Oscar Ryo Liaunardy/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 2, Oktober 2013 pp. 37-42
LINDETEVES: SI KEMBAR DARI BELANDA 1)
Oscar Ryo Liaunardy 1
Arsitektur Universitas Widya Kartika Jl. Sutorejo Prima Utara II/1, Surabaya 60113
ABSTRAK Gedung Lindeteves adalah sebuah arsitektur Kolonial Belanda yang dibangun oleh bangsa Belanda sendiri sebagai sebuah pabrik baja di Indonesia. Walaupun bangsa Belanda sendiri yang membangun Lindeteves di Indonesia, namun terdapat perbedaan facade antara gedung Lindeteves dengan bangunan asli Kolonial Belanda pada umumnya yang dibangun di Belanda. Hal ini dikarenakan oleh faktor iklim, budaya, material, dan cerminan identitas dari para penguasa sendiri yaitu bangsa Belanda. Arsitektur Kolonial Belanda pada gedung Lindeteves yang dibangun pada tahun 1911 merupakan bangunan peninggalan pemerintah Belanda dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dan menjadi bukti perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kata kunci: Lindeteves, kolonial belanda, facade, arsitektur.
ABSTRACT Lindeteves building is a Dutch Colonial architecture built by the Dutch themselves as a steel mill in Indonesia. Although the Dutch who build Lindeteves in Indonesia, but there is a difference between building facade of Lindeteves and the original Dutch Colonial buildings which are generally built in the Netherlands. This is caused by the climatic factors, cultural, material, and reflects the identity of the rulers themselves, namely the Dutch. Dutch Colonial architecture as Lindeteves building built in 1911 is a heritage building the Dutch government and the Indonesian culture which is a great asset and a proof of the history of Indonesia. Keyword: Lindeteves, colonial architecture, facade
Pendahuluan Gedung Lindeteves yang sekarang adalah Bank Mandiri di Jalan Pahlawan, Surabaya dijadikan sebagai objek kajian pada artikel ilmiah ini karena diinisiatifkan oleh minat peneliti pada arsitektur kolonial di Surabaya. Kota Surabaya yang tidak lain tidak bukan disebut sebagai Kota Pahlawan ini memiliki banyak sekali bangunan bersejarah sebagai hasil peninggalan dari peristiwa penjajahan bangsa lain terhadap bangsa Indonesia, khususnya bangsa Belanda. Bangsa Belanda yang telah menjajah Indonesia dalam kurun waktu 3,5 abad (350 tahun), meninggalkan bukti-bukti kekuasaannya dalam mengarungi tanah air Indonesia. Salah satu bukti peninggalan kekuasaan Belanda adalah bangunan bekas perkantoran, bengkel perang, pabrik, atau lainnya yang dibangun oleh bangsa Belanda ketika menjajah Indonesia dimana bangunan-bangunan tersebut pada akhirnya disebut sebagai arsitektur Kolonial Belanda. Arsitektur Kolonial Belanda dapat dikatakan mendominasi di kota Surabaya dengan macam-macam tampak / facade bangunannya. Gedung Lindeteves adalah sebuah arsitektur Kolonial Belanda yang dibangun oleh bangsa Belanda sendiri sebagai sebuah pabrik baja di Indonesia. Walaupun bangsa Belanda sendiri yang membangun Lindeteves di Indonesia, namun terdapat perbedaan facade antara gedung Lindeteves dengan bangunan asli Kolonial Belanda pada umumnya yang dibangun di Belanda. Hal inilah yang menjadi sebuah pertanyaan sehingga dijadikan sebagai sebuah objek kajian pada artikel ilmiah ini untuk diteliti lebih lanjut. Dengan demikian artikel ini berupaya untuk diantaranya 1) mengetahui lebih dalam ciri khas facade arsitektur Kolonial Belanda di Belanda dan di Indonesia; 2) mendeskripsikan persamaan dan perbedaan facade yang ada pada arsitektur Kolonial Belanda di Belanda dan di Indonesia.
