Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENANGGULANGAN PENYAKIT ANTRAKS SECARA PARTISIPATIF (Participatory Action for Controlling of Anthrax) SRI WAHYUNI dan EDI BASUNO Pusat Analisis sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. Jend. A. Yani No. 70, Bogor
ABSTRACT Anthrax can be prevented and cured, but its cases occur continuously. Babagan Madang sub-district, Bogor were suffering of anthrax since the last four years. Research was conducted in this sub-district in which 25 key informants and 30 farmers as respondents participated. Data were collected participatively through group discussion and individual interview during May to December 2005. Reseach objectives were to (1) characterize farmers, (2) understand the existing livestock practices and (3) understand farmers’ knowledge on anthrax. Results showed that (1) the average age and education of respondents were 59 with five years of education, land holding of 132 m2 and only 33 % owned television and only 10 percent farmers considered sheep/goats as main occupation, (2) Flock size between two to 29 with average of seven heads, 54% as sharer. About 56% farmers do not have buck, distance of barn to house between 0 to 10 m, 3) All farmers understand the danger of anthrax against livestock and human being, but 37,5 % sold the animals with sign of anthrax. They knew that vaccination is the most effective way and extension is the priority to avoid anthrax. Implications 1) Socialization about early sign of anthrax and handling animal with anthrax must be in accordance to farmers’ age, education level and source of communication owned by farmers, time and method which must be decided participatively by farmers, 2) Extension program on livestock rearing, included management of feed, barn, health and breeding – reproduction should be implemented. Key Words: Action Research, Participative, Goat/sheep, Anthrax ABSTRAK Antraks dapat dicegah namun kasusnya terus terulang. Dilakukan penelitian di Kecamatan Babakan Madang, Bogor. Responden terdiri 25 orang informan kunci dan 30 keluarga peternak. Data digali secara partisipatif melalui wawancara kelompok, individu, dan pengamatan langsung antara bulan Mei-Desember 2005. Tujuan penelitian mengemukakan: 1) Karakteristik peternak, 2) Eksistensi usahaternak dan 3) Pengetahuan peternak tentang penyakit antrhaks. Hasil: 1) 10% responden yang menyatakan usaha ternak merupakan matapencaharian utama, rata-rata peternak berumur 52 tahun, pendidikan 5 tahun, luas lahan 132m2 dan hanya 33% memiliki sarana komunikasi berupa televisi. 2) Jumlah ternak yang dipelihara minimal dua ekor, maksimal 29, rata-rata tujuh ekor dan 54% berstatus penggaduh. Sebanyak 56% tidak memiliki pejantan, jarak kandang dari rumah 0 sampai 10 m. 3) Peternak mengetahui antraks pada stadium lanjut. Seluruh peternak mengetahui antraks sangat berbahaya bagi ternak dan manusia, namun 37,5% menjual ternak menunjukkan gejala antraks. Seluruh peternak mengakui vaksinasi merupakan cara paling efektif dan penyuluhan merupakan prioritas utama dalam penanggulangan antraks. Implikasi 1) Strategi penanggulangan antraks perlu ditempuh melalui sosialisasi tentang penyakit antraks yang perlu disesuaikan dengan usia peternak, pendidikan dan sarana komunikasi yang dimiliki peternak. Program penyuluhan usahaternak perlu dioptimalkan melalui penyuluhan tentang manajemen, mulai dari pakan, perkandangan, kesehatan dan pemuliabiakan. Kata Kunci: Kaji Tindak, Partisipatif, Kambing/domba, Antraks
PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat 11 propinsi dengan status endemis Antraks (DIREKTORAT
KESEHATAN HEWAN, 2005). Propinsi yang pertama kali terserang adalah Sulawesi Utara – Sulut (1832), kemudian Jawa Barat – Jabar (1886). Epidemi di Jawa Tengah (Jateng),
993
