Keanekaragaman dan Komposisi Vegetasi Pohon Penyusun Habitat Lutung Budeng (Trachypithecus auratus) di Kawasan Hutan Adinuso Subah Kabupaten Batang Jawa Tengah Reviana Iin Fatmala1, Ary Susatyo Nugroho, M.Anas Dzakiy Pendidikan Biologi Universitas PGRI Semarang 1 Email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan komposisi vegetasi pohon penyusun habitat Lutung Budeng (Trachypitheus auratus) di kawasan Hutan Adinuso Subah Kabupaten Batang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai dengan bulan Mei 2016 melalui observasi secara langsung mengunakan metode Point Center Quarter (PCQ). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jenis vegetasi pohon penyusun habitat Lutung Budeng di dominasi oleh Tectona grandis dengan KR 55,78%, FR 45,86%, DR 77,06%, INP 178,70 % dan Pterocarpus indicus dengan KR 18,06, FR 14,01, DR 11,06, INP 43,13 %. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 17 spesies tumbuhan yang dijadikan sebagai pohon penyusun habitat Lutung Budeng di Kawasan Hutan Adinuso Subah Kabupaten Batang yang didominasi oleh Tectona grandis dan Pterocarpus indicus dan keanekaragaman jenis pohon penyusun habitat Lutung Budeng tergolong sedang. Kata kunci: Keanekaragaman, Komposisi, Lutung Budeng, Penyusun Habitat
Abstract This study was aimed to determine diversity and vegetation tree composition of Ebony Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) habitat in Adinuso Forest, Subah District of Batang. The research was conducted in December 2015 - May 2016 by direct observation by using quarter center point method. The result showed that the species composition of vegetation trees making up the ebony leaf monkey habitat was dominated by Tectona grandis tree with KR 55,78%, FR 45,86%, DR 77,06%, INP 178,70 % and Pterocarpus indisius with KR 18,06, FR 14,01, DR 11,06, INP 43,13 %. The research result give a conclusion that there were 11 species of tree vegetation which develop the habitat of Ebony Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) which was dominated by Tectona grandis and Pterocarpus indicus. The diversity of tree species in the habitat of Ebony Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) was categorized to moderate. Keywords: Diversity, Ebony Leaf Monkey, habitat composition
PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kekayaan satwa liar tertinggi di dunia (PPLH, 2008). Sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia. Satwa liar tersebut merupakan jumlah terbanyak nomor satu di dunia. Jumlah mamallia endemik Indonesia ada 259 jenis. Satwa liar endemik yang dimiliki indonesia harus dilestarikan supaya tidak terjadi kepunahan (Profauna, 2012). Meskipun Indonesia kaya akan satwa liar, namun dikenal juga sebagai negara yang memiliki daftar terpanjang tentang satwa liar yang terancam punah (IUCN, 2013). Kekayaan flora dan fauna merupakan aset bangsa yang harus dijaga kelestariannya demi kepentingan masa depan bangsa Indonesia. Salah satu dari keragaman fauna tersebut adalah primata. Semakin menurunnya primata disebabkan karena adanya perkembangbiakan 269
yang relatif sulit, rusaknya pohon yang digunakan sebagai pakan, serta rusaknya cabang yang digunakan untuk berpindah dari pohon yang satu ke pohon yang lain (Alikodra, 2010). Salah satu primata yang terancam punah salah satunya Lutung Budeng (Trachypithecus auratus). Lutung Budeng termasuk jenis primata dari sub famili Colobinae, yang merupakan pemakan dedaunan. Komposisi pakan Lutung Budeng (Trachypithecus auratus) terdiri atas daun munda 46%, buah matang 27%, buah mentah 8%, bunga 7%, daunnya 1% (Rowe, 1996). Dengan komposisi pakan tersebut jenis Lutung Budeng secara langsung akan mempengaruhi pola regenerasi hutan dan keragaman spesies pohon dihabitatnya adalah dengan berperan sebagai seed disperser (Supriatna & Wahyono, 2000). Lutung Budeng (Trachypitheus auratus) merupakan primata yang tergolong endemik di Indonesia yang persebarannya terbatas hanya di daratan pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Lutung Budeng merupakan jenis primata yang terancam punah. Menurut IUCN Red List (2012) jenis primata digolongkan dalam status spesies yang terncam punah dengan trend populasi yang semakin menurun begitupula berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/kpts-II/1999, dimana dinyatakan bahwa jenis