LAPORAN KASUS
Retensi Janin Kembar Kedua Aterm Hidup 46 Jam Daulat H. Sibuea Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
Abstrak: Pasien seorang ibu berumur 33 tahun grandemultigravida dan multipara. Ibu ini hamil kembar, dengan bayi kembar pertama lahir hidup pervaginam yang ditangani oleh seorang dukun beranak. Janin kembar kedua aterm hidup letak sungsang, mengalami retensi 46 jam. Bayi kembar kedua aterm dilahirkan dengan seksiosesarea di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik, Medan. Bayi kembar kedua sehat, laki-laki, berat badan 3800 gram. Retensi janin kembar kedua aterm hidup seharusnya tidak boleh terjadi pada penanganan obstetrik modern. Menunda kelahiran janin kembar kedua aterm hidup hanya dapat diterima jika kondisi janin dimonitor ketat. Kata kunci: retensi janin kembar kedua, penanganan
Abstract: The patient is a grandemultigravid and multipara woman of 33 years old. This woman have twin pregnancy, with the first fetus have succesfully living birth by vaginal delivery handled by tradisional birth attendant. The second aterm living fetus is transverse lie, and has retention for 46 hours. The second aterm living fetus has cesarean section birth in Haji Adam Malik Genteral Hospital Medan. The second infant is a healthy boy of 3800 gram weight. Retention of second aterm living infant should not occur if handle by modern Obstetric. Postponement of delivery of the second aterm living fetus able to be accepted only if continuous fetal monitoring is employed. Keywords: second twin retention, management
PENDAHULUAN Retensi janin kembar kedua tidak jarang terjadi di negara berkembang.1 Kejadian seperti ini erat kaitannya dengan kurangnya fasilitas kesehatan dan rendahnya mutu asuhan obstetrik modern.1 Tulisan ini melaporkan kejadian retensi janin kembar kedua aterm dan hasil penanganannya yang dirujuk ke Unit Gawat Darurat – Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan (UGD – RSHAM). LAPORAN KASUS Pasien Nyonya M, umur 33 tahun, pekerjaan petani, pendidikan sekolah dasar. Tiba di UGD – RSHAM tanggal 7 Maret 2003 jam 17.00 wib. Nyonya M mengeluh janin kembar kedua belum lahir. Bayi kembar pertama perempuan lahir spontan dan hidup tanggal 5 Maret 2003 jam 21.00 WIB. Persalinan bayi kembar pertama ini ditangani oleh seorang dukun beranak di desa yang jaraknya sekitar 160 km arah selatan kota Medan. Hamil kembar yang dialami Nyonya M ini adalah hamil ketujuh, partus pervaginam sudah 5 kali sebelum kelahiran bayi kembar pertama ini, dan pernah mengalami sekali abortus spontan. Sewaktu tiba di UGD – RSHAM keadaan umum baik, tekanan darah 130/70 mmHg, frekuensi nadi 92
kali per menit, frekuensi pernapasan 22 kali per menit, suhu tubuh 37,5 0C, anemia positif dengan kadar Hb 8,5 gr%, dan ikterus negatif. Dari pemeriksaan abdomen diperoleh tinggi fundus uteri 4 jari di atas pusat, janin letak lintang, dan frekuensi denyut jantung janin 146 kali per menit. Kontraksi uterus sesekali dan intensitasnya tidak bermakna. Pembukaan servik uteri 3 cm, selaput ketuban utuh, teraba bagian terdepan tangan janin dan tali pusat bayi kembar pertama. Tanggal 7 Maret 2003 janin 19.00 wib dengan anestesia umum dilakukan seksiosesarea korporal dan sterilisasi pomeroy tuba fallopi kanan dan kiri. Lahir bayi kembar kedua laki-laki, berat badan 3800 gram, skor Apgar 7/9/10, tanpa kelainan kongenital. Uri dilahirkan lengkap, mempunyai dua selaput amnion, dua selaput khorion, dan dua tali pusat. Tanggal 12 Maret 2003 jam 13.00 WIB. Nyonya M bersama bayi kembar kedua pulang sehat. DISKUSI Persalinan pada hamil kembar dengan bayi kembar kedua dilahirkan dengan seksiosesarea setelah bayi kembar pertama lahir pervaginam disebut persalinan kombinasi.2 Wen et al.3, melaporkan dari 61.845 janin kembar kedua 9,5% lahir perabdominal setelah bayi kembar pertama lahir pervaginam. Yang et al.4 melaporkan dari 42.417 janin kembar kedua
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
123
Laporan Kasus
hidup persentasi kepala di antaranya 6,3% lahir perabdominal setelah bayi kembar pertama lahir normal. Indikasi seksiosesarea untuk janin kembar kedua dengan presentasi kepala adalah: prolapsus tali pusat, disproporsi sefalo pelvik, gawat janin, partus tak maju, taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram atau taksiran berat badan janin lebih berat 25% dari berat badan bayi kembar pertama yang lahir pervaginam, atau adanya komplikasi kehamilan (seperti diabetes mellitus, hipertensi dalam kehamilan dan eklampsia, solusio plasenta, atau plasenta previa).4 Seksiosesarea yang dialami Ny. M indikasi adalah: interval persalinan bayi kembar memanjang (lebih 1 jam) dan janin letak lintang menetap (persisten). Pada hamil kembar aterm hidup, jarak kelahiran bayi kembar kedua dari bayi kembar pertama sebaiknya tidak lebih 30 menit.5 Interval kelahiran bayi kembar kedua aterm hidup dari bayi kembar pertama aterm yang melebihi 30 menit hanya dapat dibenarkan jika kondisi janin kembar kedua dapat dimonitor ketat.6 Janin kembar kedua yang interval kelahirannya melebihi 30 menit dari kelahiran pervaginam bayi kembar pertama disebut retensi janin kembar kedua .7 Etiologi retensi janin kembar kedua adalah malpresentasi, kontraksi uterus yang melemah (inersia uteri) setelah persalinan pervaginam bayi kembar pertama, dan atau penolong persalinan yang tidak profesional. Retensi janin kembar kedua sering mengalami morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi.8 Retensi janin kembar kedua aterm hidup yang dialami Ny. M erat kaitannya dengan penolong persalinan yang tidak profesional. Kejadian seperti ini pada hamil kembar aterm hidup tidak dapat dibenarkan dalam pelayanan obstetrik modern. Persalinan janin kembar kedua hanya boleh ditunda jika bayi kembar pertama yang lahir pervaginam immatur atau prematur berat.5 Abrams.9 berhasil menunda persalinan janin kembar kedua immatur hidup selama 35 hari setelah persalinan pervaginam bayi kembar pertama immatur, dan Drucker et al.10, berhasil menunda persalinan janin kembar kedua immatur hidup selama 65 hari.
persalinan kembar harus ditangani di rumah sakit yang mempunyai fasilitas seksiosesarea termasuk fasilitas transfusi darah, dan dokter spesialis obstetri ginekologi, perinatologi dan anestesia. DAFTAR PUSTAKA 1. Adeleye JA. Retained Second twin in Ibadan; its fate and management. Am J Obstet Gynecol 1972; 114: 2044 – 2047. 2.
Rattan PK, Knuppel RA, O’Brien WF, Scerbo JC. Cesarean delivery of the second twin after vaginal delivery of the first twin. Am J Obstet – Gynecol 1986 ; 154: 936 – 939.
3.
Wen SW, Fung KF, Oppenhelmer L, Demissie LK, Yang Q, Walker M. Occurrence and predictors of cesarean delivery for the second born twin after vaginal delivery of the first twin. Obstet – Gynecol 2004 ; 103: 413 –419.
4.
Yang Q, Wen SW, Chen Y, Kreweski D, Fung KFK, Walker M. Occurrence and clinical predictors of operative delivery for the vertex second twin after normal vaginal delivery of the first twin. Am J Obstet– Gynecol 2005 ; 192: 178 – 184.
5.
Woolfson J, Fay T, Bates A. Twins with 54 days between deliveries, case report. Br J. Obstet Gynaecol 1983 ; 90: 685 – 686.
6.
Rayburn WF, Lavin JP, Miodovnik M, Varner MW. Multiple gestation: Time interval between delivery of the first and second twins. Obstet – Gynecol 1984; 63: 502 – 505.
7.
Aniebu UU, Ezegwui HU, Ozumba BC. Retained second twins in Enugu, Nigeria. Int J Gynecol Obst. 2003 ; 81: 281 – 285.
8.
Kenny JP et al. Hyaline membrane disase and acidosis at birth in twins. Obstet – Gynecal 1977 ; 50: 710 – 712.
9.
Abrams RH. Double pregnancy ; Report of a case with 35 days between deliveries. Obstet – Gyenecol 1957; 9: 435 – 438.
10. Druker P. Finkel J, Savel LE. Sixty five day interval between the birth of twins. Am J. Obstet – Gynecol 1960 ; 80: 761 – 762.
