REPRESENTASI PIHAK PRO DAN KONTRA PEMILIHAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PEMBERITAAN HARIAN UMUM MEDIA INDONESIA
Mahardhika Zifana Universitas Pendidikan Indonesia
A. Latar Belakang Pada 27 Nopember 2010, Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) membuat pernyataan yang cukup menyita perhatian masyarakat. Presiden SBY menegaskan bahwa tidak boleh ada pertentangan antara sistem monarki dengan demokrasi di dalam tata pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagian kalangan yang telah terbiasa dengan sistem dan tatanan nilai Yogyakarta seolah terusik dengan pernyataan ini. Pernyataan itu menjadi kurang populis karena ketika itu DIY belum sepenuhnya terbebas dari dampak erupsi Gunung Merapi dan gempa besar beberapa tahun sebelumnya. Beragam tanggapan mengemuka setelah pernyataan itu dibuat. Perbedaan pendapat soal keistimewaan tersebut seolah telah membagi masyarakat ke dalam dua kubu, yakni kubu yang pro dan kubu yang kontra Pemilihan Gubernur DIY. Perbedaan pendapat ini pun mendapat porsi yang relatif besar dalam pemberitaan atau ulasan di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, baik lokal maupun nasional, dan bahkan internasional. Salah satu media yang gencar memberitakan dan mengulas wacana keistimewaan Yogyakarta ini adalah Harian Umum Media Indonesia (MI). Sangat menarik sekali untuk menyimak bagaimana suratkabar ini memuat berbagai berita dan ulasan dalam wacana keistimewaan Yogyakarta, khususnya yang berkenaan dengan pro dan kontra pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
B. Analisis Wacana Kritis dan Kajian Pemberitaan Suratkabar Penggunaan kerangka Analisis Wacana Kritis (AWK) telah banyak dilakukan dalam bidang kajian yang menghubungkan bahasa dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan, termasuk dengan menjadikan media massa sebagai subjeknya (Jorgensen dan Phillips, 2007: 113). Beberapa contoh aplikasinya dapat kita lihat, seperti pada Al Sharabi dkk. (2011: 97-121), yang mengungkap ideologi anti pernikahan dini di koran-koran lokal Yaman. Hoyer (2008) mengeksplorasi struktur wacana perang Irak dalam pemberitaan beberapa surat kabar Eropa. De Gregorio Godeo (2006: 83-100) juga menggunakan kerangka AWK untuk mengungkap isu jender di balik wacana kejantanan di beberapa majalah lokal Inggris. Dalam hubungan dengan wacana politik dan struktur pemerintahan di media, Hobday (2006) memberikan contoh penggunaan AWK untuk mengeksplorasi wacana sejarah multikulturalitas di Kanada. Sementara, Li (2007) mengeksplorasi makna ideasional di balik pemberitaan politik lokal di Amerika Serikat. Penelitian yang lebih spesifik pada wacana hubungan suatu pemerintahan pusat dan daerah dilakukan oleh Kaewtipayanate (2008) yang menganalisis pemberitaan sejumlah media di Thailand tentang hubungan pemerintah pusat Thailand dengan pemerintah daerah otonom Muslim di Thailand selatan. Beralih ke konteks Indonesia, wacana Keistimewaan Yogyakarta dalam pemberitaan media sesungguhnya bukan wacana baru. Pemberitaan yang berkenaan dengan masalah Keistimewaan Yogyakarta telah muncul sejak masa Orde Baru, sebelum reformasi digulirkan pada 1998. Walau demikian, dalam ranah kajian kebahasaan, wacana ini kembali menghangat setelah mengalami eskalasi hingga menghangatkan suasana politik di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, melalui pernyataan Presiden SBY tentang ‘sistem monarki versus demokrasi’. Pemberitaan media massa pada dasarnya adalah sebuah kontruksi tertulis atas realitas yang terjadi di masyarakat karena berita merupakan buah wacana di dalam masyarakat (Wodak, 2009: 5). Seringkali wacana tersebut juga melibatkan pandangan dan ideologi (van Dijk, 1996). Maka dalam
1
kaitannya dengan pro dan kontra tentang pemilihan Gubernur DIY, posisi media massa terhadap wacana tak pelak akan terpengaruh oleh pandangan dan ideologi para pekerja media itu sendiri.
