RELIGIUSITAS DALAM KUMPULAN PUISI GARAM-GARAM HUJAN KARYA JAMAL D. RAHMAN
Makalah Non Seminar
WALIARAHMAN 1206203402
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2016
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Religiusitas dalam Kumpulan Puisi Garam-Garam Hujan Karya Jamal D. Rahman Waliarahman, Ibnu Wahyudi Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Jamal D. Rahman ialah seorang pemuisi yang berasal dari tanah Madura. Ia telah banyak menghasilkan karya sastra tidak hanya puisi tetapi juga berbagai karya sastra lain seperti esai dan kritik. Meskipun tidak sepopuler pemuisi terdahulu, karya-karya Jamal D. Rahman juga patut kita apresiasi. Salah satu karya yang telah dihasilkannya adalah kumpulan puisi Garam-Garam Hujan. Kumpulan puisi Garam-garam Hujan dibagi menjadi tiga bagian. Tulisan ini memaparkan unsur religius dari beberapa puisi yang terdapat di dalam kumpulan puisi Garam-garam Hujan. Pemaparan disajikan melalui analisis pencitraan dan amanat yang terkandung di dalam puisi tersebut. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberi informasi kepada pembaca bahwa puisi di dalam Garam-Garam Hujan memiliki kandungan unsur atau makna yang religius. Oleh sebab unsur dan makna itulah puisi menjadi bernyawa dan patut untuk diapresiasi. Dengan adanya pemaparan yang ringkas ini, diharapkan pembaca dapat menerima karya sastra puisi secara umum sebagai sebuah karya yang pantas untuk dinikmati, dikaji, dan diapresiasi. Katakunci: puisi, religiusitas, pesan, suasana, apresiasi.
Religiosity in Collected Poems Garam-Garam Hujan by Jamal D. Rahman Abstract Jamal D. Rahman is a poet who came from the land of Madura. He has produced many literary works not only poetry but also a variety of other literary works such as essays and criticism. Although not as popular as the previous poets, works of Jamal D. Rahman also deserve our appreciation. One of the works that have been produced is Garam-Garam Hujan. Collection of poems Garam-Garam Hujan is divided into three parts. This paper describes the religious elements of some of the poems contained in a collection of poems Garam-Garam Hujan. Exposure is presented through the analysis of imaging and the message contained in the poem. The objective is to inform readers that poetry in Garam-Garam Hujan contains elements or religious significance in it. Therefore, the elements and the meaning of that poetry became lifeless and deserves to be appreciated. Given this brief exposure, the reader should be able to receive a literary work of poetry in general as a work that deserves to be enjoyed, studied, and appreciated. Keywords: poetry, religiosity, message, atmosphere, apreciation.
Pendahuluan Berbicara mengenai puisi, setiap orang memiliki pemikiran dan persepsi yang berbeda-beda atas arti dan makna dari puisi itu sendiri. Dari segi bentuknya saja misalnya, banyak penilaian yang dikemukakan tentang puisi tersebut. Dengan beraneka ragamnya
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
persepsi masyarakat, di antaranya hadir sebuah pendapat bahwa puisi adalah seni sastra yang unik dan sulit untuk dipahami. Apabila ditinjau lebih jauh, fokus puisi tidak lain adalah bahasa itu sendiri. 1 Artinya, berkaitan dengan puisi, tentu tidak akan terlepas dari beberapa objek yang menyertainya seperti konsep dan definisi, ungkapan, bentuk, dan isi dari puisi tersebut. Ketika seseorang mendengar kata puisi, yang mungkin pertama kali terlintas di dalam pikirannya adalah rangkaian kata yang indah, romantis, dan penuh makna yang tersirat. Menurut Waluyo (2005:1) puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betulbetul dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan. Kata-kata yang digunakan berima dan memiliki makna konotatif atau bergaya figuratif. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, puisi diartikan sebagai (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak. Sedangkan puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh rima dan matra, tidak terikat jumlah larik dalam setiap bait, dan jumlah suku kata dalam setiap larik. Bagi sebagian orang yang jarang bersentuhan dengan dunia puisi, puisi bisa tampil sebagai tulisan yang terlihat membosankan, tetapi juga bisa menjadi daya tarik tersendiri yang membangkitkan rasa penasaran dan keingintahuan seseorang untuk membacanya. Pandangan terhadap puisi sebagai tulisan yang terlihat membosankan atau menumbuhkan rasa penasaran itu muncul sebagai sebuah tahapan awal sebelum seseorang membaca karyakarya puisi yang ditulis oleh para pemuisi. Lebih lanjutnya, setelah seseorang mulai membaca karya-karya puisi, ada kemungkinan orang tersebut akan mulai menikmati sajian karya sastra yang telah ditulis oleh pemuisi dan tumbuh rasa penasaran untuk mendalami pencarian isi dan pesan dari puisi tersebut. Munculnya rasa bosan seseorang terhadap karya puisi bisa saja bermula dari ketidakpahaman atau ketidaktertarikan seseorang terhadap sebuah karya puisi. Akan tetapi, apabila ditinjau lebih jauh, puisi-puisi yang sesuai dengan suasana hati pembacanya justru akan menimbulkan kenyamanan pembaca dan rasa dekat dengan puisi tersebut. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini penulis akan menyampaikan sebuah analisis terhadap salah satu unsur