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), terjadi antara tahun 1906 dan 1957, sementara itu yang terakhir terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2003. Kejadian antraks yang terus berulang setiap tahun dilaporkan terjadi di empat Propinsi, yaitu NTT, NTB, Jateng dan Jabar. Khusus di Jawa Barat ada 5 wilayah endemik antraks yaitu Kabupaten Bogor dan Kota Madya Bogor, Bekasi, Purwakarta dan Subang. Di Kabupaten Bogor sendiri, terdapat sembilan kecamatan yang dinyatakan sebagai daerah endemik antraks, yaitu Bojong Gede, Cibinong, Citeureup, Babakan Madang, Sukaraja, Jonggol, Sukamakmur, Cileungsi dan Klapanunggal. Khusus di Kecamatan Babakan Madang, kasus antraks pada manusia dilaporkan terjadi sepanjang tahun 2001 sampai dengan 2004 (NAIPOSPOS, 2005). Kejadian tersebut mendapat perhatian khusus dan menjadi berita nasional karena lokasi desa tersebut relatif dekat dengan Jakarta yang notabene menjadi pusat informasi, khususnya yang berkaitan baik dengan ilmu peternakan, penyakit hewan maupun kesehatan masyarakat. Masalah antraks tentu saja tidak tergantung jauh atau dekatnya peternak dengan pusat informasi, tetapi lebih pada sampai atau tidaknya teknologi peternakan secara luas di tingkat pengguna, yang diikuti dengan implementasi secara utuh. Penyakit anthrax sebenarnya bisa ditanggulangi melalui pencegahan dan penanganan secara dini. Fakta terus terulangnya kasus penyakit antraks diantaranya disebabkan karena secara geografis Jawa Barat mempunyai potensi tinggi untuk pengembangan spora yang mampu bertahan hidup hingga 70 tahun (FATIMAH, 2004). Disamping itu peternak relatif belum memiliki pengetahuan tentang pencegahannya. Mengingat usaha peternakan kambing/domba merupakan budaya masyarakat yang dilakukan sepanjang sejarah ternak tersebut, maka dalam rangka penanggulangan antraks perlu diketahui tingkat pengetahuan peternak tentang penyakit tersebut dengan mengikutsertakan peternak secara partisipatif. Makalah ini mengemukakan: (i) karakteristik peternak, (ii) eksistensi usahaternak, dan (iii) pengetahuan peternak tentang penyakit antraks. Dari informasi yang diperoleh dapat dirumuskan strategi penanggulangan penyakit antraks yang akurat
994
karena tanpa partisipasi masyarakat, terutama peternak, penanggulangan antraks akan kurang berhasil. METODOLOGI Lokasi Penelitian: Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive), yaitu di Kecamatan Babakan Madang. Kecamatan ini merupakan satu dari sembilan Kecamatan di Kabupaten Bogor yang endemis antraks dan pada empat tahun terakhir paling banyak mengalami kasus anthrax. Dari Kecamatan Babakan Madang dipilih Desa Kadumangu karena dibanding desa lain, paling tinggi populasi ternaknya. Disamping itu, selama tiga tahun berturut-turut (tahun 2002 sampai 2004) desa tersebut terkena wabah antraks. Sampel: Peternak di Dusun Leuwi Jambe atau RW III dipillih sebagai sampel karena dusun ini merupakan dusun dengan jumlah keluarga pemelihara ternak terbanyak, disamping tingkat kepadatan ternaknya juga tertinggi. Data: Data diperoleh dari tiga cara, yaitu (i) Wawancara kelompok dengan informan kunci yang berjumlah 25 orang, terdiri dari tiga sumber, yaitu pemuka masyarakat (ketua RW dan seluruh Ketua RT), individu terkait dengan usaha ternak, diantaranya kader Vaksinator dan pedagang ternak, petugas Dinas Peternakan Kabupaten serta peternak yang mewakili masing-masing RT; (ii) Wawancara individu terhadap keluarga peternak sebanyak 30 responden atau 22% dari total peternak di desa; dan (iii) Pengamatan lapang. Ke tiga cara ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam pendekatan partisipatif, yaitu prinsip three angulasi (HUIZZER, 1997). Analisa Data: Informasi yang diperoleh dari berbagai wawancara dan pengamatan tersebut dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif (SIGIT, 1999). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik peternak Dusun Leuwi Jambe, Desa Kadumanggu, Kecamatan Babakan Madang hanya memiliki luas ladang atau tegalan sebesar 26% dari total