primata ini merupakan jenis satwa yang dilindungi. Selain itu tahun 1996 lutung ini oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource) dikategorikan sebagai primata yang rentan (vulnerable) artinya rentan terhadap gangguan dan dikhawatirkan akan punah apabila tidak dilakukan perlindungan dan pelestarian habitatnya. Sedangkan tahun 2000 lutung ini oleh IUCN dikategorikan sebagai primata yang terancam akan punah (Endangered: EN) artinya sebuah spesies dinyatakan ternacam akan punah ketika dinyatakan cocok dengan salah satu kriteria untuk terancam akan kepunahan, sehingga dianggap sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar (IUCN, Red List, 2008). Habitat Lutung Budeng meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung ini aktif pada siang hari (diurnal) dan hidup pada lapisan hutan (arboreal) Lutung Budeng memiliki daerah jelajah yang cukup luas sehingga memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), daerah jelajahnya berkisar antara 15-23 Ha. Hal ini dipengaruhi oleh jenis pakannya, menurut CluttonBrock and Harvey (1977), primata yang hanya memakan daun akan memiliki daerah jelajah dan bentuk tubuh yang kecil dibandingkan dengan primata yang memakan beraneka ragam seperti daun, bunga dan buah. Salah satu habitat Lutung Budeng yang dapat ditemui di Subah Kabupaten Batang adalah Hutan Adinuso. Hutan Adinuso terletak dalam wilayah Desa Adinuso, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang. Hutan ini didirikan pada tahun 1991 dengan luas wilayah kurang lebih sekitar 25 Hektar.Hutan Adinuso merupakan hutan heterogen yang memiliki luas wilayah kurang lebih sekitar 25 hektar. Potensi flora yang ada di Hutan Adinuso sangat beraneka ragam. Jenis pohon yang berada di hutan tersebut meliputi pohon Jati (Tectona grandis), Segawe (Adenanthera pavonina), Kedawung (Parkia roxburghii), Sono (Pterocarpus indicus), Kayu Manis (Cinnamomum burmannii), Matoa (Pometia pinnata), Flamboyan (Delonix regia), ilat – ilatan (Ficus callosa), Johar (Senna slamea), Munggur (Pithecolobium saman), Jengkol (Archidendron pauciflorum), Kepel (Stelechocarpus burahol), Jambu Mete (Anacardium occidental), Asem (Tamarindus indica), Brosol (Chydenanthus exchelsu), Duwet, (Zyzygium cumini), dan Secang (Caesalpinia sappan). Selain potensi floranya yang beranekaragam di hutan tersebut juga ditemukan fauna langka. Fauna langka yang menghuni hutan Adinuso adalah Lutung Budeng (Trachypithecus auratus) (BKPH, 2016). Vegetasi merupakan kumpulan dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama-sama pada satu tempat dimana antar individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuhan itu sendiri maupun dengan hewan yang hidup divegetasi dan disekitar lingkungan tersebut (Soerianegara & Indrawan, 1978). Vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan saja melainkan berbentuk suatu kesatuan dimana individu-individunya saling bergantung satu sama lain. 270
Jumlah ketersediaan makanan dan habitat Lutung Budeng semakin tahun semakin menurun hal ini dikarenakan banyaknya penebangan liar yang sedang marak di Indonesia ini, belum lagi adanya kebakaran hutan yang secara besar-besaran sedang terjadi. Hal ini mengakibatkan Lutung Budeng semakin langka di Indonesia ini. Adanya hal itu, dalam hal ini peneliti mengambil aspek yang berkaitan dengan keanekaragaman vegetasi pohon penyusun habitat. Sehingga nantinya dapat diketahui habitat atau pohon apa saja yang biasa digunakan Lutung Budeng untuk kegiatan sehari-hari yang ia lakukan. Setiap Lutung Budeng tidak menggunkan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif (Supriatna & Wahyono, 2000). Mempertimbangkan Lutung Budeng yang merupakan spesies endemik Indonesia dengan status konservasi terancam punah dan fungsi ekologisnya yang tinggi sebagai penyebar biji, maka dibutuhkan suatu langkah-langkah konservasi yang tepat sasaran agar kelestarian jenis tersebut di hutan tetap terjaga. Upaya konservasi ini mencakup aspek perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan yang lestari. Keberhasilan usaha penyelamatan spesies yang terancam punah akan banyak ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi masyarakat sekitar (Alikodra, 2000). Untuk melindungi Lutung Budeng dari tekanan dominasi manusia maka pemahaman akan vegetasi penyusun habitat dari Lutung Budeng merupakan langkah