Resistensi Politik : Pergerakan Nasionalis Maroko Vis À Vis Kolonial Prancis (1912-1956)
Skripsi Ditulis sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh: M Arief Rahman Nim: 1110022000025
Disetujui oleh Pembimbing,
Dr. H.Muslih Idris, Lc., M.A. NIP: 19520903 198603 1 001
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2015 M
i
ABSTRAK M Arief Rahman ”Resistensi Politik Kolonial: Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Kolonial Prancis” Skripsi ini bertujuan untuk membahas proses pembentukan resistensi masyarakat Maroko terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh Prancis. Lebih jauh skripsi ini juga ingin menjelaskan perjuangan yang dilakukan orang-orang Maroko untuk mendapatkan kebebasan ekonomi, politik, dan sosial. Pada konteks Prancis vis a vis Maroko, Dahir Berbere digunakan oleh Prancis untuk memecah bangsa Arab Maroko dengan bangsa Berber Maroko. Namun langkah devide et impera yang diterapkan oleh Prancis tidak berhasil memecah bangsa Maroko. Justru, dahir tersebut menjadi bumerang bangsa Prancis. Skripsi ini menemukan dua poin penting yaitu (1) sekolah dan media menjadi corong utama Prancis dalam upaya internalisasi budaya, (2) Istiqlal menjadi wadah dalam mewujudkan indepedensi masyarakat Maroko, lewat gerakan sosial dengan beragam ide-ide kontra-kolonialisme. Kata kunci : kolonialisme, Prancis, Maroko, Dahir berber
iii
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat disetiap hambanya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis untuk bisa membuat skripsi ini. Tak lupa penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa umat manusia dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang. Skripsi
yang berjudul
”Resistensi Politik Kolonial: Pergerakan
Nasionalis Maroko Vis A Vis Prancis” merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. Selaku pimpinan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memudahkan penulis dalam mengurus persyaratan penulisan Skripsi hingga Ujian Munaqosah. 2. Bapak H. NurHasan, M.A. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu dan memudahkan penulis dalam proses terlaksananya skripsi ini. 3. Ibu Sholikatus Sa‘diyah, M.Pd. Selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik. 4. Bapak Dr. H M Muslih Idris Lc., M.A. Selaku dosen pembimbing, yang telah menyisikan waktunya guna membimbing penulisan skripsi ini
iv
dengan baik. Beliau juga mengajarkan Penulis untuk lebih teliti dalam menggunakan sumber-sumber. 5. Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A. Selaku Dosen Penasehat Akademik, yang selalu memberikan arahan serta motivasi dalam belajar. 6. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama penulis mengikuti perkuliahan. 7. Ibunda tercinta ibu Nadrah dan juga kepada Ayahanda tersayang Ayah Burhanuddin yang selalu memberikan arahan, doa, dan semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Penulis yang sedang mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan cita-citanya. 8. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini. 9. Paman Mashudi Zein beserta Keluarga yang telah ikhlas mengayomi penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak hal yang penulis dapatkan bersamanya. 10. Teman seperjuangan SKI 2010, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang membantu terselesaikannya skripsi ini, yang selalu memberikan inspirasi, semangat dan keceriaan. Walaupun kita berpisah, Semoga silaturahim kita tetap terjalin sampai kapan pun.
v
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i SURAT PERNYATAAN ............................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iii UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ..................................................................................... 1 B. Pembatasan masalah............................................................................. 7 C. Perumusan masalah .............................................................................. 7 D. Tujuan penelitian.................................................................................. 7 E. Manfaat penelitian................................................................................ 8 F. Metode penelitian ................................................................................. 8 1. Tahap pencarian sumber ................................................................ 9 2. Tahap pengolaan data ..................................................................... 10 3. Tahap interpretasi data ................................................................... 11 4. Tahap penyajian ............................................................................. 11 G. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 12 H. Sistematika penulisan ........................................................................... 13
vi
Bab II MAROKO: MENUJU KOLONIALISME PRANCIS A. Maroko: Daratan di Tepi Laut Mediterania ......................................... 16 B. Selayang Pandang: Maroko sebelum Kedatangan Prancis .................. 19 C. Sultan dan Ulama sebelum Protektorat Prancis ................................... 26 Bab III KEBANGKITAN NASIONALISME MAROKO A. Pemantik Resistensi Kolonial .............................................................. 33 B. Perang Dunia II dan Penguatan Nasionalisme ..................................... 37 C. Gerakan Anti-Kolonialisme ................................................................. 45
BAB IV RESISTENSI POLITIK KOLONIAL DI MAROKO A. Mobilisasi Masyarakat ......................................................................... 49 B. Demonstrasi dan Pemberontakan ......................................................... 59 C. Kedaulatan Maroko ............................................................................. 65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 70 DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maroko, atau lebih tepatnya al-Mamlakah al-Maghribiyyah (kerajaan Maroko), merupakan kerajaan yang terletak di daerah Magribi (Magreb) berasal dari bahasa Arab yang seringkali di terjemahkan sebagai ―barat‖, ―oksiden‖, atau ―wilayah matahari terbenam‖. Dalam sejarahnya istilah ini dipakai untuk menyebut daerah-daerah di barat sungai nil sampai pantai atlantik di Afrika Utara. Dalam konteks sistem Negara modern, yang disebut sebagai kawasan Magribi adalah Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Sahara barat (yang tidak diakui semua negara).1 Jauh sebelum Maroko jatuh ke tangan Prancis, dinasti-dinasti Islam silih berganti menguasai Maroko. Mulai dari Dinasti Idrisiyyah, Dinasti Murabittun, Dinasti Muwahiddun, Dinasti Mariniyyah, hingga yang terakhir – bahkan masih eksis sampai saat ini – Dinasti Alawiyyah. Sejarah mencatat, Maroko merupakan bangsa paling independen bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa Maghrib lainnya yang nyatanya berulang kali takluk oleh bangsa yang lebih superior. Maroko sebagai bangsa yang terakhir dikuasai oleh orang-orang Eropa di kawasan Al-Maghreb, setelah Aljazair dan Tunisia,juga pernah menjadi pusat dua kerajaan besar Arab-Berber, tetapi tidak pernah menjadi bagian dari imperium
1
Riza Sihbudi, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Bandung: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) h. 117
1
kerajaan Utsmani.2 Kemudian pada tahun 1901, Prancis memulai upaya penaklukan Maroko dan wilayah itu sepenuhnya dikuasai Prancis sejak tahun 1907 hingga 1912. Membahas Maroko tidak bisa terlepas dari Dinasti Alawiyah, dan Dinasti Alawiyah Berbeda dengan dinasti-dinasti Maroko lainnya yang akhirnya runtuh, dinasti Alawiyah merupakan dinasti Maroko yang bertahan dari abad ke-16 sampai sekarang. Maulawi ar Rasyid (1666-1672) merupakan raja pertama dinasti Alawiyah, ia mengambil alih kota Rif dan membuka rute perdagangan antara Sijilmasa dan Mediterania. Kekuasaan ia tidak berumur panjang karena pada tahun 1672 ia meninggal dalam sebuah kecelakaaan dalam berburu. Saudaranya, Maulawi Ismail (1672-1727), sebagai suksesornya berhasil meletakkan pondasi dinasti Alawiyah dengan kokoh. Ia berhasil menaklukkan pemberontakan di Fez dan untuk melanggengkan kekuasaannya banyak hal yang ia lakukan seperti bersekutu dengan aliansi lainnya, membuat tentara Abid -tentara budak yang sangat kuat, menandatangani pakta kerjasama perdagangan dengan Inggris dan Prancis, mengambil pajak yang tinggi, membangun kota Meknes sebagai ibu kota, memonopoli perdagangan dan membuat bajak laut untuk merampok kapal yang melintasi wilayahnya. Ia dikenal sebagai raja yang kejam dan otoriter. Banyak kebijakannya yang bertentangan dengan dengan Syariah islam sehingga membuat para ‘Ulama dan Syarif tidak suka dengannya. Masa kekuasaannya berlangsung lebih dari setengah abad.3
2
Hitti, History of the Arabs, h. 336. Philip C. Naylor. North Africa: A History from Antiquity to the Present. (USA: University of Texas Press, 2009) hal. 130 3
2
Banyak terjadi huru-hara setelah kematian Maulawi Ismail seperti pemberontakan, pasukan tentara Abid yang membangkang, dan perang saudara terkait siapa yang berhak menggantikannya. Abdullah mendeklarasikan dirinya lima kali sebagai raja dan empat kali diganti sebelum akhirnya ia meninggal pada 1757. Ia berhasil memarginalisasi tentara ‘Abid karena mereka banyak yang membangkang terhadap raja. Sidi Muhammad III (1757-1790) berhasil menggantikan ayahnya, Abdullah. Ia ingin membangun Negara dengan perdagangan, bukan dengan kekuatan militer. 4 Sidi Muhammad III berhasil mendatangani pakta kerjasama perdagangan dengan Denmark, Venisia, Inggris, Swedia, Prancis dan Portugal. Ia juga membangun pelabuhan baru di Mogador untuk memudahkan proses perdagangan dengan Negara-negar luar. Sidi Muhammad III berhasil mereorganisasi sistem pemerintahan, ia mengangkat Wazir atau Perdana Menteri yang menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap internal organisasi Negara. Selain itu, ia juga membentuk Menteri Kelautan untuk mengatur hubungan dagang dengan Negara luar. Meski Sidi Muhammad III berhasil meletakkan pondasi dasar struktur pemerintahan.5 Maulawi Sulaiman (1792-1822) adalah raja yang sholeh, terpelajar dan mengagumi pengajaran model Wahhabi. Karena terpengaruh dengan Wahhabi maka pada tahun 1811 ia melarang tarian dan lagu-lagu tentang sufi. Berbeda dengan bapaknya, ia lebih waspada dan hati-hati dengan Negara Eropat terkait
4 5
C.N. Pennell, Morocco From Empire to Independent (UK: Oneworld Oxford, 2003) hal. 108 Ibid hal. 112
3
hubungan perdagangan. Ia sangat membutuhkan pendapatan dan saudaranya, Abdurrahman, mendorongnya untuk melakukan kontak perdagangan dengan Eropa. Ia mendesak raja untuk mengekspor padi namun ada rasa kekhawatiran pada rakyatnya. Kalau seandainya padi terus diimpor dan suatu saat lumbung padi rakyat habis maka akan terjadi kelaparan. Maka pada tahun 1820 terjadi kerusuhan dan pemberontakan terkait isu tersebut. Pada tahun 1822 Sulaiman berhasil dikalahkan oleh pemberontak Zawiya di dekat Marrakesh. Ia meminta kepada para Ulama untuk mengangkat Abdurrahman menjadi raja menggantikan dirinya.6 Raja
Abdurrahman
(1822-1859)
yang
berhasil
meredam
semua
pemberontakan dan kerusuhan yang terjadi hingga dinasti Alawi masih bisa bertahan sampai sekarang di Maroko. Ia memperbaiki hubungan dengan para ahli thariqah,
memutuskan
faham
Wahhabi,
menjalin
hubungan
kerjasama
perdagangan dengan Eropa. Sebagaimana mana raja Negara muslim lainnya, ia juga menghadapi invasi Negara-negara Barat.7 Bila ditelisik lebih jauh ke akarnya, penetrasi bangsa Perancis terhadap kawasan Al-Maghreb diawali dengan penaklukan Prancis pada bangsa Aljazair pada tahun 1830, Ini merupakan sekuel pembuka dari trilogi kolonialisasi bangsa Perancis yang kemudian secara bertahap dilanjutkan dengan penaklukan bangsa Tunisia ke bagian timur yang berhasil dikuasai pada tahun 1881, yang kemudian mempraktekkan dengan kebijakan politis yang sama. Sebagaimana pula di 6
Philip C. Naylor. North Africa: A History from Antiquity to the Present. (USA: University of Texas Press, 2009) hal 132 7 C.N. Pennell, Morocco From Empire to Independent (UK: Oneworld Oxford, 2003) hal. 114
4
Maroko, Prancis berusaha menggantikan bahasa Arab yang selama ini menjadi bahasa kesustraan bagi penduduk pribumi dan pemersatu bagi bangsa Berber dan Arab yang kemudian menggantikannya dengan bahasa Perancis, meski pada perkembangannya bahasa Arab tetap menjadi bahasa nasional dan Perancis menjadi bahasa pendamping pada masyarakat kawasan Al-Maghreb pada umumnya.8 Penulis mengamati Kolonialisme Prancis di Maroko berdasarkan tiga konsep imperialisme kuno: Gold, Glory dan Gospel yang pada saat itu merupakan kebijakan politik
yang sangat populer bagi bangsa-bangsa
Imperialisme khususnya Eropa, dalam hal ini guna mengimbangi hegemoni bangsa-bangsa Islam di dunia serta terdapat indikasi persaingan Prancis dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya dalam menjaga stabilitas Negara karna hal itu lah imperialisme juga dikenal sebagai pos-ekonomi modern bagi bangsa Eropa yang menjadi prioritas utama Perancis. Berangkat dari fakta tersebut, satu demi satu negeri-negeri Islam – yang pada saat itu sedang rapuh – itu jatuh ke tangan Barat. dalam waktu yang relatif cepat, kerajaan-kerajaan besar Eropa sudah membagi-bagi seluruh dunia Islam. Inggris merebut India dan Mesir. Rusia menyeberangi Kaukasus dan menguasai Asia Tengah. Prancis menaklukan Afrika Utara atau juga yang disebut daerah Maghreb, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya mendapat bagiannya dari warisan Islam itu akibat dari kehancuran dan kemunduran tiga pilar kerajaan Islam.9
8 9
Hitti, History of the Arabs, h. 916. L. Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: 1966), h. 27.
5
Dengan berbagai manuver bangsa Eropa terhadap pengukuhan hegemoni mereka pada Negara-negara Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara. Penulis sangat tertarik mendalami akan penetrasi yang dilakukan salah satu bangsa kolonialis terkemuka yaitu Prancis akan kepentingan Prancis terhadap kawasan Afrika Utara atau kita kenal populer dengan sebutan Al-Maghreb. Selain itu usaha-usaha Prancis yang sangat ingin mengubah secara sistematis dan struktural pada Negara-negara protektoratnya, seperti usaha menjadikan bahasa Prancis sebagai pengganti bahasa ibu pada Negara koloninya ataupun hal lainnya seperti memasukkan hukum ala barat agar dapat menggantikan syariat Islam bahkan memasukkan kisah-kisah nenek moyang Prancis di berbagai institusi pendidikan di negara koloninya juga menjadi cerita menarik lainnya. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis memilih proses terbentuknya ide mengenai resistensi politik kolonial di Maroko yang disuarakan oleh gerakangerakan nasionalis Maroko yang mana nantinya akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemerdekaan Maroko. Adapun judul penelitian ini yaitu, ―Resistensi Politik: Pergerakan Nasionalis Maroko Vis À Vis Kolonial Prancis (1912-1956)‖. B. Pembatasan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, agar penelitian ini menjadi terarah maka, penelitian ini difokuskan pada wilayah Maroko dengan rentang tahun pengkajian pada masa Kolonial Prancis (1912-1956). Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu gerakan-gerakan nasionalisme yang muncul di Maroko, respon masyarakat sekaligus respon Raja kesultanan di Maroko atas kedatangan
6
Prancis dan juga munculnya gerakan-gerakan anti-kolonial dan terakhir bagaimana dampak munculnya gerakan anti-kolonial ini terhadap kemerdekaan Maroko. C. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana kondisi Maroko pada masa Kolonial Prancis? 2. Bagaimana proses terbentuknya resistensi politik kolonial di Maroko pada masa Kolonial Prancis hingga masa kemerdekaan Maroko? D. Tujuan Penenelitian Lewat sejumlah permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini yaitu adalah: 1. Mengetahui lebih jauh bagaimana kondisi Maroko sebelum dan saat masa Kolonial Prancis. 2. Mengetahui lebih jauh proses terbentuknya resistensi politik kolonial di Maroko. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menambah pengetahuan penulis mengenai Maroko sekaligus sebagai syarat kelulusan mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). 2. Menambah daftar referensi mengenai sejarah kesultanan Maroko di perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora.
7
F. Metode Penelitian Sebagai studi sejarah, penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian sejarah10, menggunakan instrumen studi kepustakaan (Library Research) dan juga jenis sejarah dalam penelitian ini adalah sejarah sosial.11 Namun demikian, untuk bisa lebih menjelaskan bagaimana perjalanan gerakangerakan sosial yang anti-kolonial dalam memperjuangkan nilai-nilai kebebasan guna memperoleh kemerdekaan di Maroko atas Prancis, kajian ini juga menggunakan ilmu bantu sosiologi sebagai alat analisis, dengan menggunakan kerangka teori gerakan sosial.12 Selain itu, pendekatan sosiologi juga dibutuhkan untuk memahami lebih jauh mengenai kondisi sosial masyarakat Maroko pada masa Kolonial Prancis.
10
Lihat Louis Gottschalk, Understanding History. A Primer of Historical Method (New York: Alfred Knopf, 1969), second ed. Terj. Nugroho Notosutanto, Mengerti Sejarah. Pengantar Metode Sejarah (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975). Lihat juga H.C. Hockett, Critical Method in Historical Research and Writing (New York: Macmillan & Co., 1967). 11 Sekalipun sejarah sosial sudah menjadi gejala baru dalam penulisan sejarah sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi sebagai sebuah jenis penulisan sejarah baru mendapat tempat pada tahun 1950-an. Paling tidak Mazhab Annales yang dipelopori oleh Marc Bloch di Prancis merupakan embrio bagi jenis penulisan sejarah baru, dalam hal ini sejarah sosial. Dari situ nantinya, sejarah sosial akan terus berkembang menjadi canggih lewat modifikasi terus-menerus. Namun pada dasarnya, sejarah sosial merupakan sejarah yang mempunyai bidang garapan yang sangat besar karena metode pengawinan dua ilmu atau lebih menjadi sebuah narasi sejarah yang lebih kompleks. Misalnya saja dengan ekonomi, sosiologi maupun antropologi. Lihat, Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 33. 12 Istilah gerakan sosial merupakan istilah yang muncul di kalangan sosiolog Amerika Serikat di tahun 1950-an. Pada dasarnya gerakan-gerakan sosial muncul karena adanya penentangan (resistensi) atau bahkan perlawan terbuka terhadap sebuah sistem yang berlaku di masyarakat. Pada perkembangannya banyak sejarawan yang mulai menggunakan kerangka teori ini untuk melihat objek kajian sejarahnya. Misalnya, Hobsbawm membahas pemberontakan primitif (primitive rebels) yang bahasannya mencakup mulai dari pemberontakan yang dilakukan oleh para bandit hingga orang-orang yang percaya akan datangnya zaman millenia atau Spitz yang mengkaji tentang masa-masa sebelum meletusnya Reformasi Jerman yang menekankan pada pentingnya tindakan kolektif untuk mengubah tatanan yang ada secara langsung ketimbang secara kelembagaan dan mungkin juga Burke yang melihat Revolusi Prancis. Lebih jauh lihat, Peter Burke, History and Social Theory (New York: Cornell University Press, 1993), h. 132-136; L.W. Spitz, ―The Third Generation of German Renaissance Humanists‖, dalam A.R. Lewis, ed., Aspects of the Renaissance (Austin: T.p, 1967), h. 105-121; dan Eric Hobswawm, Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movement in the Nineteenth and Twentieth Century. Third Edition (Manchester: T.p, 1971).
