SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
RESISTENSI PINJAL TIKUS (XENOPSYLLA CHEOPIS) TERHADAP INSEKTISIDA DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT PES Dyah Mahendrasari Sukendra*1 1
Ilmu Kesehatan Masyarakat, FIK, UNNES
Abstract Plague is one of zoonotic disease. Plague caused by an enterobacteriae Yersinia pestis, transmitted to human by fleas (Xenopsylla cheopis) bite. Plague were included of reemerging disease, a disease that can emerge anytime and potential being an outbreak, it also included of Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). The main cause of re-emerging disease of vector borne disease possible directly caused by insecticide resistance. Bendiocarb, carbaryl, deltamethrin, diazinon, diflubenzuron, and fenitrothion are insecticides which use to control fleas. Insecticide resistance were not give a contribution to an emerge of any diseases, but possible to pursue disease vector control program. There were four provinces in Indonesia being an area of plague monitoring. Disease control carried out by reducing population of fleas. Yersinia pestis using rats as its host and human could be infected by flea bites. An outbreak of plague was initiated by an epizootie on rats. Reducing fleas population and diminishing flea bites were the goals of fleas control, also the plague transmission from rodents to others or human can be blocked. So, controlling fleas population was the main vector control program to overcome plague infection. Keywords : Xenopsylla cheopis, Yersinia pestis, rat, resistance.
THE RESISTANCE OF RAT FLEAS (XENOPSYLLA CHEOPIS) TOWARDS INSECTICIDE IN PREVENTING PLAGUE Abstrak Penyakit pes merupakan salah satu penyakit zoonosis, disebabkan oleh enterobakteria Yersinia pestis, dapat menular ke manusia melalui gigitan pinjal (Xenopsylla cheopis). Pes termasuk penyakit re-emerging diseases, yaitu penyakit yang dapat sewaktu-waktu muncul kembali sehingga berpotensi untuk menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan termasuk dalam Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau Kedaruratan Kesehatan yang meresahkan dunia. Penyebab utama re-emergence of vector borne disease diperkirakan terjadi akibat resistensi insektisida. Resistensi tidak berkontribusi terhadap terjangkitnya suatu penyakit, tetapi dimungkinkan menyebabkan hambatan pada program pengendalian penyakit. Insektisida yang dipergunakan untuk pengendalian pinjal antara lain adalah bendiocarb, carbaryl, deltamethrin, diazinon, diflubenzuron, dan fenitrothion. Terdapat empat wilayah Provinsi di Indonesia yang menjadi daerah pengawasan pes. Penanggulangan penyakit diupayakan dengan melakukan pengendalian terhadap pinjal. Yersinia pestis menggunakan tikus sebagai inang. Apabila seekor tikus menderita pes, manusiapun dapat terinfeksi oleh gigitan pinjal. Tujuan utama pengendalian pinjal adalah menurunkan populasi pinjal dan mengurangi kontak gigitan pinjal. Upaya pengendalian dilakukan untuk mencegah tejadinya penularan pes dari rodensia satu ke rodensia lain atau dari rodensia ke manusia, sehingga pengendalian pinjal merupakan suatu program prioritas utama dalam penanggulangan penularan pes. Kata Kunci: Xenopsylla cheopis, Yersinia pestis, tikus, resistensi *
Alamat korespondensi:
[email protected] 27
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
Naskah masuk: 9 Maret 2015; Review I: 9 Maret 2015; Review II: 30 Maret 2015; Layak Terbit: 16 Juni 2015
PENDAHULUAN Penyakit pes merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang menyerang hewan rodensia tetapi dapat menular ke manusia melalui gigitan pinjal. Masyarakat awam kurang menyadari bahwa penyakit ini ada kemungkinan bisa diderita oleh manusia modern pada masa sekarang. Anggapan semacam ini perlu diperbaharui, karena sejarah telah membuktikan bahwa penyakit ini pernah menjadi wabah di berbagai belahan dunia serta telah menelan banyak korban yang meninggal akibat penyakit ini, dengan jumlah korban yang mencapai ribuan di setiap kasus wabah.1 Penyakit pes disebabkan oleh enterobakteria yang bernama Yersinia pestis, dan nama ini diambil dari nama seorang ahli bakteri berkebangsaan Prancis yaitu AJE Yersin. Bakteri ini disebarkan oleh sejenis hewan pengerat dan dalam banyak permukiman di berbagai negara di seluruh dunia. Tikus merupakan jenis hewan pengerat yang cukup akrab ditemui sebagai penyebab penyakit pes.1,2 Tikus terinfeksi Y. Pestis melalui gigitan pinjal. Y. Pestis menggunakan tubuh pinjal sebagai hospes. World Health Organization (WHO) melaporkan telah terjadi 119 kasus pes (31 Agustus 2014 – 16 November 2014) di Madagaskar terjadi KLB pes dan 40 orang meninggal. Dua kasus yang ditemukan di sebuah rumah sakit di Antananarivo berpotensi menularkan pes pada populasi yang padat penduduk, sanitasi buruk, pembuangan sampah yang tidak baik, kelemahan sistem kesehatan. Di kota Antananarivo belum memiliki aturan yang ketat untuk para turis lokal/internasional yang datang dan pergi dari kota ini, sehingga dikuatirkan akan menyebar ke berbagai wilayah dan mengakibatkan pandemi.3 Penyakit pes termasuk penyakit reemerging diseases, yaitu penyakit yang