C. Model AWK van Dijk Model AWK van Dijk (1998) memiliki karakter ‘social cognitive’ yang dapat mengaitkan pemberitaan dengan konteks sosial-kemasyarakatan. Model ini juga memiliki potensi untuk mengelaborasi elemen-elemen wacana secara lebih spesifik (Eriyanto, 2003: 229). Kerangka AWK van Dijk (1998) menunjukkan bagaimana praktik sosial memengaruhi pilihan elemen-elemen linguistik dan bagaimana pilihan-pilihan tersebut memberikan pengaruh baik kepada struktur maupun praktik sosial. AWK, sebagai metode, mengkaji peran wacana dalam memproduksi situasi dan konteks pandangan sosial (van Dijk, 1998; dan 2009: 63). Kerangka analitis van Dijk (1998) ini menerapkan analisis dalam tiga lapisan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
D. Karakteristik dan Deskripsi Pemberitaan MI Antara tanggal 27 November 2010 sampai dengan 5 Desember 2010, wacana wacana pro dan kontra pemilihan Gubernur DIY mencapai puncaknya, yakni antara pernyataan yang dibuat SBY hingga mundurnya GPH Prabukusumo, yang juga adik kandung Sultan HB X, dari Partai Demokrat karena tidak puas terhadap sikap partainya yang mendukung penetapan RUU-KY. Ada 13 teks yang terbit pada rentang tersebut. Tabel 5 menampilkan judul-judul teks yang digunakan. Dari ketiga belas teks tersebut, ditemukan bahwa elemen-elemen penyusun seluruh teks tersebut terdiri atas total 110 paragraf dan 251 klausa. Dari jumlah 251 klausa, sebanyak 13 di antaranya adalah klausa judul, 96 clause simplex, dan 142 clause complex. Tabel 1. Judul-Judul Teks yang Digunakan.
Judul Teks
1.
Perlu Samakan Persepsi soal Arti Monarki
2.
PDIP: Tuduhan Monarki Salah Alamat
3.
Apdesi Nyatakan SBY tidak Tahu Keberadaan Keraton Yogyakarta Pemerintah Kukuh Kepemimpinan DIY Lewat Pemilihan Presiden Cederai NKRI
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Pemerintah Ngotot Sultan tidak Otomatis Jadi Gubernur Penetapan Kepala Daerah Wujud Keistimewaan DIY Yogyakarta Istimewa karena Posisi Sultan Parade Nusantara Yogyakarta Ancam Boikot Pemilukada Sultan Gubernurku, Paku Alam Wakil Gubernurku Ngotot Opsi Pemilihan Gubernur DIY, SBY Dinilai Terlalu Percaya Diri GBPH Prabukusumo Mundur dari Partai Demokrat
Tanggal Terbit
Minggu, November 2010 Selasa, November 2010 Selasa, November 2010 Rabu, Desember 2010 Rabu, Desember 2010 Kamis, Desember 2010 Kamis, Desember 2010 Jumat, Desember 2010 Sabtu, Desember 2010 Sabtu, Desember 2010 Minggu, Desember 2010 Minggu, Desember 2010
28 30 30 01 01 02 02 03 04 04 05 05
Klausa Judul Clause Simplex Clause Complex Total Klausa
No.
Paragraf
Jumlah
5
1
9
3
13
8
1
3
14
18
5
1
3
5
9
11
1
12
12
25
9
1
7
9
17
11
1
10
17
28
11
1
15
18
34
7
1
8
9
18
12
1
1
13
15
6
1
1
9
11
9
1
13
14
28
6
1
6
6
13
2
13.