8
Kemudian, sejauh mana dampak yang diberikan kepada masyarakat Maroko dengan eksistensi gerakan-gerakan anti-kolonial pada masa tersebut. Ditambah, akan membantu dalam memahami dinamika masyarakat –utamanya dalam hal sosial-politik– di masa Kolonial Prancis. Selanjutnya, dalam Metode Penelitian Sejarah terdapat tahapan-tahapan yang biasanya dilakukan oleh peneliti sejarah 13 dan penulis juga mengikuti prosedur yang telah ada. Adapun, tahap-tahap yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Tahap Pencarian Sumber Penulis melakukan browsing di beberapa situs, seperti Bibliothèque Nationale de France, situs jurnal-jurnal baik berbayar maupun tidak berbayar, serta situs-situs sejenis merupakan ‗surga‘ bagi penulis dalam pencarian sumbersumber tertulis penelitian ini. Pasalnya, sebagian besar literatur-literatur yang penulis dapatkan berasal dari situs-situs luar negeri yang akses terbuka maupun akses bebas. Akses daring ke situs arsip nasional Maroko dan Prancis sangat membantu penulis dalam penelitian ini. Karena, arsip-arsip nasional Maroko dan tulisantulisan para aktivis dari kalangan nasionalis yang pernah terbit pada masa perjuangan seperti Les Notables. Selain itu, penulis juga berhasil mendapatkan beberapa buku primer dan arsip, beberapa diantaranya adalah, The Independence Movement in Arab North Africa, salah satu karya pejuang kemerdekaan, al-Fassi,
13
Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah.(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 147.
9
Au temps des Mehallas au Maroc ou le Maroc de 1860 a 1912 karya Louis Arnaud, dan Arsip Renseignements Coloniaux, 1923. Adapun sumber data sekunder yang menjadi acuan penulis antara lain; yaitu pandangan dan tulisan orang yang memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai laporan penelitian, makalah, buku, media cetak dan elektronik. 2. Tahap Pengolahan Data Kajian sejarah, tentu saja tidak lepas dari sumber-sumber tertulis yang menggunakan berbagai aksara.Dalam pengolahan data, penguasaan aksara sangat penting agar informasi-informasi yang kita dapatkan bisa menjadi sebuah data.Sehingga, aksara bisa menjadi jembatan antara informasi yang begitu banyak dengan data-data yang diperlukan.Adapun dalam penelitian kali ini, aksara-aksara yang penulis kuasai guna mengolah informasi-informasi yang penulis dapatkan pada tahapan sebelumnya yaitu, Prancis, Inggris, Arab dan Indonesia. Kemudian, setelah informasi-informasi diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah mensortir dan mengklasifikasikan informasi menjadi data-data berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dan tentu saja sebagai landasan untuk menjawab permasalahan. 3. Tahap Interpretasi Data Setelah dilakukan pensortiran dan pengklasifikasian data, maka tahapan selanjutnya adalah tahap interpretasi data, yang terdiri dari analisis dan sintesis.14Analisis, atau juga disebut sebagai penguraian, merupakan langkah
14
Kuntowijoyo, Ilmu Sejarah, h. 78-80.
10
mereduksi data-data yang telah didapat menjadi lebih informatif guna perkembanganpenelitian ini. Kemudian setelah dilakukan analisis, langkah selanjutnya adalah sintesis. Sintesis yang berarti menyatukan. Yang mana dalam hal ini adalah menyatukan hasil bacaan yang telah kita analisis sebelumnya. Dalam kasus ini, data-data yang telah dianalisis, kemudian baru disatukan menjadi kategori-kategori besar. Misalnya, dalam menganalisis, data-data yang kita dapatkan adalah pertempuran, rapat, mobilisasi massa, pembunuhan, penggulingan penguasa, demonstrasi massa dan sebagainya, maka kita dapat mensintesiskan data-data tersebut menjadi satu kategori besar. Dalam hal ini yang paling mendekati adalah revolusi.15 4. Tahap Penyajian Tahap ini, merupakan tahapan yang mengupayakan agar data-data sejarah yang telah didapatkan sebelumnya bisa menjadi bukti untuk menjawab permasalahan, tetapi masih terbelah. Untuk itu, agar dapat menjadi suatu kajian yang bersifat utuh, sistematis, komunikatif dan mudah dimengerti khalayak maka harus sesuai dengan kaidah historiografi atau penulisan sejarah. Di mana, historiografi mencakup cara penelitian, pemaparan serta hasil pelaporan penelitian sejarah yang telah penulis lakukan. Namun demikian, paling tidak terdapat dua hal penting agar tercipta historiografi yang memadai dan nikmat dibaca. Yaitu, imajinasi dan kemampuan mentransmisikan pendapat ke dalam bentuk tulisan. Karena dua hal tersebut
15
Ibid., h. 79.
11
menjadi faktor penting guna mewujudkan karya skripsi yang integral. Dan yang terakhir, sekaligus yang terpenting, historiografi penelitian kali ini, tetap berada di dalam kaidah yang semestinya. Adapun buku ―Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta‖, terbitan CeQDA 2007, menjadi buku acuan yang penulis gunakan, supaya penelitian skripsi ini sesuai koridor penulisan yang ditentukan oleh UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. G. Tinjauan Pustaka Kajian tentang kemerdekaan Maroko dari Prancis merupakan kajian yang sebetulnya sudah banyak ditulis oleh sarjana-sarjana di dunia. Pasalnya, kajian ini termasuk kajian yang bahasannya mengenai kemerdekaan negara dunia ketiga atau negara berkembang (developing country) dan hal tersebut merupakan isu yang pernah ―seksi‖ bagi para sarjana-sarjana terutama pada awal kebangkitan teoripost-colonial. Adapun di bawah ini merupakan karya sarjana-sarjana –baik di Indonesia maupun luar Indonesia– yang membahas kemerdekaan Maroko dari Pemerintah Protektorat Prancis: 1.
Anita Handayani, Fatima Mernissi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya dalam Mewujudkan Demokrasi dan Hak-Hak Perempuan di Maroko, 19221997 (2003).16 Skripsi dari Handayani ini mempunyai jangkauan waktu yang sama dengan kajian penulis. Bedanya, Handayani juga memasukkan tahuntahun pasca kemerdekaan. Selain itu, fokus kajian dalam penelitian Handayani berfokus kepada peran perempuan dalam memperjuangkan nilai16
Anita Handayani, Fatima Mernissi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya dalam Mewujudkan Demokrasi dan Hak-Hak Perempuan di Maroko, 1922-1997(Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003).
12
nilai kesetaraan jender ditambah perannya dalam mewujudkan demokrasi dan kemerdekaan Maroko. 2.
Abdul Latif, Dinasti Alawiyah: Kontribusi Maulay Ismail pada Kemajuan Kebudayaan di Maroko, 1672-1727 (2015).17 Meskipun sama-sama membahas Maroko sebagai objek kajian penelitian, namun penelitian Latif membahas Maroko sebelum kedatangan Protektorat Prancis. Skripsi ini menjelaskan bahwa Maulay Ismail merupakan salah satu sultan yang mempunyai pengaruh yang relatif signifikan dalam kemajuan Maroko pada abad 17 dan 18-an, khususnya di bidang kebudayaan. Sejauh penelaahan penulis di atas, kajian mengenai resistensi politik kolonial
yang dilakukan oleh gerakan-gerakan sosial (social movements) anti-kolonial di Maroko atas Pemerintahan Kolonial Prancis, yang sifatnya komprehensif belum banyak ditulis. Misalnya saja melihat bagaimana respon raja dan masyarakat terhadap isu kebangkitan nasionalisme di Maroko pada masa Protektorat Prancis. H. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri ke dalam lima Bab pembahasan. Bab Pertama, membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan metode penelitian, kajian yang relevan serta terakhir sistematika penulisan penelitian ini.
17
Abdul Latif, Dinasti Alawiyah: Kontribusi Maulay Ismail pada Kemajuan Kebudayaan di Maroko, 1672-1727, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015).
13
Bab Kedua, akan membahas kondisi Maroko sebelum dan saat kedatangan Prancis. Dengan judul bab; Maroko: Menuju Kolonialis Prancis. Dengan sub-bab sebagai berikut: a) Maroko: Daratan di Tepi Laut Mediterania b) Selayang Pandang: Maroko Sebelum Kedatangan Prancis c) Sultan dan Ulama sebelum Kolonial Prancis Bab Ketiga, akan membahas awal kemunculan gerakan-gerakan antikolonialisme dan bagaimana respon masyarakat Maroko maupun Kolonial Prancis. Dengan judul bab Kebangkitan Nasionalisme Maroko. Dengan sub-bab sebagai berikut: a) Pemantik Resistensi Kolonial b) Perang Dunia II dan Penguatan Nasionalisme c) Gerakan Anti-Kolonialisme Bab Keempat, akan membahas bagaimana kontestasi yang terjadi antara gerakan-gerakan anti-kolonialisme dengan Kolonial Prancis. Dengan judul bab – Resistensi Politik Kolonial di Maroko. Dengan sub-bab sebagai berikut: a) Mobilisasi Masyarakat b) Demonstrasi dan Pemberontakan c) Kedaulatan Maroko Sedangkan bab kelima, berisi kesimpulan kemudian dilanjutkan dengan Daftar Pustaka dan Daftar Lampiran.
14
BAB II MAROKO: MENUJU KOLONIALISME PRANCIS Maroko, secara geografis, merupakan salah satu negara Afrika Utara yang bersentuhan langsung dengan Eropa, Spanyol. Tepatnya, Maroko terletak di barat laut Afrika yang memiliki garis pantai yang panjang dekat yang memanjang melewati selat Gibraltar hingga ke laut tengah. Di sebelah utara, Maroko berbatasan dengan Spanyol, timur dengan Algeria, barat dengan samudra Atlantik dan selatan berbatasan dengan Mauritania. Maroko juga bisa dikatakan sebagai negara yang punya sejarah panjang, karena dari sebelum masehi sudah bersinggungan dengan peradaban-peradaban kuno yand ada di dunia, persis bersamaan dengan negara-negara tetangganya seperti, Tunis, Libya dan Aljazair. Hal tersebut dikarenakan letaknya yang cukup strategis, tepat berbatasan dengan Laut Mediterania, laut yang pernah menjadi saksi sejarah kemajuan peradaban para pelaut dulu. Pada perjalanannya, Maroko juga bersinggungan dengan bangsa-bangsa besar seperti, Romawi dan Arab. Masuknya kedua bangsa ini ke Maroko jelas mempunyai peranan yang signifikan dalam membentuk identitas kebangsaan orang-orang Maroko kedepannya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pengaruh bangsa Eropa –dalam hal ini adalah Prancis – yang telah mengkonstruksi sedemikian rupa bangsa Maroko. Pada bab ini, penulis akan membahas bagaimana situasi dan kondisi Maroko sebelum kedatangan Prancis dan ketika Prancis datang.
15
A. Maroko: Daratan di Tepi Laut Mediterania Sultan Hasan II berkata bahwa ―Maroko ibarat pohon, ia memiliki akar yang membentang di Afrika.
Namun, bernafas di udara Eropa‖.Memang, Maroko
merupakan Negara Magrib paling barat diantara Negara-negara Magrib lainnya Algeria dan Tunisia. Ibukota kerajaan Maroko adalah Rabat, tapi kota terbesar dan yang paling terkenal adalah Casablanca. Tanah Maroko terletak dipersimpangan antara Eropa, Afrika dan Asia. Maroko memiliki empat ibu kota: Rabat, ibukota administrasi, Casablanca, ibukota perdagangan dan perisdustrian, Marrakech, ibukota wisata dan Fes, ibukota budaya dan ilmu pengetahuan. Wilayah Maroko terdiri dari 5 bagian: pegunungan, lahan subur di bagian barat, tanah lumpur di barat daya, lahan pertanian di tengah dan gurun dekat Sahara. Wilayah gunung dibagi menjadi tiga area: Middle Atlas, High Atlas dan AntiAtlas Ranges.18 Ke selatan dari Rif dan lembah sungai Sebu adalah wilayah Middle Atlas, terpisah dari pinggir bagian timur High Atlas yang membentang sampai ke lembah sungai Abid. High Atlas memiliki panjang 450 mil dan luas 40 mil.Maka dari itu wilayah High Atlas memiliki dua zona iklim yang berbeda; yang satu dipengaruhi oleh angin laut Mediterania dan satunya lagi oleh Sahara.Anti-Atlas ke selatan, dihubungkan dengan High Atlas oleh gunung vulkano Siruoa.Jauh ke selatan Anti-Atlas adalah oase, sungai musiman, dan kota18
Raphael Chijioke Njoke, Culture and Costumes of Morocco (USA:Greenwwod Press: 2006) hal. 24
16
kota pulau kecil. Ada dua gunung yang mempengaruhi pembagian wilayah Maroko yaitu gunung Atlas dan gunung Rif. Dan Maroko memiliki empat musim: musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur. Orang-orang Maroko Sebagaimana masyarakat Arab atau Afrika, Maroko juga terdiri dari ratusan komunitas bahasa.Dahulu, masing-masing komunitas bahasa hidup sendiri-sendiri dan mandiri.Penduduk asli Maroko adalah suku Berber. Ia telah mendiami wilayah Maroko dan sekitarnya ratusan tahun sebelum bangsa lain menjajahnya. Suku Berber dibagi menjadi tiga suku: Amazigh, Syilha dan Rifi. Ketiga suku ini memiliki bahasa dan dialek sendiri-sendiri.Hal tersebut memudar dengan adanya nikah antar suku dan dominasi bangsa Arab baik dari segi bahasa maupun identitas.Hingga akhirnya melahirkan generasi baru yakni Arab-Berber. Adapun Arab-Berber Maroko adalah mayoritas penduduk Maroko dengan persentase 99.1 %, disusul dengan Yahudi dengan 0,2 %, dan minoritas lainnya 0,7 % seperti Moor, Arab, Negro, dan Eropa.19 Sepertiga dari jumlah penduduk Maroko, 32.209.101 juta jiwa, tinggal di daerah kota, dan seperti tiga dari yang tinggal di kota itu tinggal di Casablanca. Masyarakat Berber lokal sebagian besar tinggal di pegunungan.Adapun asal usul kata Berber adalah sebutan dari orang-orang Romawi ‗Barbarus‘ bagi orang yang tinggal di wilayah Maroko. Namun sekarang, orang-orang Maroko kebanyakan adalah keturunan campuran Arab, Berber dan Afrika. Orang Maroko Arab-Berber
19
Ibid, hal. 26
17
memiliki beberapa keunikan dan karakteristik yang membedakan dengan yang lainnya: mereka memiliki mata biru dengan variasi warna kulit karena perkawinan antar suku serta tinggi dan kurus. Bahasa Ada tiga bahasa mayoritas bahasa yaitu Arab, Berber dan Prancis. Bahasa arab digunakan oleh 70% dari total populasi. Ada dua jenis bahasa arab di Maroko yakni bahasa Arab standar dan bahasa arab Maroko. Bahasa arab standar atau bahasa Arab fushah digunakan dalam surat kabar, korespondensi, pidato dan belajar agama dan filsafat. Bahasa arab Fushah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Arab Maroko sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahasa Arab yang terpengaruh dengan dialek orang Berber, Prancis dan Spanyol. Bahasa Berber digunakan 30% populasi dan bahasa Prancis digunakan untuk urusan bisnis, pemerintahan, dan hubungan international. Bahasa Prancis sangat ditekankan di dalam kurikulum sekolah agar generasi mendatang bisa berhubungan dengan dunia international.20 Pemerintahan Tahta kerajaan merupakan warisan turun-temurun yang dipegang oleh dinasi Alawiyah. Raja sebagai kepala Negara dibai‘at sebagaimana sistem khalifah dan diberi gelar Amirul Mukmin yang mengisyaratkan raja juga sebagai pemimpin umat islam. Roda pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang diangkat oleh raja. Maroko memiliki parlemen yang terdiri
20
Ibid,hal28
18
dari majelis rendah yang dipilih secara langsung dan majelis tinggi yang dipilih secara tidak langsung. Setelah kematian ayahnya, raja Muhammad VI mendeklarasikan bahwa Maroko adalah Negara monarki konstitusional, menganut paham liberalisme ekonomi dan menganut paham banyak partai. Dia berjanji akan memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan lebih mementingkan kepentingan rakyat. 21 B. Selayang Pandang: Maroko Sebelum Kedatangan Prancis Sebelum datangnya Prancis ke Maroko, sebagai sebuah negara protektorat pada tahun 1912, sebetulnya Maroko sudah berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Baik secara politik maupun ekonomi. faktanya di pertengahan abad-19, Maroko telah menghadapi gelombang kolonialisme yang dilancarkan orang-orang Eropa di tanah Maghrib. Tentu saja hal tersebut akan menjadi hambatan besar bagi kemajuan Maroko kedepannya, terutama bagi kedaulatan Maroko itu sendiri. Proses panjang sampai Maroko bisa jatuh ke tangan Prancis dimulai pada tahun 1830, ketika Prancis melakukan intervensi militer ke Aljazair.22 Dari situ sinyal-sinyal merambatnya tangan-tangan kolonialisme sudah mulai dirasakan orang-orang Maroko.23 Ditambah dengan serangan orang-orang Austria di Larache, kota pelabuhan penting di Tanger-Tetouan sebelah selatan Maroko.