1
Drs. B. P. Situmorang, Puisi: Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur, Nusa Indah, 1983, hlm. 9.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
yang terkandung di dalam puisi, yaitu unsur religiusitas. Religiusitas dapat dimaknai sebagai aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal (Mangunwijaya, 1986). Menurut Majid (1992) religiusitas adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris. Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana layaknya tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakkan harga dan makna tindakan empirisnya di bawah supra-empiris. Analisis religiusitas tersebut dilakukan melalui kajian terhadap keseluruhan isi buku serta melalui analisis pencitraan dan amanat untuk empat puisi yang ditulis oleh Jamal D. Rahman yang terdapat di dalam kumpulan puisi Garam-Garam Hujan. Puisi-puisi yang akan dikaji di dalam tulisan ini adalah “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk” (hlm. 6), “Karang Azan Magrib” (hlm. 49), “Air Mata Doa” (hlm. 50), dan “Lewat Sujud-Sujud Panjang” (hlm. 94). Analisis sederhana ini dirasa penting bagi penulis untuk dituangkan dan dibagikan kepada khalayak dalam sebuah tulisan. Meskipun ditulis dengan sederhana, tulisan ini diharapkan akan menjadi sebuah konsumsi yang baik dan setidaknya akan menambah informasi bagi pembaca tentang religiusitas di dalam puisi. Adapun contoh yang diangkat di dalam tulisan ini bukan menjadi patokan. Contoh yang diangkat di dalam tulisan ini hanya sebuah media atau bahan dalam memberikan informasi kepada khalayak terkait pencitraan dan amanat di dalam puisi yang mengandung religiusitas.
Biografi Penulis Kumpulan Puisi Garam-Garam Hujan Jamal D. Rahman lahir di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, pada 14 Desember 1967. Jamal adalah seorang alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep. Setelah tamat pondok pesantren, Jamal melanjutkan pendidikannya ke IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Pendidikannya tidak berhenti di IAIN Syarif Hidayatullah. Ia
Melanjutkan pendidikan dan menamatkan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Jamal sering diundang sebagai pembicara dalam acara-acara sastra di dalam dan luar negeri. Acara-acara yang pernah ia isi antara lain Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara Bidang Esai di Cisarua, Bogor (1999), Seminar Kritikan Sastera Melayu Serantau dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South-East Asian Writers’ Meet) di Kuala Lumpur (2001), Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta (2003), festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004), Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep, Madura (2007), Kongres Bahasa Madura di Pamekasan, Madura (2008), Lokakarya Bahasa dan Sastra Membangun
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Generasi Muda, di Yogyakarta (2009), dan Seminar Nasional Sejarah Kejuangan Sultan Mahmud Riayat Syah, di Jakarta (2012). Selain aktif mengisi acara-acara sastra, Jamal juga aktif menulis puisi, esai, kritik sastra, dan artikel yang mengangkat masalah kesenian dan kebudayaan di berbagai media massa. Kumpulan puisi yang ditulis oleh Jamal adalah Airmata Diam (1993), Reruntuhan Cahaya (2003), Garam-garam Hujan (2004), dan Burn Me with Your Letters (terjemahan Nikmah Sarjono, 2004). Di samping diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, puisi-puisinya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Portugal. Selain itu, puisinya juga ada yang diterbitkan dalam beberapa antologi, di antaranya: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), dari Fansuri ke Handayani: Sastra Indonesia dalam Program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (2001), Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi (2002), Hijan Kelon: Puisi Kompas 2002 (2002), Poetry on the Road (2004), Poetry and Sincerity (2006), dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 (2009). Ia menjadi redaktur majalah sastra Horison (sejak 1993) dan pernah menjabat sebagai sekretaris di Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006).2
Kumpulan Puisi Garam-Garam Hujan Kumpulan puisi Garam-Garam Hujan merupakan salah satu kumpulan puisi yang ditulis oleh Jamal D. Rahman. Kumpulan puisi ini diterbitkan oleh Hikayat Publishing, Yogyakarta. Buku kumpulan puisi ini pertama kali diterbitkan pada bulan April tahun 2004. Kode penerbitan buku ini adalah HK. 0006.04. Buku ini berukuran 14cm x 20cm dengan tebal xii+108 halaman. Nomor ISBN buku ini adalah 979-98420-5-0. Bagian sampul buku ini memuat sebuah lukisan yang berjudul “Di Padang Sembahyang” karya Herry Dim berdasarkan puisi karya Jamal D. Rahman. Jamal D. Rahman membagi kumpulan puisinya menjadi tiga bagian. Bagian pertama diberi judul “Rubaiyat Matahari”. Bagian pertama tersebut merupakan puisi-puisi yang ditulis pada kurun waktu 2002—2004. Bagian kedua diberi judul “Anak-anak Tembakau”. Bagian kedua ini merupakan puisi-puisi yang ditulis pada kurun waktu 1988—2002. Bagian ketiga diberi judul “Air Mata Diam”. Bagian ketiga ini merupakan puisi-puisi yang ditulis pada kurun waktu 1988—1991.
