REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM MANDIRI PEDESAAN (Kasus: Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
FRISCA JOHAR I34070010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM MANDIRI PEDESAAN (Kasus: Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
FRISCA JOHAR I34070010
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT This research emerged from problems that occur in implementing the poverty alleviation program for women which launched by Indonesian government (SPP PNPM Mandiri Program). The study was conducted in Gunung Menyan village (West Java). There are 52 individual members of the group who followed the SPP PNPM Program become the respondents of this research. Loan misappropriation and arrears of installment payment are problems that occur in the SPP PNPM Mandiri Program implementation in Gunung Menyan Village. The behavior of program participants are influenced by how they understand the intent or purpose of the program, attitudes, perceptions, opinions, as well as their beliefs about the SPP PNPM Program implemented. These aspects are summarized in a social representations of the SPP PNPM Program. Based on these problems, research was done to investigate the social representations of SPP PNPM Program. The purpose of this study are: 1) identify the social representations of the SPP PNPM Program; 2) identify the correlation between the level of participant involvement with the realization of social representations SPP PNPM Program; and 3) identify the correlation between the social representations of SPP PNPM Program with behavior of program’s participants. Social representations SPP PNPM Program consists of four typologies, that are: 1) SPP PNPM as a loan, (2) SPP PNPM Program satisfactory, (3) loan fees of SPP PNPM worried, and (4) loan fees PNPM useful. Social representations of the SPP PNPM Program have no correlation with the level of involvement and intensity of communication participants in the program. In addition, social representations of the SPP PNPM Program related to the participants behavior in attending the program. Skills training, motivation, mental, and participatory control are advised to be implemented earnestly in order to increase economical independence of rural women. Keywords: SPP PNPM Program, problems, and social representations.
RINGKASAN FRISCA JOHAR. REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM MANDIRI PEDESAAN (Kasus: Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN Salah satu masalah khusus yang sedang berkembang di Indonesia adalah kemiskinan. Kemiskinanyang dihadapi tidak hanya sebatas kemiskinan secara ekonomi, akan tetapi juga bersifat non ekonomi, seperti terbatasnya akses terhadap pengetahuan dan keterampilan, produktivitas yang rendah, terbatasnya akses terhadap partisipasi dan pembangunan, dan lain sebagainya. Menyikapi hal tersebut, pemerintah mencanangkan program pengentasan kemiskinan yang salah satu diantaranya adalah Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM Mandiri Pedesaan yang berupa kegiatan pemberian pinjaman kepada kelompok perempuan sebagai tambahan modal usaha ekonomi. Pengimplementasian Program SPP PNPM tidak selalu berjalan mulus. Banyak terjadi permasalahan dalam pelaksanaan program SPP PNPM yaitu berupa kemacetan pengembalian pinjaman pada peserta program, penyalahgunaan pemanfaatan uang pinjaman, dan ketidaktepatan sasaran program. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi representasi Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan; 2) mengidentifikasi hubungan antara tingkat keterlibatan peserta program SPP PNPM Mandiri Pedesaan terhadap bentukbentuk representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan; serta 3) mengidentifikasi hubungan representasi sosial Program SPP
PNPM Mandiri
Pedesaan terhadap perilaku peserta program dalam memanfaatkan dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Unit analisis yang digunakan adalah individu peserta program yang menerima dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan, dengan populasi yang terdiri dari masyarakat Desa Gunung Menyan yang menjadi peserta Program SPP PNPM. Responden berjumlah 52 orang yang dipilih secara acak dari tiga belas kelompok perempuan penerima pinjaman SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang terdapat di Desa Gunung Menyan. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS for windows 13.0 dengan uji korelasi Chi-Square (x2). Representasi sosial Program SPP PNPM dapat dibedakan dalam empat tipe, yaitu: I) SPP PNPM adalah pinjaman, II) Program SPP PNPM memuaskan, III) pinjaman SPP PNPM mengkhawatirkan, dan IV) pinjaman SPP PNPM bermanfaat. Representasi sosial Program SPP PNPM yang terbentuk hanya secara umum atau representasi sosial komunitas, dan bukan secara khas dari setiap kelompok yang terlibat. Walaupun berada pada satu kelompok yang sama, representasi sosial program SPP PNPM yang terbentuk pada anggota kelompok berbeda-beda. Sebagian besar responden yang menjadi anggota kelompok peserta program merepresentasikan Program SPP PNPM sebagai pinjaman (65,45 persen). Representasi sosial “SPP PNPM sebagai pinjaman” tersebut masih dapat dibedakan lagi menjadi dua makna yang berbeda, yaitu makna “SPP PNPM sebagai Pinjaman” yang bermakna positif dan makna “SPP PNPM
sebagai
Pinjaman” yang bermakna negatif. Responden dengan representasi sosial “SPP PNPM sebagai Pinjaman” yang bermakna positif menganggap bahwa pinjaman harus dibayar secara teratur setiap bulannya, sedangkan responden pada representasi “SPP PNPM sebagai Pinjaman” yang bermakna negatif merasakan bahwa membayar pinjaman SPP sulit dan harus selalu memikirkan cara membayar cicilan karena mereka tidak memiliki uang. Responden pada masing-masing tipe representasi sosial mengenai program SPP PNPM memiliki beberapa perbedaan karakteristik, yaitu pada aspek usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan sumber penghasilan keluarga. Selain itu responden juga memiliki perbedaan dari segi tingkat keterlibatan terhadap program (terdiri dari tingkat partisipasi dan intensitas komunikasi), serta perilaku dalam mengikuti program. Sebagian besar responden memiliki tingkat partisipasi yang sedang dan intensitas komunikasi yang tinggi. Pada aspek perilaku sebagian besar responden berperilaku tidak patuh dalam mengikuti program, yaitu menggunakan uang pinjaman tidak sepenuhnya untuk memodali usaha mereka, membayar pinjaman dengan tidak tepat waktu (menunggak), dan terkadang membayar pinjaman tidak sesuai dengan jumlah yang ditetapkan.
Tingkat partisipasi tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial program SPP PNPM. Dengan demikian, hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara tingkat keterlibatan terhadap representasi sosial Program SPP PNPM” ditolak. Hubungan antara tingkat partisipasi dan representasi sosial Program SPP PNPM tidak memiliki pola yang jelas. Selain itu, intensitas komunikasi responden, yang sebagian besar memiliki intensitas komunikasi tinggi, juga tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial yang responden miliki mengenai program SPP PNPM. Hal tersebut terjadi karena tingginya intensitas komunikasi yang dimiliki sebagian besar responden dari masingmasing tipe representasi bukan disebabkan oleh seringnya mereka berdiskusi mengenai program, tetapi karena pada umumnya tiap-tiap anggota pada satu kelompok memiliki rumah yang berdekatan sehingga mereka sering berinteraksi satu sama lain. Meskipun tingkat partisipasi dan intensitas komunikasi tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial Program SPP PNPM, representasi sosial Program SPP PNPM
memiliki hubungan dengan perilaku responden dalam
mengikuti program. Dengan demikian, hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara representasi sosial program dengan perilaku responden dalam mengikuti program” diterima. Namun, faktor konteks nampaknya turut membentuk perilaku responden dalam mengikuti program. Kehidupan peserta program yang miskin mengakibatkan mereka sulit untuk tepat waktu dalam membayar pinjaman, meskipun mereka memahami bahwa dana SPP PNPM adalah pinjaman dan terdapat aturan-aturan dalam pengembaliannya.
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama
: Frisca Johar
NRP
: I34070010
Program Studi
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Representasi
Sosial
Program
Simpan
Pinjam
untuk
Kelompok Perempuan (SPP) PNPM Mandiri Pedesaan (Kasus: Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA NIP. 19591114 198811 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM MANDIRI PEDESAAN (KASUS: DESA GUNUNG MENYAN, KECAMATAN PAMIJAHAN, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 21Januari 2011
Frisca Johar I34070010
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Maret 1990 di Pekanbaru, Riau. Penulis adalah anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Ibu Hartini dan Bapak Jhonefri Rauf. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN 011 Langgini Bangkinang, Riau. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 2 Bangkinang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Bangkinang, Riau. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan pada tahun kedua penulis melanjutkan ke Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis juga mengikuti beberapa kegiatan non akademik. Penulis pernah menjadi anggota divisi Broadcasting Himasiera IPB dan
menjadi
Sekretaris
Jenderal
pada
organisasi
mahasiswa
daerah
HIKAPEMAKA Bogor. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Sosiologi Umum pada tahun 2009 sampai 2010 dan menjadi asisten dosen pada mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan pada tahun 2010.
Penulis Frisca Johar
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Sosial Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM Mandiri Pedesaan”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Setiap waktu menjadi tempat mengadu dan tak henti-hentinya bersyukur kepada-Nya 2. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA sebagai dosen pembimbing skripsi, yang selalu sabar memberikan bimbingan, waktu, pemikiran, motivasi, serta sarannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik, atas bimbingannya selama penulis kuliah di IPB. 4. Mama, Papa, Kak Vania Farahgita, SE, Adik ku Annisa Bella Johar, serta keluarga besar penulis yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, motivasi, dan doanya tanpa henti. 5. Rikky Arfrion yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, doa, dan semangat kepada penulis dalam segala hal. 6. Bu Nafsiyah, Tim Koordinator Desa PNPM Mandiri Pedesaan Gunung Menyan yang selalu memberikan bantuan kepada penulis saat penelitian. 7. Teman-teman kost Vivi, Emel, Fitri, Esy, Sarah
yang selalu setia
mendengarkan keluhan dan memberikan semangat kepada penulis. 8. Teman-teman sepermainan Intan, Ririn, Nenda, Pipit, Dina, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. 9. Teman-teman aksel seperjuangan Bio, Dina, Syifa, Lele, Nene, Mbak Yun, Zuhe, Maya, Aci, dan teman lainnya yang selalu membakar semangat agar skripsinya segera diselesaikan.
10. Rizqi Humaira, Asih, dan teman-teman KPM 44 yang selalu heboh dan memberikan semangatnya. 11. Teman-teman seperjuangan KKP di Pamijahan Ami, Kiky, Aci, Tami, dan Ima 12. Kak Nadra, Kak Ani, Kak Selly, dan kakak-kakak KPM 43 yang selalu memberikan masukan dan sarannya kepada penulis 13. Teman-teman Omda Hikapemaka dan IKPMR yang selalu memberikan kebahagian dan keceriaan kepada penulis 14. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, do’a, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak terkait.
Bogor, Januari 2011 Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1 1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang .............................................................................................................. 1 Perumusan Masalah .................................................................................................... 4 Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 4 Kegunaan Penelitian ................................................................................................... 5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS .......................................................................6 2.1 Tinjauan Pustaka .......................................................................................................... 6 2.1.1 Program Pengembangan Kecamatan (PPK) ........................................................ 6 2.1.1.1Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) ....................... 7 2.1.1.2Sosialisasi Program ................................................................................................... 10 2.1.1.3Fasilitasi dan Pelatihan………………………………... ................................ 11 2.1.2 Representasi Sosial .................................................................................................... 11 2.1.3 Permasalahan dan Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam Pengimplementasian Program Penanggulangan Kemiskinan ....................... 15 2.1.4 Partisipasi Masyarakat terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan . 16 2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................................. 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN...............................................................24 3.1 3.2 3.3 3.4
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................. 24 Teknik Pemilihan Responden ................................................................................ 25 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 25 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 26
BAB IV GAMBARAN UMUM ............................................................................28 4.1 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.2
Gambaran Umum Lokasi ........................................................................................ 28 Letak dan Keadaan Fisik ......................................................................................... 28 Keadaan Penduduk .................................................................................................... 30 Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan Penduduk .................................... 31 Pelaksanaan Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP PNPM ) di Desa Gunung Menyan ........................................................................ 33 4.2.1 Gambaran Umum Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan ......................................................................................................... 33
xiii
4.2.2 KARAKTERISTIK RESPONDEN PESERTA PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM DI DESA GUNUNG MENYAN ............ 42 4.2.2.1Jenis Kelamin Peserta Program SPP PNPM Di Desa Gunung Menyan...42 4.2.2.2Tingkat Usia Peserta Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan ....... 43 4.2.2.3Tingkat Pendidikan Peserta SPP PNPM Desa Gunung Menyan ................. 44 4.2.2.4Pekerjaan Peserta Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan ............. 45 4.2.2.5Status Perkawinan dan Jumlah Tanggungan Peserta SPP PNPM… . ........ 46 4.3 Keikutsertaan Peserta dalam Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan ......................................................................................................................... 47 4.3.1 Jumlah Waktu Perguliran yang Diikuti oleh Responden Peserta SPP PNPM di Desa Gunung Menyan .......................................................................... 47 4.3.2 Jumlah Dana Pinjaman yang Didapatkan oleh Responden Peserta SPP PNPM di Desa Gunung Menyan .......................................................................... 48 BAB V REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM .. ...........................................51 5.1 5.1.1 5.1.2 5.1.3 5.2 5.2.1 5.2.2 5.2.3 5.2.4
Elemen-Elemen Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan ....................................................................................................................... 51 Elemen Informasi (Information) Responden mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan ........................................................................................ 51 Elemen Keyakinan dan Pendapat Responden mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan ........................................................................................ 54 Elemen Sikap Responden terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan ....................................................................................................................... 56 Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan ....................... 58 Tipe I: SPP PNPM adalah Pinjaman ................................................................... 59 Tipe II: Program SPP PNPM Memuaskan ........................................................ 63 Tipe III: Pinjaman SPP PNPM Mengkhawatirkan ........................................ 66 Tipe IV: Pinjaman SPP PNPM Bermanfaat ..................................................... 69
BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KETERLIBATAN PESERTA DALAM PROGRAM SPP PNPM MANDIRI TERHADAP REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM MANDIRI DI DESA GUNUNG MENYAN ................................................................................75 6.1 Partisipasi Responden dan Representasi Sosial Program SPP PNPM ....... 75 6.1.1 Tingkat Partisipasi Responden terhadap Program SPP PNPM .................... 75 6.1.2 Hubungan Tingkat Partisipasi Responden terhadap Representasi Sosial Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM........ 78 6.2 Intensitas Komunikasi Responden dan Representasi Sosial Program SPP PNPM ............................................................................................................................ 80 6.2.1 Intensitas Komunikasi Responden Peserta Program SPP PNPM ............... 80
xiv
6.2.2 Hubungan Intensitas komunikasi Responden terhadap Representasi Sosial Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan .................................. 82 BAB VII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM TERHADAP PERILAKU RESPONDEN DALAM MENGIKUTI PROGRAM SPP PNPM.............................................................................85 7.1 7.2 7.3
Pemanfaatan Dana Pinjaman SPP PNPM yang Didapatkan oleh Responden di Desa Gunung Menyan ................................................................... 85 Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan. ....................................................................................................... 86 Hubungan Antara Representasi Sosial Program SPP PNPM terhadap Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM ........................ 89
BAB VIII PENUTUP.............................................................................................92 8.1 8.2
Kesimpulan .................................................................................................................. 92 Saran .............................................................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................95 LAMPIRAN ................................................................................................................................ 97
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Contoh Penggunaan Skala Perbedaan Semantik pada Penelitian 14 mengenai Representasi Sosial terhadap Pekerjaan Pertanian…………………………………………………………
Tabel 2.
Luas Lahan Desa Gunung Menyan berdasarkan Penggunaan…... 29
Tabel 3
Jumlah Penduduk menurut Golongan Umur, Desa Gunung 31 Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, tahun 2009……………………………………………………………...
Tabel 4.
Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian, Desa Gunung 33 Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, tahun 2009..
Tabel 5.
Jumlah Kelompok Penerima Pinjaman SPP PNPM berdasarkan 34 Tahun (2004-2010) di Desa Gunung Menyan…………………...
Tabel 6.
Persentase Keyakinan dan Opini Responden mengenai Program 56 SPP……………………………………………………………….
Tabel 7.
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe 59 Representasi Sosial tentang Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan.........................................................................................
Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi 62 Sosial tipe I berdasarkan Karakteristik Individu…………………
Tabel 9.
Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi 64 Sosial tipe II berdasarkan Karakteristik Individu..………………
Tabel 10.
Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi 68 Sosial tipe III berdasarkan Karakteristik Individu……………….
Tabel 11.
Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi 70 Sosial tipe IV berdasarkan Karakteristik Individu……………….
Tabel 12.
Perbandingan Representasi Sosial Program SPP PNPM tipe I, II, 73 III, dan IV berdasarkan Karakteristik Dominan Responden……
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Alur Kegiatan SPP PNPM Mandiri Pedesaan……………………
9
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran Representasi Sosial Program SPP PNPM…
18
Gambar 3.
Jumlah Alokasi Dana SPP PNPM berdasar Tahun dan Kelompok Penerima di Desa Gunung Menyan………………......................
36
Gambar 4.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat usia…………....
43
Gambar 5.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan……………..
44
Gambar 6.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan………………...
45
Gambar 7.
Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan……….
46
Gambar 8.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan…......
47
Gambar 9.
Karakteristik Responden Berdasarkan waktu Keterlibatan………
48
Gambar 10.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Pinjaman yang Didapatkan……………………………………………………......
49
Gambar 11.
Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan…………………………………………………
52
Gambar 12.
Sikap Responden terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan.......
57
Gambar 13.
Tingkat Partisipasi Responden terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan……….............................................................
78
Gambar 14.
Persentase Hubungan antara Tingkat Partisipasi Responden terhadap Representasi Sosial mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan…………………………………………………
79
Gambar 15.
Intensitas Komunikasi Responden mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan……………………..…………………..
81
Gambar 16.
Persentase Hubungan antara Intensitas Komunikasi Responden terhadap Representasi Sosial mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan…………………………………………………
82
Gambar 17.
Pemanfaatan Dana Pinjaman SPP PNPM Mandiri Pedesaan oleh Responden di Desa Gunung Menyan……………………………..
85
Gambar 18.
Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan………………….......
87
xvii
Gambar 19.
Hubungan antara Representasi Sosial mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan dengan Perilaku Responden dalam mengikuti Program………………………………………………..
90
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Asosiasi Kata Program SPP PNPM Mandiri………………. 98
Lampiran 2.
Tabel Tipe-Tipe Representasi Sosial Program SPP PNPM Berdasarkan Kelompok Peserta Program…………………..
104
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Problem kemiskinan merupakan satu hal yang tidak bisa terlepas dari
pembangunan suatu bangsa. Kemiskinan merupakan side effect dari laju pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk menciptakannya. Kemiskinan yang dialami penduduk Indonesia tidak hanya sebatas kemiskinan secara ekonomi, akan tetapi juga bersifat non ekonomi, seperti terbatasnya akses terhadap pengetahuan dan keterampilan, produktivitas yang rendah, terbatasnya akses terhadap partisipasi dan pembangunan, dan lain sebagainya. Menanggapi hal tersebut, terlihat bahwa pengentasan kemiskinan tidak hanya dilakukan secara finansial saja, akan tetapi juga harus mencakup pemberdayaan dari sisi masyarakat itu sendiri (Soraya, 2009). Menurut BPS, kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Sedangkan menurut BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah, dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan (Crescent, 2003). Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen) dengan sebagian penduduk miskin tersebut berada di daerah pedesaan (63,41 persen). Namun pada bulan Maret 2009, angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan menjadi 32,53 juta (14,15 persen) dengan sebagian besar kemiskinan juga berada di daerah pedesaan, dan khususnya provinsi Jawa Barat, terdapat 4,98 juta (11,96 persen) penduduk miskin (BPS, 2009)1. Sejak era reformasi pemerintah melalui kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) telah berupaya mengintroduksikan berbagai program/proyek 1 BPS. 2009. Data Penduduk Indonesia Per Provinsi Maret 2009. www.bps.go.id. Diakses 21 Maret 2010
2
pengentasan kemiskinan. Beragam upaya tersebut tampaknya membuahkan sedikit hasil. Itu sebabnya dalam RPJMN 2004-2009, pemerintah telah menetapkan
salah
satu
agenda
prioritas
pembangunan
nasional,
yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang salah satu dari lima sasaran pokoknya adalah bahwa dengan dukungan stabilitas ekonomi yang tetap terjaga pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin diharapkan turun menjadi 8,2 persen. Menyikapi hal tersebut, untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan pengangguran pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dimulai pada tahun 2007 lalu dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang sekarang disebut sebagai PNPM Mandiri Pedesaan, sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat pedesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal pasca bencana dan konflik. PNPM Mandiri Pedesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Melalui PNPM Mandiri Pedesaan (PPK) dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek pada upaya penanggulangan kemiskinan (www.pnpm-mandiri.org)2. Daerah Provinsi Jawa Barat telah menerima alokasi dana PNPM-PPK ditahun 2007 yaitu sebanyak 14 Kabupaten, 89 Kecamatan, dan 991 Desa3. Pada Kabupaten Bogor secara khusus, PNPM Mandiri pedesaan pada tahun 2009 telah dilaksanakan pada 21 kecamatan dengan 224 desa, dan pada tahun 2010 bertambah lagi menjadi 23 kecamatan dengan jumlah 243 desa. 2 Anonim. 2009. PNPM Mandiri Pedesaan. http://id.wikipedia.org/wiki/PNPM Mandiri Pedesaan. Diakses pada 21 Maret 2010 3
Anonim. 2010. Program Pengembangan Kecamatan. www.ppk.org. Diakses 21 Maret
2010
3
PNPM Mandiri pedesaan dibiayai oleh dana BLM (Bantuan Langsung Mandiri). Kegiatan tersebut terdiri dari kegiatan pembangunan atau perbaikan sarana dasar; kegiatan peningkatan bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ketrampilan; kegiatan peningkatan kapasitas kelompok usaha ekonomi; dan penambahan modal simpan pinjam untuk kelompok perempuan (SPP). Namun pada kenyataannya, tidak semua program PNPM Mandiri yang dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu contoh kasusnya adalah dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan diselewengkan oleh pihak-pihak yang terkait, baik dari pihak penyalur dana maupun dari masyarakat penerima bantuan PNPM Mandiri itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2009), diketahui bahwa responden yang mengikuti Program SPP PNPM memperoleh dana sesuai dengan yang diajukan dalam usulan. Selanjutnya pemanfaatan dana diserahkan kepada masing-masing peserta selaku pengelola usaha mikro perorangan. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 42 persen responden menggunakan dana SPP PNPM untuk usaha dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan 34 persen menggunakan dana SPP PNPM hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan 24 persen menggunakan dana SPP PNPM sepenuhnya untuk modal usaha. Hal ini mengindikasikan adanya penyelewengan dana SPP PNPM yang diperuntukkan bagi kegiatan ekonomi produktif dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, menurut Saripudin (2009), program PNPM tersebut tidak memberikan pengarahan terlebih dahulu tentang bagaimana seharusnya uang pinjaman dikelola atau dimanfaatkan, sehingga program-program tersebut terkendala dalam hal pengembalian pinjaman atau modal kepada pemerintah. Penyelewengan terhadap dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan masih terus berlanjut. Kegagalan implementasi program ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh cara peserta memaknai Program SPP PNPM PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Penelitian ini berupaya untuk mengkaji secara mendalam makna Program SPP PNPM Mandiri bagi peserta program. Pemaknaan peserta program terhadap Program SPP PNPM
tersebut akan dilihat sebagai suatu representasi sosial.
4
Menurut Moscovici (1973) dalam Deaux dan Philogene (2001) representasi sosial adalah suatu proses sekaligus hasil untuk memahami suatu obyek, orang dan peristiwa yang diperoleh dari ide-ide implisit, eksplisit dan simbol-simbol, kemudian mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain yang ada dalam kelompok. Representasi membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan pemaknaan dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang dilakukan individu. Representasi sosial dibentuk dari proses komunikasi dan interaksi yang terjadi antar individu dan dimiliki bersama secara kolektif. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Gunawan (2003), bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang. Maka dapat disimpulkan bahwa representasi sosial bukan hanya membentuk pemahaman mengenai suatu objek, tetapi juga mempengaruhi perilaku seseorang terhadap objek tersebut. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dari penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan? 2. Bagaimana hubungan antara tingkat keterlibatan peserta program dalam program SPP PNPM terhadap bentuk-bentuk representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan? 3. Bagaimana hubungan antara representasi sosial Program SPP PNPM terhadap perilaku peserta Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan? 1.3
Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai
berikut: 1. Mengidentifikasi representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. 2. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat keterlibatan peserta program dalam program SPP PNPM terhadap bentuk-bentuk representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan.
5
3. Mengidentifikasi hubungan antara representasi sosial Program SPP PNPM terhadap perilaku peserta dalam mengikuti Program SPP PNPM
Mandiri
Pedesaan. 1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk
menambah wawasan dan informasi mengenai representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Representasi sosial
Program SPP PNPM Mandiri
Pedesaan ini juga bisa menjadi rujukan bagi pemerintah tentang program yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Selain itu, hasil penelitian ini bisa menjadi rekomendasi atau rujukan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan representasi sosial terhadap program-program yang dicanangkan oleh pemerintah.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah salah satu program yang dicanangkan mulai tahun 1998 oleh pemerintah pusat sebagai upaya penanggulangan
kemiskinan
(Crescent,
2003).