penting yang harus segera dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman dan komposisi vegetasi pohon penyusun habitat Lutung Budeng, hal ini terkait perilaku dimana setiap jenis satwa tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai aktivitasnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif (Mas’ud, 2012).Penelitian ini juga dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian vegetasi yang ada di Hutan Adinuso. Kelestarian vegetasi yang terjaga diharapkan dapat menjaga kelestarian Lutung Budeng yang saat ini keberadaanya semakin langka, dapat juga digunakan sebagai data dasar untuk upaya pelestarian Lutung Budeng yang semakin langka tersebut serta hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai implementasi sumber belajar pada mata pelajaran Biologi SMA kelas X semester 1 sebagai bahan acuan untuk peneliti selanjutnya. METODE Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adinuso, Desa Adinuso, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah dengan luas kurang lebih sekitar 25 hektar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2015 - Mei 2016. Pengambilan data keanekaragaman dan komposisi vegetasi pohon penyusun habitat Lutung Budeng di kawasan Hutan Adinuso Subah kabupaten Batang dengan pengamatan secara langsung mengunakan metode Point Center Quarter (PCQ). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh vegetasi pohon yang menyusun habitat Lutung Budeng dan sampel pada penelitian ini adalah vegetasi pohon yang menyusun habitat Lutung Budeng yang di ambil secara acak dari populasi. Selanjutnya data di analisis secara deskriptif kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian Hutan Adinuso merupakan hutan yang memiliki luas sekitar 25 hektar. Jenis-jenis vegetasi pohon di kawasan Hutan Adinuso meliputi pohon Jati (Tectona grandis), Sono (Pterocarpus indicus), Segawe (Adenanthera pavonina),Johar (Senna slamea),Ilat – ilatan (Ficus callosa), Kayu Manis (Cinnamomum burmannii), Matoa Alas (Pometia pinnata), Jengkol (Archidendron pauciflorum), Kedawung (Parkia roxburghii), Flamboyan (Delonix regia), Munggur (Pithecolobium saman), Kepel (Stelechocarpus burahol), Jambu Mete (Anacardium occidental), Asem (Tamarindus indica), Brosol (Chydenanthus exchelsu), Duwet, (Zyzygium cumini), dan Secang (Caesalpinia sappan) (BKPH, 2016). 271
Pengukuran faktor lingkungan dilakukan pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Hasil pengukuran faktor lingkungan yang dilakukan kisaran temperature udara 230C sampai 290C. Hasil pengukuran kelembaban udara berkisar 76%-90%. Hasil pengukuran pH tanah berkisar antara 6-7 yang termasuk kastegori pH tanah netral, Sedangkan untuk hasil pengukuran intensitas cahaya matahari 1300-1950 Lux. Jenis-jenis Vegetasi Pohon sebagai Penyusun Habitat yang ada di Kawasan Hutan Adinuso Kecamatan Subah Kabupaten Batang. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Vegetasi Pohon Sebagai Penyusun Habitat Lutung Budeng di Kawasan Hutan Adinuso Kecamatan Subah Kabupaten Batang pada seluruh kuadran yang diamati, didapatkan 17 jenis pohon. Jenis-jenis tumbuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Jenis Vegetasi Pohon Di Kawasan Hutan Adinuso Kecamatan Subah Kabupaten Batang. No Nama spesies Jumlah KR FR DR INP individu (%) (%) (%) (%) Tectona grandis 1. 145 55,78 45,86 77,06 178,70 Pterocarpus indicus 2. 47 18,06 14,01 11,06 43,13 Adenanthera pavonina 3. 16 6,16 8,92 3,12 18,20 4. Senna siamea 12 4,62 5,73 1,27 11,62 Ficus callosa 5. 10 3,85 7,00 1,56 12,41 Cinnamomum burmannii 6. 8 3,09 3,18 1,49 7,76 Pometia pinnata 7. 7 2,70 5,09 1,01 8,80 Archidendron pauciflorum 8. 3 1,15 1,91 0,19 3,25 Parkia roxburghii 9. 2 0,77 1,91 0,21 2,89 10. Delonix regia 2 0,77 1,91 0,47 3,15 11. Pithecolobium saman 2 0,77 0,64 0,55 1,96 12. Tamarindus indica 1 0,38 0,64 0,05 1,07 13. Stelechocarpus burahol 1 0,38 0,64 0,05 1,07 14. Anacardium occidentale 1 0,38 0,64 0,07 1,09 Chydenanthus exchelsus 15 1 0,38 0,64 0,09 1,11 16. Zyzygium cumini 1 0,38 0,64 0,88 1,90 17. Caesalpinia sappan 1 0,38 0,64 0,87 1,89 Jumlah individu 260 100 100 100 300 Untuk mengetahui tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis dari vegetasi pohon, maka digunakan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Pohon di Kawasan Hutan Adinuso Kecamatan Subah Kabupaten Batang. 1. 2.
