REPUBLIK INDONESIA
RENCANA INDUK REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH ACEH DAN NIAS, SUMATERA UTARA
BUKU UTAMA
APRIL 2005
Kata Pengantar Gempa bumi dan tsunami yang melanda sebagian besar wilayah pesisir Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias di Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 dan terjadinya gempa bumi di Kepulauan Nias pada tanggal 28 Maret 2005 yang lalu, telah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan yang sangat dahsyat. Indonesia belum pernah menghadapi bencana yang sedemikian besar. Bangsa kita berduka dan menangis. Tetapi pada saat yang sama, bangsa kita juga menunjukkan rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menolong dan meringankan beban masyarakat di Aceh dan Nias yang terkena bencana. Dalam tiga bulan pertama setelah bencana 26 Desember 2004, seluruh tenaga telah kita kerahkan untuk mengisi tahap tanggap darurat yang bertujuan untuk menyelamatkan mereka yang masih selamat agar mampu mempertahankan hidupnya sekalipun dengan kebutuhan hidup yang paling mendasar. Setelah melampaui tahap tanggap darurat dan kita harus melaksanakan rehabilitasi, yang kemudian harus dilanjutkan dengan rekonstruksi. Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan fungsi pelayanan publik yang membutuhkan waktu sekitar satu atau dua tahun, dan diharapkan tuntas pada akhir Desember 2006. Rekonstruksi bertujuan untuk membangun kembali sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, jaringan infrastruktur, dan fungsi pemerintahan, yang diperkirakan butuh waktu dua sampai lima tahun, dan diharapkan selesai pada akhir tahun 2009. Untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, dibutuhkan perencanaan yang holistik dan komprehensif yang tetap bercirikan keistimewaan Aceh maupun Nias, dalam bentuk Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Dokumen ini dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, di tengah tahap tanggap darurat, karena disusun secara kolaboratif dan dikerjakan bersama-sama oleh para pihak terkait, baik di pusat maupun daerah, oleh instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Sekali lagi, kita telah menunjukkan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam melakukan perencanaan, sekaligus upaya mencegah agar di kemudian hari terhindar dari kerusakan akibat bencana serupa. Rencana Induk ini terdiri dari Buku Utama dan Buku Rencana Rinci dari 11 bidang terkait. Selanjutnya, dokumen ini akan digunakan sebagai landasan bagi Pemerintah Daerah dan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara dalam menyusun rencana aksi dan pelaksanaannya. Jakarta, April 2005
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Bab 2
Latar Belakang Tujuan Landasan Hukum Kerangka Waktu Sistematika Penulisan Buku Rencana Induk
DAMPAK BENCANA DAN UPAYA PENANGGULANGAN 2.1
Gambaran Bencana dan Perkiraan Dampak Bencana 2.1.1 Aspek Sosial dan Kemasyarakat 2.1.2 Aspek Ekonomi 2.1.3 Aspek Infrastruktur 2.1.4 Aspek Pemerintahan 2.1.5 Aspek Lingkungan Hidup 2.2 Upaya Penanggulangan Dampak Bencana 2.2.1 Tanggap Darurat 2.2.2 Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bab 3
1-1 1-2 1-3 1-3 1-3
2-1 2-3 2-4 2-6 2-8 2-9 2-9 2-11 2-13
PRINSIP-PRINSIP DASAR DAN KEBIJAKAN UMUM 3.1 Visi dan Misi 3-1 3.2 Prinsip-Prinsip Dasar Rehabilitasi dan Rekonstruksi 3-2 3.3 Kebijakan Umum 3-2
Bab 4
KEBIJAKAN DAN STRATEGI BIDANG 4.1 Pembangunan Kembali Masyarakat 4.1.1 Agama 4.1.2 Sosial Budaya 4.1.3 Kesehatan 4.1.4 Pendidikan 4.1.5 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 4.1.6 Ketahanan Masyarakat 4.1.7 Hukum 4.1.8 Kelembagaan Agama dan Adat Dalam Kegiatan Sosial Masyarakat 4.2 Pembangunan Kembali Ekonomi 4.3 Pembangunan Kembali Infrastruktur 4.4 Pemulihan Pemerintahan Propinsi, Kabupaten/Kota
ii
4-4 4-4 4-4 4-6 4-7 4-8 4-9 4-10 4-11 4-12 4-13 4-15
Bab 5
PENATAAN RUANG 5.1 Tujuan 5.2 Kebijakan dan Strategi 5.3 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Provinsi NAD 5.4 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota 5.4.1 Sistem Kota 5.4.2 Struktur Ruang Kota 5.4.3 Kawasan Non Budidaya 5.4.4 Kawasan Budidaya 5.5 Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota 5.5.1 Kota Banda Aceh 5.5.2 Kabupaten Aceh Jaya 5.5.3 Kabupaten Aceh Barat 5.5.4 Kabupaten Nagan Raya 5.5.5 Kabupaten Simeulue 5.5.6 Kota Lhokseumawe 5.5.7 Kabupaten Bireuen 5.5.8 Kabupaten Pidie dan Kota Sigli 5.5.9 Kabupaten Nias
Bab 6
Bantuan Pemulihan Aset Produktif Non Publik Hak kepemilikan tanah Anak dan Perempuan Masalah Keamanan
5-11 5-11 5-12 5-12 5-12 5-13 5-15 5-17 5-19 5-21 5-24 5-27 5-28 5-32
6-1 6-3 6-5 6-6
PARTISIPASI MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA 7.1
Partisipasi Masyarakat 7.1.1 Prinsip dan Definisi 7.1.2 Kebijakan 7.1.3 Mekanisme Pelaksanaan 7.1.4 Model Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat Aceh 7.2 Partisipasi Swasta 7.2.1 Prinsip dan Definisi 7.2.2 Kebijakan 7.2.3 Mekanisme Pelaksanaan
Bab 8
5-9
ISU LINTAS BIDANG 6.1 6.2 6.3 6.4
Bab 7
5-1 5-1
7-1 7-2 7-3 7-4 7-7 7-11 7-11 7-12 7-12
PENDANAAN 8.1 Kebutuhan pendanaan 8.2 Sumber-sumber pendanaan 8.2.1 APBN 8.2.2 Non APBN 8.3 Mekanisme pengelolaan pendanaan 8.4 Pengadaan Barang dan Jasa
iii
8-2 8-5 8-5 8-6 8-6 8-9
Bab 9
PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DAN PENGAWASAN PELAKSANAAN 9.1 Penerapan prinsip tata kelola yang baik 9.1.1 Penerapan Prinsip Akuntabilitas 9.1.2 Penerapan Prinsip Transparansi dan Partisipasi 9.1.3 Penerapan Prinsi Penegakan Hukum 9.1.4 Pelaporan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi 9.2 Pengawasan Terhadap Pelaksanaan 9.2.1 Lembaga Pengawasan 9.2.2 Koordinasi Pengawasan 9.2.3 Partisipasi dan Kemitraan Dalam Pengawasan 9.3 Sanksi 9.4 Review Berkala
9-1 9-1 9-2 9-3 9-3 9-4 9-4 9-4 9-5 9-5 9-5
Bab 10 KELEMBAGAAN 10.1 Struktur Kelembagaan/Organisasi 10.1.1 Dewan Pengarah 10.1.2 Dewan Pengawas 10.1.3 Badan Pelaksana 10.2 Tata Kelola Yang Baik (Good Governance) 10.3 Hubungan Antar Lembaga 10.4 Pendanaan 10.5 Pertanggungjawaban dan Pelaporan Bab 11 PENUTUP
iv
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4
Bab 1 Pendahuluan 1.1
Latar Belakang
Pada tanggal 26 Desember 2004, suatu gempa bumi yang berskala sangat kuat (8,9 skala Richter) telah terjadi di Samudera Hindia di lepas pantai barat laut Pulau Sumatera. Gempa yang kemudian menyebabkan gelombang tsunami ini telah memporakporandakan sebagian besar wilayah Aceh dan Nias di wilayah Indonesia, sebagian wilayah Thailand, Sri Lanka, Maladewa (Maldives), Bangladesh, Burma, bahkan sampai ke pantai Somalia di Afrika Timur. Di Aceh dan Nias, bencana gempa dan gelombang tsunami ini telah merusakkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh, menelan banyak korban jiwa, menghancurkan sebagian besar infrastruktur, permukiman, sarana sosial seperti bangunan-bangunan pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan ekonomi publik, dan bangunan-bangunan pemerintah. Bencana ini juga telah mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk kondisi psikologis, dan tingkat kesejahteraannya. Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh dari Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada tanggal 21 Maret 2005 jumlah korban dari 20 kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)1 diperkirakan mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang sebanyak 93.638 orang , sementara jumlah korban di Provinsi Sumatera Utara diperkirakan 130 orang meninggal dan 24 orang hilang2. Dari sumber informasi yang sama,jumlah pengungsi yang tersebar sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota seProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kerusakan dan kerugian di kedua wilayah tersebut secara total diperkirakan mencapai Rp 41,4 triliun, di mana sebagian besar (78 persen) merupakan aset hak milik masyarakat (non-publik), sementara sisanya merupakan aset pemerintah. Berdasarkan kenyataan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama dengan masyarakat internasional yang bersimpati atas bencana dan dampak yang ditimbulkannya telah secepatnya melakukan upaya-upaya tanggap darurat (emergency relieve efforts) yaitu terutama bertujuan untuk menolong korban-korban yang masih hidup, segera menguburkan jenazah-jenazah untuk mencegah dampak lanjutan, dan memberi pertolongan cepat untuk menyelamatkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang terkena bencana. Selanjutnya upaya tanggap darurat segera akan ditindaklanjuti dengan upaya-upaya rehabilitasi seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh dan Nias, dan kemudian 1 2
Data Departemen Dalam Negeri per tanggal 9 Maret 2005 pk 06.00 WIB. Data Bokornas PBP, 14 Maret 2005
seterusnya melaksanakan rekonstruksi dan pembangunan kembali wilayah ini agar kembali seperti sediakala, bahkan lebih maju dari sebelumnya. Seluruh upaya rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap Aceh dan Nias di dalam jangka menengah mendatang harus didasarkan kepada suatu Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang didasarkan kepada berbagai filosofi, norma-norma, peraturan perundang-undangan dan aspirasi masyarakat yang terkena bencana, serta ada dalam kerangka komprehensif dan holistik. Namun demikian kebijakan dan strategi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, tetap harus dilakukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Otonomi Khusus dimaksud memberikan keleluasaan kepada daerah baik dalam aspek pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan nilai dan budaya lokal yang berlandaskan pada penerapan syariah Islam. Sementara itu untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di Kabupaten Nias dilaksanakan dengan mendayagunakan kapasitas Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Nias yang relatif tidak terganggu oleh adanya bencana tsunami, dengan membangun kembali prasarana dan sarana yang rusak.
1.2
Tujuan
Buku Utama dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Nias ini dijadikan sebagai pedoman untuk: 1. Membangun kesepahaman dan komitmen antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dunia usaha, masyarakat, perguruan tinggi/akademisi, LSM, lembaga donor serta masyarakat internasional dalam membangun kembali Aceh dan Nias ke depan; 2. Menyusun rencana tindak Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah Aceh dan Nias pascagempa dan tsunami yang langsung dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam bentuk action plan; 3. Melakukan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi rencana dari berbagai sektor, dunia usaha dan masyarakat (stakeholder) dalam menetapkan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias berdasarkan kerangka waktu, lokasi, sumber pendanaan dan penanggung jawab pelaksanaannya; 4. Melakukan sosialisasi, diseminasi dan penyebaran data serta informasi kepada masyarakat lokal, nasional dan internasional tentang bencana alam, dampak bencana, penilaian kerusakan dan kerugian, penilaian kebutuhan, serta sistem peringatan dini (early warning system) terhadap ancaman bencana; 5. Menggalang solidaritas, partisipasi, dan keterlibatan berbagai pihak masyarakat (civil society) dalam rencana dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias melalui dialog dan konsultasi publik; 6. Mengembangkan sistem dan mekanisme mobilisasi pendanaan dari sumber APBN, APBD, masyarakat dan dunia internasional secara efisien, efektif, transparan, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip good governance.
1-2
1.3
Landasan Hukum
Secara legal formal, landasan hukum yang melatarbelakangi penyusunan rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara ini adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara, yang diterbitkan pada tanggal 2 Maret 2005. Rencana induk ini disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melalui kerjasama dengan berbagai pihak terkait, seperti kementerian/lembaga di tingkat pusat, serta dengan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kabupaten/kota se-Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara, serta melibatkan pula berbagai perguruan tinggi yang dikoordinasikan oleh Universitas Syiah Kuala, komunitas donor internasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan berbagai pihak lainnya yang terkait. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup berbagai aspek terkait, seperti fisik, ekonomi, sosial, budaya, agama, demografi, kelembagaan dan kewilayahan. Penyusunan rencana induk ini juga dilakukan melalui analisis yang holistik, komprehensif dan terpadu. Khususnya untuk daerah Aceh, penyusunannya memperhatikan 4 (empat) nilai yang melandasi pembangunan kembali Aceh, yang terdiri dari nilai kemanusiaan (universalisme), nilai ke-Indonesia-an, nilai ke-Aceh-an, serta nilai ke-Islam-an. Rencana induk ini juga disusun dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, serta RPJM Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan RPJM Daerah Kabupaten/Kota yang terkena bencana di wilayah Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Khususnya untuk Aceh, adanya beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan aspek pemerintahan dan pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Kekhususan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD, serta dengan adanya Keputusan Presiden yang melandasi pelaksanaan Darurat Sipil dan Tertib Sipil di Aceh, juga dijadikan pertimbangan khusus di dalam penyusunan rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh.
1.4
Kerangka Waktu
Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara ini mencakup kurun waktu selama lima tahun yaitu 2004-2009, sejalan dengan kurun waktu pelaksanaan RPJM. Setelah berakhirnya RPJM 2004-2009, dokumen rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi ini akan dijadikan acuan bagi penyusunan rencana tindak lanjut pemulihan dan pembangunan kembali wilayah Aceh dan Nias dalam kurun waktu yang lebih panjang, termasuk secagai acuan di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten/Kota di wilayah Aceh dan Kabupaten Nias di Provinsi Sumatera Utara.
1.5
Sistematika Penulisan Buku Rencana Induk
Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara secara keseluruhan terdiri dari dua belas buku, yang mencakup satu Buku Utama dan sebelas Buku Rinci yang meliputi:
1-3
1. Buku Utama
:
RENCANA INDUK REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH ACEH DAN NIAS, SUMATERA UTARA
2. Buku Rencana Bidang Buku I : RENCANA BIDANG TATA RUANG DAN PERTANAHAN Buku II : RENCANA BIDANG SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Buku III : RENCANA BIDANG INFRASTRUKTUR DAN PERUMAHAN Buku IV : RENCANA BIDANG EKONOMI DAN KETENAGAKERJAAN Buku V : RENCANA BIDANG KELEMBAGAAN DAERAH Buku VI : RENCANA BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN Buku VII : RENCANA BIDANG AGAMA, SOSIAL DAN BUDAYA Buku VIII : RENCANA BIDANG HUKUM Buku IX : RENCANA BIDANG KETERTIBAN, KEAMANAN, DAN KETAHANAN MASYARAKAT Buku X : PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DAN PENGAWASAN Buku XI : PENDANAAN Buku utama dari rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan NiasSumatera Utara tersebut berisikan gambaran mengenai dampak bencana dan upaya penanggulangan yang telah dilakukan; serta beberapa prinsip dasar, kebijakan dan strategi umum pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Selanjutnya juga dijabarkan secara khusus kebijakan dan strategi penataan ruang, serta beberapa permasalahan lintas bidang (cross-cutting issues) yang terkait dengan bantuan pemulihan aset produktif non-publik hak kepemilikan tanah, penanganan perempuan dan anak korban bencana; serta masalah keamanan dalam pengelolaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Rencana induk ini disusun melalui berbagai forum konsultasi publik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Pengelolaan rehabilitasi dan rekonstruksi selanjutnya diperlukan pelibatan masyarakat dan dunia usaha untuk mewujudkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang aspiratif dan partisipatif. Selanjutnya secara khusus, buku utama rencana induk ini juga mengemukakan kelembagaan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Buku utama rencana induk juga mencakup aspek pendanaan dan akuntabilitas dan pengawasan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang merupakan pedoman umum dalam pembiayaan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi secara keseluruhan. Buku rencana rinci masing-masing bidang memuat inventarisasi kerusakan dan kerugian; upaya yang telah dan sedang dilakukan pada tahap tanggap darurat; sasaran, arah kebijakan dan strategi rehabilitasi dan rekonstruksi; dan rencana rinci kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi masing-masing bidang yang dijabarkan ke dalam wilayah kabupaten/kota, antarwilayah kabupaten/kota, serta kegiatan rinci lainnya yang berlaku umum dan tidak terkait dengan pemanfaatan kawasan (aspasial). Untuk masing-masing peruntukan di atas, rencana rinci dari setiap bidang berisikan: nama program yang mengacu pada fungsi, subfungsi, dan program APBN; nama kegiatan; sasaran (kuantitatif); kelompok sasaran; cakupan kegiatan; indikator keberhasilan; jadwal waktu pelaksanaan; keterkaitan dengan program/kegiatan lainnya; instansi pelaksana dan penanggung jawab; perkiraan biaya dan sumber pembiayaannya.
1-4
Bab 2 Dampak Bencana Dan Upaya Penanggulangan 2.1
Gambaran Bencana dan Perkiraan Dampak Bencana
Skala bencana yang terjadi dapat dilihat dari besarnya jumlah korban manusia dan kerusakan yang ditimbulkannya. Sebanyak 16 (enam belas) kabupaten/kota mengalami kerusakan. Dari seluruh kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami, kabupaten/kota yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Besar. Desa yang terkena tsunami sebanyak 654 desa (11,4 persen) dan diperkirakan persentase keluarga miskin terkena tsunami sebesar 15,16 persen (63.977 KK)1 Sampai saat ini, jumlah korban yang terdata terus meningkat, demikian pula kerusakan yang berhasil diinventarisasi. Jumlah korban di 15 kabupaten di Provinsi NAD2 diperkirakan mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang 93.638 orang (dari jumlah ini diperkirakan sebagian meninggal/berada di pengungsian/di luar Aceh). Jumlah pengungsi sampai dengan tanggal 21 Maret 2005 adalah sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota3. Sementara jumlah korban di Provinsi Sumatera Utara diperkirakan 130 orang meninggal dan 24 orang hilang4. Secara keseluruhan, tragedi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara tersebut diperkirakan memiliki dampak kerugian sekitar 2,7% dari PDB Nasional atau lebih dari 97% dari PDRB Provinsi Aceh. Tabel 2.1. Rangkuman Hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian Sektor Sektor sosial, termasuk: perumahan, pendidikan, kesehatan, agama dan budaya
Kerusakan 13,657
Kerugian 532
Total 16,186
Sektor infrastruktur, termasuk : transport, komunikasi, energy, air dan sanitasi, bendungan
5,915
2,239
8,154
Sektor Produksi, termasuk : agribisnis, perikanan, industri dan perdagangan
3,273
7,721
8,154
Lintas Sektor , termasuk : lingkungan, Pemerintahan, bank dan Keuangan
2,346
3,718
6,064
27.191
14,210
41,401
Total (Rp. Triliun )
Sumber : Damage and Loss Assessment, Bappenas dan World Bank, 18 Januari 2004
Data UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005 Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005 jam 17.00 WIB 3 Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III 4 Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005 jam 17.00 WIB 1
2
2-1
Gambar 2.1: Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005 SABANG BANDA ACEH ACEH BESAR
LHOKSEUMAWE PIDIE
BIREUEN
ACEH UTARA
ACEH JAYA ACEH TIMUR
ACEH TENGAH
ACEH BARAT
LANGSA
ACEH TAMIANG
NAGAN RAYA GAYO LUWES
ACEH BARAT DAYA
ACEH SELATAN
ACEH TENGGARA
Jumlah pengungsi per kabupaten
0 - 5000 SIMEULEU
5001 - 15000 ACEH SINGKIL
15001 - 30000 30001 - 60000 60001 - 150000
Sumber data: Bakornas PBP, 21 Maret 2005, pk 17.00 WIB
2-2
Tabel 2.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota No . 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kab/Kota Banda Aceh Aceh Besar Sabang Pidie Bireuen Aceh Utara Lhokseumawe Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Simeulue Bener Meriah Aceh Tengah Gayo Lues Aceh Tenggara TOTAL
Jumlah Pengungsi Rumah Barak/ Penduduk/Tenda Huntara Darurat 48,360 1,561 91,157 6,328 3,712 74,404 11,456 46,768 3,035 26,662 450 952 1,542 13,182 527 6,156 3,224 38,217 2,205 70,804 1,885 16,560 480 3,480 16,148 105 18,009 648 5,288 234 611 484,576 29,574
Total 49,921 97,485 3,712 85,860 49,803 27,112 2,494 13,709 6,156 3,224 40,422 72,689 17,040 3,480 16,148 105 18,009 648 5,288 234 611 514,150
Sumber: Laporan Satlak I Lhokseumawe tgl 18 Maret 2005, revisi jumlah pengungsi di hunian sementara
2.1.1
Aspek Sosial dan Kemasyarakatan
Selain korban jiwa, bencana gempa dan tsunami tersebut juga menyebabkan kerusakan di berbagai sektor dan bidang kehidupan. Dalam aspek sosial dan kemasyarakatan kerusakan terjadi antara lain pada bidang pendidikan, kesehatan dan keagamaan. Untuk aspek pendidikan diperkirakan 1.168 sekolah terkena dampak yang meliputi rusak ringan, rusak berat ataupun hancur, atau setara dengan 16,1% dari jumlah sekolah yang ada sebelum bencana. Untuk setiap jenjang pendidikan, kerusakan yang teridentifikasi adalah 100 TK/RA, 735 SD/MI, 201 SMP/MTs, 109 SMU/SMK/MA, 18 PT/PTA dan 5 SLB. Keseluruhan kerusakan dan kerugian di bidang pendidikan diperkirakan bernilai Rp.1,0 Triliun. Untuk aspek kesehatan 6 rumah sakit mengalami kerusakan yaitu: RS Dr. Zainoel Abidin, RS Jiwa Banda Aceh, RSUD Meuraksa, RSUD Calang dan RS Malahayati dan RS Permata Hati. Selain itu kerusakan juga antara lain terjadi pada poliklinik 6 unit, puskesmas 41 unit, polindes 390 unit, puskesmas pembantu 59 unit, politeknik kesehatan 6 unit, kantor dinas kesehatan 3 unit, laboratorium kesehatan, kantor kesehatan pelabuhan 3 unit, gudang farmasi 3 unit, balai besar pengawasan obat dan makanan, dan puskesmas keliling/ambulan. Keseluruhan kerusakan diperkirakan bernilai Rp.765,9 miliar, sementara kerugian bernilai Rp.87 miliar5. Dalam aspek keagamaan kerusakan terjadi pada berbagai tempat ibadah dan fasilitas kantor Departemen Agama yang mencakup Kanwil Departemen Agama Provinsi Nangroe 5
Data Bank Dunia
2-3
Aceh Darussalam, Asrama Haji embarkasi Banda Aceh, Kantor Departemen Agama Kabupaten/kota dan Kantor urusan Agama (KUA). Tempat ibadah di Aceh yang mengalami kerusakan terdiri dari 1.069 mesjid dan mushola, 8 gereja, 2 pura/ vihara6. Sedangkan di Kabupaten Nias tempat ibadah yang mengalami kerusakan adalah 8 gereja, 2 mesjid, 2 rumah dinas pendeta, dan 2 rumah guru pendidikan agama kristen. Untuk aspek pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak diperkirakan jumlah perempuan di tempat-tempat pengungsian berkisar 37,1%; yang hamil 0,3% dan ibu yang menyusui 1%; banyak perempuan harus menjadi kepala keluarga atau menjadi pencari nafkah utama; proporsi anak diantara populasi pengungsi sekitar 15-25%; perempuan dan anak di tempat pengungsian memerlukan kebutuhan yang spesifik; seluruh korban mengalami trauma fisik dan psikis karena banyak orang tua yang kehilangan anak dan anak yang kehilangan keluarganya; pengungsi telah tersebar ke beberapa daerah di luar Provinsi NAD, sehingga perempuan dan anak menjadi rentan terhadap traficking. 2.1.2 Aspek Ekonomi Dalam aspek perekonomian, bencana menyebabkan kerusakan pada bidang perindustrian dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan. Perkiraan di bidang ekonomi menunjukkan jumlah Bank Umum terkena tsunami 17,61 persen (25 unit) dan BPR sebanyak 8,89 persen (4 unit). Dari keseluruhan kredit yang diberikan sektor perbankan sebesar Rp 3.9 triliun, sekitar Rp 2 triliun diperkirakan menjadi kredit bermasalah (IDB, Januari 2005)7. Dalam bidang perindustrian, Industri Kecil dan Menengah (IKM) tingkat kerusakan diperkirakan mencapai rata-rata 65%, industri besar 60%. Terdapat juga kerusakan infrastruktur Departemen Perindustrian. PT. Semen Andalas Indonesia mengalami rusak parah. BUMN lain yang juga mengalami kerusakan adalah PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. ASEAN Aceh Fertilizer. Kerusakan aset industri manufaktur pada skala menengah diperkirakan mencapai Rp.84 miliar. Selain itu, terdapat 92.000 industri kecil/rumah tangga di Aceh dan sekitar 12.500 industri kecil/rumah tangga di Nias yang mengalami kerusakan. Bila diasumsikan rata-rata nilai aset industri kecil/rumah tangga tersebut sebesar Rp.30 juta maka total nilai kerusakan diperkirakan industri kecil dan mencapai Rp.3,1 triliun8. Lebih spesifik lagi UMKM yang terkena tsunami sebanyak 20,88 persen (5.176 unit), hotel 30,41 persen (59 unit), restoran 17,20 persen (1.119 unit), pasar 1,29 persen (195 unit), dan warung sebanyak 16,71 persen (7.529 unit)9. Fasilitas perdagangan di Aceh yang diperkirakan mengalami kerusakan meliputi 65 kelompok pertokoan, 54 pasar permanen, 69 pasar non-permanen, 69 supermarket, 1 pasar hewan, 19 pasar ikan, 25 bank umum dan 4 bank perkreditan rakyat. Kerusakan juga menimpa 59 hotel dan tempat penginapan serta usaha kecil yang bergerak di bidang perkayuan, kulit, besi, keramik, pakaian dan pengolahan makanan10. Dalam bidang pertanian dan kehutanan, terdapat kerusakan sawah 23.330 ha, dan lahan tegalan 22.785 ha. Di areal tersebut terdapat tanaman pangan dan hortikultura yang diusahakan oleh petani setempat. Jaringan irigasi tersier dan kwarter yang mengalami kerusakan di 31 kecamatan (8 kabupaten) dengan areal irigasi 8.275 ha. Kerusakan Data Departemen Agama Dikutip dari buku UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005 Data Departemen Perindustrian dan Bank Dunia 9 Berdasarkan data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005 10 Data Mapframe ADB 6 7
8
2-4
tanaman perkebunan rakyat seluas 43.500 ha yang terdiri dari kelapa 23.533 ha, karet 5.395 ha, kopi 6.242 ha, mete 6.931 ha, kelapa sawit 1.600 ha, pinang 2.761 ha, kakao 2.768 ha, nilam 710 ha, cengkeh 4.600 ha, pala 1.808 ha, dan jahe 218 ha. Di samping itu juga berbagai peralatan seperti hand traktor, pompa air, traktor besar, alat pengolah nilam, karet, minyak kelapa, pengolah dendeng dan lainnya ikut rusak. Lahan pertanian kehilangan kesuburannya akibat lumpur, penggaraman, pasir, erosi, dan sebagainya, di mana diperkirakan 5000-7000 ha lahan hilang secara permanen.11. Rekapitulasi bidang pertanian dan kehutanan berdasarkan data Departemen Pertanian adalah sebagai berikut: Tabel 2.3
Rekapitulasi Kerusakan dalam Bidang Pertanian12 Kerusakan Lahan Pertanian
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 14 15 16 17 18 19 20
Kabupaten dan Kota Sabang Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Kota Lhokseumawe Aceh Timur Aceh Barat Nagan Raya Aceh Jaya Simeulue Aceh Selatan Aceh Barat Daya Aceh Singkil Jumlah
Sawah (ha)
Kebun (pohon)
Ladang (ha)
4,147 75 5,611 1,859 2,118 1,224 2,119 1,432
7,048 11,304 9,575
Ternak Hilang (ekor)
50 9,465 3,072 567 612
32,061 332,505 500,000 238,301 153,961 74,460 27,292
14,950
1,114
251,962
1,560 3,068 79
137,765 156,280
3,080
14,895 12,240 14,937 9,636 3,729
23,330
102,461
24,345
757 1,645 3,410
4,758 1,904,587
Dalam bidang perikanan dan kelautan, Khusus di sektor perikanan, terdapat 19 unit (0,37 persen) TPI (tempat pelelangan ikan) yang rusak13, dan dari 72 buah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di 8 kabupaten, 32 buah terkena dampak tsunami, yaitu 5 di kabupaten Aceh Besar, 6 di kabupaten Pidie, 10 di kabupaten Aceh Utara, dan 8 di kabupaten Aceh Barat. Sedangkan di Nias Sumatera Utara, terdapat 1 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Pasar Sirombu yang terkena dampak tsunami. Dari 16.070 unit armada perikanan tangkap di Aceh, jumlah armada penangkapan ikan yang berlokasi di daerah yang terkena dampak tsunami mencapai 9.563 unit, yang terdiri dari 3.969 unit (41,5%) berupa perahu tanpa motor, 2.369 unit (24,8%) perahu motor tempel, dan 3.225 unit (33,7%) berupa kapal motor dengan ukuran antara < 5 GT s/d 50 GT. Sementara itu budi daya tambak di Provinsi NAD tersebar di 11 kabupaten/kota pantai yang umumnya terkena dampak langsung dari bencana gempa bumi dan tsunami, dengan luas total sebelum terkena bencana sebesar 36.614 Ha14.