21
Raphael Chijioke Njoke, Culture and Costumes of Morocco (USA:Greenwwod Press: 2006) hal.31 22 Thomas K. Park dan Aomar Boum, Historical Dictionary of Morocco. Second Edition (Oxford: Scarecrow Press Inc., 2005), h. lxv. 23 C.R. Pennell, Morocco: From Empire to Independence (Oxford: One World, 2003), h. 115.
19
Paling tidak, dua kejadian tersebut mengakibatkan tersebarnya rumor bahwa orang-orang ―Kristen‖ akan menyerang seluruh dataran Maroko. 24 Kemudian, dengan jatuhnya Aljazair yang notabene masih di bawah bayang-bayang Turki Utsmani, maka dengan sendirinya Prancis juga berhasil memutuskan jalinan diplomasi antara Maroko dengan Turki Utsmani yang biasanya dilakukan melalui perantara Aljazair.25 Dengan demikian posisi Maroko di tanah Maghrib semakin tidak menguntungkan, apalagi di tengah-tengah tekanan-tekanan politik kolonialisme dari negara-negara Eropa yang tengah melanda daerah tersebut. Meski demikian, perlawanan bantuan masih diberikan oleh Maroko untuk membantu Aljazair melawan Prancis. Kendati demikian, kekuatan militer Maroko tidak sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Prancis.26 Pada perkembangan selanjutnya, Maroko tidak hanya mendapatkan tekanan dari Prancis dan Austria semata. Spanyol dan Inggris ikut ke dalam persaingan tersebut untuk mendapatkan bagian dari wilayah paling ujung di tanah Maghrib tersebut. Tentu saja hal tersebut berdampak besar kepada perekonomian Maroko. Pasalnya, invasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa tersebut bukan hanya bersifat politik namun juga ekonomi. Larache –yang sebelumnya diambil alih oleh orang-orang Austria– menjadi basis para pedagang-pedagang Eropa.27 Singkatnya para pedagang-
24
Ibid., h. 116. Edmund Burke, Prelude to Protectorate in Morocco: Pre-colonial Protets and Resistance 1860-1912 (Chicago: The Chicago Unversity Press, 1976), h. 22. 26 Ibid. 27 C.R. Pennell, Morocco since 1830: A History (New York: New York University Press, 2000), h. 17. 25
20
pedagang lokal kalah bersaing dalam perdagangan dengan orang-orang Eropa. Pedagang-pedagang Maroko hanya unggul dalam penjualan domestik, karena ulama menetapkan aturan agar tidak menjual atau membeli barang ke orang-orang Eropa Kristen yang notabene kafir (menurut pandangan ulama).28 Selain itu, otoritas ulama juga melarang sultan menaikkan pendapatan negara dengan pajak, karena tidak sesuai dengan Syariat Islam.29 Perekonomian Maroko menjadi begitu terpuruk dengan kedatangan orangorang Eropa tersebut. Sultan yang mencoba mengandalkan sektor ekspor barangbarang lokal khas Maroko seperti gandum, kain wol, kulit, lilin dan karet sebetulnya merupakan sebuah keputusan yang tepat.30 Namun hal tersebut juga dimatikan oleh orang-orang Eropa dengan munculnya perjanjian antara Inggris dan Prancis mengenai Perjanjian Negosiasi Perdagangan (Trade Negotiation Agreement) yang memperbolehkan delegasi-delegasi dagang asing mendapatkan dasar hukum yang sah, sehingga bisa melakukan monopoli perdagangan di Maroko.31 Pada tahun-tahun kedepannya, perekonomian Maroko jelas tidak mempunyai masa depan yang cukup baik, sehingga memperlemah kekuatan Maroko. Selain perekonomian, kondisi Maroko yang turut tidak stabil adalah politik. Jelas, tujuan dari politik kolonial mencoba membentuk identitas Eropa ke dalam bangsa-bangsa yang dijajahnya. Maka dari itu, politik jelas-jelas menjadi
28
Louis Arnaud, Au temps des Mehallas au Maroc ou le Maroc de 1860 à 1912 (Casablanca: Atlantides, 1952), h. 66. 29 Ibid., h. 67. 30 C. Avonde, Le Commerce Extérieur du Maroc Français (Renseignements Coloniaux, 1923) h. 365-383. 31 Arnaud, Au temps des Mehallas, h. 68.
21
agenda utama dalam politik kolonial disamping ekonomi. Dalam tahun-tahun ini nampaknya agama bukan menjadi agenda utama lagi bagi orang-orang kolonial. Lalu, pada tahun 1883, di tengah krisis ekonomi yang tidak berkesudahan, Hassan I selaku Sultan Dinasti Alawiyah di Maroko melakukan terobosan dengan mengeluarkan kebijakan pajak pada produksi pertanian.32 Terobosan ini ia ambil agar Maroko tidak jatuh dan menjadi negara yang bangkrut, dengan ganjaran ia harus melanggar hukum yang telah ditentukan oleh otoritas ulama tentang pajak pendapatan. Namun, orang-orang Eropa yang tinggal di Maroko, baik pedagang atau bukan, lewat perwakilan mereka menolak untuk membayar pajak yang diterapkan oleh sultan. Walhasil, kebijakan baru ini tidak dapat mendongkrak perekonomian Maroko di tengah krisis ekonomi negara tersebut yang sudah berlarut-larut tak tentu arah. Bahkan ekonomi Maroko semakin terpuruk dari tahun ke tahun.33 Sementara itu, Prancis mulai menduduki wilayah-wilayah strategis untuk melancarkan rencananya menduduki Maroko di tahun-tahun kedepannya. Belum lagi ditambah dengan rencana di balik layar negara-negara Eropa untuk ―bagibagi‖ wilayah kekuasaan Afrika dan Asia. Yang mana dalam hal ini, Afrika Utara yang menjadi wilayah yang akan dibagi-bagi oleh negara-negara Eropa. Pada kasus ini, Maroko yang sudah lama diincar oleh Prancis pun dilepaskan oleh negara-negara Eropa lainnya. Di lain pihak, Italia mendapatkan Libya, Spanyol mendapatkan Pantai Barat Sahara dan Maroko bagian Utara.
32 33
Pennell, Morocco since 1830, h. 22. Pennell, Morocco, h. 136.
22
Lebih jauh lagi, pada tahun 1904, The Entente Cordiale, antara Inggris, Prancis dan Rusia meneguhkan pondasi-pondasi yang penting bagi Prancis untuk menguasai Maroko. Dimana, Mesir yang tadinya milik Prancis ditukar dengan Maroko milik Inggris. Pada tahun-tahun ini, merupakan tahun di mana kedaulatan Maroko, sebagai negara merdeka terakhir di Tanah Maghrib, dirampas kemerdekaannya. demikian pula dengan kewenangan sultan juga sudah runtuh. Bila diibaratkan maka Maroko seperti negara yang sebentar lagi mau ‗mati‘ karena kelaparan dan lumpuh. Selanjutnya pada tahun 1909 bisa dikatakan sebagai tahun-tahun dimana kekuatan Prancis di Maroko mulai menguat. Pasalnya, Mawlay Abdelhafid, sultan terakhir sebelum berkuasanya Prancis di Maroko benar-benar sudah kehabisan dana untuk membayar tentara-tentara dan pegawai-pegawainya, sehingga pemerintahannya benar-benar rapuh. Sampai pada akhirnya, masih di tahun yang sama, ia mengutus delegasinya (delegasinya nanti akan menjadi penghianat dan pro kepada pihak Prancis) untuk melakukan negosiasi di Paris untuk menegosiasikan hutang-hutang Maroko yang luar biasa banyak. Pada 3 Maret 1910, ia setuju dengan perjanjian yang dilakukan delegasinya di Paris namun dengan bayaran yang sangat mahal. Dia mendapatkan banyak uang dari perjanjian tersebut untuk melunasi hutang-hutang Maroko namun ditukar dengan kendali atas negaranya. Sehingga, ia sudah tidak punya kendali apa-apa di Maroko. Prancis kemudian mengumumkan kekuasaannya di Maroko, dari Chaouia, Casablanca dan wilayah Oujda. Pemerintahan lokal di wilayah-wilayah tersebut
23
dibentuk ulang dan mereka juga merekrut orang-orang Maroko yang potensial masuk ke dalam lingkaran pendudukan Prancis sebagai tentara kolonial. Prancis juga mengambil kontrol penuh atas pendapatan, pajak dan juga monopoli perdagangan di wilayah-wilayah tersebut. Terlepas daripada itu, Makhzen, sebagai kelompok yang cukup berkuasa juga tidak punya kebebasan ekonomi lagi. Musim panas tahun 1910, Prancis benar-benar mendominasi mereka. Orang-orang penting mereka yang juga sebagai anggota dari Keluarga El-Mokri; Mohammed ben Abdessalem El Mokri, yang juga menjabat sebagai menteri Ekonomi yang sebelumnya bernegosiasi di Paris terkait pinjaman dana, menjadi perdana menteri, dan ketiga anaknya menduduki posisi menteri Ekonomi, Pasha di Tangier dan Pasha di Fez. Sedangkan yang tidak pro dengan Prancis maka akan ditendang dari kekuasaannya. Meskipun Prancis belum mengendalikan kelompok Makhzen tetapi Makhzen juga tidak punya kuasa lagi atas Maroko. Setelah pemberontakan di Middle Atlas pada Januari 1911, Mawlay Zein, saudara lainnya dari sultan, memproklamirkan dirinya di Meknes pada bulan April. Oleh karena itu di penghujung bulan Mei, enam ribu pemberontak telah mengepung Fez. Pemerintah Prancis telah memutuskan untuk ikut campur tangan dalam perselisihan tersebut. Mengklaim bahwa the Act of Algeciras memperbolehkan mereka untuk mengintervensi
untuk
memulihkan
kestabilan,
mereka
memanfaatkan
pemberontakan sebagai dalih untuk menguasai Fez pada tanggal 21 Mei. Sebagai respon dari tindakan Prancis tersebut, Spanyol memutuskan untuk melindungi apa
24
yang dikatakan sebagai ― wilayah kanan‖ di Maroko, dan menguasai Larache dan Ksar el-Kebir (Alcazarkebir). Tindakan-tindakan tersebut nampaknya disetujui begitu saja oleh Pemerintahan kolonial Inggris. Dan protes satu-satunya hanya datang dari Berlin. Pada 1 Juli kapal penjelajah bersenjata milik Jerman, the Panther, telah dikirim ke Agadir, dengan tujuan melindungi kepentingannya di selatan Maroko. Singkatnya, Insiden Agadir tersebut sebetulnya telah mengantarkan negara-negara Eropa tersebut ke pinggir jurang peperangan. Namun, dengan bantuan Inggris, permasalahan dapat diselesaikan dengan apik dan damai. Dengan sebuah keputusan bersama yang disetujui seperti berikut; yaitu Jerman boleh mendapatkan teritori kolonial di Sungai Kongo sebagai gantinya tidak akan mengganggu gugat Prancis di Maroko sekaligus membiarkan Prancis bergerak dengan leluasa di Maroko. Pintu sekarang sudah terbuka lebar bagi Prancis untuk mendirikan protektorasinya di Maroko. Tentara Prancis juga sudah menduduki seluruh negeri Maroko – kecuali bagian yang dikuasai Spanyol. Mereka juga memaksa Si Madani El Glaoui turun dari jabatan wazir yang ia pegang dan adiknya Si Thami sebagai Pasha Marrakesh, karena mereka termasuk orang-orang yang sejatinya tidak pro-Prancis. Namun sebagai ganjarannya, mereka mendapat perlindungan Prancis.34 Sebagai daerah pedalaman yang secara cepat dan tidak disengaja menjadi kendali Prancis, Perdana Menteri Prancis di Tangier, Henri Regnault, melakukan
34
Burke, Prelude to Protectorate in Morocco, h. 71.
25
perjalanan ke Fez dengan segala jenis kebutuhan untuk pesta besar-besaran dan teks perjanjian yang ia serahkan ke Mawlay Abdelhafid untuk ditandatangani pada 12 May 1912.35 The Treaty of Fez menjamin wewenang keagamaan yang dimiliki oleh sultan dan kedaulatan sekulernya, tetapi memberikan segala kekuatan eksekutif di tangan Prancis. Dan dengan ini dimulailah masa Protektorat Prancis. C. Sultan dan Ulama sebelum Protektorat Prancis Mohammed Lahhabi, mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Gouvernement Marocain à l’Aube du Vingtième Siècle yang isinya menerangkan sistem politik yang ada di Maroko. Baik sebelum maupun sesudah kedatangan Prancis. Ia berpendapat bahwa Prancis, telah menghancurkan dasar azas politik di Maroko yang kondisinya sebetulnya sudah mapan. Protektorat Prancis mengubah kedaulatan yang tadinya berada pada tangan rakyat menjadi sebaliknya. Dimana kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah, atau dengan kata lain bersifat monarki absolut.36 Kemudian, berangkat dari kasus-kasus sejarah, Lahhabi berpendapat bahwa dulu masyarakat madani telah terbangun dengan baik di Maroko sebelum kedatangan Prancis. Yang mana terdapat hubungan yang positif antara Sultan, Ulama serta Masyarakat Maroko, dan hal tersebut tidak dapat dilupakan dalam sejarah panjang Maroko. Ia mencontohkan misalnya kasus sultan yang dapat dilengserkan, yaitu sultan Abd‘ al-Aziz, pada tahun 1908. Dari hal tersebut terlihat bahwa contoh tersebut telah menjadi bukti mengenai ruang kebebasan 35
Ibid. Gellner dikutip dari C.R. Pennell: ‗Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought‘ dalam Morocco: Occasional Papers, No. 1, 1994, h. 13 36
26
untuk ideologi masyarakat. Selain itu, konsep mengenai pemimpin tirani yang harus digantikan juga berdiri begitu kokoh pada masa pra-kolonial Maroko seperti yang dikatakan oleh Pennell: If the Sultan rules justly, preserves order and the safety of the roads, keepshis officers under control so that they do not ‘tyrannise’ the people, raisestaxes in a fair way in accordance with the shari’a, and protects the countryagainst attack by outside forces, particularly the Christians, then they have aduty to obey him. If he does not, and fails so manifestly that justice andorder are replaced by tyranny, then he can be removed from office. Indeed,on occasion it was argued that it was not only the right of the people – ledby the ‘ulema– to remove him, but their duty to do so.37 Selain itu, terdapat contoh lainnya yang masih terkait dengan kasus kuatnya masyarakat madani pada masa pra-kolonial. Yaitu, pembalikan bai‘at sultan Abd al-‗Aziz yang dilakukan oleh el-Kattani di tahun 1908. Padahal hal tersebut benar-benar sudah melampaui kehendak sultan atau ulama, namun elKattani.38 menjadikan hal tersebut menjadi mungkin. Dia merupakan contoh figur sejarah yang berhasil mematahkan istilah populis kewenangan mutlak ‗tangan tuhan di muka bumi‘. Selain itu, dia juga salah satu tokoh utama yang mencoba memberikan makna bai‘at sebagai sesuatu yang sifatnya sementara waktu. Dimana secara tersirat hal tersebut sama saja mendobrak kepatuhan tradisi dan praktik yang sudah cukup lama diterapkan oleh Maroko.
37
Pennel: ‗Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought‘, h. 22. ‗abd al-Hayyal-Kattani atau El Kattani (1873-1909) merupakan seorang akademisi sekaligus sufi yang dimuliakan oleh masyarakat. Sosoknya semakin terkenal ketika ia dengan lantang menyuarakan ketidaksukaannya atas lemahnya sang sultan yang mau bernegosiasi dengan kolonial Prancis pada tahun 1904-1909. Meskipun dikatakan sebagai seorang sufi, dia juga tidak bisa dikatakan sebagai tipikal representatif ulama. Hukuman pertama kali dijatuhkan kepadanya oleh ulama, yaitu eksekusi mati pada tahun 1896-1887 dengan tuduhan bid‘ah walaupun alasan sebetulnya karena perjuangannya yang kokoh melawan sultan yang tidak pro-rakyat.Lebih jauh lihat, Thomas K. Park dan Aomar Bourn, Historical Dictionary of Morocco. Second Edition (Lanham: The Scarecrow Press, 2005), h. 136-138. 38
27
Karena hal tersebut, pada tahun-tahun menjelang pendudukan Prancis sebagai sebuah negara Protektorat di Maroko, El Kattani dijadikan buronan negara atas perintah Abd al-‗Aziz, karena dinilai telah melemahkan posisinya di mata masyarakat sebagai sultan, selaku pemimpin tertinggi di Maroko saat itu. Faktor lainnya karena el-Kattani dinilai sebagai orang yang berbahaya karena punya kemampuan menggerakkan massa dengan mudah. Terkait peristiwa sejarah yang mengakibatkan dilengserkannya Abd al‗Aziz, sebetulnya punya hubungan yang relatif harmonis dengan ambisi kolonial Prancis. Karena hal tersebut dijadikan celah oleh Prancis untuk memaksa Abd al‗Aziz untuk menandatangani Perjanjian Algeciras pada tahun 1906 dengan dalih Prancis akan memberikan dukungan kekuatan secara politik kepada Abd al-‗Aziz. Setelah menguasai Casablanca dan Oujda yang diikuti penandatanganan Perjanjian Algeciras, el-Kattani menjadi satu-satunya yang menentang usahausaha sultan karena upaya sultan yang ingin melakukan putusan atas kehadiran Prancis di Maroko. Namun demikian, adik dari sang sultan, Hafidh, yang mengumpulkan massa di Marrakesh, jauh dari Fez, pada 16 Agustus 1907 ternyata punya rencana yang senada dengan el-Kattani. Dia meminta massa tersebut untuk memilih sultan lain yang mampu menentang para penjajah. Dalam hal ini, dia meminta orang-orang yang dikumpulkannya tersebut untuk mengangkat dirinya sendiri dan terjadilah bai‘at baru, yang secara terang-terangan menentang posisi kakaknya sendiri, Abd al-‗Aziz. Ulama Marakesh pun dipaksa untuk menandatangani hal tersebut untuk melegalkan kekuasaan Abdel Hafidh.39
39
Ibid.,h. 67.
