444
Implikatur Percakapan dalam Film Habibie dan Ainun Dini Sri Istiningdias, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Bandung Juli Yani, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan jenis-jenis implikatur percakapan dalam Film Habibie dan Ainun. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Data penelitian ini menggunakan 102 tuturan pemeran utama dalam Film Habibie dan Ainun. Teori cara pengungkapan menggunakan teori F. X. Nadar. Sedangkan teori implikatur menggunakan teori George Yule. Untuk menganalisis data ini menggunakan teknik dokumentasi dengan menggunakan CD original Film Habibie dan Ainun serta teknik catat. Hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa (1) jenis tuturan implikatur paling banyak adalah jenis implikatur skala 62 tuturan (60,78%), (2) jenis implikatur umum sebanyak 20 tuturan (19,60%), dan (3) jenis implikatur khusus 20 (19,60%). Dalam data penelitian ini tidak ditemukan implikatur percakapan konvensional. Jadi, kesimpulannya percakapan pemeran utama dalam Film Habibie dan Ainun lebih banyak menggunakan implikatur skala. Kata kunci: film Habibie dan Ainun, implikatur percakapan, percakapan
1. Pendahuluan Bahasa berperan penting dalam kehidupan manusia. Keberadaan bahasa mempermudah manusia untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Penggunaan bahasa oleh manusia bertujuan untuk menyampaikan maksud dalam berbagai kepentingan. Manusia memiliki kemampuan berbahasa yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya, namun bahasa manusia dapat ditiru oleh hewan seperti burung Beo meskipun makhluk tersebut tidak mengetahui fungsi dan makna bahasa manusia yang ditirunya. Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting di dalam tataran kehidupan bermasyarakat. Menurut Keraf dalam Sudaryono (1993:3), fungsi-fungsi bahasa tersebut adalah (1) untuk menyatakan ekspresi diri, (2) sebagai alat komunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial. Dengan fungsifungsi semacam itu, dapat dikatakan bahwa selama manusia hidup, tidak akan pernah lepas dari bahasa. Bahasa tetap hidup di dalam masyarakat dan dipakai untuk berkomunikasi. Bahasa sebagai alat komunikasi dirasakan sangat penting hingga alat tersebut masih digunakan sampai sekarang. Interaksi dan segala kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa, karena itu bahasa tetap digunakan berdasarkan ketetapan dan kesamaan bahasa itu sendiri. Kesalahan dalam berkomunikasi antara pentutur dengan penutur dikarenakan penutur itu mengucapkan apa yang dimaksudnya berbeda dengan apa yang diucapkannya. Jika pentutur mendengarkan ujaran dari penutur, pertama-tama penutur harus berasumsi sedang melaksanakan kerjasama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi. Informasi yang disampaikan itu mempunyai makna yang lebih banyak dari pada kata-kata penutur. Informasi itu tentunya memiliki terkaitan antara ujaran penutur dan pentutur dan ujarannya itu tidak terlihat tetapi dapat dipahami maksudnya. Senada dengan itu Chaer (2010:33) mengungkapkan bahwa implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Namun, keterkaitan itu tidak tampak secara literal, tetapi dapat dipahami secara tersirat. Salah satu pemakaian bahasa dalam kehidupan dapat ditemukan dalam berbagai kegiatan kehidupan, salah satunya dalam bidang hiburan khususnya perfilmman. Pada umumnya film menampilkan gambaran kehidupan. Di dalamnya terdapat percakapan-
445
percakapan antartokoh. Percakapan-percakapan tersebut haruslah mempunyai keterkaitan agar penonton dapat memahami jalan cerita dari suatu film. Film merupakan salah satu media elektronik yang bersifat audiovisual yang tersebar di lingkungan masyarakat. Film ditonton oleh berjuta-juta orang baik orang tua, maupun anakanak. Film juga merupakan arsip sosial yang menggambarkan keadaan zaman masyarakat pada saat ini, ini berarti film tidak terlepas dari kondisi sosial kebudayaan yang merupakan dasar dari pembuatan film tersebut. Dapat disimpulkan bahwa film merupakan cermin budaya masyarakat pada saat itu. Film merupakan aktualisasi perkembangan kehidupan masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman film mengalami perkembangan, baik dari teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Bagaimana pun film telah merekam sejumlah unsur-unsur budaya yang melatarbelakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog antartokoh dalam film. Bahasa yang digunakan dalam sebuah film harus menarik dan makna yang ingin disampaikan dapat diterima oleh penonton atau pendengar, baik dari lapisan atas maupun lapisan bawah. Bahasa dalam film yang berupa implikatur dibuat menarik tanpa melupakan kaidah kebahasaan yang ada. Implikatur ini merupakan aspek yang terdapat dalam pragmatik suatu bahasa di mana setiap aspek linguistik suatu karya sastra dapat menjadi kajian yang menarik untuk digali dan diteliti. Habibie dan Ainun adalah film drama Inodesia yang dirilis tahun 2012 tepatnya hari Kamis, tanggal 20 Desember. Film ini disutradarai oleh Faozan Rizal dan dibintangi oleh Reza Rahardian, Bunga Citra Lestari, dan Tio Pakusadewo. Jerman dan Inonesia menjadi lokasi syuting film Habibie Ainun, kota-kota yang dipilih seperti di Kota Muenchen, Arkhen, dan Hambuerg dan Jakarta, Bandung dan IPTN. Diceritakan Rudi Habibie, seorang jenius ahli pesawat terbang yang punya mimpi besar: berbakti kepada Bangsa Indonesia dengan membuat truk terbang untuk menyatuhan Indonesia sedangkan ainun adalah seorang dokter muda cerdas. Habibie dan Ainun mengetahui bahwa tidak mudah mewujudkan mimpi. Namun dengan cinta yang dibangun oleh mereka dalam perjalanan hidupnya mampu mewujudkan mimpi tersebut. Dinginnya salju Jerman, pengorbanan, rasa sakit, kesendirian serta godaan harta dan kuasa saat mereka kembali ke Indonesia mengiringi perjalanan dua kehidupan menjadi satu. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya pengisih kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah mempunyai akhir, setiap mimpi mempunya batas kemudian pada satu titik, dua belahan jiwa ini tersadar: apakah cinta mereka akan terus abadi. Penelitian implikatur percakapan dalam Habibie dan Ainun ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun manfaat praktis. Manfaat teoretisnya ialah penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (sumbangan pikiran) dan memperkaya ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu pragmatik, dalam hal ini menyangkut implikatur percakapan dalam Film Habibie dan Ainun. Manfaat praktisnya ialah penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti bahasa dan pembaca di dalam usahanya untuk memperkaya wawasan ilmu pragmatik. Bagi penulis, penelitian ini untuk mengetahui hal-hal yang terungkap dalam implikatur percakapan dalam Film Habibie dan Ainun. 2. Sumber data Penelitian ini merupakan penelitian tentang implikatur percakapan dalam Film Habibie dan Ainun. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tuturan pemain dalam Film Habibie dan Ainun sebanyak 280 tuturan. Pengarang film ini adalah Ginatri S. Noer dan Ifan Adriansyah Ismail, penerbitnya adalah MD Pictures, produsernya adalah Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi, sutradaranya adalah Faozan Rizal. Pemain-pemain yang terdapat di film Habibie & Ainun adalah Reza Rahardian sebagai Habibie, Bunga Citra Lestari sebagai Ainun Habibie, Tio Pakusadewo sebagai H.M. Soeharto, Esa Sigit sebagai Habibie muda, dan Marsha Natika sebagai Ainun muda.
446
3. Kajian Teori Istilah implikatur dipakai oleh H.P Grice pada tahun I967 untuk menanggulangi persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa (Lubis, I99I:70). Menurut Mei dalam Nadar (2008:60) implikatur ”implicature” berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold ”melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya. Sejalan dengan itu Leech dalam Nababan ( I987:60) menginterpretasikan suatu tuturan sebenarnya merupakan usaha untuk menduga, yang dalam bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu pembentukan hipotesis. Rumusan yang sama dikemukakan oleh Chaer (2010:33) mengemukakan implikatur atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Namun, keterkaitan itu tidak tampak secara literal: tetapi dapat dipahami secara tersirat. Jelas bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak berkaitan, tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap pesan yang ditangkap oleh pembicara, seperti tuturan (I) antara A seorang ibu rumah tangga dengan B seorang ibu rumah tangga lain. (1) A : Bapak x tetangga kita yang baru itu mobilnya sering ganti-ganti ya. B : Tentu saja karena dia bekerja di kantor pajak. Bisakah dipahami keterkaitan antara “sering ganti-ganti mobil” dengan “bekerja di kantor pajak?” Secara literal tidak bisa dipahami karena tidak disebutkan dalam pertuturan itu; tetapi secara tersirat bisa dipahami karena pada waktu sekarang kita tahu keadaan ekonomi seorang pegawai kantor pajak memang jauh lebih makmur dari pada yang tidak bekerja di kantor pajak (Chaer, 2010:33). Yule merinci lagi kedua jenis implikatur di atas menjadi empat jenis. Adapun keempat jenis implikatur tersebut adalah: 1. Implikatur Percakapan Umum (generalized conversational implicature) Mengkalkulasikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam sebuah tuturan yang mengandung implikatur percakapan umum tidak diperlukan pengetahuan tentang konteks. Misalnya : Doobie : Apakah Anda mengundang Bella dan Cathy? Mary : Saya mengundang Bella. Dari tuturan di atas menyiratkan bahwa yang tidak ia sebutkan (Cathy) berarti tidak diundang. Jadi, dapat dilihat proses mengidentifikasi implikatur percakapan umum dikalkulasikan tanpa pengetahuan khusus mengenai konteks tertentu. 2. Implikatur Percakapan Khusus (particularized conversational implicature) Sering juga terjadi hubungan urutan antara satu proposisi dengan proposisi berikutnya terlihat sangat khusus. Untuk itu diperlukan proposisi sebagai penghubung pemasukan yang disebut dengan implikatur percakapan khusus. Untuk memahami informasi pada keadaan demikian diperlukan pula pengetahuan khusus tentang konteks tersebut. Contoh : Rick : Hey. Apakah kau akan menghadiri pesta yang gaduh itu nanti malam? Tom : Orang tuaku akan mengunjungiku. Untuk membuat jawaban Tom menjadi relevan, Rick harus memiliki persediaan sedikit pengetahuan yang diasumsikan bahwa Rick dalam percakapan ini mengharapkan kehadiran Tom pada malam pestanya, tetapi tidak bisa datang karena, Tom akan menghabiskan malam itu bersama orang tuanya, akibatnya Tom tidak berada di tempat pesta. 3. Implikatur Skala Selain kedua jenis implikaturdi atas, implikatur lain yang sering ditemukan dalam percakapan adalah implikatur skala (Yule, 2006:71) implikatur skala dalam informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala
447
nilai, terutama untuk menyatakan jumlah. Diantara kata-kata yang memiliki implikatur skala ialah: <seluruh, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit> <selalu, sering, kadang-kadang> Dasar implikatur skala ini ialah bahwa semua bentuk negatif dariskala yang lebih tinggi dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan. Jadi, “kebanyakan” memiliki implikatur “tidak semua” dan “sering” memiliki implikatur “tidak sering”. 4. Implikatur Konvensional Implikatur Konvesional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim, tidak harus muncul dalam percakapan, dan tidak tergantung pada konteks khusus untuk mengintepretasikannya. Implikatur konvensional dikaitkan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan. Kata hubung “tetapi” merupakan salah satu contoh kata yang memiliki implikatur konvensional. Misalnya: Mary menyarankan warna hitam, tetapi saya pilih warna putih. Pada sisi lain, Sperber dan Wilson (Nadar, 2008:62) membedakan implikatur menjadi dua macam, yaitu implicated premises dan implicated conclusion. 1. Implicated premises Implicated premises harus dilakukan oleh pendengar yang harus memperolehnya dari ingatannya atau menyusunnya dengan mengembangkan ancangan-ancangan asumsi yang diperoleh dari ingatannya. 2. Implicated conclusion Implicated conclusion diperoleh dengan jalan menyimpulkan dari keterangan tuturan dengan konteksnya. Ilustrasi mengenai perbedaan implicated premises dan implicated conclusion dapat dilihat dari contoh dialog berikut: Bagus : Maukah Anda minum bir? Susi : Saya tidak suka minuman yang beralkohol. Sebagaimana dapat dilihat, jawaban Susi bukanlah merupakan jawaban yang langsung terhadap pertanyaan Bagus. Namun demikian, Bagus, melalui ingatan dan pengetahuannya dapat menyimpulkan sebuah informasi, yaitu: “Bir termasuk minuman yang beralkohol”. Pemahaman Bagus bahwa “Bir termasuk minuman yang beralkohol”, inilah yang disebut implicated premises. Bagus terus melanjutkan proses berpikirnya, mengapa jawaban Susi seperti itu, yaitu “Saya tidak suka minuman yang beralkohol” dan menggabungkannya dengan pengetahuannya bahwa “Bir termasuk minuman yang beralkohol”. Proses ini melahirkan penyimpulan bahwa: “Susi tidak suka minum bir”, yang disebut sebagai implicated conclusion. Dalam menganalisis implicated premises hasilnya sama dengan menganalisis implikatur percakapan umum, perbedaannya terletak pada langkah penganalisisan dan kedudukan proposisi yang diimplikaturkan. Untuk implicated premises, analisis harus mempertimbangkan apakah dalam implicated premises tersebut memiliki proposisi sebagai premis. Oleh karena itu dalam menganalisisnya, kalau untuk implikatur percakapan umum, proposisi yang berkedudukan sebagai premis tidak harus atau tidak mesti selalu ada. Proposisi tersebut bisa saja hanya berada dalam pengetahuan yang kita ketahui. Sedangkan dalam menganalisis implicated conclusion hasilnya sama dengan menganalisis implikatur percakapan khusus, perbedaannya terletak pada langkah penganalisisan kedudukan proposisi yang diimplikaturkan. Untuk implicated conclusion, analisisnya diperoleh dari menyimpulkan keterangan tuturan dengan konteksnya tanpa melihat proposisinya. Sementara untuk implikatur percakapan khusus diperlukan sebagai penghubung pemasukakalan, dan diperlukan juga pengetahuan tentang konteks agar dapat menghubungkan maksud yang ingin disampaikan.
448
4. Pembahasan 4.1 Implikatur Percakapan Umum Dalam implikatur percakapan umum tidak memerlukan latar belakang pengatahuan khusus dan konteks tuturan untuk membuat kesimpulan yang diperlukan. Artinya dalam tipe implikatur ini, langsung ditemukan implikatur percakapan umum. Situasi 8 Tuturan ini terjadi ketika Ainun dan Habibie janjian makan malam bersama sahabatnya yang bernama Arlies di suatu tempat makan yang ada di Kota Bandung. Arlies: cepluk. Ainun: Arlies, apa kabar? Arlies: baik, (sambil berpelukan) Ainun: kamu baru datang? Arlies:, iya,, aku baru,, baru datang, aku mau banyak cerita sama kamuaku kangen banget sama kamu, Arlies: kamu cantik banget sihh?, aku baru datang tadi mas sulis kerja dulu niEh pluk, mbok yak itu dikenalin jangan dianggurin gitu? Ainun: menjawab sambil tersenyum, ini rudi Habibie, ini Arlies. Habibie: Rudi sambil mngulurkan tangannya ke Arlies untuk berkenalan. Arlies: ini suami ku, sambil memperkenalkan ke Habibie. Habibie: eh ya ini sudah kenal sambil bercanda bersama. Arlies: eh.. jadi ini yang mau bawa cepluk ke Jerman? Habibie: bagaimana? Arlies: ah... kamu ni, baru aja cuti sudah dapat jodoh, gerak cepat kamu ya?, eh tapi kamu juga hebat pisan meyakinkan orang kritis semacam si cepluk ini, susah dia orangnya biasanya, Habibie: gitu ya? Ainun: maaf ya rud ya, arlies suka ceplas ceplos. Habibie: ya, its oke Arlies: eh..tapi jadikan kamu bawa cepluk ke Jerman?. Pada tuturan 8 pertemuan Ainun dan Habibie dengan sahabat lama Ainun yang bernama Arlies di tempat makan malam. Kemudian Arlies bertanya tentang laki-laki yang bersama Ainun dan langsung mengutarakan maksud Ainun yang akan di ajak pergi ke Jerman sebagai Istrinya Habibie yang menjadi orang spesial dalam hidup Habibie dan akan menemani hidup Habibie selama di Jerman.Untuk mengetahui maksud dan tujuan tidak memerlukan pengetahuan khusus tentang konteks. Pendengar dapat secara langsung menemukan implikatur yang terselip dalam tuturan tersebut yakni memberi dukungan kepada lawan tutur. Hal ini sesuai dengan pendapat Yule yaitu mengkalkulasikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam sebuah tuturan yang mengandung implikatur percakapan umum tidak memerlukan pengetahuan dalam konteks. 4.2 Implikatur Skala Informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Jadi, implikatur skala nilai ialah bahwa semua bentuk negatif dari skala yang tinggi dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan. Seperti data di bawah ini.
Situasi 12 Tuturan yang terjadi antara Aldi dan Habibie di suatu ruangan kerja Habibie yang membicarakan tentang jam tangan sebagai penyuapan pada proyek pesawat terbanag yang dipimpin oleh Habibie. Habibie: pak Aldi saya tidak punya waktu banyak ya. Aldi: oh ya pak, saya bisa mengerti kok Habibie: saya harus segera berhati-hati
449
Aldi: ya Habibie:ini waktu itu ada yang tertinggal Aldi: oh,, ini,,ini tidak tertinggal, ini memang buat bapak Habibie: tidak bisa, saya tidak bisa terima Aldi: kenapa pak?,, oh maaf pak, memang ini belum, tidak seberapa. Habibie: pak Aldi begini, kalau mau mengikuti sesuatu, anda bisa mengajukan saya proposal, kalau ada politik proyek anda bisa ikut tender. Pada tuturan 12 di atas Habibie menegaskan kepada Aldi untuk tidak melakukan proses penyuapan dalam politik proyek tetapi mengikuti prosedur tender. Tuturan ini termasuk implikatur skala, tampak pada kata “tidak seberapa” yang termasuk tuturan yang mengandung implikatur skala “jumlah”. Jadi proses tidak seberapa tersebut akan dikategorikan kepada bentuk jumlah. Tujuannya apabila pendengar mengerti dengan apa yang dimaksud Aldi tersebut, maka sebagai pendengar seharusnya memahami apa maksud yang ingin disampaikan Aldi. Hal ini sesuai dengan pendapat Yule menyatakan implikatur skala dalam informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai, terutama untuk menyatakan jumlah 4.3 Implikatur Percakapan Khusus Implikatur percakapan khusus adalah percakapan yang sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Artinya dalam implikatur ini terlihat dahulu harus mengetahui konteks tuturan. Situasi 20 Tuturan yang terjadi antara Ainun dan Habibie ketika jalan-jalan bersama di sore hari dan Habibi memastikan bahwa Ainun belum memiliki pasangan. Habibie: Ainun, kalau laki-laki yang ada di rumahmu itu ada yang dekat dengan Ainun? Ainun: Kenapa memangnya ? Habibie: Ya ya ya maksud saya, apa Ainun punya kawan dekat yang khusus ? Ainun: Kalau belum ?. Pada tuturan 20 di atas Habibie bertanya kepada Ainun tentang laki-laki spesial dalam hidupnya dari semua laki-laki yang datang ke rumahnya.. Tuturan ini termasuk implikatur khusus, karena tampak pada percakapannya terdapat kata khusus seperti percakapan ‘apa Ainun punya kawan dekat yang khusus’. Maka dengan hubungan percakapan ini terdapat dalam satu konteks. Hal ini sesuai dengan pendapat Yule menyatakan terjadi hubungan urutan antara satu proposisi dengan proposisi berikutnya terlihat sangat khusus, untuk itu diperlukan proposisi sebagai penghubung pemasukan yang disebut dengan implikatur percakapan khusus. Untuk memahami informasi pada keadaan demikian diperlukan pula pengetahuan khusus tentang konteks tersebut.
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai tuturan Implikatur dalam Film Habibie dan Ainun, membahas jenis-jenis Implikatur Percakapan Tokoh Utama dalam Film Habibie dan Ainun. Maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut : Dalam Film Habibie dan Ainun ditemukan tiga jenis implikatur percakapan yaitu implikatur percakapan umum, implikatur skala dan implikatur percakapan khusus. Dari penganalisisan 102 data implikatur percakapan dalam Film Habibie dan Ainun yang paling banyak menggunakan implikatur percakapan adalah jenis implikatur skala terdapat 62 tuturan (60,78%), jenis implikatur umum 20 tuturan (19,60%), dan jenis implikatur percakapan khusus 20 tuturan (19,60%) dalam data yang ada pada Film Habibie dan Ainun.
450
Pustaka Acuan Chaer, Abdul. 20I0. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Hasan Lubis, Hamid. I99I. Analisis Wacana Pragmatik. Medan: Angkasa Bandung. Leech, Geoffrey. 20II. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Nadar, FX. 2008. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Gaha Ilmu. Nababan, P. W. J. I987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapan). Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Rahardi, Kunjana R. 2002. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Sudaryono. 1993. Negasi dalam Bahasa Indonesia: Suatu Tinjauan Sintaksis dan Semantik. Jakarta: Pusat Bahasa. Semi, Atar M. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
451
The Impact of Young Readers’ Reading Motivation and Reading Strategies to Reading Comprehension Katherine P. B. Sibug, University of Santo Tomas High School
Abstract The process of reading would not effectively take place without the motivation to read and the utilization of the proper strategies that would aid comprehension. This research aims to find out the relationship between reading motivation and reading strategies to reading comprehension. Data were collectively gathered with the use of two survey questionnaires and a twenty-item multiple choice test. The first part in the descriptive statistics shows the top 5 and least 5 reading strategies that readers utilize. This is grouped according to their reading ability level. Data were dealt using the Pearson’s correlation, regression and analysis of variance (ANOVA). Interestingly results show that there is a weak correlation between reading motivation and reading comprehension. Also, based on the results, reading strategy is negatively correlated to reading comprehension. Among the categories of reading strategies the most utilized are global and problem solving strategies. Despite the weak correlation of reading motivation to reading comprehension, the students proved to have a good self-concept as a reader. With regards to reading strategies, students need to be made more aware of their use of such strategies. Keywords: Reading ability, reading comprehension, reading motivation, reading strategies
1. Introduction 1.1 Background Reading is one of the four basic macro skills essential to learners. It is considered as a fundamental skill to acquire information (Temur et al, 2010) as it is a process that aids in meaning construction (Yu-hui et al, 2010 as cited in Aloqaili, 2012). As learners engage themselves in various reading activities in schools, teachers of reading put premium on the end goal of the process which is reading comprehension (Kirmizi, 2010). The plethora of literature anchored on reading touches various concepts that affect reading comprehension such as critical thinking, prior knowledge, inference-making, and metacognitive skills-to name a few (Aloqaili, 2012). The amount of second language reading research would provide sufficient insight that developing second language learners’ strategy use as well as monitoring enhances reading comprehension (Matsumoto, 2006). However, there have been a number of studies that reveal the need for a more intensified teaching of these strategies. Take the case of the study conducted by Urlaub in 2012, wherein emphasis on literary texts was made. Based on the study conducted, reading comprehension strategies pertaining to literary text is an area that has remained unaddressed (Urlaub, 2012). Another would be the study centering on the reading strategies of ESL learners by Maasum and Maarof (2012). The study sheds light on the notion that second language learners lack the skills needed in academic reading. As a result, reading comprehension is affected. Along with these implications from previous research, reading motivation plays an important factor in the process of reading. After all, motivation affects interest. The challenge to boost reading motivation is an aspect of the reading process that needs attention. This study takes into consideration reading motivation and reading strategies as factors that affect reading comprehension. The results of this study could possibly contribute to the improvement of reading instruction. Along with well-known approaches like DEAR (Drop Everything and Read) time, DIRT (Daily Independent Reading Time), CORI (Content Oriented Reading Instruction), and Explicit Reading, a new approach may be developed focusing on reading motivation and reading strategies that will complement the reading ability of a student. This could possibly contribute to the improvement of the current practice in reading instruction.
452
1.2 Literature review 1.2.1 Reading motivation Comprehension of text involves both cognition and motivation (Guthrie & Wigfield, 2000 as cited in Swalander & Taube, 2007; Park, 2011; Logan, Medford, & Hughes, 2011). In a classroom set-up, teachers have expressed great concern on how to stimulate and maintain their students’ reading motivation (Park, 2011). Various approaches have been developed and followed by reading instructors such as CORI (Content Oriented Reading Instruction) (Guthrie et al, 2004), DEAR (Drop Everything and Read) Time, DIRT (Daily Independent Reading Time), and Explicit Reading. All of which are aimed at stimulating reading motivation. Reading motivation plays an important role in the process of text comprehension. It develops in readers the interest in reading. Research shows that the more motivated a reader is, the more books will be read and the more time will be spent in reading, resulting to better reading performance (Wigfield & Guthrie, 1997 as cited in Park, 2011). Likewise, motivated readers engage themselves in more reading activities that result to increased reading practice. This enables them to experience improved comprehension (Wang & Guthrie, 2004; Wigfield & Guthrie, 1997 as cited in Park, 2011). While research in the relationship of reading motivation to reading comprehension exists, the relationship between reading motivation and reading strategies should also be investigated. As stated earlier, cognition and motivation go hand in hand in achieving comprehension. Reading motivation does not act separate from cognitive skills but it in fact acts as an energizer to stimulate interest (Tabaoda et al, 2009). It can be said that reading motivation acts as a stimulus for readers to search for appropriate strategies to aid the reading process. After all, reading motivation is driven by the interest that pushes people to read (Retelsdorf, Koller, and Moller, 2010). Motivation allows a reader to attain maximum comprehension of what is being read. Strengthened motivation or interest in reading boosts reading comprehension. H1: A high reading motivation leads to better reading comprehension. 1.2.2 Reading strategies A reading strategy is defined as a systematic plan that readers adopt to facilitate reading comprehension (Haris and Hodges, 1995 as cited in Kirmizi, 2010). There are many strategies which different kinds of readers use to aid in the process of reading. Effective readers for one, adopt such strategies like relating their background experience with the text, summarizing information, drawing conclusions, and posing questions at the text (McNamara, 2007 and Sproer, Brunstein, & Kieschke, 2009). All these strategies are metacognitive in nature. As Swalander and Taube (2007) stated, control strategies are considered to be cognitive strategies. Reading instructors should always emphasize the use of various reading strategies to help students. Reading comprehension instruction should include explicit cognitive strategy instruction (Guthrie, Wigfield, Barbosa, et al, 2004). If readers have the effective use of reading strategies, reading comprehension will be likely achieved. The ability to know when and how to use an array of strategies and to understand different text types is essential in reading comprehension (Kirmizi, 2010). Knowing and using reading strategies allow a sustained interest in reading (Senay Sen, 2009). It can be said that reading strategies aid in achieving effective reading comprehension. The comprehension of a text relies much on the appropriate use of strategies during a reading activity (Nordin, et al, 2013). This would pose a great challenge for both teachers and students as the former should explicitly teach these strategies and the latter should utilize these strategies when engaging in a reading activity. Using the most effective strategy defines a successful reading endeavor. Given these views, students’ use of the proper reading strategies can greatly affect their reading comprehension.
453
H2: The more reading strategies used; the better the reading comprehension is. 1.2.3 Reading comprehension Once a reading task starts, it is expected that comprehension would take place. As Kirmizi (2010) stated, comprehension is the end goal of reading instruction. Reading comprehension can be defined as the simultaneous process of extracting and constructing meaning (Snow & Sweet, 2003). The skill of comprehending is essential especially for students who spend most of their time in school engaging themselves in various activities in need of effective comprehension. That is why according to Sporer, Brunstein, & Kieschke (2009), the goal of elementary schools should be directed towards the proper instruction of comprehension because reading comprehension accounts for a substantial amount of learning in secondary schools. This is also the case in the study done by Tarchi in 2010 wherein text comprehension is one of the most important aspects of learning as it plays multiple roles in the process of acquisition, sharing, and construction of knowledge. Various skills are needed to achieve comprehension. Determining irrelevant situations, reading strategies, and motivation are some of the factors underlying the skill of comprehension (Ozuru, Dempsey, & McNamara, 2009). Therefore, reading motivation, reading strategies, and prior knowledge all contribute to reading comprehension. However, there would be a need to conduct further research that will have all three factors affecting reading comprehension. The act of reading is an interactive process. It involves the reader, the text, and the activity (Reutzl, Smith, & Fawson, 2005). Prior knowledge comes into play as the reader tries to relate his background based on what the text indicates. From there, the reader seeks appropriate strategies to aid in the comprehension of the text. Above all these is the fact that readers have to find the interest and motivation to engage in a reading activity. As Moss et al (2011) states, “comprehension is not a simple process of accessing word meanings and then combining them, rather it also involves the construction of a mental representation of the text”. 1.3 Theoretical framework Theoretically, this study is anchored on two theories that would establish the relationship between reading motivation, reading strategies, and reading comprehension. Metacognition Perhaps the most common definition one can give about metacognition is that it pertains to knowing about knowing. Metacognition is the theory that talks about the knowledge of learners and how they make use of their own cognitive sources (Temur, 2010). In addition, Temur (2010) makes mention of the three functions of metacognition namely awareness, evaluation, and regulation. Along with these functions, metacognition also involves two components such as knowledge about cognition and regulation of cognition. Collectively, these contribute to the metacognitive awareness of a learner. It is important to take note that reading is a process oriented skill wherein readers use different reading strategies and reading skills whenever they comprehend a text. Metacognition is considered as an essential factor in this meaning making process. However, in a review done by Maasum and Maarof (2012) previous studies have presented evidence that many second language learners are not fully equipped to face the demands of academic reading. The most cited reason behind this is that learners are not making full use of their cognitive process or metacognition to aid them in the process of reading. In contrast, learners with metacognitive awareness have the ability to consciously give meaning to the reading process and use strategies effectively while undertaking the reading task. They also have the ability to access and apply these strategies to future reading tasks easily (Carrell et al, 1989; Sheory & Mokhtari, 2001 as cited in Yuksel and Yuksel, 2011). Metacognitive strategies include activating prior knowledge, summarizing text, and generating questions to capture the main idea of the passage. Given these three and so much more, metacognition is truly deemed to be an important facet of the reading process. Thus, it is important to include the explicit instruction of appropriate reading strategies
454
in the teaching of reading. Knowing the different metacognitive strategies used in the reading process and knowing when to use them makes up a good reader. Schemata Theory A variety of meanings have been given to the word schema. It may mean an organized pattern of thought or behavior, a structured cluster of pre-conceived ideas, a mental structure that represents some aspect of the world, or a specific knowledge structure or cognitive representation of the self. Perhaps the meaning that captures the essence of this word is that it is an accumulation of knowledge and beliefs specific to a person. This theory gives emphasis to knowledge as an elaborate network of abstract mental structures which represent one's understanding of the world. This means that schema is rich knowledge stored in a person’s memory which is accessed whenever there is a need to fill in information gaps. Schema theory is based on the belief that “every act of comprehension involves one’s knowledge of the world” (Anderson et al. 1977, cited in Carrell & Eisterhold, 1983, p. 73). In the context of reading, schema theory plays an important role on how knowledge is represented and organized, and how that representation and organization facilitates the use of a reader’s prior knowledge to improve reading comprehension (Aloqaili, 2012). Schema theory plays an important role in helping readers compensate for gaps in a reading text as they search their background knowledge for information that relates to what is being read. This theory, when applied to reading, emphasizes the interactive approach to reading. This approach views reading comprehension as a process wherein students are taught techniques for processing text, like making inference, activating prior knowledge, and using critical thinking (Aloqaili, 2005a; Orbea and Villabeitia, 2010). In this theory, prior knowledge plays an important role. As readers bring in various cognitive skills into the reading process, the act of searching for background knowledge comes into the picture. Certainly, as a person becomes a reader, he cannot help but search within him existing meaning so he could adapt to the given reading material. Khezrlou (2012) gave emphasis to the fact that in the process of reading, regardless of it being in L1 or L2, the process has to be considered as a top-down/bottom-up interaction between the words printed on the page as well as the readers’ knowledge of the world. The processes involved in meaning making are aided by the existing knowledge in one’s mind. This would make the reader effectively interpret what is being read. 2. Method 2.1 Participants The respondents for this study were 208 grade seven students from a private sectarian high school. All the respondents for this study have taken the TOEFL Jr. test which was administered at the start of the school year. Classifying the respondents into the two groups of readers namely, the low reading ability group and the high reading ability group was determined based on the CEFR (Common European Framework of Reference) level for reading of the students. CEFR levels pertain to the level of competency of a person with regards to the use of various linguistic skills. On the one hand, the low reading ability group is composed of students who got a CEFR reading level of A1 (beginner) and A2 (elementary). On the other hand, the high reading ability group is composed of students who got a CEFR reading level of B1 (intermediate) and B2 (upper intermediate). 2.2 Instrumentation 2.2.1 The Motivation to Read Profile The Motivation to Read Profile, a tool developed by Gambrell, et al. (1996), was used to determine the motivational characteristics of the students belonging to the two reading ability groups. The profile is composed of two instruments: the Reading Survey and the Conversational Interview. For the purpose of this study, only the Reading Survey has been fielded out to the
455
respondents. The Reading Survey is composed of 20 questions with a 4-point response scale. It aims to measure two aspects of a reader, namely, self-concept as a reader and value of reading. Each aspect is composed of ten questions. Items that fall under self-concept as a reader pertain to the students’ self-perceived competence as a reader as well as his or her perceived reading performance relative to his or her peers. The items that fall under the value of reading seek to provide information about how the students value various reading tasks and activities focusing on the frequency of engagement in reading-related activities. 2.2.2 Metacognitive Awareness Reading Strategy Inventory In order to distinguish the different reading strategies employed by the two groups of learners, the Metacognitive Awareness Reading Strategy Inventory has been utilized to suit the context of the present study. This survey questionnaire was developed by Mokharti and Reichard in 2002. This tool was designed in order to evaluate the awareness of the reader on the strategies necessary for effective reading as well as to uncover the objectives and purposes a reader has when reading academic or expository texts. The statements in the survey cover the three categories of reading strategies: global reading strategies, problem-solving strategies, and support reading strategies. 2.2.3 Reading comprehension test A twenty-item multiple choice test was developed in order to yield an objective result to measure reading comprehension. Twenty questions for the reading comprehension test were all based on a narrative text, The Man Who Had No Eyes by Makinlay Kantor. Each question contained a single stem and four options. The test went through interrating to establish both face and content validity. 2.3 Procedure In order to categorize the students into the high and low ability reading groups, the CEFR reading level obtained from the TOEFL Jr. test served as the primary determinant on the distribution of the students. Students who fall under the CEFR (Common European Framework of Reference) level of A1 and A2 have been classified as the low reading ability group; while those who fall under the CEFR level of B1 and B2 have been classified as the high reading ability group. Based on their CEFR levels, the low reading ability group is considered as basic users of the English language while those belonging to the high ability group are categorized as independent users of the language. The researcher and the participants had two encounters to complete the data gathering phase of this study. On the first encounter with the participants, the Reading Survey has been administered. Each statement in the instrument was read aloud to the students before they indicated their answers. The test took about 15-20 minutes to administer. Following this, the MARSI (Metacognitive Awareness Reading Strategy Inventory) was administered to the respondents. The last part of the data gathering procedure was the administration of a twentyitem reading comprehension test that was validated by an expert in the field. All responses to the two reading surveys as well as the scores obtained from the reading comprehension test were encoded and statistically treated using SPSS. From here, several descriptive statistical results as well as correlations were obtained as results for this study. 3. Results 3.3 Reading motivation Table 1 shows the descriptive measures of the respondents reading motivations according to their reading abilities. As expected, students with high reading abilities, particularly those with a CEFR rating of B2 (upper intermediate) were the most motivated as indicated with a mean of 3.15 (SD = 0.38), while students with low CEFR have low reading motivations ( ̅ =2.55, SD=0.33). The standard deviations are below 0.50 which indicate that variation in the ratings of students within each group in regards to reading motivation are more
456
or less the same. For the groups with intermediate and upper intermediate reading abilities, their mean ratings on self-concept are higher compared to their ratings on value of reading. The results are the opposite for the beginner and elementary group. Table 1: Mean and standard deviations of respondents’ reading motivations according to their CEFR (n = 208) Reading Self-concept Value of motivation Reading CEFR Mean SD Mean SD Mean SD A1 (Beginner) 2.55 0.33 2.50 2.60 A2 (Elementary) 2.84 0.40 2.78 0.37 2.91 0.36 B1 (Intermediate) 2.93 0.29 2.97 0.41 2.89 0.44 B2 (Upper intermediate) 3.15 0.38 3.21 0.36 3.08 0.27 ALL 2.93 0.38 2.95 0.41 2.92 0.41
3.4 Reading strategies Table 2 shows the variation in the reading strategies of the different reading ability groups. Given this data, there is no significant difference in the students’ reading strategies when grouped according to their reading abilities (F = 1.450, p > 0.05). Table 2: Significant difference in reading strategies when grouped according to CEFR (n = 208) Reading strategies CEFR Mean SD F Sig A1 (Beginner) 2.60 1.450 0.230 A2 (Elementary) 3.68 0.46 B1 (Intermediate) 3.62 0.57 B2 (Upper intermediate) 3.67 0.51 ALL 3.64 0.54
3.5 Reading ability, reading motivation, reading strategies, and reading comprehension The Pearson product moment correlation coefficients were computed to determine any significant relationship that exist between reading motivation and reading comprehension; and reading strategies and reading comprehension. The Spearman rank order correlation was used to determine any significant association between reading ability and reading comprehension. Table 3 shows that there is a significant, moderate positive relationship between reading ability and reading comprehension (r = 0.354, p < 0.01). This implies that a higher reading ability leads to better reading comprehension. Reading comprehension is also significantly associated with reading motivation (r = 0.159, p < 0.05). However, the correlation is weak. The effect size of the correlation is 2.53% which means that only a small percentage of the variation in reading comprehension among students from various (Grade 7) sections can be predicted from the relationship between reading motivation ratings and reading comprehension scores. Between self-concept and value of reading, only the former has a significant relationship with reading comprehension (r = 0.216, p < 0.01). Surprisingly, correlational results reveal a significant negative correlation between reading comprehension and reading strategies as measured using the Meatacognitive Awareness of Reading Strategies Inventory (MARSI). Although the relationship is weak (r = -0.151, p < 0.01), a negative correlation suggests that students acquire better reading comprehension when utilizing less reading strategies.