Data Departemen Pertanian dan Bank Dunia Tim Penanggulangan Bencana Nasional Departemen Pertanian,2005 13 Data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005 14 Data Bank Dunia 11
12
2-5
Dalam aspek ketenagakerjaan, dari jumlah angkatan kerja di Aceh sebanyak 2.254.155 orang, diperkirakan 25% kehilangan pekerjaan akibat bencana alam, 30% di sektor pertanian kehilangan pekerjaan akibat kerusakan lahan dan sekitar 170 ribu orang kehilangan pekerjaan di sektor UKM. Selain itu, diperkirakan 60.000 pekerjaan hilang karena kematian tenaga kerja, dan diasumsikan 130.000 nelayan kehilangan pekerjaan, setidaknya untuk sementara. Total pengangguran diperkirakan akan mencapai 30% di daerah yang terkena bencana15. 2.1.3 Aspek Infrastruktur Dampak bencana terhadap aspek infrastruktur mencakup kerusakan pada bidang perumahan, perhubungan, energi dan ketenagalistrikan, pos dan telekomunikasi, air minum dan sanitasi, sumber daya air, serta prasarana dan sarana lainnya. Dalam bidang perumahan total rumah, baik modern, semi modern dan tradisional, yang mengalami kerusakan diperkirakan berjumlah lebih dari 280 ribu rumah16, baik rusak total maupun rusak sebagian. Kerusakan cukup berat terjadi di sepanjang Pantai Barat dan Utara meliputi wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Aceh Utara. Keseluruhan kerugian bernilai Rp.13 triliun yang mencakup nilai kerusakan perumahan tersebut, kerusakan infrastruktur dasar dan kerusakan peralatan rumah tangga17. Akibat gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 kerusakan juga terjadi di Kabupaten Nias, Nias Selatan di Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Singkil di NAD. Bidang perhubungan terdiri dari perhubungan darat, laut, dan udara. Untuk perhubungan darat, kondisi jalan nasional dan provinsi sebelum bencana gempa dan tsunami dapat diklasifikasikan 32,7 persen dalam keadaan baik, 35,8 persen mengalami kerusakan ringan, dan 31,5 persen mengalami rusak berat. Setelah bencana gempa dan tsunami, kondisi tersebut memburuk menjadi hanya sekitar 28,4 persen dalam keadaan baik, sedangkan sisanya sebesar 71,6 persen dalam keadaan rusak (35,7 persen rusak ringan dan 35,9 persen rusak berat). Untuk jembatan, kerusakan diperkirakan mencapai 25 persen dari total jembatan nasional (21.340 m) dan jembatan provinsi (14.015 m)18. Lintas Barat (Banda Aceh-Lamno-Calang-Meulaboh-Tapak Tuan-Bakongan) kerusakan jalan baik ringan maupun berat sekitar 280,36 km, berikut jembatan yang rusak sekitar 3.781 m; Lintas Timur (Banda Aceh-Sigli-Bireuen-Lhokseumawe-Langsa) kerusakan jalan sekitar 243,86 km dan jembatan 1.703 m; pada lintas Lintas Tengah dan Penghubung Lintas Barat-Timur terjadi kerusakan jalan sekitar 337,54 km dan jembatan sepanjang 150 m; serta kerusakan pada ruas jalan lain sekitar 763,35 km dan jembatan 340 m. Sementara di provinsi Sumatera Utara khususnya Nias Jalur Lolowau-Sirombu dan TuhemberuaLahewa mengalami kerusakan badan jalan sepanjang sekitar 5 km, dan kerusakan lantai maupun oprit pada beberapa jembatan. Di samping itu, pada tiga kota besar yaitu Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe sebagian besar terminal bus mengalami kerusakan berat, sedangkan terminal bus di Sigli, Langsa, Bireuen, Gunung Sitoli, dan Perum Damri Banda Aceh mengalami kerusakan dalam tingkat yang bervariasi antara rusak ringan dan sedang. Kerusakan juga terjadi pada jembatan timbang, Unit Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (PKB), serta rambu dan marka jalan.
Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Bank Dunia Data Pokja Bidang Prasarana dan Sarana R3WANS 17 Data Bank Dunia 18 Data Dinas Prasarana Wilayah Provinsi NAD 15
16
2-6
Pelabuhan laut dan ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) memiliki kondisi kerusakan yang bervariasi, di samping beberapa pelabuhan dalam kondisi laik operasi. Kerusakan terutama terjadi pada di pelabuhan sepanjang Pantai Barat dan Pantai Utara. Pelabuhan yang mengalami kerusakan berat antara lain Malahayati, Ulee Lheue, Calang, dan Melulaboh, sedangkan kerusakan ringan terjadi di Pelabuhan Sabang, Lhokseumawe, Susoh, Tapak Tuan, Singkil, Sinabang, Balohan, Labuhan Haji, Lamteng, Pulau Banyak, dan Singkil. Beberapa prasarana pelabuhan udara mengalami kerusakan ringan dan kerusakan berat, sedangkan beberapa dalam kondisi laik operasi. Bandara Cut Nyak Dien-Meulaboh dalam kondisi runway patah dan retak; Bandara Maimun Saleh-Kota Sabang memiliki kondisi landasan yang baik namun sistem komunikasi rusak; Bandara Sultan Iskandar MudaBanda Aceh dalam kondisi landasan yang baik namun tower rusak; Bandara Cut Ali-Tapak Tuan dalam kondisi laik operasi; Bandara Lasikin-Sinabang mengalami penurunan landasan pacu; Bandara Malikul Saleh-Lhok Seumawe dalam kondisi laik operasi; serta Bandara Rembele-Takengon dalam kondisi laik operasi. Bidang energi dan ketenagalistrikan dalam kondisi kerusakan serta penurunan tingkat operasi yang bervariasi. Secara umum semua daerah kerja unit cabang kelistrikan mengalami kerusakan sistem yang meliputi Pembangkitan (PLTD), sistem Distribusi, dan Sarana penunjang lainnya. Daerah terberat yang mengalami kerusakan adalah daerah kerja PLN Cabang Banda Aceh yang meliputi Kodya Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, serta daerah kerja Cabang Meulaboh yang meliputi Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya. Kerusakan pada jaringan distribusi meliputi: (i) Jaringan Tegangan m-sistem yang terisolasi terutama di wilayah NAD bagian tengah dan wilayah NAD bagian barat. Ja Menengah (JTM) sepanjang 1.046 kms (11,76 persen); (ii) Jaringan Tegangan Rendah (JTR) sepanjang 2.394 kms (21,61 persen); (iii) Gardu Distribusi sebanyak 736 buah (16,24 persen); (iv) Sambungan Rumah (SR) sebanyak 119.253 pelanggan (18 persen); dan (v) Gardu Hubung (GH) sebanyak 6 buah (7,44 persen). Kerusakan pembangkit meliputi 16 unit mesin pembangkit diesel (PLTD) atau 7,44 persen; sedangkan kerusakan lainnya meliputi meter elektronik sebanyak 246 buah (41,48 persen) dan gedung kantor sebanyak 6 buah. Dalam bidang energi, kerugian akibat bencana tsunami terjadi terutama pada Kreung Raya dan Meulaboh. Selain itu, terdapat beberapa Depot yaitu di Lhokseuwawe, Gunung Sitoli dan Sabang mengalami kerusakan yang relatif kecil. Kantor Pertamina di Banda Aceh mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan jaringan pengisian bahan bakar terjadi di beberapa tempat terutama di Banda Aceh yaitu sebanyak 3 unit SPBU; 3 SPBN di Lamputo, Sigli dan Meulaboh; 3 unit SPDN di beberapa KUD, kehilangan 17 mobil tangki kerosin, serta lebih kurang 12.500 tabung Elpiji @12 kg dan ratusan dos minyak pelumas. Dalam bidang pos dan telematika, terdapat 19 kantor pos yang mengalami kerusakan berat bahkan sebagian diantaranya rata dengan tanah. Fasilitas telekomunikasi seluler milik PT. Indosat, PT. Telkomsel, PT. Telkom, dan PT. PSN banyak yang mengalami kerusakan, terutama pada dudukan BTS di wilayah pantai barat serta jaringan fix-phone pada area bencana. Kerusakan fasilitas telepon pedesaan dengan teknologi PFS di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebanyak 66 SST, di Nias-Sumut sebanyak 6 SST. Sedangkan kerusakan fasilitas telekomunikasi yang menggunakan teknologi radio sebanyak 62 SST di Provinsi NAD dan 9 SST di Nias-Sumut. Dalam bidang air minum dan sanitasi, kerusakan mencakup jaringan penyediaan air minum, penanganan air limbah, persampahan, serta drainase, dengan tingkat kerusakan bervariasi dari 10% sampai dengan 90%. Kerusakan tersebut antara lain terjadi pada bangunan intake, instalasi (unit Instalasi Pengolahan Air /IPA), jaringan pipa distribusi air minum, fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), serta fasilitas Tempat
2-7
Pembuangan Akhir (TPA). Di samping itu, jaringan drainase makro dan mikro hampir seluruhnya tidak berfungsi akibat tertutup oleh pasir, lumpur, dan puing-puing bangunan. Dalam bidang sumber daya air, kerusakan lahan beririgasi mencapai sekitar 33.142 ha yang terdiri dari daerah irigasi di wilayah pantai 13.698 ha dan wilayah non-pantai 19.444 ha; kerusakan prasarana sungai sepanjang 46,20 km, baik sungai besar, menengah maupun kecil; serta bangunan pengamanan pantai sepanjang 35,06 km. Kerusakan prasarana dan sarana sumber daya air terutama terkonsentrasi pada daerah pantai Barat dan pantai Timur Laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kerusakan berat terjadi pada bangunan-bangunan pengendali banjir termasuk sistem pemecah gelombang. Dari penginderaan satelit, bangunan pengendali banjir yang baru dikerjakan di muara Krueng Aceh telah mengalami rusak berat sepanjang lebih dari 2 kilometer ke arah darat. 2.1.4 Aspek Pemerintahan Dalam aspek pemerintahan, kerusakan/kerugian mencakup : (a) aparatur daerah dan pusat, kepala daerah dan anggota DPRD ; (b) sarana prasarana pemerintahan mulai tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Kelurahan/Desa; dan (c) batas administrasi. (a) Aparatur daerah dan pusat, kepala daerah dan anggota DPRD, berdasarkan data dari lapangan, jumlah aparat pemerintah daerah di seluruh di Provinsi NAD (Provinsi, Kabupaten/Kota) berjumlah 76.655 orang aparat. Dari jumlah tersebut aparat yang meninggal dunia sebanyak 2.992 orang, sementara yang dilaporkan hilang sebanyak 2.274 orang. Sedangkan kepala daerah yang meninggal adalah Walikota Banda Aceh, dan pejabat yang masih hilang adalah Bupati Aceh Barat Daya. Sementara Anggota DPRD Provinsi yang meninggal 3 orang dan Anggota DPRD Kabupaten Aceh Barat 1 orang. Aparatur pusat yang terdata antara lain: BPN meninggal 40 orang, Kejaksaan Agung 105 orang, TNI meninggal 63 orang dan hilang sebanyak 302 orang, dan Polri meninggal 170 orang dan hilang 952 orang. (b) Bangunan sarana dan prasarana gedung perkantoran di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana yang mengalami tingkat kerusakan relatif tinggi terdapat di 4 kabupaten dan tingkat provinsi: (1) Pemerintah Provinsi NAD, (2) Kota Banda Aceh, (3) Kabupaten Aceh Barat, (4) Kabupaten Aceh Besar dan (5) Kabupaten Aceh Jaya. Pada tingkat kecamatan, yang tidak berfungsi 24 Kecamatan dari 241 kecamatan. Kabupaten/Kota yang jumlah kecamatannya lebih dari 50 % masih belum berfungsi adalah Kabupaten Aceh Jaya. Pada tingkat desa/kelurahan, yang tidak berfungsi sebanyak 640 kelurahan/desa dari 5.947 desa/kelurahan yang ada. Berdasarkan data terakhir, akibat gempa pada tanggal 28 Maret 2005, kerusakan bangunan juga terjadi pada Kantor Bupati Kabupaten Simeuleu. Sedangkan kerusakan bangunan pada Kabupaten Nias yaitu rusaknya 1 kantor bupati dan 4 kecamatan. (c) Administrasi Wilayah. Bencana yang terjadi telah menyebabkan adanya perubahan batas administrasi wilayah. Perubahan luas wilayah yang cukup besar terjadi di Banda Aceh, yaitu mencakup sampai 67 % dari luas awal. Sedangkan untuk wilayah desa, rata-rata mengalami perubahan akibat desa yang tenggelam sekitar 10% sampai 20%, dengan perubahan terbesar terdapat pada Desa Ule Lhee (dari 67 Ha menjadi 54 Ha) dan Desa Alue Naga (dari 242 Ha menjadi 194 Ha). Perkiraan kerugian di aspek pemerintahan adalah sebesar Rp. 338,835 Milyar akibat kerusakan gedung pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, rusaknya peralatan dan dokumen serta hilang dan meninggalnya aparatur pemerintah daerah.
2-8
2.1.5 Aspek Lingkungan Hidup Dalam aspek lingkungan hidup, kerusakan di antara lain mencakup kerusakan mangrove, terumbu karang, budidaya rumput laut, lahan persawahan, kehilangan ternak, pencemaran air, pencemaran udara, dan limbah padat. Kerusakan diperkirakan terjadi pada 90% dari 525 ha mangrove, 30% dari 97.250 ha terumbu karang dan 20% dari 600 ha budi daya rumput laut. Dari hasil pemantauan kualitas air menunjukkan air berwarna coklat sampai kehitaman, keruh dan berbau. Parameter lain yang melebihi baku mutu adalah konsentrasi Amoniak, Total Coliform dan sebaran E. coli. Tingkat pencemaran udara di daerah bencana cukup tinggi khususnya untuk partikulat/debu yang berasal dari lumpur yang mengering. Pencemaran limbah padat terjadi sebagai akibat dari limbah puing-puing bangunan, limbah benda-benda dan bahan milik masyarakat, material laut, mayat manusia yang membusuk, bangkai hewan, dan lumpur tsunami. Di beberapa tempat kandungan logam berat Cd, Cu, dan Pb di dalam lumpur tsunami telah melampaui ambang batas yang ditetapkan19. Dari 5.736 desa di 17 kabupaten/kota diperkirakan 654 terkena bencana, dan berkaitan dengan tata guna tanah, keseluruhan tanah yang terkena dampak bencana diperkirakan mencapai 667.066 ha dari sekitar 4 juta ha tanah di 17 kabupaten/kota tersebut. Lahan sawah milik masyarakat yang mengalami kerusakan mencapai 20.101 ha20. Sedangkan tanah non-pertanian yang juga terkena dampak bencana meliputi 113.929 ha perkebunan, 91.517 ha tanah negara, 44.312 ha perumahan, dan 1.714 ha tanah bangunan industri. Terdapat daerah yang tenggelam di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Meuraya, Syiah Kuala, Kuta Raja dan Jaya Baru. Sementara jumlah aspek tanah yang terdaftar di daerah yang terkena bencana adalah 405.755 aspek dari perkiraan 1.498.200 jumlah aspek tanah yang ada di Provinsi NAD21. Pantai Barat yang mengalami kerusakan dapat dibagi menjadi tiga wilayah dengan karakteristik sebagai berikut22: 1. Pantai dengan daratan tipis dan tebing perbukitan. Jarak perbukitan dari pantai berkisar 0-1,5 Km, sehingga perkampungan yang ada umumnya hilang, dan banyak penduduk (korban sekitar 90%) tidak dapat menyelamatkan diri karena umumnya tebing bukit/gunung hamper 90 derajat, dan berbatu cadas (tidak bisa dipanjat). Hanya sedikit kawasan yang mempunyai akses ke daratan tinggi melandai. Kawasan tersebut meliputi: Lho’nga, Leupung, Jeumpa, Lhong, 2. Pantai dengan daratan dan terdapat beberapa bukit kecil di tengahnya. Kawasan meliputi: Lamno, Lhok Krut, Calang, Panga. 3. Pantai dengan daratan berawa-rawa. Kawasan tersebut meliputi: Suak Timah, Meulaboh, Pesisir pantai Kab. Abdya.
2.2
Upaya Penanggulangan Dampak Bencana
Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat dan wilayah Aceh dan Nias. Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok korban. Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui tiga tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi yang harus berjalan secara bersamaan dalam pelaksanaan penanggulangan dampak bencana, yaitu:
Data Kementerian Lingkungan Hidup Data Departemen Pertanian 21 Data BPN 22 Data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005 19
20
2-9
1. Tahap Tanggap Darurat (Januari 2005 – Maret 2005) Bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana yang masih hidup. Saat bencana baru saja terjadi, Tahap Tanggap Darurat ditetapkan selama 6 bulan setelah bencana, namun demikian, setelah ditetapkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2005, Tahap Tanggap Darurat ini kemudian diperpendek menjadi 3 bulan dan akan berakhir pada Tanggal 26 Maret 2005. 2. Tahap Rehabilitasi (April 2005 – Desember 2006) Bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana. 3. Tahap Rekonstruksi (Juli 2006 – Desember 2009) Bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur) haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian rencana tata ruang baik di tingkat provinsi dan terutama di tingkat kabupaten dan kota yang mengalami kerusakan, terutama di daerah pesisir. Sasaran utama dari tahap rekonstruksi ini adalah terbangunnya kembali kawasan dan masyarakat di wilayah yang terkena bencana baik langsung maupun tidak langsung. Sejak terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah penanggulangan sebagai berikut: 1. Menyatakan bencana Aceh dan Sumatera Utara ini sebagai bencana nasional. Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden tanggal 27 Desember 2004 yang menyatakan bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara sebagai bencana nasional, dan selanjutnya juga mengeluarkan arahan berupa 12 direktif kepada seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu dan Gubernur Provinsi NAD dan Bupati Nias untuk melakukan tindakan yang segera dan komprehensif di dalam penanganan tanggap darurat bencana alam tersebut. Sebagai tindak lanjut dari arahan direktif tersebut, telah diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara. 2. Memobilisasi sumber daya nasional dan daerah untuk upaya-upaya penanganan darurat Dalam rangka mengkoordinasikan pengendalian dan penanggulangan bencana dan segala upaya tanggap darurat, pada tahap awal Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam secara langsung mengkoordinasikan dan mengendalikan penanggulangan bencana sampai dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Khusus Aceh dengan
2 - 10
dikeluarkannya Surat Keputusan Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 30 Desember oleh Ketua Bakornas PBP yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden dan Menko Kesra selaku Ketua Pelaksana Harian dan Wakil Gubernur NAD sebagai Pelaksana di tingkat Provinsi, yang ber-Posko di Pendopo Gubernur NAD. Tim ini juga beranggotakan para pejabat kementerian/lembaga terkait. Mengingat dampak bencana yang sangat luas, selanjutnya Pemerintah Pusat guna memperkuat Satkorlak PBP di Provinsi NAD, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Januari 2005 yang menempatkan Menko Kesra sebagai ketua Satkorlak Khusus, Wakasad sebagai Wakil Ketua I dan Wakil Gubernur NAD sebagai Wakil Ketua II yang khusus mengkoordinasikan pemulihan fungsi pemerintahan. Secara operasional, kegiatan tanggap darurat diarahkan pada kegiatan: a) evakuasi dan pemakaman jenazah korban b) penanganan pengungsi c) pemberian bantuan darurat d) pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih e) pembersihan kota f) penyiapan hunian sementara Dukungan internasional sangat membantu percepatan upaya-upaya tanggap darurat, yang antara lain melalui tim penyelamatan (rescue team), tim medis, dan dukungan sarana transportasi berupa kapal laut dan helikopter. 3. Mengembalikan fungsi pemerintah daerah Koordinasi pelaksanaan kegiatan tanggap darurat dilakukan melalui mekanisme komando (Posko) yang terdiri dari: a) Posko Nasional Bakornas PBP di Kantor Wakil Presiden; b) Posko Utama Satkorlak Khusus di banda Aceh, Posko Pendukung Logistik di Medan, Batam dan Sabang; c) Posko Satlak Khusus (Satlaksus) di tiga wilayah, yaitu: Satlaksus I di Lhokseumawe, Satlaksus II di Banda Aceh, dan Satlaksus III di Meulaboh. Mengingat banyaknya aparatur Pemerintah Daerah yang terkena dan menjadi korban bencana, maka untuk menjaga kelangsungan pelayanan Pemerintahan Daerah, Departemen Dalam negeri telah menurunkan Tim pendamping ke 20 kabupaten/kota dan provinsi sejumlah 356 orang, yang terdiri dari pejabat eselon I hingga IV, serta dosen dan praja STPDN. Tim pendamping ini secara langsung berada di bawah koordinasi Wakil Gubernur NAD sebagai penanggung jawab pemulihan fungsi pemerintahan daerah.
2.2.1 Tanggap Darurat Pada tahap tanggap darurat, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang diketuai oleh Wakil Presiden telah mengkoordinasikan upaya-upaya kedaruratan ini yang mencakup : (a) Secepatnya menolong korban yang masih hidup; (b) Secepatnya mengubur jenazah-jenazah korban; (c) Secepatnya memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban.
2 - 11
Perhatian masyarakat internasional juga begitu besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya kesediaan (commitment) para donor multilateral dan bilateral, disamping itu juga dari masyarakat di berbagai negara untuk membantu. Khususnya untuk upaya tanggap darurat saja, tercatat sekitar lebih 700 juta dollar Amerika telah disampaikan oleh berbagai donor kepada pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan. Pada 6 Januari 2005, atas inisiatif PM Singapura Lee Hsien Long, diadakan pertemuan internasional di Jakarta yaitu Asean Leader’s Meeting On Aftermath of Tsunami Disaster, yang dibuka oleh Presiden RI, dihadiri oleh Sekjen PBB Kofi Annan, Menlu AS, PM Australia John Howard, PM Malaysia H. M. Abdullah Badawi, Presiden Laos, Thailand, Sri Lanka, India, negara-negara lainnya yang terkena bencana serta perwakilan baik dari lembaga donor multilateral (WB, ADB, UN, dll) maupun dari lembaga donor bilateral (AS, Jepang, Belanda, dll) Dalam rangka untuk menjalankan upaya tanggap-darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Sumut secara sistematis dan menyeluruh, pemerintah melakukan koordinasi penanganan sebagai berikut: (a) Koordinasi pelaksanaan upaya pertolongan dan penyelamatan serta perbaikan pada tahap tanggap darurat (emergency response), dilaksanakan oleh Bakornas PBP dengan membentuk Posko Nasional Bencana Aceh, Posko Daerah di Banda Aceh, dan Satkorlak-satkorlak. (b) Koordinasi perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam Aceh dan Sumut, dilaksanakan oleh Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan memobilisasi berbagai potensi dan tim di berbagai departemen/LPND, universitas dan juga masyarakat. (c) Koordinasi pelaksanaan pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dijalankan oleh Menteri Koordinator Perekonomian beserta instansi-instansi terkait.
2 - 12
Gambar 2.3. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi NAD dan Sumatera Utara
PEMULIHAN / RECOVERY
DARURAT Jangka mendesak : 0 – bulan ke 3
Jangka pendek : bulan ke 4 – tahun ke-2
TANGGAP DARURAT - RELIEF Sasaran : Penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan
• • • •
Penyelamatan Tanggap Darurat Pemakaman jenazah Penyediaan makanan dan obat-obatan Perbaikan prasarana dan sarana dasar
REHABILITASI Sasaran: Memperbaiki pelayanan publik pada tahap yg memadai
• • • • • • •
Prasarana dan sarana Umum
Jangka menengah : s.d. tahun ke-5
REKONSTRUKSI Sasaran : Membangun kembali masyarakat dan kawasan
•
Sarana Ekonomi Perbankan dan Keuangan Rawatan Traumatis
• •
Pemulihan Hak Atas Tanah
•
Penegakkan Hukum Perumahan sementara
• •
Ekonomi (sektor produksi, perdagangan, perbankan) Sistem Transportasi Sistem Telekomunikasi Tatanan sosial dan budaya Kapasitas institusi Permukiman
2.2.2 Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan tahap lanjutan dari tahapan tanggap darurat yang bertujuan untuk memperbaiki kembali pelayanan publik pada tahap yang memadai dan membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias serta wilayahnya dalam tatanan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini didahului dengan penyusunan rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara. Untuk tujuan tersebut Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat, Perencanaan dan Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Melalui Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk menyusun rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara, yang dijabarkan dalam arahan kebijakan, strategi, kegiatan pokok dan kerangka waktu pelaksanaannya. Untuk melaksanakan amanat dalam Inpres tersebut, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas telah melakukan berbagai koordinasi secara lintas sektoral di tingkat Pusat dan konsultasi secara intensif dengan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara serta berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, seperti kalangan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta komunitas lembaga/negara donor, dan menerbitkan Surat
2 - 13
Keputusan No. 007/MPPN/02/2005 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara (R3MAS). Dalam upaya untuk menyusun rancangan rencana induk R3MAS yang terpadu, sinergis, dan aspiratif, telah diambil kesepakatan antara Bappenas, Pemda Provinsi NAD dan Universitas Syiah Kuala yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepakatan, yang ditujukan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat lokal untuk penyempurnaan rancangan rencana induk yang telah disusun konsep awalnya oleh Bappenas. Selain itu, dalam rangka menjaring aspirasi yang dinamis dan berkembang di masyarakat, telah dilakukan pula berbagai forum seminar, lokakarya, dan konsultasi, yang dimaksudkan untuk mensosialisasikan rancangan awal blueprint yang telah disusun, serta sekaligus menjaring aspirasi dan harapan serta kebutuhan riil dari seluruh komponen masyarakat, khususnya dari kelompok masyarakat yang terkena dampak bencana. Penyelenggaraan konsultasi publik tersebut dilakukan baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah. Guna melakukan sosialisasi terhadap seluruh proses dan kemajuan kegiatan yang dilakukan oleh Tim R3MAS baik di Bappenas maupun di daerah, telah dibangun website www.acehreconstruction.bappenas.go.id dan versi internasionalnya di www.e-aceh.org yang telah mendapatkan apresiasi dari banyak pihak terkait, dengan informasi yang terus ter-update sesuai dengan kemajuan proses penyusunan rencana induk yang telah disusun oleh Tim R3MAS. Dalam rangka memantapkan rancangan rencana induk yang disusun, khususnya yang terkait dengan aspek pendanaan, telah pula dilakukan berbagai rapat koordinasi bersama komunitas donor, yang dimaksudkan untuk memperoleh masukan yang sifatnya substantif dan sekaligus guna menjaring komitmen lanjutan dari masing-masing pihak donor di dalam membantu Pemerintah di dalam perencanaan dan pelaksanaan lebih lanjut kegiatan R3MAS. Upaya untuk menjaring komitmen dari komunitas donor telah dilakukan melalui tracking information terhadap ‘pledge’ dan komitment yang mereka telah sampaikan pada saat sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) pada bulan Januari 2005 yang lalu, sehingga bisa dipantau konsistensi dari komitmen yang telah disampaikan, guna menjadi salah satu sumber pendanaan bagi pelaksanaan kegiatan R3MAS selanjutnya. Sampai dengan saat ini telah ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, ADB dan Bank Dunia. Dalam aspek kelembagaan untuk pelaksanaan R3MAS, Tim R3MAS Bappenas bersama Departemen Dalam Negeri di bawah koordinasi Bapak Wakil Presiden juga telah menyiapkan berbagai rancangan untuk pembentukan Badan Pelaksana (Bapel) Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara (R2WANS) Rencana induk yang disusun oleh Pemerintah ini akan dituangkan ke dalam produk hukum, akan dijadikan pedoman umum dan acuan operasional bagi Badan Pelaksana R2WANS serta bagi Pemerintah Daerah NAD dan Pemerintah Kabupaten Nias di dalam pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun ke depan, sesuai dengan yang kebutuhan.
2 - 14
Bab 3 Prinsip-Prinsip Dasar dan Kebijakan Umum Pokok-pokok uraian pada bab ini adalah tentang visi dan misi, prinsip-prinsip dasar serta strategi umum yang akan ditempuh dalam pelaksanaan rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara. Uraian tersebut dirumuskan berdasarkan kebijakan dan strategi yang tercantum di dalam buku-buku rencana rinci, dengan tujuan untuk menggaris-bawahi pokok-pokok kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. 3.1.
Visi dan Misi
Visi dan misi rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang telah disepakati adalah : Visi pembangunan kembali Aceh Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat Aceh yang maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam serta memiliki harkat dan martabat Aceh dalam wawasan NKRI dan universal. Untuk mencapai visi tersebut misi yang akan dilakukan adalah: 1. Melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. 2. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta iman dan taqwa (imtaq). 3. Mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam secara arif dan sesuai dengan daya dukungnya. 4. Membangun tatanan ekonomi daerah yang unggul dan kompetitif serta adil berlandaskan ekonomi kerakyatan. 5. Membangun sistem infrastruktur yang handal dan efisien. 6. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat Aceh yang menunjang pembangunan yang berkelanjutan. 7. Meningkatkan kemampuan birokrasi pemerintahan daerah yang profesional, berwibawa dan amanah. 8. Memperkuat pemahaman masyarakat tentang berwawasan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI serta masyarakat dunia 9. Memperkuat pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sesuai Undang Undang no. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Visi dan misi rehabilitasi dan rekonstruksi Nias yang telah disepakati adalah: Visi pembangunan kembali Nias Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat Nias yang maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai budaya dalam kerangka NKRI.
Untuk mencapai visi tersebut misi yang akan dilakukan adalah: 1. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). 2. Mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam secara arif dan sesuai dengan daya dukungnya. 3. Membangun tatanan ekonomi daerah yang unggul dan kompetitif serta adil berlandaskan ekonomi kerakyatan. 4. Membangun sistem infrastruktur yang handal dan efisien. 5. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat Nias yang menunjang pembangunan yang berkelanjutan. 6. Meningkatkan kemampuan birokrasi pemerintahan daerah yang profesional, berwibawa dan amanah. 3.2.
Prinsip-Prinsip Dasar Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, maka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Berorientasi pada masyarakat dan partisipatif 2. Pembangunan berkelanjutan, yang mengutamakan keseimbangan aspek kelayakan ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah lingkungan (environmentally sound). 3. Holistik, pembangunan kembali Aceh dan Nias harus mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan berdasarkan pada strategi yang komprehensif . 4. Terpadu, koordinasi dan strategi yang efektif untuk menjamin konsistensi dan keefektifan antara program sektoral dan regional di tingkat nasional maupun daerah. 5. Efisien, transparan, dan akuntabel 6. Adanya monitoring dan evaluasi yang efektif. 7. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang kekhususan Aceh. 8. Prioritas akan diberikan untuk melindungi dan membantu anggota masyarakat korban bencana yang paling rentan, khususnya anak-anak dan janda, penyandang cacat, mereka yang telah kehilangan rumah dan harta-benda, masyarakat miskin, dan mereka yang telah kehilangan pencari nafkah utama dalam keluarga. 9. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumatera Utara diprioritaskan pada daerah-daerah yang terkena bencana. 3.3
Kebijakan Umum
1.
Pembangunan kembali masyarakat dengan cara memulihkan aspek-aspek kehidupan keagamaan, sosial budaya dan ketahanan masyarakat yang meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, hukum dan kelembagaan agama serta adat.
2.
Pembangunan kembali ekonomi dengan cara penciptaan lapangan kerja, pemberian bantuan keuangan dan kredit untuk pengembangan usaha kecil dan menengah, membangun kembali sektor-sektor produktif (perikanan, pertanian,
3-2
industri, perdagangan, dan jasa) disertai pembangunan kembali sarana ekonomi (pasar, tempat pelelangan ikan, gudang). 3.
Pembangunan Kembali Infrastruktur dan Perumahan dengan mendahulukan pemulihan fungsi prasarana dasar seperti jalan, pelabuhan udara dan laut, prasarana dan sarana telekomunikasi, pemulihan pengadaan listrik, air bersih dan perumahan.
4.
Pembangunan Kembali Pemerintahan dengan cara memfungsikan kembali sistem dan pelayanan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, merancang kembali (redesign) kota-kota dan pusat kegiatan baru.
Penjabaran kebijakan umum tersebut ke dalam kegiatan dalam tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi dilakukan dengan mempertimbangkan arahan penataan ruang di wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara yang berazaskan pembangunan berkelanjutan. Gambar 3.1
KERANGKA PERENCANAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH NAD DAN NIAS, SUMATERA UTARA VISI: MEMBANGUN ACEH DAN NIAS MASA DEPAN
Pemerintahan
ZONING
MONITORING, EVALUASI DAN AKUNTABILITAS
PELAKSANAAN
KRITERIA DESAIN STANDAR PROSEDUR
Waktu
LINGKUNGAN HIDUP
Pelaksana
PERTANAHAN
Kegiatan
Infrastruktur
INTEGRASI SPASIAL
Emergensi, Rehabilitasi, Rekonstruksi
TATA RUANG
RENCANA KERJA
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Masyarakat
Ekonomi
Pendanaan
Kebijakan Regional
Lokasi
Kebijakan Bidang
ASPIRASI, HARAPAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Integrasi kebijakan sektoral dan regional dijabarkan dalam rencana kerja berdasarkan lokasi, kegiatan yang dilakukan, pelaksana kegiatan, waktu pelaksanaan, dan sumber dana. Setiap tahap mulai dari tahap penetapan kebijakan, strategi, pengembangan wilayah, penetapan rencana kerja, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi melibatkan aspirasi, harapan dan partisipasi masyarakat.