Sultan dan Paku Alam bakal Kehilangan Senin, 06 10 1 Kewenangan Politis Desember 2010 JUMLAH 110 13
8
13
22
96
142 251
E. Analisis Pemberitaan Pada analisis teks, tataran struktur makro menunjukkan bahwa MI banyak mengabarkan opini para tokoh DPR terkait ketidakpuasan mereka atas lamanya proses pembahasan RUU-KY di tangan pemerintah dan gagasan yang ada dalam substansi RUU-KY. Ini ditunjukkan dengan jumlah kategori topik “Tokoh DPR” dan “RUU-KY” yang cukup signifikan. Pada tataran superstruktur, MI memunculkan skema story yang banyak berisi komentar, terutama dari kalangan DPR maupun pemerintah. Ini ditemukan pada Teks 2, 4, 6, 7, 8, dan 11. Teks 3, 5, 9, dan 10 menyertakan komentar dari kalangan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, hingga ormas yang berada di luar Yogyakarta. Pada skema sumarry, judul dan lead pada teks 4, 5, 6, 10, 11, dan 13 menunjukkan MI memiliki kecenderungan untuk menyajikan pihak pemerintah sebagai pihak yang ‘kukuh’ (Teks 4) dan ‘ngotot’ (Teks 6) dalam gagasan pemilihan Gubernur DIY oleh rakyat. Presiden sebagai pucuk tertinggi pemerintahan pun diberi asosiasi ‘mencederai NKRI’ (Teks 5) dan ‘terlalu percaya diri’ (Teks 11). Melalui skema summary ini juga MI memberikan asosiasi-asosiasi dengan kecenderungan positif dalam menempatkan Sultan dan lembaga kesultanan, seperti pada Teks 7, 8, dan 10. Ada pula judul dan lead di mana sultan menjadi objek atau ‘korban’ (Teks 12) dari proses ‘penghilangan wewenang politik’. Struktur mikro teks memperjelas representasi para pihak dalam wacana. Contoh-contoh menunjukkan penempatan posisi pihak pemerintah dan presiden sebagai actor dalam material process. Karena posisinya adalah sebagai actor, maka pemerintah dan presiden dalam hal ini ditampilkan sebagai participant yang melakukan act (tindakan) dari material process “akan dihapus”, “Cederai“, dan “memutuskan”. Ada kecenderungan dominasi pemerintah sebagai actor dalam material process. Pihak kasultanan Yogyakarta juga mendapat porsi tersendiri dalam penempatan pada material process dan lebih banyak ditempatkan sebagai goal maupun beneficiary dari material process. Analisis verbal process menunjukkan bahwa teks berita MI menyertakan banyak pihak sebagai narasumber dalam berita. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai wujud eksperiensial di mana ada banyak pihak yang dianggap berkepentingan dalam wacana ini dan perlu dimintai komentarnya, mulai dari tokoh pemerintah; tokoh DPR; tokoh lokal Yogyakarta; tokoh masyarakat umum. Kemudian ada ciri naratif yang kuat pada pemberitaan MI terkait wacana pemilihan Gubernur DIY oleh rakyat, ditandai oleh mental process dan relational process yang relatif signifikan. Mental process yang banyak menempatkan pihak Pemerintah sebagai senser mengindikasikan bahwa MI menarasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pemerintah terkait wacana ini. Seringnya Sultan ditampilkan dalam relational process menunjukkan kecenderungan MI untuk memberikan atributatribut (attributive) dan definisi-definisi (identifying) kepada sultan dan pihak kasultanan. Behavioral process dan existential process yang melengkapi teks menunjukkan kecenderungan MI untuk melibatkan partisipan nonmanusia dalam teks, khususnya UUD 1945, dan klausa-klausa yang merepresentasikan keberadaan suatu peristiwa maupun fenomena. Pemaknaan yang bisa diberikan mengindikasikan keinginan MI untuk menekankan sifat UUD 1945 yang selayaknya menjadi acuan dalam bidang tata pemerintahan negara yang terkait langsung dengan wacana pemilihan Gubernur DIY oleh