Jakarta yang dinamakan Balai Muslimin Indonesia. Rapat pembentukkan pada 2 Oktober 1945 itu dimulai pada pukul 4.30 sore. Setelah diadakan pertukaran pikiran seperlunya, maka disetujuilah mendirikan organisasi pemuda Islam yang dicita-citakan itu dan diberi nama Gerakan Pemuda Islam Indonesia (G.P.I.I.).114 Perjuangan para pemuda Islam melalui wadah G.P.I.I., tidak mungkin dapat dipisahkan dari peranan Balai Muslimin itu sendiri. Sebab dari Balai Muslimin pula arus pergerakan pemuda Islam dimulai dengan direalisasikannya 112 113
114
A. Dahlan Ranuwihardjo, S.H., Pergerakan Pemuda...., h. 8. Subagijo I.N., Harsono Tjokrominoto Mengikuti...., h. 82-85. H. Aboe Bakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim...., h. 449.
G.P.I.I. sebagai wadah perjuangan dan Balai Musliminlah sebagai tempat lahir G.P.I.I. sekaligus sebagai markas G.P.I.I. pada awal-awal kemerdekaan. Di dalam perkembangan lebih lanjut, perjuangan G.P.I.I. melalui Balai Muslimin direalisasikan dengan bersedianya Markas Balai Muslimin dijadikan tempat untuk sidang II KNIP 115 dan para penghuni Balai Musliminlah yang aktif mempersiapkan pelaksanaan sidang II KNIP.116 Ketika Sekretaris Wakil Presiden, I. Wangsawidjaja datang ke Balai Muslimin untuk memberitahukan bahwa pemerintah akan mempergunakan Balai Muslimin sebagai tempat bersidang KNIP, dan meminta agar para mahasiswa STI mempersiapkan ruang sidang dan menjaga kemanan selama sidang berlangsung; para mahasiswa STI yang notabene adalah para nggota G.P.I.I. dengan sigap melaksanakan permintaan tersebut.117 Pada masa itu di Jakarta mulai memanas, sering kali terjadi insiden antara para pejuang kemerdekaan dengan tentara Jepang maupun dengan
pasukan
NICA,
hal
tersebut
membuat
G.P.I.I.
seluruhnya
mengamankan Balai Muslimin dengan ekstra ketat. Menurut kesaksian Sobagijo I. N. di Balai Muslimin sendiri tidak luput dari pasukan NICA, lebih lanjut ia menceritakan sebagai berikut: “Pada suatu ketika seorang anggota PETA sedang menawar barang di kaki lima dengan tanpa sebab ditembak. Prajurit PETA itu terjatuh dan diusung masuk ke Balai Muslimin yang waktu itu dipergunakan juga sebagai tempat penginapan bagi anggota KNIP dari seberang, dan dalam tempo sekejap terjadi tembak-menembak. Begitulah yang terjadi setiap hari di awal revolusi di Balai Muslimin”.118 115
KNIP yang membantu Presiden dalam melaksanakan kekuasaan sebelum MPR, DPR, dan Dewan Pertimbangan Agung sebelum di bentuk, karena tanggal 17 Agustus semua bekas anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan ditetapkan menjadi anggota KNIP. Untuk lebih lanjut lihat buku Dr. Ir. Soekarno dan KH. Ahmad Dahlan, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Depdikbud, Jakarta, 1999, h. 57-58. 116 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya..., h. 131. 117 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya..., h. 54 -55. 118 Ibid., h. 135-136; lihat juga buku Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993), h. 78.
Sidang II KNIP yang berlangsung di Balai Muslimin pada tanggal 15, 16, dan 17 Oktober 1945, sidang yang dihadiri kira-kira 120 orang anggota dari berbagai daerah di Jawa, yang disaksikan oleh wakil Presiden Mohammad Hatta dan menteri-menteri itu betul-betul mencerminkan suasana revolusi.119 Pada hakekatnya rapat KNI-P tanggal 16 Oktober 1945 di Balai Muslimin yang bersejarah itu adalah mengambil segala kekuasaan yang masih bertumpuk dalam tangan Presiden kedalam tangan KNI-P yang telah diangkat oleh Presiden, walaupun resminya maklumat yang penting itu dikeluarkan dan ditanda tangani oleh wakil Presiden.120 Adapun Maklumat tersebut adalah: “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.121
Dengan demikian hasil rapat
KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945
berubahlah bentuk Komite Nasional Pusat yang mulanya hanya merupakan badan pemusatan kehendak dan cita-cita mengobar-ngobarkan semangat dan membantu pelaksanaan pemindahan kekuasaan ketangan Republik; sekarang kekusaan badan itu bertambah dengan turut bertanggung jawab menetapkan haluan politik negara. Jika Rapat II KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 memindahkan “kekuasaan rakyat” kepada KNIP, maka rapat tanggal 17 Oktober 1945, yang dipimpin oleh Mr. Latuhahary, memindahkan pimpinan
119
DR. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 2, (Bandung: PN Balai Pustaka, 1976, h. 106. 120 Ibid., h. 107. 121 Ibid.
kedalam tangan Sjahrir dan kawan-kawan.122
Pada rapat KNIP II yang
bersejarah di Balai Muslimin itu, menghasilkan beberapa keputusan, adapun dari beberapa keputusan sidang tersebut ialah penggantian Ketua KNIP dari Kasman ke tangan Sjahrir,123 Pembentukkan Badan Pekarja KNIP yang terdiri dari wakil-wakil dari berbagai aliran dan golongan sehingga lebih mencerminkan sifat demokrasi. Tokoh-tokoh muda seperti Mr. Sjafruddin Prawinegara, Mohammad Natsir, dan Mr. Amir Sjarifuddin, diangkat menjadi anggota BP-KNIP. Keputusan lain ialah membatalkan instruksi pemerintah mengenai pembentukkan partai tunggal karena dianggap dapat membahayakan sendi-sendi demokrasi.124 Perjuangan G.P.I.I. dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melalui Balai Muslimin ternyata tidak hanya dalam soal mengamankan dan memberikan tempat untuk bersidang saja, akan tetapi memberikan ide dan merealisasikan dengan membentuk Pemuda Pelopor,125 ide pembentukkan Pemuda Pelopor yaitu melalui gagasan Abdul Karim Halim Wakil Ketua I G.P.I.I. yang ketika itu ikut menyimak jalannya sidang II KNIP di Balai Muslimin. Abdul Karim Halim yang notabne Wakil Ketua I G.P.I.I. memberikan suatu gagasan yang membuat Sjahrir, Mohammd Hatta dan para 122
Ibid., h. 109. Pemindahan jabatan dari ketua KNIP Kasman ke tangan Sjahrir ternyata sudah direncanakan sedemikian rupa oleh Soekarnai dkk, pergantian tersebut dikarenakan Kasman dianggap mengkhianati perjuangan pada hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Kasman dituduh oleh Sukarni bertemu Pimpinan Tertinggi Militer Jepang Jawa-Madura, di Bandung, Sukarni juga menuduh Kasman membiarkan PETA dilucuti senjatanya oleh Jepang. Oleh karena itu Kasman tidak pantas memimpin KNIP. Setelah 37 tahun kemudian tuduhan itu dibantah oleh Kasman dan Kasman menjawab secara resmi. Untuk lebih lanjut lihat buku DR. Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa Menoleh Ke Belakang Menatap Masa Depan, (Jakarta, Pen: Gema Insani Press, 1997), h. 74 -78. 124 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 55-56. 125 Rombongan pemuda yang berangkat ke luar Jawa ini dikenal dengan Barisan Pemuda Pelopor atau Angkatan Pemuda Pelopor, karena Mr. Amir Sjarifuddin (Menteri Penerangan) dan Mohammad Yamin menyebutnya Pemuda Pelopor. 123
pemuda yang hadir memujinya dengan menyebutnya ide tersebut sangat baik. Ide tersebut dimulai ketika Moehammad, M. Kamal, dan A. Karim Halim sering ngobrol sambil mendengarkan pembicaraan sidang. M. Kamal menceritakan bahwa asrama Prapatan 10 mulai berkurang penghuninya. Tibatiba terpikir oleh Karim Halim, betapa baiknya kawan-kawan yang masih di Jakarta dikirim ke daerah-daerah, seperti ke Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain untuk Menggerakkan revolusi. Pada hari kedua Sidang KNIP, Abdul Karim Halim menyampaikan gagasannya kepada Sjahrir dan juga Bung Hatta yang kemudian ditanggapi dengan antusias oleh beliau, lebih lanjut Bung Hatta mengatakan sebagai berikut: “Nyalakan dan bakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Saya lebih rela Sumatra hangus terbakar, daripada dijajah kembali oleh Belanda”.126
Mendapati respon yang sangat positif kemudian Karim Halim bekerja dengan cepat, yaitu dengan membuka tempat pendaftaran di Balai Muslimin bagi para pemuda yang berminat untuk bergabung, Kamal bekerja di Parapatan 10 mempersiapkan teman-temannya, Mohammad berkeliling ke pusat-pusat berkumpulnya
para
pemuda
pejuang
yang
ada
di
Jakarta
untuk
menginformasikan rencana pengiriman para pemuda yang disebut sebagai Pemuda Pelopor kedaerah-daerah untuk menggerakkan revolusi supaya seluruh rakyat yang berada di daerah-daerah dapat ikut serta dalam People’s defence (Pertahanan Rakyat).127 Setelah berita tersebar tidak beberapa lama kemudian, markas G.P.I.I. yaitu Balai Muslimin dipenuhi oleh para pemuda, baik perorangan maupun
126 127
Ibid. ”Pemuda Pelopor,” Berita Antara, 25-7-1947, h. 10.