3-3
Bab 4 Kebijakan dan Strategi Bidang Dalam kebijakan dan strategi yang akan dituangkan dalam rencana rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias, hal pertama yang harus dilakukan adalah pengamatan terhadap permasalahan yang ada, baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga nanti akan memberikan gambaran yang utuh terhadap masalah yang ada. Permasalahan yang ditimbulkan oleh bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, Sumatera Utara pertama-tama dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok: masalah yang timbul pada manusia sebagai individu; manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya; dan masalah yang timbul sebagai pendukung kehidupan manusia. Dengan mengkategorikan permasalahan tersebut ke dalam tiga masalah besar tersebut, maka proses “pemulihan” dari permasalahan-permasalahan tersebut bisa dikategorikan baik dari segi prioritasnya mana yang perlu ditangani, maupun dari segi bidang-bidang yang tepat untuk menanganinya. Secara umum permasalahan utama paska gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, Sumatera Utara adalah jumlah korban yang sangat banyak dan kerusakan fisik yang masif. Jumlah korban baik yang telah meninggal dan hilang maupun yang masih hidup memberikan permasalahan ikutan yang sangat kompleks dimana perlu penanganan yang terpadu. Demikian juga kerusakan skala masif dari sarana dan prasarana memperburuk keadaan ratusan ribu korban tersebut Bila terjadi suatu bencana, penyembuhan pertama yang dilakukan adalah terhadap Manusia Sebagai Individu yang merupakan pusat permasalahan prioritas yang perlu ditangani segera. Ada empat upaya penyembuhan yang secara serentak harus dilakukan terhadap setiap individu manusia yang terkena bencana, yaitu: (1) Pemulihan spiritual (spiritual healing), yaitu penyembuhan terhadap spiritual, sikap ridha terhadap bencana yang dihadapi. Intinya hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang. (2) Pemulihan emosional (emotional healing), yaitu penyembuhan terhadap emosi seseorang seperti dari kejadian traumatik yang dihadapi, termasuk kehilangan orangorang yang dicintai, dan kehilangan akan harta yang dimiliki. Dalam penyembuhan emosional, pemberian semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting. (3) Penyembuhan fisik (physical healing), yaitu penyembuhan terhadap fisik manusia. (4) Penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing) Dapat disimpulkan bahwa terhadap korban yang masih hidup berbagai masalah akan timbul seperti masalah kerentanan terhadap kepercayaan terutama untuk anak-anak; ketidakstabilan emosional masyarakat rentan (anak-anak, perempuan, orang tua dan cacat);
keadaan fisik korban yang perlu penanganan segera, dan juga keadaan pendidikan yang terlalu lama fakum, serta pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang dan perumahan perlu penanganan prioritas. Secara kolektif, Manusia Sebagai Makhluk Sosial, permasalahannya lebih kompleks karena banyak keterkaitan bidang-bidang yang perlu penangangan terpadu untuk mengatasinya. Beberapa pertanyaan yang perlu jalan keluar dari permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan kolektif manusia ini adalah: (1) hubungan antar manusia, bagaimana memulihkan hubungan adat, sosial dan budaya antar anggota masyarakat Aceh dan Nias; (2) bagaimana memulihkan pelayanan masyarakat di Aceh dan Nias seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keagamaan, pemerintahan dll dimana kebanyakan tenaga pelayanan tersebut menjadi korban baik meninggal/hilang maupun hidup tetapi masih mengalami trauma; (3) bagaimana mengembalikan kehidupan ekonomi di Aceh dan Nias, apakah dengan memberikan bantuan keuangan baik pada bantuan pada penggantian tanah, perumahan, maupun bantuan pemulihan sarana produktif masyarakat; (4) bagaimana memberikan kepastian hukum pada masyarakat misalnya terhadap hak kepemilikan tanah; (5) bagaimana memberikan rasa aman kepada masyarakat. Permasalahan individu dan kolektif manusia tersebut tidak akan terentaskan secara menyeluruh kalau permasalahan faktor-faktor pendukung juga tidak dipecahkan. Permasalahan-permasalahan faktor pendukung tersebut menyangkut permasalahan infrastruktur fisik dan permasalahan infrastruktur kelembagaan. Dengan pendekatan ini kita berusaha melihat kesatuan dan keterkaitan permasalahan yang dihadapi sehingga nanti bisa menentukan kebijakan dan strategi apa yang harus diputuskan. Jadi ada dasar yang harus dipedomani dalam pengambilan keputusan kebijakan dan strategi. Dengan pendekatan ini terlihat bahwa semua upaya rehabilitasi dan rekonstruksi terfokus kepada manusianya apakah pemulihan langsung terhadap manusia itu sendiri, pemulihan terhadap lingkungan sekitarnya baik interaksi dengan manusia lain maupun interaksi lingkungan dengan faktor-faktor pendukung yang ada.
4-2
KESATUAN PANDANG DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT
Prasarana Pendukung Manusia sebagai Makhluk Sosial HUKUM SOSIAL
KETAHANAN
Manusia sebagai Individu 1. Pemulihan Spiritual 2. Pemulihan Emosional 3. Penyembuhan Fisik 4. Pengembangan Intelektual
EKONOMI
KEAMANAN
KELEMBAGAAN MASYARAKAT (ADAT) INFRASTRUKTUR KELEMBAGAAN
INFRASTRUKTUR FISIK
Berdasarkan pada pendekatan di atas, kebijakan umum yang diambil akan terkait dengan: (1) Membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara baik kehidupan individu maupun sosialnya; (2) Membangun kembali perekonomiannya sehingga dapat berusaha sebagaimana sebelumnya; (3) Membangun kembali infrastruktur kelembagaan dan infrastruktur fisik (4) Memulihkan kembali pemerintahan sebagai sarana pelayanan masyakarat.
4-3
4.1
Membangun Kembali Masyarakat.
Dalam membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara, hal-hal yang menjadi bagiannya adalah pemulihan spiritual/keagamaan masyarakat dan kehidupan sosial budaya (adat), pemulihan kesehatan masyarakat, pemulihan pendidikan, ketahanan masyarakat, hukum, dan ekonomi. 4.1.1
Agama
Permasalahan pokok keagamaan antara lain: (1) Terganggunya ketentraman rohani akibat kehilangan keluarga, ikatan sosial dan harta benda; (2) Hilangnya ribuan tokoh agama dan tenaga pelayanan keagamaan. (3) Hilangnya simbol-simbol keagamaan yang merekatkan individu di dalam satu unit sosial dan masyarakat, seperti mesjid, dan meunasah. (4) Rusaknya sarana dan prasarana pelayanan keagamaan seperti kantor KUA dan balai nikah, kantor dinas syariah. (5) Hilangnya kesempatan anak-anak untuk memperoleh pengasuhan orang tua dan pendidikan di sekolah/madrasah, meunasah, pondok pesantren, diniyah, dan tempat pengajian; Kebijakan dan strategi agama: (1) Pemulihan ketentraman rohani dengan: a. Memberikan bimbingan dan konseling b. Memberikan pengasuhan anak yatim piatu c. Menggiatkan pengajian majelis taklim (2) Melengkapi tenaga pelayanan keagamaan dengan: a. Memberikan pendidikan dan pelatihan bagi Imam masjid, khatib, da’i, guru pengajian b. Merekrut tenaga pegawai mulai dari tingkat gampong sampai sampai propinsi (kantor wilayah) (3) Merehabilitasi simbol-simbol agama dengan: a. Merehabilitasi dan membangun sarana dan prasarana peribadatan seperti mesjid, meunasah. b. Merehabilitasi dan membangun sarana dan prasarana pelayanana keagamaan seperti Kandep Agama kabupaten/kota, kantor Dinas Syariah, kantor MPU. 4.1.2 Sosial Budaya Permasalahan pokok sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya gempa dan tsunami baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial budaya antara lain: (1) Jumlah korban yang sangat banyak. Hilangnya ratusan ribu nyawa, ratusan ribu lainnya terpaksa jadi pengungsi dan anak-anak menjadi yatim piatu, hancurnya rumah dan bangunan (2) Kerusakan fisik yang sangat masif pada fasilitas pelayanan sosial budaya seperti panti sosial, balai pelestarian peninggalan purbakala, museum, klinik keluarga
4-4
berencana serta prasarana kepemudaan dan olahraga, sehingga mengakibatkan terhambatnya kehidupan keagamaan dan sosial budaya. (3) Banyaknya korban yang tidak terlayani dalam memperoleh pangan, tempat tinggal, terhentinya kegiatan kepemudaan dan keolahragaan, pelayanan keluarga berencana serta terganggunya kehidupan budaya. (4) Informasi kependudukan pasca bencana yang sangat tidak lengkap dan mengalami perubahan sangat drastis sehingga tidak diketahui secara pasti keadaan jumlah, jenis kelamin, struktur umur serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. (5) Ribuan pengungsi yang memerlukan kebutuhan pelayanan dasar serta konseling bagi yang mengalami trauma. (6) Perempuan dan anak di lokasi pengungsian memerlukan kebutuhan spesifik, dan mereka menjadi rentan terhadap tindakan pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Kebijakan dan strategi sosial budaya Kebijakan untuk mengatasi permasalahan pokok sosial budaya tersebut adalah: (1) Peningkatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dengan: a. Melakukan pendataan kebututuhan khusus perempuan dan anak; b. Mengembangkan dan menfungsikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2), dan memfasilitasi women crisis center; c. Memfasilitasi children center dan reunifikasi keluarga, bantuan hukum, dan dukungan untuk pengasuhan anak; d. Memberdayakan perempuan khususnya kepala keluarga perempuan dalam kegiatan ekonomi (2) Peningkatan kualitas kehidupan adat, tradisi, dan kegiatan seni budaya serta pelestarian warisan budaya masyarakat dengan: a. Melakukan pendataan dan inventarisasi terhadap kerusakan warisan budaya b. Memperkuat nilai-nilai budaya dan melestarikan warisan seni dan budaya masyarakat c. Membangun/merehabilitasi sarana dan prasarana budaya, serta memugar warisan budaya yang rusak (3) Pemberian bantuan dan jaminan bagi masyarakat rentan dengan: a. Memberikan bantuan dan jaminan sosial bagi masyarakat korban bencana b. Meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak, lanjut usia, dan penyandang cacat korban bencana c. Membangun dan memfungsikan trauma center; d. Memberdayakan keluarga, fakir miskin, dan komunitas adat terpencil. (4) Pendataan lengkap penduduk dan pemberian jaminan pelayanan keluarga sejahtera dan kesehatan reproduksi dengan: a. Melakukan pendataan lengkap penduduk guna menyediakan data komposisi penduduk yang lengkap
4-5
b. Merehabilitasi dan merekonstruksi akses dan sarana prasarana pelayanan keluarga berencana, kesehatan reproduksi dan pemberdayaan ketahanan keluarga c. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang dibutuhkan oleh pasangan usia subur. (5) Peningkatan peran pemuda dan budaya olahraga dengan: a. Menyediakan fasilitas kepemudaan dan keolahragaan dan memulihkan fungsi kelembagaannya, b. Mobilisasi dan pemberdayaan potensi kepemudaan dan keolahragaan 4.1.3 Kesehatan Beberapa permasalahan pokok kesehatan setelah terjadi bencana antara lain: 1. Jumlah korban yang sangat banyak. Banyaknya jumlah korban baik yang meninggal, mengalami luka-luka baik ringan dan berat, maupun yang mengalami depresi memerlukan pertolongan kesehatan dengan segera. 2. Sistem kesehatan lumpuh disebabkan rusaknya sarana dan prasaran pelayanan kesehatan serta banyaknya tenaga kesehatan yang hilang, meninggal, dan mengalami depresi. 3. Lokasi korban yang tersebar sehingga penanganan korban bencana tidak optimal. Banyak anggota masyarakat termasuk pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian sulit memperoleh pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. 4. Terbatasnya air bersih dan buruknya sanitasi lingkungan. Tempat-tempat pengungsian tidak memenuhi syarat kesehatan, misalnya kekurangan air bersih, tempat pembuangan sampah, dan sarana mandi, cuci dan kakus. 5. Ketahanan pangan dan gizi menurun. Sebagai akibat ketersediaan dan distribusi bahan makanan yang kurang merata dan banyaknya titik pengungsi menyebabkan meningkatnya resiko kekurangan gizi, sakit dan kematian terutama pada kelompok rentan yaitu bayi, balita, ibu hamil, dan usia lanjut. 6. Kemungkinan timbulnya penyakit menular. Kondisi lingkungan yang buruk diikuti dengan kekurangan gizi dapat menyebabkan berjangkitnya berbagai penyakit menular, misalnya campak, diare, malaria dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Kebijakan dan strategi kesehatan. Berdasarkan permasalahan pokok kesehatan tersebut kebijakan prioritas yang harus ditempuh dan strategi-strategi yang akan dijalankan dalam melaksanakan kebijakan adalah. (1) Penyelamatan korban bencana yang masih hidup, melalui strategi: a. Pelayanan kesehatan darurat. b. Pelayanan kesehatan bagi korban yang mengalami trauma. (2) Pemulihan sistem kesehatan, dengan strategi: a. Mobilisasi tenaga kesehatan dari daerah lain. b. Menempatkan tenaga kesehatan dengan sistem kontrak c. Merekrut tenaga kesehatan baru
4-6
d. Melatih tenaga kesehatan e. Merehabilitasi dan membangun prasarana dan sarana pelayanan kesehatan yang rusak f. Memulihkan fungsi fasilitas pelayanan kesehatan (3) Pencegahan terjadinya wabah penyakit, melalui strategi: a. Melakukan penilaian kebutuhan cepat (rapid health assessment) b. Melakukan imunisasi, vector control, disinfeksi, dan penyediaan air minum c. Memperkuat survailans epidemiologi (4) Pencegahan kekurangan gizi, melalui strategi: a. b. c. d.
Memberikan bantuan makanan bagi bayi, balita dan ibu hamil. Memberikan paket pertolongan gizi seperti vitamin A, tablet besi, syrup besi Memberikan penyuluhan gizi Memperkuat survailans gizi.
4.1.4 Pendidikan Beberapa permasalahan pokok pendidikan akibat bencana adalah: (1) Banyaknya peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan yang meninggal dan hilang menyebabkan kegiatan belajar mengajar terhenti sementara dan sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara normal. (2) Banyaknya kerusakan sarana dan prasarana pendidikan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan menyebabkan terbatasnya fasilitas pendidik yang dapat digunakan bagi peserta didik yang selamat. (3) Banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tua dan keluarga serta tempat tinggalnya menuntut perhatian semua pihak untuk dapat menjamin kelangsungan pendidikan mereka dengan tetap memperhatikan kasih sayang yang dibutuhkan serta upaya untu menyediakan tempat tinggal bagi mereka. (4) Rusaknya materi bahan ajar dan peralatan pendidikan seperti buku pelajaran, buku perpustakaan, dan alat peraga pendidikan menyebabkan menurunnya kualitas proses belajar mengajar. (5) Banyaknya pendidik dan tenaga kependidikan yang kehilangan tempat tinggal mengakibatkan mereka tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik. (6) Cukup banyak tenaga kependidikan di institusi pengelola pendidikan seperti Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Departemen Agama baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang meninggal atau hilang menyebabkan fungsi-fungsi pengelolaan pendidikan termasuk perencanaan kurang berjalan dengan baik (7) Banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana yang terjadi menuntut perlunya penyediaan pelayanan pendidikan keterampilan baik melalui jalur formal dan non-formal agar mereka lebih siap untuk bekerja kembali.
4-7
Kebijakan dan Strategi (1) Menyelenggarakan pendidikan darurat bagi peserta didik yang terkena bencana dengan: (timing) a. Menyediakan fasilitasi pendidikan darurat termasuk tenda dan sekolah darurat b. Membersihkan fasilitas pendidikan untuk dapat difungsikan kembali. c. Merekrut pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bersifat semsentara termasuk memberdayakan relawan, d. Menyediakan buku dan peralatan pendidikan lainnya. e. Melakukan bimbingan dan konseling yang diberikan bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya untuk membantu mereka menghilangkan trauma yang dialami akibat bencana yang terjadi. (2) Memperluas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan pendidikan bagi semua penduduk usia sekolah (education for all) terutama wajib belajar pendidikan 9 tahun melalui (timing) a. Pengembangan program pendidikan dan pelatihan untuk anggota masyarakat b. Rehabilitasi dan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan termasuk lembaga dayah c. Bimbingan dan konseling bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan d. Penyediaan beasiswa bagi peserta didik dan bantuan biaya hidup bagi korban (3) Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan melalui a. Peningkatan mutu pendidikan dan meningkatkan relevansinya termasuk pengembangan pendidikan bertaraf internasional; b. Pengembangan kurikulum yang relevan disesuaikan dengan kebutuhan lokal; c. Peningkatan jumlah, kualitas dan profesionalisme pendidik d. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum pendidik dan tenaga kependidikan (4) Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan melalui: a. Pengembangan sistem pendidikan termasuk pendidikan keluarga dan masyarakat; b. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha; c. Revitalisasi dinas pendidikan dan kantor wilayah agama provinsi dan kabupaten/kota; d. Penyediaan anggaran pendidikan yang memadai dan berkelanjutan; e. Pelaksanaan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan sebagai hak asasi, investasi, dan aset kepada seluruh kelompok masyarakat f. Penataan dan peningkatan kinerja penyelenggaraan pendidikan termasuk penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi pendidikan; 4.1.5 Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Terjadinya gempa dan tsunami di Aceh telah menyadarkan bangsa ini bahwa kepulauan Indonesia terletak di kawasan yang rawan bencana. Dalam membangun kembali Aceh dan Nias, Sumatera Utara serta pembangunan Indonesia ke depan, peran iptek sangat diperlukan terutama dalam memberikan landasan pembangunan yang berwawasan mitigasi bencana. Dalam hal ini permasalahannya adalah belum berfungsinya sistem pencegahan dini (early warning system) dalam mendeteksi bencana dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat.
4-8
Kebijakan dan Strategi (1) Meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam pencegahan dini terhadap bencana, khususnya terhadap gempa dan tsunam dengan memperhatikan kearifan budaya lokal (2) Membangun pusat peringatan dini (early warning system). (3) Memanfaatkan teknologi tepat guna dalam mendukung kehidupan sosial, ekonomi, budaya, kesehatan dan pendidikan masyarakat. 4.1.6 Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat Upaya yang dilakukan untuk membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias dilakukan dengan menciptakan rasa aman masyarakat dan membangun ketahanan masyarakat. Beberapa permasalahan pokok setelah terjadinya bencana alam: (1) Kondisi masyarakat yang rentan. Kondisi masyarakat yang rentan secara sosial dan psikologis akibat bencana akan membahayakan dirinya dari tindakan-tindakan ketidakadilan dan kesewenangan. (2) Terbatasnya peran lembaga kemasyarakatan. Konflik yang berkepanjangan dan bencana alam telah memperlemah lembaga kemasyarakatan lokal untuk membangun kemandirian masyarakat termasuk untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. (3) Ancaman dan ganggunan keamanan dan ketertiban masih relatif tinggi. Ancaman dan gangguan keamanan dan ketertiban dapat membahayakan integritas dan kelangsungan hidup masyarakat. (4) Kerusakan parah sarana prasarana lembaga keamanan dan ketertiban, serta korban jiwa aparat TNI/POLRI. Kerusakan sarana dan prasarana lembaga keamanan serta korban yang meimpa aprat keamanan mengakibatkan tidak optimalnya fungsi lembaga keamanan dan ketertiban sehingga memberikan peluang bagi meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban. Kebijakan dan Strategi Berdasarkan permasalahan pokok tersebut di atas, kebijakan prioritas yang harus ditempuh dan strategi yang akan dijalankan untuk melaksanakan kebijakan adalah: (1) Membangun masyarakat Aceh melalui penciptaan kematangan dan kedewasaan sosial politik baik tata kehidupannya maupun kelembagaan dan mekanismenya dalam kerangka demokrasi: a. Fasilitasi peran masyarakat sipil dalam membantu peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan; b. Melakukan restrukturisasi dan reorientasi lembaga masyarakat, lembaga ekonomi, dan pemerintahan, serta memantapkan sistem komunikasi massa dan informasi; c. Melakukan Pengelolaan Dampak Bencana berupa kegiatan kemanusiaan, peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, refungsionalisasi pemerintahan, termasuk lembaga keamanan, dukungan rehabilitasi dan dukungan rekonstruksi dengan pendekatan sosio-kultural; d. Membangun karakter dan kebangsaan (nation and character building) yang mandiri dan berkualitas agar masyarakat memiliki kesadaran dan saling percaya dalam membangun kembali Aceh dan membela negara dan bangsa; e. Melaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan pemberdayaan masyarakat dalam segala bidang pembangunan di Aceh;
4-9
f.
Memantapkan otonomi khusus Propinsi Nangroe Aceh sehingga masyarakat Aceh mampu melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan melanjutkan upaya-upaya pemantapan rasa cinta tanah air; dan g. Mengembangkan insentive framework yang menyeluruh untuk para dalam rangka mencapai perdamaian yang abadi dan tuntas. (2) Membangun masyarakat Aceh melalui penciptakan rasa aman dan tertib di masyarakat bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat. a. Melaksanakan refungsionalisasi lembaga – lembaga keamanan dan ketertiban; b. Melaksanakan pengamanan terpadu terhadap daerah-daerah pengungsian, c. Memantapkan keamanan dengan pengamanan terpadu terhadap daerah-daerah yang kondisi keamanan dan ketertibannya relatif kondusif; d. Melaksanakan pengamanan proses pembangunan terutama rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana serta aktivitas sosial ekonomi; dan e. Meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah-daerah yang rawan. 4.1.7 Hukum Permasalahan Pokok Hukum (1) Keperdataan a. Orang dan keluarga: (i) tidak adanya data penduduk pasca gempa-tsunami yang akurat, yaitu data mengenai penduduk yang selamat, meninggal atau hilang serta; (ii) tidak adanya identitas diri yang berkaitan dengan hubungan perkawinan, perceraian serta pewarisan. b. Kebendaan dan perniagaan: (i) tidak jelasnya status harta-benda individu, misalnya dana di bank, asuransi jiwa, dan kepemilikan benda bergerak; (ii) hilangnya dokumen identitas badan hukum; (iii) belum jelasnya status pelaksanaan hak dan kewajiban (hubungan perikatan) baik antara individu maupun badan hukum, termasuk cicilan rumah, mobil, motor, dll. (2) Pertanahan a. Belum adanya ketentuan mengenai obyek (tanah): (i) tanah musnah dan; (ii) hasil scanning sebagai alat bukti yang sah; b. Belum adanya ketentuan mengenai subyek hukum berkaitan dengan tanah yaitu: (i) tanggung jawab terhadap kebenaran materiil dokumen pendukung kepemilikan tanah; (ii) larangan transaksi atau pengalihan hak atas tanah untuk melindungi pemilik tanah. c. Belum adanya ketentuan Baitul Maal sebagai badan hukum pemegang hak atas tanah; d. Belum adanya ketentuan mengenai modifikasi mekanisme pengumuman dan sumpah untuk percepatan penerbitan sertipikat pengganti; e. Belum adanya ketentuan mengenai penetapan tanah milik komunal (hak milik adat). f. Tidak jelasnya mekanisme penetapan penggunaan tanah untuk kamp pengungsian atau kegiatan penanggulangan bencana lainnya. (3) Administrasi Pemerintahan a. Tidak jelasnya tanggung jawab kepada pihak ketiga: keuangan (pengadaan barang yang musnah), dokumen hukum di lingkungan pemerintahan, dll. b. Belum adanya ketentuan pajak pasca tsunami.
4 - 10
(4) Peradilan a. Belum selesainya proses perkara perdata dan pidana sebelum tsunami (yang sedang diproses ketika bencana datang) b. kompleksitas prosedur hukum acara perdata dan pidana c. Belum berkembangnya lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa d. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengadilan/ Mahkamah Syar’iyah e. Masih terbatasnya bantuan hukum bagi masyarakat f. Belum adanya ketentuan mengenai narapidana yang hilang/meninggal akibat tsunami Kebijakan dan strategi hukum (1) Kebijakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah di keperdataan, pidana, status identitas, perikatan, dan pemerintahan adalah dengan mewujudkan jaminan kepastian, perlindungan, penegakan hukum dan HAM, melalui strategi: a. Pemulihan dan pemberian hak-hak keperdataan serta penerbitan kembali alat bukti haknya. b. Pemulihan hak-hak yang berkaitan dengan hukum publik. c. Pemberian kembali dokumen identitas. d. Pemberian status hukum Baitul Maal sebagai subyek hukum, Provinsi NAD. e. Pemberdayaan lembaga adat sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar pengadilan. (2) Kebijakan yang akan dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan tugas pelayanan hukum melalui strategi: a. Mobilisasi tenaga hakim dan tenaga peradilan lainnya serta jaksa dari daerah lain. b. Merehabilitasi dan membangun kembali sarana dan prasarana pengadilan dan kejaksaan serta sarana pendukung lainnya. (3) Kebijakan yang akan dilakukan adalah dengan menyusun payung hukum untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan memperhatikan pengarusutamaan kesetaraan jender melalui strategi: menyusun substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang: Pertanahan dan tata ruang; Ekonomi dan Ketenagakerjaan; dan Hukum. 4.1.8 Kelembagaan Agama Dan Adat Dalam Kegiatan Sosial Masyarakat Permasalahan pokok kelembagaan agama dan adat terutama di masyarakat Aceh antara lain: (1) Tidak berfungsinya kelembagaan adat dan masyarakat yang telah ada sejak dahulu dan diperkuat keberadaannya oleh UU No. 18/2001. Saat ini dengan tercerai berainya dan berkurangnya ketua-ketua dan anggota lembaga agama, adat, dan sosial lainnya tingkat mukim dan gampong (akibat bencana) menyebabkan tidak optimalnya lembaga adat yang ada. (2) Berkurangnya serta rusak dan musnahnya sarana lembaga agama, adat, dan sosial tingkat mukim dan gampong (meunasah dan bale), menyebabkan kegiatan sosial dan budaya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
4 - 11
(3) Tidak kondusifnya kondisi keamanan sehingga berkembangnya lembaga-lembaga tradisional tersebut.
menjadi
kendala
bagi
Kebijakan dan Strategi Dalam upaya memfungsikan kembali hubungan kekerabatan antar masyarakat dan kegiatan sosial lainnya melalui lembaga agama, adat, dan sosial lainnya tingkat mukim dan gampong, maka perlu ada kebijakan dan strategi pemberdayaan lembaga agama, adat dan sosial yang ada di Aceh, terutama di wilayah yang terkena bencana. Keberadaan lembaga agama adat dan sosial lainnya sudah sejak lama dan berfungsi dengan baik sebagai media komunikasi dan kegiatan sosial dan masyarakat. Kebijakan dan strategi pengembangan kelembagaan agama, adat dan sosial lainnya dalam rangka pemulihan kembali masyarakat ini harus didasarkan kepada kondisi sosial masyarakat Aceh sebelum terkena bencana dan tetap dalam kerangka otonomi khusus sesuai Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Kebijakan tersebut adalah (1) Meningkatkan peranserta lembaga agama, adat, dan sosial lainnya tingkat mukim dan gampong dalam penyusunan rencana dan kebijakan, dengan cara : a. Pelibatan perangkat mukim dan gampong dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, b. Peningkatan peran dewan penasihat mukim dan gampong, serta dewan ulama mukim dan gampong dalam pengawasan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi serta c. Peningkatan kapasitas dan peran lembaga agama, adat, dan sosial lainnya dalam menghadapi ancaman bencana alam dan buatan, berpartisipasi dalam proses kebijakan publik melalui pelatihan-pelatihan teknis manajerial, pengembangan sistem deteksi dini, serta pengembangan ruang dan mekanisme partisipasi. (2) Memfasilitasi sarana dan prasarana agama, adat, dan sosial lainnya tingkat mukim dan gampong, dengan cara : Penyediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi lembaga agama, adat, dan sosial lainnya tingkat mukim dan gampong seperti pembangunan meunasah dan bale sebagai tempat bermusyawarah. Fokus penguatan dan optimalisasi fungsi pada kedua lembaga tersebut disebabkan lembaga mukim dan gampong memiliki unsur pemberdayaan masyarakat dan kemandirian rakyat yang lebih dominan. (Berdasarkan Undang-Undang No 18/2001).
4.2
Membangun Kembali Ekonomi
Bencana alam yang terjadi di Aceh dan Nias, Sumatera Utara menyebabkan lumpuhnya kegiatan ekonomi yang disebabkan: (1) Rusaknya hampir semua sarana kegiatan ekonomi masyarakat, antara lain a. Rusaknya sarana pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan perikanan dan pertanian seperti pelabuhan ikan, pusat-pusat penjualan perikanan dan pertanian, serta saluran irigasi. b. Rusaknya sarana produksi masyarakat meliputi antara lain sekitar 10.000 perahu nelayan yang terdiri dari 42% perahu tanpa motor dan 58% perahu dengan motor. (2) Tidak berfungsinya sistem keuangan termasuk perbankan yang disebabkan oleh rusaknya berbagai sarana perbankan serta hilangnya kegiatan ekonomi yang didukung oleh perbankan
4 - 12
(3) Tidak berjalannya pengangguran.
kegiatan
usaha
yang
menyebabkan
meningkatkan tingkat
Kebijakan dan Strategi 1. Memulihkan pendapatan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja yang berkaitan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi dan memberikan pelatihan bagi berbagai pekerjaan yang hilang. Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi mengutamakan partisipasi masyarakat Aceh untuk itu akan dilaksanakan pelatihan yang berkaitan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi. 2. Memulihkan fasilitas pelayanan masyarakat untuk memenuhi standar pelayanan minimal. Pemulihan ini dilaksanakan oleh Pemerintah melalui mobilisasi berbagai sumber daya yang tersedia seperti APBN dan bantuan. Pemulihan diutamakan kepada sarana pelayanan masyarakat yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi masyarakat seperti perikanan dan pertanian seperti pemulihan pangkalan pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, memulihkan sarana irigasi serta pusat-pusat penjualan lainnya. 3. Memulihkan kegiatan perbankan melalui pemulihan berbagai sarana perbankan serta mengembalikan fungsi intermediasi. Pemulihan dilakukan pula melalui identifikasi nasabah serta penetapan ahli warisnya. Sedangkan dari sisi aset perbankan pemulihan dilakukan melalui restrukturisasi. 4. Memberikan bantuan kepada masyarakat untuk memulihkan sarana produksinya. Bantuan kepada masyarakat ini akan diberikan melalui bantuan langsung melalui pendekatan berbasis masyarakat (community-based approach). Bantuan kepada masyarakat dilakukan melalui pemberian hibah langsung yang besarnya maksimum sebesar Rp. 2 juta. Selain itu akan diberikan pula bantuan yang berkaitan dengan tanah yang tidak dapat digunakan sebagai tempat pemukiman serta bantuan perumahan. 5. Memberikan dukungan kepada masyarakat unuk dapat memperoleh akses kepada sumber daya produktif melalui penyediaan sistem insentif kredit disertai pemberian bantuan teknis. Dukungan diberikan kepada kelompok masyarakat yang besarnya berkisar antara Rp. 5–15 juta. Masyarakat penerima bantuan dapat menggunakan dana tersebut sebagai pemulihan sarana bersama atau menggunakan dukungan dana tersebut untuk melakukan kegiatan usaha sebagai dana pendamping (matching fund). Dukungan diberikan pula agar masyarakat penerima dukungan ini dapat memperoleh dana pendamping melalui mekanisme perbankan biasa dengan menggunakan tingkat bunga pasar. Bantuan hanya diberikan melalui kemudahan perolehan kredit serta perpanjangan waktu tenggang.
4.3
Membangun Kembali Infrastruktur
Permasalahan Pokok Bencana gempa dan tsunami telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan perumahan dalam skala masif. Hal tersebut telah menimbulkan dampak sebagai berikut: 1. Hancurnya perumahan serta prasarana dan sarana pemukiman yang mengakibatkan ratusan ribu penduduk kehilangan tempat tinggal, menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, serta rusaknya sistim lingkungan yang berpotensi menimbulkan bencana lingkungan (enviroment disaster).