rakyat. Sementara peristiwa dan fenomena yang diproyeksikan melalui existential process adalah representasi langsung dari peristiwa dan fenomena yang dianggap perlu dikabarkan kepada pembaca. Pemaknaan struktur mikro pada tataran pasivisasi dan nominalisasi lebih mengungkap kecenderungan MI dalam merepresentasikan pihak-pihak tertentu di dalam teks. MI memiliki kecenderungan menyembunyikan peran aktif pihak pemerintah dalam konteks-konteks positif. MI juga memiliki kecenderungan menyembunyikan peran aktif pihak pemerintah dan lebih menekankan figur pemerintah pada ‘presiden’. Sebaliknya, beberapa pihak yang dipandang penting untuk tetap ditampilkan dalam klausa, seperti DPR dan Kasultanan Yogya. Kemudian, hasil analisis terhadap sistem referensi SBY dan Sri Sultan Hamengku Buwono X dapat dimaknai bahwa MI mengedepankan pengetahuan budaya (context of culture) dari para pembacanya melalui skema-skema retrieval yang banyak mengedepankan peran sosial, politik, dan
3
budaya dari para partisipan di dalam teks. Secara demonstratif, MI berkali-kali menggunakan retrieval dengan sebutan-sebutan ‘presiden’ dan ‘sultan’. Bahkan untuk referensi Sri Sultan Hamengku Buwono X, MI juga dapat menggunakan ungkapan “Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu” untuk menegaskan posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam tinjauan pemahaman konservatif masyarakat.
F. Representasi & Ideologi Media Indonesia Wacana pro dan kontra pemilihan Gubernur DIY pada hakikatnya merupakan wacana yang mencakup dua pihak dengan kekuasaan di dalamnya: Pemerintah RI; dan Keraton Yogyakarta. Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang diemban oleh individu-individu yang tercakup dalam masing-masing entitas, seperti Presiden dan menteri-menterinya, Sultan, dan lainnya. Para pihak yang digambarkan MI dalam wacana tercermin melalui analisis topik pada struktur makro dan analisis referensi pada struktur mikro yang menunjukan polarisasi pihak dalam wacana ke dalam tiga kutub utama, yakni (a) Pemerintah RI; (b) Keraton Yogyakarta (termasuk Puro Pakualaman di dalamnya); dan (c) DPR dan masyarakat umum. MI sangat menekankan posisi Sultan dan Paku Alam di tengah masyarakat Yogyakarta jika RUU-KY diberlakukan sebagai undangundang dan Gubernur DIY dipilih melalui pemilihan umum langsung. Ini ditandai topik tentang “Sultan” yang menjadi topik dominan dalam teks, seluruhnya menyiratkan asosiasi-asosiasi yang positif atas sikap maupun posisi Sultan saat ini. Pemerintah ditempatkan sebagai objek dari strategi ‘victimization’ (Van Dijk, 1996) karena proses pembahasan dan pengajuan RUU-KY yang berlarutlarut, serta hasil RUU-KY yang jauh dari harapan para pihak yang pro penetapan Gubernur DIY. Hasil analisis pasivisasi dan transitivitas menunjukkan bahwa MI memiliki kecenderungan untuk menempatkan ‘Pemerintah RI’ dan ‘Keraton Yogyakarta’ pada posisi yang saling berhadapan dan ‘DPR dan masyarakat umum’ dengan penggambaran yang lebih cenderung dekat ke ‘kubu’ Keraton Yogyakarta. Ini dapat dipastikan melalui analisis superstruktur di mana susunan skematik teks, terutama judul-judul, menunjukkan polarisasi posisi ‘Pemerintah RI’ dan ‘Keraton Yogyakarta’ seperti pada judul-judul “Ngotot Opsi Pemilihan Gubernur DIY, SBY Dinilai Terlalu Percaya Diri” (Teks 11); dan “Pemerintah Ngotot Sultan tidak Otomatis Jadi Gubernur” (Teks 6). Secara keseluruhan, analisis teks, baik pada tataran mikro, superstruktur, maupun makro telah menunjukkan bahwa MI merepresentasikan pihak Sultan Hamengku Buwono X dan Keraton Yogyakarta dalam imaji