2
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-jamal-drahman?page=0%2C1%2C3%2C0&quicktabs_1=0
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Pada bagian pertama, terdapat 25 puisi. Puisi-puisi tersebut di antaranya adalah ”Kami Merebus Sepi Sepanjang Perih Matahari”, “Suara Kami Selalu Terselip di Lipatan Angka-Angka”, “Tombak yang Menancap di Leher Kematian”, “Sungai Kami Tak Lagi Mengalirkan Rindu”, dan “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk”. Pada bagian kedua, terdapat 25 puisi. Puisi-puisi tersebut di antaranya adalah “Bernafaslah Pada Ombak”, “Rumputan Biru”, “Di Padang Sembahyang”, dan “Karang Azan Magrib”. Pada bagian ketiga, terdapat 50 puisi. Puisi-puisi tersebut di antaranya adalah “Kamar Sunyi”, “Batu Pun Diam”, “Belajar Pada Batu-batu”, “Batu-batu Sepanjang Abad”, “Pekarangan”, “Intelude Dedaunan”, “Ketika Hujan”, “Mengantarmu”, “Daun-daun Mengalir Ke Jantungku”, “Siluet Kota”, “Antrian Panjang”, dan “Nyanyian Malam”. Berikut ini adalah foto dokumentasi tampak depan dan
tampak belakang kumpulan puisi Garam-Garam Hujan.
1
2
Foto buku kumpulan puisi Garam-Garam Huja; 1 (bagian depan buku), 2 (bagian belakang buku). (dokumentasi pribadi penulis)
Religiusitas di dalam Kumpulan Puisi Garam-Garam Hujan Sebelum menganalisis beberapa puisi seperti yang telah disebutkan, penulis akan terlebih dahulu memberikan pemaparan secara umum tentang religiusitas. Religiusitas yang terkandung di dalam Garam-Garam Hujan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dianalisis secara umum. Pertama, dari segi judul buku kumpulan puisi ini yaitu Garam-
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Garam Hujan. Perlu kita ingat bahwa terjadinya sebuah siklus yang dahsyat seperti air— hujan merupakan hal yang bersumber dari hamparan alam semesta dalam hal ini adalah lautan. Lautan yang terhampar luas dengan kandungan garam di dalamnya, mengalami proses panjang siklus air yang mengisyaratkan sebuah pekerjaan yang sangat besar dan kuat yang tidak mungkin seorang insan memiliki kuasa untuk melakukannya. Masih di bagian sampul buku ini, terdapat sebuah lukisan yang berjudul “Di Padang Sembahyang” karya Herry Dim (2003) yang terinspirasi dari salah satu puisi Jamal dengan judul yang sama. Akan tetapi, sebab penulis bukanlah seorang yang ahli dalam menilai sebuah lukisan, penulis tidak akan memaparkan penilaian tentang lukisan tersebut. hanya saja, ada ketertarikan dari judul lukisan yang memilih satu puisi dari buku kumpulan puisi ini yang dianggap memiliki suasana religiusitas dengan hadirnya kata sembahyang. Setidaknya, dua hal ini menjadi hal yang pertama kali mendorong rasa penasaran penulis untuk mendalami religiusitas di dalam kumpulan buku ini. Setelah masuk ke dalam isi buku, di bagian daftar isi penulis menemukan beberapa judul puisi yang sarat dengan kereligiusan di dalamnya. Dari seratus puisi yang ada di dalamnya, ada beberapa judul puisi yang menggunakan-kata-kata bersuasanakan religi, yaitu “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk”, “Di Padang Sembahyang”, “Karang Azan Magrib”, “Airmata Doa”, “Di TubuhMu, Rohku Termangu”, “I’tikaf Mata”, “Sujud Kematian”, dan “Lewat Sujud-Sujud Panjang”. Dari sekian banyak puisi yang ada, puisi-puisi tersebut yang berhasil penulis catat untuk kemudian penulis pilih beberapa di antaranya sebagai obyek yang akan dianalisis kekuatan unsur religus di dalamnya. Mengacu pada judul-judul tersebut, ada beberapa kata yang bisa menjadi alasan penulis mengutarakan sebuah rasa penasaran untuk mengkaji kumpulan puisi ini dari segi religiusitasnya. Pertama, pada puisi “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk”. Pada judul puisi ini penulis menggunakan kata doa sebagai salah satu kata yang diduga memiliki makna yang mengarah pada religiusitas. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, doa memiliki arti permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Selanjutnya pada puisi “Di Padang Sembahyang”, kata sembahyang di dalam judul tersebut, tentu tidak asing bagi kita. Sembahyang seperti yang kita ketahui, merupakan salah satu kegiatan yang menjadi media komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Puisi “Karang Azan Magrib” menggunakan azan magrib yang merupakan satu lantunan yang sangat sakral bagi umat Islam. Selain merupakan pangilan untuk melaksanakan salat, azan magrib juga menjadi sebuah tanda bergantinya hari dari terang menjadi gelap (siang menjadi malam). Berikutnya di dalam puisi “Airmata Doa”. Di judul puisi ini kembali ditemukan kata doa seperti yang
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