457
Table 3: Correlation between reading comprehension and reading ability; reading motivation; and reading strategies Reading Comprehension r Reading ability (CEFR) 0.354** Reading motivation 0.159* Self-concept 0.216** Value of reading 0.080 Reading strategies (MARSI) -0.151* Spearman rho * Significant at 0.05 level ** Significant at 0.01 level Figure 1 is a graphical model of the effect of reading motivation on reading comprehension. Multiple linear regression was used to find a model fit. As indicated in the figure, reading comprehension is fairly influenced by self-concept (0.278**) and reading strategies (-0.227**). Value of reading has no significant effect on reading comprehension.
Reading motivation (Self-concept)
0.278** Reading comprehension
Reading strategies
-0.227**
**Significant at < 0.01. Figure 1. Effect of reading motivation and reading strategies on reading comprehension
4. Discussion 4. 1 Reading ability The initial predictor for reading achievement would be a person’s ability to read. Reading is a primary skill to acquire information (Temur, et al, 2010). Reading is taught to make a person fully equipped with literacy skills. In schools, the macro skill of reading is given much weight as it contributes to the academic performance of a student. It should be noted that reading is perceived as a thinking process to acquire information (Yu-hui, et at, 2010). This notion supports the result from this study. The significant relationship between reading ability and reading comprehension proves that a higher reading ability aids in better reading comprehension. The more thinking skills employed during the reading activity, better reading comprehension is achieved. Majority of the respondents in this study falls under the B1 level or intermediate level of reading. Their reading ability significantly affects their reading comprehension. Also, it should be noted that this group of readers have a fairly strong motivation to read. The intermediate group has a good self-concept with regards to their identities as readers but fall short in proving how they value reading as one group of readers in the low reading ability group has a higher value of reading compared to the intermediate group.
458
4.2 Reading motivation Research in education would show that learning does not only involve cognitive and metacognitive processes but also include motivation and emotional processes (Park, 2011). Having said this, the reading process- which is a learning process in itself- is composed of both cognition and motivation. Comparing the two groups of readers, it is the higher reading ability group that has a stronger motivation to read. As expected, among the four levels of readers it is the upper intermediate level’s motivation that has a strong significant impact to reading comprehension. Taking it from the perspective of self-concept and value of reading, the high reading ability group would have a higher self-concept as a reader while the low reading ability group would have higher ratings for value of reading. It can be said that students with higher reading abilities see themselves as confident readers. Meaning, they trust their identity and capability as readers and may see themselves as better readers compared to those who belong to their peer group. These motivated readers have distinct reading characteristics such as reading for different purposes, utilizing knowledge from previous experience, and participating in meaningful interaction when going through the reading process (Blay, Mercado, and Villacorta, 2009). Interestingly, readers from the low reading ability group put more emphasis on their value for reading. It is important to take note that while these students belonging to the low reading ability group have low CEFR ratings, they have a stronger motivation to engage themselves in reading activities and tasks; perhaps for self-improvement or for hoaning their reading skills. Seemingly their lower self-concept as a reader motivates them more to participate in reading tasks. Looking at the bigger picture, reading motivation has a significant relationship with reading comprehension. However, the correlation between the two is rather weak. The small effect size of the correlation shows that only a small percentage of reading motivation affects the reading comprehension of the students. This result is in congruence with that of the study done by Blay, Mercado, and Villacorta in 2009. The study also gained a weak correlation between reading motivation and reading comprehension. Perhaps an explanation to this result is the fact that interest in the reading material also plays a part in the reading motivation of the student. The interest drives a person to be more or less motivated to do something. Correspondingly, the interest of a student in a reading text may contribute to the student’s motivation to read the text. After all, interest drives people to read (Retelsdorf, Koller, and Moller, 2010). 4.3 Reading strategies Successful readers undergo the construction of meaning as they read with the aid of mental activities (Kirmizi, 2010). Such mental activities are said to be metacognitive in nature. These metacognitive reading strategies facilitate and monitor comprehension as a reader attempts to understand a text (Urlaub, 2012). Analyzing the reading strategies employed by the two groups of readers in this study, it can be said that the low reading ability group would employ much of global reading strategies such as: I use context clues to help me better what I’m reading. I read slowly but carefully to be sure I understand what I’m reading. I try to picture or visualize information to help remember what I read. When text becomes difficult, I pay close attention to what I’m reading. When text becomes difficult, I re-read to increase my understanding. The high reading ability group would mostly use problem solving strategies such as: I try to get back on track when I lose concentration. I think about what I know to help me understand what I read. I try to picture or visualize information to help remember what I read. When the text becomes too difficult, I pay close attention to what I’m reading. I preview the text to see what it is about before reading it.
459
Together, global and problem solving reading strategies are perceived as the most utilized strategies across reading groups. Similarly, Yuksel and Yuksel (2011) also found out that students would be more aware of using problem solving strategies while Maasum and Maarof (2012) reports that L2 students are more inclined to use global reading strategies. Also, this study and that of the previously mentioned literature would state that support reading strategies are the least utilized by the students. Though it was possible to factor in the different reading strategies according to the frequency of use, this study shows that there is no significant difference in the reading strategies of the students when grouped according to reading ability. Meaning, there is no evident variation with regards to the strategies employed in the process of reading. As shown in the list above, there are some recurring strategies for both groups of readers. Perhaps what can contribute to this occurrence in the lack of variation of strategy use is to look at the reading strategy instruction the students are receiving. Previous studies would say that strategy instruction is a key element in comprehending a text (Kucukoglu, 2012). 4.4 Correlation of reading motivation and reading strategies to reading comprehension The complex process of reading does not only include the actual ability to read but the capacity to generate meaning from what is being read. Thus, reading involves factors such as motivation and strategies that contributes to effective comprehension. The results of this study would show that only the aspect of self-concept would moderately affect the reading comprehension performance of a student. Self-concept pertains to the student’s self-perception of his or her reading competency (Retelsdorf, Koller, and Moller, 2010). It seems that the confidence of the reader to take on a reading task contributes to reading achievement. Knowing that you are capable of something helps in performing well in a particular task. Take the case of the high reading ability group, having the highest rating for self-concept, they exhibit a positive attitude towards reading based on their self-concept rating. Consequently, having a high reading ability leads to better chances for effective comprehension. Motivated readers engage more on reading activities and these activities are avenues for improvement in reading comprehension (Neugebauer, 2012). As surprising as it may seem, the results of this study would suggest that there is a negative correlation between reading strategies and reading comprehension. It does not mean however, that in the context of this study, reading strategies will not be considered as an important factor in reading comprehension. What could greatly contribute to this interesting result is the explicit instruction of reading strategies. The question, “Are the students, first and foremost, aware that they are using various strategies when they read?” comes into mind. Awareness of these reading strategies is of utmost importance. A reader who is aware of the thinking process in reading is required to use metacognitive strategies resulting to the development of strategic reading skills and awareness of the thinking process (Senay Sen, 2009). The awareness of the utilization of various reading strategies allows a reader to cope with the demands of the reading endeavor. Since the respondents of this study are composed of two groups of learners, the reading behavior of such groups would also differ. Such that a strategic reader employs different reading strategies at every phase of the reading process while a poor reader tends to undergo the reading task without being mindful of the process of reading, does not explore the meaning of unfamiliar words, and does not incorporate previous knowledge to construct meaning in the text (Nordin, et al, 2013). As a result, these reading behaviors greatly contribute to the success of the reading activity. Ultimately, the explicit teaching of reading strategies should be a major concern in schools. This aspect of reading has been an unaddressed issue (Urlaub, 2012). Reading instructors and language teachers alike should make a conscious effort to teach these reading strategies to create an awareness in the minds of the young readers.
460
5. Conclusion As schools aim to develop in their students a sense of competence, literacy skills are given much emphasis to produce students who can function well in society. Reading is a skill that cuts across all subject matter and is the skill that will allow a student to do what is required of him to perform or create. That is why, in every classroom, each student must be molded as an effective reader. However, there will not be a single classroom having the same type of students. Variety will always be present. This study took into consideration the profiling of reading motivational characteristics and awareness of reading strategies of high and low reading ability learners in relation to their reading comprehension performance. It should be noted that motivation only showed a weak impact to reading comprehension. This finding could be further investigated by knowing how students view a reading task in their academic subjects. To know how they think once a reading task is given could provide significant insight on how educators can build a stronger interest in reading. The lack of awareness in reading strategies has affected the over-all reading achievement of the respondents in this study. The negative correlation of reading strategies to reading comprehension emphasizes the need for explicit teaching of these strategies. Utilizing such strategies makes them conscious readers. They do not just simply read the printed text but also make meaning out of it. Students’ self-concept as a reader had a moderate impact on reading comprehension. This proves to be a good insight as majority of the students views themselves as having competency in the skill of reading. Though motivated, they still lack the strategies to aid them in their text comprehension. Majority of the strategies utilized by the high ability group falls under global and problem solving strategies. As a whole, a very limited variety of strategies are being employed by the students. The development of a more aggressive reading instruction should greatly improve the kind of readers educators want their students to be. The focus on reading strategies should be given emphasis in the teaching of reading. Also, it is important to tap the interest of the learners and match it with the reading texts or activities they will be engaging in. If successful, a culture of effective readers will be formed. Thus, if a student is both motivated and equipped with good reading strategies, it will often lead to effective reading comprehension.
References Aloqaili, A. (2012). The relationship between reading comprehension and critical thinking: A theoretical study. Journal of King Saud University (Language and Translation), 24 (1), 35-41. Blay, R., Mercado, K., and Villacorta, J. (2009). The relationship between motivation and second language comprehension among fourth grade Filipino students. Philippine ESL Journal, 2, 5-30. Gambrell, L., Palmer, B., Codling, R., & Mazzoni, S. (1996). Assessing motivation to read. The Reading Teacher, 49 (7), 518-533. Guthrie, J.T., McRae, A., Lutz Klauda, S. (2007). Contribution of concept-oriented reading instruction to knowledge about intervention for motivations in reading. Educational Psychologist, 42 (4), 273-250. Khezrlou, S. (2012). The relationship between cognitive, metacognitive strategies, age and level of education. The Reading Matrix, 12 (1), 50-61. Kirmizi, F. (2010). Relationship between reading comprehension strategy use and daily free reading time. Proceida Social and Behavorial Sciences, 2 (2), 4752-4756. Kucukoglu, H. (2012). Improving reading skills through effective reading strategies. ProcediaSocial and Behavioral Sciences, 70 (1), 709-714.
461
Logan, S., Medford, E., & Hughes, N. (2011). The importance of intrinsic motivation for high and low ability readers’ reading comprehension performance. Learning and Individual Differences, 21 (2), 124-128. Maasum, T. and Maarof, N. (2012). Empowering ESL readers with metacognitive reading strategies. Procedia-Social and Behavioral Science, 69, 1250-1258. Matsumoto, H., Hiromori, T., and Nakayama, A. (2013). Toward a tripartite model of l2 reading strategy use, motivations, and learner beliefs. System, 41 (1), 38-49. McNamara, D., & McDaniel, M. (2004). Suppressing irrelevant information: knowledge activation or inhibition? Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, & Cognition, 30, 465-482. Mokhtari, K., & Reichard, C. (2002). Assessing students’ metacognitive awareness of reading strategies. Journal of Educational Psychology, 94 (2), 249-259. Moss, J., Schunn, C., Schneider, W., McNamara, D., VanLehn, K. (2011). The neural correlates of strategic reading comprehension: Cognitive control and discourse comprehension. NeuroImage, 58 (1), 675-686. Neugebauer, S. (2012). A daily diary study of reading motivation inside and outside of school: A dynamic approach to motivation to read. Learning and Individual Differences, 24, 152-159. Nordin, N., Rashid, S., Zubir, S., & Sadjirin, R. (2013). Differences in reading strategies: how ESL learners really read. Procedia- Social and Behavioral Sciences, 90 (1), 468-477. Ozuru, Y., Dempsey, K., & McNamara, D. (2009). Prior knowledge, reading skill, and text cohesion in the comprehension of science texts. Learning and Instruction, 19 (3), 228242. Park, Y. (2011). How motivational constructs interact to predict elementary students’ reading performance: Examples from attitudes and self-concept in reading. Learning and Individual Differences, 21 (1), 347-358 Retelsdorf, J., Koller, O., & Moller, J. (2010). On the effects of motivation on reading performance in secondary schools. Leanring and Instruction, 21, 550-559. Reutzel, R., Smith, J., & Fawson, P. (2005). An evaluation of two approaches for teaching reading comprehension strategies in the primary years using science information texts. Early Childhood Research Quarterly, 20 (3), 276-305. Senay Sen, H. (2009). The relationship between the use of metacognitive strategies and reading comprehension. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 1 (1), 2301-2305. Snow, C.E., & Sweet, A.P. (2003). Reading for comprehension. In A.P. Sweet & C.E. Snow (Eds.), Rethinking reading comprehension (pp. 1-11). New York: Guilford Press. Sporer, N., Brunstein, J., & Kieschke, U. (2009). Improving students’ reading comprehension skills: Effects of strategy instruction and reciprocal teaching. Learning and Instruction, 19 (3), 272-286. Swalander, L. & Taube, K. (2007). Influences of family based prerequisites, reading attitude, and self-regulation on reading ability. Contemporary Educational Psychology, 32 (2), 206-230. Taboada, A., Tonks, S., Guthrie, J.T., & Wigfield, A. (2007). Effects of motivational and cognitive variables on reading comprehension. Paper presented at the National Reading Conference. Tarchi, C. (2010). Reading comprehension of informative texts in secondary school: A focus on direct and indirect effects of reader’s prior knowledge. Learning and Individual Differences, 20 (5), 415-420. Temur, T., Kargin, T., Bayar, S., & Bayar, V. Metacognitive awareness of grades 6, 7 and 8 students in reading process. Procedia Social and Behavioral Sciences, 2, 4193-4199. Yuksel, I. & Yuksel, I. (2012). Metaognitive awareness of academic reading strategies. Procedia Social and Behavioral Sciences, 31 (1), 894-898. Urlaub, P. (2012). Reading strategies and literature instruction: teaching learners to generate questions to foster literary reading in the second language. System, 40 (2), 296-304.
462
The Implementation of Curriculum 2013 and Its Impact to the Young Learners of English Noerhayati Ika Putri, English Department, Faculty of Humanity, Universitas Airlangga
Abstract Indonesia is facing a new change in English Language Teaching. This particularly concerns with the starting point of when Indonesian students learn English in their formal education. Before the implementation of curriculum 2013, Indonesian students started to learn English as their mandatory subject in grade 1 of elementary school. With the new curriculum, they will study English as a compulsory subject in junior high. This research is done to see the impact of this new policy to elementary school students toward their English education. From the theoretical point of view, Critical Period Hypothesis emphasizes on the importance of age in language acquisition which also means that a minimum language exposure to children could cause failure in acquiring the language. This fact could be disadvantageous for Indonesian people. Furthermore, this may also lead to a bigger gap between the rich and the poor as well as the urban and rural society since English will later be acquired better by certain people only. Keywords: Critical period hypothesis, curriculum 2013, young learners
1. Introduction English language teaching in Indonesia has always been an interesting topic. In this country, where English is used as a foreign language, the teaching of English is not as simple as the theorists say in textbooks. For example, when Communicative Language Teaching approach was widely recognized as a better approach than the previous methods like Grammar Translation Method, some English teachers in Indonesia might not be convenient in applying some teaching techniques that reflect CLT. A lot of researchers also agree that the teaching context (and some other factors) is also important in determining what and how to teach (Brown: 2007). The teaching and learning process becomes even more complex when it comes to the right time when English can be formally introduced to the Indonesian students. As an international language, English is considered important by the government to be included in the national curriculum. Since 2013, the government has been implementing curriculum 2013 to especially some public schools in Indonesia. This year, all schools must implement this new curriculum. The curriculum is claimed to be different, and better thought, from the previous one. There has been a lot of changes in some aspects. Concerning English subject for example, along with Physical Exercise (P.E.) and Information and Communication Technology, is not mandatory anymore for elementary school students (Nuh: 2013). While schools are still given freedom to teach English as an extracurricular activity outside the school hours, English is not obligated for students and therefore no longer tested. This is different from the previous curriculum, school-based curriculum (KTSP), where English was allowed to be part of local content subjects at elementary school level which was given during the school hours. English was also tested as part of the students’ final examinations. This fact could be problematic since this could also mean that there would be a delay in maximizing English language exposure to the elementary school students. Remembering the fact that the students are still young (7-12) and in their golden period in acquiring a language, minimum exposure could lead to failure in learning English. In language acquisition theory, Critical Period Hypothesis has been widely corresponded to an argument that children before the age of puberty are still genetically programmed to help them acquire some skills including language skill (Lightbown and Spada: 2006). Though some researchers argue that this theory is difficult to be empirically proven, and that age is not the only factor in determining the success,
463
it can be concluded that a maximum language exposure to children is important. Based on this, I fear that the new curriculum could indirectly delay the Indonesian young learners’ success in acquiring English. While on the other hand, the public needs for English is very high remembering the fact that Indonesia is soon to be part of Asian Free Trade Area (AFTA) in 2015. Based on my observation to some public elementary schools in Surabaya, I would like to point out some problems that could be experienced during the implementation of curriculum 2013. I also did a library research to describe some possible impacts to the Indonesian young learners of English, particularly in East Java. These impacts could affect, but not all, the young learners of English depending on how the schools implement this new curriculum. I particularly aim at the impact to public schools students as the largest number of students in Indonesia. 2. Literature Review 2.1. Critical Period Hypothesis This hypothesis is basically emphasizing on how the children in their early age will easily acquire some knowledge and skills including language skill. Based on this argument, some researchers also argue that during this critical period, when children were not given access to language learning environment they would not be able to acquire that language easily (Ortega: 2009). In second language context, some researchers also claim that this case is also true to second language learners who are still children as compared to adult learners. Patkowski (1980) found that age of acquisition is important in setting the limits on the development of native-like mastery of a second language and this does not only apply to accent (Lightbown and Spada: 2006: 70). In terms of metalinguistic awareness and intuitions for grammaticality, DeKeyser (2000) found that adult learners may learn a second language differently from the way the children learn and therefore can get the advantage by understanding the language form easily. Based on the research, the question of at what age the learners should start learning a second/foreign language could have several answers since it depends on the goals of learning, the context, the instruction and others. Lightbown and Spada have finally come into conclusion that age is just one of the characteristics in determining the way second or foreign language learners achieve the success in second/foreign language acquisition. Another conclusion that can be withdrawn is if the children get a minimum or no access to language, it will be hard for them to reach a complete language mastery when they grow up. This can happen in both first and second language context although in the second case, the result may not be too severe (since they already have their first language knowledge). 2.2.
Curriculum 2013 Curriculum 2013 is the curriculum that was developed by the Indonesian Education and Cultural Department in order to replace the previous curriculum (school-based curriculum or KTSP) which was proposed in 2006. This curriculum was intended to pay more attention on the 4 competences: social, spiritual, knowledge, and skill (Nuh: 2013). Furthermore, Nuh, the Indonesian ministry of education, says that this curriculum does not focus on competences on every school subject anymore. About language skill, he explains that the curriculum for elementary school, would not include Indonesian subject. Indonesian language is used as the medium of instruction and will be learned contextually through other subjects (natural science, mathematics etc). Each subject is not separated from one another. They will be taught in one main theme with one textbook that covers all. As for English, there is a little chance for the students to receive English during the school hours. English is started to be taught as a mandatory subject for the students in junior high school (above 12 years old). Compared to the previous curriculum, which allows English to be included as local content subjects, this new policy has been raised as an issue since the children will have lack of access to English education. Depending on the provincial government policy, English could (or could not) be taught at elementary school level as part of local content subjects or extracurricular activity (Novia: 2013). Although for some schools (i.e. private schools) this may not be a problem (since they have more freedom to adopt the curriculum accordingly), for public schools this
464
could lead to some problems since they cannot freely adjust the curriculum implementation as they like. If no actions are taken, these problems could cause some impacts for the young learners of English who are still in elementary schools. 3. Discussion 3.1. Curriculum 2013 in Surabaya’s Public Elementary Schools The government had appointed some public schools in Indonesia to be the pilot projects in implementing curriculum 2013 in 2013. This year, all schools must implement this curriculum. As the focus of the study, I only looked at how the public elementary schools adapt themselves with this new policy especially in providing access to English for their students. The curriculum has just started to be implemented last year and was only applied to some certain grades (grade 1 and 4). Based on my observation, some schools still experience a confusion in implementing this curriculum. The exposure to English has also been minimalized since English is now given as an extracurricular activity for mostly one to two hours a week (mostly on every Saturday) with emphasis on conversation. 3.2. Problems Based on the explanations about curriculum 2013 and the observations, I found that there are some problems in the implementation of this curriculum particularly to the teaching of English in public elementary schools. a. Minimum exposure to English It is obvious that a minimum language exposure to English will continue to happen especially when English is no longer given as a main subject during school hours. On the other hand, English is given as an extracurricular activity which is only done for one to two hours (even fewer) a week. This could mean that the teaching of English could might as well be thought as not seriously given for the students. With emphasis on conversation, the students should receive longer hours in order to make this extracurricular activity becomes more effective. Unfortunately, with the conditions of the schools where they are still in the adaptation process to the new policy, it may not be possible to add more hours since the teachers are probably still struggling to adjust the time portions for the other (subjects). b. Few facilities including unorganized teaching materials What has been a concern so far, which had come up since the previous curriculum, is the needs to find some good teaching materials which are supported by appropriate facilities for the teaching learning process. This is actually crucial and unfortunately, with the new curriculum, this problem remains unsolved. c. Limited number of qualified teachers Another problem that has long been awaited to be solved is lacking of qualified teachers. Once again, this has not been given any solution at all. A new curriculum implementation should have also provided ways to increase the teachers’ quality. Another thing relates to the number of English teachers. Rather than increasing, the teachers will most probably be decreasing since they now don’t have to teach English anymore. 3.3. The Impacts The students are the ones who will most definitely be affected with this new curriculum. Here are the impacts that could be resulted from the implementation of curriculum 2013. a. The failure in achieving the success in English learning Back to the Critical Period Hypothesis, delaying the time of exposing the children to second or foreign language may cause some difficulties in acquiring the language. Although age of acquisition is not the only factor that could determine the success, but according to the research, the younger the learners learn the language, the possibility to achieve the success is higher. The fact that English is not mandatory anymore for elementary school students show that the children will also have a small opportunity to learn English. This will also then lead to another impact which will be explained further. Concerning the failure, this may not happen to
465
all young learners depending on how much they are later exposed to English outside schools. With the current situation, where the students have a lot more access to English through some other media like television, it is not possible that the learners will later learn better outside schools than at schools. b. Bigger gap in social status: the rich and the poor, the urban and rural society Another impact is that the implementation of the new curriculum could lead to a bigger gap in social status. This is possible since the minimum exposure to English would make the parents who see the importance of learning English seek some ways out to maximize the exposure to English outside schools. This could be done by giving their children some additional lessons by asking (or even forcing) them to join some English classes provided by language institutes that offer various ways in increasing their children’s English language skill. This can only be done by families with extra money who are eager to make their children learn some foreign languages, particularly English. Furthermore, with the technology, the people are encouraged to be always developing their skills (one of them is foreign language skill) in order to keep up with the needs of the society. There are a lot public schools in Indonesia. In Surabaya for example, public schools are located in all districts including the city center or the suburbs. The government want all students to receive their education equally. As one of the biggest cities in Indonesia, Surabaya offers a lot of facilities in providing additional lesson that could help the children improve their skills (including language skill). This may not be the case with the other area. The rural area like in the borders between Surabaya and other cities may only have a very few options in terms of providing qualified lessons for the students. One of the reasons not to include English as the core subjects during school hours is the government thinks that not all students can or want to learn English (Republika: 2013). In this case, if this continues, the government’s goal to wish for education equality for everybody will be difficult to reach. Instead of providing some qualified teachers and good facilities to support (English) education, they choose to eliminate the opportunities for elementary schools students, who are still in their critical period in learning a language skill, to learn English. 4. Conclusion and suggestion A successful education system in a country should embrace all citizens. Every human is entitled to a right of having the same opportunities in education. Curriculum 2013 which reduces the opportunities for Indonesian students to learn English as early as possible in elementary school could lead to some problems and thus impact those learners. There are some suggestions that I would like to propose concerning this matter. 1. Giving schools the freedom to teach English as an extracurricular activity or as a local content subject. This suggestion could only be started by reviewing the English subject policy for Curriculum 2013 by the government. The idea that the school was given a flexibility in designing their lessons was actually inspired by the previous curriculum, school-based curriculum (KTSP). By designing some lessons according to the school context, the aim of the teaching and learning process could be achieved better. With the curriculum 2013, the government claim that the schools could still provide English but how it works depends on what the provincial government’s policy is. If the provincial government agrees to allow English to be given as an extracurricular activity, the schools can continue the teaching learning process to their students. This fact is confirmed by Hamad, information and public relation officer from the Indonesian Education and Cultural Department, who explains that whether English is provided by the elementary schools or not depends on their provincial government’s policy (2013). Every school is different from one to another and therefore the decision to design their own English teaching and learning process will help them and their students a lot. 2. Providing access to English language learning for the young learners This is especially suggested for the parents. Remembering that not all areas in Indonesia can easily have access to English language learning, I still encourage the parents to be optimistic
466
in providing a good learning atmosphere for their children. Easy access is not always determined by the number of language schools that provide additional English lessons outside formal schools. For the young learners in the rural areas for example, the parents could maximize the use of technology from the internet remembering that most people are now familiar with smartphones. If there is limited access to technology, the parents could go back to the ‘traditional’ but essential way like providing hardcopy English books for their children. This can be done as long as the parents remain positive and are willing to help their children. In addition to what I have suggested, The Association of English Teachers in Indonesia (TEFLIN) has recommended some suggestions about curriculum 2013 and its implementation. They advise that English should be given as a part of local content subjects just like before. Therefore, there will be more hours in learning English rather than just to be given as an extracurricular activity that only requires one to two hours a week. Supporting their advice, I would once again remind everyone that a very minimum exposure to English that is given to learners of all age: the young or adult, will not lead to a success in language learning. If this confusing and unfair policy continues, the government will still be far from reaching their goal, which is to raise the education quality and equality for all Indonesian people. References Brown, Douglas. 2007. Principles of Language Teaching and Learning. Longman Cook, Vivian. 2001. Second Language Learning and Language Teaching Ed.3. London: Oxford University Press. DeKeyser, R.,. 2000. ‘ The robustness of critical period effects in second language acquisition.’Studies in Second Language Acquisition 22/4: 493-533. Hamad, I. 2013. Menyongsong Penerapan Kurikulum 2013. Available at http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-menyongsong-penerapan-kurikulum2013 Lightbown, P, and Spada, N. 2006. How languages are learned. Oxford: Oxford University Press. Novia, Diah. 2013. Kurikulum SD Tidak Ada Bahasa Inggris dan TIK. Available at http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/13/12/12/mxoux4-kurikulumsd-tidak-ada-mata-pelajaran-bahasa-inggris-dan-tik Nuh, M. 2013. Kurikulum 2013. Available at http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikelmendikbud- kurikulum2013 Ortega, L. 2009. Understanding Second Language Acquisition. Routledge Patkowski, M. 1980. ‘The sensitive period for the acquisition of syntax in a second language.’ Language Learning30/2:449-72 Sadiyah, H. 2013. Koalisi: Akibat Kurikulum Baru Ribuan Guru Terancam Menganggur. Available at http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/04/mkq0a5koalisi-akibat-kurikulum-baru-ribuan-guru-terancam-menganggur Saville-Troike, M. 2005. Introducing Second Language Acquisition. Cambridge University Press. TEFLIN, 2013. Pokok Pikiran dan Rekomendasi tentang Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Inggris tahun 2013. TEFLIN group discussion 16-17 February 2013.
467
Fishing As A Sign of Peace in the Movie Salmon Fishing in the Yemen Puguh Budi Susetiyo, English Department, Universitas Airlangga
Abstract This paper endeavors to figure out fishing as a sign of peace in the movie Salmon Fishing in the Yemen, it is a leisure activity which could be a powerful peace maker individually and globally. The movie tells a story of a British fishery expert approached by a sheikh’s consultant to help sheikh in establishing salmon fishing spot in Yemen. Roland Barthes’ semiotic theory is used to figure out the denotation, conotation, and myth of fishing as a sign of peace. Moreover, leisure studies apporach is also used to produce comprehensive meaning of fishing as a leisure activity. Finally, fishing could be an alternative way to create peace in Yemen since fishing brings benefit to the community. Keywords: Fishing, Leisure activity, Semiotic.
1. Introduction In her article Britain’s Long Relationship with Yemen, Paula Dear (2012: 1), a BBC reporter, states “... terrorism remains a live threat and the UK has recently increased its spending on counter-terrorism activity in Yemen”. UK has already tried to maintain a conducive situation in Yemen ,and the Middle East in genereal, regarding to terrorism threat. BBC’s report, Dear (2012: 1), emphasized the small crisis in Yemen for the failed bomber of a US airliner had been recruited by a branch of Al-Qaeda in Yemen. As a response, British embassy was closed to reduce further possible threat. This political situation background encourages the writer of this study to assume that there is a relationship possibility of the releasing of Salmon Fishing in the Yemen movie with the UK-Yemen political relationship in 2010-2012. Salmon Fishing in the Yemen directed by a famous Swedish director, Lasse Hallstrom, and released in 2011 promoted fishing as a beneficial leisure activity to reduce a high tension between UK and Yemen. The movie was starred by Ewan McGregor (Dr. Alfred Jones), Emily Blunt (Ms. Harriet Talbot), and Amr Waked (Sheikh Muhammed). In addition, the movie got the second place of the best narrative feature category in Palm Springs International Film Festival 2012 (IMDb). The story is about an intriguing idea on introducing salmon and sport of salmon fishing into the Yemen proposed by Sheikh Muhammed, a rich Yemeni sheikh living and having business in UK. He asked Dr. Alfred Jones, as a brilliant fisheries specialist, suggestion to accomplish the challenging project. Moreover, this brilliant project was also supported by British government for it was considered as a real action to rebuild the unpleasant relationship between UK and Yemen. The early pessimistic opinion of British government regarding to the geographical reason ended up in a happy ending story in which the project was succesful. Fishing is considered as a powerful media to bring a peaceful and positive political situation in the Middle East, especially Yemen. Fishing as a peacemaker becomes the main concern in this study. The writer of the study observes that fishing has many great advantages. Alexandra McManus, et al (2011:13) from Centre of Excellence for Science, Seafood and Health Curtin University argue that fishing explores more possibilities for individuals, groups, and families from various ages to have a recreational outdoor activity that brings significant health benefits and precious social interaction. The writer of this study agrees with McManus and his team opinion in understanding the great impact of fishing in society because it could establish social interaction by uniting people from different groups and various ages. The people’s unity could bring peace to the society. Besides the social interaction, McManus, et al. (2011: 31) states that fishing also leads people to consume more fish and seafood which are a great food source for Vitamin D.