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dusun yang luasnya 108 ha. Jumlah kepala keluarga (KK) yang tidak memiliki lahan sebanyak 35%, sedangkan 40% yang mempunyai lahan mayoritas pemilikan lahannya kurang dari 0, 1 ha. Karena terbatasnya lahan maka sektor pertanian yang diusahakan terbatas pada ternak ruminansia kecil dan unggas yang ke duanya dapat dipelihara di lahan marginal. Dari seluruh pemilik ternak, hanya 10% responden yang menyatakan bahwa usaha ternak merupakan matapencaharian utama (Tabel 1). Selebihnya menyatakan bahwa beternak karena tidak mempunyai pilihan lain (13%), karena usia sudah tua dan tidak produktif lagi sehingga tidak bisa lagi bekerja sebagai petani yang mengandalkan tenaga fisik, terlebih dengan pendidikan rendah yang tidak mungkin bekerja di sektor publik. Alasan lain adalah efisiensi waktu dan pemanfaatan limbah usahatani. Sebanyak 20% petani dan 23% buruh tani, sepulang dari ladang sekaligus mencari pakan. Di sisi lain, kotoran ternak juga dapat dimanfaatkan untuk pupuk dan membantu efisiensi modal usahatani. Latar belakang pendidikan penduduk di Leuwi Jambe mayoritas tidak tamat SD, sehingga pekerjaan swasta yang diperoleh maksimal hanya sebagai buruh, misalnya buruh kebersihan di lapangan Golf Sentul. Total pekerja di lapangan Golf yang berasal dari Desa Kadumangu sebanyak 90 orang, sebagian besar mereka adalah yang umurnya relatif muda dan kuat fisiknya. Walaupun hanya 10% peternak yang menyatakan berternak sebagai mata pencaharian utama, namun bagi 50% dari mereka menyatakan bahwa kambing/domba mempunyai peranan yang sangat penting, sedangkan yang menganggap penting sebagai sumber pendapatan sebesar 50% peternak. Mayoritas peternak (85%) ingin tetap meneruskan beternak kambing/domba selama sumber pakan di lokasi masih tersedia. Hal ini berkaitan dengan relatif rendahnya modal untuk memelihara kambing/domba, yaitu hanya memerlukan kandang, sedangkan bibit diperoleh melalui sistem gaduhan dan pakan cukup mencari. Pernyataan tentang pakan ini didasarkan pada kenyataan bahwa lokasi sumber pakan yang ada sebenarnya masuk ke wilayah desa tetangga, yaitu Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup.
Tabel 1. Karakteristik Keluarga Peternak di Dusun Leuwi Jambe, Kadumanggu, Babakan Madang 2005 Karakteristik
Nilai
Kepala Keluarga Umur (tahun) Pendidikan (tahun)
52 5
Mata pencaharian utama (%) Tidak punya
13
Petani tegalan
20
Peternak
10
Buruh tani
23
Jasa rumah makan, tengkulak, tukang kebun, guru, swasta
36
Mata pencaharian sampingan (%) Tidak punya
37
Peternak
33
Petani tegalan
10
Berbagai macam pedagang
20
Luas lahan dan pekarangan (m2)
132
Luas bangunan (m2)
102
Status tanah (%) Milik Numpang
96 4
Status rumah (%) Milik
90
Sewa
0
Kontrak Numpang
0 10
Sarana komunikasi (unit) TV berwarna TV hitam putih VCD
30 3 10
Mata pencaharian utama mayoritas peternak bervariasi, mulai di bidang jasa, seperti guru, pemilik rumah makan, sampai ke tengkulak dan pegawai swasta. Mereka itulah yang menjadikan ternak sebagai usaha sampingan. Bervariasinya mata pencaharian utama peternak mencerminkan bahwa usaha ternak hanya terbatas sebagai usaha sampingan dan dilakukan oleh mereka yang memiliki berbagai latar belakang usaha dan sumber pendapatan. Hal ini antara lain disebabkan
995
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
sumber pakan ternak cukup tersedia, modal bibit mudah diperoleh melalui sistem gaduhan dan hanya memerlukan lahan marginal. Sebagaimana mayoritas keluarga di Desa Kadumanggu yang mempunyai lahan sempit, maka pemilikan lahan para peternakpun sangat sempit, yaitu 132 m2 dengan luas bangunan 102 m2 dan rata-rata pekarangan 30m2.. Dalam kenyataannya, mayoritas mereka membangun tahahnya habis untuk bangunan rumah, sehingga relatif tidak memiliki pekarangan. Sebagai ilustrasi, aset rumah tangga peternak relatif terbatas, hanya 33% keluarga yang mempunyai televisi, diantaranya televisi hitam putih (3%) dan 10% dari mereka memiliki VCD.
mengambil daun singkong serta kulit singkong dari hasil mengupas, sebagai imbalan. Menurut peternak, kambing lebih sehat dan cepat gemuk jika diberi pakan daun dan kulit singkong dibandingkan diberi rumput lapang. Selain itu, kuantitas rumputnya minimal harus dua kali lipat dari pada daun dan kulit singkong. Memang telah diketahui bahwa ternyata kambing kurang kenyang jika diberi pakan rumput saja. Biasanya pakan diberikan secara ad libitum, tidak terbatas, karena pakan tersedia cukup. Hal ini terbukti mayoritas peternak (90%) tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh pakan, walaupun secara individual mereka tidak memiliki sumber pakan yang diperlukan.
