Kolom IBRAHIM ISA Rabu, 16 Oktober 2013 ---------------------------
MASIH SEKITAR
PENGAKUAN "DE JURE" BELANDA . . . Penyessalan dan Pengakuan PM W. Kok *** Belanda mau mengakui, atau, tidak mau mengakui de jure, atas Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945, – – – Memang hal itu bukan masaalah sederhana bagi pemerintah Belanda. Prof Dr Saafruddin Bahar, historikus senior, dalam emailnya kepadaku kemarin dulu, membenarkan, . . . . bahwa masaalah tsb bagi Belanda seperti menghadapi buah simalakama. Mengakui salah. Tidak mengakui, APALAGI! Meneruskan, memperluas dan mendalami masaalah ini, sungguh penting! Terutama bagi generasi muda kita. Dalam rangka mengkhayati sejarah bangsa, memantapkan kesedaran berbangsa! Itlah sebabnya kita membalik sejenak ke masa ketika Wim Kok pemimpin PvdA, Parai Buruh Belanda, menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda. Sekitat periode itu situasi hubungn Indonesia-Belanda punya syarat-syarat positif untuk memulai dengan landasan baru dalam hubungan kedua negeri ini. Di Belanda sedang memerintah kabinet PvdA yang pandangannya relatif lumayan terhadap Indonesia ketika itu. Dan di Indonesia ada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hasil pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Orde Baru Suharto. Dalam situasi itulah menjelang kunjungan Presiden Gus Dur ke Belanda, aku melayangkan sepucuk SURAT TERBUKA kepadda PM Wim Kok
1
Y.M. Wim Kok Perdana Menteri Kerajaan Belanda Binnenhof Den Haag Y.M., Menurut Radio Nederland I, dan NOS-TT, ttg 26 Februari 2000, Tuan menyatakan dalam acara TV _Cakap-cakap dengan Perdana Menteri_, seperti yang disiarkan (saya kutip), sbb: Perdana Menteri Kok akan menyatakan permintaan maaf berhubung dengan peranan tentara Belanda di bekas Hindia Belanda. Rencana Tuan untuk menyatakan permintaan maaf kepada presiden Wahid berhubung dengan peranan tentara Belanda di bekas Hindia Belanda, saya anggap merupakan langkah bersejarah menuju arah yang tepat yang diambil oleh pemerintah Belanda, untuk meletakkan hubungan antara Nederland dan Indonesia, pada dasar yang baru, dan untuk mengembangkanya lebih lanjut. Meskipun kebijaksanaan baru ini bukan merupakan reaksi langsung atas surat saya kepada Tuan (23.01.2000), dimana saya mengusulkan kepada pemerintah Belanda: 1. – Untuk memperbaiki secara mendasar hubungan Nederland dengan Indonesia dan memajukannya, . . . maka pemerintah Belanda akan minta maaf kepada rakyat Indonesia, sehubu-ngan dengan penindasan dan penderitaan selama penguasaan kolonial Belanda yang dialami oleh rakyat Indonesia. 2. – Pemerintah Belanda akan dengan resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari Nasional Kemerdekaan Indonesia. 3. – Pemerintah Belanda akan menghargai dan mengakui pendirian rakyat Indonesia yang menganggap SUKARNO, mantan presiden pertama Republik Indonesia, sebagai proklamator Republik Indonesia (17 Agustus 1945), dan sebagai salah satu dari “founding fathers” dari bangsa dan negara Indonesia, saya dengan ini: Ingin secara pribadi menyatakan respek dan terimakasih saya yang tulus kepada Tuan.