1
468
Basically, Vitamin D is very important nutrition in the growth of human beings. Therefore, fishing and peacemaker complete each other in creating better life in the society. 2. Discussion To figure out the denotation, conotation, and myth of fishing as a sign of peace, the writer of the study uses Roland Barthes’ semiotic theory together with a leisure study apporach to result a comprehensive analysis. They are used as primary source, while the movie Salmon Fishing in the Yemen becomes the primary data. The study uses qualitative methods together with library and online research. Rachma Ida (2011: 92 and 97-99) mentions that the narrative and non-narrative analysis are used to obtain an in-depth analysis which combines story and plot (narrative) together with camera works and movements, costumes, setting, color composition, sounds, characters, and environment (non-narrative). The focus of the study is on how fishing is portrayed as a sign of peace between UK and Yemen in the movie Salmon Fishing in the Yemen. Therefore, any issues not related to fishing as a sign of peace is not discussed in the study. The beginning of the movie is started with a monologue (typing and sending e-mail) from Ms. Harriet Chetwode-Talbot acting as a representative of Fitzharris and Price Investment. She (00:01:47-00:02:23) said that,”... on behalf of a client with access to very substantial funds who has indicated a desire to sponsor a project to intoduce salmon and the sport of salmon fishing into the Yemen ... I might add that the Foreign and Commonwealth Office supports the project as a symbol of Anglo-Yemeni cooperation.” In this scene, Harriet does not emerge, but Sheikh Muhammed emerges together with Harriet’s monologue. This scene emphasizes the real aim of the movie which tries to rebuild the wonderful relationship between UK and Yemen. Chandler (2002: 89) argues that Roland Barthes defines denotation as primary signification which is the literal meaning of a sign easily recognized and identified by common sense. Thus, denotation is figured out from what the writer of the study sees and listens. The visual refers to items that could be seen in figure 1, and the audio refers to the Harriet’s monologue. From figure 1, denotation analysis consists of the presence of Sheikh Muhammed fishing alone in the small river close to hills in the cloudy weather. Sheikh Muhammed wears red kaftan for the outside combined with white kaftan for the inside. He also wears red-white chess motive turban. At the left bank of the river, there are few rocks. Long low angle shot is used in this scene. The dominant color in this scene are green and grey, and the lighting is dark. Furthermore, Chandler (2002: 89) defines that conotation (secondary signification) refers to the socio-cultural and personal associations like emotional, ideological, etc of the signs. So, conotation analysis of the first figure combined with Harriet’s monologue deals with the interpretation of symbols, words, and any items that produce socio-cultural and personal meanings. The interpretation start from the presence of the Sheik Muhammed in the middle of the river. Instead of wearing fishing costume, Sheik Muhammed prefers to wear red kaftan combined with white kaftan together with red-white chess motive turban. This appearance becomes the symbol or the representation of Yemeni. Kaftan and turban are a typical clothing in the Middle East. Most Middle Easterner men wear kaftan and turban. The red kaftan refers to Sheik’s courage to initiate a challenging solution to fix the bad UK-Yemen political relationship. Gianetti (2002:25) considers that Red is part of warm colors. Red represents aggressiveness closely related to Sheikh’s courage. His inside white kaftan refers to his pure intention in fixing the bad political relationship. In addition, Gianetti (2002: 25) argues that thite is part of cool colors which represents the tranquility and the serenity. So, Sheikh Muhammed does not want to be considered as an opportunist if the political relationship is going to be better. He purely wants to propose fishing as a marvellous idea in creating a peaceful life for British and Yemeni in the future. Moreover, Sheikh Muhammed fishing position refers to his ideological stand. He stands in the middle to emphasize his neutrality toward UK-Yemen political relationship. The bad UKYemen political relationship in 2010-2012 is not included in his ideology. He emphasizes that fishing could be a media to rebalance the political relationship between UK and Yemen. His
2
469
face does not look at the camera, he stands as if he enjoys fishing and gazes far to the upper course of river. This means that Sheikh Muhammed believes that salmon fishing could be the future of the Anglo-Yemeni cooperation. The river in the figure 1 refers to a place that offers a life. River is the habitat of fish and other creatures, here most of the British rivers have salmon. In addition, water also emphasizes the life source. The cloudy weather together with dark lighting emphasize the bad political situation between UK and Yemen. Gianetti (2002: 18) considers dark lighting relates to sadness. The hills refers to the geographical situation of the UK. The long low angle shot refers to the presence and the show off of Sheikh Muhammed who is going to be a central and enthusiastic character in the movie. Gianetti (2002: 17) also emphasizes that long low angle shot represents heroism. As dominant colors, green and grey means peace and the unpleasant UK-Yemen political relationship. Green represents the Sheikh’s peace expectation, while grey represents the UK-Yemen political relationship background. The Harriet’s monologue also has conotation analysis. It starts from phrase a client with access to very substantial funds who has indicated a desire to sponsor a project to intoduce salmon and the sport of salmon fishing into the Yemen which means that Sheikh Muhammed is a rich Yemeni who is very enthusiastic in supporting a tremendous challenging project of salmon fishing into the Yemen. Furthermore, the phrase the Foreign and Commonwealth Office supports the project as a symbol of Anglo-Yemeni cooperation means that the British government very supports the Sheikh’s idea about salmon fishing which could be a strategic idea in fixing the UK-Yemen partnership. Figure 1. Sheikh Muhammed is fishing in the small river. It is the first scene which the first monologue emerges in the movie.
Chandler (2002: 94) argues that myth analysis (third signification) combines denotative and conotative meaning for it reveals the hidden meaning of the scene. The presence of fishing Sheikh Muhammed as a Yemen in the red-white kaftan represents his aggresiveness and pure intention to promote salmon fishing which is actually famous ini UK into Yemen. Salmon fishing is actually part of leisure activity, and it becomes the main concern of the figure 1. Leisure activity in the figure 1 is considered as a personal leisure activity since Sheikh Muhammed is portrayed as a fishing Yemeni in the British river. Actually, Mary Greenwood Parr (1999: 2), a leisure studies practitioner, states that personal leisure experience shapes the personal understanding of the meaning and value of the leisure. Therefore, it could be assumed that fishing as a leisure activity has shaped the personal understanding of Sheikh Muhammed in convincing himself to use fishing as a powerful media in fixing the UK-Yemen political
3
470
relationship broken by the terrorism threat. Furthermore, Parr explains that a personal leisure experience might help the doer to understand the social and psychological benefits of leisure activities. Therefore, the social and psychological benefit expected by Sheikh Muhammed in figure 1 is the social interaction without considering the different races, ethnics, groups, and ages to create peace between UK and Yemen. The social interaction between British and Yemeni is portrayed by Sheikh Muhammed fishing salmon in British river and his ambition to establish salmon fishing spot in Yemen. The writer of the study assumes that Harriet’s monologue actually relates to socioeconomic message implied from Parr’s argument on the message of leisure activity. Parr (1999: 2) convinces that leisure activities include socioeconomic benefits derived from recreational experience. Thus, it could be concluded that Harriet’s monologue is a bridge that could assist the UK-Yemen economy. It is emphasized by Dear’s report (2012: 1) about the increasing number of British investments on water resources management. The following explanation on fishing as a sign of peace is derived from figure 2 which describes the warm salmon fishing relationship between Sheikh Muhammed and Dr. Alfred Jones. In that figure, the scene describes Dr. Jones’ visitation in Sheikh’s estate. As a fisheries specialist, Dr. Jones invented many flies used in fishing. Sheikh Muhammed uses one of Jones’ famous fly named Woolly Jones. This becomes the reason why Sheikh trust Dr. Jones’ knowledge to pursue his idea of introducing salmon fishing into Yemen. The small talk continues to fishing in the small river close to Sheikh’s estate. The dialogue discusses about Sheikh’s plan and ambition together with British political situation, but it ends with Sheikh’s opinion about fishing. This scene ends with Sheikh’s success in getting a salmon by using Woolly Jones fly invented by Dr. Jones. Figure 2. Sheikh’s successful fishing is considered as a great sign in following up the idea of salmon fishing.
Denotation analysis in figure 2 consists of the presence of three persons who are Dr. Jones, Sheikh Muhammed, and Sheikh’s butler. Dr. Jones and Sheikh handshake and hold fishhook, while Sheikh’s butler catches the salmon. Dr. Jones wears fishing outfit dominated by dark green and light brown. Sheikh wears light brown-white kaftan combination, gold belt, redwhite chess motive turban, and a gold dagger. Sheikh’s butler wear outdor activity outfit dominated by dark green color. Three of them are standing in the bank of the river. There is a huge rock in the shallow river and green grass. Moreover, in figure 2, the camera uses long eye level shot.
4
471
Before Sheikh cathced the salmon, he had a very interesting conversation with Dr. Jones (00:32:45-00:33:13). : But fisherman, I have noticed, they don’t care whether I’m brown or white, rich or poor, wearing robes or waders. All they care about is the fish, the river and the game we play. For fishermen, the only virtues is patience, tolerance, and humility. I like this. You are struck dumb by my naivety Dr. Alfred. Dr. Jones : No, you’re on. Sheikh : What? Dr. Jones : You’re on. Sheikh : This is a sign. Dr. Jones : A sign? Sheikh
That interesting conversation ends after Sheikh succeeded catching the salmon. In conotation level, the dominant color of Dr. Jones’ fishing outfit is considered as cool color based on Gianetti colors’ analysis. Dark green and light brown are used to make the outfit similar to grass, soil, and rocks mostly found in the river. They bring peace, silence, and freshness usually represented by fishermen. The butler’s outfit is motly dominated by dark green which also emphasizes peace and freshness. Sheikh’s outfit mostly dominated by typical Middle Easterner men wearing turban and kaftan. The colors represent different meaning since in figure 2, light brown-white combination of Sheikh’s kaftan emphasizes Sheik’s main purpose in using himself as a Yemeni to introduce peace and tranquility. However, Sheikh’s gold dagger could mean a bravery, defense, and social status since according to Ahmed Saif (2011: 9) dagger means the most important symbol of the sheikhs in the Middle East. The handshaking between Sheikh and Dr. Jones represent the warm cooperation and relationsip betwen British and Yemeni through nonverbal communication. A universal nonverbal communication like handshaking has meanings such as attitudes, personalities, emotions, and relationships. The long eye level shot in figure 2 allows the audience to observe the nonverbal communication and full body of the actors. This shot permits the audience to produce many opinions about what actors present. From the dialogue, conotation analysis emerges in the phrase You are struck dumb by my naivety Dr. Alfred. This phrase refers to Sheikh’s prejudice toward Dr. Alfred Jones’ opinion toward his naive, impossible, and challenging idea in introducing salmon fishing into Yemen and fixing UK-Yemen political relationship. Next phrase is taken from Dr. Jones’ statement you’re on. This phrase possibly means Dr. Jones’ approval on Sheikh’s naive idea. Therefore, the cooperation between British and Yemeni is signed by Dr. Jones-Sheikh Muhammed partnership. The myth analysis is emphasized by the Sheikh’s statement in his conversation with Dr. Alfred. He argued that fishermen do not consider the fishermen’s skin color and social status. It is shown from the phrase they don’t care whether I’m brown or white, rich or poor, wearing robes or waders. This argument is similar to Parr’s opinion (1999: 4) toward the benefit of fishing as a leisure activity, she said that fishing could serve as a voice for all those who desire it. The word ‘those’ here represents fishermen who could be from various ages, races, ethnics, and social classes. Moreover, Sheikh argued that the virtues concerned by fishermen were patience, tolerance, and humility. The writer of the study agrees with those virtues since Parr (1999: 3) also argues that fishing had relevancy as an opportunity to give meanings in fishermen’s life, and leisure activities are considered to bring a positive impact such as stress relief, related to ‘patience’, and mental health, related to ‘tolerance’ and ‘humility’. The economic benefits of fishing explained by Parr could be symbolized by the presence of the caught salmon in the figure2.
5
472
3. Conclusion In Salmon Fishing in the Yemen, fishing becomes a sign of peace through the semiotic explanation in figure 1 and 2. It is supported by dark green as the dominant color, the river as the setting, and the presence, the handshake, and the out fit of Sheikh Muhammed and Dr. Alfred Jones. Fishing, either personal or groups, becomes a great leisure activity which carries social, economic, and psychological benefits. The social benefit is the ability of fishing in creating fishermen social interaction without considering the differences of ages, races, ethnics, and classes, The economic benefit symbolized by salmon brings prospertity since basically human beings need food to be consumed, and salmon could be a precious seafood commodity which contains Vitamin D needed by human beings. This bright project could strenghten the UK-Yemen economy partnership. Finally, the psychological benefit of fishing is the stress relief and good mental health which could balance the life of human beings.
References Chandler, Daniel. 2002. Semiotics: the Basic - 2nd Edition. London: Routledge. Dear, Paula. Britain’s Long Relationship with Yemen. Available at BBC http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/magazine/8441263.stm. Accesed 30 June 2014. Gianetti, Louis. 2002. Understanding Movies 9th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Ida, Rachma. 2011. Metode Penelitian Kajian Media dan Budaya. Surabaya: Airlangga University Press. Parr, Mary Greenwood. 1999. Leisure Theory and Practice: A Critical Approach. Wolfville: Acadia University Printing Services. Saif, Ahmed. 2011. Class Analysis and the State in the Middle Eastern Countries. Sana’a: Sheba Center for Strategic Studies. Salmon Fishing in the Yemen. Available at Internet Movie Database (IMDb) http://www.imdb.com/title/tt1441952/awards?ref_=tt_awd. Accessed 30 June 2014. Salmon Fishing in the Yemen. 2012. Dir. Hallstrom, Lasse. CBS-BBC Films Lionsgate UK, 2011. DVD. McManus, Alexandra, et.al. 2011. Identifying the Health and Well-Being Benefits of Recreational Fishing. Perth: Centre of Excellence for Science, Seafood and Health Curtin University.
6
473
This is Taste – A Discourse Analysis on the Messages from Cigarette Commercial Films Yusnita Febrianti, State University of Malang
Abstract Television has been an inseparable part of our life. Other than its programs, commercial films between programs have inundated our viewing activities and slowly becomes a common consumption. Interestingly, some Indonesian cigarette products advertise their products in commercial films that use English. In the long run, there is a possibility that the use of provocative visual and slogans in commercial films may manifest changes in our way of thinking through their messages. This paper is looking at two cigarette commercial films i.e. Dunhill cigarette of Indonesian productions that are advertised using English. The framework used for the analysis is adapted from Cheong’s (2004) formulation of generic Structure Potential of Print Advertisements. The analysis is focused on the advertisements’ Lead (main visual display) and Anouncement (captions of each captured scene and slogans). Subsequently, a discourse analysis is done to compare the data with the cultural background. It is hypothesized that cigarette commercial films contain visuals that are potentially alluring for the viewers and the slogans are highly provocative i.e. inviting viewers to use the products a.k.a to smoke cigarette. Keywords: Advertisements, Lead, Announcement, discourse
1. Introduction Television has been the most popular mass media, since its appearance in 1928 television has gained more and more viewers. Television has been a massive industry that involves many aspects, including advertising as a part of trading, the main economic activity in the world. Commercial films first appeared in Television in 1941 and have gained popularity for its effectiveness as marketing tools. One interesting advertising is that of cigarette commercial films. Albeit being known for its disadvantage for health, cigarette is a product that always increases in sales as a legal commodity. Generally, we understand cigarette as a product that never shows the actual product in any forms within the commercial films. However, the visual and verbal elements in cigarette commercial films are always catchy for viewers, making them an interesting form of art. Owing to this fact, this paper attempts to describe the manifested meanings in cigarette commercial films hidden behind the attractive visual and verbal elements. Further, using discourse analysis, the paper discusses the reasons why cigarette commercial is made in such a way that avoid appearance of its actual product and focused more on the image creation despite the already popular brand name. The study is particularly interested in describing the discourse analysis of the selected commercial films i.e. Dunhill commercial films. 2. Literature review Cook (1992) names advertising as “a prominent discourse type” which can be found in all societies, both developing and/or developed ones, and due to this “prominence”, learning the language of advertisements can take us to a more comprehensive understanding about our own society and psychology (p. 5). However, we tend to feel that this activity has been routine and often disregard the deep social associations carried by advertisements (Goldman, 1992, p.1). Among many researches that focus on the language in advertisements, Lapsanska’s (2006) study was focused on analysing slogans from 270 advertisements from 25 different titles English-writing magazines from UK, USA and Slovakia (p. 49 and 52). The most important finding from the study was that declarative was the most widely used sentence type, instead of
474
the presumed imperative sentence type (p. 72). Another notable finding was that the informal style of advertising language predominates over the formal style in most print advertisements (p. 78). Another study that analysed advertisements’ slogan was a study by Voros (2010) that analysed 122 advertising slogans and headlines from advertisements found in magazines and online websites (p. 20). It was found that the creators of advertising slogans and headlines usually “bend the rules and laws of the language in order to create something odd and peculiar, different and special, unusual and extraordinary; simply, they are being creative”. It was also found that language in advertising slogans and headlines contain powerful wordings to comply with the purpose of advertising i.e. to influence readers’ or consumers’ needs, emotions and associations (p. 30). A research that was conducted by Cheong in 2004 offered a methodology on the basis of Systemic Functional Linguistics in looking at advertisements from the visual and verbal elements that compose print advertisements. Febrianti (2010) used this methodology in a comparative research on four print advertisements from Indonesian and Australian women’s magazines. The discourse analysis of the study found that the visual and verbal elements in the four advertisements strengthen each other’s meaning. Further, she claimed that the advertisements carry manifested meanings that correspond to the purpose of the advertisements as marketing tools and the background culture of each nation. In Indonesia, cigarette advertisements in the form of commercial films in televisions have gained attention from several researches. Despite being done in the analysis of Indonesian language used in the commercial films, the methodology and the results remain beneficial for further study on language in advertisements. Kemal (2013) specifically researched 16 cigarette Commercial films found on TV to study the contextual meanings from the language in the advertisements and how they affect people (p. 1 and 3). She described the audio and visual of each commercial films in linguistics forms i.e. the language used which is Indonesian and the visual which were mostly showing Indonesian cultural context as well. She concluded that cigarette commercial films found on TV are different and unique, containing contextual meaning in which the point is to attract customers’ attention to purchase the products despite the use of explicit language in saying so (pp. 19-20). Prasetyaningtyas (n.d.) did a discourse analysis on one specific cigarette commercial film i.e. LA Lights “Yang Lain Bersandiwara, Gue Apa Adanya!” the monkey show version which was divided into 17 scenes. Using Barthes’ semiotic tools i.e. by looking at the signifier, signified and signs, she aimed the study at describing the type of discourse and the manifested meanings within the advertisement (p. 33). She claimed that, advertisement does not only serve as a marketing tool but also delivers particular messages or ideology of the producers. In her case, LA Lights “Yang Lain Bersandiwara, Gue Apa Adanya!” the monkey show version carries denotative and connotative meaning i.e. the signs used in the advertisement bear different types of discourses namely description, exposition, argumentation and persuasion that are interconnected to each other to represent the ideology of the product and producer (p. 4647). 3. Methodology The data used in the study are two commercial films of one cigarette product i.e. Dunhill, which are made into two versions namely the classic version and the music version. The particular commercial films are selected for the reason that albeit being marketed in Indonesia, the commercial films use English and use visuals that show western style background. The commercial films are then deconstructed based on the scenes with the following details: 1. Dunhill commercial film classic version has the length of 60 seconds and captured into 10 scenes with a transcribed spoken caption in each captured scene. 2. Dunhill commercial film music version has the length of 30 seconds and captured into 6 scenes with a transcribed spoken caption in each captured scene.
475
The captured scenes are then analysed using the adaptation of Cheong’s (2004) Generic Structure Potential of advertisement which was developed from the basic theories of Systemic Functional Linguistics (SFL). Generic Structure Potential of advertisements recognizes that the semiotic resources of advertisements consist of a harmonious combination of Lead^(Display)^Emblem^(Announcement)^(Enhancer)^(Emblem)^(Tag and Call-andVisit Information). Since the commercial films used in the study are captured into scenes, the analysis is focused on the Lead and Announcement. Lead refers to the major visual display in every scene that contains Locus of Attention (the main display) and Complement of Locus of Attention (the additional display). While Announcement, in this case, is the major caption of each captured scene and the main slogan used in the commercial films which are analysed using transitivity analysis. Then, the result of the data analysis is analysed further using Systemic Functional Multimodal Discourse Analysis that aims at applying practical methods to analysing and understanding meanings in written, printed and electronic text, three-dimensional sites and other kinds of multimodal texts which use a combination of semiotic resources (O’Halloran, 2008, p. 444).
Scene 1
Figure 1: Scenes from Dunhill Commercial Film Classic Version Scene 2 Scene 3 Scene 4
Caption: This is the beginning
Caption: This is classic
Caption: This is character
Caption: This is passion
Scene 5
Scene 6
Scene 7
Scene 8
Caption: This is enjoyment
Caption: This is great
Caption: Taste greatness everyday
Caption: Gentlemen
Scene 9
Scene 10
Caption: This is taste
Caption: Dunhill tobacco, since 1907
4. Analysis and discussion 4.1 The analysis of the Lead and Announcement Overall, the clip in the first data i.e. Dunhill commercial film classic version shows a day in the life of a man as the main character. Of the 10 captured scenes, the Lead is the main character i.e. an adult Caucasian man wearing a classic outfit i.e. a white shirt and a pair of dark pants. The clip shows how he begins his day from the morning through the night with a variety of activities. Scene 1 shows how the main character pulls out from the garage of a big, luxurious house out into the outdoors. This scene is captioned, This is the beginning. Next, he was shown
476
to have a cup of coffee or tea followed by a caption This is classic. At the next scene, he was shown to groom his facial hair at a barber with the caption This is character. With the change of the time setting into the night, the main character is shown to engage in a romantic activity with a female character that is said as This is passion. After that, he was shown to confidently rides on his car with the roof down, as a description, a caption This is enjoyment is spoken by the narrator. At the next scenes, the view is zoomed out to show wider setting i.e. a view of a city that is believed to be London as it shows Big Ben as a popular landmark, captioned This is great. The set changes into the night view of London Bridge with the busy traffic as the clip is nearing the end. The caption shows an imperative tone saying Taste greatness everyday. Finally, the clip ends with the view from the center of London Bridge, focusing the caption into Gentlemen. It is then followed by the main slogan i.e. This is taste and the name of the product, Dunhill tobacco since 1907. The flow of the scenes can be seen in Figure 1. The second data i.e. Dunhill Commercial film music version lasts for 30 seconds. This commercial film is shorter in duration but still gives a vivid depiction of several characters involved in the clip. The characters are several Caucasian men. In regards with the theme i.e. music, the clip starts with a man opening a box containing a trumpet followed by a caption This is original. Next, the scene moves into a display of a man opening a fabric, uncovering a guitar completed with a caption This is detail. At the next scene, a man is shown to enjoy a moment of playing drum at a room rich with sunlight coming in from big arch windows, captioned This is enjoyment. Towards the end of the clip, the three musical instruments are incorporated in a scene showing the three men gather to perform a music talent in front of audience, the caption says This is sensational. The clip ends with the fading-in of main slogan of the product i.e. Gentlemen, this is taste. Apart from that, a strong statement naming the product marks the end of the clip i.e. Dunhill, since 1907. The complete flow of the scenes can be seen at Figure 2.
Scene 1
Figure 2: Scenes from Dunhill Commercial Film Music Version Scene 2 Scene 3
Caption: This is original
Caption: This is detail
Caption: This is enjoyment
Scene 4
Scene 5
Scene 6
Caption: This is sensational
Caption: Gentlemen, this is taste
Caption: Dunhill, since 1907
It is obvious that the Display of the Leads in both advertisements is implicit and incongruent. Implicit means that the advertised product is shown through other medium and incongruent means that the advertised product is shown through symbolism. In other words, as cigarette advertisements, both clips do not show the actual picture of the product. The transitivity analysis that is included in Cheong’s framework of Generic Structure Potential can be traced back to Eggins’ (1994) description that transitivity analysis in clauses concerns the participants, process and circumstances. The observed clauses of the Announcements a.k.a the captions are mostly using Relational processes i.e. the processes of being. This type of process shows the relation between participants and process of a clause as having relations. Further, relational processes are divided into two i.e. identifying relation and attributive relation. Several captions are using nouns showing identifying relation between the
477
token and value. In the first clip, the token has always been the lexis this. In several caption the identified values are realized with the nouns beginning, character, passion, enjoyment and detail. Other captions use attributive relation i.e. the relation between carrier and attribute. Still with the carrier of the lexis this, the attributes are realised in adjectives namely classic, great, original, and sensational. The main slogan This is taste shows an identifying relation with the value focused on taste. In addition, the only imperative clause found in both clips is Taste greatness everyday with the main addressee mentioned as Gentlemen. Finally, the only explicit representation of the product is the name of the product i.e. Dunhill tobacco completed with the time signal since 1907. 4.2 Discourse Analysis Dunhill is a global brand name of cigarette product produced by PT. Bentoel Indonesia in Malang. As a global brand name, it was not originally initiated in Indonesia. PT. Bentoel is a cigarette company established in 1930s before British American Tobacco acquired it in 2009. Since the acquisition, PT. Bentoel has contributed in producing cigarettes of the global brand names owned by British American Tobacco company for its global market around the world, including for market in Indonesia. So the foremost reason why the advertisement is made in English is because it is intended for global market which means that the advertisements are not only used in Indonesia but may be also used in other countries. Dunhill itself is a cigarette that has been produced in 1907 in England. Overall, the two clips carry a message that Dunhill is a cigarette that is originally from London, hence use the visual that shows the landmark of London i.e. Big Ben and London Bridge. The potential consumers of the two advertisements are addressed as Gentlemen. This may happen due to two reasons. The use of gentlemen refers to the target market i.e. grown up, above 18 years old male. It may also be a reminder that Dunhill tobacco was first produced in an area called Gentlemen’s Row in the north of London. At the end of both commercial films, there is a strong statement saying, Dunhill, since 1907. This is important to emphasize the classicality of the product as it claims itself as a premium international brand. Other than that, the statement may manifest two missions. First of all, the campaign is to announce the existence of the product for those who already know and to announce the existence of the product for those who do not know. Second of all, the campaign is aimed at building the product image that in turn is expected to create an influence to the consumers who use the product. The main Leads in the two clips show similar main Display i.e. a Caucasian man doing his activities. The first clip shows a man with the setting that reflects that he is a man of a wealthy background with luxurious styles. The second clip shows three men involved in a music activities that can be said as luxurious as well. Overall, in an avant-garde style, the two clips show a story that is meant to build the product image i.e. that Dunhill is an international brand name of a cigarette for male of mid-high economy class. In Indonesian market, a pack of Dunhill cigarette is priced in the average of IDR 15,000 which is relatively higher compared to the other cigarette products that are marketed for mid-low economy class priced at below IDR 10,000. Unlike other products, cigarette commodities are bound with stricter rules in its advertising i.e. according to Indonesian Government Regulation number 109, 2012 regarding Health and Safety Measures of Tobacco Products article 26, government controls the advertising of tobacco products. Therefore in the two clips, not once do we see a packaging of the product nor any character bluntly smoke cigarette. This is to comply with point c and d of article 27 of the regulation i.e. not to explicitly showing the product packaging nor explicitly mentioning that the product is cigarette. The allusion of the persuasion from the advertisements is clear from the use of the imperative clause in the first clip i.e. Taste greatness everyday at one scene after claiming itself as This is great in the previous scene. In addition, the potential consumers are alluded with the strong statement This is taste. In a more careful analysis, the statement may be contradictory to point g of article 27 in the regulation i.e. not stimulating or suggesting people to smoke. The
478
lexis This refers to the whole image that is represented along the commercial films i.e. the image of a settled, grown up, classy man, and of course, the represented product i.e. Dunhill cigarette. As viewers are only given imaging of the product, to understand the meaning of the lexis taste used in the advertising, the potential customer should do something to know how and what the taste is i.e. by smoking the cigarette. Therefore, the language, no matter how very subtle it is, contains invitation for the viewers a.k.a potential customers to smoke cigarette. 5. Conclusion and recommendation The study has found that generally, the visual and verbal elements in commercial films bear meanings that are closely related to the advertised product even though it seems as though the visual and verbal in the commercial films were very different from the advertised product. Specifically, it is found that owing to the fact that the commercial films are advertisements for cigarette products that are published in Indonesia, they should comply with Indonesian government’s rules in many aspects of their publication. The analysis in the paper is made by analysing the visual and verbal elements involved in the commercial films. For future researches, it is recommended to include one more essential element i.e. the sound of the clip. In a more through analysis, it will be beneficial to include the sound such as music and the intonation of the narrator as another element that may carry another meaning that will add to a more complete interpretation of the discourse in commercial films.
References Broadcasting Timeline. Available at http://www.thehistoryoftelevision.com/ (Accessed 1 July 2014). Cheong, Y.Y., ( 2004). The construal of ideational meaning in print advertisement. In K. L. O’Halloran (Ed.) Multimodal discourse analysis: systemic functional perspective. London : Continuum, p. 163-195. Cook, G. (1992). The discourse of advertising. London: Routledge. Eggins, S. (1994). An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter Publishers. Febrianti, Y. (2010). Discourse Analysis in Print Advertisement. Unpublished Masters Dissertation. The University of Adelaide. Goldman, R. (1992). Reading Ads Socially. London: Routledge. Kemal, I. (n.d.) Makna Kontekstual Bahasa Iklan Rokok di Televisi. Banda Aceh: STKIP Bina Bangsa Getsempena, 1-20. Lapsanska, J. (2006). The Language Of Advertising With The Concentration On The Linguistic Means And The Analysis Of Advertising Slogans. Unpublished Diploma Thesis. Comenius University. O’Halloran, K.L. (2008). Systemic functional-multimodal discourse analysis (SF-MDA): constructing ideational meaning using language and visual imagery. London: Sage Publications. Retrieved August 12, 2010 from University of Adelaide library database. Our History. Available at http://www.thehistoryoftelevision.com/ (Accessed 1 July 2014). Prasetyaningtyas, A. (n.d.) Analisis Semiotik Dan Wacana Pada Iklan Rokok La Lights “Yang Lain Bersandiwara, Gue Apa Adanya!” Versi Topeng Monyet Di Media Televisi. Skriptorium, 1(3), 32-48. This is the world’s first TV ads. Available at http://mashable.com/2013/08/01/first-tvcommercial-bulova-video/ (Accessed 1 July 2014). Voros, T. (2010). Creativity in Advertising Slogans Based On Word-Formation. Unpublished Bachelor’s degree paper. University of Pardubice.
479
Distorsi Makna Kultural dalam Teks Terjemahan Karya Miyazawa Kenji Ismi Prihandari, Universitas Brawijaya Ismatul Khasanah, M.Pd., M.Ed., Ph.D., Universitas Brawijaya
Abstrak Distorsi makna dalam bidang penerjemahan; terutama pada penerjemahan teks-teks yang sarat dengan muatan kultural budaya, sering terjadi. Makna kultural yang seharusnya diterjemahkan sedekat mungkin dengan teks sumber menjadi melenceng jauh bahkan berbeda sama sekali dengan makna asal. Kenyataan ini terjadi karena penerjemah memasukkan ide, pendapat, pendangan serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarkatnya. Dalam karya Miyazawa Kenji yang sarat dengan muatan kata budaya banyak ditemukan distorsi makna. Pendistorsian makna tersebut dilakukan penerjemah semata-mata karena keinginannya untuk menerjemahkan sedekat mungkin teks sasaran dengan teks sumber. Penerjemah melakukan reader centred translation, walaupun untuk itu penerjemah mengorbankan essensi makna dari teks sumber yang bermuatan kata budaya tersebut. Kata kunci: Distorsi, Makna Kultural, Kata Bermuatan Budaya
1. Pendahuluan Penerjemahan adalah upaya mengganti teks bahasa sumber (Tsu) ke dalam teks bahasa sasaran (Tsa) yang sepadan sesuai dengan maksud penulis bahasa sumber (Catford dan Newmark dalam Machali, 2009:25). Penerjemahan bukan hanya terkait dengan masalah kebahasaan, tetapi juga menyangkut kegiatan lintas budaya. Sehingga hal yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan sebenarnya bukan hanya dari segi kebahasaan/linguistik akan tetapi juga segi non-linguistik. Dengan kata lain, kegiatan penerjemahan bukan sekedar kegiatan mengalih bahasakan sebuah teks, tetapi juga berkaitan erat dengan kegiatan kebudayaan antar masyarakat. Oleh karena itu, hambatan dalam penerjamahan tidak hanya dari segi kebahasaan tetapi juga dapat timbul karena segi kultural/budaya. Hambatan tersebut akan muncul terutama ketika menerjemahkan kata-kata/teks yang bermuatan budaya (KBb).