Eksistensi usaha ternak
Tabel 2. Karakteristik usaha ternak di Dusun Leuwi Jambe, Kadumanggu, Babakan Madang Bogor 2005
Berlatar belakang keterbatasan yang diuraikan sebelumnya, jumlah ternak yang dipelihara dalam satu kandang bervariasi, mulai dari dua ekor sampai dengan 29 ekor, dengan rata-rata tujuh ekor (Tabel 2), 54% berstatus menggaduh, 56% tidak memiliki pejantan, jarak antara kandang dan rumah ratarata 3,8 meter dengan kisaran 0 – 10 m. Penggaduh ternak betina memerlukan pejantan untuk kawin, tidak seperti mereka yang menggaduh ternak jantan. Dengan banyaknya jumlah penggaduh ternak betina, maka jumlah peternak yang tidak memiliki pejantan mencapai 56%. Untuk meminjam pejantan dari tetangga selama satu hari satu malam, mereka harus memberi imbalan satu pikul pakan daun singkong senilai Rp. 5.000. Banyak dijumpai pula penggaduh mengawinkan induk dengan anaknya, bahkan sampai dua periode kehamilan. Praktek seperti ini jika terjadi terus menerus tentu saja akan terjadi inbreeding, sehingga menyebabkan kualitas keturunan menjadi kurang bagus. Adanya inbreeding tersebut sangat memungkinkan banyaknya anak yang lahir mati, maka hal ini perlu dicarikan solusi yang tepat. Pakan utama ternak bersumber dari singkong yang ditanam di tegalan dan sebagai bahan baku tepung tapioka. Pada saat singkong di panen oleh pemilik, peternak yang membantu mengupas singkong diperbolehkan
996
Kriteria Jumlah ternak dalam satu kandang
Jumlah rata-rata (ekor)
Pejantan
0,7
Induk
2,7
Jantan dewasa
0,6
Betina dewasa
0,7
Anak jantan
0,9
Anak betina
1,5
Total Status pemilikan
7,1 Persen
Pemilik
46
Penggaduh
43
Pemilik dan penggaduh
11
Jumlah pemilikan ternak pejantan (ekor) 0
Persen 56
1 = (milik)
20
= maro
11
2 = (milik)
10
>2 (milik)
3
Jarak lokasi kandang ke rumah (m) Rata-rata
3,8
Minimum
0
Maksimum
10
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Erat kaitannya dengan praktek pemberian pakan adalah keuntungan peternak yang memberi pakan daun singkong. Karena daun singkong tsb. tempatnya di atas dan jauh dari permukaan tanah, maka kemungkinan ternak terkena spora relatif lebih sedikit dibanding kalau diberi pakan berupa rumput. Oleh karena itu, untuk mengurangi pencemaran spora antraks pada pakan bisa dipikirkan suatu cara agar daun singkong seminimal mungkin kontak dengan tanah. Dari survei diperoleh suatu kasus menarik dari seorang peternak. Meskipun jumlah ternak yang dipelihara mencapai 32 ekor, namun tidak ada yang terkena antraks walaupun jarak kandang dengan rumah tidak lebih dari 5 meter. Pemilik yakin bahwa dengan pemberian pakan yang cukup dan kebersihan kandang yang terus diperhatikan, menjadi salah satu jaminan ternak bebas dari antraks. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak, pemilik setiap hari menyediakan sekitar 100 kg daun singkong dan 50 kg kulit singkong. Kebersihan kandang dijaga dengan mengangkat kotoran ternak setiap dua hari. Sebanyak 89% peternak memilih memelihara kambing dengan alasan kambing dapat memanfaatkan berbagai jenis daun sebagai pakan, sedangkan domba umumnya lebih memilih rumput. Disamping itu, akhirakhir ini diperoleh fakta bahwa domba ternyata lebih tahan terhadap serangan antraks, sehingga peternak mulai beralih ke domba. Namun diakui adanya kendala pada domba, yaitu adanya silent heat, sehingga tidak mudah dikenali kapan domba tsb. birahi dan seringkali dalam keadaan seperti ini peternak berasumsi bahwa ternaknya mandul. Dilain pihak, kambing yang sedang birahi relatif mudah dikenali karena selalu membuat ribut, (istilah sundanya: gegerohan), sehingga jika ternak yang birahi tersebut tidak segera di kawinkan, cukup mengganggu tetangga. Jumlah anak setiap kelahiran (litter size) bervariasi antara lahir tunggal dengan kembar dua dan ternyata ke duanya sebanding (50% : 50%), padahal dengan mayoritas betina, prospek pengembangan keturunan menjadi cukup bagus. Pemasaran atau penjualan kambing/domba tidak mengikuti pola tertentu, tetapi dilakukan sewaktu-waktu. Penjualan biasanya dilakukan