Landasan Teori Gedung Lindeteves Gedung Lindeteves merupakan gedung bersejarah yang terletak di jalan Pahlawan, Surabaya. Sewaktu penjajahan Jepang, gedung ini dipakai oleh Kitahama Butai, yang menjadi sebuah bengkel untuk perbaikan serta penyimpanan senjata berat. Saat ini gedung Lindeteves digunakan oleh Bank Mandiri.
[37]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
Gedung ini dibangun pada tahun 1911. Perancangnya adalah biro arsitek Hulswit, Fermont dan Ed. Cuypers dari Batavia (Jakarta). Setelah Belanda takluk, pada masa Kolonial Jepang, gedung ini beralih fungsi menjadi Kitahama Butai, yaitu bengkel dan gudang untuk menyimpan peralatan perang dan kendaraan tempur tentara Jepang. Sebelumnya, gedung ini digunakan oleh N.V Lindeteves-Stokvis yang merupakan satu di antara lima perusahaan konglomerat Belanda. Empat perusahaan lainnya adalah NV Rotterdam Internatio, NV Borsumij Maatschappij, NV Geo Wehry , dan NV Jacobson van den Berg. Mereka menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri, serta distribusi di sejumlah negara. Di Surabaya NV. LindetevesStokvis adalah cabang dari perusahaan yang berkedudukan di Semarang. Bisnisnya di bidang konstruksi baja membuat pihak Jepang menjadikan gedung di jalan Pahlawan ini sebagai bengkel perbaikan peralatan perangnya dimasa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pada pertempuran hebat tgl 1 Oktober 1945 antara pejuang ‘Arek-arek Suroboyo‘ dengan pasukan tentara Jepang, pejuang Indonesia berhasil merebut gedung ini dengan mendapatkan rampasan perang berupa meriam ringan, panser dan tank. Dengan latar belakang dan kisah sejarah dari gedung Lindeteves yang heroik, gedung ini ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya berdasarkan SK no 188.45/251/402.104/1996 no urut 35. Perkembangan Sejarah Arsitektur Kolonial Belanda Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk bangunan mereka pada awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan Belanda ke iklim tropis Indonesia. facade datar tanpa beranda, jendela besar, atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua kota bertembok Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama. VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki bentuk yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan diganti dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata rumah, mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap genteng dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumahrumah tanpa halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah-rumah ini ada dua lantai, sempit di facade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini selanjutnya banyak digunakan oleh orang-orang Cina setelah orang Belanda beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas. Rumah-rumah ini disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda dalam periode awal, setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi dengan beranda depan yang besar seperti di aula pendapa pada bangunan vernakular Jawa. Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun hanya dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat, rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi. Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW) pada 1814-1930. Sekitar tahun 1920-an 1930an, perdebatan tentang masalah identitas Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya, terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian yang paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah periode sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi mengembangkan sebuah wacana baru yang dikenal sebagai "Indisch-Tropisch" yaitu gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda. Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan untuk ventilasi panas udara. Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung. Ciri-ciri Arsitektur Kolonial Belanda asli yang ada di Belanda diungkapkan oleh Wardani, (2009) sebagai berikut: Arsitektur kolonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni (1) facade simetris, (2) material dari batu bata atau kayu tanpa pelapis, (3) entrance mempunyai dua daun pintu, (4) pintu masuk terletak di samping bangunan, (5) denah simetris, (6) jendela besar berbingkai kayu, (7) terdapat dormer (bukaan pada atap). Sedangkan ciri-ciri bangunan Kolonial pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut: wajah / muka bangunan; Selubung bangunan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan ciri dari suatu bentukan kolonial. Ciri bangunan yang dapat terlihat dari wajah bangunan atau selubung bangunan adalah bentuk atap, ornamen atau ragam hias, dan juga elemen-elemen penyusun wajah bangunan lainnya seperti bukaan dan dinding bangunan. Selubung bangunan tersebut tentunya mengalami adaptasi dengan [38]
Oscar Ryo Liaunardy/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 2, Oktober 2013 pp. 37-42
iklim, karena faktor tersebut berhubungan langsung dengan penghawaan dan pencahayaan pada bangunan yang menentukan kenyamanan penghuni bangunan. Dalam pandangan Krier (2001), wajah bangunan menyampaikan keadaan budaya saat bangunan tersebut dibangun, wajah bangunan mengungkap kriteria tatanan dan penataan, dan berjasa dalam memberikan kemungkinan dan kreativitas dalam ornamentasi dan dekorasi. Krier (2001) mempertegas pendapatnya, bahwa muka bangunan merupakan wajah bangunan yang memamerkan keberadaan sebuah bangunan kepada publik. Muka bangunan dibentuk oleh dimensi, komposisi, serta ragam hias. Komposisi muka bangunan mempertimbangkan persyaratan fungsional pada dasarnya berkaitan dengan kesatuan proporsi yang baik, harmonis, dan selaras, penyusunan elemen horizontal dan vertikal yang terstruktur, bahan, warna, dan elemen dekoratif lainnya. Hal lainnya tidak kalah penting untuk mendapatkan perhatian lebih adalah proporsi bukaan, ketinggian bangunan, prinsip perulangan, keseimbangan komposisi yang baik, serta tema yang tercakup ke dalam variasi. Perwajahan Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda Selanjutnya menurut Krier (2001) dalam Antariksa (2010), wajah bangunan juga menceritakan dan mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identits kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam publik. Penggunaan elemen-elemen naratif seperti balok jendela untuk mempertegas independensi jendela, teritisan yang menghasilkan bayangan, bahan-bahan yang menonjolkan massa juga dapat digunakan (Krier,2001). Pendapat Lippsmeier (1980:74-90) mempertegas lagi mengenai elemen wajah bangunan dari sebuah bangunan yang sekaligus merupakan komponen-komponen yang mempengaruhi wajah bangunan adalah atap, dinding, dan lantai. Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier (2001), antara lain adalah sebagai berikut: 1. Pintu, Pintu memainkan peranan penting dan sangat menentukan dalam menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran umum pintu yang biasa digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. Skala manusia tidak selalu menjadi patokan untuk menentukan ukuran sebuah pintu. Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan atau bangunan, bahkan pada batasan-batasan fungsional yang rumit, yang memiliki keharmonisan geometris dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi pintu dan ambang datar pintu terhadap bidang-bidang sisa pada sisi-sisi lubang pintu adalah hal yang penting untuk diperhatikan. 2. Jendela, Jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan dapat membayangkan keindahan ruanganruangan di baliknya, begitu pula sebaliknya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada wajah bangunan, antara lain adalah sebagai berikut: - Proporsi geometris wajah bangunan; Penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah bangunan yang terencana; - Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri; - Jendela memberikan distribusi pada wajah bangunan, oleh karena itu, salah satu efek atau elemen tertentu tidak dapat dihilangkan atau bahkan dihilangkan; dan -Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau membagi wajah bangunan dengan elemen-elemen yang hampir terpisah dan membentuk simbol atau makna tertentu. 