2
Bersamaan dengan itu, saya juga ingin menyatakan terimakasih kepada pemerintah Belanda dan Ketua Tweede Kamer dan semua Fraksi yang telah memberikan iurannya terhadap kebijaksanaan Nederland yang baru ini terhadap masa lampaunya di Indonesia. Sekali lagi terima kasih. ttd Ibrahim Isa *** Di bawah ini silakan baca tulisanku tertanggal 21 Februari 2000, sebagai input dalam memperbincangkan maalah hubungan dua negeri: Republik Indonesi dan Kerajaan Belanda: Kami, tiga orang Indonesia, T.M Siregar, A.S. Munandar, dan saya , semuanya adalah dari _Stichting Azie Studies_. Kami ambil bagian dalam Festival Pengetahuan PvdA, semuanya di workshop yang mencantumkan masalah _hubungan Indonesia-Belanda_ dalam acaranya. Kami anggap lebih baik memusatkan perhatian ke masalah Indonesia-Belanda. Sayang hanya kami bertiga orang Indonesia yang mengikuti Festival. Ada seorang lagi orang Indonesia, yang oleh PvdA ditempatkan di meja pimpinan diskusi, yaitu Aboepriyadi Santoso dari Radio Hilversum. Tampak pada meja pimpinan a.l. juga seorang anggota parlemen PvdA Bert Koenders, pakar Indonesia dari Universitas Twente, yang tidak asing lagi Prof. Nico Schulte Nordholt yang baru saja kembali dari Indonesia; John Lilipaly, mantan anggota parlemen Belanda, dan ketuanya, Peter van Tuyl dari NOVIB. Pada pembukaan Festival Pengetahuan telah bicara ketua partainya, dan ketua fraksi PvdA di Tweede Kamer, Ad Melkert, mantan Menteri Sosial di kabinet yang lalu. Saya kebetulan melihat menteri Milieu Nederland, Jan Pronk, juga hadir. Jadi Festival Pengetahuan cukup mendapat perhatian. Surat kepada PM Belanda, Wim Kok: Pada kesempatan yang diberikan kepada saya dalam diskusi, saya sampaikan bahwa menjelang kedatangan Presiden Abdurrahman Wahid ke Belanda, saya telah menulis sepucuk surat ke Perdana Menteri Wim Kok, dengan tembusan kepada Ketua Parlemen Belanda dan pimpinan fraksi parpol-parpol terpenting di Parlemen Belanda (Tweede Kamer). Isi surat tsb menyarankan agar pemerintah Belanda
3
menggunakan kesempatan kunjungan kenegaraan Gus Dur ke Belanda, untuk, pertama, menyatakan maaf kepada bangsa Indonesia berkenaan dengan politik kolonialisme Belanda atas Indonesia, khususnya dua kali agresi militer Belanda terhdap Republik Indonesia; kedua, mengakui bahwa Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945, adalah Hari Nasional Indonesia; dan ketiga, menghormati sikap dan pendirian bangsa Indonesia, bahwa Sukarno adalah proklamator Negara Republik Indonesia, seorang pahlawan dan patriot serta salah seorang dari _founding fathers_ nasion Indonesia. Saya nyatakan bahwa dengan melakukan seperti yang saya sarankan itu, maka hubungan diantara kedua negeri, akan ditegakkan atas dasar yang baru samasekali. Kopi surat tsb saya kirimkan kepada dua s.k. nasional Belanda, de Volkskrant dan NRC-Handelsblad, dengan pengantar sbb: Hari ini (26/1/2000), saya membaca dalam s.k. bahwa PM Wim Kok, pada waktu kunjungan beliau ke Jepang dalam beberapa hari ini, mengharapkan suatu permintaan maaf dari pemerintah Jepang, berhubung dengan tindakan Jepang di Hindia Belanda sewaktu Perang Dunia II, khususnya perlakuan militer Jepang terhadap para tahanan orang-orang Belanda ketika itu. Saya kemukakan bahwa seyogianya pemerintah Belanda juga bisa melihat pada peranannya sendiri selama menguasai Hindia Belanda sebagai kekuasaan kolonial. Baik de Volkskrant maupun NRC-Handelsblad, tidak mau menyiarkan surat saya itu dengan mengemukakan alasan teknis-adminsitratif. Diantara para wakil parpol-parpol Belanda di Tweede Kamer, hanyalah Fraksi VVD (Partai Liberal) yang memberikan jawaban positif. Wakil VVD itu menyatakan kepada saya melalui tilpunl bahwa VVD sudah menerima surat saya itu, dan menganggap memang sudah waktunya dewasa ini pemerintah Belanda mengakui 17 Agustus sebagai Hari Nasional Indonesia. Fraksi-fraksi PvdA dan CDA, hanya menyatakan sudah menerima surat saya itu, dan meneruskannya kepada orang yang khusus