28
Bila dicermati lebih jauh, sebetulnya, bila Abd al-‗Aziz bisa memposisikan dirinya sebagai kontra dari kolonial Prancis, tentu saja apa yang disebut sebagai ketidak patuhan sipil tidak akan terjadi. Menanggapi hal tersebut, sang Sultan mengumpulkan kelompok ulama Fassi di istananya di Rabat dan memaksa mereka untuk mengeluarkan fatwa agar membatalkan bai‘at Marakesh, menyatakan bahwa mereka tidak punya alasan apapun untuk mengambil sumpah kesetiaan. Pada januari 1908, kejadian serupa juga terjadi di tempat lain,
yang mana para ulama Fassi dipaksa oleh
segerombolan orang-orang yang marah di Fez. Gerombolan tersebut terdiri dari petani, masyarakat miskin dan tukang kayu. Penggambaran Munson paling tidak dapat memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai peristiwa di Fez tersebut: On 15 December 1907, peasants swarmed into Fez refusing to pay a markettax imposed by Moulay ‘Abd al-‘Aziz. Joined by the city’s poor, the peasants broke open thestrongboxes where the tax revenues were kept andattacked a number of shops, theFrench post office, and the office of the government’s tobacco monopoly. The crowds also tried to pillage theJewish quarter, but its gates were shut before they could. After two days ofthis rioting, merchants succeeded in restoring order by means of a makeshiftmilitia composed largely of porters and slaves. The sultan’s army wasabsent, having left Fez in September when Mulay ‘Abd al-‘Aziz haddecided he would be safer in Rabat, near French troops and ships.40 Pada Januari 1908, perkumpulan sebanyak 20.000 orang yang ingin melakukan protes mengawal beberapa ulama-ulama berpengaruh di Fez ke universitas Qarawiyyin. Mereka menuntut menandatangani petisi yang akan mendeklarasikan Abd al-‗Aziz sebagai bukan lagi penguasa resmi dan mengalihkan baiat ke Mawlây Abdel Hafidh, adiknya sendiri. Hal tersebut dilakukan atas dasar sikap tunduknya Abd al-‗Aziz terhadap Prancis dan gagal 40
Ibid.,h. 69–70.
29
untuk menerapkan hukum Islam di Maroko. Dalam 30 menit, bai‘at yang baru telah dibuat garis besarnya dan ditandatangani. Kesetiaan yang baru terhadap Abdel Hafidh berarti menjadi tugas besar baginya yang secara tidak langsung telah menjadi tempat untuk masyarakat bergantung atas kepedihan-kepedihan yang telah diberikan oleh Prancis di Maroko. Banyak tuntutan masyarakat yang harus dilaksanakan, seperti pembebasan teritori-teritori yang dikuasai oleh Prancis, dengan menghilangkan segala campur tangan orang-orang Eropa dalam permasalahan Maroko, dan menghilangkan pajak-pajak non-quran41. dan perlindungan terhadap hak istimewa ulama tradisional. Walaupun Abdel Hafidh merupakan orang yang diuntungkan dari bai‘at baru tersebut, ia menjadi sangat marah ketika mendengar tentang kondisi-kondisi yang mengganggunya. Menurutnya, kondisi-kondisi terikat tersebut melemahkan kekuatannya dan menjadi hambatan bagi kemampuannya untuk memerintah. Ketakutan ulama dengan cepat mengingkari kondisi-kondisi kontraktual tersebut dan menyalahkan kejadian tersebut ke El Kattani, meminta dengan tegas bahwa mereka telah dipaksa untuk menerima hal tersebut. Dengan ketidakmampuan sultan baru untuk membendung pasukan Prancis, membuat tegang hubungan antara El Kattani, orang paling berkuasa di Fez dengan Sultan menjadi lebih buruk. Pada musim semi 1909, el-Kattani pergi meninggalkan kota Fez menuju Middle Atlas untuk memulai pemberontakan dan perang suci melawan Prancis.
41
Pajak non-Qur‘an adalah pajak-pajak yang tidak ada landasan hukumnya dalam al-
Qur‘an.
30
Sesudah itu ditangkap oleh pasukan-pasukan sultan, dibawa menuju Fez, dicambuk hingga mati dan dikubur pada tengah malam. 42 Dua contoh sejarah di atas menggambarkan batasan-batasan dalam perbedaan yang berhubungan dengan agama dan perannya yang dimainkan ulama dalam menciptakan kebebasan publik. Perannya baik semata-mata untuk kesatuan ataupun semata-mata untuk bersebrangan pendapat dalam kenegaraan. Hal tersebut juga menyajikan perlindungan baik untuk individual maupun hak-hak kelompok dari campur tangan pemerintahan yang monarki. Berangkat dari kasus bai‘at 1908, dasar bai‘at yang sifatnya sementara menjadi jauh dari standar yang seharusnya. Dan kemudian munculnya gerombolan massa mengamuk yang memaksa ulama untuk menandatangani bai‘at baru dan hal tersebut terlihat bahwa ulama tidak sepenuhnya independen. El Kattani, seperti yang disebutkan di atas, tidak mau mengikuti ulama-ulama pada umumnya dan akhirnya menjadi sufi, ia bahkan menghormati penghinaan yang bersifat agama yang dilakukan oleh kaum ortodoks. Sebagai ganjaran keputusannya: It is true that the weakened state of the Sultanate in 1907–8 enabled the Moroccan ‘ulema to play a more conspicuous political role than they usually did. Still, even in these years, most scholars remained pawns manipulated by those who held real power, be it the reigning sultan, . . . or el-Kattani when he was able to mobilize huge crowds of artisans, shopkeepers, and peasants. In this period, as in previous centuries, no one denied that approval by the ‘ulema was a prerequisite of legitimate rule. But nor did those with power have any difficulty in forcing the ‘ulema to legitimate whatever it was they wanted legitimated. 43
42 43
Ibid. Ibid.,h. 75.
31
Tozy bahkan mengekspresikan dengan kata-kata yang kurang lebih sama: What is sure is that despite the real weight that the ‘ulema represented, their power remained limited and one should not exaggerate their importance’.44 Perkembangan-perkembangan di masa pra-kolonial ini seharusnya paling tidak mengindikasikan satu hal penting dalam struktur ruang publik pada hubungan negara-masyarakat di awal abad kedua puluh. Hal tersebut adalah satu hal penting dari agama yang ideal dalam menantang kekuasaan si penguasa, yang melekat ke dalam mode-mode kekuasaan agar mengetahui sejarah Maroko, jauhjauh hari sebelum disusupi oleh kebudayaan-kebudayaan dari bangsa lain.45 Sejarah dan tradisi-tradisi budaya telah menempatkan agama dan ulama di dalam jantung hubungan sosial mengikat antara negara dan masyarakat, agar melewati prosesb bertujuan memastikan kedudukan ruang kebebasan publik, Hubungan yang kontraktual antara penguasa dan yang dikuasa, bagaimanapun diartikulasikan sebagai bentuk terbaik dari kepatuhan.
44
Mohamed Tozy,Champs et contre-champs politico-religieux au Maroc (Disertasi Gelar Doktor dalam Ilmu Politik, Université de Droit, d‘Economie et des Sciences d‘AixMarseille, 1984), h. 34. 45 James N. Sater, Civil Society and Political Change in Morocco (London: Routledge, 2007), h. 33.
32
BAB III KEBANGKITAN NASIONALISME MAROKO Pandangan umum mengenai perkembangan pergerakan nasionalis Maroko menekankan bahwa terdapat peran penting Perang Dunia Kedua dalam transisi gerakan-gerakan
pemikiran
yang
berbasis
kemerdekaan
dan
berusaha
mempengaruhi otoritas Prancis untuk merancang ulang kebijakan-kebijakan mereka di Maroko yang sama sekali sarat dengan kepalsuan akan kemerdekaan semu yang diberikan oleh Prancis.
A. Pemantik Resistensi Kolonial Bibit Nasionalisme, menurut beberapa sarjana, dimulai pada November 1925.46 Diawali dari studi grup mahasiswa yang bersama-sama mencari format baru mengenai hubungan Maroko dengan Protektorat Prancis. Dari studi grup tersebut, nantinya ide nasionalisme akan menyebar ke seluruh penjuru Maroko. Lalu, studi grup yang notabene terdiri dari mahasiswa Universitas Qaramiyyin ini, pada dasarnya terinspirasi oleh pergerakan Salafi dalam melawan praktik politik kolonial.47 Selain itu, anggota studi grup tersebut pada umumnya berasal dari golongan borjuis kota tradisional, Fez. Dalam sejarahnya, mereka merupakan
46
John P. Halstead,Rebirth of a Nation: The Origins of and Rise of Moroccan Nationalism,1912-1944(Harvard: Harvard University Press, 1967),h. 66;Jamil M. Abun-Nasr,A Historyof the Maghrib. 2nd edition (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), h. 368. 47 Secara tidak langsung, pergerakan Salafi mempunyai andil yang besar dalam kemerdekaan Maroko. Ide-ide salafi tentang memodernisasikan Islam untuk dunia yang sedang dikuasai oleh orang-orang Eropa menjadi faktor yang menjadi utama yang mendorong terjadinya banyak perubahan di dunia Islam Timur Tengah. Dengan kata lain, salafi adalah kontra dari kolonialisme pada saat itu.
33
kelompok yang berada di garda depan dalam mendesak reformasi Makhzen untuk mencegah okupasi yang akan dilakukan oleh orang-orang Eropa ditahun 1912.48 Pengaruh dari luar jelas menjadi – dalam hal ini Timur Tengah –faktor utama yang mempengaruhi kebangkitan nasional di Maroko. Misalnya seperti Kemalist Turki yang pengaruhnya dan Pergerakan Salafi yang disuarakan oleh"tiga serangkai pembaharu‖,Jamâl al-Dîn al-Afghânî, Muhammad ‗Abduh danMuhammad Rasyîd Ridâ.49 Tuntutan pertama golongan nasionalis mulai timbul ketika gerakan masyarakat mulai terbentuk ditahun 1930, dimana Protektorat Prancis di Afrika Utara terlihat begitu kuat kekuasannya. Pada tahun tersebut, pemerintahan Prancis mengharuskan Sultan untuk menerbitkan dahir untuk menempatkan suku berber di bawah hukum adat bukannya hukum Islam.50 Meskipun hal tersebut tidak lebih dari hasil undang-undang dari keputusan eksekutif yang dibuat lebih dari 10 tahun sebelumnya, golongan nasionalis –dengan visi salafinya tentang nilai-nilai sosial Islam dan penyatuan syariah Islam dalam hukum Maroko–tidak setuju dengan dekrit tersebut. Karena, secara politis dekrit tersebut jelas menjadi alat bagi Protektorat Prancis sebagai media pemecah belah, penghancur integritas serta kedaulatan Maroko. Berangkat dari hal tersebut, kalangan nasionalis melakukan protes besaran-besaran, menggunakan Latif, sebuah doa tradisional yang dilakukan pada waktu genting.
ʻAbd Allah ʻArawi, Les Origines Sociales et Culturelles du Nationalisme Marocain, 1830-1912 (Paris: F. Maspero, 1977), h. 62. 49 Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (Cambridge: Cambridge University Press,1983), h. 371-372. 50 Ibid. 48
34
Lebih jauh lagi, isu yang kemudian dikenal sebagai Dahir Berber tersebut menjadi hal yang kontroversial di Maroko. Hal itu dapat terjadi karena Prancis mempunyai persepsi bahwa Masyarakat Berber dengan Masyarakat Arab harus dipisah. Berber di pedesaan dan Arab di perkotaan.Orang-orang Berber tersebut, diasingkan di gunung, dan kemudian wilayah-wilayah tersebut disebut sebagai Bled as-Siba atau ―land of dissidence‖. Sedangkan bagi Arab yang dipaksa menetap di kota, wiyalah-wilayahnya disebut sebagai Bled al-Makhzen atau ―Land of Government‖.51 Pemerintahan Prancis benar-benar mengangkat isu perbedaan tersebut ke ranah yang sifatnya sangat politis. Karena hal tersebut, gap sosial yang terjadi antara Orang Berber dengan Orang Arab menjadi semakin dalam. Selain itu, karena dibiasakan tinggal di kota, maka kemampuan fisik orang Arab jauh lebih lemah disanding orang Berber yang tinggal di pegunungan. Dampaknya, sultan lebih senang mempekerjakan orang-orang Berber ketimbang orang-orang Arab untuk dijadikan sebagai tentaranya.52 Karena Dahir tersebut, kalangan nasionalis semakin geram dengan Prancis. Kalangan nasionalis yang notabene memiliki ide perjuangan pergerakan salafi, semakin berani tampil di ruang publik untuk menyerang kebijakankebijakan Prancis yang dinilai merugikan Maroko. Ditambah, dukungandukungan dari gerakan salafi di luar Maroko semakin memberikan mereka
51
Halstead, Rebirth of Nation, h. 68. Edmund Burke, 'The Image of the Moroccan State in French Ethnographical Literature: a new look at the origins of Lyautey's Berber policy', dalamErnest Gellner danCharles Micaud, Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa (London: Duckworth, 1973), h. 78. 52
35
keberanian. Bahkan, para pendukung ataupun simpatisan terhadap golongan nasionalis semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Meluasnya dukungan-dukungan yang didapat kalangan nasionalis dalam rangkaian panjang kampanye Dahir Berber menjadi alasan kuat mereka untuk semakin berani dan di tahun 1934 memaksa untuk mencabut perjanjian. 53 Kampanye Dahir Berber hanyalah awal dari tujuan besar kalangan nasionalis agar Prancis sikapnya di Maroko tidak semena-mena dan membawa kerjasama yang sebenarnya antara orang Eropa dan orang Afrika Utara. Pada akhir tahun 1937 pergerakan nasionalis ditindas dan pemimpinpemimpinnya ditangkap, dipenjarakan atau bahkan dibuang dan diasingkan. Prancis mengira dengan menangkap para pembesar golongan nasionalis maka ancaman terhadap protektorat telah selesai. Padahal, secara diam-diam kalangan nasionalis membentuk kelompok studi yang selalu berubah-ubah namanya sehingga keberadaan mereka sulit dilacak. 54 Upaya ini terus dilakukan hingga para pembesar kalangan nasionalis dibebaskan oleh Prancis dari masa pembuangan mereka. Dari tahun 1934 kedepannya, kesadaran politik dan ekonomi masyarakat mulai terbangun di kota-kota kecil seperti Ouezzane yang terletak di kawasan Jbala, wilayah yang berada di tengah batas ujung zona Spanyol dan zona Prancis. Protes-protes pun mulai bermunculan secara acak di wilayah tersebut. Tidak hanya protes-protes yang dilakukan oleh para pedagang memperjuangkan nasib mereka dalam perekonomian masa Protektorat Prancis tapi juga suku-suku lokal 53
K. Brown, 'The Impact of the Dahir Berbere in Sale', dalam Ernest Gellner and Charles Micaud, Arabs and Berbers (London: Duckworth, 1973), h. 201. 54 Situation politique et economique', 7-13 August 1937, MAE, h. 490.
36
mulai belajar tentang peristiwa-peristiwa di Fez lewat ‗les notables‘ dan sebagian dari pelajar yang melakukan kontak baik langsung ataupun tidak langsung dengan Fez dan kota-kota lainnya. Dalam hal ini, pedagang kecil pun juga memainkan peran penting. Mereka, yang sering melakukan perjalanan dagang dari wilayah pedesaan ke kota-kota besar seperti Fez, Casablanca, Kenitra dan Tetuan, sekembalinya menyebarkan berita-berita tentang peristiwa-peristiwa di kota besar tersebut dan perlahan-lahan membangun simpati nasionalis di douars. 55 kota-kota kecil lainnya letaknya tidak lebih strategis dari Ouezzane, yang memiliki akses yang mudah ke kota-kota besar juga terpengaruh ide-ide mengenai nasionalisme. Seperti, Boujad,56 Sefrou,57 Azrou and Midelt.58 B. Perang Dunia II dan Penguatan Nasionalisme Depresi luar biasa di kota-kota ternyata mempunyai dampak signifikan terhadap pertumbuhan pemikiran dan rasa nasionalisme. Pendatang baru, dipaksa keluar dari pedesaan dan datang ke kota mencari pekerjaan dengan kesempatan nyaris nihil. Sebelum Perang Dunia Dua pengembangan industri-industri di Maroko tidak dapat menampung permintaan pekerjaan yang melebihi kapasitas.59 Kerajinan tradisional dan manufaktur lokal pun semakin kesulitan bersaing melawan barang-barang asing murah-meriah di negara pasca keluaranya UndangUndang Algeciras, 1906; Depresi tersebut merupakan pukulan telak bagi orang55
Ibid Dale F. Eickelman, Moroccan Islam: Tradition and Society in a Pilgrimage Center (Austin: Texas University Press, 1976)h. 229. 57 C. Geertz,H. Geertz dan L. Rosen, Meaning and Order in Moroccan Society (Cambridge, 1979), h. 15. 58 Robin L.Bidwell, Morocco under Colonial Rule: French Administration of Tribal Areas, 1912-1956 (London, I973), h. 57 59 Charles F. Stewart, Economy of Morocco, 1912-1965 (Cambridge: Harvard University Press, 1964),h. 16-17. 56
37
orang Maroko.60 Dalam kondisi ekonomi yang begitu memprihatinkan seperti ini, tidak mengherankan apabila kebencian orang-orang Maroko semakin mencapai titik ledak yang pada ujungnya menjadi pendukung bagi golongan nasionalis. Kesulitan yang sama pun dialami oleh orang-orang Maroko yang tinggal di pedesaan. Dalam kurun waktu 1930-1933, pendapatan mereka menurun hingga 60 persen. Dalam hal ini, faktor Ekonomi merupakan faktor utama yang membentuk pergerakan-pergerakan perlawanan pemerintahan kolonial ketimbang tekanan-tekanan
politis
yang
mereka
alami.