dapat sewaktu-waktu muncul kembali sehingga berpotensi untuk menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah Indonesia maupun dunia menetapkan penyakit pes menjadi salah satu penyakit karantina seperti yang tercantum dalam UU No.1 tahun 1962 tentang Karantina Laut, UU No.2 yahun 1962 tentang Karantina Udara, dan tercatat dalam Internasional Health Regulation. Penyakit Pes juga termasuk dalam Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau Kedaruratan Kesehatan yang meresahkan dunia. Terdapat empat wilayah provinsi di Indonesia yang menjadi daerah pengawasan pes, yaitu di Ciwidey Kabupaten Bandung (Jawa Barat), Kecamatan Selo dan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), di Kecamatan Tutur, Tosari, Puspo, dan Pasrepan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), dan Cangkringan Kabupaten Sleman (Yogyakarta).4 Yersinia pestis ditransmisikan melalui pinjal yang terinfeksi, manusia yang terinfeksi mampu menularkan pes secara langsung ke manusia yang lain. Penggunaan antibiotika untuk menangani Y. pestis masih dapat dilakukan. Y. pestis masih suseptibel terhadap antibiotika, walaupun masih diperlukan monitoring untuk mengetahui tingkat resistensi terhadap antibiotika. Oleh karena itu penyakit pes dapat kendalikan dengan melakukan pengendalian pada vektornya yaitu X. Cheopis. 5,6,7 Pes dapat dihindari dengan menghambat kontak langsung antara tikus dan pinjal. Pengendalian pada pinjal akan menjadi lebih komplek apabila terjadi resistensi. Telah dilaporkan di berbagai negara sudah terjadi resistensi terhadap deltametrin (insektisida yang dipakai untuk mengontrol populasi pinjal). Studi terbaru pada tes suseptibilitas X. cheopis terhadap deltametrin, menunjukkan bahwa ada 2 dari 32 populasi berbeda yang suseptibel terhadap deltametrin, 4 populasi toleran, dan 26 populasi resisten. Resistensi 28
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
penggunaan insektisida pada X. Cheopis dan mekanisme resistensi insektisida penting untuk diketahui, sehingga pengendalian populasi pinjal dengan menggunakan insektisida sebagai vektor pes dapat tercapai.6,8,9
BAHASAN Transmisi Penyakit Serangga dan hewan pengerat (tikus), baik disadari maupun tidak, pada kenyataanya telah menjadi kompetitor bagi manusia. Selain itu serangga dan hewan pengerat (tikus) dapat mempengaruhi bahkan menganggu kehidupan manusia dengan berbagai cara. Kehidupan manusia yang terganggu karena tikus berkaitan erat dengan kejadian/penularan penyakit. Pola penularan penyakit pes melibatkan empat faktor kehidupan, yakni manusia, pinjal, bakteri, dan tikus.1,10 Bila di suatu daerah akan terjadi wabah pes, biasanya didahului oleh wabah pada binatang (epizootie) yaitu pada tikus. Apabila seekor tikus menderita pes, maka tikus terinfeksi karena gigitan pinjal. Yersinia pestis menggunakan tubuh pinjal sebagai hospes. Tikus terinfeksi oleh Y. pestis melalui gigitan pinjal (Xenopsylla cheopis). Sebelum kondisi tubuh tikus menjadi parah, tikus masih dapat berinteraksi dengan tikus-tikus lain, sehingga memungkinkan terjadi penularan antar tikus. Akibat kejadian penularan antar tikus, maka pada waktu yang bersamaan akan muncul banyak sekali tikus yang menderita pes (epizootie). Kondisi tikus yang terinfeksi Y. pestis menjadi lebih parah maka tikus-tikus ini akan mencari tempat sunyi dan biasanya mendekati lingkungan manusia dengan masuk ke rumahrumah. Bila tikus mati, pinjal akan kelaparan dan keluar dari tubuh tikus. Pinjal yang lapar akan menjadi sangat agresif untuk mendapatkan pakan berupa darah, sehingga akan menyerang apa saja yang ditemui terutama darah manusia.2,4,11
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
Tikus tentu dianggap hama pengganggu bagi setiap permukiman yang dituju. Beberapa wilayah di belahan dunia yang mempunyai tingkat sanitasi tempat tinggal kurang baik, wabah penyakit pes masih dapat ditemukan. Akan tetapi, bukan berarti manusia yang tinggal di permukiman modern akan sepenuhnya terbebas dari ancaman penyakit pes. Pada kenyataannya hama tikus masih bisa ditemukan bahkan di area permukiman yang cukup modern. Maka kebersihan rumah dan lingkungan tempat tinggal perlu dijaga baik, supaya tikus tidak tertarik untuk masuk kedalam tempat tinggal manusia dan menyebarkan penyakit pes.1,11