mengurus masalah itu. Kantor Perdana Menteri Wim Kok menyatakan bahwa surat saya itu telah diteruskan kepada Menlu Belanda Van Aarts. Saya nyatakan dimuka forum PvdA itu bahwa amat disayangkan bahwa hanya VVD yang memberikan jawaban positif. Mendengar komentar saya itu, wakil PvdA disitu senyum-senyum saja, sambil mengingatkan bahwa sikap Belanda yang nuntut kepada Jepang agar minta maaf, sedangkan terhadap kolonialismenya sendiri di Indonesia, masim bungkam, sebagai suatu sikap yang h i p o k r i t H i p o k r i t ? Suatu kata yang keras terhadap sikap pemerintah Belanda yang diutarakan oleh seorang anggota parlemen Belanda, yang notabene seorang anggota PvdA. Apalagi kalau dicatat bahwa kepala pemerintah sekarang adalah dari PvdA, Wim Kok. Kebetulan malam ini saya melihat berita di _NOS Journaal_, TV Nederland-2,
4
dimana PM Kok yang sedang melakukan kunjungan ke Jepang, dalam rangka memperingati 400 tahun hubungan dagang Belanda -Jepang, menerima permintaan maaf dan penyesalan dari pemerintah Jepang atas segala kerugian yang diderita Belanda selama pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang. Namun, para penanggung jawab dari fihak-fihak yang bersangkutan di Holland, masih tidak puas dengan penyesalan dan permintaan maaf pemerintah Jepang itu. Mereka menuntut seharusnya hal itu dinyatakan oleh Jepang, tidak dalam bentuk tertulis kepada PM KOK., tetapi suatu pernyataan penyesalam dan permintaan maaf Jepang kepada Belanda, secara terbuka, dimuka pers dan TV yang disiarkan ke seluruh dunia. Kita bangsa Indonesia , samasekali bukan suatu bangsa yang menaruh dendam kepada bangsa manapun. Dan samasekali tidak menyajukan tuntutan permintaan maaf dari pemerintah Belanda atas kejahatan mereka di Indonesia zaman kolonial dulu. Salah seorang pembicara dalam workshop, kalau tidak salah Prof. Nico Schulte Norhdolt, malah mengatakan bahwa orang-orang Indonesia tidak akan datang ke Den Haag untuk mengajukan tuntutan demikian itu kepada pemerintah Belanda. Soalnya ialah, dari fihak Belanda sendiri, apakah pemerintah Belanda tidak punya pertimbangan seperti yang saya kemukakan dalam surat saya kepada PM Kok itu? Tampaknya sampai sekarang, baik kantor Perdana Menteri Belanda, maupun fraksi-fraksi parpol di Tweede Kamer, samasekali tidak menyinggung soal tsb. Makanya, kita mengerti sekarang, mengapa anggota Tweede Kamer Bert Koendert, wakil PvdA di Parlemen, nyeletuk bahwa sikap Belanda terhadap Jepang yang demikian itu, dibanding dengan sikapnya terhadap Indonesia, yang seperti orang yang “berlagak pilon” atas dosa-dosanya sendiri di Indonesia, sebagai suatu sikap yang h i p o k r i t . Sehubungan dengan masalah ini sungguh menarik tulisan seorang Belanda, Lambert Giebels dalam _De Groene Amsterdammer_ (5 Januari 2000). Tulis Giebels a.l, bahwa pada tanggal 27 Desember 1949, Nederland telah berubah dari suatu negara kolonial menjadi suatu negara Eropah yang sederhana. Tetapi, yang boleh dikatakan hampir tidak diketahui orang, ialah bahwa Indonesia telah memberikan sumbangan yang krusial untuk pembangunan Nederland sesudah perang. Persetujuan KMB (Konferenensi Meja Bundar, antara Indonesia dan Belanda), telah menentukan, sebagai imbalan terhadap _peneyerahan kedaulatan_ kepada Indonesia, Belanda mendapat bayaran dari Indonesia sejumlah 4500 juta gulden.Tadinya Belanda menuntut 6500 juta gulden. Jumlah itu adalah perhitungan
5