wakil organisasi yang mendaftarkan diri dan para anggotanya. Dari Prapatan 10, Soetan Roesad mendaftarkan sejumlah nama: M. Kamal, Zakaria Raib, Sojono Martosewojo, Soeparman, Hasjim Mahdan, Soetan Rosad, anas Asroel, Chairul Anwar, Husaein Djakfar, Zoelaika Jasin, Jenni Anwar, dan lain-lain. Persatuan Arab Indonesia (PAI) melalui surat yang ditanda tangani oleh A.R. Baswedan mendaftarkan enam orang, masing-masing dua orang ditugaskan di Palembang, Jambi, dan Medan. Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Tatang Machmoed, mendaftarkan nama-nama anggotanya itu melalui telepon dengan pesan bahwa para anggotanya itu akan bergerak dengan membawa bendera sendiri, yaitu bendera IPPI. Adapun utuasan itu ialah Boeseno, Asmin Nasution, Akmal Junus, Widia Latif, dan Zainal Abidin. I. Wangsawidjaja128 mendaftarkan A.S. Sumadi, Mariati Purwo, dan Nurlaila bersama ibunya. Perseorangan yang mendaftarkan diri antara lain: Chairul Basri, Thaharuddin Hamzah (Teha), S.K. Bonar Sitompul, Adanan Anas, Hasjim Rahman, dan M.S. Ashar. Dan Dari Balai Muslimin sendiri adalah A. Karim Halim, M. Sjarwani, Mahmud Idie, Adnan Sjamni, Hasjim, Masmimar Makkah, Darsaf Rahman, dan Makmoer Haroen. Moehammad sebagai salah seorang pemerakarsa, tidak jadi ikut serta ke Sumatera.129 Setelah para pemuda terdaftar, direncanakanlah pengiriman Pemuda Pelopor tersebut. Rencana pengiriman Pemuda Pelopor dirundingkan lebih lanjut oleh Moehammad, M. Kamal, dan Karim Halim di Gedung Jl. Pengangsaan (kini Jl. Proklamasi No. 36) yang dirampas dari Jepang. Moehammad membuat bagan organisasi seperti struktur organisasi kesatuan 128 129
I. Wangsawidjaja pada saat itu adalah Sekretaris Presiden Mohammad Hatta. Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 57.
tentara; Komando, Strategi, Logistik, Perhubungan, dan lain-lain.130 Lebih lanjut lagi dalam pertemuan anggota-anggota rombongan Pemuda Pelopor di Balai Muslimin, terpilih sebagai panitia, adalah:131
Pimpinan: Ketua Umum
: M. Kamal
Ketua I
: A.S. Soemadi
Ketua II
: A. Karim Halim
Sekretaris-Keuangan
: M. Sjarwani : Idham
Penerangan
: Zakaria : Masmiar Makkah : Darsjaf Rahman
Strategi/Politik
: Hasjim Machdan : Sojono Martosewojo : Soeparman
Perhubungan
: Adnan Sjamni : Soetan Roesad
Adapun tujuan terbentuknya Pemuda Pelopor tersebut ialah bertujuan untuk Menggerakkan revolusi di daerah-daerah bersama-sama dengan rakyat di dalam menghadapi penjajah sehingga di daerah masing-masing diharapkan dapat terbentuk people’s defence. Hal tersebut diuraikan dalam Berita Antara sebagai berikut: Segenap Pemuda Pelopor revolusi yang berjiwa patriot harus 130 131
Ibid., h. 100. Ibid., h. 102.
mencurahkan dan menyerahkan tenaganya secara ikhlas bagi segenap Djawatan untuk membawa rakyat seluruhnya ikut serta dalam People’s Defence (Pertahanan Rakyat).132 Menurut kesaksian H. Adnan Sjamni pada saat itu yang ikut dikirim sebagai Pemuda Pelopor beliau mengatakan bahwa, tugas utama G.P.I.I. adalah mengumpulkan para pemuda Islam Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. G.P.I.I. berkampanye, berpidato ke berbagai daerah, dan masuk tentara. Bersama rombongan Pemuda Pelopor, H. Adnan Sjamni perwakilan dari G.P.I.I. pergi ke Sumatera untuk Menggerakkan revolusi di sana. Ketika itu Belanda ingin menguasai kembali Republik Indonesia, karena itu rombongan Pemuda Pelopor harus memperkuat barisan. Orang-orang G.P.I.I. yang bergabung di dalam Pemuda Pelopor dikirim kemana-mana untuk memperkuat barisan rakyat. Di Palembang ada M. Sjarwani, salah seorang pendiri G.P.I.I.,133 sedangkan Abdul Karim Halim Wakil Ketua I G.P.I.I. dan Adnan Sjamni dikirim Ke Sumatera sebagai Pemuda Pelopor.134
132
”Pemuda Pelopor,” Berita Antara, 25-7-1947, h. 10. Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 114. 134 Ibid., h. 77. Perlu dicatat bahwa Pengiriman kedua utusan G.P.I.I. yaitu Abdul Karim Halim dan Adnan Sjamni di Sumatera, sebagai anggota G.P.I.I. dapat melebarkan sayapnya dengan membentuk kepengurusan G.P.I.I. se-Sumatera. Pembentukkan G.P.I.I. Pada tanggal 15 Oktober 1946 yang diresmikan oleh Pembantu Umum PP G.P.I.I. Adnan Sjamni, menandakan bahwa kepengurusan G.P.I.I. Sumatera berada di Pematang Siantar, di Ketuai oleh Mahlas. G.P.I.I. Sumatera terbagi di dalam tiga konsulat, masing-masing Konsulat Sumatera Utara dipimpin oleh Mahlas, Konsulat Sumatera Tengah (Sumatera Barat ketika itu menjadi Bagian Sumatera Tengah) berpusat di Bukittinggi dipimpin oleh Buchari Tamam, dan Konsulat Sumatera Selatan berpusat di Palembang dipimpin oleh Usman Hamid. Usaha ini ini tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kepergian Pemuda Pelopor ke Sumatera. Untuk lebih jelas lihat buku Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), Cet-I, h. 77. 133
B. GPII Vs Pesindo; Membendung Pengaruh Komunis di dalam Organisasi
Kepemudaan
Setiap Partai Komunis di manapun di dunia, mempunyai garis politik yang sama, yaitu tujuan akhir mereka dalam rangka menciptakan diktatur proleter, iyalah merebut kekuasaan pemerintah dengan jalan apapun.135 Di dalam keorganisasian pemuda pun tidak luput dari usaha PKI untuk memfusikan seluruh organisasi pemuda di Indonesia menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia)136 yang berazas Sosialistis dan bertujuan menegakkan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat.137 Usaha pemfusian tersebut tidak sejalan dengan G.P.I.I. dan pemfusian itu mengingatkan G.P.I.I. kepada salah satu keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 22 Agustus yang menetapkan pembentukkan Partai Nasional Indonesia, yang kemudian melalui sidang KNIP II pada tanggal 16 Oktober 1945 di Balai Muslimin, BP - KNIP membatalkan instruksi pemerintah mengenai pembentukkan partai tunggal karena dianggap dapat membahayakan sendi-sendi demokrasi. Oleh dasar itulah G.P.I.I. di dalam Kongres Pemuda yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 9-11 November 1945 menolak pemfusian tersebut. Selain itu, dibalik gagasan tersebut G.P.I.I. mencium adanya penunggangan oleh unsur-unsur komunis.138 135 Mawarti Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta, Pen: Balai Pustaka, 1948), h. 387. 