dan penggambaran yang lebih apresiatif dibandingkan penggambaran kubu Pemerintah, Presiden SBY, dan Partai Demokrat. Kognisi sosial wartawan yang banyak dipengaruhi gambaran-gambaran konservatif peran Yogyakarta dalam masa revolusi RI dan predikat ‘pemimpin’ yang secara tradisional melekat pada Sultan Yogyakarta sangat memungkinkan untuk menjadi motif yang memicu pemberitaan dengan teks-teks tersebut. Ini diperkuat oleh kaitan antara Surya Paloh, pemilik MI, yang memiliki kedekatan pribadi dengan Sultan HB X sendiri. Kedekatan ini jelas sangat memungkinkan untuk adanya akses pemberitaan MI yang lebih baik untuk Kasultanan Yogyakarta daripada untuk Pemerintah RI dan Presiden SBY. MI jelas memiliki kecenderungan berada di pihak yang kontra pemilihan Gubernur DIY. Kecenderungan ini jelas terlihat pada cara MI dalam merepresentasikan pihak Sultan dan Keraton dalam pemberitaan. Orientasi yang menjadi implikasi dari kecenderungan ini adalah pembangunan opini dan persepsi masyarakat melalui tatanan-tatanan nilai di balik kecenderungan ini, yakni nilai konservatif yang menolak perubahan sistem penetapan Gubernur DIY. Realitas bahasa yang dipakai MI telah terbukti bukan bahasa yang dirumuskan atau dibentuk secara netral (Richardson, 2007: 15). Dalam hal ini, bahasa yang ada pada pemberitaan wacana ini oleh MI mencerminkan berbagai kepentingan, baik dalam konteks institusi MI sendiri maupun dalam konteks politik. Ideologi konservatif, yang pro penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY, merupakan sistem kepercayaan yang dipegang atau dimiliki oleh kelompok masyarakat sejak zaman sebelum RI berdiri dan dimiliki oleh masyarakat tertentu, dalam hal ini masyarakat tradisional Yogyakarta yang masih dipengaruhi kultur feodal yang kuat (Soemardjan, 1962). Maka ketika terjadi perubahan dan dinamika sosial, sistem kepercayaan yang sengaja dibuat, dalam wujud gagasan-gagasan tentang keistimewaan kasultanan dengan segala pernik dan kleniknya menjadi realisasi dari kesadaran palsu yang sesungguhnya bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah (Fiske, 1990: 165).
4
G. Simpulan Ada dua simpulan utama dari kajian ini. Pertama, MI memiliki kecenderungan berada di pihak kontra pemilihan Gubernur DIY. Secara keseluruhan, analisis teks, baik pada tataran mikro, superstruktur, maupun makro telah menunjukkan bahwa MI merepresentasikan pihak Sultan Hamengku Buwono X dan Keraton Yogyakarta dalam imaji dan penggambaran yang lebih apresiatif dibandingkan penggambaran pihak Pemerintah, Presiden SBY, atau Partai Demokrat. Kognisi sosial wartawan yang banyak dipengaruhi gambaran-gambaran konservatif peran Yogyakarta dalam masa revolusi RI dan predikat ‘pemimpin’ yang secara tradisional melekat pada Sultan Yogyakarta sangat memungkinkan untuk menjadi motif yang memicu pemberitaan dengan teks-teks tersebut. Ini diperkuat oleh analisis terhadap konteks sosial yang menunjukan bahwa Surya Paloh, pemilik MI, memiliki kedekatan pribadi dengan Sultan Hamengku Buwono X. Hal ini memungkinkan adanya akses pemberitaan MI yang lebih baik untuk Kasultanan Yogyakarta daripada untuk Pemerintah RI dan Presiden SBY. Kedua, ideologi yang menjadi latar belakang pemberitaan MI adalah ideologi konservatif yang berpihak kepada pemeliharaan nilai-nilai tradisional yang berbasis sejarah. Dalam hal ini, sejarah yang dimaksud ialah peran besar Sultan HB IX, ayah dari Sultan HB X, pada masa revolusi fisik antara tahun 1945-1950 dan pada masa orde baru yang melegenda. Sejauh ini, tampak bahwa pemeliharaan nilai-nilai tradisional