Belanda mengenai _hutang_ Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda di Den Haag. Ini berarti bahwa uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda untuk menindas kemerdekaan Indonesia, khususnya dua kali agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, harus dibayar oleh pemerintah Republik Indonesia, harus dibayar oleh bangsa Indonesia, yang mereka jajah dan agresi. Selain itu modal dan usaha Belanda di Indonesia, oleh persetujuan KMB, diberikan kedudukan istimewa, yang dengan kurs yang khusus yang amat menguntungkan Belanda bisa secara leluasa ditransfer keuntungan mereka ke negeri Belanda.Ini berlangsung terus sampai saat ketika RI secara sefihak membatalkan persetujuan KMB, karena menyadari bahwa persetujuan itu adalah persetujuan yang berat sebelah, yang amat menguntungkan Belanda, dan merugikan Indonesia. Ketika itu Indonesia sudah membayar kepada Holland sebesar 3850 juta gulden. Bandingkan sumbangan Indonesia kepada Belanda ini dengan _bantuan_ Marshal Plan AS kepada Belanda yang dalam tahun 1948-1953, selama lima tahun, berjumlah 1127 ribu juta dolar AS. Itupun statusnya sebagai hutang. Banyak orang Belanda, bila bicara mengenai pembangunan kembali Nederland, menyebutnya sebagai hasil yang dicapai berkat bantuan Marshal Plan. Sumbangan Indonesia untuk pembangunan kembali Holland, orang mencoba untuk melupakannya. Tampaknya, tulis Giebels, suntikan Indonesia untuk ekonomi kita (Belanda) pada tahun-tahun 1950-1957 bukan tidak ada artinya untuk industrialisasi sesudah perang yang cepat dari Belanda, yang dibilang orang sebagai _le miracle hollandais_. Pendek kata, _Indie verloren, betekende niet ramspoed geboren_ <_Hindia hilang, bukan berarti bahwa tibalah bencana_>, karena pada saat-saaat yang krusial sesudah perang itu, dimana diletakkan dasar bagi negeri kita untuk kemakmuran dewasa ini, Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya. Demikian Giebels. Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda, sampai dengan pertengahan tahun limapuluhan, bukan saja telah mengeduk keuntungan sebesar-besarnya selama lebih dari 300 tahun dari Indonesia, atas kerugian dan penderitaan bangsa Indonesia, tapi juga telah menerima _suntikan_ finans dan ekonomni dari Indonesia, untuk pemulihan dan pembangunan ekonominya sesudah Perang Dunia II. Makanya sekali lagi harus diulangi lagi disini apa yang diucapkan oleh Meneer Bert Koendert, dalam membandingkan sikap Belanda terhadap Jepang yang nuntut Jepang minta maaf, dengan sikap Belanda yang _berlagak pilon_ terhadap dosa-dosanya di Indonesia, sebagai suatu sikap yang h i p o k r i t .
6
Mudah-mudahan sikap hipokrit Belanda ini berangsur-angsur bisa diatasi. Sebabnya ialah karena kedua belah fihak, baik Belanda maupun Indonesia, akan meneruskan hubungannya selanjutnya, atas dasar yang baru samasekali, bila Belanda menyadari akan kedudukannya dalam sejarah kolonialnya terhadap Indonesia.Dan jangan bersikap seperti sekarang ini, seperti kata pepatah Indonesia: “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata, tidak disadarinya”. Tidak di luar dugaan saya, bahwa workshop tentang masalah hubungan masa depan Belanda dan Indonesia, memberikan tanggapan yang positif terhadap saran-saran yang diajukan untuk memperbaharui dasar-dasar hubungan antara kedua negeri. Ini tercermin a.l. dari pendapat Prof Nico Schulte Nordholt. Beliau menyarankan agar pada teks buku sejarah yang resmi untuk sekolah-sekolah Belanda, dengan tegas dicantumkan bahwa hari Kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 17 Agustus 1945, dan bahwa tanggal 27 Desember 1949, adalah hari ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia . Memang benar, lapisan luas masyarakat Belanda, bisa berfikir objektif, tidak seperti sementara kaum elitenya, yang masih sulit untuk melepaskan diri dari sisa-sisa pengaruh mentalitas kolonial _tempo dulu_. Dalam hal perubahan ke pandangan yang maju, bisa dipastikan bahwa _Festival Pengetahuan_ PvdA telah memberikan sumbangan yang positif. Saya masih mengharapkan bahwa pada kesempaqtan Hari Nasional Peringatan Proklamasi Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus tahun ini, pemerintah Belanda akan mempertimbangkan untuk menyatakan penyesalannya atas masa lampaunya di Indonesia dan menghormati sikap dan pandanngan bangsa Indonesia bahwa Sukarno adalah proklamator, presiden Republik Indonesia yang pertama, dan adalah salah seorang _founding fathers_ dari nasion dan negara Republik Indonesia. ***
7