136 A. Dahlan Ranuwihardjo, S.H., Pergerakan Pemuda...., h. 7. Pemuda Sosialis Indonesia didirikan pada tanggal 10 November 1945 bertepatan dengan Kongres Pemuda I. 137 “Rencana Kongres Pemuda Di Yogyakarta,” Soeara Moeda, 5-10-1945, h. 1. 138 H. Ridwan, Pemuda Islam...., h. 61. Sejak awalnya PKI telah menjadi sumber konflik dalam dunia kepemudaan oleh karena cara-cara yang dipergunakannya untuk menanamkan pengaruh dan mendominasinya. Pertama, kader-kader PKI menyelusup pada berbagai macam organisasi pemuda, mahasiswa dan pelajar. Kedua: memaksakan kehandak golonganya, hal tersebut bisa di lihat ketika pemfusian seluruh organisasi pemuda se-Indonesia melalui Kongres Pemuda I yang pertama kali di alam Indonesia merdeka menjadi satu wadah tunggal yaitu
G.P.I.I. adalah organisasi yang sejak awal pembentukkannya telah meletakan komitmen yang tinggi kepada kemajemukan dalam persatuan. Komitmen
tersebut
terlihat
dalam
susunan
kepengurusannya
yang
mencerminkan spektrum latar belakang cukup luas. Adapun spektrum tersebut ialah sebagai berikut: Ketua umumnya adalah Harsono Tjokroaminoto, seorang tokoh muda militan yang sangat anti Jepang. Wakil Ketua I A. Karim Halim adalah seorang pemuda yang terpelajar didikan AMS. Wakil Ketua II adalah Moefraini Moekmin, adalah pemuda militer yang tengah giat menyusun lasykar rakyat. Sedangkan Anwar Harjono sebagai Sekretaris Umum dianggap mewakili latar belakang pesantren. Dengan komitmen seperti itu, tentu saja G.P.I.I. tidak dapat menyepakati gagasan pewadahtunggalan organisasi pemuda seluruh Indonesia menjadi satu, yaitu Pesindo. Pewadahtunggalan bertentangan dengan semangat memelihara kemajemukan dalam kesatupaduan.139
Selain itu, bagi G.P.I.I. usaha-usaha
melebur organisasi-organisasi pemuda kedalam Pesindo melalui Kongres
Pesindo yang berazaskan sosialistis dan Kedaulatan Rakyat. Ketiga, PKI dengan Islam memang sangat kontra sekali. Hal tersebut bisa di lihat dari taktik PKI dengan Belanda di dalam memecah belah umat Islam menggunakan taktik yang sama. Belanda untuk memecah belah umat Islam melalui politik Verdel-en-heers yang digerakkan dari Kantoor Voor Inlandsche Zaken dan kalau kita perhatikan para sarjana yang memimpin mission ini baik sejak Dr. Snouck Hurgronye, Dr. Pijper, Dr. Gobe, dan terakhir Dr. Van der Plas mereka semua adalah orangorang yang mengenal Islam tetapi bukan muslim yang taat pada agama tetapi justru sebaliknya, mereka berusaha mencari lubang-lubang kelemahan dalam kalangan umat Islam untuk kemudian memecah belahnya (masalah bid’ah dan far,iyah umat Islam terbelah). Sebagai agen utama mereka tidak mampu terjun langsung menghadapi masyarakat. Untuk itu mereka membutuhkan orang-orang yang bisa diajak kerja sama yaitu melalui para alim ulama, karena peranan alim ulama di dalam masyarakat Islam sangat dominan. Pola sepert ini digunakan oleh PKI untuk membelah umat Islam pada waktu peristiwa penghianatan G. 30.S/PKI tahun 1965 dan juga menjelang pemberontakkan PKI di Madiun 1948, tidak heran ketika itu seorang Kiai terkemuka melalui tafsiran dan penerapan ayat Al-Qur’an justru memberikan justification atau pengesahan belaka terhadap apa-apa yang digerakan PKI. Dari faktor-faktor inilah G.P.I.I. sebagai perwakilan Pemuda Islam sangat menentang Komunis. Lebih lanjut lihat Buku Sejarah Lisan , Menelusuri Jejak Ayahku Harsono Tjokroaminoto, (Jakarta: Penerbit Arsip Nsional Republik Indonesia, 1983), 95-96. 139 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 67.
Pemuda I seluruh Indonesia, yang diadakan sejak tanggal 9-11 November 1945 adalah soal yang sangat serius.140 Di dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, G.P.I.I. memberikan perjuangan yang sangat signifikan yaitu menolak keras difusikannya seluruh organisasi
pemuda
menjadi
satu
wadah
tunggal
yaitu
Pesindo.
Pewadahtunggalan Pesindo tersebut barlangsung ketika Kongres Pemuda I yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 9-11 November 1945 atas inisiatif Gerpri (Gerakan Pemuda Republik Indonesia), yang kemudian Kongres ini akan dibelokkan untuk dijadikan Pesindo, hal ini terungkap dalam lobbying diantara para utusan Kongres dan dalam Konferensi pendahuluan yang diadakan pada tanggal 9 November 1945 adapun utusan-utusan konferensi yang hadir dan diundang secara resmi sebagai berikut: Utusan dari Markas API Jakarta, PRI Surabaya, PRI Bandung, Gerpri Yogyakarta, Pelopor Jakarta, IPI Jakarta, AMRI
Jawa Tengah dan anggota staf wartawan Kementrian
Penerangan. Dari hasil Konferensi tersebut memutuskan selain organisasiorganisasi yang datang pada saat ini, perlu diundang juga organisasi pemuda lainnya dan berhak bersuara yaitu: API Jakarta, PRI Surabaya, AMRI Semarang, Gepri Yogyakarta, Pemuda Muhammadiyah Yogyakarta, PNU Surabaya, Pemuda Katholik, Pemuda Protestan, dan Persatuan Putri.141 Ketika Kongres berlangsung pada tanggal 10-11 November 1945 tepat seperti yang diduga, Kongres tersebut sangat dipengaruhi oleh para pemuda sosialis dan komunis. Setiap kali muncul peserta yang berbicara lain dari yang 140
Pada saat itu PP G.P.I.I. untuk memusatkan perhatian dan pemikirannya kepada segenap usaha menangkal rekayasa yang dilakukan menjelang dan saat Kongres Pemuda, PP G.P.I.I. mengutus Ahmad Buchari dan Anwar Harjono ke arena Kongres Pemuda. 141 ”Rencana Kongres Pemuda Di Yogyakarta,” Soeara Muda, 5-10-1945, h. 1; lihat juga Ben Anderson, Revolusi Pemuda...., h. 283.