Indeks H’ Indeks J’
1,6343 0,5455
Dari data yang disajikan pada Tabel 1, dapat diketahui jumlah individu dari setiap spesies vegetasi pohon sebagai penyusun habitat Lutung Budeng di kawasan Hutan Adinuso Subah Kabupaten Batang. Adapun jumlah pohon tiap hektarnya adalah 299,58 pohon/Ha. Jumlah 272
jenis yang cukup banyak ditemui di lokasi penelitian menunjukkan bahwa komposisi jenis penyusun vegetasi hutan tersebut cukup beranekaragam. Dalam penelitian vegetasi pohon di Kawasan Hutan Adinuso Kecamatan Subah Kabupaten Batang ditemukan 17 spesies vegetasi pohon yang secara keseluruhan terdapat 260 individu. Jenis yang paling banyak ditemukan yaitu jenis pohon Tectona grandis sebanyak 145 individu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh spesies yang paling banyak di temukan di kawasan Hutan Adinuso Subah Kabupaten Batang yaitu Tectona grandis, dan Pterocarpus indicus. Kedua jenis tersebut selanjutnya disebut sebagai jenis yang dominan dalam ekosistem Hutan Adinuso Subah. Kemampuan keduanya dalam menempati sebagaian besar lokasi penelitian menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian (Arijani dkk, 2006). Banyaknya jumlah dari kedua spesies tersebut disebabkan spesies – spesies tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungan sekitarnya. Adaptasi merupakan kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan sumber – sumber alam lebih banyak untuk mempertahankan hidupnya dalam relung yang diduduki. Setiap organisme mempunyai sifat adaptasi untuk hidup pada berbagai macam keadaan lingkungan sekitar (Irwan, 2010). Pada penelitian di Hutan Adinuso Subah Kabupaten Batang diperoleh komposisi vegetasi yang merupakan penggambaran dari kerapatan suatu spesies. Komposisi ini terlihat dari perhitungan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dari masing – masing spesies yang ada pada tabel 1. Penjumlahan antara kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif menghasilkan INP (Indeks Nilai Penting). Kerapatan relatif populasi vegetasi pohon penyusun habitat Lutung Budeng dari yang tertinggi hingga terendah adalah Tectona grandis yaitu 55,78%, Pterocarpus indicius 18,06%, Adenanthera pavonina 6,16%, Senna slamea 4,62%, Ficus callosa 3,85%, Cinnamomum burmannii 3,09%, Pometia pinnata 2,70%, Archidendron pauciflorum 0,15%, Parkia roxburghii, Delonix regia, Pithecolobium saman memiliki kerapatan relatif populasi yang sama yaitu 0,77%, Stelechocarpus burahol, Anacardium occidental, Tamarindus indica, Chydenanthus exchelsu, Zyzygium cumini, dan Caesalpinia sappan memiliki kerapatan populasi yang sama yaitu 0,38 %. Kerapatan populasi tersebut berbeda – beda antara jenis satu dengan yang lain. Perbedaan itu disebabkan adanya pola adaptasi terhadap berbagai faktor lingkungan.Nilai kerapatan relatif yang besar dari jenisjenis ini dikarenakan jenis ini merupakan jenis-jenis pemenang dalam persaingan dan mempunyai toleransi yang lebar, sehingga persatuan luasnya akan dijumpai individu yang lebih besar. Terlihat bahwa jenis-jenis pohon yang mempunyai nilai kehadiran relatif besar akan cenderung mempunyai nilai kerapatan relatif yang besar pula (Martono, 2012). Menurut Kimmins (1987). Variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan dipengaruhi antara lain oleh fenologi, dispersal dan natalis. Tectona grandis, dan Sono Pterocarpus indicus merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya tertinggi sehingga dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh lokasi penelitian. Kedua spesies yang memiliki nilai kerapatan dan frekuensi tertinggi termasuk kedalam kategori spesies yang memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Pada Tabel 1 juga menggambarkan nilai frekuensi relatif yang dimiliki oleh masing – masing spesies vegetasi pohon. Spesies yang memiliki frekuensi relatif tertinggi yaitu Tectona grandis 45,86%, Pithecolobium saman, Stelechocarpus burahol, Anacardium occidental, Tamarindus indica, Chydenanthus exchelsu, Zyzygium cumini, dan Caesalpinia sappan memiliki frekuensi relatif populasi yang sama yaitu 0,64%. Tectona grandis dikatakan memiliki nilai frekuensi relatif tertinggi dikarenakan jenis ini merupakan jenis-jenis pemenang dalam persaingan dan mempunyai toleransi yang lebar, sehingga persatuan luasnya akan dijumpai individu yang lebih besar, terlihat bahwa jenis-jenis pohon yang mempunyai nilai kehadiran relatif besar akan cenderung mempunyai nilai kerapatan relatif yang besar pula (Martono, 2012). Nilai kehadiran relatif dari suatu jenis menunjukkan penyebaran jenis tersebut pada habitatnya. Jenis-jenis yang menyebar secara luas akan mempunyai nilai kehadiran relatif yang tinggi, demikian pula 273