telah dijelaskan di kolom pertama. doa dan air mata menjadi dua hal yang bisa jadi saling berkaitan, walaupun keduanya tidak bisa diidentikkan satu sama lain. Seseorang yang berdoa dengan linangan air mata sering kali dianggap khusyuk3. Akan tetapi, air mata itu sendiri belum bisa dipastikan merupakan bentuk religiusitas karena bisa jadi seseorang berlinang air mata bukan di saat berdoa. Pada puisi “Di TubuhMu, Rohku Termangu”, tubuh dan roh menjadi dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan erat. Tubuh dan roh merupakan dua hal yang paling dekat dengan kita sebagai manusia yang patut menyadari kekuasaan Tuhan. Kita hidup dengan tubuh yang memiliki roh di dalamnya. Begitupun dengan roh kita yang ditiup Tuhan untuk masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh dapat hidup. Kemudian, pada puisi “I’tikaf Mata”, pemuisi menggunakan kata i’tikaf. I’tikaf merupakan salah satu kegiatan yang biasanya dilakukan oleh umat Islam di masjid. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, i’tikaf/itikaf tidak diartikan dengan kata lain dan tetap memiliki arti itikaf. Akan tetapi mengacu i’tikaf di dalam bahasa Arab, maka dapat ditemukan bahwa i’tikaf yang dimaksud adalah berdiam dengan ibadah di dalam masjid. Di dalam puisi “Sujud Kematian”, pemuisi menggunakan kata yang “dekat” dengan Sang Pencipta. Sujud merupakan suatu ritual yang dijalankan umat manusia ketika menyembah Tuhan. Begitupun dengan kematian, merupakan sebuah peristiwa keluarnya ruh dari tubuh manusia untuk kembali kepada Tuhan. Kematian juga menjadi pintu pertama setiap manusia untuk menuju kehidupan yang kekal yaitu kehidupan akhirat. Terakhir, yaitu puisi “Lewat Sujud-Sujud Panjang”. Dari judul ini, kembali ditemukan kata sujud yang merupakan sebuah ritual penyembahan yang dilakukan manusia terhadap Tuhan. Sejumlah judul yang disebutkan setidaknya mengantarkan pembaca pada persepsi religiusitas di dalam puisi yang ditulis oleh Jamal D. Rahman. Beberapa judul puisi di atas, mungkin hanya mewakili sebagian besar yang terlewat dari pembacaan penulis terhadap kumpulan puisi Garam-Garam Hujan. Dari judul-judul di atas, penulis membaca isinya satu persatu yang penulis anggap lebih memiliki ketertarikan untuk dibahas dan dianggap lebih memiliki unsur religius di dalamnya. Setelah melalui proses pembacaan yang cukup, penulis akhirnya memutuskan memilih puisi “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk” (hlm. 6), “Karang Azan Magrib” (hlm. 49), “Air Mata Doa” (hlm. 50), dan “Lewat Sujud-Sujud Panjang” (hlm. 94) sebagai puisi yang akan dianalisis pencitraan dan amanatnya untuk menemukan unsur religius di dalamnya.
3
penuh penyerahan dan kebulatan hati; sungguh-sungguh; penuh kerendahan hati.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Religiusitas di dalam Puisi “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk” Pertama-tama, penulis akan memaparkan analisis untuk puisi “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk”. Penulis memilih puisi ini karena adanya ketertarikan dari segi judul yang menuliskan salah satu negara yaitu Irak. Irak adalah salah satu negara Islam yang berbentuk republik parlemnter yang terdapat di Asia Barat Daya. Irak berbatasan dengan Arab Saudi, Kuwait, Suriah, Yordania, Suriah, dan Iran. Negara irak merupakan negara yang kaya akan hasil bumi. Kekayaan alam berupa tambang di tanah Irak melimpah. Sebagaimana diberitakan di beberapa media, Irak merupakan negara yang sering terjadi konflik yang disebut-sebut berlandaskan agama. Ditambah lagi, setelah muncul isu pergerakan ISIS di Suriah, Irak juga disebut debagai salah satu negara yang tergabung dalam ISIS. Banyak dugaan yang mencuat ke permukaan karena posisi Irak yang strategis dan berdekatan dengan Suriah. Dengan adanya berbagai konflik dan dugaan keikutsertaan Irak pada kegiatan pergerakan ISIS, wajar saja jika digambarkan negara Irak sebagai negara yang sedang mengalami kekacauan. Selain itu, berkaitan dengan kondisi tanah Irak saat ini dan seperti yang telah diungkapkan, judul puisi ini menggunakan kata doa yang berarti permohonan kepada Tuhan. Pilihan yang mendasar seperti ini, memunculkan rasa penasaran penulis terhadap keterkaitan antara puisi dengan kondisi Irak yang melahirkan suasana yang religiusitas yang terkandung di dalam puisi “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk”. Berikut ini adalah kutipan puisi “Di Irak, Bahkan Doa Pun Remuk”.
DI IRAK, BAHKAN DOA PUN REMUK4 Di Irak, di kilang-kilang minyak, di padang-padang debu, di gudang-gudang peluru dan mesiu, bahkan doa pun remuk. Tulang-belulang kami tak bisa lagi menggali tanah, tempat kami menyuling hidup di ladang-ladang minyak, tempat kami mengilang bom di padang-padang amuk. Semua telah jadi api, dan kami berkobar merebus darah sendiri. Membakar-bakar matahari. Kami pungut pecahan doa reruntuhan kilang dan gedung, lalu kami suling jadi patung api, tempat kami mengenang tanganmu meledakkan matahari di padang paling sunyi. Kami coba menata kembali dia kami yang remuk, tulang-belulang kami yang luluhlantak, lalu kami rakit jadi bom dalam diri kami. Setiap saat ia meledak tanpa kami merasa pernah mati.
