BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG KONSUMEN DAN JUAL BELI ONLINE
A. Pengertian Konsumen menurut Hukum Positif Menurut Az. Nasution1 istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah istilah consumer itu adalah (lawan dari produsen), setiap orang yang menggunakan barang, tujuan penggunaan barang dan jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Besar Bahasa InggrisIndonesia memberi arti consumer sebagai pemakai atau konsumen. Selanjutnya istilah konsumen digunakan oleh karena istilah ini sudah memasyarakat di Indonesia, seperti halnya consumer dalam masyarakat Internasional. Dalam hukum positif pengertian konsumen digunakan berbagai istilah-istilah. Beberapa di antaranya : 1. Undang-Undang Barang. Undang-Undang Barang ini menyebutkan tentang rakyat yang oleh undang-undang itu ingin dijaga agar terjamin kesehatan dan keselamatannya. Dalam penjelasan undang-undang ini ditegaskan lagi tentang rakyat yang karena mutu barang kurang atau tidak baik, dibahayakan
1
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2011), h. 29
14
15
kesehatannya dan/atau hal-hal merugikan lainnya. Begitu pula bila barang seperti demikian diekspor maka dapat merugikan nama baik Indonesia dalam bidang perdagangan. Karena itu, undang-undang ini bermaksud mengatur tentang mutu, susunan bahan dan pembungkusannya. Dari Undang-Undang dan penjelasan di atas, terlihat dua hal : a. Rakyat yang ingin dijaga kesehatannya dan keselamatan (tubuhnya) dan keamanan (jiwanya) dari barang dan/atau jasa yang mutunya kurang atau tidak baik, dan; b. Mengatur tetntang mutu, susunan bahan dan pembungkusan barang dagangan. Pengaturan mutu, susunan bahan, dan pembungkusan barang (huruf b) tentulah dutujukan pada mereka yang mempunyai kegiatan mengenai perbuatan atau pembungkusan barang tersebut. Mereka itu adalah pengusaha atau pelaku usaha. Sedangkan konsumen tidak tahu menahu tentang hal itu. 2. Undang-Undang
Kesehatan.
Undang-undang
Kesehatan
ini
tidak
menggunakan istilah konsumen untuk pemakai, penggunaan barang dan/atau jasa pemanfaatan jasa kesehatan. Untuk maksud itu digunakan beberapa istilah; antara lain istilah setiap orang (Pasal 1 Angka 1, Pasal 3, 4, 5, dan Pasal 56); juga istilah masyarakat (Pasal 9, 10, dan 21). Pengertian masyarakat sebagimana dijelaskan dalam penjelasan undang-undaang diartikan sebagai termasuk perorangan, keluarga, kelompok masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan (penjelasan undang-undang, Pasal 10)
16
Menurut Az. Nasution2 ada beberapa batasan mengenai konsumen, yaitu : a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen-akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial). Pencampuran-adukan istilah, atau penggunaan satu istilah untuk beberapa dan berbagai pengertian, lebih banyak menimbulkan keragu-raguan dari pada suatu kepastian hukum. Kepentingan perorangan dapat sama atau pula dapat tidak sama dengan kepentingan kelompok. Kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok yang berbeda-beda tidaklah dimaksudkan untuk dipertentangkan satu sama lain, tetapi memang memerlukan kejelasan batasanya. Kepentingan orang sebagai manusia alami dalam pengguanaan suatu produk (barang dan/atau jasa) adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga dan/atau rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya, serta tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam memenuhi kebutuhan itu, perlindungan yang diperlukan adalah agar produk itu memberikan
2
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen ..... h. 29
17
manfaat bagi tubuh (keselamatan) dan/atau jiwa (keamanannya), bukanlah malah menyebabkan ia sakit, meninggal dan/atau dirugikan harta-bendanya. Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user/pengguna terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut. Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan pengertian menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatas adalah “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Berdasarkan pengertian di atas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Menurut Az Nasution, orang yang di maksud adalah orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia. Setiap pengambilan keputusan dalam membeli suatu baran dan/jasa, seorang konsumen dipengaruhi oleh bebrapa hal. Menurut Solomon, perilaku konsumen adalah studi yang meliputi proses ketika
18