3.Dinding, Keberadaan jendela memang menjadi salah satu unsur penting dalam pembentukan wajah bangunan, akan tetapi dinding juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dengan jendela, dalam pembentukan wajah bangunan. Penataan dinding juga sebagai bagian dari seni pahat sebuah bangunan, bagian khusus dari bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan dinding yang unik, yang bisa didapatkan dari pemilihan bahan, ataupun cara finishing dari dinding itu sendiri, seperti warna cat, tekstur, dan juga tekniknya. Permainan kedalaman dinding juga dapat digunakan . 4. Atap, Jenis atap yang sering dijumpai saat ini adalah atap datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring berbentuk perisai ataupun pelana. Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan untuk tujuan eksploitasi volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri. Secara visual, atap merupakan sebuah akhiran dari wajah bangunan, yang seringkali disisipi dengan loteng, sehingga atap bergerak mundur dari pandangan mata manusia. Perlunya bagian ini diperlakukan dari segi fungsi dan bentuk, berasal dari kenyataan bangunan memiliki bagian bawah (alas) yang menyuarakan hubungan dengan bumi, dan bagian atas yang memberitahu batas bangunan berakhir dalam konteks vertikal. 5. Sun Shading/Luifel, Wajah bangunan memerlukan perlindungan dari cuaca dan iklim, oleh karena itu perlu adanya penggunaan ornamen atau bentukan-bentukan yang dapat melindungi wajah bangunan dari kedua faktor tersebut. Ornamen tersebut dapat berupa sun shading yang biasanya diletakkan di bagian atas wajah dan [39]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
bukaan-bukaan yang ada pada wajah bangunan. Sun shading juga dapat menimbulkan efek berupa bayangan pada wajah bangunan yang dapat menjadikan wajah bangunan terlihat lebih indah. Elemen Lain dalam Perwajahan Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda Elemen lainnya yang dapat digunakan sebagai pendukung wajah bangunan kolonial Belanda adalah: 1. Gable/gevel, berada pada bagian tampak bangunan, berbentuk segitiga yang mengikuti bentukan atap. Bisa juga diartikan sebagai bagian wajah bangunan yang berbentuk segitiga yang terletak pada dinding samping di bawah condongan atap. 2. Tower/Menara, variasi bentuknya beragam, mulai dari bulat, kotak atau segi empat ramping, segi enam, atau bentuk-bentuk geometris lainnya, dan ada juga yang dipadukan dengan gevel depan. 3. Dormer/Cerobong asap semu, berfungsi untuk penghawaan dan pencahayaan. Di tempat asalnya, Belanda, dormer biasanya menjulang tinggi dan digunakan sebagai ruang atau cerobong asap untuk perapian. Biasanya diwujudkan dalam bentuk hiasan batu yang diberi ornamen berbentuk bunga atau sulur-suluran. 4. Tympannon/Tadah angin, merupakan lambang masa prakristen yang diwujudkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, atau roda matahari. Lambang masa kristen diwujudkan pada penggunaan bentukan-bentukan salib dan hati. 5. Ballustrade, adalah pagar yang biasanya terbuat dari beton cor yang digunakan sebagai pagar pembatas balkon, atau dek bangunan. 6. Bouvenlicht/Lubang ventilasi, adalah bukaan pada bagian wajah bangunan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan kenyamanan termal. Bouvenlicht tidak tergantung dari keadaan cuaca, berkaitan fungsinya dengan kesehatan, akan tetapi apabila dikaitkan dengan kenyamanan termal, maka bouvenlicht sangat bergantung pada kondisi cuaca. Bouvenlicht berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke dalam bangunan, dan sebaliknya, oleh karena itu, ukuran dari bouvenlicht harus disesuaikan dengan kondisi cuaca. Dalam penggunaannya, dapat diusahakan agar bouvenlicht terhindar dari sinar matahari secara langsung. 7. Windwijzer (Penunjuk angin), merupakan ornamen yang diletakkan di atas nok atap. Ornamen ini berfungsi sebagai penunjuk arah angin. 