kalau peternak ataupun pemilik memerlukan uang kontan. Dengan kata lain, penjualan ternak tidak perlu diperhitungkan waktunya, kapan saja bisa dijual dan harganya selalu bagus. Persyaratan untuk harga bagus biasanya ternak dalam keadaan sehat, meskipun harga tertinggi selalu terjadi menjelang hari raya Idhul Adha. Cara penjualan juga relatif mudah karena bisa langsung ke pembeli yang umumnya tetangga sendiri. Terdapatnya tengkulak di desa yang sama memberi kemudahan bagi peternak, apalagi ternak dijual dalam keadaan hidup dan dibayar secara kontan. Pendapatan dari memelihara kambing tidak selalu mudah dihitung, misalnya ada kasus, sudah memelihara selama dua tahun belum bisa menjual karena secara tiba-tiba seluruh ternaknya terserang antraks dan mati. Untuk mengetahui pendapatan ternak kambing, berikut ini dikemukakan sebuah illustrasi dari peternak yang memiliki 29 ekor kambing. Peternak tersebut mengupahkan seluruh kegiatan pemeliharaan ternaknya kepada dua orang. Kedua orang ibu tersebut setiap pagi mencari satu pikul daun singkong seberat 50 kg dan membawanya ke kandang sekitar jam 11.00 dengan upah masing-masing Rp 5.000. Disamping itu seorang ibu di sore hari mencarikan satu karung kulit singkong seberat 30 kg, dengan upah Rp. 5.000 sementara seorang ibu lainnya setiap 2 hari mengangkat kotoran ternak dan memasukkannya ke dalam karung dengan upah Rp. 2.000. Dengan sistem mengupah tersebut, setiap hari diperlukan biaya hampir Rp. 20.000 per hari, dengan minum dan kue sekedarnya atau Rp. 600.000/bulan. Ternak yang sekarang dipelihara dimulai sekitar 3 tahun lalu dari 5 ekor bibit dengan harga Rp. 2.000.000. Selama 3 tahun, telah terjual 10 ekor kambing seharga Rp. 3.000.000 kemudian dibelikan lagi 10 ekor kambing yang lebih kecil dengan harga Rp. 1.500.000. dan sekitar 3 bulan yang lalu dua kali menjual masing-masing tiga ekor seharga Rp. 1.000.000 dan dua ekor seharga Rp. 800.000. Ternak tersebut dijual karena perlu uang untuk menolong saudara membangun rumah. Rincian penerimaan disajikan pada Tabel 3.
997
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 3. Modal dan penerimaan dari usaha ternak kambing Nilai (Rp.000)
Jenis modal dan penerimaan Modal Bibit I
2.000
II
1.500
Kandang
1.000
Subtotal tanpa upah mencari pakan (1)
4.500
Upah pencari pakan (36 bulan, @ 20.000)
21.600
Subtotal plus upah pencari pakan (2)
26.100
Pendapatan Penjualan I
1.500
II
1.800
Nilai ternak di kandang (32 ekor @ 300.000)
9.600
Subtotal (3)
12.900
Pendapatan tanpa upah mencari pakan (3 – 1)
8.400
Pendapatan dengan upah mencari pakan (3 – 2)
- 13.200
Tampak dari Tabel 3 diatas. jika upah mencari pakan diperhitungkan memang rugi, namun jika upah tidak diperhitungkan, keuntungan sekitar Rp. 8.400.000 per tiga tahun, Rp. 2.800.000 per tahun, Rp. 230.000/ bulan atau Rp. 7.500/hari. Penerimaan tersebut senilai dengan upah buruh tani per hari, maka tenaga mencari pakan mulai pagi sampai siang setara dengan berburuh tani. Namun perlu diperhatikan bahwa pemelihara ternak memperoleh nilai tambah, yaitu hasil dari pupuk kandang yang dalam jangka panjang sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah. Informasi terakhir tentang kasus ini menjelaskan lebih lanjut bahwa motivasi memelihara kambing bagi peternak ini sebetulnya adalah sebagai alternatif terakhir bagi individu yang tidak mempunyai akses ke usaha lain karena faktor usia, pendidikan dan modal. Pengetahuan peternak tentang penyakit antraks Dari hasil wawancara kelompok secara partisipatif yang dihadiri oleh 21 orang dilaporkan terdapatnya tujuh jenis penyakit kambing/domba yang pernah dialami dan terjadi di Dusun Leuwi Jambe ini. Ciri-ciri penyakit yang dikemukakan oleh para peternak disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kasus penyakit pada kambing/domba serta ciri- cirinya, di RW 3, Desa Kadumangu, Babakan Madang, Bogor, 2005 Jenis penyakit Budug Panas dingin