individu atau kelompok tertentu membeli, menggunakan atau mengatur produk, jasa, ide atau pengalaman untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat. Menurut Schiffman dan Kanuk, Menurut Schiffman dan Kanuk adalah perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam pencarian akan pembelian, penggunaan, pengevaluasian, dan penggantian produk dan jasa yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen. Peter dan Olson menyatakan bahwa : 1. Perilaku konsumen itu dinamis karena pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu, kelompok konsumen dan lingkungan sosial akan selalu berubah. 2. Perilaku konsumen dipengaruhi pikiran antar manusia, perasaan, dan tingkah laku beserta lingkungannya. 3. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh perubahan-perubahan diantara manusia. Perilaku konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen melewati lima tahapan yaitu: pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi informasi, pembelian dan pasca pembelian. Proses pengambilan keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu : 1. Faktor perbedaan individu terdiri dari sumberdaya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup dan demografi. 2. Faktor lingkungan yang terdiri dari budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi.
19
3. Proses psikologis terdiri dari pengolahan informasi, pembelajaran, perubahan sikap/perilaku. Peter dan Olson menyebutkan bahwa American Marketing Association mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. Ada tiga ide penting dalam definisi di atas : 1. Perilaku konsumen adalah dinamis, ini berarti bahwa seseorang konsumen, grup konsumen, serta masyarakat luas selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. Hal ini memiiki implikasi pada studi perilaku konsumen, demikian pula pada pengembangan strategi pemasaran. 2. Perilaku konsumen melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar. Ini berarti bahwa untuk memahami konsumen dan mengembangkan strategi pemasaran yang tepat kita harus memahami apa yang mereka pikirkan (kognisi) dan mereka rasakan (pengaruh), apa yang mereka lakukan (perilaku) dan apa serta dimana (kejadian di sekitar) yang mempengaruhi serta dipengaruhi oleh apa yang diperiksa, dirasa dan dilakukan konsumen. 3. Perilaku konsumen melibatkan pertukaran di antara individu. Hal ini membuat definisi perilaku konsumen tetap konsisten dengan definisi pemasaran yang sejauh ini juga menekankan pertukaran.
20
B. Pengertian Konsumen menurut Hukum Islam Secara garis beras konsumen menurut pandangan hukum Islam sama pengertiannya dengan hukum positif. Akan tetapi pembedanya adalah Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu sendiri. Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan harus dilandasi dengan nilai-niali spiritualisme dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus berdasarkan batas kecukupan (had alkifayah), baik atas kebutuhan pribadi maupun keluarga. Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu sendiri. Dasar pemikiran pola konsumsi dalam Islam adalah hendak mengurangi kelebihan keinginan biologis yang tumbuh dari faktor-faktor psikis buatan dengan maksud membebaskan energi manusia untuk tujuan-tujuan spiritual. Anjuran-anjuran
21
Islam mengenai perilaku konsumsi dituntun oleh prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan prinsip moralitas. Pada umumnya kebutuhan-kebutuhan manusia digolongkan ke dalam tiga hal, yaitu (a) barangbarang keperluan pokok, (b) barang-barang keperluan kesenangan dan (c) barangbarang keperluan kemewahan. Dalam tiga pengelompokan ini, Islam menggariskan prinsip menurut urutan prioritas kebutuhan yang dikenal dalam al-maqāṣid al-syarī’ah dengan istilah ḍarūriyyah, hājjiyah dan taḥsīniyyah. Kunci untuk memahami perilaku konsumsi dalam Islam tidak cukup dengan hanya mengetahui hal-hal terlarang, tetapi sekaligus harus dengan menyadari konsep dinamik tentang sikap moderat dalam pola konsumsi yang dituntun oleh sikap yang mementingkan bersama konsumen muslim yang lain. Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat dijelaskan bahwa prinsip perilaku konsumsi yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen menurut Islam adalah barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci menurut syariat. Dalam hal perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar dalam arti tidak berlebih-lebihan (isyrāf) atau boros (tabżīr) meskipun seorang konsumen tergolong hidup kaya atau mampu. C. Jual Beli Online menurut Hukum Positif Jual beli menurut Kumpulan Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) termasuk dalam Buku III tentang Perikatan. Perikatan oleh Buku III B.W itu, ialah:
22
suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberihak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Menegenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan sapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum3. Jual-beli menurut KUHPer Pasal 1457 adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. (KUHPer. 499,1235 dst., 1332 dst., 1465., 1533.) Perkataan jual-beli menunjukan bahawa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli hanya disebut dengan “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si pembeli), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut
3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa, 2003) , h. 123
23
hanya dengan “vante” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan “kauf” yang berati “pembelian”. Barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidaktidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. KUHPer 1460. Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentuakan, maka sejak saat pembelian itu menjadi tanggungan si pembeli, meskipun penyerahan barangnya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. (KUHPer. 1237, 1266, 1444, 1462, 1481, 1513). Bisnis dengan teknologi Internet disebut sebagai electronic commerce (ecommerce) dan saat ini dalam pengertian bahasa Indonesia telah dikenal dengan istilah “Perniagaan Elektronik”. Aktivitas e-commerce adalah suatu aktivitas perniagaan seperti layaknya perniagaan pada umumnya, hanya saja para pihak yang bertransaksi tidak bertemu secara fisik akan tetapi secara elektronik melalui media Internet4. Jual beli Online atau perniagaan secara elektronik (Electronic Commerce) merupakan perjanjian melalui online contract yang pada prinsipnya sama dengan perjanjian pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada media dalam membuat perjanjian tersebut. Walaupun dalam beberapa jenis online contract tertentu objek perikatannya
4
195
hanya dapat diwujudkan dalam media elektronika, sebab objek
Gemala Dewi, dkk., (ed.), Hukum Perikatan Islam di Indonesi, (Jakarta: Kencana,2007), h.
24
perikatannya berupa muatan digital, seperti jasa untuk mengakses internet 5 . Perjanjian jenis ini lebih sering menggunakan fasilitas EDI (Electronic Data Interchange), yaitu suatu mekanisme pertukaran data secara elektronik yang umumnya berupa informasi bisnis yang rutin di antara beberapa komputer dalam suatu susunan jaringan komputer yang dapat mengelolanya. Data tersebut dibentuk menggunakan aturan standar sehingga dapat dilaksanakan langsung oleh komputer penerima. Dalam e-commerce seorang penjual memberikan penawaran terhadap suatu barang untuk dijual melalui media elektronik, yaitu Internet dengan memasukan penawaran tersebut dalam situs, baik yang ia kelola sendiri untuk melakukan perdagangan atau memasukannya dalam situs lain. Pembeli di sini dapat dengan leluasa memilih transaksi mana yang sesuai dengan yang ia cari. Dalam menjelajah situs dalam Internet, pembeli layaknya orang yang berbelanja secara konvensional dengan melihat etalase-etalase yang dipajang oleh tiap-tiap toko dan jika ia menemukan sesuatu yang ia cari maka ia dapat melakukan transaksi dengan penjual yang memberikan penawaran dalam situs tersebut yang diandaikan layaknya toko konvensional. D. Jual Beli Online dalam Pandangan Islam Jual beli menurut bahasa artinya menukar kepemilikan barang dengan barang atau saling tukar menukar . Kata al-bai’ (jual) dan al-syira’ (beli) digunakan 5
Gemala Dewi, dkk., (ed.), Hukum Perikatan Islam ..... h. 196
25
dalam pengertian yang sama. Perdagangan atau jual beli menurut bahsa berarti albai’, al-tijarah dan al-mubadalah, sebagaimana Allah swt. Berfirman:
ِ )٩٢( ور َ ُ يَ ْر ُجو َن ِتَ َارةً لَ ْن تَب. . . “... mereka mengharapakan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.” (QS. Fathir: 29)6
Menurut Istilah7 (terminologi), yang dimaksdu jual beli adalah sebagai berikut. 1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. 2. Pemilik harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara’. 3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab kabul, dengan cara yang sesuai dengan syarat. 4. Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan). 5. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggatiannya dengan cara yang dibolehkan.