dikehendaki oleh pimpinan sidang, segera terdengar suara memperolok pembicara tersebut.142
Pimpinan sidang tinggal mengetuk palu untuk
memutuskan seluruh organisasi pemuda difusikan menjadi satu wadah tunggal yaitu Pesindo. Kemudian Ahmad Buchori perwakilan dari G.P.I.I. berbicara dengan nada lantang dan tajam, ia berbicara sebagai berikut: “Janganlah dipaksakan mendirikan Pesindo di sini. Marilah kita tetap mempertahankan persatuan semua kalangan dan organisasi pemuda dalam Republik kita. Jangan main paksa atau diktator. Tetapi kalau toh dipaksakan juga Kongres ini menelorkan Pesindo sebagai satu-satunya organisasi pemuda; kami akan keluar dari Kongres ini. Dan jangan kaget kalau besok pagi kami akan mengadakan Kongres Pemuda Islam Seluruh Indonesia, di tempat ini juga, yang jauh lebih besar dari Kongres Pemu-da sekarang ini”.143 Suara lantang Ahmad Buchori tersebut ternyata cukup berhasil meredam ambisi untuk menjadikan Pesindo sebagai satu-satunya organisasi Pemuda Indonesia pada waktu itu. Menurut Anwar Harjono, keberhasilan Buchori antara lain karena pada saat itu G.P.I.I. merupakan satu-satunya organisasi Pemuda Islam yang mencakup spektrum dikalangan umat, sehingga suara G.P.I.I. yang dibawakan dengan cemerlang oleh Ahmad Buchori sangat diperhatikan.144 Kongres yang gagal melebur organisasi pemuda Indonesia itu akhirnya membentuk Badan Kontak yang dinamakan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). BKPRI ini dipimpin oleh suatu Dewan Pimpinan Pusat dengan Chairul Saleh sabagai Pimpinan Umum, Soepardo sebagai Wakil Pimpinan Umum Pertama, Ahmad Buchori sebagai Wakil Pimpinan Umum 142
Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 68. Ibid., h. 69; lihat juga buku Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993), h. 83; lihat juga, H. Ridwan, Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: CV. Rajawali, 1948), Cet, Ke-I, h. 62. 144 Hakiem, Perjalanan...., h. 84. 143
Kedua, dan Moeljo sebagai Sekretaris. Anggota Dewan Pimpinan Pusat ada sepuluh orang, yaitu: Sudarpo (IPI), Ny. Sutarman (Pemuda Putri Indonesia), Dr. E.J. Siregar (Pemuda Protestan), P. Surono (Pemuda Katolik), Dr. Muwardi (Barisan Pelopor), Udin (Andalas), Akiyuwen (Pemuda Maluku), Achi Mursidi (Angkatan Muda Guru), Gusti Djohan (Kalimantan), A. Ratulangi (KRIS), dan Supeno (Pesindo).145 Di bawah Dewan Pimpinan Pusat terdapat dua dewan lagi, yaitu
Dewan
Pekerja
Perjuangan
yang
bertanggung
jawab
atas
pengorganisasian semua kekuatan militer-rakyat, pengerahan penyediaan, dan pelatihan di setiap tingkat pemerintah daerah dan Dewan Pekerja Pembangunan yang bertanggung jawab mengenai semua kegiatan politik, propaganda untuk perjuangan kemerdekaan dan mewakili pemuda pada pemerintahan pusat dan daerah.146 Menurut Harjono, dimasa revolusi fisik rakyat pada umumnya, dan pemuda pada khususnya mempunyai peranan besar. Fungsi utama BKPRI adalah untuk menggelorakan semangat para pemuda khususnya dan rakyat umumnya di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kerena itu G.P.I.I. aktif di dalam BKPRI. 147 Menurut Ahmad Buchori di dalam pembukaan Konperensi G.P.I.I. seluruh Jawa dan Madura, menguraikan sikap BKPRI (di dalamnya termasuk juga G.P.I.I.)
lebih lanjut mengatakan supaya berusaha dengan
segiat-giatnya untuk memegang teguh dan tampuk kendali revolusi hingga dapat langsung melalui jalan yang benar yaitu bersama-sama dengan seluruh 145 Meskipun demikian, Pesindo sebagai peleburan gerakan pemuda berhaluan sosialisme tetap dibentuk oleh API, AMRI, PRI, GERPRI, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda PTT, dan Angkatan Gas Listrik. Untuk lebih lanjut lihat buku H. Ridwan, Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: CV. Rajawali, 1948), Cet, Ke-I, h. 62; lihat juga, A. Dahlan Naruwihardjo, S.H., Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1979), h. 8. 146 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 69-70. 147 Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 109.
pemuda dan rakyat Indonesia melalui wadah BKPRI yang dibentuk dengan semangat persatuan.148 Meskipun gagal melebur organisasi pemuda kedalam satu wadah tunggal yaitu Pesindo, tokoh-tokoh pemuda yang berhaluan kiri tidak pernah berhenti menanamkan pengaruhnya dikalangan pemuda. BKPRI yang sejak semula dimaksudkan untuk menggelorakan semangat para pemuda khususnya, dan rakyat umumnya, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan; oleh para pemuda yang berhaluan kiri justru diperalat untuk mencapai kepentingankepentingan politik mereka,149 hal tersebut bisa dilihat ketika BKPRI kemudian menggabungkan diri kedalam organisasi politik Persatuan Perjuangan.150 Tetapi karena sebagian besar pengurus BKPRI menganggap bahwa Persatuan Perjuangan gagal dalam mengoreksi Pemerintah (dipimpin Perdana Menteri Syahrir), maka pada tanggal 14 Maret 1946 BKPRI keluar dari Persatuan Perjuangan, hal ini kelak menyebabkan Chairul Saleh pada tanggal 23 Maret 1946 mengundurkan diri dari jabatan Ketua BKPRI.151 Sikap politik sebagian tokoh BKPRI yang menginginkan konfrontasi dengan Kabinet Syahrir, kemudian pemundurannya Chairul Saleh yang dianggap berorientasi kepada golongan murba dari jabatan Ketua BKPRI, memperkuat keyakinan pemuda Islam bahwa wadah BKPRI hendak dijadikan
148 ”Pemuda Sanggup Menyelesaikannya,” Berdjuang, 19-Oktober-1946, h. 1. ; Lihat juga ”Pembukaan Konperensi G.P.I.I. Seluruh Jawa dan Madura,” Kedaulatan Rakyat, 19-101946, h. 1. 149 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 71. 150 Persatuan Perjuangan di ketuai oleh Tan Malaka yang seorang komunis. Ia pernah menjadi ketua PKI, yang kemudian di buang dari Indonesia pada bulan Maret 1922 dikarenakan ia dapat memimpin partainya dengan penuh semangat sehingga menarik tindakan penindasan yang cepat dari pemerintah Kolonial, itulah sebabnya ia di buang. Untuk lebih lanjut lihat buku Ben Anderson, Revolusi Pemuda, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), Cet, I, h. 300. 151 H. Ridwan, Pemuda Islam...., h. 63; lihat juga buku Anwar dan Hakiem, Di Sekitar Lahirnya...., h. 70.
kuda tunggangan oleh Pesindo, sementara dominasi komunis dalam Pesindo semakin menonjol. Keyakinan tersebut membuat Pemuda Islam khususnya G.P.I.I., tidak bisa menerima kenyataan itu, maka pada kongres Pemuda II pada tanggal 8-9 Juni 1946, BKPRI sebagai wadah persatuan kian goyah, terhitung mulai tanggal 2 Mei 1947 G.P.I.I. keluar dari BKPRI yang diikuti Pemuda Demokrat Indonesia yang ketika itu dipimpin Mh. Isnaeni (mantan Wakil Ketua DPR/MPR RI), Himpunan Mahasiswa Islam, dan lain-lain.152 Meskipun G.P.I.I. secara formal keluar dari BKPRI akan tetapi sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia anggota-anggotanya tentu akan tetap menjaga persatuan dan berkehendak berjuang bersama-sama. Hal tersebut diuraikan berdasarkan pernyataan G.P.I.I. di dalam
putusan muktamarnya
BKPRI yang ke II sekaligus pengunduran G.P.I.I. dari BKPRI.153 Dengan fakta tersebut, meskipun G.P.I.I. secara formal keluar dari BKPRI, namun anggotaanggotanya diharapkan menjaga persatuan dengan cara berjuang bersama-sama di dalam menghadapi imperialisme Belanda. Semangat persatuan di dalam mempertahankan kemerdekaan telah direalisasikan oleh G.P.I.I.. Dengan jiwa patriotismenya serta nasionalismenya, meskipun G.P.I.I. secara formal keluar dari BKPRI, akan tetapi anggota-anggotanya dianjurkan supaya mengutamakan persatuan di dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Keyakinan Pemuda Islam terbukti, ketika Kongres Pemuda III yang diselenggarakan pada tanggal 3-5 April 1948 di Madiun, karena ternyata 5
152
Ibid., Pemuda Islam..., h. 64; lihat juga buku Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 109. 153 “G.P.I.I. Keluar Dari BKPRI,” Kedaulatan Rakyat, 2-5-1947, h. 2.
bulan kemudian PKI melancarkan pemberontakkan di kota tersebut,154 dan tokoh-tokoh BKPRI semua terlibat155 terutama yang berasal dari Pesindo, dalam pemberontakkan kaum komunis di Madiun pada tanggal 18 September 1948 salah satu pemimpin Pesindo yang terlibat dalam pemberontakkan tersebut adalah Sumarsono yang sampai sekarang tinggal dan menjadi warga negara Australia.156 Sebelum pemberontakkan terjadi, Komunis membuat kerusuhan-kerusuhan dibeberapa daerah.