Tahun berjangkit
Ciri-ciri
1883
Bintik-bintik
1992 – 1995
Bulu rontok
Sejak 1983
Menggigil
Persen 100 100
Keluar ingus Mencret/diare
Sejak 1983
Kotoran campur darah
100
Menggigil Lumpuh
Sejak 1994 sampai 2005
Lemah
100
Keguguran
Sejak dulu sampai 2005
Anak keluron/gugur
100
Anus keluar lender dan darah
100
Air susu tidak ada Antraks
1983; 1992; 2001dan 2004
Hidung keluar lendir Kejang-kejang
998
2004
Badan kejang
100
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Seluruh peternak berpendapat dan mengetahui bahwa penyakit antraks sangat berbahaya. Pengakuan ini dikuatkan oleh pengalaman seorang peternak yang selamat dari serangan antraks, setelah mendapat perawatan selama hampir tiga bulan. Seluruh peternak juga menyatakan bahwa penyakit antraks bisa ditanggulangi dengan cara berdasarkan prioritas: (i) penyuluhan, (ii) ketersediaan pakan sehari-hari dengan cukup dan (iii) kebersihan kandang. Dari lokasi kegiatan, khususnya di RW III (Dusun Leuwi Jambe) diperoleh informasi bahwa penyuluhan tentang antraks baru diberikan setelah terjadi wabah antraks pada akhir tahun 2004 yang lalu dan hanya ditujukan kepada para Ketua RW dan beberapa kader vaksinator. Dalam perkembangannya, akhirnya peternak yang terserang antraks mencoba mencari hikmah dibalik kejadian tersebut. Wabah antraks akhirnya menjadikan dusunnya banyak diperhatikan, khususnya dari pihak petugas kesehatan hewan dari Dinas Peternakan dan Perikanan. Seandainya tidak ada manusia yang terserang antraks, mungkin sampai sekarang dusunnya tidak akan pernah diperhatikan atau didatangi oleh petugas dan pejabat seperti sekarang. Dengan terbatasnya informasi tentang penanggulangan antraks, selama ini mayoritas peternak mengobati ternak yang “diasumsikan” terserang antraks dengan cara pengobatan tradisional, bahkan diantaranya hanya membiarkan ternaknya mati dan kemungkinan menular pada manusia (Tabel 5). Mencermati isi Tabel 5 bahwa pengobatan luar dengan mengoleskan belerang dan daun lamtoro yang dilaporkan sembuh tentu aneh. Jelas itu bukan penyakit antraks karena antraks disebabkan oleh bakteri yang berada dalam
darah, bukan di kulit. Disamping itu, sebagaimana tertera pada brosur DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BOGOR (2005), tanda-tanda penyakit antraks sama sekali tidak terdapat pada kulit, melainkan demam, lemah, rubuh, mati mendadak, kadang-kadang keluar darah dari hidung, mulut dan anus. Adanya luka di kulit sebagai tanda penyakit antraks ditemukan pada manusia, bukan pada ternak. Tampaknya oleh peternak, tanda-tanda tersebut diartikan juga berlaku bagi ternak. Sementara itu, jika mencermati Tabel 4, justru tanda-tanda yang disebutkan peternak dengan penyakit panas dingin (identik dengan demam), dikhawatirkan sebagai gejala dini antraks pada ternak, yang justru tidak dikenali oleh peternak. Pada umumnya, peternak menganggap bahwa tandatanda ternak terserang antraks hanya jika ternak tersebut mengeluarkan darah dari hidung atau anus. Padahal tanda-tanda tersebut hanya terjadi jika antraks sudah pada tahap kritis. Kenyataan ini membuktikan bahwa peternak sangat perlu diberikan sosialisasi pemahaman tentang penyakit antraks secara terprogram. Disadari bahwa agar seluruh peternak mengetahui dengan baik tentang penyakit antraks memang tidak mudah. Untuk itu diperlukan strategi cara sosialisasi yang paling efektif dan sebaiknya strategi ini perlu dibicarakan dengan peternak secara partisipatif. Sosialisasi secara partisipatif ini diperlukan untuk meyakinkan bahwa peternak benar-benar menyadari perlunya sosialisasi, kemudian secara bersama-sama menentukan kriteria peternak yang harus mengikuti sosialisasi, kapan waktunya, dimana tempatnya dan bagaimana sosialisasi tersebut. harus dilakukan.