Sehingga,
pada
akhirnya
kemerdekaan adalah satu-satunya solusi untuk keluar dari masa paceklik ini, baik bagi penduduk desa maupun kota. Ketika deklarasi Perang Dunia Kedua diumumkan di Maroko oleh pemerintah Prancis, Sultan menawarkan dukungan penuh untuk membantu Prancis dalam perang tersebut.61 Pada titik ini, kalangan nasionalis juga mengendurkan kampanye mereka melawan sistem Kolonial yang diterapkan oleh Prancis karena asumsinya mereka lebih baik mengumpulkan kekuatan sembari menunggu kedatangan kembali pemimpin-pemimpin mereka yang ditahan oleh Prancis. Dukungan sultan terhadap Prancis juga tidak serta-merta ditolak oleh orang-orang Maroko. Alasannya, akan lebih baik bila mendukung Prancis, karena bila Prancis kalah, maka Jerman akan mengambil alih Maroko. Hal tersebut sudah terlihat ketika Jerman mengunjungi Tangier di tahun 1905 dan insiden Agadir di
60 61
Ibid., h. 17. Julien, Le Maroc, h.188.
38
tahun 1911.62 dan juga bantuan-bantuan yang diberikan oleh Jerman kepada masyarakat Maroko ketika melawan Prancis.63 Lebih jauh lagi, propaganda Nazi juga terus digelontorkan oleh orangorang Jerman yang ada di Prancis. Propaganda ini berawal dari tahun 1937, melalui petugas Jerman di sebuah sekolah militer di Chaouen, salah satu kawasan di zona Spanyol dan dibantu dengan kelompok fasisme lainnya, Italia.64 Dari situ terlihat bahwa ambisi Jerman untuk mengusir Prancis dari Maroko begitu besar. Namun, alasan dibalik semua bantuan dan campur tangan Jerman di Maroko adalah ideologi anti-semit. Jerman ingin menghabisi orang-orang Yahudi di Maroko. Akan tetapi, Prancis menjadi tembok penghalang yang besar bagi Jerman untuk mewujudkan hal tersebut. Apalagi Prancis juga menolak pemikiran anti-semit yang digembar-gemborkan oleh Jerman. Maka dari itu, Jerman mengambil simpati kalangan nasionalis agar bisa mencapai tujuannya. 65 Pun demikian, kalangan nasionalis Maroko melihat tabiat Jerman yang nyatanya tidak akan menguntungkan juga bagi mereka terutama bagi kalangan nasionalis Maroko yang berada di zona Spanyol. Karena negara-negara poros seperti Jerman dan Italia yang berideologi Fasisme tidak lebih baik dari Prancis ataupun Spanyol.66
62
Jamil M. Abun-Nasr, History of the Maghrib (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), h.300-302 dan Frederick V. Parsons, The Origins of the Morocco Question, 1800-1900 (London: Duckworth,1976), h. 516. 63 SHAT, Maroc E12 bis.Dokumen ini mendeskripsikan secara detail mengenai agen-agen dan mata-mata Jerman di Selatan Maroko. 64 Bulletins mensuels du Protectorat', January 1936, March 1937, (AGGA), h. 27. 65 Halstead, Rebirth of a Nation, h. 260. 66 Ibid.
39
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari campur tangan Jerman di Maroko, sedikit banyak mereka telah membantu perjuangan kalangan nasionalis melawan protektorasi yang diterapkan oleh Prancis dan Spanyol. 67 Bahkan bantuan berupa pasukan bersenjata pun pernah didatangkan Jerman ke Casablanca yang mana pada saat itu sedang terjadi bentrokan antara kalangan nasionalis dengan Protektorat Prancis. Kekalahan Prancis pada Perang Dunia Kedua oleh Jerman jelas menjadi pengaruh besar bagi perkembangan perjuangan kalangan nasionalis. Pasalnya, hal tersebut berdampak pada psikologi orang-orang Maroko yang semakin percaya diri. Hal tersebut membuktikan bahwa Prancis tidak sesuperior yang diperkirakan hingga dapat dikalahkan oleh Jerman pada tahun 1940. Terlepas dari itu, hal tersebut nyatanya selaras dengan kasus Indonesia. Kekalahan Belanda oleh Jepang, dan kekalahan Jepang oleh sekutu memengaruhi kejiwaan para pahlawan dan bapak pendiri bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan adalah hal yang realistis pada waktu itu. Rentetan peristiwa di atas hanya faktor pendukung namun kunci utama agar kemerdekaan dapat terwujud tetap berada di tangan sultan. Karena, bagaimanapun sultan adalah pemegang kekuasaan tertinggi bagi komunitas muslim Maroko. Posisinya mewakili mayoritas penduduk Maroko yang bercorakkan muslim.68 Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada BAB II, posisi sultan sudah dilemahkan oleh orang-orang Eropa. Namun disatu sisi, Prancis tidak ingin ‗main kasar‘ dengan menggulingkan sultan, karena cara tersebut justru akan merugikan 67
Leon Borden Blair, Western Window in the Arab World (Austin: University of Texas Press, 1970), h. 65-66. 68 Lahbabi, LeGouvernement Marocain a l’aube du XXe Siècle,h. 23.
40
Prancis. Sultan masih dibutuhkan untuk melanggengkan kekuasaan Prancis di Maroko, sebab bagaimanapun sultan Mohammed V merupakan tokoh populer di Maroko pada saat itu. Di sisi lainnya, kalangan nasionalis membutuhkan sosok sultan untuk mengisi kekosongan jabatan kala Prancis berhasil ditaklukkan, agar Maroko tidak runtuh sebagai sebuah negara. Apalagi sepanjang sejarahnya Maroko adalah negara adidaya di daratan Maghrib. Artinya, kalangan nasionalis sangat tergantung kepada dukungan sultan agar upaya-upaya yang mereka lancarkan dapat berjalan sesuai rencana. Bak gayung bersambut, nyatanya Mohammed V juga simpati dengan perjuangan yang dilakukan kalangan nasionalis. Setidaknya sultan sudah simpati sejak tahun 1934. Maka dari itu, kalangan nasionalis sangat berhati-hati agar tuntutannya terhadap Protektorat Prancis tidak mengusik kekuasaan sultan. Pertemuan dengan Roosevelt juga membuktikan bahwa dia siap untuk menjalankan tugas-tugas diplomasi negara dengan kapasitasnya sebagai kepala negara Maroko. Hubungan komunikasi yang dilakukan kalangan nasionalis dengan pihak kesultanan terus dijalin dengan baik. Lewat Putra Mahkota, Mohammed el-Fassi, mereka terus melakukan konsolidasi secara sembunyi-sembunyi.69 Alasannya untuk menghindari kecurigaan Prancis di bawah kepemimpinan baru, De Gaulle. Sama seperti pemerintahan Prancis sebelumnya, Gaulle juga tidak punya sikap politik yang jelas terkait hak-hak yang dituntut oleh orang-orang Maroko. Pada tahun 1943, para pemimpin nasionalis masih dalam tahanan dan pengasingan. Hal ini memaksa kalangan nasionalis untuk segera merubah bentuk
69
Ibid.,h. 67.
41
perjuangannya yang mana pada awalnya hanya memaksa Prancis untuk merubah total beberapa hal terkait hubungan antara Maroko dengan Prancis kemudian beralih menjadi menuntut kemerdekaan. Permintaan itu tertuang dalam sebuah pernyataan yang dibuat oleh Ahmed Balafrej, Abdallah Ibrahim, Mohammed Lyazidi dan Umar Abdeljalil, yang ditujukan tidak hanya untuk Gubernur Jenderal, namun dinaikkan ke dalam forum internasional, agar Prancis mendapat tekanan dunia internasional.70 Pada tanggal 11 Januari 1944 Partai Istiqlal (Hizb al-Istiqlal, selanjutnya Istiqlal) didirikan sekaligus penyampaian pernyataan kemerdekaan kepada Gubernur Jenderal yang baru, Gabriel Puaux. Setelah disampaikan, Prancis akan mempertimbangkan mengenai reformasi hubungan antara Maroko dengan Prancis namun tidak untuk pemberian kemerdekaan kepada Maroko. Pada tanggal 13 Januari 1944, dalam Konferensi Brazzaville, gelagat Prancis jelas terlihat tidak akan mempertimbangkan apapun atas apa yang telah dituntut oleh kalangan nasionalis. Pada tanggal 29 Januari, justru orang-orang Istiqlal dijadikan tahanan politik. Selain itu, sultan dianggap sebagai pembangkang oleh De Gaulle karena simpati terhadap pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kalangan nasionalis. Hubungan komunikasi diam-diam yang dibangun selama ini nampaknya ketahuan oleh pihak Prancis. Pada tahun 1947, sultan mulai terang-terangan mendukung perjuangan kalangan nasionalis. Hal ini diperlihatkannya ketika melakukan kunjungan ke Tangier, sebuah lokasi yang dijadikan tempat netral, zona internasional. Mu ammad ibn Mu ammad al- ʻAlami, Mohammed V: Histoire de l ind pendance du Maroc (Sale: Maroc, 1981), h. 71. 70
42
Untuk saat ini tampaknya bahwa meskipun pembentukan hubungan antara nasionalis dan Sultan, dan meskipun adopsi kemerdekaan sebagai tujuan nasionalis, deklarasi Istiqlal telah melakukan sedikit untuk memajukan penyebab nasionalis. Meskipun sudah mendapatkan dukungan penuh dari sultan secara terbuka, kalangan nasionalis masih kekurangan dukungan, utamanya dukungan yang berasal dari wilayah pedesaan. Kondisi ekonomi yang buruk menjadi penyebab itu semua. Terang saja, pasca pecahnya bentrokan di tahun 1937 wilayah pedesaandi Maroko hampir tidak pernah pulih dari gagal panen.71 Dalam sebuah buletin yang berjudul d'ANIMAUX, tercatat bahwa kontrol militer Perancis menjadi masalah yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Meskipun beberapa kompensasi dibayar, namun pemberiannya jauh di bawah nilai pasar.72 Lebih jauh lagi, penjatahan memiliki efek merugikan yang drastis kedepannya, memberikan pihak berwenang bersikap dengan cara mengontrol dan mengurangi jatah konsumsi.73 Situasi buruk pada tahun 1942 tersebut misalnya dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: Imports from France had ceased, and the Moroccans were suffering distressedliving conditions. Local authorities were requisitioning grain, and flour was in short supply in an area that normally produced a surplus. Building, except for military purposes, was forbidden. Wood, cement, bricks and nails were unobtainable and cotton goods virtually so. Railroad services were reduced and the equipment was in bad condition. Electric service was curtailed. The cost of living was high and rising rapidly.74
71
Bidwell, Morocco under Colonial Rule, h. 185. ‗Bulletin Mensuel‘, March 1941, AGGA, 27H 6. 73 Bidwell, Morocco under Colonial Rule, h. 184-185. 74 Blair, Western Window, h. 49. 72
43
Kondisi ekstrim seperti itu tidak kondusif bagi perkembangan gerakan nasionalis yang ada di pedesaan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kemajuan yang diperoleh Istiqlal di kota-kota besar.75 Pada tahun 1945 para pejuang yang ada di pedesaan ditangkap. Di zona Spanyol, tahun 1942, lebih awal ketimbang pembentukan Istiqlal, berbagai golongan nasionalis telah bersatu menjadi satu gerakan, dan kemudian bergabung dengan kalangan nasionalis Prancis setelah beridirinya Istiqlal.76 Istiqlal dengan cepat menjadi mitra dialog dengan pemerintah protektorat, asalkan Gubernur Jenderal siap untuk bekerja sama, tentu saja jika tidak mau sang gubernur akan mendapatkan ancaman. Pada tahun 1946, Laoux digantikan oleh Erik Labonne. Sebagai langkah pertama, Labonne memerintahkan pembebasan para tahanan yang tersisa, termasuk Allal el-Fassi, kemudian memperkenalkan rencana reformasi hukum, pendidikan dan politik bersama-sama dengan program modernisasi pertanian.77 Sejak pembentukan dan tindakan penekanan yang cepat dari Istiqlal di tahun 1944, Mohammed V sangat berhati-hati menjadi pelindung yang memegang kunci akan keberhasilan pergerakan kalangan nasionalis kedepannya. Pada Maret 1945 ia disambut kerumunan antusias yang menyuarakan kemerdekaan di Marrakesh.78 Kembali kepada kunjungan pertama sang sultan ke Tangier, ia sebetulnya bermaksud untuk melakukan pidato yang isinya mengokohkan nasionalisme
75
Bidwell, Morocco underColonial Rule, h. 311-312. Brignon, Histoire du Maroc, h. 397-400 dan Julien, L’Afrique du Nord, h. 299-305. 77 Leveau, Fellah Marocain, h. 19-25. 78 Julien, L’Afrique du Nord, h. 302-303. 76
44
Maroko.79 Namun sebelum itu dapat dilakukan, kerusuhan terjadi lebih dulu di Casablanca, sebuah bencana kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Prancis. Paling tidak beberapa ratus orang telah menjadi korban mereka. Tidak cukup jelas cukup kenapa kerusuhan tersebut dapat terjadi. Yang paling mungkin adalah isu pengalihan agar sultan menghentikan perjalanan politiknya ke Tangier dan seolah memaksa sultan untuk segera pulang ke Fez. Kerusuhan tersebut bukan bagian dari demonstrasi terorganisir, tapi muncul dari insiden kecil yang meningkat dengan cepat dalam suasana kota besar yang cukup tegang.80 Pasca tragedi tersebut, Labonne diganti oleh General Juin. Pergantian gubernur jenderal tersebut menjadi angin segar bagi kalangan nasionalis Maroko. Pasalnya, Juin mau mengakui Sultan sebagai pemimpin Maroko yang independen sekaligus sultan boleh berbicara kembali di hadapan publik dengan mewakili bangsa Maroko. Sebuah kemajuan besar. Dengan begitu sultan lebih leluasa untuk melakukan perjalanan politisnya guna mengkonsolidasi orang-orang Maroko. Selain itu, berita positif lainnya adalah, pada tahun 1947 wilayah pedesaan telah pulih kembali dari perang dan kekeringan, dan siap untuk mendengarkan pidatopidato yang disuarakan oleh sultan. Dibantu dengan teknologi terbaru saat itu, radio, berita pidato sultan menyebar dengan cepat ke penjuru Maroko.81 C. Gerakan Anti-Kolonialisme Fase reformasi yang terjadi di Maroko ini pada dasarnya dimulai pada tahun 1930, ketika masyarakat mengkritisi habis-habisan Dahir Berber. 79
Abderrahim Ouardighi, LaGrande Crise Franco-Marocaine, 1952-1956 (Rabat: L'Imprimerie nouvelle, 1976), h. 14. 80 Julien, L’Afrique du Nord, h. 312. 81 Lihat, Julien, Le Maroc, h. 454 danStephen Bernard, The Franco-Moroccan conflict, 1943-1956 (New Haven: Yale University Press, 1968), h. 318-337.
45
Kemudian, tindakan tersebut mengakibatkan ditahannya para pemimpin dari kalangan nasionalis yang diikuti dengan siklus-siklus kekerasan pada musim panas dan musim gugur di tahun 1937. Antara tahun 1938 sampai tahun 1943, merupakan masa konsolidasi kekuatan kalangan nasionalis sambil menunggu para pemimpin kalangan nasionalis terbebas dari masa pengasingannya. Setelah berkumpul kembali, di tahun 1944, dibentuklah Partai Istiqlal (Hizb al-Istiqlal) dan penerbitan pernyataan Kemerdekaan. Tujuannya untuk menguatkan posisi Maroko di dunia internasional agar Prancis segera hengkang dari Maroko. Selain itu, hal tersebut juga bertujuan agar masyarakat internasional prihatin dengan perjuangan orang-orang Maroko. Istiqlal, sebagai wadah perjuangan masyarakat Maroko yang prokemerdekaan, terus memperjuangkan nilai-nilai kebebasan bagi Maroko. Misalnya, mereka ingin kebebasan berekspresi dalam hal politik, tidak ada lagi pembatasan pers (termasuk mengizinkan untuk publikasi media cetak dalam bahasa Arab), dan juga kebebasan untuk berserikat apapun tujuannya. Kemudian pada tahun 1947, sultan juga mendukung pergerakan kalangan nasionalis tidak lagi secara sembunyi-sembunyi. Sultan menjadi peran sentral – dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan – mendukung kalangan nasionalis dalam menentang protektorasi Prancis. Masih ditahun yang sama, ia juga melakukan perjalanan simbolik dan diplomatik ke Tangier pada bulan April. Isu penting yang coba penulis sampaikan dalam kronologi tersebut yaitu melihat bagaimana kepemimpinan nasionalis didefinisikan sebagai pemersatu bangsa sebagai identitas bersama. Sosok sultan, sebagai kepala negara juga
46
menjadi identitas nasional dan menggunakan hal tersebut kalangan nasional dengan mudah menggerakkan massa untuk memprotes politik kolonial. Klaim utama yang digunakan Prancis dalam melakukan mobilisasi tersebut, selain hal di atas, adalah fakta mengenai Prancis yang telah melanggar kedaulatan Maroko. Memberikan protektorasi kepada Maroko tidak lebih dari bentuk penjajahan kolonial. Maroko sedang diperlakukan sebagai koloni Prancis dan dengan semena-mena mereka meraup keuntungan ekonomi yang banyak dari Maroko untuk dibawa ke negara mereka. Belum lagi penjajahan dalam bentuk budaya seperti penggunaan bahasa Prancis di sekolah-sekolah Maroko. Berangkat dari sejarah panjang perjalanan Maroko, yaitu sejarah dinasti Islam, kalangan nasionalis terus melawan ide-ide kolonialisme dan modernisme yang digelontorkan oleh Prancis. Kalangan nasionalis beranggapan bahwa nasionalisme Maroko sudah lama terbentuk sebelum kedatangan Prancis sekalipun. Identitas yang bernama Arab-Islam menjadi poin penting untuk mengukuhkan argumen dasar tersebut. Maka dari itu, Dahir Berber menjadi blunder bagi Prancis. Karena Dahir Berbere tersebut bukannya menguatkan orang-orang Berber namun justru menciptakan disparitas antara orang Arab dan orang Berber. Kalangan nasionalis sadar bahwa protektorat hanyalah akal-akalan Prancis untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya, penerapan politik kolonial. Perjanjian Fez yang digadang-gadang sebagai penghormatan terhadap kedaulatan Maroko justru dikebiri secara perlahan oleh Prancis.