4 - 13
2. Hancurnya sistem transportasi, komunikasi, dan logistik, serta infrastruktur energi yang telah menimbulkan stagnasi ekonomi dan berpotensi menimbulkan depresi ekonomi. 3. Meningginya rasa tidak aman masyarakat terhadap ancaman bencana. 4. Terisolasinya beberapa wilayah. Kebijakan dan Strategi Berdasarkan permasalahan pokok bidang infrastruktur dan perumahan tersebut, kebijakan yang harus ditempuh dan strategi yang akan dijalankan dalam melaksanakan kebijakan adalah sebagai berikut: 1. Memprioritaskan penyediaan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar serta prasarana untuk memperlancar logistik. a. Menetapkan prioritas utama pada pembangunan kembali perumahan, air minum, sanitasi, dan drainase. b. Memprioritaskan pelaksanaan rehabilitasi prasarana akses masuk (entry point), antara lain pelabuhan laut dan bandara udara strategis beserta jaringan jalan pendukungnya. 2. Membantu dan menlaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan beserta prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi para korban bencana. a. Membantu korban yang ingin kembali ke tempat tinggal semula dalam bentuk incash atau in-kind setara: • Rp. 28 juta untuk rumah dengan tingkat kerusakan berat atau hancur • Rp. 10 juta untuk rumah dengan tingkat kerusakan ringan b. Membantu penyediaan perumahan dan prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi korban bencana yang berkeinginan pindah ke tempat baru (resettlement). c. Menyelesaikan bantuan dan penyediaan perumahan bagi korban bencana dalam jangka waktu kurang dari 2,5 tahun. 3. Membangun kembali sistem transportasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung kelancaran hubungan antar wilayah di dalam propinsi dan antar propinsi, serta luar negeri. a. Membuka entry point dan jalur jalan utama (nasional), dilanjutkan dengan pembukaan jalur transportasi yang terintegrasi untuk memperlancar distribusi logistik yang effisien dan pengembangan wilayah b. Merehabilitasi fasilitas telekomunikasi yang ada dan merekonstruksi fasilitas komunikasi baru melalui teknologi nir-kabel untuk memberikan kemudahan akses telekomunikasi baik secara lokal, SLJJ, maupun SLI 4. Merehabilitasi fasilitas distribusi energi dan kelistrikan sebagai upaya mendukung kembalinya aktivitas sosial dan perekonomian. a. mprioritaskan rehabilitasi jaringan distribusi kelistrikan b. Mengarahkan upaya rekonstruksi untuk mendukung diversifikasi sumber energi listrik 5. Mendukung upaya menjaga ketersedian pangan. a. Memprioritaskan rehabilitasi jaringan irigasi pada wilayah dimana petani penggarapnya telah siap dan diutamakan pada wilayah-wilayah pusat kegiatan ekonomi dan pemukiman. b. Membantu upaya perbaikan jaringan tambak rakyat, khususnya pada jaringan primer dan sekunder.
4 - 14
6. Memulihkan rasa aman bagi penduduk terkena bencana melalui peningkatan penyiapan fasilitas infrastruktur untuk mendukung upaya penyelamatan terhadap ancaman bencana. a. Mengatasi masalah genangan melalui rehabilitasi dan pembangunan saluran drainase utama atau perbaikan alur alam. b. Merehabilitasi dan merekonstruksi drainase kawasan perkotaan (micro dan macro drainage) untuk mengurangi potensi dampak negatif kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. c. Membangun sistem peringatan dini dan fasilitas penyelamatan (escape facilities) melalui pembangunan bukit penyelamatan (escape hill) dan jalur penyelamatan (escape road) pada daerah pemukiman kawasan pantai rawan bencana tsunami. d. Mengendalikan banjir daerah pemukiman dan perkotaan melalui kegiatan normalisasi sungai, perbaikan/pembangunan tanggul, dan perbaikan fasilitas pengendali banjir. 7. Menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip investasi yang didasarkan pada kelayakan ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, budaya dan agama. a. Melakukan studi kelayakan ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, budaya dan agama untuk setiap kegiatan peningkatan dan pembangunan fasilitas baru sebagai dasar pengambilan keputusan untuk melakukan investasi. b. Memprioritaskan optimalisasi prasarana dan sarana yang telah dibangun, sebelum menetapkan pembangunan fasilitas baru. c. Menerapkan keterpaduan intermoda prasarana dan sarana dalam menetapkan prioritas pelaksanaan kegiatan. d. Keputusan jadwal pelaksanaan perlu selalu memperhatikan tingkat kepentingan (urgency) dan tingkat kesiapan (readiness). e. Menerapkan metoda pelaksanaan dan sistem logistik yang efisien. f. Melakukan konsultasi publik, yang antara lain ditujukan untuk menggali dan mengakomodasikan nilai budaya lokal dan agama
4.4
Memulihkan Pemerintahan Propinsi Dan Kabupaten/Kota
Permasalahan Pokok Permasalahan di dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah: (1) Terjadinya permasalahan individual dan traumatik para PNS akibat kehilangan anggota keluarga ataupun harta benda. (2) Kurangnya pegawai khususnya pada beberapa Provinsi/Kabupaten/ Kota. (Meninggalnya guru dan tenaga kesehatan menyebabkan proses belajar mengajar dan pelayanan kesehatan dasar tidak dapat berjalan dengan baik di beberapa wilayah) (3) Meninggalnya Kepala Daerah dan Anggota Legislatif menyebabkan hilangnya kepemimpinan daerah serta beberapa kepala daerah yang habis masa baktinya. (4) Banyaknya sarana dan prasarana pemerintahan yang tidak berfungsi dan rusak terutama untuk tingkat kecamatan dan kelurahan/desa/mukim menyebabkan turunnya pelayanan pemerintahan dan pelayanan umum kepada masyarakat. (5) Hilangnya wilayah dan beberapa desa akibat bencana tsunami menyebabkan berubahnya luas dan batas wilayah administrasi. (6) Tidak kondusifnya penyelenggaraan pemerintahan akibat adanya gangguan keamanan.
4 - 15
Kebijakan dan Strategi Dalam melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, tujuan pemulihan kembali pemerintah adalah: (1) Memperkuat pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik yang efektif, akuntabel dan transparan; (2) Mengembangkan dan mengefektifkan ruang publik yang dinamis dengan melibatkan semua stakeholder dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan keputusan, monitoring dan evaluasi; (3) Membangun dan memulihkan kembali infrastruktur pemerintahan untuk mendukung proses pelayanan publik. Selanjutnya, dalam upaya mempercepat pencapaian mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka ditentukan kebijakan dan strategi untuk mencapai proses rehabilitasi dan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan daerah di Aceh dan Sumut. Dasar pemikiran perumusan kebijakan ini adalah untuk mencapai fungsi dan peran kelembagaan yang optimal dalam menunjang pembangunan di daerah-daerah yang terkena dampak tsunami. Seluruh kebijakan dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan perlu dilakukan sesuai dengan kebutuhan terkini pasca-tsunami. Kebijakan dan strategi dalam pemerintahan daerah adalah sebagai berikut: (1) Memulihkan pemerintahan daerah dalam jangka pendek untuk pelayanan umum darurat, melalui strategi: a. Menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan umum melalui bantuan sementara aparat pusat kepada pemerintah daerah. b. Melakukan evaluasi ketersediaan jumlah aparat dibandingkan dengan penduduk eksisting. c. Melakukan prioritas rekruitmen, pelatihan, dan pendidikan secara khusus dan cepat untuk mengisi kekosongan aparatur yang hilang/meninggal. d. Melakukan penanganan masalah administrasi kepegawaian (gaji, tunjangan, asuransi, dsb). e. Melakukan pembersihan, perbaikan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pemerintahan yang masih dapat dipergunakan. f.
Mendukung ketersediaan kantor–kantor darurat /kelurahan/desa.
tingkat kecamatan/mukim
g. Melakukan penyelamatan dokumen administrasi pemerintahan. h. Melakukan penggalangan bantuan kerjasama antar daerah dalam pemberian bantuan keuangan, bantuan medis, dan peralatan lainnya. i.
Memulihkan batas-batas administrasi wilayah (kecamatan/kelurahan/desa)
j.
Melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD, mahkamah NAD, serta kebijakan darurat sipil NAD.
(2) Meningkatkan kapasitas pemerintahan di daerah dalam jangka menengah, melalui strategi: a. Melakukan penataan dan penyediaan aparatur pemerintah daerah, legislatif, pimpinan daerah dan aparatur pusat. b. Meningkatkan kemampuan aparatur Pemda dan anggota legislatif dalam proses penyusunan rencana daerah, dan pengelolaan keuangan daerah.
4 - 16
c. Meningkatkan kemampuan aparatur Pemda dalam menghadapi ancaman bencana alam dan buatan, melalui pelatihan-pelatihan teknis manajerial dan pengembangan sistem deteksi dini. d. Memperbaiki sistem administrasi pemerintahan daerah yang responsif terhadap perubahan-perubahan yang tidak diduga (bencana alam dan bencana buatan). e. Memperbaiki dan menata struktur kelembagaan yang proporsional dan prosedur kerja sesuai dengan tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab, untuk memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). f.
Menciptakan dan pemerintahan.
meningkatkan
koordinasi
serta
kerjasama
antar
tingkat
(3) Mempercepat penyediaan sarana dan prasarana lembaga pemerintahan permanen, melalui strategi: a. Merehabilitasi prasarana pemerintah masterplan dan rencana teknis (DED).
daerah
yang
permanen
berdasarkan
b. Menyediakan sarana kerja pemerintah daerah dan peralatan mitigasi bencana untuk mendukung pelayanan publik. c. Memfasilitasi dan mendukung ketersediaan sarana dan prasarana trauma centre, sistem kehumasan Pemda, dan forum komunikasi.
4 - 17
Bab 5 Penataan Ruang 5.1 Tujuan Tujuan penataan ruang wilayah Aceh dan Nias pasca bencana gempa bumi dan tsunami adalah: membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan permukiman yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami sehingga masyarakat dapat segera melakukan aktivitasnya dalam kondisi yang lebih baik dan aman dari bencana. Implementasi pembangunan Aceh dan Nias pasca bencana akan tetap menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan keseimbangan antara aspek dan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan pembangunan antar dan intra generasi. Pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga mempertimbangkan aspek pendukung lainnya seperti penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah lingkungan serta mempertimbangkan aspek-aspek kemungkinan bencana yang akan datang.
5.2
Kebijakan dan Strategi
1.
Mewujudkan kondisi wilayah penghidupan yang lebih baik
yang
aman
dari
bencana
dan
Konsep dasar penataan ruang membangun kembali Aceh dan Nias adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih aman dari bencana. Untuk itu di setiap wilayah rawan bencana tsunami perlu memiliki: fasilitas perlindungan yang dapat berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur penyelamatan menuju ke tempat lebih aman, dan tempat aman untuk penyelamatan, dapat berupa bangunan, bukit, dll. Strategi: a. Memberikan perlindungan seefektif mungkin bagi masyarakat dari kejadian bencana di kemudian hari. b. Mewujudkan lingkungan hidup yang lebih berkualitas bagi masyarakat. c. Membangun kembali prasarana dan sarana sosial ekonomi sehingga masyarakat terkena bencana dapat segera melakukan kegiatan secara normal. Kegiatan Pokok: a. Pembangunan berbagai fasilitas untuk perlindungan dan penyelamatan pada skala lingkungan hingga kota. b. Pembangunan sistem deteksi dini. c. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi.
5-1
2.
Memberikan pilihan kepada warga untuk bermukim
Warga berhak menentukan kemana akan bertempat tinggal: kembali ke tempat asal atau pindah ke lokasi lain. Pemerintah Daerah perlu memberi informasi, peraturan, dan sarana prasarana termasuk sarana perlindungan dan penyelamatan bagi warga yg ingin tinggal di zona berpotensi tidak aman. Strategi: a. Memfasilitasi masyarakat untuk segera memulai kehidupan baru di kawasan yang lebih aman. b. Memberikan perlindungan dan sarana penyelamatan bagi masyarakat. c. Menyiapkan lokasi permukiman baru untuk menampung warga yang ingin pindah. Kegiatan Pokok: a. Pemberian informasi kepada masyarakat mengenai potensi kerusakan dan tingkat ketidaklayakan huni. b. Pembangunan fasilitas perlindungan dan penyelamatan pada skala lingkungan hingga kota. 3.
Melibatkan masyarakat dan menggunakan pranata sosial dalam menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan
Dalam melaksanakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, peran serta masyarakat lokal merupakan unsur utama dalam proses penanganan bencana dan maupun tahapan pembangunan. Strategi: a. Membangun sistem peringatan dini secara terintegrasi b. Meningkatkan kepedulian masyarakat dalam mengantisipasi bencana Kegiatan Pokok: a. Penyusunan standar, operasi dan prosedur (SOP) untuk respon darurat bencana. b. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi pemerintah. c. Pemanfaatan nilai kearifan lokal sebagai bagian yang melengkapi sistem peringatan dini. d. Pemberdayaan peran masyarakat dalam mekanisme penanganan bencana. 4.
Menonjolkan karakteristik budaya dan agama
Dalam membangun kembali kota-kota dan lingkungan-lingkungan permukiman di wilayah Aceh harus ditonjolkan nilai-nilai budaya Aceh dan agama Islam. Strategi: Membangun wujud fisik kota dan lingkungan yang sesuai nilai-nilai budaya dan agama sekaligus menyiagakan warga menghadapi bencana.
5-2
Kegiatan Pokok: a. Penataan lansekap kota dan pembangunan kota taman waspada bencana (penghijauan kawasan pesisir, pantai, ruang terbuka hijau kota, taman memorial tsunami, RTH kawasan mesjid, kawasan permukiman, pusat budaya Aceh). b. Pengadaan berbagai fasilitas kegiatan budaya dan agama di berbagai pusat kegiatan dan lingkungan permukiman. 5.
Pendekatan penataan ruang partisipatif
Proses penataan ruang sesuai dengan UU 24/1992 dilaksanakan secara partisipatif. Semakin detail rencana tata ruang, semakin intensif proses partisipatif yang dilakukan. Pemecahan masalah dimulai dari pengenalan akar masalah dan pengenalan terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat menurut masyarakat sendiri. Strategi: Mengajak seluruh komponen masyarakat untuk secara bersama-sama dan serentak menata kembali tata ruang lingkungan permukiman di seluruh wilayah perdesaan dan perkotaan yang rusak akibat bencana. Kegiatan Pokok: a. Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang secara partisipatif. b. Pemetaan batas-batas kepemilikan tanah secara partisipatif. c. Pelaksanaan konsolidasi tanah secara partisipatif. d. Pelaksanaan pembangunan berbagai fasilitas perindungan dan penyelamatan secara partisipatif. 6.
Mengantisipasi bencana dan memitigasi kawasan bencana
Penataan ruang kembali wilayah Aceh dan Nias berprinsip mitigasi kawasan bencana, dan mengantisipasi dampak bencana, serta menjadikan tata ruang kawasan yang lebih baik dari keadaan sebelum bencana. Zonasi dalam rencana tata ruang wilayah berupa zona-zona berdasarkan tingkat potensi kerusakan, seperti dengan zona dengan potensi tingkat kerusakan tinggi, zona dengan potensi tingkat kerusakan sedang, zona degan potensi tingkat kerusakan rendah, dan zona aman. Pada masing-masing zona perlu dibangun fasilitas perlindungan dan penyelamatan. Strategi: Memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai kebencanaan dan upaya-upaya menghindarinya. Kegiatan Pokok: a. Pembangunan prasarana dan sarana sistem peringatan dini. b. Pemberdayaan peran masyarakat dalam mekanisme penanganan bencana. c. Pengembangan pendidikan tentang kebencanaan. d. Pelatihan secara terus menerus upaya penyelamatan dari bencana.
5-3
7.
Proses Penataan ruang sebagai perpaduan proses pendekatan dari atas dan bawah
Penataan ruang merupakan hasil bersama dimana dalam prosesnya memadukan/ mengkombinasikan dua arah, baik proses dari bawah ke atas dan juga proses dari atas ke bawah, serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, antara lain hukum pertanahan. Kontribusi dari atas ke bawah adalah tersedianya struktur konseptual kota dan wilayah. Sedangkan proses perencanaan dan pembangunan skala lingkungan dan skala bagian kota dibuat bersama masyarakat. Dengan demikian pertimbangan makro dan mikro dapat diakomodasi secara proporsional dalam tata ruang wilayah paska bencana. Strategi: Mempertemukan kepentingan untuk pelayanan masyarakat pada skala kota/kabupaten dengan kepentingan masyarakat pada skala lingkungan. Kegiatan Pokok: a. Pemerintah Daerah segera menyusun/merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah masing-masing. b. Pemerintah Daerah memfasilitasi masyarakat menyusun rencana tata ruang skala lingkungan dengan konsolidasi tanah yang partisipatif. c. Perumusan qanun/perda dan peraturan pelaksanaannya (termasuk building code) secara terbuka. 8.
Mengembalikan peran pemerintah daerah
Penyusunan rencana tata ruang merupakan kewenangan dan kewajiban Pemerintah Daerah. Konsep rencana tata ruang dalam Master Plan ini disiapkan oleh Pemerintah Pusat karena Pemerintah Daerah (pada waktu itu) belum berfungsi penuh. Selanjutnya Pemerintah Daerah dapat menggunakan konsep rencana tata ruang ini dalam memfinalisasi proses penyusunan rencana dan meneruskan proses hukum dan legalitas dari rencana tata ruang yang definitif. Strategi: Memfasilitasi Pemda untuk segera merevisi qanun/perda rencana tata ruang. Kegiatan Pokok: a. Pemberian data dan informasi yang diperlukan kepada seluruh Pemda terkait. b. Pendampingan kepada Pemda dalam menyusun revisi qanun/perda rencana tata ruang dan peraturan pelaksanaannya. 9.
Perlindungan terhadap hak perdata warga
Hak perdata warga diakui dan dihormati dalam pembangunan kembali wilayah yang rusak akibat bencana. Penyusunan rencana tata ruang dalam tingkatan yang lebih rinci/operasional harus memperhatikan hak keperdataan masyarakat atas tanah. Oleh karena itu penetapan dan pelaksanaan tata ruang perlu didahului oleh pendataan fisik dan yuridis tanah. Masyarakat harus diberi jaminan bahwa hak-hak keperdataan atas
5-4
tanah mereka akan terjamin/tidak terhapus sebagai akibat penetapan dan implementasi tata ruang. Strategi: Mengidentifikasi hak-hak warga dan merekonstruksi batas-batas fisik Kegiatan Pokok: a. Rekonstruksi batas bidang tanah. b. Inventarisasi hak-hak warga dan legalisasinya. 10.
Mempercepat proses administrasi pertanahan
Dalam menata kembali penggunaan tanah pasca bencana, Pemerintah akan melakukan program rekonstruksi batas fisik dan program konsolidasi tanah. Untuk mempercepat pelaksanaan program-program tersebut dan untuk memungkinkan pelibatan masyarakat dalam pelaksanaannya, pemerintah akan membuat peraturan baru atau melakukan perubahan terhadap peraturan yang ada guna menyesuaikan peraturan pertanahan yang berlaku nasional dengan kondisi di Aceh dan Nias terkait dengan bencana gempa bumi dan tsunami. Strategi: Menyusun peraturan untuk mempercepat proses administrasi pertanahan khusus di wilayah pasca bencana. Kegiatan Pokok: a. Identifikasi permasalahan pertanahan dan peraturan yang ada. b. Perumusan peraturan baru. 11.
Pemberian kompensasi dan ganti rugi yang adil dan terjangkau
Penetapan rencana tata ruang tidak menghilangkan hubungan hukum orang dengan tanah. Oleh karena itu apabila terjadi kehilangan/hapusnya hak keperdataan seseorang terhadap tanah sebagai akibat penetapan rencana tata ruang, maka wajib dilakukan ganti rugi kepada yang bersangkutan atau dengan cara lain atas kesepakatan bersama. Pemerintah akan memberikan kompensasi bagi warga yang hak miliknya dipergunakan untuk kepentingan umum seperti fasilitas perlindungan dan penyelamatan. Besarnya kompensasi ditentukan sesuai ketentuan yang ada dan sesuai dengan kemampuan pembiayaan Pemerintah. Pelaksanaan kebijakan ini akan dilakukan secara terbuka. Pemerintah juga akan memberikan bantuan bagi warga yang tanahnya tidak dapat digunakan karena tenggelam atau tidak layak huni karena tingkat keracunan yang tinggi. Strategi: Menetapkan kebijakan ganti rugi yang adil dan terjangkau Kegiatan Pokok: a. Identifikasi subyek hukum calon penerima ganti rugi. b. Penyusunan mekanisme ganti rugi. c. Pemberian ganti rugi secara transparan.
5-5
12.
Melakukan revitalisasi kegiatan perekonomian masyarakat yang berbasis sumber daya alam
Dengan hancurnya berbagai kegiatan perekonomian masyarakat khususnya di bidang pertanian dan perikanan yang menjadi andalan masyarakat setempat, mengakibatkan masyarakat memerlukan pengaktifan kembali dan bantuan untuk memulihkan keadaan perekonomian setempat. Untuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat maupun pembangunan selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi, diperlukan pula strategi khusus untuk memenuhi kebutuhan bahan atau material pembangunan yang berasal dari sumber daya alam. Strategi: a. Memulihkan dan meningkatkan kegiatan pertanian. b. Memulihkan kegiatan dan meningkatkan perikanan. c. Menyediakan material dasar pembangunan dari sumber daya alam yang tidak mengancam kelestarian lingkungan. Kegiatan pokok: a. Intensifikasi pertanian, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agrobisnis, peningkatan kesejahteraan petani. b. Pengembalian kegiatan perikanan tangkap dan rehabilitasi lahan tambak masyarakat dan perikanan budidaya. c. Penyediaan kayu dan penyediaan bahan bangunan lainnya. 13.
Memulihkan kembali daya ancaman bencana alam
dukung
lingkungan
dan
antisipasi
Bencana tsunami dan gempa bumi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat besar dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang. Strategi: a. Mengamankan dan menginformasikan wilayah yang terkena pencemaran dan bahaya kegempaan. b. Melakukan pembersihan wilayah bencana. c. Merehabilitasi tanah. d. Merehabilitasi terumbu karang. e. Membangun daerah penyangga (green belt) sesuai dengan karakter pantai. f. Mengamankan fungsi kawasan lindung eksisting. g. Melakukan kajian pengamanan dan pencegahan bahaya lingkungan pada tahap rekonstruksi. Kegiatan Pokok: a. Survei berkala parameter pencemar, penetapan status keamanan lingkungan dari suatu wilayah, dan sosialisasi kualitas lingkungan dan ancaman bahaya gempa. b. Pembuangan limbah padat tsunami, penataan kembali sistem persampahan kota, penataan ulang sistem drainase perkotaan, Membangun sistem pengolahan limbah cair. c. Penelitian kualitas tanah dan uji coba tanaman yang sesuai dengan kondisi tanah.
5-6
d. Pendataan kembali terumbu karang dan penanaman kembali terumbu karang. e. Rehabilitasi mangrove dan rehabilitasi vegetasi perintis kawasan pantai. f. Pengamanan Taman Nasional Lueser dari pembangunan, pengamanan fungsi kawasan lindung lainnya, baik yang berada di Aceh maupun propinsi lainnya yang berdekatan dengan Aceh. g. Pelaksanaan kegiatan AMDAL regional dan konsultasi dengan masyarakat. 14.
Memulihkan kembali sistem kelembagaan SDA dan LH di tingkat pemerintah
Prasarana dan sarana kepemerintahan yang sebagian besar hancur karena tsunami membutuhkan rehabilitasi dan pembangunan kembali agar roda pemerintahan dapat berjalan normal. Strategi: a. Melengkapi dan mengisi kembali formasi pegawai (tenaga ahli dan tenaga pendukung). b. Memulihkan sarana dan prasarana kepemerintahan bidang sumber daya alam dan lingkungan daerah. Kegiatan Pokok: a. Pelaksanaan kajian kelembagaan yang responsif terhadap bencana dan Melakukan rekruitmen pegawai baru. b. Pelaksanaan pembangunan dan rehabilitasi kantor dan laboratorium dan Melengkapi sarana pendukung kegiatan operasional instansi. 15.
Mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola tata ruang wilayah Provinsi NAD
Struktur dan pola tata ruang wilayah Provinsi NAD yang rusak dikembalikan menjadi seperti semula dengan memperkuat bagian-bagian tertentu sehingga lebih tahan menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Sebagai bagian dari upaya penyelamatan dan pengembangan wilayah, pembukaan jalan baru lintas utara-selatan dan barat-timur diupayakan tanpa mengorbankan kelestarian hutan lindung dan suaka margasatwa yang ada. Strategi: Kota-kota pesisir dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek lokal terutama keterkaitannya dengan rawan gempa bumi dan tsunami serta dengan kawasan konservasi dan penyangga yang berfungsi lindung. Kegiatan Pokok: a. Rehabilitasi untuk menjaga keterkaitan antar kota-kota di pantai barat, pantai timur, dan keterkaitan kedua wilayah, serta mendorong perkembangan dan pemerataan wilayah. b. Fasilitas penyeberangan ke pulau-pulau kecil difungsikan kembali untuk pengembangan ekonomi wilayah. c. Fungsionalisasi dan peningkatan bandar udara dan pelabuhan laut. d. Rehabilitasi sistem jaringan listrik terinterkoneksi.
5-7
e. f. g. h.
16.
Perbaikan kawasan budidaya pertanian dan kelautan. Rehabilitasi jaringan sumberdaya air. Pembuatan fasilitas perlindungan pantai berupa vegetasi atau bangunan. Penentuan batas dan konservasi taman nasional dan kawasan lindung lain, serta suaka gajah dan margasatwa langka lain. Membangun kembali kota-kota yang terkena bencana dilakukan dengan merajut kembali tatanan kota lama
Membangun kembali kota-kota yang rusak karena gempa bumi dan tsunami dilakukan dengan memberdayakan secara cepat penduduk yang terkena bencana, merajut kembali tatanan fisik, tatanan sosial dan sistim ekonomi yang lama, memperbaiki sarana dan prasarana yang rusak, melindungi nyawa dan harta penduduk dari bencana yang akan terjadi, membuat taraf hidup masyarakat lebih baik dan mampu memberi arahan pembangunan yang terpadu, efektif dan efisien. Strategi: Melakukan pendataan dan pemetaan warga dan tanah yang dimiliki sebelum terjadi bencana, pengumpulan harapan masyarakat, penataan ulang lingkungan permukiman oleh masyarakat sendiri, peningkatan kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat. Kegiatan Pokok: a. Pelaksanaan survey bersama masyarakat, LSM dan pemerintah di kawasan yang terkena bencana. b. Pemetaan bersama masyakat pada kawasan pra dan pasca tsunami c. Pengumpulan dan identifikasi harapan masyarakat, stakeholder, tokoh masyarakat. d. Perencanaan tata ruang lingkungan permukiman oleh masyarakat, termasuk fasilitas umum dan sosial dan disain bentuk bangunan tahan gempa dan tsunami. e. Peningkatan kemampuan masyarakat di kawasan terkena bencana dengan pelatihan mengenai identifikasi bencana, pelatihan evakuasi, pelatihan bertahan hidup sewaktu terjadi bencana. f. Pengawasan bersama oleh masyarakat pada tahap pelaksanaan. Strategi: Merajut kembali dan memperbaiki tatanan fisik, tatanan sosial dan sistim ekonomi yang rusak. Kegiatan Pokok: a. Revitalisasi sarana dan prasarana serta ruang kegiatan sosial-ekonomi penduduk dengan sesedikit mungkin melakukan perubahan pola penggunaan lahan. b. Rekonstruksi dan atau rehabilitasi kawasan yang rusak. c. Perbaikan/pendayagunaan kembali sarana dan prasarana yang masih ada. d. Perbaikan dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak. Strategi: Menyelamatkan nyawa dan melindungi harta penduduk kawasan eks bencana.
5-8
Kegiatan pokok: a. Pembangunan sistem peringatan dini/early warning system. b. Pembangunan fasilitas perlindungan seperti sistem sabuk hijau. c. Pembangunan fasilitas penyelamatan berupa bukit pada kawasan permukiman kepadatan sedang – rendah dan bangunan (mesjid, meunasah) pada kawasan permukiman kepadatan tinggi. d. Pembangunan jalur-jalur penyelamatan. e. Rekonstruksi bangunan baru yang memenuhi design teknis tahan gempa, tahan gelombang, mengurangi bongkahan (debris). Strategi: Membuat taraf hidup masyarakat lebih baik. Kegiatan Pokok: a. Penggunaan tenaga lokal dalam proses pembangunan kembali kawasan dan rumah-rumah yang terkena bencana. b. Pelatihan ketrampilan-ketrampilan bagi masyarakat. c. Penciptaan peluang kerja baru. d. Sosialisasi dan pembudayaan sistem asuransi jiwa dan harta. Strategi: Memberi arahan pembangunan yang terpadu, efektif dan efisien. Kegiatan Pokok: a. Pembuatan konsep tata ruang pasca tsunami yang terpadu skala lingkungan, skala bagian kota dan skala kota/kabupaten serta skala provinsi. b. Pembuatan guidelines untuk merehabilitasi infrastruktur, fasilitas umum, fasilitas sosial dan permukiman dengan memanfaatkan material yang ada/tersisa.
5.3 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Provinsi NAD Secara prinsip kebijakan struktur dan pola pemanfaatan ruang provinsi diarahkan untuk mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Provinsi NAD. Untuk itu kebijakan penataan ruang wilayah Provinsi NAD pasca gempa dan tsunami yang berupa pola dan struktur pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: 1. Pusat Permukiman/Kota-kota di Pantai Barat tetap dipertahankan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan antar wilayah (Barat-Timur) dan wilayah Tengah serta didukung pusat-pusat pertumbuhan skala lebih kecil adalah Sigli, Bireuen, Singkil, Tapak Tuan, Blangpidie, Calang di wilayah pesisir; dan Blangkejeren dan Jantho di wilayah pedalaman. 2. Kota-kota Tepi Air dikembangkan dengan memperhatikan juga aspek-aspek lokal terutama keterkaitannya dengan rawan Gempa dan Tsunami dengan kawasan konservasi dan penyangga yang berfungsi lindung. 3. Jaringan jalan direhabilitasi untuk menjaga keterkaitan antar kota-kota di Pantai Barat, Pantai Timur, atau keterkaitan kedua wilayah, serta mendorong perkembangan dan pemerataan wilayah: Meulaboh-Calang-Lamno-Banda Aceh Jantho-Sigli-Bireun hingga Lhokseumawe dan Rehabilitasi dan pembangunan jalan baru (dalam kaitan pembangunan jalan rusuk/pengumpan) yang menghubungkan
5-9
daerah terisolir Aceh Barat/Meulaboh dan Aceh Jaya antara lain: Lhok KruetCalang-Teunom-Woyla-Meulaboh dengan memanfaatkan jalan perkebunan Sawit dan peningkatan jalan desa; membuka kembali ruas jalan Jantho-Lamno; Beureunun-Geumpang-Tutut-Meulaboh, jalan Ladia Galaska Simpang Peut-JeuramBeutong Ateuh-Takengon, ruas jalan lintas Barat Meulaboh-Tapaktuan-Bakongan; Jantho-Lamno; Calang-Tangse-Beureunun; Teunom-Sarah Raya-Geumpang; Teunom-Sarah Raya-Woyla; dan Calang-Geumpang. 4. Penyeberangan ke pulau-pulau kecil (a.l.: pulau Weh, Sabang, dan Simeuleu) difungsikan kembali untuk mobilisasi penduduk dan perkembangan ekonomi wilayah. 3. Fungsionalisasi dan peningkatan Bandar Udara: Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Cut Nyak Dien, Lasikin, Maimun Saleh, Malikussaleh, dan Teuku Cut Ali. Pelabuhan udara di pantai barat-selatan dapat didarati hercules untuk evakuasi dan supply logistik. 4. Fungsionalisasi dan peningkatan pelabuhan laut: Sabang, Malahayati, Calang, Meulaboh, Kuala Langsa, Singkil, dan Lhokseumawe. Lokasi pelabuhan penyeberangan pengganti Uleu-lhee ditentukan setelah melakukan studi kelayakan teknis terlebih dahulu. 7. Rehabilitasi sistem jaringan listrik terinterkoneksi untuk Banda Aceh-Sigli-BireunLhokseumawe dan Meulaboh-Calang-Takengon. 8. Perbaikan kawasan budidaya industri di Lhoknga, Lhokseumawe, dan Malahayati; perdagangan, pertanian pangan dan perkebunan, dan pesisir kelautan. 9. Rehabilitasi jaringan sumberdaya air (al: saluran irigasi, alur sungai, dan pantai) mendukung ketersediaan air baku dan air minum 10. Rehabilitasi dan rekonstruksi untuk fungsionalisasi kawasan berfungsi Lindung konservasi (bagian Tengah) antara lain kawasan ekosistem leuser, hutan lindung, dan lindung binaan (buffer zone dan hutan kota) di sepanjang pantai mellaui penyiapan area penyangga (buffer zona) pantai baik berupa vegetasi atau bangunan. 11. Kawasan permukiman diupayakan tidak berada di kawasan lindung, seperti wilayah kehidupan gajah yang semakin langka populasinya, antara lain di Desa Pucok, Alue Raya, Blang Dalam & Lhok Kuala, Lamje, Kr. Batee Mirah, Kr. Alue Ceuroloup, Kr. Buerieng, Can. Kaking Ungoh Batee, perbatasan Tutut, Kawasan Uteun Cut, Panga, Panga-Teunom, dan Lageun.