Gambar 1. Morfologi Bakteri Yersinia pestis.12 Kuman pes, yaitu bakteri Y. pestis akan berkembang biak di dalam tubuh pinjal sehingga akan menyumbat tenggorokan pinjal. Jika pinjal akan menghisap darah maka pinjal harus terlebih dahulu muntah untuk mengeluarkan Y. pestis yang menyumbat tenggorokan pinjal. Muntahan pinjal akan masuk kedalam luka bekas gigitan dan terjadi infeksi. 1,13 Manusia setelah kontak langsung dan terinfeksi tikus pembawa penyakit pes, maka akan nampak gejala sakit setelah 2-6 hari sesuai masa inkubasi bakteri untuk berkembangbiak dalam tubuh manusia. Penyakit pes jenis baru mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat sekitar 2-4 hari saja. Cara untuk menghindari terinfeksi penyakit pes maka dilakukan pengobatan dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik diberikan pada orang-orang yang hidup di sekitar penderita pes. 29
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
Pemberian antibiotik dilakukan ± 7 hari setelah kontak dengan penderita pes. Pelindung termasuk sarung tangan, masker, dan lain-lain perlu digunakan saat akan melakukan kontak fisik dengan penderita. Kucing perlu dihindarkan dari memakan tikus dan berinteraksi dengan tikus dalam bentuk apa pun. Penyakit pes dapat dicegah jika populasi tikus dan pinjal di lingkungan tempat tinggal dibatasi, serta melakukan vaksinasi saat harus berkunjung ke daerah epidemi.1,13
mencegah penularan pes antar rodensia atau dari rodensia ke manusia, sehingga pengendalian pinjal merupakan suatu program prioritas utama dalam penanggulangan penularan pes. Tindakan dilakukan dengan melakukan pengendalian vektor pes terlebih dahulu daripada pengendalian inang 2,10,11 reservoir. Pengendalian dilakukan antara lain dengan:
Pengendalian Vektor Xenopsylla cheopis
2. Menggunakan
Pengendalian vektor merupakan suatu tindakan atau kegiatan dengan penggunaan cara yang baru diaplikasikan/diperkenalkan ataupun yang sudah ada di suatu lingkungan, dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan kepadatan populasi pinjal pada tingkat yang lebih rendah daripada tingkat populasi pada saat kegiatan tersebut tidak dilakukan. Usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit menular mempunyai banyak cara, terlebih dalam penanganan penyakit pes. Untuk itu perlu diterapkan teknologi yang sesuai, cara pengendalian vektor penyakit dapat dilakukan dengan pengendalian vektor terpadu. Pengendalian terpadu dilakukan mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis, dan sosial budaya. Pengendalian tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja, tetapi memerlukan kerjasama lintas sektor dan program. 2,11 Manusia sebenarnya merupakan cabang dari siklus bakteri yang berpusat pada tikus dan pinjal. Upaya menjauhkan tikus dari tempat kediaman tetap merupakan usaha yang utama. Penanggulangan penyakit pes diupayakan dengan melakukan pengendalian pinjal. Tujuan utama pengendalian pinjal adalah untuk menurunkan populasi pinjal dan mengurangi kontak gigitan pinjal. Upaya pengendalian dilakukan supaya dapat
1. Tetap menjaga populasi tikus supaya tidak mengalami peledakan jumlah, di daerah rural ataupun urban. bahan-bahan insektisida pembasmi pinjal pada hewan peliharan ataupun hospes lain.
3. Jika ditemukan infestasi pinjal di sekitar tempat tinggal, maka dapat digunakan insektisida di dalam rumah, mencuci atau membersihkan bendabenda yang diperkirakan terkontaminasi pinjal, melakukan penyemprotan yang mampu membunuh pinjal. Metode yang dilakukan untuk pengendalian pinjal dalam pemberantasan pes adalah dengan metode dusting. Dusting adalah metode pengendalian vektor menggunakan bubuk insektisida pada tempat-tempat yang diduga sebagai jalan tikus (runaway) atau sarang inang reservoir. Insektisida yang dipergunakan untuk pengendalian pinjal antara lain bendiocarb, carbaryl, deltamethrin, diazinon, diflubenzuron, dan fenitrothion. Indikator keberhasilan metode dusting adalah penurunan Indeks umum dan indeks khusus pinjal.10 Indeks Umum Pinjal = Jumlah semua pinjal Jumlah tikus Y yang diperiksa Indeks Khusus Pinjal = Jumlah total jenis pinjal A Jumlah jenis tikus Y yang diperiksa
30
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
Metode Dusting
dianjurkan.17,18
Metode dusting dilakukan dengan melakukan penaburan bubuk insektisida pada jalan tikus. Metode dusting memiliki kelebihan yaitu mampu menurunkan populasi pinjal, sedangkan kelemahan metode ini adalah ada pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh bubuk insektisida yang dipergunakan.
Resistensi insektisida diperkirakan terjadi secara langsung dan menjadi penyebab utama re-emergence of vector borne disease. Walaupun resistensi tidak berkontribusi terhadap terjangkitnya suatu penyakti, tetapi dimungkinkan menyebabkan hambatan program pengendalian penyakit. Meskipun telah ada laporan informasi termutakhir mengenai resistensi vektor (laporan database mengenai resistensi dan catatan program pengendalian milik World Health Organization) menunjukkan bahwa banyak terdapat efek resistensi pada upaya pengendalian vektor belum nampak jelas.