47
BAB IV RESISTENSI POLITIK KOLONIAL DI MAROKO Setelah siklus pertentangan Latif di Maroko mereda.82 kaum nasionalis menemui pertanyaan besar tentang bagaimana caranya membuat sebuah gerakan berkelanjutan yang bisa mengantarkan tujuan mereka. Yaitu mereformasi hubungan antara Maroko dengan Pemerintahan Protektorat dan lebih jauh lagi, memperoleh kemerdekaan Maroko. Maka dari itu, pengembangan struktur organisasi yang formal pun menjadi satu faktor penting untuk membangun komunikasi antar pergerakan yang masih tersebar di Maroko. Kaum nasionalis perlu membingkai kebencian yang sama terhadap Protektorat Prancis sebagai dasar persatuan masyarakat Maroko. Tujuan akhirnya jelas, untuk melawan Protektorat Prancis, sehingga Maroko bisa menjadi negara merdeka. Secara organisasi, gerakan nasionalis yang mereka upayakan pun perlahan berkembang di awal 1930-an. Berawal dari kelompok kecil aktivis muda kemudian bertransformasi menjadi gerakan yang lebih terorganisir dengan aturanaturan organisasi yang jelas. Pada dasarnya gerakan ini merupakan konsep akhir bersatunya sebuah gerakan yang satu dari gerakan-gerakan kecil yang pernah ada sebelumnya. Kelompok nasionalis, pada dasarnya terilhami dari organisasi Komunis, Freemason dan Tradisi kelompok tarekat.
82
Lebih jauh mengenai pertentangan Latif lihat, Jonathan Wyrtzen, ‗Performing the Nation in Anti-Colonial Protest in Interwar Morocco‘, Journal of the Association for the Study of Ethnicity and Nationalism 19 (4), 2013, h. 615-634.
48
Karena struktur organisasi dan memiliki kerja organisasi yang sama dengan organisasi-organisasi yang mereka adopsi, menjadikan gerakan nasionalis ini punya ciri khas tersendiri. Melahirkan organisasi orisinil yang hanya ada di Maroko. Pada
perkembangan
selanjutnya,
gerakan
nasionalis
inilah
yang
mempunyai peranan besar dalam mencapai kemerdekaan maroko. Mobilisasi masyarakat yang mereka lakukan, sampai dukungan akan pemberontakan dan demonstrasi dapat mengantarkan Maroko mencapai kemerdekaannya. A. Mobilisasi Masyarakat Diakhir musim panas tahun 1930, pihak yang terlibat dalam protes Latif menggunakan istilah-istilah yang serupa dengan lembaga tasawuf. Dalam hal ini, mereka menyebut diri mereka adalah zawiya. 83 Di luar kelompok ini, kalangan nasionalis juga membuat kelompok keanggotaaan lainnya yang disebut sebagai Taifa (grup). Pada tahun 1933, terdapat juga pergerakan masyarakat yang bersenjata,yang dilabeliKutlat al-Amal al-Watani atau aksi blok nasional.‖84 Dari awal tahun 1927 di Rabat mereka semua membentuk pergerakan-pergerakan yang terdiri dari gabungan pengrajin kesenian dan pahatan tradisional dan pedagangpedagang kecil yang juga menderita akibat perubahan sistem ekonomi yang diterapkan oleh Protektorat Prancis.
83
Secara letterlijk zawiya dapat diartikan sebagai pojok atau sudut, mengacu kepada sudut atau pojok ruangan masjid yang biasanya digunakan untuk tempat belajar-mengajar antara murid dan guru. Ketika Sekarang, kata zawiya digunakan untuk mendefinisikan bangunan fisik, pondok dan juga sebuah bentuk pergerakan. Dalam konteks orang-orang Maroko, zawiya artinya sebuah tingkatan dalam pergerakan nasionalis. 84 Halstead, Rebirth of Nation, h. 191.
49
Nasionalis-nasionalis
bernapaskan
salafi,
dengan
latar
belakang
keislamannnya, merupakan penghubung bagi pihak nasionalis untuk berbicara kepada pihak Prancis. Dengan kata lain, ide salafi menjadi penyambung pergerakan-pergerakan kontra-kolonialisme yang ada di Maroko. Sedangkan ditinjau dari sudut pandang struktur organisasi dan juga operasionalnya, mereka meniru sistem organisasi yang diterapkan oleh Partai Komunis Prancis. 85 Bagaimanapun, dengan begini maka semakin luas dan semakin banyak kelompok masyarakat yang menggunakan nama dan struktur bertipikal Islam. Meskipun faktanya beberapa kelompok masyarakat tersebut diadukan oleh orang-orang Salafi sebagai kelompok yang hancur moralnya dan korup. Orang-orang nasionalis menunjukkan tingkat kesadaran dan cepat tanggap setelah melihat potensi audien mereka dalam mengadopsi sesuatu nama dan struktur yang familiar dengan kelompok nasionalis. Terbukti pada tahun 1934, kelompok nasionalis telah mengorganisasikan pergerakan mereka ke dalam tiga bagian: (1) Zawiya atau lingkaran dalam yang terdiri dari para pendiri pergerakan seperti al-Fassi, Ouezzani, dan Balfarej; (2) Taifa, anggota organisasi dan aktivis yang berada pada bagian-bagian organisasi yang lebih luas; dan (3) Kutla, yang mengakomodasi masyarakat yang baru mau bergabung dan beroperasi secara terbuka, tidak seperti yang lainnya yang bergerak secara terstruktur, sistematis dan sembunyi-sembunyi.86 Keanggotaan dalam Taifa membutuhkan sumpah kesetiaan dan membayar iuran. Untuk sumpah, salinan Al Quran itu diletakkan di atas meja, calon anggota 85
Ibid., h. 193. Allal el-Fassi,The D.C.:1954), h. 170. 86
Independence
Movements
in
North
Africa (Washington,
50
meletakkan jarinya di atas Quran dan kemudian berkata, "Aku bersumpah demi Tuhan dan Quran saya akan mengikuti perintah dari Wataniyin. 87 "Gerakan nasionalis juga mengembangkan pola hubungan guru-murid seperti halnya dalam ajaran tarekat, terutama di daerah pedesaan, karena gerakan nasionalis mencoba bersaing dengan Tarekat Qadiriyyah dan Tijanniya. Namun, setelah perpecahan dalam gerakan tarekat pada tahun 1936, mereka mengikuti Allal al-Fassi yang juga disebut sebagai Allaliyin. Kadang-kadang al-Fassi juga disebut sebagai Sheikh Allal atau haji Allal.88 Sehingga, dapat dikatakan bahwa al-Fassi juga berhasil menyatukan gerakan tarekat secara tidak langsung ke dalam wadah yang baru. organisasi lain yang tidak kalah penting selama tahap awal gerakan nasionalis yaitu fokus kepada penanaman budidaya "semangat nasional" di kalangan pemuda. Meskipun tidak secara resmi berkaitan dengan Kutlat, yaitu gerakan Sekolah Bebas ("bebas" atau ―free‖ dalam hal ini berarti bebas dari kontrol pemerintah kolonial) adalah struktur penting yang melakukan tindakan kolektif dalam penyebaran ide-ide kepemimpinan dan nasionalisme. Sekolah Bebas, yang pertama dibuka pertama kali pada tahun 1919. Awalnya sekolah ini berupaya dalam menciptakan sistem pengajaran alternatif di Maroko dengan harapan bisa berkompetisi dengan sekolah yang menggunakan sistem kurikulum Franco-Muslim. Dengan mengajarkan bahasa Arab dan Islam sebagai bagian dari
87
Wataniyin (nasionalis) adalah nama yang diberikan kepada cabang utama sebuah pergerakan bentukan Allal al-Fassi dan juga pecahan dari pergerakan yang dipimpin Ouezzani. Lihat, SHD-AT 3H 250, ―Extraits des déclarations du nommé Taieb Ben Hassan Janati, ‖ (November 1, 1937). 88 Charles André Julien, L'Afrique du Nord en Marche Alg rie-Tunisie-Maroc, 18801952 (Paris: Omnibus, 2002), h. 138.
51
kurikulum modern, sekolah-sekolah ini memainkan peran penting dalam menumbuhkan rasa budaya identitas nasional di kalangan pemuda perkotaan.89 Sedangkan dimensi politik dari Sekolah Bebas yaitu mereka memainkan peran penting dalam menyediakan sistem pendidikan Arab yang berkaitan dengan pondasi budaya. Yakni, menanamkan semangat-perasaan nasional patriotisme dan rasa kebangsaan Maroko pada siswa.90 Di tahun-tahun awal pergerakan banyak aktivis yang terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Bebas. Selain itu ada juga yang terlibat dalam bentuk pendanaan. Pada tahun 1940-an, beberapa pemimpin nasionalis yang berada pada jajaran utama sekarang ternyata telah dididik di Sekolah Bebas. Di samping sekolah-sekolah ini, para nasionalis juga memiliki hubungan dengan Eclaireurs Français, orang yang pertama kali menciptakan Pramukadi Maroko, Rabat-Salé pada musim panas 1933.91 Beberapa tahun berikutnya, gerakan pramuka ini mulai berkembang dan membentuk cabang-cabang baru. Tercatat pramuka Maroko merupakan sekelompok pasukan yang aktif berpartisipasi dalam protes dan demonstrasi, berbaris di jalan-jalan sembari menyanyikan himne kelompok nasionalis,
89
Di pertengahan 1930-an terdapat 5000 siswa Maroko yang mendaftar dan di akhir 1940an jumlah tersebut meningkat menjadi 25.000. Lihat, John Damis, "The Free-School Movement in Morocco, 1919-1970." (Disertasi Doktor, Tufts University, 1970), h. 240. 90 Ibid.,h. 242. 91 ―Pramuka Maroko‖ pertama kali didirikan oleh Ahmed ben Maati Bouhlal pada bulan Agustus 1993 di Rabat-Sale dengan anggota sebanyak sembilan puluh. Bagi Prancis, pendirian Pramuka Maroko tersebut jelas menjadi sebuah ancaman. Lihat, M. Goidan, Le Scoutisme musulman au Maroc CHEAM, No. 944, October 1946.
52
menyuarakan propaganda nasionalis, hingga menulis grafiti anti-Perancis di dinding-dinding.92 Selain pengembangan organisasi ini, kaum nasionalis juga terus mengasah dan merancang kerangka tindakan mereka dalam membela dan membentuk identitas nasional dan menolak kebijakan kolonial Prancis yang mengancam kesatuan Maroko. Proses-proses pengkerangkaan gerakan nasionalis dilakukan lewat dua tingkat: 1) propaganda nasionalisme yang disuarakan oleh kelompok pejuang nasionalis lalu kemudian diartikulasikan dalam beberapa media – didirikan pada tahun 1932 di Paris, Fez, dan Rabat – yang menjadi corong propaganda, dan 2) pembentukan identitas nasional pada tingkat forum pertemuan dengan publik dan penggerakkan protes massa. Sementara itu, ada tumpang tindih yang signifikan antara forum ini ketika digunakan sebagai kerangka pergerakan, dimana hal tersebut juga penting untuk mengenali tujuan yang berbeda dari dua metode di tingkat domestik dan internasional dalam hal pesan yang ingin disampaikan. Media cetak jelas menjadi sarana penting untuk menyuarakan pemikiran resistensi terhadap politik kolonial. Hanya saja terdapat dua prasyarat penting untuk membentuk komunitas yang dibayangkan.93 karena dua faktor utama: 1) tingkat melek huruf di Maroko yang sangat terbatas dan 2) kebebasan pers yang 92
L‘Action du Peuple pada 15 September 1933 melaporkan penanganan skandal Pramuka Maroko yang sudah berkumpul untuk menyambut sultan yang baru kembali dari perjalanannya ke Prancis di Trois-Portes dan kemudian residen mengirim motorcade lewat pintu gerbang lainnya. Para pramuka juga seringkali disebut dalam laporan keamanan tentang demonstrasi kalangan nasionalis di Rabat/Sale dan Fes. 93 Imagined Communities adalah konsep yang mengikat sekumpulan orang dalam satu wadah yang sama. Dalam hal ini, orang-orang Maroko adalah komunitas yang dibayangkan karena adanya persamaan rasa sebagai manusia yang ditindas oleh kolonialisme. Lebih jauh lihat Bennedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. (London: Verso, 1991).
53
sangat terbatas, dengan batasan yang dilakukan oleh Prancis secara besarbesaran.. Seiring berjalannya waktu, hampir semua pers Arab lainnya yang datang harus diedarkan secara sembunyi-sembunyi setelah terdapat pelarangan yang diterapkan oleh gubernur jenderal. Sebaliknya, pers Perancis di Maroko beredar secara langgeng selama dekade pertama Protektorat dengan kertas-kertas selebaran yang mulai disebarkan pada semua kota-kota besar. Banyak media yang berada di bawah kendali Perancis diantaranya yaitu: L'Echo du maroc (1913), Le Petit Marocain (1920), La Vigie Marocaine (1908), Le Courrier du Maroc (Fes, 1929).94 Karena struktur-penciptaan pemberitaan yang pro-pribumi dalam zona Perancis, zawiya mendukung peluncuran pertama berkala media-media tersebut sampai tahun 1932. Selama adanya kesempatan di mana mereka mampu mencetak koran dan jurnal di Maroko dan di Paris, kaum nasionalis mulai menjelaskan dasar mereka, yaitu keinginan agar Prancis mereformasi kebijakan kolonial di Maroko dan menegaskan kembali pembangunan kesatuan identitas nasional Maroko. Diantara artikel yang sering terbit, bertujuan mengkritik eksploitasi kolonial di Protektorat Maroko termasuk kesenjangan ekonomi dan hukum antara orang Eropa dan Maroko. Kaum Nasionalis juga berjuang membela kaum Petani (fellahin) melawan perampasan tanah oleh penjajah dan beban pajak yang tidak adil. Kaum nasionalis juga terinspirasi perjuangan di tempat lain di dunia Arab yang sedang terjajah, khususnya di Tunisia, Suriah, Lebanon, dan Palestina. 94
Lihat, Jamaâ Baida, La presse marocaine d'expression francaise des origines à 1956(Rabat: Faculté des Lettres et des Sciences Humaines de Rabat, 1996).
54
Salah satu perhatian utama yang menarik kemarahan kaum nasionalis adalah kegagalan kebijakan pendidikan Perancis di Maroko. Penulis menyesalkan perbedaan yang luar biasa dalam investasi "pribumi" pendidikan dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk sekolah Eropa dan Yahudi di Maroko.95 dan mengkritik penghambatan penggunaan bahasa Arab sebagi unsur sistem pendidikan. Berbagai penulis juga menunjukkan bahwa pejabat Protektorat, gagal menyediakan kesempatan pendidikan yang cukup,96 kemudian melakukan pembatasan akses yang tidak masuk akal bagi kaum Muslim untuk menemukan sekolah modern (Gratis) dan orang tua Muslim pun dicegah untuk tidak mendapatkan paspor agar mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah di Mesir, Palestina, dan Suriah. Reformasi pendidikan dan reformasi peradilan adalah prioritas utama dalam reformasi agenda nasionalis. Identitas kebangsaan juga dimasukkan secara tersirat dalam tindakan nasionalis bersama. Serta diarahkan pada reformasi kemitraan Protektorat yg lebih seimbang. Mayoritas artikel yang muncul di pers nasional selama lebih dua tahun secara langsung difokuskan pada menjaga akar budaya dan agama dari identitas nasional Maroko serta menuntut terhadap pelanggaran kolonial Perancis pada kedaulatan Maroko. Dalam edisi pertama Maghreb, artikel menyimpulkan agenda reformis dari golongan nasionalis Maroko, "memodernisasi sambil tetap diri kita sendiri," katanya, Tentu kami ingin mengejar modernisasi negara kita, untuk mengambil apa yang baik dari Barat dengan budaya modernnya, tapi kami sama-sama berpegang pada masa lalu kita, 95 96
Abdellatif Sbihi, ―Le problème scolaire au Maroc,‖ Maghreb, h. 19-20. Ibid., h. 20.
55
tradisi kita, dan tidak akan pernah melepaskan api yang kuat dari Islam yang begitu kuat ditanam di jantung Berber. Jika modernisasi membutuhkan mengorbankan kepribadian kita sendiri, adalah wajar bahwa kita tidak ingin hal itu. Singkatnya, kami ingin memodernisasi sambil tetap menjadi diri kita sendiri.97 Putus asa dengan sistem hukum yang diciptakan oleh Pemerintah kolonial karena telah mempisahkan masyarakat Arab dan suku Berber, masyarakat Maroko melayangkan kritikannya lewat media cetak yang dimiliki oleh kalangan nasionalis: Our ideal, we Moroccans, Muslim and Jewish, is to have a single justice, which covers personal status, whether Islamic or Israelite. We do not want any differentiation according to race. We have at present, jurisdictions for Jews, for Berber, for Arabs, and for the European elements, in addition to the consulary jurisdictions. The Arab, in the face of this diversity of tribunals, loses his head and does know not where to go.98 Bagi kalangan nasionalis, solusi yang jelas adalah mereformasi syariah menjadi hukum yang dianut oleh negara, bukannya menerapkan hukum yang sekuler. Dalam surat cetak berbahasa Perancis, Le Cri Marocain, dan ditandatangani "Muslim," terdapat kritikan pembaca yang menyerang Dahir Berber dan menginginkan penerapan hukum Islam: Our law is neither archaic, nor absurd. On the contrary, it agrees perfectly with the spirit of modern times. Our justice only needs to bebrought up to date and cleared of certain influences that paralyze its action and soil its reputation. Muslim law needs to be studied carefully. It needs to be codified. Only a truly competent, truly independent commission could conduct such a noble enterprise.99
97
―Al-Maghrebi,‖ ―Les aspirations du ‗Maghreb‘‖, Maghreb, July 1932, h. 175. ―La politique berbère,‖ L‘Action du Peuple, August 18, 1933. 99 Ibid. 98
56
Selain reformasi peradilan, tujuan politik yang jelas dari nasionalis adalah untuk menunjang peran Bahasa Arab sebagai bahasa resmi di Maroko. Sebuah artikel pada bulan Januari 1933 mengeluhkan bahwa bahasa Prancis lebih dominan dipergunakan di sekolah-sekolah dibanding bahasa Arab. Dalam perguruan tinggi muslim di Fez dan Rabat, awalnya ilmu, sejarah, dan geografi yang diajarkan dalam bahasa Arab; namun, Pejabat dewan Pendidikan, Brunot mengurangi jam pemakaian bahasa arab di sekolah sekolah. Penulis juga mengkritik bahwa bahasa Prancis telah dipergunakan untuk segala urusan administrasi seperti
surat, dan dokumen lainnya Penulis juga menunjukkan
bahwa nama-nama jalan di kota-kota di Maroko, dan rute utama antara kota semua ditulis dalam bahasa Prancis, penulis menyimpulkan dengan mengatakan "sebentar lagi bahasa arab akan lenyap dari Maroko, dan itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa orang asing yang tidak tahu bahwa rakyat Maroko sebenarnya memakai bahasa Arab. "100
Persatuan Muslim Maroko adalah elemen penting dalam persatuan karena bersifat mengikat dan mempersatukan identitas nasional orang-orang Maroko. Dalam artikel lain di Mei 1933 edisi khusus memperingati ulang tahun ketiga Berber Dahir, Ahmed Belafrej menjelaskan definisi dari sebuah bangsa bangsa: History offers us proof of the existence ofa national Moroccan spirit which was formed in the course of trials and in battle against the Christian Portuguese and Spanish kingdoms and against the Turks, Muslims who nevertheless harassed the country without respite...Why choose to use the principle of race in order to break us up and divide us? We are all more or less Berbers, some more Arabized than the others; the Arab element in 100
Abou Abdillah, ―Comment le protectorat respecte notre langue,‖ Maghreb, January 1933, h. 30-32.