5 - 10
95 BT
96
} Υ#
98 BT
97
Ù
P. Weh # KOTA SABANG / Sabang
/
Sigli # #
KAB. PIDIE
# #
#
#
#
#
#
Υ
}
KAB. # ACEH JAYA
}6#
Bireuen
M
/
A
∗Υ
#
#
# #
A
#
#
KAB. ACEH TENGAH
/
#
#
/
#
/ Υ}
#
/
#
S
Ù
4
M U
#
#
Jalan Arteri Jalan Kolektor
%
Gunung
Jalan lain
Sungai
Rel KA
Kota Orde I / PKN
Kota Orde II / PKW
# #
# #
#
Blangkejeran
Jalan Nasional
/
A
KAB. # ACEH GAYO LUES
#
#
Jalan Tol
Kota Kecamatan
} }
# Karang Baru
#
#
#
#
Ibukota Propinsi Ibukota Kabupaten
#
Batas Kabupaten
KAB. ACEH TAMIANG
KAB.
Jalan Provinsi
#
D
#
E
/
Ke Medan
Blang Pidie KAB. ACEH #
Keterkaitan dengan Pulau-Pulau Kecil Keterkaitan Antar Kota-kota di Provinsi
R
BARAT# DAYA #
H
#
I
#
/
KAB. ACEH SELATAN
N
Υ #
KAB. ACEH TENGGARA
D
#
A
Ù
I
/
#
Kawasan Budidaya untuk Pengembangan Hutan Rakyat
Ke Kabanjahe
Υ
#
# #
#
#
P. Siumat #
# #
Υ/#
#
#
#
Hutan Produksi Tetap
P. Tapah
# #
ak ny P. Ujungbatu Ba p. Ke # P. Lasia P. Babi P. Bangkuru P. Tuangku
2 LU
Kawasan Budidaya, masih dimungkinkan Kawasan Berfungsi Lindung dalam Rencana yang lebih Detail
96
Kebijakan Struktur Kabupaten/Kota.
#
Pelabuhan Laut Internasional Pelabuhan Laut Nasional Pelabuhan Laut Lokal
Υ/ # #
# # Peta Dasar
Singkil
97
dan
Bandar Udara Tersier Bandar Udara Lokal
KAB. ACEH SINGKIL
#
Sinabang #
Ke Sidikalang
#
#
#
Hutan Produksi Terbatas
6∗## #
KAB. SIMEULIE#
#
Bandar Udara Sekunder
PELABUHAN LAUT
Peta Reppprot 1:250.000, Bakosurtanal
Tema
Nama File
2 LU
Kawasan Lindung di luar Kawasan Hutan
#
#
# #
# #
6∗ΥΥ
BANDAR UDARA
Tapaktuan
P. Simeulue
Hutan Lindung
Keterkaitan Antar Provinsi / Pulau
Kutacane
3
A
#
Hutan Konservasi (Hutan Suaka Alam, Hutan Pelestarian Alam, Taman Nasional)
Jalur Ladia Galaska Utama (Prioritas)
PROVINSI SUMATERA UTARA
#
KAWASAN HUTAN
50 Km
Batas Propinsi
Langsa
#
# Meulaboh NAGANRAYA
/
KOTA LANGSA
#
Suka Makmue
#
!
#
#
KAB. BENER MERIAH
#
# #
Takengon #
#
Υ/ } ∗# #
Simpangtigaredelong
#
#
KAB. ACEH BARAT
/
} /
#
KAB. ACEH TIMUR
#
#
25
Legenda :
#
# #
#
#
3
K
#
#
KAB. ACEH UTARA
Calang
#
5.4
A
#
#
95 BT
0
L
Lhokseumawe
KOTA LHOKSEUMAWE #
KAB. BIREUN #
#
#
T
5 LU
/
Janthoi
Ù
# #
#
#
5 LU
A
#
#
#
PETA 11 RENCANA TATA RUANG PROVINSI NAD
L
#
KOTA BANDA ACEH
KAB. ACEH BESAR
E
4
#
#
BANDA ACEH
#
/
6#} 6Υ
S
Ù
P. Breueh
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
98 BT
Pola
Pemanfaatan
Ruang
5.4.1 Sistem Kota 1. Meminimalisasikan perubahan struktur, hirarki, kepadatan dan tata guna lahan eksisting 2. Mengembangkan jalan eksisting dan menambah jalan baru sebagai jalur penyelamatan 3. Merehabilitasi/merekonstruksi kawasan kota yang terkena tsunami 4. Meningkatkan aksesibilitas kota dari arah laut maupun udara dalam rangka evakuasi, distribusi logistik maupun rehabilitasi kota/kawasan 5.4.2 Struktur Ruang Kota 1. Mempertahankan kerangka kota yang ada yang merangkai seluruh wilayah kota. 2. Merehabilitasi kerangka kota yang ada. 3. Membangun kota dan kawasan yang tahan menghadapi bencana. 4. Memanfaatkan alur sungai sebagai kerangka kota. 5. Meningkatkan fungsi dan peran ruang-ruang struktural utama.
5 - 11
5.4.3 Kawasan Non Budidaya 1. Kawasan Lindung a. Merehabilitasi dan mereboisasi kawasan lindung yang rusak akibat bencana tsunami. b. Mengkonservasi dan memproteksi kawasan hutan lindung, hutan kota dan hutan mangrove sebagai fungsi lindung dan pertanahan terhadap bencana tsunami. c. Mengembangkan dan menambah kawasan sabuk hijau sebagai fungsi pertahanan terhadap bencan dan konservasi alam d. Memanfaatkan kawasan sabuk hijau dan escape hill untuk ruang terbuka hijau. 2. Kawasan Pantai dan Pesisir Mengembalikan fungsi dan pemanfaatan lahan kawasan pantai/pesisir seperti semula dengan menerapkan mitigasi bencana 3. Kawasan Sungai Menata kawasan sungai dengan menerapkan mitigasi bencana 5.4.4 Kawasan Budidaya 1. Kawasan Permukiman a. Membangun kembali permukiman kota yang rusak beserta fasilitasnya. b. Melengkapi permukiman yang ada dengan fasilitas mitigasi bencana. c. Mengembangkan bangunan penyelamatan/rumah vertikal pada kawasankawasan yang berkepadatan tinggi. d. Menciptakan kawasan permukiman baru. 2. Kawasan Bersejarah Mengkonservasi dan merevitalisasi kawasan bersejarah yang masih ada. 5.5 Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota Arahan pemanfaatan ruang kabupaten/kota bertujuan untuk memberi beberapa alternatif konsep pemanfaatan ruang yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun atau merevisi rencana tata ruang wilayahnya, serta dalam menyusun rencana tata ruang wilayah yang lebih rinci, misalnya rencana detail tata ruang kota dan rencana tata bangunan dan lingkungan. Arahan pemanfaatan ruang kabupaten/kota disusun dengan mempertimbangkan 16 (enam belas) kebijakan penatan ruang, yaitu: (1) mewujudkan penghidupan yang aman dan lebih baik; (2) memberi pilihan kepada warga untuk bermukim; (3) melibatkan masyarakat dalam penanggulangan bencana; (4) menonjolkan karakteristik budaya dan agama; (5) pendekatan penataan ruang partisipatif; (6) memitigasi bencana; (7) tata ruang memadukan pendekatan dari atas dan bawah; (8) mengembalikan peran pemerintah daerah; (9) perlindungan hak perdata warga; (10) mempercepat proses administrasi pertanahan; (11) pengaturan mengenai kompensasi; (12) revitalisasi kegiatan ekonomi; (13) memulihkan daya dukun lingkungan; (14) memulihkan sistem kelembagaan SDA dan LH; (15) rehabilitasi strultur dan pola tata ruang; dan (16) membangun kembali kota.
5 - 12
5.5.1 Kota Banda Aceh 1.
Zonasi Fisik Banda Aceh.
Arahan zonasi fisik Banda Aceh sebagian besar terdiri dari atas Kawasan Lindung (Conservation, Zona V), Kawasan Pengembangan Terbatas (Restricted Development Area, meliputi zona I, II, dan III), Kawasan Pengembangan (Promoted Development Area, zona IV).
2.
Arahan Pemanfaatan Ruang Banda Aceh
Pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan Banda Aceh dan sekitarnya yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, meliputi: i) zona pantai, ii) zona perikanan/tambak, iii) zona taman kota, iv) zona permukiman, permukiman terbatas dan permukiman perkotaan, v) landmark dan pusat pemerintahan kota Banda Aceh, iv) zona permukiman baru bagi penduduk yang ingin pindah, vii) pusat bisnis dan pemerintahan provinsi dan fasilitas perkotaan berskala kota dan regional, vii) zona pendidikan tinggi, dan ix) zona pertanian.
5 - 13
5 - 14
5.5.2 Kabupaten Aceh Jaya Rencana pola pemanfaatan ruang Kabupaten Aceh Jaya meliputi rencana pola pemanfaatan kawasan lindung dan rencana pola pemanfaatan kawasan budidaya sebagai berikut: 1. Kawasan lindung, meliputi: a. Hutan bakau dan sempadan sungai b. Hutan lindung. 2. Kawasan budidaya, meliputi: a. Perikanan /tambak. b. Hutan produksi c. Kawasan produksi, terdiri atas: - Kawasan pertanian lahan basah. - Kawasan pertanian lahan kering. - Kawasan pertanian tanaman tahunan - Kawasan perkebunan besar. - Kawasan perkebunan rakyat/tanaman rakyat. d. Kawasan permukiman dan pusat kota, terdiri atas: - Kawasan permukiman perkotaan. - Kawasan permukiman terbatas. - Zona CBD dan sub pusat wilayah kota. e. Kawasan pelabuhan Peruntukan zona pemanfaatan ruang Kabupaten Aceh Jaya, yang terdiri dari kawasan perkotaan dan perdesaan disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Zona Pantai/Hutan Bakau (Z-1-1). Zona Perikanan/Tambak dan Permukiman Desa Terbatas (Z-1-2). Zona Hutan (Hutan Produksi)/Ruang Terbuka Hijau (Z-1-3). Zona Hutan Lindung (Z-1-4). Zona Rawa (Z-1-5). Zona Pertanian Lahan Basah dan Permukiman Desa Terbatas (Z-2-1). Zona Pertanian Lahan Kering dan Permukiman Desa Terbatas (Z-2-2). Zona Pertanian Tanaman Tahunan dan Permukiman Terbatas (Z-2-3). Zona Perkebunan Besar dan Permukiman Terbatas (Z-2-4). Zona Perkebunan Rakyat/Tanaman Rakyat dan Permukiman Desa Terbatas (Z-2-5). Zona Pusat Kota/CBD dan Sub-Pusat Kota (Z-3-1). Zona Pusat Permukiman Baru (Z-3-2). Zona Permukiman Terbatas (Z-3-3).
5 - 15
5 - 16
5.5.3 Kabupaten Aceh Barat Pola pemanfaatan ruang kawasan sepanjang pantai Kabupaten Aceh Barat dan kota Meulaboh disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, meliputi zonazona sebagai berikut: 1)
Zona N1 :
Zona ditepi muka air pasang berjarak minimal 100 meter dari pasang laut tertinggi dimanfaatkan untuk membangun fasilitas perlindungan (Buffer Zone) dengan hutan tanaman manggrove, waru laut dan tanaman penyangga lainnya sesuai karakteristik pantai. 2)
Zona N2 :
Zona yang dicapai oleh gelombang tsunami dengan ketinggian > 1 meter DPL, dengan pemanfaatan ruang sebagai lahan budidaya perkebunan atau taman kota dengan tanaman penyangga yang dapat difungsikan sebagai Buffer Zone dengan bangunan terbatas dan kepadatan wilayah terbangun rendah (TPI, permukiman nelayan, dll) yang dilengkapi dengan disaster mitigation plan. 3)
Zona B1 :
Zona transisi (zona antara) yang dicapai gelombang Tsunami < 1 meter DPL dengan zona aman, dengan pemanfaatan ruang untuk kegiatan jasa dan perdagangan serta permukiman kepadatan rendah sampai sedang. 4)
Zona B2 :
Zona yang aman dari terpaan gelombang tsunami dengan pemanfaatan ruang sebagai pusat kegiatan bisnis (CBD), pelayanan sosial dan permukiman perkotaan dengan kepadatan tinggi, disesuaikan dengan kondisi daya dukung lahan setempat dan pemanfaatan ruang yang ada.
5 - 17
5 - 18
5.5.4 Kabupaten Nagan Raya Secara umum arahan pemanfaatan ruang yang dipilih untuk menjabarkan konsep penanganan penataan ruang pasca bencana di wilayah pesisir Kabupaten Nagan Raya adalah sebagai berikut:
Pusat-pusat pelayanan sosial dan ekonomi perlu dikembangkan dengan memperhatikan wilayah rawan bencana, daya dukung lingkungan dan efisiensi pengembangan.
Pembangunan kembali pelabuhan nelayan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di Kuala Tuha dan Kuala Tadu.
Penataan kembali kawasan permukiman dengan konstruksi bangunan tahan gempa dan tsunami, serta dilengkapi sarana prasarana untuk kepentingan mitigasi bencana.
Mengembangkan kawasan penyangga atau kawasan hijau berupa hutan pantai di sepanjang pesisir pantai dengan ditanami tanaman kelapa dan cemara (disesuaikan dengan karakteristik tanahnya) dengan ketebalan 400 - 600 m, kerapatan 30 pohon per 100 m2, diameter pohon 15 cm, yang diperkirakan dapat meredam 50 % energi gelombang tsunami.
Lapangan Udara Cut Nya Dien tetap seperti yang ada dengan membangun tanggul pengaman sepanjang lapangan udara, sehingga keamanan lapangan udara tetap terjaga dari bencana.
Penataan kembali pusat-pusat kegiatan/permukiman lama di sepanjang pesisir.
Diperlukan system peringatan dini (Early Warning System) dan Disaster Management berbasis Rencana Tata Ruang.
Selanjutnya, arahan pemanfaatan ruang tersebut diterjemahkan pada rencana zonasi pemanfaatan ruang Kabupaten Nagan Raya dengan memeprtimbangkan wilayah rawan bencana. Zonasi pemanfaatan ruang Kabupaten Nagan Raya meliputi: 1. Zona Pesisir (terdiri dari: Buffer Zone, Pertanian, dan Permukiman 2. Zona Hutan Lindung 3. Zona Hutan Produksi Tetap 4. Zona Permukiman 5. Zona Lahan Usaha, terdiri atas : 5.a. Perkebunan Besar 5.b. Perkebunan Rakyat 5.c. Lahan Basah 5.d. Tanaman Tahunan
5 - 19
ZONASI Kabupaten Nagan Raya
Keterangan: Batas Kabupaten Jalan
PK
HL
Hutan Lindung
HP
Hutan Produksi Tetap
TT
Tanaman Tahunan
PB
Perkebunan Besar
LB
Lahan Basah
LK
Lahan Kering
TR
Transmigrasi
PK
Permukiman Kota
Sumber Peta: RTRW Prov. NAD 1:500.000
5 - 20
5.5.5 Kabupaten Simeulue Arahan penataan ruang Kabupaten Simeulue sebagai berikut :
1. Membangun kembalipusat-pusat permukiman yang terkena dampak tsunami, baik permukiman kota maupun permukiman desa.
2. Menata kembali kota/desa dengan peruntukan sebagai berikut zona penyangga; ruang terbuka hijau, pariwisata, pertanian, perkebunan, permukiman dengan tingkat kepadatan rendah atau fungsi kegiatan lain dengan tingkat aktifitas rendah.
3. Menata kembali dan mengembangkan Kota Sinabang, dengan kegiatan utama sebagai kawasan pelabuhan, perdagangan dan jasa distribusi, dengan membangun fasilitas pendukungnya.
4. Memberi perlindungan bagi permukiman desa, nelayan dan pertanian dengan mengembangkan buffer zone dan zona penyelamatan yang mudah dijangkau.
5. Diperlukan dukungan pembangunan dan penataan kembali infrastruktur; jaringan jalan, irigasi, air bersih, drainase dan lainnya bagi permukiman kota dan desa.
6. Menata kembali wilayah sepanjang pantai dengan mengatur peruntukkan fungsi bagi ekosistem mangrove, sempadan pantai, perkebunan, pertanian, perikanan/tambak, pemukiman desa terbatas, wisata bahari dan pantai, serta jalan lingkar pulau.
7. Dipertahankannya fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Selanjutnya, arahan pemanfaatan ruang tersebut diterjemahkan ke dalam arahan zonasi pemanfaatan ruang, sebagai berikut : I. Zona I (0-3 meter dpl), wilayah antara garis pantai dengan jalan lingkar pulau 1
Zona Mangrove ( Hutan Bakau )
Z. 1 - 1
2
Zona Sempadan Pantai (100 meter dari garis pantai)
Z. 1 - 2
3
Zona Perkebunan
Z. 1 - 3
4
Zona Perikanan ( Tambak )
Z. I - 4
5
Zona Pertanian
Z. I - 5
6
Zona Permukiman Desa sangat terbatas (0-3 m dpl)
Z. I - 6
7
Zona Pariwisata Bahari dan Pantai
Z. I - 7
8
Jalan Lingkar Pulau
Z. I - 8
II . Zona II (3-6 meter dpl), wilayah pemanfaatan terbatas 1
Zona Pertanian
P. 2 - 1
2
Zona Perkebunan
P. 2 - 2
3
Zona Perikanan dan Nelayan
P. 2 - 3
5 - 21
4
Zona Permukiman Desa terbatas ( 3 s/d 6 m dpl)
P. 2 - 4
5
Zona Pariwisata Bahari dan Pantai
P. 2 - 5
III. Zona III (>6 meter dpl), wilayah pemanfaatan aman dari tsunami 1
Zona Pusat Permukiman Baru
M. 3 - 1
2
Zona Kota lama yang dipertahankan
M. 3 - 2
3
Zona Perdagangan
M. 3 - 3
4
Zona Pelabuhan Udara
M. 3 - 4
5
Zona Pertanian / Perkebunan
M. 3 - 5
IV. Zona IV, wilayah hutan 1
Zona Hutan Produksi
H. 4 - 1
2
Zona Hutan Produksi Terbatas
H. 4 - 2
3
Zona Hutan Produksi Konversi
H. 4 - 3
4
Zona Hutan Lindung
H. 4 - 4
5
Zona Pertanian/Perkebunan Besar
H. 4 - 5
5 - 22
5 - 23
5.5.6 Kota Lhokseumawe Pada kawasan yang rusak akibat bencana tsunami, dilakukan evaluasi dan peninjauan ulang arahan pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan tingkat kerusakan dan prospek pengembangannya, yaitu: 1)
Bila tingkat yang ditimbulkan dengan ciri hilang/hancurnya permukiman nelayan dan penduduk beserta kerusakan prasarana dan sarana permukiman yang mendukung kehidupan sosial ekonominya, maka arahan pemanfaatan ruang pada kawasan ini harus bernuansa konservasi namun tetap memperhatikan peluang pengembangan potensi ekonomi yang sudah ada dengan mempertimbangkan aspek-aspek penanganan yang dapat melindungi ataupun meminimalkan dampak kerusakan kawasan bila bencana ini berulang di masa yang akan datang.
2)
Bila tingkat kerusakan yang ditimbulkan tidak parah, atau umumnya menjadi wilayah limpasan gelombang dengan ciri tidak menghilangkan atau menghancurkan permukiman maupun kerusakan prasarana dan sarana permukiman yang mendukung kehidupan sosial ekonominya, maka arahan pemanfaatan ruang pada kawasan ini dapat disesuaikan dengan arahan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW yang telah disusun, namun dengan menambah fungsi sebagai “daerah perlindungan (shelter)“ masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami bila berulang di masa yang akan datang.
Pada kawasan dengan permukiman dan prasarana/sarana yang rusak berat, maka peninjauan ulang pemanfaatan ruangnya dilakukan pada hal-hal sebagai berikut: 1)
Perlu penetapan “buffer zone” yang berfungsi untuk meminimalisasi dampak “abrasi” dan melindungi permukiman penduduk dari genangan air laut pada musim pasang tertinggi. Lebar sempadan pantai yang difungsikan sebagai buffer zone bervariasi disesuaikan dengan tingkat abrasi dan tinggi genangan air laut pada pasang tertinggi.
2)
Pada muara sungai dan titik-titik dimana terdapat TPI (atau PPI) dan tempat tangkapan perahu nelayan, penetapan buffer zone perlu mempertimbangkan “keamanan” dan menjamin “kelangsungan” aktivitas nelayan.
3)
Permukiman nelayan yang terletak di dalam buffer zone direhabilitasi dengan dilengkapi berbagai sarana prasarana untuk kepentingan mitigasi bencana dan dilengkap dengan berbagai infrastruktur kegiatan ekonomi nelayan, seperti TPI (atau PPI), tangkapan perahu, dan lainnya.
4)
Upaya pembangunan permukiman baru hanya dilakukan dalam upaya memenuhi keinginan masyarakat yang terkena bencana.
5)
Pembangunan prasarana dan sarana dalam buffer zone terbatas hanya untuk mendukung fungsi perlindungan, seperti pembangunan tanggul pantai, bangunan pemecah gelombang/ombak, dan jalan inspeksi, serta “escape route”.
6)
Aktivitas budidaya yang dapat dikembangkan berupa tambak ikan, tambak garam, dan pertanian (persawahan maupun lahan kering).
Sedangkan pada kawasan yang tidak mengalami kerusakan berat, namun menjadi wilayah limpasan gelombang tsunami, maka pemanfaatan ruangnya disesuaikan dengan ketetapan dalam RTRW, namun dengan penambahan fungsi-fungsi sebagai berikut: 1)
Pusat permukiman dan kegiatan sosial skala desa.
2)
Tempat perlindungan dari bahaya tsunami.
5 - 24
3)
Pusat kegiatan ekonomi kawasan perdesaan skala kecamatan secara terbatas untuk menunjang langsung kegiatan nelayan, pertambakan, pembuatan garam dan pertanian.
Pembagian zona pemanfaatan ruang meliputi: 1.
Zona konservasi pantai
6.
Zona permukiman perkotaan
2.
Zona prasarana nelayan
7.
Zona pusat ekonomi kecamatan
3.
Zona pertambakan
8.
Zona pusat ekonomi kota
4.
Zona pertanian
9.
Zona pusat pelayanan kota
5.
Zona permukiman perdesaan
10.
Zona industri
5 - 25
Kegiatan Sektor : 1. Perbaikan tambak 2. Pembangunan sempadan pantai 3. Pembangunan permukiman bagi nelayan 4. Pengembangan kaw.pesisir pantai 5. Rehabiliasi bantuan pengrajin
C t
Kegiatan Sektor : 1. Penetapan kaw. penyangga 2. Perbaikan jaringan jalan 3. Rehabilitasi bangunan 4. Perbaikan fasilitas
R
Kegiatan Sektor : 1. Rehabilitasi bangunan-bangunan 2. Perbaikan jaringan jalan utama 3. Penyiapan kawasan penyangga 4. Perbaikan fasilitas perkotaan 5. Rehabilitasi terminal kota di Cunda 6. Rehabilitasi pelabuhan di Lhokseumawe 7. Pembangunan kembali TPI di
Kegiatan Sektor : 1. Perbaikan jalan lingkar utara 2. Perbaikan fasilitas perkotaan 3. Penyediaan kembali sarana-sarana pendukung kegiatan
Kegiatan Sektor : 1. Perbaikan jaringan jalan 2. Rehabilitasi tambak 3. Pembangunan sempadan pantai 4. Pembangunan permukiman bagi nelayan 5. Pengenbangan kawasan pesisir pantai 6. Pembangunan Tanggul Laut 7. Rehabilitasi sekolah dasar dan menengah 8 Pembangunan pabrik es bagi keg
Ni Kegiatan Sektor : 1. Pembangunan tanggul Sungai 2. Perbaikan tambak 3. Pembangunan sempadan pantai 4. Pembangunan permukiman bagi nelayan
Lh k
Kegiatan Sektor : 1. Rehabilitasi pembangunan jalan 2. Pembangunan tanggul 3. Pengelolaan jaringan irigasi 4. Rehabilitasi sekolah dasar&menengah 5.Pembangunan sempadan pantai 6.Pengembangan kaw. pesisir pantai 7.Pembangunan pabrik es
T
B kit
P
B G
d
Kegiatan Sektor : 1. Penyiapan Kaw. Penyangga 2. Perbaikan jaringan jalan uatama 3. Rehabilitasi terminal terpadu&kereta api 3.Perbaikan fasilias perkotaan
Lh k
PETA ZONA PENANGANAN PASCA GEMPA & TSUNAMI DI KOTA LHOKSEUMAWE DAN KABUPATEN ACEH UTARA
LEGEN
Kegiatan Sektor : 1. Perbaikan jaringan jalan 2. Pengendalian & penanganan DAS dan abrasi pantai 3. Normalisasi saluran pembuang 4. Pembangunan pabrik es bagi keg. perikanan 5. Pembangunan sempadan pantai 6. Pembangunan permukiman bagi nelayan 7. Pengembangan kawasan pesisir pantai 8. Pembangunan tanggul laut 9. Rehabilitasi sekolah dasar dan menengah
Jaringan Jalan Shelter Permukiman Baru Kampung Bangunan-bangunan Sawah Rawa Empang/Tambak Hutan Belantara, Belukar Tegalan
Z1 = Kegiatan Perikanan, Wisata Pantai, Permukiman Z2 = Kegiatan Perikanan/Tambak, Permukiman, Tanaman Pangan Lahan Basah Z3 = Kegiatan Perikanan/Tambak, Wisata Pantai (Pantai Lapang), Permukiman, Tanaman Pangan Lahan Basah Z4 = Kegiatan Perikanan/Tambak, Wisata Pantai (Pantai Ulee Rubek), Permukiman, Tanaman Pangan Lahan Basah Z5 = Kegiatan CBD, Pelabuhan, Wisata Pantai, Permukiman Z6 = Perluasan CBD, Permukiman Z7 = Kawasan Industri, Permukiman, Pelabuhan Z8 = Kawasan Industri, Perikanan, Permukiman Z9 = Pelabuhan Udara, Permukiman, Tanaman Pangan Lahan Basah
5 - 26
5.5.7 Kabupaten Bireun Arahah Pemanfaatan Ruang Kabupaten Bireun 1.
Zona Pantai
Zona ini tersebar di sepanjang pantai dari Timur ke Barat Kabupaten Bireuen, dengan kegiatan utama adalah zona penyangga (buffer zone), zona budidaya perikanan tangkap dan perikanan budidaya dengan kegiatan pendukung berupa pelabuhan perikanan, serta pengembangan pelabuhan rakyat Kuala Radja, Pelabuhan Kawasan Industri Batee Geulumpu dan Pelabuhan Perikanan Peudada sebagai alternatif percepatan aksesibilitas perekonomian Kabupaten Bireuen. 2.
Zona Permukiman Terbatas
Zona permukiman terbatas direncanakan di sepanjang jalur jalan ke arah Zona Pantai, yang semula padat olehpermukiman, serta di berbagai tempat yang mengalami kerusakan, baik oleh gempa maupun tsunami. Zona ini dikembangkan untuk permukiman terbatas dan budidaya pertanian, serta memperhatikan konstruksi bangunan (pemerintah dan masyarakat) yang tahan terhadap gempa dan tsunami. 3.
Zona Pengembangan Kegiatan
Zona ini berada di bagian selatan jalur jalan nasional dengan kegiatan utama adalah pertanian lahan basah (sawah irigasi) dan pertanian lahan kering. Pada beberapa wilayah di zona ini akan dikembangkan pusat-pusat permukiman baru (Gampong Putoh, Blang Rangkuluh, Leubu Mesjid), sebagai alternatif bagi perluasan pengembangan permukiman di Zona Permukiman Terbatas, sekaligus dengan mengembangkan jalur jalan alternatif untuk mengurangi beban jalur jalan nasional.
A3 B3 A1
A2 BIREU
B1
B2 C3 C1 C2
E1
Ju E2
E3
Keterangan A Zona Pantai B Zona Perikanan C Zona Permukiman Terbatas D Kota Bireuen E Zona Pengembangan Kegiatan
5 - 27
5.5.8 Kabupaten Pidie dan Kota Sigli Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Pidie 1. Zona konservasi 2. Zona pertambakan dan hutan 3. Zona permukiman terbatas 4. Zona pertanian lahan basah (sawah) dengan permukiman desa terbatas 5. Zona perkebunan dan hutan 6. Zona pertanian, perkebunan dan hutan 7. Zona rawa 8. Zona pusat pelayanan perkotaan (CDB) 9. Permukiman transmigrasi 10. Sawah 11. Hutan produksi terbatas 12. Hutan lindung
5 - 28
5 - 29
Arahan Pemanfaatan Ruang Kota Sigli
1. Zona hutan pantai 2. Zona lahan usaha tambak dan pertanian basah dengan permukiman sangat terbatas 3. Zona kawasan komersial dan perkantoran 4. Zona permukiman terbatas dengan kepadatan tinggi 5. Zona permukiman terbatas dengan kepadatan rendah 6. Zona permukiman perkotaan 7. Zona lahan usaha sawah 8. Zona lahan usaha perkebunan dan hutan lindung 9. Zona rawa
5 - 30
ZONASI KOTA SIGLI
5 - 31
5.5.9 Kabupaten Nias Pola pemanfaatan Kabupaten Nias yang terdiri dari kawasan perkotaan dan perdesaan disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, adalah sebagai berikut. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pola Pemanfaatan Hutan bakau Perikanan dan permukiman desa terbatas Hutan/hutan produksi/ruang terbuka hijau Hutan lindung Rawa Pariwisata Pertenian lahan basah dan permukiman desa terbatas Pertanian lahan kering dan permukiman desa terbatas Pertanian tanaman tahunan dan permukiman terbatas Perkebunan besar dan permukiman terbatas Perkebunan rakyat/tanaman rakyat dan permukiman desa terbatas Pusat kota/CBD dan sub pusat kota Pusat permukiman baru Pusat permukiman terbatas Fasilitas umum, sosial, dan ekonomi
Kode Z-1-1 Z-1-2 Z-1-3 Z-1-4 Z-1-5 Z-1-6 Z-2-1 Z-2-2 Z-2-3 Z-2-4 Z-2-5 Z-3-1 Z-3-2 Z-3-3 Z-3-4
Berikut adalah contoh salah satu pola pemanfaatan di Kecamatan Sirombu.