Pelaksanaan metode dusting adalah dengan cara bubuk insektisida ditaburkan sepanjang tempat yang dilalui tikus, dan sarang tikus (dalam dan luar rumah) dengan menggunakan alat dusting. Ketebalan insektisida 1 cm dan lebar 15 cm. Setiap rumah diberikan 2-4 kg insektisida. Setelah 5-7 hari serbuk insektisida dibersihkan. Hasil penggunaan metode ini efektif menurunkan indeks umum pinjal dalam waktu 15-19 minggu. Penurunan indeks umum pinjal 54-87% terjadi ± 10 hari setelah aplikasi.16,17 Resistensi Penggunaan pada X. cheopis
Insektisida
Resistensi insektisida sudah menjadi problematika pada semua grup insekta yang berfungsi sebagai vektor pada timbulnya penyakit. Resistensi terhadap insektisida mulai nampak pada beberapa insekta vektor pada setiap genus. Pada tahun 1992, daftar spesies vektor insekta yang resisten meliputi 56 Anopheline dan 39 Culicine, Body lice, Bed bugs, Triatoma, sembilan spesies kutu, dan sembilan spesies pinjal. Beberapa insekta lain yang penting dalam dunia kesehatan, seperti lalat dan kecoa, menunjukkan resistensi di semua genera. Resistensi telah berkembang pada setiap kelas bahan kimia dari insektisida, termasuk obat-obatan mikrobial dan insect growth regulator. Dalam kurun waktu beberapa dekade akibat pemakaian secara internasional, detail mengenai keberadaan resistensi insektisida akan mempengaruhi kebijakan mengenai strategi dalam mengendalikan kebutuhan khusus yang lebih mengarah ke pemakaian daripada aturan sesuai aplikasi yang
Banyak contoh mengenai laporan resistensi pada spesies vektor dan persebaran lokal atau menyeluruh di suatu wilayah berdasarkan pada data set tunggal dari suatu titik waktu tertentu di suatu negara dan mungkin tahunan, selama tiap dekade, atau data lama. Usaha untuk meneliti pada setiap kejadian resistensi dan aplikasi pada vektor pengendalian tidaklah praktis. Dikarenakan upaya pengendalian vektor dilakukan hanya pada saat terjadi kejadian emergensi, dan bukan pada waktu yang diperlukan secara tepat. Upaya untuk mengurangi resistensi insektisida adalah dengan melakukan pembatasan pada insektisida yang dijual di pasaran kepada orang awam. Sehingga diperlukan peraturan yang tegas mengenai pemakaian insektisida.10,15 Meskipun mekanisme insektisida menjadi kurang efektif pada semua taksa vektor, setiap masalah resistensi memiliki mekanisme yang unik dan mungkin melibatkan berbagai pola yang kompleks. Upaya untuk menangani resistensi adalah dengan melakukan surveilans untuk mengetahui populasi yang masih suseptibel. Berdasarkan pengamatan pada penelitian mengenai resistensi terhadap insektisida pada Arthropoda, belum dijelaskan secara terperinci mengenai resistensi DichloroDiphenyl-Trichloroethane (DDT) pada 31
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
pinjal, X. cheopis. Penelitian telah dilakukan di beberapa tempat di berbagai negara di dunia kecuali di Ekuador. Pernah dilaporkan bahwa terdapat kegagalan penggunaan DDT untuk mengontrol X. cheopis. Hasil penelitian di laboratorium dilaporkan bahwa ada peningkatan kemampuan resistensi terhadap DDT sebesar 2-3 kali yang terjadi pada 4-7 generasi. Penggunaan metode teknik Busvine & Nash untuk mengevaluasi LC50, maka memperoleh hasil 0,4% DDT, 0,06% ɤ-BHC, dan 0,15% malathion untuk spesies yang ada di Calcutta India.18,19,20 Data-data mengenai prosedur pengamatan resistensi insektisida terhadap insekta ini secara fisiologis jarang ditemukan. Hal ini diperkirakan karena kejadian penyakit plague yang disebabkan oleh vektor X. cheopis ini telah lama turun secara drastis dan hampir tidak pernah muncul lagi kejadian penyakit pes di dunia, sehingga sangat sedikit sekali penggunaaan insektisida dalam skala besar dalam upaya untuk mengontrol populasi pinjal. Penggunaan insektisida dalam berbagai produk lebih banyak diaplikasikan pada upaya eradikasi kejadian malaria maupun arthropod borne disease lain. Tidak menutup kemungkinan penggunaan insektisida dalam lingkup luas, terutama DDT. Penggunaan DDT ini memiliki collateral effect untuk mereduksi kepadatan pinjal pada batas kritisnya dalam transmisi penyaklit plague. Oleh sebab itu penggunaan bahan insektisida juga berpengaruh pada upaya penurunan insidensi penyakit pes meskipun di daerah endemis. Dilain pihak, penggunaan bahan insektisida berpotensi untuk meningkatkan resistensi pinjal. Apabila diaplikasikan pada suatu waktu di satu atau dua kejadian sporadik pes secara lokal, serta dimungkinkan akan terjadi epidemi maka akan sulit dilakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida yang sama. Sehingga penting sekali untuk melakukan pengecekan secara regular atau teratur level resistensi insektisida
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