sebaliknya jenis-jenis yang penyebarannya sempit akan mempunyai nilai kehadiran relatif yang rendah. Frekuensi relatif digunakan untuk menyatakan proporsi atau jumlah sampel yang berisi spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi merupakan besarnya intensitas ditemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme dalam komunitas ekosistem, selain itu frekunsi dapat pula dipakai untuk mengetahui sebaran jumlah spesies tertentu. Selain itu, Tabel 1 juga menggambarkan nilai dominansi relatif yang dimiliki oleh masingmasing spesies vegetasi pohon. Spesies yang memiliki dominansi tertinggi yaitu Tectona grandis 77,06% dan yang memiliki frekuensi terendah yaitu Tamarindus indica, dan Archidendron Stelechocarpus burahol dan 0,05%. Jenis Tectona grandis memiliki nilai dominansi tertinggi karena rata-rata ukuran diameter batang masing-masing pohon Tectona grandis lebih tinggi dari jenis pohon yang lainnya. INP (Indeks Nilai Penting) tertinggi vegetasi pohon adalah Tectona grandis 178,70% dan Pterocarpus indicus 44,13% dan Nilai INP terendah ditemukan pada jenis Tamarindus indica, dan Archidendron Stelechocarpus burahol yaitu sebesar 1,07%. INP suatu populasi dikatakan tinggi karena tingginya peran populasi tersebut dalam ekosistem. Besarnya Indeks Nilai Penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam lokasi penelitian. Jenis Tectona grandis, dan Pterocarpus indicus merupakan dua jenis yang mendominasi di daerah Hutan Adinuso Subah karena memiliki nilai INP tertinggi. Kedua jenis tersebut selanjutnya disebut sebagai jenis yang dominan dalam ekosistem Hutan Adinuso Subah. Kemampuan keduanya dalam menempati sebagaian besar lokasi penelitian menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian (Arijani dkk, 2006). Spesies yang mendominansi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor genetik, lingkungan, dan persaingan. Persaingan pohon yang ada dalam hal ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan dan gangguan manusia. Iklim dan mineral yang dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies, sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan didalam suatu kawasan (May & Mclean, 2007). Jenis tumbuhan yang mendominansi berarti memiliki kisaran lingkungan yang lebih luas dibandingakn dengan jenis lainnya, sehingga dengan kisaran toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan menyebabkan suatu jenis tumbuhan akan memiliki sebaran yang luas (Odum, 1993). Selain itu, hal ini dikarenakan jenis Tectona grandis dapat ditemukan di pulau Jawa dan mampu tumbuh di daerah hutan hujan tropis dengan curah hujan 1200-3000 mm pertahun dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi dengan suhu 27-370C, tanah yang sesuai adalah tanah yang agak basa, dengan pH antara 6-8. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab, Tectona grandis mendominansi pada lokasi penelitian karena mampu tumbuh pada kondisi lingkungan disekitar lokasi penelitian. Menurut Odum (1993), persaingan akan meningkatkan daya saing untuk mempertahankan hidup. Spesies yang kuat akan menang dan menekan yang lain sehingga spesies yang kalah mempunyai tingkatan pertumbuhan yang rendah dan menyebabkan spesies tersebut kurang berkembang sehingga kepadatannya juga akan sedikit. Setiap jenis tumbuhan memiliki jenis minimum, maksimum, dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada. Pada kondisi minimum akan menunjukkan suatu jenis untuk mampu tubuh tetapi tidak mampu berkembang sama seperti kondisi maksimum. Tumbuhan hanya akan mampu tumbuh berbeda dengan kondisi optimum dimana kondisi yang diharapkan suatu jenis mampu untuk tumbuh dan berkembang. Vegetasi yang tersedia memiliki keanekaragaman yang sedang. Indeks keanekaragaman jenis vegetasi pohon 1,6343. Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon Wienner didefiniskan sebagai berikut. 1. Nilai H’ ≥ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu kawasan adalah tinggi. 274