5 - 32
5 - 33
Bab 6 Isu Lintas Bidang Berikut ini akan dijabarkan secara khusus beberapa permasalahan lintas bidang (crosscutting issues) yang terkait dengan bantuan pemulihan aset produktif non-publik; hak kepemilikan tanah; anak dan perempuan korban bencana; serta masalah keamanan dalam pengelolaan rehabilitasi dan rekonstruksi. 6.1
Bantuan Pemulihan Aset Non Publik (Harta Milik Pribadi).
Berkaitan dengan bencana di Provinsi NAD Pemerintah bermaksud untuk memberikan bantuan kepada masyarakat agar dapat memulai kegiatan ekonominya. Kesulitan untuk menjalankan kegiatan ekonomi merupakan permasalahan yang harus secepatnya dipecahkan. Salah satu upaya adalah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk memulihkan asetnya. Bantuan pemulihan aset masyarakat dibagi menjadi tiga: 1.
Bantuan penggantian tanah
Bantuan penggantian tanah hanya akan diberikan kepada mereka yang tanahnya tidak dapat digunakan sebagai tempat tinggal akibat bencana. Tanah tidak dapat digunakan sebagai tempat tinggal yang disebabkan oleh musnahnya tanah karena tenggelam atau oleh karena secara teknis tidak layak untuk ditempati. Seperti diketahui tidak ada keharusan untuk relokasi tempat tinggal. Dengan demikian keputusan untuk tinggal di lokasi yang lama atau pindah ke lokasi yang baru diputuskan sepenuhnya oleh masyarakat. Bagi lokasi yang tidak dapat digunakan lagi karena musnah, hilang, atau tenggelam karena tergerus oleh air pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan tanah seluas 200 m2 dengan rumah inti di atasnya seluas 36 m2 per keluarga di lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hubungan perdata dengan tanah yang musnah tersebut tidak mengalami perubahan. Sedangkan bagi mereka yang memilih pindah ke tempat baru karena tanahnya secara teknis tidak dapat digunakan pemerintah membantu dengan memberikan bantuan tanah seluas 200 m2 dengan rumah inti di atasnya seluas 36 m2 per keluarga di lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Tanah yang dahulu dimiliki menjadi milik pemerintah tanpa diberikan penggantian. Bila terjadi perubahan peruntukan tanah karena alasan akan digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti pembuatan jalur penyelamatan, penggantian kepada masyarakat menggunakan mekanisme ganti rugi biasa sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 2.
Bantuan perumahan
Untuk membantu meringankan beban korban bencana alam gempa bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara pemerintah menyediakan rumah inti (core house) seluas 36 m2 perkeluarga. Pemerintah merencanakan untuk memberikan sumbangan
setara tipe rumah 36 yaitu Rp. 28 juta untuk rumah yang rusak seluruhnya dan Rp. 10 juta bagi rumah yang mengalami rusak ringan dan menengah. Bantuan rumah inti tersebut dapat dibangun di lokasi rumah sebelum bencana alam gempa bumi dan tsunami terjadi atau pada lokasi-lokasi resettlement yang disediakan oleh pemerintah bagi masyarakat yang menghendaki resettlement. Untuk memberikan kemudahan dalam memilih desain, memperbaiki, dan membangun rumah maka pemerintah akan memberikan informasi mengenai beberapa alternatif desain rumah tahan gempa (informed choice), bantuan teknis (supervisi) dalam pembangunan rumah, dan pelatihan keterampilan pertukangan (batu dan kayu) kepada masyarakat. 3.
Bantuan pemulihan sarana produktif masyarakat
Bantuan pemulihan asset produktif masyarakat untuk memulai kembali kegiatan usaha ekonomi dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, adalah hibah modal berupa peralatan usaha sederhana kepada pengusaha mikro yang penggunaannya bersifat perorangan dengan nilai hibah besarnya maksimum sebesar Rp. 2 juta. Bantuan ini diberikan langsung kepada masyarakat untuk membantu mereka dalam menjalankan kegiatan ekonominya. Pemberian bantuan langsung ini akan dilaksanakan melalui pendekatan berbasis masyarakat (community based approach). Kedua, adalah bantuan kepada kelompok masyarakat yang besarnya antara Rp. 5 juta sampai Rp. 15 juta. Bantuan hibah ini diberikan kepada kelompok dengan jumlah anggota 4-6 orang untuk pengadaan sarana produksi/peralatan yang mempunyai nilai modal lebih besar dari jenis bantuan yang pertama. Pada dasarnya kepemilikan sarana produksi dapat merupakan milik pribadi, namun sebagai upaya awal untuk menggerakkan kegiatan usaha, pengadaan barang sebagai sarana produksi melalui skim ini diberikan sebagai kepemilikan atau penggunaan bersama diantara anggota kelompok (common facilities). Bantuan ini dapat digunakan sebagai dana hibah padanan (matching grant fund) bila kelompok membutuhkan sarana produksi yang bernilai lebih besar dari Rp. 15 juta. Kekurangan dari kebutuhan dana yang diperlukan dapat diperoleh melalui mekanisme perbankan. Untuk itu akan diberikan kemudahan dalam bentuk perpanjangan waktu tenggang (grace period) yang lebih lama serta kemudahan dalam persyaratan kredit. Untuk menghindari moral hazards tidak disarankan untuk memberikan subsidi bunga. Mekanisme pemberian hibah dalam skim ini juga melalui pendekatan berbasis masyarakat yang pelaksanaannya melalui BKM. Ketiga, adalah memberikan kemudahan pemberian kredit perbankan bagi perusahaan kecil, menengah dan besar. Kemudahan yang diberikan adalah dalam bentuk perpanjangan waktu tenggang (grace period) serta kemudahan dalam persyaratan kredit dan tidak diberikan subsidi bunga. Pendekatan berbasis masyarakat membutuhkan dibentuknya badan keswadayaan masyarakat (BKM) yang berfungsi sebagai forum pengambilan keputusan dan penggerakan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan pengendalian dalam pengelolaan bantuan tersebut. Pembentukan BKM ini sebaiknya menggunakan dasar administrasi kewilayahan sebelum terjadi bencana. Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasikan dan mengelompokkan kembali para korban bencana berdasarkan desa tempat tinggal sebelum bencana. Pembentukan BKM ini membutuhkan fasilitator yang harus diberikan pelatihan sebelumnya. Dengan adanya
6-2
BKM ini maka keputusan mengenai siapa yang akan mendapat bantuan, dalam bentuk apa, serta dimana mereka tinggal, dapat dilakukan pada tingkat masyarakat. Bantuan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini diberikan kepada perorangan dan usaha mikro yang dikelompokan ke dalam 3 kegiatan yaitu kegiatan ekonomi, investasi prasarana umum, serta sosial. 6.2
Hak Kepemilikan Tanah
Permasalahan hak kepemilikan tanah pada dasarnya berhubungan dengan subyek hukum (pihak yang menguasai tanah) dan obyek hukum (tanah). Gempa dan tsunami memiliki dampak secara fisik terhadap bangunan di atas tanah berikut tanahnya di Provinsi NAD dan Kep. Nias - Sumatera Utara. Permasalahan hak kepemilikan tanah dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Dilihat dari obyek hukum atau tanah a. Secara fisik, tanahnya masih ada; atau b. Tanahnya hilang/musnah, misalnya terendam air dll. 2. Dilihat dari ada tidaknya pemilik atau yang menguasai tanah (subyek hukum) a. Tanah yang pemiliknya masih ada atau; b. Tanah yang pemiliknya tidak ada. Secara rinci permasalahan tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut: Dari segi obyek hukum (kondisi tanahnya) 1. Bila secara fisik, tanahnya ada, terdapat 2 kemungkinan. Pertama, batas-batas tanah masih ada dan jelas, maka persoalan yang perlu diatasi selanjutnya adalah mengenai subyek hukum (pemilik) tanah tersebut. Kedua, tanah masih ada, namun batas-batas tanah kabur, maka perlu ada mekanisme penetapan batas tanah. 2. Tanahnya hilang/musnah, maka perlu dibuat pengertian/definisi atas tanah musnah/hilang, karena hal ini belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Dari segi subyek hukum (pemilik/yang menguasai tanah) 1. Tanah yang masih ada pemilik/yang menguasainya. Dalam kelompok ini, terdapat dua kemungkinan, yaitu terdaftar atau tidak terdaftar. Alternatif penyelesaiannya dari segi hukum adalah sebagai berikut: (1) Tanah yang masih ada pemilik/yang menguasainya dan tidak terdaftar. (a) Dilakukan pemeriksaan subyek dan obyek hak atas tanah. (b) Diumumkan selama 2 (dua) bulan (c) Penerbitan sertifikat baru. (2) Tanah yang masih ada pemilik/yang menguasainya dan terdaftar. (a) Pengumuman 2 (dua) bulan (b) Sumpah dari pemohon sertifikat atas tanah, yang menyatakan bahwa dia adalah pemilik dari tanah tersebut.
6-3
(c) Penerbitan sertifikat pengganti 2. Tanah yang pemilik/yang menguasainya tidak ada. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) menetapkan Fatwa No. 2 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa ”Tanah milik orang yang mati dengan tidak mempunyai ahli waris adalah menjadi milik umat Islam, melalui Baitul Mal.” Fatwa tersebut juga menyatakan bahwa ”Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban tsunami hanya diterima dalam waktu 5 (lima) tahun sejak musibah tsunami terjadi. Dan setelah itu, dinyatakan lewat waktu (taqadum, kadaluarsa). Sedang bagi anak yang belum dewasa, ketika musibah tsunami terjadi, hak mengajukan gugatan ini diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun.” Tugas, fungsi dan wewenang Baitul maal dimuat dalam Qanun No. 7 Tahun 2004 mengenai Pengelolaan Zakat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Baitul maal belum bisa dikategorikan sebagai Badan Hukum. Dengan demikian Baitul maal tidak memenuhi syarat sebagai subyek hukum pemegang hak atas tanah. Oleh karena itu, perlu ada kajian lebih lanjut mengenai status hukum Baitul maal sebagai subyek hukum yang dapat memegang hak atas tanah, terutama dalam pengelolaan “tanah-tanah tak bertuan”. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Penanganan Masalah Pertanahan di Provinsi NAD dan Nias-Sumatera Utara Perlu ada dasar hukum untuk penanganan terhadap kondisi khusus yang terjadi di Aceh dan Nias, Sumatera Utara akibat bencana gempa-tsunami di bidang pertanahan, yaitu: 1. Ketentuan mengenai Obyek Hukum (tanah) (a) Perlu ada ketentuan mengenai ”tanah musnah” Pasal 27 huruf b jo. Pasal 34 huruf f. Jo Pasal 40 huruf f, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pengelolaan) dinyatakan “hapus” antara lain apabila tanahnya “musnah”. Pengertian musnah ialah tanah yang bentuk fisiknya tidak dikenali lagi. Namun demikian, pengertian tersebut belum menjelaskan kriteria ”tanah musnah”. Sehingga perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengertian dan kriteria tanah musnah. (b) Hasil pemindaian (scanning) terhadap sertifikat tanah sebagai alat bukti. Data pertanahan yang disimpan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagian hilang dan sebagian mengalami kerusakan terendam air. Sebagian data yang terendam tersebut diselamatkan melalui proses pemindaian (disimpan secara digital di komputer). Hukum acara perdata saat ini hanya mengakui akta otentik sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan dan tidak mengakui alat bukti dalam bentuk digital seperti hasil pemindaian. Oleh karena itu, perlu ada ketentuan hukum acara perdata khusus yang berlaku di NAD dan Nias, Sumatera Utara, mengenai pengakuan hasil pemindaian sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti yang sah. 2. Ketentuan mengenai Subyek Hukum (a) Tanggung jawab pemohon penerbitan sertifikat
6-4
Pihak pemohon penerbit sertifikat harus bertanggung jawab atas kebenaran materiil dokumen-dokumen yang diajukan ke instansi yang berwenang (BPN, Mahkamah Syariah). (b) Larangan melakukan transaksi/pengalihan hak-hak atas tanah selama belum ada kejelasan tentang subyek-obyek tanah. Berdasarkan Fatwa MPU No. 2 Tahun 2005, MPU mengusulkan kepada Pemerintah atau MA agar memerintahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk tidak menerima permintaan transaksi pengalihan hak atas tanah korban tsunami, apabila keberadaan dan batas-batas tanah tersebut belum jelas, serta alat bukti yang diajukan tidak sah atau belum memadai. Untuk menjamin perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang sah, Perpu perlu mengatur larangan melakukan transaksi/pengalihan hakhak atas tanah dalam periode tertentu. Dalam butir yang sama, fatwa tersebut juga menyatakan, apabila terjadi sengketa pewarisan, kepemilikan atas tanah, hadhanah dan penetapan nasab, menjadi kewenangan Mahkamah Syariah. Oleh karena itu diperlukan Perpu agar Mahkamah Syariah menjalankan wewenang tersebut. 3. Baitul Maal Perlu adanya kajian mengenai Baitul Maal sebagai subyek hukum yang dapat memegang hak atas tanah. 4. Mekanisme Pengumuman dan Sumpah Masyarakat mengharapkan percepatan proses penerbitan sertifikat pengganti hak atas tanah. Peraturan yang berlaku menetapkan diperlukan pengumuman selama 2 (dua) bulan dan sumpah dari pihak pemohon bahwa ia merupakan pemilik yang sah dari tanah tersebut. Apabila periode pengumuman dan sumpah ini akan dipersingkat, dibutuhkan Perpu. 6.3
Anak Dan Perempuan
Anak dan perempuan korban gempa bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan Nias Sumatera Utara cukup besar. Keterangan beberapa LSM asal Aceh menjelaskan bahwa salah satu sebab lebih banyak laki-laki yang bertahan hidup dibandingkan perempuan ketika menghadapi gempa bumi dan tsunami adalah kemungkinan bahwa anak gadis dan perempuan Aceh tidak didorong untuk aktif berolahraga terutama berenang, sehingga ketahanan fisik mereka tidak optimal. Dengan tradisi perempuan mengurus banyak hal, perempuan membagi perhatian mereka kepada anak, orang tua, dan sanak keluarga, sehingga konsentrasi penyelamatan diri tidak maksimal. Dalam penanganan akibat bencana, anak dan perempuan mempunyai kebutuhan yang spesifik, sehingga kebutuhan mereka dalam tahapan penanggulangan bencana perlu mendapat perhatian khusus dan perlu diatasi secara lintas sektor dan terpadu. Masalah yang dihadapi anak dan perempuan, selain masalah trauma fisik dan psikologis adalah meningkatnya resiko terjadinya tindakan pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Untuk trauma psikologis pada anak dan perempuan telah dan akan dilanjutkan pelayanan trauma konseling melalui women trauma center dan children center. Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan perdagangan anak, akan
6-5
dibentuk Gugus Tugas anti-trafficking dan Pencegahan Tindak Kekerasan. Di samping itu, juga telah dilakukan upaya untuk mempertemukan kembali anak-anak dengan keluarganya dilakukan melalui kegiatan ”reunifikasi keluarga”. Dengan banyaknya perempuan yang kehilangan mata pencaharian atau harus menjadi pencari nafkah keluarga, maka akan dilakukan upaya peningkatan usaha ekonomi bagi perempuan terutama perempuan kepala keluarga. Untuk membantu anak dan perempuan dalam mengatasi masalah hukum yang mungkin terjadi di masa datang, akan disiapkan pelayanan bantuan hukum termasuk pemberian akte kelahiran secara gratis kepada anak-anak. Untuk menjaga keberlangsungan upaya-upaya perlindungan pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi akan dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) yang dapat menampung dan menyalurkan kebutuhan spesifik kaum perempuan. Pada pelaksanaannya hal ini diselenggarakan secara lintas sektor dengan peran serta LSM dan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan konsep budaya dan tradisi Aceh yang memperhatikan peran perempuan dalam pengambilan keputusan dan dalam perlindungan anak. Dengan demikian masalah perlindungan anak dan perempuan serta kesetaraan jender penting untuk dilaksanakan secara lintas sektor. 6.4
Masalah Keamanan
6.4.1 Aspek Security Clearance Bencana gempa bumi dan tsunami telah menyebabkan banyak peralatan termasuk senjata yang hilang, dan sekaligus membawa masuknya bantuan logistik ke Aceh. Hal ini memberikan peluang penguatan logisitik bagi pihak Gerakan Separatis Bersenjata AcehGerakan Aceh Merdeka (GSBA-GAM) untuk mengkonsolidasikan kekuatannya. Di samping itu banyak tahanan GAM yang akan bebas dan dipastikan beberapa akan kembali ke Aceh. Terkait dengan prediksi kondisi keamanan dan ketertiban tersebut, pihak Penguasa Darurat Sipil Pusat (PSDP) mengeluarkan maklumat untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama masa darurat sipil. Dalam melaksanakan isu ini, akan dilakukan sosialisasi peraturan yang berlaku kepada pihak-pihak terkait yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. 6.4.2 Contingency Fund untuk Memperlancar Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pembangunan di Aceh dan Nias di berbagai sektor akan dilaksanakan secara intensif dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Namun, pelaksanaannya terutama pada tahaptahap awal diperkirakan akan mengalami hambatan mengingat kondisi keamanan dan ketertiban yang masih rawan. Dengan kondisi tersebut, diperkirakan lembaga-lembaga keamanan dan ketertiban akan masih berperan secara signifikan. Untuk mengatasi hal ini, diusulkan agar masing-masing program/kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi menyusun estimasi biaya keamanan resminya, yang kemudian dana
6-6
tersebut dialokasikan di Departemen Pertahanan yang selanjutnya akan mengamankan pelaksanaan program/kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. 6.4.3 Prioritas Aktivitas Tahap Awal Rehabilitasi Membangun kebersamaan dan kepercayaan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan R3MAS pada tahap awal. Oleh karena itu, pengamanan program/kegiatan dimaksud menjadi prasyarat utama. Untuk tujuan dimaksud, diperlukan adanya identifikasi program/kegiatan prioritas yang membutuhkan pengamanan pada tahapan rehabilitasi 6.4.4 Pengembangan Incentive Framework Penanganan korban paska konflik termasuk mantan GAM perlu dilakukan secara intensif, komprehensif, proporsional dan adil. Selama ini, pembinaan mantan GAM dengan berbagai insentif yang diperolehnya telah membuat kecemburuan masyarakat Aceh lainnya yang justru memiliki semangat untuk mempertahankan NKRI. Terkait dengan persoalan ini, akan dibentuk Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan (TPRK) yang bertujuan untuk mencari formula insentif framework yang tepat bagi semua pihak secara adil. Diharapkan adanya dukungan program/kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dan para pakar untuk membantu merumuskan dan melaksanakan kebijakan tersebut. 6.4.5 Mekanisme Kerjasama Kelembagaan Pusat dan Daerah Kerjasama yang sinergis antara kelembagaan pemerintahan dan masyarakat di pusat dan daerah baik secara vertikal dan horizontal perlu diperkuat dengan dibangun dan diperkuatnya suatu mekanisme kerjasama yang baik. Perlu pembagian kewenangan secara tegas antara pemerintah pusat terutama TNI/Polri, pemerintah daerah, Badan Pelaksana, dan masyarakat. 6.4.6 Metodologi Pelaksanaan Kegiatan Momentum gempa bumi dan tsunami dapat dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok tertentu termasuk GSBA-GAM untuk melakukan konsolidasi kekuatan sehingga diprediksi dapat memperburuk kondisi keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
6-7
Bab 7 Partisipasi Masyarakat Dan Swasta 7.1
Partisipasi Masyarakat
Bencana alam yang melanda Aceh dan Nias telah menimbulkan kerugian yang amat besar, baik jiwa maupun harta benda. Pada umumnya korban bencana yang masih hidup berada di daerah pengungsian, yaitu di sekitar tempat tinggal asal maupun daerah lain. Implikasi kondisi ini adalah terpecahnya struktur, tatanan dan ikatan sosial yang selama ini telah terbentuk. Keadaan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi berbagai pihak dalam menyusun perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias berbasis partisipatif. Masyarakat korban bencana yang masih hidup tidak hanya merupakan sumber data dan informasi dalam perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, namun harus ditempatkan pula sebagai pelaku utama rangkaian kegiatan pembangunan. Penempatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan pada umumnya masih terbatas pada tingkat pembicaraan atau sebatas konsep di atas kertas, walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagai perundangan dan peraturan pelaksanaannya. Realisasi pendekatan partisipatif dalam seluruh proses pembangunan masih memiliki keterbatasan kelembagaan, yaitu sarana dan prasarana pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh pelaku pembangunan dan kemampuan para pelaku pembangunan itu sendiri. Realisasi pendekatan partisipatif dalam seluruh proses pembangunan harus segera dimulai dengan memperkuat kelembagaan pemerintah dan masyarakat yang ada, sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing. Penguatan kelembagaan pemerintah dalam konteks partisipasi sektor publik, swasta dan masyarakat luas dalam pembangunan diartikan sebagai peningkatan pemahaman, kepekaan dan kemampuan aparat dan lembaga pemerintah dalam bekerja bersama masyarakat. Penguatan swasta dan masyarakat dalam konteks yang sama diartikan sebagai peningkatan pengetahuan, keahlian, akses informasi dan posisi tawar kelompok ini dalam bekerja bersama pemerintah. Apabila kondisi seperti ini telah terwujud, proses partisipatif yang mengutamakan kesetaraan antar pelaku pembangunan dapat mulai berlangsung (lihat Diagram 1).
Diagram 1: Prinsip Partisipasi Masyarakat dan Dunia Usaha Perubahan dari dominasi pemerintah menuju kesetaraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha (warga): meliputi cara-cara langsung dimana warga mempunyai pengaruh dan melakukan pengawasan terhadap pemerintahan. Menjamin agar kepedulian masyarakat lokal/daerah dan dunia usaha (warga) berkesesuaian secara langsung dengan kepedulian penerintah atau negara.
PENDIDIKAN WARGA DAN PEMBANGUNAN 1 KESADARAN Pendidikan rakyat dengan metodologi komunikasi untuk meningkatkan kesadaran warga atas hakhak dan kewajibannya. Metode: penggunaan radio komunitas dan teater rakyat
ADVOKASI, ALIANSI DAN KOLABORASI 3 Warga, organisasi berbasis masyarakat dan LSM yang sebelumnya tersisihkan dalam proses pengambilan keputusan perlu belajar kecakapan advokasi dan pengaruh dari kebijakan. Begitu juga bagi pemerintah.
MELATIH DAN MEMBUAT PEKA PEMERINTAH DAERAH 2 Mengajak pemda untuk berhubungan dengan rakyat dengan cara-cara yang lebih partisipatif
7.1.1
PEMBUATAN ANGGARAN YANG PARTISIPATIF 4 Pengalaman partisipasi rakyat yang berhasil dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal adalah pengalaman pembuatan anggaran belanja yang partisipatif.
MENINGKATKAN AKUNTABILITAS PEMERINTAH 5 DAERAH Menggalang gerakan hak atas informasi yang menuntut keterbukaan minimal pemda
Prinsip dan Definisi
Partisipasi adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang ikut serta dalam suatu kegiatan secara bersama, mengembangkan langkah-langkah kegiatan dan membentuk atau menguatkan kelembagaan lokal. Partisipasi adalah hak, dan bukan sebuah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari partisipasi adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, pengertian partisipasi harus dapat direalisasikan dalam suatu model dan kerangka kerja sama dimana pemerintah (pusat dan daerah) bergandeng-tangan dengan masyarakat dalam membangun kembali Aceh dan Nias. Prinsip kerjasama sinergis antara pemerintah dan masyarakat (para pelaku pembangunan) adalah untuk mewujudkan hasil pembangunan yang lebih besar jika dilakukan secara bersama, dibandingkan jika setiap pelaku pembangunan melakukannya sendiri-sendiri. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan perangkat turunannya di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan kelurahan. Masyarakat adalah sekelompok orang yang berdomisili di suatu daerah dalam suatu wilayah administratif tertentu. Dalam konteks pembangunan, khususnya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, masyarakat diartikan sebagai sekelompok orang (dan
7-2
atau lembaga kemasyarakatan) yang berada di luar bidang pemerintahan, yang pada umumnya dapat dibedakan antara lain sebagai berikut: 1. Lembaga yang berkaitan dengan swasta, seperti yang dapat diwakili oleh Kadinda, REI, Himpunan Pengusaha Perhotelan dan Restoran, INKINDO, dan sebagainya. Kelompok ini umumnya dikenal sebagai swasta. 2. Lembaga lain yang terdiri dari berbagai unsur di masyarakat seperti perguruan tinggi, asosiasi profesi (Persatuan Guru, IDI, IAI, IAP dan ISEI), Persatuan Nelayan, Panglima Laot/Kelompok Tani, Kelompok Usaha Perdagangan, Kelompok Perajin, Kelompok Budayawan, Kelompok Seniman, Persatuan Buruh, berbagai jenis lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan adat (keuchik, kepala lingkungan, Masyarakat Adat Aceh, Majelis Adat Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama) dan media massa. Berdasarkan pengelompokan ini, pemahaman yang umum terdapat di masyarakat mengenai pengelompokan aktor pembangunan adalah pemerintah, masyarakat dan swasta. Dalam kerangka inilah kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias disusun. 7.1.2 Kebijakan Kegiatan partisipatif seluruh aktor pembangunan—pemerintah, swasta dan masyarakat—tidak perlu dibedakan dalam rangkaian proses pembangunan, mengingat keragaman latar belakang dan kemampuan setiap komponen masyarakat di setiap daerah. Berdasarkan pertimbangan ini, beberapa langkah kebijakan partisipasi masyarakat dan swasta dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias adalah: 1. Pemerintah berfungsi tidak hanya sebagai salah satu aktor pembangunan namun harus melaksanakan fungsi fasilitasi dalam kegiatan pembangunan. Fasilitasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator (pemerintah atau anggota masyarakat) bersama masyarakat (seluruh pihak) dalam mengenali permasalahan, mengidentifikasi potensi dan kendala pembangunan maupun masing-masing pelaku pembangunan dan merumuskan berbagai alternatif penyelesaian masalah, memilih berbagai alternatif tersebut dan menyusun prioritas penyelesaian masalah dan strategi pelaksanaannya. 2. Dalam hal pemerintah daerah (di semua tingkat administratif) belum mampu melaksanakan fungsi fasilitasi ini, pihak luar seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, atau pihak lainnya dapat mendampingi pemerintah daerah dalam memahami prinsip dan strategi pelaksanaan kegiatan pembangunan yang patisipatif. 3. Pada tingkat masyarakat, terutama di wilayah dimana pemerintah belum dapat melakukan fungsi fasilitasi seperti di atas, lembaga swadaya masyarakat/lembaga pendidikan tinggi atau anggota masyarakat yang peduli pembangunan (sukarelawan) dapat mendampingi masyarakat umum dan melaksanakan fungsi fasilitasi. 4. Penguatan masyarakat di setiap desa dan kelurahan perlu dilakukan melalui suatu organisasi dengan prinsip membangun kembali struktur kelembagaan adat/lokal (lihat Sub Bab 8.4). Dalam kondisi dimana struktur kelembagaan masyarakat di
7-3
tingkat terkecil tidak lagi tersedia, pembentukan kembali struktur kelembagaan adat/kelembagaan lokal perlu dilakukan. 5. Di setiap desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten dan propinsi perlu dibentuk sebuah dewan pembangunan (DP), yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, swasta dan masyarakat, untuk menciptakan tradisi, iklim dan kerangka pembangunan partisipatif. Dewan pembangunan adalah nama generik, yang dalam pelaksanaannya dapat berbentuk lembaga adat/lembaga kemasyarakatan yang sudah ada sejauh lembaga tersebut membicarakan masalah pembangunan yang menyangkut kehidupan masyarakat umum. 6. Tugas DP adalah sebagai lembaga yang menampung aspirasi ketiga kelompok besar pelaku pembangunan, memutuskan rencana dan mekanisme pelaksanaan pembangunan, beserta monitoring dan evaluasinya. Dengan demikian DP juga berfungsi sebagai lembaga penerima dan penyebarluasan informasi pembangunan. 7. Pada tingkat administrasi pemerintahan yang lebih tinggi (seperti kecamatan/kabupaten/kota) perlu dibentuk jaringan DP horizontal (misalnya antar desa/kecamatan) dan vertikal (misalnya antara tingkat desa dan kecamatan) yang berfungsi sebagai lembaga komunikasi dan pengambilan keputusan lintas pelaku dalam skala yang lebih besar. 8. Keterlibatan DP dalam proses pembangunan dimulai dari langkah awal kegiatan pembangunan, yaitu perencanaan (identifikasi masalah, potensi, ancaman dan peluang), penyusunan mekanisme pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Pemerintah perlu menjamin keterlibatan DP dalam setiap proses pengambilan keputusan atas berbagai jenis kegiatan tersebut di atas, dan disahkan dalam qanun oleh DPRD. 7.1.3 Mekanisme Pelaksanaan Pelaksanaan kebijakan partisipasi masyarakat dan swasta secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Kegiatan pembangunan dapat dibedakan atas skala dan tingkat kompleksitas pelaksanaannya, berdasarkan tingkat kebutuhan skala propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Untuk pelaksanaan kegiatan berskala besar dan menengah, peran pemerintah dan swasta pada umumnya akan lebih besar. Untuk kegiatan berskala kecil peran masyarakat akan lebih dominan. Namun demikian proses pengambilan keputusan dalam seluruh rangkaian kegiatan—terutama berskala besar—tetap harus melibatkan masyarakat, terutama masyarakat di daerah lokasi kegiatan tersebut. 2. Pada tingkat desa/kelurahan, pembangunan kembali lembaga adat/masyarakat dilakukan dengan berbagai cara pemetaan sosial yang tujuannya adalah mengidentifikasi warga masyarakat beserta perangkat kelembagaan masyarakat yang masih ada (seperti keuchick, kepala meunasah, kepala mukim, perangkat gampong dan lain sebagainya). Pada saat masyarakat—sebagai satu kesatuan warga suatu wilayah—telah kembali terbentuk, kelembagaan masyarakat adat setempat dapat segera berfungsi. Pada saat ini terjadi berbagai kegiatan pembangunan dapat
7-4
dilakukan, misalnya dimulai dari pengurusan kembali identitas diri dan kegiatan lain yang menjamin hak keperdataan warga, termasuk didalamnya pendataan tanah dan harta benda lain, maupun kegiatan pembangunan pada umumnya seperti tata ruang desa, pembangunan perumahan, prasarana dan sarana fisik lingkungan, ekonomi lokal dan sebagainya. 3. Pembentukan DP di tingkat desa menjadi titik awal dan utama. Anggota DP dipilih oleh komunitasnya, dan tidak berdasarkan penunjukan, dan bertugas untuk suatu periode waktu yang ditentukan bersama. 4. Pembentukan DP di tingkat kecamatan/tingkat adiministratif yang lebih tinggi harus dilakukan berdasarkan kesiapan berbagai unsur di tingkat desa untuk membentuk dan mengoperasikan lembaga ini. 5. DP di tiap tingkatan adalah otonomi dan bukan merupakan subordinasi DP di tingkat administrasi yang lebih tinggi. 6. DP dapat berfungsi berdasarkan kegiatan pembangunan sektoral (khusus perikanan, pertanian, perumahan, dan sebagainya). Pembentukan DP adalah sebagai berikut: a. Di tingkat desa/kelurahan, DP dibentuk bersama masyarakat, dan terdiri dari wakil pemerintah tingkat terkecil dan perwakilan masyarakat (lembaga kemasyarakatan yang representatif seperti dewan ulama mukim/perangkat mukim) dan swasta. DP didampingi oleh fasilitator dan anggota masyarakat yang peduli pembangunan (sukarelawan). Sejauh DP belum berfungsi secara sempurna, fasilitator bertugas sebagai motor penggerak. DP yang telah terbentuk dapat bekerja bersama lembaga kemasyarakatan yang sudah ada untuk memulai dan atau memperluas kegiatan pembangunan yang akan direncanakan di desa/kelurahan itu. Rencana pembangunan yang telah ditetapkan DP akan dilaksanakan oleh warga desa/kelurahan berdasarkan mekanisme pelaksanaan yang disepakati bersama. Setelah DP di tingkat desa terbentuk secara matang dan beroperasi baik, pembentukan DP ditingkat kecamatan dapat dimulai. b. Di tingkat kecamatan, DP terdiri dari wakil DP tingkat desa/kelurahan, wakil pemerintah kecamatan, swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan sukarelawan. Tingkat cakupan pembahasan substansi pembangunan umumnya menyangkut kegiatan pembangunan lintas desa/kelurahan. c. Di tingkat kota/kabupaten, DP terdiri dari wakil DP tingkat kecamatan, swasta, wakil pemerintah kota/kabupaten, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan anggota masyarakat yang peduli terhadap materi pembangunan terkait. Tingkat cakupan pembahasan substansi pembangunan umumnya menyangkut kegiatan pembangunan lintas kecamatan. d. Di tingkat propinsi, DP terdiri dari DP tingkat kota dan kabupaten dan perguruan tinggi/lembaga swadaya masyarakat, swasta, wakil pemerintah, anggota masyarakat yang peduli terhadap materi pembangunan terkait dan wakil Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumut (BAPEL).