pada pinjal ini pada pemakaian di suatu tempat yang dilakukan dengan penyemprotan dalam skala besar secara rutin selama bertahun-tahun di suatu negara atau di negara lain yang melakukan program pengendalian terhadap eradikasi malaria atau arthropod borne disease lain.15,17 Meskipun pada masa sekarang telah dilakukan program pemantauan penggunaan jangka panjang DDT, dieldrin, dan ɤ-BHC untuk memastikan suseptibilitas terhadap pinjal, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap nyamuk. Penemuan prosedur yang standar untuk mengetahui level resistensi insektisida terhadap pinjal perlu untuk diketahui. Metode test yang dikembangkan untuk mengetahui level resistensi insektisida terhadap pinjal adalah dengan melakukan prosedur tes suseptibilitas.17 WHO tidak menerapkan standar prosedur tes suseptibilitas sebagaimana halnya pada tes suseptibilitas nyamuk. Sehingga beberapa peneliti melakukan tes suseptibilitas sesuai metode masingmasing. Beberapa metode yang dipergunakan pada awalnya adalah penentuan 10-15 % kematian pada pengendalian pinjal, tetapi pada saat aplikasi, kematian pengendalian mengalami penurunan bahkan mencapai nilai nol. Rat-traps yang diberi umpan ditempatkan di rumah-rumah, lumbung, dan tempat-tempat lain pada saat sore hari. Kemudian pada pagi hari setelah perangkap dan tikus di dalam perangkap diambil dan diletakkan di tas kain yang diikat secara kuat dengan tujuan untuk menahan supaya pinjal tikus tidak lepas pada saat dibawa dalam perjalanan ke laboratorium. Di laboratorium , kemudian kain yang lembut diletakkan di meja. Perangkap tikus idikeluarkan dari taskain satu persatu, perangkap tikus yang kosong dipisahkan dan goyang-goyang di kain lembut untuk mendapatkan pinjal yang mungkin tertinggal di perangkap tikus.11,17 Tikus dikeluarkan dengan menggunakan kain dan di pegang pada 32
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
telinga dan ekor sementara pinjal akan terjatuh di kain lembut yang telah disediakan di meja. Meskipun kain lembut telah dipergunakan, pinjal-pinjal mampu melompat melarikan diri saat akan diambil. Sehingga saat melakukan sisiran pada tikus dilakukan pada dua tabung uji yang saling terhubung (end to end), supaya pinjal tidak akan mampu melompat keluar dari tabung. Kemudian pinjal yang tertangkap dikumpulkan di tabung uji yang telah terdapat kertas bersih pada tiap sisi tabung. Sepuluh pinjal diletakkan pada tiap sisi tabung dan ditutup dengan menggunakan kain dan karet. Hal ini dilakukan supaya pinjal yang tertangkap dapat diminimalisir mengalami luka dan menurunkan angka kematian pinjal yang tertangkap. Setelah mendapatkan pinjal yang cukup (membutuhkan waktu 3-4 jam untuk mengkoleksi sekitar 300-400 pinjal) mereka kemudian di paparkan dengan menggunakan insektisida dengan cara tabung digoyang-goyang secara halus supaya pinjal jatuh kebawah, dan kemudian kertas bersih bisa diambil lalu diganti dengan menggunakan insecticide-impregnated paper (0,5 inchi x I inchi). Pada saat akhir paparan (selama satu jam atau sesuai yang diperkirakan) insecticide-impregnated paper diambil dan pinjal dipindah ke tabung lain yang terdapat kertas bersih lalu diobservasi selama 24 jam untuk mengetahui tingkat kematian. Pada mulut tabung ditutup menggunakan kain dan karet. Pada saat periode paparan, pinjal akan kontak dengan kertas sepanjang waktu. Metode ini menggambarkan bahwa prosedur di atas bekerja dengan baik dan mortalitas dari pengendalian rendah.17,19 Setelah data jumlah kematian didapatkan, tiap batch direbus secara terpisah dengan menggunakan 10% potassium hydroxide selama setengah sampai satu jam dan pinjal kemudian diidentifikasi dengan mikroskop. Pinjal yang masih hidup dimungkinkan resisten terhadap insektisida yang dipergunakan. Kemampuan resistensi ini bisa terjadi karena adanya mutasi maupun selektif
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
breeding. Pinjal–pinjal yang telah terpapar oleh insektisida spray yang biasa dipergunakan untuk nyamuk, sehingga pinjal yang terpapar bisa beradaptasi dengan insektisida yang dipergunakan. 