8. Nok Acroterie (Hiasan puncak atap), terletak di bagian puncak atap. Ornamen ini dulunya dipakai pada rumah-rumah petani di Belanda, dan terbuat dari daun alang-alang. Di Indonesia, ornamen ini dibuat dari bahan beton atau semen. 9. Geveltoppen (Hiasan kemuncak atap depan); - Voorschot, berbentuk segitiga dan terletak di bagian depan rumah. Biasanya dihias dengan papan kayu yang dipasang vertikal, dan memiliki makna simbolik; - Oelebord/oelenbret, berupa papan kayu berukir, digambarkan sebagai dua angsa yang bertolak belakang yang bermakna pembawa sinar terang atau pemilik wilayah. Selain angsa, pada bangunan indis seringkali simbol angsa digantikan bentuk pohon kalpa; dan Makelaar, papan kayu berukir yang ditempel secara vertikal, dan diwujudkan seperti pohon palem atau manusia. 10. Ragam hias pada tubuh bangunan, biasanya berupa:- Hiasan/ornamen ikal sulur tumbuhan yang berujung tanduk kambing; - Hiasan pada lubang angin diatas pintu dan jendela; dan – Kolom,ada tiga jenis kolom yang terkenal pada bangunan kolonial, yaitu kolom doric, ionic, dan corinthian. Kolom-kolom ini banyak ditemukan pada bangunan kolonial klasik dengan gaya Yunani atau Romawi. Kolom biasanya diekspose sedemikian rupa, terutama pada bagian serambi bangunan kolonial.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif yang dijalankan dengan pendekatan observasi, mencakup survei lapangan atau lingkungan dan mengamati wajah bangunan pada gedung Lindeteves yang merupakan data primer. Hasil-hasil observasi yang berupa pendokumentasian data primer selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan mendasarkan acuan pada teori yang diperoleh melalui kajian literatur terkini. Hasil kajian analisis selanjutnya disajikan secara deskriptif dengan mengkonfirmasi melalui peer review
Pembahasan Faktor Persamaan Wajah Bangunan Kolonial pada Lindeteves Gedung Lindeteves yang menjadi objek kajian dan perbandingan termasuk dalam arsitektur Kolonial Belanda. Hal ini ditunjukkan pada ciri-ciri gedung Lindeteves seperti kolom yang besar berkesan kokoh, bukaan yang terdapat pada atap gedung, pintu dan jendela yang mencirikan kekhasan unsur Kolonialnya, [40]
Oscar Ryo Liaunardy/e-Jurnal Eco-Teknologi UWIKA (eJETU). ISSN: 2301-850X. Vol. I, Issue 2, Oktober 2013 pp. 37-42
dan lainnya. Namun, apabila dilihat dari segi wajah bangunan, gedung Lindeteves yang merupakan bangunan Kolonial Belanda di Indonesia memiliki perbedaan dengan bangunan Kolonial Belanda asli yang ada di Belanda.
Sumber : http://www.edupaint.com/jelajah/arsitektur-nusantara/3222-lindeteves-sebuah-arsitektur-bersejarah-di-kotasurabaya.html
Gambar 1. Gedung Lindeteves
Faktor Pembeda Wajah Bangunan Kolonial pada Lindeteves Setelah dikaji lebih lanjut, ternyata terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pada wajah bangunan / facade pada bangunan Kolonial. Faktor pertama yang membedakan tampilan bangunan Kolonial di Belanda dengan di Indonesia adalah iklim. Belanda adalah negara yang memiliki empat musim (semi, panas, gugur, dingin), sedangkan Indonesia adalah negara yang hanya memiliki dua musim saja yang tidak lain adalah musim hujan dan musim kemarau. Dari perbedaan musim yang mencolok akan menyebabkan perbedaan kenyamanan bagi orang yang berada di dalam ruangan, terutama dalam hal pencahayaan dan penghawaan alami, sehingga dibuatlah bukaan-bukaan yang disesuaikan dengan iklim maupun kondisi cuaca di tempat yang akan dibangun. Gedung Lindeteves yang bergaya Kolonial Belanda tetapi mampu beradaptasi dengan iklim dan juga berbagai macam kondisi alam di Indonesia ditandai dengan banyak ventilasi, jendela yang besar dan overstek (sosoran) yang panjang yang dipakai sebagai pelindung air hujan yang turun dari atas dan juga melindungi bangunan dari pancaran sinar matahari langsung. Berbeda dengan bangunan Kolonial di Belanda yang beriklim dingin, dimana bukaan pada bangunan relatif kecil dibandingkan dengan bangunan Kolonial Belanda di Indonesia yang beriklim tropis lembab / basah serta overstek (sosoran) pada atap bangunan Kolonial di Belanda tidak sepanjang seperti overstek (sosoran) yang ada di Indonesia. Faktor lainnya yang membedakan tampilan wajah bangunan adalah kebudayaan. Bangsa Belanda yang telah menjajah Indonesia selama 3,5 abad, mereka menerapkan prinsip arsitektur Eropa mereka sendiri ke dalam arsitektur yang mereka bangun di Indonesia pada awal masa penjajahannya. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya bangsa Belanda mulai memadukan arsitektur Kolonial mereka dengan budaya lokal yang ada di Indonesia. Wajah bangunan menyampaikan keadaan budaya saat bangunan tersebut dibangun, muka bangunan merupakan wajah bangunan yang memamerkan keberadaan sebuah bangunan kepada publik. Gedung Lindeteves yang dibangun pada tahun 1911 ini, sudah mengalami pencampuran budaya antara budaya Belanda dengan budaya lokal Indonesia khususnya pulau Jawa kota Surabaya, sehingga mempengaruhi facade bangunan Kolonial ini. Material juga menjadi faktor pembeda wajah bangunan pada arsitektur Kolonial ini. Arsitektur Kolonial di Belanda lebih dominan menggunakan material kayu tanpa pelapis, sedangkan di Indonesia lebih dominan menggunakan beton sebagai material bangunan. Digunakan material kayu pada arsitektur Kolonial di Belanda karena mereka mudah mendapatkan kayu di negaranya. Selain itu, kayu di negara mereka sangat cocok untuk menjawab persoalan iklim dingin yang panjang di negara Belanda, karena material kayu tersebut akan semakin kuat bila terkena salju atau musim dingin yang panjang. Berbeda halnya dengan material di Indonesia, apabila menggunakan material kayu maka akan berpengaruh terhadap umur / ketahanan bangunan terhadap kondisi alam yang dikarenakan oleh iklim tropis basah di Indonesia dimana intensitas dan curah hujan yang tinggi akan menyebabkan kayu cepat lapuk, lembab, dan berjamur. Wajah bangunan juga menceritakan dan mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identitas kolektif sebagai suatu komunitas bagi bangsa Belanda yang menjajah Indonesia, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas tersebut dalam publik, sehingga [41]
Hak Cipta oleh eJETU © 2013. Open Access at http://www.jurnal.widyakartika.ac.id/index.php/ejetu
bangunan Kolonial Belanda di Indonesia yang mana dalam objek kajian ini adalah gedung Lindeteves merupakan cerminan identitas para penguasa yang kuat, tegas, dan berkuasa pada jaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Kesimpulan Kesimpulan Gedung Lindeteves Surabaya meskipun dibangun oleh bangsa Belanda sendiri pada masa penjajahannya di Indonesia, namun terdapat perbedaan wajah bangunan atau facade dengan bangunan Kolonial Belanda asli pada umumnya yang ada di Belanda dikarenakan oleh faktor iklim, budaya, material, dan cerminan identitas dari para penguasa sendiri yaitu bangsa Belanda. Arsitektur Kolonial Belanda pada gedung Lindeteves yang dibangun pada tahun 1911 merupakan bangunan peninggalan pemerintah Belanda dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dan menjadi bukti perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka [1].
Anonim. (2012). Lindeteves sebuah Arsitektur bersejarah di Kota Surabaya
diakses pada (9/10/’13 jam 19.13)
[2].
Antariksa. (2010). Tipologi Wajah Bangunan dan Riasan dalam Arsitektur Kolonial Belanda. diakses pada (9/10/’13 Jam 21.57)
[3].
Anonim. Sejarah Arsitektur Indonesia. diakses pada (24/12/’13 jam 10:36)
[4].
Arsitektur Humanis. (2012). Arsitektur Kolonial Belanda. diakses pada (24/12/’13 jam 12.09)
[5].
Hardiman, G. (2013). ADAPTASI TAMPILAN BANGUNAN KOLONIAL PADA IKLIM TROPIS LEMBAB (Studi Kasus Bangunan Kantor PT KAI Semarang).MODUL, 13(1).
[6].
Hadipradianto, T. 2004. Studi Penataan facade Bangunan Pertokoan di Kawasan Pusat Perdagangan. Jurnal RUAS. 2 (2):
[7].
Iswanto, D. (2011). ADAPTASI TAMPILAN BANGUNAN INDIS AKIBAT PERUBAHAN FUNGSI BANGUNAN Studi Kasus: Resto Diwang dan De Joglo Semarang. MODUL, 11(2).
[8].
Krier, R. 2001. Architectural Compotition. London: Academy Edition
[9].
Lippsmeier, G. 1980. Bangunan Tropis (Edisi ke-2). Jakarta: Erlangga
[10]. Sumalyo, Yulianto. 2003. Arsitektur Klasik Eropa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
[42]