57
Morocco is tiny. But one fact is certain—that all of Morocco is Muslim...One cannot assert that Morocco is a Berber country colonized and oppressed by the Arabs and that France has arrived today to charitably liberate it. For, Muslim Morocco has always been independent. From the earliest time in which the Berbers chose Idriss as Sultan and who never had, we are certain, a single connection to the Caliphs.101 Dalam dua tahun di mana nasionalis mampu menyebarkan pesan mereka di media cetak, gerakan anti-kolonial terus menempa dan mengasah tindakan reformis mereka. dimulai pada musim gugur 1933, sebuah komite ditunjuk untuk menyusun dokumen meringkas agenda reformasi Kutlat, yang termasuk anggota Zawiya seperti Mohamed Lyazidi, Omar Abdeljalil, dan Mohamed Hassan alOuezzani.102 "Hidup Raja! Hidup Putra Mahkota! Hidup Maroko! "Dan" Ganyang Perancis! "itulah pekikan kaum nasionalis yang sering terdengar. Menurut alFassi, ketika Raja mencapai hurm (ruang sakral di sekitar makam), kerumunan "bertepuk tangan penuh gejolak bergabung dengan nasionalis nyanyian."103 Dengan memanfaatkan peluang seperti kunjungan kenegaraan Raja, kaum nasionalis berusaha memobilisasi rakyat (yang terutama tinggal perkotaan di tahun 1930-an) untuk menjadi aktif berdemonstrasi, menandatangani petisi, berkontribusi membantu keluarga para aktivis yang telah dipenjara, memboikot produk buatan Prancis, atau diam-diam menempelkan poster di dinding kota. Jalan lain untuk memperluas protes terhadap kebijakan pemerintah kolonial adalah untuk menyalurkan kemarahan masyarakat tentang pelanggaran moralitas publik, terutama dalam kampanye anti-alkohol dan anti-merokok. Pada 101
Ahmed Belafrej,‖ "Et maintenant?" Maghreb, No. 11, May-June 1933, h. 50-51. Halstead, Rebirth, h. 212. 103 Ibid.,h. 133. 102
58
tahun 1933, seorang aktivis di Fez, Abdesalam ben Messaoud ditangkap dan dikirim ke penjara di Mogador karena menghasut agar penduduk memboikot perusahaan tembakau Perancis.104 Pada awal 1930-an, akibat protes kaum nasionalis adalah bahwa terjadinya penangkapan massal dan pemenjaraan di daerah terpencil di Bled (di pegunungan Atlas di Boulemane misalnya, atau di selatan di Sahara). Dalam masa genting ini, kaum nasionalis mencoba memanfaatkan kerusuhan guna menyebarkan tentang gerakan mereka sebagai sarana untuk lebih mempublikasikan tujuan mereka membela kedaulatan Maroko, untuk melegitimasi kebenaran perjuangan mereka, dan untuk menghasilkan simpati pada bagian dari masyarakat Maroko. Konfrontasi antara kedua belah pihak muncul pada musim gugur 1937, setelah inisiatif reformasi nasionalis gagal menghasilkan hasil apapun. B. Demonstrasi dan Pemberontakan Kemenangan Front Popular, partai politik sayap kiri Prancis, dalam pemilu legistlatif di Prancis bulan Mei 1936 nampaknya menjadi kesempatan emas bagi kalangan reformis-nasionalis. Pasalnya, agenda yang mereka rencanakan dua tahun lalu sebelumnya dalam rencana yang bernama Plan de Réformes akhirnya berbuah manis. Selain itu kalangan nasionalis Maroko nyatanya juga membentuk jaringan komunikasi dengan simpatisan yang simpati dengan perjuangan kemerdekaan Maroko yang notabene adalah orang-orang sayap kiri. Maka dari itu, ketika sayap kiri berhasil menduduki pemerintahan – walau hanya sesaat – kebijakan liberal
104
Georges Hertz, ―Les troubles de Fès,‖ L‘Action du people, August 18, 1933.
59
yang dituntut kalangan nasionalis agar direformasi akhirnya direspon dengan baik. Tuntutannya antara lain adalah kebebasan berdemokrasi, kebijakan ekonomi yang tidak liberal, reformasi tenaga kerja, sektor industri, perpajakan dan perbaikan saranan kesehatan umum. Masih di tahun 1936, saat memasuki musim panas, muncul peristiwa yang mengakibatkan ketegangan di seluruh Maroko, baik zona Spanyol maupun zona Prancis. Awal bulan Juni, pekerja di berbagai sektor di zona Perancis, termasuk pekerja Eropa dan Maroko, menyatakan pemogokan yang berkoordinasi dengan gelombang massa pemogokan di Perancis. Pada bulan Juli, tentara Spanyol di zona utara memberontak di bawah Jenderal Franco dan memulai perang sipil melawan Spanyol Front Populer. Perbatasan antara zona ditutup dan kepemimpinan nasionalis Tetouani berusaha untuk bermain dari kedua belah pihak, memaksa Franco menjanjikan reformasi demokrasi di zona itu. Peristiwa di Timur Tengah termasuk pecahnya Revolusi Arab di Palestina pada awal musim panas, penandatanganan perjanjian Anglo-Mesir pada bulan Agustus di mana Inggris berjanji untuk menarik sebagian besar pasukannya, dan negosiasi antara Blok Nasional Suriah dan Prancis memberikan kontribusi untuk meningkatkan harapan di Maroko. Musim panas di Paris, Ouezzani dan Abdeljalil dikirim untuk melobi menteri dalam pemerintah Front Populer, namun kembali pada bulan Oktober tanpa hasil nyata. Pada saat ini, gerakan kepemimpinan nasionalis Maroko semakin pesat disebabkan karena konflik kepribadian antara dua pemimpin utama, Allal al-Fassi dan Mohamed el-Ouezzani. Ouezzani
60
memisahkan diri pada musim gugur untuk membuat organisasi sendiri setelah AlFassi terpilih sebagai presiden dari gerakan Istiqlal. Bulan-bulan panjang kegagalan koalisi Leon Blum memberikan angin segar reformasi menyebabkan dorongan baru oleh kaum nasionalis untuk menekan tuntutan mereka.105 Pada tanggal 25 Oktober, mereka mengadakan konferensi di Rabat dan memutuskan untuk meluncurkan kampanye untuk mempublikasikan tuntutan mereka dan menekan Gubernur Jenderal untuk merespon. Pada tanggal 2 November, pertemuan diadakan di Fez membicarakan agenda nasionalis ke khalayak yang lebih luas. Pasukan keamanan kemudian turun tangan dan melarang pertemuan yang dijadwalkan pada malam perayaan, pasukan keamanan menangkap Allal al-Fassi, Mohamed Lyazidi, dan Mohamed El-Ouezzani. Penangkapan memicu kerusuhan di Fez, Sale, Casablanca, Oujda, dan Taza pada 16 November dan bentrokan pada tanggal 17 November. Benturan terjadi dengan pihak keamanan mengakibatkan banyak demonstran yang terluka dan ditangkapnya ratusan orang pada demonstrasi tersebut. Setelah satu bulan penahanan, Gubernur Jenderal yang baru diangkat, Nogues, memutuskan untuk membebaskan para tahanan tersebut. Dengah hal tersebut maka keunggulan mulai berpihak kepada kalangan nasionalis. Al Fassi mengingatkan, "Faktanya adalah bahwa gerakan nasionalis
105
Penggantian Gubernur Jenderal pada bulan September, Marcel Peyrouton (merupakan Prancis berhaluan kiri dan menuduh nasionalis Maroko sebagai simpatisan fasisme),oleh Charles Noguès dilihat sebagai perkembangan yang signifikan meskipun enthusiasme hanya terjadi di awal-awal pengangkatannya dan kemudian berangsur-angsur surut ketika tidak ada lagi yang mendukungnya.
61
mengambil langkah besar ke depan sebagai hasil dari demonstrasi berdarah; mereka akan mewujudkan dukungan rakyat yang cukup besar.106 Sepanjang sisa tahun dan pada musim semi 1937, kelompok nasionalis mampu memprovokasi demonstrasi yang sifatnyabergerak sendiri-sendiri. Kesempatan besar yang muncul di musim semi adalah bahwa Nogues menandatangani surat izin penerbitan beberapa majalah Arab dan Perancis, setelah dua setengah tahun tidak ada satupun media cetak yang diberikan izin penerbitan. Perpecahan tumbuh dalam gerakan nasionalis antara faksi yang setia kepada Allal al-Fassi dan faksi yang setia Moyammed al-Ouezzani, sehingga secara otomatis ikut menggandakan jumlah media cetak yang mewakili mereka. Partai Nasional Allal al-Fassi untuk meweujudkan Reformasi mendirikan Koran pertama nasionalis Arab, Al-Atlas Januari 1937, dan versi Prancis, L'Aksi populaire. Gerakan Nasional Ouezzani juga
merespon dengan menerbitkan
L'Action baru dan dengan versi bahasa Arab di musim semi dengan nama AlDifaa. Koran Arab lainnya termasuk Al-Maghreb (dua mingguan yang diterbitkan di Casa), At-aqaddum (1937), dan al-'Amal (1937) juga ada, meskipun media cetak tersebut tidak secara langsung berkaitan dengan partai-partai dan tidak secara penuh berunsur politik. Sementara Nogues membuka peluang baru bagi pers, dekrit pada tanggal 18 Maret 1937, menindak kebebasan asosiasi nasionalis dengan menyatakan Kutlat al-Wataniyya tidak lagi dapat dianggap sebagai organisasi berbadan hukum
106
Al Fassi, The Independence Movements in Arab North Africa, h. 161.
62
karena Kutlat telah melanggar perundang undangan dengan menciptakan organisasi gelap dimana para anggotanya tak memiliki kartu keanggotaan. Hal tersebut tidak mencegah komite nasional dari pemangku rencana melebarkan sayap di seluruh Maroko. Tidak sampai akhir musim panas, kaum nasionalis mendapat kesempatan untuk menyuarakan agenda reformis mereka melalui demonstrasi besar-besaran. Sementara itu, dekat Masjid Agung Zaytuna, sudah berkumpul kerumunan sebanyak kurang lebih 6000 orang. Mereka memblokir jalan-jalan menuju masjid dan benturan tidak dapat terhindarkan. Terjadi baku tembak antara polisi dan kerumunan: Fifty-two police and one European civilian were injured while thirteen Moroccans were killed and forty more were injured.While the initial protests had arisen locally out of the grievances of the Meknes medina, the nationalists quicklytook an active role, building off of the momentum that had been created in the September 2nd confrontation. A few days later, on September 6th, there were mass protests about the bloody events in Meknes in Casablanca, Fes, Rabat, Oujda, Marrakesh, and again in Meknes with the Latif prayer being recited in the major mosques. French officials, worried about the volatility of the situation, shut down the nationalist newspapers again and continued to arrest demonstrators.107
Fez terus menjadi pusat kerusuhan huru-hara, dan Nogues, salah satu Residen Umum, datang ke Fez untuk bertemu dengan tokoh-tokoh delegasi pada 12 September. Antara lain Shurafa (keturunan Nabi Muhammad yang membentuk kelompok kelas istimewa di Old Medina) dan tentu saja tokoh-tokoh dari kalangan nasionalis.
107
SHD-AT Carton 3H 250, Commissariat Divisionnaire Casablanca, Note de renseignements, 9 September 1937.
63
Pada bulan November 1936, konfrontasi dan bentrokan-bentrokan antara Protektorat Prancis dan Maroko semakin terasa ketimbang pada bulan sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa fase yang terjadi antara kalangan nasionalis Maroko dengan pemerintahan kolonial Prancis telah memasuki babak baru. Setelah banding mereka kepada Prancis untuk mereformasi hubungan diabaikan, antara warga setempat dengan Prancis, memberikan ruang baru bagi kalangan nasionalis untuk memobilisasi massa di wilayah tersebut guna mendukung tujuan kalangan nasionalis. Hal tersebut jelas memancing kegeraman di pihak Prancis. Maka dari itu, dikirimkanlah pasukan keamanan dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap kalangan nasionalis, membakar selebaran-selebaran yang disebar oleh kalangan nasionalis, dan melakukan penangkapan massal termasuk menangkap pemimpin utama kalangan nasionalis lalu kemudian diasingkan seperti Allal el Fassi (awalnya ke Gabon kemudian ke Kongo); Mohammed Lyazidi, Omar Ben Abdeljalil, Ahmed Mekouar (ke lokasi terpencil di Gurun Sahara); dan Mohammed el-Ouezzani (ke Itzer). Hal tersebut dilaporkan oleh gubernur Nogues: We no longer have a choice. The rigorous measures against the leaders of the movement, if they continue to mobilize the people against the Makhzen and against France, are necessary, regardless of the reactions they provoke. They are the only means for assuring the future of French Morocco and to create a new climate that permits us to follow our civilizing action.108
108
SHD-AT, Carton 3H 250, Report by General Noguès to Yvon Delbos, Minister of Foreign Affairs, on Moroccan Nationalism, (October 9, 1937), 31.
64
Karena konflik tersebut, di akhir 1937, mengubah tujuan kalangan nasionalis. yang awalnya hanya ingin mereformasi hubungan antara Maroko dengan Prancis menjadi lebih baik (semisal sistem ekonomi yang tidak hanya menguntungkan Prancis dsb) menjadi tuntuntan akan kemerdekaan Maroko. Salah satu perhatian utama Protektorat Prancis adalah pemberontakan yang terjadi di tahun 1937 di kota-kota besar sampai merembet ke daerah pedesaan. Usaha-usaha telah dilakukan kalangan nasionalis agar masyarakat pedesaan dapat bergabung untuk ikut melakukan pemberontakan melawan Prancis. Misalnya dengan mengirimkan agen untuk memberikan informasi kepada masyarakat desa. Namun hal tersebut malah berujung terhadap penahanan agen tersebut oleh Prancis karena tindakannya diketahui. Pun demikian, beberapa suku di pedesaan ternyata juga ikut dalam aksi pemberontakana ini. Suku Ould El Hadj misalnya yang datang ke Old Medina untuk memberikan sumpah setia sekaligus membayar iuran keanggotaan karena terlah bergabung dengan kalangan nasionalis.109 Selain itu ada juga laporan demonstrasi dukungan yang dilakukan di Azrou, Gigou, dan Mrirt (kota-kota di wilayah Middle Atlas).110 C. Kedaulatan Maroko Saat De Gaulle jatuh pada bulan Maret 1946, pemerintah sosialis yang memegang tampuk kepemimpinan Prancis menunjuk Erik Labonne, seorang sipil liberal, sebagai gubernur jenderal yang baru. Usaha yang ia lakukan adalah meliberalisasi ekonomi Maroko dan memodernisasi sektor pertanian dan industri
109
SHD-AT Carton 3H 250, Report of Chief Boiseaux, Commander of Gendarmerie of Fes, (September 9, 1937). 110 SHD-AT, Carton 3H 250, 3rd Trimester Report on Meknes Region, Chef de la Région, Caillault, (October 29, 1937.)