Program
Pengembangan
Kecamatan (PPK) merupakan cikal bakal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri untuk wilayah Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan). PPK adalah salah satu upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Program ini mengusung sistem pembangunan bottom up planning, program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh
masyarakat. Melalui PNPM Mandiri Pedesaan (PPK) dirumuskan kembali mekanisme
upaya
penanggulangan
kemiskinan
yang
melibatkan
unsur
masyarakat, mulai dari tahap perencaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Tujuan utama dari pelaksanaan program PPK adalah pengurangan jumlah penduduk miskin melalui upaya meningkatkan keterpaduan proses pembangunan fisik sarana dan prasarana dengan pengembangan usaha produktif di wilayah pedesaan dengan menjadikan kecamatan sebagai area pelaksanaannya. PPK menyediakan dana bantuan secara langsung bagi masyarakat (BLM). Besarnya SPP PNPM antara Rp500 juta - Rp1 miliar per kecamatan, tergantung dari jumlah penduduk. Program yang mengusung sistem pembangunan bottom up planning yang diusulkan langsung dan dilaksanakan oleh masyarakat. Masyarakat desa bersama-sama
terlibat
dalam
proses
perencanaan
partisipatif
dan
pengambilan keputusan penggunaan dana BLM. Penggunaan BLM dilakukan atas dasar kebutuhan pembangunan dan prioritas yang ditentukan bersama dalam forum musyawarah. Pelaksanaan pembagian dana BLM PPK dilihat sebagai dana hibah yang diberikan kepada pemerintah kecamatan untuk digulirkan sebagai modal pengembangan wilayah kecamatan secara umum dan desa-desa dalam kecamatan secara khusus. Hibah yang dimaksudkan di sini adalah bahwa dana tersebut
7
diberikan kepada kecamatan dari pusat dan tidak perlu dikembalikan ke pusat, dan bukan dihibahkan kepada masyarakat kecamatan. Dana tersebut akan dibagikan kepada masyarakat sebagai modal usaha yang akan digulirkan dan harus dikembalikan kepada pemerintah kecamatan. Program PNPM Mandiri Pedesaan memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum nya adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di pedesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Sementara itu, tujuan khusus dari PNPM Mandiri Pedesaan yaitu: 1) meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pelestarian pembangunan; 2) melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal; 3) mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif; 4) menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat; 5) melembagakan pengelolaan dana bergulir; 6) mendorong terbentuk dan berkembangnya kerjasama antar desa; serta 7) mengembangkan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan pedesaan4. 2.1.1.1 Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) Menurut Pedoman Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Pedesaan, kegiatan yang terdapat pada Program PNPM Mandiri Pedesaan terdiri dari Kegiatan Pembangunan Sarana Fisik Desa, Kegiatan Peningkatan Kapasitas Kelompok Usaha Ekonomi Produktif (UEP), dan Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP). Program PNPM Mandiri Perdesaan dibiayai oleh dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang diperoleh dari pusat sebesar 80 persen dan dari APBD sebesar 20 persen. Sebesar 25 persen dari dana BLM digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan SPP PNPM. Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM merupakan kegiatan pemberian permodalan untuk kelompok perempuan yang memiliki kegiatan simpan pinjam atau kegiatan usaha ekonomi. Sasaran Program 4
Dikutip dan disimpulkan dari pamflet Program Nasional PNPM Mandiri Pedesaan.
8
SPP PNPM adalah rumah tangga miskin produktif yang memerlukan pendanaan kegiatan usaha ataupun kebutuhan sosial dasar melalui kelompok simpan pinjam perempuan yang sudah ada di masyarakat. Adapun bentuk kegiatan SPP PNPM adalah memberikan dana pinjaman sebagai tambahan modal kerja bagi kelompok kaum perempuan yang mempunyai pengelolaan dana simpanan dan pengelolaan dana pinjaman. Pelaksanaan Program SPP PNPM
diawali dengan MAD (Musyawarah
Antar Desa) Sosialisasi. Pada MAD Sosialisasi dilakukan sosialisasi ketentuan dan persyaratan untuk kegiatan SPP PNPM sehingga pelaku-pelaku di tingkat desa memahami adanya kegiatan SPP PNPM dan dapat dimanfaatkan. Setelah dilaksanakannya MAD Sosialisasi, dilaksanakan Musdes (Musyawarah desa) Sosialisasi agar pelaku di tingkat desa yang terdiri dari TPK (Tim Pengelola Kegiatan) dan TKD (Tim Koordinator Desa) melakukan persiapan untuk proses lanjutan.
Kemudian,
dilanjutkan
dengan
Musyawarah
Dusun
untuk
mengidentifikasi kelompok peserta SPP PNPM, peta sosial dan rumah tangga miskin, serta mengidentifikasi kebutuhan pemanfaat. Musyawarah
Desa
dan
Musyawarah
Khusus
Perempuan
(MKP)
dilaksanakan setelah Musyawarah Dusun. Pada MKP akan dilakukan penetapan dan penulisan usulan yang didalamnya terdapat sekilas mengenai kondisi kelompok SPP PNPM, gambaran kegiatan dan rencana yang akan dilaksanakan, penulisan usulan, MKP serta daftar calon pemanfaat untuk dana yang diusulkan. Selain penetapan dan penulisan usulan, pada MKP juga dilaksanakan verifikasi formulir, penilaian pada kegiatan, dan penilaian kategorisasi kelompok oleh pihak kecamatan. Penilaian pada kebutuhan anggota yang telah diusulkan dilakukan pada tahap MAD prioritas usulan. Tahapan ini merupakan tahapan evaluasi akhir dengan model prioritas kebutuhan yang mempertimbangkan hasil verifikasi. Prioritas penilaian ditekankan pada kelompok dengan lebih mengutamakan calon pemanfaat kategori rumah tangga miskin. Setelah MAD Prioritas Usulan, MAD Penetapan Usulan pun dilakukan. Melalui tahap ini diputuskan pendanaan yang mencakup penentuan pendanaan usulan dan kelompok yang memenuhi syarat
9
pemeringkatan dapat didanai oleh BLM. Alur ini akan terus berlanjut hingga pengembalian SPP PNPM dan pengelolaan dana bergulir (Gambar 1)5. MAD Sosialisasi
Musdes Sosialisasi
Pengembalian SPP PNPM dan Pengelolaan Dana Bergulir
Musyawarah Dusun Penggalian gagasan dan identifikasi kelompok SPP
Musyawarah Desa
Supervisi dan monitoring
Musyawarah Perempuan (seleksi Kelompok)
Musdes Pertanggungjawaban RPD, pencairan, pelaksanaan, LPD kegiatan
Persiapan penyaluran
Penetapan, penulisan usulan, dan Paket Usulan Desa
Verifikasi usulan
MAD Prioritas Usulan Musdes Informasi Hasil MAD MAD Penetapan Usulan
Penyempurnaan Dokumen Usulan SPP PNPM yang akan didanai
Gambar 1. Alur Kegiatan SPP PNPM Mandiri Pedesaan Sumber : Pedoman Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri 5
Dikutip dan disimpulkan dari Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, hal: 58‐65 (Penjelasan IV).
10
2.1.1.2 Sosialisasi Program Menurut Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, sosialisasi dan penyebaran informasi dalam PNPM Mandiri Pedesaan merupakan suatu upaya untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan informasi mengenai program dan pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan kepada masyarakat. Hal ini diharapkan menjadi media pembelajaran mengenai konsep, prinsip, prosedur, kebijakan, tahapan pelaksanaan dan hasil pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan kepada masyarakat luas. Hasil yang diharapkan dari proses sosialisasi ini dan penyebaran informasi tersebut adalah dimengerti dan dipahaminya mengenai konsep, prinsip, prosedur, kebijakan, tahapan pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan secara utuh, khususnya masyarakat di lokasi program sebagai pelaku sekaligus sasaran penerima program, masyarakat umum, instansi atau lembaga lainnya.
Proses sosialisasi dan
penyebaran informasi ini harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan oleh berbagai pihak. Pelaku-pelaku sosialisasi PNPM Mandiri Pedesaan terdiri dari tim sosialisasi nasional, tim sosialisasi daerah dan pelaksana teknis sosialisasi lapangan. Tim sosialisasi nasional terdiri dari perwakilan tim koordinasi PNPM Mandiri Pedesaan nasional dan Sekretariat PNPM Mandiri Pedesaan, serta Konsultan Manajemen Nasional (KM-Nasional). Tim sosialisasi daerah terdiri dari Tim Sosialisasi Provinsi dan Tim Sosialisasi Kabupaten, dimana setiap tim terdiri dari unsur Tim Koordinasi Provinsi dan Kabupaten, Sekretariat PNPM Mandiri Pedesaan Provinsi dan Kabupaten, serta KM Nasional di provinsi dan Fasilitator Kabupaten. Selain itu, pelaksana teknis sosialisasi lapangan dapat terdiri dari unsur perangkat Kecamatan dan Desa, Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK), Fasilitator Kecamatan, Pendamping Lokal (PL), Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), Fasilitator Desa (FD) atau Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana (TP3), Tim Pemantau dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Pelaksana teknis sosialisasi di lapangan ini bertugas melaksanakan kegiatan sosialisasi dan
11
menyebarkan informasi kepada masyarakat langsung di kecamatan dan desa dengan didukung oleh Tim Sosialisasi Kabupaten6. 2.1.1.3 Fasilitasi dan Pelatihan Fasilitasi dalam PNPM Mandiri Pedesaan mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan mampu mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Proses fasilitasi ini sering disebut sebagai fasilitator yang terdiri dari Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Kabupaten dan aparat berperan sebagai fasilitator dari luar masyarakat dipahami sebagai Pendamping. Sementara itu, Pendamping Lokal, Kader Pemberdayaan Masyarakat serta seluruh pelaku PNPM Mandiri Pedesaan yang berasal dari masyarakat setempat juga berperan sebagai fasilitator yang dipahami sebagai Kader Pemberdayaan. Terdapat empat fungsi fasilitator di masyarakat, yaitu: sebagai narasumber (menyediakan segala informasi yang terkait dengan program), sebagai guru (membantu masyarakat dalam mempelajari dan memahami keterampilan atau pengetahuan baru dalam pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan program), dan sebagai mediator7. 2.1.2 Representasi Sosial Representasi sosial pada awalnya dibentuk oleh kumpulan makna-makna yang dimiliki oleh tiap individu dan kemudian dimiliki secara bersama. Durkheim dalam Jaspars dan Fraser (1984) menyatakan bahwa hal tersebut pada akhirnya membentuk suatu pemahaman yang disepakati bersama. Moscovici (1973) sebagaimana yang dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) mengatakan bahwa representasi sosial dibentuk pada pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki pada suatu realitas bersama. Hal tersebut juga sesuai dengan Durkheim dalam Jaspars dan Fraser (1984) yang mengatakan bahwa representasi sosial ini bersifat kolektif, artinya bahwa representasi sosial tersebut dimiliki oleh banyak individu. Istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran awam (common sense) (Jodelet, 2005 dalam 6 7
Ibid., hal: 1‐19 (Penjelasan I). Ibid., hal: 1‐2 (Penjelasan II)
12
Putra et al, 2003). Sementara itu, Moscovici (1973) sebagaimana yang dikutip oleh Purkhardt (1993) mendefinisikan representasi sosial sebagai: ‘suatu sistem nilai, ide, dan kebiasaan yang memiliki dua fungsi rangkap, pertama untuk membentuk suatu susunan yang akan memungkinkan individu untuk menyesuaikan pengalaman mereka dengan pengalaman duniawi, kedua untuk memfasilitasi komunikasi pada anggota dari suatu kelompok dengan memberikan mereka suatu kode untuk menetapkan dan mengklasifikasikan aspek-aspek penting dari dunia mereka, pribadi mereka, dan sejarah kelompok’ (Moscovici, 1973). Moscovici (1973) dalam Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial adalah suatu proses untuk memahami suatu obyek, orang dan peristiwa yang diperoleh dari ide-ide implisit, eksplisit dan simbol-simbol, kemudian mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain yang ada dalam kelompok. Pada representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan, kemudian pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial. Tujuan utama dari proses representasi sosial adalah mengubah informasi yang unfamiliar menjadi familiar. Sesuatu dikatakan unfamiliar ketika hal tersebut tidak sesuai dengan harapan kita dan menghasilkan sesuatu yang tidak sempurna. Hal ini mungkin terjadi saat kita masuk ke dalam kelompok atau kebudayaan baru, atau ketika kita diperkenalkan kepada objek, peristiwa, dan konsep
baru.
Unfamiliar
ditransformasikan
menjadi
familiar
dengan
memperkenalkan hal tersebut kembali di dalam konteks hubungan atau pemaknaan yang meliputi representasi sosial kita. Hal ini bisa terjadi melalui proses interaksi sosial dan komunikasi (Purkhardt, 1993). Abric (1976) sebagaimana dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Representasi sosial ini membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan persepsi dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang individu lakukan, dimana representasi sosial ini dibentuk dari suatu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada antara
13
individu dan dibagikan secara kolektif. Selain itu, Gunawan (2003) menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Proses pikiran umum atau representasi sosial dalam menangkap fenomena sebuah obyek terjadi melalui dua proses yang dikenal dengan nama anchoring dan objectification (Moscovici, 1984 dalam Deaux dan Philogene, 2001). Proses anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu. Proses kedua, objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut. Jadi, secara umum representasi sosial adalah suatu sistem pemaknaan yang dibagikan secara bersama melalui proses komunikasi dan interaksi, dimana di dalamnya terdapat elemen informasi, keyakinan, opini, dan sikap terhadap suatu objek. Metode Pengukuran Representasi Sosial Mengukur representasi sosial terhadap suatu objek yang dibahas merupakan suatu kepentingan pada suatu penelitian mengenai representasi sosial. Pengukuran suatu representasi sosial dapat dilakukan melalui beberapa metode, diantaranya: percobaan, kuesioner, asosiasi kata, dan metode diferensiasi semantik. Wagner dan Hayes (2005) mengatakan bahwa pada percobaan, variabel yang digunakan adalah variabel terikat dan bukan variabel bebas. Percobaan pada proses representasi sosial mengungkapkan struktur, organisasi, dan komponen tindakan individu, serta tidak bersifat universal tergantung pada populasi yang digunakan. Selain itu, Wagner dan Hayes (2005) juga mengatakan bahwa pada asosiasi kata
14
representasi dilihat dari penghitungan kata-kata stimulus mengenai suatu objek yang dinyatakan oleh para subjek yang akan dinilai representasinya. Melalui teknik asosiasi kata subjek akan memberikan secara spontan jawaban atau pandangan nya dari suatu objek yang diberikan dan mereka diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka membaca kata mengenai objek tersebut. Selanjutnya, kata-kata yang didapatkan dari subjek diurutkan mulai dari kata-kata yang paling menggambarkan objek sampai kata-kata yang kurang menggambarkan objek yang akan diukur representasinya (Nadra, 2010). Metode diferensial semantik digunakan untuk mengetahui representasi sosial pada aspek afektif terhadap suatu objek, sehingga subjek diminta untuk menjawab atau memberikan penilaian terhadap suatu konsep atau objek tertentu yang memiliki rentangan skor 1-5 dengan cara memberi tanda (x) pada angka yang sesuai. Contoh : Tabel 1. Contoh Penggunaan Skala Perbedaan Semantik pada penelitian mengenai representasi sosial terhadap pekerjaan pertanian 5
4
3
2
1
Baik
X
Buruk
Untung
X
Rugi
Aman
X
Beresiko
Sumber: Nadra, 2010
Dua kutub yang ada pada Tabel 1 di atas, diberi skor nilai antara 1-5, dimana setiap responden harus memberikan penilaian dengan menggunakan rentangan skor tersebut. Jika skor yang diberikan semakin ke kanan mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian sangat negatif, dan sebaliknya jika skor yang diberikan semakin ke kiri atau mendekati angka 5 maka dapat disimpulkan bahwa representasi pemuda tani terhadap pekerjaan pertanian dan lahan pertanian sangat positif (Nadra, 2010).
15
2.1.3 Permasalahan dan Hambatan-Hambatan yang Terjadi Pengimplementasian Program Penanggulangan Kemiskinan
dalam
Pengimplementasian atau pelaksanaan suatu program, khususnya program penanggulangan kemiskinan, tidak selalu berjalan mulus dan sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai permasalahan timbul dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan tersebut, baik permasalahan yang berasal dari luar (pihak pengelola program) maupun permasalahan yang berasal dari dalam (masyarakat penerima program). Annisa (2008) menyatakan bahwa pada pelaksanaan program pengentasan kemiskinan masih terdapat masalah ketidakmerataan dan ketidaktepatan sasaran pada masyarakat penerima program. Ketidakmerataan dan ketidaktepatan sasaran yang dimaksudkan di sini lebih kepada di satu sisi masih terdapatnya masyarakat yang tidak terkena program walaupun sebenarnya mereka membutuhkan, dan di sisi lain adanya pihak-pihak yang sebenarnya tidak pantas untuk mendapatkan bantuan pada program tersebut,
malah mendapatkan bantuan karena mereka
memiliki akses dan kontrol dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Selain itu, Jayanti (2007) dan Riswanto (2009) mengatakan bahwa pelaksanaan pembagian pinjaman bergulir yang mensyaratkan kepemilikan usaha ekonomi pada penerima bantuan mengakibatkan masyarakat miskin yang tidak memiliki usaha ekonomi tidak dapat diikutsertakan dalam program. Akibatnya, terjadi peminggiran pada masyarakat miskin yang seharusnya menerima bantuan tersebut. Annisa (2008) juga menjelaskan bahwa pembagian pinjaman bergulir masih kental dengan unsur nepotisme. Kedekatan dengan pihak yang berwenang atas program yang dilaksanakan akan semakin memudahkan dalam memperoleh bantuan pinjaman. Akibat dari hal tersebut adalah terjadinya ketidakadilan dalam mendapatkan bantuan pinjaman. Kejadian yang biasa terjadi pada pelaksanaan pembagian pinjaman bergulir adalah dana yang seharusnya digunakan untuk penambahan modal suatu usaha ekonomi digunakan untuk keperluan mendesak seperti berobat ataupun untuk memenuhi keperluan rumah tangga lainnya, sehingga dana yang seharusnya digunakan sebagai modal usaha produktif tersebut tidak ada lagi. Hal ini berarti dana pinjaman yang diberikan tidak digulirkan sebagaimana mestinya. Akibatnya masyarakat tidak dapat membayar pinjaman
pada saat jatuh tempo
16
pengembaliannya. Masalah ini menyebabkan timbulnya kredit yang macet. Kredit yang macet tersebut akan mengakibatkan tidak adanya perguliran dana pada bantuan pinjaman kredit tersebut, sehingga bantuan pinjaman kredit tersebut tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan hanya dapat dilakukan satu tahap perguliran dana bantuan saja. Goma (2004) menyatakan bahwa ketidakefektifan program dalam menjamin terciptanya usaha produktif yang berkelanjutan secara tidak langsung juga disebabkan oleh berkembangnya persepsi negatif di kalangan masyarakat karena kegagalan program-program sejenis di masa lalu serta tidak adanya sanksi yang tegas terhadap penunggakan yang dilakukan masyarakat. Selain itu, kegiatan usaha yang kurang berhasil tersebut disebabkan oleh rendahnya kemampuan manajerial pengelolaan usaha, pemberian pinjaman yang tidak sesuai dengan ketentuan atau skala usaha, intensitas pembinaan dan pendampingan yang sangat kurang dan tidak berkelanjutan, dana yang dipinjamkan tidak sepenuhnya digunakan untuk kegiatan usaha, serta beragamnya mekanisme perguliran antara instansi-instansi pemilik program. Pihak pelaksana program cenderung lebih mementingkan program tersebut terlaksana dan kurang mementingkan hasil dari program kemiskinan yang dilaksanakan. Hal ini terbukti dari kurang pentingnya memperhatikan sasaran yang berhak menerima pinjaman bagi pihak pelaksana program. Akibatnya, partisipasi masyarakat menjadi semu, dimana mereka hanya bersemangat mengikuti program pada tahap awal saja, dan
selanjutnya mulai terjadi
penunggakan dalam pengembalian pinjaman. Kasus ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat bersifat semu dan tidak melembaga dalam diri masyarakat. 2.1.4 Partisipasi Masyarakat Kemiskinan
terhadap
Program
Penanggulangan
Partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Febriana, 2008). Selain itu, menurut Adjid (1985) partisipasi diartikan
sebagai
kemampuan
dari masyarakat
untuk
bertindak
dalam
keberhasilan (keterpaduan) yang teratur untuk menanggapi kondisi lingkungan sehingga masyarakat tersebut bertindak sesuai dengan logika dari yang dikandung
17
oleh kondisi lingkungan tersebut. Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengimplementasian program pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat sasaran program. Tidak berpartipasinya masyarakat akan membuat program yang dilaksanakan tersebut tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya. Umumnya partisipasi masyarakat bersifat semu. Artinya, masyarakat bersemangat dan mengembalikan pinjaman dengan lancar hanya pada tahap awal saja. Setelah itu, mulai terjadi kemacetan pembayaran pinjaman dan penunggakan pembayaran oleh masyarakat (Jayanti, 2007). Tingkat partisipasi masyarakat berhubungan positif dengan persepsi yang mereka miliki terhadap program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan. Persepsi yang positif pada masyarakat akan menghasilkan tingkat partisipasi yang tinggi pada pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya, persepsi negatif dari masyarakat terhadap suatu program, akan menghasilkan tingkat partisipasi yang rendah pada pelaksanaan program. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi berhubungan positif dengan persepsi yang dimiliki oleh masyarakat (Danudiredja, 1998). 2.2
Kerangka Pemikiran Saat ini telah banyak program penanggulangan kemiskinan yang
dilaksanakan, tetapi yang dibahas lebih lanjut adalah program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM yang ditujukan kepada masyarakat miskin pedesaan, khususnya kelompok produktif perempuan, sebagai modal untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif yang mereka miliki. Dana pinjaman SPP PNPM diberikan secara berkelompok kepada peserta program. Permasalahan yang biasa terjadi pada pelaksanaan Program SPP PNPM yaitu banyak diantara peserta program yang melakukan penunggakan dan penyelewengan dalam pemanfaatan dana SPP PNPM
yang diberikan oleh
pemerintah. Perilaku peserta program dipengaruhi oleh cara mereka memahami maksud atau tujuan program, sikap, persepsi, pendapat, serta keyakinan mereka tentang Program SPP PNPM yang dilaksanakan. Aspek-aspek tersebut terangkum dalam suatu representasi sosial peserta terhadap Program SPP PNPM. Penjelasan mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
18
Pelaksanaan Program SPP PNPM yang diikuti peserta secara berkelompok
. Tingkat Keterlibatan dalam Program SPP PNPM Tingkat Partisipasi:
Intensitas Komunikasi : 1. Frekuensi Komunikasi
1. Perencanaan 2. Pelaksanaan
2. Isi Komunikasi
3. Pemanfaatan 4. Evaluasi
Representasi Sosial Program SPP PNPM 1. Informasi 2. Keyakinan 3. Opini 4. Sikap
Perilaku Peserta Program SPP PNPM
Pemanfaatan Dana
Jumlah Dana Dikembalikan.
yang
Waktu Pengembalian Dana
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Keterangan : = Hubungan mempengaruhi = Aspek Kajian
19
Berdasarkan Gambar 2 di atas, terlihat bahwa representasi sosial terhadap program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM berhubungan dengan tingkat keterlibatan peserta yang terdiri dari: (1) tingkat partisipasi dalam Program SPP PNPM. Diduga tingkat partisipasi peserta dalam program akan berhubungan dengan pembentukan representasi sosial terhadap program; dan (2) intensitas komunikasi. Diduga intensitas komunikasi peserta program akan berhubungan dengan representasi sosial yang mereka miliki tentang program. Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri terdiri dari elemenelemen informasi, keyakinan, pendapat (opini), dan sikap. Representasi sosial Program SPP diduga berhubungan dengan perilaku peserta dalam mengikuti program. Aspek perilaku tersebut terdiri dari pemanfaatan dana, jumlah dana yang dikembalikan, dan waktu pengembalian dana. Representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang baik (sesuai dengan maksud dan tujuan program) akan menghasilkan perilaku yang diharapkan, yaitu pemanfaatan dana yang tepat serta pengembalian dana dengan jumlah dan waktu yang tepat. Sebaliknya, representasi sosial terhadap program yang tidak sesuai dengan harapan program akan menghasilkan penunggakan atau penyelewengan terhadap dana SPP PNPM yang diberikan. Hipotesa Penelitian 1. Diduga bahwa tingkat keterlibatan peserta dalam Program SPP, yang terdiri dari tingkat partisipasi dan intensitas komunikasi, berhubungan dengan bentukbentuk representasi sosial Program SPP PNPM yang dilaksanakan. 2. Diduga representasi sosial peserta program terhadap Program SPP PNPM berhubungan dengan perilaku peserta dalam mengikuti Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Definisi Operasional 1. Representasi sosial terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan adalah sejumlah opini, penilaian, dan pemahaman kelompok terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Dalam representasi sosial ini terdapat empat elemen yang terdiri dari informasi, sikap, keyakinan, dan pendapat. Elemen-elemen tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
20
A. Informasi adalah segala pengetahuan yang didapatkan anggota kelompok peserta program mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Informasi tersebut terdiri dari informasi mengenai prosedur pelaksanaan program, informasi mengenai syarat-syarat untuk menjadi peserta yang mengikuti program, informasi mengenai penggunaan dan pengembalian dana, serta informasi mengenai sanksi yang akan diberikan pada segala bentuk pelanggaran yang dilakukan. Kategori tingkat pengetahuan anggota mengenai Program SPP PNPM adalah: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek pengetahuan dan informasi berada pada angka 0-40). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek pengetahuan dan informasi berada pada angka 50-70). c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek pengetahuan dan informasi berada pada angka 80-100). B. Sikap adalah perasaan suka atau tidak suka dari anggota kelompok peserta program terhadap program yang dilaksanakan serta tindakan-tindakan yang mereka lakukan dalam pelaksanaan program tersebut. Kategori sikap peserta program mengenai Program SPP PNPM adalah: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek sikap berada pada angka 8-15). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek sikap berada pada angka 16-23). c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek sikap berada pada angka 24-32). C. Keyakinan adalah suatu kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh anggota kelompok peserta program mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan. Hal tersebut juga termasuk pada keyakinan peserta terhadap dana SPP PNPM yang diberikan, baik sebagai pinjaman yang harus dikembalikan atau hanya sebagai hibah dari pemerintah kepada mereka. Pendapat adalah suatu hasil dari pemikiran peserta mengenai program yang dilaksanakan, yang berdasarkan pada informasi-informasi yang mereka dapatkan.
21
Untuk mengetahui informasi, keyakinan, dan pendapat tersebut dilakukan suatu wawancara mendalam sekaligus dengan menggunakan kuesioner terhadap individu yang menjadi anggota kelompok peserta Program SPP PNPM.