ini tidak bertentangan dengan nilai demokrasi karena ditempatkan pada tempat yang sangat khusus di dalam tata kelola pemerintahan RI. Nilai-nilai tradisional ini juga, dalam sejarahnya, tidak pernah mengganggu tatanan bernegara dalam skala yang lebih luas, skala nasional, karena hanya diterapkan di DIY saja. Dari dua simpulan tersebut, sekurangnya ada tiga implikasi yang lebih luas. Pertama, AWK mampu mengungkap ideologi yang berada di balik pemberitaan MI terkait wacana Keistimewaan Yogyakarta. Kedua, media memiliki peran besar sebagai sumber utama dari sikap dan pengetahuan ideologis masyarakat dewasa ini, baik dari kelas elit maupun biasa (van Dijk, 1997). Maka pemberitaan MI yang memiliki kecenderungan kepada pihak tertentu secara tidak langsung dapat menggiring masyarakat kepada opini dan ideologi yang berada di dalam teks. Ketiga, secara tidak langsung simpulan tersebut juga menegaskan bahwa masyarakat perlu disadarkan bahwa informasi yang mereka dapatkan tidak sepenuhnya netral dan bebas dari akses kelompok tertentu yang lebih dominan dan memiliki kepentingan-kepentingan yang terkait dengan wacana.
H. Daftar Pustaka Al-Sharabi, A., Ibrahim, N., Nor, N.F.M. 2011. “Representation Of Nojoud’s ‘Early’ Marriage: A CDA Of Online English-Language Yemeni Newspapers,” dalam Journal of Language Studies, Volume 11(1) 2011, 97-122. de Gregorio Godeo, E. 2006. “Critical Discourse Analysis as an Anah tical Resource for Cultural Studies: Exploring the Discursive Construction of Subject Positions in British Men's Magazines' Problem Pages,” dalam Revista Alicantina de Estudios Ingleses 19 (2006): 83100. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Fiske, J. 1990. Introduction to Communication Studies, Second Edition. London dan New York: Routledge. Hobday, J. 2006. The Myths That Bind Us: A Critical Discourse Analysis of Canada: A People’s History. Tesis pada the Department of Educational Foundations, University of Saskatchewan, Saskatoon. Høyer, A.B. 2008. The Battle of Hearts and Minds: An Analysis of the Iraq War Discourse in Politics and Newspapers. Tesis pada Mastergradsoppgave Språkvitenskap det Humanistiske Fakultet, Universitetet I Tromsø, Høsten. Jorgensen, M.W. dan Phillips, L.J. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Penerjemah: Ibrahim, A.S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kaewtipayanate, B. 2008. Peace Journalism and the Tak Bai Incident: the case of the Bangkok Post’s and the Nation’s coverage on the Southern conflict in Thailand. Tesis pada Department of Humanities, Orebro University Li, Y.P. 2007. “The Hidden Power of the Language in Web-news Headlines,” dalam US-China Foreign Language, Mar. 2007, Volume 5, No.3 (Serial No.42). (1-7)
5
Richardson, J.E. 2007. Analysing Newspaper: An Approach from Critical Discourse Analysis. New York: Palgrave MacMillan. Van Dijk, T.A. 1995. “Opinion and Ideologies in Editorials.” Makalah pada The 4th International Symposium of Critical Discourse Analysis, Athena, Yunani. Tersedia: http://www. discourse-in-society.org/teun.html. [akses 23 Januari 2011] Van Dijk, T.A. 2009. “Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach,” dalam Wodak, R. dan Meyer, M. (eds.). Methods of Critical Discourse Analysis. London, New Delhi, Tousand Oaks, dan Singapore: Sage Publications. Wodak, R. dan Meyer, M. 2009. “Critical Discourse Analysis: History, Agenda, Theory and Methodology,” dalam Wodak, R. dan Meyer, M. (eds.). Methods of Critical Discourse Analysis. London, New Delhi, Thousand Oaks, dan Singapore: Sage Publications.
6