KBb adalah kata yang memiliki makna harfiah, kata yang berhubungan dengan kebudayaan yang meliputi pikiran, adat istiadat, dan akal budi manusia, makna sosial dari kata tersebut adalah kata yang mengandung suatu yang menjadi kebiasaan masyarakat yang sukar untuk diubah. KBb sangat susah diterjemahkan secara word to word; kata demi kata. Hal tersebut terjadi karena sifat kata bermuatan budaya yang sangat khas; hanya ada di wilayah kata itu berasal, sehingga dalam menerjemahkan kata bermuatan budaya agar dapat diterima sepadan seperti pembaca Bsu memahaminya, penerjemah perlu menerapkan berbagai prosedur penerjemahan dari transposisi, modulasi, hingga pemberian catatan. Tujuannya adalah agar KBb tersebut sesuai dengan budaya yang berlaku di tempat di mana KBb tersebut diterjemahkan. Distorsi makna dalam bidang penerjemahan; terutama pada penerjemahan teks-teks yang sarat dengan muatan kultural budaya, sering terjadi. Makna kultural yang seharusnya diterjemahkan sedekat mungkin dengan TSu menjadi melenceng jauh bahkan berbeda sama sekali dengan makna asal. Kenyataan ini terjadi karena penerjemah mempunyai budaya. Penerjemah memasukkan ide, pendapat, pendangan serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di mana dia menetap. Budaya milik penerjemah ini akan mempengaruhi cara penerjemah dalam memahami makna teks yang diterjemahkannya. Dalam karya Miyazawa Kenji yang sarat dengan muatan kata budaya banyak ditemukan distorsi makna. Pendistorsian makna tersebut dilakukan penerjemah semata-mata karena keinginannya untuk menerjemahkan sedekat mungkin TSa dengan TSu. Penerjemah melakukan
480
reader centred translation, walaupun untuk itu penerjemah mengorbankan essensi makna dari teks sumber yang bermuatan kata budaya tersebut. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam terhadap budaya teks TSu yang akan diterjemahkan sangatlah penting bagi seorang penerjemah. 2. Tinjauan Pustaka Kesepadanan dalam penerjemahan terjadi bila unsur BSa mengandung pesan yang sama dengan BSa. Nida dan Taber (1974: 22-24) mengemukakan pendapatnya bahwa sebuah penerjemahan harus dinamis (dynamic equivalence), dimana kesepadanan dapat dicapai dengan mementingkan kesamaan pesan antara TSu dan TSa. Lebih lanjut menurut Newmark (dalam Machali, 2009:12) bahwa dalam menerjemahkan sebenarnya kita melakukan empat hal yaitu: melihat teks secara terbatas, mengaitkannya dengan realitas di luar teks, kohesi dimana dilihat keterkaitan semantis antar unsur dalam teks, dan kewajaran (keberterimaan TSa oleh pembacanya). 3. Sumber Data dan Analisis Data Dari sumber data buku kumpulan cerita karya Miyazawa Kenji berjudul Miyazawa Kenji Chikuma Nihon Bungaku Zenshuu dan terjemahan dalam bahasa Indonesianya oleh Tim Penerjemah Staf Pusat Studi Bahasa Jepang Universitas Pajajaran yang berjudul Kumpulan Terjemahan Karya Miyazawa Kenji, diambil 6 (enam) buah cerita dan diperoleh 18 (delapan belas) buah data KBb yang mengungkapkan kebudayaan materiil dan kebudayaan sosial. Dari jumlah data tersebut dipilih 6 (enam) buah data; 1(satu) dari masing-masing cerita, yang dianggap dapat mewakili untuk dianalisis. Analisis dilakukan pertama-tama dengan mengidentifikasi setiap kata dalam Tsu yang diduga sebagai KBb berpedoman pada pendapat Newmark (1988) dan Nida (1996). Selanjutnya adalah analisis terjemahan dengan berpedoman pada kesepadanan dan ketidaksepadanan antara Tsu dengan Tsa. Tahap berikutnya adalah analisis terjemahan pada kelompok TSu dan TSa yang tidak sepadan untuk diketahui sejauh mana terjadi distorsi makna antara kedua teks. 4. Pembahasan Data 1. TSu: おじき ojigi(144 ページ)TSa: Membungkuk memberi hormat (Halaman 194) Pada data 1 terlihat perbedaan bentuk TSu dengan TSa, yaitu ‘kata’ menjadi sebuah ‘frase’. Selain itu ada perbedaan nuansa makna BSu dengan BSa. Ojigi dilakukan tidak hanya untuk memberi hormat kepada lawan bicara akan tetapi juga dilakukan orang Jepang ketika berpamitan, meminta maaf, maupun untuk mengungkapan rasa penyesalan. Terdapat perbedaan luas cakupan makna membungkuk memberi hormat < ojigi. Data 2. TSu: きもののえりをひろげて kimono no eri o hirogete (175 ページ) TSa: Membuka kancing kerah bajunya (Halaman 367) Pada data 2 TSa ‘ melebarkan kerah baju’, tidak mengandung ketepatan penerjemahan. Baju dan kimono , kerah dan eri adalah sesuatu yang berbeda. Kimono adalah pakaian khas orang Jepang yang dikenakan pada saat-saat tertentu. Sedangkan eri adalah pinggiran kimono yang letaknya di sekitar leher hingga bagian dada. Pada TSa penerjemah menambahkan kata ‘kancing’ untuk mencapai kesamaan pesan antara BSu dan BSa. Data 3. TSu: 手拭 tenugui(187 ページ)TSa: Lap tangan (Halaman 49) Pada data 3 kembali terlihat perbedaan bentuk TSu dengan TSa, yaitu ‘kata’ menjadi sebuah ‘frase’. Penerjemah kembali melakukan transposisi. Dari segi makna dan fungsi ‘tenugui’ berbeda dengan ‘lap tangan’. ‘lap tangan’ adalah kain untuk mengelap tangan kotor
481
atau basah. Sedangkan ‘tenugui’ adalah handuk kecil basah dan hangat (karena dikukus) yang berfungsi untuk mengelap tangan, menyeka muka dan leher sebelum makan. Data 4. TSu: お茶 ocha(221 ページ)TSa: Teh (halaman 381) Pada data 4 untuk mencapai kesamaan pesan antara BSu dengan Bsa penerjemah menerjemahkan ‘ocha’ menjadi ‘teh’ saja, padahal ‘ocha’ adalah teh hijau. Seperti kita ketahui kebiasaan di Indonesia adalah minum teh (hitam), sedang teh hijau biasanya hanya diminum oleh orang yang sedang menjalani diet. Data 5. TSu: 玄関に上がる genkan ni agaru(384 ページ)TSa: Masuk ke dalam (halaman 140) Pada data 5 kembali terjadi ketidaksepadanan antara TSu dengan TSa. Kalimat ‘genkan ni agaru’ diterjemahkan menjadi ‘Masuk ke dalam’. Genkan adalah ruang kecil semacam beranda yang memisahkan antara bagian dalam rumah dengan pintu rumah. Di genkan biasanya orang Jepang menaruh sepatu, payung, dan topi karena sepatu/ sandal tidak dipakai di dalam rumah. Dan kata agaru secara harfiah bermakna ‘naik’. Rumah di Jepang biasanya naik sekitar 30 cm dari lantai pintu masuk rumah. Di situlah genkan berada. Orang Jepang akan menaiki genkan sebelum masuk ke dalam rumahnya. Di sini penerjemah kembali mengorbankan esensi makna TSu dengan melakukan reader centred translation sehingga TSu diterjemahkan secara bebas menjadi ‘Masuk ke dalam’. Pendistorsian ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan kewajaran dalam penerjemahan. Data 6. TSu: 障子 shouji(96 ページ)TSa: Pintu dorong (Halaman 341) Pergeseran kategori terjadi pada data 6 setelah penerjemah menerjemahkan ‘shouji ‘ berkategori Nomina menjadi ‘pintu dorong’(Frase Nominal). Selain itu ketepatan penerjemahan pun kurang karena fungsi shouji adalah bukan sekedar pintu dorong, melainkan sebagai sekat pembatas antar ruang di dalam rumah Jepang. Shouji terbuat dari rangka kayu yang ditempeli oleh kertas Jepang (和紙 washi). 5. Penutup Dari 6 (enam) buah data yang dianalisis, walaupun hasil terjemahan terasa wajar bagi pembaca TSa, ketidaksepadanan pada terjemahan KBb terjadi atau mengalami distorsi baik bentuk maupun makna. Pendistorsian makna dilakukan oleh penerjemah karena semua objek atau benda serta konsep yang ada pada data 1(satu) sampai 6(enam) tidak diketahui dan tidak dikenal dalam kebudayaan Bsa. Sehingga sekali lagi, walaupun hasil terjemahan terasa wajar bagi pembaca TSa akan tetapi tidak mengandung ketepatan sesuai makna teks dalam BSu. Pustaka Acuan Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa. Miyazawa, Kenji. 1993. Miyazawa Kenji Chikuma Nihon Bungaku Zenshuu. Tokyo: Chikumashobo Nida, E.A. & Ch.R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Staf PSBJ. 1996. Kumpulan Terjemahan Karya Miyazawa Kenji. Bandung: The Japan Foundation
482
Karakteristik Brosur-brosur Dwibahasa Pariwisata Kota Surabaya: Strategi atau Ketakcermatan dalam Penerjemahan? Deny Gunawan, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya N. K. Mirahayuni, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Susie Ch. Garnida, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstrak Makalah ini membahas temuan-temuan sementara dari penelitian yang sedang berlangsung tentang brosur-brosur dwibahasa pariwisata kota Surabaya. Penelitian ini melibatkan sekitar 35 brosur pariwisata dwibahasa tentang beragam daya tarik pariwisata di kota Surabaya. Temuan sementara menunjukkan bahwa karakteristik brosur-brosur pariwisata tersebut ditandai dengan kecenderungan pilihan strategi penerjemahan kata per kata dan ketakcermatan dalam penerjemahan. Usaha menyediakan deskripsi menarik tentang tujuan pariwisata dalam bahasa Indonesia dan Inggris tampaknya menjadi kurang efektif karena beberapa sebab, antara lain strategi penerjemahan yang kurang efektif, ketidakcermatan dalam penerjemahan, masalah pengaturan informasi atau penalaran bahasa dan ketidakefisienan berbahasa. Karakteristik tersebut memberikan kesan ketergesa-gesaan dalam penyediaan brosur dwibahasa tersebut. Kata kunci: Brosur pariwisata, kesepadanan, penerjemahan, strategi penerjemahan 1. Pendahuluan Penerjemahan adalah alternatif praktis dalam menghadapi kebuntuan komunikasi antar bahasa. Tujuan mendasar dari penerjemahan suatu naskah tentu saja adalah agar isi pesan dapat dipahami dalam bahasa target. Kebutuhan penerjemahan menjadi lebih krusial ketika penyampai informasi bertujuan hendak menjangkau khalayak yang berbahasa tidak sama, terlebih ketika khalayak tersebut bersifat internasional. Dalam hal ini, penguasaan akan pengetahuan yang memadai tentang sifat dan fungsi bahasa adalah mendasar bagi seorang penerjemah profesional (Baker, 1992:4). Motif dan fungsi penerjemahan pun dapat beragam (Newmark, 1988:7), demikian pula jenis naskah yang diterjemahkan (Hatim dan Munday, 2004: 4-6). Misalnya, brosur pariwisata yang umumnya dirancang praktis dalam pamflet bermotif menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan menikmati obyek wisata yang ditawarkan. Dalam hal ini, bahasa komunikasi internasional seperti bahasa Inggris menjadi salah satu pilihan bahasa target dalam penyampaian informasi. Makalah ini membahas penelitian yang sedang berlangsung tentang brosur-brosur dwibahasa pariwisata kota Surabaya. Kota Surabaya telah dirancang dan ditata sedemikian untuk dapat memfasilitasi wisata tradisional maupun modern, dan penyebaran informasi melalui brosur-brosur tematik adalah salah satu pilihan praktis untuk memandu wisatawan tentang apa yang hendak mereka nikmati pada obyek wisata tertentu. Penelitian ini berawal dari pengamatan terhadap teks dwibahasa brosur-brosur pariwisata tersebut, dengan keberagaman obyek wisata yang ditawarkan, mulai dari wisata kesenian tradisional dan modern, wisata kuliner tradisional, museum modern, taman kota tematik, wisata religi. Brosur-brosur tersebut memberikan deskripsi singkat dan padat tentang obyek wisata tematik tertentu, mulai dari lokasi, sisi kesejarahan, tema dan tujuan obyek wisata tersebut didirikan. Dalam naskah tersebut juga terdapat banyak kata yang mengacu kepada istilah maupun nama khas berasal dari Surabaya, seperti nama-nama jenis makanan, tarian, kegiatan kesenian dan keagamaan. Mengingat tujuan penerjemahan pada umumnya adalah penyampaian isi pesan dari satu bahasa melalui padanannya dalam bahasa target, yaitu bahwa seorang penerjemah mengambil teks asli atau sumber (bahasa sumber, BS) dan mengubahnya menjadi sebuah teks dalam bahasa lain (bahasa target, BT) (Hatim dan Munday, 2004:3), maka kesepadanan (equivalence) dan ketepatan (accuracy) dalam penerjemahan menjadi amat penting demi keakuratan informasi (Baker, 1992). Venuti (2000:5) menambahkan bahwa kesepadanan
483
meliputi juga “adequacy, correctness, correspondence, fidelity, dan identity.” Juga, menurut Munday (2008), kesepadanan berarti penggunaan berbagai cara atau sarana untuk mendeskripsikan situasi yang sama (2008:58). Venuti (1998, dalam Zainurrahman, 2009) menyebutkan bahwa strategi-strategi penerjemahan melibatkan “pemilihan satu teks asing yang hendak diterjemahkan dan kemudian mengembangkan sebuah metode penerjemahannya.” Masalah kesepadanan (equivalence) dan ketaksepadanan (non-equivalence, Baker, 1992:17) dalam penerjemahan umumnya diatasi melalui berbagai strategi penerjemahan (Baker, 1992:27-41). Strategi-strategi tersebut antara lain berupa penggunaan ekspresi yang lebih umum atau lebih khusus daripada yang terdapat dalam bahasa sumber, penjelasan, penghapusan atau bahkan tetap mempertahankan bentuk asli dalam bahasa sumber (borrowing). Dalam penerjemahan, digunakan strategi-strategi penerjemahan yang melibatkan konsep-konsep domesticating dan foreignizing (2009:121). Kedua konsep ini mengacu kepada usaha-usaha penerjemah untuk mengubah suatu teks dalam satu bahasa menjadi satu teks baru yang sepadan dalam bahasa yang lain. Pemilihan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan efeknya pada naskah bahasa target: apakah informasi dalam bahasa sumber telah ditransfer secara sepadan ke dalam bahasa target. Penelitian sebelumnya tentang penerjemahan brosur-brosur pariwisata antara lain meliputi analisis penerjemahan terminologi dalam brosur pariwisata Czech ke dalam bahasa Inggris (Kubíčková, 2011) dan teknik penerjemahan butir-butir kebahasaan yang berhubungan secara spesifik dengan budaya dalam brosur berbahasa Inggris di Hungaria (Terestyényi, 2011). Kedua penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilaporkan ini dalam hal fokus dan bahasa sumber yang menjadi data. Penerjemahan brosur-brosur dwibahasa pariwisata Kota Surabaya tampaknya menggunakan berbagai strategi dalam penyediaan informasi ke dalam bahasa Inggris. Banyak istilah yang tetap dipertahankan dalam bahasa sumber seperti misalnya nama-nama makanan dan kesenian tradisional dan nama-nama tempat. Sementara deskripsi tentang kegiatan-kegiatan kepariwisataan ataupun proses penyediaan suatu jenis makanan diusahakan untuk dicarikan padanannya ke dalam bahasa Inggris. Kendati demikian, terdapat juga naskah dalam bahasa target (bahasa Inggris) yang tampaknya kurang tepat padanannya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis karakteristik brosur-brosur dwibahasa Pariwisata Kota Surabaya. Dalam penelitian ini akan dibahas apakah naskah berbahasa Inggris dalam brosur-brosur dwibahasa tersebut menunjukkan ciri-ciri kesepadanan dengan bahasa sumber (bahasa Indonesia). Juga, apakah masalah ketidaksepadanan disebabkan karena pemilihan strategi penerjemahan ataukah ketidaktepatan dalam penerjemahan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengetahuan tentang karakteristik penerjemahan dan naskah dwibahasa. Secara khusus, naskah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran demi kesempurnaan penyampaian pesan pariwisata kota Surabaya. 2. Sumber Data Penelitian menggunakan acuan deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk memerikan dan mendeskripsikan karakteristik fenomena kebahasaan serta mengusahakan penjelasannya. Data berupa teks brosur pariwisata yang dikumpulkan dari pusat informasi pariwisata kota Surabaya. Brosur-brosur yang digunakan sejumlah 35 brosur dengan rincian 4 brosur obyek wisata kesenian (Tari Remo, Reog Ponorogo, Tari Sparkling, Kerapan Sapi), 6 brosur makanan tradisional (semanggi Surabaya, lontong balap, rujak cingur, sate kelopo, rawon, jajan pasar), 6 brosur museum modern (House of Sampoerna, Museum Kapal Selam, Museum Kesehatan, Museum Jalesveva Jayamahe, Museum 10 November, Museum Loka Jala Crana), 13 brosur taman kota (Taman Mundu, Taman Lansia, Taman Bungkul, Taman Persahabatan, Taman Ekspresi, Taman Flora, Taman Prestasi, Taman Teratai, Taman Ronggolawe, Taman Buah, Taman Kunang-kunang, Taman Jayengrono, Taman Pelangi), dan 6 brosur obyek wisata Religi (Masjid Sunan Ampel, Masjid Al Akbar, Masjid Ceng Ho, Klenteng Hok An Kiong, Klenteng Boen Bio, Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria). Teks brosur-brosur tersebut diklasifikasikan dan dianalisis berdasarkan ciri strategi penerjemahan dan karakteristik lainnya.
484
3.
Hasil dan Pembahasan Hasil sementara dari analisis terhadap brosur pariwisata kota Surabaya menunjukkan beberapa fenomena penerjemahan yang menarik. Secara keseluruhan, penerjemahan brosurbrosur pariwisata tersebut berkesan agak tergesa-gesa, sehingga proses pengeditan ataupun revisi kebahasaan menjadi kurang mendapatkan perhatian, dan di banyak bagian khususnya pada bahasa target, yaitu bahasa Inggris, ketakcermatan dalam berbagai aspek kebahasaan tampak nyata. Beberapa butir aspek penerjemahan yang ditemukan dapat dijabarkan dalam beberapa butir berikut. 3.1 Strategi Mengatasi Ketaksepadanan Karakteristik umum pertama yang dapat diamati dari naskah bilingual brosur pariwisata kota Surabaya adalah beberapa strategi penerjemahan yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketaksepadanan (non-equivalence) agar naskah dalam bahasa target sesuai dengan aturan tatabahasanya, dan dengan demikian informasi dapat dipahami. a. Penggunaan Bentuk Jamak Data (1) berikut menunjukkan bahwa, dalam bahasa Indonesia (Bahasa Sumber, BS), tidak selalu diperlukan penggunaan bentuk jamak secara spesifik untuk menyatakan sesuatu yang bermakna jamak. Sementara dalam bahasa Inggris (Bahasa Target, BT), makna jamak pada umumnya dinyatakan dalam bentuk jamak. (1) BS: Gerakan ini didukung oleh lonceng yang diikat di pergelangan kaki. BT: This movement is supported by the bells that are put [or tied] on the ankle. (W.I.1.7) Kata lonceng menyiratkan untaian beberapa lonceng kecil yang dilingkarkan pada pergelangan kaki sang penari, sehingga hentakan kakinya ketika menari akan menghasilkan bunyi gemerincing berirama. Dengan makna ini, maka kata lonceng menjadi bentuk jamak (bells) dalam naskah BT. b. Pengubahan Kelas Kata Data (2) berikut menunjukkan strategi pengubahan kelas kata dari bentuk nomina pada BS menjadi verba pada BT. (2) BS: Lanjut cerita, resepsi diadakan di tengah kota, sorakan dengan diiringi tari dan tetabuhan. BT: As the story goes, the reception was held in town square cheered up with the performance of dance and tetabuhan. (W.I.2.8) Pada data (2) di atas, nomina sorakan pada BS diubah menjadi verba pasif cheered up. Frasa nomina sorakan dengan diiringi tari dan tetabuhan pada BS, yang kurang memenuhi kaidah penulisan anak kalimat, diterjemahkan menjadi anak kalimat yang sesuai dengan kaidah penulisan pada BT. Frasa nomina pada BS ini barangkali lebih tepat diatur ulang menjadi “dengan iringan sorakan, tari dan tetabuhan.” c.
Kata-kata Pinjaman dengan Penjelasan Kata-kata yang mengacu kepada konsep-konsep budaya seperti nama tarian dan berbagai jenis makanan tradisional yang khas cenderung tidak diterjemahkan, melainkan dipertahankan dalam bentuk aslinya. (3) BS: Adapun macam-macam jajan pasar antara lain lupis, klanting, ketan, srawut, tiwul, gethuk, arem-arem, lemet, putri mandi, gatot, timus, ketan, klepon, pethulo, bikang, lapis, wajik, jongkong dan nagasari. BT: There are various jajan pasar that are lupis, klanting, ketan, srawut, tiwul, gethuk, arem-arem, lemet, putri mandi, gatot, timus, ketan, klepon, pethulo, bikang, lapis, wajik, jongkong and nagasari. (W.II.6.3) Pada data (4) berikut, penjelasan ditambahkan berkenaan dengan bahan dasar pembuatannya. (4) BS: Makanan ini terdiri dari lontong, tauge, tahu goreng, lentho, bawang goreng, kecap dan sambal.
485
BT: The food consists of lontong (rice steamed wrapped with banana leaf), bean sprout, fried tahu, lento, fried onion, ketchup sauce and chili sauce. (W.II.2.2-3) Pada data (4) di atas, nama-nama makanan tradisional seperti lontong, lentho, lontong balap dipertahankan dalam BT. Usaha untuk menjelaskan terdapat pada kata lontong, yaitu rice steamed wrapped with banana leaf (terlepas dari ketakcermatan dalam struktur frasa nomina, yang lebih tepat ditulis steam rice wrapped in banana leaf, lihat bagian 2 di bawah). Pada data lainnya, terdapat usaha untuk menjelaskan nama makanan tradisional, misalnya: (5) a. empal daging sapi = spiced and fried chunks of beef (W.II.5.3) b. semanggi = water vegetable (W.II.1.1) c. krupuk puli = a crisp[l]y baked dessert made from rice flour (W.II.1.1) d.
Penambahan Strategi penambahan (addition) diilustrasikan pada data (6) berikut: (6) BS: Makanan tradisional ini juga disajikan di hotel-hotel berbintang, bahkan diselenggarakan sebagai festival makanan tradisional. BT: This traditional food [is] also served in five stars hotels, even many traditional sweet food festivals [have been] held. (W.II.6.2) Pada BT, kata many dan sweet ditambahkan pada terjemahan dari frasa nomina festival makanan tradisional (BS) menjadi many traditional sweet food festivals (BT). Penambahan kedua kata ini tidak mengubah informasi secara keseluruhan, sementara penambahan kata sweet dapat dipahami dari konteks naskah tentang jajanan pasar yang pada umumnya berasa manis. e.
Penghapusan Strategi penghapusan (omission) dilakukan pada data (7) berikut: (7) BS: Lontong Balap lebih nikmat bila disajikan bersama sate kerang berbumbu sambal petis dan es Kelapa Muda sebagai pelepas dahaga. BT: Lontong Balap [is] better served with bean sprouts, shell-fish satay with petis spice, and Coconut Ice (Es Kelapa Muda). (W.II.2.3) Pada data (7) di atas, frasa sebagai pelepas dahaga tidak diterjemahkan. Motif penghapusan frasa ini kurang jelas, namun penghapusan ini tentu tidak mengurangi fungsi jenis minuman ini sebagai pelepas dahaga. f. Pengubahan Tingkatan Struktur (Downranking) Data (8) berikut mengilustrasikan penurunan tingkatan struktur kalimat pada BS menjadi struktur frasa pada BT. (8) BS: Diameternya satu setengah meter dengan tinggi dua meter. BT: One-half meter in diameter with a height of two meters. (W.V.1.7) Data (8) adalah bagian dari deskripsi tentang Masjid Sunan Ampel di Surabaya yang berpintu 48. Kalimat pada BS mendeskripsikan dimensi pintu-pintu tersebut. Kalimat BS diubah menjadi frasa nomina pada BT. Sayangnya, pengubahan ini tidak diikuti dengan penyesuaian struktur, sehingga struktur informasi BT tidak lengkap. Hal ini terjadi tampaknya akibat strategi penerjemahan kata per kata, dan kekurangcermatan terhadap struktur kalimat yang tak lengkap dalam BT. Struktur kalimat tak lengkap juga tampak pada data (9), bahwa kalimat BS hanya terdiri atas frasa verba: (9) BS: Diresmikan oleh Walikota Surabaya pada tanggal 7 Mei 2011. BT: Inaugurated by the Mayor of Surabaya on May 7, 2011. (W.IV.5.1) g. Masalah Logika Berbahasa Data (10) berikut menunjukkan masalah sehubungan dengan logika informasi atau logika berbahasa dalam BS yang diterjemahkan apa adanya ke dalam BT. (10) BS: Gerakan Tari Sparkling Surabaya menjadi tarian selamat datang bagi pengunjung yang datang ke Surabaya.
486
BT: The movement of Sparkling Surabaya dance become welcome dance for visitors who come to Surabaya (W.I.5.5). Data (10) adalah bagian dari deskripsi tentang sebuah tarian modern. Masalah dalam teks BS adalah pesan yang disampaikan. Maksudnya, kalimat dalam BS berarti bahwa gerakan tari Sparkling Surabaya-lah yang menjadi tarian selamat datang, bukan tarian itu sendiri. Sayangnya, kekeliruan penalaran ini juga ditransfer ke dalam BT. Sruktur BT yang lebih efektif barangkali demikian: (10a) BT: The Sparkling Surabaya dance is a welcome dance to Surabaya visitors. Strategi penerjemahan serupa tampak juga pada data berikut tentang makanan tradisional khas Surabaya yang bernama lontong balap. (11) BS: Jalan-jalan siang hari di kota Surabaya terasa belum lengkap jika tidak mencicipi makanan khas Surabaya yang bernama Lontong Balap. BT: Walking around in the noon in Surabaya city is not complete if not eat another Surabaya unique food named Lontong Balap. (W.II.2.1) Ungkapan “jalan-jalan di siang hari” tentu bukan hanya berarti bepergian dengan cara berjalan kaki pada tengah hari, melainkan dengan sarana transportasi tertentu di siang hari. Oleh karenanya, transfer pesan pada BT barangkali lebih efektif menjadi: (11a) BT: Visiting Surabaya during the day will be incomplete without tasting a Surabaya unique food called lontong balap. 3.2 Ketakcermatan dalam Penerjemahan Di banyak bagian dari brosur-brosur pariwisata tersebut, terdapat ketakcermatan dalam penerjemahan, baik dalam pemilihan padanan yang tepat maupun pengaturan struktur bahasa. Di beberapa bagian juga terdapat bagian yang tampaknya diterjemahkan kata demi kata dari bahasa sumber (BS), sehingga melanggar prinsip struktur frasa dalam bahasa target (BT), seperti dalam data (12) berikut: (12) BS: Remo Dance awalnya adalah tarian yang digunakan sebagai pengantar untuk pertunjukan ludruk. BT: Remo Dance originally is a dance used as an introduction to show ludruk. (W.I.1.1) Penerjemahan kata per kata dalam data di atas untuk frasa nomina pertunjukan ludruk menjadi show ludruk melanggar struktur frasa nomina dalam bahasa Inggris, yaitu M(enerangkan)-D(iterangkan), yang seharusnya adalah (the) ludruk show. Data lain yang menunjukkan pelanggaran struktur antara lain Tari Remo Putri Remo Dance Princess (Data W.I.1.5) Data (12) di atas juga menunjukkan ketakcermatan dalam pemilihan kata BT untuk kata pengantar (pengantar untuk pertunjukan ludruk). Kata introduction dalam konteks pertunjukan akan lebih tepat digantikan dengan kata opening, prologue ataupun prelude. Dengan demikian, kalimat dalam data BS di atas akan lebih efektif jika diterjemahkan menjadi: (12a) BS: Remo Dance awalnya adalah tarian ... pengantar untuk pertunjukan ludruk. BT: The Remo Dance was originally the opening of the ludruk performance. Ketakcermatan dalam penerjemahan ke dalam bahasa target dapat juga disebabkan oleh masalah kebahasaan dalam teks bahasa sumber. Data(13) berikut adalah bagian dari teks brosur tentang pertunjukan Reog. (13) BS: Penampilan kedua adalah binatang berkepala dua adalah manusia berkepala singa di atas kepalanya adalah burung merak yang ekor dan sayapnya naik (Dada Merak). BT: The second performance is a two-headed beast is human-headed lion above his head is a peacock which its tail and wings rise (Dada Merak). (W.I.2.10) Data pada BS menunjukkan ketakcermatan berbahasa dengan adanya struktur kalimat dengan tiga kata adalah. Kalimat BS tersebut mungkin akan lebih mudah dipahami jika dipenggal menjadi dua kalimat terpisah. Kemudian, kata adalah yang kedua pada kalimat pertama digantikan dengan yaitu dan dipisahkan dengan tanda koma:
487
(13a) BS: Penampilan kedua adalah [menampilkan] binatang berkepala dua, yaitu manusia berkepala singa. Di atas kepalanya adalah [terdapat] burung merak yang ekor dan sayapnya naik (Dada Merak). Kejelasan urutan informasi pada bahasa sumber ini, dan oleh karenanya pula gagasannya, memudahkan penerjemahan ke dalam bahasa target. Ketakcermatan lain yang ditemukan dalam penerjemahan data mengacu kepada penguasaan tentang berbagai aspek dari bahasa target (bahasa Inggris), yang memang berbeda dengan bahasa sumber (bahasa Indonesia). Aspek-aspek tersebut antara lain penggunaan artikel (14), bentuk jamak dan pilihan kelas kata (15). (14) BS: Ini menggambarkan pertemuan antara Raja Kelono Suwandono dari Kerajaan Bantar anggun dan Raja Singo Barong dari Kerajaan Lodoyo. BT: It describes a* meeting between the* King Kelono Suwandono from Bantar anggun Kingdom and the* king Singo Barong Lodoyo Kingdom. (W.I.2.2) Alternatif revisi untuk bahasa target: (14a) BT: It describes the meeting between King Kelono Suwandono of the Bantar Anggun Kingdom and King Singo Barong of the Lodoyo Kingdom. Aspek jamak dan pilihan kelas kata dapat diilustrasikan dalam data (15): (15) BS: Dialog atau monolog di ludruk kebanyakan komedi. BT: The dialogue and monologue in ludruk are most comedic. W.I.2.2 Dalam teks BS di atas, frasa nomina dialog atau monolog di ludruk tidak memerlukan bentuk artikel khusus ketika berfungsi memberi pernyataan umum (general statement). Dalam bahasa Inggris, fungsi yang sama dapat dinyatakan dalam bentuk jamak (plural), artikel definit (the) ataupun indefinit (a). Kemudian, kata benda komedi dalam BS digunakan sebagai komplemen predikat diterjemahkan menjadi bentuk adjektival comedic*, yang mungkin lebih tepat menjadi comic. Adverbia kebanyakan yang menerangkan adjektif juga salah bentuk, yang seharusnya adalah mostly. Di sini tampak ketakcermatan penerjemahan, sehingga informasi dalam BT menjadi kurang tepat struktur. Demikian juga frasa nomina ludruk yang adalah nomina nama diri (proper noun) seharusnya mendapatkan artikel the. Alternatif revisi untuk data ini dalam bahasa target barangkali adalah: (15a) BT: The dialogues and monologues in the ludruk are mostly comic. Ketakcermatan dalam penerjemahan juga tampak pada pemilihan istilah khusus untuk bidang tertentu. Pada data (16) berikut, kata kreasi dalam frasa kreasi tari modern, berbeda maknanya dengan kata creation(s) dalam bahasa Inggris. Kata dalam BT yang lebih tepat tampaknya adalah composition (5a): (16) BS: Tari Sparkling Surabaya adalah kreasi tari modern, ... BT: Sparkling Surabaya dance is modern dance creations,... (W.I.5.1) (16a) BT: The Sparkling Surabaya dance is a modern dance composition,... Karakteristik ketakcermatan berikut adalah ketidak-efisienan dalam penerjemahan. Akibat langsung dari teknik penerjemahan kata per kata tampaknya mempengaruhi keseluruhan teks yang kurang cermat dalam struktur dan keberterimaan dalam bahasa target. Ciri ini diilustrasikan pada data (17) berikut. (17) BS: Singkat cerita bahwa raja Kelono Suwandono berhasil memenuhi persyaratan yang diminta oleh putri Songgo Langit. BT: The short story that the king Kelono Suwandono succeed to fulfill the condition that is asked by the princess Songgo Langit. (Data P.I.2.6) Frasa konjungtif singkat cerita pada BS menjadi frasa nomina subjek the short story pada BT, diikuti dengan anak kalimat yang diawali pronomina relatif bahwa tanpa ada penyelesaikan kalimat tersebut. Pada BT, struktur taklengkap ini tidak disesuaikan, ditambah dengan ketakcermatan pemilihan kata succees, fulfil dan asked. Alternatif revisi untuk kalimat ini:
488
(17a) BS: Singkat cerita, Raja Kelono Suwandono berhasil memenuhi persyaratan yang diminta oleh putri Songgo Langit. BT: In short, King Kelono Suwandono managed to meet the requirements by Princess Songgo Langit. 4. Simpulan Penelitian terhadap brosur-brosur dwibahasa pariwisata kota Surabaya adalah penting mengingat peranan brosur-brosur tersebut sebagai sumber informasi pariwisata yang akurat untuk menarik bagi wisatawan datang berkunjung ke kota Surabaya. Analisis terhadap karakteristik penerjemahan brosur-brosur tersebut menunjukkan bahwa usaha penyediaan brosur dwibahasa yang informatif tersebut tidak diikuti dengan kecermatan berbahasa baik dalam bahasa sumber maupun target, sementara kesan ketergesa-gesaan dan kekurang-efektifan tampak nyata terutama dalam teks bahasa target.
Pustaka Acuan Baker, M. 1992. In other words: a coursebook on translation. London: Routledge. Hatim, B. dan Munday, J. 2004. Translation: an advance resource book. Oxon: Routledge. Kubíčková, Ž. 2011. Strategies for Translating Terminology in Tourist Brochures. Published bachelor’s degree thesis. Zlín: Faculty of Humanities, Tomas Bata University. Diakses dari http://dspace.k.utb.cz/bitstream/handle/10563/17170/kub%C3%AD%C4%8Dkov %C3%A1_2011_bp.pdf?sequence=1 (Tanggal akses:15 Desember 2013). Munday, J. 2008. Introducing translation studies: theories and applications. Edisi kedua. London: Routledge. Newmark, P. 1988. A textbook of translation. Hertfordshire: Prentice Hall. Terestyényi, Enikő. 2011. Translating Culture-specific Items in Tourism Brochures.SKASE Journal of Translation and Interpretation [online] Vol. 5, No. 2 [cit. 2011-11-21]. Diakses dari http://www.skase.sk/Volumes/JTI06/pdf_doc/02.pdf) (Tanggal akses: 15 Desember 2013). Venuti, L. 2000. The translation studies reader. London: Routledge. Zainurrahman, Peny. 2009. The translation theories: from history to procedures. Pdf format. Diakses dari http://zainurrahmans.wordpress.com (12 Desember 2013).
489
Keberterimaan Kosakata Bahasa Inggris dalam Laras Ekonomi di Media Elektronik: Studi Kasus pada Berita di Yahoo.com Nadrah, IAIN Bengkulu
Abstrak Using English vocabulary was still found at Laras Ekonomi news text in Electronic Media. This research was case study research in planning language. The result of the research shown that using English Vocabulary and English terms at Laras Ilmu Ekonomi were dominantly used and it was not good since it gave priority to English language. It could be seen form percentage used 1,79%. The level of acceptance some vocabularies and economic terms based on English language which was accepted in Indoneian language had positive attitude. It could be seen from the percentage of using English vocabulary into Indonesian 0,41%. The attitude of user in using terms and vocabularies foreign language had negative attitude in using them while the behavior of Indonesian speaker in using them at Laras Ekonomi had positive attitude. There were some reasons the using of English language at Laras Ekonomi news: journalist did language mistakes from writer factor because of lack of mastering vocabularies, knowledge of language limited, lack of responsibilitis in using language beacause language education wasn’t good yet and forgetting habit. Then, outside writer factor, journlist did some mistakes in using Indonesian language because of lack of time, work duration, many documents which should be corrected, and lack of language editor in news. Kata kunci: Keberterimaan kosakata, laras ekonomi, media elektronika, studi kasus.