7. Perencanaan pembangunan meliputi perencanaan fisik dan penganggarannya.
Untuk menghindari proses penyaringan usulan perencanaan yang berlebihan pada
7-5
suatu tingkat administratif, sebagai konsekuensi dari keterbatasan dana, DPRD dan pemerintah tingkat yang lebih tinggi harus menciptakan proses komunikasi yang terbuka dan efektif.
8. Untuk mendukung pelaksanaan proses pembangunan partisipatif seperti tersebut di
atas, diperlukan kebijakan dan mekanisme pengalokasian sumber daya pembangunan yang menjadi otonomi setiap desa, kecamatan, kota/kabupaten dan propinsi. Sebagai contoh, kebutuhan pembangunan minimum desa dipenuhi melalui dana hibah langsung (block grant) ke desa bersangkutan berdasarkan rencana pembangunan yang diputuskan oleh DP di desa tersebut. Jumlah dana ini harus dapat memenuhi kebutuhan investasi pembangunan yang dapat dikerjakan dalam skala desa. Jika kebutuhan dana investasi minimum tidak mencukupi, usulan kegiatan tambahan harus diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh tambahan sumber pendanaan. Demikian pula untuk tingkat kecamatan dan seterusnya.
7-6
7.1.4 Model Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat Aceh. Salah satu usaha dalam membangun kembali masyarakat Aceh adalah dengan kebijakan memberdayakan lembaga agama, adat dan sosial lainnya yang ada di Aceh. Kebijakan tersebut diimplementasikan dengan strategi pemberdayaan dan optimalisasi lembaga mukim dan gampong yang telah ada. Fokus pemberdayaan dan optimalisasi fungsi pada kedua lembaga tersebut disebabkan karena lembaga mukim dan gampong memiliki unsur pemberdayaan masyarakat dan kemandirian rakyat yang lebih dominan (berdasarkan Undang-Undang No 18/2001). Bentuk lembaga sosial masyarakat Aceh di tingkat akar rumput yang perlu direvitalisasi adalah Mukim dan Meusanah. Dalam budaya Aceh kedua lembaga itu menjadi semacam sumber energi sosial, semacam sumber daya internal yang mempunyai mekanisme dan kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini tercipta karena lembaga ini lebih dekat dengan kenyataan sehari-hari masyarakat. Saat ini keberadaannya diakui, namun karena bencana yang terjadi, eksistensinya semakin berkurang. 1.
Model Kelembagaan Mukim
Mukim adalah sebutan untuk satu wilayah kesatuan masyarakat hukum adat, yang mempunyai batas-batas tertentu, memiliki perangkat dan simbol-simbol adat, hak-hak pemilikan dan penguasaan atas suatu sumber daya dan prasarana serta mempunyai tatanan sosial yang spesifik lokal. Mukim terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki harta kekayaan sendiri. Mukim berkedudukan langsung di bawah kecamatan/Sagoe Cut. Ada lima unsur pokok dalam jenjang struktur kepemerintahan pada masa Kerajaan Aceh yaitu : Sultan, Panglima Sagoe, Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchiek Salah satu alasan dibentuknya mukim adalah karena kebutuhan skala ekonomis dan beberapa persyaratan administrasi untuk melakukan suatu kegiatan. Pada masa itu, wilayah teritorial mukim adalah seluas radius orientasi jangkauan mesjid untuk shalat jum’at. Jumlah penduduk mukim berkisar antara 200 – 300 jiwa. Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim, yang statusnya mengalami metamorfosa sebagai berikut: 1. Sebutan imam diperoleh dari perannya sebagai imam shalat Jum’at. 2. Dalam perkembangannya peran Imeum Mukim berkembang dalam sistem pemerintahn formal dengan kedudukan diantara Uleebalang dan Keuchiek (Kades). 3. Kemudian Imeuem Meukim lebih berspesialisasi dalam pemerintahan, dengan sebutan lainnya dalah Imeum Adat. Sedangkan imam shalat Jum’at disebut dengan Imeum Mesjid atau Teungku Imeum. Unsur-unsur lembaga, seperti mukim, yang terdapat dalam masyarakat Aceh adalah: 1. Tuha Peut atau Tuha Lapan: orang yang paling paham dan berpengalaman di bidang adat, agama, dan kehidupan kampung dan dapat menjadi petugas di bidang tertentu. 2. Keujreun: pejabat pengatur tanaman pangan dan irigasi (Keujreun Blang) dan pengatur pertambangan (Keujreun Meuih). 3. Panglima Kawon: kepala/kepemimpinan suatu keluarga besar.
7-7
4. Panglima Lhok/Laot: pejabat koordinator kegiatan mata pencaharian di laut 5. Petua Seunebok: pejabat pengatur sistem perladangan dan pembukaan ladang baru. 6. Pawang Glee: Pejabat pengatur pemanfaatan areal hutan dan penjaga ekologi hutan. 7. Raja Kuala : Pejabat pengatur tambatan perahu dan pukat di muara. 8. Haria Peukan : Pejabat pengelola pasar/pengutip retribusi pasar. Sebagai lembaga masyarakat, mukim dapat dikembangkan secara bertahap, yaitu dengan cara dikembangkan menjadi lebih terorganisasi dan dibina menjadi lebih mandiri. Untuk menjalankan hal tersebut, maka hal yang penting adalah memberdayakan Imeum Mukim untuk: (a) Meningkatkan fungsi mukim sebagai suatu kesatuan masyarakat; (b) Menata lembaga-lembaga kelengkapan mukim dan mengefektifkan peran dan fungsinya seperti Majelis Musyawarah Mukim dan Rapat Adat Mukim; (c) Mengelola harta kekayaan dan pendapatan mukim untuk kepentingan masyarakat. Diagram 2 - Struktur Kelembagaan Mukim
DEWAN PENASIHAT MUKIM
Unsur Pelayanan • Sekretariat mukim • Tata usaha
Perangkat Mukim
Dewan Ulama Mukim
Imum Mukim (Ketua Mukim)
Tuha Peut/ Tuha Lapan Mukim
Pelaksana Teknis • Panglima Laot • Pawang Uteun/Glee • Syahbanda
Unsur Wilayah (Geuchik)
Tengku Dayah Chik Tengku Dayah Imum Chik
Penjelasan: Kelembagaan pemerintah, adat dan agama pada tingkat mukim terdiri atas lembagalembaga sebagai berikut: • Dewan Penasehat Mukim merupakan lembaga tertinggi di wilayah mukim. DPM memiliki kedudukan, tugas, dan fungsi sebagai penasihat mukim. • Dewan Ulama Mukim terdiri dari Imeum Chik, Tengku Dayah, tengku Dayah Chik, Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim. Dewan ulama mukim merupakan badan konsultatif Imeum Mukim bidang pemerintahan, pelaksanaan syariat dan adat istiadat.
7-8
•
•
2.
Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim merupakan lembaga independen yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan mukim. Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim merupakan Dewan Legislatif Mukim, hanya saja anggota-anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum. Perangkat Mukim, pemerintahan mukim terdiri dari imeum mukim dan perangkat mukim. Perangkat mukim terdiri dari unsur pelayanan (sekretariat mukim dan tata usaha), unsur pelaksana teknis (panglima laot, pawang uteun/glee, syahbanda), dan unsur wilayah (geuchik). Model Kelembagaan Gampong dan Meunasah
Gampong adalah kesatuan msyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang dipimpin oleh Keuchik. Kelembagaan pemerintah, adat dan agama pada tingkat Gampong terdiri atas lembagalembaga sebagai berikut: (1) Dewan Penasehat Gampong (2) Geuchik (3) Imeum Meunasah (4) Tuha Peut/Tuha Lapan Gampong (5) Teungku Rangkang/Dayah (6) Sekretariat Gampong (7) Keujreun Blang/Peutua Seuneubok/Panglima Glee/Panglima Uteun/Panglima Laot/Panglima Lhok. Setiap desa memiliki satu meusanah atau lebih yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat komunikasi dan informasi, balai musyawarah, tempat penyelesaian perkara, dan pusat kegiatan-kegiatan lainnya.
7-9
Diagram 3 - Struktur Kelembagaan Gampong
DEWAN PENASIHAT GAMPONG
Unsur Pelayanan Sekretariat gampong
Perangkat Gampong
Dewan Ulama Gampong
Keuchik/ Imeum Meunasah
Tuha Peut/ Tuha Lapan Gampong
Pelaksana Teknis Keujreun blang, peutua seuneubok, panglima glee, panglima uteun
Unsur Wilayah (Geuchik)
7 - 10
Tengku Rangkang/ Dayah
7.2
Partisipasi Swasta
Partisipasi swasta merupakan komponen penting guna membangun kembali Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana gempa dan tsunami. Di samping terbatasnya sumberdaya dan kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah, hal ini dapat menjadi nilai tambah positif karena ada tanggung jawab yang bias diringankan melalui keterlibatan swasta kepada yang menderita bencana. Montgomery (1988) menyatakan bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri. Pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik bila hanya mengandalkan pada kekuatan yang ada pada pemerintah, hasilnya pun tidak akan sama dengan pembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasi rakyat. 7.2.1 Prinsip dan Definisi Partisipasi swasta di sini adalah segala bentuk keterlibatan masyarakat dan/atau lembaga-lembaga nonpemerintah yang bertujuan memberikan bantuan, baik dalam bentuk uang, barang maupun jasa yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD pasca bencana gempa dan tsunami. Partisipasi rakyat dalam hal ini dapat berbentuk partisipasi secara perorangan maupun yang terorganisir dalam kelompok-kelompok, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok yang berorientasi pada profit maupun kelompok-kelompok nirlaba. Lembaga-lembaga tersebut yang dari kacamata pemerintah disebut sebagai kelompok swasta dapat berupa lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga sosial seperti yayasan, asosiasi, badan keagamaan dan sosial politik, serta badan-badan usaha, baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Kegiatan-kegiatan yang dikelola oleh lembaga-lembaga swasta inilah yang diharapkan dapat menggerakkan kegiatan pembangunan di wilayah NAD yang luluh lantak pasca bencana gempa dan tsunami 2004. Hal itu perlu dikelola dengan baik guna menjamin keselarasan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah dan dicita-citakan oleh seluruh masyarakat. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mengelola partisipasi swasta pada pembangunan kembali NAD pasca bencana gempa dan tsunami ini, antara lain: 1. Kebijakan yang pro partisipasi swasta Birokrasi selama ini cenderung dicap menghambat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan terobosan agar masyarakat merasa dapat bergabung dengan mudah dalam membangun. 2. Manfaat Partisipasi swasta yang muncul haruslah bermanfaat bagi masyarakat Aceh dan Pemerintah harus menjaga agar tidak terjadi hal-hal negatif akibat partisipasi ini. 3. Netral dan terbuka Pemerintah harus menjaga agar kesempatan partisipasi ini terbuka bagi seluruh lapisan dan golongan masyarakat, dan juga harus dapat menampung aspirasi semua pemangku kepentingan. 4. Transparansi
7 - 11
Pengaturan pola dan bentuk partisipasi swasta seyogyanya dapat melibatkan masyarakat luas untuk memantau setiap tahapan pembangunan agar dapat memberikan umpan balik bagi perbaikan pelaksanaannya. 5. Akuntabilitas 7.2.2 Kebijakan Saat ini, banyak pihak baik perorangan maupun kelompok yang sangat berminat untuk berpartisipasi membangun kembali Aceh, untuk itu, diperlukan pola yang sifatnya memberikan peluang yang lebih luas sehingga swasta dapat melaksanakan kegiatan pembangunan NAD. Pemerintah harus mengimbanginya dengan suatu kebijakan dan kerangka yang jelas dalam memberikan pijakan dan patokan dalam membangun Aceh. Misalnya mengenai tata ruang, mana yang dapat dikembangkan dan mana yang tidak harus dapat diinformasikan secepat mungkin agar swasta yang ingi berpartisipasi tidan merasa ada tekanan. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam pengaturan partisipasi swasta antara lain: 1. Membangun e-Aceh.org dan policy matrix sebagai akses informasi 2. Menyebarluaskan informasi dan memberi akses yang lengkap tentang rencana pembangunan di wilayah NAD, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. 3. Memberikan kemudahan prosedur. Hal ini bisa berbentuk kemudahan perizinan, perlakuan khusus dalam prosedur pengadaan barang dan jasa, atau yang lainnya. 4. Memberikan insentif dan disinsentif yang mendorong partisipasi swasta, seperti memberikan pengurangan/pembebasan bea masuk, ataupun pengurangan pajak. 7.2.3 Mekanisme Pelaksanaan Guna menjaga keselarasan partisipasi oleh semua pihak swasta dibentuk suatu mekanisme yang mengatur administrasi dan koordinasi antar pihak-pihak terkait. Dalam kasus pembangunan kembali NAD pasca bencana gempa dan tsunami, diperlukan suatu organisasi yang memainkan peran strategis dalam mengelola partisipasi swasta. Lembaga tersebut, Badan Pelaksana (Bapel), memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan. Koordinasi partisipasi swasta dilaksanakan oleh Bapel. Lembaga ini mengkoordinasikan semua elemen yang terlibat baik dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun dan pihak swasta yang ingin terlibat dalam membangun Aceh. Pihak swasta yang mempunyai inisiatif membangun sesuatu di Aceh harus melihat dan mencocokkan dengan master plan yang ada di Bapel dan juga keinginan masyarakat Aceh sendiri, serta masukan dari Pemerintah Daerah. Hal ini mutlak dilakukan guna menghindari terjadinya tumpang tindih bentuk dan lokasi kegiatannya dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak-pihak lain serta ketidakmanfaatan bantuan akibat tidak adanya rencana yang baik dan matang. Prosedur bantuan swasta ini disusun sesederhana mungkin tanpa meninggalkan prinsip akuntabilitas dalam mengelola bantuan. Pada Diagram 4 di bawah ini ditunjukkan bagaimana mekanisme pelaksanaan partisipasi swasta yang dimulai dari inisiatif yang
7 - 12
datang dari swasta. Inisiatif tersebut kemudian dikoordinasikan dengan Bapel dan Pemda untuk melihat keterkaitan antara inisiatif swasta tersebut dengan master plan (rencana induk) dan keinginan masyarakat. Setelah melakukan koordinasi, Bapel melakukan konfirmasi dan menerbitkan persetujuan teknis atas inisiatif tersebut. Persetujuan teknis diteruskan untuk dituangkan dalam Nota Kesepakatan yang ditandatangani oleh Swasta dan Bapel. Kesepakatan tersebut dapat dipakai sebagai acuan oleh pihak swasta untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga, dan Bapel dapat melaporkan jumlah dana ke Departemen Keuangan untuk dicatat dalam register. Pada tahap implementasi, Bapel, Pemda dan swasta bersama-sama terlibat melaksanakan kegiatan. Setelah implementasi selesai, Departemen Keuangan mencatat sebagai penerimaan negara. Untuk monitoring, dilakukan oleh semua pihak yang terkait, termasuk Departemen Keuangan.
7 - 13
Diagram 4: Prosedur Bantuan Swasta Dalam Membangun Kembali NAD Donor
Bapel
Inisiatif
Inisiatif
Pemda
Depkeu
Inisiatif
Usulan Konfirmasi
Persetujuan Teknis
Memorandum of Understanding
Kontrak dng Pihak ke III
Pembayaran
Laporan Jumlah Dana
Implementasi
Implementasi
Register
Implementasi Pencatatan Sbg Penerimaan Negara
Monitoring
7 - 14
Bab 8 Pendanaan Hasil kajian awal yang dilakukan oleh Bappenas bersama Bank Dunia, perkiraan kerusakan dan kerugian (loss and damage assessment) yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami mencapai sekitar Rp. 41,40 triliun yang terdiri dari kerusakan di berbagai sektor mencapai Rp. 27,19 triliun dan kerugian sebesar Rp 14,21 triliun. Jumlah kerusakan dan kerugian tersebut hampir sebanding dengan lima kali APBD provinsi NAD dan seluruh kabupaten/kota. Pada tahap tanggap darurat yang merupakan kegiatan awal dan usaha penyelamatan (rescue), dan merupakan kegiatan yang sangat sulit dilaksanakan akibat kelangkaan berbagai sumber daya, secara kasar diperkirakan memerlukan dana tidak kurang dari Rp. 5,1 triliun. Pada tahap ini sumber bantuan datang dari berbagai pihak mulai dari masyarakat dan dermawan setempat, sampai kelompok-kelompok masyarakat, yayasan, LSM, badan usaha, hampir dari seluruh Indonesia, baik dalam bentuk bantuan dana maupun bantuan tenaga secara fisik. Bantuan juga berupa upaya-upaya kreatif berbentuk koordinasi bantuan. Bantuan secara nyata juga dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian yang telah mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk usaha penyelamatan, pembersihan, dan mengatasi keadaan darurat. . Sumbangan secara nyata juga dilakukan oleh berbagai lembaga/institusi internasional, mulai dari kapal induk dan beberapa helikopter milik pemerintah Amerika beserta ratusan tentaranya. Aparat militer juga hadir dari Australia, Inggris, Perancis, dan berbagai negara eropa lainnya. Banyaknya bantuan dari negara sahabat, dan negara sesama anggota ASEAN hampir seluruhnya memberikan bantuan pada tahap ini. Kelompok masyarakat baik yang berbentuk Non Government Organization (NGO) internasional atau kelompok khusus kemanusiaan yang juga terlibat dan membantu dalam tahap tanggap darurat ini bahkan mencapai lebih dari 300 organisasi/lembaga. Ratusan ribu jiwa yang meninggal dan hilang tidak akan pernah tergantikan, namun upaya untuk mewujudkan masyarakat dan lingkungan yang lebih baik, harus menjadi agenda rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Pembangunan kembali provinsi NAD dan Nias, termasuk rekonsiliasi dari luka lama, sehingga terwujud masyarakat yang lebih sejahtera, aman dan bebas dari rasa takut. Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi kebutuhan pendanaan akan jauh lebih besar dibanding dengan pendanaan pada tahap tanggap darurat. Dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi kebutuhan dana yang paling besar adalah untuk keperluan pembangunan sarana dan prasarana (infrastruktur), pembangunan sektor sosial, pembangunan sektor produktif (ekonomi), dan sektor-sektor lainnya. Sebagaimana dimaklumi, mengingat besarnya korban jiwa akibat bencana gempa dan tsunami, pembangunan kembali sarana dan prasarana yang baru tentu akan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini, baik dari segi jumlah penduduk yang ada,
8-1
minat (preference) dari penduduk, kualitas layanan (pendidikan, kesehatan, layanan dasar dan layanan sosial lainnya) yang ingin diwujudkan, serta aspek pencegahan dan penanggulangan (prevention and mitigation) bencana serupa di waktu-waktu yang akan datang. Oleh karena itu, perkiraan kebutuhan pendanaan untuk pembangunan kembali mungkin berbeda dengan perkiraan dana kerusakan dan kerugian. 8.1
Kebutuhan Pendanaaan
Perkiraan kebutuhan pendanaan (need assestment) untuk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, dikumpulkan dengan dua cara. Pertama, perkiraan kebutuhan pendanaan yang berasal dari data yang dikumpulkan oleh Departemen/lembaga, yang dikumpulkan dengan melibatkan bantuan instansi terkait di daerah-daerah bencana. Kedua, perkiraan kebutuhan yang berasal dari Bappenas yang memperkirakan kebutuhan pendanaan untuk pembangunan kembali berdasarkan pada perencanaan tata ruang yang baru, kualitas layanan baru yang ingin diwujudkan, serta sarana dan prasarana baru untuk mendukungnya. Dengan membandingkan 2 (dua) pendekatan perhitungan tersebut, diharapkan terjadi pemeriksaan silang (cross check), dalam penentuan prioritas kegiatan, penentuan urutan (sequence) dari pelaksanaan kegiatan, serta integrasi kegiatan antar sektor, pada akhirnya dapat ditentukan jenis kegiatan beserta jumlah pendanaan yang diperlukan untuk setiap tahun anggaran selama 5 (lima) tahun (dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009).
Disamping itu, berdasarkan data perkiraan kebutuhan pendanaan dilakukan evaluasi berdasarkan prinsip-prinsip, sebagai berikut:
yang terkumpul,
1) Pemerintah hanya akan melakukan pembangunan kembali prasarana dan sarana pelayanan umum (public goods), seperti: jalan, jembatan, pelabuhan, sekolah, rumah sakit pemerintah, puskesmas, air bersih, listrik, dan sebagainya; 2) Pembangunan kembali sarana dan prasarana pelayanan umum yang rusak hanya dilakukan di daerah yang terkena bencana; 3) Kompensasi terhadap harta benda pribadi (private property), akan ditentukan secara khusus dan sumbangan dari pemerintah tidak cukup besar, seperti kompensasi terhadap rumah yang hancur total sebesar Rp 28 juta/keluarga dan terhadap rumah yang memerlukan rehabilitasi sebesar Rp 10 juta/keluarga; 4) Kompensasi terhadap aktivitas ekonomi (asset produktif), seperti: Ruko, bengkel, dan lain-lain: sebesar Rp. 2 juta untuk perseorangan, atau Rp. 15 juta perkelompok yang nanti bergulir; dan bantuan akses kepada sistem perbankan yang dipermudah; 5) Prosedur dan mekanisme pendanaan harus mengedepankan aspek transparansi, efisiensi, efektivitas yang tinggi, dan akuntabel. Berdasarkan perkiraan kebutuhan dana yang dilakukan oleh Bappenas, sebelum terjadinya gempa yang menimpa Pulau Nias dan Pulau Simeulue tanggal 28 Maret 2005, untuk membiayai rehabilitasi dan rekonstruksi dibutuhkan dana sebesar Rp 41,7 triliun. Berkenaan dengan terjadinya bencana gempa yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 yang menimpa Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Simeulue, telah
8-2
dilakukan penyesuaian terhadap besarnya kebutuhan dana, dan untuk itu diperkirakan tambahan kebutuhan dana sebesar Rp. 3.171,6 milyar. Di samping perlu juga di tambahkan kebutuhan pendanaan untuk keperluan Lintas Sektor yaitu komponen Pemulihan Ketertiban dan Kemanan sebesar Rp. 2.194,9 milyar serta kebutuhan dana komponen Bantuan Pemulihan Sarana Produktif Masyarakat Aceh dan Nias sebesar Rp. 1.638,0 milyar yang tidak tertampung dalam buku induk maupun buku rinci sebelumnya. Dengan demikian jumlah kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara setelah dilakukan penyesuaian akibat gempa tanggal 28 Maret 2005 seluruhnya berjumlah Rp. 48.767,8 milyar yang rincian per sektor dan komponennya dapat dilihat pada Tabel 8.1. Berdasarkan usulan Kementerian/Lembaga, kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi adalah sebesar Rp 58,3 triliun, dengan rincian untuk tahun 2005 sebesar Rp 5,1 triliun,tahun 2006 Rp 14,7 triliun, dan untuk tiga tahun berikutnya sebesar Rp 30,7 triliun (lihat Tabel 8.2).
8-3
Tabel 8.1 Perkiraan Kebutuhan Dana Rehabilitasi dan Rekontruksi (dalam miliar rupiah)
Sektor
Perkiraan Kerusakan dan Kerugian *) Privat Publik Total
Perkiraan Kebutuhan Pendanaan
300.0 84.0 216.0
2,508.0 1,110.0 622.0 776.0
2,808.0 1,194.0 838.0 776.0
14,564.0 8,295.7 2,095.1 4,173.1
Infrastructure Perumahan Perhubungan Telekomunikasi Energi Air Minum dan Sanitasi Prasarana Sumber Daya Air Prasarana lainnya
16,129.0 13,098.0 1,542.0 80.0 10.0 170.0 1,229.0
5,216.0 94.0 3,442.0 123.0 622.0 106.0 829.0
21,345.0 13,192.0 4,984.0 203.0 632.0 276.0 2,058.0 -
26,593.6 5,384.9 10,848.8 386.6 4,386.9 3,270.0 1,913.8 402.6
Sektor Produksi Pertanian dan Pangan Perikanan Industri dan Perdagangan Tenaga kerja UKM dan Koperasi Pariwisata
10,207.0 1,490.0 4,729.0 3,988.0
418.0 230.0 23.0 165.0
10,625.0 1,720.0 4,752.0 4,153.0
1,499.2 492.1 870.9 41.1 17.0 73.3 4.8
130.0
6,309.0 5,105.0 829.0 375.0
6,439.0 5,105.0 829.0 375.0
6,111.0 1,315.0 680.0 283.0 2,195.0 1,638.0
Sektor Sosial Pendidikan Kesehatan Agama dan kebudayaan
Lintas Sektor Lingkungan Hidup. Administrasi/Pemerintahan Hukum Ketertiban Keamanan Bantuan Sarana Produksi Perbankan
TOTAL
130.0
26,766.0
*) Sumber: World Bank
8-4
130.0
14,451.0
41,217.0
48,767.8
Tabel 8.2 Rekapituasi Usulan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Yang Diajukan oleh Kementerian/Lembaga Usulan Tanggap Darurat Rehabilitasi/Rekonstruksi Total
2005 5,1 7,8 12,9
2006 14,7 14,7
(dalam triliun rupiah) 2007-2009 Total 5,1 30,7 53,2 30,7 58,3
Perkiraan kerusakan dan kerugian dihitung secara menyeluruh, meliputi sarana dan prasarana umum, serta harta benda perseorangan (private property). Jumlah kebutuhan pendanaan, belum termasuk kebutuhan yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang juga harus diperhitungkan. Terhadap kebutuhan pendanaan untuk pembangunan kembali yang diusulkan departemen/lembaga pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, selama lima tahun perlu dilakukan penilaian kembali, antara lain dengan mempertimbangkan: (1) (2) (3) (4) 8.2
masih adanya overlapping antar departemen/lembaga; kemampuan penyerapan; skala prioritas; dan berdasarkan ketersediaan dana. Sumber-Sumber Pendanaan
Melihat kebutuhan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedemikian besar dibandingkan dengan kemampuan keuangan negara yang sangat terbatas, maka kebijaksanaannya adalah mendayagunakan semua potensi sumber pendanaan yang tersedia, yang secara garis besar terdiri dari dana APBN, APBD, hibah (grant), serta dana yang berasal dari masyarakat 8.2.1 Dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam penanganan bencana nasional, pemerintah perlu mengalokasikan dana secara khusus untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di provinsi NAD dan Nias. Potensi sumber dana yang berada dalam APBN terdiri dari: (1) dana rupiah murni; (2) hibah luar negeri baik yang bersifat bilateral maupun multilateral; (3) realokasi atau reprogramming dana pinjaman luar negeri yang sedang berjalan dialihkan untuk provinsi NAD dan Nias; (4) pinjaman luar negeri baru (apabila diperlukan); serta (5) penundaan dana pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri akibat moratorium di Paris Club. Dana rupiah murni, dalam APBN 2005 dana rupiah murni yang bisa digunakan untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain berasal dari dana cadangan umum sebesar Rp. 2 triliun, dana hasil moratorium (Paris Club) sebesar
8-5
Rp. 3.9 triliun. Di samping itu juga terdapat dana Departemen/Lembaga yang berada di provinsi NAD dan Nias baik berupa dana dekonsentrasi, tugas pembantuan maupun dana instansi pusat yang kewenangannya tidak didesentralisasikan seperti bidang agama, bidang peradilan serta bidang keuangan. Untuk kebutuhan tahun anggaran 2006 dan tahun-tahun berikutnya dana kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi akan langsung dimasukkan rancangan APBN. Hibah luar negeri, terdiri dari hibah yang berasal dari negara-negara dan lembaga donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) telah menyampaikan kesediaan dan memberikan janji (pledge) bantuan sekitar Rp 15.7 triliun yang terdiri dari : 1. Donor Bilateral Rp. 8,0 triliun; 2. Donor Multilateral Rp. 7,7 triliun Berdasarkan penyalurannya, jumlah dana itu akan disalurkan dalam APBN on-budget sebesar Rp. 9,1 trilun, dan sisanya sebesar Rp. 6,6 triliun akan disalurkan secara offbudget. Saat ini sudah dapat direalisasikan hibah dari Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar US$ 300 juta. Jumlah hibah tersebut akan bertambah setelah negara donor maupun lembaga internasional melakukan need assessment. Pemberi hibah juga akan memberikan hibah setelah Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi provinsi NAD dan Nias selesai. Hibah dari swasta/masyarakat bersumber dari perusahaan, Non Government Organization (NGO), perorangan dan sumber lain. Perkiraan dana hibah yang bersumber dari Swasta/masyarakat diperkirakan sebesar Rp.13.50 triliun Penggalangan dana untuk membantu korban tsunami dilakukan di berbagai negara. Dana yang terkumpul dari swasta dapat lebih besar lagi dengan adanya upaya penggalangan dana dari swasta/masyarakat yang akan dilakukan melalui Private Sector Summit on Post Tsunami Reconstruction Program pada bulan Mei 2005. Oleh karena itu, pemerintah menyediakan keikutsertaan swasta dan masyarakat dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi agar tercipta dan terjamin akuntabilitas, efektivitas, transparansi dalam penyaluran dan penggunaannya. Realokasi dana pinjaman luar negeri, Realokasi pinjaman luar negeri dari Islamic Development Bank, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk proyek-proyek yang sedang berjalan merupakan salah satu sumber pendanaan untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Realokasi dilakukan tanpa merugikan pembangunan daerah/provinsi lain. Dana yang direalokasi adalah dana yang belum dialokasikan untuk kegiatan tertentu (unallocated), serta dana dari sisa pinjaman yang tidak terpakai. Dana pinjaman yang tersedia untuk direalokasi per tanggal 15 Maret 2005 sebesar .Rp. 2,49 triliun. Pinjaman Luar Negeri baru Dengan pendanaan yang begitu besar, serta ketersediaan dana dari hibah dan dana dalam negeri yang terbatas, maka pinjaman luar negeri terutama yang sangat lunak menjadi salah satu sumber dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa pinjaman sangat lunak yang sudah disepakati, diantaranya dari Pemerintah Australia sebesar A$ 500 juta, dengan masa pengembalian selama 40 tahun, tenggang waktu pembayaran (grace period) selama 10 tahun, dan bunga 0%. Moratorium merupakan salah satu sumber pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahun anggaran 2005. Paris Club pada sidang tanggal 9 Maret 2005
8-6
telah memutuskan untuk memberikan moratorium utang kepada negara yang terkena bencana tsunami sampai dengan 31 Desember 2005. Indonesia mendapatkan moratorium sebesar Rp. 3,9 triliun. Pembayaran hutang yang jatuh tempo tahun ini ditangguhkan selama 5 tahun dengan masa tenggang satu tahun. Dengan adanya moratorium tersebut, Pemerintah Indonesia pada tahun anggaran 2005 dapat memiliki ruang gerak yang lebih lapang untuk penyediaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Meskipun demikian moratorium tersebut adalah penundaan beban, oleh karena itu pemerintah harus mempertimbangkan beban anggaran pada saat penundaan tersebut jatuh tempo. Pemerintah Indonesia telah menyatakan persetujuannya untuk menerima tawaran moratorium tersebut. Dengan diterimanya moratorium tersebut, maka pemerintah Indonesia akan kehilangan sebagian hibah dari beberapa negara donor sebagai trade off atas fasilitas moratorium, diantaranya pemerintah Indonesia akan kehilangan hibah dari Amerika Serikat sebesar Rp. 270 miliar. 8.2.2 Non APBN Dari berbagai sumber pendanaan terdapat sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat, lembaga donor dan dunia usaha yang bermaksud membantu pendanaan rehabilitasi dan rekontruksi wilayah Aceh dan Nias dengan cara langsung melaksanakan suatu kegiatan tertentu tanpa melalui APBN (off budget). Meskipun pendanaan rehabilitasi dan rekontruksi menerapkan prinsip on budget, namun sumbangan secara langsung dari masyarakat, lembaga donor dan dunia usaha perlu difasilitasi. Untuk itu tatacara yang selama ini telah dilakukan dalam Program Partnership yang dikelola oleh UNDP dapat digunakan sebagai model. 8.3
Mekanisme Pengelolaan Pendanaan
Pada dasarnya mekanisme dan prosedur pendanaan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias mengikuti prosedur baku pendanaan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan serta aturan pelaksanaan yang terkait dengan undang undang dimaksud. Mekanisme pendanaan yang akan menggunakan APBN, baik rupiah murni maupun pinjaman dilakukan dengan mekanisme yang baku sesuai aturan yang telah ditetapkan Departemen Keuangan. Namun demikian untuk memperlancar rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilaksanakan langkah-langkah percepatan antara lain: percepatan penyelesaian administrasi dokumen anggaran, percepatan pembayaran melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Khusus untuk melayani pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias. KPPN tersebut juga akan melakukan fungsi pembayaran valuta asing. . Badan Pelaksana (Bapel) yang dibentuk merupakan satuan kerja (satker), dan menjadi pengguna anggaran dengan yang mempunyai dokumen anggaran (DIPA) tersendiri. Mengingat DIPA dalam rangka Rehabilitasi dan rekonstruksi ada pada Bapel, maka pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penendatanganan kontrak dilakukan oleh
8-7
Bapel. Bapel berwenang untuk melaksanakan proyek –proyek pada berbagai sektor yang utama dan strategis (flagship) serta seluruh proyek yang lintas sektor.