Sementara
sikap
peserta
terhadap
program
diukur
dengan
menggunakan teknik asosiasi kata dan metode diferensial semantik. Teknik asosiasi kata dilakukan dengan cara mengelompokkan kata-kata yang diucapkan responden mengenai Program SPP PNPM ke dalam beberapa kategori tertentu. 2. Tingkat keterlibatan anggota kelompok peserta program pada Program SPP PNPM terdiri dari dua aspek yaitu: tingkat partisipasi terhadap program dan intensitas komunikasi peserta program. Penjelasan mengenai aspek-aspek tingkat keterlibatan peserta di dalam Program SPP PNPM adalah sebagai berikut: A. Tingkat partisipasi terhadap program adalah tingkat keikutsertaan peserta program di dalam Program SPP PNPM, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan,
dan
evaluasi.
Partisipasi
pada
tahap
perencanaan bisa berupa keterlibatan dalam merancang dan mengambil keputusan yang terkait dengan pelaksanaan program. Partisipasi pada tahap pelaksanaan dilihat dari waktu keterlibatan peserta di dalam program, jumlah pinjaman yang didapatkan, serta pembayaran secara tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan. Partisipasi pada tahap pemanfaatan dilihat dari pemanfaatan uang pinjaman SPP PNPM oleh peserta program. Sedangkan partisipasi pada tahap evaluasi berupa keterlibatan dalam melakukan penilaian tentang pencapaian tujuan program yang serta keikutsertaan peserta program dalam mengawasi pelaksanaan Program SPP PNPM. Tingkat partisipasi peserta terhadap program dapat dikelompokkan menjadi: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek partisipasi berada pada angka 14-25). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek partisipasi berada pada angka 26-37).
22
c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek partisipasi berada pada angka 38-48). B. Intensitas komunikasi peserta program, yaitu baik komunikasi dengan sesama peserta program (di dalam ataupun di luas kelompok) maupun dengan petugas pelaksana program. Intensitas komunikasi dengan petugas pelaksana program adalah banyaknya jumlah komunikasi yang terjadi antara kelompok dengan petugas pelaksana program, terutama mengenai program. Sementara itu, intensitas komunikasi dengan sesama peserta program adalah banyaknya jumlah komunikasi yang terjadi, baik antara sesama anggota satu kelompok maupun dengan kelompok lain, terutama yang berkaitan dengan program. Isi komunikasi yang dilakukan oleh peserta program juga menjadi pertimbangan pada aspek ini. Intensitas komunikasi peserta program dapat dikategorikan sebagai: a. Rendah (jika total skor pada pertanyaan aspek komunikasi berada pada angka 4-6). b. Sedang (jika total skor pada pertanyaan aspek komunikasi berada pada angka 7-9). c. Tinggi (jika total skor pada pertanyaan aspek komunikasi berada pada angka 10-12). 3. Perilaku anggota kelompok peserta program dalam mengembalikan dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan dilihat dari pemanfaatan dana, jumlah dana yang dikembalikan, dan waktu dalam mengembalikan dana SPP PNPM. Maksud dari kepatuhan tersebut adalah adanya kesadaran dan keinginan pada diri peserta program untuk mengembalikan dana SPP PNPM
tersebut sesuai
dengan prosedur yang telah disepakati. Kepatuhan peserta program dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Patuh (apabila peserta program menggunakan uang pinjaman untuk memodali usaha mereka dan mengembalikan pinjaman dengan waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan). b. Sedang (apabila peserta program menggunakan sebagian uang pinjaman tersebut bukan untuk modal usahanya sendiri, tetapi
23
membayar pinjaman dengan waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan). c. Tidak patuh (apabila peserta program menggunakan uang pinjaman tersebut bukan untuk modal usaha dan membayar pinjaman dengan waktu dan jumlah yang tidak sesuai dengan ketetapan).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survai dengan bentuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara cermat dan faktual. Metode deskriptif bukan hanya menjabarkan, tetapi juga memadukan. 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Desa Gunung Menyan, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat pada bulan September-Oktober 2010. Lokasi tersebut dipilih karena Kecamatan Pamijahan, khususnya Desa Gunung Menyan, merupakan salah satu daerah yang terkena program PNPM Mandiri Pedesaan. Program PNPM Mandiri Pedesaan yang dilaksanakan di desa secara dominan berupa pemberian dana BLM (Bantuan Langsung Mandiri) pada bagian Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan yang memiliki usaha ekonomi produktif. Dana BLM SPP PNPM yang dibagikan kepada peserta secara berkelompok tersebut menjadi modal bagi peserta program untuk menjalankan usahanya, dengan catatan dana pinjaman harus dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Tetapi, dari informasi yang peneliti dapatkan dari dinas pemerintahan yang menangani program PNPM Mandiri Pedesaan di Kecamatan Pamijahan, pada Desa Gunung Menyan terjadi kemacetan pada pengembalian dana SPP PNPM yang dipinjamkan kepada kelompok yang telah dibentuk lebih kurang sebesar Rp. 37.550.993,-. Desa tersebut merupakan desa dengan jumlah penunggakan pinjaman SPP PNPM yang terbesar se- Kecamatan Pamijahan. Oleh karena itu, representasi sosial peserta dana SPP PNPM Mandiri di Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, perlu diidentifikasi guna mengetahui sebab-sebab terjadinya kemacetan atau penunggakan pada pengembalian dana SPP PNPM tersebut. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2010, sedangkan pengumpulan data primer dikumpulkan pada bulan September-Oktober 2010. Pengolahan data dan penulisan laporan dilakukan pada bulan NovemberJanuari 2010.
25
3.2
Teknik Pemilihan Responden Kerangka sampling pada penelitian ini adalah 119 orang masyarakat
perempuan Desa Gunung Menyan peserta Program SPP PNPM yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan dan tergabung dalam suatu kelompok perempuan yang menerima pinjaman SPP PNPM. Unit analisis pada penelitian ini adalah individu yang tergabung dalam kelompok perempuan penerima dana SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Kelompok perempuan yang menerima pinjaman SPP PNPM di Desa Gunung Menyan sebanyak tiga belas kelompok yang tiga diantaranya adalah kelompok unggulan. Semua peserta program SPP PNPM Desa Gunung Menyan yang secara rata-rata berjumlah sebelas orang setiap kelompoknya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden pada penelitian ini. Pada masing-masing kelompok tersebut akan dipilih empat orang secara acak untuk menjadi responden, sehingga responden pada penelitian ini berjumlah 52 orang. Informasi yang lebih lengkap diperoleh dengan cara memilih informan terkait yang terdiri dari Kepala Desa Gunung Menyan, pihak pelaksana program PNPM Mandiri Pedesaan Desa Gunung Menyan, pihak pelaksana Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan, UPK (Unit Pelaksana Kecamatan) Kecamatan Pamijahan, dan beberapa pihak pelaksana tingkat kabupaten yang terkait dengan pelaksana program PNPM Mandiri Pedesaan. 3.3
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data sekunder didapatkan dari studi literatur yang terkait, sedangkan data primer didapatkan dari hasil pengambilan data secara langsung di lapangan. Proses penyusunan penelitian mengenai representasi sosial Program SPP PNPM PNPM Mandiri Pedesaan ini dilakukan melalui beberapa tahap. Beberapa hal yang dilakukan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Kuesioner Kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari pertanyaan terbuka, pertanyaan tertutup, dan kombinasi antara pertanyaan terbuka dan tertutup. Kuesioner tersebut digunakan untuk
26
mengetahui tingkat partisipasi peserta terhadap program dan intensitas komunikasi peserta program.
Penilaian mengenai sikap peserta terhadap
Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan diukur melalui representasi sosial terhadap program. Pada kuesioner juga disertakan pertanyaan untuk mengukur representasi sosial dengan menggunakan teknik asosiasi kata dan metode diferensial semantik. 2.
Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan. Wawancara ini digunakan untuk mengetahui bentuk dan prosedur pelaksanaan program serta sikap dan pandangan peserta terhadap program tersebut. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada informan yang telah dipilih.
3.
Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan lokasi penelitian dan Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Data tersebut digunakan untuk menjadi acuan dalam penelitian.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang didapatkan melalui kuesioner diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS for windows 13.0, kemudian dianalis dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang, dan uji korelasi Chi-Square (x2). Tabel frekuensi digunakan untuk menyusun dan menyajikan data yang telah dikumpulkan (Faisal, 2005), terkait dengan karakteristik kelompok atau peserta program yang diamati. Selain itu, tabel frekuensi juga digunakan untuk menyusun data mengenai representasi sosial tentang Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. Kategori-kategori
representasi
yang
didapatkan
dijadikan
dasar
dalam
merumuskan tipe-tipe representasi sosial tentang Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan.
Setelah itu, data-data kualitatif yang didapatkan saat wawancara
menjadi informasi tambahan dan diintegrasikan dengan jawaban yang ada pada kuesioner untuk menarik suatu kesimpulan. Tabulasi silang digunakan untuk menyajikan variabel yang akan dianalisis hubungannya. Uji korelasi Chi-Square (x2) digunakan untuk mengetahui hubungan antara tingkat keterlibatan peserta (yang terdiri dari tingkat partisipasi
27
dan intensitas komunikasi) terhadap representasi sosial mengenai Program SPP PNPM. Selain itu, uji korelasi Chi-Square (x2) juga digunakan untuk menganalisis hubungan antara representasi sosial program SPP PNPM
dengan perilaku
responden dalam mengiktui program SPP PNPM .
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1
Gambaran Umum Lokasi
4.1.1 Letak dan Keadaan Fisik Desa Gunung Menyan merupakan desa pemekaran dari Desa Cimayang pada tahun 1983 yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa Gunung Menyan secara geografis terletak di sebelah Barat Kabupaten Bogor dengan ketinggian tanah ± 600 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah sebesar 245,82 hektar. Desa Gunung Menyan memiliki curah hujan sebesar 3009 mm dengan suhu rata-rata harian 24⁰ Celcius. Pada aspek topografi, Desa Gunung Menyan merupakan suatu daerah dataran rendah seluas 199,82 hektar (81,29 persen) dan daerah berbukit seluas 46 hektar (18,71 persen). Bagian utara Desa Gunung Menyan berbatasan dengan Desa Cimayang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Picung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibening, dan di sebelah barat Desa Gunung Menyan berbatasan dengan Desa Pasarean dan Situ Udik. Desa Gunung Menyan terdiri dari tiga dusun, yaitu: Dusun Bambu, Dusun Bukit, dan Dusun Sungai. Selain itu, Desa Gunung Menyan juga terbagi ke dalam tujuh Rukun Warga (RW), yaitu: Bambu Kuning, Gunung Menyan, Cikoneng, Kananga, Babakan, Kampung Sawah, dan Sabrang. Rukun Warga Desa Gunung Menyan kemudian dibagi kembali menjadi 22 Rukun Tetangga (RT). Jarak Desa Gunung Menyan dari ibukota kecamatan ± 7 kilometer, dengan lama tempuh ± 25 menit menggunakan angkutan umum. Sedangkan Jarak Gunung Menyan dengan Kabupaten adalah ± 40 kilometer dengan waktu tempuh ± 2 jam menggunakan angkutan umum jika jalanan dalam keadaan lancar. Desa Gunung Menyan merupakan desa yang masih didominasi oleh lahan pertanian dan ekosistem yang kompleks sehingga masyarakat harus bergulat dari hari ke hari untuk membangun kehidupannya di atas sumber daya primer yang semakin hari ketersediaannya semakin menipis. Dengan segala keterbatasan tersebut, Desa Gunung Menyan harus dapat bersaing dengan daerah lain yang telah memiliki akses yang lebih baik terhadap transportasi, komunikasi, dan
29
informasi. Luas lahan Desa Gunung Menyan berdasarkan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Luas Lahan Desa Gunung Menyan berdasarkan Penggunaannya Penggunaan Lahan
Luas (Hektar)
Persentase (%)
Persawahan
102,2
42,55
Pemukiman Penduduk
64,38
26,80
Perkebunan
22,99
9,57
Pekarangan
22,20
9,24
0,06
0,02
1,7
0,71
2
0,83
24,66
10,27
240,19
100
Perkantoran desa Kuburan Taman desa Prasarana umum lainnya Total Luas
Sumber: diolah dari Laporan Profil Desa Gunung Menyan tahun 2009
Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar lahan yang ada di Desa Gunung Menyan dimanfaatkan untuk lahan persawahan (42,55 persen) yang terdiri dari sawah irigasi teknis (68,79 persen) dan sawah irigasi setengah teknis (31,21 persen). Sementara itu, tanaman pangan yang terdapat pada Desa Gunung Menyan terdiri dari jagung, kacang panjang, padi, ubi kayu, ubi jalar, tomat, mentimun, buncis, dan terong. Desa Gunung Menyan memiliki beberapa jalan umum, yaitu jalan kabupaten sepanjang 3000 meter dengan lebar 4 meter, jalan desa sepanjang 3825 meter dengan lebar 3 meter, dan jalan lingkungan sepanjang 6000 meter dengan lebar 1,5 meter. Masing-masing jalan tersebut dirasakan perlu untuk diperbaiki dikarenakan kondisi jalan-jalan tersebut dalam keadaan rusak dan sempit. Akses jalan menuju Desa Gunung Menyan bisa dikatakan mudah karena banyak tersedia alat transportasi, salah satunya angkutan kota (angkot). Jalan protokol yang menghubungkan Desa Gunung Menyan dengan daerah lain bisa dikatakan memadai. Tetapi, jalan-jalan yang ditemukan pada daerah sekitar pemukiman warga pada umumnya masih berupa jalanan berbatu. Sedikit demi sedikit pembangunan sarana dan prasarana Desa Gunung Menyan mulai dibangun dengan adanya program pembangunan fisik dari PNPM Mandiri Pedesaan.
30
Fasilitas umum yang terdapat di Desa Gunung Menyan terdiri dari balai desa, mesjid, majelis taklim, madrasah, gedung posyandu, dan gedung sekolah pada keadaan yang membutuhkan perbaikan. Selain itu, terdapat juga prasarana olah raga yang terdiri dari dua lapangan sepak bola, dua lapangan bulu tangkis, dan satu lapangan basket. Berdasarkan Laporan Profil Desa Gunung Menyan tahun 2009, tidak terdapat pasar pada Desa Gunung Menyan sehingga masyarakat yang ingin membeli kebutuhan hidup mereka hanya berbelanja di warung-warung kecil yang tersedia atau berbelanja di pasar daerah yang terdekat, yaitu Pasar Cimayang dan Pasar Cibening. Selain itu, pada Desa Gunung Menyan tidak terdapat objek wisata atau rekreasi yang bisa dijadikan warga sebagai sumber sebagian perekonomian mereka. Desa Gunung Menyan hanya memiliki satu unit koperasi Unit Desa dan satu unit Koperasi Simpan Pinjam yang belum berfungsi secara optimal. Penerangan di Desa Gunung Menyan sudah terdapat jaringan listrik dari PLN. Sebagian besar masyarakat Desa Gunung Menyan sudah menjadi konsumen penerangan dari PLN, walaupun masih terdapat sebagian masyarakat yang belum menjadi konsumen PLN disebabkan oleh keterbatasan ekonomi. 4.1.2 Keadaan Penduduk Data profil desa tahun 2009 mencatat jumlah penduduk Desa Gunung Menyan sebanyak 6243 jiwa, yang terdiri dari 48,71 persen laki-laki dan 50,97 persen perempuan. Jumlah tersebut memperlihatkan bahwa penduduk perempuan lebih besar jumlahnya daripada penduduk laki-laki dan penduduk tersebut terbagi dalam 1186 kepala keluarga (KK). Sebagian besar penduduk Desa Gunung Menyan mayoritas beragama Islam. Berdasarkan Tabel 3 di bawah dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang berada pada usia di bawah 25 tahun (3874 jiwa) lebih besar daripada jumlah penduduk yang berusia 26 tahun ke atas (2369 jiwa). Hal tersebut mengindikasikan bahwa 62,05 persen dari total penduduk Desa Gunung Menyan adalah penduduk golongan usia muda. Bisa dikatakan bahwa angka kelahiran di Desa Gunung Menyan tinggi. Angka kelahiran yang tinggi tersebut salah satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah penduduk yang menikah muda (menikah setelah lulus SMA). Sebagian dari mereka lebih memilih pernikahan daripada
31
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini bisa terjadi karena faktor ekonomi, dimana orang tua mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyekolahkan mereka hingga perguruan tinggi. Penjelasan mengenai jumlah penduduk Desa Gunung Menyan berdasarkan golongan umur dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Golongan Umur, Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, tahun 2009 Golongan umur (tahun)
Laki-laki N
0–5 6 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 41 – 45 46 – 50 51 – 55 > 56 Total
431 353 528 291 306 209 187 195 143 128 91 199 3061
Jenis kelamin Perempuan % N % 14,08 447 14,05 11,53 364 11,44 17,25 538 16,91 9,51 300 9,43 9,99 316 9,93 6,83 219 6,88 6,11 196 6,16 6,37 206 6,47 4,67 146 4,59 4,18 137 4,31 2,97 103 3,24 6,50 210 6,60 100 3182 100
Jumlah (jiwa) 878 717 1066 591 622 428 383 401 289 265 194 409 6243
Sumber: diolah berdasarkan Data Monografi Desa 2009
4.1.3 Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan Penduduk Sebagian Besar masyarakat Desa Gunung Menyan memiliki tingkat pendidikan SD atau sederajat. Meskipun begitu, terdapat juga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan hingga SMP, SMA, atau bahkan perguruan tinggi tetapi hanya dalam jumlah yang kecil. Hal ini diungkapkan oleh beberapa masyarakat Desa Gunung Menyan yang mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat, khususnya yang telah berusia dewasa, hanya memiliki tingkat pendidikan SD atau sederajat. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Berdasarkan informasi dan data yang peneliti dapatkan di lapangan, besarnya jumlah masyarakat yang hanya memiliki tingkat pendidikan hingga SD atau sederajat tersebut disebabkan oleh keterbatasan ekonomi keluarga dan rendahnya kesadaran orang tua terdahulu tentang arti pentingnya pendidikan. Masyarakat Desa Gunung Menyan pada umumnya tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan hanya mengandalkan hasil pertanian yang terbatas. Namun,
32
sebagian besar masyarakat Desa Gunung Menyan bermata pencaharian sebagai buruh tani dan karyawan perusahaan swasta, yaitu sebanyak 500 orang sebagai buruh tani dan 674 orang (36,37 persen) bekerja sebagai buruh perusahaan swasta dari 1853 orang penduduk yang bekerja. Kebanyakan dari penduduk Desa Gunung Menyan menjadi buruh tani karena mereka tidak mempunyai lahan sendiri untuk bertani. Sementara itu, penduduk yang bekerja di perusahaan swasta kebanyakan bekerja menjadi buruh pabrik ataupun supir angkutan perusahaan. Industri kecil yang terdapat pada Desa Gunung Menyan adalah tujuh industri yang memproduksi makanan dan lima industri yang memproduksi alat rumah tangga. Selain itu juga terdapat warung serba ada, 50 unit toko kelontong, usaha di bidang peternakan, perikanan, perkebunan, dan enam belas kios pengecer gas dan bahan bakar minyak. Usaha keterampilan masyarakat bermacam-macam, diantaranya yaitu usaha keterampilan kayu, usaha batu, usaha cukur, servis elektronik, dan sebagainya. Banyaknya jenis usaha keterampilan masyarakat Desa Gunung Menyan tersebut juga menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat desa beragam. Sebagian besar pendapatan rumah tangga penduduk Desa Gunung Menyan hanya bersumber dari suami, dimana istri hanya menjadi ibu rumah tangga. Tetapi terdapat juga diantara mereka yang sumber penghasilannya berasal dari suami, istri, dan bahkan anak. Namun, hal itu hanya terjadi pada beberapa masyarakat saja sehingga tidak jarang diantara mereka yang masih merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Gunung Menyan mempunyai mata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 26,98 persen dan 36,37 persen merupakan karyawan yang bekerja di perusahaan swasta. Sebanyak 24,55 persen berprofesi sebagai pedagang keliling. Selain itu, sebesar kurang dari tiga persen penduduk bekerja sebagai buruh migran, PNS, wiraswasta, montir, peternak, dosen, dokter swasta, dan sebagainya.
33
Tabel 4. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian, Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, tahun 2009 Jenis Pekerjaan Petani Buruh Tani Buruh Migran PNS Wiraswasta Pedagang Keliling Peternak Montir Dokter Swasta Pembantu Rumah Tangga Pensiunan PNS/TNI/POLRI Dukun Kampung Dosen Swasta Karyawan Swasta Total Sumber: Data Monografi Desa 2009
4.2
Jumlah (jiwa) 91 500 13 44 19 455 13 7 1 5 22 4 5 674 1853
Persentase (%) 4,91 26,98 0,70 2,37 1,03 24,55 0,70 0,37 0,054 0,27 1,19 0,22 0,27 36,37 100
Pelaksanaan Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP PNPM ) di Desa Gunung Menyan
4.2.1 Gambaran Umum Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan telah dilaksanakan dari tahun 2004 dengan memberikan dana pinjaman kepada peserta program yang tergabung dalam kelompok-kelompok perempuan. Kelompok-kelompok tersebut sengaja dibentuk berdasarkan tempat tinggal ketika akan mengikuti Program SPP PNPM dengan ketentuan bahwa mereka telah saling mengenal satu sama lain. Tujuannya adalah agar ketua dari setiap kelompok mudah menagih pembayaran cicilan setiap bulannya dan mudah mengontrol anggota peserta program mereka. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa anggota dalam satu kelompok tidak saling mengenal satu sama lain dan memiliki tempat tinggal yang berjauhan. Pinjaman SPP PNPM pada prinsipnya berbeda dengan pinjaman uang di bank. Pada segi penerimaan pinjaman di bank diberikan secara perorangan, sedangkan pada SPP PNPM pinjaman diberikan secara berkelompok. Resiko yang didapatkan dari meminjam uang di bank hanya ditanggung oleh peminjam saja, sedangkan pada SPP PNPM resiko peminjaman akan ditanggung oleh semua anggota yang tergabung dalam satu kelompok (tanggung renteng). Resiko dalam
34
mendapatkan pinjaman SPP PNPM yang ditanggung bersama ini mengakibatkan terjadinya suatu “distribusi tanggung jawab”, dimana anggota kelompok tidak merasa khawatir jika melanggar aturan dan mereka berpikir perbuatan mereka yang melanggar aturan adalah tanggung jawab semua anggota kelompok. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa anggota lainnya melanggar aturan, maka akan membuat mereka semakin bersikap santai untuk melakukan tindakan yang serupa. Dengan demikian, adanya suatu bentuk tanggung jawab bersama pada pinjaman SPP PNPM membuat anggota kelompok kurang bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka. Selain itu, pemberian pinjaman di bank hanya sebatas bantuan materi (uang) tetapi pada SPP PNPM selain bantuan materi, pemberdayaan juga diberikan kepada kelompok yang menerima pinjaman. Oleh karena itu, pinjaman SPP PNPM dirasakan anggota kelompok peserta program lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan uang pinjaman dari bank. Sejak tahun 2004, dana pinjaman SPP PNPM yang didapatkan Desa Gunung Menyan diberikan pada kelompok perempuan yang bisa saja berbeda setiap tahunnya. Penjelasan mengenai jumlah kelompok penerima pinjaman SPP PNPM di Desa Gunung Menyan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Jumlah Kelompok Penerima Pinjaman SPP PNPM berdasarkan Tahun (2004-2010) di Desa Gunung Menyan. Tahun
Jumlah Kelompok Perempuan Kelompok Lama
Kelompok Baru
2004
-
6
Kelompok Baru dan Lama -
2005
-
6
-
2006
-
-
12
2007
12
-
-
2008
-
17
-
2009
-
-
22
2010
3
-
-
Sumber : Diolah dari data yang didapatkan dari UPK Kecamatan Pamijahan
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa kelompok yang menerima alokasi dana pinjaman SPP PNPM bersifat tidak tetap dari tahun ke tahun. Misalnya, kelompok yang baru dibentuk dan menerima pinjaman pada tahun 2004 belum tentu
35
menerima pinjaman lagi di tahun 2005 (lihat Tabel 5). Alasan dari tidak tetapnya kelompok yang menerima pinjaman ini adalah perguliran yang belum selesai atau belum terpenuhinya kewajiban kelompok yang bersangkutan. Misalnya, jika kelompok yang menerima pinjaman pada tahun 2004 belum melunasi semua pinjamannya maka untuk sementara kelompok tersebut tidak mendapatkan pinjaman pada tahun berikutnya (2005) hingga mereka melunasi kewajibannya. Apabila kelompok yang menerima
pinjaman pada tahun 2004 tersebut telah
melunasi kewajiban mereka sebelum dimulainya perguliran di tahun 2006, maka mereka memiliki kesempatan kembali untuk mengajukan pinjaman di tahun 2006. Tabel 5 memperlihatkan adanya kelompok lama yang tidak mendapatkan pinjaman pada tahun berikutnya. Hal itu berarti bahwa mereka belum memenuhi kewajibannya sehingga pihak Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Pamijahan memberikan pinjaman kepada kelompok lain yang baru dibentuk di Desa Gunung Menyan. Sebelum memberikan pinjaman SPP PNPM kepada kelompok baru di desa, pihak kecamatan akan meninjau serta mempertimbangkan kondisi masyarakat dan kondisi pembayaran pinjaman SPP PNPM di desa yang bersangkutan. Jika kondisi masyarakat Desa Gunung Menyan masih dinilai layak dan aman untuk diberikan pinjaman, maka pihak kecamatan akan menyetujui permohonan pinjaman yang mereka ajukan. Hal ini berarti pinjaman akan terus diberikan kepada kelompok yang baru dibentuk jika kewajiban yang belum dipenuhi oleh kelompok lama masih berada pada tingkat yang wajar. Pada Tabel 5 bisa dilihat dari 22 kelompok baru dan lama yang menerima pinjaman pada tahun 2009, hanya 3 kelompok yang diberikan pinjaman kembali pada tahun 2010. Bisa dikatakan bahwa 19 kelompok lainnya belum memenuhi kewajibannya dalam melunasi pinjaman. Hal tersebut mengakibatkan pembagian dana pinjaman SPP PNPM di Desa Gunung Menyan pada tahun 2010 agak terhambat. Alokasi dana SPP PNPM di Desa Gunung Menyan berfluktuasi dan diberikan pada kelompok yang berbeda (tidak tetap). Jumlah dana pinjaman SPP PNPM yang diberikan sesuai dengan yang diajukan oleh desa, dan disetujui oleh pihak kecamatan. Pihak desa mengajukan pinjaman juga sesuai dengan kebutuhan dan permintaan dana dari kelompok penerima pinjaman dengan menilai terlebih
36
dahulu kelayakannya. Jumlah alokasi dana pinjaman SPP PNPM sejak tahun
Jumlah Alokasi Dana (juta)
2004-2010 dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. 231.5
250 200
Kelompok Lama
150
112 112
Kelompok Baru 77
100
49.5 50
18.5 0 0
18.5 0 0
00
2004
2005
2006
00
0 0
00
2007
2008
2009
00
Kelompok Lama dan Baru
0 2010
Tahun Pengalokasian
Gambar 3. Jumlah Alokasi Dana SPP PNPM berdasarkan Tahun dan Kelompok Penerima di Desa Gunung Menyan Sumber : Diolah dari data yang didapatkan dari UPK Kecamatan Pamijahan
Berdasarkan Gambar 3 di atas pada tahun pertama kalinya Desa Gunung Menyan mengikuti program SPP PNPM (tahun 2004) hanya mendapatkan pinjaman sebesar Rp.18.500.000,-. Kemudian pada tahun 2005 jumlah pinjaman yang diberikan pada Desa Gunung Menyan masih sama dengan jumlah ditahun 2004, tetapi diberikan pada kelompok yang berbeda. Seperti yang pernah dijelaskan di atas, kelompok yang menerima pinjaman tahun 2004 belum memenuhi semua kewajibannya pada saat perguliran di tahun 2005 akan dimulai. Selanjutnya pada tahun 2006 jumlah pinjaman yang didapatkan Desa Gunung Menyan meningkat, Rp.112.000.000,- dan diberikan pada kelompok lama dan kelompok baru. Begitu juga dengan tahun 2007, pinjaman diberikan pada kelompok yang sama dan jumlah yang sama. Namun, pada perguliran tahun 2008 jumlah pinjaman yang diberikan pada Desa Gunung Menyan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu hanya sebesar Rp.77.000.000,- dan diberikan kepada kelompok yang baru dibentuk kembali. Jumlah alokasi dana pinjaman SPP PNPM yang terbesar ada di tahun 2009 (231,5 juta). Jumlah tersebut tentu sebanding dengan banyaknya jumlah kelompok yang menerima pinjaman (22 kelompok). Pada tahun 2010, jumlah pinjaman yang didapatkan
37
Desa Gunung Menyan menurun kembali (Rp.49.500.000,-) dan hanya diberikan pada tiga kelompok yang telah menyelesaikan kewajiban tahun sebelumnya. Pelaksanaan program SPP PNPM berlangsung secara tanggung renteng, dalam pengertian apabila dalam satu kelompok terdapat anggota yang melakukan penunggakan, maka peserta program yang lain dalam kelompok tersebut harus beriuran untuk melunasi pinjaman yang macet tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem tanggung renteng ini mengakibatkan terjadinya suatu “distribusi tanggung jawab” pada kelompok. Selain itu, sistem tanggung renteng ini juga berarti apabila dalam satu kelompok terdapat anggota yang melakukan penunggakan, maka satu kelompok tersebut tidak akan mendapatkan pinjaman SPP PNPM pada perguliran berikutnya hingga semua pinjaman dalam kelompok tersebut lunas. Syarat yang harus dipenuhi oleh peserta program yang ingin mendapatkan pinjaman SPP PNPM sangatlah mudah, cukup dengan memperlihatkan KTP asli dan membawa surat jaminan. Kemudahan tersebut membuat peserta program lebih memilih pinjaman SPP PNPM daripada meminjam di bank. Surat jaminan yang dimaksudkan disini adalah surat pernyataan mengenai barang yang akan menjadi jaminan untuk mendapatkan pinjaman SPP PNPM. Tujuan dari penyertaan surat jaminan tersebut adalah apabila suatu saat anggota melakukan penunggakan dan tidak bisa membayar pinjaman, maka barang jaminan yang disebutkan pada surat jaminan tersebut akan disita oleh petugas. Namun, kenyataannya hingga sekarang belum ada petugas program yang menyita barang jaminan tersebut kepada peserta program yang tidak membayar pinjaman. Penjelasan tersebut dikemukakan oleh NAS (43 tahun), Tim Koordinator Desa yang menangani Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan, sebagai berikut: ‘awalnya memang ada surat jaminan yang harus dibuat peserta program ketika akan mendapatkan pinjaman SPP PNPM. Tetapi itu hanya syarat neng, sampai saat ini belum ada petugas yang menyita barang jaminan anggota yang menunggak. Soalnya barang jaminan itu kebanyakan TV, kulkas, dan semacamnya. Yah, petugas mana tega neng, kalau dijualpun harga barang itu ga seberapa. Jadi, lebih baik diserahin aja masalahnya ke kecamatan’. (NAS, 43 tahun)8 8
Hasil dari wawancara dengan informan
38
Berdasarkan pernyataan tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa belum ada hukuman yang berarti dalam menindak peserta yang tidak membayar pinjaman. Bisa dikatakan kontrol terhadap segala bentuk pelanggaran oleh peserta pinjaman masih lemah. Hal ini sesuai dengan penelitian Riswanto (2009) pada pelaksanaan Program P2KP di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, yang menemukan bahwa kontrol terhadap pelanggaran masih lemah karena belum adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran oleh penerima program sehingga menimbulkan persepsi negatif dari sebagian peminjam yang akhirnya membawa mereka kepada sikap yang suka melakukan pengunggakan dalam membayar pinjaman yang telah diberikan. Pihak dari Unit Pengelola Kegiatan Kecamatan Pamijahan, AIM (26 tahun) menyatakan sebagai berikut: ‘kontrol terhadap segala bentuk pelanggaran dan penunggakan oleh peserta program bisa dikatakan masih kurang. Hal itu terjadi karena tim dari kami (kecamatan) masih sangat terbatas. Apalagi, personilpersonil yang ada tidak hanya mengurusi masalah SPP PNPM , tetapi hampir semua yang berkaitan dengan kegiatan pada PNPM Mandiri Pedesaan’. (Andi, 26 tahun) Seperti yang diungkapkan oleh AIM (26 tahun), salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya kontrol terhadap penerima pinjaman adalah keterbatasan personil dari pihak kecamatan. Tim kecamatan dengan jumlah personil yang sedikit harus mengurusi keseluruhan kegiatan pada PNPM Mandiri Pedesaan. Pikiran dan fokus mereka terbagi sehingga dalam mengawasi jalannya Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan kurang maksimal. Kontrol yang lemah inilah yang mengakibatkan anggota peserta pinjaman SPP PNPM
di Desa
Gunung Menyan bersikap santai dan banyak yang melakukan penunggakan. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa pinjaman tersebut tidak harus dibayar tiap bulan, yang penting ketika akhir bulan perguliran semua pinjaman sudah lunas. Hal ini diungkapkan oleh responden sebagai berikut: ‘kalo saya mah kadang suka didouble bayarannya teh. Soalnya kadang suami ngasih uang, kadang ga. Yang penting mah ntar bulan November sudah lunas aja. Kan yang penting lunas ya teh?’. (SLH, 28 tahun)
39
Meskipun kontrol dan pengawasan terhadap peserta program lemah, pihak kecamatan tetap memiliki tindakan terhadap penunggakan yang dilakukan oleh peserta program. Jika salah satu peserta program menunggak lebih dan sama dengan tiga bulan, maka pihak kecamatan akan mendatangi peserta program yang bersangkutan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada pada peserta program tersebut sehingga ia tidak membayar cicilan lebih dan sama dengan tiga bulan. Terdapat dua kemungkinan penyebab penunggakan oleh peserta program, yaitu: kegagalan usaha yang dialami peserta program dan masalah ekonomi yang mereka hadapi. Setelah masalah diidentifikasi, tim kecamatan menetapkan kembali waktu tenggang pelunasan cicilan kepada anggota yang menunggak dengan ketentuan penunggak hanya dibebani pinjaman pokok tanpa bunga. Peserta program yang ingin mendapatkan pinjaman SPP PNPM
juga
disyaratkan harus memiliki usaha ekonomi sendiri, karena uang pinjaman tersebut akan diperuntukkan sebagai tambahan modal usaha mereka. Tetapi, pada kenyataannya tidak jarang dari anggota kelompok peserta pinjaman tersebut tidak memiliki usaha ekonomi secara pribadi. Mereka menggunakan uang pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar hutang, membeli perabot, dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya sehingga uang pinjaman tidak produktif sebagaimana mestinya. Tentu saja kenyataan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan teknis program. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor dari kesulitan anggota dalam membayar cicilan setiap bulannya. Setiap kelompok yang baru mengikuti program, masing-masing diberi pinjaman sebesar Rp.500.000,-. Pinjaman akan bertambah jumlahnya dengan kelipatan Rp.500.000,- apabila anggota kelompok peserta program telah melunasi pinjaman pada perguliran sebelumnya. Namun, setiap peserta program memiliki kebebasan untuk memilih jumlah pinjaman yang akan mereka ambil dengan jumlah minimum sebesar Rp.500.000,-. Setiap anggota dalam kelompok bisa saja mendapatkan pinjaman yang berbeda dengan anggota lain dalam kelompok tersebut, tergantung pada kebutuhan dan kesanggupan masing-masing. Setelah mendapatkan pinjaman mereka memiliki kewajiban untuk membayar cicilan setiap bulannya. Semakin besar jumlah pinjaman yang mereka ambil, maka akan semakin besar jumlah cicilan yang harus mereka bayar. Oleh karena itulah,
40
responden yang memiliki pinjaman di atas Rp.1000.000,- merasa kesulitan dalam membayar cicilan setiap bulannya, apalagi bagi mereka yang tidak menggunakan uang pinjaman tersebut sebagai modal usaha. Terkadang mereka harus meminta uang kepada suaminya untuk membayar cicilan, padahal suami mereka belum tentu memiliki penghasilan yang tetap. Hal tersebut juga menjadi sebab dari banyak terjadi penunggakan dalam pembayaran cicilan setiap bulannya. Sosialisasi mengenai Program SPP PNPM hanya dilakukan sekali pada saat sebelum dana SPP PNPM dicairkan. Selain itu, pertemuan kelompok dengan petugas pelaksana program hanya tiga kali sebelum pencairan. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan program yang menyebutkan bahwa sosialisasi harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Sewaktu sosialisasi dijelaskan petunjuk pelaksanaan program yang terdiri dari penjelasan mengenai prosedur program, sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, aturan-aturan yang harus ditaati peserta program, dan sebagainya. Sosialisasi diadakan di balai desa Gunung Menyan, dengan pembicara berasal dari UPK Kecamatan Pamijahan. Setelah dana dicairkan hampir tidak ada pemantauan dan pendampingan dari pelaksana program terhadap anggota yang mendapatkan pinjaman. Petugas SPP PNPM
di tingkat desa turun ke lapangan hanya sekali sebulan untuk
mengambil angsuran pinjaman dari masing-masing kelompok. Bisa dikatakan pemantauan dari petugas pelaksana program masih sangat minim. Selain itu, pendampingan terhadap peserta program juga tidak ada. Padahal, peserta program yang sebagian besar menghadapi masalah kemiskinan tersebut membutuhkan pendampingan yang bisa memotivasi mereka untuk memiliki rasa percaya diri akan kemampuan untuk berusaha dan keluar dari masalah kemiskinan. Peserta program juga harus dimotivasi kearah pemanfaatan dana pinjaman secara benar. Seperti
yang
dijelaskan
pada
Petunjuk
Teknis
Operasional
Program,
pendampingan dilakukan untuk membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan mampu mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pelatihan keterampilan terhadap penerima program pun tidak ada. Pelatihan pernah diadakan oleh pihak kecamatan, namun hanya berupa pelatihan administrasi keuangan dan pelaksanaannya pun tidak merata kepada semua
41
anggota kelompok peserta program. Pelatihan keterampilan tidak pernah dilakukan karena tidak adanya permintaan dari desa yang bersangkutan untuk mendapatkan pelatihan keterampilan, serta keterbatasan dana dari pihak kecamatan untuk melaksanakan pelatihan keterampilan. Padahal, apabila pemberian pinjaman modal usaha diiringi dengan pelatihan keterampilan, pemanfaatan dana pinjaman sebagai modal usaha akan lebih optimal. Menurut pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyanm pengetahuan anggota kelompok peserta program juga masih minim. Hal ini terlihat pada masih terdapatnya peserta program yang tidak tahu mengenai seluk beluk pelaksanaan program. Mereka hanya tahu mendapatkan pinjaman dan bagi mereka yang terpenting setelah akhir bulan perguliran mereka sudah lunas membayar pinjaman. Pada saat sosialisasi pun peserta program terkesan “asal datang” saja, tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh pihak kecamatan. Hal ini diungkapkan oleh Tim Koordinator Desa, NAS (43 tahun), sebagai berikut: ‘pengetahuan anggota terhadap program masih sangat minim neng. Mereka ga mau tau. Mereka mikirnya mah yang penting bayar aja tiap bulan. Pas sosialisasi pun, mereka asal datang aja. Kasih pendapat atau usulan pun mah mereka ga’. ( NAS, 43 tahun) Bagian Unit Pengelola Kecamatan Pamijahan, AIM (26 tahun), juga menyatakan sebagai berikut : ‘pengetahuan masyarakat terhadap program masih minim. Itu mungkin disebabkan oleh terlalu banyak program yang mereka ikuti, sehingga akhirnya mereka bingung sendiri. Partisipasi masyarakat juga masih minim, mereka tidak mau tau, dan ada juga diantara mereka yang trauma dengan iming-iming program terdahulu’. (AIM, 26 tahun) Walaupun informan tersebut mengatakan bahwa pengetahuan responden masih minim, data yang peneliti dapatkan di lapangan memperlihatkan bahwa responden memiliki pengetahuan meskipun hanya berupa pengetahuan dasar (seperti sasaran, aturan, dan sanksi program), sehingga secara umum responden memiliki pengetahuan yang cukup mengenai program tersebut. Responden
42
mengakui bahwa pengetahuan dasar mengenai program mereka dapatkan melalui proses komunikasi dalam kelompok, dan bukan dari sosialisasi. Misalnya melalui informasi yang diberikan ketua kelompok, anggota kelompok lainnya, ataupun pihak desa secara tidak langsung ketika melakukan penagihan setiap bulannya. Selain itu, waktu keterlibatan yang lama dalam program juga menjadi sumber dari pengetahuan yang responden miliki mengenai program. Penjelasan mengenai program yang hanya diberikan sekali saat sosialisasi, membuat responden menjadi lupa akan materi yang diberikan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sosialisasi yang diberikan oleh pihak kecamatan mengenai program belum cukup untuk memberikan pengetahuan kepada peserta program. 4.2.2
Karakteristik Responden Peserta Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM di Desa Gunung Menyan Keberhasilan suatu program penanggulangan kemiskinan di tingkat
masyarakat dipengaruhi oleh karakteristik sosial masyarakat, keadaan, dan letak geografisnya. Salah satunya adalah karakteristik kelompok sasaran yang menjadi target utama dalam menanggulangi kemiskinan di suatu wilayah. Profil karakteristik responden (anggota kelompok peserta program) dapat diketahui melalui jenis kelamin, tingkat usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan utama, dan jumlah tanggungan. 4.2.2.1 Jenis Kelamin Peserta Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Sasaran peserta Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP PNPM ) adalah terdiri dari perempuan secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan tujuan khusus dari Program SPP PNPM, yaitu untuk mempercepat proses pemenuhan kebutuhan pendanaan usaha atau sosial dasar, memberikan kesempatan kaum perempuan meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui pendanaan modal usaha, serta mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan9. Selain itu, keterlibatan perempuan pada Program SPP PNPM
tersebut mensyaratkan perempuan untuk memiliki kegiatan usaha
9
Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, op.cit., hal:58 (Penjelasan IV)
43
produktif. Dana pinjaman SPP PNPM
yang mereka dapatkan seharusnya
digunakan sebagai tambahan modal bagi usaha mereka. Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan usaha yang dimiliki perempuan dan meningkatkan kontribusi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga. Namun, pada kenyataan yang peneliti dapatkan di lapangan, hampir sebagian dari peserta program perempuan yang mendapatkan pinjaman SPP PNPM tidak memiliki kegiatan usaha produktif dan bahkan tidak memiliki pekerjaan. Tidak jarang dana pinjaman tersebut hanya digunakan untuk membiayai usaha milik suaminya atau untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat konsumtif. 4.2.2.2 Tingkat Usia Peserta Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Tingkat usia responden dibagi menjadi empat kategori, yaitu: 1) kurang dari 25 tahun; 2) 25-35 tahun; 3) 36-46 tahun; dan 4) 46 tahun ke atas. Gambaran mengenai tingkat usia responden dapat dilihat pada Gambar 4.
6% <25 tahun
29% 34% 31%
25‐35 tahun 36‐46 tahun >46 tahun
Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia (n=52) Berdasarkan Gambar 4 di atas terlihat bahwa jumlah responden yang memiliki umur di bawah 35 tahun (40 persen) lebih rendah dari pada jumlah responden yang memiliki usia di atas 36 tahun (60 persen). Hal tersebut memperlihatkan bahwa anggota kelompok peserta Program SPP PNPM tidak muda lagi. Program SPP PNPM yang memberikan modal untuk melakukan usaha ekonomi produktif bagi perempuan seharusnya lebih banyak diikuti oleh perempuan dengan umur yang relatif muda (25-35 tahun), dengan harapan mereka akan lebih mampu untuk berusaha ekonomi apabila dibandingkan dengan peserta
44
kelompok umur 36 tahun ke atas. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan justru peserta program yang berumur 36 tahun ke atas lebih aktif berusaha daripada peserta umur 35 tahun ke bawah. Hal ini dapat dilihat pada salah satu responden yang masih menjalankan usaha sebagai pembuat keripik rangginang walaupun usia nya telah mencapai 60 tahun. 4.2.2.3 Tingkat Pendidikan Peserta Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Responden yang menjadi anggota kelompok peserta Program SPP PNPM secara umum memiliki tingkat pendidikan SD atau sederajat yaitu sebesar 83 persen. Selain itu, terdapat juga responden yang memiliki tingkat pendidikan SMP atau sederajat sebesar 11 persen, pada tingkat SMA atau sederajat sebesar dua persen, tidak tamat SD sebesar dua persen, dan tidak sekolah sebesar dua persen. Pada penelitian ini tidak ditemukan responden yang memiliki tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Banyaknya jumlah responden yang hanya memiliki tingkat pendidikan setara SD mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan responden masih relatif rendah. Tingkat pendidikan responden dipengaruhi oleh permasalahan ekonomi keluarga serta keinginan atau kesadaran keluarga responden yang masih minim mengenai pentingnya pendidikan. Karakteristik pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5. 2% 2% 2%
Tidak sekolah
11% Tidak tamat SD SD atau Sederajat 83%
SMP atau Sederajat SMA atau Sederajat
Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan (n=52)
45
4.2.2.4 Pekerjaan Peserta Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Sebagian responden yang merupakan peserta Program SPP PNPM tidak memiliki pekerjaan atau hanya menjadi ibu rumah tangga. Kebanyakan dari mereka kegiatan sehari-harinya hanya mengurusi rumah tangga mereka, tanpa memiliki suatu pekerjaan yang bisa menambah pendapatan keluarga. Tidak jarang dari mereka yang meminta uang kepada suaminya untuk membayar cicilan pinjaman SPP PNPM
setiap bulannya. Tetapi terdapat juga responden yang
memiliki pekerjaan atau usaha ekonomi produktif sehingga mereka bisa berkontribusi dalam menambah penghasilan keluarga mereka. Karakteristik responden menurut pekerjaannya dapat dilihat pada Gambar 6.
4%
2% 2% 2% Ibu rumah tangga Pedagang
31% 59%
Petani Penjahit Guru Wirausaha
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan (n=52) Gambar 6 memperlihatkan bahwa sebagian dari responden yang menjadi peserta Program SPP PNPM hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yaitu sebesar 59 persen. Namun, terdapat juga responden yang berprofesi sebagai pedagang sebesar 31 persen, sebagai petani sebesar 4 persen, sebagai penjahit, guru, dan wirausaha yang masing-masing sebesar 2 persen. Banyaknya persentase responden yang hanya menjadi ibu rumah tangga, sebagian besar disebabkan oleh mengikuti keinginan suami mereka yang menginginkan responden hanya bekerja di rumah dan mengurusi rumah tangga mereka. Selain itu, sebelumnya banyak juga dari responden yang hanya menjadi ibu rumah tangga tersebut dahulunya juga memiliki usaha (berdagang) kecilkecilan untuk membantu perekonomian rumah tangga mereka. Usaha tersebut sekarang tidak berlanjut karena mengalami kerugian (tidak kembali modal).
46
Kondisi kesehatan responden yang menurun juga menjadi salah satu faktor yang tidak memungkinkan responden untuk bekerja atau melakukan usaha ekonomi produktif. 4.2.2.5 Status Perkawinan dan Jumlah Tanggungan Peserta Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Gunung Menyan Kategori status perkawinan responden yang menjadi peserta Program SPP PNPM ini dibedakan menjadi kawin, cerai, dan janda. Secara keseluruhan, status perkawinan responden dapat dilihat pada Gambar 7. 2% 8%
Kawin Cerai 90%
Janda
Gambar 7. Karakteristik Responden berdasarkan Status Perkawinan (n=52). Sebagian besar peserta program yang menjadi sasaran Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan telah menikah sebesar 90 persen dari total responden. Sementara itu, terdapat dua persen responden yang sudah bercerai dan delapan persen responden yang menjadi janda. Responden yang sudah menjadi janda tersebut menanggung biaya kehidupannya sendiri dengan berdagang, dan ada juga yang hanya mengharapkan pemberian dari anaknya. Program SPP PNPM ini diharapkan mampu untuk memandirikan perekonomian perempuan yang telah kehilangan kepala keluarga. Responden secara dominan memiliki tanggungan berjumlah satu sampai tiga orang sebesar 67 persen. Selain itu, 17 persen dari responden memiliki empat sampai lima orang tanggungan pada rumah tangganya, sebesar 16 persen dari responden tidak memiliki tanggungan, dan pada penelitian ini tidak ditemukannya responden yang memiliki tanggungan lebih dari lima orang. Tanggungan yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah jumlah anak kandung, anak angkat, saudara, ataupun orang tua responden yang kehidupan sehari-harinya dibiayai
47
oleh responden. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah tanggungan yang dibiayai oleh responden, maka semakin besar biaya yang diperlukan untuk responden dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena itu, Program SPP PNPM ini diharapkan dapat meningkatkan peran istri dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanggungan nya dapat dilihat secara jelas pada Gambar 8.
0%
1‐3 orang
16%
4‐5 orang
17% 67%
lebih dari 5 orang Tidak memiliki tanggungan
Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan (n=52). 4.3
Keikutsertaan Peserta dalam Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan Keikutsertaan peserta program yang mengikuti Program SPP PNPM dapat
dilihat dari jumlah waktu perguliran pinjaman SPP PNPM yang telah mereka ikuti serta jumlah pinjaman SPP PNPM yang mereka dapatkan. 4.3.1 Jumlah Waktu Perguliran yang Diikuti oleh Responden Peserta SPP PNPM di Desa Gunung Menyan Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan di Desa Gunung Menyan telah dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga penelitian ini dilakukan (2010). Jumlah
perguliran yang telah dilaksanakan hingga sekarang adalah
sebanyak enam kali perguliran (enam tahun). Masing-masing peserta yang mengikuti program ini bisa saja memiliki waktu keterlibatan yang tidak sama dengan anggota yang lainnya walaupun mereka masih berada di dalam satu kelompok. Hal itu disebabkan karena keanggotaan kelompok tersebut sifatnya tidak tetap, dalam arti kata peserta program bisa bebas keluar atau masuk menjadi suatu anggota kelompok untuk memanfaatkan pinjaman SPP PNPM. Bahkan diantara mereka ada yang menggantikan anggota lain dalam suatu kelompok.
48
Penjelasan mengenai waktu keterlibatan peserta Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan dapat dilihat pada Gambar 9.
21%
12%
Kurang dan sama dengan 1 tahun 2‐3 tahun
67%
lebih dari 3 tahun
Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Waktu Keterlibatan (n=52). Berdasarkan Gambar 9 di atas terlihat bahwa jumlah responden dengan waktu keterlibatan selama 2-3 tahun dalam program (67 persen) lebih besar daripada jumlah responden dengan waktu keterlibatan kurang dan sama dengan satu tahun (12 persen), dan jumlah responden yang terlibat lebih dari tiga tahun dalam Program SPP PNPM
(21 persen). Sedikitnya jumlah responden yang
memiliki waktu keterlibatan kurang dan sama dengan satu tahun memperlihatkan bahwa secara umum responden peserta Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan telah terbiasa dalam mengikuti program SPP, sehingga dapat dikatakan bahwa secara umum mereka mengetahui bentuk pelaksanaan Program SPP PNPM. Waktu keterlibatan responden yang sudah cukup lama dalam mengikuti program SPP PNPM tidak berarti bahwa mereka telah lama bergabung dalam suatu kelompok yang sama. Peserta yang menjadi anggota kelompok memiliki kemungkinan untuk pindah ke kelompok lain. Sebagaimana diketahui, keanggotaan responden dalam suatu kelompok bersifat tidak tetap dan bisa berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya. 4.3.2 Jumlah Dana Pinjaman yang Didapatkan oleh Responden Peserta SPP PNPM di Desa Gunung Menyan Semakin lama waktu keterlibatan peserta program pada Program SPP PNPM, maka akan semakin banyak jumlah pinjaman yang mereka dapatkan. Pinjaman diberikan secara bertahap, dengan jumlah pinjaman minimum sebesar
49
Rp.500.000,-. Hal ini berarti bahwa peserta program yang baru terlibat dalam program hanya akan mendapatkan pinjaman pertama sebesar Rp.500.000,-. Jumlah pinjaman akan bertambah pada perguliran selanjutnya dengan kelipatan Rp.500.000,- apabila anggota telah melunasi pinjaman pada perguliran sebelumnya. Walaupun besar jumlah pinjaman telah ditetapkan dari atas (pemerintah), setiap kelompok atau peserta program memiliki hak untuk memutuskan sendiri jumlah pinjaman yang akan mereka ambil. Misalnya, jika mereka memiliki kesempatan untuk meminjam pinjaman sejumlah Rp.2000.000,mereka diperbolehkan jika hanya mengambil pinjaman sebesar Rp.1500.000,-. Keputusan tersebut tergantung pada kebutuhan mereka dan kesanggupan mereka untuk membayar pinjaman. Jumlah pinjaman yang didapatkan oleh anggota yang satu dengan anggota yang lain bisa saja berbeda meskipun mereka menjadi anggota pada kelompok yang sama. Hal itu dikarenakan oleh masing-masing anggota memiliki hak untuk memutuskan jumlah pinjaman yang akan mereka gunakan. Sebaran jumlah pinjaman yang digunakan oleh responden dapat dilihat pada Gambar 10.
13%
15%
Rp.500.000 Rp. 1000.000‐ 1500.000
73%
lebih dari Rp. 1500.000
Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Pinjaman (n=52) Gambar 10 menjelaskan bahwa pada umumnya responden menggunakan pinjaman pada jumlah Rp.1000.000,- hingga Rp.1500.000,-, yaitu sebesar 73 persen. Selain itu, jumlah responden yang menggunakan pinjaman Rp.500.000,sebesar 15 persen, dan jumlah responden yang menggunakan pinjaman di atas Rp.1500.000,- sebesar 12 persen. Berdasarkan hasil wawancara dengan Tim Koordinator Desa (TKD) yang menangani masalah SPP PNPM di Desa Gunung Menyan, semakin besar jumlah pinjaman yang diambil oleh peserta program maka
50
akan semakin besar kemungkinan mereka melakukan penunggakan. Hal tersebut dikarenakan oleh semakin besarnya jumlah angsuran yang harus mereka bayar setiap bulannya. Dengan demikian, pinjaman di atas Rp.1000.000,- akan lebih rentan terhadap kemungkinan penunggakan.
BAB V REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SIMPAN PINJAM UNTUK KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) PNPM MANDIRI PEDESAAN DI DESA GUNUNG MENYAN Representasi sosial peserta Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM di Desa Gunung Menyan terdiri atas elemen-elemen representasi sosial dan tipe representasi sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan. 5.1
Elemen-Elemen Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan Representasi sosial terdiri dari empat elemen, yakni informasi, keyakinan,
pendapat, dan sikap tentang suatu obyek (Abric (1976) dalam Deaux & Philogene (2001)). Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. 5.1.1 Elemen Informasi (Information) Responden mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan Elemen informasi pada representasi sosial Program SPP PNPM dilihat dari pengetahuan responden yang menjadi anggota kelompok peserta program terhadap Program SPP PNPM yang mereka ikuti. Pengetahuan terhadap Program SPP PNPM terdiri dari pengetahuan mengenai syarat-syarat mengikuti program, prosedur pelaksanaan program, aturan program, serta sanksi-sanksi terhadap pelanggaran dalam mengikuti program. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden pada satu kelompok yang sama bisa saja berbeda-beda satu sama lainnya. Hal tersebut terjadi karena pada pelaksanaan Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan tidak pernah dilakukan suatu diskusi atau rapat yang secara khusus membahas mengenai program. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi mengenai Program SPP PNPM berjumlah sebelas orang (21,15 persen), responden yang memiliki pengetahuan sedang mengenai Program SPP PNPM berjumlah 32 orang (61,54 persen), dan responden yang memiliki pengetahuan rendah mengenai program berjumlah
52
sembilan orang (17,31 persen). Dapat dikatakan bahwa secara dominan responden memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam mengikuti Program SPP PNPM, sehingga menandakan bahwa responden mendapatkan informasi yang cukup baik
Persentase Tingkat Pengetahuan (%)
mengenai program. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.
61.54
80 60 40
21.15
17.31
20 0 Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat Pengetahuan Responden
Gambar 11. Tingkat Pengetahuan Responden mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan (n=52) Sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang sedang terhadap program. Sedikitnya jumlah responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah mengenai program (17,31 persen) menunjukkan bahwa mereka pada umumnya memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam mengikuti Program SPP PNPM. Mereka mengetahui tujuan dari Program SPP PNPM, sasaran dari Program SPP PNPM, kegunaan dari dana SPP PNPM yang diberikan, peraturan, serta sanksi yang harus mereka patuhi sebagai penerima pinjaman SPP PNPM. Pengetahuan yang mereka miliki akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu keterlibatan mereka di dalam Program SPP PNPM . Pengetahuan responden yang cukup baik mengenai Program SPP PNPM, tidak menjamin mereka akan memiliki perilaku yang baik dalam mengikuti Program SPP PNPM. Meskipun mereka mengetahui dana SPP PNPM itu adalah pinjaman, banyak diantara mereka yang menunggak dalam membayar cicilan setiap bulannya. Hal ini terlihat pada 46 persen dari responden (lihat Gambar 18) berperilaku tidak patuh dalam mengikuti Program SPP PNPM. Mereka tidak menggunakan uang pinjaman SPP PNPM
sebagai modal usaha serta
mengembalikan pinjaman dengan tidak tepat waktu (menunggak) dan jumlah yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan (tergantung pada banyak uang yang
53
mereka miliki untuk membayar cicilan). Hal tersebut terjadi karena permasalahan ekonomi yang mereka alami. Banyak diantara responden yang mempergunakan uang pinjaman untuk berobat, untuk membayar sekolah anak, atau bahkan untuk membiayai kebutuhan yang bukan kebutuhan pokok (seperti membangun rumah, membayar kredit motor, membayar hutang). Bagi mereka, memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu lebih penting daripada membayar cicilan pinjaman SPP PNPM. Akibatnya pada saat tanggal pembayaran cicilan jatuh tempo mereka merasa tidak sanggup untuk membayarnya dan akhirnya menunggak cicilan. Pengetahuan responden yang cukup baik mengenai Program SPP PNPM tidak berarti bahwa sosialiasi terhadap program dilaksanakan dengan baik. Pertemuan peserta program dengan pelaksana program hanya dilakukan sebanyak tiga kali sebelum dana dicairkan, dimana sosialisasi terhadap program hanya dilakukan sekali yaitu pada pertemuan yang ke tiga. Apalagi ketika sosialisasi responden terkesan “asal datang” tanpa memberikan pendapat dan pertanyaan pada sosialisasi tersebut. Sosialisasi mengenai program yang hanya sekali selama satu tahun perguliran dirasakan responden tidak cukup untuk memberikan pengetahuan yang baik kepada mereka. Responden mengaku bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai program lebih banyak dari percakapan (komunikasi) dengan sesama anggota ataupun dengan ketua kelompok mereka. Responden memiliki pengetahuan tentang bentuk Program SPP PNPM yang mereka ikuti. Sebanyak 31 orang responden (59,62 persen) mengetahui bahwa tujuan dari Program SPP PNPM adalah untuk memberikan kesempatan pada perempuan untuk meningkatkan pendapatan dan keterampilan mereka, dan 21 orang responden (40,38 persen) tidak mengetahui tujuan Program SPP PNPM yang mereka ikuti. Selain itu, 26 orang responden (50 persen) yang mengetahui sasaran dari program, 46 orang responden (88,46 persen) mengetahui bahwa dana pinjaman SPP PNPM digunakan untuk memodali kegiatan usaha ekonomi yang mereka miliki, 49 orang responden (94,23 persen) mengetahui bahwa jumlah dana SPP PNPM yang didapatkan peserta program pada perguliran yang pertama adalah Rp. 500.000,-, dan 37 orang responden (71,15 persen) mengetahui waktu pembayaran cicilan harus dilakukan. Kemudian 26 orang responden (50 persen) mengetahui jumlah uang cicilan yang harus mereka bayarkan setiap bulannya, 32
54
orang responden (61,54 persen) mengetahui syarat yang harus dipenuhi agar peserta program mendapatkan dana SPP PNPM pada perguliran selanjutnya, 24 orang responden (46,15 persen) mengetahui peraturan yang harus dipatuhi peserta program dalam melaksanakan Program SPP PNPM , dan 37 orang responden (71,15 persen) mengetahui sanksi-sanksi terhadap pelanggaran dalam mengikuti Program SPP PNPM. Tetapi, hanya lima orang responden (9,62 persen) yang mengetahui darimana dana pinjaman SPP PNPM tersebut dibiayai. Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan informasi yang dimiliki oleh responden mengenai Program SPP PNPM cukup baik, meskipun masih terdapat beberapa informasi yang tidak diketahui oleh beberapa responden. 5.1.2 Elemen Keyakinan dan Pendapat Responden mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan Setiap kelompok anggota peserta program SPP PNPM
secara umum
memiliki keyakinan dan pendapat yang sama mengenai Program SPP PNPM, yaitu berupa keyakinan dan pendapat yang baik. Keyakinan yang responden miliki mengenai Program SPP PNPM terdiri dari keyakinan bahwa program tersebut mampu untuk mengembangkan usaha, meningkatkan pendapatan, dan mampu untuk membantu perekonomian rumah tangga miskin. Selain itu, mereka memiliki keyakinan bahwa pinjaman tersebut akan mereka dapatkan secara berlanjut apabila mereka membayar cicilan pinjaman dengan lancar setiap bulannya dan tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Mereka yakin apabila mereka melanggar peraturan, maka mereka akan mendapatkan sanksi. Pada aspek “pendapat dalam membayar cicilan SPP PNPM”, terdapat suatu perbedaan. Sebagian dari responden berpendapat bahwa membayar cicilan adalah sulit (42,31 persen) dan sebagian lagi diantara mereka berpendapat bahwa mudah untuk membayar cicilan SPP PNPM setiap bulannya (57,69 persen). Responden yang berpendapat bahwa membayar cicilan itu sulit, mengatakan bahwa mereka tidak punya uang yang cukup untuk membayar cicilan setiap bulannya. Uang yang mereka miliki harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kemudian pinjaman SPP PNPM yang mereka dapatkan tidak digunakan untuk memodali usaha mereka sendiri. Akibatnya uang tersebut tidak berputar dan sulit
55
untuk dikembalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Riswanto (2009) yang menyebutkan bahwa dalam pemanfaatan dana pinjaman terdapat kejadian dimana dana yang seharusnya digunakan untuk penambahan modal suatu usaha, digunakan untuk keperluan mendesak seperti berobat maupun untuk memenuhi keperluan rumah tangga lainnya. Akibatnya pada saat jatuh tempo pengembalian, mereka tidak mampu membayarnya. Terkadang responden yang berpendapat “sulit” membayar cicilan harus menunggu uang pemberian dari suami mereka untuk membayar cicilan pinjaman SPP PNPM
setiap bulannya. Padahal suami mereka belum tentu
memiliki
pendapatan yang tetap. Oleh karena itulah mereka sulit untuk membayar cicilan setiap bulannya. Responden yang berpendapat bahwa membayar cicilan SPP PNPM adalah “mudah” mengakui bahwa mereka dengan sengaja telah mempersiapkan atau menyisihkan sebagian dari uang mereka untuk membayar cicilan setiap bulannya. Apalagi mereka menggunakan uang pinjaman SPP PNPM itu untuk tambahan modal usaha. Kemudian mereka mengatakan jika uang tersebut digunakan untuk modal, maka akan mudah dikembalikan karena penggunaan uang tersebut menjadi produktif. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut: ‘bayar cicilannya ya gampang lah teh. Kan uang nya digunakan untuk dagang. Jadi, uangnya bakal berputar terus’. (TTN, 35 tahun). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa uang cicilan pinjaman SPP PNPM akan lebih mudah dikembalikan apabila responden benarbenar menggunakan uang pinjaman tersebut untuk memodali usaha mereka. Selain modal akan kembali, mereka juga akan mendapatkan keuntungan dari hasil usaha mereka. Hal seperti inilah yang bisa membuat dana pinjaman SPP PNPM mampu meningkatkan pendapatan dan mengembangkan usaha responden penerima pinjaman. Penjelasan mengenai keyakinan
dan opini responden
mengenai program dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
56
Tabel 6. Persentase Keyakinan dan Opini Responden mengenai Program SPP PNPM Jumlah N %
Pernyataan Keyakinan dan Opini mengenai Program SPP PNPM 1. Tujuan Program SPP PNPM : - Membantu masyarakat miskin - Hanya program biasa 2. Kemampuan dana SPP PNPM untuk mengembangkan usaha - Mampu - Tidak mampu 3. Kemampuan dana SPP PNPM untuk meningkatkan pendapatan - Mampu - Tidak mampu 4. Pendapat dalam membayar cicilan SPP PNPM - Mudah - Sulit 5. Pendapat mengenai keberlanjutan dana SPP PNPM - Terus berlanjut - Hanya sekali perguliran 6. Keyakinan jika membayar cicilan SPP PNPM secara lancar - Akan mendapatkan pinjaman pada perguliran berikutnya - Tidak mendapat apa-apa 7. Keyakinan jika melanggar aturan SPP PNPM - Akan mendapatkan sanksi - Tidak mendapat sanksi apa-apa
5.1.3 Elemen Sikap Responden terhadap Program SPP PNPM Pedesaan
40 12
76,92 23,08
49 3
94,23 5,77
48 4
92,31 7,69
30 22
57,69 42,31
51 1
98,08 1,92
50 2
96,15 3,85
43 9
82,69 17,31
Mandiri
Sikap adalah evaluasi terhadap aspek-aspek dunia sosial, baik secara positif maupun negatif (Baron & Byrne, 2003). Aspek sikap yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah sikap responden anggota kelompok peserta program terhadap Program SPP PNPM. Sikap bisa bernilai positif, netral, atau negatif. Aspek sikap pada penelitian ini terdiri dari empat skala pengukuran dengan delapan indikator kata, yaitu: baik-buruk, bermanfaat-tidak bermanfaat, butuh-tidak butuh, membantu-tidak
membantu,
memuaskan-tidak
memuaskan,
memudahkan-
menyulitkan, tidak beresiko-beresiko, serta bebas-terikat. Berdasarkan data yang didapatkan peneliti di lapangan, secara dominan responden memiliki sikap yang positif terhadap program. Hal ini terlihat dari sebanyak 35 orang responden (67,31 persen) memiliki sikap yang positif terhadap program, dan 17 orang responden (32,69 persen) memiliki sikap yang netral terhadap program. Responden yang memiliki sikap negatif terhadap program tidak
57
ditemukan pada penelitian ini. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan responden anggota kelompok peserta Program SPP PNPM memiliki sikap yang baik terhadap program. Gambaran sikap responden terhadap Program
Persentase sikap (%)
SPP PNPM di Desa Gunung Menyan dapat dilihat pada Gambar 12.
67.31
80 60 32.69
40 20 0 Negatif
Netral
Positif
Sikap Responden terhadap Program SPP PNPM
Gambar 12. Sikap Responden terhadap Program SPP PNPM (n=52)
Ikhtisar Representasi sosial terdiri atas empat elemen-elemen, yaitu: informasi (information), keyakinan (belief), pendapat (opinion), dan sikap yang dimiliki oleh responden tentang program SPP PNPM. Pada elemen informasi, tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden pada satu kelompok yang sama bisa saja berbeda-beda satu sama lainnya. Sebagian besar responden memiliki informasi yang cukup baik mengenai program SPP PNPM. Selain itu, secara umum responden memiliki keyakinan dan pendapat yang sama mengenai Program SPP PNPM. Mereka memiliki keyakinan bahwa Program SPP PNPM mampu untuk mengembangkan usaha, meningkatkan pendapatan, dan mampu untuk membantu perekonomian rumah tangga miskin. Mereka juga memiliki keyakinan bahwa pinjaman tersebut akan mereka dapatkan secara berlanjut apabila mereka membayar cicilan pinjaman dengan lancar setiap bulannya dan tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Namun, pada aspek “pendapat dalam membayar cicilan SPP PNPM”, terdapat suatu perbedaan, yaitu sebagian responden berpendapat bahwa membayar cicilan itu “sulit” dan sebagian lagi berpendapat bahwa membayar cicilan itu “mudah”. Responden juga memiliki
58
sikap yang baik terhadap program. Elemen-elemen representasi sosial tersebut menghasilkan empat tipe representasi sosial Program SPP PNPM yang terdiri dari: (I) SPP PNPM adalah pinjaman, (II) Program SPP PNPM memuaskan, (III) Pinjaman SPP PNPM
mengkhawatirkan,
dan (IV) Pinjaman SPP PNPM
bermanfaat. 5.2
Representasi Sosial Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan Program SPP PNPM diikuti peserta secara berkelompok, sehingga diantara
anggota kelompok tersebut akan terbentuk suatu pemaknaan bersama mengenai program. Pemaknaan tersebut bisa terbentuk melalui suatu partisipasi dan komunikasi mengenai program, baik dengan sesama anggota dalam satu kelompok yang sama, dengan anggota kelompok yang lain, ataupun dengan petugas pelaksana program. Pemaknaan program SPP PNPM yang mereka sepakati bersama akan menjadi suatu representasi sosial Program SPP PNPM, dimana representasi sosial terbentuk pada anggota di dalam satu kelompok yang sama akan menjadi lebih khas daripada representasi sosial yang terbentuk dari luar kelompok. Namun, representasi sosial Program SPP PNPM yang terbentuk hanya secara umum atau representasi sosial komunitas, dan bukan secara khas dari setiap kelompok yang terlibat. Walaupun berada pada satu kelompok yang sama, representasi sosial program SPP PNPM yang terbentuk pada anggota kelompok berbeda-beda dan didasari oleh representasi individual. Pada Lampiran 2 bisa dilihat bahwa pada umumnya kelompok terdiri dari anggota dengan representasi sosial Program SPP PNPM yang berbeda, meskipun sebagian besar dari mereka merepresentasikan “SPP PNPM sebagai pinjaman”, dan hanya lima dari tiga belas kelompok yang memiliki representasi sosial yang hampir sama mengenai program SPP PNPM. Begitu juga hal nya dengan kelompok unggulan yang ada di desa Gunung Menyan, tidak semua kelompok unggulan tersebut memiliki representasi sosial yang sama. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya diskusi atau pertemuan khusus yang membahas program SPP PNPM. Representasi sosial yang terbentuk juga tergantung pada dengan siapa responden berkomunikasi. Demikian juga halnya dengan sosialisasi program yang hanya dilakukan sekali sebelum dana
59
pinjaman dicairkan. Pemantauan dan pembinaan yang jarang dilakukan terhadap kelompok peserta program juga membentuk representasi sosial Program SPP PNPM yang berbeda-beda pada setiap anggota kelompok. Berdasarkan jawaban pada asosiasi kata yang disebutkan oleh responden, terdapat empat macam tipe representasi sosial tentang Program SPP PNPM. Keempat tipe representasi sosial tersebut terdiri dari: (I) SPP PNPM adalah pinjaman, (II) Program SPP PNPM mengkhawatirkan,
memuaskan, (III) pinjaman SPP PNPM
dan (IV) pinjaman SPP PNPM
bermanfaat. Berikut
merupakan hasil dari pengelompokkan tipe representasi sosial Program SPP PNPM yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe Representasi Sosial tentang Program SPP PNPM (n=52) Tipe representasi sosial tentang Program SPP PNPM SPP PNPM adalah pinjaman Program SPP PNPM memuaskan Pinjaman SPP PNPM mengkhawatirkan Pinjaman SPP PNPM bermanfaat Total
Jumlah Responden N % 33 63,45 5 9,62 9 17,31 5 9,62 52 100
Berdasarkan
Tabel
7,
terlihat
bahwa
sebagian
besar
responden
merepresentasikan SPP PNPM sebagai pinjaman (63,45 persen). Selain tipe I, representasi yang juga lebih banyak dipilih responden adalah representasi sosial tipe III (pinjaman SPP PNPM
mengkhawatirkan) sebanyak sembilan orang
(17,31 persen) yang berisi tentang perasaan-perasaan khawatir dari responden yang menjadi peserta program dalam mendapatkan dan menggunakan pinjaman SPP PNPM. Kemudian, terdapat juga representasi sosial tipe II dan tipe IV dengan jumlah responden yang memilih sebanyak masing-masing lima orang (9,62 persen). Penjelasan mengenai tipe-tipe representasi sosial terhadap Program SPP PNPM tersebut, akan dijelaskan secara rinci di bawah ini. 5.2.1 Tipe I: SPP PNPM adalah Pinjaman Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan, sebanyak 33 orang responden (63,45 persen) yang mendapatkan pinjaman SPP PNPM memiliki anggapan yang sesuai dengan program, yaitu mereka menganggap bahwa
60
Program SPP PNPM itu adalah program yang membagi-bagikan uang pinjaman yang harus dikembalikan dan bukan sebagai dana hibah yang tidak perlu dibayar. Representasi sosial “pinjaman” pada peserta Program SPP PNPM ini berbeda dengan representasi sosial “pinjaman” pada individu yang meminjam uang di bank. Responden anggota kelompok yang menggunakan pinjaman SPP PNPM akan memaknai pinjaman sebagai sesuatu kewajiban yang apabila tidak dilunasi akan menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok. Sedangkan pada individu yang menggunakan pinjaman dari bank, akan memaknai pinjaman sebagai kewajiban yang hanya akan ditanggung oleh dirinya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa pinjaman yang dimaksudkan pada Program SPP PNPM merupakan suatu kewajiban bersama bagi kelompok yang mendapatkannya. Hal ini menyebabkan masing-masing anggota kelompok kurang bertanggung jawab dan menganggap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan salah satu anggota adalah tanggung jawab semua kelompok. Kata-kata yang diucapkan responden dengan representasi sosial tipe I (SPP PNPM adalah pinjaman) mengenai Program SPP PNPM adalah kata-kata yang berkaitan dengan pinjaman, seperti bayaran, uang, setoran, angsuran, penagihan, cicilan, waktu penagihan, keinginan untuk membayar, dan sebagainya (lihat Lampiran 1). Mereka meyakini bahwa jika mereka mendapatkan uang SPP PNPM, maka mereka memiliki kewajiban untuk membayar dan melunasi pinjaman tersebut. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh salah seorang responden, sebagai berikut: ‘untuk apapun digunakan pinjaman tersebut, yang penting adalah harus dibayar. Kan kita sudah ditolong oleh pemerintah’. (IP, 37 tahun) Melihat karakteristik responden pada Tabel 7, diketahui bahwa responden yang memiliki representasi sosial tipe I secara umum memiliki usia yang beragam, dengan sebagian besar responden berada pada usia lebih dari 36 tahun (66,68 persen). Usia tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah memiliki kematangan untuk mengikuti Program SPP dengan harapan bahwa mereka bisa mengikuti peraturan program dengan baik. Selain itu, tingkat pendidikan responden yang memiliki representasi sosial tipe I tersebut sebagian
61
besar adalah SD atau sederajat. Hal ini memperlihatkan bahwa responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah. Data mengenai tingkat pendidikan responden yang rendah pada penelitian ini sesuai dengan hasil temuan Tarigan (2004) dalam Nadra (2010), bahwa tingkat pendidikan di desa relatif masih rendah karena sebagian besar masyarakat hanya lulus SD atau tidak tamat SD/tidak sekolah. Penjelasan mengenai karakteristik responden yang memiliki representasi sosial tipe I “SPP PNPM adalah pinjaman”, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi Sosial Tipe I berdasarkan Karakteristik Individu (n=33) Karakteristik Individu
Uraian
Jumlah % 1 3,03 10 30,3 11 33,34 11 33,34 2 6,06 27 81,82 3 9,09 1 3,03 31 93,94 1 3,03 1 3,03 16 48,48 3 9,09 12 36,36 2 6,06 18 54,55 6 18,18 5 15,15 4 12,12 5 15,15 3 3,03 18 54,55 7 21,21 4 12,12 23 69,70 6 18,18 0 0
N Usia
Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan Sumber pendapatan
Pendapatan istri
Pendapatan Suami
Jumlah Tanggungan
<25 tahun 25-35 tahun 36-46 tahun >46 tahun Tidak tamat SD SD atau sederajat SMP atau sederajat SMA atau sederajat Kawin Cerai Janda Suami Istri Istri dan suami Anak Tidak memiliki pendapatan
Rp.600.000,Tidak memiliki pendapatan Rp.1000.000,Tidak memiliki tanggungan 1-3 orang 4-5 orang Lebih dari 5 orang
Sebagian besar responden telah menikah (93,94 persen) dimana pendapatan keluarga umumnya berasal dari suami. Hal tersebut berarti bahwa sebagian dari responden tidak memiliki pekerjaan (48,48 persen) dan hanya mengharapkan uang
62
pemberian dari suami setiap bulannya. Banyaknya jumlah responden yang tidak memiliki pekerjaan berdampak pada banyaknya jumlah responden (istri) yang tidak memiliki penghasilan (54,55 persen). Sementara itu, pendapatan suami responden rata-rata hanya berjumlah Rp. 500.000,- hingga Rp. 1000.000,- setiap bulannya (54,55 persen), dimana pada umumnya setiap keluarga responden memiliki jumlah tanggungan sebanyak satu sampai tiga orang (69,70 persen). Jika dihubungkan dengan pendapatan keluarga per bulannya, hal tersebut dirasakan responden tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, tidak jarang responden menggunakan uang pinjaman SPP PNPM
yang
mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga pada akhirnya berdampak pada kesulitan responden dalam membayar cicilan setiap bulannya. Responden yang memiliki representasi sosial tipe I ini mengakui bahwa dana SPP PNPM adalah pinjaman yang harus dibayar, karena itu ketika mereka mendengar kata “Program SPP PNPM ” yang pertama kali mereka ingat adalah masalah pembayaran cicilannya. Responden tersebut menyatakan bahwa setiap bulannya mereka selalu memikirkan cara membayar pinjaman tersebut. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh beberapa responden sebagai berikut: ‘dari Program SPP PNPM yang paling ibu ingat adalah pinjaman nya neng. Karena kita harus mengembalikan uang pinjaman tersebut dan merasa sudah ditolong. Jadi kadang suka kepikiran ketika akan bayar cicilan setiap bulan. Soalnya kadang merasa sulit untuk bayar cicilan’. (SM, 36 tahun) ‘Program SPP PNPM berarti kita dapat pinjaman. Kalau kita dapat pinjaman uang SPP PNPM , kita harus mikiran cicilannya. Kalau ga bayar, saya takut kena tegur oleh petugas’. (NRS, 28 tahun) ‘saya selalu kepikiran dengan cicilannya teh. Kalau dapatin uang pinjamannya mah enak. Bayarnya yang ga enak. Pokoknya setiap tanggal sepuluh otak mulai pusing, karena cicilannya jatuh tempo. Kadang juga nunggak, karena uangnya kepake buat macammacam’. (NGS, 35 tahun) Beberapa pernyataan dari responden di atas memperlihatkan bahwa mereka memiliki representasi sosial tipe I disebabkan oleh kesulitan mereka dalam membayar cicilan SPP PNPM setiap bulannya. Mereka harus selalu memikirkan
63
cara membayar cicilan sehingga representasi sosial yang terbentuk pada pikiran mereka adalah pembayaran cicilan pinjaman SPP PNPM. Kesulitan mereka dalam pembayaran pinjaman tersebut biasanya disebabkan oleh keterpurukan ekonomi keluarga, kegagalan usaha yang pernah mereka jalankan, ataupun uang yang seharusnya mereka gunakan untuk membayar cicilan terpaksa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain. Mereka memahami “Program SPP PNPM adalah pinjaman” dari segi makna yang negatif. Oleh karena itu, kepada mereka dibutuhkan suatu pendampingan yang bisa memotivasi mereka agar lebih percaya diri untuk bisa berusaha dan menggunakan uang pinjaman tersebut sebagai modal. Namun, hal yang berbeda juga diungkapkan oleh beberapa responden sebagai berikut: ‘angsuran harus dibayar secara teratur, jangan sampai ada yang double. Kalau didouble terus ntar kita susah bayarnya. Selain itu, waktu penagihan kita harus bayar tepat waktu’. (YY, 34 tahun) ‘jika mendapatkan pinjaman SPP PNPM yang penting setorannya harus benar’. (MT, 80 tahun) ‘yang terpenting dalam mengikuti Program SPP PNPM adalah kita harus bayar setoran tiap bulan sama ketua kelompok. Biar bayarnya mudah, uang nya harus dipake buat usaha sehingga uang pinjaman itu ada hasilnya’. (WJR, 60 tahun) Pernyataan di atas berbeda dengan pernyataan responden yang sebelumnya. Responden tersebut sama-sama memiliki representasi sosial tipe I, tetapi mereka lebih mengarah kepada “Program SPP PNPM adalah pinjaman” yang bermakna positif. Mereka merasa memiliki kewajiban untuk membayar pinjaman mudah SPP PNPM secara tepat waktu karena uang pinjaman tersebut digunakan untuk usaha. Oleh karena itu, representasi sosial terhadap Program SPP PNPM tipe I ini memiliki dua makna yang berbeda, yaitu makna yang sifatnya positif dan makna yang bersifat negatif. 5.2.2 Tipe II: Program SPP PNPM Memuaskan Jumlah responden yang memiliki representasi sosial tipe II (Program SPP PNPM
memuaskan) adalah lima orang (9,62 persen).
Responden dengan
64
representasi sosial tipe II ini merasa puas dan memiliki keyakinan yang positif terhadap program. Karakteristik responden yang memiliki representasi sosial tipe II “Program SPP PNPM memuaskan”, dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi Sosial tipe II berdasarkan Karakteristik Individu (n=52) Karakteristik Individu
Uraian
Jumlah N
Usia
Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan Sumber pendapatan
Pendapatan istri
Pendapatan Suami
Jumlah Tanggungan
<25 tahun 25-35 tahun 36-46 tahun >46 tahun Tidak tamat SD SD atau sederajat SMP atau sederajat SMA atau sederajat Kawin Cerai Janda Suami Istri Istri dan suami Anak Tidak memiliki pendapatan Rp.600.000,Tidak memiliki pendapatan Rp.1000.000,Tidak memiliki tanggungan 1-3 orang 4-5 orang Lebih dari 5 orang
% 0 3 2 0 0 3 2 0 5 0 0 3 1 1 0 3 1 1
0 60 40 0 0 60 40 0 100 0 0 60 20 20 0 60 20 20
0 1 0 3
0 20 0 60
1 0 4 1 0
20 0 80 20 0
Kata-kata yang muncul pada representasi sosial tipe II ini terdiri dari: mudah membayar cicilan, membantu, senang, berterimakasih, bermanfaat, bebas, cicilan dengan bunga yang ringan, menguntungkan, butuh, dan bersyukur (lihat Lampiran 1). Berikut adalah beberapa pernyataan responden.
65
‘Alhamdulillah saya sangat bersyukur mendapat pinjaman dari desa. Karena uangnya bisa membantu keuangan keluarga’. (ASR, 50 tahun) ‘Kalau bisa saya ingin ditambah lagi jumlah pinjamannya. Karena sangat bermanfaat’. (TT, 35 tahun) Pernyataan di atas adalah dua dari beberapa pernyataan responden yang mengungkapkan kepuasan mereka terhadap program. Responden yang memiliki representasi sosial tipe II merasakan keuntungan dari Program SPP PNPM yang bisa berupa keuntungan mendapatkan tambahan modal usaha dan keuntungan karena uang pinjaman SPP PNPM
bisa mereka gunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Tabel 9 menunjukkan bahwa lima orang responden yang memiliki representasi sosial tipe II sebagian besar berada pada usia 25-35 tahun (60 persen). Namun, jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan sebagian responden yang memiliki usia 36-46 tahun (40 persen) dan tidak terdapat responden yang memiliki usia di atas 46 tahun. Bila dibandingkan dengan tingkat usia responden yang memiliki representasi sosial tipe I (banyaknya jumlah responden (33,34 persen) memiliki usia di atas 46 tahun), responden yang memiliki representasi sosial tipe II memiliki tingkat usia yang relatif lebih muda. Tingkat pendidikan responden yang memiliki representasi sosial tipe II ini bisa dikatakan lebih tinggi daripada responden yang memiliki representasi sosial tipe I, yaitu sebesar 60 persen responden memiliki tingkat pendidikan SD atau sederajat dan sebesar 40 persen responden memiliki tingkat pendidikan SMP atau sederajat. Tingkat pendidikan responden yang lebih tinggi bisa membawa mereka pada kesadaran dalam mematuhi peraturan program. Semua responden dengan representasi tipe II ini berstatus “kawin”, dengan sumber pendapatan keluarga yang relatif lebih merata, yaitu bersumber dari suami (60 persen), bersumber dari istri (20 persen), dan bersumber dari suami dan istri (20 persen). Hal tersebut berarti sebesar 40 persen dari responden memiliki usaha atau pekerjaan yang bisa memberikan tambahan bagi pendapatan rumah tangga mereka. Meskipun jumlah pendapatan yang mereka dapatkan tidak lebih dari Rp.600.000,-, hal tersebut dirasakan cukup oleh mereka. Pada aspek pendapatan suami dan jumlah tanggungan, responden tipe I dengan responden tipe II memiliki
66
kemiripan, yaitu jumlah pendapatan suami
secara
dominan
berjumlah
Rp.500.000,- hingga Rp.1000.000,- setiap bulannya (60 persen) dengan jumlah tanggungan keluarga juga sebanyak satu sampai tiga orang (80 persen). Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan responden yang lebih tinggi, status perkawinan, sumber pendapatan yang lebih merata, pendapatan istri dan suami yang mencukupi, jumlah tanggungan sebagian besar tidak lebih dari empat orang, membuat responden tidak merasakan kekurangan dalam hidup mereka sehari-hari. Pinjaman SPP PNPM yang mereka dapatkan bukanlah satu-satunya sumber yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan yang mendesak lainnya, melainkan hanya sebagai tambahan dalam memenuhi kebutuhan termasuk sebagai tambahan modal usaha yang mereka miliki. Bisa dikatakan pinjaman SPP PNPM yang menjadi tambahan keuangan responden tersebut membuat responden merasakan kepuasan dalam menggunakannya, dan mereka tidak merasakan kesulitan dalam membayar cicilan SPP PNPM setiap bulannya. 5.2.3 Tipe III: Pinjaman SPP PNPM Mengkhawatirkan Tipe representasi sosial terhadap Program SPP PNPM yang ke tiga adalah “pinjaman SPP PNPM mengkhawatirkan”. Sembilan (17,31 persen) dari 52 orang responden diantaranya memiliki representasi sosial tipe III. Berbeda dengan responden yang memiliki representasi sosial tipe II, responden dengan representasi sosial tipe III ini memiliki perasaan yang negatif terhadap program. Mereka merasa khawatir dan memiliki perasaan takut dalam mengikuti Program SPP PNPM. Hal ini terlihat dari kata-kata yang mereka ucapkan pada teknik asosiasi kata. Kata-kata tersebut berupa : beresiko, pusing, deg-degan, khawatir, takut, sulit membayar, tidak cukup, dan tidak memuaskan (lihat Lampiran 1). Responden yang memiliki representasi sosial tipe III ini mengakui bahwa kekhawatiran dan kesulitan yang mereka hadapi dalam membayar cicilan pinjaman disebabkan oleh uang pinjaman tersebut tidak mereka gunakan sebagai modal usaha, kegagalan usaha yang pernah mereka lakukan, serta keterpurukan ekonomi responden sehingga mereka terpaksa menggunakan uang pinjaman SPP PNPM untuk memenuhi kebutuhan mereka. Responden tipe ini merepresentasikan program dengan lebih didominasi oleh aspek emosional mereka, yaitu perasaan
67
kesulitan dalam membayar pinjaman dan bukan karena manfaat program. Mereka membutuhkan suatu pendampingan yang bisa meyakinkan mereka bahwa mereka mampu memanfaatkan dan membayar pinjaman dengan baik. Salah satu responden mengungkapkan sebagai berikut: ‘saya merasa kesulitan buat bayar cicilan teh. Soalnya uang pinjamannya ga saya gunakan sebagai usaha. Jadi tidak bisa menghasilkan juga. Paling harapin uang dari suami aja teh. Itupun kadang suami bekerja, kadang ga’. (DW, 32 tahun) Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan responden sulit membayar cicilan adalah karena uang pinjaman tidak dijadikan sebagai modal usaha dan karena adanya perasaan negatif dan pesimis dari dalam diri mereka bahwa mereka tidak bisa menghasilkan pendapatan. Berdasarkan data yang peneliti dapatkan di lapangan, responden yang memiliki representasi sosial tipe ini mengaku bahwa mereka merasa tidak puas dan kesulitan dalam membayar cicilan pinjaman SPP PNPM setiap bulannya. Kesulitan tersebut terjadi karena himpitan ekonomi. Hal ini seperti yang diungkapkan salah satu responden sebagai berikut: ‘kan itu pinjamannya harus dibayar tiap bulan ya teh.. nah, saya takut sudah janji bayar tapi malah ga bisa bayar. Akhirnya kepikiran terus, mau bayar pake apa? Akibatnya saya banyak nunggak teh. Saya takut dibawa ke kecamatan karena nunggak’. (RMW, 35 tahun) Pernyataan di atas merupakan satu dari beberapa responden yang juga mengutarakan hal yang sama, yaitu merasa khawatir`dalam mengikuti Program SPP PNPM terutama pada bagian pembayaran cicilan SPP PNPM. Responden tersebut merasa sulit untuk membayar cicilan SPP PNPM Karakteristik responden yang memiliki representasi sosial tipe III “pinjaman SPP PNPM mengkhawatirkan”, dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.
68
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi Sosial tipe III berdasarkan Karakteristik Individu (n=9) Karakteristik Individu
Uraian
Jumlah N
Usia
Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan Sumber pendapatan
Pendapatan istri
Pendapatan Suami
Jumlah Tanggungan
<25 tahun 25-35 tahun 36-46 tahun >46 tahun Tidak tamat SD SD atau sederajat SMP atau sederajat SMA atau sederajat Kawin Cerai Janda Suami Istri Istri dan suami Anak Tidak memiliki pendapatan Rp.600.000,Tidak memiliki pendapatan Rp.1000.000,Tidak memiliki tanggungan 1-3 orang 4-5 orang Lebih dari 5 orang
% 1 4 2 2 0 8 1 0 7 0 2 5 1 2 1 6
11,11 44,44 22,22 22,22 0 88,89 11,11 0 77,78 0 22,22 55,56 11,11 22,22 11,11 66,67
1 2
11,11 22,22
0 2
0 22,22
1 4
11,11 44,45
2 2
22,22 22,22
5 2 0
55,56 22,22 0
Merujuk pada Tabel 10 terlihat bahwa responden dengan representasi sosial tipe III memiliki tingkat usia yang lebih beragam, dimana jumlah responden yang memiliki usia 25-35 tahun sama dengan jumlah responden yang memiliki usia di atas 36 tahun (44,44 persen). Responden dengan representasi sosial tipe III ini juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu sebagian besar memiliki pendidikan SD atau sederajat (88,89 persen). Sebanyak tujuh orang responden (77,78 persen) berstatus kawin dan 2 orang responden (22,22 persen) berstatus janda. Hal ini tentu berbeda dengan responden yang memiliki representasi sosial
69
tipe II, dimana semuanya berstatus “kawin”. Responden dengan representasi sosial tipe III yang berstatus sebagai janda tersebut satu diantaranya memiliki usaha dan satu responden lagi tidak memiliki usaha untuk mendapatkan penghasilan. Pada responden yang memiliki usaha tersebut mengakui bahwa penghasilan yang didapatkan dari berjualan nasi uduk dirasakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini diungkapkan responden tersebut sebagai berikut: ‘saya janda neng. Hasil jualan pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Boro-boro ada uang untuk bayar cicilan. Bayar uang sekolah anak saya aja susah.’ (YY, 41 tahun) Sumber penghasilan keluarga sebagian besar didapatkan dari suami (55,56 persen). Hanya 33,33 persen dari responden dengan representasi sosial tipe III ini yang memiliki usaha atau pekerjaan. Banyaknya jumlah responden yang tidak memiliki pekerjaan berdampak pada banyaknya jumlah responden (istri) yang tidak memiliki penghasilan (66,67 persen). Sedangkan dari segi pendapatan suami dan jumlah tanggungan, responden tipe III juga sama dengan responden tipe I dan responden tipe II, yaitu jumlah pendapatan suami secara dominan berjumlah Rp.500.000,- hingga Rp.1000.000,- setiap bulannya (44,45 persen) dengan jumlah tanggungan keluarga juga sebanyak satu sampai tiga orang (55,56 persen). Namun, terdapat juga responden pada tipe ini yang memiliki jumlah tanggungan empat sampai lima orang (22,22 persen). Oleh karena itu, beban mereka dirasakan lebih berat daripada responden lainnya. 5.2.4 Tipe IV: Pinjaman SPP PNPM Bermanfaat Representasi sosial terhadap Program SPP PNPM yang ke empat adalah “pinjaman SPP PNPM bermanfaat”. Dari 52 orang responden, sebanyak lima orang responden (9,62 persen) memiliki representasi sosial tipe IV. Mereka menganggap bahwa pinjaman SPP PNPM yang diberikan oleh pemerintah bisa mereka manfaatkan untuk berbagai hal, baik sebagai modal usaha mereka maupun untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Karakteristik responden yang memiliki representasi sosial tipe IV dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.
70
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden yang Memiliki Representasi Sosial tipe IV berdasarkan Karakteristik Individu (n=52) Karakteristik Individu
Uraian
Jumlah N
Usia
Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan Sumber pendapatan
Pendapatan istri
Pendapatan Suami
Jumlah Tanggungan
<25 tahun 25-35 tahun 36-46 tahun >46 tahun Tidak tamat SD SD atau sederajat SMP atau sederajat SMA atau sederajat Kawin Cerai Janda Suami Istri Istri dan suami Anak Tidak memiliki pendapatan Rp.600.000,Tidak memiliki pendapatan Rp.1000.000,Tidak memiliki tanggungan 1-3 orang 4-5 orang Lebih dari 5 orang
% 1 1 1 2 0 5 0 0 4 0 1 2 1 2 0 2 2 1
20 20 20 40 0 100 0 0 80 0 20 40 20 40 0 40 40 20
0 1 0 3
0 20 0 60
1 2 3 0 0
20 40 60 0 0
Berdasarkan data di lapangan terlihat bahwa` dari lima responden representasi sosial tipe IV memiliki usia yang beragam dengan sebagian responden berada pada tingkat usia lebih dari 46 tahun (40 persen). Namun, jumlah tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan tiga responden lainnya yang memiliki usia dibawah 46 tahun. Bisa dikatakan bahwa responden tersebut masih produktif dalam bekerja atau berusaha. Responden dengan representasi sosial tipe IV memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu SD atau sederajat (100 persen). Sebanyak empat orang responden (80 persen) berstatus kawin dan 1 orang responden (20 persen) berstatus janda. Dari segi sumber penghasilan keluarga, jumlah antara responden yang sumber penghasilannya hanya berasal dari suami (40 persen) setara dengan
71
jumlah responden yang sumber penghasilannya berasal dari suami dan istri. Istri yang bekerja rata-rata memiliki penghasilan kurang dari Rp. 300.000,- dan suami yang bekerja rata-rata memiliki penghasilan diantara Rp. 500.000,- hingga Rp. 1000.000. Sedangkan dari segi jumlah tanggungan keluarga, secara umum memiliki tanggungan sebanyak satu sampai tiga orang (60 persen). Beban yang dirasakan oleh responden dengan representasi sosial tipe IV ini dirasakan lebih ringan bila melihat tidak ditemukannya responden yang memiliki tanggungan lebih dari tiga orang (lihat Tabel 11). Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari lima responden yang memiliki representasi sosial tipe IV, hanya dua orang diantara mereka yang benar-benar menggunakan uang pinjaman sebagai modal usaha. Sementara tiga responden yang lainnya mengakui bahwa mereka menggunakan pinjaman SPP PNPM tersebut untuk memenuhi kebutuhan, seperti: untuk membayar biaya sekolah anak, untuk membayar hutang, membeli kebutuhan hidup sehari-hari, serta untuk membangun rumah. Hal tersebut merujuk kepada ungkapan semua responden yang memiliki representasi sosial tipe IV sebagai berikut: ‘uang pinjamannya harus digunakan untuk usaha. Agar usaha nya bisa berkembang dan memberi keuntungan untuk kita teh’. (YT, 53 tahun) ‘pinjamannya digunakan untuk dagang, lebih mudah digulirkan’. (WJR, 60 tahun) ‘kalo saya mah uang pinjaman nya saya gunain untuk membangun rumah. Kan lumayan buat bayar biaya bangun rumah teh. Kalau usaha saya mah tidak butuh modal yang banyak. Jadi yaudah, untuk bangun rumah aja uangnya’. (SLT, 28 tahun) ‘lumayan teh, buat bayar hutang dan beli kebutuhan sehari-hari’. (UF, 23 tahun) ‘saya gunain pinjamannya buat bayar sekolah anak teh. Soalnya sekarang biaya sekolah anak mahal’. (IJ , 40 tahun) Berdasarkan pernyataan responden di atas, bisa dikatakan pemanfaatan uang pinjaman SPP PNPM tersebut tidak sesuai dengan ketentuan program. Jika kita
72
merujuk kepada petunjuk aturan teknis Program SPP PNPM 10, hal tersebut tentu tidak sesuai, karena pada petunjuk aturan teknis disebutkan bahwa pinjaman SPP PNPM digunakan untuk memenuhi pendanaan kegiatan usaha bagi kelompok perempuan produktif. Namun, bagi responden menggunakan uang pinjaman SPP PNPM untuk menambah modal usaha bukan merupakan suatu keharusan. Mereka menganggap uang pinjaman bebas digunakan untuk hal apapun, asalkan pembayaran cicilannya lancar tiap bulan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa representasi sosial tipe IV “pinjaman SPP PNPM dapat dimanfaatkan” yang dimiliki oleh responden tidak sesuai dengan maksud pemanfaatan pinjaman SPP PNPM yang sesungguhnya. Merujuk pada data yang tersaji di atas, dapat dilihat bahwa keempat tipe representasi sosial program SPP PNPM memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan pada karakteristik respondennya. Reponden dari masingmasing tipe respresentasi sosial memiliki kesamaan pada aspek pendapatan istri, pendapatan suami, dan jumlah tanggungan keluarga. Namun, diantara responden yang memiliki representasi sosial tipe I, II, III, dan IV tersebut terdapat beberapa perbedaan karakteristik pada aspek usia responden, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan sumber penghasilan keluarga. Perbedaan-perbedaan tersebut memiliki kemungkinan berpengaruh terhadap pembentukan representasi sosial responden mengenai Program SPP PNPM. Namun, pada penelitian ini hubungan antara karakteristik responden dengan pembentukan respresentasi sosial mengenai Program SPPN PNPM tidak dibahas lebih lanjut. Tipe-tipe respresentasi sosial Program SPP PNPM dapat diperbandingkan pada suatu tabel untuk diambil intisarinya. Perbandingan keempat tipe representasi sosial program SPP PNPM disajikan pada Tabel 12.
10
Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, op.cit., hal:58 (Penjelasan IV)
73
Tabel 12. Perbandingan Representasi Sosial Program SPP PNPM Tipe I, II, III, dan IV berdasarkan Karakteristik Dominan Responden Aspek Karakteristik Individu Usia
Tipe I >36 tahun
Tingkat Pendidikan
SD atau sederajat Status Perkawinan Kawin, terdapat status cerai dan janda Sumber Penghasilan Beragam, Keluarga jumlah istri yang bekerja lebih besar Pendapatan Istri Beragam, dominan tidak memiliki Pendapatan Pendapatan Suami Rp. 500.000,00Rp. 1000.000,00 Jumlah Tanggungan 1-3 orang
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
Beragam, usia 25-35 tahun seimbang dengan usia >36 tahun SD atau sederajat Kawin dan Janda
Beragam, dominan >46 tahun
Dominan tidak memiliki pendapatan
Beragam, sebagian besar dari suami Dominan tidak memiliki pendapatan
Beragam, sebagian besar dari suami
Rp. 500.000,00Rp. 1000.000,00 1-3 orang
Rp. 500.000,00Rp. 1000.000,00 1-3 orang
Rp. 500.000,00Rp. 1000.000,00 1-3 orang.
25-35 tahun
SD dan SLTP Kawin
Suami
SD atau sederajat Kawin
Ikhtisar Representasi sosial terhadap Program SPP PNPM pada responden di Desa Gunung Menyan terbagi menjadi empat tipe, yaitu: (I) SPP PNPM pinjaman, (II) Program SPP PNPM
adalah
memuaskan, (III) pinjaman SPP PNPM
mengkhawatirkan, dan (IV) pinjaman SPP PNPM
bermanfaat. Representasi
sosial Program SPP PNPM yang terbentuk hanya secara umum atau representasi sosial komunitas, dan bukan secara khas dari setiap kelompok yang terlibat. Walaupun berada pada satu kelompok yang sama, representasi sosial program SPP PNPM yang terbentuk berbeda-beda. Hasil representasi sosial mengenai program SPP PNPM memperlihatkan sebagian besar peserta sadar bahwa dana SPP PNPM adalah pinjaman (63,45 persen). Responden anggota kelompok yang menggunakan pinjaman SPP PNPM akan memaknai pinjaman sebagai sesuatu kewajiban yang apabila tidak dilunasi
74
akan menjadi tanggung jawab kelompok secara bersama, sehingga anggota kelompok tersebut bersikap santai dan kurang bertanggung jawab terhadap perilaku mereka. Selain itu, jumlah responden yang merepresentasikan program SPP PNPM dengan makna positif (representasi sosial tipe II dan IV) lebih besar (19,24 persen) dari pada jumlah responden yang merepresentasikan SPP PNPM dengan makna negatif (representasi sosial tipe III), yaitu sebesar 17,31 persen. Berdasarkan karakteristik individu, antara responden yang memiliki representasi sosial tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut berupa
perbedaan pada aspek usia responden, status
perkawinan, tingkat pendidikan responden, dan sumber penghasilan keluarga. Pada aspek tingkat usia, responden dengan tipe representasi sosial I, III, dan IV memiliki sebaran usia yang beragam. Sementara itu responden dengan representasi sosial tipe II memiliki usia yang relatif lebih muda, yaitu sebagian besar berada pada usia 25-35 tahun. Pada aspek status perkawinan, responden dengan representasi sosial tipe II dan IV seluruhnya berstatus kawin. Hal ini berbeda dengan responden dengan tipe representasi I dan III yang juga terdapat responden berstatus janda atau cerai. Responden dengan representasi sosial tipe II memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada responden yang lainnya, yaitu sebagian dari mereka memiliki tingkat pendidikan hingga SMP atau sederajat. Responden merepresentasikan program SPP lebih didominasi oleh aspek emosional atau perasaan mereka terhadap program, dan bukan berdasarkan manfaat yang mereka rasakan mengenai program. Jika mereka memiliki perasaan yang positif terhadap program, maka mereka cenderung akan merepresentasikan program secara lebih positif (tipe II dan tipe IV). Sebaliknya, jika mereka memiliki perasaan yang cenderung negatif terhadap program, maka mereka juga akan cenderung merepresentasikan program secara negatif (sebagian responden di tipe I dan tipe III).
BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KETERLIBATAN PESERTA DALAM PROGRAM SPP PNPM MANDIRI TERHADAP REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM MANDIRI DI DESA GUNUNG MENYAN Tingkat keterlibatan peserta dalam program SPP PNPM dilihat dari tingkat partisipasi peserta di dalam program dan intensitas komunikasi peserta program SPP PNPM. 6.1
Partisipasi Responden dan Representasi Sosial Program SPP PNPM Bagian ini membahas tentang tingkat partisipasi responden terhadap
Program SPP PNPM serta hubungan antara tingkat partisipasi responden dengan representasi sosial Program SPP PNPM . 6.1.1 Tingkat Partisipasi Responden terhadap Program SPP PNPM Partisipasi responden terhadap Program SPP PNPM dilihat dari keterlibatan mereka di dalam program mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, hingga evaluasi. Pada tahap perencanaan, partisipasi responden dilihat dari keikutsertaan mereka dalam merencanakan program, memutuskan jumlah pinjaman yang akan mereka ambil, kehadiran mereka saat sosialisasi, serta memberi pendapat saat sosialisasi. Secara umum responden tidak terlibat dalam perencanaan program. Mereka hanya menerima ketentuan-ketentuan program yang dijelaskan oleh pihak kecamatan. Jarang diantara mereka memberi pendapat atau masukan pada saat perencanaan program. Bahkan proposal pengajuan dana SPP PNPM yang seharusnya ikut dirancang oleh peserta, dibuat oleh petugas program. ‘proposal pengajuan yang bikin kita para pihak TPK (Tim Pengelola Kegiatan) desa neng. Kelompok hanya menerima dan menyiapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan pinjaman’. (NAS, 43 tahun) Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa partisipasi peserta program, terutama dalam perencanaan, belum optimal. Seharusnya mereka juga terlibat dalam perancangan proposal tersebut agar mereka mengetahui dan bisa lebih
76
mandiri untuk kedepannya. Meskipun demikian mereka diberi kebebasan untuk menentukan pinjamannya sendiri. ‘emang dari kecamatan mereka nentuin jumlah pinjaman yang boleh kita ambil. Tetapi setelah itu mereka nanyain kita teh, kira-kira mau diambil berapa’. (MSR, 47 tahun) Seluruh anggota kelompok peserta program yang mengikuti Program SPP PNPM, hadir pada sosialisasi awal sebelum dana dicairkan. Apabila ada salah satu peserta program yang tidak hadir, maka kelompok tersebut akan didiskualifikasi. Kehadiran mereka pada acara sosialisasi program pun terkesan “asal hadir”, tanpa ikut serta dalam memberi masukan atau pendapat mengenai program. ‘Pas sosialisasi pun, mereka asal datang aja. Kasih pendapat atau usulan pun mah mereka ga’. (NAS, 43 tahun) Partisipasi responden pada tahap pelaksanaan dilihat dari waktu keterlibatan mereka terhadap program, jumlah pinjaman yang mereka gunakan, serta perilaku mereka dalam mengembalikan pinjaman secara tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan. Secara umum, waktu keterlibatan responden dalam Program SPP PNPM
sudah cukup lama, sekitar 2-3 tahun
(dapat dilihat pada Gambar 8). Hal ini berarti bahwa kebanyakan dari responden telah mengerti dan terbiasa dengan Program SPP PNPM. Keterlibatan mereka pada waktu yang sudah cukup lama tersebut juga mengisyaratkan bahwa mereka mendapatkan pinjaman dengan jumlah yang cukup besar (diatas Rp.1000.000,-). Tetapi, pada kenyataan yang ada di lapangan, penunggakan banyak dilakukan oleh responden yang mendapatkan pinjaman di atas Rp.1000.000,-. Mereka mengaku bahwa mereka terkadang merasa keberatan dengan jumlah cicilan yang besar, karena mereka juga harus memenuhi kebutuhan hidup yang lain. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut: ‘saya suka nunggak sampe 3 bulan neng. Merasa berat buat bayar cicilan. Uangnya ada, tetapi kepake buat berobat neng. Jadinya, yauda, pake aja dulu uang cicilannya buat berobat’. (HD, 57 tahun) Tetapi, terdapat juga responden yang selalu memaksakan untuk membayar cicilan walaupun sulit. Responden tersebut berpikiran bahwa hutang harus
77
dibayar, apapun caranya. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut: ‘kalau ga bayar cicilan tiap bulannya saya takut nanti cicilannya malah numpuk teh. Jadi, walaupun saya ga ada uang bakal saya paksain buat bayar. Namanya juga hutang, harus dibayar’. (KMR, 36 tahun) Berdasarkan dua pernyataan di atas, maka didapatkan kesimpulan bahwa pembayaran cicilan tergantung pada kesadaran anggota untuk membayarnya. Anggota yang memiliki kesadaran akan mengusahakan dengan segala cara untuk membayar cicilan setiap bulannya. Sebaliknya, anggota yang tidak memiliki niat dan kesadaran untuk membayar, walaupun ada uang, akan merasa enggan untuk membayar cicilan. Hal ini juga diungkapkan oleh NAS, 43 tahun. ‘semua mah tergantung niat mereka neng. Kalo mereka emang niat bayar, pasti bakal diusahain buat bayar’. (NAS, 43 tahun) Partisipasi responden pada tahap pemanfaatan dilihat dari cara mereka dalam memanfaatkan pinjaman, baik digunakan untuk memodali usaha mereka sendiri ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan pada tahap evaluasi, keterlibatan responden dilihat dari keikutsertaan mereka mengawasi ataupun mengingatkan peserta program lain yang belum membayar angsuran pinjaman SPP PNPM. Sebagian dari responden tidak terlibat dalam hal evaluasi ataupun pengawasan karena mereka menganggap hal tersebut bukan urusan mereka. Di bawah ini adalah beberapa pernyataan responden yang berpikiran bahwa melakukan pengawasan terhadap anggota lain bukan lah urusan mereka: ‘saya malas ah teh, buat ngingatin anggota lain yang belum bayar. Kan saya bukan ketua kelompok. Cukup ketua kelompok aja yang ngingatin mereka buat bayar’.(NHY, 35 tahun) ‘saya takut orang yang belum bayar cicilan itu tersinggung kalau saya ingatin’. (IM, 40 tahun) ‘kalau diingatin takut salah. Nanti mereka malah nanyain saya ‘emang kamu uda lunas?’ saya sendiri aja masih banyak yang nunggak teh’. (NGS, 38 tahun)
78
Oleh karena itu, keterlibatan responden dalam melakukan evaluasi dan pengawasan belum maksimal. Hal tersebut disebabkan oleh adanya anggapan responden bahwa mereka tidak harus bertanggung jawab atau memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan anggota yang lain dalam membayar cicilan. Secara umum, partisipasi responden terhadap Program SPP PNPM berada pada tingkat sedang. Berdasarkan pada kenyataan dilapangan, didapatkan data dari 52 responden terdapat 33 orang responden (63,46 persen) yang memiliki tingkat partisipasi sedang, sembilan orang responden (17,31 persen) memiliki tingkat partisipasi yang rendah, dan sepuluh orang responden (19,23 persen) memiliki tingkat partisipasi yang tinggi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum responden telah memiliki partisipasi yang cukup dalam mengikuti program meskipun pada tahap perencanaan dan evaluasi dirasakan masih kurang baik. Gambaran dari tingkat partisipasi responden terhadap program dapat dilihat
Persentase Partisipasi (%)
pada Gambar 13.
63.46
80 60 40
19.23
17.31
20 0 Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat Partisipasi Responden
Gambar 13. Tingkat Partisipasi Responden terhadap Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan (n=52) 6.1.2 Hubungan Tingkat Partisipasi Responden terhadap Representasi Sosial Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) PNPM Hubungan tingkat partisipasi responden terhadap representasi sosial Program SPP PNPM dianalisis dengan menggunakan uji chi square pada α=0,1. Penjelasan hubungan tingkat partisipasi responden terhadap representasi sosial Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan dapat dilihat pada Gambar 14 berikut.
79
Persentase Tingkat Partisipasi Responden (%)
100 100 80
66.67
57.58
60 40
Tingkat Partisipasi Rendah
60 40
33.33
18.18 24.24
20
0
0
0
Tipe II
Tipe III
0
Tingkat Partisipasi Sedang Tingkat Partisipasi Tinggi
0 Tipe I
Tipe IV
Representasi Sosial Program SPP PNPM
*P- value x²= 0,199 Gambar 14. Persentase Hubungan antara Tingkat Partisipasi Responden terhadap Representasi Sosial Program SPP PNPM (n=52) Berdasarkan Gambar 14 di atas, diketahui bahwa responden dengan representasi sosial tipe I, sebesar 57,58 persen memiliki tingkat partisipasi yang sedang. Begitu juga halnya responden dengan representasi sosial tipe II, III, dan IV sebagian besar juga memiliki tingkat partisipasi sedang dengan nilai masingmasing sebesar 100 persen, 66,67 persen, dan 60 persen. Dengan demikian, secara umum responden memiliki tingkat partisipasi yang sedang. Selain itu, responden yang memiliki tingkat partisipasi yang rendah hanya terdapat pada representasi sosial Program SPP PNPM tipe I (18,18 persen)dan tipe III (33,33 persen) yang memiliki perasaan khawatir dalam mengikuti program. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji chi square (dapat dilihat pada Gambar 14), hubungan antara tingkat partisipasi responden terhadap representasi sosial mengenai Program SPP PNPM meiliki p-value=0,199. Hal ini menunjukkan bahwa p-value>0,1 sehingga tidak ada hubungan antara tingkat partisipasi dengan representasi sosial peserta terhadap Program SPP PNPM. Oleh karena itu, hipotesa yang menyatakan “diduga bahwa ada hubungan antara tingkat partisipasi dengan representasi sosial Program SPP PNPM” ditolak. Hubungan antara tingkat partisipasi responden terhadap representasi sosial yang mereka miliki mengenai program, selain merujuk kepada hasil perhitungan uji chi square, jika melihat kenyataan yang ada di lapangan memang terlihat jelas bahwa tingkat partisipasi responden dalam mengikuti program tidak berhubungan dengan representasi sosial yang mereka miliki terhadap program. Semua
80
responden dari setiap tipe representasi cenderung memiliki tingkat partisipasi yang sama terhadap program. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tingkat partisipasi terhadap representasi sosial Program SPP PNPM pada kasus ini tidak memiliki pola hubungan yang jelas (Gambar 14). Tidak terdapatnya hubungan antara tingkat partisipasi responden terhadap representasi sosial Program SPP PNPM disebabkan oleh cara responden dalam merepresentasikan program SPP PNPM. Mereka merepresentasikan program SPP PNPM dengan cara yang lebih didominasi oleh aspek emosional atau perasaan mereka dalam mengikuti program dan bukan karena partisipasi dalam mengikuti program. Jika mereka memiliki perasaan yang positif terhadap program, maka mereka cenderung akan merepresentasikan program secara lebih positif (tipe II dan tipe IV). Sebaliknya, jika mereka memiliki perasaan yang cenderung negatif terhadap program, maka mereka juga akan cenderung merepresentasikan program secara negatif (sebagian responden di tipe I dan tipe III). 6.2
Intensitas Komunikasi Responden dan Representasi Sosial Program SPP PNPM Bagian ini membahas tentang intensitas komunikasi responden serta
hubungan antara intensitas komunikasi responden dengan representasi sosial Program SPP PNPM. 6.2.1 Intensitas Komunikasi Responden Peserta Program SPP PNPM Komunikasi responden mengenai Program SPP PNPM dilihat dari frekuensi berkomunikasi, baik dengan sesama anggota dalam satu kelompok, dengan anggota kelompok yang lain, ataupun dengan petugas pelaksana program desa setempat. Selain itu juga dilihat dari isi pesan yang mereka pertukarkan saat berkomunikasi, terutama mengenai program. Intensitas komunikasi responden yang menjadi anggota kelompok peserta program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan adalah tinggi. Berdasarkan data yang didapatkan dilapangan diketahui bahwa responden yang memiliki intensitas komunikasi yang tinggi berjumlah 33 orang responden (65,38 persen), responden yang memiliki intensitas komunikasi yang sedang berjumlah 15 orang (28,85 persen), dan tiga orang responden memiliki intensitas komunikasi yang rendah
81
(5,77 persen). Secara rinci, tingkat komunikasi dan interaksi responden mengenai
Persentase Intensitas Komunikasi (%)
Program SPP PNPM dapat dilihat pada Gambar 15. 65.38
80 60 28.85
40 5.77 20 0
Rendah Sedang Tinggi Intensitas Komunikasi Responden
Gambar 15. Intensitas Komunikasi Responden Mengenai Program SPP PNPM Mandiri Pedesaan (n=52) Dapat disimpulkan bahwa rata-rata anggota peserta pinjaman tersebut memiliki komunikasi tinggi, baik kepada sesama peserta program maupun dengan petugas pelaksana program desa setempat. Responden yang memiliki tingkat komunikasi tinggi pada umumnya memiliki rumah yang berdekatan, sehingga mereka bertemu anggota yang lain setiap hari. Ketika peserta program tersebut bertemu satu sama lain, hal yang mereka bicarakan bermacam-macam, mulai dari percakapan sehari-hari tentang rumah tangga dan anak
mereka sampai
percakapan mengenai Program SPP PNPM. Jadi, mereka membicarakan Program SPP PNPM sambil “santai” atau tidak secara khusus. Bahkan, berdasarkan fakta yang ada di lapangan, dari tiga belas kelompok SPP PNPM di Desa Gunung Menyan, belum ada satu kelompok pun yang pernah mengadakan rapat setelah dana dicairkan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh SLT, 28 tahun sebgai berikut: ‘kita ga pernah rapat teh.. paling kalopun ngomongin masalah SPP PNPM yang ditanyain cuma “uda bayar atau belum” atau “buruan atuh bayar biar ga numpuk”. Itupun sambil gosip sore-sore sama ibu-ibu disini. Paling gitu aja teh. Yang namanya rapat gitu mah ga pernah’. (SLT, 28 tahun) Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan meskipun responden memiliki tingkat komunikasi dan interaksi yang tinggi, baik dengan sesama
82
peserta program maupun dengan petugas pelaksana program desa setempat, tetapi mereka memiliki komunikasi tentang Program SPP PNPM yang kurang baik. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya diskusi atau rapat rutin mengenai pelaksanaan Program SPP PNPM setelah dana dicairkan. 6.2.2 Hubungan Intensitas komunikasi Responden terhadap Representasi Sosial Program Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan Hubungan intensitas komunikasi terhadap representasi sosial Program SPP PNPM
dinilai dengan menggunakan uji chi square pada α=0,1. Penjelasan
mengenai hubungan antara intensitas komunikasi terhadap representasi sosial mengenai Program SPP PNPM dapat dilihat pada Gambar 16. Persentase Intensitas Komunikasi Responden (%)
100 100 80
80
60 40 20
Intensitas Komunikasi Rendah
63.54 44.44 44.44
30.3 20 6.06
11.11
0
00
Intensitas Komunikasi Sedang Intensitas Komunikasi Tinggi
0 Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
Representasi Sosial Program SPP PNPM
*P-value x² = 0,533 Gambar 16. Persentase Hubungan antara Intensitas komunikasi Responden terhadap Representasi Sosial mengenai Program SPP PNPM (n=52) Berdasarkan Gambar 16 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki intensitas komunikasi yang tinggi. Hal ini terlihat dari dominannya jumlah responden yang memiliki intensitas komunikasi yang tinggi pada representasi sosial program SPP PNPM tipe I, II, dan IV. Namun, pada representasi sosial tipe III jumlah antara responden yang memiliki tingkat komunikasi sedang dan rendah (55,55 persen) lebih tinggi daripada jumlah responden yang memiliki intensitas komunikasi tinggi (44,44 persen). Hasil uji chi square pada Gambar 16 memperlihatkan bahwa hubungan antara intensitas komunikasi responden terhadap representasi sosial Program SPP PNPM memiliki p-value=0,533. Nilai tersebut menunjukkan p-value>0,1 yang
83
berarti bahwa tidak ada hubungan antara intensitas komunikasi responden terhadap representasi sosial Program SPP PNPM. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan “diduga bahwa ada hubungan antara intensitas komunikasi dengan representasi sosial Program SPP PNPM” ditolak. Hal tersebut terlihat pada responden dari setiap tipe representasi sosial program SPP PNPM memiliki kecenderungan yang sama, yaitu cenderung memiliki intensitas komunikasi yang tinggi dan tidak memiliki pola hubungan yang jelas. Menurut Purkhardt (1993), representasi sosial terhadap suatu objek dibentuk dari suatu proses komunikasi dengan orang lain. Namun, pada penelitian ini teori tersebut tidak berlaku. Proses komunikasi yang mereka jalani secara berkelompok tidak membentuk suatu pemaknaan bersama mengenai program SPP PNPM. Hal tersebut disebabkan oleh isi pesan yang mereka pertukarkan pada proses komunikasi tidak berkaitan dengan program. Ketika mereka berkomunikasi satu sama lain, hal yang mereka bicarakan adalah bukan mengenai Program SPP PNPM, melainkan tentang hal lain yang tidak ada kaitannya dengan program, seperti “bergosip”, menceritakan kehidupan mereka sehari-hari, bercerita mengenai kehidupan keluarga mereka masing-masing, dan hal lainnya yang tidak ada kaitan sama sekali mengenai program. Selain itu, tidak adanya hubungan antara intensitas komunikasi dengan pembentukan representasi sosial mengenai program juga disebabkan oleh intensitas komunikasi responden yang tinggi terjadi karena pada umumnya tiap-tiap anggota pada satu kelompok memiliki rumah yang berdekatan, dan bukan karena mereka sering mengadakan diskusi atau pertemuan yang membahas Program SPP PNPM secara khusus.
Ikhtisar Hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara tingkat keterlibatan terhadap representasi sosial Program SPP PNPM” ditolak. Tingkat pastisipasi responden dalam Program SPP PNPM
tidak memiliki hubungan
dengan representasi sosial mengenai Program SPP PNPM
di Desa Gunung
Menyan. Sebagian besar responden pada representasi sosial tipe I, II, III, dan IV memiliki tingkat partisipasi yang sedang mengenai program. Hubungan antara tingkat partisipasi dan representasi sosial Program SPP PNPM tidak memiliki pola yang jelas. Selain itu, intensitas komunikasi responden juga tidak memiliki
84
hubungan dengan representasi sosial yang responden miliki mengenai program SPP PNPM. Hal tersebut terjadi karena tingginya intensitas komunikasi yang dimiliki sebagian besar responden dari masing-masing tipe representasi bukan disebabkan oleh seringnya mereka berdisukusi mengenai program, tetapi karena pada umumnya tiap-tiap anggota pada satu kelompok memiliki rumah yang berdekatan sehingga mereka sering berinteraksi satu sama lain.
BAB VII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM TERHADAP PERILAKU RESPONDEN DALAM MENGIKUTI PROGRAM SPP PNPM 7.1
Pemanfaatan Dana Pinjaman SPP PNPM Responden di Desa Gunung Menyan
yang Didapatkan oleh
Pemanfaatan dana pinjaman SPP PNPM oleh responden di Desa Gunung Menyan bermacam-macam, yaitu untuk memodali usaha responden sendiri, untuk memodali usaha suami atau saudara responden, dan untuk memenuhi kebutuhan responden. Terdapat juga responden yang menggunakan pinjaman SPP PNPM sebagian untuk memodali usaha dan sebagian lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Pinjaman yang digunakan responden untuk memenuhi kebutuhan dimanfaatkan untuk membayar biaya sekolah anak, membeli perabotan rumah, membangun rumah, membayar hutang, dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang bersifat konsumtif. Pemanfaatan dana pinjaman SPP PNPM oleh responden di Desa Gunung Menyan dapat dilihat pada Gambar 17.
17%
29%
Modal usaha sendiri Modal usaha keluarga
32%
22%
Modal usaha dan konsumsi Konsumsi
Gambar 17. Pemanfaatan Dana Pinjaman SPP PNPM oleh Responden di Desa Gunung Menyan (n=52) Setiap anggota dalam satu kelompok memanfaatkan uang pinjaman SPP PNPM dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada kebutuhan mereka masing-masing. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa secara dominan responden menggunakan uang pinjaman SPP PNPM
yang ia dapatkan tidak
sepenuhnya untuk memodali usaha mereka. Dari 52 orang responden, terdapat 17 orang responden (32 persen) yang hanya menggunakan sebagian pinjaman untuk
86
memodali usaha mereka, dan sebagiannya lagi mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif. Selain itu, sebanyak 14 orang responden (29 persen) menggunakan uang pinjaman sepenuhnya untuk memodali usaha ekonomi milik mereka sendiri, 12 orang responden menggunakan uang pinjaman untuk memodali usaha suami atau saudara mereka (22 persen), dan sembilan orang responden (17 persen) yang menggunakan uang pinjaman tersebut sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang bersifat konsumtif. Sedikitnya jumlah responden yang benar-benar menggunakan uang pinjaman SPP PNPM
untuk memodali usaha mereka sendiri, menunjukkan
bahwa secara khusus sasaran dan tujuan dari pemberian pinjaman ini belum sepenuhnya tercapai. Pada umumnya responden menggunakan uang pinjaman tersebut untuk memodali usaha suami mereka atau hanya sebagian yang mereka gunakan untuk memodali usaha. Hal ini bisa berakibat pada ketidakmandirian responden tersebut dalam membantu perekonomian keluarga dan bisa juga berakibat pada kesulitan responden untuk membayar cicilan pinjaman setiap bulannya (jika pinjaman juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif). Berdasarkan pada pengamatan peneliti di lapangan, sebagian besar penyebab dari penunggakan yang dilakukan oleh anggota peserta pinjaman SPP PNPM adalah uang pinjaman yang mereka dapatkan tidak sepenuhnya mereka gunakan untuk memodali usaha mereka sendiri. 7.2
Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM di Desa Gunung Menyan Perilaku responden yang dimaksudkan pada penelitian ini dilihat dari
ketepatan dalam pemanfaatan dana, kesesuaian jumlah cicilan pinjaman yang dibayar setiap bulan, serta ketepatan waktu pengembalian pinjaman setiap bulannya. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan, perilaku responden terhadap Program SPP PNPM terbagi menjadi patuh (apabila responden menggunakan uang tersebut untuk memodali usaha mereka sendiri dan mengembalikan pinjaman dengan waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan), sedang (apabila responden menggunakan uang tersebut bukan untuk modal usahanya sendiri, tetapi membayar pinjaman dengan waktu dan jumlah yang sesuai dengan ketetapan), dan tidak patuh (apabila responden menggunakan
87
uang pinjaman tersebut bukan untuk modal usaha dan membayar pinjaman dengan waktu dan jumlah yang tidak sesuai dengan ketetapan). Gambaran mengenai perilaku responden dapat dilihat pada Gambar 18.
Persentase Perilaku (%)
46.2 50 40
25
28.29
30 20 10 0 Patuh
Sedang
Tidak Patuh
Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM
Gambar 18. Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM Mandiri di Desa Gunung menyan (n=52) Berdasarkan Gambar 18 di atas dapat disimpulkan bahwa responden yang berperilaku tidak patuh lebih besar jumlahnya (sebesar 46,2 persen) daripada responden yang berperilaku patuh (25 persen). Sementara itu terdapat juga responden yang berperilaku sedang sebesar 28,29 persen. Data yang didapatkan di lapangan menunjukkan bahwa responden yang berperilaku tidak patuh tersebut pada umumnya tidak menggunakan uang pinjaman tersebut sebagai modal usaha, tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain seperti untuk membayar biaya sekolah anaknya, membayar cicilan kredit motor, untuk berobat, membangun rumah, dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang membuat uang tersebut tidak produktif. Oleh karena itulah mereka sulit mengembalikan pinjaman karena uang tersebut tidak digunakan untuk usaha. Selain itu, mereka membayar pinjaman tidak tepat waktu (sering menunggak) dan terkadang mereka membayar pinjaman dengan jumlah seadanya (tergantung jumlah uang yang mereka miliki). Bahkan, beberapa responden yang tidak patuh tersebut beranggapan bahwa cicilan tidak harus dibayar setiap bulan, yang penting waktu akhir perguliran pinjaman sudah lunas. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan ketentuan program yang mengharuskan anggota untuk membayar pinjaman setiap bulannya. Seperti yang diungkapkan salah satu responden sebagai berikut :
88
‘ga papa nunggak juga teh. Yang penting bayarannya harus sudah lunas pas di akhir bulan perguliran’. (SHT, 28 tahun) Sikap responden yang positif terhadap program tidak menjamin mereka untuk berperilaku patuh. Hal ini sesuai dengan Pandjaitan (1998) yang menyatakan bahwa sikap tertentu belum tentu diikuti oleh tingkah laku yang sesuai dengan sikap tersebut. Meskipun responden memiliki sikap yang positif, sebagian besar dari mereka masih saja berperilaku tidak patuh dalam mengikuti program. Perilaku responden yang tidak patuh tersebut salah satunya juga disebabkan oleh adanya fenomena “distribusi tanggung jawab” diantara peserta program, yaitu anggota kelompok tidak merasa khawatir jika melanggar aturan dan mereka berpikir perbuatan mereka yang melanggar aturan adalah tanggung jawab semua anggota kelompok. Kemudian, masalah kemiskinan yang dihadapi juga menjadi penyebab dari perilaku peserta program yang tidak patuh. Ketika mereka diberikan pinjaman dengan syarat yang mudah, mereka akan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan tanpa memikirkan terlebih dahulu pembayaran cicilan berikutnya, akibatnya pada saat pembayaran jatuh tempo mereka merasa kesulitan untuk membayar pinjaman tersebut. Pendampingan
yang
intensif
terhadap
kelompok
perlu
dilakukan.