1. Pendahuluan Di Indonesia selain penggunaan bahasa Indonesia, ada penggunaan bahasa daerah, dan penggunaan bahasa asing dengan fungsi yang berbeda sebagaimana dirumuskan dalam Politik Bahasa Nasional. Bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai bahasa negara, bahasa ini juga berfungsi sebagai pengembanagan ilmu pengetahauan dan teknologi maju. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia harus siap dengan sejumlah persyaratan menjadi bahasa modern. Salah satu syaratnya adalah ketersedian istilah yang dapat digunakan dalam berbagai bidang ilu, teknologi, dan kegiatan social dan ekonomi. Pembentukan istilah ini akan memperkuat peran bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara yang dapat digunakan dalam mengembangkan taraf hidup anak bangsa ini, misalnya dalam perdagangan, diplomasi, dan bidang ilmu pengetahuan dan tehlogi maju. Dalam kenyataannya, ketiga bahasa (bahasa Indonesia, daerah, bahasa asing) saling mempengaruhi kosa kata bahasa Indonesia satu sama lain. Bahasa Indonesia banyak mempengaruhi kosa kata daerah dan sebaliknya bahasa daerah tidak terlalu nampak dalam mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Di sisi lain, bahasa asing terutama bahasa Inggris agak dominan mempengaruhi kosakata bahasa Indonesia, lihat saja media cetak baik itu koran, majalah, artikel, dan buku banyak sekali digunakan kosa kata yang berasala dari bahasa Inggris. Hal yang sama ditemukan di tempat-tempat umum, misalnya di pusat perbelanjaan ada mall, minimarket, discount, sale, rate, ada world trade centre, higher point, cibubur junction, dan masih banyak lagi nama kompleks perumahaman, nama produk asli Indonesia. Gejala ini menunjukkan bahwa bahasa Inggris masih menjadi kebanggaan tersendiri bagi penutur bahasa Indonesia. Fenomena kebahasaan yang dipaparkan pada paragraf di atas menunjukkan bahwa tudingan bahasa Indonesia belum siap menjadi bahasa ilmiah sepertinya masih ada benarnya dari sudut pandang sikap penutur yang masih banyak menggunakan istilah bahasa asing dalam berbagai tulisan ilmiah dan fasiltas umum. Daya ungkap bahasa Indoneia sepertinya belum
490
memadai untuk menampung konsep ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, pemngembangan kosakata dan istilah dalam laras ilmiah sudah banyak dilakukan, namun apa yang sudah ada tersebut belum dipakai secara luas oleh masyarakat Indonesia. Di samping itu, kosakata dan istilah baru juga masih sangat banyak yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini lah yang membuat pemakai bahasa Indonesia banyak menggunakan istilah dan kosakata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Bahasa Indonesia belum menjadi tumpuan utama bagi penuturnya untuk menyampaikan pokok pikirannya. Di dalam berbagai forum ilmiah masih banyak dipakai istilah yang bersumber dalam bahasa asing. Berdasarkan fenomena penggunaan istilah yang berasal dari bahasa asing yang masih banyak ditemukan di mana-mana menuntut pengembangan bahasa Indonesia dari sudut pembetukan istilah. Pada dasarnya, penggunaan bahasa asing tidak dibatasi tapi bahasa Indonesia hendaknya dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan. Penggunaan kosakata dan istilah yang bersumber dari bahasa Inggris dalam laras ilmu ekonomi. Tingkat keberterimaan sejumlah kosakata dan istilah ekonomi yang bersumber dari bahasa Inggris yang sudah di Indonesiakan. Sikap pengguna istilah dan koskata laras ekonomi yang bersumber dari bahasa asing dalam penggunaannya. Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap penggunaan istilah dan kosakata asing yang sudah diIndonesiakan dalam laras ekonomi. Beberapa alasan penggunaan bahasa Inggris masih ditemukan dalam media cetak laras ekonomi. Ungkapan metaforis: DO NOT Leave Your Language Alone' (Fishman, 2006) merupakan sebuah peringatan dini bagi para pemangku kepentingan perencanaan bahasa, khususnya dalam hal perencanaan korpus. Dalam konteks komunikasi global lintas budaya, pengaruh sebuah bahasa yang dominan pada era globalisasi terhadap bahasa yang lain merupakan sebuah realitas kebahasaan yang tidak dapat dihindari. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa-bahasa yang saling bersentuhan melalui berbagai aspek kehidupan saling berkontribusi secara positif. Salah satu aspek bahasa yang mengalami perkembangan yang sangat pesat adalah bidang Teminologi yang berisi kompulan istilah-istilah khusus (technical term) yang terbentuk dalam berbagai bidang ilmu yang menjadi domain neologisme, yaitu kata-kata baru yang diciptakan dalam sebuah bahasa sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, termasuk istilah-istilah dalam bidang Ekonomi. Bahasa Indonesia harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Hal ini perlu dilakukan agar bahasa Indonesia, sebagai jati diri bangsa, tidak tertinggal dan tidak terganti dengan bahasa asing di masa yang akan datang. Kekayaan kosakata suatu bangsa dapat menjadi indikasi kemajuan peradaban bangsa pemilik bahasa itu karena kosakata, termasuk istilah, merupakan sarana pengungkap ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, tata bahasa bahasa Indonesia harus sela!u di kaji, diteliti, dan dikembangkan demi mencapai kesempurnaan. Dalam konsteks perencanaan bahasa Indonesia, sejumlah istilah baru telah diciptakan antara lain melalui kegiatan penerjemahan teks bidang Ekonomi dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Upaya penciptaan istilah-istilah baru tersebut antara lain dimaksudkan untuk lebih memodernkan bahasa Indonesia (Moeliono, 1989:64-74) sehingga dalam komunikasi lintas budaya dapat sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia (Cooper, 1989:149-153). Dalam upaya untuk merespons kebutuhan masyarakat akan istilah-istilah dwibahasa yang melibatkan bahasa asing dan bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah meluncurkan sebuah produk kebahasaan yang dikenal dengan Glosarium Istilah Asing-Indonesia, sebuah program yang berisi database istilah-istilah dalam berbagai bidang ilmu dasar. Dalam pengembangannya, juga telah dilibatkan pakar-pakar kebahasaan dari tiga negara dan bahasa serumpun, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia yang tergabung dalam sebuah asosiasi yang dikenal dengan nama Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia Malaysia (Mabbim). Program tersebut ternyata sangat membantu para penggunanya ketika mereka dihadapkan pada satu kondisi dilematis, apakah akan memilih padanan istilah-istilah asing yang sudah dibakukan dalam bahasa Indonesia, ataukah tetap meneruskan tradisi mereka masing-masing yang selama ini dipraktikkan dalam kegiatan penerjemahan professional ketika
491
memilih padanan istilah-istilah khusus dalam teks bidang ilmu tertentu yang mereka terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian di bidang studi penerjemahan menunjukkan bahwa penerjemah sering kali menghadapi kesulitan dalam menerjemahkan neologisme dalam teks nonfiski (Newmark, 1988:140). Kajian tentang penerjemahan neologisme dalam teks bidang Sastra dilakukan oleh Heged-s (2004). Ia meneliti bagaimana proses penerjemahan neologism (walaupun bersifat imajinatif) dalam dua novel karya Douglas Adams yang berjdul The Hitchhike's Guide to the Glaxy clan the Restaurant at the End of the Universe (TSu) ke dalam bahasa Hungaria (sebagai objek penelitian). Secara metodologis, semua neologisme dalam TSu dan padanannya dalam TSa diidentifikasi dan kemudian diklompokkan ke dalam delapan kategori: kelompok 1 (mencakup nama-nama hewan, tumbuhan, dan berbagai jenis makanan dan minuman); kelompok 2 (mencakup kelompok, institusi, organisasi, perusahaan, universitas, dan lain-lain); kelompok 3 (mencakup nama-nama orang dan makhluk hidup lainnya); kelompok 4 (mencakup istilah geografis, planet, bintang, kota); kelompok 5 (mencakup jenis-jenis bentuk kehidupan pada kelompok 4); kelompok 6 (mencakup istilah-istilah teknis dalam ruang angkasa, alat musik, persenjataan, alat elektronik dan cabang olah raga baru); kelompok 7 (mencakup warna, material, peristiwa sejarah, teori, ilmu pengetahuan, bidang ilmu tertentu, kegiatan, pekerjaan, hardiah, gelar, unit ukuran dan mata uang); kelompok 8 (mencakup slang, ungkapan khusus dan bentuk-bentuk khusus lainnya). Untuk setiap jenis neologisme, hanya pemunculan neologisme pertama dalam TSu yang dicatat agar pengumpulan data lebih sederhana. Secara teoretis dan empiris, penerjemahan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembentukan istilah-istilah baru dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan kata-kata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia, dapat diciptakan kombinasi kata yang maknanya sama sekali baru. Misalnya, frase deadweight loss dalam bidang ekonomi diterjemahkan menjadi 'kerugian beban baku' (kerugian yang diderita oleh perusahaan atau seseorang karena beban pajak) yang dibentuk dari tiga unsur leksikal, yaitu 'kerugian', beban' dan baku'; masing-masing memiliki makna harfiah tersendiri. Fenomena pembentukan istilah tersebut disebut neologisme. Pertanyaan penelitian yang dapat diajukan, antara lain, adalah bagaimana kontribusi neologisme (sebagai dampak positif dari kegiatan penerjemahan) terhadap bahasa Indonesia. 2. Metodologi Penelitian Penelitian studi kasus adalah penelitian yang menempatkan suatu objek yang diteliti sebagai ‘kasus’, yaitu teks berita selama tiga bulan dari bulan Maret s.d. April 2011 dari yahoo.com pada laras ekonomi. Data tersebut diambil berdasarkan fenomena bahasa yang ditemui baik secara praktis maupun teoretis dalam perencanaan bahasa dan pendidikan ke depan. Metode studi kasus menurut Creswell (1998) adalah suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (dalam Heigham and Croker, 2009), yaitu permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. 3. Pembahasan Penggunaan kosakata bahasa Inggris dalam laras ekonomi diamati penulis selama tiga bulan, yaitu bulan Maret, April, dan Mei. Penggunaan kosakata bahasa Inggris diambil dari koran secara online melalui internet dari laman yahoo.com, seperti kompas, republika, dan Inilah. Com. Berita yang terdapat di laman tersebut dikelompokkan berdasarkan tema yang dibahas, yaitu masalah ekonomi. Setelah diiventarisasi, penulis mendapatkan ada 32 berita tentang ekonomi dengan perincian 12 berita ekonomi bulan Maret, 8 berita ekonomi bulan April, dan 12 berita ekonomi bulan Mei. Berita yang sudah ditentukan tersebut dianalisis untuk menentukan pemakaian bahasa Inggris dan pemakaian bahasa Inggris yang telah diIndonesiakan, penabulasian data temuan untuk menentukan persentase pemakaian kosakata bahasa Inggris dan bahasa Indonesianya, dan merumuskan kesimpulan.
492
Dari 32 berita yang dianalisis terdapat 150 kata bahasa Inggris yang digunakan dari 83775 kata yang digunakan dalam teks keseluruhan bidang ekonomi dianalisis. Berdasarkan data tersebut didapat bahwa rerata pemakaian kosakata dalam bahasa Inggris perbulan digunakan dalam teks ekonomi, yaitu 1,79% kosakata yang digunakan. Hasil tersebut didapatkan dari jumlah masing-masing kosakata bahasa Inggris yang digunakan lalu dibagi tiga dan dikalikan seratus. Perinciannya adalah jumlah kata bahasa Indonesia yang digunakan bulan Maret 3111 kata, bulan April 2124, dan bulan Mei 3140 kosakata, sedangkan jumlah kata bahasa Inggris yang digunakan pada masing-masing bulannya, yaitu kosakata bahasa Inggris bulan Maret 58 kosakata, bulan April 21 kosakata, dan bulan Mei 71 kosakata. Pembahasan masing-masing pertanyaan yang telah diajukan dapat diuraikan pada penjelasan berikut ini. A. Penggunaan Kosakata Bahasa Inggris dalam Laras Ekonomi Berita yang ditemui pada bulan Maret masalah ekonomi ini terdapat 12 berita dengan perincian 8 berita mengenai perbankan, 1 berita mengenai perpajakkan, 1 berita mengenai ketenagakerjaan, 1 berita mengenai saham asing, dan 1 berita mengenai harga beras. Berita yang dominan di atas 4% menggunakan kosakata bahasa Inggris terdapat pada berita nomor 5 dan nomor 6. Berita nomor 5 mengenai Mandiri Klaim Sudah Jadi Bank Internasional dalam penggunaan kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 4,88% dan berita nomor 6 mengenai Rencana Food Estate 30.000 Ha Bulungan dalam penggunaan kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 4,94%, seperti pada kata food estate mencapai tujuh kali kemunculan kosakatanya. Hal tersebut disebabkan kemunculan kata dalam bahasa Inggris yang sering muncul tanpa ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Persentase berkisar dua persen kemunculan kosakata bahasa inggris dapat dilihat pada kolom berita nomor 1 dan nomor 3. Berita nomor 1 mengenai Group Bakrie Siapkan Rp5 T di BakrieTMT2015 dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 2,27%. Berita nomor 3 mengenai Polri Kejar Karyawan Citibak Lain yang Terlibat Pembobolan dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya 2,17% kemudian disusul berita 4, 8, dan 11 yang hanya berkisar satu persen, tetapi ada tiga berita yang tidak ada menggunakan kosakata bahasa Inggris, yaitu berita nomor 9, 10, dan 12. Berita nomor 9 mengenai Laba Bersih Holcim Turun 7,52% di 2010, berita nomor 10 mengenai Sampai Sekarang KPK Belum Temukan Bukti Penyuap Kasus DGS, dan berita nomor 12 mengenai Konsumen Nikmati Stabilitas Harga Beras. Penjelasan tersebut lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Penggunaan Kosakata Bahasa Inggris dalam Laras Ekonomi Bulan Maret 2011 Jumlah Jumlah kata dalan B. Inggris Persentase Semua Kemunculan Kata Bhs. Inggris Affordable; Hyperspeed; Access; Devices; Electronic; Arts; 1 440 2,27% Broadband; Technology; Group; Gaming phone Fixed wireless access; Devices 2 229 0,87% Resorse; Teller ;Transfer (2); Hummer; Skip 3 277 2,17% So far; On the track; Spending 4 159 1,89% Tights; Issue; Net; Interest; Margin; Fee; Based; Income 5 164 4,88% Food (7); Estate (7); Corporate; Management ;Farming 6 344 4,94% Contro; System 7 211 0,95% Foreign (2); Sell; Net; Buy; Investor 8 351 1,71% Deviden; Acquit ;Et de charge 11 222 1,35% Rerata 3111 58 1,86% Berita No.
Berita yang ditemui pada bulan April masalah ekonomi ini terdapat 8 berita dengan perincian berita mengenai karier, bisnis online, akuntansi komputer, slot pergerakan pesawat, harga bahan bakar pesawat, investor asing, insentif industri ramah lingkungan, dan aplikasi mobile. Berita yang dominan di atas 2% menggunakan kosakata bahasa Inggris terdapat pada berita nomor 7. Berita nomor 5 mengenai insentif industri ramah lingkungan dalam penggunaan kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 2,48%. Hal tersebut disebabkan kemunculan kata dalam
493
bahasa Inggris yang sering muncul jika dibandingkan dengan jumlah kosakata bahasa Indonesia yang ada, yaitu hanya 121 kosakata. Persentase berkisar satu persen kemunculan kosakata bahasa Inggris dapat dilihat pada kolom berita nomor 1, 2, dan nomor 8. Berita nomor 1 mengenai karier dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 1,99%. Berita nomor 2 mengenai bisnis online dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya 1,52% kemudian disusul berita 8 mengenai aplikasi mobile dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 1,02%, tetapi ada dua berita yang tidak ada menggunakan kosakata bahasa Inggris, yaitu berita nomor 3 dan 4. Berita nomor 3 mengenai komputer akuntasi dan berita nomor 4 mengenai slot pesawat. Penjelasan tersebut lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Penggunaan Kosakata Bahasa Inggris dalam Laras Ekonomi Bulan April 2011 Jumlah Jumlah kata dalan Bhs. Inggris Persentase Semua Kemunculan Kata Bhs. Inggris Online; Share-it; Payment gateway; Renewel ; Serial number 1 251 1,99% Head of marketing; Career coach; Project superintendent; 2 394 1,52% Retail; Consumer product; Finance Fuel surcharge 5 243 0,48% Level; Net foreign buy 6 251 0,79% Green economy; Stakeholder; Sustainable economy 7 121 2,48% Branded; Launching; Franchise fast food Retail chain 8 394 1,02% Rerata 2124 21 0,99% Berita No.
Berita yang ditemui pada bulan Mei masalah ekonomi ini terdapat 12 berita dengan perincian berita tersebut mengenai saham, chip mobile, banker Citibank, perdagangan, kenaikan tariff listrik, perseroan, kontrak ekplonasi, promosi ekonomi syariah, perkara Malinda, pengembalian proyek Bank Dunia, peluncuran layanan pengiriman barang oleh Lion Air, dan saham. Berita yang dominan di atas 4% menggunakan kosakata bahasa Inggris terdapat pada berita nomor 1 dan nomor 5. Berita nomor 1 mengenai Waspada! Bila Saham IPO Mengalami Oversubscribe dalam penggunaan kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 4,19% dan berita nomor 5 mengenai Menteri: Kenaikan TDL Terkait 'Political Will' dalam penggunaan kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 4,31%, seperti pada kata oversubscribe mencapai empat kali kemunculan kosakatanya. Hal tersebut juga disebabkan kemunculan kata dalam bahasa Inggris yang sering muncul tanpa ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Persentase berkisar tiga persen kemunculan kosakata bahasa inggris dapat dilihat pada kolom berita nomor 2, 3, 12 dan nomor 11 berkisar dua bersen. Berita nomor 2 mengenai Gaya Pongah Intel Tentang Chip Mobile dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya sebesar 3,70%. Berita nomor 3 mengenai Jabatan 6 Bankir Citibank Terancam dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya 3,02%. Berita nomor 12 mengenai 'Speculative Buy' ADRO, Daya Tawar Kuat dengan persentase kosakata bahasa Inggrisnya 3,27% kemudian disusul berita 11 yang hanya berkisar dua persen (2,48%), tetapi ada empat berita yang menggunakan kosakata bahasa Inggris berkisar 0,4%, yaitu berita nomor 4, 7, 8, dan 10. Berita nomor 4 mengenai Mari: Tidak Ada Rencana B untuk Doha, berita nomor 7 mengenai 133 Juta Dollar AS dari Blok Migas Baru, berita nomor 8 mengenai Hatta: Ekonomi Syariah Perlu Promosi, dan berita nomor 10 mengenai Uang Mark Up Proyek Bank Dunia Dikembalikan ke Kejaksaan Agung. Penjelasan tersebut lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini. Berita No. 1. 2.
Tabel 3. Penggunaan Kosakata Bahasa Inggris dalam Laras Ekonomi Bulan Mei 2011 Jumlah Jumlah Kata B. Inggris Persentase Semua Kemunculan Kata Bhs. Inggris oversubscribe (4); Loss; trader ; independent; versubscribe (2); 215 4,19% chip mobile (4);chip (10); smartphone (2); personal computer; 486 3,70% doble digit
494
3.
331
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
178 116 114 172 272 219 277 393
12.
367
Rerata
3140
proper test; Fit and proper test (5); chief country officer; senior country operating; officer; retail banking head; head of collection non agricultural market access political will (2);road map exercise waran direct offer lingkage senior relations manager; cash supervisor/head teller mark up road feeder service (2); transit station; wing; virtual flight; dedicated flight number; connecting flight; dandycraft; distrik retail; speculative buy (2); support ; resistance; bargaining position ; profit taking; Emiten (2); bargaining; Capital gain; speculative buying; buy position. 71
3,02% 0,56% 4,31% 0,88% 0,58 0,37% 1,37% 0,36% 2,48%
3,27%
19,35%
B. Tingkat Keberterimaan Kosakata bahasa Inggris di Indonesiakan Berdasarkan penggunaan kosakata yang digunakan jurnalis selama tiga bulan menunjukkan bahwa penulis dan pembaca mempunyai kesamaan konsep dalam pemahaman makna sehingga dapat dikatakan dapat berterima terhadap kosakata yang digunakan penulis terhadap pembaca. Keberterimaan tersebut dapat diamati berdasarkan penggunaan kosakata bahasa asing yang sudah di-Indonesiakan sudah memenuhi ketentuan penyerapan dalam bahasa Indonesia. Ketentuan penyerapan tersebut umumnya dilakukan secara penyesuaian atau adaptasi seperti investasi, konsumen, alokasi, investasi, ekspansi, stabilitas, konsumen, dan lain-lain. Penyerapan yang dilakukan secara adopsi seperti pada kosakata investor ,volume, total, dan lain-lain, sedangkan serapan yang dilakuan secara translasi atau terjemahan, yaitu pada kata kapitalisasi pasar, kontrak manajemen, transaksi palsu, dan investor asing. Kalau dibandingkan penggunaan bahasa Inggris dengan penggunaan kosakata yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menunjukkan perbandingan bahwa bahasa 0,041% lebih sedikit digunakan dibanding dengan kosakata bahasa Inggris yang digunakan, yaitu 1,79%. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa bahasa asing jauh lebih banyak dan didominasikan dibandingkan dengan istilah/kosakata yang digunakan dalam bahasa Indonesia, padahal sistem penyerapan dan padannannya sudah terdapat dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahawa perbedaan persentase jauh lebih besar keberterimaannya kosakata bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan kosakata bahasa Inggris yang digunakan oleh jurnalis atau penulis. Deskripsi kosakata bahasa Inggris yang sudah di-Indonesiakan dapat dilihat dalam tabulasi berikut ini. Tabel 4. Deskripsi Kata Bahasa Inggris yang Sudah di-Indonesiakan Kata B. Inggris yang diKata B. Inggris yang diKata B. Inggris yang diIndonesiakan bulan Maret Indonesiakan bulan Aril Indonesiakan bulan Mei Investasi; Konsumen; Alokasi; Distributor; Bisnis; Marketing; emiten (2); spekulasi; investor; Perangkat (devices); Investasi; Produk; Instan; Stand; Indrustri; ekspektasi; Manufaktur; kredit; Ekspansi; Depresiai; Investasi; Property; Kontraktor; Akutansi; manajemen; bankir; Manajer; Transfer; Slip transfer; Produk; Bank; Promo; akunting; Direktur; reputasi; administratif; Rekening; Nasabah; Modal; Asosiasi; Komponen; Investor; operasional; proteksionisme; Kapitalisasi pasar; Kontrak Volume; Total; Transaksi; Poin; proporsinya; konvensi; dividen (6); manajemen; Transaksi palsu; Insentif; Aplikasi; Rilis; Interim; bonus; kontrak ; komitmen Investor asing; Saham; Total Kompetisi; Investor; Investasi; (2); eksplorasi; tender; promosi (2); transaksi; Laba bersih; Ekspansi; Merek; Produk; konsolidasi; materiilnya; konsultan Penjualan bersih; Ekuitas Bisnis (2); distribusi (2); Produk; Tekstil; naik;Cek; Saham; Stabilitas Industri; Makro; teknikal (2); harga; Konsumen akumulasi; diakumulasi; substitusi
495
C. Sikap Pengguna Kosakata Laras Ekonomi yang Bersumber dari Bahasa Asing dalam Penggunaannya Pembentukan sikap seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Gerungan (1988: 154), secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selektivitas atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Pilihan ini disesuaikan dengan pengalaman masa lalu, motif, dan sikap di dalam diri, terutama yang menjadi minat dan perhatiannya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang terdapat di luar diri manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial di luar dan di dalam kelompok. Misalnya, interaksi manusia dengan hasil kebudayaan manusia dan interaksi antarindividu. Dalam konteks yang lebih kecil hasil kebudayaan manusia dapat berupa fasilitas dan sarana yang ada. Sedangkan interaksi antarindividu dapat berupa lingkungan di sekitarnya. Berkaitan dengan bahasa, pembentukan sikap terhadap bahasa pada seseorang erat kaitannya dengan latar belakang dan gejala yang timbul dalam suatu masyarakat. Masyarakat yang dwibahasawan terdapat sikap suka atau tidak suka terhadap masyarakat tertentu atau terhadap bahasa tertentu, merasa bangga atau mengejek, menolak atau menerima. Hal itu ada hubungannya dengan status bahasa tersebut itu di masyarakat, termasuk ke dalamnya status ekonomi dan politik. Penggunaan bahasa yang berstatus tinggi dianggap menimbulkan prestise, sebaliknya penyataan tersebut mengimplikasikan bahwa sikap seseorang terhadap suatu bahasa erat hubungannya dengan status ekonomi, status politik, dan status bahasa itu sendiri. Perubahan status ekonomi, politik, dan bahasa kiranya ikut mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu bahasa. Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh, yaitu bahasa Inggris yang digunakan oleh jurnalis. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut. Bahasa-bahasa Indonesia terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Demikian pula bahasa Indonesia bahwa anak-anak muda pada zaman sekarang kurang antusias menggunakan bahasa tersebut karena ada yang merasa bahwa bahasa Indonesia kurang berpengetahuan. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah kurang berminat lagi untuk mempelajari bahasa Indonesia atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya. Sikap negatif juga akan lebih terasa akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku. Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal, yaitu perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu. Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu, sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau
496
multilingual. Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru, misalnya bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian B di atas menunjukkan bahwa sikap pengguna kosakata laras ekonomi bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jauh lebih baik atau memiliki sikap positif dibandingkan kosakata yang digunakan dalam bahasa Inggris. Selain persentase yang penulis temukan, jumlah kosakata bahasa Inggris yang jurnalis gunakan menunjukkan bahwa jurnalis/penulis memiliki sikap negatif dalam hal penggunaan kosakata bahasa Inggris laras ekonomi yang digunakan. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan banyaknya kosakata bahasa Inggris yang digunakan jika dibandingkan dengan kosakata bahasa Inggris yang sudah di-Indonesiakan. Bentuk kosasakata bahasa Inggris yang digunakan bahasa Inggris tersebut digunakan dalam bentuk kosakata atau kata dasar, seperti net (net; jaringan), interest (bunga), margin (pias;margin), dan lain-lain.. Kosakata dalam bentuk frasa, sperti head teller (kepala kasir), speculative buy (pembelian spekulatif), head of marketing (kepala pemasaran), dan lain-lain. Perincian kosakata dan frasa bahasa Inggris laras ekonomi yang ditemukan selama tiga bulan tersebut dapat dilihat dalam tabulasi berikut ini. D. Sikap Penutur Bahasa Indonsia terhadap Penggunaan Kosakata Asing yang Sudah diIndonesiakan dalam Laras Ekonomi Secara umum ada tiga kerangka pemikiran yang menjadi referensi dari defenisi-defenisi tersebut. Ketiga kerangka pemikiran itu adalah sebagai berikut. Pertama, sikap merupakan derajat afek positif atau negatif terhadap suatu objek psikologis, yakni perasaan mendukung (favorable) dan perasaan tidak mendukung (unfavorable) seseorang terhadap suatu objek. Kedua, sikap merupakan suatu kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu jika individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. Ketiga, sikap merupakan suatu keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2002: 4-5). Sikap berkaitan dengan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan ingin dilakukan oleh seseorang sehubungan dengan adanya sesuatu atau sesuatu keadaan (Chaer dan Agustina, 1995:200). Sikap itu sendiri dibagi atas dua macam, yaitu sikap kebahasaan dan sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasaan mengacu pada reaksi tertentu terhadap apa yang disenanginya dalam hal ini bahasa baik sikap positif atau yang tidak disenanginya yang disebut sikap negatif. Sikap penutur dalam hal ini pengguna bahasa dalam teks berita sudah memliliki sikap positif. Sikap positif terlihat dari kosakata yang digunakan oleh jurnalis sudah memenuhi keadah yang ditentukan. Umumnya penulis menggunakan kosakata bahasa asing yang sudah mengalami penyerapan dengan benar ke dalam bahasa Indonesia, seperti pada kata spekulasi, investor, ekspektasi, manufaktur, kredit, manajemen, bankir, dan lain-lain. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa, yaitu (1) Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. (2) Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. (3) Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot
497
tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. E. Beberapa Alasan Pengggunaan Bahasa Inggris Masih Ditemukan dalam Media Cetak Laras Ekonomi dan Upaya yang Dilakukan Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harianharian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya: 1) Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele. 2) Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata. 3) Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis) 4) Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga. 5) Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati. 6) Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan, barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera pembacanya. Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993) disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik. Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain. Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur
498
sintaksis yang tidak penting. 2. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami. 3. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik. Pronominalisasi merupakan cara mereduksi teks dengan menggantikan konstituen yang telah disebut dengan pronomina. Pronomina Pengganti biasanya lebih pendek daripada konstituen terganti. 4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian. Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Wahyono ( dalam Soroso, 2001) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Dalam berita ekonomi ini dapat dikatakan kesalahan tertinggi karena selain diakses banyak orang juga sebagai koran nasional, tetapi masih terdapat penggunaan bahasa Inggrin dalam teks beritanya, yaitu 1,79% penggunakan kosakata asingnya. Adapun beberapa alasan dilakukan oleh wartawan ini disebabkan wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa karena kebiasaan lupa dan kemungkinan pendidikan bahasa yang belum baik, serta masih adanya anggapan bahawa sebuah teks tanpa dibumbui bahasa Inggris/asing dianggap teks tersebut kurang berbobot. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan kemungkinan tidak tersedianya editor bahasa dalam surat kabar. Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan. Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir. Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jati dirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengahtengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus jatidiri bangsa yang selama ini kita banggakan dan kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian jatidiri bangsa
499
harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi. Ketiga, bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia? Masih setia dan banggakah para penuturnya untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi? Keempat, tanpa sosialisasi. Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dan kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahas akita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri? Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil. Opini tersebut diperparah dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu yang seharusnya menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak “berdosa”, bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”. Kedua, kurang gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai “tangan panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan. Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa sehingga terjadi kesepahaman makna antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa
500
yang berlebihan sehingga melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa negara. Kelima. Beragam agenda. Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah yang berlaku. Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generas yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahas ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional. Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik, bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupu sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal menjadi “patron” dan anutan. Ketiga, menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak, misalnya meminimalisasikan penggunaan bahasa asing. Buku bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya. Melalui ketiga agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu melahirkan generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya benar-benar akan menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tengah peradaban global yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang moden, tetap tetap menjadi jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya. 3. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan kosakata dan istilah yang bersumber dari bahasa Inggris dalam laras ilmu ekonomi msih dominan digunakan atau kurang baik dalam pemakaiannya yang masih mengedepankan bahasa Inggris. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase pemakaiannya, yaitu 1,79%. Tingkat keberterimaan sejumlah kosakata dan istilah ekonomi yang bersumber dari bahasa Inggris yang sudah di-Indonesiakan mempunyai sikap postif atau sudah baik. Hal tersebut dilihat dari rendahnya persentase kosakata bahasa Inggris yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu 0,41%. Sikap pengguna istilah dan koskata laras ekonomi yang bersumber dari bahasa asing dalam penggunaannya memiliki sikap negatif dalam pemakaiannya. Hal tersebut berdasarkan dominannya pemakaian kosakata bahasa Inggris yang digunakan baik dalam bentuk kata dasar maupun dalam bentuk frasa. Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap penggunaan istilah dan kosakata asing yang sudah di-Indonesiakan dalam laras ekonomi mempunyai sikap positif. Hal tersebut dapat diamati berdasarkan pengggunaan kosakata bahasa Inggris yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan baik, baik secara adaptasi, adopsi, maupun translasi. Adapun beberapa alasan penggunaan bahasa Inggris masih ditemukan dalam media cetak laras ekonomi, yaitu wartawan/jurnais melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang
501
bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa karena kebiasaan lupa dan pendidikan bahasa yang belum baik. Faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya editor bahasa dalam surat kabar. Ada pun upaya yang dapat dilakukan, yaitu keluwesan dan keterbukaan terhadap pengaruh asing; bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jati dirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia; bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri, ekonomi, dan iptek; sosialisasi yang kontinu terhadap pemakaian bahasa Indonesia; menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik masyarakat; mendahulukan penggunaan kosakata/istilah dalam bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris, bahkan apabila padanannya sudah ada dalam bahasa Indonesia baku maka penggunaan bahasa Inggris ditiadakan saja. Perencanaan bahasa merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh para perencana dalam masalah kebahasaan ke arah yang diinginkan oleh para perencana tersebut. Perencanaan bahasa bertujuan untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara di masa depan dengan lebih baik dan lebih terarah. Beberapa saran yang dapat dilakukan dalam perencanan bahasa dalam pendidikan, yaitu (1) Bahasa dan pendidikan bekerjasama dalam membentuk, memelihara, serta mengangkat martabat manusia. Sebaliknya, martabat manusia yang meningkat akan merupakan pangkal tolak berikutnya bagi bahasa dan pendidikan begitu juga seterusnya. (2) Hubungan dan pertalian yang erat antara pengembangan bahasa dan pengembangan pendidikan berlangsung dalam keluarga, lembaga-lembaga pendidikan formal, dan masyarakat. (3) Perlu adanya penekanan dan peninjauan lagi dalam hal penggunaan bahasa baik isi dan metode pengajaran yang terdapat dalam kurikulum. (4) Dalam kehidupan seharihari di masyarakat tampak perlu adanya kesamaan selera dalam penggunaan bahasa, seperti di media elektronika, cetak, dan masyarakat secara umum.
Daftar Pustaka Anwar, Rosihan. 1991. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita. Anderson, Benedick ROG. 1966. Bahasa Politik Indonesia. Indonesia I, April : hal 89-116. Anderson, Benedick ROG. 1984. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. London: Cornell University Pres. Asegaf, Dja’far H. 1982. Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktik Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia Azwar, Saifuddin. 2002. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Badudu, J.S. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Cooper, R.L. 1989. Language Planning and Social Change. Cambridge: Cambridge Unversity Press. Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions. New Delhi: Sage Publications, Inc. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Fishman, J.A. 2006. DO NOT Leave Your Language Alone: The Hidden Status Agendas Within Corpus Planning in Language Policy. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Garvin, Paul L. and Madeleine Mathiot. 1968, ‘The urbanization of the Guarani Language: A Problem in Language and Culture’, in Joshua A. Fishman et al. (eds), Readings in the sociology of language, (The Hague: Mouton), pp. 365-74. Gerungan, W.A. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: Erisco. Halliday, MAK. 1972. “Language Function and Language Structure” New Horizon of Linguistics. London: Penguin Book.
502
Heged-s, I. 2004. The Translation of Neologism in Two Novels of Douglas Adams: The Hitchhike's Guide to the Glaxy and the Restaurant at the End of the Universe. Dissertation. Budapest: Department of English for Teacher Education, School of English and American Studies, Faculty of Humanities. Heigham, J. and Croker, R.A. 2009. Qualitative Research in Applied Linguistics A Practical Introduction. Great Britain: Palgrave MacMillan. Hoed, B.H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (Alih Bahasa DD Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Moeliono, A.M. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: Gramedia. Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia. Newmark, P. 1988. Approaches to Translation. Hertforshire: Prentice Hall International (UK) Limited. Oetama, Jacob. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. Sudaryanto. 1995. Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater. Suroso 2001. Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP. Suroso 2001. “Bahasa Jurnalistik sebagai Materi Pengajaran BIPA Tingkat Lanjut”. Dipresentasika pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (KIPBIPA) IV di Denpasar Bali 1-3 Oktober 2001.