KESIMPULAN DAN SARAN Diagnosa hamil kembar sebaiknya sudah ditegakkan sebelum inpartu, dan setiap
124
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif Delfitri Munir Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstrak: Rinitis atrofi adalah infeksi kronis pada rongga hidung dengan atrofi mukosa yang progresif. Gejala khas penyakit ini adalah sekret purulen, krusta, dan hidung berbau busuk yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan. Penyakit ini biasanya mengenai wanita dan pada usia pubertas. Pengobatan dapat dilakukan dengan konservatif dan operasi. Kami laporkan sebuah kasus rinitis atrofi pada wanita usia 17 tahun yang diterapi dengan konservatif dengan hasil memuaskan. Abstract: Rhinitis atrophy is a chronic infection with progrecive mucos and bone atrophy. The spesific symptoms are purulen secret, crust and bad smell that can cause physicologic problem. More case affect young woman specially teenager or puberty period. The Treatment of rhinitis atrophy are conservative and operation. We report the case of rhinitis atrophy 17 years old woman are treated by medicine with good result.
PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai dengan atrofi progresif dari mukosa dan tulang konka disertai adanya sekret kental yang cepat mengering dan pembentukan krusta yang berbau busuk.1,2 Penyakit ini lebih sering mengenai wanita terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan di negara-negara berkembang dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan lingkungan yang buruk.3,4 Data di SMF THT RSUP H. Adam Malik Medan dari 2002 sampai 2003 dijumpai 9 penderita rinitis atrofi yang terdiri dari 6 wanita dan 3 pria yang berumur antara 17 – 39 tahun. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.5 Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi primer (ozaena) dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma operasi hidung, efek samping radiasi, atau penyakit infeksi hidung kronik yang spesifik.6,7 Beberapa teori sebagai penyebab rinitis atrofi primer adalah teori infeksi, endokrin, defisiensi vitamin A dan D, serta gangguan pertumbuhan kavum nasi. Patogenesis terjadinya rinitis artropi adalah adanya metaplasia epitel dan fibrosis pada tunika propria. Patogenesis lain yang dicurigai penyebab penyakit ini adalah adanya endarteritis pada arteriol terminal dan terjadinya absorbsi pada tulang.8 Gejala klinis rinitis atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, epistaksis, sakit kepala, kebas
pada wajah, hiposmia atau anosmia. Pasien tidak dapat mencium bau busuk tetapi orang lain yang merasakannya.9 Tanda klinis adalah dijumpai rongga hidung yang dipenuhi krusta berwarna kuning kehijauan terutama pada dinding lateral hidung yang menimbulkan bau busuk. Bila krusta diangkat, kadang-kadang timbul pendarahan. Rongga hidung sangat lapang karena konka atrofi dan mukosa hidung tipis serta kering. Kadang-kadang faring juga terlihat kering dan atrofi. Di samping itu bisa juga ditemukan ulat atau telur larva karena bau busuk.6 Pengobatan rinitis atrofi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dan pembedahan.9 Pengobatan secara konservatif dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg setiap hari selama 12 minggu.1,7 Obat cuci hidung diberikan untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret serta menghilangkan bau busuk. Obat yang dipakai untuk mencuci adalah cairan Betadine dalam 100 ml air hangat atau larutan garam dapur. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuatkuat. Air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut dan dilakukan dua kali sehari.1,5 Setelah krusta diangkat diberikan obat tetes
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
125
Laporan Kasus
hidung seperti campuran streptomycin 1 gr dan Na Cl 0,9% 30 cc. Cairan ini diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.1,7 Sebagai obat tambahan dapat diberikan vitamin A 50.000 U dan preparat Fe selama 2 minggu. Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. 1-4 Tujuan operasi pada rinitis atrofi adalah menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta, mengistirahatkan mukosa, dan memungkinkan terjadinya regenerasi.10 Teknik operasi yang dilakukan adalah young’s operation yaitu dengan cara menutup total rongga hidung dengan flap. Teknik lain adalah lautenschlager operation yaitu dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. Di samping itu dapat juga dilakukan implantasi submukosa dan transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (wittmack’s operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.11 Kami laporkan satu kasus rinitis atrofi pada wanita 17 tahun yang diterapi dengan pengobatan konservatif dan memperoleh hasil yang baik. LAPORAN KASUS (MR. 24-15-75) Seorang wanita SM, berumur 17 tahun datang ke Poli THT RSUP H. Adam Malik, Medan pada tanggal 23 September 2004 dengan keluhan utama hidung tersumbat. Hal ini dialami sejak 1 tahun yang lalu disertai ingus kental dan kerak hidung bewarna kuning kehijauan, hidung berbau busuk yang dirasakan oleh keluarga dan teman-temannya sedangkan penderita sendiri tidak merasa bau. Kadang-kadang timbul sakit kepala dan terasa tersangkut ketika menelan. Pemeriksaan rinoskopi anterior dijumpai krusta hijau dan sekret hijau di dalam kedua kavum nasi. Setelah krusta diangkat tampak mukosa pucat, konka media dan inferior atrofi sehingga kavum nasi lapang. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior dijumpai postnasal drip. Diagnosa sementara adalah rinitis atrofi primer (ozaena). Diberikan terapi ciprofloksasin 2 x 500 mg, vitamin A 3 x 50.000 IU dan sulfas ferrosus 2 x 1. Di samping itu diberikan campuran tetes hidung yang mengandung streptomisin 1 gr dan NaCl 0,9% ad 30 cc. Pasien dianjurkan cuci hidung dengan NaCl 0,9% atau air garam dua kali sehari di rumah. Di samping itu juga dianjurkan menutup lubang hidung secara bergantian pada malam hari.