17,19,21 Resistensi pada pinjal dapat terjadi pada tingkatan resistensi tinggi, resistensi sedang, dan suseptibel. Resistensi tinggi dapat terjadi pada saat dipaparkan dengan menggunakan DDT, resistensi medium dapat terjadi pada ɤ– BHC ataupun Dieldrin. Resistensi pinjal terhadap insektisida tergantung pula pada jumlah frekuensi paparan insektisida dengan pinjal tersebut. Semakin sering suatu jenis insektisida, maka semakin mudah bagi pinjal untuk mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dan menjadi resisten tehadap insektisida. Sehingga perlu adanya suatu pengecekan rutin terhadap bahan-bahan insektisida yang dipergunakan pada suatu daerah untuk mengetahui level resistensi pinjal terhadap insektisida.15,17 Prediksi mengenai adaptasi secara molekuler masih sering diperdebatkan. Ketika terjadi proses evolusi gen dengan menghasilkan efek perubahan, pada saat itu pula diasumsikan semua gen terlibat dalam perubahan tersebut. Namun, adaptasi dengan latar belakang disebabkan oleh gen, selama ini hanya diketahui terjadi pada organisme yang berukuran kecil. Pada evolusi hospes parasit, dimana dimungkinkan terjadi interaksi evolusi menyeluruh, interaksi gen dengan gen yang kemudian diikuti pada siklus diprediksikan terjadi perubahan pada keduanya, yaitu pada sistem hewan dan tanaman. Mekipun begitu, umumnya interaksi antara insekta dan herbivora dibanding pada tanaman terhadap insekta, tanaman mempunyai kemampuan interaksi melebihi yang terjadi pada insekta herbivora.18,21 Na, K-ATPase, sodium, merupakan ion enzim dan merupakan utama pada jaringan
atau pompa transmembran ion pembawa hewan yang 33
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
bertanggung jawab untuk pemeliharaan potensial membran. Struktur asam amino sequence dari Na, K-ATPase merupakan subtansi pemelihara utama untuk hewan; katalisi dari α-subunit memiliki 10 domain transmembran dan lima loop ekstraselular. Dengan mengikat Na, KATPase, cardenolides mampu menghasilkan toksin yang kuat bagi hewan pada dosis tunggal. Dikarenakan 23 C empat cincin steroid skeleton dengan lima cincin lactone pada C17. Semua cardenolides sesuai dengan sisi ekstraselular untuk berikatan dengan NA,K-ATPase, dimana glikolisid berikatan dengan gula pada berbagai nomer dan struktur yang terletak pada permukaan membran. Beberapa asam amino diketahui terlibat pada perikatan cardenolide dengan menggunakan oubain, bagian yang paling sering dipakai sebagai referensi cardenolide adalah yang berasal dari Strophantus gratus (Apocynaceae). Meskipun sensitif terhadap NA,K-ATPase dan cardenolide merupakan karakteristik prevalent pada sebagian besar hewan, beberapa insekta mampu beradaptasi dengan cardenolide yang terdapat di tanaman.20,21,22 Mekanisme Resistensi Mekanisme resistensi insektisida berdasarkan biokemis secara garis besar terdiri dari dua mekanisme. Mekanisme resistensi yang berkaitan dengan target site resisten, terjadi ketika insektisida tidak lagi berikatan dengan target. Mekanisme kedua adalah resistensi karena detoksifikasi berdasarkan enzim. Mekanisme resistensi terjadi ketika terjadi peningkatan level atau modifikasi aktivitas esterase, oksidasi, atau glutathione S-transferase (GST) mencegah insektisida supaya tidak bisa mencapai lokasi aksi. Selain kedua hal tersebut, dimungkinkan pula ada mekanisme lain yaitu berdasarkan respon terhadap termal/suhu, hal ini penting untuk dimaknai sebagai upaya resistensi.20,22 Mekanisme Daerah Target Perubahan
asam
amino
bertanggung jawab pada pengikatan aktivitas insektisida pada target. Aktivitas insektisida menjadi kurang efektif maupun menjadi infektif. Target dari organophospat (contoh: malathion dan fenithroin) dan carbamat (contoh: propoxur dan sevin) adalah acetylcholinesterase pada sinapsis syaraf. Target dari organoklorin (DDT) dan sintetik pyrethroids adalah sodium channel yang terdapat di syaraf. DDTpyrethroid cross-resistensi mampu memproduksi asam amino tunggal (satu atau dua target) pada axon sodium channel pada lokasi perikatan insektisida. Cross-resistensi ini membuat pergantian aktivasi sodium dan menyebabkan sensitivitas pada pyrethroid menjadi rendah. Resistensi terhadap cyclodine (dieldrin) yang telah diketahui mekanismenya. Terdapat perubahan satu nukleotid pada kodon yang sama dari suatu gen terhadap reseptor ɤ-aminobutryric acid (GABA), sehingga paling tidak terdapat lima poin mutasi pada acetylcolinesterase insektisida pada daerah target perlekatan yang telah diketahui. Hal ini terjadi dikarenakan berbagai perbedaan variasi untuk mengurangi sensitivitas terhadap Ops dan insektisida karbamat.19,20,22 Mekanisme Detoksifikasi Enzim berperan dalam proses detoksifikasi dari xenobiotik pada organisme hidup. Enzim akan mentranskripsi bermacam-macam famili multi gen dari esterase, oksidase, dan GST. Dimungkinkan sebagian besar mekansime resistensi pada serangga adalah modifikasi dari level atau aktivitas detoksifikasi enzim esterase untuk memobilitasi (hidrolasi ikatan ester) pada berbagai macam insektisida. Esterase ini mengkompres enam famili protein yang merupakan anggota dari α/β hidrolase fold superfamily. Individu dari setiap klaster gen diperkirakan mampu beradaptasi, sehingga dapat terjadi resistensi insektisida. Sebagai contoh serangga akan melakukan perubahan pada satu asam amino yang mampu mengkonversi secara spesifik pada 34