503
Pijinisasi, Sebuah Gejala Inferioritas Berbahasa Indonesia dalam Film dan Televisi Iswadi Bahardur, STKIP PGRI Sumbar
Abstrak Perihal perfilman dan penyiaran telah diatur dalam Undang-undang Penyiaran dan Perfilman di Indonesia. Meskipun demikian, terdapat berbagai permasalahan berkait dengan eksistensi bahasa film dan televisi. Undang-undang Penyiaran Indonesia tahun 2002, Bab IV bagian Kedua, pasal 37 dan pasal 39 memang telah mengatur tentang bahasa siaran di televisi. Sayangnya pasal-pasal tersebut tidak ampuh untuk menertibkan bahasa di televisi. Undangundang Nomor 33 tentang perfilman juga tidak memiliki pasal yang mengatur tentang bahasa film. Akibatnya televisi dan film menggunakan bahasa Indonesia tanpa taat azaz. Kenyataan tersebut seolah menegaskan adanya gejala inferioritas berbahasa Indonesia para praktisi film dan televisi di Indonresia. Makalah ini bertujuan memaparkan pijinisasi dalam film dan televisi di Indonesia. Bahasa pijin tersebut terbentuk dari percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing, bahasa Melayu, bahasa daerah, prokem, dan bahasa gaul. Data bahasa pijin tersebut diperoleh dari sumber berupa bahasa film layar lebar dan sinema elektronik (sinetron) di Indonesia. Kata kunci: Bahasa Indonesia; film; inferioritas, pijinisasi; sinetron
1. Pendahuluan Secara umum bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, interaksi atau alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep serta mengekspresikan perasaan. Sejak abad pertengahan pun penelitian terhadap bahasa telah menyatakan bahwa terdapat lima fungsi dasar bahasa, yakni sebagai alat ekspresi, informasi, eksplorasi, persuasi, dan hiburan. Dalam konteks yang lebih khusus, bahasa Indonesia, misalnya, telah diatur kedudukannya adalah sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan. Dengan adanya kesepakatan tentang kedudukan bahasa Indonesia dalam komunikasi di tengah maasyarakat menunjukkan adanya usaha bangsa Indonesia untuk meletakkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terhormat. Hal tersebut nampak misalnya melalui kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, mengemban fungsi sebagai lambang identitas nasional. Artinya, salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah melalui bahasa yang mempersatukannya. Sementara dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Ada harapan yang tertumpang bahwa kedudukan dan fungsi yang telah disepakati tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang tinggi untuk menghargai bahasanya sendiri. Penghargaan tersebut harus ditunjukkan melalui sikap dalam pemakaian bahasa Indonesia. Agar bahasa Indonesia dapat bertahan dari gempuran bahasa asing yang masuk bersamaan dengan kebudayaan asing, dituntut adanya perencanaan bahasa untuk menghasilkan sikap bahasa yang selaras. Masyarakat Indonesia dituntut memiliki sikap positif berbahasa. Maksudnya adalah sikap menghargai, menjunjung tinggi, serta meletakkan bahasa Indonesia pada tempat yang layak. Sikap positif berbahasa tersebut baru dapat diwujudkan apabila masyarakat pemakai bahasa Indonesia telah menggunakan bahasa Indomesia sesuai dengan kedudukan dan fungsinya secara tepat. Anderson (dalam Chaer, 2010: 151-152) menyatakan sikap bahasa adalah tata keyakinan kognitif yang relatif berjangka panjang yang dicirikan oleh kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma-norma bahasa. Apabila ketiga ciri sikap bahasa tersebut telah dimiliki penutur bahasa Indonesia, misalnya, maka bahasa Indonesia akan
504
mendapat posisi dan fungsi yang baik. Ketiga ciri sikap tersebut merupakan ciri dari sikap positif berbahasa. Di samping ciri sikap positif berbahasa tersebut, juga masih ditemukan sikap negatif berbahasa. Berkaitan dengan sikap negatif berbahasa, Halim (dalam Chaer, 2010: 153) menjelaskan upaya mengubah sikap negatif berbahasa dapat ditempuh dengan pendidikan bahasa yang didasarkan kepada pembinaan kaidah dan norma bahasa, di samping norma sosial dan budaya dalam masyarakat. Pada akhirnya berbagai sikap bahasa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, baik dalam masyarakat bilingual maupun multilingual. Pada masyarakat modern ditemukan kecenderungan menyenangi komunikasi dengan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Bahkan ada kalanya masyarakat modern menciptakan sendiri sebuah bahasa baru yang menggambarkan identitas sosial mereka. Dengan bahasa ciptaan mereka tersebut komunikasi dilakukan menyesuaikan dengan berbagai kebutuhannya. Dalam kondisi seperti inilah bahasa Indonesia cenderung diabaikan. Kondisi seperti demikian memperlihatkan adanya sikap inferioritas (rendah diri) berbahasa Indonesia. Bahasa Pijin merupakan salah satu fenomena berbahasa yang muncul di kalangan masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Wardhaugh (1988) dan Holmes (2011) menjelaskan pijin adalah bahasa yang tidak mempunyai penutur asli. Bahasa pijin kadangkadang dianggap sebagai sebuah variasi yang mengurangi bahasa normal dengan penyederhanaan tata bahasa dan kosakata, variasi fonologi, dan pencampuran kosa kata bahasa lokal. Oleh karena itu, pijinisasi meliputi penyederhanaan bahasa, seperti pengurangan sistem morfologi (struktur kata) dan sintaksis (struktur gramatikal), toleran terhadap perbedaan pelafalan, pengurangan sejumlah fungsi bahasa, dan perluasan peminjaman kata-kata dari bahasa lokal. Hal apakah sebenarnya yang melatarberlakangi lahirnya bahasa Pijin? Dengan alasan untuk memudahkan komunikasi antara dua penutur atau lebih, biasanya penutur-penutur tersebut melakukan penyederhanaan bahasa. Penyederhanaan tersebut misalnya dengan menghilangkan suku kata dari kata tertentu, menghilangkan huruf-huruf tertentu, atau mengubah bentuk kosa kata tertentu menjadi kata yang mereka pahami sendiri. Selain itu penyederhanaan tersebut juga dilakukan dalam bentuk menciptakan variasi kosa kata dari kosakata yang telah ada sebelumnya. Dalam hal tersebut seringkali kaidah tata bahasa dan kosakata cenderung diabaikan, bahkan cenderung adanya suka-suka. Apabila komunikasi berjalan lancar dan satu sama lain saling memahami, maka kecenderungan seperti demikian akan terus dilakukan. Di samping itu, perbedaan etnis dan suku bangsa antarpenutur tersebut menyebabkan kesulitan untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu masing-masing. Solusi yang diambil adalah dengan melakukan penyederhanaan pada bahasa, pengubahan pada kosakata, perubahan pada kosa kata dan perubahan pada struktur sintaksis. Dari kasus demikianlah muncul gejala bahasa Pijin. Di samping hal itu, bahasa Pijin juga muncul akibat bertemunya dua atau tiga bangsa yang berbeda bahasa dan kebudayaan. Keinginan untuk melakukan sebuah proses komunikasi yang baik menyebabkan mereka melakukan pencampuran bahasa dengan mengabaikan persoalan tata bahasa. Konsep suka-suka berlaku pada situasi tersebut. Bahasa campuran tersebut sering muncul dalam daerah kontak bahasa dari dua budaya yang berbeda. Bahasa yang berprestise sosial yang lebih tinggi, bahasa Inggris, misalnya, akan berkembang menjadi bahasa penyumbang yang dominan. Secara aspek sosial, bahasa Pijin dipergunakan sebagai bahasa ibu (lingua franca) namun tidak memiliki penutur asli. Kemudian dilihat dari aspek historis, pada awalnya bahasa pijin muncul karena adanya kontak bahasa antara bangsa Eropa dan bangsa bukan Eropa. Holmes (2001: 23) menyatakan bahasa pijin bukanlah bahasa yang status sosialnya tinggi atau prestis. Dalam pemakaiannya bahasa pijin berfungsi sebagai bahasa perdagangan atau untuk administrasi, sebagai penyampai informasi. Pada akhirnya bahasa Pijin tersebut akan lenyap ketika tidak difungsikan lagi. Dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa bahasa pijin tidak memiliki ibu, tidak memiliki asal-usul yang jelas. Perkembangannya akan maju apabila tetap
505
digunakan dan diwariskan secara tidak langsung oleh pemiliknya kepada anak cucunya. Apabila terjadi pewarisan maka bahasa Pijin tersebut akan berubah menjadi Kreol. Salah satu kelompok masyarakat modern yang mempraktikkan bahasa Pijin adalah kaum urban. Urban berarti sesuatu yang bersifat kekotaan, yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota). Fenomena urban pada hakikatnya terkait erat dengan persoalan tradisi dan modernitas. Masyarakat urban identik dengan industrialisasi dan konsumsi gaya hidup yang menumbuhkembangkan kaum sosialita masyarakat modern. Masyarakat urban (urban society) mengacu pada sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu secara lama, datang dari berbagai daerah dan kota, berbaur dengan penduduk asli, membawa kebudayaan asli daerahnya, serta bahasa ibunya, dan menggunakan bahasa yang disederhanakan sebagai alat komunikasi. Kaum urban memiliki gaya berbahasa dengan mencampuradukkan kosa kata dari dua, tiga, atau lebih bahasa, mengubah bentuk kata dan mengubah pengucapannya, sebagai upaya menunjukkan eksistensi dan perbedaan kelasnya dibandingkan masyarakat biasa. Dalam perkembangannya kaum urban kota metropolis memiliki style bahasa sendiri yang disebut bahasa gaul. Dalam perkembangannya bahasa gaul berubah menjadi bahasa yang mengarah pada bahasa Pijin. Media hiburan modern yang gencar merefleksikan gaya hidup masyarakat urban adalah film layar lebar dan sinema elektronik di televisi. Sinema elektronik (disingkat sinetron) merupakan salah satu produk siaran televisi di Indonesia yang mulai berkembang sejak tahun 1990. Pada umumnya sinetron tersebut mengambil tema tentang kehidupan masyarakat kota metropolitan Jakarta. Potret kehidupan kaum urban Jakarta ditampilkan secara gamblang melalui perwatakan, alur cerita, latar, serta bahasa yang digunakan. Khusus mengenai bahasa, sinetron menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dikatakan sangat jauh dari sikap positif berbahasa. Bahasa Indonesia dalam sinetron bercampur dengan berbagai bahasa daerah, bahasa Inggris, bahasa prokem, bahasa slang, bahasa gaul atau bahasa alay dan berbagai bentukan bahasa lain. Oleh karena begitu banyak percampuran seperti itu, dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan sudah mewujud menjadi bahasa Pijin. Alasannya, masyarakat pemakai bahasa yang dituturkan tersebut adalah masyarakat dari berbagai daerah yang berkumpul menjadi satu di pusat kota Metropolitan, memiliki berbagai budaya daerah, mengistimewakan budaya dan bahasa Inggris, dan memiliki tata bahasa yang tidak jelas pedomannya. 2. Sumber Data Sumber data dalam penulisan ini adalah film dan sinetron yang diproduksi oleh praktisi film dan sinetron di Indonesia dan telah ditayangkan pada tahun 2012 dan 2014. Film yang dijadikan sumber data adalah Arisan 2 karya sutradara Nia Dinata. Film Arisan 2 ditayangkan di bioskop Indonesia pada tahun 2012. Sinetron yang dijadikan sumber data adalah ABG Jadi Manten, Diam-diam Suka, ditayangkan di stasiun SCTV tahun 2014. Sinetron Ganteng-Ganteng Srigala, ditayangkan di SCTV tahun 2014. Alasan memilih film dan sinetron tersebut karena adanya representasi kehidupan kaum urban kota Jakarta di dalamnya. 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan temuan data oleh penulis, bahasa Piijn yang terdapat dalam sinetron ABG Jadi Manten episode 20, Diam-diam Suka episode 169, Ganteng-ganteng Srigala episode 30, dan film Arisan 2 karya sutradara Nia Dinata terlihat bahwa penggunaan bahasa yang tidak lagi menggambarkan sikap positif terhadap Bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat yang dituturkan oleh para tokoh dalam sinetron dan film tersebut menyimpang dari tata bahasa Indonesia yang benar, pengucapan kata yang tepat, pemilihan kata yang tepat, penggunaan istilah dan bahasa asing yang tepat, serta struktur dan pola-pola kalimat yang benar. Apabila ditinjau dari segi budaya dan latar tempat terjadinya dialog, terlihat bahwa sinetron dan film tersebut menggambarkan latar tempat dan kebudayaan modern masyarakat urban kota Jakarta. Hal tersebut ditandai dengan adanya ciri khas budaya urban, seperti gadget, perawatan di salon kecantikan, perkumpulan perempuan-perempuan sosialita, pembicaraan seputar fashion dan
506
trend gaya hidup, pergaulan bebas remaja sekolah menengah, serta ramainya penggunaan bahasa asing dalam tiap dialog tokoh. Dalam situasi demikian muncul upaya menyelaraskan bahasa dari penutur yang berbeda untuk kelancaran komunikasi. Penutur bahasa yang berasal dari daerah yang berbeda dan kebudayaan yang berbeda tersebut berusaha menyederhanakan proses komunikasi dengan melakukan berbagai perubahan dalam bahasa. Berdasarkan data yang didapatkan, pijinisasi dalam film dan sinetron di Indonesia dicirikan oleh hal-hal berikut. 3. 1. Adanya pengurangan sistem morfologi Pengurangan sistem morfologi maksudnya adalah upaya melakukan pemahaman terhadap sebuah kata dengan cara menyingkat dan menghilangkan satu huruf atau satu suku kata tertentu. Tujuannya tentu supaya komunikasi lebih mudah dijalankan. Tentu saja penyebab utama terjadinya hal tersebut adalah perbedaan bahasa dan kebudayaan dari para penuturnya. Seperti dijelaskan pada bagian awal bahwa bahasa Pijin muncul dalam komunikasi antara dua atau tiga penutur bahasa yang berbeda asal dan kebudayaan. Dalam sinetron ABG Jadi Manten Episode 20 yang ditayangkan di SCTV ditemukan kalimat dalam dialog antartokoh yang mencirikan bahasa Pijin berupa pengurangan sistem morfologi. Dalam dialog tokoh-tokohnya tersebut beberapa kata mengalami perubahan karena dikurangi suku katanya sehingga secara sistem morfologi kata tersebut menjadi tidak lengkap lagi. Dialog tersebut seperti berikut. (1) Ngintipin siapa si? (2) Eh, ngapa diambil? (3) Mayan, ngangon kambing atau gue lepasin nih? (4) Eh, Encang, hadooh, ada-ada aja, hadooh, ngapain si bawa-bawa ke polisi segala (5) Siapa yang mau ngapa-ngapain si? Dalam kutipan dialog tersebut terjadi pengurangan pada struktur kata yakni satu kata tertentu dihilangkan satu suku kata atau satu huruf tertentu. Perlakuan seperti itu terdapat pada kata sih yang diucapkan menjadi si, kata lumayan diucapkan menjadi mayan, kata mengapa diucapkan menjadi ngapa. Pengurangan sistem morfologi seperti demikian juga ditemukan dalam dialog antartokoh dalam sinetron Diam-diam Suka episode 169 yang ditayangkan oleh SCTV. Dialog yang mengandung pengurangan sistem morfologi tersebut adalah: (6) Pinky swear kitty swear boycherry, strawberry swear, gue kaya mau mati nungguin pengumuman kaya ginian tau si. Haduuh kalo gue gak lulus gimana nih, kebayang Daddy nanti marah bingit sama gue. Oh no Pada bagian adegan lain sinetron Ganteng-ganteng Srigala episode 30 juga terdapat dialog yang berisikan kalimat dengan kata yang tidak utuh lagi sistem morfologinya. Dialog tersebut adalah sebagai berikut (7) My babby honey ih nyebelin banget si, Oh MG hello, kebiasaan banget si. (8) Gak, gak marah lagi kok. Aku seneng banget kalo misalnya udah maafan sama kamu. (9) Emang udah maafin? (10)Ih lo tu banget si! Rese Dalam dialog-dialog tersebut terdapat beberapa kata, seperti kata sih, maafan, maafin, dan tu yang tidak tepat jika ditinjau dari sistem morfologi. 3. 2. Adanya pencampuran kosakata bahasa lokal (daerah) dengan bahasa asing Untuk kepentingan komunikasi antara dua bangsa, tidak jarang terjadi tindakan untuk memudahkan salah satu pihak dalam komunikasi. Pemudahan tersebut maksudnya adalah penyederhanaan dalam rangkaian bahasa dengan mengabaikan aturan tata bahasa, bunyi-bunyi, bahkan lafal atau pengucapannya. Selain itu pemudahan tersebut juga akan mengakibatkan terjadinya pencampuran kosa kata dari bahasa yang berbeda-beda. Fenomena pencampuran kosa kata tersebut menjadi salah satu ciri dari bahasa Pijin yang berkembang di berbagai negara. Sinteron dan film Indonesia modern telah merefleksikan hal tersebut dengan jelas.
507
Sinetron Ganteng-Ganteng Srigala yang menjadi sumber data menunjukkan adanya percampuran kosa kata lokal dan kosa kata asing secara bebas, lepas dari aturan tata bahasa. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sikap berbahasa masyakarakat pemakai bahasa belumlah positif dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pencampuran kosa kata dari dua bahasa yang berbeda tersebut dilakukan cenderung secara suka-suka. Hasilnya adalah kalimat-kalimat aneh yang tidak memiliki struktur tepat. Kalimat-kalimat demikian dapat disimak dalam sinetron Ganteng-Ganteng Srigala, seperti dalam kutipan berikut. (11) Galang, my honey boy handsome, wake up wake up, Lang, biar breakfeast is ready you know. Lang, ih, kok kagak di answear-answear si? (12) Galang, aduh my honey boy handsome, masaallah kamu sleeping ditutupin selimut pamali you know. (13) Kemana sih nih anak? Ih jangan-jangan dia udah hungry banget nih jadi dia breakfeast duluan. Keterlaluan nih anak. (14) Eh, elo ngaku, ones-ones, darimana, where you go? (15) You wake up, wake up, you kagak mau to school ape? You kagak liat jam, clock, clock, you see the clock. Percampuran kosakata dengan cara yang sama juga ditemukan dalam percakapan antartokoh film Arisan 2. Dalam percakapan tersebut terdapat kosa kata bahasa Inggris yang telah dicampurkan dengan kosa kata bahasa lain. Kalimat-kalimat berisi percakapan tersebut seperti terdapat dalam data berikut. (16) Of course this wanna be shit. Sudah naik cetak. Gak salah ya gue pilih Yayi sebagai penulisnya. (17) Nanti pas launching buku sama partynya, majalah yei jadi partnertnya ya cin. (18) Of course darling 3. 3. Adanya variasi Fonologi Bahasa Pijin dalam sinetron dan film Indonesia juga terjadi karena adanya variasi fonologi atau variasi bunyi. Maksudnya, satu kata diucapkan dengan beberapa variasi bunyi yang berbeda. Kata yang diucapkan oleh tokoh mengalami perubahan dari bentukan fonologi yang sudah tepat. Variasi fonologi tersebut ditemukan dalam sinetron Ganteng-ganteng Srigala episode 30. Variasi fonologi yang dimaksud adalah adanya perbedaan pengucapan sebuah kata yang menimbulkan bunyi yang berbeda dari tiap kata yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut. (19) Aduh, dia kan make up nya tebel-tebel banget. (20) Hmm bener banget. Dia itu make up tebel-tebel karena ingin nutupin bopeng di mukanya dia. (21) Ih plis deh bopeng tebel-tebel banget make up. Variasi fonologi juga dapat ditemukan dalam sinetron ABG jadi Manten, seperti dalam kutipan berikut. (22) Oh my god oh my way mimpi apose gue semalem dapat brondong sekaligus begindong. (23) Ih, jengong, ike masih punya teman. (24) Ya udah deh gue bantuin cari cimutnya. (25) Ih, Bisma aneh. (26) Udah loe juga aneh, ya udah yuk. Kemana cari cimutnya? Kesana ajha 3. 4. Perluasan peminjaman kosakata lokal Dalam kasus bahasa Pijin, perluasan peminjaman kosa kata lokal dilakukan untuk memenuhi kebutuhan transaksi komunikasi di luar kebutuhan daerah pemilik kosa kata lokal tersebut. Contohnya adalah penggunaan kosakata bahasa Jawa dalam dialog pemakai bahasa yang tidak berada dalam konteks pembiacaraan permasalahan masyarakat Jawa. Kasus demikian
508
dapat dicermati dari sinetron Diam-diam Suka episode 169, pada adegan acara foto buku tahunan sekolah. Dialog tersebut adalah sebagai berikut. (27) Gak apa-apa aku dandan kaya gini, mirip mbah waktu masih hidup dulu. Lagian iki kan semangat hari Kartini. (28) Kalian kagum ya sama bajuku, eh tunggu-tunggu bentar bentar, aku mau nong dulu bentar, iki itu, aku berpakaian kaya gini buat melestarikan kebudayaan dalam negeri kita. Oh piye toh 3. 5. Pengurangan Sistem Sintaksis Hal lain yang mencirikan bahasa Pijin pada sumber data adalah ditemukannya pengurangan sistem sintaksis. Kasus demikian menyebabkan hilangnya kata-kata yang menduduki pola-pola tertentu dalam sebuah kalimat. Dalam konteks bahasa Pijin dapat dianalisis bahwa tujuannya adalah untuk memudahkan dalam komunikasi, namun mengakibatkan rusaknya pola penataan kalimat yang benar. Kasus demikian dapat dicermati dari Hal tersebut kutipan dialog tokoh dalam film Arisan 2 berikut. (29) Aku tuh nulis artikel di majalah ya begini, gak dari sisi fashion ajha dong tapi harus sesuatu. (30) Hey jeng maaf i telat. Hey goce, hei kulit yei udah kaya porselen. Trus-trus apa kalo ini, ei bisa bantu? (31) Yo, yei harus liput rumahnya si Ara, foto hasil rumahnya itu, hasil huntingannya dia, mulai dari Seatle big, Christy, what ever kind. (32) Pasti nje, trus kapan buku tentang bedah plastiknya kelar, pasti hits. 3. 6. Penyederhanaan Tata Bahasa Ciri lain terkait bahasa Pijin dalam sumber data adalah terdapatnya penyederhanaan kosakata. Penyederhanaan kosa kata maksudnya adalah adanya pengubahan pemakaian kosa kata dari bentuk yang baku menjadi bentuk kosakata yang diucapkan dengan konsep suka-suka. Contohnya terdapat dalam kutipan dialog sinetron ABG jadi Manten berikut. (33) Ini punya siapa si? (34) Iih encang, ngomongnya sembarangan de, asal jeblak. (35) Astajim, astajim, ya Allah (36) Astajim, bukan saya bukan, ini bantuin gimana sih? Kasus yang sama juga dapat dicermati dari kutipan lain dialog sinetron ABG Jadi Manten. (37) Loe masih pikun aja sekarang ya (38) Tu makan ketek gue tu ya (39) Belon gue keluarin jurus gue ke loe Hal yang sama juga ditemukan dalam dialog-dialog antartokoh sinetron Diam-diam Suka, seperti dalam kutipan berikut. (40) Kerjaan siapa ini, ini punya siapa ini, punya siapa ini? Berani ngelempar bapak pake kaya gini? Siapa? (41) Kayanya kita harus bantuin, kayanya dia mau jatuh terkapar, Yes. (42) Itu Dio. Gak, gak bakal gue bantuin, nanti kalo gue bantuin baju gue berantakan, gak higienis lagi. 4. Penutup Bahasa Pijin dalam sinetron dan film Indonesia yang dijadikan data dicirikan oleh enam hal. Pertama, pengurangan sistem morfologi. Kedua disebabkan oleh adanya percampuran kosakata lokal dengan kosakata asing. Ketiga, karena adanya variasi fonologi. Keempat, perluasan peminjaman kosa kata lokal. Kelima, pengurangan sistem sintaksis, dan keenam, penyederhanaan tata bahasa. Fenomena Pijinisasi yang terdapat dalam bahasa sinetron dan film tersebut memperlihatkan adanya gejala inferioritas (rendah diri) berbahasa Indonesia. Gejala
509
inferioritas tersebut disebabkan belum adanya sikap positif berbahasa Indonesia yang ditandai dengan kesetiaan bahasa, kebanggaan berbahasa, dan kesadaran untuk berbahasa Indonesia. Gejala inferioritas yang nampak dari Pijinisasi tersebut dapat diatasi dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma berbahasa, di samping norma sosial dan budaya yang berlaku di tengah masyarakat.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leony Agustina. 2010. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Jenks, Chris. 2013. Studi Kebudayaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sosiolinguistik. Pearson Education Limited.Wardhaugh. Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik; Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ronald. 1988. An Introduction to Sosiolinguistics. Basil Blackwell Ltd. Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Penerbit Sabda.
510
Campur Kode dan Alih Kode Wacana Khotbah Jumat di Pulau Jawa dan Madura Kundharu Saddhono, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak Penelitian tentang wacana khotbah Jumat ini penting dilakukan dalam rangka mengetahui bentuk dan fungsi tuturan bahasa dalam ranah keagamaan. Tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis dan bentuk kode yang di dalamnya termasuk fenomena bentuk dan fungsi campur kode – alih kode yang dikaji dengan pendekatan sosiolinguistik sebagai acuan. Hal ini tentunya dihubungkankan dengan faktor sosiokultural dan budaya masyarakat tuturnya. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Peristiwa khotbah Jumat di Pulau Jawa dan Madura yang direkam secara audiovuisual pada enam wilayah, yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur (Madura); (2) Dokumen transkripsi tuturan khotbah Jumat yang telah disajikan secara baik sehingga mempermudah dalam proses analisis; (3) Informan dan narasumber yang dapat membantu dalam proses analisis dan memperkaya kajian ini; dan (4) Peristiwa lainnya yang secara langsung maupun tidak langusung mempengaruhi tuturan khotbah Jumat di Pulau Jawa dan Madura. Kata kunci: Alih Kode, Campur Kode, Jawa, Khotbah Jumat, Madura, dan Sosiolinguistik.
1. Pendahuluan Khotbah Jumat merupakan wacana pada ranah keagamaan yang mempunyai latar belakang situasi formal bahkan sakral. Akan tetapi kesakralan tersebut tetap dipengaruhi oleh khotib sebagai penutur dan sosiokultural masyarakatnya. Beberapa kajian yang membahas wacana khotbah Jumat antara lain adalah Ma’ruf (1999), Hidayat (1999), Hadisaputra (2005), dan Saddhono (2005; 2011). Penelitian yang cukup komprehensif berkaitan dengan wacana khotbah Jumat dilakukan oleh Saddhono (2011) yang menyimpulkan bahwa khotbah Jumat termasuk wacana lisan yang mempunyai struktur wacana teratur. Hal ini disebabkan khotbah Jumat merupakan salah satu rangkaian ibadah dalam salat Jumat sehingga situasinya sakral. Dengan situasi yang demikian menyebabkan bahasa yang digunakan standar atau baku. Keadaan ini diperkuat lagi dengan adanya aturan, rukun, dan syarat dalam khotbah Jumat. Adanya sifat tersebut di atas, struktur khotbah Jumat menjadi khas, baku, dan pasti. Banyak istilah yang muncul karena keberadaan khotbah Jumat sebagai sebuah register dalam bidang atau ranah agama Islam. Adapun berkaitan dengan karakteristik pemakaian kosakata didasarkan pada lingkungan masjid yaitu keluarga, keagamaan, pendidikan, jaringan kerja, dan sosial. Lingkungan masjid akan berdampak pada bahasa dan kosakata dalam tuturan khotbah Jumat. Oleh karena faktor penutur, mitra tutur, lokasi tuturan, dan topik tuturan berpengaruh pada pemakaan bahasa dan kosakatanya. Walaupun khotbah Jumat mempunyai aturan yang jelas tetapi dalam tuturan yang ada dipengaruhi oleh faktor penutur. Penutur atau khotib mempunyai kebebasan dalam menyampaikan khotbah dengan gaya bahasanya sendiri tetapi tetap pada aturan yang berlaku. Fenomena dalam kajian sosiolingusitik ini adalah adanya campur kode dan alih kode. Campur kode merupakan salah satu aspek dari saling ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Yang dimaksud adalah bahwa di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa lain. Berkaitan dengan campur kode ini, Nababan memberikan batasan pengertian istilah itu sebagai berikut; terjadi campur kode apabila seseorang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu situasi berbahasa itu menuntut percampuran bahasa itu (1987: 32). Fenomena yang lain berkaitan dengan ketergantungan bahasa adalah alih kode. Alih kode mempunyai beberapa pengertian, di
511
antaranya dinyatakan Alwasilah bahwa perpindahan satu dialek ke dialek lainnya dalam satu bahasa disebut dialect switching atau code switching atau alih kode (1989: 66). Adapun Suwito berpendapat bahwa alih kode adalah peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (1985: 81). 2. Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan setting apa adanya (natural setting) yang pada dasarnya mendeskripsikan secara kualitatif dalam bentuk kata-kata dan bukan angkaangka matematis atau statistik (Lindlof, 1994: 21). Objek kajian penelitian ini adalah khotbah Jumat di Pulau Jawa dan Madura. Wacana khotbah Jumat yang diambil sebagai sampel adalah data yang memiliki karakter sesuai data yang diinginkan peneliti dan dianggap dapat mewakili secara keseluruhan. Hal ini mengacu pendapat Subroto (2007: 32), bahwa sampel dalam penelitian merupakan sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian. Teknik pernarikan sampel dalam penelitian ini ialah sampel bertujuan (purposive sampling). Sumber data penelitian dalam penelitian ini adalah: (1) Peristiwa khotbah Jumat di Pulau Jawa dan Madura yang direkam secara audiovisual pada tujuh wilayah di Pulau Jawa dan Madura, yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur (Madura); (2) Dokumen transkripsi tuturan khotbah Jumat yang telah disajikan secara baik sehingga mempermudah dalam proses analsis; (3) Informan dan narasumber yang dapat membantu dalam proses analisis dan memperkaya kajian ini; dan (4) Peristiwa lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tuturan khotbah Jumat. Teknik pengumpulan data penelitian ini ditempuh dengan beberapa cara agar data yang ada lengkap dan memudahkan proses analisis. Teknik pengumpulan data yang dilakukan antara lain, yaitu (1) wawancara, (2) observasi, dan (3) analisis isi. Dalam analisis data akan diperhitungkan konteks sosial yang berupa komponen tutur. Komponen tutur yang diperhitungkan dalam analisis data penelitian ini adalah (1) penutur atau pembicara, (2) mitra tutur atau lawan tutur, (3) situasi tutur atau situasi bicara, (4) tujuan tuturan, dan (5) hal yang dituturkan (Sudaryanto, 1995: 38). 2. Pembahasan 2.1 Bentuk Kode dan Alih Kode dalam Khotbah Jumat Kode atau code berarti (1) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu; bahasa manusia adalah sejenis kode, (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat, dan (3) variasi tertentu dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 2008: 127). Hal senada dinyatakan oleh Nababan (1987: 31) bahwa kode sebagai bahasa atau ragam bahasa. Dari pengertian tersebut tentunya dapat disimpulkan bahwa kode tidak saja bermakna bahasa secara umum tetapi juga bagian dari ragam suatu bahasa. Jadi, pembagian kode dalam wacana KJdapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu berdasarkan jenis bahasa dan berdasarkan jenis varaiasi dalam satu bahasa. Kode yang terdapat dalam khotbah Jumat (KJ) di Pulau Jawa dan Madura yang diteliti berdasarkan jenis bahasa dapat dibagi menjadi bahasa Indonesia (BI), bahasa Arab (BA), bahasa Jawa (BJ), bahasa Madura (BM), dan bahasa Inggris (BIg). Pemakaian BI atau yang lain selain BA dalam KJ sebenarnya masih ada polemik di kalangan masyarakat. Hal itu tentu dapat dimaklumi karena perintah agama memang ada dua macam, yaitu dalam hal ibadah dan adat. Pemakaian BA dalam KJ merupakan salah satu rukun yang harus ada. Jadi, kehadiran BA tidak bisa dihidari dalam KJ apalagi KJ merupakan sebuah rangkaian ibadah dalam agama Islam. Pemakaian BA dalam KJ muncul ketika hal yang dituturkan berupa rukun KJ, misalnya bacaan hamdalah, bacaan syahadat, bacaan selawat, wasiat takwa, bacaan Alquran, bacaan hadis, dan bacaan doa. Dalam KJ di Pulau Jawa dan Madura, BJ masih banyak digunakan, terlebih lagi di daerah yang didominasi masyarakat Jawa. Akan tetapi perkembangan saat ini menunjukkan bahwa BJ mulai ditinggalkan karena semakin banyak orang yang tidak paham BJ. Pemakaian BM sangat dominan di Pulau Madura oleh karena pada umumnya masjid di Madura apalagi di pesantren masih menggunakan BM. Bahasa yang digunakan dalam KJ di Pulau Jawa dan Madura tidak hanya BI, BA, BM, dan BJ tetapi juga bahasa asing yaitu BIg. Pemakaian BIg yang ditemukan oleh peneliti terdapat di masjid yang mempunyai jemaah dengan tingkat sosial yang bervariasi.
512
Kode berdasarkan variasi dalam satu bahasa dapat dibedakan menjadi bahasa baku dan bahasa nonbaku. Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2008: 26) menyatakan bahwa bahasa baku sama dengan bahasa standar. Bahasa standar atau standard language adalah (1) ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi dan yang dianggap paling baik, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, berbicara di depan umum, dan sebagainya, (2) bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Kajian dalam penelitian ini adalah mengacu pada bahasa pengantar KJ di Pulau Jawa dan Madura yaitu BI. Pembagian jenis variasi dalam satu bahasa bahasa difokuskan hanya pada BI yang terdiri dari bahasa baku dan bahasa nonbaku. Pemakaian bahasa baku dalam KJ tentu sudah sewajarnya karena KJ merupakan peristiwa tutur yang bersifat resmi, formal, dan sakral. Apabila sebuah tuturan tersebut terjadi dalam situasi tersebut maka yang digunakan cenderung bahasa baku atau standar. Bahasa nonbaku disejajarkan maknanya dengan bahasa nonstandar, yaitu dikatakan tentang ragam bahasa yang menyimpang dari ragam yang dianggap standar dalam hal lafal, tata bahasa, atau kosakata (Kridalaksana, 2008: 164). Jadi, ketidakbakuan bahasa yang digunakan dalam KJ dapat dilihat dari lafal, tata bahasa, dan kosakatanya. 2.2 Alih Kode dalam Kalimat Alih kode dalam kalimat (Akl) disejajarkan dengan istilah campur kode (Ck). Pemilihan istilah tersebut karena setiap kode yang ada dalam KJ mempunyai fungsi dan maksud. Jadi, Akl ini dapat berbentuk kata, frasa, dan klausa. Akl atau Ck mempunyai pengertian yaitu penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya (Kridalaksana, 2008: 40). Akl yang ada dalam KJ di Pulau Jawa dan Madura pada penelitian ini terdiri dari empat bahasa yaitu BJ, BA, BM, dan BIg. Akl yang terjadi dalam KJ dapat dipilah atas Akl kata, Akl frasa, dan Akl yang lain. Bentuk Akl dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) bentuk ke dalam (inner codemixing) yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya dan (2) bentuk ke luar (outer code-mixing) yang berasal dari bahasa asing. Dalam KJ yang diteliti banyak terjadi Akl bentuk ke dalam maupun Akl bentuk ke luar. Lebih jelasnya kedua bentuk Akl tersebut dipaparkan yaitu (1) Bentuk ke dalam; Dalam data KJ yang ada Akl ke dalam terjadi dalam BJ dengan variasi-variasinya, yaitu dari bentuk ngoko dan krama. (2) Bentuk ke luar; Akl ke luar dalam KJ berasal dari BA dan BIg. Kedua bahasa tersebut muncul karena berbagai faktor penentu. Banyak hal yang dapat melatarbelakangi munculnya Akl dalam sebuah tuturan. Suwito (1985: 90) menyatakan bahwa latar belakang munculnya Akl dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) sikap (attitudinal type) yang berkaitan dengan latar belakang sikap penutur (Pt) dan (2) kebahasaan (linguistic type) yang berkaitan dengan latar belakang keterbatasan bahasa sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dalam penelitian ini, Akl yang terdapat dalam KJ dapat dipaparkan berdasarkan kedua latar belakang tersebut di atas. Akl yang muncul berasal dari BJ, BA, dan BIg. Secara umum BJ muncul karena latar belakang budaya dan bahasa Pn dan Mt serta Lt yaitu di Kota Surakarta. BA muncul dalam Pt karena KJ merupakan salah satu ibadah wajib dalam agama Islam sehingga BA digunakan untuk memenuhi syarat sebagai ibadah. Adapun BIg muncul dalam KJ karena alasan akademis dan sekadar bergengsi. Dalam penelitian ini akan dijelaskan latar belakang Akl berdasarkan data yang ditemukan dalam KJ di Pulau Jawa dan Madura. Dalam KJ latar belakang Akl karena sikap Pt banyak terjadi. Hal ini dikarenakan KJ adalah sebuah tuturan yang bersifat monolog atau semimonolog. Dengan kondisi ini tentu gaya bahasa Kt sebagai Pt sangat mendominasi dalam seluruh tuturan. Latar belakang sosial budaya, usia, pendidikan, dan yang lain tentu akan sangat berpengaruh dalam khotbah yang dituturkan. Pt yang mempunyai latar belakang pendidikan formal yang tinggi tentu mempunyai ciri khas dalam penyampaian khotbahnya. Ciri tersebut dapat dilihat dari diksi, cara bertutur, dan lainlain. Sebagai contoh Pt yang berpendidikan tinggi pasti akan memilih kosakata yang ”canggih” karena wawasan Pt yang luas.