65
di Maroko. Namun hal tersebut tidak berjalan dengan mulus karena hal tersebut membutuhkan modal yang besar. Dia juga mencoba meliberalisasi sektor politik dan hal tersebut berimbas positif kepada kalangan nasionalis. Pasalnya, kebijakan yang ditempuh oleh Labonne malah menyebabkan Allal el-Fassi terbebas dari masa pengasingannya dan langsung memegang kekuasaan tertinggi Istiqlal. Selain itu, komunitas Yahudi juga membuat gerakan patriotik, paling tidak membantu kekuatan kalangan nasionalis hingga tahun 1948. Kunjungan ke Tangier yang dilakukan oleh sultan merupakan bencana bagi Prancis, karena seperti yang penulis jelaskan pada BAB III, bahwa hal tersebut memperkuat identitas nasional Maroko sebagai sebuah bangsa dan negara. Pada Mei 1947, Labonne digantikan oleh Alphonse Pierre Juin. Juin adalah seorang kolonis. Kebijakan yang ditempuhnya adalah mendorong investasi; investasi yang umumnya menguntungkan para kolonis dan elit-elit Maroko yang notabene sudah kaya raya. Selain itu, Setelah kemerdekaan Israel pada tahun 1948, banyak orang Yahudi yang melakukan migrasi. Gerakan nasionalis terus tumbuh dan mulai mengikut sertakan perempuan (bahkan sampai dibentuk Istiqlal untuk perempuan yang tujuannya menampung perempuan-perempuan yang mau berjuang untuk kemerdekaan Maroko). Hal ini dilakukan karena banyak kalangan nasionalis Yahudi yang justru pergi ke Israel. Selain itu, terdapat satu hal yang menarik, yaitu, ide mengenai nasionalisme dan patriotisme tanah air menyebar dengan
66
sangat cepat, terutama dikalangan laki-laki muda dan penyebaran ide ini terjadi ketika mereka melangsungkan olahraga.111 Selain itu, keanggotaan serikat buruh juga terus tumbuh, meskipun para pemimpin Istiqlal tidak tahu persis apakah hal tersebut nantinya akan berdampak baik atau tidak. Namun karena sama-sama ingin memperjuangkan kemerdekaan, kecurigaan itu dikesampingkan untuk semantara waktu. Sebaliknya, Juin mengandalkan beberapa tokoh yang terkenal lantang di Maroko. Salah satunya adalah Abdel hafid el-Kittani, pemimpin tarekat Kittaniyya, yang membenci keluarga Maulay Abdelhafid karena telah mencambuk saudaranya hingga mati pada tahun 1909. Kemudian tokoh yang lainnya adalah El Glaoui karena dikenal pernah membawa sekelompok besar orang-orang Berber untuk memaksa sultan mereformasi Dahir Berbere. Namun usahanya sia-sia saja, karena mereka memiliki tujuan yang sama, walaupun meski mengesampingkan problem masa lalunya dengan sultan. Pada tahun 1951, Juin digantikan oleh Agustus-Léon Guillaume, yang bahkan lebih keras kepala dari Juin dalam hal pengambilan keputusan. Ia cenderung menggunakan gaya-gaya arogan untuk menekan pemberontakan yang terjadi di Maroko. Para serikat buruh dan kalangan nasionalis tentu saja semakin geram dengan ulahnya. Pemogokan dan demonstrasi besar-besaran terjadi di akhir musim dingin, dari tahun 1951-1952.
111
Pada akhir tahun 1930-an, kalangan nasionalis telah mendirikan Widad Athletic Club. Isu nasionalisme menyebar ketika ada pertandingan sepakbola antara Prancis dengan Maroko, dari situ situasi mulai memanas dan meruncing karena nyatanya olahraga justru dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan patriotisme beberapa kali lebih efektif ketimbang dialog.
67
Pada tahun 1953, Mohammed V ditangkap di bawah todongan senjata dan digulingkan lalu diasingkan ke Madagaskar. Penggantinya adalah salah satu anggota keluarga Alawi, Moulay Ben Arafa. Tindakan Prancis tersebut justru malah mempercepat kepergian Prancis dari Maroko, karena sultan yang baru diangkat tersebut juga didukung secara penuh oleh kalangan nasionalis, terutama oleh kubu El Glaoui. Mendekati akhir dari protektorat jelas menjadi hari-hari yang tidak mengenakkan bagi Prancis. Daerah-daerah di pedesaan sudah di luar kendali, tentara Prancis tidak sanggup lagi menangani serangan-serangan yang dilancarkan oleh tentara pembebasan yang berutang budi kepada Istiqlal dan berjanji untuk selalu setia mendukung sang sultan. Pada akhir Agustus 1955 di Aix-les-Bains digelar konferensi yang tujuannya sebagai pengunduran diri Prancis di Maroko. Konferensi tersebut dihadiri oleh El Glaoui, jajaran tinggi pemerintahan Protektorat Prancis, dan tentu saja para petinggi Istiqlal. Terhitung dari konferensi tersebut, Mohammed V juga diizinkan untuk keluar dari pengasingannya di Madagaskar atau dengan kata lain dibebaskan. Setelah menetap di Chateau de la Celle de St. Cloud, Mohammed V membuat perjanjian baru dengan Prancis: Maroko menginginkan pemerintahan monarki konstitusional demokrasi yang independen tanpa harus dikontrol oleh Prancis. Ben Arafa, sebagai sultan pengganti akhirnya mundur dan Muhammad V naik kembali menduduki tahta sultan. Di akhir tahun 1955, Sultan Mohammed V berhasil dalam negosiasi yang ia lakukan untuk memperoleh kemerdekaan secara resmi dan melepas
68
ketergantungan dari Prancis. Sultan setuju untuk melakukan reformasi dan mengubah sistem pemerintahan Maroko menjadi sistem pemerintahan yang monarki konstitusional dan demokratis. Pada Februari 1956, negosiasi lebih lanjut antara Maroko dengan Prancis memasuki masa-masa puncak yang kemudian berakhir dengan kemenangan Maroko. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 2 Maret 1956.112 Pada 7 April, Prancis resmi angkat kaki dari Maroko dan tentu saja masa Protektorasi Prancis telah berakhir. Tangier yang tadinya dijadikan sebagai zona internasional kembali diintegrasikan dengan Maroko pada 29 Oktober 1956. Kemudian disusul dengan penghapusan Protektorasi Spanyol dan pengakuan kemerdekaan atas Maroko oleh Spanyol yang dinegosiasikan secara terpisah pada April 1956.113 Dalam bulan-bulan berikutnya setelah kemerdekaan, Mohammed V melanjutkan pembangunan struktur pemerintahan modern dengan model monarki konstitusional yang posisi sultan sebagai kepala negara yang menjalankan peran politik secara aktif. Tahun 1957 bentuk pemerintahan monarki tersebut resmi menjadi sistem pemerintahan Maroko. Dalam tahun-tahun pertamanya, ia sangat berhati-hati agar masa transisi ini tetap dalam jalurnya. Selain itu, ia juga terus membangun konsolidasi dengan orang-orang Istiqlal sebagai partai pendukung pemerintahannya sekaligus mencegahnya melakukan tindakan yang akan merugikan stabilitas negara karena posisi Istiqlal yang masih kuat secara politis.
112 113
Allal Al-Fassi, The independence movements, h. 176. Ibid., h. 177.
69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian bab 2,3 dan 4 maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Maroko, salah satu wilayah yang lokasinya berada di tanah maghrib, merupakan negara yang secara de jure tidak pernah dijajah oleh bangsa manapun. Berbeda dengan negara-negara tetangganya, Tunisia, Aljazair, Libya, yang berungkali jatuh-bangun diterpa kekuatan dari luar negaranya. Namun, memasuki awal abad ke-20 M ketika gelombang kolonialisme mulai menghampiri negara-negara inferior (atau disebut juga sebagai negara dunia ketiga), Maroko juga mulai dirongrong oleh kekuatan imperialisme barat, Inggris dan Prancis. Treaty of Fez yang ditandatangani oleh Abdelhafid pada tahun 1912 menjadi awal mula masa Protektorat Prancis di Maroko. Pasca penandatanganan traktat tersebut, berangsur-angsur kondisi Maroko semakin memburuk, terutama kondisi perekonomiannya. Tidak ada lagi kebebasan berpolitik seperti sebelumnya. Budaya Prancis mulai dicekoki ke dalam masyarakat Maroko. Sekolah dan media menjadi corong utama Prancis dalam upaya internalisasi budaya. Parahnya, separasi antara orang Arab dan orang Berber dilakukan yang notabene sudah lama hidup bersama sebelum Prancis datang dengan alih-alih memberikan hak istimewa terhadap orang Berber.
70
2. Perjuangan orang-orang Maroko dalam mendapatkan independensinya – baik secara ekonomi, politik, dan sosial – dari Prancis. Terlihat bahwa gerakan sosial yang dibentuk oleh kalangan nasionalis merupakan kendaraan penting dalam mewujudkan independesi tersebut. Dalam hal ini, Istiqlal-lah yang menjadi wadah untuk mewujudkan keinginan masyarakat Maroko kebanyakan. Lewat gerakan sosial tersebut beragam ide-ide kontra-kolonialisme
berulang
kali
dihembuskan
oleh
kalangan
nasionalisme. Diawali dari wilayah ke perkotaan kemudian merembet hingga ke wilayah pedesaan. Lebih jauh lagi, gerakan-gerakan sosial yang dibentuk untuk mewujudkan independesi nyatanya juga sukses untuk memobilisasi orangorang. Protes Latif adalah protes terbesar yang pernah terjadi di Maroko pada saat masa Protektorat Prancis dan itu semua merupakan hasil dari mobilisasi yang dilakukan oleh kalangan nasionallis lewat gerakangerakan ini. Kebangkitan rasa nasionalisme dalam diri masing-masing orang Maroko kebanyakan akhirnya dengan utuh menginginkan Prancis hengkang dari Maroko. Beberapa protes menjadi puncak dari kekesalan yang terpendam atas tekanan yang dilakukan oleh Prancis.Penangkapanpenangkapan tokoh pembesar kalangan nasionalis Maroko, menjadi awal dari
puncak
kekesalan
sebelum
kemunculan
protes
dan
demonstrasi.Bentrokan tidak lagi terhindarkan.Namun, itulah harga yang harus dibayar oleh orang-orang Maroko untuk menjadi sebuah bangsa
71
yang mandiri tanpa harus diatur ataupun dikontrol oleh Prancis. Bebas. Tidak lagi menjadi boneka perasan Negara yang pernah dikuasai oleh Napoleon Bonaparte tersebut. Dalam perjuangan yang dilakukan oleh kalangan nasionalis Maroko, penulis menemukan beberapa faktor penting yang menjadikan mereka berhasil mencapai tujuannya. Pertama, Dahir Berbere dijadikan sebagai alatuntukmerekatkan persatuan orang-orang Maroko – Arab dan Berber– yang kemudian dimanfaatkan oleh kalangan nasionalis sebagai alat mobilisasi; kedua, kondisi perang dunia kedua yang merugikan pihak Prancis sehingga kekuatan Prancis menjadi melemah, baik dari segi militer maupun politik; ketiga, peran ideologi salafisme yang punya pengaruh besar terhadap gerakan-gerakan sosial nasionalis karena basis ideologi kontra-kolonialisme salafisme tersebut.
72
Daftar Pustaka al-'Alami, Muhammad b. Muhammad. Mohammed V: Histoire de l'independance du Maroc. Sale: Maroc, 1981. Abu-Nasr, Jamil M. History of the Maghrib. Cambridge: Cambridge University Press, 1971. Ageron, Charles Robert. Politiques Coloniales au Maghreb. Paris: Presses Universitaires de France, 1973. Anderson, Bennedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, 1991. 'Arawi, Abd Allah. Les Origines Sociales et Culturelles du Nationalisme Marocain, 1830-1912. Paris: F. Maspero, 1977. Arnaud, Louis. Au temps des Mehallas au Maroc ou le Maroc de 1860 a 1912. Casablanca: Atlantides, 1952. Avonde, C. Le Commerce exterieur du Maroc Francais. Archive, Fes: Renseignements Coloniaux, 1923. Baida, Jamaa. La Presse Marocaine d'Expression Francaise: des Origines a 1956. Rabat: Faculte des Lettres et des Sciences Humaines de Rabat, 1996. Bernard, Stephen. The Franco-Moroccan Conflict, 1943-1956. New Haven: Yale University Press, 1968.
73
Berque, Jacques. Etudes d'Histoire Rurale Maghrebine. Fes: Les Ed. Internationales, 1938. Bidwell, R. Morocco Under Colonial Rule: French Administration of Tribal Areas, 1912-1956. London: Duckworth, 1973. Blair, Leon Borden. Western Window in the Arab World. Austin: University of Texas Press, 1970. Brown, K. "The Impact of the Dahir Berbere in Sale." In Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa, by Ernest Gellner, & Charles Micaud, 201-215. London: Duckworth, 1973. Brown, Kenneth, and George Henderson. "Resistance and Nationalism." International Journal of Politics, Vol 7 No. 3, Fall, 1977: 100-106. Burke, Edmund. Prelude to Protectorate in Morocco: Pre-Colonial Protests and Resistance, 1860-1912. Chicago: The Chicago University Press, 1976. Burke, Edmund. "The Image of Morocco in French Colonial Scholarship." In Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa, by Ernest Gellner, & Charles Micaud, 165-190. Paris: Lexington, 1972. Burke, Edmund. "The Image of the Moroccan State in French Ethnographical Literature: a new look at the origins of Lyautey's Berber Policy." In Arabs and Berbers: From Tribe to Nation in North Africa, by Ernest Gellner, & Charles Micaud, 75-99. London: Duckworth, 1973.
74
Burke, Peter. History and Social Theory. New York: Cornell University Press, 1993. —. New Perspectives on Historical Writing. Cambridge: Polity Press, 2001. Catroux, Georges. "France, Tunisia and Morocco." International Journal Vol. 9 No. 4, 1954: 282-294. Charnay, Jean Paul. La vie Musulmane en Algerie, d'apres la Jurisprudence de la Premiere Moitie du XXe Siecle. Paris: Presses Universitaries de France, 1965. Crapanzano, Vincent. The Hamadsha: a Study in Moroccan Ethnopsychiatry. Berkeley: University of California Press, 1973. Damis, John. "Developments in Morocco under the French Protectorate, 19251943." Middle East Journal Vol. 24 No. 1, Winter, 1970: 74-86. —. "The Free-School Movement in Morocco, 1919-1970." Disertasi Doktor. Tuft University, 1970. Eickelman, Dale F. Moroccan Islam: Tradition and Society in a Pilgrimage Center. Austin: Texas University Press, 1976. al-Fassi, Allal. The Independence Movement in Arab North Africa. Terjemahan Hazem Zaki Nuseibeh. Washington DC: American Council of Learned Societies, 1954.
75
Geertz, C., H. Geertz, and L. Rosen. Meaning and Order in Moroccan Society. Cambridge: Cambridge University Press, 1979. Gotschalk, Louis. Understanding History. A Primer Historical Method. Second Edition. Terj Nugroho Notosutanto. Jakarta: UI Press, 1975. Halstead, John P. Rebirth of a Nation: The Origins and Rise of Moroccan Nationalism, 1912-44. Cambridge: Cambridge University Press, 1967. Handayani, Anita. Fatima Mernissi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya dalam Mewujudkan Demokrasi dan Hak-Hak Perempuan di Maroko, 1922-1997. Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003. Hitti, Phillip K. History of the Arabs. London: The Macmillan, 1974. Hobswawm, Eric. Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movement in the Nineteenth and Twentieth Century. Manchester, 1971. Hockett, H.C. Critical Method in Historical Research and Writing. New York: Mac Millan & Co., 1967. Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age. Cambridge: Cambridge University Press, 1983. Hunter, F. Robert. "Promoting Empire: The Hachette Tourist in French Morocco, 1916,36." Middle Eastern Studies Vol. 43 No. 4, July, 2007: 579-591.
76
Julien, Charles Andre. L'Afrique du Nord en Marche: Algerie-Tunisie-Maroc, 1880-1952. Paris: Omnibus, 2002. Kably, Mohammed. "Legitimacy of State Power and Socio-ReligiousVariations in Medieval Morocco." In In the Shadow of the Sultan: Culture, Power and Politics in Morocco, by Rahma Bourqia, & Susan Gilson Miller, 256-288. Cambridge: Harvard Centre for Middle Eastern Studies, 1999. Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993. Lahabbi, Mohammed. Le Gouvernement Marocain a l'Aube du 20 siecle. Casablanca: Editions Maghrebines, 1975. Latif, Abdul. Dinasti Alawiyah: Kontribusi Maulay Ismail pada Kemajuan Kebudayaan di Maroko, 1672-1727. Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015. Leveau, Remy. Le Fellah Marocain, defenseur du trone. Paris: Presses de la Fondation nationale des sciences politiques, 1976. Mansour, Mohamed El. "Salafists and Modernists in the Moroccan Nationalist Movement." In Islamism and Secularism in North Africa, by John Ruby, 33-56. New York: St. Martin's Press, 1999. Mortons, Patricia. Hybrid Modernities: Architecture and Representation at the 1931 Colonial Exposition, Paris. Cambridge: MIT Press, 2000.
77
Ouardighi, Abderrahim. La Grande Crise Franco-Marocaine, 1952-1956. Rabat: L'imprimerie Nouvelle, 1976. Park, Thomas K., and Aomar Boum. Historical Dictionary of Morocco. Second Edition. Oxford: Scarecrow Press Inc, 2005. Parsons, Frederick V. The Origins of the Morocco Questions, 1800-1900. London: Duckworth, 1976. Pennel, C.R. Morocco: From Empire to Independence. Oxford: One World, 2003. Pennell, C.R. Morocco since 1830: A History. New York: New York University Press, 2000. Pennell, C.R. "Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought." Morocco: Occasional Papers, No. 1, 1994: 22-37. Rivet, Daniel. Le Maroc de Lyautey a Mohammed V: Le Double Visage du Protectorat. Paris: Denoel, 1999. —. Lyautey et L'institution du Protectorat Francais au Maroc, 1912-1925. Vol. 1. Paris: L'harmattan, 1988. Rochmat, Saefur. Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Sater, James N. Civil Society and Political Change in Morocco. London: Routledge, 2007.
78
Schroeter, Daniel J., and Joseph Chetrit. "Emancipation and Its Discontents: Jews at Formative Period of Colonial Rule in Morocco." Jewish Social Studies, New Series, Vol. 13 No. 1, Autumn, 2006: 170-206. Sihbudi, Riza. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. PT Ichtiar Baru van Hoeve: Bandung, 2002. Spitz, L.W. "The Third Generation of German Renaissance Humanists." In Aspects of Renaissance, by ed. A.R. Lewis, 105-121. Austin, 1967. Stewart, Charles F. Economy of Morocco, 1912-1965. Cambridge: Harvard University Press, 1964. Stoddard, L. Dunia Baru Islam. Jakarta, 1966. Tozy, Mohammed. Champs et Contre-Champs Politico-Religieux au Maroc. Thesis, Marseille: Universite de Droit, d'Economie et des Sciences d'Aix, 1984. Waterbury, John. The Commander of the Faithful: The Moroccan Political Elite. New York: Columbia University Press, 1970. World Affair Institute. "Spain in Morocco." Advocate of Peace Through Justice Vol. 87, 1925: 147-149. Wyrtzen, Jonathan. "Performing the Nation in Anti-Colonial Protest in Interwar Morocco." Journal of the Association for the Study of Ethnicity and Nationalism, 2013: 615-634.
79