ALUR PENDANAAN R2WANS Non APBN
Pemerintah Pusat APBN
DAK DAU Bagi Hasil
DIPA Bapel DIPA Rekon
DAK/Dana Darurat
BADAN PELAKSANA
DIPA Grant
Pemerintah Daerah APBD
Rehabilitasi & Rekonstruksi Sektoral
Pengeluaran Rutin
Proyek Strategis
Rehabilitasi & Rekonstruksi
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Bagi Hasil yang ada di APBD akan langsung dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi NAD dan masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota. Perencanaan dan pemanfaatan dana tersebut tetap dilaksanakan sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah, namun untuk kegiatan tertentu yang sejenis dengan pekerjaan yang dilaksanakan Bapel, perlu dilakukan langkah-langkah koordinasi dengan Bapel. Untuk penyaluran dana hibah, dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi provinsi NAD dan Nias, Pemerintah Indonesia telah membuat kesepakatan dengan donor/lender untuk memperpendek prosedur dan mempercepat proses, sehingga dana hibah dapat segera dilaksanakan dengan lebih cepat. Setelah melakukan perkiraan kebutuhan berdasarkan Rencana Induk di bawah koordinasi Bappenas, para donor akan membuat dokumen kesepakatan, seperti: Grant Agreement atau Memorandum of Understanding, Exchange of Notes atau sejenisnya. Berdasarkan dokumen kesepakatan tersebut, proyek dapat segera melaksanakan kegiatannya. Dokumen kesepakatan tersebut seyogyanya dicatatkan (registered) kepada Departemen Keuangan, dan ditembuskan kepada Bappenas dan Sekretariat Kabinet. Setiap Instansi akan mengeluarkan persetujuan sesuai dengan kewenangannya dan sejalan dengan pelaksanaan di lapangan. Khusus untuk barang impor harus
8-8
memperoleh pembebasan pajak dari Departemen Keuangan dengan rekomendasi dari Sekretariat Negara Bagan Alir Mekanisme Hibah Luar Negeri
Donor
Executing Agency/BAPEL
Bappenas
CCITC/Setkab
Departemen Keuangan
Need Assesment
Dokumen Pelaksanaan
cc
Persetujuan
Pembebasan Pajak dan Izin tinggal
Register
Pelaksanaan
Laporan Pelaksanaan
Pencatatan
. Alur persiapan, persetujuan dan pelaksanaan proyek/program sebagai berikut : (1) Proposal proyek/program disiapkan oleh Pemerintah Indonesia; (2) Steering Committee mengevaluasi usulan proyek/program dan memberikan persetujuan; (3) trustee melakukan penilaian (appraisal); Perjanjian hibah antara Trustee dan Pemerintah indonesia. Penampungan hibah dari Swasta (private)/masyarakat, sesuai dengan surat Menteri Keuangan No. S-24/MK.06/2005 tanggal 18 Januari 2005. Menteri Keuangan telah membuka 4 (empat) rekening di bank Indonesia untuk menampung hibah dari luar negeri dan masyarakat dalam negeri dalam mata uang Rupiah (No. Rek 510.000.272), Dollar Amerika Serikat (No. Rek 602.074.411), Japanese Yen (No. Rek. 602.075.111) dan Euro (No. Rek. 602.076.991). Apabila swasta dalam dan luar negeri yang bermaksud memberikan bantuan hibah dapat disetorkan langsung ke rekening tersebut diatas. Namun demikian, apabila tidak bersedia untuk menyetorkan dananya, maka swasta/masyarakat dapat melaksanakan sendiri, dengan ketetentuan bahwa kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan harus sudah dikonsultasikan dan disetujui oleh
8-9
Bapel untuk memastinkan kegiatan tersebut sesuai dengan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi provinsi NAD dan Kabupaten Nias.
8.4
Pengadaan Barang dan Jasa
Mekanisme dan prosedur pengadaan barang/jasa (procurement) dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumatera Utara, pada prinsipnya mengikuti Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003, tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. Beberapa perubahan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003, khusus untuk pelaksanaan kegiatan di propinsi NAD dan di Kabupaten Nias, perlu dilakukan untuk memberikan keleluasaan bagi para pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran mempercepat pelaksanaan kegiatannya, serta memberikan beberapa kemudahan dan fleksibiltas, dengan tidak mengabaikan prinsip efisien, transparan, persaingan yang adil, serta akuntabel. Beberapa perubahan dan penyesuaian yang diperlukan meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar untuk melakukan penyesuaian paket-paket kontrak kegiatan sesuai dengan kondisi lapangan. Disamping itu, diberikan wewenang yang lebih besar untuk hal-hal yang batasannya telah ditentukan. Perubahan ketentuan juga diberikan untuk meningkatkan peran pemantauan dan pengawasan dalam rangka mengurangi potensi penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Pengadaan barang/jasa untuk setiap paket kegiatan pada prinsipnya harus dilaksanakan oleh pengguna anggarana atau di instansi yang memegang dokumen anggaran. Penentuan instansi sebagai pengguna anggaran (pemegang dokumen anggaran) akan segera ditetapkan sesuai dengan kewenangan yang telah digariskan oleh aturan perundangan yang berlaku. Dengan pelaksanaan pengadaan sesuai dengan kewenangan, maka penyedia barang/jasa setempat mempunyai kesempatan yang terbuka untuk berpartisipasi dalam berkompetisi melaksanakan pekerjaan. Ketelibatan penyedia barang/jasa setempat dianggap mempunyai keunggulan komparatif yang diantaranya pengenalan medan, penggunaan tenaga dan sumber daya lokal, dan budaya setempat lainnya. Meskipun demikian apabila dianggap, pelaksanaan pengadaan barang/jasa tidak mungkin dapat dilakukan di daerah bencana, maka Menteri/Ketua Lembaga atau Ketua Bapel sebagai Pengguna Anggaran dapat menetapkan lokasi pengadaan barang/jasa di tempat lain. Di samping penyederhanaan beberapa prosedural, dan penyingkatan waktu, saat ini sedang dipersiapkan dokumen pengadaan barang/jasa yang seragam untuk berbagai sumber pendanaan, baik pendanaan yang berasal dari luar negeri maupun pendanaan yang berasal dari dalam negeri. Dalam mempersiapkan penyeragaman dokumen tersebut, telah dijalin koordinasi dengan beberapa lender/donor, diantaranya: Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JBIC. Atas pertimbangan hal tersebut di atas khusus untuk pengadaan barang/jasa di propinsi NAD dan Nias, untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, diusulkan dibuat Peraturan Presiden yang baru, tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Untuk
8 - 10
Penanganan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di propinsi NAD dan Kabupaten Nias. Namun perlu dicatat bahwa pengaturan baru diluar Keppres 80 Tahun 2003 tersebut hanya berlaku di daerah propinsi NAD yang terkena bencana dan Nias, dan hanya berlaku selama 5 (lima) tahun.
8 - 11
Bab 9 Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kelola Yang Baik dan Pengawasan Pelaksanaan Untuk menjamin keberhasilan pencapaian tujuan/sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, Sumatera Utara serta untuk menghindarkan terjadinya korupsi dan penyimpangan lainnya, harus diterapkan prinsip-prinsip tata-kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan mencakup tindakan preventif dan represif terhadap korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya. Langkah preventif berupa penerapan prinsip-prinsip tata-kelola yang baik dengan 4 (empat) prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan penegakan hukum dan sejalan dengan prinsip tata kelola lainnya yaitu amanah, jaminan keadilan, berorientasi kesepakatan, responsif, berhasil guna dan berdaya guna. Sedangkan langkah represif berupa pengawasan terhadap pelaksanaan rencana induk (R3WANS). Pedoman ini hanya mengatur pengawasan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) termasuk Satuan Pengawas Internal pada Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi serta mendorong pengawasan oleh masyarakat umum dan stakeholders. Adapun pengawasan/pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR dan DPRD Provinsi/ Kabupaten/Kota terhadap pelaksanaan rencana induk ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.1.
Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kelola yang Baik
Seluruh pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan NiasSumatera Utara oleh Badan Pelaksana atau instansi/lembaga lain dibawah koordinasi Badan Pelaksana harus menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, untuk itu, perlu disusun sistem manajemen yang dapat mendorong terwujudnya transparansi dan partisipasi publik, akuntabilitas, taat asas, serta prinsip-prinsip pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi lainnya. Lebih detail, unsur utama tata kelola pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah:
9.1.1 Penerapan Prinsip Akuntabilitas Akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan termasuk keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban berupa laporan pelaksanaan (akuntabilitas kinerja) secara periodik. Unsur-unsur pendukung akuntabilitas meliputi: 1) Penetapan Tujuan dan Sasaran yang jelas, baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Apabila dianggap perlu, Badan Pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi dapat menyusun visi dan misi yang jelas, sebagai acuan untuk menyusun tujuan dan sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi. 2) Struktur Kelembagaan yang solid untuk mendorong terwujudnya sistem manajemen yang efisien dan efektif guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. 3) Penetapan Kebijakan yang jelas dan terarah, konsisten dengan tujuan organisasi, tertulis, dan transparan. 4) Perencanaan yang realistis, terinci dan sesuai dengan kebutuhan, transparan dan partisipatif, akomodatif terhadap sosial budaya masyarakat setempat, dan merupakan penjabaran tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan Badan Pelaksana. 5) Penetapan Prosedur Kerja yang tepat dan jelas, mudah dilaksanakan, mudah dimengerti dan transparan, serta mempertimbangkan peraturan perundangan yang terkait. 6) Sumber Daya Manusia yang kompeten, profesional, dan bermoral. 7) Pelaksanaan Kegiatan yang efektif dan efisien, tertib administrasi, transparan, baik dalam pengadaan barang dan jasa, pengelolaan keuangan, pengelolaan barang inventaris, pengelolaan barang persediaan, maupun pengelolaan barang bantuan. 8) Sistem Pencatatan yang jelas, akurat, dan sederhana. 9) Satuan Pengawasan Internal yang independen tapi bertanggung jawab langsung kepada Badan Pelaksana. Laporan pelaksanaan (akuntabilitas kinerja) rehabilitasi dan rekonstruksi akan mengacu pada prinsip-prinsip objektifitas, transparansi, akurasi yang tinggi, serta profesionalisme yang dapat diandalkan.
9.1.2 Penerapan Prinsip Transparansi dan Partisipasi Penerapan prinsip transparansi dimaksudkan agar data/informasi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah NAD dan Nias-Sumatera Utara termasuk perumusan kebijakan dan pelaksanaan kerja organisasi, dapat diakses oleh publik. Transparansi menumbuhkan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, Badan Pelaksana (termasuk antar unit-unit internalnya), masyarakat dan stakeholders lainnya. Prinsip partisipasi dimaksudkan agar publik dapat berpartisipasi aktif dan konstruktif dalam pengambilan keputusan rehabilitasi dan rekonstruksi, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya,. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dalam menyampaikan pendapat demi keberhasilan pencapaian tujuan/sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi. Tiga faktor utama yang dapat mendorong dan mempercepat terwujudnya transparansi dan partisipasi di atas adalah: 1) ketersediaan data/informasi yang akurat, komprehensif, dan terkini; 2) kemudahan mengakses data/informasi; serta 3) keseragaman data/informasi yang disampaikan. Informasi dan kegiatan yang harus transparan meliputi pengelolaan dana yang meliputi sistem, jumlah dan sumber dana, serta penyalurannya; organisasi dan personal meliputi struktur, tugas, personal, dan sistem manajemennya; perencanaan meliputi rencana jangka pendek dan menengah; pelaksanaan meliputi progres report serta kendala yang dihadapi; pengadaan barang dan jasa meliputi informasi terpadu pelaksanaannya; dan penyaluran dana bantuan kemanusiaan meliputi jumlah dan nilai dana yang tersedia, kriteria dan jumlah penerima, sumber dan bentuk bantuan, serta mekanisme pertanggung jawaban. Dalam rangka transparansi dan partisipasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah NAD dan Nias-Sumatera Utara, diperlukan media interaktif dengan
9-2
mekanismenya yang jelas. Beberapa media yang dipandang efektif dan efisien, antara lain melalui Website (internet) rehabilitasi dan rekonstruksi yang dirancang secara terpadu untuk seluruh program, kotak pos pengaduan, telepon bebas pulsa, serta diskusi/pertemuan terbuka dengan publik dipimpin oleh Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi. Perlu dibentuk Tim atau Unit yang mengolah dan mempelajari masukan, kritik dan saran yang diterima dari publik. Tim akan mengevaluasi kelayakan informasi untuk ditindak lanjuti. Tanggapan, jawaban atau tindak lanjut dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja dan dimuat di website. Untuk pelaksanaan mekanisme ini diperlukan sarana dan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi yang memadai. Sedangkan untuk pengawasan yang dilaksanakan dalam bentuk forum pertemuan, pihak Badan Pelaksana memberikan tanggapan dan jawaban yang objektif dan bila diminta/diperlukan dapat disampaikan dalam bentuk jawaban/tanggapan tertulis.
9.1.3 Penerapan Prinsip Penegakan Hukum Apabila terjadi korupsi atau penyimpangan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara, perlu segera dilakukan tindakan perbaikan, tindakan administratif dan/atau sanksi pidana. Untuk menjamin diterapkannya prinsip di atas, tindak lanjut atas rekomendasi hasil pengawasan/audit harus dilakukan secara transparan dan konsisten sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Badan Pelaksana akan menerima pengaduan dan masukan dari semua komponen masyarakat tentang pelaksanaan dan kinerja program/kegiatan, baik yang dilakukan oleh Badan Pelaksana sendiri atau oleh pihak lain dibawah koordinasinya (dinas, kementerian/LPND, LSM, pihak swasta). Badan Pelaksana mempunyai wewenang untuk menindaklanjuti berbagai pengaduan melalui jalur hukum.
9.1.4 Pelaporan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Pelaksana menyusun dan menyampaikan laporan (akuntabiltas kinerja) tentang pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Badan Pelaksana wajib menyusun Laporan Triwulanan dan Laporan Tahunan yang disampaikan kepada Presiden, Gubernur NAD dan atau Gubernur Sumut, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengarah, serta Menteri dan Lembaga lainnya yang terkait. Kedua laporan disusun secara berjenjang mulai dari penanggung jawab/ unit pelaksana program, pimpinan unit hingga jenjang Pimpinan Badan Pelaksana. Laporan pelaksanaan (akuntabiltas kinerja) rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara mengacu kepada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Konsisten dan menggambarkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan auditable. 2. Obyektif, komprehensif, informatif dan akurat. 3. Didukung dengan bukti-bukti yang cukup, relevan, kompeten (berkesesuaian), dan materil. 4. Menunjukkan tingkat pencapaian kinerja atau tujuan/sasaran yang telah ditetapkan, termasuk tingkat keberhasilan dan/atau kegagalan dalam pencapaian tujuan/ sasaran yang telah ditetapkan. Sedangkan materi laporan sekurang-kurang mengenai: 1. Tingkat kemajuan/pencapaian kinerja tujuan/sasaran yang telah ditetapkan.
9-3
2. 3. 4. 5.
Realisasi/pertanggunggjawaban keuangan/pembiayaannya. Pengelolaan barang inventaris/persediaan/bantuan. Kendala/permasalahan yang dihadapi dan penanganan/penyelesaiannya. Pengaduan masyarakat dan stakeholders lainnya serta tindak lanjutnya.
9.2
Pengawasan Terhadap Pelaksanaan
Pengawasan terhadap Badan Pelaksana adalah untuk meningkatkan kinerja, memberikan informasi yang independen atas kinerja, serta untuk mengarahkan manajemen dalam mengkoreksi masalah-masalah pencapaian kinerja. Badan Pelaksana harus dapat berpartispasi penuh untuk kelancaran dan berhasil gunanya pengawasan tersebut. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), masyarakat, dan lembaga lainnya merupakan mitra bagi Badan Pelaksana untuk mencapai tujuan/target pengawasan yang telah ditetapkan.
9.2.1 Lembaga Pengawasan Program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara merupakan program lintas sektoral dengan lokasi yang tersebar di beberapa kota/kabupaten, disamping itu, instansi/lembaga/pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan cukup beragam di lingkungan APIP yaitu: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian atau Inspektorat LPND, Bawasda Provinsi, Bawasda Kota/Kabupaten, Unit Pengawasan di POLRI, Unit Pengawasan di TNI, dan Satuan Pengawas Internal. Lembaga, instansi dan pihak-pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi, antara lain adalah, unsur Pemda (Provinsi/Kabupaten/Kota) lainnya di luar Bawasda, Dewan Pengawas, Badan Pengawas Penguasa Darurat Sipil Daerah (NAD), Tim Pengawas Operasi Terpadu (TPOT), pengawasan dari masyarakat luas, LSM, media massa, yang tidak menjadi anggota dari Dewan Pengawas, serta kantor akuntan publik atau independent auditors (seperti McKinsey untuk bidang akuntabilitas, dan Ernst and Young untuk masalah pemeriksaan keuangan) atas permintaan Dewan Pengawas dan donors. BPK, KPK, DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan pengawasan/ pemeriksaan terhadap pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Karena itu, hal-hal tersebut tidak dapat diatur dalam buku pedoman ini.
9.2.2 Koordinasi Pengawasan Mengingat banyaknya APIP yang berpotensi untuk melaksanakan pengawasan pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara diharapkan terciptanya sistim koordinasi pengawasan, sehingga dapat dihindarinya audit yang tumpang tindih. Untuk itu, harus dilakukan pertemuan secara berkala antar APIP melalui forum koordinasi baik pada tahap perencanaan pengawasan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Dengan adanya forum koordinasi tersebut diharapkan dapat terkompilasi hasil pengawasan dari APIP dan lembaga lainnya. Untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan forum koordinasi, dapat ditunjuk koordinator yang disepakati bersama.
9-4
9.2.3 Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengawasan Pengawasan/audit dikatakan berakhir apabila seluruh rekomendasi audit telah ditindaklanjuti oleh unit/pihak yang terkait di lingkungan Badan Pelaksana. Pengawasan/audit dapat bersifat current audit (ex-ante) dan post audit (ex-post). Dalam rangka membantu kelancaran pelaksanaan audit dan tindak lanjutnya, seluruh jajaran Badan Pelaksana hendaknya mengetahui dan berpartispasi aktif dalam setiap tahap/proses kegiatan pengawasan yang terdiri dari pelaksanaan uudit, pelaksanaan tindak lanjut, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak lanjut, serta tindak lanjut atas penyimpangan yang melanggar peraturan dan prosedur. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga lainnya pada umumnya tidak terstruktur seperti pengawasan yang dilakukan oleh APIP. Bentuk partisipasi dan kemitraan oleh Badan Pelaksana adalah dalam bentuk tanggapan berupa upaya tindak lanjut yang sudah atau yang akan dilakukan melalui media interaktif. Dalam hal penyimpangan terhadap peraturan/prosedur kepentingan pencapaian kinerja program/kegiatan dan tidak merugikan pihak manapun, karena tidak sesuai dengan kondisi dan hampir mustahil untuk dialksanakan, maka perlu ditindaklanjuti dengan pengkajian/penelaahan terhadap peraturan/prosedur tersebut. Untuk melakukan pengkajian/penelaahan tersebut perlu dibentuk semacam Komisi/Panitia. Untuk tingkat Provinsi NAD anggotanya ditetapkan oleh Gubernur dari unsur Pemerintah Daerah NAD, DPRD, LSM yang bergerak di bidang anti-korupsi, lembaga keagamaan, lembaga akademik/profesional (misalnya Ikatan Akuntan Indonesia), unsur swasta, dan pihak-pihak lainnya yang relevan.
9.3
Sanksi
Penyimpangan terhadap prosedur dan ketentuan yang telah diuraikan dalam pedoman ini dan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara yang berakibat pada kerugian negara dan tidak tercapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundanganundangan yang berlaku. 9.4
Review Berkala
Pedoman ini dapat disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di lapangan sepanjang bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran/target program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Penyempurnaan tersebut termasuk juga penyusunan prosedur kerja dan format yang diperlukan sesuai kebutuhan. Diharapkan penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi tidak hanya untuk keberhasilan program/kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, tetapi juga dapat turut mendorong atau memberikan kontribusi bagi penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai good governance dalam penanggulangan bencana alam di wilayah lainnya; dan penerapan prinsip-prinsip good governance di lingkungan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Aceh dan Sumatera Utara pada khususnya, serta lingkungan pemerintahan pada umumnya.
9-5
Bab 10 Kelembagaan Dalam membangun kembali secara cepat wilayah Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami, diperlukan penanganan dengan cara khusus yang cepat, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh dengan melibatkan partisipasi luas para pemangku kepentingan (stakeholders), dan memperhatikan aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat setempat. Untuk melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Kepulauan Nias-Sumatera Utara secara efektif dan efisien, diperlukan suatu badan rehabilitasi dan rekonstruksi yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi, guna melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan berdasarkan asas tata kepemerintahan yang baik, berhasil guna, transparan dan akuntabel. Badan tersebut dalam menjalankan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi berpedoman pada Rencana Induk yang telah ditetapkan dan menjabarkannya secara lebih operasional dan detail sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan dan prioritas kebutuhan masyarakat setempat. 10.1
Struktur Kelembagaan/Organisasi
Pembentukan badan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Kepulauan NiasSumatera Utara berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Secara fungsional, terdapat tiga kelengkapan organisasi yang ada dalam struktur badan rehabilitasi dan rekonstruksi, yakni: (a) Dewan Pengarah, (b) Dewan Pengawas, dan (c) Badan Pelaksana. a. Dewan Pengarah Dewan pengarah adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan rekonstruksi yang memiliki fungsi pengarah, mengemban tugas memberikan arahan dalam perumusan, perencanaan, dan pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Anggota Dewan Pengarah merupakan representasi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) seperti dari unsur masyarakat, unsur akademisi/perguruan tinggi, unsur pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta unsur lain yang dapat mendukung fungsi pengarah. Anggota Dewan Pengarah bertanggung jawab untuk meyakinkan bahwa aspirasi berbagai pihak yang diwakilinya telah menjadi acuan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Dewan Pengarah memberikan laporan atas pelaksanaan tugas-tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia.
b. Dewan Pengawas Dewan pengawas adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan rekonstruksi yang memiliki fungsi pengawas, mengemban tugas antara lain (i) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi; (ii) menerima dan menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat; (iii) melakukan audit pelaksanaan tugas Badan Pelaksana. Dalam melakukan audit dan membantu pelaksanaan tugas-tugasnya, Dewan Pengawas dapat menggunakan jasa profesional auditor independen atau tenaga ahli lainnya. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut, dilaporkan secara berkala kepada Presiden. Para anggota Dewan Pengawas berasal dari individu-individu yang memiliki pemahaman memadai di bidang pengawasan, yang terdiri dari unsur-unsur tokoh nasional dan tokoh masyarakat Aceh yang independen. Selain itu, dimungkinkan dari perwakilan negara/lembaga donor masuk dalam keanggotaan Dewan Pengawas. Untuk menjamin dan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, maka hasil-hasil pengawasan yang telah dilakukan terbuka bagi publik untuk mengakses. c. Badan Pelaksana Badan pelaksana adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan rekonstruksi yang memiliki fungsi pelaksana, mengemban tugas antara lain (i) merumuskan strategi dan kebijakan operasional; (ii) menyiapkan rencana tindak dan melaksanakan kegiatan; (iii) melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk proyek tertentu sesuai kesepakatan instansi/institusi lainnya; dan (iv) memastikan penggunaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan dengan menjunjung tinggi integritas dan bebas dari tindak pidana korupsi. Untuk mengefektifkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan pencapaian target/sasaran yang telah ditetapkan khususnya yang digariskan dalam rencana induk dan rencana rinci pada masing-masing bidang rehabilitasi dan rekonstruksi, maka struktur organisasi Badan Pelaksana dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan optimalisasi kinerja pelaksanaan. Badan Pelaksana disamping mengemban tugas-tugas sebagaimana tersebut di atas, mempunyai kewenangan antara lain; (i) mengelola pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara; (ii) mengelola sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia maupun keuangan untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi; (iii) menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi; dan (iv) meminta bantuan berupa informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak yang terkait lainnya, dan (v) mengorganisasikan dan mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait lainnya. Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pelaksana tersebut mengacu pada rencana induk dan rencana rinci rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara yang disusun oleh Pemerintah bersama dengan Pemerintah Daerah. Selain itu,
10 - 2
dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, perlu memperhatikan masukan-masukan dari pihak-pihak di tingkat daerah, nasional maupun internasional khususnya dalam menangani permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan. Mengingat bahwa wilayah Nagroe Aceh Darussalam memiliki status otonomi khusus maka ketentuanketentuan dan norma-norma umum yang berlaku di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam wajib diperhatikan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk menggerakkan dan melaksanakan tugas-tugas dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi secara cepat, terarah, terpadu dan komprehensif, maka perlu didukung sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki kapabilitas tinggi dan kompetensi yang relevan serta integritas yang tinggi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk mendukung hal ini, maka Badan Pelaksana dapat melakukan rekruitmen pegawai sesuai dengan kebutuhan. Proses rekruitmen pegawai harus dilakukan secara profesional dan obyektif. 10.2
Tata Kelola Yang Baik (Good Governance)
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatra Utara, harus dilandasi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipatif, independensi dan mendahulukan kepentingan umum. Penerapan prinsip-prinsip tersebut, untuk menjaga kredibilitas di mata rakyat Indonesia dan dunia internasional, dan khususnya untuk memastikan bahwa pembiayaan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tepat sasaran sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance juga berlaku untuk seluruh pihak-pihak terkait, dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. 10.3. Hubungan Antar Lembaga Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias-Sumut dikhawatirkan menimbulkan kompleksitas hubungan antar lembaga, mengingat cakupan kegiatannya dimobilisasi secara masif dan cepat. Untuk itu diperlukan pengaturan hubungan antar lembaga agar proses pelaksanaannya tetap dapat terkoordinasi secara baik sesuai dengan lingkup tugas dan wewenang yang ada pada masing-masing lembaga/instansi terkait. Beberapa hal yang diatur antara lain sebagai berikut: (1)
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara harus dilakukan melalui koordinasi yang intensif dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang terkait. (2) Kegiatan dekonsentrasi oleh Departemen dan Kementrian Teknis yang terkait dengan kegiatan dan program rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pasca bencana dikoordinasikan dengan badan pelaksana yang menangani pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. (3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak yang terkait diwajibkan memberikan dukungan secara penuh kepada badan pelaksana yang menangani rehabilitasi dan rekonstruksi.
10 - 3
10.4. Pendanaan Pendanaan yang dibutuhkan untuk pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi berasal dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari dalam negeri seperti dana khusus untuk rehabilitasi dan dana perimbangan, sedangkan dari luar negeri seperti dari pinjaman luar negeri, hibah dan moratorium. Mengingat sifat urgensi dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, proses penyaluran dana-dana di atas dapat menggunakan prosedur khusus yang diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Pimpinan Badan Pelaksana. 10.5. Pertanggungjawaban dan Pelaporan Badan rehabilitasi dan rekonstruksi menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Presiden dan dilaksanakan dengan cara menerbitkan berbagai laporan dalam bentuk laporan semesteran, tahunan dan laporan akhir, serta menyediakan informasi laporan pertanggungjawaban kepada publik. Laporan tersebut sekurang-kurangnya memuat laporan pengelolaan kegiatan dan laporan pengelolaan keuangan dan anggaran. Laporan keuangan badan rehabilitasi dan rekonstruksi diaudit oleh auditor independen. Laporan Keuangan dan Laporan Kegiatan, beserta laporan auditnya dapat diakses oleh masyarakat luas.
10 - 4
STRUKTUR ORGANISASI BADAN REHABILlTASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERAUTARA
PRESIDEN DPR/DPD/DPRD (NAD/SUMUT) RENCANA INDUK
Dewan Pengawas
Badan Pelaksana Rehabilitasi dan rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan A Kepulauan Nias, Sumatera Utara
IMPLEMENTASI
10 - 5
Dewan Pengarah
Bab 11 Penutup Buku Utama Rencana Induk ini disusun bersama-sama dan dilengkapi dengan Buku Rencana berdasarkan bidang-bidang rehabilitasi dan rekonstruksi. Bukubuku rencana bidang tersebut dilampirkan bersama-sama serta merupakan bagian utuh yang tidak terpisahkan dari Buku Utama ini. Pelaksanaan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias ini dapat menghadapi potensi tantangan serta perlunya pengelolaan masa peralihan dari waktu ditetapkannya rencana ini sampai efektifnya tugas dan fungsi Badan Pelaksana. Setelah rencana induk ini ditetapkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia sebagai pedoman kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, selanjutnya buku ini akan menjadi pegangan dan acuan bagi Badan Pelaksana (BAPEL) Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, khususnya Badan Pelaksana Harian yang selanjutnya akan menjabarkan kebijakan, strategi, dan rencana-rencana yang ada ke dalam rencana aksi dan kegiatan-kegiatan rinci, sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan.