COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia Abstract The growing number of movie industries in Indonesia has urged the needs of a high budgetry; hence it requires a product placement placed in several scenes in the film. Apparently, the representation of the product placement was condemned by many, from the critics, media as well as audience, due to its blurring boundaries between the story content and promotional content. One example of Indonesian movies using product placement, which received negative criticisms is “Habibie & Ainun,” an award-winning movie for its storyline and acting qualities played by the actors. Yet, the movie received negative feedbacks because of the product placement. One of the product placements is from Gery Chocolatos, a wafer product from the GarudaFood. The theory used in this research is the Representation Theory from Stuart Hall, using qualitative interpretive method and data reduction from Miles & Huberman. Techniques used to collect all the data are document study, film study –to found the representation of Gery Chocolatos product placement featured in the movies, and in-depth interviews with the message producer, message distributor and the message consumption actors: six interviewees from age 17-23, 24-30 and above 30 years old. The research reveals that only several informants saw the representations of product placement, because most informants focused on the movie. Keywords: Representation Theory, product placement, Indonesian movies, promotion.
Abstrak Industri film Indonesia yang berkembang memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Salah satu model pembiayaan film adalah menggunakan product placement. Representasi product placement dalam film Indonesia seringkali dianggap “gambling,” bahkan mengaburkan batas antara konten film dengan bentuk promosi tersebut. Salah satunya ada pada film “Habibie & Ainun,” yang menuai kritikan, baik dari segi cerita maupun acting. Film inipun mendapat kritikan negatif mengenai product placement yang dimasukkan. Salah satu produk yang berada dalam film ini adalah produk wafer stik Gery Chocolatos dari GarudaFood. Penelitian ini menggunakan Teori Representasi dari Stuart Hall dengan metode kualitatif interpretif. Sementara, metode analisis yang digunakan adalah Reduksi Data dari Miles & Huberman. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen, studi film untuk menemukan representasi adegan yang mengandung product placement Gery Chocolatos dan in-depth interview terhadap penulis skenario sebagai pelaku produksi pesan, sutradara sebagai pelaku distribusi pesan dan enam narasumber dari klasifikasi usia 17-23, 24-30 dan di atas 30 tahun sebagai pelaku konsumsi pesan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa representasi product placement Gery Chocolatos dalam film “Habibie & Ainun” –dari sudut pandang para narasumber tidak terlalu berhasil dalam menyampaikan pesannya karena konsumsi penonton terfokus pada filmnya, dan hanya disadari sebagian narasumber. Kata Kunci: Teori Representasi Stuart Hall, product placement, film Indonesia, promosi.
81
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Pendahuluan
Industri film di negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa yang selalu produktif memproduksi berbagai film telah lama menerapkan sistem pembiayaan dana produksi melalui sponsor dari berbagai perusahaan produk atau jasa. Dana film yang besar sebagian didapatkan karena produsen film melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Produsen film menggunakan sistem ‘barter’ berupa mempromosikan produk atau jasa mereka dalam kegiatan promosi film, atau, memasukannya dalam cerita film. Hal ini dikenal sebagai product placement.
Salah satu media yang dianggap bisa memberikan pesan promosi, tanpa terkena kemungkinan untuk di-skip oleh penonton adalah melalui product placement dalam film (Lehu, 2007, p.31). Jadi, product placement berfungsi untuk mengkomunikasikan produk pihak sponsor kepada penonton, sekaligus memberikan modal bagi pembuat film untuk dapat mewujudkan film tersebut. Product placement adalah suatu hal yang umum ditemukan dalam sebuah film. Product placement muncul dalam sebuah film karena adanya kepentingan ekonomi produser untuk membuat sebuah film. Pihak sponsor mensponsori kepentingan ekonomi ini –dilatarbelakangi kepentingan ekonomi yang dimiliki, yaitu untuk menciptakan sebuah brand activation melalui kegiatan marketing communications dengan menyisipkan produk dalam adeganadegan di film (Dahlen, Lange & Smith, 2010, p. 394). Dengan adanya product placement, konstruksi konten yang dibuat dalam film khususnya berubah karena adanya sisipan product placement tersebut. Produk yang disisipkan dalam product placement tersebut memberikan pesan kepada masyarakat mengenai produk tertentu. Keuntungan secara ekonomi yang didapat dari bisnis film Hollywood ini menjadikan para produser ataupun pelaku film Indonesia untuk bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk mau menempatkan produk mereka dalam film mereka sebagai salah satu sumber dana.
Dalam artikel “Ini Dia, Film Indonesia Yang Jualan” (Pertiwi, 2012) yang dimuat di Majalah Marketing edisi Juli 2012, dikatakan bahwa pengaruh dari kesuksesan product placement telah membuat beberapa negara mempraktekannya termasuk Indonesia. Dijelaskan dalam artikel tersebut, bahwa banyak tayangan di Indonesia yang menggunakan product placement, antara lain Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, hingga acara talkshow dan infotainment seperti Cek & Ricek, Bukan Empat Mata dan lainnya. Hal ini juga dilakukan pada film-film produksi Indonesia, seperti film“Mengejar Mas-Mas.”
Pertiwi (2012) dalam artikel yang sama juga menyebutkan bahwa terdapat banyak kritik bahwa product placement mengurangi nilai dari film yang ditonton. Masyarakat mengetahui bahwa membuat film membutuhkan biaya dan biaya tersebut salah satunya didapatkan dari iklan semacam ini –sebuah brand activation yang berasal dari branded entertainment, yaitu penggabungan antara hiburan dengan pesan-pesan komersial. Namun, yang terjadi adalah banyak masyarakat merasa terganggu dengan tayangan product placement dalam film Indonesia. 82
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Entertainment Marketing Association (EMA) mengatakan (dalam Galician, 2004) bahwa product placement yang baik adalah product placement yang tidak menarik perhatian hanya pada produk itu sendiri saja. Product placement seharusnya seamless –atau halus, tanpa menginterupsi.
Product placement film Indonesia sampai saat ini masih banyak sekali yang mengganggu bagi para penonton. Hal ini bahkan menimbulkan gunjingan baik terhadap produk yang digunakan dalam product placement, perusahaan yang menempatkan produk hingga tim produksi film. Contohnya pada film “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang dibahas dalam artikel “Kuldesak Bapaknya Gerakan Film Independen Indonesia,” dalam website Muvila.com (Grinsant, 2013). Produk Gery Chocolatos dari Garuda Food yang menjadi sponsor dari film itu menyiratkan seolah produk itu sudah ada sejak tahun 1910. Padahal produk itu baru ada pada tahun 2000-an. Hal ini menimbulkan reaksi negatif dari media dan publik. Begitu juga dengan film “Habibie & Ainun” yang meraih peringkat nomor satu sebagai film dengan jumlah penonton terbanyak di tahun 2012. Film ini meraup 4.488.889 penonton. Dalam laporan terakhir per 11 Maret 2014 oleh MD Pictures, film “Habibie & Ainun” ditonton 4.529.633 penonton (Aisha, 2014). Film ini mendapatkan banyak sekali ulasan menarik karena plot cerita yang rapi dan baik. Namun, kritik berdatangan dari berbagai penjuru mengenai product placement yang diterapkan secara salah. Beberapa gunjingan itu kerap kali ditemukan dalam ulasan film dari para blogger film maupun para penonton yang menuliskan ulasan film. Situs berita dan lifestyle untuk wanita, www.fimela.com menyebut film Habibie & Ainun sebagai film yang ‘sarat titipan komersial.’ (Sugiartoputri, 2013)
Para penyuka film yang membuat ulasan mengenai film “Habibie & Ainun” juga memaparkan komentar yang kurang lebih sama. Taufiqur Rizal, blogger cinetariz.blogspot.com yang memenangkan blog ulasan film dari LI Movie Contest dan Majalah Total Film Indonesia mengatakan bahwa product placement dalam film ini ditempatkan seenak jidat. Ia bahkan mengatakan bahwa product placement dalam film ini seolah menjadi “cara untuk menciptakan gelak tawa penonton di tengah-tengah suasana serba serius dan suram.” Kritik dari masyarakat juga berdatangan dari ranah situs sosial media seperti Twitter. Banyak yang merasa terganggu dengan product placement dalam film “Habibie & Ainun.” Banyak yang memuji dari segi kualitas akting, cerita dan lainnya, namun banyak pula yang merasa product placement dalam film itu sangat mengganggu. Dari ulasan pendapat media dan masyarakat mengenai product placement dalam film “Habibie & Ainun” yang dianggap jelek dan mengganggu, hal ini bertentangan dengan tujuan product placement yang harusnya memiliki dampak positif terhadap image produk dan juga kelangsungan cerita film. Ray Warren (dalam Lehu, 2007, p. 69) berkata bahwa product placement seharusnya “menyenangkan klien namun tidak terlalu obvious (terlihat) di mata para penonton.” Menurut jurnal mengenai product placement dalam International Journal of Marketing Studies (Khalbous et.al, 2013), teknik placement yang diterapkan dalam film seharusnya tidak mengganggu konsumen dan juga bisa membuat film lebih realistis.
83
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Dari reaksi penonton terhadap product placement dalam film ini, yang sangat bertolak belakang dengan tujuan diadakan product placement dalam sebuah film, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana representasi product placement Gery Chocolatos sebagai media promosi dalam film “Habibie & Ainun?” Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji representasi penyampaian pesan product placement Gery Chocolatos sebagai media promosi dalam film “Habibie & Ainun” yang diterima oleh para penonton, yang cukup banyak menerima reaksi negatif masyarakat. Penelitian ini bermanfaat bagi para praktisi pemasaran korporat dan para sineas maupun para pakar film yang terlibat dalam produksi film untuk bisa memahami sudut pandang masyarakat mengenai product placement dalam media film. Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji representasi product placement yang menghasilkan hasil terbaik bagi pihak produksi film, pihak penonton dan juga pihak perusahaan yang menaruh produk dalam product placement film. Penelitian ini juga bermanfaat bagi para sineas, pelaku komunikasi pemasaran korporat yang hendak melakukan product placement dalam film tertentu untuk bisa mengetahui bagaimana sebaiknya product placement yang baik dilakukan.
Tinjauan Pustaka
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Representasi yang dikemukakan oleh Stuart Hall (1997, p.13). Teori ini mengatakan bahwa budaya adalah makna yang dibagikan kepada orang-orang. Bahasa adalah salah satu medium untuk memproduksi makna atau pesan dan membagikannya kepada orang-orang.Bahasa menjadi pusat bagi makna dan budaya, serta menjadi sarana untuk mempertahankan nilai-nilai yang ada. Bahasa adalah sistem representasional, di mana bahasa menggunakan tanda serta beragam simbol, bisa berupa musik hingga gambar yang diproduksi secara elektronik.Bahasa menjadi pusat produksi pesan yang ingin disebarkan.
Sesuai dengan objek penelitian ini, film juga merupakan produk budaya, dimana bahasa juga digunakan untuk mengantarkan pesan kepada para penonton. Teori ini mengatakan bahwa dalam setiap pesan yang disampaikan kepada masyarakat, terdapat tiga proses: produksi pesan, distribusi pesan, dan konsumsi pesan.
Dalam produksi pesan film Habibie & Ainun, pendekatan yang digunakan adalah constructivist approach. Pendekatan ini menandaskan bahwa pengartian atau pemaknaan sebuah pesan tidak hanya bisa dilihat dari objeknya atau pembicara pesan saja. Constructivist approach memaksudkan bahwa pemaknaan dari sesuatu dikonstruksi dengan penggunaan konsepkonsep serta simbol.Pendekatan seperti ini yang paling sering kita lihat, terutama dalam produk budaya komersil –termasuk film.
Dalam penelitian ini, pesan diproduksi dalam tahap penulisan skenario, dan pendistribusi skenario tersebut adalah sutradara. Konsumsi pesan adalah pada saat partisipan dalam produk budaya tersebut –dalam penelitian ini adalah penonton memberikan makna terhadap film tersebut.Penelitian ini meneliti pesan-pesan sponsor yang dimasukkan dalam distribusi pesan yang dilakukan dalam proses shooting film ini.
84
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini –yang menggunakan constructivist approach, menjadi tercampur dengan pesan-pesan sponsor berupa product placement yang disampaikan dengan intentional approach yang muncul dalam adegan-adegan di film ini. Menurut Hall (dalam Thomas & Peterson, 2013, p.117), Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut high-context message/ communication. Hal ini berarti, masyarakat Indonesia lebih cenderung menyukai pesan yang disampaikan dengan halus, implisit, dan tidak ‘vulgar’, termasuk dalam penyampaian pesan product placement yang seharusnya disampaikan secara halus –karena rakyat Indonesia lebih menyukai hal tersebut.
Dari respon masyarakat yang telah disebutkan di Bab 1 dan juga respon media di bab ini, terdapat penolakan terhadap product placement yang ditampilkan dalam film ini. Penelitian ini berfokus pada satu produk dari empat pihak product placement yang membayar untuk memasukkan produk mereka dalam konstruksi pesan film Habibie & Ainun menjadi film. Produk yang difokuskan ini adalah Gery Chocolatos. Produser dan sutradara memproduksi konten dalam film tersebut dengan campur tangan konstruksi ekonomi dari sponsor, sehingga menghasilkan film “Habibie & Ainun” yang memiliki cukup banyak pesan product placement.
Film “Habibie & Ainun” adalah film yang memiliki kaitan sejarah Indonesia yang nyata karena bercerita tentang presiden ketiga RI dan sejarah karir serta pernikahannya dengan ibu Ainun. Namun, pihak film mengkonstruksi film ini dengan pesan-pesan product placement yang memakai produk-produk yang tidak ada di tahun itu.
Konstruksi film ini secara naratif dan keakuratan sejarah baik adanya, namun konstruksi film ini dengan product placement menjadi sebuah kegagalan tersendiri bagi brand activation, sehingga brand equity tidak tercapai. Apa yang ingin dikonstruksi dalam film ini –bersamaan dengan pihak sponsor tidak berjalan dengan baik. Namun yang menariknya dalam kasus ini adalah penonton aktif menolak, tidak hanya pasif menerima keadaan. Respon ini mengakibatkan konsumsi pesan yang tidak berhasil. Konsumsi pesan yang diharapkan bisa berjalan dengan sukses, rupanya tidak mencapai hal yang diperkirakan.
Penelitian ini juga merujuk pada konsep yang dipaparkan Mufid.Mufid (2009, p. 233) menjelaskan bahwa terjadi polemik yang jelas antara iklan sebagai penyokong ekonomi utama bagi media untuk bisa meningkatkan kualitas dari konten media yang hendak disampaikan. Industri media sangat bergantung pada sektor komersil. Ketergantungan pada iklan ini menimbulkan tekanan ekonomi pada media, yang mengakibatkan adanya tekanan pada tiga hal, yaitu: 1. Jumlah dari materi komersil mengambil jatah untuk tayangan berita ataupun hiburan. 2. Anggaran untuk iklan dari para klien dipotong karena resesi ekonomi. Pergolakan finansial yang tidak pasti ini akan membuat anggaran yang ada harus disesuaikan, bahkan dikencangkan. Mutu dari tayangan bisa terpengaruh karena minimnya biaya. 3. Pesan-pesan komersial akan mempengaruhi isi dari pesan yang bukan komersial. Ini menjadi tekanan tersendiri bagi para pihak media yang terlibat –dalam penelitian ini, bagi para tim produksi film.
85
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Konsep ini juga berlaku dalam pembuatan film. Tekanan ekonomi untuk membuat film berkualitas dengan biaya yang tinggi mengharuskan film untuk bisa mendapatkan sokongan dana yang cukup dari pihak-pihak yang dianggap mampu untuk membiayai film tersebut. Namun, adakalanya karena ketergantungan uang dan keharusan untuk menjalankan keinginan pemberi dana film, hal itu menjadi pengaruh yang besar pada konten film. Konten film yang seharusnya ditayangkan untuk tujuannya –yaitu untuk menyampaikan pesan film, harus dipangkas untuk kebutuhan materi komersial dari pihak sponsor yang membiayai pembuatan film.Pesan film tidak bisa disampaikan dengan seharusnya, karena pesan-pesan komersial sudah memangkas bagian dari film itu sendiri.
Metode Penelitian
Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif interpretif yang bersifat naturalistik, atau menemukan bukti pada apa yang dialami, tidak hanya sekadar penalaran formal atau analisis data semata. Interpretif menurut Denzin & Lincoln (2009, p. 146) memahami dunia pengalaman dilihat dari sudut pandang orang-orang yang ada di dalamnya. Pendekatan ini meyakini bahwa untuk memahami makna, yang dilakukan adalah menginterpretasikannya. Peneliti juga bertindak sebagai partisipan dalam hal ini dan partisipasi peneliti dalam penelitian sangat ditekankan.Hammersley (dalam West & Turner) mengatakan bahwa dalam penelitian dengan pendekatan interpretif, peneliti tidak terlalu mementingkan kontrol untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan pendekatan ini menekankan pada penjelasan yang mendetail mengenai perspektif para individu yang diteliti.
Pendekatan interpretif memaparkan bagaimana makna yang dimiliki dalam pikiran seseorang tidak sama dengan makna yang dimiliki dalam pikiran orang lain. Hal itu sangat bergantung pada situasi sosial yang terjadi. Karena fakta bukanlah hal yang kaku dalam pendekatan interpretif, situasi sosial dianggap penuh dengan ambiguitas –tidak hanya memiliki satu makna yang pasti. Perilaku yang dibuat atau pernyataan yang diungkapkan dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ini untuk menelaah product placement Gery Chocolatos dalam film “Habibie & Ainun” yang ditolak oleh masyarakat Indonesia. Penelitian akan berfokus pada tiga adegan dalam film “Habibie & Ainun” yang mengandung product placement untuk kemudian dipertunjukkan kepada para narasumber yang telah menonton film ini, dan bagaimana pendapat mereka tentang product placement Gery Chocolatos dalam film ini. Peneliti dalam penelitian ini akan terlibat langsung dalam pengumpulan data melalui wawancara mendalam terhadap berbagai narasumber, melakukan pembahasan dari hasil wawancara dengan pendapat para pakar, dan membuat kesimpulan.
Narasumber
Narasumber yang diwawancarai untuk penelitian ini adalah enam orang dari kategori umur yang berbeda, yaitu kategori umur 17-23 tahun, 24-30 tahun dan di atas 30 tahun. Dari masing-masing kategori umur, akan diwawancarai satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang telah menonton film “Habibie & Ainun.” Untuk mendapatkan keterangan proses produksi pesan film “Habibie & Ainun,” wawancara dilakukan terhadap penulis skenario film ini, Ginatri S. Noer. Faozan Rizal, sutradara film ini, 86
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
diwawancarai dalam kapasitas sebagai pelaku distribusi pesan dari skenario film menjadi tayangan yang lengkap secara visual dan naratif.
Dua orang pakar pemasaran dari dua konsultan yang berbeda, Sania Makki dari MakkiMakki dan Primo Rizky dari DM ID Group diwawancarai untuk melihat dari segi pemasaran mengenai penolakan masyarakat mengenai product placement dalam film Indonesia.
Sebagai narasumber tambahan dari sudut pandang para pakar perfilman dan product placement, wawancara mendalam dilakukan bersama Amanda Aayusya sebagai Film Journalist dan Deputy Editor dari Total Film Magazine Indonesia dan Yoris Sebastian, pemilik OMG Creative Consulting sekaligus pemilik Blockbuster, sebuah konsultan product placement untuk film Indonesia.
Diskusi Proses Produksi dan Distribusi Pesan Walau film ini mendapatkan pujian dari kritikus dan penonton, kritikus dan penonton film ini menilai produk sponsor yang dimasukkan dalam film ini sebagai suatu hal yang mengganggu pesan yang disampaikan. Antara News mengatakan bahwa “produk sponsor yang beberapa kali muncul di layar juga cukup mengganggu” (Yuniar, 2012). Media Kompas. com juga mengatakan bahwa sejumlah iklan produk dalam film Habibie & Ainun juga “begitu kentara dan mengganggu” (Suhendra, 2012). Gambar 1.1 Product Placement dalam Film Habibie & Ainun yang Dinilai Mengganggu oleh Antara News
(Sumber: Yuniar, 2012)
Product placement dalam film ini terdiri atas beberapa produk Indonesia yang diselipkan ke dalam adegan-adegan dalam film Habibie & Ainun. Produk-produk tersebut antara lain adalah Gery Chocolatos, E-Toll Card dari Mandiri, Indomaret, Wardah Cosmetics, minyak angin Fresh Care dan sirup markisa cap Pohon Pinang. Produk dari antara sekian banyak product placement yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah produk Gery Chocolatos. Produk ini muncul kurang lebih tiga kali dengan satu kali masuk dalam sebuah adegan dan menjadi bahan dialog dalam adegan tersebut. Gambar 1.2 Kritik dari Kompas.com Mengenai Product Placement dalam Film “Habibie & Ainun”
(Sumber: Suhendra, 2012.) 87
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Dalam penelitian ini, product placement yang diteliti adalah product placement pada produk Gery Chocolatos dalam film “Habibie & Ainun.” Terdapat 3 adegan product placement Gery Chocolatos, yaitu pada tahun 1995 saat pembuatan pesawat N250 Gatotkoco, tahun 1995 saat penerbangan perdana pesawat N250 Gatotkoco, dan pada 2010 saat Habibie dan Ainun sedang makan bersama dan anak mereka, Thareq datang bertamu. Pada adegan pertama, produk Gery Chocolatos tampak berada di atas meja Habibie yang sedang membaca buku di sela-sela kesibukan pembuatan pesawat N250 tersebut. Pada adegan tersebut, tampak seseorang membuatkan sirup markisa (merek Pohon Pinang yang juga memasukkan product placement dalam film “Habibie & Ainun) dan sirup dalam gelas tersebut diletakkan pada meja. Di meja tersebut, terdapat dua buah wafer stik Gery Chocolatos rasa coklat yang logonya menghadap kamera. Gambar 4.8 Produk Gery Chocolatos dalam Adegan Pembuatan Pesawat N250 Gatotkoco
(Sumber: Habibie & Ainun, 2012)
Pada adegan kedua, produk Gery Chocolatos tampak berada di sebuah warung tempat warga berkumpul untuk menyaksikan penerbangan perdana pesawat N250 Gatotkoco. Seorang warga (mengenakan kopiah) mengambil sebuah wafer stik dari dua boks berwarna emas (produk Gery Chocolatos rasa coklat) yang logo dan nama produknya dibuat blur. Gambar 4.9 Produk Gery Chocolatos dalam Adegan Penerbangan Pesawat N250 Gatotkaca
(Sumber: Habibie & Ainun, 2012) 88
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Pada adegan ketiga, produk Gery Chocolatos dibawakan oleh Thareq, anak kedua Habibie dan Ainun yang sedang bertamu saat Habibie dan Ainun sedang makan siang bersama di kediaman Habibie. Thareq menaruh kotak produk di atas meja. Setelah bercakap-cakap mengenai tiket kapal Queen Victoria yang dibeli, Habibie menanyakan “Ini apa?” sambil menunjuk kepada produk tersebut. Thareq membalas bahwa produk tersebut dari Farah dan Farhan, yang adalah cucu Habibie. Gambar 4.10 Produk Gery Chocolatos dalam Adegan Makan Siang antara Habibie dan Ainun dan Thareq Habibie
(Sumber: Habibie & Ainun, 2012)
Penelitian ini akan berfokus pada tiga tahap dari penyampaian pesan, yaitu produksi pesan, distribusi –penyampaian pesan, dan konsumsi pesan. Dalam tahap produksi pesan, wawancara dilakukan dengan Ginatri S. Noer sebagai penulis skenario dalam film “Habibie & Ainun.”
Sebagai bagian yang memproduksi pesan, film dimulai dari penulisan sebuah skenario. Sinopsis yang telah diterima rumah produksi dan tim produksi lainnya akan dijadikan pesan naratif dalam skenario. Penulis skenario dari film ini adalah Ginatri S. Noer bersama dengan Ifan Ismail.
89
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Pesan yang diproduksi sebelum dijadikan sebuah film bermula dari skenario yang ditulis oleh tim penulis skenario. Dalam film “Habibie & Ainun”, pesan diproduksi dengan membaca buku yang dijadikan basis cerita dalam film ini yaitu “Habibie & Ainun” yang ditulis oleh Bacharudin Jusuf Habibie, atau yang dikenal dengan Habibie.
Ginatri menjelaskan bahwa jenis film ini adalah film biopic, atau biographical pictures. Ini dikarenakan film ini berkisah mengenai kisah dan karakter nyata dalam hidup dan diceritakan kembali dalam film. Namun, dalam sebuah film, penulis skenario memiliki creative license. Dengan ini, selalu ada beberapa bagian yang disesuaikan atau dibuat menjadi fiktif, demi memenuhi kebutuhan dramatik sebuah film. Pada product placement Gery Chocolatos di adegan pembuatan pesawat N250 Gatotkoco, Ginatri S. Noer ingin menunjukkan kerja keras Habibie untuk bisa menerbangkan pesawat perdana rakitan anak Indonesia di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara). Ginatri S. Noer berkata:
“Sebenarnya ini adalah sequence ngomongin soal kerja kerasnya Habibie, bahwa dia sedang bekerja keras untuk tahu apa yang sedang dia bangun, apa yang dia percaya.”
Dalam adegan penerbangan perdana pesawat N250 Gatotkoco tersebut, terdapat product placement Gery Chocolatos di warung. Pesan yang sebenarnya ingin disampaikan Ginatri S. Noer adalah keberhasilan Habibie menerbangkan pesawat tersebut di tahun 1995, dan bagaimana kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Habibie atas keberhasilan Habibie. Dalam penelitian, Ginatri berkomentar bahwa product placement pada adegan Thareq bertamu saat makan siang Habibie dan Ainun sambil membawa produk Gery Chocolatos tampak “norak” bagi Ginatri S. Noer. Pesan yang ingin disampaikan Ginatri dalam adegan ini adalah bahwa adegan ini menunjukkan saat keadaan baik-baik saja, sebelum Ainun mendapat kabar bahwa kanker yang Ia miliki mengganas.
Pada adegan ketiga, terdapat dialog antara Habibie dan Thareq perihal produk Gery Chocolatos yang diletakkan di atas meja. Percakapan tersebut tidak menyebutkan brand dari produk, namun logo dan merek produk menghadap ke kamera. Ginatri berkata bahwa percakapan tersebut tidak ada dalam skenario yang disiapkan. Hal itu berlangsung pada saat shooting. Ginatri berkata: “Itu bukan dari skenario. Dalam shooting, ada bakal banyak perubahan gitu di editing. Film ini ditulis 3 kali. Cuma kadang-kadang, tidak semua perubahan selalu penulis skenario yang mau.Itu sudah jadi risiko. Ada yang lebih baik, lebih buruk, sesuai konteks, ada yang tidak sesuai konteks. Ada yang mengubah banyak dari cerita, ada yang tidak.Itu memang part of the job.memang sesuatu yang dipaksakan. Terjadi di saat shooting gitu.”
Pesan yang ingin disampaikan dalam keseluruhan film ini adalah rasa kepercayaan (trust). Ini mengisahkan tentang kisah dua insan yang saling percaya satu sama lain, sehingga mereka bisa melalui kehidupan rumah tangga bersama-sama dan mewujudkan mimpimimpi mereka. Tentang rasa percaya yang ingin dibangun Habibie terhadap lingkungannya, pekerjaannya dan mimpi-mimpinya.
90
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Ginatri S. Noer mengakui bahwa setelah melihat filmnya setelah proses distribusi, Ia merasa product placement dalam film ini terasa sangat buruk menurutnya. Ini adalah konsekuensi yang Ia sadari karena pihak sponsor tidak melibatkannya dalam penulisan skenario. Ia juga menyadari konsekuensi bahwa penulis skenario harus meninggalkan semuanya pada sutradara dan tim yang terlibat saat shooting. Penulis skenario tidak dilibatkan dalam shooting film. Pendapatnya itu terlihat dalam wawancara, saat Ginatri berkata: “Film itu proses make-believe.….Masalah placement, dengan adanya placement itu, semua menjadi bubar karena itu adalah hal yang buruk.”
Menurutnya, hadirnya product placement yang tidak direncanakan ini mengganggu pesan yang ingin disampaikan dalam film ini, terutama pada mood penonton yang sedang mencerna pesan filmnya. Ginatri mengatakan: “Ketika seseorang harusnya dapat pesan A, dan sedang dibangun dengan usaha make-believe itu oleh para filmmakernya, lalu tiba-tiba mereka diselipkan dengan logika yang ngga masuk sama dunia cerita tersebut, pasti terpatah. Itu benar-benar merusak… Ibaratnya pesannya harusnya dapat 100%, cuma ketika adegan romantis diselipkan distraksidengan Chocolatos yang ditunjukkan ke kamera, penonton ketawa. Itu sangat merusak mood. Padahal adegan itu sedang bagus, namun tersimpangkan dengan product placement. Aliran emosinya pasti terpatah di titiktitik ketika kemunculan placement-placement yang seperti ini…”
Menurut Ginatri, proses penyampaian pesan yang seharusnya berjalan mulus menurutnya, malah menjadi terhenti sejenak –teralihkan oleh product placement. Mood penonton akan terpengaruh, dan pesan yang seharusnya bisa diterima “bulat-bulat” tidak bisa sepenuhnya dilakukan karena aliran emosi yang ‘patah’ atau terhenti saat penonton melihat product placement. Proses distribusi pesan merupakan proses pesan yang diproduksi disampaikan kepada pengkonsumsi pesan. Dalam pesan berupa skrip naratif film, proses distribusi pesan dalam film adalah pada saat sutradara ‘memindahkan’ narasi film menjadi pesan yang lengkap berupa tayangan yang menyajikan narasi dan visual secara bersamaan. Produksi pesan yang dibuat oleh Ginatri S. Noer ‘dipindahkan’ menjadi tayangan visual yang ditonton di bioskop oleh sutradara Faozan Rizal. Dalam wawancara, Faozan Rizal menjelaskan bahwa MD Pictures, rumah produksi yang tertarik untuk membuat film “Habibie & Ainun” menginginkan Hanung Bramantyo untuk menyutradarai film tersebut. Dikarenakan keterlibatan Hanung Bramantyo dalam proyek film ‘Soekarno’, proyek penyutradaraan film ini diserahkan kepada Faozan Rizal yang telah terlibat dalam riset film ini selama satu setengah tahun.
Mengenai product placement, Faozan mengatakan bahwa pihak tim promosi dari MD Pictures, rumah produksi yang mendanai film tersebut, datang kepada Faozan Rizal dan mengatakan bahwa ada pihak-pihak perusahaan rekanan mereka yang hendak memasukkan produk-produk mereka dalam film “Habibie & Ainun.”
Faozan Rizal menolak product placement untuk film ini pada awalnya. Faozan mengatakan:
91
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
“Selalu kesalahan di Indonesia adalah product placement selalu datang terlambat, artinya film sedang shooting - tiba-tiba tim promosi membawa trailer ke produsen dan kemudian mereka mau ikut serta kemudian asal aktor makan produk dan sebagainya. Pada kasus Habibie pun demikian, karena pihak MD sudah menjalin hubungan dengan Chocolatos maka harus ada dan sebagainya. Pertama, saya menolak karena akan menghancurkan pesan scene dimana product itu ada karena akan terlihat sebagai product placement. Seandainya tim skenario sudah diberi tahu lebih dahulu hasilnya akan lain, akan lebih soft sell.”
Faozan Rizal berdiskusi dengan Hanung Bramantyo perihal rumah produksi yang memproduksi film “Habibie & Ainun” yang pernah memproduksi film “Di Bawah Lindungan Ka’bah.” Pada film tersebut, terdapat produk Gery Chocolatos yang menurut Faozan “mengganggu.” Faozan berkata:
“Bilangnya pertama kali. Akukan ke Hanung, “Mas, kita tahu filmnya MD kemarin, Di Bawah Lindungan Ka’bah, itu kan aku hopeless lihatnya, karena ada Chocolatos di tahun segitu. Ini akan ada tidak?” terus Hanung bilang, “Tidak akan ada. Inikan Habibie. Presiden lagi. Masa’ dikasih iklan-iklan?” itu perkataan Hanung.“Oh, oke. Bagus kalau gitu.Kita syuting”, di syuting yang ke-20 hari, tiba-tiba pihak promoter MD bilang, akan ada Bank Mandiri masuk.”
Perusahaan pertama yang ingin memasukkan produknya dalam film adalah Bank Mandiri. Hal ini disetujui oleh Faozan Rizal karena Bank Mandiri adalah perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan figur B.J. Habibie, sebagai salah satu pendiri proses merger antara 4 bank menjadi 1 bank yang awalnya hendak diberi nama Bank Catur. Habibie bersikeras untuk menjadikan namanya Bank Mandiri, yang Ia yakini akan menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia. Faozan Rizal melihat adanya celah untuk memasukan produk ini dalam cerita karena memiliki kaitan erat dengan figur tokoh utama dalam cerita.
Namun, pihak Mandiri ingin menaruh produk E-Toll untuk product placement dalam film ini. Pihak agency dan marketing Bank Mandiri meminta kepada Faozan agar film ‘Habibie & Ainun’ memuat adegan Habibie menggunakan kartu E-Toll. Sebagai gantinya, Bank Mandiri akan memberikan uang sejumlah 2,5 milyar Rupiah kepada MD Pictures. Hal ini dirasa Faozan sebagai bentuk product placement yang dipaksakan dan tidak alami.Akhirnya, produk E-Toll digunakan oleh supir Habibie dalam suatu adegan saat Habibie menuju ke Bandung.
Setelah E-Toll milik Bank Mandiri, terdapat pihak sponsor lain yang berdatangan dari pihak MD Pictures. MD Pictures menawarkan pihak Gery Chocolatos untuk memasukkan product placement dalam film “Habibie & Ainun.” Pihak Gery Chocolatos ingin produk Gery Chocolatos untuk dimakan oleh para aktor utama –Habibie dan Ainun yang diperankan Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari. Faozan tidak setuju, karena produk Gery Chocolatos bukanlah produk yang dimakan oleh orang yang memiliki penyakit kanker seperti Ainun. Untuk memenuhi perjanjian kerjasama, Faozan Rizal harus menyelipkan adegan Habibie menikmati Chocolatos.
Pihak-pihak sponsor sudah sepakat untuk membayar dua milyar rupiah (Rp 2.000.000.000) untuk bisa memasukkan produk mereka dalam film ini. Salah satu pihak perusahaan yang mengeluarkan uang dengan nominal tersebut adalah Gery Chocolatos, produk wafer coklat produksi GarudaFood. Hal ini dikatakan oleh Faozan Rizal: 92
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
“Nominalnya sama, dua milyar rupiah. Karena, kalau dari kita itu 7 milyar biaya produksi itu hampir tidak ada ada yang dikeluarkan lagi dengan produsernya. Artinya, dari 7 milyar biaya produksi itu cuma 80% itu yang milik sponsor.”
Setelah Bank Mandiri, produk-produk lainnya mulai bermunculan dari tim promosi MD Entertainment. Sirup Markisa Pohon Pinang, Wafer Gery Chocolatos, kosmetik Wardah dan Bank Mandiri diizinkan MD Pictures untuk bisa berpromosi dalam film ini.
Hal ini tidak bisa ditolak oleh Faozan Rizal, karena MD Pictures sudah mengiyakan dan hal ini harus dilakukan. Delapan puluh persen dari pendanaan film ini (total bersih biaya produksi film 12 milyar, 86 milyar pendapatan), seperti yang dikatakan Faozan Rizal, berasal dari product placement. Ditambah lagi, pihak Gery Chocolatos juga hadir pada saat shooting adegan product placement, dan mengharapkan produk Gery Chocolatos untuk cukup terlihat di mata penonton pada saat film ditayangkan di bioskop. Faozan Rizal tidak bisa menolak saat harus memasukkan product placement dalam film ini. Maka Faozan membuatnya menjadi seperti iklan yang memotong dalam cerita, seperti yang dikutip dari wawancara:
“Setelah chocolatos di iya kan, akhirnya masuk banyak. Jadi mereka kayak dibukakan pintu. Nah aku berpikiran waktu itu, aku tidak bisa menghentikan itu semuanya. Kalau aku masih tutup-tutupi itu di film, ini akan memaksakan sama sekali. Mendingan aku paksakan sekalian. Jadi aku banal in. Jadi aku sekalian perlihatkan kalau ini iklan produk itu. Jadi aku mengambil analoginya seperti Andy Warhol, pop art. Kan pop art Andy Warhol itu selalu bikin kayak Campbell’s Soup.”
Dalam email balasan Faozan mengenai penelitian ini, Faozan mengatakan: “Karena saya tak bisa menolak maka saya masukan dalam film secara banal... artinya kita sadar ada produk. Saya mengambil analogi pop art saja, dimana produk atau iklan dijadikan artwork. Chocolatos gery bukan contoh yang terlalu banal, ada lagi mandiri yang jelas jelas menginginkan kartu tol ada dalam film tersebut…Semua saya tampilkan secara banal.... seperti iklan TV yang memotong alur cerita dari sinetron yang sedang ditonton.”
Dalam adegan pertama di tahun 1995, Habibie sedang mempersiapkan pesawat N250. Faozan mengatakan bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam adegan tersebut adalah kesibukan Habibie sehari-hari dalam merakit pesawat tersebut, dan bersiap untuk menerbangkannya. Habibie kehilangan waktu tidur, begitu sibuk untuk menerbangkan pesawat pertama yang dirakit bangsa Indonesia. Faozan ingin menunjukkan bahwa Habibie adalah sosok yang workaholic, sangat berdedikasi terhadap dunia perakitan pesawat –sesuai dengan apa yang Ia tangkap dari wawancara dengan kolega Habibie di Jerman. Faozan ingin menunjukkan bagaimana sebagian dari hidup Habibie, semua dihabiskan untuk bekerja, dan jarang sekali waktu yang Ia habiskan bersama dengan istrinya, Ainun. Produk Gery Chocolatos diselipkan dalam adegan saat Habibie terlihat membaca buku di sela kesibukannya, Ia menyeruput sirup Markisa Pohon Pinang, dan terlihat ada dua buah wafer Gery Chocolatos di atas meja. Ini dikatakan oleh Faozan dalam wawancara:
“Itu sebenarnya kan daily life nya Habibie.Dimana kita lihat sehari-harinya itu di pesawat aja terus.…sekarang aku harus gambarin itu scara ngga langsung bahwa 93
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
bagaimana Habibie itu dalam setiap scene-nya selalu ke pesawat. Aku pengen itu, ketika product masuk, aku ngga tahu aku masih dapat ngga daily lifenya Habibie itu. Pas Habibie datang, baca, terus minum ini, makan ini, aku ngga tahu, ya itu udah… teori maksain kehendak (tertawa). … Pesannya daily life Habibie itu, dia habiskan untuk pesawatnya.”
Pada adegan kedua, terdapat adegan penerbangan perdana pesawat N250, yang disaksikan oleh presiden Indonesia saat itu, Soeharto, dan juga disaksikan oleh masyarakat Indonesia lewat televisi. Terdapat adegan pada saat para kru pesawat menerbangkan pesawat tersebut, dan juga beberapa pria yang tampak sedang berkumpul di sebuah warung, menonton tayangan televisi saat pesawat tersebut diterbangkan. Pesan yang ingin disampaikan adalah bagaimana Indonesia pernah menerbangkan pesawat sendiri dengan teknologi fly by wire –ketika take off dan landing dikendalikan oleh kabel, mengurangi risiko airplane crash dan tidak perlu dikendalikan dengan tangan pilot. Faozan ingin menyampaikan bahwa kita pernah hendak menguasai udara. Produk Gery Chocolatos ditaruh di warung tersebut, menjadi penganan bagi para pria yang sedang berkumpul. Produk ditaruh menjadi instalasi seni, hanya sebagai pajangan. Faozan mengatakan: “Di situ aku mau perlihatkan bahwa jangan lupa, kita pernah bisa mau menguasai udara... Terus ketika tiba-tiba harus ada produk disitu, aku menganggapnya tetap seperti instalasi art kan makanya. Aku masukkan ke warung, dan fokusnya aku tetap mau di TV, bukan di itu. Walaupun secara tidak langsung, yang namanya cokelat dan yellow color itu sudah colornya Chocolatos. Jadi mau di blur, mau orang ambil sekilas, orang akanrelate bahwa itu Chocolatos. Harusnya kan tidak masalah, itu. Tapi garagara depannya sudah dibangun segala macam produk-produk lain, akhirnya itu pun jadi produk.”
Faozan membuat produk Gery Chocolatos yang dimakan para penonton di warung menjadi blur dan tidak begitu terfokus pada produk, tetapi lebih kepada adegan penerbangan pesawat N250. Hal ini menunjukkan bahwa pihak sutradara memilih untuk tidak selalu mengikuti kepentingan ekonomi dari pihak sponsor. Namun, menurut Faozan, karena sudah ada beberapa produk yang ditampilkan di adegan sebelumnya, orang-orang menyadari bahwa terdapat sebuah produk, dengan kotak berwarna emas khas Gery Chocolatos. Pada adegan ketiga, terdapat adegan pada tahun 2010 ketika Habibie dan Ainun sudah menua dan berada di Jakarta dalam sebuah acara makan siang di antara mereka berdua. Faozan hanya ingin menyampaikan bahwa adegan ini adalah saat sehari sebelum Ainun divonis kanker. Dalam adegan ini, Thareq, anak Habibie dan Ainun, datang membawa produk Gery Chocolatos, sebagai hadiah dari Farah dan Farhan –dua cucu dari Habibie dan Ainun. Habibie menanyakan apa isi dari sekotak berwarna emas yang dibawanya dan ditaruh anak Habibie di atas meja makan.
Faozan mengatakan bahwa adegan ketiga ini adalah adegan yang paling menakutkan untuknya karena kelanjutan dari adegan itu adalah pada saat Habibie mengetahui bahwa Ainun terkena kanker. Adegan makan siang itu adalah adegan ketika Habibie pulang dari Sydney, menyantap makan siang bersama Ainun. Keesokan harinya, Habibie mengantar Ainun untuk diperiksa di rumah sakit dan mengetahui kanker Ainun yang sudah berada pada stadium empat. 94
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Faozan takut untuk membuat produk itu sebagai penganan yang dimakan oleh Ainun, karena penganan itu bisa menjadi sesuatu yang kontradiktif dengan penyakit Ainun. Maka, produk itu digambarkan sebagai hadiah dari cucu Habibie dan Ainun. Faozan mengatakan:
“Ini yang bagi aku paling berbahaya, karena setelah itu ada adegan Habibie tanya soal kankernya Ainun, ya kan? … Waktunya cuma 10 tahun untuk bersama yang seperti itu ya. Kecil sekali, untuk ukuran berapa puluh tahun menikah, tiba-tiba dalam 10 tahun yag lagi punya banyak waktu, dia menghabiskan uangnya untuk berkeliling dunia, pulang dari Sydney... tiba-tiba Ainun kena penyakit itu. Terus dibawa ke rumah sakit Abdi Waluyo ... Di Abdi Waluyo ketahuan, kankernya sudah menyebar. Stadium 4. Itu 1 hari sebelumnya, gimana aku mau memasukkan produk itu sebagai yang dimakan? Akhirnya kan produknya tidak dimakan, tapi seperti hadiah dari anak kecil, anaknya si Thareq.”
Saat proses penyuntingan film, Faozan membuang beberapa adegan close up produk-produk Gery Chocolatos yang dipegang oleh tokoh anak Habibie maupun tokoh Ainun, dengan tujuan agar tidak “terlalu mengganggu penonton”.
Faozan mengatakan bahwa film ini sudah memiliki motif ekonomi dengan adanya produkproduk tersebut. Dalam proses shooting filmnya, terdapat banyak shot yang menyorot pada merek-merek produk Indonesia yang sebenarnya bisa menjadi bagian dari product placement film ini –dan dianggap menjadi product placement yang baik. Merek-merek produk Indonesia yang sengaja disorot tanpa perjanjian kerjasama product placement adalah Hotel Indonesia dan Garuda Indonesia. Merek-merek produk internasional yang disorot antara lain maskapai penerbangan KLM, Mercedes Benz, cruise Queen Victoria hingga Parker.
Faozan Rizal mengatakan bahwa produk-produk tersebut sengaja disorot agar bisa ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut bahwa produk mereka muncul dalam film “Habibie & Ainun” dan hal itu bisa membuka kesempatan untuk mendapatkan sponsor dari perusahaan-perusahaan tersebut. Namun, pihak tim promosi dari rumah produksi MD Pictures menolak untuk mengajak perusahaan-perusahaan tersebut bekerjasama. Faozan Rizal mengatakan bahwa MD Pictures menginginkan kerjasama dari perusahaanperusahaan yang sudah pernah bekerjasama dalam product placement di film-film mereka yang sebelumnya. Dialog yang terdapat dalam adegan ini, menurut Faozan, tidak dimasukkan ke dalam skrip. Hal itu diinisiasi oleh Faozan untuk keperluan shooting placement dari produk tersebut. Faozan mendapatkan titipan pesan dari MD Pictures dan Manoj Punjabi, produser eksekutif MD Pictures, bahwa produk itu harus dimakan oleh tokoh Habibie dan Ainun. Namun setelah diskusi, produk itu tidak perlu dimakan oleh kedua tokoh, melainkan produk ini harus berada pada saat adegan dimana terdapat tokoh Habibie dan Ainun.Maka dari itu, Gery Chocolatos ditunjukkan pada adegan pertama dan ketiga yang menampilkan aktor utama. Faozan memilih untuk tidak menampilkannya pada adegan kedua karena adegan tersebut sangat krusial –adegan yang menampilkan penerbangan perdana pesawat N250. Manoj Punjabi merespon film ini secara positif dan sangat optimis dengan hasilnya, namun Manoj merasa bahwa setiap adegan product placement ini terasa sangat ‘iklan’, namun Ia tidak bisa meminta Faozan untuk menghapus setiap adegan tersebut karena sudah ada ikatan kontrak. Konstruksi pesan product placement dalam film ini rupanya muncul bukan saat produksi pesan, melainkan pada saat distribusi pesan. Saat proses tersebut, sebelum menjadi film yang
95
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
utuh, keinginan dari para perusahaan untuk memasukkan produk mereka sebagai product placement baru bermunculan saat proses shooting. Faozan merasa bahwa produk-produk yang ditampilkan dalam adegan-adegan ini tidak terlalu berpengaruh pada pesan yang ingin disampaikan. Produk-produk ini hanya menjadi seperti iklan yang memotong suatu adegan. Faozan melihat bahwa masyarakat rupanya menerima pesan dalam film ini dengan baik, melihat respon masyarakat yang positif dengan cerita ‘Habibie & Ainun’. Faozan berharap agar tim marketing yang ingin memasukkan product placement ke dalam sebuah film untuk melakukan development bersama tim penulisan skenario agar dapat terintegrasi dengan cerita.
Partisipan Proses Konsumsi Pesan Untuk mengetahui mengapa terjadi penolakan pada product placement dalam film “Habibie & Ainun”, in-depth interview dilakukan kepada 6 orang penonton yang terbagi atas 3 kelompok umur (17-23 tahun, 24-30 tahun, dan > 30 tahun). Dalam setiap kelompok umur, akan diwawancara 1 laki-laki dan 1 perempuan dari kelas ekonomi menengah ke bawah dan menengah ke atas. Tabel 1.1 Partisipan Proses Konsumsi Pesan Kelas Ekonomi Kelompok Usia 17-23 Tahun
24-30 Tahun
>30 Tahun
Menengah ke Bawah
Menengah ke Atas
Jannes Wagey, 22 tahun, Lulusan SMK. Menonton: Di YouTube
Saras Andyaningrum, 23 tahun, Sarjana Komunikasi Menonton: Di Bioskop
Myrna Yemima, 28 tahun, Lulusan SMA Menonton: Di Bioskop
Vincentius Ernest Marvin Adiputra, Sarjana Teknik Informatika Menonton: Di DVD
Susie Yohanna, 38 tahun, Diploma Akuntansi Menonton: Di DVD
Daniel Mawinata, Bachelor of Business Administration Menonton: Di DVD (Sumber: Data Olahan Peneliti, 2015)
Dalam hasil wawancara, semua narasumber mampu menerima produksi pesan yang didistribusikan. Namun, terdapat beberapa pendapat yang berbeda saat melihat tiga adegan product placement Gery Chocolatos yang ditunjukkan kepada para narasumber. Dalam indepth interview, Saras dan Myrna langsung menyebutkan bahwa kekurangan film “Habibie & Ainun” menurut mereka adalah product placement dalam film tersebut. Hasil in-depth interview pada penelitian ini adalah hanya terdapat dua orang (Myrna dan Saras) yang melihat semua product placement Gery Chocolatos dalam film “Habibie & Ainun” dan menolak atau tidak suka melihat product placement tersebut. Keduanya memiliki kesamaan: mereka menonton film tersebut di bioskop.
96
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Dalam adegan pertama, terdapat dua produk yang terlihat, yaitu sirup markisa Pohon Pinang dan Gery Chocolatos. Saras dan Myrna melihat dua produk tersebut, dan merasa bahwa product placement dalam adegan tersebut membuat mereka cukup terganggu. Myrna mengatakan bahwa penempatan produk dalam adegan pertama sangat menonjol. Myrna sudah pernah mendengar perihal product placement sebelumnya, menyadari ada dua produk dalam adegan tersebut, yaitu sirup dan Gery Chocolatos. Bagi Myrna, adegan tersebut terasa janggal. Myrna berkata: “Kalau untuk tadi, kayaknya Marimas ya sirup tadi, itu sih masih ngga apa-apa ya menurut saya, karena seorang pria minum sirup, itu biasa sih. Tapi kalau untuk Gery kayaknya agak-agak janggal ya, kayaknya yang namanya bapak-bapak jarang ngemil Astor, atau apalah yang kayak Astor… Mirip-mirip wafer gitu, kan, ya. Kalau adegannya anak kecil lagi main-main sih oke, nyambung. Tapi kalo bapak-bapak kayaknya ngga deh.”
Dalam wawancara, Saras dan Myrna melihat adanya produk Gery Chocolatos di warung pada adegan kedua. Namun, karena ditempatkan di warung, penempatan ini menurut mereka tidak ‘vulgar’ seperti penempatan produk pada adegan pertama. Saras melihat bagaimana budaya Indonesia ditunjukkan pada adegan ini, dimana warga Indonesia suka berkumpul sambil menikmati penganan.
Daniel dan Marvin melihat ada beberapa produk lain yang ada di warung tersebut, namun mereka tidak memperhatikan merek-merek yang ada, dan juga tidak memperhatikan adanya produk Gery Chocolatos. Jannes dan Susie sama sekali tidak melihat ada produk Gery Chocolatos dalam adegan kedua tersebut. Daniel mengatakan bahwa Thareq tidak menyebutkan secara persis apa yang Ia bawakan bagi Habibie dan Ainun dan tidak bisa diterka produk apa yang dibawakan, dan kotak itu hanya ditaruh di atas meja. Pada adegan ketiga, Daniel juga memberi informasi bahwa Ia tidak mengetahui produk GarudaFood bernama Gery Chocolatos. Sehingga Ia tidak bisa menerka atau mengira produk di atas meja tersebut adalah produk wafer stik tersebut.
Susie dan Jannes melihat adanya produk Gery Chocolatos yang dibawakan oleh anak Habibie.Susie khususnya melihat karena anak Susie menyukai Gery Chocolatos. Produk Gery Chocolatos akrab dan cukup dikenal Susie, sehingga Susie bisa mengenali produk tersebut di adegan ketiga, seperti yang dikutip dalam wawancara: “Waktu nonton pertama kali, pas di-shoot bagian itu, saya tahu itu Gery Chocolatos, soalnya anak saya suka makan Chocolatos. Waktu ditaruh di meja makan, itu tidak semencolok sirup. Tau juga itu Gery Chocolatos.”
Saras merasa bahwa product placement tersebut tampak mengganggu baginya karena ditempatkan secara tidak halus. Adegan ini termasuk adegan yang membuatnya memiliki kekecewaan terhadap film ini. Hal ini dikarenakan peletakkan kotak Gery Chocolatos yang menurutnya dibuat-buat dan juga dengan adanya dialog Habibie menanyakan apa produk dalam kotak yang diberikan anaknya itu. Seperti yang dikatakan Saras dalam wawancara:
97
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
“Kan si tokoh anaknya dengan jelas bawa. Akan beda kalau 1 tokoh bawa 1 barang karena memang sudah rutin dia bawa itu, tapi akan beda kan, ini ada 1 tokoh sengaja bawa, sengaja menunjukkan, dibawanya pun sengaja tampak bagian depannya ditunjukkan begitu di kamera. Jadi kesannya, kayak, seperti terlalu mengusahakan bahwa dalam tanda kutip ya, mengusahakan untuk produk ini ditunjukkan dengan pak Habibie menanyakan ulang ya.”
Mengenai apakah product placement dalam adegan ketiga, Daniel berkata bahwa adegan membawa oleh-oleh tersebut –walau Daniel tidak menyadari merek produk tersebut, Daniel merasa bahwa adegan tersebut tidak terlalu penting untuk dimasukkan dan baru Ia sadari setelah menonton tayangan tersebut saat in-depth interview. Menurutnya adegan itu tidak berkesan, karena Ia tidak tahu produk tersebut, dan juga produk tersebut tidak disebutkan –hanya dikatakan bahwa itu pemberian dari cucu Habibie. Menurut Daniel, adegan itu akan lebih berkesan jika produk tersebut disebutkan, atau cocok dengan adegan makan siang yang ditampilkan. Semua narasumber mengatakan bahwa product placement dalam adegan ketiga tidak mengganggu jalan cerita. Namun, walau tidak mengganggu jalan cerita, Saras dan Myrna merasa terganggu dengan product placement di adegan ketiga, seperti jawaban Saras saat diwawancara:
“Jalan cerita sih ngga ya, kalau kenikmatan menontonnya sih iya di adegan ketiga. Emosinya udah kebangun di adegan ketiga, terus eh ada produk ini nongol. Kalau pertandingan bola, lagi asyik nonton pertandingan bola, terus tiba-tiba ada iklan motong, muncul di layar, seperti itu rasanya, kalau di adegan 3 tadi…” Dua orang melihat product placement pada adegan pertama dan ketiga yaitu Susie dan Jannes. Susie menolak product placement pada adegan pertama –terutama karena sirup, bukan karena Gery Chocolatos, dan Jannes merasa adegan pertama sirup dan Gery Chocolatos yang ditampilkan terlalu ‘terlihat’. Pada adegan ketiga, Susie merasa itu adalah placement yang baik dan tampak natural, sementara Jannes merasa itu tidak natural. Susie dan Jannes samasama tidak melihat product placement pada adegan kedua.
Satu orang (Marvin) hanya menyadari produk sirup dalam adegan pertama, dan menyadari adanya product placement di adegan ketiga setelah melihat dua adegan sebelumnya, namun tidak menyadari merek produk ataupun produk Gery Chocolatos yang ditaruh di atas meja. Satu orang sama sekali tidak menyadari adanya product placement dalam film “Habibie & Ainun” dan menyadari adanya product placement pada adegan ketiga setelah melihat dua adegan sebelumnya, namun tidak mengetahui mengenai merek Gery Chocolatos sebelumnya.
Hasil Penelitian
Temuan pada penelitian ini adalah konsumsi pesan dari enam narasumber ini terlihat sangat berfokus pada filmnya. Narasumber menceritakan apa yang mereka lihat dan maknai dari adegan tersebut, dan beberapa narasumber tidak terlalu menyadari adanya product placement. Dari pendapat para narasumber yang menonton film “Habibie & Ainun”, terdapat kesamaan antara Myrna dan Saras: mereka sama-sama menonton di bioskop. Konsumsi penonton di bioskop tampak sama karena mereka merasa terganggu dengan adanya product placement
98
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
pada film “Habibie & Ainun”. Seperti yang dikatakan Faozan Rizal mengenai product placement dalam film Habibie & Ainun ini bahwa skala gambar ketika diproyeksikan di bioskop berpengaruh besar. Orang-orang akan dengan jelas melihat adanya produk tersebut di layar yang lebih lebar. Saras sendiri memiliki latar belakang sebagai mahasiswi Marketing Communications dan cukup sering mendengar istilah product placement, sehingga saat ditanyakan mengenai product placement, Saras cukup memahami hal tersebut. Narasumber lainnya pernah mendengar kata product placement. Narasumber dengan berbagai latar belakang dan pendidikan yang tidak pernah mendengar istilah tersebut lebih memahami istilah “iklan” ataupun “sponsor” dalam film. Dari pendapat para narasumber, beberapa merasa sempat teralihkan dengan adanya product placement, seperti yang dikatakan Myrna, Susie, Saras dan Jannes. Susie dan Jannes teralihkan pada adegan pertama, dan Myrna dan Saras teralihkan pada adegan ketiga. Daniel dan Marvin tidak merasa teralihkan, namun menyadari adanya product placement setelah melihat kembali adegan-adegan yang dimaksud dalam in-depth interview. Tabel 1.2 Tabel Produksi, Distribusi dan Konsumsi Pesan pada Adegan Yang Mengandung Product Placement Adegan Sumber
Ginatri (Produksi Pesan)
Faozan (Distribusi Pesan)
Adegan 1
Adegan 2
Adegan 3
Menunjukkan kerja keras Habibie untuk bisa menerbangkan pesawat perdana rakitan anak Indonesia di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).
Keberhasilan Habibie menerbangkan pesawat tersebut di tahun 1995, dan bagaimana kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Habibie atas keberhasilan Habibie.
Menunjukkan saat keadaan baik-baik saja, sebelum Ainun mendapat kabar bahwa kanker yang Ia miliki mengganas.
Kesibukan Habibie sehari-hari dalam merakit pesawat tersebut, dan bersiap untuk menerbangkannya. Habibie kehilangan waktu tidur, begitu sibuk, menunjukkan bahwa Habibie adalah sosok yang workaholic, sangat berdedikasi terhadap dunia perakitan pesawat. Menunjukkan bagaimana sebagian dari hidup Habibie, semua dihabiskan untuk bekerja, dan jarang sekali waktu yang Ia habiskan bersama dengan istrinya, Ainun. Produk Gery Chocolatos diselipkan dalam adegan saat Habibie terlihat membaca buku di sela kesibukannya.
Indonesia pernah menerbangkan pesawat sendiri, Indonesia pernah hendak menguasai udara. Produk Gery Chocolatos ditaruh di warung tersebut, menjadi penganan bagi para pria yang sedang berkumpul. Produk ditaruh menjadi instalasi seni, hanya sebagai pajangan.
Menyampaikan bahwa adegan ini adalah saat sehari sebelum Ainun divonis kanker. Keadaan sedang baik-baik saja, bahkan Habibie dan Ainun berencana jalan-jalan, namun penyakit mematikan tersebut tidak dapat dicegah. Dalam adegan ini, Thareq, anak Habibie dan Ainun, datang membawa produk Gery Chocolatos, sebagai hadiah dari Farah dan Farhan –dua cucu dari Habibie dan Ainun. Habibie menanyakan apa isi dari sekotak berwarna emas yang dibawanya dan ditaruh anak Habibie di atas meja makan.
99
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Jannes (Konsumsi Pesan)
Proses perakitan pesawat N250 yang dipimpin oleh Habibie. Melihat adanya sirup dan wafer Gery Chocolatos. Merasa aneh melihat seperti ada bentuk iklan dalam cerita. Produk Gery Chocolatos disorot secara spesial.
Penerbangan perdana pesawat N250 dan rakyat ikut menonton dan merasa senang. Tidak melihat ada produk Gery Chocolatos.
Proses perakitan pesawat N250 yang dipimpin oleh Habibie. Product placement Gery Chocolatos dinilai terlalu ‘vulgar’. saat-saat dimana Habibie sedang makan siang bersama Ainun sebagai suatu keluarga Menurut Myrna, lakilaki dengan usia seperti Habibie jarang menikmati snack berupa wafer stik. Kenyamanan menonton terganggu.
Penerbangan perdana pesawat N250 dan rakyat ikut menonton dan merasa senang. Melihat adanya produk Gery Chocolatos, namun tidak terlalu mengganggu adegan ataupun kenyamanan menonton .
Proses perakitan pesawat N250 yang dipimpin oleh Habibie. Melihat ada produk Gery Chocolatos tapi produk sirup lebih Saras (Konsumsi “mencuri perhatian”. Pesan) Adegan ini adalah komunikasi mengenai sirup tersebut. Merasa kenyamanan menonton terganggu.
Marvin (Konsumsi Pesan)
Daniel (Konsumsi Pesan)
Susie (Konsumsi Pesan)
Proses perakitan pesawat N250 yang dipimpin oleh Habibie. Tidak melihat adanya product placement
Proses perakitan pesawat N250 yang dipimpin oleh Habibie. Melihat adanya product placement sirup yang sangat mencolok, dan tidak melihat Gery Chocolatos karena sirup terlalu mencolok.
Penerbangan perdana pesawat N250 dan rakyat ikut menonton dan merasa senang. Melihat adanya produk Gery Chocolatos di warung. Tidak terlalu vulgar. Budaya berkumpul Indonesia ditunjukkan, dan ada cemilan untuk dinikmati.
Penerbangan perdana pesawat N250 dan rakyat ikut menonton dan merasa senang. Tidak melihat product placement apapun. Merasa adegan ini lebih mempromosikan nasionalisme. Penerbangan perdana pesawat N250 dan rakyat ikut menonton dan merasa senang. Tidak melihat adanya product placement Gery Chocolatos.
Saat-saat dimana Habibie sedang makan siang bersama Ainun sebagai suatu keluarga. Melihat ada kotak Gery Chocolatos. Product placement tidak mengganggu, tapi terasa tidak biasa.
Saat-saat dimana Habibie sedang makan siang bersama Ainun sebagai suatu keluarga. Merasa terganggu dengan product placement. Adegan yang menurutnya mengecewakan. Terlalu “beriklan” dan mengganggu kenyamanan menonton film. Saat-saat dimana Habibie sedang makan siang bersama Ainun sebagai suatu keluarga. Product placement Gery Chocolatos dirasa vulgar. Kenyamanan menonton terganggu dengan adanya dialog dari Habibie menanyakan produk tersebut.
Saat-saat dimana Habibie sedang makan siang bersama Ainun sebagai suatu keluarga. Melihat ada kotak tanpa merek yang dibawa Thareq, tapi Thareq tidak menyebutkan apa-apa. Merasa bukan adegan yang penting. Saat-saat dimana Habibie sedang makan siang bersama Ainun sebagai suatu keluarga. Susie akrab dengan produk Gery Chocolatos, dan melihat produk tersebut di atas meja. Merasa product placement dikemas dengan baik –tidak menonjol seperti adegan pertama.
(Sumber: Data Olahan Peneliti, 2014) 100
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Diskusi Bersama Pakar Penelitian ini juga mewawancarai beberapa pakar di bidang marketing communications, branding, perfilman dan product placement. Pembahasan penelitian ini akan memaparkan pendapat para narasumber dengan pendapat para pakar ini, sehingga bisa menjelaskan mengenai product placement dari berbagai sisi. Sania Makki, dosen dan praktisi marketing communications sekaligus pemilik firma konsultan MakkiMakki mengatakan bahwa pada adegan pertama, sirup markisa yang ditempatkan memang lebih mencuri perhatian dibandingkan Gery Chocolatos
Gery Chocolatos dalam adegan pertama hanya terlihat oleh tiga orang. Primo mengatakan bahwa penempatan produk Gery Chocolatos pada adegan pertama tidak terlalu berhasil jika dilihat dari eksposur, karena back-to-back dengan sirup yang muncul pertama kali. Pada adegan kedua, empat orang tidak sadar adanya product placement dalam adegan tersebut.Hal ini juga disampaikan Yoris Sebastian, pemilik konsultan product placement Blockbuzzter.Mengenai adegan kedua, dimana empat narasumber tidak menyadari adanya product placement, menurut Yoris, adegan itu menampilkan product placement yang soft, hanya sekilas sehingga tidak terlihat. Fokus orang lebih kepada jalan cerita yang sedang disampaikan. Amanda melihat bahwa adegan ketiga ini sangat menyorot Gery Chocolatos, dan juga melihat bahwa adegan ketiga ini terdapat product placement kapal pesiar Queen Victoria.
“Kalau tadi sih liat banget sih. Sebenarnya aku bingung sih, placementnya ngga hanya Chocolatos kan, tapi juga Queen Victoria whatever itu. What’s that? Jadi penasaran… Karena itu lingering shot. karena sebelum-sebelumnya juga banyak lingering shot dari logo brand lain ya, kayak KLM, Garuda Indonesia kayaknya di sebelumnya. Sama Hotel Indonesia juga ya. Jadi pas tadi ada Queen Victoria aku jadi curiga, maksudnya apa ya gitu? Terus tadi produk si cokelat itu, itu sangat obvious sih. Biarpun ngga dari deket, dari jauh, cuma tetap… Ini yang ketiga kalinya aku nonton ya, jadi pas nonton yang ini aku tuh kayak “Oh no, please stop it!”
Dari hasil in-depth interview penelitian ini, terlihat bahwa komunikasi product placement terhadap para penonton tidak sepenuhnya merata, karena ada beberapa orang yang tidak melihat adanya produk pada adegan-adegan tersebut. Ada beberapa narasumber yang baru menyadari adanya produk pada adegan ketiga setelah diperlihatkan ulang adegan pertama dan kedua.
In-depth interview yang dilakukan juga menemukan bahwa pesan placement Gery Chocolatos dalam film “Habibie & Ainun” ini tidak mengganggu pesan yang telah dikonstruksi oleh tim produksi dan distribusi film. Tiga penonton dari enam penonton yang diwawancara merasa teralihkan atau terganggu dengan product placement Gery Chocolatos, setidaknya terganggu pada salah satu dari tiga adegan yang ditonton kembali. Pesan cerita sebenarnya tetap sampai, namun yang hal itu mengganggu mood penonton. Empat penonton dari enam penonton yang diwawancara mengaku lebih terfokus pada produk lain dalam adegan satu. Produk lain yang ada dalam adegan satu (sirup markisa Pohon Pinang) dianggap lebih ‘mencuri perhatian’ dibandingkan Gery Chocolatos dalam adegan satu. Sania 101
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
menambahkan bahwa product placement paling mudah dilihat oleh mereka yang memiliki interest pada marketing communications. Dari sini, terlihat bahwa mereka yang sadar akan product placement adalah mereka yang memiliki ketertarikan terhadap dunia film dan mengerti marketing communications, seperti Saras yang memiliki latar belakang sebagai Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Bina Nusantara. Saras melihat semua product placement Gery Chocolatos yang ditunjukkan dari tiga adegan tersebut. Hasil in-depth interview mengatakan bahwa kelas ekonomi apapun tidak berpengaruh pada apakah para penonton melihat representasi product placement Gery Chocolatos dalam film ini. Terbukti bahwa terdapat banyak pendapat yang berbeda dari kelas ekonomi menengah ke bawah dan menengah ke atas –sehingga bisa dilihat bagaimana komunikasi sebuah brand atau produk melalui product placement tidak selalu bisa dikomunikasikan secara merata. Temuan lainnya adalah product placement walau sudah ada dalam industri film komersil dunia, pemasaran macam ini tergolong baru di Indonesia. Jannes, narasumber yang diwawancara mengatakan bahwa Ia merasa aneh melihat product placement dalam film karena seperti melihat iklan dalam film. Hal ini menurut Primo Rizky, Senior Brand Consultant dari DM ID Group merupakan salah satu culture shock yang terjadi di Indonesia. Film di Indonesia baru memulai product placement di tahun 2000 pertengahan, sehingga ketika terdapat product placement, hal itu tampak asing bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dilansir Primo saat wawancara: “Mungkin karena kita tanpa sadar, film Hollywood yang kita lihat, produk sudah jadi bagian dari film tersebut, sementara di film Indonesia, hal itu ngga terjadi. Jadi ada gap kan antara product placement di film Indonesia dan Hollywood dari hal ini. Jadi begitu sekarang kita masuk fase yang sama, jadi semacam, kayak… “ih ini apaan ada iklan dalam film”, padahal tanpa sadar kalau kita nonton film Hollywood, ya memang udah ada. Karena kita kelamaan nonton film dengan placement seperti film Hollywood, akhirnya kita ngga sadar disitu ada placementnya…” Hal ini juga disetujui oleh Amanda Aayusya, jurnalis film sekaligus Deputy Editor majalah Total Film Indonesia. Amanda mengatakan bahwa product placement sudah ada sejak dahulu. Di Indonesia, hal ini baru terjadi belakangan karena industri film Indonesia baru meningkat beberapa tahun terakhir, dan menelurkan beberapa film-film Indonesia berskala besar seperti “Habibie & Ainun” atau “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Di awal-awal perfilman Indonesia, belum ada perusahaan atau brand tertentu yang ingin menginvestasikan uang mereka dalam sebuah film. Hal ini juga menjadi culture shock bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mempromosikan produk mereka. Primo menambahkan bahwa persepsi dari para pemilik brand Indonesia kebanyakan adalah eksposur brand mereka dalam sebuah film harus sangat banyak. Mereka tidak begitu peduli dengan cara penyampaian, karena yang mereka pedulikan adalah “apakah produk mereka terlihat atau tidak?”.
Para pakar yang diwawancara menyadari adanya pertentangan antara tahun peristiwa ketika kejadian sebenarnya terjadi dengan produk yang ditampilkan dalam film saat tahun tersebut. Chocolatos hadir sebagai produk di tahun 1995, saat Habibie mempersiapkan pesawat N250 dan saat penerbangan pesawat tersebut untuk pertama kalinya.Namun, para penonton yang
102
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
mengkonsumsi pesan tersebut tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Hanya ada dua orang yang memikirkan hal tersebut, dan salah satunya berpikir karena adanya produk sirup di tahun 1995. Ini dapat dimaklumi sebagai bentuk fictionalize dari film. Primo menambahkan bahwa hal ini tidak menjadi masalah karena pada adegan kedua, boks Chocolatos tidak terlalu diperlihatkan. Shot dibuat blur sehingga tidak terlalu mengganggu.
Dari sisi product placement Gery Chocolatos, terdapat komunikasi yang tidak konsisten dalam film tersebut. Pada adegan pertama dan ketiga, produk berada di rumah Habibie – yang adalah sosok presiden ketiga RI saat itu. Pada adegan kedua, produk Gery Chocolatos ditaruh di warung sebagai makanan ringan yang dinikmati warga. Hal ini menimbulkan adanya pesan placement yang tercampur dan tidak selaras. Primo mengamati bahwa Gery Chocolatos ingin menempatkan positioning Chocolatos sebagai makanan ringan yang ‘mewah’, sementara positioning Chocolatos sebenarnya berada di makanan ringan yang dinikmati kelas menengah ke bawah karena sering ditemui di warung-warung. Walau terjadi penyampaian pesan product placement yang tidak konsisten, Primo merasa bahwa hanya orang yang concern terhadap branding dan marketing yang menyadari hal tersebut.
Primo juga menambahkan bahwa pesan dari product placement yang tidak konsisten antara adegan pertama dan ketiga dengan adegan kedua membuat Gery Chocolatos tidak mencapai brand equity yang tepat. Primo juga menambahkan bahwa hal ini mungkin hanya dilihat oleh beberapa orang yang memiliki concern pada dunia marketing dan branding. Produk untuk dimasukkan dalam product placement juga tidak harus memiliki “nama” di mata masyarakat. Menurut Yoris, apabila produk cocok dengan alur cerita, suatu produk tidak harus memiliki brand equity terlebih dahulu.
Product placement telah menjadi pilihan bagi anggaran produksi film Indonesia yang dianggap penting.Namun, benturan antara kepentingan pembuat film untuk menyajikan film sebagai karya seni yang utuh dengan pihak perusahaan yang mensponsori film tersebut melalui product placement seringkali muncul. Untuk itu, menurut Yoris, penting sekali agar produser diedukasi mengenai pentingnya “menjahit” skenario film agar terhubung dengan product placement sebelum film rampung. Berbeda dengan product placement dalam film “Habibie & Ainun” yang muncul saat proses distribusi pesan menjadi film yang utuh, Yoris menganggap bahwa hal yang terpenting dalam penempatan produk adalah persiapan sebelum proses shooting. Product placement sebagai teknik promosi disebutkan sebagai teknik promosi untuk meningkatkan awareness. Sania Makki menambahkan bahwa tidak ada salahnya sebuah produk meningkatkan awareness dengan product placement, namun awareness bisa berujung menjadi suatu keuntungan bagi perusahaan jika awareness yang dibangun adalah awareness yang positif, seperti yang dilansir dari kutipan wawancara ini:
Menurut Yoris, semestinya yang harus dilihat adalah apakah terdapat dampak positif dari munculnya produk tersebut dalam sebuah film. Karena itu bagi Yoris, penting sekali agar dilakukan riset dan pemeriksaan kembali kepada para pihak yang terkait. Bagi Yoris, sebagai konsultan product placement, penting sekali ada integrasi antara cerita film dengan product placement yang dirancang. 103
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Yoris pernah menjadi konsultan product placement bagi film “Ketika Cinta Bertasbih” dan menaruh produk yang sesuai dengan film tersebut. Yoris mewawancarai penulis novel “Ketika Cinta Bertasbih”, Habiburahman El-Shirazy, untuk bisa berdiskusi mengenai produk yang ada dalam novel dan bisa ditaruh dalam film sebagai product placement. Yoris mencari produk yang sesuai dengan suasana film religius seperti ‘Ketika Cinta Bertasbih”. Yoris akhirnya menggunakan kecap Kurma sebagai product placement dalam film ini. Seperti yang dikatakan di bawah ini: “Kayak pas waktu Ketika Cinta Bertasbih, saya tanya ke Habiburahman ‚‘‘ Kecapnya itu kecap beneran atau bohongan?“. “Kecap bohongan sih“, “Jadi saya taruh kecap apa aja, boleh?” “Boleh. Tapi saya tidak kasih ke kecap ABC atau kasih ke kecap Bango, karena Habiburrahman Ketika Cinta Bertasbih sangat religi. Saya kasih kecap Kurma. Kecap yang memang 10% dari penjualannya dimasukkan untuk infaq. Sayangnya yang saya lupa waktu itu saya tidak hitung, adalah, saya kan fokus di brand placement kan. Saya lupa bahwa barangnya tidak ada secara nasional. Jadi waktu film itu meledak, ditonton jutaan orang, orang cari kecap KCB, cari kecap Kurma, itu tidak ada di Carrefour. Pada saat dia mau pasang di Carrefour, baru dia tahu lagi, kalau masuk di Carrefour harus bayar. Itu bukan urusan saya, tapi tadi, pelajaran. Tapi ini jadi pelajaran buat saya, saya harus cek. Jadi orang brand placement ini dimana karena dampak film nasional juga ditanggapi secara nasional. Kecap Kurma sangat kuat distribusinya ke tukang sate, dan sebagainya. Jadi dia di underground. Semua tukang sate dari Madura pasti pakainya kecap Kurma. Jadi ini kecapnya bagus, dan mirip sama cerita si ... ... ini kan bikin sate, bikin bakso. Jadi pake kecap, gitu lho……. Saya membuat film itu comes to life even better karena dengan adanya product placement. Tadi itu, di depan RSPP, gambar kecap Kurma disandingkan dgn poster Ketika Cinta Bertasbih. Spiritnya dapat, yaitu spirit religi.”
Product placement yang baik adalah product placement yang menyenangkan bagi pihak pembuat film, pihak sponsor, dan pihak penonton. Jika film tersebut dipandang memiliki product placement yang tidak teratur, uang yang diinvestasikan pihak sponsor dalam film, serta uang yang digunakan penonton untuk menonton film tersebut tidak ada untungnya. Sania berkata bahwa product placement adalah “juicy income.” Anggaran film yang besar dan perkembangan industri film saat ini tentunya membuat product placement menjadi tawaran yang menggiurkan. Namun, para produser harus berhati-hati karena nama mereka dalam film Indonesia dianggap sebagai jaminan mutu. Ia berkata: “Untuk menjaga keunikan dan kearifan orang menonton, itu harus sangat berhatihati untuk mensettingnya, sehingga bisa win-win tanpa menjatuhkan brand dan filmnya juga.”
Pendanaan film bagi Amanda adalah sesuatu yang tidak boleh mempersulit dan mempengaruhi kualitas sebuah film.Product placement adalah salah satu cara untuk mendanai film. Menurut Amanda, film-film Indonesia ke depan bisa mencari salah satu contoh film dari luar negeri –yang sudah memiliki sistem product placement yang lebih terintegrasi, dan bisa belajar dari film itu. Selain itu, produk yang digunakan haruslah mendukung cerita, bukan merusak cerita.
104
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Rekomendasi Dari hasil penelitian ini, dapat dilihat perlunya studi kritikal yang mendalam terhadap kepentingan ekonomi sebuah produksi film yang seringkali berbenturan dengan nilai keutuhan sebuah film. Seringkali, keadaan sutradara yang terjepit kepentingan ekonomi produksi film bisa mempengaruhi konten film yang disajikan untuk masyarakat.
Edukasi product placement maupun branded entertainment lainnya terhadap para produser dan pihak perusahaan yang diajak bekerjasama untuk product placement dalam sebuah film harus bisa dimaksimalkan agar tercapai win-win solution bagi pihak perfilman, pihak pemasar dan juga pihak penonton. Product placement yang terintegrasi tentunya bisa akan lebih membawa awareness yang baik, dan pastinya bisa memberikan hasil yang baik –baik dari segi sales ataupun brand image. Hadirnya konsultan product/brand placement seperti Blockbuzzter yang telah hadir di Indonesia tentunya banyak dibutuhkan perannya dalam mengedukasi hal ini kepada para pihak perfilman maupun pihak perusahaan, agar nantinya bisa menciptakan product placement yang berkesan positif dan tidak menggangu kenyamanan menonton masyarakat –khususnya di Indonesia.
Daftar Pustaka
Charles K. (2012). [Review] Habibie & Ainun (2012): A good movie that is degraded by bad product placement. Diakses Maret 2014, dari http://msquarebycharles.blogspot.com/2012/12/ review-habibie-ainun-2012-good-movie.html Data penonton Tahun 2012. Diakses Maret 2014, dari viewer/2012#.UtAa2lLDDoQ
http://filmindonesia.or.id/movie/
Data penonton Tahun 2013. Diakses Maret 2014, dari http://filmindonesia.or.id.movie/viewer#. UmPvj3Dxrol Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. (1994). Handbook of qualitative research.(1994). California: Sage Publishing. Galician, M. (2004). Handbook of product placement in the mass media. New York: Routledge.
Grinsant, E. (2013, Maret). Kuldesak Bapaknya Gerakan Film Independen Di Indonesia.Diakses Maret 2014, dari http://www.muvila.com/read/kuldesak-bapaknya-gerakan-filmindependen-di-indonesia Hall.S. (1997). Representation: cultural representations and signifying practices. London: Sage Publishing.
Khalbous, S. , Vianelli, D. , Domanski, T. , Dianoux, C. & Maazoul, M. (2013). Attitudes toward product placement: A cross-cultural analysis in Tunisia, France, Italy and Poland. International Journal of Marketing Studies, 5(2), 138-153
105
REPRESENTASI PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM INDONESIA SEBAGAI MEDIA PROMOSI: STUDI KASUS TERHADAP PRODUK GERY CHOCOLATOS DALAM FILM “HABIBIE & AINUN” Shevani Thalia
Lehu, J. (2007). Branded entertainment: Product placement & brand strategy in the entertainment business. London: Kogan Page. Mufid, M. (2009). Etika dan filsafat komunikasi. Jakarta: Kencana –Prenada Media Group.
Pertiwi, M. (2012). Ini dia film Indonesia yang “Jualan”. Majalah Marketing ][Sisipan AdCetera. 132-133. Punjabi, D., Punjabi M. (Producer), & Rizal, F. (Director). (2012). Habibie & Ainun. [Motion Picture]. Indonesia: MD Pictures. Rizal,T. (2012). Review Habibie & Ainun. [Weblog Post]. Diakses Maret 2014, dari http:// cinetariz.blogspot.com/2012/12/review-habibie-ainun.html
Sugiartoputri, S. (2013, Januari 14). Tak sekadar pesan moral, “Habibie & Ainun” juga sarat ‘titipan’ komersial. Diakses Maret 2014, dari http://www.fimela.com/ read/2013/01/14/tak-sekadar-pesan-moral-habibie-ainun-juga-sarat-titipankomersial?page=0,2
Suhendra, I. (2012, Desember 24). Habibie & Ainun: Cinta, kesetiaan dan air mata. Diakses Maret 2014, dari http://entertainment.kompas.com/read/2012/12/24/13533768/. Habibie.Ainun.Cinta.Kesetiaan.dan.Air.Mata Yuniar, N. (2012, 19 Desember). Habibie & Ainun dalam romansa. . Diakses Maret 2014, dari http://www.antaranews.com/berita/349259/habibie--ainun-dalam-romansa
Zakiroh, A. (2013, 30 Maret). Selamat hari film nasional! [Weblog Post]. Diakses Maret 2014, dari http://indonesianyouthconference.org/blog/5053-selamat-hari-film-nasional/
106