4
Halaman 6, tahun 2003.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Malam-malam kami dirayapi tank, dicekam rudal, diintai peluru, diraungi ledakanledakan. Langit pun pecah. Tanah terbelah. Dan kaki anak kami patah. Dan kaki anak kami patah. Dan hati anak kami pecah. Dia menangis. Tapi yang terdegar dari isak tanis anak kami adalah bisik tertahan di raung sirine perang: orang-orang mati doa di kilang tangisku. Orang-orang mati doa di kilang tangisku. Ya. Kami coba menata kembali doa kami yang remuk, tulang-belulang kami yang luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom jadi rudal jadi nuklir dalam diri kami. Setiap saat ia meledak tanpa merasa pernah mati. Pada puisi tersebut, pemuisi hendak menggambarkan suasana kacau yang terjadi di tanah Irak. Di sela-sela peristiwa yang terjadi, ada sepucuk harapan yang tertuang dalam doa orang-orang yang mengalami kekacauan tersebut. Satu hal yang menarik yaitu pada bagian “Kami Pungut Pecahan Doa …”. Pada bagian ini seolah-olah doa memiliki wujud yang telah diungkapkan kemudian hancur berantakan karena sebuah sebab. Kemudian, kesadaran dari orang-orang yang mengalami kehancuran itu akhirnya kembali memungut doa-doa yang telah pecah berserakan untuk disusun kembali seperti saat doa tersebut utuh. Di bagian ini, doa dan harapan seperti menjadi suatu hal yang menyatu. Kehancuran yang dialami oleh orang-orang yang digambarkan pada puisi tersebut seperti menghancurkan hidup mereka yang kemudian mereka berusaha kembali mendekatkan diri mereka kepada tuhan melalui doa agar mereka kembali bangkit dan memiliki kekuatan. Puisi tersebut banyak menggunakan pencitraan lihatan, seperti pada ”Malam-malam kami dirayapi tank, dicekam rudal, diintai peluru, diraungi ledakan-ledakan”. Penyampaian puisi dengan penuh perasaan yang emosional, tegang, khawatir, kesakitan, dan penuh harapan sangat dapat dirasakan oleh pembaca melalui pilihan-pilihan kata yang “keras”. Bentuk penyampaian seperti ini bisa jadi dengan maksud dan tujuan agar pembaca dapat merasakan suasana yang benar-benar terjadi di kehidupan. Suasana dalam puisi tersebut dapat memberikan gambaran kepada pembaca bahwa puisi tersebut tidak sederhana dan bertujuan menyampaikan pesan moral yang dalam. Amanat yang kental dapat dirasakan pembaca dari banyaknya penggunaan kata doa di dalam puisi tersebut. Kata doa sangat dominan dan menjadi perhatian bagi pembaca agar memahami betul betapa pentingnya doa bahkan di saat-saat yang kacau seperti yang digambarkan di dalam puisi tersebut. Di saat doa tersebut dikabulkan dan kemudian kita kembali mengalami semangat
untuk
keruntuhan, agar kiranya pembaca tidak merasa bosan dan patah terus
berdoa.
Kekuatan
doa
yang
khusyuk
dipercaya
dapat
mengambalikan/membangkitkan manusia dari kekacauan dan keadaan yang sangat buruk.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Dari segi bentuk, sepintas puisi tersebut seperti narasi yang berbentuk paragraf. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa puisi tersebut termasuk dalam jenis puisi bebas. Puisi bebas yang digunakan oleh pemuisi merupakan bukti bahwa pemuisi merupakan generasi yang tidak lagi menggunakan aturan-aturan lama di dalam penulisan puisi. Pemuisi berusaha menyampaikan suaranya dengan memilih kata-kata yang tidak sulit untuk dipahami, tetapi “keras” dan langsung menyentuh emosi pembaca. Religiusitas di dalam Puisi “Karang Azan Magrib” Pemilihan puisi “Karang Azan Magrib” sebagai salah satu puisi yang akan dianalisis tidak terlepas dari keyakinan penulis yang menjadikan magrib sebagai satu waktu yang sakral. Dikatakan sebagai waktu yang sakral karena magrib merupakan salah satu waktu dari lima waktu yang ditetapkan oleh Islam untuk melaksanakan salat. Sebagai seorang muslim, penulis merasa begitu dekat dengan suasana magrib. Ketika azan magrib berkumandang, suasana yang tenang dimulai dengan bergantinya siang hari menjadi malam. Magrib juga menjadi waktu bagi umat Islam melaksanakan salah satu ibadah dari rangkaian salat lima waktu sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban sekaligus memenuhi kebutuhan. Sebelum memaparkan unsur religiusitas dari puisi tersbeut, terlebih dahulu penulis menyampaikan lirik puisi “Karang Azan Magrib” sebagai berikut. KARANG AZAN MAGRIB5 Azan magrib jadi karang. Membongkah-bongkah dalam diriku saat mencarimu di kamar paling gaib itu. Nafasku tengadah. Nafasku tumpah. Berkarang-karang azan magrib memburuku saat meliukkan tarianmu dalam dekapan paling karam. Aku tenggelam dalam biru rindumu yang setiap saat memanggil-manggil namaku dengan hujan menggema. Kau pun terbakar dalam cintaku, berteratap dalam kumandang azan di rongga karang-karang. Kita tenggelam dalam karam azan di dasar lautan. Waktu arlojimu 10 menit lebih cepat dari waktu matahari. Tapi tarianmu terasa lambat di tubuhku, seperti gerak azan magrib sore itu. Aha, engkaukah yang merambat pelan di bibirku? Ataukah nemamu yang kubisikkan dari dasar rindu? Waktu arlojimu mempercepat tangisku kembali di azan sebelum magrib jadi karang. Dengan tibuh berlumur rindu, kupeluk engkau dalam getar azan. Tapi tak juga sampai pelukanku pada rahasia dekapan. Sampai kapan, adikku, dekapan merahasia dalam pelukan-pelukan kita? Kudekap engkau dikarang-karang, berharap airmatamu berdenyaran di azan-azan.