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
esterase, hidrolase insektisida atau dengan menghilangkan kopi multipel gen yang mampu mengamplifikasi resistensi insekta.19,20,21 Sitokrom P450 oksidase (terminasi oksigenase) memetabolisme insektisida melalui -S-, N-alkyl hydroxylation, aliphatic hydroxylation, epoxidation, aromatic hydroxylation, ester oxidation, dan nitrogen serta thioether oksidasi. Sitokrom P450s merupakan bagian dari superfamili yang luas. Enampuluh dua famili dari P450s yang diketahui terdapat di tubuh hewan dan tanaman. Sebanyak empat famili (famili 4,6,9, dan 18) telah diisolasi dari insekta. Pada insekta P450s oksidase merupakan bagian dari
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
famili ke enam yang bertanggungjawab terhadap resistensi. Seperti halnya pada esterase, telah dilakukan penelitian secara intensif mengenai mekanisme dari overproduksi oksidase dan terlihat pada kedua bagian aktif cis dan trans faktor. Mekanisme overproduksi diperkirakan berkaitan dengan fenomena induksi, sehingga penting untuk dilakukan deteksi dan monitoring terhadap resistensi. Langkah awal untuk identifikasi resistensi adalah dengan melakukan deteksi terhadap populasi vektor, melalui bioassay, biokemis, dan molekular.15,21,22
Gambar 2. Cross-Resistensi Dari Berbagai Kelas Insektisida15 Penanggulangan resistensi memerlukan manajemen yang tepat, dilakukan dengan strategi dan taktik tertentu pada program manajemen resistensi. Dengan mendeskripsikan suseptibilitas sumber resistensi dan resistensi surveilans sebagai tahap penting dalam manajemen resistensi. Surveilans resistensi memiliki tiga objek, yaitu 1) menentukan data awal untuk program perencanaan dan seleksi pestisida sebelum melakukan pengendalian; 2) deteksi resistensi pada stadium awal sehingga pada pelaksanaan manajemen lebih tepat waktu, meskipun deteksi resistensi berlangsung terlambat. Penting untuk mengevaluasi pengendalian vektor yang mengalami kegagalan; 3) pemantauan
terus menerus pada efek yang timbul karena strategi pengendalian vektor pada resistensi yang diberlakukan di suatu wilayah. Pemantauan dilakukan karena peralatan yang kurang memadai untuk mendeteksi dan manajemen resistensi pada level tingkatan teratas dengan efektivitas yang optimal. Sejumlah kursus/training dan konsultasi telah diadakan untuk mengatasi resistensi serta membantu upaya surveilans resistensi. Diperlukan perhatian lebih mengenai keberadaan resistensi terutama mengenai deteksi dan metode survelians. Hal utama mengenai penanggulangan resistensi adalah perlu adanya integrasi antar seluruh bagian program pengendalian. Kegiatan pengendalian vektor pengendalian meskipun berada pada 35
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
situasi yang darurat, dengan jumlah sumberdaya yang sedikit, tetap harus dilaksanakan seefektif mungkin. 8,15,18
3. European
KESIMPULAN Penyakit pes merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang menyerang hewan rodensia tetapi dapat pula menular ke manusia melalui gigitan pinjal. Penyakit pes disebabkan oleh enterobakteria Yersinia pestis. Suatu daerah yang terjadi wabah pes, biasanya didahului oleh wabah pada binatang (epizootie) yaitu pada tikus. Penanggulangan penyakit pes ini diupayakan dengan melakukan pengendalian terhadap pinjal. Tujuan utama pengendalian pinjal adalah menurunkan populasi pinjal dan mengurangi kontak gigitan pinjal. Upaya pengendalian vektor dilakukan supaya dapat mencegah penularan pes antar rodensia atau dari rodensia ke manusia. Progam utama penanggulangan pes lebih ditekankan pada pengendalian vektor yaitu pinjal tikus (Xenopsylla cheopis) dengan menggunakan insektisida serta pengendalian rodensia sebagai inang dari pinjal vektor penyakit pes. Dalam upaya pengendalian vekor juga perlu diperhatikan mengenai kemungkinan resistensi insektisida. Perlu dilakukan deteksi dini mengenai keberadaan populasi level resistensi dan produk insektisida yang pernah dipergunakan di suatu daerah, sehingga akan dapat dipilih program perencanaan untuk penanggulangan serta pemberantasan vektor dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Penyakit Pes, Salah Satu Penyakit Akibat Tikus. [internet] 2012. Diakses pada 25 Desember 2013. Ditelusuri dari http://www.pengusir Tikuextro.com//penyakit-pes-salahsatu-penyakit-akibat-tikus/.
2. Azrul A. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta; 1990.
Center for Disease Prevention and Control. Rapid Risk Assesment, Plague Outbreak, August-November 2014. Madagascar – 4 Desember 2014.[Article 2014]. Stockholm: ECDC; 2014.