Sedangkan Pesindo
membuat
keonaran di daerah Solo dan Madiun. Sasaran pokoknya adalah untuk menurunkan Hatta.157 Keterlibatan Pesindo di dalam pemberontakkan yang dicetuskan oleh PKI semakin nyata melalui FDR yaitu ketika pada tanggal 26 Februari 1948 sebelum pemberontakkan terjadi, Amir Sjarifudin dan Setiadjit dalam suatu rapat raksasa di Surakarta mengubah Sayap Kiri menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Beranggotakan PKI, Partai Sosialisnya Amir Sjarifudin, Partai Buruhnya Setiadjit dan Pesindonya Wikana, SOBSI-nya Njono dan BTI. D.N. Aidit muncul dari Kongres partai ke IV sebagai Sekjen Partai dan Njoto sebagai kepala Dept. Propaganda.158 Peranan Sumarsono yang berasal dari Pesindo beserta Kolonel Djokosujono, Letkol Sumantri, dan Letkol Dahlan di dalam 154
Pada saat sebelum pemberontakkan, PKI mencoba mempengaruhi Masyumi dan PNI. Karena gagal mempengaruhi dua Partai Besar tersebut, maka PKI pada saat itu berada di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dan Muso mencoba menghasut kaum buruh, tani, pemuda, pegawai negeri, dan rakyat untuk menggulingkan Kabinet Hatta melalui FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncaknya adalah percobaan perebutan kekuasaan oleh PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. lebih lanjut lihat buku Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, cet I 1997), h. 82-83; lihat juga H. Ridwan, Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: CV. Rajawali, 1948), Cet, Ke-I, h. 64. 155 Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 110. 156 O. E. Englen, Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, (Jakarta: UI Press, 1947), h. 284. 157 Soegiarto Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, (Jakarta: PT. Sri Murni, 1998), h. 35. 158 Ibid.
pemberontakkan untuk merebut kekuasaan di Madiun sangat besar, di Madiun tokoh-tokoh inilah yang paling menonjol.159 Fakta tersebut membenarkan keterlibatan Pesindo dengan PKI yaitu bergabungnya kelompok-kelompok yang kontra dengan pemerintah, yang kemudian melakukan pemberontakkan di Madiun 18 September 1948 untuk mendirikan pemerintahan tandingan. Seperti telah disinggung dimuka, pemberontakkan PKI di Madiun sesungguhnya sekedar membenarkan sikap waspada yang telah ditunjukkan dengan kuat oleh G.P.I.I. terhadap prilaku politik kaum kiri sejak Kongres Pemuda I di Yogyakarta. Ketika kalangan lain belum menyadari bahaya komunisme yang menyusup kedalam organisasi pemuda Indonesia, G.P.I.I. telah tampil kedepan mengingatkan bahaya tersebut. Dengan demikian, apakah G.P.I.I. dipersalahkan ketika G.P.I.I. dituduh sebagai pengacau Kongres Pemuda I yang diadakan di Yogyakarta?. Dibelakang hari, gagalnya usaha memfusikan organisasi pemuda, dicatat dengan nada getir oleh pihak yang turut memprakarsainya. Baiklah kita simak bagaimana nada getir itu diungkapkan: “Tujuan hendak mendesak kongres agar diadakan fusi organisasi pemuda mendapat tantangan keras dari beberapa pihak sebelum kongres dimulai pada tanggal 7 November 1945. Tidak heran kekacauan timbul sewaktu kongres berlangsung yang dihadiri oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan beberapa menteri.”160 Tulisan di atas memang sama sekali tidak menyebut-nyebut G.P.I.I., tetapi berdasarkan fakta sejarahnya di dalam Kongres Pemuda I yang termaksud, hanya G.P.I.I. yang vokal menentang ide pemfusian tersebut. Jika masih ada,161
159
Ibid., h. 40. O.E. Englen, Lahirnya satu...., h. 217. 161 Dengan keputusan Presiden No. 139 tahun 1963 tertanggal 10 Juli 1963, G.P.I.I. diperintahkan untuk menyatakan pembubaran dirinya dalam waktu 30 hari terhitung mulai ditetapkannya Kepres tersebut. Lihat Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993), h, 151. Sejak 160
niscaya G.P.I.I. tidak akan berkecil hati dianggap telah menjadi penyebab timbulnya kekacauan dalam Kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1945. Sebab tujuan G.P.I.I. memang bukan hendak mengacaukan Kongres, melainkan hendak menyelamatkan para pemuda khususnya, dan seluruh bangsa pada umumnya, dari cengkraman komunis yang kekejamannya kemudian terbukti dan dirasakan oleh seluruh bangsa melalui pemberontakkan berdarahnya pada tahun 1948 dan tahun 1965. Dua pemberontakkan itu niscaya tidak akan terjadi jika seluruh bangsa tidak terlanjur mengendurkan kewaspadaannya terhadap kaum komunis. Bukti keberadaan dan kelicikan PKI semakin nyata, ketika cita-citanya tidak dapat terwujud dengan cara cuci tangan. Hal ini bisa dilihat ketika pemberontakkan di Madiun tahun 1948 yang gagal karena berhasil ditumpas TNI dan rakyat tepat pada waktunya, kaum komunis ingin cuci tangan dengan menuding Hatta sebagai biang keladi dari peristiwa itu dan menyebutnya sebagai teror putih,162 demikian juga keadannya dengan usaha pemfusian di dalam Kongres Pemuda Indonesia I yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1945 semua organisasi berusaha untuk dilebur menjadi satu wadah tunggal yaitu
Pesindo, G.P.I.I. menolak dengan lantang
yang kemudian G.P.I.I.
dipersalahkan dengan disebut sebagai pengacau di dalam Kongres tersebut. Justru seharusnya bangsa Indonesia sadar khususnya organisasi pemuda, ketika G.P.I.I. selalu menentang komunis. G.P.I.I. telah memberikan warning terhadap organisasi kepemudaan yang pada waktu itu berdiri, dan kemudian berdasarkan fakta pemberontakkan yang dilakukakn oleh PKI di Madiun, tokoh-tokoh 1969 G.P.I.I. melakukan “reinkarnasi” dalam bentuk organisasi Gerakan Pemuda Islam. Sejak Muktamar 1996, GPI semakin memantapkan kiprahnya. 162 Subagijo I.N., Harsono Tjokroaminoto Mengikuti...., h. 227.
BKPRI yang berasal dari Pesindo ikut terlibat. Kewaspadaan G.P.I.I. terhadap komunis ternyata telah dibenarkan oleh waktu dan sejarah.
C. Membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia
Sejarah mencatat perjuangan menuju Indonesia merdeka ditempuh melalui dua jalur konvensional, fisik-bersenjata163 dan diplomasi.164 Perjuangan fisik dilakukan tanpa henti oleh seluruh rakyat yang mendambakan kemerdekaan dan kedaulatan di seluruh pelosok tanah air. Perjuangan ini telah meminta banyak nyawa dan pengorbanan moril maupun materil. Perjuangan tersebut telah melahirkan hasil nyata dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah berarti selesai perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Rongrongan terhadap kemerdekaan disebabkan adanya sikap sebagian tentara Jepang yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai akibat perjanjian dengan Sekutu agar tetap mempertahankan status quo di daerah yang diduduki. Disamping itu, rongrongan juga datang dari pihak Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Berbagai rintangan tersebut tidaklah menghentikan perjuangan bagi umat Islam di Indonesia khususnya G.P.I.I., bahkan memicu semangat mempertahankan kemerdekaan dengan dasar keimanan serta kepentingan negara. 163 Bagi sebagian kelompok pejuang, bahkan pemuda pejuang dan tentara Republik Indonesia, “perjuangan” adalah satu-satunya jargon yang paling mereka yakini akan memberikan hasil. Bagi mereka hasil baru akan dapat diperoleh melalui perang, bukan melalui diplomasi. J.j.p. de Jong, Mitra dalam Perundingan, dalam A.B. Lapian dan P.J. Drooglever (ed), Menelususri jalur Linggarjati, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992), cet, ke-I, h. 65. 164 Ibid., h. ix. Lebih lanjut diungkapkan bahwa sejarah diplomasi dan politik, sama seperti diplomasi itu sendiri, bergerak di atas realistis; lihat juga Muhammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 57.