6
Penyusun Enang Sudrajat, dkk., (ed.), Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Sygma Exsamedia Arkanleema, 2007), h. 437 7 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalat, (Bogor: Ghalia Ind onesia), h. 65
26
6. Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa transaksi jual beli ada dua belah pihak yang terlibat; transaksi terjadi pada benda atau harta yang membawa kemaslahatan bagi kedua belah pihak; harta yang diperjualbelikan itu halal; dan kedua belah pihak mempunyai hak atas kepemilikannya untuk selamanya. Jual beli merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Akad ialah ikatan antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan, sebab ijab kabul menunjukan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya, ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan durat-menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul. Adanya kerelaan tidak dapat dilihat, kerelaan berhubungan dengan hati. Kerelaan dapat diketahui melalui tanda –tanda lahirnya, adapun tanda yang jelas menunjukan kerelaan adalah ijab dan kabul. Ditinjau dari segi benda yang dijadiakan objek jual beli, maka dapat kemukakan pendapat Imam Taqqiyudin 8, bahwa:
َّ ص ْو ف ِيف الذ َّم ِة َوبَْي ُع َغا ئِبَة ََلْ تُ َشا ِه ْد ْ الْبُيُ ْوعُ ثًالَ ثَةً بَْي ُع ُ عْي ُمثَا َه َدة َو بَْي ُع َش ْيء َم ْو “jual beli itu ada tiga macam:1) jual beli benda yang kelihatan, 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) jul beli benda yang tidak ada.”
8
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalat ..... h. 66
27
Jual beli dalam Islam terdapat rukun dan syarat untuk terciptanya akad yang sah antar keduanya (penjual dan pembeli). Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad memerlukan syaratsyarat agar unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad) jumlahnya ada delapan9, yaitu: 1. Tamyiz, 2. Berbilang pihak (at-ta’adud), 3. Persesuaian ijab dan kabul (kesepakatan), 4. Kesatuan majelis akad, 5. Objek akad dapat diserahkan, 6. Objek akad tertentu atau dapat ditentukan, 7. Objek akad dapat ditrasnsaksikan, 8. Tujuan akad tidak betentangan dengan syara’. Menurut Syamsul Anwar10, dalam hukum Islam untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi (1) rukun akad (2) syarat akad. Syarat akad dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
9
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Jiid 2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 95 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah ..... h. 95
10
28
1. Syarat terbentuknya akad 2. Syarat keabdsahannya akad 3. Syarat berlakunya akibat hukum akad 4. Syarat mengikatnya akad Jadi jika rukun dan syarat tadi dipenuhi maka sahlah jual beli yang dilakukan oleh seseorang tersebut. Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad, benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Jual beli yang disebut sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam jual dilakukan untuk jual beli yang tidak tunai (kontan). Salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagaimana imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. Jual beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga. Dengan bahasa yang mudah, akad salam itu pada hakikatnya adalah jual beli dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutangkan bukan uang pembayarannya, melainkan barangnya. Sedangkan pembayarannya justru diserahkan tunai. Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit. Kalau jual beli kredit barangnya diserahkan terlebih dahulu dalam uang pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salaf, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barang belum diserahkan dan menjadi hutang. Jual beli salam ini berkaitan dengan pemesanan yang sering
29
dilakukan dalam jual beli online. Jual beli online dapat diartikan sebagai penjualan barang dan atau jasa melalui media internet dengan penyebutan sifatnya dan pembelian melalu transaksi elektronik atau secara tunai setelah terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli sebelum diserahterimakannya objek jual beli.