513
2.3 Alih Kode Antarkalimat Alih kode antarkalimat (Aka) yang selanjutnya dipadankan dengan istilah alih kode (code switching) yaitu penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain (Kridalaksana, 2008: 9). Dalam KJ terdapat dua sifat Aka, yaitu Aka permanen dan Aka sementara. Terdapatnya dua sifat alih kode tersebut karena KJ merupakan sebuah ibadah di mana ada aturan yang masih menggunakan BA dan berupa adat yang dapat dilakukan dengan menggunakan BI atau BA. Aka permanen dalam KJ terjadi di awal dan akhir khotbah, baik pada khotbah pertama maupun khotbah kedua. Pada khotbah pertama Aka berupa BA karena sudah menjadi rukun KJ, yaitu pembacaan salam, hamdalah, syahadat, selawat, wasiat takwa, dan kutipan ayat suci Alquran. Aka permanen selanjutnya adalah doa di akhir khotbah pertama. Pada pembukaan khotbah kedua juga terjadi Aka permanen yang berupa BA dengan bacaan hamdalah, syahadat, selawat, wasiat takwa. Aka permanen yang lainnya adalah berupa doa penutup KJ yang ditujukan kepada seluruh umat Islam. Doa penutup ini berbeda dengan doa penutup pada khotbah pertama. Jadi, dalam KJ terdapat empat Aka permanen, yaitu di awal khotbah pertama, akhir khotbah pertama, awal khotbah kedua, dan penutup khotbah. Aka tidak permanen ini terjadi dalam KJ, khususnya dalam isi khotbah. Peristiwa ini pada umumnya terjadi ketika Kt mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis nabi sebagai bahan atau materi KJ. Hadirnya kutipan ayat suci Alquran dan hadis adalah sebagai penjelas atau penekanan terhadap topik yang dituturkan oleh khotib (Kt). Aka yang bersifat tidak permanen ini tergantung dari sikap Pt atau Kt-nya. Aka dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu intern dan ekstern. Aka intern adalah alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional. Dalam penelitian ini Aka intern yang ada adalah BJ dan BI. BJ digunakan dalam KJ dikarenakan setidaknya oleh tiga hal, yaitu (1) Pt yang semuanya mempunyai latar belakang bahasa ibu BJ, (2) Mt yang sebagian besar adalah berlatar belakang budaya Jawa, dan (3) Lt yang terjadi di Kota Surakarta di mana bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan jemaah adalah BJ. Pada KJ yang diteliti unsur BJ banyak yang muncul. BJ muncul dalam KJ tentunya berkaitan dengan Lt di Pulau Jawa dan Madura yang mempunyai budaya Jawa dominan. Aka ekstern adalah alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing, misalnya BI dengan BIg. Jadi bahasa yang terlibat tidak dalam satu wilayah negara. Aka ekstern ini ini tentunya banyak dipengaruhi oleh Pn itu sendiri. Aka ekstern dalam KJ dapat dipastikan bahasa yang muncul adalah BA. Hal ini dikarenakan faktor tuntutan agama dan ranah terjadinya tuturan. Contoh Aka ekstern ini terlihat jelas pada ayat suci Alquran atau hadis yang dikutip. Aka ekstern terlihat juga dalam wujud Aka permanen yang terjadi di awal khotbah pertama dan kedua serta penutup pada khotbah pertama dan kedua. 4. Penutup Kode atau bahasa yang digunakan dalam KJ adalah (1) BI adalah bahasa yang paling dominan dalam KJ. Hal ini dikarenakan objek penelitian ini adalah KJ di Kota Surakarta yang berbahasa pengantar BI dan bukan bahasa yang lain yaitu BJ, BA, ataupun BIg. (2) BA juga banyak digunakan dalam tuturan KJ. Hal ini tentunya berkaitan dengan keberadaan KJ yang merupakan salah satu ibadah yang ada dalam agama Islam. Jadi, pemakaian BA dalam ibadah adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Hal ini dapat dikarenakan oleh aturan yang ada atau tuntutan situasi. (3) BJ juga banyak ditemukan dalam tuturan KJ. Faktor lokasi tuturan dan latar belakang budaya dan bahasa sangat berpengaruh dalam munculnya BJ ini. Faktor Pn dan Mt juga merupakan faktor penentu dalam pemakaian BJ ini. (4) Adapun untuk bahasa asing, khususnya BIg hanya sedikit muncul dalam tuturan KJ. Pada umumnya munculnya bahasa Inggris ini dipengaruhi oleh faktor Pt.Berkaitan dengan kode dan Ak yang terdapat dalam KJ dapat disimpulkan bahwa kode yang ada dalam KJ berdasarkan jenis bahasa dapat dibagi menjadi BI, BA, BJ, dan BIg. Adapun berdasarkan variasi dalam BI sebagai bahasa pengatar dalam KJ dapat dibagi menjadi bahasa baku dan bahasa nonbaku. Akl yang ada dalam KJ berwujud kata, kata ulang, dan frasa. Bentuk Akl yang ada bersifat ke dalam dan keluar.
514
Adapun latar belakang Akl disebabkan oleh faktor sikap dan faktor kebahasaan. Aka yang ada dalam KJ berwujud permanen dan sementara. Sifat Aka yang dominan Ak ekstern. Adapun faktor penentu Ak adalah Pn, Mt, topik atau pokok pikiran, sekadar bergengsi, dan perubahan situasi. Ada faktor penentu Ak yang khas dalam KJ yaitu faktor ideologi masjid tempat KJ dilaksanakan. Pustaka Acuan Bogdan, C. and Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston Mass: Allyn and Bacon Inc. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Fasold, Ralph. 1993. The Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blackwell. Fishman, J.A. 1997. Sociolinguistics: A Brief Introduction. Machusetts: Nembury House Publisher. Hadisaputra, Widada. 2005. “Gejala Interferensi dalam Bahasa Jawa: Studi Kasus Bentuk Tuturan Khotbah Agama Islam” dalam Jurnal Jala Bahasa Vol 1 Desember 2005. Semarang: Balai Bahasa Semarang, hal. 1-13 Hidayat, Dudung Rahmat. 1999. “Pemakaian Bahasa Indonesia Ragam Lisan oleh Para Khotib di Kotamadya Bandung: Studi Deskriptif Terhadap Ragam dan Fungsi Bahasa”. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. (Tesis) Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Kreidler, Chrales W.. 1998. Introduction English Semantic. London: Routledge. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Lindlof, Thomas R. 1994. Qualitative Communication Research Methods. Thousand Oaks: SAGE Publiser. Ma’ruf, Amir. 1999. “Wacana Khotbah Jumat: Studi Kasus Empat Masjid di Yogyakarta”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. (Tesis). Miles, M., & Huberman, A. (1992). Qualitative data analysis. An extended sourcebook (2nd ed.). London: SAGE Publications. Moeliono, Anton M. (ed.). 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nababan, PWJ. 1987. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Gramedia Poedjosoedarmo, Soepomo. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Naskah Buku. Richards, Jack. John Platt. and Weber, Heidi. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Harlow: Longman. Saddhono, Kundharu. 2005. Etnik Madura: Perspektif Integrasi Linguistis Kultural. Surakarta: Pustaka Cakra. Saddhono, Kundharu. 2005. “Analisis Wacana Khotbah Jumat: Pendekatan Mikro dan Makrostruktural”. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. (Laporan Penelitian) Saddhono, Kundharu. 2011. “Wacana Khotbah Jumat di Kota Surakarta: Sebuah Kajian Sosiopragmatik”. Yogyakarta: Program Doktor Universitas Gadjah Mada Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UNS Press. Sudaryanto. 1995. Linguistik: Identitasnya, Cara Penanganan Obyeknya, dan Hasil Kajiannya. Yoyakarta: Duta Wacana University Press. Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Suwito. 1985. Sosiolinguistik. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
515
Paremia sebagai Refleksi Budaya dalam Bahasa Rusia Ani Rachmat, Ph.D, Universitas Padjajaran
Abstrak Semua orang yang mempelajari bahasa asing tentu mengetahui bahwa idiom adalah bagian yang cukup sulit untuk dipelajari, namun sangat menarik karena idiom merupakan cermin budaya dari penutur bahasa yang kita pelajari. Bahasa Rusia itu sangat idiomatic. Idiom, pepatah, dan peribahasa adalah bagian dari kekayaan bahasa Rusia, yang di dalamnya tercermin budaya dan kehidupan bangsa Rusia. Dalam idiom, pepatah, dan peribahasa terkandung kearifan, mentalitas, dan karakter bangsa Rusia. Makalah ini akan membahas tentang paremia (peribahasa-pepatah-idiom) bahasa Rusia dengan pendukung bahasa Indonesia dalam aspek linguakulturologis. Analisis perbandingan symbol, nilai-nilai dan cultural orientasi yang diekspresikan dalam paremia bahasa Rusia dan Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir muncul ketertarikan peneliti dalam bidang peribahasa dengan kajian linguakulturologis. Linguakulturologi merupakan salah satu pendekatan dalam analisis bahasa yang dibentuk dalam kerangka paradigma antroposentris. Linguakulturologi mempelajari interrelasi dan interaksi bahasa dengan budaya. Linguakulturologi dengan ketertarikannya pada wilayah cultural, yang terwujud dalam bahasa, merupakan alat untuk saling memahami dalam proses komunikasi antarbudaya. Kata kunci: Komunikasi antarbudaya; linguakulturologi; paremia
1. Pendahuluan Bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa sebagai bagian dari budaya menjadi alat untuk menyimpan dan merekam budaya penutur bahasa tersebut. Salah satu bentuk rekaman budaya dalam bahasa adalah paremia. Penulis besar Rusia, M.A. Sholokhov (2003) menulis tentang peribahasa: “Bahasa Rusia yang tepat dan figurative terutama diperkaya oleh peribahasa. Ada ribuan, puluhan ribu peribahasa! Bagai berada dalam sayap, peribahasa beterbangan dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dan tak mempunyai batas, kemana pun arahnya terbang kearifan bersayap itu. Dari masa silam sampai ke masa kini…kegembiraan dan kesengsaraan manusia, tawa dan tangis, cinta dan derita, keyakinanan dan keraguan, kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, kerja keras dan kemalasan …” Bahasa Rusia adalah salah satu bahasa dunia yang paling kaya. Dengan memanfaatkan kekayaan bahasanya, orang Rusia memilih kata yang tepat untuk menyampaikan dengan jelas pikiran dan perasaannya yang paling dalam. Dengan paremia pikiran dan perasaan itu lebih tampak dan tepat sasaran. Sejak akhir abad lalu terjadi perubahan paradigm ilmu pengetahuan dari linguistic sistemis structural ke liguistik kognitif. Perkembangan pendekatan linguistic yang aktif seperti linguakulturologi, linguistic kognitif memberikan keleluasaan bagi para peneliti untuk meneliti fakta-fakta bahasa dan ujaran yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritual bangsa, budayanya, religinya, ideologinya dan kekhasan mentalitasnya (Maslova, 2001:64). Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa memiliki gambaran dunia sendiri-sendiri yang diwujudkan dalam bentuk bahasa. Bahasa memiliki cara khusus dalam memformulasikan pengetahuan manusia tentang dunia. Hasil penalarannya tentang dunia diwujudkan dalam bentuk kata. Keseluruan pengetahuan itu, yang terpahat dalam bentuk bahasa dinamakan dengan berbagai konseptualisasi: “dunia medium lingual”, “representasi dunia secara lingual”, “model lingual dunia”, “gambaran dunia secara lingual”. Dalam makalah ini saya menggunakan konsep “gambaran dunia secara lingual” karena lebih luas pemahamannya.
516
2. Gambaran dunia secara lingual Pengertian gambaran dunia (termasuk di dalamnya gambaran secara lingual) dibangun pada studi tentang pandangan manusia tentang dunia. Jika dunia adalah manusia dan lingkungan dalam interaksinya, maka gambaran dunia adalah hasil pemahaman informasi tentang alam dan manusia. Dengan demikian representasi linguistik kognitif menegaskan bahwa system konseptualisasi kita yang diwujudkan dalam gambaran dunia secara lingual, bergantung pada pengalaman cultural dan fisik secara langsung. Gejala dan benda-benda luar dunia dipersepsikan dalam kesadaran manusia dalam bentuk pencitraan internal. M. Heideger menulis bahwa kata “gambaran” yang kita pikirkan, terutama, adalah tentang refleksi dari sesuatu, “gambaran dunia, hakekat pengertiannya bukanlah gambar yang merefleksikan dunia, tetapi dunia yang dimaknai sebagai gambar”. Antara gambaran dunia sebagai refleksi dunia riil dengan gambaran dunia secara lingual sebagai perwujudannya terdapat hubungan yang kompleks. Gambaran dunia dapat dipersepsikan dengan bantuan parameter ruang (atas-bawah, kanan-kiri, timur-barat, jauh-dekat), waktu (siang-malam, musim dingin-musim panas), hitungan/angka, etika, dan lain-lain. Dalam pembentukannya dipengaruhi oleh bahasa, tradisi, alam, pengasuhan, pendidikan, dan factor-faktor social lainnya. Oleh karena pemahaman manusia atas dunia tidak terlepas dari kesalahan dan kekeliruan, konseptualisasi gambaran dunia lingual secara terus menerus berubah, “digambar ulang”, maka sejak lama gambaran dunia lingual ini menyimpan dan merekam jejak kesalahan dan kekeliruan itu. Gambaran dunia lingual membentuk tipe hubungan manusia dan dunia (alam, binatang, manusia sendiri sebagai elemen dunia). Gambaran ini membentuk norma perilaku manusia di dunia, menentukan hubungannya dengan dunia. Setiap bahasa yang alami merefleksikan cara persepsi tertentu dan organisasi (konseptualisasi) dunia. Dalam gambaran dunia lingual tersimpan satuan system cara pandang, jenis filosofi kolektif yang dimiliki masing-masing penutur bahasa. Dengan demikian, peran bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tapi terutama dalam system di dalamnya terdapat isi informasi. Bahasa muncul sebagai “area makna” (menurut terminology A.N. Leontyev), yakni pengetahuan tentang dunia dikekalkan dalam bahasa, pengalaman cultural diikat dalam komunitas bahasa secara konkret dalam bentuk leksika, gramatika, fraseologi. Menurut Von Humboldt, gambaran dunia, yang dapat menunjukkan pemahaman tentang dunia, terletak pada dasar kesadaran secara individual dan komunitas. Bahasa memenuhi kebutuhan proses kognisi ini. Konseptualisasi gambaran dunia pada tiap orang berbeda-beda, misalnya, dalam representasi waktu, kelompok social yang berbeda, kelompok umur, dan lain-lain orang yang berbicara dalam bahasa yang berlainan, dapat memiliki konseptualisasi gambaran dunia yang hamper mendekati, sedangkan orang yang berbicara dalam satu bahasa, akan berbeda. Dengan demikian, dalam konseptualisasi gambaran dunia berinteraksi komunitas manusia, bangsa, dan personal. 3. Peribahasa sebagai refleksi budaya Mentalitas bangsa timbul sebagai refleksi kebiasaan, sejarah, dan budaya, terutama tampak nyata dalam peribahasa dan pepatah. Peribahasa memberikan penilaian objektif pada suatu gejala pemahaman atas dunia. Dalam peribahasa terungkap pemikiran, cara penilaian, sudut pandang khusus; muncul adanya kebiasaan, jiwa dan karakter, moral dan tradisi, kepercayaan dan ketahyulan (Snegirev, 140). Peribahasa dan pepatah lebih dipandang sebagai ilustrasi cara hidup dan letak geografis, sejarah, tradisi dari suatu kelompok social yang disatukan oleh satu budaya yang sama. Tentang hal itu telah banyak ditulis dalam berbagai karya ilmiah. Spesifikasi nasional dari peribahasa dan pepatah akan lebih jelas tampak dalam perbandingan bahasa yang berbeda. Sebagaimana kita sadari bahwa bangsa Rusia dan Indonesia memiliki perbedaan sejarah, religi, norma, prinsip-prinsip moral dan lain-lain. Dengan demikian perbandingan peribahasa dan pepatah dalam kedua bahasa ini dapat menunjukkan spesifikasi
517
dari karakter kedua bangsa. Dalam makalah ini peribahasa Indonesia ditampilkan sebagai pembanding untuk melihat perbedaan dan persamaan karakter dua bangsa, sehingga dapat terlihat bagian-bagian yang menjadi ciri khas masing-masing. Ketika berbicara tentang karakter bangsa rusia, kita langsung mengasosiasikannya dengan jiwa (dusha), ayng biasanya disertai dengan epitet: misteri/teka-teki. Kemisteriusan Rusia biasa dipersepsi oleh orang asing sebagai sanjungan atau kadang sebagai guyonan. Kata ‘jiwa’ dalam bahasa Rusia lebih luas maknanya dan memainkan peranan yang besar dalam kehidupan spiritual rakyat Rusia. Bagi bangsa Rusia system nilai kehidupan yang utama terletak pada spiritualitas dan jiwa, dan kedua unsur ini mendominasi akal dan pemikiran (TerMinasova, 2000: 150) Peribahasa dan pepatah mengiringi manusia sejak lama. Bentukya yang tepat, ringkas menjadikan peribahasa dan pepatah kokoh, mudah diingat dan dibutuhkan dalam ujaran seharihari. A.N. Afanasyev (1996:15) mengatakan bahwa peribahasa merupakan sumber utama kearifan nenek moyang, penyimpan memori dan alat untuk mentrasfer pengalaman manusia. Sebagai bagian dari budaya, peribahasa dan pepatah selalu actual. Kapan pun akan menunjukkan karakter bagsa pemiliknya, dan menjadi objek penelitian. Dalam aspek linguakulturologi penelitian terhadap peribahasa tersirat bahwa bahasa berfungsi sebagai penyimpan dan alat transfer pengalaman kolektif ekstralingual (Maslova, 2001:108). Analisis linguakulturologis terhadap peribahasa dan pepatah senantiasa berhubungan erat dengan factor-faktor di luar bahasa seperti sejarah, budaya, kebiasaan, dan lain-lain. Peribahasa cukup responsive terhadap semua gejala yang terjadi dalam kehidupan bangsa dan cara pandangnya. Setiap peribahasa dan pepatah memiliki wilayah tematis, yang tidak digunakan dalam ujarannya, meskipun makna konotasinya dapat membuka pemahaman akan gejala tersebut. Berikut ini akan saya paparkan peribahasa yang merefleksikan pandangan orang Rusia tentang keluarga, dan perbandingannya dengan orang Indonesia. Keluarga adalah hal yang sangat dekat dengan kehidupan kita semua, sebagaimana pandangan orang Rusia yang menyatakan bahwa setiap orang haruslah memiliki keluarga, yang dinyatakan dalam peribahasa berikut: Не женат – не человек (lit.tidak beristri – bukan orang); когда нет семьи, так и дома нет (lit. jika tidak ada keluarga, maka rumah pun tidak ada); Земля без воды - мертва, человек без семьи – пустоцвет (lit. tanah tanpa air – gersang, manusia tanpa keluarga – bunga layu); Семья — опора счастья (lit. keluarga – sandaran kebahagiaan). Dalam bahasa Indonesia dikenal ungkapan seperti ini ‘Harta yang paling berharga adalah keluarga’. Dalam masyarakat Rusia, kepala keluarga adalah suami: Муж есть глава, а жена – подножье (lit. suami adalah kepala, istri adalah kaki); Муж глава, жена – душа (lit. suami kepala, istri jiwa). Meskipun dalam pemahaman kita orang Indonesia juga menganut paham yang sama, namun dalam peribahasa tidak muncul ungkapan semacm itu. Dalam peribahasa malah muncul karakter suami yang tidak positif seperti: terlindung oleh sanggul; Berbenak ke empu kaki. ‘menurut saja kata istri, baik buruk tiada peduli’. Pandangan kedua bangsa terhadap keluarga yang baik dan keluarga yang buruk digambarkan dalam peribahasa sebagai berikut: Bagi bangsa Rusia ukuran standard keluarga yang baik adalah yang hidup rukun dalam kasih saying: Где мир да лад, там и божья благодать (lit. dimana dunia baik, di sana berkah Tuhan); Где любовь да совет, там и рай, там и свет (lit. dimana ada kasih saying dan nasehat, di sana ada surge, di sana ada cahaya). Keluarga yang baik memenuhi kenyamanan secara spiritual: Семья – печка: как холодно – все к ней собираются (lit.keluarga – tungku: ketika dingin semua mendekat ke arahnya); В семье и смерть добро, на чужбине и жизнь худо (lit. dalam keluarga kematianpun baik, di tempat orang lain kehidupan pun buruk); В семье и смерть красна (lit. dalam keluarga kematian pun indah); Вся семья вместе, так и душа на месте (lit. semua keluarga bersama, maka jiwa berada di tempatnya); В родной семье и каша гуще (lit. di dalam keluarga terkasih buburpun lebih kental); В семье и каша лучше естся (lit. di dalam keluarga buburpun lebih enak dimakan). Begitu pula dengan bangsa
518
Indonesia, keluarga yang baik digambarkan sebagai : aur dan tebing; air dicencang tiada putus; air dengan air, kelak menjadi satu, sampah itu ke tepi juga. Keluarga yang baik selalu berusaha mendapatkan kebahagiaan: mengayuh biduk menuju pulau harapan; mendayung bahtera keluarga menuju pantai cita-cita. Tentang orang yang berasal dari keturunan/keluarga baik digambarkan dengan peribahasa ‘jika benih yang baik, jatuh ke laut menjadi pulau’. Keluarga yang buruk adalah yang tidak saling menghormati satu sama lain, tidak rukun: В семье разлад, так и дому не рад (lit. di dalam keluarga berselisih, maka di rumah tak ada kegembiraan); Все в семье спят, а невестке молотить велят (lit. semua orang tertidur, tetapi menantu perempuan harus menumbuk). Dalam bahasa Indonesia: air besar batu bersibak; memagar diri bagai aur ‘hanya mementingkan diri/keluarga sendiri’; mencampakkan batu ke luar ‘membantu orang lain, tetapi kelurga sendiri terbengkalai; memancing dalam belanga ‘mencari keuntungan dari keluarga sendiri’. Dalam bahasa Rusia dan Indonesia ada peribahasa yang hamper berdekatan maknanya namun komponen pembentuknya berbeda: выносить сор из избы dan menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri atau mengembang ketiak amis. Kedua peribahasa ini memiliki arti tidak boleh membuka aib keluarga sendiri. 4. Simpulan Kebudayaan manusia, perilaku social, dan pemikirannya, sebagaimana diketahui, tidak mungkin ada tanpa bahasa dan hal-hal di luar bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak mungkin tidak meninggalkan jejak kekhasan ideology, etiket, dan nilai-nilai cultural penuturnya, juga norma-norma perilaku, yang menandai komunitas pemakainya. Setiap budaya suatu bangsa merupakan hasil dari adanya aktivitas mental. Semua itu dapat ditemukan dalam refleksi leksikon bahasanya, termasuk di dalamnya adalah peribahasa dan pepatah. Rusia dan Indonesia secara geografis sangat berjauhan dan rumpun bahasanyapun berlainan, tetapi memiliki kesamaan pandangan dan pemikiran dalam mengungkapkan konsep keluarga, di samping adanya perbedaan. Bagi bangsa Rusia yang berada di bumi utara dengan iklim yang dingin, keluarga diibaratkan dengan tungku yang memberikan kehangatan (Семья – печка: как холодно – все к ней собираются), sedangkan bagi bangsa Indonesia yang berada pada iklim tropis/panas keluarga diibaratkan dengan air yang memberikan kesejukan. Pustaka Acuan Afanasyev, A.N. 1996. Proiskhozhdenie mifa. Moskwa: Vysshaya shkola. Badudu, J.S. 2008. Kamus Peribahasa. Jakarta: Kompas. Chaniago, Nur Arifin dan Bagas Pratama, 2007. 770 Peribahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. Khrolenko, I.M. 2004. Osnovy lingvokulturologii. Moskwa: Flinta Nauka. Maslova, V.L. 2001. Lingvokulturologija. Moskwa: Izdatelskiy tcentr “Akademia”. Sholokhov, M.A. 2003. Sokrovisynitsa narodnoi mudrosti. Dalam Kruglova, Ju.G. (ed) Russkoe ustnoe narodnoe tvorchestvo. Khrestomatija po folkloristike. Moskwa: Vysshaya shkola, 167-177 Snegiryev, I.M. 2003. Obozrenie poslovits. Dalam Kruglova, Ju.G. (ed) Russkoe ustnoe narodnoe tvorchestvo. Khrestomatija po folkloristike. Moskwa: Vysshaya shkola,133140 Ter-Minasova, S.G. 2000. Jazyk i mezhkulturnaja kommunikatsija. Moskwa: Slovo.
519
Dialektika Bahasa Kekalahan Manusia Jawa dalam Novel Indonesia Silmi Rozida, Universitas Gadjah Mada
Abstrak Penjajahan secara fisik dimulai sejak berdirinya kerajan-kerajaan di Nusantara, kemudian berakhir dengan ditandai kemerdekaan. manifestasi kekalahan manusia Jawa tidak lagi berwujud fisik namun kekalahan batiniah. Novel sebagai hasil ekspresi pengarang dengan homologi imajiner dan kenyataan menyampaikan kekalahan tersebut. Novel Arus Balik (1995) merupakan wujud dari perang dan kekalahan secara fisik, sedangkan Pasar (1994) merupakan wujud kekalahan secara batiniah. Dengan menggunakan teori strukturalisme Lucien Goldmann, melalui ekspresi dan homologi, akan dicari makna totalitas tentang kekalahan manusia Jawa. Kata Kunci : Homologi; Ekspresi; Kekalahan;Novel Indonesia
1. Bahasa, Homologi, dan Ekpresi Dalam memahami sebuah karya sastra tidak melepaskan aspek kebahasaan, karena dalam memahami sebuah karya sastra, memerlukan sebuah pengetahuan tentang satuan linguistik. Bahasa adalah bahan mentah sastrawan dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu (Wellek dan Warren,1995:217). Hal inilah yang menjadi dasar adanya keterhubungan antara linguistik dengan dispilin ilmu sastra. dalam membaca sebuah genre sastra, terutama novel diperlukan sebuah kemampuan membaca dalam hal interpretasi. Barthes, pernah berargumen dalam (Culler, 1983:50) bahwa sebuah penggunaan teori bahasa, semata-mata hanya untuk mengeksporasi struktur karya. Barthes mencoba memainkan struktur karya menggunakan makna denotatumnya. Karya sastra sebagai representasi situasi kenyataan1, sesuai dengan pernyataan Abrams, bahwa keterkaitan kenyataan dan karya seni biasanya menjadi penekanan sosiologi sastra. sebuah karya bisa saja merepresentasikan sebuah kenyataan, karena dalam sebuah karya sastra memiliki kemiripan struktur dengan kenyataan. Novel merupakan salah satu genre sastra yang juga memuat tentang kenyataan dan imajiner. misalnya saja dalam novel-novel sejarah, memuat tentang kisah-kisah yang dimulai dari sejarah. Akan tetapi didalammnya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah fakta, namun disebut sebagai fakta yang imajiner. Dalam penelitian ini akan membahas bagamaiana kekalahan manusia jawa yang drepresentasikan pada sebuah novel Indonesia. Pada tahun 65-an kita mengenal Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang sastrawan yang menghasilkan banyak karya yang berkaitan dengan sejarah dan Jawa. Diantaranya karya-karyanya adalah Tetralogi Pulau Buru , Arus Balik (1995), dan Larasati (2000). Tidak hanya Pram, pada tahun 80-an kita mengenal Kuntowijoyo sebagai sejarawan sekaligus sastrawan juga pernah menulis tentang sejarah dan kultur Jawa. Untuk itu dalam penelitian ini akan menggunakan dua objek matrial yakni novel Pasar (1994) dan novel Arus Balik (1995). Karena dalam kedua novel ini meskipun memiliki kurun waktu pembuatan yang tidak sama namun keduanya memiliki keterhubungan. Keterhubungan tersebut adalah pertama, novel Arus Balik merupakan representasi sejarah masyarakat jawa pada zaman Majapahit, kedua, novel yang bersetting majapahit ini merupakan gambaran peperangan fisik antara jawa dengan feodalis jawa. Ketiga, novel Pasar (1994) merupakan novel yang ditulis oleh kuntowi yang mana tokoh utamanya merepresentasikan seorang jawa semi modern yang menggunakan falsafah jawanya sebagai pedoman hidup. Keempat, kedua novel ini merupakan ketersambungan bentuk manusia jawa pra-pasca kekalahan fisik maupun batiniah. 1
M.H. Abrams, 1971. The Mirors an The Lamp. (hlm.31). “Arts is like a mirror.. for facts are facta, things made as much as things found, and made in part by analogies through wich we look at the world as trough the lens” (keterkaitan kenyataan dan karya seni biasanya menjadi penekanan dari sosiologi sastra)
520
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menunjukkan bagaimana dialektika kekalahan tersebut dengan menggunakan teori strukturalisme genetik, Lucien Goldmann. alasan mengambil teori ini adalah pertama, untuk mengetahui bagaiamana homologi dan ekspresi dalam karya sastra. kedua, dialam homologi merupakan keterhubungan antara struktur karya dengan struktur masyarakat, yang mana merupakan hasil ekpresi pengarang (pandangan dunia). Ketiga, dalam teori genesis secara etimologis diartikan sebagai penelusuran sasal-usul kelahiran karya , akan tetapi lebih dari itu genesis berkaitan juga dengan proses aktivitas kemanusiaan (human behavior) yang pada hakikatnya selalu berusaha melakukan pemberian makna sabagai respon terhadap situasi sosial (Attempt od meaningful response). keempat, setelah mengetahui homologi (struktur teks dan struktur sosial), ekspresi (pandangan dunia) pengarang, merupakan bahan untuk membangun sebuah aksidensial novel Arus Balik (1995) dan Pasar (1994). Strukturalisme genetik merupakan sebuah penolakan terhadap strukturalisme yang hanya memfokuskan pada unsur intrinsic karya sastra. pada strukturalisme genetik mengaitkan relevansi struktur karya sastra dengan struktur yang lebih luas. Faruk berpendapat, strukturalisme genetik dapat diartikan sebagai analisis struktural dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul (Faruk, 2012:110). Goldmann memang secara tidak langsung menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya. Melainkannyaterlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Dengan hubungan inilah dapat dikatakan bahwa Goldmann mendasarkan pada teori Marxis. Akan tetapi tidak secara an sich karena Marxs sendiri menolak struktur, sedangkan Goldmann masih mempertahankannya. Marx menggunkan metode positivistik sedangkan Goldmann menggunakan metode Dialektik (Goldmann, 1981:13, dan Faruk. 1994: 19)2. 2. Relasi Hero dengan Tokoh Lain Pada novel Arus Balik, tokoh utama bernama Wiranggaleng. tokoh ini dimunculkan sebagai tokoh utama yang memiliki karakter protagonis. Secara garis besar relasi dengan tokohtokoh lain. Pertama, relasi sebagai Murid-Guru, relasi sebagai pasangan (laki-laki dan Perempuan), relasi kelas (feodalis dengan petani). Dari relasi tersebut, hubungan antara hero dan tokoh lainnya adalah sebagai berikut : Relasi antra murid dengan guru diwakili tokoh Rama Cluring sebagai guru dari Galeng (Wiranggaleng). Hal ini lah yang kemudian mengantarkan Galeng sorang yang berasal dari kelas bawah menjadi Adipati. Banyak pengetahuan yang dia dapat dari gurunya itu. Sekalipun ia dilingkari priapria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, ingatannya tak juga mau lepas dari Rama Cluring dansegala akibat yang mungkin timbul (Pramoedya, 1995:159). Relasi laki-laki dan perempuan diwakili oleh Ida ayu dengan Wiranggaleng. Keduanya merupakan sepasang suami istri. Diceritakan dalam novel bahwa keduanya bertemu dan saling jatuh cinta dan dinikahkan oleh Rama Cluring selaku guru dari Galeng. Kemudian Relasi Feodalis dengan Petani terwakili oleh Wiranggaleng-dengan para raja-raja kecil dan portugis. Sedangkan dalam novel Pasar (1994) terdapat hubungan antara hero dengan tokoh lain, teridentifikasi sebagai berikut yakni relasi Majikan-Buruh yang terwakili oleh Pak mantri dengan Paijo, hubungan majian dan buruh ini sebenarnya terjadi karena Paijo lebih muda dari pak mantri, namun Paijo yang seharusnya bertugas sebagai keamanan merangkap menjadi asisten Pak Mantri, kemudian relasi laki-laki dengan perenpuan, terwakili oleh Pak Mantri dengan Zaitun, Pak Mantri yang menjabat sebagai mantri pasar sedangkan Zaitun adalah pegawai bank pasar, walaupun didalamnya mereka berdua adalah seorang sahabat, namun Pak Mantri menaruh hati dengan Zaitun, reelasi tokoh Superior-Inferior, Kasan Ngali dengan Pak
2
Metode dialektik melihat karya sastra dan struktur sosial memiliki hubungan dua arah atau bolak-balik yang dapat saling menentukan. Sedangkan metode positivistic (sebagai paradigma terdahulu) melihatnya hanya hubungan satu arah yaitu keberadaan karya sastra yang ditentukan oleh struktur sosial. metode positivistic mempertimbangkan koherensi struktural.