Sebagai organisasi yang lahir dari rahim umat Islam di tengah memuncaknya gelora revolusi, G.P.I.I. adalah anak kandung umat Islam dan bangsa. Karena itulah sejak awalnya identitas ke-Islaman dan ke-Indonesiaan telah menyatu secara utuh didalam nafas dan jiwa G.P.I.I.. Bagi G.P.I.I., keIslaman dan ke-Indonesiaan bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Justru dengan Islam sebagai sumber motivasi dan sumber inspirasi, G.P.I.I. semakin mengukuhkan kehadirannya didalam membela, mempertahankan dan mengisi anugerah kemerdekaan yang diberikan oleh Allah S.W.T. Pada masa dewasa itu, didalam menghadapi Belanda yang datang dengan cara membonceng pasukan sekutu (Inggris) yang hendak kembali menjajah bangsa Indonesia. Maka, G.P.I.I. dalam resistensi menghadapi Belanda mencoba menyatukan langkah dengan membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia bersama Markas Tertinggi Hizbullah, Markas Tertinggi Sabilillah, dan PP G.P.I.I.. Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia merasa perlu didirikan sesuai dengan maklumat Markas Tertinggi Hizbullah, Sabilillah dan PP G.P.I.I. dikarenakan pada masa dewasa itu segala kemungkinan terjadi dan pergolakan revolusi semakin menghajatkan pengorbanan diatas keimanan, mengingat juga pada saat itu lanjutan Komando Mobilisasi tentara Allah dan mengingat kepentingan negara serta keselamatan rakyatnya.165 Mengenai ide pembentukan Hizbullah berawal dari keberhasilan badan Sukarelawan PETA menjaring anggota – anggota yang beragama Islam, sehingga para pemimpinnya Islam terdorong untuk mendirikan korps khusus 165
H. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim...,h. 454. lihat juga “Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia,” Kedaulatan Rakyat, 30-10-1946, h. 2.
bagi sukarelawan Islam yang terpisah dari PETA. Persiapan pembentukan dilakukan dalam satu rapat yang diadakan pada tanggal 13 September 1943. pada saat itu yang hadir ialah: K.H. M. Mansyur, K.R.H. Adnan, Dr. H.A.K. Amrullah, Goeroe H. Jacoeb, Goeroe H. Mansyur, Goeroe H. Cholid, K.H. Junaidi, H. Muchtar, H. Moh. Sodri.166 Setelah
rapat
tersebut
akhirnya
mengambil
kesepakatan
untuk
mengirimkan surat permintaan kepada Saiko shikikan untuk mendirikan barisan penjaga pulau Jawa yang akan dipimpin oleh asas dan peraturan Islam. Selain itu mereka juga mengumumkan bahwa orang-orang Inggris dan Amerika adalah musuh agama, oleh karena itu orang-orang Islam seluruh dunia harus bersatu mengalahkannya.167 Permohonan tersebut tidak langsung mendapat tanggapan dari pemerintah Militer Jepang. Pada tanggal 8 September 1944 pada suatu pidato politik di depan sidang istimewa Teikoko Gikai (Parlemen Kerajaan) yang ke-85 di Tokyo, Perdana Menteri Koiso mengumumkan kepada seluruh dunia tentang pendirian Pemerintah Jepang atas seluruh daerah Hindia Timur, dalam pernyataan tersebut ditegaskan bahwa penduduk di wilayah pendudukan Jepang (Indonesia) akan diberi kemerdekaan kelak.168 Satu minggu setelah pidato politik tersebut dilontarkan, para pemuka Agama Islam mengadakan rapat umum umat Islam bertempat di Taman Raden Saleh Jakarta untuk menyambut janji Jepang. Dalam rapat tersebut para pemuka Islam yang mengemukakan pendapatnya antara lain: K.H. A. Mukti, H. Abd. 166
Emi Maschuroh, Sejarah Pembentukan dan Peranan Hizbullah Dalam Mempertahankan KemerdekaanRepublik Indonesia di Bogor (1945-1947), (UIN Jakarta: Skripsi S-1 Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab, 2003), h. 31 167 Ibid., h. 32. 168 Ibid., h. 33.
Kahar Muzakkir dan K.H. Abd. Wahid Hasjim, isi pokok dari rapat tersebut adalah: “....dengan merdekanya bangsa kita, tidaklah amalan itu diukur dengan harta, uang atau barang....penghargaan dan terima kasih serta bantuan kita untuk kemerdekaan itu tidak cukup dengan perkataan...., melainkan harus dengan darah kita di atas bumi ini”.169 Pada dasarnya janji Jepang yang dikeluarkan pada saat itu disebabkan karena kekalahan serdadunya di medan pertempuran atas tentara Serikat, disamping itu juga karena ada tuntutan dari kelompok Nasionalis. Setelah Jepang merasa kelompok Nasionalis di Indonesia semakin meningkat, Jepang yang telah dekat dengan golongan Islam akhirnya menerima usul pembentukan korps sukarelawan Muslim yang telah lama ditunggu. Pernyataan tentang diterimanya pembentukan korps tersebut disampaikan oleh Seiko Shikikan pada tanggal 8 Desember 1944. Setelah usul tersebut diajukan akhirnya pada tanggal 15 Desember 1944 korps Hizbullah dibentuk.170
Hizbullah dibina oleh
Masyumi, suatu federasi Islam ketika itu yang dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy”ari (1871-1974) bersama K.H. Mas Mansur (1896-1946) dan K.H. Abdul Wahid Hasjim (1914-1953). Adapun Syarat bagi calon Hizbullah ialah: 1. Pemuda Islam terutama murid-murid madrasah dan pesantren. 2. Berusia antara 17-25 tahun, dengan catatan sehat jasmani dan rohani, belum menikah dan mendapat izin orang tuanya (walinya).171 Pasukan Hizbullah dibentuk mulai dari tingkat keresidenan sampai tingkat kota peraja dengan induknya di Jakarta sampai ibu kota Republik Indonesia
169 170 171
Ibid. Ibid., h. 35. Ibid., h. 37-38
pindah ke Yogyakarta kemudian pusat Hizbullah pindah ke Malang. Sedangkan di tiap keresidenan dan kota besar boleh di bentuk pimpinan daerah172. Sedangkan Sabilillah dibentuk pada masa revolusi fisik, peresmiannya dilakukan di Yogyakarta, ketika partai Masyumi mengadakan kongresnya yang pertama pada tanggal 7-8 November 1945 adapun tujuan dibentuknya yaitu: 1. Memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad fisabilillah. 2. Memperkuat
pertahanan
Indonesia
dengan
bebrbagai usaha
yang
diwajibkan oleh agama Islam, maka disusunlah suatu barisan yang diberi nama barisan Sabilillah di bawah pengawasan Masyumi.173 Pembentukan Sabilillah yang sifatnya militer murni dimaksudkan untuk memperkokoh kesiap-siagaan kaum Muslimin dalam melakukan jihad Fisabilillah. Organisasi ini berdiri karena keanggotaan Sabilillah tidak dapat memasuki Hizbullah, dikarenakan umurnya terlalu tua, oleh karena itu Sabilillah ini keanggotannya banyak dari kaum ulama. Organisasi ini bernaung di bawah Masyumi dan menjadi bagian dari Masyumi. Ternyata revolusi Indonesia telah memiliki ulama yang siap tempur, dan dijadikan sebagai Barisan Istimewa TKR.174 Di dalam usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia G.P.I.I. bersama dengan Hizbullah dan Sabilillah memutuskan untuk merapatkan barisan di dalam melanjutkan perjuangan menghadapi tentara Belanda. Dalam sebuah maklumat bersama, yang tertanggal Malang 26 Oktober 1946 masing-masing ditandatangani dari Markas Tertinggi Sabilillah atas nama
172
Ibid., h. 40-41 Ibid., h. 49. 174 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Pen: Mizan Cet III Jaqnuari 1996), h. 300 173
K.H. Masjkur, dan Markas Tertinggi Hizbullah atas nama Zainul Arifin, dan Pemimpin G.P.I.I. atas nama H. Benjamin, dinyatakan terbentuknya Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, dewan ini memegang Pimpinan Tertinggi dalam melaksanakan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia seluruhnya. Tujuan dibentuknya Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia tersebut supaya terdapat kesatuan pimpinan. Untuk merealisasikan rencana tersebut,
Markas Tertinggi Hizbullah,
Markas Tertinggi Sabilillah, Pimpinan G.P.I.I. di Jogyakarta, mengadakan rapat bersama. Dari hasil rapat telah diputuskan:175 1. Membentuk Pengurus D.M.P.I.I. Pusat sebagai Berikut: a. K.H. Masjkur b. K.H. Fakih Oesman c. Zainul Arifin d. Moehammad e. H. Benjamin f. A. Boechori 2. Sekretariat: sdr. Zainul Arifin d/a M.T. Hizbullah Malang. 3. D.M.P.I.I. akan mengadakan Kongres presinya yang pertama kali seluruh Jawa dan Madura pada tanggal 20-22 November 1946 di Malang; yang akan dihadiri oleh Kepala Markas Daerah Sabilillah Komandan Divisi Hizbullah, Pemimpin Daerah G.P.I.I. Dewan ini secara resmi menjadi Pimpinan Tertinggi dalam melaksanakan mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, dibentuk di Pusat dan Daerah-Daerah,176 175 176
”Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia,” Kedaulatan Rakyat, 15-11-1946, h. 2. ”Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia,” Kedaulatan Rakyat, 30-10-1946, h. 2.