5
Jamal D. Rahman, di dalam Garam-Garam Hujan, Hal. 49.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Setelah penulis mengungkapkan alasan dan memilih puisi ini dan membacanya, penulis menemukan banyak hal di dalam puisi ini yang dirasakan erat kaitannya dengan unsur religius. Suasana saat magrib tiba sering kali dirasakan hening dan orang-orang berbondong-bondong untuk sejenak berhenti dari kegiatannya. Kesadaran seseorang yang memiliki kekuatan untuk menunaikan ibadah tentunya akan membuat azan magrib menjadi suatu titik yang paling dekat ke dalam dirinya. Di lingkungan yang dekat dengan kita, barangkali kita sama-sama tahu pada umumnya lantunan azan magrib dikumandangkan oleh seorang muazin melalui pengeras suara di masjid, musala, atau langgar. Artinya, pemuisi berusaha dekat dengan apa yang ia dengar. Azan yang memanggil umat Islam untuk menunaikan salat membuat pemuisi merasa selangkah lebih dekat dengan Tuhan. Kedekatan yang dirasakan pemuisi merupakan bentuk kedekatan batin antara insan dengan sang pencipta. Seperti yang diutarakan pada “kau pun terbakar dalam bara cintaku …” yang mengisyaratkan bahwa ketika azan magrib sudah dikumandangkan, tidak ada lagi alasan untuk berpaling ke hal lainnya, kecuali untuk menunaikan apa yang menjadi kewajiban yaitu salat. Azan menjadi saat yang dinantikan oleh pemuisi karena dengan azan ia terpanggil untuk mempersiapkan diri, memposisikan diri ke dalam keadaan yang lebih bersih dan rapi, sehingga tampil dengan sangat baik saat menghadap Sang Pencipta. Pada “dengan tubuh berlumur rindu, kupeluk engkau dalam getar azan, tapi tak juga sampai pelukanku pada rahasia dekapan.” terlihat bahwa penulis tengah menggambarkan suasana hati yang berusaha mencintai lantunan azan. Kalimat-kalimat yang dilantunkan saat azan dikumandangkan terasa sangat mendalam. Kalimat yang indah dan memanggil umat Islam untuk melaksanakan salat lima waktu tersebut juga menjadi bentuk ungkapan kecintaan sekaligus rasa mengagungkan kepada Tuhan. Di sini juga terlihat bahwa penulis berusaha terus meningkatkan diri dalam segi kualitas ibadah kepada Tuhan. Akan tetapi, segala upaya yang meskipun sudah sangat maksimal belum juga meyakinkan penulis bahwa ibadahnya itu benar-benar sudah mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan Tuhan telah menerima segala bentuk ibadahnya. Walaupun demikian, upaya untuk tetap terus meningkatkan ibadahnya tetap dijalankan tanpa rasa putus asa dan keragu-raguan. Religiusitas di dalam Puisi “Air Mata Doa” Air mata dan doa menjadi dua hal yang begitu dekat meskipun berbeda makna. Apabila mengidentikkan doa dengan air mata, tentu tidak semua orang berdoa sambil meneteskan air mata. Begitupun ketika seseorang bercucuran air mata, bukan berarti orang
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
tersebut tengah dalam suasana doa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal yang berkaitan tersebut menjadi sebuah alasan rasa ingin tahu penulis untuk mengulik isi puisi ini. Berikut adalah puisi “Air Mata Doa”. AIR MATA DOA6 Kusentuh suara daun jatuh, sebagai kabar dari doa-doamu. di halaman berumput itu kita pernah bertemu, menimbang-nimbang daun jambu hingga semuanya menguning, dan kita berdebar ketika sepucuk daun bertahan dari kejatuhannya: bila ia jatuh, adakah suaranya akan juga kau dengar? mungkin tidak. maka kusentuh suara daun jatuh itu, sebagai airmata doa ibumu Dari sekian puisi yang dibahas oleh penulis, penulis merasa puisi “Air Mata Doa” ini merupakan yang tersulit untuk dikaji dengan lebih dalam. Mengacu pada pilihan kata yang digunakan oleh pemuisi untuk membentuk puisi tersebut, seolah-olah tidak dapat dikurangi meskipun pada bagian yang sedikit. Memandang puisi ini bagi penulis haruslah secara utuh satu kesatuan dan tidak dipecah-pecah kata demi kata. Beberapa contoh misalnya kata “sentuhan” dan “berdebar” yang dipilih oleh penulis, seolah menggambarkan suasana dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, menggambarkan sudut yang memegang. Dalam hal ini mengacu kepada Tuhan yang memberikan pertolongan kepada hamba-hambanya. Kedua, menggambarkan manusia yang ketika mendapatkan pertolongan atau terkabul doadoanya, akan merasa berdebar-debar hatinya. Melalui