521
Mantri, pak mantri sebagai tokoh yang teidentifikasi inferior terhadap kedatangan Kasan Ngali yang difigurkan sebagai tokoh yang licik. 3. Relasi Hero dengan Ruang Relasi tokoh dengan dunianya, menurut Goldmann ruang memiliki koherensi struktural, tidak hanya dijadikan sebagai latar kejadian namun sebagai ruang konseptual. Pada novel Arus Balik (1995), Ruang berada di sebuah kerajaan Majapahit yang memiliki kekuasaan darat dan laut. Kemudian terpecah akbat perang antar kerajaan serta kedatangan Portugis. Ruang konsep tual terdapat pada sebuah pertarungan perebutan kekuasaan antara penjajah dan yang dijajah. Kemudian pada novel Pasar (1994), berada di tataran sosial masyarakat kecamatan yang hidup di lingkup sebuah Pasar. Ruang konseptualnya adalah terjadinya pertentangan antara nilai-nilai tradisional dengan modern. 4. Relasi Hero dengan Dunianya Pada relasi ini, terdapat dua yakni waktu dan situasi sosial. pada novel Arus Balik (1995) waktu berada pada sekitar abad 16-an dengan bersetting sejarah. Sedangkan pada Pasar (1994) berada pada masa kekinian, sekitar abad 20-an. Kondisi sosial pada saat abad-16-an masih berada pada kondisi perebutan kekuasaan dan peperangan. Sedangkan dalam 20-an peperangan secara fisik sudah selesai (kondisi merdeka dari penjajahan), akan tetapi kondisi sosial yang terjadi dalam novel tersebut banyak mewacanakan tentang pertarungan mental yakni watak tradisional dengan dunia yang sudah modern. 5. Kelahiran Novel pada Tahun 1990-an Pada saat karya-karya tersebut diciptakan, struktur masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah proses dimana pemerintahan di kuasai pemimpin yang otoriter, serta berkembangnya borjuasi-borjuasi baru. Pada massa Orde Baru muncul, kepemimpinan ala priyai yang digunakan. Bahkan setiap pejabat mendapatkan tempat istimewa, bahkan pejabat sekelas kecamatan. Selain pejabat atau masyarakat sipil dianggap sebagai golongan biasa. Presiden Soeharto sebagai seorang Jawa dari kalangan priyai baru. masih memakai falsafah-falsafah jawa. Misalnya saja Suharto banyak belajar tentang falsafah jawa dari pamannya yang juga seorang Mantri, yakniu tentang ungkapan “Ojo Dumeh danWaspada”3. Setelah runtuhnya zaman revolusi di era Soekarno yang pada massa itu juga memiliki banyak polemik sendiri, yakni masyarakat juga dihadapkan dengan fenomena pemberontakan dan berkembangnya kelompok-kelompok kiri, serta hal ini lah yang membuat Suharto naik menjadi presiden. Akan tetapi pada masa kepemimpinan Orde Baru yang berlandaskan pada UUD 45 yang merupakan koreksi dariu UUD parlemen, juga merupakan taktik untuk menutupi kebohongan pemerintahannya. Begitu juga yang terdapat dalam novel PASAR, Kuntowi menggambarkan sosok kekalahan pada Pak Mantri dengan rasionalisasi falsafah jawa untuk menutupi kekalahan batinnya. Saat situasi sosial seperti itu, dimana situasi politik di negara pada waktu sebelum 1990-an dan sampai dimana 1990-an ke atas merupakan tahun dimana novel ini di lahrikan. Seorang pengarang memiliki posisi kelas sosial yang memiliki suara untuk menyuarakan ketidak adilan. Namun pada pertengahan tahuin 1990-an kekuasaan tertinggi dipegang oleh militer. Dan hal inilah yang mengantarkan Pram di penjara kembali setelah dipenjara pada masa orde lama, pada saat orde baru mulai di penjara kembali. Namun berbeda dengan Kuntowijoyo saat menerbitkan karyanya. Namun dua fenomena pengarang yang membuat tokoh-tokoh imajiner (tokoh yang tidak nyata) sebagai homologi dari kenyataan. Sifat inilah oleh Faruk dalam Metodologi sastra dikatakan sebagai sifat yang mendua, dimana pengarang “dongeng yang nyata”: nyata tapi dongeng, dongeng tapi nyata4.
3 4
Merdeka.com//Falsafah hidup Suharto. Faruk. Ibid 171.
522
5. Humanisme sebagai Pandangan Dunia Pengarang Novel Arus Balik (1995) dan Pasar (1994) Pandangan dunia adalah sebuah pengalaman subjek-subjek dimana Goldmann mengatakan pandangan dunia berkembang sebagai hasil situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977:18:1981:112). Seorang pengarang mberinteraksi langsung dengan kondisi sosial yang membuat mereka kemudian mengekspresikannya pada sebuah karya sastra. dalam Pramoedya Ananta Toer pernah mengalami sebuah pergolakan pada zaman rezim Soekarno dan Soeharto. Pada tahun 1940-an Pram pernah ditangkap dan dibenjara oleh Belanda di Jakarta, kemudian Pram lepas dari tahanan Belanda pergi ke Belanda untuk pertukaran, setalah dari Belanda Pram kembali bergabung dengan Lekra. hingga pergantian rezim Soeharto naik, Pram kembali dipenjara karena karya-karya nya yang diangnggap mengganggu kestabilan negara. Pram banyak menuliskan karya yang berupa sebuah kritik sosial. Pada masa Soeharto karya-karya Pram banyak di bredel dan dilarang dipublikasikan5. Hingga pada akhirnya setelah era reformasi membumbung tinggi dan diamana-mana menyuarakannya, karya-karya Pram dapat dinikmati oleh khalayak. Situasi dan kondisi yang pernah dialami Pram adalah kondisi sosial yang ‘bertentangan’, dimana pada saat rezim sukarno atau pada waktu Belanda masih memiliki kuasa di Indonesia, ada hal yang tidak bisa diterima oleh Pram tentang pendudukan Belanda di negaranya. Hal inilah yang kemudian masih disangkan tentang kemerdekaan yang belum selesai. Kemudian pada saat rezim Soehartao berkuasa, militerisme lah yang berkuasa. Kondisi seperti ini lah yang kemudian membuat seorang sastrawan seperti Pram menangkap fenoma pada zaman Sueharto berkuasa membuatnya menuliskan dalam sebuah karya sastra. Berbeda lagi dengan Kuntowijoyo sebagai seorang pengarang. Kuntowi memiliki latar belakang dan zaman yang berbeda dengan Pram. Kunto dikenal sebagai seorang akademisi dan juga seorang pengarang, karya-karyanya tidak hanya sebuah karya tulis ilmiah saja, namun juga karya satra yang memiliki nama besar di antara karya sastra besar di Indonesia. dalam gaya penulisannya Kunto berhadapan dengan dunia-dunia sosial yang kemudian di tuliskan dalam sebuah novel, cerpen, ataupun derama. Dalam novel Pasar misalnya, dalam penelitian Jabrohim menyatakan bahwa kunto menuliskan novel Pasar atas dasar sebuah kritik terhadap kaum priyai. Dan tidak hanya itu juga Jabrohim mengatakan bahwa Kunto menceritakan “masyarakat kecamatan” yang hidup dalam sebuah lingkungan Pasar dengan masalah yang dikejewantahkan oleh tokoh-tokoh di dalamnya6. Bagaimana dengan karya Arus Balik? Sebuah karya besar yang pernah di tulis oleh Pram pada saat di Pulau Buru. Novel ini juga yang kemudian mengantarkan Pram pada sebuah penghargaan Ramon Magsasay. Dalam sebuh Manila Press mengulas tentang Pramoedya dengan karya-karyanya, dan alasan kenapa karya-karya menjadi fenomenal dan mendapatkan penghargaan tersebut. Novel-novel Pramoedya tidak bersifat politik dalam artian sempit. Kisahkisahnya mengembara pada tema-tema kemanusiaan dan keadilan sosial. aspirasi tokohtokohnya berhadapan dengan kejahatan historis kekuasaan asing, feodalisme pribumi maupun akibat-akibat keadaan perang, kemiskinan dan kekacauan. Kisah-kisahnya bergelimang dengan kekuatan-kekuatan jahat yang dominan itu dan juga ketika menghadapi kondisi-kondisi yang ekstrem7. Dalam kutipan Ramon Magsaysay Foundation tersebut Pram terbukti sebagai pengarang yang idealistik. Seorang pengarang besar yang mengabdikan karya-karyanya dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusian. Tidak heran kenapa dalam karya Pram sebelumnya misalnya saja dalam Bumi Manusia, pram menggunakan tokoh Nyai Ontosoroh seorang gunding belanda, kemudian karyanya yang berjudul Larasati (2000) mengambil tokoh seorang
5
Merdeka.com//http://profil.merdeka.com/indonesia/p/pramoedya-ananta-toer/ Jabrohim. Dalam buku Wan Anwar. Kuntowijoyo : Dunia dan Karya-karyanya. 7 Ramon Masaysay Award Foundation. Press Release. Manila, 19 juli 1995 6
523
pelacur, dan pada novel Arus Balik (1995), Pramoedya mengambil tokoh yang bernama Wiranggelang yang lahir dari desa sebagai keluarga petani. Pram terlahir dari keluarga menengah atau kaum priyai. Ayahnya seorang guru, ibunya seorang penjual nasi. Seorang Pram muda memiliki pengalaman yang cukup banyak bergaul dengan anak-anak buruh tani dan anak-anak kelas rendah lainnya8. Dari situlah pandangan dunia Pramoedya mulai terbentuk. Pertama, Pram muda banyak menghabiskan bergaul dengan kelas bawah, dan kedua, Pram dewasa selain pernah berjuang untuk negara pada saat penjajahan melawan Belanda, dan ketika 1945 merdeka Pram ikut pelatihan militer, Pram juga berjuang untuk keluarganya saat nasib keluarganya mulai bangkrut secara ekonomi, Pram memulai menjadi tulang punggung dengan berjualan rokok dan benang tenung. Dengan mengambil tokoh-tokoh yang bersal dari beckground kelas bawah, kelas yang dianggap hina dan rendahan, Pram memiliki pandangan dunia humanisme universal. Merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa keadilan dan kemanusiaan adalah suatu yang tertinggi. Jika dalam novel Arsu Balik, Pram dengan pandangan dunianya memiliki pengalaman masalalu Pram diwarnai oleh gejolak sosial, tentang memperjuangkan kemanusiaan, keadilan, serta pengalamannya mendapatkan ketidak adilan pada waktu karya-karyanya tidak boleh beredar dengan alasan mengganggu keamanan negara. Berbeda dengan novel Kunto, kuntowijoyo hidup dalam lingkungan kelas sosial menengah, Kunto adalah seorang sejarahwan yang juga memiliki bakat dalam nenulis karya-karya sastra, Kunto juga hidup dalam zaman yang berbeda dengan Pram tentunya, Pramoedya hidup dalam pra revolusi sampai pasca orde baru, sedangkan Kuntowijoyo hidup ditengah-tengah pasca revolusi. Kunto dilahirkan di lingkungan muslmim muhamadiyah dan seni. Ayahnya seorang muhamadiyah yang taat dan suka mendalang. Kuntowijoyo memiliki banyak berbagai julukan, selain dia seorang sejarawan, Kunto juga seorang aktivis dan mendapatkan julukan khatib karena sering memberikan ceramah di Masjid. Dari beberapa karya-karyanya memang identik dengan kritik sosial. sebuah kritik yang ditujukan untuk kelas sosial. berbeda dengan Pramoedya yang hidup ditengah-tengah masyarakat kelas bawah sehingga menjadikan tokoh-tokoh fiksinya juga berasal dari kelas bawah. Kuntowijoyo juga mendapati kelas-kelas bawah menengah, namun Kuntowi cenderung menghadirkan kritik terhadap kelas priyai, serta kritiknya terhadap pandangan profetik. Dalam mantra penjinak ular misalnya Kuntowijoyo lebih menunjukan bagaimana gejolak tokohnya dalam memutuskan untuk memilih berfikir percaya dengan mitos atau percaya dengan realitas. Tidak hanya itu juga dalam Novel Pasar juga menunjukan bagaimana manusia Jawa yang tradisional dipertentangkan. Dari kedua novel tersebut juga dibumbui oleh masalah dan saran keagamaan. terbukti bahwa Kuntowijoyo sangat religious. Pandangan dunia yang dimiliki oleh Kuntowijoyo adalah Humanisme-religisus. Yakni kemanusiaan yang dilandaskan pada sebuah ketuhanan. Religiusitas yang terbangun didalamnya adalah mengakui mengakui adanya Tuhan, tetapi Tuhan lebih mengakui adanya kebebasan manusia9. 6. Aksidensi Kekalahan dalam Novel Pasar (1994) dengan Arus Balik (1995) Setelah mengetahui bagaimana masing-masing struktur karya sastra yakni struktur novel Arus Bali (1995) dengan struktutur novel Pasar (1994), maka dalam hal ini keduanya memiliki kesamaan struktur. Yakni dalam novel Arus Balik (1995), ketika arus berbalik “Tunggu” tegah Wiranggelang, “biar aku ceritakan kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut besar diantara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. (Pram, 1995:1175) Kerinduan akan kerajaan laut yang megah pada novel tersebut menunjukan sebuah kemegahan yang kemudian hilang. Dalam novel Pram ini memiliki ketersambungan dengan novel Kuntowi. 8
Jendela Sastra.___ http://www.jendelasastra.com/wawasan/pokok-dan-tokoh/biografi-singkatpramoedya-ananta-toer 7/3/2014 1:35AM 9 Faruk.2012. Metode Penelitian sastra. (hlm.171)
524
“Ia terduduk. Merenungi nasibnya. Penyabar yang baik pun akan bangkit marahnya mengalami peristiwa itu. Diingat-ingatnya, obat apa yang baik untuk menghilangkan sakit hati? Laki-laki, lebih-lebih laki-laki tua, adalah laut. Segala dendam, marah, umpatan bisa dilemparkan kepadanya tanpa mengotorkan hatinya. Aih, dia teringat masa yang jauh itu. Masa kecilnya. Masa mudanya, masa dewasanya. Dan kenangan-kenangan... Jauh sebelum gadis itu memarahimu, engkau adalah, engkau adalah, engkau adalah...” (Pasar, hal. 107108). Kesadaran Kuntowi atas pergerakan budaya jawa dari masa ke masa membuat tokoh utamanya mengalami sebuah angan-anagan kembali ke masa lalu. Seperti halnya Galeng yang merindukan Laut. Dimana tokoh utamanya sama-sama merasakan kekalahan menyakitkan walaupun keduanya memiliki latar yang berbeda yakni dalam pesisir dan dan berada dalam masa jawa yang semi moderen. Kemudian berikutnya adalah ketika Galeng, sering diceritakan oleh Cluring tentang kemegahan-kemegahan Nusantra pada masa itu, itulah yang membuatnya menjadi tokoh dari kalangan kelas jelata yang memiliki “pengetahuan”. Pengetahuan disini adalah seperti orang yang terpelajar. Cerita dari Rama Cluring inilah yang kemudian membuatnya menjadi biasa dengan geografis maritim. Sehingga pada bab novel Arus Balik dia dapat memenangkan kembali. Dan pada novel Pasar, istilah terpelajar juga digunakannya. “Kalau Engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab seorang pun —kecuali Kasan Ngali, tentu— yang mengaku orang Jawa tidak memujinya.” (Pasar, hal. 1). Aksidensi terdapat dalam kedua novel bahwasannya terpelajar merupakan suatu cara mendapatkan pengetahuan. Dalam novel Pasar, mantri ini selalu menggunakan kata-kata bijak atau petuah-petuah sebagai rasionalisasi dari ketidakmampuan atau kemenyerahan dirinya dalam menghadapi dunia luar yang keras. Untuk itu, aksidensi ini mewacanakan, bahwasanya Arus Balik menampilkan sebuah dialektika dimana pada saat itu pertarungan kelas, penajajahan feodalis jawa dengan kelas rendahan, yang termanifestasikan tokoh galeng yang melakukan perlawanan, disini jawa digambarkan sedang bertempur dan sempat mengalami kekalahan. Sedangkan dalam Pasar Jawa digambarkan dalam wujud Pak Mantri yang memiliki sifat keras, menggunakan banyak petuah dari falsafah jawa, sehingga menunjukan kontra diksi (Kuntowi,1994:50) tentang ungkapan Rangga Warsita yang menyatakan akar rumput. Kelahan itu kemudian di manifestasikan terhadap pelarian diri Pak Mantri sebagai jawa dengan falsafah kejawaannya. Daftar Pustaka Abrams, M.H.1971. The Mirror and the Lamp Romantic Theory and The Crritical Tradition. Oxford: Oxford Univesity Press Anwar, Wan.2007. Kuntowijoyo Karya Dan Dunianya.Jakarta : Grasindo. Culler, Jonathan. 1983. Roland Barthes (A Very Short Introduction). Oxford : Oxfor University Press Faruk.2012. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai PostModernisme.Yogyakarta: Pustaka Pelajar _____.1994. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka1920-1942. Disertasi. Yogyakarta: UGM Goldmann, Lucien, 1970. The Sociology of Literature: Status and Problems of Method, dalam Militon C. Albrecht cs (ed). The Socology of Art and Literature. New York: Praeger. ___________1977, The Hidden God. London: Routledge and Kegan Paul. Kuntowijoyo. 1994. Pasar. Yogyakarta : Bentang Swingewood. 1972. “The Sociology of Literature” London: Granada Toer, Pramoedya Ananta.1995. Arus Balik. Jakarta : Hasta Mitra Wellek, Renne, dan , Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka. www.Merdeka.com www.Jendelasastra.com
525
Pengaruh Bahasa Jepang di Masyarakat Indonesia (Kasus di Kota Bandung) Nani Sunarni, Universitas Padjadjaran Bandung
Abstrak Berdasarkan hasil survey The Japan Foundation diketahui bahwa jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia berada dalam urutan kedua dan Jawa Barat menduduki peringkat terbanyak pembelajar bahasa Jepang. Setiap tahun lembaga yang melaksanakan pendidikan bahasa Jepang semakin bertambah dengan jumlah peminat yang semakin bertambah pula. Pengaruh banyaknya pembelajar ini tidak hanya terjadi di lingkungan internal kampus tetapi terjadi pula di lingkungan eksternal yaitu di luar kampus. Secara di lingkungan internal maupun lingkungan eksternal pengaruh pendidikan bahasa Jepang menyebabkan terbentuknya komunitas pencinta budaya Jepang. Bahkan di lingkungan eksternal berpengaruh pada dunia kuliner sehingga banyak kata atau frasa dalam dunia kuliner yang mengalami sentuh bahasa, yaitu sentuh bahasa antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang dengan bahasa Daerah. Kata kunci : bahasa Jepang, sentuh bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Daerah
1. Pendahuluan Pada tahun 1958 di Indonesia tepatnya di kota Bandung pertama kali berdiri sebuah lembaga bernama Nihon Bunka Gakuin. Lembaga ini merupakan lembaga swasta yang didirikan oleh para pelajar yang kembali setelah belajar di Jepang. Lembaga ini berdiri sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan terkait hubungan atau persahabatan antara Indonesia dan Jepang. Selain itu di lembaga ini pun diselenggarakan kursus bahasa Jepang. Setelah itu tahun 1963 Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran membuka jurusan bahasa dan Sastra Jepang dan tahun 1964 disusul oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) membuka jurusan pendidikan bahasa Jepang. Di tahun yang sama berdiri Akademi Bahasa Asing Jakarta, dan tahun 1967 Universitas Indonesia pun membuka jurusan bahasa Jepang. untuk memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan budaya Jepang. Berdasarkan terjemahan dari 学 習 目 的 (http://www.jpf.go.jp/j/japanese/survey/ country/2009/indonesia.html) tujuan pembelajar bahasa Jepang yaitu untuk memperoleh pengetahuan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, masyarakat Jepang, memperoleh pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi Jepang, persiapan mengikuti tes sertifikasi dan kelulusan di Perguruan Tinggi, untuk studi ke Jepang, untuk keperluan Bahasa Jepang di tempat kerja, untuk persiapan kerja masa yang akan datang, untuk wisata di Jepang, untuk menjalin persaudaraan dan persahabatan dengan Jepang (kunjungan singkat, atau diakui oleh orang Jepang), untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa Jepang, untuk tidak melupakan bahasa Jepang karena sebagai bahasa Ibu atau bahasa orang tuanya, berminat pada bahasa Jepang sebagai kajian ilmu kebahasaan, sebagai alat untuk pergaulan pemahaman budaya internasional, untuk memenuhi keinginan orang tua, dan tujuan lainnya. Jurusan bahasa dan sastra Jepang Universitas Padjadjaran sebagai lembaga formal yang pertama kali berdiri di Indonesia melahirkan lulusan-lulusan yang menyelenggaran pendidikan bahasa Jepang di berbagai daerah. Setiap tahun lembaga yang menyelenggarakan bahasa Jepang baik secara formal maupun nonformal semakin bertambah. Oleh karena itu, Indonesia berada di peringkat kedua jumlah terbesar yang mempelajari bahasa Jepang. Kota Bandung sebagai pusat awal diselenggarakannya pendidikan bahasa Jepang tidak dapat disangkal dengan pemahaman bahasa sebagai salah satu unsur budaya maka budaya Jepang lainnya pun turut masuk. Tidak sedikit komunitas pencinta Jepang bermunculan di kota ini. Bahkan terbentuk kota sahabat (shimai toshi) antara Bandung dan kota di Jepang serta kerjasama lain. Akhir-akhir ini pun dunia kuliner Jepang bermunculan di kota Bandung. Oleh karena itu, makalah ini menjelaskan pengaruh pendidikan bahasa Jepang terhadap masyarakat di kota Bandung.
526
2. Fokus Penelitian Fokus penelitian dalam makalah ini yaitu pengaruh bahasa Jepang terhadap masyarakat Indonesia khususnya di kota Bandung. Pengaruh ini terbagi menjadi dua, yaitu pengaruh di kampus secara internal dan pengaruh di luar kampus secara eksternal. Dalam penelitian ini pertama diperikan bentuk kebahasaan yang terwujud karena sentuh antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang serta dalam ranah-ranahnya. Kedua pengaruh bahasa Jepang terhadap masyarakat kota Bandung. 3. Perkembangan Pendidikan Bahasa Jepang di Kota Bandung Dalam Jakarta Shimbun dijelaskan bahwa berdasarkan survey Japan Foundation (JF) jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia berada dalam urutan kedua dan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pembelajar terbanyak (225.566 orang), diikuti Jawa Timur (138.431orang), dan Jawa Tengah (80.416 orang). Bahasa Jepang diajarkan tidak hanya di tingkat perguruan tinggi tetapi mulai dari tingkat sekolah dasar (SD-SMP), tingkat menengah (SLTA), tingkat tinggi (PT), dan pendidikan luar sekolah. Seperti yang telah disampaikan di atas, di awali oleh berdirinya Nihongo Bunka Gakuin tahun tahun 1958 mulai bermunculan lembaga lain yang membuka program pendidikan bahasa Jepang. Tahun 1960an-1970an pendidikan bahasa Jepang diselenggarakan di perguruan tinggi terutama perguruan tinggi negeri. Setelah banyaknya lulusan perguruan tinggi pendidikan menengah atas (SLTA) pendidikan bahasa Jepang doiajarkan umumnya sebagai mata pelajaran bahasa asing pilihan. Tahun 1980-an- 1990 mulai ada perguruan tinggi swasta yang membuka jurusan bahasa Jepang yang pada umumnya berbasis pariwisata. Dan sejak tahun 2000an seiring dengan perkembangan hubungan Indonesia dan Jepang terutama di bidang ekonomi di Bandung mulai menjamur pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang. Dengan banyaknya peminat masyarakat di jawa barat khususnya di Bandung dan orang Jepang yang datang ke Bandung restoran-restoran Jepang mulai banyk dibuka. Dan akhir-akhir ini bukan hanya restoran besar tetapi kedai-kedai kuliner pun menyediakan makanan Jepang bahkan dengan modifikasi dengan makanan lokal. 4. Bentuk Kebahasaan Yang Terjadi Karena Sentuh Bahasa Indonesia dan bahasa Jepang Menjamurnya restoran dan kedai-kedai yang menyediakan menu makanan Jepang termasuk menu makanan yang mengalami modifikasi dengan menu lokal terjadi sentuh bahasa antara bahasa lokal dengan bahasa Jepang. Bentuk kebahasan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel : Daftar bentuk bahasa yang mengalami sentuh bahasa antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia atau bahasa daerah Jumlah morfem Kelas Kata/ Bentuk PoliMono- Unsur ke-1 Unsur ke-2 Kata morfemis morfemis
No
Bentuk Bahasa
1
Tokyo Banana
√
Nama Tempat
buah
Nomina
Kue yang berbahan baku pisang
2
Udin Ramen
√
Nama orang
Jenis makanan
Nomina
Tempat Penjual Ramen Milik Pak Udin. Terdapat pula penulisan
Arti
チ““untuk bunyi –di3
Mie Ramen.
√
Jenis makanan
Jenis makanan
Nomina
Penjual Mie dengan menggunakan bahan Ramen
4
Baso Ramen
√
Jenis makanan
Jenis makanan
Nomina
Jenis makanan baso campuran rasa ramen
5
Raameen
Nomina
Jenis makanan Jepang.yang mengalami perubahan bunyi panjang [-aa-] dan[ -ee-]
√
527 6
Ramen Cemen
√
Jenis makanan Jepang
Kecil (bahasa Sunda)
Nomina
7
Kuma Ramen
√
Sumo Ramen
√
Jenis makanan Jenis makanan
Nomina
8
Nomina
Nama kedai ramen
9
Jigoku Ramen
√
Nama jenis binatang Jenis olah raga tradisional Jepang Tempat
Kedai ramen kecil. Cemen berasal dari bahasa Sunda atinya kecil. Nama kedai ramen
Jenis makanan
Nomina
Kedai ramen yang menyediakan rasa pedas (sekali) Makan ramen dalam suasana gelap dan nonton film horor Kedai ramen dengan berbagai varian makanan lain
10 scaryramen
√
11 Mie Reman
√
Jenis makanan (mie)
12 Batagor Jepang
√
Jenis makanan
13 Martabak Jepang 14 Bandeng Teriyaki
√
Jenis makanan ikan
tempat
Nomina
Jenis makanan
Nomina
matahari
partikel
Nomina
tempat
Jenis hal
Nomina
-
-
Nomina
Teras kampus
tempat
Nomina
Perayaan bertema Jepang Meniru-niru Jepang
√
√
15 Himade
16 J-Fest
Nomina
√
√
17 Genkan
Jenis Nomina makanan (reman berasal dari kata ramen yang mengalami perubahan vocal) tempat Nomina
18 Gelar Jepang
√
aktivitas
19 Jejepangan
√
Adjektiva
20 Sakurata
√
Konfiks tempat dengan pengulangan prefik (jeje-) dan sufiks -an Bagian sifat pakaian
21 Takasimura
√
abreviasi
abreviasi
Sifat (menghilangkan fonem/h/)
Kirata (dikira-kira agar nyata)
Jenis baso tahu goreng dengan rasa sedikit Jepang. Jenis martabak asin mirip okonomiyaki Ikan bandeng yang dibumbui rasa teriyaki Singkatan dari himpunan mahasiswa Jepang Festival bertema Jepang
Saku baju atau celana yang rata karena tidak terisi uang ( tidak mempunyai uang) Kita kasih murah
528 22 Iki mura
√
mura ‘desa’ Pinjaman secara bunyi fonologis sama dengan bahasa Jawa murah.
Nama kedai ramen dengan terdengar berbau Jepang tetapi akibat sentuh dengan bahasa Jawa
√
iki (u) ‘pergi’ secara fonologis sama dengan bahasa Jawa iki ‘ini’. tempat
23 Harajuku Style
gaya
Gaya berpakaian kaum muda Jepang
24 Rabu-rabu
√
cinta
cinta
Mabuk Cinta
25 Genshiken
√
26 Sushi bar
√
Jenis makanan Jepang
27 Sushi Boon
√
Jenis makanan Jepang
28 Seikyou Sushi,
√
29 "Samuro"sushi
√
30 Just Sushi
√
Nama Kelompok Pemerhati Anime,Manga tempat
Jenis makanan Jepang Jenis makanan Jepang Jenis makanan Jepang √
31 Mayashi
32 Takoyaki Indonesia
√
33 Kantin Jepang 96, 34 Queen Takoyaki, 35 Warung Jepang
nomina
Bar yang menyediakan sushi. Pengunjung dapat duduk di sofa di depan orang yang membuat sushi.
nomina
Nama kedai sushi
nomina
Nama kedai sushi
nomina
Kedai sushi
nomina
Kedai sushi
nomina
Nama kafetaria yang menjual makanan Jepang
tempat
nomina
Roda penjual Takoyaki
√
Jenis makanan Jepang tempat
tempat
nomina
Kedai makanan Jepang
√
ratu
nomina
Kedai Penjual Takoyaki
√
Tempat
Jenis makanan Jepang tempat
nomina
Kedai Penjual Makanan Jepang
Bentuk kebahasaan di atas dua puluh satu (21) dari tiga puluh lima (35) kata atau frasa di atas berada dalam ranah kuliner. Dan teridentifikasi bahwa kata Jepang banyak melekat pada nama jenis makanan. Hal ini sebagai identitas dan membawa nilai jual secara ekonomis, karena Jepang dianggap negara yang lebih maju. Sebaliknya kata Indonesia, kata warung, kantin, termasuk istilah yang menggunakan bahasa daerah baik yang muncul sebelum atau sesudah istilah Jepang menunjukkan keindonesiaan.Himade, sebagi komunitas pembelajar bahasa Jepang disetiap perguruan tinggi ini terdapat kumpulan mahasiswa jurusan Jepang yang disebut Himade. Kata himade merupakan abreviasi dari himpunan mahasiswa Jepang. Tetapi secara filosofis kata ini terdiri atas dua morfem
529
yaitu morfem hi artinya matahari dan morfem made yang berarti sampai. Sehingga terbentuknya kata himade yaitu agar setiap mahasiswa yang belajar bahasa Jepang dapat menggapai cita-citanya ibarat mampu menggapi matahari. Istilah J-Fest kependekan dari Japan Festival. Kegiatan ini hampir sama dengan kegiatan gelar budaya, bunkasai (pekan bahasa dan budaya Jepang). Dalam kegiatan ini pun diselenggarakan berbagai kegiatan termasuk jejepangan. Jejepangan bermakna meniru-niru Jepang. Peniruan ini dapat diantaranya dapat dilihat dalam gaya berpakaian orang Jepang atau tarian Jepang. 5. Pengaruh bahasa Jepang terhadap masyarakat Bandung Seperti sudah di jelaskan di atas, dengan dimulainya lembaga Nihongo Bunka Gakuin yang berdiri di kota Badung dari tahun ke tahun semakin banyak perguruan tinggi yang membuka program studi atau jurusan bahasa Jepang. Tahun 60-an dan tahun 70-an penambahan lembaga yang membuka pendidikan kejepangan atau bahasa Jepang terbatas pada pada lembaga perguruan tinggi. Seiring dengan banyaknya lulusan dan kerjasama dengan pihak Jepang tahun 90-an bermunculan lembaga swasta yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang. Dan sejak tahun 2000an semakin bermunculan restoran-restoran Jepang bahkan sejak tahun 2013 banyak kedai-kedai atau warungwarung kecil menjajakan masakan Jepang terutama sushi atau ramen. a. Pengaruh Bahasa Jepang di Tataran Internal Maksud tataran internal dalam makalah ini adalah wilayah kampus. Di Bandung terdapat kurang lebih delapan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang atau kejepangan. Perguruan tinggi tersebut, yaitu Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia, Sekolah Tinggi Bahasa Asing, Universitas Kristen Maranatha, Universitas Widyatama, Universitas Komputer Indonesia, Universitas Pasim, Sekolah Tinggi Perhotelan. Selain itu terdapat pula perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung di bawah naungan Unit pelaksana Teknis (UPT) kebahasaan yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang. Setiap lembaga tersebut di atas memiliki kurikulum dengan basis yang berbeda yang menjadi keunikan antara yang satu dan yang lainnya. Selain itu pembelajar tiap lembaga tersebut membuat asosiasi dengan segala kegiatannya. Kegiatan –kegiatan tersebut menyebabkan kelompok-kelompok pula seperti kelompok atau grup pemerhati anime dan manga, kelompok folklor Jepang, J-Pop, origami, dan lain-lain. Bahkan dari setiap kelompok tersebut tidak jarang melakukan pagelaran atau pembelajaran di bidang yang digelutinya tersebut. Banyaknya komunitas pencinta Jepang seperti Unit Kebudayaan Jepang (UKJ), Genshiken (Kelompok pemerhati anime, manga), klub budaya Pop Jepang seperti klub Origami, klub Folklor, klub musik Jepang dan lain-lain. b. Pengaruh Bahasa Jepang di Tataran Eksternal Seiring dengan banyaknya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang juga kerjasama antara Indonesia dan Jepang setiap tahun baik orang Indonesia yang pergi ke Jepang maupun orng Jepang yang datang ke Indonesia (Bandung) semakin bertambah. Hal itu memberi peluang kepada pebisnis untuk melirik bisnis berbau Jepang. Peluang tersebut terutama diisi oleh bisnis kuliner yaitu dengan bermunculannya restoran-restoran Jepang sampai kedai-kedai yang menjajakan masakan Jepang. Dengan banyaknya kedai ini membuat produsen lebih kreatif yaitu dengan mamadupadankan menu yang bercitarasa lokal terhadap kuliner Jepang. Terutama pada jenis kuliner ramen. Seperti terdapat ramen rasa kare, ramen rasa tomyam (makanan Thailand), dan ramen dengan berbagai level. Level maksudnya menunjukkan tingkat kepedasan. Level satu yaitu dengan kepedasan satu cabai, level dua dengan dua cabai, dan seterusnya. Pada umumnya sampai pada level sepuluh, yaitu dalam satu mangkok ramen ditambahkan sepuluh biji cabai. Padahal di Jepang ramen tidak mengenal level kepedasan. Selain dalam dunia kuliner, di tataran eksternal (luar kampus) pun terbentuk komunitas-komunitas pencinta Jepang diantaranya kelompok pencinta Jepang Bandung. Mereka membuat album kompilasi Soundrise Compilation. Album ini berawal dari ide beberapa anak-anak band komunitas pecinta budaya Jepang dari Bandung bekerja sama dengan grup band pencinta Jepang Jakarta yang ingin memperkenalkan karya-karya original mereka ke belantika musik umum.
530
6. Penutup Diawali dengan pemahaman bahasa Jepang dapat meluas sampai mengenal budaya Jepang lainnya. Begitu pula diawali dengan kegemaran terhadap budaya Jepang dapat menjadi jalan untuk memahami dan menguasai bahasa Jepang. Pemahaman bahasa dan budaya Jepang ini menyebabkan pada perkembangan dunia bisnis terutama dunia kuliner.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul & Agustina, Leoni. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Iino, Mazakasu. 2003. Shinsedai no Gengogaku. Tokyo: Kuroshio. http://japanesestation.com/inilah-album-kompilasi-band-band-komunitas-pecinta-budaya-jepang-daribandung-dan-jakarta-soundrise-compilation/ id.openrice.com