4. Adong I. Pemberantasan Serangga Dan Binatang Pengganggu. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1989.
5. Boyer S, Miarinjara A, Elissa N. Xenopsylla cheopis (Siphonaptera: Pulicidae) Susceptibility to Deltamethrin in Madagascar. Plos One. 2014; 9(11):e111998.
6. Galimand M, Guiyoule A, Gerbaud G, Rasoamanan B, Chanteau S, Carniel E, et al. Multidrug Resistance Yersinia pestis, Mediated By A Transferable Plasmid. The New England journal of Medicine. September 1997; 677-680.
7. World
Health Organization. Emerging Infectious Disease, No Resistance Plasmid in Yersinia pestis, North America: CDC; 2010 May: (16)5.
8. Spinner JL, Carmody AB, Jarret CO, Hinnebusch BJ. Role of Yersinia pestis Toxin Complex Family Protein In Resistance To Phagocytosis By Polymorphonuclear Leukocytes. American Society for Microbiology Journal. November 2013; 81(11).
9. Shyamal B, Kumar RR, Sohan L, Balakrishnan N, Veena M, Shivi. Present Susceptibility Status Of Rat Flea Xenopsylla cheopis (Siphonaptera: Pulicidae), Vector Of Plague Against Organochlorine, Organophosphate And Synthetic Pyrethroids 1. The Nilgiris District, Tamil Nadu, India. Journal Community Disease. 2008 March; 40(1):41-5.
10. Ratovanjolu
J, Duchemin JB, Duplanter JM, Chanteau S. Xenopsylla cheopis (Siphonoptera: Xenopsyllinae), Fleas In Rural Plague Areas Of High Altitude 36
SPIRAKEL, Vol.7 No.1, Juni 2015: 27-37 DOI : 10.22435/spirakel.v7i1.6141.27-37
Madagascar; Level Of Sensitivity To Ddt, Pyrethroids And Carbamates After 50 Years Of Chemical Vecttor Control. Archives de I'Institute Pasteur de Madagascar. 2000;66(12):9-12.
11. Ratovanjolu
J, Rajerison M, Rahelinirina S, Boyer S. Yersinia pestis in Pulex Irritans Fleas During Outbreak, Madagascar. Emerging infectious Disease. 2014 Aug;20(8):1414-5
12. Mills JN and Childs JE.
Ecologic Studies of Rodent In Reservoirs: their prelevance for human health. Emerging infectious disease. 1998 Ocktober-December; 4(4).
13. Djoko P. Permasalahan Hama Tikus Dan Strategi Pengendaliannya (contoh kasus periode tanam 20032004). [internet] 2009. Diakses pada 5 Januari 2014. Ditelusuri dari www.sugarresearch.org.
14. Hinnebusch BJ, Rosso ML, Schwan TG, Carniel E. High-Frequency Conjugative Transfer of Antibiotic Resistance Genes To Yersinia pestis in The Flea Midgut. Molecular Microbiology. 2002; 2.
15. Brogdon W.G and McAllister JC. Insecticide Resistance and Vector Control. Emerging Infectious Diseases. 1998 ; 4 (4).
16. Engelthaler DM, Hinnebusch BJ, Rittner CM, Gage KL. Quantitave Competitive PCR As A Technique For Exploring Flea- Yersinia pestis Dynamics. American Journal of Troprical Medicine and Hygiene. 2000; 62(5).
17. William GB and McAllister JC.
Resistensi Penggunaan Insektisida …(Dyah MS)
18. Zhou W, Russel CW, Johnson KL, Mortensen RD, Erickson DL. Gene Expression Analysis of Xenopsylla cheopis (Siphonaptera: Pulicidae) Suggests a Role for Reactive Oxygen Species in Response to Yersinia pestis Infection. Journal of Medical Entomology. 2012; 49(2):364-370.
19. Busvine JR & Lien J. Methods for Measuring Insecticide Susceptibility Levels in Bed-bugs, Cone-nosed Bugs, Fleas and Lice. Bull. Org. mond. San Bull. Wld Hlth Org.1961; 24: 50-517.
20. Bacott AW. The Effect
of The Vapours Of Various Insecticides Upon Fleas (Ceratophyllus fasciatus and Xenopsylla cheopis ) at Reach Stage In Their Life History And Upon The Bed Bugs (Cimex legtularius) in Its Larval Stage. [Synopses]. J.Hyg.London. 1914;13:665-681.
21. Stasiak RS, Grothaus H, & Miner WF. Resistance of The Oriental Rat Flea, Xenopsylla cheopis, to DDT In The Republic Of Viet-Nam. [Notes]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arti cles/PMC2427555/pdf/bullwho00217 -0170.pdf
22. Ke Dong. Insect Sodium Channels And Insecticide Resistance. Invert Neurosci. 2007 March; 7(1): 17–30.
23. Susanne D, Safaa D, Vera W, and Agrawal AA. Community-wide Convergent Evolution In Insect Adaptation To Toxic Cardenolides By Substitutions In The Na, K-ATPase. [internet]. Diakses pada tanggal 5 Januari 2014. Ditelusuri dari PNAS. http://www.pnas.org/content/109/32/ 13040.full.pdf.
Insecticide Resistance And Vector Control. Emerging Infectious Diseases. 1998 October–December; 4(4).
37