2. Nilai H’ 1 ≤ H’ ≤ 3 Indeks keanekaragaman jenis dikatakan rendah apabila nilai H’<1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu kawasan adalah sedang. 3. Nilai H’ ≤ 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu kawasan adalah rendah (Odum,1993). Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistem –ekosistem yang terkendali dan tinggi dalam ekosisitem yang diatur secara biologi (Odum, 1993). Menurut Indriyanto (2006) bahwa suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang tinggi jika komunitas disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya, suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan. Menurut Kabelen & Warpur (2009) tingginya keanekaragaman jenis pada tingkat pohon disebabkan karena vegetasi hutan yang tumbuh beranekaragam, mempunyai variasi terhadap kondisi fisik dan kimia tanah. Namun faktor iklim juga mempunyai pengaruh terhadap tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan terutama sinar matahari, suhu, dan kelembaban udara. Indeks kemerataan menggambarkan perataan penyebaran individu dari spesies yang menyusun komunitas. Perhitungan indeks kemerataan jenis vegetasi pohon menggunakan rumus kemerataan. Menurut Odum (1993) menyatakan bahwa nilai E=0: menunjukkan kemerataan antar spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh sedangkan nilai E=1, kemerataan antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. SIMPULAN Kemerataan jenis vegetasi pada lokasi penelitian tergolong relatif merata dengan nilai E sebesar 0,5455. Hal ini menunjukkan bahwa jenis vegetasi pohon yang ada di lokasi penelitian menunjukkan komunitas yang kemerataannya merata. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada pihak instansi DIVRE JATENG, KPH Kendal dan BKPH Subah. Khususnya pak Djuahir dan pak Sugeng yang membantu dalam proses penelitian di lapangan, Serta teman-teman yaitu Neli, Rizki dan Eti yang ikut membantu dalam proses penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Alikodra, Hadi. S. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Arijani., Setiadi D., Guhardja E., Qayim I. 2006. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango [Vegetation analysis of the upstream Cianjur watershets in Mounth Gede-Pangrango National Park’s]. Biodiversitas Volume 7 Nomor 2 halaman: 147-153. ISSN: 1412-033X. BKPH, Subah. 2016. Data Arsip Hutan Adinuso. Kabupaten Batang. Clutton - Brock and Harvey. 1977. Colobine Diet and Social Organization. Journal. 10. Martono, D.S. 2012. Analisis Vegetasi dan Asosiasi antara Jenis-Jenis Pohon Utama Penyusun Hutan Tropis Dataran Rendah Di Taman Nasional Gurung Rinjani Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agri-tek.13 (2). Irwan, Z. Djamal. 2003. Prinsip-prinsip ekologi dan organisasi ekosistem, komunitas dan lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara. IUCN. 2008. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucn.redlist.org. (Downloaded 31 Desember 2015).
on
IUCN. 2012. Trachypithecus auratus (E, Geoffroy Saint-Hilaire, 1812). http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22034/0 diakses tanggal 18 Desember 2015.
275
IUCN. 2013. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucn.redlist.org. (Download 12 November 2015). Kabelen, F. & Maklon, W. 2009. Struktur, Komposisi Jenis Pohon dan Nilai Ekologi Vegetasi Kawasan Hutan di Kampung Sewan Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi. Jurnal Biologi Papua. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/ kpts- II/ 1999. Penetapan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) sebagai Satwa yang Dilindungi. Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. New York. Macmillan Publishing Co. Odum, E.P.1993. Dasar - Dasar Ekologi.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. ProFauna Indonesia, 2012. “Fakta Tentang Satwa Liar di Indonesia” (On-Line). Available URL: Http/www.google.com (Down Load at Mei 2015). Rowe, N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. Pogonias Press, East Nem York. Soerianegara, I. & Indrawan, A., 1978. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Bogor.
Hampton,
Pertanian
Bogor,
Supriatna, J & Wahyono, E.H. 2010. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
276