pengelihatan dan perabanya, penulis menuangkan segala suasana yang dirasakan dalam pilihan kata yang sangat hati-hati dan sarat dengan makna. Penulis puisi mengajak pembacanya untuk ikut merasakan sesuatu hal yang ada di sekitarnya, mulai dari hal yang segar, yang indah, hingga sesuatu yang layu, kering, dan kurang sedap dipandang. Ajakan pemuisi seperti ini penulis anggap sebagai satu media menyampaikan pesan yang cukup kuat, tetapi perlu pemahaman yang lebih mendalam dibanding dengan puisi-puisi sebelumnya. Tujuan yang kuat dapat dirasakan pembaca bahwa pemuisi ingin mengajak kepada suasana yang syahdu dan dekat dengan pencipta. Religiusitas di dalam Puisi “Lewat Sujud-Sujud Panjang”
6
Jamal D. Rahman, di dalam Garam-Garam Hujan, Hal. 50.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Sebagai puisi terakhir yang dibahas, penulis memilih “Lewat Sujud-Sujud Panjang”. Satu hal yang menjadi alasan penulis memilih puisi ini adalah melihat sebuah situasi ketika seorang tengah menyembah, kemudian bersujud dan sujudnya lebih panjang daripada biasanya. Ada satu ketertarikan untuk melihat ketika seseorang menyembah dengan sujud, kemudian sujudnya lebih panjang dan lebih lama dari biasanya, berarti ada sesuatu hal yang diharapkan lebih dari itu. Atau dengan kata lain, permohonan yang diharapkan lebih besar daripada permohonan-permohonan lainnya. Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu penulis menyampaikan puisi tersebut. LEWAT SUJUD-SUJUD PANJANG7 Lewat sujud-sujud panjang, kukalungkan karangan bunga bagi zaman yang telah bunuh diri. gerimis tipis dan deru yang menghilang di udara. di jurang-jurang yang ditumbuhi pepohonan dan reruntuhan, atau di lembah-lembah yang dibebani bumi dan kehancuran, aku masih mengangkatmu Syahwat dan kerakusan akan kukembalikan pada sukma. pada roh yang kian merana Puisi “Lewat Sujud-Sujud Panjang” seolah-olah tidak mencerminkan sisi religius dari penulisnya. Akan tetapi, pada puisi tersebut terdapat beberapa kata yang mencerminkan hal kereligiusan seorang penulis seperti sujud, roh, dan syahwat. Meskipun menggunakan pilihan kata yang sederhana, puisi tersebut merupakan puisi yang cukup sulit untuk dipetik makna dan amanatnya. Hakikatnya, manusia hidup untuk bersujud kepada Tuhannya. Manusia hidup dengan roh yang ditiupkan ke dalam tubuh yang menjadikan dirinya hidup. Dalam keseharian manusia, tidak terpisah dari kesalahan dan kekhilafan yang seluruhnya didasari syahwat. Kemudian, titik akhirnya untuk kembali bersih, manusia harus berserah diri (sujud) kepada sang pencipta agar melakukan taubat. Sedikit penulis coba memahami maksud lain dari puisi tersebut, tidak hanya mengaitkan roh, sujud, dan syahwat, penulis juga berusaha mengajak pembaca untuk memahami bentuk kesedihannya terhadap suatu keadaan. Lebih dekat lagi, keadaan yang dimaksud adalah kondisi alam sesuai dengan pencitraan yang disampaikan oleh penulisnya berupa suasana alam seperti gerimis, udara, jurang-jurang, pepohonan, lembah-lembah, dan
7
Jamal D. Rahman, di dalam Garam-Garam Hujan, Hal. 94.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
bumi. Pencitraan yang digambarkan dengan suasana sedih sangat menyentuh pembaca dan menarik agar senantiasa menjaga alam semesta dari segala bentuk kerusakan-kerusakan. Di bagian akhir puisi, satu hal yang sangat ditekankan oleh penulis adalah “Syahwat dan kerakusan akan kukembalikan pada sukma. Pada roh yang kian merana.” Di bagian ini dapat dirasakan bahwa apa yang ditanam oleh manusia, itu merupakan hal yang baik dan akan dituai hasilnya di suatu masa mendatang. Sebaliknya, sesuatu hal yang buruk yang ditanam oleh manusia juga akan menuai hasil keburukan bagi manusia yang menanamnya. Sujud yang panjang sebagaimana diungkapkan di dalam puisi dapat kita pandang secara utuh juga merupakan perjalanan manusia itu sendiri. Hakikatnya, sepanjang perjalanan hidup seorang manusia yang beragama, adalah untuk beribadah kepada Tuhan. Langkah kaki, pekerjaan, ilmu, dan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia adalah merupakan bagian dari proses mendekatkan diri kepada sang pencipta. Hasil-hasil yang didapatkan baik buruknya akan sesuai dengan usaha dan perjuangan yang diupayakan oleh manusia itu sendiri.