keberadaan D.M.P.I.I. tersebut bisa dilihat ketika pemuda Islam dikerahkan, yaitu dengan adanya Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia di daerah Jogjakarta sebagai berikut:
“D.M.P.I.I. daerah Yogyakarta menganjurkan bahwa kepada seluruh anggota Hizbullah, Sabilillah, G.P.I.I. Putra Dan Putri dalam daerah Jogyakarta supaya siap sedia menghadapi segala kemungkinan, perlengkapan untuk jihad kita sewaktu-waktu harus dapat cepat digerakan dan bekerja bersama-sama dengan pertahanan diwilayah masing-masing, kuatkan iman, jagalah bahaya, kekacauan dan tanamkan Jihad fi Sabilillah.”177 Dengan demikian Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia pusat secara formal telah berdiri dan bermarkas di Malang yang dipimpin oleh K.H. Masjkur, Zainul Arifin, dan R.H. Benjamin masing-masing sebagai Ketua, serta Anwar Harjono sebagai Sekretaris Umum. Dalam rangka itu, Harjono yang juga Sekretaris Umum PP G.P.I.I. yang berkedudukan di ibukota negara, Yogyakarta,
harus mondar-mandir antara Yogyakarta dan Malang untuk
menunaikan sebaik mungkin segenap tugas yang diberikan kepadanya178 Semenjak Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia dibentuk, maka pimpinan tertinggi dalam melaksanakan mobilisasi pemuda Islam Indonesia guna mempertahankan kemerdekaan, seluruhnya terletak dipundak Dewan Mobilisasi tersebut. Dengan demikian terciptalah kesatuan pimpinan yang pada masa itu sangat diperlukan sekali untuk menghadapi Belanda dan Sekutu. Sebagai salah satu contoh manifestasi perjuangan pemuda Islam (G.P.I.I.) melalui Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia ialah mengambil sikap menolak perjanjian Linggarjati yang disahkan oleh pemerintah pada tanggal 25 Maret 1947, persetujuan itu sangat menodai perjuangan bangsa Indonesia. Pada 177 178
“Pemuda Islam Dikerahkan,” Kedaulatan Rakyat, 30-6-1947, h. 2. Hakiem, Perjalanan Mencari...., h. 92.
masa dewasa itu bangsa Indonesia yang tadinya lemah menjadi kuat dengan semangat perjuangan (Militan) di dalam menghadapi Belanda179 dan selain itu, secara eksplisit maupun implisit, perjanjian Linggarjati mencatat banyak cacat dan kelemahan. Kekurangan-kekurangan tersebut memberi konsekuwensi kerugian buat Indonesia, penandatanganan perjanjian tersebut secara esensial mengundang kontroversi pendapat beragam dari berbagai kalangan. Adapun persetujuan yang terdiri atas 17 pasal dengan satu pasal penutup ini, pada pokoknya meliputi tiga hal sebagai berikut: 1.
Pengakuan Belanda secara de facto atas kekuasaan Republik Indonesia di Jawa, Madura, dan sumatera.
2.
Pengakuan terhadap Republik Indonesia sebagai salah satu negara dalam Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk.
3.
Pembentukkan Uni Indonesia – Belanda yang akan dikepalai oleh Ratu Kerajaan Belanda.180 Perjanjian tersebut tidak sejalan dengan Dewan Mobilisasi Pemuda Islam
Indonesia (di dalamnya termasuk G.P.I.I.) dikarenakan D.M.P.I.I. ini dalam mempertahankan kemerdekaan ingin 100% Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka.181
Hasil keputusan Perjanjian Linggarjati ada yang
menolak dan ada yang tidak.182 Yang menolak kemudian terhimpun di dalam
179 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 154-155. 180 G. Mudjanto, Indonesia Abad ke-20, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), cet. Ke-3, h. 181-182. 181 Anwar dan Hakiem, Di Sekitar...., h. 79. 182 Yang menolak perjanjian tersebut ialah: Angkatan Komunis Muda, Lasykar Rakyat Jawa Barat, Barisan Benteng Republik Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Muhammadiyah, Barisan Pemberontak Republik Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (D.M.P.I.I.), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, Partai Rakyat, Masyumi, Wanita Rakyat, dan Partai Rakyat Jelata. Sedangkan yang menerima ialah: Sayap Kiri, Partai Keristen Indonesia, Serikat Buruh Minyak, Partai Katolik Republik Indonesia, Parpim, Barisan Buruh dan Gas, PBI,
Benteng Republik.183 Pengorganisasian Benteng republik terdiri atas Dewan Pimpinan yang dipimpin oleh BPRI dengan para anggotanya terdiri dari Masyumi, PNI, dan Angkatan Muda Guru. Dewan Politik terdiri dari PNI, Masyumi, Partai Wanita Rakyat, KRIS, dan Partai Rakyat. Dewan Pembelaan terdiri dari Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia (D.M.P.I.I.), Barisan Banteng, Laskar Rakyat Jawa Barat, dan KRIS. Dewan Pimpinan dan Dewan Pembelaan bermarkas di Malang, sedang Dewan Politik bermarkas di Yogyakarta.184 Demikian manifestasi perjuangan Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia yang berperan melalui Benteng Republik di dalam menolak perjanjian Linggarjati sebagai salah satu wujud perjuangan di dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pesindo, Partai Sosialis, PKI, AMKRI, Partai Tani, Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil, Persatuan Pemuda Kristen Indonesia, Sarekat Mahasiswa, Mahasiswa Yogyakarta, dan Sarekat Buruh Gula. Lebih lanjut lihat buku Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), Cet-I, h. 78-79. 184
Ibid.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam proses perwujudan kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi fisik 1945-1949 G.P.I.I.. telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam perjuangannya mempertahankan kemerdekaan antara lain: Pertama, G.P.I.I. adalah salah satu manifestasi dari sekian organisasi pemuda yang muncul pasca proklamsi Kemerdekaan untuk mempertahankan Indonesia dari cengkraman imperialisme Belanda dan dari pengaruh Komunis. G.P.I.I. memberikan andil di dalam perjuangannya melalui Balai Muslimin; dikarenakan Balai Muslimin adalah tempat lahirnya G.P.I.I. sekaligus sebagai markas pada awal kemerdekaan. Perlu diketahuai bahwa di dalam pelataran sejarah Balai Muslimin pernah dijadikan tempat untuk bersidang oleh KNIP II Pusat yang bertujuan untuk membicarakan bagaimana langkah pemerintah untuk membangun bangsa yang baru merdeka. Pada saat itu Balai Muslilimin yang notabenenya adalah anggota-anggota G.P.I.I., maka secara tidak langsung merekalah yang menyiapkan serta mengamankan tempat sidang tersebut. Di Balai Muslimin pula G.P.I.I. memberikan kontribusi berupa ide dan membentuk Pemuda Pelopor. Adapun tujuan terbentuknya Pemuda Pelopor tersebut ialah, bertujuan untuk Menggerakkan revolusi di daerah-daerah bersama-sama dengan rakyat di dalam menghadapi penjajah sehingga di daerah masing-masing diharapkan dapat terbentuk people’s defence. Gagasan mengenai Pemuda
87
Pelopor diajukan oleh perwakilan G.P.I.I. yaitu Abdul Karim Halim yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua I G.P.I.I.. Kedua,
Di dalam perjuangannya, G.P.I.I. hadir sebagai perwakilan