126
Kontrol pada hari ke-15, keluhan telah berkurang seperti hidung tersumbat, hidung berbau dan ingus. Kerak hidung tidak dijumpai lagi dan penciuman mulai membaik. Pada pemeriksaan tidak dijumpai lagi krusta. Sekret hidung berubah menjadi warna kuning dan mukosa sudah merah muda. Konka media dan inferior masih atrofi sedangkan postnasal drip tidak ada lagi. Kepada pasien dianjurkan untuk meneruskan obat. Kontrol hari ke-29, keluhan hidung tersumbat tidak ada lagi dan penciuman sudah membaik. Di samping itu hidung berbau dan ingus sudah berkurang. Pada pemeriksaan, sekret hidung sudah berubah menjadi serous. Kavum nasi masih terlihat lapang, namun konka sudah merah muda dan hipotrofi. DISKUSI Rinitis atrofi yang terjadi pada kasus ini merupakan rinitis atrofi primer (ozaena) yaitu terjadi pada wanita usia pubertas dengan sosioekonomi yang rendah dan lingkungan yang buruk serta adanya infeksi hidung yang sudah lama. Pada kasus ini diberikan pengobatan secara konservatif dengan medikamentosa dan cuci hidung. Setelah 2 minggu penderita mengalami perbaikan dan pada minggu ke-4 terlihat konka tumbuh menjadi hipotrofi. Pasien dianjurkan untuk kontrol 2 minggu sekali selama 2 – 3 bulan. KESIMPULAN Telah dilaporkan satu kasus rinitis atrofi primer (ozaena) yang diterapi dengan cara konservatif dengan hasil yang baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. In: Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol. 4, Sixth Edition. ButterworthHeinemann. 1997: 26-27. 2.
Mangunkusumo E, Rifki N. Infeksi Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar H (Ed) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-5. Penerbit Fk. UI. Jakarta. 2001: 112-13.
3.
Moore EJ, Kern EB. Atrophic Rhinitis: A Review of 242 Cases. In: American Journal of Rhinology. Vol. 15. 2001: 355-61.
4.
Jiang R, Hsu C, Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Post Operative Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. In: American Journal of Rhinology. Vol 12. 1998: 325-33
5.
Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofikans.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Delfitri Munir
Penatalaksanaan Rinitis Atrofi …
Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional Ke VIII Perhati. Juli 1986. Ujung Padang: 549-56.
9.
6.
Ramalingan KK, Sreeramamorthy B. Intections of the nose. In: A Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers. Madras. 1993: 202 – 03.
7.
Maqbool M. Chronic Rhinitis. In: Text Book of Ear, Nose and Throat Diseases. Sixth Edition. Jaypee Brothers Medical Publishers. New Delhi. 1993: 264-65.
10. Mewengkang N, Samsudin, Soetomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada penderita Ozaena anak. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional ke VIII Perhati. Juli 1986. Ujung Padang: 576-81.
8.
Massegur H. Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. In: XVI World Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sydney. 1997: 1403-07.
Maran AGD. Chronic Rhinitis. In: Diseases of the Nose, Throat and Ear. Tenth Edition, PG Publishing. Singapore. 1990: 40-41.
11. Bertrand B, Dayen A, Eloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the treatment of Atrophic Rhinitis: Technique and results. In: The Laryngoscope. Vol. 106. 1996: 65257.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
127