Penutup Berdasarkan hasil pembacaan dan analisis terhadap kumpulan puisi Garam-Garam Hujan, didapatkan informasi bahwa Jamal D. Rahman adalah seorang pemuisi yang kreatif dalam menulis. Jamal menggunakan puisi bebas dengan tipografi yang tidak lagi mengikuti kaidah penulisan puisi lama. Bentuk puisi bebas yang ditulis oleh Jamal menjadi salah satu bukti bahwa Jamal merupakan pemuisi yang lahir di era modern yang mengungkapkan kata lewat puisi dengan gayanya sendiri. Puisi-puisi yang ditulisnya, selain menggunakan gaya bahasa yang baik, penyampaiannya pun dapat memengaruhi emosi pembacanya. Dengan pilihan kata dan berbagai cara untuk menggambarkan hal-hal yang ia lihat, rasakan, dengar, sentuh, bahkan ia hirup sekalipun, terlihat bahwa pembaca tengah diajak untuk memasuki titik suasana yang terdalam. Upaya yang dilakukannya ini terlihat agar pembaca juga ikut merasakan apa yang dituangkan Jamal di dalam puisinya dengan penuh penghayatan. Pada kumpulan puisi Garam-Garam Hujan, secara umum banyak ditulis puisi dengan pilihan kata yang mudah dipahami. Akan tetapi, ada juga beberapa puisi yang cukup sulit dimaknai kata demi katanya. Perpaduan antara pilihan kata, penulisan, unsur-unsur pendukung seperti tipografi dan enjambmen mampu mendukung tulisan Jamal sehingga terasa lebih hidup seolah-olah tulisan tersebut sedang mengajak berbicara para pembacanya. Selain itu, Jamal terlihat juga memanfaatkan bentuk penyampaian puisinya dengan menggambarkan suasana alam di sekitarnya. Pencitraan terhadap alam ini bukan semata-mata
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
menyiratkan bahwa puisinya merupakan cerita terhadap kondisi alam. Akan tetapi, pencitraan tersebut selain mewakili suaranya untuk menggambarkan kondisi alam, juga menggambarkan suasana ataupun emosi hatinya atau dengan kata lain Jamal tengah menggunakan sesuatu hal yang ada di sekitarnya untuk mewakili manusia itu sendiri. Perpaduan kata demi kata yang disusun, juga meningkatkan suasana dan emosi yang hendak disampaikan oleh Jamal secara puitis. Membaca kumpulan puisi Garam-Garam Hujan tentu menambah wawasan baru bagi kita terhadap dunia puisi. Mengetahui dari berbagai tulisan dan sumber tentang pemuisinya sebagai seorang yang religius, tidak heran jika Garam-Garam Hujan kental dengan religiusitasnya. Religiusitas yang diciptakan oleh pemuisi bukan muncul tiba-tiba atau ditulis dengan tanpa tujuan saja, tetapi menyelipkan pesan moral dan makna yang mendalam yang dapat direfleksikan oleh pembaca. Pembaca dapat melihat betapa kekuatan religiusitas puisi melalui hal-hal yang pemuisi kumpulkan dari sekitarnya. Alam, suasana, bahkan setiap waktu mempunyai kekuatan yang berbeda-beda dan sangat menyentuh dirasakan oleh pemuisi. Kumpulan demi kumpulan situasi dan suasana disatu padukan oleh Jamal melalui puisi-puisinya. Rangkaian perasaannya pemuisi tuangkan di dalam lirik-lirik puisi dengan sangat mendalam. Pembaca mungkin akan merasakan sesuatu hal yang sulit ditebak. Akan tetapi, secara perlahan pembaca diajak memasuki sebuah dunia yang baru yang kental dan jauh dengan materi dan berusaha menyatuha jiwa manusia dengan alam dan penciptanya. Inilah yang menjadi kekuatan terbesar dari puisi-puisi yang ditulis oleh Jamal D. Rahman sehingga patut rasanya untuk mengapresiasi dan mengakui puisi-puisi karangan Jamal sebagai puisi yang berkualitas.
Daftar Referensi
Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra. Jakarta: Indonesia Tera. 2008. Cetakan pertama September 2002. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011 Madjid, R. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. 1997. Mangunwijaya, Y.B. Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta: Gramedia. 1986. Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. 2005.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
Rahman, Jamal D. Garam-garam Hujan: Kumpulan Puisi. Yogyakarta: Hikayat Publishing. 2004. Situmorang, BP. Puisi: teori apresiasi bentuk dan struktur. Flores: Penerbit Nusa Indah. 1983. (Cetakan Pertama 1981) Daftar Acuan
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php , terakhir diakses pada hari Jumat, 15 Januari 2016, pukul 22.15 WIB. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=25062&val=1548 , terakhir diakses pada hari Selasa, 12 Januari 2016, pukul 20.26 WIB. http://jamaldrahman.wordpress.com/jamal-d-rahman/, terakhir diakses pada hari Rabu, 13 Januari 2016, Pukul 23.34 WIB. http://www.jendelasastra.com/wawasan/essay/sastra-sufi-melayu-dan-gemanya-dalam-sastramodern-indonesia. terakhir diakses pada hari Rabu, 13 Januari 2016, Pukul 23.20 WIB. http://www.kajianteori.com/2015/02/pengertian-puisi-menurut-ahli.html pada hari Kamis, 28 Januari 2016, Pukul 23.30 WIB.
Religiusitas dalam kumpulan…, Waliarahman, FIB UI, 2016
terakhir
diakses