pemuda Islam dalam bidang politik. Perjuangan Politik G.P.I.I. dapat dilihat di dalam organisasi kepemudaan. G.P.I.I. mencoba membendung pengaruh komunis (Pesindo). Dalam usaha membendung pengaruh Komunis, G.P.I.I. dan organisasi pemuda lainnya membentuk satu wadah yang disebut BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia), BKPRI ini adalah hasil dari penolakan organisasi G.P.I.I. dan organisasi lainnya yang tidak mau difusikan dengan organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Ketiga, Untuk lebih memperkuat barisan umat Islam pada tanggal 26 Oktober 1946, Gerakan Pemuda Islam Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan menyatukan langkah dengan merealisasikan membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, bersama Markas Tertinggi Sabililillah atas nama K.H. Masjkur, Zainul Arifin atas nama Markas Tertinggi Hizbullah dan R. H. Benjamin atas nama PP G.P.I.I.. adapun tujuan dari terbentuknya Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia ialah agar terdapat kesatuan pimpinan. Semenjak Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia dibentuk, maka pimpinan tertinggi dalam melaksanakan mobilisasi pemuda Islam Indonesia guna mempertahankan
kemerdekaan,
seluruhnya
terletak
dipundak
Dewan
Mobilisasi tersebut. Dengan demikian terciptalah kesatuan pimpinan yang pada masa itu sangat diperlukan sekali di dalam menghadapi Belanda dan Sekutu.
B. Saran-Saran Pertama, G.P.I.I. adalah satu-satunya representasi perjuangan pemuda Islam di Indonesia dalam bidang politik. Sudah sepantasnya sejarah itu ditulis dalam sebuah buku yang lebih lengkap dan terperinci. Kedua, G.P.I.I. yang berenkarnasi manjadi GPI (Gerakan Pemuda Islam) sebagai satu gerakan pemuda yang masih eksis saat ini, sudah sepantasnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan seperti pada masa revolusi fisik 1945-1949 akan tetapi pada masa dewasa ini gaungnya tidak terdengar dikancah politik Indonesia. Ketiga, Terungkapnya fakta-fakta di sekitar peranan umat Islam, khususnya G.P.I.I. yang
selama ini tersembunyi. Dengan terungkapnya fakta-fakta
tersebut, kesan bahwa Pemuda Islam tidak banyak berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sedikit demi sedikit akan terhapus. Dengan terhapusnya kesan yang tidak benar itu, maka diharapkan generasi muda pada masa dewasa ini menjadi lebih paham mengenai peranan yang telah dimainkan oleh generasi terdahulu. Dengan demikian, generasi umat Islam khususnya pemudanya pada masa dewasa ini akan semakin besarlah perasaan memiliki dan tanggung jawab mereka terhadap kelanjutan bangsa Indonesia di masa depan. Perjuangan G.P.I.I. pada masa revolusi fisik memberikan manifestasi riil bahwa Pemuda Islam pada masa dewasa itu menitik beratkan tentang masyarakat Indonesia yang mempunyai motto Bhineka Tunggal Ika, sudah sepantasnya generasi sekarang ini ikut memeliharanya serta mengamalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Skripsi dan Artikel Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim, (Jakarta, 1957). Anderson, Ben, Revolusi Pemuda, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988). Bulkin, Farchan, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, “Seri Prisma I” (Jakarta: LP3ES, 19910). Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama, 1997). Cribb, Robert Bridson, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949, (Jakarta: PT Temprint, 1990). Dahlan, A. Naruwihardjo, S.H., Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1979). Englen, O.E., Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, (Jakarta: UI Press 1947). Hakiem, Lukman, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi DR. Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993). Harjono, Anwar dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997). Harjono, DR. Anwar, Perjalanan Politik Bangsa Menoleh Ke Belakang Menatap Masa Depan, (Jakarta, Pen: Gema Insani Press, 1997). I.N., Subagijo, Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah, (Jakarta: Gunung Agung, 1985). Karim, M. Rusli, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali, 1983). Lapian, A.B. dan P.J. Drooglever (ed), Menelususri jalur Linggarjati, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992). Mani, P.R.S. Jejak Revolusi 1945 sebuah kesaksian sejarah, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1998).
Materu, Mohammad Sidki Daeng, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1985). Malik, Adam, Mengabdi Republik, (Jakarta: Gunung Agung, 1984). MD, Sagimun, Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda Sampai Proklamasi, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1989). Moefreni, Susila Budi, Jakarta-Karawang-Bekasi Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min, (Jakarta: Keluarga Moeffreni Moe’min, 1999). Mudjanto, G., Indonesia Abad ke-20, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Mansur Suryanegara Ahmad, Menemukan Sejarah wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Pen: Mizan Cet III Jaqnuari 1996).
Maschuroh, Emi, Sejarah Pembentukan dan Peranan Hizbullah Dalam Mempertahankan KemerdekaanRepublik Indonesia di Bogor (19451947), (UIN Jakarta: Skripsi S-1 Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab, 2003), h. 31
Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995). Nasution, DR. A. H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 2, (Bandung, 1976). Notosusanto, Mawarti Djoened Poesponegoro Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta, Pen: Balai Pustaka, 1948). Noer, Deliar, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987). Poesponegoro, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Jilid VI, (Jakarta: PN Balai Pustaka,1984). Pijfer, GF, beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (UI Press, Jakarta, 1984). Paragoan, Wall, Membangun Supremasi Sipil Lewat Multi Partai, (Jakarta: Misaka Ghazila, 1998).
Ridwan, H. Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, (Jakarta: CV. Rajawali, 1948). Roem, Muhammad, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987). Riclefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta, Pen: Gajah Mada University Press, Cet. 5 2995), h. 318. Sobantardjo, Sari Sejarah, (Yogyakarta: Bopkri, 1987). Soekarno dan KH. Ahmad Dahlan, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, (Depdikbud, Jakarta, 1999). Soerojo, Soegiarto, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, (Jakarta: PT. Sri Murni, 1998). Sejarah Lisan, Menelusuri Jejak Ayahku Harsono Tjokroaminoto, (Jakarta: Penerbit Arsip Nsional Republik Indonesia, 1983). Tjokroaminoto, H. Harsono, Pedoman Pelaksanaan Tugas Syarikat Islam, (T.tp, T.pn, t.t) Yamin, Mr. Mohammad, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Jajasan Prapanca, 1959). Zamakhsyari, Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (LP3ES, Jakarta, 1982). Pilihan Artikel Prisma, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Surat Kabar Berita Antara, 25 Juli 1947. Berdjuang, 2 Januari s/d 31 Desember 1946 No.61/PN/M/-(Pos). Kedaulatan Rakyat, 1 Januari 1946 s/d 1 Januari 1947 No: 242/PN/M/-(Pos) Kedaulatan Rakyat, 31 Desember 1946 s/d 3 Januari 1947 No: 871/Prod. 87/88. Soeara Moeda, 5 Oktober s/d 7 November 1945 No: 3074/PN/M.