Tabel 5. Pengobatan oleh peternak terhadap ternak yang terkena ”antraks” dan hasil yang dilaporkan, di RW III, Kadumangu, Babakan Madang, 2005 Pengobatan terhadap “antraks” pada kambing
Hasil
Belerang dipanaskan dan dioleskan pada luka
Sembuh setelah satu bulan
Daun lamtoro di gerus lalu dioleskan pada luka
Sembuh dan sehat kembali
Kambing di cekok daun huni ditambah terasi
Sembuh
Dibiarkan
Dua warga tertular, namun sembuh setelah dirawat di rumah sakit
999
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 6 menginformasikan secara jelas bahwa pengetahuan peternak tentang pencegahan antraks masih relatif terbatas. Hanya vaksinasi secara rutin yang mereka ketahui, sedang yang mengetahui bahwa ternak yang mati harus dibakar sebelum dikubur dan ternak sakit tidak boleh disembelih masingmasing hanya diketahui oleh 12,5%. Tabel 6. Pengetahuan peternak tentang cara mencegah antraks di RW III, Desa Kadumangu, Babakan Madang, Bogor 2005 Kriteria
Frekuensi (persen)
Kandang selalu bersih
37,5
Ternak mati harus dibakar sebelum dikubur
12,5
Ternak sakit tidak boleh disembelih
12,5
Memberi pakan secara teratur
12,5
Ternak yang menunjukkan gejala sakit di jual
37,5
Di vaksin secara rutin
100,0
sebanyak 63% peternak pernah mengalami anak kambingnya lahir mati, baik pada saat lahir maupun setelah lahir. Disamping itu, sebanyak 63% peternak mengalami kasus induk yang bunting menjadi lumpuh. Jelas ke dua fakta ini berkaitan erat dengan aspek pemuliabiakan (breeding and reproduction), karena peternak tidak mengetahui karena mereka tidak punya catatan kapan ternak mulai hamil dan lahir, sehingga kurang persiapan. Induk yang akan melahirkan dibiarkan di kandang sehingga kurang penanganan, kadangkadang anak yang baru lahir terperosok, terinjak atau kedinginan, yang menyebabkan kematian. Sedangkan adanya ternak yang bunting dan lumpuh disebabkan kurangnya konsentrat pada pakan yang diberikan, karena selama ini ternak hanya diberi daun singkong. Disamping itu ternak lumpuh disebabkan oleh tetap dipertahankan seekor induk sampai beranak lima kali, sehingga kemungkinan terjadi penurunan kondisi tubuh, sehingga menjadikan ternak lumpuh. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari Tabel 6 tersebut dapat disimak masih terdapat 38% peternak yang berpendirian bahwa ternak yang menunjukkan gejala penyakit, segera dijual. Informasi ini memperkuat perlunya dilakukan sosialisasi penyakit antraks secara sungguh-sungguh. Informasi lain dari masyarakat mengatakan bahwa pada bulan Oktober 2005 dilaporkan masih terjadi penyakit anthrax di RT 4, RW III. Disamping ketujuh penyakit yang disebutkan dalam wawancara kelompok, dari hasil pengamatan lapang, wawancara individu dan dari informan kunci diperoleh informasi bahwa penyakit mabok juga sering terjadi dan sering diikuti dengan kematian. Namun demikian, penyakit ini tidak terlalu dirisaukan karena (i) mereka tahu bahwa penyebab utama ternak mabok adalah kesalahan dalam cara pemberian pakan, yaitu daun singkong belum cukup dilayukan dan (ii) ternak yang didapati mabok masih bisa segera dipotong dan dagingnya diyakini aman untuk dikonsumsi sehingga layak dijual, sehingga peternak tidak merasa terlalu dirugikan. Selain penyakit mabok juga dilaporkan kejadian anak yang dilahirkan mati. Dari hasil wawancara individu diperoleh data bahwa
1000
Hanya 10% responden yang menyatakan usaha ternak merupakan mata pencaharian utama. Jumlah ternak yang dipelihara minimal dua ekor, maksimal 29 dan rata-rata tujuh ekor dan mayoritas (54%) sebagai penggaduh. Mayoritas peternak (56%) tidak memiliki pejantan dan jarak kandang dari rumah berkisar antara 0 sampai dengan 10 m. Umur peternak diatas usia produktif (52 tahun), dengan rata-rata pendidikan hanya lima tahun, luas lahan dan pekarangan hanya 132m2 dengan mayoritas berstatus milik dan hanya 33% yang memiliki sarana komunikasi televisi. Peternak mengetahui bahwa ternaknya terkena penyakit antraks hanya jika sudah menunjukkan tanda-tanda stadium lanjut. Seluruh peternak mengetahui bahwa antraks sangat berbahaya bagi ternak maupun manusia, namun demikian 37,5% peternak menjual ternak yang menunjukkan gejala antraks dengan alasan tidak mau rugi. Seluruh peternak mengakui bahwa vaksinasi merupakan cara yang paling efektif dan penyuluhan merupakan prioritas utama dalam penanggulangan antraks. Strategi penanggulangan antraks perlu dilakukan melalui sosialisasi terprogram