Responden yang sebagian besar menghadapi masalah kemiskinan perlu dimotivasi kearah pemanfaatan dana pinjaman secara benar. Selain itu, pendampingan terhadap kelompok juga dapat memotivasi peserta untuk memiliki rasa percaya diri akan kemampuan untuk berusaha dan keluar dari masalah kemiskinan. Seperti yang dijelaskan pada Petunjuk Teknis Aturan Program, pendampingan dilakukan untuk pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan mampu mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Beberapa responden yang berperilaku sedang menggunakan uang pinjaman SPP PNPM sebagai modal usaha. Namun usaha yang mereka modali bukanlah usaha mereka sendiri, melainkan usaha milik suami atau saudara mereka. Jika dilihat dari segi pemanfaatan, hal tersebut adalah tepat karena uang pinjaman SPP PNPM yang diberikan kepada mereka digunakan untuk memodali usaha. Tetapi,
89
jika dilihat dari segi pencapaian sasaran dan tujuan program hal itu tidaklah sesuai karena tidak memberikan kemandirian kepada responden tersebut. Akibatnya responden tetap saja bergantung kepada pemberian dari suami atau saudara mereka. Sehingga tujuan khusus Program SPP PNPM
yang berbunyi
“memberikan kesempatan kaum perempuan meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui pendanaan modal usaha, serta mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan” tidak tercapai. Responden yang berperilaku sedang menggunakan uang pinjaman SPP PNPM untuk membiayai usaha suami atau saudara ataupun sama sekali tidak menggunakan uang pinjaman sebagai modal usaha (digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya konsumtif). Namun pada hal ketepatan pembayaran cicilan, baik dari segi jumlah maupun waktu, responden tersebut selalu membayar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 7.3
Hubungan Antara Representasi Sosial Program SPP PNPM terhadap Perilaku Responden dalam Mengikuti Program SPP PNPM Hubungan antara representasi sosial Program SPP PNPM terhadap perilaku
responden dianalisis dengan menggunakan uji chi square pada α=0,1. Berdasarkan Gambar 19, terlihat dari 33 responden yang memiliki representasi sosial tipe 1 “SPP PNPM adalah pinjaman”, sebagian besar memiliki perilaku yang tidak patuh dalam mengikuti program (45,46 persen). Dari lima orang responden yang memiliki representasi sosial tipe II “Program SPP PNPM memuaskan”, satu orang diantaranya (20 persen) berperilaku tidak patuh, tiga orang (60 persen) berperilaku sedang, dan satu orang responden (20 persen) berperilaku patuh dalam mengikuti program. Kemudian, secara dominan pada responden dengan representasi sosial tipe III “pinjaman SPP PNPM mengkhawatirkan”, tujuh orang responden (77,78 persen) berperilaku tidak patuh dalam mengikuti program. Selain itu, pada representasi sosial tipe IV “pinjaman SPP PNPM bermanfaat”, satu orang responden (20 persen) berperilaku patuh, tiga orang responden (60 persen) berperilaku sedang, dan satu orang responden (20 persen) berperilaku patuh. Secara grafik, hubungan antara representasi sosial mengenai Program SPP PNPM terhadap perilaku responsen dalam mengikuti program dapat dilihat pada Gambar 19.
90 77.78
Persentase Perilaku Responden (%)
80 60 60
60
45.46 33.33
40
21.21
Perilaku Tidak patuh 20
20
22.22
20
20
20
Perilaku Sedang Perilaku Patuh
0 0 Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
Representasi Sosial Program SPP PNPM
*P-value x² = 0,092 Gambar 19. Hubungan Representasi Sosial mengenai Program SPP PNPM terhadap Perilaku Responden di Desa Gunung Menyan (n=52) Nilai uji chi square yang didapatkan dalam menganalisis hubungan representasi sosial program dengan perilaku responden adalah sebesar 0,092. Nilai p-value<0,1 tersebut menandakan bahwa terdapat hubungan antara representasi sosial program dengan perilaku responden dalam mengikuti program. Dengan demikian, hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara representasi sosial program dengan perilaku responden dalam mengikuti program” diterima. Hal ini sesuai dengan teori yang ditemukan oleh Gunawan (2003) pada penelitiannya mengenai “Representasi Sosial tentang Kerja”, bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang terhadap suatu objek. Hubungan tersebut dapat dibuktikan dengan merujuk pada Gambar 19, dimana pada representasi sosial tipe I dan tipe III jumlah responden yang memiliki perilaku tidak patuh terhadap program lebih besar daripada jumlah responden yang berperilaku sedang dan patuh. Sebagaimana yang telah dijelaskan, responden dengan representasi sosial tipe I “SPP adalah pinjaman” yang bermakna negatif dan representasi sosial tipe III “pinjaman SPP mengkhawatirkan” terlihat jelas bahwa hal yang paling mereka ingat mengenai program SPP PNPM adalah kesulitan dalam membayar pinjaman. Hal itu berarti bahwa responden tersebut memiliki representasi sosial yang tidak baik terhadap program. Oleh karena itu dapat disimpulkan representasi sosial yang baik mengenai program akan membawa peserta kepada perilaku yang patuh terhadap program dan sebaliknya. Namun, meskipun terdapat hubungan antara
91
representasi sosial mengenai program SPP PNPM terhadap perilaku peserta program, faktor konteks nampaknya turut membentuk perilaku responden dalam mengikuti program. Kesulitan dan kekhawatiran yang responden rasakan dalam membayar cicilan pinjaman SPP PNPM setiap bulannya sebagian besar disebabkan oleh himpitan ekonomi yang mereka hadapi. Keadaan tersebut memaksa para responden yang berperilaku tidak patuh, yaitu tidak memanfaatkan uang pinjaman untuk memodali usaha, membayar pinjaman dengan jumlah dan waktu yang sesuai dengan ketentuan. Mereka menggunakan uang pinjaman yang didapatkan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif dan tidak produktif. Akibatnya, mereka merasa kesulitan untuk membayar cicilan SPP PNPM pada tanggal
jatuh tempo. Hal tersebutlah yang membuat mereka
akhirnya berperilaku tidak patuh dalam mengikuti program SPP PNPM.
Ikhtisar Hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara representasi sosial program dengan perilaku responden dalam mengikuti program” diterima. Representasi sosial Program SPP PNPM
di Desa Gunung Menyan ternyata
memiliki hubungan dengan perilaku responden dalam mengikuti Program SPP PNPM. Representasi sosial Program SPP yang tidak baik, akan menyebabkan responden memiliki perilaku yang tidak patuh dalam mengikuti program. Sebaliknya, representasi sosial yang baik mengenai program akan membawa peserta kepada perilaku yang patuh terhadap program. Namun, faktor konteks nampaknya turut membentuk perilaku responden dalam mengikuti program.
BAB IX PENUTUP 8.1
Kesimpulan Program SPP PNPM diikuti oleh peserta program secara berkelompok,
karena dana tersebut hanya diberikan secara berkelompok. Representasi sosial terhadap Program SPP PNPM pada responden di Desa Gunung Menyan terbagi menjadi empat tipe, yaitu: (I) SPP PNPM adalah pinjaman, (II) Program SPP PNPM memuaskan, (III) pinjaman SPP PNPM mengkhawatirkan, dan (IV) pinjaman SPP PNPM bermanfaat. Namun, dari empat tipe representasi sosial tersebut, secara dominan responden merepresentasikan Program SPP PNPM sebagai pinjaman. Representasi sosial Program SPP PNPM yang terbentuk hanya secara umum atau representasi sosial komunitas, dan bukan secara khas dari setiap kelompok yang terlibat. Walaupun berada pada satu kelompok yang sama, representasi sosial program SPP PNPM yang terbentuk berbeda-beda. Tingkat partisipasi responden dalam Program SPP PNPM ternyata tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial mengenai Program SPP PNPM. Dengan demikian, hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara tingkat keterlibatan terhadap representasi sosial Program SPP PNPM” ditolak. Tingkat partisipasi peserta pada masing-masing tipe hampir sama, yaitu rata-rata memiliki tingkat partisipasi yang sedang. Hubungan antara tingkat partisipasi dan representasi sosial Program SPP PNPM tidak memiliki pola yang jelas. Selain itu, intensitas komunikasi tinggi yang dimiliki oleh sebagian besar responden pada masing-masing tipe representasi sosial juga tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial Program SPP PNPM. Hal tersebut terjadi karena tingginya intensitas komunikasi yang dimiliki sebagian besar responden dari masingmasing tipe representasi bukan disebabkan oleh seringnya mereka berdiskusi mengenai program, tetapi karena pada umumnya tiap-tiap anggota pada satu kelompok memiliki rumah yang berdekatan sehingga mereka sering berinteraksi satu sama lain. Selain itu, representasi sosial yang terbentuk juga ditentukan oleh dengan siapa peserta program berkomunikasi. Representasi sosial mengenai Program SPP PNPM
yang dimiliki
responden memiliki hubungan dengan perilaku mereka dalam mengikuti
93
program. Dengan demikian, hipotesa yang menyatakan “diduga ada hubungan antara representasi sosial program dengan perilaku responden dalam mengikuti program” diterima. Representasi sosial yang baik mengenai program akan membawa peserta kepada perilaku yang patuh terhadap program dan sebaliknya Namun, faktor konteks nampaknya turut membentuk perilaku responden dalam mengikuti program, sehingga pendampingan yang intensif terhadap kelompok perlu dilakukan. Responden yang sebagian besar menghadapi masalah kemiskinan perlu dimotivasi ke arah pemanfaatan dana pinjaman secara benar. Selain itu, pendampingan terhadap kelompok juga dapat memotivasi peserta untuk memiliki rasa percaya diri akan kemampuan untuk berusaha dan keluar dari masalah kemiskinan. Seperti yang dijelaskan pada Petunjuk Teknis Operasional Program, pendampingan dilakukan untuk pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan mampu mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. 8.2
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, terdapat beberapa
saran yang diajukan mengenai pelaksanaan Program SPP PNPM , yaitu : 1. Representasi sosial Program SPP PNPM yang tidak khas dan berbeda-beda pada anggota dalam satu kelompok membutuhkan adanya suatu pendampingan kelompok yang intensif agar anggota-anggota pada kelompok tersebut memiliki makna bersama mengenai Program SPP PNPM, yang sesuai dengan program tersebut. Adanya suatu pemahaman bersama mengenai program akan membawa kelompok pada perilaku positif terhadap program SPP PNPM yang mereka ikuti. 2. Perlu dilakukannya pendampingan yang intensif kepada anggota kelompok peserta program agar mereka memiliki mental yang mendukung dalam mengikuti program. Mereka harus selalu diberi motivasi agar lebih percaya diri akan kemampuan mereka untuk berusaha dan kemampuan meningkatkan perekonomian keluarga. Dengan pembinaan mental yang baik kepada peserta, representasi negatif terhadap SPP PNPM dan penyalahgunaan pemanfaatan dana dapat diminimalisasi.
94
3. Ketua kelompok harus lebih diberdayakan agar mereka bisa mendampingi dan memotivasi anggota kelompok mereka untuk memiliki rasa percaya diri dalam menjalan usaha dan menghadapi masalah kemiskinan yang mereka hadapi. 4. Untuk meningkatkan keefektifan pelaksanaan dan manfaat program perlu dilaksanakan suatu kontrol atau pengawasan yang bersifat partisipatif, yaitu dilakukan secara bersama-sama antara peserta dan petugas program. 5. Pemberian uang pinjaman sebagai modal usaha dirasakan perlu diiringi dengan pelatihan keterampilan kepada masyarakat agar mereka memiliki keterampilan tertentu yang bisa mereka jadikan sebagai peluang usaha.
DAFTAR PUSTAKA Annisa, Dian. 2008. Gender dalam Penanggulangan Kemiskinan. Skripsi. Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Baron, Robert A & Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial, Jilid 1. Jakarta. PT. Gelora Aksara Pratama Crescent, Tim. 2003. Menuju Masyarakat Mandiri (Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial). Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama Danudiredja, Eryadi D. 1998. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Komunikasi Penerima Bantuan P3DT dengan Persepsi dan Partisipasi dalam Penerapan Program P3DT di kabupaten Sukambumi. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Deaux, Kay dan Gina Philogene. 2001. Representations of the Social. USA. Blackwell Publishers Faisal, Sanapiah. 2005. Format Penelitian Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada Febriana, Yohana Desi. 2008. Partisipasi Masyarakat dalam Program Corporate Social Responsibility “Kampung Siaga Indosat”. Skripsi. Program Sains Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Goma, Sutrisno. 2004. Pengembangan Kredit Dana Bergulir dalam Memberdayakan Ekonomi Masyarakat (Kasus Kelurahan Tegal Rejo, Poso, Propinsi Sulawesi Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Gunawan, Elia Agus. 2003. Pengaruh Representasi Sosial tentang Kerja dan Sosialisasi Nilai Gender terhadap Performa Kerja Perempuan. Kasus Usaha Pengkacipan Mente di Lombe–Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Jaspars, J & C. Fraser. 1984. Attitudes and Social Representations dalam Social Representations. Cambridge. University Press Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan Masyarakat Miskin Mengenai Kemiskinan dan Keberhasilan Program Penanggulangan Kemiskinan. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor
96
Nadra, Hurriyatun. 2010. Representasi Sosial Pertanian pada Pemuda Tani di Komunitas Lahan Kering. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Pandjaitan, Nurmala K. 1998. “Representasi Profesional Petani Padi-Sawah dalam Hubungannya dengan Praktek Pengendalian Hama”, Sodality, Vol.04, No.02, hal. 273-284. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Purkhardt, S.Caroline. 1993. Transforming Social Representations (A Social Psychology of Common Sense and Science). London: Routledge Putra, Idhamsyah Eka, Citra Wardhani & Resky Muwardhani. 2003. Representasi sosial tentang Pemimpin antara Dua Kelompok Usia dan Situasi yang berbeda di Jakarta dan Palembang. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia Riswanto, Eko. 2009. Evaluasi Pemanfaatan dana Pinjaman Bergulir pada Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Strategi Penyempurnaannya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Saripudin. 2009. Pengangguran dan Kemiskinan di Pedesaan. Skripsi. Program Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Soraya, Zakya. 2009. Peranan Simpan Pinjam Perempuan (SPP PNPM ) dalam PNPM PPK terhadap Pendapatan Rumah Tangga. Skripsi. Program IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Tim Koordinasi PNPM Mandiri Pedesaan. ‘t.b.’. Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan. Jakarta Wagner, Wolfgang & Hayes. 2005. Everyday Discourse and Common Sense (The Theory of Social Representations). New York. Palgrave Macmillan
LAMPIRAN
.
LAMPIRAN
98
LAMPIRAN 1 Asosiasi Kata Program SPP No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kata dari Responden
Penjelasan
1. SPP PNPM adalah Pinjaman Bayaran Harus dicicil terus bayarannya tiap bulan Bayaran Karena kita punya hutang, maka harus memikirkan bayarannya Pembayaran Pinjaman SPP setiap bulannya harus dibayar Bayarannya Ingin memiliki uang untuk membayar Bayaran Jika meminjam maka harus memikirkan bayarannya Bayaran Selalu memikirkan bayaran, takut tidak memiliki uang untuk membayar cicilan Pembayaran tepat waktu Agar bisa mendapatkan pinjaman lagi Uang Memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar cicilan Uang Karena merasa senang dapat uang pinjaman dari SPP desa Uang SPP Program SPP bagi-bagi uang pinjaman Uang Yang dibagikan pada program SPP adalah uang Dana titipan pemerintah Karena dibiayai oleh pemerintah Dari pemerintah Merupakan pinjaman dari pemerintah desa ke masyarakat Pinjaman Soalnya dana SPP tersebut merupakan dana pinjaman Pinjaman Pinjaman dari desa untuk masyarakat Pinjaman Biasanya bagi-bagi uang untuk dipinjamkan Pinjaman uang Karena butuh pinjaman uang Pinjaman Karena dana SPP merupakan pinjaman dari pemerintah Pinjaman Program SPP tersebut berupa pinjaman Pinjaman Karena ingin segera melunasi pinjaman, agar bisa meminjam kembali Jumlah pinjaman Seharusnya jumlah pinjaman nya ditambah, karena terasa sangat bermanfaat Angsuran secara teratur Agar pembayarannya tidak menumpuk dan semakin banyak Angsuran Harus bayar angsuran pinjaman tiap bulannya Cicilan Karena tiap bulan harus membayar cicilan Cicilan Pinjaman SPP harus dicicil setiap bulannya Cicilan Harus memikirkan cicilan setiap bulannya
99
28 29
Setoran Setoran kepada kelompok
30
Setoran
31
Setoran
32
Tanggal bayaran
33
Tanggal pembayaran
34
Tanggal 10
35
Tanggal
36
Waktu penagihan
37
Tanggal pembayaran
38 39
Petugas penagih Kasihan pada petugasnya
40
Petugas penagih
41
Petugas SPP
42
Petugas penagih
43
Memikirkan penagihan
44
Hutang
45
Hutang
46
Suatu kewajiban
47 48
Kewajiban Mengumpulkan uang
49
Menabung
50 51
Harus dibayar tepat waktu Harus membayar
52
Harus mengembalikan
Harus membayar setoran ke desa tiap bulan harus membayar setoran kepada ketua kelompok setiap bulannya Harus bertanggung jawab untuk bayar hutang tiap bulan Untuk apapun uang nya digunakan, yang penting setorannya harus benar Kalau tanggal pembayaran sudah dekat, harus mengingatkan suami untuk membayar Harus ingat tanggal berapa harus membayar cicilan, agar tidak terlambat Setiap tanggal 10 cicilan pinjaman harus dibayar Mengingat kapan harus membayar angsuran nya Harus tepat waktu membayarnya, biar tidak ditagih petugas Pinjaman harus dibayar tepat waktu, tidak boleh terlambat Selalu teringat akan ditagih tiap bulan Karena bolak balik menagih pembayaran pada anggota kelompok Karena setiap bulan selalu ditagih petugas penagih Ingat pada petugas yang suka menagih angsuran Karena setiap bulan selalu ditagih petugas penagih Karena petugas selalu nagih, sehingga memikirkan bagaimana cara membayarnya Karena tiap bulan harus memikirkan bayaran hutang Meminjam uang SPP berarti kita punya hutang kepada pemerintah Bayaran SPP tiap bulan adalah kewajiban kepada kita yang diberi pinjaman Hutang itu kewajiban bagi kita untuk melunasi Tiap bulan harus menyisihkan sebagian uang untuk membayar cicilan SPP Selalu menabung agar tidak terbebani membayar tiap bulannya Tidak ingin merepotkan petugas yang menagih dalam membayar cicilan Karena pinjaman tersebut harus dikembalikan/dibayar untuk perguliran selanjutnya Karena butuh pinjaman SPP dan sudah
100
54
dengan benar Pembayaran harus teratur dan mudah Kewajiban membayar
55
Harus memiliki usaha
56
Sanksi
57
Ingin membayar
58
Ingin memiliki uang
59 60
Ingin lunas Ingin pembayarannya lancar Ingin lunas
53
61 62 63 64 65 66 65 67 68 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
ditolong Agar tidak kesulitan dalam membayar cicilan setiap bulannya Setiap kelompok yang menggunakan pinjaman SPP wajib membayar cicilan Agar uang nya berputar dan mudah dikembalikan Jika kita tidak membayar cicilan, maka akan mendapat sanksi Agar tidak terbebani oleh hutang yang menumpuk Agar bisa membayar angsuran pinjaman SPP tiap bulan Karena hutang harus dilunasi Agar cicilannya dapat dibayar dengan lancar
Agar dapat pinjaman lagi pada tahun berikutnya Perguliran Soalnya orang lain yang ingin meminjam, harus menunggu dana dulu dari yang sebelumnya Teringat anggota lain Harus ditagih, karena ada yang bertanggung yang belum bayar jawab dan ada yang tidak bertanggung jawab Anggota lain Teringat pada anggota yang lain apakah mereka sudah membayar atau belum Macet Pembayaran yang tidak lancar Penunggakan Karena banyak anggota yang melakukan penunggakan Penunggakan Karena uang nya sering terpakai untuk yang lain Tidak tepat janji Terkadang sudah janji untuk membayar cicilan, tapi tidak bisa menepati Syarat Jika ingin meminjam dana SPP ada syarat harus memiliki tabungan dan KTP setempat 2. Program SPP PNPM Memuaskan Mudah membayar Karena saya niat bayar cicilan Mudah membayar cicilan Karena uang nya digunakan untuk usaha, jadi uangnya selalu berputar Mudah membayar cicilan Dikasih oleh suami Mudah membayar cicilan Karena uangnya selalu tersedia Membantu Membantu untuk mencukupi modal usaha Memuaskan Solanya dapat pinjaman 2 juta rupiah dari SPP Senang Karena dapat uang pinjaman Berterimakasih Karena telah diberi pinjaman dengan bunga yang rendah Bermanfaat Jika dijadikan modal usaha Bermanfaat Karena bisa membantu keuangan keluarga
101
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Bebas menggunakan
Terserah ingin digunakan untuk apa, yang penting bayar teratur Bebas Tidak apa-apa kalau tidak bayar tiap bulan, yang penting pas akhir tahun harus sudah lunas Bebas Bayarnya tergantung berapa banyak uang yang ada Bebas Karena tidak bikin pikiran ruwet Bunganya rendah Lumayan dari pada minjam ke bank keliling, bunganya tinggi Cicilan yang ringan Pembayaran cicilan nya terasa ringan, karena uang nya di putar melalui usaha Untung Pinjaman SPP bisa membuat usaha jadi berkembang dan menguntungkan Butuh Karena kalau tidak butuh, tidak akan meminjam Butuh Bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Bersyukur Karena masih diberi pinjaman oleh pemerintah 3. Pinjaman SPP PNPM Mengkhawatirkan Beresiko Harus memikirkan tiap bulan harus bayar cicilan, jika tidak dibayar tidak akan dapat pinjaman lagi Pusing Pusing karena memikirkan hutang pada pinjaman SPP yang harus dibayar Deg-degan Sering deg-degan kalau sudah dekat tanggal pembayaran Khawatir Jika tidak mampu mengembalikan pinjaman SPP Khawatir Merasa khawatir apabila bulan berikutnya tidak bisa membayar Bayarnya tidak enak Meminjam enak, tetapi waktu membayar tidak enak Sayang jika tidak diambil Karena uang pinjaman tersebut bisa membantu usaha Takut Takut tidak mendapatkan pinjaman SPP pada perguliran berikutnya Takut ditanya Takut jika ditanya apakah sudah membayar pinjaman atau belum jika terlambat Takut Takut tidak bisa membayar Takut Takut tidak memiliki uang untuk membayar pinjaman Takut menumpuk Nanti jumlah pembayarannya semakin banyak kalau ditunda-tunda Takut menumpuk Harus dipaksakan untuk bayar Takut menunggak Karena terkadang tidak memiliki uang untuk membayar cicilan bulanan Takut terlambat Terlambat membayar karena belum punya
102
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
membayar Takut ditegur
uang untuk membayar cicilan Takut ditegur petugas kalau belum bayar cicilan Takut Takut susah bayar karena sering berobat Takut dibawa ke Kalau belum membayar, takut di laporkan ke Kecamatan pihak kecamatan (dihukum) Susah membayar Terkadang uangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain Sulit membayar Selalu kepikiran karena tidak punya uang untuk membayar cicilan Sulit membayar Jika suami sedang menganggur, tidak memiliki uang untuk bayar cicilan SPP Sulit membayar Karena harga-harga sekarang pada mahal Sulit membayar Tidak tahu bagaimana cara membayarnya (sulit membayar) Sulit untuk Terkadang merasa sulit untuk membayar mengembalikan pinjaman pinjaman tiap bulannya Susah membayar cicilan Karena uang yang ada digunakan untuk bayar hutang suami terlebih dahulu Tidak cukup Jumlah uang pinjamannya tidak cukup untuk dijadikan modal Tidak memuaskan Karena uang nya tidak cukup 4. Pinjaman SPP PNPM Bermanfaat Pemanfaatannya Bisa digunakan untuk bayar hutang, beli kebutuhan, dsb Pinjaman Bisa digunakan untuk makan, bayar sekolah anak, dan sebagainya Untuk membuka usaha Dana pinjaman tersebut digunakan untuk usaha Bayar hutang Uang Pinjaman SPP bisa digunakan untuk membayar hutang Bayar kredit motor Uang pinjaman SPP digunakan untuk bayar kredit motor Membangun rumah Lumayan membantu jika digunakan untuk memperbaiki rumah Usaha Usaha apa yang seharusnya dilakukan jika mendapatkan dana SPP Usaha Jika uangnya digunakan untuk berdagang, lebih mudah untuk digulirkan Usaha Agar pembayarannya lancar, harus ada usaha Sembako, jualan Biasanya pinjaman tersebut digunakan untuk beli sembako dan jualan Modal Pinjaman SPP digunakan untuk modal usaha Modal Pinjaman nya dapat dijadikan modal untuk membuka warung Untuk sekolah anak Uangnya bisa digunakan untuk bayar biaya sekolah anak yang mahal Untuk berobat Uangnya digunakan untuk berobat, karena
103
15 16 17 18
Ingin mendapatkan pinjaman lagi Ingin meminjam Ingin atau berharap dapat kembali Ingin meminjam
sering sakit-sakitan Lumayan, untuk membantu kehidupan Karena ibu butuh pada pinjaman itu Karena pinjaman SPP ini dirasakan sangat bermanfaat Memiliki keinginan untuk membuka usaha kembali
104
LAMPIRAN 2 Tabel Tipe-Tipe Representasi Sosial berdasarkan Kelompok Peserta Program
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 52 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama Responden Solihat Tini Maemunah Acih Yayat Teh Las Nengsih Ulfah Samsiyah Sri Mulyati Titin Sami Lilis Yuyun Suana Daviati Odah Nurhayati Nurasiyah Sumiati Wiwin Ipat Robi'ah Misnah Asroliah Titin Biah Wengjeuriah Komariah Nengsih Ipoh Yeyen Saina Yayat Nuraeni Rosmawati Imah
Nama Kelompok Semangka Semangka Semangka Semangka Rambutan Rambutan Rambutan Rambutan Melon Melon Melon Melon Aster Aster Aster Aster Anggur Anggur Anggur Anggur Mangga Mangga Mangga Mangga Anggrek Anggrek Anggrek Anggrek Tiramisu Tiramisu Tiramisu Tiramisu Melati Melati Melati Melati Seroja
I √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tipe Representasi II III √ √ √ √ √ √ √ √ √
IV √ √ √
105 37 38 39 40 42 46 48 43 41 44 45 47 49 50 51
Titin Nas Nengsih Maesaroh Mak iti Halimah Nyai Ijoh Rodiah Yati Hindun Rini Yayat Rahma Upah
Seroja Seroja Seroja Flamboyan Flamboyan Flamboyan Flamboyan Delima Delima Delima Delima Jambu Jambu Jambu Jambu
√ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √ √
√ √
Keterangan : : Kelompok Biasa : Kelompok Unggulan