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
tentang penyakit antraks secara intensif. Sosialisasi ini mencakup pencegahan timbulnya penyakit dan penanganan ternak sakit. Bentuk sosialisasi harus disesuaikan dengan kondisi usia peternak yang umumnya relatif tua, berpendidikan rendah serta terbatasnya sarana komunikasi yang dimiliki. Eksistensi usaha ternak perlu dioptimalkan melalui penyuluhan tentang manajemen, mulai dari pakan, perkandangan, kesehatan dan pemuliabiakan. Berkaitan dengan resiko kerugian ternak, maka kompensasi bagi ternak yang sakit atau mati karena antraks perlu dipertimbangkan, dengan catatan peternak mau melapor dan mengikuti sosialisasi. Jika hal ini tidak diantisipasi maka penyebaran antraks kepada ternak lain maupun manusia justru akan lebih merugikan bagi masyarakat secara luas. DAFTAR PUSTAKA
FATIMAH. 2004. Lima Wilayah Jabar Endemik Antraks. Artikel Bisnis Indonesia. Selasa, 26 Oktober 2004. HUIZZER, G. 1997. Participatory Action Research and People’s Participation: Introduction and Case Study. Sustainable Department (SD), Food and Agriculture Organization of the United Nation. Hand – out. 24 pp. NAIPOSPOS, T.S.P. 2004. Kebijakan Pemerintah Untuk Mengatasi Wabah Antraks di Daerah Endemis di Indonesia. Seminar Antraks, Peternak dan Opini Publik. Bogor, 23 Desember 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. NAIPOSPOS, T.S.P. 2005. Beternak di Daerah Endemis Antraks. Perlunya Komunikasi Resiko. Kompas. Sabtu, 5 Maret 2005. PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR. 2001. Profil Desa/Kelurahan. Daftar Isian Data Dasar Profil Desa/Kelurahan.
DINAS PERIKANAN DAN PETERNAKAN KABUPATEN BOGOR. 2005. Hindari Penularan Antraks. Brosur.
PURNOMO RONOHARJO dan SOETEDJO. 1984. Penuntun Kesehatan Ternak Kambing. Balai Penelitian Penyakit Hewan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2000. Kasus Antraks. Laporan Kerjasama Ditjen PPM-PL, DEPKES dan Kesejahteraan Sosial, 10 pp.
SIGIT, S. 1999. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial-Ekonomi dan Manajemen. Fakultas Ekonomi Univ. Sarjanawinata, Yogyakarta.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Bagaimana menentukan diagnosa antraks pada manusia? 2. Bagaimana yang dimaksud dengan parstisipatif? 3. Dalam radius berapa penanggulangan antraks dalam satu lokasi perlu dilakukan? 4. Kenapa peternak belum mengetahui cici-ciri atau gejala terserang antraks (hewan dan manusia)? 5. Berapa lama pengalaman beternak dan peternak responden? 6. Bagaimana cara meningkatkan pengetahuan peternak untuk yang akan datang? Jawaban: 1. Kasus antraks yang menyerang manusia ditandai dengan kulit terdapat koreng hitam, habis makan daging domba terkena antraks dan diare akut. 2. Mengikutisertakan peternak mengenali, cara mencegah dan mengobati ternak yang terkena penyakit antraks.
1001
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
3. Tidak bisa diberikan standar radius karena antraks disebabkan oleh bakteri jadi pengobatan hanya bisa dilakukan pada daerah terjadi wabah. 4. Selama ini belum tersentuh penyuluhan, penyuluhan diberikan setelah wabah terkenal di media masa karena ada manusia yang meninggal. Itupun masih terbatas pada pemuka desa, belum sampai ke peternak. 5. Sejak tahun l970-an sudah mengetahui penyakit antraks (pada stadium lanjut). 6. Dengan sosialisasi: tanda-tanda antraks dini, cara pengobatan dan penanganannya jika ada ternak yang mati.
1002